Merajut Kecerdasan Komprehensip dalam Pembelajaran Iskandar Fakultas Tarbiyah IAIN Sulthan Thaha Saifuddin
Abstract: Education is the process of integration and internalization into the intelligence of the individual and society, so that individual and the community to be human one. Educational paradigm must be built on the national education system is how to “glorify humanity of man” rather than humanize humans. Education is not a means of knowledge transfer, but more broadly as a means of transfer of intelligence as a whole (kaffah). The dimensions of a comprehensive intelligence has at least the three most basic things, namely: (1) intelligent quotient, the ability of the brain that is reflected in the capacity of thought to explore, develop and become an expert in science and technology through learning, (2) emotional quotient is reflected with the ability to understand themselves and others, ability to motivate yourself and empathize with others and communication skills to build networking and webworking (technical skills, practical skills, and competencies kinesthetic), (3) spiritual quotient as reflected by the ability to develop the qualities of faith, noble character and eminent personalities. Along with the globalization, takes reoriented educational paradigm to realize that humans have a comprehensive intelligence and character. Keywords: Knitting, comprehensive Intelligence, Learning
I. Pendahuluan Banyak contoh disekitar kita membuktikan bahwa orang yang memiliki kecerdasan otak saja, atau banyak memilki gelar yang tinggi Innovatio, Vol. X, No. 1, Januari-Juni 2011
123
Iskandar
belum tentu sukses berkiprah di dunia pekerjaan. Bahkan seringkali orang yang berpendidikan formal lebih rendah tetapi banyak yang lebih berhasil. Kebanyakan program pendidikan hanya berpusat kepada kecerdasan akal (IQ), padahal yang diperlukan sebenarnya adalah bagaimana mengembangkan kecerdasan hati atau perasaan, seperti ketangguhan, inisiatif, optimisme, kemampuan beradaptasi yang kini telah menjadi dasar penilaian baru. Saat ini begitu banyak orang yang berpendidikan dan tampak begitu menjanjikan, namun kariernya mandek, atau lebih buruk lagi, tesingkir, akibat rendahnya kecerdasan hati mereka. Di dalam organisasi tempat bekerja, keterampilan teknik tidak seberapa penting dibandingkan dengan kemampuan dasar untuk belajar dalam pekerjaan yang bersangkutan. Adapun kemampuan yang dibutuhkan adalah kemampuan mendengarkan dan berkomu nikasi lisan, adaptasi, kreatifitas, ketahanan mental terhadap kegagal an, kepercayaan diri, motivasi, kerjasama tim, dan keinginan untuk memberi kontribusi terhadap organisasi. Berdasarkan tes IQ, kebanyakan orang yang memiliki IQ yang tinggi, menunjukkan kinerja yang buruk dalam pekerjaan, sementara yang ber IQ sedang, justru sangat berprestasi. Kemampuan akademik, nilai rapor, predikat kelulusan pendidikan tinggi tidak bisa menjadi tolak ukur seberapa baiknya kinerja seseorang sudah bekerja atau seberapa tinggi kesuksesannya. Menurut Cleland, 1973 dalam Ari Ginanjar 2005, “Testing for Competence” bahwa seperangkat kecakapan khusus seperti empati, disiplin diri, dan inisiatif akan menghasilkan orang-orang yang sukses dan bintang-bintang kinerja.1 Kunci keberhasilan utama adalah mereka yang memiliki kecedasan emosi berupaa kemampuan pribadi dan sosial. Danah Zohar dan Ian Marsall mendefenisikan kecedasan spiritual adalah kecerdasan untuk menghadapi persoalan makna atau value, yaitu kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan hidup kita dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya, kecedasan untuk 1 Ary Ginanjar Agustian. 2005. ESQ; Emotional Spritual Quotient. Jakarta Indonesia: Arga.
124
Innovatio, Vol. X, No. 1, Januari-Juni 2011
Merajut Kecerdasan Komprehensif dalam Pembelajaran
menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna dibandingkan dengan yang lain. SQ adalah landasan yang diperlukan untuk memfungsikan IQ dan EQ secara efektif. Bahkan SQ merupakan kecerdasan tingkat tinggi kita.2 Sedangkan dalam ESQ, kecerdasan spiritual kemampuan untuk memberi makna ibadah setiap perilaku dan kegiatan, melalui langkah-langkah dan pemikiran yang bersifat fitrah, menuju manusia yang seutuhnya (hanif) dan memiliki pola pemikiran tauhid (integralistik), serta prinsip “hanya karena Allah”.
II.Merajut Kecerdasan dalam Pembelajaran Kecerdasan yang dimiliki manusia merupakan salah satu anugerah besar dari Allah SWT menjadikannya sebagai salah satu kelebihan manusia dibandingkan dengan makhluk lainnya. Dengan kecerdasannya, manusia dapat terus menerus mempertahankan dan meningkatkan kualitas hidupnya yang semakin kompleks, melalui proses berpikir dan belajar secara terus menerus. Dalam hal ini, sudah sepantasnya manusia bersyukur, meski secara fisik tidak begitu besar dan kuat, namun berkat kecerdasan yang dimilikinya hingga saat ini manusia ternyata masih dapat mempertahankan kelangsungan dan peradaban hidupnya. Salah satu pengertian kecerdasan yang paling banyak digunakan adalah yang dikemukakan oleh Wechsler. Ia menganggap kecerdasan adalah konsep generik yang melibatkan kemampuan individual untuk berbuat dengan tujuan tertentu. Sementara itu menurut Chaplin (1975) memberikan pengertian kecerdasan sebagai kemampuan menghadapi dan menyesuaikan diri terhadap situasi baru secara cepat dan efektif. Kemudian Anita E. Woolfolk (1975) mengemukakan bahwa menurut teori lama, kecerdasan meliputi tiga pengertian, yaitu: (1) kemampuan untuk belajar; (2) keseluruhan pengetahuan yang diperoleh; dan (3) kemampuan untuk beradaptasi dengan situasi baru atau lingkungan pada umumnya.3 Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi 2 Danah Zohar dan Ian Marsal. SQ: Spiritual Intellegence. Bloomsbuy, Great, Britain.
