i
HUBUNGAN KONSUMSI PANGAN DAN STATUS BESI DENGAN PRESTASI BELAJAR SISWI SMK PELITA KECAMATAN CIAMPEA, KABUPATEN BOGOR
YUDHI ADRIANTO
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
ii
ABSTRACT YUDHI ADRIANTO. The Relation between Food Consumption and Iron Status with Academic Score in Schoolgirls of Pelita Senior High School Ciampea, Bogor. Supervised by DODIK BRIAWAN and CESILIA M DWIRIANI The research objective is to study relationship of food consumption and iron status with academic score of girl students in Pelita Senior High School Ciampea. This cross sectional study design research was conducted at Ciampea Bogor. The number of samples were 74 schoolgirl. This research using recall method of food consumption, iron bioavailability calculated with Du et al (1999) method, the iron status of Hb concentration and academic score are showed in the rapot. The results show nutritional status (BMI/Age) majority of the student (82.4%) are in the normal category with the mean of 20.5±3.2. Most of the students (89.1%) were in normal iron status and 10.8% anemia. Majority of students (83.2%) had low food consumption compared to Indonesian Dietary Guidelines (PUGS 2005) recommendation, and level of adequacy of energy is on severe deficit category (86.5%). Percent of iron bioavailability is in a moderate category (10.04%) with a total of bioavailability 1.09 g. Consumption of food enhancer is still lacking, with consumption of vitamin C 25.01±26.2 mg and fruitsvegetables 116.7±137 g. Academic score based on report book are in good category, both of general academic score (87.8%) with an average of 81.9±2.3 and vocational academic score (78.3%) with an average of 82.7±2.6. Pearson’s correlation shown there’s no relationship between food consumption and iron status with academic score (p>0.05). Keywords: food consumption, bioavailability of iron, iron status, academic score.
iii
RINGKASAN YUDHI ADRIANTO. Hubungan Konsumsi Pangan dan Status Besi dengan Prestasi Belajar Siswi SMK Pelita Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor. Di bawah bimbingan DODIK BRIAWAN dan CESILIA M DWIRIANI Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan konsumsi pangan dan status besi dengan prestasi belajar siswi SMK Pelita Ciampea. Adapun tujuan khusus adalah 1) Mengetahui karakteristik contoh, termasuk status gizi dan status besi; 2) Mengetahui konsumsi pangan, asupan dan tingkat kecukupan energi, protein, zat besi, vitamin A dan vitamin C siswi; 3) Mengetahui bioavailabilitas zat besi dari pangan yang dikonsumsi; 4) Mengetahui prestasi belajar; 5) Menganalisis hubungan antara bioavalibilitas zat besi dengan status besi dan 6) Menganalisis hubungan status besi dengan prestasi belajar. Desain penelitian adalah cross sectional study. Data yang digunakan adalah data sekunder yang diperoleh dari SEAFAST Centre-IPB. Pengumpulan data sekunder tersebut dilakukan di Kota Bogor pada bulan Mei 2012 - Juni 2012. Contoh adalah siswi kelas X Jurusan Butik dan kelas X-XI Jurusan Keperawatan SMK Pelita Ciampea Bogor yang berjumlah 74 orang. Contoh diambil secara purposive yaitu siswi yang sudah menstruasi, bersedia berpartisipasi dan diwawancarai sampai selesai, telah mengisi informed consent dan tidak sedang menderita sakit. Usia contoh (96%) tergolong dalam remaja pertengahan yaitu 71 siswi, remaja akhir sebanyak 3 siswi (4%), umur termuda terdapat pada umur 14.7 tahun, umur tertua contoh terdapat pada umur 18.5 tahun dan rata-rata umur contoh tergolong pada remaja pertengahan dengan umur 16.6±0.7 tahun. Umur pertama kali contoh mengalami menstruasi berkisar antara 9-15 tahun, dengan rata-rata umur 12.8±1.1 tahun. Lama menstruasi berkisar antara 4-7 hari, dengan rata-rata 4±1.1 hari. Siklus menstruasi contoh berkisar antara 14-90 hari, dengan rata-rata 28.6±9.0 hari. Sebaran status gizi contoh sebagian besar berada dalam sebaran kategori normal yaitu sebanyak 61 siswi (82%). Terdapat 5 siswi (6.8%) yang condong ke dalam kategori gizi kurang yaitu satu siswi yang memiilki status gizi kurang (1.4%) dan sebanyak empat siswi memiliki status gizi kurus (5.4%). Kisaran IMT antara 12.4-30.9 dengan rata-rata 20.5±3.2 atau dalam kategori normal. Jumlah siswi anemia terdapat 8 siswi (10.8%) dan normal sebanyak 66 sisiwi (89.2%). Rata-rata konsumsi pangan serealia dan umbi-umbian sebesar 122.6±74.4 g. Seluruh contoh mengkonsumsi nasi sebagai makanan pokok, konsumsi tersebut masih rendah dibandingkan anjuran PUGS yaitu 500 g/hari. Konsumsi kacang-kacangan sebesar 45.8±47 g dari rekomendasi sebanyak 150 g/hari. Konsumsi daging sebesar 77.9±23.7 g, telur sebesar 50±29.2 g dan ikan sebesar 20.1.3±68.8 g, konsumsi daging terbesar adalah daging ayam dan daging sapi. Konsumsi pangan hewani tergolong cukup sebanyak 150 g/hari. Konsumsi sayuran juga masih tergolong kurang sebesar 43.4±34.3 g sedangkan anjuran konsumsi sayuran adalah sebanyak 300 g/hari atau setara dengan 3 mangkuk sayur. Konsumsi buah-buahan 73.4±82.7 g tergolong masih kurang dari anjuran yaitu sebanyak 200 g/hari. Konsumsi susu sebesar 72±48.8 g yang meliputi susu kental manis, susu bubuk dan susu cair. Jenis minuman kemasan pabrik yang paling sering dikonsumsi adalah teh rata-rata konsumsi sebesar 493±360.6 ml. Jenis makanan kemasan pabrik yang paling banyak dikonsumsi adalah momogi, taro, oreo, gery chocolatos, chiki, citatos, potato, astor dan keripik balado, dengan rata-rata konsumsi sebesar 38.8±24.7 g.
iv
Makanan sepinggan yang sering dikonsumsi oleh contoh selama istirahat adalah bakso, mie ayam, batagor, siomay dan pempek dengan rata-rata konsumsi total makanan sepinggan sebesar 141±53.4 g. Konsumsi rata-rata energi sebesar 1008±446 kkal, protein sebesar 38.3±19.8 g, zat besi sebesar 10.8±6.3 mg, vitamin C sebesar 25±16.1 mg dan vitamin A sebesar 448.3±409 RE. Tingkat kecukupan energi, zat besi dan vitamin C siswi tergolong dalam tingkat defisit berat yaitu kurang dari 70% AKG, sedangkan tingkat kecukupan protein tergolong dalam defisit tingkat sedang (7079% AKG) dan tingkat kecukupan vitamin A tergolong dalam kategori cukup. Hal ini menunjukan bahwa tingkat kecukupan gizi remaja masih defisit tingkat berat. Konsumsi vitamin C contoh sebagai zat pendorong (enhancer) tersebar pada 1.8-128 mg dengan rata-rata konsumsi vitamin C contoh sebesar 25.01±26 mg dan konsumsi sayuran dan buah rata-rata contoh adalah 116.7±137 g atau berada dalam kategori kurang. Konsumsi zat penghambat (inhibitor) pada pangan serealia berkisar antara 110-625 g dengan rata-rata konsumsi serealia 214.4±223 g. Rata-rata konsumsi kacang-kacangan contoh adalah 45.8±42 g dan rata-rata konsumsi teh contoh sebesar 0.8±0.5 g. Sebagian besar contoh mengkonsumsi teh sebagai minuman pada waktu istirahat sekolah. Perhitungan perkiraan penyerapan besi didasarkan pada bioavabillitas konsumsi makan yaitu, penyerapan besi tinggi (15%), penyerapan besi sedang (10%) dan penyerapan besi rendah (5%) (WNPG 2004). Persen total bioavalabilitas sebesar 10.04±0.5 % yaitu berada dalam kategori penyerapan besi sedang dengan sebaran kisaran persen total bioavailabilitas antara 8.711.2%. Prestasi belajar umum contoh berada dalam selang nilai 74.5-87.9. Ratarata prestasi belajar umum contoh berada dalam kategori baik dengan nilai 81.9±2.3. Prestasi belajar kejuruan berbeda dengan prestasi belajar umum. Mata pelajaran kejuruan yang diberikan berbeda antara kelas butik dan kelas keperawatan. Nilai prestasi belajar kejuruan terkecil sebesar 78.0, nilai prestasi belajar kejuruan terbesar yaitu 89.3 dan nilai rata-rata prestasi belajar kejuruan sebesar 82.7±2.6 atau berada dalam kategori baik. Hasil uji kolerasi pearson menunjukan tidak terdapat hubungan antara bioavailabilitas dengan status besi (r=-0.057; p=0.627). Demikian juga tidak terdapat hubungan antara status besi dengan prestasi belajar (r=0.0043; p=0.976). Hal ini juga terjadi pada prestasi kejuruan, hasil uji kolerasi pearson menunjukan bahwa tidak terdapat hubungan antara status besi dengan prestasi belajar kejuruan (r=-0.028; p=0.807).
v
HUBUNGAN KONSUMSI PANGAN DAN STATUS BESI DENGAN PRESTASI BELAJAR SISWI SMK PELITA KECAMATAN CIAMPEA, KABUPATEN BOGOR
YUDHI ADRIANTO
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi dari Program Studi Ilmu Gizi pada Departemen Gizi Masyarakat
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
vi
Judul
: Hubungan Konsumsi Pangan dan Status Besi dengan Prestasi Belajar Siswi SMK Pelita Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor
Nama
: Yudhi Adrianto
NIM
: I14104004
Menyetujui:
Dosen Pembimbing I
Dosen Pembimbing II
Dr. Ir. Cesilia Meti Dwiriani, M.Sc NIP. 19660527 199203 2 003
Dr. Ir. Dodik Briawan, MCN NIP. 19660701 199002 1 001
Mengetahui: Ketua Departemen Gizi Masyarakat
Dr. Ir. Budi Setiawan, MS. NIP. 19621218 198703 1 001
Tanggal Lulus :
vii
PRAKATA Segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT, karena berkat Rakhmat dan Karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi penelitian yang berjudul “Hubungan Konsumsi Pangan dan Status Besi dengan Prestasi Belajar Siswi SMK Pelita Ciampea” sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana. Selesainya penelitian ini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis juga mengucapkan terima kasih kepada: 1.
Bapak Dr. Ir. Dodik Briawan, MCN selaku Dosen Pembimbing 1 dan Ibu Dr. Ir. Cesilia Meti Dwiriani,M.Sc selaku Pembimbing 2 yang selalu memberikan dukungan, arahan, saran dan bimbingan dalam penyusunan penelitian ini, serta Prof. Dr. Ir. Dadang Sukandar, M.Sc selaku pembimbing akademik selama peneliti menempuh pendidikan.
2.
Ibu Dr. Ir. Ikeu Ekayanti, M.Kes sebagai pemandu seminar dan penguji sidang yang selalu memberikan semangat, dukungan dan arahannya kepada penulis.
3.
Keluarga tercinta dan tersayang yang selalu memberikan bantuan dan dukungannya baik secara moril maupun materil.
4.
Teman-teman Gizi Masyarakat (GM) yang mendukung dan menyemangati penulis.
5.
Pihak-pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu per satu atas segala bantuan dan dukungan selama penyusunan penelitian skripsi ini. Penulis menyadari bahwa dalam penelitian ini ada kekurangan baik
materi maupun penulisannya. Oleh karena itu segala kritik dan sara yang sifatnya membangun sangat diharapkan untuk penelitian ini. Penulis juga berharap agar penelitian ini dapat terlaksana dengan baik sehingga dapat bermanfaat bagi semua.
Bogor, Januari 2013
Yudhi Adrianto
viii
RIWAYAT HIDUP Penulis lahir pada tanggal 21 Maret 1990 di Bogor, anak ke dua dari dua bersaudara pasangan Bapak Juhartono dan Ibu Yoyoh. Penulis lulus sekolah dasar di SD Negeri 2 Cibinong, setelah itu penulis melanjutkan sekolah menengah pertama di SMP Negeri 2 Cibinong dan menyelesaikan sekolah menengah atas di SMA Negeri 2 Cibinong jurusan Ilmu Pengetahuan Alam pada tahun 2007. Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor pada bulan Mei 2007 melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) di Program Keahlian Manajemen Industri Jasa Makanan dan Gizi Diploma IPB. Penulis melakukan Praktek Usaha Jasa Boga di Hotel Kartika Chandra sejak tanggal 7 Oktober 2009 sampai tanggal 7 Januari 2010. Penulis Praktek Kerja Lapang di RSUP Persahabatan sejak tanggal 4 Januari 2010 sampai tanggal 24 April 2010. Setelah menempuh pendidikan diploma, penulis melanjutkan pendidikan ke jenjang selanjutnya di program alih jenis (ekstensi) ilmu gizi IPB pada tahun 2010. Selama kuliah di program alih jenis, penulis pernah menjadi Ketua Divisi Sponsorship dalam kegiatan Seminar Pangan dan Gizi Nasional ”FIT FESTIVAL” yang dilaksanakan di Hotel Brajamustika. Selain itu, penulis pernah melakukan kuliah kerja profesi di Kepulauan Nusakambangan Kabupaten Cilacap selama 2 bulan.
ix
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI .......................................................................................................... i DAFTAR TABEL .................................................................................................. ii DAFTAR GAMBAR ..............................................................................................iii PENDAHULUAN.................................................................................................. 1 Latar Belakang................................................................................................. 1 Tujuan.............................................................................................................. 2 Kegunaan ........................................................................................................ 2 TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................................... 3 Remaja ............................................................................................................ 3 Kecukupan Gizi Remaja................................................................................... 6 Konsumsi Pangan ............................................................................................ 7 Konsumsi Pangan Hewani ........................................................................... 8 Bioavailabilitas Zat Besi ............................................................................. 10 Anemia pada Remaja Putri ............................................................................ 13 Prestasi Belajar.............................................................................................. 16 KERANGKA PEMIKIRAN .................................................................................. 19 METODE PENELITIAN...................................................................................... 21 Desain, Tempat dan Waktu Penelitian ........................................................... 21 Jumlah dan Cara Penarikan Contoh .............................................................. 21 Jenis dan Cara Pengumpulan Data ............................................................... 21 Pengolahan dan Analisis Data ....................................................................... 22 Definisi Operasional ....................................................................................... 25 HASIL DAN PEMBAHASAN .............................................................................. 27 Gambaran Umum Sekolah............................................................................. 27 Karakteristik Contoh....................................................................................... 27 Umur .......................................................................................................... 27 Uang Saku ................................................................................................. 29 Besar Keluarga .......................................................................................... 29 Pendidikan Orang Tua ............................................................................... 30 Pekerjaan dan Pendapatan Orang Tua ...................................................... 31 Umur, Lama dan Siklus Menstruasi............................................................ 32 Status Gizi Antropometri ............................................................................ 32 Status Besi .................................................................................................... 35 Konsumsi Pangan dan Asupan Gizi ............................................................... 36 Konsumsi Pangan ...................................................................................... 36
x
Asupan Zat Gizi ......................................................................................... 38 Bioavailabilitas Zat Besi ................................................................................. 41 Pangan Pendorong Penyerapan Fe (enhancer) ......................................... 41 Pangan Penghambat Penyerapan Fe (inhibitor)......................................... 41 Nilai Bioavailabilitas ................................................................................... 42 Prestasi Belajar.............................................................................................. 43 Prestasi Belajar Umum .............................................................................. 45 Prestasi Belajar Kejuruan ........................................................................... 46 Hubungan antara Bioavailabilitas dengan Status Besi ................................... 47 Hubungan Status besi dengan Prestasi Belajar ............................................. 48 KESIMPULAN DAN SARAN .............................................................................. 50 Kesimpulan .................................................................................................... 50 Saran ............................................................................................................. 50 DAFTAR PUSTAKA........................................................................................... 52 LAMPIRAN ........................................................................................................ 57
xi
DAFTAR TABEL Halaman 1 Angka kecukupan gizi remaja ......................................................................... 7 2 Konsumsi pangan hewani masyarakat Indonesia tahun 2008 ....................... 10 3 Kandungan besi heme dan non-heme, besi total dan persen besi heme dari pangan hewani mentah dan olahan (mg/100g BDD) ............................. 12 4 Batasan hemoglobin (Hb) untuk penentuan anemia berdasarkan WHO/UNICEF/UNU (1996) .......................................................................... 15 5 Kategori variabel penelitian ........................................................................... 23 6 Contoh perhitungan bioavailabilitas konsumsi pangan metode Du et al. (1999) .......................................................................................................... 24 7 Sebaran besar keluarga contoh .................................................................... 29 8 Sebaran tingkat pendidikan orang tua contoh ............................................... 30 9 Sebaran pekerjaan orang tua contoh ............................................................ 31 10 Sebaran pendapatan orang tua contoh ........................................................ 32 11 Sebaran status gizi contoh ........................................................................... 33 12 Sebaran status gizi berdasar status besi contoh .......................................... 36 13 Rata-rata konsumsi pangan contoh ............................................................. 37 14 Rata-rata tingkat kecukupan energi dan zat gizi contoh ............................... 39 15 Hasil perhitungan persen total bioavailabilitas metode Du et al. (1999) ....... 42 16 Sebaran bioavailabilitas berdasarkan tingkat kecukupan zat besi ................ 42 17 Sebaran bioavailabilitas besi berdasar status besi contoh ........................... 47 18 Sebaran prestasi belajar dengan status besi contoh .................................... 48 19 Hubungan status besi dengan prestasi ........................................................ 47
xii
DAFTAR GAMBAR Halaman 1
Kerangka Pemikiran hubungan konsumsi pangan dan status besi dengan prestasi belajar ............................................................................................ 20
2
Sebaran contoh berdasarkan kelas dan jurusan .......................................... 28
3
Sebaran contoh berdasarkan umur .............................................................. 28
4
Sebaran contoh berdasarkan uang saku...................................................... 29
5
Distribusi IMT/U contoh dibandingkan WHO ................................................ 34
6
Distribusi TB/U contoh dibandingkan WHO.................................................. 34
7
Sebaran status anemia contoh .................................................................... 35
8
Sebaran tingkat kecukupan gizi contoh ........................................................ 40
9
Rutinitas belajar contoh ............................................................................... 44
10 Gaya belajar contoh ..................................................................................... 44 11 Kebiasaan belajar contoh............................................................................. 45 12 Sebaran prestasi belajar umum contoh ........................................................ 46 13 Sebaran prestasi belajar kejuruan contoh .................................................... 47
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Human Developement Index (HDI) Indonesia pada tahun 2009 berada pada posisi 111 dari 182 negara, posisi tersebut menunjukan bahwa Indonesia masih tertinggal dibandingkan dengan negara lain. Oleh karena itu, untuk mengejar
ketertinggalannya
diperlukan
peningkatan kualitas
sumberdaya
manusia terutama pada usia remaja. Salah satu faktor yang menentukan terciptanya sumberdaya manusia yang berkualitas adalah pangan yang bergizi, yang diperoleh melalui konsumsi pangan yang baik (Khomsan 2002). Status gizi adalah keadaan tubuh seseorang atau sekelompok orang sebagai akibat dari konsumsi, penyerapan dan penggunaan zat-zat gizi dari makanan dalam jangka waktu yang lama (Supariasa et al. 2001). Anemia defisiensi besi (ADB) masih merupakan masalah kesehatan yang penting terkait prevalenisnya yang tinggi dan dampaknya terutama pada wanita. Prevalensi anemia defisiensi zat besi mencapai 36% dari populasi 3800 juta di negara berkembang (Arisman 2004), prevalensi anemia menurut Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2011 pada anak usia sekolah sebesar 25.5%. Prevalensi anemia pada remaja wanita di Indonesia masih cukup tinggi yaitu 26.5% (Depkes 2006). Kekurangan zat besi juga berkaitan erat dengan anemia gizi besi yang merupakan masalah gizi mikro terbesar dengan jumlah penderita mencapai 1.2 milyar orang di seluruh dunia (Rofes & Withney 2008). Hasil analisis Permaesih dan Herman (2005) prevalensi anemia remaja (10-19 tahun) sebesar 25.5%. Laporan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas 2008) menyebutkan bahwa prevalensi anemia nasional sebesar 11.9%, prevalensi anemia wanita dewasa (>15 tahun) sebesar 19.7% (Depkes 2008). Seorang remaja membutuhkan asupan zat besi yang baik agar menghasilkan prestasi akademik yang tinggi. Pada remaja wanita, kebutuhan yang tinggi akan zat besi terutama disebabkan kehilangan zat besi selama menstruasi. Penelitian mengenai hubungan antara status besi dan kemampuan kognitif telah banyak dilakukan lebih dari tiga dekade. Penelitian Soewondo et al. (1989) yang dilakukan di Bandung dengan melibatkan remaja anemia dan non anemia (anemia n=34 & non anemia n=34) membuktikan bahwa anak remaja non anemia dapat belajar dengan cepat dibandingkan anak remaja anemia (p<0.01). Mc Cann et al. (2007) menyebutkan bahwa dapat terjadi kerusakan perkembangan otak yang irreversible pada anak berumur kurang dari dua tahun
2
dengan anemia defisiensi besi. Hal ini berkaitan dengan pembentukan fungsi iron neurotransmitter yaitu dopamineric neurons yang dapat berdampak permanen. Pada remaja anemia defisiensi besi dapat berdampak pada kebiasaan yang buruk seperti malas, sering mengantuk, lemah dan sering tertidur. Hal ini terkait dalam fungsi hemoglobin dalam perannya mengangkut oksigen pada proses pernafasan ke jaringan tubuh dan otak, pada kejadian anemia berkurangnya hemoglobin dapat mengurangi sirkulasi oksigen dalam tubuh sehingga ketersediaan deoksihemoglobin menurun dan terjadi gejala anemia (Arisman 2004). Review studi longitudinal mengenai anemia juga telah membuktikan bahwa pada anak anemia memiliki kemampuan kognitif, perkembangan motorik dan prestasi belajar yang buruk (Grantham & Cornelius 2001). Penelitan di atas telah memperlihatkan adanya hubungan konsumsi pangan khususnya zat besi terhadap kemampuan kognitif yaitu prestasi belajar. Konsumsi merupakan hal yang akan berdampak terhadap asupan zat besi yang tercermin pada bioavailabilitas zat besi. Penelitian dan pustaka yang membahas mengenai prestasi akademik dan kaitannya dengan anemia sudah banyak, namun penelitian ini dilakukan untuk melihat hubungan konsumsi pangan dan status besi dengan prestasi belajar pada remaja putri di Indonesia Tujuan Tujuan umum penelitian ini adalah mengetahui hubungan konsumsi pangan dan status besi dengan prestasi belajar siswi Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Pelita Ciampea. Tujuan khusus penelitian ini adalah: 1. Mengetahui karakteristik contoh, termasuk status gizi dan status besi 2. Mengetahui konsumsi pangan, asupan dan tingkat kecukupan energi, protein, zat besi, vitamin A dan vitamin C 3. Mengetahui bioavailabilitas zat besi dari pangan yang dikonsumsi 4. Mengetahui prestasi belajar 5. Menganalisis hubungan antara bioavalibilitas zat besi dengan status besi 6. Menganalisis hubungan status besi dengan prestasi belajar. Kegunaan Kegunaan penelitian ini adalah untuk memberikan informasi tentang tingkat konsumsi pangan, status besi dan prestasi belajar pada siswi SMK di Indonesia. Penelitian ini juga berisi mengenai pentingnya konsumsi pangan terhadap prestasi belajar dan status besi pada siswi SMK.
