Hujan Deras dan Soekarno Muda Kita semua ini memiliki naluri bawah sadar untuk senantiasa ingin mendekat kepada Tuhan. Salah satu indikatornya: tiap hari kita sering mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang semestinya tidak kita sodorkan kepada sesama kita, melainkan kita ajukan kepada Tuhan. Ketika pertarungan tinju kelas berat dunia antara Riddick Bowe melawan Andrew Golota akan berlangsung, penyiar bertanya kepada komentator, "Golota ini dikenal sebagai petinju yang suka bermain kotor. Bagaimana, menurut Anda, apakah dalam pertandingan nanti dia akan melakukan ulah kotor juga?" Untung komentatornya orang sopan bernama Syamsul Anwar dan jurnalis Negara. Seandainya saya yang ditanya, tentu saya jawab dengan lugu, "Kebetulan menjelang pertandingan ini saya tidak bertemu Golota, sehingga saya tidak sempat menanyakannya. Juga waktu shalat tadi malam saya lupa mengkonfirmasikan soal itu kepada Tuhan. Biasanya sih saya memang agak usil tanya sama Tuhan, misalnya tentang petinju yang mana yang akan menang, tentang apakah besok saya dapat utangan..." Itu menunjukkan kedekatan dengan Tuhan. Para wartawan juga punya kebiasaan menanyakan hal-hal yang sebenarnya hanya Tuhan yang bisa menjawab dengan pasti. Mainstream `realitas' yang digali kaum jurnalis akhir-akhir ini bahkan bergeser ke wilayah-wilayah yang belum terjadi, yang manusianya bisa mengira-ngira, mengasumsikan, memprediksikan, meramalkan, atau paling jauh—dengan kementerengan akademis— `menganalisis ke depan'. Tapi semua itu produknya pasti relatif. Artinya, yang pasti ya relativitasnya itu. Dan salah satu sifat `zat' makhluk manusia memang kesukaannya yang agak berlebihan terhadap relativitas. Kalaupun manusia pada suatu hari memperoleh `kepastian', ia lantas segera ingin kepastian yang lebih jauh lagi, sehingga kepastian itu menjadi tidak pasti. Kita sudah pasti punya uang satu juta sebulan, tapi kita suka kalau kepastian itu berkembang menjadi dua juta sebulan, atau syukur-syukur dua miliar sebulan. Kita sudah pasti menguasai suatu grup bisnis yang menternakkan lebih dari seratus perusahaan, tapi diam-diam kita ingin agar kepastian seratus perusahaan itu berkembang menjadi dua ratus, tiga ratus, dan kalau bisa sih seluruh negara ini menjadi milik pribadi atau keluarga kita. Manusia itu makhluk pelamun atau tukang melamun nomor satu di alam semesta. Semakin banyak yang kita miliki, frekuensi dan volume lamunan kita juga semakin tinggi dan semakin luas. Kita tidak sekadar suka melamunkan apakah Ceko bisa menjadi juara Euro '96, apakah Adi Andoyo akan dipecat, apakah Edy Tanzil akan `tertangkap'. Kita bahkan sanggup juga melamunkan bahwa sesudah bulan depan kita terpaksa mati, misalnya karena serangan jantung, siapa tahu akan ada kesempatan untuk memperoleh Kebangkitan Kembali sebagaimana Ratu Adil maupun Ratu Tidak Adil. Jadi sesungguhnya teori-teori kebudayaan harus bersegera memperluas dirinya supaya tidak terlalu bertahan kerdil. Impian pada hakikatnya jauh lebih marketable bagi umat manusia, terutama bangsa Indonesia, dibanding realitas. Kalau toh yang mereka kejar adalah realitas jumlah deposito, keluasan akses dan koneksi, wujud-wujud kemewahan duniawi konkret—namun se_sungguhnya semua realitas konsumsi itu tidak benar-benar diperlakukan sebagai realitas konsumsi itu sendiri. Melainkan `diperalat' sebagai bahan untuk melambungkan impian baru. Semakin kita kaya, berkuasa dan memiliki segala sesuatu, kadar impian kita juga akan meningkat pesat—dan impian itulah yang sesungguhnya lebih penting. Dulu di zaman SDSB, orang mau jual sepeda dan dipaksa puasa seks oleh istrinya, demi bisa membeli impian dan harapan. Kalau tak beli kupon SDSB, ia pasti tak punya harapan apa-apa—meskipun ia tak paham teori perekonomian struktural. Tapi dengan membeli selembar kupon undian, langsung terkuak di depan matanya horison impian yang bukan main indahnya. Jadi kalau kita memiliki barang-barang, simpanan uang, saham dan kekuasaan di mana-mana— impian kita pun akan melambung tak terkirakan. Bagi kita yang tak kebagian realitas konkret semacam itu sebagai bahan `teknologis' untuk merekayasa impian—tetap bisa juga kita raih mimpi-mimpi melalui jalan lain. Klenik sangat laris. Perguruan kebatinan menjamur di mana-mana. Gendheng Pamungkas kita jadikan hero karena sanggup menyuguhkan halusinasi dan sensasi. Seorang wanita juru penyehat kelelakian sangat laris karena setiap lelaki yang mulai kehilangan kepercayaan dirinya bisa memperoleh panggung untuk `GR', dan dari situlah pasar rezeki sang penyembuh. Aliran-aliran thariqat diminati tak hanya oleh orang-orang kecil yang jatah mimpinya sangat minimal, tapi juga oleh para mantan
penggede yang gagal memperoleh panggung lanjutan buat impiannya. Klenik dan tahayul juga kita aplikasikan di berbagai modern stage yang seakan-akan merupakan wilayah kebudayaan rasional dan sophisticated. Penyanyi yang dipanggil Tuhan mendadak, kita pahlawankan tanpa parameter dan juntrungan kualifikasi yang jelas atau rasional—sementara orang besar macam apapun namun tak terseret oleh mass culture dan man makes news, tak akan kita ingat. Seluruhnya itu, karena memang bermuara pada `ideologi' impian—sesungguhnya merupakan cermin bahwa titik berat situasi masyarakat kita dewasa ini terletak pada `psikologisme' atau `psikisme'. Alias pada sehat dan tak sehatnya mental dan kejiwaan kita semua. Segala macam yang gegap gempita melalui retorika demokrasi, pem_bangunan, opposisionalisme dan lain sebagai_nya—memiliki kadar utama psikisme impian semacam itu. Puncaknya adalah bahwa kebanyakan kita tidak menyadari dan dengan demikian juga pasti tidak mengakuinya. Penyakit jiwa massal seperti ini, kalau memakai istilah tasauf, sesungguhnya bisa dijelaskan melalui acuan mengenai zuhud, bahwa manusia, rata-rata, tidak sanggup memperkembangkan dirinya untuk menjadi lebih besar dibanding keduniaan. Manusia rata-rata tak memiliki kewibawaan terhadap uang, pemilikan, kedudukan, dan kekuasaan. Iming-iming Allah bahwa manusia itu ahsanu taqwîm (sebaik-baik ciptaan) diperhinakan sendiri oleh yang bersangkutan dengan sejarah kekalahannya melawan barang-barang remeh seperti harta benda, kuasa, popularitas. Manusia akhirnya benar-benar menjadi asfala safilîn, serendah-rendahnya makhluk, atau kita plesetkan saja menjadi `lebih rendah dari aspal'. Sangat jarang manusia, di strata manapun, yang menghuni wajah nothing to loose. Tak ada apaapa yang akan `hilang' dari eksistensi kita. Kita ini sendiri tidak memiliki dunia dan bahkan tidak pernah benar-benar memiliki diri kita sendiri. Salah satu puncak kebodohan modernisme adalah `GR' mereka bahwa manusia itu memiliki dirinya sendiri. Nothing to loose, itu merupakan salah satu frekuensi mental dari prinsip tauhid. Dan itu semua tak akan berubah meski_pun setiap orang membantahnya, men_debatnya dengan argumentasi apapun, karena setiap alibi akan dengan sendirinya mempertegas kadar `psikisme'-nya. Kemudian jangan disangka bahwa dengan tulisan ini saya mengritik siapa pun. Saya juga bukan menganggap itu sesuatu yang perlu diberantas, sehingga saya menuliskan sesuatu untuk menginvestasikan kemungkinan-kemungkinan perubahan pada satu dua orang. Saya bukan seorang pengubah sejarah, dan saya sedikit tahu apa yang disebut kebodohan untuk menyentuh-nyentuh wilayah kehidupan yang Allah merumuskannya sebagai `shummun bukmun `umyun fahum lâ yarji'ûn'. Hanya Allah sendiri yang memiliki kesanggupan untuk membatalkan matahari yang sedang memasuki ufuk kegelapan pada senjakala suatu zaman—atau untuk mempercepat berlangsungnya malam sehingga pagi hari bisa segera diterbitkan bagi siapa pun saja yang masih pantas untuk dimaafkan dan diselamatkan. Sekali lagi saya bukan sedang menjadi `analis sosial' atau `pejuang bangsa' yang ikut berpartisipasi membangun manusia Indonesia seutuhnya melalui tulisan-tulisan. Saya melihat semua ini dari suatu wilayah di kejauhan. Saya senang dan tersenyum. Kalau berpapasan dengan siapa pun, saya juga dengan riang akan menambahi bahan-bahan lamunan. Saya akan bilang dengan air muka teateral bahwa tadi malam saya bertemu dengan Bung Karno. Kami mengobrol, dan tatkala saya buka bajunya, ternyata badan_nya masih sangat muda. Spontan saya katakan kepadanya—"Mbok Sampeyan saja yang tampil lagi di panggung, asalkan Sampeyan sudah belajar dari kesalahan-kesalahan prinsip Sampeyan dulu. Saya kemukakan ini karena saya khawatir hujan yang akan turun akan cukup deras...." Di tengah obrolan di keremangan itu, tiba-tiba seorang wanita setengah baya melintas dan berteriak, "Agustus, Cak! Juga Nopember..." Senang sekali saya bisa mendongengkan impian kepada Anda sekalian. [] Quoted by Redaksi from : "Keranjang Sampah", Emha Ainun Nadjib, Zaituna, Jogja, cet.1, 1999 Orang Suruhan Kali ini saya menulis tentang sejumlah kelemahan pribadi saya. Ini saya pandang perlu, karena prinsip kebersamaan hidup di antara manusia adalah keharusan untuk saling menyelamatkan.
