BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Menurut Samidjo, Negara adalah lanjutan dari keinginan manusia yang hendak bergaul antara seseorang dengan orang lainnya dalam rangka menyempurnakan segala kebutuhan hidupnya. Dengan demikian, negara merupakan suatu organisasi yang terdapat dalam masyarakat yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu. 4 Negara sebagai suatu organisasi mempunyai tujuan, berdasarkan perkembangannya, tujuan negara pada abad ini adalah keamanan dan ketentraman umum untuk menjamin keselamatan jiwa dan harta benda, yang memungkinkan dan mendorong kesibukan para warga negaranya sehingga akan menimbulkan kompetisi sehat dalam hal berbuat baik dan mengabdi kepada negara. 5Indonesia sebagai negara memiliki tujuan salah satunya yaitu memajukan kesejahteraan umum, melaksanakan ketertiban dunia serta keadilan sosial. 6 Manusia di suatu negara yang berinteraksi satu dengan lainnya dalam kehidupan bermasyarakat sering menimbulkan konflik. Konflik ini adakalanya
4
Samidjo, Ilmu Negara, Armico, Bandung, 2002, hal. 27-35. Menurut Konvensi Montevindo, negara sebagai suatu organisasi harus mempunya empat unsur konstitutif dan satu unsur deklaratif. Unsur konstituf yaitu harus ada penghuni atau yang disebut dengan rakyat dan penduduk, mempunyai wilayah tertentu, mempunyai penguasa yang berdaulat, kesanggupan berhubungan dengan negara-negara lainnya dan unsur deklaratif yaitu mendapatkan pengakuan dari negara lain. 5 Ibid., hal.218 6 Berdasarkan pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 alinea keempat tujuan dari Bangsa Indonesia adalah memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Universitas Sumatera Utara
dapat diselesaikan secara damai tetapi adapula yang menimbulkan ketegangan yang terus menerus sehingga menimbulkan kerugian pada kedua belah pihak bahkan dapat pula menimbulkan kerugian bagi negara. 7 Untuk menjamin dan mencapai tujuan negara dan demi keseimbangan dalam hubungan antara anggota masyarakat diperlukan aturan-aturan hukum yang dilaksanakan atas kehendak dan keinsyafan tiap-tiap anggota masyarakat itu. Peraturan-peraturan hukum itu harus bersifat mengatur dan memaksa anggota masyarakat yang ada dalam suatu negara. 8 Fungsi hukum merupakan pedoman bagi setiap orang untuk bertingkah laku. Hukum juga menghilangkan ketidakpastian dan memberikan jaminan bagi terjadinya perubahan sosial yang tertib. 9 Tidak dapat dipungkiri bahwa sejak awal pembangunan sampai masa sekarang,
Indonesia
dalam
mewujudkan
cita-citanya
mengutamakan
pembangunan di bidang ekonomi yang tujuannya adalah agar terciptanya landasan yang kuat bagi bangsa Indonesia untuk tumbuh dan berkembang atas kekuatan sendiri menuju masyarakat yang adil dan makmur. 10 Setelah terjadinya krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada tahun 1984 11, maka dalam rangka
7
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di lingkungan Peradilan Agama, Yayasan Al Hikmah, Jakarta, 2000, hal.1-2 8 C.S.T Kansil, Pengantar Ilmu Hukum, Balai Pustaka, Jakarta, cetakan ke-XII, 2002, hal.40. Agar Peraturan-Peraturan hukum itu dapat berlangsung terus menerus dan diterima oleh seluruh anggota masyarakat dalam negara, maka peraturan hukum yang ada harus sesuai dan tidak boleh bertentangan dengan asas-asas keadilan dari masyarakat tersebut. 9 Edi Setiadi dan Rena Yulia, Hukum Pidana Ekonomi, Graha Ilmu, Yogjakarta, 2010, hal.1 10 Ibid., hal.22 11 Oktiandri Chopsoh, Jurnal:Krisis Ekonomi di Indonesia Tahun 1997-1998, Fakultas Ekonomi, Universitas Sebelas Maret, Surakarta, 2011, http://ock-t.blogspot.co.id/2011/12/krisisekonomi-di-indonesia-tahun-1997.html , diakses pada 16 Januari 2017, Pukul 15.18 WIB. Pada Bulan September tahun 1984, Indonesia mengalami krisis perbankan yang bermula dari deregulasi perbankan 1 Juni 1983 yang memaksa bank-bank negara untuk memobilisasi dana mereka dan memikul resiko kredit macet, serta bebas untuk menentukan tingkat suku bunga, baik deposito
Universitas Sumatera Utara
memelihara dan meneruskan pembangunan yang berkesinambungan, para pelaku pembangunan baik pemerintah maupun masyarakat, baik perseorangan maupun badan hukum memerlukan dana yang besar sebab dengan meningkatnya kegiatan pembangunan, meningkat pula kebutuhan terhadap pendanaan, dana yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan akan pendanaan tersebut dapat diperoleh melalui perjanjian pinjam meminjam atau yang disebut juga dengan perjanjian kredit. 12 Perjanjian pinjam meminjam adalah perjanjian yang dilakukan antara pihak yang satu dalam hal ini pemberi kredit atau kreditur dengan pihak yang lainnya dalam hal ini penerima kredit atau debitur. 13 Kredit merupakan salah satu tulang punggung bagi pembangunan bidang ekonomi. Ini berarti perkreditan mempunyai arti penting dalam berbagai aspek pembangunan seperti bidang perdagangan, perindustrian, perumahan, transportasi, dan sebagainya. Perkreditan juga memberikan perlindungan kepada golongan ekonomi lemah dalam pengembangan usahannya. Khusus untuk lembaga perbankan, pengertian kredit telah dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 Tentang Perbankan, dalam Pasal 1 angka 11 yang menjelaskan bahwa kredit merupakan penyediaan uang berdasarkan kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi
berjangka maupun kredit. Masalah-masalah tersebut terus berlangsung hingga terjadi krisis ekonomi pada tahun 1997. 12 Yurizal,Aspek Pidana Dalam Undang-Undang No.42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia, Media Nusa Creative, Malang, cetakan ke-X, 2015, hal.53 13 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1985, hal.97-98
Universitas Sumatera Utara
hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga. 14 Para pengusaha, merupakan komunitas jumlah terbesar sebagai peminat kredit perbankan dan mereka merasa telah menemukan solusi dalam menambah modal mereka untuk dapat tetap menjaga kesejahteraan hidupnya dan mempertahankan usaha yang mereka rintis. Padahal Perjanjian pinjam meminjam kredit tidak hanya dapat dilakukan melalui lembaga perbankan tetapi dapat juga melalui lembagalembaga pembiayaan non bank. Dengan kata lain, pemberian kredit tidak saja dapat dilakukan oleh bank pemerintah atau swasta, tetapi pada prinsipnya dapat dilakukan oleh siapa pun yang mempunyai kemampuan untuk itu, melalui perjanjian utang-piutang antara kreditur pemberi pinjaman di satu pihak dan debitur penerima pinjaman di lain pihak. 15 Dewasa ini banyak bermunculan lembaga pembiayaan non bank yang kehadirannya dapat meningkatkan perekonomian masyarakat. Kehadiran berbagai lembaga pembiayaan non bank turut membawa andil yang cukup besar dalam pembangunan ekonomi masyarakat khususnya masyarakat kecil. Lembaga pembiayaan ini muncul sebagai suatu bentuk penyediaan dana atau barang sebagai modal kepada masyarakat untuk pembelian barang yang pembayarannya dilakukan secara angsuran atau berkala oleh konsumen. 16 Lembaga Pembiayaan dikenal juga dengan sistem pembiayaan konsumen.
