531
Hukum Ekonomi Transnasional
HUKUM EKONOMI TRANSNASIONAL TRANSAKSI PINJAMAN LUAR NEGERI Oleh : D. SIDIK SURAPUTRA
DAN
Bagi suaIU negara, baik iIu pemerimah alilupun swaslil dalam melaksanakan hubungan ekonoml dengan negara lain tidak luput dari suatu tmnsaksi pinjaman luar negeri dalam upaya mendapatkan modal untuk mengembangkan usahanya. Apabila hal tersebut tidak diatur akan berdampak "buruk" bagi neraea keuangan negara. Adanya Keputusan Presiden No. 39 Tahun 1972 untang Penerimaan Kredit Luar Negeri sena Kepres No.91 Tabun 1991 dan peraturan pelaksanaan lainnya menunjukan keurlibaliln pemerintoh untuk mengawasi kondisi keuangan negara. Menurut pandangan penulis berbagai perrurgkaI huIcum negara yang berdampak limos batas tenebut disebut Hukum Ekonomi
TraRSnasionaJ.
Pendahuluan Tulisan ini adalah mengenai keterlibatan Pemerintah Indonesia melalui perangkat Hukum Administrasi Negara terhadap transaksi keuangan komersial luar negeri. Badan Pembinaan HUkum Nasional, Departemen Kehakiman dalam kurun waktu 1989 dan 1990 mengadakan penelitian mengenai dampak perjanjian pinjaman luar negeri terhadap Hukum Administrasi Negara Peraturan-peraturan HUkum Administrasi Negara yang ikut mengatur pinjaman luar negeri disebut dengan HUkum Ekonomi Pembangunan. ' Penulis mengusulkan agar perangkat HUkum Administrasi negan~ yang berdampak lintas batas disebut dengan Hukum
uporan hasil tajian Bidang Ekonomi Pembangunan, oleh 11M Pengkajian Hukum Ekonomi Pembangunan tabuo 1989/1990, Departemen Kehakiman DadaD Pembinaan Hukum Nasional.
Desember 1992
532
Hukum dan Pembangunan
Ekonomi Transnasional. Transaksi Pinjaman Luar negeri pada umumnya melibatkan mata uang asing dan sekarang tidak lagi terdapat badan yang mengawasi lalu Iintas devisa asing. Sehingga setiap orang bebas membawa mata uang asing masuk atau keluar wilayah Indonesia. Meskipun demikian Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan seperangkat Hukum Administrasi Negara untuk campur tangan dalam pinjaman keuangan komersiel luar negeri dimulai dengan Surat Keputusan Presiden No. 59/1972 tanggal 12 Oktober 1972 mengenai Penerimaan Kredit Luar Negeri, Surat Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia No. Kep-261/KMK/5/1973 tanggal 2 Mei 1973 dan Surat Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 417/KMK/.013/1989 tanggal1 Mei 1989 mengenai perubahan pasal 2 dari Surat Keputusan Menteri Keuangan No. 261/1973. Tahun yang lalu Pemerintah mengeluarkan lagi keputusan Presiden No. 39/1991 tentang Koordinasi Pengelolaan Pinjaman Komersiel Luar Negeri. Keputusan Presiden No. 39 membentuk koordinasi Pengelolaan Pinjaman komersial luar negeri, yang selanjutnya dalam keputusan Presiden ini disebut dengan Tim Pil\iaman Komersial Luar Negeri (Tim PKLN). Keputusan Presiden No. 39 beserta peraturan pelaksanaannya seperti peraturan peraturan yang terdahulu juga mengatur keterlibatan Pemerintah dalam pinjaman luar negeri. Konsep Hukum Ekonomi Dalam bab Pendahuluan penulis telah mengambil sikap bahwa Hukum Ekonomi adalah merupakan bagian dari Hukum Administrasi Negara. Maka Hukum Ekonomi dalam Sistim Hukum Indonesia adalah bagian dari Hukum Publik, bukan Hukum Perdata. Hukum Administrasi Negara yang turut mengatur masalah Ekonomi Nasional kita sebut saja sebagai Hukum Ekonomi sedangkan yang mengatur masalah Ekonomi yang berdampak Internasional disebut sebagai Hukum Ekonomi Transnasional. Terdapat perbedaan mendasar dengan Hukum Ekonomi Internasional Publik yang perangkat Hukumnya adalah Hukum Internasional Publik, yang terdiri dari Hukum Perjanjian dan Hukum Kebiasaan Internasional. Sedangkan Hukum Ekonomi Transnasional perangkat Hukumnya adalah Hukum Nasional yang berdampak Iintas batas.2 Suatu sikap yang menyatakan bahwa Hukum Ekonomi adalah
D. Sidik Suraputra, Pengajaran Hukum Internasional dan Pembangunan Nasional, dalam Hukum dan Pembangunan No.1 tahuo XXII, Februari 1992, bal. 9-13.
Nomor 6 Tahun XXII
Hukum Ekonomi TransnasionaI
533
merupakan bagian dari Hukum Administrasi Negara, dengan sendirinya memerlukan penjelasan lebih lanjut. Pada waktu ini di negara Belanda dan negara Eropa Barat lainnya terdapat tiga pandangan mengenai pengertian Hukum Ekonomi: 1.
So called "narrow view· in which economic law is seen as an independent branch of law of comprising the rules governing the existing relationship between the state and the economic factor of production, distribution and consumption. The point of view is therefore, only concerned with status which are enacted or applied in order to influence the overall economic results and the market. The decision making process on the level of business management is not taken into co~sideration.
2.
A second view considers economic law as the law of economic planning and development, irrespective of whether it is engendered by the state or private institutions or by both together. Seen in this light economic law, therefore includes rules pertaining to the field of private law, commercial law, tax law, penal law, etc. and in this view also management economics are relevant to economic law.
3.
A third school of thought holds that economic law is not a new and independent branch of law, but a legal method of approach to economic activities. In this view economic law comprises legal rules of various sources but which are applicable to the economic activity of the state, of the enterprise and of private individuals.'
Meskipun terdapat selisih pendapat mengenai pengertian Hukum Ekonomi di negeri Belanda pada umumnya, para pakar memilih ''pandangan sempit. ". llukum Ekonomi yang dibuat dan diundangkan oleh negara adalah untuk mempengaruhi hasil dari keadaan ekonomi. Dalam pandangan pertama tidak dijelaskan perangkat Hukum Negara yang bagaimana merupakan Hukum Ekonomi. Agar dapat mengatur keadaan ekonomi yang bisa berubah dengan cepat, maka Pemerintah perlu kebebasan untuk mengatur situasi ekonomi tanpa keterlibatan dari Parlemem, maka perangkat Hukum yang paling tepat adalah perangkat
,
Economic Law, Elise C.AM. Boot and E.P. de long, dimuat dalam hukum Introduction to Dutch Law For Foreign Lawyers, Edited by D.C. Fokkema, I.M.J. Chorus, E.H. Hondius
and E.ch. Lissen; KJuwer-Devenler, the Netherlands, hal. 491-492.
•
Ibid. hal. 492.
