32
BAB II MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL TERHADAP KONFLIK WILAYAH PERAIRAN MENURUT HUKUM INTERNASIONAL A. Dasar Penetapan Perbatasan Negara Batas adalah tanda pemisah antara suatu wilayah dengan wilayah yang lain, baik berupa tanda alamiah maupun buatan. Penetapan dan penegasan batas wilayah suatu negara dirasakan sangat penting dan mendesak, hal tersebut didasarkan
fakta
semakin
pesatnya
pertumbuhan
dan
perkembangan
pembangunan yang memerlukan ruang baru bagi kegiatan tersebut . Kebutuhan akan ruang ini pada akhirnya akan berpengaruh terhadap hilang atau berubahnya batas wilayah suatu negara. Apabila hal tersebut tidak diantisipasi, bukan tidak mungkin akan muncul sengketa dan saling klaim terhadap wilayah suatu negara oleh negara lain. 39 Pengakuan Internasional terhadap suatu negara didasarkan pada terpenuhi tidaknya syarat-syarat berdirinya suatu negara, antara lain adalah menyangkut wilayah negara, karenanya tidak ada negara yang diakui tanpa wilayah negara. Dengan kenyataan ini, maka suatu negara selalu memiliki wilayah dengan batasbatas tertentu yang diakui secara internasional. 40 Pengertian perbatasan secara umum adalah sebuah garis demarkasi antara dua negara yang berdaulat. Perbatasan sebuah negara atau states border dibentuk 39
Suryo Sakti Hadiwijoyo,Batas Wilayah Negara Indonesia “Dimensi,Permasalahan, dan Strategi Penanganan”(Sebuah Tinjauan Empiris dan Yuridis), Penerbit Gava Media, Yogyakarta.2008.Hal 35 40 Ibid.
21
33
dengan lahirnya negara. Menurut pendapat ahli geografi politik, perbatasan dapat dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu boundaries dan frontier. Kedua definisi ini mempunyai arti dan makna yang berbeda meskipun keduanya saling melengkapi dan mempunyai nilai yang strategis bagi kedaulatan wilayah negara. Perbatasan disebut frontier karena posisinya yang terletak di wilayah bagian depan dari suatu negara. Sedangkan istilah boundary digunakan karena fungsinya yang mengikat atau membatasi (bound or limit) suatu unit politik, dalam hal ini adalah negara. Semua yang terdapat di dalamnya terikat menjadi satu kesatuan yang bulat dan utuh serta saling terintegrasi satu dengan yang lain. Boundary paling tepat dipakai apabila suatu negara dipandang sebagai unit spasial yang berdaulat. 41 Dalam kaitan dengan konsep ruang, batas wilayah kedaulatan negara (boundary) amatlah penting di dalam dinamika hubungan antara negara/atau antar bangsa. Hal ini karena batas antar negara atau delimitasi sering menjadi penyebab konflik terbuka. Meskipun penentuan delimitasi telah diatur dalam berbagai
konvensi
internasional. Tetapi,
latar belakang sejarah
setiap
bangsa/negara dapat memberikan nuansa politik tertentu yang mengakibatkan penyimpangan dalam menarik garis boundary dan bertabrakan dengan negara lain. 42 Berkaitan
dengan
perbatasan
antarnegara,
hukum
internasional
memberikan konstribusi yang penting, terutama dalam pelaksanaan perundingan atau perjanjian batas antar negara. Hukum internasional secara jelas dan tegas
41
Suryo Sakti Hadiwijoyo,Perbatasan Negara dalam dimensi Hukum Internasional,Graha Ilmu,Yogyakarta.2011.Hal 63 42 Ibid.
34
memberikan batasan tentang pemanfaatan sementara wilayah perbatasan antar negara. Persetujuan atau perjanjian perbatasan di wilayah darat atau di wilayah laut (batas maritim) yang telah disepakati dengan negara lain secara tidak langsung merupakan bukti pengakuan kedaulatan negara atas wilayahnya, akan tetapi kesepakatan tersebut seyogianya perlu dituangkan dalam bentuk perjanjian, sedangkan yang sudah diratifikasi dalam bentuk undang-undang, hal ini pada dasarnya untuk mempermudah bagi para pihak sekiranya terjadi perbedaan penafsiran terhadap pelaksanaan persetujuan atau perjanjian tersebut. Menurut Adi Sumardiman 43secara garis besar terdapat 2 (dua) hal yang menjadi dasar dalam penetapan perbatasan, yaitu: 1. Ketentuan Tidak Tertulis Ketentuan seperti ini pada umumnya berdasarkan pada pengakuan para pihak yang berwenang di kawasan perbatasan, oleh para saksi atau berdasarkan petunjuk. Tempat pemukiman penduduk, golongan ras, perbedaan cara hidup, perbedaan bahasa, dan lain sebagainya dapat dijadikan dasar atau pedoman dalam membedakan wilayah yang satu dengan wilayah yang lain. Kondisi alam wilayah membatasi manusia dalam menentukan permukimannya. Seiring dengan perkembangan waktu, tanda-tanda alam tersebut dapat pula berkembang menjadi batas wilayah. Melalui proses kebiasaan yang berlangsung lama, perbatasan sedemikian dapat tumbuh menjadi perbatasan tradisional. Perbatasan tradisional ini yang kemudian dipertegas dalam suatu perjanjian antar negara yang berbatasan.
43
Ibid.Hal.77.
35
Penetapan batas antar negara yang berdasarkan pada ketentuan-ketentuan yang tidak tertulis ini, pada kenyataannya lebih banyak mengalami kesulitan, karena menyangkut juga faktor historis dan kultural, yang secara politis lebih rumit dari pada faktor teknis. Berkaitan dengan penetapan dan penegasan batas wilayah,penamaan unsur geografis memegang peranan penting dalam membantu penentuan lokasi perbatasan. Hasil inventarisasi dan penamaan unsur geografis yang dilakukan bersama-sama oleh pemerintah dan pemuka masyarakat inilah yang dijadikan dasar hukum dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan aktivitas pemerintahan. Lokasi perbatasan yang memiliki kepastian hukum hanya dapat diwujudkan dengan cara formal dalam deskripsi tertulis dan cara materiil diwujudkan dengan adanya tanda-tanda batas di lapangan. 2. Ketentuan Tertulis Dalam studi Hubungan Internasional,perbatasan antar negara merupakan faktor yang mempengaruhi hubungan antar negara. Perjanjian perbatasan anatar negara berbentuk treaty yang kemudian diratifikasi dengan undang-undang. Dalam perjanjian perbatasan antar negara seyogianya dilandasi oleh kepastian negara yang berbatasan dalam penentuan, penetapan dan penegasan batas wilayah yang selanjutnya dituangkan dalam bentuk perjanjian antar negara. Kepastian dan ketegasan tersebut dimaksudkan agar tidak timbul berbagai tafsiran yang dapat mengurangi legalitas dari sebuah perjanjian perbatasan antar negara. Hal ini disebabkan karena perumusan perjanjian perbatasan tidak dapat memuaskan baik para ahli hukum, penyelenggara pemerintahan maupun para ahli
36
pemetaan. Perubahan-perubahan kedudukan perbatasan antar negara yang telah ditetapkan di dalam suatu perjanjian merupakan bukti adanya ketidakpuasan dari negara yang saling berbatasan. Dalam penyusunan dan penetapan perjanjian perbatasan antar negara, peta memegang peranan yang sangat penting, yaitu sebagai alat bantu untuk menemukan dan menentukan lokasi distribusi spasial dari kawasan perbatasan. Berkaitan dengan hal tersebut, dalam setiap perjanjian perbatasan biasanya dilengkapi dengan peta sebagai lampiran yang berfungsi untuk mempermudah dan memperjelas letak dan lokasi dari masing-masing titik batas maupun area perbatasan yang telah disepakati oleh negara yang berbatasan.
B. Prinsip dan Konsepsi Hukum Internasional dalam Penetapan Batas Negara. B.1. Prinsip Hukum Internasional dalam Penetapan Batas Negara. 1. Prinsip Penyelesaian Penetapan Batas Negara. Dalam dimensi hukum internasional, prinsip penetapan perbatasan negara dapat dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu Prinsip Umum dan Prinsip Khusus. Prinsip umum dalam penetapan perbatasan negara adalah ketentuan dasar yang dijadikan acuan dalam penyelesaian penetapan negara secara umum. Dalam prinsip umum penyelesaian penetapan perbatasan negara, terdapat 2 (dua) landasan hukum internasional, yaitu United Nations Charter (Piagam PBB) dan Treaty of Amity and Coorperation in Southeast Asia. 44
44
Ibid.Hal.80
37
Berdasarkan
kedua
ketentuan
tersebut,
secara
umum
dalam
penyelesaian penetapan perbatasan antar negara harus diselesaikan secara damai melalui perundingan, baik antara negara yang berbatasan ataupun melalui mediasi pihak ketiga. Dengan demikian prinsip penyelesaian secara damai merupakan prinsip utama atau prinsip umum dalam penyelesaian penetapan perbatasan negara. Prinsip kedua dalam penyelesaian penetapan perbatasan negara adalah prinsip khusus.Prinsip khusus tersebut dalam implementasinya dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu Prinsip Khusus Penetapan Batas Darat dan Prinsip Khusus Penetapan Batas Maritim atau Laut. 45 a. Prinsip Khusus Penetapan Batas Darat. (1) Uti Possidentis Juris Prinsip ini menyatakan bahwa negara yang merdeka mewarisi wilayah bekas negara penjajahnya. Dalam konteks Indonesia hal tersebut terlihat dalam penetapan batas negara antara lain sebagai berikut ; (a) Batas darat antara Indonesia dan Malaysia ditetapkan atas dasar Konvensi Hindia Belanda dan Inggris tahun 1891, tahun 1915, dan tahun 1928. (b) Batas darat antara Indonesia dan Timor Leste ditetapkan atas dasar Konvensi tentang Penetapan Batas Hindia Belanda dan Portugal Tahun 1904 dan Keputusan Permanent Court of Arbitration (PCA) tahun 1914.
45
Ibid.
