FAKTOR RISIKO ANEMIA PADA REMAJA PUTRI PESERTA PROGRAM PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN ANEMIA GIZI BESI (PPAGB) DI KOTA BEKASI
ERMITA ARUMSARI
PROGRAM STUDI GIZI MASYARAKAT DAN SUMBERDAYA KELUARGA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
Sebanyak 99.3 persen contoh tidak memiliki riwayat penyakit yang berhubungan dengan anemia seperti malaria, tuberculosis, dan kecacingan (dalam jangka waktu sebulan yang lalu). Sebagian besar contoh memiliki kebiasaan mencuci tangan sebelum makan. Sebanyak 52.0 persen contoh memiliki aktivitas fisik olahraga ringan. Persentase contoh anemia yang melakukan aktivitas olahraga sedang sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan contoh tidak anemia. Hampir separuh contoh jarang mengkonsumsi ikan segar (47.3%) dan daging ayam (48.5%). Telur ayam paling sering dikonsumsi oleh contoh setiap hari (10.3%). Semakin jarang telur ayam dan telur bebek dikonsumsi maka kecenderungan anemia akan semakin kecil (p<0.1). Frekuensi lauk nabati berkisar 0-6 kali seminggu. Lauk nabati dikonsumsi kurang dari 20 persen contoh dengan frekuensi setiap hari. Kurang dari 5 persen contoh mengkonsumsi sayuran setiap hari. Sayuran hijau seperti bayam lebih jarang dikonsumsi oleh contoh yang anemia (43.2%). Semakin jarang waluh dan sawi dikonsumsi maka kecenderungan anemia akan semakin kecil (p<0.1). Kurang dari 12 persen contoh mengkonsumsi buah-buahan setiap hari. Semakin jarang pepaya dikonsumsi maka kecenderungan anemia akan semakin kecil. Lebih dari separuh contoh tidak pernah mengkonsumsi makanan jajanan (bakso, mie, dan gorengan). Contoh anemia lebih sering mengkonsumsi teh dan kopi. Hampir separuh contoh (44.8%) tidak pernah mengkonsumsi susu. Contoh anemia lebih sering mengkonsumsi suplemen Hasil korelasi Spearman menunjukkan bahwa faktor risiko yang secara signifikan mempengaruhi status anemia adalah usia, status menstruasi, frekuensi konsumsi telur ayam, telur bebek, waluh, dan sawi. Hasil regresi logistik menunjukkan remaja putri yang berada pada kisaran usia 13-15 tahun memiliki kecenderungan untuk mengalami anemia 2.73 kali lebih besar dibandingkan remaja putri yang berusia 10-12 tahun (p=0.001). Remaja putri yang berstatus gizi kurus cenderung untuk mengalami anemia 8.32 kali lebih besar dibandingkan remaja putri yang berstatus gizi gemuk (p=0.006). Remaja putri yang berstatus gizi normal memiliki kecenderungan 6.73 kali lebih besar untuk mengalami anemia dibandingkan remaja putri yang berstatus gizi gemuk (p=0.013).
RINGKASAN ERMITA ARUMSARI. Faktor Risiko Anemia pada Remaja Putri Peserta Program Pencegahan dan Penanggulangan Anemia Gizi Besi (PPAGB) di Kota Bekasi. Di bawah bimbingan Dodik Briawan Tujuan umum dari penelitian ini adalah mengetahui faktor risiko anemia remaja putri peserta program Pencegahan dan Penanggulangan Anemia Gizi Besi (PPAGB) di Kota Bekasi. Tujuan khusus dari penelitian adalah : (1) mengkaji kadar hemoglobin dan status anemia remaja putri, (2) mengkaji usia dan status gizi antropometri remaja putri, (3) mengkaji pola menstruasi remaja putri, (4) mengkaji riwayat penyakit remaja putri, (5) mengkaji perilaku hidup bersih dan sehat remaja putri, (6) mengkaji aktivitas fisik remaja putri, (7) mengkaji frekuensi konsumsi pangan sumber zat besi remaja putri, (8) menganalisis faktor risiko anemia remaja putri. Desain penelitian adalah cross-sectional study yaitu data baseline dari Dinas Kesehatan Kota Bekasi untuk pelaksanaan Program Pencegahan dan Penanggulangan Anemia Gizi Besi (PPAGB). Lokasi penelitian dilaksanakan di SMP VII dan SMK Teratai Putih Global 2. Pemilihan didasarkan kesediaan sekolah mengikuti program serta keaktifan puskesmas yang dekat dengan lokasi sekolah untuk mengumpulkan data pengukuran hemoglobin. Waktu pengambilan data dilakukan pada November 2007-Februari 2008. Contoh sejumlah 400 orang terdiri dari 200 orang siswi SMP VII dan 200 orang siswi SMK Teratai Putih Global 2. Usia contoh berkisar 10-18 tahun. Pengambilan contoh dilakukan secara sengaja dengan pertimbangan kesediaan siswi mengikuti program dan adanya izin dari orangtua. Data yang dikumpulkan berupa data sekunder dari Dinas Kesehatan Kota Bekasi. Data dikumpulkan melalui tiga cara (wawancara, pengukuran langsung, pemeriksaan laboratorium). Wawancara langsung saat pengumpulan data menggunakan kuisioner yang berisi data usia, aktivitas fisik, pola menstruasi, riwayat penyakit, perilaku hidup bersih dan sehat, dan frekuensi konsumsi pangan. Data antropometri dan status gizi diketahui melalui pengukuran berat dan tinggi badan. Penentuan kadar hemoglobin dilakukan dengan pengambilan sampel darah dan dianalisis dengan metode Cyanmethemoglobin. Analisis korelasi Spearman dilakukan untuk melihat besar hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen. Regresi Logistik dilakukan untuk mengetahui faktor risiko yang paling berkaitan dengan status anemia. Rata-rata kadar hemoglobin adalah 12.4 g/dl (7.2-16.0 g/dl). Lebih dari separuh contoh (61.7%) tidak mengalami anemia. Terdapat 6.0 persen contoh mengalami anemia sedang. Secara keseluruhan 38.3 persen contoh mengalami anemia. Rata-rata usia adalah 13.7 tahun (10-18 tahun). Proporsi terbesar contoh berusia 10-12 tahun dan hampir separuh contoh tidak anemia berada pada kisaran usia tersebut. Lebih dari separuh contoh anemia berusia 13-15 tahun dan baru mengalami menstruasi sehingga kecenderungan anemia lebih besar akibat kehilangan darah yang dialami. Rata-rata IMT adalah 19.3 kg/m2 (11.9 kg/m2-7.5 kg/m2). Proporsi terbesar contoh (48.0%) berada pada status gizi kurus. Sebagian besar contoh (75.5%) sudah menstruasi dan memiliki frekuensi menstruasi teratur. Frekuensi menstruasi tidak teratur lebih sering dialami contoh anemia. Lebih dari separuh contoh anemia mengganti pembalut 3-4 kali setiap hari dan 49.1 persen contoh tidak anemia mengganti pembalut 1-2 kali. Sebagian besar contoh memiliki lama menstruasi yang normal.
Sebanyak 99.3 persen contoh tidak memiliki riwayat penyakit yang berhubungan dengan anemia seperti malaria, tuberculosis, dan kecacingan (dalam jangka waktu sebulan yang lalu). Sebagian besar contoh memiliki kebiasaan mencuci tangan sebelum makan. Sebanyak 52.0 persen contoh memiliki aktivitas fisik olahraga ringan. Persentase contoh anemia yang melakukan aktivitas olahraga sedang sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan contoh tidak anemia. Hampir separuh contoh jarang mengkonsumsi ikan segar (47.3%) dan daging ayam (48.5%). Telur ayam paling sering dikonsumsi oleh contoh setiap hari (10.3%). Semakin jarang telur ayam dan telur bebek dikonsumsi maka kecenderungan anemia akan semakin kecil (p<0.1). Frekuensi lauk nabati berkisar 0-6 kali seminggu. Lauk nabati dikonsumsi kurang dari 20 persen contoh dengan frekuensi setiap hari. Kurang dari 5 persen contoh mengkonsumsi sayuran setiap hari. Sayuran hijau seperti bayam lebih jarang dikonsumsi oleh contoh yang anemia (43.2%). Semakin jarang waluh dan sawi dikonsumsi maka kecenderungan anemia akan semakin kecil (p<0.1). Kurang dari 12 persen contoh mengkonsumsi buah-buahan setiap hari. Semakin jarang pepaya dikonsumsi maka kecenderungan anemia akan semakin kecil. Lebih dari separuh contoh tidak pernah mengkonsumsi makanan jajanan (bakso, mie, dan gorengan). Contoh anemia lebih sering mengkonsumsi teh dan kopi. Hampir separuh contoh (44.8%) tidak pernah mengkonsumsi susu. Contoh anemia lebih sering mengkonsumsi suplemen Hasil korelasi Spearman menunjukkan bahwa faktor risiko yang secara signifikan mempengaruhi status anemia adalah usia, status menstruasi, frekuensi konsumsi telur ayam, telur bebek, waluh, dan sawi. Hasil regresi logistik menunjukkan remaja putri yang berada pada kisaran usia 13-15 tahun memiliki kecenderungan untuk mengalami anemia 2.73 kali lebih besar dibandingkan remaja putri yang berusia 10-12 tahun (p=0.001). Remaja putri yang berstatus gizi kurus cenderung untuk mengalami anemia 8.32 kali lebih besar dibandingkan remaja putri yang berstatus gizi gemuk (p=0.006). Remaja putri yang berstatus gizi normal memiliki kecenderungan 6.73 kali lebih besar untuk mengalami anemia dibandingkan remaja putri yang berstatus gizi gemuk (p=0.013).
FAKTOR RISIKO ANEMIA PADA REMAJA PUTRI PESERTA PROGRAM PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN ANEMIA GIZI BESI (PPAGB) DI KOTA BEKASI
ERMITA ARUMSARI
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga
PROGRAM STUDI GIZI MASYARAKAT DAN SUMBERDAYA KELUARGA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
Judul Skripsi
Faktor Risiko Anemia pada Remaja Putri Peserta
:
Program Pencegahan dan Penanggulangan Anemia Gizi Besi (PPAGB) di Kota Bekasi Nama
:
Ermita Arumsari
NRP
:
A54104076
Program Studi
:
Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga
Disetujui, Dosen Pembimbing
Dr. Ir. Dodik Briawan, MCN NIP. 131 879 330
Diketahui, Dekan Fakultas Pertanian IPB
Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M. Agr NIP. 131 124 019
Tanggal Lulus
:
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kotabaru, Kalimantan Selatan pada tanggal 3 November 1986. Penulis merupakan anak kedua dari dua bersaudara dari pasangan Pramudyanto dan Erina Hasniah. Penulis menempuh pendidikan di SDN Semayap 2 Kotabaru Kalimantan Selatan pada tahun 1992-1996 dilanjutkan di SDN Klegen 5 Madiun dan lulus tahun 1998. Pendidikan dilanjutkan di SLTP Negeri 1 Madiun tahun 1998-2001. Tahun 2001, penulis diterima di SMU Negeri 2 Madiun dilanjutkan di SMU Negeri 1 Jember dan lulus tahun 2004. Pada tahun yang sama, penulis diterima sebagai mahasiswa Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui jalur SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru). Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif di beberapa kepanitiaan kampus dan organisasi kemahasiswaan. Organisasi yang pernah diikuti yaitu Sopran 1 Paduan Suara Mahasiswa Agriaswara tahun 2004-2006 dan Himpunan Mahasiswa Peduli Pangan Indonesia tahun 2005-2006.
PRAKATA Puji dan syukur kepada Allah SWT atas segala limpahan rahmat dan karunia-Nya, penulis dapat menyusun skripsi yang berjudul “Faktor Risiko Anemia pada Remaja Putri Peserta Program Pencegahan dan Penanggulangan Anemia Gizi Besi (PPAGB) di Kota Bekasi”. Skripsi ini disusun sebagai salah satu persyaratan untuk dapat memperoleh gelar sarjana pada Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Institut Pertanian Bogor. Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada : 1. Dr. Ir. Dodik Briawan, MCN selaku dosen pembimbing skripsi yang dengan penuh kesabaran telah meluangkan waktu dan pikiran, memberikan arahan, masukan, kritikan, semangat, dan dorongan untuk menyelesaikan tugas akhir ini 2. Dr. Ir. Ikeu Ekayanti, M.Kes selaku dosen penguji, yang telah berkenan memberikan saran dan kritik demi kesempurnaan skripsi ini 3. Dr. Ir. Budi Setiawan, MS selaku dosen pemandu seminar atas saran yang diberikan 4. Dr. Ir. Yayuk F. Baliwati, MS selaku dosen pembimbing akademik serta seluruh dosen GMSK atas ilmu dan nasehat yang telah diberikan 5. Ibu, bapak, kakak Niken, dan seluruh keluarga besar atas segala kasih sayang, doa, nasehat, dan semangat yang diberikan selama ini 6. Pihak Dinas Kesehatan Kota Bekasi, dr. Pusporini, Pak Agus, Bu Nining, dan Bu Titik atas kesempatan dan bantuan yang diberikan kepada penulis saat pengambilan data 7. Para pembahas seminar (Friska Amelia, Ahmawati Prapti, dan Eka Septiani) atas saran dan masukan yang diberikan 8. Sahabatku Yesa, Dewi Mei, Henny, Friska, Lola, Ari, Ima, Dewi K, Rizka, dan Marissa serta teman-teman GMSK 41 NRP 01-92, terimakasih atas segala bantuan, dukungan, serta kebersamaan dan cerita indah selama empat tahun 9. Teman-teman 345’ers, Yustika Muharastri, Indah Primadianti, dan Nidia Roosita, terimakasih atas kenangan indah setahun awal bersama di IPB. Semoga persahabatan ini tidak akan pernah putus 10. Teman-teman KKP Cisalak Subang, Cindy Chairunisa, Khotimah Husniati, Cenra Intan Hartuti Tuharea, Ratu Dewi Hilna A, dan M. Ari Haryono, atas dua bulan kebersamaan yang menyenangkan
11. Teman-teman di PNS dan ACC, Nadia, Astiari, Cindy, Chanti, Pujik, Mira, Ellyta, Lia, Teztiana, Dila, Ita, dan Dini yang selalu mewarnai hari-hari yang takkan terlupakan 12. Teman-teman di Lautan Indonesia, Abel, Mer, Ale, Mizz-min-u, dan semuanya atas semangat, dukungan, dan keceriaan yang diberikan selama penyusunan skripsi 13. Semua pihak yang telah membantu dan mendukung penulis selama kuliah hingga penyelesaian skripsi
Bogor, Juli 2008
Penulis
DAFTAR ISI DAFTAR ISI ............................................................................................... i DAFTAR GAMBAR.................................................................................. iii DAFTAR TABEL ...................................................................................... iv DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................ v PENDAHULUAN ...................................................................................... 1 Latar Belakang............................................................................... 1 Tujuan ........................................................................................... 4 Hipotesis ........................................................................................ 4 Kegunaan ...................................................................................... 4 TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................. 5 Remaja Putri ................................................................................. 5 Anemia dan Faktor Penyebabnya ................................................. 6 Faktor Risiko Anemia..................................................................... 8 Menstruasi ............................................................................... 8 Status Gizi ............................................................................... 9 Riwayat Penyakit ................................................................... 10 Aktivitas Fisik ......................................................................... 11 Konsumsi Pangan.................................................................. 12 Perilaku Hidup Bersih dan Sehat ........................................... 14 Faktor Risiko Anemia Lainnya ..................................................... 15 Program Pencegahan dan Penanggulangan Anemia Gizi Besi (PPAGB) pada Remaja Putri ....................................................... 16 KERANGKA PEMIKIRAN....................................................................... 18 METODE PENELITIAN ........................................................................... 21 Desain, Tempat, dan Waktu ........................................................ 21 Penarikan Contoh ........................................................................ 21 Jenis dan Cara Pengumpulan Data ............................................. 21 Pengolahan dan Analisis Data..................................................... 22 Definisi Operasional..................................................................... 24 HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................. 26 Status Anemia ............................................................................. 26 Usia dan Status Gizi Antropometri............................................... 27 Usia......................................................................................... 27 Status Gizi Antropometri ......................................................... 28 Menstruasi ................................................................................... 29 Status Menstruasi .................................................................... 30 Frekuensi Menstruasi .............................................................. 31 Banyaknya Menstruasi ............................................................ 32 Lama Menstruasi ..................................................................... 33 Riwayat Penyakit ......................................................................... 34 Perilaku Hidup Bersih dan Sehat ................................................. 35 Aktivitas Fisik ............................................................................... 36 Frekuensi Konsumsi Pangan ....................................................... 37
Frekuensi Konsumsi Lauk Hewani ......................................... 38 Frekuensi Konsumsi Lauk Nabati ........................................... 40 Frekuensi Konsumsi Sayuran ................................................. 41 Frekuensi Konsumsi Buah-buahan......................................... 43 Frekuensi Konsumsi Makanan Jajanan .................................. 45 Frekuensi Konsumsi Minuman dan Suplemen ....................... 46 Analisis Faktor Risiko Anemia ..................................................... 48 KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................. 51 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 53 LAMPIRAN ............................................................................................. 57
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman
1.
Kerangka pemikiran faktor risiko anemia remaja putri peserta program Pencegahan dan Penanggulangan Anemia Gizi Besi (PPAGB) di Kota Bekasi ................................................................. 20
2.
Sebaran contoh berdasarkan kadar hemoglobin............................. 26
DAFTAR TABEL Nomor
Halaman
1.
Penggolongan anemia menurut kadar hemoglobin ............................ 7
2.
Rata-rata BB dan TB wanita berdasarkan usia .................................. 9
3.
Sebaran contoh berdasarkan usia dan status anemia ..................... 27
4.
Sebaran contoh berdasarkan status gizi dan status anemia ............ 29
5.
Sebaran contoh berdasarkan status menstruasi dan status anemia .............................................................................................. 30
6.
Sebaran contoh berdasarkan frekuensi menstruasi dan status anemia .............................................................................................. 31
7.
Sebaran contoh berdasarkan banyaknya menstruasi dan status anemia .............................................................................................. 32
8.
Sebaran contoh berdasarkan lamanya menstruasi dan status anemia ............................................................................................. 33
9. 10.
Sebaran contoh berdasarkan riwayat penyakit dan status anemia .. 34 Sebaran contoh berdasarkan perilaku hidup bersih dan sehat dan status anemia ............................................................................ 35
11.
Sebaran contoh berdasarkan aktivitas fisik dan status anemia........ 36
12.
Sebaran contoh berdasarkan frekuensi konsumsi lauk hewani dan status anemia ............................................................................ 38
13.
Sebaran contoh berdasarkan frekuensi konsumsi lauk nabati dan status anemia ................................................................................... 41
14.
Sebaran contoh berdasarkan frekuensi konsumsi sayuran dan status anemia ............................................................................ 42
15.
Sebaran contoh berdasarkan frekuensi konsumsi buah-buahan dan status anemia ............................................................................ 44
16.
Sebaran contoh berdasarkan frekuensi makanan jajanan dan status anemia ............................................................................ 45
17.
Sebaran contoh berdasarkan frekuensi minuman dan suplemen dan status anemia ............................................................................ 47
18.
Hasil regresi logistik faktor risiko anemia ......................................... 49
DAFTAR LAMPIRAN Nomor
Halaman
1.
Kuisioner Penelitian ............................................................................. 58
2.
Frekuensi Konsumsi Pangan ............................................................... 60
3.
Hasil Uji Korelasi Spearman Faktor Risiko dengan Status Anemia..... 61
4.