14
Tan Kamello, Hukum Jaminan Fidusia Suatu Kebutuhan Yang Didambakan, PT. Alumni, Bandung, cetakan ke-II, 2004, hal.1-2. 15 Oey Hoey Tiong, Fiducia Sebagai Jaminan Unsur-Unsur Perikatan, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1983, hal.8 16 Mirwan Syarief Bawazier, Akibat Hukum jika debitor wanprestasi dalam pembiayaan konsumen dengan jaminan fidusia pada PT.FIF Di kota Pekalongan, Program Studi Magister Kenotariatan Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro Semarang, 2010 hal. 1
Universitas Sumatera Utara
Kehadiran praktek pembiayaan dengan sistem pembiayaan konsumen dilatarbelakangi oleh faktor-faktor sebagai berikut 17 : 1. Karena sulitnya bagi sebagian besar masyarakat dalam mempunyai akses untuk mendapatkan kredit bank yang selalu diikat dengan agunan. 2. Sistem pembayaran formal melalui koperasi tidak berkembang seperti yang diharapkan. 3. Sumber dana formal seperti Perum Pegadaian memiliki banyak keterbatasan atau sistem yang kurang fleksibel. 4. Sistem pembiayaan informal seperti praktek-praktek lintah darat sangat mencekik masyarakat. Kehadiran lembaga pembiayaan konsumen tersebut sangat berpengaruh bagi masyarakat, tidak semua orang dalam masyarakat mempunyai cukup dana untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, oleh karena itu lembaga pembiayaan sangat membantu dalam menjalankan roda perekonomian negara ini. Pembiayaan konsumen merupakan model pembiayaan yang dilakukan oleh perusahaan finansial dalam bentuk pemberian bantuan dana untuk pembelian produk-produk tertentu. Bantuan dana diartikan sebagai pemberian kredit yang bukan saja pemberian uang secara tunai untuk pembelian suatu barang, nasabah hanya akan menerima barang tersebut, artinya pembiayaan konsumen ini di sale credit karena konsumen tidak menerima uang tunai tapi hanya menerima barang yang dibeli dari kredit tersebut. Jelas bahwa perusahaan pembiayaan konsumen sangat membantu masyarakat untuk membeli barang kebutuhan konsumen seperti mobil, 17
Munir Fuady, Hukum Tentang Pembiayaan Konsumen, PT. Citra AdityaBakti, Bandung, 2002, hal 164.
Universitas Sumatera Utara
motor, dan benda bergerak lainnya yang dapat digunakan untuk usaha maupun kebutuhan pribadi para konsumen. 18 Dalam transaksi pembiayaan konsumen ada tiga pihak yang terlibat, yaitu 19: 1. Pihak
Perusahaan
Pembiayaan
Konsumen
(Pemberi
dana
Pembiayaan atau Kreditor). 2. Pihak konsumen (Penerima dana pembiayaan atau debitor). 3. Pihak supplier (Penjual atau Penyedia Barang). Konstruksi pembiayaan konsumen didasarkan pada perjanjian dengan asas kebebasan berkontrak sebagai alas hukum bagi kedua belah pihak, maka para pihak harus lebih hati-hati dalam membuat perjanjian sehingga tidak merugikan para pihak atau salah satu pihak di kemudian hari serta harus memenuhi prinsip keadilan. Hubungan antara pihak kreditor dengan debitor adalah hubungan kontraktual dalam hal ini kontrak pembiayaan konsumen. 20 Dalam praktik, pemberian fasilitas pembiayaan konsumen oleh perusahaan pembiayaan tentu membutuhkan adanya suatu jaminan dari konsumen atau dalam hal ini yaitu debitor. Jaminan tersebut dimaksudkan untuk memberikan keyakinan dan keamanan bagi kreditor. Pemberian pembiayaan konsumen memiliki peluang terjadinya resiko yang dapat merugikan para pihak. Secara garis besar, dikenal dua macam bentuk jaminan yaitu jaminan perorangan dan jaminan kebendaan. Jaminan yang biasa digunakan oleh Lembaga Pembiayaan Konsumen adalah
18
Ibid., Muhammad Chidir, Pengertian-pengertian Elementer Hukum Perjanjian Perdata, Mandar Maju, Bandung, 1993, hal.166 20 Mirwan Syarief Bawazier, Akibat Hukum jika debitor wanprestasi dalam pembiayaan konsumen dengan jaminan fidusia pada PT.FIF Di kota Pekalongan, Program Studi Magister Kenotariatan Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro Semarang, 2010 hal. 22-24 19
Universitas Sumatera Utara
jaminan kebendaan dan jaminan kebendaan yang dikenal dalam hukum salah satunya adalah jaminan fidusia, jaminan fidusia merupakan lembaga jaminan atas benda bergerak. Pada awalnya fidusia hanya didasarkan kepada yurisprudensi. 21 Di Indonesia, yurisprudensi mengenai fidusia untuk pertama kalinya diputus oleh Mahkamah Agung dalam perkara Bataafsche Petroleum Maatschappij (BPM) melawan Pedro Clignett pada tanggal 18 Agustus 1932 dengan objek fidusia adalah benda bergerak yaitu mobil. 22Pedro Clignett meminjam uang dari Bataafsche Petroleum Maatschappij (BPM) dengan jaminan hak milik atas sebuah mobil secara kepercayaan. Clignett tetap menguasai mobil itu atas dasar perjanjian pinjam pakai yang akan berakhir jika Clignett lalai membayar utangnya dan mobil tersebut akan diambil oleh BPM. Ketika Clignett benar-benar tidak melunasi utangnya pada waktu yang ditentukan, BPM menuntut penyerahan mobil dari Clignett, namun ditolaknya dengan alasan bahwa perjanjian yang dibuat itu tidak sah. Menurut Clignett jaminan yang ada adalah gadai, tetapi karena barang gadai dibiarkan tetap berada dalam kekuasaan debitor maka gadai tersebut tidak sah sesuai dengan Pasal 1152 ayat (2) Kitab Undang-undang Perdata. 23 Dalam putusannya MA menolak alasan Clignett karena menurut MA jaminan yang dibuat antara BPM dan Clignett bukanlah gadai, melainkan penyerahan hak milik secara kepercayaan atau fidusia yang telah diakui oleh Hoge Raad dalam 21
H. Salim HS, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, cetakan ke-VIII, 2014, hal. 23-27. 22 Tan Kamello, Op.Cit., hal.7 23 Menurut Pasal 1152 KUHPerdara gadai merupakan Suatu hak yang diperoleh seorang berpiutang atas suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh seorang yang berutang atau oleh seorang lain atas namanya, dan yang memberikan kekuasaan kepada si berpiutang itu untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan daripada orang-orang berpiutang lainnya, dengan pengecualian biaya untuk melelang barang tersebut dan biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkannya setelah barang itu digadaikan, biaya-biaya mana harus didahulukan.