Innovatio, Vol. X, No. 1, Januari-Juni 2011
125
Iskandar
dewasa ini, orang tidak hanya berbicara tentang kecerdasan umum, kecerdasan intelektual (IQ) saja, melainkan juga kecerdasan emosi (EQ) dan kecerdasan spiritual (SQ). Setiap kecerdasan ini memiliki wilayahnya sendiri-sendiri di otak. Sesuai dengan fitrah, kecerdasan sudah ada sejak manusia dilahirkan, tetapi yang mewarnai selanjutnya adalah keluarga dan lingkungannya. Belakangan ini diyakini bahwa penentu keberhasilan seorang anak manusia bukan hanya terletak pada seberapa tinggi IQ seorang anak, melainkan juga bagaimana keadaan tinggi EQ dan SQ anak tersebut. Sebagaimana ungkapan orang bijak, jika ingin membangun bangsa, bangunlah masyarakatnya; jika ingin membangun masyarakat, bangunlah keluarganya; jika ingin membangun keluarga, bangunlah manusianya; jika ingin membangun manusia, bangunlah hatinya. Kecerdasan intelektual (IQ) mula-mula diperkenalkan oleh Alfred Binet, ahli psikologi dari Perancis pada awal abad ke-20. Kemudian, Lewis Terman dari Universitas Stanford berusaha membakukan tes IQ yang dikembangkan oleh Binet dengan mempertimbangkan norma-norma populasi sehingga selanjutnya dikenal sebagai tes Stanford-Binet. Selama bertahun-tahun IQ telah diyakini menjadi ukuran standar kecerdasan, namun sejalan dengan tantangan dan suasana kehidupan modern yang serba kompleks, ukuran standar IQ ini memicu perdebatan sengit dan sekaligus menggairahkan di kalangan akademisi, pendidik, praktisi bisnis dan bahkan publik awam, terutama apabila dihubungkan dengan tingkat kesuksesan atau prestasi hidup seseorang.4 Kajian tentang kecerdasan hanya sebatas kemampuan individu yang bertautan dengan aspek kognitif atau biasa disebut Kecerdasan Intelektual yang bersifat tunggal, sebagaimana yang dikembangkan oleh Charles Spearman (1904) dengan teori “Two Factor”-nya, atau Thurstone dengan teori “Primary Mental Abilities”-nya. Dari kajian ini, menghasilkan pengelompokkan kecerdasan manusia yang dinyataAkhmad Sudrajat. 2009. Psikologi Pendidikan. Kuningan: PE-AP Press. Akhmad Sudrajat. 2009. Psikologi Pendidikan. 5 Weschler dalam Nana Syaodih, 2005. 3 4
126
Innovatio, Vol. X, No. 1, Januari-Juni 2011
Merajut Kecerdasan Komprehensif dalam Pembelajaran
kan dalam bentuk Inteligent Quotient (IQ), yang dihitung berdasarkan perbandingan antara tingkat kemampuan mental (mental age) dengan tingkat usia (chronological age), merentang mulai dari kemampuan dengan kategori Ideot sampai dengan Genius.5 Dengan berkembang ilmu pengetahuan dan teknologi dalam kontek ilmiah melalui penelitian bidang psikologi menemukan beberapa kecerdasan manusia seperti yang temuan kajian kecerdasan emosi Emotional Quotient (EQ) oleh pakar psikologi yang terkenal yaitu Daniel Goleman (1995), salah seorang yang mempopulerkan jenis kecerdasan manusia yaitu Emotional Quotient (EQ) yang dianggap sebagai faktor penting yang dapat mempengaruhi terhadap prestasi seseorang. Goleman mengemukakan bahwa kecerdasan emosi merujuk pada kemampuan mengenali perasaan kita sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam hubungan dengan orang lain. Seterusnya temuan ilmiah yang digagas oleh Danah Zohar dan Ian Marshall, dan riset yang dilakukan oleh Michael Persinger pada tahun 1990-an, serta riset yang dikembangkan oleh V.S. Ramachandran pada tahun 1997 menemukan adanya God Spot dalam otak manusia, yang sudah secara built-in merupakan pusat spiritual (spiritual centre), yang terletak diantara jaringan syaraf dan otak. Begitu juga hasil riset yang dilakukan oleh Wolf Singer menunjukkan adanya proses syaraf dalam otak manusia yang terkonsentrasi pada usaha yang mempersatukan dan memberi makna dalam pengalaman hidup kita. Suatu jaringan yang secara literal mengikat pengalaman kita secara bersama untuk hidup lebih bermakna. Pada God Spot inilah sebenarnya terdapat fitrah manusia yang terdalam.6 Menurut Danah Zohar, bentuk kecerdasan manusia itu banyak dan tak terbatas, namun dapat dihubungkan kepada tiga kecerdasan IQ, EQ dan SQ. Manusia memiliki tiga kecerdasan yaitu kecerdasan intelektual, kecerdasan emosi dan kecerdasan spiritual. Ketiga-tiga ke6 Ary Ginanjar Agustian. 2005. ESQ; Emotional Spritual Quotient. Jakarta Indonesia: Arga. 7 Ary Ginanjar Agustian. 2005. ESQ; Emotional Spritual Quotient. Jakarta
Innovatio, Vol. X, No. 1, Januari-Juni 2011
127
Iskandar
mampuan sangat membantu seseorang dalam meningkatkan kualitas diri, mengabaikan salah satu kemampuan tersebut menyebabkan banyak individu dililit masalah secara pribadi maupun sosial masyarakat. Selama ini masyarakat mempercayai dan mengagung-agungkan akan arti kecerdasan intelektual bahwa jika seseorang memiliki tingkat kecerdasan intelektual (IQ) yang tinggi, maka orang tersebut memiliki peluang untuk meraih kesuksesan yang lebih besar dibanding orang lain. Pada kenyataannya, ada banyak kasus di mana seseorang yang memiliki tingkat kecerdasan intelektual yang tinggi tersisih dari orang lain yang tingkat kecerdasan intelektualnya lebih rendah. Ternyata IQ (Intelligence Quotient) yang tinggi tidak menjamin seseorang akan meraih kesuksesan. Realitas menunjukkan bahwa banyak orang IQnya tinggi, tetapi tidak selalu berhasil dalam hidupnya. Seperti hasil penelitian Gardner, seorang Profesor Pendidikan Harvard melakukan riset kecerdasan manusia, ia mematahkan mitos bahwa Intelligence Quotient (IQ) tetap, tidak berubah, jika seseorang terlahir dengan kondisi IQ sedang, maka IQ-nya tidak pernah bisa bertambah maupun berkurang. Artinya, jika seseorang terlahir dengan kecerdasan intelektual (IQ) yang cukup, akan sulit mendapatkan IQ yang superior (jenius), begitu pula sebaliknya. Tetapi, Emotional Quotient (EQ) dapat dikembangkan seumur hidup dengan belajar. Kecerdasaan emosi merupakan kemampuan seseorang untuk memecahkan masalah dan menghasilkan produk dalam suatu setting yang bermacam-macam dalam situasi yang nyata. Menurut pakar psikologi Gardner dalam teori “Multiple Intelli gence”(MI) (kecerdasan ganda), yang mengatakan bahwa dalam diri manusia terdapat banyak potensi yang belum dikembangkan. Dan bahkan kadang-kadang potensi tersebut telah kita kubur gara-gara kesibukan kita sehari-hari, seperti pekerjaan dan mengurus rumah tangga atau karena sekolah. Dalam budaya kita pada umumnya orang yang dianggap cerdas yaitu orang yang pintar secara otak bukan emosi, atau lebih dikenal IQ (Intelectual Quotient) dan bukan EQ (Emotional Quotient). Dalam penemuannya, setidaknya ada tujuh kecerdasan yang patut diperhitungkan secara sungguh-sungguh 128
