HUKUM PAJAK INTERNASIONAL PELAKSANAAN DAN HAMBATAN DALAM PENEGAKAN PAJAK INTERNASIONAL
MAKALAH
Disusun dalam memenuhi nilai Tugas dalam Mata Kuliah Hukum Pajak Semester Genap - Tahun Akademik 2009-2010
Oleh: DYAH AYU PARAMITA 1101 1006 0071
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS PADJADJARAN 2010
BAB I PENDAHULUAN A.
LATAR BELAKANG Perkembangan
teknologi
yang
diciptakan
manusia,
mempersingkat jarak, waktu, dan dimensi yang ada di dalam dunia nyata. Hal ini juga mempersingkat waktu tempuh dengan semakin canggihnya moda transportasi yang ada di seluruh dunia. Dengan demikian, mobilitas manusia di dunia ini menjadi hampir tidak terbatas, terutama bagi mereka yang memiliki keinginan dan terfasilitasi secara finansial. Kemudahan perpindahan ini pun merambah ke bidang investasi dan bisnis, di mana seseorang dari negara A, dapat menanamkan modalnya dan membuat usaha di negara B, sementara berbelanja di negara C, dan seterusnya. Terhadap apa yang dilakukan oleh orang ini, terdapat berbagai objek yang dikenakan pajak oleh masing-masing negara yang bersangkutan, oleh sebab itu, negara-negara di dunia perlu menyusun suatu kesepakatan di dalam kebijakan Hukum Pajak Internasional. Dunia perdagangan berkembang dan terus berjalan dengan adanya permintaan dan pasokan yang tersebar dari berbagai penjuru dunia. Dan perkembangan teknologi, khususnya di bidang transportasi dan komunikasi, mempermudah sekaligus meningkatkan konsentrasi pertumbuhan kebutuhan masyarakat tersebut, oleh sebab itu, muncullah berbagai peluang usaha di yang melintas batas negara, di mana kegiatan usaha tersebut pun memiliki potensi terkena pajak yang melintas batas negara. Setiap negara memiliki kebijakannya masing-masing mengenai pengenaan pajak terhadap wajib pajak dan objek pajak yang berada di
wilayah kekuasaannya. Perbedaan pendekatan, yakni azas nasional aktif dan azas nasional pasif, memberikan dua keadaan yang berbeda yang mungkin terjadi dalam praktek pemungutan pajak. Pajak, sebagaimana kita ketahui, secara ekonomis memiliki konsekuensi
yakni
mengurangi
daya
beli
wajib
pajak
yang
membayarkannya. Oleh sebab itu pajak harus diatur sedemikian rupa, sehingga tidak membebani wajib pajak secara berlebihan, sehingga roda perekonomian dapat terus berjalan, baik secara mikro maupun secara makro. Hal-hal tersebut di atas merupakan alasan yang melandasi perlunya diatur suatu Hukum Pajak Internasional oleh negara-negara di dunia, bagi subjek dan objek pajak yang melintas batas negara. Beberapa ahli telah mencoba memberikan pengertian dari Hukum Pajak Internasional, di antaranya: 1. Rosendorff Hukum Pajak Internasional adalah keseluruhan dari hukum pajak nasional dari semua negara – yang maksudnya adalah, sepanjang tidak khusus diatur mengenai suatu negara (misalnya Indonesia), maka hukum tersebut dianggap sebagai Hukum Pajak Internasional. 2. Dr. P. Verloren van Themaat Hukum Pajak Internasional adalah keseluruhan norma-norma (kebiasaan dan traktat) internasional, yang membatasi kedaulatan suatu negara dalam soal pajak. 3. R. Santoso Brotodihardjo, S.H. Hukum Pajak Internasional adalah Tata tertib dan norma-norma hukum pajak dipandang dari segi internasional – contohnya adalah sebagaimana yang diatur di Indonesia melalui Staatblaad 1934 No. 291 jo. 1946 No. 62 jo. 1948 No. 22 jo. 1949 No. 174 mengenai
