BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Cinta merupakan rasa suka atau kasih sekali, atau juga rasa keterpikatan antara satu orang dengan orang lainnya (KBBI, 2014:268). M enyatakan cinta berarti mengungkapkan perasaan kasih terhadap orang yang dicintai dengan harapan agar orang tersebut dapat mengetahuinya. Berdasarkan pengertiannya secara leksikal, bahwa cinta merupakan rasa suka dengan tingkat yang tinggi, dapat dilihat bahwa terdapat perbedaan antara rasa suka, sayang, dan cinta. Terdapat tingkatan pada ketiga perasaan tersebut, yaitu rasa suka dengan tingkat paling rendah, rasa sayang berada pada tingkat menengah, dan rasa cinta berada pada tingkat paling tinggi.
Cinta merupakan rasa atau emosi yang cenderung bertendensi untuk memiliki, sehingga dalam menyatakan cinta, penutur juga memiliki tujuan agar dirinya dengan orang yang diberi pernyataan cinta dapat menjalin hubungan yang lebih lanjut. Secara umum, menyatakan cinta merupakan tugas utama kaum laki-laki. Laki-laki dianggap memiliki keharusan dan keberanian lebih banyak untuk menyatakan cinta terlebih dahulu kepada perempuan yang dicintainya. Akan tetapi, seiring berkembangnya zaman, manusia dan lingkungan yang mengitarinya pun ikut berkembang. Saat ini, pernyataan cinta tidak hanya dilakukan oleh laki-laki terhadap perempuan, tetapi juga
1
2
sebaliknya. Sudah sangat sering dijumpai perempuan lebih berani menyatakan cinta kepada laki-laki.
Dalam hal menyatakan cinta, terdapat tiga kemungkinan respons yang akan diterima oleh orang yang menyatakan, yaitu pernyataan cintanya diterima , pernyataan cintanya ditolak, dan pernyataan cintanya diabaikan. M enurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2014:1477), menolak berarti tidak menerima, tidak m engabulkan, atau menampik, sedangkan penolakan berarti proses, cara, atau perbuatan menolak. Dalam penelitian ini, menolak cinta merupakan sebuah sikap tidak menerima cinta atau pernyataan cinta yang diwujudkan dengan adanya tuturan penolakan cinta.
Pernyataan di atas menunjukkan bahwa menyatakan cinta tidak hanya dilakukan oleh laki-laki, tetapi juga oleh perempuan. B egitu pula dalam hal merespons pernyataan cinta tersebut. Penerimaan , penolakan, dan pengabaian terhadap cinta pun saat ini tidak hanya dila kukan oleh perempuan, tetapi juga oleh laki-laki. Apabila ditelaah kembali, bentuk-bentuk respons tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor tertentu dan kemudian memberikan dampak yang berbeda -beda bagi pembuat pernyataan serta yang memberi respons.
Dampak yang dapat disoroti dengan cukup jelas adalah keberlanjutan hubungan antara orang yang menyatakan cinta dan yang pemberi respons. Keberlanjutan hubungan yang baik biasanya akan diterima oleh si pemberi respons menerima, sedangkan keberlanjutan hubungan yang tidak baik biasanya akan lebih
3
banyak diterima oleh si pemberi respons menolak dan mengabaikan. Keberlanjutan hubungan tersebut dapat ditimbulkan oleh banyak faktor, misalnya subjek yang menjadi lawan bicara, kesesuaian bentuk tuturan, pemilihan kata, waktu dan situasi tuturan, dan lain sebagainya. Dalam penelitian ini, penulis memaparkan adanya kemungkinan atau kecenderungan kebahasaan tuturan penolakan cinta berdasarkan data yang diperoleh.