3
TINJAUAN PUSTAKA Remaja Remaja merupakan masa peralihan antara masa anak dan masa dewasa. Masa remaja adalah masa terjadinya krisis identitas atau pencarian identitas diri. Karakteristik remaja yang sedang berproses untuk mencari identitas diri sering menimbulkan masalah pada diri remaja. Pardede (2002) mendefinisikan remaja dengan batasan usia yaitu 10-24 tahun dan belum menikah, dengan pertimbangan karena usia 10 tahun merupakan usia dimana remaja putri mengalami perubahan dalam tubuhnya, tetapi perubahan yang terjadi bisa berbeda-beda pada setiap remaja putri. Remaja dalam tumbuh kembangnya menuju dewasa akan terjadi kematangan psikososial dan seksual yang melewati beberapa tahap, yaitu masa remaja awal (early adolescence) umur 11-13 tahun, masa remaja pertengahan (middle adolescence) umur 14-16 tahun , dan masa remaja lanjut (late adolescence) umur 17-20 tahun. Syafiq et al. (2007) mengemukakan bahwa remaja merupakan masa transisi anak dan dewasa, selama remaja terjadi perubahan hormonal mempercepat pertumbuhan. Masa remaja dimulai pada saat anak perempuan mengalami menstruasi yang pertama atau menarche, sedangkan pada anak lakilaki yaitu pada saat keluarnya cairan semen. Istilah remaja adolesence berasal dari kata adolescere yang berarti “tumbuh” atau “tumbuh menjadi dewasa” (Hurlock 1998). Waktu terjadi proses kematangan seksual pada laki-laki dan perempuan berbeda, hal ini dipengaruhi oleh asupan zat gizi pada saat anakanak. Kematangan seksual di negara miskin berjalan lebih lama dibandingkan di negara yang lebih maju. Hal ini dipengaruhi oleh status sosial ekonomi di masing-masing negara (Arisman 2004). Batasan usia remaja sangat beragam. Tidak satupun angka yang pasti dapat memberikan tanda bahwa individu sedang berada pada masa remaja. Beberapa ahli memberikan batasan usia remaja yang berbeda-beda. Banyak para ahli mengemukakan berbagai pendapat mengenai batasan usia remaja. Dari berbagai pendapat mengenai batasan usia remaja, disimpulkan bahwa secara teoritis dan empiris, rentang usia remaja berada dalam usia 12-21 tahun bagi wanita dan 13-22 tahun bagi pria. Jika dibedakan atas remaja awal dan akhir, maka remaja awal berada pada usia 12 atau 13 tahun sampai 17 atau 18 tahun dan remaja akhir pada rentang usia 17 atau 18 tahun hingga usia 21 atau 22 tahun (Panuju 1999).
4
Periode remaja merupakan periode kritis dimana terjadi perubahan fisik, biokimia dan emosional yang cepat. Pada masa ini terjadi growth spurt yaitu puncak pertumbuhan tinggi badan (peak high velocity) dan berat badan (peak weight velocity). Kecepatan pertumbuhan tinggi badan rata-rata mencapai 20 cm/tahun pada laki-laki dan 16 cm/tahun pada perempuan. Demikian juga kecepatan pertumbuhan berat badan rata-rata mencapai 20 kg/tahun pada lakilaki dan 16 kg/tahun pada perempuan (Syafiq et al. 2007) Menginjak masa remaja, kebutuhan gizi meningkat jauh lebih besar seperti yang tercermin dalam meningkatnya angka kecukupan gizi yang direkomendasikan yang harus terpenuhi dengan cara meningkatkan asupan dari semua kelompok makanan. Makanan berlemak dan bergula harus dibatasi dan variasi makanan perlu diperhatikan untuk mengurangi terjadinya resiko defisiensi nutrien tertentu. Dalam beberapa tahun terakhir, penelitian telah menunjukan pada anak-anak di Inggris telah memilih makan kentang goreng, burger dan hidangan tinggi lemak lainnya serta minuman ringan, hanya sedikit yang memilih buah, sayuran atau salad (Barasi 2009). Remaja putri banyak yang merasa tidak puas dengan bentuk tubuhnya, sehingga berusaha memperbaikinya dengan berdiet. Berbagai macam diet banyak diikuti remaja putri baik dalam jangka waktu panjang maupun singkat, namun semua diet memiliki masalah yang sama yaitu tidak mendidik remaja menerapkan kebiasaan makan baru yang lebih sehat. Cara yang lebih drastis seperti penggunaan diuretik, laksatif atau merangsang dirinya untuk muntah yang bertujuan untuk menurunkan berat badan dalam jangka pendek (Barasi 2009). Remaja putri adalah kelompok populasi yang rawan terhadap defisiensi gizi khususnya defisiensi zat besi. Pada saat remaja putri sedang dalam masa pertumbuhan puncak (peak growth) dibutuhkan zat besi yang lebih tinggi yaitu untuk kebutuhan basal tubuh dan pertumbuhan itu sendiri. Satu tahun setelah peak growth, remaja putri biasanya akan mengalami haid pertama (menarche). Kebutuhan zat besi yang lebih tinggi pada saat peak growth akan menetap karena selanjutnya diperlukan untuk menggantikan zat besi yang hilang pada saat menstruasi atau haid. Anemia pada remaja akan berdampak pada produktivitas dan konsentrasi belajar menurun. Bila remaja perempuan tersebut memasuki perkawinan mereka akan hamil dengan status gizi yang rendah, karena membutuhkan peningkatan asupan energi dan zat gizi untuk pertumbuhan dirinya sendiri dan bayi yang
5
dikandung. Perkembangan kepribadian pada masa remaja tidak saja dipengaruhi oleh orangtua dan lingkungan keluarga, tetapi juga lingkungan sekolah dan teman-teman pergaulan di luar sekolah. Di samping itu, pengaruh lain bisa berasal dari pesatnya kemajuan teknologi informasi, baik media cetak maupun media elektronik (Supariasa 2001). Status gizi merupakan keadaan kesehatan tubuh seseorang atau sekelompok orang yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan (absorbsi) dan penggunaan (utilization) zat gizi makanan masa lalu. Dengan menilai status gizi seseorang, maka dapat diketahui apakah seseorang atau sekelompok orang tersebut status gizinya baik atau tidak baik. Status gizi merupakan masukan zat gizi dan pemanfaatannya dalam tubuh. Status gizi merupakan tanda-tanda atau penampilan
seseorang
akibat
keseimbangan
antara
pemasukan
dan
pengeluaran zat gizi yang berasal dari pangan yang di konsumsi. Status gizi yang baik dapat dicapai dengan cara mengkonsumsi pangan yang mengandung cukup zat gizi untuk memenuhi kebutuhan. Status gizi seseorang dipengaruhi oleh jumlah dan mutu pangan yang dikonsumsi dan keadaan tubuh seseorang yang dapat disebabkan gangguan penyerapan zat gizi atau investasi penyakit parasit (Riyadi 2001). Penilaian status gizi berdasarkan konsumsi makanan dilakukan dengan cara melihat perbandingan konsumsi pangan dengan kecukupan gizinya, karena tingkat kecukupan gizi seseorang sepenuhnya tergantung pada apa yang dikonsumsi. Makanan penting dalam jumlah cukup dan seimbang untuk memenuhi kebutuhan tubuh. Setiawan (1994) menyatakan bahwa keadaan pertumbuhan erat kaitannya dengan masalah konsumsi energi dan protein, maka ukuran tubuh sebagai refleksi keadan pertumbuhan dapat digunakan untuk menilai gangguan pertumbuhan dan keadaan kurang gizi. Salah satu cara pengukuran status gizi adalah pengukuran secara antropometri, terutama apabila terjadi ketidakseimbangan antara intake energi dan protein dalam jangka waktu yang lama. Indikator terbaik yang digunakan untuk remaja adalah indikator IMT (Indeks Massa Tubuh) menurut umur. Husaini et al. (2000) menyatakan bahwa anemia di Indonesia disebabkan oleh penyebab langsung dan tidak langsung, penyebab langsung berupa ketersediaan zat besi dalam makanan yang rendah, rendahnya keadaan sosial ekonomi, status gizi dan jumlah zat besi makanan yang kurang.
6
Remaja membutuhkan zat gizi yang tinggi, bahkan fase remaja merupakan fase kebutuhan zat gizi mencapai titik tertinggi dan adanya kekurangan zat gizi makro maupun zat gizi mikro dapat mengganggu pertumbuhan dan menghambat pematangan seksual. Masalah gizi remaja perlu mendapat perhatian khusus karena pengaruhnya terhadap pertumbuhan dan perkembangan tubuh serta dampaknya pada masalah gizi saat dewasa (Syafiq et al. 2007). Remaja wanita yang berstatus gizi baik akan lebih cepat mengalami menstruasi. Sebaliknya wanita yang berstatus gizi buruk pertumbuhan akan terhambat, mestruasinya lebih lambat dan beresiko terkena anemia gizi besi (ADB/SCN 2001). Keadaan status gizi dan kesehatan yang baik akan sangat mempengaruhi kesegaran fisik dan daya pikir yang baik dalam belajar. Tanpa makanan yang cukup, energi sebagai sumber tenaga dalam aktivitas sehari-hari akan diambil dari cadangan energi dan protein di dalam sel tubuh. Kekurangan dan kelebihan zat gizi yang diterima tubuh seseorang akan mempunyai dampak negatif. Perbaikan konsumsi pangan dan peningkatan status gizi sesuai atau seimbang dengan yang diperlukan tubuh merupakan unsur penting bagi peningkatan kualitas hidup manusia, sehat, kreatif dan produktif (Kartasapoetra & Marsetyo 2005). Menurut Moehji (2002) manusia yang sehat dan mendapatkan makanan yang cukup, baik kualitas maupun kuantitasnya akan memiliki kesanggupan maksimal dalam menjalani hidupya. Kemampuan ini disebut dengan kapasitas. Jadi untuk memperoleh kapasitas yang maksimal, manusia harus memperoleh makanan yang cukup sehingga memperoleh semua zat gizi yang diperlukan untuk
pertumbuhan,
perbaikan dan pemeliharaan jaringan tubuh serta
terlaksananya fungsi faal normal dalam tubuh. Kecukupan Gizi Remaja Kelompok umur remaja menunjukkan fase pertumbuhan yang pesat, yang disebut “adolescence growth spurt”, sehingga memerlukan zat-zat gizi yang relatif besar jumlahnya. Pada remaja laki-laki kegiatan jasmaniah sangat meningkat, karena biasanya pada umur inilah perhatian untuk olahraga sedang tinggi-tingginya, seperti atletik, mendaki gunung, sepak bola, hiking, dan sebagainya (Ricket 1996). Remaja putri sangat mementingkan bentuk badannya, sehingga banyak yang berdiet tanpa nasihat atau pengawasan seorang ahli kesehatan dan gizi
7
(Sediaoetama 2000). Tidak sedikit survei yang mencatat ketidakcukupan asupan zat gizi para remaja. Mereka bukan hanya melewatkan waktu makan (terutama sarapan) dengan alasan sibuk, tetapi juga terlihat sangat senang mengkonsumsi junk food. Disamping itu, kekhawatiran menjadi gemuk telah memaksa mereka untuk mengurangi jumlah pangan yang seharusnya dikonsumsi. Gaya hidup dan kebiasaan makan cenderung berubah ketika masa remaja, hal ini sangat mempengaruhi asupan zat gizi (Arisman 2004). Kebutuhan zat gizi remaja secara rinci dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Angka kecukupan gizi remaja Perempuan (tahun) 13-15 16-18 2350 2200 57 55 1000 1000 26 26 600 600 15 15 1.1 1.1 65 75 400 400
Zat Gizi Energi (Kal) Protein (g) Kalsium (mg) Besi (mg) Vit A (RE) Vit E (mg) Vit B1 (mg) Vit C (mg) Folat (mg)
Laki-laki (tahun) 13-15 16-18 2400 2600 60 65 1000 1000 19 15 600 600 15 15 1.2 1.3 75 90 400 400
Sumber: Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi VI (2004)
Banyaknya zat besi yang hilang dari tubuh seseorang berbeda-beda, tergantung simpanan zat besi yang dimilikinya. Apabila tubuh mempunyai simpanan zat besi dalam jumlah banyak, maka zat besi yang dikeluarkan dari tubuh juga banyak. Sebaliknya pada orang yang menderita anemia gizi, jumlah zat besi yang dikeluarkan juga sedikit (Wirakusumah 2001). Konsumsi Pangan Konsumsi pangan adalah jumlah dan jenis pangan yang dikonsumsi seseorang
atau
sekelompok
orang
dengan
tujuan
tertentu.
Tujuan
mengkonsumsi pangan dalam aspek gizi adalah untuk memperoleh sejumlah zat gizi yang diperlukan tubuh. Konsumsi pangan meliputi informasi mengenai jenis pangan dan jumlah pangan yang dimakan seseorang atau sekelompok orang pada waktu tertentu (Hardinsyah & Martianto 1989). Kebiasaan makan yang diperoleh semasa remaja akan berdampak pada kesehatan dalam fase kehidupan selanjutnya, setelah dewasa dan berusia lanjut. Menurut Madanijah (2004) konsumsi pangan merupakan informasi tentang jenis dan jumlah pangan yang dikonsumsi oleh seseorang atau sekelompok orang pada waktu tertentu. Pola konsumsi pangan diartikan
sebagai
cara seseorang atau
sekelompok orang dalam memilih dan mengkonsumsi pangan sebagai tanggapan terhadap pengaruh fisiologis, psikologi, budaya dan sosial serta
8
ekonomi. Pola konsumsi dinamakan pula kebiasaan makan, kebiasaan pangan atau pola pangan. Meskipun banyak faktor yang mempengaruhi cara makan dan kebiasaan pangan individu, tiga faktor
yang terpenting adalah ketersediaan
pangan, pola sosial budaya dan faktor pribadi (Riyadi 2006). Pola konsumsi pangan adalah susunan jenis dan jumlah pangan yang dikonsumsi seseorang atau kelompok pada waktu tertentu. Penilaian konsumsi pangan dapat dilakukan secara kualitatif maupun kuantitatif. Salah satu metode pengukuran konsumsi makanan untuk individu yang bersifat kuantitatif adalah metode recall 24 jam. Prinsip dari metode recall 24 jam, dilakukan dengan mencatat jenis dan jumlah bahan makanan yang dikonsumsi pada periode 24 jam yang lalu. Recall 24 jam sebaiknya dilakukan berulangulang dan harinya tidak berturut-turut. Apabila pengukuran hanya dilakukan 1 kali (1x24 jam), maka data yang diperoleh kurang representatif untuk menggambarkan kebiasaan makan individu (Supariasa et al. 2001). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa minimal 2 kali recall 24 jam tanpa berturut-turut, dapat menghasilkan gambaran asupan zat gizi lebih optimal dan memberikan variasi yang lebih besar tentang intake harian individu (Sanjur 1982). Penentuan jumlah hari recall sangat ditentukan oleh keragaman jenis konsumsi antar waktu, antar tipe responden dalam memperoleh pangan. Metode recall membutuhkan biaya yang sangat murah dan tidak memakan waktu yang banyak. Kekurangannya adalah data yang dihasilkan kurang akurat karena mengandalkan keterbatasan daya ingat seseorang dan tergantung dari keahlian tenaga pencatatan dalam mengkonversi URT ke dalam satuan berat serta adanya variasi URT antar daerah, dan ada variasi interpretasi besarnya ukuran antar responden (besar, sedang, kecil, dll) (Kusharto & Yayah 2006). Konsumsi Pangan Hewani Sanjur (1982) menyatakan bahwa jumlah pangan yang tersedia di suatu wilayah akan berpengaruh terhadap pola konsumsi pangan. Perkembangan teknologi yang pesat dan perubahan pola hidup yang tidak sehat saat ini mempengaruhi pola konsumsi pangan dengan peningkatan asupan kalori terutama dari bahan pangan sumber lemak dan karbohidrat. Ketersediaan pangan tidak selalu mencerminkan konsumsi pangan yang sebenarnya, karena konsumsi tidak hanya dipengaruhi oleh ketersediaan makanan, tetapi juga oleh harga makanan dan faktor sosial budaya. Secara umum ada dua kriteria untuk menentukan kecukupan konsumsi pangan yaitu konsumsi kalori dan konsumsi
9
protein. Kebutuhan kalori biasanya dipenuhi dari konsumsi pangan pokok, sedangkan protein dipenuhi dari sejumlah substansi hewan seperti ikan, daging, telur dan susu (Hardinsyah & Martianto 1989). Bahan makanan hewani adalah bahan makanan yang berupa atau berasal dari hewan atau produk-produk yang diolah dengan menggunakan bahan dasar asal hewan. Pangan hewani mempunyai berbagai keunggulan dibanding pangan nabati. Pangan hewani terasa gurih atau enak karena mengandung protein dan lemak yang banyak. Pangan hewani mengandung protein yang lebih berkualitas karena mudah digunakan tubuh dan memiliki komposisi asam amino yang lengkap (Hardinsyah & Martianto 1989). Pangan hewani mengandung berbagai zat gizi mineral yang tinggi dan mudah digunakan oleh tubuh. Misalnya kalsium pada susu, zat besi, zink dan selenium yang banyak di dalam daging, hati dan
telur. Kalsium dan zink
berperan dalam pertumbuhan dan berbagai proses dalam tubuh. Zat besi bersama zat gizi lainnya berperan dalam pembentukan sel-sel darah merah hemoglobin. Hemoglobin berguna untuk membawa oksigen ke seluruh bagian tubuh. Bila kadar hemoglobin rendah (anemia) maka tubuh kekurangan oksigen, badan menjadi lemah, konsentrasi belajar dan stamina atau produktivitas kerja menjadi menurun. Pangan hewani mengandung zat gizi vitamin yang unik, misalnya vitamin A dalam hati dan kuning telur yang mudah digunakan tubuh. Kemudian vitamin B12 yang tidak terdapat pada pangan nabati. Vitamin B12 yang kaya dalam pangan hewani berperan penting dalam pembentukan sel darah merah yang menangkap oksigen bagi tubuh dan dalam pembentukan myelin syaraf (Hardinsyah 2004). Mutu protein pangan hewani ditentukan oleh jenis dan proporsi asamasam amino yang dikandungnya. Pola asam amino pada protein hewani merupakan yang terbaik untuk memenuhi kebutuhan manusia karena polanya menyerupai pola kebutuhan asam amino manusia. Oleh karena itu, apabila pangan hewani digunakan sebagai sumber protein tunggal dalam jumlah memenuhi kebutuhan manusia maka ia memberikan semua asam-asam amino esensial dalam jumlah cukup. Kelebihan asam-asam amino esensial dapat digunakan untuk mensintesis asam-asam amino nonesensial. Pangan sumber protein hewani adalah daging, ayam, ikan, telur, susu, dan produk olahannya (Riyadi 2006).
