ESTIMASI KONSUMSI DAN ASUPAN ZAT BESI DARI PANGAN BERBASIS TEPUNG TERIGU PADA SISWI SMA DI KOTA BOGOR
RICHARDSON SIJABAT
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Estimasi Konsumsi dan Asupan Zat Besi dari Pangan Berbasis Tepung Terigu pada Siswi SMA di Kota Bogor adalah benar karya saya dengan arahan dari pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Desember 2014
Richarson Sijabat NIM I14100018
ABSTRAK RICHARDSON SIJABAT. Estimasi Konsumsi dan Asupan Zat Besi dari Pangan Berbasis Tepung Terigu Pada Siswi SMA di Kota Bogor. Dibimbing oleh DRAJAT MARTIANTO. Anemia gizi besi (AGB) merupakan masalah gizi yang dihadapi seluruh negara. Fortifikasi pangan terbukti sebagai salah satu strategi terbaik untuk meningkatkan asupan zat besi dalam tubuh melalui makanan. Penelitian ini bertujuan mempelajari konsumsi pangan berbasis terigu yang telah difortifikasi dengan zat besi pada siswi SMA (remaja) yang termasuk rawan AGB. Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah cross-sectional study dengan jumlah contoh 120 siswi berusia 15-18 tahun. Penelitian dilakukan di tiga sekolah yang dinilai menggambarkan status sosial ekonomi yang berbeda. Kue kering/biskuit adalah produk yang paling sering dikonsumsi (19.8 ± 19.3 kali/bulan) dan makanan ringan (12.8 ± 16.1 kali per bulan). Konsumsi harian kue kering/biskuit paling dominan dari segi berat di SMAN 1 dan SMAN 10, tetapi di SMA PGRI 4 produk yang paling tinggi konsumsinya adalah mie instan. Jika dilihat jumlahnya, rata-rata total konsumsi setara terigu adalah 96.2 g/orang/hari, dengan urutan konsumsi tertinggi SMA PGRI 4 (115.8 g/orang), SMAN 10 (95.4 g/orang) dan SMAN 1 (77.3 g/orang) per hari. Rata-rata kontribusi asupan zat besi dari pangan olahan berbasis tepung terigu yang telah difortifikasi terhadap AKG adalah 23.0%. Tidak terdapat hubungan signifikan uang saku untuk pangan dengan banyaknya konsumsi terigu (p=0.965, r=0.004). Kata kunci: anemia, siswi, terigu, zat besi, zat gizi mikro
ABSTRACT Iron deficiency is a major micronutrient problem in the world. Fortification is the best strategy to increase iron intake through food based approached. The objective of research is to know consumption of fortified wheat flour based foods among high school/women students. The design used in this study was a crosssectional study with high size of 120 girls aged 15-18 years. The research was conducted at three schools with different social-economic status. Pastries/biscuits is the most often products consumed by the students (19.8 ± 19.3 times/month) and snacks (12.8 ± 16.1 times/month). Daily weight consumption of biscuits/pastries is the highest in SMAN 1 and SMAN 10 students, but in SMA PGRI 4 students, instant noodles is the most contributed one. The average intake of wheat flour equivalent consumption a day is 96.2 g, with the highest is among SMA PGRI 4 student (115.8 g), SMAN 10 student (95.4g) and SMAN 1 student (77.3g). Wheat flour based food contributes to 23.0% of RDA of iron. The research found that there was no significant relation between school allowance and amount of wheat consumption (p=0.943, r=0.004). Keywords : anemia, iron, micronutrients, students, wheat flour
RINGKASAN RICHARDSON SIJABAT. Estimasi Konsumsi dan Asupan Zat Besi dari Pangan Berbasis Tepung Terigu Pada Siswi SMA di Kota Bogor. Dibimbing oleh DRAJAT MARTIANTO. Anemia gizi besi (AGB) merupakan masalah gizi yang dihadapi seluruh negara. Fortifikasi pangan terbukti sebagai salah satu strategi terbaik untuk meningkatkan asupan zat besi dalam tubuh melalui makanan. Penelitian ini bertujuan mempelajari konsumsi pangan berbasis terigu yang telah difortifikasi dengan zat besi pada siswi SMA (remaja) yang termasuk rawan AGB. Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah cross-sectional study dengan jumlah contoh 120 siswi berusia 15-18 tahun. Penelitian dilakukan di tiga sekolah yang dianggap menggambarkan status sosial ekonomi yang berbeda (SMAN 1, SMAN 10 dan SMA PGRI 4 Bogor). Pengambilan data konsumsi dilakukan dengan menggunakan food frequency quitionare (FFQ) semi kuantitatif dan food recall 2x24 secara berturutturut. Data food recall recall 2x24 jam digunakan untuk verifikasi data FFQ. Data konsumsi pangan olahan terigu yang diperoleh dikelompokkan menurut pengelompokkan pangan olahan terigu oleh Hardinsyah dan Amalia (2007), kemudian dikonversi untuk mandapatkan kandungan terigunya. Karakteristik sosial demografi keluarga menunjukkan rata-rata usia kepala keluarga berada kelompok dewasa tengah (41-65 tahun). Kepala keluarga contoh dari SMAN 1 berpendidikan terakhir perguruan tinggi/sederajat sebesar 92.9%, sedangkan SMAN 10 hanya 61.1% serta 16.7% pada SMA PGRI 4. Rata-rata penghasilan keluarga dari contoh SMAN 10 dan SMA PGRI tidak berbeda nyata (Rp 5.123.000,-/bulan dan Rp 4.431.000,-/bulan), namun keduanya berbeda nyata dengan SMAN 1 (Rp 14.460.000,-/bulan). Rata-rata uang saku untuk pangan contoh dari SMAN 1 adalah Rp 700.476,-/bulan, SMAN 10 Rp 532.777,-/bulan dan SMA PGRI 4 Rp 514.095,-/bulan. Hasil uji Anova menunjukkan terdapat perbedaan rataan uang saku ketiga kelompok dan uji lanjut Duncan menunjukkan rataan uang saku SMAN 10 serta SMA PGRI 4 tidak berbeda nyata, namun keduanya berbeda nyata dengan SMAN 1. Kue kering/biskuit adalah produk yang paling sering dikonsumsi (19.8 ± 19.3) kali/bulan dan makanan ringan (12.8±6.1) kali per bulan. Kue kering/biskuit paling berkontribusi berat konsumsi harian di SMAN 1 dan SMAN 10, tetapi di SMA PGRI 4 produk yang paling berkontribusi adalah mie instan. Jika dilihat jumlahnya, rata-rata total konsumsi terigu harian adalah 96.2 gram, dengan urutan konsumsi tertinggi SMA PGRI 4 (115.8 g/orang), SMAN 10 (95.4 g/orang) dan SMAN 1 (77.3 g/orang) per hari. Preferensi pangan olahan berbasis tepung terigu dibandingkan olahan beras, umbi-umbian dan jagung menunjukkan bahwa pangan olahan terigu lebih banyak dikonsumsi pada saat di luar rumah dan berada di sekolah. Hal ini dipengaruhi oleh ketersediaan pangan olahan terigu yang dengan mudah dapat ditemukan di berbagai lokasi. Namun, untuk contoh dari SMA PGRI 4, konsumsi terigu juga menjadi preferensi saat sedang berada di rumah (81.0%). Rata-rata kontribusi asupan zat besi dari pangan olahan berbasis tepung terigu yang telah difortifikasi terhadap AKG adalah 23.0%. Tidak terdapat hubungan signifikan uang saku untuk pangan dengan banyaknya konsumsi terigu (p=0.965, r=0.004).
ESTIMASI KONSUMSI DAN ASUPAN ZAT BESI DARI PANGAN BERBASIS TEPUNG TERIGU PADA SISWI SMA DI KOTA BOGOR
RICHARDSON SIJABAT
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi dari Program Studi Ilmu Gizi pada Departemen Gizi Masyarakat
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
Judul Skripsi : Estimasi Konsumsi dan Asupan Zat Besi dari Pangan Berbasis Tepung Terigu pada Siswi SMA di Kota Bogor. Nama : Richardson Sijabat NIM : I14100018
Disetujui oleh
Dr Ir Drajat Martianto, MSi Pembimbing
Diketahui oleh
Dr Rimbawan Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Mei 2014 ini ialah konsumsi pangan olahan terigu, dengan judul Estimasi Konsumsi dan Asupan Zat Besi dari Pangan Berbasis Tepung Terigu pada Siswi SMA di Kota Bogor. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr Ir Drajat Martianto, MSi selaku pembimbing, atas segenap bimbingan, saran dan dukungannya selama penulis menyusun karya ilmiah ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Ibu Dr Ir Sri Anna Marliyati, MSi selaku pembimbing akademik yang juga telah memberi bimbingan dan dukungan selama menjalani pendidikan. Terima kasih juga penulis persembahkan kepada Ibu Dr Ir Cesilia Meti Dwiriani, MSc yang telah menguji dan memberi banyak masukan yang berguna bagi penyempurnaan karya ilmiah ini. Ungkapan terima kasih yang tak terhingga penulis persembahkan kepada keluarga terkasih, Ibu Herlina Manik dan kedua adik saya, Daniel dan Putri, atas segala doa, dukungan dan pengorbanannya selama penulis melakukan studi. Dan tak lupa kepada Bapak, alm. Ober Sijabat, yang telah mendidik dan mengajarkan banyak hal. Terima kasih juga penulis persembahkan kepada orang tua kedua saya, Tante dan Uda Grace di Bekasi atas segala doa, perhatian dan kasih sayangnya. Terima kasih yang tak terhingga penulis persembahkan juga kepada teman dan sahabat, Adyatma, Andika, Arlina, Christyne, Christian, Dinda, Hernawan, Gita, Irwan, Isna, Melinda, Novia, Nurisani, Rafiq, Ruth dan Willy atas segala bantuan dan pengorbanannya selama mendampingi penulis hingga selesainya karya ilmiah ini. Terima kasih buat para pendamping di lapangan, Bapak/Ibu guru SMAN 1, SMAN 10 dan SMA PGRI 4 Bogor, atas izin dan segala bantuan yang diberikan kepada penulis selama penelitian. Terima kasih buat teman-teman seperjuangan di Program Sarjana Departemen Gizi Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia IPB, segenap dosen dan staf atas bantuannya selama penulis menjalani studi. Akhirnya penulis berharap, semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi banyak pihak. Amin. Bogor, Desember 2014
Richardson Sijabat
RIWAYAT HIDUP Penulis bernama lengkap Richardson Sijabat dilahirkan di Sipispis, Sumatera Utara pada tanggal 14 November 1991 dari ayah Ober Sijabat dan ibu Herlina Manik. Penulis adalah anak pertama dari tiga bersaudara. Tahun 2010 penulis lulus dari SMAN 1 Tebing Tinggi dan pada diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) dengan program studi Gizi Masyarakat melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Selama menjalani pendidikan di IPB, penulis aktif di beberapa organisasi seperti Himpunan Mahasiswa Gizi (HIMAGIZI) 2012-2013 pada divisi Keprofesiian, Komisi Pembinaan Pemuridan UKM PMK sebagai koordinator (2012), Badan Penelitian dan Pengembangan UKM PMK (2013). Penulis juga aktif di beberapa kepanitian seperti Kejuaraan Nasional Catur IPB (2010), Panitia Retreat Mahasiswa Baru (2011), Panitia Olimpiade Mahasiswa IPB (2012), Panitia Seminar Nasional Nutrition Fair (2013). Penulis juga pernah menjadi asisten mata kuliah Agama Kristen (2011). Penulis melaksanakan kuliah kerja profesi (KKP) pada bulan Juli-Agustus 2013 di Desa Mangga, Kecamatan Kelumpang Utara, Kabupaten Kotabaru, Kalimantan Selatan bekerja sama dengan PT. Arutmin Indonesia. Penulis juga melaksanakan kegiatan internship dietetik (ID) di RSUD Ciawi Bogor pada Februari - Maret 2014.