Dalam merespons pernyataan cinta, baik menerima, menolak, maupun megabaikan, peran bahasa sangat penting, yaitu sebagai sarana penyampaian yang utama. Bahasa tidak hanya digunakan sebagai media untuk membahas suatu permasalahan, membujuk, atau merayu, tetapi juga
dapat digunakan untuk
menyampaikan gagasan, pikiran, dan perasaan. Dalam menyampaikan gagasan dan perasaan tersebut, seringkali dijumpai perbedaan bentuk yang dituturkan oleh setiap individu maupun kelompok sosial tertentu. Begitu pula yang ditemukan dalam data pada penelitian ini, yaitu berupa penolakan cinta. Oleh karena adanya perbedaan itu, peneliti memilih untuk menganalisis lebih dalam tentang tuturan penolakan cinta.
Agar dapat memahami lebih dalam tentang tuturan penolakan cinta, perlu dilakukan analisis terhadap bentuk-bentuk tuturan penolakan yang disampaikan, faktor-faktor sosial yang memengaruhi tuturan penolakan cinta, serta kaitannya dengan pola hubungan pascapenolakan cinta yang ditimbulkan . Untuk mendukung analisis tersebut, penulis menggunakan pendekatan sosiolinguistik. Pendekatan sosiolinguistik dianggap paling relevan karena penulis dapat menganalisis bentuk
4
tuturan penolakan yang didasari oleh berbagai macam aspek, khususnya aspek sosialnya. Analisis ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi semua pihak, terutama bagi peminat bidang bahasa dan roman (cinta).
1.2 Rumusan Masalah M asalah merupakan hal penting yang menjadi dasar dilakukannya penelitian. Semua jenis penelitian, termasuk penelitian kebahasaan, bersumber pada masalah. Berdasarkan pernyataan tersebut, diharapkan melalui analisis ini dapat menjawab pertanyaan berikut.
1. Apa saja bentuk-bentuk tuturan penolakan cinta? 2. Bagaimana faktor-faktor sosial memengaruhi tuturan penolakan cinta? 3. Bagaimana pola tuturan terhadap hubungan pascapenolakan cinta ?
1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah di atas, penelitian ini bertujuan untuk:
1. M endeskripsikan bentuk-bentuk tuturan penolakan cinta. 2. M enganalisis
faktor-faktor
sosial
yang
memengaruhi
tuturan
penolakan cinta. 3. M enganalisis pola tuturan terhadap hubungan pascapenolakan cinta.
5
1.4 Ruang Lingkup Ruang lingkup dari kegiatan penelitian ini dibatasi dengan menggunakan kerangka teori sosiolinguistik. Penggunaan teori tersebut difokuskan pada bentuk tuturan penolakan cinta, faktor sosial yang memengaruhi tuturan penolakan cinta , serta kaitannya dengan pola tuturan terhadap hubungan pascapenolakan cinta . Tuturan penolakan yang digunakan dalam penelitian adalah tutura n yang diproduksi oleh pembahan bergender feminin dan maskulin yang kemudian akan diklasifikasikan berdasarkan bentuk langsung dan tak langsung, berdasarkan faktor-faktor sosial yang memengaruhi seperti hubungan antarpenutur, media penyampaian, gender, serta berdasarkan dampak hubungan pascapenolakan cinta yang ditimbulkan.
