BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Karya sastra diciptakan untuk dinikmati, dihayati, dipahami dan dimanfaatkan oleh masyarakat. Sastra menampilkan gambaran kehidupan dan kehidupan adalah suatu kenyataan sosial. Dijelaskan bahwa kehidupan mencakup hubungan
antarmasyarakat,
antara
masyarakat
dengan
orang
seorang,
antarmanusia, dan antarperistiwa yang terjadi di dalam batin seseorang (Damono, 1984:1). Karya sastra dianggap sebagai cermin realitas kehidupan masyarakat dengan penggalian esensi yang lebih dalam untuk menciptakan suatu hubungan antara pengalaman pengarang terhadap suatu kejadian atau peristiwa dengan kehidupan nyata masyarakat. Upaya
pengungkapan
pemikiran
Esmiet
melalui
karya-karyanya
merupakan suatu usaha yang menarik. Ia penggiat sastra Jawa (beberapa penelitian telah menguatkan hal itu: Quinn, 1984; Ras,1979). Dalam kepengarangannya setidaknya ia telah mendapatkan penghargaan sastra Rancage pimpinan Ajib Rosidi (1997, 1998), pemenang beberapa sayembara penulisan cerita. Ia paling produktif di antara pengarang senior lainnya, seperti Suparto Brata, Tamsir AS, Soedharma KD, dan Widi Widayat. Tahun 1977, sebagaimana yang tercatat di sampul belakang buku novelnya Tunggak-tunggak Jati, jumlah
1
2
crita cekak (cerita pendek) yang dihasilkan mencapai angka 1.174, sementara cerita sambung (cerita bersambung) berjumlah puluhan. Hingga tahun 2003 ini cerkaknya tidak kurang dari 2.100, cerita sambungnya 158 buah. Secara praktis dalam kehidupan sehari-hari, dalam hubungan produksi sastra, pengarang memiliki posisi yang sangat menentukan. Sebagai subjek kreator, eksistensi pengarang tidak semata-mata didominasi oleh kualitas pembawaan (bakat), namun juga genesis-genesis kreativitas yang terkandung secara psikologis juga melalui dialektika antara individu dan masyarakat. Pengarang adalah bagian dari masyarakat sehingga eksistensinya pada dasarnya didominasi oleh kehidupan sosial yang melatar belakanginya. Hubungan dialektika antara pengarang dengan masyarakat mencakup masyarakat sastra yang terdiri atas pengarang dan hasil karyanya. Salah satu karya sastra yang ditulis Esmiet yang akan diteliti oleh peneliti adalah novel Tunggak-Tunggak Jati. Masyarakat yang dikisahkan dalam novel ini diangkat dari perjalanan hidup masyarakat di daerah Jawa Timur tepatnya di Banyuwangi. Keadaan penduduk Jawa di Jawa Timur dengan keberadaan orang non pribumi yang ada di Jawa Timur. Novel ini berbicara tentang perbedaan penghasilan, pekerjaan dan status sosial. Dalam novel ini diceritakan ketamakan dan korupsi sehingga terjadi kemerosotan kualitas pribadi dan moral. Kualitas ini dimiliki oleh rakyat jelata, petugas keamanan tua, dan pengusaha yang tidak mempunyai prinsip. Di sisi lain, diceritakan pemuda yang menjadi pejabat, Karmodo, mewujudkan ideologi
3
borjuis progresif, yang menawarkan keutuhan, stabilitas dan kemajuan masyarakat melalui ketegaran dalam kepemimpinan dan komitmen pada kejujuran yang muncul dari hati nurani, bukan karena keluarga atau kelas. Novel yang berjudul Tunggak-Tunggak Jati mengemukakan tema baru dalam penulisan novel Jawa yaitu kedudukan orang Tionghoa yang sudah membaur dalam masyarakat dan ekonomi pedesaan Jawa serta masalah-masalah yang timbul dari kawin campur antara suku Jawa dan Tionghoa (Ras, 1985: 25). Masyarakat
yang digambarkan dalam
novel
tersebut
merupakan
masyarakat yang beragam sehingga ada struktur kelas masyarakat antara orang Cina keturunan dan Cina Totok, kemudian orang cilik, menengah dan atas. Konflik masyarakat pun timbul karena ada perpecahan kelas masyarakat. Persatuan dan kesatuan antarbangsa memang harus ditegakkan agar tercapai alam kehidupan pedesaan yang aman, adil dan tenteram. Keadilan harus ditegakkan sehingga tidak ada penindasan dari yang kuat kepada yang lemah, tidak ada pemerasan dan pemupukan kekayaan sendiri. Ir. Karmodo sebagai seorang sarjana yang baru lulus ingin mengamalkan ilmunya dan mengabdikan diri pada desa tempat kelahirannya. Dia tidak menginginkan penindasan ataupun pemerasan. Insinyur Karmodo merupakan sosok pemimpin yang disegani, begitu juga dengan Lien Nio yang tidak ingin menyengsarakan rakyat kecil. Dia bisa menggantikan ayahnya sebagai pengusaha hutan. Fenomena buruh yang terjadi dalam novel Tunggak-Tunggak Jati pada tahun 1977 ini bahwa orang pribumi masih menjadi buruh dari orang non pribumi.
