BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Donor Darah Donor darah adalah proses menyalurkan darah atau produk berbasis darah dari
satu orang ke sistem peredaran orang lainnya. Donor darah berhubungan dengan kondisi medis seperti kehilangan darah dalam jumlah besar disebabkan trauma, operasi, syok dan tidak berfungsinya organ pembentuk sel darah merah (Depkes RI, 2009). Donor darah secara sederhana adalah penderma darah atau orang yang menyumbangkan darahnya untuk menolong orang lain yang memerlukannya. Pemberian darah yang ada pada tubuh manusia kepada orang lain sangat bermanfaat bagi kesehatan penerimanya (Depdiknas, 2007). Aktivitas donor darah merupakan kewajiban setiap masyarakat sebagai wujud kepedulian terhadap orang lain. Banyak orang yang tidak tahu tentang manfaat donor darah bagi kesehatan. Bahkan ada juga orang enggan mendonorkan darah karena khawatir terhadap efek samping yang ditimbulkannya. Padahal dengan melakukan donor darah, maka sel-sel darah di dalam tubuh menjadi lebih cepat terganti dengan yang baru. Apabila mendonorkan darah tiga bulan sekali, maka kesehatan tubuh tetap terjaga. Selain bermanfaat untuk membantu orang lain, donor darah juga membuat tubuh kita menjadi lebih sehat (Depkes RI, 2009).
Universitas Sumatera Utara
2.2
Pendonor Darah Sukarela
2.2.1. Pengertian Pendonor Darah Sukarela Pendonor darah sukarela adalah orang yang dan bisa memberi bagian dari tubuhnya untuk orang lain. Penyelenggaraan transfusi darah dilaksanakan atas satu tujuan kemanusiaan dan pada dasarnya kegiatan donor darah adalah untuk menyediakan suplai darah bagi mereka yang membutuhkannya. Meningkatkan kesadaran tentang keselamatan darah dan pentingnya donor sukarela yang akan menjadi fokus dari World Health Organisasi CITES (Depkes RI, 2009). Berdasarkan data WHO (2008) sekitar 75 juta unit darah di dunia dikumpulkan setiap tahun, tetapi hanya 53% dari yang sukarela, nonpaid donor. Sekitar 18 unit milhon tidak diuji untuk transfusi-jangkit infeksi; WHO mengatakan bahwa di antara 5% dan 10% dari kasus infeksi HIV disebabkan oleh transfusi dari kejangkitan darah dan produk darah. WHO berharap menggunakan hari untuk mendorong pemerintah dan kebijakan untuk mencapai pasokan darah yang aman. Motif yang biasanya melatari orang mendonorkan darahnya antara lain misi sosial atau menolong keluarga. Dari motif-motif tersebut, pendonor terbaik adalah mereka yang menyumbangkan darahnya secara rutin dan berkesinambungan secara sukarela yaitu sekali dalam tiga bulan. 2.2.2. Jenis-jenis Pendonor Darah Sukarela Menurut Aziz (2000) bahwa masyarakat yang mendonorkan darahnya, dapat dibedakan berdasarkan kriteria pendonor darah sebagai berikut :
Universitas Sumatera Utara
a. Donor Keluarga atau pengganti Pada sistem ini darah yang dibutuhkan pasien dicukupi oleh donor dari keluarga atau kerabat pasien. Biasanya pasien diminta untuk menyumbangkan darahnya, dan donor tidak dibayar oleh unit transfusi darah (UTD) atau Rumah Sakit, tetapi mereka mungkin diberi uang atau bayaran dalam bentuk lain oleh keluarga pasien. b. Donor Komersial Donor menerima uang atau hadiah untuk darah yang disumbangkan bahkan mungkin mereka telah memiliki kontrak. c. Donor Sukarela Adalah orang yang memberikan darah, plasma atau komponen darah lainnya atas kerelaan sendiri dan tidak menerima uang tau bentuk pembayaran lainnya, mereka hanya membantu penerima darah yang mereka tidak kenal dan tidak menerima suatu keuntungan. Donor ini tidak dibayar, karena niat si pendonor untuk menolong si pasien itu sendiri (Depkes RI, 2009). Hal-hal yang biasanya tidak dipandang sebagai pembayaran atau pengganti uang antara lain : 1. Tanda jasa atau penghargaan sederhana, seperti badge atau sertifikat yang tidak memiliki nilai komersil. 2. Pengganti biaya perjalanan secara khusus harus dilaksanakan dalam rangka menyumbangan darah 3. Pemberian makanan ringan sebelum, selama atau setelah menyumbangan darah
Universitas Sumatera Utara
2.2.3. Manfaat Pendonor Darah Sukarela Menurut Contreras (1995), beberapa keuntungan yang dimiliki donor sukarela dibanding dengan jenis donor lain, yaitu : 1. Donor sukarela tidak dalam tekanan untuk menyumbangkan darah, oleh karena itu cenderung lebih memenuhi syarat sebagai donor darah resiko rendah. 2. Donor sukarela bersedia menyumbangkan darah secara teratur, sangat penting untuk menjaga kecukupan persediaan darah. 3. Donor teratur cenderung lebih bebas dari infeksi yang dapat ditularkan melalui transfusi, karena mereka sadar akan pentingnya keamanan darah dan diperiksa setiap mereka menyumbangkan darah. 4. Donor
sukarela
cenderung
lebih
tanggap
terhadap
himbauan
untuk
menyumbangkan darah pada keadaan darurat, karena mereka telah menunjukkan kepedulian terhadap donasi darah. Menurut pendapat Munandar (2008), bahwa alasan masyarakat melakukan transfusi darah adalah sebagai berikut : 1. Donor darah membuat orang menjadi lebih memperhatikan kesehatannya. Seseorang yang akan donor darah dan setelahnya akan selalu memperhatikan perkembangan kesehatan dirinya. 2. Donor darah membuat bahagia. Ketika pendonor berhasil mendonorkan darahnya, maka yang ada dalam pikirannya adalah rasa bahagia karena bisa melakukan sesuatu untuk orang lain yang sedang membutuhkan.
Universitas Sumatera Utara
3. Donor darah menambah ilmu kesehatan. Orang yang akan donor, sering menunggu dan membaca artikel kesehatan, sehingga menambah khazanah ilmu kesehatannya. 4. Donor darah adalah silaturahmi dengan banyak orang, paramedis dan dokter. Pertemuan ini membuat terjadi saling tukar pengalaman tentang kesehatan. 5. Donor darah membuat metabolisme sumsum tulang menjadi lebih aktif 6. Donor darah membantu diet overweight. Banyak orang yang bingung ketika tubuhnya kegemukan. Darah 300cc bila dihitung kalorinya, bisa setara ribuan kalori. Bila setiap 3 bulan sekali diambil 300cc, maka ada pengurangan kalori yang signifikan dan alami. 7. Donor darah mengaktifkan titik akupunktur. Daerah volvair lengan yang menjadi area tusuk pada waktu donor merupakan area padat titik akupunktur. Tusukan pada daerah itu secara acak pun berpotensi mengaktifkan simpul syaraf atau limpha yang memengaruhi tubuh secara positif. 8. Donor darah menyehatkan tubuh dengan mekanisme totok darah. Pengambilan darah pada saat donor bisa merupakan pengaktifan mekanisme totok. Banyak orang yang merasa lebih enak setelah donor. 9. Donor darah membuat orang berpikir positif. Pendonor tidak pernah berpikir untuk siapa darahnya. Semua diikhlaskan untuk orang yang memerlukan. Pikiran positif ini membangun hati seseorang dan membuat seseorang selalu berpikiran positif.