1.5 Studi Pustaka Seiring dengan berkembangnya kebahasaan, tuturan yang menjadi wacana turut berkembang dan menjadi kajian yang menarik untuk diteliti. Berdasarkan telaah pustaka yang telah dilakukan, terdapat beberapa penelitian terdahulu yang digunakan sebagai acuan. Penelitian dengan objek kajian ungkapan penolakan dalam bahasa Jawa dilakukan oleh Nadar (2000). Hasil penelitian tersebut berupa laporan penelitian berjudul “Kajian Formula dan Kesantunan Ungkapan Penolakan dalam Bahasa Jawa”. Penelitian tersebut bertujuan untuk mengetahui formula umum ungkapan penolakan dalam bahasa Jawa, penanda kesantunan yang dipakai, dan apakah terdapat indikasi keterkaitan antara budaya penutur dengan ungkapan penolakan. Pengumpulan data dalam penelitian tersebut menggunakan kuesioner dalam bentuk
6
DCT (Dialogue/D iscourse Com pletion T ask), yang biasa digunakan dalam kajian pragmatik dan sosiolinguistik. Secara umum, ungkapan penolakan dalam bahasa Jawa cenderung mengikuti pola urutan ungkapan maaf, sebutan, ungkapan ketidakmampuan, alasan, dan kadang-kadang ungkapan m aaf sekali lagi. Dalam laporan penelitian tersebut, yang dibandingkan adalah status penutur, yaitu antara penolak dan pemberi perintah. Penelitian dengan objek kajian penolakan juga dilakukan oleh Nadar (2006) dalam disertasi yang berjudul “Penolakan dalam Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia (Kajian Pragmatik tentang Realisasi Strategi Kesopanan Berbahasa)”. Penelitian tersebut mengkaji penolakan dalam bahasa Inggris dan penolakan dalam bahasa Indonesia. Pengkajiannya secara deskriptif dengan pendekatan pra gmatik, yaitu pengkajian yang dilakukan dengan sudut pandang penggunaan bahasa dalam konteks tertentu. Penelitian tersebut bertujuan mengetahui realisasi strategi kesopanan berbahasa pada penolakan dalam bahasa Indonesia, dan perbandingan realisasi strategi kesopanan berbahasa antara penolakan dalam bahasa Inggris dan bahasa Indonesia. Pemerolehan datanya dengan tes melengkapi wacana yang dibagikan kepada penutur asli kedua bahasa, menyimak dan mencatat dialog dalam film, menyimak
dan
mencatat
pembicaraan
a ntarpenutur
dalam
situasi
natural.
Pengelompokan data dalam penelitian tersebut berdasarkan teori tindak tutur. Beberapa
penelitian
tentang
penolakan
lainnya
juga
dilakukan
oleh
Charismawati (2014) dan Kasih (2015) yang keduanya membahas penolakan pada
7
film. Hasil penelitian Charismawati (2014) berupa skripsi dengan judul “Kesopanan Positif dan Negatif dalam Penolakan pada Tiga Film Drama Amerika”. Penelitian ini menganalisis tentang jenis-jenis kesopanan dalam bentuk penolakan yang ada pada dialog film drama, khususnya drama Amerika. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan Pragmatik. Hasil penelitian Kasih (2015) berupa skripsi dengan judul “Strategi Penolakan Tidak Langsung di Dua Film Amerika dan Tiga Film Inggris”. Penelitian ini berfokus pada identifikasi dan klasifikasi strategi penolakan tidak langsung yang ditemukan pada dua film Amerika dan tiga film Inggris. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menunjukkan perbedaan strategi penolakan yang digunakan di film -film Amerika dan Inggris. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ditemukan 50 bentuk penolakan dalam film Amerika dan 42 dalam film Inggris. Penelitian yang dilakukan oleh Rurut (2013) pada makalahnya yang berjudul “Pengkajian Pemakaian Bahasa Lisan” juga menggunakan sosiolinguistik sebagai pendekatannya. Penelitian tersebut berfokus pada apa yang melatarbelakangi pemakaian suatu bahasa lisan. Penelitian tentang basa-basi yang menjadi acuan bagi penelitian ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Arimi (1998) pada tesisnya yang berjudul “Basa -basi dalam M asyarakat Bahasa Indonesia”. Penelitian tersebut menggambarkan etnografi basa-basi dalam masyarakat bahasa Indonesia. Penelitian tersebut menjelaskan kebutuhan penggunaan basa-basi, menguraikan jenis-jenisnya, serta menunjukkan kekhasannya. Berdasarkan daya tuturnya, basa-basi dapat dibagi menjadi basa-basi
8