penghindaran pajak.1
pajak
berganda
bagi
wajib
Hukum Pajak Internasional adalah Hukum Pajak nasional yang di dalamnya mengandung unsure-unsur asing.2 Unsur asing yang dimaksud di sini dapat mengenai subjeknya, objeknya, dan mungkin juga pemungutnya.3 Permasalahan yang kerap timbul di dalam lapangan Hukum Pajak Internasional ini adalah resiko atas pajak berganda. Terutama mengenai pembagian bagi objek pajak dan subjek pajak mana yang termasuk ke dalam yurisdiksi dari suatu negara untuk memungutnya. Pajak berganda di dalam prakteknya, dapat menurunkan daya saing subjek pajak, dan pada suatu titik yang tidak seimbang, dapat menimbulkan kerugian bagi subjek pajak. Yang kemudian membuatnya rentan akan kebangkrutan, yang mana akan memberikan dampak cukup besar bagi ekonomi mikro di lingkungan di mana subjek pajak tersebut berada. Misalnya apabila subjek pajak tersebut adalah seorang pengusaha pabrik garmen yang merugi akibat pajak berganda, maka seluruh karyawannya terancam kehilangan pekerjaan dan penghasilan, yang juga akan menimbulkan pengangguran dan hilangnya kemampuan ekonomis berpuluh-puluh keluarga. Pajak berganda ini dapat diatur melalui berbagai cara, salah satu di antaranya yakni dengan mengadakan perjanjian bilateral untuk mengatur pembagian pemungutan pajak di antara kedua negara yang bersangkutan. Perjanjian bilateral ini disebut dengan Traktat Pajak, dan dapat berlaku di negara-negara yang menandatanganinya setelah
1 R. Santoso Brotodihardjo, S.H., Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Bandung: Eresco, 1986, hlm. 219. 2 Rochmat Soemitro, Pengantar Singkat Hukum Pajak, Bandung: Eresco, 1992, hlm.57. 3 Ibid.
diratifikasi oleh lembaga perwakilan rakyat negara yang bersangkutan sebagai lembaga legislatif. Permasalahan kembali muncul apabila terjadi sengketa pajak karena ada wajib pajak yang merasa dirugikan dengan dibebankannya pajak berganda atas dirinya, wajib pajak ini dapat mengajukan tuntutan kepada negara, untuk meluruskan apa yang merupakan hak dan kewajibannya. Namun kepada negara mana tuntutan dapat diajukan pun akan menjadi masalah tersendiri. Hukum
Pajak
Internasional,
sebagaimana
Hukum
Perdata
Internasional, memiliki karakteristik perselisihan hukum yang cukup kental. Namun tidak seperti Hukum Perdata Internasional yang telah memiliki azas-azas dan patokan-patokan yang tercipta dari adanya customary law (hukum kebiasaan), Hukum Pajak Internasional tidak memiliki patokan yang demikian. Dari pemikiran tersebut, maka penyusun menyusun makalah ini yang akan membahas mengenai penyelesaian sengketa Hukum Pajak Internasional di dalam teori dan prakteknya.
B.
IDENTIFIKASI MASALAH Untuk memberikan batasan di dalam pembahasan mengenai Hukum Pajak Internasional ini, maka masalah yang akan diidentifikasi melalui makalah ini, yakni: 1. Bagaimanakah cara penghindaran pajak berganda yang dilaksanakan oleh negara Republik Indonesia? 2. Apakah traktat pajak bilateral yang dimiliki Indonesia mengikat umum secara hukum dan telah memenuhi syarat-syarat hukum?
3. Apakah Arbitrase Internasional memiliki yurisdiksi untuk memutus perkara pajak Internasional?
BAB II HUKUM PAJAK INTERNASIONAL
A.