Dan dengan meng_ungkapkan kelemahan pribadi saya ini, saya berharap orang memahaminya kemudian menghindarkan dirinya masing-masing dari keadaan seperti yang ada pada saya. Kalau tak saya ungkapkan, maka saya bisa akan menjerumuskan. Kalau dipikir-pikir, saya ini tidak tergolong pribadi yang mandiri. Saya tidak termasuk manusia modern yang merdeka, yang independen dan profesional, yang bergerak karena ingin bergerak, yang melakukan sesuatu karena sadar untuk memilih sesuatu itu dan mengerti segala sesuatunya, termasuk risikonya. Sangat banyak hal telah dan sedang saya lakukan, namun sangat sedikit di antara hal-hal itu yang memang benar-benar merupakan keinginan saya, konsep saya, target saya atau buah kemerdekaan pribadi saya. Kecuali yang menyangkut jenis pakaian, selera makan atau hal-hal kecil lain, saya lihat-lihat kok sebenarnya bukan aktualisasi dari ke_merdekaan pribadi saya. Bidang-bidang pekerjaan yang saya lakukan yang berkaitan dengan masalah sosial masyarakat, politik, keagamaan, pemberdayaan ekonomi atau kesenian—yang selama ini menghabiskan hampir semua waktu dan tenaga saya—rasa-rasanya kok pada umumnya bukan wujud inisiatif saya sendiri. Ternyata saya ini seorang budak. Seorang pesuruh. Seorang pekerja pesanan. Seorang khadim yang hampir tidak memiliki kebebasan pribadi. Misalnya saya banyak menulis sesuatu kemudian akhirnya terbit menjadi berpuluh-puluh buku —saya lihat-lihat itu sesungguh_nya adalah pekerjaan suruhan. Mungkin saja yang menyuruh adalah Tuhan, karena memang Dia yang menciptakan saya dan hanya Dia satu-satunya yang berhak me_nyuruh saya. Tapi kalau saya bilang bahwa semua yang saya kerjakan ini adalah atas suruhan atau perintah Tuhan, tentu saya jadi tampak mbagusi dan berlagak seperti Nabi atau Rasul. Jadi kita katakan saja yang menyuruh saya mungkin adalah teman-teman saya, mungkin satu dua koran dan majalah, mungkin sejumlah orang, mungkin sebagian masyarakat—melalui ratusan surat-surat yang mengeluhkan berbagai problem. Misalkan Anda menampung anak-anak muda untuk Anda bikinkan badan usaha sehingga mereka bisa cari nafkah. Misalkan Anda mendirikan gedung-gedung sekolah dan pesantren, menampung anak-anak yatim, membuat yayasan-yayasan pemberdayaan, atau mungkin juga mini-bank tanpa bunga untuk tetangga-tetangga sekitar, termasuk bikin pengajian dengan belasan ribu jamaah, dan lain sebagainya. Saya yakin Anda lakukan itu karena kesadaran Anda atas prinsip-prinsip moral dan pemahaman Anda mengenai banyaknya anggota masyarakat yang memerlukan hal-hal semacam itu. Tapi kalau saya yang mendirikan upaya-upaya seperti itu, ternyata bukan karena kemerdekaan pribadi saya, melainkan karena saya disuruh. Saya mungkin suatu jenis makhluk yang lahir ke dunia untuk tidur, meskipun kemudian terpaksa jarang dan sangat sedikit tidur karena disuruh orang lain untuk melakukan hal-hal yang ia sendiri tak pernah menginginkannya. Barusan saya menyelesaikan 71 halaman naskah drama untuk "Gelar Budaya Rakyat" dalam rangka ulangtahun Jumenengan Sri Sultan Hamengkubuwono X yang bertemakan "Pemimpin itu Harus Bagaimana". Ketika pekerjaan itu saya selesaikan, saya baru sadar bahwa saya benarbenar orang suruhan. Saya disuruh menulis naskah oleh para pemain drama yang berkumpul, karena memang hampir mustahil mereka temukan orang lain yang bisa disuruh seperti saya. Itupun saya menulis tidak dengan ke_merdekaan. Temanya sudah ada terlebih dulu. Semua alur, adegan dan dialognya tidak bebas saya tuliskan, melainkan harus saya sesuaikan dengan jumlah pemain, kapasitas mereka yang berbeda-beda, serta berbagai kemungkinan artistik yang berpedoman pada komposisi para pemain dan sutradara yang ada. Jadi saya sama sekali bukan penulis yang merdeka. Dan tatkala kemudian saya lihat-lihat apa yang saya kerjakan selama hidup saya, umpamanya dalam hal yang bersentuhan dengan dunia kesenian—ternyata memang sama sekali bukan hasil kemerdekaan pribadi saya. Bukan kreativitas murni saya. Bukan keinginan dan karier saya. Hampir semuanya pesanan, hampir semuanya hasil suruhan. Diam-diam keadaan itu membuat saya menjadi bahan tertawaan banyak kawan-kawan. Tapi alhamdulillah mereka punya rasa pakewuh dan sisa rasa sayang kepada saya sebagai manusia, sehingga saya tidak diejek semena-mena. Kalau ada festival, perlombaan, konstelasi, kompetisi dlsb, saya tentu saja tidak akan pernah bisa masuk—tetapi ternyata diam-diam saya dilibatkan di
dalamnya—meskipun sekadar sebagai bahan olok-olokan. Misalnya saya disuruh membagi-bagikan nasi kepada sejumlah orang yang pada suatu siang memang sangat membutuhkan nasi. Pada saat itu ada acara Festival Nasi Tumpeng, di mana setiap unsur nasi dan lauk di setiap tumpeng dinilai berdasarkan ideologi estetika tumpeng. Kemudian karena ke_betulan sejumlah orang yang saya kasih nasi itu sedang nonton festival nasi tumpeng—teman-teman menyangka saya juga sedang berpartisipasi dalam festival tersebut. Padahal saya tidak pernah punya urusan dengan festival, dan nasi yang saya masak hanya saya orientasikan untuk orang lapar yang sedang memerlukannya. Sementara orang yang sibuk berfestival pastilah tidak punya problem lapar nasi. Sekarang saya mulai tahu bahwa saya memang tidak profesional. Tidak modern dan tidak independen. Sekarang saya mulai sadar kenapa selama ini apa yang saya kerjakan kok tidak laku, sulit, dan payah. Susahnya saya sudah terlalu tua untuk mengubah diri, sehingga saya amat pesimistis bahwa saya akan mengubah diri dari tradisionalisme dan konservatisme yang membuat saya akan digilas zaman ini.[] Quoted by Redaksi from : "Keranjang Sampah", Emha Ainun Nadjib, Zaituna, Jogja, cet.1, 1999 Persoalan-persoalan Kebudayaan Konkret Sekaligus Abstrak Alangkah `kekal' persoalan kebudayaan! Alangkah kongkret ia: menguras cinta, harga diri, tapi juga kecemasan. Dan, pada saat yang sama, alangkah abstrak! Teramat luas dan rumit pengertiannya, dengan ratusan definisi dan ribuan pemahaman.Tiap hari kita menggunakan kata kebudayaan, seolah-olah ia sedemikian jelas. Tiap hari pula kita memperdebatkannya, seolaholah tak satu kalipun pernah kita genggam kejelasannya. Bagai sungai deras airnya, mengalir dan bergerak. Kita terpesona atau cemas. Kita ciduk segelas air darinya: air itu tetap air sungai itu, tapi juga sudah bukan air sungai itu, melainkan air gelas. Keduanya sangat berbeda. Seolaholah kita harus menciduk bukan saja airnya, tapi juga geraknya, alirannya! Kita bisa membedakan antara dua skala pengertian: seni-budaya dan kebudayaan. Seni-budaya itu sempit saja artinya. Yakni ekspresi estetis. Terserah apakah yang diekspresikan itu bersumber dari keseluruhan dimensi kehidupan manusia, ataukah bagian tertentu saja. Terserah apakah ia dibagi menjadi yang tradisional dan yang modern, ataukah dibagi berdasar pendekatan lain yang bermacam-macam. Juga terserah apakah ekspresi itu dirahimi oleh semangat estetika saja ataukah dibayitabungkan oleh ideologi, politik dan agama. Yang penting batasnya sebagai ekspresi estetika. Adapun kebudayaan itu sedemikian luasnya sehingga mungkin saja tak pernah sungguhsungguh bisa dimengerti. Disebut bahwa segala kecenderungan yang terjadi dalam politik, ekonomi, hukum, birokrasi atau ritus, adalah cermin dari bagaimana kebudayaan manusia mengolah sejarahnya. Agama, yang `tercampak' dari langit, di-'budaya'-kan oleh manusia. Dalam jumlah rentang waktu tertentu dari proses kreatif sejarah, kebudayaan disebut peradaban. Tetapi tradisi kebudayaan tertentu yang terjumpai secara `mikro' lewat perilaku-kecil seorang dusun, juga disebut peradaban. Yang jelas sikap dan gaya manusia dalam menghadapi kehidupan, persoalan, lombok, logam, cinta, langit, Tuhan dan gejala-gejala alam, mencerminkan apa yang disebut kebudayaan. Misalnya Anda mungkin terlibat organisasi yang mengelola dan menyantuni kepentingan beberapa pihak: buruh, petani, nelayan, wanita, dan seniman-budayawan. Seni-budaya adalah bagian seperti wanita adalah juga bagian. Tapi kebudayaan, ialah inisiatif, landasan, iman atau apapun yang mendasar bagi kemanusiaan yang `mengilhami' dan memberi ruh kepada semua segi tersebut. Kalau kata `ruh' segera kita konotasikan kepada Agama, maka yang dimaksud tentulah Agama yang telah di-kebudayaan-kan. Tetapi apakah sesungguhnya yang paling kebudayaan dari seluruh pengertian di atas? Apa tanda-tanda yang dipersyaratkan bagi sebuah kebudayaan suatu kelompok masyarakat? Dengan logika bahwa jika tanda-tanda itu lenyap berarti lenyap pula kebudayaan masyarakat tersebut? Atau kebudayaan bukanlah tanda-tanda yang tampil, melainkan `rohani' di belakang