Hasil Analisis Regresi Logistik ............................................................. 62
PENDAHULUAN Latar Belakang Kualitas sumber daya manusia (SDM) ditentukan oleh banyak faktor yang saling berhubungan, berkaitan, dan saling bergantung, diantaranya adalah faktor pendidikan dan kesehatan. Kesehatan merupakan prasyarat yang diperlukan agar upaya pendidikan berhasil, selanjutnya pendidikan yang diperoleh akan sangat mendukung tercapainya peningkatan status kesehatan seseorang. Untuk membentuk kualitas manusia yang mempunyai kemampuan kerja fisik yang baik, tentunya harus didukung oleh tingkat keadaan gizi yang baik pula. Keadaan gizi yang baik akan meningkatkan kualitas hidup seseorang; kualitas hidup yang tinggi akan mendukung hasil kerja yang efisien dan optimal. Sebaliknya keadaan gizi yang tidak baik akan menurunkan daya tahan tubuh terhadap penyakit infeksi serta produktivitas kerja yang rendah (Depkes 2006). Keadaan gizi yang tidak baik seperti kekurangan zat gizi mikro masih merupakan masalah di negara berkembang (Ruel 2001). Defisiensi zat besi merupakan defisiensi zat gizi mikro yang paling umum terjadi di dunia dan merupakan masalah gizi kurang yang banyak diderita oleh remaja (Ruel 2001). Defisiensi zat besi merupakan hasil jangka panjang dari keseimbangan negatif zat besi dan tingkatan yang paling parah dari defisiensi zat besi disebut dengan anemia (WHO 2001). Menurut Soekirman (2000), saat ini diperkirakan lebih kurang 2.1 milyar orang di dunia menderita anemia gizi besi termasuk pada tingkat berat dan pada negara berkembang terdapat prevalensi anemia pada remaja putri sebesar 17-89 persen (Ruel 2001). Hasil SKRT 2001 menunjukkan bahwa 30 persen remaja wanita (10-19 tahun) menderita anemia (konsentrasi hemoglobin<120 g/l). Hasil tersebut tidak jauh berbeda dari hasil studi lainnya, yang mengindikasikan anemia merupakan masalah kesehatan di Indonesia (Permaesih dan Herman 2005). Prevalensi anemia yang cukup besar pada remaja putri ini karena pada masa remaja terjadi pertumbuhan yang cepat (growth spurt). Selama periode remaja, massa tulang meningkat dan terjadi remodeling tulang; jaringan lunak, organ-organ, dan bahkan massa sel darah merah meningkat dalam hal ukuran (DiMeglio 2000). Pertumbuhan tersebut menyebabkan kebutuhan zat besi meningkat secara dramatis dan pada saat remaja inilah kebutuhan zat gizi mencapai titik tertinggi. Menurut FAO/WHO (2001), kebutuhan zat besi yang diperlukan remaja putri untuk pertumbuhan berbeda antara early adolescence
dan middle adolescence. Kebutuhan zat besi yang lebih besar diperlukan oleh early adolescence karena pada usia tersebut growth spurt lebih intens terjadi dibandingkan middle adolescence, sehingga apabila terjadi kekurangan zat gizi makro dan mikro pada usia remaja baik early adolescence maupun middle adolescence dapat mengganggu pertumbuhan dan menghambat pematangan seksual (Beard 2000). Pertumbuhan yang cepat pada remaja memberikan konsekuensi terjadinya peningkatan kebutuhan zat gizi sebagai upaya mengimbangi pertumbuhan tersebut. Namun data menunjukkan bahwa asupan makanan para remaja putri tidak dapat menyediakan cukup zat gizi untuk memenuhi kebutuhan mereka dan lebih dari lima puluh persen kasus anemia yang tersebar di seluruh dunia secara langsung disebabkan oleh kurangnya masukan (intake) zat besi (Dillon 2005). Tidak semua zat besi yang berada dalam makanan dapat diserap tubuh karena bioavailabilitasnya yang rendah atau kurangnya asupan pangan hewani. Zat besi yang berasal dari hewani, penyerapannya tidak banyak dipengaruhi oleh jenis kandungan makanan lain dan lebih mudah diabsorpsi dibandingkan zat besi yang berasal dari nabati. Makanan nabati misalnya sayuran hijau tua, walaupun kaya akan zat besi namun hanya sedikit yang bisa diserap dengan baik oleh usus (Wirakusumah 1998). Namun pangan sumber zat besi terutama zat besi heme, yang bioavailabilitasnya tinggi, sangat jarang dikonsumsi oleh masyarakat di negara berkembang. Kebanyakan masyarakat memenuhi kebutuhan besi mereka dari produk nabati (Backstrand et al 2002). Kebutuhan zat besi juga akan meningkat pada remaja putri sehubungan dengan terjadinya menstruasi. Remaja terutama yang telah mengalami menstruasi, dibandingkan dengan yang belum menstruasi, lebih rentan terhadap anemia, sehubungan dengan kehilangan darah yang dialami sewaktu menstruasi (Dillon 2005). Apabila darah yang keluar saat menstruasi cukup banyak, berarti jumlah zat besi yang hilang dari tubuh juga cukup besar dan kehilangan tersebut dapat memicu timbulnya anemia (Wirakusumah 1998). Wanita pada umumnya cenderung mempunyai simpanan zat besi yang lebih rendah dibandingkan pria dan hal itu membuat wanita lebih rentan mengalami defisiensi zat besi saat intake zat besi kurang atau kebutuhan meningkat seperti saat menstruasi (Gleason & Scrimshaw 2007). Penyebab anemia lainnya adalah terjadinya kehilangan zat besi karena penyakit infeksi seperti malaria dan cacing. Kehilangan darah akibat infestasi
cacing dan malaria karena hemolisis dapat menyebabkan defisiensi zat besi dan anemia. Trauma dapat pula menyebabkan defisiensi zat besi. Infeksi cacing tambang menyebabkan pendarahan pada dinding usus, walaupun sedikit tetapi terjadi terus menerus dan hal itu dapat mengakibatkan hilangnya darah atau zat besi. Kehilangan darah tersebut mengakibatkan defisiensi zat besi (WHO 2001) Defisiensi zat besi dapat terjadi pada tingkatan umur manapun terutama pada wanita usia reproduktif dan anak-anak. Defisiensi zat besi dapat mengganggu status imunitas dan fungsi kognitif pada berbagai tingkatan umur. Pada anak usia sekolah dapat mempengaruhi prestasi belajar; pada usia dewasa dapat menimbulkan kelelahan dan mengurangi kapasitas kerja, dan pada ibu hamil dapat menyebabkan bayi lahir prematur (Ruel 2001). Menurut Soekirman (2000), anemia gizi besi pada kelompok remaja dapat menimbulkan berbagai dampak antara lain menurunkan daya tahan tubuh sehingga mudah terkena penyakit dan menurunkan aktivitas yang berkaitan dengan kemampuan kerja fisik dan prestasi belajar. Disamping itu remaja yang menderita anemia mengalami penurunan kebugaran sehingga akan menghambat prestasi olahraga dan produktivitas. Kekurangan zat gizi mikro pada masa remaja dapat berdampak negatif pada proses pertumbuhan dan kematangan organ-organ reproduksi (Dillon 2005). Hasil studi faktor risiko lainnya menunjukkan bahwa terdapat faktor-faktor lain yang berpengaruh terhadap kejadian anemia antara lain pendidikan, jenis kelamin, wilayah, kebiasaan sarapan, status kesehatan, dan keadaan Indeks Massa Tubuh (IMT) dalam kategori kurus (Permaesih dan Herman 2005). Sedangkan menurut hasil penelitian Maharani (2003), faktor risiko yang secara signifikan mempengaruhi kecenderungan status anemia mahasiswa baru yaitu faktor jenis kelamin, umur, pendapatan orangtua, dan status proteinuria. Adanya faktor risiko tersebut dapat mempengaruhi kecenderungan status anemia seseorang terutama pada remaja yang berada dalam masa pertumbuhan. Mengingat dampak yang terjadi akibat anemia sangat merugikan kualitas kerja dan mutu sumber daya manusia di masa mendatang, maka peneliti tertarik untuk mengetahui faktor risiko anemia pada remaja, khususnya pada remaja putri peserta program Pencegahan dan Penanggulangan Anemia Gizi Besi (PPAGB) di Kota Bekasi.
Tujuan Tujuan Umum : Mengetahui
faktor
risiko
anemia
remaja
putri
peserta
program
Pencegahan dan Penanggulangan Anemia Gizi Besi (PPAGB) di Kota Bekasi
Tujuan Khusus : 1. Mengkaji status besi (kadar hemoglobin dan status anemia) remaja putri peserta program PPAGB 2. Mengkaji usia dan status gizi antropometri remaja putri peserta program PPAGB 3. Mengkaji menstruasi remaja putri peserta program PPAGB 4. Mengkaji riwayat penyakit remaja putri peserta program PPAGB 5. Mengkaji perilaku hidup bersih dan sehat remaja putri peserta program PPAGB 6. Mengkaji aktivitas fisik remaja putri peserta program PPAGB 7. Mengkaji frekuensi konsumsi pangan sumber zat besi remaja putri peserta program PPAGB 8. Menganalisis faktor risiko anemia remaja putri peserta program PPAGB
Hipotesis Usia, status gizi antropometri, menstruasi, riwayat penyakit, perilaku hidup bersih dan sehat, aktivitas fisik, dan frekuensi konsumsi pangan tidak mempengaruhi status anemia remaja putri peserta program Pencegahan dan Penanggulangan Anemia Gizi Besi (PPAGB) di Kota Bekasi
Kegunaan Penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi remaja dan keluarga serta pihak yang terkait sebagai usaha pencegahan anemia sedini mungkin dengan meningkatkan kesadaran tentang faktor risiko anemia pada remaja. Selain itu diharapkan dapat memberikan informasi yang tepat kepada petugas kesehatan dalam upaya penanggulangan anemia gizi.
TINJAUAN PUSTAKA Remaja Putri WHO mendefinisikan remaja sebagai bagian dari siklus hidup antara usia 10-19 tahun. Remaja berada diantara dua masa hidup, dengan beberapa masalah gizi yang sering terjadi pada anak-anak dan dewasa (WHO 2006). Remaja memiliki pertumbuhan yang cepat (growth spurt) dan merupakan waktu pertumbuhan yang intens setelah masa bayi serta satu-satunya periode dalam hidup individu terjadi peningkatan velositas pertumbuhan. Selama masa remaja, seseorang dapat mencapai 15 persen dari tinggi badan dan 50 persen dari berat badan saat dewasa. Pertumbuhan yang cepat ini sejalan dengan peningkatan kebutuhan zat gizi, yang secara signifikan dipengaruhi oleh infeksi dan pengeluaran energi (UNS-SCN 2006). Massa tulang meningkat sebesar 45 persen dan remodeling tulang terjadi; jaringan lunak, organ-organ, dan bahkan massa sel darah merah meningkat dalam hal ukuran, akibatnya kebutuhan zat gizi mencapai titik tertinggi saat remaja. Adanya kekurangan zat gizi makro dan mikro dapat mengganggu pertumbuhan dan menghambat pematangan seksual. Kebutuhan untuk individual tidak mungkin diestimasikan karena adanya pertimbangan variasi dalam tingkat dan jumlah pertumbuhan (DiMeglio 2000). Pada remaja wanita, puncak pertumbuhan terjadi sekitar 12-18 bulan sebelum mengalami menstruasi pertama atau sekitar usia 10-14 tahun (ADB/SCN 2001 diacu dalam Briawan 2008). Selama periode remaja, kebutuhan zat besi meningkat secara dramatis sebagai hasil dari ekspansi total volume darah, peningkatan massa lemak tubuh, dan terjadinya menstruasi pada remaja putri (Beard 2000). Pada wanita, kebutuhan yang tinggi akan besi terutama disebabkan kehilangan zat besi selama menstruasi (Wiseman 2002). Secara keseluruhan, kebutuhan zat besi meningkat dari kebutuhan saat sebelum remaja sebesar 0.7-0.9 mg Fe/hari menjadi 2.2 mg Fe/hari atau mungkin lebih saat menstruasi berat. Peningkatan kebutuhan ini berhubungan dengan waktu dan ukuran growth spurt sama seperti kematangan seksual dan terjadinya menstruasi. Hal ini mengakibatkan wanita lebih rawan terhadap anemia besi dibandingkan pria (Beard 2000). Wanita cenderung mempunyai simpanan zat besi yang lebih rendah dibandingkan pria, membuat wanita lebih rentan mengalami defisiensi zat besi saat asupan zat besi kurang atau kebutuhan meningkat. Jika zat besi yang dikonsumsi terlalu sedikit atau bioavailabilitasnya rendah atau makanan
berinteraksi dengan membatasi absorpsi yang dibutuhkan tubuh untuk memenuhi kebutuhan zat besi, cadangan zat besi dalam tubuh akan digunakan dan hal tersebut dalam menimbulkan defisiensi zat besi (Gleason & Scrimshaw 2007). Pada masa remaja, seseorang akan mengalami perubahan baik kognitif, sosial-emosional, dan gaya hidup yang dapat menciptakan dampak yang sangat besar dalam kebiasaan makan remaja. Survei yang dilakukan Hurlock (1997) menunjukkan bahwa remaja suka sekali jajan makanan ringan. Jenis makanan ringan yang dikonsumsi adalah kue-kue yang manis dan golongan pastry serta permen sedangkan golongan sayur-sayuran dan buah-buahan jarang dikonsumsi sehingga dalam diet mereka rendah akan zat besi, vitamin, dan lain-lain. Selain itu hasil survei menunjukkan bahwa remaja menyukai minuman ringan, teh, dan kopi yang frekuensinya lebih sering dibandingkan konsumsi susu.
Anemia dan Faktor Penyebabnya Status zat besi tiap individu bermacam-macam mulai dari excess zat besi sampai anemia defisiensi zat besi. Walaupun kebutuhan zat besi bervariasi pada tiap grup yang tergantung pada faktor-faktor seperti pertumbuhan (bayi, remaja, kehamilan) dan perbedaan kehilangan normal zat besi (menstruasi dan kelahiran), terjadi proses yang diatur tubuh dalam meningkatkan absorpsi zat besi sejalan dengan penggunaan zat besi dan menurunkan absorpsi zat besi yang disimpan di dalam tubuh sejalan dengan adanya asupan makanan (Gleason & Scrimshaw 2007). Anemia terjadi apabila kepekatan hemoglobin dalam darah di bawah batas normal. Hemoglobin ialah sejenis pigmen yang terdapat dalam sel darah merah, bertugas membawa oksigen dari paru-paru ke jaringan tubuh. Zat besi mempunyai peranan penting dalam tubuh, selain membantu hemoglobin mengangkut oksigen dan mioglobin menyimpan oksigen, zat besi juga membantu berbagai macam enzim dalam mengikat oksigen untuk proses pembakaran (Brody 1994). Anemia gizi adalah suatu keadaan kekurangan kadar hemoglobin dalam darah yang disebabkan karena kekurangan zat gizi yang diperlukan untuk pembentukan hemoglobin (Depkes 1998). Menurut WHO (2001), batas ambang anemia untuk wanita usia 11 tahun keatas adalah apabila konsentrasi atau kadar hemoglobin dalah darah kurang dari 12 g/dl. Penggolongan jenis anemia menjadi ringan, sedang, dan berat belum ada keseragaman mengenai batasannya, namun untuk mempermudah
pelaksanaan pengobatan dan mensukseskan program lapangan, menurut ACC/SCN (1991), anemia dapat digolongkan menjadi tiga : Tabel 1 Penggolongan anemia menurut kadar Hb Anemia Ringan Sedang Berat Sumber : ACC/SCN (1991)
Hb (g/dl) 10.0 – 11.9 7.0 – 9.9 < 7.0
Sebelum terjadi anemia biasanya terjadi kekurangan zat besi secara perlahan-lahan. Pada tahap awal, simpanan zat besi yang berbentuk ferritin dan hemosiderin menurun dan absorpsi besi meningkat. Daya ikat besi (iron binding capacity) meningkat seiring dengan menurunnya simpanan zat besi dalam sumsum tulang dan hati. Ini menandakan berkurangnya zat besi dalam plasma. Selanjutnya zat besi yang tersedia untuk pembentukan sel-sel darah merah (sistem eritropoesis) di dalam sumsum tulang berkurang dan terjadi penurunan jumlah sel darah merah dalam jaringan. Pada tahap akhir, hemoglobin menurun (hypocromic) dan eritrosit mengecil (microcytic) dan terjadi anemia gizi besi (Wirakusumah 1998). Anemia dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Menurut Depkes (1998), anemia terjadi karena : (1) kandungan zat besi makanan yang dikonsumsi tidak mencukupi kebutuhan, (2) meningkatnya kebutuhan tubuh akan zat besi, dan (3) meningkatnya pengeluaran zat besi dari tubuh. Penyebab utama anemia yang paling umum diketahui adalah : (1) kurangnya kandungan zat besi dalam makanan, (2) penyerapan zat besi dari makanan yang sangat rendah, (3) adanya zat-zat yang menghambat penyerapan zat besi, dan (4) adanya parasit di dalam tubuh seperti cacing tambang atau cacing pita, atau kehilangan banyak darah akibat kecelakaan atau operasi (Biesalski dan Erhardt 2007). Defisiensi zat besi dari makanan biasanya menjadi faktor utama. Jika zat besi yang dikonsumsi terlalu sedikit atau bioavailabilitasnya rendah atau makanan berinteraksi dengan membatasi absorpsi yang dibutuhkan tubuh untuk memenuhi kebutuhan zat besi, cadangan zat besi dalam tubuh akan digunakan dan hal tersebut dalam menimbulkan defisiensi zat besi (Gleason & Scrimshaw 2007). Defisiensi zat gizi seperti asupan asam folat dan vitamin A, B12, dan C yang rendah dan penyakit infeksi seperti malaria dan kecacingan dapat pula menimbulkan anemia (WHO 2001).
Faktor Risiko Anemia Menstruasi Anemia pada remaja putri disebabkan masa remaja adalah masa pertumbuhan yang membutuhkan zat gizi lebih tinggi termasuk zat besi. Selain itu pada masa remaja, seseorang akan mengalami menstruasi. Menstruasi ialah perdarahan
secara
periodik
dan
siklik
dari
uterus
disertai
pelepasan
endometrium. Lama menstruasi biasanya antara 3-5 hari dan ada yang 1-2 hari. Beberapa faktor yang mengganggu kelancaran siklus menstruasi yaitu faktor stres, perubahan berat badan, olahraga yang berlebihan, dan keluhan menstruasi. Panjang daur dapat bervariasi pada satu wanita selama saat-saat yang berbeda dalam hidupnya (Affandi 1990). Menstruasi adalah suatu proses fisiologis yang dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain lingkungan, musim, dan tingginya tempat tinggal dari permukaan laut. Faktor lain yang penting adalah faktor sosial misalnya status perkawinan dan lamanya menstruasi ibu. Usia dan ovulasi mempengaruhi lamanya menstruasi. Rata-rata lama perdarahan pada kebanyakan wanita setiap periode kurang lebih tetap (Affandi 1990). Saat menstruasi terjadi pengeluaran darah dari dalam tubuh. Hal ini menyebabkan zat besi yang terkandung dalam hemoglobin, salah satu komponen sel darah merah, juga ikut terbuang. Semakin lama menstruasi berlangsung, maka semakin banyak pengeluaran dari tubuh. Hal tersebut mengakibatkan pengeluaran besi meningkat dan keseimbangan zat besi dalam tubuh terganggu (Depkes 1998). Menstruasi menyebabkan wanita kehilangan besi hingga dua kali jumlah kehilangan besi laki-laki (Brody 1994). Apabila darah yang keluar saat menstruasi cukup banyak, berarti jumlah zat besi yang hilang dari tubuh juga cukup besar. Setiap orang mengalami kehilangan darah dalam jumlah yang berbeda-beda. Hal ini dipengaruhi oleh banyak faktor seperti keturunan, keadaan kelahiran, dan besar tubuh (Affandi 1990). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa jumlah darah yang hilang selama satu periode menstruasi berkisar antara 20-25 cc dan dianggap abnormal jika kehilangan darah menstruasi lebih dari 80 ml (Affandi 1990). Jumlah 20-25 cc menyiratkan kehilangan zat besi sebesar 12.5-15 mg/bulan atau kira-kira sama dengan 0.4-0.5 mg sehari. Jika jumlah tersebut ditambah dengan kehilangan basal maka jumlah total zat besi yang hilang sebesar 1.25 mg per hari (Arisman 2002). Wanita usia muda relatif lebih sedikit kehilangan darah
menstruasi dibandingkan dengan wanita usia lanjut yang masih mendapat menstruasi. Kebanyakan wanita dengan tingkat menstruasi yang berat sangat mungkin terkena anemia ringan (Wiseman 2002).
