DETERMINAN KEBERHASILAN PROGRAM SUPLEMENTASI ZAT BESI PADA REMAJA PUTRI (SISWI SMP DAN SMK) DI KOTA BEKASI
ARI ADRIYANI
PROGRAM STUDI GIZI MASYARAKAT DAN SUMBERDAYA KELUARGA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
ABSTRACT Ari Adriyani. The Success Determinant of Iron Supplementation Program Among Adolescent Females at Bekasi City. Supervised by Dodik Briawan. The study was aimed to investigate the success determinant of iron supplementation program among junior high school and high school females student at Bekasi City. This study is using secondary data from health divison of Bekasi City. Data age, health status, menstruasi pattern, clean and healthy behavior (hand washing habit), food consumption pattern were collected by interview. Anemia status before and after supplementation were indentified from the result of hemoglobin (Hb) determination by Cyanmethemoglobin Method. The anthropometry nutrition status was found from the calculation of Body Mass Indeks (BMI). Subservience of capsule consumption was found from monitoring capsule consumption card. Data analyse were conducted in 3 stages those are univariate, bivariate, and multivariate analyse. Overall, the prevalence of anemia among adolescent was decreased (3.4%) after 4 month supplementation. Differ from high school females student, the prevalence of anemia among junior high school females student was increased. The number of junior high school females student whose the Hb level decreased and the anemia status changed were more than high school females student. The result of bivariate analyse showed that anemia status before supplementation have a significant relation with anemia status change (p=0.000, r= -0.562) and Hb level increase (p=0.000, r= -0.517). Other variables that showed with significant relation to the program success (Hb level increase) were age (p=0.011, r=1.31), hand washing habit (p=0.064, r=0.095), menstruasi pattern (p=0.034, r=-0.109) and consumption frequency of beef, chicken’s egg, mustard greens, and milk. Result of multiple regression logistic test showed that the success determinant of iron supplementation program among adolescent females at Bekasi City were anemia status before supplementation (OR=10.8; 90% CI 7.0-16.5), anthropometry nutrition status (OR=0.6; 90% CI 0.4-0.9), and hand washing habit (OR=11.218; 90% CI 1.9-64.6). Key words : anemia, adolescent, determinant, iron supplementation program.
RINGKASAN Ari Adriyani. Determinan Keberhasilan Program Suplementasi Zat Besi pada Remaja Putri (Siswi SMP dan SMK) di Kota Bekasi. Dibimbing oleh Dodik Briawan. Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengkaji faktor penentu (determinan) keberhasilan program suplementasi zat besi pada siswi SMP dan SMK di Kota Bekasi. Adapun tujuan khususnya antara lain : (1) mengetahui status gizi besi contoh sebelum dan setelah pemberian suplementasi besi; (2) mengetahui karakteristik contoh serta hubungannya dengan keberhasilan program suplementasi zat besi; (3) mengetahui tingkat kepatuhan konsumsi kapsul besi, pola menstruasi dan konsumsi pangan serta hubungannya dengan keberhasilan program suplementasi zat besi; (4) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan program suplementasi zat besi. Penelitian ini merupakan analisis data sekunder Program Pencegahan dan Penanggulangan Anemia Gizi Besi pada Remaja Putri SMP dan SMU yang dilaksanakan oleh Dinas Kesehatan Kota Bekasi sejak bulan Agustus sampai November 2007. Pengambilan data dilakukan sejak bulan November 2007 sampai Februari 2008 dengan desain pre-post intervention study. Program ini dilaksanakan di dua sekolah yaitu SMP 7 dan SMK Teratai Putih Global 2 di Kota Bekasi. Pemilihan kedua sekolah ini berdasarkan kriteria, sekolah yang pro-aktif terhadap program dan dinilai mampu untuk melanjutkan program secara mandiri serta berada di bawah puskesmas dengan latar belakang TPG berpendidikan gizi (DIII gizi atau DI gizi), prevalensi AGB ibu hamil tahun 2006 tinggi, mempunyai kinerja cukup baik, tersedia laboratorium dan tenaga laboratorium untuk fasilitas pengambilan dan pemeriksaan darah. Sampel penelitian berjumlah 400 orang yaitu 200 siswi SMP 7 dan 200 siswi SMK Teratai Putih Global 2. Data yang dikumpulkan antara lain; umur, status gizi antropometri, pola menstruasi, status kesehatan, kebiasaan mencuci tangan, pola konsumsi pangan dan kepatuhan minum kapsul besi serta status zat besi (kadar hemoglobin) sebelum dan sesudah suplementasi. Data-data tersebut dikumpulkan oleh Dinas Kesehatan Kota Bekasi dan Tenaga Pelaksana Gizi puskesmas Perumnas 2. Data umur, pola menstruasi, status kesehatan, Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (kebiasaan mencuci tangan), pola konsumsi pangan diperoleh melalui wawancara langsung (kuesioner). Keberhasilan program suplementasi zat besi dinilai dari perubahan status anemia dan peningkatan kadar hemoglobin (Hb). Kadar Hb dianalisis dengan menggunakan metode Cyanmethemoglobin. Status gizi antropometri ditentukan melalui Indeks Massa Tubuh (IMT). Kepatuhan konsumsi kapsul diperoleh melalui kartu monitoring konsumsi kapsul besi. Data-data yang diperoleh selanjutnya dianalisis secara statistik deskriptif dan inferensial dengan menggunakan program komputer yaitu Microsoft Excel 2003 dan SPSS versi 11.5 for windows. Proses pengolahan meliputi kegiatan entry, coding, cleaning, editing dan analisis. Analisis yang akan digunakan pada data-data sekunder di atas adalah analisis univariat untuk mendeskripsikan setiap variable dependen dan independen, analisis bivariat untuk mengetahui perbedaan dan hubungan antara dua variabel (uji beda t, Mann-Whitney, McNemar dan uji korelasi Pearson, Spearman) dan determinan keberhasilan program suplementasi dianalisis dengan uji regresi logistik.
Secara keseluruhan prevalensi anemia seluruh contoh mengalami penurunan sebesar 3.4 persen. Tetapi masing-masing sekolah menunjukkan hasil yang berbeda, siswi SMK menunjukkan adanya penurunan sebesar 9.3 persen sedangkan siswi SMP menunjukkan peningkatan prevalensi anemia sebesar 2.7 persen. Siswi SMP lebih banyak yang mengalami perubahan status dari tidak anemia menjadi anemia sedangkan siswi SMK sebaliknya. Walaupun terdapat 22 persen contoh tetap anemia tetapi tidak terdapat contoh yang menderita anemia tingkat sedang. Sebanyak 52 persen siswi SMK yang mengalami peningkatan kadar Hb sedangkan siswi SMP sebanyak 57.9 persen yang kadar hemoglobinnya menurun. Secara keseluruhan, sebesar 46 persen contoh mengalami peningkatan kadar Hb. Rata-rata seluruh contoh berusia 13.6±1.9 tahun dengan rentang antara 10-18 tahun. Lebih dari separuh siswi SMP berstatus gizi kurus (65.5%) sedangkan siswi SMK berstatus gizi normal (63.5%). Sebanyak 91.2 persen contoh mempunyai kebiasaan mencuci tangan (PHBS). Hampir separuh siswi SMP (48.5%) belum mengalami menstruas sedangkan siswi SMK hampir seluruhnya (99.5%) sudah mengalami menstruasi. Rata-rata tingkat kepatuhan konsumsi kapsul seluruh contoh sebesar 84.9 persen dengan selang antara 46100 persen. Analisis bivariat menunjukkan adanya hubungan status anemia awal dengan perubahan status menjadi tidak anemia (p=0.000, r= -0.562) dan peningkatan kadar Hb (p=0.000, r= -0.517). Selain itu, usia (p=0.011, r=1.31), kebiasaan mencuci tangan (p=0.064, r=0.095), status menstruasi (p=0.034, r=-0.109) juga menunjukkan adanya hubungan dengan peningkatan kadar Hb. Frekuensi konsumsi pangan yang berhubungan dengan peningkatan kadar Hb adalah daging sapi, telur ayam, sawi, dan susu. Tingkat kepatuhan konsumsi kapsul, status gizi, dan status kesehatan (penyakit infeksi) pada penelitian ini tidak menunjukkan hubungan yang bermakna (p>0.1) dengan keberhasilan program suplementasi (peningkatan kadar Hb dan perubahan status anemia menjadi tidak anemia). Uji regresi logistik menunjukkan bahwa determinan atau faktor penentu keberhasilan program suplementasi zat besi (perubahan status anemia dan peningkatan kadar Hb) pada remaja putri di Kota Bekasi adalah status gizi antropometri (OR=0.6; 90% CI:0.4-0.9), status anemia sebelum suplementasi (OR=10.8; 90% CI:7.0-16.5) dan kebiasaan mencuci tangan (OR=11.218; 90% CI:1.9-64.6).
ABSTRACT Ari Adriyani. The Success Determinant of Iron Supplementation Program Among Adolescent Females at Bekasi City. Supervised by Dodik Briawan. The study was aimed to investigate the success determinant of iron supplementation program among junior high school and high school females student at Bekasi City. This study is using secondary data from health divison of Bekasi City. Data age, health status, menstruasi pattern, clean and healthy behavior (hand washing habit), food consumption pattern were collected by interview. Anemia status before and after supplementation were indentified from the result of hemoglobin (Hb) determination by Cyanmethemoglobin Method. The anthropometry nutrition status was found from the calculation of Body Mass Indeks (BMI). Subservience of capsule consumption was found from monitoring capsule consumption card. Data analyse were conducted in 3 stages those are univariate, bivariate, and multivariate analyse. Overall, the prevalence of anemia among adolescent was decreased (3.4%) after 4 month supplementation. Differ from high school females student, the prevalence of anemia among junior high school females student was increased. The number of junior high school females student whose the Hb level decreased and the anemia status changed were more than high school females student. The result of bivariate analyse showed that anemia status before supplementation have a significant relation with anemia status change (p=0.000, r= -0.562) and Hb level increase (p=0.000, r= -0.517). Other variables that showed with significant relation to the program success (Hb level increase) were age (p=0.011, r=1.31), hand washing habit (p=0.064, r=0.095), menstruasi pattern (p=0.034, r=-0.109) and consumption frequency of beef, chicken’s egg, mustard greens, and milk. Result of multiple regression logistic test showed that the success determinant of iron supplementation program among adolescent females at Bekasi City were anemia status before supplementation (OR=10.8; 90% CI 7.0-16.5), anthropometry nutrition status (OR=0.6; 90% CI 0.4-0.9), and hand washing habit (OR=11.218; 90% CI 1.9-64.6). Key words : anemia, adolescent, determinant, iron supplementation program.
RINGKASAN Ari Adriyani. Determinan Keberhasilan Program Suplementasi Zat Besi pada Remaja Putri (Siswi SMP dan SMK) di Kota Bekasi. Dibimbing oleh Dodik Briawan. Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengkaji faktor penentu (determinan) keberhasilan program suplementasi zat besi pada siswi SMP dan SMK di Kota Bekasi. Adapun tujuan khususnya antara lain : (1) mengetahui status gizi besi contoh sebelum dan setelah pemberian suplementasi besi; (2) mengetahui karakteristik contoh serta hubungannya dengan keberhasilan program suplementasi zat besi; (3) mengetahui tingkat kepatuhan konsumsi kapsul besi, pola menstruasi dan konsumsi pangan serta hubungannya dengan keberhasilan program suplementasi zat besi; (4) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan program suplementasi zat besi. Penelitian ini merupakan analisis data sekunder Program Pencegahan dan Penanggulangan Anemia Gizi Besi pada Remaja Putri SMP dan SMU yang dilaksanakan oleh Dinas Kesehatan Kota Bekasi sejak bulan Agustus sampai November 2007. Pengambilan data dilakukan sejak bulan November 2007 sampai Februari 2008 dengan desain pre-post intervention study. Program ini dilaksanakan di dua sekolah yaitu SMP 7 dan SMK Teratai Putih Global 2 di Kota Bekasi. Pemilihan kedua sekolah ini berdasarkan kriteria, sekolah yang pro-aktif terhadap program dan dinilai mampu untuk melanjutkan program secara mandiri serta berada di bawah puskesmas dengan latar belakang TPG berpendidikan gizi (DIII gizi atau DI gizi), prevalensi AGB ibu hamil tahun 2006 tinggi, mempunyai kinerja cukup baik, tersedia laboratorium dan tenaga laboratorium untuk fasilitas pengambilan dan pemeriksaan darah. Sampel penelitian berjumlah 400 orang yaitu 200 siswi SMP 7 dan 200 siswi SMK Teratai Putih Global 2. Data yang dikumpulkan antara lain; umur, status gizi antropometri, pola menstruasi, status kesehatan, kebiasaan mencuci tangan, pola konsumsi pangan dan kepatuhan minum kapsul besi serta status zat besi (kadar hemoglobin) sebelum dan sesudah suplementasi. Data-data tersebut dikumpulkan oleh Dinas Kesehatan Kota Bekasi dan Tenaga Pelaksana Gizi puskesmas Perumnas 2. Data umur, pola menstruasi, status kesehatan, Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (kebiasaan mencuci tangan), pola konsumsi pangan diperoleh melalui wawancara langsung (kuesioner). Keberhasilan program suplementasi zat besi dinilai dari perubahan status anemia dan peningkatan kadar hemoglobin (Hb). Kadar Hb dianalisis dengan menggunakan metode Cyanmethemoglobin. Status gizi antropometri ditentukan melalui Indeks Massa Tubuh (IMT). Kepatuhan konsumsi kapsul diperoleh melalui kartu monitoring konsumsi kapsul besi. Data-data yang diperoleh selanjutnya dianalisis secara statistik deskriptif dan inferensial dengan menggunakan program komputer yaitu Microsoft Excel 2003 dan SPSS versi 11.5 for windows. Proses pengolahan meliputi kegiatan entry, coding, cleaning, editing dan analisis. Analisis yang akan digunakan pada data-data sekunder di atas adalah analisis univariat untuk mendeskripsikan setiap variable dependen dan independen, analisis bivariat untuk mengetahui perbedaan dan hubungan antara dua variabel (uji beda t, Mann-Whitney, McNemar dan uji korelasi Pearson, Spearman) dan determinan keberhasilan program suplementasi dianalisis dengan uji regresi logistik.
Secara keseluruhan prevalensi anemia seluruh contoh mengalami penurunan sebesar 3.4 persen. Tetapi masing-masing sekolah menunjukkan hasil yang berbeda, siswi SMK menunjukkan adanya penurunan sebesar 9.3 persen sedangkan siswi SMP menunjukkan peningkatan prevalensi anemia sebesar 2.7 persen. Siswi SMP lebih banyak yang mengalami perubahan status dari tidak anemia menjadi anemia sedangkan siswi SMK sebaliknya. Walaupun terdapat 22 persen contoh tetap anemia tetapi tidak terdapat contoh yang menderita anemia tingkat sedang. Sebanyak 52 persen siswi SMK yang mengalami peningkatan kadar Hb sedangkan siswi SMP sebanyak 57.9 persen yang kadar hemoglobinnya menurun. Secara keseluruhan, sebesar 46 persen contoh mengalami peningkatan kadar Hb. Rata-rata seluruh contoh berusia 13.6±1.9 tahun dengan rentang antara 10-18 tahun. Lebih dari separuh siswi SMP berstatus gizi kurus (65.5%) sedangkan siswi SMK berstatus gizi normal (63.5%). Sebanyak 91.2 persen contoh mempunyai kebiasaan mencuci tangan (PHBS). Hampir separuh siswi SMP (48.5%) belum mengalami menstruas sedangkan siswi SMK hampir seluruhnya (99.5%) sudah mengalami menstruasi. Rata-rata tingkat kepatuhan konsumsi kapsul seluruh contoh sebesar 84.9 persen dengan selang antara 46100 persen. Analisis bivariat menunjukkan adanya hubungan status anemia awal dengan perubahan status menjadi tidak anemia (p=0.000, r= -0.562) dan peningkatan kadar Hb (p=0.000, r= -0.517). Selain itu, usia (p=0.011, r=1.31), kebiasaan mencuci tangan (p=0.064, r=0.095), status menstruasi (p=0.034, r=-0.109) juga menunjukkan adanya hubungan dengan peningkatan kadar Hb. Frekuensi konsumsi pangan yang berhubungan dengan peningkatan kadar Hb adalah daging sapi, telur ayam, sawi, dan susu. Tingkat kepatuhan konsumsi kapsul, status gizi, dan status kesehatan (penyakit infeksi) pada penelitian ini tidak menunjukkan hubungan yang bermakna (p>0.1) dengan keberhasilan program suplementasi (peningkatan kadar Hb dan perubahan status anemia menjadi tidak anemia). Uji regresi logistik menunjukkan bahwa determinan atau faktor penentu keberhasilan program suplementasi zat besi (perubahan status anemia dan peningkatan kadar Hb) pada remaja putri di Kota Bekasi adalah status gizi antropometri (OR=0.6; 90% CI:0.4-0.9), status anemia sebelum suplementasi (OR=10.8; 90% CI:7.0-16.5) dan kebiasaan mencuci tangan (OR=11.218; 90% CI:1.9-64.6).
DETERMINAN KEBERHASILAN PROGRAM SUPLEMENTASI ZAT BESI PADA REMAJA PUTRI (SISWI SMP DAN SMK) DI KOTA BEKASI
ARI ADRIYANI
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor
PROGRAM STUDI GIZI MASYARAKAT DAN SUMBERDAYA KELUARGA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Judul
Nama Mahasiswa Nomor Induk Mahasiswa
2008 : Determinan Keberhasilan Program Suplementasi Zat Besi pada Remaja Putri (Siswi SMP dan SMK) di Kota Bekasi : Ari Adriyani : A54104077
Disetujui, Dosen Pembimbing
Dr. Ir. Dodik Briawan, MCN NIP. 131879330
Diketahui, Dekan Fakultas Pertanian
Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M.Agr NIP. 131 124 019
Tanggal lulus :
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 21 Januari 1985 dari ayah Nasir Harun dan ibu Yusnimar. Penulis merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara. Penulis memulai pendidikan pada tahun 1989 di TK Aisyiyah Pejaten Timur. Pendidikan SD ditempuh pada tahun 1991 di SDN 013 pagi Pejaten Timur yang kemudian dilanjutkan di SLTP Negeri 227 Jakarta. Penulis dinyatakan lulus tahun 2003 dari SMUN 38 Jakarta. Tahun 2003 penulis pernah menempuh pendidikan di Farmasi FMIPA UI selama 2 semester sebelum mengikuti Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) pada tahun 2004. Tahun 2004 penulis melanjutkan pendidikan di Departemen Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga (GMSK) IPB melalui jalur SPMB. Selama menempuh pendidikan di IPB, penulis aktif di beberapa kepanitiaan dan organisasi kemahasiswaan. Penulis pernah tergabung dalam Forum Keluarga Mushola GMSK (FKMG) periode 2004-2005,
Forum Keluarga
Rohis Departemen-A (FKRD-A) periode 2005-2006, dan Himpunan Mahasiswa Peminat Gizi Pertanian (Himagita). Selain itu, penulis juga pernah mewakili IPB sebagai pengawas independen Ujian Akhir Nasional tingkat SMP tahun 2006.
PRAKATA Puji dan syukur yang tak terhingga penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah senantiasa membimbing serta mencurahkan rahmat dan anugerah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Selama proses penelitian dan penyusunan skripsi, penulis tak lepas dari dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu dengan segala kerendahan hati pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada : 1. Mama dan Papa atas segala keikhlasan, kesabaran dan kasih sayang yang begitu besar dalam membimbing penulis hingga dewasa dan dapat menyelesaikan skripsi ini. Doa dan dukungan orang tua adalah segalanya bagi penulis. 2. Dr. Ir. Dodik Briawan, MCN selaku dosen pembimbing atas segala ilmu, arahan, saran serta motivasi yang diberikan kepada penulis sejak awal penelitian hingga skripsi ini selesai. 3. Dr. Ir. Budi Setiawan selaku dosen pemandu seminar yang telah memberikan arahan dan saran untuk perbaikan skripsi ini. 4. Dr. Ir. Ikeu Ekayanti, Mkes dan penguji skripsi yang telah memberikan masukan dan saran hingga skripsi ini tersempurnakan. 5. Dr. Ir. Sri Anna Marliyati, Msi selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberikan ilmu, arahan serta motivasi kepada penulis selama proses perkuliahan 6. Segenap pimpinan dan staf Dinas Kesehatan Jawa Barat, Dinas Kesehatan Kota Bekasi dan Tenaga Pelaksana Gizi Puskesmas Perumnas 2 (Ibu Dian, drg. Puspo, bapak Agus dan ibu Titi) atas segala informasi yang diberikan saat proses pengumpulan data untuk penelitian. 7. Teman-teman GMSK 41 dan angkatan 41 (icha, inur, R-mit, devit, nova, pyn, dekus, nining, achi, ima, firdaus, ida, demei, dhita, arina, rizka, rika, angel, shinta, yulia, vikhuy, liar, tice, jacky, ibnu, yesa, astri PMT, sari EPS, nia AGB, ucie KPM, indah HPT, venty AGB, septi Ekbang, dll) atas segala doa, masukan, dukungan serta bantuannya. 8. Rekan-rekan angkatan 40, 42, 43 dan seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah memberikan masukan dan dukungan dalam proses penyelesaian skripsi ini. Bogor, Juli 2008 Penulis
DAFTAR ISI Halaman Prakata ..................................................................................................... vi Daftar Isi .................................................................................................. vii Daftar Tabel.............................................................................................. ix Daftar Gambar ..........................................................................................x Daftar Lampiran ....................................................................................... xi Pendahuluan ........................................................................................... 1 Latar Belakang ................................................................................. 1 Tujuan .............................................................................................. 3 Hipotesis ........................................................................................... 3 Kegunaan ......................................................................................... 4 Tinjauan Pustaka ..................................................................................... 5 Program suplementasi pada remaja putri di Kota Bekasi ................. 5 Remaja ............................................................................................. 6 Kebutuhan zat besi remaja ............................................................... 6 Anemia ............................................................................................. 7 Pengukuran status anemia ............................................................... 9 Suplementasi zat gizi...................................................................... 10 Menstruasi ...................................................................................... 12 Status gizi ...................................................................................... 13 Status Kesehatan ........................................................................... 14 Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) ...................................... 15 Pola konsumsi pangan ................................................................... 16 Kerangka Pemikiran .............................................................................. 19 Metode ......................................................... .......................................... 21 Desain, Tempat, dan Waktu ................ .......................................... 21 Jumlah dan Cara Pengambilan Contoh.......................................... 21 Jenis dan Cara Pengumpulan Data..... .......................................... 21 Pengolahan dan Analisis Data ............ .......................................... 22 Definisi Operasional ............................ .......................................... 25 Hasil dan Pembahasan ......................................................................... 27 Perubahan status zat besi ............................................................. 27 Karakteristik contoh ....................................................................... 31 Usia ....................................................................................... 31 Status gizi antropometri......................................................... 33 Status kesehatan................................................................... 34 Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) ............................. 35 Pola menstruasi............................................................................. 36 Status menstruasi.................................................................. 37 Frekuensi menstruasi ............................................................ 38 Pengeluaran darah menstruasi ............................................. 39 Lama menstruasi ................................................................... 40
Kepatuhan konsumsi kapsul.......................................................... 41 Pola konsumsi pangan .................................................................. 43 Frekuensi konsumsi pangan hewani ....................................... 44 Frekuensi konsumsi pangan nabati ......................................... 45 Frekuensi konsumsi sayuran ................................................... 46 Frekuensi konsumsi buah-buahan .......................................... 46 Frekuensi konsumsi minuman dan suplemen ......................... 47 Frekuensi konsumsi pangan jajanan ....................................... 48 Faktor determinan keberhasilan program suplementasi ............... 49 Kesimpulan dan Saran .............................. .......................................... 53 Daftar Pustaka ............................................ .......................................... 56 Lampiran ..................................................... .......................................... 59
DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1. Kebutuhan total zat besi pada remaja putri ...............................
7
Tabel 2. Penggolongan anemia berdasarkan kadar Hb ..........................
8
Tabel 3. Klasifikasi anemia menjadi masalah kesehatan masyarakat.....
8
Tabel 4. Sebaran contoh berdasarkan perubahan status anemia ..........
29
Tabel 5. Sebaran contoh menurut kadar Hb sebelum dan sesudah suplementasi .............................................................................
30
Tabel 6. Sebaran contoh menurut usia ...................................................
32
Tabel 7. Sebaran contoh berdasarkan status gizi antropometri ..............
34
Tabel 8. Sebaran contoh berdasarkan status kesehatan ........................
35
Tabel 9. Sebaran contoh berdasarkan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS)..........................................................
36
Tabel 10. Sebaran contoh berdasarkan status menstuasi ......................
37
Tabel 11. Sebaran contoh berdasarkan frekuensi menstruasi ................
38
Tabel 12. Sebaran contoh berdasarkan pengeluaran darah menstruasi ...............................................................................
39
Tabel 13. Sebaran contoh berdasarkan lamanya menstruasi .................