4
Sumber daya alam yang ada di daerah pribumi dikelola oleh non pribumi untuk kepentingan pribadi. Hal ini yang menjadikan pribumi untuk berusaha mensejajarkan diri dengan orang non pribumi. Dalam hal ini yang dianggap fenomena dengan adanya usaha dari anak buruh yaitu Karmodo yang berhasil untuk melintasi kelas yang menimbulkan kesenjangan dalam orang pribumi dan non pribumi. Karmodo adalah anak muda yang sukses melintasi batas-batas kelas. Dia beranjak dari keadaan sebagai anak pelayan yang hina-dina menjadi pejabat penting yang berkuasa atas bekas majikannya. Melalui penerapan kemauan pribadi dan sarana pendidikan modern, dia memperbaiki diri. Mobilitasnya merupakan ideologi modernis, ideologi kelas menengah atas perkotaan. Karmodo membaurkan diri dengan masyarakatnya. Dia bertekad membetulkan kesalahan, mengubah segala sesuatu
dan
mengambil
peran utama
dalam
upaya
pembangunan. Modalnya adalah pendidikan tinggi yang memberinya keunggulan moral dan teknis atas sesamanya, kedudukan yang tinggi sebagai pejabat pemerintah Indonesia. Hal ini bertentangan dengan jabatan dalam tatanan administrasi atau organisasi pedesaan lama dan keyakinannya pada kemampuan sebagai individu. Dalam novel ini juga diceritakan tentang perlakuan pada hubungan antara orang Indonesia pribumi dan Cina. Bian Biau yang digambarkan sebagai orang Cina Totok yang sombong memerintah orang-orang pribumi dengan semenamena. Walaupun dia beristrikan orang Jawa, (pada mulanya) tidak dapat menyetujui hubungan putrinya Lien Nio dengan seorang pribumi, khususnya anak
5
pelayan. Novel ini juga membicarakan ketegangan antara perusahaan swasta (diwakili oleh Bian Biau) dan perusahaan umum yang dikendalikan oleh birokrasi (diwakili oleh Karmodo). Ciri eksploitatif perusahaan yang bergerak bebas sebagaimana terwujud dalam diri Bian Biau terlempar ke dalam kelegaan ironis berhadapan dengan kemauan pekerja setempat untuk secara ekonomis menyerahkan diri ke tangan Bian Biau. Pengarang mengembangkan permasalahan ini dengan bertumpu pada keadaan masyarakat saat itu yang masih mempermasalahkan pembauran dalam kehidupan bermasyarakat. Novel Tunggak-Tunggak Jati bertemakan pembauran golongan pribumi dan non pribumi yang hidup bersama di pedesaan. Perkawinan campuran tidak hanya terjadi di kota tetapi juga di desa. Apabila dilihat dari segi sosiologi, proses sosial itu disebut asimilasi. Menurut Koentjaraningrat (1989:225-226) asimilasi adalah proses sosial yang timbul dari berbagai masalah yang berhubungan dengan adanya individu-individu dan kelompok imigran yang berasal dari berbagai suku bangsa dan Negara. Novel ini diterbitkan pertama kali pada tahun 1977 oleh penerbit Pustaka Jaya Jakarta. Perusahaan penerbit ini dikenal sebagai penerbit fiksi-fiksi elit modern yang sebagaian besar menerbitkan novel dengan ciri modenis. Harga buku-buku tersebut, dimana penjualannya melalui toko-toko utama atau besar dan di kota-kota besar, menunjukkan jenis pembaca yang dituju. Pembaca novel-novel tersebut utamanya masyarakat menengah perkotaan yang berpendidikan tinggi. Sebagai pengarang, inspirasi Esmiet tidak pernah berhenti. Bukti karya sastra
6
Esmiet rata-rata bermutu tampak dari seringnya dia mendapatkan penghargaan dalam sayembara. Secara sosiologis, novel Tunggak-Tunggak Jati karya Esmiet lahir di tengah-tengah masyarakat yang berada di daerah Jawa Timur tempat sang pengarang lahir. Novel ini juga secara tidak langsung menceritakan pengalaman pribadi sang pengarang yang pernah menyunting seorang gadis keturunan Tionghoa meskipun pada akhirnya tidak bertahan lama dan melihat fenomena yang terjadi di lingkungan sekitar pengarang dengan banyaknya pernikahan campuran pada waktu itu (Suwondo,2006:117). Selain itu, dapat dilihat adanya struktur-struktur masyarakat yang demikian pada waktu novel ini diciptakan yaitu adanya kekuasaan non pribumi terhadap pribumi dan maraknya perkawinan campuran pada saat itu. Karya sastra Jawa yang berwujud roman ini sedikit banyak telah mencoba mengupas masalah rasialisme dari beberapa segi. Fokusnya bukanlah terletak pada persoalan sekelompok penduduk pribumi yang menentang Cina, melainkan terletak pada corak strategi kelompok etnis Cina dalam mendekati para penguasa atau pejabat untuk mendapatkan berbagai keistimewaan sehingga dapat menguasai urat nadi perekonomian masyarakat. Adapun penelitian ini dilakukan dengan menggunakan teori sosiologi sastra. Pemilihan teori ini didasarkan pada asumsi bahwa karya sastra dihasilkan oleh masyarakat, berbicara tentang masyarakat, dan dikonsumsi oleh masyarakat. Oleh karena itu, sebagai produk sosial, sastra dapat dipahami secara menyeluruh
7
dalam perspektif sosiologis. Dari penerapan teori sosiologi sastra akan ditemukan hubungan atau keterkaitan antara teks karya sastra dengan kondisi sosial masyarakat. Goldmann mengatakan bahwa karya sastra yang besar adalah ekspresi pandangan dunia dan pandangan dunia ini bukan merupakan pandangan individu, tetapi sebuah konsep dalam bentuk yang koheren, kesadaran kolektif yang mencapai puncak tertingginya dalam pikiran pengarang. Pandangan dunia ini tidak muncul secara tiba-tiba, tetapi hasil dari produk interaksi antara subjek kolektif dengan situasi yang ada di sekitarnya (Goldmann, 1977:19). Jadi sosiologi sastra Goldmann tidak terlepas dari manusia dan masyarakat yang bertumpu pada karya sastra sebagai objek yang dibicarakan. Sosiologi sastra merupakan suatu pendekatan untuk menganalisis segi-segi kehidupan sosialmasyarakat baik itu dilihat dari sisi pengarang, pembaca ataupun keadaan sosial yang terdapat dalam karya sastra tersebut. Jadi, sebagai sebuah karya sastra besar, pandangan dunia apakah yang terekspresikan dalam novel Tunggak-Tunggak Jati karya Esmiet perlu diketahui lebih lanjut. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, masalah yang akan diangkat dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana struktur novel Tunggak-Tunggak Jati? 2. Pandangan dunia apa yang terekspresikan di dalam novel TunggakTunggak Jati karya Esmiet? 3. Bagaimana genesis novel Tunggak-Tunggak Jati dan pengarang?