Innovatio, Vol. X, No. 1, Januari-Juni 2011
Merajut Kecerdasan Komprehensif dalam Pembelajaran
sebagai sebuah kecerdasan juga. Tujuh kecerdasan itu di antaranya kecerdasan logis-matematis, linguistik, visual, musikal, kinestetik, jasmani, antarpribadi, dan intrapribadi, serta naturalistik. Dengan adanya delapan kecerdasan tersebut memberikan peluang pada kita bahwa kita pun patut dianggap cerdas walau tidak dalam kacamata adat masyarakat. Hanya kadang kita menganggap sebagai orang bodoh lantaran tidak cerdas dalam berpikir matematika atau pandai berkata-kata. Kita harus menganggap bahwa sesungguhnya kita adalah orang yang cerdas dalam salah satu kecerdasan itu atau bahkan lebih. Sekarang tinggal bagaimana kita menemukan dan menggalinya di antara ketujuh kecerdasan itu. Teori multiple intelegence (kecerdasan ganda) yang digagas oleh Gardner seorang pakar psikologi temuan beliau menyatakan bahwa aktivitas menulis bisa dimasukan pada dua kecerdasan yaitu, kecerdasan linguistik (word smart) dan kecerdasan intrapribadi (self smart). Kedua kecerdasan tersebut sama-sama menggunakan alat ‘aktivitas menulis’ untuk meningkatkan kedua kecerdasan tersebut. Setidaknya ‘aktivitas menulis’ ikut andil dalam peningkatan kedua kecerdasan itu. Adapun model kecerdasan ganda, sebagai di bawah. Kecerdasan Matematik-Logika Kecerdasan matematik-logika sendiri memuat kemampuan seseorang dalam berpikir secara induktif dan deduktif, kemampuan berpikir menurut aturan logika, memahami dan menganalisa pola angkaangka serta memecahkan masalah dengan menggunakan kemampuan berpikir. Anak-anak dengan kecerdasan matematik-logika tinggi cenderung menyenangi kegiatan menganalisa dan mempelajari sebabakibat terjadinya sesuatu. Ia menyenangi berpikir secara konseptual, yaitu misalnya menyusun hipotesis, mengadakan kategorisasi dan klasifikasi terhadap apa yang dihadapinya. Anak-anak semacam ini cenderung menyukai aktifitas berhitung dan memiliki kecepatan tinggi dalam menyelesaikan problem matematika. Apabila kurang memahami, maka mereka akan cenderung berusaha untuk bertanya dan mencari jawaban atas hal yang kurang dipahami tersebut. Innovatio, Vol. X, No. 1, Januari-Juni 2011
129
Iskandar
Anak-anak ini juga sangat menyukai berbagai permainan yang banyak melibatkan kegiatan berpikir aktif, seperti: catur, bermain teka-teki dan sebagainya. Kecerdasan Bahasa (Linguistic) Kecerdasan bahasa (linguistic) memuat kemampuan seseorang untuk menggunakan bahasa dan kata-kata, baik secara tertulis maupun lisan dalarn berbagai bentuk yang berbeda untuk mengekspresikan gagasan-gagasannya. Anak-anak dengan kecerdasan bahasa yang tinggi, umumnya ditandai dengan kesenangannya pada kegiatan yang berkaitan dengan penggunaan suatu bahasa seperti membaca, menulis karangan, membuat puisi, menyusun kata-kata mutiara dan sebagainya. Anak-anak seperti ini juga cenderung memiliki daya ingat yang kuat misalnya terhadap nama-nama seseorang, istilah-istilah baru maupun hal-hal yang sifatnya detil. Mereka cenderung lebih mudah belajar dengan cara mendengarkan dan verbalisasi. Dalam hal penguasaan suatu bahasa baru, anak-anak ini umumnya memiliki kemampuan yang lebih tinggi dibandingkan dengan anak-anak lainnya. Kecerdasan linguistik bertumpu pada kemampuannya dalam berbicara dan menulis. Menurut Armstrong, orang yang mempunyai bakat di bidang ini akan peka dan tajam terhadap bunyi atau fonologi bahasa. Mereka sering menggunakan permainan kata-kata, rima, tongue twister, aliterasi, onomatope, dan lain-lain. Mereka juga mahir memanipulasi sintaksis (struktur atau susunan kalimat), juga kepekaannya terhadap bahasa melalui semantik (pemahaman tentang makna). Kemampuan kecerdasan linguistik dapat digunakan siswa (peserta didik) dan guru (pendidik) dalam berbicara (berkomunikasi, diskusi, dan pidato) maupun menulis. Kecerdasan Musik Kecerdasan musik memuat kemampuan seseorang untuk peka terhadap suara-suara non verbal yang berada di sekelilingnya termasuk dalam hal ini adalah nada dan irama. Anak-anak jenis ini cenderung 130
Innovatio, Vol. X, No. 1, Januari-Juni 2011
Merajut Kecerdasan Komprehensif dalam Pembelajaran
senang sekali mendengarkan nada dan irama yang indah, apakah itu melalui senandung yang dilagukannya sendiri, mendengarkan kaset/radio, pertunjukan orkestra atau alat musik yang dimainkannya sendiri. Mereka juga lebih mudah mengingat sesuatu dan mengekspresikan gagasan-gagasan apabila dikaitkan dengan musik. Kecerdasan Visual Kecerdasan visual spasial memuat kemampuan seseorang untuk memahami secara lebih mendalam hubungan antara obyek dan ruang. Anak-anak ini memiliki kemampuan misalnya untuk menciptakan imajinasi bentuk dalam pikirannya, atau kemampuan untuk menciptakan bentuk-bentuk tiga dimensi seperti dijumpai pada orang dewasa yang menjadi pemahat patung atau arsitek suatu bangunan. Kemampuan membayangkan suatu bentuk nyata dan kemudian memecahkan berbagai masalah sehubungan dengan kemampuan ini adalah hal yang menonjol pada jenis kecerdasan visual-spasial ini. Anak-anak demikian akan unggul dalam permainan mencari jejak pada suatu kegiatan di kepramukaan misalnya. Kecerdasan Kinestetik Kecerdasan kinestetik memuat kemampuan seseorang untuk secara aktif menggunakan bagian-bagian atau seluruh tubuhnya untuk berkomunikasi dan memecahkan berbagai masalah. Hal ini dapat dijumpai pada anak-anak yang unggul pada salah satu cabang olahraga, seperti misalnya bulu tangkis, sepakbola, tenis, berenang, dan sebagainya. Atau bisa pula terampil pada anak-anak yang pandai menari, terampil bermain acrobat atau unggul dalam bermain sulap. Kecerdasan Inter-personal Kecerdasan inter-personal menunjukkan kemampuan seseorang untuk peka terhadap perasaan orang lain. Mereka cenderung untuk memahami dan berinteraksi dengan orang lain, sehingga mudah dalam bersosialisasi dengan lingkungan disekelilingnya. Kecerdasan Innovatio, Vol. X, No. 1, Januari-Juni 2011
131
Iskandar