40
Tabel 14. Sebaran contoh berdasarkan total kapsul yang harus dikonsumsi............................................................
42
Tabel 15. Sebaran contoh berdasarkan tingkat kepatuhan konsumsi kapsul ......................................................................
42
Tabel 16. Faktor determinan keberhasilan program suplementasi kapsul besi...............................................................................
50
DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1. Kerangka pemikiran determinan keberhasilan program suplementasi ................................................... ......... 20 Gambar 2. Sebaran contoh berdasarkan status anemia sebelum dan sesudah suplementasi ............................. ......... 27 Gambar 3. Sebaran contoh berdasarkan perubahan kadar Hb sesudah suplementasi ................................... ......... 31
DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1. Kuisioner Program Pencegahan dan Penanggulangan Anemia Gizi Besi pada Remaja Putri di Kota Bekasi ........ 59 Lampiran 2. Formulir FFQ ....................................................................... 61 Lampiran 3. Kartu monitoring kepatuhan konsumsi kapsul besi ............. 62 Lampiran 4. Sebaran contoh menurut frekuensi konsumsi pangan sumber heme ......................................................... 63 Lampiran 5. Sebaran contoh menurut frekuensi konsumsi pangan non heme ............................................................... 63 Lampiran 6. Sebaran contoh menurut frekuensi konsumsi sayuran ....... 63 Lampiran 7. Sebaran contoh menurut frekuensi konsumsi buah-buahan ...................................................................... 64 Lampiran 8. Sebaran contoh menurut frekuensi konsumsi minuman dan suplemen ...................................................... 64 Lampiran 9. Sebaran contoh menurut frekuensi konsumsi pangan jajanan .................................................................... 64 Lampiran 10. Faktor determinan keberhasilan program suplementasi kapsul besi ........................................................................ 65 Lampiran 11. Hasil uji korelasi Spearman dan Pearson antara varibel dependen dengan varibel independen ....... 66 Lampiran 12. Hasil uji beda Mann-Whitney antara siswi SMP dan SMK .......................................................... 70 Lampiran 13. Hasil uji beda t tidak berpasangan antara siswi SMP dan SMK terhadap IMT, berat dan tinggi badan ....... 72 Lampiran 14. Hasil uji beda t berpasangan antara kadar Hb awal dan akhir seluruh contoh........................................... 73 Lampiran 15. Hasil uji beda t berpasangan antara kadar Hb awal dan akhir SMK .......................................................... 73 Lampiran 16. Hasil uji beda t berpasangan antara kadar Hb awal dan akhir SMP .......................................................... 74 Lampiran 17. Hasil uji beda McNemar antara status anemia awal dan akhir seluruh contoh, SMK dan SMP ................................ 74
PENDAHULUAN Latar Belakang Menurut Laporan Pembangunan Manusia 2003 yang dikeluarkan oleh Program
Pembangunan
Perserikatan
Bangsa-Bangsa
(UNDP),
Indeks
Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia, mengalami kemerosotan dari 0.68 ke 0.68. Hal ini mengakibatkan peringkat IPM Indonesia turun dari urutan 110 ke 112 dari 175 negara. Penurunan ini disebabkan tidak adanya perbaikan signifikan dalam beberapa indikator IPM. Salah satunya adalah lambatnya penurunan angka kasus kekurangan gizi di Indonesia. Gizi merupakan salah satu penentu kualitas sumber daya manusia. Masalah gizi yang dihadapi oleh negara berkembang seperti Indonesia tidak hanya masalah gizi makro (kurang energi dan protein) tetapi juga masalah gizi mikro (vitamin dan mineral). Masalah gizi mikro yang cukup serius dialami oleh negara berkembang adalah anemia defisiensi zat besi. Prevalensi anemia defisiensi zat besi mencapai 36 persen (atau kira-kira 1400 juta orang) dari perkiraan populasi 3800 juta di negara berkembang (Arisman 2004). Menurut Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001, prevalensi anemia pada balita sebesar 48.1 persen, anak usia sekolah dan remaja sebesar 26.5 persen, Wanita Usia Subur (usia 20-29 tahun, 30-39 tahun, 40-49 tahun), dan ibu hamil berturut-turut sebesar 25.3 persen, 25.9 persen, 28.7 dan 40.1 persen (Depkes 2005). Sementara data Dinas Kesehatan menunjukkan prevalensi anemia ibu hamil tahun 2003 di Jawa Barat dan Kota Bekasi sebesar 51.7 persen dan 73.58 persen (Dinkes Kota Bekasi 2007). Hasil survei ini menunjukkan bahwa anemia gizi masih merupakan masalah gizi utama pada anak-anak, remaja, ibu hamil, dan wanita pada umumnya di Indonesia. Anemia gizi adalah kekurangan kadar hemoglobin (Hb) dalam darah yang disebabkan karena kekurangan zat gizi yang diperlukan untuk pembentukan Hb (Depkes 1998). Zat gizi yang paling berperan dalam proses terjadinya anemia adalah zat besi. Defisiensi besi merupakan penyebab utama anemia gizi di Indonesia dibandingkan zat gizi lain seperti asam folat, vitamin B12, protein, ataupun vitamin A. Oleh karena itu, anemia gizi sering diindentikkan dengan anemia gizi besi. Wanita lebih rentan mengalami anemia, terutama pada masa remaja. Hal ini terbukti dengan masih tingginya prevalensi anemia gizi besi pada remaja putri. Data SKRT tahun 1995 menunjukkan prevalensi anemia gizi besi pada remaja
putri sebesar 57.1 persen dan tahun 2001 sebesar 26.5 persen (Depkes 2003). Walaupun mengalami penurunan yang cukup besar tetapi angka ini masih cukup tinggi, mengingat bahwa suatu negara dikatakan bebas anemia jika prevalensi anemianya di bawah 5 persen (WHO 2001). Penelitian Anggraeni (2004) terhadap mahasiswa TPB IPB tahun akademik 2003/2004 juga menunjukkan tingginya prevalensi anemia gizi besi pada remaja putri yaitu sebesar 48.1 persen. Remaja putri lebih sering menderita anemia karena kebutuhan akan zat gizinya lebih tinggi termasuk zat besi karena masih dalam masa pertumbuhan dan mengalami menstruasi setiap bulan. Selain itu, pola diet yang salah juga banyak dilakukan oleh remaja putri karena ingin memiliki bentuk tubuh ideal sehingga kebutuhan besi dari konsumsi pangan tidak tercukupi (Depkes 1998). Anemia pada remaja putri dapat menimbulkan berbagai dampak antara lain
menurunnya
kemampuan
dan
konsentrasi
belajar,
mengganggu
pertumbuhan sehingga tinggi badan tidak mencapai optimal, menurunkan kebugaran, dan mudah sakit sehingga pada saatnya nanti akan memperberat kondisi tubuhnya ketika menikah dan hamil. Ibu hamil yang anemia akan berisiko mengalami keguguran,
perdarahan waktu melahirkan, dan melahirkan bayi
BBLR (Depkes 1998). Berdasarkan fakta tersebut diperlukan suatu usaha untuk mencegah dan menanggulangi anemia gizi besi pada remaja putri. Salah satu upaya yang telah dilakukan pemerintah untuk menanggulangi masalah anemia gizi besi adalah melalui pemberian suplementasi Tablet Tambah Darah (TTD) pada kelompok rawan anemia gizi besi. Program ini dilaksanakan oleh Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat pada tahun 2007, di empat kabupaten yaitu Kota Bekasi, Kabupaten Purwakarta, Kota dan Kabupaten
Tasikmalaya.
Program
ini
dilakukan
untuk
mencegah
dan
menanggulangi anemia gizi besi pada remaja putri dengan sasaran siswa putri SMP dan SMA. Program ini dilaksanakan selama 4 bulan dengan memberikan kapsul besi sebanyak satu kapsul tiap minggu dan 10 kapsul selama menstruasi. Pemberian kapsul besi ini diharapkan dapat memperbaiki status hemoglobin, meningkatkan status gizi dan kesehatan pada remaja putri. Upaya pemerintah dalam menanggulangi masalah anemia gizi tidak selalu berjalan dengan baik dan efektif. Hal ini terbukti dengan masih tingginya prevalensi anemia pada kelompok rawan anemia gizi besi (balita, anak usia sekolah, remaja putri, WUS, dan ibu hamil). Bahkan di beberapa daerah yang
melaksanakan program suplementasi zat besi, hasilnya tidak menunjukkan penurunan tetapi justru mengalami peningkatan status anemia. Menurut Soekirman (2000), kendala yang sering dihadapi di negara berkembang termasuk Indonesia dalam suplementasi besi ini adalah rendahnya cakupan sasaran yang mendapat TTD dan kepatuhan mengonsumsi kapsul sesuai anjuran (compliance). Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk mengetahui lebih lanjut determinan keberhasilan program suplementasi zat besi pada remaja putri siswi SMP dan SMK di Kota Bekasi yang diukur dengan perubahan status anemia dan peningkatan kadar hemoglobin. Tujuan Penelitian Tujuan Umum Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk mengkaji determinan keberhasilan keberhasilan program suplementasi zat besi pada remaja putri siswi SMP dan SMK di Kota Bekasi yang diukur dengan perubahan status anemia dan peningkatan kadar hemoglobin. Tujuan Khusus 1. Mengetahui perubahan status gizi besi contoh yaitu prevalensi anemia dan perubahan kadar hemoglobin pada siswi SMP dan SMK di Kota Bekasi sebelum dan setelah pemberian suplementasi besi. 2. Mengetahui karakteristik contoh yaitu umur, status gizi antropometri, status kesehatan, dan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) serta hubungannya dengan keberhasilan program suplementasi zat besi. 3. Mengetahui tingkat kepatuhan konsumsi kapsul besi, pola menstruasi dan pola konsumsi pangan siswi putri SMP dan SMK di Kota Bekasi serta hubungannya dengan keberhasilan program suplementasi zat besi. 4. Menganalisis faktor-faktor yang menentukan keberhasilan program suplementasi zat besi pada siswi SMP dan SMK di Kota Bekasi. Hipotesis Umur, status gizi (antropometri dan status besi awal), status menstruasi, status kesehatan, PHBS, tingkat kepatuhan konsumsi kapsul, dan konsumsi pangan sumber heme siswi putri SMP dan SMK tidak berpengaruh terhadap perubahan status anemia dan peningkatan kadar Hb siswi SMP dan SMK di Kota Bekasi.
Kegunaan Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai status anemia gizi besi, penyebabnya, dan faktor pencegahan anemia pada remaja putri serta faktor penentu (determinan) keberhasilan program pencegahan dan penanggulangan anemia (suplementasi zat besi) yang telah dilaksanakan sehingga dapat menjadi bahan evaluasi untuk pelaksanaan program selanjutnya. Selain itu, penelitian ini diharapkan juga bermanfaat bagi semua pihak yang berkepentingan
dalam
program
kesehatan
dan
gizi
khususnya
perencanaan program perbaikan anemia gizi di masa yang akan datang.
untuk
TINJAUAN PUSTAKA Program Suplementasi Zat Besi pada Remaja Putri di Kota Bekasi Prevalensi anemia pada remaja putri Indonesia masih sangat tinggi yaitu sekitar 39 persen (13.5 juta) remaja putri. Salah satu upaya pencegahan dan penanggulangan anemia gizi besi dalam jangka pendek yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat adalah melalui pemberian suplementasi zat besi pada remaja putri. Program ini dilaksanakan rutin setiap tahun oleh Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat di kota/kabupaten yang berbeda. Setelah sebelumnya berhasil dilaksanakan di Kota/Kabupaten Cirebon, Subang, Cianjur dan Bandung pada tahun 2006, tahun 2007 program ini kembali dilaksanakan di Kota Bekasi pada bulan Agustus. Adapun tahapan dari program ini adalah sosialisasi program kepada pihak terkait, pemeriksaan kadar Hb darah, pengukuran berat dan tinggi badan, wawacara kuesioner dan recall pola konsumsi pangan, pemberian makanan dan minuman saat pemeriksaan kadar Hb darah awal dan akhir, bantuan paket pengadaan dan pemberian kapsul besi untuk siswi SMP dan SMK, konseling gizi kepada siswi SMP dan SMK yang diberi kapsul oleh petugas puskesmas di sekolah, serta pemantauan atau monitoring kepatuhan minum kapsul. Kapsul yang digunakan dalam program ini adalah diabion, dengan kandungan per kapsul 250 mg ferrous gluconate, 0.2 mg manganese sulphate, 0.2 mg copper sulphate, 50 mg vitamin C, 1 mg folid acid, 7.5 mg vitamin B12, dan 25 mg sorbitol. Kapsul diberikan selama 4 bulan sebanyak satu kapsul setiap minggu jika menstruasi diberikan setiap hari selama 10 hari, sehingga total kapsul yang harus dikonsumsi sebanyak 52 kapsul. Mekanisme distribusi kapsul besi ini melalui puskesmas, setelah itu diberikan kepada guru UKS selama 4 bulan berturut-turut (setiap 1 bulan 13 kapsul/siswi). Selanjutnya guru UKS membagikan kapsul kepada ketua kelompok (10 siswi/kelompok) tiap kelas untuk 1 kali minum setiap minggu. Hari minum kapsul bersama ditentukan setiap minggu di ruang UKS atau kelas di setiap sekolah. Jika hari libur, puasa, atau contoh sedang mengalami menstruasi maka kapsul diperbolehkan di bawa pulang. Kepatuhan siswi mengonsumsi kapsul dipantau melalui kartu monitoring konsumsi kapsul besi (Dinkes Kota Bekasi 2007).
Remaja Berdasarkan rentang usia, remaja merupakan masa rentang tahun antara masa anak-anak dan masa dewasa. Menurut WHO masa remaja berlangsung antara usia 10 sampai 19 tahun (Cordeiro et al 2005). Masa remaja dibagi menjad tiga periode yaitu early adolescence, middle adolescence, dan late adolescence. Awal masa remaja berlangsung dari usia 10-14 tahun, pertengahan masa remaja berlangsung antara usia 15-17 tahun, dan akhir masa remaja pada 18-21 tahun ( Krummel 1996). Pertumbuhan yang cepat pada berat dan tinggi badan merupakan awal dimulainya masa remaja. Pertumbuhan tubuh yang pesat disebut pula dengan growth spurt (Eastwood 2003 diacu dalam Susilo 2006). Pertumbuhan cepat (growth spurt) dari organ dan jaringan pada masa remaja sebesar 15-20 persen. Tinggi badan dewasa dicapai pada saat remaja selama growth spurt. Puncak pertambahan berat dan tinggi badan remaja putri terjadi pada usia sekitar 11.5 tahun dengan pertumbuhan rata-rata 8.30 cm/tahun dan kenaikan berat badan mencapai 50 persen berat badan ideal dewasa (Krummel 1996). Menurut WNKPG (2004), rata-rata berat dan tinggi badan remaja putri usia 10-12 tahun, 13-15 tahun, dan 16-18 tahun secara berturut-turut adalah 38.4±9.15 kg , 44.6±6.72 kg, 46.3± 4.56 kg dan 145.4±8.85 cm, 152.3±4.63 cm, 149.1±4.86 cm. Menurut Arisman (2004), ada tiga alasan remaja dikategorikan rawan. Pertama, kecepatan pertumbuhan dan perkembangan tubuh memerlukan energi dan zat gizi lebih banyak. Kedua, perubahan gaya hidup dan kebiasaan pangan menuntut penyesuaian masukan energi dan zat gizi. Ketiga, kehamilan, keikutsertaan dalam olahraga, ketercanduan alkohol dan obat, meningkatkan kebutuhan. Kebutuhan Zat Besi Remaja Wanita lebih rentan mengalami anemia terutama pada masa remaja. Menurut Depkes (1998), remaja putri lebih sering menderita anemia karena masih dalam masa pertumbuhan yang membutuhkan zat gizi lebih tinggi termasuk zat besi. Pola makan yang salah juga sering dilakukan remaja putri yang ingin memiliki bentuk tubuh ideal sehingga memicu terjadinya anemia gizi. Selain itu, pada masa remaja seseorang akan mengalami menstruasi setiap bulan. Saat menstruasi terjadi pengeluaran darah dari dalam tubuh. Hal ini yang menyebabkan zat besi yang terkandung dalam hemoglobin, salah satu komponen sel darah merah, juga ikut terbuang. Semakin lama menstruasi
berlangsung, maka semakin banyak pengeluaran darah dari dalam tubuh. Hal tersebut mengakibatkan pengeluaran besi meningkat dan keseimbangan zat besi dalam tubuh terganggu sehingga remaja putri membutuhkan zat besi dua kali lebih banyak. Pertumbuhan dan perkembangan sel-sel jaringan tubuh masih tetap berlangsung pada usia remaja. Hal ini ditandai dengan perubahan bentuk tubuh (terutama pada bagian dada dan pinggul), perkembangan organ reproduksi dan pembentukan sel-sel reproduksi, yang bagi wanita ditandai dengan menstruasi secara rutin. Selain itu, pada tahap perkembangan ini kegiatan fisik juga lebih meningkat dibanding masa sebelumnya. Oleh karena itu kecukupan gizi remaja per orang per hari lebih tinggi dibandingkan pada masa anak-anak (Hardinsyah dan Martianto 1992). Menurut FAO/WHO (2001), kebutuhan total zat besi remaja putri setiap rentang usia disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Kebutuhan total zat besi pada remaja putri Usia Kebutuhan Total Zat Besi (tahun) Median (mg/hari) Persentil (mg/hari) 11-14a 1.20 1.40 11-14 1.68 3.27 15-17 1.62 3.10 18+ 1.46 2.94 Kebutuhan total= kebutuhan untuk tumbuh+kehilangan basal+kehilangan menstruasi a belum menstruasi
Tabel 1 menunjukkan bahwa remaja yang telah mengalami menstruasi pada usia 11-14 tahun membutuhkan zat besi lebih besar dibandingkan remaja usia 15-17 tahun dan di atas 18 tahun. Oleh karena itu, remaja pada usia 11-14 tahun lebih mudah terkena anemia gizi besi. Anemia Anemia adalah suatu keadaan dengan kadar hemoglobin yang lebih rendah dari normal. Menurut WHO (2001), anak usia 11 sampai 14 tahun dan remaja putri di atas 15 tahun dikatakan anemia jika kadar hemoglobinnya < 12 g/dl. Anemia gizi adalah kekurangan kadar hemoglobin (Hb) dalam darah yang
disebabkan
karena
kekurangan
zat
gizi
yang
diperlukan
untuk
pembentukan Hb tersebut. Sebagian besar anemia di Indonesia disebabkan oleh kekurangan zat besi (Fe) sehingga disebut Anemia Kekurangan Zat Besi atau Anemia Gizi Besi (Depkes 1998). Menurut Almatsier (2003), kekurangan besi terjadi dalam tiga tahap. Tahap pertama terjadi bila simpanan besi berkurang yang terlihat dari kadar penurunan feritin plasma. Hal ini mengakibatkan peningkatan absorpsi besi yang
terlihat dari peningkatan kemampuan mengikat-besi total (Total-Iron Binding Capacity). Pada tahap ini belum terlihat perubahan fungsional pada tubuh. Tahap kedua ditandai dengan habisnya simpanan besi, menurunnya jenuh transferin pada orang dewasa dan meningkatnya protoporfirin, yaitu bentuk pendahulu (precursor) hem. Nilai Hb pada tahap ini masih berada pada 95 persen nilai normal. Hal ini dapat mengganggu metabolisme energi, sehingga menyebabkan menurunnya kemampuan bekerja. Tahap ketiga anemia gizi besi ditandai dengan menurunnya kadar Hb di bawah nilai normal. Secara umum ada dua tipe anemia yang selama ini dikenal yaitu anemia gizi dan anemia non gizi. Anemia gizi adalah keadaan kurang darah akibat kekurangan zat gizi (Fe, vitamin E, asam folat, vitamin B12, dan vitamin B6) yang diperlukan dalam pembentukan serta produksi sel-sel darah merah, baik kualitas maupun kuantitasnya. Sedangkan anemia non-gizi akibat perdarahan seperti luka akibat kecelakaan, menstruasi, atau penyakit darah yang bersifat genesis seperti thalasemia, hemofilia, dan lainnya (Arisman 2004). Berdasarkan kadar Hb, anemia dapat digolongkan menjadi empat tingkat yaitu
ringan
sekali,
ringan,
sedang
dan
berat.