murni dan basa-basi polar. Basa-basi murni adalah ungkapan basa-basi yang digunakan secara otomatis sesuai dengan gejala peristiwa tutur yang muncul, misalnya mengucapkan salam, menyapa, sela mat datang, menanyakan kabar, dan berpamitan. Basa-basi polar merupakan wujud basa-basi yang tuturannya berlawanan dengan realitasnya. Dalam linguistik, kepolaran yang dimaksud dapat ditunjukkan dari ke-asimetrisan tuturan. Artinya, orang sering kali harus memilih tuturan yang tidak seharusnya untuk menunjukkan sikap yang lebih sopan, misalnya dalam hal ajakan atau penolakan. Dalam hal ini, berkaitan dengan penelitian ini, penolakan cinta dapat dikategorikan dalam jenis basa -basi polar. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa basa-basi adalah penggunaan bahasa yang lentur dan tipikal. Penggunaan basa-basi adalah untuk membina dan atau mempertahankan hubungan sosial antarpenutur. Beberapa penelitian di atas membahas tentang penolakan. Akan tetapi, terdapat perbedaan pada kajian penelitian-penelitian di atas dengan topik yang dipilih oleh peneliti, yaitu bentuk objek yang digunakan dan sasaran objek yang dituju. Pada beberapa penelitian di atas, objek yang digunakan adalah bentuk penolakan terhadap perintah secara umum, dan sasaran objeknya adalah bahasa Jawa, bahasa Inggris, dan bahasa Indonesia, sedangkan pada penelitian ini, objek yang digunakan adalah tuturan penolakan cinta dalam bahasa Indonesia. Oleh karena tidak adanya kesamaan yang siginifikan pada penelitian terdahulu dengan penelitian ini, pemilihan tema tersebut digunakan dalam penelitian ini.
9
1.6 Kerangka Pendekatan Penelitian Bahasa merupakan sistem lambang bunyi arbitrer yang digunakan oleh anggota suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasi diri (KBBI, 2014:116). Bahasa merupakan alat untuk berkomunikasi dan berinteraksi sosial yang penting bagi manusia, karena semua aktivitas yang dikerjakan oleh manusia selalu menggunakan bahasa. Sebagai suatu sistem, bahasa terbentuk oleh suatu aturan, kaidah, atau pola-pola tertentu, baik dalam bidang tata bunyi, tata bentuk kata, maupun tata kalimat yang semuanya tidak dapat dilanggar (Rurut, 2013). Penelitian ini menggunakan landasan sosiolinguistik sebagai pendekatannya. Penelitia n yang dilakukan oleh Rurut (2013) di atas dijadikan sebagai acuan karena menggunakan pendekatan yang sama. M enurut M eyerhoff (2006:1), sosiolinguistik merupakan ranah kajian atau pendekatan yang sangat luas, dan dapat digunakan untuk mendeskripsikan berbagai macam cara yang berbeda dalam mempelajari bahasa. Sosiolinguistik mengkaji tentang bagaimana setiap individu penutur menggunakan bahasa, bagaimana setiap manusia menggunakan bahasa yang berbeda di tiap daerah yang berbeda, juga tentang bagaimana masyarakat memutuskan bahasa seperti apa yang berlaku atau digunakan di suatu daerah atau dalam proses edukasi.
Sejalan dengan pendapat M eyerhoff, Halliday (via Sumarsono, 2014:2) menyebutkan bahwa sosiolinguistik m engkaji pertautan bahasa dengan orang-orang yang memakai bahasa itu. Holmes (1997:1) kemudian juga menyebutkan bahwa sosiolinguistik mengkaji hubungan antara bahasa dan sosial. Sosiolinguistik mengkaji
10
mengapa manusia bertutur dengan berbeda -beda dalam konteks sosial yang berbedabeda pula, serta mengidentifikasi fungsi sosial bahasa dan bagaimana bahasa digunakan untuk menyampaikan makna sosial. Sosiolinguistik merupakan cabang linguistik yang mempelajari hubungan dan saling pengaruh antara perilaku sosial dan perilaku bahasa (Kridalaksana, 2011:225). Bram dan Dickey (via Ohoiw otun, 2007:9) juga menyatakan bahwa sosiolinguistik mengkhususkan kajiannya pada bagaimana bahasa berfungsi di tengah masyarakat. Dalam sosiolinguistik, bahasa dipandang sebagai tingk ah laku sosial yang digunakan dalam komunikasi (Sumarsono, 2014:19). Pendapat tersebut juga sejalan dengan pendapat Wardhaugh (1986:12), bahwa sosiolinguistik mengkaji hubungan antara bahasa dan sosial dengan tujuan agar manusia lebih memahami dengan baik tentang struktur kebahasaan dan bagaimana bahasa berfungsi dalam komunikasi.