i
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
ii
DAFTAR GAMBAR
ii
DAFTAR LAMPIRAN
ii
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Perumusan Masalah
2
Tujuan Penelitian
2
Manfaat Penelitian
3
KERANGKA PEMIKIRAN
3
METODE
5
Desain, Waktu dan Tempat Penelitian
5
Teknik Penarikan Contoh
5
Jenis dan Metode Pengumpulan Data
6
Pengolahan dan Analisis Data
7
DEFINISI OPERASIONAL
8
HASIL DAN PEMBAHASAN
10
Gambaran Umum Sekolah
10
Karakteristik Individu
10
Karakteristik Sosial dan Demografi Keluarga Contoh
11
Kelompok Pangan berbasis Tepung Terigu yang Biasa Dikonsumsi
13
Preferensi Konsumsi Pangan Berbasis Tepung Terigu
15
Kontribusi Terigu terhadap Kecukupan Zat Gizi
17
SIMPULAN DAN SARAN
22
DAFTAR PUSTAKA
22
LAMPIRAN
24
ii
DAFTAR TABEL 1 Data primer dan data sekunder dalam penelitian
6
2 Pengelompokkan variabel penelitian
7
3 Faktor konversi dari pangan olahan terigu
8
4 Gambaran umum sekolah
10
5 Sebaran contoh berdasarkan karakteristik individu
10
6 Sebaran contoh berdasarkan karakteristik sosial dan demografi keluarga
11
7 Hubungan karakteristik keluarga dengan uang saku
12
8 Rataan frekuensi dan berat konsumsi pangan berbasis tepung terigu
14
9 Preferensi pangan dengan beberapa keadaan
15
10 Preferensi pangan dengan beberapa keadaan pada siswi menurut sekolah
16
11 Angka kecukupan zat gizi perempuan
17
12 Rataan asupan dan kontribusi terigu terjadap kecukupan zat besi dan zat gizi mikro lainnya
17
13 Kandungan zat gizi mikro dalam fortifikasi tepung terigu
18
14 Rataan kontribusi energi pangan berbasis terigu
20
15 Rataan kontribusi energi pangan berbasis terigu menurut sekolah
20
16 Hubungan konsumsi tepung terigu dengan tingkat kecukupan zat gizi
21
DAFTAR GAMBAR 1 Kerangka Pemikiran
4
2 Diagram Alur Penarikan Contoh
6
DAFTAR LAMPIRAN 1 Dokumentasi penelitian
24
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Pangan merupakan kebutuhan manusia yang sangat mendasar dan harus tercukupi agar dapat hidup meningkatkan kualitas hidupnya. Karbohidrat adalah zat gizi yang menjadi sumber utama energi dan paling banyak dikonsumsi oleh masyarakat sebagai pangan pokok. Terdapat banyak pangan yang menjadi sumber utama karbohidrat diantaranya beras, jagung, ubi, sagu dan jagung. Seiring dengan berkembangnya zaman, perubahan pola hidup masyarakat menjadi semakin modern, salah satunya adalah kecenderungan masyarakat dalam mengonsumsi pangan berbasis tepung terigu. Masyarakat yang semula mengonsumsi makanan pokok tunggal (beras), telah bergeser mengonsumsi terigu beserta produk turunannya (Ariani 2010a). Pola konsumsi pangan pokok di Indonesia berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2002, 2005, 2008 dan 2013 menunjukkan kecenderungan penurunan konsumsi beras dari 115.5 kilogram per kapita pada tahun 2002 menjadi 105.2 kilogram per kapita pada tahun 2005, 104.9 kilogram per kapita pada tahun 2008 dan 97.4 kilogram per kapita pada tahun 2013. Konsumsi jagung juga mengalami penurunan dari 3.4 kilogram per kapita pada tahun 2002 menjadi 2.9 kilogram per kapita pada tahun 2008. Sementara pada tahun yang sama terjadi peningkatan konsumsi pangan berbasis tepung terigu dari 8.5 kilo gram per kapita pada tahun 2002 menjadi 11.2 kilo gram per kapita pada tahun 2008 (Ariani 2010a). Perkembangan konsumsi pangan berbasis terigu dimulai sejak era Orde Baru dengan adanya subsidi terhadap impor gandum hingga harganya lebih murah 50% dari harga internasional dan kebijakan yang memberi kemudahan bagi produsen pengolahan terigu. Pengolahan terigu yang mudah dan cepat disajikan dengan berbagai variasi olahan juga meningkatkan konsumsi terhadap terigu (Hardinsyah dan Amalia 2007). Kandungan gizi tepung terigu lebih tinggi dibandingkan dengan pangan pokok lainnya. Tepung terigu dalam 100 g memiliki kandungan karbohidrat 365 kkal, protein 8.9 g, lemak 1.3 g, zat besi 1.2 mg. Sedangkan beras dalam 100 g memiliki kandungan karbohidrat 360 kkal, protein 6.8 g, lemak 0.7 g, zat besi 0.8 mg (DKBM 2010). Dengan kandungan zat besi 1.2 mg, tepung terigu dapat memenuhi sekitar 5% kecukupan zat besi harian remaja usia 16-18 tahun berdasarkan Angka Kecukupan Gizi (AKG) 2013. Salah satu zat gizi mikro yang sangat dibutuhkan oleh tubuh adalah zat besi. Zat besi harus diperoleh dari luar tubuh, baik berupa makanan maupun suplemen. Masalah anemia zat gizi besi adalah masalah gizi mikro terbesar dan sulit diatasi di dunia, terutama pada bayi, anak pra-sekolah, dan wanita usia subur. Berdasarkan Riskesdas (2013), prevalensi anemia defisiensi zat gizi besi pada kelompok usia 15-24 tahun mencapai 18.4%. Dan prevalensi anemia pada perempuan adalah 23.9%. Prevalensi anemia tinggi terutama pada remaja putri karena pada masa ini sedang terjadi puncak pertumbuhan dan mulai mengalami haid sehingga banyak zat besi yang ikut terbuang. Prevalensi anemia di pedesaan (22.8%), lebih tinggi dari perkotaan (20.6%). Ini menunjukkan bahwa prevalensi anemia lebih besar pada masyarakat miskin, yang umumnya tinggal di pedesaan.
2
Salah satu cara mengatasinya defisiensi zat besi, defisiensi asam folat dan mencegah terjadinya keterlambatan pertumbuhan kognitif dan produkvitas pada anak-anak adalah dengan meningkatkan asupan pangan yang mengandung mineral mikro dengan cara fortifikasi (FFI 2014). Tepung terigu sebagai bahan pangan yang mengandung zat besi, telah difortifikasi oleh pemerintah untuk meningkatkan ketersediaan pada pangan. Dengan fortifikasi, konsumsi yang sedikit diharapkan mampu memenuhi kecukupan zat besi yang lebih besar. Pada tahun 1998 SK Kemenkes No. 632/MENKES/SK/VI/1998 mewajibkan seluruh tepung terigu yang beredar di Indonesia harus difotifikasi. Kemudian tahun 2001, Standar Nasional Indonesia (SNI) mewajibkan tepung terigu difortifikasi dengan zat besi, seng, vitamin B1 dan B2. Perkembangan produk berbasis tepung terigu juga semakin banyak berkembang. Namun, konsumsi zat besi pada terigu yang difortifikasi perlu dilihat lagi penyebaran konsumsinya. Berdasarkan hal tersebut di atas maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang estimasi konsumsi dan asupan zat besi dari pangan berbasis tepung terigu pada siswi SMA di Kota Bogor. Perumusan Masalah Fortifikasi tepung terigu terutama ditujukan untuk masyarakat dengan ekonomi menengah ke bawah untuk mengatasi defisiensi zat gizi besi. Defisiensi zat gizi besi banyak terjadi pada remaja putri karena tingkat pertumbuhan yang tinggi di usia remaja dan saat ini remaja mulai mengalami haid. Jenis pangan berbahan dasar terigu banyak beredar di pasaran, namun konsumsi berbagai jenis pangan olahan terigu tersebut, baik jumlah, jenis maupun mutunya, diduga dipengaruhi oleh kondisi ekonomi. Remaja dengan karakteristik ekonomi diperkirakan tinggi cenderung membeli olahan terigu yang lebih mahal dan beragam dibandingkan dengan karakteristik ekonomi menengah ke bawah. Semakin tinggi tingkat pendapatan diduga semakin tinggi asupan terigu dan asupan zat besi dari terigu. Berdasarkan hal tersebut perlu dilihat sebaran jenis pangan berbasis terigu yang sering dikonsumsi siswi putri dan besarnya kontribusi tepung terigu dalam pemenuhan kecukupan zat besi yang diperlukan oleh siswi SMA. Tujuan Penelitian Tujuan Umum Tujuan penelitian ini melakukan estimasi konsumsi dan asupan zat besi dari pangan berbasis tepung terigu pada siswi SMA di Kota Bogor. Tujuan Khusus 1. Mempelajari kelompok pangan berbasis terigu yang biasa dikonsumsi siswi SMA di Kota Bogor. 2. Mempelajari kontribusi tepung terigu dalam memenuhi kecukupan asupan zat besi siswi SMA di Kota Bogor. 3. Mempelajari preferensi konsumsi pangan berbasis tepung terigu remaja putri terhadap pangan pokok lainnya, yaitu beras, jagung, ubi kayu dan umbiumbian.