Penggolongan
anemia
berdasarkan kadar Hb disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Penggolongan Anemia Berdasarkan Kadar Hb Penggolongan anemia Hb (gr/dl) Ringan sekali 11-batas normal Ringan 8-11 Sedang 5-8 Berat <5 Sumber : (Husaini dan Karyadi 1980 diacu dalam Manurung 2004)
Anemia gizi besi dikatakan menjadi masalah kesehatan masyarakat dalam suatu populasi apabila prevalensinya ± 5 persen. Anemia sebagai masalah kesehatan masyarakat dikategorikan menjadi 3 kelompok. Klasifikasi anemia menjadi masalah kesehatan masyarakat disajikan pada Tabel 2. Tabel 3. Klasifikasi anemia menjadi masalah kesehatan masyarakat Kategori Prevalensi anemia (%) Berat >40 Sedang 20-40 Ringan 5-20 Sumber : WHO 2001
Kekurangan zat besi pada umumnya menyebabkan pucat, rasa lemah, letih, pusing, kurang nafsu makan, menurunnya kebugaran tubuh, menurunnya kemampuan kerja, menurunnya kekebalan tubuh dan gangguan penyembuhan luka (Almatsier 2003). Anemia gizi besi pada remaja putri dapat menimbulkan
berbagai dampak, antara lain menurunkan daya tahan tubuh sehingga mudah terkena penyakit, menurunnya aktivitas dan prestasi belajar, disamping itu remaja putri yang menderita anemia, kebugarannya juga menurun, sehingga menghambat prestasi olahraga dan produktivitasnya. Masa remaja merupakan masa pertumbuhan yang sangat cepat sehingga kekurangan zat besi pada masa ini akan mengakibatkan tidak tercapainya tinggi badan optimal (Depkes 1998). Menurut Depkes (1998), jika
wanita telah mengalami kekurangan zat
besi atau menderita anemia sejak usia remaja maka semakin berat kondisinya ketika wanita tersebut hamil. Ketika hamil seorang wanita membutuhkan lebih banyak jumlah zat besi untuk pertumbuhan dan perkembangan janinnya. Ibu hamil yang menderita anemia akan mempertinggi risiko ibu tersebut untuk mengalami keguguran, pendarahan waktu melahirkan, dan melahirkan Bayi dengan Berat Lahir Rendah (BBLR). Pengukuran Status Anemia Indikator yang paling umum digunakan untuk mengetahui kekurangan besi adalah pengukuran jumlah dan ukuran sel darah merah, dan nilai hemoglobin darah. Nilai Hb kurang peka terhadap tahap awal kekurangan besi, akan tetapi berguna untuk mengetahui beratnya anemia. Nilai Hb yang rendah menggambarkan kekurangan besi sudah lanjut (Almatsier 2003). Penentuan
kadar
Hb
dapat
dilakukan
dengan
cara
Sahli
dan
Cyanmethemoglobin. Cara Sahli dapat menghasilkan rata-rata Hb 10 persen lebih rendah daripada hasil dengan cara Cyanmethemoglobin jika dilakukan oleh petugas yang berpengalaman. Jika cara Sahli tersebut ditambah 10 persen maka penyebaran
nilai
Hb
tidak
berbeda
dengan
cara
Cyanmethemoglobin
(Muhilal&Saidin 1980 diacu dalam Manurung 2004). Cara penentuan Hb yang dianggap paling teliti sampai saat ini ialah cara Cyanmethemoglobin. Cara ini paling tepat untuk dipakai dalam penelitian gizi. Kelemahan cara ini ialah mahal dan sukarnya pemeliharaan photometer, sukarnya mendapatkan standar Hb yang harus didatangkan dari luar negeri secara periodik, pemakaian secara periodik, pemakaian pereaksi yang membahayakan kesehatan karena mengandung sianida, dan banyaknya perlengkapan yang harus dibawa bila bekerja di lapangan (Muhilal & Saidin 1980 diacu dalam Hulu 2004). Hemoglobin (Hb) berfungsi mengangkut oksigen dari paru-paru ke seluruh sel tubuh. Mioglobin mengangkut dan menyimpan oksigen untuk sel-sel
otot. Suatu proses biokimiawi penting dalam sel adalah proses pembakaran zatzat gizi tertentu untuk menghasilkan energi. Dalam proses tersebut sel memerlukan oksigen untuk mengikat atom karbon dan hidrogen yang terlepas dalam proses pembakaran menjadi atom karbon dioksida dan air yang merupakan sampah yang harus dibuang melalui darah merah ke paru-paru. Sampai di paru-paru darah merah melepas oksigen yang kotor dan mengikat kembali oksigen bersih untuk diangkut ke sel-sel jaringan, dan seterusnya. Proses ini terus berlangsung selama ada kehidupan, dan inilah salah satu tugas utama Hb (Soekirman 2000). Suplementasi Zat Besi Suplementasi zat besi adalah salah satu strategi untuk meningkatkan intake zat besi sebagai upaya menanggulangi masalah anemia gizi (Fatma 2007). Tujuan suplementasi dapat bersifat pengobatan (kuratif) atau pencegahan (preventif) tergantung pada tahapan kurang besinya. Jika suplemen diberikan kepada sasaran yang nyata menderita anemia, maka cara ini lebih bersifat kuratif. Dapat bersifat preventif jika diberikan dengan tujuan untuk mencegah agar tidak terjadi kurang besi dan jika sudah dicegah agar tidak terjadi anemia (Soekirman 2000). Seorang remaja putri dianjurkan mengonsumsi satu tablet besi setiap minggu dan satu tablet setiap hari pada masa haid (±10 hari) untuk mencegah anemia gizi besi. Remaja putri yang yang menderita anemia ringan dan sedang dianjurkan meminum satu tablet setiap hari untuk menanggulangi anemia gizi besi. Berdasarkan hasil dari beberapa penelitian diketahui bahwa pemberian suplementasi yang efektif dan memberikan hasil yang optimal adalah setelah intervensi selama ± 3 bulan (Depkes 1998). Upaya suplementasi yang sudah lama dilakukan nampaknya kurang efektif (kurang berhasil). Hal ini terjadi karena pendistribusiannya yang tidak lancar, keluhan pada ibu-ibu yang mengkonsumsi (mual, bau atau rasa besi sangat terasa, dan lain-lain) sehingga kedisiplinan atau kepatuhan berkurang dan tidak tepat sasaran (Widayani 2004). Uji eksperimental pemberian suplementasi zat besi selama 16 minggu, menunjukkan bahwa kadar Hb dan kadar ferritin serum meningkat, dan prevalensi anemia dan kekurangan besi menurun berturut-turut 22 persen (95% CI: 9-35) dan 12 persen (95% CI: 2-22). Prevalensi remaja putri yang mencapai target minimal status besi meningkat 28 persen (95% CI: 15-41). Namun
peningkatan ini pupus setelah dihentikan pemberian zat besi selama 16 minggu berikutnya. Oleh karena itu, remaja putri yang hendak mencapai kecukupan status
besi
tubuh
sebelum
masa
kehamilan,
dianjurkan
untuk
tetap
mengkonsumsi tambahan zat besi selama mereka dalam lingkungan sekolah (Dillon 2005). Keberhasilan suplementasi terkait dengan dosis dan lamanya pemberian suplemen. Suplementasi dinilai lebih efektif pada dosis 60 mg zat besi tiap hari selama 20 minggu dibandingkan dengan pemberian jangka pendek dengan dosis tinggi. Masalah yang sering dihadapi di negara berkembang termasuk Indonesia adalah
rendahnya
cakupan
untuk
mendapatkan
TTD
dan
kepatuhan
mengonsumsi kapsul sesuai anjuran (compliance). Keadaaan ini menyebabkan cara suplementasi sering diragukan keberhasilannya di beberapa negara tersebut. Salah satu saran untuk meningkatkan cakupan dan kepatuhan memakan pil besi adalah dengan memberikan penyuluhan gizi yang intensif kepada sasaran sebelum pemberian suplemen (Soekirman 1999). Upaya suplementasi dapat berhasil jika individu mematuhi aturan konsumsinya. Banyak faktor yang mendukung rendahnya tingkat kepatuhan tersebut, seperti individu sulit mengingat aturan minum setiap hari, sedikitnya dana untuk membeli suplemen secara teratur, dan efek samping yang ditimbulkan. Bentuk strategi lain yang digunakan untuk meningkatkan kepatuhan konsumsi TTD adalah melalui pendidikan gizi tentang pentingnya suplementasi zat besi dan efek samping yang dapat ditimbulkannya (Fatma 2007) Pemberian
tablet
besi
dapat
berpengaruh
terhadap
sistem
gastrointestinal seseorang, seperti kembung, mual, muntah, konstipasi, dan diare. Efek samping tersebut dapat dicegah dengan meminum tablet besi setelah makan pada malam hari. Mengonsumsi tablet besi bersamaan dengan makanan akan ditoleransi lebih baik dibandingkan jika dikonsumsi dalam keadaan perut kosong, walaupun yang diserap menjadi berkurang (Cook et al 1996 diacu dalam Rantauwati 2004) Keberhasilan suplementasi zat besi untuk meningkatkan kadar Hb sasaran agar dapat mencapai normal berhubungan dengan beberapa faktor. Faktor tersebut antara lain; 1. Kepatuhan sasaran mengonsumsi tablet besi 2. Adanya kekurangan zat gizi lain yang diperlukan untuk pembentukan Hb (asam folat, asam nikotinat, piridoksin, riboflavin, dan vitamin B12)
3. Adanya variabel perancu selama penelitian seperti, mengonsumsi makanan penghambat absorpsi zat besi dan menderita kecacingan (Suryawan dkk 2003 diacu dalam Rantauwati 2004). Menstruasi Haid atau menstruasi merupakan ciri khas kematangan biologik seorang wanita. Haid merupakan perdarahan secara periodik dan siklik dari uterus disertai pelepasan (deskuamasi) endometrium. Pola menstruasi terbentuk dalam kurun waktu 4-6 tahun sejak usia menstruasi pertama. Pola menstruasi dapat dilihat dari siklus menstruasi, lama menstruasi, dan frekuensi menstruasi (Affandi 1990). Usia wanita mendapat menstruasi pertama kali semakin menurun, jika satu abad yang lalu pada usia 17 tahun, saat ini usia menarche (menstruasi pertama) berkisar antara 10 sampai 12 tahun (Affandi 1990). Menurut Pearce (1992), wanita mendapat menstruasi pertama kali pada usia 10 sampai 14 tahun. Rata-rata usia menarche adalah 12.5 tahun. Hal ini bergantung dari kesehatan wanita, konsumsi zat gizi dan status gizinya. Panjang siklus menstruasi yang normal adalah 28 hari. Tetapi dari pengamatan Hartman pada kera ternyata hanya 20 persen kera yang panjang siklus haid 28 hari. Panjang siklus yang biasa pada manusia adalah 25 sampai 32 hari dan kira-kira hanya 97 persen wanita yang berovulasi siklus haidnya berkisar antara 18-42 hari (Affandi 1990). Lama menstruasi biasanya antara 3 sampai 5 hari, ada yang 1 sampai 2 hari dan diikuti darah sedikit-sedikit kemudian, dan ada yang sampai 7 sampai 8 hari. Menurut sebagian besar peneliti lama menstruasi normal rata-rata 3 sampai 5 hari dan lebih dari 8 atau 9 hari dianggap tidak normal. Lama haid pada setiap wanita biasanya tetap (Affandi 1990). Seorang remaja putri yang mengalami menstruasi yang banyak selama lebih dari lima hari dikhawatirkan akan kehilangan zat besi (sehingga membutuhan zat besi pengganti) lebih banyak daripada remaja putri yang menstruasinya hanya tiga hari dan sedikit (Utamadi 2002 diacu dalam Hulu 2004). Jumlah darah yang keluar selama satu periode menstruasi rata-rata sebanyak 33.2±16 cc. Jumlah darah haid pada wanita yang lebih tua dan wanita dengan anemia defisiensi besi biasanya keluar lebih banyak. Jumlah darah haid lebih dari 80 cc/periode menstruasi dianggap patologik. Salah satu cara untuk mengetahui jumlah darah haid yang dikeluarkan setiap bulannya dapat dilakukan
dengan menanyakan jumlah pembalut yang digunakan. Tetapi pengukuran ini masih dipengaruhi faktor subjektif, baik antar wanita maupun pada satu wanita dengan waktu yang berbeda tentang kebutuhan jumlah pembalutnya. Suatu teknik telah dikembangkan untuk mengukur secara objektif jumlah darah yang terkumpul dalam pembalut wanita. Jumlah sampel yang masih sedikit menyebabkan belum terdapat kesepakatan jumlah rata-rata keluarnya darah, tetapi
20 sampai 60 ml dianggap jumlah normal kehilangan darah selama
menstruasi (Affandi 1990). Remaja putri yang sudah mendapatkan menstruasi pada umumnya akan kehilangan zat besi sebesar 0.48 mg/hari (FAO/WHO 2001). Jika darah yang keluar saat menstruasi cukup banyak, berarti jumlah zat besi yang hilang dari tubuh juga semakin banyak. Setiap orang mengalami kehilangan darah dalam jumlah yang berbeda-beda. Hal ini dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain, keturunan, keadaan kelahiran, dan besar tubuh (Wirakusumah 1999) Status Gizi Status gizi merupakan keadaan kesehatan tubuh seseorang atau sekelompok
orang
yang
diakibatkan
oleh
konsumsi,
penyerapan,
dan
penggunaan zat gizi makanan. Status gizi dapat diketahui dengan beberapa cara yaitu konsumsi pangan, biokimiawi, antropometri dan klinis. Antropometri sudah digunakan pada remaja dalam konteks yang berhubungan dengan status gizi dan kesehatan. Pengukuran antropometri yang umum dilakukan untuk penilaian status gizi bagi remaja adalah pengukuran berat dan tinggi badan (Riyadi 2001). Pengukuran paling reliabel untuk ras spesifik dan populasi untuk menentukan status gizi pada masa remaja saat ini adalah Indeks Massa Tubuh (IMT). IMT diperoleh dari hasil pembagian berat badan dalam satuan kilogram dengan kuadrat tinggi badan dalam satuan meter kuadrat (Riyadi 2001). IMT= Berat badan (kg) Tinggi badan2 (m) Menurut Schrimshaw (1968) diacu dalam Leginem (2002), terdapat hubungan antara anemia dengan status gizi kurang. Soemantri (1978) diacu dalam Leginem (2002), mengatakan bahwa status gizi merupakan salah satu faktor penting untuk menetapkan diagnosis anemia. Selanjutnya berdasarkan hasil penelitian Sutejo dan Samsudin (1979) diacu dalam Leginem (2002), dijelaskan juga bahwa prevalensi anemia meningkat sesuai dengan bertambah buruknya status gizi pada anak usia sekolah.
Teori lain menyatakan bahwa Indeks Massa Tubuh (IMT) tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap efikasi indikator status besi. Indikator status besi yang dimaksud Hb, Serum Transferin Reseptor (STfR), dan Serum Feritin (SF) (Briawan 2008). Status Kesehatan Status kesehatan adalah situasi kesehatan yang dialami oleh seseorang dan penyakit yang diderita merupakan salah satu faktor yang berhubungan dengan keadaan kesehatan seseorang (Astawan & Wahyuni 1897 diacu dalam Almasari 2007). Menurut Depkes (1998), selain tidak cukupnya asupan zat besi dari makanan baik secara kuantitas dan kualitas, faktor lain yang akan memperberat anemia adalah mengidap penyakit kronis (TBC) serta kehilangan darah karena infeksi parasit (malaria dan kecacingan). Infeksi cacing tambang dapat menyebabkan pendarahan pada dinding usus, walaupun pendarahan yang terjadi sedikit tetapi jika terjadi terus menerus akan mengakibatkan kehilangan darah dan zat besi dalam jumlah yang relatif banyak (Purnawan 1995 diacu dalam Puri 2007). Hal serupa juga dikemukakan oleh Jelliffe (1994), infeksi dengan cacing tambang dapat menyebabkan anemia karena terjadi pengeluaran darah secara kronis dalam feses. Investasi cacing tambang di daerah-daerah tropis dan sub tropis sangat umum terjadi yang disebabkan karena anak bertelanjang kaki. Kehilangan darah karena cacing tambang ini merupakan faktor kontribusi ke arah anemia (Lestari 1996). Hasil penelitian Lestari (1996) remaja putri SMU di Kabupaten Bandung menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara inventasi kecacingan dengan kejadian anemia gizi dan adanya faktor risiko atau kemungkinan anemia sebesar 4.47 kali dibandingkan responden yang tidak terinvestasi cacing (CI 95%; OR 2.17-9.19). Malaria adalah infeksi penyakit parasit yang ditimbulkan oleh satu dari empat spesies dari genus Plasmodium yaitu P. vivax, P. falciparum, P. ovale, dan P. malariae. Manusia menjadi terinfeksi oleh salah satu strain Plasmodium pasca gigitan Anopheles betina yang terinfeksi. Anemia sering ditemukan pada malaria P. falciparum yang menggambarkan hemolisis berat. Keparahan malaria P. falciparum secara langsung berhubungan dengan jumlah keseluruhan sel darah merah yang diparasitisasi (Shulman 1994).
Penyakit malaria dapat menyebabkan penurunan absorpsi besi selama periode sakit dan dari hasil hemolisis intravaskuler dapat menyebabkan rendahnya kadar hemoglobin (Wijianto 2002). Anemia yang mendadak dapat terjadi pada serangan malaria dengan demam tinggi dan sakit berat. Seseorang menjadi tiba-tiba anemia karena sel darah merahnya dihancurkan oleh parasit malaria (Jelliffe 1994). Tuberculosis merupakan suatu penyakit yang umum diderita masyarakat Indonesia. Selain malaria, penyakit ini termasuk salah satu golongan penyakit terbesar yang menyebabkan kematian. Penyakit ini termasuk penyakit menular yang disebabkan oleh basil tuberkel (Mycobacterium tuberculosis : TB). Penyakit ini dapat menyebabkan paru-paru terluka sehingga ketika batuk akan mengeluarkan darah (Prabu 1996). Pengeluaran darah yang berlebihan dapat menyebabkan anemia. Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) adalah upaya untuk memberikan
pengalaman
belajar atau
menciptakan suatu
kondisi
bagi
perorangan, keluarga, kelompok dan masyarakat. Upaya tersebut dengan cara membuka jalur komunikasi, memberikan informasi dan melakukan edukasi untuk meningkatkan pengetahuan, sikap dan perilaku melalui pendekatan pimpinan (advocacy), bina suasana (social support) dan pemberdayaan masyarakat (empowerment). Hal ini dilakukan sebagai suatu upaya untuk membantu masyarakat mengenali dan mengetahui masalahnya sendiri, dalam tatanan rumah tangga, agar dapat menerapkan cara-cara hidup sehat dalam rangka menjaga, memelihara dan meningkatkan kesehatannya. PHBS dalam bidang kesehatan lingkungan antara lain cuci tangan dengan sabun dan air setelah buang air besar, menghuni rumah sehat, memiliki akses dan menggunakan air bersih, memiliki akses dan menggunakan jamban, memberantas jentik nyamuk, membuang sampah pada tempatnya dan mencuci tangan. Indikator perilaku sehat rumah tangga meliputi pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan, bayi diberi ASI eksklusif, mempunyai jaminan pemeliharaan kesehatan, ketersediaan air bersih, ketersediaan jamban sehat, kesesuaian luas lantai dengan jumlah penghuni, lantai rumah bukan tanah (Depkes 2006)
Pola Konsumsi Pangan Pola konsumsi pangan adalah susunan jenis dan jumlah pangan yang dikonsumsi seseorang atau kelompok orang pada waktu tertentu (Madanijah 2004). Penilaian konsumsi pangan dapat dilakukan secara kualitatif maupun kuantitatif. Food Frequency Questionnaires (FFQ) merupakan salah satu pengukuran konsumsi makanan yang bersifat kualitatif. Metode ini untuk mengetahui frekuensi makan, frekuensi konsumsi menurut jenis bahan makanan dan menggali informasi tentang kebiasaan makan (Supariasa 2001). Anemia kekurangan zat besi terjadi karena pola konsumsi makanan masyarakat Indonesia yang masih didominasi sayuran, sebagai sumber zat besi yang sulit diserap (non-heme iron). Sedangkan daging dan bahan pangan hewani yang diketahui sebagai sumber zat besi yang baik (heme iron), jarang dikonsumsi terutama oleh masyarakat pedesaan (Depkes 1998). Zat besi adalah salah satu unsur gizi yang merupakan komponen pembentuk Hb atau sel darah merah (Depkes 1998). Zat besi mempunyai beberapa fungsi essensial di dalam tubuh yaitu sebagai alat angkut oksigen dari paru-paru ke jaringan tubuh, sebagai alat angkut elektron di dalam sel, dan sebagai bagian terpadu berbagai reaksi enzim di dalam jaringan tubuh (Almatsier 2003). Bioavailability zat besi dari makanan sehari-hari umumnya sangat rendah yaitu kurang dari 10 persen. Sumber besi dari hewani mempunyai bioavailability yang lebih tinggi dibandingkan sumber nabati, khususnya hati, daging, ayam, dan ikan. Daya serap dan nilai biologi zat besi makanan dipengaruhi oleh empat hal, yaitu jumlah kandungan zat besi, bentuk kimia-fisik zat besi, adanya makanan lain yang memacu dan menghambat absorpsi zat besi, dan cara pengolahan makanan (Soekirman 2000). Zat besi dalam makanan ada yang berbentuk zat besi heme (heme iron) seperti yang terdapat dalam daging, ayam, dan ikan atau zat besi bukan heme (non-heme iron) seperti yang terdapat dalam susu, telur, beras, sereal lainnya, sayur, dan buah-buahan. Zat besi heme hanya bagian kecil dari besi yang diperoleh dari makanan (± 5% dari besi total makanan) tetapi yang dapat diabsorpsi dapat mencapai 25 persen sedangkan nonheme hanya 5 persen (Almatsier 2003).
Salah satu faktor yang diduga mempengaruhi perubahan kadar Hb setelah pemberian suplementasi zat besi adalah kondisi makanan. Adanya zatzat penghambat (inhibitors) dan pemacu (enchancers) penyerapan besi akan mempengaruhi tinggi rendahnya penyerapan zat besi, baik yang berasal dari makanan itu sendiri mapun dari pil besi yang diberikan (Saidin dkk 1998 diacu dalam Rantauwati). Zat aktif yang memacu (enchancers) penyerapan zat besi adalah vitamin C dan asam sitrat ( pepaya, jambu biji, pisang, mangga, jeruk, apel, nenas, dan lain-lain), asam malat dan asam tartarat (kentang, brokoli, tomat, kobesitas, dan labu kuning atau waluh), dan asam amino (daging sapi, daging kambing, daging babi, daging ayam, hati, dan ikan). Faktor yang menyebabkan kenaikan penyerapan zat besi lebih dikenal dengan MFP (Meat, Fish, Poultry). Zat aktif yang menghambat (inhibitors) penyerapan zat besi umumnya berasal dari tumbuh-tumbuhan yang mengandung zat aktif pitat dan polipenol. Contoh makan yang mengandung fitat adalah selaput luar beras (dedak atau katul), beras, jagung, protein kedelai, susu coklat, dan kacang-kacangan dan yang mengandung polipenol antara lain adalah teh, kopi, bayam, bumbu oregano dan kacang-kacangan. Zat kapur (kalsium) dan phospat yang banyak terdapat dalam susu dan keju juga merupakan zat aktif penghambat penyerapan zat besi (Soekirman 2000). Teh yang diminum bersama-sama dengan hidangan lain, akan menghambat penyerapan zat besi nonheme sampai 50 persen. Senyawa ethylenediamine tetraacetic acid (EDTA) yang biasa digunakan sebagai pengawet makanan juga menyebabkan penurunan absorpsi zat besi nonheme sebesar 50 persen (Wirakusumah 1999). Menurut Wirakusumah (1999), tingkat keasaman dalam lambung juga ikut mempengaruhi kelarutan dan penyerapan zat besi dalam tubuh. Suplemen zat besi lebih baik dikonsumsi pada saat
perut kosong
atau sebelum makan,
karena zat besi akan lebih efektif diserap jika lambung dalam keadaan asam (pH rendah). Absorbsi zat besi juga berhubungan dengan status besi besi perorangan. Seseorang yang menderita anemia mempunyai kemampuan absorpsi zat besi lebih tinggi dibandingkan dengan yang tidak menderita anemia. Hal ini berarti seseorang yang mempunyai kadar Hb lebih rendah jika diberi suplementasi akan lebih responsif untuk mengabsorpsi zat besi. Sebaliknya absorbsi akan berkurang pada orang yang kebutuhan zat besinya telah terpenuhi (kadar Hb
normal). Hal ini terjadi untuk menjaga homeostatis zat besi dalam tubuh (Almatsier 2003). Survei yang dilakukan Hurlock (1996) bahwa remaja suka sekali jajan makanan ringan. Jenis makanan ringan yang dikonsumsi adalah kue-kue yang rasanya manis dan golongan pastry serta permen. Sedangkan golongan sayursayuran dan buah-buahan yang mengandung vitamin A dan C tidak populer atau jarang dikonsumsi, sehingga dalam diet mereka rendah akan zat besi, kalsium, vitamin C, vitamin A, dan lain-lain. Selain itu, hasil survei juga menunjukkan bahwa remaja suka minum-minuman ringan (soft drink), teh, dan kopi yang frekuensinya lebih sering dibandingkan minum susu.
KERANGKA PEMIKIRAN Anemia gizi besi merupakan salah satu masalah gizi utama yang masih dihadapi Indonesia saat ini. Masalah gizi mikro ini umumnya terjadi pada balita, remaja putri, wanita usia subur, dan ibu hamil. Anemia gizi besi akan berdampak buruk bagi penderitanya. Anemia pada remaja putri akan mengakibatkan menurunnya daya tahan tubuh sehingga mudah terkena penyakit, menurunnya aktivitas dan prestasi belajar. Selain itu, remaja putri yang menderita anemia, kebugarannya juga menurun, sehingga menghambat prestasi olahraga dan produktivitasnya. Mengingat anemia dapat berdampak luas bagi masa depan remaja putri, baik pengaruhnya pada prestasi akademik serta kapasitasnya sebagai calon ibu yang diharapkan akan melahirkan generasi penerus yang berkualitas, maka perlu dilakukan tindakan pencegahan sejak usia remaja (Depkes 1998). Salah satu upaya yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat untuk melakukan pencegahan dan penanggulangan anemia gizi pada remaja putri adalah melalui kegiatan pemberian kapsul besi (suplementasi zat besi) pada siswi SMP dan SMU. Tetapi pada kenyataannya sampai saat ini upaya suplementasi TTD belum memberikan hasil yang memuaskan. Hal ini terbukti dari hasil evaluasi program ini menunjukkan beberapa daerah yang melaksanakan program suplementasi zat besi tidak menghasilkan penurunan anemia gizi besi bahkan ada yang mengalami peningkatan. Menurut Soekirman (2000),
selama
ini
ketidakberhasilan
program
suplementasi
di
negara
berkembang termasuk Indonesia terjadi karena rendahnya cakupan sasaran yang mendapat TTD dan kepatuhan mengonsumsi tablet sesuai anjuran (compliance). Ketidakpatuhan umumnya terjadi karena alasan adanya efek samping yang dirasakan ketika mengonsumsi tablet seperti mual, bau atau rasa besi sangat terasa, dan lain-lain (Widayani 2004). Selain kepatuhan siswi meminum kapsul besi, pada penelitian ini ada beberapa determinan lain yang dianggap dapat mempengaruhi perubahan status anemia dan peningkatan kadar Hb peserta program suplementasi zat besi. Faktor penentu (determinan) tersebut antara lain umur, status gizi (antropometri dan status anemia awal), pola menstruasi, status kesehatan (riwayat penyakit infeksi dan malaria), Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS), dan pola konsumsi pangan (frekuensi pangan hewani). Adapun bagan kerangka pemikiran dari penelitian ini disajikan pada Gambar 1.