Sosiolinguistik mengkaji pengaruh antara struktur sosial dan kebahasaan. Beberapa faktor sosial yang berpengaruh bagi struktur sosial tersebut di antaranya seperti kelas sosial penutur, tingkat pendidikan, usia penutur, gender, media tuturan, relasi antarpenutur, dan lain sebagainya. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Wardhaugh (1986:11), sosiolinguistik mencari relasi antara struktur sosial dan struktur kebahasaan dan mengobservasi segala perubahan yang terjadi. Struktur sosial tersebut dapat dilihat dari beberapa faktor yang memengaruhinya seperti kelas sosial dan latar belakang pendidikan, sehingga kebiasaan verbal dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor tersebut. Wardhaugh juga memaparkan, untuk mengetahui apakah
11
struktur sosial dan struktur kebahasaan saling berelasi, tidak hanya ditentukan dari struktur sosial yang menyebabkan adanya struktur bahasa, atau juga sebaliknya. Relasi tersebut dapat juga disebabkan oleh adanya faktor ketiga atau faktor lainnya, yang dalam hal ini berarti faktor sosial.
1.6.1 Bahasa dan Hubungan Antarpenutur
Terdapat sejumlah ragam atau variasi di dalam sebuah bahasa yang dapat dipilah berdasarkan faktor yang mendasarin ya. Salah satu di antara sejumlah ragam tersebut adalah sosiolek, yaitu ragam yang pemilahannya berdasarkan atas perbedaan faktor-faktor sosial seperti usia, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, kasta, dan sebagainya (Sumarsono, 2014:27). M enurut Nababan (via Sumarsono, 2014:27), terdapat istilah lain yang lebih rinci, yaitu fungsiolek. Fungsiolek adalah ragam bahasa yang didasarkan atas perbedaan fungsi ragam.
Salah satu faktor penting yang dapat memengaruhi ragam tersebut adalah hubungan antara penutur dengan mitra tutur. Hubungan atau jarak sosial yang berbeda antara keduanya dapat menciptakan tingkat keformalan tuturan antara penutur dan lawan tutur, kemudian tingkat keformalan tersebut menimbulkan sebuah situasi tertentu. Berdasarkan situasinya, menurut M artin Joos (via Nababan, 1993:22) ragam bahasa tersebut dapat dikelom pokkan menjadi lima jenis, yaitu 1) ragam baku, 2) ragam resmi, 3) ragam konsultatif, 4) ragam santai, dan 5) ragam akrab.
12
Ragam baku adalah ragam bahasa paling resmi yang digunakan dalam situasisituasi khidmat seperti upacara resmi, penulisan dokumen bersejarah seperti undang undang, serta dokumen penting lainnya. Ragam resmi atau formal adalah ragam bahasa yang digunakan dalam pidato-pidato resmi, rapat dinas, atau rapat resmi lainnya. Ragam usaha atau konsultatif adalah ragam bahasa yang sesuai dengan bidang tertentu, misalnya bidang pendidikan, perusahaan, bisnis, dan sebagainya, atau ragam yang berada pada tingkat paling operasiona l. Ragam santai adalah ragam bahasa yang digunakan antarteman dalam perbincangan sehari-hari. Ragam akrab adalah ragam bahasa antaranggota yang akrab dalam keluarga atau teman, tidak memerlukan penggunaan bahasa secara lengkap dan artikulasi yang terang. H al tersebut disebabkan oleh adanya saling pengertian dan pengetahuan satu sama lain. Pada ragam ini biasanya banyak digunakan istilah atau kata -kata khas bagi suatu keluarga atau kelom pok tertentu.
