LĀ HUKM ILLĀ LILLĀH: HUBUNGAN AGAMA DENGAN POLITIK DALAM ISLAM Abdul Muis Naharong Abstract Since the Iranian Revolution in 1979 followed by several other events in different parts of the world purportedly triggered by religious conviction, the relationship between religion and politics has become one of the most frequently discussed topics by scholars and non-scholars alike. Religion is believed to influence politics and politics in turn influences religion. This article tries to discuss the relationship between religion and politics during the first century of Islamic era by focusing on the first sect of Islam, the Khārijites (Khawārij), their doctrines, and the responses of other Muslims to their doctrines and political activities which flowed from their religious belief. Based on their slogan lā hukm illā lillāh (no decision but God’s or God is the sole judge and arbiter), a paraphrased verse of the Qur’ān, they branded the ruler who did not follow this principle unbeliever. This epithet was widened to include Muslims committing great sins. Armed with this doctrine coupled with “commanding the good and forbidding the evil,” an obligation laid down by the Qur’ān on the Muslim community, they fought both against ‘Alī, and, after his assassination at the hands of one of them, the Umayyads. Some of them even killed other Muslims who did not belong to their groups. Alarmed by the Khārijite blood-baths, the majority of Muslims embraced the attitude of irjā’ (neutrality). They did not take side in the fights between the warring factions (political irjā’), and postponed giving judgment on Muslims who committed great sins (theological irjā’). This theological idea coalesced with Jabariyya, whose adherents believed in predestination. Caliph ‘Abd al-Malik supported and helped to spread both doctrines because they could prevent his subjects from revolting against him, and adopted a policy of anti-Qadariyya instead, whose proponents believed in free will. This policy of ‘Abd al-Malik was in turn challenged by Hasan al-Basrī who wrote the caliph a letter explaining his qadar idea and at the same time repudiated the doctrine of Jabariyya held by some of his colleagues and used by the caliph to legitimize his power and to make his subjects subservient to him. Keywords: Khawārij, Khārijite, Irjā’, Jabariyya, Qadar, Hasan al-Basrī, lā hukm illā lillāh, the relationship between religion and politics
Pendahuluan Hubungan agama dengan politik adalah suatu topik yang banyak diperbincangkan di Barat dan Timur selama beberapa dasawarsa terakhir. Hal ini disebabkan oleh beberapa peristiwa penting di berbagai tempat, di antaranya adalah revolusi Iran pada 1979, satu revolusi yang digerakkan oleh keyakinan agama (Shī‘a) dan dipimpin oleh seorang Ayatullah (Khomeini), dan timbulnya gerakan fundamentalisme di dalam berbagai agama yang berusaha keras memasukkan unsur-unsur agama ke dalam urusan politik. Di samping itu, peristiwa-peristiwa yang terjadi selama kurang lebih tiga dasawarsa belakangan di berbagai negara, termasuk Indonesia,
Abdul Muis Naharong La-hukm Illa Lillah. Hubungan Agama dengan Politik dalam Islam
semakin memperkuat anggapan bahwa agama, khususnya aspek teologisnya, mempunyai hubungan yang erat dengan ide-ide dan aktivitas politik serta tindakan-tindakan kekerasan yang banyak terjadi akhir-akhir ini. Salah satu contoh awal dari hal tersebut adalah pembunuhan Presiden Anwar Sadat pada Oktober 1981 yang dilakukan oleh anggota Organisasi Jihād di Mesir. Mereka membunuh Sadat karena, dalam pandangan mereka, ia telah kafir dan murtad karena tidak menetapkan hukum berdasarkan hukum-hukum Tuhan, dan orang yang murtad harus dibunuh (Jansen, 1986:168-169 dan 192-193). Kalau Organisasi Jihād yang dipimpin oleh Muhammad ‘Abd al-Salām Faraj hanya mengafirkan pemerintah, kelompok al-Takfīr wa al-Hijra yang dipimpin oleh Shukrī Mus t afā mengafirkan semua orang Islam di luar kelompoknya (Kepel, 2002:84; Ramadan, 1993:158). Pemberian label “kāfir” (takfīr) terhadap sesama Muslim dan/atau pemerintah yang sedang berkuasa sering terjadi bersamaan dengan munculnya gerakan-gerakan Islam kontemporer (Islamisme) sejak awal 1980an. Fenomena pengafiran ini sesungguhnya bukanlah hal yang baru. Ia sudah muncul sejak perang Siffīn pada 657, yang melibatkan khalīfa ‘Alī b. Abī Tālib dan pasukannya melawan Mu‘āwiya, gubernur Syria, bersama tentaranya. Peristiwa ini melahirkan kelompok Khawārij, yaitu anggota pasukan khalīfa ‘Alī yang tidak menyetujui arbitrase (tahkīm) yang dilakukannya dengan Mu‘āwiya. Orang-orang Khawārij ini mengafirkan ‘Alī dan semua orang yang menyetujui tahkīm yang dilakukan kedua pihak yang berperang, dan bahkan akhirnya mengafirkan semua orang Islam yang tidak mengafirkan orang-orang yang mereka cap sebagai kafir (Rahman, 1983:2). Paham-paham politik keagamaan Khawārij ini menimbulkan reaksi dari kalangan umat Islam, baik di luar maupun dari kelompok Khawārij sendiri pada waktu itu, yang tidak setuju dengan takfīr dan tindakan-tindakan kekerasan dan pembunuhan yang dilakukan oleh orang-orang Khawārij sebagai akibat dari paham-paham keagamaan yang mereka anut. Reaksi yang timbul ini juga berwujud ide atau paham politik keagamaan, yaitu paham irjā’ dan qadar. Artikel ini akan membahas sejarah munculnya Khawārij dan paham-paham politik keagamaan mereka. Kemudian akan dibahas ide politik keagamaan irjā’ yang muncul sebagai reaksi terhadap pertentangan di kalangan umat Islam dan paham-paham yang dianut oleh kelompok Khawārij. Juga akan dibahas konsep qadar dari Hasan al-Basrī yang muncul sebagai reaksi terhadap paham Jabariyya yang menyatu dengan paham irjā’, yang didukung oleh khalīfa ‘Abd al-Malik karena berguna untuk melanggengkan kekuasaannya. Sejarah Kemunculan dan Perkembangan Khawārij Sebagaimana dikatakan di atas, golongan Khawārij muncul akibat arbitrase (tahkīm) yang dilakukan khalīfa ‘Alī dengan Mu‘āwiya di perang 227
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 7 No. 4, Desember 2010: 226-249
Siffīn pada Mei 657. Menurut riwayat, pada saat pasukan Mu‘āwiya hampir kalah, ia menyuruh beberapa orang tentaranya mengikat lembaranlembaran al-Qur’ān di ujung tombak mereka, sebagai isyarat atau ajakan kepada khalīfa ‘Alī untuk mengakhiri pertempuran dengan perundingan atau arbitrase (tahkīm). Pada awalnya ‘Alī tidak setuju melakukan arbitrase karena ia mengetahui bahwa hal tersebut adalah taktik perang dan tipu muslihat belaka lawannya. Tetapi karena diancam oleh sebagian dari pasukannya yang termasuk anggota qurrā’1, akhirnya ‘Alī menyetujui untuk bertahkīm (Tabarī, 1968:49). Dalam arbitrase ini, pihak ‘Alī diwakili oleh Abū Mūsā al-Ash‘arī, sedangkan pihak Mu‘āwiya diwakili oleh ‘Amr b. Ās. Arbitrase yang berlangsung beberapa bulan di oase Dumat al-Jandal membuahkan hasil yang tidak sesuai dengan harapan dan keinginan para qurrā’ dalam tiga hal, yaitu sebagai berikut: (1) Mereka mengharapkan ‘Ali menjadi Amīr al-Mu’minīn yang diakui oleh orang-orang Syria dan Irak, tetapi ternyata ‘Alī menjadi bagian dari persetujuan di mana dia tidak lagi dianggap sebagai Amīr al-Mu’minīn, dan kehilangan gelar khalīfa. (2) Mereka menganggap pembunuhan khalīfa ‘Uthmān dapat dibenarkan, dan mereka menolak klaim orang-orang Syria untuk membicarakan, berdasarkan al-Qur’ān, apakah pembunuhan tersebut adil atau tidak. (3) Mereka menentang salah satu kesepakatan yang mengatakan bahwa apabila kedua belah pihak gagal menyelesaikan sengketa berdasarkan alQur’ān, maka kedua belah pihak akan berpedoman kepada sunna yang adil yang mempersatukan, bukan yang memecah belah. Mereka memahami sunna semacam ini merupakan pelecehan terhadap al-Qur’ān dan suatu indikasi bahwa kedua arbitrator (juru damai) tersebut telah keluar jauh dari aturan al-Qur’ān. Oleh karena itu, kesepakatan tersebut dipandang oleh orang-orang yang nantinya menjadi Khawārij sebagai perbuatan memasukkan keputusan manusia ke dalam “agama Tuhan, urusan Tuhan.” Mereka mengatakan lā hukm illā lillāh (tidak ada hukum kecuali hukum Tuhan atau Tuhan adalah satu-satunya hakim dan juru damai) (Al-Jomaih, 1988:71). 1
1Terdapat perbedaan pendapat mengenai arti kata qurrā’. Ilyas (2005:18-20), misalnya, mengartikan kata ini bukan pembaca atau penghafal al-Qur’ān, tetapi orang-orang desa. Pendapat ini ia dasarkan pada pemahaman Khawārij yang dangkal dan literer terhadap ayatayat al-Qur’ān yang mereka jadikan dalil membenarkan pandangan dan sikap politik mereka. Mengutip buku Mahayadin Haji Yahaya, ia menulis bahwa “… Qurrā’ adalah sebagian dari golongan asyrāf, orang-orang kenamaan dan pemimpin-pemimpin Kufah yang tinggal atau menguasai kampung-kampung di Irak dan disifatkan sebagai orang-orang yang bodoh.” Untuk menguatkan pendapatnya, Yunahar Ilyas juga mengutip pendapat Harun Nasution yang mengatakan bahwa Khawārij adalah orang-orang Arab Badawi yang tinggal di padang pasir yang membuat mereka bersifat sederhana dalam hidup dan pemikiran, tetapi mereka keras hati dan berani, bersikap merdeka dan tidak bergantung pada orang lain. Meskipun mereka sudah memeluk Islam, sifat-sifat keBadawian mereka tidak berubah. Mereka jauh dari ilmu pengetahuan dan memahami al-Qur’ān secara harfiyya yang harus dilaksanakan sepenuhnya. 228
