HUBUNGAN STATUS ANEMIA, KECUKUPAN AIR DAN LINGKUNGAN BELAJAR DENGAN PRESTASI BELAJAR ANAK OBES DI KOTA BOGOR
SANYA ANDA LUSIANA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul “Hubungan Status Anemia, Kecukupan Air dan Lingkungan Belajar dengan Prestasi Belajar Anak Obes di Kota Bogor” adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Mei 2016
Sanya Anda Lusiana NIM I151130051
RINGKASAN SANYA ANDA LUSIANA. Hubungan Status Anemia, Kecukupan Air dan Lingkungan Belajar dengan Prestasi Belajar Anak Obes di Kota Bogor. Dibimbing oleh BUDI SETIAWAN dan FAISAL ANWAR. Prestasi belajar yang baik menjadi salah satu indikator kualitas sumberdaya manusia dalam bidang pendidikan. Prestasi belajar tidak hanya dipengaruhi oleh faktor internal namun juga oleh faktor eksternal. Salah satu faktor internal adalah aspek fisiologis. Aspek fisiologis terkait dengan kondisi fisik siswa (Syah 2014). Aspek fisiologis lainnya yang mempengaruhi prestasi belajar adalah kecukupan air. Kekurangan 1% cairan dapat menurunkan kemampuan kognitif atau konsentrasi belajar (Lieberhman 2007). Suasana dan keadaan keluarga merupakan contoh faktor eksternal yang bisa mempengaruhi prestasi belajar (Purwanto 2013). Masalah lainnya yang dihadapi anak sekolah serta mempengaruhi prestasi belajar seorang anak adalah anemia karena kekurangan zat besi. Anemia seringkali dikaitkan dengan fungsi kognitif, mental dan motorik (Olney et al. 2009) dengan gejala mudah lelah, lesu, dan pusing, menyebabkan gangguan pertumbuhan, menurunkan daya tahan tubuh, mengganggu fungsi kognitif dan memperlambat perkembangan psikomotor (Lubis et al. 2008). Tujuan umum penelitian ini adalah menganalisis status anemia, kecukupan air dan lingkungan belajar hubungannya dengan prestasi belajar siswa obes sekolah dasar di Kota Bogor. Tujuan khususnya meliputi: (1) Mengidentifikasi karakteristik siswa SD (usia, uang saku) dan karakteristik keluarga siswa obes dan normal (besar keluarga, pendidikan orang tua, pekerjaan orang tua, pendapatan orang tua); (2) Menganalisis densitas gizi dan tingkat kecukupan siswa SD obes dan normal (energi, protein, vitamin A, vitamin C, Fe); (3) Menganalisis status anemia, kecukupan air serta lingkungan belajar siswa SD obes dan normal; (4) Menganalisis hubungan pendidikan dan pendapatan orang tua dengan densitas dan tingkat kecukupan energi, protein serta tingkat kecukupan air siswa SD obes dan normal; (5) Menganalisis hubungan densitas gizi, densitas asupan zat gizi, tingkat kecukupan gizi dengan status gizi siswa SD obes dan normal serta tingkat kecukupan Fe dan vitamin C dengan status anemia; (6) Menganalisis hubungan pendidikan dan pendapatan dengan lingkungan belajar siswa SD obes dan normal; (7) Menganalisis hubungan status anemia, kecukupan air, lingkungan belajar dengan prestasi belajar siswa SD obes dan normal; (8) Menganalisis faktor yang mempengaruhi prestasi belajar siswa SD obes. Penelitian ini menggunakan desain cross sectional yang dilakukan sejak Bulan Februari 2014 sampai dengan April 2015, bertempat di enam Sekolah Dasar (SD) negeri dan swasta dengan tingkat sosial ekonomi menengah ke atas di Kota Bogor. Sampel untuk penelitian ini dipilih secara simple random sampling dari sampel penelitian yang sudah terkumpul. Siswa yang digunakan dalam penelitian ini adalah anak-anak SD dari kelas V yang berjumlah 204 siswa. Jenis data yang akan dikumpulkan berupa data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui observasi secara langsung, wawancara menggunakan kuesioner, pengukuran antropometri dan pengambilan darah. Data sekunder meliputi data lokasi penelitian dan hasil tes belajar siswa. Data diolah melalui beberapa tahapan
yaitu editing, coding, entri data dan analisis data. Analisis yang dilakukan meliputi analisis deskriptif dan inferensia (Mann Whitney, Independent t-Test, Spearman, dan regresi logistik). Secara keseluruhan hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan (p<0.05) antara status anemia dan kecukupan air dengan prestasi belajar siswa obes dan normal, namun tidak terdapat hubungan yang signifikan (p>0.05) antara lingkungan belajar dengan prestasi belajar siswa obes dan nomal. Karakteristik siswa obes dan normal berusia minimal dua belas tahun dengan jumlah uang saku siswa obes lebih besar dibandingkan siswa normal. Karakteristik keluarga sebagian besar siswa obes maupun normal mempunyai ayah dan ibu berpendidikan minimal SMA, dengan sebagian besar ayah bekerja di bidang swasta dan ibu tidak bekerja serta mempunyai total pendapatan kurang dari sembilan juta rupiah per bulan. Densitas dan tingkat kecukupan vitamin A, C dan Fe siswa sekolah dasar masih rendah. Status hidrasi yang kurang lebih banyak dialami oleh siswa obes meskipun tingkat kecukupan air pada siswa normal juga masih rendah dan hampir seluruh siswa obes maupun normal memiliki lingkungan belajar di rumah yang baik. Berdasarkan uji beda Mann Whitney dan Independent t-Test terdapat perbedaan yang signifikan (p<0.05) pada uang saku, tingkat kecukupan Fe, densitas energi, status anemia dan kecukupan air antara siswa obes dan normal. Berdasarkan analisis Spearman terdapat hubungan yang signifikan (p<0.05) antara pendidikan orang tua dengan densitas energi, densitas energi dengan status gizi, status anemia dengan prestasi belajar, kecukupan air dengan prestasi belajar siswa obes dan normal. Berdasarkan analisis Spearman tidak terdapat hubungan yang signifikan (p>0.05) pendidikan dan pendapatan orang tua dengan tingkat kecukupan energi, pendapatan orang tua dengan densitas energi dan tingkat kecukupan energi, pendidikan dan pendapatan orang tua dengan densitas protein, pendidikan dan pendapatan orang tua dengan tingkat kecukupan protein, densitas protein, vitamin A, vitamin C, Fe dengan status gizi, tingkat kecukupan energi dan zat gizi dengan status gizi, tingkat kecukupan vitamin C dan tingkat kecukupan Fe dengan status anemia, pendidikan dan pendapatan dengan lingkungan belajar, lingkungan belajar dengan prestasi belajar antara siswa obes dan normal. Faktorfaktor yang mempengaruhi prestasi belajar siswa obes berdasarkan hasil analisis regresi logistik adalah pendidikan ibu (OR= 5.870; 95%CI:2.286-15.070) dan densitas energi (OR= 3.075; 95%CI:1.066-8.873). Asupan pangan yang berdensitas energi tinggi perlu dikurangi dan diseimbangkan dengan asupan pangan sumber vitamin untuk mencegah obesitas pada anak. Selain itu, status anemia dan hidrasi melalui peningkatan asupan pangan sumber vitamin dan zat besi serta asupan air perlu dilakukan untuk meningkatkan prestasi belajar siswa. Kata kunci: anak sekolah dasar, kecukupan air, obesitas, prestasi belajar, status anemia
SUMMARY SANYA ANDA LUSIANA. Association between Anemia Status, Water Adequacy and Learning Environment with Academic Performance of Obese Children in Bogor City. Supervised by BUDI SETIAWAN and FAISAL ANWAR. Good academic performance becomes one of the indicators of human resource quality in the field of education. It is not only affected by internal factors, but also by external factors. One of the internal factors is physiological aspect. Physiological aspects are associated with the student’s physical condition (Syah 2014). Another physiological aspect that affects the academic performance is water adequacy. The loss of fluid by 1% can degrade the cognitive ability or learning concentration (Lieberhman 2007). Atmosphere and circumstances in the family are examples of external factors that can affect the academic performance (Purwanto 2013). Another problem faced by school children which also influences a child’s academic performance is iron deficiency anemia. Anemia is often associated with cognitive, mental and motor functions (Olney et al. 2009) with symptoms such as fatigue, lethargy, and dizziness which leads to growth impairment, lower the immune system, impair the cognitive function and slow the psychomotor development (Lubis et al. 2008). General objective of this study was to analyze the anemia status, water adequacy, learning environment and their association with the academic performance of obese elementary school students in Bogor City. Specific objectives of this study were to: 1) identify the characteristics of elementary school students (age and pocket money) and the characteristics of obese and normal students’ families (family size, parental education, parental occupation, and parental income); (2) analyze the nutrient density and adequacy levels in obese and normal elementary school students (energy, protein, vitamin A, vitamin C and Fe); (3) analyze the anemia status, water adequacy and learning environment of obese and normal elementary school students; (4) analyze the association between parental education and income with energy and protein densities and adequacy levels, as well as water adequacy levels in obese and normal elementary school students; (5) analyze the association between nutrient density, density of nutrient intake, and nutrient adequacy levels with nutritional status of obese and normal elementary school students, as well as the association between Fe and vitamin C adequacy levels with anemia status; (6) analyze the association between parental education and income with learning environment of obese and normal elementary school children; (7) analyze the association between anemia status, water adequacy and learning environment with academic performance of obese and normal elementary school children; (8) analyze the factors affecting the academic performance of obese elementary school students. This research used a cross-sectional design and it was conducted from February 2014 to April 2015, located in six state and private elementary schools with upper-middle socio-economic level in Bogor City. Participants in this study were selected by simple random sampling method from the study participants that had been recruited. A total of 204 of 5th grade students were selected for this
study. The data collected in this study were in the form of primary and secondary data. Primary data were collected through direct observation, interview using questionnaires, anthropometric measurements and blood sampling. Secondary data included study location and students’ exam results. The data were processed through several stages, namely editing, coding, data entry, and data analysis. The analyses conducted included descriptive and inferential statistics (Mann Whitney, Independent t-Test, Spearman and logistic regression). Overall, the result of this study showed that there were significant associations (p<0.05) between anemia status and hydration status with academic performance of obese and normal students, but there were no significant associations (p>0.05) between learning environment and academic perfomance of obese and normal students. The characteristics of age among obese and normal students showed that minimum age of subjects is 12 years the obese students had more pocket money than normal students. Based on their families’ characteristics, most of the obese or normal students had fathers and mothers who were at least high school graduates. Most of the fathers worked in private sector, most of the mothers were not work, and their total income was less than nine million rupiahs per month. Density and adequacy levels of vitamin A, C and Fe in elementary school students were still low. Low hydration status was more common in obese students although water adequacy levels in normal students were also still low. Almost all students, either obese or normal students, had a good learning environment in their home. Based on Mann Whitney test and Independent t-Test, there were differences (p<0.05) in pocket money, Fe adequacy level, energy density, anemia status and water adequacy between obese and normal students. Based on Spearman analysis, there were significant associations (p<0.05) between parental education and energy density, energy density and nutritional status, anemia status and academic performance, as well as water adequacy and academic performance between obese and normal students. Based on the results of Spearman analysis, there were no significant associations (p>0.05) between parental education and income with energy adequacy level, parental income with energy density and adequacy level, parental education and income with protein density, parental education and income with protein adequacy level, protein density, vitamin A density, vitamin C density, Fe density with nutritional status, energy adequacy level and nutriens with nutritional status, the adequacy level of vitamin C and Fe with anemia status, parental education and income with learning environment, learning environment and academic performance between obese and normal students. Factors affecting that academic performance of the obese students based on the results of logistic regression analysis were maternal education (OR= 5.870; 95% CI: 2.286-15.070) and energy density (OR= 3.075; 95% CI: 1.066-8.873). Consumption of high energy density foods need to be lessened and balanced with consumption of food sources of vitamin to prevent obesity in children. Besides that, the improvement of anemia and hydration status through an increase in the consumption of food sources of vitamin and Fe, as well as water intake need to be done to increase student’s academic performance. Keywords: academic performance, anemia status, elementary school children, obesity, water adequacy
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
HUBUNGAN STATUS ANEMIA, KECUKUPAN AIR DAN LINGKUNGAN BELAJAR DENGAN PRESTASI BELAJAR ANAK OBES DI KOTA BOGOR
SANYA ANDA LUSIANA
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Gizi Mayarakat
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Prof. Dr. Ir. Ali Khomsan, MS
Judul Tesis : Hubungan Status Anemia, Kecukupan Air dan Lingkungan Belajar dengan Prestasi Belajar Anak Obes di Kota Bogor Nama : Sanya Anda Lusiana NIM : I151130051
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Dr Ir Budi Setiawan, MS Ketua
Prof Dr Ir Faisal Anwar, MSc Anggota
Diketahui oleh Ketua Program Studi Ilmu Gizi Masyarakat
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof Dr Ir Dodik Briawan, MCN
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian: 30 Maret 2016
Tanggal Lulus:
i
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga tesis ini berhasil diselesaikan yang merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan studi dan memperoleh gelar magister sains (MSi) pada program magister Ilmu Gizi Masyarakat, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Budi Setiawan MS dan Bapak Prof Dr Ir Faisal Anwar MS selaku pembimbing yang selalu memberikan arahan, motivasi, saran, dan kritik yang membangun bagi penulis. Terima kasih kepada Bapak Prof Dr Ir Ali Khomsan, MS selaku dosen penguji luar komisi yang telah memberikan banyak pertanyaan serta saran dalam penyempurnaan tesis ini. Penulis menyampaikan terima kasih juga kepada seluruh pihak di Sekolah Dasar Negeri Polisi 1, Sekolah Dasar Negeri Polisi 4, Sekolah Dasar Negeri Polisi Lima, Sekolah Dasar Negeri Bantarjati 9, Sekolah Dasar At-Taufiq, dan Sekolah Dasar Pertiwi atas penerimaan yang sangat baik dan kooperatif pada saat pengambilan data penelitian. Terima kasih kepada Direktur dan Ketua Jurusan Gizi Politeknik Kesehatan Kemenkes Jayapura yang telah memberikan izin penulis untuk melanjutkan pendidikan Pascasarjana di IPB. Terima kasih juga kepada Pustanserdik BPPSDM Kementerian Kesehatan Republik Indonesia yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menempuh pendidikan sebagai peserta Tugas Belajar Dalam Negeri Kementerian Kesehatan Republik Indonesia tahun 2013. Ucapan terima kasih kepada kedua orang tua tercinta (Alm Pribudi Soesanto dan Chairany Sihombing) yang telah menghantarkan penulis hingga ke jenjang magister dengan segala doa, kasih sayang, dan motivasi yang diberikan, serta kepada adik-adik tercinta (Sandy Iwan Permata dan Sandra Mita Cecilia) atas doa dan motivasinya. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada Ekawidyani dan tim peneliti lainnya yang telah memberikan kesempatan untuk menjadi bagian dalam penelitian ini, seluruh enumerator dan asisten penelitian yang telah membantu dalam proses pengambilan data (Mbak Wiwi dan Ita) serta rekan penelitian Debby. Terima kasih kepada Risti, Rahmi, Lutfi, Evi, Mbak Anggit, Rosyanne, Mbak Yuni, Husna yang selalu memberikan saran, motivasi dan menjadi teman berbagi ilmu dalam pengerjaan tesis ini serta teman-teman GMS angkatan 2013 atas segala doa dan dukungan kepada penulis. Tidak lupa juga ucapan terima kasih disampaikan kepada seluruh pengajar dan staf di Departemen Gizi Masyarakat yang secara tidak langsung telah mendukung proses studi penulis serta kepada pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu-persatu dalam membantu penyelesaian tesis ini. Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna, namun penulis berharap semoga tesis ini dapat menjadi salah satu landasan bagian bagi ilmu pengetahuan dan bermanfaat bagi para pembaca. Bogor, Mei 2016 Sanya Anda Lusiana
ii DAFTAR ISI DAFTAR ISI ii DAFTAR TABEL iii DAFTAR GAMBAR iv DAFTAR LAMPIRAN iv 1 PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Perumusan Masalah 3 Tujuan Penelitian 3 Hipotesis Penelitian 4 Manfaat Penelitian 4 2 TINJAUAN PUSTAKA 5 Karakteristik Anak Sekolah Dasar 5 Kegemukan dan Obesitas pada Anak 6 Konsumsi Energi dan Zat Gizi pada Anak 7 Energi pada Anak 7 Protein pada Anak 8 Vitamin A pada Anak 9 Vitamin C pada Anak 9 Zat Besi (Fe) pada Anak 10 Anemia pada Anak 12 Kecukupan Air pada Anak 13 Lingkungan Belajar Anak 16 Prestasi Belajar Anak 17 Densitas Energi dan Asupan Zat Gizi pada Anak 19 3 KERANGKA PEMIKIRAN 21 4 METODE 23 Desain, Waktu dan Tempat Penelitian 23 Jumlah dan Cara Pemilihan Contoh 23 Jenis dan Cara Pengumpulan Data 24 Pengolahan dan Analisis Data 25 Definisi Operasional 32 5 HASIL DAN PEMBAHASAN 34 Gambaran Umum Lokasi Penelitian 34 Karakteristik Siswa 35 Karakteristik Keluarga Siswa 37 Densitas Energi dan Asupan Zat Gizi 39 Tingkat Kecukupan Energi dan Zat Gizi 42 Status Anemia 46 Kecukupan Air 47 Lingkungan Belajar 49 Prestasi Belajar 50 Hubungan Pendidikan dan Pendapatan Orang Tua dengan Densitas Energi dan Tingkat Kecukupan Energi 52 Hubungan Pendidikan dan Pendapatan Orang Tua dengan Densitas Protein dan Tingkat Kecukupan Protein 55 Hubungan Densitas Energi dan Asupan Zat Gizi dengan Status Gizi 57
iii Hubungan Tingkat Kecukupan Gizi dengan Status Gizi Hubungan Tingkat Kecukupan Vitamin C dan Fe dengan Status Anemia Hubungan Pendidikan dan Pendapatan Orang Tua dengan Lingkungan Belajar Hubungan Status Anemia dengan Prestasi Belajar Hubungan Kecukupan Air dengan Prestasi Belajar Hubungan Lingkungan Belajar dengan Prestasi Belajar Faktor-faktor yang Mempengaruhi Prestasi Belajar 6 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN RIWAYAT HIDUP
58 59 61 63 64 66 67 70 70 71 72 84 88
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
Jenis dan cara pengumpulan data Kebutuhan air berdasarkan berat badan Model persamaan estimasi kecukupan berdasarkan umur 10-18 tahun Kebutuhan energi untuk usia 3-18 tahun yang mengalami overweight dan obese Kategori densitas energi Standar densitas asupan zat gizi Cara pengkategorian dan pengelompokkan variabel penelitian Sebaran karakteristik siswa obes dan normal Sebaran karakteristik keluarga siswa obes dan normal Rata-rata densitas energi dan asupan zat gizi siswa obes dan normal Sebaran densitas energi dan asupan zat gizi siswa obes dan normal Rata-rata asupan, angka kecukupan energi serta tingkat kecukupan energi dan zat gizi siswa obes dan normal Sebaran tingkat kecukupan energi dan zat gizi siswa obes dan normal Sebaran status anemia siswa obes dan normal Sebaran kecukupan air siswa obes dan normal Sebaran lingkungan belajar siswa obes dan normal Sebaran prestasi belajar siswa obes dan normal Hubungan pendidikan dan pendapatan orang tua dengan densitas energi dan tingkat kecukupan energi Hubungan pendidikan dan pendapatan orang tua dengan densitas protein dan tingkat kecukupan protein Hubungan densitas energi dan asupan zat gizi dengan status gizi Hubungan tingkat kecukupan energi dan zat gizi dengan status gizi Hubungan tingkat kecukupan vitamin C dan Fe dengan status anemia Hubungan pendidikan dan pendapatan orang tua siswa obes dan normal dengan lingkungan belajar Hubungan status anemia siswa obes dan normal dengan prestasi belajar
25 26 27 27 29 29 30 36 37 40 41 43 44 46 48 49 50 53 56 58 59 60 61 63
iv 25 Hubungan kecukupan air siswa obes dan normal dengan prestasi belajar 26 Hubungan lingkungan belajar siswa obes dan normal dengan prestasi belajar 27 Faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar siswa obes
65 66 67
DAFTAR GAMBAR 1 2
Kerangka penelitian hubungan status anemia, kecukupan air dan lingkungan belajar dengan prestasi belajar anak obes di Kota Bogor Bagan Penarikan Sampel
22 23
DAFTAR LAMPIRAN 1 2
Surat Ethical Clearance Hasil analisis multivariat
85 86
1
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Kunci utama keberhasilan pembangunan nasional jangka panjang dapat dilihat dari pembangunan sumberdaya manusia (SDM). Upaya terciptanya sumberdaya manusia yang berkualitas adalah perhatian terhadap aspek gizi, kesehatan dan pendidikan pada kelompok anak usia sekolah (Kustiyah 2005). Akses pendidikan yang semakin baik perlu diimbangi dengan keadaan kesehatan dan gizi yang cukup, sehingga anak pada usia sekolah dapat memaksimalkan potensi dirinya untuk meraih pencapaian akademik yang maksimal (Khomsan 2012). Kebiasaan makan yang berkalori tinggi pada anak-anak tanpa asupan zat gizi yang seimbang, dalam jangka waktu tertentu dapat menyebabkan kelebihan berat badan dan akhirnya dapat menimbulkan kegemukan (Soelistjani dan Herlianty 2003). Prevalensi gemuk dan obesitas di Indonesia pada anak usia 6-12 tahun mencapai 9.2% tahun 2010 (Kemenkes 2010) dan meningkat menjadi 18.8% pada anak usia 5-12 tahun di tahun 2013 (Kemenkes 2013). Angka kegemukan di daerah perkotaan sebesar 10.4% lebih tinggi dibandingkan pedesaan yaitu 8.1% (Kemenkes 2010). Hasil penelitian Hermina dan Jahari (2007) menyatakan bahwa sebanyak 7.7% anak sekolah dasar di Kota Bogor berstatus gizi lebih. Penelitian lainnya yang dilakukan oleh Madanijah et al. (2013) yaitu sebanyak 18.79% anak sekolah dasar di Kota Bogor berstatus gizi lebih. Prestasi belajar yang baik menjadi salah satu indikator kualitas sumberdaya manusia dalam bidang pendidikan. Pendidikan dan hasil prestasi belajar di sekolah merupakan bentuk penilaian kemampuan siswa selama melakukan kegiatan belajar. Prestasi belajar dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal. Salah satu aspek internal adalah aspek fisiologis. Aspek fisiologis terkait dengan kondisi fisik siswa. Kondisi organ yang lemah ataupun sakit dapat menurunkan kualitas kognitif sehingga tidak akan dapat mengingat materi yang dipelajari, sehingga untuk tetap sehat siswa harus mengonsumsi makanan yang bergizi (Syah 2014). Aspek fisiologis lainnya yang mempengaruhi prestasi belajar adalah kecukupan air. Umumnya anak-anak lebih aktif daripada orangtua, sehingga memerlukan konsumsi cairan yang lebih banyak dibandingkan orang tua. Seringkali anak-anak kurang peduli terhadap pentingnya konsumsi cairan dalam jumlah yang cukup untuk mengimbangi aktivitasnya. Gustam (2012) menyatakan bahwa dehidrasi dapat menjadi faktor risiko terjadinya obesitas pada anak dan remaja. Hal ini disebabkan karena adanya ketidakseimbangan elektrolit dalam tubuh yang memacu meningkatnya nafsu makan dan asupan makanan yang kaya lemak sehingga asupan cairan dalam tubuh terus menurun. Santoso et al. (2011) juga menyatakan bahwa orang obesitas lebih mudah kekurangan air dibandingkan orang yang tidak obesitas. Belum banyak studi kebiasaan minum dan asupan cairan pada kelompok anak sekolah, padahal menurut Jequier dan Constant (2010) dehidrasi ringan, yaitu kehilangan cairan tubuh 1-2 persen dapat menyebabkan gangguan fungsi kognitif, kurang konsentrasi dan menurunnya kapasitas fisik. Hal
2 ini juga diperkuat oleh review penelitian yang dilakukan Lieberhman (2007) menyatakan bahwa kekurangan 1% cairan dapat menurunkan kemampuan kognitif atau konsentrasi belajar. Penelitian yang dilakukan oleh Briawan et al. (2011) menyatakan bahwa masih terdapat 70.9% siswa dan 49.0% siswi sekolah dasar yang memiliki asupan air putih di bawah 2000 ml serta 67.4% siswa dan 62.8% siswi kemungkinan mengalami dehidrasi ringan. Prestasi belajar tidak hanya dipengaruhi oleh faktor internal namun juga oleh faktor eksternal. Faktor eksternal atau faktor sosial antara lain keluarga/keadaan rumah tangga, guru dan cara mengajarnya, alat-alat yang dipergunakan dalam belajar mengajar, lingkungan dan kesempatan yang tersedia dan motivasi sosial. Suasana dan keadaan keluarga yang bermacam-macam turut menentukan bagaimana dan sampai dimana seorang anak mengalami dan mencapai proses belajar, termasuk tersedia atau tidaknya fasilitas-fasilitas yang diperlukan dalam belajar turut berperan penting (Purwanto 2013). Faktor yang termasuk lingkungan non sosial adalah sarana dan prasarana. Sarana yang lengkap, baik di sekolah maupun di rumah juga sangat mempengaruhi proses belajar siswa, namun kelengkapan sarana tersebut seringkali tidak didukung oleh pelayanan yang memudahkan siswa untuk belajar secara efektif (Suparno 2000). Anak yang memiliki media pendidikan yang lebih lengkap belum tentu memiliki prestasi belajar yang lebih baik dari anak yang media pendidikannya tidak lengkap. Hal tersebut dapat disebabkan karena media pendidikan belum dimanfaatkan secara optimal sehingga belum dapat memberi pengaruh yang besar terhadap pencapaian prestasi belajar (Pitriyani et al. 1999). Masalah lainnya yang dihadapi anak sekolah serta mempengaruhi pestasi belajar seorang anak adalah anemia karena kekurangan zat besi. Di Indonesia, pada tahun 2013 prevalensi anemia usia 5-14 tahun adalah 26.4% (Kemenkes 2013). Anemia seringkali dikaitkan dengan fungsi kognitif, mental dan motorik (Olney et al. 2009). Muchtar (2000) menyatakan bahwa anemia dapat menurunkan konsentrasi belajar karena kurangnya oksigen akibat rendahnya kadar hemoglobin menurunkan oksigenasi pada susunan syaraf pusat. Lubis et al. (2008) menambahkan bahwa anemia defisiensi besi juga dapat menimbulkan gejala mudah lelah, lesu, dan pusing, menyebabkan gangguan pertumbuhan, menurunkan daya tahan tubuh, mengganggu fungsi kognitif dan memperlambat perkembangan psikomotor. Penelitian yang dilakukan oleh Halterman et al. (2001) pada 5398 anak usia 6-16 tahun di USA dilaporkan bahwa nilai matematika lebih rendah pada mereka yang defisit besi (anemia) dibandingkan yang normal. Anak-anak yang defisit besi (anemia) mempunyai resiko 2.3-2.4 kali memperoleh nilai matematika di bawah rata-rata dibandingkan anak normal. Selain itu hasil penelitian Kordas et al. (2004) pada anak sekolah Meksiko membuktikan bahwa kadar Hb berhubungan positif dengan performa kognitif anak yaitu anak yang anemia mempunyai skor kognitif 1.28 point lebih rendah dibandingkan dengan anak yang tidak anemia. Hasil penelitian lainnya yang dilakukan oleh Hidayati et al. (2010) juga menunjukkan bahwa rata-rata nilai mata pelajaran IPA subjek yang anemia secara signifikan lebih rendah dibandingkan dengan subjek yang tidak anemia. Berdasarkan penelitian-penelitian tersebut, maka peneliti tertarik untuk mengkaji kembali bagaimana hubungan antara status anemia, kecukupan air dan lingkungan belajar terhadap prestasi belajar anak obesitas dengan dasar
3 pertimbangan bahwa belum banyak studi yang dilakukan mengenai ketiga variabel tersebut yang dianalisis dalam satu penelitian, khususnya mengenai kebiasaan minum dan asupan cairan pada kelompok anak sekolah serta semakin meningkatnya prevalensi obesitas pada anak usia sekolah. Perumusan Masalah Prevalensi obesitas pada anak usia sekolah serta belum banyaknya penelitian yang menghubungkan antara status anemia, kecukupan air dan lingkungan belajar terhadap prestasi belajar sehingga peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dan berdasarkan hal tersebut maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah : 1. Apakah terdapat perbedaan karakteristik siswa, karakteristik keluarga, densitas energi dan asupan zat gizi, tingkat kecukupan gizi, kecukupan air, status anemia dan lingkungan belajar terhadap prestasi belajar siswa Sekolah Dasar (SD)? 2. Bagaimana hubungan pendidikan dan pendapatan orang tua dengan densitas dan tingkat kecukupan energi, protein siswa SD? 3. Bagaimana hubungan densitas energi, densitas asupan zat gizi, tingkat kecukupan gizi dengan status gizi siswa SD serta hubungan tingkat kecukupan vitamin C dan Fe dengan status anemia siswa SD? 4. Bagaimana hubungan pendidikan dan pendapatan orang tua dengan lingkungan belajar siswa SD? 5. Bagaimana hubungan status anemia dengan prestasi belajar siswa SD? 6. Bagaimana hubungan kecukupan air dengan prestasi belajar siswa SD? 7. Bagaimana hubungan lingkungan belajar dengan prestasi belajar siswa SD? 8. Apakah faktor yang mempengaruhi prestasi belajar siswa SD obes? Tujuan Penelitian Tujuan umum penelitian ini adalah menganalisis hubungan status anemia, kecukupan air dan lingkungan belajar dengan prestasi belajar siswa sekolah dasar obes di Kota Bogor Tujuan khusus dari penelitian ini adalah untuk : 1. Mengidentifikasi karakteristik siswa SD (usia, uang saku) dan karakteristik keluarga siswa obes dan normal (besar keluarga, pendidikan orang tua, pekerjaan orang tua, pendapatan orang tua) 2. Menganalisis densitas gizi dan tingkat kecukupan siswa SD obes dan normal (energi, protein, vitamin A, vitamin C, Fe) 3. Menganalisis status anemia, kecukupan air serta lingkungan belajar siswa SD obes dan normal 4. Menganalisis hubungan pendidikan dan pendapatan orang tua dengan densitas dan tingkat kecukupan energi, protein siswa SD obes dan normal 5. Menganalisis hubungan densitas gizi, densitas asupan zat gizi, tingkat kecukupan gizi dengan status gizi siswa SD obes dan normal serta tingkat kecukupan vitamin C dan Fe dengan status anemia 6. Menganalisis hubungan pendidikan dan pendapatan dengan lingkungan belajar siswa SD obes dan normal
4 7. 8.
Menganalisis hubungan status anemia, kecukupan air, lingkungan belajar dengan prestasi belajar siswa SD obes dan normal Menganalisis faktor yang mempengaruhi prestasi belajar siswa SD obes Hipotesis Penelitian
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Terdapat hubungan antara pendidikan dan pendapatan orang tua dengan densitas dan tingkat kecukupan energi, protein siswa SD obes dan normal Terdapat hubungan antara densitas gizi, densitas asupan zat gizi, tingkat kecukupan gizi dengan status gizi siswa SD obes dan normal serta tingkat kecukupan vitamin C dan Fe dengan status anemia siswa SD obes dan normal Terdapat hubungan pendidikan dan pendapatan dengan lingkungan belajar siswa SD obes dan normal Terdapat hubungan antara status anemia dengan prestasi belajar siswa SD obes dan normal Terdapat hubungan antara kecukupan air dengan prestasi belajar siswa SD obes dan normal Terdapat hubungan antara lingkungan belajar dengan prestasi belajar siswa SD obes dan normal Manfaat Penelitian
1. 2. 3. 4.