Desember 1992
534
Hulaun dan Pembangunan
Hukum Administrasi Negara. Oleh karena itu maka penulis berkesimpulan bahwa Hukum Ekonomi adalah merupakan bagian dari Hukum Administrasi Negara. Menurut pengamatan penulis di Indonesia juga terdapat selisih pandangan mengenai konsep Hukum Ekonomi antara pandangan pertama5 dan pandangan kedua.· Agar lebih terarah penulis menganjurkan dipilih ''pandangan sempit" daripada pandangan kedua yang ruang Iingkupnya terlalu luas. Kebijaksanaan Pemerintah Mengenai Pinjaman Luar Negerl Keputusan Presiden No. 59 (Kepres 59) pada dasarnya mengatur pengawasan pertanggung jawaban hutang perusahaan perusahaan milik negara yang pada akhimya akan mempengaruhi kekayaan negara. Kepres 59 melarang Departemen, Lembaga Pemerintah non Departemen dan Pemerintah Daerah menerima tawaran kredit luar negeri, kredit luar negeri yang dipergunakan oleh departemen, Lembaga Pemerintah non Departemen dan Pemerintah Daerah adalah kredit luar negeTi yang diterima oleh Republik Indonesia. Dikeluarkan dari definisi tersebut perusahaan negara dan perusahaan daerah yang modalnya dimiliki negara dari larangan menerima kredit I\lar negeri. Selanjutnya dalam pasall(b) Kepres 59 dijelaskan mengenai makna dati perusahaan negara : 1.
Badan usaba negara ialah, usaha usaha negara baik yang dimaksud dengan Undang Undang No. 9/1969 maupun yang pembenlukkannya diJakulam dengan Undang Undang.
Setiawan, SH. "'Masolah Hukum dan Hukum Acara Perdata"', Bandung: Alumni. 1992, hal. 205. Dr. C.P.G. Sunaryati Hartono, S.H., Hukum Ekonomi Pembangunan lndoncsia. Penerbit Bina Cipta. Bandung. 1988, him 60 : -Kalau metode penelitian dan penyajian mala kuliah
Hukum Dagang (lama) bersifat perdata mumi, mao Hukum E1c.onomi Indonesia telah rnemerlukan merode penelitian dan penyajian yang inter disipliner dan transnasionaJ.
Interdisipliner karena : a.
b.
Hukum Ekonomi Indonesia tidal: hanya bersifat Hukum Perdata, tctapi jusa berkaitan crat dengan Hukum Administrasi Negara. Hukum antar wewenang Hukum Pidana baM~an jU&a tidak dapat mensabaikan Hukum Publik InlernasionaJ dan Hukum Perdata. Hukum Internasional Ekonomi Indonesia memerlukan landasan pemikiran dan bidang-bidang non Hukum, seperti Olsafat bidang ekonomi, bidang lO6iologi, bidang administrasi pembangunan, ilmu wilayah, ilmu lingkungan dan bahkan juga dari ruturok>gi.
Nomor 6 Tahun XXII
Hukum Ekonomi Transnasional
535
2.
Bank-bank milik Negara ialah Bank Indonesia sebagaimana yang dibentuk dengan Undang Undang No. /3 tahun 1968, bank umum dan bank pembangunan milik pemerintah yang diatur dalam pasal5 ayat 1 dan pasa/ 14 Undang Undang No. 14/1967.
3.
Badan Usaba Daerab ialah perusahaan perusahaan daerah sebagaimana dimaksud dalam UndanJrUndang No. 5/1962 juncto Undang Undang No. 6/1969 sedangkon bank pembangunan daerah sebagaimana dimaksud dalam Undang Undang No. 13/1962.
Pinjaman luar negeri yang diberikan pada perusahaan- perusahaan negara, dan dalarn prakteknya juga berlaku pada setiap perusahaan yang sebagian dirniliki oleh negara atau oleh perusahaan negara dan pinjarnan yang diberikan pada perusahaan Penanarnan Modal Asing dirnana pinjaman yang diterirna rnerupakan bagian dari investasi (intended investment) yang telah disetujui oleh BKPM (Badan Koordinasi Penanarnan Modal) rnernerlukan persetujuan terlebih dahulu dari Menteri keuangan. Kredit luar negeri ini juga harus dilaporkan pada badan badan Pernerintah yang berkepentingan. Perusahaan swasta yang rnenerirna kredit luar negeri tidak diwajibkan untuk rnernperoleh persetujuan terlebih dahulu dari Menteri Keuangan. Meskipun dernikian perusahaan swasta yang rnenerima kredit luar negeri diwajibkan untuk rnernberi laporan pada Bank Indonesia. Pengertian kredit luar negeri dirurnuskan secara urn urn dalarn pasaI1(1) SK Menteri No. 261 : (1)
Yang dimaksudkan dengan kredit Iuar neged ialah : (a)
Semua pinjaman yang menimbulkan kewajiban membayar kembali terhadap luar negeri baik dalam valuta asing maupun dalam Rupiah;
(b)
Semua pinjaman dalam negeri yang dapat menimbulkan kewajiban membayar kembali terhadap luar negeri baik dalam Valuta Asing maupun daJam Rupiah; baik berdasarkan perjanjian kredit, maupun berdasarkan pengeluaran .obligasi, promes, aksep, garansi serta bentuk pinjaman dan kewajiban pembayaran lainnya yang lazim digunakan, termasuk antara "charter-purchase", "lease pun:hase", "deftered payment, pun:hase agreement" dan sebagainya.