Abdul Muis Naharong La-hukm Illa Lillah. Hubungan Agama dengan Politik dalam Islam
Oleh karena itu mereka menolak arbitrase untuk mengakhiri sengketa kedua pihak secara damai. Mereka mengatakan kepada ‘Alī bahwa memang kami pada awalnya menyetujui arbitrase tersebut, tetapi kami telah menyesali keputusan kami. Jika kamu mengaku salah dan menolak arbitrase, kami akan kembali bergabung dengan pasukanmu (Salem, 1956:16). ‘Alī menolak permintaan mereka dengan alasan bahwa ia telah mengadakan kesepakatan dan perjanjian dengan Mu‘āwiya untuk mengakhiri perselisihan di antara mereka secara damai, dan kesepakatan dan perjanjian itu harus ditepati dan dilaksanakan sebagaimana yang diperintahkan oleh Tuhan (Tabarī, 1968:72). Karena ‘Alī tidak mengabulkan permintaan mereka, mereka keluar dari pasukan ‘Alī. Tindakan keluar (kharaja) dari pasukan ‘Alī inilah, menurut Nasution (1986:11) dan Sjadzali (1993:217), yang menyebabkan mereka disebut Khawārij. Pendapat ini didukung oleh Vida (1978:1074) dengan pernyataannya bahwa mereka disebut Khawārij2 karena mereka keluar dari Kūfa (tempat pasukan ‘Alī), bukan karena mereka keluar dari kelompok atau masyarakat yang beriman. Sedangkan Ibn H azm (w. 1064) (1928:23-24) mendefinisikan Khawārij sebagai orang-orang yang menolak arbitrase antara ‘Alī dan Mu‘āwiya pada perang Siffīn, memberontak terhadap imām yang telah dipilih oleh masyarakat, mengutuk orang yang berbuat dosa, mengakui bahwa orang non-Quraish dapat dipilih sebagai khalīfa atau imām, dan memercayai bahwa orang yang melakukan dosa besar akan masuk neraka. Orang-orang Khawārij, yang pada masa awal ini, berasal dari suku nomad Arab yang tinggal di tempat pemukiman tentara (garrison towns) di Irak (Kūfa dan Basra) dan para qurrā’ (bentuk jamak dari qāri’, yang berarti ‘pembaca atau penghafal al-Qur’ān’), dengan semboyan lā hukm illā lillāh,3 menganggap arbitrase ini sebagai penempatan hukum buatan manusia di atas hukum Tuhan dan, oleh karena itu, orang-orang yang menerima arbitrase adalah kafir. Arbitrase ini tidak dapat diterima oleh para qurrā’, yang sangat dihormati di kalangan Khawārij (Salem, 1956:16), dan yang memimpin dalam penentangan terhadap arbitrase tersebut. Rahman (2001:40) mengatakan bahwa “terdapat bukti yang bagus bahwa para pemimpin Khawārij adalah orang-orang terpelajar yang mampu membuat pendapat-pendapat orisinil dalam hal-hal hukum dan doktrin.” Orang-orang Khawārij, menurut Rahman (1979:168), diluar kefanatikan dan cara-cara mereka yang nekat dalam mencapai tujuan, 2 Selain Khawārij, mereka disebut pula dengan nama Harūriyya, dari kata Harūrā, tempat mereka berkumpul setelah keluar dari pasukan ‘Alī di Kūfa. Mereka disebut juga alMuhakkima karena slogan mereka lā hukm illā lillāh. Orang-orang Khawārij sendiri menyebut kelompok mereka sebagai shurāt, yang berasal dari kata yashrī (menjual, mengorbankan), sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’ān, 2 (al-Baqarah): 207 (Dan di antara manusia ada yang menjual/mengorbankan dirinya untuk mencari keridhaan Allah …). 3 Slogan ini diambil dari al-Qur’ān, al-Mā’ida (5):44: “wa man lam yahkum bimā anzala Allāh faulāika hum al-kāfirūn” (barang siapa yang tidak menetapkan hukum dengan apa yang telah diturunkan oleh Allah maka ia kafir). 229
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 7 No. 4, Desember 2010: 226-249
adalah orang-orang yang sangat saleh dan puritan dalam beragama. Situasi yang ideal bagi mereka adalah situasi yang tidak terdapat kontradiksi antara agama dan masyarakat, antara kewajiban mematuhi Tuhan dengan kewajiban untuk tetap tinggal di dalam suatu masyarakat, dan menaati seorang imām. Apabila terjadi kontradiksi di antara keduanya, mereka tentu saja akan memilih berjuang untuk menegakkan agama. Dalam hal ini mereka menempatkan pertimbangan keagamaan di atas segala-galanya. Sebab satu-satunya jalan mencapai keselamatan, menurut orang-orang Khawārij, adalah dengan menganut Islam secara kāffa, yaitu dengan menaati dan mengerjakan seluruh ajaran-ajaran dan ritus-ritus yang menyertainya, dan hal ini tercermin di dalam perbuatan atau tingkahlaku. Apabila seorang pemimpin atau imām orang Khawārij melakukan sesuatu yang menyimpang dari ajaran-ajaran Islam walaupun hanya sedikit, dan tidak mau bertobat (tauba), maka mereka akan meninggalkannya atau memisahkan diri (barā’a) dan membentuk kelompok (Khawārij) baru. Kedua kata ini (tauba dan barā’a), baik yang ditujukan kepada pemimpin mereka atau yang diucapkan oleh para pemimpin mereka satu sama lain, sangat sering terjadi dalam wacana politik kelompok Khawārij. Mereka adalah orang-orang yang idealis dan puritan dan tidak mau berkompromi dalam masalah agama. Persikukuhan terhadap hal inilah yang menyebabkan perpecahan di kalangan Khawārij sering terjadi, yang pada akhirnya mereka terpecah ke dalam banyak kelompok. Dengan sikap dan prinsip seperti ini, maka tidak heran kalau pertimbangan atau pemikiran politik mereka diwarnai oleh pertimbangan keagamaan. Hal ini tidak dapat dihindari karena, sebagaimana Goldziher (1981:168) katakan, di dalam suatu masyarakat yang berlandaskan agama, pertimbangan-pertimbangan keagamaan pasti akan memasuki masalahmasalah politik, dan masalah-masalah politik akan mengambil bentuk berupa isu-isu keagamaan. Akan tetapi pada tahap awal dari perpecahan tersebut permasalahan politiklah yang sangat menonjol. Isu keagamaan secara berangsur-angsur memasuki permasalahan politik dan dengan segera isu keagamaan ini menjadi unsur utama di dalam melanggengkan perpecahan tersebut. Pendapat serupa dikemukakan juga oleh Nasution (1986:6). Ia mengatakan bahwa perpecahan awal disebabkan oleh persoalan-persoalan politik. Persoalan-persoalan teologi muncul belakangan akibat dari masalah politik tersebut. Keterkaitan isu-isu keagamaan dengan politik dan sebaliknya dalam kasus munculnya kelompok Khawārij ini nampak pada pernyataan beberapa orang sarjana yang membantah anggapan bahwa penyebab timbulnya gerakan Khawārij adalah murni politik. Rahman (2001:39), misalnya, mengatakan bahwa pemberontakan yang dilakukan oleh orangorang Khawārij adalah karena alasan-alasan ideologi agama. Sejalan dengan pernyataan ini, Wellhausen (dikutip dalam Thomson, 1949:209) dengan tegas mengatakan bahwa kegiatan-kegiatan politik Khawārij adalah produk dari kepercayaan-kepercayaan dan kesalehan mereka. Meskipun 230
Abdul Muis Naharong La-hukm Illa Lillah. Hubungan Agama dengan Politik dalam Islam
mereka adalah orang-orang Badawi Arab, kata Wellhausen (dikutip dalam Madelung, 1988:54, footnote, no. 3), karena mereka sudah lama tinggal di tempat-tempat pemukiman tentara (garrison towns), yaitu Kūfa dan Basra,4 mereka telah meninggalkan cara hidup Badawi dan mengadopsi cara hidup yang dimotivasi oleh terutama ajaran-ajaran Islam. Pernyataan ini didukung oleh fakta bahwa sejak awal, yaitu 638, khalīfa ‘Umar mengangkat Ammār b. Yasīr sebagai gubernur Kūfa dan ‘Abd Allāh b. Mas‘ūd sebagai wakilnya dengan maksud untuk melicinkan penerapan tuntutan-tuntutan dan peraturan-peraturan Islam, bukan tuntutantuntutan dan peraturan-peraturan ketujuh kabilah yang mendiami ketujuh distrik di Kūfa (lih. Ali makes Kufa his new capital). Mengenai hal ini Thomson (1949:209-210) mengatakan bahwa penyelidikan terhadap sejarah dan historiography Islam mendukung thesis Wellhausen dan menuntun kepada kesimpulan bahwa penyebab munculnya sekte-sekte Khawārij seyogyanya dicari di dalam keyakinan dan loyalitas keagamaan dari pada alasan-alasan politik. Pendapat senada juga dikemukakan oleh Salem (1956:18). Ia mengatakan bahwa alasan semula orang-orang Khawārij menentang arbitrase adalah lebih bersifat keagamaan daripada politik. Yang menjadi masalah utama adalah interpretasi al-Qur’ān5 untuk memecahkan persoalan yang timbul pada 4 Kūfa dibangun oleh khalīfa ‘Umar pada 638, sekitar tiga tahun setelah menjabat sebagai khalīfa, dan dipakai sebagai kota pemukiman bagi tentara Islam. Basra dibangun beberapa tahun kemudian untuk mengatasi jumlah imigran yag semakin meningkat jumlahnya. Kūfa, sebagai tempat pemukiman para tentara yang selalu siap untuk berperang kalau diperlukan, dibagi kedalam tujuh distrik dan setiap distrik dihuni oleh kelompok tentara dari kabilah yang berbeda. Pengelompokan ini bertahan selama 19 tahun dan baru mengalami perubahan ketika ‘Alī datang di Kūfa pada 657. (lihat “Ali makes Kufa his new capital,” http://timelines.com/657/ali-makes-kufa-his-new-capital, diakses 30 Juli 2010.) 