Hasil penelitian ini diharapkan : Dapat memberikan informasi dan gambaran mengenai status anemia, kecukupan air dan lingkungan belajar dengan prestasi belajar siswa sekolah dasar Dapat memberikan kontribusi pada pengembangan keilmuan khususnya dalam hal gizi, kesehatan dan pendidikan siswa sekolah dasar Bagi masyarakat khususnya orang tua diharapkan dapat memberikan wawasan tentang dukungan yang dapat diberikan kepada siswa dalam usaha meningkatkan prestasi belajarnya Bagi pihak sekolah dapat memberi masukan untuk dapat mengoptimalkan proses dan capaian belajar anak sekolah dengan memenuhi kebutuhan air di sekolah
5
2 TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Anak Sekolah Dasar Anak adalah individu sejak pembuahan sampai berakhirnya proses tumbuh kembang. Proses tumbuh dan berkembang bervariasi pada setiap individu yang dapat berlangsung antara usia 18-21 tahun, sehingga batasan untuk usia anak menjadi berbeda. Undang-Undang Republik Indonesia No 36 tahun 2009 mengenai Kesehatan, menyebutkan bahwa anak dimulai sejak pembuahan sampai usia 18 tahun. Pada kurva pertumbuhan WHO, anak diartikan sampai usia 19 tahun, sedangkan pada kurva The National Centre for Health Statistics and National Centre for Chronic Disease Prevention and Health Promotion tahun 2000, terlihat bahwa anak disebutkan hingga usia 20 tahun. Menurut Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) yaitu dari saat kehamilan sampai usia 18 tahun (Santoso et al. 2014). Anak merupakan individu yang unik, bertumbuh dan berkembang secara normal dan mencapai potensi genetik secara optimal jika memperoleh lingkungan fisikobio-psikososial yang adekuat. Setiap tahapan pertumbuhan dan perkembangan anak menyebabkan perbedaan kondisi dan kebutuhan anak. Pertumbuhan dan perkembangan ini yang menyebabkan anak berbeda dengan dewasa seperti dalam hal fisik, psikis, mental, sosial, kebutuhan gizi, pola makan, pola aktivitas, pola asuh, pola penyakit sehingga perlakuan terhadap anak berbeda dengan orang dewasa (Santoso et al. 2014). Berdasarkan masa pertumbuhan dan perkembangan, anak dapat dibagi menjadi berbagai kategori, yaitu saat dalam kandungan (janin), kemudian masa neonatus (0-28 hari), bayi (0-1 tahun), masa toddler (1-2 tahun), prasekolah (2-5 tahun), masa sekolah (6-12 tahun) dan remaja (perempuan : 10-18 tahun; laki-laki: 12-20 tahun). Anak usia sekolah dan remaja berbeda dengan kelompok anak lainnya, karena berbagai faktor yang khusus pada anak usia sekolah dan remaja yaitu dalam perkembangan fisik, biologis, bahasa, kognitif, bermain, moral, konsep diri, seksualitas, hubungan dengan keluarga, peer group dan masyarakat (Feigelman et al. 2007). Anak yang berusia 6-12 tahun mengalami masa perkembangan dan pertumbuhan yang lebih stabil dibandingkan bayi dan balita. Pertumbuhan fisiknya terlihat lebih lambat, tetapi perkembangan motorik, kognitif dan emosi sosial mulai matang. Pada periode ini ditandai dengan masa puber, anak perempuan lebih dulu mengalami masa ini dibandingkan anak laki-laki. Kelompok remaja memiliki growth spurt dengan pertumbuhan yang pesat sehingga berbagai masalah gizi lebih seperti obesitas sering terjadi pada usia ini (Brown et al. 2011). Pada usia ini anak diharapkan memperoleh dasar-dasar pengetahuan yang dianggap penting untuk keberhasilan penyesuaian diri pada kehidupan masa dewasanya. Oleh sebab itu peletakan dasar pengetahuan yang tepat melalui stimulasi positif dari pendidik sangat dibutuhkan. Para pendidik juga memandang periode ini sebagai periode kritis dalam dorongan berprestasi, suatu masa saat anak membentuk kebiasaan sukses, tidak sukses atau sangat sukses. Hurlock (1999) mengemukakan bahwa kebiasaan anak untuk bekerja di bawah, di atas atau sesuai dengan kemampuannya cenderung menetap sampai dewasa. Penelitian
6 telah membuktikan bahwa tingkat perilaku berprestasi pada masa kanak-kanak mempunyai korelasi yang tinggi terhadap perilaku berprestasi pada masa dewasa. Hal ini akan terjadi tidak hanya di bidang akademik tetapi dibidang-bidang lain pun akan demikian. Kebiasaan ini menuntut para pendidik untuk peka terhadap perilaku anak sedini mungkin, sehingga apabila ditemukan anak didik berada pada kebiasaan yang kurang baik dapat segera diantisipasi. Para pendidik dapat membimbing dan mengarahkan anak didik untuk melakukan kebiasaan yang baik, minimal sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya yang berarti bahwa kesuksesan di masa datang dapat dirancang dari sekarang. Kegemukan dan Obesitas pada Anak Istilah kegemukan (overweight) dan obesitas (obesity) seringkali dianggap sama, walaupun sebenarnya berbeda. Kegemukan adalah kondisi berat tubuh melebihi berat tubuh normal, sedangkan obesitas adalah kondisi kelebihan berat tubuh akibat tertimbunnya lemak untuk pria melebihi 20% dan wanita 25% dari berat tubuh. Manifestasi klinis dan komplikasi yang sering ditemukan pada penderita obesitas antara lain penyakit jantung koroner, diabetes mellitus, hipertensi, infeksi saluran pernafasan, perlemakan hati dan hipertrigliserid (Rimbawan dan Siagian 2004). Selain itu, obesitas pada anak usia 6-7 tahun juga dapat menurunkan tingkat kecerdasan karena aktivitas dan kreativitas anak menjadi menurun dan cenderung malas akibat kelebihan berat badan. Kegemukan dan obesitas dapat terjadi pada berbagai kelompok usia dan jenis kelamin (Rimbawan dan Siagian 2004). Menurut Khomsan (2004) anak yang obesitas pasti mengalami overweight, tetapi anak yang overweight belum tentu juga obesitas. Fukuda et al (2001) menyatakan bahwa umur 10-12 tahun merupakan masa kritis terakhir terjadinya obesitas. Risiko ini lebih besar pada anak perempuan daripada anak laki-laki. Wanita dewasa yang obesitas kurang lebih 30% berasal dari obesitas pada masa awal remaja sedangkan pada pria hanya 10%. Sartika (2011) menyatakan faktor risiko utama yang menyebabkan obesitas adalah faktor perilaku yaitu pola makan yang tidak sehat ditambah dengan konsumsi serat (buah dan sayur) tidak mencukupi, fisik yang tidak aktif, dan merokok. Menurut Tarro et al. (2014) kelebihan berat badan dan obesitas pada masa kanak-kanak merupakan penyebab utama kejadian obesitas pada masa remaja dan dewasa. Anak-anak yang mengalami obesitas pada masa kanak-kanak akan berisiko lebih tinggi yaitu 61-70% mengalami kejadian obesitas pada usia dewasa. Penyebab kegemukan dan obesitas bisa karena faktor genetik maupun lingkungan. Menurut Effendi (2003), faktor keturunan berpengaruh terhadap gangguan keseimbangan energi. Apabila kedua orang tua tidak gemuk, maka kemungkinan anak menjadi gemuk adalah 9%. Apabila salah satu orang tua gemuk, maka kemungkinan anak menjadi gemuk menjadi 41-51%, sedangkan apabila kedua orang tua gemuk, maka kemungkinan anak menjadi gemuk sebesar 66-80%. Hasil penelitian Chaput et al. (2006) menunjukkan bahwa riwayat obesitas orang tua berhubungan signifikan dengan kejadian kegemukan (overweight) dan obesitas pada anak. Lingkungan juga dapat mempengaruhi kejadian kegemukan maupun obesitas, terjadi perubahan pola konsumsi makanan yang mengarah pada makanan
7 siap saji dengan alasan kepraktisan maupun gengsi tertentu. Kemajuan teknologi di bidang informasi dan teknologi pangan menyebabkan sebagian masyarakat, terutama di wilayah perkotaan mengalami perubahan gaya hidup dalam pemilihan makanan, yaitu cenderung menyukai makanan cepat saji yang kandungan gizinya tidak seimbang. Perubahan gaya hidup dan pola konsumsi pangan yang mengarah pada konsumsi pangan tinggi lemak, gula, dan garam serta kurang serat dapat memicu kegemukan dan obesitas (Suryaalamsyah 2009). Stettler et al. (2002) menambahkan bahwa beberapa faktor penyebab obesitas pada anak antara lain asupan makanan berlebih yang berasal dari jenis makanan olahan serba instan, minuman soft drink, makanan jajanan seperti makanan cepat saji (burger, pizza, hot dog) dan makanan siap saji lainnya yang tersedia di gerai makanan. Selain itu, obesitas dapat terjadi pada anak yang ketika masih bayi tidak dibiasakan mengkonsumsi air susu ibu (ASI), tetapi mengunakan susu formula dengan jumlah asupan yang melebihi porsi yang dibutuhkan bayi/anak. Suryaalamsyah (2009) menyatakan bahwa umumnya fast food disajikan dalam jumlah besar dengan frekuesi yang lebih sering sehingga berkontribusi pada terjadinya kegemukan dan obesitas. Makanan olahan yang serba instan tersebut misalnya fast food (burger, pizza, hot dog, fried chicken, kentang goreng, nugget dan spagheti) dan soft drink serta makanan siap saji lainnya yang tersedia di gerai makanan. Hasil penelitian Suryaalamsyah (2009), menunjukkan bahwa konsumsi fast food berhubungan dengan kejadian kegemukan pada anak sekolah dasar. Konsumsi Energi dan Zat Gizi pada Anak Konsumsi pangan merupakan banyaknya atau jumlah pangan, secara tunggal maupun beragam, yang dikonsumsi seseorang atau sekelompok orang yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan fisiologis, psikologis dan sosiologis. Tujuan fisiologis adalah upaya untuk memenuhi keinginan makan (rasa lapar) atau untuk memperoleh zat-zat gizi yang diperlukan tubuh. Tujuan psikologis adalah untuk memenuhi kepuasan emosional atau selera, sedangkan tujuan sosiologis adalah untuk memelihara hubungan manusia dalam keluarga dan masyarakat (Sediaoetama 2010). Energi pada Anak Manusia membutuhkan energi untuk mempertahankan hidup, menunjang pertumbuhan dan melakukan aktivitas fisik. Energi diperoleh dari karbohidrat, lemak, dan protein yang ada di dalam bahan makanan. Kandungan karbohidrat, lemak, dan protein menentukan nilai energinya. Kekurangan energi terjadi bila konsumsi energi melalui makanan kurang dari energi yang dikeluarkan. Tubuh akan mengalami keseimbangan energi negatif sehingga terjadi penurunan berat badan. Bila terjadi pada anak-anak akan menghambat pertumbuhan. Gejala yang ditimbulkan pada anak adalah kurang perhatian, gelisah, lemah, cengeng, kurang bersemangat, dan penurunan daya tahan terhadap penyakit infeksi (Almatsier 2009). Energi yang diperlukan berdasarkan peningkatan aktivitas fisik, meningkatkan kebutuhan kalori karena tidak hanya untuk perkembangan dan pertumbuhan. Energi yang diperlukan anak usia sekolah sangat beragam, oleh
8 karena itu penting mengetahui tinggi dan berat badannya tiap bulan untuk menentukan kebutuhan energinya. Perhitungan kecukupan energi yang terkini didasarkan pada model persamaan IOM 2005 dari meta analisis tim pakar IOM 2002. Model ini diperoleh dari data energi basal (EB) yang diukur dengan metode doubly labeled water yang lebih valid dibanding model sebelumnya. Kecukupan energi pada anak berbeda dengan kelompok usia lainnya (Hardinsyah et al. 2014). Nilai physical activity (PA) pada anak sebelum usia sekolah (umur <3 tahun) dan pada usia lanjut (>= 80 tahun) diasumsikan sangat ringan; sedangkan nilai PA pada usia lainnya diasumsikan pada kategori ringan, yang sejalan dengan hasil Riskesdas (2007) bahwa sebagian besar penduduk remaja dan dewasa Indonesia melakukan aktifitas fisik pada kategori ringan, artinya bagi anak usia sekolah, remaja dan dewasa yang memiliki aktifitas aktif dan sangat aktif akan membutuhkan energi lebih banyak lagi (Hardinsyah et al. 2014). Kecukupan energi pada anak usia sekolah untuk laki-laki usia 10-12 tahun yaitu 2100 kkal/hari dan perempuan usia 10-12 tahun adalah 2000 kkal/hari, sedangkan kecukupan energi untuk anak laki-laki usia 13-15 tahun adalah 2475 kkal/hari dan anak perempuan usia 13-15 tahun adalah 2125 kkal/hari (Kemenkes 2014). Protein pada Anak Kecukupan protein seseorang dipengaruhi oleh berat badan, usia (tahap pertumbuhan dan perkembangan) dan mutu protein dalam pola konsumsi pangannya. Bayi dan anak-anak yang berada dalam tahap pertumbuhan dan perkembangan yang pesat membutuhkan protein lebih banyak per kilogram berat badannya dibanding orang dewasa (IOM 2005). Protein adalah bagian dari semua sel hidup dan merupakan bagian terbesar tubuh sesudah air. Protein memiliki peran yang sangat penting bagi tubuh yaitu sumber energi, pertumbuhan dan pemeliharaan, pembentukan ikatan-ikatan esensial tubuh, mengatur keseimbangan air, memelihara netralitas tubuh, membentuk antibodi, dan mengangkut zat-zat gizi (Almatsier 2009). Kecukupan protein pada anak usia sekolah untuk laki-laki usia 10-12 tahun yaitu 56 g/hari dan anak perempuan usia 10-12 tahun adalah 60 g/hari, sedangkan kecukupan protein untuk anak laki-laki usia 13-15 tahun adalah 72 g/hari dan anak perempuan usia 13-15 tahun adalah 69 g/hari (Kemenkes 2014). Kekurangan protein banyak terdapat pada masyarakat sosial ekonomi rendah. Kekurangan protein murni pada stadium berat menyebabkan kwashiorkor pada anak-anak di bawah lima tahun. Kekurangan protein sering ditemukan secara bersamaan dengan kekurangan energi yang menyebabkan kondisi yang disebut marasmus. Protein secara berlebihan tidak menguntungkan tubuh. Makanan yang tinggi protein biasanya tinggi lemak sehingga dapat menyebabkan obesitas. Kelebihan protein akan menimbulkan asidosis, dehidrasi, diare, kenaikan ureum darah dan demam (Almatsier 2009). Pemenuhan kebutuhan gizi mikro yang berkualitas berkaitan erat dengan konsumsi protein, terutama protein hewani. Peningkatan asupan protein terutama protein hewani diperlukan dalam kaitannya untuk mengatasi masalah gizi mikro terutama zat besi, zink, selenium, kalsium, vitamin B12 serta masalah stunting sejak usia dini yang merupakan masalah gizi dan kesehatan masyarakat di Indonesia. Banyak bukti bahwa konsumsi pangan hewani meningkatkan pertumbuhan linear dan perkembangan kognitif anak. Selain itu indeks glikemik
9 diet harian dengan konsumsi gizi seimbang akan cenderung lebih rendah, namun dari segi ekonomi tentu lebih mahal (Hardinsyah et al. 2014). Vitamin A pada Anak Vitamin A adalah vitamin larut lemak yang pertama ditemukan. Vitamin A tahan terhadap panas, cahaya dan alkali namun tidak tahan terhadap asam dan oksidasi. Pada cara memasak biasa tidak banyak vitamin A yang hilang. Suhu tinggi untuk menggoreng dapat merusak vitamin A, begitupun oksidasi yang terjadi pada minyak tengik. Pengeringan buah di matahari dan cara dehidrasi lain menyebabkan kehilangan sebagian dari vitamin A. Ketersediaan biologik vitamin A meningkat dengan kehadiran vitamin E dan antioksidan lain. Sumber vitamin A adalah hati, telur, susu (di dalam lemaknya) dan mentega. Sumber karoten adalah daun singkong, daun kacang, kangkung, bayam, kacang panjang, buncis, wortel, tomat, jagung kuning, pepaya, nangka masak dan jeruk (Almatsier 2009). Vitamin A berfungsi dalam penglihatan, diferensiasi sel, fungsi kekebalan tubuh, pertumbuhan dan perkembangan, reproduksi, pencegahan kanker dan penyakit jantung. Selain itu, vitamin A juga berperan dalam pembentukan sel darah merah, kemungkinan melalui interaksi dengan zat besi (Fe) (Almatsier 2009). Menurut Gibson (2005) konsumsi vitamin A yang cukup akan mempercepat mobilisasi zat besi dan meningkatkan respon imun sehingga dapat menurunkan kejadian anemia dan infeksi serta menurunkan morbiditas. Vitamin A berperan dalam mobilisasi cadangan Fe dalam tubuh untuk mensintesis hemoglobin. Pada status vitamin A yang rendah proses metabolisme Fe terganggu sehingga defisiensi vitamin A mempengaruhi produksi Fe. Kelebihan konsumsi vitamin A dapat menyebabkan toksisitas dan mempunyai efek teratogenik (perkembangan tidak normal dari sel selama kehamilan yang menyebabkan kerusakan pada embrio) bagi wanita hamil, karenanya asupan vitamin A harus sesuai dan memenuhi kebutuhan serta menghindari kelebihan konsumsi vitamin A. Angka kecukupan vitamin A untuk anak laki-laki dan perempuan usia 10-12 tahun serta 13-15 tahun adalah 600 mg/hari (Kemenkes 2014). Vitamin C pada Anak Vitamin C adalah kristal putih yang mudah larut dalam air. Dalam keadaan kering vitamin C cukup stabil, tetapi dalam keadaan larut, vitamin C mudah rusak karena bersentuhan dengan udara (oksidasi) terutama bila terkena panas. Oksidasi dipercepat dengan adanya tembaga dan besi. Vitamin C merupakan kofaktor enzim yang larut dalam air dan sebagai antioksidan. Tubuh dapat menyimpan hingga 1500 mg vitamin C bila konsumsi mencapai 100 mg sehari. Jumlah ini dapat mencegah terjadinya skorbut selama tiga bulan. Tanda-tanda skorbut akan terjadi bila persediaan tinggal 300 mg. Konsumsi melebihi taraf kejenuhan berbagai jaringan dikeluarkan melalui urin dalam bentuk asam oksalat. Pada konsumsi melebihi 100 mg sehari kelebihan akan dikeluarkan sebagai asam askorbat atau sebagai karbondioksida melalui pernafasan. Walaupun tubuh mengandung sedikit vitamin C, sebagian tetap akan dikeluarkan (Almatsier 2009). Fungsi vitamin C dalam tubuh meliputi sintesis kolagen, carnitin, katekolamin, neurotransmiter, membantu metabolisme asam folat dan tirosin. Vitamin C pada umumnya hanya terdapat di dalam pangan nabati, yaitu sayur dan
10 buah terutama yang asam, seperti jeruk, nenas, rambutan, pepaya, gandaria, dan tomat, vitamin C juga banyak terdapat di dalam sayuran daun-daunan dan jenis kol (Almatsier 2009). Selain itu sayuran segar atau salad/lalapan mempunyai kandungan vitamin C yang lebih tinggi dibandingkan sayuran yang dimasak karena sayuran tersebut biasanya diolah dengan panas sebelum dikonsumsi sehingga kandungannya dalam sayuran lebih rendah (Sulaeman et al. 2014). Kekurangan vitamin C yang berat akan mengakibatkan gangguan pada fungsi sistem kolagen dan akan terlihat perdarahan terutama pada jaringan lunak, seperti gusi. Gejala ini disebut scurvy. Pada derajat yang lebih ringan, diduga kekurangan vitamin C berpengaruh pada sistem pertahanan tubuh dan kecepatan penyembuhan luka. Vitamin C mereduksi besi feri menjadi fero dalam usus halus sehingga mudah diabsorbsi. Vitamin C menghambat pembentukan hemosiderin yang sulit dimobilisasi untuk membebaskan besi bila diperlukan. Absorbsi besi dalam bentuk non heme meningkat empat kali lipat bila terdapat vitamin C. Vitamin C berperan memindahkan besi dari transferin di dalam plasama ke feritin hati (Almatsier 2009). Angka kecukupan vitamin C pada anak usia sekolah yang dianjurkan untuk laki-laki dan perempuan usia 10-12 tahun sebesar 50 mg per hari. Untuk anak laki-laki usia 13-15 tahun sebesar 75 mg/hari dan anak perempuan usia 13-15 tahun sebesar 65 mg/hari (Kemenkes 2014). Zat Besi (Fe) pada Anak Besi merupakan mineral mikro yang paling banyak terdapat di dalam tubuh manusia dan hewan, yaitu sebanyak 3-5 gram di dalam tubuh manusia dewasa. Besi mempunyai beberapa fungsi esensial di dalam tubuh yaitu sebagai alat angkut oksigen dari paru-paru ke jaringan tubuh, sebagai alat angkut elektron di dalam sel dan sebagai bagian terpadu berbagai reaksi enzim di dalam jaringan tubuh. Walaupun terdapat luas di dalam makanan namun banyak penduduk dunia mengalami kekurangan besi termasuk di Indonesia. Sebagian besar besi berada di dalam hemoglobin yaitu molekul protein mengandung besi dari sel darah merah dan mioglobin di dalam otot. Hemoglobin di dalam darah membawa oksigen dari paru-paru ke seluruh jaringan tubuh dan membawa kembali karbondioksida dari seluruh sel ke paru-paru untuk dikeluarkan dari tubuh. Mioglobin berperan sebagai penerima, penyimpan dan pelepas oksigen di dalam sel-sel otot. Sebanyak 80% besi di dalam tubuh berada di dalam hemoglobin. Sisanya terdapat di dalam mioglobin dan protein lain yang mengandung besi (Almatsier 2009). Sel darah merah rata-rata berumur kurang lebih empat bulan. Sel-sel hati dan limpa akan mengambilnya dari darah, memecahnya dan menyiapkan produkproduk pemecahan tersebut untuk dikeluarkan dari tubuh atau di daur ulang. Zat besi sebagian besar di daur ulang. Hati mengikatkannya ke transferin darah yang mengangkutnya kembali ke sumsum tulang untuk digunakan kembali membuat sel darah merah baru. Hanya sedikit sekali besi dikeluarkan dari tubuh terutama melalui urin, keringat dan kulit yang mengelupas. Hanya bila terjadi perdarahan, tubuh dapat lebih banyak kehilangan besi. Kehilangan besi pada dewasa laki-laki kurang lebih 1 mg/hari dan pada perempuan melalui haid rata-rata 0,5 mg/hari (Almatsier 2009). Besi dalam makanan terdapat dalam bentuk besi heme seperti terdapat dalam hemoglobin dan mioglobin makanan hewani dan besi non heme dalam makanan nabati. Absorbsi besi heme tidak banyak dipengaruhi oleh komposisi
11 makanan dan sekresi saluran cerna serta status besi seseorang. Besi heme hanya merupakan bagian kecil dari besi yang diperoleh dari makanan (kurang lebih 5% dari besi total makanan), terutama di Indonesia, namun yang dapat diabsorbsi dapat mencapai 25% sedangkan non heme hanya 5%. Besi heme yang terdapat di dalam daging hewan dapat diserap dua kali lipat daripada besi non heme. Sumber heme (ikan, ayam dan daging) mengandung non heme (60%) dan heme (40%). Konsumsi heme mempunyai keuntungan ganda, yakni selain besinya mudah diserap (23%) dibanding besi dari non heme (2-20%), heme juga membantu penyerapan non heme saat dimakan secara bersamaan. Besi heme terdapat di dalam telur, serealia, kacang-kacangan, sayuran hijau dan beberapa jenis buahbuahan. Daging, ayam dan ikan mengandung suatu faktor yang membantu penyerapan besi. Faktor ini terdiri dari asam amino yang mengikat besi dan membantu penyerapan besi. Susu sapi, keju dan telur tidak mengandung faktor ini sehingga tidak dapat membantu penyerapan besi. Adanya asam fitat, asam oksalat dan serat berpengaruh negatif terhadap penyerapan besi, sedangkan vitamin C akan meningkatkan penyerapan besi. Pada menu makanan yang porsi sumber hewaninya besar maka penyerapan besi maksimal, sebaliknya menu makanan yang sebagian besar terdiri dari sumber nabati maka penyerapan besi menjadi minimal (Almatsier 2009). Penyerapan besi akan menurun bila konsumsi vitamin C nya rendah dan makanan sumber fitat tinggi. Jenis besi (heme dan non heme) akan sangat berpengaruh menyerap besi dan interaksinya dengan mineral lain khususnya seng. Status besi juga akan mempengaruhi penyerapan besi seseorang (Soekarti dan Kartono 2014). Angka kecukupan zat besi anak usia sekolah yang dianjurkan untuk laki-laki usia 10-12 tahun sebesar 13 mg/hari dan anak perempuan usia 1012 tahun sebesar 20 mg/hari. Pada anak laki-laki usia 13-15 tahun dianjurkan sebesar 19 mg/hari sedangkan pada anak perempuan usia 13-15 tahun sebesar 26 mg/hari (Kemenkes 2014). Defisiensi besi merupakan defisiensi gizi yang paling umum terdapat baik di negara maju maupun di negara berkembang. Defisiensi besi terutama pada golongan rentan seperti anak-anak, remaja, ibu hamil dan menyusui serta pekerja berpenghasilan rendah. Anemia gizi disebabkan oleh kekurangan zat besi yang berperan dalam pembentukan hemoglobin, baik karena kekurangan konsumsi atau karena gangguan absorbsi (Almatsier 2009). Kekurangan besi pada umumnya menyebabkan pucat, rasa lemah, pusing, kurang nafsu makan, menurunnya kebugaran tubuh, menurunnya kemampuan kerja, menurunnya kekebalan tubuh, gangguan penyembuhan luka dan kemampuan mengatur suhu tubuh menurun. Selain itu juga dapat karena perdarahan akibat cacingan atau luka dan akibat penyakit-penyakit yang mengganggu absorbsi seperti penyakit gastro intestinal. Pada anak-anak kekurangan besi dapat menimbulkan apatis, mudah tersinggung, menurunnya kemampuan untuk berkonsentrasi dan belajar (Almatsier 2009). Kelebihan besi dapat menjadi fatal bagi penderita Parkinson, hemosiderosis dan talasemia. Suplemen besi yang berlebihan ditambah dengan rendahnya asupan protein dari makanan dapat menyebabkan kelebihan besi. Gejala dari kelebihan besi, umumnya pada orang tua menyebabkan kulit menjadi keputihan, penyimpanan besi pada hati, jantung, pankreas dan paru-paru, pusing, penurunan berat badan serta kelelahan (Soekatri dan Kartono 2014).
12 Anemia pada Anak Anemia merupakan masalah gizi yang paling banyak ditemukan baik di negara maju maupun berkembang, pada masyarakat dengan sosial ekonomi rendah maupun tinggi (Briawan 2013). Anemia adalah suatu keadaan dimana kadar hemoglobin (Hb) dalam darah kurang dari normal, yaitu kurang dari 12 g/dl dan berbeda untuk setiap kelompok umur dan jenis kelamin. Kelompok usia yang paling rentan terhadap anemia adalah balita, anak-anak, remaja, serta wanita hamil dan menyusui. Hal ini terjadi karena pada masa balita, anak-anak dan remaja terjadi pertumbuhan yang sangat pesat. Pada ibu hamil, anemia terjadi karena adanya peningkatan volume plasma darah. Pada ibu menyusui, anemia dapat terjadi karena kebutuhan yang meningkat (FAO 2001). Pada kelompok remaja (usia 10-19 tahun) sebanyak 20-30% yang menderita anemia akan mengalami penurunan kemampuan fisik (produktivitas) dan kemampuan akademik (Briawan 2013). Sebagian besar terjadinya anemia di Indonesia adalah kekurangan zat besi yang diperlukan untuk pembentukan hemoglobin, sehingga disebut anemia kekurangan zat besi. Anemia gizi besi merupakan suatu keadaan dimana sel-sel darah merah tidak mampu membawa oksigen yang diperlukan dalam pembentukan energi. Penyebab terjadinya anemia gizi besi adalah tidak cukupnya zat-zat gizi terutama yang diserap dari makanan sehari-hari guna pembentukan sel darah merah sehingga terjadi keseimbangan negatif antara pemasukan dan pengeluaran zat besi dalam tubuh. Selain itu, zat-zat penyerta yang dapat meningkatkan daya serap seperti protein dan vitamin C juga tidak cukup jumlahnya. Proses kekurangan zat besi menjadi anemia melalui beberapa tahap pertama terjadi penurunan simpanan cadangan zat besi dalam hati karena berbagai hal (iron depletion). Cadangan besi rendah tapi belum terjadi disfungsi, kadar besi dalam serum masih baik dan hematokrit masih normal. Pada tahap kedua (iron deficiency) berkurangnya zat besi yang tersedia untuk sistem eritropoesis, yaitu keadaan dimana penyediaan besi tidak cukup untuk pembentukan sel darah merah di sumsum tulang belakang serta serum feritin juga menurun namun kadar hemoglobin masih normal (belum berpengaruh). Tahap ketiga (iron deficiency anemia) adalah suatu keadaan dimana kadar hemoglobin sudah sangat rendah (dibawah normal) sehingga terjadi anemia, ditunjukkan dengan serum feritin menurun, besi serum menurun dan hematokrit menurun, juga disertai gejala klinis anemia (Almatsier 2009). Kegagalan gizi yang merupakan salah satu penyebab terjadinya anemia akan berdampak pada kegagalan pertumbuhan fisik dan perkembangan kecerdasan, menurunkan produktivitas kerja dan menurunkan daya tahan tubuh yang berakibat meningkatkan angka kesakitan dan angka kematian (Arisman 2010). Penelitian Jannah et al. (2006) pada anak sekolah dasar menyimpulkan bahwa anemia yang terjadi tidak hanya disebabkan karena defisiensi besi tapi juga defisiensi vitamin A, vitamin C dan kecacingan. Vitamin A akan meningkatkan penggunaan besi. Status vitamin A yang rendah berhubungan dengan perubahan metabolisme pada penderita anemia gizi besi. Anemia sangat berdampak buruk bagi anak yang masih dalam masa pertumbuhan dan perkembangan. Kondisi kesehatan siswa yang terganggu, seperti
13 anemia merupakan salah satu penyebab siswa tidak dapat berkonsentrasi secara penuh dalam waktu lama. Kondisi tersebut menyebabkan kemampuan sel darah merah mengikat oksigen menurun. Sementara itu, oksigen diperlukan dalam semua proses metabolisme zat gizi dalam tubuh untuk menghasilkan energi, sehingga anak yang anemia tampak letih, lelah dan lesu. Oksigen juga sangat penting bagi perkembangan dan aktivitas sel-sel otak. Tanpa suplai oksigen yang cukup, sel-sel otak tidak dapat berkembang dan beraktivitas secara optimal (Hidayati et al. 2010). Beberapa studi menunjukkan bahwa anak yang mengalami anemia ketika bayi akan memiliki kemampuan kognitif dan prestasi sekolah yang rendah, serta masalah perilaku ketika memasuki masa pertengahan kanak-kanak (Grantham-McGregor dan Ani 2001). Lubis et al. (2008) juga menyatakan bahwa anak usia sekolah dasar yang mengalami anemia defisiensi besi mempunyai Full IQ yang tidak melebihi rata-rata, gangguan pemusatan perhatian, gangguan kognitif serta memiliki skor aritmatika (matematika) yang rendah. Kecukupan Air pada Anak Tubuh dapat bertahan selama berminggu-minggu tanpa makanan, tetapi hanya beberapa hari tanpa air (Almatsier 2009). Air adalah salah satu zat gizi makro esensial yang dibutuhkan tubuh dalam jumlah terbanyak diantara semua zat gizi. Air tersusun atas unsur H dan O yang tidak berperan sebagai sumber energi, tetapi mempunyai peran dalam reaksi yang menghasilkan energi. Selain itu, air di dalam tubuh berperan sebagai pembentuk sel, pengatur suhu tubuh, pelarut, pelembab, pelumas sendi, pelindung organ dan mengalirkan pembuangan sisa makanan. Air dan zat-zat yang terlarut di dalamnya merupakan komponen tubuh terbesar, terdistribusi dalam cairan ekstraseluler dan cairan intraseluler. Zat yang terlarut dalam air adalah protein, glukosa, elektrolit. Elektrolit yang penting dalam cairan ekstraseluler adalah natrium dan elektrolit utama dalam cairan intraseluler adalah kalium (Astuti et al. 2014). Tubuh menggunakan elektrolit untuk mengatur keseimbangan cairan tubuh. Air dan elektrolit akan bergerak keluar dan masuk sel melalui membran sel. Keseimbangan air dan elektrolit diatur oleh regulator sistem osmose dan regulator volume. Regulator osmose terutama mengatur ekskresi air melalui ginjal serta mempengaruhi pusat rasa haus. Sensor dari regulator osmose terletak pada hipotalamus dan pusat rasa haus yang dipengaruhi oleh tinggi rendahnya osmolalitas plasma (Astuti et al. 2014). Walaupun molekul air bermuatan nol, namun oksigennya sedikit bermuatan negatif sedangkan hidrogennya sedikit bermuatan positif. Oleh sebab itu, dalam suatu larutan elektrolit baik ion positif maupun ion negatif menarik molekul air lain di sekitarnya. Air akan bergerak ke arah larutan yang berkonsentrasi lebih tinggi dari larutan yang berkonsentrasi lebih rendah melalui membran sel semipermeabel. Disebut membran semipermeabel karena membran ini bersifat permeabel untuk air tetapi tidak permeabel untuk elektrolit. Kekuatan yang mendorong air untuk bergerak ini dinamakan tekanan osmosis (Almatsier 2009). Proses penyebrangan ion positif dan bahan lain melalui membran sel dibantu dengan alat transport berupa protein. Salah satu contoh alat transport ini adalah pompa natrium-kalium yaitu suatu enzim yang memompa natrium ke luar lebih cepat daripada proses difusi. Di waktu yang sama pompa natrium-kalium juga akan
14 memompa kalium ke dalam sel. Transportasi natrium dan kalium tersebut merupakan mekanisme tubuh untuk menjaga konsentrasi cairan ekstraseluler dan intraseluler tetap dalam kondisi setimbang. Aktivasi mekanisme tersebut dibantu ATP (Adenosin triposphat) sebagai sumber energi dan enzim natrium-kalium ATP-ase untuk melepas energi dari ATP (Almatsier 2009). Tubuh mempunyai mekanisme yang mengatur agar konsentrasi semua mineral berada dalam batas-batas normal. Pengaturan ini terutama dilakukan oleh saluran cerna dan ginjal. Bagian atas saluran cerna yaitu lambung dan usus halus secara terus menerus memperoleh mineral melalui getah pencernaan dan cairan empedu. Mineral ini kemudian diserap kembali di bagian bawah saluran cerna yaitu di bagian kolon/usus besar. Melalui mekanisme ini sebanyak 8 liter cairan mengalami daur ulang yang cukup berarti untuk pemeliharaan keseimbangan elektrolit. Hormon ADH (hormon antidiuretika) menentukan jumlah air yang dikeluarkan ginjal dan jumlah yang diserap kembali. Untuk mengatur keseimbangan elektrolit, ginjal memanfaatkan kelenjar adrenal melalui hormon aldosteron. Bila kadar natrium tubuh menjadi rendah, aldosteron meningkatkan reabsorbsi natrium dari tubula ginjal. Bila terjadi reabsorbsi natrium, kalium akan dikeluarkan dari tubuh sesuai dengan aturan bahwa jumlah ion positif di dalam tubuh harus tetap sama (Almatsier 2009). Salah satu cara agar jumlah natrium tetap dalam keadaan konstan adalah melalui asupan makanan. Makanan biasanya mengandung lebih banyak natrium daripada yang dibutuhkan tubuh. Natrium mudah diabsorbsi oleh saluran cerna ke dalam darah. Ginjal akan mengeluarkan kelebihan natrium ini dan menjaga konsentrasinya dalam darah pada tingkat normal. Rasa haus juga membantu kadar natrium di dalam darah tetap konstan. Bila kadar natrium tinggi, reseptor di dalam otak merangsang seseorang untuk minum hingga tercapai rasio normal natrium terhadap air. Kemudian ginjal akan mengeluarkan kelebihan air dan kelebihan natrium secara bersamaan (Almatsier 2009). Konsumsi air diatur oleh rasa haus dan kenyang. Hal ini terjadi melalui perubahan yang dirasakan oleh mulut, hipotalamus (pusat otak yang mengontrol pemeliharaan keseimbangan air dan suhu tubuh) dan perut. Bila konsentrasi bahan-bahan di dalam darah terlalu tinggi, maka bahan-bahan ini akan menarik air dari kelenjar ludah. Mulut menjadi kering dan timbul keinginan untuk minum dan membasahi mulut. Bila hipotalamus mengetahui bahwa konsentrasi darah terlalu tinggi, maka timbul rangsangan untuk minum. Pengaturan minum dilakukan pula oleh saraf lambung. Walaupun rasa haus dapat mengatur konsumsi air, namun dalam kehilangan air yang terjadi secara cepat mekanisme ini sering tidak dapat pada waktunya mengganti air yang diperlukan. Misalnya pelari jarak jauh. Kadang-kadang minum tidak dapat segera mengembalikan kehilangan cairan yang dialaminya, akibatnya terjadi dehidrasi (Almatsier 2009). Sensitivitas rasa haus akan sangat penting dalam mencegah dehidrasi. Banyak orang mengasumsikan bahwa haus merupakan indikator yang baik dari kebutuhan cairan, namun sebenarnya haus merupakan suatu tanda bahwa tubuh baru saja mengalami dehidrasi. Cairan harus diganti sebelum rasa haus ini timbul. Pada saat tubuh mengalami dehidrasi, ginjal akan merespon dengan menghemat air dan melakukan reabsorbsi lagi ke dalam darah dan memindahkannya dari tubuh sehingga urin menjadi sedikit. Gejala dan akibat dehidrasi sangat tergantung dari berat ringannya kondisi dehidrasi. Dehidrasi pada anak remaja di Indonesia mencapai hampir 50%. Kajian yang dilakukan The Indonesia Hydration
15 Study (THIRST) membuktikan bahwa masalah kurang air tubuh atau dehidrasi cukup tinggi di Indonesia. Berdasarkan hasil studi ini 46.1% subjek remaja dan dewasa yang diteliti dari enam daerah di Indonesia mengalami dehidrasi. Kejadian dehidrasi pada kelompok remaja (49.5%) lebih tinggi dibanding kelompok dewasa (42.5%) yang diukur berdasarkan urine specific gravity (Hardinsyah et al. 2010). Dampak buruk dari dehidrasi yaitu pada mood, konsentrasi, kinerja dan kesehatan. Jumlah air yang dikonsumsi setiap hari ditentukan menurut berat badan, jenis kelamin dan kondisi fisiologis tertentu. Penentuan angka kecukupan air pada anak dan orang dewasa berbeda karena terdapatnya perbedaan fisiologis. Pada anak-anak usia 1-18 tahun digunakan rumus Darrow sedangkan pada orang dewasa menggunakan rumus luas permukaan tubuh dan menggunakan berat badan orang Indonesia. Kecukupan air di dalam tubuh dinyatakan dengan status hidrasi sedangkan apabila kekurangan air disebut dehidrasi (Astuti et al. 2014). Hasil penelitian Prayitno (2012) menunjukkan terdapat perbedaan status hidrasi pada remaja obesitas dan non obesitas. Kejadian dehidrasi lebih banyak dialami remaja obesitas (83.9%) dibandingkan yang non obesitas (51.6%). Menurut Santoso et al. (2011) pada orang obesitas air tubuh total lebih rendah dibandingkan dengan orang yang tidak obesitas karena kandungan air di dalam sel lemak lebih rendah dari pada kandungan air di dalam sel otot, sehingga orang obesitas lebih mudah mengalami kekurangan air dibandingkan dengan orang yang tidak obesitas. Pada obesitas, meskipun sudah terjadi kurang air namun tandatanda yang ada tidak jelas sehingga harus hati-hati dalam menilai keadaan kurang air pada obesitas. Kebutuhan air bagi pasien mengalami obesitas sebaiknya dua gelas lebih banyak dibandingkan kondisi normal. Hal ini didasarkan pada penelitian yang menunjukkan bahwa asupan air putih yang lebih banyak meningkatkan oksidasi (pembakaran lemak). Selain itu perlu diperhatikan cara mengkonsumsi dan jenis minum yang dipilih. Berdasarkan penelitian klinis pada orang dewasa gemuk, minum dua gelas air 1-2 jam sebelum makan (makan siang dan makan malam) dapat menurunkan berat badan. Jenis minuman yang sesuai adalah air putih dan menghindari minuman yang mengandung gula atau minuman manis (sweeteed beverage). Anak sekolah merupakan salah satu kelompok rentan mengalami kurang air tubuh yang dapat mengganggu konsentrasi belajar (D’Anci et al. 2006). Hal ini diperparah di negara sedang berkembang termasuk Indonesia, akses anak pada air minum di sekolah pada umumnya dengan cara membeli karena tidak ada air siap minum di sekolah. Pada anak perempuan keinginan untuk minum berkurang dengan maksud mengurangi buang air kecil disebabkan karena toilet yang kurang bersih dan ketersediaan air terbatas atau tidak ada (Santoso et al. 2014). Muckelbauer et al. (2009) melakukan penelitian terhadap anak usia sekolah dan terjadi penurunan risiko berat badan berlebih sebanyak 31% pada kelompok yang dilakukan intervensi untuk meningkatkan asupan air minum. Intervensinya yaitu mendistribusikan botol air, penyampaian informasi kebutuhan air yang diperlukan tubuh serta adanya waktu pengisian botol air selama waktu belajar. Penelitian lain yang dilakukan oleh Ruyter et al. (2012) pada 641 anak usia 4-11 tahun dengan berat badan normal, yang membandingkan minuman berkalori dan tidak berkalori selama 18 bulan. Hasil penelitian menunjukkan pertambahan berat badan dan lemak tubuh yang lebih rendah pada anak yang diberi minuman tidak berkalori.