3
Manfaat Penelitian Hasil penelitian diharapkan mampu memberi gambaran besarnya konsumsi dan asupan zat besi dari pangan berbasis tepung terigu pada siswi SMA di Kota Bogor sehingga dapat membantu pemerintah dalam pengembangan program fortifikasi.
KERANGKA PEMIKIRAN Tepung terigu merupakan bahan makanan yang wajib difortifikasi zat besi di Indonesia. Fortifikasi terigu dilakukan sebagai salah satu cara untuk menanggulangi masalah defisiensi zat gizi mikro, khususnya anemia zat gizi besi (AGB) pada masyarakat miskin. Pola konsumsi pangan pokok di Indonesia yang didominasi oleh beras, bahkan selama beberapa waktu beras telah menjadi pola pokok tunggal, telah bergeser dengan hadirnya terigu menjadi makanan pokok kedua. Konsumsi terigu yang menyaingi konsumsi beras ini perlu dikaji lebih lanjut dari aspek pelaku konsumsi. Salah satu kajian yang perlu dilakukan adalah konsumsi terigu pada berbagai kelompok umur, termasuk anak SMA (usia remaja) yang banyak menghabiskan waktu dan melakukan konsumsi di luar rumah serta berorientasi pada kepraktisan penyajian makanan. Remaja yang masih bersekolah umumnya mendapat pemasukan untuk pangan dari uang saku yang diberikan keluarga. Karakteristik sosial rumah tangga diduga akan mempengaruhi besaran uang saku yang didapatkan sehingga akan berpengaruh dengan pola konsumsi. Karakteristik sosial rumah tangga diduga juga akan berpengaruh terhadap ketersediaan pangan di dalam menu harian keluarga. Selain uang saku dan ketersediaan pangan di rumah maupun di lingkungan sekitar, nilai sosial dan kepraktisan cara konsumsi akan mempengaruhi pola konsumsi pangan berbasis tepung terigu. Besaran konsumsi pangan berbasis tepung terigu akan mempengaruhi tingkat kecukupan zat gizi harian contoh khususnya untuk kecukupan zat gizi mikro yang difortifikasi pada terigu. Penelitian ini mempelajari asupan pangan berbasis tepung terigu sebagai makanan dalam pola konsumsi pangan harian remaja. Dari keseluruhan asupan pangan berbasis tepung terigu dilihat persentasenya terhadap angka kecukupan gizi (AKG) dan tingkat kecukupan gizi dari zat gizi yang difortifikasi pada terigu.
4
Karakteristik keluarga: - Pendidikan - Pekerjaan - Pendapatan - Besar keluarga
Karakteristik siswi SMA: - Usia - Berat badan
-
Uang saku untuk makan dan minum
-
Ketersediaan pangan di rumah
Pola Konsumsi Pangan Berbasis Tepung Terigu a. Jenis b. Jumlah dan frekuensi c. Waktu d. Peranan / fungsi
Angka Kecukupan Gizi Besi dan Gizi Lainnya (%)
-
Preferensi, Ketersediaan Nilai sosial Kepraktisan
Konsumsi Terigu
Tingkat kecukupan zat gizi yang difortifikasi
Keterangan: : Variabel yang diteliti : Hubungan yang dianalisis : Hubungan yang tidak dianalisis
Gambar 1 Kerangka pemikiran estimasi konsumsi dan evaluasi asupan zat besi dari pangan berbasis tepung terigu pada siswi SMA di Kota Bogor.
5
METODE Desain, Waktu, dan Tempat Penelitian Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah cross sectional study. Cross sectional study dilakukan untuk mengidentifikasi dan menganalisis karakteristik demografi dan sosial, serta konsumsi pangan berbasis terigu dalam sekali waktu pengukuran. Penelitian dilakukan di SMA Negeri 1, SMA Negeri 10, dan SMA PGRI Bogor. Lokasi tersebut dipilih secara purposive dengan pertimbangan terdapat remaja yang mengonsumsi pangan berbasis terigu dan ketiga lokasi dapat mewakili karakteristik ekonomi berbeda. SMA Negeri 1 Bogor mewakili siswi dengan status sosial ekonomi atas, SMA Negeri 10 Bogor mewakili siswi dengan status sosial ekonomi menengah, dan SMA PGRI Bogor mewakili siswi dengan status sosial ekonomi bawah. Penelitian ini dilakukan selama bulan Mei (satu bulan).
Teknik Penarikan Contoh Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswi SMA yang berada di kelas X, XI, dan XII di lokasi penelitian. Penarikan contoh siswi di sekolah dilakukan secara acak sederhana (simple random sampling), dengan pertimbangan karakteristik contoh yang relatif homogen. Jumlah contoh minimal dalam penelitian ini dihitung menggunakan rumus berikut.
Keterangan: n = Jumlah contoh N = Jumlah populasi d = Tingkat kesalahan yang dapat ditolerir (10%) Berdasarkan perhitungan, maka besar contoh minimal adalah sebesar 93 orang. Besar contoh dari masing-masing sekolah dihitung menggunakan rumus (Ariawan 1998) sebagai berikut.
Keterangan: nh = besar contoh untuk tiap sekolah Nh = jumlah siswi di sekolah pilihan n = besar contoh keseluruhan N = jumlah total siswi (populasi) pada ketiga sekolah Besar contoh yang diambil berdasarkan perhitungan di atas pada SMAN 1 adalah 44 orang, 42 pada SMAN 10 dan 7 orang pada SMA PGRI 4. Untuk menjaga validitas data, maka jumlah contoh yang diambil lebih besar dari jumlah
6
minimal. Total contoh yang mengisi kuisioner berjumlah 163. Berikut disajikan diagram alur penarikan contoh. Jumlah siswi SMAN 1 579 orang
Jumlah siswi SMAN 10 551 orang
Jumlah siswi SMA PGRI 4 86 orang
Kerangka Contoh
Mengisi kuisioner
55 orang
55 orang
53 orang Data lengkap, valid dan dilanjutkan ke pengolahan
42 orang
36 orang
42 orang
Gambar 2 Digram alur penarikan contoh
Jenis dan Metode Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri atas data primer dan sekunder. Data primer, meliputi umur, jenis kelamin, berat badan, besar keluarga, pendidikan, pekerjaan kepala keluarga dikumpulkan melalui pengisian kuesioner yang dilakukan oleh contoh dan data konsumsi pangan dikumpulkan melalui wawancara yang dilakukan oleh enumerator. Data sekunder, meliputi profil sekolah diperoleh dari data sekolah tempat penelitian dilakukan. Tabel 1 Data primer dan sekunder dalam penelitian Jenis Data Sumber Data Primer : a. Karakteristik sosial demografi Siswi keluarga: Umur, jenis kelamin, berat badan, besar keluarga, pendidikan, pekerjaan kepala keluarga. b. Konsumsi pangan siswi (konsumsi Siswi terigu dan pangan olahannya)
Cara Pengumpulan Pengisian (untuk data berat badan dilakukan pengukuran langsung dengan timbangan badan) Wawancara dengan metode food recall 2X24 jam dan FFQ semi
kuantitatif. Data Sekunder : Profil sekolah
Sekolah
Pengumpulan dan pencatatan dokumen.
Data konsumsi pangan contoh dikumpulkan dengan metode recall 2x24 jam secara berturut-turut dan food frequency quitionaire (FFQ) semi kuantitatif. Pangan yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah semua jenis pangan yang dikonsumsi oleh contoh. Pengumpulan data contoh dilakukan dua hari pada satu sekolah. Hari pertama kunjungan ke sekolah contoh diminta untuk mengisi
7
formulir karakteristik individu dan sosial demografi keluarga. Contoh juga diminta mencatat semua jenis makanan yang dikonsumsi pada hari kunjungan dan keesokan hari (dua hari berturut-turut) dan dikumpulkan pada hari kedua kunjungan dari enumerator. Pada kunjungan kedua, enumerator mengestimasi berat semua jenis makanan yang dikonsumsi oleh contoh dan mengisi food frequency semi kuantitatif pangan berbasis tepung terigu.
Pengolahan dan Analisis Data Data yang dikumpulkan (Tabel 1) diolah dan dianalisis menggunakan program komputer Microsoft Excel 2010 dan Statistical Program for Social Science (SPSS) versi 16 for Windows. Proses pengolahan data meliputi editing, analisis, penarikan simpulan. Karakteristik sosial demografi diperoleh dengan pengisian kuisioner oleh, meliputi data jumlah anggota rumah tangga, umur anggota rumah tangga, pendidikan dan pekerjaan kepala keluarga dan anggota rumah tangga lainnya dikelompokkan seperti pada tabel berikut.
No 1
2
Tabel 2 Pengelompokkan variabel penelitian Variabel Sub Variabel Kategori Karakteristik Besar rumah 1) Kecil (≤ 4 orang) 2) Sedang (5-6 orang) demografi tangga 3) Besar (≥ 7 orang) Umur anggota 1) Remaja (< 20) rumah tangga 2) Dewasa awal (20-40 ) 3) Dewasa tengah (41-65) (tahun) 4) Dewasa akhir (> 65) Karakteristik Pendidikan 1) SD/sederajat anggota rumah 2) SMP/ sederajat sosial 3) SMA/ sederajat tangga 4) Perguruan tinggi 1) PNS/TNI/Polri Pekerjaan 2) Pegawai swasta 3) Buruh kasar/ pabrik/bangunan 4) Pedagang (asongan, kaki lima, dll) 5) Lainnya
Sumber BKKBN (1998) Papalia & Old (1986) BPS (2011) Berg (1986)
Konsumsi pangan siswi diperoleh dengan menghitung konsumsi harian siswi dengan metode food recall 2x24 jam dan food frequency semi kuantitatif menggunakan kuesioner yang telah dimodifikasi. Metode ini dipilih karena metode ini dapat menggambarkan konsumsi pangan harian contoh yang berbasis terigu dalam satuan URT. Berat terigu yang terkandung pada pangan berbasis tepung terigu dihitung dengan mengalikan berat pangan dengan faktor konversi kelompok pangan berbasis terigu tersebut. Faktor konversi yang digunakan adalah berdasarkan acuan pangan olahan terigu dari Susenas (Hardinsyah dan Amalia 2007).
