Eko Harry Susanto: Rating Televisi dan Masyarakat Desa
RATING TELEVISI DAN MASYARAKAT DESA Eko Harry Susanto e-mail :
[email protected]
Abstract: The rating model presented by AGB Nielsen putting the number of audience as the main indicator, is repeatedly challenged by those who often raise the issues on the quality of television programs and the ideal role of media in our society. Due to this, the Sain Estetika dan Teknologi (SET) Foundation, TIFA, and many other independent institutions, that care about the quality of television programs, carry out a quality survey without referring to the indicator of audience number. Unfortunately, the two rating models do not sample rural society although such people are also considered the loyal viewers of the same television programs. In the era of information democratization, they should be given the same right to determine what programs are suitable for their own needs. If such a right is being ignored continuously, one thing is for sure that this condition will produce dissatisfaction within society and also put aside the spirit of pluralism. Keywords: rating, media role, rural society. Pendahuluan
S
udah menjadi kelaziman jika masyarakat selalu membandingkan antara popularitas sebuah acara televisi dengan mutu yang bernilai positif bagi masyarakat. Orientasi sistem rating kuantitatif terhadap program televisi menjadi patokan yang tidak tergoyahkan oleh para pengelola stasiun televisi. AGB Nielsen, sebagai lembaga pemeringkat rating, selama ini tidak ada yang bisa menandingi. Akibatnya para praktisi layar kaca lebih banyak tunduk terhadap rating AGB Nielsen, dibandingkan dengan upaya untuk memberikan tontonan bermutu dan mencerdaskan bangsa dalam perspektif ideal. Para pekerja televisipun sepertinya berlomba-lomba untuk membuat program yang mampu menghasilkan rating tinggi. Pemaparan peringat pemirsa yang dipaparkan secara rutin itu bukan hal yang aneh jika memiliki kekuatan luar biasa untuk membuat sebuah program televisi akan diteruskan atau dihentikan. Walaupun penghentian tayangan tidak selalu merujuk kepada rating, tetapi tidak bisa disangkal bahwa kecenderungan minimnya jumlah penonton secara signifikan terkait pula dengan penghentian sebuah program tayangan televisi. Jika sejumlah entitas yang berpengaruh dalam struktur organisasi stasiun televisi sangat bergantung terhadap rating AGB Nielsen, tentu bisa dimaklumi mengingat keberlangsungan stasiun televisi sangat bergantung terhadap sumber dana dari pemasang iklan. Sebab, ketika acara yang ditayangkan ditonton oleh
Penulis adalah dosen dan Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Tarumanagara.
52
ISSN : 2085 1979
Jurnal Komunikasi Universitas Tarumanagara, Tahun I/01/2009
sedikit pemirsa, tentu saja para pemasang iklan kurang antusias, mengingat biaya iklan perjiwa menjadi teramat mahal. Substansinya share dan rating adalah rujukan utama dari para pengelola stasiun televisi, khususnya terkait dengan ideologi bisnis. Orientasi ini sulit untuk dikesampingkan para praktisi televisi. Meskipun mereka mengetahui kriteria sebuah program yang bermutu bagi masyarakat. Hegemoni Rating Memang, pemasang iklan bisa saja tidak bergantung kepada rating, sebagaimana dipaparkan oleh AGB Nielsen dalam publikasinya bulan juli 2008. Namun sesungguhnya asumsi itupun sudah berkembang dalam berbagai kajian yang menyangkut media, bahwa pertimbangan iklan tidak hanya didasarkan kepada rating saja, tetapi menyangkut pula segmentasi khalayak pemirsa, citra produk dalam arti program televisi sejalan dengan citra sebuah produk yang ditawarkan. Selain itu, berpijak kepada data kepemirsaan AGB Nielsen, faktor fleksibilitas