16 Benton dan Davis (2009) melakukan penelitian klinis terkontrol dengan dua kelompok pada anak sekolah yaitu kelompok yang diberi minum di sekolah dan kelompok yang tidak diberi minum di sekolah serta tidak diperbolehkan minum selama dua jam di sekolah. Kemudian kedua kelompok diminta untuk mengerjakan soal matematika selama lima menit. Hasil penelitian membuktikan bahwa anak yang diberi minum mampu mengerjakan soal matematika dengan lebih cepat dibandingkan anak yang tidak diberi minum. Hal ini membuktikan bahwa minum penting bagi anak sekolah dalam proses belajar di sekolah dan untuk mengoptimalkan atensi atau konsentrasi belajar. Selain itu minum yang cukup atau hidrasi tidak hanya mengoptimalkan atensi atau konsentrasi belajar namun juga mengoptimalkan memori anak dalam belajar. Kajian yang dilakukan oleh Grandjean dan Grandjean (2007) terhadap 10 penelitian dampak kurang air tubuh terhadap fungsi kognisi (memori, atensi) dan lelah (fatigue), hasilnya membuktikan bahwa kurang air tubuh 2% dari berat badan mempengaruhi memori, baik jangka pendek maupun jangka panjang serta membuktikan bahwa dapat menyebabkan lelah (fatigue) dan berpengaruh buruk pada kemampuan atensi, matematika dan motorik anak. Lingkungan Belajar Anak Faktor-faktor yang mempengaruhi belajar siswa yaitu faktor internal (faktor dari dalam siswa), faktor eksternal (faktor dari luar siswa) dan faktor pendekatan belajar, yakni jenis upaya belajar siswa yang meliputi strategi dan metode yang digunakan siswa untuk melakukan kegiatan mempelajari materi-materi pelajaran (Syah 2014). Faktor yang berasal dari dalam diri siswa sendiri meliputi dua aspek yaitu aspek fisiologis (bersifat jasmaniah) dan aspek psikologis (bersifat rohaniah). Kondisi umum jasmani dan tonus (tegangan otot) yang menandai tingkat kebugaran organ-organ tubuh dan sendi-sendinya, dapat mempengaruhi semangat dan intensitas siswa dalam mengikuti pelajaran. Kondisi organ tubuh yang lemah, apalagi jika disertai sakit kepala dapat menurunkan kualitas ranah cipta (kognitif) sehingga materi yang dipelajarinya pun kurang atau tidak dapat diingat. Untuk mempertahankan tonus jasmani agar tetap bugar, siswa sangat dianjurkan mengkonsumsi makanan dan minuman yang bergizi. Selain itu, siswa juga dianjurkan memilih pola istirahat dan olahraga ringan yang terjadwal secara tetap dan berkesinambungan, karena perubahan pola makan minum dan istirahat akan menimbulkan reaksi tonus yang negatif dan merugikan semangat mental siswa (Syah 2014). Beberapa faktor yang termasuk aspek psikologis yang dapat mempengaruhi kuantitas dan kualitas belajar siswa adalah tingkat kecerdasan/inteligensi siswa, sikap siswa, bakat siswa, minat siswa dan motivasi siswa. Intelegensi bukan persoalan kualitas otak saja, melainkan juga kualitas organ-organ lainnya. Akan tetapi, memang peran otak dalam hubungannya dengan intelegensi manusia lebih menonjol daripada peran organ-organ tubuh lainnya, karena otak merupakan “menara pengontrol” hampir seluruh aktivitas manusia. Sikap adalah gejala internal yang berdimensi afektif berupa kecenderungan untuk mereaksi atau merespon dengan cara yang relatif tetap terhadap objek orang, barang dan sebagainya baik secara positif maupun negatif. Sikap siswa yang positif terhadap suatu pelajaran merupakan pertanda awal yang baik bagi proses belajar siswa,
17 sebaliknya sikap negatif siswa terhadap suatu pelajaran maka akan menimbulkan kesulitan belajar siswa (Syah 2014). Bakat adalah kemampuan individu untuk melakukan tugas tertentu tanpa banyak tergantung pada upaya pendidikan dan pelatihan. Bakat akan mempengaruhi tinggi rendahnya prestasi belajar bidang-bidang studi tertentu. Pemaksaan kehendak terhadap siswa dan juga ketidaksadaran siswa terhadap bakatnya sendiri sehingga memilih jurusan keahlian tertentu yang bukan bakatnya, akan berpengaruh buruk terhadap kinerja akademik atau prestasi belajarnya. Minat dan motivasi akan mempengaruhi kualitas pencapaian hasil belajar siswa dalam bidang-bidang tertentu. Motivasi dibedakan menjadi dua yaitu intrinsik dan ekstrinsik. Motivasi intrinsik adalah keadaan yang berasal dari dalam diri siswa, termasuk perasaan menyenangi materi dan kebutuhannya terhadap materi tersebut. Secara perspektif kognitif, motivasi yang lebih signifikan bagi siswa adalah motivasi intrinsik karena lebih murni dan langgeng serta tidak bergantung pada dorongan atau pengaruh orang lain (Syah 2014). Motivasi ekstrinsik adalah keadaan yang datang dari luar individu siswa yang juga mendorongnya untuk melakukan kegiatan belajar, seperti pujian, hadiah, peraturan/tata tertib sekolah, suri teladan orang tua, guru. Lingkungan sosial seperti para guru, para tenaga kependidikan dan teman-teman sekelas dapat mempengaruhi semangat belajar siswa. Selain itu, lingkungan sosial lainnya adalah masyarakat dan tetangga juga teman-teman sepermainan di sekitar rumah siswa. Lingkungan sosial yang lebih banyak mempengaruhi kegiatan belajar adalah orang tua dan keluarga siswa sendiri. Sifat-sifat orang tua, praktik pengelolaan keluarga, ketegangan keluarga dan demografi keluarga (letak rumah), semuanya dapat memberi dampak baik atau buruk terhadap kegiatan belajar dan hasil yang dicapai oleh siswa (Syah 2014). . Faktor-faktor yang termasuk lingkungan nonsosial adalah gedung sekolah dan letaknya, alat-alat belajar, keadaan cuaca dan waktu belajar yang digunakan siswa. Menurut hasil penelitian mengenai kinerja baca (reading performance) sekelompok mahasiswa di sebuah universitas di Australia Selatan, tidak terdapat perbedaan yang berarti antara hasil membaca pada pagi hari dan hasil membaca pada sore hari. Selain itu, keeratan korelasi antara study time preference dengan hasil membaca pun sulit dibuktikan. Bahkan mereka yang lebih senang belajar pada pagi hari dan dites pada sore hari, hasilnya tetap baik. Sebaliknya, ada pula di antara mereka yang lebih suka belajar pada sore hari dan dites pada saat yang sama, namun hasilnya tidak memuaskan. Dengan demikian, bukan waktu yang penting dalam belajar melainkan kesiapan sistem memori siswa dalam menyerap, mengelola dan menyimpan jenis informasi dan pengetahuan yang dipelajari siswa tersebut (Syah 2014). Prestasi Belajar Anak Setiap anak mempunyai karakteristik yang beragam. Salah satu anak dapat menempuh kegiatan belajarnya secara lancar dan berhasil tanpa mengalami berbagai kesulitan, sedangkan tidak sedikit pula siswa yang mengalami kesulitan dalam belajar. Kesulitan belajar siswa ditunjukkan oleh adanya hambatanhambatan tertentu untuk mencapai hasil belajar dan dapat bersifat psikologis,
18 sosiologis maupun fisiologis sehingga pada akhirnya dapat menyebabkan prestasi belajar yang dicapai lebih rendah (Rahmawati 2008). Prestasi belajar merupakan output sekolah yang sangat penting dan merupakan alat pengukur kemampuan kognitif siswa. Untuk mencapai prestasi belajar yang baik, seorang siswa dipengaruhi oleh berbagai faktor yang terjadi di sekitar kehidupannya baik yang terjadi di rumah tangga maupun pergaulan masyarakat. Selain itu cara belajar juga menentukan keberhasilan anak dalam mencapai prestasi. Belajar teratur dan bertahap akan lebih menanamkan ilmu tersebut dalam diri anak. Soetomo (1993) menyatakan prestasi belajar anak dapat diukur melalui skor prestasi dari beberapa pelajaran meliputi PPKN, Bahasa Indonesia, Matematika, Ilmu Pengetahuan Sosial dan Ilmu Pengetahuan Alam. Kelima pelajaran tersebut sudah dapat menggambarkan nilai kognitif siswa dan hasil pengukurannya dinyatakan dalam wujud angka. Prestasi belajar menyangkut tiga domain (ranah) kemampuan yaitu pertama yang berhubungan dengan kecerdasan intelektual, pemahaman, dan penalaran disebut dengan domain kognitif, kedua adalah yang berhubungan dengan perasaan, sikap terhadap suatu hal serta pembentukan pola hidup disebut dengan domain afektif, dan ketiga adalah yang berhubungan dengan keterampilan, kemampuan fisik motorik yang disebut dengan domain psikomotorik. Sebagian besar psikolog terutama kognitivis (ahli psikologi kognitif) berkeyakinan bahwa proses perkembangan kognitif manusia mulai berlangsung sejak baru lahir. Pendayagunaan kapasitas ranah kognitif manusia sudah mulai berjalan sejak manusia mulai mendayagunakan kapasitas motor dan sensorinya. Hanya cara dan intensitas pendayagunaan kapasitas ranah kognitif tersebut masih belum jelas benar. Argumen yang dikemukakan para ahli mengenai hal ini antara lain bahwa kapasitas sensori dan jasmani seorang bayi yang baru lahir tidak mungkin dapat diaktifkan tanpa aktivitas pengendalian sel-sel otak bayi tersebut. Sebagai bukti, jika seorang bayi lahir dengan cacat atau berkelainan otak, kecil sekali kemungkinan bayi tersebut dapat mengotomatisasikan refleks-refleks motor dan daya-daya sensorinya. Otomatisasi refleks dan sensori tidak pernah terlepas sama sekali dari aktivitas ranah kognitif karena pusat refleks terdapat dalam otak dan otak adalah pusat ranah kognitif manusia (Syah 2014). Ranah psikologis siswa yang terpenting adalah ranah kognitif. Kognitif adalah kemampuan intelektual seseorang yang ditunjukkan melalui prestasi akademik yang dicapai. Ranah kejiwaan yang berkedudukan pada otak ini adalah sumber sekaligus pengendali ranah-ranah kejiwaan lainnya, yakni ranah afektif (rasa) dan ranah psikomotor (karsa). Organ otak sebagai markas fungsi kognitif bukan hanya menjadi penggerak aktivitas akal pikiran, melainkan juga menara pengontrol aktivitas perasaan dan perbuatan. Itulah sebabnya pendidikan dan pengajaran perlu diupayakan sedemikian rupa agar ranah kognitif para siswa dapat berfungsi secara positif dan bertanggung jawab (Syah 2014). Tanpa ranah kognitif, sulit dibayangkan seorang siswa dapat berpikir. Selanjutnya, tanpa kemampuan berpikir mustahil siswa tersebut dapat memahami dan meyakini faidah materi-materi pelajaran yang diberikan kepadanya. Ranah kognitif yang paling banyak dinilai oleh para guru di sekolah karena berkaitan dengan kemampuan para siswa dalam menguasai isi bahan pengajaran. Walaupun demikian, tidak berarti fungsi afektif dan psikomotor seorang siswa tidak perlu.
19 Kedua fungsi psikologis siswa ini juga penting tetapi sebagai buah keberhasilan atau kegagalan perkembangan dan aktivitas fungsi kognitif (Syah 2014). Mengukur keberhasilan siswa yang berdimensi kognitif dapat dilakukan dengan berbagai cara, baik tes tertulis maupun tes lisan. Evaluasi artinya penilaian terhadap tingkat keberhasilan siswa mencapai tujuan yang telah ditetapkan dalam sebuah program. Selain itu juga berarti proses penilaian untuk menggambarkan prestasi yang dicapai seorang siswa sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan. Evaluasi hasil belajar merupakan kegiatan berencana dan berkesinambungan. Oleh karena itu, ragamnya pun banyak, mulai dari yang paling sederhana sampai yang paling kompleks. Salah satunya adalah evaluasi sumatif yaitu penilaian kurang lebih sama dengan ulangan umum dan dilakukan untuk mengukur kinerja akademik atau prestasi belajar siswa pada akhir periode pelaksanaan program pengajaran (Syah 2014). Tujuan evaluasi ada lima yaitu : 1) untuk mengetahui tingkat kemajuan yang telah dicapai siswa dalam suatu kurun waktu proses belajar tertentu, 2) untuk mengetahui posisi atau kedudukan seorang siswa dalam kelompok kelasnya, 3) untuk mengetahui tingkat usaha yang dilakukan siswa dalam belajar, 4) untuk mengetahui segala upaya siswa dalam mendayagunakan kapasitas kognitifnya (kemampuan kecerdasan yang dimilikinya) untuk keperluan belajar, 5) untuk mengetahui apakah sebuah metode yang tingkat daya guna dan hasil guna metode mengajar yang telah digunakan guru dalam proses belajar mengajar, sehingga apabila sebuah metode yang digunakan guru tidak mendorong munculnya prestasi belajar siswa yang memuaskan, guru amat dianjurkan mengganti metode tersebut atau mengkombinasikannya dengan metode lain yang serasi (Syah 2014). Densitas Energi dan Asupan Zat Gizi pada Anak Densitas energi pangan didefinisikan sebagai jumlah total energi yang terkandung dalam 100 gram suatu makanan yang dikonsumsi (Barclay 2008). Berdasarkan skor densitas energi selanjutnya dapat digunakan sebagai acuan dalam konsumsi pangan sehingga pada akhirnya dapat meningkatkan tingkat kecukupan serta densitas asupan zat gizi, baik pada skala individu ataupun skala rumah tangga. Konsep densitas asupan zat gizi merupakan keseimbangan komposisi zat gizi yang diperoleh dari pangan yang dikonsumsi yang memberikan manfaat bagi tubuh yaitu pertumbuhan untuk masa anak-anak serta manfaat kesehatan dan penurunan risiko penyakit untuk usia dewasa (Vossenaar dan Solomon 2012). Densitas asupan zat gizi merupakan asupan zat-zat gizi yang terkandung dalam suatu pangan yang dikonsumsi dan digunakan untuk memenuhi kebutuhan zat gizi individu maupun rumah tangga (Drewnowski 2005). Selain itu, densitas asupan zat gizi dapat dihubungkan dengan risiko obesitas, dan penyakit kardiovaskuler (Singer et al. 1995; Lee et al. 2014). Drewnowski (2005) mendefinisikan densitas asupan zat gizi sebagai perbandingan atau rasio jumlah asupan zat gizi yang dikonsumsi per hari per 1000 kkal energi. Densitas asupan zat gizi memiliki perbedaan dengan Dietary Reference Intakes (DRIs). Densitas asupan zat gizi digunakan untuk menentukan kecukupan zat gizi dari konsumsi individu atau rumah tangga, sementara DRIs merupakan perkiraan secara
20 kuantitatif dari asupan zat-zat gizi untuk merencanakan atau menilai pola konsumsi pangan individu atau rumah tangga. Adapun perbedaan antara tingkat kecukupan zat gizi dan densitas asupan zat gizi yaitu tingkat kecukupan zat gizi dihitung berdasarkan rasio atau perbandingan antara asupan zat gizi yang dikonsumsi dengan angka kecukupan zat gizi yang dianjurkan per hari, sedangkan densitas asupan zat gizi dihitung berdasarkan rasio asupan zat gizi terhadap total asupan energi dari makanan yang dikonsumsi per hari. Meski demikian, baik tingkat kecukupan zat gizi ataupun densitas asupan zat gizi dapat menggambarkan kecukupan zat gizi individu ataupun rumah tangga yang selanjutnya dapat mempengaruhi status gizi individu atau rumah tangga tersebut (Drewnowski 2005). Remaja terutama di kota besar mengalami pergeseran pola makan dari pola makan tradisional ke pola makan barat. Pemilihan makanan tidak lagi didasarkan pada kandungan gizi, tetapi lebih banyak dipengaruhi oleh sosialisasi antar teman sebaya. Umumnya remaja cenderung mengkonsumsi makanan dengan densitas energi tinggi yang tinggi kandungan karbohidrat sederhana, gula dan lemak (Kant dan Graubard 2005). Fenomena konsumsi makanan dengan densitas energi tinggi seperti fast food dan minuman bergula telah menjadi kebiasaan dan trend bagi remaja dan anak usia sekolah. Konsumsi makanan dengan densitas energi tinggi secara berlebih secara langsung dapat mempengaruhi peningkatan IMT (Kant et al. 2008). Densitas energi lebih banyak disumbangkan dari makanan dibandingkan minuman. Makanan padat seperti sereal dan padi-padian mengandung sedikit air dan tinggi energi menyumbang densitas energi lebih tinggi dibandingkan buah, dan sayur yang mengandung banyak air dan rendah energi. Minuman mengandung kadar air yang tinggi dan menyumbang lebih sedikit energi dan nutrisi sehingga tidak terlalu mempengaruhi nilai densitas energi (Schroder et al. 2008) Makanan padat energi yang sehat contohnya kacang-kacangan, biji-bijian, alpukat, telur, kentang, susu dan minyak zaitun. Makanan padat energi yang tidak sehat disebut makanan padat energi rendah gizi (Energy dense, nutrient-poor foods (EDNP)). EDNP dikategorikan menjadi 5 jenis yaitu visible fat (margarin, mentega, minyak, krim, gajih, steak, sosis dan makanan yang digoreng), sweeteners (gula, sirup, permen, minuman manis), dessert (biskuit, pie, kue, pastry, donat, es krim, milkshake, puding, kue keju); snack asin (keripik kentang, keripik jagung, tortilla) dan lain lain (kopi, teh, kaldu, saus tomat, saus sambal) (Kant 2000). Konsumsi makanan dengan densitas energi yang rendah mampu menurunkan asupan energi total. Penelitian di Amerika pada subyek dengan asupan makanan berdensitas energi rendah memiliki asupan energi total yang lebih rendah (275-425 kkal/hari lebih rendah) dibandingkan subyek dengan asupan makanan berdensitas energi tinggi, meskipun mengkonsumsi makanan lebih banyak (300-400 gram/hari lebih banyak) (Ledikwe et al. 2006).
21
3 KERANGKA PEMIKIRAN Anak-anak usia sekolah dasar merupakan generasi penerus bangsa. Kegagalan dalam memahami kebutuhan anak akan berujung kegagalan dalam membantu menjadikan anak yang berkualitas. Kecukupan konsumsi makanan dan minuman yang seimbang, status anemia serta lingkungan belajar anak memerlukan perhatian penting agar tercapai proses tumbuh kembang yang optimal dan menjadi manusia yang berkualitas. Anak yang memiliki status gizi normal, tidak mengalami anemia, lingkungan belajar baik, tercukupinya asupan cairan serta mempunyai prestasi belajar yang baik merupakan cikal bakal sumber daya manusia yang berpotensial untuk pembangunan bangsa. Kecukupan zat gizi dapat dipenuhi dari konsumsi pangan yang baik, sehingga komposisi zat gizi haruslah seimbang, bergizi dan beragam sesuai dengan jumlah dan kebutuhan yang dianjurkan menurut umur anak. Begitupun dengan kecukupan air, anak sekolah merupakan salah satu kelompok rentan mengalami kurang air tubuh serta dapat mengganggu konsentrasi belajar. Kebiasaan makan dan kebiasaan minum akan mempengaruhi konsumsi pangan seseorang. Konsumsi pangan akan mencerminkan asupan energi serta zat gizi lain kemudian dengan membandingkan angka kecukupan gizi dapat diketahui tingkat kecukupan energi dan zat gizi yang dinyatakan dalam persentase. Konsumsi pangan secara langsung juga dapat mempengaruhi densitas energi dan tingkat kecukupan zat gizi. Densitas asupan zat gizi yang baik akan mengindikasikan tingkat kecukupan zat gizi yang baik, demikian pun sebaliknya. Selain itu konsumsi pangan juga akan mempengaruhi asupan cairan. Asupan cairan merupakan seluruh cairan yang masuk ke dalam tubuh baik yang berasal dari minuman maupun dari makanannya. Konsumsi air yang rendah dapat menyebabkan tubuh kehilangan cairan atau dehidrasi. Berdasarkan asupan dan kebutuhan cairan maka dapat diketahui persentase tingkat konsumsi cairan. Ketidakcukupan air akan membuat siswa sulit berkonsentrasi sehingga mempengaruhi prestasi belajar. Prestasi belajar juga dapat dipengaruhi dari faktor sosial. Suasana dan keadaan keluarga yang bermacam-macam turut menentukan bagaimana cara anak belajar. Sarana yang lengkap juga turut mempengaruhi proses belajar siswa. Lingkungan sosial yang lebih banyak mempengaruhi kegiatan belajar adalah orang tua dan keluarga siswa sendiri. Selain itu, masalah lainnya yang dihadapi anak sekolah adalah anemia. Anemia dapat mengakibatkan berkurangnya daya pikir dan konsentrasi seseorang serta menurunnya prestasi belajar pada anak sekolah karena mengalami kesulitan berkonsentrasi karena kurangnya oksigen akibat rendahnya kadar hemoglobin menurunkan oksigenasi pada susunan syaraf pusat. Status anemia dipengaruhi dari konsumsi makanan yang mengandung zat besi serta yang mempengaruhi penyerapan besi dalam tubuh. Status anemia, konsumsi air yang cukup serta lingkungan belajar yang baik pada anak usia sekolah diduga berhubungan dengan prestasi belajar seorang anak di sekolah. Kerangka penelitian ditunjukkan pada Gambar 1.
22 Karakteristik Siswa : - Umur - Uang saku - BB dan TB
Karakteristik keluarga siswa : - Besar keluarga - Pendidikan orang tua - Pekerjaan orang tua - Pendapatan orang tua
Konsumsi anak SD (recall 3x24 jam)
Densitas gizi : - Dietary energy density (DED) - Densitas asupan zat gizi (Energi, Protein, Vitamin A, Vitamin C, Fe)
- penyakit infeksi
Tingkat Kecukupan energi dan zat gizi: - Energi - Protein - Vitamin A - Vitamin C - Fe
Status gizi - Antropometri (IMT/U) - Biokimia (Status Anemia)
- genetik - IQ - afektif/psikomotorik
Kecukupan Air
- aktivitas fisik
Prestasi Belajar
Lingkungan belajar Keterangan: : Variabel yang diteliti : Variabel yang tidak diteliti
: Hubungan yang diteliti : Hubungan tidak diteliti
Gambar 1 Kerangka penelitian hubungan status anemia, kecukupan air dan lingkungan belajar dengan prestasi belajar anak obes di Kota Bogor
23
4 METODE Desain, Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian Ekawidyani et al. (2015) yang dibiayai oleh NHF (Neys-van Hoogstraten Foundation) dengan judul Overweight among school children: It’s causes and effects on physical fitness, anemia, and academic performance. Persetujuan etik pada penelitian ini telah disetujui oleh Komite Etik Penelitian Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Nomor: 222/H2.F1/ETIK/2014. Persetujuan etik pada penelitian ini dapat dilihat pada Lampiran 1. Desain yang digunakan pada penelitian ini adalah cross sectional. Desain studi cross sectional menggunakan pendekatan point time dimana penyebab dan efek diobservasi pada saat yang sama. Penelitian ini dilakukan sejak Bulan Februari 2014 sampai dengan April 2015. Tempat penelitian yaitu pada enam Sekolah Dasar (SD) negeri dan swasta dengan tingkat sosial ekonomi menengah ke atas yaitu Sekolah Dasar Negeri Polisi 1, Sekolah Dasar Negeri Polisi 4, Sekolah Dasar Negeri Polisi Lima, Sekolah Dasar Negeri Bantarjati 9, Sekolah Dasar At-Taufiq, dan Sekolah Dasar Pertiwi. Jumlah dan Cara Pemilihan Contoh Pemilihan enam Sekolah Dasar (SD) tersebut sebagai tempat penelitian dilakukan secara purposive dengan pertimbangan bahwa kondisi sosial ekonomi menengah ke atas sehingga jumlah anak berstatus gizi obesitas cukup banyak dan memiliki karakteristik yang sama serta kemudahan dalam memperoleh ijin penelitian. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh anak-anak kelas V di enam SD yang dipilih. Bagan penarikan sampel disajikan pada Gambar 2. Jumlah siswa kelas 5 di 6 sekolah Screening (N = 822 siswa)
316 siswa status gizi 466 siswa status gizi obesitas normal Pengembalian EC 112 siswa status gizi 112 siswa status gizi obesitas normal Simple random sampling 102 siswa status gizi obesitas
102 siswa status gizi normal
Gambar 2 Bagan Penarikan Sampel
24 Jumlah seluruh anak kelas V di SD Negeri Polisi 1 sebanyak 198 siswa, SD Negeri Polisi 4 sebanyak 182 siswa, SD Negeri Polisi 5 sebanyak 105 siswa, SD Negeri Bantarjati 9 sebanyak 72 siswa, SDI At-Taufiq sebanyak 105 siswa dan SD Pertiwi sebanyak 160 siswa. Sampel untuk penelitian Ekawidyani et al (2015) dipilih secara purposive berdasarkan kesediaan dari pihak sekolah, orangtua dan anak untuk mengikuti penelitian ini. Kriteria inklusi sampel yaitu terdaftar sebagai anak kelas V dari sekolah tersebut, tidak memiliki penyakit seperti asma, mengikuti seluruh rangkaian penelitian dan tergolong status gizi gemuk (termasuk obesitas) dan status gizi normal berdasarkan standar WHO. Anak dikategorikan kegemukan dan obesitas apabila IMT/U +1 SD < Z ≤ +2 SD dan IMT/U >+2 SD, serta normal apabila IMT/U -2 SD < Z ≤ +1 SD (Kemenkes 2013). Jumlah sampel yang diambil menggunakan rumus perhitungan sebagai berikut: n =
Zα2 p qN d2(N-1) + Zα2 p q
Sumber : Lemeshow et al. (1990) keterangan: n = jumlah sampel minimal yang diperlukan N = populasi = derajat kepercayaan α p = 18.79% prevalensi anak sekolah dasar gemuk di Kota Bogor (Madanijah et al. 2013) q = (1 – p) = kesalahan yang dapat ditaksir (presisi=0.05) d
Sampel untuk penelitian ini dipilih secara simple random sampling dari total sampel penelitian Ekawidyani et al. (2015). Jumlah minimal dalam penelitian ini diperoleh sebanyak 183 siswa dan penambahan menjadi 204 siswa sesuai kriteria inklusi. Jenis dan Cara Pengumpulan Data Jenis data yang akan dikumpulkan berupa data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui observasi secara langsung, wawancara terstruktur menggunakan kuesioner, pengukuran antropometri dan pengambilan darah. Data primer meliputi karakteristik orang tua (besar keluarga, pendidikan, pekerjaan serta pendapatan orang tua), karakteristik siswa (umur dan uang saku), kadar Hb, recall makanan dan minuman yang dikonsumsi selama 3 x 24 jam yaitu pada dua hari sekolah dan satu hari libur, serta kondisi lingkungan belajar. Data sekunder meliputi data mengenai gambaran umum lokasi penelitian dan prestasi belajar
25 yang diperoleh dari hasil tes siswa. Jenis dan cara pengumpulan data disajikan pada Tabel 1. Tabel 1 Jenis dan cara pengumpulan data No 1 2
3
Variabel Karakteristik contoh -Umur -Uang saku Karakteristik keluarga siswa -Besar keluarga -Pendidikan orang tua -Pekerjaan orang tua - Pendapatan orang tua Antropometri contoh -Berat badan -Tinggi badan
Jenis Data Primer
Cara pengumpulan data Wawancara langsung dengan siswa menggunakan kuesioner
Primer
Kuesioner dibawa pulang oleh siswa untuk diberikan dan diisi oleh orang tua
Primer
Berat badan diukur dengan menggunakan timbangan injak digital Tinggi badan diukur dengan menggunakan microtoise dengan ketelitian 0.1 cm Wawancara langsung dengan siswa menggunakan kuesioner metode recall 3 x 24 jam yaitu dua hari sekolah dan satu hari libur
4
Konsumsi (makanan dan minuman)
Primer
5
Anemia -Kadar Hb Lingkungan belajar -Tempat dan waktu -Fasilitas belajar -Perhatian orang tua -Suasana belajar -Lingkungan pergaulan -Pola belajar Prestasi belajar Gambaran umum lokasi penelitian -Profil sekolah
Primer
6
7 8
Primer
Primer Sekunder
Metode Cyanmethemoglobin menggunakan alat HemoCue Wawancara langsung dengan siswa menggunakan kuesioner
Hasil tes siswa Data sekunder dari pihak sekolah
Pengolahan dan Analisis Data Data yang telah terkumpul diolah dan dianalisis secara deskriptif dan inferensia. Pengolahan data yang dilakukan berupa editing kuesioner, coding, entry data, dan analisis data. Data konsumsi pangan berupa jenis dan jumlah makanan dalam gram/URT dikonversi ke dalam nilai zat gizi dengan menggunakan Daftar Konsumsi Bahan Makanan (DKBM), sehingga dapat diketahui kandungan gizi masing-masing bahan pangan yaitu energi, protein, vitamin A, vitamin C dan zat besi. Adapun rumus umum yang digunakan untuk mengetahui kandungan zat gizi adalah :
26 KGij = (Bj/100) x Gij x (BDDj/100) Keterangan: KGij = kandungan zat gizi –i dalam bahan makanan –j Bj = berat makanan –j yang dikonsumsi = kandungan zat gizi –i dalam 100 gram BDD bahan makanan –j Gij BDDj = bagian yang dapat dimakan dalam bahan makanan –j (Sumber : Hardinsyah dan Briawan 1994) Data konsumsi air dikelompokkan menjadi empat kategori berdasarkan sumbernya, yaitu air putih, air berasa dan berwarna selain air putih, air kemasan dan air metabolik. Perhitungan air yang berasal dari minuman langsung diukur banyaknya konsumsi air yang diminum, tanpa konversi. Perhitungan konsumsi air yang berasal dari makanan dikonversikan ke dalam kandungan air dengan menggunakan DKBM. Rumus menghitung air metabolik adalah : Jumlah air metabolik (mL) = (1.07 x berat lemak (g)) + (0.41 x berat protein (g)) + (0.55 x berat karbohidrat (g)) Rumus untuk mencari asupan cairan sehari adalah TIC hari = MAP hari + MAL hari + MAK hari + AM hari Keterangan : TIChari MAPhari MALhari MAKhari AMhari
= total intake cairan sehari (mL) = volume minuman air putih sehari (mL) = volume minuman lainnya (berasa dan berwarna) sehari (mL) = volume air dalam minuman kemasan sehari (mL) = jumlah air metabolik sehari (mL)
Kebutuhan air pada anak-anak usia 1-18 tahun digunakan rumus Darrow yang disajikan pada Tabel 2 berikut ini : Tabel 2 Kebutuhan air berdasarkan berat badan Berat badan (kg) < 10 10-20 > 20
Sumber : Astuti et al. (2014)
Kebutuhan Air (ml) 100/Kg BB 1000 + (50/kg BB untuk setiap kenaikan BB> 10 kg) 1500 + (20/kg BB untuk setiap kenaikan BB > 20 kg)
Untuk menghitung tingkat kecukupan cairan adalah : Tingkat Kecukupan Cairan = Konsumsi cairan sehari x 100% Kebutuhan cairan harian
27 Perhitungan kecukupan energi dan protein pada penelitian ini berdasarkan IOM (2005). Kecukupan energi untuk status gizi normal menggunakan rumus model persamaan estimasi kecukupan berdasarkan umur 10-18 tahun yang disajikan pada Tabel 3. Tabel 3 Model persamaan estimasi kecukupan berdasarkan umur 10-18 tahun Jenis Kelamin Laki-laki
Perempuan
Persamaan TEE = [88.5 – (61.9xU) + PA x (26.7xBB+ 903xTB)]+ 25 Kal Keterangan : PA = 1.13 (ringan) PA = 1.26 (aktif) PA = 1.42 (sangat aktif) TEE = [135.3 – (30.8xU) + PA x (10xBB + 934xTB)]+ 25 Kal Keterangan : PA = 1.31 (aktif) PA = 1.16 (ringan) PA = 1.56 (sangat aktif)
Kecukupan Energi (kkal) TEE + 0.1 TEE
TEE + 0.1 TEE
Sumber : IOM (2005) Keterangan : TEE = total energy expenditure – total pengeluaran energi (kkal) PA = koefisien aktifitas fisik U = umur (tahun), BB = berat badan (kg), TB = tinggi badan (m) Tabel 4 menunjukkan persamaan untuk menduga kebutuhan energi untuk orang yang mengalami overweight dan obese berdasarkan IOM (2005) : Tabel 4 Kebutuhan energi untuk usia 3-18 tahun yang mengalami overweight dan obese Jenis Kelamin Laki-laki
Perempuan
Persamaan
Faktor aktifitas fisik
TEE = 114 – 50.9 x Umur (th) + PA (19.5 x BB (kg) + 1161.4 x TB (m))
PA =1.12 jika dugaan PAL antara 1.4 sampai1.6 (ringan) PA = 1.24 jika dugaan PAL antara1.6 sampai 1.9 (aktif) PA = 1.45 jika dugaan PAL antara 1.9 sampai 2.5 (sangat aktif) PA =1.18 jika dugaan PAL antara 1.4 sampai1.6 (ringan) PA = 1.35 jika dugaan PAL antara1.6 sampai 1.9 (aktif) PA = 1.60 jika dugaan PAL antara 1.9 sampai 2.5 (sangat aktif)
TEE= 389 – 41.2 x Umur (th) + PA (15.0 x BB (kg) + 701 x TB (m))
Sumber : IOM (2005) Keterangan : TEE = Total Energy Expenditure – total pengeluaran energi (kkal) PA = koefisien aktifitas fisik
Kecukupan protein dihitung berdasarkan angka kecukupan protein dalam Kemenkes (2014) dan IOM (2005). Perhitungan kecukupan protein disesuaikan
28 dengan berat badan masing-masing individu serta dikoreksi dengan faktor koreksi mutu protein, sebagaimana berikut: Kecukupan protein = (AKP x BB) x faktor koreksi mutu protein Keterangan : AKP = angka kecukupan protein (g/kgBB/hari) BB = berat badan aktual (kg) Faktor koreksi mutu protein dewasa = 1.3 dan bagi anak dan remaja = 1.5 Faktor koreksi mutu protein perempuan hamil = 1.2 Angka kecukupan vitamin dan mineral meliputi vitamin A, vitamin C dan zat besi dihitung berdasarkan AKG 2012 (Kemenkes 2014) menggunakan rumus berikut ini: AKGI = (Ba/Bs) x AKG Keterangan: AKGI = angka kecukupan gizi contoh Ba = berat badan aktual sehat (kg) Bs = berat badan standar (kg) AKG = angka kecukupan zat gizi yang dianjurkan berdasarkan AKG 2012 Selanjutnya tingkat kecukupan gizi diperoleh dengan cara membandingkan jumlah konsumsi zat gizi tersebut dengan kecukupannya sesuai dengan kelompok umur dan jenis kelamin (Kemenkes 2014). Berikut rumus kecukupan zat gizi yang digunakan : TKG = (K/AKGI) x 100 Keterangan : TKG = tingkat kecukupan zat gizi K = konsumsi zat gizi AKGI = angka kecukupan gizi contoh Nilai atau skor densitas energi pangan dihitung menggunakan metode dietary energy density (DED) yang membandingkan antara jumlah asupan energi dengan total berat pangan (kkal/g), sebagaimana tercantum seperti dibawah ini (Wang et al. 2013).