10
Konsumsi pangan hewani masyarakat dapat menjadi indikator kuantitas dan kualitas status gizi baik atau buruk. Selain itu, konsumsi pangan juga menjadi determinan dalam menentukan suatu wilayah rawan pangan dan mengalami kelaparan. Berikut tabel konsumsi pangan hewani masyarakat Indonesia tahun 2008. Tabel 2 Konsumsi pangan hewani masyarakat Indonesia tahun 2008 Konsumsi Komoditas Daging Telur dan Susu Ikan
Jumlah (kg/kap/tahun) 4.8 17.7 28.0
Protein (g/kap/hari) 2.4 3.0 7.9
Sumber: Badan Pusat Statistik (Susenas 2007 dan 2008)
Pangan yang dikonsumsi mempengaruhi absorpsi zat besi di dalam tubuh. Faktor yang mempengaruhi absorbsi besi, yaitu faktor yang mendorong (enhancer) dan menghambat (inhibitor) penyerapan zat besi. Bila tubuh kekurangan besi atau kebutuhannya meningkat pada masa pertumbuhan, absorbsi besi nonheme dapat meningkat sampai sepuluh kali, sedangkan besi heme dua kali (Almastier 2003). Konsumsi pangan hewani ataupun nabati sangat berpengaruh terhadap kecukupan zat besi bagi tubuh. Pangan yang mengandung zat besi tinggi akan sangat membantu terpenuhinya zat besi sehingga bila pangan tersebut dikonsumsi bersamaan dengan pangan yang dapat membantu penyerapannya, kebutuhan tubuh akan zat besi dapat terpenuhi secara optimal, sedangkan jika pangan sumber zat besi dikonsumsi bersamaan dengan pangan yang dapat menghambat penyerapan zat besi, maka kebutuhan tubuh akan zat besi tidak akan terpenuhi secara optimal yang pada akhirnya dapat mengakibatkan anemia. Pangan yang dapat membantu penyerapan zat besi yaitu: vitamin C, makanan hasil fermentasi dan pangan hewani itu sendiri. Sedangkan pangan yang dapat menghambat penyerapan zat besi antara lain: makanan yang mengandung tanin, fitat dan kalsium (Monsen et al. 1987). Bioavailabilitas Zat Besi Manusia dapat menggunakan besi yang di konsumsi dalam dua tipe, besi heme dan non-heme. Heme adalah sumber zat gizi besi yang mudah dan siap diserap dibandingkan besi non-heme. Besi heme memiliki molekul besi aktif yang tinggi daya ikatnya dengan oksigen di hemoglobin (Yanatori et al. 2010). Menurut Muchtadi et al (1992), zat besi dalam bahan pangan diklasifikasikan dalam dua kelompok yaitu heme dan non-heme. Kecepatan penyerapan zat besi heme oleh
11
tubuh lebih tinggi dibandingkan zat besi non-heme. Namun demikian sebagian besar bahan pangan mengandung zat besi non-heme, oleh karena itu bentuk non-heme menyumbang kebutuhan zat besi tubuh dalam jumlah yang relatif lebih banyak. Mahan dan Stump (2008) menyatakan bioavailabilitas mineral adalah ketersediaan mineral dalam usus untuk diabsorbsi dengan kata lain penyerapan aktual (efisiensi) dari mineral yang menunjukan retensi mineral dalam tubuh yang digunakan dalam fungsi selular atau jaringan. Kualitas zat besi dalam makanan atau dinamakan juga ketersediaan biologis zat besi (bioavailabilitas) harus diperhatikan. Menurut FAO/WHO (2001), bioavailabilitas zat besi dalam makanan sangat dipengaruhi oleh faktor pendorong dan penghambat. Absorbsi besi sangat tergantung pada jumlah dalam bahan makanan yang menghambat dan meningkatkan absorbsi, sehingga absorbsi besi dari makanan yang dikonsumsi sehari-hari
bervariasi
antara
5-10%.
Untuk
masyarakat
yang
banyak
mengkonsumsi bahan makanan yang berasal dari hewani seperti di negara Eropa, Amerika serikat dan negara maju lainnya absorbsi zat besi dari makanan yang di konsumsinya dapat berkisar antara 10-20% sedangkan di negara-negara berkembang hanya berkisar antara 5-10% (Almatsier 2002). Almatsier (2002) mengatakan bahwa, banyak faktor yang berpengaruh pada absorbsi besi, yaitu faktor yang mendorong dan menghambat penyerapan zat besi. Faktor yang mendorong penyerapan zat besi antara lain asam organik, tingkat keasaman lambung dan bentuk besi yang dikonsumsi. Makan besi heme dan nonheme secara bersamaan akan membantu penyerapan besi non-heme. Daging, ayam dan ikan sebagai sumber besi heme dapat membantu penyerapan besi. Sedangkan asam fitat, asam oksalat dan tannin dapat mengikat besi sehingga mempersulit penyerapannya. Kebutuhan tubuh akan besi berpengaruh besar terhadap absorbsi besi. Bila tubuh kekurangan besi atau kebutuhannya meningkat pada masa pertumbuhan, absorbsi besi nonheme dapat meningkat sampai sepuluh kali, sedangkan besi heme dua kali. Menurut
Latunde
&
Neale
(1986),
faktor
yang
mempengaruhi
ketersediaan biologis zat besi dapat dibagi ke dalam dua bagian, yaitu faktor endogen (kondisi dalam tubuh) dan faktor eksogen (zat makanan). Faktor endogen antara lain kebutuhan tubuh dan sekresi saluran cerna. Faktor eksogen yaitu berbagai komponen bahan pangan yang berinteraksi dalam pelepasan zat besi, antara lain kandungan zat besi bahan pangan, bentuk zat besi dalam bahan
12
pangan, faktor pendorong dan faktor penghambat absorpsi besi yang berasal dari bahan makanan. Bahan pangan hewani memiliki kandungan besi total, besi heme dan besi non-heme yang berbeda pada setiap jenisnya, selain itu proses pengolahan juga berpengaruh terhadap zat besi yang terkandung. Berikut tabek bahan pangan hewani yang mengandung heme dalam persen (mg/100g). Tabel 3 Kandungan besi heme dan non-heme, besi total dan persen besi heme dari pangan hewani mentah dan olahan (mg/100g BDD) Jenis Pangan Produk Hewani Mentah Daging sapi Dadih ayam Dada ayam Hati ayam Dadih babi Hati babi Daging babi Ikan lele Ikan nila Ikan gabus Ikan tuna makarel Udang galah
Besi Heme 1.3 9.2 0.1 3.1 15.4 2.9 1.3 0.7 0.4 0.4 0.8 0.1
Besi Non-Heme 0.7 2.4 0.3 6.7 2.6 9.4 0.7 1.2 0.7 0.7 1.2 0.4
Produk Hewani Olahan 1.3 1.1 Daging sapi, rebus 2.8 9.0 Dadih ayam, rebus 0.3 0.1 Dada ayam, rebus 1.0 0.3 Drumstick ayam, rebus 8.0 2.6 Hati ayam, rebus 3.2 15.0 Dadih babi, rebus 10.3 2.3 Hati babi, rebus 1.2 0.3 Bola-bola daging, rebus 0.8 0.1 Bola-bola ayam, rebus 0.7 0.1 Bola-bola babi, rebus 0.7 0.3 Ayam asap, rebus 1.3 0.5 Ikan lele, rebus 0.9 0.3 Ikan nila, rebus 0.9 Ikan gabus, rebus 0.3 1.4 0.9 Tuna makarel, rebus 0.6 Udang galah, rebus 0.1 Sumber: Kandungan Besi Heme dan Non-Heme pada (R.Kongkachuichai et al. Mahidol University 2002)
Total Besi
Besi Heme (%)
2.1 11.6 0.4 9.9 18.1 12.3 2.1 1.9 1.1 1.1 2.0 0.5
2.4 12.1 0.4 1.2 10.6 18.1 12.6 1.4 0.9 0.8 1.0 1.8 1.2 1.2 2.4 0.7 Produk Hewani
66.2 79.3 30.0 31.1 85.6 23.3 66.2 36.8 36.6 36.6 40.0 20.0
45.0 76.3 23.4 22.4 24.2 76.3 18.2 19.1 8.8 5.6 33.7 27.9 27.1 23.6 37.7 10.5 di Thailand
Metode penetapan bioavailabilitas terdapat banyak cara metode dan langkah dalam penetapan zat besi, salah satu metode yang digunakan adalah metode Du et al. (1999). Metode Du et al. (1999), dilakukan di China melalui tiga langkah pendekatan. Langkah pertama adalah dengan menganalisa makanan dan zat gizi yang dapat meningkatkan dan menghambat penyerapan zat besi yaitu konsumsi pangan hewani, asam askorbat (vitamin C), sayuran dan buah, serealia, kacang-kacangan dan teh. Langkah kedua adalah dengan menentukan faktor yang mempengaruhi besi yang terbagi menjadi dua grup, yaitu estimasi bioavailabilitas besi dengan status hemoglobin. Langkah ketiga adalah kombinasi antara fakor yang dapat meningkatkan dan menghambat penyerapan yang
13
diasumsikan 40% besi berasal dari pangan hewani dan 23% bioavailabilitas besi heme. Menurut MacPhail (2000) tingkatan bioavablitas terbagi menjadi tiga tipe. Tipe yang pertama adalah tipe bioavailabilitas rendah merupakan besi dari bahan makanan pokok beras, jagung atau umbi-umbian, kurang mengandung unsur daging, ikan dan vitamin C dengan penyerapan besi tipe ini kurang dari 5%. Kedua tipe bioavailabilitas menengah terdapat pada golongan dengan makanan pokok beras dan jagung dengan sejumlah daging dan vitamin C dengan penyerapannya antara 5-15%. Dan tipe ketiga bioavailabilitas tinggi terdapat pada susunan makanan yang banyak mengandung daging dan vitamin C dengan penyerapan besi lebih dari 15%. Besi yang berasal dari pangan hewani dapat diserap lebih baik 30% dibanding yang berasal dari sumber nabati (5%). Sumber heme (ikan, ayam dan daging) sendiri mengandung non-heme (60%) dan heme (40%). Konsumsi heme memiliki keuntungan ganda yaitu besinya mudah diserap dan juga membantu penyerapan besi non-heme. Perhitungan perkiraan penyerapan besi didasarkan pada bioavabillitas konsumsi makan yaitu, penyerapan besi tinggi (15%), penyerapan besi sedang (10%) dan penyerapan besi rendah (5%) (WNPG 2004). Anemia pada Remaja Putri Anemia adalah suatu keadaan dengan kadar hemoglobin (Hb) yang lebih rendah daripada normal sebagai akibat ketidakmampuan jaringan pembentukan sel darah merah dalam produksinya guna mempertahankan kadar hemoglobin pada tingkat normal. Anemia merupakan masalah kesehatan masyarakat yang serius, berdampak pada perkembangan fisik dan psikis, perilaku dan kerja (Rasmaliah 2004). Anemia adalah suatu keadaan dimana komponen hemoglobin (Hb) dalam darah jumlahnya kurang dari kadar normal. Anemia Gizi adalah kekurangan kadar hemoglobin (Hb) dalam darah yang
disebabkan
karena
kekurangan
zat
gizi
yang
diperlukan
untuk
pembentukan Hb tersebut. Anemia adalah suatu keadaan dimana kadar hemoglobin di dalam sel darah merah berkurang dikarenakan adanya kelainan dalam pembentukan sel, perdarahan atau gabungan keduanya sehingga tubuh akan mengalami hipoksia sebagai akibat kemampuan kapasitas pengangkutan oksigen dari darah berkurang.
14
Anemia pada umumnya terjadi di seluruh dunia, terutama di negara berkembang dan ada kelompok sosial ekonomi rendah. Pada kelompok dewasa anemia terjadi pada kelompok usia reproduksi, terutama wanita hamil dan menyusui. Secara keseluruhan, anemia terjadi pada 45% di negara berkembang dan 13% di negara maju. Di Amerika terdapat 12% anemia pada wanita usia subur (15-49 tahun) dan 11% wanita hamil mengalami anemia (Syafiq et al. 2007). Jenis anemia yang paling sering ditemui adalah kekurangan zat besi yang terjadi bila kita kehilangan banyak darah dari tubuh (baik karena perdarahan luka maupun menstruasi) ataupun karena makanan yang kita konsumsi kurang mengandung zat besi (Moehji 2001). Heme merupakan suatu pigmen yang mengandung inti sebuah atom besi dan merupakan tempat sebagian besi berada dalam sel-sel darah merah. Terdapat empat heme dalam sebuah molekul hemoglobin sedangkan untuk sebuah molekul mioglobin hanya terdiri dari satu pigmen heme untuk setiap protein (Winarno 1997) Proses kekurangan zat besi menjadi anemia melalui beberapa tahap seperti dikemukakan Almatsier (2002), pertama terjadi penurunan simpanan cadangan zat besi dalam hati karena berbagai hal (iron depletion). Cadangan besi rendah tapi belum terjadi disfungsi, kadar besi dalam serum masih baik dan hematokrit masih normal. Pada tahap kedua (iron deficiency) berkurangnya zat besi yang tersedia untuk sistem eritropoesis, yaitu keadaan dimana penyediaan besi tidak cukup untuk pembentukan sel darah merah di sumsum tulang belakang serta serum feritin juga menurun namun kadar hemoglobin masih normal (belum berpengaruh). Tahap ketiga (iron deficiency anemia) adalah suatu keadaan dimana kadar hemoglobin sudah sangat rendah (dibawah normal) sehingga terjadi anemia, ditunjukkan dengan serum feritin menurun, besi serum menurun dan hematokrit menurun, juga disertai gejala klinis anemia. Kegagalan gizi yang merupakan salah satu penyebab terjadinya anemia akan berdampak pada kegagalan pertumbuhan fisik dan perkembangan kecerdasan, menurunkan produktivitas kerja dan menurunkan daya tahan tubuh yang berakibat meningkatkan angka kesakitan dan angka kematian (Arisman 2004). Hemoglobin adalah protein yang kaya akan zat besi. Hemoglobin berfungsi sebagai pembawa oksigen. Hemoglobin memiliki afinitas (daya gabung)
kuat
dengan
O2
dan
dengan
oksigen
tersebut
membentuk
oxihemoglobin di dalam sel darah merah, maka oksigen bisa dibawa dari paru-
15
paru ke jaringan tubuh (Roosita et al. 2006). Hemoglobin merupakan molekul protein di dalam sel darah merah yang bergabung dengan oksigen dan karbon dioksida untuk diangkut melalui sistem peredaran darah kedalam jaringan dalam tubuh. Ion besi dalam bentuk Fe2+ dalam hemoglobin memberikan warna merah pada darah. Dalam keadaan normal 100 ml darah mengandung 15 g hemoglobin yang mampu mengangkut 0.03 g oksigen atau kadar hemoglobin (Hb) ± 15 g % (g per dl darah). Penderita anemia biasanya ditandai dengan penurunan nafsu makan, sering mengeluh pusing, mata berkunang-kunang, kelopak mata pucat, bibir, lidah, kulit dan telapak tangan pucat, mengalami lesu, lemah, letih, lelah, lalai, memiliki sifat apatis, nafas pendek dan kuku mudah pecah. Namun terkadang tidak ada tanda bila pasien mengalami anemia ringan (Balitbangkes 2005). Gejala lain dari anemia yaitu Penderita anemia biasanya mudah lemah, letih, lesu, serta susah berkonsentrasi. Gejala ini disebabkan karena otak dan jantung mengalami kekurangan distribusi oksigen dari dalam darah. Denyut jantung penderita anemia biasanya lebih cepat karena berusaha mengkompensasi kekurangan
oksigen
dengan
memompa
darah
lebih
cepat.