program juga berperan dalam pemasangan iklan, misalnya program tersebut bisa mengakomodir kebutuhan pengiklan dalam bentuk selain iklan lepas ( loose spot) melalui running text ketika acara sedang berlangsung. Faktor lain yang dapat menarik pengiklan terhadap program berating kecil adalah, tingkat loyalitas penonton terhadap suatu program tayangan televisi. Semakin tinggi tingkat loyalitas penonton terhadap suatu tayangan, maka pengiklan pun semakin memiliki kesempatan untuk membidik khalayak secara tepat. Namun demikian, fakta tersebut di atas tetap saja tidak menjadi rujukan baku bagi sebagaian besar televisi, sebab kecenderungan beriklan tetap saja membidik program televisi yang memiliki rating tinggi. Dengan demikian permasalah terhadap acara yang disukai tidak sejalan dengan program yang informatif, mendidik dan sejumlah atribut positif lainnya. Berpijak kepada berbagai diskusi yang diselenggarakan membahas tentang program televisi, seperti yang dikemukakan oleh Arief Suditomo (2007) bahwa televisi tidak mungkin lari dari khalayak pemirsa yang dominan, meskipun merekapara pekerja televisi mengetahui bahwa acara tersebut lebih didominasi oleh unsur hiburan belaka. Tentunya rujukan yang signifikan untuk mengetahui sejauh mana program itu disukai tidak terlepas dari hasil pemeringkatan pemirsa secara rutin yang dilakukan oleh AGB Nielsen. Para pengelola program televisi juga semakin yakin terhadap rating “kuantitas’ ketika mereka berupaya untuk menyuguhkan program bermutu sebagaimana tuntutan khalayak, tetapi ternyata tidak disukai oleh penonton. Bahkan ada sinyalemen bahwa mereka yang berpendapat dan mengekspresikan kemauannya untuk menikmati program bermutu sebatas melakukan apa yang sekiranya dikehendaki masyarakat. Artinya, mereka akan terperangkap dalam pendapat klise yang menjadi opini mayoritas, tetapi pilihan untuk menonton televisi yang faktual dan terdeteksi oleh alat canggih AGB Nielsen menunjukkan hal yang berbeda, jauh dari tuntutan untuk melihat tayangan berbobot informatif dan mendidik. Pada hakikatnya, tulisan ini tidak mempersoalkan tentang kesahihan metodologi penetapan sampel ataupun proses akademis yang diterapkan oleh lembaga rating acara televisi paling populer itu. Namun secara esensial, hasil ISSN : 2085 1979
53
Eko Harry Susanto: Rating Televisi dan Masyarakat Desa
kerja Nielsen adalah gambaran faktual tentang animo masyarakat terhadap jenis tayangan di sejumlah stasiun televisi. Alternatif Rating Kualitas Keunggulan lembaga rating yang menonjolkan kuantitas itu, belakangan memperoleh saingan dari kumpulan organisasi, yang terdiri terdiri dari Yayasan Sain Estetika dan Teknologi (SET), TIFA dan beberapa lembaga independen lainnya, yang melakukan survei dengan menilai kualitas acara televisi. (Kompas, 8 Juni 2008). Respondennya adalah orang–orang yang ditetapkan secara sengaja, dengan pola purposif yang berorientasi untuk memperoleh informasi dari sumber yang kredibilitasnya dapat diandalkan. Mereka yang masuk dalam kelompok ini adalah, individu–individu yang diasumsikan mengetahui secara kritis terhdap film maupun tayangan bermutu yang dieksplorasi oleh stasiun televivisi. Tentu saja penetapannya tidak semata– mata berdasarkan pengamatan sepintas ataupun inforamasi yang terbatas tidak berdasarkan kepada aspek faktual, tetapi melalui sejumlah proses panjang dengan menggunakan jaringan komunikasi dari berbagain sumber seperti Lembaga Swadaya Masyarakat, Perguruan Tinggi dan sejumlah sumber lain yang pada prinsipnya mengetahui siapa yang layak untuk menilai acara televisi. yang berlangsung terus menerus, untuk mengetahui sejauh mana seseorang memiliki kelayakan sebagai penilai kualitas