Universitas Sumatera Utara
10. Donor darah merupakan perbuatan kemanusiaan bagi sesama. Pendonor darah adalah orang yang mau dan bisa memberi bagian dari tubuhnya untuk orang lain. Pahala tertinggi diberikan Tuhan bagi orang bersedekah paling banyak, bukan diukur dari jumlahnya tetapi berapa persen dari yang dimilikinya. Menurut Trevor J. Cobain (2004), ketersediaan pendonor darah potensial terus meningkat. Terdapat beberapa komponen darah yang hilang sepanjang rangkaian produksi dari perekrutan donor, kehadiran, dan pendarahan yang dialami pendonor, proses produksi. Dibutuhkan persyaratan dan potensial untuk meningkatkan ketersediaan produk dengan strategi rekrutmen yang lebih baik, metode produksi, inventori manjemen, dan seleksi penerima. 2.2.4. Syarat-syarat Menjadi Pendonor Darah Sukarela Pendonor darah harus terlebih dahulu menjalani pemeriksaan kesehatan, baik pengukuran tekanan darah, golongan darah, HB mau pun konsultasi medis. Sebagian calon pendonor mungkin berkeinginan untuk mendonorkan darahnya, tapi itu semua tergantung dengan jalinan jodoh, sehingga ada yang memenuhi persyaratan untuk mendonorkan darah dan ada yang terpaksa kecewa. Dengan meningkatnya permintaan suplai darah di masyarakat, persediaan darah yang mencukupi dan rasa aman sangat dibutuhkan. Meskipun demikian, perekrutan dan pemeliharaan pendonor darah tetap sebagai tantangan utama bagi organisasi donor darah (Masser, 2008). Adapun syarat-syarat untuk menjadi penyumbang darah (donor darah) menurut UTD PMI Medan (2009) adalah:
Universitas Sumatera Utara
a. Umur 18 – 61 tahun b. Berat badan 50 kg atau lebih c. Tekanan darah110 – 160 / 70 – 100 mmHg d. Tidak berpenyakit jantung, hati, paru-paru, ginjal, kencing manis, penyakit pendarahan, kejang, kanker, penyakit kulit kronis e. Tidak hamil, menyusui dan menstruasi f. Bagi donor tetap, penyumbang darah terakhir minimal 8 minggu yang lalu, maksimal 5 kali setahun. g. Kulit lengan donor sehat h. Tidak menerima transfusi / komponen darah 6 bulan terakhir dan tidak demam i. Tidak menderita penyakit HIV / AIDS b. Bukan pecandu alkohol / narkoba c. Tidak mendapat imunisasi dalam 2-4 minggu terakhir dan tidak demam d. Tidak digigit binatang yang menderita rabies dalam 1 tahun terakhir e. Beritahu petugas bila makan aspirin dalam 3 hari terakhir. Menurut Aziz (2000), pendonor darah harus memenuhi berbagai persyaratan untuk mendonorkan darahnya antara lain : memiliki berat badan diatas 50 kg, HB darah sesuai dengan tes, tekanan darah pendonor minimal 110/70 mmhg dan pendonor darah harus beristirahat lebih dari 6 jam sebelum mendonorkan darahnya. 2.2.5. Faktor-faktor yang Memengaruhi Pendonor Darah Sukarela
Universitas Sumatera Utara
Menurut Masser (2008), faktor psikologi, sosiodemografi, organisasi, faktorfaktor yang memengaruhi kerelaan masyarakat untuk donor darah sebagai upaya untuk memusatkan perhatian terhadap donor darah. Pertumbuhan jumlah kajian juga telah menyoroti peran faktor psikologi dalam menjelaskan, memprediksi, dan mempromosikan perilaku donor darah. Secara etimologi, psikologi artinya ilmu yang mempelajari tentang jiwa, baik mengenai macam gejalanya, prosesnya maupun latar belakangnya. Sedang jiwa adalah daya hidup rohaniah yang bersifat abstrak, yang menjadi penggerak dan pengatur bagi sekalian perbuatan-perbuatan pribadi (personal behavior). Oleh karena sifatnya abstrak, maka hanya dapat diketahui gejalanya saja. Gejala kejiwaan (psikologi) yang menentukan perilaku seseorang dipengaruhi oleh berbagai faktor lain, diantaranya faktor pengalaman, keyakinan, fasilitas, sosiobudaya masyarakat (dalam Ahmadi, 1992). Menurut Spearman (dalam Notoatmodjo, 2007) didalam menyelidiki dan mencari sikap hakikatnya inteligensi orang mempergunakan teknik analisis faktor. Teknik analisis Spearman menemukan bahwa tiap tingkah laku manusia dimungkinkan oleh adanya dua faktor, yaitu (1) faktor umum (general factor) yang merupakan hal atau faktor yang mendasari segala tingkah laku individu, (2) faktor khusus (special factor) yang berhubungan dengan keturunan dan pengalaman (lingkungan pendidikan). Menurut O’Brien SF (2006), pemahaman yang lebih baik dari perilaku pendonor darah telah dicatat menjadi kunci yang penting bagi pengumpul darah
Universitas Sumatera Utara
internasional. Seluruh pendonor darah (apheresis pendonor di Australia) merupakan perilaku usaha secara sukarela dengan penghargaan-penghargaan yang secara jelas dan nyata (Healy, 2006). Pada dekade-dekade terakhir, sejumlah tinjauan-tinjauan utama telah dijalankan untuk mempertimbangkan faktor kedudukan organisasi dan individu bisa berdampak terhadap keputusan untuk mendonorkan darah. Walaupun penelitian sebelumnya memiliki perhatian besar terhadap rekrutmen pendonor, khususnya, variabel demografi yang dihubungkan dengan perilaku donor darah. dan masalah kelangsungan donor darah menjadi sangat penting (Ferguson E, 1996). 2.2.6. Risiko Donor Darah Berbagai macam cara telah ditemukan untuk menyelamatkan nyawa seseorang, salah satunya adalah dengan melakukan kegiatan donor darah sebagai langkah
preventif
untuk
menyediakan
suplai
darah
bagi
mereka
yang
membutuhkannya. Kegiatan donor darah ini kerap diselenggarakan secara rutin oleh PMI dan unsur-unsur terkait untuk tujuan mulia, yaitu kemanusiaan dan kepedulian sosial. Donor darah penting dalam merawat banyak masalah medis, seperti kanker dan kelainan darah, dan juga dalam merawat luka tertentu dan prosedur bedah yang besar di mana terjadi banyak kehilangan darah (Depkes RI, 2009). Walaupun suplai darah di Australia amat aman, donor darah tidak bebas dari risiko, dan komplikasi dapat terjadi, sama seperti untuk segala prosedur medis. Reaksi parah terhadap donor darah jarang sekali, tetapi dapat membawa akibat parah,
Universitas Sumatera Utara
dan jarangnya, bahkan maut. Reaksi imun atau alergi mungkin terjadi. Mungkin ada risiko yang bertambah untuk infeksi setelah operasi dan jangka waktu rawat inap yang lebih panjang untuk pasien bedah. Reaksi ringan pada kulit atau demam kadangkadang terjadi (satu atau dua reaksi untuk setiap ratus transfusi). Pasien yang menerima transfusi secara berkala menghadapi risiko lebih besar akan menderita reaksi tersebut. Walaupun diuji semua darah yang disumbangkan, risiko penularan bahan menular (termasuk virus hepatitis, HIV dan bakteria) tidak dapat dipastikan sepenuhnya bahwa tidak akan terjadi. Risiko ini teramat rendah (O’Brien, 2006). Menurut David Lee (2006), survei terhadap masyarakat awam pada dekade lalu menunjukkan perhatian publik tentang keamanan transfusi masih merupakan hal yang biasa, didominasi oleh ketakutan yang berkelanjutan akan tertular infeksi HIV. Tanggapan semacam ini berkelanjutan meskipun pengenalan bahwa transfusi darah lebih aman sekarang ini daripada beberapa tahun lalu. Penghakiman oleh masyarakat awam sekilas mungkin tampaknya tidak rasional dan dapat dipahami bila metode, bias, dan bentuk penghakiman manusia akan resiko itu dipertimbangkan. Persepsi terhadap resiko menyarankan bahwa masyarakat awam memahami resiko tidak begitu berhubungan dengan pandangan tiga dimensi terhadap resiko sebagai suatu probabilitas dan lebih erat kaitannya terhadap konstuksi multidimensi yang komplek dalam hal efek, alasan, pandangan dunia, kepercayaan, dan faktor lainnya merupakan hal yang saling berkaitan.
