15
BAB II PENGATURAN DAN PENYELESAIAN SENGKETA PULAU/ KEPULAUAN MENURUT HUKUM INTERNASIONAL
A. Defenisi Sengketa, Konflik, Sejarah Dan Prinsip-Prinsip Hukum Internasional Internasional
yang
mengatur
mengenai
Hukum
Laut
16
Sengketa tidak lepas dari suatu konflik. Dimana ada sengketa pasti disitu ada konflik. Begitu banya konflik dalam kehidupan sehari-hari. Entah konflik kecil ringan bahkan konflik yang besar dan berat. Hal ini dialami oleh semua kalangan. Karena hidup ini tidak lepas dari permasalahan. Tergantung bagaimana kita menyikapinya. Dengan cara lapangkah, atau bahkan cara yang kasar dan merugikan orang lain. Tentu kita harus profesional menyikapi semua ini demi kelangsungan hidup yang harmonis tentram dan nyaman, dan tentu tidak untuk merugikan orang lain. Kenapa kita harus mempelajari tentang sengketa. Karena untuk mengetahui lebih dalam bagaimana suatu sengketa itu dan bagaimana penyelesaiannya. Berikut adalah pengertian dari sengketa itu sendiri, menurut kamus bahasa Indonesia ; “Sengketa itu berarti pertentangan atau konflik, Konflik berarti adanya oposisi atau pertentangan antara orang-orang, kelompok-kelompok, atau organisasi-organisasi terhadap satu objek permasalahan.” Namuan didalam ranah internasional maka sengketa dalam skala internasional memiliki makna yang berbeda seperti yang disebutkan oleh adolf didalam tulisannya yaitu “Mahkamah Internasional (International Court of Justice) berpendapat bahwa sengketa internasional adalah suatu situasi di mana dua negara mempunyai pandangan yang bertentangan mengenai dilaksanakan atau tidak dilaksanakannya kewajiban-kewajiban yang terdapat dalam perjanjian. 1 Didalam kehidupan sehari-hari setiap manusia dapat dijumpai konflik, baik konflik bagi individu maupun konflik bagi kelompok-kelompok individu yang dapat melibatkan individu-individu tersebut dalam keadaan yang menimbulkan 1
Grafika. Hal 3
Adolf, Huala. 2004. Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional. Jakarta: Sinar
17
perseteruan maupun pertikaian. Seperti yang telah kita ketahui bahwa konflik dapat terjadi terhadap negara-negara yang dimana dalam permasalahannya terdapat hal yang tidak dapat terselesaikan. Permasalahan mengenai Kepemilikan pulau maupun daerah territorial, mengenai dampak pencemaran lingkungan yang memberikan dampak antara negara yang satu terhadap negara yang lainnya.maka sengketa itu ialah
masalah antara dua orang atau lebih dimana keduanya
saling mempermasalahkan suatu objek tertentu, hal ini terjadi dikarenakan kesalahpahaman atau perbedaan pendapat atau persepsi antara keduanya yang kemudian menimbulkan akibat hukum bagi keduanya. Didalam hidup bernegara tentu dapat kita temukan hal-hal yang dimaksud dalam konflik dan sengketa ini, dalam hal ini saya mengambil salah satu contoh yaitu mengenai pengaturan Hukum internasional mengenai konflik maupun sengketa yang terjadi pada permasalahan laut internasional baik dalam hak atas pulau-pulau kecil yang terdekat pada negaranya maupun mengenai batas-batas territorial suatu negara. Sebelum masuk kedalam pembahasan permasalahan tentang laut internasional, kita juga harus mengerti dan mengetahui sejarah, prinsip-prinsip Hukum Internasional yang mengatur mengenai Hukum Laut Internasional tersebut. Mengenai Hukum Internasional yang mengatur mengenai Hukum laut Internasional ini merupakan upaya-upaya yang telah dilakukan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa dibentuk berupa resolusi-resolusi dalam pengaturan mengenai batas-batas
kekuasaan maupun pengaturan lain didalam Hukum Laut
18
Internasional yang dikandungkan didalam suatu Konvensi/ Perjanjian Hukum Laut. Konvensi Hukum Laut atau Hukum perjanjian Laut, adalah perjanjian internasional yang dihasilkan dari Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut yang ketiga (UNCLOS III ) yang berlangsung dari tahun 1973 sampai dengan tahun 1982. Konvensi Hukum Laut ini mendefinisikan hak dan tanggung jawab negara dalam penggunaan lautan di dunia serta menetapkan pedoman untuk bisnis, lingkungan, dan pengelolaan sumber daya alam laut. Konvensi kesimpulkan pada tahun 1982, menggantikan perjanjian internasional mengenai laut tahun 1958. UNCLOS diberlakukan pada tahun 1994, setahun setelah Guyana menjadi negara ke-60 untuk menandatangani perjanjian.
Untuk saat ini telah 158 negara dan Masyarakat Eropa telah bergabung dalam Konvensi. Sedangkan Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa menerima instrumen ratifikasi danaksesi dan Perserikatan Bangsa-Bangsa menyediakan dukungan untuk pertemuan negara pihak Konvensi, PBB tidak memiliki
peran
operasional
langsung
dalam
pelaksanaan
Konvensi.
Ada, bagaimanapun, peran yang dimainkan oleh organisasi-organisasi seperti Organisasi Maritim Internasional, Komisi Penangkapan Ikan Paus Internasional, dan Otorita Dasar laut Internasional (yang terakhir yang didirikan oleh Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa).
Konvensi Hukum Laut Internasional (UNCLOS) 1982 mengatur mengenai beberapa hal, pertama mengenai laut teritorial. Penarikan garis pangkal untuk
19
mengukur lebar laut territorial harus sesuai dengan ketentuan garis pangkal lurus, mulut sungai dan teluk atau garis batas yang diakibatkan oleh ketentuan-ketentuan itu dan garis batas yang ditarik sesuai dengan tempat berlabuh di tengah laut. Dan penerapan garis batas laut teritorial antara negara-negara yang pantainya berhadapan atau berdampingan, harus dicantumkan dalam peta dengan skala atau skala-skala yang memadai untuk penetapan garis posisinya (pasal 16 ayat 1).
Kedua, untuk perairan Zona Ekonomi Eksklusif penarikan garis batas terlihat ZEE dan penetapan batas yang ditarik harus sesuai dengan ketentuan penetapan batas yang ditarik harus sesuai dengan ketentuan penetapan batas ekonomi eksklusif antar negar yang pantainya berhadapan (opposite) atau berdampingan (adjacent) harus dicantumkan pada peta dengan sekala yang memadai untuk menentukan posisinya (Pasal 75 Ayat 1).
Ketiga, untuk landas kontinen. Penarikan garis batas terluar landas kontinen dan penetapan batas yang ditarik harus sesuai dengan ketentuan penentuan batas landas kontinen antara negara yang pantainya berhadapan (opposite) atau berdampingan (adjacent), harus dicantumkan pada peta dengan skala atau skala-skala yang memadai untuk penentuan posisinya (pasal 84 ayat 1). Konvensi Hukum Laut Internasional memberikan kesempatan kepada negara pantai untuk melakukan tinjauan terhadap wilayah landas kontinen hingga mencapai 350 mil laut dari garis pangkal. Berdasarkan ketentuan UNCLOS jarak yang diberikan adalah 200 mil laut, maka sesuai ketentuan yang ada di Indonesia berupaya untuk melakukan submission ke PBB mengenai batas landas kontinen
20
Indonesia diluar 200 mil laut, karena secara posisi geografis dan kondisi geologis, Indonesia kemungkinan memiliki wilayah yang dapat diajukan sesuai dengan ketentuan penarikan batas landas kontinen diluar 200 mil laut. Konvensi PBB tentang Hukum Laut 1982 (UNCLOS 1982) juga melahirkan delapan zonasi pegaturan (regime) hukum laut yaitu, 1. Perairan Pedalaman (Internal waters), 2. Perairan kepulauan (Archiplegic waters) termasuk ke dalamnya selat yang digunakan untuk pelayaran internasional, 3. Laut Teritorial (Teritorial waters), 4. Zona tambahan ( Contingous waters), 5. Zona ekonomi eksklusif (Exclusif economic zone), 6. Landas Kontinen (Continental shelf), 7. Laut lepas (High seas), 8. Kawasan dasar laut internasional (International sea-bed area).
Konvensi Hukum Laut 1982 mengatur juga pemanfaatan laut sesuai dengan status hukum dari kedelapan zonasi pengaturan tersebut. Negara-negara yang berbatasan dengan laut, termasuk Indonesia memiliki kedaulatan penuh atas wilayah perairan pedalaman, perairan kepulauan dan laut teritorial; sedangkan untuk zona tambahan, zona ekonomi eksklusif dan landasan kontinen, negara memiliki hak-hak eksklusif, misalnya hak memanfaatkan sumber daya alam yang ada di zona tersebut. Sebaliknya, laut lepas merupakan zona yang tidak dapat dimiliki oleh Negara manapun, sedangkan kawasan dasar laut Internasioal dijadikan sebagai bagian warisan umat manusia.