LINGKUP HUKUM PAJAK INTERNASIONAL Di dalam etika hukum antar-negara terdapat suatu azas yang disebut kedaulatan negara, di mana tidak ada suatu negara pun yang memiliki kedudukan lebih tinggi dari negara lainnya, dan masing-masing negara dapat memberlakukan hukumnya masing-masing di wilayahnya, tanpa dapat diintervensi oleh negara lain. Hukum sebagaimana disebut di atas, termasuk di antaranya yakni pengenaan pajak. Kekuasaan pemerintah dari suatu negara atas pajak ini adalah: 1. Kekuasaan untuk membentuk suatu peraturan perundangundangan, dan 2. Kekuasaan untuk menarik pajak.4 Namun kekuasaan ini pun terbatas dengan azas-azas dan normanorma hukum internasional, di mana di antaranya yakni: 1. Norma yang menetapkan, bahwa pemerintah suatu negara hanya dapat mengatur sesuatu di luar wilayahnya apabila sekurang-kurangnya ada satu titik hubungannya dengan negaranya. Titik
hubungan
ini
dapat
bersifat
perorangan
atau
kebendaan yang haruslah merupakan hubungan ekonomi dan dapat dimasukkan ke dalam 4 (empat) golongan yang berbeda sifatnya, yakni hubungan ekonomi: 4 R. Santoso Brotodihardjo, S.H., op.cit, hlm. 218.
a. Karena dalam wilayah suatu negara terdapat sumber pendapatan seseorang yang berdomisili di negara lain; b. Karena dalam wilayah suatu negara terdapat suatu bagian dari kekayaan seseorang yang berdomisili di negara lain; c. Karena hak-hak atas suatu bagian dari kekayaan di suatu negara miliki seseorang yang berdomisili di negara lain hanya dapay dipergunakan di negara letak kekayaannya itu saja; dan d. Karena kekayaan dikonsumsi atau dipergunakan dalam suatu negara domisili. 2. Norma worldwide income yang dapat diterapkan oleh negara domisili, yang dikenal sebagai norma hukum umum. Di dalam Hukum Pajak Internasional, kita mengenal istilah negara sumber, yakni negara di mana kekayaan dan pendapatan seorang subjek pajak internasional berada; negara domisili, yakni negara di mana seorang
subjek
pajak
internasional
tinggal
dan
menggunakan
kekayaannya; dan negara kewarganegaraan, yakni negara di mana seorang subjek pajak internasional merupakan warga negaranya.
B.
SUMBER HUKUM PAJAK INTERNASIONAL Yang menjadi sumber Hukum Pajak Internasional yakni: 1.
Asas-asas yang terdapat dalam hukum antarnegara, baik secara tertulis maupun tidak tertulis;
2.
Peraturan-peraturan unilateral (sepihak) dari setiap negara yang maksudnya tidak ditujukan kepada negara lain, dan diteapkan secara nasional oleh suatu negara;
3.
Perjanjian / Traktat yang disepakati oleh 2 (dua) negara atau lebih, yakni: a.
untuk meniadakan / menghindarkan pajak berganda
b.
untuk mengatur perlakuan fiscal terhadap orang-orang asing
c.
untuk mengatur mengenai pemecahan laba (winstspliting), di dalam hal perusahaan multinasional
d.
untuk saling memberi bantuan dalam pengenaan pajak lengkap dengan pemungutannya, termasuk juga usaha untuk memberantas evasion fiscal, yang dapat terjelma dalam saling memberi informasi
e.
C.
untuk menetapkan tariff-tariff douane
PENYELESAIAN SENGKETA HUKUM PAJAK INTERNASIONAL Mengingat adanya pajak berganda dapat menyebabkan ketidak adilan, beban pajak yang tidak seharusnya, mengganggu iklim kompetisi, dan sebagainya, maka diperlukan upaya untuk meniadakan pajak ganda itu melalui berbagai cara dan dengan menggubnakan berbagai metode yang dianggap paling sesuai dengan tuntutan kebutuhan negara yang bersangkutan. Penghindaran pajak berganda tersebut dapat dilakukan melalui cara-cara sebagai berikut: 1.