Akibatnya
kemampuan kerja dan kebugaran tubuh menurun. Jika kondisi ini berlangsung lama, kerja jantung menjadi berat dan bisa menyebabkan gagal jantung kongestif. Anemia zat besi juga bisa menyebabkan menurunya daya tahan tubuh sehingga tubuh mudah terinfeksi (Arisman 2004). Remaja putri cenderung untuk membatasi asupan makanan karena mereka ingin langsing. Hal ini merupakan salah satu penyebab prevalensi anemia cukup tinggi pada remaja wanita. Keadaan seperti ini sebaiknya tidak terjadi, karena masa remaja merupakan masa pertumbuhan yang membutuhkan zat-zat gizi yang lebih tinggi (Depkes 2003). Adapun batasan kelompok menurut umur dan jenis kelamin untuk penentuan anemia yang dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Batasan hemoglobin (Hb) untuk penentuan anemia berdasarkan WHO/UNICEF/UNU (1996) Kelompok Umur/Jenis Kelamin Anak umur 6 bulan-5 tahun Anak umur 5-11 tahun Anak umur 12-13 tahun Wanita tidak hamil Wanita hamil Laki-laki
Hb di bawah (g/L) 110 115 120 120 110 130
Hematokrit di bawah (%) 33 34 36 36 33 39
Sumber : Allen dan Gillespie (2001)
Menurut Sediaoetama (2000), faktor risiko terjadinya anemia lebih besar terjadi pada wanita dibandingkan dengan pria. Cadangan besi dalam tubuh
16
wanita lebih sedikit daripada pria, sedangkan kebutuhan dalam seharinya lebih tinggi. Setiap harinya seorang wanita akan kehilangan sekitar 1-2 mg zat besi melalui ekskresi secara normal. Pada saat menstruasi, kehilangan zat besi bisa bertambah hingga 1 mg. Faktor lain yang menyebabkan wanita rentan mengalami anemia adalah pola makan. Biasanya wanita ingin memiliki tubuh ideal dengan cara diet secara berlebihan, hal ini mengakibatkan kebutuhan zat gizi terutama Fe yang berasal dari makanan tidak dapat terpenuhi secara optimal. Prestasi Belajar Pengertian prestasi menurut Sudjana (1999), adalah suatu hasil kerja yang dicapai seseorang dalam melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya yang didasarkan atas kecakapan, pengalaman dan kesungguhan serta waktu. Sedangkan Suryadi (1998) memberikan pengertian prestasi merupakan kesanggupan melaksanakan pekerjaan sesuai dengan waktu yang telah ditentukan, bermutu dan tepat mengenai sasaran dengan tujuan yang telah ditetapkan. Prestasi menurut Siswanto (1987) adalah hasil kerja yang dicapai oleh
seseorang
dalam
melaksanakan
pekerjaannya
yang
dibebankan
kepadanya. Prestasi adalah tingkat pelaksanaan tugas yang dapat dicapai oleh seseorang, unit, atau divisi dengan menggunakan kemampuan yang ada dan batasan-batasan
yang
telah
ditetapkan
untuk
mencapai
tujuan
organisasi/perusahaan (Samsudin 2003). Prestasi belajar adalah hasil penilaiain pendidik terhadap proses belajar dan hasil belajar siswa. Keberhasilan siswa dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain kecerdasan kognitif dan kesuksesan belajar di sekolah (school achievement) yang secara umum diketahui sebagai keberhasilan siswa di sekolah (Atkinson 2000). Menurut Yuliawati (1997) prestasi akademik atau prestasi belajar dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu kemampuan dasar (intelegensi), bakat, cara belajar, motivasi/dorongan, kondisi fisik, fasilitas belajar, lingkungan fisik, keadaan/suasana psikologis dirumah dan hibungan anak dengan orang tua, guru serta teman. Cangelosi (1995) menyatakan bahwa prestasi siswa merupakan tingkat kemajuan yang telah dicapai siswa dengan tujuan belajar. Suparno (2001) mengemukakan kesulitan-kesulitan atau masalah yang dihadapi dalam proses belajar. Masalah tersebut diklasifikasikan dalam tiga kategori yaitu masalah internal, eksternal dan lingkungan (fisik, sosial dan ekonomi).
17
Prestasi belajar merupakan capaian yang sangat penting dan merupakan alat pengukur kemampuan kognitif siswa. Prestasi belajar dapat diukur dengan melakukan tes atau ujian. Fungsi tes prestasi belajar adalah untuk menentukan keterampilan dan pengetahuan yang sudah diajarkan pada berbagai tingkat pendidikan atau menilai sejauh mana siswa dapat memperoleh manfaat dari pelajaran yang telah diajarkan. Setiap test mempunyai butir soal yang berfungsi untuk menilai materi yang telah disajikan (Arikunto 1996). Banyak siswa yang terhambat perkembangan kecerdasannya karena kurangnya asupan gizi yang berkualitas. Gizi kurang pada anak dapat mempengaruhi perkembangan mental dan kecerdasan anak. Status gizi yang buruk, kekurangan zat gizi berupa mineral, vitamin dan zat gizi lainnya dapat mempengaruhi metabolisme di otak, sehingga mengganggu pembentukan DNA di susunan syaraf. Hal tersebut mengakibatkan terganggunya pertumbuhan sel otak dan melinasi sel otak, terutama pada usia di bawah tiga tahun sehingga sangat berpengaruh terhadap perkembangan mental dan kecerdasan anak (Judarwanto 2004). Penelitian mengenai hubungan antara status besi dan kemampuan kognitif telah banyak dilakukan lebih dari tiga decade ini. Banyak ahli yang mempromosikan program fortifikasi atau suplementasi untuk menekan kejadian akibat dari defisiensi besi (iron deficiency anemia) dengan perkembangan kognitif yang buruk. Kemampuan kognitif pada remaja khususnya siswi sekolah menengah mempengaruhi kemampuan dalam konsentrasi belajar yang secara tidak langsung dapat berdampak pada tingkat prestasi akademik yang dihasilkan selama sekolah. Soemantri et al. (1985) telah meneliti hubungan mengenai anemia defisiensi besi dengan kesuksesan sekolah dengan membandingkan grup anemia (n=42) dan grup normal (n=17) dengan IQ, prestasi belajar dan konsentrasi belajar (p<0.05). Di Indonesia telah ada penelitian yang menunjukan peningkatan kemampuan kognitif melalui perlakuan pada grup anemia dan tidak anemia yang dipantau selama tiga bulan sekolah. Banyak faktor yang mempengaruhi prestasi belajar, salah satunya adalah faktor kurangnya atau tidak efektifnya pengajaran oleh guru di sekolah, faktor perhatian siswa, dan motivasi belajar siswa (Grantham & Cornelius 2001). Murray & John (2007) menemukakan bahwa ada hubungan yang signifikan antara status besi dengan performa kognitif pada wanita usia reproduksi atau wanita usia subur dengan n=34 dan p=0.038. Selain
18
itu anemia berhubungan kuat dengan perkembangan balita dan rendahnya skor kognitif pada test dan prestasi belajar anak. Beberapa faktor dapat dihubungkan antara anemia dan kemampuan kognitif antara lain, kemiskinan, status ekonomi, IQ, berat bayi lahir rendah (BBLR) dan infeksi parasit. Anemia menyebabkan remaja wanita menjadi pasif, sering mengantuk dan tidur, tidak melakukan apaapa, malas dan jarang bergaul serta bermain dengan teman sebaya (Soewondo 1989). Survey NHANES pada tahun 1999-2000 melaporkan prevalensi anemia defisiensi besi terbesar terdapat pada remaja perempuan (9-16%) dan pada anak balita sebesar 7%. Anemia defisiensi besi dapat berpengaruh pada fungsi kognitif, pelilaku dan fungsi otak lainnya yang dapat terjadi pada masa perkembangan otak (Mc Cann 2007). Anemia juga menyebabkan terjadinya penurunan skor kemampuan mental MDI (Mental Development Index) yang signifikan pada grup anemia. Studi longitudinal mengenai anemia juga telah membuktikan bahwa pada anak
anemia memiliki kemampuan kognitif,
perkembangan motorik dan prestasi belajar yang buruk (Grantham & Cornelius 2001). Besi berperan dalam sistem syaraf pusat perifer dalam enzim yang diperlukan untuk sintesis neurotransmitter dan berperan dalam mielinisasi. Selain itu, dampak akibat rendahnya status besi yaitu efek negatif pada perkembangan kognitif, kemampuan berkonsentrasi yang buruk, minat belajar yang kurang dan prestasi yang buruk di sekolah (Barasi 2009). Batra & Archana (2005) mengemukakan dampak yang terjadi akibat anemia pada usia sekolah melalui beberapa tes yang terdiri dari aritmatik tes, test kurikulum sekolah dan test pembendaharaan kata (vocabulary test), dengan hasil bahwa terjadi penunan skor yang signifikan p=0.02 pada subjek anemia di usia sekolah. Selain itu pada anak usia lebih dari dua tahun dengan anemia biasanya memiliki kemampuan kognitif yang buruk dan prestasi sekolah yang rendah dibandingkan anak tidak anemia. Anemia juga menyebabkan penurunan kemampuan verbal (verbal learning) dan kemampuan mengingat memori pada remaja wanita, dimana kemampuan verbal dan memori sangatlah penting dalam peningkatan performa akademik (Bruner et al. 1996)
19
KERANGKA PEMIKIRAN Karakteristik individu yang meliputi jenis kelamin, umur, tinggi badan dan berat badan akan sangat mempengaruhi konsumsi pangan. Konsumsi makan yang terbentuk dipengaruhi juga oleh pola aktivitas dan kebiasaan makan. Pangan protein yang dikonsumsi antara lain pangan heme dan pangan nonheme, dimana kedua jenis pangan ini memiliki kandungan penyerapan dan bioavailabilitas zat besi yang berbeda. Masa remaja membutuhkan asupan pangan yang tinggi dalam mencukupi kebutuhan energi dan zat gizi untuk mendukung aktivitas dan menjalankan fungsi biologis tubuh setiap harinya dengan status gizi yang baik. Konsumsi pangan mempengaruhi ketersediaan biologis zat besi yang mempengaruhi tingkat atau status anemia individu yang akan berdampak terhadap produktivitas siswi yaitu prestasi belajar. Pangan yang dikonsumsi memiliki beraneka ragam karakteristik antara lain pangan heme dan pangan nonheme, dimana kedua jenis pangan ini memiliki kandungan zat besi yang berbeda. Pangan yang mengandung besi heme akan lebih mudah diserap dibandingkan pangan yang mengandung besi non-heme. Produktivitas kerja pada siswi sekolah menengah atas dapat tercermin melalui prestasi belajar siswi pada nilai ujian semester yang dilaksanakan sekolah. Nilai ujian semester terbagi atas dua kategori, yaitu nilai mata pelajaran keseluruhan dan mata pelajaran kejuruan. Masalah gizi yang terjadi pada remaja khususnya anak sekolah akan mempengaruhi proses belajar di sekolah dan akan berdampak pada prestasi belajar di sekolah. Status gizi berpengaruh terhadap konsumsi pangan dan status kesehatan. Siswi yang mengkonsumsi makanan yang cukup kandungan gizinya akan memiliki status gizi yang baik. Salah satu masalah defisiensi zat gizi yang mempengaruhi kemampuan belajar remaja di sekolah adalah anemia yang ditandai dengan kadar hemoglobin darah yang lebih rendah dari nilai normal. Anemia juga dapat mempengaruhi kemampuan belajar siswi dan dapat mempengaruhi prestasi belajar. Selain itu banyak faktor lain yang mempengaruhi prestasi belajar, antara lain faktor eksternal yaitu lingkungan belajar, sekolah, masyarakat dan pergaulan serta faktor internal yaitu minat, bakat, intelegensi dan motivasi.
20
Karakteristik Contoh Umur Tinggi badan Berat badan Uang saku Usia menarche Lama & Siklus menstruasi Pendidikan, Pekerjaan & Pendapatan orang tua
• • • • • • •
Pola Aktivitas
• • • • •
Enhancer
• •
Faktor Eksternal: Lingkungan belajar sekolah, masyarakat dan pergaulan.
Konsumsi Pangan Tingkat Kecukupan Energi Protein Zat Besi Vitamin C Vitamin A Bioavailabilitas Zat Besi
Ketersediaan Pangan
Inhibitor
Status Gizi Biokimia: Status Besi (Hb) Anthropometri: IMT/U Prestasi Belajar (Nilai Rapot)
Faktor Internal (individu): Minat, konsep diri, bakat, intelegensi, motivasi dan fasilitas belajar.
Keterangan: : Garis hubungan pengaruh : Variabel yang diamati : Variabel yang tidak diamati
Gambar 1 Kerangka pemikiran hubungan konsumsi pangan dan status besi dengan prestasi belajar
21
METODE PENELITIAN Desain, Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian proyek intevensi cookies muli gizi IPB, data yang diambil adalah data baseline penelitian. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dan inferensia menggunakan desain cross sectional study, yaitu pengumpulan data dilakukan pada satu waktu untuk menggambarkan karakteristik contoh dan hubungan antar variabel. Penelitian ini dilakukan di SMK Pelita Ciampea. SMK Pelita Ciampea berada di wilayah Kabupaten Bogor dan merupakan sekolah menengah ke bawah. Data primer wawancara siswi SMK dipilih sesuai persyaratan yang telah ditentukan. Data sekunder didapatkan melalui dokumen, arsip dan buku pada saat penelitian. Pengumpulan data dilaksanakan pada bulan Mei 2012 hingga Juni 2012. Jumlah dan Cara Penarikan Contoh Contoh adalah siswi kelas X jurusan butik dan X-XI keperawatan SMK Pelita Ciampea Bogor yang berjumlah 74 orang. Cara penarikan contoh diambil secara purposive yaitu siswi yang memiliki kriteria yang meliputi remaja putri yang sudah menstruasi, bersedia berpartisipasi dan diwawancarai sampai selesai, telah mengisi informed consent dan tidak sedang menderita sakit. Pemilihan SMK dikarenakan populasi contoh siswa perempuan yang lebih banyak dibandingkan dengan SMA. Kelas butik dan kelas keperawatan dipilih berdasarkan proporsi banyaknya jumlah siswi perempuan dibandingkan laki-laki pada jurusan lainnya. Jenis dan Cara Pengumpulan Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh merupakan hasil dari konsumsi pangan yang dikumpulkan dengan cara pengisian kuesioner oleh contoh setelah mendapatkan penjelasan dari peneliti dan wawancara langsung oleh peneliti. Karakteristik contoh meliputi umur, usia mencarche, lama menstruasi, siklus menstruasi, uang saku, pendidikan orang tua, pekerjaan orang tua, pendapatan orang tua, berat badan dan tinggi badan didapatkan dengan cara pengisian kuesioner, pengukuran tinggi badan dan penimbangan berat badan. Konsumsi pangan didapatkan dari pengisian kuesioner berupa recall 2x24 jam yang dilakukan dengan menanyakan jenis serta jumlah makanan dan minuman yang
22
dikonsumsi oleh contoh selama 24 jam. Adapun data sekunder yang dikumpulkan adalah nilai raport pada semester ganjil tahun ajaran 2011/2012. Status gizi diketahui melalui berat badan dan tinggi badan (antropometri). Status besi sampel diketahui dari kadar hemoglobin (Hb) darah. Pemeriksaan darah dilakukan menggunakan analisa Hb dengan menggunakan metode cyanmethemoglobin oleh tim kesehatan dari Klinik Pandu Bogor. Produktivitas siswi didapatkan melalui prestasi belajar yang terdapat pada rata-rata nilai ujian semester. Pengolahan dan Analisis Data Data-data yang diperoleh baik data primer maupun data sekunder kemudian dikumpulkan untuk diolah dan dianalisis secara statistik. Proses pengolahan data meliputi editing, coding dan entry data. Data yang diperoleh akan diolah dan dianalisis secara statistik deskriptif dan statistik inferensia. Data dianalisis secara deskriptif dengan melihat distribusi frekuensi, nilai maksimum, nilai minimum, standar deviasi, nilai tengah dan rata-rata variabel penelitian (karakteristik contoh, status gizi, konsumsi pangan, bioavailabilitas zat besi, status anemia dan prestasi belajar). Data status gizi dikelompokan menjadi lima yaitu gizi sangat kurus, kurus, normal, gemuk dan obese berdasarkan indeks massa tubuh (IMT/U). Status besi dikelompokan menjadi anemia apabila kadar hb <12 g/dl dan tidak anemia apabila kadar hb>12 g/dl. Umur contoh dibagi menjadi dua kategori yaitu remaja pertengahan (13-17 tahun) dan remaja akhir (18-20 tahun). Uang saku dikelompokan menjadi tiga kategori yaitu kurang (Rp. <5.000, sedang (Rp. 5.000-10.000) dan cukup (Rp. >10.000). Besar keluarga dalam penelitian ini dibagi menjadi tiga kategori yaitu keluarga kecil (≤ 4 orang), keluarga sedang (5-6 orang) dan keluarga besar (≥ 7 orang). Pendidikan orang tua dikategorikan menjadi lima yaitu tidak sekolah, sekolah dasar, sekolah menengah pertama, sekolah menengah atas dan perguruan tinggi. Pekerjaan orang tua dibagi ke dalam tujuh kategori yaitu PNS, TNI/POLRI, petani, buruh bangunan, wiraswasta, karyawan swasta dan lainnya. Data konsumsi pangan diperoleh dari kuesioner recall yang diolah meliputi jumlah dan jenis pangan kemudian dikonversikan dalam kandungan energi, protein, zat besi dan vitamin C dengan menggunakan Microsoft Excel 2000 selanjutnya konsumsi energi, protein, zat besi dan vitamin C dibandingkan dengan angka kecukupan gizi individu yang didapat berdasar umur (remaja). Tingkat kecukupan zat gizi pada remaja dihitung menggunakan Angka
23
Kecukupan Gizi (WNPG 2004) yang dibagi berdasarkan kelompok umur. Angka kecukupan energi kategori 13-15 tahun yaitu 2350 kkal, usia 16-19 tahun 2200 kkal, angka kecukupan protein usia 13-15 tahun yaitu 57 g dan usia 16-19 tahun 55 g, untuk vitamin A usia 13-15 tahun dan 16-19 tahun sebesar 600 RE, angka kecukupan vitamin C usia 13-15 tahun dan 16-19 tahun sebesar 75 mg. Angka kecukupan Fe usia 13-15 tahun sebesar 19 mg dan usia 16-19 tahun sebesar 26 mg. Tingkat konsumsi energi, protein diukur dalam tiga kategori yaitu defisit tingkat berat (<70% AKG), defisit tingkat sedang (70-79% AKG), defisit tingkat ringan (80-89 % AKG), normal (90-119% AKG), dan lebih (≥120% AKG). Konsumsi zat besi dan vitamin C digolongkan dalam tiga kategori yaitu baik (kontribusi>100%), sedang (kontribusi (70-100%) dan kurang (kontribusi <70% kebutuhan sehari). Data prestasi belajar digolongkan menjadi empat kategori berdasarkan nilai rata-rata rapot yang dikeluarkan oleh Depdiknas, kategori tersebut adalah baik (nilai rapot >80), lebih dari cukup (nilai rapot 70-79), cukup (nilai rapot 60-69), dan kurang (nilai rapot 60). Adapun kategori dalam penelitian ini dapat dilihat pada tabel berikut; Tabel 5 Kategori variabel penelitian No. 1.
Variabel Status gizi (IMT/U)
2.
Status gizi (TB/U)
3.
Tingkat kecukupan energi dan protein
4. 5.
Tingkat kecukupan vitamin dan mineral Bioavailabilitas
6.
Status Besi
7.