29
Keterangan : DED = Dietary energy density (kkal/g) Semakin rendah skor DED maka semakin baik kualitas gizi pangan tersebut dan juga sebaliknya. Kategori skor densitas energi terdapat pada Tabel 5. Tabel 5 Kategori densitas energi Variabel Densitas energi pangan (DED)
Sumber : Rolls (2009)
Kategori DED tinggi (4-9 kkal/g pangan) DED sedang (1.5-4 kkal/g pangan) DED rendah (0.6-1.5 kkal/g pangan) DED sangat rendah (0-0.6 kkal/g pangan)
Penentuan densitas asupan zat gizi (DG) berdasarkan Drewnowski (2005) dan dikategorikan berdasarkan standar dari FAO. Berikut ini merupakan rumus dalam menentukan densitas asupan zat gizi (DG) :
Selanjutnya, nilai densitas asupan zat gizi (DG) kemudian dikategorikan berdasarkan standar FAO. Nilai densitas asupan protein dikategorikan menjadi tiga yaitu rendah, cukup dan tinggi. Untuk nilai densitas asupan vitamin dan mineral dikategorikan ke dalam kategori kurang jika nilai DG lebih kecil dari standar FAO dan kategori cukup jika nilai DG sama atau lebih besar dari standar FAO. Pengkategorian nilai densitas zat gizi berdasarkan standar FAO disajikan pada Tabel 6. Tabel 6 Standar densitas asupan zat gizi Zat gizi Protein*, g Rendah Cukup Tinggi Kalsium, mg Zat besi, mg Vitamin A, µg RE Vitamin B1 Vitamin C, mg
Standar FAO < 20 20 – 40 > 40 500 - 800 7 – 40 700 – 1000 1.0-1.6 50 – 60
Keterangan: *Diadaptasi berdasarkan WHO (1998) dan Drewnowski (2005)
30 Pada Tabel 7 dapat dilihat cara pengkategorian dan pengelompokan variabel yang akan diteliti serta sumber yang digunakan. Tabel 7 Cara pengkategorian dan pengelompokkan variabel penelitian No 1
Data Besar anggota keluarga
2
Tingkat orang tua
Pendidikan
3
Pekerjaan orang tua
4
Pendapatan orang tua
5
Densitas energi
6
Densitas protein
7
Densitas mineral
8
Status anemia
9
Kecukupan air
10
Tingkat kecukupan energi dan protein
11
Tingkat vitamin A
vitamin
dan
kecukupan
Kategori - Keluarga kecil (≤ 4 orang) - Keluarga sedang (5 – 6 orang) - Keluarga besar (≥ 7 orang) - Pendidikan Dasar (SD) - Pendidikan Menengah (SMP/SMA) - Pendidikan Tinggi (PT) - Tidak bekerja - Pegawai - Wiraswasta - Petani/Nelayan/Buruh - Lainnya - ≥ garis kemiskinan (294700) - < garis kemiskinan (294700) - DED tinggi (4-9 kkal/g pangan) - DED sedang (1.5-4 kkal/g pangan) - DED rendah (0.6-1.5 kkal/g pangan) - DED sangat rendah (0-0.6 kkal/g pangan) Protein : - Rendah (< 20 g) - Cukup (20 g – 40 g) - Tinggi (> 40 g) Kurang (nilai densitas lebih kecil dari standar) - Vitamin A < 700 – 1000 µg RE - Vitamin C < 50 – 60 mg - Fe < 7 - 40 mg Cukup (nilai densitas sama atau lebih besar dari standar) - Vitamin A 700 1000 µg RE - Vitamin C 50 – 60 mg - Fe 7-40 mg - Anemia (< 12.0 g/dL) - Tidak anemia (≥ 12.0 g/dL) - Kurang (<90%) - Cukup (90%-110%) - Berlebih (≥110%) - Defisit tingkat berat (70% AKG) - Defisit tingkat sedang (70-79% AKG) - Defisit tingkat ringan (80-89% AKG) - Normal (90-119% AKG) - Kelebihan (120% AKG) - Kurang (< 600 µg RE AKG) - Normal (600 µg RE AKG) - Lebih (> 600 µg RE AKG)
Sumber BKKBN (1998) Kemendikbud (2012) Kemenkes (2014)
BPS (2014) Rolls (2009)
WHO (1998) dan Drewnoski (2005) WHO (1998) dan Drewnoski (2005)
Kemenkes (2013) Depkes (2005) Depkes (1996)
Kemenkes (2013)
31 Tabel 7 Cara pengkategorian dan pengelompokkan variabel penelitian (Lanjutan) No 12
13
14 15
Data Kategori kecukupan Perempuan - Kurang (< 50 mg AKG) - Normal (50-65 mg AKG) - Lebih (> 65 mg AKG) Laki-laki - Kurang (< 50 mg AKG) - Normal (50-75 mg AKG) Lebih (> 75 mg AKG) Tingkat kecukupan zat Perempuan besi (Fe) - Kurang (< 20 mg AKG) - Normal (20-26 mg AKG) - Lebih (> 26 mg AKG) Laki-laki - Kurang (< 13 mg AKG) - Normal (13-19 mg AKG) - Lebih (> 19 mg AKG) Lingkungan belajar - Baik > 60 - Sedang 47 – 60 - Kurang < 47 Prestasi belajar - Sangat baik (80 – 100) - Baik (70 – 79) - Cukup (60 – 69) - Kurang (50 – 59) Tingkat vitamin C
Sumber Kemenkes (2013)
Kemenkes (2013)
Slamet (1993) Kemendikbud (2012)
Setelah dilakukan pengolahan data, tahap selanjutnya adalah analisis data. Analisis data dilakukan dengan menggunakan Statistical Program for Social Science (SPSS) version 19.0 for windows. Analisis yang akan digunakan adalah univariat, uji beda, bivariat serta analisis multivariat. Analisis univariat digunakan untuk mendeskripsikan setiap variabel dengan gambaran distribusi frekuensinya dalam bentuk jumlah dan persentase. Analisis uji beda dilakukan untuk melihat perbedaan variabel antara siswa obes dan normal, menggunakan uji Independent T-test jika data berdistribusi normal sedangkan uji Mann Whitney jika data tidak berdistribusi normal. Analisis bivariat digunakan untuk mengetahui hubungan antara dua variabel, yaitu variabel dependen dengan salah satu variabel independen. Uji hubungan menggunakan Spearman. Analisis multivariat digunakan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar siswa obes dengan menggunakan uji regresi logistik. Menurut Dahlan (2009), analisis regresi logistik dilakukan melalui beberapa tahapan yaitu: 1) variabel yang pada analisis bivariat mempunyai nilai ρ < 0.25 diikutsertakan dalam analisis regresi logistik dan variabel yang mempunyai ρ > 0.25 tidak diikutsertakan dalam analisis; 2) analisis regresi logistik dilakukan dengan metode Backward LR dengan kriteria ρ<0.05 dan tingkat kepercayaan (CI) sebesar 95%. Berikut ini merupakan model regresi logistik yang digunakan:
32 Y= log F = β0 + β1X1 + β2X2 + β3X3+ ε 1-F Keterangan: Y = prestasi belajar F = fungsi kumulatif β0 = konstanta β1X1 = status anemia β2X2 = kecukupan air β3X3 = lingkungan belajar ε = Galat (error) Definisi Operasional Siswa adalah anak kelas 5 SD dari enam SD di kota Bogor yang dipilih secara simple random sampling serta berstatus gizi obesitas dan normal. Obesitas adalah adalah status gizi lebih dengan IMT/U +1 SD < Z ≤ +2 SD dan IMT/U >+2 SD. Prestasi belajar adalah hasil pembelajaran siswa dari nilai rata-rata tiga mata pelajaran setelah tes yang diberikan dari lembaga belajar terpercaya dan merupakan salah satu indikator dalam mengukur kognitif siswa. Status anemia adalah anemia gizi besi yang meliputi keadaan anemia atau tidak anemia siswa berdasarkan pemeriksaan kadar hemoglobin. Siswa dinyatakan anemia jika kadar hb < 12 gr/dl. Kecukupan air adalah tercukupinya air di dalam tubuh berdasarkan hasil perhitungan konsumsi cairan. Lingkungan belajar adalah situasi belajar di rumah yang mempengaruhi kegiatan belajar siswa meliputi empat variabel yaitu tempat dan fasilitas belajar, perhatian orang tua, suasana belajar dan lingkngan pergaulan serta pola belajar siswa. Uang saku siswa adalah uang saku per hari yang digunakan siswa untuk jajan di sekolah dan tidak termasuk uang transportasi (angkutan umum). Umur adalah umur siswa saat penelitian dilangsungkan dan ditanyakan melalui pengisian kuesioner. Besar keluarga adalah jumlah anggota keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, kakak, atau adik serta anggota keluarga lainnya yang tinggal satu rumah dengan siswa. Pendidikan orang tua adalah jenjang pendidikan formal yang terakhir diikuti oleh orang tua siswa. Pendapatan orang tua adalah rata-rata total pendapatan kedua orang tua dalam sebulan. Tingkat kecukupan gizi adalah perbandingan konsumsi siswa dari rata-rata zat gizi (energi, protein, vitamin A, vitamin C dan Fe) terhadap kebutuhan gizi yang dianjurkan menurut umur kemudian dinyatakan dalam persen. Konsumsi pangan adalah semua jumlah dan jenis makanan yang dikonsumsi siswa yang diperoleh melalui metode recall 3x24 jam.
33 Konsumsi cairan adalah jumlah cairan (air putih dan selain air putih) yang dikonsumsi siswa dan diperoleh melalui recall 3x24 jam. Densitas energi adalah perbandingan jumlah total asupan energi dengan total berat pangan yang dikonsumsi siswa dan diperoleh dengan metode recall 3x24 jam (dua hari sekolah dan satu hari libur). Densitas asupan gizi adalah perbandingan asupan zat gizi terhadap total asupan energi dari makanan yang dikonsumsi oleh siswa setiap hari dan diperoleh dengan metode recall 3x24 jam (dua hari sekolah dan satu hari libur).
34
5 HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di empat Sekolah Dasar (SD) negeri dan dua sekolah swasta dengan tingkat sosial ekonomi menengah ke atas yaitu SD Negeri Polisi 1, SD Negeri Polisi 4, SD Negeri Polisi 5, SD Negeri Bantarjati 9, Sekolah Dasar Islam Terpadu (SDIT) At-Taufiq, dan SD Pertiwi. SD Negeri Polisi 1 berdiri pada tahun 1917, merupakan salah satu sekolah tertua di Kota Bogor. Sekolah ini beralamat di Jl. Paledang No. 45, Kelurahan Paledang, Kecamatan Bogor Tengah, Kota Bogor. SD Negeri Polisi 1 memiliki tenaga pengajar sebanyak 51 orang. Fasilitas belajar yang tersedia adalah ruang belajar, ruang guru, laboratorium komputer, perpustakaan, ruang kesenian, mushola, UKS, ruang tata usaha, dapur, koperasi, kantin dan lapangan olahraga. SD Negeri Polisi 1 tidak mengadakan penyelenggaraaan makan siang di sekolah maka sebagian besar siswa makan siang dengan membeli jajanan, baik itu di dalam kantin maupun di luar sekolah. SD Negeri Polisi 4 terletak di Jalan Polisi 1 no. 7 Kelurahan Paledang, Kecamatan Bogor Tengah, Kota Bogor. SD Negeri Polisi 4 terletak di pusat keramaian, namun letaknya sedikit masuk ke dalam gang sehingga tidak ada kendaraan umum yang melaluinya. Sekolah ini didirikan pada tahun 1930 dengan nama awal Sekolah Rakyat VIII. Pada tahun 1970 berubah namanya menjadi SD Negeri Polisi 4 setelah dibangunnya Kantor Polwil Bogor di wilayah Kelurahan Paledang sehingga sekolah ini dinamai SD Negeri Polisi 4. SD Negeri Polisi 4 memiliki tanah seluas 1508 m2 dengan luas bangunan 1145 m2 yang terdiri dari satu ruang kepala sekolah, satu ruang guru, 25 ruang kelas, satu ruang komite, satu mushola, satu ruang tata usaha. Kegiatan ekstrakurikulernya adalah karate, sepak bola, paduan suara, drama, band cilik, seni tari, drum band, pramuka, seni lukis dan jurnalis. SD Negeri Polisi 4 merupakan salah satu sekolah yang favorit di Kota Bogor. Mayoritas murid yang bersekolah di SD Negeri Polisi 4 berasal dari keluarga dengan kondisi ekonomi menengah ke atas. Visi sekolah ini adalah membentuk peserta didik, aktif, kreatif dan berprestasi. SD Negeri Polisi 5 terletak di Jl Polisi 1 No 7, Kelurahan Paledang, Kecamatan Bogor Tengah, Kota Bogor. Sekolah ini berdiri pada tahun 1984 dengan status sekolah negeri. Jumlah tenaga pendidik dan kependidikan sebanyak 24 orang dengan jumlah peserta didik sebanyak 458 siswa. Luas tanah milik yaitu 297 m². Waktu penyelenggaraan yaitu kombinasi pagi dan siang hari. Prasarana yang terdapat di sekolah yaitu ruang guru, ruang IPA, ruang kelas, ruang kepala sekolah, ruang kesenian, ruang komputer, ruang mushalla, ruang perpustakaan, ruang tata usaha, ruang UKS, dan WC. SD Bantarjati 9 terletak di Jl. Dalurung No. 20 Kelurahan Bantarjati, Kecamatan Bogor Utara, Kota Bogor. Sekolah ini didirikan pada tahun 1985. Luas bangunan sekolah ini adalah 905.47 m². Sekolah ini mengalami beberapa perubahan nama yaitu mulai dari SD Inpres, Sekolah Adiwiyata, Sekolah Percontohan dan sekarang dikenal sebagai Sekolah Sobat Bumi. Sekolah ini mempunyai fasilitas ruang komputer, ruang kelas, wastafel yang terletak di depan ruang kelas, ruang guru dan kamar mandi. Pada ruang komputer terdapat 17 unit
35 komputer yang dapat digunakan siswa. Jumlah tenaga pendidik dan kependidikan yaitu sebanyak 21 orang Visi dari SD Bantarjati 9 adalah terwujudnya sekolah yang unggul dalam iptek berbasis imtaq, berwawasan dan berbudaya lingkungan yang berkarakter. SDIT At Taufiq didirikan pada tanggal 14 Juli 2003, beralamat di Jl.Cimanggu Permai I, Kelurahan Kedung Jaya, Kecamatan Tanah Sereal, Kota Bogor. SDIT At-Taufiq memiliki tenaga pengajar sebanyak 100 orang dan jumlah siswa kelas 5 sebanyak 105 orang. Gedung sekolahnya memiliki luas sekitar 8000 m2, terdiri dari masjid, lokal TKIT, SDIT, dan SMPIT yang terpisah. Sekolah ini memiliki perpustakaan, lapangan olahraga, koperasi, fasilitas autodebet payment, fasilitas jemputan dan catering, serta sarana belajar outdoor. SDIT At-Taufiq mengadakan penyelenggaraan makan siang di sekolah maka sebagian besar siswa makan siang dengan mengonsumsi makanan catering dari sekolah. SD Pertiwi berdiri pada tahun 1972 dengan status sekolah swasta. SD Pertiwi adalah salah satu SD Swasta unggulan di kota Bogor dibawah Yayasan Pertiwi Kota Bogor. SD Pertiwi beralamat di Jl. Sukasari III No. 4 Kecamatan Bogor Timur, Kota Bogor. Kegiatan belajar mengajar diselenggarakan pada hari senin hingga jumat atau selama lima hari sedangkan kegiatan ekstrakurikuler dilaksanakan pada hari sabtu. SD Pertiwi ini juga mempunyai sistem penyelenggaraan makan untuk siswa tetapi bersifat tidak wajib. Kegiatan ekstrakurikuler yang terdapat pada sekolah ini yaitu masjid dan kegiatan baca tulis Al Qur’an dan kaligrafi, ekstrasia (komunikasi Bahasa Indonesia) dan pertiwi english club, pertiwi sains club, pertiwi macth olimpiade, pertiwi futsal club, pertiwi cheers club, tenis meja, informasi dan teknologi komputer, seni musik tradisional (angklung dan gamelan), seni musik modern (group band), seni suara, seni lukis, dan seni peran (drama). Sarana dan prasarana yang terdapat di SD Pertiwi cukup lengkap. Alat bantu proses pembelajaran yang tersedia di SD Pertiwi adalah televisi, infokus, OHP, dan VCD. Sarana penunjang yang terdapat di SD Pertiwi diantaranya dapur, kamar mandi, mushola, tempat wudhu, tempat mencuci tangan, dan kantin. Fasilitas yang ada di ruang kelas adalah meja siswa, kursi siswa, meja guru, kursi guru, whiteboard, blackboard, jam dinding, lemari, papan jadwal pelajaran, mading kelas, alat permainan edukatif, alat kebersihan, dan kotak P3K. Terdapat satu buah tong sampah di depan masing-masing kelas dan tempat mencuci tangan tersedia di koridor kelas. Karakteristik Siswa Tabel 8 menyajikan karakteristik siswa obes dan normal yang meliputi umur dan uang saku. Hampir seluruh siswa obes berumur ≥ 12 tahun (98.0%) dan demikian juga hampir seluruh siswa normal berumur ≥ 12 tahun (96.1%). Brown et al. (2011) menyatakan bahwa anak yang berusia 6-12 tahun mengalami masa perkembangan dan pertumbuhan yang lebih stabil dibandingkan bayi dan balita. Pertumbuhan fisiknya terlihat lebih lambat, tetapi perkembangan motorik, kognitif dan emosi sosial mulai matang. Pada periode ini ditandai dengan masa puber, anak perempuan lebih dulu mengalami masa ini dibandingkan anak laki-laki serta memiliki growth spurt dengan pertumbuhan yang pesat sehingga berbagai masalah gizi lebih seperti obesitas sering terjadi pada usia ini. Berdasarkan hasil
36 uji Mann Whitney menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan umur yang signifikan pada siswa obes dan normal (p>0.05). Hal ini diduga karena hampir seluruh siswa obes maupun normal berada pada rentang usia yang sama yaitu minimal 12 tahun. Tabel 8 Sebaran karakteristik siswa obes dan normal Variabel Obes - Umur (tahun) < 12 2 (2.0%) ≥ 12 100 (98.0%) - Uang saku (Rp/hari) ≥ 9000 65 (63.7%) < 9000 37 (36.3%) Rata-rata±SD 10580 ± 6052
*Signifikan pada α<5%
Normal
Total
p value
4 (3.9%) 98 (96.1%)
6 (2.9%) 198 (97.1%)
0.408
48 (47.1%) 54 (52.9%) 8402 ± 3697
113 (55.4%) 91 (44.6%)
0.002*
Uang saku siswa dalam penelitian ini merupakan uang saku per hari yang digunakan siswa untuk jajan di sekolah dan tidak termasuk uang transportasi (angkutan umum). Siswa berstatus gizi obesitas memiliki uang saku yang lebih besar dibandingkan siswa normal. Hal ini terlihat sebesar 63.7% siswa obes memiliki uang saku minimal Rp 9000/hari dengan rata-rata yaitu Rp 10580 sedangkan pada siswa normal lebih dari separuh (52.9%) memiliki uang saku kurang dari Rp 9000/hari dengan rata-rata yaitu Rp 8402. Hasil penelitian Setyowati (2014) juga menunjukkan bahwa lebih banyak siswa obes mendapatkan uang saku yang tergolong tinggi. Suryaalamsyah (2009) menyatakan bahwa pemberian uang saku yang besar memungkinkan anak untuk membeli makanan dan minuman yang mengandung energi tinggi. Kebiasaan jajan dan kebiasaan mengkonsumsi cemilan juga dapat mempengaruhi asupan energi, khususnya makanan yang mengandung energi tinggi. Hasil penelitian Mariza dan Kusumastuti (2013) yaitu terdapat hubungan antara kebiasaan jajan dengan status gizi lebih dan kebiasaan jajan memiliki risiko sebesar 7 kali lipat terhadap terjadinya gizi lebih. Berdasarkan uji Mann Whitney terdapat perbedaan yang signifikan terhadap uang saku diantara siswa obes dan normal (p<0.05). Hal ini diduga karena uang saku siswa obes lebih besar dari uang saku siswa normal. Hasil ini sesuai dengan penelitian Karimah (2014) yang menyatakan bahwa rata-rata uang saku anak kegemukan lebih besar dibandingkan anak normal. Rampersaud et al. (2005) menyatakan bahwa besarnya uang yang diberikan kepada anak perlu mendapatkan pengawasan dari orang tua khususnya dalam membeli dan mengkonsumsi makanan yang sehat karena ketika anak melewatkan sarapan dan merasa lapar maka anak akan mengkonsumsi makanan berkalori lebih tinggi yang didapatkan dari makanan jajanan. Menurut Syafitri et al. (2009) besar uang jajan anak merupakan salah satu indikator sosial ekonomi keluarga. Semakin tinggi alokasi uang jajan untuk membeli jajanan maka jumlah jenis jajanan yang dibeli akan semakin banyak.
37 Karakteristik Keluarga Siswa Karakteristik keluarga siswa terdiri dari besar keluarga, pendidikan, pekerjaan dan pendapatan orang tua. Tabel 9 menyajikan sebaran karakteristik keluarga siswa obes dan normal. Menurut BKKBN (1998), besar keluarga adalah keseluruhan jumlah anggota keluarga yang terdiri dari suami, isteri, anak, dan anggota keluarga lainnya yang tinggal bersama. Tabel 9 Sebaran karakteristik keluarga siswa obes dan normal Variabel - Besar keluarga Keluarga kecil (≤ 4 orang) Keluarga besar (≥ 5 orang) - Pendidikan ayah < SMA ≥ SMA - Pendidikan ibu < SMA ≥ SMA - Pekerjaan ayah Swasta Pegawai negeri - Pekerjaan ibu Tidak Bekerja Bekerja - Pendapatan orang tua ≥ 9000000/bulan < 9000000/bulan
Obes
Normal
Total
p value
45 (44.1%)
47 (46.1%)
92 (45.1%)
57 (55.9%)
55 (53.9%)
112 (54.9%)
28 (27.5%) 74 (72.5%)
22 (21.6%) 80 (78.4%)
50 (24.5%) 154 (75.5%)
0.330
31 (30.4%) 71 (69.6%)
41 (40.2%) 61 (59.8%)
72 (35.3%) 132 (64.7%)
0.144
77 (75.5%) 25 (24.5%)
87 (85.3%) 15 (14.7%)
164 (80.4%) 40 (19.6%)
0.079
55 (53.9%) 47 (46.1%)
57 (55.9%) 45 (44.1%)
112 (54.9%) 92 (45.1%)
0.779
36 (35.3%) 66 (64.7%)
31 (30.4%) 71 (69.6%)
67 (32.8%) 137 (67.2%)
0.457
0.779
Sebagian besar siswa berstatus gizi obesitas (55.9%) dan siswa normal (53.9%) termasuk dalam keluarga besar. Sanjur (1982) menyatakan bahwa besar keluarga mempengaruhi jumlah pangan dan pembagian ragam yang dikonsumsi dalam keluarga. Behrman et al. (2000) menyatakan kejadian obesitas pada anak berhubungan dengan status sosial ekonomi keluarga yang lebih tinggi, pendidikan orang tua yang lebih tinggi, dan ukuran keluarga yang kecil. Menurut Senbanjo et al. (2011) semakin banyak anggota keluarga yang tinggal dalam satu rumah, semakin kecil jumlah pangan yang diperoleh anak. Semakin banyak jumlah anggota keluarga maka semakin kecil asupan energi dan zat gizi sehingga tingkat kecukupan energi dan zat gizi juga semakin rendah. Alemu et al. (2014) menyatakan bahwa kelebihan berat badan dan atau obesitas terkait dengan ukuran keluarga yang kecil. Hal ini dimungkinkan karena besarnya jumlah anggota keluarga akan mempengaruhi distribusi pangan yang akan diterima masingmasing individu. Hasil uji beda Mann Whitney menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara besar keluarga siswa obes maupun normal (p>0.05). Hasil ini sesuai dengan penelitian Heryati dan Setiawan (2014) yang menyatakan bahwa tidak terdapat perbedaan besar keluarga dengan status gizi. Besar keluarga dalam penelitian ini bukan aspek yang besar pengaruhnya terhadap konsumsi pangan anak karena rata-rata pendidikan orang tua tinggi
38 sehingga diharapkan distribusi pangan dalam keluarga dapat merata bagi semua anggota keluarga. Suhardjo (1996) menyatakan bahwa tingkat pendidikan orang tua merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap pola asuh anak termasuk pemberian makan, pola konsumsi pangan dan status gizi. Pendidikan ayah baik pada siswa berstatus gizi obes (56.9%) maupun normal (57.8%) berada dalam kategori pendidikan minimal SMA, demikian halnya dengan pendidikan ibu pada sebagian besar siswa obes (69.6%) dan normal (59.8%) juga berada dalam kategori pendidikan minimal SMA. Pendidikan menentukan seberapa besar kontribusi pengetahuan orang tua dalam memperhatikan status gizi anak. Menurut Fikawati dan Syafiq (2007) semakin tinggi tingkat pendidikan diharapkan pengetahuan atau informasi mengenai gizi yang dimilikinya akan semakin baik. Berdasarkan uji beda Mann Whitney bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara pendidikan ayah siswa obes dan normal (p>0.05). Hasil ini sesuai dengan penelitian Heryati dan Setiawan (2014) bahwa tidak terdapat perbedaan antara pendidikan ayah berdasarkan status gizi. Hasil uji beda Mann Whitney juga menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara pendidikan ibu siswa obes maupun normal (p>0.05). Penelitian Pramudita (2011) juga menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara pendidikan ibu siswa obes dan normal. Tidak adanya perbedaan antara pendidikan ayah dan ibu siswa obes maupun normal diduga karena rata-rata tingkat pendidikan orang tua sudah tinggi yaitu minimal berpendidikan SMA. Engel at al. (1994) menyatakan bahwa tingkat pendidikan akan berhubungan dengan jenis pekerjaan seseorang. Semakin tinggi tingkat pendidikan, maka semakin besar kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan yang layak. Pekerjaan orang tua merupakan hal yang sangat berpengaruh terhadap perilaku makan anak. Jenis pekerjaan yang dilakukan orang tua akan berpengaruh terhadap besarnya pendapatan. Kemampuan keluarga dalam penyediaan makanan dalam jumlah yang cukup dan berkualitas dipengaruhi pendapatan dan daya beli yang dimiliki. Hal ini menunjukkan bahwa pekerjaan secara tidak langsung melalui pendapatan dapat mempengaruhi kebiasaan makan (Suhardjo 2005). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar siswa obes (75.5%) maupun normal (85.3%) memiliki ayah yang bekerja di sektor swasta. Terdapat kecenderungan bahwa ayah yang bekerja di sektor swasta memiliki anak yang berstatus gizi normal. Hal ini diduga karena ayah yang bekerja sebagai pegawai negeri juga bukan pegawai negeri yang memiliki penghasilan rendah namun memiliki penghasilan tinggi. Sebagian besar siswa obes (53.9%) dan normal (55.9%) memiliki ibu yang tidak bekerja di luar rumah atau disebut sebagai ibu rumah tangga. Terdapat kecenderungan ibu yang bekerja akan memiliki anak yang obes. Menurut WHO (2000) apabila seorang ibu dalam keluarga juga berperan sebagai pencari nafkah maka ibu yang bekerja di luar rumah akan menghabiskan banyak waktunya di luar rumah. Hal ini akan menyebabkan rasa bersalah ibu kepada anaknya khususnya terhadap penyiapan makan sehingga ibu yang bekerja akan lebih sering membelikan makanan di luar rumah dan biasanya pilihan terbatas pada fast food yang dijual di restoran cepat saji. Selain itu, Karimah (2014) menyatakan bahwa pekerjaan akan mempengaruhi interaksi dengan anak. Orang tua yang sibuk biasanya kurang memperhatikan anak sehingga memungkinkan kurang
39 terkontrolnya asupan gizi anak. Namun Karimah (2014) juga menyatakan bahwa status ibu bekerja dan tidak bekerja tidak berkaitan dengan status gizi anak karena dapat disebabkan oleh lingkungan sekolah serta pengaruh dari teman sebaya terhadap pola makan anak. Berdasarkan hasil uji beda Mann Whitney tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara pekerjaan ayah dan ibu siswa obes maupun normal (p>0.05). Hal ini diduga karena rata-rata sebagian besar pekerjaan orang tua berada dalam kategori yang sama. Penelitian Karimah (2014) juga menunjukkan bahwa pekerjaan orang tua tidak berbeda nyata diantara kelompok kegemukan dan normal. Pendapatan orang tua berdasarkan rata-rata total pendapatan suami dan istri sehingga diperoleh dua kategori yaitu pendapatan tinggi ≥ Rp 9000000/bulan dan pendapatan rendah < Rp 9000000/bulan. Sebagian besar siswa obes (64.7%) dan normal (69.6%) mempunyai orang tua dengan total pendapatan kurang dari sembilan juta rupiah per bulan. Terdapat kecenderungan bahwa pendapatan tinggi mempunyai anak yang berstatus gizi obesitas. Bowman et al. (2004) menyatakan bahwa anak-anak dengan status sosial ekonomi tinggi mempunyai uang yang lebih banyak sehingga dapat membeli fast food yang mempunyai kandungan energi tinggi. Penelitian Chhatwal et al. (2004) menunjukkan bahwa semakin tinggi pendapatan orang tua maka akses terhadap pangan baik kualitas maupun kuantitas akan semakin meningkat. Hal ini didukung oleh Kaur et al. (2008) bahwa prevalensi overweight dan obesitas pada anak sekolah di Delhi, India lebih banyak pada kelompok yang mempunyai pendapatan tinggi dibandingkan kelompok pendapatan sedang atau rendah. Hasil uji beda Mann Whitney menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara pendapatan orang tua siswa obes dan normal (p>0.05). Hal ini diduga karena sebagian besar pendapatan kedua orang tua siswa obes maupun normal berada dalam kategori yang sama. Hasil ini sesuai dengan penelitian Karimah (2014) yaitu pendapatan orang tua antara siswa kegemukan dan normal tidak berbeda nyata. Densitas Energi dan Asupan Zat Gizi Densitas energi dan zat gizi pangan merupakan suatu instrumen yang dikembangkan dengan tujuan untuk mengetahui dan mengidentifikasi total energi serta komposisi zat gizi dari suatu pangan sehingga dapat digunakan sebagai pedoman dalam pemilihan pangan yang mengandung cukup energi serta zat gizi sesuai dengan kebutuhan masing-masing individu (Drewnowski 2010). Jenis pangan yang dihitung skor densitas energi adalah jenis pangan yang dikonsumsi siswa dari hasil recall 3x24 jam. Tabel 10 menyajikan rata-rata densitas energi dan asupan zat gizi siswa obesitas dan normal. Rata-rata densitas energi pada siswa obes adalah sebesar 1.9 kkal per g pangan dan 1.7 kkal per g pangan pada siswa normal. Nilai rata-rata tersebut tergolong sedang sebagaimana dikemukakan oleh Rolls (2009) yaitu antara 1.5-4 kkal per g pangan. Rata-rata densitas asupan protein baik pada siswa berstatus gizi obesitas maupun normal tergolong cukup berdasarkan standar FAO yaitu 20-40 g per 1000 kkal. Adapun standar densitas asupan zat gizi berdasarkan FAO digunakan dalam penelitian ini karena standar angka kecukupan gizi (AKG) tahun
40 2012 di Indonesia juga telah disesuaikan dengan anjuran IOM (2005) dan FAO/WHO (1998). Tabel 10 Rata-rata densitas energi dan asupan zat gizi siswa obes dan normal Densitas energi dan asupan zat gizi Energi (kkal/ g pangan) Protein (g/ 1000 kkal) Vitamin A (µg RE / 1000 kkal) Vitamin C (mg/ 1000 kkal) Fe (mg/ 1000 kkal)
Obes
Normal
1.9 ± 0.7 28.3 ± 6.6 303.1 ± 168.3 13.9 ± 14.1 5. 4 ± 2.0
1.7 ± 0.7 28.0 ± 6.4 438.0 ± 200.1 11.6 ± 10.5 5.5 ± 1.9
Berdasarkan standar FAO, rata-rata densitas asupan vitamin A dan vitamin C pada kedua siswa masih tergolong rendah atau masih di bawah standar kecukupan yang ditentukan berdasarkan standar FAO yaitu 700-1000 µg RE/1000 kkal (vitamin A) dan 50-60 mg/ 1000 kkal (vitamin C). Rata-rata densitas asupan zat besi (Fe) pada kedua siswa juga tergolong rendah berdasarkan standar FAO yaitu 7-40 mg/1000 kkal. Hal ini menunjukkan bahwa siswa obes dan normal memiliki densitas asupan vitamin A, vitamin C dan Fe yang kurang. Zulaikhah (2012) menyatakan bahwa semakin tinggi nilai densitas asupan zat gizi tertentu maka menunjukkan kelompok tersebut mengonsumsi pangan yang kaya akan zat gizi tertentu. Tabel 11 menunjukkan sebaran densitas energi dan asupan zat gizi siswa obes dan normal yang dihitung berdasarkan recall konsumsi 3 x 24 jam. Densitas energi pangan didefinisikan sebagai jumlah total energi yang terkandung dalam 100 gram suatu makanan yang dikonsumsi (Barclay 2008). Sebagian besar siswa obes (75.5%) maupun normal (58.8%) termasuk dalam kategori densitas energi pangan (DED) tinggi. Hasil uji beda Mann Whitney menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan terhadap densitas energi pada siswa obes maupun normal (p<0.05). Persentase siswa obes yang mengkonsumsi makanan tinggi densitas energi lebih besar dibandingkan dengan siswa normal. Anak usia sekolah mempunyai kebiasaan memilih makanan tidak lagi didasarkan pada kandungan gizi, tetapi lebih banyak dipengaruhi oleh media massa dan kelompok sosialisasi. Selain orang tua dan sekolah, kelompok sosialisasi terpenting pada anak usia sekolah adalah teman sebaya, dimana kelompok teman sebaya memberi sesuatu yang penting untuk anggota kelompoknya. Anak-anak memiliki budaya sendiri, rahasia, adat istiadat dan kode etik untuk meningkatkan rasa solidaritas kelompok serta melepaskan diri dari orang dewasa. Sesuai dengan karakteristik pada anak usia sekolah dalam pemilihan jenis makanan didasarkan pada rasa suka dan tidak suka terhadap makanan, namun demikian dengan tersedianya restoran siap saji, pengaruh media massa serta beragam makanan “junk food” yang tersedia sehingga memudahkan anak untuk mengkonsumsi makanan tinggi kalori (Wong et al. 2009). Kant dan Graubard (2005) menyatakan bahwa remaja cenderung mengonsumsi makanan dengan densitas energi tinggi yang biasanya tinggi kandungan karbohidrat sederhana dan lemak. Makanan tersebut cenderung memberikan rasa lezat dan harga murah sehingga banyak disukai. Selain itu, Maillot et al. (2007) menambahkan bahwa konsumsi makanan dengan kepadatan energi tinggi (banyak mengandung lemak, gula dan kurang menggandung serat)
41 secara berlebihan berkontribusi dalam peningkatan asupan energi total, sedangkan konsumsi makanan dengan densitas energi rendah mampu menurunkan asupan energi total. Konsep densitas asupan zat gizi digunakan untuk menggambarkan kecukupan zat gizi dari diet atau konsumsi pangan seseorang selain dari tingkat kecukupan gizi. Densitas asupan zat gizi merupakan komposisi asupan zat gizi yang diperoleh dari pangan yang dikonsumsi dan digunakan untuk memenuhi kebutuhan akan zat gizi baik pada individu ataupun rumah tangga. Densitas asupan zat gizi digunakan untuk mengetahui rasio zat gizi terhadap total energi dan ditentukan berdasarkan perbandingan asupan zat gizi dengan total energi yang dikonsumsi. Adapun standar total energi yang digunakan sebagai pembanding asupan zat gizi biasanya adalah 1000 kkal atau per 2000 kkal (Drewnowski 2005). Selain itu, menurut Wang et al. (2013) densitas asupan zat gizi juga dihubungkan dengan risiko obesitas, diabetes mellitus tipe 2 dan kanker pankreas. Hayati (2013) menyatakan standar total energi yang digunakan adalah per 1000 kkal dengan mempertimbangkan angka kecukupan gizi untuk seluruh kelompok umur. Tabel 11 Sebaran densitas energi dan asupan zat gizi siswa obes dan normal Densitas energi dan asupan zat gizi - Energi DED tinggi DED rendah - Protein Rendah Cukup - Vitamin A Kurang Cukup - Vitamin C Kurang Cukup - Fe Kurang Cukup
Obes
Normal
Total
p value
77 (75.5%) 25 (24.5%)
60 (58.8%) 42 (41.2%)
137 (67.2%) 67 (32.8%)
0.011*
11 (10.8%) 91 (89.2%)
7 (6.9%) 95 (93.1%)
18 (8.8%) 186 (91.2%)
0.315
97 (95.1%) 5 (4.9%)
95 (93.1%) 7 (6.9%)
192 (94.1%) 12 (5.9%)
0.553
96 (94.1%) 6 (5.9%)
99 (97.1%) 3 (2.9%)
195 (95.6%) 9 (4.4%)
0.308
82 (80.4%) 20 (19.6%)
85 (83.3%) 17 (16.7%)
167 (81.9%) 37 (18.1%)
0.587
*Signifikan pada α<5% DED tinggi = 1.5 – 9 kkal/g pangan; DED rendah = 0-1.5 kkal/g pangan; Protein rendah= < 20 gr/1000 kkal; Protein cukup = ≥ 20 gr/1000 kkal; Vitamin A kurang = < 700 – 1000 µg RE; Vitamin A cukup = 700 – 1000 µg RE; Vitamin C kurang = < 50-60 mg; Vitamin C cukup = 50-60 mg; Fe kurang = < 7-40 mg; Fe cukup = 7-40 mg Densitas asupan zat gizi yang tercukupi dengan baik pada suatu individu atau rumah tangga, akan memberikan pengaruh positif pada tingkat kecukupan gizi serta menurunkan risiko penyakit-penyakit degeneratif. Drewnowski (2005) menambahkan bahwa densitas asupan zat gizi suatu individu atau rumah tangga berkorelasi serta menunjukkan tingkat kecukupan gizi pada individu atau rumah tangga tersebut, sehingga densitas asupan zat gizi yang baik akan mengindikasikan tingkat kecukupan zat gizi yang baik pula dan begitupun
42 sebaliknya, densitas asupan zat gizi yang kurang/rendah mengindikasikan tingkat kecukupan zat gizi yang rendah pula. Densitas protein pada sebagian besar siswa baik yang berstatus gizi obesitas (89.2%) maupun normal (93.1%) berada dalam kategori cukup. Sementara itu, densitas asupan vitamin A, vitamin C, dan Fe pada siswa obesitas (95.1%, 94.1%, 80.4%) dan normal (93.1%, 97.1%, 83.3%) termasuk dalam kategori kurang. Hasil ini sesuai dengan penelitian Hakeem et al. (2002) pada keturunan Pakistan yang tinggal di Inggris bahwa densitas asupan protein cenderung cukup sedangkan densitas zat gizi mikro seperti kalsium, zat besi, vitamin B12, vitamin A, dan vitamin C di daerah perkotaan relatif lebih rendah, sehingga hal tersebut akan berpengaruh terhadap status gizi seorang anak dan risiko penyakit degeneratif. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan terhadap densitas protein, vitamin A, vitamin C serta Fe siswa obes maupun normal (p>0.05). Tingkat Kecukupan Energi dan Zat Gizi Usia anak sekolah merupakan golongan yang rentan terhadap masalah gizi karena anak berada dalam masa perumbuhan dan aktivitas yang tinggi, sehingga memerlukan asupan gizi yang tinggi pula (Sumardi 2010). Energi dan zat gizi dibutuhkan anak untuk memenuhi kebutuhan dan menunjang aktivitas sehari-hari. Kelebihan energi akan diubah menjadi lemak tubuh sehingga terjadi kegemukan, sedangkan kekurangan energi dapat menyebabkan berat badan kurang (Almatsier 2009). Pada penelitian ini, tingkat kecukupan energi dan zat gizi ditentukan berdasarkan konsumsi pangan masing-masing siswa yang diperoleh dari recall 3x24 jam. Tabel 12 menunjukkan rata-rata asupan, angka kecukupan serta tingkat kecukupan energi dan zat gizi siswa obes dan normal. Kebutuhan tubuh akan zat gizi ditentukan oleh banyak faktor, antara lain tingkat metabolisme basal, tingkat pertumbuhan, aktivitas fisik dan faktor lainnya yang bersifat relatif (Supariasa et al. 2001). Rata-rata asupan energi pada siswa obes sebesar 2022 kkal lebih tinggi dibandingkan rata-rata asupan energi siswa normal sebesar 1966 kkal. Sementara itu, tingkat kecukupan energi siswa berstatus gizi obesitas juga lebih tinggi dibandingkan siswa normal. Rata-rata tingkat kecukupan energi pada siswa obes sebesar 104% dan normal sebesar 99.8%. Tingkat kecukupan energi siswa obes dan normal termasuk kategori normal, namun persentase dan asupan siswa obes lebih tinggi dibandingkan siswa normal. Menurut Hardinsyah dan Tambunan (2004) makan berlebih dapat menyebabkan akumulasi energi yang disimpan sebagai cadangan energi. Yamin et al. (2013) menyatakan bahwa siswa dengan asupan energi yang tinggi beresiko 4 kali lebih besar mengalami obesitas dibandingkan dengan siswa yang memiliki asupan energi rendah. Rata-rata asupan protein pada siswa obes juga lebih besar yaitu 57.2 g dibandingkan siswa normal yaitu 55.3 g. Rata-rata tingkat kecukupan protein pada siswa obes (96.7%) lebih tinggi dibandingkan siswa normal (94.6%). Asupan siswa obes maupun normal tidak terlalu jauh berbeda dan tingkat kecukupan protein kedua siswa termasuk dalam kategori normal. Protein merupakan bagian terbesar tubuh setelah air yang mempunyai fungsi yang tidak dapat digantikan oleh zat gizi lain, yaitu membangun serta memelihara sel-sel dan jaringan tubuh.