Desember 1992
536
Hukum dan Pembangunan
Seperti dapat dibaca diatas definisi dari kredit luar negeri melampaui batas pengertian pinjaman yang juga memasukkan bentuk pembiayaan lain dan kewajiban pembayaran kembali seperti defferred payment dan purchased agreements. Pembatasan pengertian yang penting dari definisi kredit luar negeri- dimuat dalam- pasal 1(2) S.K. Menteri No. 261 yaitu kredit luar negeri yang mempunyai jangka waktu lebih dari l(satu) tahun terhitung dari tanggal penandatanganan kredit dan kredit Iuar negeri yang mempunyai jangka waktu 1 (satu) tahun atau kurang akan tetapi yang bersifat revolving sehingga pada hakekatnya akan melebihi l(satu) tahun. Prosedur Laporan Pasal 4(2) dan Pasal 5(2) dari Kepres 59 mewajibkan petllsahaan swasta maupun perusahaan negara melaporkan kredit luar negeri pada Departemen Keuangan dan Bank Indonesia pada waktu pelaksanaan, penerimaan dan pembayaran kembali dari uang pinjaman pokok beserta bunganya menu rut perjanjian pinjaman luar negeri sesuai dengan prosedur yang ditentukan oleh Menteri Keuangan. Ketentuan prosedur untuk laporan tersebut dimuat dalam Surat Keputusan Menteri No. 261 dan S.K. Menteri 261 secara tegas menyatakan bahwa perusahaan yang menerima kredit luar negeri adalah pihak yang diwajibkan memberi laporan. Tidak terdapat ketentuan dalam surat Keputusan Menteri yang mewajibkan pemberi pinjaman Asing (foreign lender) memasukkan laporan pada Instansi Pemerintah yang ditunjuk. Surat Keputusan Menteri 261 mewajibkan memberikan laporan mengenai kredit luar negeri pada tanggal efektif dari berlakunya perjanjian pinjaman, selanjutnya memberi laporan setiap kwartal. Meskipun pasal 3(1) dari S.K. Menteri 261 menunjuk pada tanggal efektif berlakunya perjanjian pinjaman, pada umumnya perjanjian dilaporkan segera setelah ditanda tangani kedua belah pihak. Kelalaian Memberi Laporan Tidak terdapat ketentuan yang jelas mengenai sanksi yang diterapkan apabila lalai memberi laporan kredit Iuar negeri pada Bank Indonesia dan Departemen Keuangan. PasaJ 4(2) dari Surat Keputusan i\(enteri 261 menyatakan bahwa kelalaian kewajiban melapor dalampasal 3 ..... "diberi sanksi sesuai dengan ketentuan yang berlaku". Kalimat tersebut yang sering dipergunakan dalam ketentlian administratif Nomor 6 Tahun XXII
537
Hukum Elwnomi Transnasional
Indonesia tidak memberi kejelasan mengenai sanksi yang dikenakan. Pasal 4 dari Surat Keputusan Menteri 261 memberi batasan mengenai kewajiban melapor menurut Surat Keputusan Menteri 261, sebagai laporan sehubungan dengan pasal 48 dari Undang Undang No. 13/1968 mengenai Bank Sentra\. PasaI 50 dari Undang-Undang No. 13/1968 memberikan sanksi sebesar Rp. 50.000,- (lima puluh ribu rupiah) bag; kelalaian melapor sebagaimana ditentukan menurut Pasal 48. Selanjutnya akan dibahas mengenai sikap Peradilan Negeri dan Mahkamah Agung mengenai kelalaian melapor perjanjian kredit luar negeri pada Departemen Keuangan dan Bank Indonesia. Mahkamah Agung dalam perkara antara Chartered Bank Singapore vs. Lim Poh Hock, Eddy Rachman dan Ngo Pit Cheong para penjamin dari debitor C.V. Sinar Surya menyetujui putusan Pengadilah Negeri dan Pengadilan tinggi bahwa kewajiban melapor kepada Instansi Pemerintah yang berwenang sebagaimana diatur dalam Kepres 59 dan S.K. Menteri 261 adalah masalah "ketertiban umum" dan laporan ke Bank Indonesia adalah penting bagi Indonesia untuk melindungi cadangan val uta asing dan mempertahankan kedudukan keuangan Indonesia di dunia internasiona\. Sehingga perjanjian hutang piutang dan perjanjian pemberian jami'nan dinyatakan bata\. 7 Dalam perkara berikutnya antara PT. Indokaya Motors vs. Marubeni Corporation, Mahkamah Agung menyatakan bahwa sanksi yang diberikan karena pelanggaran terhadap Kepres 59 dan SK Menteri 261 hanyalah bersifat administratif, sedangkan terhadap perjanjian hutang piutang sendiri tidak ada akibat Hukum! Selanjutnya dalam perkara P.T. Starlight Thermoplas vs Bank of Amerika, San Francisco, Mahkamah Agung menyatakan bahwa kelalaian melapor sebagaimana disyaratkan oleh Kepres 59 dan S.K. Menteri 261, hanya dikenakan sanksi administratif dan tidak mengakibatkan perjanjian
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Perdata No. 325/1982/0., Pengadilan lingai 1akarta No. 236/1983. P.T. Perdata. Putusan Mahkamah Agung No. 295SklPdl/1983; komenlar mengenai putusan-putusan tersebut dapatdibaca karangan CH. Himawan, Antall Patah l..eSURg Hilang dalam majalah Hukum dan Pembangunan No. S tahun XV Oktober
1985. Putusan Pengadilan Negeri No. 560/1982/Pdt/E. Putusan Pengadilan 'TInggi No.
18/1984/P.T. Perdata. Putusan Mahkamah Agung No.2826k/Pdl/1984.
Desember 1992
538
Hu/aun dan Pembangunan
huta~g piutang batal.9 Kedua putusan Mahkarnah Agung yang terakhir ini adalah koreksi terhadap putusan yang terdahulu yang rnasih terpengaruhi suasana pengawasan terhadap lalu lintas devisa Asing di Indonesia. Masalah apa yang rnenyebabkan pihak-pihak yang berkepentingan lalai rnelapor, seorang pengarnat asing rnengutarakan pendapatnya sebagai berikut : "Problems cause partly by. the text of relevant decrees, which in places is inconsistent and leaves room for varying interpretations; the essential cause, however is that many Indonesia private sector borrowers have consistently shown reluctance, in practice, to comply with statutory approval and reporting requirements. Indonesia borrowers have a variety of motives for this reluctance, including : traditional aversion to public disclOiYure in general; fear that compliance may significantly delay availability of loan funds; and concern that compliance will draw attention to their (sometimes woTTisome) debt· to equity ratios. Non compliance has been and to certain extent currently still is being condoned by offshore lenders. In any event, the result is that in many offshore credit facilities granted to Indonesia borrowers, approval and reporting requirement have not been met. This failures exposes the lenders concerned to the serious risk that in the event of default recovery will be impeded or even fully frustrafed because of non . compliance" .10
Mahkarnah Agung rnengaku bahwa Yurisprudensi rnengenai kewajiban lapor perjanjian pinjarnan lepas pantai pada instansi Pernerintah yang berwenang tidak konsisten." Dikernudian hari kalau ada perkara yang sarna rnaka dapat diharapkan bahwa Pengadilan Negeri akan rnengikuti pendirian Mahkarnah Agung dalarn kedua kasus yang terakhir. Karena Pengadilan di Indonesia tidak rnenganut sistirn staredecisis, koreksi terhadap putusan yang terdahulu adalah lebih rnudah
9
Putusan Pengadilan Negeri No. 585/1983/G. Putusan Pengad ilan 449/pdt/1984/PT.DKI, Putusan Mahkamah Agung No. 1313k/Pdt/1985.
10
Victor P.G. de Seriere. Offshore Lending to Borrowers in Indonesia; Recent Supreme Court Judgements High Ught Enforceability Problems. The In/emotional Lawym. Vol.2! No.3 Summer 1987, hlm.BB4.
11
Kiat barD mengelakan utang, MajaJah TEMPO, 2 September 1989, hlm.IS. Juga lihat karangan Koenarti Santoso, Wajib Lapor dan Persetujuan Bank Indonesia untuk perjanjian terntentu danbeberapakeputusan pengadilan yang berhubungan Media Notariat No. 12·13 Oktoher 1989.
Nomor 6 Tahun XXII
Unggi
No.
Hukum Ekonomi Transnasional
539
dilakukan. Bank Negara dan Kredit Luar Negeri Surat keputusan Menteri Keuangan No. 417/1989 telah merubah pasal 2(4) dan diganti dengan ayat 4 baru dari S.l<. Menteri 261 sebagai berikut : 1. 2.