5 Contoh dari masalah penafsiran ayat-ayat al-Qur’ān, yang merupakan alasan utama kenapa orang-orang Khawārij menolak tahkīm, bisa dilihat pada waktu ‘Abd Allāh b. ‘Abbās, yang diutus oleh ‘Alī untuk mendapatkan kembali dukungan orang-orang Khawārij, berdialog dengan mereka di Kūfa. Ibn ‘Abbās bertanya kepada orang-orang Khawārij “Apa yang membuatmu marah terhadap kedua hakam (juru damai), karena Tuhan … telah berkata: “… jika keduanya mau mengadakan perdamaian, niscaya Allah akan memberikan taufik kepada kedua suami isteri …” [al-Nisā’ (4):35]. Oleh karena itu kenapa tidak [mendamaikan] para pengikut Nabi Muhammad saw. Orang-orang Khawārij menjawab dengan mengatakan … mengenai keputusan yang telah Tuhan delegasikan kepada umat manusia dan [masalahmasalah] yang Dia telah perintahkan kepada mereka untuk diteliti dan diperbaiki, maka manusia mempunyai [hak] untuk melakukannya sebagaimana yang diperintahkan oleh Tuhan. Tetapi mengenai keputusan yang telah Tuhan buat dan Dia sampaikan kepada manusia, mereka tidak mempunyai hak untuk memeriksanya. Tuhan telah memutuskan hukuman bagi orang yang berzina 100 kali dicambuk, dan hukuman bagi pencuri adalah tangannya dipotong. Manusia tidak berhak mempertanyakan masalah ini. Kemudian Ibn ‘Abbās berkata: “Tuhan … berkata: ‘…Hakim adalah dua orang laki-laki yang adil di antara kamu ….” [Al-Māida (5):95] Orang-orang Khawārij menjawab: Apakah kamu menjadikan keputusan/hukum mengenai perburuan dan perselisihan yang terjadi antara seorang isteri dengan suaminya itu sama dengan keputusan/hukum mengenai darah orang-orang Islam? (Lihat Al-Jomaih, 1988: 73-74 ). Di dalam dialog di atas, Ibn ‘Abbās mengutip dua bagian ayat al-Qur’ān, yang keduanya sama sekali tidak ada hubungannya dengan tahkīm dan kedua arbitrator (juru 231
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 7 No. 4, Desember 2010: 226-249
saat itu. Nallino (dikutip dalam Ibid.) memperkuat pendapat ini. Ia menegaskan bahwa alasan dari Khawārij untuk keluar dari barisan ‘Alī di Siffīn itu bersifat teologis dan bahwa yang memimpin di dalam persoalan tersebut adalah para qurrā’. Dengan kata lain, bagi orang-orang Khawārij, urusan politik dan yang lainnya merupakan bagian dari sistim kepercayaan (agama) pada umumnya. Semuanya adalah perwujudan dari kepercayaan mereka yang diperoleh dari pemahaman terhadap ayat-ayat al-Qur’ān. Subordinasi aspek politik ini terhadap agama juga bisa dilihat dari pilihan mereka terhadap ‘Abd Allāh al-Kawwā al-Yashkurī, amīr atau pemimpin/imam mereka dalam salāt, dan bukannya Shabat b. Rib‘ī alTamīmī, amīr atau pemimpin mereka dalam perang,6 sebagai pemimpin mereka yang sesungguhnya menggantikan ‘Alī (Zaman, 1988:275-276). Dengan slogan lā h ukm illā lillāh, orang-orang Khawārij berangsur-angsur keluar dari pasukan ‘Alī dan berkemah di Harūrā, suatu desa yang terletak sekitar tiga kilometer dari Kūfa. Mereka akhirnya berjumlah 12,000 orang. Kelompok Khawārij yang fanatik dan ekstrim ini kemudian meneror umat Islam yang berbeda pendapat dengan mereka. Mereka mulai mempraktekkan isti‘rād , yaitu pembunuhan-pembunuhan (keagamaan) terhadap sesama Muslim (laki-laki, perempuan, anak-anak) di luar kelompok mereka (lih. Pellat, 1969:269). Mereka membunuh putra sahabat Nabi, ‘Abd Allāh b. Hubbāb dan istrinya. Kemudian mereka membunuh utusan ‘Alī yang dikirim kepada mereka. Hal ini membuat ‘Alī menunda rencananya melawan orang-orang Syria (Mu‘āwiya), karena pasukannya menolak bergerak sebelum persoalan Khawārij diselesaikan. Sebelum pertempuran dimulai, ‘Alī berdialog dengan orang-orang Khawārij dan berhasil menyadarkan sekitar 8000 orang dan mereka disuruh oleh ‘Alī untuk pergi. ‘Alī dan pasukannya kemudian memerangi kelompok Khawārij di Nahrawān pada Juli 658, di mana sekitar 4,000 orang Khawārij berkemah di sana. Meskipun orang-orang Khawārij dapat dikalahkan oleh ‘Alī dengan korban yang besar di pihak Khawārij, tetapi ‘Alī dan damai) pada perang Siffīn. Yang pertama, al-Qur’ān 4:35 berkenaan dengan perselisihan seorang suami dengan isterinya. Sedangkan ayat kedua (5:59) mengenai membunuh binatang buruan pada waktu melakukan ihram. Kedua ayat ini dikutip oleh Ibn ‘Abbās di luar konteksnya dan dipakai sebagai analog (qiyās) terhadap dua orang arbitrator pada tahkim untuk melegalkan dan melegitimasi arbitrase pada perang Siffīn. Orang-orang Khawārij, di lain pihak, memakai kedua ayat tersebut hanya pada kasus tertentu saja yang disebut pada masingmasing ayat, (yaitu perselisihan di dalam keluarga (suami dan isteri), dan perburuan binatang selama musim haji), dan tidak boleh diberi interpretasi yang lain untuk membenarkan perbuatan selain kedua hal tersebut. Hal ini sesuai dengan kecenderungan mereka yang harfiyya di dalam memahami al-Qur’ān dan menentang ta’wīl. 6 Peristiwa ini (pemilihan amīr salāt dan amīr perang) terjadi ketika baru sebagian orangorang Khawārij sampai dan berkemah di Harūra ketika mereka memisahkan diri (keluar) dari pasukan ‘Alī di Kūfa Di Harūra mereka mengeluarkan tiga prinsip untuk dilaksanakan oleh anggota mereka. Ketiga prinsip tersebut adalah sebagai berikut: 1. Setelah mereka menang, semua urusan harus diselesaikan dengan shūrā (mushawarah/konsultasi), 2. Taat atau setia kepada Tuhan, dan 3. Menyuruh berbuat baik dan mencegah berbuat jelek (Tabarī, 1968: 63). 232
Abdul Muis Naharong La-hukm Illa Lillah. Hubungan Agama dengan Politik dalam Islam
pasukannya tidak dapat menghancurkan gerakan ini. Di samping itu, peristiwa ini menimbulkan keinginan untuk membalas dendam orang-orang Khawārij terhadap ‘Alī. ‘Alī sendiri akhirnya dibunuh pada 661 oleh ‘Abd al-Rahmān b. Muljam, seorang Khārijī yang melakukan pembunuhan tersebut karena membalas dendam atas kematian rekan-rekannya di Nahrawān. Setelah ‘Alī wafat, orang-orang Khawārij melanjutkan perlawanan dan pemberontakan terhadap khalīfa Bani Umayyah dan ‘Abbāsiyya. Pada awal dari periode ini, sejumlah besar mawālī (klien),7 yang pada umumnya adalah orang Persia (Iran), bergabung dengan kelompok Khawārij karena mereka tertarik oleh sikap egaliter orang-orang Khawārij. Pada periode ini pula dua kelompok Khawārij, yaitu Azāriqa, kelompok Khawārij yang paling ekstrim, dan ‘Atawiyya, pecahan dari Najdiyya, terpaksa mengungsi ke provinsi bagian selatan Iran, dan menjadikan daerah baru ini sebagai basis gerakan mereka (Madelung, 1988:55-57). Orang-orang Khawārij yang terdiri dari banyak kelompok ini adalah orang-orang yang sangat teguh dalam membela keyakinan mereka dan sangat berani di medan perang. Mereka melakukan perlawanan terhadap Bani Umayya nyaris tanpa henti, dan baru bisa dikalahkan sesudah peperangan panjang yang melelahkan. Pada periode Dawla ‘Abbāsiyya, orang-orang Khawārij melanjutkan perlawanan, meskipun kekuatan mereka sudah sangat menurun dibandingkan ketika mereka melawan penguasa Dawla Umayya. Kelemahan ini sejak dari awal juga disebabkan oleh faktor perpecahan di kalangan mereka sendiri akibat perbedaan pendapat. Di samping itu, paham-paham keagamaan mereka yang ekstrim tidak bisa bertahan menghadapi tuntutan keadaan yang dihadapi umat Islam pada saat itu. Sebagai akibatnya, aliran-aliran Khawārij ini tidak bisa bertahan hidup kecuali kelompok Ibādiyya. Kaum Ibādiyya saat ini bisa ditemukan di Timur Tengah dan Afrika. Aliran-Aliran Khawārij Kelompok Khawārij, sebagaimana telah disebutkan, terpecah ke dalam banyak kelompok.8 Meskipun demikian, di sini hanya dibahas empat aliran saja (Muhakkima, Azāriqa, Najdiyya dan Ibādiyya) karena pahampaham dan doktrin keempat sub-sekte Khawarij ini secara garis besar sudah mewakili semua sub-sekte lainnya. 7 Mawāli, jamak dari mawlā, yang berarti klien, adalah orang-orang non-Arab yang memeluk agama Islam pada abad pertama ekspansi orang-orang Arab. Untuk menjadi orang Islam pada waktu itu, di samping menerima kepercayaan yang baru (Islam), mereka juga harus diintegrasikan ke dalam masyarakat Arab. Mereka harus diadopsi ke dalam suku-suku Arab. Adopsi ini membuat orang-orang non-Arab yang baru masuk Islam menjadi klien (mawāli) dari orang-orang Arab yang menjadi pelindung mereka. Status mawāli ini merupakan semacam warga negara kelas dua di dalam negara Islam dan dibenci oleh orang-orang yang baru masuk Islam, khususnya orang-orang Persia (Iran) (Glasse, 1991:263). 8 Menurut al- Baghdādī (1937:54-91), aliran-aliran Khawārij berjumlah 20. 233
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 7 No. 4, Desember 2010: 226-249