Universitas Sumatera Utara
Donor darah tidak bebas dari risiko, dan penting agar mempertimbangkan alternatif untuk transfusi, dan cara untuk mengurangi jumlah darah yang digunakan. Alternatifnya termasuk mendeteksi dan merawat anemia sebelum pembedahan yang dijadwalkan mengambil darah yang hilang ketika pembedahan dan mengembalikan darah. Walaupun pengambilan dan transfusi darah otologus tampaknya bebas dari risiko, sebenarnya demikian. Pengambilan darah sebelum pembedahan umumnya tidak dianjurkan kecuali dalam keadaan khusus, seperti kelompok darah jarang di mana sulit untuk mendapatkan padanan darah (Prawira, 2010). David (2006) menambahkan bahwa risiko yang timbul selama/setelah melakukan transfusi darah antara lain: 1. Reaksi tranfusi cepat yang timbul selama tranfusi sampai 48 jam sesudahnya. Terdiri dari : a. Reaksi tranfusi panas b. Reaksi tranfusi alergi c. Reaksi tranfusi hemolitik d. Reaksi tranfusi Bakteremia/seplis 2. Reaksi tranfusi lambat yang timbul ( 48 jam. Terjadi setelah 3 – 21 hari sesudah tranfusi karena efek antibodi yang terbentuk 3. Circulatory Overload Terjadi bila pemberian tranfusi darah terlalu cepat atau terlalu banyak. 4. Penularan Penyakit
Universitas Sumatera Utara
a. Penyakit Hepatitis B,C,D dan Hepatitis Pasca tranfusi terjadi antara 2 minggu sampai 6 bulan setelah tranfusi, ditandai dengan gangguan faal hati, dari darah donor yang mengandung virus hepatitis. b. HIV/AIDS dari donor darah yang mengandung virus HIV/AIDS. Masa inkubasi bertahun–tahun dan tanpa gejala sampai suatu saat timbullah ”AIDS Related Complex” lalu ”Full Blown AIDS” terjadi antara tranfusi sampai diagnosa AIDS positif pada orang dewasa (30 bulan & pada anak- anak 13,5 bulan). c. Malaria Disebabkan parasit dalam darah donor yang sakit atau pernah sakit lalu menjadi carrier masa inkubasi pada resipien 6-100 hari. d. Syphilis Dari donor darah yang mempunyai TPHA positif. Dalam darah donor mengandung Treponema Pallidum. Masyarakat suku bangsa pribumi yang tidak bersedia untuk menjadi pendonor darah sukarela berkaitan dengan kurangnya pengetahuan, ketakutan akan jarum suntik yang dapat menyebarkan penyakit menular, juga rasa sosial yang rendah, ataupun beberapa stigma yang berkembang dari masyarakat seperti ketidakpercayaan pada petugas PMI yang akan menggunakan darah yang telah didonorkan untuk diperjualbelikan (PMI Medan, 2009).
Universitas Sumatera Utara
2.3
Perilaku Perilaku dari pandangan biologis adalah merupakan suatu kegiatan atau
aktivitas organisme yang bersangkutan. Jadi perilaku manusia pada hakekatnya adalah suatu aktivitas dari manusia itu sendiri. Oleh sebab itu, perilaku manusia itu mempunyai bentangan yang sangat luas, mencakup berjalan, berbicara, bereaksi, berpakaian, dan sebagainya. Bahkan kegiatan internal (internal activity) seperti berpikir, persepsi dan emosi juga merupakan perilaku manusia. Untuk kepentingan kerangka analisis dapat dikatakan bahwa perilaku adalah apa yang dikerjakan oleh organisme tersebut, baik dapat diamati secara langsung atau secara tidak langsung. Perilaku dan gejala perilaku yang tampak pada kegiatan organisme tersebut dipengaruhi baik oleh faktor genetik (keturunan) dan lingkungan. Secara umum dapat dikatakan bahwa faktor genetik dan lingkungan ini merupakan penentu dari perilaku makhluk hidup termasuk perilaku manusia. Hereditas atau faktor keturunan adalah adalah konsepsi dasar atau modal untuk perkembangan perilaku makhluk hidup itu untuk selanjutnya. Sedangkan lingkungan adalah suatu kondisi atau merupakan lahan untuk perkembangan perilaku tersebut. Suatu mekanisme pertemuan antara kedua faktor tersebut dalam rangka terbentuknya perilaku disebut proses belajar (learning process). Menurut Notoatmodjo (2003) perilaku adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik yang dapat diamati langsung maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak luar. Perilaku adalah tindakan atau perbuatan suatu organisme yang dapat
Universitas Sumatera Utara
diamati dan bahkan dapat dipelajari. Perilaku tidak sama dengan sikap. Sikap adalah hanya suatu kecenderungan untuk mengadakan tindakan terhadap suatu objek, dengan suatu cara yang menyatakan adanya tanda-tanda untuk menyenangi atau tidak menyenangi objek tersebut. Sikap hanyalah sebagian dari perilaku manusia . Menurut Ensiklopedia Amerika perilaku diartikan sebagai suatu aksi atau reaksi organisme terhadap lingkungannya. Hal ini berarti bahwa perilaku baru terjadi apabila ada sesuatu yang diperlukan untuk menimbulkan reaksi, yakni yang disebut rangsangan. Dengan demikian maka suatu rangsangan akan menghasilkan reaksi atau perilaku tertentu. Pada dasarnya bentuk perilaku dapat diamati melalui sikap dan tindakan. Namun perilaku juga dapat bersifat potensial yakni dalam bentuk pengetahuan, motivasi dan persepsi. Bloom (dalam Notoatmodjo, 2003) membedakan menjadi tiga macam bentuk perilaku yang kognitif, afektif dan psikomotor. Notoadmojo (2005) menambahkan menyebutkan bahwa perilaku terdiri dari unsur-unsur knowledge (pengetahuan), attitude (sikap), dan practise (tindakan). Ki Hajar Dewantara menyebutnya dengan cipta, rasa, dan karsa atau peri akal, dan peri tindakan. 2.3.1. Pembentukan dan Perubahan Perilaku Didalam suatu pembentukan dan atau perubahan, perilaku dipengaruhi oleh beberapa faktor yang berasal dari dalam dan dari luar individu itu sendiri. Faktorfaktor tersebut antara lain susunan saraf pusat, persepsi, motivasi, emosi, proses belajar, lingkungan, dan sebagainya. Susunan saraf pusat memegang peranan penting
Universitas Sumatera Utara
dalam perilaku manusia karena merupakan sebuah bentuk perpindahan dari rangsangan yang masuk menjadi perbuatan atau tindakan (Notoatmodjo, 2007). Perubahan-perubahan perilaku dalam diri seseorang dapat diketahui melalui persepsi. Persepsi sebagai pengalaman yang dihasilkan melalui panca indera. Setiap orang mempunyai persepsi yang berbeda meskipun mengamati objek yang sama. Motivasi yang diartikan sebagai suatu dorongan untuk bertindak dalam rangka mencapai suatu tujuan, juga dapat terwujud dalam bentuk perilaku. Perilaku juga dapat timbul karena emosi. Aspek psikologis yang memengaruhi emosi berhubungan erat dengan keadaan jasmani, yang pada hakekatnya merupakan faktor keturunan (bawaan). Manusia dalam mencapai kedewasaan semua aspek tersebut diatas akan berkembang sesuai dengan hukum perkembangan. Belajar diartikan sebagai suatu proses perubahan perilaku yang dihasilkan dari praktek-praktek dalam lingkungan kehidupan. Belajar adalah suatu perubahan perilaku yang didasari oleh perilaku terdahulu (sebelumnya). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa perilaku itu dibentuk melalui suatu proses dan berlangsung dalam interaksi manusia dengan lingkungannya. Faktor-faktor yang memengaruhi terbentuknya perilaku dibedakan menjadi 2, yakni faktor intern dan ekstern. Faktor intern mencakup pengetahuan, kecerdasan, persepsi, emosi, motivasi dan sebagainya yang berfungsi untuk mengolah rangsangan dari luar. Sedangkan faktor ekstern meliputi lingkungan sekitar, baik fisik maupun non fisik seperti iklim, manusia, sosial ekonomi, kebudayaan dan sebagainya.