Pola konsumsi pangan Status menstruasi
Kepatuhan
Status kesehatan (penyakit infeksi)
Umur
Status Gizi • Antropometri • Status anemia awal
Keberhasilan program suplementasi (perubahan status anemia dan peningkatan kadar Hb)
PHBS (kebiasaan mencuci tangan)
Gambar 1. Kerangka pemikiran determinan keberhasilan program suplementasi
METODE PENELITIAN Desain, Waktu, dan Tempat Penelitian Penelitian ini merupakan analisis data sekunder Program Pencegahan dan Penanggulangan Anemia Gizi Besi pada Remaja Putri SMP dan SMU yang dilaksanakan oleh Dinas Kesehatan Kota Bekasi. Program ini dilakukan dengan pemberian suplementasi zat besi berupa kapsul besi pada remaja putri selama 4 bulan. Program ini dilaksanakan di dua sekolah yaitu SMP 7 dan SMK Teratai Putih Global 2 di Kota Bekasi. Pelaksanaan program ini berlangsung selama empat bulan yaitu sejak bulan Agustus sampai November 2007. Adapun penelitian ini dilakukan pada bulan November 2007 sampai Februari 2008 dengan desain pre-post intervention study. Jumlah dan Cara Pengambilan Contoh Populasi contoh dalam program suplementasi zat besi adalah siswa putri SMP 7 dan SMK Teratai Putih Global 2. Pemilihan kedua sekolah ini berdasarkan kriteria, sekolah yang pro-aktif terhadap program dan dinilai mampu untuk melanjutkan program secara mandiri serta berada di bawah puskesmas dengan latar belakang TPG berpendidikan gizi (DIII gizi atau DI gizi), prevalensi AGB ibu hamil tahun 2006 tinggi, mempunyai kinerja cukup baik, tersedia laboratorium
dan
tenaga
laboratorium
untuk
fasilitas
pengambilan
dan
pemeriksaan darah (Dinkes Kota Bekasi 2007). Pemilihan contoh untuk program ini dilakukan secara acak dari kelas 1 dan 2. Tidak ada persyaratan khusus dalam pemilihan contoh pada program pencegahan dan penanggulangan anemia gizi besi pada remaja putri SMP dan SMU. Contoh dipilih berdasarkan kesediaan contoh untuk meminum kapsul besi dan mengikuti pemeriksaan darah. Total sampel yang dipilih sebanyak 400 orang. Seluruh peserta program dijadikan contoh dalam penelitian ini. Jenis dan Cara Pengumpulan Data Jenis data yang dikumpulkan adalah data sekunder. Data tersebut meliputi umur, status gizi antropometri, pola menstruasi, status kesehatan, kebiasaan mencuci tangan (PHBS), pola konsumsi pangan dan tingkat kepatuhan minum kapsul besi serta status zat besi (kadar hemoglobin) sebelum dan sesudah suplementasi. Data yang digunakan adalah baseline data yang diperoleh dari data kegiatan suplementasi zat besi yang dilakukan Dinas
Kesehatan
(Dinkes)
Kota
Bekasi
dalam
rangka
pencegahan
dan
penanggulangan anemia gizi besi pada remaja putri SMP dan SMU tahun 2007. Data umur, pola menstruasi, status penyakit, Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS), dan pola konsumsi pangan (FFQ selama satu minggu) dikumpulkan tim gizi Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Bekasi dan Tenaga Pelaksana Gizi (TPG) puskesmas Perumnas 2 melalui wawancara langsung. Wawancara berlangsung selama 3 hari di masing-masing sekolah dengan menggunakan alat bantu kuesioner (Lampiran 1). Tim yang melakukan wawancara terdiri atas 4 orang (satu TPG puskesmas dan tiga staf gizi Dinkes). Status gizi antropometri contoh diketahui melalui pengukuran ukuran tubuh yaitu berat dan tinggi badan yang dilakukan bersamaan dengan wawancara. Data kepatuhan minum kapsul besi diperoleh melalui kartu monitoring minum kapsul besi (Lampiran 3) yang diberikan puskesmas kepada siswa putri sejak pertama kali pemberian kapsul. Status gizi besi contoh diketahui dari kadar hemoglobin
darah
berdasarkan
hasil
pemeriksaan
biokimia
darah
di
Laboratorium Kesehatan Daerah (LabKesda). Pengambilan sampel darah contoh dilakukan dua kali yaitu sebelum dan sesudah suplementasi zat besi. Pengolahan dan Analisis Data Data-data yang diperoleh selanjutnya dianalisis secara statistik deskriptif dan inferensial dengan menggunakan program komputer yaitu Microsoft Excel 2003 dan SPSS versi 11.5 for windows. Proses pengolahan meliputi kegiatan entry, coding, cleaning, editing dan analisis. Data sekunder yang diperoleh yaitu usia, status gizi, pola menstruasi, status penyakit, Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS), pola konsumsi pangan dan tingkat kepatuhan minum kapsul besi serta status anemia (kadar hemoglobin). Usia cotoh dibedakan dikelompokkan menjadi 10 sampai 14 tahun, 15 sampai 17 tahun dan 18 sampai 21 tahun (Krummel 1996). Status gizi contoh ditentukan dengan menggunakan Indeks Massa Tubuh (IMT). IMT diperoleh dari hasil pembagian berat badan dalam satuan kilogram dengan kuadrat tinggi badan dalam satuan meter kuadrat (Riyadi 2001). IMT= Berat badan (kg) Tinggi badan2 (m) Penentuan status gizi berdasarkan klasifikasi yang telah ditentukan Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat. Klasifikasi tersebut yaitu IMT<18.5 kg/m2 dikategorikan kurus, IMT 18.5-24.9 kg/m2 dikategorikan normal, IMT 25.0-26.9
kg/m2 dikategorikan risiko untuk gemuk, dan IMT ≥ 26.90 kg/m2 dikategorikan gemuk. Pola
menstruasi contoh yang dimaksud yaitu frekuensi, jumlah, dan
lamanya menstruasi. Menurut Affandi (1990), panjang siklus haid yang normal adalah 28 hari. Oleh karena itu, frekuensi menstruasi dibedakan menjadi tiga yaitu sering (sebulan 2 kali), normal (sebulan 1 kali), jarang (dua sampai tiga bulan 1 kali), dan sangat jarang (tak tentu). Jumlah pengeluaran darah menstruasi setiap bulannya ditentukan dengan menanyakan jumlah pembalut yang digunakan dalam satu hari saat menstruasi dan dibedakan menjadi 1-2 kali/hari (normal), 3-4 kali/hari (kurang normal), 5-6 kali/hari (lebih dari normal), dan >6 kali/hari (sangat tidak normal). Lama menstruasi dibedakan menjadi cepat (<3 hari/periode), normal (3-5 hari/periode), kurang normal (5-7 hari/periode), dan lama (>7 hari/periode) (Affandi 1990). Status kesehatan diperoleh dari pertanyaan pada kuesioner mengenai riwayat penyakit contoh. Data ini diperoleh melalui pertanyaan tentang pernah atau tidak contoh menderita penyakit TB, malaria, dan pernah tidak keluar cacing saat buang air besar dalam satu bulan terakhir. Jika ya, diberi skor satu (1) dan jika tidak diberi skor nol (0) Penentuan pola konsumsi pangan menggunakan Food Frequency Questionnaires (FFQ). FFQ mempunyai dua komponen utama yaitu daftar bahan pangan dan frekuensi penggunaan pangan. Data frekuensi konsumsi pangan yang digunakan adalah FFQ dalam satu minggu. FFQ selanjutnya dibedakan menjadi empat yaitu jarang (< 3 kali/minggu), kadang-kadang (3-6 kali/minggu), sering (setiap hari), dan tidak pernah (0 kali/minggu). Kadar
hemoglobin
contoh
diketahui
melalui
Laboratorium Kesehatan Daerah (LabKesda). Kadar
analisis
biokimia
di
hemoglobin dianalisis
dengan menggunakan metode Cyanmethemoglobin. Status anemia dibedakan menjadi 2 yaitu anemia dan tidak anemia. Menurut WHO (2001), anak usia 11 sampai 14 tahun dan remaja putri di atas 15 tahun dikatakan anemia jika kadar hemoglobinnya < 12 g/dl. Data kepatuhan minum kapsul besi akan dibedakan menjadi 3 kategori. Kategori tersebut antara lain; jika tingkat kepatuhan ≥75 persen dikategorikan patuh, jika tingkat kepatuhan 50-74 persen dikategorikan kurang patuh, dan jika tingkat kepatuhan <50 persen dikategorikan tidak patuh (Dinkes Jawa Barat 2007).
Analisis yang akan digunakan pada data-data sekunder di atas adalah analisis univariat, analisis bivariat, dan analisis multivariat. Berikut ini adalah analisis dan uji yang digunakan dalam penelitian ini. 1. Analisis univariat Analisis ini digunakan untuk mendeskripsikan setiap variabel yang diukur dalam penelitian yaitu status zat besi (prevalensi anemia dan peningkatan kadar Hb) sebelum dan sesudah suplementasi, umur, status gizi, pola menstruasi, status kesehatan, Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS), pola konsumsi pangan, dan tingkat kepatuhan minum kapsul besi. 2. Analisis bivariat Analisis ini untuk mengetahui perbedaan dan hubungan antara dua variabel. Uji yang digunakan antara lain : •
Uji beda Mann-Whitney U untuk mengetahui perbedaan proporsi usia, status anemia awal, status anemia akhir, perubahan kadar Hb, status gizi, pola menstruasi, status kesehatan, PHBS, pola konsumsi pangan dan tingkat kepatuhan konsumsi kapsul besi antara siswi SMP dan SMK
•
Uji beda t berpasangan untuk mengetahui perbedaan kadar Hb seluruh contoh, siswi SMP, dan SMK sebelum dan sesudah suplementasi besi.
•
Uji McNemar untuk mengetahui perbedaan status anemia seluruh contoh, siswi SMP, dan SMK sebelum dan sesudah suplementasi.
•
Uji beda t tidak berpasangan untuk mengetahui perbedaan usia, IMT, berat dan tinggi badan antara siswi SMP dan SMK.
•
Uji korelasi Spearman untuk mengetahui hubungan variabel dependen yaitu perubahan status anemia dan peningkatan kadar Hb dengan variabel independen yaitu status anemia awal, usia, pola menstruasi, status gizi antropometri, status kesehatan, PHBS, pola konsumsi pangan, dan tingkat kepatuhan konsumsi kapsul besi.
•
Uji korelasi Pearson untuk mengetahui hubungan antara variabel rasio yaitu usia dan selisih kadar Hb
3. Analisis multivariat Analisis ini untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan status anemia dan peningkatan kadar Hb sebagai determinan keberhasilan program suplementasi besi pada siswa SMP dan SMK di Kota Bekasi. Uji statistik yang digunakan adalah regresi logistik.
Definisi Operasional Suplementasi adalah kegiatan pemberian kapsul besi kepada siswa putri SMP 7 dan SMK Teratai Putih Global 2 yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kota Bekasi dalam rangka pencegahan dan penanggulangan anemia gizi besi pada remaja putri. Kapsul besi adalah obat yang digunakan Dinas Kesehatan Kota Bekasi dalam program ini. Obat tersebut berbentuk kapsul dengan merk dagang diabion. Diabion mengandung 250 mg ferrous gluconate, 0.2 mg manganese sulphate, 0.2 mg copper sulphate, 50 mg vitamin C, 1 mg folid acid, 7.5 mg vitamin B12, dan 25 mg sorbitol per kapsul. Tablet yang umum digunakan untuk suplementasi Penanggulangan dan Pencegahan Anemia Gizi mengandung fero sulfat 200 mg atau setara 60 mg besi elemental dan 0,25 mg asam folat. Remaja putri adalah siswa putri usia antara 10-18 tahun yang berada dalam masa pertumbuhan dan ditandai dengan perubahan fisik dan mental. Perubahan fisik ditandai dengan berfungsinya alat reproduksi seperti menstruasi. Status gizi adalah keadaan kesehatan tubuh seseorang atau sekelompok orang yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan, dan penggunaan zat gizi makanan. Status gizi pada penelitian ini berdasarkan status gizi antropometri dan status anemia awal. Status gizi antropometri adalah pengukuran status gizi berdasarkan Indeks Massa Tubuh. Penentuan status gizi berdasarkan klasifikasi yang telah ditentukan Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat. Klasifikasi tersebut yaitu IMT<18.5 kg/m2 dikategorikan kurus, IMT 18.5-24.9 kg/m2 dikategorikan normal, IMT 25.0-26.9 kg/m2 dikategorikan risiko untuk gemuk, dan IMT ≥ 26.9 kg/m2 dikategorikan gemuk. Status anemia awal adalah keadaan yang menunujukkan status gizi besi contoh sebelum program suplementasi dengan kadar hemoglobin di bawah 12 g/dl. Status kesehatan adalah kondisi kesehatan seseorang yang diketahui berdasarkan riwayat penyakit yang pernah diderita (penyakit infeksi, tuberculosis dan malaria). Pola menstruasi adalah keadaan menstruasi contoh yang dilihat dari status, frekuensi menstruasi, pengeluaran darah selama menstruasi dan lama menstruasi. Status menstruasi adalah suatu kondisi yang digunakan untuk menggambarkan belum atau sudahnya contoh mengalami menstruasi.
Frekuensi menstruasi adalah jumlah menstruasi selama kurun waktu tertentu yang dibedakan menjadi tiga yaitu sering (sebulan 2 kali), normal (sebulan 1 kali), jarang (dua sampai tiga bulan 1 kali), dan sangat jarang (tak tentu) (Affandi 1990). Pengeluran darah mestruasi adalah jumlah volume darah yang dikeluarkan selama menstruasi yang ditentukan dengan menanyakan jumlah pembalut yang digunakan dalam satu hari saat menstruasi dan dibedakan menjadi normal (1 sampai 2 kali/hari), kurang normal (3 sampai 4 kali/hari), lebih dari normal (5 sampai 6 kali/hari), dan sangat tidak normal (>6 kali/hari) (Affandi 1990). Lama menstruasi adalah jumlah hari menstruasi dalam satu kali periode menstruasi yang dibedakan menjadi cepat (<3 hari/periode), normal (3-5 hari/periode), kurang normal (5-7 hari/periode), dan lama (>7 hari/periode) (Affandi 1990). Frekuensi konsumsi pangan adalah frekuensi konsumsi bahan makanan atau makanan jadi selama satu minggu. Perilaku hidup bersih dan sehat
adalah suatu perilaku untuk menjaga
kesehatan salah satu indikator yang digunakan adalah kebiasaan mencuci tangan. Kepatuhan adalah kemauan siswa putri untuk mengonsumsi kapsul besi multivitamin sesuai anjuran yang dibedakan menjadi 3 kategori yaitu jika tingkat kepatuhan ≥ 75 persen dikategorikan patuh, jika tingkat kepatuhan 50-74 persen dikategorikan kurang patuh, dan jika tingkat kepatuhan <50 persen dikategorikan tidak patuh (Dinkes Jawa Barat). Perubahan kadar hemoglobin adalah salah satu faktor yang menunjukkan keberhasilan program suplementasi yang dilihat dari selisih kadar Hb sebelum dan setelah suplementasi. Perubahan kadar Hb dibagi menjadi tiga yaitu meningkat, tetap, dan menurun. Perubahan status anemia adalah salah satu faktor yang menunjukkan keberhasilan program suplementasi yang dilihat dari perubahan status anemia sebelum dan setelah suplementasi. Perubahan status anemia dibagi menjadi empat yaitu perubahan dari status anemia menjadi tidak anemia, tetap anemia, tetap tidak anemia, dan tidak anemia menjadi anemia.
HASIL DAN PEMBAHASAN Perubahan Status Gizi Besi Prevalensi Anemia Anemia adalah suatu keadaan dengan kadar hemoglobin yang lebih rendah dari normal. Menurut WHO (2001), anak usia 11 sampai 14 tahun dan remaja putri di atas 15 tahun dikatakan anemia jika kadar hemoglobinnya <12 g/dl. Anemia sampai saat ini masih merupakan salah satu masalah kesehatan dengan prevalensi >5 persen. Berikut ini adalah tabel yang menyajikan
prevalensi
anemia
contoh
sebelum
dan
sesudah
program
suplementasi.
Grafik 1. Sebaran contoh berdasarkan status anemia sebelum dan sesudah suplementasi Grafik 1 menunjukkan bahwa prevalensi anemia contoh sebelum suplementasi sebesar 38.2 persen. Berdasarkan kadar hemoglobinnya, contoh berada pada tingkat anemia yang berbeda-beda yaitu 58.2 persen (89 orang) contoh menderita anemia tingkat ringan sekali, 40.5 persen (62 orang) contoh menderita anemia ringan, dan 1.3 persen (2 orang) contoh yang menderita anemia tingkat sedang. Hasil tersebut tidak jauh berbeda dari hasil penelitian Rantauwati (2004) yaitu sebesar 42.6 persen siswi SLTP menderita anemia. Data dari Dinas Kesehatan Kota Bekasi juga menyatakan prevalensi anemia pada remaja putri Indonesia sebesar 39.0 persen. Angka tersebut masih sangat
tinggi, mengingat bahwa suatu negara dikatakan bebas anemia jika prevalensi anemianya di bawah 5 persen (WHO 2001). Prevalensi anemia contoh sebelum suplementasi di masing-masing sekolah sebesar 34.5 persen di SMP dan 42 persen di SMK. Hasil uji beda Mann-Whitney U menunjukkan status anemia awal (sebelum suplementasi) antara siswi SMP dan SMK tidak berbeda nyata (p>0.1). Status anemia awal contoh mempunyai hubungan negatif yang cukup kuat dengan perubahan status anemia (p=0.000, r=-0.562) dan peningkatan kadar Hb (p=0.000, r=-0.517) yang ditunjukkan oleh hasil uji Spearman. Hal ini terjadi karena seseorang yang menderita anemia biasanya mempunyai kemampuan absorpsi zat besi lebih tinggi dibandingkan dengan yang tidak menderita anemia.
Oleh karena itu,
seseorang yang mempunyai kadar Hb lebih rendah jika diberi suplementasi akan lebih responsif untuk mengabsorpsi zat besi. Sebaliknya absorbsi akan berkurang pada seseorang yang kebutuhan zat besinya telah terpenuhi (kadar Hb normal). Hal ini terjadi untuk menjaga homeostatis zat besi dalam tubuh (Almatsier 2003). Menurut Depkes (1998), remaja putri lebih sering menderita anemia karena masih dalam masa pertumbuhan dan akan mengalami menstruasi setiap bulan sehingga kebutuhan zat besi meningkat pesat. Selain itu, pola makan yang salah juga sering dilakukan remaja putri yang ingin memiliki bentuk tubuh ideal sehingga memicu terjadinya anemia gizi. Salah satu upaya yang dilakukan Dinas Kesehatan Kota Bekasi untuk mencegah dan menanggulangi anemia gizi besi pada remaja putri adalah melalui pemberian suplementasi kepada siswi SMP dan SMK di Kota Bekasi. Prevalensi anemia contoh setelah diberikan suplementasi berupa kapsul besi juga ditunjukkan pada Tabel 4. Berdasarkan tabel tersebut diketahui bahwa prevalensi anemia contoh setelah suplementasi turun menjadi 34.8 persen dengan 69.0 persen (91 orang) contoh menderita anemia tingkat ringan sekali dan 31.0 persen (41 orang) contoh menderita anemia tingkat ringan. Prevalensi anemia contoh sesudah suplementasi di masing-masing sekolah sebesar 37.2 persen (SMP) dan 32.7 persen (SMK). Hasil uji beda Mann-Whitney U menunjukkan status anemia akhir (setelah suplementasi) antara siswi SMP dan SMK tidak berbeda nyata (p>0.1). Jika dibandingkan prevalensi anemia sebelum dan sesudah suplementasi seluruh contoh dan siswi SMK terlihat adanya penurunan prevalensi anemia
sebesar 3.4 persen dan 9.3 persen. Hasil yang berbeda ditunjukkan oleh siswi SMP yang menunjukkan adanya peningkatan prevalensi anemia sebesar 2.7 persen. Hasil ini tentu akan membuat keberhasilan program suplementasi semakin diragukan tetapi tidak semua program pemberian suplementasi zat besi selama 16 minggu mengalami hal yang serupa dengan penelitian ini. Uji eksperimental yang dilakukan Dillon (2005) menunjukkan penurunan prevalensi anemia dan kekurangan besi berturut-turut 22 persen (95% CI: 9-35) dan 12 persen (95% CI: 2-22). Hasil penelitian Briawan (2008) juga menunjukkan penurunan prevalensi anemia di antara 3 kelompok perlakuan yaitu dari 26.9, 32.8, dan 15.9 persen menjadi 19.4, 14.9, dan 11.6 persen. Peningkatan prevalensi anemia contoh di SMP diduga berhubungan dengan status menstruasi contoh. Siswi SMP pada awal suplementasi hanya 51.5 persen (103 orang) yang sudah menstruasi sedangkan 48.5 persen (97 orang) belum mengalami menstruasi. Selama program berlangsung terdapat 31.9 persen (31 orang) siswi SMP yang belum menstruasi menjadi menstruasi. Berdasarkan FAO/WHO 2001, remaja usia 11-14 tahun yang telah mengalami menstruasi membutuhkan zat besi lebih besar yaitu selain untuk menggantikan hilangnya basal, memenuhi kebutuhan yang meningkat (pertumbuhan fisik, perkembangan mental, atau intelektual), juga untuk mengganti kehilangan zat besi yang cukup besar melalui menstruasi. Pemberian kapsul besi pada program ini diduga belum dapat mencukupi kebutuhan tersebut sehingga belum dapat meningkatkan kadar Hb contoh. Penurunan dan peningkatan prevalensi anemia pada contoh terjadi karena adanya beberapa perubahan yaitu anemia menjadi tidak anemia, tetap anemia, tetap tidak anemia dan terdapat pula yang berubah dari tidak anemia menjadi anemia. Perubahan status anemia contoh setelah suplementasi disajikan pada tabel berikut. Tabel 4. Sebaran contoh berdasarkan perubahan status anemia Sekolah Perubahan SMP SMK Status Anemia n % N % Anemia - tidak anemia 30 32 16.4 16.3 Tetap anemia 34 18.6 49 25.0 Tetap tidak anemia 85 46.4 100 51.0 Tidak anemia-anemia 34 15 18.6 7.7 Total 183 100 196 100
Total n 62 83 185 49 379
% 16.3 22.0 48.8 12.9 100
Tabel 4 menunjukkan bahwa 22 persen dari total contoh tidak mengalami perubahan status yaitu tetap anemia dengan beberapa perubahan tingkatan anemia. Perubahan tersebut yaitu ringan sekali menjadi ringan (13.2%), tetap ringan sekali (37.3%), ringan menjadi ringan sekali (22.9%), tetap ringan (24.1%), sedang menjadi ringan (1.2%), dan sedang menjadi ringan sekali (1.2%). Walaupun tetap pada status anemia tetapi anemia tingkat sedang sudah tidak diderita oleh contoh. Sebesar 16.3 persen contoh mengalami perubahan dari anemia menjadi tidak anemia yaitu 66.1 persen contoh (41 orang) berubah dari anemia ringan sekali sedangkan sisanya 33.9 persen (21 orang) contoh berubah dari anemia ringan. Hasil uji beda Mann-Whitney U menunjukkan perubahan status anemia antara siswi SMP dan SMK tidak berbeda nyata (p>0.1). Terdapat dua status anemia contoh yaitu sebelum dan sesudah suplementasi. Untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan status anemia contoh sebelum dan sesudah suplementasi maka dilakukan uji McNemar. Hasil uji tersebut menunjukkan status anemia sebelum dan sesudah suplementasi seluruh contoh tidak berbeda nyata (p>0.1), hasil serupa juga ditunjukkan oleh siswi SMP. Siswi SMK menunjukkan hasil yang berbeda yaitu terdapat perbedaan yang nyata (p=0.019) antara status anemia sebelum dan sesudah suplementasi.
Hal
ini
dimungkinkan
terjadi
karena
hasil
sebelumnya
menunjukkan adanya penurunan prevalensi anemia pada siswi SMK yang cukup signifikan yaitu sebesar 9.3 persen. Perubahan Kadar Hemoglobin Indikator yang paling umum digunakan untuk mengetahui status anemia adalah pengukuran nilai hemoglobin darah (Almatsier 2003). Penelitian ini menggunakan metode Cyanmethemoglobin untuk mengukur kadar Hb karena metode ini dianggap paling teliti hingga saat ini. Hasil pengukuran terhadap kadar Hb sebelum dan sesudah suplementasi disajikan pada Tabel 5. Tabel 5. Sebaran contoh menurut kadar Hb sebelum dan sesudah suplementasi Sekolah Hemoglobin Total SMP SMK Sebelum Rata-rata 12.5 ± 1.5 12.3 ± 1.5 12.4 ± 1.5 Minimum-maksimum 8.2 - 16.0 7.2 - 15.8 7.2 - 16.0 Sesudah Rata-rata 12.2 ± 1.2 12.3 ± 1.0 12.3 ± 1.1 Minimum-maksimum 8.4 - 15.1 8.6 - 15.5 8.4 - 15.5 -1.3 ± 3.9 0.0 ± 1.3 0.1 ± 1.4 Selisih
Tabel 5 menunjukkan bahwa terjadi penurunan kadar Hb pada siswi SMP dengan rata-rata selisih sebesar -1.3 ± 3.9 g/dl. Selain itu, tabel di atas juga menunjukkan tidak ada perbedaan (0.0 ± 1.3 g/dl) antara rata-rata kadar Hb siswi SMK sebelum dan sesudah suplementasi dan terdapat sedikit perbedaan ratarata kadar Hb seluruh contoh yaitu sebesar 0.1 ± 1.4 g/dl. Hasil uji beda t berpasangan menunjukkan tidak adanya perbedaan yang bermakna (p>0.1) antara kadar Hb sebelum dan sesudah supementasi seluruh contoh dan siswi SMK. Hasil berbeda ditunjukkan oleh siswi SMP yang menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna (p=0.018) antara kadar Hb sebelum dan sesudah suplementasi. Hal ini diduga terjadi karena lebih dari separuh siswi SMP (57.9%) mengalami penurunan kadar Hb sesudah suplementasi. Hasil tersebut dapat dilihat Grafik 2 yang menyajikan sebaran contoh berdasarkan perubahan kadar Hb sesudah suplementasi.