A. Muhakkima Kelompok ini terdiri dari orang-orang yang keluar dari pasukan ‘Alī di Kūfa pada waktu ia menerima arbitrase. Nama kelompok ini berasal dari prinsip mereka yang mengatakan bahwa lā hukm illā lillāh. Mereka ini, dibawah pimpinan ‘Abd Allāh b. Kawwā’, ‘Abd Allāh b. Wahb al-Rāsibī, ‘Urwa b. Jarir, dan lain-lain, meninggalkan pasukan ‘Alī dan berkumpul di suatu tempat, yang bernama Harūrā dan kemudian mereka membai‘a ‘Abd Allāh b. Wahb al-Rāsibī sebagai imām mereka (Ibn Hazm, 1928:28). Berdasarkan slogan mereka lā hukm illā lillāh (tidak ada hukum selain hukum Allah atau yang berhak menetapkan hukum selain Allah), mereka menganggap ‘Alī salah di dalam menerima arbitrase, sebab dengan perbuatan tersebut ia menyetujui manusia menetapkan hukum, padahal hanya Allah yang bisa menjadi hakim. Oleh karena itu mereka mencap ‘Alī telah kāfir (Ibid.; Shahrastānī, 1948:175-176). Sebutan yang sama (kāfir) juga diberikan kepada khalīfa ‘Uthmān, para pelaku Perang Unta (Talhā, Zubayr, dan ‘Ā’isha), Mu‘āwiya dan para pengikutnya, kedua arbitrator (Abū Mūsā al-Ash‘arī dan ‘Amr b. ‘Ās) pada tahkīm untuk mengakhiri Perang Siffīn, semua orang yang menyetujui arbitrase, dan semua orang yang berdosa (Al-Baghdādī, 1937:61; Al-Baghdādī, 1986:87). Kelompok ini juga mengafirkan orang-orang yang berbeda pendapat dengan mereka dalam masalah agama. Berbeda dengan kelompok Azāriqa, mereka tidak mengafirkan orang-orang yang sepaham dengan mereka tetapi tidak mau bergabung atau pindah ke daerah mereka (Al-Baghdādī, 1937:62-63). Di samping masalah pengafiran ini, mereka juga membicarakan masalah pimpinan (imāma). Mereka berpendapat bahwa siapa saja bisa menjadi imām, orang merdeka maupun budak, walaupun ia bukan dari suku Quraish. Jika seseorang memberontak terhadap seorang imām, maka adalah kewajiban setiap dari mereka menentang orang tersebut. Akan tetapi apabila seorang imām menyimpang dari prinsip keadilan dan ajaran agama, maka adalah kewajiban mereka untuk memecatnya atau membunuhnya (Al-Shahrastānī, 1948:174-175; Ibn Hazm, 1928:26). Dengan kata lain, mereka berpendapat adalah wajib hukumnya memberontak terhadap penguasa yang zālim (Al-Baghdādī, 1986:87). Mereka juga berpendapat bahwa imām itu tidak harus ada di setiap masa (AlShahrastānī,1948:172). B. Azāriqa Nama kelompok ini berasal dari nama pendirinya, Nāfi‘ b. al-Azraq al-Hanafī (w. 686). Kelompok ini adalah anggota Khawārij yang membantu ‘Abd Allāh b. al-Zubayr di Mekka ketika ia dikepung oleh pasukan Yazīd b. Mu‘āwiya. Setelah memisahkan diri dari Ibn al-Zubayr, Nāfi‘ dan pasukannya pergi ke Basra, dan di sini lah ia diangkat sebagai pimpinan (Tabarī,1968:66-67). Pada 684 kelompok ini, di bawah pimpinan Nāfi‘ b. alAzraq al-Hanafī, terpaksa mengungsi ke provinsi Iran bagian selatan dan 234
Abdul Muis Naharong La-hukm Illa Lillah. Hubungan Agama dengan Politik dalam Islam
menjadikan daerah ini sebagai basis gerakan mereka. Sejak 686 kelompok Azāriqa, yang pada periode ini dipimpin oleh al-Zubayr b. Māhūz (686-688) dan kemudian oleh Qatarī b. al-Fujā’ah (688-698) yang disebut sebagai Amīr al-Mu’minīn, menetap di Fars dan Kirman (Madelung, 1988:57). Mengenai kelompok ini, Watt, 1961:219-220) mengatakan bahwa terdapat hubungan erat antara kebijakan-kebijakan kelompok pemberontak ini dengan doktrin yang mereka anut. Mereka berpendapat bahwa segala urusan mengenai politik harus didasarkan atas perintah-perintah Allah. Oleh karena itu, menurut Watt, kelompok Azāriqa berusaha membentuk masyarakat dengan basis agama. Berdasarkan prinsip ini mereka mengatakan bahwa penguasa dan orang-orang yang mendukungnya sudah berdosa karena pemerintahannya tidak dijalankan sesuai dengan ajaran-ajaran agama. Oleh karena itu orang-orang yang tidak bergabung atau hijra kepada kelompok mereka dianggap sebagai kafir (Al-Ash‘arī, 1928:33), dan mushrik (Al-Baghdādī, 1937:63; Al-Baghdādī, 1986:62).9 Bahkan orang-orang Islam yang sepaham dengan mereka juga dianggap mushrik kalau mereka tidak mau pindah ke daerah mereka (Al-Baghdādī, 1937:63). Kalau ada orang yang datang ke daerah mereka mengaku pengikut Azāriqa, orang tersebut diuji untuk membuktikan pengakuannya. Kepadanya diserahkan seorang tawanan dan ia disuruh membunuhnya. Kalau ia membunuhnya maka ia diterima. Tetapi kalau ia tidak membunuhnya, maka orang tersebut dianggap munafiq dan mushrik dan kemudian ia dibunuh (Ibid.). Seperti halnya dengan kelompok Muhakkima, mereka juga menganggap ‘Alī, ‘Uthmān, Talha, Zubayr, ‘Ā’isha, ‘Abd Allāh b. ‘Abbās dan semua orang yang bergabung dengan mereka kafir dan kekal di dalam neraka (Ibn Hazm, 1928:33). Predikat kafir juga diberikan kepada orangorang yang diam di rumah dan tidak bergabung dengan mereka pergi berperang (Al-Ash‘arī, 1928:82; Al-Shahrastānī, 1948:185; Ibn Hazm, 1928:33). Bahkan orang-orang seperti ini dicap telah mushrik (Al-Baghdādī, 1937:63). Hanya anggota kelompok mereka saja yang merupakan Muslim sejati, dan oleh karena itu daerah perkemahan mereka saja yang bisa disebut sebagai dār-Islām di mana Islam betul-betul dipraktekkan. Di luar daerah perkemahan mereka adalah dār al-harb, dan sebagai akibatnya, semua orang yang berada di wilayah ini boleh dibunuh dan dirampas hartanya, kecuali orang-orang Yahudi, Kristen, dan sebagainya yang mendapat perlindungan resmi (ahl al-dhimma) dari masyarakat Islam. Sesuai dengan prinsip ini, mereka berpendapat bahwa rumah atau tempat tinggal orang-orang yang tidak sependapat dengan mereka adalah rumah/tempat tinggal orang-orang kafir dan oleh karena itu wanita dan anak-anak mereka halal dibunuh (Al-Baghdādī, 1937:63-64; Ibn Hazm, 1928:33). Praktek membunuh orang-orang yang dilakukan oleh anggota 9 Dalam Islam, perbuatan shirk atau menyekutukan Allah adalah dosa yang paling besar yang tidak akan diampuni oleh Allah. 235
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 7 No. 4, Desember 2010: 226-249
Azāriqa ini juga diterapkan kepada orang-orang Islam yang berbeda pendapat dengan mereka dalam masalah doktrin. Praktek ini dikenal dengan nama isti’rād (pembunuhan yang bersifat keagamaan) (Pellat, 1971:269). Sejalan dengan prinsip mereka yang hendak mempertahankan keselarasan perbuatan dengan ajaran agama, mereka mengatakan bahwa orang-orang yang melakukan dosa besar adalah kafir (Al-Ash‘arī, 1928:82; Al-Shahrastānī, 1948:186; Ibn Hazm, 1928:34) dan mushrik (Al-Baghdādī, 1986:63). Karena mereka adalah kelompok yang aktif, mereka menganggap menyembunyikan keyakinan atau identitas (taqiyya) adalah haram (AlShahrastānī, 1948:186). C. Najadāt (Najdiyya) Kelompok ini adalah pengikut Najda b. ‘Amr al-Hanafī (w. 691-2). Seperti halnya dengan Nāfi‘ b. al-Azraq al-Hanafī, Najda juga pernah membantu Ibn al-Zubayr ketika Mekah dikepung oleh pasukan Yazīd b. Mu‘āwiya, khalīfa kedua Bani Umayya. Setelah pengepungan dihentikan akibat Yazīd meninggal dunia, Najda, Abū Tālut dan kelompoknya menuju ke al-Yamāma, Najd. Pada mulanya kelompok ini dipimpin oleh Abū Tālut, tetapi kemudian mereka mengangkat Najda b. ‘Amr al-Hanafī sebagai pemimpin mereka dan memanggilnya Amīr al-Mu’minīn (Ibn Hazm, 1928:34). Berbeda dengan kelompok Azāriqa yang sangat ekstrim, kelompok Najadāt ini agak moderat. Mereka mengatakan bahwa orang yang melakukan dosa besar itu kafir, bukan mushrik. Najda mengatakan bahwa Tuhan bisa mengampuni pengikut-pengikutnya yang patut mendapat hukuman yang telah ditetapkan. Jika Tuhan menghukumnya, hukuman tersebut bukan di neraka, dan akhirnya ia akan masuk surga (AlShahrastānī, 1948:191-192; Al-Ash‘arī, 1928:86; Al-Baghdādī, 1937:68). Selanjutnya ia mengatakan bahwa barangsiapa yang memandang seorang perempuan atau berkata dusta, dan terus menerus melakukan hal tersebut, maka orang tersebut mushrik. Akan tetapi barangsiapa yang berzina, mencuri dan minum khamar dan tidak berulangkali melakukannya, maka dia adalah Muslim (AlBaghdādī, 1937:68; Al-Ash‘arī, 1928:86; Al-Baghdādī, 1986:67) atau bukan seorang mushrik (Al-Shahrastānī, 1948:191-192; Ibn Hazm, 1928:36). Najda juga menolak pendapat Ibn al-Azraq yang mengatakan bahwa orang yang “diam” atau “tidak ikut serta” itu adalah kafir. Orang seperti itu, menurut Najda, adalah orang yang munafiq (Watt, 1973:24; Watt, 1962:12). Kelompok ini juga, berbeda dengan Azāriqa, mempraktekkan taqiyya baik dalam ucapan maupun perbuatan (Ibn Hazm, 1928:37; Al-Shahrastānī, 1948:192-193). Mengenai masalah imāma, mereka berpendapat bahwa manusia tidak memerlukan seorang imām. Yang harus mereka laksanakan adalah berbuat adil di antara mereka. Tetapi apabila hal ini tidak dapat tercapai kecuali dengan adanya seorang imām, maka boleh mengangkat seorang imām (Ibn Hazm, 1928:37; Al-Shahrastānī, 1948:193). 236
Abdul Muis Naharong La-hukm Illa Lillah. Hubungan Agama dengan Politik dalam Islam