Universitas Sumatera Utara
Bierbrouwerij Arrest. Clignett diwajibkan untuk menyerahkan jaminan itu kepada BPM. 24 Recovery pembangunan ekonomi yang dilakukan pemerintah tidak serta merta berjalan dengan mulus. Perbaikan tersebut menimbulkan efek negatif bahwa sampai pada saat ini pelaku ekonomi kadang-kadang melakukan suatu konflik dengan pelaku ekonomi lainnya yang dapat merugikan diri sendiri serta merugikan kedua belah pihak. 25 Salah satu konflik yang timbul dalam kegiatan ekonomi yaitu adanya kejahatan dalam jaminan fidusia tersebut, bentuk-bentuk kejahatan dalam jaminan fidusia itu sendiri misalnya wanprestasi terhadap perjanjian jaminan fidusia, menggadaikan objek jaminan fidusia, mengalihkan serta menyewakan objek jaminan fidusia, melakukan eksekusi jaminan fidusia dan sebagainya. 26 Berdasarkan hal tersebut, maka Indonesia menerbitkan produk hukum dibidang ekonomi yaitu Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Dengan lahir dan diberlakukannya Undang- Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia 27 diharapkan lembaga jaminan fidusia yang sudah berkembang dan hidup semenjak lama itu lebih memainkan perannya 24
Loc.Cit., Menurut Mahadi, alasan pertimbangan yang dipakai oleh MA dalam putusan tersebut sama adalah bahwa lingkup dari perjanjian yang diadakan para pihak berisikan jaminan hutam dan perjanjian itu tidak bertentangan dengan aturan gadai sebab para pihak tidak mengikat perjanjian gadai. 25 Edi Setiadi dan Rena Yulia, Ibid., hal.22. Pelaku ekonomi itu biasa disebut pedagang atau pengusaha, baik itu perorangan yang menjalankan perusahaan, maupun badanbadan usaha yang memiliki status badan hukum ataupun bukan badan hukum. 26 Andreas Albertus Andi Prajitno, Hukum Fidusia, Selaras, Malang, 2010, hal.3. Kegiatan Ekonomi antara lain suatu kegiatan yang mengandung pengertian bahwa kegiatan dimaksud merupakan suatu proses yang harus dilakukan dengan beberapa cara dan tahapan : 1. Secara terus menerus dan tidak putus-putus atau suatu kegiatan yang berkelanjutan; 2. Melakukan secara terang-terangan sah bukan ilegal sesuai dengan peraturan yang berlaku; 3. Kegiatan tersebut dilakukan dalam rangka memperoleh keuntungan untuk diri sendiri dan orang lain. 27 Untuk selanjutnya penyebutan dalam Undang-Undang ini yaitu UUJF.
Universitas Sumatera Utara
sebagai lembaga jaminan dan tentunya juga dalam rangka pembaharuan hukum. Yang harus menjadi perhatian dalam pembaharuan hukum adalah sarana yang dapat mempelancar jalannya perekonomian. Dalam perjanjian jaminan fidusia kreditur mempercayakan kepada debitur untuk tetap bisa mempergunakan objek jaminan tersebut sesuai dengan fungsinya. Namun, walaupun objekjaminan tetap dalam penguasaan debitur, debitur harus mempunyai itikad baik untuk memelihara objek jaminan dengan sebaik-baiknya. Secara umum, dalam hukum jaminan yang objeknya benda bergerak, debitur tidak bisa mengalihkan, menggadaikan atau menyewakan kepada pihak lain benda yang menjadi objek jaminan fidusia kecuali yang merupakan benda persediaan, tapi khusus untuk bentuk jaminan fidusia hal tersebut diperbolehkan dengan ketentuan harus diberitahukan atau mendapat persetujuan dari kreditur, atau dalam hal ini adalah pihak Lembaga Pembiayaan, hal tersebut sesuai dengan pernyataan dalam Pasal 23 ayat (2) UUJF. Apabila pengalihan objek Jaminan Fidusia tersebut dilakukan debitur tanpa diketahui atau tidak mendapat persetujuan dari kreditur dapat dikenakan sanksi pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 36 UUJF bahwa pemberi fidusia yang mengalihkan, menggadaikan, atau menyewakan benda yang menjadi objek jaminan fidusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) yang dilakukan tanpa persetujuan tertulis terlebih dahulu dari penerima fidusia, dipidana dengan pidana penjara paling lambat 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah).
Universitas Sumatera Utara
Hingga tahun 2016, berdasarkan data kepolisian, kejahatan jaminan fidusia di Indonesia mencapai 600.000 kasus. Menurut data WOM, Kasus jaminan fidusia di Sumatera Utara didominasi oleh kasus eksekusi jaminan fidusia yang dilakukan dibawah tangan dan menghilangkan objek jaminan fidusia. 28 Sementara di Kota Malang, kasus jaminan fidusia didominasi oleh pengalihan objek jaminan fidusia, menurut AKP Tatang Prajitno Panjaitan bahwa pihaknya setiap minggu selalu menerima laporan tindak pidana pengalihan objek jaminan fidusia. 29 Berdasarkan fakta tersebut penulis tertarik untuk melakukan analisis putusan hakim terhadap Kasus Pengalihan objek jaminan fidusia yang terjadi di Indonesia. Dapat dikemukakan dalam penulisan karya ilmiah ini diangkat 2 (dua) kasus tentang pengalihan objek jaminan fidusia yang mengakibatkan kerugian terhadap kreditur. Adapun kasus pertama yaitu pengalihan objek jaminan fidusia yang dilakukan oleh Mustofa Ahmad, sebenarnya ia hanya berperan sebagai atas nama saja untuk membantu Budi Laksono dengan alasan kasihan, hari berikutnya saudara Budi Laksono tidak dapat membayar angsuran kepada kreditur dan akibat perbuatan dari Mustofa tersebut maka pihak kreditur dalam hal ini yaitu PT. Mandiri Tunas Finance mengalami kerugian. Pihak kreditur pun membawa kasus ini kepengadilan dan telah diputus oleh Pengadilan Sleman dengan Putusan Nomor 330/Pid.Sus/2015/PN.Smn. Kasus kedua yaitu terjadi di kota Purworejo, 28
Data diperoleh dari surat kabar elektronik Kompas.com, http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2016/06/11/190000926/WOM, diakses pada tanggal 14 Januari 2017, Pukul.21.10 Wib. Menurut Direktur Ditreskrimsus Poldasu Kombes Pol, Drs.Toga Habinsaran bahwa kasus jaminan fidusia terjadi sebab masyarakat pada umumnya tidak mengetahui bahkan tidak pernah mendengar UU Fidusia. Kemudian pada saat menandatangani perjanjian, pihak kreditor tidak memberitahukan mengenai pokok-pokok perjanjian tersebut. 29 Data diperoleh dari surat kabar elektronik Surya Malang yang terbit pada tanggal 19 Agustus 2016, http://suryamalang.tribunnews.com/2016/08/19, diakses pada tanggal 14 Januari 2017, Pukul 22.00 Wib. AKP Tatang Prajitno Panjaitan merupakan Kepala Satuan Reserse dan Kriminal Polres Malang Kota.
Universitas Sumatera Utara
Rio chandra warga Purworejo terbukti mengalihkan benda yang menjadi obyek jaminan fidusia kepada Hari Ompong, rio juga berperan sebagai atas nama saja kemudian Hari Ompong tidak dapat membayar angsurannya lagi, akibat dari perbuatan terdakwa tersebut tentu pihak kreditur dalam hal ini yaitu PT. Adira Finance mengalami kerugian dan membawa kasus ini ke Pengadilan telah diputus oleh pengadilan Purworejo dengan Putusan Nomor 15/Pid.Sus/2015/PN Pwr.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah tersebut diatas, maka adapun rumusan masalah adalah sebagai berikut : 1. Bagaimana Aspek Hukum Pidana Pada Perjanjian Jaminan Fidusia ? 2. Bagaimana Penerapan Hukum Pidana Terhadap Pelaku Pengalihan Objek Jaminan Fidusia Tanpa Perjanjian Terlebih Dahulu dari Penerima Fidusia Dalam Putusan PN Sleman No.330/Pid.Sus/2015/PN.Snm dan PN Purworejo No.15/Pid.Sus/PN.Pwr ?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan Penulisan Berdasarkan Latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka yang menjadi tujuan dari penulisan skripsi ini adalah : a. Untuk mengetahui aspek hukum pidana yang terdapat dalam perjanjian jaminan fidusia.