1.6.2 Bahasa dan Media
M enurut Thomas dan Wareing (2007:7 8— 79), media adalah tempat yang sangat berpotensi untuk memproduksi dan menyebarluaskan makna sosial, atau dengan kata lain, media berperan besar dalam menentukan makna dari kejadian yang terjadi di dunia untuk budaya, masyarakat, atau kelompok sosial tertentu. Dapat dikatakan, media komunikasi adalah sarana atau cara agar sebuah bahasa dapat disampaikan oleh penutur dan tersampaikan kepada lawan tutur. M edia komunikasi
13
tersebut sangat banyak macamnya, seperti media cetak, media elektronik, dan sebagainya.
Pada penelitian ini, penutur menyampaikan penolakan cinta secara langsung atau tanpa media dan dengan menggunakan media elektronik. M edia elektronik yang dimaksud pada penelitian ini adalah media telepon, media telepon genggam (handphone) dan media komputer. Berdasarkan informasi yang diperoleh dalam penelitian ini, penutur menyampaikan tuturan penolakannya secara langsung, melalui SM S (Short Message Service) yang menunjukkan penggunaan media telepon genggam, melalui telepon yang menunjukkan penggunaan med ia telepon, serta melalui jejaring internet yang menunjukkan penggunaan media komputer.
1.6.3 Bahasa dan Gender Gender bukanlah sesuatu yang dibawa oleh manusia sejak lahir, dan bukan sesuatu yang dimiliki oleh manusia, melainkan sesuatu yang dilakukan (West dan Zimmerman via M cConnel-Ginet dan Eckert, 2003:10). Gender dan jenis kelamin adalah dua hal yang berbeda. Jenis kelamin adalah kategorisasi secara biologis yang berdasarkan pada potensi reproduksi, sedangkan gender adalah perluasan sosial dari jenis kelamin secara biologis (M cConnel-Ginet dan Eckert, 2003:10). O leh karena itu, pembagian dalam jenis kelamin dan gender pun berbeda. Pada jenis kelamin, pembedaannya adalah laki-laki dan perempuan, sedangkan pada gender adalah feminin dan maskulin.
14
Perbedaan gender dalam bahasa seringkali hanya menjadi salah satu dari perbedaan kebahasaan yang lebih luas dalam masyarakat yang mencerminkan status sosial atau perbedaan kekuasaan. Jika sebuah komunitas sangat hirarkis dan dalam setiap tingkat dari hirarki, laki-laki lebih kuat daripada perempuan, maka perbedaan linguistik antara tuturan perempuan dan laki-laki dimungkinkan hanya menjadi satu dimensi dari perbedaan yang lebih luas yang mencerminkan hirarki sosial secara keseluruhan (Holmes, 1998:166). Laki-laki dan perempuan tidak berbicara dalam cara yang sama seperti orang lain dalam komunitas apa pun (Holmes, 1998:164). Pada semua kelompok sosial, perempuan menggunakan bentuk-bentuk yang lebih standar daripada laki-laki. Bentuk-bentuk standar tersebut biasanya berhubungan dengan bentuk yang lebih formal dan interaksinya lebih bersifat pribadi (Holmes, 1998:173). Dalam beberapa bahasa, aturan bentuk gender menjadi yang utama. Aturan aturan ini kemudian menandai dan melambangkan pembedaan pada wanita dan pri a, dalam hal ini diperluas menjadi gender feminin dan maskulin. Namun, pola yang lebih umum adalah preferensi untuk alternatif linguistik, yang dibuktikan melalui frekuensi penggunaan berbagai variasi bahasa, termasuk di dalamnya adalah suara, kata-kata, atau konstruksi tata bahasa. Dengan demikian, bahasa dinyatakan sebagai hal yang penting dalam menciptakan model budaya feminin dan maskulin. Bahasa kemudian
memberikan
gambaran
tentang
status
mereka
secara
tepat
dan
15
mencerminkan bentuk perilaku serta mempe rkuat penggunaan budaya yang tertanam pada simbol gender (Bonvillain, 2008:356).