21
Pada abad ke 16 dan ke 17, Negara-negara kuat maritim diberbagai kawasan Eropa saling merebutkan dan memperdebatkan melalui berbagai cara untuk menguasai lautan di dunia ini. Negara- negara tersebut yaitu adalah Negaranegara yang terkenal kuat dan tangguh di lautan yaitu antara Spanyol dan Portugis. • Spanyol dan Portugis yang menguasai lautan berdasarkan perjanjian Tordesillas tahun 1494, ternyata memperoleh tantangan dari Inggris (di bawah Elizabeth 1) dan Belanda. • Konferensi Internasional utama yang membahas masalah laut teritorial ialah “codificationconference” (13 Maret – 12 April 1930) di Den Haag, di bawah naungan Liga Bangsa Bangsa, dan dihadiri delegasi dari 47 negara. • Konferensi ini tidak mencapai kata sepakat tentang batas luar dari laut teritorial dan hak menangkap ikan dari negara-negara pantai pada zona tambahan. Ada yang menginginkan lebar laut teritorial 3 mil (20 negara), 6 mil (12 negara), dan4 mil.
Setelah perdebatan panjang dan tidak menemukan kata kesepakatan diantara negara-negara yang bersengketa tentang wilayah maritim, maka PBB yang sebelumnya bernama Liga Bangsa-Bangsa mengadakan konferensi hukum laut pertama pada tahun 1958 dan konfrensi hukum laut yang kedua pada tahun 1960 yaitu yang lebih dikenal dengan istilah UNCLOS 1 danUNCLOS 2. Dalam konfrensi hukum laut pertama ini melahirkan 4 buah konvensi, dan isi dari konvensi Unclos pertama ini adalah:
22
1. Konvensi tentang laut teritorial dan jalur tambahan (convention on the territorial sea and contiguous zone) belum ada kesepakatan dan diusulkan dilanjutkan di UNCLOS II 2. Konvensi tentang laut lepas (convention on the high seas) a. Kebebasan pelayaran b. Kebebasan menangkap ikan c. Kebebasan meletakkan kabel di bawah laut dan pipa-pipa d. Kebebasan terbang di atas laut lepas 3. Konvensi tentang perikanan dan perlindungan sumber-sumber hayati di laut lepas (convention onfishing and conservation of the living resources of the high sea) 4. Konvensi tentang landas kontinen (convention on continental shelf). Konvensi ini telah disetujui. Pada tanggal 17 Maret – 26 April 1960 kembali dilaksanakn konferensi hukum laut yang kedua atau UNCLOS II, membicarakan tentang lebar laut teritorial dan zona tambahan perikanan, namun masih mengalami kegagalan untuk mencapai kesepakatan, sehingga perlu diadakan konferensi lagi.
Pada pertemuan konfrensi hukum laut kedua, telah disapakati untuk mengadakan kembali pertemuan untuk mencari kesepakatan dalam pengaturan kelautan maka diadakan kembali Konferensi Hukum Laut PBB III atau Unclos III yang dihadiri 119 negara. Dalam pertemuan ini,disepakati 2 konvensi yaitu:
23
·
Konvensi hukum laut 1982 merupakan puncak karya dari PBB tentang
hukum laut,
yangdisetujui di Montego Bay, Jamaica (10 Desember1982),
ditandatangani oleh 119 ·
negara.
Ada 15 negara yang memiliki ZEE besar: Amerika Serikat, Australia,
Indonesia, New
Zealand,Kanada, Uni Soviet, Jepang, Brazil, Mexico, Chili,
Norwegia, India, Filipina,
Portugal, danRepublik Malagasi.
Dalam dekade abad ke-20 telah 4 kali diadakan usaha untuk memperoleh suatu himpunan tentang hukum laut, diantaranya: 1. Konferensi kodifikasi Den Haag (1930) di bawah naungan LigaBangsa-Bangsa 2. Konferensi PBB tentang hukum laut I (1958) UNCLOS I 3. Konferensi PBB tentang hukum laut II (1960) UNCLOS II 4. Konferensi PBB tentang hukum laut III (1982) UNCLOS III.
Kepentingan dunia atas hukum laut telah mencapai puncaknya pada abad ke-20. Faktor-faktor yang mempengaruhi Negara-negara di dunia membutuhkan pengaturan tatanan hukum laut yang lebih sempurna adalah: • Modernisasi dalam segala bidang kehidupan • Tersedianya kapal-kapal yang lebih cepat • Bertambah pesatnya perdagangan dunia • Bertambah canggihnya komunikasi internasional • Pertambahan penduduk dunia yang membawa konsekuensi bertambahnya perhatian pada usaha penangkapan ikan.
24
Dari penjelasan-penjelasan sejarah konfrensi hukum laut diatas, terdapat 4 pengaturan hukum laut internasional yang telah disepakati oleh beberapa Negara dalam konvensi-konvensi yang selanjutnya dikatakan sebagai rezim-rezim hukum laut.
B.
Pengaturan
Hukum
Internasional
mengenai
pengaturan
Hukum Laut Internasional
Didalam Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Hukum Laut (UNCLOS) telah menjelaskan mengenai peraturan-peraturan dalam Hukum Laut Internasional yang dimana bisa menyatakan mengenai status Hukum Laut territorial, Ruang Udara di atas laut territorialnya dan dasar laut dibawahnya. Berkiblat dari permasalahan yang dibahas didalam skripsi ini, bahwa dapat ditarik point-point yang perlu dibahas didalam pengaturan Hukum Laut Internasional yang berkaitan dengan permasalahan yang terjadi, yaitu :
(a) Pengaturan Batas Laut Teritorial Dan Lintas Damai Di Laut Teritorial
Dalam menentukan lebar laut territorial setiap negara telah ditentukan dalam “Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut” bahwa setiap negara berhak menetapkan lebar laut
25
teritorialnya hingga batas yang tidak melebihi 12 mil laut, didalam pengukurannya diukur dari garis pangkal yang ditentukan sesuai dengan konvensi ini.
Batas luar laut territorial adalah garis yang jarak setiap titiknya merupakan dari titik yang terdekat dari garis pangkal, sama seperti penentuan mengenai lebar laut territorial. Kecuali jika ditentukan lain dalam konvensi ini. Dimana garis pangkal biasa untuk mengukur lebar laut territorial adalah garis air rendah sepanjang pantai sebagaimana terlihat pada peta skala besar yang diakui resmi oleh negara pantai tersebut.
Dalam hal pulau yang terletak pada atol atau pulau yang mempunyai karang-karang di sekitarnya,, maka garis pangkal untuk mengukur lebar dari laut territorial adalah garis air rendah pada sisi karang ke arah laut sebagaimana ditunjukkan oleh tanda yang jelas untuk itu pada peta yang diakui resmi oleh negara pantai bersangkutan.
Didalam penentuan Garis pangkal lurus terdapat beberapa hal yang harus dilakukan demi menentukan garis pangkal lurus tersebut dengan benar, sebagai berikut :
-
Ditempat-tempat dimana garis pantai menjorok jauh
kedalam dan
menikung ke dalam atau jika terdapat suatu
26
deretan pulau sepanjang pantai
di dekatnya, cara penarikan
garis pangkal lurus yang menghubungkan
titik-titik yang
tepat dapat digunakan dalam menarik garis pangkal dari mana lebar laut territorial diukur. -
Dimana karena adanya suatu delta dan kondisi alam lainnya
garis pantai
sangat tidak tetap, maka titik-titik yang tepat
dapat dipilih pada garis air
rendah yang paling jauh
menjorok ke laut dan sekalipun garis air rendah kemudian mundur, garis-garis pangkal lurus tersebut akan tetap berlaku sampai dirubah oleh negara pantai sesuai dengan konvensi ini. -
Penarikan garis pangkal lurus tersebut tidak boleh
menyimpang terlalu
jauh dari arah umum dari pada pantai
dan bagian-bagian laut yang terletak
didalam garis pangkal
demikian harus cukup dekat ikatannya dengan daratan untuk dapat tunduk pada rejim perairan pedalaman. -
Garis pangkal lurus tidak boleh ditarik ke dan dari elevasi,
kecuali
diatasnya didirikan mercu suar atau instalasi serupa
yang secara permanen
ada diatas permukaan laut atau
kecuali dalam hal penarikan garis pangkal
lurus ke dan
dari elevasi demikian telah memperoleh pengakuan umum internasional. -
Dalam hal cara penarikan garis pangkal lurus dapat
diterapkan berdasarkan pada keterangan yang pertama, maka
27
didalam menetapkan
garis pangkal tertentu dapat ikut
diperhitungkan kepentingan ekonomi
yang khusus bagi
daerah yang bersangkutan, yang kenyataan dan pentingnya secara jelas dibuktikan oleh praktek yang berlangsung lama. -
Sistem penarikan garis pangkal lurus tidak boleh diterapkan
oleh suatu negara dengan cara yang demikian rupa sehingga laut territorial Negara
lain dari laut lepas atau zona
ekonomi eksklusif
Adapun yang disebut dengan perairan pedalaman yang merupakan perairan pada sisi darat garis pangkal laut territorial merupakan bagian perairan pedalaman negara tersebut. Dalam hal penetapan garis pangkal lurus sesuai dengan cara yang ditetapkan dalam keterangan garis pangkal lurus diatas berakibat tertutupnya sebagai perairan pedalaman daerah-daerah yang sebelumnya tidak dianggap demikian, maka di dalam perairan demikian akan berlaku suatu hak lintas damai sebagai mana ditentukan dalam Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS).