Berbicara mengenai doktrin kelompok Najadāt, Watt (1973:13) mengatakan bahwa pada mulanya kelompok ini mempunyai pendapatpendapat yang sama dengan kelompok Azāriqa. Tetapi karena pada suatu saat mereka memerintah daerah yang cukup luas (termasuk Bahrain dan Oman di pantai Timur, Hadramaut dan Yaman di bagian Selatan), doktrin mereka menjadi lebih moderat. Dengan daerah yang begitu luas, mereka menyadari bahwa tidak mungkin mengusir atau membunuh setiap orang yang melakukan dosa besar, sebagaimana halnya yang dilakukan oleh kelompok Azāriqa yang tinggal di daerah perkemahan kecil. Hal ini mendorong Najda membuat perbedaan antara masalah-masalah yang fundamental atau wajib dan non-fundamental di dalam agama. Menurut dia, yang termasuk fundamental/wajib adalah mengetahui/percaya kepada Tuhan, Rasul-RasulNya, Kitab-KitabNya dan mengakui bahwa menumpahkan darah seorang Muslim dan merampok harta bendanya itu haram, serta mengakui atau membenarkan segala sesuatu yang datang dari Allah. Ketidaktahuan akan hal-hal tersebut tidak bisa diampuni. Akan tetapi ketidaktahuan selain dari kelima poin tersebut bisa diampuni (AlAsh‘arī, 1928:85; Al-Baghdādī, 1986:67; Al-Baghdādī, 1937:68; Ibn Hazm, 1928:35). D. Ibādiyya Kelompok ini adalah pengikut dari ‘Abd Allāh b. Ibād yang memisahkan diri dari kelompok Khawārij yang ekstrim pada 684-5. Kelompok ini termasuk ke dalam kelompok Khawārij yang moderat, yang pada periode awal eksistensinya lebih suka mempraktekkan taqiyya atau kitmān. Oleh karena itu mereka mempunyai hubungan yang baik dengan khalīfa kelima Bani Umayya, ‘Abd al-Malik b. Marwān (Lewicki, 1971:648). Abū al-Sha’tha’ Jābir b. Zayd al-Azd, yang menggantikan Ibn Ibād sebagai pimpinan kelompok Ibādiyya, meneruskan kebijakan-kebijakan pendahulunya dan berhasil membina hubungan yang baik dengan gubernur Iraq, al-Hajjāj. Akan tetapi setelah khalīfa ‘Abd al-Malik meninggal dunia pada 705, hubungan di antara mereka memburuk. Akhirnya kelompok ini memberontak pada masa khalīfa Marwān b. Muhammad, khalīfa keempatbelas Bani Umayya (Ibid.:649). Pengikut kelompok ini masih ada sampai sekarang di Oman, Zanzibar (Afrika Timur),10 Tripolitania (Jabal Nafūsa dan Zuagha), dan di Aljazair (Ibid.:648; Goldziher, 1981:174) bagian selatan (Wargla dan Mzab). Adapun doktrin mereka dikatakan bahwa orang-orang ahl Qibla, yaitu orang-orang yang sembahyang menghadapi kiblat, atau masyarakat Islam pada umumnya yang menentang pendapat mereka adalah kafir, bukan mushrik. Shahadat mereka dapat diterima, mereka haram dibunuh, 10 Untuk informasi terkini mengenai Ibādiyya di Oman dan Zanzibar, lihat Hoffman (2004:201-216). 237
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 7 No. 4, Desember 2010: 226-249
boleh dinikahi dan boleh saling mewarisi (Al-Baghdādī, 1937:82-83; AlShahrastānī, 1948:213; Al-Ash‘arī, 1928:99; Ibn Hazm, 1928:52). Kekafiran mereka adalah kufr ni’ma dan bukan kufr shirk. Kufr ni’ma adalah tidak mensyukuri dan tidak berterimakasih atas rahmat dan karunia yang diberikan oleh Tuhan. Sedangkan kufr shirk adalah menyekutukan Tuhan. Menurut aliran Khawārij ini, orang yang melakukan dosa besar bukan mushrik dan bukan pula orang-orang yang beriman (mu’minūn), tetapi monotheis (muwahhidūn), yaitu orang yang mengesakan Tuhan (AlShahrastānī, 1948:213; Ibn Hazm, 1928:53; Al-Ash‘arī, 1928:99). Mereka menyebut wilayah orang-orang monotheis ini sebagai dār al-tawhīd, kecuali wilayah pasukan Sultan. Wilayah ini disebut oleh mereka dār al-bagy (wilayah ketidakadilan) (Al-Baghdādī, 1937:85; Ibn Hazm, 1928:52-53; AlAsh‘arī, 1928:99). E. Beberapa Persamaan Kelompok-Kelompok Khawārij Kelompok-kelompok Khawārij mempunyai beberapa persamaan dalam hal ajaran-ajaran politik keagamaan. Vida (1978:1076) menyebutkan beberapa persamaan, yaitu: [1.] Dalam masalah kekhalifahan, mereka menentang legitimasi yang diberikan oleh kelompok Shī‘a [kepada ‘Alī dan keluarganya] dan sikap diam/pasif dari orang-orang Murji’a. Mereka mengatakan bahwa … orang-orang yang beriman berkewajiban menyatakan tidak sah imām yang telah menyimpang dari jalan yang benar dan menurunkannya dari jabatannya. [2.] … setiap orang yang beriman yang mempunyai moralitas dan agama yang sempurna berhak dipilih menjadi imām oleh masyarakat meskipun ia seorang budak hitam. [3.] … diluar imām mereka, mereka hanya mengakui khalīfa Abū Bakr, ‘Umar; ‘Uthmān mereka akui hanya selama enam tahun pertama dari masa pemerintahannya, dan ‘Alī hanya sampai perang Siffīn.
Mengenai persamaan paham kelompok-kelompok Khawārij, alAsh‘arī (1928:119) mengatakan bahwa semua orang Khawārij mengakui khalīfa Abū Bakr dan ‘Umar. ‘Uthmān mereka akui hanya sampai sebelum timbulnya peristiwa yang membuat orang-orang marah terhadapnya, dan ‘Alī diakui sebagai khalīfa sampai sebelum ia menyetujui arbitrase. Orangorang Khawārij mengatakan bahwa Mu‘āwiya, ‘Amr b. ‘As dan Abū Mūsa alAsh‘arī adalah kafir. Berbeda dengan konsep politik Sunni, mereka juga berpendapat bahwa semua orang yang memenuhi persyaratan menjadi imām berhak untuk dipilih, baik orang Quraish maupun non-Quraish. Mereka sepakat menentang imām yang dhalim. Reaksi terhadap Paham-Paham Politik Keagamaan Khawārij Paham-paham politik keagamaan Khawārij yang ekstrim, khususnya pendapat mereka yang mengatakan bahwa orang-orang Islam yang melakukan dosa besar, kalau tidak bertaubat, menjadi kafir dan masuk neraka kalau meninggal, menimbulkan reaksi di kalangan umat Islam pada waktu itu, termasuk di kalangan Khawārij sendiri. Satu 238
Abdul Muis Naharong La-hukm Illa Lillah. Hubungan Agama dengan Politik dalam Islam
kelompok kecil Khawārij di Basra yang bernama Wāqifiyya, yang berarti orang-orang yang menunda penilaian, berpendapat bahwa manusia tidak mungkin mengetahui dengan pasti orang-orang yang akan masuk surga dan mereka yang akan masuk neraka. Berdasarkan hal ini, mereka berpendapat bahwa orang yang berbuat salah atau dosa harus dihukum tetapi tidak dikeluarkan dari masyarakat. Karena manusia tidak dapat mengetahui nasib akhir mereka, maka lebih baik menunda memberikan penilaian terhadap sesama Muslim (Watt, 1962:16-17). Di samping kelompok Wāqifiyya, satu kelompok Khawārij yang termasuk kelompok Sufriyya juga mempunyai sikap dan pandangan yang sama. Diriwayatkan bahwa Shabīb b. Yazīd, yang disuruh bertaubat oleh para pengikutnya atas tindakannya yang dianggap salah oleh mereka, tidak mau menuruti tuntutan para pengikutnya. Karena penolakan ini, para pengikutnya memisahkan diri (barā’a) dari Shabīb b. Yazīd. Dikatakan bahwa orang-orang ini mengembalikan keputusan kepada Tuhan mengenai masalah ini. Mereka tidak mengafirkan Shabīb dan tidak pula menganggapnya sebagai seorang yang beriman (Rahman, 2001:41-42). Dengan demikian, menunda penilaian, yang lebih dikenal dengan istilah irjā’ dalam bahasa politik keagamaan, adalah pandangan bahwa manusia tidak selalu dapat mengetahui dengan jelas kesalahan yang telah dilakukan. Dan yang lebih penting lagi adalah bahwa dalam pandangan ini manusia tidak mengetahui dengan pasti apakah ada kandungan moral dari suatu kesalahan. Oleh karena itu manusia lebih baik menyerahkan keputusan akhir kepada Tuhan (Ibid.:45). Konsep irjā’ secara formal dikemukakan oleh Hasan b. Muhammad b. al-Hanafiyya (w. antara 718-720), seorang cucu khalīfa ‘Alī dari salah seorang isterinya, di dalam Kitāb al-Irjā’11 yang ia tulis dan ditujukan kepada orang-orang Shī‘a ekstrim12 di Kūfa. Hasan (dikutip dalam Ess, 1975:94) mengatakan bahwa: Apabila seseorang ingin mengetahui posisi dan pendapat kami, kami adalah orang yang tuannya adalah Allah, agamanya adalah Islam, petunjuknya adalah al-Qur’ān, dan nabinya adalah Muhammad. … . Di antara pemimpin masyarakat, kami setuju terhadap Abū Bakar dan ‘Umar, kami setuju mereka 11 Kitab ini ditulis oleh Hasan pada 693 ketika khalīfa ‘Abd al-Malik akhirnya berhasil mengalahkan Ibn al-Zubayr dan mencoba menyatukan daerah kekuasaannya (kerajaannya) yang tercabik-cabik oleh pemberontakan dengan jalan menciptakan harmoni keagamaan. Pada 692 Muhammad b. al-Hanafiyya, ayah Hasan, mengakui realitas politik dan menyatakan kesetiaannya kepada ‘Abd al-Malik, dan putranya nampak-nampaknya memiliki sikap realistik yang sama dengan bapaknya. (Ess, 1975:96). Rahman (2001:55-56), di lain pihak, mengatakan bahwa Hasan dan bapaknya disogok oleh ‘Abd al-Malik untuk menulis Kitāb Irjā’ dan Radd ‘alā al-Qadariyya. 12 Yang dimaksud di sini adalah kelompok Shī‘a Saba’iyya di bawah pimpinan al-Mukhtār. Kelompok ini, yang dikemudian hari dikenal dengan nama Kaysāniyya, percaya bahwa ada beberapa bagian (1/10) al-Qur’ān yang disembunyikan oleh Nabi Muhammad dan tidak disebarkan ke seluruh umat Islam (Hasan b. Muhammad b. al-Hanafiyya, “Kitāb al-Irjā’”, dikutip di dalam Ess, 1975:94-95). 239
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 7 No. 4, Desember 2010: 226-249
ditaati, dan sangat tidak setuju apabila mereka ditentang. Kami adalah musuh dari musuh-musuh mereka. Tetapi kami menunda penilaian (nurjī) terhadap para pemimpin masyarakat yang pertama-tama terlibat dalam skisme awal. … Penundaan penilaian ini hanya ditujukan kepada orang-orang yang disalahkan oleh masyarakat, sedangkan kami tidak hadir untuk dapat memberikan penilaian kami sendiri … .