tanda apapun? Kalau orang Aceh nanti mengganti Randai dengan teater modern dan orang Jawa memproses Ketoprak menjadi bukan lagi ketoprak, apakah Aceh dan Jawa kehilangan kebudayaannya? Kalau anak Obahorok tak lagi pakai koteka, cucu Kromoembuh tak lagi pakai blangkon, apakah mereka meninggalkan kebudayaannya? Kalau Mukini dari Sumenep tak lagi memandang bahwa pohon di sudut desa itu angker, kalau penduduk Sulawesi Selatan menjadi anti-sirik, apakah mereka berubah kebudayaan? Kalau Jaka Kendhil kini tak lagi berklenik-klenik dan mengubah namanya menjadi Jack Kendall sambil suka memegang-megang jidatnya tanda sudah menjadi intelektual canggih, apakah ia Malin Kundang dari Ibu kebudayaannya? Kalau lingkungan yang semula penuh dupa menyan kini bersajadah, yang dulu pecandu tahayul berat kini rasional, dulu primitif kini pascaprimitif, dulu khusuk mengabdi ke atas kini kenal demokrasi—telah meninggalkan kebudayaannya? Adakah modernisasi berjalan bertentangan dengan apa yang kita maksud dengan kebudayaan? Bagaimana menjelaskan bahwa sesungguhnya kita sedang mengkerjasamakan inisiatif modernisasi dengan pemeliharaan orisinalitas kebudayaan? Alhasil, pada lapis dimensi mana tanda-tanda kebudayaan itu kita temukan? Perilaku sosial? Kecenderungan umum? Sikap kealamsemestaan? Warna sejarah? Karya seni? Ketakwaan dan kepercayaan? Cara memasak sayur? Gaya hidup? Atribut identitas material? Bahasa? Secara khusus kita juga bertanya bagaimana bisa sekaligus kita berbincang tentang kebudayaan Indonesia yang belum jelas, `baru dicari' dan `belum ketemu', dengan tentang `kebudayaan Indonesia yang dikhawatirkan akan punah'? Apa saja yang sebenarnya kita khawatirkan akan punah? Quoted by Redaksi from "Jogja Indonesia Pulang Pergi", Emha Ainun Nadjib, Zaituna, Jogja, Juli 1999, cet.i Shalawat: Fungsinya secara Biologis dan Medis Orang lain boleh percaya atau tidak tentang satu hal ini. Bahwa shalawat itu mempunyai fungsi biologis dan medis. Dengan membaca dan menikmati shalawat, apalagi dengan berjamaah, kita akan memperoleh regangan-regangan otot dan pencerahan-pencerahan urat syaraf serta pembersihan sel-sel otak. Kita mencoba merasakan dan membuktikan hal itu. Sama dengan kalau kita bersujud. Kita meletakkan kening kita di tanah. Debu-debu tanah yang menyentuh dan mengenai bathuk kita itu akan membersihkan kotoran-kotoran elektronik di dalam otak kita. Sehingga semakin rajin kita bersujud akan semakin jernih pikiran dan otak kita. Kecuali jika kita merusaknya lagi. Nah disinilah letak pentingnya ilmu. Banyak orang bersembahyang tetapi tetap saja rusak dan tidak menghasilkan munculan-munculan yang bermanfaat di masyarakat. Apa pasalnya? Soalnya mereka bersembahyang tanpa dilandasi dan dilengkapi dengan ilmu _dalam pengertian yang lebih luas dari fiqih. Mereka hanya menjalani dan mengalami rahmat sholat tapi tidak mengilmuinya sehingga yang lahir bukannya barokah melainkan yang ketidakmanfaatan dan ketidakkaffahan dalam menempuh hidup. Itulah sebabnya di samping melakukan dan menikmati (rahmat) shalawat, kita juga mengembarai cakrawala ilmu shalawat yang amat luas mulai dari yang sederhana sampai yang menyangkut hal-hal medis dari shalawat yang orang lain belum tentu menyetujuinya, agar bukan hanya rahmat yang kita punya tapi juga barokah _sebagaimana buku kecil ini diniat dan tujukan. Quoted from : "Shalawat, Cinta Segitiga", Emha Ainun Nadjib, Zaituna, Jogja BANGSA BIBIT UNGGUL (1) Tak ada bangsa di dunia yang kewajiban rasa syukurnya kepada Tuhan melebihi bangsa Indonesia. Tentu karena rahmatNya, kasih sayangNya, perhatian dan barokahNya yang dianugerahkan kepada bangsa Indonesia jauh melebihi bangsa-bangsa manapun di dunia. Di segala segi. Alamnya tak ada jengkal tanah lain di bumi ini yang suburnya melebihi tanah Indonesia. Dalam sebuah album puisi musik saya pernah menyebut Indonesia sebagai
“penggalan sorga” – yang para Wali mendendangkannya dengan membayangkan penghuni tanah air ingi berleha-leha: “Lir ilir, tandure wus sumilir, tak ijo royo-royo, tak senggo temanten anyar…”. Yok Koeswoyo, anggota kelompok musik legendaris Koes Plus, putra termuda Pak Koeswoyo asal Tuban Kota Wali juga menyanyikannya dengan penuh ibarat: “Bukan lautan, hanya kolam susu. Kail dan jalan cukup menghidupimu……Tongkat dan kayu jadi tanaman…” Gunung-gunungpun hijau. Sedangkan tiga Jabal Musa tempat ber-uzlah Nabi Juru Bicara Allah, kalimullah, jika Anda mendaki ke sana – bisa dengan gampang Anda hitung jumlah helai rumput kering yang ada di seluruh sisi tiga gunung itu. Negara-negara Arab mengimport tanah tropis dan tetumbuhan dengan biaya sangat mahal agar merasa hidup di dunia dan bukan di planet Mars. Mesir menciptakan teknologi perkebunan karena memimpikan lingkungan hidup seperti di Indonesia, sehingga mereka mampu menjadi eksportir apel, anggur dan mangga. Sementara Indonesia yang subur makmur tanahnya tentu saja tidak perlu menjadi eksportir seperti itu, karena toh bisa menanam anggur, apel dan mangga kapan saja. Bahkan Indonesia menunjukkan kepada dunia mampu menjadi importir beras meskipun lahan pesawahan dan peradaban padi suku bangsa Jawa tidak ada tandingannya di dunia. Itu bukan karena orang Jawa pemalas dan bukan karena managemen pemerintahan Indonesia bodoh, melainkan karena bangsa kita tidak perlu cemas: sewaktu-waktu bisa menanam padi sambil tidur dan memaneninya sambil mengantuk – sebagai rasa syukur kepada Allah atas anugerah alam subur indah dariNya. Bung Karno dulu berkunjung ke Mesir membawa biji mangga yang kemudian menjadi salah satu sumber penghidupan penduduk Mesir. Sekarang omset penghasilan mangga Indonesia kalah dari Mesir, karena memang Indonesia tidak perlu ngoyo, sebab kita sudah kaya raya. Cobalah perhatikan dan teliti kembali antropologi dunia dan khususnya bangsa Indonesia. Kita penduduk Jawa dan tanah air bukan homo erectus yang dulu musnah itu. Juga bukan bagian murni dari homo sapiens yang merupakan cikal bakal manusia modern. Sejak zaman homo erectus kita sudah ada sebagai jenis makhluk tersendiri. Beranak pinak sampai sekarang dan mungkin penduduk tanah air sekarang ini adalah campuran antara makhluk khusus itu dengan cipratan-cipratan sebagian kecil homo sapiens. Kekhususan antropologis itu membuat kita memang berbeda dari manusia lain di muka bumi. Kelakuan kita beda, kecenderungan fisik dan mental kita beda. Watak dan aspirasinya beda. Cita-cita dan gaya hidupnya beda. Susunan sel, partikel-partikel jasadiyah, struktur saraf, dan organ-organ biologis lainnya dalam tubuh kita berbeda. Juga kejiwaannya. Kita mampu memadukan malaikat dengan setan dalam situasi sangat damai. Kita bisa menjajarkan kebaikan dan keburukan dalam suatu harmoni yang indah. Kita mampu mendamaikan kesedihan dengan kegembiraan, kesengsaraan dengan pesta pora, krisis dengan joget-joget, keprihatinan dengan kesombongan, kemelaratan dengan kemewahan, dan apa saja yang pada homo sapiens murni harus dipilah – pada kehidupan kita dikomposisikan sedemikian rupa. Maka dalam manajemen sejarah kebangsaan dan kenegaraan juga kita santai-santai saja, karena segala sesuatunya pasti OK. Stok pemimpin nasional kita sangat melimpah. Dipimpin oleh kualitas medioker seperti Bu Megawati saja negara bisa beres – padahal kita masih punya sangat banyak calon presiden dan pemimpin lain yang kualitasnya jauh lebih mumpuni. Ibarat makanan, yang kita hidangkan di meja ala kadarnya saja – toh kita semua tahu sesungguhnya kita memiliki simpanan makanan-makanan yang bermacam-macam yang lezat dan bergizi. Kalau sampai Anwar Fuadi menjadi presiden, betapa negeri ini akan penuh tawa dan keriangan. Jika Bambang Yudhoyono yang memimpin, tentu negara kita akan sangat tertib namun cerdas, rapi namun kreatif, agak kaku namun makmur. Andai Sri Sultan Hamengkubuwono X yang nanti memimpin, rasional bagi seluruh bangsa kita untuk membayangkan keadilan dan kebijaksanaan Khalifah Umar bin Abdul Aziz – bahkan mungkin pada diri Raja Yogyakarta Hadiningrat ini terdapat gabungan dari berbagai karakter unggul: keagungan Sultan Agung, kependekaran Panembahan Senopati, kesaktian Mas Karebet, kedewasaan Raden Patah, kemuliaan dan kearifan Walisongo, bahkan mungkin juga kecerdikan Raden Wijaya, kedalaman batin Kertanegara, kharisma Tribhuana Tunggadewi, kebesaran Gajah Mada, dan lain sebagainya. Jika Nurkhalis Madjid yang memimpin negeri ini, seluruh dunia akan terperangah, penduduk di berbagai negara belahan bumi lain akan terbangun dari tidurnya, semua jenis tetumbuhan dan pepohonan akan menjadi lebih segar, kecemerlangan akal dan intelektualitas akan tegak dan