Status Gizi Status gizi adalah keadaan seseorang yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan, dan penggunaan zat gizi dari makanan dalam jangka waktu yang lama. Penilaian status gizi secara langsung dapat dibagi menjadi empat penilaian yaitu antropometri, klinis, biokimia, dan biofisik (Supariasa et al 2001). Pengukuran antropometri terdiri dari dua dimensi yaitu pengukuran pertumbuhan dan komposisi tubuh (pengukuran komponen lemak dan komponen bukan lemak). Menurut Riyadi (2001), indikator antropometri yang dipakai di lapangan adalah berat badan untuk mengetahui massa tubuh dan panjang atau tinggi badan untuk mengetahui dimensi berat linear dan indikator tersebut sangat tergantung pada umur. Antropometri sangat penting pada masa remaja karena antropometri dapat memonitor dan mengevaluasi perubahan pertumbuhan dan kematangan yang dipengaruhi oleh faktor hormonal. Pengukuran paling reliabel untuk ras spesifik dan popular untuk menentukan status gizi pada masa remaja saat ini adalah Indeks Massa Tubuh (IMT). IMT merupakan indeks berat badan seseorang dalam hubungannya dengan tinggi badan, yang ditentukan dengan membagi BB dalam satuan kg dengan kuadrat TB dalam satuan meter. Berikut adalah rata-rata berat badan dan tinggi badan wanita berdasarkan usia menurut WNPG 2004. Tabel 2 Rata-rata BB dan TB wanita berdasarkan usia Berat Badan (kg) Rata-rata SD 10-12 tahun 38.4 9.2 13-15 tahun 44.6 6.7 16-18 tahun 46.3 4.6 Sumber : Jahari & Jus’at (2004) dalam WNPG (2004) Usia
Tinggi Badan (cm) Rata-rata SD 145.4 8.8 152.3 4.6 149.1 4.9
Pada periode remaja, 20 persen tinggi badan dan 50 persen berat badan saat dewasa telah dicapai. Oleh karena itu kebutuhan zat gizi mencapai titik tertinggi saat remaja dan adanya kekurangan zat gizi makro dan mikro dapat mengganggu pertumbuhan dan menghambat pematangan seksual. Wanita yang berstatus gizi baik akan lebih cepat mengalami pertumbuhan badan dan akan lebih cepat mengalami menstruasi. Sebaliknya wanita yang berstatus gizi buruk pertumbuhannya akan pelan dan lama serta menstruasinya akan lebih lambat
(ABD/SCN 2001 diacu dalam Briawan 2008). IMT mempunyai korelasi positif dengan konsentrasi hemoglobin (Thompson 2007). Hal tersebut sejalan dengan penelitian Permaesih dan Herman (2005) yang menunjukkan bahwa remaja yang mempunyai IMT kurang atau tubuh kurus mempunyai risiko 1.5 kali untuk menjadi anemia.
Riwayat penyakit Anemia dapat menurunkan daya tahan tubuh sehingga mudah terkena infeksi (Permaesih dan Herman 2005). Telah diketahui secara luas bahwa infeksi merupakan faktor yang penting dalam menimbulkan kejadian anemia, dan anemia merupakan konsekuensi dari peradangan dan asupan makanan yang tidak memenuhi kebutuhan zat besi (Thurnham & Northrop-Clewes 2007). Kehilangan darah akibat schistosomiasis, infestasi cacing, dan trauma dapat menyebabkan defisiensi zat besi dan anemia. Angka kesakitan akibat penyakit infeksi meningkat pada populasi defisiensi besi akibat efek yang merugikan terhadap sistem imun. Malaria karena hemolisis dan beberapa infeksi parasit seperti cacing, trichuriasis, amoebiasis, dan schistosomiasis menyebabkan kehilangan
darah
secara
langsung
dan
kehilangan
darah
tersebut
mengakibatkan defisiensi besi (WHO 2001). Adanya infeksi cacing tambang menyebabkan pendarahan pada dinding usus,
meskipun
sedikit
tetapi
terjadi
terus
menerus
sehingga
dapat
mengakibatkan hilangnya darah atau zat besi. Infeksi cacing merupakan kontributor utama terjadinya anemia dan defisiensi besi. Cacing tambang dapat menyebabkan pendarahan usus yang memicu kehilangan darah akibat beban cacing dalam usus. Intensitas infeksi cacing tambang yang menyebabkan anemia defisiensi zat besi bervariasi menurut spesies dan status zat besi populasi. Cacing tambang yang menyebabkan kehilangan darah terbesar adalah A. duodenale (Dreyfuss et al 2000). Peningkatan kejadian akibat malaria pada penderita anemia gizi besi dapat memperberat keadaan anemia. Malaria adalah infeksi parasit yang ditimbulkan oleh satu dari empat spesies dari genus Plasmodium yaitu P. vivax, P. falciparum, P. ovale, dan P. malariae. Pada malaria P. falciparum, anemia sering ditemukan dan menggambarkan anemia berat (Shulman et al 1994). Menurut hasil penelitian Wijianto (2002), penyakit infeksi seperti malaria dapat menyebabkan rendahnya kadar Hb yang terjadi akibat hemolisis intravaskuler.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada wanita hamil di Nepal, terdapat bukti bahwa malaria berhubungan dengan defisiensi besi. Konsentrasi serum ferritin pada wanita yang terjangkit P. vivax lebih rendah dan proporsi wanita dengan serum ferritin rendah cenderung meningkat (Dreyfuss et al 2000). Peradangan dan pemanfaatan hemoglobin oleh parasit memegang peranan penting dalam etiologi anemia pada malaria. Peradangan tersebut terlihat dalam studi pada anak-anak India (2-11 tahun) yang menderita malaria parah, sedang, asimtomatik, dan tidak malaria. Hasil penelitian menunjukkan malaria asimtomatik memiliki konsentrasi hemoglobin yang lebih rendah dibandingkan dengan yang tidak menderita malaria. Walaupun persentase sel darah merah yang terinfeksi malaria biasanya lebih sedikit, anemia dapat timbul akibat blokade penempatan sel darah merah oleh faktor penghambat seperti hematopoiesis (Thurnham & Northrop-Clewes 2007).
Aktivitas Fisik Anemia dapat mempengaruhi tingkat kesegaran jasmani seseorang. Penelitian Permaesih menemukan 25 persen remaja di Bandung mempunyai kesegaran jasmani kurang dari normal (Permaesih dan Herman 2005). Aktivitas fisik erat kaitannya dengan kesehatan tubuh secara keseluruhan. Tubuh yang sehat mampu melakukan aktivitas fisik secara optimal, sebaliknya aktivitas fisik yang dilakukan secara rutin dalam porsi yang cukup mempunyai dampak positif bagi kesehatan badan. Pola aktivitas remaja didefinisikan sebagai kegiatan yang biasa dilakukan oleh remaja sehari-hari sehingga akan membentuk pola. Aktivitas remaja dapat dilihat dari bagaimana cara remaja mengalokasikan waktunya selama 24 jam dalam kehidupan sehari-hari untuk melakukan suatu jenis kegiatan secara rutin dan berulang-ulang (Kartono 1992 diacu dalam Ratnayani 2005). Menurut Framingham Study diacu dalam Ratnayani (2005), aktivitas fisik selama 24 jam dibagi menjadi lima yaitu aktivitas tidur, aktivitas berat (olah raga seperti jogging, sepak bola, atletik, dan sebagainya), aktivitas sedang (belajar, naik tangga, mencuci, mengepel, menyetrika, menyapu, dan sebagainya), aktivitas ringan (kegiatan sambil berdiri), dan aktivitas rileks (duduk, berbaring, dan sebagainya). Aktivitas fisik penting untuk mengetahui apakah aktivitas tersebut dapat mengubah status zat besi. Performa aktivitas akan menurun sehubungan dengan terjadinya penurunan konsentrasi hemoglobin dan jaringan yang mengandung
zat besi. Zat besi dalam hemoglobin, ketika jumlahnya berkurang, secara ekstrim dapat mengubah aktivitas kerja dengan menurunkan transpor oksigen (Beard dan Tobin 2000). Menstruasi pada wanita dapat meningkatkan risiko terjadinya defisiensi zat besi terkait aktivitas fisiknya tanpa memperhatikan kehilangan darah yang dialami setiap bulan. Pengeluaran zat besi dapat melalui keringat, feses dan urine, atau hemolisis intravaskular. Studi yang dilakukan pada atlet wanita menunjukkan bahwa kehilangan zat besi melalui keringat menurun sejalan dengan waktu. Konsentrasi zat besi terbesar dalam keringat terjadi selama 30 menit pertama olahraga dan konsentrasi zat besi tersebut lebih rendah pada lingkungan yang panas dibandingkan lingkungan bersuhu ruang. Pada berbagai kasus zat gizi mikro, wanita cenderung mempunyai asupan pangan yang kurang, dan defisiensi memberikan dampak yang merugikan pada aktivitas fisik (Akabas dan Dolins 2005).
Konsumsi Pangan Konsumsi pangan merupakan informasi tentang jenis dan jumlah pangan yang dimakan (dikonsumsi) seseorang atau kelompok orang pada waktu tertentu. Definisi ini menunjukkan bahwa konsumsi pangan dapat ditinjau dari aspek jenis pangan yang dikonsumsi dan jumlah pangan yang dikonsumsi. Dalam menghitung jumlah zat gizi yang dikonsumsi, kedua informasi ini (jenis dan jumlah pangan) merupakan hal yang penting. Batasan ini menunjukkan bahwa konsumsi pangan dapat ditinjau berdasarkan aspek jenis pangan dan jumlah pangan yang dikonsumsi. Pangan sebagai sumber berbagai zat gizi merupakan kebutuhan yang harus dipenuhi setiap hari (Kusharto dan Sa’diyyah 2006). Pangan sumber zat besi terutama zat besi heme, yang bioavailabilitasnya tinggi, sangat jarang dikonsumsi oleh masyarakat di negara berkembang, yang kebanyakan memenuhi kebutuhan besi mereka dari produk nabati (Backstrand et al 2002). Di Indonesia, ketidakcukupan jumlah Fe dalam makanan terjadi karena pola konsumsi makan masyarakat Indonesia masih didominasi sayuran sebagai sumber zat besi yang sulit diserap. Sementara itu, daging dan bahan pangan hewani sebagai sumber zat besi yang baik (heme iron) jarang dikonsumsi terutama oleh masyarakat pedesaan (Depkes 1998). Menurut Almatsier (2001) diperkirakan hanya 5-15 persen besi makanan diabsorpsi oleh seseorang yang berada dalam status besi baik dan jika dalam
keadaan defisiensi besi, absorpsi dapat mencapai 50 persen. Faktor bentuk besi berpengaruh terhadap absorpsi besi. Besi heme yang terdapat dalam pangan hewani dapat diserap dua kali lipat daripada besi nonheme. Besi dalam makanan terdapat dalam bentuk besi heme (dalam hemoglobin dan mioglobin makanan hewani) dan besi nonheme (dalam makanan nabati). Sumber besi nonheme yang baik diantaranya adalah kacang-kacangan. Asam fitat yang terkandung dalam kedelai dan hasil olahannya dapat menghambat penyerapan besi. Namun karena zat besi yang terkandung dalam kedelai dan hasil olahannya cukup tinggi, hasil akhir terhadap penyerapan besipun biasanya akan positif. Sayuran daun berwarna hijau memiliki kandungan zat besi yang tinggi sehingga jika sering dikonsumsi maka akan meningkatkan cadangan zat besi di dalam tubuh. Beberapa jenis sayuran hijau juga mengandung asam oksalat yang dapat menghambat penyerapan besi, namun efek menghambatnya relatif lebih kecil dibandingkan asam fitat dalam serealia dan tanin yang terdapat dalam teh dan kopi (Almatsier 2001). Bioavailabilitas zat besi dalam makanan sangat dipengaruhi oleh faktor pendorong dan penghambat. Absorpsi zat besi dapat bervariasi dari 1-40 persen tergantung pada faktor pendorong dan penghambat dalam makanan (WHO 2001). Menurut FAO/WHO (2001), faktor pendorong penyerapan zat besi diantaranya : -
Besi heme, terdapat dalam daging, unggas, ikan, dan seafood
-
Asam askorbat atau vitamin C, terdapat dalam buah-buahan
-
Makanan fermentasi seperti asinan dan kecap
Sedangkan faktor penghambat penyerapan zat besi : -
Fitat, terdapat dalam sekam dan butir serealia, tepung, kacang-kacangan
-
Makanan dengan kandungan inositol tinggi
-
Protein di dalam kedelai
-
Besi yang terikat phenolic (tannin); teh, kopi, coklat, beberapa bumbu (seperti oregano)
-
Kalsium, terutama dari susu dan produk susu Sumber baik zat besi berasal dari pangan hewani seperti daging, unggas,
dan ikan karena mempunyai ketersediaan biologik yang tinggi (Almatsier 2001). Pangan hewani seperti daging sapi, daging unggas, dan ikan memiliki Meat, Fish, Poultry Factor (MFP Factor) yang dapat meningkatkan penyerapan besi. Hasil pencernaan ketiga pangan tersebut menghasilkan asam amino cysteine
dalam jumlah besar. Selanjutnya asam amino tersebut mengikat besi dan membantu penyerapannya (Groff & Gropper 2000 diacu dalam Puri 2007). Konsumsi pangan yang rendah kandungan zat besi dapat menyebabkan ketidakseimbangan besi di dalam tubuh. Selain itu, tingginya konsumsi pangan yang dapat menghambat penyerapan besi dan rendahnya konsumsi pangan yang dapat membantu penyerapan besi di dalam tubuh juga dapat menyebabkan ketidakseimbangan besi di dalam tubuh. Jika hal tersebut berlangsung dalam jangka waktu yang lama, maka dapat menyebabkan defisiensi besi (Almatsier 2001). Salah satu metode yang dapat digunakan untuk mengetahui konsumsi pangan adalah metode frekuensi pangan yang dalam pelaksanaannya dilakukan pencatatan frekuensi atau banyak kali penggunaan pangan yang biasanya dikonsumsi untuk suatu periode waktu tertentu. Metode ini bertujuan untuk memperoleh data konsumsi pangan secara kualitatif dan informasi deskriptif tentang pola konsumsi. Dengan metode ini dapat dilakukan penilaian frekuensi penggunaan pangan atau kelompok pangan tertentu (sumber lemak, sumber protein, sumber zat besi, dan lain sebagainya) selama kurun waktu yang spesifik (per hari, minggu, bulan, tahun) dan sekaligus mengestimasi konsumsi zat gizinya. Kuisioner biasanya mempunyai dua komponen utama yaitu daftar pangan dan frekuensi penggunaan pangan (Kusharto dan Sa’diyyah 2006).
Perilaku Hidup Bersih dan Sehat Menurut Depkes (2004), perilaku hidup sehat adalah perilaku proaktif untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah risiko terjadinya penyakit, melindungi diri dari ancaman penyakit serta berperan aktif dalam gerakan kesehatan masyarakat. Perilaku hidup sehat sangat erat kaitannya dengan higiene perorangan (personal hygiene). Yang termasuk dalam higiene perorangan adalah mencuci tangan sebelum dan sesudah makan dengan sabun dan air bersih mampu mencegah risiko terkena diare (Anonim 2003 diacu dalam Nurwulan 2003). Selain itu kebersihan pribadi mencakup : kebersihan kulit, rambut, mata, kuku, hidung, telinga, mulut dan gigi, tangan dan kaki, pakaian, serta kebersihan sesudah buang air besar dan kecil (Depkes 2004). Cuci tangan sebelum makan merupakan salah satu faktor determinan status anemia. Sebagaimana diketahui bahwa cuci tangan sebelum makan merupakan salah satu perilaku hidup sehat. Melalui membiasakan mencuci
tangan sebelum makan diharapkan kuman-kuman tersebut tidak turut masuk ke dalam mulut, selanjutnya akan menyebabkan kecacingan sebab cacing di perut sebagai pemicu terjadinya anemia. Anak yang rutin mencuci tangan ternyata mempunyai risiko yang lebih kecil untuk terkena anemia (Irawati et al 2000).
Faktor Risiko Anemia Lainnya Secara umum, status anemia dipengaruhi oleh empat variabel utama yaitu infeksi, konsumsi pangan, keadaan fisiologi, dan pengeluaran zat besi oleh tubuh. Selain itu, terdapat faktor-faktor lain yang berpengaruh terhadap kejadian anemia antara lain pendidikan, jenis kelamin, wilayah, kebiasaan sarapan, status kesehatan, dan keadaan IMT (Indeks Massa Tubuh) dalam kategori kurus (Permaesih dan Herman 2005). Hasil penelitian Maharani (2003) menunjukkan bahwa faktor risiko yang secara signifikan mempengaruhi kecenderungan status anemia mahasiswa baru yaitu faktor jenis kelamin, umur, pendapatan orangtua, dan status proteinuria. Faktor pendidikan dapat mempengaruhi status anemia seseorang sehubungan dengan pemilihan makanan yang dikonsumsi. Tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan mempengaruhi pengetahuan dan informasi tentang gizi yang lebih baik dibandingkan seseorang yang berpendidikan lebih rendah. Pilihan konsumsi makanan seseorang selain dipengaruhi oleh pengetahuan gizi, juga dipengaruhi oleh wilayah seseorang tinggal dalam hal ketersediaan pangan (Permaesih dan Herman 2005). Keadaan Indeks Massa Tubuh (IMT) dalam kategori kurus mempunyai kecenderungan untuk terkena anemia (Permaesih dan Herman 2005). Menurut Thompson,
pertumbuhan
yang
terganggu
berhubungan
dengan
anemia
defisiensi besi dan Indeks Massa Tubuh (IMT) secara positif berhubungan dengan konsentrasi hemoglobin seseorang. Namun hasil tersebut berbeda dengan kelompok wanita usia subur di Lebanon, yang menunjukkan bahwa tidak adanya hubungan IMT dengan status anemia (Khatib et al 2006 diacu dalam Briawan 2008). Hasil penelitian Maharani menunjukkan bahwa pendapatan orang tua yang rendah memiliki kecenderungan menderita anemia. Hasil tersebut sesuai dengan penyataan WHO (2001) bahwa anemia sering terjadi diantara masyarakat yang memiliki status sosial ekonomi yang rendah. Penelitian di Indonesia yang dilakukan oleh Survival for Women and Children (SWACH)
Foundation menemukan bahwa bahwa status sosial ekonomi juga menjadi faktor yang mempengaruhi timbulnya kejadian anemia pada remaja (Bartley et al 2005). Faktor penentu anemia defisiensi besi lainnya termasuk pendapatan yang rendah dan kemiskinan yang berakibat pada asupan makanan yang rendah dan pola makan yang rendah zat gizi mikro. Keadaan tersebut juga dipengaruhi oleh kurangnya pemahaman tentang pola makan beragam dan pentingnya pangan sumber zat gizi mikro yang dapat mendorong atau menghambat penyerapan zat besi oleh tubuh (Thompson 2007). Hal ini menggambarkan asupan pangan sumber zat besi yang rendah terutama pangan hewani (Bartley et al 2005).