Universitas Sumatera Utara
Dari uraian di atas tampak jelas bahwa perilaku merupakan konsepsi yang tidak sederhana, sesuatu yang kompleks, yakni suatu pengorganisasian proses-proses psikologis oleh seseorang yang memberikan predisposisi untuk melakukan responsi menurut cara tertentu terhadap suatu objek. Skiner (dalam Notoadmodjo, 2005) seorang ahli psikologi merumuskan bahwa perilaku merupakan respons atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Namun dalam memberikan respons sangat tergantung pada karakteristik atau faktor-faktor lain dari orang yang bersangkutan. Manusia adalah kotak tertutup, dan seluruh variabel yang menjelaskan tingkah laku dan output-output tingkah laku (motif, dorongan, emosi, dan sebagainya) harus dikesampingkan dalam penyelidikan psikologi. Skinner (1938) membedakan adanya 2 respons, yakni : a. Respondent Respons atau Reflexive Respons. Adalah respons yang ditimbulkan oleh rangsangan-rangsangan tertentu. Perangsangan-perangsangan semacam ini disebut eliciting stimuli karena menimbulkan respons-respons yang relatif tetap. Respondent respons (respondent behaviour) ini mencakup juga emosi respons atau emotional behaviour. Emotional respons ini timbul karena hal yang kurang mengenakkan organisme yang bersangkutan.
Universitas Sumatera Utara
b. Operant Respons atau Instrumental Respons. Adalah respons yang timbul dan berkembangnya diikuti oleh perangsang tertentu. Perangsang semacam ini disebut reinforcing stimuli atau reinforcer karena perangsangan-perangsangan tersebut memperkuat respons yang telah dilakukan oleh organisme. Oleh sebab itu, perangsang yang demikian itu mengikuti atau memperkuat suatu perilaku yang telah dilakukan. Didalam kehidupan sehari-hari, respons jenis pertama (responden respons atau respondent behaviour) sangat terbatas keberadaannya pada manusia. Hal ini disebabkan karena hubungan yang pasti antara stimulus dan respons, kemungkinan untuk memodifikasinya adalah sangat kecil. Sebaliknya operant respons atau instrumental behaviour merupakan bagian terbesar dari perilaku manusia dan kemungkinan untuk memodifikasi sangat besar bahkan dapat dikatakan tidak terbatas. Secara lebih operasional perilaku dapat diartikan suatu respons organisme atau seseorang terhadap rangsangan (stimulus) dari luar subjek tersebut. Respons ini berbentuk 2 macam, yakni : a. Bentuk pasif adalah respons internal yaitu yang terjadi didalam diri manusia dan tidak secara langsung dapat terlihat oleh orang lain, misalnya berpikir, tanggapan atau sikap batin dan pengetahuan. Misalnya seorang yang menganjurkan orang lain untuk mengikuti keluarga berencana meskipun ia sendiri tidak ikut keluarga berencana. Contoh tersebut terlihat bahwa orang tersebut telah mempunyai sikap yang positif untuk mendukung keluarga berencana meskipun mereka sendiri
Universitas Sumatera Utara
belum melakukan secara konkret terhadap hal tersebut. Oleh sebab itu perilaku mereka ini masih terselubung (covert behaviour). b. Bentuk aktif yaitu apabila perilaku itu jelas dapat diobservasi secara langsung. Misalnya pada kedua contoh di atas, si ibu sudah membawa anaknya ke puskesmas atau fasilitas kesehatan lain untuk imunisasi dan orang pada kasus kedua sudah ikut keluarga berencana dalam arti sudah menjadi akseptor KB. Oleh karena perilaku mereka ini sudah tampak dalam bentuk tindakan nyata maka disebut overt behaviour. Faktor-faktor yang membedakan respons terhadap stimulus yang berbeda disebut determinan perilaku. Menurut Notoadmojo (2005), determinan perilaku dibedakan menjadi dua, yaitu : 1. Determinan atau faktor internal, yakni karakteristik orang yang bersangkutan yang bersifat given atau bawaan, misalnya tingkat kecerdasan, tingkat emosional, jenis kelamin, dan sebagainya. 2. Determinan atau faktor eksternal, yakni lingkungan, baik lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, politik, dan sebagainya. Faktor lingkungan ini merupakan faktor dominan yang mewarnai perilaku seseorang. Menurut Blum (dalam Muninjaya, 2002) menjelaskan faktor perilaku manusia merupakan faktor determinan yang paling besar dan paling sulit ditanggulangi, lebih dominan pengaruhnya pada kesehatan seseorang atau kelompok dibandingkan dengan
Universitas Sumatera Utara
faktor lingkungan karena lingkungan hidup manusia juga merupakan dampak atau ulah perilaku manusia (life stile). Perilaku seseorang, menurut Lewin (1947), harus dilihat dalam konteksnya, artinya dalam situasi dan kondisi apa perilaku itu terjadi. Perhatian pada konteks ini perlu, karena perilaku manusia bukan sekedar respons terhadap stimuli yang diterimanya, akan tetapi merupakan produk atau resultan dari berbagai gaya yang memengaruhinya secara spontan. Lewin menyebut gaya-gaya tersebut sebagai ruang hayat (life space), yang terdiri dari tujuan, serta semua faktor yang disadarinya dan kesadaran dirinya sendiri. Perilaku seseorang merupakan totalitas dari interaksi antara faktor personal, yaitu unsur-unsur internal di dalam dirinya, dengan faktor lingkungannya, yaitu unsur-unsur eksternal, yang secara psikologis memengaruhi dirinya (Rakhmat, 2007). Hal yang penting dalam perilaku kesehatan adalah masalah pembentukan dan perubahan perilaku. Karena perubahan perilaku merupakan tujuan pendidikan atau penyuluhan kesehatan sebagai penunjang program-program kesehatan yang lainnya. Menurut Teori Stimulus-Organisme-Respons (SOR) (dalam Notoadmodjo, 2003), teori ini mendasarkan asumsi bahwa penyebab terjadinya perubahan perilaku tergantung kepada kualitas rangsang (stimulus) yang berkomunikasi dengan organisme. Hosland, et al (1953) mengatakan bahwa proses perubahan perilaku pada hakekatnya sama dengan proses belajar. Proses perubahan perilaku tersebut menggambarkan proses belajar pada individu yang terdiri dari :
Universitas Sumatera Utara
a. Stimulus (rangsang) yang diberikan pada organisme dapat diterima atau ditolak. Apabila stimulus tersebut tidak diterima atau ditolak berarti stimulus itu tidak efektif memengaruhi perhatian individu dan berhenti disini. Tetapi bila stimulus diterima oleh organisme berarti ada perhatian dari individu dan stimulus tersebut efektif. b. Apabila stimulus telah mendapat perhatian dari organisme (diterima) maka ia mengerti stimulus ini dan dilanjutkan kepada proses berikutnya. c. Setelah itu organisme mengolah stimulus tersebut sehingga terjadi kesediaan untuk bertindak demi stimulus yang telah diterimanya (bersikap). d. Akhirnya dengan dukungan fasilitas serta dorongan dari lingkungan maka stimulus tersebut mempunyai efek tindakan dari individu tersebut (perubahan perilaku). Selanjutnya teori ini mengatakan bahwa perilaku dapat berubah hanya apabila stimulus (rangsang) yang diberikan benar-benar melebihi dari stimulus semula. Stimulus yang dapat melebihi stimulus semula ini berarti stimulus yang diberikan harus dapat meyakinkan organisme. Dalam meyakinkan organisme ini, faktor reinforcement memegang peranan penting. Teori Festinger (Dissonance Theory, 1957) (dalam Notoadmodjo, 2003) ini telah banyak pengaruhnya dalam psikologi sosial. Teori ini sebenarnya sama dengan konsep imbalance (tidak seimbang). Hal ini berarti bahwa keadaan cognitive dissonance merupakan keadaan ketidakseimbangan psikologis yang diliputi oleh ketegangan diri yang berusaha untuk mencapai keseimbangan kembali. Apabila
Universitas Sumatera Utara
terjadi keseimbangan dalam diri individu maka berarti sudah tidak terjadi ketegangan diri lagi dan keadaan ini disebut consonance (keseimbangan). Dissonance (ketidakseimbangan) terjadi karena dalam diri individu terdapat 2 elemen kognisi yang saling bertentangan. Yang dimaksud elemen kognisi adalah pengetahuan, pendapat, atau keyakinan. Apabila individu menghadapi suatu stimulus atau objek dan stimulus tersebut menimbulkan pendapat atau keyakinan yang berbeda/ bertentangan didalam diri individu sendiri maka terjadilah dissonance. Teori Fungsi. Teori ini berdasarkan anggapan bahwa perubahan perilaku individu itu tergantung kepada kebutuhan. Hal ini berarti bahwa stimulus yang dapat mengakibatkan perubahan perilaku seseorang apabila stimulus tersebut dapat dimengerti dalam konteks kebutuhan orang tersebut. Menurut Katz (1960) perilaku dilatarbelakangi oleh kebutuhan individu yang bersangkutan. Katz berasumsi bahwa : a. Perilaku itu memiliki fungsi instrumental, artinya dapat berfungsi dan memberikan pelayanan terhadap kebutuhan. Seseorang dapat bertindak (berperilaku) positif terhadap objek demi pemenuhan kebutuhannya. Sebaliknya bila objek tidak dapat memenuhi memenuhi kebutuhannya maka ia akan berperilaku negatif. b. Perilaku dapat berfungsi sebagai defence mecanism atau sebagai pertahanan diri dalam menghadapi lingkungannya. Artinya dengan perilakunya, dengan tindakantindakannya, manusia dapat melindungi ancaman-ancaman yang datang dari luar.