43 Oleh karena itu protein sangat dibutuhkan dalam proses pertumbuhan anak (Almatsier 2009). Tabel 12 Rata-rata asupan, angka kecukupan energi serta tingkat kecukupan energi dan zat gizi siswa obes dan normal Energi dan Zat Gizi - Energi Asupan (kkal) AKE(kkal) TKE (%) -Protein Asupan (g) AKP (g) TKP (%) -Vitamin A Asupan (µg RE) AKVit A (µg RE) TKVit A (%) -Vitamin C Asupan (mg) AKVit C (mg) TKVit C (%) - Fe Asupan (mg) AKFe (mg) TKFe (%)
Obes
Normal
2022 ± 582 2296 ± 645 104.0 ± 52.1
1966 ± 684 2027 ± 615 99.8 ± 45.5
57.2 ± 22.1 69.0 ± 17.3 96.7 ± 61.6
55.3 ± 24.6 60.4 ± 17.7 94.6 ± 47.0
622.2 ± 441.9 626.9 ± 193.1 152.6 ± 196.2
714.6 ± 545.4 547.9 ± 171.7 191.8 ± 165.6
25.7 ± 23.5 70.0 ± 16.1 31.1 ± 30.7
21.4 ± 17.5 60.8 ± 18.6 45.9 ± 37.1
10.4 ± 4.1 21.6 ± 6.4 44.5 ± 20.7
10.3 ± 3.2 18.5 ± 6.5 70.7 ± 28.9
AKE = angka kecukupan energi; TKE = tingkat kecukupan energi; AKP = angka kecukupan protein; TKP = tingkat kecukupan protein; AKVit A = angka kecukupan vitamin; TKVit A = tingkat kecukupan vitamin A; AKVit C = angka kecukupan vitamin C; TKVit C = tingkat kecukupan vitamin C; AKFe = angka kecukupan Fe; TKFe = tingkat kecukupan Fe Rata-rata asupan zat gizi mikro siswa obes seperti vitamin C (25.7 mg) dan Fe (10.4 mg) terlihat lebih tinggi dibandingkan dengan siswa normal yaitu 21.4 mg dan 10.3 mg, tetapi untuk asupan vitamin A siswa berstatus gizi obesitas (622.2 µg RE) lebih rendah dibandingkan siswa normal (714.6 µg RE). Pada tingkat kecukupan dapat dilihat bahwa tingkat kecukupan vitamin C siswa obes (31.1%) lebih rendah dibandingkan siswa normal (45.9%), demikian juga tingkat kecukupan vitamin A (152.6%) dan Fe (44.5%) siswa obes lebih rendah dibandingkan siswa normal yaitu 191.8% dan 70.7%. Tingkat kecukupan vitamin A, vitamin C dan Fe termasuk dalam kategori kurang. Hal ini diduga karena kurangnya siswa mengkonsumsi pangan sumber vitamin A, vitamin C serta Fe. Hal lainnya disebabkan karena adanya zat yang dapat menghambat penyerapan zat besi dalam tubuh. Menurut Almatsier (2009) zat yang dapat menghambat penyerapan zat besi dalam tubuh seperti asam fitat, asam oksalat dan tanin terdapat dalam serealia, sayuran, kacang-kacangan dan teh. Selain itu, terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi penyerapan zat besi adalah asam organik (vitamin C), tingkat keasaman lambung, faktor intrinsik dan kebutuhan tubuh. Tabel 13 menunjukkan tingkat kecukupan energi dan zat gizi siswa berstatus gizi obesitas dan normal. Tingkat kecukupan energi dihitung dengan membandingkan asupan energi dengan kebutuhan energi harian berdasarkan
44 Angka Kecukupan Gizi (AKG). Sebagian besar tingkat kecukupan energi siswa obes (74.5%) maupun normal (69.6%) berada dalam kategori normal. Tidak adanya perbedaan kategori tingkat kecukupan energi anak kemungkinan terjadi akibat bias dalam proses pengambilan data. Kemungkinan anak yang mengalami obesitas malu menyebutkan bahan makanan apa saja yang dikonsumsinya, sehingga anak cenderung mengunderestimate konsumsinya. Menurut Strauss (2000) rasa percaya diri pada anak remaja awal yang mengalami obesitas lebih rendah dibandingkan anak yang berstatus gizi normal. Hasil uji beda Mann Whitney menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang signifikan tingkat kecukupan energi siswa obes maupun normal (p>0.05). Hasil penelitian Suryaalamsyah (2009) juga yang menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata tingkat kecukupan energi anak gemuk dan normal. Namun pada penelitian Karimah (2014) terdapat perbedaan yang sangat signifikan antara tingkat kecukupan energi antara anak berstatus gizi normal dan kegemukan. Hasil yang berbeda ini dapat disebabkan karena pengkategorian tingkat kecukupan energi berdasarkan lima kategori sedangkan dalam penelitian ini dibedakan hanya menjadi dua kategori saja, selain itu pada penelitian tersebut juga rata-rata tingkat kecukupan energi anak normal lebih tinggi dibandingkan anak yang kegemukan. Tabel 13 Sebaran tingkat kecukupan energi dan zat gizi siswa obes dan normal Tingkat kecukupan energi dan zat gizi - Energi Kelebihan Cukup - Protein Kelebihan Cukup - Vitamin A Beresiko Cukup -Vitamin C Beresiko Cukup -Fe Beresiko Cukup
Obes
Normal
Total
p value
26 (25.5%) 76 (74.5%)
31 (30.4%) 71 (69.6%)
57 (27.9%) 147 (72.1%)
0.436
24 (23.5%) 78 (76.5%)
21 (20.6%) 81 (79.4%)
45 (22.1%) 159 (77.9%)
0.613
97 (95.1%) 5 (4.9%)
93 (91.2%) 9 (8.8%)
190 (93.1%) 14 (6.9%)
0.269
94 (92.2%) 8 (7.8%)
85 (83.3%) 17 (16.7%)
179 (87.7) 25 (12.3%)
0.055
92 (90.2%) 10 (9.8%)
100 (98.0%) 2 (2.0%)
192 (94.1%) 12 (5.9%)
0.018*
*Signifikan pada α<5% Energi kelebihan = ≥ 120% AKG; Energi cukup = < 70 % - 119% AKG; Protein kelebihan = ≥ 120% AKG; Protein cukup = < 70 % - 119% AKG; Vitamin A beresiko = < 600 µg RE AKG dan > 600 µg RE AKG; Vitamin A cukup = 600 µg RE AKG; Vitamin C beresiko = < 13 mg AKG dan > 26 mg AKG; Vitamin C cukup = 13-26 mg AKG; Fe beresiko = < 50 mg AKG dan > 75 mg AKG; Fe cukup = 50-75 mg AKG Pada umumnya tingkat kecukupan protein baik siswa obes maupun normal termasuk kategori normal, namun persentasenya sedikit lebih tinggi pada siswa normal (79.4%) dibandingkan siswa obes (76.5%). Kebutuhan protein pada anak termasuk untuk pemeliharaan jaringan, perubahan komposisi tubuh dan pembentukan jaringan (Almatsier 2009). Hasil uji Mann Whitney menunjukkan
45 tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara tingkat kecukupan protein siswa obes maupun normal (p>0.05). Hasil ini sesuai dengan penelitian Ifdal (2014) bahwa tidak terdapat perbedaan signifikan antara konsumsi protein anak yang normal dan obesitas. Sebagian besar tingkat kecukupan zat gizi mikro siswa obes dan normal termasuk kategori kurang. Persentase tingkat kecukupan vitamin A dan vitamin C siswa obes (95.1% dan 92.2%) lebih tinggi dibandingkan persentase siswa normal (91.2% dan 83.3%), sedangkan persentase Fe siswa obes (90.2%) lebih rendah dibandingkan siswa normal (98.0%). Hasil uji beda Mann Whitney menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan (p>0.05) antara tingkat kecukupan vitamin A dan tingkat kecukupan vitamin C siswa obes dan normal. Hasil ini sejalan dengan penelitian Heryati dan Setiawan (2014) bahwa tidak terdapat perbedaan tingkat vitamin C antara anak gemuk dan normal. Vitamin A berfungsi dalam penglihatan, diferensiasi sel, fungsi kekebalan tubuh, pertumbuhan dan perkembangan, reproduksi, pencegahan kanker dan penyakit jantung. Selain itu, vitamin A juga berperan dalam pembentukan sel darah merah, kemungkinan melalui interaksi dengan zat besi (Fe) (Almatsier 2009). Menurut Gibson (2005) konsumsi vitamin A yang cukup akan mempercepat mobilisasi zat besi dan meningkatkan respon imun sehingga dapat menurunkan kejadian anemia dan infeksi serta menurunkan morbiditas. Vitamin A berperan dalam mobilisasi cadangan Fe dalam tubuh untuk mensintesis hemoglobin. Pada status vitamin A yang rendah proses metabolisme Fe terganggu sehingga defisiensi vitamin A mempengaruhi produksi Fe. Kelebihan konsumsi vitamin A dapat menyebabkan toksisitas dan mempunyai efek teratogenik (perkembangan tidak normal dari sel selama kehamilan yang menyebabkan kerusakan pada embrio) bagi wanita hamil, karenanya asupan vitamin A harus sesuai dan memenuhi kebutuhan serta menghindari kelebihan konsumsi vitamin A. Almatsier (2009) menyatakan vitamin C berfungsi dalam menjaga daya tahan tubuh serta membantu penyerapan zat besi. Vitamin C merupakan vitamin larut air yang tidak dapat disimpan dalam tubuh sehingga diperlukan asupan yang cukup setiap harinya. Kekurangan vitamin C dapat menyebabkan tubuh rentan terkena infeksi dan menurunkan absorbsi zat besi. Untuk tingkat kecukupan Fe terdapat perbedaan (p<0.05) antara siswa obes dan normal. Hal ini diduga karena persentase tingkat kecukupan Fe siswa obes yang termasuk kategori cukup sebesar 9.8% sedangkan siswa normal hanya 2.0% termasuk kategori cukup. Rendahnya konsumsi besi merupakan faktor yang berperan penting terhadap prevalensi anemia di Indonesia, selain itu kandungan besi dalam makanan pokok yang dikonsumsi sehari-hari memiliki bioavibilitas yang rendah sehingga mengakibatkan rendahnya absorbsi besi (Kurniawan et al. 2006). Pada negara berkembang anemia defisiensi besi disebabkan oleh rendahnya kualitas makanan sehari-hari dan rendahnya intake besi dengan bioavibilitas yang tinggi (Jamil et al. 2008). Besi merupakan mineral mikro yang mempunyai peranan penting dalam tubuh. Asupan besi bagi anak sekolah dasar penting diperhatikan karena berperan dalam mendukung kondisi fisik. Menurut Sumardi (2010) defisiensi besi disebabkan langsung oleh asupan besi yang rendah, absorbsi besi yang rendah, peningkatan kebutuhan dan kehilangan darah. Penyebab tak langsung adalah kurang beragamnya makanan yang dikonsumsi (asupan gizi) dan akses terhadap
46 pelayanan kesehatan. Almatsier (2009) menyatakan bahwa konsumsi besi dari makanan sehari-hari tidak semuanya dapat diserap oleh tubuh sehingga menyebabkan ketidaktersediaan relatif besi. Selain itu terdapat bahan makanan tertentu yang dapat mempengaruhi penyerapan besi. Besi makanan lebih banyak diserap pada keadaan defisiensi, dan akan menurun bila simpanan besi dalam tubuh masih banyak. Penyerapan besi dapat mencapai 25% asupan besi heme, sedangkan pada besi non heme penyerapannya hanya mencapai 5%. Status Anemia Anemia suatu keadaan ketika jumlah sel darah merah atau konsentrasi pengangkut oksigen dalam darah (Hb) tidak mencukupi untuk kebutuhan fisiologis tubuh dan berbeda untuk setiap kelompok umur dan jenis kelamin (Kemenkes 2013). Asupan makanan yang tidak adekuat akan mempengaruhi Hb seseorang, terutama asupan protein, Fe, vitamin A, vitamin B6, vitamin B12, asam folat, vitamin C, Zn dan Cu. Asupan makan pada anak sendiri dipengaruhi oleh ketersediaan makanan di rumah, pengetahuan ibu serta daya beli keluarga (Sumardi 2010). Penelitian ini hanya memfokuskan beberapa zat gizi saja yaitu asupan energi, protein, vitamin A, vitamin C dan Fe. Tabel 14 menunjukkan sebaran status anemia siswa obes dan normal. Tabel 14 Sebaran status anemia siswa obes dan normal Status anemia Anemia Tidak anemia Rata-rata±SD
Obes 18 (17.6%) 84 (82.4%) 13.0 ± 1.0
Normal 19 (18.6%) 83 (81.4%) 12.8 ± 1.0
Total 37 (18.1%) 167 (81.9%)
p value 0.757
Sebagian besar siswa obes (82.4%) dan normal (81.4%) tidak anemia. Beberapa penelitian menyatakan bahwa terdapat hubungan antara obesitas dengan terjadinya anemia defisiensi besi. Obesitas berhubungan dengan terjadinya inflamasi sistemik yang berdampak negatif pada regulasi zat besi (Yanoff et al. 2007). Dalam keadaan infeksi maupun terjadi proses inflamasi seperti pada keadaan obesitas, produksi hepsidin meningkat dan keadaan ini menghambat penyerapan zat besi pada saluran cerna serta menghambat pelepasan zat besi dari makrofag ke dalam plasma. Situasi ini menyebabkan terjadinya defisiensi besi dan apabila berlangsung lama dapat terjadi anemia defisiensi besi (McClung dan Karl 2008; Sidiartha 2013). Menurut Ausk dan Ioannou (2008) bahwa obesitas berkaitan dengan kejadian penyakit anemia kronis, yaitu kadar hemoglobin rendah, zat besi serum dan transferrin saturation (TS) rendah dan peningkatan feritin serum. Anak sekolah merupakan salah satu kelompok yang rentan menderita anemia karena anak usia sekolah berada pada masa pertumbuhan yang membutuhkan zat gizi yang tinggi termasuk zat besi. Selain itu, anak usia sekolah sangat aktif bermain dan banyak kegiatan, baik di sekolah maupun di lingkungan rumah yang menyebabkan menurunnya nafsu makan sehingga konsumsi makanan tidak seimbang (Notoadmodjo 2007). Tingkat kecukupan zat besi yang rendah namun persentase yang tidak anemia lebih besar jika dibandingkan dengan yang anemia baik bagi siswa obes maupun normal diduga karena proses kekurangan zat
47 besi menjadi anemia masih termasuk dalam pertama yaitu terjadi penurunan simpanan cadangan zat besi dalam hati (iron depletion). Cadangan besi rendah tetapi belum terjadi disfungsi, kadar besi dalam serum masih baik dan hematokrit masih normal (Almatsier 2009). Sel darah merah rata-rata berumur kurang dari empat bulan. Sel-sel hati dan limpa akan mengambilnya dari darah, memecahnya dan menyiapkan produk-produk pemecahan tersebut untuk dikeluarkan dari tubuh atau di daur ulang. Zat besi sebagian besar di daur ulang. Hati mengikatkannya ke transferin darah yang mengangkutnya kembali ke sumsum tulang untuk digunakan kembali membuat sel darah merah baru. Besi yang dikeluarkan tubuh hanya sedikit sekali, terutama melalui urin, keringat dan kulit yang mengelupas. Tubuh bisa lebih banyak kehilangan besi hanya bila terjadi perdarahan (Almatsier 2009). Defisiensi asupan zat gizi tertentu dapat mempengaruhi kadar Hb seperti protein dan Fe yang merupakan komponen penting dalam pembentukan hemoglobin. Selain itu beberapa vitamin dan mineral juga dibutuhkan sehingga asupan energi dan zat gizi yang cukup diperlukan untuk pembentukan hemoglobin. Sumber besi makanan dapat berasal dari besi hem dan besi non hem. Bahan makanan yang mengandung besi hem seperti daging, unggas dan ikan memiliki bioavailabilitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan bahan makanan besi non hem seperti pada sayur, buah dan sereal. Jannah et al. (2006) menyatakan vitamin A berperan dalam transport mobilisasi cadangan besi dalam tubuh untuk mensintesa hemoglobin. Vitamin A akan meningkatkan penggunaan besi. Status vitamin A rendah berhubungan dengan perubahan metabolisme besi pada penderita anemia gizi besi. Almatsier (2009) menambahkan bahwa vitamin A berperan dalam pembentukan sel darah merah melalui interaksi dengan besi. Vitamin C berfungsi menjaga daya tahan tubuh serta membantu penyerapan zat besi. Vitamin C mempengaruhi absorbsi dan pelepasan besi dari transferin ke dalam jaringan tubuh. Penelitian Tankachan et al. (2008) menyatakan konsumsi vitamin meningkatkan absorbsi besi pada anemia defisiensi besi pada kelompok kontrol. Peningkatan absorbsi juga terjadi bila dosis vitamin C ditingkatkan. Hasil uji Independent t-Test menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang signifikan (p>0.05) antara status anemia siswa obes dan normal. Penelitian Aeberli et al. (2009) menyatakan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan dalam hal asupan atau bioavailabilitas zat besi antara anak status gizi normal dan kelebihan berat badan. Namun, prevalensi kekurangan zat besi eritropoiesis secara signifikan lebih tinggi pada anak dengan kelebihan berat badan dibandingkan anak dengan berat badan normal. Kadar hepsidin serum secara signifikan juga lebih tinggi pada anak yang kelebihan berat badan. Selain itu terdapat pengurangan availabilitas zat besi untuk eritropoiesis pada anak-anak dengan kelebihan berat badan bukan karena asupan zat besi yang rendah melainkan karena berkurangnya penyerapan zat besi akibat tingginya kadar hepsidin atau peningkatan hambatan penyerapan zat besi. Kecukupan Air Perhitungan tingkat kecukupan cairan individu/hari dihitung dengan membandingkan total intake cairan individu dengan kebutuhan dari masingmasing individu dalam sehari dalam bentuk persentase (%). Perhitungan
48 kebutuhan individu/hari dihitung dengan menggunakan metode yaitu berdasarkan berat badan aktual (BBA). Dalam menghitung tingkat pemenuhan kebutuhan gizi (TKG) setiap nilai TKG bernilai maksimum 100 (truncated at 100) dengan alasan untuk meminimalkan kompensasi antara nilai TKG yang rendah dan tinggi secara matematik, karena secara biologis antar zat gizi yang berbeda tidak dapat saling substitusi melainkan saling berinteraksi (Adyas 2011). Tabel 15 menunjukkan sebaran siswa obes dan normal berdasarkan kecukupan air. Tabel 15 Sebaran kecukupan air siswa obes dan normal Kecukupan air Kurang Cukup Rata-rata±SD
Obes 74 (72.5%) 28 (27.5%) 80.1 ± 36.9
*Signifikan pada α<5%
Normal 59 (57.8%) 43 (42.2%) 88.4 ± 39.5
Total 133 (65.2%) 71 (34.8%)
p value 0.028*
Sebagian besar siswa obes (72.5%) dan lebih dari separuh siswa normal (57.8%) memiliki kecukupan air kategori kurang. Pada obesitas, air tubuh total lebih rendah dibandingkan dengan orang yang tidak obesitas karena kandungan air di dalam sel lemak lebih rendah dari pada kandungan air di dalam sel otot, sehingga orang obesitas lebih mudah mengalami kekurangan air dibandingkan dengan orang yang tidak obesitas. Pada obesitas, meskipun sudah terjadi kurang air namun tanda-tanda yang ada tidak jelas sehingga harus hati-hati dalam menilai keadaan kurang air pada obesitas. Kebutuhan air bagi pasien mengalami obesitas sebaiknya 2 gelas lebih banyak dibandingkan kondisi normal. Hal ini didasarkan pada penelitian yang menunjukkan bahwa asupan air putih yang lebih banyak meningkatkan oksidasi (pembakaran lemak) (Santoso et al. 2011). Tingkat kecukupan air menggambarkan seberapa besar konsumsi air mampu memenuhi kebutuhan individu akan air. Semakin besar tingkat kecukupannya berarti semakin terpenuhi kebutuhannya. Tingkat kecukupan air yang tidak memenuhi kebutuhan dapat menimbulkan ketidakseimbangan cairan. Dalam kondisi kekurangan yang ringan maka dengan mengkonsumsi air yang cukup kondisi hidrasinya dapat dipertahankan kembali normal. Apabila dalam beberapa menit terjadi dehidrasi seluler maka seseorang akan merasa haus. Apabila rasa haus tersebut tidak disertai dengan tindakan mengkonsumsi air maka akan terjadi penurunan volume plasma darah (Astuti et al. 2014). Gustam (2012) menyatakan bahwa dehidrasi dapat menjadi faktor risiko terjadinya obesitas pada anak dan remaja. Hal ini disebabkan karena adanya ketidakseimbangan elektrolit tubuh yang memacu meningkatnya nafsu makan dan asupan makanan yang kaya lemak sehingga asupan cairan dalam tubuh terus menurun. Lieberhman et al. (2007) menyatakan bahwa dehidrasi pada orang obesitas dapat menyebabkan penurunan fungsi kognisi dan mood, juga meningkatkan kelelahan sehingga tubuh menjadi lemas dan malas untuk beraktivitas fisik. Davy et al. (2008) menambahkan bahwa kebiasaan minum sebelum makan dapat menjadi alternatif cara untuk mencegah dehidrasi selain itu menjadi terapi penurunan berat badan. Penelitian di Virginia pada orang obesitas menemukan bahwa konsumsi air sebelum makan dapat menurunkan asupan makan hingga 13%. Santoso et al. (2011) menambahkan bahwa air tidak memiliki kandungan energi sama sekali namun memiliki kemampuan untuk menekan rasa
49 lapar dan memicu rasa kenyang sehingga akan mencegah seseorang makan berlebih. Hasil uji Mann Whitney menunjukkan terdapat perbedaan yang signifikan (p<0.05) kecukupan air antara siswa obes dan normal. Hal ini sesuai dengan penelitian Prayitno (2012) bahwa terdapat perbedaan status hidrasi pada remaja obesitas dan non obesitas. Muckelbauer et al. (2009) juga melakukan penelitian terhadap anak usia sekolah dan terjadi penurunan risiko berat badan berlebih sebanyak 31% pada kelompok yang dilakukan intervensi untuk meningkatkan asupan air minum. Intervensinya yaitu mendistribusikan botol air, penyampaian informasi kebutuhan air yang diperlukan tubuh serta adanya waktu pengisian botol air selama waktu belajar. Lingkungan Belajar Lingkungan belajar dalam penelitian ini difokuskan ke lingkungan belajar rumah dikarenakan lingkungan belajar di sekolah dianggap homogen yaitu sekolah yang diteliti mempunyai karakteristik yang hampir sama. Syah (2014) menyatakan lingkungan sosial yang lebih banyak mempengaruhi kegiatan belajar adalah orang tua dan keluarga siswa sendiri. Lingkungan belajar di rumah dilihat dari empat variabel yaitu tempat dan fasilitas belajar, perhatian orang tua, suasana belajar dan lingkungan pergaulan serta pola belajar. Masing-masing variabel dinilai kemudian dijumlahkan. Hasil penjumlahan dari masing-masing variabel kemudian diskoring kembali sesuai jumlah pertanyaan dari masing-masing variabel pertanyaan tersebut. Setelah itu dijumlahkan sehingga diperoleh nilai maksimal adalah empat karena ada empat variabel pertanyaan, kemudian diskoring kembali jika nilainya ≥ 2 maka kategori nya 1 (lingkungan belajar baik) dan < 2 maka kategorinya 0 (lingkungan belajar kurang baik). Tabel 16 menunjukkan bahwa sebagian besar siswa obes (92.2%) dan normal (96.1%) memiliki lingkungan belajar yang baik. Berdasarkan uji beda Mann Whitney tidak terdapat perbedaan yang signifikan (p>0.05) antara lingkungan belajar siswa obes dan normal. Sarana belajar merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi prestasi belajar. Sarana belajar yang lengkap memudahkan proses belajar sehingga prestasi belajar yang diperoleh siswa dapat lebih baik. Apabila sarana yang digunakan kurang lengkap maka dapat menghambat proses belajar sehingga tidak berjalan secara efektif yang berakibat menurunnya prestasi belajar (Novita 2007). Namun menurut Pitriyani et al. (1999) anak yang memiliki media pendidikan yang lebih lengkap belum tentu memiliki prestasi belajar yang lebih baik dari anak yang media pendidikannya tidak lengkap. Hal tersebut dapat disebabkan karena media pendidikan belum dimanfaatkan secara optimal sehingga belum memberi pengaruh yang besar terhadap pencapaian prestasi belajar. Tabel 16 Sebaran lingkungan belajar siswa obes dan normal Lingkungan belajar Kurang Baik
Obes 8 (7.8%) 94 (92.2%)
Normal 4 (3.9%) 98 (96.1%)
Total 12 (5.9%) 192 (94.1%)
p value 0.235
50 Lingkungan fisik mempengaruhi kualitas belajar seseorang. Rumah atau sekolah yang bising atau tidak nyaman, sirkulasi udaranya yang kurang baik, sempit bahkan berdesak-desakan dan tidak cukup cahaya menyebabkan seseorang sulit konsentrasi dalam belajar. Selain itu, perhatian yang diberikan oleh orang tua terhadap siswa di rumah dapat berupa menanyakan kepada siswa kemudian membantu siswa jika mengalami kesulitan dalam menyelesaikannya terhadap tugas-tugas yang diberikan guru. Lingkungan belajar yang semakin baik maka prestasi belajarnya akan semakin baik pula. Lingkungan belajar yang mendukung kegiatan belajar akan menciptakan prestasi belajar yang baik, demikian juga sebaliknya lingkungan belajar yang kurang mendukung akan menjadi penghambat bagi terselenggaranya kegiatan belajar (Suparno 2000). Prestasi Belajar Prestasi belajar merupakan output sekolah yang sangat penting dan merupakan alat untuk pengukur kemampuan kognitif siswa. Ranah psikologis siswa yang terpenting adalah ranah kognitif. Kognitif adalah kemampuan intelektual seseorang yang ditunjukkan melalui prestasi akademik yang dicapai Itulah sebabnya pendidikan dan pengajaran perlu diupayakan sedemikian rupa agar ranah kognitif para siswa dapat berfungsi secara positif dan bertanggung jawab. Tanpa ranah kognitif, sulit dibayangkan seorang siswa dapat berpikir. Selanjutnya, tanpa kemampuan berpikir mustahil siswa tersebut dapat memahami dan meyakini faidah materi-materi pelajaran yang diberikan kepadanya. Ranah kognitif yang paling banyak dinilai oleh para guru di sekolah karena berkaitan dengan kemampuan para siswa dalam menguasai isi bahan pengajaran. Mengukur keberhasilan siswa yang berdimensi kognitif dapat dilakukan dengan berbagai cara, baik tes tertulis maupun tes lisan. Salah satu nya adalah evaluasi sumatif yaitu penilaian kurang lebih sama dengan ulangan umum dan dilakukan untuk mengukur kinerja akademik atau prestasi belajar siswa pada akhir periode pelaksanaan program pengajaran (Syah 2014). Astina dan Tanziha (2012) menyatakan bahwa salah satu fungsi kognitif yaitu kemampuan mengingat dipengaruhi oleh status gizi. Oleh karena itu, asupan zat gizi baik zat gizi makro maupun mikro perlu diperhatikan karena memiliki dampak langsung maupun tak langsung pada perkembangan otak. Prestasi belajar dalam penelitian ini diperoleh dari nilai rata-rata dari tiga mata pelajaran (Matematika, IPA dan Bahasa Indonesia) yang mewakili kemampuan berhitung, kemampuan nalar berpikir dan kemampuan bahasa. Tabel 17 menunjukkan sebaran prestasi belajar siswa obes dan normal yaitu sebesar 57.8% siswa obes memiliki prestasi belajar baik sedangkan siswa normal yang memiliki prestasi baik hanya 47.1%. Hasil uji Independent t-test menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang signifikan (p>0.05) antara prestasi belajar siswa obes dan normal. Tabel 17 Sebaran prestasi belajar siswa obes dan normal Prestasi belajar Kurang Baik Rata-rata±SD
Obes 43 (42.2%) 59 (57.8%) 60.8 ± 9.9
Normal 54 (52.9%) 48 (47.1%) 60.0 ± 10.2
Total 97 (47.5%) 107 (52.5%)
p value 0.554
51 Hasil penelitian ini belum bisa membuktikan bahwa kemampuan anak yang berstatus gizi normal lebih baik dibandingkan anak obes. Penelitian ini sejalan dengan penelitian Karimah (2014) yang menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara prestasi belajar siswa sekolah dasar normal dan kegemukan serta nilai rata-rata nilai siswa normal lebih rendah dibandingkan nilai siswa kegemukan. Hal tersebut diduga berkaitan dengan tingkat kecerdasan anak dan struktur otak. Obesitas dapat mempengaruhi struktur dan fungsi otak bagian depan (frontal). Orang yang mengalami obesitas memiliki volume otak yang lebih rendah. Volume otak bagian gray matter pada orang yang obesitas lebih rendah sehingga kapasitas kerja otak akan menurun (Brooks et al. 2013). Kondisi demikian yang mungkin mempengaruhi kemampuan kognitif. Namun, dalam teori konsep pertumbuhan dan perkembangan, volume otak terbentuk maksimal pada usia 2 tahun. Berat otak anak pada sampai usia 2 tahun adalah 75% berat otak orang dewasa. Pertumbuhan otak pada usia ini sudah mencapai 90%. Overweight atau obesitas yang dikaitkan dengan penyempitan volume otak mungkin kurang berpengaruh ketika kegemukan terjadi setelah pembentukan massa otak sempurna. Sehingga memungkinkan bahwa tidak terdapat perbedaan volume otak pada anak yang berstatus gizi normal dan obesitas. Li et al. (2008) dan Guxens et al. (2009) menyatakan status gizi berlebih dihubungkan dengan penurunan fungsi kognitif. Penurunan fungsi kognitif akan berpengaruh terhadap performa atau nilai akademis. Penurunan fungsi kognitif diperkirakan sebagai mekanisme yang mendasari penurunan performa nilai akademis pada remaja kegemukan dan obesitas. Kondisi kelebihan gizi maupun kelebihan energi ditemukan maldaptif bagi kesehatan anak dan fungsi otak (Burkhalter et al. 2011). Keadaan obesitas juga dihubungkan dengan terjadinya inflamasi subklinis. Pada obesitas terjadi perubahan jumlah peptida karena sel adiposa yang lebih besar dan makrofag yang memproduksi lebih banyak sitokin inflamasi seperti TNF-alpha dan interleukin 6 sedangkan antiinflamasi (adinopektin) diproduksi lebih sedikit. Anak yang mengalami berat badan berlebih akan lebih lama terkena paparan adipokin yang menempatkan anak pada risiko inflamasi sistemik yang kronis terutama pada pembuluh darah di jantung maupun otak (Guxens et al. 2009; Cosgrove et al. 2009). Penelitian lainnya yang menghubungkan kondisi energi berlebih dengan penurunan fungsi kognitif adalah adanya akumulasi metabolit. Akumulasi yang abnormal dari metabolit seperti fenilalanin atau galaktosa pada awal perkembangan sistem saraf akan dapat berakibat pada myelinisasi yang terlambat. Demyelinisasi neuron pada beberapa bagian otak seperti lobus frontalis dan hipokampus akan dapat mengganggu fungsi pencernaan (Burkhalter et al. 2011). Waldstein (2006) menyebutkan bahwa obesitas sentral berhubungan dengan berbagai macam kelainan neuroendokrin yang salah satunya adalah hipercortisolemia. Meningkatnya kadar kortisol tersebut berhubungan dengan atrophy hipokampus sehingga menyebabkan penurunan fungsi memori. Adhayani (2011) menyatakan bahwa ada berbagai keadaan patologi pada obesitas yang menunjang bahwa keadaan obesitas memperburuk fungsi memori, diantaranya adalah kadar HDL dan kadar adinoponektin yang dimiliki oleh orang obesitas. HDL atau Hight Density Lipoprotein berfungsi membawa kolesterol menuju selsel yang membutuhkan kolesterol. Jika terjadi gangguan pada metabolisme lipoprotein HDL seperti pada keadaan obesitas, maka akan terjadi gangguan