38
(c) Batas darat antara Indonesia dan Papua Nugini ditetapkan atas dasar Perjanjian Batas Hindia Belanda dan Inggris tahun 1895. (2) Border Stability Dalam
penyelesaian
penetapan
perbatasan
darat
harus
memperhatikan dan menjaga stabilitas kawasan perbatasan. Hal tersebut sangat beralasan karena kawasan perbatasan darat merupakan perbatasan langsung antar negara, selain itu dalam beberapa kasus terdapat hubungan kekerabatan antara masyarakat kedua negara yang berbatasan. Penyelesaian penetapan perbatasan darat yang mengabaikan prinsip border stability, pada gilirannya akan menimbulkan disharmonisasi hubungan antar warga negara yang dapat berujung pada timbulnya gangguan hubungan diplomatik antara negara yang berbatasan. Oleh sebab itu, prinsip ini merupakan prinsip yang mutlak untuk dilaksanakan, terutama dalam penyelesaian penetapan perbatasan darat sebagai wilayah yang berbatasan langsung antarnegara. (3) Eternality of Boundary Treaty Perjanjian perbatasan antar negara merupakan salah satu bentuk perjanjian internasional, yang tentu saja dalam pelaksanaannya mengikuti asas-asas dan kaedah dalam hukum internasional. Doktrin hukum internasional mengajarkan bahwa perjanjian tentang batas negara bersifat final, sehingga tidak dapat diubah. Sehubungan dengan hal tersebut, pihak salah satu negara tidak dapat
39
menuntut perubahan garis besar setelah batas tersebut disepakati bersama. Doktrin adanya perubahan fundamental (rebus sict stantibus) yang seringkali berlaku dalam hukum internasional, ternyata tidak dapat diterapkan dalam perjanjian tentang batas antar negara. Secara tegas hal ini dinyatakan dalam Pasal 62 Konvensi Wina 1969 tentang Perjanjian Internasional. b. Prinsip Khusus Penetapan Batas Maritim Dalam penetapan batas laut atau batas maritim, yang menjadi landasan hukum internasional adalah United Nations Convention on the Law of the Sea 1982 (yang selanjutnya disebut UNCLOS 1982). Dalam kaitan dengan penetapan batas laut teritorial, melalui Pasal 15 UNCLOS 1982 mengenai penetapan garis batas laut teritorial antara negara-negara yang pantainya berhadapan atau berdampingan, dinyatakan sebagai berikut : “ Dalam hal dua Negara yang letaknya berhadapan atau berdampingan satu sama lain, tidak satupun diantaranya berhak kecuali, ada persetujuan yang sebaliknya antara mereka, untuk menetapkan batas laut teritorialnya melebihi garis tengah yang titik-titik sama jaraknya dari titik-titik terdekat pada garis-garis pangkal darimana lebar laut teritorial masing-masing negara diukur. Tetapi ketentuan tersebut tidak berlaku, apabila terdapat alasan baik historis atau keadaan khusus lain yang menyebabkan perlunya
40
menetapkan batas laut teritorial antara kedua negara menurut cara yang berlainan dengan ketentuan tersebut.” Berdasarkan ketentuan yang tertuang dalam pasal 15 UNCLOS 1982 berkaitan dengan penetapan batas laut teritorial dapat disimpulkan menjadi 3 (tiga) hal yaitu : pertama, dalam penetepan batas laut teritorial dilakukan dengan melalui perundingan; kedua, dalam penetapan batas laut teritorial
pada
negara
yang
berhadapan,digunakan
metode
equidistance;ketiga, ketentuan tersebut tidak dapat berlaku, apabila terdapat alasan baik historis atau keadaan khusus lain yang menyebabkan perlunya menetapkan batas laut teritorial antara kedua negara menurut cara yang berlainan dengan ketentuan tersebut. Berkaitan dengan penetapan Batas Zona Ekonomi Eksklusif (yang selanjutnya disebut dengan ZEE) dan Landas Kontinen, mengacu pada Pasal 74 UNCLOS 1982 yang mengatur tentang penyelesaian penetapan batas garis ZEE 46 dan Pasal 83 UNCLOS 1982 yang mengatur tentang penyelesaian penetapan batas Landas Kontinen 47. 46
Pasal 74 Penetapan batas zona ekonomi eksklusif antara negara yang pantainya berhadapan atau berdampingan . (1) Penetapan batas zona ekonomi eksklusif antara negara yang pantainya berhadapan atau berdampingan harus diadakan dengan persetujuan atas dasar hukum internasional, sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 38 Statuta Mahkamah Internasional, untuk mencapai pemecahan yang adil. (2) Apabila tidak dicapai persetujuan dalam jangka waktu yang pantas, negara-negara yang bersangkutan harus menggunakan prosedur yang ditentukan dalam Bab XV. (3) Sambil menunggu suatu persetujuan sebagaimana ditentukan dalam ayat (1), negaranegara yang bersangkutan, dengan semangat saling pengertian dan kerjasama, harus melakukan setiap usaha untuk mengadakan pengaturan sementara yang bersifat praktis dan, selama masa peralihan ini, tidak membahayakan atau menghalangi dicapainya suatu persetujuan akhir. Pengaturan demikian tidak boleh merugikan bagi tercapainya penetapan akhir mengenai perbatasan. 47 Pasal 83
41
Berdasarkan pada ketentuan yang tertuang dalam Pasal 74 dan Pasal 83 UNCLOS 1982, dalam penyelesaian penetapan batas ZEE dan garis batas Landas Kontinen secara garis besar memperhatikan 3 (tiga) prinsip sebagai berikut: pertama, dalam penetapan batas zona ekonomi eksklusif dan landasan kontinen dilakukan melalui perundingan ; kedua, dalam penyelesaian penetapan zona ekonomi eksklusif dan garis batas landas kontinen harus berdasarkan pada hukum internasional; dan ketiga, dalam implementasi penyelesaian penetapan batas zona ekonomi eksklusif maupun landas kontinen harus mencapai Equitable Result atau mendatangkan manfaat bagi negara-negara yang bersangkutan. B.2. Konsepsi Hukum Internasional dalam Penetapan Batas Negara. 1. Konsepsi Hukum Internasional dalam Penetapan Perbatasan Darat. Pada hakikatnya dalam kajian hukum internasional tidak dikenal adanya regulasi yang bersifat khusus yang mengatur penetapan wilayah perbatasan darat antar negara. Sehubungan dengan hal tersebut, dalam penentuan wilayah
Penetapan garis batas landa kontinen antara negara yang pantainya berhadapan atau berdampingan. (1) Penetapan garis batas landas kontinen antara negara yang pantainya berhadapan atau berdampingan harus diadakan dengan persetujusn atas dasar hukum internasional, sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 38 Statuta Mahkamah Internasional, untuk mencapai pemecahan yang adil. (2) Apabila tidak dicapai persetujuan dalam jangka waktu yang pantas, negara-negara yang bersangkutanharus menggunakan prosedur yang ditentukan dalam Bab XV. (3) Sambil menunggu suatu persetujuan sebagaimana ditentukan dalam ayat (1), negaranegara yang bersangkutan, dengan semangat saling pengertian dan kerjasama, harus melakukan setiap usaha untuk mengadakan pengaturan sementara yang bersifat praktis dan, selama masa peralihan ini, tidak membahayakan atau menghalangi dicapainya suatu persetujuan akhir. Pengaturan demikian tidak boleh merugikan bagi tercapainya penetapan akhir mengenai perbatasan. (4) Dalam hal ada suatu persetujuan yang berlaku antara negara-negara yang bersangkutan, masalah yang berkaitan dengan penetapan garis batas landas kontinen harus ditetapkan sesuai dengan ketentuan persetujuan tersebut.
42
perbatasan darat antar negara dapat ditentukan dengan berdasarkan 2 (dua) cara, yakni: 48 Pertama, Secara Alamiah. Penentuan batas secara alamiah terlihat pada kasus pasca lepasnya Timor Timur dari Indonesia pada tahun 1999 dan kemudian menjadi negara yang berdaulat penuh pada 20 Mei 2002 dengan nama Republik Demokratik Timor Leste. Hal tersebut membawa konsekuensi bagi Indonesia maupun Timor Leste dalam kaitan dengan penetapan perbatasan darat. Dalam kasus dengan Timor Leste, penetapan batas darat mengacu pada perjanjian (treaty) antara Kerajaan Belanda dan Kerajaan Portugal yang ditandatangani pada 20 April 1859 di Lisabon dan kemudian pada 13 Agustus 1860 dilaksanakan pertukaran ratifikasi. Selanjutnya perjanjian batas wilayah antara koloni Belanda dan Portugal di Pulau Timor secara rinci ditetapkan melalui perjanjian (konvensi) yang ditanda tangani pada 1 Oktober 1904 di Den Haag, dimana pada saat itu Indonesia merupakan koloni dari Kerajaan Belanda, sedangkan Timor Portugis (nama Timor Leste pada saat menjadi koloni Portugal) merupakan koloni Portugal. Berkaitan dengan hal tersebut, dalam bentuk idealnya pola penetapan batas secara alamiah yang dilakukan penguasa kolonial merupakan upaya untuk mempertimbangkan faktor pengelompokan berdasarkan kesatuan etnis yang tinggal di wilayah perbatasan. Hal ini pada hakekatnya konkuren dengan daerah batas penaklukan suatu daerah yang diperoleh dari kekuasaan tradisional penguasa daerah tersebut.
48
Ibid.Hal 87.
43
Metode lain yang digunakan adalah dengan mengikuti kontur alamiah daerah perbatasan tersebut. Hukum internasional mengenal pendekatan ini sebagai pendekatan atau metode watersheed, yakni mengikuti aliran turunnya air dari tempat yang lebih tinggi. Dalam praktiknya, penentuan atau penetapan perbatasan darat dengan menggunakan metode watersheed apabila kedua belah pihak (negara yang saling berbatasan) tidak mempunyai penafsiran yang sama akan menimbulkan konflik antar negara yang berbatasan tersebut. Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan penafsiran kedua belah pihak akibat perbedaan fakta di lapangan dengan isi naskah dalam perjanjian. Berkaitan dengan hal tersebut, hukum internasional menyatakan perlunya membangun kesamaan persepsi dan saling percaya antara negara-negara yang saling berbatasan, untuk mengupayakan jalan damai apabila timbul persengketaan yang berkaitan dengan penetapan atau penegasan perbatasan darat. Kesepakatan yang dicapai oleh kedua belah pihak dalam penetapan perbatasan di lapangan dapat dituangkan ke dalam field plan dan selanjutnya dapat digunakan sebagai salah satu acuan dalam penetapan perbatasan darat. Kedua, Perbatasan Artifisial, perbatasan secara artifisial adalah penentuan atau penetapan perbatasan darat dengan cara buatan atau menggunakan properti antara lain berupa pilar, beacon, tugu dan lain sebagainya. Penentuan perbatasan dengan cara buatan/artifisial apabila dibandingkan dengan alamiah lebih praktis dan mudah untuk dilakukan, sehingga mempermudah penetapan di lapangan.
44
Dalam hukum internasional apabila penarikan garis batas secara lurus menyinggung / mengenai sungai maka berlaku prinsip thalweg. Prinsip metode thalweg adalah menggunakan dasar sungai yang dapat dijadikan alur pelayaran sebagai acuan dalam penentuan perbatasan antar negara.Meskipun penentuan perbatasan dengan menggunakan metode ini lebih praktis dan menguntungkan, metode ini cenderung mengabaikan faktor upaya memelihara kesatuan etnis yang mendiami wilayah perbatasan sehingga secara tidak langsung dapat menimbulkan potensi konflik horizontal antar negara, terutama berkaitan dengan kesenjangan sosial dan ekonomi antar warga/penduduk di wilayah perbatasan. 3. Konsepsi Hukum Internasional dalam Penetapan Perbatasan Laut. Dalam kaitan dengan penetapan perbatasan laut antar negara dalam konterks hukum internasional dikenal 2 (dua) konvensi Perserikatan BangsaBangsa (selanjutnya disebut dengan PBB) yaitu 49: (1) Konvensi Hukum Laut Tahun 1958 (UNCLOS 1958) Pada awalnya perkembangan penetapan perbatasan antar negara di wilayah laut menggunakan metode penetapan batas secara artifisial dengan asumsi bahwa wilayah laut merupakan bagian dari kekuasaan imperium atas daratan. Garis batas antar negara di wilayah laut berfungsi sebagai allocation line yang menjadi batas pemisah kepemilikan daratan diantara penguasa kolonial sehingga tidak dapat menjadi perbatasan laut semata, hal tersebut dapat dilihat dari contoh disepakatinya perjanjian antara Portugis dan
49
Ibid.Hal 90.
45
Spanyol pada abad 15 yang dikenal dengan Perjanjian Tordesilas. Perjanjian Tordesilas ini membagi dunia menjadi 2 (dua) dimana masingmasing merupakan wilayah koloni/jajahan/jalur pelayaran dari Portugis dan Spanyol. Selain Perjanjian Tordesilas, pada tahun 1930 disepakati pula Perjanjian Paris (Paris Treaty) antara Amerika Serikat dan Inggris yang menjadi dasar bagi klaim atas kewilayahan Philipina oleh Amerika Serikat dan Inggris. Kedua perjanjian tersebut merupakan contoh dari penggunaan batas laut oleh negara-negara imperial untuk saling berbagi wilayah koloni, sehingga batas laut sering diartikan sebagai allocation line. Dalam kaitan itu, mulai muncul gagasan atau konsep untuk mengatur tentang konsep laut wilayah atau yang lebih dikenal dengan laut teritorial. Pada masa itu konsep laut wilayah merupakan suatu hal baru, seiring ditemukannya teknologi persenjataan meriam, di mana sesuai dengan daya jangkau meriam tersebut yaitu sejauh 3 mil laut, maka jarak 3 mil laut dinyatakan sebagai legitimate claim atas wilayah laut oleh negara pantai. Namun demikian pada praktiknya Konvensi Hukum Laut 1958 (selanjutnya disebut dengan UNCLOS 1958) tidak berhasil menyepakati masalah
ini,
melainkan
hanya
menyebutkan
penerapan
prinsip
equidistance dan median line dalam rangka penetapan batas laut teritorial negara yang saling berhadapan. Sementara itu, lebar maksimal klaim laut teritorial yang dibenarkan menurut hukum internasional tidak disebutkan sama sekali.