menyinari dunia. Apabila Gus Dur yang kembali ke Istana maka pasti rakyat sudah lebih maju langkah pikirannya, karena dulu ketika beliau menjadi presiden: kebanyakan kita masih kuper, belum luas wawasan, belum dewasa pengalaman, sehingga banyak tidak memahami sepak terjang beliau. Sekarang kita sudah banyak belajar dan siap untuk membangun keasyikan bersama kepemimpinan Gus Dur. (Bersambung). Suara Merdeka 17 Sept 2003 Allah Kita Engkau-kan Di dalam kehidupan sehari-hari di muka bumi, Allah kita akui adaNya, namun belum tentu kita posisikan sebagai Pihak Pertama dalam konsentrasi dan kesadaran hidup kita. Allah belum kita jadikan Pembimbing Utama hidup kita. Allah belum kita jadikan Panglima Agung yang setiap instruksiNya kita patuhi dan setiap laranganNya kita jauhi. Allah masih belum kita letakkan di tempat utama dalam urusan-urusan kita, firman atau ayat-ayatNya belum kita jadikan wacana utama dalam menjalani kehidupan. Mungkin karena kita masih belum bisa berpikir rasional, atau mungkin kita belum memperoleh informasi yang cukup untuk membawa kita kepada betapa pentingnya Ia, atau justru karena kita sudah merasa pandai dengan kesarjanaan kehidupan kita. Pada umumnya Allah masih kita letakkan sebagai Pihak Ketiga yang kita sebut 'Dia' dan sesekali saja kita sebut, utamanya ketika sedang susah dan kepepet oleh suatu masalah. Jangankan lagi untuk mencapai kesadaran ke-Isa-an di mana pada konsentrasi batiniah terdalam kita menyadari bahwa pada hakekatnya kita ini tidak ada dan semata-mata hanya 'diada-kan' olehNya. Sehingga pada konsentrasi yang demikian kita melebur dan lenyap, sampai akhirnya yang benar-benar ada, yang sejati ada, hanya Allah. Dan pada saat itu Allah adalah 'Aku', karena 'aku' yang makhluk ini sudah lenyap sirna bagaikan laron yang terbakar oleh dahsyatnya sinar matahari. Adapun di dalam Ikrar Husnul Khatimah itu kita memposisikan Allah sebagai 'Engkau'. Kita sadar bahwa kehidupan kita ini berada di hadapanNya. Allah bukan 'di samping' kita atau 'di sana', melainkan tepat di depan kita. Sesungguhnya kesadaran meng-Engkau-kan Allah merupakan milik sehari-hari setiap Muslim yang Mu'min. Di manapun kita berada, apapun yang kita lakukan, Allah tidak pernah berada 'di sana', melainkan senantiasa berada di hadapan kita. Bukankah jika melakukan shalat kita berupaya untuk menyadari seolah-olah kita sedang melihatNya di hadapan kita, dan kalau kita tidak mampu melihatnya maka Ia yang melihat kita dari hadapan kita sendiri? Dengan demikian Ikrar Husnul Khatimah adalah suatu peristiwa kesadaran di mana Allah bukan sekedar 'Ia' yang 'di sana' yang berposisi sebagai pelengkap penderita dari program-program karir sejarah kita. Melainkan di hadapan kita, dan merupakan konsern utama kehidupan kita. SERIBU MASJID SATU JUMLAHNYA Oleh : Emha Ainun Najib Satu Masjid itu dua macamnya Satu ruh, lainnya badan Satu di atas tanah berdiri Lainnya bersemayam di hati Tak boleh hilang salah satunyaa Kalau ruh ditindas, masjid hanya batu
Kalau badan tak didirikan, masjid hanya hantu Masing-masing kepada Tuhan tak bisa bertamu Dua Masjid selalu dua macamnya Satu terbuat dari bata dan logam Lainnya tak terperi Karena sejati Tiga Masjid batu bata Berdiri di mana-mana Masjid sejati tak menentu tempat tinggalnya Timbul tenggelam antara ada dan tiada Mungkin di hati kita Di dalam jiwa, di pusat sukma Membisikkannama Allah ta'ala Kita diajari mengenali-Nya Di dalam masjid batu bata Kita melangkah, kemudian bersujud Perlahan-lahan memasuki masjid sunyi jiwa Beriktikaf, di jagat tanpa bentuk tanpa warna Empat Sangat mahal biaya masjid badan Padahal temboknya berlumut karena hujan Adapun masjid ruh kita beli dengan ketakjuban Tak bisa lapuk karena asma-Nya kita zikirkan Masjid badan gmpang binasa Matahari mengelupas warnanya Ketika datang badai, beterbangan gentingnya Oleh gempa ambruk dindingnya Masjid ruh mengabadi Pisau tak sanggup menikamnya Senapan tak bisa membidiknya Politik tak mampu memenjarakannya Lima Masjid ruh kita baw ke mana-mana Ke sekolah, kantor, pasar dan tamasya Kita bawa naik sepeda, berjejal di bis kota Tanpa seorang pun sanggup mencopetnya Sebab tangan pencuri amatlah pendeknya Sedang masjid ruh di dada adalah cakrawala Cengkeraman tangan para penguasa betapa kerdilnya Sebab majid ruh adalah semesta raya Jika kita berumah di masjid ruh Tak kuasa para musuh melihat kita Jika kita terjun memasuki genggaman-Nya Mereka menembak hanya bayangan kita Enam Masjid itu dua macamnya Masjid badan berdiri kaku Tak bisa digenggam Tak mungkin kita bawa masuk kuburan Adapun justru masjid ruh yang mengangkat kita Melampaui ujung waktu nun di sana Terbang melintasi seribu alam seribu semesta Hinggap di keharibaan cinta-Nya Tujuh
Masjid itu dua macamnya Orang yang hanya punya masjid pertama Segera mati sebelum membusuk dagingnya Karena kiblatnya hanya batu berhala Tetapi mereka yang sombong dengan masjid kedua Berkeliaran sebagai ruh gentayangan Tidak memiliki tanah pijakan Sehingga kakinya gagal berjalan Maka hanya bagi orang yang waspada Dua masjid menjadi satu jumlahnya Syariat dan hakikat Menyatu dalam tarikat ke makrifat Delapan Bahkan seribu masjid, sjuta masjid Niscaya hanya satu belaka jumlahnya Sebab tujuh samudera gerakan sejarah Bergetar dalam satu ukhuwah islamiyah Sesekali kita pertengkarkan soal bid'ah Atau jumlah rakaat sebuah shalat sunnah Itu sekedar pertengkaran suami istri Untuk memperoleh kemesraan kembali Para pemimpin saling bercuriga Kelompok satu mengafirkan lainnya Itu namanya belajar mendewasakan khilafah Sambil menggali penemuan model imamah Sembilan Seribu masjid dibangun Seribu lainnya didirikan Pesan Allah dijunjung di ubun-ubun Tagihan masa depan kita cicilkan Seribu orang mendirikan satu masjid badan Ketika peradaban menyerah kepada kebuntuan Hadir engkau semua menyodorkan kawruh Seribu masjid tumbuh dalam sejarah Bergetar menyatu sejumlah Allah Digenggamnya dunia tidak dengan kekuasaan Melainkan dengan hikmah kepemimpinan Allah itu mustahil kalah Sebab kehidupan senantiasa lapar nubuwwah Kepada berjuta Abu Jahl yang menghadang langkah Muadzin kita selalu mengumandangkan Hayya 'Alal Falah! 1987 fwd from PmBNet Documentation Suara Merdeka 25 Sept 2003 Kolom Budaya BANGSA GARDA DEPAN Pada seri kedua tulisan tentang “Bangsa Bibit Unggul” ini saya ingin meyakinkan para sidang pembaca bahwa kita bangsa Indonesia ini bukan hanya bangsa bibit unggul, lebih dari itu : dalam konteks evolusi pemikiran, kebudayan dan peradaban – kita adalah bangsa garda depan, avant garde nation, yang derap sejarahnya selalu berada beberapa langkah di depan bangsa-bangsa lain di muka bumi. Para pakar dunia di bidang ilmu sosial, ilmu ekonomi, politik dan kebudayaan, sudah terbukti
“terjebak” dalam mempersepsikan apa yang sesungguhnya terjadi pada bangsa kita. Penduduk seluruh dunia membayangkan Indonesia adalah kampung-kampung setengah hutan yang kumuh, banyak orang terduduk di tepi jalan karena busung lapar, mayat-mayat bergeletakan, perampok di sana sini, orang berbunuhan karena berbagai macam sebab. Negeri yang penuh duka dan kegelapan. Padahal di muka bumi tak ada orang bersukaria melebihi orang Indonesia. Tak ada orang berjoget-joget gembira siang malam melebihi bangsa Indonesia. Tak ada masyarakat berpesta, tertawa-tawa, ngeses baass buuss baass buuss, jagongan, kenduri, serta segala macam bentuk kehangatan hidup melebihi kebiasaan masyarakat kita – dan yang budaya semacam itu sungguh memang hanya terdapat di kepulauan Nusantara. Tak ada anggaran biaya pakaian dinas pejabat melebihi yang ada di Indonesia. Tak ada hamparan mobil-mobil mewah melebihi yang terdapat di Indonesia. Import sepeda motor apa saja dijamin laku, betapa jutapun yang kau datangkan ke negeri ini. Penduduk dunia menyangka kita sedang mengalami krisis, padahal berita tentang krisis negara kita adalah suatu ungkapan kerendahan hati. Penduduk bumi sering tidak mengerti retorika budaya masyarakat kita. Kalau kita bilang “Silahkan mampir ke gubung saya” – mereka menyangka yang kita punya adalah gubug beneran, padahal rumah kita adalah Istana, yang Gubernur di Brazil dan Menteri di Mesirpun tak punya rumah macam kita punya. Kalau kita menawarkan “Mari ikut gerobag saya, saya antar ke rumah Panjenengan” – tidak berarti kita menghina dia dengan menaikkannya ke atas gerobag. Yang dimaksudkan gerobag oleh pola perilaku kebudayaan bangsa kita sesungguhnya adalah Jaguar. Kalau kita bilang “Negara kita sedang krisis”, itu semacam tawadlu’ sosial, suatu sikap yang menghindarkan diri dari sikap sombong. Kalau pemerintah kita terus berhutang triyunan dollar, itu strategi agar kita disangka miskin. Itu taktik agar dunia meremehkan kita. Karena kita punya prinsip religius bahwa semakin kita direndahkan oleh manusia, semakin tinggi derajat kita di hadapan Allah. Semakin kita diperhinakan oleh manusia di bumi, semakin mulia posisi kita di langit. Dulu ketika Gus Dur menjadi presiden, sejumlah orang di luar negeri mengejek kita: Apa dari 210 juta penduduk negaramu tidak ada seorangpun yang punya kemampuan menjadi presiden sehingga harus mengangkat seorang tokoh yang – mohon maaf – tidak bisa melihat? Ketika Megawati naik ke kursi tertinggi, mereka juga bertanya dengan sinis: Apa penduduk negerimu itu 99% wanita sehingga tak ada satu lelakipun yang mungkin menjadi kepala negara? Memang agak aneh bahwa bangsa-bangsa di luar Indonesia yang katanya lebih terpelajar dan lebih beradab, ternyata hanya memiliki pemikiran linier dan tingkat kecerdasannya sangat tidak bisa