acara televisi. Secara jeneral mereka umumnya kelompok terdidik di perkotaan ataupun kelas menengah dengan tingkat sosial ekonomi yang memposisikn sebagai kelas menengah dalam struktur masyarakat. Sejalan dengan pemeringkatan kualitas Yayasan SET dan kelompoknya, Kompas juga melakukan survei pemeringkatan acara televisi, yang hasilnya tidak jauh berbeda (Kompas, 22 Juni 2008). Intinya, tayangan bermutu harus berisi informasi yang mendidik, realistis, bisa menambah pengetahuan dan sejumlah atribut ideal lainnya yang bermanfaat bagi masyarakat, sebagaimana pada program-program berita dan talkshow yang mengeksplorasi sisi kehidupan manusia serta menciptakan empati sosial. Sedangkan acara sinetron dan gosip artis yang mendominasi sebagian besar tayangan televisi, tidak menjadi pilihan kelompok kritis yang bisa menilai mutu acara televisi. Namun demikian, bisa dipastikan bahwa pemeringkatan Yayasan SET dan survei Kompas tidak akan dihiraukan oleh sebagian besar stasiun televisi. Bisa jadi memang menjadi pembicaraan hangat, tetapi mereka tidak berdaya melawan ideologi pasar yang mendominasi orientasi stasiun televisi. Dengan demikian tetap saja tidak akan mampu menggoyahkan posisi pemeringkatan AGB Nielsen yang mengunggulkan kuantitas dan bisa menarik para pemasang iklan. Hak Masyarakat Desa terhadap Program Ideal Mencermati hasil pemeringkatan AGB Nielsen, dan rating kualitatif Yayasan SET, yang menjadi keprihatinan di sini adalah, jumlah khalayak televisi terbesar yang ada di Indonesia justru sering dilupakan. Mereka adalah masyarakat desa yang tersebar di seluruh penjuru tanah air. Paradigma mengaitkan televisi secara elitis dengan responden kelompok terdidik, kritis ataupun masyarakat perkotaan yang adaptif terhadap teknologi, seperti penetapan responden purposif dari AGB
54
ISSN : 2085 1979
Jurnal Komunikasi Universitas Tarumanagara, Tahun I/01/2009
Nielsen, maupun rating kualitatif sepertinya menjadi kelaziman yang tidak memilki implikasi terhadap pemirsa. Secara umum, tidak bisa diingkari bahwa masyarakat desa selalu dikaitkan dengan berbagai macam marjinalisasi sosial, ekonomi, politik dan penguasaan informasi yang tidak memadai. Dalam perpektif Rogers dan Svenning (1969 : 137), "masyarakat pedesaan di kawasan pertanian mempunyai sifat kurang inovatif, bersifat fatalisme, keterbatasan aspirasi, keterbatasan dalam memandang dunia (Worldview) dan mempunyai empati yang rendah terhadap peristiwa yang diluar jangkauannya”. Karakteristik tersebut sesungguhnya tidak serta merta kelemahan masyarakat desa, sebab secara faktual diperperah oleh aneka kebijakan dari sejumlah elite politik dan ekonomi yang memiliki aneka kepentingan di kawasan pedesaan. Secara filosofis, berdasarkan pengelompokan masyarakat, warga pedesaan tidak memiliki kekuasan formal dalam struktur pemerintah, status sosial yang rendah dan tidak memiliki materi yang memadai dalam struktur masyarakat (lihat Max Weber. 2003). Sedangkan menurut Todaro (1981: 97), ”masyarakat desa adalah komunitas yang tidak mampu bersaing dengan perkembangan teknologi dan pertumbuhan industri yang selalu dipakai sebagai simbol pembangunan ekonomi yang multi dimensial mencakup semua sendi kehidupan dinegara-negara sedang berkembang”. Dalam konteks masyarakat desa sebagai receiver sejumlah pesan dari kelompok yang berbeda, kemampuan mencerna informasi langsung dari televisi dapat menimbulkan bermacam–macam pemahaman, mengingat persepsi mereka yang sangat dipengaruhi oleh keyakinan dasar yang dimiliki. (lihat Rogers dan Svenning, 1969 : 421). Padahal menurut Samovar, Porter dan Mc. Daniel (2007: 55), “persepsi akan berimplikasi terhadap efektivitas komunikasi dan penerimaan