semacam ini juga sering disebut sebagai kecerdasan sosial, dimana selain seorang anak mampu menjalin persahabatan yang akrab dengan teman-temannya juga termasuk kemampuan seperti memimpin, mengorganisasi, menangani perselisihan antar teman, memperoleh simpati dari anak-anak yang lain, dan sebagainya. Kecerdasan Intra-personal Kecerdasan intra-personal merupakan kemampuan seseorang untuk peka terhadap perasaan dirinya sendiri. Ia cenderung mampu untuk mengenali berbagai kekuatan maupun kelemahan yang ada pada dirinya sendiri. Anak-anak semacam ini senang melakukan introspeksi diri, mengkoreksi kekurangan maupun kelemahannya, kemudian mencoba untuk memperbaiki diri. Beberapa diantaranya cenderung menyukai kesunyian dan kesendirian, merenung dan berdialog dengan dirinya sendiri. Kecerdasan Naturalistik Kecerdasan naturalistik merupakan kemampuan seorang siswa (peserta didik), guru (pendidik) untuk peka terhadap lingkungan alam. Misalnya senang berada di lingkungan alam yang terbuka seperti pantai, gunung, cagar alam, hutan, dan sebagainya. Anak-anak dengan kecerdasan seperti ini cenderung suka mengobservasi lingkungan alam seperti aneka macam bebatuan, jenis-jenis lapisan tanah, aneka macam flora dan fauna, benda-benda di angkasa, dan sebagainya. Melalui konsepnya mengenali kecerdasan multiple atau kecerdasan ganda ini, Gardner ingin mengkoreksi keterbatasan cara berpikir yang konvensional mengenai kecerdasan. Dimana seolah-olah kecerdasan hanya terbatas pada apa yang diukur oleh beberapa tes inteligensi yang sempit saja, atau sekedar melihat prestasi yang ditampilkan seorang anak melalui ulangan maupun ujian di sekolah belaka. Inti dari kecerdasan yang ditemukan oleh Gender adalah menca kup kemampuan untuk membedakan dan menanggapi dengan tepat suasana hati, temperamen, motivasi dan hasrat antar-pribadi ini lebih menekankan pada aspek kognisi atau pemahaman. Sementara faktor 132
Innovatio, Vol. X, No. 1, Januari-Juni 2011
Merajut Kecerdasan Komprehensif dalam Pembelajaran
emosi atau perasaan kurang diperhatikan. Pengalaman dan temuan penulis dalam studi Kedoktoral Psikologi Pendidikan Universitas Kebangsaan Malaysia. Dalam penelitian tentang kecerdasan emosi dengan menggunakan dan mengkolaborasikan teori-teori barat dan timur, Daniel Goleman, Mayer Solovey, Bar-On dan Gardner, mereka ini dikenal sebagai pencetus teori Kecerdasan Emosi (EQ) dan Multiple Intellegence (MI) di barat dan teori timur seperti teori Noriah, sorang Profesor pencetus inventori kecerdasan emosi Malaysia (IKEM) Kecerdasan Emosi di negara jiran Malaysia dan Ary Ginanjar yang dikenal dengan Emotional Spritual Quotient (ESQ). Saya berkesimpulan bahwa kecerdasan emosi mutlak diperlukan dalam kehidupan manusia apapun profesinya. Eksistensi yang dahulu tidak diperhitungkan, namun sekarang menjadi perhatian dan seolah-olah menjadi trend atau idaman setiap orang untuk mengembangkan kecerdasan emosi yang dimiliki. Perkembangan masyarakat barat sebagaimana terlihat dalam sejarah menunjukkan keadaan, kecongkakan dan kelemahan manusia. Pada mulanya manusia tidak merasa perlu pada agama dan menganggap “Tuhan telah mati” agama tabu bagi masyarakat, untuk mengatur kehidupan mereka lebih cenderung menggunakan rasio dan apa-apa yang terjadi dalam kenyataan emperik. Untuk itu munculnya berbagai pola kehidupan yang didasarkan pemikiran filsafat seperti aliran meterialisme, naturalisme, positivisme. Kesemuanya itu ternyata tidak menyelesaikan masalah kehidupan, untuk itu mereke mencoba menggunakan hati nuraninya dalam aliran humanisme, namun juga tidak menyelesaikan masalah. Akhirnya mereka kembali kepada agama. Untuk abad mendatang diperkirakan sebagai abad kebangkitan spiritual baru. Sebagaimana firman Allah SWT, yang artinya: “(Dialah Tuhan) yang menjadikannya mati dan hidup, supaya dia menguji kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun. (QS Al-Muluk: 2). Ajaran Islam menganjurkan agar penganutnya berjiwa progresif, kreatif dan inovatif. Salah satu hadist yang diriwayatkan imam muslim, Nabi Muhammad SAW menegaskan bahwa orangInnovatio, Vol. X, No. 1, Januari-Juni 2011
133
Iskandar
orang yang pekerjaanya hari ini lebih baik dari kemarin adalah orang yang beruntung; orang yang pekerjaan hari ini sama dengan hari kemarin orang merugi; dan orang yang pekerjaannya hari ini lebih buruk dari hari kemarin termasuk orang yang terkutuk. Dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini. Secara penelitian ilmiah kita mengenal banyak macam kecerdasan manusia yang ditemukan oleh pakar-pakar, menurut Danah Zohar, bentuk kecerdasan manusia itu banyak dan tak terbatas, namun dapat dihubungkan kepada tiga kecerdasan, yaitu kecerdasan intelektual (IQ), kecerdasan emosi (EQ) dan kecerdasan spiritual (SQ).
III.Urgensi IQ, EQ, dan SQ dalam Proses Pembelajaran Ketika kita belum dapat berbicara tentang kecedasan emosi dan spiritual yang dapat diukur sebagaimana kita berbicara tentang IQ yang dapat diukur, paling tidak kita dapat mulai berbicara secara terbuka dalam hal angka kecerdasan emosi dan kecerdasan spiritual kita. Manusia memiliki tiga kecerdasan yaitu kecerdasan intelektual, kecerdasan emosi, dan kecerdasan spiritual. Ketiga-tiga kemampuan sangat membantu seseorang dalam meningkatkan kualitas diri, mengabaikan salah satu kemampuan tersebut menyebabkan banyak individu dililit masalah secara pribadi maupun sosial masyarakat. Selama ini masyarakat mempercayai dan mengagung-agungkan secara dominan salah satu kecerdasan yaitu kecerdasan intelektual (IQ). Asumsi selama ini menyatakan bahwa jika seseorang memiliki tingkat kecerdasan intelektual (IQ) yang tinggi, maka orang tersebut memiliki peluang untuk meraih kesuksesan yang lebih besar dibanding orang lain. Pada kenyataannya, ada banyak kasus di mana seseorang yang memiliki tingkat kecerdasan intelektual yang tinggi tersisih dari orang lain yang tingkat kecerdasan intelektualnya lebih rendah. Ternyata IQ (Intelligence Quotient) yang tinggi tidak menjamin seseorang akan meraih kesuksesan. Realitas menunjukkan bahwa banyak orang IQ-nya tinggi, tetapi tidak selalu berhasil dalam hidupnya. Seperti hasil penelitian Gardner, seorang Profesor Pendidikan Harvard melakukan riset kecerdasan manusia, ia mematahkan mitos bahwa 134
Innovatio, Vol. X, No. 1, Januari-Juni 2011
Merajut Kecerdasan Komprehensif dalam Pembelajaran