8
Tabel 3 Faktor konversi terigu dari pangan olahan terigu No Pangan Olahan Persentase Terigu (%) 1 Tepung terigu 1.00 2 Mie basah 0.33 3 Mie instan 0.92 4 Makaroni 0.92 5 Roti tawar 0.68 6 Roti manis 0.68 7 Kue kering/biskuit 1.00 8 Kue basah 0.47 9 Makanan gorengan 0.25 10 Mie bakso 0.33 11 Makanan ringan anak 0.92 Sumber : JPG 2 (1):8-15 Proses pengolahan data meliputi berikutnya adalah validasi data konsumsi, yaitu dengan mencocoknya FFQ dengan food recall 2x24 jam. Contoh yang data FFQ nya tidak sesuai dengan food recall 2x24 jam tidak dilanjutkan sebagai contoh. Selanjutnya contoh yang datanya valid dilanjutkan ke tahap entry, coding, editing. Pangan berbasis terigu yang dikonsumsi contoh menurut FFQ dikonversi dengan faktor konversi pangan berbasis tepung terigu (Tabel 3). Konsumsi pangan berbasis tepung terigu dihitung dan ditentukan kontribusinya terhadap pemenuhan angka kecukupan gizi harian contoh. Kecukupan zat gizi harian yang diperhatikan meliputi zat besi, vitamin B1 (thiamin), vitamin B2 (riboflavin), asam folat, seng dan energi. Penentuan kontribusi konsumsi pangan berbasis dilakukan dengan mengacu pada Angka Kecukupan Gizi (AKG) hasil Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) tahun 2012. Angka kecukupan untuk masing-masing individu dikoreksi kembali dengan berat badan siswi. Kontribusi tepung terigu adalah perbandingan antara zat gizi yang dikonsumsi dari tepung terigu dengan kecukupan zat gizi harian individu. Analisis data dilakukan dengan SPSS versi 16. Sebelum dilakukan analisis, dilakukan uji normalitas data menggunakan K-S test (Kolmogorov Smirnov). Selanjutnya dilakukan uji statistik meliputi uji beda Anova dan uji lanjut Duncan terhadap rata-rata penghasilan keluarga per bulan, rata-rata uang saku contoh per bulan untuk pangan, besar konsumsi pangan berbasis tepung terigu. Selain itu dilakukan juga uji korelasi Spearman untuk mengetahui hubungan penghasilan keluarga per bulan, besar keluarga, uang saku contoh per bulan untuk pangan, konsumsi pangan berbasis tepung terigu dan tingkat kecukupan zat besi dan mineral mikro lainnya. Data yang diperoleh disajikan dalam bentuk tabulasi kemudian dibahas dan dilakukan penarikan simpulan.
DEFINISI OPERASIONAL Contoh adalah siswi SMA perempuan yang berusia 15-18 tahun.
9
Pangan berbasis tepung Terigu adalah semua jenis pangan mengandung terigu baik sebagai sumber utama atau bahan pendukung yang terdapat dalam susunan yang meliputi mie basah, mie instan, makaroni, roti tawar, roti manis, kue kering/biskuit, kue basah, makanan gorengan, mie bakso, dan makanan ringan anak yang dikonsumsi anggota rumah tangga contoh. Pendapatan adalah total pemasukan yang diperoleh oleh keluarga dalam satu rumah tangga (Rp / bulan). Uang saku adalah jumlah uang yang diterima siswi per bulan untuk digunakan untuk membeli makanan atau non makanan harian (Aprilian 2010). Angka Kecukupan Gizi Siswi adalah rata-rata jumlah zat gizi harian (meliputi energi, protein, vitamin B1, vitamin B2, asam folat, zat besi, dan seng) yang dianjurkan untuk memenuhi kebutuhan gizi anggota rumah tangga contoh sesuai kelompok umur, jenis kelamin, dan kondisi fisiologisnya, berdasarkan acuan Angka Kecukupan Gizi (AKG) hasil Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi tahun 2013, dengan faktor koreksi berat badan aktual. Kontribusi terigu terhadap kecukupan gizi siswi adalah perbandingan antara jumlah zat gizi (energi, protein, vitamin B1, B2, asam folat, zat besi dan seng) yang terkandung dalam terigu hasil konversi pangan terigu yang dikonsumsi siswi dengan angka kecukupan zat gizi, yang dinyatakan dengan satuan persen (%). Karakteristik demografi rumah tangga adalah karakteristik rumah tangga contoh yang meliputi jenis kelamin anggota rumah tangga (dibedakan lakilaki dan perempuan), umur anggota rumah tangga (dikelompokkan menjadi (a) < 5 tahun; (b) 5-12 tahun; (c) 13-18 tahun; (d) 19-54 tahun; dan (e) ≥ 55 tahun), umur kepala rumah tangga (dikelompokkan menjadi (a) remaja (<20 tahun); (b) dewasa awal (20-40 tahun); (c) dewasa tengah (41-65 tahun); dan (d) dewasa akhir (>65 tahun)), serta besar rumah tangga yaitu jumlah anggota rumah tangga yang tinggal dalam satu rumah dan hidup dari penghasilan yang sama (dikelompokkan menjadi: (a) keluarga kecil (≤4 orang); (b) keluarga sedang (5-6 orang); dan (c) keluarga besar (≥7 orang)) Karakteristik sosial rumah tangga adalah karakteristik rumah tangga contoh yang meliputi pendidikan terakhir anggota rumah tangga (dikelompokkan menjadi: (a) tidak/belum sekolah; (b) tidak tamat SD/ sederajat; (c) tamat SD/ sederajat; (d) tamat SMP/ sederajat; (e) tamat SMA/ sederajat; dan (f) tamat perguruan tinggi) serta pekerjaan yang dikelompokkan menjadi: (a) PNS/ABRI/Polri; (b) karyawan swasta; (c) buruh; (d) dagang; dan (e) lainnya. Frekuensi konsumsi terigu adalah banyaknya konsumsi pangan berbasis terigu dalam satuan kali per bulan. Estimasi konsumsi adalah memperkirakan berat pangan yang dikonsumsi oleh contoh, atau asupan zat gizi besi (mg), vitamin B1 (mg), vitamin B2 (mg), asam folat (µg) dan seng (mg). Preferensi konsumsi adalah pilihan konsumsi pangan berbasis tepung terigu, beras, jagung atau umbi-umbian yang akan dilakukan oleh contoh ketika menghadapi beberapa kondisi .
10
HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Sekolah Ketiga sekolah yang diamati adalah SMAN 1 Bogor, SMAN 10 Bogor dan SMA 10 PGRI dianggap dapat mewakili tiga kelompok sosial ekonomi. Berikut disajikan gambaran umum sekolah. Tabel 4 Gambaran umum sekolah Karakteristik Jumlah siswa (orang) Jumlah siswi (orang) Guru dan staff pengajar (orang) Uang sekolah (Rp/bulan) Fasilitas kantin
SMAN 1 1029 579 84 425.000 Ada
SMAN 10 1060 551 69 285.000 Ada
SMA PGRI 4 201 86 45 220.000 Ada
Karakteristik sekolah di atas menunjukkan bahwa SMAN 1 Bogor memiliki jumlah siswa/i yang lebih banyak dari SMAN 10 dan SMA PGRI 4. Demikian juga untuk jumlah guru dan staff pengajar. Uang sekolah yang dibebankan kepada contoh juga lebih besar pada SMAN 1. Hal ini menunjukkan secara umum ketiga sekolah memiliki tingkatan yang berbeda.
Karakteristik Individu Jumlah keseluruhan contoh adalah 120 orang, yang terdiri dari 42 orang siswi SMA Negeri 1 Bogor, 42 siswi orang SMA PGRI 4 Bogor dan 36 orang siswi SMA Negeri 10 Bogor. Tabel 5 Sebaran contoh berdasarkan karateristik individu No 1.
2.
Karakteristik Usia contoh 13 - 15 tahun 16 - 18 tahun Rata-rata uang saku untuk pangan (Rp)/bulan ± SD
SMAN 1 n
% 41 1
97.6 2.4
700.476 ± 300.635a
n
SMAN 10 % 23 13
63.9 36.1
532.777 ± 267.629b
SMA PGRI 4 n % 34 8
81.0 19.0
514.095 ± 175.056b
Usia contoh sebagian besar berada pada kelompok 13 - 15 tahun dan selebihnya berada pada kelompok usia 16 - 18 tahun. Pengelompokan usia di atas didasarkan pada Angka Kebutuhan Gizi (WNPG 2012) bagi perempuan Indonesia. Dari ketiga sekolah yang menjadi subjek penelitian, sebagian besar contoh berada pada kelompok usia 13-15 tahun (97.6%, 63.9%, 81.0%). Rata-rata uang saku untuk pangan ketiga kelompok contoh berada di atas Rp 500.000,- per bulan dan yang tertinggi pada contoh SMAN 1, berikutnya SMAN 10 dan SMA PGRI 4. Dari hasil beda Anova yang dilakukan terhadap uang saku diperoleh kesimpulan ada perbedaan rata-rata uang saku pada kelompok SMA. Kemudian
11
dilakukan uji lanjut Duncan untuk mengetahui perbedaannya dan diperoleh kesimpulan tidak ada perbedaan nyata uang saku contoh dari SMAN 10b dengan SMA PGRI 4b. Tetapi keduanya berbeda dengan uang saku contoh dari SMAN 1a.