46
Perdebatan tentang lebar laut teritorial menjadi isu yang sangat penting dan tidak terpecahkan dalam UNCLOS 1958. Hal tersebut pada gilirannya merupakan suatu bentuk refleksi kuatnya tuntutan rezim kebebasan dalam pengelolaan wilayah laut (mare liberum) vis a vis dengan sebagian negara yang mengkehendaki pembatasan yang lebih tegas dan jelas dalam rangka memberikan keleluasaan kepada negara pantai untuk melalukan pengawasan atas wilayah perairannya (mare clausum). Terlebih lagi dalam penentuan hak ekonomis terhadap sumber daya alam minyak dan gas di dasar laut (selanjutnya disebut sebagai landas kontinen), UNCLOS 1958 juga belum memberikan batasan yang jelas dan tegas melainkan
digantungkan
pada
faktor
natural
prolongation
dan
eksploitabilitas. Hal ini membawa dampak yang tidak menguntungkan, terutama bagi negara-negara yang baru merdeka setelah periode Perang Dunia
ke-II,
kenyataan
tersebut
dinilai
sebagai
upaya
untuk
melanggengkan kekuasaan negara imperial yang adalah negara-negara maritim besar (Spanyol,Portugis,Perancis,Inggris) atas jajahannya/bekas jajahannya. Hal ini kemudian mendatangkan ketidakpuasan masyarakat internasional sehingga melahirkan tuntutan-tuntutan yang dipelopori oleh negara-negara di Amerika Selatan yang melakukan klaim laut teritorial secara ekstrim hingga mencapai 200 mil laut. Tindakan ini akhirnya mendorong dilaksanakannya konferensi ketiga hukum laut internasional
47
yang kemudian melahirkan UNCLOS 1982 yang hingga saat ini masih dijadikan acuan oleh negara-negara di dunia. Terlepas dar kegagalan UNCLOS 1958 terhadap dua pokok masalah tersebut, UNCLOS 1958 memberikan sumbangan penting berkaitan dengan diakuinya prinsip-prinsip hukum internasional yang mengatur mengenai perbatasan laut antar negara. Hal ini tercermin dari perkara yang diputuskan Mahkamah Internasional bahkan pada periode setelah UNCLOS 1982 berlaku. (2) Konvensi Hukum Laut Tahun 1982 (UNCLOS 1982) Pada tahun 1982 tepatnya 30 April 1982 di New York, konvensi hukum laut PBB (UNCLOS-United Nations Convention on the Law of the Sea) telah diterima baik dalam konferensi PBB tentang hukum laut III yakni pada sidangnya yang ke-11, dan ditandatangani pada tanggal 10 Desember tahun yang sama di Montego Bay, Jamaica 50.UNCLOS tersebut mengatur tentang rezim-rezim hukum laut, termasuk negara kepulauan. Rezim-rezim hukum laut internasional yang diatur didalam UNCLOS 1982, yaitu 51: 1) Perairan Pedalaman Lebar laut teritorial diukur dari “garis pangkal” dan perairan yang berada pada arah darat dari garis tersebut dinyatakan sebagai perairan pedalaman. Dalam keadaan-keadaan tertentu dapat digunakan garis pangkal yang lain,yang akan menimbulkan adanya perairan pedalaman. 50
DR.Boer Mauna, Op.cit.Hal 309. Albert W.Koers, Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Hukum Laut, Gajah Mada University Press.Yogyakarta.1994.Hal 5. 51
48
Keadaan-keadaan tersebut adalah : a) Apabila garis pantai sangat menjorok ke dalam atau apabila terdapat jajaran pulau-pulau di sepanjang pantai, suatu garis pangkal lurus dapat ditarik dari titik-titik tertentu pada pantai atau pulau-pulau tersebut (Pasal 7) b) Apabila daratan sangat cekung ke dalam sehingga dapat dikatakan adanya perairan yang dilingkupi oleh daratan (dalam keadaan dimana daerah lekukan lebih besar dari setengah lingkaran dengan diameter yang sama lebarnya dengan lebar mulut lekukan tersebut), laut teritorial dapat diukur dari garis penutup yang ditarik pada mulut lekukan, dengan ketentuan bahwa gris penutup tersebut panjangnya tidak boleh melebihi 24 mil laut (Pasal 10). c) Apabila sebuah sungai langsung bermuara ke laut, garis pangkal dapat ditarik melintasi mulutnya dengan menghubungkan titik-titik pada garis air rendah di tepi muara tersebut (Pasal 9) 2) Laut Teritorial Pasal 2 Konvensi menentukan bahwa kedaulatan negara pantai meliputi laut teritorialnya, termasuk ruang udara di atasnya dan dasar laut serta tanah dibawahnya. Kesepakatan yang dicapai mengenai batas laut teritorial,yaitu: 12 mil laut diukur dari garis pangkal (Pasal 4). Konvensi memuat ketentuan-ketentuan untuk penetapan batas laut teritorial
antara
negara-negara
yang
pantainya
berhadapan
dan
berdampingan: apabila tidak ada persetujuan yang menyatakan sebaliknya,
49
tidak satu negara pun yang berhak untuk menetapkan bahwa laut teritorialnya melebihi garis tengah, yaitu suatu garis yang titik-titiknya sama jarak dari titik-titik terdekat pada garis-garis pangkal yang digunakan untuk mengukur lebar laut teritorial masing-masing negara (Pasal 15). 3) Jalur Tambahan Pada suatu jalur yang lebarnya tidak melebihi 24 mil dari garis pangkal yang digunakan untuk mengukur lebar laut teritorial, negara pantai dapat melakukan tindakan untuk mencegah terjadinya pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangannya pada wilayahnya atau pada laut teritorialnya dan sekaligus juga dapat menerapakan hukumnya (Pasal 33). 4) Zona Ekonomi Eksklusif Zona ekonomi eksklusif diartikan sebagai suatu daerah di luar laut teritorial yang lebarnya tidak boleh melebihi 200 mil diukur dari garis pangkal yang digunakan untuk mengukur lebar laut teritorial (Pasal 55 dan 57). Menurut pengertian pasal 56, di zona ekonomi eksklusif negara pantai dapat menikmati: a) Hak-hak berdaulat untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi, konservasi dan pengelolaan segala sumber kekayaan alam di dasar laut dan tanah di bawahnya serta pada perairan di atasnya. Demikian pula terhadap semua kegiatan yang ditujukan untuk tujuan eksploitasi secara ekonomis dari zona tersebut (seperti produksi energi dari air, arus, dan angin).
50
b) Yurisdiksi, sebagaimana yang ditetapkan konvensi, pendirian dan penggunaan pulau-pulau buatan, riset ilmiah kelautan serta perlindungan lingkungan laut. c) Hak-hak dan kewajiban lain sebagaimana yang ditetapkan dalam konvensi. Zona ekonomi eksklusif bukan laut teritorial dilihat dari ketentuan Pasal 58 yang menyatakan bahwa, di zona ekonomi eksklusif semua negara dapat menikmati kebebasan berlayar dan terbang di atasnya serta kebebasan untuk meletakkan pipa dan kabel bawah laut, dan juga untuk penggunaan sah lainnya yang berkenaan dengan kebebasan tersebut. Sesuai dengan ketentuan ini, aspek-aspek kebebasan di laut lepas berlaku juga di zona ekonomi eksklusif. 5) Landas Kontinen Yang dimaksud dengan landas kontinen menurut Konvensi ini adalah, daerah dasar laut dan tanah di bawahnya yang berada di luar laut teritorial yang merupakan kelanjutan alamiah dari daratan sampai ke batas terluar tepian kontinen (continental margin), atau sampai jarak 200 mil laut diukur dari garis pangkal yang digunakan untuk mengukur lebar laut teritorial apabila sisi terluar tepian kontinen tidak mencapai jarak tersebut (Pasal 76). C. Klasifikasi Perbatasan Negara Dalam
perspektif
geografi
politik,
batas
wilayah
suatu
negara
(internasional boundary) dapat dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu menurut
51
fungsinya
(klasifikasi
morfologis).
52
fungsional)
Klasifikasi
dan
fungsional
menurut adalah
terjadinya
(klasifikasi
penggolongan
perbatasan
internasional berdasarkan pada sifat-sifat relasi di antara garis-garis perbatasan dan perkembangan bentang lahan budaya (cultural landscape) dari negara-negara lain. Menurut Harshborne
53
, klasifikasi perbatasan internasional secara
fungsional dibedakan menjadi empat,yaitu: (1) Antesedent Boundaries Perbatasan ini terbentuk karena negara-negara baru yang saling mendahului untuk saling memasang/menetapakan batas terluarnya. Jadi, terbentuknya perbatasan ini sebelum terjadinya bentang lahan budaya. (2) Subsequent Boundaries Perbatasan yang terbentuk setelah adanya bentang lahan budaya dan pembuatannya setelah ada perundingan dan persetujuan bersama antara dua negara. Perbatasan ini mengikuti perbedaan etnik kultural khususnya dalam hal bahasa dan agama. Jenis perbatasan seperti ini banyak dijumpai di negara-negara di wilayah Eropa Timur, sedangkan di Asia terdapat di perbatasan antara India dengan Pakistan atau Bangladesh. (3) Superimposed Boundaries Superimposed Boundaries merupakan jenis perbatasan yang tidak berhubungan dengan pembagian sosio kultural. Hal ini disebabkan karena
52
Suryo Sakti Hadiwijoyo,Perbatasan Negara dalam dimensi Hukum Internasional.Op.cit.Hal 69 53 Ibid.
52
diluar pihak yang berkepentingan mengadakan perundingan atau perjanjian
terdapat
pengaruh
kekuatan-kekuatan
dari
luar
yang
berkepentingan, kekuatan-kekuatan ini terutama yang menyangkut kekuatan dan kepentingan politik suatu negara. (4) Relic Boundaries Perbatasan ini berupa garis yang telah kehilangan fungsi politisnya terutama di bentang budayanya. Tipe perbatasan seperti ini biasanya terjadi pada suatu negara yang masuk ke dalam wilayah negara lain, baik secara sukarela maupun melalui proses imperialisme. Sebagai contoh, batas antara Jerman Timur dan Jeman Barat. Selain Penggolongan berdasarkan klasifikasi fungsional, perbatasan antara negara (international boundaries) dapat pula digolongkan berdasarkan pada morfologinya (proses terbentuknya). Berdasarkan proses terbentuknya perbatasan dibedakan menjadi 2 (dua) 54, yaitu: (1) Artificial Boundaries Perbatasan
yang
tanda
batasnya
merupakan
buatan
manusia.
Pemasangan tanda ini biasanya dilakukan setelah adanya perundingan, persetujuan maupun perjanjian antar negara. Batas buatan manusia ini biasanya dapat berupa patok, tugu, kanal, terusan dan lain-lain. (2) Natural Boundaries Perbatasan yang batasnya terbentuk karena proses alamiah. Perbatasan alamiah dapat dibedakan dan dirinci menjadi 5 (lima) tipe,yaitu:
54
Ibid.