SECARA UNILATERAL / NASIONAL
Penyelesaian pajak berganda dapat diselesaikan dengan cara unilateral, atau secara sepihak oleh suatu negara. Caranya adalah memasukkan
ketentuan
yang
dapat
menghindarkan
pajak
berganda ke dalam peraturan perundang-undangan perpajakan nasional suatu negara. Cara unilateral ini dapat dilakukan melalui berbagai metode, yakni:
a.
Tax Exemption Metode ini adalah metode yang biasanya digunakan untuk menghindari pajak berganda oleh negara domisili di mana subjek pajak berganda tinggal. Negara domisili memiliki kewenangan pemungutan pajak secara tak terbatas (worldwide income) terhadap subjek pajak, namun dengan menggunakan metode ini, maka negara domisili tersebut melepaskan hak worldwide income-nya tersebut dalam hal pajak yang sumber atau asalnya berasal dari luar negara domisili, dan diserahkan kepada negara sumber di mana objek pajak tersebut berada. Metode Tax Exemption ini memiliki 2 (dua) varian, yakni: (1)
Pure Territorial Principle
Suatu negara domisili yang menerapkan pure territorial principle, akan melepaskan segala haknya atas objek pajak yang dimiliki oleh subjek pajak yang berasal dari luar wilayah negara domisili tersebut. Negara domisili dalam hal ini melepaskan secara penuh haknya yang berdasarkan atas asas worldwide income dan hanya memungut pajak dari objek pajak yang berasal dari dalam negaranya.
(2)
Restricted Territorial Principle Apabila
suatu
negara
menggunakan
metode
restricted territorial principle, maka negara domisili akan menghitung pendapatan subjek pajak yang berasal dari luar negeri untuk kemudian menjadi bahan perhitungan dari tariff pajak yang akan dikenakan. Misalnya, seorang pebisnis memiliki usaha di negara A dan negara B, dan yang bersangkutan tinggal di negara B, yang menggunakan restricted territorial
principle.
Dia
memiliki
pendapatan
sebesar $100,000 dari negara A dan $65,000 dari negara B, berdasarkan mata uang negara B. Di negara B, untuk pendapatan di atas $100,000 akan dikenakan tariff pajak sebesar 20%. Dalam hal ini, pendapatan yang bersangkutan dihitung sebesar $165,000, tetapi yang dikalikan dengan tariff pajak hanya sejumlah pendapatan yang didapatkannya dari negara B, sehingga $65,000 x 20%. Kasus ini hanya berlaku untuk pajak pendapatan, dan bukan pajak atas kepemilikan yang lainnya. b.
Tax Credit Tax
Credit
merupakan
metode
untuk
memberikan
pengurangan pajak apabila penghasilan yang diperoleh subjek pajak dari luar negeri dikenakan pajak baik di dalam negeri maupun di luar negeri (negara sumber). Pemberian tax credit ini dilakukan apabila jumlah pajak yang dikenakan oleh negara sumber tidak melebihi jumlah pajak yang dikenakan oleh negara domisili. Atau, dengan kata
lain, tax credit hanya diberikan maksimum sebesar pajak yang dikenakan oleh negara domisili. Metode tax credit yakni: (1)
Direct Tax Credit Metode ini merupakan cara penghindaran pajak berganda yang banyak diterapkan di negara-negara yang menggunakan sistem hukum anglo saxon. Subjek pajak dikenakan pajak di negara domisili dengan menggunakan asas worldwide income, di mana terhadap jumlah pajak itu dapat dikurangkan seluruhnya jumlah pajak yang dikenakan oleh negara sumber atas penghasilan yang berasal dari negara sumber.
(2)
Indirect Tax Credit Metode ini dimaksudkan untuk memberikan tax credit kepada perushaan induk di negara domisili terhadap pajak yang dibayar oleh subsidiary-nya di negara sumber.