Karakteristik Sosial dan Demografi Keluarga Contoh Keluarga adalah sekelompok orang yang tinggal dalam suatu rumah tangga dalam kedekatan yang konsisten dan hubungan yang erat (Helvie 1981). Menurut BPS (2011) anggota rumah rumah tangga adalah semua orang yang biasanya tinggal bersama di satu rumah baik yang berada pada saat pencacahan maupun tidak. Orang yang tinggal di dalam satu rumah tangga selama enam bulan atau lebih atau belum mencapai enam bulan tetapi berniat tinggal di tempat tersebut selama lebih dari enam bulan. Tabel 6 Sebaran contoh berdasarkan karakteristik sosial dan demografi keluarga contoh No 1
2
3
4
5
Karakteristik Umur Kepala Keluarga Dewasa awal 20 - 40 Dewasa tengah 41 - 65 Dewasa akhir >65 Jumlah Anggota RT Kecil ≤ 4 orang Sedang 5-6 orang Besar ≥ 7 orang Tingkat Pendidikan Kepala Keluarga Belum/tidak sekolah Tidak tamat SD/sederajat Tamat SD/sederajat Tamat SMP/ sederajat Tamat SMA/ sederajat Tamat PT/sederajat Pekerjaan Kepala Keluarga PNS/TNI/Polri Pegawai swasta Buruh Pedagang Lainnya Rata-Rata Penghasilan Keluarga (Rp/bulan) ± SD
SMAN 1 n %
SMAN 10 n %
0 42 0
0 100 0
1 34 1
18 23 1
42.9 54.7 2.4
17 16 3
0 0 0 0 3 39
0 0 0 0 7.1 92.9
0 0 2 2 12 20
16 38.1 23 54.8 0 0 0 0 3 7.1 14.460.000 ± 300.635a
2.8 94.4 2.8
SMA PGRI 4 n % 6 33 2
14.6 80.5 4.9
47.2 44.5 8.33
12 21 9
28.6 50.0 21.4
0 0 5.6 5.6 33.3 55.5
1 2 3 4 25 7
2.4 4.8 7.1 9.5 59.5 16.7
5 13.9 12 61.1 3 8.3 0 0 6 16.7 5.123.000 ± 267.629b
8 19.1 14 33.3 6 14.3 3 7.1 11 26.2 4.431.000 ± 175.056b
Pengelompokan usia kepala keluarga ditetapkan berdasarkan kategori usia kepala keluarga yang dibuat oleh Papalia & Old (1986) yaitu remaja, dewasa awal, dewasa tengah dan dewasa akhir. Dari ketiga kelompok contoh dapat dilihat bahwa sebagian besar usia kepala keluarga berada di kelompok dewasa tengah (41 - 65 tahun). Besar rumah tangga dikelompokkan berdasarkan kategori yang
12
ditetapkan oleh BKKBN (1998) yaitu kecil, sedang dan besar. Dari ketiga kelompok contoh didapati besar keluarga didominasi kelompok kecil dan sedang. Kelompok keluarga besar tertinggi terdapat pada contoh dari SMA PGRI 4 (21.4%). Besar keluarga dapat mempengaruhi pola konsumsi pangan maupun distribusi pangannya, sehingga akan berpangaruh juga terhadap kecukupan gizinya (Djauhari & Friyanto dalam Cahyaningsih 2008). Pengelompokan tingkat pendidikan kepala keluarga ditetapkan berdasarkan BPS (2011). Dari Tabel 6 dapat diketahui bahwa pendidikan kepala keluarga contoh SMAN 1 sebagian besar berada dikelompok tamat perguruan tinggi/sederajat (92.9%) dan sisanya tamat SMA/sederajat (7.1%). Untuk contoh SMAN 10, sebanyak 55.5% kepala keluarga berada pada kelompok tamat perguruan tinggi/sederajat dan masih ada 5.6% kepala keluarga yang hanya tamat sd/sederajat. Sedangkan contoh SMA PGRI 4, hanya 16.7% kepala keluarga yang tamat perguruan tinggi/sederajat. Pekerjaan kepala keluarga seluruh contoh sebagian besar berada pada kelompok pegawai swasta 54.8% (SMAN 1), 61.1% (SMAN 10) dan 33.3% (SMA PGRI 4). Rata-rata penghasilan keluarga menunjukkan keluarga contoh SMAN 1 berada di atas kedua kelompok lainnya dengan Rp 14.460.000,-per bulan. Sedangkan keluarga contoh SMAN 10 dan PGRI 4 berpenghasilan Rp 5.123.000,- per bulan dan Rp 4.431.000,- per bulan. Uji beda Anova menunjukkan ada perbedaan antara rata-rata penghasilan keluarga antar kelompok contoh. Kemudian dilakukan uji lanjut Duncan untuk mengetahui perbedaannya dan diperoleh kesimpulan tidak ada perbedaan nyata rata-rata penghasilan keluarga contoh dari SMAN 10b dengan SMA PGRI 4b. Tetapi keduanya berbeda dengan rata-rata penghasilan keluarga contoh dari SMAN 1a. Dari keseluruhan karakteristik sosial keluarga contoh di atas dapat disimpulkan bahwa SMAN 1 dapat mewakili kelompok sosial atas, SMAN 10 mewakili kelompok sosial menengah dan SMA PGRI 4 mewakili kelompok sosial bawah. Status sosial masyarakat dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor di antaranya adalah ukuran kekayaan, kekuasaan dan wewenang, kehormatan, serta ilmu pengetahuan (Soemardjan 1974). Hubungan karakteristik keluarga dengan uang saku disajikan dalam tabel berikut. Tabel 7 Hubungan karakteristik keluarga dengan uang saku Uang saku Variabel p r Penghasilan orang tua 0.002* 0.280 Besar keluarga 0.841 0.018 * Korelasi signifikan p < 0.05
Tabel di atas menunjukkan adanya pengaruh signifikan dari penghasilan orang tua dengan uang saku yang diberikan kepada contoh. Orang tua dengan penghasilan yang lebih tinggi akan memberi uang saku yang lebih besar. Namun besar keluarga tidak berpengaruh signifikan dengan uang saku. Uang saku yang diberikan kepada contoh diberikan untuk kebutuhan harian, termasuk untuk pangan.
13
Kelompok Pangan Berbasis Tepung Terigu yang Biasa Dikonsumsi Contoh Tepung terigu adalah bahan pangan yang telah menjadi salah satu makanan pokok di berbagai negara. Pola konsumsi pangan pokok di Indonesia didominasi oleh beras, bahkan di pedesaan beras telah menjadi pola pokok tunggal. Pergeseran ini dipengaruhi oleh banyak faktor di antaranya kebijakan impor gandum untuk diproses menjadi tepung di dalam negeri dan subsidi harga terigu (50% lebih murah dari harga internasional) oleh pemerintah di masa orde baru, banyaknya ragam pangan turunan terigu yang beredar di pasaran serta kepraktisan dalam pengolahan dan konsumsinya (Ariani 2010a). Hal ini ditunjukkan dengan laju pertumbuhan konsumsi terigu nasional yang mencapai rata-rata 6.86% antara tahun 2005 hingga 2009 (Ariani 2010b). Jenis pangan berbahan dasar terigu banyak beredar di pasaran, namun konsumsi berbagai jenis pangan berbasis terigu tersebut, baik jumlah, jenis maupun mutunya, dipengaruhi oleh kondisi ekonomi. Rataan frekuensi dan berat konsumsi pangan berbasis tepung terigu contoh disajikan dalam Tabel 8 di bawah. Kelompok pangan berbasis tepung terigu yang paling tinggi frekuensi konsumsinya adalah kue kering/biskuit dan makanan ringan. Selain kue kering/biskuit, makanan gorengan, roti tawar dan mie instan juga menjadi pangan olahan terigu yang frekuensi konsumsinya tinggi. Jenis pangan yang paling rendah frekuensi konsumsinya adalah makaroni. Untuk berat konsumsi, kue kering/biskuit dan mie instan merupakan pangan yang paling tinggi berat konsumsinya (21.0 g/hr dan 19.8 g/hr). Penelitian Hardinsyah dan Amalia (2007) menunjukkan berat konsumsi pangan olahan yang berbeda tingkatannya. Konsumsi pangan berbasis tepung terigu per kapita yang tertinggi adalah mie instan (10.7 g/kap/hari) dan makanan gorengan (10.6 g/kap/hari) sedangkan yang terendah adalah makaroni (0.2 g/kap/hari). Perbedaan tingkat konsumsi ini dimungkinkan karena contoh yang dipilih dalam penelitian ini merupakan kelompok umur sekolah yang konsumsi rata-rata kue kering/biskuit dan mie instan lebih tinggi dibandingkan oleh konsumsi rataan rumah tangga. Selain itu, ketersediaan kue kering/biskuit yang menjadi jajanan di sekolah juga mempengaruhi tingginya konsumsi. Total konsumsi terigu harian adalah 96.2 gram. Nilai ini berada di atas evaluasi yang dilakukan FFI (2014) yang menyatakan bahwa rata-rata konsumsi terigu di Provinsi Jawa Barat adalah ± 60 g/kapita/hari. Konsumsi kue kering/biskuit juga merupakan konsumsi dengan frekuensi tertinggi pada ketiga kelompok. Hal ini kemungkinan akibat dari perkembangan ilmu dan teknologi pengolahan pangan yang menawarkan berbagai jenis produk kue kering/biskuit dengan berbagai jenis dan citarasa yang banyak digemari masyarakat. Secara keseluruhan, total konsumsi baik berat maupun frekuensi tertinggi berurutan adalah SMA PGRI 4, SMAN 10 dan SMAN 1. Berdasarkan hasil ini juga dilihat bahwa ada hubungan negatif antara status sosial ekonomi dengan besarnya konsumsi terigu. Uji lanjut Duncan terhadap total terigu yang dikonsumsi contoh menunjukkan tidak ada perbedaan nyata konsumsi terigu contoh dari SMAN 1a dan SMAN 10a. Namun kedua sekolah tersebut berbeda dengan SMA PGRI 4b.
14
Tabel 8 Rataan frekuensi dan berat* (setara terigu) konsumsi pangan berbasis tepung terigu contoh
Jenis Pangan Mie basah Mie instan Makaroni Roti tawar Roti manis Kue kering/biskuit Kue basah Makanan gorengan Bakso Makanan ringan anak Lainnya Total a, b
SMAN 1 SMAN 10 SMA PGRI 4 Frekuensi Berat Frekuensi Berat Frekuensi Berat (kali/bulan) ± SD (g/hari) (kali/bulan) ± SD (g/hari) (kali/bulan) ± SD (g/hari) 3.0 ± 3.1 3.3 3.4 ± 3.2 3.7 9.3 ± 6.4 10.2 5.9 ± 4.6 12.7 8.2 ± 9.6 17.5 13.4 ± 9.0 28.4 2.2 ± 2.8 6.6 2.8 ± 4.9 8.4 1.8 ± 2.5 5.6 11.8 ± 10.5 13.4 10.4 ± 10.0 11.8 9.6 ± 12.0 10.9 4.3 ± 9.8 4.9 5.7 ± 7.4 6.4 4.8 ± 6.4 5.5 18.2 ± 21.8 18.6 18.4 ± 13.9 22.9 22.6 ± 20.8 21.7 4.2 ± 7.1 3.3 3.3 ± 4.6 2.6 3.5 ± 6.2 2.8 7.9 ± 11 3.3 11.6 ± 10.1 4.8 14.0 ± 15.5 5.8 2.7 ± 3.1 3.0 5.8 ± 4.1 6.4 13.6 ± 8.0 14.9 11.9 ± 17.8 7.3 15.8 ± 16.1 9.7 11.1 ± 14.2 6.8 3.5 ± 4.3 1.0 4.4 ± 5.5 1.2 10.6 ± 12.7 2.9 75.5 ± 95.9 77.3a 89.6 ± 89.4 95.4a 114.4 ± 113.7 115.9b
Rataan Frekuensi Berat (kali/bulan) ± SD (g/hari) 5.3 ± 5.4 5.8 9.2 ± 8.5 19.8 2.2 ± 3.5 6.8 10.6 ± 10.8 12.1 4.9 ± 8.0 5.5 19.8 ± 19.3 21.0 3.7 ± 6.1 2.9 11.1 ± 12.8 4.6 7.4 ± 7.2 8.2 12.8 ± 16.1 7.8 6.3 ± 9.0 1.7 93.3 ± 106.7 96.2
Uji lanjut Duncan : SMAN 10 tidak berbeda dengan SMAN 1. Tetapi berbeda dengan SMA PGRI 4. * Berat pangan sudah telah dikonversi menurut Tabel 3 sehingga sudah setara dengan terigu.