diandalkan. Mereka tidak punya fenomena budaya “sanepo”, misalnya. Juga tak punya “pekewuh”. Kita sebagai bangsa yang berkebudayaan tinggi dan berperadaban unggul – tidaklah akan pernah memilih suatu sikap sosial yang “gemedhe” atau “adigang adigung adiguna”. Kita tidak akan pernah pamer keunggulan kepada bangsa lain, dan itulah justru tanda keunggulan budaya kita. Kita tidak akan mencari kepuasan hidup dengan melalui sikap “ngendas-endasi” bangsa lain. Kita adalah bangsa yang memiliki kemuliaan batin karena sanggup mempraktekkan budaya “andap asor”. Jangankan soal presiden. Tim nasional sepakbola kitapun kita rancang sedemikian rupa sehingga jangan sampai “menangan” atas kesebelasan negara-negara lain. Sudah berpuluh tahun kita mempraktekkan filosofi “ngalah kuwi dhuwur wekasane”. Olahraga bulutangkis yang dulu negara kita pernah membuktikan sebagai negara yang tak bisa dikalahkan oleh tim dari negara manapun termasuk Cina yang berpenduduk 1,2 milyar. Sekarang kita menyesal kenapa mempermalukan Cina, sehingga tim bulutangkis kita sekarang kita bikin bagus, tetapi sering mengalah. Demikian juga mengenai pertanyaan teman-teman luar negeri tentang Gus Dur dan Megawati. Mereka terperangkap oleh simbolisme fisik, dan tidak mampu menyelami kedalaman substansialnya. Gus Dur tidak bertahan lama menjadi presiden semata-mata karena temanteman di MPR/DPR tidak “nutut” ilmunya sehingga karena kekurangan ilmu itu mereka melakukan impeachment. Itulah sebabnya Gus Dur mengatakan bahwa DPR itu taman kanakkanak. Nanti 2004 Gus Dur bermaksud maju lagi ke kursi teratas, tentu karena memperhitungkan bahwa sekarang teman-teman di DPR/MPR pasti sudah berkembang wawasannya. Masyarakat luar negeri juga tidak memiliki fisolofi “padi itu makin matang makin menunduk ke
bawah”. Demikianlah seharusnya persepsi yang tepat dalam menilai Bu Mega. Bangsa Indonesia tidak membutuhkan presiden banyak omong, maka beliau sangat hemat omong. Makin arif manusia, makin sedikit kata-katanya. Makin sakti seorang prajurit, makin pendek tombaknya. Kalau Anda kenal dunia kesusastraan: puisi tertinggi adalah yang kata-kata apapun sudah tak mampu mewakili inti nilainya. (Bersambung). Transendensi Rohani Ikrar Husnul Khatimah ini dibutuhkan oleh setiap orang. Bukan milik seseorang atau suatu golongan. Setiap orang atau jamaah bisa menyelenggarakannya di mana saja dan kapan saja, bahkan bisa tidak hanya satu kali, karena setiap hamba Allah senantiasa perlu mengontrol dirinya terus menerus. Ikrar Husnul Khatimah ini sungguh-sungguh inisiatif rohaniah hamba Allah kepada Tuhannya. Seseorang atau sejumlah orang yang datang ke hadapan Allah berhusnul khatimah, mungkin karena didorong oleh situasi-situasi keduniaannya, oleh konflik-konflik bangsanya, oleh krisiskrisis masyarakatnya, oleh kemudlaratan-kemudlaratan konflik kepentingan antar partai politik dan kelompoknya. Namun ia dan mereka menghadap Allah tidak dengan mengutamakan 'kedirian kelompok'nya, tidak memasang label-label sosialnya, tidak mengkostumi diri dengan jabatan dan harga diri keduniaannya. Justru hal-hal itu yang akan mereka bersihkan di hadapan Allah. Dengan kata lain kehadiran berhusnul khatimah di hadapan Allah adalah merupakan transendensi rohaniah yang mengatasi identitas sosial, kelompok, partai, golongan dan lain sebagainya. Agar husnul khatimah itu effektif maka ikrarnya harus merdeka dari pamrih politik, nafsu-nafsu parsial keduniaan dan taktik strategi apapun yang bersifat rendah. Cinta yang Accessable Oleh EMHA Ainun Nadjib Belum lagi kalau kita berbicara tentang metoda cinta Muhammad, prinsip dan karakter cintanya, moral dan etika cintanya. Biasanya orang yang dicintai merasa aman terhadap dan dari pihak yang mencintai. Tapi, Muhammad memilih rasa tidak aman. Muhammad memilih merasa bersalah dan rasa kurang mengabdi terus menerus. Muhammad dijamin oleh cinta Allah, dipastikan sorganya, dilindungi dan diridhai, tetapi ekspressi dan perilaku utama Muhammad adalah istighfar: senantiasa meletakkan diri sebagai hamba yang penuh dosa sehingga seakan-akan satu-satunya 'profesi'nya adalah memohon ampun kepada-Nya. Lantas, agar tidak berkepanjangan, apa makna 'segitiga' dari pesta cinta itu? Kita ambil satu saja: bahwa cinta kita kepada Muhammad sangat accessable terhadap cinta Allah kepada kita. Sedemikian cintanya Allah kepada Muhammad, maka kenyataan kita mencintai Muhammad atau tidak sangat menjadi bahan pertimbangan bagi Allah dalam menyikapi kita, termasuk dalam mempertimbangkan permintaan kita kepada-Nya. Kalau kita bersujud kemudian menadahkan tangan kepada-Nya, tanpa menyertakan bukti cinta kepada Muhammad, seakan-akan Allah lantas mengacuhkan kita dan berkata: 'Kau bersikap acuh tak acuh kepada kekasih-Ku, bagaimana mungkin engkau mengharapkan perhatian-Ku atasmu?" Oleh karena itu tak ada orang Islam berdoa tanpa mendahuluinya dengan shalawat kepada Muhammad. Di sinilah cinta segitiga terjadi. Orang Islam bukan dan dilarang berdoa kepada
Muhammad, tetapi shalawat kepada Muhammad ibarat kunci pembuka kemurahan hati Allah. Dan itu logis dalam mekanisme cinta. Apalagi, dalam Shalawat, Allah adalah perintis, pelopor dan komandan. Kalau Allah menyuruh kita melakukan shalat, Ia sendiri tak perlu shalat. Ia menyuruh kita naik haji, Ia sendiri tidak lantas mencontohi naik haji. Tapi Ia menyuruh para Malaikat dan kita semua bershalawat kepada Muhammad, dengan terlebih dahulu Ia sendiri melakukannya, meneladaninya, mempeloporinya. Jadi Allah pun juga bershalawat kepada Muhammad. Begitu pula dengan Malaikat-Nya. Rasulullah pun sangat mencintai kita, ummatnya. Maka bagi orang-orang yang bershalawat kepada Muhammad, orang-orang yang rajin menyatakan dan membuktikan cinta kepada kekasih-Nya, Allah akan memberikan rahmat-Nya, memudahkan hidupnya, menenteramkan hatinya, mengamankan keluarganya, memperluas rejekinya, serta menjanjikan akan mudah jalan sorganya melalui syafaat Rasulullah saw. Sayafaat Rasul itu ibarat surat rekomendasi Muhammad untuk kebahagiaan akhirat kita yang Allah tidak bisa tidak menerimanya. Tentu saja shalawat yang dimaksud di sini bukan sekedar 'membaca shalawat', bukan sekedar menyanyikan shalawat, melainkan mewujudkan segala ajaran Muhammad di dalam praktek nyata kehidupan kita. Kalau hanya menyanyikan shalawat namun tidak mewujudkan ajaran Muhammad, berarti kita dalah pengkhianat cinta. Nggak bisa dong kita bilang 'I love you' tanpa memenuhi hak-hak pihak yang kita cintai. Cinta segitiga ini, memunculkan ketentraman dan keikhlasan dalam bekerja. Bayangkan bila orientasi kerja dan berbagai aktivitas kita, hanya sekedar berdimensi duniawi, maka ia hanya memperoleh dunia. Namun, bila semua itu diorientasikan dalam kecintaan kita pada Rasulullah dan dalam rangka kepatuhan dan ketundukan kita pada Allah, maka ia akan dapat dua: kenikmatan duniawi dan ukhrawi. Ada banyak cara mengekspresikan kecintaan kita pada Rasulullah saw. Misalnya, ketika dalam keadaan bahaya, kita disunnahkan untuk membaca Shalawat Nabi. Bukankah dalam Shalawat maknanya justru mendoakan Nabi? Mengapa dalam keadaan demikian kita tidak berdoa untuk diri kita sendiri saja? Begitulah cinta yang memantul from Republika, Minggu, 06 Mei 2001 Berlindung Dari 5 Kesombongan Ya Allah hamba berlindung kepadaMu dari kesombongan orang berkuasa, yang berdiri gagah tanpa punya malu karena merasa diri mereka lebih tinggi dari rakyatnya, padahal rakyatnya itulah yang meletakkannya di kursi dan membiayai hidup mereka, namun rakyat itu pulalah yang menjadi sasaran dari palu dan senapan para penguasa Ya Allah hamba berlindung kepadaMu dari kesombongan orang kaya, yang berjalan acuh tak acuh dan mendongakkan kepalanya karena merasa dirinya lebih penting di banding orang-orang lainnya, padahal orang banyak itulah sumber penghidupan dan kekayaannya, namun orang banyak itu pulalah yang selalu disuruh siap dibeli kehormatannya dengan uang dan harta mereka Ya Allah hamba berlindung kepadaMu dari kesombongan orang pandai, yang selalu merasa