(3)
Fictitious Tax Credit / Tax Sparing Dalam hubungan negara berkembang dengan negara
maju,
seringkali
negara
berkembang
memiliki kepentingan untuk mengundang investor dari negara maju dengan memberikan berbagai tax incentive.
Salah
satunya
dengan
memberikan
pengenaan pajak dengan tariff yang lebih rendak dan tidak sama dengan tariff yang berlaku pada umumnya di negara berkembang itu sendiri, atau bahkan
tidak
mengenakan
pajak
sepanjang
keuntungan
itu
ditanam
kembali
di
negara
berkembang yang bersangkutan. Sementara itu, negara
maju
tempat
investor
berdomisili
mengenakan pajak dengan menerapkan tax credit terhadap penghasilan yang diperoleh oleh subjek pajak dari negara asing, di mana pengenaan tax credit itu didasarkan pada tariff umum yang dikenakan pada negara sumber. Dari kenyataan ini, maka subjek pajak akan memperoleh keuntungan ganda, dengan ada peniadaan pajak dari kedua negara. c.
Reduced rate for foreign income Metode ini adalah metode penghindaran pajak berganda yang dilakukan oleh negara domisili terhadap penghasilan yang diperoleh subjek pajak yang berdomisili di negara tersebut yang bersumber dari luar negeri, di mana penghasilan yang berasal dari luar negeri itu dikenakan pajak dengan menggunakan tariff yang diperingan dan tidak sama dengan taif umum yang berlaku di negara domisili tersebut.
d.
Tax deduction for foreign income Metode ini, adalah dengan menghitung pajak yang dibayarkan oleh subjek pajak dari hasil pendapatannya di luar
negeri
sebagai
komponen
biaya.
Sehingga
pendapatannya setelah dikurangi biaya (termasuk pajak di negara sumber dan lain sebagainya) akan dikenakan lagi pajak berdasarkan peraturan nasional.
2.
SECARA BILATERAL Secara Bilateral, penghindaran atas terjadinya pajak berganda dilaksanakan melalui perjanjian bilateral. Menurut Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor 67 Tahun 2009, Pasal 1 (1), Persetujuan Penghindaran Pajak Berdanda (Tax Treaty) yang selanjutnya disebut P3B adalah perjanjian anatara Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah negara mitra P3B dalam rangka penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak. Secara umum, dikenal dua model Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda. Model pertama adalah model yang disusun oleh Komite Fiskal Organisasi Kerja Ekonomi dan Pembangunan (Organization for Economic Cooperation and Development / OECD). Sedangkan model yang kedua adalah model P3B yang disusun berdasarkan Konvensi PBB.
3.
SECARA MULTILATERAL Secara multilateral yakni dengan adanya suatu perjanjian internasional yang dibentuk secara umum untuk mengatur negaranegara anggotanya, yang secara hukum internasional dikenal dengan sebutan contracting parties atau contracting states. Contohnya yakni Vienna Convention on Diplomatic Relation 1961 dan Vienna Convention on Consular Relation 1963, yang mana di dalamnya disepakati mengenai objek-objek apa saja yang dibebaskan oleh pajak, yang berhubungan dengan misi diplomatik negara maupun organisasi internasional. Seperti diplomatic premises, penghasilan pejabat diplomatik, harta kekayaan misi diplomatik, dan lain sebagainya.
4.
SECARA KEBIASAAN INTERNASIONAL Cara penyelesaian pajak berganda internasional yang dilakukan melalui kebiasaan internasional, adalah apabila terjadi sengketa sehubungan dengan pemungutan pajak berganda, dan tidak ada pengaturannya
baik
secara
nasional,
bilateral,
maupun
multilateral. Untuk menerapkan kebiasaan internasional untuk menyelesaikan sengketa pajak berganda, perlu ditekankan bahwa harus telah dicapainya segala upaya yang diperlukan dan tercapainya exhaustion of local remedies, sebagai salah satu prinsip dapat diterapkannya hukum internasional.