Intelligence Quotient (IQ) tetap, tidak berubah, jika seseorang terlahir dengan kondisi IQ sedang, maka IQ-nya tidak pernah bisa bertambah maupun berkurang. Artinya, jika seseorang terlahir dengan kecerdasan intelektual (IQ) yang cukup, akan sulit mendapatkan IQ yang superior (jenius), begitu pula sebaliknya. Tetapi, Emotional Quotient (EQ) dapat dikembangkan seumur hidup dengan belajar. Kecerdasan emosi merupakan kemampuan seseorang untuk memecahkan masalah dan menghasilkan produk dalam suatu setting yang bermacam-macam dalam situasi yang nyata. Menurut Iskandar, Doktor Psikologi Pendidikan dari Universitas Kebangsaan Malaysia menyatakan bahwa pembelajaran di lembaga pendidikan sekolah dan di perguruan tinggi kita selama ini cenderung menggunakan kemampuan matematis-logis dan bahasa, (kecerdasan intelektual) akibatnya membunuh kemampuan lainnya. Dengan munculnya teori kecerdasan emosi (EQ) dan kecerdasan spiritual (SQ), penulis berpendapat bahwa teori kecerdasan emosi (EQ) dan teori kecerdasan spiritual (SQ) dapat diaplikasikan sebagai pendekatan pengajaran dan pembelajaran yang lebih memahami kemampuan intra-personal dan inter-personal, pendidik dan peserta didik, kemampuan afektif peserta didik yang berbeda tidak bisa didekati dengan metode pembelajaran yang sama. Sadar atau tidak sekolah-sekolah kita saat ini dari SD sampai Perguruan Tinggi, pada umunya hanya mengembangkan kemampu an kognitif siswa saja (menulis, membaca, menghafal, menghitung dan menjawab) sesuai dengan instruksi guru atau dosen (tenaga pendidik), tanpa pernah memberi kesempatan siswa untuk berpikir, bekerja dan mengetahui pengalaman baru. Hal ini seolah-olah masa depan anak-anak kita itu sangat ditentukan oleh kemampuan kognitif atau kemampuan intelektual (IQ), hipotisis ini menjadi benar karena memang untuk masuk lembaga pendidikan yang bermutu, masa depannya ditentukan dengan waktu diruangan lebih kurang 3 jam, yaitu pada ujian masuk. Dalam dunia psikologi dan dunia pendidikan di negara-negara maju dan berkembang lainnya, aspek kognitif IQ tidak menjadi Innovatio, Vol. X, No. 1, Januari-Juni 2011
135
Iskandar
satu-satunya ukuran keberhasilan. Penulis percaya hal ini pun di Indonesia juga tidak lagi menjadi ukuran, jika ditinjau dari teoritis tetapi pada praktiknya IQ seolah-olah menjadi satu-satunya jaminan masa depan. Dalam aspek teori kecerdasan emosi menyangkut banyak aspek penting, menurut Goleman, Noriah, Iskandar minimal ada tujuh dimensi kecerdasan emosi, yaitu: 1.Kesadaran diri; kemampuan mengenal diri, menyadari emosi diri dalam berbagai situasi dan kondisi pada waktu beraktivitas, sebagai upaya atau tindakan seseorang dalam membuat keputusan yang rasional, penilaian yang realistik serta memiliki keyakinan yang kuat. 2.Pengendalian diri; kemampuan mengendalikan diri dan berupaya menangani hidup ini dengan memahami psikologi diri secara kontinu dalam melaksanakan aktivitas hidup, seperti: dapat mengendalikan marah, stress, keinginan yang mendesak dengan mengembalikan emosi kearah lebih positif (positive thinking), bertanggung jawab, kreatif dan inovatif. 3.Motivasi diri; kemampuan menggunakan kemauan diri sebagai penggerak, pendorong, komitmen, inisiatif dan optimisme untuk mencapai tujuan hidunya. Kemampuan ini dapat menumbuhkan harapan baru setelah mengalami kegagalan, keinginan ini hendaklah kearah 4.Empati (memahami orang lain secara mendalam); upaya untuk memahami apa yang di rasakan oleh orang lain untuk mewujudkan hubungan baik dengan setiap strata masyarakat. Kemampuan ini dapat menjadi pedoman kepada seseorang tentang, perbuatan, perilaku, sopan santun dan perasaan terhadap orang lain. 5.Kemahiran sosial; kemampuan emosi untuk membina hubungan sosial, seperti kerjasama, pengaruh, kepemimpinan, menyele saikan masalah, organisasi. 6.Kerohanian; kemampuan menghayati dan mengimplementasikan nilai-nilai agama dalam kehidupan. 7.Kematangan; kemampuan seseorang untuk menyelesaikan masalah 136
Innovatio, Vol. X, No. 1, Januari-Juni 2011
Merajut Kecerdasan Komprehensif dalam Pembelajaran
atau membuat keputusan yang matang. Kecerdasan emosional (EQ) tumbuh seiring pertumbuhan seseorang sejak lahir hingga meninggal dunia. Pertumbuhan EQ dipengaruhi oleh lingkungan, sekolah dan keluarga dan contoh-contoh yang didapat seseorang sejak lahir dari orang tuanya. Orang tua adalah seseorang yang pertama kali harus mengajarkan kecerdasan emosi kepada anaknya dengan memberikan tauladan dan contoh yang baik. Agar siswa (peserta didik) memiliki kecerdasan emosi yang tinggi dan stabil, guru (pendidik), orang tua harus mengajar menanamkan beberapa prinsip-prinsip, sebagai berikut: 1.Membina hubungan persahabatan yang hangat dan harmonis. 2.Bekerja dalam kelompok secara harmonis. 3.Berbicara dan mendengarkan secara efektif. 4.Mencapai prestasi yang lebih tinggi sesuai aturan yang ada (sportif). 5.Mengatasi masalah dengan teman yang nakal. 6.Berempati pada sesama. 7.Memecahkan masalah. 8.Mengatasi konflik. 9.Membangkitkan rasa humor. 10.Memotivasi diri bila menghadapi saat-saat yang sulit. 11.Menghadapi situasi yang sulit dengan percaya diri. 12.Menjalin keakraban. Bagaimana tenaga pendidik (guru dan dosen) serta peserta didik (siswa dan mahasiswa) menyikapi fenomena pendidikan yang penuh dengan dikotomi, antara idialisme pendidikan dengan kondisi riil yang terjadi dimasyarakat? Menurut penulis, pendidik atau peserta didik hendaklah lebih kreatif dan inovatif dalam menggunakan instink dan talenta pendidik dan peserta didik. Bagaimana proses belajar mengajar yang mengantar masa depan anak-anak dengan konsep ujian-ujian itu tetap berjalan, tetapi proses pembelajaran dengan memberikan pengalaman hidup yang berhubungan dengan materi pembelajaran yang diajarkan tetap dikembangkan, sehingga terintegrasi antara teori dan prakteknya. Innovatio, Vol. X, No. 1, Januari-Juni 2011
137
Iskandar
Melihat potensi kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosi yang demikian besar, muncul pertanyaan, bagaimana pendidik dan peserta didik dapat mengembangkan pembelajaran berkualitas? Pertama, secara sederhana dapat penulis nyatakan, untuk mengem bangkan IQ pendidik dan peserta didik, perlu mengadakan percepatan pembelajaran (accelerated learning). Dalam percepatan belajar kita akan belajar bagaimana cara belajar (learn how to learn). Termasuk dalam katagori ini adalah kemampuan matematis dan linguistik (membaca cepat, menghafal cepat, mencatat efektif, berpikir kreatif, berhitung cepat); Kedua, untuk mengembangkan EQ pendidik dan peseta didik dalam pembelajaran perlu menyadari dan meyakini bahwa emosi itu adalah benar-benar ada dan riil serta dapat mengelola emosi menjadi kekuatan untuk mecapai prestasi, (kemampuan intra-personal dan inter-personal). Mengamati perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi masa sekarang dan kedepan, maka dunia pendidikan kita harus mampu menerapkan model pembelajaran yang berbasis kecerdasan