lebih hebat dari orang lainnya, sehingga ia membuka mulutnya lebar-lebar dan memuntahkan hujan kata-kata yang berasal dari perasaan pandai dan hebat di dalam dirinya, padahal inti kepandaian adalah kesanggupan untuk mendangarkan serta kerendahan hati untuk tidak banyak membuka mulut, dan puncak tertinggi keterpelajaran berbanding sejajar dengan tingkat kesadaran atas kebodohan diri Ya Allah hamba berlindung kepadaMu dari kesombongan orang masyhur yang selalu merasa lebih khusus dibanding orang-orang disekitarnya, yang menyangka bahwa kemasyhuran adalah kelebihan derajat atas orang lainnya, yang mengira bahwa kemasyhuran adalah sama dengan keunggulan dan kehebatan, yang perilakunya mengandalkan "karena aku masyhur maka aku hebat", bukan membuktikan bahwa "karena aku bermanfaat maka aku (terpaksa) masyhur" Ya Allah hamba berlindung kepadaMu dari kesombongan orang alim saleh, yang ke manamana sibuk merasa bahwa yang selain dirinya adalah najis, yang tidak punya kemampuan lain kecuali merasa dirinya suci dan selalu benar, yang beranggapan bahwa Tuhan adalah anak buahnya, bahwa para Nabi dan Rasul adalah staf dan karyawannya untuk melaksanakan kepentingan-kepentingan diri dan golongannya Emha Ainun Nadjib from Suara Merdeka 02 Oktober 2003 Bangsa Besar Tak Butuh Kebesaran Banyak orang mengejek bangsa Indonesia dengan perkataan begini: “Dulu Indonesia adalah gurunya Malaysia. Dalam segala hal. Malaysia adalah bangsa serumpun yang masih imut-imut sehingga memerlukan bimbingan kakaknya yang besar dan berwibawa. Mahathir belajar serius kepada Bung Karno dalam hal penanganan nasionalisme dan kewibawaan bangsa. Kemudian ia juga belajar kepada Pak Harto dalam soal ketegasan managemen pembangunan”. “Guru-Guru Indonesia diserap oleh Malaysia. Dari pedagang makanan sampai presiden Malaysia belajar kepada Indonesia. Tapi perkembangannya kemudian secara sangat cepat berbalik. Hari ini Indonesia tidak ada apa-apanya dibanding Malaysia, dalam managemen kenegaraannya, penanganan pembangunannya, peningkatan SDMnya, bahkan di bidang apa saja. Sekarang bekas-bekas guru dari Indonesia ini prestasinya terbatas pada pengiriman ‘pendatang haram’ alias tenaga kerja gelap di Malaysia...” “Malaysia adalah murid yang cerdas dalam mempelajari ajaran gurunya serta tekun dalam mempraktekkannya, sehingga dalam perkembangannya ia mampu melampaui kemampuan gurunya. Indonesia adalah Guru yang pandai namun pemalas dan agak sok pinter, sehingga tidak benar-benar memperhatikan ajaran-ajaran yang ia berikan kepada muridnya, dan akhirnya ia tertinggal jauh dari muridnya”. “Malaysia adalah adik yang rendah hati, agak penakut namun rajin dan bersungguh-sungguh dalam menjalankan hidupnya. Indonesia adalah kakak yang gagah, berwibawa, namun di dalam jiwanya terdapat kesombongan yang serius, dan memiliki kecenderungan untuk hanya bermainmain dalam hidupnya. Secara sekilas Indonesia kelihatannya unggul, tapi dalam jangka panjang sesungguhnya si kakak ini tak ada apa-apanya”. Banyak macam lagi cara orang merendahkan Indonesia. Dalam berbagai forum ilmiah, teurtama yang berskala internasional, seringkali Indonesia menjadi bulan-bulanan dan disimpulkan sebagai bangsa yang tidak punya bakat untuk mengalami kemajuan yang signifikan. Biasanya, jika ada orang Indonesia di tengah-tengah ejekan itu, tak ada jawaban atau bantahan, sehingga semua orang di dunia makin yakin terhadap pencitraan tentang Indonesia yang mereka ciptakan sendiri. Tentu saja bagi setiap orang Indonesia yang bermental Indonesia: adegan semacam itu akan membuatnya geli dan tersenyum gembira. Bukan tersenyum kecut. Orang Indonesia tidak membantah citra semacam itu, sebab kalau dibantah akan menjadi diketahui orang siapa sesungguhnya Indonesia. Orang Indonesia membiarkan masyarakat dunia mengejeknya, justru
supaya tercipta kesan seperti itu tentang Indonesia. Itulah yang namanya kearifan. Memang salah satu kehebatan bangsa Indonesia adalah kesanggupannya menciptakan citra di mata dunia bahwa dirinya dekaden, bodoh, kacau, miskin, mental buruk dan moral rusak. Itulah pendekar sejati. Kalau Anda seorang yang alim saleh dan tampil dengan lambang-lambang kealiman dan kesalehan, misalnya berpeci, pakai surban dll – berarti kerendah-hatian Anda belum sempurna. Untuk memaksimalkan kesalehan justru Anda harus menutupi kesalehan diri itu, jangan sampai ketahuan orang lain. Banyak orang Indonesia yang menghindar jangan sampai orang tahu bahwa ia rajin sembahyang, supaya orang tidak memujinya, sebab pujian itu racun. Banyak kelompokkelompok yang mencegat kendaraan di jalanan untuk meminta infaq pembangunan masjid – tujuannya supaya mereka disangka tidak punya uang untuk membangun masjid. Tujuan yang lebih mendalam adalah supaya mereka dikira pengemis. Bahkan ada orang yang makan di siang hari bulan Ramadlan, dengan maksud supaya orang menyangkanya tidak berpuasa. Demikian jugalah kita tampil di depan mata Malaysia dan dunia dengan performance yang kumuh, agak gila, serabutan, awut-awutan, tak mengerti managemen dlsb. Padahal sesungguhnya itu semua hanya gaya, hanya penampilan luar. Bukan substansi kepribadian kita. Bagaimana identitas kita yang sesungguhnya, tak usahlah dunia mengetahuinya, cukup Tuhan saja. Bangsa Indonesia dalam kehidupan sehari-haripun punya kecenderungan kerendahan hati yang luar biasa. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar, sehingga tidak membutuhkan kebesaran. Orang yang masih mengejar kebesaran adalah orang yang masih kecil atau kerdil. Orang yang masih sibuk mengejar proyek dan kekayaan berarti dia orang miskin. Indonesia tidak pernah mengejar-ngejar kemajuan, karena sudah maju. Indonesia tidak pernah bernafsu terhadap kehebatan, karena aslinya memang sudah hebat. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar. Kebodohan yang merata dalam kehidupan bangsa kita di semua segmen dan strata, tidak mengurangi kebesaran bangsa Indonesia. Untuk menjadi besar, bangsa Indonesia tidak memerlukan kepandaian. Bodohpun kita tetap besar. Dengan bekal mental kerdilpun kita tetap besar. Dengan modal moralitas yang rendah dan hinapun bangsa kita tetap bangsa yang besar. Oleh karena itu kita tidak memerlukan kebesaran, karena memang sudah besar.***** fwd from Republika, Minggu, 15 April 2001 Fir'aun dan Tiga Kebenaran Oleh: EMHA Ainun Nadjib Kalau disederhanakan ada tiga model kebenaran yang berlaku dan dialami manusia. Pertama, benarnya sendiri (benere dhewe). Kedua, benarnya orang banyak (benere wong akeh). Dan, ketiga kebenaran hakiki (bener kang sejati). Sejak mendidik bayi sampai menjalankan penyelenggaraan negara, manusia harus sangat peka dan waspada terhadap sangat berbahayanya jenis kebenaran yang pertama. Artinya. orang yang berlaku berdasarkan benarnya sendiri, pasti mengganggu orang lain, menyiksa lingkungannya, merusak tatanan hidup bersama, dan pada akhirnya pasti akan menghancurkan diri si pelakunya sendiri. Benarnya sendiri ini bisa berlaku dari soal-soal di rumah tangga, pergaulan di kampung, di pasar, kantor, sampai ke manifestasi-manifestasinya dalam skala sosial yang lebih luas berupa otoritarianisme, diktatorisme, anarkisme, bahkan pada banyak hal juga berlaku pada monarkhisme atau teokrasi. Benarnya sendiri melahirkan Fir'aun-Fir'aun besar dalam skala negara dan dunia, serta memproduk Fir'aun-Fir'aun kecil di rumah tangga, di lingkaran pergaulan, di organisasi, bahkan di warung dan gardu. Tidak mengagetkan pula jika benarnya sendiri juga terjadi pada kalangan yang yakin bahwa mereka sedang menjalankan demokrasi.
Ada seribu kejadian sejarah yang mencerminkan di mana para pelaku demokrasi menerapkan demokrasi berdasarkan paham benarnya sendiri mengenai demokrasi. Orang yang selama berpuluh-puluh tahun diyakini sebagai seorang demokrat sejati --ditulis di koran-koran, buku-buku, digunjingkan di forum-forum nasional maupun internasional sebagai seorang demokrat teladan-- ternyata pandangan-pandangan kolektif itu khilaf. Padahal demokrasi adalah tingkat kebenaran yang lebih tinggi, yakni benarnya orang banyak. Demokrasi adalah logo-nya kehidupan modern. Ia bahkan melebihi segala Agama, bahkan diletakkan 'lebih tinggi' dari Tuhan. Tapi, apakah orang banyak pasti benar? Meskipun kebenaran mayoritas itulah pencapaian tertinggi yang bisa dibayangkan oleh ilmu pengetahuan politik yang paling rasional? Bukankah sejarah ummat manusia juga mencatat kengerian terhadap diktatorisme mayoritas? Bagaimana kalau kebanyakan orang dalam suatu bangsa tidak punya kemampuan untuk memilih mana yang benar, mana yang baik, mana tokoh, mana pemimpin, mana panutan, mana politisi, mana negarawan, bahkan mana Ulama, mana Sufi dan lain sebagainya sebagaimana tragedi besar besar panjang yang hari-hari ini sedang dialami oleh bangsa Indonesia? Kita sangat mantap membangun proses demokratisasi, memfokuskan diri pada 'suara rakyat', atau dengan kata lain: benarnya orang banyak. Bukan kebanyakan warga suatu suku menganggap dan meyakini bahwa membunuh, memenggal kepala, mencincang-cincang tubuh dan memusnahkan suku yang lain adalah kebenaran? Belum lagi kerepotan kita dengan para pencoleng elite yang ke mana-mana mengatakan bahwa ia menggenggam kebenaran rakyat banyak, sehingga menyebut dirinya dan orang lain dengan tolol ikut menyebutnya demokrat. Benarnya orang banyak sangat penuh kelemahan dan sama sekali tidak mengandung jaminan keselamatan di antara para pelakunya, bahkanpun bagi pelaku diktatorisme mayoritas itu sendiri. Benarnya orang banyak harus disangga oleh sangat banyak faktor lain: kematangan budaya, tegaknya akal dan kejujuran, pendidikan yang memadai, kedewasaan mental kolektif dan lain sebagainya. Demokrasi tidak bisa berdiri sendiri. Demokrasi adalah ilmu yang belum dewasa dan pengetahuan yang masih timpang terhadap kenyataan manusia.