BAB III KESIMPULAN
Hukum Pajak adalah keseluruhan dari peraturan-peraturan yang meliputi wewenang pemerintah untuk mengambil kekayaan dari seseorang dan menyerahkannya kembali kepada masyarakat dengan melalui kas negara, sehingga ia merupakan bagian dari hukum publik, yang mengatur hubunganhubungan hukum antara negara dan orang-orang atau badan-badan hukum yang berkewajiban membayar pajak (subjek pajak).5 Sedangkan Hukum Pajak Internasional adalah keseluruhan peraturan yang mengatur tata tertib hukum dan yang mengatur tentang hak pengenaan pajak di masing-masing negara.6 Berdasarkan prinsip ubi societas ibi ius, yakni di mana ada masyarakat di sana ada hukum, maka Hukum Pajak Internasional memiliki suatu tujuan untuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi di dalam masyarakat, khususnya anggota masyarakat yang memiliki asset dan penghasilan di dan dari beberapa negara sekaligus, masalah ini yakni pajak berganda. Masalah di dalam pajak berganda yang paling esensial adalah dalam hal pajak penghasilan. Sebagaimana Hukum Perdata Internasional, Hukum Pajak Internasional pun sebenarnya adalah hukum nasional dari suatu negara untuk mengatur mengenai pelaksanaan dan pemungutan pajak. Oleh sebab itu, penanggulangan permasalahan pajak berganda hanya dapat diselesaikan dengan diaturnya di dalam hukum nasional suatu negara.
5 R. Santoso Brotodihardjo, S.H., op. cit., hlm. 1 6 Agus Setiawan, Ak., Pajak Internasional, Jakarta: Pusdiklat Pajak, 2006, hlm. 11
Di Indonesia sendiri, pajak berganda secara umum diatur berdasarkan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan, yang kemudian menunjuk kepada pembuatan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) yang telah dijalin oleh Republik Indonesia dengan beberapa negara lainnya. Namun, Tax Treaty yang dijalin oleh Republik Indonesia dan negara mitra lainnya, sehubungan dengan penghindaran pajak berganda, memiliki kekurangan secara hukum, karena sebagai suatu perjanjian internasional yang seharusnya diratifikasi oleh lembaga legislatif, yakni Dewan Perwakilan Rakyat, melalui undang-undang dan diumumkan di dalam Lembaran Negara secara resmi, Tax Treaty yang dilaksanakan di Indonesia bersama dengan negara-negara mitra lainnya, hanya dituangkan dalam bentuk Keputusan Presiden. Perselisihan pajak, apabila ada salah satu pihak yang merasa dirugikan di dalam penarikan pajak yang mengandung unsur pajak berganda, diselesaikan sesuai dengan cara yang disepakati, baik itu di dalam perjanjian bilateral, regional, maupun multilateral. Sehingga, tidak tertutup kemungkinan untuk diselesaikan di dalam Permanent Court of Arbitration (PCA). Namun, beberapa ahli menyatakan bahwa pajak itu adalah salah satu objek dari kedaulatan, yang bukan merupakan objek perjanjian, sehingga harus diselesaikan melalui hukum nasional. Hal ini adalah wajar, mengingat adanya perbedaan mazhab hukum dan pandangan umum.
DAFTAR PUSTAKA
Agus Setiawan, Ak., Pajak Internasional, Jakarta: Pusdiklat Pajak, 2006.
R. Santoso Brotodihardjo, S.H., Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Bandung: Eresco, 1986.
Rochmat Soemitro, Prof., Dr., H., S.H., Pengantar Singkat Hukum Pajak, Bandung: Eresco, 1992.
Y. Sri Pudyatmoko, S.H., M.Hum., Pengantar Hukum Pajak, Yogyakarta: ANDI, 2008.
http://www.pajak.go.id
Lampiran Perjanjian Pajak Berganda Republik Indonesia - Kanada