Adapula yang dimaksud dengan teluk, yaitu suatu lekukan yang jelas lekukannya berbanding sedemikian rupa dengan lebar mulutnya sehingga mengandung perairan yang tertutup dan yang bentuknya lebih dari pada sekedar suatu lengkungan pantai semata-mata, seluas
28
atau lebih luas setengah lingkaran yang garis tengahnya adalah suatu garis yang ditarik melintasi mulut lekukan tersebut.
Didalam pengukurannya, daerah suatu lekukan adalah daerah yang terletak antara garis air rendah sepanjang pantai lekukan itu dan suatu garis yang menghubungkan titik-titik garis air rendah pada pintu masuknya yang alamiah. Apabila karena adanya pulau-pulau, lekukan mempunyai lebih dari satu mulut, maka setengah lingkaran dibuat pada suatu garis yang panjangnya sama dengan jumlah keseluruhan panjang garis yang melintasi berbagai mulut tersebut. Dan pulau-pulau yang terletak didalam lekukan harus dianggap seolah-olah sebagai daerah perairan lekukan tersebut.
Jika jarak antara titik-titik garis air rendah pada pintu masuk alamiah suatu teluk tidak melebihi 24 mil laut, maka garis penutup dapat ditarik antara kedua garis air rendah tersebut dan perairan yang tertutup karenanya dianggap sebagai perairan pedalaman.
Apabila jarak antara titik-titik garis air rendah pada pintu masuk alamiah suatu teluk melebihi 24 mil laut, maka suatu garis pangkal lurus yang panjangnya 24 mil laut ditarik dalam teluk tersebut sedemikian rupa, sehingga menutup suatu daerah perairan yang maksimum yang mungkin dicapai oleh garis sepanjang itu.
29
Untuk maksud penetapan batas laut territorial, instalasi pelabuhan permanen yang terluar yang merupakan bagian integral dari sistem pelabuhan dianggap sebagai bagian daripada pantai. Instalasi lepas pantai dan pulau buatan tidak akan dianggap sebagai instalasi pelabuhan yang permanen. Tempat berlabuh di tengah laut yang biasanya dipakai memuat, membongkar dan menambat kapal, dan yang terletak seluruhnya atau sebagian di luar batas luar laut territorial, termasuk dalam laut territorial.
Suatu elevasi surut adalah suatu wilyah daratan yang terbentuk secara ilmiah yang dikelilingi dan berada di atas permukaan laut pada waktu air surut, tetapi berada di bawah permukaan laut pada waktu air pasang. Dalam hal suatu evaluasi surut terletak seluruhnya atau sebagian pada suatu jarak yang tidak melebihi lebar laut territorial dari daratan utama atau suatu pulau, maka garis air surut pada elevasi demikian dapat digunakan sebagai garis pangkal untuk maksud pengukuran lebar laut territorial.
Apabila suatu elevasi surut berada seluruhnya pada suatu jarak yang lebih dari laut territorial dari daratan utama atau suatu pulau, maka elevasi demikian tidak mempunyai laut territorial sendiri. Negara pantai dapat menetapkan garis pangkal secara bergantian dengan menggunakan cara penarikan manapun yang diatur dalam pasal-pasal
30
didalam Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut untuk menyesuaikan dengan keadaan yang berlainan.
Dalam hal pantai dua negara yang letaknya berhadapan atau berdampingan satu sama lain, tidak satupun diantaranya berhak, kecuali ada persetujuan yang sebaliknya antara mereka untuk menetapkan batas laut terrutorialnya melebihi garis tengah yang titiktitiknya terdekat pada garis-garis pangkal darimana lebar laut territorial masing-masing negara diukur. Tetapi ketentuan di atas tidak berlaku, apabila terdapat alasan hak historis atau keadaan khusus lain yang menyebabkan perlunya menetapkan batas laut territorial antara kedua negara menurut suatu cara yang berlainan dengan ketentuan didalam Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut.
Didalam menjalankan perdagangan di dunia tiap negara-negara yang melakukan kerja sama dalam bidang perdagangan, dan kepentingan lainnya dapat melakukan pengiriman melalui laut yang kemudian melewati negara-negara baik diluar maupun didalam laut territorialnya, yang disebut dengan hak lintas damai.
Lintas yang berarti navigasi melalui laut territorial untuk keperluan. Lintas ini dapat melintasi laut tanpa memasuki perairan pedalaman atau singgah di tempat berlabuh ditengah laut (roadstead) atau fasilitas pelabuhan diluar perairan pedalaman. Kemudian lintas ini
31
dapat berlalu kea tau dari perairan pedalaman atau singgah di tempat berlabuh di tengah laut (roadstead) atau fasilitas pelabuhan tersebut.
Lintas harus terus menerus, langsung serta secepat mungkin. Namun demikian, lintas dapat berhenti dan buang jangkar tetapi hanya sepanjang hal tersebut berkaitan dengan navigasi yang lazim atau perlu dilakukan karena mengalami kesulitan atau guna memberikan pertolongan kepada orang, kapal, pesawat udara yang dalam bahaya atau kesulitan.
Lintas adalah damai sepanjang tidak merugikan bagi kedamaian, ketertiban atau keamanan Negara pantai. Lintas tersebut harus dilakukan sesuai dengan ketentuan Konvensi Perserikatan BangsaBangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS) dan peraturan hukum internasional lainnya. Namun lintas suatu kapal asing harus dianggap membahayakan kedamaian. Ketertiban atau keamanan negara pantai, apabila kapal tersebut di laut territorial melakukan salah satu kegiatan sebagai berikut: -
Setiap ancaman atau penggunaan kekerasan terhadap
kedaulatan, keutuhan
wilayah atau kemerdekaan politik
Negara pantai, atau dengan cara lain
apapun yang
merupakan pelanggaran asas hukum internasional sebagaimana tercantum dalam Piagam Perserikatan BangsaBangsa.
32
-
Setiap latihan atau praktek dengan senjata macam apapun
-
Setiap perbuatan yang bertujuan untuk mengumpulkan
informasi yang
merugikan bagi pertahanan atau keamanan
Negara pantai -
Setiap perbuatan propaganda yang bertujuan mempengaruhi
pertahanan -
atau keamanan Negara pantai
Peluncuran, pendaratan atau penerimaan setiap pesawat
udara diatas kapal -
Peluncuran, pendaratan atau penerimaan setiap peralatan
dan -
perlengkapan militer Bongkar atau muat setiap komoditi, mata uang atau orang
secara
bertentangan dengan ketentuan konvensi ini
-
Setiap kegiatan perikanan
-
Kegiatan riset atau survey
-
Setiap perbuatan yang bertujuan mengganggu setiap sistem
komunikasi
atau siap fasilitas atau instalasi Negara
pantai -
Setiap kegiatan lainnya yang tidak berhubungan langsung
dengan lintas
Di laut territorial, kapal selam dan kendaraan bawah air lainnya diharuskan melakukan navigasi di atas permukaan air dan menunjukkan benderanya.
33
(b) Pengaturan mengenai Zona Ekonomi Eksklusif
Zona ekonomi eksklusif adalah suatu daerah diluar dan berdampingan dengan laut territorial yang tunduk pada rejim hukum khusus yang diterapkan dalam Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS). Berdasarkan mana hak-hak dan yurisdiksi negara pantai dan hak-hak serta kebebasan-kebebasan negara lain, diatur oleh ketentuan-ketentuan yang relevan dalam Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum laut. Dalam zona ekonomi eksklusif, Negara pantai memiliki beberapa hak yaitu: -
Hak-hak berdaulat untuk keperluan eksplorasi dan
eskploitasi, konservasi
dan pengelolaan sumber kekayaan
alam, baik hayati maupun non-hayati,
dari perairan diatas
dasar laut dan dari dasar laut dan tanah dibawahnya
dan
berkenaan dengan kegiatan lain untuk keperluan eksplorasi dan eksploitasi ekonomi zona tersebut, sama seperti produksi energy dari air, -
arus dan angin.
Yurisdiksi sebagaimana ditentukan dalam ketentuan yang
relevan
Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang
Hukum Laut berkenaan
dengan ; pembuatan dan pemakaian
pulau buatan, instalasi dan bangunan,
riset ilmiah kelautan,
perlindungan dan pelestarian lingkungan laut.
34
-
Hak dan kewajiban lain sebagaimana ditentukan dalam
Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut.
Dalam melaksanakan hak-hak dan memenuhi kewajibannya berdasarkan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS) dalam zona ekonomi eksklusif, negara pantai harus memperhatikan sebagaimana mestinya hak-hak dan kewajiban negara lain dan harus bertindak dengan suatu cara sesuai dengan ketentuan konvensi ini.
Zona ekonomi eksklusif tidak boleh melebihi 200 mil laut dari garis pangkal dari lebar laut territorial diukur. Di zona ekonomi eksklusif semua negara baik negara berpantai atau tak berpantai dapat menikmati dengan tunduk pada ketentuan yang relevan pada Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut. Kebebasankebebasan pelayaran dan penerbangan, serta kebebasan meletakkan kabel dan pipa bawah laut yang telah disebut pada pasal 87 Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut dan penggunaan laut lain yang sah menurut hukum internasional yang bertalian dengan kebebasan-kebebasan ini, seperti penggunaan laut yang berkaitan dengan pengoprasian kapal, pesawat udara, dan kabel serta pipa dibawah laut, dan sejalan dengan ketentuan-ketentuan lain dalam Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut ini.