Bank Vmum milik negara, bank pembangunan milik negara dan pembangunan daerah yang telah memperoleh penunjukkan sebagai bank devisa, diijinkan untuk menerima kredit luar negeri. Menambah ayat baru menjadi ayat 5 yang berbunyi : "Dalam menerima dan memanfaatkan kredit luar negeri bank-bank sebagaimana dimaksud dalam ayat 4 wajib menaati ketentuan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia".
Perubahan 1m tidak memberi kejelasan, karena masih dipertanyakan apakah Bank Negara yang meminjam uang di luar negeri masih memerlukan persetujuan Menteri Keuangan. Menurut S.l<. Menteri Keuangan 261 bagi Bank Negara ada prosedur khusus untuk memperoleh persetujuan dari Menteri Keuangan. Bank Negara mengajukan surat perrnohonan beserta larnpiran-lampiran yang diharuskan pada Bank Indonesia, dan apabila disetujui Bank Indonesia meneruskan surat perrnohonan ini beserta rekomendasi dari Bank Indonesia, dan kemudian Oleh S.l<. Menteri Menteri Keuangan memberi persetujuannya. Keuangan 417 ketentuan tersebut di atas dihapuskan dan diganti dengan persetujuan penuh pada Bank Negara untuk langsung menerima kredit luar negeri. Bagian kalimat dari ayat 5 S.K. Menteri Keuangan 417 : "menaati ketentuan-ketentuan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia", adalah kewajiban melapor pinjaman kredit lUJlr negeri pada Bank Indonesia. Kesimpulan bahwa Bank Negara dapat langsung membuat transaksi kredit luar negeri selain dari analisa dan penafsiran dari perangkat Hukum, juga harus diperhatikan. Kebijaksanaan Pemerintah mengenai perbankan. S.K. Menteri Keuangan 417 merupakan pe/Wujudan Hukum dari kebijaksanaan deregulasi dibidang moneter, sebagaimana dimuat dalam Paket deregulasi tahun 1988 bidang keuangan dan perbankan tanggal 27 Oktober 1988 (Pakto 27) dan ketentuan lanjutan Pakto 27/1988 tanggal 25 Maret 1989. mengenai penghapusan pagu (kuota) pinjaman luar negeri perbankan maupun LKBB (Lembaga Desember 1992
540
Hukum dan Pembangunan
Keuangan Bukan Bank).u Karena kuota pinjaman luar negeri ini dihapuskan, maka Bank-Bank Negara dapat langsung menerima pinjaman IUar negeri tanpa terlebih dahulu memerlukan izin dari Departemen Keuangan.
Beban Kredit Luar Negeri Sebelum Tim PKLN dibentuk, telah disinyalir adanya beban besar Negara, menanggung pinjaman luar negeri. Kalau sektor swasta banyak menggunakan dana luar negeri dan apabila tidak dikendalikan dari permulaan dengan baik dapat menimbulkan krisis utang seperti terjadi di negara-negara Arnerika Latin. Bank Indonesia mendapat kesan bahwa banyak bank-bank nasional yang terlibat eli pasar uang Internasional dalam rangka mencari pinjaman luar. Menurut laporan International Monetary Fund (IMF), keseluruhan hutang-hutang Indonesia mencapai US$ 65,71 miliar hingga akhir tahun anggaran 1990/1991. Sedangkan anggaran tahun sebelumnya sebesar US$ 57.75 miliar. Laporan itu memasukkan Indonesia dalam kelompok lima negara debitor terbesar di dunia ketiga. Bank Dunia memperhitungkan jumlah hutang Indonesia sekarang sekitar US$ 52.3 miliar dengan perincian US$ 48 miliar utang Pemerintah dan US$ 4.3 miliar utang swasta. Suku bunga yang direkomendasikan pihak Internasional untuk pengusaha Indonesia sudah mencapai lebih dari satu persen diatas UBOR (London Interbank offered Rate), sebelumnya paling tinggi 0.5% di atas UBOR. Meskipun demikian para pengusaha swasta berpendapat bahwa setinggi-tingginya bunga diluar negeri misalnya 2% diatas SIBOR (Singapore Inter Bank Offered Rate), masih lebih murah dibandingkan suku bunga rupiah eli dalam negeri yang mencapai 30%. Mungkin karena adanya kemauan besar ini yang membuat pemberi pinjaman (lenders), mulai menentukan secara sepihak syarat pinjaman. Selain dari suku bunga yang tinggi dan pengembalian pinjaman dan bunga yang singkat yang mengkhawatirkan adalah penggunaan dana pinjaman itu sendiri. Diperoleh kesan bahwa banyak dana lepas pantai dipergunakan untuk membiayai rupiah. Hanya
12
Sural Edaran Ban~ Indonesia No. 21/25ND. 25 Marel1959 Hal: Psooisi Devisa Nelo Bank Devisa dan Lcmbaga Keuangan Bukan Bank. Anwar Nasution. linjauan Ekonomi alas Dampak Paket Deregulasi Tabuo 1988 pada sostem Keuangan Indonesia, Penerbit Gramedia Pustaka Utama Jakarta, 1991, hlm.7; Harian Bisnis Indonesia 6 loli 1991. lucus DI Cari "Offshore Loan".
Nomor 6 Tahun XXII
Hukum Ekonomi Transnasional
541
30% dari pinjarnan lepas pantai yang benar-benar dipergunakan untuk membiayai imporY Pinjaman uang lepas pantai yang membesar dapat mempersulit posisi neraea pembayaran. Maka dapat dimengerti kalau penguasa moneter, menganggap perlu dan sudah waktunya mengendalikan kenaikan pinjaman lepas pantai. Dibentuknya suatu lembaga pengendalian hutang (debt management), merupakan tindakan preventip penguasa moneter, agar kerawanan posisi neraca pembayaran dapat mereda. Semakin besar pinjaman !epas pantai pada tingkat suku bunga yang lebih tinggi terhadap UBOR menunjukkan country risk yang rawan. Kalau tidak dikendalikan, tindakan devaluasi akan mempersulit posisi Indonesia di mata lembaga keuangan InternasionaI. 14 Tim Pinjaman Komersial Luar Negeri Pada tanggal 4 September 1991 Pemerintah membentuk Tim Koordinasi Pengelolaan Pinjaman Komersial Luar Negeri (PKLN) dengan Ketua Menko Ekuin Radius Prawiro. Maka dengan demikian paket 25 Maret 1989 sebagai perangkat Hukum lanjutan dari deregulasi sektor Perbankan dan Pasar uang (Pakto 1988) yang meniadakan pagu (kuota) kredit bagi perbankan dan lembaga keuangan bukan bank hanya berumur 17 bulan.. Tim PKLN ini pada dasamya bertugas mengatur dan membatasi masuknya pinjaman uang lepas pantai. Jiwa dari kebijaksanaan yang melahirkan tim ini, adalah untuk mengatur, mengawasi dan mengelola dengan bijaksana penggunaan sumber daya komersial luar negeri. Tujuannya supaya tidak menimbulkan tekanan terhadap neraea pembayaran luar negeri Indonesia, tidak pula menimbulkan kesimpang siuran dalam memanfaatkan dan memasuki pasar modal IntemasionaI. IS Anwar Nasution memberi ulasan seeara makro ekonomi terhadap Keputusan Presiden 39/1991 sebagai berikut; •Dalam leoTi ekonomi dikenal ada Ii A Xx instrumen kebijaksanaan, yang dapat digllnakan Ilntuk mengllrangi jumlah impor serla pinjaman luar negeri. Menurnt tingkat distorsinya, mulai daTi yang kurang hingga yang
"
Beban dibalik Offshore Loan. WartaEkonomi No. O2IfahuD 111/17 JUDi 1991 hal. 22·23.