Grafik 2. Sebaran contoh berdasarkan perubahan kadar Hb setelah suplementasi Grafik 2 menunjukkan lebih dari separuh total (51.4%) contoh mengalami penurunan kadar Hb tetapi yang mengalami peningkatan juga cukup banyak yaitu sebesar 46.0 persen dari total contoh. Siswi SMK lebih banyak yang mengalami peningkatan yaitu sebesar 52.0 persen sedangkan yang menurun hanya sebesar 45.4 persen. Berbeda dengan siswi SMK, siswi SMP yang kadar hemoglobinnya menurun cukup besar yaitu 57.9 persen sedangkan yang meningkat hanya 39.4 persen. Hasil penelitian Rantauwati (2004) terhadap siswi SMP di Kota
Tangerang menunjukkan hasil yang berkebalikan yaitu sebanyak 67.0 persen contoh mengalami peningkatan kadar Hb sedangkan 33.0 persen contoh mengalami penurunan kadar Hb. Hal ini diduga terjadi karena siswi SMP seluruhnya berusia usia 10-14 tahun dan selama program suplementasi 31.9 persen siswi yang belum menstruasi menjadi menstruasi sehingga membutuhkan zat besi lebih besar untuk meningkatkan kadar Hb dibandingkan remaja usia 15-17 tahun dan di atas 18 tahun (WHO/FAO 2001). Hasil uji beda MannWhitney menunjukkan adanya perbedaan perubahan kadar Hb yang bermakna (p=0.002) antara siswi SMP dan SMK.
Karakteristik Contoh Usia Remaja merupakan masa rentang antara masa anak-anak dan masa dewasa. Awal masa remaja ditandai dengan pertumbuhan yang cepat (growth spurt). Puncak pertumbuhan remaja putri terjadi pada usia sekitar 11.5 tahun (Krummel 1996). Menurut WHO masa remaja berlangsung antara usia 10 sampai 19 tahun (Cordeiro et al 2005). Masa remaja dibagi menjadi tiga periode yaitu early adolescence, middle adolescence, dan late adolescence. Awal masa remaja berlangsung dari usia 10-14 tahun, pertengahan masa remaja berlangsung antara usia 15-17 tahun, dan akhir masa remaja pada 18-21 tahun (Krummel 1996). Sebaran contoh menurut kategori usia remaja disajikan pada tabel berikut. Tabel 6. Sebaran contoh menurut usia Sekolah SMP SMK Usia n % n % 10-14 tahun 200 32 16.0 100 15-17 tahun 0 0 163 81.5 18-21 tahun 0 0 5 2.5 Total 200 100 200 100
Total n 232 163 5 400
% 58.0 40.8 1.2 100
Secara umum Tabel 6 menunjukkan bahwa lebih dari separuh contoh (58.0%) termasuk dalam periode remaja awal (10-14 tahun). Rata-rata seluruh contoh berusia 13.66 ± 1.9 tahun dengan rentang antara 10 sampai 18 tahun. Seluruh siswi SMP (100%) termasuk dalam periode remaja awal (10 sampai 14 tahun) dengan rata-rata usia 11.94 ± 0.7 tahun. Hal ini dimungkinkan terjadi karena semua contoh masih duduk di kelas 1 dan 2 SMP yang umumnya berada pada rentang usia tersebut. Siswi SMK yang dijadikan contoh juga berasal dari
kelas 1 dan 2 SMK sehingga sebagian besar (58.0%) siswi SMK berusia antara rentang 14 sampai 18 tahun (remaja tengah) dengan rata-rata usia 15.38±0.9 tahun. Dinas Kesehatan Kota Bekasi memilih siswi kelas 1 dan 2 (SMP dan SMK) sebagai sampel agar karena tidak ingin mengganggu siswi kelas 3 SMP yang sedang dalam persiapan ujian akhir dan kelas 3 SMK yang sedang praktik kerja lapang. Hasil uji beda t tidak berpasangan menunjukkan adanya perbedaan (p=0.000) usia yang nyata antara siswi SMP dan SMK. Uji korelasi Pearson menunjukkan adanya hubungan positif antara usia (p=0.011, r=0.131) dengan perubahan kadar Hb sebelum dan sesudah suplementasi. Hal ini berarti semakin besar usia contoh maka semakin besar perubahan (meningkat) kadar hemoglobinnya. Hasil ini terkait dengan hasil sebelumnya yang menunjukkan siswi SMK (usia lebih besar) lebih banyak yang mengalami
peningkatan
kadar Hb
(52.0%)
dibandingkan
dengan
yang
mengalami penurunan kadar Hb (45.4%) sedangkan pada siswi SMP (usia lebih kecil) sebaliknya. Status Gizi Antropometri Status gizi merupakan keadaan kesehatan tubuh seseorang atau sekelompok
orang
yang
diakibatkan
oleh
konsumsi,
penyerapan,
dan
penggunaan zat gizi makanan. Salah satu cara yang sering digunakan untuk mengukur status gizi dan kesehatan remaja adalah antropometri. Pengukuran antropometri yang umum dilakukan untuk penilaian status gizi bagi remaja adalah pengukuran berat badan dan tinggi badan. Pengukuran paling reliable untuk menentukan status gizi pada masa remaja saat ini adalah Indeks Massa Tubuh (IMT). Indeks Massa Tubuh diperoleh dari hasil pembagian berat badan dalam satuan kilogram dengan kuadrat tinggi badan dalam satuan meter kuadrat (Riyadi 2001). Menurut Krummel (1996), awal masa remaja ditandai oleh pertumbuhan yang cepat pada berat dan tinggi badan
atau dikenal dengan istilah growth
spurt. Tinggi badan dewasa dicapai pada saat remaja selama growth spurt. Puncak pertambahan berat dan tinggi badan remaja putri terjadi pada usia sekitar 11.5 tahun dengan pertumbuhan rata-rata 8.3 cm/tahun dan kenaikan berat badan mencapai 50.0 persen berat badan ideal dewasa. Hasil pengukuran terhadap berat dan tinggi badan contoh menunjukkan bahwa rata-rata IMT, berat dan tinggi badan siswi SMP adalah 19.25 ± 3.3, 39.4 ± 9.2 kg dan 146.4 ± 0.07
cm (Tabel 9). Hasil uji beda t tidak berpasangan menunjukkan adanya perbedaan IMT, berat dan tinggi badan yang nyata (p=0.000) antara siswi SMP dan SMK. Penentuan status gizi berdasarkan klasifikasi yang telah ditentukan Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat. Klasifikasi tersebut yaitu IMT<18.5 dikategorikan kurus, IMT 18.5-24.9 dikategorikan normal, IMT 25.0-26.9 dikategorikan risiko untuk gemuk, dan IMT ≥ 26.9 dikategorikan gemuk. Status gizi contoh berdasarkan Indeks Massa Tubuh disajikan pada Tabel 7. Tabel 7. Sebaran contoh berdasarkan status gizi antropometri Status Gizi Antropometri Kurus Normal Risiko untuk gemuk Gemuk Total Rata-rata IMT (kg/m2) Rata-rata berat badan (kg) Rata-rata tinggi badan (cm)
Sekolah SMP
SMK
n % 131 65.5 62 31.0 3 1.5 4 2.0 200 100 18.2 ± 3.2 39.4 ± 9.2 146.4 ± 0.07
N % 61 30.5 127 63.5 7 3.5 5 2.5 200 100 20.2 ± 3.0 47.3 ± 81 152.7 ± 0.05
Total N % 192 48.0 189 47.2 10 2.5 9 2.3 400 100 19.25 ± 3.3 43.4 ± 9.5 149.6 ± 0.07
Tabel 7 menunjukkan bahwa hampir separuh contoh (48.0%) berstatus gizi kurus. Terdapat perbedaan antara status gizi siswi SMP dan SMK, lebih dari separuh siswi SMP dan SMK berstatus gizi kurus (65.5%) dan normal (63.5%). Hasil uji beda Mann-Whitney U menunjukkan adanya perbedaan status gizi yang bermakna antara siswi SMP dan siswi SMK (p=0.000). Status gizi merupakan salah satu faktor penting untuk menetapkan diagnosis anemia (Soemantri 1978 diacu dalam Leginem 2002). Hasil uji korelasi Spearman pada penelitian menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna (p>0.1) antara status gizi antropometri dengan keberhasilan program suplementasi (perubahan status anemia dan peningkatan kadar Hb). Hasil serupa ditunjukkan oleh Thoha (2006) yang menunjukkan tidak ada hubungan yang nyata (p>0.05) antara status gizi dan status anemia. Selain itu menurut Briawan (2008), Indeks Massa Tubuh (IMT) tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap efikasi indikator status besi yaitu Hb, Serum Transferin Reseptor (STfR), dan Serum Feritin (SF). Status Kesehatan Status kesehatan yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah kondisi kesehatan seseorang yang diketahui melalui riwayat penyakit yang pernah diderita (penyakit infeksi, tuberculosis dan malaria). Hal ini terkait dengan
penyebab langsung terjadinya anemia gizi besi tidak hanya karena kurangnya asupan zat besi dalam makanan, tetapi juga karena pendarahan kronis akibat mengidap penyakit tuberculosis atau kehilangan darah akibat infeksi parasit (malaria dan kecacingan) (Depkes 1998). Tabel 8 menunjukkan sebaran contoh berdasarkan status kesehatan. Tabel 8. Sebaran contoh berdasarkan status kesehatan. Sekolah Status Kesehatan SMP SMK n % n % TBC Ya 0 0 0 0 Tidak 200 200 100 100 Total 200 100 200 100 Malaria Ya 2 1.0 0 0 Tidak 198 200 99.0 100 Total 200 100 200 100 Kecacingan Ya 1 0.5 0 0 Tidak 199 200 99.5 100 Total 200 100 200 100
Total n
%
0 400 400
0 100 100
2 398 400
0.5 99.5 100
1 399 400
0.2 99.8 100
Berdasarkan Tabel 8 dapat diketahui bahwa hampir seluruh contoh tidak mempunyai riwayat penyakit tuberculosis (100%), malaria (99.5%) dan kecacingan (99.8%). Bahkan seluruh (100%) siswi SMK tidak pernah mempunyai riwayat penyakit yang berhubungan dengan anemia tersebut. Siswi SMP hanya dua orang (1.0%) yang pernah mengidap penyakit malaria dan satu orang (0.5%) yang pernah menderita kecacingan. Hampir seluruh contoh tidak pernah mempunyai riwayat penyakit yang behubungan dengan anemia maka hasil uji beda Mann-Whitney U menunjukkan tidak ada perbedaan riwayat penyakit tuberculosis, malaria dan kecacingan (p>0.1) antara siswi SMP dan siswi SMK. Hasil analisis bivariat dengan menggunakan uji korelasi Spearman menunjukkan tidak ada hubungan yang bermakna (p>0.1) antara keberhasilan program suplementasi (peningkatan kadar Hb dan perubahan status anemia) dengan ketiga riwayat penyakit yang berkaitan dengan anemia (tuberculosis, malaria dan kecacingan). Hasil yang berbeda ditunjukkan oleh Lestari (1996), penelitiannya terhadap remaja putri SMU di Kabupaten Bandung menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara kecacingan dengan kejadian anemia gizi dan adanya faktor rIsiko atau kemungkinan anemia sebesar 4.47 kali dibandingkan responden yang tidak terinvestasi cacing (OR= 4.47; 95% CI:2.17-
9.19). Penelitian ini memberikan hasil yang berbeda diduga karena persentase contoh yang mempunyai riwayat penyakit tersebut relatif sangat kecil sehingga variasi data penelitian ini juga relatif kecil. Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) adalah suatu upaya untuk membantu masyarakat mengenali dan mengetahui masalahnya sendiri, dalam tatanan rumah tangga, agar dapat menerapkan cara-cara hidup sehat dalam rangka menjaga, memelihara dan meningkatkan kesehatannya (Depkes 2006). Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat memasukkan salah satu indikator PHBS yaitu
kebiasaan
mencuci
tangan
dalam
kuesionernya,
terkait
dengan
kemungkinan terjadinya investasi kecacingan dan diare akibat tangan yang kotor ketika mengonsumsi makanan. Tabel 9 menyajikan sebaran contoh berdasarkan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS). Berdasarkan tabel tersebut dapat diketahui bahwa hampir separuh (48.8%) contoh mempunyai kebiasaan mencuci tangan dengan tidak menggunakan sabun. Tabel 9 juga memperlihatkan kebiasaan mencuci tangan yang berbeda pada setiap siswi di masing-masing sekolah. Lebih dari separuh (51.0%) siswi SMK mempunyai kebiasaan mencuci tangan dengan tidak menggunakan sabun sedangkan hampir separuh (47.0%) siswi SMP mempunyai kebiasaan mencuci tangan dengan menggunakan sabun. Hasil uji beda MannWhitney menunjukkan adanya perbedaan kebiasaan mencuci tangan yang bermakna (p=0.038) antara siswi SMP dan siswi SMK. Tabel 9. Sebaran contoh berdasarkan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) Sekolah PHBS Tidak mencuci tangan Mencuci tangan tidak dengan sabun Mencuci tangan dengan sabun Total
SMP n 13 93 94 200
% 6.5 46.5 47.0 100
SMK n 22 102 76 200
% 11.0 51.0 38.0 100
Total n 35 195 170 400
% 8.8 48.8 42.4 100
Uji korelasi Spearman menunjukkan adanya hubungan positif (p=0.064, r=0.095) antara peningkatan kadar Hb (keberhasilan program suplementasi) dengan kebiasaan mencuci tangan contoh. Hubungan positif ini diduga karena semakin contoh menjaga kebersihan tangannya maka kemungkinan contoh menderita kecacingan dan diare saat pemberian suplementasi besi sangat kecil.
Semakin kecil kemungkinan contoh menderita kecacingan maka akan memperkecil resiko pengeluaran darah yang berlebihan sehingga peningkatan konsentrasi Hb dapat terjadi. Selain itu, dengan menjaga kebersihan tangan dapat menghindari terjadinya diare karena penyebab utama diare adalah rendahnya perilaku hidup bersih dan sehat di masyarakat. Salah satunya karena pemahaman mengenai cara mencuci tangan dengan sabun secara baik dan benar menggunakan air bersih mengalir. Berdasarkan kajian WHO, mencuci tangan dengan sabun dapat mengurangi angka diare hingga 47.0 persen (Anonim 2007). Diare dapat memperkecil penyerapan zat gizi dalam usus termasuk zat besi karena diare dapat mempersingkat waktu singgah makanan di dalam usus. Hal ini diduga akan mempengaruhi keseimbangan zat besi dalam tubuh dan menghambat terjadinya peningkatan kadar Hb. Pola Menstruasi Menstruasi atau haid merupakan merupakan perdarahan secara periodik dan siklik dari uterus, disertai pelepasan (deskuamasi) endometrium. Menstruasi merupakan ciri khas kematangan biologik seorang wanita. Pola
menstruasi
terbentuk dalam kurun waktu 4-6 tahun sejak usia menstruasi pertama. Pola menstruasi dapat dilihat dari siklus menstruasi, lama menstruasi, dan frekuensi menstruasi (Affandi 1990). Status Menstuasi Status menstruasi dimaksudkan untuk mengetahui jumlah contoh yang sudah dan belum mengalami menstruasi. Remaja putri yang sudah mendapatkan menstruasi pada umumnya akan kehilangan zat besi sebesar 0.48 mg/hari (FAO/WHO 2001). Jika darah yang keluar saat menstruasi cukup banyak, berarti jumlah zat besi yang hilang dari tubuh juga cukup besar. Hal ini yang mengakibatkan seorang remaja putri lebih mudah terkena anemia gizi besi. Tabel 10 menyajikan sebaran contoh berdasarkan status menstruasi. Tabel 10. Sebaran contoh berdasarkan status menstuasi Sekolah SMP SMK Status Menstruasi n % n % Belum 97 1 0.5 48.5 Sudah 103 51.5 199 99.5 Total 200 100 200 100
Total N 98 302 400
% 24.5 75.5 100
Berdasarkan Tabel 10 dapat diketahui bahwa sebagian besar contoh (75.5%) sudah mengalami menstruasi. Tetapi proporsi status menstruasi antara siswi SMP dan SMK sangat jauh berbeda. Siswi SMP hampir separuhnya
(48.5%) belum mengalami menstruasi sedangkan siswi SMK hampir seluruhnya (99.5%)
sudah
mengalami
menstruasi.
Hasil
uji
beda
Mann-Whitney
menunjukkan adanya perbedaan status menstruasi yang bermakna (p=0.000) antara siswi SMP dan siswi SMK. Hampir separuh (48.5%) siswi SMP belum mengalami menstruasi. Hal ini dimungkinkan terjadi karena rata-rata siswi SMP berusia 11.94 tahun dengan selang antara 10-14 tahun. Menurut Pearce (1992), wanita mendapat menstruasi pertama kali (menarche) umumnya pada usia antara 10-14 tahun tetapi rata-rata usia menarche adalah 12.5 tahun. Hal ini bergantung dari kesehatan wanita, konsumsi zat gizi dan status gizinya. Hasil penelitian Ginarhayu (2002) menunjukkan faktor yang paling dominan terhadap usia menarche adalah IMT (status gizi antropometri). Semakin tinggi IMT maka semakin cepat contoh mengalami menarche. Lebih dari separuh siswi SMP berstatus gizi kurus (65.5%), hal ini diduga juga sebagai banyak yang belum menstruasi. Analisis
bivariat
dengan
menggunakan
uji
korelasi
Spearman
menunjukkan adanya hubungan negatif (p=0.034, r=-0.109) antara status menstruasi contoh dengan peningkatan kadar Hb (keberhasilan program suplementasi). Hasil ini menunjukkan bahwa semakin belum mengalami menstruasi maka akan semakin besar peningkatan kadar Hb contoh. Hal ini dimungkinkan terjadi karena saat menstruasi terjadi pengeluaran darah dari dalam tubuh yang menyebabkan zat besi yang terkandung dalam hemoglobin juga ikut terbuang sehingga kebutuhan zat besi meningkat. Frekuensi Menstruasi Frekuensi menstruasi adalah jumlah menstruasi selama kurun waktu tertentu. Menurut Affandi (1990), panjang siklus haid yang normal adalah 28 hari. Oleh karena itu, frekuensi menstruasi contoh dibedakan menjadi tiga yaitu sering (sebulan 2 kali), normal (sebulan 1 kali), jarang (dua sampai tiga bulan 1 kali), dan sangat jarang (tak tentu). Sebaran contoh berdasarkan frekuensi menstruasi disajikan pada Tabel 11. Tabel 11. Sebaran contoh berdasarkan frekuensi menstruasi Sekolah Frekuensi Menstruasi SMP SMK n % n Sering 3 2.9 6 Normal 94.1 97 181 Jarang 1 1.0 9 Sangat jarang 2 2.0 3 Total 103 100 199
Total % 3.0 91.0 4.5 1.5 100
N 9 278 10 5 302
% 3.0 92.0 3.3 1.7 100
Tabel 11 menunjukkan bahwa frekuensi menstruasi sebagian besar contoh (92.0%) adalah normal (sebulan 1 kali). Proporsi yang sama ditunjukkan oleh siswi di masing-masing sekolah yaitu sebagian besar siswi SMP (94.0%) dan siswi SMK (91.0%) mempunyai frekuensi menstruasi normal. Hasil uji beda Mann-Whitney menunjukkan tidak ada perbedaan frekuensi menstruasi yang bermakna (p>0.1) antara siswi SMP dan siswi SMK. Hasil penelitian Leginem (2002) menunjukkan tidak ada hubungan bermakna antara frekuensi haid dan status anemia (p=1.000) dengan nilai OR sebesar 1.265 (95% CI:0,154-10,384) yang berarti contoh dengan frekuensi haid sebulan 2 kali mempunyai kecenderungan untuk menderita anemia 1.3 kali dibandingkan dengan mereka yang frekuensi haidnya sebulan sekali. Uji korelasi Spearman pada penelitian ini menunjukkan tidak ada hubungan yang bermakna (p>0.1) antara frekuensi menstuasi contoh dengan peningkatan kadar Hb dan perubahan status anemia (keberhasilan program suplementasi). Hal ini dimungkinkan terjadi karena sebagian besar contoh (92.0%) mempunyai frekuensi menstuasi yang normal sehingga data pada penelitian ini kurang bervariasi. Hasil ini menunjukkan bahwa frekuensi menstruasi belum dapat digunakan untuk menggambarkan volume darah yang terbuang selama menstruasi. Pengeluaran Darah Selama Menstruasi Pengeluaran darah menstruasi adalah jumlah darah yang dikeluarkan selama menstruasi yang ditentukan dengan menanyakan jumlah pembalut yang digunakan dalam satu hari selama menstruasi. Menurut Affandi (1990), jumlah darah yang keluar rata-rata 33.2±16cc/periode atau pada penelitian Nurjunaida (2004) disamakan dengan berganti pembalut sebanyak 1-2 kali/hari. Oleh karena itu, pengeluaran darah selama menstruasi contoh
dibedakan menjadi empat
yaitu normal (1-2 kali/hari), kurang normal (3-4 kali/hari), lebih dari normal (5-6 kali/hari) dan sangat tidak normal (>6 kali/hari). Sebaran contoh berdasarkan pengeluaran darah menstruasi disajikan pada Tabel 12. Tabel 12. Sebaran contoh berdasarkan pengeluaran darah menstruasi Sekolah Banyaknya SMP SMK Menstruasi n % n % Normal 47 45.6 94 47.2 Kurang normal 49 103 47.6 51.8 Lebih dari normal 6 5.8 2 1.0 Sangat tidak normal 1 1.0 0 0 Total 103 100 199 100
Total N 141 152 8 1 302
% 46.7 50.3 2.7 0.3 100
Berdasarkan Tabel 12 dapat diketahui bahwa sebagian besar contoh (50.3%) berganti pembalut sebanyak 3-4 kali dalam satu hari selama menstruasi. Proporsi yang sama ditunjukkan oleh siswi di masing-masing sekolah yaitu kurang lebih separuh
siswi SMP (47.6%) dan siswi SMK (51.8%) berganti
pembalut sebanyak 1-2 dalam satu hari selama menstruasi. Hasil uji beda MannWhitney menunjukkan tidak ada perbedaan pengeluaran darah menstruasi (p>0.1) antara siswi SMP dan siswi SMK. Uji korelasi Spearman pada penelitian ini menunjukkan tidak ada hubungan yang bermakna (p>0.1) antara pengeluaran darah selama menstruasi contoh
dengan
peningkatan
kadar
Hb
dan
perubahan
status
anemia
(keberhasilan program suplementasi). Hasil penelitian Nurjunaida (2004) juga menunjukkan tidak ada hubungan bermakna antara banyaknya menstruasi dengan kenaikan kadar Hb contoh. Hal ini diduga karena banyaknya menstruasi dinilai dari jumlah pembalut yang jenis dan daya serap pembalut disamaratakan dan tidak dapat mengukur secara tepat jumlah darah menstruasi sehingga tidak dapat secara tepat diketahui seberapa banyak kehilangan zat besi melalui menstruasi
pada
setiap
contoh.
Menurut
Affandi
(1990),
pengukuran
pengeluaran darah menstruasi dengan menggunakan jumlah pembalut masih dipengaruhi faktor subjektif karena setiap wanita mempunyai kebutuhan pembalut yang berbeda saat menstruasi. Lama Menstruasi Lama menstruasi adalah jumlah hari menstruasi dalam satu kali periode menstruasi. Menurut sebagian besar peneliti lama menstruasi normal rata-rata 35 hari (Affandi 1990). Oleh karena itu, lama menstruasi pada penelitian ini dibedakan menjadi empat
yaitu cepat (<3 hari/periode), normal (3-5
hari/periode), kurang normal (5-7 hari/periode) dan lama (>7 hari/periode). Berikut ini adalah tabel yang menunjukkan sebaran contoh berdasarkan lamanya menstruasi. Tabel 13. Sebaran contoh berdasarkan lamanya menstruasi Sekolah Lamanya SMP SMK Menstruasi n % n % Cepat 1 1.0 1 0.5 Normal 16 15.5 46 23.1 Kurang normal 77 126 74.8 63.3 Lama 9 8.7 26 13.1 Total 103 100 199 100
Total N 2 62 203 35 302
% 0.7 20.5 67.2 11.6 100
Lama menstruasi pada setiap wanita biasanya tetap (Affandi 1990). Tabel 13 menunjukkan bahwa lebih dari separuh (67.2%) contoh mempunyai lama menstruasi yang kurang normal yaitu 5-7 hari/periode. Proporsi yang sama ditunjukkan oleh siswi di masing-masing sekolah yaitu lebih dari separuh siswi SMP (74.8%) dan siswi SMK (63.3%) mempunyai lama menstruasi yang kurang normal. Hasil uji beda Mann-Whitney mempertegas tidak ada perbedaan lama menstruasi yang bermakna (p>0.1) antara siswi SMP dan siswi SMK. Hasil analisis bivariat dengan menggunakan uji korelasi Spearman menunjukkan tidak ada hubungan yang bermakna (p>0.1) antara keberhasilan program suplementasi (peningkatan kadar Hb dan perubahan status anemia) dengan lamanya menstruasi. Lama menstruasi yang perlu dikhawatirkan adalah jika menstruasi terjadi lebih dari lima hari dan dalam jumlah yang banyak karena akan menyebabkan kehilangan zat besi lebih banyak (Utamadi 2002 diacu dalam Hulu 2004). Kondisi seperti ini yang menyebabkan remaja putri lebih rentan terkena anemia gizi besi. Hasil penelitian Leginem (2002) menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara lamanya menstruasi dan status anemia (p=0,807). Hasil ini menunjukkan bahwa lama menstruasi belum dapat digunakan untuk menggambarkan volume darah yang terbuang selama menstruasi karena yang mempengaruhi status anemia dan kadar Hb adalah jumlah volume darah yang dikeluarkan saat menstruasi. Kepatuhan Konsumsi Kapsul Dinas Kesehatan Kota Bekasi melaksanakan program suplementasi besi pada bulan Agustus tahun 2007. Program ini dilakukan untuk mencegah dan menanggulangi anemia gizi besi pada remaja putri dengan sasaran siswa putri SMP dan SMK. Program ini dilaksanakan selama 4 bulan karena berdasarkan hasil dari beberapa penelitian diketahui bahwa pemberian suplementasi yang efektif dan memberikan hasil yang optimal adalah setelah intervensi selama ± 3 bulan (Depkes 1998). Kapsul besi yang digunakan dalam program ini adalah adalah diabion. Kapsul ini diberikan setiap bulan sebanyak 13 kapsul (sudah menstruasi) dan 4 kapsul (belum menstruasi). Hal ini sesuai dengan anjuran Depkes (1998) yaitu seorang remaja putri dianjurkan mengonsumsi satu tablet setiap minggu dan satu tablet setiap hari pada masa haid (±10 hari) agar terhindar dari anemia. Total kapsul yang seharusnya dikonsumsi contoh selama suplementasi adalah sebanyak 52 kapsul (sudah menstruasi) dan 16 kapsul (belum
menstruasi) tetapi selama program berlangsung terdapat contoh yang belum menstruasi menjadi menstruasi (31.6%) dan yang sudah menstruasi mempunyai frekuensi tidak teratur. Hal tersebut menyebabkan total kapsul yang dikonsumsi berbeda-beda
disesuaikan
dengan
kondisi
menstruasi.