Universitas Sumatera Utara
b. Untuk
mengetahui
penerapan
hukum
pidana
terhadap
pelaku
pengalihan objek jaminan fidusia tanpa perjanjian terlebih dahulu dari penerima
fidusia
berdasarkan
No.330/Pid.Sus/2015/PN.Snm
Putusan dan
PN
PN
Sleman Purworejo
No.15/Pid.Sus/PN.Pwr. 2. Manfaat Penulisan a. Manfaat Secara Teoritis Secara Teoritis, Penulisan skripsi ini dapat bermanfaat bagi kalangan akademis pada khususnya dan masyarakat pada umumnya untuk memberikan pengetahuan bagi mereka mengenai Tindak Pidana Jaminan Fidusia, mengetahui apa itu jaminan fidusia, pengaturan jaminan fidusia serta penerapan hukum bagi orang orang yang melakukan tindak pidana jaminan fidusia tersebut. Dan diharapkan skripsi ini akan menambah kepastian hukum dan menjadi bahan untuk penelitian lebih lanjut dalam bidang hukum tentang penerapan hukuman bagi tindak pidana jaminan fidusia. b. Manfaat Secara Praktis Secara praktis, pembahasan mengenai permasalahan penulisan skripsi ini diharapkan dapat menjadi bahan masukkan bagi masyarakat dan aparat penegak hukum yang diharapkan dapat meningkatkan kesadaran hukum dan perannya dalam menerapkan sanksi pidana pada tindak pidana jaminan fidusia. D. Keaslian Penulisan Penulisan karya tulis dalam bentuk skripsi dengan judul “Pengalihan Objek Jaminan Fidusia Tanpa Perjanjian Tertulis Dari Perspektif Hukum Pidana Di
Universitas Sumatera Utara
Indonesia (Studi Putusan PN Sleman No.330/Pid.Sus/2015/PN.Snm Dan Putusan PN Purworejo No.15/Pid.Sus/2015/PN.Pwr)” ini adalah merupakan hasil pemikiran penulis sendiri. Karya ilmiah ini telah diuji bersih di perpustakaan Fakultas Hukum USU dan tidak ada skripsi yang menulis judul yang sama, dengan demikian judul tersebut belum pernah ditulis oleh siapapun sebelumnya di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Penulisan skripsi ini dibuat guna melengkapi salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk menjadi seorang Sarjana Hukum dari Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan. Pada prinsipnya, penulisan skripsi ini merupakan hasil dari daya upaya penulis dalam mengumpulkan segala literatur yang ada, baik berupa buku-buku, media masa cetak maupun elektronik (internet) serta peraturan perundang-undangan yang ada. Oleh karena itu skripsi ini adalah asli merupakan karya ilmiah milik penulis dan dapat dipertanggungjawabkan secara moral maupun akademik. E. Tinjauan Kepustakaan 1. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana Tindak pidana dalam bahasa belanda dikenal dengan istilahstrafbaar feit. Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHPid) tidak akan kita temui definisi terhadap Tindak Pidana. Adami Chazawi telah menerjemahkan istilah Strafbaar Feit, yaitu secara sederhana dapat dijelaskan bahwa tindak pidanaadalah
Universitas Sumatera Utara
perbuatan yang pelakunya harus dipidana. Tindak pidana dirumuskan dalam undang-undang, antara lain KUHPid. 30 Beberapa pendapat ahli mengenai pengertian tindak pidana, antara lain 31 : a. Menurut Wirjono Prodjodikoro, tindak pidana berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana. b. Menurut D. Simons, tindak pidana (strafbaar feit) adalah kelakuan (handeling) yang diancam dengan pidana yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab (eene strafbaar gestlde “onrechtmatige, met schuld in verband staande handeling van een toerekeningsvatbaar person”) Moeljatno merupakan ahli hukum pidana yang memiliki pandangan yang berbeda dengan penulis-penulis lain tentang definisi tindak pidana. Moeljatno menggunakan istilah “perbuatan pidana”. Menurut Moeljatno yang dikutip oleh frans maramis, perbuatan pidana hanya mencakup perbuatan saja, sebagaimana dikatakan bahwa perbuatan pidanahanya menunjuk kepada sifatnya perbuatan saja, yaitu sifat yang dilarang dengan ancaman pidana kalau dilanggar”. 32 Vos adalah salah satu diantara para ahli yang merumuskan tindak pidana secara singkat, yaitu suatu kelakuan manusia yang oleh peraturan perundangundangan diberi pidana. Jadi suatu kelakuan manusia yang pada umunya dilarang dan diancam dengan pidana.Pengertian tindak pidana yang dirumuskan oleh Vos, 30
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002,
hal. 69 31
Frans Maramis, Hukum Pidana Umum Dan Tertulis di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, cetakan ke-II, 2013hal.58 32 Ibid, hal. 58-59.
Universitas Sumatera Utara
apabila dibandingkan dengan rumusan tindak pidana dari Simons maupun Van Hamel, maka rumusan Vos tersebut tidak ada sifat-sifat tindak pidana yang lain, seperti sifat melawan hukum, dilakukan orang dengan kesalahan, dan orang itu mampu dipertanggungjawabkan. 33 Bertolak dari pendapat para ahli tersebut diatas, maka dapat disimpulkan apa yang dimaksud dengan tindak pidana atau strafbaar feit, yaitu suatu rumusan yang memuat unsur-unsur tertentu yang menimbulkan dapat dipidanannya seseorang atas perbuatannya yang telah ditentukan oleh peraturan perundangundangan pidana. Unsur-unsur tindak pidana tersebut dapat berupa perbuatan yang sifatnya aktif maupun perbuatan yang bersifat pasif atau tidak berbuat sebagaimana yang diharuskan oleh undang-undang, yang dilakukan oleh seseorang dengan kesalahan, yang bertentangan dengan hukum pidana, dan orang itu dapat dipertanggungjawabkan karena perbuatannya. Disamping itu, perlu diperhatikan pula mengenai waktu dan tempat terjadinya suatu tindak pidana sebagai syarat mutlak yang harus diperlihatkan oleh penuntut umum dalam surat dakwaannya, rationnya untuk kepastian hukum bagi pencari keadilan. Dengan tidak tercantumnya waktu dan tempat terjadinya tindak pidana maka surat dakwaan yang dibuat penuntut umum dapat batal demi hukum. 34 Didalam tindak pidana tersebut terdapat unsur-unsur tindak pidana, yaitu 35: a. Unsur Objektif 33
Roni Wiyanto, Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 2012,
hal.161. 34
Ibid,hal. 162-163. Teguh Prasetyo, Hukum Pidana,PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, cetakan ke-V, 2014, hal.50-51 35
Universitas Sumatera Utara
Unsur yang terdapat di luar si pelaku. Unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan, yaitu dalam keadaan-keadaan dimana tindakan-tindakan si pelaku itu harus dilakukan. Terdiri dari : 1) Sifat melanggar hukum yaitu perbuatan-perbuatan yang bersifat melawan hukum atau perbuatan-perbuatan yang dilarang dan diancam pidana. 2) Kualitas si pelaku Misalnya keadaan sebagai pegawai negeri di dalam kejahatan jabatan menurut Pasal 415 KUHP atau keadaan sebagai pengurus atau komisaris dari suatu perseroan terbatas di dalam kejahatan menurut Pasal 398 KUHP. 3) Kausalitas Yakni hubungan antara suatu tindakan sebagai penyebab dengan suatu kenyataan sebagai akibat. b. Unsur Subjektif Unsur yang terdapat atau melekat pada diri si pelaku, atau yang dihubungkan dengan diri si pelaku dan termasuk di dalamnya segala sesuatu yang terkandung didalam hatinya. Unsur ini terdiri dari : 1) Kesengajaan atau ketidaksengajaan (Dolus dan Culpa). 2) Maksud pada suatu percobaan, seperti ditentukan dalam Pasal 53 ayat (1) KUHP. 3) Macam-macam maksud seperti terdapat dalam kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, dan sebagainya.