Program Pencegahan dan Penanggulangan Anemia Gizi Besi (PPAGB) pada Remaja Putri Menurut Dinkes Kota Bekasi (2007), anemia sangat berkaitan dengan tingginya Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia yaitu setiap 100.000 kelahiran hidup terdapat 307 orang ibu yang meninggal. AKI adalah indikator Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang kini sedang gencar dibangun oleh Jawa Barat. Data tahun 2003 menunjukkan prevalensi anemia ibu hamil di Jawa Barat sebesar 51.7 persen dan prevalensi pada remaja putri sebesar 39 persen. Di Kota Bekasi pada tahun 2006 terdapat 24 kasus kematian ibu dan 40 persen penyebabnya adalah perdarahan karena anemia. Program Pencegahan dan Penanggulangan Anemia Gizi Besi (PPAGB) pada remaja putri merupakan salah satu upaya yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Barat untuk menurunkan prevalensi anemia yang masih tinggi pada remaja putri yang pada akhirnya diharapkan dapat menurunkan prevalensi anemia pada ibu hamil. Kegiatan ini berupa pemberian tablet tambah darah selama 4 bulan kepada remaja putri. Beberapa kabupaten dan kota di Jawa Barat seperti Cirebon, Subang, Cianjur, dan Bandung telah melaksanakan program tersebut pada tahun 2006 dan secara signifikan menunjukkan adanya penurunan prevalensi anemia pada remaja putri baik pada siswa SMP maupun SMA yang diberikan tablet tambah darah tersebut. Kegiatan ini dilaksanakan oleh Dinas Kesehatan seksi Kesehatan Keluarga dan Gizi bekerja sama dengan seksi Promosi Kesehatan (Program UKS), Laboratorium Kesehatan Daerah (Labkesda) Kota Bekasi dan Puskesmas Perumnas II serta Guru UKS di sekolah sasaran. Program pencegahan dan penanggulangan anemia gizi besi pada remaja putri ini dilakukan dengan
pemberian tablet tambah darah selama 4 bulan. Program Pencegahan dan Penanggulangan Anemia Gizi Besi (PPAGB) pada remaja putri ini berlangsung dalam beberapa tahap diantaranya pemeriksaan kadar Hb darah dan recall pola makan remaja putri yang dilakukan sebelum dan setelah pemberian tablet tambah darah, pemberian tablet tambah darah kepada remaja putri dan kegiatan konseling gizi yang bertujuan untuk memantapkan kemauan dan kemampuan remaja putri melaksanakan perilaku gizi yang baik dan benar agar tidak terjadi anemia, pemantauan kepatuhan minum tablet tambah darah, dan evaluasi kegiatan. Tablet tambah darah yang diberikan mengandung 250 mg Fe elemental dan 0.25 mg asam folat ditambah vitamin dan mineral. Tablet tambah darah diberikan 1 tablet setiap minggu dan 10 tablet pada waktu menstruasi sehingga total tablet yang diminum selama 4 bulan kegiatan adalah 52 tablet. Sekolah untuk pelaksanaan kegiatan dipilih dengan latar belakang tingginya prevalensi anemia ibu hamil di daerah tersebut, adanya petugas Puskesmas dengan latar belakang pendidikan gizi, kinerja puskesmas yang cukup baik, tersedianya laboratorium dan tenaga lab untuk fasilitas pengambilan dan pemeriksaan darah dengan metode Cyanmethemoglobin, dan dukungan puskesmas terhadap pelaksanaan kegiatan, serta adanya koordinasi dengan Dinas Pendidikan dan dinas terkait untuk memberikan dukungan terhadap kegiatan dan dapat menindaklanjuti pemberian tablet tambah darah secara mandiri pasca kegiatan.
KERANGKA PEMIKIRAN Defisiensi zat besi dapat mempengaruhi kapasitas kerja fisik remaja. Selain itu, defisiensi zat besi dapat mengganggu status imunitas dan fungsi kognitif pada berbagai tingkatan umur. Defisiensi zat besi menurunkan kekuatan fisik yang berakibat pada penurunan kapasitas fisik dan kerja. Anemia mempunyai dampak negatif yang serius pada pertumbuhan dan perkembangan selama remaja. Sebuah studi yang dilakukan pada remaja putri menunjukkan bahwa
anemia
berhubungan
dengan
menurunnya
ketahanan fisik
dan
kemampuan berkonsentrasi (Thompson 2007). Selama masa remaja, tubuh mengalami perkembangan dan persiapan untuk proses kehamilan di masa mendatang. Rendahnya simpanan zat besi dalam tubuh remaja dan wanita usia reproduktif membuat mereka mudah terkena anemia defisiensi zat besi karena intake zat besi dari makanan saja tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan zat besi selama masa kehamilan (Beard 2000). Penelitian ini merupakan bagian dari kegiatan Pencegahan dan Penanggulangan Anemia Gizi Besi (PPAGB) pada remaja putri di Kota Bekasi yang merupakan program suplementasi zat besi Dinas Kesehatan Kota Bekasi. Tujuan jangka panjang dari program tersebut adalah menurunkan prevalensi anemia gizi besi pada remaja putri. Salah satu usaha yang dapat membantu hal tersebut adalah dengan mengetahui faktor risiko anemia. Pada penelitian kali ini digunakan beberapa variabel yang berkemungkinan menjadi faktor risiko anemia, seperti usia, status gizi, aktivitas fisik, pola menstruasi, riwayat penyakit, perilaku hidup bersih dan sehat, dan frekuensi konsumsi pangan. Secara garis besar, status anemia dipengaruhi oleh empat variabel utama yaitu infeksi, konsumsi pangan, keadaan fisiologi, dan pengeluaran zat besi oleh tubuh. Variabel infeksi dipengaruhi oleh riwayat penyakit individu dan kebiasaan hidup sehat yang diterapkan. Riwayat penyakit seperti pernah tidaknya menderita penyakit tuberculosis, malaria, dan cacing dapat menyebabkan anemia akibat terjadinya kehilangan darah. Kebiasaan hidup sehat yang diterapkan seperti kebiasaan mencuci tangan berhubungan dengan kebiasaan menjaga personal hygiene. Kebiasaan mencuci tangan dapat menurunkan risiko terkena anemia karena dengan mencuci tangan, diharapkan kuman penyebab kecacingan dapat dihindarkan. Variabel konsumsi pangan seperti konsumsi pangan sumber heme yang tinggi atau rendah dapat menjadi faktor risiko status anemia remaja putri. Zat
besi yang terdapat dalam bahan makanan dapat berasal dari hewan maupun tumbuhan. Zat besi yang berasal dari tumbuh-tumbuhan memiliki daya serap yang lebih rendah dibanding zat besi yang berasal dari hewan. Bentuk zat besi yang terdapat di dalam makanan juga mempengaruhi penyerapan besi oleh tubuh. Zat besi hem yang berasal dari hewan lebih mudah diabsorpsi dibandingkan zat besi nonhem. Keadaan fisiologi seseorang seperti usia dan status gizi juga dapat menjadi faktor risiko anemia. Menurut FAO/WHO (2001), kebutuhan zat besi yang diperlukan remaja putri untuk pertumbuhan berbeda antara early adolescence dan middle adolescence. Kebutuhan zat besi yang lebih besar diperlukan oleh early adolescence karena pada usia tersebut growth spurt lebih intens terjadi dibandingkan middle adolescence (Beard 2000). Keadaan status gizi atau IMT yang kurang dapat berpotensi menimbulkan kejadian anemia (Permaesih dan Herman 2005). Variabel terakhir yang berkemungkinan menjadi faktor risiko anemia adalah pengeluaran zat besi oleh tubuh melalui menstruasi dan aktivitas fisik. Remaja terutama yang telah mengalami menstruasi, dibandingkan dengan yang belum menstruasi, lebih rentan terhadap anemia, sehubungan dengan kehilangan darah yang dialami sewaktu menstruasi (Dillon 2005). Kehilangan zat besi dari tubuh juga dapat melalui keringat saat melakukan aktivitas fisik. Semakin berat aktivitas fisik, pengeluaran zat besi melalui keringat kemungkinan akan semakin besar.
Konsumsi Pangan sumber Fe
Faktor penghambat penyerapan Fe : - Teh - Kopi - Sayuran
Riwayat Penyakit
Faktor pemicu penyerapan Fe : - Pangan hewani - Buah-buahan
Status Gizi
Status Anemia
Perilaku hidup bersih dan sehat
Usia
Menstruasi
Aktivitas Fisik
Gambar 1. Kerangka pemikiran faktor risiko anemia pada remaja putri peserta program Pencegahan dan Penanggulangan Anemia Gizi Besi (PPAGB) di Kota Bekasi Keterangan : = Variabel yang diteliti
METODE PENELITIAN Desain, Tempat, dan Waktu Desain penelitian adalah cross-sectional study yaitu baseline data dari Dinas Kesehatan Kota Bekasi untuk pelaksanaan program Pencegahan dan Penanggulangan Anemia Gizi Besi (PPAGB) pada remaja putri di Kota Bekasi. Lokasi penelitian dilaksanakan di dua sekolah yaitu SMP VII Kota Bekasi dan SMK Teratai Putih Global 2 Kota Bekasi. Pemilihan SMP dan SMK tersebut didasarkan pada kesediaan pihak sekolah untuk mengikuti program Dinas Kesehatan Kota Bekasi serta keaktifan puskesmas yang dekat dengan lokasi SMP dan SMK untuk mengumpulkan data pengukuran hemoglobin peserta program. Waktu pengambilan data dilakukan pada bulan November 2007 sampai Februari 2008. Penarikan Contoh Contoh dalam penelitian ini terdiri dari 200 orang siswi SMP VII Kota Bekasi dan 200 orang SMK Teratai Putih Global 2 Kota Bekasi kelas 1 dan kelas 2 sehingga diperoleh jumlah total contoh sejumlah 400 orang. Usia contoh berkisar antara 10-18 tahun. Tujuan dari program PPAGB adalah untuk menurunkan prevalensi anemia pada remaja putri sehingga dipilih siswi SMP dan SMK yang sebagian besar berada pada kisaran usia remaja putri (10-19 tahun menurut WHO 2006). Pengambilan contoh dilakukan secara sengaja dengan pertimbangan kesediaan para siswi mengikuti program dan adanya izin dari orangtua siswi. Jenis dan Cara Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan berupa baseline data yang didapat dari Dinas Kesehatan Kota Bekasi yang merupakan bagian dari program Pencegahan dan Penanggulangan Anemia Gizi Besi (PPAGB) pada remaja putri di Kota Bekasi. Kegiatan awal yang dilakukan adalah sosialisasi program berupa penyuluhan kepada para siswi di SMP dan SMK kemudian dilanjutkan pendataan siswi yang bersedia mengikuti program tersebut. Data dikumpulkan melalui tiga cara yaitu dengan
wawancara
langsung,
pengukuran
langsung,
dan
pemeriksaan
laboratorium yang dilakukan oleh seorang petugas Puskesmas dan tim Dinas Kesehatan Bekasi sejumlah tiga orang.
Wawancara langsung dengan siswi dilakukan pada saat pengumpulan data menggunakan kuisioner yang berisi data usia, aktivitas fisik, pola menstruasi, riwayat penyakit, Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS), perilaku makan, dan frekuensi konsumsi pangan. Data frekuensi konsumsi pangan diperoleh dengan metode Food Frequency Questionnaires (FFQ) selama satu minggu terhadap pangan sumber heme dan pangan sumber non heme. Data antropometri dan status gizi diketahui melalui pengukuran langsung berat badan dan tinggi badan dengan alat ukur timbangan dan microtoise. Selanjutnya hasil berat badan dan tinggi badan digunakan untuk mengetahui status gizi antropometri siswi. Penentuan kadar hemoglobin dilakukan dengan pengambilan sampel darah yang dilakukan oleh petugas Puskesmas dan selanjutnya diukur dengan metode Cyanmethemoglobin. Metode Cyanmethemoglobin untuk menentukan konsentrasi hemoglobin adalah metode laboratorium terbaik dalam penentuan kuantitatif hemoglobin. Sampel darah yang dikumpulkan dibawa ke puskesmas untuk selanjutnya dilakukan analisis. Pengolahan dan Analisis Data Proses pengolahan data meliputi editing, coding, entry, dan analisis data. Data yang telah dikumpulkan kemudian disajikan dalam bentuk tabel dan dianalisis secara deskriptif dan statistika menggunakan program Microsoft Excel 2003 dan SPSS 11.5 for Windows. Anemia terjadi apabila kepekatan hemoglobin dalam darah di bawah batas normal. Status anemia contoh ditentukan berdasarkan kadar hemoglobin yaitu menjadi anemia (kadar Hb < 12 g/dl) dan tidak anemia (kadar Hb ≥ 12 g/dl). Dari data kadar hemoglobin tersebut dapat ditentukan penggolongan jenis anemia contoh menjadi ringan (10-11.9 g/dl), sedang (7-9.9 g/dl), dan berat (kadar Hb < 7 g/dl). WHO mendefinisikan remaja sebagai bagian dari siklus hidup antara usia 10-19 tahun (WHO 2006). Remaja memiliki pertumbuhan yang cepat (growth spurt) dan satu-satunya periode dalam hidup individu terjadi peningkatan velositas pertumbuhan (UNS-SCN 2006). Contoh penelitian ini berusia antara 1018 tahun dan dikategorikan menjadi tiga yaitu siswi yang berusia 10-12 tahun, 13-15 tahun, dan 16-18 tahun (Jahari dan Jus’at 2004). Status gizi adalah keadaan seseorang yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan, dan penggunaan zat gizi dari makanan dalam jangka waktu yang
lama. Penilaian status gizi secara langsung dapat dibagi menjadi empat penilaian yaitu antropometri, klinis, biokimia, dan biofisik (Supariasa et al 2001). Data status gizi contoh diperoleh menggunakan Indeks Massa Tubuh (IMT) yang dihitung berdasarkan data antropometri yaitu berat badan dan tinggi badan siswi dengan rumus: Berat Badan (kg) IMT =
Tinggi Badan (m2)
Status gizi kemudian dikategorikan menjadi kurus (IMT < 18.5), normal (IMT 18.5-24.9), risiko untuk gemuk (IMT 25.0-26.9), dan gemuk (IMT > 26.9). Menstruasi didefinisikan sebagai suatu proses fisiologis contoh yang ditandai dengan perdarahan secara periodik dan siklik. Status menstruasi merupakan sudah atau belumnya contoh mengalami menstruasi. Contoh yang sudah mengalami menstruasi diberi skor 1 dan 0 jika belum menstruasi. Frekuensi menstruasi dikategorikan menjadi menjadi rendah (2-3 bulan sekali), normal (sebulan sekali), dan tinggi (dua kali sebulan). Banyaknya menstruasi dikategorikan berdasarkan banyaknya pembalut yang digunakan setiap hari yaitu ganti 1-2 kali, 3-4 kali, 5-6 kali, dan lebih dari enam kali. Lama menstruasi dikategorikan menjadi rendah (kurang dari tiga hari), normal (3-7 hari), dan tinggi (lebih dari tujuh hari). Riwayat penyakit dikategorikan sebagai ada tidaknya penyakit yang pernah diderita selama sebulan terakhir yang berhubungan dengan anemia yaitu penyakit tuberculosis, malaria, dan kecacingan. Skor yang diberikan adalah 1 jika memiliki riwayat penyakit dan 0 jika tidak memiliki riwayat penyakit. Aktivitas fisik merupakan kegiatan sehari-hari contoh selain belajar. Aktivitas fisik dikategorikan menjadi tiga yaitu : (1) Olahraga ringan seperti jalan santai, lempar cakram, tolak peluru, senam pernapasan, (2) Olahraga sedang seperti basket, voli, lari, senam aerobik, jalan cepat, dan (3) Olahraga berat seperti sepakbola, lari cepat >10 km, senam aerobik high impact. Data frekuensi pangan yang dikonsumsi selama seminggu dibagi menjadi lauk hewani, lauk nabati, sayuran, buah-buahan, makanan jajanan, minuman, dan suplemen. Bahan pangan tersebut kemudian dikategorikan menurut frekuensi konsumsinya selama seminggu yaitu tidak pernah, jarang (kurang dari 3 kali), kadang-kadang (3-6 kali), dan setiap hari.
Analisis data dilakukan dalam tiga tahap yaitu univariat, bivariat, dan multivariat. Analisis univariat dilakukan untuk mendeskripsikan seluruh variabel yang dianalisis menggunakan crosstab. Melalui uji deksriptif dapat diketahui nilai minimum, nilai maksimum, dan nilai rata-rata dari setiap variabel, serta frekuensi. Analisis bivariat dengan teknik analisis korelasi Spearman dilakukan untuk melihat besar hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen, dalam hal ini variabel dependen adalah status anemia. Analisis multivariat dengan teknik analisis regresi logistik dilakukan untuk mengetahui faktor risiko yang paling berkaitan dengan status anemia. Pada analisis multivariat dimasukkan seluruh variabel yang pada analisis bivariat berhubungan secara signifikan dengan status anemia, ini bertujuan untuk mengetahui interaksi seluruh variabel yang diduga menjadi faktor risiko anemia. Keeratan hubungan dipelajari pada taraf nyata 10 persen.
Definisi Operasional Remaja Putri adalah siswi SMP dan SMK berusia antara 10-18 tahun yang merupakan peserta program Pencegahan dan Penanggulangan Anemia Gizi Besi pada Remaja Putri di Kota Bekasi Status gizi antropometri adalah keadaan remaja putri yang diakibatkan konsumsi, penyerapan, dan penggunaan zat gizi dari makanan yang diukur berdasarkan Indeks Massa Tubuh dan dikategorikan menjadi kurus (IMT < 18.5), normal (IMT 18.5-24.9), risiko untuk gemuk (IMT 25.0-26.9), dan gemuk (IMT > 26.9) Status anemia adalah jumlah hemoglobin dalam darah yang dinyatakan dalam satuan g/dl dan dikatakan anemia apabila konsentrasi atau kadar hemoglobin dalah darah kurang dari 12 g/dl. Menstruasi adalah suatu proses fisiologis remaja putri yang ditandai dengan perdarahan secara periodik dan siklik yang digambarkan oleh status menstruasi (sudah atau belumnya contoh mengalami menstruasi), frekuensi menstruasi, banyaknya menstruasi, dan lama menstruasi Frekuensi menstruasi adalah keteraturan menstruasi remaja putri yang dinyatakan rendah apabila menstruasi 2-3 kali sebulan, normal apabila menstruasi satu kali setiap bulan, dan tinggi apabila menstruasi dua kali sebulan
Banyaknya menstruasi adalah gambaran darah yang dikeluarkan remaja putri yang digambarkan dengan banyaknya pembalut yang digunakan setiap hari Lama menstruasi adalah lamanya menstruasi remaja putri yang berlangsung setiap periode menstruasi dan dinyatakan rendah apabila kurang dari tiga hari, normal apabila antara 3-7 hari, dan tinggi apabila lebih dari delapan hari Aktivitas Fisik adalah kegiatan yang biasa dilakukan oleh remaja putri yang dikategorikan menjadi tiga yaitu olahraga ringan, olahraga sedang, dan olahraga berat Riwayat Penyakit adalah penyakit yang pernah diderita remaja putri yang berhubungan dengan kejadian anemia yaitu penyakit tuberculosis, malaria, dan kecacingan dalam jangka waktu sebulan terakhir Perilaku Hidup Bersih dan Sehat adalah perilaku proaktif remaja putri dalam memelihara kesehatan dan mencegah risiko penyakit yaitu berupa kebiasaan mencuci tangan sebelum makan dengan atau tanpa sabun dan air bersih Konsumsi Pangan adalah gambaran pola konsumsi bahan makanan remaja putri yang diukur secara kualitatif yaitu bahan pangan sumber heme dan sumber non heme yang dikonsumsi selama seminggu
HASIL DAN PEMBAHASAN Status Anemia Status zat besi tiap individu bermacam-macam mulai dari excess zat besi sampai anemia defisiensi zat besi (Gleason & Scrimshaw 2007). Anemia terjadi apabila kepekatan hemoglobin dalam darah di bawah batas normal. Pada penelitian ini, status anemia ditentukan menggunakan indikator hemoglobin. Penggunaan konsentrasi hemoglobin dalam darah merupakan pengukuran anemia defisiensi besi yang paling luas. Penentuan kadar hemoglobin dilakukan dengan pengambilan sampel darah dan dianalisis menggunakan metode Cyanmethemoglobin. Sebaran contoh berdasarkan kadar hemoglobin disajikan pada Gambar 2.
6.0% 0% Normal ≥ 12.0 g/dl
32.3%
Ringan 10.0-11.9 g/dl Sedang 7.0- 9.9 g/dl 61.7%
Berat < 7.0 g/dl
Gambar 2. Sebaran contoh berdasarkan kadar hemoglobin Konsentrasi hemoglobin contoh berkisar antara 7.2 hingga 16.0 g/dl dengan rata-rata kadar hemoglobin 12.4 ± 1.5 g/dl. Pada penelitian ini lebih dari separuh contoh (61.7%) tidak mengalami anemia. Terdapat 32.3 persen contoh yang mengalami anemia ringan dan 6.0 persen contoh yang mengalami anemia sedang (kadar Hb antara 7.0-9.9 g/dl). Adanya contoh yang berada pada kondisi anemia sedang ini akan berdampak pada status imunitas dan fungsi kognitifnya (Ruel 2001). Menurut Soekirman (2000), anemia pada kelompok remaja dapat menimbulkan berbagai dampak antara lain menurunkan daya tahan tubuh sehingga mudah terkena penyakit dan menurunkan aktivitas yang berkaitan dengan kemampuan kerja fisik dan prestasi belajar. Selain itu remaja yang menderita anemia mengalami penurunan kebugaran sehingga akan menghambat prestasi olahraga dan produktivitasnya.