Sebaran
contoh
berdasarkan total kapsul yang seharusnya dikonsumsi disajikan pada Tabel 14. Tabel 14. Sebaran contoh berdasarkan total kapsul yang seharusnya dikonsumsi Sekolah Total Total Kapsul SMP SMK n % N % N % 89 48.6 191 97.5 280 52 (Menstruasi teratur) 73.9 42 (Menstruasi bulan ke-2) 5 2.7 4 2.0 9 2.4 6 3.3 1 0.5 7 33 (Menstruasi bulan ke-3) 1.8 25 (Menstruasi bulan ke-4) 16 8.8 0 0 16 4.2 67 36.6 0 0 67 16 (Belum menstruasi ) 17.7 183 100 196 100 379 100 Total Data kepatuhan konsumsi kapsul diperoleh melalui kartu monitoring konsumsi kapsul besi (Lampiran 5) yang diberikan puskesmas kepada contoh sejak pertama kali pemberian kapsul. Rata-rata jumlah kapsul yang dikonsumsi seluruh contoh sebanyak 36 kapsul dengan rata-rata masing sekolah adalah 30 kapsul (SMP) dan 42 kapsul (SMK). Perbedaan rata-rata jumlah kapsul yang dikonsumsi siswi SMP dan SMK cukup besar karena siswi SMP cukup banyak yang belum menstruasi sehingga total kapsul yang harus diminum juga lebih sedikit (hanya 16 kapsul). Tingkat kepatuhan diperoleh dari total kapsul yang dikonsumsi contoh dibagi dengan total kapsul yang seharusnya dikonsumsi selama suplementasi lalu dikalikan 100 persen. Tingkat kepatuhan kapsul oleh Dinkes Provinsi Jawa Barat dibedakan menjadi 3 kategori dalam pengolahannya yaitu patuh (≥ 75%), kurang patuh (50-74%), tidak patuh (<50%). Berdasarkan hasil perhitungan, ratarata kepatuhan seluruh contoh sebesar 84.9 persen dengan selang antara 46100 persen. Tabel 13 menyajikan sebaran contoh berdasarkan tingkat kepatuhan konsumsi kapsul. Tabel 15. Sebaran contoh berdasarkan tingkat kepatuhan konsumsi kapsul Sekolah Total Tingkat Kepatuhan SMP SMK n % n % N % Patuh 149 150 299 81.4 76.5 79.0 Kurang patuh 34 18.6 45 23.0 179 20.8 Tidak patuh 0 0 1 0.5 1 0.2 Total 183 100 196 100 379 100
Tabel 15 menunjukkan bahwa sebagian besar contoh (79.0%) patuh dalam mengonsumsi kapsul selama suplementasi berlangsung. Kepatuhan di masing-masing sekolah, sebagian besar juga termasuk kategori patuh yaitu 81.4 persen (SMP) dan 76.5 persen (SMK). Hasil uji beda Mann-Whitney menunjukkan tidak ada perbedaan tingkat kepatuhan yang bermakna (p>0.1) antara siswi SMP dan siswi SMK. Tingginya tingkat kepatuhan contoh dalam mengonsumsi kapsul diduga karena hampir tidak ada efek samping yang dirasakan contoh ketika mengonsumsi kapsul besi tersebut, hanya empat orang yang menyatakan mual setelah meminum kapsul. Beberapa literatur menyebutkan bahwa pemberian tablet besi dapat berpengaruh terhadap sistem gastrointestinal seseorang, seperti kembung, mual, muntah, konstipasi dan diare. Efek samping tersebut dapat dicegah dengan meminum tablet besi setelah makan pada malam hari. Mengkonsumsi tablet besi bersamaan dengan makanan akan ditoleransi lebih baik dibandingkan jika dikonsumsi dalam keadaan perut kosong, walaupun yang diserap menjadi berkurang (Cook et al 1996 diacu dalam Rantauwati 2004). Selain itu, tingginya tingkat kepatuhan contoh dalam mengonsumsi kapsul dapat juga karena adanya perbedaan dalam menentukan standar kepatuhan. Penelitian ini menggunakan standar yang telah ditetapkan Dinkes Provinsi Jawa Barat yaitu ≥75 persen dikategorikan patuh, penelitian lain ada yang menggunakan standar ≥80 persen baru dikategorikan patuh. Jika menggunakan standar 80 persen, maka dari seluruh contoh hanya 67.3 persen yang dikategorikan patuh. Beberapa literatur menyebutkan, salah satu faktor yang membuat keberhasilan
suplementasi
diragukan
adalah
karena
rendahnya
tingkat
kepatuhan konsumsi kapsul (compliance). Uji korelasi Spearman menunjukkan tidak ada hubungan yang bermakna (p>0.1) antara keberhasilan program suplementasi (peningkatan kadar Hb dan perubahan status anemia) dengan tingkat kepatuhan konsumsi kapsul. Pola Konsumsi Pangan Anemia kekurangan zat besi terjadi karena pola konsumsi makanan masyarakat Indonesia yang masih didominasi sayuran (pangan nabati), sebagai sumber zat besi yang sulit diserap (non-heme iron). Sedangkan daging dan bahan pangan hewani lainya yang diketahui sebagai sumber zat besi yang baik
(heme iron), jarang dikonsumsi terutama oleh masyarakat pedesaan (Depkes 1998). Pola konsumsi pangan adalah susunan jenis dan jumlah pangan yang dikonsumsi seseorang atau kelompok orang pada waktu tertentu (Madanijah 2004). Penilaian konsumsi pangan dapat dilakukan secara kualitatif maupun kuantitatif. Salah satu pengukuran konsumsi makanan yang bersifat kualitatif adalah FFQ. Metode ini untuk mengetahui frekuensi makan, frekuensi konsumsi menurut jenis bahan makanan dan menggali informasi tentang kebiasaan makan (Supariasa 2001). Penentuan pola konsumsi pangan pada penelitian ini menggunakan food frequency questionnaires. FFQ mempunyai dua komponen utama yaitu daftar bahan pangan dan frekuensi penggunaan pangan. Data frekuensi konsumsi pangan yang digunakan adalah FFQ dalam satu minggu. FFQ selanjutnya dibedakan menjadi empat yaitu jarang (< 3 kali/minggu), kadang-kadang (3-6 kali/minggu), sering (setiap hari) dan tidak pernah (0 kali/minggu). Berikut ini akan dibahas frekuensi konsumsi pangan hewani, nabati, sayuran, buah-buahan, minuman dan suplemen contoh. Frekuensi Konsumsi Pangan Hewani Zat besi dalam makanan ada yang berbentuk zat besi heme (heme iron) atau zat besi bukan heme (non-heme iron). Zat
besi berbentuk besi heme
terdapat dalam pangan hewani dan zat besi bukan heme terdapat dalam pangan nabati. Sumber besi dari hewani mempunyai bioavailability yang lebih tinggi dibandingkan sumber nabati, khususnya hati, daging, ayam, dan ikan (Soekirman 2000). Berdasarkan hasil analisis deskriptif terhadap frekuensi konsumsi pangan hewani (Lampiran 4) diketahui bahwa contoh jarang atau bahkan tidak pernah mengonsumsi pangan hewani (sumber zat besi heme). Hal ini perlu menjadi perhatian khusus bagi orang tua terutama ibu yang mengatur menu makanan di rumah. Pangan hewani banyak mengandung zat besi heme. Walaupun besi heme hanya bagian kecil dari besi yang diperoleh dari makanan (± 5% dari besi total makanan) tetapi yang dapat diabsorpsi dari besi heme dapat mencapai 25 persen sedangkan nonheme hanya 5 persen (Almatsier 2003). Selain itu menurut Wirakusumah (1999), zat besi heme yang terdapat dalam pangan hewani (Meat, Fish, Poultry) juga dapat membantu penyerapan nonheme dari makanan lain yang dikonsumsi bersamanya.
zat besi
Rendahnya konsumsi pangan hewani akan memicu terjadinya anemia pada remaja putri. Tidak terjadinya perubahan status anemia dan peningkatan kadar Hb pada program suplementasi ini juga dapat disebabkan oleh rendahnya konsumsi pangan hewani contoh. Hal ini mengingat kebutuhan zat besi remaja putri cukup tinggi, selain untuk menggantikan kehilangan basal, juga untuk memenuhi kebutuhan yang meningkat (pertumbuhan fisik, perkembagan mental, atau intelektual) dan kehilangan besi yang cukup besar dari menstruasi. Tiga pangan hewani yang sering (setiap hari) dikonsumsi contoh adalah telur, ikan segar, dan daging ayam. Menurut Wirakusumah (1999), ikan dan daging merupakan pangan hewani yang dapat membantu penyerapan zat besi nonheme atau lebih dikenal dengan MFP (Meat, Fish, Poultry). Hasil uji beda menunjukkan bahwa terdapat perbedaan frekuensi konsumsi ikan asin (p=0.026) dan daging sapi (p=0.022) yang bermakna antara siswi SMP dan SMK. Sebagian besar siswi SMP dan SMP tidak pernah mengonsumsi pangan sumber heme tersebut. Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan adanya dua jenis pangan hewani yang mempunyai hubungan bermakna dengan keberhasilan program suplementasi (peningkatan kadar Hb) yaitu daging sapi (p= 0.059, r=0.097) dan telur ayam (p=0.052, r= -0.1). Kandungan zat besi pada daging sapi dan telur ayam tidak berbeda jauh yaitu 2.8 mg dan 2.7 mg tetapi hasil uji korelasi menunjukkan hubungan yang berbeda. Daging sapi menunjukkan adanya hubungan positif sebesar 0.097 diduga terjadi karena daging sapi merupakan salah satu faktor MFP sehingga dapat meningkatkan penyerapan zat besi. Telur ayam menunjukkan adanya hubungan negatif sebesar 0.1 diduga karena di dalam kuning telur terdapat posfitin (fosfoprotein) yang dapat menghambat penyerapan zat besi nonheme. Frekuensi Konsumsi Pangan Nabati Zat besi nonheme umumnya terdapat pada pangan nabati, seperti bijibijian, sayur-sayuran, kacang-kacangan dan buah-buahan. Dinas Kesehatan Kota Bekasi hanya menyebutkan tiga pangan yang dikategorikan ke dalam pangan nabati yaitu tempe, tahu dan kacang-kacangan. Berdasarkan hasil analisis deskriptif terhadap frekuensi konsumsi pangan nabati (Lampiran 5) diketahui bahwa pangan yang sering dikonsumsi contoh adalah tempe yaitu sebesar 13 persen pada siswi SMP dan 24 persen pada siswi SMK. Hasil uji beda menunjukkan terdapat perbedaan frekuensi konsumsi tempe
(p=0.034), tahu (p=0.083) dan kacang-kacangan (p=0.050) antara siswi SMP dan SMK. Menurut Wirakusumah (1999), penyerapan zat besi nonheme yang terdapat dalam pangan nabati termasuk rendah (hanya 5%) dan sangat bergantung pada jenis makanan lain atau menu yang bervariasi. Penyerapan zat besi nonheme sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor penghambat (inhibitors) ataupun pendorong (enchancers). Asam askorbat (vitamin C) dan MFP adalah faktor utama yang mendorong penyerapan zat besi nonheme. Oleh karena itu, untuk meningkatkan penyerapan zat besi nonheme perlu diperhatikan kombinasi makanan sehari-hari terutama bagi remaja putri yang menderita anemia. Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan tidak ada hubungan yang bermakna antara ketiga jenis pangan nabati dengan keberhasilan program suplementasi (peningkatan kadar Hb dan perubahan status anemia). Frekuensi Konsumsi Sayuran Sayuran merupakan pangan yang mempunyai kandungan air tinggi. Selain itu, sayuran mempunyai peranan penting bagi tubuh yaitu sebagai sumber vitamin dan mineral yang baik bagi tubuh, termasuk
zat besi nonheme dan
sumber serat untuk melancarkan pencernaan dan mencegah timbulnya penyakit degeneratif. Berdasarkan hasil analisis deskriptif terhadap frekuensi konsumsi sayuran (Lampiran 6) diketahui bahwa contoh jarang (<3 kali/minggu) atau bahkan tidak pernah mengonsumsi sayuran. Menurut Hurlock (1996), sayuran merupakan salah satu pangan yang tidak populer atau jarang dikonsumsi oleh remaja sehingga dalam diet mereka rendah akan zat besi, kalsium, vitamin C, vitamin A dan lain-lain. Oleh karena itu, kebiasaan tersebut perlu diubah karena itu akan menyebabkan remaja akan lebih mudah mengalami kurang gizi karena tidak terpenuhinya zat gizi yang dibutuhkan tubuh. Sayuran yang sering dikonsumsi siswi SMP dan siswi SMK antara lain wortel, kentang dan bayam (Lampiran 6). Hasil uji beda menunjukkan adanya perbedaan frekuensi konsumsi kembang kol (p=0.099), kentang (p=0.067), dan sawi (p=0.018) yang bermakna antara siswi SMP dan SMK. Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara konsumsi sayur sawi dengan perubahan status anemia (p=0.058. r=-0.097) dan peningkatan kadar Hb (p= 0.007, r=-0.138). Kandungan zat besi yang terdapat dalam sayur sawi cukup tinggi yaitu sebesar 2.9 mg tetapi
hasil uji korelasi menunjukkan adanya hubungan negatif yang berarti semakin sering mengonsumsi sayur sawi maka semakin tidak berubah status anemia dan semakin menurun kadar Hb. Hal ini diduga terjadi karena frekuensi konsumsi pangan hanya menunjukkan kualitas tetapi tidak diketahui kuantitas atau jumlah pangan yang dikonsumsi sehingga sering belum tentu menunjukkan jumlah yang banyak. Selain itu, kandungan kalsium dalam sayur sawi juga cukup tinggi (220 mg) yang diduga dapat menghambat penyerapan zat besi nonheme (Soekirman 2000). Frekuensi Konsumsi Buah-Buahan Buah-buahan merupakan salah satu pangan yang mengandung zat besi nonheme. Selain itu, buah-buahan juga pangan sumber vitamin dan mineral. Buah-buahan yang ditanyakan pada FFQ adalah jeruk, pepaya, tomat, pisang, apel, mangga, jambu biji, semangka, dan nenas. Berdasarkan hasil analisis deskriptif terhadap frekuensi konsumsi buahbuahan (Lampiran 7) diketahui bahwa sebagian besar contoh tidak pernah mengonsumsi buah-buahan. Menurut Hurlock (1996), selain sayuran pangan yang tidak populer atau jarang dikonsumsi oleh remaja adalah buah-buahan. Hal ini perlu menjadi perhatian orang tua karena buah-buahan merupakan salah satu pangan yang mempunyai kandungan gizi yang tinggi. Hasil uji beda tidak menunjukkan adanya perbedaan frekuensi konsumsi buah-buahan bermakna (p>0.1) antara siswi SMP dan SMK. Begitupula dengan hasil uji korelasi Spearman juga tidak menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara semua jenis buah-buahan dengan keberhasilan program suplementasi. Buah yang sering dikonsumsi antara lain, jeruk, pepaya, dan tomat. Jeruk merupakan salah satu buah yang mempunyai kandungan vitamin C tinggi. Vitamin C yang terkandung dalam buah-buahan dapat membantu penyerapan zat besi non heme. Vitamin C dapat meningkatkan penyerapan zat besi nonheme sampai empat kali lipat (Wirakusumah 1999). Asam sitrat yang terdapat dalam buah pepaya, jambu biji, pisang, mangga, jeruk, apel, dan nenas juga dapat membantu penyerapan zat besi non heme. Frekuensi Konsumsi Minuman dan Suplemen Salah satu faktor yang diduga mempengaruhi perubahan kadar Hb setelah pemberian suplementasi zat besi adalah kondisi makanan dan minuman contoh. Adanya zat-zat penghambat (inhibitors) dan pemacu (enchancers)
penyerapan besi akan mempengaruhi tinggi rendahnya penyerapan zat besi, baik yang berasal dari makanan itu sendiri maupun dari pil besi yang diberikan (Saidin dkk 1998 diacu dalam Rantauwati). Minuman yang diduga akan mempengaruhi penyerapan zat besi pada penelitian ini adalah teh dan kopi. Berdasarkan hasil analisis deskriptif terhadap frekuensi konsumsi teh dan kopi (Lampiran 8) diketahui bahwa baik siswi SMP maupun SMK lebih sering mengonsumsi teh daripada kopi. Bahkan hampir seluruh siswi SMP (92.0%) dan SMK (87.0%) tidak pernah mengonsumsi kopi. Hasil uji beda menunjukkan adanya perbedaan frekuensi konsumsi teh (p=0.041), kopi (p=0.065), susu (p=0.000), dan suplemen (p=0.000) yang bermakna antara siswi SMP dan SMK. Konsumsi teh dan kopi diduga akan mempengaruhi penyerapan zat besi karena kedua minuman ini mengandung zat polifenol yang dapat menghambat penyerapan besi. Teh yang diminum bersama-sama dengan hidangan lain, akan menghambat penyerapan zat besi nonheme sampai 50.0 persen (Wirakusumah 1999). Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan tidak ada hubungan yang bermakna antara frekuensi konsumsi teh dan kopi (p>0.1) dengan keberhasilan program suplementasi. Selain itu, konsumsi susu juga diduga dapat menghambat penyerapan besi karena mengandung kalsium dan phosphat (Soekirman 2000). Hasil hasil analisis deskriptif menunjukkan hanya sebagian kecil siswi SMP (21.0%) dan SMK (16.0%) yang mengonsumsi susu (Lampiran 8). Hasil survei Hurlock (1996) juga menunjukkan bahwa remaja suka minum-minuman ringan (soft drink), teh, dan kopi yang frekuensinya lebih sering dibandingkan mereka minum susu. Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara susu
(p=0.069,
r=0.094)
dengan
keberhasilan
program
suplementasi
(peningkatan kadar Hb). Hal ini berarti semakin sering frekuensi konsumsi susu maka semakin besar peningkatan kadar Hb. Hasil ini menunjukkan bahwa konsumsi susu pada penelitian ini tidak memberikan hambatan terhadap penyerapan besi. Sebagian besar siswi SMP (67.0%) dan SMK (84.0%) tidak pernah mengonsumsi suplemen. Suplemen yang sering dikonsumsi contoh antara lain cerebrovit, curcuma plus, redoxon, dan vitamin C. Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan tidak ada hubungan yang bermakna antara frekuensi konsumsi suplemen (p>0.1) dengan keberhasilan program suplementasi. Hal ini berarti suplemen-suplemen tersebut tidak mengganggu penyerapan zat besi.
Frekuensi Konsumsi Pangan Jajanan Pangan jajanan adalah makanan yang dikonsumsi contoh di luar makanan utama. Siswa sekolah biasanya menjadikan pangan jajanan sebagai makanan selingan di waktu istirahat sekolah. Pangan jajanan yang dipilih siswi diharapkan makanan yang dapat memenuhi kebutuhan zat gizi bagi tubuhnya. Menurut Hurlock (1996), remaja suka sekali jajan makanan ringan. Jenis makanan ringan yang dikonsumsi adalah kue-kue yang rasanya manis dan golongan pastry serta permen. Berbeda dengan pernyataan tersebut, makanan jajanan yang sering disebut contoh adalah mie, gorengan, dan bakso. Menurut Winarno (1997), makanan jajanan dapat dibedakan menjadi empat kelompok yaitu makanan utama (main dish), penganan (snack), minuman dan buah segar. Mie yang dikonsumsi siswi SMP umumnya berupa snack berbentuk mie kering. Berdasarkan hasil analisis deskriptif terhadap frekuensi konsumsi pangan jajanan (Lampiran 9) diketahui bahwa sebagian besar contoh tidak pernah mengonsumsi ketiga jenis pangan jajanan tesebut kecuali siswi SMK hanya 49 persen yang tidak pernah mengonsumsi bakso. Bakso termasuk makanan jajanan kategori makanan utama (Winarno 1997). Hasil uji beda menunjukkan adanya perbedaan frekuensi konsumsi bakso (p=0.000) dan gorengan (p=0.000) yang bermakna antara siswi SMP dan SMK. Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan tidak ada hubungan yang bermakna antara ketiga jenis pangan jajanan di atas dengan keberhasilan progam suplementasi (peningkatan kadar Hb maupun perubahan status anemia). Faktor Determinan Keberhasilan Program Suplementasi Kapsul Besi Suplementasi zat besi adalah salah satu strategi untuk meningkatkan intake zat besi sebagai upaya menanggulangi masalah anemia gizi (Fatma 2007). Program ini telah lama dilaksanakan oleh pemerintah melalui pemberian TTD besi folat kepada ibu-ibu hamil yang datang ke posyandu. Selain ibu hamil, saat ini sasaran program ini beralih pada remaja putri. Upaya suplementasi zat besi ini diharapkan dapat memperbaiki status hemoglobin, meningkatkan status gizi dan kesehatan pada remaja putri. Hal ini mengingat anemia dapat berdampak luas bagi masa depan remaja putri, baik pengaruhnya pada prestasi akademik serta kapasitasnya sebagai calon ibu yang diharapkan akan melahirkan generasi penerus yang berkualitas. Upaya memberikan
pemerintah hasil
yang
tersebut
sampai
memuaskan
karena
saat
ini
sampai
tampaknya saat
ini
belum program
suplementasi masih diragukan keberhasilannya. Menurut Soekirman (1999), kendala yang sering dihadapi di negara berkembang termasuk Indonesia dalam suplementasi besi ini adalah rendahnya cakupan sasaran yang mendapat TTD dan kepatuhan memakannya sesuai anjuran (compliance). Selain itu, menurut Suryawan (2003) diacu dalam Rantauwati (2004), keberhasilan suplementasi zat besi untuk meningkatkan kadar Hb sasaran agar dapat mencapai normal berhubungan dengan beberapa faktor yaitu kepatuhan sasaran mengonsumsi tablet besi, adanya kekurangan zat gizi lain yang diperlukan untuk pembentukan Hb (asam folat, asam nikotinat, piridoksin, riboflavin, dan vitamin B12), dan adanya variabel perancu selama penelitian seperti, mengonsumsi makanan penghambat absorpsi zat besi dan menderita kecacingan (Suryawan dkk 2003 diacu dalam Rantauwati 2004). Selain kepatuhan siswi putri meminum kapsul besi, pada penelitian ini ada beberapa determinan lain yang diduga dapat mempengaruhi keberhasilan program suplementasi zat besi (perubahan status anemia dan peningkatan kadar Hb). Faktor penentu (determinan) tersebut antara lain status anemia awal, umur, status gizi antropometri, status menstruasi, status kesehatan (riwayat penyakit infeksi dan malaria), Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS), dan frekuensi konsumsi pangan sumber heme yaitu daging sapi. Setelah dilakukan uji regresi logistik, terdapat satu peubah yang berpengaruh terhadap perubahan status anemia dan dua peubah yang berpengaruh terhadap peningkatan kadar Hb (Lampiran 10). Tabel berikut akan menyajikan determinan atau faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan program suplementasi zat besi (perubahan status anemia dan peningkatan kadar Hb). Tabel 16. Faktor determinan keberhasilan program suplementasi kapsul besi PExp(ß) CI Peubah BJ value =OR Perubahan Status Anemia PHBS (tidak cuci tangan= 0, 2.418 0.023 11.218 1.9-64.6 mencuci tangan= 1) Peningkatan Kadar Hb Status gizi ( kurus = 0, tidak=1) -0.503 0.065 0.605 0.4-0.9 Status anemia awal 2.380 0.000 10.808 7.0-16.5 (tidak anemia= 0, anemia= 1) Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa faktor determinan yang mempengaruhi perubahan status anemia menjadi tidak anemia adalah Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) yaitu kebiasaan mencuci tangan (OR=11.2; 90%
CI:1.9-64.6). Faktor PHBS memiliki koefisien positif dan nilai OR lebih dari satu. Hal ini menunjukkan bahwa siswi SMP dan SMK yang memiliki kebiasaan mencuci tangan mempunyai peluang untuk berhasil mengubah status anemia menjadi tidak anemia sebesar 11.2 kali lebih besar dibandingkan dengan siswi SMP dan SMK yang tidak memiliki kebiasaan mencuci tangan. Hasil tabulasi silang antara kebiasaan mencuci tangan dan perubahan status anemia menunjukkan bahwa sebesar 17.6 persen contoh yang mempunyai kebiasaan mencuci tangan berhasil mengubah status anemia menjadi tidak anemia sedangkan contoh yang tidak mempunyai kebiasaan mencuci tangan hanya 3 persen yang berhasil mengubah status anemia menjadi tidak anemia. Contoh yang mempunyai kebiasaan mencuci tangan akan semakin kecil kemungkinan untuk terinfeksi cacing sehingga kemungkinan pengeluaran darah akibat kecacingan dapat dihindari dan perubahan status anemia menjadi tidak anemia dapat tercapai. Selain itu, kebiasaan mencuci tangan juga dapat menghindarkan contoh menderita diare yang dapat memperkecil penyerapan zat besi dalam usus karena diare dapat mempersingkat waktu singgah makanan di dalam usus. Faktor determinan yang mempengaruhi peningkatan kadar Hb adalah status gizi (OR=0.6; 90% CI:0.4-0.9) dan status anemia awal (OR=10.8; 90% CI:7.0-16.5). Faktor status gizi mempunyai koefisien negatif dan nilai OR kurang dari satu. Hal ini menunjukkan bahwa siswi SMP dan SMK yang berstatus gizi kurus justru mempunyai peluang untuk berhasil meningkatkan kadar Hb sebesar 1.65 kali lebih besar dibandingkan yang berstatus gizi tidak kurus (normal, gemukan, dan resiko gemuk). Hasil ini berbeda dengan penelitian Permaesih dan Herman (2005) yang menunjukkan bahwa ada hubungan bermakna (p<0.05, OR 1.4; 95% CI 1-1.6) antara IMT kurang atau tubuh kurus dengan kejadian anemia pada remaja putri. Status gizi kurus cenderung untuk berhasil meningkatkan kadar Hb diduga karena yang mempengaruhi anemia atau peningkatan kadar Hb bukan kecukupan energi melainkan protein, zat gizi mikro dan vitamin. Selain itu, hasil tabulasi silang menunjukkan bahwa sebagian besar bahkan seluruh contoh yang mempunyai status gizi normal (91.6%), gemukan (100%), dan risiko gemuk (90.0%) sudah mengalami menstruasi sedangkan yang berstatus gizi kurus hanya 59.2 persen yang sudah menstruasi.