Universitas Sumatera Utara
c. Perilaku berfungsi sebagai penerima objek dan memberikan arti. Dalam peranannya dengan tindakannya itu, seseorang senantiasa menyesuaikan diri dengan lingkungannya. d. Perilaku berfungsi sebagai nilai ekspresif dari diri seseorang dalam menjawab suatu situasi. Nilai ekspresif ini berasal dari konsep diri seseorang dan merupakan pencerminan dari hati sanubari. Oleh sebab itu perilaku itu dapat merupakan "layar" dimana segala ungkapan diri orang dapat dilihat. Teori ini berkeyakinan bahwa perilaku itu mempunyai fungsi untuk menghadapi dunia luar individu dan senantiasa menyesuaikan diri dengan lingkungannya menurut kebutuhannya. Oleh sebab itu didalam kehidupan manusia, perilaku itu tampak terus-menerus dan berubah secara relatif. 2.3.2. Perilaku Kesehatan Becker (1979) mengajukan klasifikasi perilaku yang berhubungan dengan kesehatan (health related behavior) sebagai berikut : i.
Perilaku kesehatan (health behavior) yaitu hal-hal yang berkaitan dengan tindakan atau kegiatan seseorang dalam memelihara dan meningkatkan kesehatannya. Termasuk juga tindakan-tindakan untuk mencegah penyakit, kebersihan perorangan, memilih makanan, sanitasi, dan sebagainya.
ii.
Perilaku sakit (illness behavior) yakni segala tindakan atau kegiatan yang dilakukan seorang individu yang merasa sakit untuk merasakan dan mengenal keadaan kesehatannya atau rasa sakit. Termasuk disini kemampuan atau
Universitas Sumatera Utara
pengetahuan individu untuk mengidentifikasi penyakit, penyebab penyakit serta usaha-usaha mencegah penyakit tersebut. iii.
Perilaku peran sakit (the sick role behavior) yakni segala tindakan atau kegiatan yang dilakukan individu yang sedang sakit untuk memperoleh kesembuhan. Perilaku ini disamping berpengaruh terhadap kesehatan / kesakitannya sendiri, juga berpengaruh terhadap orang lain terutama kepada anak-anak yang belum mempunyai kesadaran dan tanggung jawab terhadap kesehatannya. Menurut Green (1980), menganalisa perilaku dari tingkat kesehatan.
Kesehatan seseorang atau masyarakat dipengaruhi oleh 2 faktor pokok, yakni faktor perilaku (behavior causes) dan diluar perilaku (non-behavior causes), selanjutnya perilaku itu sendiri terbentuk dari 3 faktor yaitu: 1. Faktor- faktor predisposisi (predisposing factors), mencakup pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap kesehatan, tradisi dan kepercayaan masyarakat terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan, sistem nilai yang dianut masyarakat, tingkat pendidikan, tingkat sosial ekonomi, dan sebagainya. 2. Faktor-faktor pemungkin (enabling factors), mencakup ketersediaan sarana dan prasarana atau fasilitas kesehatan bagi masyarakat. 3. Faktor-faktor penguat (renforcing factors), meliputi faktor sikap dan perilaku masyarakat (toma), tokoh agama (toga), sikap dan perilaku para petugas kesehatan.
Universitas Sumatera Utara
Teori Andersen (Andersen & Newman, 1973) yang tergabung dalam kelompok tiga urutan bagian yang logis (logic sequence three clusters) atau kategori faktor-faktor (predisposing, enabling dan need) yang dapat memengaruhi perilaku kesehatan. Contoh faktor-faktor yang dikelompokkan dalam beberapa kategori Health Care Utilisation Model yaitu: 1. Predisposing factors, meliputi: umur, jenis kelamin, agama, penilaian kesehatan global, pengalaman-pengalaman sebelumnya mengenai penyakit, pendidikan formal, sikap umum terhadap pelayanan kesehatan, pengetahuan tentang penyakit, dll. 2. Enabling factors, meliputi: ketersediaan pelayanan, sumber-sumber keuangan untuk mendapatkan pelayanan, asuransi kesehatan, dukungan jaringan sosial, dll. 3. Need factors, meliputi: persepsi beratnya sakit penyakit, jumlah hari sakit untuk sebuah laporan penyakit, jumlah hari istirahat karena sakit, jumlah hari kerja atau hari sekolah yang hilang karena sakit, serta pertolongan dari pelayanan luar. Health Care Utilisation Model dapat digambarkan sebagai berikut :
Gambar.2.1. Health Care Utilization Model Sumber : Andersen & Newman, 1973
Teori Planned Behaviour adalah teori yang terfokus pada faktor-faktor yang berhubungan dengan maksud untuk bertindak yang spesifik atau behavioural
Universitas Sumatera Utara
intention, dimana TPB disituasikan antara sikap dan perilaku. Pemusatan behavioural intention mempertanyakan model klasik kepercayaan, sikap, dan perilaku (Conner & Sparks, 1995). Menurut Ferguson (2007), teori perilaku yang terencana (TPB) merupakan suatu perluasan dari teori aksi yang beralasan (TRA) di dalam memprediksi perilaku dan maksud-maksud pendonor darah. Secara garis besar, TRA menyatakan bahwa perilaku (behavior-B) individu dapat diprediksi dari minat berperilaku (behavior intention BI). Adapun minat berperilaku individu dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu sikap terhadap perilaku (attitude toward behavior = Ah) dan norma subyektif (subjective norms - SN). Secara sederhana TRA menyatakan bahwa seseorang akan melakukan suatu perbuatan apabila ia memandang perbuatan tersebut positif dan bila ia percaya bahwa orang lain ingin agar ia melakukannya. Semakin positif sikap dan norma subyektif seseorang atas perilaku tertentu, maka kecendemngan minat dan perilaku aktualnya juga semakin kuat (Schillawaert, 2001). Teori perilaku yang terencana (TPB) dikenal sebagai perilaku pengambilan keputusan yang modelnya didesain untuk menghitung atas perilaku-perilaku kemauan individu berdasarkan pikiran yang tujuannya untuk menentukan perilakunya. Tujuannya dipengaruhi oleh (1) sikap; perilaku terhadap sikap ditentukan oleh kepercayaan bahwa perilaku yang spesifik akan memiliki konsekuensi yang nyata serta ditentukan oleh evaluasi dari konsekuensi yang ada, (2) norma subjektif; norma subjektif atau kepercayaan pada pihak lain akan menyetujui perilaku seseorang ditambah motivasi pribadi untuk memenuhi harapan yang lain, (3) persepsi pengontrolan perilaku yang diterima; persepsi pengontrolan perilaku ditentukan oleh
Universitas Sumatera Utara
kepercayaan mengenai akses untuk sumber-sumber yang digunakan agar dapat bertindak dengan baik, ditambah dengan persepsi yang benar dari sumber-sumber tersebut (informasi, kemampuan, keahlian, keterikatan atau kebebasan dari pihak yang lain, batasan, kesempatan, dll). Hal tersebut diatas dapat dijelaskan pada pada gambar berikut: KEYAKINAN PERILAKU x EVALUASI PENDAPATAN SIKAP
KEYAKINAN NORMATIF x MOTIVASI KEPATUHAN
KONTROL KEYAKINAN x KEKUATAN YANG DITERIMA
TUJUAN
PERILAKU
NORMA SUBJEKTIF
KONTROL PERILAKU YANG DITERIMA
Gambar 2.2. Teori Perencanaan Perilaku Sumber : Transfusion Medicine Reviews, Vol 22, No 3 (July), 2008: pp 215-233 Menurut Fishbein dan Ajzen (1975), sikap dan norma memiliki efek adiktif terhadap tujuan, sedangkan kekuatan yang relatif berseberangan terhadap perilaku dan populasi. Pada dasarnya harapan adalah nilai model sikap, sikap masyarakat sering terlihat dipengaruhi oleh kepercayaan mereka mengenai akibat-akibat perilaku. Norma subjektif ditentukan oleh pengharapan yang diterima dari individu-individu tertentu dan kelompok-kelompok yang dinilai dengan motivasi masyarakat. Sama
Universitas Sumatera Utara
halnya dengan sikap dan norma-norma subjektif, pertimbangan-pertimbangan dari persepsi pengontrolan perilaku yang terkonsep sebagai fungsi dari keyakinan masyarakat mengenai kemungkinan perbedaan faktor-faktor kontrol keyakinan mungkin mengganggu kinerja dari perilaku yang dinilai dengan kekuatan dari faktorfaktor kontrol. Di dalam mempertimbangkan ilmu pengetahuan dan psikologi dari pendonor darah memprediksikan maksud dan perilaku donor darah. Selanjutnya terhadap psikologi dari pendonor darah juga mempertimbangkan bukti-bukti untuk mengukur faktor-faktor yang memengaruhi maksud dan tujuan si pendonor darah. 2.3.3. Faktor Predisposisi (predisposing factors) 1.