Seperti yang ditulis oleh Hasan di dalam kutipan di atas, irjā’ atau penundaan penilaian ia tujukan kepada pihak-pihak yang terlibat di dalam perpecahan awal di kalangan umat Islam. Irjā’ ini dimaksudkan sebagai ajakan kepada umat Islam pada waktu itu untuk menahan diri dari perdebatan atau pembicaraan mengenai kesalahan-kesalahan yang diperbuat oleh pihak-pihak yang terlibat di dalam skisme awal, termasuk pembunuhan ‘Uthmān yang menjadi salah satu alasan Mu‘āwiya berperang melawan ‘Alī. Hasan mengajak umat Islam untuk mengambil sikap epoche, yang berarti bersikap kosong atau netral, dan menunda memberikan penilaian terhadap orang-orang tersebut, khususnya khalīfa ‘Uthmān dan ‘Alī, sebab mereka tidak dalam posisi untuk memberikan penilaian. Paham atau sikap ini dikenal dengan sebutan proto-Murji’a, yaitu suatu sikap politik, bukan sikap keagamaan atau teologi kepercayaan, yang diambil oleh sekelompok orang Islam, termasuk orang-orang Islam di Medina, dalam merespon pertikaian politik yang terjadi pada waktu itu. Dengan demikian, di satu sisi, posisi irjā’ secara khas mengartikulasikan sikap-sikap praktis dari kelompok masyarakat yang lebih besar yang menolak untuk berpihak baik dalam pertentangan antara ‘Uthmān dan para penentangnya maupun antara ‘Alī, di satu pihak, dan ‘Ā’isha, Talha, Zubayr dan Mu‘āwiya di pihak lain. Di sisi lain, irjā’ merupakan reaksi terhadap pandangan yang dianut oleh kebanyakan kaum Khawārij yang mengatakan bahwa orang-orang Muslim yang melakukan dosa besar dan tidak bertaubat adalah kafir yang halal darahnya di tangan orang-orang Khawārij, dan akan masuk neraka di akhirat kelak. Sebagai konsekuensi logis dari penentangan terhadap paham Khawārij ini, irjā’ juga memperoleh pengertian teologis. Irjā’, yang pada awalnya merupakan sikap politik, yaitu sikap netral dalam menyikapi perselisihan yang menyebabkan terjadinya skisme awal dan menolak menetapkan siapa yang salah dan siapa yang benar serta keputusan diserahkan kepada Tuhan, diperluas mencakup orang-orang Islam yang melakukan dosa besar. Seorang Muslim yang melakukan dosa besar dipandang tetap mempunyai iman dan Muslim. Ia harus diperlakukan demikian sampai Tuhan memutuskan nasibnya di Hari Akhir kelak. Pendapat ini kemudian didukung oleh satu hadīth yang dengan tegas memisahkan iman dari perbuatan. Diriwayatkan bahwa Nabi mengatakan kepada Abū Dzar al-Ghifārī bahwa “Barang siapa yang bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah RasulNya akan 240
Abdul Muis Naharong La-hukm Illa Lillah. Hubungan Agama dengan Politik dalam Islam
masuk surga meskipun ia mencuri dan berzina.”13 Dengan kata lain, berbeda dengan pendapat kaum Khawārij, pendukung paham ini yang dikenal dengan nama Murji’a mengatakan bahwa iman seseorang tidak ada hubungannya dengan perbuatannya. Walaupun ia melakukan dosa besar, ia tetap seorang Muslim karena ia masih mengakui bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah RasulNya. Mengenai dosa yang pernah ia lakukan ditunda keputusannya di akhirat kelak. Dengan demikian, irjā’ baik sebagai suatu sikap politik maupun teologis bertujuan untuk menciptakan ketenangan dan meredam pergolakan dan pemberontakan di dalam masyarakat,14 suatu keadaan yang sangat diharapkan oleh ‘Abd al-Malik b. Marwān (685-705), khalīfa kelima Bani Umayya. ‘Abd al-Malik percaya bahwa paham-paham irjā’ dapat membantu untuk menghentikan pemberontakan dan berguna bagi kesatuan negara. Di samping itu, ketika irjā’ diterapkan pada nilai moral tindakan manusia, ia mengarah kepada Jabariyya, yaitu bahwa kehendak Tuhanlah yang berlaku, bukan kehendak manusia, dan bahwa manusia tidak dapat berjalan di luar kehendak Tuhan. Dengan demikian, irjā’ dan Jabariyya bersatu. Keduanya mempunyai dua sikap yang saling mengakomodasi (Rahman, 2001:54&57).15 Kecenderungan ini benar-benar terjadi dalam lingkaran tertentu, termasuk di lingkaran penguasa pada waktu itu, yang kemudian menyebabkan munculnya paham tandingan yang mengusung kebebasan manusia memilih dan bertindak, sebagaimana diuraikan oleh Hasan al-Basrī. Di samping mendukung paham irjā’, khalīfa ‘Abd al-Malik juga mendukung paham Jabariyya dan sengaja menjadikan anti-Qadariyya sebagai kebijakan negara. Ia menginginkan rakyatnya 13 Rahman (2001:60) mengatakan bahwa hadīth ini tidak ditemukan dalam tulisan-tulisan pendukung atau penentang Murji’a pada abad pertama. Oleh karena itu hadīth tersebut mungkin muncul pada paruh pertama abad kedua. Di samping itu, perlu diingat bahwa paham ini tidak didukung oleh al-Qur’ān. Di dalam al-Qur’ān iman selalu disertai dengan perbuatan baik. Al-Qur’ān sūra al-Hajj/22:23 menegaskan bahwa orang-orang yang dimasukkan oleh Tuhan ke dalam surga adalah orangorang yang beriman dan beramal saleh (al-ladhīna āmanū wa ‘amilū al-sālihāt); Di dalam ayat lain disebutkan bahwa “sesungguhnya manusia dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh” (illā al-ladhīna āmanū wa ‘amilū al-sālihāt) (Q.S. al-‘Asr/103:2-3); “Allah telah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan beramal saleh di antara kamu (al-ladhīna āmanū minkum wa ‘amilū al-sālihāt), sungguh Dia akan menjadikan mereka menjadi pimpinan di muka bumi …” (Q.S. al-Nūr/24:55). Berdasarkan ketiga ayat ini jelaslah bahwa iman tidak pernah dipisahkan dengan perbuatan baik. 14 Sama halnya dengan irjā’ sebagai sikap teologis, irjā’ sebagai sikap politik juga melahirkan hadīth-hadīth politik, yang dikenal dengan hadīth al-fitan (hadīth perang saudara) yang menganjurkan orang untuk bersikap pasif. Salah satu dari hadīth ini adalah yang mengatakan bahwa Nabi bersabda: “Akan ada perang saudara, di mana orang yang duduk di rumah akan lebih baik ketimbang yang berdiri [yakni, siaga menuju peperangan], dan orang yang berdiri akan lebih baik dari pada orang yang berjalan, dan orang yang berjalan akan lebih baik tinimbang orang yang lari [yakni, cepat-cepat menuju peperangan].” Muslim, al-Sahīh, “Kitāb al-Fitan”, dikutip di dalam Rahman (2001:87). 15 Menurut Ess (1975:93), Murji’a dan Jabariyya sering digabungkan bersama. 241
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 7 No. 4, Desember 2010: 226-249
percaya bahwa kekuasaan, yaitu kerajaan yang diberikan kepadanya dan keluarganya adalah suatu hak yang diberikan oleh Tuhan dan tidak dapat diambilalih sesuai dengan kehendakNya (Ess, 1975:97). Selanjutnya pernyataan ini mengandung arti bahwa Tuhan telah memberikan kekhalifahan kepada Bani Umayya dan bahwa pembangkangan terhadap khalīfa dan para petugas bawahannya berarti penolakan terhadap Tuhan dan hal ini sama dengan kekafiran (Watt, 1971:570-571; Lambton, 1985:46). Dalam suasana seperti ini tampil lah Hasan al-Basrī (642-728) dengan paham qadarnya.16 Pendapatnya tentang masalah qadar ini ia jelaskan di dalam Risāla (Surat) yang dikirim kepada khalīfa ‘Abd al-Malik. Risāla tersebut sebenarnya merupakan jawaban Hasan al-Basrī terhadap surat khalīfa yang dikirim kepadanya melalui al-Hajjāj, gubernur Irak. Di dalam surat tersebut ‘Abd al-Malik meminta Hasan menjelaskan pemahamannya tentang qadar yang ia dengar dari orang lain. Menurut khabar yang ia dengar, Hasan mempunyai paham tentang qadar yang belum pernah dianut oleh para sahabat Nabi. Oleh karena itu ia ingin mengetahui sumber dari pendapatnya, yaitu apakah berasal dari hadīth Nabi, dari penafsiran terhadap ayat al-Qur’ān, atau dari hasil pemikirannya sendiri. Oleh karena itu, tulisan Hasan nampaknya bertujuan untuk membela pendapatnya tentang qadar yang diserang oleh sebagian rekannya, dan sekaligus sebagai protes terhadap tindakan korupsi dan tirani dari aparat penguasa yang menjustifikasi perbuatan-perbuatan jelek mereka dengan konsep qadar. Di dalam Risālanya, Hasan mengakui bahwa dialah yang pertamatama membahas qadar dalam bentuk kalām.17 Tetapi ia menolak kalau dikatakan bahwa dengan perbuatannya itu ia memperkenalkan suatu bid‘a. Memang benar, kata Hasan, para pendahulu kita yang saleh (sahabat Nabi) belum pernah mengajarkan masalah qadar, yaitu bahwa manusia mempunyai kebebasan dan kekuatan sendiri untuk melaksanakan kehendaknya (free will).18 Ini semata-mata karena paham tersebut merupakan hal yang alami yang mereka percayai. Hanya karena ada orangorang tertentu19 yang mulai menyebarkan paham-paham dan sikap-sikap yang bertentangan dengan paham qadar yang dipercayai oleh para sahabat Nabi sehingga Hasan merasa berkewajiban untuk menjelaskan konsep qadar sesuai yang ia pahami. 16 Pembahasan mengenai paham qadar Hasan di dalam tulisan ini seluruhnya diambil dari Obermann, (1935:138-162). 17 Menurut Rahman (2001:54), istilah kalām tidak mesti berarti tulisan mengenai teologi dalam gaya dialektik. Kalām juga bisa berarti wacana untuk menolak beberapa tesis, seperti penolakan Hasan terhadap tesis Jabariyya. 18 Paham ini dikenal dengan nama Qadariyya. 19 Obermann (1935:145) mencurigai orang-orang inilah yang melaporkan Hasan kepada ‘Abd al-Malik. Mereka ini juga merupakan kekuatan politik di belakang surat ‘Abd al-Malik yang dikirim kepada Hasan. Kecurigaan ini didasarkan pada isi Risāla Hasan, yang meskipun ditujukan kepada khalīfa, tetapi merupakan pembuktian yang tegas bahwa orang-orang ini menganut paham qadar yang salah. 242