53
(a) Perbatasan berupa pegunungan Perbatasan alamiah yang berupa pegunungan dianggap paling menguntungkan dan paling besar manfaatnya,khususnya dalam bidang pertahanan. Perbatasan berupa pegunungan juga bersifat lebih stabil. Contoh negara yang memiliki batas pegunungan seperti India yang memiliki batas wilayah Pegunungan Hilmalaya dengan Tibet. (b) Perbatasan yang berupa sungai dan laut. Perbatasan alamiah adapula yang berupa sungai, perairan pedalaman maupun laut. Lautan sebagai salah satu unsur fisik geografis mempunyai peranan besar terhadap budaya maupun struktur politik suatu negara. Pengaruh ini terutama tampak dalam bidang perekonomian maupun keamanan dan pertahanan wilayah. Perbatasan laut antar negara atau perbatasan laut merupakan hal yang strategis, khususnya bagi negara yang memiliki wilayah laut luas dan memiliki banyak gugus pulau atau negara kepulauan. Selain laut, wilayah antara dua negara atau lebih dapat pula dibatasi oleh sungai, ataupun lembah sungai. Seperti halnya laut, bagi negara yang terdapat di wilayah pedalaman, sungai memegang peranan penting sebagai sarana transportasi yang mendukung dalam pengembangan sektor perekonomian suatu negara. Selain itu ditinjau dari aspek pertahanan, sungai dapat
54
berperan sebagai pertahanan yang efektif dalam menghadapi ancaman dari negara yang berbatasan. (c) Perbatasan yang berupa hutan, rawa-rawa, dan gurun. Kenampakan alam ini dapat dijadikan perbatasan antara dua negara yang saling bertetangga. Sebagai contoh, perbatasan antara Finlandia dan Rusia berupa rawa-rawa, perbatasan yang berupa hutan antara Pakistan dan India dan perbatasan yang berupa gurun yakni, perbatasan antara Rusia dan Tiongkok yang dipisahkan oleh Gurun Gobi. (d) Perbatasan geometris (Geometric Boundaries) Perbatasan jenis ini mengikuti posisi garis lintang dan garis bujur. Perbatasan seperti ini berkaitan dengan dibukanya wilayah baru sebagai wilayah jajahan di masa lampau, terutama bagi wilayah yang masih belum ada penduduknya. Pada masa lampau banyak dijumpai penentuan perbatasan dengan menggunakan cara seperti ini terutama bagi negara-negara jajahan di Benua Afrika. (e) Perbatasan Antrophogeografis Perbatasan jenis ini dipakai untuk membatasi wilayah-wilayah yang berlainan bahasa, adat, agama dan lain sebagainya yang termasuk dalam ethnic-cultural background yang sekaligus merupakan batas wilayah kebangsaan (nasionalitas). Batas wilayah yang berdasarkan bahasa banyak dijumpai di negara-negara Eropa
55
Timur sesudah Perang Dunia ke-I, seperti Polandia, Bulgaria, Hongaria, dan Rumania. D. Mekanisme Penyelesaian Sengketa Internasional menurut Hukum Internasional. Dalam kehidupan masyarakat internasional ditandai adanya dua faktor, yaitu adanya kerja sama dan hidup berdampingan secara damai dan adanya sengketa antar masyarakat internasional. Sengketa antar anggota masyarakat internasional beraneka ragam sebabnya, mungkin disebabkan karena alasan politik, strategi militer, ekonomi ataupun ideologi atau perpaduan antara kepentingan tersebut. Persengketaan antara bangsa sering bersifat terbuka dan paling dahsyat perwujudannya adalah berupa perang dan tidak sedikit menelan korban. Perkembangan teknologi dalam bidang persenjataan yang dapat dipergunakan untuk perang sering menghantui masyarakat internasional akan timbulnya Perang Dunia yang pasti akibatnya akan lebih dahsyat dibandingkan dengan Perang Dunia I dan II. Oleh karena itu masyarakat internasional selalu berusaha agar sengketa antara mereka dapat diselesaikan dengan tanpa menimbulkan perang di antara mereka. masyarakat
internasional
dalam
55
Suatu prinsip yang dikenal oleh
penyelesaian
sengketa
adalah
prinsip
penyelesaian secara damai, hal ini dituangkan dalam Pasal 1 Konvensi Den Haag Tahun 1907. Pasal 1 Konvensi 1907 ini kemudian diambil alih oleh Piagam PBB, yaitu Pasal 2 Ayat 3 Piagam PBB yang berbunyi : “All members shall settle their
55
Sri Setianingsih Suwardi, Penyelesaian Sengketa Internasional,Penerbit Universitas Indonesia,Jakarta.2006.Hal 2.
56
international disputes by peaceful means in such a manner that international peace and security, and justice, are not endangered.”. Ketentuan Pasal 2 Ayat 3 Piagam PBB ini kemudian dijabarkan dalam Pasal 33 Piagam PBB. Prinsip penyelesaian secara damai kemudian diambil alih dalam Deklarasi mengenai Hubungan Bersahabat dan Kerja Sama Antarnegara tanggal 14 Oktober 1970 (A/Res/2625/XXV) dan Deklarasi Manila tanggal 15 November 1982 (A/Res/37/10) mengenai Penyelesaian Sengketa Internasional Secara Damai. 56 Di dalam hukum internasional lain cara penyelesaian dengan damai, dikenal juga penyelesaian dengan kekerasan. 57 Cara penyelesaian sengketa dengan damai dapat dilihat dalam Pasal 33 Ayat 1 Piagam PBB, yaitu: perundingan (negotiation), penyelidikan (inquiry), mediasi (mediation), konsiliasi (conciliation), arbitrase (arbitration), penyelesaian menurut hukum (judicial settlement) melalui badan atau pengaturan regional atau dengan cara damai yang dipilih sendiri. Cara penyelesaian dengan perundingan, penyelidikan, mediasi dan konsiliasi adalah cara penyelesaian sengketa tanpa mempergunakan
lembaga
pengadilan
seperti
arbitrase
atau
pengadilan
internasional. 58 D.1. Penyelesaian dengan Damai 1. Negosiasi Negosiasi adalah cara penyelesaian sengketa yang dilakukan langsung oleh para pihak yang berperkara dengan cara melalui saluran diplomatik biasa.
56
DR.Boer Mauna, Op.cit.Hal 187. Sri Setianingsih Suwardi, Loc.Cit. 58 Ibid. 57
57
Negosiasi antar negara biasanya dilakukan melalui saluran diplomatik, artinya dilakukan oleh pejabat Departemen Luar Negeri, atau perwakilan diplomatik di mana ia di tempatkan. Dalam hal masalah yang dirundingkan sangat teknis maka anggota delegasi biasanya terdiri dari wakil-wakil departemen terkait. Para pihak juga sering membentuk komisi gabungan (joint commission) di mana anggota dari komisi gabungan terdiri dari wakil-wakil para pihak dan berapa lama komisi gabungan ini menjalankan tugasnya tergantung pada kepentingan untuk apa komisi ini didirikan. Misalnya komisi gabungan yang didirikan oleh Amerika Serikat dan Kanada yang didirikan tahun 1909 mempunyai tugas unntuk menyelesaikan masalah-masalah perkembangan industri, pencemaran udara, masalah-masalah sehubungan dengan perbatasan. Negosiasi juga sering dipakai dalam rangka kerja organisasi internasional. Negosiasi dalam rangka organisasi internasional dengan cara pendekatan diplomatik secara informal akan lebih bermanfaat dibandingkan perdebatan konfrontasi secara terbuka. Sekretaris Jenderal PBB dalam tugasnya sering menjalankan negosiasi dengan negara-negara anggota PBB. Kadang-kadang dalam rangka kerja organisasi internasional dibentuk komisi negosiasi dengan anggota yang dipilih di antara anggota-anggota organisasi internasional tersebut. Kadang-kadang dalam organisasi internasional komisi yang telah ada diberikan tugas untuk mengadakan negosiasi. Sebagai contoh ketika PBB mengadakan negosiasi dengan Badan Tenaga Atom Internasional (International Atomic Energy Agency-IAEA) dengan Resolusi Majelis Umum No.1115 (XI) memberi wewenang
58
kepada Komite Penasihat untuk Penggunaan Tenaga Atom untuk Kepentingan Damai (the Advisory Committee on the Peaceful Uses of Atomic Energy). 59 Agar negosiasi sebagai cara penyelesaian sengketa berhasil, maka antar para pihak yang bersengketa harus ada kepercayaan akan penyeleasian dengan negosiasi. Adanya ketidakpercayaan antar pihak dapat menyebabkan tidak tercapainya penyelesaian sengketa mereka. Jika negosiasi untuk menyelesaikan sengketa mengalami jalan buntu, maka kemungkinan untuk menyelesaikan masalah tersebut adalah dengan mengadakan perjanjian yang memberikan kompensasi pada salah satu untuk dapat mencairkan isu substansi . Dalam suatu sengketa kemungkinan diselesaikan dengan sistem package deals, hal ini sering dilaksanakan dalam negosiasi multilateral. Penyelesaian dengan package deals ini sering terjadi di konferensi multilateral, di mana kepentingan antar anggotanya berbeda-beda. Suatu anggota menawarkan kepentingannya untuk didukung untuk didukung oleh pihak lain, pihak tersebut akan mendukung usul pihak lain yang membutuhkan dukungannya. Sebagai contoh masalah perikanan adalah penting untuk Inggris tetapi tidak penting untuk negara Swiss, maka Inggris meminta Swiss mendukung usulan masalah perikanan yang diajukan oleh Inggris, sebaliknya Inggris akan mendukung usulan mengenai masalah keuangan yang diusulkan oleh Swiss. 60 Negosiasi hanya terjadi bila para pihak masih mau berunding. Jika kedua belah pihak terlibat dalam sengketa yang serius, biasanya kedua belah pihak tidak 59 60
Ibid. Ibid
59
mau berunding, bahkan sering para pihak akan menarik perwakilan diplomatiknya. Keadaan sukar berunding antar para pihak juga dapat terjadi apabila para pihak tidak mengakui satu sama lain. Perlu diingat bahwa negara terikat untuk mengadakan penyelesaian sengketanya dengan negosiasi bila hal tersebut dinyatakan dalam perjanjian yang disetujuinya atau kewajiban untuk mengadakan negosiasi itu didasarkan pada hukum kebiasaan internasional. Pasal 33 Piagam PBB menentukan alternatif penyelesaian sengketa diantaranya dengan negosiasi. Oleh karenanya negaranegara anggota PBB berhak untuk mempergunakan negosiasi sebagai cara penyelesaian sengketa atau tidak memilihnya untuk penyelesaian sengketanya. 2. Jasa-jasa baik Jasa-jasa baik (good offices) berarti intervensi suatu negara pihak ketiga yang merasa dirinya wajar untuk membantu penyelesaian sengketa yang terjadi antara dua negara. Dalam hal ini, pihak ketiga menawarkan jasa-jasa baiknya. 61 Peranan pihak ketiga dalam usaha mencari penyelesaian sengketa adalah pihak ketiga berusaha mendekatkan pihak-pihak yang bersengketa agar mereka dapat langsung berunding. Pihak ketiga hanya memberikan saran-saran secara garis besar bagaimana sengketa itu akan diselesaikan oleh kedua belah pihak, tanpa ikut langsung dalam perundingan. Saran-saran pihak ketiga ini didasarkan pada pengaruh moral atau politik pihak ketiga pada pihak yang bersengketa. Keterlibatan pihak ketiga ini dapat diminta oleh salah satu atau kedua belah pihak yang bersengketa atau atas tawaran pihak ketiga.
61
DR.Boer Mauna, Op.cit.Hal 198.