8
1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan permasalahan yang akan dikaji, tujuan penelitian ini adalah: 1. Mengetahui struktur novel Tunggak-Tunggak Jati 2. Mengetahui pandangan dunia yang terekspresikan di dalam novel Tunggak-Tunggak Jati. 3. Mengetahui genesis novel Tunggak-Tunggak Jati dan pengarang Selain itu, tujuan lain dari penelitian ini adalah tujuan teoritis. Secara teoritis, penelitian ini bermanfaat untuk mengembangkan ilmu sastra dan menerapkan teori pada karya sastra, dalam hal ini, strukturalisme genetik Goldmann terhadap novel Tunggak-Tunggak Jati oleh Esmiet. 1.4 Tinjauan Pustaka Novel Tunggak-Tunggak Jati karya Esmiet dapat dikategorikan sebagai sebuah karya sastra yang besar. Hal ini dapat dilihat dari keberhasilan Esmiet dengan seringnya mendapatkan penghargaan dan menang dalam berbagai sayembara. Ini yang membuat Esmiet dikenal salah satu sastrawan Jawa yang besar, sehingga banyak karya sastranya yang diteliti, termasuk novel TunggakTunggak Jati ini. Berikut ini akan dipaparkan penelitian-penelitian yang sudah dilakukan. Skripsi yang berjudul Tunggak-Tunggak Jati Dalam Kajian Strukturalisme Model A.J Greimas oleh Atika Vidyaninggar (2011) mengulas tentang struktur utama cerita yang terbentuk atas korelasi antara skema aktan dan struktur
9
fungsional. Dalam penelitian ini skema aktan satu menjadi pusat peristiwa yang menyebabkan munculnya kerangka utama cerita. Dalam penelitian ini pendekatan yang digunakan adalah pendekatan objektif yang menitikberatkan pada karya sastra atau teks sastra dan lebih menekankan pada objek sastra dalam penelitian. Sasaran penelitian ini adalah struktur teks cerita Tunggak-Tunggak Jati. Hasil analisis berdasarkan penelitian ditemukan 20 skema aktan yang terdapat dalam cerita novel Tunggak-Tunggak Jati. Aktan-aktan tersebut diisi oleh 17 sender (pengirim), 7 receiver (penerima), 11 subject (subjek), 10 object (objek), 14 helper (penolong), dan 15 opposant (penentang). Masing-masing aktan terdiri dari tiga kategori yaitu manusia, benda mati, dan konsep abstrak. Skripsi yang berjudul Deiksis Persona Dalam Novel Tunggak-Tunggak Jati Karya Esmiet Sebuah Kajian Pragmatik oleh Yeti Martianingrum (2012). Pendiskripsian bentuk-bentuk deiksis persona yang digunakan dalam novel Tunggak-Tunggak Jati dengan penulis Esmiet serta peran deiksis persona yang ada dalam cerita novel tersebut. Deiksis persona adalah deiksis yang merujuk pada orang atau benda yang memiliki peran dalam pembicara. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah teknik pembacaan dan pencatatan secara cermat. Analisis data dilakukan dengan metode padan pragmatik. Keabsahan data yang digunakan yaitu validitas semantik, validitas intrarater, validitas iterater, serta reliabitas stabilitas. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa bentuk deiksis persona yang ditemukan meliputi: bentuk deiksis persona pertama, deiksis persona kedua, dan deiksis persona ketiga. Bentuk-bentuk tersebut dipilah atas bentuk singularis, dualis dan pluralis. Adapun bentuk deiksis
10
persona ketiga hanya ada dalam bentuk singularis. Ada bentuk deiksis persona yang jika ditinjau secara struktur identik tapi sesungguhnya menyaran pada jumlah referen yang tidak sama. Dengan kata lain, bentuk-bentuk deiksis persona tersebut dapat bersifat singularis, dualis dan pluralis, tergantung pada konteks yang menyertainya. Bentuk deiksis persona tersebut adalah kata Panjenengan “kamu” yang bisa digolongkan ke dalam bentuk deiksis persona pertama dualis, deiksis persona pertama pluralis dan juga deiksis persona kedua pluaris tergantung konteks kalimatnya. Berdasarkan hasil yang diperoleh dalam penelitian ini, terdapat implikasi penting yaitu penelitian ini dapat menambah kekayaan penelitian dan pengembangan teori, khususnya yang berhubungan dengan pragmatik. Penelitian ini memberikan gambaran tentang variasi dan ragam bahasa yang digunakan dalam bentuk tulisan. Seiring perkembangan jaman, bahasa semakin bertambah, sehingga memunculkan keragaman bahasa yang baru. Skripsi yang berjudul Novel Tunggak-Tunggak Jati Strategi Mencari Titik Temu Etnis Jawa-Tionghoa: Sebuah Kajian Poskolonial oleh Venny Indria Ekowati (2007) mengulas wacana poskolonial dalam novel Tunggak-Tunggak Jati. Menurutnya, hubungan baik antara etnis Jawa dan Tionghoa mulai merosot pada sekitar awal abad ke-19 karena keterlibatan etnis Tionghoa dalam konflik internal kraton. Keadaan ini diperparah dengan penerapan politik devide et impera yang diduga merupakan akar dari diskriminasi etnis Tionghoa di Indonesia. Novel Tunggak-Tunggak Jati (TTJ) merupakan novel Jawa yang dalam struktur naratifnya berusaha membaurkan etnis Jawa-Tionghoa melalui proses asimilasi. Proses tersebut tergambar dalam jalan cerita serta penokohan yang digolongkan