Abdul Muis Naharong La-hukm Illa Lillah. Hubungan Agama dengan Politik dalam Islam
Orang-orang ini, yang Hasan sebut sebagai al-juhhāl (orang-orang yang bodoh) al-zālimūn (orang-orang yang berbuat aniaya atau dosa), almuhti’ūn (orang-orang yang menyesatkan), dan al-mubtilūn (orang-orang pendusta), mengartikan qadar sebagai determinisme absolute dan menyeluruh, tidak hanya fisik tetapi juga etis dan spiritual. Dalam pandangan ini, manusia tidak mempunyai inisiatif, pilihan dan bagian dari setiap perbuatannya. Nasibnya tergantung kepada apa yang Tuhan telah tetapkan. Semua usaha manusia pasti akan gagal karena nasibnya telah ditentukan oleh Tuhan. Sejak di dalam kandungan, Tuhan telah menentukan nasib manusia, apakah ia akan bahagia atau sengsara. Manusia diciptakan untuk menghuni neraka atau surga persis sama seperti diberi bentuk fisik yang tinggi atau pendek, hitam atau putih. Dengan demikian dia diberi balasan atas perbuatan yang terpaksa dia lakukan, dan dia harus mempertanggungjawabkan perbuatan-perbuatannya yang tidak mungkin dia mencegahnya, sebagaimana halnya ketika penzinah dihukum karena melahirkan seorang anak yang kelahirannya sebenarnya ditentukan oleh kehendak Tuhan. Manusia bahagia atau menderita untuk perbuatanperbuatan yang dilakukan, bukan oleh dirinya, tetapi di dalam dirinya, melalui dirinya.20 Dalam usahanya mengcounter pendapat ini, dari awal Hasan menegaskan bahwa para pendahulu kita yang saleh, sebagaimana kita ketahui, mengikuti perintah Tuhan dan sunna Nabi. Mereka tidak menolak kebenaran dan tidak pula menganggap kebatilan sebagai kebenaran. Mereka tidak mengatakan bahwa sesuatu itu berasal dari Tuhan padahal Tuhan sendiri tidak pernah mengatakannya. Mereka juga tidak memakai kata-kata selain apa yang digunakan oleh Tuhan ketika menyinggung tentang ciptaanNya di dalam al-Qur’ān. Tuhan berfirman bahwa “… Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembahKu. Aku tidak menghendaki rezki sedikitpun dari mereka, dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi Aku makan (Q.S. alDzāriyāt/51: 56-57). Menurut Hasan, Tuhan tidak akan menciptakan jin dan manusia untuk suatu tujuan (yaitu untuk menyembahNya) dan kemudian menghalangi mereka melakukan tugas tersebut sebab Tuhan tidak mungkin bermaksud buruk kepada hamba-hambaNya. Tidak seorang pun dari pendahulu kita yang saleh menyangkal atau berdebat mengenai hal ini sebab semuanya sependapat. Kita mulai membicarakan masalah ini karena beberapa orang di antara kita mulai menolaknya. Mereka telah mengambil sikap atau paham yang menyesatkan dan telah berbuat dosa besar karena melakukan distorsi terhadap Kitab Tuhan. Padahal agama Tuhan tidaklah menurut keinginan atau hawa nafsu manusia, sebagaimana firmanNya di dalam al-Qur’ān (al-Nisa’/4:123). Agama Tuhan itu jelas, ditulis dan diwahyukan. Ia tidak tergantung kepada keragu-raguan dan tebakan 20 Pengertian paham qadar seperti ini lebih dikenal sebagai paham Jabariyya dalam teologi Islam. 243
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 7 No. 4, Desember 2010: 226-249
manusia yang gampang berubah. Peraturannya telah dipaparkan di dalam Kitab Suci dan dijelaskan oleh para Nabi-Nabi. Apa yang manusia ketahui tentang Tuhan dan qadarNya serta apa yang manusia boleh sandarkan kepada Tuhan hanyalah apa yang telah Dia wahyukan mengenai diriNya dan apa yang Tuhan sandarkan kepada diriNya. Oleh karena itu setiap pernyataan mengenai sifat qadar yang tidak ada buktinya di dalam wahyu Tuhan maka itu sangat sewenang-wenang dan salah. Hasan mengatakan bahwa kewajiban-kewajiban keagamaan manusia, yang berupa perintah-perintah dan larangan-larangan, kebaikan dan keburukan, diwahyukan oleh Tuhan untuk petunjuk bagi umat manusia. Di dalam kewajiban-kewajiban tersebut Tuhan telah dengan jelas sekali menunjukkan segala sesuatu yang Ia sukai dan inginkan dari hambaNya serta segala sesuatu yang buruk dan yang tidak disukai olehNya. Meskipun demikian, manusia mampu melakukan perbuatanperbuatan yang jelek di mata Tuhan. Dengan kata lain, orang-orang yang berbuat baik mempunyai kebebasan yang sama dengan orang-orang yang berbuat jahat dalam menentukan nasibnya. Petunjuk Tuhan di sini bersifat hanya untuk memberi pelajaran moral, bukan faktor yang menentukan. Ini menunjukkan bahwa di dalam ranah moral perbuatan manusia, ketetapan, kehendak dan pengetahuan Tuhan tidak mempunyai pengertian yang sama seperti di dalam ranah bentuk fisik manusia. Di dalam ranah baik dan buruk ketentuan atau takdir Tuhan adalah berupa petunjuk-petunjuk yang ada di dalam ajaran-ajaranNya. Qadar di sini terbatas di dalam perintah-perintahNya. Tuhan tidak melarang manusia untuk bertubuh tinggi atau menghukum manusia karena kulitnya hitam. Dengan demikian, qadar Tuhan hanya berlaku dalam bentuk fisik manusia. Dalam kasus ini manusia tidak mempunyai kekuasaan untuk merubahnya. Menerapkan hal ini pada nasib moral manusia itu sama dengan mengatakan bahwa Tuhan secara terbuka, di dalam ajaran-ajaranNya, menghendaki manusia suatu hal, tetapi secara diam-diam, dengan qadarNya, menghendaki manusia kebalikannya. Oleh karena itu, wahai Amīr al-Mu’minīn, tulis Hasan selanjutnya, pelajarilah hal-hal yang diwajibkan kepada paduka di dalam al-Qur’ān, dan tinggalkanlah pendapat-pendapat orang-orang yang tidak mengetahui ketentuan dan keputusan Tuhan. Di dalam al-Qur’ān Tuhan mengatakan “[t]idaklah kamu perhatikan orang-orang yang telah menukar ni’mat Tuhan dengan kekafiran dan menjatuhkan kaumnya ke lembah kebinasaan’? (Q.S. Ibrāhīm/14:28-29). Berdasarkan ayat ini, kata Hasan, jelaslah bahwa ni’mat itu berasal dari Tuhan dan penukaran dilakukan oleh manusia, karena mereka tidak melaksanakan perintahNya, dan bahkan melakukan laranganNya. Hasan selanjutnya mengatakan bahwa di dalam al-Qur’ān Tuhan memerintahkan kepada manusia untuk tidak mendekati perbuatanperbuatan keji, baik yang nampak maupu yang tersembunyi (Q.S. alAn‘ām/6:151). Apa yang Tuhan larang, kata Hasan, kalau dikerjakan oleh 244
Abdul Muis Naharong La-hukm Illa Lillah. Hubungan Agama dengan Politik dalam Islam
manusia, bukanlah berasal dari Dia, karena Tuhan tidak menyetujui atau meridhai sesuatu yang Dia tidak senangi. Dan tentu saja Tuhan tidak membenci hal-hal yang Dia setujui, karena Dia telah berfirman “jika kamu kafir maka sesungguhnya Tuhan tidak memerlukanmu dan Dia tidak meridhai kekafiran bagi hamba-hambaNya; jika kamu bersyukur, niscaya Dia meridhai bagimu kesyukuran itu … (Q.S. al-Zumar/39:7). Seandainya kekafiran itu berasal dari keputusan (qada’) dan ketentuan (qadar) Tuhan, maka Dia akan meridhai orang-orang yang melakukannya. Tuhan tidak akan memutuskan sesuatu dan kemudian tidak meridhai keputusanNya sendiri. Oleh karena itu, Hasan menegaskan di dalam Risālahnya, penindasan dan perbuatan aniaya tidaklah berasal dari keputusan atau ketentuanNya, tetapi berasal dari manusia sendiri. Yang merupakan keputusan dan ketentuan Tuhan adalah perintahNya untuk berbuat baik, berlaku adil dan baik, serta membantu keluarga atau sesama saudara. Tuhan melarang perbuatan jelek,perbuatan jahat dan ketidakadilan. Oleh karena itu, wahai Amīr al-Mu’minīn, kata Hasan selanjutnya, jangan merubah dan jangan salah menafsirkan al-Qur’ān. Tuhan tidak akan terang-terangan melarang seseorang berbuat sesuatu kemudian Dia memaksa atau mentakdirkan orang tersebut melakukannya, sebagaimana yang dikatakan oleh orang-orang yang bodoh itu. Seandainya hal tersebut benar, maka Tuhan tidak akan mengatakan “perbuatlah apa yang kamu kehendaki” (Q.S. Fussilat/41:40), tetapi Dia akan mengatakan “perbuatlah apa yang Saya telah tentukan atau takdirkan bagimu.” Demikian pula halnya dengan ayat yang mengatakan bahwa “barangsiapa ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir (Q.S. al-Kahfi/18:29). Seandainya perkataan orang-orang yang bodoh itu benar, maka Tuhan akan mengatakan bahwa “barangsiapa yang Saya kehendaki (beriman) ia akan beriman, dan barangsiapa yang Saya kehendaki (kafir) ia akan kafir.” Konsep qadar yang dikemukakan oleh Hasan al-Basri, yang menekankan bahwa perbuatan jelek dan aniaya yang dilakukan oleh seseorang bukanlah takdir dan kehendak Tuhan, melainkan pilihan manusia sendiri, mempunyai akibat politik. Yaitu penguasa Bani Umayya harus bertanggungjawab terhadap perbuatan-perbuatannya, dan ia harus diturunkan dari jabatan khalīfa kalau berbuat aniaya atau melanggar hukum-hukum Tuhan. Sikap atau paham ini selanjutnya dapat mendorong rakyat untuk memberontak terhadap penguasa. Oleh karena itu tidak mengherankan kalau mayoritas penguasa Bani Umayya menentang paham qadar dan mengejar-ngejar para penganut paham tersebut. Kesimpulan Dari penjelasan yang dipaparkan di atas dapat dilihat bahwa ide-ide keagamaan yang dimiliki oleh seseorang atau sekelompok orang melahirkan sikap-sikap dan tindakan-tindakan sebagai perwujudan dari ide-ide yang 245
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 7 No. 4, Desember 2010: 226-249