intelektual, kecerdasan emosi, dan kecerdasan spiritual (IESQ). Kecerdasan yang memahmi kebenaran dalam setiap situasi, yaitu memiliki kecerdasan intelektual (IQ) yang tinggi, kecerdasan emosi (EQ) yang dewasa, dan kecerdasan spiritual (SQ) yang mantap untuk pencapaian yang cerdas, dan praktis. Dalam implementasi proses pengajaran dan pembelajaran dituntut sikap kritis, kreatif dan inovatif, para pendidik dan peserta didik dalam upaya mengubah model pengajaran dan pembelajaran mereka, bukan sesuai dengan kecerdasan pendidik melainkan sesuai dengan kecerdasan peserta didik, maknanya seseorang pendidik hendaknya mampu mengkomunikasikan materi pembelajaran sesuai dengan kemampuan peserta didik. Pola ini dapat dilakukan oleh pendidik dan peserta didik melalui “pembelajaran berbasis penelitian”. Memberikan pengalaman belajar langsung dirasakan peserta didik. Pembelajaran dimulai dari proses sampai laporan penelitian, sistem ini dapat dilakukan dengan menggunakan kelompok belajar (team work) setiap tim dipimpin oleh seorang ketua dan dibentuk 138
Innovatio, Vol. X, No. 1, Januari-Juni 2011
Merajut Kecerdasan Komprehensif dalam Pembelajaran
devisi-devisi yang bertanggung jawab terhadap masing-masing tugas. Tujuan pembelajaran seperti ini adalah membiasakan peserta didik bekerja dengan team work. Disinilah peserta didik akan memperoleh ilmu baru dan pengalaman baru dari kelompok kerja yang lain, karena hasil kelompok kerja siswa dipersentasi di depan kelompok kerja yang lain dan posisi pendidik sebagai fasilitator dan mediator dalam pembelajaran. Model pembelajaran ini berorientasi konsep kreativitas dan inovatif memungkinkan untuk dikembangkan dalam upaya memberikan kontribusi pendidikan dalam membekali generasi muda untuk dapat mandiri. Dari proses pembelajaran ini akan menghasilkan pengalaman dua sisi (two sided expirence) yaitu: pada satu sisi pengajaran meningkatkan pengetahuan, informasi, keterampilan, atau sifat tertentu individu peserta didik. Pada sisi lain, pembelajaran bertumpu pada pengalaman guru yang berupaya memberi sesuatu yang paling baik dan benar yang ada pada diri pendidik dalam mewujudkan proses pembelajaran yang tumbuh dari dalam (from within) diri peserta didik sendiri untuk mencapai kemandirian. Model ini dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu (1) Menjadikan materi pelajaran secara teori dapat dipraktekkan, dalam menumbuhkan analisis kreatif dan inovatif peserta didik melalui kelompok pembelajaran penelitian; (2) Menjadikan fasilitas pendidikan sebagai sarana yang dapat berkembang sesuai dengan peluang dan tantangan perkembangan ilmu dan pengetahuan. Maknanya, bila ini dapat diaplikasikan secara formal dan continue, kita dapat melihat hasil dari perubahan karakter dan kepribadian kualitas sumber daya manusia pada zaman milenium sekarang ini. Howard Gardner menuturkan bahwa sesungguhnya manusia memiliki berbagai sisi kecerdasan dan bukan sekedar inteligensi yang telah dipersepsikan selama ini. Setidaknya Gardner menyodorkan tujuh macam kecerdasan yang dituangkan dalam konsep ‘multiple intelligence’. Sesungguhnya sebagian dari konsep inteligensi yang disodorkan oleh Gardner, sudah diakomodasi oleh tes inteligensi yang telah Innovatio, Vol. X, No. 1, Januari-Juni 2011
139
Iskandar
kita kenal. Kecerdasan bahasa misalnya, memungkinkan seseorang memiliki potensi lebih dalam penggunaan bahasa dan diyakini akan memudahkannya untuk menjadi seorang sastrawan, penulis atau pembawa acara. Aspek kecerdasan ini sebenarnya sudah lazim diukur dalam sebuah rangkaian tes inteligensi. Demikian kecerdasan ‘persepsi ruang’ (spatial) yang berkaitan dengan kemampuan desain, meng gambar, arsitektural sebenarnya juga sudah diukur dalam tes inteligensi. Namun kedua jenis inteligensi ini, bersama dengan kecerdasan logika matematika diberdirikan sendiri oleh Gardner. Yang menarik barangkali adalah adanya kecerdasan musik (musical intelligence) dan kecerdasan gerak tubuh (bodily-kinesthetic intelligence) yang dimasukkan dalam konsep kecerdasan. Pada masa lalu kedua bidang ini hanya disebut sebagai bakat. Sementara dua kecerdasan lain yang disodorkan Gardner, berupa kecerdasan interpersonal (interpersonal intelligence) dan kecerdasan intrapersonal, sebelumnya dianggap sebagai aspek keperibadian. Tidak kalah menariknya adalah timbulnya kesadaran akan perlunya konsep spiritual dimasukkan sebagai penunjang kesuksesan. Berarti ‘kesuksesan’ sebagai tujuan hidup juga mengalami perluasan dan pendalaman makna. Kita tahu bahwa dalam peradaban manusia, betapa manusia telah mencari hubungan vertikal dengan yang kuasa. Mulai dari benda mati (animisme), benda hidup (dinamisme), sampai kepada Tuhan. Bahkan, menurut penelitian neuropsychologist Michael Persinger dan neurologist V.S. Ramachandran dari University of California, pada 1990-an ditemukan god-spot dalam otak manusia. Area ini terletak hubungan syaraf di temporal lobes, dalam otak. Selama pemindahan dengan emisi positron topografi, area syaraf tersebut menyala jika subyek penelitian diajak berdiskusi tentang topik spiritual. Konsep inteligensi spiritual, tidak hanya mencakup hubungan vertikal dengan Tuhan, tetapi juga hubungan horizontal terhadap sesama makhluk Tuhan, jika dinyatakan sebagai SQ, tentu ini harus dioperasionalisasikan menjadi alat ukur. Tapi hasil pengukuran ini harus diapresiasikan secara hati-hati, karena sifatnya sangatlah sub140
Innovatio, Vol. X, No. 1, Januari-Juni 2011
Merajut Kecerdasan Komprehensif dalam Pembelajaran
yektif, dan agak sulit diperbandingkan seperti layaknya satuan ukur yang lain. Relevansinya dengan dunia pendidikan? Dunia pendidikan sedang menggalakkan peningkatan profesionalisme guru, dosen (pendidik) untuk meningkatkan kualitas hasil pendidikan. Diharapkan dengan didudukkan para guru-guru dan dosen (pendidik) dengan ‘intelegensi, emosi dan spiritual’ yang tinggi dan stabil, akan lebih ‘sukses’ dalam mengelola kegiatan pembelajaran. Organisasi pendidikan adalah sistem yang terbuka, dalam arti sangat dipengaruhi oleh lingkungan tempatnya berada. Ketika lingkungan makin menyadari betapa faktor-faktor etika harus menjadi perhatian di samping tujuannya sebagai mencetak SDM, maka organisasi pun harus berdapatasi. Sementara sekolah dan Perguruan Tinggi merupakan tempat para siswa dan mahasiswa (peserta didik) melaksanakan kegiatan proses pembelajaran, yang dapat melahirkan dan menghasilkan SDM yang berkualitas.