informasi”. Artinya, potensi untuk menafsiran informasi hanya sebatas kulit luar atau prasangka yang berlebihan terhadap sebuah tayangan di televisi, sangat mungkin terjadi. Berpijak kepada kondisi tersebut, maka pada satu sisi bisa dipahami jika lembaga pemeringkat pemirsa, menilai masyarakat desa sebagai entitas yang tidak perlu dilibatkan untuk menilai program televisi. Tetapi jika melihat secara faktual jumlah masayarakat kawasan rural dan pertimbangan politis yang terkait dengan pentingnya integarsi bangsa, maka tidak ada salahnya jika melibatkan warga desa. Bahkan jika menganalogikan masyarakat desa dengan tingkat kesejahteraan sosial-ekonomi yang rendah, maka data dari Media Planning Guide Indonesia 2008, tetang penonton televisi dapat dipakai sebagai acuan, perlunya mengikutsertakan masyarakat desa dalam rating program televisi. Dipaparkan bahwa , 52,8 % pemirsa televisi tidak punya pekerjaan yang memadai dan sekitar 60,3 % memiliki penghasilan rendah dibawah rata–rata Upah Minimum Regional (UMR). Artinya, masyarakat berpenghasilan rendah dengan pekerjaan yang tidak jelas justru sebagai pemirsa setia televisi. Tetapi mengingat potensi ekonomi mereka tidak bisa diharapkan untuk mendukung keberhasilan sebuah tayangan televisi maka masyarakat desa diabaikan oleh berbagai entitas yang berkaitan dengan indusri media penyiaran. Terlepas dari kondisi yang tidak menguntungkan itu, sejalan dengan perkembangan teknologi komunikasi dan demokratisasi di Indonesia (lihat Geertz, 2000), maka masyarakat desa, termas yang memiliki pendidikan alakadarnya, ISSN : 2085 1979
55
Eko Harry Susanto: Rating Televisi dan Masyarakat Desa
misalnya hanya lulus dari Sekolah Dasar, sesungguhnya mereka tetap mampu menilai dengan kritis berbagai masalah sosial, ekonomi dan politik yang terjadi di lingkungan desanya maupun secara nasional. Tentu saja terbatas pada pendapat klise yang ditayangkan oleh televisi, tetapi tingkat pengetahuan terhadap kebebasan berpendapat dan keberadaban bernegara semakin memadai. Dengan kata lain, sebenarnya masyarakat desa pun mampu untuk memberikan penilaian kritis sebuah tayangan televisi, terlepas dari aspek yang bernuansa akademis. Oleh sebab itu alangkah baiknya jika suara mereka juga didengarkan. Kalaupun Nielsen tidak bisa mengakomodasikan harapan masyarakat desa untuk mendapat acara televisi bermutu, mestinya Rating kualitataif yang mengusung simbol kepedulian terhadap tayangan bermutu untuk semua lapisan masyarakat, sudah selayaknya memposisikan masyarakat pedesaan juga sebagai entitas yang layak dimintai pendapat tentang program televisi. Secara faktual, stasiun televisi yang menjadi sasaran rating, pada umumnya memiliki kecenderungan mengeksplorasi tayangan serba Jakarta. Selain itu layar kaca juga dijejali budaya materialisme yang menghibur tetapi berpotensi menimbulkan kecemburuan sosial. Implikasi lebih jauh, bisa saja dengan dalih demokratisasi politik, masyarakat desa bisa terjebak dalam dalam semangat tidak suka terhadap kekuatan–kekuatan ekonomi dan pemerintah yang dominan. Sebab hingar bingar dan gemerlapnya program televisi dianggap tidak menyentuh kesejahteraan sosial ekonomi yang diharapkan oleh masyarakat desa. Pameran kemewahan yang menghiasi televisi, semakin menyadarkan betapa tidak beruntungnya warga desa di negara yang berdaulat. Intinya, aneka acara di layar kaca yang mereka saksikan hanyalah sekadar keterpaksaan, karena memang tidak ada acara lain yang bisa memenuhi kebutuhan mereka. Semua saluran televisi dipenuhi oleh tayangan yang sebagian besar terlepas dari belief dan value komunitas pedesaan. Padahal secara denotatif warga desa masih mengunggulkan aneka slogan