60
Peran pihak ketiga disini hanya menyarankan kepada kedua belah pihak untuk merundingkan dan mencari penyelesaian sengketa. Bila para pihak yang sedang bersengketa telah berhasil berunding, maka selesailah peran pihak ketiga. Pihak ketiga disini dapat perseorangan (individu), negara ataupun organisasi internasional. Sebagai contoh, Swiss sebagai negara netral sering bertindak sebagai negara pelindung (protecting power) di wilayah yang sedang berkecamuk sengketa bersenjata. Demikian juga ketika perang Vietnam, atas jasa baik Perancis pihak Vietnam dan Amerika Serikat berunding untuk menyelesaikan perang Vietnam tahun 1973. 62 3. Mediasi Dibandingkan dengan jasa-jasa baik, peran pihak ketiga dalam mediasi lebih aktif, karena pihak ketiga dapat mengambil bagian dalam perundingan antara pihak yang bersengketa. Para pihak yang bersengketa dapat mempergunakan usul-usul yang berasal dari pihak mediator dan bahkan pihak mediator dapat menjadi pemimpin dari perundingan yang diadakan para pihak yang bersengketa. Usulusul pihak mediator ini dapat mempergunakan asas-asas hukum ataupun asas-asas di luar hukum yang tujuannya agar para pihak dapat berkompromi untuk menyelesaikan sengketanya, tanpa ada paksaan untuk menerima usulan yang diajukan oleh mediator. Mediator harus menjaga kerahasiaan pihak-pihak yang bersengketa. Sebagaimana jasa-jasa baik maka mediator ini juga dapat dilakukan oleh individu, negara ataupun organisasi internasional. Sebagai contoh sengketa antara Argentina dan Chili dalam rangka pelaksanaan the Beagle Channel Award
62
Sri Setianingsih Suwardi, Op.cit.Hal.16.
61
kedua belah pihak telah menerima Kardinal Antonio Samore sebagai mediator atas usul dari Paus. 63 Mediasi dapat juga dilaksanakan lebih dari satu negara, sebagai contoh komisi tiga negara (Australia, Belgia, dan Amerika Serikat) komisi dibentuk oleh PBB dalam rangka menyelesaikan masalah sengketa Republik Indonesia dan Belanda tahun 1947, komisi ini bahkan membantu perumusan Perjanjian Renville. Mediator juga sering dilakukan oleh tokoh-tokoh terkenal. Sebagai contoh sengketa perbatasan antara Bahrain dan Qatar tahun 1988, Raja Fahd dari Saudi Arabia bertindak sebagai mediator. Mediasi dapat dilaksanakan dengan sokongan keuangan dan bantuan lain yang bernilai untuk menyelesaikan sengketa. Sebagai contoh pada saat sengketa anatara Pakistan dan India tentang wilayah perairan Indus antara tahun 1951 dan 1961, Bank Dunia menawarkan bantuan keuangan . Bagi organisasi internasional seperti PBB atau organisasi regional, penyelesaian sengketa secara damai antar anggotanya merupakan tujuan dari organisasi. Dalam rangka PBB, peran Sekretaris Jenderal PBB dalam hal mediasi sering dilakukan. Mediator dalam melakukan suatu mediasi harus mempunyai “itikad baik” dan tidak memihak. Hal ini disebabkan bahwa para pihak dengan itikad baik meyerahkan sengketa kepada mediator dengan harapan bahwa mediator dapat menyelesaikan sengketanya dengan baik. Jadi kepercayaan antara para pihak pada mediator tidak boleh disia-siakan oleh mediator untuk mendekatkan para pihak.
63
Ibid
62
Mediator dapat mengusulkan suatu proposal sehingga kedua belah pihak akan menerima. Mediator juga dapat mengatur di mana kedua belah pihak akan bertemu di tempat yang netral. Mediasi tidak dapat dipaksakan pada para pihak yang sedang bersengketa. Mediasi hanya dapat dilakukan bila para pihak menghendakinya. Dalam hal para pihak tidak dapat menerima usulan yang disampaikan oleh mediator ( hal ini disebabkan bahwa para pihak tidak terikat oleh proposal mediator), atau karena para pihak tidak dapat menerima tindakan mediator maka mediasi tidak dapat dilakukan. Dalam hal para pihak menerima cara penyelesaian sengketanya dengan mediasi ini berarti para pihak telah mengakui bahwa sengketanya telah merupakan sengketa yang bersifat internasional. Cara penyelesaian dengan mediasi berarti mencoba mengadakan kompromi antara para pihak. Jika para pihak yakin bahwa sengketanya tidak akan diselesaikan dengan mediasi atau kompromi sukar dicapai dapat menolak menerima mediasi sebagai cara penyelesaian sengketanya. Sebagai contoh, ketika Nigeria mengadakan perang di Biafra, Nigeria menolak mediasi karena mengatakan bahwa masalah tersebut adalah masalah dalam negeri (domestic jurisdiction). Hal yang penting dalam penyelesaian sengketa dengan mediasi adalah: (a) Para pihak harus mempunyai itikad baik untuk berusaha menyelesaikan sengketa dan tidak hanya sekedar menerima ide yang baik. (b) Para pihak harus menerima peran mediator. 4. Komisi Angket/Pemeriksa (Enquiry)
63
Angket merupakan cara penyelesaian sengketa antar negara yang non yurisdiksional dengan tujuan untuk mengumpulkan fakta-fakta yang merupakan penyebab dari suatu sengketa, keadaan di waktu terjadinya sengketa dan dan jenis dari sengketa yang terjadi. 64 Suatu cara penyelesaian sengketa yang mula-mula dilahirkan tahun 1899 dalam Konferensi Den Haag I ini, atas inisiatif Kaisar Nicholas I. Dalam Konvensi Den Haag II tahun 1907 menegaskan dan menyempurnakan prosedur ketentuan-ketentuan dalam Konvensi Den Haag I. 65 Kedua belah pihak yang bersengketa sepakat untuk membentuk komisi Angket/ Pemeriksa. Komisi ini mempunyai tugas untuk menjernihkan fakta-fakta yang menjadi pangkal sengketa dengan mengadakan penyelidikan dengan teliti dan tidak memihak. Sistem angket ini bertujuan untuk memberikan dasar yang kuat bagi jalannya suatu perundingan. Agar perundingan mempunyai dasar yang kuat tentu diperlukan data-data yang objektif sebagai penyebab terjadinya suatu sengketa. Data-data ini bisa saja diperoleh langsung dari negara-negara yang bersengketa tetapi versinya tentu saling berbeda. Oleh karena itu pengumpulan dan analisa fakta-fakta yang menjadi penyebab sengketa lebih tepat diberikan kepada suatu komisi internasional yang akan berusaha mencapai suatu versi tunggal dari sengketa yang terjadi. Selanjutnya laporan dari komisi angket tidak mempunyai kekuatan yang mengikat dan pihak-pihak yang bersengketa mempunyai kebebasan penuh atas kelanjutan laporan tersebut. Komisi angket hanya 64 65
DR.Boer Mauna, Op.cit.Hal 206. Sri Setianingsih Suwardi, Op.cit.Hal.22.
64
membatasi diri pada pengumpulan fakta-fakta dan sama sekali tidak membuat konklusi walaupun dari fakta-fakta yang diperoleh dapat ditarik suatu kesimpulan. Konvensi
Den
Haag
II
18
Oktober
1907
menegaskan
dan
menyempurnakan prosedur ketentuan-ketentuan yang telah diterima di tahun 1899. Pasal 9 Konvensi Den Haag 1907 menyatakan : “ Dalam sengketa-sengketa internasional di mana tidak terlibat baik kehormatan maupun kepentingan pokok nasional tetapi hanya perbedaan pendapat tentang fakta-fakta, negara-negara yang bersengketa dapat membentuk suatu Komisi Angket Internasional yang bertugas untuk mempermudah penyelesaian sengketa-sengketa dengan jalan mempelajari secara tidak memihak dan penuh kesadaran persoalan-persoalan mengenai fakta.” 66 Dalam Konvensi Den Haag II tahun 1907 tugas dan cara kerja Komisi Angket/Pemeriksa dicantumkan dalam Bab II, Pasal 9-36. Pada garis besarnya dinyatakan bahwa Komisi Angket/Pemeriksa adalah; (1) Komisi Angket/ Pemeriksa bertujuan menjernihkan fakta-fakta; (2) Komisi dibentuk atas persetujuan kedua belah pihak; (3) Laporan komisi ini tidak mengikat para pihak. 67 4. Konsiliasi Konsiliasi adalah suatu cara penyelesaian secara damai sengketa internasional oleh suatu organ yang telah dibentuk sebelumnya atau dibentuk kemudian atas kesepakatan pihak-pihak yang bersengketa setelah lahirnya masalah yang dipersengketakan. Dalam hal ini organ tersebut mengajukan usul66 67
DR.Boer Mauna, Loc.Cit. Sri Setianingsih Suwardi, Loc.Cit.
65
usul penyelesaian kepada pihak-pihak yang bersengketa. Komisi konsiliasi bukan saja bertugas mempelajari fakta-fakta akan tetapi juga harus mempelajari sengketa dari semua segi agar dapat merumuskan suatu penyelesaian. Berikut adalah ciriciri mengenai konsiliasi: 68 (a) Konsiliasi adalah suatu prosedur yang diatur oleh konvensi. Negara-negara pihak suatu konvensi berjanji untuk mengajukan sengketa mereka kepada komisi-komisi konsiliasi. Jadi ini adalah konsiliasi-konsiliasi wajib, yang berarti bahwa komisi dapat melakukan tugasnya bila salah satu negara peserta konvensi memintanya. (b) Mengenai wewenang, komisi dapat mempelajari suatu persoalan dari semua aspek dan mengajukan usul-usul untuk penyelesaian namun perlu diingat bahwa prosedur konsiliasi ini adalah prosedur politik karena solusi yang diajukan tidak mengikat negara-negara yang bersengketa. Di samping itu dalam kebanyakan konvensi konsiliasi juga terdapat ketentuan-ketentuan bahwa bila laporan dan usul komisi ditolak maka negara-negara
yang
bersengketa
harus
meneruskan
penyelesaian
sengketanya melalui prosedur yurisdiksional. (c) Bila komisi-komisi angket adalah komisi ad hoc yang hanya dibentuk sesudah terjadinya suatu sengketa dan bubar setelah pembuatan laporan selesai, komisi-komisi konsiliasi adalah komisi-komisi tetap yang segera dibentuk setelah berlakunya konvensi dan pembentukan tersebut harus sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam konvensi.
68
DR.Boer Mauna, Op.cit.Hal 212.
66
Biasanya komisi-komisi terdiri dari 5 anggota yaitu 2 dari masing-masing negara yang bersengketa dan satu wakil dari negara lain. Wewenang komisi-komisi konsiliasi diatur dalam Ketentuan Umum Arbitrasi tahun 1928 yang disempurnakan oleh resolusi Majelis Umum PBB tanggal 28 April 1949 menyatakan dalam Pasal 15-nya : “ Komisi konsiliasi bertugas untuk mempelajari soal-soal yang berhubungan dengan sengketa dan untuk itu mengumpulkan keterangan-keterangan yang perlu dengan jalan angket atau dengan cara-cara lain agar dapat mendamaikan pihak-pihak yang bersengketa. Setelah mengadakan penyelidikan terhadap sengketa tersebut, komisi dapat mengajukan usul-usul penyelesaian kepada negara-negara yang bersengketa dan memberikan waktu kepada mereka untuk dapat menentukan sikap.” 69 Jadi ketentuan umum inilah yang menjadi pegangan dan dasar bagi negara-negara dalam membuat konvensi-konvensi konsiliasi misalnya Konvensi Konsiliasi Eropa 1957, Perjanjian Inggris-Swiss 1965,dan lain-lain. D.2. Penyelesaian Sengketa Berdasarkan Hukum 1. Arbitrase Dalam hukum internasional publik bahwa arbitrase sebagai suatu cara penyelesaian sengketa antara negara dengan damai sudah dikenal sejak zaman Yunani dan dalam abad pertengahan berbagai unit politik telah dibentuk dalam rangka Kekaisaran Romawi. Pada Abad ke-12 dan ke-13 sering dipergunakan
69
Ibid
67
dalam sengketa antara kota-kota di kerajaan Itali. Hal ini terus berkembang dalam Abad ke-16, 17, 18 dan terus berkembang sampai saat ini. 70 Arbitrase lebih fleksibel dibandingkan dengan penyelesaian melalui pengadilan, di mana di dalam arbitrase para pihak dapat menentukan di mana perwasitan itu akan berlangsung dan dapat menentukan dan memilih arbiter sesuai dengan kemampuannya, prosedur yang akan ditetapkan, kekuatan dari keputusannya melalui perumusan terms of referencenya ( yang disebut juga hasil kompromi antar para pihak). Para pihak yang bersepakat bahwa sengketanya akan diselesaikan melalui arbitrase dapat dituangkan dalam perjanjian (Pasal 52 Konvensi Den Haag Pacific Settlement of International Disputes yang selanjutnya disebut dengan konvensi). Perjanjian yang dibuat antara para pihak dapat dibuat sebelum sengketa tersebut timbul atau setelah sengketa timbul. Jika dibuat setelah sengketa timbul maka perjanjian arbitrase itu hanya berlaku untuk sengketa bersangkutan. Perjanjian arbitrase yang dibuat sebelum sengketa timbul disebut arbitrase wajib. 71 Perjanjian arbitase biasanya memuat masalah yang disengketakan, syaratsyarat pengangkatan arbiter, prosedur untuk jalannya sidang, kewenangan arbiter dan kondisi khusus yang disetujui para pihak (Pasal 52-53 konvensi). Pada prinsipnya hanya negara yang dapat menjadi pihak dalam arbitrase internasional publik, walaupun klaim satu negara pada negara lain mungkin timbul akibat klaim yang diajukan oleh individu dari satu negara terhadap individu dari negara lain yang telah melanggar hukum internasional, maka negara 70 71
Sri Setianingsih Suwardi, Op.cit.Hal.39. DR.Boer Mauna, Op.cit.Hal 226.