11
dalam dua generasi. Generasi pertama etnis Tionghoa dan etnis Jawa dalam novel ini masih mengusung stereotip etnis. Hal ini dimaksudkan untuk menunjukkan kondisi riil di masyarakat tentang pandangan etnis Jawa kepada etnis Tionghoa dan sebaliknya. Generasi pertama ini, dalam alur cerita berikutnya, akan mendapatkan kesadaran-kesadaran bahwa stereotip yang selama ini sudah kekal dalam diri mereka sebagai bentuk mind set dapat berubah karena adanya penyadaran-penyadaran dari generasi kedua. Jika tidak mendapatkan penyadaran, maka orang-orang dari generasi pertama ini akan dihilangkan dalam cerita atau tampil sebagai orang-orang yang kalah. Generasi kedua dalam novel ini diisi oleh tokoh-tokoh yang merupakan anak dari generasi pertama. Tokoh-tokoh dari generasi kedua mempunyai cara pandang yang berbeda kepada masing-masing etnis. Stigma yang selama ini melekat pada pola pikir generasi pertama dikikis oleh para tokoh generasi kedua. Generasi ini lebih menghargai etnis yang lain, dan cenderung menganggap tidak ada satu etnis yang lebih tinggi kedudukan dan derajatnya daripada etnis yang lain. Novel Tunggak-Tunggak Jati merupakan novel yang memuat keinginan dan angan-angan kolektif etnis Jawa untuk menempatkan dirinya sejajar, bahkan lebih tinggi daripada etnis Tionghoa yang dalam ordonansi warisan kolonial berada satu tingkat lebih tinggi. TTJ juga mengisyaratkan pentingnya asimilasi dan pembauran antara etnis Jawa dan Tionghoa. Novel ini juga mengusung amanat bahwa pada generasi kedua (generasi penerus), sentimen antara etnis JawaTionghoa tidak perlu terjadi lagi. Kesejajaran antara etnis Jawa dan Tionghoa
12
dapat selalu terpelihara sehingga tidak timbul diskriminasi-diskriminasi etnis yang merugikan berbagai pihak. Skripsi yang berjudul Tunggak-Tunggak Jati Pengungkapan Tema Dan Amanat Melalui Analisis Latar Dan Penokohan oleh Solichin (1988) berbicara mengenai tema dan amanat yang terdapat dalam novel Tunggak-Tunggak Jati melalui analisis latar dan penokohan. Dalam hal ini, tema dan amanat dipahami dan
dirumuskan
berdasarkan
penjabarannya
dalam
penampilan
latar
penokohannya. Sudah tentu tema dan amanat hanya dipahami serta dirumuskan dalam kerangka struktur novel tersebut. Proyek penelitian yang berjudul Diatesis Aktif Pasif Dalam Wacana Naratif Bahasa Jawa (Novel Tunggak-Tunggak Jati) oleh Restu Sukesti, Syamsul Arifin, Herawati dan Edi Setiyanto (1998) meneliti tentang diatesis aktif pasif dalam wacana naratif bahasa Jawa. Penelitian ini melihat kesinambungan maksud antara diathesis yang satu dan yang lainnya di dalam sebuah wacana naratif. Penelitian ini melihat perubahan diathesis aktif ke pasif, pasif ke aktif, atau persamaan diatesis aktif ke aktif, dan pasif ke aktif. Wujud naratif yang dibahas atau wujud konkretnya ialah paragraf. Dalam penelitian ini ditemukan bahwa wacana naratif cenderung banyak menggunakan diatesis aktif karena di dalam jalinan cerita, peristiwa itu pelaku, tokoh yang diutamakan sebagai topik. Posisi verba di belakang pelaku berdiatesis aktif dan dalam wacana naratif jarang digunakan pola susun inversi (predikat-subjek). Selain itu, dalam penelitian ini juga ditemukan adanya perubahan teknik referensi keagenan dari pronominal persona ke pronominal hanya sekadar variasi pengarang untuk menghindari
13