mereka percayai. Dengan kata lain, setiap sikap dan perbuatan seseorang tidak terlepas dari ide-ide dan kepercayaan yang ia miliki, baik yang berasal dari agama atau kepercayaan tertentu maupun yang berasal dari non-agama atau sekular. Kaum Khawārij adalah suatu contoh dari sekelompok orang Islam pada masa awal setelah Nabi wafat yang berusaha hidup di dalam masyarakat sesuai dengan pemahaman mereka terhadap ayat-ayat al-Qur’ān. Pemikiran keagamaan dan politik mereka, sebagai akibat dari pengaruh ajaran-ajaran al-Qur’ān dan kebudayaan mereka, memberi inspirasi para pemikir politik Islam yang muncul belakangan. Paham teologis kelompok Khawārij yang mempengaruhi pemikir keislaman adalah bahwa iman harus disertai dengan perbuatan baik. Kaum Khawārij menganggap perbuatan baik sebagai bagian integral dari iman. Sedemikian sentralnya isu ini sehingga setiap orang yang melakukan dosa besar dan tidak bertaubat, ia tidak hanya disebut sebagai orang yang berdosa tetapi juga telah kafir, bahkan mushrik menurut sebagian dari mereka. Dengan kata lain, kaum Khawārij menganggap Islam dan iman sebagai satu kesatuan dan tidak dapat dipisahkan. Konsep teologis ini disertai dengan ajaran al-amr bi al-ma‘rūf wa al-nahy ‘an al-mungkar membuat mereka, khususnya kelompok Khawārij yang radikal, mengambil sikap permusuhan dan memerangi orang-orang yang mereka cap kafir dan/atau mushrik. Paham lain dari kaum Khawārij yang lebih besar pengaruhnya dalam pemikiran politik Islam dewasa ini bisa dilihat pada wacana takfīr yang sering dilontarkan oleh beberapa kelompok Islamis. Seperti halnya dengan kelompok ekstrim Khawārij, mereka juga percaya bahwa hanya anggota kelompok mereka yang merupakan Muslim sejati, semua orang di luar kelompok mereka adalah kafir. Dengan demikian, kelompok mereka saja yang termasuk dār al-Islām, sedang di luar kelompok mereka adalah dār al-harb. Atas dasar ini mereka menganggap halal menyita (mencuri) harta benda orang-orang yang bukan anggota kelompok mereka. Oleh karena itu mereka dijuluki Khawārij al-judud atau neo-Khawārij. Sikap-sikap politik dan teologis kaum Khawārij ini menimbulkan reaksi tidak saja di kalangan masyarakat Islam lainnya tetapi juga di kalangan mereka sendiri. Mayoritas umat Islam yang tidak setuju mengambil sikap netral, tidak mau terlibat di dalam pertentanganpertentangan yang terjadi pada waktu itu. Mereka menunda penilaian (irjā’) terhadap pihak-pihak yang terlibat. Irjā’ politik ini kemudian diikuti oleh irjā’ teologis, sebagai reaksi terhadap pengafiran yang dilakukan oleh kaum Khawārij terhadap orang-orang Islam yang berbeda pendapat dengan mereka dan orang-orang yang melakukan dosa besar yang tidak bertaubat. Berbeda dengan pendapat kaum Khawārij, orang-orang ini yang dikenal dengan sebutan Murji’a mengatakan bahwa perbuatan seseorang Muslim tidak ada pengaruhnya terhadap iman yang dia miliki. Dengan berbekal dua kalima shahadat, seorang Muslim akan masuk surga walaupun ia pernah melakukan dosa besar. Paham dan sikap yang 246
Abdul Muis Naharong La-hukm Illa Lillah. Hubungan Agama dengan Politik dalam Islam
permisif ini akhirnya bermuara pada paham Jabariyya, yang menganggap manusia tidak mempunyai peranan di dalam menentukan nasibnya. Paham-paham dan sikap-sikap irjā’ dan Jabariyya yang membuat orang patuh, menerima nasib dan tidak mau memberontak kepada penguasa didukung oleh khalīfa ‘Abd al-Malik karena dipandang berguna bagi kelangsungan pemerintahannya. Bahkan ‘Abd al-Malik menghendaki supaya rakyatnya percaya bahwa kekhalifahan yang ia miliki sudah ditakdirkan oleh Tuhan dan oleh karena itu memberontak terhadapnya merupakan pemberontakan terhadap Tuhan. Paham Jabariyya ini ditentang oleh Hasan al-Basrī dengan paham qadarnya. Hasan mengatakan bahwa manusia mempunyai kebebasan untuk bertindak, yang baik maupun yang buruk. Petunjuk-petunjuk Tuhan yang disampaikan kepada umat manusia melalui wahyuNya hanya bersifat didaktik (pengajaran moral), bukan memaksa. Manusia bebas memilih apakah akan melakukan perbuatan yang baik atau yang buruk. Oleh karena itu tindakan tirani dan jelek dari para penguasa bukanlah takdir Tuhan dan mereka harus mempertanggungjawabkan perbuatan mereka. ___________ Daftar Pustaka Ali makes Kufa his new capital. http://timelines.com/657/ali-makes-kufa-his-newcapital, diakses 30 Juli 2010.) Al-Ash‘arī, Abū al-Hasan ‘Alī b. Ismā‘īl. 1928. Maqālāt al-islāmiyyīn, Vol. 1, ed. A.F. Muhammad. Kairo: Maktaba al-Husain al-Tijariyya. Al-Baghdādī, Abū Mansūr ‘Abd al-Qāhir b. Tāhir b. Muhammad. 1937. Al-Farq bayna al-firaq, ed. Muhammad Badr. Kairo: Matba‘at al-Ma’ārif. _______. 1986. Al-Milal wa al-nihal, ed. Albert Nasri Nadir. Beirut: Dār al-Mashriq. Ess, Josef van. 1975. The Beginnings of Islamic Theology. Dalam John Emery Murdoch dan Edith Dudley Sylla (eds.), The Cultural Context of Medieval Learning. Dordrecht-Holland: D. Reidel Publishing Company. Gibb, H.A.R. 1969. ‘Abd Allāh b. Wahb al-Rāsibī. The Encyclopedia of Islam, New Edition, Vol. 1. Leiden: E.J. Brill. Glasse, Cyril. 1991. Mawlā. The Concise Encyclopedia of Islam. New York: HarperCollins, Paperback Edition. Goldziher, Ignaz. 1981. Introduction to Islamic Theology and Law. Trans. Andras and Ruth Hamori. Princeton, NJ.: Princeton University Press.
247
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 7 No. 4, Desember 2010: 226-249
Hoffman, Valerie J. 2004. The Articulation of Ibādī Identity in Modern Oman and Zanzibar. The Muslim World, Vol. 94, No. 2 (April): 201-216. Ibn Hazm, Abū Muhammad ‘Alī b. Ahmad. 1928. Al-Fasl fī al-milal wa al-ahwā’ wa al-nihal, Vol. 2. Kairo:Maktaba wa Matba‘a Muhammad ‘Alī. Ilyas, Yunahar. 2005. Sejarah Pemikiran Khawarij: Dari Politik ke Teologi. http://hauzah.wordpress.com/2007/11/29/sejarah-pemikiran-kharawij-daripolitik-ke-teologi/, diakses 2 Agustus 2010. Jansen, Johannes J.G. 1986. Translation of Muhammad ‘Abd al-Salām Faraj’s Text Entitled al-Farīda al-Ghā’iba. Dalam Johannes J.G. Jansen, The Neglected Duty: The Creed of Sadat’s Assassins and Islamic Resurgence in the Middle East. New York: MacMillan. Al-Jomaih, Ibrahim A. 1988. The Use of the Qur’an in Political Argument: A Study of Early Islamic Parties (35-86 A.H./656-705 A.D., Disertasi yang tidak diterbitkan, University of California, Los Angeles. Kepel, Gilles. 2002. Jihad: The Trail of Political Islam. Cambridge, MA: The Belknap Press. Lambton, Ann K. S. 1985. State and Government in Medieval Islam. New York: Oxford University Press. Lewicki, T. 1971. Al-Ibadiyya. Encyclopedia of Islam, New Edition, Vol. III. Leiden: E.J.Brill. Madelung, Wilferd. 1988. Religious Trends in Early Islamic Iran. Albany, NY: The Persian Heritage Foundation. Al-Najjar, Amir. 1990. Aliran Khawarij: Mengungkap Akar Perselisihan Umat. Terj. Solihin Rasyidi dan Afif Muhammad. Jakarta: Lentera. Nasution, Harun. 1986. Teologi Islam: Aliran-Aliran, Sejarah Analisa Perbandingan. Jakarta: UI Press, Cet. Kelima. Obermann, Julian. 1935. Political Theology in Early Islam: Hasan al-Basrī’s Treatise on Qadar. Journal of American Oriental Society, LV: 138-162. Pellat, Ch. 1971. Isti‘rād. Encyclopedia of Islam, New Edition, Vol. IV. Leiden: E.J. Brill. Rahman, Fazlur. 2001. Kebangkitan dan Pembaharuan dalam Islam. Terj. Munir. Bandung: Pustaka. _______. 1983. The Law of Rebellion in Islam. Dalam Jill Raitt (ed.), Islam in the Modern World, 1983 Paine Lectures in Religion, 8th series. Columbia, Mo.: University of Missouri-Columbia. _______. 1979. Islam. Chicago: The University of Chicago Press, Second Edition. 248
Abdul Muis Naharong La-hukm Illa Lillah. Hubungan Agama dengan Politik dalam Islam
Ramadan, Abdel Azim. 1993. Fundamentalist Influence in Egypt: The Strategies of the Muslim Brotherhood and the Takfir Groups. Dalam Martin E. Marty dan R. Scott Appleby (eds.), Fundamentalisms and the State. Chicago: The University of Chicago Press. Salem, Alie Adib. 1956. Political Theory and Institutions of the Khawarij. Baltimore: The John Hopkins Press. Sjadzali, Munawir. 1993. Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran. Jakarta: UI-Press. Al-Shahrastānī , Abū al-Fath Muhammad b. ‘Abd al-Karīm. 1948. Al-Milal wa alnihal, Vol. 1. Kairo: Maktaba al-Husain al-Tijariyya. Al-Tabarī, Abū Ja’far Muhammad b. Jarīr. 1968. Tārīkh al-rusul wa al-mulūk, Vol. V, ed. M.A. Ibrāhīm. Kairo: Dār al-Ma’ārif. Thomson, W. 1949. The Sects in Islam. The Muslim World, Vol. 39. Vida, Levi Della. 1978. Kharijites. Encyclopedia of Islam, New Edition, Vol. IV. Leiden: E.J. Brill. Watt, Montgomery W. 1973. The Formative Period of Islamic Thought. Edinburgh: Edinburgh University Press. _______. 1971. God’s Caliph: Qur’anic Interpretations and Umayyad Claims. Dalam Clifford E. Bosworth (ed.), Iran and Islam. Edinburgh: Edinburgh University Press. _______. 1968. Islamic Political Thought: The Basic Concepts. Edinburgh: Edinburgh University Press. _______. 1962. Islamic Philosophy and Theology. Edinburgh: Edinburgh University Press. _______. 1961. Kharijite Thought in the Umayyad Period. Der Islam, Vol. 36. Zaman, Muhammad Qasim. 1988. The Relevance of Religion and the Response to it: A Study of Religious Perceptions in Early Islam. Journal of the Royal Asiatic Society: 265-287.
249