68
dalam hal ini bertindak sebagai negara yang bertanggung jawab terhadap warga negaranya. Dalam hal sengketa yang bersifat politis yang akan diserahkan pada mahkamah arbitrase, maka wewenang dari arbitrator untuk memutuskan sengketa tersebut didasaekan pada ex aequo et bono. Jika dalam perjanjian arbitrase tidak menyebutkan hukum apa yang akan diterapkan, maka para arbiter akan menerapkan hukum internasional publik. Mengenai penunjukan arbiter didasarkan pada kesepakatan para pihak. Arbiter mungkin tunggal atau mungkin lebih dari satu. Dalam hal yang demikian para pihak akan menunjuk arbiter atau arbiter nasional dan kemudian mereka akan menunjuk arbiter ketiga atau kelima yang netral yang disetujui oleh para pihak. Jika para pihak dalam tahap permulaan telah dapat menentukan anggota mahkamah arbitrase maka nama-nama dari arbiter itu akan dimasukkan dalam perjanjian arbitrase. Dalam perjanjian arbitrase biasanya ditentukan pula bila para pihak tidak dapat mencapai kata sepakat tentang siapa pihak ketiga yang akan ditunjuk maka, pihak ketiga akan ditunjuk oleh Presiden Mahkamah Internasional ( yang selanjutnya disebut dengan ICJ) atau Sekretaris Jenderal PBB atau pihak lain yang tidak mempunyai kepentingan terhadap sengketa tersebut, hal ini diatur dalam Pasal 3 Model Rules on Arbitration Procedure. Mengenai hukum yang dipakai dalam menyelesaikan sengeketa, para pihak menghendaki bahwa keputusan untuk menyelesaikan sengketanya berdasarkan pada hukum internasional. Kesepakatan para pihak akan hukum yang akan diperlakukan pada sengketa mereka biasanya dicantumkan dalam perjanjian
69
arbitrase. Jika para pihak telah sepakat bahwa hukum internasional tidak akan diterapkan dalam sengketa mereka, maka para pihak dapat meminta mahkamah untuk menerapkan hukum lain. Kemungkinan bahwa para pihak dapat memakai hukum lain selain hukum internasional, maka dimungkinkan memakai hukum nasional, baik hukum nasional salah satu negara yang bersengketa atau kombinasi dengan sistem hukum lainnya. Sebagai contoh dalam kasus Trail Smelter antara Kanada dan Amerika Serikat tahun 1938 dsn 1941. Mahkamah arbitrase mempunyai wewenang untuk memutuskan perkara yang diajukan secara fair dan reasonable, oleh karenanya dapat memakai hukum internasional maupun hukum nasional sesuai dengan kehendak para pihak. Keputusan arbitrase dibuat setelah sidang tertutup antara arbitrator, sidang ini dilakukan dengan pemberian suara, mayoritas dari jumlah suara menentukan keputusan mahkamah. Keputusan arbitrase ini mengikat bagi para pihak, dan biaya arbitrase dibebankan kepada para pihak dengan pembagian yang seimbang antara para pihak (Pasal 85). Keputusan mahkamah Arbitrase bersifat final dan tanpa banding (Pasal 81 konvensi). Namun jika diantara para pihak ada perbedaan penafsiran keputusan atau pelaksanaannya mengenai kesalahan dalam suatu perjanjian yang bertentangan, maka kepada para pihak dibuka kemungkinan mengajukan pada mahkamah yang memutuskan (Pasal 82 konvensi) untuk melakukan tindak lanjut untuk mengadakan interpretasi, mengubah, meralat dan membatalkan. Tindakan yang akan diambil tergantung pada kesepakatan yang dituangkan dalam perjanjian arbitrase atau berdasarkan hukum internasional.
70
Untuk mengubah keputusan hanya dimungkinkan bila ada fakta baru. Bagaimanapun juga suatu keputusan yang mengandung kesalahan (error) dalam kalkulasinya masih dapat diperbaiki. Dalam hal demikian maka alasan menolak suatu keputusan arbitrase didasarkan adanya cacat hukum dalam keputusan. Dalam Mahkamah Arbitrase atau Permanent Court of Arbitration (selanjutnya disebut dengan PCA) terdiri dari 3 (tiga) badan, yaitu : 72 1) The Permanent Administrative Council of the Court (Pasal 49 konvensi) Badan ini anggotanya terdiri dari perwakilan (diplomatic envoys) negara peserta PCA yang ditempatkan di Belanda dan sekretaris Kementrian Luar Negeri Belanda yang bertindak sebagai presiden dari Council. Tugas dari Council adalah mengawasi tugasnya International Bureau of the Court yakni memutuskan hal yang berkaitan dengan masalah administrasi Mahkamah. 2) The International Bureau of the Court (Pasal 43 konvensi) Badan ini mempunyai wewenang untuk melayani dan bertindak sebagai panitera Mahkamah. Juga mempunyai tugas untuk mengkomunikasikan sidang Mahkamah, menyimpan arsip dan dokumen administrasi Mahkamah. 3) The Court of Arbitration (Pasal 44 konvensi) Anggota Mahkamah arbitrase terdiri dari individu-individu yang diakui kepakarannya dalam hukum internasional, mempunyai moral yang tinggi, dipilih dan ditunjuk oleh negara anggota. Setiap negara anggota dapat menunjuk tidak lebih dari empat anggota; dua atau lebih dari negara anggota dapat bergabung untuk menunjuk satu atau lebih
72
Sri Setianingsih Suwardi, Op.cit.Hal.54
71
anggota; dan individu yang sama mungkin ditunjuk oleh negara anggota yang berlainan. Tiap anggota mahkamah ditunjuk untuk jangka waktu enam tahun dan dapat diperpanjang. 2. Mahkamah Internasional Mahkamah Internasional atau International Court of Justice (yang selanjutnya disebut dengan ICJ) merupakan salah satu organ utama PBB yang dibentuk oleh masyarakat bangsa-bangsa pada tahun 1945. Organ ini diatur oleh statuta Mahkamah Internasional yang merupakan bagian yang tidak terpisah dari PBB, dan setiap anggota PBB otomatis tunduk pada statuta Mahkamah Internasional. Meskipun demikian, tidak ada kewajiban bagi tiap anggota PBB itu untuk membawa sengketanya ke ICJ. Demikian pula ICJ tidak memiliki yurisdiksi wajib (compulsory jurisdiction) pada setiap anggota PBB. 73 ICJ sering dianggap sebagai cara utama penyelesaian sengketa hukum antar negara. Praktiknya hanya sekitar 4-5 perkara yang diajukan ke lembaga ini per tahunnya. Yurisdiksi Mahakamah sangat tergantung pada kesediaan para pihak membawa kasusnya ke Mahakamah. Berdasarkan hasil penelitian, masayarakat internasional jarang sekali menyelesaikan kasusnya di depan ICJ karena beberapa faktor: 74 a) Proses melalui ICJ hanya ditempuh sebagai jalan terakhir, apabila semua jalan lain mengalami kemacetan; b) Proses melalui ICJ memakan waktu yang lama dan biaya yang cukup tinggi, karena biasanya hanya kasus-kasus besar yang dibawa ke ICJ; 73 74
Sefriani,S.H.,M.Hum, Op.cit.Hal.343. Ibid
72
c) ICJ tidak memiliki yurisdiksi wajib. ICJ akan memiliki yuridiksi terhadap suatu sengketa hukum yang di bawa kepadanya apabila ada pengakuan dari negara-negara yang bersengketa terhadap yurisdiksi ICJ dalam sengketa hukum mereka. Pengakuan dapat diberikan melalui beberapa cara sebagai berikut yaitu : 75 (a) Melalui suatu akta atau perjanjian (acta compromise). Akta dapat dibuat setelah sengketa muncul seperti dalam special agreement antara Indonesia –
Malaysia
1997
yang
menyatakan
kesepakatan
kedua
negara
menyerahkan sengketa Sipadan-Ligitan pada ICJ. Akta juga dapat dibuat untuk sengketa yang mungkin akan muncul di kemudian hari. (b) Melalui klausul pilihan (optional clause). Negara pihak Statuta ICJ setiap saat
dapat
menandatangani
klausul
pilihan
yang
menegaskan
pengakuannya terhadap yurisdiksi ICJ. (c) Melalui pengakuan secara diam-diam. Pengakuan terhadap yurisdiksi ICJ dapat dilakukan secara diam-diam, tidak tegas atau tersirat dari sikap suatu negara. Negara yang tidak menolak, mengirimkan surat berisi argumenargumen hukum pembelaan diri ke ICJ dapat dikatakan menerima yurisdiksi ICJ. Hal ini dikenal sebagai doktrin prorogatum. Sengketa hukum yang dapat diajukan ke ICJ, terdapat pada Pasal 36 (2) Statuta Mahkamah Internasional, sengketa hukum mengenai: a. Perjanjian Internasional; b. Setiap permasalahan hukum internasional;
75
Ibid
73
c. Adanya suatu fakta, bila telah nyata menimbulkan suatu pelanggaran terhadap kewajiban internasional; d. Sifat dan besarnya penggantian yang harus dilaksanakan karena pelanggaran terhadap kewajiban internasional. ICJ terdiri dari 15 orang hakim yang berbeda kewarganegaraannya, yang dipilih berdasarkan suara mayoritas mutlak oleh Majelis Umum atas rekommendasi Dewan Keamanan. Komposisi ini termasuk satu hakim dari masing-masing negara anggota tetap Dewan Keamanan. Meskipun ada pembagian perwakilan geografis dalam pemilihan hakim, namun para individu yang terpilih sebagai hakim ICJ tidak mewakili negaranya. Ia terpilih karena integritas dan kompetensinya di bidang hukum internasional. Bila suatu negara ketika berperkara tidak memiliki hakim yang berasal dari negaranya maka dapat diperkenankan memilih seorang hakim ad hoc. D.3. Penyelesaian Sengketa Menggunakan Kekerasan 1. Retorsi `Retorsi adalah tindakan tidak bersahabat yang dilakukan oleh suatu negara terhadap negara lain yang telah terlebih dahulu melakukan tindakan yang tidak bersahabat. Retorsi merupakan tindakan pembalasan terhadap negara lain yang telah melakukan perbuatan tidak sopan atau tindakan tidak adil. Biasanya retorsi berupa tindakan yang sama atau yang mirip dengan tindakan yang dilakukan oleh negara yang dikenai retorsi. Misalnya, deportasi dibalas deportasi atau pernyataan persona non grata dibalas dengan pernyataan persona non grata. 76
76
Ibid.