35
Dalam melaksanakan hak-hak dan memenuhi kewajibannya berdasarkan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS) di zona ekonomi eksklusif, negara-negara harus memperhatikan sebagaimana mestinya hak-hak dan kewajiban negara pantai sesuai dengan ketentuan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut dan peraturan hukum internasional lainnya sepanjang ketentuan tersebut tidak bertentangan.
Dalam hal ini dimana konvensi ini tidak memberikan hak-hak atau yuridiksi kepada negara pantai atau kepada negara lain di zona ekonomi eksklusif dan timbul sengketa antara kepentingankepentingan negara pantai dan negara lain maka sengketa itu harus diselesaikan berdasarkan keadilan dan dengan pertimbangan segala keadaan yang relevan dengan memperhatikan masing-masing keutamaan kepentingan yang terlibat bagi para pihak maupun bagi masyarakat internasional secara keseluruhan. Di zona ekonomi eksklusif, negara pantai mempunyai hak eksklusif untuk membangun dan untuk menguasakn dan mengatur pembangunan, operasi dan penggunaan, seperti ;
-
Pulau buatan
-
Instalasi dan bangunan untuk keperluan sebagaimana
ditentukan dalam pasal 56 Konvensi Perserikatan BangsaBangsa tentang Hukum Laut dan tujuan ekonomi lainnya
36
-
Instalasi dan bangunan yang dapat mengganggu
pelaksanaan hak-hak
Negara pantai dalam zona tersebut
Negara pantai memiliki yurisdiksi eksklusif atas pulau buatan, instalasi dan bangunan demikian, termasuk yurisdiksi bertalian dengan peraturan perundang-undangan bea cukai, fiscal, kesehatan, keselamatan dan imigrasi. Pemberitahuan sebagaimana mestinya harus diberikan mengenai pembangunan pulau buatan, instalasi atau bangunan demikian dan sarana tetap guna pemberitahuan ada-nya instalasi atau bangunan demikian harus dipelihara. Setiap instalasi atau bangunan yang ditinggalkan atau tidak terpakai harus dibongkar untuk menjamin keselamatan pelayaran, dengan memperhatikan setiap standar internasional yang diterima secara umum yang ditetapkan dalam hal ini oleh organisasi internasional yang berwenang. Pembongkaran demikian harus memperhatikan dengan semestinya penangkapan ikan, perlindungan lingkungan laut, dan hak-hak serta kewajiban Negara lain. Pengumuman yang tepat harus diberikan mengenai kedalaman,posisi dan dimensi setiap instalasi atau bangunan yang tidak dibongkar secara keseluruhan. Negara pantai, apabila diperlukan, dapat menetapkan zona keselamatan yang pantas di sekeliling pulau buatan, instalasi dan bangunan demikian dimana Negara pantai dapat mengambil tindakan yang tepat
37
untuk menjamin baik keselamatan pelayaran maupun keselamatan pulau buatan, instalasi dan bangunan tersebut. Lebar zona keselamatan harus ditentukan oleh Negara pantai dengan memperhatikan standar-standar internasional yang berlaku. Zona keselamatan demikian harus dibangun untuk menjamin bahwa zona keselamatan tersebut sesuai dengan sifat dan fungsi pulau buatan, instalasi dan bangunan tersebut tidak boleh melebihi jarak 500 meter sekeliling bangunan tersebut, diukur dari setiap titik terluar, kecuali apabila diijinkan oleh standar internasional yang diterima secara umum atau direkomendasikan oleh organisasi internasional yang berwenang. Pemberitahuan yang semestinya harus diberikan tentang luas zona keselamatan tersebut. Semua kapal harus menghormati zona keselamatan ini dan harus memenuhi standar internasional yang diterima secara umum yang bertalian dengan pelayaran disekitar pulau buatan, instalasi, bangunan dan zona keselamatan. Pulau buatan, instalasi dan bangunan-bangunan serta zona keselamatan di sekelilingnya tidak boleh diadakan sehingga dapat mengakibatkan gangguan terhadap peng-gunaan alur laut yang diakui yang penting bagi pelayaran internasional. Pulau buatan, instalasi dan bangunan tidak mempunyai status pulau. Pulau buatan, instalasi dan bangunan tidak mempunyai laut teritorialnya sendiri, dan kehadirannya tidak mempengaruhi penetapan batas laut teritorial, zona eksklusif atau landas kon-tinen.
38
Negara pantai harus menentukan, jumlah tangkapan sumber kekayaan hayati yang dapat diperbolehkan dalam zona eksklusifnya. Negara pantai, dengan memperhatikan bukti ilmiah terbaik yang tersedia baginya harus menjamin dengan mengadakan tindakan konservasi dan pengelolaan yang tepat sehingga pemeliharaan sumber kekayaan hayati di zona ekonomi eksklusif tidak di bahayakan oleh eksploitasi yang berlebihan. Dimana perlu, Negara pantai dan organisasi internasional yang berwenang, baik sub-regional, regional maupun global, harus bekerja sama untuk tujuan ini. Tindakan demikian juga bertujuan untuk memelihara atau memulihkan populasi jenis yang dapat dimanfaatkan pada tingkat yang dapat menjamin hasil maksimum yang lestari, sebagaimana ditentukan oleh faktor ekonomi dan lingkungan yang relevan, ter masuk kebutuhan ekonomi masyarakat nelayan daerah pantai dan kebutuhan khusus Negara berkembang, dan dengan memperhatikan pola penangkapan ikan, saling keter gantungan persediaan jenis ikan dan standar minimum internasional yang dianjurkan secara umum, baik di tingkat sub-regional, regional maupun global. Dalam mengambil tindakan demikian, Negara pantai harus memperhatikan akibat terhadap jenis-jenis yang berhubungan atau tergantung pada jenis yang dimanfaatkan dengan tujuan untuk memelihara atau memulihkan jenis populasi yang jenis yang berhubungan atau tergantung demikian di atas tingkat dimana reproduksinya dapat sang-at terancam.
39
Keterangan ilmiah yang tersedia, statistik penangkapan dan usaha perikanan, serta data lainnya yang relevan dengan konservasi persediaan jenis ikan harus disumbang -kan dan dapat dipertukarkan secara teratur melalui organisasi internasional yang ber- wenang baik sub-regional, regional maupun global dimana perlu dan dengan peran serta semua Negara yang berkepentingan, termasuk Negara yang warga negaranya di perbolehkan menangkap ikan di zona ekonomi eksklusif.
(c) Pengaturan Mengenai Batas Laut Territorial Antara Negara Kepulauan Dengan Negara Pantai
Di dalam pengaturan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS) terdapat beberapa perbedaan yang signifikan mengenai penentuan batas territorial antara Negara Kepulauan dengan Negara Pantai. Negara Kepulauan berarti suatu Negara yang seluruhnya terdiri dari satu atau lebih kepulauan dan dapat mencakup pulau-pulau lain. Kepulauan berarti suatu gugusan pulau, termasuk bagian pulau perairan di antaranya dan lain lain wujud ilmiah yang hubungannya satu sama lainnya demikian eratnya sehingga pulau-pulau, perairan dan wujub alamiah lainnya itu merupakan suatu kesatuan geografi, ekonomi dan politik yang hakiki, atau yang secara historis.
40
Suatu negara kepulauan dapat menarik garis pangkal lurus kepulauan yang menghubungkan titik-titik terluar pulau-pulau dan karang kering terluar kepulauan itu, dengan ketentuan bahwa di dalam garis pangkal demikian termasuk pulau-pulau utama dan suatu daerah diaman perbandingan antara daerah perairan dan daerah daratan, termasuk atol, adalah antara satu berbanding satu dan Sembilan berbanding satu. Panjang garis pangkal demikian tidak boleh melebihi 100 mil laut, kecuali bahwa 3% dari jumlah seluruh garis pangkal yang mengelilingi setiap kepulauan dapat melebihi kepanjangan tersebut, hingga pada suatu kepanjangan maksimum 125 mil laut. Penarikan garis pangkal demikian tidak boleh menyimpang jauh dari konfigurasi umum kepulauan tersebut, sehingga harus sesuai. Garis pangkal demikian tidak boleh ditarik ke dan dari elevasi surut, kecuali apabila diatasnya telah dibangun mercu suar atau instalasi serupa yang secara permanen berada di permukaan laut atau apabila elevasi surut tersebut terletak seluruhnya atau sebagian pada suatu jarak yang tidak melebihi lebar laut territorial dari pulau yang terdekat.
Namun sistem garis pangkal demikian tidak boleh diterapkan oleh suatu Negara Kepulauan dengan cara yang demikian rupa sehingga memotong laut territorial Negara Lain dari laut lepas atau zona ekonomi eksklusif. Apabila suatu bagian perairan kepulauan suatu Negara kepulauan, terletak diantara dua bagian suatu negara tetangga
41
yang lansung berdampingan, hak yang ada dan kepentingankepentingan sah lainnya yang dilaksanakan secara tradisional oleh negara tersebut terakhit di perairan demikian, serta segala hak yang diterapkan dalam perjanjian antara Negara-Negara tersebut akan berlaku dan harus dihormati.