kebosanan pembaca. Pembahasan teknik referensi keagenan dari pronomina ke generik atau spesifik digunakan pengarang untuk mengkhususkan topik. Skripsi yang berjudul Konsep Perkawinan Campuran Dalam Novel Tunggak-Tunggak Jati Karya Esmiet (Tinjauan Sosiologi Sastra) oleh Lestari Joeniarni (1996) membahas tentang konsep pembauran dan konsep perkawinan campuran yang tercermin dalam novel Tunggak-Tunggak Jati. Hasil penelitian yang didapat ada tiga macam pembauran yaitu yang pertama pembauran yang disebabkan hubungan cinta antara orang Cina dan Jawa, kedua pembauran yang disebabkan keterikatan hidup bermasyarakat, dan yang ketiga pembauran disebabkan kerjasama perdagangan. Pembauran yang disebabkan hubungan percintaan akan membawa ke jenjang perkawinan. Dijelaskan bahwa pemilihan jodoh antara pribumi dan non pribumi dilandasi dengan perasaan cinta dan kasih sayang. Dimensi sosial nilai perkawinan yang berdasarkan konsep bibit, bobot, dan bebet dalam masyarakat Jawa jauh bergeser dari landasan semula. Konsep perkawinan campuran yang ada dalam novel tersebut adalah perkawinan antara orang Cina dan Jawa, pemilihan jodoh antara pemuda Jawa dengan pemudi Cina Peranakan, pemilihan jodoh antara pemuda Cina Peranakan dengan pemudi Jawa. Makna simbolik yang terkandung di dalamnya adalah pada saat cerita itu ditulis yaitu sekitar tahun 1977, di dalam masyarakat Jawa telah terjadi fenomena pemilihan jodoh dan perkawinan campuran antara Cina Totok maupun Peranakan dengan orang Jawa.
14
Jurnal yang berjudul Tintingan Struktural Genetik Novel Donyane Wong Culika Anggitane Suparta Brata oleh Septia Fitriyani (2013). Dalam artikel ini mengulas tentang isi novel dari Donyane Wong Culika yang menjelaskan tema mayor dan minor, setting, tokoh dan alur terlebih dahulu. Jurnal ini juga mengupas tuntas tentang bagaimana lingkungan sosial Suparta Brata atau pengarang dan hubungannya dengan novel Donyane Wong Culika ini. Dalam jurnal ini dibahas juga bagaimana pandangan dunia pengarang yang terekspresikan dalam karya sastranya tersebut. Tetapi dalam penelitian di jurnal ini metode untuk melakukan penelitian adalah dengan metode dialektik dan wawancara. Sehingga didapatkan juga responden-responden yang akan di wawancarai. Analisis di jurnal ini masih mendasar dan tidak dilakukan penelitian secara detail atas pandangan dunia mengenai analaisis strukturalisme genetik. Berdasarkan beberapa penelitian yang sudah dilakukan dengan objek novel Tunggak-Tunggak Jati karya Esmiet terlihat bahwa belum adanya analisis yang mempertimbangkan masalah hubungan antar manusia dan alam semesta secara keseluruhannya, panddangan dunia yang belum jelas dalam penerapan menggunakan strukturalisme genetik. Serta jembatan yang menghubungkan antara struktur karya sastra dengan struktur masyarakat ini adalah pandangan dunia. Pemahaman yang koheren tentang sebuah karya sastra dapat dicapai melalui analisis pandangan dunia. Dengan menganalisis pandangan dunia di dalam karya sastra, akan ditemukan kejelasan bagaimana hubungan struktur karya sastra dengan kehidupan masyarakat.
15
1.5 Landasan Teori Goldmann memberikan contoh salah satu yang dipilih untuk dimengerti adalah fakta kemanusiaan. Metode adalah sebuah teknik, sebuah strategi untuk memahami kenyataan. Dasar pertama asas dari strukturalisme genetik adalah fakta kemanusiaan. Dalam hal ini dicontohkan karya Pascal Pensees, revolusi Prancis dan perang salib yang berhubungan dengan tingkah laku subjeknya. Fakta kemanusiaan adalah hasil dari tingkah laku manusia dan dapat sangat jelas definisinya (Goldmann, 1981:39,41). Fakta kemanusiaan merupakan segala hasil aktivitas atau perilaku manusia baik yang verbal maupun yang fisik yang berusaha untuk dipahami oleh ilmu pengetahuan (Faruk, 2010:57). Goldmann juga menyatakan bahwa fakta kemanusiaan merupakan struktur yang berarti. Fakta kemanusiaan bukanlah sesuatu yang muncul begitu saja, melainkan merupakan hasil aktivitas manusia sebagai subjeknya. Fakta kemanusiaan selalu hadir dalam struktur yang bearrti, dan struktur ini hanya dapat dipahami dengan menjelaskan bagaimana struktur ini terbentuk (Goldmann, 1977:89). Dalam hal ini sangat perlu untuk diperhatikan perbedaan antara subjek individual dan subjek kolektif. Subjek individual merupakan subjek fakta individual, sedangkan subjek kolektif merupakan subjek fakta sosial (Faruk, 2010:62). Sosiologi
sastra
yang
dikembangkan
Goldmann
mencoba
untuk
menyatukan analisis struktural dengan materialisme historis dan dialektik. Baginya, karya sastra harus dipahami sebagai totalitas yang bermakna. Ia
16
berpendapat bahwa karya utama sastra dan filsafat memiliki kepaduan total, dan bahwa unsur-unsur yang membentuk teks itu mengandung arti hanya apabila bisa memberikan suatu lukisan lengkap dan padu tentang makna keseluruhan karya tersebut (Damono, 2009:55). Strukturalisme genetik merupakan salah satu pendekatan dalam meneliti karya
sastra.