harmonisasi dalam hidup yang beradab, sembari tetap menjunjung norma yang berlaku di sekitarnya. Mereka pun berhak untuk menuntut media media untuk memberikan informasi yang memadai dalam perspektif pedesaan. Menurut Sasa Djuarsa Sendjaja yang mengutip pendapat Harold D. Lasswell dan Charles Wright (dalam Nuradi, 2008: 461), "Media massa mempunya empat fungsi sosial, yaitu (1) pengamatan social (social surveillance), (2) Korelasi Sosial ( social correlation), (3) Fungsi Sosialisasi (socialization) dan (4) Hiburan.” Secara substantif, fungsi pengamatan social merujuk pada upaya penyebaran informasi dan interpretasi yang objektif tentang berbagai peristiwa yang terjadi dalam lingkungan maupun diluar lingkungannya, dengan tujuan kontrol sosial agar tidak terjadi hal–hal yang tidak diinginkan. Fungsi korelasi sosial merujuk kepada upaya pemberian interpretasi dan informasi yang menghubungkan satu kelompok sosial dengan kelompok sosial lain, antara pandangan yang satu dengan pandangan yang lainnya dengan tujuan mencapai konsensus. Sedangkan fungsi sosialisasi mengacu kepada upaya pewarisan nilai–nilai dari satu generasi ke generasi lainnya, atau dari satu kelompok kepada kelompok lainnya. Program berbagai televisi nasional, meskipun memiliki programming dengan coverage ideal seperti educational, news dan entertainment, dan sejumlah atribut ideal lain (lihat Media Planning Guide Indonesia, 2008), tetapi yang sangat menonjol adalah fungsi hiburan. Memang media mempunyai tugas untuk 56
ISSN : 2085 1979
Jurnal Komunikasi Universitas Tarumanagara, Tahun I/01/2009
memberikan hiburan dan kesenangan kepada khalayaknya, tetapi tentu saja tidak menafikan substansi dari kepentingan masyarakat yang lebih luas. Kendati demikian, bukan berarti gaya pers Orde Baru, yang memaksa televisi untuk mengeksploitasi pesan pembangunan dari pemerintah harus dihidupkan kembali. Sebagaimana dalam Teori Pers Pembangunan, kebebasan media dibatasi sesuai dengan prioritas ekonomi dan kebutuhan pembangunan masyarakat dan untuk tujuan pembangunan, negara memiliki hak untuk campur tangan dalam media atau membatasi pengoperasian media, serta sarana penyensoran, subsidi dan pengendalian langsung dapat dibenarkan (McQuail, 1987). Tentu saja dalam rangka membentuk masyarakat informasi sebagaimana yang sering dikemukakan oleh pemerintah atau elite politik dalam kekuasaan negara, tidak perlu televisi harus dibelenggu oleh model media pembangunan, tetapi sebagai media penyiaran yang memiliki tanggung jawab terhadap kebhinekaan dan persatuan Indonesia, televisi benar – benar mampu memberikan pendidikan, pengetahuan dan perlindungan yang bermanfaat untuk mendorong tercapainya kesejahteraan kawasan pedesaan. Menurut Anokwa (2003), ”Pada prinsipnya press freedom, merupakan fondasi peran pers dalam demokrasi”. Oleh sebab itu, jika Indonesia sudah memilih untuk berdemokrasi dalam kehidupan bernegara maka tertutup untuk menghidupkan kembali pers yang tidak berdaya dalam kontrol ketat pemerintah. Dalam bingkai reformasi kenegaraan, maka televisi secara ideal harus berorientasi kepada konsep kebebasan yang merujuk kepada positive freedom yang universal, bukan dalam penafsiran sepihak oleh pemegang kekuasaan atau hegemoni kelompok–kelompok nasyarakat yang berlindung di balik nilai–nilai sektarian maupun kekuasaan material di masyarakat. Jika berpijak kepada hak masyarakat desa untuk memperoleh informasi, maka pendapat Hayami dan Kikuchi (1977) ataupun (Collier et.al. 2001) pada prinsipnya, upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa, tidak hanya diberi aneka macam bantuan teknologi, permodalan dan kebutuhan lain dalam proses produksi, tetapi perlu juga