14
Soeharsono Sagir. Offshore Loan dan Neraca Pembayaran, Warta Ekonomi, Ibid. hal. 34; Sjahrir, Analisis Ekonomi Inodnesia, Penerbit PTGramedia Puslab Utama, Jakarta, 1990. him. 95.
LS
Harian Bisnis Indonesia S September 1991. Kini ada Pagu Nasibnal Kredit Luar Negeri.
Desember 1992
542
Hukum dan Pembangunan
paling distomi{. Ketiga instrumen tersebut adalah : devaluasi, tarif bea masuk dan pajak, serla pmlbalasan jumlah (pagu, kunia) pi'liaman lwIr negeri. Ketiga jenis instrumen tersebut langsung mempengaruhi tingkat harga. Namun pengaruh kedua instrumen yang disebut pertama lebih memberikan kepastian bagi dunia usaha daripada jenis instrumen yang ketiga. Oleh karena, kedua jenis instrumen pertama adalah instrumen pasar. Melalui pengaruhnya terhadap tingkat "hargan, instrumen pasar mempengaruhi jumlah impor ataupun permintaan akta pinjaman luar negeri. Meningkatnya tingkat harga barang impor karena devaluasi rupiah ataupun peningkatan tarif bea masuk, akan mengurangi permintaan masyarakat akan barang impor. Tingkat "harga" pinjaman luar negeri dapat ditingkatkan dengan menaikan tarif pajak (withholding tax), mengurangi subsidi fasilitas swap valuta asing ataupun dengan mendevaluasikan rupiah. Cara ketiga untuk mengatasi jumlah pinjaman luar negeri sektor perbankan adalah, dengan membatasi jumlah pinjaman. Dalam rangka deregulasi industri keuangan, mulai tanggal 25 Maret 1989 sistim pagu pinjaman luar negeri telah digantikan dengan posisi devisa netlo [PDN adalah se/isih bersih antara aktiva dan pasiva dalam valuta asing, setelah memperhitungkan rekening-rekening administratif (off balance sheet)). Dalam sistim pagu, jumlah pinjaman luar negeri lembaga-lembaga keuangan dan alokasinya, diJentukan secara administratif oleh Pemerintah. Dalam sistim PDN jumlah pinjaman luar negeri tersebut dikaitkan dengan persentase jumlah modal sendiri dari bank devisa dan LKBB yang bersangkutan. Aturan menjadi je/as dan rasional, karena lembaga keuangan yang ingin menambah jumlah pinjaman luar negeri wajib memupuk modal yang lebih besar. Menurut ketentuan baru itu, pinjaman luar negeri perbankan dan LKBB hanya boleh digunakan untuk membelanjai kegiatan usaha yang berkaitan dengan ekspor. Dalam rangka pembatasan pinjaman luar negeri, mulai awa11990, besamya PDN telah diturunkan oleh Bank Indonesia dari 25% menjadi 20%. Cara lain untuk membatasi pinjaman luar negeri perbankan adalah dengan memperketat pengawasan arah penggunaan dan/ataupun mengubah komponen neraca bank yang digunakan sebagai patokan perhitungan PDN. Rendahnya mutu pengawasan kredit, merupakan salah satu faktor penyebab krisis lembaga lembaga keuangan nasional setelah deregulasL Seperti halnya dengan sistim pagu, PDN juga langsung membatasi jumlah pinjaman luar negeri lembaga-lembaga keuangan. Walau demikian, cara pembatasan dan cara alokasi PDN mengandung distorsi yang lebih kecil daripada cara pembatasan melalui sistim pagu dengan cara alokasi administratif Sistim pagu administratif yang non transparan menimbulkan ketidak pastian baru dan mematikan persaingan sehat, yang justru akan dijalankan melalui Namar 6 Tahun XXII
Hukum Ekonomi TraTlSlUJsionai
543
deregulasi. 016
Mengetahui. latar belakang makro Ekonomi adalah berguna bagi para Sarjana Hukum maupun para pembaca lainnya untuk mengerti dikeluarkannya peraturan mengenai PKLN. Tentunya adalah hak Pemerintah dalam memilih alternatifkebijaksanaan untukmengekang dan mengurangi inflasi yang dapat menimbulkan devaluasi dibidang keuangan. meskipun ada para pakar Ekonomi yang tidak sependapat dengan kebijaksanaan yang diambil. Secara Institusional Tim PKLN menurut Keputusan Presiden No. 39/1991 beserta peraturan pelaksanaannya adalah mengkoordinasi pengelolaan pinjaman luar negeri Badan Usaha Milik Negara maupun perusahaan swasta; menetapkan keseluruhan pinjaman komersial luar negeri dalam satu tahun anggaran; menetapkan urutan prioritas pinjaman komersial luar negeri untuk pembiayaan proyek pembangunan dan pinjaman komersial luar negeri; menetapkan cara dan prosedur pinjaman komersial luar negeri; melaksanakan monitoring (pemantauan) dari pinjaman komersial luar negeri; mengambil langkah diperlukan untuk mengkoordinasi pinjaman komersial luar negeri. Sedangkan materi yang diatur oleh keputusan Presiden dan peraturan-peraturan pelaksanaannya adalah sebagai berikut : 1.
2.
16
Pinjaman Komersialluar negeri yang memerlukan izin tim PKLN. a. Pinjaman yang berhubungan dengan proyek-proyek pembangunan dan bersifat : non recourse. limited recourse. advance payment. trustee borrowing. leasing dan sebagainya. b. Pinjaman yang berhubungan dengan proyek-proyek pembangunan yang pembiayaan didasarkan atas BOT. B dan T. dan sebagainya. Pinjaman komersial luar negeri yang tidak memerlukan izin tim PKLN dan dapat dimanfaatkan oleh Badan usaha milik negara termasuk Bank Pemerintah dan Badan Usaha milik swasta beserta Bank Swasta dan Lembaga Keuangan bukan Bank (LKBB). untuk: a. Keperluan perdagangan dan tidak dimaksudkan untuk
Anwar Nasution. Keppres 39/1991 : Kemunduran Deregulasi? Harian KOMPAS 26 Oktober 1991. Mengenai perihal: Posisi Deviiia New Bank. lihat SE No. 24111/UD. Bank Indonesia, Jakarta. 20 Nopember 1991. .
Desember 1992
544
3.
4.