Prestasi belajar
• • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • •
Kategori Sangat Kurus : z< -3 Kurus : -3 ≤ z < -2 Normal : -2 ≤ z ≤ +1 Gemuk : +1 < z ≤ +2 Obese : z > +2 Sangat pendek z ≤ -3 Pendek -3 ≤ z ≤ -2 Normal z >-2 Defisit tingkat berat: <70% AKG Defisit tingkat sedang: 70-79% AKG Kurang: <90 % AKG Cukup: 90-119% AKG Lebih: ≥120% AKG Kurang <77% AKG Cukup ≥77% AKG Rendah (5-10%) Sedang (≥10-15%) Tinggi (≥15%) Anemia <12 g/dl Tidak Anemia 12-14 g/dl Baik (nilai rapot > 80) Lebih dari cukup (nilai rapot 70-79) Cukup (nilai rapot 60-69) Kurang (nilai rapot 60)
Keterangan WHO (2007)
WHO (2007)
Depkes (2003)
Gibson (2005) WNPG (2004)
Almatsier (2002) Depdiknas (2008)
24
Bioavailabilitas
zat
besi
yang
dimiliki
pangan
bervariasi,
dalam
penyerapannya dipengaruhi oleh zat besi heme dan non-heme yang berasal dari pangan yang dikonsumsi. Vitamin C juga berpengaruh sebagai faktor pendorong (enhancer) penyerapan zat besi. Total vitamin C dihitung untuk melihat jumlah bioavailabilitas Fe (% bioavailabilitas) yang dapat diserap oleh tubuh. Metode yang digunakan dalam estimasi tingkat ketersediaan biologis zat besi (bioavailabilitas) dalam penelitian ini adalah metode Du et al. (1999). Tabel contoh cara perhitungan bioavailabilitas konsumsi pangan metode Du et al. dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 6 Contoh perhitungan bioavailabilitas konsumsi pangan metode Du et al. (1999) Bioavailabilitas (%)
Besi Terserap
Total Hewani (g)
Fe (mg)
Vit. C (mg)
Heme Faktor
Besi Heme (mg)
Besi Non Heme (mg)
Heme
Non Heme
Heme (mg)
Non Heme (mg)
Total (mg)
Persen Total (%)
(1) 117
(2) 19.9
(3) 9.12
(4) 0.4
(5) 7.96
(6) 11.94
(7) 23
(8) 0.65
(9) 1.83
(10) 0.08
(11) 1.91
(12) 9.95
Keterangan: 1. Kolom pertama yaitu jumlah berat bahan pangan hewani yang dikonsumsi selama satu hari. 2. Kolom kedua yaitu total zat besi (mg) yang dijumlahkan dari nilai zat besi pada tiap pangan yang dikonsumsi. 3. Kolom ketiga yaitu total vitamin C (mg) yang dijumlahkan dari nilai vitamin C pada tiap pangan yang dikonsumsi. 4. Kolom keempat yaitu heme faktor dengan nilai tetapan litelatur 0.4. 5. Kolom kelima yaitu besi heme (mg), dihitung dengan perkalian antara heme faktor (kolom 4) dan total zat besi (kolom 2). 6. Kolom keenam yaitu besi non-heme (mg), merupakan selisih antara total zat besi (kolom 2) dengan besi heme (kolom 5). 7. Kolom ketujuh yaitu bioavailabilitas heme (%), nilai bioavailabilitas sesuai dengan literatur sebesar 23%. 8. Kolom kedelapan yaitu bioavailabilitas non-heme (%) dihitung dari rumus sebagai berikut, % (Bioavailabilitas non-heme) = 1.7653+1.1252 In(Efs/Ifs) Keterangan: EFs : Asam askorbat (mg) + sumber hewani (g) + sayuran dan buah (g) + 1 IFs : Serealia (g) + Kacang-kacangan (g) + teh (g) + 1 Contoh perhitungan: EFs = 9.12+11.7+98+1= 225.12 IFs = 480+115+10+1= 606 %(Bioavailabilitas non-heme)= 1.7653+1.1252 In(225.12/606)= 0.85 9. Kolom kesembilan yaitu penyerapan besi heme (mg), dihitung dari perkalian antara bioavailabilitas heme (kolom 7) dengan besi heme (kolom 5). 10. Kolom kesepuluh yaitu penyerapan besi non-heme (mg), dihitung dari perkalian antara bioavailabilitas non-heme (kolom 8) dengan besi non-heme (kolom 6). 11. Kolom kesebelas yaitu total penyerapan (mg), dihitung dari jumlah penyerapan heme (kolom 9) dan penyerapan non-heme (kolom 10). 12. Kolom keduabelas yaitu persen total (%), dihitung dari perbandingan total penyerapan (kolom 11) dengan jumlah zat besi (kolom 2) dikalikan 100.
25
Data dianalisis secara statistik dengan menggunakan Chi Square dan kolerasi Pearson untuk mengetahui hubungan antar peubah melalui program komputer SPSS 16 for windows dengan tingkat kepercayaan 95%. Kolerasi Pearson
digunakan
untuk
melihat
hubungan
konsumsi
pangan
yaitu
bioavailabilitas dan hubungan status besi dengan prestasi belajar. Walpole (1993) menyatakan bahwa Uji Chi Square dapat digunakan untuk menguji adanya hubungan satu sama lain. Uji Chi Square digunakan untuk menguji apakah dua atau lebih populasi mempunyai distribusi yang sama. Uji Chi Square secara umum dipakai dalam penelitian untuk mencari kecocokan ataupun menguji ketidakadaan hubungan dalam beberapa populasi. Selain itu, untuk melihat hubungan yang terjadi antara satu variabel dan dengan variabel lain dapat digunakan korelasi. Derajat atau tingkat hubungan antara dua variabel diukur dengan indeks korelasi yang disebut koefesien kolerasi. Korelasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah korelasi Pearson. Derajat korelasi dapat dicari dengan menggunakan koefesien kolerasi Pearson dengan rumus:
r=
SP SS x .SS y
Keterangan: SP : sum of product SSx : sumsquare dari variabel X SSy : sumsquare dari variabel Y r : koefesien kolerasi (r bernilai -1 sampai +1, menunjukan adanya hubungan antara X dan Y, semakin tinggi hubungan nilai r mendekati +1) r (-) : jika nilai suatu variabel menaik sedangkan nilai variabel yang lain menurun r (+) : jika nilai suatu variabel menaik dan diikuti pula dengan menaiknya variabel lain.
Ada beberapa syarat dalam menghitung koefesien kolerasi, yaitu jumlah variabel harus sama atau kedua nilai variabel harus berpasangan. Secara relatif semakin besar koefesien kolerasi semakin tinggi pula derajat hubungan antara kedua variabel. Sebaliknya, secara relatif semakin kecil koefesien kolerasi maka semakin rendah pula derajat hubungan antara kedua variabel. Nilai r apabila mendekati +1 atau -1 menunjukan hubungan antara kedua peubah itu kuat dan dikatakan terdapat korelasi yang tinggi antara keduanya, akan tetapi apabila r mendekati nol maka hubungan linear antara variabel sangat lemah atau mungkin tidak ada sama sekali. Nilai signifikansi ditunjukan dengan nilai p (sig 2-tailed) dengan selang kepercayaan (z) 95% dan nilai kesalahan 5%. Nilai signifikan apabila p<0.05 dan tidak signifikan apabila p>0.05 (Walpole 1993).
26
Definisi Operasional Bioavailabilitas Zat Besi adalah ketersediaan biologi Fe (zat besi) yang terkandung dalam makanan yang dapat digunakan tubuh untuk menjalankan metabolisme dan fungsi fisiologis. Cara perhitungan bioavailabilitas Fe didapatkan menggunakan metode Du et al. 1999 Contoh adalah siswi SMK PELITA Ciampea Bogor jurusan keperawatan dan butik. Konsumsi pangan adalah jumlah dan jenis makanan dan minuman yang dikonsumsi dalam satu hari (1x24 jam). Prestasi belajar adalah nilai rapot contoh yang diukur menggunakan nilai ratarata yang terdapat pada rapot contoh semester satu dan dua tahun ajaran 2011/2012 yang terdiri dari nilai semua pelajaran SMK dan nilai kejuruan. Nilai pelajaran umum adalah nilai yang didapat dari rata-rata semua mata pelajaran
umum
di
SMK
yang
meliputi
pendidikan
agama,
kewarganegaraan, bahasa Indonesia, bahasa inggris, seni budaya, penjaskes, IPA, IPS, Matematika, computer, kewirausahaan, bahasa sunda dan pendidikan lingkungan hidup. Nilai pelajaran kejuruan adalah nilai yang didapat dari rata-rata mata pelajaran kejuruan sekolah menengah, pelajaran kejuruan terdiri dari mata pelajaran produktif yaitu menggambar busana, membuat busana, membuat pola dan hiasan untuk kelas butik dan patologi, anatomi fisiologi, pemberian obat dan kebutuhan dasar manusia untuk kelas keperawatan. Status besi adalah tingkatan status besi berdasar status anemia contoh yaitu keadaan Hb darah contoh yang menunjukkan anemia atau non-anemia (anemia jika kadar Hb < 12 g/dL darah). Status gizi adalah keadaan kesehatan seseorang sebagai hasil dari absorbsi dan metabolisme makanan yang dapat diukur dengan menggunakan indeks massa tubuh (IMT/U) dan TB/U. Tingkat kecukupan zat gizi adalah rata-rata asupan pangan sumber energy, protein, vitamin C, vitamin A dan zat besi yang dibandingkan dengan Angka Kecukupan Gizi (AKG).
27
HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Sekolah Penelitian dilaksanakan di SMK PELITA yang berlokasi di jalan raya Warung Borong, Desa Benteng, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Sekolah SMK PELITA berada dibawah naungan yayasan pendidikan Nurul Walidain T.H. Yayasan ini beridiri diatas tanah milik pribadi ini didirikan pada tanggal 9 juni 1998 ini berdiri di atas tanah seluas 7800 M3. Jumlah siswa SMK PELITA sebanyak 3106 siswa yang terdiri atas delapan jurusan pendidikan yaitu jurusan administrasi perkantoran, jurusan pemasaran, jurusan akutansi, jurusan akomodasi perhotelan, jurusan usaha perjalanan wisata, jurusan busana butik, jurusan keperawatan, dan jurusan farmasi. Setiap jurusan terdiri atas tiga kelas yaitu kelas X, XI, dan kelas XII. SMK PELITA Ciampea terakreditasi “A” sejak tanggal 3 November 2008 dan telah bersertifikat ISO 9001:2008. Fasilitas kegiatan pendidikan tersebut terdiri atas ruangan kelas bertingkat. Jumlah ruang kelas yang dimiliki sebanyak 24 kelas, ruangan praktikum komputer, ruangan praktikum menjahit, lapangan basket, lapangan futsal, ruang koperasi, ruang osis (organisasi siswa intra sekolah), ruang UKS (unit kesehatan siswa), ruang BK (bimbingan konseling), ruang guru, ruang administrasi dan kepala sekolah, masjid, dan kantin. Kegiatan akademik di SMK PELITA Ciampea 1 dibagi kedalam dua waktu belajar yaitu kegiatan akademik yang dimulai pada pagi hari hingga siang hari serta kegiatan akademik yang dimulai pada siang hari hingga sore hari. Siswa kelas XI dan XII mendapatkan waktu belajar pagi hari yang dimulai dari pukul 07.00-12.30 WIB, sedangkan kelas X mendapatkan waktu belajar siang hari yang dimulai dari pukul 13.00-17.00 WIB. Kualitas SMK PELITA Ciampea 1 telah diakui melalui sertifikat ISO 9001:2008. SMK PELITA Ciampea 1, mempunyai jalinan kerjasama luas dengan berbagai stakeholder guna menyalurkan para lulusannya ataupun penempatan para siswanya guna kegitan praktek/magang. Karakteristik Contoh Umur Remaja merupakan masa peralihan antara masa anak dan masa dewasa. Menurut Pardede (2002), remaja dalam tumbuh kembangnya menuju dewasa akan terjadi kematangan psikososial dan seksual yang melewati beberapa tahap, yaitu masa remaja awal (early adolescence) umur 11-13 tahun, masa remaja
28
pertengahan (middle adolescence) umur 14-16 tahun dan masa remaja lanjut (late adolescence) umur 17-20 tahun. Contoh penelitian tersebar menjadi dua kelas yaitu kelas sepuluh dan sebelas jurusan butik dan keperawatan. Jumlah siswi berbeda pada setiap kelasnya, pada kelas butik terdapat dua kelas yaitu kelas sepuluh dan sebelas. Remaja perempuan kelas sepuluh butik sebanyak 18 siswi dan kelas sebelas sebanyak 21 sisiwi, sedangkan di kelas keperawatan terdapat 35 siswi. Sebaran contoh berdasar kelas dan jurusan dapat dilihat pada gambar di bawah ini. %
Gambar 2 Sebaran contoh berdasarkan kelas dan jurusan Berdasarkan karakteristik umur dengan jumlah contoh sebanyak 74 siswi, yang tergolong dalam remaja pertengahan sebanyak 71 siswi (96%), remaja akhir sebanyak 3 siswi (4%), umur termuda terdapat pada umur 14.7 tahun, umur tertua contoh terdapat pada umur 18.5 tahun dan rata-rata umur contoh tergolong pada remaja pertengahan dengan umur 16.6±0.7 tahun. Sebaran contoh berdasarkan umur dapat dilihat pada gambar dibawah ini.
%
Gambar 3 Sebaran contoh berdasarkan umur
29
Uang Saku Uang saku adalah jumlah banyaknya uang yang diterima oleh remaja setiap harinya dari orang tua, wali atau anggota keluarga lainnya yang digunakan untuk kebutuhan makanan maupun non makanan. Pemberian uang saku oleh orang tua, wali atau anggota keluarga lainnya berbeda-beda tergantung besarnya pendapatan orang tua, wali atau anggota keluarga lainnya. Gambar 3 menunjukan diagram uang saku contoh yang terbagi menjadi tiga kategori yaitu kurang dari Rp. 5.000 yaitu sebanyak satu orang (1.4%) dan sedang yaitu Rp. 5.000-10.000 sebanyak 33 orang (44.6%) dan lebih yaitu >Rp. 10.000 sebanyak 40 orang (54.1%). Minimal uang saku remaja sebesar Rp. 3.000,00 setiap harinya, sedangkan maksimal uang saku yang diterima olah remaja sebesar Rp.33.000,00 dengan rataan uang saku yang diterima remaja setiap harinya sebesar Rp.13360±5502.
Gambar 4 Sebaran contoh berdasar uang saku Besar Keluarga Besar anggota keluarga dalam penelitian adalah jumlah individu yang tinggal dalam satu rumah dan makan dalam satu dapur. Hurlock (1999) membagi besar keluarga menjadi tiga kategori yaitu keluarga kecil (≤ 4 orang), keluarga sedang (5-6 orang), dan keluarga besar (≥ 7 orang). Data sebaran remaja berdasarkan besar keluarga disajikan pada Tabel 7. Tabel 7 Sebaran besar keluarga contoh Besar keluarga ≤ 4 orang 5 – 6 orang ≥ 7 orang Jumlah
n 6 44 24 74
% 8.1 59.5 32.4 100,0
Tabel 7 menunjukan besar keluarga contoh dalam penelitian ini tergolong ke dalam tiga katagori dasar penggolongan besar keluarga yakni kategori keluarga kecil (≤4 orang) sebanyak 6 keluarga (8.1%), kategori keluarga sedang
30
(5-6 orang) sebanyak 44 keluarga (59.5%) dan kategori keluarga besar (≥7 orang) sebanyak 24 keluarga (32.4%). Besar keluarga dengan jumlah anggota keluarga terkecil yaitu 3 orang dan jumlah anggota keluarga terbesar yaitu sebanyak 12 orang dengan rata-rata jumlah anggota keluarga 6.09±1.8. Besar kecilnya jumlah anggota keluarga dapat disebabkan oleh adanya anggota keluarga lain yang ikut menumpang bersama keluarga, kematian anggota keluarga, kelahiran anggota keluarga dan adanya anggota keluarga yang berpindah atau berpisah rumah dengan keluarga. Menurut
Sanjur
(1982)
besarnya
atau
banyaknya
anggota
keluarga
mempengaruhi besarnya belanja keluarga, selain itu besar keluarga akan mempengaruhi kesehatan seseorang atau keluarga. Pendidikan Orang Tua Pendidikan orang tua merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pola pengembangan keluarga yang akan dilakukan oleh sutu keluarga nantinya. Pendidikan orang tua bisa menggambarkan seberapa banyak informasi yang telah dikumpulkan. Tingkat pendidikan orang tua yang baik memungkinkan orang tua untuk memberikan informasi dan pengetahuan kepada anaknya. Seperti yang dikemukakan Soediaoetama (2008) yang menyebutkan bahwa tingkat pendidikan yang berkaitan dengan pengetahuan gizi dan kesehatan akan mempengaruhi praktek
pemberian
dan
pengolahan
makanan.
Pengkategorian
jenjang
pendidikan dibedakan menjadi 5 kelompok yaitu: tidak sekolah, SD (Sekolah Dasar), SMP (Sekolah Menengah Pertama), SMA (Sekolah Memengah Atas), dan Perguruan Tinggi. Klasifikasi jenjang pendidikan ini didasarkan pada lama sekolah yang dialami oleh contoh tanpa menghitung tinggal kelas.
Sebaran
tingkat pendidikan orang tua secara lebih jelas dapat dilihat pada Tabel 8 berikut: Tabel 8 Sebaran tingkat pendidikan orang tua contoh Keterangan Tidak sekolah SD (Sekolah Dasar) SMP (Sekolah Menengah Pertama) SMA (Sekolah Menengah Atas) Perguruan Tinggi
Ayah n 0 28 20 20 3
% 0 36.4 26.0 26.0 3.9
Ibu n 0 44 15 11 1
% 0 57.1 19.5 14.3 1.3
Tabel 8 menunjukan tingkat pendidikan orang tua terbesar adalah sekolah dasar dengan tingkat pendidikan sekolah dasar ayah sebanyak 28 orang (36.4%) dan ibu sebanyak 44 orang (57.1%). Jumlah pendidikan orang tua paling sedikit dengan tingkat pendidikan perguruan tinggi yaitu ayah sebanyak 3 orang (3.9%) dan ibu sebanyak 1 orang (1.3%). Hal ini menunjukan bahwa sebagian
31
besar tingkat pendidikan orang tua (ayah dan ibu) contoh adalah sekolah dasar. Rendahnya tingkat pendidikan orang tua dapat berpengaruh terhadap pemberian informasi dan pengetahuan kepada anak khususnya dalam bidang kesehatan dan pendidikan. Pekerjaan dan Pendapatan Orang Tua Pekerjaan memiliki hubungan yang erat dengan pendidikan dan pendapatan serta berperan penting dalam kehidupan sosial ekonomi keluarga dan memiliki hubungan keterkaitan dengan dengan faktor lain, seperti kesehatan. Pekerjaan orang tua merupakan hal yang cukup berperan penting dalam menunjang kehidupan keluarga terutama dalam hal pemenuhan kebutuhan hidup anggota
keluarga.
Pekerjaan
orang
tua
secara
tidak
langsung
dapat
mempengaruhi pola konsumsi pangan individu melalui tingkat pendapatan. Pekerjaan orang tua dikelompokan menjadi tujuh kelompok yaitu Pegawai Negeri Sipil (PNS), TNI/POLRI, petani, buruh bangunan, wiraswasta, karyawan swasta dan lainnya (ibu rumah tangga). Sebaran pekerjaan orang tua dapat dilihat pada tabel dibawah ini. Tabel 9 Sebaran pekerjaan orang tua contoh Keterangan PNS TNI/POLRI Petani Buruh bangunan Wiraswasta Karyawan swasta Lainnya
Ayah n 4 1 0 12 35 12 3
Ibu % 5.2 1.3 0 15.6 45.5 15.6 3.9
n 1 0 0 0 8 1 62
% 1.3 0 0 0 10.4 1.3 80.5
Tabel 9 menunjukan sebaran pekerjaan orang tua terbanyak ayah terdapat pada wiraswasta yaitu sebanyak 35 orang (45.5%) dan pekerjaan terbanyak pada ibu adalah lainnya (IRT) yaitu sebanyak 62 orang (80.5%). Jika dilihat dari kepastian mendapatkan pendapatan (gaji) kedua pekerjaan yang mendominasi jumlah sebaran tersebut termasuk kedalam kategori penghasilan tidak tetap. Pekerjaan yang termasuk kedalam kategori penghasilan tetap adalah PNS dan TNI/POLRI, jumlah pekerjaan orang tua PNS pada ayah sebanyak 4 orang (5.2%) dan ibu sebanyak 1 orang (1.3%), sedangkan hanya 1 orang (1.3%) pekerjaan ayah TNI/POLRI. Faktor pendapatan mempunyai peranan yang besar terhadap masalah gizi dan pola konsumsi individu ataupun masyarakat. Tingkat pendapatan keluarga sangat mempengaruhi tingkat ketersediaan pangan dalam keluarga serta akses keluarga terhadap pangan. Sebaran pendapatan orang tua contoh dapat dilihat pada Tabel 10.