Demi menghitung perbandingan perairan dengan daratan dapat mencakup didalamnya perairan yang terletak di dalam tebaran batu karang pulau-pulau dna atol, termasuk bagian yang bertebing curam yang tertutup atau hampir tertutup oleh serangkaian pulau batu gamping dan karang kering di atas permukaan laut yang terletak di sekeliling tebing tersebut.
Garis pangkal ditarik sesuai dengan harus dicantumkan pada peta dengan skala atau skala-skala yang memadai untuk menegaskan posisinya. Sebagai gantinya, dapat dibuat daftar koordinat geografis titik-titik yang secara jelas memerinci. Negara kepulauan harus mengumumkan sebagaimana mestinya peta atau daftar demikian pada sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Kedaulatan suatu Negara Kepulauan meliputi perairan yang ditutup oleh garis pangkal kepulauan, yang ditarik sesuai dengan yang disebut sebagai perairan kepulauan tanpa memerhatikan kedalaman atau jaraknya dari pantai. Kedaulatan ini meliputi ruang udara di atas
42
perairan kepulauan, juga dasar laut dan tanah dibawahnya, dan sumber kekayaan yang terkandung didalamnya.
Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut 1982 (UNCLOS) adalah suatu terobosan dalam mendefinisikan keluasan wilayah maritim yang menjadi wilayah jurisdiksi dari masing-masing negara. UNCLOS 1982 tidak hanya menghasilkan kesepakatan mengenai 12 mil laut territorial melainkan juga melahirkan perluasan zona laut dimana negara memiliki hak berdaulat (sovereign rights) terhadap sumber daya hayati dan non hayati yang terkandung didalamnya. Zona-zona inilah yang dikenal dengan Zona Ekonomi Ekslusif/ ZEE (200 mil dari garis pangkal) dan Landas Kontinen (hingga 350 mil dari garis pangkal). Lebih jauh pasal-pasal dalam LOS 1982 juga dapat dijadikan pedoman mengenai apa-apa yang menjadi hak dan kewajiban dari tiap negara dalam mengelola zona-zona tersebut.
Dengan
demikian,
banyak
negara-negara
pantai
yang
mengintepretasikan Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS 1982) berdasarkan kepentingan nasionalnya sendiri-sendiri. Hal ini kerap dijumpai manakala negara pantai menghendaki hak-hak berdaulatnya, sementara kapal-kapal dari negara lain juga menuntut hak-hak kebebasannya di laut lepas (freedoms of high seas) di zonazona ini.
43
Manakala dua kepentingan ini bertabrakan, maka umumnya kepentingan negara pantailah yang dimenangkan. Lebih jauh, kecenderungan yang terjadi dewasa ini adalah banyak negara pantai yang menerapkan peraturan (enforcement) yang melebihi dari kewenangannya yang diatur oleh Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS 1982).
Melalui skripsi ini akan mengupas seberapa jauh suatu negara pantai boleh menegakan jurisdiksinya pada ZEE dan Landas Kontinen sesuai dengan Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS 1982). Adapun pembahasannya difokuskan pada rezim navigasi dan perikanan untuk kapal-kapal asing, serta kegiatan militer dari negara asing di kedua wilayah laut ini. Pembahasan tulisan ini juga akan dilakukan melalui komparasi contoh-contoh praktik nyata yang dilakukan oleh negara-negara dunia. Dengan begitu kiranya dapat ditarik kesimpulan sejauh mana penegakan jurisdiksi pada ZEE dan Landas Kontinen telah bergeser dari kesepakatan awal Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS 1982).
Pada ZEE negara pantai (pemilik ZEE) sesungguhnya tidak memiliki kewenangan yang kuat dalam mengontrol pelayaran dari kapal-kapal asing. Hal ini disebabkan pelayaran atau navigasi dari
44
kapal-kapal asing pada ZEE mengikuti rezim laut lepas dimana kebebasan bernavigasi adalah mutlak. Kewenangan ini menjadi semakin lemah pada Landas Kontinen. Pada wilayah ini hak yang dimiliki negara pantai hanya sebatas menggali dan mengelola sumber daya alam yang berada didasarnya (seabed). Secara gambling Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS 1982) telah menetapkan bahwa saat menggunakan haknya pada Landas Kontinen, negara pantai tidak boleh melanggar atau melakukan sesuatu yang menyebabkan dilanggarnya kebebasan berlayar yang dimiliki negara lain. Hal ini berarti kolom air diatas Landas Kontinen sebenarnya adalah Laut Lepas dimana semua kapal asing berhak atas kebebasan berlayar secara penuh.
Terlepas dari itu, negara pantai juga memiliki jurisdiksi ekslusif atas pulau-pulau buatan dan banguan yang didirikan diatas ZEE dan Landas Kontinen. Jurisdiksi ini meliputi kewenangan atas pabean, fiscal, kesehatan, keselamatan dan peraturan-peratutran lain yang terkait dengan keimigrasian Jika diperlukan, negara pantai juga diijinkan untuk menetapkan zona keamanan (safety zones) di sekelilingnya yang tidak melebihi dari 500 meter. Pada zona ini negara pantai
berhak
melakukan
tindakan-tindakan
yang
menjamin
keselamatan baik untuk pelayaran maupun untuk pulau buatan, bangunan dan instalasi tersebut.
45
Berdasarkan penjelasan diatas dapat terlihat bahwa negara pantai hanya memiliki kewenangan yang sangat terbatas terhadap kapal-kapal asing yang berlayar melalui ZEE dan Landas Kontinen-nya. Terlebih lagi, tidak ada jurisdiksi tambahan yang diberikan jika standar internasional tidak mengaturnya. Ini berarti, negara pantai tidak berhak bertindak secara unilateral terhadap kapal-kapal asing, melainkan harus senantiasa mengacu pada peraturan-peraturan yang diterima secara internasional Selain itu, tindakan unilateral tetap tidak dapat dibenarkan kendati negara pantai mengangap peraturan internasional yang ada kurang memadai.
Namun demikian, terdapat pasal-pasal dalam Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS 1982) yang memberikan diskresi yang besar bagi negara pantai untuk melindungi kewenangannya. Salah satu contohnya adalah pasal-pasal yang menganjurkan negara pantai untuk memiliki kendali yang lebih luas terhadap kapal-kapal asing yang berlayar di ZEE-nya yang berpotensi menyebabkan polusi yang signifikan. Pasal-pasal ini pada kenyataannya telah dikembangkan secara sepihak dengan cara-cara yang menyebabkan terganggunya kebebasan pelayaran tanpa mengindahkan kaidah-kaidah yang diterima secara internasional. Lebih jauh hal ini telah dipergunakan untuk memperbesar kewenangan negara pantai untuk mengontrol kapal-kapal
46
asing di ZEE dan Landas Kontinenntya, melampaui apa yang telah ditentukan dalam Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNLOS 1982).
Terdapat beberapa contoh kasus nyata untuk hal tersebut. Kasus pertama adalah kasus kapal tanker Prestige pada November 2002. Setelah insiden tumpahan minyak oleh kapal tanger berdinding tunggal single-hulled, negara-negara yang tercemari pantainya seperti Portugal, Perancis and Spanyol mengeluarkan peraturan yang ketat terhadap semua kapal tanker yang berlayar di ZEE mereka. Ketentuan ini meliputi wajib lapor sebelum kedatangan, pemeriksaan ditempat dan bahkan pengusiran dari wilayah ZEE mereka jika terbukti tidak laik berlayar (not sea-worthy). Selain itu, pada tahun 2003, French National Assembly menetapkan aturan baru yang mengijinkan pencegatan kapal asing yang berlayar pada radius hingga 90 mil dari pantai jika kapal itu terlibat dengan tindakan pecemaran. Aturan tersebut juga menetapkan bahwa Captain kapal yang melakukan pencemaran dapat dipidana penjara hingga 4 tahun dan denda hingga US$ 600,000. 2 Peraturan ini diberlakukan hanya berselang beberapa hari 15 negara Eropa sepakat untuk melarang tanker berdinding tunggal memasuki pelabuhannya. Hampir pada waktu yang bersamaan Spanyol, Perancis, Portugal,
2
Simons, M., “France Clamps Down on Shipping Pollution,” The New York Times, 7 April 2003, available at http://www.nytimes.com/ diakses pada 15 desember 2012
47
Belgia dan Inggris mengajukan permohonan resmi kepada the International Maritime Organization (IMO) untuk menyatakan bahwa seluruh wilayah ZEE mereka adalah daerah sensitif yang terlarang bagi tanker berdinding tunggal dan pengangkut barang-barang berbahaya lainnya. 3
Praktik negara yang lainnya dapat dilihat pada kasus kapal Jepang bernama Akatsuki Maru di tahun 1992. Kapal tersebut digunakan untuk membawa material hasil daur ulang plutonium dari Perancis menuju ke Jepang untuk bahan bakar reaktor PLTN. Dalam pada ini, banyak negara yang wilayahnya akan dilalui rute kapal tersebut menolak kehadiran kapal itu di perairannya termasuk juga di ZEE-nya. Akibatnya Akatsuki Maru harus mengalihkan rute pelayarannya guna menghindari 12 mil laut teritorial dan 200 mil ZEE negara-negara pantai yang dilalui kecuali Perancis dan Polynesia. Kasus serupa juga dialami pada tahun 1995,oleh kapal berbendera Inggris bernama Pacific Pintail. Saat ia berlayar untuk mengangkut limbah nuklir, kapal itu harus merubah jalur pelayarannya untuk menghindari ZEE dari Brasil, Argentina, Chili dan negara lainnya sebagai akibat dari penolakan keras oleh negara-negara tersebut. Chili bahkan bertindak
3
International Maritime Organization, Marine Environment Protection Committee (MEPC), 49th session: 14-18 July 2003, IMO, 22 July 2008, Desember 2012 available at http://www.imo.org diakses pada 13
48
lebih jauh dengan mengirimkan kapal perang dan pesawatnya untuk mencegat Pacific Pintail jika sampai melanggar larangannya.