Pengetahuan Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang
melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia, yakni indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa, dan raba. Menurut Tim Kerja WHO (1980), pengetahuan diperoleh dari pengalaman sendiri atau pengalaman orang lain. Pengetahuan atau kognitif merupakan faktor yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang (overt behavior). Karena perilaku yang didasari oeh pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Notoatmodjo (2007), perilaku yang didasari pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan, dan pengetahuan dibagi atas 6 tingkatan : 1. Tahu (Know) Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya dan merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah. Termasuk dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat (recall) terhadap suatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang diterima. 2. Memahami (Comprehension) Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan dan sebagainya terhadap objek yang dipelajari. 3. Aplikasi (Aplication) Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi real (sebenarnya). Aplikasi disini dapat diartikan aplikasi atau penggunaan hukum-hukum, rumus, metode, prinsip dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain. 4. Analisis (Analysis)
Universitas Sumatera Utara
Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek kedalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam satu struktur organisasi, dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis ini artinya dapat menggambarkan (membuat bagan), membedakan, memisahkan, mengelompokan dan sebagainya. 5. Sintesis (Synthesis) Sintensis
menunjuk
kepada
suatu
kemampuan
untuk
meletakkan
atau
menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. 6. Evaluasi (Evaluation) Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penelitian terhadap suatu materi atau objek. Dari segi pengetahuan, sebuah perbedaan diambil dari faktual antara pengetahuan dan evaluasi pengetahuan individu. Faktual adalah pengetahuan dinilai terhadap pilihan ganda. Evaluasi pengetahuan mungkin dinilai untuk memberikan keyakinan (Ferguson. 2001). Mempertimbangkan risiko dan pengetahuan merupakan hubungan yang lebih luas untuk kepercayaan sumber informasi tentang pendonor darah (Frewer dkk., 1996; Jungermann dkk., 1996). 2.
Sikap Menurut tim kerja WHO (1980), sikap mengambarkan suka atau tidak suka
seseorang terhadap objek. Sikap sering diperoleh dari pengalaman sendiri atau dari orang lain yang paling dekat.
Universitas Sumatera Utara
Sikap adalah suatu keteraturan perasaan dan pikiran dan kecenderungan bertindak
terhadap
aspek
lingkungannya.
Sikap
seseorang
tercermin
dari
kecendrungan perilakunya dalam menghadapi suatu situasi lingkungan yang berhubungan dengannya. Adapun yang menjadi komponen sikap yaitu kognitif, afektif dan perilaku. Kompenen kognitif adalah segmen pendapat atau keyakinan dari sikap. Kompenen afektif adalah komponen emosional atau perasaan seseorang. Komponen afektif dipelajari dari orang tua, teman, guru. Sikap merupakan reaksi atau respon seseorang yang masih tertutup terhadap suatu stimulus atau objek. Sedangkan komponen perilaku sikap adalah maksud untuk berperilaku dalam cara tertentu terhadap seseorang atau sesuatu (Notoatmodjo, 2007). Sikap merupakan reaksi atau respons yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Menurut Allport (dalam Notoatmodjo, 2003) menjelaskan bahwa sikap itu mempunyai 3 komponen pokok : 1. Kepercayaan (keyakinan), ide dan konsep terhadap suatu objek 2. Kehidupan emosional atau evaluasi tehadap suatu objek 3. Kecendrungan untuk bertindak (tend to behave) Ketiga komponen ini secara bersama-sama membentuk sikap yang utuh (total atitude). Dalam penentuan sikap yang utuh ini, pengetahuan, pikiran, keyakinan, dan emosi memegang peranan penting. Menurut Notoatmodjo (2003) sikap dibedakan atas beberapa tingkatan :
Universitas Sumatera Utara
1. Menerima (Receiving ) Menerima diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan stimulasi yang diberikan (objek). 2. Merespon (Responding) Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan, dan menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap. 3. Menghargai (Valuing) Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga. 4. Bertanggung jawab (Responsible) Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala resiko merupakan sikap yang tinggi. Pengetahuan dan sikap adalah merupakan respons seseorang terhadap stimulus atau rangsangan yang masih bersifat terselubung dan disebut covert behaviour. 3.
Kepercayaan Kosa dan Robertson (dalam Notoadmodjo, 2003) mengatakan bahwa perilaku
kesehatan
individu
cenderung
dipengaruhi
oleh
kepercayaan
orang
yang
bersangkutan terhadap kondisi kesehatan yang diinginkan dan kurang berdasarkan pada pengetahuan biologi. Memang kenyataannya demikian, tiap individu mempunyai cara yang berbeda dalam mengambil tindakan penyembuhan atau
Universitas Sumatera Utara
pencegahan yang berbeda meskipun gangguan kesehatannya sama. Pada umumnya tindakan yang diambil berdasarkan penilaian individu atau mungkin dibantu oleh orang lain terhadap gangguan tersebut. Penilaian semacam ini menunjukkan bahwa gangguan yang dirasakan individu menstimulasikan dimulainya suatu proses sosial psikologis. Sedangkan menurut Becker (1979), Health Belief Model ditentukan oleh : 1. Percaya bahwa mereka rentan terhadap masalah kesehatan 2. Menganggap serius masalah 3. Yakin terhadap efektivitas pengobatan 4. Tidak mahal 5. Menerima anjuran untuk mengambil tindakan kesehatan Diagram di bawah ini menunjukkan Health Belief Model yang dipresentasikan oleh Sheeran dan Abraham (1995).
Gambar.2.3 Health Belief Model yang dipresentasikan oleh Sheeran dan Abraham (1995)
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan versi ini, tindakan dalam Health Belief Model dipandu melalui: 1. Kepercayaan mengenai dampak penyakit dan konsekuensinya (ancaman persepsi) yang tergantung pada: a. Persepsi kerentanan atau kepercayaan mengenai bagaimana seseorang yang mudah diserang penyakit menganggap adanya hubungan antara dirinya dengan penyakit tertentu atau dengan permasalahan kesehatan. b. Persepsi beratnya sakit penyakit atau permasalahan kesehatan dan konsekuensinya; 2. Motivasi kesehatan atau kesiapan untuk memfokuskan pada masalah kesehatan. 3. Kepercayaan mengenai konsekuensi praktik kesehatan dan mengenai kemungkinan serta usaha untuk melakukannya dalam sebuah praktik kesehatan. Evaluasi perilaku tergantung pada: a. Persepsi keuntungan dari praktik pencegahan atau pengobatan kesehatan; b. Persepsi pembatasan, antara material dan psikologikal (contoh: kekuatan keinginan) dengan memperhatikan praktik kesehatan yang sebenarnya. 4. Alasan untuk bertindak yang meliputi perbedaan faktor internal dan eksternal yang memengaruhi tindakan tersebut. Sebagai contoh, alam dan intensitas (organik dan simbol) gejala penyakit, penyuluhan media massa, masukan dari pihak-pihak lain (keluarga, kerabat, petugas kesehatan,dll).