1.6.4 Skala Kesopanan Berbahasa
Brown dan Levinson (via Wijana dan Rohmadi, 2011:62) mengidentifikasi empat strategi dasar dalam menyampaikan tuturan, yaitu 1) kurang sopan; 2) agak sopan; 3) lebih sopan; 4) paling sopan. Keempat strategi tersebut harus dikaitkan dengan tiga parameter pragmatik, yaitu 1) tingkat jarak sosial (distance); 2) tingkat status sosial (power), dan 3) tingkat peringkat tindak tutur (rank). Pertama, tingkat jarak sosial banyak ditentukan berdasarkan parameter perbedaan usia, jenis kelamin, dan latar belakang sosiokultural. Biasanya, semakin tua umur seseorang, peringkat kesantunan dalam bertututurnya lebih tinggi. Wanita cenderung memiliki kesantunan lebih tinggi daripada pria. Orang yang memiliki jabatan tertentu dalam masyarakat, peringkat kesantunannya lebih tinggi.
Kedua, tingkat status sosial didasarkan atas kedudukan yang asimetris antara penutur dan lawan tutur dalam suatu konteks tuturan . M isalnya, di dalam ruang kelas, dosen memiliki kekuasaan lebih tinggi daripada mahasiswa, atau di jalan raya, polisi memiliki kuasa lebih tinggi daripada para pengguna jalan lainnya. Ketiga, tingkat peringkat tindak tutur didasarkan atas kedudukan relatif antartindak tutur. M isalnya, dalam situasi normal, meminjam mobil kepada seseorang dapat dipandang tidak sopan. A kan tetapi, dalam situasi yang mendesak seperti untuk mengantar orang yang
16
sedang sakit atau kecelakaan, tindakan tersebut menjadi wajar (Wijan a dan Rohmadi, 2011:63).
1.6.5 Basa-Basi
Penelitian ini juga merujuk pada bentuk penolakan cinta yang menggunakan basa-basi. Penelitian yang dilakukan oleh Arimi (1998) digunakan sebagai acuan dalam penelitian ini karena memberikan gambaran tentang bentuk -bentuk basa-basi yang juga sedikit dipaparkan dalam penelitian ini. M enurut Arimi (1998:171), berdasarkan daya tuturnya, basa-basi dapat dibagi menjadi basa-basi murni dan basabasi polar. Basa-basi murni merupakan ungkapan basa-basi yang digunakan secara otomatis sesuai dengan gejala peristiwa tutur yang muncul, misalnya mengucapkan salam Selamat pagi, menyapa, mengucapkan Selamat datang, menanyakan kabar, dan berpamitan. Seseorang dapat mengucapkan Selamat pagi karena kenyataannya adalah pagi hari, kemudian mengucapkan Selam at datang karena kenyataannya ada orang yang baru saja datang. Oleh karena itu, tuturan tersebut disebut adalah tuturan yang sesuai dengan realitasnya. M odus basa -basi murni di sini dapat sebagai tegur sapa, sopan santun, atau ramah tamah.
Basa-basi polar merupakan wujud basa-basi yang tuturannya berlawanan dengan realitasnya (Arimi, 1998:172). Dalam wujud struktur batin berbentuk X, sedangkan wujud struktur permukaannya berbentuk Y , dengan kata lain, antara tuturan dan kenyataan tidak memiliki korespondensi. Dalam linguistik, kepolaran
17
yang dimaksud dapat ditunjukkan dari ke -asimetrisan tuturan. Artinya, orang sering kali harus memilih tuturan yang tidak seharusnya untuk menunjukkan sikap yang lebih sopan, misalnya dalam hal ajakan atau penolakan. Tuturan dapat dikategorikan sebagai tuturan basa-basi polar atau bukan dapat ditandai dengan perulangan tuturan, baik
berupa
repetisi,
parafrase,
atau
spontanitas
penutur.
Pada
titik
yang
menyakinkan, biasanya setelah perulangan yang ketiga, baru dapat dianggap bahwa penutur tidak berbasa-basi (Arimi, 1998:173). Oleh karena itu, penentuannya dilakukan secara pragmatis oleh lawan tutur.