Kasus-kasus ini menjadikan suatu preseden bahwa negara pantai memiliki kekuasaan untuk menerapkan jurisdiksinya terhadap lalu lintas pelayaran di ZEE dan Landas Kontinen berdasarkan jenis kargo yang dibawa. Preseden ini terus berkembang dan diadop oleh berbagai negara di dunia menurut kepentingan nasional dan intepretasinya masing-masing. Sebagai contoh, setahun setelah peristiwa Argentina mengajukan usul kepada IMO’s Legal Committee untuk melarang pengangkutan bahan bakar nuklir melalui laut teritorial dan ZEE negara lain. Tiga tahun kemudian pada tahun 1996 Selandia Baru mengeluarkan aturan pelarangan pengangkutan bahan-bahan nuklir melalui ZEE-nya.
Dalam konteks rezim perikanan, LOS 1982 telah mentapkan bahwa negara pantai memiliki hak berdaulat atas sumber daya hayati dan nonhayati yang terkandung didalam zona 200 mil-nya. Hak ini mencakup hak eksplorasi, mengolah, memelihara dan mengelola sumber-sumber tersebut. Pada kasus kebanyakan sumber daya yang dimaksud adalah yang menyangkut dengan perikanan. Selain itu pasal-pasal LOS 1982 juga menjamin kewenangan negara pantai terhadap hak berdaulatnya yang meliputi tindakan-tindakan berupa pemeriksaan kapal, penahanan dan penahanan hingga penuntutan secara hukum (“take such measures,
49
including boarding, inspection, arrest and judicial proceedings.”) Namun terkait dengan penahanan LOS 1982 tidak mengijinkan adanya hukuman penjara tanpa persetujuan negara yang warganya terlibat perkara. (“penalties for violation of fisheries laws and regulations in the EEZ may not include imprisonment, in the contrary by the States concerned or any other form of corporal punishment.”)
Sehingga akibat yang ditimbulkan oleh Illegal, Unreported and Unregulated (IUU) fishing sangat parah. Suatu studi bahkan mengungkapkan bahwa kerugian yang ditimbulkan diperkirakan dapat mencapai US$ 9.5 billion. Akibatnya praktik-praktik dari negara yang terkait menjadi sangat keras terutama dalam melindungi ZEE-nya. Contoh pertama tampak pada sikap tegas pemerintah Australia terhadap pemancing ilegal di perairannya. Pada tanggal 15 Juni 2008, sebuah kapal penangkap ikan berbendera Indonesia bernama Ramlan07 tertangkap tangan oleh otoritas Australia tengah memancing di laut Arafura. Setelah menahan kapal tersebut otoritas Australia langsung membakar kapal dan memenjarakan keenam awaknya. Ini bukanlah kali yang pertama, pada bulan April 2008, tercatat sedikitnya 253 nelayan asal Indonesia ditangkap oleh otoritas Australia dan dipenjarakan di Darwin Detention Center. Sementara para nelayan
50
tersebut menunggu sidangnya di pusat penahanan, hampir seluruh kapal mereka telah dibakar oleh otoritas Australia. 4
Meski UNCLOS 1982 tidak merekomendasikan hal tersebut, namun tindakan unilateral memenjarakan nelayan ilegal tanpa perjanjian awal dengan negara terkait, menjadi praktik umum yang dilakukan oleh negara-negara pantai. Salah satu contohnya adalah UU Kelautan Republik Indonesia nomor 31/ 2004 . Dalam pasalnya UU ini menetapkan hukuman penjara bagi nelayan yang terlibat penangkapan ikan ilegal di wilayah perikanan Indonesia yang meliputi sungai, danau, rawa, laut teritorial termasuk juga ZEE Indonesia.
Untuk memberikan ilustrasi lain tentang tindakan keras yang dilakukan oleh negara pantai, perlu ditinjau ulang mengenai kasus yang dialami kapal Monte Confurco. Kasus ini melibatkan kapal berbendera Sisilia yang dihentikan dan diperiksa oleh otoritas Perancis di Kerguelen (Kepulauan Antartika yang diklaim Perancis). Meski tidak ditemnukan adanya ikan segar di dalam kapal, namun kapal tersebut tetap menghadapi tuntutan pencurian ikan. Kapal Sisilia
4
Muhktar, “Australia Burnt Another Indonesian Fishing Vessel,” IUU Fishing, Department of Marine Affairs and Fisheries of Republic Indonesia, 30 June 2008 available at http://www.dkp.go.id/index.php/ind /newsmenus/229/australia-bakarlagi-satu-kapal-nelayan-indonesia diakses pada 20 Desember 2012
51
tersebut kedapatan menyimpan 158 tons Patagonian toothfish (jenis ikan), longlines (jenis pukat) dan umpan beku yang seolah-olah baru dilepaskan dilaut. Karena kapal tidak dapat menunjukan bukti bahwa ikan-ikan tersebut ditangkap didaerah yang ditentukan dan tidak memberikan pemberitahuan tentang pelayarannya maka Pengadilan Internasiaonal memenangkan Perancis untuk kasus ini. Kasus ini kemudian menjadi jurispruden bahwa kapal ikan yang didapati berlayar di ZEE negara lain, tanpa ijin dan membawa ikan dapat dituduh mencuri ikan di ZEE tersebut. Dengan kata lain, untuk mengindari penyitaan terhadap kargonya, suatu kapal ikan harus meminta ijin terlebih dahulu untuk melintas di suatu ZEE.
Pada kasus perikanan diatas Landas Kontinen, rezim yang berlaku sebenarnya sama dengan perikanan di laut lepas. Untuk ini UNLOS 1982 telah mengatur bahwa, terkecuali untuk “sedentary species,” negara manpun berhak menangkap ikan di perairan diatas Landas Kontinen suatu negara. Namun tindakan unilateral negara pantai dalam melindungi cadangan ikan “lainnya” tidak dapat dihindarkan. Pada bulan Mei 1994, Kanada mengeluarkan undang-undang yang memperluas kewenangannya untuk mengatur penangkapan ikan di daerah yang dikenal sebagai Nose dan Tail dari Grand Banks. Areaarea ini sebenarnya terletak pada landas kontinen Kanada, bagian tenggara Newfoundland, yang sebenarnya sudah berada diluar zona
52
200 mil. Menurut UU tersebut Kanada berhak menangkap setiap kapal yang kedapatan menangkap ikan yang tergolong spesies-spesies yang dilindungi. Kapal yang tertangkap akan ditarik ke pelabuhan dan Captain kapal dapat dituntut denda sebanyak US$360,000 termasuk kehilangan hasil tangkapannya.
Oleh karena itu, legislasi ini dapat dianggap sebagai tindakan unilateral Kanada dalam memperluas jurisdiksinya diluar apa yang telah ditetapkan sebagai 200 mil kesepakatan internasional. Selain itu masih terdapat ketidaksepahaman mengenai apa yang dimaksud dengan “sedentary species.” Namun lagi-lagi negara pantai bertindak secara unilateral dalam menentukan status suatu spesies menurut kepentingan nasionalnya. Hal ini terlihat pada kasus penangkapan 2 kapal ikan berbendera Amerika oleh otoritas Kanada pada bulan Juli 1994. Kedua kapal tersebut kedapatan menangkap Icelandic Scallops dari Landas Kontinen Kanada diluar batas zona 200 mil. Sementara kedua negara masih berdebat soal status dari Icelandic Scallops (apakah termasuk sedentary species atau bukan) Kanada tetap memberlakukan
penangkapan
terhadap
kapal-kapal
pemancing
lainnya. Akan tetapi, Kanda akhirnya secara berhasil meloloskan undang-undang sepihaknya tersebut. Beberapa bulan kemudian Amerika akhirnya mengakui klaim Kanada atas spesies yang sebenarnya terletak diluar batas zona 200 mil.
53
Isu yang paling menjadi perdebatan adalah mengenai kegiatan militer asing di suatu ZEE. Persoalan ini sebenarnya berakar pada status ZEE sebagai suatu sui generis -bukan merupakan laut teritorial maupun laut lepas- hal ini meninggalkan isu tentang residual rights menjadi perdebatan. Ngera-negara yang pro terhadap kegiatan militer di ZEE beranggapan bahwa secara prinsip ZEE merupakan laut lepas dengan beberapa hak tertentu yang diberikan kepada negara pantai. Sehingga hak lain yang tidak diatur secara tegas menjadi hak negara lainnya termasuk didalamnya yang menyangkut dengan kegiatan militer. Dilain pihak, pandangan yang kontra berpendapat bahwa ZEE adalah perairan pantai yang didalamnya terdapat beberapa hak yang dapat dimanfaatkan oleh negara lain. Jadi pada saat terjadi sengketa terhadap hak-hak yang belum diatur, seharusnya itu dimenangkan oleh negara pantai pemilik ZEE.