52 dalam pemenuhan kebutuhan kolesterol di otak. Selain mengakibatkan gangguan pemenuhan kebutuhan kolesterol di otak, kekurangan lipoprotein HDL, dapat menyebabkan gangguan pembuangan oxysterol. Adanya gangguan pada pembuangan oxysterol ini akan menyebabkan meningkatnya proses inflamasi di neuron yang dapat menimbulkan gangguan pada fungsi sinaptik. Menurut Renaldi (2009) kadar adinoponektin ditemukan rendah pada keadaan obesitas. Penurunan kadar adinoponektin ini berkaitan dengan peningkatan Indeks Massa Tubuh (IMT), penurunan sensitivitas insulin, profil lemak dalam plasma yang aterogenik, peningkatan kadar penanda inflamasi dan peningkatan resiko untuk penyakit kardiovaskuler. Oleh karena itu, kadar adinoponektin dapat digunakan sebagai suatu indikator untuk sindrom metabolik. Beberapa penelitian menyatakan bahwa prestasi anak gemuk atau obes lebih rendah dibandingkan anak normal. Penelitian yang dilakukan oleh Hartini dan Winarsih (2014) menyatakan bahwa derajat obesitas berhubungan dengan prestasi belajar. Efek tidak langsung obesitas terhadap menurunnya fungsi kognitif diduga akibat dari dampak penyakit yang diderita oleh anak obesitas (diabetes, obstructive sleep apnea syndrome (OSAS), masalah respirasi), masalah psikososial (rendah diri, mengisolasi diri, dan depresi) dan kematangan sosial (Datar et al. 2004). Penelitian yang dilakukan Li et al. (2008) pada 2519 anak yang berumur 8-16 tahun mengenai hubungan antara kegemukan dengan penurunan performa kognitif secara umum selama 6 tahun dengan desain cross sectional menyatakan bahwa peningkatan berat badan berhubungan dengan penurunan memori jangka pendek dan koordinasi visuospasial pada anak serta meningkatkan resiko demensia pada saat dewasa. Ketidakseimbangan antara energi yang masuk dalam bentuk makanan dengan energi yang keluar dalam bentuk aktifitas juga mempengaruhi perkembangan kognitif anak. Perbedaan hasil yang diperoleh kemungkinan terjadi karena terdapat faktor lain yang tidak diteliti pada penelitian ini, misalnya tingkat kecerdasan (IQ). Prestasi anak dapat dipengaruhi oleh tingkat kecerdasan yang dimilikinya. Fatimah (2006) menyatakan bahwa tingkat intelegensi (IQ) seseorang mempengaruhi kemampuan kognitifnya. Kemampuan kognitif yaitu kemampuan yang berkaitan dengan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Hubungan antara kecerdasan dengan nilai kemampuan kognitif berkorelasi signifikan positif yang artinya semakin tinggi nilai kecerdasan seseorang semakin tinggi juga tingkat kemampuan kognitifnya. Namun pada penelitian Hartini dan Winarsih (2014) juga menyatakan bahwa tidak semua anak obesitas mengalami perburukan fungsi kognitif, karena masih ada faktor lain yang turut berperan dalam fungsi kognitif seseorang baik faktor eksternal (stimulus) dan faktor internal yaitu faktor intelegensi dan strategi setiap anak dalam mempelajari sesuatu atau memasukkan informasi ke dalam memori (encoding). Webb et al. (2005) menyatakan tingkat kecerdasan seseorang dipengaruhi oleh faktor genetik, lingkungan, maupun gizi. Tingkat kecerdasan orang tua berhubungan kuat dengan IQ anak dan status gizi. Hubungan Pendidikan dan Pendapatan Orang Tua dengan Densitas Energi dan Tingkat Kecukupan Energi Pendidikan dan pendapatan orang tua diduga mempengaruhi konsumsi anak sehingga untuk itu dilakukan analisis hubungan pendidikan dan pendapatan orang
53 tua dengan konsumsi yaitu dari densitas energi dan densitas asupan zat gizi serta tingkat kecukupan gizi. Tabel 18 menunjukkan hasil analisis korelasi spearman pendidikan ayah mempunyai hubungan yang signifikan dengan densitas energi siswa obes (p=0.012; r=0,552), serta pendidikan ibu mempunyai hubungan signifikan dengan densitas siswa obes dan normal (p=0.005; r=0,682), namun tidak terdapat hubungan yang signifikan antara pendidikan ayah dan ibu dengan tingkat kecukupan energi siswa obes dan normal (p>0.05). Hal ini diduga karena sebagian besar siswa obes maupun normal mengkonsumsi makanan berdensitas energi tinggi, namun tingkat kecukupannya masih termasuk dalam kategori cukup. Pendidikan orang tua akan mempengaruhi status gizi anak, semakin tinggi tingkat pendidikan orang tua maka cenderung mempunyai anak yang berstatus gizi baik. Pendidikan ibu yang baik membuat lebih baik dalam memberikan pengertian, memperbaiki pola asuh makan dan mengenalkan pendidikan gizi sedini mungkin kepada anak. Hal ini tentu akan mempengaruhi makanan yang dikonsumsi anak. Ibu menjadi lebih selektif dan lebih pandai untuk memilih makanan sehat yang dikonsumsi di rumah. Tabel 18 Hubungan pendidikan dan pendapatan orang tua dengan densitas energi dan tingkat kecukupan energi Variabel - Pendidikan ayah Obes < SMA ≥ SMA Normal < SMA ≥ SMA - Pendidikan ibu Obes < SMA ≥ SMA Normal < SMA ≥ SMA - Pendapatan orang tua Obes ≥ 9000000/bulan < 9000000/bulan Normal ≥ 9000000/bulan < 9000000/bulan
Densitas energi p value1) r2)
Tingkat kecukupan energi p value1) r2)
0.012*
0.552
0.664
0.043
0.153
-0.142
0.723
-0.036
0.005*
0.682
0.660
-0.044
0.721
0.036
0.526
-0.064
0.299
-0.104
0.391
0.086
0.333
-0.097
0.111
-0.159
*Signifikan pada α<5%, 1)signifikan, 2)koefisien korelasi Tingkat pendidikan cenderung akan sejalan dengan pengetahuan, semakin tinggi pengetahuan gizi maka semakin baik dalam pemilihan bahan makanan. Akan tetapi menurut Sanjur (1982) pengaruh pengetahuan gizi terhadap konsumsi makanan tidak selalu linier, artinya semakin tinggi tingkat pengetahuan gizi ibu rumah tangga belum tentu konsumsi makanan menjadi baik. Konsumsi makanan jarang dipengaruhi oleh pengetahuan gizi secara tersendiri tetapi merupakan
54 interaksi dengan sikap dan keterampilan gizi. Sehingga hal ini yang diduga terdapat hubungan antara pendidikan ibu siswa obes dengan densitas energi. Mustika dan Muniroh (2012) menyatakan semakin baik pekerjaan dan semakin tinggi penghasilan orang tua, maka orang tua cenderung lebih sering untuk membeli makanan yang cepat, enak dan praktis tanpa melihat kandungan gizi makanannya (fast food). Penghasilan orang tua yang tinggi juga akan mempengaruhi jumlah uang saku yang diberikan, sehingga anak dapat membeli makanan yang diinginkan seperti gorengan dan fast food yang dapat dijangkau dengan uang sakunya. Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian Annisa dan Tanziha (2014) yang menunjukkan terdapat hubungan positif antara pendidikan ibu dengan densitas energi konsumsi. Hasil penelitian tersebut juga menjelaskan bahwa anak dari ibu dengan pendidikan tinggi (>SMA) lebih banyak mengonsumsi pangan dengan densitas energi rendah, yang berarti lebih beragam konsumsi makanannya. Pendidikan ayah siswa obes berhubungan dengan densitas energi. Hal ini diduga seperti pada pendidikan ibu bahwa pengetahuan gizi terhadap konsumsi makanan tidak selalu linier, sehingga konsumsi siswa obes lebih banyak yang berdensitas energi tinggi. Penelitian Padmiari dan Ayu (2003) menyatakan bahwa anak sekolah yang memiliki ayah berpendidikan SMA dan pendidikan tinggi beresiko 1.3 kali menjadi obes dibandingkan dengan anak yang memiliki ayah berpendidikan SMA ke bawah, hal ini dikarenakan terdapat hubungan antara tingkat pendidikan dengan pendapatan. Semakin tinggi pendapatan ayah maka pengeluaran untuk konsumsi pangan juga akan meningkat. Hal ini didukung dengan penelitian Annisa (2014) yang menunjukkan bahwa semakin tinggi total pendapatan keluarga, pendidikan ayah dan ibu maka semakin tinggi status gizi yaitu prevalensi kegemukan cenderung meningkat. Semakin tinggi pendidikan orang tua diduga akan memiliki pendapatan yang tinggi dan pengetahuan gizi yang bagus (Hurley et al. 2009; Dubois et al. 2011). Tingkat pendidikan yang tinggi akan mempermudah seseorang untuk mendapatkan pengetahuan dan informasi yang berhubungan dengan makanan yang baik untuk kesehatan (Ferna’ndez-alvira et al. 2012; Attorpd et al. 2014). Tingkat pendidikan orang tua, khususnya ibu akan mempengaruhi pemilihan dan kebiasaan makan yang baik untuk anggota keluarga, serta memiliki pengetahuan dan sikap yang baik tentang manfaat makanan yang sehat (Cribb et al. 2011; Yabanci et al. 2014). Pendapatan keluarga merupakan faktor tidak langsung yang mempengaruhi konsumsi pangan, akan tetapi merupakan faktor penentu utama baik atau buruknya keadaan gizi seseorang atau kelompok. Pendapatan keluarga yang memadai akan menunjang tumbuh kembang anak karena orang tua dapat menyediakan semua kebutuhan anak baik primer maupun sekunder. Jika tingkat pendapatan naik, jumlah dan jenis makanan cenderung membaik pula. Namun, mutu makanan tidak selalu membaik jika tidak digunakan untuk membeli pangan atau bahan pangan berkualitas gizi tinggi (Pahlevi 2012). Keluarga dengan penghasilan terbatas akan kurang dapat memenuhi kebutuhan makanannya terutama untuk memenuhi kebutuhan zat gizi dalam tubuhnya (Fikawati dan Syafiq 2007). Sejalan dengan pendapatan keluarga yang tinggi, kecenderungan pola makan pun berubah yaitu terjadi peningkatan dalam asupan lemak dan protein
55 hewani serta gula, diikuti dengan penurunan lemak dan protein nabati dan karbohidrat. Pendapatan keluarga juga berhubungan dengan frekuensi makan diluar rumah yang biasanya tinggi lemak (WHO 2000). Pendapatan yang tinggi tidak selalu menjamin beragam dan bermutunya bahan pangan yang dikonsumsi tetapi dapat juga mengarah pada pemilihan bahan makanan yang lebih enak, siap santap, cepat, dan lebih banyak mengandung lemak, minyak, dan bahan lainnya yang dapat menyebabkan obesitas (Hadi et al. 2005), namun berdasarkan hasil analisis Spearman menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara pendapatan orang tua dengan densitas energi siswa obes dan normal (p>0.05) serta antara pendapatan orang tua dengan tingkat kecukupan energi siswa obes maupun normal (p>0.05). Hasil penelitian Setyowati (2014) juga menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang nyata antara pendapatan orang tua dengan konsumsi fast food. Hasil ini berbeda dengan penelitian Hidayati et al. (2006) yang menyatakan peningkatan pendapatan dapat mempengaruhi pemilihan jenis dan jumlah makanan yang dikonsumsi. Peningkatan kemakmuran di masyarakat yang diikuti oleh peningkatan pendidikan dapat mengubah gaya hidup dan pola makan tradisional ke pola makan makanan praktik dan siap saji sehingga mutu gizi menjadi tidak seimbang serta jika dikonsumsi secara berlebihan akan menyebabkan obesitas. Pendapatan keluarga yang tinggi berarti kemudahan dalam membeli dan mengkonsumsi makanan enak dan mahal. Hasil penelitian lainnya yang dilakukan oleh Parengkuan et al. (2013) menyatakan bahwa besarnya pengaruh pendapatan tinggi terhadap obesitas anak ditunjukkan dengan nilai OR 3.0 kali yang artinya anak yang memiliki keluarga dengan pendapatan tinggi memiliki risiko sebesar 3 kali menjadi obesitas dibandingkan anak yang memiliki keluarga dengan pendapatan rendah. Hubungan Pendidikan dan Pendapatan Orang Tua dengan Densitas Protein dan Tingkat Kecukupan Protein Tingkat pendidikan ayah yang berperan sebagai kepala keluarga sangat mempengaruhi pola pendidikan dan asuhan orang tua terhadap anak di dalam rumah tangga. Selain itu tingkat pendidikan ayah dapat mempengaruhi jenis pekerjaan ayah yang berpengaruh pada tingkat ekonomi keluarga serta mempengaruhi kemampuan orang tua dalam memenuhi kebutuhan dan gaya hidup anak. Tingkat pendidikan ibu akan berkaitan dengan pengetahuan dan pemahaman ibu terhadap kesehatan, nutrisi, dan hal lainnya untuk anak. Hal ini akan mempengaruhi pola asuh, pengaturan nutrisi, serta pemilihan jenis makanan yang berkontribusi terhadap terjadinya obesitas pada anak. Pada ibu dengan tingkat pendidikan lebih tinggi sangat diharapkan terjadi peningkatan pengetahuan dan pemahaman terhadap pola asuh dan nutrisi yang baik untuk anak dibandingkan ibu dengan tingkat pendidikan yang lebih rendah (Octari et al. 2014). Tingkat pengetahuan gizi seseorang berpengaruh terhadap sikap dan perilaku dalam memilih makanan, yang menentukan mudah atau tidaknya seseorang memahami manfaat kandungan gizi dari makanan yang dikonsumsi Yudesti dan Prayitno (2013). Pengetahuan gizi yang baik diharapkan mempengaruhi konsumsi makanan yang baik sehingga dapat menuju status gizi normal (Ajao et al. 2010).
56 Pengetahuan merupakan salah satu hal yang mempengaruhi perilaku. Lebih spesifik, faktor biologis, pengalaman seseorang mengenai makanan dan faktor lingkungan dapat mempengaruhi pilihan makan dan praktik makan seseorang. Proses psikologis yang kuat meliputi persepsi, kepercayaan, nilai dan sikap merupakan kunci dari apa yang orang lakukan, sehingga pendidikan gizi perlu dilakukan dengan mempertimbangkan faktor psikologis tersebut bersama dengan dukungan lingkungan yang lain. Hal yang mempengaruhi apa yang seseorang lakukan biasa disebut dengan determinan perilaku. Dalam konteks pendidikan gizi, hal ini berarti determinan yang dapat diubah seperti persepsi, sikap atau perasaan meskipun ada beberapa faktor lingkungan yang tidak dapat diubah seperti status sosial ekonomi atau tingkat pendidikan (Contento 2011). Tabel 19 menunjukkan berdasarkan hasil analisis Spearman tidak terdapat hubungan yang signifikan antara pendidikan dan pendapatan orang tua dengan densitas protein dan tingkat kecukupan protein (p>0.05). Hal ini diduga karena pendapatan orang tua tinggi yang didukung dengan pendidikan tinggi juga sehingga dapat membeli sumber protein untuk memenuhi kebutuhan anak, selain itu densitas protein dan tingkat kecukupan protein siswa obes maupun normal termasuk kategori cukup. Tabel 19 Hubungan pendidikan dan pendapatan orang tua dengan densitas protein dan tingkat kecukupan protein Variabel - Pendidikan ayah Obes < SMA ≥ SMA Normal < SMA ≥ SMA - Pendidikan ibu Obes < SMA ≥ SMA Normal < SMA ≥ SMA - Pendapatan orang tua Obes ≥ 9000000/bulan < 9000000/bulan Normal ≥ 9000000/bulan < 9000000/bulan
Densitas protein p value1) r2)
Tingkat kecukupan protein p value1) r2)
0.160
0.140
0.761
-0.030
0.645
0.046
0.756
-0.031
0.066
0.183
0.249
-0.115
0.883
0.015
0.087
-0.170
0.212
-0.124
0.221
0.122
0.915
-0.011
0.467
-0.073
1)
signifikan, 2)koefisien korelasi
Menurut Almatsier (2009) kekurangan protein banyak terdapat pada masyarakat sosial ekonomi rendah. Orangtua yang memiliki pendapatan yang memadai akan menunjang status gizi anak, karena orangtua dapat menyediakan semua kebutuhan anak baik primer maupun sekunder. Selain hal tersebut,
57 orangtua yang memiliki tingkat penghasilan yang mapan memperhatikan kualitas asupan gizi anaknya dan setiap kali memberi makanan akan mempertimbangkan yang terbaik bagi anaknya. Sebaliknya orang tua yang memiliki tingkat penghasilan yang rendah akan kurang memperhatikan kualitas asupan makan anak. Protein adalah bagian dari semua sel hidup dan merupakan bagian terbesar tubuh sesudah air. Protein memiliki peran yang sangat penting bagi tubuh yaitu sumber energi, pertumbuhan dan pemeliharaan, pembentukan ikatan-ikatan esensial tubuh, mengatur keseimbangan air, memelihara netralitas tubuh, membentuk antibodi, dan mengangkut zat-zat gizi (Almatsier 2009). Protein berfungsi sebagai pertumbuhan dan pemeliharaan tubuh, mengatur tekanan air, untuk mengontrol pendarahan (terutama di fibrinogen), sebagai transportasi yang penting untuk zat-zat gizi terutama sebagai antibodi dari berbagai penyakit, memelihara tubuh dan untuk mengatur aliran darah dalam membantu pekerjaan jantung (Mukherjee 2008). Konsumsi protein berpengaruh terhadap status gizi anak. Anak membutuhkan protein yang cukup tinggi untuk menunjang proses pertumbuhannya. Penyediaan pangan yang mengandung protein sangat penting, meskipun pertumbuhan masa kanak-kanak berlangsung lebih lambat daripada pertumbuhan bayi, tetapi kegiatan fisiknya meningkat (Pahlevi 2012). Protein secara berlebihan tidak menguntungkan tubuh. Tubuh manusia tidak dapat menyimpan protein berlebih sehingga protein yang dikonsumsi melebihi kebutuhan tubuh akan diubah dan disimpan sebagai lemak. Makanan yang tinggi protein biasanya tinggi lemak sehingga dapat menyebabkan obesitas (Almatsier 2009). Hubungan Densitas Energi dan Asupan Zat Gizi dengan Status Gizi Tabel 20 menunjukkan berdasarkan hasil analisis Spearman terdapat hubungan yang signifikan antara densitas energi siswa obes dengan status gizi (p=0.025; r=0.710) dan tidak terdapat hubungan yang signifikan antara densitas protein, vitamin A, vitamin C serta Fe siswa obes maupun normal dengan status gizi (p>0.05). Hasil ini sesuai dengan WHO (2000) yaitu terdapat hubungan antara konsumsi makanan densitas energi tinggi dengan kejadian obesitas pada masyarakat. Selain itu Howarth et al. (2006) dan Mendoza et al. (2007) juga menyatakan bahwa konsumsi makanan dengan densitas energi tinggi secara berlebihan berkontribusi dalam peningkatan asupan energi total yang dapat mempengaruhi berat badan dan berakibat pada peningkatan Indeks Massa Tubuh (IMT). Fenomena konsumsi makanan dengan densitas energi tinggi seperti fast food dan minuman bergula telah menjadi kebiasaan dan trend bagi remaja dan anak usia sekolah. Konsumsi makanan dengan densitas energi tinggi secara berlebih secara langsung dapat mempengaruhi peningkatan IMT (Kant et al. 2008). Drewnowski et al. (2012) menambahkan bahwa preferensi pangan akan mendorong anggota keluarga untuk mengonsumsi pangan tersebut lebih sering dibandingkan jenis pangan lain sehingga dapat meningkatkan kecukupan zat gizi atau justru sebaliknya dapat berdampak pada masalah gizi dan peningkatan risiko masalah kesehatan apabila preferensi pangan tersebut pada pangan yang salah (high nutrient-dense foods). Menurut Avihani dan Sulchan (2013) kebiasaan
58 senang makan makanan dengan densitas energi yang tinggi memungkinkan tubuh memperoleh tambahan energi sehingga tanpa disadari asupan energi ke dalam tubuh melebihi kebutuhan dan dampaknya berupa bertambahnya timbunan lemak dalam tubuh. Kebiasaan seperti itu akan memudahkan terjadinya obesitas. Tabel 20 Hubungan densitas energi dan asupan zat gizi dengan status gizi Densitas energi dan asupan zat gizi - Energi DED tinggi DED rendah - Protein Rendah Cukup - Vitamin A Kurang Cukup - Vitamin C Kurang Cukup - Fe Kurang Cukup
p value1)
r2)
0.025*
0.710
0.140
0.104
0.075
0.125
0.089
-0.119
0.857
-0.013
*Signifikan pada α<5%, 1)signifikan, 2)koefisien korelasi Densitas energi lebih banyak disumbangkan dari makanan dibandingkan minuman. Makanan padat seperti sereal dan padi-padian mengandung sedikit air dan tinggi energi menyumbang densitas energi lebih tinggi dibandingkan buah, dan sayur yang mengandung banyak air dan rendah energi. Minuman mengandung kadar air yang tinggi dan menyumbang lebih sedikit energi dan nutrisi sehingga tidak terlalu mempengaruhi nilai densitas energi (Schroder et al. 2008). Konsep densitas asupan zat gizi merupakan keseimbangan komposisi zat gizi yang diperoleh dari pangan yang dikonsumsi yang memberikan manfaat bagi tubuh yaitu pertumbuhan untuk masa anak-anak serta manfaat kesehatan dan penurunan risiko penyakit untuk usia dewasa (Vossenaar dan Solomon 2012). Densitas asupan zat gizi dapat dihubungkan dengan risiko obesitas (Lee et al. 2014). Selain itu faktor lainnya yang berhubungan dengan kejadian obesitas adalah aktivitas fisik, seperti hasil penelitian Danari et al. (2013) bahwa terdapat hubungan antara aktivitas fisik dengan kejadian obesitas pada anak SD di kota Manado. Namun dalam penelitian ini tidak diteliti aktivitas fisik anak sekolah sehingga tidak dapat diketahui apakah aktivitas fisik juga mempengaruhi kejadian obesitas. Hubungan Tingkat Kecukupan Gizi dengan Status Gizi Perbedaan antara tingkat kecukupan zat gizi dan densitas asupan zat gizi yaitu tingkat kecukupan zat gizi dihitung berdasarkan rasio atau perbandingan antara asupan zat gizi yang dikonsumsi dengan angka kecukupan zat gizi yang dianjurkan per hari, sedangkan densitas asupan zat gizi dihitung berdasarkan rasio asupan zat gizi terhadap total asupan energi dari makanan yang dikonsumsi per
59 hari. Meski demikian, baik tingkat kecukupan zat gizi ataupun densitas asupan zat gizi dapat menggambarkan kecukupan zat gizi individu ataupun rumah tangga yang selanjutnya dapat mempengaruhi status gizi individu atau rumah tangga tersebut (Drewnowski 2005). Tabel 21 menunjukkan hasil analisis Spearman tidak terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat kecukupan energi dan zat gizi dengan status gizi siswa obes maupun normal (p>0.05). Hasil ini sesuai dengan penelitian Karimah (2014) yang menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat kecukupan energi, protein, zat besi dengan status gizi. Hal ini diduga karena data konsumsi yang diperoleh melalui food recall hanya menggambarkan konsumsi pangan pada saat ini (short-term), sedangkan kondisi status gizi seseorang merupakan akumulatif konsumsi pangan dalam waktu yang cukup lama (long-term). Status gizi lebih tidak hanya disebabkan oleh konsumsi fast food saja, sedentary life style, lingkungan dan genetik pun diduga sebagai faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya status gizi lebih pada anak (Hadi et al. 2004). Hasil penelitian Setyowati (2014) juga menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara status gizi dengan tingkat kecukupan energi dan protein anak. Akan tetapi hasil penelitian tersebut menunjukkan adanya trend positif antara status gizi dengan IMT/U, artinya semakin besar tingkat kecukupan gizi maka kecenderungan anak memiliki IMT yang besar akan meningkat juga. Hasil penelitian ini berbeda dengan beberapa penelitian yang menunjukkan adanya hubungan positif antara tingkat kecukupan gizi dengan status gizi (Novita 2007; Suryaalamsyah 2009). Tabel 21 Hubungan tingkat kecukupan energi dan zat gizi dengan status gizi Tingkat kecukupan energi dan zat gizi - Energi Kelebihan Cukup - Protein Kelebihan Cukup - Vitamin A Beresiko Cukup -Vitamin C Beresiko Cukup -Fe Beresiko Cukup
p value1)
r2)
0.087
-0.120
0.401
-0.059
0.582
-0.039
0.288
0.075
0.236
-0.083
1)
signifikan, 2)koefisien korelasi
Hubungan Tingkat Kecukupan Vitamin C dan Fe dengan Status Anemia Berdasarkan hasil analisis Spearman (Tabel 22) tidak terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat kecukupan vitamin C dan tingkat kecukupan Fe dengan status anemia siswa obes maupun normal (p>0.05). Hal ini diduga karena walaupun asupan vitamin C dan Fe kurang namun siswa obes maupun normal
60 lebih banyak yang tidak mengalami anemia. Hasil penelitian Windyaningrum (2012) menunjukkan hasil yang sama yaitu tidak terdapat hubungan antara tingkat kecukupan vitamin C dan Fe dengan status anemia. Almatsier (2009) menyatakan bahwa terjadinya anemia gizi besi adalah pada tahap ketiga yaitu suatu keadaan dimana kadar hemoglobin sudah sangat rendah. Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian Pradanti et al. (2015) yang menyatakan bahwa terdapat hubungan asupan zat besi dan vitamin C dengan kadar hemoglobin. Pada dasarnya etiologi kekurangan zat besi disebabkan oleh keseimbangan negatif antara masukan dan pengeluaran zat besi. Pada keadaan yang berhubungan dengan pertumbuhan yang cepat, seperti pada bayi, anak, remaja, dan ibu hamil masukan besi sulit membuat keseimbangan positif. Sebagian besar penduduk yang mengalami kekurangan zat besi, terutama di negara yang sedang berkembang termasuk Indonesia, disebabkan oleh sedikitnya asupan makanan yang mengandung zat besi. dan rendahnya konsumsi makanan yang mengandung zat gizi lainnya yang mempunyai konstribusi terhadap absobsi dan metabolisme zat besi seperti misalnya vitamin C (Setyaningsih 2008). Selain itu menurut Wahyuningsih (2011) dimungkinkan karena adanya gangguan absorpsi seperti adanya konsumsi tanin, fitat, oksalat maupun serat yang berlebih dalam makanan yang bisa menghambat penyerapan besi dalam tubuh. Selain hal tersebut di atas dapat juga disebabkan oleh adanya infeksi yang tidak diketahui dan gangguan pencernaan sehingga tidak dapat mengabsorpsi zat besi dengan baik. Almatsier (2009) menambahkan bahwa dengan adanya asam fitat, asam oksalat dan serat berpengaruh negatif terhadap penyerapan besi, sedangkan vitamin C akan meningkatkan penyerapan besi. Pada menu makanan yang porsi sumber hewaninya besar maka penyerapan besi maksimal, sebaliknya menu makanan yang sebagian besar terdiri dari sumber nabati maka penyerapan besi menjadi minimal. Namun dalam penelitian ini tidak diteliti secara mendetail mengenai faktor penghambat konsumsi Fe serta penyakit infeksi. Tabel 22 Hubungan tingkat kecukupan vitamin C dan Fe dengan status anemia Variabel -Tingkat Kecukupan Vitamin C Obes Beresiko Cukup Normal Beresiko Cukup -Tingkat Kecukupan Fe Obes Beresiko Cukup Normal Beresiko Cukup
1)
signifikan, 2)koefisien korelasi
p value1)
Status anemia
r2)
0.126
0.153
0.201
0.128
0.694
0.039
0.741
-0.033
61 Hubungan Pendidikan dan Pendapatan Orang Tua dengan Lingkungan Belajar Tabel 23 menunjukkan bahwa berdasarkan hasil analisis Spearman tidak terdapat hubungan antara pendidikan dan pendapatan orang tua siswa obes maupun normal dengan lingkungan belajar (p>0.05). Pendidikan ayah tidak berhubungan dengan lingkungan belajar diduga karena sebagian besar berpendidikan tinggi sehingga dapat menciptakan lingkungan belajar di rumah lebih nyaman buat anak dan membuat betah untuk berada di rumah. Hasil ini sesuai dengan penelitian Abdat (2007) yang menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan tingkat pendidikan ayah dengan prestasi siswa. Pendidikan ibu tidak berhubungan dengan lingkungan belajar. Hasil ini berbeda dengan penelitian Abdat (2007) bahwa pendidikan ibu berhubungan dengan prestasi siswa. Hasil penelitian yang berbeda disebabkan karena prestasi siswa dianalisis secara kognitif, afektif dan psikomotor. Ibu merupakan sosok yang paling dekat dengan proses tumbuh kembang setiap anak. Perhatian dan dukungan dari ibu akan sangat berarti dalam membangun kualitas diri putra-putrinya sehingga diharapkan tercapai kualitas hasil pendidikan yang lebih baik dan didukung oleh latar belakang pendidikan ibu yang memadai. Seorang ibu saat ini sudah lazim mencapai tingkat pendidikan yang tinggi meskipun tidak berarti bahwa para ibu yang berlatar belakang pendidikan rendah tidak memiliki kualitas dalam melaksanakan tugasnya sebagai pemelihara rumah tangga (Abdat 2007). Tabel 23 Hubungan pendidikan dan pendapatan orang tua siswa obes dan normal dengan lingkungan belajar Variabel - Pendidikan ayah Obes < SMA ≥ SMA Normal < SMA ≥ SMA - Pendidikan ibu Obes < SMA ≥ SMA Normal < SMA ≥ SMA - Pendapatan orang tua Obes ≥ 9000000 < 9000000 Normal ≥ 9000000 < 9000000
1)
2)
signifikan, koefisien korelasi
Lingkungan belajar p value1) r2)
0.512
0.066
0.866
0.017
0.653
0.045
0.687
0.040
0.370
0.090
0.181
-0.133
62 Masalah belajar dimasa anak-anak merupakan hal yang sering dihadapi orang tua dan guru. Orangtua dengan pendidikan tinggi terbukti akan menyediakan lingkungan rumah yang dapat mendorong kemampuan anak untuk belajar. Seseorang akan mempunyai kemauan yang efektif jika memperhatikan dengan baik lingkungannya untuk selanjutnya menggunakannya sebagai bahan pertimbangan dalam menetapkan tujuan atau keinginannya (Widayati 2009). Sarana belajar yang baik adalah yang memberikan kenyamanan sehingga dapat menimbulkan motivasi belajar dan mempermudah dalam memahami pelajaran. Waktu belajar juga tidak akan menentukan prestasi belajar namun lebih ditentukan oleh keefektifan siswa dalam memanfaatkan waktu belajar tersebut. Pada anak sekolah, motivasi tidak selalu dapat terjadi secara spontan tetapi juga harus sengaja diupayakan oleh orang tua maupun guru. Tingginya motivasi belajar siswa juga tidak terlepas dari lingkungan keluarga, dimana dengan adanya peran serta orang tua dalam mendorong anak untuk belajar, membimbing dan mengawasi dalam kegiatan belajar serta dengan penyediaan fasilitas belajar yang memadai menjadikan anak merasa puas dan termotivasi untuk mencapai tujuan yang tinggi (Widayati 2009). Perhatian orang tua dapat menjadi salah satu motivasi belajar anak dengan memberikan perhatian terhadap tugas-tugas yang diberikan guru kemudian membantu siswa jika mengalami kesulitan dalam menyelesaikannya. Hasil penelitian Widayati (2009) menyatakan hal yang berbeda yaitu bahwa lingkungan keluarga berhubungan dengan pendidikan ibu. Orang tua yang berpendidikan akan memperhatikan serta mendorong semangat belajar anak. Selain itu, untuk membantu dalam proses pendidikan anak, maka orang tua perlu mempunyai pengetahuan yang baik. Semakin tinggi pengetahuan orang tua maka akan semakin banyak pula pengetahuan orang tua yang diberikan kepada anaknya. Hubungan yang serasi antara remaja-orang tua, bimbingan dan dorongan senantiasa dibutuhkan remaja terutama bila remaja menghadapi berbagai masalah dan kesulitan sekolah. Tetapi tidak jarang orang tua acuh tak acuh, tidak pernah memberikan penghargaan apapun terhadap usaha anak, hal ini dapat menyebabkan berbagai hal yang negatif pula, termasuk dalam hal malas belajar karena merasa tidak berguna bagi orang tua. Dengan perhatian yang cukup dalam hal pendidikan, anak mendapat dukungan yang besar untuk mengembangkan dirinya. Penelitian Novita (2007) juga mengungkapkan bahwa sebagian siswa merasa terganggu pada suasana yang ramai dan memilih belajar dengan cahaya yang terang serta nyaman. Siswa menggunakan waktu bermain di lingkungan rumah selama 2-3 jam dalam sehari. Bermain merupakan aktivitas yang sangat menyenangkan, namun jika banyak waktu dihabiskan untuk bermain yang tidak produktif dapat melalaikan waktu belajar siswa. Adapun pola belajar sebagian besar siswa dalam penelitian tersebut yaitu mengulang kembali di rumah pelajaran yang sudah diterangkan guru di sekolah. Kebutuhan pendidikan akan tercapai salah satunya apabila orangtua mempunyai cukup penghasilan untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Orang tua dengan keadaan sosial ekonomi tinggi tidak akan banyak mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan sekolah anak. Penghasilan ayah akan menjadi faktor penting terpenuhinya kebutuhan pendidikan anak, karena ayah merupakan kepala keluarga yang mempunyai tugas utama mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga seperti pendidikan.