Secara keseluruhan terdapat 38.3 persen contoh yang mengalami anemia yaitu keadaan kadar hemoglobin kurang dari 12.0 g/dl. Prevalensi ini lebih tinggi dari hasil penelitian Permaesih dan Herman (2005) yaitu sebesar 30 persen pada remaja wanita, namun termasuk rendah bila dibandingkan dengan prevalensi anemia di SD dan SMU di Jawa Tengah (57.4%) dan Jawa Timur (80.2%) (Depkes 2003 diacu dalam Briawan 2008). Berdasarkan klasifikasi masalah kesehatan masyarakat menurut WHO (2001), prevalensi anemia pada hasil penelitian ini termasuk kategori sedang (20-39%).
Usia dan Status Gizi Antropometri Usia WHO mendefinisikan remaja sebagai bagian dari siklus hidup antara usia 10-19 tahun dan dapat dikategorikan menjadi tiga yaitu 10-12 tahun, 13-15 tahun dan 16-18 tahun (Jahari & Jus’at 2004). Remaja memiliki pertumbuhan yang cepat (growth spurt) dan merupakan waktu pertumbuhan yang intens setelah masa bayi serta satu-satunya periode dalam hidup individu terjadi peningkatan velositas pertumbuhan (UNS-SCN 2006). Adanya kekurangan zat gizi makro dan mikro dapat mengganggu pertumbuhan dan menghambat pematangan seksual (DiMeglio 2000). Berikut adalah sebaran contoh berdasarkan usia dan status anemia. Tabel 3 Sebaran contoh berdasarkan usia dan status anemia Usia 10 – 12 tahun 13 – 15 tahun 16 – 18 tahun Total
Anemia n 43 77 33 153
Status Anemia Tidak Anemia % n % 28.1 115 46.6 79 31.9 50.3 21.6 53 21.5 100 247 100
Total n 158 156 86 400
% 39.5 39.0 21.5 100
Rata-rata usia contoh adalah 13.7 ± 1.9 tahun dengan kisaran usia antara 10-18 tahun. Rata-rata usia baik contoh yang anemia maupun tidak anemia hampir sama yaitu berturut-turut 13.9 ± 1.7 tahun dan 13.5 ± 1.9 tahun. Pada Tabel 3 dapat dilihat bahwa secara umum proporsi terbesar contoh (39.5%) berusia antara 10-12 tahun dan hampir separuh contoh yang tidak anemia (46.6%) berada pada kisaran usia tersebut. Tabel 3 menunjukkan bahwa lebih dari separuh contoh anemia (50.3%) berada pada kisaran usia 13-15 tahun. Hal tersebut memperlihatkan adanya kecenderungan siswi yang berusia antara 13-15 tahun untuk mengalami anemia
dibandingkan siswi yang berada diluar kisaran usia tersebut. Ini diduga karena pada kisaran usia 13-15 tahun, seseorang baru mengalami menstruasi sehingga kecenderungan anemia lebih besar akibat kehilangan darah yang dialami. Menurut Hanafiah (1999) diacu dalam Khaerunnisa (2005), rata-rata usia wanita pertama kali mendapat menstruasi (menarche) yaitu 12.5 tahun sedangkan menurut hasil penelitian Dillon (2005) terhadap remaja putri di Tangerang, ratarata usia menarche adalah 12 tahun. Hasil analisis Korelasi Spearman menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara usia dengan status anemia (r = 0.131, p = 0.009). Hal ini memperlihatkan bahwa usia antara 13-15 tahun memiliki kecenderungan yang lebih besar untuk mengalami anemia. Hasil penelitian Hulu (2004) pada siswi SMK menunjukkan kecenderungan anemia berada pada kelompok siswi yang berusia lebih tua. Ini diduga berkaitan dengan terjadinya menstruasi pada siswi yang berusia lebih tua. Pada penelitian ini, hampir separuh siswi SMP yang berusia antara 10-12 tahun belum mengalami menstruasi. Dillon (2005) menyatakan bahwa remaja terutama yang telah mengalami menstruasi, dibandingkan dengan yang belum menstruasi, lebih rentan terhadap anemia. Persentase anemia terkecil terdapat pada kisaran usia 16-18 tahun. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Maharani (2001) yang menunjukkan bahwa usia 18 tahun ke atas memiliki kecenderungan lebih kecil untuk menderita anemia daripada usia kurang dari 18 tahun. Hal ini pun diperkuat dengan pernyataan Beard (2000) yang menunjukkan bahwa kebutuhan zat besi yang lebih besar diperlukan oleh early adolescence karena pada usia tersebut growth spurt lebih intens terjadi dibandingkan middle adolescence sehingga apabila intake zat besi kurang akan memicu terjadinya anemia. Hal ini juga diduga karena menurut FAO/WHO (2001), kebutuhan zat besi wanita usia 16-18 tahun lebih rendah.
Status Gizi Antropometri Menurut Riyadi (2001), status gizi adalah keadaan seseorang yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan, dan penggunaan zat gizi dari makanan dalam jangka waktu yang lama. Pengukuran antropometri banyak digunakan dalam penilaian status gizi dan pengukuran yang paling reliabel untuk menentukan status gizi pada masa remaja saat ini adalah Indeks Massa Tubuh (IMT) yang ditentukan dengan membagi berat badan dalam satuan kg dengan
kuadrat tinggi badan dalam satuan meter. Status gizi kemudian dikategorikan menjadi kurus (IMT<18.5), normal (IMT 18.5-24.9), risiko gemuk (IMT 25.0-26.9), dan gemuk (IMT>26.9). Berikut adalah sebaran contoh berdasarkan status gizi dan status anemia. Tabel 4 Sebaran contoh berdasarkan status gizi dan status anemia Status Gizi Kurus Normal Risiko gemuk Gemuk Total
Status Anemia Anemia Tidak Anemia n % n % 75 49.1 117 47.4 76 113 45.7 49.7 1 0.6 9 3.6 1 0.6 8 3.3 153 100 247 100
Total n 192 189 10 9 400
% 48.0 47.3 2.5 2.2 100
Rata-rata berat badan contoh adalah 43.4±9.5 kg dengan kisaran nilai antara 19.9-95.9 kg. Rata-rata berat badan contoh yang anemia maupun tidak anemia hampir sama yaitu berturut-turut 43.6±7.6 kg dan 43.3±10.5 kg. Contoh memiliki rata-rata tinggi badan sebesar 1.5±0.1 m dengan kisaran nilai antara 1.3-1.7 m. Rata-rata tinggi badan contoh yang anemia maupun tidak anemia hampir sama yaitu berturut-turut 1.5±0.6 m dan 1.5±0.1 m. Rata-rata berat badan dan tinggi badan contoh termasuk normal bila dibandingkan dengan usia (Jahari & Jus’at 2004). Rata-rata IMT contoh adalah 19.3±3.3 kg/m2 dengan kisaran IMT sebesar 11.9 kg/m2 hingga 37.5 kg/m2. Secara keseluruhan, status gizi contoh berada pada kategori kurus yaitu sebesar 48.0 persen. Proporsi terbesar contoh yang tidak anemia berada pada kategori kurus yaitu sebesar 47.4 persen sedangkan status gizi contoh yang anemia berada pada kategori normal (49.7%), walaupun proporsi tersebut tidak jauh berbeda dengan contoh anemia yang kurus (49.1%). Hal ini menunjukkan bahwa seseorang yang memiliki status gizi kurus memiliki kecenderungan untuk mengalami anemia. Hasil penelitian Permaesih dan Herman (2005) menunjukkan bahwa remaja yang mempunyai Indeks Massa Tubuh (IMT) kurang atau tubuh kurus mempunyai risiko 1.5 kali untuk menjadi anemia. Thompson (2007) menyatakan bahwa IMT mempunyai korelasi positif dengan konsentrasi hemoglobin yang artinya jika seseorang memiliki IMT kurang maka akan berisiko menderita anemia. Meski demikian, hasil analisis korelasi Spearman menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara IMT dengan status anemia contoh (p>0.1).
Menstruasi Anemia pada remaja putri disebabkan masa remaja adalah masa pertumbuhan yang membutuhkan zat gizi lebih tinggi termasuk zat besi. Selain itu pada masa remaja, seseorang akan mengalami menstruasi. Menstruasi ialah perdarahan
secara
periodik
dan
siklik
dari
uterus
disertai
pelepasan
endometrium. Kebutuhan zat besi akan meningkat pada remaja putri sehubungan dengan terjadinya menstruasi. Menstruasi contoh digambarkan oleh belum atau sudah mengalami menstruasi, frekuensi, banyak, dan lama menstruasi setiap periodenya.
Status Menstruasi Status menstruasi adalah keadaan sudah atau belumnya seorang wanita mengalami menstruasi. Saat menstruasi terjadi pengeluaran darah dari dalam tubuh. Hal ini menyebabkan zat besi yang terkandung dalam hemoglobin, salah satu komponen sel darah merah, juga ikut terbuang. Hal tersebut mengakibatkan pengeluaran besi meningkat dan keseimbangan zat besi dalam tubuh terganggu (Depkes 1998). Tabel 5 Sebaran contoh berdasarkan status menstruasi dan status anemia Status Menstruasi Sudah Belum Total
Status Anemia Anemia Tidak Anemia n % n % 125 177 81.7 71.7 28 18.3 70 28.3 153 100 247 100
Total n 302 98 400
% 75.5 24.5 100
Berdasarkan hasil pada Tabel 5, sebagian besar contoh (75.5%) sudah mengalami menstruasi dan sisanya (24.5%) belum mengalami menstruasi. Pada penelitian ini, proporsi terbesar contoh berusia antara 10-12 tahun dan hampir separuh contoh yang tidak anemia berada pada kisaran usia tersebut. Menurut Hanafiah (1999) diacu dalam Khaerunnisa (2005), rata-rata usia wanita pertama kali mendapat menstruasi (menarche) yaitu 12.5 tahun sedangkan menurut hasil penelitian Dillon (2005) terhadap remaja putri di Tangerang, rata-rata usia menarche adalah 12 tahun. Tabel 5 menunjukkan bahwa pada contoh yang sudah mengalami menstruasi, persentase yang lebih besar terdapat pada contoh yang anemia (81.7%) bila dibandingkan dengan persentase contoh yang tidak anemia (71.7%). Hal ini memperlihatkan kecenderungan terjadinya anemia pada
seseorang yang sudah mengalami menstruasi. Hasil analisis korelasi Spearman menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara status menstruasi dengan status anemia contoh (r = 0.113, p = 0.023). Hasil tersebut menunjukkan bahwa seseorang yang telah menstruasi memiliki kecenderungan untuk mengalami anemia dibandingkan yang belum menstruasi. Hal ini sesuai dengan pendapat Dillon (2005) yang menyatakan bahwa remaja terutama yang telah mengalami menstruasi, dibandingkan dengan yang belum menstruasi, lebih rentan terhadap anemia. Wanita pada umumnya cenderung mempunyai simpanan zat besi yang lebih rendah dibandingkan pria dan hal inilah yang membuat wanita lebih rentan mengalami anemia saat asupan zat besi kurang atau kebutuhan meningkat seperti saat menstruasi (Gleason & Scrimshaw 2007).
Frekuensi Menstruasi Frekuensi menstruasi menggambarkan keteraturan menstruasi seorang wanita setiap bulannya. Frekuensi menstruasi dibedakan menjadi rendah (2-3 bulan sekali), normal (sebulan sekali), dan tinggi (sebulan dua kali). Berikut adalah sebaran contoh berdasarkan frekuensi menstruasi dan status anemia yang disajikan pada Tabel 6. Tabel 6 Sebaran contoh berdasarkan frekuensi menstruasi dan status anemia Frekuensi Menstruasi Rendah Normal Tinggi Total
Status Anemia Anemia Tidak Anemia n % n % 8 6.4 7 3.9 111 167 88.8 94.4 6 4.8 3 1.7 125 100 177 100
Total n 15 278 9 302
% 5.0 92.0 3.0 100
Tabel 6 menunjukkan bahwa sebagian besar contoh memiliki frekuensi menstruasi yang normal yaitu sebulan sekali (92.0%). Hasil yang serupa juga terlihat baik pada contoh anemia (88.8%) maupun tidak anemia (94.4%). Terdapat sekitar 3.0 persen contoh memiliki frekuensi menstruasi yang tinggi (sebulan dua kali). Frekuensi menstruasi yang tinggi lebih sering dialami oleh contoh yang anemia (4.8%). Hal ini menunjukkan bahwa contoh yang anemia cenderung mengalami frekuensi menstruasi yang lebih tinggi dibandingkan contoh yang tidak anemia. Saat menstruasi terjadi pengeluaran darah dari dalam tubuh. Semakin sering menstruasi berlangsung, maka semakin banyak pengeluaran dari tubuh.
Hal tersebut mengakibatkan pengeluaran besi meningkat dan keseimbangan zat besi dalam tubuh terganggu (Depkes 1998). Adanya frekuensi menstruasi contoh yang tidak normal seperti rendah dan tinggi tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor yang mengganggu kelancaran siklus menstruasi diantaranya yaitu faktor stres, perubahan berat badan, olah raga yang berlebihan, dan keluhan menstruasi (Affandi 1990). Meski demikian, hasil analisis korelasi Spearman menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara frekuensi menstruasi dengan status anemia contoh (p>0.1).
Banyaknya Menstruasi Banyaknya menstruasi digambarkan dengan banyaknya pembalut yang digunakan contoh setiap hari. Menurut Affandi (1990), salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mengetahui jumlah darah menstruasi adalah dengan menanyakan volume berdasarkan jumlah pembalut yang digunakan. Tabel 7 Sebaran contoh berdasarkan banyaknya menstruasi dan status anemia Banyaknya Menstruasi Ganti 1-2 kali/hari Ganti 3-4 kali/hari Ganti 5-6 kali/hari Ganti > 6 kali/hari Total
Status Anemia Anemia Tidak Anemia n % n % 54 43.2 87 49.1 69 83 46.9 55.2 2 1.6 6 3.4 0 0 1 0.6 125 100 177 100
Total n 141 152 8 1 302
% 46.7 50.3 2.7 0.3 100
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa jumlah darah yang hilang selama satu periode menstruasi berkisar antara 20-25 cc dan dianggap abnormal jika kehilangan darah menstruasi lebih dari 80 ml. Tabel 7 menunjukkan bahwa secara umum lebih dari separuh contoh (50.3%) mengganti pembalut 3-4 kali setiap hari. Lebih dari separuh contoh yang anemia (55.2%) mengganti pembalut 3-4 kali setiap hari sedangkan hampir separuh contoh yang tidak anemia (49.1%) mengganti pembalut 1-2 kali setiap harinya. Hal ini menunjukkan bahwa contoh yang anemia cenderung mengalami kehilangan darah yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang contoh tidak anemia dilihat dari jumlah pembalut yang diganti setiap hari. Hasil analisis korelasi Spearman menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara banyaknya menstruasi dengan status anemia contoh (p>0.1). Hasil tersebut memperlihatkan bahwa perbedaan banyaknya menstruasi tidak mempengaruhi kecenderungan seseorang untuk menderita anemia. Namun
menurut pernyataan Affandi (1990), apabila darah yang keluar saat menstruasi cukup banyak berarti jumlah zat besi yang hilang dari tubuh juga cukup besar. Banyaknya darah yang keluar dapat berbeda-beda pada setiap orang dan bahkan pada seorang remaja wanita dapat berbeda setiap bulannya. Tidak adanya hubungan antara banyaknya menstruasi dengan status anemia diduga karena pengukuran banyaknya menstruasi menggunakan banyaknya pembalut masih dipengaruhi faktor subyektif sesuai dengan kebutuhan pembalut masingmasing individu.
Lama Menstruasi Lama menstruasi biasanya antara 3-5 hari dan dianggap tidak normal jika lebih dari delapan atau sembilan hari. Saat menstruasi terjadi pengeluaran darah dari dalam tubuh. Hal itu menyebabkan zat besi yang terkandung dalam hemoglobin juga ikut terbuang. Lama menstruasi yang tinggi dapat menyebabkan darah yang dikeluarkan tubuh semakin banyak, sehingga kemungkinan kehilangan zat besi juga semakin tinggi (Affandi 1990). Sebaran contoh berdasarkan lama menstruasi dan status anemia disajikan pada Tabel 8. Tabel 8 Sebaran contoh berdasarkan lama menstruasi dan status anemia Lama Menstruasi Rendah Normal Tinggi Total
Status Anemia Anemia Tidak Anemia n % n % 1 0.8 1 0.6 108 157 86.4 88.7 16 12.8 19 10.7 125 100 177 100
Total n 2 265 35 302
% 0.7 87.7 11.6 100
Lama menstruasi dikatakan rendah jika kurang dari tiga hari dan normal apabila berada diantara 3-7 hari serta dikatakan tinggi jika lebih dari delapan hari. Tabel 8 menunjukkan bahwa sebagian besar contoh (87.7%) memiliki lama menstruasi yang tergolong normal (3-7 hari). Hal ini terlihat dari sebagian besar contoh anemia (86.4%) dan tidak anemia (88.7%) yang juga memiliki lama menstruasi yang tergolong normal. Hanya sekitar 12.3 persen contoh yang memiliki lama menstruasi yang tergolong tidak normal yaitu lama menstruasi yang rendah (0.7%) dan tinggi (11.6%). Lama menstruasi yang tinggi lebih banyak dialami oleh contoh anemia. Menurut Affandi (1990), beberapa penelitian menunjukkan bahwa jumlah darah yang hilang selama satu periode menstruasi normal berkisar antara 20-25 cc dan dianggap abnormal jika kehilangan darah menstruasi lebih dari 80 ml.
Jumlah 20-25 cc menyiratkan kehilangan zat besi sebesar 12.5-15 mg/bulan atau kira-kira sama dengan 0.4-0.5 mg/hari. Jika jumlah tersebut ditambah dengan kehilangan basal maka jumlah total zat besi yang hilang sebesar 1.25 mg/hari (Arisman 2002). Hasil analisis korelasi Spearman menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara lama menstruasi dengan status anemia contoh (p>0.1). Hasil tersebut memperlihatkan bahwa perbedaan lama menstruasi tidak mempengaruhi kecenderungan seseorang untuk menderita anemia. Tidak adanya hubungan signifikan tersebut diduga karena rata-rata lama perdarahan setiap periode tiap wanita kurang lebih tetap. Banyaknya darah yang keluar dapat berbeda-beda pada setiap orang, bahkan pada seorang remaja wanita dapat berbeda-beda dari bulan ke bulan. Perbedaan lama menstruasi seseorang dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain lingkungan, lamanya menstruasi, usia, dan ovulasi (Affandi 1990).
Riwayat Penyakit Anemia dapat menurunkan daya tahan tubuh sehingga mudah terkena infeksi (Permaesih dan Herman 2005). Infeksi merupakan faktor yang penting dalam menimbulkan kejadian anemia dan anemia merupakan konsekuensi dari peradangan dan asupan makanan yang tidak memenuhi kebutuhan zat besi (Thurnham & Northrop-Clewes 2007). Berdasarkan Tabel 9 dapat dilihat bahwa sebagian besar contoh (99.3%) tidak memiliki riwayat penyakit. Tabel 9 Sebaran contoh berdasarkan riwayat penyakit dan status anemia Riwayat Penyakit Ya Tidak Total
Anemia n 1 152 153
Status Anemia Tidak Anemia % n % 0.7 2 0.8 245 99.3 99.2 100 247 100
Total n 3 397 400
% 0.8 99.3 100
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar contoh anemia maupun tidak anemia tidak memiliki riwayat penyakit yang berhubungan dengan anemia seperti malaria, tuberculosis, dan kecacingan. Pada Tabel 9 dapat dilihat bahwa hanya terdapat sekitar 0.8 persen contoh yang memiliki riwayat penyakit yang berhubungan dengan anemia. Penyakit yang pernah diderita oleh contoh tersebut adalah malaria dan kecacingan.