IV.Keseimbangan IQ, EQ dan SQ dalam Proses Pembelajaran IQ (Intelligent Quotient), adalah istilah yang sudah lama dikenal di masyarakat untuk menggambarkan tingkat kecerdasan seseorang. Seseorang yang memiliki IQ antara 90–120 berarti kecerdasannya berada pada tingkat normal atau rata-rata, IQ di bawah 90 akan disebut Down Syndrome sedangkan di atas 120 berarti cerdas dan dianggap genius jika sampai di atas 130. Dari penilaian yang hanya satu sisi yaitu kercerdasan (fungsi otak kiri) maka mereka yang memiliki IQ rata-rata, sering kurang percaya diri jika harus memilih program studi yang banyak hitungannya atau matematikanya. Bahkan sampai pada tingkat tertentu mereka akan merasa dirinya tidak akan sukses atau sulit untuk sukses baik ketika kuliah maupun ketika harus bekerja. Apakah pendapat bahwa kesuksesan seseorang akan ditentukan oleh tinggi rendahnya IQ saja? Apakah mereka yang memiliki IQ ratarata akan lebih kecil peluang untuk sukses? Apakah mereka yang IQnya tinggi pasti akan sukses di semua bidang yang ia tekuni? Selama Innovatio, Vol. X, No. 1, Januari-Juni 2011
141
Iskandar
puluhan tahun jawabnya adalah YA! Benar bahwa tinggi rendahnya IQ akan menentukan kesuksesan seseorang, sampai ditemukannya fakta yang berbeda pada tahun 90an. Penelitian di Harvard University menemukan bahwa hanya 5 – 20 % saja peran IQ yang tinggi dalam kesusksesan seseorang, sedangkan 80 – 95 % ditentukan oleh faktorfaktor lain yaitu EQ dan juga SQ. Lalu apa itu EQ dan SQ? Jika seorang memiliki IQ dan EQ yang sama-sama tinggi apakah itu cukup? Ternyata tidak, sebab seseorang dengan IQ dan EQ yang tinggi tapi memiliki SQ yang rendah akan sangat berbahaya karena pribadi seperti ini akan cenderung mengejar kesuksesan dan keberhasilan untuk dirinya sendiri serta menghalalkan segala cara untuk memenuhi ambisi pribadinya. Sehingga diperlukan suatu guidance yaitu SQ (spiritual quotient) atau nilai-nilai ketuhanan (God Spot). Untuk meningkatkan kecerdasan intelektual di usia dewasa adalah sulit, tetapi kecerdasan emosional dan spiritual masih dapat diperbaiki dan ditingkatkan.7 Menyadari hal tersebut di atas, maka proses pembelajaran di sekolah sebagai salah satu lembaga pendidikan yang akan memasok kebutuhan sumber daya manusia pada masyarakat pengguna berusaha menghasilkan lulusan yang tidak saja andal dan unggul di bidangnya tetapi juga memiliki sikap dan perilaku yang beretika. Upaya ke arah itu dilakukan dengan cara pemberian mata kuliah character building yang dirangkum melalui mata kuliah agama, kewarganegaraan, serta etika dalam kegiatan-kegiatan ekstrakulikuler yang terhimpun dalam unit kegiatan mahasiswa atau himpunan mahasiswa program studi.
V. Keharusan Guru dan Dosen (Pendidik) Memiliki Kecerdasan Komprehensif Indonesia saat ini menghadapi beberapa kondisi yang perlu mendapat perhatian dari semua pihak, untuk dapat bertahan dalam era globalisasi maka seluruh produksi yang dihasilkan oleh lembaga pendidikan secara nasional harus lebih kompetitif sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang begitu pesat, hal ini akan mempengaruhi proses manajemen penyelenggara lembaga pendidikan 142
Innovatio, Vol. X, No. 1, Januari-Juni 2011
Merajut Kecerdasan Komprehensif dalam Pembelajaran
dan kebutuhan keterampilan baru secara berkesinambungan. Dengan adanya keinginan dan komitmen nasional untuk memperhatikan manusia sebagai pelaku penting dalam pembangunan dan komitmen penetapan manusia sebagai sasaran pembangunan dewasa ini sehingga pengembangannya perlu menjadi perhatian. Ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini menunjukkan perkembangan yang begitu pesat dalam mempengaruhi kehidupan dan kegiatan masyarakat Indonesia, tidak terkecuali pengaruhnya pada lingkungan masyarakat pendidikan baik nasional maupun lokal. Kemajuan teknologi di satu sisi merupakan produk dari lembaga pendidikan dan di sisi lain juga merupakan kebutuhan bagi lembaga pendidikan itu sendiri. Atas tuntutan dan kebutuhan tersebut maka lembaga perguruan tinggi Indonesia sudah saatnya meningkatkan fungsi dalam kesiapannya guna menciptakan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dapat mensejahterakan masyarakat, sekaligus menyiapkan sumber daya manusia penyelenggara pendidikan itu sendiri dalam mengadopsi kemajuan teknologi guna menciptakan manusia yang bermutu dan berkualitas. Hal ini merupakan salah satu peluang dan tantangan terbesar bagi lembaga pendidikan Indonesia dewasa ini, terutama dalam menyiapkan sumber daya manusia Indonesia yang memiliki keunggulan kompetitif dibidang ilmu pengetahuan dan teknologi dalam percaturan globalisasi pendidikan. Untuk menghadapi tantangan tersebut salah satu alternatif yang perlu dilakukan adalah menyiapkan dan mengembangkan lembaga pendidikan yang mampu mengintegrasikan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) dengan iman dan taqwa (imtaq) dalam masyarakat. Sebagaimana dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 1, ayat 1 dan 2 menyatakan sebagai berikut: Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan, mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, keperibadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Indonesia: Arga. 8 Depdiknas. Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional. Nomor 20 Innovatio, Vol. X, No. 1, Januari-Juni 2011
143
Iskandar negara, dan pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai–nilai agama, kebudayaan Nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perkembangan zaman.8
Menjadi guru, dosen (pendidik) yang profesional merupakan keharusan dan pilihan prestasi mulia untuk keberhasilan guru dan dosen dalam proses pembelajaran merupakan keharusan dan tuntutan tugas profesi yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. Berdasarkan Undang-Undang Guru dan Dosen (Pasal 1, ayat 1, 2, dan 3), sebagai berikut: (1) Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. (2) Dosen adalah pendidik profesional dan ilmuwan dengan tugas utama mentransformasikan, mengembangkan, dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni melalui pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. (3) Profesional adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi. Dengan berkembangnya pemikiran tentang kecerdasan emosional (EQ) dan kecerdasan spiritual (SQ) menjadikan rumusan dan makna tentang kecerdasan semakin lebih luas. Kecerdasan tidak lagi ditafsirkan secara tunggal dalam batasan intelektual saja. Menurut Gardner bahwa “salah besar bila kita mengasumsikan bahwa IQ adalah suatu entitas tunggal yang tetap, yang bisa diukur dengan tes menggunakan pensil dan kertas”. Hasil pemikiran cerdasnya dituangkan dalam buku Frames of Mind. Dalam buku tersebut secara meyakinkan menawarkan penglihatan dan cara pandang alternatif terhadap kecerdasan manusia, yang kemudian dikenal dengan istilah kecerdasan majemuk (multiple intelligence).9 Proses pembelajaran harus berlangsung dengan baik dan konTahun 2003. 9 Akhmad Sudrajat. 2009. Psikologi Pendidikan. Kuningan : PE-AP 144