Kasus ini menjadi lebih rumit manakala ditinjau dari jenis kapalkapal yang terlibat dalam kegiatan militer. Jika tidak seluruhnya, namun sebagian besar status kapal-kapal yang terlibat adalah kapal pemerintah yang imun terhadap jurisdiksi negara pantai. Lebih jauh setiap negara dapat menyatakan ketidakbersediaannya menerima ketentuan wajib pihak ketiga yang terkait dengan sengketa kegiatan militer oleh kapal-kapal pemerintah dan pesawat yang bersifat nonkomersil (“disputes concerning military activities, including military
54
activities by government vessels and aircraft engaged in noncommercial service.”) Oleh karenanya celah perdebatan mengenai residual rights untuk kegiatan militer tidak pernah akan terselesaikan sampai pada suatu ketika praktek dari negara-negara di dunia menuju suatu kesamaan atau sampai tercapainya suatu kesepakatan baru.
Meski masih menjadi sesuatu yang ambigu, namun praktek-praktek yang dilakukan oleh negara secara preemptive akan mengedepankan kepentingan nasionalnya ketimbang ketentuan hukum internasional. Beberapa kasus dapat dijadikan catatan sebagai suatu tindakan agresif dari negara pantai terhadap kegiatan militer di ZEE-nya. Seperti Libya dalam Kasus Teluk Sidra yang terjadi tahun 1986. Sebagai negara pantai Libya merespon kehadiran Kapal-kapal perang Amerika di Teluk Sidra dengan meluncurkan rudal-rudal darat ke udara atau Surface to Air Missile (SAM)-5. Kasus lainnya juga terjadi pada bulan April 2001. Saat itu dua jet tempur Cina jenis F-8 fighters diterbangkan untuk mencegat pesawat mata-mata US jenis EP-3 yang tengah terbang di pesisir Cina Pada insiden ini salah satu pesawat Cina menabrak pesawat EP-3 Amerika yang menyebabkan pesawat tersebut terpaksa mendarat darurat di kepulauan Hainan Cina. Selang setahun berikutnya 3 insiden lainnya terjadi yang menyebabkan jet-jet tempur Cina dan Amerika hampir saling berhadapan satu sama lain.
55
Meskipun telah juga ditegaskan bahwa tidak ada reservasi ataupun pengecualian yang dapat diberikan terhadap LOS 1982, namun ada saja negara yang melakukannya semata-mata untuk mendukung tindakan unilateralnya. Iran contohnya, pada tahun 1993, membuat undang-undang yang melarang kegiatan militer asing di wilayah ZEEnya. India pada tahun 1995 juga mengeluarkan deklarasi bahwa pemerintahnya mengadop LOS 1982 namun dengan syarat bahwa India melarang segala kegiatan militer di ZEE dan Landas Kontinen tanpa ijin dari negara pantai yang bersangkutan. Pada dua tahun berikutnya, Malaysia (1996) dan Pakistan (1997), mengeluarkan juga deklarasi yang pada intinya sama dengan India.
Selain itu beberapa negara yang menolak kegiatan militer di ZEE dan Landas Kontinennya berpendapat bahwa ZEE dan Landas kontinen pada kaitan tertentu adalah mutatis mutandis pada istilah “kepentingan damai” (for peaceful purposes) pada provisi laut lepas dan provisi dari “penggunaan laut untuk damai” (Peaceful uses of the seas). Namun begitu kegiatan militer tidak selalu berkaitan dengan “kepentingan tidak damai” yang membuatnya jadi bertentangan dengan UNCLOS 1982. Pandangan yang bersebrangan Negara-negara yang berpandang lain dapat saja mengklaim bahwa kegiatan militernya
56
bertujuan damai, seperti untuk operasi penangulangan obat terlarang, pemetaan dasar laut, atau pengamanan jalur pelayaran.
Namun demikian, secara umum belum ada kejelasan mengenai apa yang dimaksud dengan “kepentingan damai.” Seseorang dapat beranggapan demikian sementara yang lainnya tidak. Hal ini digambarkan dalam insiden kapal Angkatan laut Amerika bernama Bowditch. Kapal militer survei hidrografis tidak bersenjata ini beberapa kali diganggu dan dipaksa untuk berhenti oleh negara panti saat melakukan kegiatan surveinya. Hal serupa juga dialami oleh kapal Inggris bernama HMS Scott. Kapal ini menuai protes diplomatik terhadap negara pemiliknya karena kegiatannya yang melakukan survei di wilayah ZEE negara lain. Meski dalam kedua kasus tersebut pemilik kapal mengklaim kapal mereka melakukan sesuatu yang tidak bertentangan dengan hukum, namun India dan Cina beranggapan mereka telah melakukan operasi survei kelautan yang tak berijin dan tidak sah. Pada contoh kasus ini sekali lagi kepentingan nasional yang lebih dimenangkan dan menjadi dasar untuk tindakan-tindakan unilateral.
57
C. Penyelesaian Sengketa Kepulauan Menurut Hukum Internasional
Dalam interaksi sosial sehari-hari manusia tidak jarang luput dari kesalahan,
yang
biasanya
menimbulkan
konflik
akibat
adanya
kepentingan-kepentingan yang saling berbenturan. Begitu pula dengan negara maupun aktor-aktor dalam hubungan internasional lainnya, dimana hubungan yang terjalin begitu kompleks sehingga konflik sangat mudah terjadi. Dalam hubungan antar negara, sengketa acapkali terjadi akibat perebutan wilayah perbatasan, sumber daya alam, kerusakan lingkungan, perdagangan, dan juga isu-isu sosial lainnya. Oleh karena itu yang seharusnya memainkan peranan di sini adalah hukum internasional, yang mengatur mekanisme hubungan yang terjadi antar aktor internasional dengan mengedepankan prinsip perdamaian dan keamanan internasional.
Sengketa internasional sendiri dibedakan ke dalam dua jenis yaitu sengketa hukum dan sengketa politik. Menurut Friedman dalam Adolf dalam tulisannya Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional sengketa hukum
berarti
perselisihan-perselisihan
antarnegara
yang
mampu
diselesaikan oleh pengadilan dengan menerapkan aturan-aturan hukum yang ada dan sudah pasti, yang sifatnya mempengaruhi kepentingan vital negara seperti integritas wilayah dan kehormatan, di mana penerapan hukum internasional yang ada sudah cukup untuk menghasilkan keputusan yang sesuai dengan keadilan antara negara dengan perkembangam progresif
hubungan-hubungan
internasional.
Ia
berkaitan
dengan
persengketaan hak-hak hukum dan menuntut adanya perubahan melalui
58
hukum yang telah ada 5. Pandangan Friedman tersebut juga digunakan oleh International Court of Justice (ICJ).
Berkebalikan dengan Friedman, Waldock dalam buku Adolf mengemukakan bahwa penentuan suatu sengketa sebagai sengketa hukum atau politik ditentukan sendiri oleh pihak yang bersengketa. Ketika sengketa tersebut memerlukan patokan-patokan tertentu yang tidak ada dalam hukum internasional, maka sengketa tersebut digolongkan sebagai sengketa politik. “The legal or political character of a dispute is ultimately determined by the objective aimed at or the position adopted by each party in the dispute …” . 6 Adolf sendiri menganggap sudut pandang Waldock lebih tepat, sebab menurutnya pihak yang bersengketa lebih memahami jenis sengketa yang sedang dihadapinya. Misalnya adalah sengketa perbatasan, pelanggaran hak-hak diplomatik, dan sebagainya yang tentu berpengaruh terhadap hubungan baik kedua pihak.
Pandangan ketiga yaitu pandangan Oppenheim dan Kelsen yang oleh Adolf (2004) dianggap sebagai jalan tengah dari kedua pandangan sebelumnya. Menurut Oppenheim dan Kelsen, antara sengketa hukum dan politis tidak ada pembenaran ilmiah kriteria objektif yang mendasarinya. Sebab setiap sengketa memiliki aspek politis dan hukumnya masingmasing. Sengketa yang dianggap sebagai sengketa hukum mungkin memiliki nilai kepentingan politis pihak yang bersangkutan. Dan
Hal 6
5
Adolf, Huala. 2004. Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional. Jakarta: Sinar Grafika.
6
Ibid hal 7
59
sebaliknya, sengketa yang dianggap politis mungkin dapat diterapkan dalam prinsip dan aturan hukum internasional. 7
Dari sedikit penjelasan mengenai sengketa diatas terdapat beberapa cara untuk menyelesaiakan sengketa, yakni melalui cara kekerasan, cara damai, dan cara hukum. Cara kekerasan biasanya digunakan ketika pihak yang bersengketa mengalami jalan buntu atas solusi damai, sehingga kemungkinan yang terjadi adalah pihak-pihak yang terlibat menggunakan cara-cara paksaan seperti perang, retorsi, dan blokade. Perang berarti pihak yang terlibat sengketa utamanya negara menggunakan angkatan bersenjata yang dimilikinya dan bertujuan untuk menaklukan lawan dan memenuhi kehendaknya
dan
membebankan
syarat-syarat
penyelesaian
dan
perdamaian pada pihak lawan yang dikalahkan, yang tidak mempunyai allternatif lain selain mematuhinya.