32
Tabel 10 Sebaran pendapatan orang tua contoh Keterangan
Rp. 5.000.000 per bulan
n 4 11 20 9 13 10 7
% 5.2 14.3 26.0 11.7 16.9 13.0 9.1
Tabel 10 menunjukan mayoritas pendapatan berada pada pendapatan Rp. 1.000.000-Rp. 1.490.000 per bulan yaitu sebanyak 20 orang (26.0%). Jumlah pendapatan terendah Rp. 5.000.000 per bulan sebanyak 7 orang (9.1%). Pendapatan merupakan faktor langsung yang mempengaruhi konsumsi pangan dan pendapatan termasuk penentu baik atau buruknya keadaan gizi seseorang atau sekelompok orang. Umur, Lama dan Siklus Menstruasi Menstruasi adalah periode pengeluaran darah secara periodik (biasanya setiap bulan) dari uterus berupa campuran darah, cairan jaringan dan hasil luruhnya dinding uterus (endometrium). Usia gadis remaja pada waktu pertama kalinya mendapat haid (menarche) bervariasi yaitu antara 10-16 tahun dengan rata-rata 12.5 tahun. Usia menarche dipengaruhi oleh faktor keturunan, kesehatan wanita, keadaan gizi (konsumsi dan status gizi) dan kesehatan umum (Riyadi 2003). Umur pertama kali contoh mengalami menstruasi berkisar antara 9-15 tahun, dengan rata-rata umur menarche contoh 12.8±1.1 tahun. Lama menstruasi berkisar antara 4-7 hari, dengan rata-rata lama menstruasi contoh 4±1.1 hari. Siklus menstruasi menunjukan keteraturan terjadinya menstruasi pada contoh lama siklus menstruasi, siklus menstruasi teratur apabila contoh mengalami menstruasi dengan siklus 25-35 hari. Siklus menstruasi contoh berkisar antara 14-90 hari, dengan rata-rata siklus menstruasi contoh adalah 28.6±9.0 hari. Hanya satu orang contoh yang memiliki siklus menstruasi 14 hari dan 90 hari. Hal ini menunjukan masih terdapat contoh yang mengalami ketidakteraturan siklus menstruasi. Ketidakteraturan siklus menstruasi dapat dipengaruhi oleh hormon, aktivitas dan status gizi. Status Gizi Antropometri Status gizi merupakan keadaan kesehatan tubuh seseorang atau sekelompok orang yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan (absorbsi) dan
33
penggunaan (utilization) zat gizi. Prevalensi kekurusan pada remaja 16-18 tahun adalah 8.9% terdiri dari 1.8% sangat kurus dan 7.1% kurus. Sedangkan prevalensi kegemukan yaitu 1,4% (Riskesdas 2010). Status gizi saat remaja terbagi atas status gizi sangat kurus, kurus, normal, gemuk dan obese (Tabel 11). Tabel 11 Sebaran status gizi contoh Status Gizi IMT/U Sangat kurus (z <-3) Kurus (-3 ≤ z < 2) Normal (-2 ≤ z ≤ 1) Kelebihan berat badan (>1 ≤ z ≤ 2) Obese (z >2) TB/U Sangat pendek (z <-3) Pendek (-3 ≤ z ≤ -2) Normal (z > -2)
n
%
1 4 61 6 2
1.4 5.4 82.4 8.1 2.7
6 21 47
8.1 28.3 63.5
Berdasarkan Tabel 11, status gizi sebagian besar contoh berada dalam kategori normal yaitu sebanyak 61 siswi (82%). Terdapat 5 siswi (6.8%) yang berstatus gizi kurang yaitu satu siswi yang memiilki status gizi sangat kurus (1.4%) dan sebanyak empat siswi memiliki status gizi kurus (5.4%). Status gizi lebih terdapat pada 8 siswi (10.8%) yaitu diantaranya enam siswi yang gemuk (8.1%) dan dua siswi yang obese (2.7%). Nilai IMT/U berkisar antara 12.4-30.9. Apabila dibandingkan dengan prevalensi kekurusan dan kegemukan menurut Riskesdas (2010), sebaran contoh dengan status gizi kurus (6.8%) cenderung lebih kecil dibandingkan Riskesdas (8.9%) namun pada status gizi kelebihan berat badan, sebaran contoh (8.1%) cenderung lebih besar dibandingkan dengan Riskesdas (1.4%). Hal ini dikarenakan perbedaan cut of point
dalam penentuan kategori status gizi
riskesdas yaitu menggunakan nilai z>2 untuk kelebihan berat badan, sedangkan dalam penelitian ini menggunakan anthroplus dengan cut of point kelebihan berat badan z>+1 sehingga apabila dikategorikan menurut riskesdas hanya terdapat (2.7%) contoh dengan gizi lebih. Rata-rata sebaran status gizi contoh berdasarkan IMT adalah 20.5±3.2 atau dalam kategori status gizi normal. Pertumbuhan dan perkembangan remaja dapat dipengaruhi status gizi. Status gizi seseorang dipengaruhi oleh jumlah dan mutu pangan yang dikonsumsi dan keadaan dalam tubuh seseorang yang dapat menyebabkan gangguan penyerapan zat gizi atau terrjadi investasi penyakit
34
parasit (Suhardjo 1989). Gambar 5 menunjukkan bahwa distribusi status IMT/U siswi SMK Pelita Ciampea dibandingkan standar WHO.
Gambar 5 Distribusi IMT/U contoh dibandingkan WHO Kurva diatas menunjukan sebaran status gizi berdasarkan IMT/umur contoh berada dalam kategori normal (-2SD s/d +1SD), namun kurva menunjukan kecenderungan condong ke kiri atau kecenderungan ke arah status gizi kurang. Sebaran status gizi (TB/U) contoh terdapat pada Gambar 6, rata-rata status gizi (TB/U) contoh berada dalam kategori normal (-2SD s/d +2SD) dengan rata-rata TB/U -1.8±0.8, namun pada status gizi TB/U kecenderungan stunted pada contoh relatif tinggi. Hampir 40% contoh antara lain 6 contoh (8.1%) severely stunted (sangat pendek) dan 21 contoh (28.3%) stunted dengan median <-2SD, 47 orang dengan status normal dan arah kurva cenderung ke kiri. Sebaran status gizi (TB/U) contoh dapat dilihat pada gambar dibawah.
Gambar 6 Distribusi TB/U contoh dibandingkan WHO
35
Tubuh pendek pada remaja terjadi akibat kekurangan gizi berulang dalam waktu lama pada masa janin hingga anak usia dua tahun, yang dapat berdampak pada perkembangan kognitif dan produktivitas anak pada jangka panjangnya. Berdasarkan kurva diatas, prevalensi pendek pada remaja masih tergolong besar dibandingkan dengan Riskesdas. Secara nasional prevalensi kependekan pada remaja umur 16-18 tahun adalah 31.2% terdiri dari 7.2 % sangat pendek dan 24.0% pendek (Riskesdas 2010). Remaja membutuhkan zat gizi yang tinggi, bahkan fase remaja merupakan fase kebutuhan zat gizi mencapai titik tertinggi dan adanya kekurangan zat gizi makro maupun zat gizi mikro dapat mengganggu pertumbuhan dan menghambat pematangan seksual. Masalah gizi remaja perlu mendapat perhatian khusus karena pengaruhnya terhadap pertumbuhan dan perkembangan tubuh serta dampaknya pada masalah gizi saat dewasa (Syafiq et al. 2007). Status Besi Anemia pada remaja dapat dipengaruhi oleh kurangnya konsumsi pangan mengandung zat gizi dan rendahnya bioavailabilitas pangan yang dikonsumsi, selain itu anemia pada remaja putri lebih besar resikonya dibandingkan dengan remaja pria. Remaja putri mengalami siklus menstruasi setiap bulannya dan memerlukan asupan zat besi serta vitamin C untuk mencegah terjadinya anemia. Anemia pada remaja akan berdampak pada produktivitas kerja yang tercermin dengan rendahnya nilai prestasi belajar siswi. Sebaran anemia contoh dapat dilihat pada Gambar 6.
Gambar 7 Sebaran status anemia contoh Berdasarkan Gambar 7 diatas, jumlah siswi anemia terdapat 8 siswi (10.8%) dan normal sebanyak 66 sisiwi (89.2%). Pengkategorian anemia didasarkan pada jumlah kadar hemoglobin dalam plasma yang terbagi menjadi dua kategori yaitu kategori anemia (<12 g/dl) dan normal (12-14 g/dl). Anemia
36
merupakan salah satu dari empat permasalahan gizi yang terbesar prevalensinya yang harus ditanggulangi dan dicegah. Anemia dapat mengganggu kegiatan akademik siswi SMK, hal ini berkaitan dengan gejala-gejala anemia yang dapat ditimbulkan, antara lain lemah, letih, lesu dan lunglai yang dapat mengganggu konsentrasi serta motivasi belajar siswi. Sebaran status gizi berdasarkan status besi dapat dillihat pada tabel dibawah ini. Tabel 12 Sebaran status gizi berdasar status besi contoh Status Gizi Sangat kurus Kurus Normal Gemuk Obese Total
n 8 8
Anemia %
100
100
Normal n 1 4 53 6 2 66
% 1.5 6.1 80.3 9.1 3 100
Tabel 12 menunjukan sebaran status gizi berdasarkan status besi contoh. Rata-rata siswi dengan status besi normal dan status gizi normal berjumlah sebanyak 53 siswi (80.3%). Status anemia pada sisiwi dengan status gizi normal terdapat sebanyak delapan siswi (100%). Faktor lain yang dapat mempengaruhi status anemia adalah bioavailabilitas dari zat besi. Zat besi yang dikonsumsi dari makanan memiliki kandungan bioavailabilitas yaitu besi yang dapat diserap dan digunakan untuk fungsi biologis tubuh. Konsumsi Pangan dan Asupan Zat Gizi Konsumsi Pangan Pangan merupakan salah satu kebutuhan pokok yang dibutuhkan tubuh setiap hari dalam jumlah tertentu sebagai sumber energi dan zat-zat gizi. kekurangan atau kelebihan dalam jangka waktu lama akan berakibat buruk terhadap kesehatan. Masa remaja membutuhkan asupan zat gizi yang baik sesuai dengan tingkat kecukupannya guna menunjang proses pertumbuhan dan memenuhi kebutuhan energi. Kebutuhan energi dan zat-zat gizi dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti umur, gender, berat badan, iklim dan aktifitas fisik. Pemenuhan kebutuhan harus dilakukan dengan mengkonsumsi makanan yang cukup untuk mencukupi kebutuhan zat gizi. Oleh karena itu, perlu disusun angka kecukupan gizi yang dianjurkan sesuai untuk rata-rata penduduk yang hidup di daerah tertentu. Konsumsi pangan merupakan faktor utama untuk memenuhi kebutuhan zat gizi. Konsumsi pangan yang cukup dapat membuat keadaan kesehatan seseorang menjadi lebih baik. Remaja dalam kehidupannya sangat aktif dan
37
sedang dalam masa pertumbuhan yang cepat sehingga harus mendapatkan makanan yang bergizi. Konsumsi energy dan zat gizi dipengaruhi oleh umur, berat badan, tinggi badan, jenis kelamin, pola dan kebiasaan makan, serta pendapatan (Kartasapoetra & Marsetyo 2005). Tabel 13 menunjukan sebaran rata-rata dan standar deviasi konsumsi pangan siswi SMK, rata-rata konsumsi pangan serealia dan umbi-umbian sebesar 122.6±74.4 g. Seluruh contoh mengkonsumsi nasi sebagai makanan pokok, namun konsumsi tersebut masih kurang apabila dibandingkan dengan PUGS (2005) yaitu konsumsi nasi sebesar 500 g/hari. Konsumsi kacangkacangan yang paling banyak berasal dari tahu dan tempe sebagai lauk nabati, konsumsi kacang-kacangan yaitu sebesar 45.9±42 g, konsumsi kacangkacangan ini tergolong kurang dibandingkan PUGS (2005) yaitu sebanyak 150 g/hari atau setara dengan 3 potong tempe. Konsumsi daging sapi sebesar 39.4±34.8 g, daging ayam sebesar 38.5±21.3 g, telur sebesar 50±29.2 g dan ikan sebesar 20.1±68.8 g, konsumsi lauk hewani terbesar adalah ayam dan telur. Konsumsi lauk hewani tersebut apabila dibandingkan dengan PUGS (2005) tergolong dalam kategori cukup dari anjuran konsumsi lauk hewani yaitu sebanyak 150 g/hari atau setara dengan tiga potong daging, ikan dan 3 butir telur. Konsumsi sayuran juga masih tergolong kurang apabila dibandingkan dengan PUGS, konsumsi sayuran sebesar 43.4±34.3 g sedangkan anjuran konsumsi sayuran dalam PUGS (2005) adalah sebanyak 300 g/hari atau setara dengan 3 mangkuk sayur. Berikut tabel rata-rata konsumsi pangan contoh. Tabel 13 Rata-rata konsumsi pangan contoh Jenis Pangan Serealia & Umbi-Umbian Kacang-kacangan & Biji-Bijian Daging · Daging Sapi · Daging Ayam Telur Ikan, Kerang, Udang Sayuran Buah-Buahan Susu Minuman Kemasan Industri Pabrik (ml) Makanan Kemasan Industri Pabrik Makanan Sepinggan · Mie ayam · Pempek · Bakso (biasa, goreng, colok, tusuk) · Batagor · Siomay Jumlah
Konsumsi (g/hari) 122.6±74.4 45.8±42
E (kkal) 394 43
P (g) 6.7 4.3
Fe (mg) 1.1 3.8
Vit A (RE) 0 10
Vit C (mg) 0 0
39.4±34.8 38.5±21.3 50.0±29.2 20.1±68.8 43.3±34.3 73.4±82.7 72.0±48.8 493.0±360.6 38.8±24.7
48 41 45 39 15 56 42 65 43
5.4 4.5 6.2 3.1 0.1 0.3 2.1 0 0.8
0.8 0.5 0.7 0.6 0.9 0.7 0.1 0 0.4
12 10 90 11 257.7 35.8 21.6 0 0
0 0 0 0 0 13.1 10.7 1.1 0
23.6±20.9 15.6±6.5 72.4±52.5 16.5±16.1 12.9±9.1
25 22 98 21 11 1008
0.7 0.8 2.1 0.5 0.4 38.2
0.1 0.1 0.7 0.1 0.1 10.7
0 0 0 0 0 448.1
0 0 0 0 0 24.9
38
Konsumsi buah-buahan berdasarkan Tabel 13 sebesar 73.4±82.7 g tergolong masih kurang dari anjuran PUGS (2005) yaitu sebanyak 200 g/hari, buah-buahan dan sayuran sangat penting dan harus tercukupi karena mineral dan vitamin yang terkandung di dalamnya dapat membantu proses pertumbuhan dan perkembangan bagi remaja. Konsumsi susu sebesar 72.0±48.8 ml yang meliputi susu kental manis, susu bubuk dan susu cair. Konsumsi susu dibutuhkan untuk menunjang pertumbuhan dan perkembangannya pada remaja karena pertumbuhan puncak (peak growth) terjadi saat remaja. Jenis minuman kemasan pabrik yang paling sering dikonsumsi adalah tea, teh gelas, teh sisri, teh botol, fruit tea, coca cola, fanta, pepsi dan nu green tea dengan rata-rata konsumsi sebesar 493±360.6 g. Jenis makanan kemasan pabrik yang paling banyak dikonsumsi adalah momogi, taro, oreo, gery chocolatos, chiki, citatos, potato, astor dan keripik balado, dengan rata-rata konsumsi sebesar 38.8±24.7 g. Makanan sepinggan yang sering dikonsumsi oleh contoh selama istirahat adalah bakso, mie ayam, batagor, siomay dan pempek dengan rata-rata konsumsi total makanan sepinggan sebesar 141±53.4 g. Dari hasil tersebut terlihat bahwa tingkat konsumsi rata-rata pangan tergolong masih kurang dan rendah. Konsumsi pangan yang rendah akan berdampak dan dapat mengganggu fungsi metabolisme tubuh serta terjadi gangguan pertumbuhan dan perkembangan. Asupan Zat Gizi Energi dibutuhkan tubuh untuk mempertahankan hidup, menunjang pertumbuhan dan melakukan aktivitas fisik. Almatsier (2002) menyatakan bahwa makanan sehari-hari yang dipilih dengan baik akan memberikan semua zat gizi yang dibutuhkan untuk fungsi normal tubuh. Sebaliknya bila makanan tidak dipilih dengan baik, sehingga tidak memadai jumlah dan mutunya maka tubuh akan mengalami kekurangan zat-zat gizi esensial tertentu. Hasil konsumsi kemudian dibandingkan dengan kecukupan siswi remaja SMK. Tingkat
kecukupan
gizi
individu
tersebut
dapat
dinilai
dengan
menggunakan angka kecukupan gizi. Angka kecukupan gizi adalah nilai yang menunjukkan jumlah zat gizi yang diperlukan tubuh untuk hidup sehat setiap hari bagi hampir semua populasi menurut kelompok umur, jenis kelamin, dan kondisi fisiologis tertentu, seperti hamil dan menyusui. Angka kecukupan gizi yang dianjurkan digunakan sebagai standar guna mencapai status gizi optimal bagi
39
penduduk (Almatsier 2002). Konsumsi dan tingkat kecukupan energi dan zat gizi dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 14 Rata-rata asupan dan tingkat kecukupan energi dan zat gizi contoh Keterangan Energi (kkal) Protein (g) Zat Besi (mg) Vitamin C (mg) Vitamin A (RE)
Asupan 1008±446 38.3±19.8 10.8±6.3 25±26.1 448±409
Tingkat Kecukupan (%) 45.8±20.3 76.6±39.5 41.7±24.2 33.4±14.7 89.7±82.0
Tabel 14 menunjukan rata-rata asupan dan tingkat kecukupan energi, protein, zat besi, vitamin C dan vitamin A. Rata-rata asupan energi sebesar 1008±446.3 kkal, protein sebesar 38.3±19.8 g, zat besi sebesar 10.8±6.3 mg, vitamin C sebesar 25±16.1 mg dan vitamin A sebesar 448.3±409.9 RE. Tingkat kecukupan energi, zat besi dan vitamin C siswi tergolong dalam tingkat defisit berat yaitu kurang dari 70% AKG, sedangkan tingkat kecukupan protein tergolong dalam defisit tingkat sedang (70-79% AKG) dan tingkat kecukupan vitamin A tergolong dalam kategori cukup. Hal ini menunjukan bahwa tingkat kecukupan zat gizi makro dan mikro remaja masih defisit dan kurang. Secara nasional rata-rata kecukupan konsumsi energi penduduk usia 1618
tahun
berkisar
antara
69.5%-84.3%
dan
sebanyak
54.5%
remaja
mengkonsumsi energi dibawah kebutuhan minimal. Sedangkan rata-rata kecukupan konsumsi protein remaja berkisar antara 88.3%-129.6%, dan remaja yang mengonsumsi dibawah kebutuhan minimal sebanyak 35.6% (Riskesdas 2010). Keadaan
tingkat
kecukupan
defisit
berat
dapat
mengakibatkan
kekurangan energi kronik dan gangguan defisiensi vitamin dan mineral seperti anemia gizi. Kekurangan energi terjadi bila konsumsi energi melalui makanan kurang dari energi yang dikeluarkan. Tubuh akan mengalami keseimbangan energi negatif, akibatnya adalah berat badan kurang dari berat badan yang ideal. Kekurangan energi pada bayi dan anak-anak akan menghambat pertumbuhan dan pada orang dewasa akan terjadi penurunan berat badan dan kerusakan jaringan tubuh. Gambar 8, menunjukkan sebaran terbanyak tingkat kecukupan energi contoh berada pada tingkat defisit berat dengan jumlah 64 siswi (86.5%), dan sebaran tingkat kecukupan tersedikit berada pada tingkat kecukupan cukup sebesar dua siswi (2.7%). Tingkat kecukupan protein terbanyak pada tingkat kecukupan defisit berat sebesar 38 siswa (51.4%) dan tingkat kecukupan gizi cukup sebesar 23 siswi (31.1%). Pada Gambar 8 tingkat kecukupan pada
40
kategori energi cukup hanya terdapat dua siswi (2.7%) dan kategori cukup pada protein sebanyak 23 siswi (31.1%). Rata-rata dan jumlah terbanyak tingkat kecukupan energi dan protein terdapat dalam kategori defisit tingkat berat. Selain tingkat kecukupan energi dan protein, pada Gambar 8 terdapat tingkat kecukupan vitamin dan mineral. Tingkat kecukupan vitamin dan mineral berbeda dengan tingkat kecukupan energi dan protein, yaitu kategori tingkat kecukupan kurang sebesar <77% AKG dan tingkat kecukupan cukup sebesar ≥77% AKG (Gibson 2005). Tingkat kecukupan zat besi dan vitamin C berdasarkan Gambar 8 jumlah terbesar terdapat pada tingkat kecukupan kurang yaitu sebanyak 68 siswi (91.9%) sedangkan tingkat kecukupan vitamin A terbesar terdapat pada tingkat kecukupan kurang sebanyak 45 siswi (60.8%). Berikut gambar diagram sebaran tingkat kecukupan siswi. %
Gambar 8 Sebaran tingkat kecukupan gizi contoh Berdasarkan pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa tingkat kecukupan energi, protein, zat besi, vitamin C dan vitamin A berada dalam kategori defisit tingkat berat dan kurang. Hal ini disebabkan konsumsi pangan yang tidak mencukupi baik dari segi jumlah, jenis pangan dan mutu kandungan pangan. Oleh karena itu diperlukan konsumsi pangan yang cukup baik jumlah dan jenisnya yang berasal dari pangan yang bergizi, beragam dan berimbang untuk memenuhi kebutuhan tubuh, menjalankan proses fisiologis dalam tubuh dan menghindari permasalahan gizi khusunya gizi kurang, anemia gizi besi dan defisiensi gizi.