Strukturalisme
genetik
adalah
sebuah
pendekatan
dalam
mengungkap sebuah kenyataan mengapa karya sastra itu lahir. Strukturalisme genetik merupakan sebuah pernyataan yang dianggap sahih mengenai kenyataan. Pernyataan itu dikatakan sahih jika di dalamnya terkandung gambaran mengenai tata kehidupan yang bersistem dan terpadu, yang didasarkan pada sebuah landasan ontologis yang berupa kodrat keberadaan kenyataan itu dan pada landasan epistemologis yang berupa seperangkat gagasan yang sistematik mengenai cara memahami atau mengetahui kenyataan yang bersangkutan (Faruk, 2010:56). Goldmann berpendapat bahwa ia percaya karya sastra merupakan sebuah struktur. Akan tetapi, struktur itu bukanlah sesuatu yang statis melainkan merupakan produksi dari proses sejarah yang terus berlangsung, proses strukturasi dan destrukturisasi yang hidup dan dihayati oleh masyarakat karya sastra yang bersangkutan (Faruk, 2010:56). Manusia merupakan elemen dari keseluruhan yang terdiri dari kelompok sosial dimana dia tergabung. Dalam hal ini karya sastra tertentu tidak hanya berasal dari pengarangnya tetapi juga dari kelompok sosial secara keseluruhan. Kelompok yang paling penting adalah kelompok sosial yang berhubungan dengan
17
kepentingan ekonomi dimana dia menjadi anggotanya. Goldmann membuat lebih spesifik sebagai kelas sosial dalam pengertian marxis, sebab baginya kelompok itulah yang telah menciptakan suatu pandangan yang lengkap dan menyeluruh mengenai kehidupan dan yang telah mempengaruhi perkembangan sejarah umat manusia, dalam hal ini kelompok-kelompok yang menguasai alat produksi (Goldmann, 1981:41). Hubungan antara manusia bukanlah hubungan subjek-objek ataupun hubungan intersubjek, melainkan hubungan intrasubjektif, dimana hubungan antara individu adalah elemen yang merupakan bagian dari satu keseluruhan aksi. Individu tidak akan bisa menciptakan fakta sosial, yang bisa menciptakan hanyalah subjek transindividual (Goldmann, 1981:97). Hal ini dikarenakan ketika anggota dari kelompok mengalami situasi yang sama, mereka akan membangun struktur mental yang fungsional. Struktur mental ini akan memiliki peran yang aktif dalam sejarah dan diekspresikan dalam karya-karya filsafat yang besar, karya seni dan kreasi kultural. Semuanya hanya dapat dipahami apabila dikaitkan dengan subjek kolektifnya. Tingkah laku subjek kolektif ini membentuk struktur masyarakat secara kesuluruhan. Selain itu, juga membentuk strukur hubungan antarmanusia dan hubungan antarmanusia dengan alam (Goldmann, 1988:41-42). Goldmann (Faruk, 2010:56) menyebut teorinya sebagai strukturalisme genetik. Dengan kata lain, ia percaya bahwa karya sastra merupakan sebuah struktur. Akan tetapi, struktur itu bukanlah sesuatu yang statis, melainkan merupakan produk dari proses sejarah yang terus berlangsung., proses strukturasi dan destrukturasi yang hidup dan dihayati oleh masyarakat karya sastra yang
18
bersangkutan. Teori strukturalisme genetik terbagi ke dalam enam konsep dasar yang membangun teori termaksud, yaitu fakta kemanusiaan, subjek kolektif, strukturasi, pandangan dunia, pemahaman dan penjelasan. Akan tetapi, untuk menjawab permasalahan yang dihadapi, yaitu mengenai pandangan dunia apa yang terekspresikan oleh novel Tunggak-Tunggak Jati maka peneliti akan membatasi hanya pada konsep pandangan dunia menurut perspektif Goldmann sebagai acuan dalam landasan teori ini. Strukturalisme genetik mencari homologi atau hubungan yang jelas dan dapat dimengerti antara struktur kesadaran kolektif dan struktur dari karya yang mengekspresikan dunia yang integral dan koheren (Goldmann, 1981:66). Homologi bisa terjadi karena keduanya merupakan produk dari aktivitas strukturasi yang sama. Di dalam konsep homologi, kesamaan yang ada antara karya sastra dan kehidupan masyarakat bukanlah kesamaan isinya, melainkan kesamaan strukturnya. Homologi antara struktur karya sastra dan struktur masyarakat tidak bersifat langsung, melainkan homolog dengan pandanagn dunia. Pandangan dunia yang nantinya akan berhubungan langsung dengan struktur masyarakat yang dimilikinya(Faruk, 2010:64-65) Bagi strukturalisme genetik karya sastra hidup dalam dan menjadi bagian dari proses asimilasi dan akomodasi yang terus-menerus tersebut. Karya sastra pada dasarnya adalah aktivitas strukturasi yang dimotivasi oleh adanya keinginan dari subjek karya sastra untuk membangun keseimbangan dalam hubungan antara dirinya dengan lingkungan sekitar (Faruk, 2010:61).