Retorsi berarti suatu pihak melakukan tindakan pembalasan terhadap tindakan-tindakan yang dianggap tidak pantas dari pihak lawan. Misalnya adalah merenggangkan hubungan diplomatik, pencabutan hak istimewa diplomatik, menarik diri dari konsesi-konsesi fiscal dan bea, dan penghentian bantuan ekonomi. Meski dari beberapa tindakan tersebut motif yang digunakan tidak selalu pembalasan, namun seolah menjadi kode bahwa konflik sedang terjadi di antara pihak-pihak yang bersangkutan. Sementara itu blokade berarti mengepung atau memblokir wilayah lawan guna memutus hubungan wilayah tersebut dengan pihak 7
Ibid Hal 9
60
luar. Terdapat dua macam blokade yaitu blokade masa damai, dimana pihak selain yang sedang bersengketa dan diblokade tidak berhak untuk ditangkap ketika pihak tersebut melanggar blokade yang sedang dilakukan; dan blokade masa perang, yaitu ketika pihak selain yang diblokade ini berhakuntuk ditangkap dan diperiksa ketika pihak yang tidak berdangkutan tersebut melanggar blokade yang sedang diberlakukan. Blokade dilakukan dengan tujuan memaksa pihak yang diblokade supaya mentaati permintaan ganti rugi atas kerugian yang diderita oleh negara yang memblokade.
Cara damai berarti menggunakan cara tanpa kekerasan sebagai jalan keluar dari penyelesaian sengketa, yaitu negosiasi, mediasi, dan konsiliasi. Negosiasi biasanya merupakan cara yang pertama kali ditempuh ketika konflik mulai terjadi dan juga efektif sebab ia menawarkan alternatif-alternatif kemungkinan antara pihak yang bersengketa secara langsung. Negosiasi merundingkan secara langsung sengketa antara kedua pihak yang bersangkutan dengan tujuan mencari penyelesaian masalah melalui dialog tanpa melibatkan pihak ketiga . 8 Sisi positif dari nogosiasi adalah bahwa para pihak sengketa sendiri yang terlibat dalam negosiasi, sehingga mereka memiliki kebebasan untuk menentukan kesepakatan tanpa adanya paksaan dan tekanan dari pihak lain, juga karena terhindar dari perhatian publik. Prosedur penyelesaian juga dapat diawasi secara langsung. Namun demikian yang menjadi kelemahannya adalah ketika kedudukan pihak-pihak yang bersengketa tidak seimbang, dalam artian 8
Ibid Hal 28
61
terdapat salah satu pihak yang lebih kuat sehingga dapat menekan pihak lain yang lebih lemah; dan ketika pihak-pihak yang bersengketa samasama berpendirian keras maka proses negosiasi tidak dapat berjalan produktif, sebab tidak ada yang mau mengkompromikan kepentingan dari semua pihak . 9
Cara damai yang kedua yaitu mediasi, yang berarti terdapat pihak ketiga sebagai penengah dari konflik yang ada, yang bisa berupa individu, organisasi internasional, maupun institusi lain yang berdaulat. Pihak ketiga dalam negosiasi tersebut tidak memiliki kapasitas untuk turut mengambil keputusan, kecuali sebatas saran penyelesaian sengketa. Fungsi utama mediator adalah mencarikan solusi, mengidentifikasi hal-hal yang dapat disepakati serta usulan-usulan yang dapat mengakhiri sengketa . 10 Dalam menjalankan fungsinya mediator tidak perlu tunduk pada aturan tertentu, dan bebas untuk mnentukan bagaimana proses penyelesaian sengketa berlangsung.
Cara damai yang lain adalah konsiliasi, yaitu penyelesaian sengketa oleh pihak ketiga atau sebuah komisi yang dibentuk oleh pihak yang bersengketa. Konsiliasi sifatnya lebih formal dibanding negosiasi dan mediasi. Komisi konsiliasi dapat berupa komisi yang sudah melembaga maupun bentukan sementara (ad hoc) yang fungsinya menetapkan
9
Ibid Hal 29 Ibid Hal 33
10
62
persyaratan-persyaratan
penyelesaian
yang
diterima
oleh
yang
bersengketa, meskipun sifatnya tidak mengikat. 11
Selanjutnya adalah penyelesaian sengketa internasional melalui cara hukum, yaitu arbitrase dan melalui pengadilan internasional. Arbitrase merupakan penyerahan sengketa secara sukarela kepada pihak ketiga yang netral serta putusan yang dikeluarkan bersifat final dan mengikat. 12 Dapat juga dikatakan bahwa arbitrase merupakan suatu bentuk pemusatan atau penyelesaian sengketa oleh seorang atau beberapa hakim berdasarkan persetujuan bahwa mereka akan tunduk kepada atau mentaati keputusan yang diberikan oleh hakim, yang menentukan siapa arbiter yang mereka pilih dalam hukum, dan hakim mana yang akan digunakan dalam penyelesaian sengketa. 13 Arbitrator harus ahli dalam bidang yang sedang disengketakan, dimana sebelumnya para pihak sengketa menyerahkan klausul arbitrase yang merupakan titik kompromis kedua pihak. Meski sudah ada sejak jaman Yunani Kuno, arbitrase dalam dunia modern menemukan titik baliknya seiring dengan dikeluarkannya The Hague Convention for The Pacific Settlement of International Disputes pada tahun 1989.
Cara hukum lain adalah melalui pengadilan internasional. Cara ini ditempuh ketika penyelesaian lain tidak menghasilkan solusi. Pengadilan internasional dapat berupa dua jenis, yaitu pengadilan permanen yakni
11
Ibid Hal 34 Ibid Hal 35 13 Subekti, R. 1989. Hukum Acara Perdata. Bandung: Binacipta Hal. 110 12
63
Mahkamah Internasional (International Court of Justice), dan pengadilan sementara atau ad hoc. Pengadilan sementara biasanya menghasilkan putusan berupa perjanjian-perjanjian yang mengikat. 14
Mahkamah Internasional, yaitu badan hukum utama dalam PBB (Persatuan Bangsa-Bangsa). Komposisi Mahkamah Internasional terdiri dari hakim internasional, hakim sementara, Chambers, dan The Registry. Hakim internasional terdiri atas 15 hakim terpilih berdasarkan suara mayoritas mutlak dalam pertemuan terpisah Dewan Keamanan dan Majelis Umum PBB, dipilih untuk masa jabatan selama 9 tahun dan berhak untuk dipilih kembali. 15 Keputusan yang dihasilkan oleh Mahkamah Internasional tersebut harus berdasarkan pasal 38 ayat 1 Statuta Mahkamah Internasional, antara lain konvensi atau perjanjian internasional yang mnegandung ketentuan hukum yang diakui oleh negara yang bersengketa; kebiasaan-kebiasaan internasional; prinsip-prinsip hukum umum; dan putusan pengadilan ataupun ajaran para cendekiawan sebagai sumber hukum tambahan.
Sementara itu hakim sementara dipilih ketika ada kasus tertentu, oleh pihak yang bersengketa. Meski demikian ia tetap harus mengucapkan sumpah layaknya hakim tetap, namun tidak terhitung dalam prasyarat kuorum hakim tetap. Chambers berarti sekelompok hakim yang dipilih oleh Mahkamah Internasional untuk memeriksa suatu pihak yang
14 15
York: Oxford
Adolf Huala, Opcit Hal.37 Brownlie, Ian. 2008. Principles of Public International Law (7th edition). New University Press Page 711
64
bersengketa secara rahasia akibat pihak tersebut tidak ingin diperiksa oleh hakim secara keseluruhan. 16 Yang terakhir yaitu the registry, adalah organ administratif mahkamah yang bertugas memberi bantuan jasa pada bidang administratif pihak-pihak yang bersengketa. Fungsinya menyerupai secretariat
yang
mengurusi
bidang
administratif,
keuangan,
penyelenggaraan konferensi, dan jasa penerangan dari suatu organisasi internasional. 17
Bahwa dalam hubungan internasional, konflik atau sengketa yang terjadi antar aktor baik negara maupun non-negara dapat dikatakan sebagai fenomena sosial. Sengketa internasional sendiri dibedakan menjadi dua, yaitu sengketa hukum dan sengketa politik. Secara umum sengketa hukum berarti sengketa yang dapat diserahkan dan diselesaikan oleh pengadilan internasional. Sementara sengketa politik berarti sengketa yang penyelesaiannya hanya dilakukan oleh pihak-pihak yang
bersengketa
karena
terdapat
kepentingan
politis
dibalik
persengketaan tersebut. Penyelesaian sengketa dapat ditempuh melalui tiga cara, yaitu cara kekerasan yang dapat berupa perang, retorsi, dan blokade; cara damai yang dapat berupa negosiasi, mediasi, dan konsiliasi; dan cara hukum melalui arbitrasi dan pengadilan internasional. Struktur pengadilan mahkamah internasional sendiri terdiri atas empat jenis kehakiman, yakni hakim internasional yang tetap, hakim sementara atau ad hoc, chambers, dan the registry. Dalam materi kali ini penulis beropini bahwa 16 17
Adolf huala, Opcit Hal. 13 Ibid Hal. 14-15
65
penyelesaian sengketa yang paling efektif adalah negosiasi, dimana pihak yang bersengketa dapat langsung bertemu dan mengkompromikan masingmasing keinginan tanpa harus timbul konflik.