41
Bioavailabilitas Zat Besi Prevalensi anemia yang tinggi merupakan permasalahan gizi yang masih banyak dijumpai. Meskipun etiologi anemia sudah diketahui dan digunakan untuk mencegah dan mengobati kejadian anemia namun tetap saja anemia menjadi permasalahan di dunia (Mahan et al. 2008). Akibat dari anemia sangat serius terhadap kesehatan dan aktivitas sehari-hari pada remaja dan dewasa karena dapat berefek terhadap pekerjaan, fungsi kognitif dan resiko berat bayi lahir rendah (Ziegler dalam Du et al. 1996). Faktor resiko dari IDA (iron deficiency anemia) adalah konsumsi zat besi yang tidak mencukupi, rendahnya bioavailabilitas besi, meningkatnya kebutuhan besi dan banyaknya kehilangan zat besi. Menurut Sediaoetama (2000) ketidakcukupan konsumsi zat besi dan rendahnya bioavailabilitas besi adalah faktor utama dalam anemia defisiensi besi di negara berkembang. Intake zat besi akan mempengaruhi keseimbangan zat besi di dalam tubuh. Intake zat besi yang kurang dari angka kecukupan yang dianjurkan akan meningkatkan resiko terjadinya
defisiensi
besi.
Metode
yang
digunakan
dalam
penetapan
bioavailabilitas besi adalah metode Du et al. (1999). Konsumsi pangan hewani contoh berada pada kisaran 75-378 g dengan rata-rata konsumsi pangan hewani contoh sebesar 216.7±88.3 g. Pangan Pendorong Penyerapan Fe (Enhancer) Almatsier (2002) menyatakan bahwa protein terutama protein hewani dan vitamin C membantu penyerapan zat besi dalam tubuh. Pangan yang mengandung zat besi dalam jumlah yang cukup tinggi adalah hati, daging, makanan laut, buah kering dan sayuran hijau. Konsumsi vitamin C contoh tersebar pada 1.8-128.8 mg dengan rata-rata konsumsi vitamin C contoh sebesar 25.01±26.1 mg dan tergolong dalam kategori tingkat kecukupan kurang. Konsumsi sayuran dan buah rata-rata contoh adalah 116.7±137 g. Zat pendorong penyerapan Fe dalam tubuh berfungsi dalam penyerapan zat besi non-heme di dalam usus. Pangan Penghambat Penyerapan Fe (Inhibitor) Almatsier (2002) menyatakan bahwa zat yang menghambat penyerapan zat besi antara lain tanin dan kalsium yang terdapat dalam teh, kopi, coklat, oregano dan susu. Tingkat keasaman lambung, faktor intrinsik dan kebutuhan tubuh dapat menjadi faktor penghambat penyerapan Fe dalam tubuh. Selain itu zat yang dapat menghambat penyerapan zat besi pada metode Du et al. adalah
42
serealia, kacang-kacangan dan teh, hal ini berkaitan dengan adanya fitat dan tannin yang menghambat absorbsi. Konsumsi serealia berkisar antara 110-625 g dengan rata-rata konsumsi serealia 214.4±223.3 g. Rata-rata konsumsi kacang-kacangan contoh adalah 45.8±47 g dan rata-rata konsumsi teh contoh sebesar 0.8±0.5 g. Sebagian besar contoh mengkonsumsi teh sebagai minuman pada waktu istirahat sekolah. Nilai Bioavailabilitas Berdasarkan Tabel 15 hasil perhitungan menggunakan metode Du et al. (1999) menunjukan bahwa konsumsi pangan hewani adalah 216.7±88.3 gram, namun total besi konsumsi sebesar 10.8±6.3 mg. Total besi yang dikonsumsi (41.7%) tersebut masih dalam kategori defisit berat atau kurang dari angka kecukupan gizi mineral besi (77%). Hal ini dikarenakan konsumsi pangan hewani rata-rata hanya besar dari segi jumlah, tetapi tidak besar dari segi mutu gizi besi yang terkandung di dalam pangan. Konsumsi pangan hewani terbanyak adalah konsumsi bakso pada saat waktu makan istirahat/ makan siang dan bakso hanya memiliki kandungan besi sebesar 0.7 mg/100 g. Hasil perhitungan konsumsi pangan menggunakan metode Du et al dapat dilihat pada tabel dibawah ini. Tabel 15 Hasil perhitungan persen total bioavailabilitas metode Du et al. (1999) Total Intake Total Hewani (g)
Fe (mg)
Vit. C (mg)
Bioavailabilitas (%) Non Heme Heme Heme
216.7* 10.8* 25* 1.4* 1* 23 88.3** 6.3** 26.1** 0.6** 0.6** Keterangan : *) nilai rata-rata, **) nilai standar deviasi
Besi Terserap (mg) Non Total Heme
Persen Total
0.09* 0.1**
10.04* 0.5**
1.09* 0.6**
Tingkat kecukupan vitamin C berdasar bioavailabilitas adalah 34.6% atau berada dalam kategori defisit berat. Perhitungan perkiraan penyerapan besi didasarkan pada bioavabillitas konsumsi makan yaitu, penyerapan besi tinggi (15%), penyerapan besi sedang (10%) dan penyerapan besi rendah (5%) (WNPG 2004). Pada Tabel 15 menunjukan persen total bioavalabilitas sebesar 10.04±0.5% yaitu berada dalam kategori penyerapan besi sedang dengan sebaran persen total bioavailabilitas antara 8.7-11.2%. Berikut tabel sebaran bioavailabilitas berdasarkan tingkat kecukupan zat besi. Tabel 16 Sebaran bioavailabilitas berdasarkan tingkat kecukupan zat besi contoh Tingkat Kecukupan Zat Besi Kurang Cukup Total
n 27 3 30
Bioavalibilitas Rendah Sedang % n % 90.0 41 93.2 10.0 3 6.8 100.0 44 100.0
43
Tabel
16
menunjukan
sebaran
bioavailabilitas
berdasar
tingkat
kecukupan zat besi terbesar pada kategori kecukupan zat besi kurang sebanyak 68 siswi dengan bioavailabilitas rendah sebanyak 27 siswi dan bioavailabilitas sedang sebanyak 41 siswi. Hal ini menunjukan kecukupan zat besi kurang tidak berdampak terhadap bioavailabilitas dan menunjukan bahwa bioavailabilitas besi yang diserap dalam kategori sedang dengan status gizi normal. Bioavailabilitas didefinisikan sebagai jumlah atau proporsi zat gizi dari makanan yang dapat diserap oleh tubuh dan digunakan untuk fungsi biokimia dan fisiologis dalam tubuh. Pengertian lain bioavailabilitas adalah proporsi zat gizi dari makanan yang tersedia untuk menjalankan fungsi metabolisme tubuh. Bioavalabilitas juga dipengaruhi oleh zat yang membantu (enhancer) dan menghambat (inhibitor) penyerapannya di dalam tubuh. Rendahnya bioavailabilitas dan kejadian anemia diduga karena selain konsumsi pangan jenis heme dan non-heme, pangan yang menjadi pemicu sebagai pendorong dan penghambat zat besi sangat berpengaruh terhadap status anemia. Selain itu diduga terdapat faktor lain yang dapat mempengaruhi kejadian anemia pada remaja seperti pola konsumsi pangan yang kurang beragam, menstruasi, dan penyakit infeksi (cacing tambang) (UNICEF 1998). Prestasi Belajar Anemia defisiensi besi dapat berdampak pada kemampuan kognitif pada dewasa. Selama lebih dari tiga dekade, banyak penelitian telah menunjukan hubungan antara status besi dan kemampuan kognitif serta perlilaku. Anemia pada anak dapat menyebabkan buruknya kemampuan kognitif dan rendahnya peringkat akademik di sekolah dibandingkan dengan anak yang tidak anemia (Grantham & Cornelius 2001). Mata pelajaran umum di SMK berbeda dengan SMA, hal ini terlihat pada jumlah mata pelajaran umum pada SMK lebih sedikit dibandingkan dengan SMK. Mata pelajaran kejuruan di SMK PELITA terdapat dua jurusan keahlian yaitu jurusan busana dan jurusan keperawatan. Mata pelajaran kejuruan yang ditempuh pada setiap kelasnya juga berbeda. Pada kelas X Butik mendapatkan enam mata pelajaran kejuruan dan pada kelas XI Butik mendapatkan dua mata pelajaran kejuruan. Pada kelas X Keperawatan mendapatkan lima mata pelajaran kejuruan. Pelajaran kejuruan pada setiap kelas baik jurusan butik maupun keperawatan berbeda dalam jumlah pelajaran yang diambil atau di dapat.
44
Kelas XI jurusan butik mendapat lebih sedikit pelajaran kejuruan dibandingkan pada kelas X butik. Setelah kegiatan akademik di dalam gedung sekolah telah berakhir biasanya contoh belajar di rumah, kegiatan belajar di rumah dilaksanakan dengan rentan waktu 0 (tidak belajar) sampai dengan 180 menit. Rata-rata contoh belajar di luar jam sekolah adalah 75±51 menit. Rutinitas belajar terjadwal contoh berdasarkan Gambar 9 dibawah, sebagian besar contoh (86.3%) tidak rutin terjadwal dalam belajar dan hanya (13.7%)
contoh rutin belajar
terjadwal.
Rutin belajar
merupakan cara
mendapatkan informasi secara berkala untuk meningkatkan pengetahuan dalam pelajaran yang dibaca.
Gambar 9 Sebaran rutinitas belajar contoh Gambar 10 menunjukan gaya belajar contoh, sebagian besar contoh (45.9%) menyukai belajar sendiri dibandingkan kelompok (41.9%) dan belajar secara sendiri-berkelompok (8.1%). Gaya belajar merupakan kebiasaan belajar contoh, kebiasaan belajar contoh dengan belajar berkelompok memungkinkan untuk berdiskusi dan bertukar informasi dan pengetahuan dengan teman sebaya dibandingkan dengan belajar sendiri.
Gambar 10 Sebaran gaya belajar contoh Berdasarkan Gambar 11, sebagian besar contoh (55.4%) tidak memperhatikan guru saat menerangkan pelajaran, hanya sepertiga contoh (33.8%) dan 10.8% contoh terkadang memperhatikan guru saat menerangkan pelajaran.
Perhatian
dan
konsentrasi
dalam
memperhatikan
guru
saat
45
menerangkan pelajaran sangat berpengaruh terhadap pengetahuan, informasi dan ilmu yang didapat selama proses pengajaran yang dapat berdampak langsung terhadap kemampuan mengingat/daya ingat terhadap pelajaran yang diterangkan saat dilakukan ujian. Oleh karena itu memperhatikan dan konsentrasi saat guru menerangkan seharusnya dilakukan oleh setiap siswa untuk mendapatkan pengetahuan dan nilai yang baik. %
Gambar 11 Sebaran kebiasaan belajar contoh Kebiasaan belajar pada penguasaan materi sebagian besar (71.6%) contoh tidak membaca materi sebelum dimulainya pengajaran, membaca materi selanjutnya (68.8%) dan sebagian besar (59.5%) contoh tidak membaca ulang materi. Hanya sebagian kecil contoh yang membaca materi sebelumnya (12.2%), membaca materi selanjutnya (12.2%) dan membaca ulang materi (16.2). Penguasaan materi diperlukan contoh dalam mempersiapkan, menghadapi dan menjawab soal ujian semester. Sebagian besar contoh (86.5%) menggunakan internet dalam belajar, internet merupakan salah satu fasilitas yang dapat digunakan contoh untuk mendapatkan informasi dan pengetahuan secara luas. Prestasi Belajar Umum Prestasi belajar adalah hasil penilaiain pendidik terhadap proses belajar dan hasil belajar siswa. Keberhasilan siswa dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain kecerdasan kognitif dan kesuksesan belajar di sekolah (school achievement) yang secara umum diketahui sebagai keberhasilan siswa di sekolah (Atkinson 2000). Prestasi belajar umum contoh berada dalam selang
46
nilai 74.5-87.9. Rata-rata prestasi belajar umum contoh berada dalam kategori baik dengan nilai 81.9±2.3. Berikut diagram sebaran prestasi belajar umum contoh.
Gambar 12 Sebaran prestasi belajar umum contoh Gambar diatas menunjukan sebagian besar prestasi belajar umum contoh tergolong pada kategori baik yaitu nilai rapot lebih dari 80 yaitu sebanyak 65 siswi. Prestasi belajar umum dengan kategori lebih dari cukup yaitu nilai rapot 70-79 sebanyak 9 siswi. Banyak faktor yang mempengaruhi prestasi belajar khususnya mata pelajaran umum, yaitu kurangnya konsentrasi belajar, kemampuan menangkap pelajaran yang berbeda pada setiap siswi dan berbedanya perlakuan dan gaya belajar antar guru mata pelajaran umum. Prestasi Belajar Kejuruan Kelas X Butik mendapatkan enam mata pelajaran kejuruan dan pada kelas XI Butik mendapatkan dua mata pelajaran kejuruan. Pada kelas X Keperawatan mendapatkan lima mata pelajaran kejuruan. Pada kelas butik mata pelajaran kejuruan berupa dasar kejuruan butik yang terdiri dari menerapkan keselamatan, kesehatan kerja dan lingkungan, melaksanakan pemeliharaan kecil, melaksanakan layanan prima kepada pelanggan, menggambar busana, membuat pola dan membuat hiasan pada busana. Pada kelas keperawatan mendapatkan mata pelajaran patologi, anatomi fisiologi, pemberian obat dan kebutuhan dasar manusia. Prestasi belajar kejuruan berbeda dengan prestasi belajar umum. Mata pelajaran kejuruan yang diberikan berbeda antara kelas butik dan kelas keperawatan. Prestasi belajar kejuruan contoh menunjukan kemampuan dalam bidang kejuruan dan kemampuan contoh sesuai dengan bidang keahlian kejuruan yang diambil. Nilai prestasi belajar kejuruan terkecil sebesar 78.0, nilai prestasi belajar kejuruan terbesar yaitu 89.3 dan nilai rata-rata prestasi belajar kejuruan sebesar 82.7±2.6. Berikut sebaran prestasi kejuruan contoh dapat dilihat pada Gambar 13.