diberikan motivasi maupun penguatan, melalui pemberian penyuluhan dan aneka informasi yang bermanfaat bagi mereka. Dengan kata lain pada konteks program televisi, masyarakat desa mengharapkan tayangan bermutu dalam perspektif pedesaan, seperti strategi mengeksplorasi potensi alam, perlindungan usaha pedesaan, manajemen usaha kecil di bidang pertanian, perikanan dan usaha di akar rumput lainnya yang divisualisasikan menarik, tanpa menggurui. Bagaimanapun juga, dalam perkembangan demokratisasi informasi, menurut (Rantenan, 2006), secara substantif media massa massa harus memperhatikan informasi yang didiseminasikan melalui jaringan baru yang didukung tekonologi, bermanfaat dalam pola hubungan sosial di lingkungan masyarakat yang masih mengunggulkan pola–pola tradisional dalam kehidupannya. Dengan kata lain, televisi sebagai entitas yang mudah diakses sampai di pelosok pedesaan, tetap harus memperhatikan informasi yang sejalan dengan kondisi sosial-ekonomi pedesaan. Namun secara faktual apa yang diharapkan masyarakat desa teramat langka dalam program televisi. Kalaupun ada berita yang mengkaitkan dengan sebuah kepedulian terhadap masyarakat desa, tetapi faktanya, terlampau sedikit yang ikut merasakan, apalagi menikmati. Dengan kata lain, mengutip pendapat (MacQuail, ISSN : 2085 1979
57
Eko Harry Susanto: Rating Televisi dan Masyarakat Desa
1987), dalam Teori Hegemoni Media, bahwa “konsep dominasi ataupun pemaksaan pandangan secara langsung terhadap kelas yang lebih lemah melalui media, tidak berhasil dalam mempengaruhi khalayak”. Sebab, khalayak yang lemah biasanya terperangkap dalam jerat skeptis, apatis dan bisa tidak peduli terhadap informasi yang tidak menyentuh kebutuhan mereka. Celakanya, saat ini berbagai kemasan informasi dalam bentuk warta berita, memperlihatkan persepsi masyarakat desa tidak jauh berbeda dengan mereka yang di perkotaan, news pada satu sisi hanya dianggap sebagai sandiwara atupun akrobat politik. Bahkan dalam pesimisme dianggap sebagai pembohongan belaka. Sinyalemen ini sejalan dengan pendapat Daniel Lerner dalam penelitiannya di negara-negara sedang berkembang, bahwa “sebagian besar masyarakat desa, dalam kisaran 62% s.d. 86%, jengkel, menyesal dan marah terhadap berita tentang masalah yang dihadapi oleh negara”. Pada konteks ini, wajar jika masyarakat kawasan rural lebih menyukai acara yang membawa ke alam mimpi. Alasannya, “daripada melihat ketidakpastian, lebih baik sekalian menonton kebohongan”. Mereka tampaknya sadar bahwa televisi sebagai pembujuk belaka yang tidak bisa ditiru (lihat Rivers, Jensen dan Paterson). Ungkapan semacam ini bukan aneh, dan sudah merasuki masyarakat pedesaan. Artinya, warga pedesaan sesungguhnya sadar, bahwa tayangan yang membawa mimpi, itu tidak rasional, jauh dari kondisi yang mereka alami, namun terpaksa ditonton, daripada mereka menyaksikan program berita yang berisi retorika elite yang tidak kunjung membawa kesejahteraan. (Rogers, 1985) juga mengemukakan, media kurang efektif untuk memotivasi penduduk pedesaan unrtuk mendapatkan kehidupan yang lebih layak, karena lebih banyak menawarkan hiburan dan iklan daripada berupaya untuk meningkatkan kemampuan mereka untuk mencapai hidup yang layak”. Jelas bahwa khalayak pedesaan, hanya sebagai penonton aneka tayangan kemewahan, kesejahteraan dan eksplorasi nilai konsumerisme yang jauh dari realitas dirinya maupun lingkungan disekitarnya. Sesungguhnya jika bicara tentang keadilan dan kesetaraan dalam memperoleh informasi, masyarakat desapun berhak untuk mendapatkan informasi yang memadai sesuai dengan kebutuhan substansial yang ada disekitarnya. Kalaupun dalih yang menegaskan bahwa, hiburan juga diperlukan