19
“The novel is the story of a degraded (what Lukacs calls demoniacal) search, a search for authentic values in a word it self degraded but at an otherwise advance level according to a different mode. By authentic value, I mean of course not the values that the critic of the reader regards as authentic but those which without being manifestly present in the novel, organize in accordance with an implisit mode its world as a whole. It goes without saying that these values are specific to each novel and different from one novel to another” (Goldmann, 1977:1) “Novel adalah cerita mengenai pencarian yang terdegradasi (Lukacs menyebutnya demoniacal) akan nilai-nilai otentik dalam dunia yang juga terdegradasi, tapi pada tingkat lanjut mengikuti mode yang berbeda. Dengan nilai-nilai otentik yang dimaksud tentu bukan nilai-nilai kritik atau anggapan pembaca yang otentik tapi nilai yang mengorganisasi dalam keseimbangan sesuai dengan mode implisit dunia sebagai totalitas sehingga dapat dikatakan nilai-nilai spesifik untuk setiap novel berbeda dari satu novel ke novel lainnya” (Goldmann,1977:1). Goldmann memandang novel itu sebagai riwayat pencarian akan nilai-nilai otentik di dalam dunia yang merosot dan dalam masyarakat yang merosot. Sejauh kemrosotan itu menyangkut sang tokoh, hal ini terutama nampak lewat perantaraan yaitu dengan memberikan suatu fokus baru kepada niali-nilai otentik yang akhirnya lenyap dalam kenyataan yang menampakkan diri. Kelompok sosial yang dianggap sebagai subjek kolektif dari pandangan dunia itu hanyalah kelompok sosial yang gagasan-gagasan dan aktivitasaktivitasnya cenderung ke arah suatu penciptaan suatu pandangan yang lengkap dan menyeluruh mengenai kehidupan sosial manusia. (Goldmann, 1977:99) Goldmann mengemukakan dua pendapat mengenai karya sastra pada umumnya. Pertama, karya sastra merupakan ekspresi pandangan dunia secara imajiner. Kedua, bahwa karya sastra dalam usahanya mengekspresikan pandangan dunia itu, pengarang menciptakan semesta tokoh-tokoh, objek-objek dan relasirelasi secara imajiner (Faruk, 2010:71-72). Jadi pandangan dunia pengarang lahir
20
dari hubungan aktivitas individual dengan lingkungan sekitarnya, sehingga terdapat hubungan antara pengarang dengan struktur sosial masyarakat yang membuat pengarang mengekspresikan pandangan dunianya ke dalam struktur sastra. Dalam hal ini Goldmann juga mengemukakan bahwa pandangan dunia merupakan istilah yang tepat untuk kompleksitas yang menyeluruh dari gagasangagasan, inspirasi-inspirasi dan perasaan-perasaan yang akan menghubungkan hal tersebut secara bersama dengan anggota-anggota suatu kelompok sosial tertentu yang
mempertentangkannya
dengan
kelompok
sosial
yang
lain.
Bagi
strukturalisme genetik, pandangan dunia tidak hanya seperangkat gagasan abstrak dari suatu kelas mengenai kehidupan manusia dan dunia tempat manusia itu berada, melainkan juga merupakan semacam cara atau gaya hidup yang dapat mempersatukan anggota satu kelas dengan anggota kelas yang lain di dalam kelas yang sama dan membedakannya dari anggota-angota kelas sosial yang lain (Faruk, 2010:66). Sebagai suatu kesadaran kolektif, pandangan dunia ini berkembang sebagai hasil dari situasi sosial dan ekonomi tertentu yang dihadapi oleh subjek kolektif yang memilikinya (Goldmann, 1977:18). Hal ini berarti pandangan dunia tidak lahir dengan tiba-tiba. Transformasi mentalitas yang lama secara perlahanlahan dan bertahap diperlukan demi terbangunnya mentalitas yang baru dan teratasinya mentalitas yang lama (Goldmann,1981:112).