15
Preferensi Konsumsi Pangan Berbasis Tepung Terigu Remaja biasanya tidak memilih makanan berdasarkan kandungan gizinya, melainkan berdasarkan kesukaan terhadap pangan dan kegiatan sosialisasi dengan lingkungannya. Aktivitas remaja banyak dilakukan di luar rumah dan sangat dipengaruhi oleh rekan sebayanya. Hal tersebut terkadang membuat mereka tidak lagi makan bersama keluarga di rumah (Khomsan dalam Aprilian 2010). Berikut disajikan preferesi pangan dengan beberapa kondisi yang dialami oleh contoh. Tabel 9 Preferensi pangan dengan beberapa keadaan Kondisi contoh Bila memiliki uang saku Bila sedang sibuk Bila sedang santai Bila sedang berada di sekolah Bila sedang berada di rumah Bila sedang berada di luar rumah
Beras 70.6 19.2 16.0 50.4 81.7 42.5
Persentase (%) Jagung Umbi - umbian 2.5 3.4 4.2 10.8 14.3 31.9 0.8 1.7 1.7 7.5 7.5
4.2
Terigu 23.5 65.8 37.8 47.1 9.1 45.8
Dari tabel di atas terlihat bahwa preferensi memilih terigu tertinggi ketika kondisi contoh sedang sibuk (65.8%), ketika berada di sekolah (47.1) dan ketika berada di luar rumah (45.8%). Dari ketiga kondisi di atas dapat disimpulkan bahwa pemilihan pangan berbasis terigu dipengaruhi oleh kepraktisan konsumsi. Preferensi terhadap kelompok pangan, selain dapat dipengaruhi oleh kepraktisan kemungkinan besar dipengaruhi oleh ketersediaan pangan berbasis tepung terigu yang lebih banyak dan bervariasi di sekitar contoh pada saat mengalami beberapa kondisi seperti di atas. Hal ini terlihat dari keempat kelompok pangan sumber karbohidrat preferensi terhadap jagung dan umbi-umbian merupakan yang terendah. Rendahnya konsumsi kedua pangan tersebut dipengaruhi oleh ketersediaan pangan olahan jagung dan umbi-umbian yang umumnya lebih sedikit. Kondisi uang saku sendiri tidak mempengaruhi preferensi terhadap pangan olahan terigu, terlihat dari 70.6% contoh ketika memiliki uang saku lebih memilih mengonsumsi beras dan olahannya. Sanjur (1982) menyatakan bahwa preferensi pangan juga dipengaruhi oleh karakteristik individu (umur, jenis kelamin, pendidikan, pendapatan, dan pengetahuan gizi) dan karakteristik lingkungan di mana seseorang berada. Preferensi pangan bersifat dinamis pada usia muda / anak-anak tetapi dapat menjadi permanen ketika usia semakin dewasa. Peningkatan status ekonomi akan mempengaruhi jumlah dan kualitas makanan yang dipilih. Azizah (1997) menyatakan bahwa tingkat pendapatan yang tinggi akan memberi peluang yang lebih besar untuk memilih makanan yang baik, baik dalam jenis maupun jumlah.
16
Tabel 10 Preferensi pangan dengan beberapa keadaan pada siswi menurut sekolah Kondisi contoh Bila memiliki uang saku SMAN 1 SMAN 10 SMA PGRI 4 Bila sedang sibuk SMAN 1 SMAN 10 SMA PGRI 4 Bila sedang santai SMAN 1 SMAN 10 SMA PGRI 4 Bila sedang berada di sekolah SMAN 1 SMAN 10 SMA PGRI 4 Bila sedang berada di rumah SMAN 1 SMAN 10 SMA PGRI 4 Bila sedang berada di luar rumah SMAN 1 SMAN 10 SMA PGRI 4
Beras
Persentase (%) Jagung Umbi - umbian
Terigu
85.4 77.8 50.0
2.4 0.0 4.8
4.9 5.6 0.0
7.3 16.7 45.2
19.1 16.7 21.4
7.1 2.8 2.4
9.5 22.2 2.4
64.3 58.3 73.8
17.1 16.1 14.6
12.2 22.2 9.5
29.3 33.3 33.3
41.5 27.8 42.86
80.5 58.3 14.3
0.0 2.8 0.0
0.0 0.0 33.3
19.5 38.9 42.9
83.3 91.7 14.3
0.0 0.0 0.0
7.1 2.8 4.8
9.5 5.6 81.0
59.5 25.0 40.5
4.8 11.1 7.1
2.4 5.6 4.8
33.3 58.3 47.6
Tabel 10 di atas menyatakan bahwa kelompok SMAN 1 dan SMAN 10 mengonsumsi pangan olahan terigu tertinggi pada kondisi sedang sibuk. Hal ini berkaitan dengan kepraktisan cara pengolahan dan ketersediaan pangan olahan terigu yang banyak di pasaran. Namun jika memiliki uang saku dan kondisi tidak sibuk, kedua kelompok lebih memilih mengonsumsi olahan beras. Sedangkan pada kelompok SMA PGRI 4 konsumsi pangan olahan terigu dominan hampir di semua kondisi. Kondisi yang paling tinggi adalah ketika berada di rumah, contoh lebih memilih mengonsumsi pangan olahan terigu (81.0). Hal ini menunjukkan bahwa pangan olahan terigu telah menjadi makanan pokok pada kelompok contoh ini bahkan mengalahkan preferensi terhadap konsumsi beras. Ada banyak faktor yang dapat mempengaruhi konsumsi pangan seseorang, salah satunya adalah keuangan. Contoh dalam penelitian ini memperoleh uang saku untuk pangan dari orang tua dan lainnya. Uang saku diduga akan berpengaruh terhadap preferensi konsumsi pangan olahan terigu. Namun hasil uji korelasi Spearman menunjukkan tidak terdapat pengaruh signifikan uang saku untuk pangan dengan banyaknya konsumsi terigu contoh (p=0.965, r=0.004).
17
Kontribusi Terigu terhadap Kecukupan Zat Gizi Kecukupan zat gizi menggambarkan banyaknya zat gizi minimal yang diperlukan oleh setiap orang dalam kelompok usia tertentu agar dapat hidup sehat, bebas dari defisiensi, aktif dan produktif. Angka kecukupan gizi (AKG) contoh ditetapkan berdasarkan hasil Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII tahun 2012 yang dianjurkan bagi remaja (13 - 15 tahun dan 15 - 18 tahun). Kontribusi terigu dihitung dari jumlah zat gizi yang terkandung pada rata-rata terigu yang dikonsumsi selama sehari dibandingkan dengan rata-rata AKG contoh.
Usia (tahun) 13 - 15 16 - 18
Tabel 11 Angka kecukupan zat gizi perempuan Energi B1 Vit. B2 Asam folat (kkal) (mg) (mg) (µg) 2125 1.1 1.3 400 2125 1.1 1.3 400
Besi (mg) 26 26
Seng (mg) 16 14
Sumber : WNPG VIII
Berikut disajikan tabel kontribusi tepung terigu yang telah difortifikasi terhadap kecukupan zat gizi contoh meliputi besi, vitamin B1,vitamin B2, asam folat, dan seng dari rataan konsumsi contoh 96.2 g/hari. Tabel 12 Rataan asupan dan kontribusi terigu terhadap kecukupan zat besi dan zat gizi mikro lainnya pada contoh Variabel Asupan zat gizi dari terigu Besi (mg) Vit B1 (mg) Vit B2 (mg) Asam folat (µg) Seng (mg) Kontribusi terhadap AKG (%) Besi Vit B1 Vit B2 Asam folat Seng
SMAN 1
SMAN 10
SMA PGRI 4
Ratarata/hari
4.8 0.3 0.3 168.5 2.9
5.9 0.3 0.4 208.0 3.5
7.3 0.4 0.5 256.6 4.3
6.0 0.3 0.4 211.0 3.6
18.4 26.4 26.2 42.1 19.1
22.6 30.4 32.3 52.0 23.5
27.6 36.9 39.2 63.1 28.6
23.0 30.6 32.6 52.5 23.7
Ketersediaan mineral mikro yang cukup tinggi pada tepung terigu memberikan kontribusi yang tinggi terhadap kecukupan gizi harian contoh. Tabel 12 menunjukkan kontribusi zat gizi terbesar dari tepung terigu yang telah difortifikasi adalah terhadap kecukupan asam folat (52.5%) dan vitamin B1 (32.6%). Hasil ini sejalan dengan studi yang dilakukan oleh Aliyah (2014) yang menyatakan kontribusi zat gizi tertinggi dari pangan olahan terigu adalah pada asam folat (24.5%) dan vitamin B1 (18.0%). Studi dari Hardinsyah dan Amalia (2007) juga menunjukkan kontribusi tertinggi pada asam folat (24.1%)
18