Status menstruasi diduga juga sebagai penyebab contoh yang berstatus gizi tidak kurus cenderung menurun kadar hemoglobinnya karena terkait dengan pengeluaran darah dari dalam tubuh. Selama menstruasi zat besi yang terkandung dalam hemoglobin juga ikut terbuang sehingga kebutuhan zat besi meningkat. Semakin lama menstruasi terjadi maka zat besi yang terbuang juga semakin banyak dan kebutuhan zat besi juga semakin meningkat. Hasil tabulasi silang antara status gizi dan lama menstruasi juga menunujukkan contoh yang berstatus gizi normal (tidak kurus) lebih lama masa menstruasinya yaitu lebih dari tujuh hari. Oleh karena itu, status menstruasi pada siswi yang berstatus gizi tidak kurus diduga sebagai penyebab cenderung menurunnya kadar Hb conoh. Faktor determinan kedua yang mempengaruhi peningkatan kadar Hb adalah status anemia awal (p=0.000). Status menstruasi juga mempunyai koefisien posif dan nilai OR lebih dari satu yang menunjukkan bahwa siswi SMP dan SMK yang berstatus anemia sebelum suplementasi mempunyai peluang untuk berhasil meningkatkan kadar Hb sebesar 10.8 kali lebih besar dibandingkan dengan yang berstatus tidak anemia. Hal di atas terjadi karena seseorang yang menderita anemia biasanya mempunyai kemampuan absorpsi zat besi lebih tinggi dibandingkan dengan yang tidak menderita anemia.
Oleh karena itu, seseorang yang mempunyai
kadar Hb lebih rendah jika diberi suplementasi akan lebih responsif untuk mengabsorpsi zat besi. Sebaliknya absorbsi akan berkurang pada seseorang yang kebutuhan zat besinya telah terpenuhi (kadar Hb normal). Hal ini terjadi untuk menjaga homeostatis zat besi dalam tubuh (Almatsier 2003).
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Secara keseluruhan prevalensi anemia seluruh contoh mengalami penurunan sebesar 3.4 persen. Tetapi masing-masing sekolah menunjukkan hasil yang berbeda, siswi SMK menunjukkan adanya penurunan sebesar 9.3 persen sedangkan siswi SMP menunjukkan peningkatan prevalensi anemia sebesar 2.7 persen. Siswi SMP lebih banyak yang mengalami perubahan status dari tidak anemia menjadi anemia sedangkan siswi SMK sebaliknya. Walaupun terdapat 22.0 persen contoh tetap anemia tetapi anemia tingkat sedang sudah tidak diderita oleh contoh. Sebanyak 52.0 persen siswi SMK yang mengalami peningkatan kadar Hb sedangkan siswi SMP sebanyak 57.9 persen yang kadar hemoglobinnya menurun. Secara keseluruhan, sebesar 46 persen contoh mengalami peningkatan kadar Hb. 2. Rata-rata seluruh contoh berusia 13.6±1.9 tahun dengan rentang antara 10-18 tahun. Lebih dari separuh siswi SMP berstatus gizi kurus (65.5%) sedangkan siswi SMK berstatus gizi normal (63.5%). Sebanyak 91.2 persen contoh mempunyai kebiasaan mencuci tangan (PHBS). Hampir separuh siswi SMP (48.5%) belum mengalami menstruasi sedangkan siswi SMK hampir seluruhnya
(99.5%)
sudah
mengalami
menstruasi.
Rata-rata
tingkat
kepatuhan konsumsi kapsul seluruh contoh sebesar 84.9 persen dengan selang antara 46-100 persen. 3. Status anemia awal mempunyai hubungan negatif dengan perubahan status anemia menjadi tidak anemia (p=0.000, r=-0.562) dan peningkatan kadar Hb (p=0.000, r=-0.517). Selain itu, usia (p=0.011, r=1.31), kebiasaan mencuci tangan (p=0.064, r=0.095), status menstruasi (p=0.034, r=-0.109) juga menunjukkan adanya hubungan dengan keberhasilan program suplementasi (peningkatan kadar Hb). Frekuensi konsumsi pangan yang berhubungan dengan keberhasilan program suplementasi (peningkatan kadar Hb) adalah daging sapi, telur ayam, sawi, dan susu. Tingkat kepatuhan konsumsi kapsul, status gizi, dan status kesehatan (penyakit infeksi) pada penelitian ini tidak menunjukkan hubungan yang bermakna (p>0.1) dengan keberhasilan program suplementasi (peningkatan kadar Hb dan perubahan status anemia menjadi tidak anemia).
4. Determinan atau faktor penentu keberhasilan program suplementasi zat besi (perubahan status anemia dan peningkatan kadar Hb) pada remaja putri di Kota Bekasi adalah Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) yaitu kebiasaan mencuci tangan (OR=11.218; 90% CI:1.9-64.6), status gizi antropometri (OR=0.6; 90% CI:0.4-0.9) dan status anemia sebelum suplementasi (OR=10.8; 90% CI:7.0-16.5). Saran 1. Program suplementasi berikutnya diharapkan memberikan suplemen kepada sasaran sesuai dengan beratnya anemia yang diderita sehingga antara sasaran yang menderita anemia berat diberikan dosis atau frekuensi yang berbeda dengan yang sasaran yang menderita anemia ringan agar pemberian suplemen ini efektif dalam mengatasi masalah kekurangan gizi besi. 2. Kadar Hb kurang peka terhadap tahap awal kekurangan besi. Oleh karena itu, untuk program selanjutnya diharapkan menggunakan indikator lain selain kadar Hb agar penentuan status anemia gizi sasaran lebih akurat. Indikator lain yang dapat digunakan adalah serum ferritin (SF) yang menunjukkan cadangan besi dalam tubuh sehingga lebih peka terhadap tahap awal kekurangan besi. Pemberian suplementasi akan lebih efektif dengan memenuhi kurangnya cadangan besi di dalam tubuh terlebih dahulu sebelum meningkatkan kadar Hb untuk menjaga keseimbangan besi di dalam tubuh agar anemia tidak terjadi kembali. Selain SF, transferin saturation (TS) dan free
erythrocyte
protophorphyrin
(FEP)
juga
dapat
menggamparkan
terjadinya kekurangan gizi besi. 3. Kebutuhan zat besi remaja putri cukup tinggi. Oleh karena itu, konsumsi kapsul besi ini diharapkan dapat ditindaklanjuti oleh siswi sendiri atau pihak sekolah secara mandiri agar perbaikan status anemia ini dapat dipertahankan setelah pemberian zat besi dihentikan. 4. Frekuensi konsumsi pangan hanya menunjukkan kualitas, sedangkan kuantitas atau jumlah pangan yang dikonsumsi tidak diketahui pasti. Oleh karena itu, program selanjutnya diharapkan dapat menggunakan Recall. Hal ini berguna untuk mengetahui kecukupan zat besi yang diperoleh dari pangan sehari-hari.
5. Frekuensi konsumsi pangan hewani contoh sangat rendah. Oleh karena itu, pola konsumsi pangan remaja putri perlu menjadi perhatian khusus bagi orang tua terutama ibu yang mengatur menu makanan di rumah karena makanan memberikan kontribusi yang cukup besar dalam memenuhi kebutuhan zat besi remaja putri. 6. Memberikan penyuluhan gizi yang intensif kepada sasaran sebelum pemberian suplemen perlu dilakukan agar sasaran mengetahui tentang gejala, penyebab dan dampak anemia sehingga mengonsumsi kapsul karena kesadaran akan manfaatnya bukan terpaksa. Ketika program berlangsung juga perlu disertai konseling oleh pihak terkait sebagai sarana bagi sasaran untuk
konsultasi
mengenai
efek
samping
yang
dirasakan
ketika
mengonsumsi kapsul besi sehingga sasaran mendapatkan solusi dan merasakan manfaat dari konsumsi kapsul besi dan mempunyai kesadaran untuk membeli sendiri ketika pemberian suplemen dihentikan.
DAFTAR PUSTAKA Almatsier, S. 2003. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Affandi, B. 1990. Gangguan Haid Pada Remaja dan Dewasa. Balai Penerbit FKUI, Jakarta. Almasari, A. 2007. Faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi dan kesehatan lansia pria di Desa Sukajadi, Kecamatan Tamansari, Kabupaten Bogor. Skripsi Sarjana Departemen Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, IPB, Bogor. Anonymous. 2007. Cuci tangan cara mudah cegah penyakit. http://www.infeksi.com/data/newsin.xml. [07 Juli 2008] Arisman. 2004. Gizi dalam Daur Kehidupan. Diktat Fakultas Kedokteran. EGC, Jakarta. Anggraeni, D. 2004. Status anemia putri Tingkat Persiapan Bersama (TPB) tahun 2003/2004 dan hubungannya dengan Indeks Prestasi Kumulatif (IPK). Briawan, D. 2008. Efikasi suplementasi besi-multivitamin terhadap perbaikan status besi remaja wanita. Disertasi Sekolah Pasca Sarjana IPB, Bogor. Cordeiro LS, et al. 2006. Adolescent malnutrition in developing countries. SCN NEWS 31: 1564-3743. Dillon, DHS. 2005. Nutritional Health of Indonesian Adolescent Girls : the role of riboflavin and vitamin A on Iron Status. Thesis Wageningen University. Depkes [Departemen Kesehatan]. 1998. Pedoman penanggulangan anemia gizi untuk remaja putri dan wanita usia subur. Direktorat Jenderal Pembinaan Kesehatan Masyarakat, Jakarta. Depkes [Departemen Kesehatan]. 2005. Gizi dalam Angka sampai dengan tahun 2003. Direktorat Jenderal Pembinaan Kesehatan Masyarakat, Jakarta. Depkes [Departemen Kesehatan]. 2006. Perilaku Hidup Bersih dan Sehat di Rumah Tangga. Direktorat Jenderal Pembinaan Kesehatan Masyarakat, Jakarta. Dinkes [Dinas Kesehatan] Kota Bekasi. 2007. Hasil pelaksanaan pencegahan dan penanggulangan anemia gizi besi pada siswa putri SMP dan SMK di Kota Bekasi. Makalah disampaikan pada Pertemuan Evaluasi Hasil Uji Coba dan Penanggulangan Anemia Gizi Besi pada Remaja Putri di Kota Bekasi, Dinas Kesehatan Kota Bekasi 17 Desember 2007. Bekasi. FAO/WHO [Food Agricultural Organization/World Health Organization]. 2001. Human vitamin and mineral requirements. Rome.
Fatma. 2007. Gizi dan Kesehatan Masyarakat. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Ginarhayu. 2002. Analisis faktor-faktor yang berhubungan dengan usia menarche remaja putri (9-15 tahun) pada siswi Sekolah Dasar dan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama di Jakarta Timur. Tesis Program Pasca Sarjana UI, Depok. Hardinsyah & Drajat Martianto. 1992. Gizi Terapan. Diktat Departemen Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, IPB, Bogor. Hulu, DB. 2004. Faktor-faktor yang mempengaruhi status anemia, dan kaitannya dengan prestasi belajar pada siswi SMKN 1 Bogor. Skripsi Sarjana Departemen Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, IPB, Bogor. Hurclock, EB. 1996. Psikologi Perkembangan : suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Istiwidiyanti, Seoedjarwo, penerjemah; Sinabat RM, editor. Ed ke-5. Jakarta: Erlangga. Terjemahan dari : Developmental Psychology: A Life-Span Approach. Jelliffe, DB. 1994. Kesehatan Anak di Daerah Tropis. Mira T. Windy, penerjemah. Terjemahan dari : Child Health in the Tropics. Krummel, D. 1996. Nutrition In Women Health. Aspen Publication, Maryland. Leginem. 2002. Faktor-faktor yang berhubungan dengan status anemia pada mahasiswi akademi kebidanan di Kota Banda Aceh tahun 2002.program studi ilmu kesehatan masyarakat. Tesis Program Pasca Sarjana UI, Depok. Lestari, SBD. 1996 Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian anemia gizi remaja putri SMU di Kabupaten Bandung. Tesis Program Pasca Sarjana UI, Depok. Nurjunaida, S. 2004. Pengaruh suplementasi TTD 1 kali dan 2 kali per minggu terhadap kenaikan hemoglobin siswa yang sudah mentruasi dan anemia di SLTP Muhamadiyah Kota Tangerang tahun 2004. Skripsi Sarjana Fakultas Kesehatan Masyarakat UI, Depok. Pearce, E.C. 1992. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Handoyo, S.Y, penerjemah. PT. Gramedia, Jakarta Permaesih D, S. Herman. 2005. Faktor-faktor yang mempengaruhi anemia pada remaja. Bul.Pel.Kesehatan 33(4):162-171. Prabu, BDR. 1996. Penyakit-Penyakit Infeksi Umum. Jonatan Oswari, editor. Jakarta : Widya Medika. Puri, D.K. 2007. Faktor-faktor yang berhubungan dengan status anemia mahasiswi peserta program pemberian makanan tambahan di IPB Bogor. Skripsi Sarjana Departemen Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, IPB, Bogor.
Rantauwati, S. 2004. Faktor-faktor yang berhubungan dengan perubahan kadar hemoglobin setelah pemberian suplementasi zat besi pada siswi SLTP di Kota Sukabumi tahun 2003-2004. Skripsi Sarjana Fakultas Kesehatan Masyarakat UI, Depok. Riyadi, H. 2001. Metode Penilaian Status Gizi secara Antropometri. Diktat Departemen Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, IPB, Bogor. Shulman, ST, John PP, Herbert MS. 1994. Dasar Biologis dan Klinis Penyakit Infeksi. Samik Wahab, penerjemah; Sutaryo, editor. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. Terjemahan dari : The Biologic and Clinical Basic of Infectious Diseases. Soekirman. 2000. Ilmu Gizi dan Aplikasinya untuk Keluarga dan Masyarakat. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional. Supariasa, IDN, Bakri B, Hajar I. 2001. Penilaian Status Gizi. Jakarta : EGC. Thoha.2006. Hubungan pola konsumsi pangan, pola aktivitas, status gizi, dan status anemia dengan prestasi belajar pada mahsiswa putri Diploma Tiga Kebidanan Yayasan Madani dan Assyifa di Kota Tangerang. Tesis Sekolah Pasca Sarjana IPB, Bogor. Widayani, S. 2004. Iron Deficiency Anemia (IDA)&Perbaikan Gizi Besi. Tugas Mata Kuliah Topik Khusus Sekolah Pascasarjana Departemen Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, IPB. WHO [World Health Organization]. 2001. Iron Deficiency Anemia Assessment, Prevention, and Control. A Guide for Programe Manager. Wijianto. 2002. Dampak supementasi tablet tambah darah (TTD) dan faktorfaktor yang berpengaruh terhadap anemia gizi ibu hamil di Kabupaten Banggai Propinsi Sulawesi Tengah. Skripsi Sarjana Departemen Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, IPB, Bogor. Wirakusumah, E.S. 1999. Perencanaan Menu Anemia : gizi besi. Jakarta : Trubus Agriwidya. Winarno, FG. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama
Lampiran 1. Kuesioner KUISIONER KEGIATAN PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN ANEMIA GIZI BESI PADA REMAJA PUTRI SISWI SMP DAN SMU DI KOTA BEKASI A. Identitas Responden 1. Nama Siswi 2. Tanggal Lahir/ Umur 3. Nama Orang Tua 4. Kelas
: : : :
B. Pertanyataan Kesediaan Diambil Darah 1. Apakah bersedia diambil darah? 1. Ya 2. Tidak 2. Hasik pemeriksaan darah, Hb :................g% 1. Anemia (Hb < 12g%) 2. Normal (Hb ≥ 12 g%) C. Data Antropometri dan Status Gizi 1. Berat Badan :.....................,..............Kg 2. Tinggi Badan :.....................,.............cm (:...........,.........m) 3. Indeks Massa Tubuh (IMT) : 4. Status Gizi : 1. Kurus : IMT < 18.5 2. Normal : IMT 18.5 - 24.9 3. Resiko untuk Gemuk : IMT 25.0 – 26.9 4. Gemuk : IMT ≥ 26.9 D. Aktivitas Fisik Kegiatan sehari-hari selain belajar (jawaban boleh lebih dari satu) 1. Olah raga ringan (jalan santai, lempar cakram, tolak peluru, senam pernafasan, dll). 2. Olah raga sedang (basket, voli, lari, senam aerobik, jalan cepat, dll) 3. Olah raga berat ( sepak bola, lari cepat > 10 km, senam aerobik high impack, dll) E. Pola Haid 1. Frekuensi Haid 1. Sebulan sekali 2. Sebulan dua kali 2. Banyak haid 1. Sehari ganti 1-2 kali 2. Sehari ganti 3-4 kali 3. Lama haid 1. < 3 hari 2.3-5 hari
3. 2-3 bulan sekali 4. lain-lain, sebutkan........... 3. Sehari ganti 5-6 kali 4. Sehari ganti > 6 kali 3. 5-7 hari 4. > 7 hari
F. Riwayat Penyakit 1. Apakah pernah menderita TB (sering batuk-batuk riak berdarah, keluar keringat malam)? 1. Ya 2. Tidak 2. Apakah pernah menderita sakit malaria (sering demam disertai menggigil)? 1. Ya 2. Tidak 3. Apakah dalam 1 bulan terakhir ini pernah keluar cacing ? 1. Ya 2. Tidak G. Perilaku Hidup Bersih dan Sehat Apakah mencuci tangan sebelum makan : 1. Mencuci tangan pakai sabun 2. Mencuci tangan tidak pakai sabun 3. Tidak mencuci tangan H. Perilaku Makan 1. Berapa kali frekuensi makan dalam sehari 1. > 3 kali 3. 2 kali 2. 3 kali 4. 1 kali, alasannya............... 2. Apakah ada pantangan makanan tertentu yang dianjurkan? 1. Ada, sebutkan alasannya............................... 2. Tidak ada 3. Apakah ada makanan tertentu yang dianjurkan? 1. Ada, sebutkan alasannya.............................. 2. Tidak ada
Lampiran 2. Formulir Recall FORMULIR RECALL KONSUMSI MAKANAN SUMBER ZAT BESI DAN VITAMIN C KEGIATAN PENCEGAHAN DAN PENAGGULANGAN ANEMIA GIZI BESI PADA REMAJA PUTRI SISWI SMP DAN SMU NAMA SISWI TANGGAL LAHIR/ UMUR NAMA SEKOLAH/KELAS PUSKESMAS/KECAMATAN KABUPATEN/KOTA
:..................................................................... :................................................./...........tahun :...................................................................... :...................................................................... :...................................................................... FREKUENSI MAKAN DALAM SEMINGGU
No
1
2
3
4
5 6
7
BAHAN MAKANAN SUMBER HEME Lauk Hewani - Ikan Segar - Ikan Asin - Daging Sapi - Daging Ayam - Hati Sapi - Hati Ayam - Telur Ayam - Telur Bebek - Telur Puyuh SUMBER NON HEME Lauk Nabati - Tempe - Tahu - Kacang-kacangan Sayuran - Waluh - Kembang Kol - Kol - Broccoli - Wortel - Kentang - Daun Singkong - Bayam - Kangkung - Sawi - Daun Pepaya ........................................... Buah-buahan - Jeruk - Pepaya - Tomat - Jambu Biji - Mangga - Nenas - Pisang ........................................... Makanan Jajanan ........................................... Minuman - Teh - Kopi Suplemen ...........................................
TIDAK
SETIAP HARI
3-6 KALI
< 3 KALI
Lampiran 3. Kartu monitoring kepatuhan konsumsi kapsul besi
KARTU MONITORING MINUM OBAT TAMBAH DARAH MULTIVITAMIN KEGIATAN PERBAIKAN GIZI MASYARAKAT TAHUN 2007 NAMA NAMA SEKOLAH/KELAS SENIN
Cara pengisian:
BULAN BULAN KE
:................................................................................... :...................................................................................