fwd from Suara Merdeka 15 Oktober 2003 Kita Bukan Bangsa Pemalas Orang yang “gumunan” sering mengatakan bahwa satu orang Jepang kualitas dan tenaganya sama dengan 5 orang Indonesia. Sementara satu orang Korea sama dengan 3 orang Jepang. Jadi 15 orang Indonesia baru bisa menandingi satu orang Korea. Yang dibandingkan adalah stamina dan etos kerjanya, keuletan dan kerajinannya, kadar profesionalitas dan managerialnya. Tentu itu berangkat dari kenyataan industri dan perekonomian Korea yang semakin menguasai dunia. Padahal negaranya kecil, tak punya kekayaan alam, laki-lakinya jarang yang ganteng dan perempuannya tak ada yang mampu menandingi kecantikan artis-artis kita. Memang sesudah sampai awal tahun 80an Korsel kacau kepribadian kebangsaannya, sesudah ditandangi oleh pemerintahan militer yang bersikap sangat memacu kerja keras rakyatnya, yang menempelengi
koruptor dan para pemalas, akhirnya bangkitlah bangsa Korea, dan sekarang langit bumi mengaguminya. Tetapi kalau kesimpulan itu mengandung tuduhan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa pemalas, sangat suka mencuri, tak mau jalan kecuali jalan pintas, main bola sambil duduk tapi ingin menang 5-0 dan kalau kemasukan gol marah-marah – itu salah besar! Bangsa Indonesia bukan bangsa pemalas. Kita adalah bangsa yang memang tidak perlu rajin, tidak membutuhkan keuletan, tidak mau ngoyo, cukup ikut sidang-sidang kemudian bisa bikin supermarket, dll. Kita bangsa yang kaya raya sejak dari sononya, sehingga cukup mengisi kehidupan dengan joget dan tidur saja, tidak perlu repot-repot seperti bangsa-bangsa lain. Sedemikian adil makmur aman sejahteranya negara kita sehingga kita tidak membutuhkan pemerintahan yang baik. Demi membantah pendapat di atas, saya nekad terbang ke Korea. Mohon maaf minggu kemarin saya absen menulis karena itu. Tapi karena di negeri ginseng itu saya tidak tahu jalan, maka 12 hari baru bisa pulang kembali ke tanah air. Apalagi orang Korea sangat benci kepada Amerika Serikat sehingga mereka sangat gengsi untuk memakai bahasa Inggris. Jadi semua informasi, petunjuk-petunjuk di jalan dan di mana saja hampir 99% memakai bahasa dan tulisan Korea. Dulu mereka benci Jepang karena sebagaimana kita Indonesia, mereka juga dijajah Jepang, rakyatnya diperbudak, kerajaannya dibakar habis – sampai akhirnya di kemudian hari mereka mengimprot kayu dari Kalimantan untuk bikin bangunan kraton yang dimirip-miripkan dengan aslinya. Korea merdeka dari Jepang dua hari sebelum kita, yakni 15 Agustus 1945. Sekarang di zaman modern mereka punya sasaran kebencian yang lebih besar, yaitu Amerika Serikat – meskipun tentu saja hati rakyat mereka tidak tercermin oleh sikap pemerintah mereka. Namanya juga pemerintah, tentu agak aneh kalau sepak terjangnya mirip dengan kelakuan rakyatnya. Saya jadi enthung thilang-thileng di Encheon, Seoul, Busan, sampai ke pinggiran Suwon, Ansan dll. Mana gedung-gedungnya tinggi-tinggi amat. Belum lagi kereta bawah tanahnya silang sengkarut berlapis-lapis mengiris-iris bertingkat-tingkat ke bawah permukaan bumi. Keluar dari subway saja saya pasti bingung, apalagi setiap subway di bawah tanah itu ada lapisan-lapisan pasar yang masing-masing sekecamatan luasnya. Huruf latin tak ada 5% jumlahnya. Lebih celaka lagi karena kebanyakan orang Korea tidak bisa berbahasa Indonesia. Sementara kemampuan bahasa saya juga sangat awam. Kalau ke Mesir, Arab, Jordan, Syria atau Israel, saya selalu mengaku kepada orang-orang di sana bahwa saya lebih mampu berbahasa Inggris dibanding bahasa Arab. Sementara kalau saya ke London, Ann Arbor, atau ke Perth, saya selalu memamerkan bahwa memang bahasa Inggris saya sangat buruk – tapi kan bahasa Arab saya sangat OK. Padahal orang Korea sangat jarang tidur. Jam 11 malam saya ketemu anak-anak SMP pulang sekolah. Jam 1 dinihari mahasiswa-mahasiswi pulang kuliah. Mulai jam 2 pagi pasar Dong Daimun, Nam Daimun atau mall Doota justru sedang ramai-ramainya. Karena kita negara sejahtera maka Jakarta macet sore-sore kita sudah cemas, padahal di Seoul jam 3 pagi di sana sini traffic jam. Begitu banyak orang, tapi saya tak bisa omong apa-apa. Ada satu dua kata Korea saya tahu, tapi hilang maknanya karena setiap kata ditambah “see” atau “ee”. Sampai akhirnya saya ngedumel sendiri dan menyanyikan lagu Indonesia berjudul “Asek”. Bunyinya: “Asekuntum mawar meraaah, o o o....” Alhasil saya kebingungan. Tak tahu utara selatan. Karena di luar Indonesia orang ngertinya kanan kiri depan belakang atas bawah. Barat timur sudah lenyap. Karena Tuhan sendiri berfirman bahwa “la syarqiyyah wa la ghorbiyyah...”. Tak timur, tak barat. Untung saya ditolong oleh seorang direktur utama sebuah perusahaan pembuat alat-alat Security System dan software komputer, terutama Internet Multimedia Phone. Sebagai orang udik saya terbengong-bengong di tepi jalan, sampai akhirnya dihampiri oleh beliaunya itu. Seorang Sajang, alias juragan perusahaan besar – meskipun tak sebesar Samsung, SK, LG atau Honde (Hyundai) – yang barusan pimpinannya bunuh diri terjun dari gedung tinggi gara-gara rahasia keuangan ekstra perusahaannya yang terkait dengan Korea Utara. Tapi Pak Sajang ini kelakuannya sungguh aneh. Saya didatangi, dikasih rokok, diajak makan, bahkan dia membawa wajan sendiri untuk keperluan penggorengan makan kami. Saya dikursus bagaimana menggunakan sumpit. Kemudian beliau mengajak saya keliling melihat-lihat kantorkantor dan pabriknya. Saya dibikin terkagum-kagum dipameri kunci atau gembok pintu yang detektor pembukanya menggunakan sidik jari. Kalau sidik jari kita belum terdaftar, nggak bisa
buka pintu. Kemudian bahkan ada gembok yang berdasarkan sinar mata kita. Meskipun nama saya Ainun, artinya mata – tetap saja pintu itu tak bergeming meskipun saya pelototi habishabisan sampai mengerahkan ilmu kebatinan Kaliwungu, Banten, Tulungagung dll. Mohon maaf ruangan untuk tulisan ini sudah habis. Minggu depan saya sambung dari Malaysia, karena Pak Sajang itu menyuruh saya ke KL tgl 17 lusa.*** fwd from Republika, Minggu, 03 Juni 2001 Hijrah dan Kultus Individu Oleh EMHA Ainun Nadjib Tidak ada satu peristiwa apa pun dalam kehidupan yang dihuni oleh manusia ini yang tidak bersifat hijrah. Seandainya pun ada benda yang beku, diam dan seolah sunyi abadi: ia tetap berhijrah dari jengkal waktu ke jengkal waktu berikutnya. Orang jualan bakso menghijrahkan bakso ke pembelinya, dan si pembeli menghijrahkan uang ke penjual bakso. Orang buang ingus, buang air besar, melakukan transaksi, banking, ekspor impor, suksesi politik, revolusi, apapun saja, adalah hijrah. Inti ajaran Islam adalah hijrah. Icon Islam bukan Muhammad, melainkan hijrah. Muhammad hanya utusan, dan Allah dulu bisa memutuskan utusan itu Darsono atau Winnetou, tanpa ummat manusia men-demo Tuhan kenapa bukan Muhammad. Oleh karena itu hari lahirnya Muhammad saw. Tidak wajib diperingati. Juga tidak diletakkan sebagai peristiwa nilai Islam. Hari lahir Muhammad kita ingat dan selenggarakan peringatannya semata-mata sebagai peristiwa cinta dan ucapan terima kasih atas jasa-jasanya melaksanakan perintah Tuhan. 12 Rabiul Awal bukan hari besar Islam sebagaimana Natal bagi ummat Kristiani. Sekali lagi, itu karena Islam sangat menghindarkan ummatnya dari kultus individu. Wajah Muhammad tak boleh digambar. Muhammad bukan founding father of islam. Muhammad bukan pencipta ajaran, melainkan pembawa titipan. Tahun Masehi berdasarkan kelahiran Yesus Kristus, sementara Tahun Hijriyah berdasarkan peristiwa hijrah Nabi, yang merupakan momentum terpenting dari peta perjuangan nilainya. Kesadaran hijriyah menghindarkan ummat dari penyembahan individu, membawanya menyelam ke dalam substansi ajaran -siapa pun dulu yang diutus oleh Tuhan untuk membawanya. Hijrah adalah pusat jaring nilai dan ilmu. Dari gerak dalam fisika dan kosmologi hingga perubahan dan transformasi dalam kehidupan sosial manusia. Manusia Muslim tinggal bersyukur bahwa wacana dasar hijrah sedemikian bersahaja, bisa langsung dipakai untuk mempermatang cara memasak makanan, cara menangani pendidikan anak-anak, cara mengurus organisasi dan negara. Hijrah Muhammad saw. dan kaum Anshor ke Madinah, di samping merupakan pelajaran tentang pluralisme politik dan budaya, juga bermakna lebih esoterik dari itu. Peristiwa Isra' Mi'raj misalnya, bisa dirumuskan sebagai peristiwa hijrah, perpindahan, atau lebih tepatnya transformasi, semacam proses perubahan atau 'penjelmaan' dari materi ke (menjadi) energi dan ke (menjadi) cahaya. Sebenarnya sederhana saja. Kalau dalam ekonomi: uang itu materi, kalau diputar atau digerakkan atau 'dilemparkan' maka menjadi enerji. Itu kejadian isro' namanya. Tinggal kemudian