berdasarkan AKG 2000 kkal. Kontribusi zat besi sendiri rata-rata 23.0%. Kontribusi yang tinggi menunjukkan bahwa program fortifikasi tepung terigu membantu memenuhi AKG siswi sehingga dapat mengurangi risiko terjadinya AGB dan defisiensi zat gizi mikro lainnya. Kontribusi terigu terhadap kecukupan gizi contoh dari SMA PGRI 4 tertinggi dibandingkan dengan kedua sekolah lainnya. Keadaan usia ketiga kelompok menyebabkan besar kecilnya kontribusi dipengaruhi oleh banyaknya konsumsi yang dilakukan oleh kelompok itu sendiri. Contoh dari SMA PGRI 4 merupakan yang tertinggi dalam mengonsumsi terigu. Hal ini menunjukkan bahwa program fortifikasi pada tepung terigu tepat sasaran untuk membantu rumah tangga miskin dalam meningkatkan status gizinya terkhusus zat besi. Tepung terigu adalah salah satu pangan yang wajib difortifikasi. Fortifikasi harus memenuhi dua unsur yaitu pangan pembawa zat gizi (vehicle) dan zat gizi yang ditambahkan atau fortifican. Tujuan fortifikasi antara lain memperbaiki kekurangan zat gizi (memperbaiki defisiensi akan zat gizi yang ditambahkan), mengembalikan zat gizi yang awalnya terdapat pada bahan pangan namun hilang selama pengolahan, meningkatkan kualitas gizi dari produk pangan olahan (pabrik) yang digunakan sebagai sumber pangan bergizi serta menjamin ekuifalensi gizi dari produk pangan olahan yang menggantikan pangan lain (Siagian 2003). Perkembangan konsumsi terigu yang semakin meningkat sejak 1998, mendorong jumlah produsen terigu juga bertambah. Berdasarkan data APTINDO (Asosiasi Produsen Tepung Terigu Indonesia) pada tahun 2012 telah ada 21 pabrik penggilingan gandum di Indonesia dengan kapasitas giling 8.2 juta MT/tahun. Sebanyak 92% hasil produksi dikonsumsi di dalam negeri dan sisanya diekspor. Peredaran tepung terigu di Indonesia tidak hanya diatur dengan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1452 Tahun 2003, tetapi juga diatur lewat Standar Nasional Indonesia (SNI) 3751:2009, yang di dalamnya diatur syarat mutu tepung terigu sebagai bahan makanan. Berdasarkan kedua instrumen tersebut maka terdapat perbedaan kandungan mineral mikro pada tepung terigu alami dan fortifikasi. Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1452 Tahun 2003 jenis dan dosis zat gizi mikro yang harus ditambahkan adalah sebagaimana tabel berikut ini. Tabel 13 Kandungan zat gizi mikro dalam fortifikasi tepung terigu Zat Gizi Mikro Zat Besi Seng Vitamin B1 (Thiamin) Vitamin B2 (Riboflavin) Asam Folat Sumber : SK Menkes No. 1452/MENKES/SK/X/2003
Dosis (ppm) Minimal 50 Minimal 30 Minimal 2.5 Minimal 4 Minimal 2
Fortifikasi Fe (zat besi) diperuntukkan bagi kelompok populasi yang rentan anemia defisiensi zat besi dan merupakan strategi yang paling aman dalam mengatasi masalah anemia zat besi (Siagian 2003). Menurut Siagian (2003), fortifikasi zat besi merupakan strategi yang paling murah, dan kadarnya dapat dipertahankan, serta mencakup populasi yang luas sekaligus menjamin
19
pendekatan jangka panjang. Fortifikasi zat besi tidak menyebabkan efek samping pada saluran pencernaan. Hal inilah yang menyebabkan daya terima konsumen terhadap produk-produk yang terfortifikasi besi cukup baik. Remaja adalah masa yang sangat rentan terhadap defisiensi zat besi, terutama pada perempuan. Defisiensi ini dipengaruhi oleh asupan dan bioavaibilitas zat besi yang rendah dan peningkatan kebutuahn zat besi di masa pertumbuhan serta masa menstruasi (Brabin dan Brabin 1992). Defisiensi zat besi merupakan salah satu faktor yang menyebabkan anemia. Umumnya remaja sekolah menengah di wilayah regara berkembang Asia mengalami defisiensi Fe, vitamin A, dan Ca. Anemia umumnya ditemukan pada perempuan dengan prevalensi berkisar antara 45-90% di India, 22-90% di Bangladesh, sekitar 28% di Indonesia, 42% di Nepal, dan 26% di Myanmar (Fatmah 2010). Dari berbagai penelitian diketahui bahwa anemia berpengaruh terhadap kekebalan dan kebugaran tubuh, penurunan daya kognitif/intelektual, prestasi belajar, dan rendahnya kapasitas/produktivitas kerja. Berdasarkan laporan Global Alliance for Improving Nutrition (GAIN) 2006 dalam FFI (2014), fortifikasi pangan di berbagai negara telah memberikan efek yang baik untuk menanggulangi defisiensi zat gizi mikro. Di Cile, program fortifikasi terigu dengan zat besi telah berhasil “menghapus” anemia karena kurang zat besi, sehingga anemia tidak lagi menjadi masalah kesehatan masyarakat di negeri itu (prevalensi hanya 1-7%). Sementara prevalensi kelainan bawaan pada saraf tulang belakang bayi lahir (NTD), yang akibat ibunya ketika hamil kurang asam folat, turun dari 17 per 10.000 menjadi 10 per 10.000. Hue et al (2011) dalam studinya menyatakan fortifikasi terigu meningkatkan status zat gizi mikro pada remaja perempuan miskin di China. Evaluasi mengenai peranan fortifikasi tepung terigu terhadap status anemia masyarakat belum banyak dilakukan di Indonesia. Sandjaja et al (2008) dalam studinya tentang efektifitas fortifikasi di Indonesia menemukan tidak ada hubungan yang nyata antara prevalensi anemia dengan asupan tepung terigu. Fortifikasi zat besi lewat tepung terigu di Indonesia bisa saja tidak berdampak karena jenis zat besi yang menjadi fortifican merupakan besi elektrolitic yang memiliki bioavailability yang rendah (Kendrick 2013). WHO (2009) telah mengeluarkan rekomendasi tentang fortifikasi tepung terigu. Untuk konsumsi harian dibawah 150 g/kap/hari besi yang yang harusnya digunakan adalah besi fumarat atau besi sulfat karena memiliki bioavailability yang lebih tinggi (FFI 2014). Di Indonesia sendiri konsumsi harian terigu hanya berkisar 58 g/kap/hari. Tepung terigu selain pangan yang menjadi sumber mineral mikro juga merupakan sumber karbohidrat. Pergeseran pola konsumsi dari beras, umbi dan jagung menjadi beras dan terigu mempengaruhi jumlah kontribusi zat gizi terigu dalam pemenuhan kecukupan energi harian. Kelompok pangan berbasis tepung terigu yang paling banyak kandungan terigunya dalam rata-rata konsumsi harian adalah kue kering/biskuit, mie instan dan roti tawar. Kandungan terigu yang tinggi pada ketiga kelompok tersebut menyebabkan kontribusi energi harian paling tinggi dari kelompok pangan olahan terigu lainnya. Kue kering/biskuit menyumbang energi 21.8% dan mie instan menyumbang 20.5% sedangkan roti tawar memberi konstribusi 12.5% energi dari total 350.3 kkal energi rata-rata konsumsi harian. Rata-rata konsumsi harian contoh mencapai 96.2 gram/hari. Nilai ini lebih tinggi dari rataan konsumsi rumah
20
tangga nasional yang hanya 58 g/kap/hari dan konsumsi per kapita Jawa Barat yang hanya 60 g/kap/hari (FFI 2014). Perbedaan konsumsi terigu ini kemungkinan terjadi karena kelompok usia remaja lebih banyak mengonsumsi pangan olahan terigu berkaitan dengan kepraktisan dan banyaknya ketersediaannya di pasaran. Selain karena kepraktisan dan ketersediaan, pangan olahan terigu banyak dikonsumsi karena rasanya yang enak. Tabel 14 Rataan kontribusi energi pangan olahan terigu Jenis Pangan
Konsumsi harian (gram) *
Energi harian (kkal)
Mie Basah 5.8 Mie Instan 19.8 Makaroni 6.8 Roti Tawar 12.1 Roti Manis 5.5 Kue Kering / Biskuit 21.0 Kue Basah 2.9 Makanan Gorengan 4.6 Bakso 8.2 Makanan Ringan 7.8 Lainnya 1.7 Total 96.2 * Setara terigu, telah dikonversi dengan menggunakan Tabel 3.
Kontribusi energi (%)
21.2 72.0 24.7 43.9 20.2 76.4 10.5 16.9 29.8 28.5 6.3 350.4
6.1 20.5 7.0 12.5 5.8 21.8 3.0 4.8 8.5 8.2 1.8 100.0
Tabel 15 Rataam kontribusi energi pangan olahan terigu menurut sekolah Jenis Pangan
Berat konsumsi harian (g) * SMAN SMAN SMA 1 10 PGRI 4
Rata-rata energi harian (kkal) SMAN SMAN SMA 1 10 PGRI 4
Sumbangan energi (%) SMAN SMAN SMA 1 10 PGRI 4
Mie basah
3.3
3.7
10.2
11.8
13.5
37.2
4.2
3.9
8.8
Mie instan
12.7
17.5
28.7
46.3
63.8
104.6
16.4
18.4
24.8
Makaroni
6.6
8.4
5.6
24.2
30.7
20.2
8.6
8.8
4.8
Roti tawar
13.4
11.8
10.9
48.7
43.0
39.8
17.3
12.4
9.4
4.9
6.4
5.5
17.7
23.4
19.9
6.3
6.7
4.7
Roti manis Kue kering/biskuit
18.6
22.9
21.7
67.9
83.2
79.0
24.1
23.9
18.7
Kue basah Makanan gorengan
3.3
2.6
2.8
12.0
9.4
10.1
4.3
2.7
2.4
3.3
4.8
5.8
12.0
17.5
21.2
4.3
5.0
5.0
Bakso Makanan ringan
3.00
6.4
14.9
10.87
23.3
54.3
3.9
6.7
12.9
7.3
9.7
6.8
26.5
35.4
24.8
9.4
10.2
5.9
Lainnya
1.00
1.2
2.9
3.5
4.4
10.7
1.2
1.3
2.6
77.4
95.4
115.8
281.5
347.6
421.8
100.00
100.00
100.00
Total
* Setara terigu, telah dikonversi dengan menggunakan Tabel 3.
Tabel 15 menunjukkan kontribusi kelompok pangan olahan terigu terhadap asupan energi dari konsumsi terigu harian contoh menurut sekolah. Pada SMAN 1 dan SMAN 10, kontribusi tertinggi adalah kue kering/biskuit yaitu 24.1% dan 23.9%. Sedangkan pada SMA PGRI 4 kontribusi tertinggi berasal dari mie instan.