Penyakit infeksi terutama malaria, kecacingan, dan infeksi lainnya seperti tuberculosis merupakan faktor penting yang memberikan kontribusi terhadap tingginya prevalensi anemia di banyak populasi (WHO 2004). Menurut Dreyfuss et al (2000), adanya infeksi cacing tambang menyebabkan pendarahan pada dinding usus, meskipun sedikit tetapi terjadi terus menerus sehingga dapat mengakibatkan hilangnya darah atau zat besi. Malaria menyebabkan kehilangan darah secara langsung dan kehilangan darah tersebut mengakibatkan defisiensi besi (WHO 2001). Hasil analisis korelasi Spearman menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara riwayat penyakit dengan status anemia contoh (p>0.1). Hasil penelitian Permaesih dan Herman (2005) memperlihatkan bahwa sakit yang diderita baik pada satu tahun atau satu bulan sebelumnya berhubungan secara bermakna dengan status anemia. Sakit yang diderita, terutama penyakit infeksi mempengaruhi metabolisme dan utilisasi zat besi yang diperlukan dalam pembentukan hemoglobin dalam darah. Tidak adanya hubungan signifikan tersebut diduga karena jarangnya contoh menderita penyakit yang berhubungan dengan anemia seperti malaria, tuberculosis, dan kecacingan. Selain itu hal ini diduga karena pengukuran data yang kurang mendalam karena hanya mengukur riwayat penyakit yang pernah diderita contoh, dan bukan riwayat penyakit pada kurun waktu tertentu.
Perilaku Hidup Bersih dan Sehat Menurut Depkes (2004), perilaku hidup sehat adalah perilaku proaktif untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah risiko terjadinya penyakit, melindungi diri dari ancaman penyakit serta berperan aktif dalam gerakan kesehatan masyarakat. Perilaku hidup sehat sangat erat kaitannya dengan higiene perorangan (personal hygiene). Salah satu indikator Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) yang digunakan dalam penelitian ini adalah kebiasaan mencuci tangan sebelum dan sesudah makan dengan air bersih (Anonim 2003 diacu dalam Nurwulan 2003). Tabel 10 Sebaran contoh berdasarkan perilaku hidup bersih dan sehat PHBS Mencuci tangan Tidak mencuci tangan Total
Status Anemia Anemia Tidak Anemia n % N % 139 226 90.8 91.5 14 9.2 21 8.5 153 100 247 100
Total n 365 35 400
% 91.3 8.7 100
Tabel 10 menunjukkan bahwa sebagian besar contoh memiliki kebiasaan mencuci tangan baik dengan atau tanpa sabun sebelum makan (91.3%). Hasil yang serupa juga terlihat baik pada contoh anemia (90.8%) maupun tidak anemia (91.5%). Terdapat sekitar 8.7 persen contoh yang memiliki kebiasaan tidak mencuci tangan sebelum makan. Mencuci tangan sebelum makan merupakan salah satu faktor determinan status anemia. Penelitian yang dilakukan pada siswa SD menunjukkan bahwa seseorang yang rutin mencuci tangan ternyata mempunyai risiko yang lebih kecil untuk terkena anemia. Mencuci tangan sebelum makan merupakan salah satu faktor determinan status anemia dan melalui membiasakan mencuci tangan sebelum makan diharapkan kuman-kuman tidak ikut masuk ke dalam mulut, yang selanjutnya akan menyebabkan kecacingan sebab cacing di perut sebagai pemicu terjadinya anemia (Irawati et al 2000). Hasil analisis korelasi Spearman menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara perilaku hidup bersih dan sehat dengan status anemia contoh (p>0.1). Hasil tersebut memperlihatkan bahwa perbedaan kebiasaan mencuci tangan sebelum makan tidak mempengaruhi kecenderungan seseorang untuk menderita anemia. Hal ini diduga karena contoh remaja putri memiliki kebiasaan mencuci tangan yang cenderung sama sedangkan pada hasil penelitian Irawati et al (2000) contoh yang digunakan adalah siswa SD yang memiliki
kebiasaan
mencuci
tangan
yang
berbeda-beda
sehingga
kecenderungan anemia juga akan berbeda.
Aktivitas Fisik Pola aktivitas remaja didefinisikan sebagai kegiatan yang biasa dilakukan oleh remaja sehari-hari sehingga akan membentuk pola. Aktivitas fisik erat kaitannya dengan kesehatan tubuh secara keseluruhan (Kartono 1992 diacu dalam Ratnayani 2005). Aktivitas fisik dikategorikan menjadi olahraga ringan. olahraga sedang, dan olahraga berat. Tabel 11 Sebaran contoh berdasarkan aktivitas fisik dan status anemia Aktivitas Fisik Olahraga ringan Olahraga sedang Olahraga berat Total
Status Anemia Anemia Tidak Anemia n % N % 77 131 50.3 53.0 75 49.0 113 45.8 1 0.7 3 1.2 153 100 247 100
Total n 208 188 4 400
% 52.0 47.0 1.0 100
Tabel 11 menunjukkan bahwa lebih dari separuh contoh (52.0%) memiliki aktivitas fisik olahraga ringan (jalan santai, lempar cakram, tolak peluru, senam pernapasan). Hasil yang serupa juga terlihat baik pada contoh anemia (50.3%) maupun tidak anemia (53.0%). Terdapat hanya sekitar satu persen contoh yang melakukan olahraga berat (sepakbola, lari cepat >10 km, senam aerobik). Persentase contoh anemia yang melakukan aktivitas olahraga sedang seperti basket, voli, lari, senam aerobik, dan jalan cepat (49.0%) sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan contoh yang tidak anemia (45.8%). Hal ini memperlihatkan bahwa contoh yang anemia cenderung lebih banyak kehilangan zat besi selama olahraga melalui keringat dibandingkan contoh yang tidak anemia. Anemia dapat mempengaruhi tingkat kesegaran jasmani seseorang. Penelitian Permaesih (2002) diacu dalam Permaesih dan Herman (2005) menemukan 25 persen remaja di Bandung mempunyai kesegaran jasmani kurang dari normal. Keadaan ini dapat mempengaruhi produktivitas kerja remaja. Remaja yang memiliki aktivitas fisik yang tinggi mempunyai risiko defisiensi zat besi yang lebih besar. Olahraga berat dapat meningkatkan kebutuhan zat besi hingga 1-2 mg/hari. Hal ini dapat disebabkan oleh kombinasi beberapa faktor seperti kehilangan zat besi melalui keringat, kehilangan darah dari sistem gastrointestinal, dan hemolisis (Zhu & Haas 1997). Menurut Akabas dan Dollins (2005), pengeluaran zat besi dapat melalui keringat, feses dan urine, atau hemolisis intravaskular. Hasil studi yang dilakukan pada atlet wanita yang menunjukkan bahwa kehilangan zat besi terjadi melalui keringat dan konsentrasi zat besi terbesar dalam keringat terjadi selama 30 menit pertama olahraga. Hasil analisis korelasi Spearman menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara aktivitas fisik dengan status anemia contoh (p>0.1). Tidak adanya hubungan yang signifikan tersebut diduga karena intensitas aktivitas fisik yang dilakukan oleh contoh tidak sebesar intensitas aktivitas fisik secara teori yang dapat menyebabkan anemia seperti yang terjadi pada atlet wanita. Aktivitas olahraga contoh berupa olahraga ringan yang dilakukan saat pelajaran olahraga dengan intensitas yang lebih rendah.
Frekuensi Konsumsi Pangan Konsumsi pangan merupakan informasi tentang jenis dan jumlah pangan yang dimakan (dikonsumsi) seseorang atau kelompok orang pada waktu tertentu.
Batasan ini menunjukkan bahwa konsumsi pangan dapat ditinjau berdasarkan aspek jenis pangan dan jumlah pangan yang dikonsumsi. Pengukuran yang dapat digunakan untuk mengetahui konsumsi pangan adalah metode frekuensi pangan yang dalam pelaksanaannya dilakukan pencatatan frekuensi atau banyaknya penggunaan pangan yang biasanya dikonsumsi untuk suatu periode waktu tertentu (Kusharto dan Sa’diyyah 2006). Pencatatan frekuensi pangan sumber zat besi dibagi menjadi lauk hewani, lauk nabati, sayuran, buah-buahan, makanan jajanan, minuman, dan suplemen. Ketujuh jenis pangan ini kemudian dikategorikan menurut frekuensi konsumsi selama seminggu yaitu tidak pernah, jarang (kurang dari 3 kali), kadang-kadang (3-6 kali), dan setiap hari.
Frekuensi Konsumsi Lauk Hewani Menurut Almatsier (2001) diperkirakan hanya 5-15 persen besi makanan diabsorpsi seseorang yang berstatus besi baik. Jika dalam keadaan defisiensi besi, absorpsi dapat mencapai 50 persen. Faktor bentuk besi berpengaruh terhadap absorpsi besi. Besi heme yang terdapat dalam pangan hewani dapat diserap dua kali lipat daripada besi nonheme. Oleh karena itu kurangnya konsumsi pangan sumber heme dapat mempengaruhi penyerapan zat besi. Tabel 12 Sebaran contoh berdasarkan frekuensi lauk hewani dan status anemia Lauk Hewani
Ikan Segar
Ikan Asin
Daging Sapi
Daging Ayam
Frekuensi konsumsi Tidak Pernah Jarang Kadang-kadang Setiap Hari Total Tidak Pernah Jarang Kadang-kadang Setiap Hari Total Tidak Pernah Jarang Kadang-kadang Setiap Hari Total Tidak Pernah Jarang Kadang-kadang Setiap Hari Total
Status Anemia Anemia Tidak Anemia n % N % 32 20.9 53 21.5 76 113 49.7 45.7 34 22.2 70 28.3 11 7.2 11 4.5 153 100 247 100 111 169 72.5 68.4 26 17.0 62 25.1 15 9.8 16 6.5 1 0.7 0 0 153 100 247 100 109 160 71.2 64.8 32 21.0 67 27.1 12 7.8 18 7.3 0 0 2 0.8 153 100 247 100 24 15.7 37 15.0 80 114 52.3 46.1 47 30.7 86 34.8 2 1.3 10 4.1 153 100 247 100
Total n 85 189 104 22 400 280 88 31 1 400 269 99 30 2 400 61 194 133 12 400
% 21.2 47.3 26.0 5.5 100 70.0 22.0 7.7 0.3 100 67.3 24.7 7.5 0.5 100 15.2 48.5 33.3 3.0 100
Lauk Hewani
Hati Sapi
Hati Ayam
Telur Ayam
Telur Bebek
Telur Puyuh
Frekuensi konsumsi Tidak Pernah Jarang Kadang-kadang Setiap Hari Total Tidak Pernah Jarang Kadang-kadang Setiap Hari Total Tidak Pernah Jarang Kadang-kadang Setiap Hari Total Tidak Pernah Jarang Kadang-kadang Setiap Hari Total Tidak Pernah Jarang Kadang-kadang Setiap Hari Total
Status Anemia Anemia Tidak Anemia n % N % 140 228 91.5 92.3 8 5.2 15 6.1 4 2.6 2 0.8 1 0.7 2 0.8 153 100 247 100 109 171 71.3 69.2 36 23.5 61 24.7 8 5.2 14 5.7 0 0 1 0.4 153 100 247 100 15 9.8 39 15.8 49 32.0 86 34.8 71 99 46.4 40.1 18 11.8 23 9.3 153 100 247 100 144 235 94.1 95.1 3 1.9 10 4.1 5 3.3 2 0.8 1 0.7 0 0 153 100 247 100 130 203 84.9 82.2 18 11.8 33 13.4 4 2.6 10 4.0 1 0.7 1 0.4 153 100 247 100
Total n 368 23 6 3 400 280 97 22 1 400 54 135 170 41 400 379 13 7 1 400 333 51 14 2 400
% 92.0 5.7 1.5 0.8 100 70.0 24.2 5.5 0.3 100 13.5 33.7 42.5 10.3 100 94.7 3.3 1.7 0.3 100 83.3 12.7 3.5 0.5 100
Tabel 12 menunjukkan bahwa dari sembilan lauk hewani atau sumber heme, enam jenis pangan diantaranya tidak pernah dikonsumsi lebih dari separuh contoh baik pada contoh yang anemia maupun tidak anemia (67.3%94.7%) seperti ikan asin, daging sapi, hati sapi, hati ayam, telur bebek, dan telur puyuh. Hampir separuh contoh jarang mengkonsumsi ikan segar (47.3%) dan daging ayam (48.5%). Jika dilihat dari frekuensinya, persentase contoh anemia yang jarang mengkonsumsi ikan segar dan daging ayam sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan contoh yang tidak anemia. Ini berarti contoh anemia lebih jarang mengkonsumsi kedua bahan pangan tersebut dibandingkan contoh tidak anemia. Pangan sumber zat besi yang berasal dari pangan hewani seperti daging, unggas, dan ikan mempunyai ketersediaan biologik yang tinggi (Almatsier 2001). Pangan hewani seperti daging sapi, daging unggas, dan ikan memiliki Meat, Fish, Poultry Factor (MFP Factor) yang dapat meningkatkan penyerapan besi. Hasil pencernaan ketiga pangan tersebut menghasilkan asam amino cysteine
dalam jumlah besar. Selanjutnya asam amino tersebut mengikat besi dan membantu penyerapannya (Groff & Gropper 2000 diacu dalam Puri 2007). Persentase frekuensi setiap hari lauk hewani sedikit lebih tinggi pada contoh anemia. Ini memperlihatkan bahwa contoh anemia lebih sering mengkonsumsi lauk hewani dibandingkan contoh tidak anemia dilihat dari frekuensi konsumsi setiap hari. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Hulu (2004) yang menunjukkan bahwa contoh yang tidak anemia lebih jarang mengkonsumsi pangan sumber protein hewani dibandingkan contoh anemia. Namun walaupun contoh anemia lebih sering mengkonsumsi lauk hewani dibandingkan contoh tidak anemia, dugaan adanya faktor tingginya konsumsi pangan yang dapat menghambat penyerapan besi dan rendahnya konsumsi pangan yang dapat membantu penyerapan besi di dalam tubuh dapat menyebabkan ketidakseimbangan besi didalam tubuh. Jika hal tersebut berlangsung dalam jangka waktu yang lama, maka dapat menyebabkan defisiensi besi (Almatsier 2001). Telur ayam dikonsumsi contoh dalam frekuensi kadang-kadang (42.5%) dan merupakan lauk hewani yang memiliki persentase terbesar yang dikonsumsi oleh contoh setiap hari (10.3%). Telur termasuk sumber zat besi yang baik walaupun tidak mengandung faktor yang dapat meningkatkan penyerapan besi. Hasil analisis korelasi Spearman menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara frekuensi konsumsi telur ayam dan telur bebek dengan status anemia contoh dengan nilai korelasi yang negatif (p<0.1). Hal ini memperlihatkan bahwa semakin jarang telur ayam dan telur bebek dikonsumsi maka kecenderungan menderita anemia akan semakin kecil. Hal ini diduga karena telur dikonsumsi bersamaan dengan bahan pangan lain yang dapat menghambat penyerapan besi seperti asam oksalat atau phosvitin dalam kuning telur. Zat-zat gizi tersebut dengan zat besi membentuk senyawa yang tidak larut dalam air sehingga sulit untuk di absorpsi.
Frekuensi Konsumsi Lauk Nabati Besi dalam makanan terdapat dalam bentuk besi heme (dalam makanan hewani) dan besi nonheme (dalam makanan nabati). Sumber besi nonheme yang baik diantaranya adalah kacang-kacangan. Lauk nabati dalam penelitian ini meliputi tempe, tahu, dan kacang-kacangan (kacang tanah dan kacang hijau).
Berikut adalah sebaran contoh berdasarkan frekuensi lauk nabati dan status anemia. Tabel 13 Sebaran contoh berdasarkan frekuensi lauk nabati dan status anemia Lauk Nabati
Tempe
Tahu
Kacangkacangan
Frekuensi konsumsi Tidak Pernah Jarang Kadang-kadang Setiap Hari Total Tidak Pernah Jarang Kadang-kadang Setiap Hari Total Tidak Pernah Jarang Kadang-kadang Setiap Hari Total
Status Anemia Anemia Tidak Anemia n % n % 16 10.5 31 12.6 52 34.0 80 32.4 56 91 36.6 36.8 29 18.9 45 18.2 153 100 247 100 35 22.9 68 27.5 47 73 30.7 29.6 45 29.4 70 28.3 26 17.0 36 14.6 153 100 247 100 92 147 60.1 59.5 42 27.5 76 30.8 14 9.1 22 8.9 5 3.3 2 0.8 153 100 247 100
Total n 47 132 147 74 400 103 120 115 62 400 239 118 36 7 400
% 11.8 33.0 36.8 18.5 100 25.7 30.0 28.8 15.5 100 59.7 29.5 9.0 1.8 100
Berdasarkan Tabel 13, frekuensi lauk nabati contoh berkisar antara 0-6 kali seminggu. Persentase frekuensi konsumsi lauk nabati contoh anemia tidak jauh berbeda dengan contoh tidak anemia. Tempe dikonsumsi dalam frekuensi kadang-kadang (36.8%) baik oleh contoh anemia maupun tidak anemia sedangkan tahu dikonsumsi dalam frekuensi jarang (30.0%). Lebih dari separuh contoh (59.7%) tidak pernah mengkonsumsi lauk nabati seperti kacangkacangan. Lauk nabati dikonsumsi kurang dari 20 persen contoh dengan frekuensi setiap hari. Asam fitat yang terkandung dalam kedelai dan hasil olahannya dapat menghambat penyerapan besi. Namun karena zat besi yang terkandung dalam kedelai dan hasil olahannya cukup tinggi, hasil akhir terhadap penyerapan besipun biasanya akan positif (Almatsier 2001). Walaupun demikian, hasil analisis Korelasi Spearman menunjukkan tidak terdapat hubungan signifikan antara frekuensi konsumsi pangan nabati dengan status anemia contoh (p>0.1).