Innovatio, Vol. X, No. 1, Januari-Juni 2011
Merajut Kecerdasan Komprehensif dalam Pembelajaran
dusif sebagai upaya memperbaiki dan meningkatkan mutu pembelajaran di kelas/ruang kuliah yang membutuhkan guru/dosen yang profesional. Untuk mewujudkan profesional guru atau dosen dibutuhkan kecerdasan ganda yaitu IQ, EQ, dan SQ. Dengan tidak bermaksud mempertentangkan mana yang paling penting, apakah kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional atau kecerdasan spiritual, ada baiknya kita mengambil pilihan eklektik dari ketiga pilihan tersebut. Konsep-konsep untuk mengembangkan kepintaran berganda—mutiplied intelligent—ini kemudian dibawa ke dalam dunia pendidikan (ke sekolah) dan ke dalam rumah tangga. Namun konsep dan teori tentang kecerdasan berganda corongnya lebih banyak mengarah kepada dunia anak-anak dan para siswa di sekolah. Untuk mereka sengaja dirancang berbagai program, pelatihan atau training disertai dengan segudang resep bagaimana agar mereka bisa memiliki kepintaran berganda menjadi generasi muda yang memiliki multiplied intelligent dengan harapan kelak bisa hidup indah, mudah dan jauh dari gelisah. Menerapkan dan mengarahkan corong konsep pendidikan kecerdasan komprehensif kepada anak didik di sekolah dapat dianggap sebagai langkah yang tepat. Peran guru sebagai educator, motivator, counselor, dan lain-lain menjadikan keharusan bagi guru harus memiliki kepintaran berganda. Guru dengan kepintaran berganda seperti yang disebutkan tadi agaknya dapat diberi label sebagai guru yang profesional atau guru yang berkualitas. Mereka adalah guru yang memiliki karakter cerdas kognitifnya, cerdas affektifnya dan cerdas psikomotoriknya. Guru yang begini tentu sangat menyenangkan, namun populasi mereka tentu saja tidak banyak. Namun setiap guru kalau ada motivasi, keinginan dan usaha maka tentu saja mereka bisa—mesti menjadi guru-guru yang spesial bagi anak didiknya. Melalui upaya belajar learning to do, learning to know (IQ), learning to be (SQ), dan learning to live together (EQ), serta berusaha untuk memperbaiki kualitas diri pribadi secara terus-menerus, hingga pada Press. Innovatio, Vol. X, No. 1, Januari-Juni 2011
145
Iskandar
akhirnya dapat diperoleh aktualisasi diri dan prestasi hidup yang sesungguhnya (real achievement). Sebagai pendidik (calon pendidik), dalam mewujudkan diri sebagai pendidik yang profesional dan bermakna, tugas kemanusiaan kita adalah berusaha membelajarkan para peserta didik untuk dapat mengembangkan segenap potensi (fitrah) kemanusiaan yang dimilikinya, melalui pendekatan dan proses pembelajaran yang bermakna (meaningful learning) (SQ), menyenangkan (joyful learning) (EQ) dan menantang atau problematis (problematical learning) (IQ), sehingga pada gilirannya dapat dihasilkan kualitas sumber daya manusia Indonesia yang kaffah. Kecerdasan berganda dapat dipelajari dan ditingkatkan, kini guru dan dosen (pendidik) musti punya paradigma, bagaimana menjadi guru, dosen (pendidik) bermartabat dan profesional. Paradigma ini bisa dicapai kalau mereka mengembangkan diri. Mereka, misalnya, harus berpikir untuk memiliki kecerdasan berganda, karena kecerdasan berganda juga patut untuk dimiliki oleh guru-guru. Adalah pilihan yang tidak bijak bila hanya anak didik saja yang diminta dan diusahakan untuk mengembangkan diri untuk memiliki kepintaran berganda. Sementara guru-gurunya dibiarkan saja memiliki kepintaran tunggal atau tidak pintar sama sekali sebagai seorang guru.
VI. Penutup Proses pembelajaran harus berlangsung dengan baik dan kondusif sebagai upaya memperbaiki dan meningkatkan mutu pembelajaran di kelas/ruang kuliah yang membutuhkan guru/dosen yang profesional. Untuk mewujudkan profesional guru atau dosen dibutuhkan kecerdasan komprehensif yaitu IQ, EQ, dan SQ untuk mewujudkan pembelajaran peserta didik untuk dapat mengembangkan segenap potensi (fitrah) kemanusiaan yang dimilikinya, melalui pendekatan dan proses pembelajaran yang bermakna (meaningful learning) (SQ), menyenangkan (joyful learning) (EQ) dan menantang atau problematis (problematical learning) (IQ), sehingga pada gilirannya dapat dihasilkan kualitas sumber daya manusia Indonesia yang kaffah. 146
Innovatio, Vol. X, No. 1, Januari-Juni 2011
Merajut Kecerdasan Komprehensif dalam Pembelajaran
Adapun dimensi kecerdasan komprehensif dalam pembelajaran dalam upaya memuliakan kemuliaan manusia mencakup sekurangkurangnya tiga hal paling mendasar, yaitu: (1) demensi kecerdasan intelektual, ini tercermin bahwa kemampuan otak yang tercermin pada kapasitas pikir dan daya intelektualitas untuk menggali dan mengembangkan serta menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi melalui belajar; (2) demensi kecerdasan emosi yang tercermin pada kemampuan memahami diri dan orang lain, kemampuan memotovasi diri, berempati dan keterampilan berkomunikasi untuk membangun networking dan webworking (keterampilan teknis, kecakapan praktis, dan kompetensi kinestetis); (3) dimensi kecerdasan spiritual yang tercermin pada kemampuan dan mengembangkan kualitas keimanan, ketaqwaan, akhlak mulia termasuk budi pekerti luhur serta kepribadian unggulan.
Innovatio, Vol. X, No. 1, Januari-Juni 2011
147
Iskandar
148
Innovatio, Vol. X, No. 1, Januari-Juni 2011
Merajut Kecerdasan Komprehensif dalam Pembelajaran
BIBLIOGRAFI Abin Syamsuddin Makmun. 2003. Psikologi Pendidikan. Bandung : PT Rosda Karya Remaja. Akhmad Sudrajat. 2009. Psikologi Pendidikan. Kuningan : PE-AP Press Ary Ginanjar Agustian. 2005. ESQ; Emotional Spritual Quotient. Jakarta Indonesia: Arga. Iskandar. 2009. Psikologi Pendidikan Sebuah Orientasi Baru. Jakarta: Gaung Persada Press. Makmun, Abin Syamsuddin. 2004. Psikologi Kependidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Syah, Muhibbin. 2004. Psikologi Pendidikan dengan Pendektan Baru. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Uno, Hamzah B. 2006. Orientasi Baru Dalam Psikologi Pembelajaran. Jakarta: Bumi Aksara. Depdiknas. Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional. Nomor 20 Tahun 2003
Innovatio, Vol. X, No. 1, Januari-Juni 2011
149