74
Retorsi merupakan tindakan sah yang dimaksudkan untuk merugikan negara yang telah melakukan pelanggaran. Retorsi juga merupakan tindakan self help. Wujud retorsi antara lain : 77 1) Pemutusan hubungan diplomatik; 2) Pencabutan hak-hak istimewa diplomatik; 3) Penarikan konsensi pajak atau tarif; 4) Penghentian bantuan ekonomi. 2. Reprisal. Reprisal atau pembalasan adalah salah satu istilah yang telah dikenal sejak lama, meskipun para sarjana hukum internasional pada saat itu belum memperoleh kesepakatan mengenai makna yang harus diberikan pada reprisal. 78 Pada awalnya reprisal merupakan upaya pembalasan guna menjamin diperolehnya ganti rugi. Reprisal saat itu dilakukan terbatas pada penahanan orang atau harta benda. Dengan demikian, sangat lazim saat itu negara mengeluarkan surat izin merampas (batters of marque) kepada salah satu warganya, yang tidak memperoleh saluran pengadilan di negara lain, yang memberinya kuasa untuk mengambil sendiri ganti rugi yang dideritanya, jika perlu dengan kekerasann atau dilakukannya perampasan harta benda milik rakyat negara yang bersalah. 79 Perbedaan antara tindakan pembalasan dengan retorsi menurut Starke adalah bahwa pembalasan atau reprisal mencakup tindakan yang pada umumnya
77
J.G.Starke, Pengantar Hukum Internasional 1, edisi kesepuluh, Sinar Grafika, Jakarta.2008. Hal.395. 78 Sefriani,S.H.,M.Hum, Op.cit.Hal.349. 79 Ibid.
75
bisa dikatakan sebagai tindakan ilegal adapun retorsi meliputi tindakan yang sifatnya balas dendam yang dapat dibenarkan dalam hukum. 80 Reprisal diartikan sebagai upaya paksa yang dilakukan oleh suatu negara terhadap negara lain, dengan maksud untuk menyelesaikan sengketa yang timbul karena negara yang dikenai reprisal telah melakukan tindakan yang ilegal atau tindakan yang tidak bisa dibenarkan. 81 Dengan demikian, reprisal sebenarnya merupakan tindakan permusuhan yang dilakukan oleh suatu negara terhadap negara lain sebagai upaya perlawanan untuk memaksa negara lain tersebut menghentikan tindakan ilegalnya. Wujud tindakan reprisal antara lain : a) Pemboikotan barang b) Embargo c) Demostrasi angkatan laut d) Pengeboman Pada tahun 1928, telah disepakati Perjanjian Paris atau perjanjian umum penghapusan perang yang menyerukan bahwa tindakan pembalasan menggunakan kekerasan adalah tidak sah berdasarkan hukum internasional. Negara-negara sepakat bahwa penyelesaian semua perselisihan, apa pun sifatnya atau apa pun asalnya tidak akan pernah tercapai kecuali dengan cara damai. 82 3. Blokade Damai Blokade damai adalah blokade yang dilakukan pada waktu damai untuk memaksa negara yang diblokade agar memenuhi permintaan ganti rugi yang 80
J.G.Starke, Pengantar Hukum Internasional 2, edisi kesepuluh, Sinar Grafika, Jakarta.2007. Hal.680. 81 Sefriani,S.H.,M.Hum, Op.cit.Hal.350. 82 Ibid.
76
diderita negara yang memblokade. Blokade damai sudah lebih dari reprisal namun masih di bawah perang. Beberapa penulis meragukan legalitas blokade damai, sebagai tindakan. Demikian halnya, tindakan unilateral blokade damai dipertanyakan keabsahannya ditinjau dari Piagam PBB. 83 4. Embargo Embargo merupakan prosedur lain untuk memperoleh ganti rugi dari negara lain. Embargo adalah larangan ekspor barang ke negara yang dikenai embargo. Selain itu embargo dapat diterapkan sebagai sanksi bagi negara yang banyak melakukan pelanggaran hukum internasional. Dibanding dengan reprisal atau blokade damai, embargo adalah kurang efektif, tetapi lebih sedikit resikonya untuk meningkat menjadi perang. 84 5. Perang. Perang bertujuan untuk menaklukkan negara lawan sehingga negara yang kalah tidak memiliki alternatif lain kecuali menerima syarat-syarat penyelesaian yang ditentukan oleh negara pemenang perang. Dengan berakhirnya perang maka berarti sengketa telah diselesaikan. 85 Pada awal perkembangan hukum internasional, penggunaan kekerasan (use of force) oleh negara diatur oleh Just War doctrine yang dikembangkan antara lain oleh St. Augustine dan Grotius. Doktrin ini menyatakan bahwa perang adalah ilegal kecuali jika dilakukan untuk suatu “just cause”. Kekerasan atau perang diizinkan sebagai suatu cara untuk menjamin hak suatu negara manakala 83
Ibid. Ibid. 85 J.G.Starke, Pengantar Hukum Internasional 2.Op.cit.Hal.679. 84
77
tidak ada cara lain yang efektif. Perang adil pada masa itu adalah suatu peperangan dengan menggunakan peralatan perang yang sederhana disertai dengan pernyataan perang oleh suatu pihak dan pihak lain yang akan diserang bersiap-siap untuk membela diri. 86 Piagam PBB tidak menggunakan istilah perang (war), tetapi menggunakan istilah penggunaan kekerasan (use of force). Perang adalah teknis dalam pandangan hukum internasional. Dalam praktik negara-negara sering mengingkari bahwa apa yang mereka lakukan adalah perang. Dengan demikian, istilah penggunaan kekerasan dalam piagam akan mencakup baik insiden kecil, short war, sampai ke operasi militer besar-besaran yang dilakukan para pihak bertikai. Dalam Piagam PBB, self defence merupakan perkecualian yang diakui sah bagi negara berdaulat menggunakan kekerasan terhadap negara lain. 87 Salah satu tujuan utama PBB sebagaimana tercantum dalam Piagam adalah untuk melenyapkan tindakan-tindakan agresi atau pelanggaran terhadap perdamaian yang lain. Dalam Pasal 2 ayat (4) ditetapkan bahwa semua anggota PBB harus menahan diri dari tindakan-tindakan mengancam atau menggunakan kekerasan terhadap integritas wilayah atau kemerdekaan politik suatu negara lain atau dengan cara apapun yang bertentangan dengan tujuan PBB. Perkecualian yang terdapat dalam Piagam PBB untuk menggunakan kekerasan sepihak pada Pasal 2 ayat (4) harus diinterpretasikan untuk all force, all purposes, kecuali jika ketentuan khusus Piagam menentukan lain. Perkecualian
86
Huala Adolf, Aspek-Aspek Negara Dalam Hukum Internasional, Rajawali Press, Jakarta.1991. Hal 35. 87 Sefriani,S.H.,M.Hum, Op.cit.Hal.357.
78
yang dimaksud hanyalah berdasar Pasal 51 tentang self defence right dan Pasal 107 tentang ex-enemy State. 88 Konsep self defence sebagai legal right tidak akan berarti bila tidak ada kewajiban menahan diri dari penggunaan kekerasan Pasal 2 ayat (4) harus dibaca bersama-sama dengan Pasal 51. Kesimpulan yang diperoleh adalah bahwa hak self defence yang diperoleh hanyalah yang berlandaskan Pasal 51, apabila serangan bersenjata terjadi dan tidak untuk tujuan yang lain. Dengan demikian, hak menggunakan kekerasan tidak untuk mengantisipasi suatu serangan atau ketika ancaman bukanlah kekerasan atau untuk melindungi apapun yang lain selain teritorial negara. 89 E. Mekanisme Penyelesaian Sengketa Internasional terhadap Konflik Laut Internasional berdasarkan UNCLOS 1982. Penyelesaian sengeketa dalam bidang hukum laut sebelum UNCLOS 1982 dilakukan dalam kerangka penyelesaian sengketa internasional pada umumnya. Dalam hal ini sengketa hukum laut diselesaikan melalui mekanisme-mekanisme dan institusi-institusi peradilan internasional yang telah ada, seperti Mahkamah Internasional. 90 UNCLOS 1982 telah menyediakan suatu sistem penyelesaian sengketa. Dilihat dari perkembangan sistem peradilan internasional, mekanisme UNCLOS 1982 ini merupakan yang pertama kali yang dapat mengarahkan negara-negara peserta untuk menerima prosedur yang memaksa (compulsory procedures).
88
Ibid. Ibid. 90 DR.Boer Mauna, Op.cit.Hal 418. 89
79
Dengan sistem UNCLOS 1982 maka tidak ada lagi ruang bagi negara-negara pihak UNCLOS 1982 untuk menunda-nunda sengketa hukum lautnya dengan bersembunyi di belakang konsep kedaulatan negara karena UNCLOS 1982 secara prinsip mengharuskan negara-negara pihak untuk menyelesaikan sengketanya melalui mekanisme UNCLOS 1982. Negara-negara pihak UNCLOS 1982 dapat membiarkan suatu sengketa tidak terselesaikan hanya jika pihak lainnya setuju untuk itu. Jika pihak lain tidak setuju, maka mekanisme prosedur memaksa UNCLOS 1982 akan diberlakukan. Menurut mekanisme UNCLOS 1982, negara-negara pihak diberi kebebasan yang luas untuk memilih prosedur yang diinginkan sepanjang itu disepakati bersama. Prosedur dimaksud termasuk prosedur yang disediakan oleh Pasal 33 paragraf 1 Piagam PBB, mekanisme regional atau bilateral, atau melalui perjanjian bilateral. Jika dengan prosedur tersebut tetap tidak dicapai kesepakatan, maka para pihak wajib menetapkan segera cara penyelesaian sengketa yang disepakati. Dalam hal ini UNCLOS 1982 mengenal 4 (empat) macam cara menyelesaikan sengketa, yaitu melalui: 91 1) Mahkamah Internasional Hukum Laut (International Tribunal for the Law of The Sea) yang dibentuk berdasarkan ketentuan UNCLOS 1982; 2) Mahkamah Internasional (International Court of Justice);
91
Chairul Anwar, S.H.,Hukum Internasional: Horizon Baru Hukum Laut Internasional Konvensi Hukum Laut 1982,Penerbit Djambatan, Jakarta.1989.Hal.123.
80
3) Arbitrase atau Prosedur Arbitrase Khusus (Arbitration or Special Arbitration Procedures) yang diatur dalam Annex VII dan Annex VIII dari UNCLOS 1982. 4) Konsiliasi (Conciliation) : Perselisihan-perselisihan tertentu dapat diselesaikan melalui Konsiliasi, yang diatur di dalam Annex V, yaitu melalui prosedur yang keputusannya tidak mengikat pihak-pihak yang berselisih. 1. Mahkamah Internasional Hukum Laut. a. Komposisi, penunjukan dan pemilihan. Statuta dari Mahkamah Internasional Hukum Laut terdapat di Annex VI dari UNCLOS 1982. Mahkamah berkedudukan di Hamburg, Jerman dan terdiri dari 21 anggota independen yang terpilih dari orang-orang yang memiliki reputasi atas prestasi dan integritasnya serta memiliki kemampuan dalam hukum laut. Termasuk sekurang-kurangnya tiga anggota dari kelompok utama geografi yang ditentukan oleh Majelis Umum PBB. Tidak diperkenankan dua orang anggota Mahkamah yang merupakan warga negara dari negara yang sama. Sekurang-kurangnya tiga bulan sebelum tanggal pemilihan, Sekretaris Jenderal PBB mengundang negara-negara anggota untuk mengajukan penunjukannya untuk anggota Mahkamah di dalam jangka waktu dua bulan. 92 b. Masa kerja
92
Ibid
81
Anggota-anggota dari Mahkamah dipilih untuk sembilan tahun dan dapat dipilih kembali. Anggota-anggota Mahkamah tidak diperkenankan melaksanakan fungsi-fungsi politik atau administratif, atau secara aktif sedang menjalankan usaha atau mempunyai kepentingan keuangan dalam suatu perusahaan tertentu tentang eksplorasi dan eksploitasi sumbersumber laut, dasar laut, atau penggunaan komersil dari dasar laut. Anggota-anggota Mahkamah tidak diperbolehkan bertindak sebagai agen, penasehat atau pengacara, dan di dalam melaksanakan tugas Mahkamah diberikan kekebalan diplomatik.