Universitas Sumatera Utara
Menurut Redding (2000), berdasarkan Health Belief Model, kemungkinan bahwa seseorang akan melakukan sebuah tindakan untuk mencegah penyakit tergantung pada persepsi masing-masing individu, yakni: a. Secara individu mereka ada dalam kondisi yang mudah terserang penyakit; b. Konsekuensi dari kondisi tersebut akan semakin serius; c. Perilaku pencegahan penyakit akan mencegah kondisi ini secara efektif; d. Keuntungan dari pengurangan ancaman kondisi ini melampaui biaya suatu tindakan yang diambil.
2.3.4. Faktor Sosiodemografi Pendonor Darah Pertumbuhan lingkungan yang cepat ternyata membawa permasalahan sosial yang berdampak pada lingkungan. Kepedulian dan kesadaran donor darah lebih banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor sosio demografi, seperti usia, berat badan, jenis kelamin, tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, tingkat pengeluaran, daerah asal, pekerjaan, dan statusnya. 1.
Usia Lama hidup seseorang ditentukan oleh usia. Usia seseorang merupakan salah
satu syarat dalam melakukan donor darah. Menurut UTD. PMI Medan, 2009, masyarakat yang menjadi penyumbang darah (donor darah) berusia 18 – 61 tahun. Masyarakat dapat mulai menyumbangkan darahnya ketika usia menginjak 18 tahun dan memiliki berat badan minimal 45 kilogram. Produksi sel darah akan semakin semakin berkurang seiring bertambahnya usia. Bahkan bagi wanita yang sudah
Universitas Sumatera Utara
menginjak menopause, donor darah berarti dapat mengurangi kadar zat besi dalam darah yang sebelumnya dapat dikeluarkan secara rutin melalui siklus menstruasi (Depkes RI, 2009). Berdasarkan suatu penelitian yang dilakukan di White River Junction, Vermont oleh para peneliti dari Veteran Affairs Medical Center dan Dartmouth Medical School, bahwa donor darah dapat menjaga kesehatan sistem peredaran darah dalam tubuh dengan mengurangi penumpukkan zat besi, namun efek tersebut mungkin tidak berlaku pada mereka yang berusia lanjut (Ketan, 2000).. 2.
Berat Badan Menurut UTD. PMI Medan (2009), darah pada orang dewasa mencapai 8%
dari berat badan. Misalnya berat badan seseorang 50 kg maka darah yang mengalir dalam tubuhnya berkisar 4000cc dan darah yang akan diambil saat donor hanya berkisar 350cc atau 8,75% dari jumlah seluruhnya. Seorang wanita yang memiliki bentuk badan besar biasanya dihubungkan dengan kegemukan akibat diet (68%) dan bias menjalani rawat inap di ruang ICU, resiko ini tidak terjadi pada pria. Berat badan yang berlebih memang mengandung banyak risiko. Selain tubuh tak nyaman dan penampilan kurang sedap dipandang, dari sisi medis juga tidak menyehatkan. Data studi Framingham (AS) menunjukkan bahwa kenaikan berat badan sebesar 10 persen pada pria akan meningkatkan tekanan darah 6,6 mmHg, gula darah 2 mg/dl, dan kolesterol 11 mg/dl (David, 2006).
Universitas Sumatera Utara
3.
Jenis Kelamin Gender mengacu pada peran lingkungan, sifat, sikap, perilaku, nilai, kekuatan,
dan pengaruh individual yang berasal dari dua dasar seks yang berbeda. Norma ”gender” memengaruhi praktik dan prioritas sistem kesehatan. Banyak permasalahan kesehatan yang merupakan sebuah fungsi status sosial atau peran dasar gender. Gender secara eksplisit atau implisit muncul dari sebuah ide bahwa perilaku sehat tidak hanya tergantung pada pengetahuan, keinginan, kapasitas seseorang, tetapi juga pada posisi dimana mereka mendiami sebuah lingkungan. Gender merupakan penentu utama transfusi darah pada pasien CABG dan hal itu dapat berkaitan dengan usia, berat badan, praoperatif Htc, lama bedah, dan faktor lainnya yang menentukan probabilitas transfusi (Ketan 2000). Healy (2006) menambahkan bahwa struktur utama untuk memaksimalkan kesempatan untuk pendonoran dan akhir resolusi untuk mendonasikan darah secara berkala, menyisakan suatu keputusan pribadi yang tidak dapat dipisahkan. Persepsi ini mempertimbangkan banyak faktor yang akhirnya akan menentukan perilaku baik pria maupun wanita. 4.
Pendidikan Pendidikan adalah usaha yang sengaja (terencana, terkontrol, dengan sadar
dan dengan taraf yang sistematis) diberikan pada anak didik oleh pendidik agar individunya yang potensial itu lebih berkembang terarah kepada tujuan tertentu. Di dalam pengertian pendidikan tersebut harus terdapat unsur-unsur sebagai berikut :
Universitas Sumatera Utara
1. Adanya bentuk pendidikan (apakah berbentuk usaha, pertolongan, bantuan, bimbingan, pelayanan atau pembinaan); 2. Adanya pelaku pendidikan (orang dewasa, pendidik, orang tua, pemuka agama, pemuka masyarakat, ataupun pimpinan organisasi); 3. Adanya sasaran pendidikan (orang yang belum dewasa, anak didik, peserta didik); adanya sifat pelaksanaan pendidikan (dengan sadar, dengan sengaja, dengan sistematis, dengan atau secara terencana); 4. Adanya tujuan yang ingin dicapai (manusia susila, kedewasaan, manusia yang patriot atau warga negara yang bertanggung jawab). Proses pendidikan tersebut berlangsung didalam suatu lingkungan pendidikan atau tempat dimana pendidikan itu berlangsung, biasanya dibedakan menjadi tiga yaitu tri pusat pendidikan yaitu didalam keluarga (pendidikan informal), didalam sekolah (pendidikan formal), dan didalam masyarakat (Nasution, 2004). 2.3.5. Faktor Sosiobudaya Pendonor Darah Sepanjang
sejarah
umat
manusia,
kebudayaan-kebudayaan
yang
dikembangkan diberbagai ekosistem yang berbeda mengalami perubahan-perubahan meskipun perubahan-perubahan itu tidak selalu sama antara satu komunitas ekosistem dengan komunitas ekosistem lainnya.
Perubahan-perubahan ini terjadi
terjadi disebabkan oleh perbedaan nilai orientasi budaya yang dimiliki oleh warga komunitas tertentu untuk berinteraksi dengan lingkungan alamnya atau ekosistemnya. Sedangkan menurut penyelidikan E.A. Suchman (1965), konteks sosial budaya cukup
Universitas Sumatera Utara
memberikan harapan dan menyangkut hubungan yang bersifat hipotesis antara orientasi kesehatan atau perilaku dengan hubungan sosial atau struktur kelompok. 1.