Frekuensi Konsumsi Sayuran Sayuran merupakan pangan sumber vitamin dan mineral, termasuk zat besi. Namun sayuran juga mengandung asam oksalat dan serat yang dapat menghambat penyerapan zat besi di dalam tubuh. Jenis sayuran dalam penelitian ini meliputi waluh, kembang kol, kol, wortel, kentang, sawi, dan
sayuran hijau (brokoli, daun singkong, bayam, kangkung, daun pepaya). Berikut adalah sebaran contoh berdasarkan frekuensi konsumsi sayuran dan status anemia. Tabel 14 Sebaran contoh berdasarkan frekuensi konsumsi sayuran dan status anemia Sayuran
Waluh
Kembang Kol
Kol
Brokoli
Wortel
Kentang
Daun Singkong
Bayam
Kangkung
Frekuensi konsumsi Tidak Pernah Jarang Kadang-kadang Setiap Hari Total Tidak Pernah Jarang Kadang-kadang Setiap Hari Total Tidak Pernah Jarang Kadang-kadang Setiap Hari Total Tidak Pernah Jarang Kadang-kadang Setiap Hari Total Tidak Pernah Jarang Kadang-kadang Setiap Hari Total Tidak Pernah Jarang Kadang-kadang Setiap Hari Total Tidak Pernah Jarang Kadang-kadang Setiap Hari Total Tidak Pernah Jarang Kadang-kadang Setiap Hari Total Tidak Pernah Jarang Kadang-kadang Setiap Hari Total
Status Anemia Anemia Tidak Anemia n % n % 127 214 83 86.6 18 11.8 29 11.7 7 4.5 4 1.7 1 0.7 0 0 153 100 247 100 106 182 69.3 73.7 35 22.9 49 19.8 12 7.8 16 6.5 0 0 0 0 153 100 247 100 73 112 47.7 45.3 60 39.2 100 40.5 17 11.1 34 13.8 3 1.9 1 0.4 153 100 247 100 129 209 84.3 84.6 14 9.1 30 12.2 9 5.9 8 3.2 1 0.7 0 0 153 100 247 100 39 25.5 51 20.6 69 121 45.1 49.0 36 23.5 65 26.3 9 5.9 10 4.1 153 100 247 100 57 37.3 87 35.2 68 104 44.4 42.1 26 17.0 49 19.9 2 1.3 7 2.8 153 100 247 100 120 187 78.4 75.7 29 19.0 52 21.1 4 2.6 8 3.2 0 0 0 0 153 100 247 100 60 39.2 101 40.9 66 99 40.1 43.2 24 15.7 42 17.0 3 1.9 5 2.0 153 100 247 100 73 99 40.1 47.7 55 36.0 117 47.4 23 15.0 29 11.7 2 1.3 2 0.8 153 100 247 100
Total n 341 47 11 1 400 288 84 28 0 400 185 160 51 4 400 338 44 17 1 400 90 190 101 19 400 144 172 75 9 400 307 81 12 0 400 161 165 66 8 400 172 172 52 4 400
% 85.3 11.7 2.7 0.3 100 72.0 21.0 7.0 0 100 46.3 40.0 12.7 1 100 84.5 11.0 4.2 0.3 100 22.5 47.5 25.3 4.7 100 36.0 43.0 18.7 2.3 100 76.7 20.3 3.0 0 100 40.3 41.2 16.5 2.0 100 43.0 43.0 13.0 1.0 100
Sayuran
Sawi
Daun Pepaya
Frekuensi konsumsi Tidak Pernah Jarang Kadang-kadang Setiap Hari Total Tidak Pernah Jarang Kadang-kadang Setiap Hari Total
Status Anemia Anemia Tidak Anemia n % n % 64 132 41.8 53.4 60 39.2 84 34.0 23 15.0 28 11.3 6 4.0 3 1.3 153 100 247 100 145 239 94.7 96.8 7 4.6 7 2.8 1 0.7 1 0.4 0 0 0 0 153 100 247 100
Total n 196 144 51 9 400 384 14 2 0 400
% 49.0 36.0 12.7 2.3 100 96.0 3.5 0.5 0 100
Tabel 14 menunjukkan bahwa dari 11 jenis sayuran, tujuh jenis diantaranya tidak pernah dikonsumsi contoh baik pada contoh yang anemia maupun tidak anemia (46.3%-96.0%) diantaranya waluh, kembang kol, kol, brokoli, daun singkong, sawi, dan daun pepaya. Hampir separuh contoh baik anemia maupun tidak anemia jarang mengkonsumsi wortel (47.5%) dan kentang (43.0%). Kurang dari lima persen contoh mengkonsumsi sayuran setiap hari. Persentase frekuensi setiap hari konsumsi sayuran sedikit lebih tinggi pada contoh anemia. Hal ini memperlihatkan bahwa contoh anemia lebih sering mengkonsumsi sayuran dibandingkan contoh tidak anemia dilihat dari frekuensi konsumsi setiap hari. Berbeda dengan hasil penelitian Hulu (2004) yang menunjukkan bahwa contoh yang tidak anemia lebih sering mengkonsumsi sayuran dibandingkan contoh anemia. Sayuran hijau seperti bayam lebih jarang dikonsumsi oleh contoh yang anemia (43.2%) dibandingkan contoh tidak anemia (40.1%). Sayuran hijau lainnya seperti kangkung lebih jarang dikonsumsi oleh contoh yang tidak anemia (47.4%) bila dibandingkan dengan contoh anemia (36.0%) dan berada pada kategori jarang. Sayuran daun berwarna hijau memiliki kandungan zat besi yang tinggi sehingga jika sering dikonsumsi maka akan meningkatkan cadangan zat besi di dalam tubuh. Beberapa jenis sayuran hijau juga mengandung asam oksalat yang dapat menghambat penyerapan besi, namun efek menghambatnya relatif lebih kecil dibandingkan asam fitat dalam serealia dan tanin yang terdapat dalam teh dan kopi (Almatsier 2001). Hasil analisis korelasi Spearman menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara frekuensi konsumsi sayuran waluh dan sawi dengan status anemia contoh dengan nilai korelasi yang negatif (p<0.1). Hal ini memperlihatkan
bahwa semakin jarang waluh dan sawi dikonsumsi maka kecenderungan menderita anemia akan semakin kecil. Hal ini diduga karena waluh dan sawi menghambat penyerapan besi akibat asam oksalat yang terkandung didalamnya. Asam oksalat akan mengikat besi sehingga apabila dikonsumsi dalam jumlah banyak akan mempersulit penyerapan besi oleh tubuh.
Frekuensi Konsumsi Buah-buahan Buah-buahan merupakan pangan sumber vitamin dan mineral. Vitamin yang banyak terkandung dalam buah-buahan diantaranya adalah vitamin C yang sangat membantu penyerapan zat besi terutama nonheme. Tabel 15 Sebaran contoh berdasarkan frekuensi buah dan status anemia Buahbuahan
Jeruk
Pepaya
Tomat
Jambu Biji
Mangga
Nenas
Pisang
Frekuensi konsumsi Tidak Pernah Jarang Kadang-kadang Setiap Hari Total Tidak Pernah Jarang Kadang-kadang Setiap Hari Total Tidak Pernah Jarang Kadang-kadang Setiap Hari Total Tidak Pernah Jarang Kadang-kadang Setiap Hari Total Tidak Pernah Jarang Kadang-kadang Setiap Hari Total Tidak Pernah Jarang Kadang-kadang Setiap Hari Total Tidak Pernah Jarang Kadang-kadang Setiap Hari Total
Status Anemia Anemia Tidak Anemia n % n % 26 17.0 38 15.4 71 100 46.4 40.5 42 27.5 78 31.6 14 9.1 31 12.5 153 100 247 100 106 167 69.3 67.6 25 16.3 63 25.5 15 9.8 13 5.3 7 4.6 4 1.6 153 100 247 100 111 172 72.5 69.7 22 14.4 47 19.0 15 9.8 22 8.9 5 3.3 6 2.4 153 100 247 100 118 177 77.1 71.6 30 19.6 56 22.7 5 3.3 13 5.3 0 0 1 0.4 153 100 247 100 107 152 69.9 61.5 35 22.9 82 33.2 9 5.9 12 4.9 2 1.3 1 0.4 153 100 247 100 131 215 85.6 87.0 20 13.1 28 11.4 2 1.3 4 1.6 0 0 0 0 153 100 247 100 92 122 60.1 49.4 43 28.1 84 34.0 14 9.2 36 14.6 4 2.6 5 2.0 153 100 247 100
Total n 64 171 120 45 400 273 88 28 11 400 283 69 37 11 400 295 86 18 1 400 259 117 21 3 400 346 48 6 0 400 214 127 50 9 400
% 16.0 42.70 30.0 11.3 100 68.3 22.0 7.0 2.7 100 70.7 17.3 9.3 2.7 100 73.7 21.5 4.5 0.3 100 64.7 29.3 5.3 0.7 100 86.5 12.0 1.5 0 100 53.5 31.7 12.5 2.3 100
Berdasarkan Tabel 15, terlihat bahwa dari tujuh jenis buah-buahan, enam jenis diantaranya tidak pernah dikonsumsi lebih dari separuh contoh baik pada contoh yang anemia maupun tidak anemia (53.5%-86.5%) yaitu pepaya, tomat, jambu biji, mangga, nenas, dan pisang. Hampir separuh dari contoh (42.7%) mengkonsumsi jeruk dalam frekuensi jarang (kurang dari tiga kali seminggu) dan kurang dari 12 persen contoh mengkonsumsi buah-buahan setiap hari. Buah-buahan sumber vitamin C seperti jeruk, pepaya, tomat, jambu biji, dan mangga dapat membantu penyerapan zat besi. Asam organik seperti vitamin C dapat membantu penyerapan zat besi nonheme dengan cara mengubah besi bentuk feri menjadi bentuk fero yang lebih mudah diserap. Persentase frekuensi buah-buahan tersebut sedikit lebih tinggi dikonsumsi oleh contoh yang anemia. Ini memperlihatkan bahwa contoh anemia lebih sering mengkonsumsi buahbuahan dibandingkan contoh tidak anemia. Sejalan dengan hasil penelitian Hulu (2004)
yang
menunjukkan
bahwa
contoh
yang
tidak
anemia
jarang
mengkonsumsi buah-buahan dibandingkan contoh anemia. Hasil analisis korelasi Spearman menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara frekuensi konsumsi buah-buahan dengan status anemia contoh (p<0.1) yaitu pada konsumsi pepaya. Hal ini memperlihatkan bahwa semakin jarang pepaya dikonsumsi maka kecenderungan menderita anemia akan semakin kecil. Hal ini diduga karena walaupun pepaya kaya akan vitamin C yang dapat membantu penyerapan zat besi, namun apabila pepaya dikonsumsi bersamaan dengan bahan pangan lain yang dapat menghambat penyerapan besi seperti asam oksalat atau tanin maka pengaruh akhirnya dapat negatif.
Frekuensi Konsumsi Makanan Jajanan Hasil pada Tabel 16 menggambarkan frekuensi konsumsi makanan jajanan contoh berdasarkan status anemia. Makanan jajanan dalam penelitian ini meliputi bakso, mie, dan gorengan. Tabel 16 Sebaran contoh berdasarkan frekuensi makanan jajanan dan status anemia Makanan Jajanan
Bakso
Frekuensi konsumsi Tidak Pernah Jarang Kadang-kadang Setiap Hari Total
Status Anemia Anemia Tidak Anemia n % n % 92 158 60.1 64.0 37 24.2 57 23.1 22 14.4 27 10.9 2 1.3 5 2.0 153 100 247 100
Total n 250 94 49 7 400
% 62.5 23.5 12.3 1.7 100
Makanan Jajanan
Mie
Gorengan
Frekuensi konsumsi Tidak Pernah Jarang Kadang-kadang Setiap Hari Total Tidak Pernah Jarang Kadang-kadang Setiap Hari Total
Status Anemia Anemia Tidak Anemia n % n % 128 207 83.7 83.8 18 11.7 20 8.1 6 3.9 16 6.5 1 0.7 4 1.6 153 100 247 100 116 200 75.8 81.0 23 15.0 24 9.7 9 5.9 20 8.1 5 3.3 3 1.2 153 100 247 100
Total n 335 38 22 5 400 316 47 29 8 400
% 83.7 9.5 5.5 1.3 100 79.0 11.7 7.3 2.0 100
Survei yang dilakukan Hurlock (1997) menunjukkan bahwa remaja suka sekali jajan makanan ringan. Jenis makanan ringan yang dikonsumsi adalah kuekue yang manis dan golongan pastry serta permen. Namun, pada penelitian ini makanan jajanan yang dikonsumsi contoh berbeda. Makanan jajanan dalam penelitian ini meliputi bakso, mie, dan gorengan. Tabel 16 menunjukkan bahwa lebih dari separuh contoh (61.5%-83.7%) tidak pernah mengkonsumsi makanan jajanan seperti bakso, mie, dan gorengan. Hanya sekitar lima persen contoh yang mengkonsumsi makanan jajanan setiap hari. Persentase contoh yang anemia sedikit lebih rendah dibandingkan contoh yang tidak anemia jika dilihat dari frekuensi konsumsi makanan jajanan setiap hari. Hal ini menunjukkan bahwa contoh yang anemia jarang mengkonsumsi makanan jajanan. Makanan jajanan juga memberikan kontribusi pada cadangan zat besi tubuh karena terdapat zat besi yang terkandung didalamnya walaupun sedikit. Hasil analisis korelasi Spearman menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara frekuensi jajanan dengan status anemia contoh (p>0.1). Hal ini diduga karena jarangnya contoh mengkonsumsi makanan jajanan di sekolah.
Frekuensi Konsumsi Minuman dan Suplemen Minuman dalam penelitian ini meliputi teh, kopi, dan susu serta konsumsi suplemen. Bioavailabilitas zat besi dalam makanan sangat dipengaruhi oleh faktor
pendorong
dan
penghambat.
Menurut
FAO/WHO
(2001),
faktor
penghambat penyerapan zat besi diantaranya adalah the dan kopi. Tabel 17 menggambarkan
frekuensi
berdasarkan status anemia.
konsumsi
minuman
dan
suplemen
contoh
Tabel 17 Sebaran contoh berdasarkan frekuensi minuman dan suplemen dan status anemia Minuman
Teh
Kopi
Susu
Suplemen
Frekuensi konsumsi Tidak Pernah Jarang Kadang-kadang Setiap Hari Total Tidak Pernah Jarang Kadang-kadang Setiap Hari Total Tidak Pernah Jarang Kadang-kadang Setiap Hari Total Tidak Pernah Jarang Kadang-kadang Setiap Hari Total
Status Anemia Anemia Tidak Anemia n % n % 31 20.3 48 19.4 40 26.1 76 30.8 30 19.6 46 18.6 52 77 34.0 31.2 153 100 247 100 135 223 88.2 90.3 13 8.5 20 8.1 3 2.0 4 1.6 2 1.3 0 0 153 100 247 100 74 105 48.4 42.5 31 20.3 48 19.4 23 15.0 45 18.2 25 16.3 49 19.8 153 100 247 100 114 188 74.5 76.1 18 11.8 28 11.3 8 5.2 13 5.3 13 8.5 18 7.3 153 100 247 100
Total n 79 116 76 129 400 358 33 7 2 400 179 79 68 74 400 302 46 21 31 400
% 19.7 29.0 19.0 32.3 100 89.5 8.3 1.7 0.5 100 44.8 19.7 17.0 18.5 100 75.5 11.5 5.3 7.7 100
Berdasarkan Tabel 17, terlihat bahwa proporsi terbesar contoh (32.3%) mengkonsumsi teh setiap hari dan persentase contoh yang anemia (34%) sedikit lebih tinggi dibandingkan contoh yang tidak anemia (31.2%). Hampir sebagian besar contoh baik contoh anemia maupun tidak anemia tidak pernah mengkonsumsi kopi. Terdapat sekitar 1.3 persen contoh anemia yang mengkonsumsi kopi setiap hari. Survei yang dilakukan Hurlock (1997) menunjukkan bahwa remaja menyukai minuman ringan, teh, dan kopi yang frekuensinya lebih sering dibandingkan konsumsi susu. Teh dan kopi mengandung tanin yang dapat menghambat absorpsi besi dengan cara mengikatnya (Almatsier 2001). Menurut Groff & Gropper (2000) diacu dalam Puri (2007), senyawa fenol dalam teh yang dikonsumsi bersama dengan pangan sumber zat besi dapat menurunkan absorpsi besi hingga 60 persen, sedangkan konsumsi kopi setelah makan dapat menurunkan absorpsi besi hingga 40 persen. Menurunnya jumlah besi yang diabsorpsi akan menurunkan cadangan besi di dalam tubuh. Susu merupakan pangan sumber protein yang baik yang memiliki bioavailabilitas yang tinggi. Protein yang terkandung didalamnya berperan dalam distribusi zat gizi termasuk distribusi zat besi. Namun susu juga mengandung
kalsium yang tinggi yang dapat menghambat penyerapan zat besi. Tabel 17 menunjukkan
bahwa
hampir
separuh
contoh
(44.8%)
tidak
pernah
mengkonsumsi susu. Hanya sekitar 18.5 persen contoh yang mengkonsumsi susu setiap hari dan persentase terbesar konsumsi susu terdapat pada contoh yang tidak anemia (19.8%). Terdapat sekitar 20.3 persen contoh yang anemia yang jarang mengkonsumsi susu. Hal ini memperlihatkan kecenderungan bahwa frekuensi konsumsi susu pada contoh yang tidak anemia relatif lebih sering dibandingkan dengan contoh yang anemia. Produk suplemen pada penelitian ini meliputi suplemen vitamin C, minyak ikan, dan tambah darah. Suplemen makanan adalah produk yang digunakan untuk melengkapi makanan. Pada dasarnya fungsi suplemen adalah sebagai zat tambahan untuk memperbaiki dan meningkatkan daya tahan tubuh (Sudarisman 1997 diacu dalam Habibi 2003). Berdasarkan Tabel 17, terlihat bahwa sebagian besar contoh (75.5%) tidak pernah mengkonsumsi suplemen. Terdapat sekitar 7.7 persen contoh yang mengkonsumsi suplemen setiap hari dan persentase terbesar konsumsi suplemen terdapat pada contoh yang anemia (8.5%). Hal ini memperlihatkan bahwa contoh anemia lebih sering mengkonsumsi suplemen dibandingkan contoh tidak anemia diduga terkait dengan anemia yang dialaminya. Secara keseluruhan hasil analisis korelasi Spearman menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara frekuensi konsumsi minuman dan suplemen dengan status anemia contoh (p>0.1).
Analisis Faktor Risiko Anemia Analisis multivariat menggunakan regresi logistik dilakukan untuk mengetahui faktor risiko yang paling berkaitan dengan status anemia. Analisis dilakukan menggunakan seluruh variabel yang berdasarkan analisis bivariat berhubungan secara signifikan. Hal ini dilakukan untuk mengetahui seberapa besar interaksi semua variabel yang diduga menjadi faktor risiko terhadap status anemia. Pada penelitian ini terdapat tujuh variabel yang diduga menjadi faktor risiko anemia yaitu usia, status gizi antropometri, menstruasi, riwayat penyakit, perilaku hidup bersih dan sehat, aktivitas fisik, dan frekuensi konsumsi pangan. Setelah dilakukan analisis bivariat terdapat variabel yang secara signifikan mempengaruhi status anemia yaitu usia, status menstruasi, dan frekuensi konsumsi pangan.