Universitas Sumatera Utara
4) Merencanakan terlebih dahulu, seperti tercantum dalam Pasal 340 KUHP, yaitu pembunuhan yang direncanakan terlebih dahulu. 5) Perasaan takut seperti terdapat didalam Pasal 308 KUHP. H.B. Vos, sebagaimana yang dikutip Oleh Bambang Poernomo, mengemukakan bahwa dalam suatu tindak pidana dimungkinkan ada beberapa unsur (elemen), yaitu : 36 1) Elemen perbuatan atau kelakuan orang, dalam hal berbuat atau tidak berbuat (een doen of nalaten). 2) Elemen akibat dari perbuatan, yang terjadi dalam delict selesai. Elemen akibat ini dianggap telah ternayat pada suatu perbuatan. Rumusan Undang-Undang kadang-kadang elemen akibat tidak dipentingkan di dalam delict formil, akan tetapi kadang-kadang elemen akibat dinyatakan dengan tegas yang terpisah dari perbuatannya seperti di dalam delict materiel; 3) Elemen subjektif yaitu kesalahan, yang diwujudkan dengan katakata sengaja (Opzet) atau alpa (Culpa); 4) Elemen melawan hukum (wedderechtelijkheid); 5) Dan sederetan elemen-elemen lain menurut rumusan undangundang, dan dibedakan menjadi segi objektif misalnya di dalam Pasal 160 KUHP diperlukan elemen di muka umum (in het openbaar) dan segi subjektif misalnya Pasal 340 KUHP diperlukan unsur direncanakan lebih dahulu (voorbedateraad) 36
Bambang Poernomo, Asas-Asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1978,
hal. 99
Universitas Sumatera Utara
Sehubungan dengan pendapat para ahli mengenai unsur unsur Tindak Pidana, maka dapat disimpulkan bahwasannya bilamana suatu perbuatan dapat disebut sebagai suatu tindak pidana, maka perbuatan tersebut harus memenuhi 5 (Lima) unsur, sebagai berikut: 37 1) Harus ada suatu kelakuan (gedraging); 2) Kelakuan itu harus sesuai dengan uraian undang-undang (wetterlijke omschrijving); 3) Kelakuan itu adalah kelakuan tanpa hak (melawan hukum); 4) Kelakuan itu dapat diberatkan (dipertanggungjawabkan) kepada pelaku; 5) Kelakuan itu diancam dengan pidana. Untuk mendapatkan gambaran mengenai kelima unsur tersebut di atas, sehingga suatu kelakuan atau perbuatan seseorang itu dapat disebut sebagai tindak pidana, berikut ini dikutipkan rumusan tindak pidana yang dijabarkan dalam Pasal 362 KUHP, yang berbunyi : 38 “Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah.”
Unsur- unsur yang dirumuskan di dalam Pasal 362 KUHP, sebagai berikut ; 1) Barangsiapa; 2) Mengambil; 3) Sesuatu barang; 37
Roni Wiyanto, Op.Cit., hal. 163-164 Ibid. hal. 164
38
Universitas Sumatera Utara
4) Sebagian atau seluruhnya kepunyaan orang lain; 5) Dengan maksud untuk memiliki barang itu dengan melawan hukum. Bilamana perbuatan seseorang telah memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang dirumuskan di dalam Pasal 362 KUHP tersebut diatas, maka orang itu dapat dimintai pertanggungjawaban pidana karena pencurian. Tetapi, apabila orang itu hanya mengambil sesuatu barang milik orang tetapi bermaksud untuk dipindah tempatnya, maka ia tidak dapat dianggap telah melakukan tindak pidana pencurian. Artinya, apabila salah satu unsur tindak pidana tersebut tidak terpenuhi akan mempunyai arti dan maksud yang berbeda.
2. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Pertanggungjawaban pidana dalam bahasa asing di sebut sebagai “toereken-baarheid,” “criminal reponsibilty,” “criminal liability,” pertanggungjawaban pidana disini di maksudkan untuk menentukan apakah seseorang tersebut dapat di pertanggungjawabkan atasnya pidana atau tidak terhadap tindakan yang di lakukanya itu. 39
Pertanggungjawaban merupakan salah satu prinsip yang mendasar di dalam hukum pidana,atau yang dikenal dengan asas “tiada pidana tanpa kesalahan”(geen straf zonder schuld) dan pertanggungjawaban pidana tanpa adanya kesalahan dalam diri si pelaku tindak pidana disebut leer van het materiele feit. 40 Asas ini tidak tersebut dalam hukum tertulis tapi dalam hukumyang tidak tertulis yang juga di Indonesia berlaku.
39
S.R Sianturi , Asas-asas Hukum Pidana Indonesia dan Penerapanya, Alumni Ahaem-Peteheam , Jakarta, cetakan ke-IV, 1996, hal .245 40 Ibid, hal. 178
Universitas Sumatera Utara
Oleh karena itu, membicarakan pertanggungjawaban pidana harus diperhatikan pengertian dua hal, sebagai berikut : 41 a. Tindak Pidana (daad strafrecht)
b. Pelaku Tindak Pidana (Dader Strafrecht) Pengertian dua hal tersebut diatas, harus diperhatikan dengan seksama, karena didalam hukum pidana dikenal prinsip-prinsip bahwa suatu perbuatan yang telah memenuhi semua unsur tindak pidana belum tentu si pelakunya dapat dimintai
pertanggungjawaban
pidana.