Hukum dan Pembangunan
membiayai dan/atau menunjang proyek-proyek baru atau perluasan yang ada kaitannya dengan Pemerintah atau Badan usaha milik negara termasuk Bank Pemerintah dan Bank Pembangunan Daerah. Pinjaman komersial luar negeri tersebut dapat berupa usance LIe, red clause LIe, standby LIe serta supplier's dan buyer's credit. Bagi Bank Pemerintah dan Bank Swasta tetap diberlakukan Posisi Devisa Netto dan keharusan melapor kepada tim PKLN dan Bank Indonesia. Membiayai proyek-proyek swasta oleh Badan Usaha milik b. swasta, termasuk bank swasta dan LKBB yang tidak ada kaitannya dengan pembiayaan maupun garansi atau dalam bentuk apapun dengan Pemerintah dan Badan Usaha milik negara. Meskipun tidak diperlukan izin, tetap ada kewajiban melapor pinjaman komersial pada tim PKLN dan Bank Indonesia. Pinjaman komersial luar negeri dalam rangka pasar uang dan tidak untuk proyek yang jumlahnya uS$ 20 juta dollar atau lebih kecil. Pinjaman tidak boleh dipergunakan untuk membiayai proyek baru maupun perluasan yang ada dan ada kaitannya dengan Pemerintah maupun Badan Usaha Negara tennasuk Bank Pemerintah maupun Bank Pembangunan Daerah. Jangka waktu (maturity) dari pinjaman maupun deposito paling lama 2 tahun. Dikecualikan dari Bank Pemerintah dan Badan Usaha Milik Swasta, pinjaman oleh Badan Usaha Milik Negara harus minta izin terlebih dahulu dari tim PKLN. Pada Bank Pemerintah dan Bank Swasta tetap diberlakukan Posisi Devisa Netto. Pinjaman komersial luar negeri dalam rangka pasar uang dan tidak untuk proyek yang jumlahnya di atas US$ 20 juta. Bagi Bank Pemerintah selain harus mendapat izin terlebih dahulu dari tim PKLN juga terkena ketentuan Posisi Devisa Netto dan diperhitungkan dalam plafon pinjaman komersial luar negeri kategori Bank Pemerintah. Bagi Bank Swasta tidak memerlukan izin tim PKLN, namun terkena ketentuan Posisi Devisa Netto, diperhitungkan dalam plafon peminjam komersial· luar negeri kategori Bank Swasta dan mengikuit urutan waktu masuk pasar modal Internasional yang ditetapkan Bank Indonesia. Tidak diperlukan izin dari Tim PKLN bagi Badan Usaha Milik swasta non Bank, tapi dikenakan perhitungan plafon pinjaman komersial luar negeri kategori perusahaan swasta dan harus melapor pada
Nomor 6 Tahun XXII
Hukum Ekonomi Transnasional
5.
545
tim PKLN dan Bank Indonesia. Bagi Badan Usaha Milik Negara wajib mendapatkan izin terlebih dahulu dari tim PKLN dan diperhitungkan dalam plafon pinjaman komersial luar negeri kategori Badan Usaha Milik Negara. Semua pinjaman komersial luar negeri untuk segala jenis proyek dan meminjam melalui Bank Pemerintah tidak diperlukan izin tim PKLN, bila jumlahnya lebih kecil dari US$20 juta, kecuali untuk Ketentuan yang harus diikuti adalah, proyek BUMN. memperhatikan posisi devisa netto, perhitungan plafon pinjaman komersial luar negeri untuk masing-masing kategori, melaporkan perjanjian pada tim PKLN dan Bank Indonesia dan mengikuti urutan masuk pasar modal Internasional yang ditetapkan Bank Indonesia. Bila jumlah pinjaman diatas US$ 20 juta setahun, semua proyek harus terlebih dahulu dapat izin tim PKLN, dengan mengikuti ketentuan yang telah disebut di atas.
Komentar Terhadap Kepres. 39/1991 Komentar awal dengan dikeluarkannya Kepres. 39/1991 adalah bagaimana kedudukan Hukum dari Kepres. 59/1972 beserta peraturan pelaksanaannya yang mengatur masa!ah yang sarna. Menurut konsep Hukum antar waktu, agar tidak terjadi pengaturan tumpang tindih mengenai masalah yang sarna, maka sebenarnya Kepres. 59/1972 sudah tidak berlaku lagi. Dalam konsiderans Kepres. 39/1972/1991 tidak ada rujukan pada Kepres. 59/1972 dan tidak ada pasal yang mencabut berlakunya Kepres. 59/1972 dari peredaran peraturan Hukum. Apabila suatu peraturan tidak tegas dinyatakan tidak berlaku lagi, pada umumnya masyarakat yang berkepentingan masih menganggap peraturan bersangkutan masih berlaku. Meskipun sudah dikeluarkan peraturan baru yang mengatur masalah yang sarna. Departemen Keuangan bersama Bank Indonesia dengan sarana Hukum Kepres 59/1972 sudah dua puluh tahun mengatur dan mengelola pinjaman lepas pantai bagi Badan Usaha Milik Negara maupun perusahaan Swasta. Sedangkan Kepres. 39/1991 dikeluarkan atas gagasan Menteri Koordinatorbidang Ekuin, Pengawasan dan Pembangunan dimana dibentuk tim PKLN yang ditugaskan mengelola pinjaman komersial luar negeri. Dalam prakteknya Departemen Keuangan masih menganggap Kepres. 59/1972 berlaku dan mewajibkan para peminjam kredit luar negeri memberi laporan mengenai pinjaman mereka pada Badan Analisa Keuangan dan Moneter, Departemen Keuangan. Pengelolaan pinjaman luar negeri kelihatannya Desember 1992
546
Hukum dan Pembangunan
telah beralih dari Departemen Keuangan ke tim PKLN dan kantor Menko Ekuin. Maka keadaannya sekarang terdapat dua peraturan Hukum yang berjalan sejajar mengatur masalah pinjaman luar negeri. Bagi para peminjam pinjaman luar negeri, akan menambah biaya administrasi, karena laporan harus disampaikan pada dua kantor Pemerintah. Selain dari itu akan menimbulkan kesan bahwa tidak ada kerja sarna, maupun koordinasi antara dua instansi Pemerintah yang berkepentingan dalam hal mengatur pinjaman lepas pantai. Dari segi pengarahan maupun perumusan K~pre8 59/1972 kelihatannya lebih baik daripada Kepres 39/1991. Meskipun demikian, bagaimanapun baiknya suatu peraturan Hukum direncanakan maupun dirumuskan tetap memerlukan penjelasan lebih lanjutY Keptes 39/1991 tidak memberi penjelasan maupun dalam peraturan pelaksanaannya mengenai batasan dari pinjaman komersial luar negeri. Batasan dari konsep dasar suatu peraturan diperlukan untuk dapat menganalisa dan mengerti keseluruhan materi maupun tujuan dari suatu peraturan. Dengan merujuk pada pasal 1(1) SK Menteri Keuangan No. 261/1973, pinjaman komersial luar negeri dapat diberi batasan sebagai : 'Semua pinjaman luar maupun dalam negeri yang menimbulkan kewajiban membayar kembali dalam vahtta asing terhadap luar negeri. Kewajiban . membayar dalam mata uang rupiah tidak termasuk dalam batasan, karma Kepres 39/1991 tujuan pokoknya adalah membatasi jumlah pinjaman luar negeri dalam vahtta asing dalam satu tahun anggaran. Dari keseluruhan perusahaan yang diawasi paling ketat adalah BUMN non bank dan Bank Pemerintah, sedangkan yang lebih longgar adalah Bank Swasta dan Perusahaan Swasta. Seeara prosedural Kepres 39/1991 lebih banyak persyaratan yang harus diikuti daripada Kepres 5911972. Meskipun tidak diperlukan izin, laporan harus disampaikan pada tim PKLN dan Bank Indonesia, dan bagi Bank Pemerintah dan Bank Swasta diberlakukan Posisi Devisa Netto. Apabila pinjaman komersialluar negeri di atas US$20 juta para peminjam dikenakan plafon untuk masing-masing kategori dan diharuskan mengikuti urutan waktu masuk pasar modal Internasional. Sejak Kepres 59/1972 dikeluarkan paling sukar diawasi adalah pinjaman luar negeri dari perusahaan swasta yang dapat meminjam dari luar negeri dalam jumlah yang eukup besar dan hanya diwajibkan melapor pada instansi pemerintah yang ditunjuk. Meskipun demikian disinyalir bahwa perusahaan swasta banyak yang tidak 17
Paul Scholten. Hand/Biding tot de beofening van het Nederlandsch BUlger/ijk RechJ, Zwolle: NY. Uilgevers-Maatschappij W.E.J lJeeDk Willint, 1934. hal.3.