21
Untuk konsumsi mie instan pada SMAN 1 dan SMAN 10 juga tergolong tinggi dibanding kelompok lainnya. Dari ketiga kelompok contoh diketahui bahwa semakin banyak konsumsi terigu maka semakin besar sumbangan energinya. Secara keseluruhan konsumsi pangan berbasis terigu pada ketiga kelompok berada di atas konsumsi rata-rata konsumsi nasional. Menurut Mauludyani et al (2008) konsumsi pangan berbasis terigu, terutama mie, di daerah perkotaan lebih tinggi dari konsumsi nasional. Pangan sumber karbohidrat merupakan kelompok pangan yang menjadi pangan pokok bagi manusia. Di Indonesia sendiri pangan sumber karbohidrat yang menjadi makanan pokok adalah beras, bahkan di pedesaan beras telah menjadi pola pokok tunggal (Susenas 1996). Dan beberapa wilayah Indonesia, umbi-umbian dan jagung ada yang tetap masih menjadi pangan pokok masyarakat setempat. Namun setelah enam tahun kemudian, peranan umbi-umbian dan jagung telah tergeser dan diganti dengan mie instant. Sehingga pola pangan pokok pada tahun 2002 pada umumnya adalah beras+mie instant, bukan beras+umbi/jagung. Peran mie sebagai pangan pokok kedua terjadi di semua elemen masyarakat, tidak hanya pada rumah tangga menurut wilayah (kota dan desa) tetapi juga menurut kelompok pendapatan. Mie instant tidak hanya dikonsumsi oleh kelompok pendapatan sedang dan tinggi tetapi juga kelompok pendapatan rendah (Mewa Ariani dan Tri Bastuti Purwantini 2006). Dibandingkan makanan pokok beras, mie mempunyai keunggulan dalam hal rasa, kepraktisan penyajian, dan tekstur. Menurut Sawit (2003) di Indonesia, pada kelompok ekonomi rendah dan menengah, beralihnya pangan dari non terigu ke terigu atau produk olahannya begitu cepat dibandingkan di negara-negara Asia. Tabel berikut ini akan menyajikan hubungan konsumsi terigu yang dilakukan contoh dengan tingkat kecukupan zat gizi pada zat gizi yang difortifikasikan dalam tepung terigu. Tabel 16 Hubungan konsumsi tepung terigu dengan tingkat kecukupan zat gizi Variabel Besi Konsumsi terigu 0.000 / 0.642 * Korelasi signifikan p < 0.05
Tingkat kecukupan (p / r)* Seng As. Folat Vit. B1 0.000 / 0.000 / 0.000 / 0.657 0.769 0.650
Vit. B2 0.000 / 0.685
Uji korelasi Spearman antara konsumsi terigu dengan tingkat kecukupannya menunjukkan adanya hubungan sigfikan. Konsumsi terigu yang tinggi akan meningkatkan kontribusi terhadap tingkat kecukupan zat gizi. Hasil ini sejalan dengan studi yang dilakukan Ardiyanti (2014) yang menyatakan adanya hubungan signifikan konsumsi pangan berbasis terigu dengan tingkat kecukupan zat besi. Fortifikasi zat gizi mikro memang telah meningkatkan kandungan zat gizi pada tepung terigu, namun perlu diperhatikan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kandungan zat gizi sampai dikonsumsi. Berbagai studi tentang cara pengolahan, penyimpanan dan pemasakan akan berpengaruh terhadap kandungan terigu (Aliyah 2014).
22
Simpulan dan Saran Simpulan Kelompok pangan berbasis terigu yang paling tinggi frekuensi konsumsinya adalah kue kering/biskuit (19.8 ± 19.3) dan makanan ringan (12.8 ± 16.1). Sedangkan untuk berat konsumsi, kue kering/biskuit dan mie instan merupakan pangan yang paling tinggi berat konsumsinya (21.0 g/hr dan 19.8 g/hr). Total konsumsi terigu harian adalah 96.2 gram, dengan urutan konsumsi tertinggi SMA PGRI 4 (115.8 gram), SMAN 10 (95.4 gram) dan SMAN 1 (77.3 gram). Nilai ini berada di atas evaluasi yang dilakukan FFI (2014) yang menyatakan bahwa ratarata konsumsi terigu di Provinsi Jawa Barat adalah ± 60 g/kapita/hari. Secara umum contoh lebih memilih konsumsi terigu dibanding pangan sumber karbohidrat lainnya pada kondisi sibuk (65.8%) dan ketika sedang berada di sekolah (47.1%). Dari hasil uji Spearman diketahui tidak terdapat hubungan signifikan uang saku untuk pangan dengan banyaknya konsumsi terigu (p=0.943, r=0.004). Konsumsi pangan berbasis terigu membantu memenuhi rata-rata 23.0% kecukupan zat besi harian contoh. Saran Kontribusi zat besi dari tepung terigu hasil fortifikasi dalam penelitian ini cukup tinggi (23.0%), begitu pula dengan zat gizi mikro lainnya (23.0%-52.5%). Hal ini menunjukkan bahwa program fortifikasi zat besi pada tepung terigu perlu dipertahankan sebagai salah satu cara menanggulangi anemia gizi besi, terutama pada masyarakat miskin. Namun efektifitas jenis zat besi (electrolytic) yang digunakan perlu dievaluasi kembali karena menurut beberapa publikasi bioavailabilitinya cukup rendah. Konsumsi terigu yang tinggi pada kelompok contoh dengan ekonomi rendah juga menunjukkan bahwa program fortifikasi masih tepat sasaran. Karena terigu adalah produk impor, perlu dicari pangan alternatif lain, yang kaya zat besi dan banyak dikonsumsi masyarakat, untuk menggantikan terigu sebagai bahan pangan.
DAFTAR PUSTAKA Aliyah T. 2014. Kontribusi terigu terhadap kecukupan gizi rumah tangga miskin di wilayah DKI Jakarta [Skripsi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor. Almatsier S. 2009. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Ed ke-6. Jakarta (ID) : PT. Gramedia Pustaka Utama. Ardiyanti A. 2014. Estimasi asupan zat besi dari pangan berbasis tepung terigu pada mahasiswi TPB IPB [Skripsi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor. Ariani M. 2010a. Diversifikasi pangan pokok mendukung swasembada beras. Prosiding Pekan Serealia Nasional 2010. ISBN :978-979-8940-29.3 : 65-73.
23
Ariani M. 2010b. Analisis Konsumsi Pangan Tingkat Masyarakat Mendukung Pencapaian Diversifikasi Pangan. Gizi Indon. 33(1) : 20-28 Ariani M, Purwantini TB. 2006. Analisis konsumsi pangan rumah tangga pasca krisis ekonomi di Propinsi Jawa Barat. Ariawan I. 1998. Besar dan Metode Sampel pada Penelitian Kesehatan. Jakarta (ID) : Salemba Medika. Aprilian R. 2010. Pola konsumsi pangan dan status gizi remaja SMA dengan status sosial ekonomi berbeda di Bogor [Skripsi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor. Azizah N. 1997. Faktor-faktor yang mempengaruhi pola konsumsi fast food pada remaja di Kota Bogor [Skripsi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor. [APTINDO] Asosiasi Produsen Tepung Terigu Indonesia. 2012. Jurnal [Internet]. [diunduh 2014 Maret 5]. Tersedia pada http://www.jurnas.com/halaman/15/2011-10-28/187114. [BKKBN] Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional. 1998. Gerakan Keluarga Berencana dan Keluarga Sejahtera. Jakarta (ID). BKKBN [BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2009. Tepung Terigu Sebagai Bahan Makanan. SNI 3751. Jakarta (ID) : BSN. [Depkes] Departemen Kesehatan. 2013. Riset Kesehatan Dasar 2013. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Jakarta (ID) : Depkes RI. Fatmah.2010. Pengalaman Negara Lain dalam Perbaikan Gizi Remaja Sekolah Menengah [editorial]. Maj Kedokt Indon. 60 (2). [FFI] Food Fortification Initiative. 2014. Wheat Flour Fortification in Indonesia. Assessment report by the Flour Fortification Initiative. Hardinsyah, Amalia L. 2007. Perkembangan Konsumsi Terigu dan Pangan Olahannya Di Indonesia 1993-2005. JPG. 2(1):8-15. Huo et al. 2011. The Effectiveness of Fortified Flour on Micronutrient Status in Rural Female Adults in China. APJCN. 20(1) : 118-124. Mauludyani AVR, Martianto D, Baliwati YF. 2008. Pola Konsumsi dan Permintaan Pangan Pokok Berdasarkan Analisis Data Susenas 2005. JPG. 3(2) : 101-117. Sandjaja, Soekatri M, Wibowo Y, Budiman B, dan Sudikno. 2010. Nutritional Status of Poor Families in North Jakarta. Gizi Indon. 33(2):150-161 Sanjur. 1982. Socio and Cultural in Nutrition. New Jersey (USA) : Prentice Hall Inc. Sawit, MH. 2003. Kebijakan gandum/terigu harus mampu menumbuhkembangkan industri pangan dalam negeri. Analisis Kebijakan Pertanian, Vol. 1 (2): 100-109. Puslitbang Pertanian. Bogor. Siagian A. 2003. Pendekatan fortifikasi pangan untuk mengatasi masalah kekurangan zat gizi mikro [artikel]. Medan (ID): Universitas Sumatera Utara.
24
LAMPIRAN
Gambar 1 Penjelasan Kuisoner
Gambar 3 Pegambilan data oleh enumerator
Gambar 2 Pegambilan data oleh enumerator
Gambar 4 Pegambilan data oleh enumerator
25
RIWAYAT HIDUP Penulis bernama lengkap Richardson Sijabat dilahirkan di Sipispis, Sumatera Utara pada tanggal 14 November 1991 dari ayah Ober Sijabat dan ibu Herlina Manik. Penulis adalah anak pertama dari tiga bersaudara. Tahun 2010 penulis lulus dari SMAN 1 Tebing Tinggi dan pada diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) dengan program studi Gizi Masyarakat melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Selama menjalani pendidikan di IPB, penulis aktif di beberapa organisasi seperti Himpunan Mahasiswa Gizi (HIMAGIZI) 2012-2013 pada divisi Keprofesiian, Komisi Pembinaan Pemuridan UKM PMK sebagai koordinator (2012), Badan Penelitian dan Pengembangan UKM PMK (2013). Penulis juga aktif di beberapa kepanitian seperti Kejuaraan Nasional Catur IPB (2010), Panitia Retreat Mahasiswa Baru (2011), Panitia Olimpiade Mahasiswa IPB (2012), Panitia Seminar Nasional Nutrition Fair (2013). Penulis juga pernah menjadi asisten mata kuliah Agama Kristen (2011). Penulis melaksanakan kuliah kerja profesi (KKP) pada bulan Juli-Agustus 2013 di Desa Mangga, Kecamatan Kelumpang Utara, Kabupaten Kotabaru, Kalimantan Selatan bekerja sama dengan PT. Arutmin Indonesia. Penulis juga melaksanakan kegiatan internship dietetik (ID) di RSUD Ciawi Bogor pada Februari - Maret 2014.