Perlu
ditegaskan
bahwa
pertanggungjawaban pidana hanya dapat diberlakukan kepada si pelaku tindak pidana, apabila dirinya mempunyai kesalahan atau dapat disalahkan karena melakukan tindak pidana. Unsur kesalahan didalam diri si pelaku tindak pidana inilah yang akan menjadi dasar pertimbangan bagi hakim atau syarat umum untuk menjatuhkan pidana.Adanya kesalahan ini perlu dipikirkan tentang dua hal, yakni adanya keadaan psikis (batin) yang tertentu dan adanya hubungan yang tertentu antara keadaan batin tersebut dengan perbuatan yang dilakukan sehingga menimbulkan celaan. Untuk adanya kesalahan ini, hubungan antara keadaan batin dengan perbuatannya yang menimbulkan celaan harus berupa kesengajaan atau kealpaan. 42 Kesengajaan tidak dapat dipikirkan kalau tidak ada kemampuan untuk bertanggungjawab. Begitu pula dengan kealpaan. Tidak mungkin adanya alasan pemaaf, kalau orang tidak mampu bertanggung jawab atau tidak mempunyai salah
41
Roni Wijayanto, Op.Cit., hal.178 Ibid, hal. 178-179
42
Universitas Sumatera Utara
satu bentuk kesalahan. Dengan demikian maka untuk adanya kesalahan, terdakwa harus 43: 1. Melakukan perbuatan pidana (sifat melawan hukum) ; 2. Di atas umur tertentu mampu bertanggung jawab ; 3. Mempunyai suatu bentuk kesalahan yang berupa kesengajaan atau kealpaan; 4. Tidak adanya alasan pemaaf. 1)
Melakukan perbuatan pidana (sifat melawan hukum) Unsur pertanggungjawaban pidana dalam bentuk melakukan perbuatan
melawan hukum “wederrechtelijkeheid” sebagai syarat mutlak dari tiap-tiap melakukan perbuatan pidana. Jika sifat melawan hukum perbuatan pidana tersebut tidak dilakukan, maka menurut Vos, Jonkers dan Langemeyer yang dikutip oleh Moeljatno dalam hal ini maka harus dilepas dari tuntutan hukum (onstlag van recht-vervolging). 44 2)
Di atas umur tertentu mampu bertanggung jawab Kemampuan bertanggungjawab merupakan unsur yang diwajibkan guna
memenuhi pertanggungjawaban suatu perbuatan pidana. Dilihat dari sudut kemampuan
bertanggungjawab
bertanggungjawab
yang
dapat
maka
hanya
sesorang
dipertanggungjawab
yang
mampu
pidanakan.Dikatakan
seseorang mampu bertanggungjawab bilamana pada umumnya: 45
43
Moeljatno, Azas-Azas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2008, hal. 164 Ibid., hal.134-135 45 S.R.Sianturi, Op.Cit., hal. 249 44
Universitas Sumatera Utara
a. Keadaan jiwanya : (1) Tidak terganggu oleh penyakit terus-menerus atau sementara (temporair) (2) Tidak cacat dalam pertumbuhan (gagu, idiot, imbecile dan sebagainya) (3) Tidak terganggu karena terkejut, hypnotisme, amarah yang meluap, pengaruh bawah sadar/reflexe beweging, melindur/slaapwandel, mengigau karena demam/koortsdan lain sebagainya. Dengan perkataan lain dia dalam keadaan sadar. b. Kemampuan jiwanya: (1) Dapat menginsyafi hakekat dari tindakannya (2) Dapat menentukan kehendaknya atas tindakan tersebut, apakah akan dilaksanakan atau tidak dan, (3) Dapat mengetahui ketercelaan dari tindakan tersebut. Sementara batasan-batasan mengenai perbuatan pidana (dader) dianggap tidak mampu bertanggungjawab menurut KUHP yaitu : (1) Kurang sempurna akalnya atau sakit berubah akalnya, hal ini diatur dalam Pasal 44 ayat (1) KUHP (2) Anak yang belum dewasa, hal ini diatur dalam Pasal 45 KUHP
3)
Mempunyai suatu bentuk kesalahan yang berupa kesengajaan atau kealpaan. Didalam hal kemampuan bertanggungjawab bila di lihat dari keadaan batin
orang yang melakukan perbuatan pidana merupakan masalah kemampuan
Universitas Sumatera Utara
bertanggungjawab dan menjadi dasar yang penting untuk menentukan adanya kesalahan, yang mana keadaan jiwa orang yang melakukan perbuatan pidana haruslah sedemikian rupa sehingga dapat dikatakan normal, sebab karena orang yang normal dan sehat inilah yang dapat mengatur tingkah lakunya sesuai dengan ukuran-ukuran yang di anggap baik oleh masyarakat. 46 Bentuk perbuatan manusia mempunyai kesalahan terdapat dua sifat dalam hal melaksanakan perbuatan tersebut, yaitu kesengajaan (dolus) dan kelalaian (culpa). Perbuatan dilakukan dengan sengaja adalah perbuatan yang dikehendaki dan dilakukan dengan penuh kesadaran. Bentuk kesengajaan menurut Moeljatno ada tiga corak yaitu 47 : (1) Kesengajaan dengan maksud, disebut dolus derictus (2) Kesengajaan sebagai kepastian dan keharusan (3) Kesengajaan sebagai kemungkinan, disebut dolus eventualis Kata kesalahan pada kealpaan pengertiannya sekurang-kurangnya terdiri dari tiga komponen, yaitu 48 : (1) Pembuat berbuat lain yang tidak menurut aturan hukum tertulis dan tidak tertulis. Jadi dia berbuat melawan hukum (2) Pembuat berbuat sembrono, lalai, kurang berfikir, lengah (3) Pembuat
dapat
dicela,
yang
berarti
bahwa
ia
dapat
dipertanggungjawabkan akibatnya atas perbuatan yang sembrono, lalai, kurang berfikir dan lengah.
46
Ibid,. Moeljatno, Op.Cit., hal.167 48 Ibid, hal. 201 47
Universitas Sumatera Utara
4)
Tidak adanya alasan pembenar dan alasan pemaaf Menurut Moeljatno yang dikutip oleh Frans Maramis, alasan pembenar
adalah alasan yang menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan, sehingga apa yang dilakukan oleh terdakwa lalu menjadi perbuatan yang patut dan benar. Sedangkan alasan pemaaf adalah alasan dimana perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa tetap bersifat melawan hukum jadi tetap merupakan perbuatan pidana tetapi pelaku tidak dipidana karena tidak ada kesalahan. 49 Mengenai alasan pembenar dan pemaaf, sebenarnya pembedaan ini tidak penting bagi si pelaku, karena jika ternyata ada alasan penghapusan pidana, makapelaku tidak akan dipidana. Ketentuan yang mempunyai bentuk perbuatan sebagai alasan pemaaf pada ketentuan KUHP adalah 50 : 1) Pasal 44 mengenai pertumbuhan jiwa yang tidak sempurna atau terganggu. 2) Pasal 48 mengenai daya memaksa atau overmacht. 3) Pasal 49 mengenai pembelaan terpaksa atau noodwer. 4) Pasal 51 ayat (2) mengenai melaksanakan perintah jabatan yang tidak sah. Artinya, jika memenuhi dari salah satu ketentuan yang disebutkan diatas, maka perbuatan yang dilakukan merupakan tindak pidana tetapi harus dibebaskan dari segala tuntutan hukum atau tidak dapat dimintai pertanggungjawaban pidana.