Nomor 6 Tahun XXII
Hukwn Ekonomi Transnasional
547
melapor karena sanksinya lemah. Kejadian yang sarna mungkin terjadi sekarang karena Kepres 39/1991 tidak menentukan sanksi yang berat dan tegas bagi para peminjam yang lalai melapor pada Tim PKLN. Ketiadaan sanksi tegas akan mengurangi kewibawaan Pemerintah. Dari segi istilah yang dipakai dalam Kepres 39/1991 ada beberapa istilah yang men gun dang pertanyaan pembaca, seperti apa yang dimaksudkan dengan "non-recourse" dan "limited recourse". Karena tidak ada penjelasan resmi mengenai istilah-istilah tersebut, maka para pembaca akan memberi pengertian sendiri yang belum tentu sesuai dengan maksud dari pembuat Kepres 39/1991. Recourse menurut kamus bahasa Inggris : "A turning to for help or security".'" Karena Kepres 39/1991 merupakan ketentuan Hukum, maka yang dimaksudkan adalah "legal recourse", kalau diterjemahkan dalam bahasa Hukum maka "recourse" dalam Kepres 39/1991 adalah membebankan pemerintah atau BUMN membayar hutang dalam val uta asing ke luar negeri. Istilah "non recourse" akan membingungkan para pembaca Kepres 39/1991, karena kalau pemerintah atau BUMN tidak ada beban untuk membayar hutang luar negeri, mengapa harus meminta izin terlebih dahulu dari Tim PKLN. Mungkin yang dimaksudkan pembuat Kepres 39/1991 adalah "full recourse" dan bukan "non recourse", dimana pemerintah atau BUMN sepenuhnya menanggung beban pembayaran hutang luar negeri. Tidak ada penjelasan mengapa advance payment trustee borrowing, leasing, B.O.T. Built Operate and Transfer) dan B dan T (Built and Transfer) memerlukan izin dari Tim PKLN, maka dapat diasumsikan bahwa proyek-proyek tersebut akan memerlukan biaya di atas US$ 20 juta. Meskipun secara teoritis biaya proyek tersebut dapat dibawah US$ 20 juta. Masalah Hukum lain yang memerlukan penjelasan adalah proyek Swasta yang tidak ada kaitannya dalam bentuk apapun dengan Apakah yang Pemerintah maupun Badan Usaha Milik Negara. dimaksudkan dengan kata-kata "tidak ada kaitannya dalam bentuk apapun". Seorang pakar ekonomi memberi komentar mengenai utang luar negeri perusahaan swasta sebagai berikut : "Sebab lain melonjaknya utang swasta dari luar negeri ada/ah adanya kekaburan batas antara apa yang disebut proyek pemerintah dan proyek swasta. Banyak proyek swasta yang besar dikaitkan dengan BUMN, hingga memberi kesan proyek-proyek tersebut mendapat beking dari pemerintah,
11
WEBSlER'S II. New Riverside Dictionary, Berkeley Books, New York, 1984, him. 586.
Desember 1992
548
Hukum dan Pembangunon dan karena itu pemerintah "dengan otomatis" akan menjamin kreditnya. Para pengusaha swasta dalam meneari sindikasi pinjaman mengikut sertakan bank bank pemerintah, hillgga banyak lembaga keuangan luar negeri yang terpikat dan ikut memberi pinjaman".19
Rupanya Pemerintah melalui sarana Hukum Kepres 39!1991 menghendaki agar perusahaan swasta yang bekerja sarna dengan Badan Usaha Milik Negara sepenuhnya menanggung beban pembiayaan kredit luar negerinya. Apabila utang luar negeri perusahaan swasta diatas US$ 20 juta dan melibatkan Bank Pemerintah maka harus terlebih dahulu meminta izin Tim PKLN. "Tidak ada kaitan dalam bentuk apapun", harus dikaji menurut perspektif Hukum. Andaikan perusahaan milik negara mendapatkan keuntungan ekonomis karena bekerja sarna dengan perusahaan swasta, maka menurut Hukum, perusahaan negara tersebut, tidak terikat dengan ketentuan Kepres 39/1991, seperti harus minta izin terlebih dahulu dari Tim PKLN. Sebagai contoh perusahaan swasta yang bergerak dibidang real estate mendapat dana dari pinjarnan luar negeri, kemudian bekerja sarna dengan perusahaan negara membangun perumahan dan perkantoran. Perusahaan negaea yang bersangkutan mendapat keuntungan ekonomis dari dana luar negeri, akan tetapi sebagai pihak ketiga tidak bertanggung jawab atas hutang luar negeri perusahaan swasta. Kaitan akan timbul bila perusahaan negara bertindak sebagai penjamin dari hutang luar negeri perusahaan swasta. Apabila pemsahaan swasta mengaitkan diri dengan bank Pemerintah di atas US$20 juta untuk memperoleh dana luar negeri, maka diperlukan izin dari tim PKLN. Dalam Kepres 39/1991, angka 20 nampaknya sangat penting. Selama suatu pinjaman dalam rangka pasar uang dan tidak untuk proyek, sama atau kurang dari US$20 juta, pinjaman itu diperlakukan sebagai pinjaman perdagangan, artinya tetap dikenakan plafon, walaupun tetap kena PDN kalau peminjamnya ialah suatu bank. Bila pinjaman melebihi US$20 juta, hams ada izin dari tim Kepres 39/1991 kalau yang meminjam ialah bank Pemerintah atau BUMN. Dengan ketentuan-ketentuan tambahan itu boleh dikata, "Saringan" yang hams dilalui untuk memperoJeh PKLN telah ditambah. Kalau lolos dari satu "saringan", lIlungkin masih terhalang oleh "saringan" lain. Dengan demikian mungkin diharapkan bahwa peningkatan tekanan terhadap neraea pembayaran
"
Winarno Zain. Mencari Utang Luar Negeri. Majalah Tempo, 19 September 1992. him. 95.