SELASA
RABU
1
KAMIS
JUMAT
2
SABTU
: AGUSTUS : ................. 3
MINGGU
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
- Tulis tanda (+) bila minum tablet tambah darah - Tulis tanda (-) bila tidak diminum - Tulis alasan tidak minum, misal lupa, mual, dsb. - Tulis Haid bila sedang haid
Lampiran 4. Sebaran contoh menurut frekuensi konsumsi pangan sumber heme Pangan Sumber Heme
Frekuensi Makan SMP 4 n
3 %
Frekuensi Makan SMK
2
N
%
N
1 %
n
4 %
n
3 %
n
2 %
1
N
%
Telur ayam 14 7.0 93 46.5 60 30.0 33 16.5 27 13.5 77 38.5 75 37.5 Ikan segar 11 5.5 53 26.5 99 49.5 37 18.5 11 5.5 51 25.5 90 45.0 Daging ayam 7 3.5 71 35.5 91 45.5 31 15.5 5 2.5 62 31.0 103 51.5 Hati sapi 2 1.0 3 1.5 13 6.5 182 91.0 1 0.5 3 1.5 10 5.0 Daging sapi 1 0.5 19 9.5 56 28.0 124 62.0 1 0.5 11 5.5 43 21.5 Telur puyuh 1 0.5 6 3.0 31 15.5 162 81.0 1 0.5 8 4.0 20 10.0 Ikan asin 0 0 20 10.0 50 25.0 130 65.0 1 0.5 11 5.5 38 19.0 Hati ayam 0 0 11 5.5 43 21.5 146 73.0 1 0.5 11 5.5 54 27.0 Telur bebek 0 0 2 1.0 7 3.5 191 95.5 1 0.5 5 2.5 6 3.0 Keterangan : 4= setiap hari, 3= 3-6 kali/minggu, 2= < 3 kali/minggu, 1=tidak pernah
n
%
21 48 30 186 145 171 150 134 188
10.5 24.0 15.0 93.0 72.5 85.5 75.0 67.0 94.0
Lampiran 5. Sebaran contoh menurut frekuensi konsumsi pangan non heme Pangan Sumber Non Heme Tempe Tahu Kacangkacangan
Frekuensi Makan SMP 4
3
Frekuensi Makan SMK
2
1
4
3
2
1
n
%
n
%
n
%
n
%
n
%
n
%
n
%
n
%
26 23 2
13.0 11.5 1.0
76 58 19
38 29.0 9.5
76 64 70
38.0 32.0 35.0
22 55 109
11.0 27.5 54.5
48 39 5
24.0 19.5 2.5
71 57 17
35.5 28.5 8.5
56 56 48
28.0 28.0 24.0
25 48 130
12.5 24.0 65.0
Keterangan : 4= setiap hari, 3= 3-6 kali/minggu, 2= < 3 kali/minggu, 1=tidak pernah
Lampiran 6. Sebaran contoh menurut frekuensi konsumsi sayuran Frekuensi Makan SMP 4
Sayuran Wortel Kentang Bayam Kangkung Sawi Kol Brokoli Waluh Kembang kol Daun singkong Daun pepaya
3
Frekuensi Makan SMK
2
1
4
3
2
1
n
%
N
%
N
%
n
%
n
%
n
%
n
%
n
%
8 5 4 3 3 1 1 1 0 0 0
4 2.5 2 1.5 1.5 0.5 0.5 0.5 0 0 0
50 36 31 28 20 28 8 5 17 9 2
25.0 18.0 15.5 14.0 10.0 14.0 4.0 2.5 8.5 4.5 1
96 75 93 84 68 81 27 22 45 39 6
48.0 37.5 46.5 42.0 34.0 40.5 13.5 11.0 22.5 19.5 3.0
46 84 72 85 109 90 164 172 138 152 192
23.0 42.0 36.0 42.5 54.5 45.0 82.0 86.0 69.0 76.0 96.0
11 4 4 1 6 3 0 0 0 0 0
5.5 2.0 2.0 0.5 3.0 1.5 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0
51 39 35 24 31 23 9 6 11 3 0
25.5 19.5 17.5 12.0 15.5 11.5 4.5 3.0 5.5 1.5 0.0
94 97 72 88 76 79 17 25 39 42 8
47.0 48.5 36.0 44.0 38.0 39.5 8.5 12.5 19.5 21.0 4.0
44 60 89 87 87 95 174 169 150 155 192
22.0 30.0 44.5 43.5 43.5 47.5 87.0 84.5 75.0 77.5 96.0
Keterangan : 4= setiap hari, 3= 3-6 kali/minggu, 2= < 3 kali/minggu, 1=tidak pernah
Lampiran 7. Sebaran contoh menurut frekuensi konsumsi buah-buahan Frekuensi Makan SMP
Buahbuahan
4 n
3 %
N
Frekuensi Makan SMK
2 %
n
1 %
n
4 %
n
3 %
2
n
%
1
N
%
Jeruk 21 10.5 59 29.5 86 43.0 34 17.0 24 12.0 61 30.5 85 42.5 Pepaya 4 2.0 13 6.5 50 25.0 133 66.5 7 3.5 15 7.5 38 19.0 Tomat 4 2.0 18 9.0 32 16.0 146 73.0 7 3.5 19 9.5 37 18.5 Pisang 2 1.0 29 14.5 61 30.5 108 54.0 7 3.5 21 10.5 66 33.0 Apel 2 1.0 14 7.0 32 16.0 152 76.0 1 0.5 8 4.0 27 13.5 Mangga 1 0.5 17 8.5 56 28.0 126 63.0 2 1.0 4 2.0 61 30.5 Jambu biji 1 0.5 8 4.0 48 24.0 143 71.5 0 0 10 5.0 38 19.0 Semangka 0 0 4 2.0 16 8.0 180 90.0 3 1.5 6 3.0 15 7.5 Nenas 0 0 3 1.5 24 12.0 173 86.5 0 0 3 1.5 24 12.0 Keterangan : 4= setiap hari, 3= 3-6 kali/minggu, 2= < 3 kali/minggu, 1=tidak pernah
n
%
30 140 137 106 164 133 152 176 173
15.0 70.0 68.5 53.0 82.0 66.5 76.0 88.0 86.5
Lampiran 8. Sebaran contoh menurut frekuensi konsumsi minuman dan suplemen Frekuensi Makan SMP 4
Pangan n
3 %
n
Frekuensi Makan SMK
2 %
n
1 %
n
4 %
n
3 %
n
2 %
Teh 65 32.5 47 23.5 64 32.0 24 12.0 64 32.0 29 14.5 Kopi 1 0.5 2 1.0 13 6.5 184 92.0 1 0.5 5 2.5 Susu 42 21.0 41 20.5 50 25.0 67 33.5 32 16.0 27 13.5 Suplemen 23 11.5 14 7.0 29 14.5 134 67.0 8 4.0 7 3.5 Keterangan : 4= sering, 3=kadang-kadang, 2=jarang, 1=tidak pernah
1
N
%
n
%
52 20 29 17
26.0 10.0 14.5 8.5
55 174 112 168
27.5 87.0 56.0 84.0
Lampiran 9. Sebaran contoh menurut frekuensi konsumsi pangan jajanan Pangan Jajanan
Frekuensi Makan SMP 4 n
3 %
n
Frekuensi Makan SMK
2 %
N
1 %
n
4 %
n
3 %
n
2 %
Mie 4 2.0 8 4.0 24 12.0 164 82.0 1 0.5 14 7.0 Gorengan 1 0.5 6 3.0 16 8.0 177 88.5 7 3.5 23 11.5 Bakso 1 0.5 11 5.5 36 18.0 152 76.0 6 3.0 38 19.0 Keterangan : 4= sering, 3=kadang-kadang, 2=jarang, 1=tidak pernah
1
N
%
n
%
14 31 58
7.0 15.5 29.0
171 139 98
85.5 69.5 49.0
Lampiran 10. Faktor determinan keberhasilan program suplementasi kapsul besi Peubah Perubahan Status Anemia Konstanta Usia (<15 tahun = 0, ≥ 15 tahun = 1) Status anemia awal (tidak anemia= 0, anemia= 1) Status gizi antropometri ( kurus = 0, tidak=1) Status kesehatan Malaria (ya = 1, tidak = 0) Kecacingan ( ya = 1, tidak = 0) Status menstruasi ( sudah = 0, belum = 1) PHBS (tidak cuci tangan = 0, mencuci tangan = 1) Kepatuhan konsumsi kapsul (patuh = 1, tidak= 0) Konsumsi daging sapi (≤ 3x/minggu= 0, > 3x/minggu= 1) Peningkatan Kadar Hb Konstanta Usia (<15 tahun = 0, ≥ 15 tahun = 1) Status anemia awal (tidak anemia= 0, anemia= 1) Status gizi ( kurus = 0, tidak=1) Status kesehatan Malaria (ya = 1, tidak = 0) Kecacingan ( ya = 1, tidak = 0) Status menstruasi ( sudah = 0, belum = 1) PHBS (tidak cuci tangan = 0, mencuci tangan = 1) Kepatuhan konsumsi kapsul (patuh = 1, tidak= 0) Konsumsi daging sapi (≤ 3x/minggu= 0, > 3x/minggu= 1)
BJ
P-value
Exp(ß)=OR
-23.785 -0.331 21.115 0.188
0.993 0.414 0.993 0.634
0.000 0.718 1.5E+09 1.206
-20.569 0.066 0.630 2.418
0.999 1.000 0.248 0.023*
0.000 1.068 1.877 11.218
0.098
0.820
1.103
-0.167
0.796
0.846
-1.136 0.301 2.380 -0.503
0.033 0.297 0.000* 0.065*
0.320 1.351 10.808 0.605
0.161 21.937 -0.483 0.268
0.927 1.000 0.181 0.545
1.175 3.4E+09 0.617 1.307
0.137
0.663
1.147
-0.702
0.138
0.496
Lampiran 11. Hasil uji korelasi Spearman dan Pearson antara varibel dependen dengan varibel independen. Correlations
Spearman's rho
anemia-tdk anemia
kadar hb meningkat
status anemia awal
status gizi
status menstruasi
kategori remaja
malaria
kecacingan
PHBS
tingkat kepatuhan
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). *. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
anemia-tdk kadar hb status anemia anemia meningkat awal status gizi 1.000 .480** -.562** .052 . .000 .000 .315 379 379 379 379 .480** 1.000 -.517** .069 .000 . .000 .181 379 379 379 379 -.562** -.517** 1.000 -.057 .000 .000 . .270 379 379 379 379 .052 .069 -.057 1.000 .315 .181 .270 . 379 379 379 379 .002 -.109* .099 .376** .971 .034 .053 .000 379 379 379 379 .031 -.075 .046 .303** .548 .145 .370 .000 379 379 379 379 .032 -.006 .018 -.073 .532 .908 .733 .154 379 379 379 379 .023 -.056 -.040 -.052 .659 .278 .432 .314 379 379 379 379 .025 .095 .016 .067 .632 .064 .754 .192 379 379 379 379 .002 .005 -.033 -.069 .976 .923 .516 .179 379 379 379 379
status menstruasi .002 .971 379 -.109* .034 379 .099 .053 379 .376** .000 379 1.000 . 379 .476** .000 379 -.130* .012 379 .029 .575 379 .035 .498 379 -.245** .000 379
kategori remaja .031 .548 379 -.075 .145 379 .046 .370 379 .303** .000 379 .476** .000 379 1.000 . 379 -.063 .219 379 -.045 .385 379 .133** .010 379 -.037 .470 379
malaria .032 .532 379 -.006 .908 379 .018 .733 379 -.073 .154 379 -.130* .012 379 -.063 .219 379 1.000 . 379 -.004 .942 379 .023 .653 379 .038 .465 379
kecacingan .023 .659 379 -.056 .278 379 -.040 .432 379 -.052 .314 379 .029 .575 379 -.045 .385 379 -.004 .942 379 1.000 . 379 -.058 .261 379 .027 .606 379
tingkat kepatuhan PHBS .025 .002 .632 .976 379 379 .095 .005 .064 .923 379 379 .016 -.033 .754 .516 379 379 .067 -.069 .192 .179 379 379 .035 -.245** .498 .000 379 379 .133** -.037 .010 .470 379 379 .023 .038 .653 .465 379 379 -.058 .027 .261 .606 379 379 1.000 -.043 . .403 379 379 -.043 1.000 .403 . 379 379
Correlations
Spearman's rho
anemia-tdk anemia
kadar hb meningkat
frekuensi haid
banyak haid
lama haid
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N
anemia-tdk anemia 1.000 . 288 .451** .000 288 -.036 .538 288 -.042 .473 288 -.049 .410 288
kadar hb frekuensi haid meningkat .451** -.036 .000 .538 288 288 1.000 -.084 . .156 288 288 -.084 1.000 .156 . 288 288 -.047 .016 .427 .790 288 288 -.091 -.002 .122 .969 288 288
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
Correlations
selisih hb
umur responden
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
selisih hb 1 . 379 .131* .011 379
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
umur responden .131* .011 379 1 . 379
banyak haid -.042 .473 288 -.047 .427 288 .016 .790 288 1.000 . 288 .093 .117 288
lama haid -.049 .410 288 -.091 .122 288 -.002 .969 288 .093 .117 288 1.000 . 288
Correlations
Spearman's rho
anemia-tdk anemia
kadar hb meningkat
tempe
tahu
kcg2an
BAKSO
MIE
GORENGAN
teh
kopi
susu
suplemen
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). *. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
anemia-tdk anemia 1.000 . 379 .480** .000 379 .027 .606 379 -.020 .698 379 .007 .895 379 -.003 .952 379 .003 .956 379 -.014 .784 379 -.018 .726 379 -.043 .400 379 .076 .141 379 -.003 .952 379
kadar hb meningkat .480** .000 379 1.000 . 379 -.022 .666 379 .008 .884 379 -.066 .200 379 -.063 .219 379 -.020 .702 379 -.066 .199 379 .010 .853 379 -.064 .215 379 .094 .069 379 -.005 .916 379
tempe .027 .606 379 -.022 .666 379 1.000 . 379 .472** .000 379 .105* .042 379 -.057 .266 379 .072 .164 379 .011 .832 379 .094 .069 379 .003 .959 379 .026 .620 379 -.071 .169 379
tahu -.020 .698 379 .008 .884 379 .472** .000 379 1.000 . 379 .074 .152 379 .075 .143 379 .034 .504 379 -.040 .440 379 .052 .312 379 -.027 .594 379 .098 .056 379 .008 .881 379
kcg2an .007 .895 379 -.066 .200 379 .105* .042 379 .074 .152 379 1.000 . 379 -.015 .778 379 .086 .094 379 -.079 .122 379 .134** .009 379 .064 .214 379 .108* .036 379 .115* .025 379
BAKSO -.003 .952 379 -.063 .219 379 -.057 .266 379 .075 .143 379 -.015 .778 379 1.000 . 379 .132* .010 379 .061 .235 379 .001 .983 379 .061 .237 379 .112* .030 379 -.046 .375 379
MIE GORENGAN .003 -.014 .956 .784 379 379 -.020 -.066 .702 .199 379 379 .072 .011 .164 .832 379 379 .034 -.040 .504 .440 379 379 .086 -.079 .094 .122 379 379 .132* .061 .010 .235 379 379 1.000 -.160** . .002 379 379 -.160** 1.000 .002 . 379 379 .072 -.044 .162 .397 379 379 .037 .040 .472 .439 379 379 .106* -.112* .038 .029 379 379 -.003 -.030 .947 .560 379 379
teh -.018 .726 379 .010 .853 379 .094 .069 379 .052 .312 379 .134** .009 379 .001 .983 379 .072 .162 379 -.044 .397 379 1.000 . 379 -.020 .697 379 .158** .002 379 .130* .012 379
kopi -.043 .400 379 -.064 .215 379 .003 .959 379 -.027 .594 379 .064 .214 379 .061 .237 379 .037 .472 379 .040 .439 379 -.020 .697 379 1.000 . 379 -.092 .073 379 .062 .226 379
susu suplemen .076 -.003 .141 .952 379 379 .094 -.005 .069 .916 379 379 .026 -.071 .620 .169 379 379 .098 .008 .056 .881 379 379 .108* .115* .036 .025 379 379 .112* -.046 .030 .375 379 379 .106* -.003 .038 .947 379 379 -.112* -.030 .029 .560 379 379 .158** .130* .002 .012 379 379 -.092 .062 .073 .226 379 379 1.000 .206** . .000 379 379 .206** 1.000 .000 . 379 379
Correlations
Spearman's rho
anemia-tdk anemia
kadar hb meningkat
WALUH
KMBG_KOL
KOL
BROKOLI
WORTEL
KENTANG
D.SINGKG
BAYAM
KANGKUNG
SAWI
D.PEPAYA
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). *. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
anemia-tdk kadar hb anemia meningkat 1.000 .480** . .000 379 379 .480** 1.000 .000 . 379 379 -.035 -.054 .494 .299 379 379 -.069 -.036 .181 .486 379 379 -.022 .001 .671 .990 379 379 -.040 .015 .434 .776 379 379 .038 .026 .461 .619 379 379 .021 -.046 .678 .375 379 379 .083 -.011 .106 .838 379 379 .029 -.025 .578 .622 379 379 .030 .027 .565 .606 379 379 -.097 -.138** .058 .007 379 379 .022 -.042 .666 .411 379 379
WALUH KMBG_KOL -.035 -.069 .494 .181 379 379 -.054 -.036 .299 .486 379 379 1.000 .130* . .011 379 379 .130* 1.000 .011 . 379 379 .049 .288** .340 .000 379 379 .221** .252** .000 .000 379 379 .045 .143** .384 .005 379 379 .051 .151** .320 .003 379 379 .058 .143** .262 .005 379 379 .027 .140** .595 .006 379 379 -.061 .098 .238 .058 379 379 -.019 .195** .718 .000 379 379 .131* .066 .011 .197 379 379
KOL BROKOLI WORTEL KENTANG D.SINGKG -.022 -.040 .038 .021 .083 .671 .434 .461 .678 .106 379 379 379 379 379 .001 .015 .026 -.046 -.011 .990 .776 .619 .375 .838 379 379 379 379 379 .049 .221** .045 .051 .058 .340 .000 .384 .320 .262 379 379 379 379 379 .288** .252** .143** .151** .143** .000 .000 .005 .003 .005 379 379 379 379 379 1.000 .190** .298** .191** .049 . .000 .000 .000 .346 379 379 379 379 379 .190** 1.000 .070 .071 .078 .000 . .176 .166 .128 379 379 379 379 379 .298** .070 1.000 .382** .091 .000 .176 . .000 .078 379 379 379 379 379 .191** .071 .382** 1.000 .074 .000 .166 .000 . .150 379 379 379 379 379 .049 .078 .091 .074 1.000 .346 .128 .078 .150 . 379 379 379 379 379 .109* .108* .200** .127* .167** .035 .036 .000 .013 .001 379 379 379 379 379 .135** .104* .146** .094 .075 .009 .042 .004 .067 .144 379 379 379 379 379 .171** -.012 .125* .160** .165** .001 .823 .015 .002 .001 379 379 379 379 379 .036 .097 .017 -.025 .233** .482 .059 .747 .628 .000 379 379 379 379 379
BAYAM KANGKUNG .029 .030 .578 .565 379 379 -.025 .027 .622 .606 379 379 .027 -.061 .595 .238 379 379 .140** .098 .006 .058 379 379 .109* .135** .035 .009 379 379 .108* .104* .036 .042 379 379 .200** .146** .000 .004 379 379 .127* .094 .013 .067 379 379 .167** .075 .001 .144 379 379 1.000 .308** . .000 379 379 .308** 1.000 .000 . 379 379 .033 .108* .525 .036 379 379 .028 .020 .593 .693 379 379
SAWI D.PEPAYA -.097 .022 .058 .666 379 379 -.138** -.042 .007 .411 379 379 -.019 .131* .718 .011 379 379 .195** .066 .000 .197 379 379 .171** .036 .001 .482 379 379 -.012 .097 .823 .059 379 379 .125* .017 .015 .747 379 379 .160** -.025 .002 .628 379 379 .165** .233** .001 .000 379 379 .033 .028 .525 .593 379 379 .108* .020 .036 .693 379 379 1.000 .080 . .121 379 379 .080 1.000 .121 . 379 379
Lampiran 12. Hasil uji beda Mann-Whitney antara siswi SMP dan SMK Test Statisticsa
Mann-Whitney U Wilcoxon W Z Asymp. Sig. (2-tailed)
status anemia awal 18500.000 38600.000 -1.541 .123
status anemia akhir 17126.000 36432.000 -.919 .358
perubahan status anemia 18558.500 38658.500 -1.331 .183
naik,turun, tetap 16925.000 37025.000 -3.050 .002
status gizi 13079.000 33179.000 -6.761 .000
a. Grouping Variable: pendidikan
Test Statistics Mann-Whitney U Wilcoxon W Z Asymp. Sig. (2-tailed) a.
Grouping Variable: pendidikan
frekuensi haid 8814.000 13185.000 -.800 .423
a
banyak haid 8731.500 27841.500 -.579 .562
lama haid 8750.000 27860.000 -.577 .564
status menstruasi 10400.000 30500.000 -11.147 .000
malaria 19800.000 39900.000 -1.416 .157
kecacingan 19900.000 40000.000 -1.000 .317
PHBS 17840.000 37940.000 -2.080 .038
tingkat kepatuhan 19479.000 39579.000 -.625 .532
Test Statistics Mann-Whitney U Wilcoxon W Z Asymp. Sig. (2-tailed)
ikan segar 17098.000 36404.000 -.842 .400
ikan asin 16364.000 35670.000 -1.842 .066
daging sapi 16099.500 35405.500 -2.087 .037
a
daging ayam 16610.000 35916.000 -1.346 .178
hati sapi 17849.500 37155.500 -.175 .861
hati ayam 16901.000 33737.000 -1.211 .226
telur ayam 17271.500 34107.500 -.662 .508
telur bebek 17702.000 34538.000 -.549 .583
telur puyuh 17027.000 36333.000 -1.308 .191
a. Grouping Variable: pendidikan
Test Statistics Mann-Whitney U Wilcoxon W Z Asymp. Sig. (2-tailed)
tempe 15784.500 32620.500 -2.117 .034
a. Grouping Variable: pendidikan
tahu 16153.500 32989.500 -1.734 .083
kcg2an 16114.500 35420.500 -1.961 .050
BAKSO 12581.000 29417.000 -5.803 .000
a
MIE 17424.500 36730.500 -.743 .457
GORENGAN 13884.500 30720.500 -5.500 .000
teh 15837.000 35143.000 -2.043 .041
kopi 16908.500 33744.500 -1.848 .065
susu 14295.000 33601.000 -3.631 .000
suplemen 14799.500 34105.500 -3.933 .000
Lampiran 13. Hasil uji beda t tidak berpasangan antara siswi SMP dan SMK terhadap usia, IMT, berat dan tinggi badan Group Statistics
umur responden berat badan tinggi badan indeks masa tubuh
pendidikan SMP SMK SMP SMK SMP SMK SMP SMK
N 200 200 200 200 200 200 200 200
Mean 11.94 15.38 39.4826 47.3117 1.4650 1.5277 18.2499 20.2554
Std. Deviation .741 .905 9.16679 8.10042 .07433 .04868 3.22403 3.00443
Std. Error Mean .052 .064 .64819 .57279 .00526 .00344 .22797 .21245
Independent Samples Test Levene's Test for Equality of Variances
F umur responden
berat badan
tinggi badan
indeks masa tubuh
Equal variances assumed Equal variances not assumed Equal variances assumed Equal variances not assumed Equal variances assumed Equal variances not assumed Equal variances assumed Equal variances not assumed
17.243
5.413
23.040
1.609
Sig. .000
.020
.000
.205
t-test for Equality of Means
t
df
Sig. (2-tailed)
Mean Difference
Std. Error Difference
95% Confidence Interval of the Difference Lower Upper
-41.539
398
.000
-3.44
.083
-3.598
-3.272
-41.539
383.141
.000
-3.44
.083
-3.598
-3.272
-9.051
398
.000
-7.8291
.86501
-9.52960
-6.12850
-9.051
392.064
.000
-7.8291
.86501
-9.52968
-6.12842
-9.980
398
.000
-.0627
.00628
-.07505
-.05035
-9.980
343.193
.000
-.0627
.00628
-.07506
-.05034
-6.436
398
.000
-2.0055
.31162
-2.61817
-1.39293
-6.436
396.036
.000
-2.0055
.31162
-2.61818
-1.39292
Lampiran 14. Hasil uji beda t berpasangan antara kadar Hb sebelum dan sesudah suplementasi seluruh contoh Paired Samples Statistics
Pair 1
hb awal hb akhir
Mean 12.400 12.297
N
Std. Error Mean .0767 .0567
Std. Deviation 1.4940 1.1041
379 379
Paired Samples Test Paired Differences
Pair 1
hb awal - hb akhir
Mean .103
Std. Deviation 1.4268
Std. Error Mean .0733
95% Confidence Interval of the Difference Lower Upper -.041 .247
t 1.408
df 378
Sig. (2-tailed) .160
Lampiran 15. Hasil uji beda t berpasangan antara kadar Hb sebelum dan sesudah suplementasi siswi SMK Paired Samples Statistics
Pair 1
hb awal hb akhir
Mean 12.313 12.365
N 196 196
Std. Deviation 1.4650 .9954
Std. Error Mean .1046 .0711
Paired Samples Test Paired Differences
Pair 1
hb awal - hb akhir
Mean -.052
Std. Deviation 1.3154
Std. Error Mean .0940
95% Confidence Interval of the Difference Lower Upper -.237 .133
t -.554
df 195
Sig. (2-tailed) .580
Lampiran 16. Hasil uji beda t berpasangan antara kadar Hb sebelum dan sesudah suplementasi siswi SMP Paired Samples Statistics
Pair 1
hb awal hb akhir
Mean 12.493 12.223
N 183 183
Std. Deviation 1.5230 1.2082
Std. Error Mean .1126 .0893
Paired Samples Test Paired Differences
Pair 1
hb awal - hb akhir
Mean .269
Std. Deviation 1.5233
95% Confidence Interval of the Difference Lower Upper .047 .492
Std. Error Mean .1126
t 2.392
df 182
Sig. (2-tailed) .018
Lampiran 17. Hasil uji beda McNemar antara status anemia awal dan akhir seluruh contoh, siswi SMK dan SMP Chi-Square Tests Value McNemar Test N of Valid Cases
379
a. Binomial distribution used.
Chi-Square Tests Exact Sig. (2-sided) .255a
Value McNemar Test N of Valid Cases
196
a. Binomial distribution used.
Chi-Square Tests Exact Sig. (2-sided) .019a
Value McNemar Test N of Valid Cases
183
a. Binomial distribution used.
Exact Sig. (2-sided) .708a