Etnis Kebutuhan untuk meningkatkan donor darah yang hanya dapat dicapai dengan
memahami perbedaan ras dan etnik juga merupakan faktor yang memengaruhi dalam perekrutan pendonor. Masalah unik dalam transfusi darah dan donor darah sehubungan dengan ras Afrika Amerika (AA) di Amerika melingkupi proses pendonoran, pemeroduksian, dan layanan transfusi di rumah sakit. Karena ras AA merupakan penduduk yang besar jumlahnya, suplai langsung darah yang didonorkan oleh ras AA sangat penting untuk mendukung pertumbuhan. Secara nasional, ras AA merupakan kurang representatif dalam pengumpulan darah yang mana ras AA (Beth, 2008). Ditinjau dari aspek budaya yang berkaitan dengan etnis (suku) di Kota Medan bersifat heterogen. Hal ini dapat dilihat pada Sensus Penduduk (2007) BPS Kota Medan bahwa etni (suku) pribumi terdiri dari Melayu, Karo, Simalungun, Toba, Madina, Pakpak, Nias, Jawa, Minang, Aceh, Cina dan lainnya. Dengan banyaknya jenis suku masyarakat di Kota Medan, semakin beragam perilaku pendonor darah. Setelah negara Indonesia merdeka, orang Tionghoa yang berkewarganegaraan Indonesia digolongkan sebagai salah satu suku dalam lingkup nasional Indonesia, sesuai Pasal 2 UU Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia.
Universitas Sumatera Utara
2.
Agama Kota Medan dikenal dengan karakteristik penduduknya yang multietnik atau
memiliki keberagaman ras, suku maupun agama. Mayoritas penduduk Kota Medan beragama Islam, selebihnya Kristen Protestan, Katolik, Budha dan Hindu. Kultur budaya masyarakat yang heterogen ini menyebabkan warga Kota Medan menjadi sangat terbuka,toleran dan akomodatif terhadap para pendatang. Pemerintah memberikan pengakuan resmi dalam bentuk perwakilan di Departemen Agama kepada lima agama besar yaitu Islam, Katolik, Protestan, Hindu, dan Budha. Mayoritas agama pribumi di Kota Medan adalah Islam. Menurut agama Islam, hukum mendonorkan darah adalah boleh, dengan syarat dia tidak boleh menjual darahnya. Sedangkan darah termasuk dari hal-hal yang dilarang untuk memakannya, sehingga harganya pun (diperjual belikan) diharamkan. Adapun jika yang membutuhkan darah memberikan kepadanya sesuatu sebagai balas jasa, maka boleh bagi sang pendonor untuk mengambilnya, tapi dengan syarat, tidak meminta sebelum dan sesudah donor, tidak mempersyaratkannya, baik secara langsung maupun tidak langsung, baik secara jelas maupun dengan isyarat, baik secara zhohir maupun batin (Anonimus, 2010). Warga keturunan Tionghoa membentuk 60 persen dari penganut agama Buddha. Dari persepektif agama Buddha, kebudayaan mengandung nilai kebebasan dimulai dengan kedermawanan (dana), yang membawa kepada kehidupan yang
Universitas Sumatera Utara
bermoral (sila), yang akan membawa kepada keadaan berhati-hati (bhavana). Ini yang akan menciptakan kebebasan dan kebahagian sejati.
2.4.
Perilaku Masyarakat Pribumi dan Non Pribumi di Kota Medan Dalam kehidupan sehari-hari manusia selalu berperilaku dalam segala
aktivitas. Menurut Notoatmodjo (2007), perilaku merupakan suatu kegiatan atau aktivitas organisme yang bersangkutan. Perilaku hakikatnya adalah suatu aktivitas dari manusia itu sendiri. Perilaku berasal dari dorongan yang ada dalam diri manusia, sedangkan dorongan merupakan usaha untuk memenuhi kebutuhan yang ada dalam diri manusia. Setiap individu sejak lahir terkait didalam suatu kelompok, terutama kelompok keluarga. Dalam keterkaitannya dengan kelompok ini membuka kemungkinan untuk dipengaruhi dan memengaruhi anggota-anggota kelompok lain. Oleh karena pada setiap kelompok senantiasa berlaku aturan-aturan atau normanorma sosial tertentu maka perilaku tiap individu anggota kelompok berlangsung didalam suatu jaringan normatif. Demikian pula perilaku individu tersebut terhadap masalah-masalah kesehatan. Dalam upaya melakukan aktivitas donor darah, mayoritas masyarakat Pribumi di Kota Medan memiliki komunitas besar Muslim dan dapat dibagi menjadi dua kelompok aktivitas yakni modernis, yang berpegang teguh kepada teologi ortodoks yang ada dalam kitab suci sembari merangkul pengajaran dan konsep modern; dan kelompok tradisionalis Jawa yang lebih dominan, yang sering merupakan pengikut ulama karismatis dan dibentuk di lingkungan pesantren Islam. Organisasi sosial
Universitas Sumatera Utara
“modernis” nasional terdepan adalah Muhammadiyah, yang didirikan pada tahun 1912 dan memiliki sekitar 30 juta pengikut dan cabang-cabang di seluruh negeri. Kelompok ini mendirikan masjid, tempat ibadah, klinik, panti asuhan, tempat penampungan orang-orang miskin, sekolah dan perpustakaan umum, dan mengelola universitas. Organisasi sosial “tradisionalis” terbesar adalah Nahdlatul Ulama (NU) yang punya 40 juta anggota, yang terkonsentrasi di Jawa dan didirikan pada tahun 1926, sebagian sebagai reaksi atas berdirinya Muhammadiyah. NU berfokus pada banyak kegiatan yang sama (Biro Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Perburuhan, 2003). Sedangkan masyarakat non pribumi, salah satunya masyarakat tionghoa biasanya dilakukan melalui yayasan-yayasan amal agama Budha. Tzu Chi merupakan organisasi amal agama Buddha di Kota Medan yang mayoritas masyarakat Tionghoa. Dengan berpegang teguh pada semangat (kebersamaan dalam sepenanggungan dan sependeritaan) dari Sang Buddha, Tzu Chi bagaikan samudera luas yang mampu menampung seluruh aliran anak sungai, semua orang dengan usia, pengetahuan, profesi, dan latar belakang yang berbeda-beda dapat membuktikan kekuatan dari (sirkulasi kebajikan), dapat ikut bergabung ke dalam barisan (memberikan kasih sayang), dan merasakan kepuasan dari implementasi sikap melakukan dengan ikhlas dan menerima dengan sukacita. Baik yang berada di setiap pelosok Taiwan, atau yang berada di kediamannya di luar negeri, semua insan Tzu Chi selalu dengan senang hati dan tanpa menyesal, berpartisipasi dalam berbagai kegiatan pemberian bantuan kemiskinan dan darurat, perlindungan kesehatan, memperkokoh dasar pendidikan dan kegiatan sosial budaya. Berbuat baik itu paling dijunjung tinggi dalam ajaran Buddha.
Universitas Sumatera Utara
Atas latar belakang tersebut masyarakat Tionghoa selalu melakukan tindakan donor darah (Hood, 1995). 2.5.
Landasan Teori Perilaku merupakan faktor terbesar yang memengaruhi kesehatan. Menurut
Green (1980), menganalisa perilaku terbentuk dari salah satunya faktor-faktor predisposisi (predisposing factors), mencakup pengetahuan, sikap, kepercayaan, tingkat pendidikan, tingkat sosial ekonomi, dan sebagainya. Kepedulian dan kesadaran donor darah lebih banyak dipengaruhi oleh faktorfaktor sosio demografi, seperti usia, berat badan, jenis kelamin, tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, tingkat pengeluaran, daerah asal, pekerjaan, dan statusnya. Menurut Barbara (2008), faktor psikologi, sosiodemografi, organisasi, faktor-faktor yang memengaruhi kerelaan masyarakat untuk donor darah sebagai upaya untuk memusatkan perhatian terhadap donor darah. Konteks sosial budaya cukup memberikan harapan dan menyangkut hubungan yang bersifat hipotesis antara orientasi kesehatan atau perilaku dengan hubungan sosial atau struktur kelompok. Menurut Beth (2008), perbedaan ras dan etnik juga merupakan faktor yang memengaruhi dalam perekrutan pendonor.
Universitas Sumatera Utara
2.6.
Kerangka Konsep Penelitian Variabel Independen PREDISPOSISI
Variabel Dependen PERILAKU
PENGETAHUAN (X1) MENDONORKAN DARAH SUKARELA (Y) • Masyarakat Pribumi • Masyarakat Non Pribumi
SIKAP (X2)
KEPERCAYAAN (X3)
Karakteristik: 1. Golongan Darah 2. Usia 3. Berat Badan 4. Jenis Kelamin 5. Alasan 6. Sumber Informasi 7. Persyaratan
Gambar 2.4. Kerangka Konsep Penelitian
Universitas Sumatera Utara