1.7 Data dan Metode M enurut Sudaryanto (1993:5), terdapat tiga tahapan yang dilewati dalam penelitian, yaitu tahap penyediaan data, tahap analisis data, dan tahap penyajian hasil analisis data. Peneliti menerapkan tiga tahap tersebut dalam penelitian ini. M etode penyediaan data pada penelitian ini awalnya dilakukan dengan metode wawancara terhadap lima orang pembahan bergender feminin dan lima orang pembahan bergender maskulin. Akan tetapi, metode wawancara dirasa kurang menunjang peneliti untuk memperoleh data. Hal tersebut disebabkan oleh hampir dari setengah jumlah pembahan tidak dapat memberikan jawaban atau data yang memadai, malu malu untuk menjawab, menjawab dengan tidak lengkap, tidak memahami maksud pertanyaan peneliti, dan sebagainya. O leh karena itu, peneliti mengubah teknik pengumpulan data dengan menyebar kuesioner secara langsung terhadap 15 pembahan bergender feminin dan 15 pembahan bergender maskulin. Akan tetapi,
18
metode tersebut juga dirasa masih menyulitkan peneliti karena memerlukan cukup banyak waktu. Kemudian, peneliti kembali mengubah teknik pengumpulan da ta dengan menyebar kuesioner secara online melalui akun media sosial Facebook, Line, dan What’s App kepada sejumlah pembahan bergender feminin dan bergender maskulin. M etode tersebut dianggap paling memadai, efektif, efisien, dan membantu peneliti dalam mengumpulkan data. Oleh karena itu, data berupa tuturan penolakan cinta yang digunakan adalah tuturan nonverbal atau teks tuturan. M elalui metode tersebut, diperoleh data tuturan sebanyak 342 tuturan yang dianggap valid dan reliabel. Tuturan tersebut terdiri atas 282 pembahan bergender feminin dan 60 pembahan bergender maskulin. Di bawah ini akan ditunjukkan bagan perbandingan persentase antara pembahan feminin dan maskulin.
Tahap berikutnya adalah analisis data yang menggunakan metode padan, yaitu metode analisis yang alat penentunya berada di luar dan tidak menjadi bagian dari bahasa, dalam penelitian ini yaitu mitra tutur dan faktor-faktor sosial. Data berupa tuturan penolakan cinta diklasifikasikan berdasarkan bentuk -bentuknya, kemudian
19
dipaparkan
dan
dianalisis
faktor-faktor
sosial
yang
memengaruhinya,
serta
menganalisis pola tuturan terhadap hubungan pascapenolakan yang berbeda-beda. Tahap terkahir adalah penyajian hasil analisis data yang dilakukan pengambilan hasil kesimpulan dan pemberian saran.
1.8 Sistematika Penyajian Skripsi ini dibagi menjadi lima bagian atau lima bab. Bagian pertama adalah Bab I Pendahuluan, yang meliputi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, ruang lingkup, studi pustaka, landasan teori, data dan metode, serta sistematika penyajian. Bagian kedua adalah Bab II Bentuk-Bentuk Tuturan Penolakan C inta yang terdiri atas bentuk berdasarkan cara penyampaian, bentuk berdasarkan struktur, bentuk berdasarkan situasi, dan bentuk berdasarkan tingkat kesopanan . Bagian ketiga adalah Bab III Pengaruh Faktor-Faktor Sosial terhadap Tuturan Penolakan Cinta yang terdiri atas penolakan cinta berdasarkan hubungan antarpenutur, penolakan cinta berdasarkan media penyampaian, serta penolakan cinta berdasarkan gender . Bagian keempat adalah Bab IV Pola Tuturan terhadap Hubungan Pascapenolakan Cinta yang terdiri atas tuturan penolakan cinta berdampak hubungan normal dan tuturan penolakan cinta berdampak hubungan berjauhan. Bagian terakhir adalah Bab V Kesimpulan
yang
diikuti
dengan
daftar
pustaka
dan
lampiran.