63 Tingkat pendapatan orangtua diduga akan mempengaruhi kelengkapan fasilitas belajar anak dalam mendukung kegiatan belajar dan prestasi belajar anak (Maulanaputri 2011). Hubungan Status Anemia dengan Prestasi Belajar Anemia merupakan masalah kesehatan masyarakat yang dihubungkan dengan resiko kesakitan dan kematian pada anak. Dampak anemia sangat luas seperti tingginya resiko kematian ibu dan anak, rendahnya perkembangan fisik dan kognitif pada anak dan rendahnya produktifitas kerja pada orang dewasa (WHO 2008). Anemia pada anak dapat menyebabkan buruknya kemampuan kognitif dan rendahnya peringkat akademik di sekolah dibandingkan dengan anak yang tidak anemia (Grantham-McGregor dan Ani 2001). McCann dan Ames (2007) menyatakan bahwa anemia defisiensi besi dapat berpengaruh pada fungsi kognitif, perilaku dan fungsi otak lainnya yang dapat terjadi pada masa perkembangan otak. Selain itu Lokollo et al. (2010) juga menyatakan kekurangan zat besi pada anak akan menyebabkan pertumbuhan kurang optimal, kemampuan belajar menurun dan dihubungkan dengan intelligence quotient (IQ) yang rendah Tabel 24 menunjukkan hasil analisis Spearman terdapat hubungan yang signifikan antara status anemia siswa obes dan normal dengan prestasi belajar (p=0.024; r=0,812). Hasil ini sejalan dengan penelitian Hidayati et al. (2010) bahwa terdapat kaitan antara kejadian anemia dengan prestasi belajar anak sekolah dasar yang anemia dan tidak anemia. Anak yang anemia memiliki prestasi belajar yang lebih rendah secara signifikan dibandingkan dengan anak yang tidak anemia. Tabel 24 Hubungan status anemia siswa obes dan normal dengan prestasi belajar Status Anemia - Obes Anemia Tidak anemia - Normal Anemia Tidak anemia
p value
1)
1)
Prestasi Belajar
r2)
0.024*
0.812
0.327
0.074
2)
*Signifikan pada α<5%, signifikan, koefisien korelasi Kondisi kesehatan siswa yang terganggu, seperti anemia merupakan salah satu sebab siswa tidak dapat berkonsentrasi secara penuh dalam waktu lama. Kondisi tersebut menyebabkan kemampuan sel darah merah mengikat oksigen menurun. Sementara itu, oksigen diperlukan dalam semua proses metabolisme zat gizi dalam tubuh untuk menghasilkan energi, sehingga anak yang anemia tampak letih, lelah dan lesu. Oksigen juga sangat penting bagi perkembangan dan aktivitas sel-sel otak. Tanpa suplai oksigen yang cukup, sel-sel otak tidak dapat berkembang dan beraktivitas secara optimal (Hidayati et al. 2010). Namun penelitian Rusmawati (2013) menyatakan bahwa tidak ada hubungan signifikan antara status anemia dengan prestasi belajar siswa SD. Anemia besi dapat memperlambat perkembangan dan gangguan perilaku seperti aktivitas motorik, interaksi sosial dan perhatian. Pada anak sekolah yang mengalami anemia akan
64 mempengaruhi aktivitas belajar dan selanjutnya akan berdampak pada rendahnya prestasi belajar. Hasil penelitian Pollit (2000) menunjukkan bahwa defisiensi zat besi dapat mempengaruhi pemusatan perhatian (atensi), kecerdasan (IQ) dan prestasi belajar anak di sekolah. Pada masa perkembangan anak, kadar hemoglobin akan mempengaruhi pencapaian kognitif dan Performance Intelligence Quotient yang meliputi aspek memori spasial, kemampuan visual persepsi, dan ketrampilan psikomotor (Ai et al. 2012). Pada kondisi anemia daya konsentrasi dalam belajar tampak menurun (Sediaoetama 2010). Konsentrasi merupakan tahapan yang sangat penting karena merupakan tahap awal dari semua proses pembelajaran pada manusia. Konsentrasi ibarat sebuah pintu apakah rangsangan berupa informasi yang diterima oleh berbagai indra dalam tubuh kita akan dimasukkan dan diproses menjadi sebuah memori atau tidak, dimana tempat dalam penyimpanan memori ini ada dalam wilayah otak yang bernama hipokampus. Hipokampus memegang peranan dalam menentukan perhatian seseorang (Hartini dan Winarsih 2014). Enzim otak adalah fungsi tubuh pertama kali yang dipengaruhi oleh defisiensi besi, dimana berhubungan dengan perilaku dan kognitif (Johnson-Wimbley dan Graham 2011). Apatis, kelemahan, kehilangan kekuatan dan kemauan terhadap aktifitas fisik seperti olah raga, adalah tanda yang harus diketahui oleh guru dan orang tua bahwa terjadi anemia defisiensi besi pada anak. Kecukupan besi sangat esensial bagi pertumbuhan. Defisiensi dalam seluruh stadium kehidupan dapat mengurangi kemampuan persepsi dan belajar (Soleimani dan Abbaszadeh 2011). Hasil kajian Lozoff et al. (2006) secara prospektif dari masa ke masa (mulai tahun 2000) yaitu mengevaluasi kelompok anak usia 11-14 tahun yang pada saat usia 12-23 bulan mengalami defisiensi dan kelompok lain memiliki status besi normal. Anak yang anemia tampak lebih berhati-hati, menyendiri, lebih takut, ragu-ragu, tidak ceria, tampak kelelahan, cenderung ingin selalu dekat dengan ibu dan kurang berinteraksi dengan lingkungannya. Anak yang saat bayi mengalami defisiensi besi memiliki skor yang lebih rendah dalam hal fungsi mental dan motorik dibandingkan yang tidak anemia. Anak yang defisiensi besi banyak yang harus mengulang kelas dan menempuh pelajaran tambahan. Hal ini menunjukkan telah terjadi keterlambatan dan gangguan dalam perubahan proses kognitif yang diharapkan pada saat remaja. Anak yang defisiensi saat usia ini berperilaku lebih nakal dan agresif, pendiam dan selalu cemas. Hasil kajian ini telah membuktikan bahwa defisiensi besi pada masa bayi memberikan efek jangka panjang negatif hingga anak berumur 11-14 tahun. Gangguan-gangguan yang timbul sebagai akibat dari defisiensi besi baik yang bersifat internal maupun eksternal akan berakibat negatif pada perkembangan dan perilaku anak sekolah yang akhirnya akan berakibat pada hasil belajar anak. Hubungan Kecukupan Air dengan Prestasi Belajar Tabel 25 menunjukkan hasil analisis Spearman terdapat hubungan yang signifikan antara kecukupan air siswa obes dan normal dengan prestasi belajar (p=0.021; r=0,820). Rendahnya tingkat kecukupan air berhubungan terhadap penurunan prestasi belajar siswa obes. Hasil ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Taylor et al. (2005) dan D’Anci et al. (2006). Gangguan kognitif timbul akibat dehidrasi berdasarkan bagian otak yang paling rentan terhadap
65 dampak dehidrasi. Bagian tersebut adalah sistem reticular activating yang mengatur perhatian dan kesadaran, struktur autonomik yang mengatur fungsi psikomotor, fungsi pengaturan, struktur kortikol dan mid-brain yang bertanggungjawab untuk menganalisis/berpikir, mengingat, dan persepsi. Semakin bertambah tingkat dehidrasi semakin banyak bagian otak yang terganggu. Hal ini berdampak tidak saja pada fungsi kognitif, tapi juga sampai pada proses menyelesaikan tugas (task processing), penurunan fungsi dan akhirnya pada kualitas hidup (Hardinsyah et al. 2010). Tabel 25 Hubungan kecukupan air siswa obes dan normal dengan prestasi belajar Kecukupan Air - Obes Kurang Cukup - Normal Kurang Cukup
p value1)
Prestasi Belajar
r2)
0.021*
0.820
0.271
0.110
*Signifikan pada α<5%, 1)signifikan, 2)koefisien korelasi Otak dengan segenap sistemnya berperan penting dalam menentukan kognisi seseorang. Kemampuan kognisi anak terutama ditentukan oleh kemampuan kerja otak dalam menangkap, menyimpan dan mengeluarkan pesan yang dilihat, didengar dan dialami. Gangguan fungsi otak dapat menyebabkan gangguan kognisi yang terjadi karena gangguan atau perubahan komposisi kimia otak dan gangguan fisiologis sel saraf otak. Sebagian besar kandungan zat gizi dalam otak adalah air (sekitar 80%) kemudian lemak, protein dan zat gizi lainnya yang dibutuhkan untuk kenormalan fungsi otak sehingga pemenuhan kebutuhan air ini akan mempengaruhi kerja otak. Salah satu indikasi sederhana kurang air tubuh adalah pusing atau sakit kepala selain dahaga, bibir kering, warna urin kuning-coklat sehingga bila kurang air tubuh akan mengganggu mood dan atensi dalam belajar anak sekolah (Santoso et al. 2014). Anak sekolah merupakan salah satu kelompok rentan mengalami kurang air tubuh yang dapat mengganggu konsentrasi belajar (D’Anci et al. 2006). Hal ini diperparah di negara sedang berkembang termasuk Indonesia, akses anak pada air minum di sekolah pada umumnya dengan cara membeli karena tidak ada air siap minum di sekolah (Santoso et al. 2014). Penelitian Briawan et al. (2011) menyatakan bahwa masih terdapat 70.9% siswa dan 49.0% siswi asupannya di bawah 2000 mL, serta siswa yang lebih menyukai jenis minuman yang “berasa” dibandingkan air putih. Grandjean dan Grandjean (2007) juga melakukan kajian terhadap 10 penelitian dampak kurang air tubuh terhadap fungsi kognisi (memori, atensi) dan lelah (fatigue), hasilnya membuktikan bahwa kurang air tubuh 2% dari berat badan mempengaruhi memori, baik jangka pendek maupun jangka panjang serta membuktikan bahwa dapat menyebabkan lelah (fatigue) dan berpengaruh buruk pada kemampuan atensi, matematika dan motorik anak. Penelitian lainnya yang dilakukan oleh Benton dan Davies (2009) pada anak sekolah adalah penelitian klinis terkontrol dengan dua kelompok yaitu kelompok yang diberi minum di sekolah dan kelompok yang tidak diberi minum di sekolah serta tidak diperbolehkan minum selama dua jam di sekolah. Kemudian kedua
66 kelompok diminta untuk mengerjakan soal matematika selama lima menit. Hasil penelitian membuktikan bahwa anak yang diberi minum mampu mengerjakan soal matematika dengan lebih cepat dibandingkan anak yang tidak diberi minum. Hal ini membuktikan bahwa minum penting bagi anak sekolah dalam proses belajar di sekolah dan untuk mengoptimalkan atensi atau konsentrasi belajar. Selain itu minum yang cukup atau hidrasi tidak hanya mengoptimalkan atensi atau konsentrasi belajar namun juga mengoptimalkan memori anak dalam belajar. Hubungan Lingkungan Belajar dengan Prestasi Belajar Lingkungan belajar akan mempengaruhi seseorang dalam membentuk suatu pola belajar yang akan digunakan untuk mencapai prestasi belajar (Slamet 1993). Menurut Syah (2014) faktor-faktor yang mempengaruhi belajar siswa yaitu faktor internal (jasmani dan psikologis), faktor eksternal (orang tua dan lingkungan sosial) serta faktor pendekatan belajar yakni jenis upaya belajar siswa untuk melakukan kegiatan mempelajari materi-materi pelajaran. Tabel 26 menunjukkan bahwa berdasarkan hasil analisis Spearman tidak terdapat hubungan yang signifikan antara lingkungan belajar siswa obes dan normal terhadap prestasi belajar (p>0.05). Hal ini disebabkan lingkungan belajar di rumah sudah baik bagi siswa yang obes maupun normal. Hasil ini didukung dengan penelitian Widayati (2009) bahwa lingkungan keluarga yang meliputi sarana belajar di rumah, peran orang tua dalam mendorong motivasi belajar anak dan keterlibatan orang tua dalam membimbing kegiatan belajar anak, menunjukkan lingkungan keluarga tidak berhubungan dengan prestasi belajar siswa. Tabel 26 Hubungan lingkungan belajar siswa obes dan normal dengan prestasi belajar Lingkungan Belajar - Obes Kurang baik Baik - Normal Kurang baik Baik
1)
Prestasi Belajar p value
1)
r2)
0.644
0.046
0.905
-0.012
2)
signifikan, koefisien korelasi
Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian Novita (2007). Pada penelitian Novita (2007), variabel lingkungan belajar dianalisis masing-masing dan hasilnya adalah variabel perhatian orang tua memiliki hubungan nyata dengan prestasi belajar. Perhatian orang tua walaupun hanya sekedar menanyakan tugas dari sekolah sangat memberi arti lebih kepada siswa. Sarana belajar di rumah menunjukkan hubungan nyata dengan prestasi belajar. Suasana belajar di rumah menunjukkan hubungan nyata dengan prestasi belajar. Hal ini dapat diartikan bahwa dengan suasana belajar yang baik dan nyaman di rumah membuat siswa dapat belajar secara optimal dan memperoleh prestasi yang baik. Pola belajar menunjukkan hubungan nyata dengan prestasi belajar. Pola belajar yang baik membuat siswa akan cenderung mengulang pelajaran yang diberikan oleh guru di
67 sekolah. Pada penelitian ini semua variabel dianalisis secara bersamaan sehingga menjadi lingkungan belajar di rumah. Hasilnya seperti yang terlihat bahwa sebagian besar siswa obes dan normal memiliki lingkungan belajar yang baik di rumahnya. Lingkungan pergaulan anak sebaya sering memberi pengaruh besar terhadap karakteristik anak termasuk dorongan berprestasinya yang tinggi maupun rendah apalagi jika anak tidak merasakan kehangatan dalam keluarga. Lingkungan yang mendukung terselenggaranya proses belajar dan mengajar akan menciptakan prestasi belajar yang baik. Sebaliknya, lingkungan belajar yang kurang mendukung akan menjadi penghambat bagi terselenggaranya kegiatan belajar. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Prestasi Belajar Tabel 27 menunjukkan faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi prestasi belajar siswa berstatus gizi obesitas. Berdasarkan hasil analisis regresi logistik (hasil analisis regresi multivariat dapat dilihat pada lampiran 2) pendidikan ibu merupakan faktor yang mempengaruhi prestasi belajar siswa obesitas (OR= 5.870; 95%CI:2.286-15.070), yang berarti bahwa siswa obes berisiko 5.870 kali berpeluang meraih prestasi belajar yang lebih rendah dibandingkan siswa normal. Semakin tinggi pendidikan ibu maka semakin baik prestasi belajar anak (Nurani 2004; Eamon 2005; Aturupane et al. 2013). Orang tua yang memiliki tingkat pendidikan tinggi akan lebih mudah mengembangkan intelektual anak. Tingkat pendidikan orang tua berpengaruh dalam usaha peningkatan prestasi belajar anak. Orangtua yang berpendidikan akan memperhatikan serta mendorong semangat belajar anak (Davis-Kean 2005; Kusumaningrum 2006). Tabel 27 Faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar siswa obes Variabel Pendidikan Ibu (1 = < SMA, 2 = ≥ SMA) Densitas Energi (1 = DED tinggi, 2 = DED rendah) Status anemia (1 = anemia, 2 = tidak anemia Kecukupan air (1 = kurang, 2 = cukup Pendidikan Ayah (1 = < SMA, 2 = ≥ SMA)
Sig
OR
(95% CI)
0.000*
5.870
2.286-15.070
0.038*
3.075
1.066-8.873
0.121
2.706
0.569
0.745
0.271-2.047
0.815
0.870
0.271-2.792
0.770-9.506
*Signifikan pada α<5%
Tingkat pendidikan orang tua juga akan berpengaruh terhadap cara mendidik atau pola asuh orang tua. Ada kemungkinan orang tua yang berpendidikan tinggi mengasuh anak dengan sikap terbuka/demokratis, sedangkan orang tua yang berpendidikan rendah ada kemungkinan mengasuh dengan pola asuh tertutup bahkan bebas. Orang tua yang berpendidikan tinggi tidak hanya menekan anak untuk mendapat prestasi yang baik tetapi lebih memberi arahan pada anak agar dapat mencapai prestasi yang baik. Pendidikan orang tua erat kaitannya dengan bantuan orang tua dalam membantu proses belajar. Orang tua dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi juga memungkinkan untuk lebih percaya diri pada kemampuan mereka dalam membantu anak-anaknya belajar,
68 sehingga diperkirakan akan berpengaruh secara signifikan terhadap kemampuan akademis anak-anak (Nadharatunna’im dan Afrida 2014). Praktek pengasuhan orangtua yang buruk dan cenderung menghukum sangat dipengaruhi oleh pendidikan orangtua yang rendah. Seseorang yang berasal dari keluarga dengan orangtua berpendidikan tinggi akan memiliki kemampuan strategi pengaturan diri dalam belajar yang baik (Colman et al. 2006). Para ibu yang mempunyai pendidikan yang lebih maju dan luas akan membimbing anak-anaknya dalam meraih maupun meningkatkan prestasinya serta dapat menerima perubahan ataupun kemajuan (Siregar 2007). Densitas energi yang berlebih pada siswa obes beresiko 3.075 kali berpeluang meraih prestasi belajar kurang baik dibandingkan siswa normal (OR= 3.075; 95%CI:1.066-8.873). Makanan atau minuman manis mengandung unsur karbohidrat sederhana yang menghasilkan energi tinggi. Fruktosa (gula sederhana yang menghasilkan rasa manis), tidak memberikan efek kepuasan setelah makan. Seseorang yang mengkonsumsi makanan/minuman manis tidak akan merasa puas dan akan makan terus menerus. Konsumsi yang berlebihan akan meningkatkan asupan energi yang selanjutnya disimpan tubuh sebagai cadangan lemak. Penumpukan lemak tubuh pada perut akan menyebabkan obesitas sentral, sedangkan penumpukan pada pembuluh darah akan menyumbat peredaran darah dan membentuk plak (aterosklerosis) yang berdampak pada hipertensi dan jantung koroner. Konsumsi jenis pangan yang digoreng (deep frying) berpengaruh meningkatnya asupan energi dari lipid. Makanan yang digoreng memiliki rasa yang gurih, renyah, enak dan kaya lemak. Hal ini menyebabkan seseorang ingin makan terus menerus, sehingga memiliki asupan energi yang tinggi dan tingkat kepuasan yang rendah. Rendahnya tingkat kepuasan dapat berpengaruh terhadap kemampuan respon insulin dan leptin, hormon yang menstimulasi rasa laparkenyang (Johnson et al. 2007). Ketidakseimbangan antara energi yang masuk dalam bentuk makanan dengan energi yang keluar dalam bentuk aktifitas seperti dalam kasus obesitas juga ditengarai mempengaruhi perkembangan kognitif anak. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Guntad et al. (2010) menyatakan bahwa kegemukan berhubungan dengan atrofi serebral dan substansia alba (substansi putih) dimana faktor inflamatori disinyalir berhubungan dengan perubahan fungsi kognitif tersebut. Seseorang yang mengalami obesitas akan menunjukkan peningkatan faktor inflamantorinya. Observasi dilakukan pada saat berlangsungnya proses pembelajaran dan dari hasil observasi didapatkan bahwa dari 10 anak berat badan lebih ternyata yang mengalami penurunan daya konsentrasi mencapai 6 anak (60%) serta ditandai dengan anak terkesan tidak mau diam, bergerak-gerak tanpa alasan, tidak memperhatikan guru, sering mengobrol dengan teman, tidak tepat waktu dalam mengerjakan soal, terlihat terburu-buru, gelisah dan kebingungan saat ditanya atau diberi instruksi oleh guru. Data tersebut juga memperkuat hasil wawancara yang dilakukan kepada guru-guru yang mengatakan bahwa anak-anak tersebut juga sering tidak sering tidak teliti, ceroboh, mudah lupa perintah guru atau pelajaran dan perhatian yang mudah dialihkan. Hasil regresi logistik menunjukkan status anemia siswa obes tidak berpengaruh signifikan terhadap prestasi belajar. Hasil ini tidak sejalan dengan penelitian Widayati (2009) yang menyatakan kadar Hb berpengaruh terhadap prestasi belajar siswa. Anak usia sekolah dasar yang mengalami anemia defisiensi
69 besi mempunyai Full IQ yang tidak melebihi rata-rata, gangguan pemusatan perhatian, gangguan kognitif serta memiliki skor aritmatika (matematika) yang rendah (Lubis et al. 2008). Anak yang menderita anemia digambarkan sebagai apatis, mudah tersinggung dan kurang memperhatikan sekelilingnya. Kurang zat besi mempunyai hubungan dengan enzim aldehid-oksidase di dalam otak yang mengakibatkan menurunnya kemampuan memperhatikan sesuatu. Anemia juga menyebabkan daya ingat dan daya konsentrasi menjadi rendah. Seseorang yang menderita anemia defisiensi Fe, maka jumlah hemoglobin dalam darahnya lebih rendah dibandingkan dengan orang yang tidak anemia. Hemoglobin merupakan protein utama dalam tubuh manusia yang berfungsi untuk mengangkut oksigen dari paru-paru ke jaringan perifer dan mengangkut karbon dioksida dari jaringan perifer ke paru-paru. Seseorang yang mempunyai kadar Hb di dalam darah lebih rendah dari nilai normal, menyebabkan gangguan pada proses belajar, baik karena menurunnya daya ingat ataupun berkurangnya kemampuan berkonsentrasi. Untuk bisa mempertahankan daya ingat maupun kemampuan berkonsentrasi diperlukan energi yang tersedia dalam tubuh. Energi tersebut diperoleh dari makanan yang masuk ke dalam tubuh melalui serangkaian proses metabolisme (Ganong 2008). Pertukaran zat atau proses metabolisme adalah semua rangkaian reaksireaksi kimia dalam tubuh dengan tujuan untuk menghasilkan energi. Untuk dapat berlangsungnya proses metabolisme dalam tubuh diperlukan oksigen sebagai bahan bakar yang diperoleh dari proses respirasi. Hemoglobin (Hb) merupakan molekul utama yang bertanggung jawab untuk mengangkut oksigen dan karbondioksida dalam darah. Melalui fusi ini oksigen dibawa dari paru-paru diedarkan keseluruh jaringan tubuh yang membutuhkan. Faktor yang sangat mempengaruhi suplai oksigen kepada jaringan tubuh adalah jumlah sel-sel darah merah dan jumlah hemoglobin (Hb) yang terdapat di dalamnya. Seseorang yang menderita anemia defisiensi zat besi, maka jumlah hemoglobin dalam darahnya lebih rendah dibandingkan dengan orang yang tidak anemia. Dengan demikian orang yang menderita anemia suplai oksigen ke dalam jaringan-jaringan tubuh akan mengalami gangguan karena alat transportasinya kurang, secara otomatis oksigen yang diangkutpun menjadi berkurang. Dengan berkurangnya oksigen yang ada dalam jaringan tubuh maka proses metabolisme akan terganggu dan tidak dapat optimal. Dengan tidak optimalnya proses metabolisme maka kebutuhan akan energi untuk proses belajar mengalami gangguan. Semakin tinggi kadar Hb dalam darah, maka semakin banyak pula oksigen yang dapat diangkut ke berbagai jaringan tubuh (Ganong 2008). Hasil regresi logistik juga menunjukkan kecukupan air siswa obes tidak berpengaruh signifikan terhadap prestasi belajar. Hasil ini berbeda dengan penelitian Fadda et al. (2012) bahwa minum air berpengaruh terhadap ingatan jangka pendek serta terdapat hubungan dehidrasi dengan kemampuan berpikir. Hasil regresi logistik menunjukkan lingkungan belajar siswa obesitas tidak berpengaruh signifikan terhadap prestasi belajar. Hasil ini tidak sejalan dengan penelitian Kurniawan dan Santoso (2013) bahwa lingkungan belajar berpengaruh positif terhadap prestasi belajar dimana semakin baik lingkungan belajar maka prestasi belajar siswa akan semakin meningkat. Hasil yang berbeda dapat disebabkan karena pada penelitian Kurniawan dan Santoso (2013) lingkungan belajar yang diteliti adalah lingkungan belajar di sekolah sedangkan dalam penelitian ini lingkungan belajar yang diteliti adalah lingkungan belajar di rumah.
70
6 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Secara keseluruhan hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara status anemia dan kecukupan air dengan prestasi belajar siswa obes dan normal (ρ<0.05), namun tidak terdapat hubungan yang signifikan antara lingkungan belajar dengan prestasi belajar siswa obes dan nomal (ρ>0.05). Berdasarkan karakteristik siswa dan keluarga hampir seluruh siswa SD yang obes (98.0%) dan normal (96.1%) berusia minimal dua belas tahun dengan jumlah uang saku siswa obes (63.7%) tergolong lebih besar dibandingkan siswa normal (47.1%). Lebih dari separuh siswa obes (55.9%) dan siswa normal (53.9%) berada dalam kategori keluarga besar (≥ 5 orang). Lebih dari separuh siswa obes (56.9% dan 69.6%) dan siswa normal (57.8% dan 59.8%) memiliki ayah dan ibu yang berpendidikan minimal SMA. Sebagian besar siswa obes (75.5%) dan normal (85.3%) mempunyai ayah yang bekerja di bidang swasta serta lebih dari separuh siswa obes (53.9%) dan normal (55.9%) mempunyai ibu yang tidak bekerja. Sebagian besar siswa obes (64.7%) dan normal mempunyai orang tua dengan total pendapatan kurang dari sembilan juta rupiah per bulan. Densitas dan tingkat kecukupan vitamin A, C dan Fe siswa sekolah dasar masih rendah. Status hidrasi yang kurang lebih banyak dialami oleh siswa SD obes (72.5%) meskipun tingkat kecukupan air pada siswa normal (57.8%) juga masih rendah. Hampir seluruh siswa obes (92.2%) dan normal (96.1%) memiliki lingkungan belajar yang baik. Berdasarkan uji beda Mann whitney dan Independent t-Test terdapat perbedaan (p<0.05) pada uang saku, tingkat kecukupan Fe, densitas energi, status anemia dan kecukupan air antara siswa obes dan normal. Berdasarkan hasil analisis Spearman terdapat hubungan yang signifikan (p>0.05) antara pendidikan orang tua dengan densitas energi, status anemia dengan prestasi belajar, kecukupan air dengan prestasi belajar siswa obes dan normal. Berdasarkan hasil analisis Spearman terdapat hubungan yang signifikan (p>0.05) antara pendidikan orang tua dengan densitas energi, densitas energi dengan status gizi, status anemia dengan prestasi belajar, kecukupan air dengan prestasi belajar antara siswa obes dan normal. Hasil analisis Spearman menunjukkan tidak terdapat hubungan yang signifikan (p>0.05) antara pendidikan dan pendapatan orang tua dengan tingkat kecukupan energi, pendapatan orang tua dengan densitas energi dan tingkat kecukupan energi, pendidikan dan pendapatan orang tua dengan densitas protein, pendidikan dan pendapatan orang tua dengan tingkat kecukupan protein, densitas protein, vitamin A, vitamin C, Fe dengan status gizi, tingkat kecukupan energi dan zat gizi dengan status gizi, tingkat kecukupan vitamin C dan tingkat kecukupan Fe dengan status anemia, pendidikan dan pendapatan orang tua dengan lingkungan belajar, lingkungan belajar dengan prestasi belajar antara siswa obes dan normal. Faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar siswa obes berdasarkan hasil analisis regresi logistik adalah pendidikan ibu (OR= 05.870; 95%CI:2.286-15.070) dan densitas energi (OR= 3.075; 95%CI:1.066-8.873).
71 Saran Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa asupan pangan yang berdensitas energi tinggi perlu dikurangi atau diseimbangkan, serta asupan air dan zat besi dengan memperhatikan bioavalabilitasnya perlu ditingkatkan untuk mencegah obesitas pada siswa sekolah dasar. Selain itu, status anemia dan hidrasi melalui peningkatan asupan pangan sumber vitamin dan zat besi serta asupan air perlu dilakukan untuk meningkatkan prestasi belajar siswa. Perlu adanya edukasi bagi pihak sekolah mengenai hidrasi anak sekolah sebagai salah satu faktor dalam menentukan prestasi belajar siswa sehingga diharapkan adanya akses air minum isi ulang khususnya air putih sehingga anak dapat minum setiap saat bukan saat benar-benar merasakan kehausan agar dapat mengoptimalkan konsentrasi belajar serta memori anak dalam belajar. Penelitian lanjutan dapat dilakukan di lokasi yang berbeda sehingga diharapkan dapat dihasilkan data yang lebih heterogen dengan memperhatikan faktor lain yang tidak diteliti dalam penelitian ini (aktivitas fisik, penyakit infeksi, IQ serta perkembangan afektif dan psikomotorik).
72
DAFTAR PUSTAKA Abdat NJ. 2007. Hubungan proses pembelajaran dengan prestasi belajar siswa di Sekolah Dasar Islam Terpadu (SDIT) dan Sekolah Dasar Negeri (SDN) (penelitian di SDIT Ummul Quro dan SDN Sukadami 3 Bogor) [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Adhayani F. 2011. Hubungan antara profil lipid dengan gangguan memori pada usia paruh baya [tesis]. Medan (ID): Universitas Sumatera Utara. Adyas E. 2011. Analisis asupan air dan mutu gizi asupan pangan pada pria dewasa di Indonesia [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Aeberli, Hurrell RF, Zimmermann MB. 2009. Overweight children have higher circulating hepcidin concentrations and lower iron status but have dietary iron intakes and bioavailability comparable with normal weight children. Int J Obes. 33:1111-1117.doi:10.1038/ijo.2009.146. Ai Y, Zhao SR, Zhou G, Ma X, Liu J. 2012. Hemoglobin status associate with performance IQ but not verbal IQ in Chinese pre-school children. Pediatr Int. 54(5):669-675.doi:10.1111/j.1442-200X.2012.03648.x. Ajao KO, Ojofeitimi, Adebayo AA, Fatusi AO, Afolabi OT. 2010. Influence of family size, household food security status and child care practices on the nutritional status of under-five children in Ile-lfe Nigeria. Afr J Reprod Health. 14(4):124-132. Alemu E, Atnafu A, Yitayal M, Yimama K. 2014. Prevalence of overweight and/or obesity and associated factors among high school adolescents in Arada sub city, Addis Ababa, Ethiopia. J Nutr Food Sci. 4(2):1-5.doi: 10.4172/2155- 9600.1000261. Almatsier S. 2009. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta (ID): Gramedia Pustaka Utama. Annisa DT. 2014. Asupan energi, zat gizi dan serta serta aktivitas fisik siswa sekolah dasar berstatus gizi lebih di Kota Bogor. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Annisa PA, Tanziha I. 2014. Densitas energi konsumsi, status gizi dan daya ingat sesaat anak usia sekolah dasar (Dietary energy density, nutritional status, and short term memory among elementary school children). J Gizi Pangan. 9(3):187-194. Arisman MB. 2010. Gizi dalam Daur Kehidupan. Jakarta: Buku Kedokteran EGC. Astina J, Tanziha I. 2012. Pengaruh status gizi dan status anemia terhadap daya ingat sesaat siswa di SDN Pasanggrahan 1, Kabupaten Purwakarta (Effect of nutritional status and anemia status on short term memory of children at Elementary School of Pasanggrahan 1, District of Purwakarta). Jurnal Gizi dan Pangan. 7(2):103-110. Astuti M, Hardinsyah, Siregar P, Susilowati. 2014. Kecukupan air. Di dalam: Angka Kecukupan Gizi yang Dianjurkan Bagi Bangsa Indonesia. Jakarta (ID): Kemenkes RI. hlm 51-65. Attorpd A, Scott JE, Yew AC, Rhodes RE, Barr SI, Jean NP. 2014. Associations between socioeconomic, parental and home environment factors and fruit and vegetable consumption of children of grades five and six in British
73 Columbia, Canada. BMC Pub Health. 14:150-158.doi:10.10.1186/14712458-14-150. Aturupane H, Glewwe P, Wisniewski S. 2013. The impact of school quality, socioeconomic factors, and child health on students’ academic performance: evidence from Sri Lankan primary schools. Education Economics. 21(1):231.doi.org/10.1080/09645292.2010.511852. Ausk KJ, Ioannou GN. 2008. Is obesity associated with anemia of chronic disease?A population-based study. Obesity journal. 16(10):23562361.doi:10.1038/oby.2008.353. Avihani RDA dan Sulchan M. 2013. Densitas energi makanan dan hereditas sebagai faktor risiko hipertensi obesitik pada remaja awal. Journal of nutrition college. 2(1): 69-75. Barclay D. 2008. Food and nutrition communication. Nestle: Good Food Good Life. The Corporate Wellness Unit (US): Presses Centrales S.A. Lausanne. [BKKBN] Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional. 1998. Gerakan Keluarga Berencana dan Keluarga Sejahtera. Jakarta (ID): BKKBN. Behrman RE, Kliegman RM, Arvin AM. 2000. Ilmu Kesehatan Anak Nelson. Wahab AS, editor edisi Bahasa Indonesia. Jakarta (ID): EGC. Terjemahan dari: Nelson textbook of pediatrics. Ed ke-15. Benton D, Davies J. The hydration of children and their behavior in school. 2009. Nutrients. 53:143-146.doi:10.1016/j.appet.2009.10.002. Bowman SA, Gortmaker SL, Ebbeling CB, Pereira MA, Ludwig DS. 2004. Effects of fast food consumption on energy intake and diet quality among children in a national household survey. Pediatrics. 113(1):112-118. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2014. Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin, Garis Kemiskinan, Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) Menurut Provinsi. Jakarta (ID): BPS. Briawan D, Rachma P, Annisa K. 2011. Kebiasaan konsumsi minuman dan asupan cairan pada anak usia sekolah di perkotaan. Journal of Nutrition and Food. 6(3):186-191. . 2013. Anemia Masalah Gizi pada Remaja Wanita. Jakarta (ID): Buku Kedokteran EGC. Brooks SJ, Benedict C, Burgos J, Kempton MJ, Kullberg J, Nordenskjold R, Nylander R, Larsson EM, Johansson L, Ahlstrom H, Lind L, Schioth HB. 2013. Late-life obesity is associated with smaller global and regional gray matter volumes: a voxel-based morphometric study. International Journal of Obesity. 37:230-236.doi: 10.1038/ijo.2013.60. Brown JE, Isaacs JS, Krinke UB, Lechtenberg E, Murtaugh MA, Sharbaugh C, Splett PL, Stang J, Wooldridge NH. 2011. Nutrition Through the Life Cycle Fourth Edition. USA (US): Wadsworth Cengage Learning. Burkhalter TM, Hillman CH. 2011. A narrative review of physical activity, nutrition, and obesity to cognition and scholastic performance across the human lifespan1-3. Adv. Nutr. 2:201-206S. doi:10.3945/an.111.000331. Chaput JP, Brunet M, Tremblay A. 2006. Relationship between short sleeping hours and chilhood overweight/obesity: result from the Quebec en Frome Project. International Journal of Obesity. 30:10801085.doi:10.1038/sj.ijo.0803291.