49
Frans Maramis, Op.Cit., Hal. 135 Sudarto, Hukum Dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1983, hal. 138
50
Universitas Sumatera Utara
3. Pengertian Perjanjian Jaminan Fidusia a. Pengertian Perjanjian Perjanjian atau Verbintenis mengandung pengertian yaitu suatu hubungan Hukum Kekayaan/harta benda antara dua orang atau lebih, yang memberi kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk menunaikan prestasi. 51 Pasal 1313 KUHPerdata memberikan definisi tentang perjanjian yaitu: “suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”. Jika kita perhatikan dengan seksama, rumusan yang diberikan dalamPasal 1313 KUHPerdata tersebut menyiratkan bahwa sesungguhnya dari suatu perjanjian lahirlah kewajiban atau prestasi dari satu atau lebih pihak kepada satu atau lebih pihak lainnya yang berhak atas prestasi tersebut. Rumusan tersebut memberikan konsekuensi hukum bahwa dalam suatu perjanjian akan selalu ada dua pihak, dimana satu pihak adalah pihak yang wajib berprestasi yaitu debitor dan pihak lainnya adalah pihak yang berhakatas prestasi tersebut yaitu kreditor. Masing-masing pihak tersebut dapat terdiri dari satu atau lebih orang, bahkan dengan berkembangnya ilmu hukum, pihak tersebut dapat juga terdiri dari satu atau lebih badan hukum. 52 Tiap-tiap
perjanjian
mempunyai
dasar
pembentukannya,
ilmu
hukummengenal empat unsur pokok yang harus ada agar suatu perbuatan hukum 51
M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, cetakan ke-II,
1986, hal. 6 52
Gunawan Widjaja, Ahmad Yani, Op.Cit., hal. 13-14
Universitas Sumatera Utara
dapat disebut dengan perjanjian yang sah. Keempat unsur tersebut selanjutnya di golongkan ke dalam dua unsur pokok yang menyangkut subjek yang mengadakan perjanjian selanjutnya disebut unsur subjektif, dan unsur pokok lainnya yang berhubungan langsung dengan objek perjanjian selanjutnya disebut unsur objektif. Unsur subjektif mencakup adanya unsur kesepakatan secara bebas dari para pihak yang berjanji, dan kecakapan dari pihak yang melaksanankan perjanjian. Sedangkan unsur objektif meliputi keberadaan objek yang diperjanjikan, dan objek tersebut haruslah sesuatu yang diperkenankan menurut hukum. Tidak terpenuhinya salah satu unsur dari keempat unsur tersebut menyebabkan cacat dalam perjanjian, dan perjanjian tersebut diancam dengan kebatalan, baik dalam bentuk dapat dibatalkan jikaterdapat pelanggaran terhadap unsur subjektif, maupun batal demi hukum (dalam hal tidak terpenuhinya unsur objektif). 53 Syarat
sebuah
perjanjian
dinyatakan
sah,
diatur
dalam
Pasal
1320KUHPerdata, yaitu 54 : 1) Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, maksudnya bahwa kedua pihak yang mengadakan suatu perjanjian itu harus bersepakat, setuju mengenai hal-hal yang menjadi pokok dari perjanjian yang dilakukan atau diadakan itu, termasuk apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu, juga dikehendaki oleh pihak yang lainnya. Para pihak tidak mendapat sesuatu tekanan yang mengakibatkan adanya cacat bagi perwujudan kehendak tersebut. 53
Ibid, hal. 14 Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata Dalam Sistem Hukum Nasional, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, cetakan ke-III, 2011, hal.225-226 54
Universitas Sumatera Utara
2) Kecakapan para pihak Maksudnya yaitu kecakapan para pihak dalam membuat suatu perikatan bahwa pihak-pihak yang membuat perjanjian tersebut merupakan orang yang sudahmemenuhi syarat sebagai pihak yang dianggap cakap menurut hukum.Pihak atau orang-orang yang dianggap atau yang termasukkategori orang-orang yang tidak cakap menurut hukum dijelaskan dalam Pasal1330 KUHPerdata, yaitu : “Tak cakap membuat perjanjian adalah : a) Orang-orang yang belum dewasa b) Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan c) Orang-orang perempuan,Dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu.” 3) Suatu hal tertentu/ Adanya objek perjanjian Suatu hal tertentu yang dimaksudkan dalam persyaratan ketiga syaratsahnya
suatu
perjanjian
perjanjian.Objekperjanjian
tersebut
ini
adalah
haruslah
objek
merupakan
daripada barang-
barang yang dapatdiperdagangkan. 4) Causa/sebab yang halal Pengertian dari suatu sebab yang halal yaitu bahwa isi dari perjanjiantidak boleh bertentangan dengan undang-undang, normanorma agama,kesusilaan, dan ketertiban umum. Yang dimaksud causa
Universitas Sumatera Utara
yang halal dalam Pasal 1320 KUHPer bukanlah sebab dalam arti yang menyebabkan atau yang mendorong orang membuat perjanjian, melainkan
sebab
dalam
arti
isi
perjanjian
itu
sendiri
yang
menggambarkan tujuan yang akan dicapai oleh para pihak. Kedua syarat yang pertama dinamakan syarat subjektif, karena keduasyarat tersebut mengenai subjek perjanjian. Sedangkan kedua syaratterakhir disebutkan syarat objektif, karena mengenai objek dari perjanjian. Didalam perjanjian terdapat beberapa asas yang mendasarinya, yaitu 55 : 1) Asas Konsensualisme Asas konsensualisme ini terdapat dalam Pasal 1320 ayat (1) KUHPedatayang mengandung pengertian bahwa perjanjian itu terjadi saat tercapainya kata sepakat (konsensus) antara pihak-pihak mengenai pokok perjanjian, sehingga sejak saat itu perjanjian mengikat dan mempunyai akibat hukum. 2) Asas Kekuatan Mengikat Asas ini dikenal juga dengan adagium Pacta Sunt Servanda. Masingmasing pihak yang terikat dalam suatu perjanjian harus menghormati dan melaksanakan apa yang telah mereka perjanjikan dan tidak boleh melakukan perbuatan yang menyimpang atau bertentangan dari perjanjian tersebut. Asas Kekuatan mengikat dapat kita temui dalam Pasal 1338 KUHPerdata yang berbunyi :
55
Ibid., hal. 227-230
Universitas Sumatera Utara
“Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undangundangbagi mereka yang membuatnya” 3) Asas Kebebasan Berkontrak Asas kebebasan berkontrak berarti setiap orang menurut kehendak bebasnya dapat membuat perjanjian dan mengikatkan diri dengan siapapun yang ia kehendaki. Tetapi kebebasan tersebut tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang bersifat memaksa, ketertiban umum dan kesusilaan. 4) Asas Itikad Baik Asas ini tercantum dalam Pasal 1338 (1) KUHPerdata, yang berbunyi :“suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik.”
b. Pengertian Jaminan Fidusia Istilah fidusia berasal dari bahasa Belanda, yaitu fiducie, sedangkandalam bahasa inggris disebut fiduciary transfer of ownership, yang artinya kepercayaan. Di dalam berbagai literatur, fidusia lazim disebut dengan istilah eigendom overdract (FEO), yaitu penyerahan hak milik bedasarkan atas kepercayaan. Di dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia kita jumpai pengertian fidusia: 56 “Fidusia
adalah
dasarkepercayaan
pengalihan dengan
hak
kepemilikan
ketentuan
suatu
bahwa
benda
benda
atas yang
56
H. Salim HS, Op.Cit., hal. 55
Universitas Sumatera Utara
hakkepemilikannya yang diadakan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda itu.” Di samping istilah fidusia, dikenal juga istilah jaminan fidusia. Istilah jaminan fidusia ini terdapat dalam Pasal 1 angka (2) UUJF: “Jaminan fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupunyang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan pemberi fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada penerima fidusia terhadap kreditor lainnya”. Unsur-Unsur Jaminan Fidusia adalah: 57 1)
Adanya hak jaminan
2)
Adanya objek, yaitu benda bergerak baik yang berwujud maupun
yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak, khusunya bangunan yang tidak dibebani hak tanggungan. Ini berkaitan dengan pembebanan jaminan rumah susun. 3)
Benda menjadi objek jaminan tetap berada dalam penguasaan
pemberi fidusia. 4)
Memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur
Menurut Subekti, memberikan suatu barang sebagai jaminan kredit berarti melepaskansebagian kekuasaan atas barang tersebut. Kekuasan yang dimaksud bukanlah melepaskankekuasaan dari suatu benda secara ekonomis melainkan secara yuridis, artinya pemberifidusia tetap memiliki hak ekonomis atas benda bergerak yang dijaminkannya itu, akan tetapipemberi fidusia tersebut tidak dapat 57
Ibid., hal. 57
Universitas Sumatera Utara
mengalihkan maupun mengagunkan benda bergerakyang dijaminkan itu kepada pihak lain sebelum kewajibannya terhadap kreditur penerimafidusia terpenuhi. Benda jaminan masih dapat dipergunakan oleh pemberi fidusia untuk melanjutkan usaha
bisnisnya,
dengan
demikian
dapat
disimpulkan
bahwa
dalam
perjanjianpemberi fidusia bertindak sebagai pemilik manfaat, sedangkan penerima fidusia bertindak sebagaipemilik yuridis. 58 Perjanjian jaminan fidusia berdasarkan UUJF dilaksanakan melalui 2 (dua) tahap, yaitu tahap pembebanan dan tahap pendaftaran jaminan fidusia. Berdasarkan Pasal 5 ayat (1) UUJF dinyatakan: Pembebanan benda dengan jaminan fidusia dibuat dengan Akta Notaris dalam Bahasa Indonesia dan merupakan akta jaminan fidusia. Akta Notaris merupakan salah satu wujud akta otentik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1868 KUHPerdata. Setelah tahapan pembebanan dilaksanakan berdasarkan ketentuan UUJF akta perjanjian jaminan fidusia tersebut diwajibkan untuk didaftarkan berdasarkan ketentuan Pasal 11 ayat (1) UUJF, yang menyatakan bahwa benda yang dibebani dengan jaminan fidusia wajib didaftarkan.
F. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Penelitian dalam skripsi ini merupakan penelitian Hukum Normatif (yuridis normatif), yakni merupakan penelitian yang dilakukan dan diajukan pada berbagai peraturan perundang-undangan tertulis dan berbagai literatur yang berkaitan
58
Subekti, Aneka Perjanjian, PT. Alumni, Bandung, cetakan ke-VII, 1985, hal. 27
Universitas Sumatera Utara
dengan permasalahan dalam skripsi. Skripsi ini menggunakan metode pendekatan analisis (Analytical Approach) yaitu menganalisis bahan hukum untuk mengetahui makna yang terkandung dalam istilah yang digunakan oleh peraturan perundangundangan secara konsepsional, sekaligus mengetahui penerapannya dalam putusan-putusan hukum. Penelitian ini juga menggunakan metode pendekatan kasus (Case Approach), yaitu suatu penelitian normatif yang bertujuan untuk mempelajari norma-norma hukum atau kaidah hukum yang dilakukan dalam praktek hukum. 59 Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis putusan Pengadilan Negeri Purworejo No.330/Pid.Sus/2015/PN.Snm dan Pengadilan Negeri Sleman No.15/Pid.Sus/2015/PN.Pwr untuk mengetahui sejauh mana penerapan hukum pidana terhadap pelaku pengalihan objek jaminan fidusia tanpa perjanjian terlebih dahulu. 2. Data dan Sumber Data Lazimnya didalam penelitian, dibedakan antara data yang diperoleh langsung dari masyarakat dan dari bahan pustaka. Yang pertama disebut data primer atau data dasar (Primary data atau basic data) dan yang kedua dinamakan data sekunder (secondary data). 60 Data dalam penelitian ini diperoleh dari : 1) Dalam penelitian ini yang menjadi bahanhukum primer adalah : a) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 b) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
59
Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayu Media, Surabaya, 2007, hal.300 60 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta, cetakan ke-III, 1986, hal. 11-12
Universitas Sumatera Utara
c) Undang-Undang No.42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia d) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) 2) Bahan Hukum Sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi 61, jadi bahan sekunder ini bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan primer, dalam hal ini bahan acuan yang berisikan informasi tentang bahan primer yaitu berupa tulisan atau buku yang berkaitan dengan tindak pidana jaminan fidusia. 3. Tekhnik Pengumpulan Data Dalam menulis skripsi ini metode yang dipakai dalam pengumpulan data adalah dengan cara penelitian kepustakaan (Library Research). Studi kepustakaan adalah teknik pengumpulan data dengan mengadakan studi penelahaan terhadap buku-buku, literatur-literatur, catatan-catatan, dan laporan-laporan yang ada hubungannya dengan masalah yang akan dipecahkan. 62 4. Analisis Data Analisis data adalah proses menafsirkan atau memaknai suatu data. Analisis data sebagai tindak lanjut proses pengolahan data merupakan pekerjaan seorang peneliti yang memerlukan ketelitian, dan pencurahan daya pikir secara optimal, dan secara nyata kemampuan metodologis peneliti diuji. 63 Dalam penulisan skripsi ini, data yang dianalisis adalah dengan metode kualitatif, yaitu dengan menganalisis data-data dan diuraikan melalui kalimat-kalimat yang merupakan 61
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta,
2009, hal. 41 62
M. Nazir, Metode Penelitian Kualitatif, Alfabeta, Bandung, 2012, hal.87 Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, jakarta,
63
hal. 7
Universitas Sumatera Utara
penjelasan atas hal-hal yang terkait dalam penulisan skripsi ini. Dari hasil analisis tersebut diharapkan dapat digunakan untuk menjawab permasalahan yang dikemukakan dalam skripsi ini dan akhirnya dapat digunakan untuk menarik suatu kesimpulan serta memberikan saran seperlunya.
G. Sistematika Penulisan Agar terdapat suatu alur pemikiran yang teratur dan sistematis maka penulisan skripsi ini disusun dalam suatu kerangka yang terdiri atas 4 bab dengan masing-masing bab memiliki sub bab, sebagai berikut : BAB I:
PENDAHULUAN Bab ini merupakan bab awal yang merupakan pendahuluan skripsi yang berisikan latar belakang pemilihan judul skripsi, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penulisan dan gambaran singkat tentang isi skripsi. Pada Bab ini akan mendukung untuk memasuki bab-bab selanjutnya.
BAB II:
ASPEK
HUKUM
PIDANA
PADA
PERJANJIAN
JAMINAN FIDUSIA Bab ini akan membahas tentang sejarah lahirnya jaminan fidusia, membahas mengenai Fidusia sebagai jaminan dengan hak kebendaan serta pelanggaran-pelanggaran Perjanjian Jaminan Fidusia dalam Hukum perdata serta cara
Universitas Sumatera Utara
penyelesainnya. Dalam Bab ini juga akan dibahas mengenai aspek hukum pidana pada perjanjian jaminan fidusia. BAB III:
PENERAPAN HUKUM PIDANA TERHADAP PELAKU PENGALIHAN OBJEK JAMINAN FIDUSIA TANPA PERJANJIAN TERLEBIH DAHULU DARI PENERIMA FIDUSIA
(STUDI
PUTUSAN
PN
SLEMAN
NO.330/PID.SUS/2015/PN.SNM DAN PUTUSAN PN PURWOREJO NO.15/PID.SUS/2015/PN.PWR) Bab ini akan membahas dan menguraikan tentang penerapan hukum pidana terhadap pelaku pengalihan objek jaminan
fidusia
(Studi
Putusan
PN
Sleman
No.330/Pid.Sus/2015/PN.Snm Dan Putusan PN Purworejo No.15/Pid.Sus/2015/PN.Pwr) BAB IV:
KESIMPULAN DAN SARAN Bab ini merupakan bab akhir yang akan dirumuskan mengenai kesimpulan yang didapat berdasarkan uraian dan pembahasan terhadap pokok permasalahan yang timbul dalam penelitian ini. Kemudian dari hasil penulisan tersebut akan diakhiri dengan saran-saran dari penulis.
Universitas Sumatera Utara