Nomor 6 Tahun XXII
549
Hulaun Ekonomi TrllTlS7l4sWTUlI
akan dapat dihindari'" Penutup Sumber material dari Kepres 39/1991 adalah kebijaksanaan makro ekonomi Indonesia dalam bidang moneter. Dalam ceramahnya di rapat Ikatan Sarjana Ekonomi di Banjannasin tertanggal 7 September 1992 Ali Wardhana mengemukakan antara lain sebagai berikut: "Kebijaksanaan makro ekonomi untuk mencari keseimbangan antara investasi dan tabungan ini juga diperlukan guna mengamankan neraca pembayaran. Investment-gap, lebih-Iebih bila gap ini bertambah besar, biasanya diusahakan ditutup dengan pinjaman luar negeri. Makin besar gapnya, makin besar pula pinjaman yang diperlukan sehingga defisit transaksi berjalan menjadi besar pula. Neraca pembayaran dapat menjadi peka (vulnerable) bila gap ini ditutup dengan pinjaman luar negeri yang bersyarat komersiaL .21
Karena rendahnya tabungan nasional menunjukkan perlunya bantuan atau pinjaman luar negeri. Pembiayaan investasi melalui pinjaman luar negeri dewasa ini kelihatannya sudah hampir mencapai batasnya. Penjadwalan kembali proyek-proyek serta dibentuknya tim pinjaman luar negeri baru-baru ini menunjukkan bahwa pinjaman-pinjaman perlu dikendalikan, terutama pinjaman komersial. 22 Karena pentingnya masalah pinjaman luar negeri Ali Wardhana menganjurkan agar tim PKLN dibentuk secara lebih pennanen dan tidak atas dasar kebutuhan yang bersifat ad hoc.'" Dilain pihak Sjahrir berpendapat bahwa tim . PKLN sebai/cnya bersifat ad-hoc saja, yang penting agar otoritas moneter
20
Penyempurnaan ketentuan PDN, Swap dan Koordinasi PKLN, Business News, 19 Nopember 1992, him. 2.
21
Ali Whardana, Pend~aan Pembangunan : Peluang dan tantangan. makalah unwk Sidang Pleno Ikatan Sardjana Ekooomi Indonesia di Banjarmasin tertanggal 7 September 1992, him. 13
22
Ibid, hlm.20, Pinjaman komersiel Swasta agar diawasi secara (erus meDerus.
Suara
Pembaharuan 8 September 1992.
"
Ibid
Desember 1992
550
Hukum
,um Pembangunan
berfungsi sebagaimana mestinya. 1A Menurut Sumitro Djojohadikusumo posisi DSR (Debt Service Ratio), yaitu perbandingan cicilan pokok dan bunga dengan ekspor dewasa ini telah mencapai 32 persen merupakan lampu merah yang mengan~am deftsit transaksi berjalan. Untuk mengamankannya pinjaman luar negeri harus diawasi dengan seksama.25 Untuk pendanaan PJPT II (Pembangunan Jangka Panjang Tahap II). Djisman S. Simal\iuntak mengemukakan pendapatnya sebagai berikut : -Pinjaman luar negeri juga tetap diperlukan tennasuk pinjarnan . swasta, yang terakhir ini bahkan sangat menarik dari segi perbedaan biaya bunga walaupun bunga pinjaman luar negeri swasta sudah di atas LIBOR Pertanyaannya sekarang ada/ah pengendalian pinjaman itu. Ada dilema karena pengendalian pinjaman luar negeri ·swasta dapat dita/sir sebagai pelepasan sistem de visa bebas. Sebagaimana sering terjadi, kontrol mudah menjalar melewati batas-batas kewajaran. Yang diperlukan tahun- tahun mendatang kiranya bukan pengendalian umum (across the board), melainkan pemantauan dan pencegahan kasus- kasus yang janggal tetapi inipun jauh lebih mudah disebut daripada diimplimentasi _26
Dari pendapat para pakar ekonomi yang dikutip penulis. terdapat perbedaan pendapat, apakah pengawasan negara terhadap utang luar negeri melalui Tim PKLN harus bersifat permanen atau ad Hoc Meskipun demikian ada kesamaan pendapat bahwa pada wakt.. ini pengawasan terhadap pinjaman luar negeri adalah diperlukan. Makin kompleksnya kegiatan ekonomi dan kian tinggi keterkaitannya dengan kehidupan lain amat menyulitkan sis tim ekonomi apapun untuk menolak
Sjahrir: Perlu disiplin pinjaman LN, Harian Bisnis Indonesia, 10 September 1992
Sumilro Djojohadikusumo. Agka DSR bisa dilekan asalkan deregulasi dilakukan terus, Suara Pembaharuan 19 September 1992 Syatrya Ulama. Lampu merah ekonomi kita. Masih masalah DSR dall menlngkatnya deflsit transaksi berjalan, Majalah Editor, No. 71 Tho VI{/ November 1992. hIm. 71. Djisman S. Simanjuntak, Pendanaan PJPT II. Majalah Tempo. 19 September 1992. him. 7!.
Nomor 6 Tahun XXII
551
Hukum Ekonomi Transnasional
kehadiran peran negara dalam ekonomi.27 Adalah tidak mudah untuk mewujudkan kebijaksanaan kwantitatif makro ekonomi dalam peraturan kwalitatif yuridis. Hukum ekonomi sebagai perwujudan kebijaksanaan makro ekonomi negara, juga harus mengandung persyaratan keadilan, kepastian hukum dan ketertiban hukum yang dirumuskan dalam kwalitatif yuridis. 28 Dianjurkan agar ada kerjasama yang erat antara para ahli hukum dan para ahli Ilmu Ekonomi dalam membuat Hukum Ekonomi. Bab penutup dari tulisan ini adalah akhir dari pembicaraan penulis, bukan berarti akhir dari masalah hukum yang mungkin timbul dari pinjaman komersial luar negeri dikemudian hari .
••••••
"
Didik: J. Rachbini. Peranan Ekonomi Negara. llnjauao Teoritis daD Prakt", Majalab Prisma, No.2, tahuo XXI, 1992. him 3-4.
"
P. Verloren van Themaat. HtII CoordiMti. Bf!Igi/U1ll aU CoonJiMIWnd Begin.rel van /Nt SociGl Economisch Rechl, Pidato Pen8Ukuhan sebagai Guru Besar Hukum Ekonomi Soiial tertanggal 28 Oktober 1968. di Universitas Utrecht, AE. Kluwer - Deventer - 1968, him.
5-6.
Desember 1992