21
Pandangan dunia merupakan kesadaran yang mungkin yang tidak setiap orang dapat memahaminya. Kesadaran yang mungkin merupakan kesadaran yang yang menyatakan suatu kecenderungan kelompok ke arah suatu koherensi menyeluruh, perspektif yang koheren dan terpadu mengenai hubungan manusia dengan sesamanya dan dengan alam semesta (Goldmann, 1981:111). 1.6 Metode Penelitian Objek material penelitian ini adalah novel Tunggak-Tunggak Jati karya Esmiet, sedangkan objek formalnya adalah struktur novel dan pandangan dunia yang tersirat dalam novel tersebut. Setelah menentukan objek formal dan material pada penelitian ini, peneliti akan membaca novel secara keseluruhan dan mengumpulkan data-data yang berhubungan dengan penelitian ini. Data utama dalam penelitian ini adalah kutipan-kutipan yang ada dalam novel TunggakTunggak Jati, sedangkan sumber tambahan untuk mendukung penelitian ini adalah buku tentang filsafat, sosial atau kehidupan sosial, ekonomi masyarakat Jawa ketika novel tersebut diciptakan khususnya masyarakat Jawa Timur. Pertama, teori strukturalisme genetik difokuskan pada kajian intrinsik karya sastra, baik secara parsial maupun secara keseluruhan. Kedua, mengkaji latar belakang kehidupan sosial kelompok pengarang, karena ia adalah suatu bagian dari komunitas tertentu. Ketiga, mengkaji latar belakang sosial dan sejarah yang ikut mengondisikan terciptanya karya sastra. Dari ketiga cara tersebut akan diperoleh abstraksi pandangan dunia pengarang yang diperjuangkan oleh tokoh problematik. Goldmann memberikan rumusan penelitian strukturalisme genetik,
22
dalam tiga hal. Pertama, penelitian terhadap karya sastra seharusnya dilihat sebagai satu kesatuan. Kedua, karya sastra yang diteliti mestinya karya sastra yang bernilai sastra yaitu karya yang mengandung tegangan (tension) antara keragaman dan kesatuan dalam suatu keseluruhan (a coherent whole). Ketiga, jika kesatuan telah ditemukan, ia dianalisis dalam hubungannya dengan latar belakang sosial. Secara sederhana, kerja peneliti strukturalisme genetik dapat dapat diformulasikan dalam tiga langkah. Peneliti bermula dari kajian unsur intrinsik, baik secara parsial maupun dalam jalinan keseluruhannya. Kemudian peneliti mengkaji kehidupan sosial budaya pengarang, karena ia merupakan bagian dari komunitas tertentu. Terakhir peneliti mengkaji latar belakang sosial dan sejarah yang turut mengkondisikan karya sastra saat diciptakan oleh pengarang (Goldmann, 1977). Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode dialektik. Metode dialektik adalah metode strukturalisme genetik yang menaruh pada makna yang koheren. Prinsip dasar metode dialektik yang membuatnya berhubungan dengan masalah koherensi adalah pengetahuan mengenai fakta-fakta kemanusiaan akan tetap abstrak jika tidak dibuat kongkret dengan mengintegrasikan ke dalam keseluruhan (Goldmann 1977:7-8). Sejalan dengan ini, metode dialektik mengembangkan dua pasangan konsep, yaitu “keseluruhan-bagian” dan “pemahaman-penjelasan” (Faruk, 1988:103). Keseluruhan tidak dapat dipahami tanpa bagian dan bagian juga tidak dapat dimengerti tanpa keseluruhan, proses pencapaian pengetahuan dengan metode dialektik menjadi semacam gerak yang melingkar secara terus menerus tanpa diketahui tempat atau titik yang menjadi pangkal atau ujungnya (Faruk, 2010:78).
23
Goldmann mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan pemahaman adalah usaha untuk mendeskripsikan struktur objek yang diteliti, dan penjelasan adalah usaha penggabungan sebuah struktur ke dalam struktur yang lebih besar yang di dalamnya struktur tersebut hanya merupakan satu bagian (Goldmann dalam Faruk, 1988:106). Menurut Goldmann (1977:5), sudut pandang dialektik mengukuhkan perihal tidak pernah adanya titik awal yang secara mutlak sahih, tidak adanya persoalan yang secara final dan pasti terpecahkan. Oleh karena itu, dalam sudut pandang tersebut pikiran tidak pernah bergerak seperti garis lurus. Setiap fakta atau gagasan individual mempunyai arti hanya jika ditempatkan dalam keseluruhan. Sebaliknya, keseluruhan hanya dapat dipahami dengan pengetahuan yang bertambah mengenai fakta-fakta parsial atau yang tidak menyeluruh yang membangun keseluruhan itu. Dalam pemakaian metode dialektik ini, karya sastra dianggap sebagai ekspresi yang dalam atas perubahan struktur sosial dan politik masyarakat. Menggunakan metode dialektik yaitu dengan menyelaraskan bagian denagn keseluruhan sampai terbentuk sebuah struktur denagn koherensi maksimal, khususnya struktur yang berpola oposisi biner, selanjutnya ditentukan pandangan dunia yang diasumsikan sebagai pandangan dunia suatu kelas tertentu dalam suatu masyarakat. Setelah memahami dan menemukan pandangan dunia suatu kelas, peneliti berusaha menemukan fenomena sosial, ekonomi dan ideologis kelas pada satu waktu tertentu dan menentukan karakteristik dari fenomena sosial dan ideologis tersebut. Peneliti melihat pandangan dunia kelas yang telah ditemukan sebelumnya sebagai ekspresi kehidupan sosial dan ekonomi pada satu waktu
24
tertentu. Apabila struktur teks dan pandangan dunia kelas yang diasumsikan itu sudah cocok, maka dapat dilihat adanya koherensi atau kesejajaran antara struktur karya sastra dengan pandangan dunia yang diekspresikan. 1.7 Sistematika Penyajian Sistematika penyajian yang akan dilakukan dalam penelitian ini dengan urutan sebagai berikut. Bab pertama merupakan pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, hipotesis, metode penelitian dan sistematika penyajian. Bab kedua merupakan analisis hubungan manusia, alam dan Tuhan dalam Tunggak-Tunggak Jati. Bab ketiga merupakan analisis pandangan dunia. Bab keempat merupakan genesis novel dan pengarang. Bab kelima merupakan kesimpulan dari penelitian ini dan diakhiri dengan daftar pustaka.