93
Mahkamah akan memilih Ketua
(President), Wakil Ketua (Vice President) untuk tiga tahun serta dapat dipilih kembali. Mahkamah akan menunjuk registrar beserta staff yang diperlukan. c. Kamar khusus Mahkamah dapat membentuk Kamar-Kamar Khusus yang terdiri dari tiga atau lebih dari anggota-anggotanya yang dipilih, apabila dipandang perlu untuk menangani perselisihan-perselisihan khusus, atas permintaan pihakpihak yang berkepentingan guna menangani perselisihan-perselisihan khusus dan keputusan dari Kamar-Kamar Khusus akan dipertimbangkan oleh Mahkamah. 94 d. Kompetensi.
93 94
Ibid Ibid.
82
Mengenai kompetensi Mahkamah 95 ditentukan bahwa Mahkamah terbuka untuk negara-negara anggota UNCLOS 1982 dan badan-badan lainnya yang bukan negara. Yurisdiksi Mahkamah meliputi semua perselisihan dan permohonan-permohonan yhang diajukan kepadanya menurut ketentuan-ketentuan UNCLOS 1982 serta semua hal yang ditetapkan dalam persetujuan memberikan yurisdiksi kepada Mahkamah. Dengan persetujuan pihak-pihak bersangkutan perselisihan tentang interpretasi atau penerapan dari perjanjian-perjanjian internasional lainnya tentang masalah-masalah hukum laut dapat diajukan kepada Mahkamah. Mengenai hukum yang akan diterapkan, Mahkamah akan memutuskan semua sengketa dan permohonan menurut Pasal 293 dari UNCLOS 1982, yaitu menerapkan ketentuan-ketentuan konvensi dan aturan hukum internasional lainnya yang sesuai dengan UNCLOS 1982. e. Prosedur . Mengenai prosedur 96 , perselisihan dapat diajukan dengan nota tentang persetujuan khusus (special agreement) atau dengan permohonan tertulis. Mahkamah dapat menetapkan upaya-upaya sementara untuk menjaga hakhak dari pihak-pihak atau mencegah kerusakan serius terhadap lingkungan maritim. Hearing atas kasus terbuka untuk umum, kecuali Mahkamah memutuskan lain atau pihak-pihak meminta tidak terbuka untuk umum. Tidak hadirnya pihak-pihak yang berselisih atau kegagalannya untuk
95 96
Ibid Ibid
83
mempertahankan kasusnya, tidak menjadi halangan bagi pemeriksaan tersebut. f. Keputusan berdasarkan suara terbanyak. Keputusan Mahkamah 97diambil berdasarkan suara terbanyak dari anggotaanggota Mahkamah yang hadir, dengan ketentuan bahwa Ketua Mahkamah dapat memberikan suara penentu dalam hal terdapat suara sama banyak. Keputusan menyebutkan alasan-alasan yang menjadi dasar keputusan tersebut dan setiap anggota berhak memebrikan pendapat tersendiri. Mahkamah dapat memutus atas permohonan dari negara peserta UNCLOS 1982 lainnya, untuk diizinkan sebagai pihak tambahan dalam kasus tersebut, di mana negara tersebut mempunyai kepentingan hukum. Dalam hal ini keputusan Mahkamah akan mengikat negara tersebut mengenai masalah dimana negar tersebut turut sebagai pihak yang bersangkutan. Setiap negara peserta UNCLOS 1982 atau perjanjian internasional
mempunyai
hak
untuk
turut
sebagai
pihak
yang
berkepentingan, dalam hal Mahkamah mengadakan suatu interpretasi atau penerapan dari UNCLOS 1982 atau suatu perjanjian dan dalam hal tersebut, interpretasi dari Mahkamah akan mengikat terhadap negara tersebut. Keputusan Mahkamah merupakan keputusan yang final dan semua pihak yang berselisih seyogianya mentaatinya. Keputusan hanya mengikat pihak-pihak yang terlibat dalam perselisihan tersebut. 2. Mahkamah Internasional
97
Ibid
84
Pengajuan sengketa laut internasional ke Mahkamah Internasional tidak ada diatur secara khusus di dalam UNCLOS 1982. Untuk pengajuan sengketa laut ke Mahkamah Internasional di dalam UNCLOS 1982 hanya disebutkan dalam Pasal 287 ayat (1). Dasar hukum pengajuan sengketa laut ke Mahkamah Internasional yaitu Pasal 36 ayat (2) Statuta Mahkamah Internasional mengenai jenis sengeketa hukum yang dapat diajukan ke Mahkamah Internasional. Mengenai pihak yang dapat mengajukan perkara ke Mahkamah Internasional, hanya terbatas kepada negara. 98 3. Arbitrase. Arbitrase diatur oleh Annex VII dan VII dari UNCLOS 1982. Arbitrase menurut Annex VII dimulai dengan pengiriman nota tertulis oleh satu pihak kepada pihak lainnya dengan menyebutkan klaim serta dasar-dasar hukum dari klaim tersebut. 99 Setiap
negara
mengajukan
empat
arbiter,
dengan
kualifikasi
berpengalaman di dalam masalah kelautan, kompeten dan memiliki integritas. Arbitrase untuk setiap kasus mempunyai lima orang anggota, masing-masing pihak bersengketa memilih satu orang anggota dan ketiga anggota lainnya adalah warga negara dari negara ketiga (kecuali ditentukan lain oleh pihak-pihak yang bersangkutan) dipilih dengan persetujuan pihak-pihak. Pihak-pihak bersengketa akan menunjuk Ketua Arbitrase dari ketiga orang tersebut. Dalam hal tidak tercapai permufakatan, Ketua atau Anggota Senior Mahkamah Hukum Laut akan melakukan penunjukan. Kecuali kalau pihak-pihak bersengketa menyetujui hal 98 99
A.W.Koers, Op.cit. Hal.71. Ibid.
85
lainnya, arbitrase akan menetapkan prosedurnya sendiri dan memberikan jaminan bahwa masing-masing pihak diberi kesempatan penuh untuk di dengar dan mengemukakan kasusnya. 100 Pihak-pihak diharuskan untuk memberikan bahan-bahan bagi pekerjaan arbitrase dengan jalan menyediakan dokumen-dokumen, fasilitas dan informasiinformasi serta dengan memungkinkan untuk memanggil saksi-saksi dan tenaga ahli serta kunjungan ke tempat kasus terjadi. Pengeluaran-pengeluaran dari arbitrase dipikul sama rata oleh pihak-pihak bersengketa, kecuali kalau arbitrase menentukan lainnya. Keputusan akan diambil berdasarkan suara terbanyak, dengan Ketua Arbitrase memberikan suara yang menetukan, apabila terdapat hasil pungutan suara yang sama banyak. Jikala salah satu pihak yang bersengketa tidak muncul di depan sidang arbitrase, atau gagal mempertahankan kasusnya, pihak lainnya dapat meminta proses pemeriksaan kasus untuk diteruskan dengan pemberian suatu keputusan oleh arbitrase. Sebelum memberikan keputusan, arbitrase harus meyakini dirinya atas yurisdiksinya untuk kasus tersebut dan juga bahwa klaim tersebut mempunyai dasar di dalam fakta dan menurut hukum. Keputusan arbitrase akan dibatasi kepada subjek dari kasus dan menyebutkan alasan-alasan yang menjadi dasar keputusan. Keputusan bersifat final tanpa dapat dimintakan banding kecuali kalau pihak-pihak bersangkutan sebelumnya menyetujui suatu prosedur banding. 4. Arbitrase khusus.
100
Chairul Anwar, S.H.,Op.cit.Hal.127.
86
Arbitrase khusus 101 , prosedurnya ditentukan di dalam Annex VIII serta diperuntukkan bagi perselisihan tentang (1) perikanan; (2) perlindungan dan pemeliharaan lingkungan kelautan; (3) riset ilmiah kelautan; (4) navigasi termasuk polusi dari kapal dan dar dumping. Caranya ialah dengan mengirimkan nota tertulis kepada pihak lain. Nota harus dilampiri dengan statement dari hal apa yang dituntut dan dasar-dasar mengajukan klaim tersebut. Suatu daftar tenaga ahli untuk keempat bidang tersebut di atas akan dibentuk berdasarkan penunjukan tenaga ahli oleh masing-masing negara anggota UNCLOS 1982 yang dapat menunjuk dua orang untuk masing-masing bidang tersebut diatas yang mempunyai kemampuan di bidang hukum, ilmiah atau teknis dari bidang-bidang tersebut dan yang secara umum dikenal mempunyai reputasi tinggi dalam prestasi dan integritasnya. Arbitrase khusus terdiri dari lima orang anggota, masing-masing pihak memilih dua orang, seyogianya dari daftar-daftar ahli yang tersedia, sedangkan anggota yang kelima diambil dari warga negara ketiga yang akan menjadi Ketua Arbitrase Khusus dan dipilih oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Apabila hal ini gagal, penunjukan dilakukan oleh Sekretaris Jenderal PBB. Pihak-pihak yang berselisih dapat meminta kepada Arbitrase Khusus untuk melakukan fact finding yaitu untuk melakukan penyelidikan dan menunjukan fakta-fakta yang menimbulkan perselisihan tersebut. Findings dari arbitrase khusus dapat dipandang mengakhiri perselisihan, kecuali kalau pihakpihak bersangkutan berpendapat lain.
101
Ibid.
87
Apabila dikehendaki oleh pihak-pihak berselisih, arbitrase khusus dapat menyusun suatu rekomendasi, yang tidak memiliki kekuatan yang mengikat, akan tetapi dapat menjadi dasar dari peninjauan kembali oleh pihak-pihak yang bersangkutan tentang masalah yang menimbulkan perselisihan. 5. Konsiliasi Cara penyelesaian perselisihan menurut prosedur ini dimulai dengan pemberitahuan dari salah satu pihak yang berselisih kepada pihak lainnya. Sekretaris Jenderal PBB akan memegang nama-nama dari konsiliator yang ditunjuk oleh negara-negara peserta UNCLOS 1982 di mana setiap negara dapat menunjuk empat konsiliator dengan persyaratan bahwa orang-orang tersebut mempunyai reputasi tinggi, kompeten dan memiliki integritas. 102 Komisi Konsiliasi (the Conciliation Commission) terdiri dari lima anggota, dua dipilih oleh masing-masing pihak, sebaliknya dari nama-nama yang ada dalam daftar, dan yang kelima dipilih dari daftar oleh keempat anggota dan akan menjadi Ketua Komisi (Chairman). Dalam hal penunjukan ini tidak dapat terlaksana, Sekretaris Jenderal PBB akan menunjuknya dari daftar, setelah mengadakan konsultasi dengan pihak-pihak yang bersangkutan. Keputusan-keputusan tentang masalah proseduril, laporan-laporan dan rekomendasi dari Komisi, dilaksanakan dengan pemungutan suara terbanyak. Komisi dapat meminta perhatian dari pihak-pihak yang berselisih terhadap upayaupaya yang memberikan jalan bagi suatu penyelesaian damai. Komisi akan mendengar pihak-pihak yang berselisih, memeriksa klaim mereka, serta
102
Ibid.
88
keberatan-keberatan yang diajukan dan menyiapkan usul-usul penyelesaian sengketa secara damai. 103 Komisi akan memberikan hasil telaahan (report) di dalam waktu 12 bulan sejak Komisi dibentuk. Hasil telaahan tersebut akan disimpan di kantor Sekretaris Jenderal PBB dan akan segera diteruskan kepada pihak-pihak yang berselisih. Penyelesaian perselisihan dengan memakai prosedur konsiliasi akan berakhir apabila penyelesaian telah tercapai. Uang jasa dan pengeluaran Komisi dibebankan kepada pihak-pihak yang berselisih. 104
103 104
Ibid. Ibid.