oleh komunitas pedesaan, tetapi alangkah bijaksananya jika stasiun televisi berupaya semaksimal mungkin untuk memasok berita yang bermanfaat bagi mereka. Memang ada asumsi bahwa, kebutuhan untuk memperoleh informasi, termasuk yang menghibur dan menjual mimpi tidak ada bedanya antara masyarakat pedesaan dan perkotaan. Persoalan yang mendiferensiasikan hanya sebatas kepada kesempatan untuk menikmati. Masyarakat di perkotaan lebih memiliki kesempatan untuk larut dalam belenggu mimpi, sedangkan komunitas pedesaan benar – benar melihat tayang televisi sebagai impian belaka yang teramat sulit untuk menikmati. Berdasarkan UU No. 32 Tahun 2002, tentang Penyiaran, secara substantif penyiaran diselenggarakan dengan tujuan untuk memajukan kesejahteraan umum dalam rangaka membangun masyarakat yang mandiri, demokratis adil sejahtera. Penyiaran sebagai kegiatan komunikasi massa mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan yang sehat, kontrol dan perekat sosial. Penyiaran juga diarahkan untuk meningkatkan kualitas sumberdaya 58
ISSN : 2085 1979
Jurnal Komunikasi Universitas Tarumanagara, Tahun I/01/2009
manusia. M. Nuh, Menteri Komunikasi dan Informatika, juga menegaskan bahwa, media memainkan peranan penting dalam menghasilkan dan menyebarkan informasi berkualitas yang bisa memberdayakan dan mendidik rakyat. (Kompas, 23 November 2008). Pernyataan itu bukan hal baru, tetapi hendaknya dipakai juga sebagai rujukan oleh para praktisi yang bergerak dalam industri komunikasi dan media. Dalam konteks ini, sudah selayaknya jika masyarakat pedesaan juga diberi hak untuk memperoleh informasi yang memiliki bobot untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemadirian secara social dan ekonomi. Bagaimanapun juga program televisi yang ditayangkan oleh berbagai stasiun televisi sangat berorientasi kepada khalayak perkotaan, lebih faktual lagi sangat bersifat “Jakarta”. Tentu saja mengeksplorasi perilaku Jakarta secara sosial, ekonomi dan politik sebagaimana yang bisa dilihat di layar kaca, tidak bisa dinikmati oleh masyarakat desa yang secara faktual adalah kelompok yang tidak berdaya menghadapi pola ibu kota Negara. Mungkin saja masyarakat desa juga menikmati sebagian tontonan yang berbau perkotaan dengan segala hangar bingar budaya material yang melekat. Masalahnya, justru yang cepat diadopsi adalah faktor kulit luar belaka, misalnya nilai konsumerisme dan budaya instan yang lebih mudah untuk diikuti. Fakta ini didukung oleh Harrison (1988: 16), yang menyatakan “masyarakat tradisional di pedesaan memiliki karakteristik homogen dari segi sosial, ekonomi maupun budaya tidak mudah untuk beradaptasi dengan hal – hal yang baru”. Kalaupun mereka mampu menyesuaikan diri, biasanya memiliki keterbatasan ataupun keterpaksaan yang hanya menyangkut adaptasi kulit luar sebuah budaya instan, yang terlepas dari nilai – nilai substantif proses lahirnya sebuah gaya hidup peradaban modern. Jadi, jika mau memberikan hak masyarakat desa untuk bersuara dan menilai program televisi, sudah selayaknya, lembaga-lembaga yang peduli terhadap program televisi bermutu, melakukan pemeringkatan kualitas dengan meneliti persepsi masyarakat desa terhadap tayangan televisi. Jangan remehkan mereka yang semakin kritis setelah Indonesia memasuki era kebebasan pers dan demokratisasi informasi Penutup Masyarakat desa diasumsikan sebagai entitas yang tidak mampu memberikan kontribusi keberlangsungan sebuah program televisi. Mereka sepertinya tidak dihiraukan oleh berbagi lembaga pemeringkat acara televisi maupun para penyandang dana penelitian. Padahal jika tidak selalu terperangkap dalam jerat komersial, kemauan masyarakat desa tetap harus diakomodasikan dengan menyediakan tayangan yang sesuai dengan karakter mereka. Stasiun televisi, sejatinya memiliki kepedulian untuk membangkitkan kepercayaan, kebanggaan dan kebersamaan warga pedesaan sebagai sesama anak bangsa. Bukan sebaliknya, memposisikan masyarakat desa hanya sebagai penonton dari aneka tayangan yang mengeksplorasi mimpi dan nilai konsumerisme. Kondisi ini jika terus berlanjut memiliki implikasi negatif yang menjurus kepada ketidakpercayaan masyarakat desa pemerintah dan sejumlah entitas ISSN : 2085 1979