enerji ekonomi itu akan digunakan (dimi'rajkan) untuk keputusan budaya apa. Kalau sudah didagangkan dan labanya untuk beli motor: motornya dipakai untuk membantu anak sekolah atau sesekali dipakai ke tempat pelacuran. Di dalam teknologi, tanah itu materi. Ia bisa ditransformasikan menjadi genting atau batu-bata. Logam menjadi handphone, besi menjadi tiang listrik, atau apapun. Tinggal untuk apa atau ke mana mi'rajnya. Peristiwa isro' bergaris horisontal. Negara-negara berteknologi tinggi adalah pelopor isro' dalam pengertian ini. Pertanyaannya terletak pada garis vertikal tahap mi'raj sesudahnya. Kalau vertikal ke atas, berarti transform ke atau menjadi cahaya. Artinya produk-produk teknologi didayagunakan untuk budaya kehidupan manusia dan masyarakat yang menyehatkan jiwa raga mereka dunia akhirat. Kalau garis vertikalnya ke bawah, berati transform ke atau menjadi kegelapan. Mesiu Cina diimport ke Eropa menjadi peluru, meriam dan bom. Kita bisa dengan gampang menghitung beribu macam produk teknologi isro' pemusnah manusia, perusak mental dan moral masyarakat. Dalam pengertian umum dan baku selama ini, Isra' Mi'raj selain merupakan peristiwa besar dalam sejarah, namun pada umumnya berhenti sebagai wacana dongeng, dan belum digali simbol-simbol berharganya atas idealitas etos tranformatif. Dalam kehidupan sehari-hari, sesuai dengan rumus di atas, segala sesuatu yang menyangkut kehidupan manusia-baik di bidang ekonomi, politik, sosial budaya dan sebagainya-terjadi secara berputar membentuk bulatan. Yang sehari-hari sajapun: badan kita (materi), tentu, jika tidak diolah-ragakan (dienergikan), mengakibatkan tidak sehat. Tidak sehat adalah kegelapan. Setelah badan kita sehat dan menyehatkan, lantas dipergunakan untuk kegiatan yang baik, yang memproduk cahaya bagi batin kehidupan kita, serta bermanfaat seoptimal mungkin bagi sesama manusia dan alam-lingkungan. DOA SEHELAI DAUN KERING Janganku suaraku, ya 'Aziz Sedangkan firmanMupun diabaikan Jangankan ucapanku, ya Qawiy Sedangkan ayatMupun disepelekan Jangankan cintaku, ya Dzul Quwwah Sedangkan kasih sayangMupun dibuang Jangankan sapaanku, ya Matin Sedangkan solusi tawaranMupun diremehkan Betapa naifnya harapanku untuk diterima oleh mereka Sedangkan jasa penciptaanMupun dihapus Betapa lucunya dambaanku untuk didengarkan oleh mereka Sedangkan kitabMu diingkari oleh seribu peradaban Betapa tidak wajar aku merasa berhak untuk mereka hormati Sedangkan rahman rahimMu diingat hanya sangat sesekali Betapa tak masuk akal keinginanku untuk tak mereka sakiti Sedangkan kekasihMu Muhammad dilempar batu Sedangkan IbrahimMu dibakar Sedangkan YunusMu dicampakkan ke laut Sedangkan NuhMu dibiarkan kesepian
Akan tetapi wahai Qadir Muqtadir Wahai Jabbar Mutakabbir Engkau Maha Agung dan aku kerdil Engkau Maha Dahsyat dan aku picisan Engkau Maha Kuat dan aku lemah Engkau Maha Kaya dan aku papa Engkau Maha Suci dan aku kumuh Engkau Maha Tinggi dan aku rendah serendah-rendahnya Akan tetapi wahai Qahir wahai Qahhar Rasul kekasihMu mafhum dan aku bergelimang hawa Nabi utusanmu terpelihara sedangkan aku terjerembab-jerembab Wahai Mannan wahai Karim Wahai Fattah wahai Halim Aku setitik debu namun bersujud kepadaMu Aku sehelai daun kering namun bertasbih kepadaMu Aku budak yang kesepian namun yakin pada kasih sayang dan pembelaanMu Emha Ainun Nadjib Jakarta 11 Pebruari 1999 fwd from Republika, Minggu, 11 Nopember 2001 Kadar Kesetiaan Oleh: Emha Ainun Nadjib Sedemikian tinggi dan mendalamkah seorang hamba Allah mesti terbang dan melayang ke semesta ilmu dan kemuliaan? Tidakkah manusia bisa bersikap wajar dan biasa-biasa saja? Ataukah itu alibi untuk memaafkan kelemahan diri, keterbatasan, dan kekurangannya dalam melakukan sesuatu? Jangan dengarkan suaraku, karena suaraku buruk. Dengarkanlah suara Tuhan... Kalau suaraku buruk, orang justru akan sangat mengingatnya karena tersiksa. Kalau suaraku agak bagus, orang mengingatnya, tapi dengan kadar yang lebih rendah dibanding ingatan terhadap suara buruk -- sebab kecengengan manusia terhadap penderitaan cenderung lebih besar dibanding rasa syukurnya terhadap kegembiraan. Dengan ungkapan dan jawaban saya itu kenapa kau terpaku pada suaraku? Di situlah letak ketidakberhasilan yang saya maksud. Orang menikmati terangnya lampu tanpa mengingat kabel listrik. Orang menikmati makanan enak di warung dan tidak bertanya siapa nama orang yang memasaknya di dapur. Penyanyi, pembaca puisi, qari, pelukis, muballigh, penyampai ilmu, pembawa hikmah, atau fungsi-sungsi nilai apa pun, hanyalah 'kabel listrik'. Tidaklah senonoh kita menuntut orang untuk mengagumi kita sebagai kabel listrik, sebab yang sampai ke mereka adalah cahaya. Tukang listrik jangan kasih dan taruh lilitan kabel-kabel ke wajah orang. Kita para seniman, ulama, pengurus negara, pekerja sosial, fungsionaris-fungsionaris sejarah, di wilayah mana pun dari kehidupan umat manusia -- wilayah mana pun dari kehidupan umat manusia -- hanyalah pengantar cahaya, bukan cahaya itu sendiri. Seperti rembulan, kita hanya memantulkan cahaya matahari agar menimpa bumi. Terkadang kita malah merekayasa berlangsungnya gerhana matahari untuk mengantarkan kegelapan, tetapi sambil memobilisasi orang untuk mengagumi kita. Seandainya pun sebagai rembulan kita setia memantulkan rahmat
Tuhan ke bumi kehidupan manusia, yang kita andalkan untuk mendapatkan nilai bukanlah cahaya itu sendiri, melainkan kadar kesetiaan. ILIR-ILIR Kepemimpinan Blimbing Hikmah Sunan Ampel 1. Lir ilir tandure wus sumilir Tak ijo royo-royo Tak sengguh temanten anyar Bocah angon bocah angon penekno blimbing kuwi Lunyu-lunyu penekno kanggo mbasuh dodot-iro Dodot-iro dodot-iro lumintir bedah ing pinggir Dondomono jlumatono kanggo sebo mengko sore Mumpung jembar kalangane Mumpung padhang rembulane Yo surako Surak: Hiyyoo! 2. Tandure Wus Sumilir. Tak Ijo Royo - Royo. Tak Sengguh Temanten Anyar Menggeliatlah dari matimu, tutur Sunan. Siumanlah dari pingsan berpuluh-puluh tahun. Bangkitlah dari nyenyak tidur panjangmu. Sungguh negeri ini adalah penggalan sorga. Sorga seolah pernah bocor dan mencipratkan kekayaan dan keindahannya. Dan cipratan keindahannya itu bernama Indonesia Raya Kau bisa tanam benih kesejahteraan apa saja di atas kesuburan tanahnya yang tak terkirakan. Tak mungkin kau temukan makhluk Tuhanmu kelaparan di tengah hijau bumi kepulauan yang bergandeng-gandeng mesra ini. Bisa engkau selenggarakan dan rayakan pengantin-pengantin pembangunan lebih dari yang bisa dicapai oleh negeri-nergeri lain yang manapun Tapi kita memang telah tak mensyukuri rahmat sepenggal sorga ini. Kita telah memboroskan anugerah Tuhan ini melalui cocok tanam ketidak-adilan dan panen-panen kerakusan 3. Cah angon, cah angon penekno blimbing kuwi Sunan Ampel tidak menuliskan: "Ulama, Ulama", "Pak Jendral, Pak Jendral", "Intelektual, Intelektual" atau apapun lainnya, melainkan "Bocah Angon, Bocah Angon..." Beliau juga tidak menuturkan : "Penekno sawo kuwi", atau "Penekno pelem kuwi" atau buah apapun lainnya, melainkan "Penekno blimbing kuwi"
Blimbing itu bergigir lima. Terserah tafsirmu apa gerangan yang dimaksud dengan lima Yang jelas harus ada yang memanjat pohon yang licin ini, agar blimbing bisa kita capai bersama-sama Dan yang memanjat harus "Cah Angon". Tentu saja ia boleh seorang doktor, boleh seorang seniman, boleh kiai, jendral, atau siapapun saja -- namun dimilikinya daya angon Kesanggupan untuk menggembalakan. Karakter untuk merangkul dan memesrai semua pihak. Determinasi yang menciptakan garis resultan kedamaian bersama. Pemancar kasih sayang yang dibutuhkan dan diterima oleh semua warna, semua golongan, semua kecenderungan Bocah Angon adalah seorang pemimpin nasional, bukan tokoh golongan atau pemuka suatu gerombolan (Bersambung)