47
Gambar 13 Sebaran prestasi belajar kejuruan contoh Gambar diatas menunjukan sebagian besar prestasi belajar kejuruan contoh tergolong pada kategori baik yaitu nilai rapot lebih dari 80 yaitu sebanyak 58 siswi. Prestasi belajar kejuruan dengan kategori lebih dari cukup yaitu nilai rapot 70-79 sebanyak 16 siswi. Prestasi kejuruan merupakan prestasi yang mempengaruhi keahlian dan kemampuan contoh dalam produktivitas maupun kemampuan bekerja diluar sekolah, sesuai dengan fungsinya sekolah menengah kejuruan yaitu menjadikan keluaran SMK sumber daya yang mandiri dan mampu bersaing dalam dunia pekerjaan. Hubungan antara Bioavailabilitas dengan Status Besi Mahan dan Stump (2008) menyatakan bioavailabilitas mineral adalah ketersediaan mineral dalam usus untuk diabsorbsi dengan kata lain penyerapan actual (efisiensi) dari mineral yang menunjukan retensi mineral dalam tubuh yang digunakan dalam fungsi selular atau jaringan. Dengan kata lain bioavailabilitas adalah proporsi zat gizi dari makanan yang tersedia untuk menjalankan fungsi metabolisme tubuh. Bioavalabilitas juga dipengaruhi oleh zat yang membantu (enhancer) dan menghambat (inhibitor) penyerapannya di dalam tubuh. Berikut tabel sebaran bioavailabilitas besi berdasarkan status besi contoh Tabel 17 Sebaran bioavailabilitas besi berdasar status besi contoh Bioavailabilitas Rendah Sedang Total
Sebaran berdasarkan
status
Tabel
17
Anemia n 5 3 8
anemia terdapat
Normal
% 62.5 37.5 100
berdasar pada
n 25 41 66
bioavailabilitas status
anemia
% 37.8 62.1 100
besi
rata-rata
normal
dengan
bioavailabilitas besi sedang yaitu sebanyak 41 siswi (62.1%) dan pada status anemia normal dengan bioavailabilitas rendah yaitu sebanyak 25 sisiwi (37.8%). Hasil uji chi square terlihat bahwa tidak terdapat hubungan antara bioavailabilitas dengan status besi yang ditandai dengan nilai sebesar 0.377 (>0.05), selain itu hasil uji kolerasi pearson juga menunjukan tidak terdapat hubungan antara
48
bioavailabilitas dengan status besi dengan nilai r= -0.057 dan p=0.627 (>0.05) (Lampiran 1). Masalah yang menyebabkan kekurangan gizi adalah tidak cukupnya pengetahuan gizi dan kurangnya pengertian tentang kebiasaan makan yang baik. Makanan yang dikonsumsi oleh remaja tidak hanya tergantung dari pengaruh pola makan keluarga, tetapi dipengaruhi oleh banyak faktor termasuk pandangan (image) diri, teman sebaya (peers), media dan harapan sosial dalam hubungannya dalam bentuk dan ukuran tubuh. Pengaruh lingkungan eksternal seringkali lebih besar dibandingkan lingkungan internal keluarga, termasuk media massa yang menonjolkan penampilan diri (Judarwanto 2004). Hubungan Status besi dengan Prestasi Belajar Zat besi merupakan salah satu zat gizi yang termasuk ke dalam golongan mineral mikro. Pada umumnya zat besi berperan dalam proses respirasi dalam sel. Zat besi nerupakan komponen bagian protein di dalam sel darah merah yang disebut hemoglobin (Hb). Terdapat tiga sumber keberadaan besi di dalam tubuh yaitu besi yang diperoleh dari hasil perusakan sel-sel darah merah (hemolisis), besi yang diambil dari penyimpanan dalam tubuh dan besi yang diserap dari saluran pencernaan yang berasal dari makanan. Besi hanya mampu diserap dan dibuang dalam jumlah terbatas oleh manusia (Almatsier 2002). Berikut tabel sebaran prestasi belajar terhadap status anemia siswi. Tabel 18 Sebaran prestasi belajar dengan status besi Status Besi Anemia Normal Total
Mata Pelajaran Umum Lebih dari Cukup Baik n % n % 8 12.3 9 100 57 87.7 9 100 65 100
Mata Pelajaran Kejuruan Lebih dari Cukup Baik n % n % 2 12.5 6 10.3 14 87.5 52 89.6 16 100 58 100
Nilai prestasi rata-rata mata pelajaran umum pada Tabel 18 menunjukan sebaran paling banyak terdapat pada prestasi baik dengan status anemia normal yaitu sebanyak 57 siswi (87.7%). Total prestasi terbesar berada pada kategori status anemia normal dengan prestasi baik yaitu sebesar 66 siswi (89.2%). Berikut tabel sebaran prestasi belajar (nilai kejuruan) dengan status anemia. Nilai kejuruan yang terdapat pada Tabel 18, prestasi kejuruan contoh berada dalam kategori lebih dari cukup dan baik. Jumlah siswi dengan nilai prestasi kejuruan lebih dari cukup dengan status besi anemia sebanyak 2 siswi (12.5%) dan lebih dari cukup dengan status besi normal sebanyak 14 siswi (87.5%). Pada kategori prestasi kejuruan baik dan berstatus besi normal
49
berjumlah 52 siswi (10.3%) dan siswi anemia dengan nilai prestasi kejuruan baik sebanyak 6 siswi (89.6%). Hal ini menunjukan bahwa rata-rata prestasi kejuruan siswi SMK berada dalam kategori baik dengan status anemia normal. Tabel 19 menunjukan hubungan status besi dengan prestasi belajar. Berdasarkan Tabel 19, hasil uji chi square terlihat bahwa tidak terdapat hubungan antara status besi dengan prestasi belajar rata-rata yang ditandai dengan nilai sebesar 0.286 (>0.05), selain itu hasil uji kolerasi pearson juga menunjukan tidak terdapat hubungan antara status besi dengan prestasi ratarata dengan nilai sebesar 0.976 (>0.05). Tabel 19 Hubungan status besi dengan prestasi Correlations Prestasi Rata-Rata Prestasi Kejuruan
Chi Square 0.286 0.954
Status Besi r 0.003 -0.028
p 0.976 0.807
Tabel 19 menunjukan hubungan status besi dengan prestasi belajar. Berdasarkan Tabel 19, hasil uji chi square terlihat bahwa tidak terdapat hubungan antara status besi dengan prestasi belajar kejuruan yang ditandai dengan nilai sebesar 0.954 (>0.05), selain itu hasil uji kolerasi pearson juga menunjukan tidak terdapat hubungan antara status besi dengan prestasi ratarata kejuruan dengan nilai sebesar 0.807 (>0.05) (Lampiran 2). Anemia besi dapat memperlambat perkembangan dan gangguan perilaku seperti aktivitas motorik, interaksi sosial dan perhatian. Pada anak sekolah yang mengalami anemia akan mempengaruhi aktivitas belajar dan selanjutnya akan berdampak pada rendahnya prestasi belajar. Hasil penelitian Pollit (2002) menunjukkan bahwa defisiensi zat besi dapat mempengaruhi pemusatan perhatian (atensi), kecerdasan (IQ) dan prestasi belajar anak di sekolah. Hasil uji chi square dan kolerasi pearson menunjukan tidak ada hubungan antara status besi dengan prestasi belajar yang berarti prestasi contoh tidak disebabkan oleh status besinya. Hal ini sejalan dengan penelitian Suherman (2004) pada mahasiswa IPB dimana tidak ada pengaruh status besi dengan prestasi belajar. Ada faktor lain yang menentukan seperti faktor motivasi, lingkungan internal dan lingkungan eksternal siswi. Selain itu penelitian Atasasih (2001) dimana status anemia tidak menunjukan hubungan yang bermakna terhadap prestasi belajar dan Astuti (2002) dimana prestasi belajar tidak dipengarihi oleh status anemia. Penelitian Anggraeni (2004) juga memperlihatkan hasil yang sama dimana uji chi square menunjukan tidak terdapat hubungan antara status anemia dengan indeks prestasi kumulatif (IPK).
50
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Status gizi sebagian besar contoh termasuk dalam kategori normal, namun terdapat contoh dengan gizi kurang dan gizi lebih dengan presentase gizi kurang sebesar 1.4% dan gizi lebih sebesar 10.8%. Status besi contoh rata-rata berada dalam status besi normal dan hanya 8 contoh (10.8%) dengan anemia. Rata-rata konsumsi pangan serealia, kacang-kacangan, sayuran dan buahbuahan contoh masih tergolong kurang apabila dibandingkan dengan anjuran konsumsi pangan PUGS. Rata-rata asupan energi sebesar 1008±446.3 kkal, protein sebesar 38.3±19.8 g, zat besi sebesar 10.8±6.3 mg, vitamin C sebesar 25±16.1 mg dan vitamin A sebesar 448.3±409.9 RE. Tingkat kecukupan energi dan protein contoh berada pada tingkat kecukupan defisit berat, sdangkan tingkat kecukupan zat besi, vitamin C dan vitamin A contoh berada pada tingkat kecukupan kurang. Konsumsi pangan pendorong (enhancer) penyerapan zat besi berupa sayur dan buah masih kurang dan asupan vitamin C tergolong kurang. Total bioavalabilitas rata-rata berada dalam kategori penyerapan besi sedang (10.04%). Total besi terserap sebesar 1.09 mg. Sebagian besar contoh (62.1%) memiliki bioavailabilitas besi sedang dengan status besi normal. Rata-rata prestasi belajar contoh adalah baik. Prestasi belajar baik contoh terbanyak pada status besi normal. Hal serupa juga terjadi pada prestasi kejuruan contoh yang berada dalam kategori baik dengan status besi normal. Hasil uji chi square menunjukan tidak ada hubungan antara bioavailabilitas dengan status besi, dan status besi dengan prestasi belajar (p>0.05). Selain itu, hasil uji kolerasi pearson menunjukan juga tidak ada hubungan antara kecukupan energi dan zat gizi dengan status gizi, bioavailabilitas dengan status besi, dan status besi dengan prestasi belajar (p>0.05). Saran Perlu adanya usaha peningkatan asupan zat gizi baik kuantitas maupun kualitasnya, karena hampir sebagian besar zat gizi makro dan mikro tergolong masih rendah. Saran bagi pihak sekolah adalah memberikan arahan dan pendidikan kepada siswi tentang makanan sehat dan bergizi untuk memenuhi kebutuhan gizi siswi. Bagi orang tua sebaiknya memberikan dan menyediakan makanan sehat yang mengandung zat gizi untuk memenuhi kecukupan gizi. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut antara status anemia dengan status
51
prestasi yang lebih mendalam. Status prestasi belajar siswi sebaiknya tidak hanya dilihat dari nilai rapot, namun berdasarkan tes prestasi belajar yang umum digunakan psikolog untuk melihat gambaran prestasi belajar secara keseluruhan. Status besi sebaiknya tidak hanya dilihat dari kadar hemoglobin dan hematokrit namun dengan melihat kadar transferin, feritin dan serum besi. Selain itu perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dan mendalam tentang hubungan antara anemia dan prestasi belajar. Tes yang digunakan dapat berupa tes kognitif, daya ingat, bahasa dan kemampuan verbal seperti tes perhatian (brief test of attentio-BTA), tes simbol (symbol modalities test-SMD), tes perhatian dan daya visual (visual and attention test-VAT), dan tes verbal hopkins (hopkins verbal learning testHVLT).
52
DAFTAR PUSTAKA [ADB/SCN] Asian Developement Bank/ Standing Commotte on Nutrition. 2001. What works? A riview of the effivcacy and effectiveness of nutrition intervention. http.//www.unscn.org/en/home/search [26 Juli 2012]. Allen LH & Gillespie SR. 2001. What Works? Efficacy and Effectiveness of Nutrition Interventions. ACC/SCN Nutrition Policy Paper 19 and ADB Nutrition and Development Series No 5. UN ACC/SCN ADB Almatsier S. 2002. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka. Anggraeni D. 2004. Status Anemia Mahasiswa Putri Tingkat Persiapan Bersama (TPB) IPB Tahun 2003/2005 dan Hubungannya dengan Indeks Prestasi Komulatif (IPK) [Skripsi]. Bogor: Departemen Gizi Masyarakat IPB. Astuti RW. 2002. Status Anemia, Status Gizi dan Prestasi Belajar Siswi SMUN 1 Trenggalek, Jawa Timur [Skripsi]. Bogor: Departemen Gizi Masyarakat IPB. Atasasih H. 2001. Status Anemia dan Hubungannya dengan Prestasi Belajar Siswa-Siswi SMUN 30 Jakarta Pusat [Skripsi]. Bogor: Departemen Gizi Masyarakat IPB. Arikunto S. 1996. Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara. Arisman MB. 2004. Gizi dalam Daur Kehidupan. Jakarta: Kedokteran FGC. Atkinson RL. 2000. Pengantar Psikologi. Batam: Interaksara. Barasi EM. 2009. At a Glance: Ilmu Gizi. Jakarta: Erlangga. Batra J & Archana S. 2005. Iron Deficiency Anaemia : Effect on Cognitive Development in Children. Indian Journal of Clinical Biochemistry, 20, 119125. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2010. Katalog BPS: Konsumsi Kalori dan Protein Penduduk Indonesia. Jakarta: Badan Pusat Statistik Indonesia. Bruner A, Alain J, Anne D, James C & Brandt J. 1996. Randomised Study of Cotnitive Effect of Iron Supplementation in Non-Anaemic iron Deficient Adolescent Girls. The Lancet 348, 992-996. Cangelosi JS. 1995. Principles of Nutrition Assasement. Oxford University Press: Oxford. [Depdiknas] Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Sosialisasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Jakarta: Depdiknas RI. [Depkes] Departemen Kesehatan. 2003. Gizi dalam Angka. Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat. Jakarta: Direktorat Gizi Masyarakat Jakarta.
53
[Depkes] Departemen Kesehatan. 2004. Kualitas Sumber Daya Manusia Ditentukan Pendidikan dan Kesehatan. www.depkes.go.id [13 Mei 2012]. [Depkes] Departemen Kesehatan. 2005. Pedoman Umum Gizi Seimbang. Direktur Jendral Bina Kesehatan Masyarakat. www.depkes.go.id [23 November 2012]. [Depkes] Departemen Kesehatan. 2006. Rencana Pembangunan Kesehatan Menuju Indonesia Sehat 2010. www.depkes.go.id [13 Mei 2012]. [Depkes] Departemen Kesehatan. 2008. www.depkes.go.id [13 September 2012].
Riset
Kesehatan
Dasar.
[Depkes] Departemen Kesehatan. 2010. www.depkes.go.id [13 November 2012].
Riset
Kesehatan
Dasar.
Du S, Zhai F, Wang Y, & Popkin BM. 1999. Current Methods for Estimating Dietary Iron Bioavabilability Do Not Work in China. America Society for Nutritional Science 130, 193-198. Grantham S & Cornelius A. 2001. A Review of Studies on The Effect of Iron Deficiency on Cognitve Development in Children. The Journal of Nutrition 131, 649-668. Hardinsyah. 2004. Manfaat dan Kiat Memilih. Makalah yang disajikan dalam Seminar Nuansa Pangan Gizi Keluarga VI. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Hardinsyah & Martianto D. 1989. Menaksir Kebutuhan Energi dan Protein serta Penilaian Menu Gizi Konsumsi Pangan. Jakarta: Wisari Harper LJ, BJ. Deaton & JA Driskel. 1985. Pangan GIzi Pertanian (Suhardjo, penerjemaah). Jakarta: UI Press. Hurlock EB. 1998. Perkembangan Anak Edisi ke-6. Jakarta: Erlangga. Husaini YK, Widodo Y, Triwinarto A, & Salimar. 2000. Perubahan Pola Konsumsi Pangan Keluarga pada Sebelum dan Sewaktu Krisis Ekonomi. Penelitian Gizi dan Makanan 23, 8-17. Judarwanto W. 2004. Mengatasi Kesulitan Makan Anak. Jakarta: Puspaswara. Kartasapoetra G & Marsetyo H. 2005. Ilmu Gizi: Kolerasi Gizi, Kesehatan dan Produktivitas Kerja. Jakarta: Rineka Cipta. Khomsan A. 2002. Studi evaluasi PMT-AS terhadap kesehatan dan status gizi anak. Media Gizi dan Keluarga. XXIV 1, 103-107. Kusharto CM & Yayah N. 2006. Penilaian Konsumsi Pangan [Diktat]. Bogor: Departemen Gizi Masyarakat IPB
54
Kongkachuichai, Napatthalung, & R. Charoensiri. 2002. Heme and Nonheme Iron Content of Animal Product Commonly Consumed in Thailand. Institute of Nutrition : Mahidol University, Phutthamonthon Thailand. Latunde D & Neale. 1986. Availability of iron from foods. Journal of Food Technology. 21, 255-268. MacPhail P. 2000. Iron In: Essentials of Human Nutrition (eds. Mann, and Truswell, S). New York: Oxford University Press. Madanijah S. 2004. Pengantar Pangan dan Gizi. Baliwati YF, Khomsan A, Dwiriani CM, editor. Jakarta: Penebar Swadaya. Mahan LK & Escott-Stump S. 2008. Krause’s Food, Nutrition and Diet Therapy 12th edition. Philadelphia: Saunders. Mc Cann J & Bruce NA. 2007. An Overview of Evidence for a Causal Relation Between Iron Deficieny During Development and Deficits in Cognitive or Behavioral Function. Am J Clin Nutr 85, 931-945. Monsen ER et al. 1987. Estimation of Available Dietary Iron. Am J Clin Nutr 1987, 211-225. Muchtadi D, Palupi NS, & Astawan M. 1992. Metoda kimia biokimia dan biologi dalam evaluasi nilai gizi pangan olahan. Bogor: Pusat Antar Universitas Pangan Dan Gizi IPB Moehji S. 2002. Ilmu Gizi: Penanggulangan Gizi Buruk. Jakarta: Papas Sinar Sinanti. Murray LE & John LB. 2007. Iron Treatment Normalizes Cognitive Functioning in Young Women. Am J Clin Nutr, 85, 778-787. Panuju P. 1999. Psikologi Remaja. Yogyakarta: Tiara Wacana. Pardede N. 2002. Masa Remaja dalam Buku Ajar Tumbuh Kembang Anak edisi ke-1. Jakarta: Sagung Seto. Permaesih D & Herman S. 2005. Faktor-faktor yang mempengaruhi anemia pada remaja. Buletin Penelitian Kesehatan, 33(4), 162-171. Pollit E. 2002. A Development View of The Undernourished Child: Background and Purpose of The Study in Pangalengan Indonesia. European J Clin Nutr, 54, S2-S10. Ricket J. 1996. Adolescent Nutrition Assessment and Management. Chapman & Hall. Texas: University of Texas. Riyadi H. 2001. Metode Penilaian Status Gizi secara Antropometri. Bogor: Departemen Gizi Masyarakat IPB Riyadi H. 2006. Materi Pokok Gizi dan Kesehatan Keluarga. Jakarta: Universitas Terbuka
55
Rofes SR & Whitney E. 2008. Understanding Nutrition 11th Ed. Belmont USA: Thomson Higer education Learning Inc. Roosita K, Uripi V & Nasoetion A. 2006. Pengembangan Modul E-Learning Fisiologi Manusia. Bogor: Fakultas Ekologi Manusia IPB. Sanjur D. 1982. Social and Cultural Perspectives in Nutrition. Engleworld Cliff: N. J. Prentice hall. Samsudin S. 2003. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: Pustaka Setia. Sediaoetama AD. 2000. Ilmu Gizi Untuk Maha siswi dan Profesi Jilid I. Jakarta: Dian Rakyat. Setiawan B. 1994. Teknik Pengkajian Situasi Pangan dan Gizi [Makalah]. Pelatihan Perencanaan Pangan dan Gizi. Bogor: Biro Perencanaan Departemen Pertanian Kayuambon Lembang. Siswanto B. 1987. Manajemen Tenaga Kerja Ancaman dalam Pendayagunaan dan Pengembangan Unsur Tenaga Kerja. Jakarta: Airlangga. Soemantri AG, Pollitt E & Insun K. 1985. Iron Deficiency Anemia and Educational Achievement. Am J Clin Nutr, 42, 1221-1228. Soewondo S, Husaini M & Pollitt E. 1989. Effect of Iron Deficiency on Attention and Learning Processes in School Children: Bandung, Indonesia. Am J Clin Nutr, 50, 667-74. Sudjana N. 1999. Dasar-Dasar Proses Belajar Mengajar. Bandung: Sinar Baru. Suhardjo. 1989. Sosio Budaya Gizi. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi: IPB. Suherman I. 2004. Status Anemia Mahasiswa Putra Tingkat Persiapan Bersama (TPB) IPB tahun 2002/2003 dan Hubungannya dengan Indeks Prestasi Kumulatif [Skripsi]. Bogor : Departemen Gizi Masyarakat IPB. Supariasa IDN, Bakri B & Fajar I. 2001. Penilaian Status Gizi. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC Suparno AS. 2001. Membangun Kompetensi Belajar. Jakarta: Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Pendidikan Nasional. Suryadi A. 1998. Membuat siswi Aktif Belajar. Bandun: Bina Cipta. Syafiq A et al. 2007. Gizi dan Kesehatan Masyarakat. Fakultas Kesehatan Masyarakat UI. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. UNICEF. 1998. Preventing Iron Deficiency in Woman and Children: Background and consensus on key technical issues and resources for advocacy, planning and implementing National Program. Canada: International Nutritional Foundation.
56
Walpole RE. 1993. Pengantar Statistika edisi ke-3. Jakarta: Gramedia Pustaka. [WHO] World Health Organization. 2010. Growth reference 5-19 years. http://www.who.int/growthref/who2007_bmi_for_age/en/index.html. [3 Mei 2009]. [WNPG] Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi. 2004. Ketahanan Pangan dan Gizi di Era Otonomi Daerah dan Globalisasi, Penulis Faisal Kasryno. Jakarta: LIPI. [WNPG]_________________________________. 2004. Angka Kecukupan Mineral: Besi, Iodium, Seng, Mangan, Selenium, Penulis Djoko Kartono & M. Soekarti. Jakarta: LIPI. Winarno F.G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka. Wirakusumah ES. 2001. Menu Sehat untuk Anak. Jakarta: Puspa Swara. Yanatori I, Mitsuaki T, Yasuhiro K, Yumiko Y, et al. 2010. Heme and Non-Heme Iron Transports Non-Polarized and Polarized Cells. BMC Cell Biology 2010, 11:39 Yuliawati. 1997. Beberapa Faktor yang Mempengaruhi Prestasi Belajar Siswa Sekolah Menengah Umum yang Mondok dan Tidak Mondok (Studi Kasus di SMU Regina Pacis Bogor, Jawa Barat) [Skripsi]. Bogor: Departemen Gizi Masyarakat IPB
57
LAMPIRAN
58
Hasil Uji Statistik Lampiran 1 Hubungan antara bioavailabilitas dengan status besi bioavalabilitas bioavalabilitas
Pearson Correlation
status anemia 1
-.057
Sig. (2-tailed)
.628
n status anemia
Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
74
74
-.057
1
.628
n
74
74
Lampiran 2 Hubungan antara status besi dengan prestasi belajar status anemia status anemia
Pearson Correlation
1
prestasi
rata
kejuruan .004
-.029
.976
.807
74
74
74
Pearson Correlation
.004
1
Sig. (2-tailed)
.976
Sig. (2-tailed) n prestasi rata-rata
prestasi rata-
n prestasi kejuruan Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
**
.518
.000
74
74
74
-.029
**
1
.518
.807
.000
74
74
n **. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
74