59
Eko Harry Susanto: Rating Televisi dan Masyarakat Desa
dalam kekuasaan negara. Akibatnya bukan mustahil dampak program televisi yang menjual mimpi justru menyadarkan adanya ketimpangan sosial–ekonomi yang berpotensi untuk menafikan makna kebhinekaan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Alhasil peran televisi yang salah satunya dapat memperkuat nilai persatuan yang tidak sebatas jargon ataupun retorika, tetapi dalam kerangka faktual yang integratif, semakin pudar dalam belenggu orientasi bisnis yang mengeksplorasi budaya konsumerisme, dengan kecenderungan menafikan kerja keras untuk mencapai kesejahteraan. Daftar Referensi Anokwa, Kwadwo, Carolyn A. Lin and Michael B. Salwen. 2003. International Communication: Concepts and Cases, United Kingdom: Thomson-Wadsworth Collier, William , Kabul S, Soentoro dan Rudi Wibowo .1995. Pendekatan Baru
dalam Pembangunan Pedesaan di Jawa: Kajian Pedesaan Selama Duapuluh Lima Tahun, Jakarta : Yayasan Obor. Geertz, Clifford .2000. Indonesia: Starting Over, The New York Review of Book Harrison, David. 1988. The Sociology of Modernization and Development, London
and New York: University of Sussex. Hayami, Yujiro and Masao Kikuchi. 1977. Asian Village Economy at Crossroad: An Economic Approach to Institutional Change, Japan: University of Tokyo. Kompas, Surat Kabar, 8 Juni 2008, 22 Juni 2008, 23 November 2008 Lerner, Daniel. 1983. The Passing of Traditional Society: Modernization in Middle East, atau Memudarnya Masyarakat Tradisional, terjemahan Muljarto T, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. McQuail, Denis.1987. Mass Communication Theory: An Introduction, second edition, London: Sage Publication. Media Planning Guide Indonesia. 2008. Surat Kabar, Radio dan Televisi. Jakarta: Perception media. Nielsen, AGB. 2008. Media Research: Newsletter. Jakarta Nuradi, Wisaksono. 2008. 75 Tahun Alwi Dahlan: Manusia Komunikasi, Komunikasi Manusia. Jakarta: Dept. Ilmu Komunikasi FISIP UI dan Penebit Buku Kompas. Rantenan, Terhi. 2006. The Media And Globalization, London, Thousand Oaks: Sage Publications Rivers, William L, Jay W. Jensen dan Theodore Peterson. 2003. Media dan Masyarakat Modern, Edisi Kedua, Jakarta: Penerbit Kencana. Rogers, Everett M. 1985. Komunikasi Pembangunan, Jakarta: Penerbit LP3ES. Rogers, Everett M and Lynne Svenning . 1969. Modernization Among Peasant, New York: Holt, Rinehart and Winston. Samovar, Larry A, Richard E. Porter and Edwin R. McDaniel. 2007. Communication
Between Culture.
Suditomo, Arief. 2007. Strategi Program Televisi untuk Menarik Audience, Jakarta: Makalah di Fikom Untar. Todaro, Michael P .1983. Economic Development in the Third World, atau Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga, Jilid 1 dan 2, terjemahan Aminudin dan Mursid, Jakarta : Penerbit Ghalia Indonesia. Undang–Undang No. 32 Tahun 2002, tentang Penyiaran, Jakarta: Penerbit Utama 60
ISSN : 2085 1979
Jurnal Komunikasi Universitas Tarumanagara, Tahun I/01/2009
Referensi Internet Weber, Max. 2003. Basic Term: The Fundamental Concepts of Sociology, http:// www.faculty. rsu. edu/~felwell/ Theorists/ Weber/ Whome. Htm.
ISSN : 2085 1979
61