74 Chhatwal J, Verma M, Riar SK. 2004. Obesity among pre-adolescent and adolescents of a developing country (India). Asia Pac J Clin Nutr. 13(3):231-5. Colman RA, Hardy SA, Albert M, Raffaelli M, Crockett L. 2006. Early predictors of self-regulation in middle childhood. Infant and Child Development. 15(4):421-437.doi:10.1002/icd.46. Contento IR. 2011. Nutrition Education : Linking, Research, Theory and Practice. Second Edition. Sudbury, Massachusetts. Jones and Bartlett Publishers. Cosgrove RG, Arroyo C, Warren JC, Zhang J. 2009. Impaired cognitive functioning in overweight children and adolescents. Obesity. 20(1):48-51. Cribb VL, Jones LR, Rogers IS, Ness AR, Emmett PM. 2011. Is maternal education level associated with diet in 10-year-old children?. Public Health Nutrition. 14(11):2037-2048.doi:10.1017/S136898001100036X. Dahlan MS. 2012. Analisis Multivariat Regresi Logistik. Jakarta (ID): Epidemiologi Indonesia. Danari AL, Mayulu N, Onibala F. 2013. Hubungan aktivitas fisik dengan kejadian obesitas pada anak SD di kota Manado. ejournal keperawatan (e-Kp). 1(1):1-4. Datar A, Sturm R, Magnabosco JL. 2004. Childhood overweight and academic performance: national study of kindergartners and first-graders. Obes Re. 12(1):58–68. Davis-Kean PE. 2005. The influence of parent education and family income on child achievement: The indirect role of parehntal expectations and the home environment. Journal of Family Psychology. 19(2):294304.doi:10.1037/0893-3200.19.2.294. Davy BM, Dennis EA, Dengo AL, Wilson KL, Davy KP. 2008. Water consumption reduce energy intake at a breakfast meal in obese older adults. J Am Diet Assoc. 108(7):1236-1239.doi:10.1016/j.jada.2008.04.013. [Depkes RI] Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1996. Pedoman Praktis Pemantauan Gizi Orang Dewasa. Jakarta (ID): Depkes RI. . 2005. Petunjuk Teknis Pengukuran Kebugaran Jasmani. Jakarta (ID): Depkes RI. Drewnowski A. 2005. Concept of a nutritious food: toward a nutrient density score. Am J Clin Nutr. 82(4):721-32. ___________. 2010. The nutrient rich foods index helps to identify healthy, affordable foods. Am J Clin Nutr. 91(4):1095S1101S.doi:10.3945/ajcn.2010.28450D. ____________, Mennella JA, Johnson SL, and Bellisle F. 2012. Sweetness and food preference. J. Nutr. (142) : 1142S–1148S. doi:10.3945/jn.111.149575. D’Anci KE, Constant F, Rosenberg IH. 2006. Hydration and cognitive function in children. Nutrition Reviews. 64(10):457-464.doi:10.1301/nr.2006.oct.457– 464. Dubois L, Farmer A, Girard M, Burnier D, Porcherie M. 2011. Demographic and socio-economic factors related to food intake and adherence to nutritional recommendations in a cohort of pre-school children. Publich Health Nutrition. 14(6):1096-1104.doi:10.1017/S1368980010003769.
75 Eamon MK. 2005. Social demographic, school, neighborhood and parenting influences on academic of Latino young adolescents. Journal of Youth and Adolescence. 34(2):163-174. Effendi YH. 2003. Pengelolaan Obesitas. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Ekawidyani KR, Setiawan B, Karimah I, Khomsan A. 2015. Overweight among school children: is causes and effects on physical fitness, anemia and academic performance. Bogor (ID): IPB Press. Engel JF, Blackwell RD, Miniard PW. 1994. Perilaku Konsumen Jilid I. Budiyanto FX, penerjemah. Jakarta (ID): Binarupa Aksara. Fadda R, Rapinett G, Grathwohl D, Parisi M, Fanari R, Calo CM, Schmitt J. 2012. Effects of drinking supplementary water at school on cognitive performance in children. Appetite. 59:730–737. [FAO] Food and Agriculture Organization. 2001. Human vitamin and mineral requirement (report of a joint FAO/WHO expert consultation Bangkok, Thailand). Rome: Food and Nutrition Division. Fatimah E. 2006. Psikologi Perkembangan: Perkembangan Peserta Didik. Bandung (ID): Pustaka Setia. Feigelman S, Olsson J, Marcel AV, Dalton R, Peralta L, Keane V. 2007. Growth, Development, and Behavior. Klieglman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF, penyunting. Di dalam : Nelson Textbook of Pediatrics, edisi ke18. Philadelphia (US): Saunders Elsevier. hlm.33-73. Ferna’ndez-alvira JM, Mouratidou T, Bammann K, Hebestreit A, Barba G, Sieri S, Reisch L, Eiben G, Hadjigeorgiou C, Kovacs E, et al. 2012. Parenatal education and frecuency of food consumption in European children: the IDEFICS study. Public Health Nutrition. 16(3):487498.doi:10.1017/S136898001200290X. Fikawati S, Syafiq A. 2007. Konsumsi kalsium pada remaja [skripsi]. Jakarta (ID): Universitas Indonesia. Fukuda S, Takeshita T, Morimoto K. 2001. Obesity and lifestyle. Asian Medical Journal. 44(3):97-102. Ganong WF. 2008. Fisiologi Kedokteran. Jakarta (ID): Buku Kedokteran EGC. Gibson RS. 2005. Principal of Nutritional Assesment. Oxford: Oxford University Press. Grandjean AC, Grandjean NR. 2007. Review: dehydration and cognitive performance. J Am College Nutr. 26:549S554S.doi:10.1080/07315724.2007.10719657 Gunstad J, A. Lhotsky A, Wendell CR, Ferrucci L, Zonderman AB. 2010. Longitudinal examination of obesity and cognitive function: results from the Baltimore longitudinal study of aging. Neuroepidemiology. 34:222229.doi:10.1159/000297742 Gustam. 2012. Faktor resiko dehidrasi pada orang dewasa [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Guxens M, Mendes MA, Julvez J, Plana E, Forns J, Basagana X, Torrent M, Sunyer J. 2009. Cognitive function and overweight in preschool children. American Journal of Epidemiology. 170(4):438-446.doi: 10.1093/aje/kwp140
76 Grantham-McGregor S, Ani C. 2001. A review of studies on the effect of iron deficiency on cognitive development in children. Am J Nutr. 131:649S– 668S. Hadi H, Mahdiah, Susetyowati. 2004. Prevalensi obesitas dan hubungan konsumsi fast food dengan kejadian obesitas pada remaja SLTP Kota dan Desa di Daerah Istimewa Yogyakarta. Jurnal Gizi Klinik Indonesia. 1(5):3-4. Hadi SM, Sulityowati E, Mifbakhuddin. 2005. Hubungan pendapatan perkapita, pengetahuan gizi ibu dan aktivitas fisik dengan obesitas anak kelas 4 dan 5 di SD Hj. Isriati Baiturrahman kota Semarang. Jurnal Kesehatan Masyarakat Indonesia. 2(1):7-12. Hakeem R, Thomas J, Badaruddin SH. 2002. Food habits and nutrient density of diets of Pakistani children living in different urban and rural settings. J Health Popul Nutr. 20(3): 255-263. Halterman JS, Kaczorowski JM, Aligne CA, Auinger P, Szilagyi PG. 2001. Iron deficiency and cognitive achievement among school-aged children and adolescent in the United States. Pediatrics. 107(6):1381-1386.doi: 10.1542/peds.107.6.1381. Hardinsyah, Briawan D. 1994. Penilaian dan Perencanaan Konsumsi Pangan. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. dan Tambunan V. 2004. Kecukupan energi, protein, lemak dan serat makanan. Di dalam: Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII. Prosiding. Jakarta (ID): Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. , Briawan D, Hartati Y, Adiningsih S, Thaha R, Aries M. 2010. Kebiasaan Minum dan Status Dehidrasi Pada Remaja dan Dewasa di Beberapa Daerah di Indonesia (THIRST Study). Bogor (ID): PERGIZI PANGAN Indonesia. FEMA IPB, FKM UNAIR dan FKM UNHAS. , Riyadi H, Tambunan V. 2014. Kecukupan energi, protein, lemak dan karbohidrat. Di dalam: Angka Kecukupan Gizi yang Dianjurkan Bagi Bangsa Indonesia. Jakarta (ID): Kemenkes RI. hlm 26-50. Hartini S dan Winarsih BD. 2014. Analisis pengaruh berat badan lebih terhadap penurunan fungsi memori jangka pendek pada anak umur 8-12 tahun di SD Cahaya Nur kabupaten Kudus. Kudus (ID): STIKES Cendekia Utama. Hayati AW. 2013. Faktor-faktor risiko stunting, pola konsumsi pangan, asupan energi dan zat gizi anak 0-23 bulan [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Hermina, Jahari AB. 2007. Ukuran lingkar pergelangan tangan sebagai indikator kegemukan pada anak usia sekolah dasar di kota Bogor Jawa Barat. Jurnal Gizi Indonesia. 30(2):137-142. Heryati L, Setiawan B. 2014. Kegemukan, anemia dan prestasi belajar siswa sekolah dasar di kota Bogor (Overweight, anemia, and academic achievement among elementary school children in Bogor). J. Gizi Pangan. 9(3):159-166. Hidayati SN, Rudi I, Boerhan H. 2006. Obesitas Pada Anak. Surabaya (ID): Universitas Airlangga. Hidayati L, Dasuki S, Hanwar D, Prasetyaningrum J. 2010. Pengembangan model suplementasi Fe dan Zn dalam bentuk permen pada anak sekolah dasar yang anemia. Jurnal Kesehatan. 2(2):185-195.
77 Howarth NC, Murphy SP, Wilkens LR, Hankin JH and Kolonel LN. 2006. Dietary energy density is associated with overweight status among 5 ethnic groups in the multiethnic cohort study. J Nutr. 136(1):2243–2248. Hurley KM, Oberlander SE, Merry BC, Wrobleski MM, Klassen AC, Black MM. 2009. The healthy eating index and youth healthy eating index are uniqu, nonredundant measures of diet quality among low-income, African American adolescents. The Journal of Nutrition. 139:359364.doi:10.3945/jn.108.097113. Hurlock EB. 1999. Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan, Edisi Kelima. Istiwidiyanti dan Soejarwo, penerjemah. Jakarta (ID): Erlangga. Terjemahan dari: Child Development. [IOM] Institute of Medicine, Food and Nutrition Board. 2005. Dietary reference intake for energy, carbohydrate, fiber, fat, fatty acids, cholesterol, protein, and amino acids. A Report of the panel on macronutrients, subcommittees on upper reference levels of nutrients and interpretation and uses of dietary reference intakes, and the standing committee on the scientific evaluation of dietary reference intakes. Washington (US): National Academy Press. Jamil KM, Rahman AS, Bardhan PK. Khan AI, Chowdhury F, Sarker SA, Khan AM, Ahmed T. 2008. Micronutrients and anemia. J Health Popul Nutr. 26(3):340-355. Jannah F, Endang P, Apoina K. 2006. Efek suplementasi besi-seng dan vitamin C terhadap kadar hemoglobin anak sekolah dasar yang anemia di Kecamatan Sayung Kabupaten Demak. M Med Indones. 41(2):38-44. Jequier E, Constant F. 2010. Water as an essential nutrient: the physiological basis of hydration. Europian Journal of Clinical Nutrition. 64:115123.doi:10.1038/ejcn.2009.111. Johnson RJ, Segal MS, Sautin Y, Nakagawa T, Feig DI, Kang Duk-Hee, Gersch MS, Benner S, Sanchez-Lozada LG. 2007. Potential role of sugar (fructose) in the epidemic of hypertension, obesity and the metabolic syndrome, diabetes, kidney disease, and cardiovascular disease1-3. Am J Clin Nutr. 86:899 –906. Johnson-Wimbley TD, Graham DY. 2011. Diagnosis and management of iron deficiency anemia in the 21st century. Ther Adv Gastroenterol. 4(3):177184.doi:10.1177/1756283X11398736. Kant AK. 2000. Consumption of energy-dense, nutrient-poor by adult Americans: nutritional and health implications. The thid National Health and Nutrition Examination Survey, 1988-1994. Am J Clin Nutr. 72:929-936. , Graubard BI. 2005. Energy density of diets reported by Americans adults: association with food group intake, nutrient intake, and body weight. Int J Obes Relat Metab Disord. 29(1):950-956. , Andon MB, Angelopoulos J, Rippe JM. 2008. Association of breakfast energy density with diet quality and body mass index in American adults: National Health and Nutrition Examination Surveys, 1999–2004. Am J Clin Nutr 88:1396–404.doi: 10.3945/ajcn.2008.2617. Karimah I. 2014. Aktivitas fisik, kebugaran dan prestasi belajar pada anak sekolah dasar normal dan kegemukan di Bogor [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
78 Kaur S, Sachdev HPS, Dwivedi SN, Lakshmy R, Kapil U. 2008. Prevalence of overweight and obesity amongs school children in Delhi, India. Asia Pac J Clin Nutr. 17(4):592-596. [Kemendikbud RI] Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. 2012. Indonesia Educational Statistics in Brief 2012/2012. Ministry of Education and Culture. [Kemenkes RI] Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2010. Riset Kesehatan Dasar 2010. Jakarta (ID): Badan Penelitian Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI. . 2013. Riset Kesehatan Dasar 2013. Jakarta (ID): Badan Penelitian Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI. . 2014. Angka Kecukupan Gizi yang Dianjurkan Bagi Bangsa Indonesia. Jakarta (ID): Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Khomsan A. 2004. Peranan Pangan dan Gizi untuk Kualitas Hidup. Jakarta (ID): Gramedia Widiasarana Indonesia. . 2012. Meraih SDM Berkualitas: Gizi, Pangan, Sosial dan Pendidikan. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Kordas K, Lopez P, Rosado JL, Vargas GG, Rico JA, Ronquillo D, Cebrián ME, Stoltzfus RJ. 2004. Blood lead, anemia, and short stature are independently associated with cognitive performance in mexican school children. The Journal of Nutrition. 134:363–371. Kurniawan YAI, Muslimatun S, Achadi EL, Sastroamidjojo S. 2006. Anaemia and iron deficiency anaemia among young adolescent girls from peri urban coastal area of Indonesia. Asia Pac J Clin Nutr. 15 (3): 350-6. Kurniawan DL, Santoso D. 2013. Pengaruh lingkungan belajar, minat belajar dan motivasi belajar terhadap prestasi belajar siswa pada mata pelajaran tik Kelas X SMA N 1 Kota Mungkid, Magelang. Yogyakarta (ID): Universitas Negeri Yogyakarta. Kustiyah L. 2005. Kajian pengaruh intervensi makanan kudapan terhadap peningkatan kadar glukosa darah dan daya ingat sesaat anak sekolah dasar [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Kusumaningrum A. 2006. Keragaan anak-anak sibuk : prestasi belajar, kecerdasan emosional, status gizi, dan status kesehatan [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Lee SK, Park HK, Choi YJ. 2014. Nutritional standards for energy-dense low nutrient density food for children in Korea. Asia Pac J Clin Nutr. 23(1):2733.doi: 10.6133/apjcn.2014.23.1.03 Ledikwe JH, Blanck HM, Khan LK, Serdula MK, Seymour JD, Tohill BC, Rolls BJ. 2006. Dietary energy density is associated with energy intake and weight status in US adults. Am J Clin Nutr. 83:1362-1368. Lemeshow S, Hosmer DW Jr, Klar J, Lwanga SK. 1990. Adequacy of Sample Size in Health Studies. England (GB): John Wiley & Sons Ltd. Li Y, Dai Q, Jackson J, Zhang J. 2008. Overweight is associated with decreased cognitive functioning among school-age children and adolescents. Obesity Journal. 16(8):1809-1815.doi:10.1038/oby.2008.296 Lieberhman HR. 2007. Hydration and cognition, a critical review and recommendation for future research. Journal of the American College of Nutrition. 26(5):555S-561S.
79 Lokollo DN, Wastoro D, Suromo L. 2010. Perbedaan Kadar Feritin Serum pada Anak dengan dan bukan pada tuberculosis paru. Sari Pediatri. 11(5):335340. Lozoff B, Jimenez E, Smith JB. 2006. Double burden of iron deficiency in infancy and low socio-economic status: A longitudinal analysis of cognitive test scores to 19 years. Arch Pediatr Adolesc Med. 160(11):1108-1113. Lubis B, Saragih RAC, Gunadi D, Rosdiana N, Andriani E. 2008. Perbedaan respon hematologi dan perkembangan kognitif pada anak anemia defisiensi besi usia sekolah dasar yang mendapat terapi besi satu kali dan tiga kali sehari. Sari Pediatri. 10(3):184-189. Madanijah S, Giriwono PE, Nurdin NM. 2013. Pangan sumber serat dan formulasi produk intervensi pada anak usia sekolah. Laporan Akhir Penelitian Unggulan Perguruan Tinggi: Penelitian Lintas Fakultas/Pusat/Advanced Research. Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Maillot M, Darmon N, Vieux F, Drewnowski A. 2007. Low energy density and high nutritional quality are each associated with higher diet costs in French adults. Am J Clin Nutr. 86(1): 690–696. Mariza YY, Kusumastuti AC. 2013. Hubungan antara kebiasaan sarapan dan kebiasaan jajan dengan status gizi anak Sekolah Dasar di Kecamatan Pedurungan Kota Semarang. Journal of Nutrition College. 2(1): 207-213. Maulanaputri O. 2011. Pengaruh konsumsi, status gizi dan aktivitas sehari-hari dengan prestasi belajar murid akselerasi SD Islam PB Sudirman Jakarta [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. McCann JC, Ames BN. 2007. An overview of evidence for a causal relation between iron deficieny during development and deficits in cognitive or behavioral function. Am J Clin Nutr. 85:931-945, McClung JP, Karl JP. 2008. Iron deficiency and obesity: the contribution of inflammation and diminished iron absorption. Nutrition Reviews. 67(2):100104. doi:10.1111/j.1753-4887.2008.00145. Mendoza JA, Drewnowski A, Christakis DA. 2007. Dietary energy density is associated with obesity and the metabolic syndrome in US adults. Diabetes Care. 30(1): 974–979.doi: 10.2337/dc06-2188. Muckelbauer R, Libuda L, Clausen K, Toscke AM, Reinehr T. Kersting M. 2009. Promotion and provision of drinking water in schools for overweight prevention: randomized, controlled cluster trial. Pediatrics. 123(4):e661e667.doi:10.1542/peds.2008-2186. Muchtar M. 2000. Status anemia dan prestasi belajar siswi SMUN I Kuala Kapuas Kabupaten Kapuas [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Mukherjee MR, Chaturvedi LtCS, Bhalwar CR. 2008. Determinants of nutritional status of school children. MJAFI. 64: 227-231. Mustika PA, Muniroh L. 2012. Hubungan pola konsumsi dan aktivitas fisik dengan gizi lebih pada siswa Sekolah Menengah Atas (SMA). Media Gizi Indonesia. 2(9):1518-1527. Nadharatunna’im, Afrida. 2014. Status gizi dan peran orang tua dengan prestasi belajar murid kelas V dan VI. Journal of Pediatric Nursing. 1(3):154-159. Notoatmodjo S. 2007. Promosi Kesehatan & Ilmu Perilaku. Jakarta (ID): Rineka Cipta.
80 Novita. 2007. Pengaruh status gizi dan lingkungan belajar terhadap prestasi belajar siswa sekolah dasar di beberapa kelurahan, kecamatan Pasar Minggu, Jakarta Selatan [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Nurani AS. 2004. Pengaruh kualitas perkawinan, pengasuhan anak dan kecerdasan emosional terhadap prestasi belajar anak [tesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Octari C, Liputo NI, Edison. 2014. Hubungan status sosial ekonomi dan gaya hidup dengan kejadian obesitas pada siswa SD Negeri 08 Alang Lawas Padang. Jurnal Kesehatan Andalas. 3(2):131-135. Olney DK, Kariger PK, Stoltzfus RJ, Khalfan SS, Ali NS, Tielsch JM, Sazawal S, Black R, Allen LH, Pollitt E. 2009. Development of nutritionally at-risk young children is predicted by malaria, anemia, and stunting in Pemba, Zanzibar. The Journal of Nutrition. 139: 763772.doi:10.3945/jn.107.086231. Padmiari E, Ayu I. 2003. Konsumsi fast food sebagai faktor risiko obesitas pada anak SD. Jurnal kedokteran Indonesia. 29(3):159-165. Pahlevi AE. 2012. Determinan status gizi pada siswa sekolah dasar. Jurnal Kesehatan Masyarakat. 7 (2):122-126. Parengkuan RR, Mayulu N, Ponidjan T. 2013. Hubungan pendapatan keluarga dengan kejadian obesitas pada anak sekolah dasar di Kota Manado. Manado (ID): Universitas Sam Ratulangi. Pitriyani E, Guhardja S, Tanziha I. 1999. Prestasi anak SD yang bekerja sebagai pedagang asongan di Desa Babakan Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor. Jawa Barat. Media Gizi dan Keluarga. 23(2): 28-35. Pollit E. 2000. A development view of the undernourished child: background and purpose of the study in Pangalengan Indonesia. Eur J Clin Nutr. 54(2):S2S10 Purwanto MN. 2013. Psikologi Pendidikan. Bandung (ID): Remaja Rosdakarya. Pradanti CM, M Wulandari, K Hapsari S. 2015. Hubungan asupan zat besi (Fe) dan vitamin C dengan kadar hemoglobin pada siswi kelas VIII SMP Negeri 3 Brebes. Jurnal Gizi Universitas Muhammadiyah Semarang. 4(1): 24-29. Pramudita RA. 2011. Faktor risiko obesitas pada anak sekolah dasar di Kota Bogor [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Prayitno SO. 2012. Perbedaan konsumsi cairan dan status hidrasi pada remaja obesitas dan non obesitas [skripsi]. Fakultas Kedokteran. Semarang (ID): Universitas Diponegoro. Rahmawati E. 2008. Upaya peningkatan prestasi belajar matematika siswa melalui tugas pekerjaan rumah dan umpan balik pada sub pokok bahasan segi empat di SMP Negeri 1 Gondangrejo [skripsi]. Surakarta (ID): Universitas Muhammadiyah. Rampersaud GC, Pereira MA, Girard BL, Adams J, Metzl JD. 2005. Breakfast habits, nutritional status, body weight and academic performance in children and adolescents. Journal of the American Dietetic Association. 10(5):743760. Renaldi Olly. 2009. Peranan adinoponektin terhadap kejadian resistensi insulin pada sindrom metabolik. Medical Review. 22 (1):65-69 Rimbawan, Siagian A. 2004. Indeks Glikemik Pangan: Cara Mudah Memilih Pangan yang Menyehatkan. Jakarta (ID): Penebar Swadaya.
81 Rolls BJ. 2009. The relationship between dietary energy density and energy intake. Physiology & Behavior. 97:609615.doi:10.1016/j.physbeh.2009.03.011. Rusmawati D. 2013. Determinan status anemia, aktivitas fisik dan prestasi belajar siswa di SDN Pasanggrahan II Purwakarta. [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Ruyter JC, Olthof MR, Seidell JC, Katan MB. 2012. A trial of sugar-free or sugarsweetened beverages and body weight in children. The New England Journal of Medicine. 367(15): 1397-1406. Sanjur D. 1982. Social and Cultural Perspective in Nutrition. New Jersey : Englowood Cliffs Prentice-Hall. Santoso BI, Hardinsyah, Siregar P, Pardede SO. 2011. Air Bagi Kesehatan. Jakarta (ID): Centra Communications. . 2014. Pentingnya Hidrasi Bagi Anak Usia Sekolah dan Remaja. Jakarta (ID): Centra Communications. Sartika D. 2011. Faktor risiko obesitas pada anak 5-15 tahun di Indonesia. Makara, Kesehatan. 15(1): 37-43. Schroder H, Covas M, Elosua R, Mora J, Marrugat J. 2008. Diet quality and lifestyle associated with free selected low-energy density diets in a representative Spanish population. European Journal of Clinical Nutrition. 62(1):1194–1200. Sediaoetama AD. 2010. Ilmu Gizi untuk Mahasiswa dan Profesi. Jakarta (ID): Dian Rakyat. Senbanjo IO, Oshikoya KA, Odusanya OO, Njokanma OF. 2011. Prevalence of and risk factors for stunting among school children and adolescents in Abeokuta, Southwest Nigeria. J Health Popul Nutrition. 29(4): 364-370. Setyaningsih S. 2008. Pengaruh interaksi, pengetahuan dan sikap tehadap praktek ibu dalam pencegahan anemia gizi besi balita di kota Pekalongan [tesis]. Semarang (ID): Universitas Diponegoro. Setyowati YD. 2014. Hubungan aktivitas fisik, konsumsi fast food dan soft drink pada anak obesitas di usia sekolah dasar [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Sidiartha IGL. 2013. Obesitas dan defisiensi besi: beban gizi ganda pada seorang anak. Jurnal Ilmiah Kedokteran. 44(4):1-2. Siregar M. 2007. Keterlibatan ibu bekerja dalam perkembangan pendidikan anak. Jurnal Harmoni Sosial. II(1): 8-18. Slamet Y. 1993. Analisis Kuantitatif untuk Data Sosial. Solo (ID): Debara Publisher. Soekatri M, Kartono D. 2004. Angka kecukupan mineral: kalsium, fosfor, magnesium, fluor. Di dalam: Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII. Prosiding. Jakarta (ID): Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Soelistijani DA, Herlianty MP. 2003. Mencegah dan Mengatasi Kegemukan pada Balita. Jakarta (ID): Puspa Swara. Soetomo. 1993. Dasar-dasar Interaksi Belajar Mengajar. Surabaya (ID): Usaha Nasional. Soleimani N, Abbaszadeh N. 2011. Relationship betwen anaemia, cause from iron deficiency, and academic achievement among third grade high school female students. Procedia-Social and Behavioral Sciences. 29:1877-1884.
82 Stettler N, Zemel BS, Kumanyika S, Stallings VA. Infant weight gain and childhood overweight status in a multicenter, cohort study. 2002. Pediatrics. 109(2):194–199. Strauss RS. 2000. Chilhood obesity and self-esteem. Pediatrics. 105(1):1-5. Suhardjo. 1996. Berbagai Cara Pendidikan Gizi. Jakarta (ID): Bumi Aksara bekerjasama dengan Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor. . 2005. Perencanaan Pangan dan Gizi. Bogor (ID): Bumi Aksara bekerjasama dengan Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor. Sulaeman A, Setiawan B, Permaesih D, Afriansyah N, Apriantini A. 2014. Kecukupan Vitamin: Vitamin A, B1, B2, B3, B6, B12, Asam Pantotenat, Folat, C, D, E, K, Biotin dan Kolin. Di dalam: Angka Kecukupan Gizi yang dianjurkan Bagi Bangsa Indonesia. Jakarta (ID): Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. hlm 68-120. Sumardi RN. 2010. Hubungan antara pengetahuan ibu, asupan zat gizi (protein, Fe, Zn dan vitamin A), inhibitor dan enhancer Fe dengan kadar hb anak sekolah dasar di kota Yogyakarta [tesis]. Yogyakarta (ID): Universitas Gadjah Mada. Supariasa IDN, Bakri B, Fajar I. 2001. Penilaian Status Gizi. Jakarta (ID): Buku Kedokteran EGC. Suparno AS. 2000. Membangun Kompetensi Belajar. Jakarta (ID): Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Departemen Pendidikan Nasional. Suryaalamsyah II. 2009. Konsumsi fast food dan faktor-faktor yang berhubungan dengan kegemukan anak sekolah di SD Bina Insani Bogor [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Syafitri Y, Syarief H, Baliwati YF. 2009. Snacking habits among elementary school students, case study in SDN Lawanggintung 01 Kota Bogor. Jurnal Gizi dan Pangan. 4(3):167-175. Syah M. 2014. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru (edisi revisi). Bandung (ID): Remaja Rosdakarya. Thankachan P. Walczyk T, Muthayya S, Kurpad AV, Hurrell RF. 2008. Iron absorption in young Indian women: the interaction of iron status with the influence of tea and ascorbic acid. Am J Clin Nutr. 87:881-886. Tarro L, Llaurado E, Albaladejo R, Morina D, Arija V, Sola R, Giralt M. 2014. A primary-school based study to reduce the prevalence of childhood obesitythe EdAI (Educacio an Alimentacio) study: a randomized controlled trial. Journal BioMed Central. 15(58):1-13.doi:10.1186/1745-6215-15-58. Taylor HA, D’Anci KE, Vibhakar A, Kanter J, Mahoney CR. 2005. Hydration status for optimal cognitive performance. Paper presented at: American Psychological Society Annual Convention. Los Angeles (USA): CA. Vossenaar M, Solomons NW. 2012. The concept of “critical nutrient density” in complementary feeding: the demands on the “family foods” for the nutrient adequacy of young Guatemalan children with continued breastfeeding. Am J Clin Nutr. (95):859–866.doi: 10.3945/ajcn.111.023689. Wahyuningsih S. 2011. Hubungan asupan zat gizi (protein, Fe, asam folat, vitamin C) dengan status anemia pada mahasiswi kebidanan di asrama Stikes Respati Yogyakarta. Yogyakarta (ID): STIKES Respati.
83 Waldstein, SR, Katzael LI. 2006. Interactive relations of central versus total obesity and blood pressure to cognitive function. International Journal of Obesity. 30:201-207.doi:10.1038/sj.ijo.0803114. Wang J, Zhang W, Sun L, Yu H, Xing Q, Risch H, Gao Y. 2013. Dietary energy density is positively associated with risk of pancreatic cancer in Urban Shanghai Chinese. J. Nutr. 143:1626–1629.doi:10.3945/jn.113.178129. Webb KE, Horton NJ, Katz DL. 2005. Parental IQ and cognitive development of malnourished Indonesian children. European Journal of Clinical Nutrition. 59:618-620.doi:10.1038/sj.ejcn.1602103. [WHO] World Health Organization. 1998. Preparation and Use of Food Based Dietary Guidelines. Geneva: WHO publications. . 2000. Obesity: Preventing and Managing the Global Epidemic. Geneva: WHO publications. . 2008. Worldwide Prevalence of Anaemia 1993-2005 WHO Global Database on Anaemia. Geneva: WHO publications. Widayati W. 2009. Analisis pola aktivitas, tingkat kelelahan dan status anemia serta pengaruhnya terhadap prestasi belajar siswa [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Windyaningrum K. 2012. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kadar hemoglobin anak usia sekolah di SDN Palasari 02 Kecamatan Cijeruk Kabupaten Bogor [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Wong DL, Hockenberry EM, Wilson D, Winkelstein ML, Schwartz P. 2009. Keperawatan Pediatrik. Ed ke-2. Hartono A, Kurnoaningsih S, Setiawan, penerjemah. Jakarta (ID): Buku Kedokteran EGC. Yabanci N, Kisac I, Karakus SS. 2014. The effects of mother’s nutritional knowledge on attitudes and behaviors of children about nutrition. ProcediaSocial Behavioral Sciences. 116:44774481.doi:10.1016/j.sbspro.2014.01.970. Yamin B, Mayulu N, Rottie J. 2013. Hubungan asupan energi dengan kejadian obesitas pada siswa sekolah dasar di Kota Manado. ejournal keperawatan (e-KP). 1(1):1-8. Yanoff LB, Menzie CM, Denkinger B, Sebring NG, Hugh TM, Remaley AT, Yanovski JA. 2007. Inflammation and iron deficiency in the hypoferremia of obesity. Int J Obes (Lond). 31(9):1412-1419. Yudesti I dan Prayitno N. 2013. Perbedaan status gizi anak SD Kelas IV dan V di SD Unggulan (06 Pagi Makasar) dan SD Non Unggulan (09 Pagi Pinang Ranti) Kecamatan Makassar Jakarta Timur Tahun 2012. Jurnal Ilmiah Kesehatan. 5(1): 1-5. Zulaikhah. 2012. Faktor risiko status gizi kurang pada wanita usia subur di Bogor [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
84
LAMPIRAN
85 Lampiran 1 Surat Ethical Clearance
86 Lampiran 2 Hasil analisis multivariat Variables in the Equation 95% C.I.for Exp(B status gizi
B
S.E.
Wald
1,050
,647
2,634
1
,105
2,856
AIR(1)
-,267
,528
,255
1
,614
,766
,272
2,157
PddknAyah_2(1)
-,139
,595
,055
1
,815
,870
,271
2,792
PddknIbu_2(1)
1,788
,546 10,716
1
,001
5,976
2,049 17,427
Katdensenergi(1)
1,131
,558
4,103
1
,043
3,098
1,037
Constant
-2,020
,752
7,218
1
,007
,133
Step Statanemia(1)
1,044
,647
2,604
1
,107
2,841
AIR(1)
-,294
,516
,325
1
,569
,745
PddknIbu_2(1)
1,735
,495 12,294
1
,000
5,668
2,149 14,949
Katdensenergi(1)
1,112
,552
4,067
1
,044
3,042
1,032
8,967
-2,072
,722
8,243
1
,004
,126
,995
,641
2,410
1
,121
2,706
,770
9,506
gemu Step Statanemia(1) k
1
2
a
a
Constant Step Statanemia(1) 3
a
Sig.
)
Lower
Upper
,804 10,146
9,252
,799 10,101 ,271
2,047
PddknIbu_2(1)
1,715
,492 12,170
1
,000
5,555
2,120 14,557
Katdensenergi(1)
1,179
,541
4,752
1
,029
3,252
1,126
Constant
-2,115
,720
8,634
1
,003
,121
Step PddknIbu_2(1)
1,770
,481 13,532
1
,000
5,870
2,286 15,070
1,123
,541
4,317
1
,038
3,075
1,066
8,873
-1,296
,426
9,267
1
,002
,274
,760
,534
2,031
1
,154
2,139
,752
6,088
AIR(1)
,116
,413
,079
1
,779
1,123
,499
2,524
PddknAyah_2(1)
,086
,535
,026
1
,872
1,090
,382
3,109
PddknIbu_2(1)
,623
,472
1,746
1
,186
1,865
,740
4,699
Katdensenergi(1)
-,248
,423
,345
1
,557
,780
,340
1,787
Constant
-,988
,669
2,182
1
,140
,372
Step Statanemia(1)
,765
,532
2,067
1
,151
2,150
,757
6,104
AIR(1)
,112
,413
,074
1
,786
1,119
,498
2,512
PddknIbu_2(1)
,654
,431
2,306
1
,129
1,923
,827
4,474
Katdensenergi(1)
-,253
,422
,359
1
,549
,777
,340
1,776
Constant
-,941
,601
2,451
1
,117
,390
Step Statanemia(1)
,766
,533
2,071
1
,150
2,152
,758
6,112
,665
,429
2,404
1
,121
1,945
,839
4,508
4
a
Katdensenergi(1) Constant
norm Step Statanemia(1) al
df
EXP(B)
1
2
3
a
a
a
PddknIbu_2(1)
9,390
87 Variables in the Equation 95% C.I.for Exp(B status gizi
B
S.E.
Wald
df
Sig.
)
EXP(B) Lower
Upper
,338
1,758
,813
4,216
Katdensenergi(1)
-,260
,421
,383
1
,536
,771
Constant
-,899
,581
2,398
1
,121
,407
Step PddknIbu_2(1)
,616
,420
2,151
1
,142
1,851
-,972
,568
2,928
1
,087
,378
,766
,531
2,077
1
,150
2,151
,759
6,093
,570
,414
1,894
1
,169
1,768
,785
3,980
-,318
,329
,939
1
,332
,727
,039
,198
,039
1
,843
1,040
4
a
Constant Statanemia(1)
Step PddknIbu_2(1) 5
a
Constant
Step Constant 6a
a. Variable(s) entered on step 1: Statanemia, AIR, PddknAyah_2, PddknIbu_2, Katdensenergi.
88
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Medan (Sumatera Utara) pada tanggal 10 Agustus 1985 sebagai anak sulung dari pasangan (Alm) Pribudi Soesanto dan Chairany Sihombing. Pendidikan formal dijalani penulis berawal dari SD Pertiwi Medan (1991-1996), SD YPKP Sentani (1996-1997), SMP Negeri 2 Sentani (1997-2000), SMA Negeri 1 Sentani (2000-2003). Tahun 2003 penulis diterima masuk IPB melalui jalur USMI pada Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian. Pada Tahun 2009 sampai sekarang penulis diterima sebagai PNS dan bekerja di Jurusan Gizi, Politeknik Kesehatan Jayapura, Kementerian Kesehatan. Pada tahun 2013, penulis mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan pendidikan Strata 2 (S2) di Sekolah Pascasarjana IPB, Program Studi Magister Ilmu Gizi Masyarakat, Departemen Gizi Masyarakat. Selama menempuh pendidikan S2, penulis memperoleh beasiswa dari Pustanserdik BPPSDM Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Sebagai bagian dari tesis ini yaitu berjudul “association between anemia status and water adequacy with academic performance of obese children in Bogor” sedang dalam proses publikasi pada The South African Journal of Clinical Nutrition.