Tabel 18 menunjukkan hasil analisis regresi logistik yang memperoleh hasil, faktor risiko yang secara signifikan mempengaruhi kecenderungan status anemia remaja putri yaitu usia dan status gizi antropometri (kurus dan normal) (Lampiran 4). Pada penelitian ini, lauk hewani yang signifikan mempengaruhi status anemia adalah telur ayam dan telur bebek yang dikonsumsi dalam frekuensi sering, baik oleh contoh yang berstatus kurus maupun normal. Analisis bivariat menunjukkan bahwa dengan semakin sering telur ayam dan telur bebek dikonsumsi maka kecenderungan anemia akan semakin besar, diduga terkait dengan adanya pangan penghambat penyerapan zat besi. Ini memperlihatkan bahwa dengan semakin tingginya konsumsi lauk hewani terutama telur maka akan mempengaruhi kecenderungan anemia, baik pada remaja putri yang berstatus gizi kurus maupun normal. Tabel 18 Hasil regresi logistik faktor risiko anemia Usia Status Gizi
Faktor Risiko 13-15 tahun (13-15thn=1, 10-12thn=0) Kurus (IMT < 18.5 = 1, IMT > 25 = 0) Normal (18.5 < IMT < 25 = 1, IMT > 25 = 0)
Konstanta * Signifikan pada taraf kepercayaan 0.1
OR 2.727 8.323 6.733 0.048
Sig. 0.001* 0.006* 0.013* 0.000
Hasil regresi logistik menunjukkan faktor risiko usia 13-15 tahun memiliki nilai koefisien positif dan OR sebesar 2.73. Hal ini menunjukkan bahwa remaja putri yang berada pada kisaran usia 13-15 tahun memiliki kecenderungan untuk mengalami anemia 2.73 kali lebih besar dibandingkan remaja putri yang berusia 10-12 tahun. Ini diduga karena pada kisaran usia 13-15 tahun, seseorang baru mengalami
menstruasi
sehingga
kecenderungan
anemia
lebih
besar
dibandingkan usia dibawahnya. Pada penelitian ini, proporsi terbesar contoh berusia antara 10-12 tahun dan hampir separuh contoh yang tidak anemia berada pada kisaran usia tersebut. Hasil penelitian Dillon (2005) terhadap remaja putri di Tangerang menunjukkan bahwa rata-rata usia menarche adalah 12 tahun. Remaja terutama yang telah mengalami menstruasi, dibandingkan dengan yang belum menstruasi, lebih rentan terhadap anemia. Saat menstruasi terjadi pengeluaran darah dari dalam tubuh. Hal ini menyebabkan zat besi yang terkandung dalam hemoglobin, salah satu komponen sel darah merah, juga ikut terbuang. Kehilangan zat besi melalui menstruasi akan meningkatkan kebutuhan zat besi pada remaja wanita (Depkes 1998). Wanita pada umumnya cenderung mempunyai simpanan zat
besi yang lebih rendah dibandingkan pria dan hal inilah yang membuat wanita lebih rentan mengalami anemia saat asupan zat besi kurang atau kebutuhan meningkat seperti saat menstruasi (Gleason & Scrimshaw 2007). Hal inilah yang menyebabkan remaja putri yang berada pada kisaran usia 13-15 tahun memiliki kecenderungan mengalami anemia dibandingkan remaja putri yang berusia 1012 tahun yang belum mengalami menstruasi. Nilai koefisien yang positif dan OR yang lebih dari 1 pada faktor risiko status gizi kurus menunjukkan bahwa dengan semakin rendah IMT atau semakin kurus siswi maka kecenderungan remaja putri untuk mengalami anemia makin meningkat sebesar nilai OR. Hasil regresi logistik menunjukkan faktor risiko status gizi kurus memiliki OR sebesar 8.32. Hal ini memperlihatkan bahwa remaja putri yang berstatus gizi kurus cenderung untuk mengalami anemia 8.32 kali lebih besar dibandingkan remaja putri yang berstatus gizi gemuk. Faktor risiko status gizi normal juga menunjukkan peranan yang signifikan dalam mempengaruhi kecenderungan remaja putri mengalami anemia. Remaja putri yang memiliki status gizi normal memiliki OR sebesar 6.73. Hal ini menunjukkan bahwa remaja putri yang berstatus gizi normal memiliki kecenderungan 6.73 kali lebih besar untuk mengalami anemia dibandingkan remaja putri yang berstatus gizi gemuk. Penelitian Permaesih dan Herman (2005) menunjukkan bahwa remaja yang mempunyai IMT kurang atau tubuh kurus mempunyai risiko 1.5 kali untuk menjadi anemia. Selain itu, menurut ADB/SCN (2006), Selama masa remaja, seseorang dapat mencapai 15 persen dari tinggi badan saat dewasa dan 50 persen dari berat badan. Oleh karena itu, kebutuhan zat gizi mencapai titik tertinggi saat remaja dan adanya kekurangan zat gizi makro dan mikro dapat mengganggu pertumbuhan dan menghambat pematangan seksual. Menurut ABD/SCN (2001) diacu dalam Briawan (2008), wanita yang berstatus gizi baik akan lebih cepat mengalami pertumbuhan badan dan akan lebih cepat mengalami menstruasi, sebaliknya wanita yang berstatus gizi buruk pertumbuhannya akan pelan dan lama serta menstruasinya akan lebih lambat. Thompson (2007) menyatakan bahwa IMT mempunyai korelasi positif dengan konsentrasi hemoglobin yang artinya jika seseorang memiliki IMT kurang maka akan berisiko menderita anemia.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Rata-rata kadar hemoglobin contoh adalah 12.4 ± 1.5 g/dl dengan rata-rata kadar hemoglobin 12.4 ± 1.5 g/dl. Terdapat prevalensi anemia sebesar 38.3 persen. Lebih dari separuh contoh (61.7%) tidak mengalami anemia dan 6.0 persen contoh mengalami anemia sedang (kadar Hb < 8.0 g/dl). 2. Rata-rata usia contoh adalah 13.7 ± 1.9 tahun dengan kisaran usia antara 1018 tahun. Terdapat kecenderungan siswi yang berusia 13-15 tahun untuk mengalami anemia. Rata-rata IMT contoh adalah 19.3 ± 3.3 kg/m2 dengan kisaran IMT sebesar 11.9 kg/m2 hingga 37.5 kg/m2. Proporsi terbesar contoh (48.0%) berada pada status gizi kurus. 3. Sebagian besar contoh (75.5%) sudah mengalami menstruasi dan memiliki frekuensi menstruasi yang teratur. Frekuensi menstruasi yang tidak teratur lebih sering dialami oleh contoh yang anemia. Contoh yang anemia cenderung mengalami kehilangan darah yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang contoh tidak anemia dilihat dari jumlah pembalut yang diganti setiap hari. Sebagian besar (87.7%) memiliki lama menstruasi yang tergolong normal. 4. Sebagian besar contoh (99.3%) tidak memiliki riwayat penyakit yang berhubungan dengan anemia seperti malaria, tuberculosis, dan kecacingan. 5. Sebagian besar contoh (91.3%) memiliki kebiasaan mencuci tangan baik dengan atau tanpa sabun sebelum makan dan terdapat 8.7 persen contoh yang memiliki kebiasaan tidak mencuci tangan sebelum makan. 6. Lebih dari separuh contoh (52.0%) memiliki aktivitas fisik olahraga ringan. Contoh yang anemia cenderung lebih banyak kehilangan zat besi selama olahraga dibandingkan contoh yang tidak anemia dilihat dari intensitas olahraga. 7. Hampir separuh contoh jarang mengkonsumsi ikan segar (47.3%) dan daging ayam (48.5%). Telur ayam paling sering dikonsumsi oleh contoh setiap hari (10.3%). Semakin jarang telur ayam dan telur bebek dikonsumsi maka kecenderungan anemia akan semakin kecil (p<0.1). Lauk nabati dikonsumsi kurang dari 20 persen contoh dengan frekuensi setiap hari. Kurang dari 5 persen contoh mengkonsumsi sayuran setiap hari. Semakin jarang waluh dan sawi dikonsumsi maka kecenderungan akan semakin kecil (p<0.1). Kurang dari 12 persen contoh mengkonsumsi buah-buahan setiap hari. Semakin
jarang pepaya dikonsumsi maka kecenderungan anemia akan semakin kecil. Lebih dari separuh contoh tidak pernah mengkonsumsi makanan jajanan (bakso, mie, dan gorengan). Contoh anemia lebih sering mengkonsumsi teh dan kopi. Hampir separuh contoh (44.8%) tidak pernah mengkonsumsi susu. 8. Remaja putri yang berada pada kisaran usia 13-15 tahun memiliki kecenderungan untuk mengalami anemia 2.73 kali lebih besar dibandingkan remaja putri yang berusia 10-12 tahun. Remaja putri yang berstatus gizi kurus cenderung untuk mengalami anemia 8.32 kali lebih besar dibandingkan remaja putri yang berstatus gizi gemuk. Remaja putri yang berstatus gizi normal memiliki kecenderungan 6.73 kali lebih besar untuk mengalami anemia dibandingkan remaja putri yang berstatus gizi gemuk.
Saran 1. Secara umum tingkat konsumsi pangan sumber Fe contoh masih rendah. Selain itu, terdapat korelasi yang negatif antara beberapa jenis pangan sumber heme dengan status anemia sehingga perlu memperhatikan jenis zat besi yang dikonsumsi karena akan mempengaruhi penyerapan besi oleh tubuh. 2. Perlunya mengkaji tentang faktor risiko anemia yang diduga dapat mempengaruhi kecenderungan status anemia terutama pada remaja putri seperti karakteristik keluarga (besar keluarga, pendapatan dan pendidikan orang tua) dan kebiasaan makan (frekuensi dan pantangan makan). 3. Mengingat cukup tingginya prevalensi anemia pada remaja putri pada penelitian ini, untuk itu pemerintah perlu menjadwalkan kegiatan rutin seperti suplementasi zat besi pada program PPAGB ini sebagai bentuk tindakan pencegahan anemia pada remaja.
DAFTAR PUSTAKA ACC/SCN. 1991. Controlling Iron Deficiency. Geneva Affandi B. 1990. Gangguan Haid pada Remaja dan Dewasa. Jakarta : FKUI Akabas SR, KR Dolins. 2005. Micronutrient requirements of physically active women: what can we learn from iron?. The Journal Of Nutrition;81(suppl):1246S–51S [5 April 2008] Almatsier S. 2001. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama Arisman. 2002. Gizi dalam Daur Kehidupan: Buku Ajar Ilmu Gizi. Jakarta : Buku Kedokteran EGC Backstrand JR, LH Allen, AK Black, M deMata, GH Pelto. 2002. Diet and iron status of nonpregnant women in rural Central Mexico. The Journal Of Nutrition 76:156–64 [5 April 2008] Bartley KA, BA Underwood, RJ Deckelbaum. 2005. A life cycle micronutrient perspective for women’s health. The Journal Of Nutrition;81(suppl): 1188S–93S. Beard JL. 2000. Iron Requirements in Adolescent Females. The Journal Of Nutrition 130: 440S–442S [3 April 2008] Beard JL, B Tobin. 2000. Iron status and exercise. The Journal Of Nutrition; 72(suppl):594S–7S [5 April 2008] Biesalski HK, JG Erhardt. 2007. Diagnosis of nutritional anemia – laboratory assessment of iron status. Didalam Nutritional Anemia, Edited by Klaus Kraemer & Michael B. Zimmermann. Switzerland : Sight and Life Press Briawan D. 2008. Efikasi suplementasi besi-multivitamin terhadap perbaikan status besi remaja wanita [disertasi]. Bogor : Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor Brody T. 1994. Nutrition Biochemistry. London : Academic Press Depkes [Departemen Kesehatan]. 1998. Pedoman Penanggulangan Anemia Gizi untuk Remaja Putri dan Wanita Usia Subur. Jakarta : Depkes RI Depkes [Departemen Kesehatan]. 2004. Kualitas Sumber Daya Manusia Ditentukan Pendidikan dan Kesehatan. www.depkes.go.id [13 Maret 2008] Depkes [Departemen Kesehatan]. 2006. Rencana Pembangunan Kesehatan Menuju Indonesia Sehat 2010. www.depkes.go.id [13 Maret 2008]
Dillon DHS. 2005. Nutritional health of Indonesian adolescent girls: the role of riboflavin and vitamin A on iron status [thesis]. Netherlands : Wageningen University DiMeglio G. 2000. Nutrition in Adolescence. Journal of the American Academy of Pediatrics [3 April 2008] Dinkes [Dinas Kesehatan] Kota Bekasi. 2007. Pencegahan dan penanggulangan anemia gizi pada remaja putri SMP dan SMA di Kota Bekasi tahun 2007. Makalah disampaikan pada Pertemuan Sosialisasi Surveilan Gizi Rutin pada Remaja Putri Siswi SMP dan SMA di 4 Kab/Kota di Propinsi Jawa Barat di Hotel Sabang, 17-18 Juli 2007. Bandung. Dreyfuss ML, RJ Stoltzfus, JB Shrestha, EK Pradhan, SC LeClerq, SK Khatry, SR Shrestha, J Katz, M Albonico, KP West, Jr. 2000. Hookworms, Malaria and Vitamin A Deficiency Contribute to Anemia and Iron Deficiency among Pregnant Women in the Plains of Nepal. The Journal Of Nutrition 130: 2527–2536 [8 Maret 2008] FAO/WHO. 2001. Human Vitamin and Mineral Requirement. Rome : FAO Food & Nutrition Division Gleason G, NS Scrimshaw. 2007. An overview of the functional significance of iron deficiency. Didalam Nutritional Anemia, Edited by Klaus Kraemer & Michael B. Zimmermann. Switzerland : Sight and Life Press Habibi YN. 2003. Perilaku konsumsi suplemen pada anak prasekolah [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor Hayatinur E. 2001. Prevalensi anemia dan perilaku makan remaja putri di SMUN 2 Kuningan Kabupaten Kuningan [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor Hulu DB. 2004. Faktor-faktor yang mempengaruhi status anemia dan kaitannya dengan prestasi belajar pada siswi SMKN 1 Bogor [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor Hurlock EB. 1997. Psikologi Perkembangan Edisi ke-5. Jakarta : Penerbit Erlangga Irawati A, et al. 2000. Faktor Determinan Status Gizi dan Anemia Murid SD di Desa IDT Penerima PMT-AS di Indonesia. Laporan Penelitian Rutin 1999/2000, Pusat Penelitian dan Pengembangan Gizi. Jakarta : Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Depkes RI Jahari AB, I Jus’at. 2004. Review Data Berat Badan dan Tinggi Badan Penduduk Indonesia. Didalam Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII. Jakarta. Khaerunnisa. 2005. Hubungan kadar hemoglobin dengan skor keluhan menstruasi pada mahasiswa putri TPB IPB tahun 2003/2004 [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor
Kusharto CM, NY Sa’diyyah. 2006. Diktat Penilaian Konsumsi Pangan. Bogor: IPB Press Maharani II. 2003. Faktor risiko yang mempengaruhi status anemia mahasiswa USMI IPB 2002-2003 [skripsi]. Bogor : Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor McLean E, M Cogswell, I Egli, D Wojdyla, B deBenoist. 2007. Worldwide prevalence of anemia in preschool aged children, pregnant women and non-pregnant women of reproductive age. Didalam Nutritional Anemia, Edited by Klaus Kraemer & Michael B. Zimmermann. Switzerland : Sight and Life Press Nurwulan I. 2003. Hubungan karakteristik lingkungan fisik rumah, perilaku hidup sehat, serta akses terhadap pelayanan kesehatan dengan status kesehatan anak usia 3-5 tahun pada keluarga miskin di kecamatan Bogor Selatan [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor Oppenheimer SJ. 2001. Iron and Its Relation to Immunity and Infectious Disease. The Journal Of Nutrition 131: 616S–635S [3 April 2008] Permaesih D, S Herman. 2005. Faktor-faktor yang mempengaruhi anemia pada remaja. Buletin Penelitian Kesehatan 33(4):162-171 Puri DK. 2007. Faktor-faktor yang berhubungan dengan status anemia mahasiswi peserta program pemberian makanan tambahan di IPB, Bogor [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor Ratnayani. 2005. Identifikasi karakteristik mahasiswa putra TPB IPB dengan status gizi kurang [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor Riyadi H. 2001. Metode Penilaian Status Gizi Secara Antropometri. Bogor : Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Institut Pertanian Bogor Ruel MT. 2001. Can Food-Based Strategies Help Reduce Vitamin A and Iron Deficiencies? A Review of Recent Evidence. Washington DC : International Food Policy Research Institute Shulman ST, JP Phair, HM Sommers. 1994. The Biologic & Clinical Basis of Infectious Diseases, Fourth Edition, penerjemah Samik Wahab. Jogjakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada Soekirman. 2000. Ilmu Gizi dan Aplikasinya. Jakarta : DirJen PTDPN Supariasa IDN, I Fajar, B Bakri. 2001. Penilaian Status Gizi. Jakarta : Buku Kedokteran EGC Thompson B. 2007. Food-based approaches for combating iron deficiency. Didalam Nutritional Anemia, Edited by Klaus Kraemer & Michael B. Zimmermann. Switzerland : Sight and Life Press
Thurnham DI, CA Northrop-Clewes. 2007. Infection and the etiology of anemia. Didalam Nutritional Anemia, Edited by Klaus Kraemer & Michael B. Zimmermann. Switzerland : Sight and Life Press UNS – SCN [United Nation System – Standing Committee on Nutrition]. 2006. Adolescence. Geneva WHO [World Health Organization]. 2001. Iron Deficiency Anaemia, Assessment, Prevention, and Control : A guide for programme managers. Geneva : World Health Organization WHO [World Health Organization]. 2004. Focusing on anaemia : Towards an integrated approach for effective anaemia control. Geneva : World Health Organization WHO [World Health Organization]. 2006. Adolescent Nutrition: A Review of the Situation in Selected South-East Asian Countries. New Delhi : WHO Region Office for South-East Asia Wijianto. 2002. Dampak suplementasi tablet tambah darah (TTD) dan faktorfaktor yang berpengaruh terhadap anemia gizi ibu hamil di kabupaten Banggai propinsi Sulawesi Tengah [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor Wirakusumah ES. 1998. Perencanaan Menu Anemia Gizi Besi. Jakarta : Trubus Agriwidya Wiseman G. 2002. Nutrition & Health. London : Taylor & Francis Inc. Zhu YI, JD Haas. 1997. Iron depletion without anemia and physical performance in young women. The Journal of Nutrition :66:334-41 [23 Juni 2008]
LAMPIRAN
Lampiran 1. Kuisioner penelitian KUISIONER KEGIATAN PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN ANEMIA GIZI BESI PADA REMAJA PUTRI SISWI SMP DAN SMU NAMA SEKOLAH
: ....................................................................
PUSKESMAS/KECAMATAN : .................................................................... A.
Identitas Responden 1. Nama siswi
: ....................................................................
2. Tanggal Lahir/Umur : ....................................................................
B.
3. Nama Orang Tua
: ....................................................................
4. Kelas
: ....................................................................
Pernyataan Kesediaan Diambil darah 1. Apakah bersedia diambil darah? 1. Ya
2. Tidak
2. Hasil pemeriksaan darah, Hb : .........… g% 1. Anemia (Hb < 12 g%) C.
2. Normal (Hb ≥ 12 g%)
Data Antropometri dan Status Gizi 1. Berat Badan
: ................., ................. kg
2. Tinggi Badan
: ................., ................. m
3. Indeks Massa Tubuh (IMT) : ................., ................. 4. Status Gizi :
D.
1. Kurus
: IMT < 18.5
2. Normal
: IMT 18.5 – 24.9
3. Risiko untuk Gemuk
: IMT 25.0 – 26.9
4. Gemuk
: IMT ≥ 26.9
Aktivitas Fisik
Kegiatan sehari-hari selain belajar (jawaban boleh lebih dari satu) 1. Olahraga ringan (jalan santai, lempar cakram, tolak peluru, senam pernapasan, dll) 2. Olahraga sedang (basket, voli, lari, senam aerobik, jalan cepat, dll) 3. Olahraga berat (sepakbola, lari cepat >10 km, senam aerobik high impact, dll)
E.
Pola Menstruasi 1. Frekuensi Menstruasi 1. Sebulan sekali
3. 2-3 bulan sekali
2. Sebulan dua kali
4. Lain-lain, sebutkan .................
2. Banyaknya Menstruasi 1. Sehari ganti 1-2 kali
3. Sehari ganti 5-6 kali
2. Sehari ganti 3-4 kali
4. Sehari ganti > 6 kali
3. Lama menstruasi
F.
1. < 3 hari
3. 5 – 7 hari
2. 3 – 5 hari
4. > 7 hari
Riwayat Penyakit 1. Apakah pernah menderita sakit TB (sering batuk-batuk riak berdarah, keluar keringat malam)? 1. Ya
2. Tidak
2. Apakah pernah menderita sakit malaria (Sering demam disertai menggigil)? 1. Ya
2. Tidak
3. Apakah dalam satu bulan terakhir ini pernah keluar cacing? 1. Ya G.
2. Tidak
Perilaku Hidup Bersih dan Sehat Apakah mencuci tangan sebelum makan? 1. Mencuci tangan pakai sabun 2. Mencuci tangan tidak pakai sabun 3. Tidak mencuci tangan
H.
Perilaku Makan 1. Berapa kali frekuensi makan dalam sehari? 1. > 3 kali
3. 2 kali
2. 3 kali
4. 1 kali, alasannya .................
2. Apakah ada pantangan makanan tertentu yang dianjurkan? 1. Ada, sebutkan alasannya ................................................... 2. Tidak ada 3. Apakah ada makanan tertentu yang dianjurkan? 1. Ada, sebutkan alasannya .................................................. 2. Tidak ada
Lampiran 2. Frekuensi Konsumsi Pangan FORMULIR RECALL KONSUMSI MAKANAN SUMBER ZAT BESI DAN VITAMIN C KEGIATAN PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN ANEMIA GIZI BESI PADA REMAJA PUTRI SISWI SMP DAN SMU NAMA SISWI
: …………………………………………………………….
TANGGAL LAHIR/UMUR
: …………………………………/…………………..tahun
NAMA SEKOLAH/KELAS
: …………………………………………………………….
PUSKESMAS/KECAMATAN
: …………………………………………………………….
KABUPATEN/KOTA
: …………………………………………………………….
No 1.
2.
3.
4.
5. 6.
7.
Bahan Makanan SUMBER HEME Lauk Hewani - Ikan segar - Ikan asin - Daging sapi - Daging ayam - Hati sapi - Hati ayam - Telur ayam - Telur bebek - Telur puyuh .......................... SUMBER NON HEME Lauk Nabati - Tempe - Tahu - Kacang-kacangan .......................... Sayuran - Waluh - Kembang kol - Kol - Brokoli - Wortel - Kentang - Daun singkong - Bayam - Kangkung - Sawi - Daun pepaya …………………. Buah-buahan - Jeruk - Pepaya - Tomat - Jambu biji - Mangga - Nenas - Pisang .......................... Makanan Jajanan .......................... Minuman - Teh - Kopi Suplemen
Tidak
Frekuensi Makan dalam Seminggu Setiap Hari 3 – 6 Kali < 3 Kali
Lampiran 3. Hasil Uji Korelasi Spearman Faktor Risiko dengan Status Anemia Faktor Risiko Usia Status Gizi Antropometri Status Menstruasi Frekuensi Menstruasi Banyak Menstruasi Lama Menstruasi Riwayat Penyakit Perilaku Hidup Bersih dan Sehat Aktivitas Fisik Lauk Hewani Ikan Segar Ikan Asin Daging Sapi Daging Ayam Hati Sapi Hati Ayam Telur Ayam Telur Bebek Telur Puyuh Lauk Nabati Tempe Tahu Kacang-kacangan Sayuran Waluh Kembang Kol Kol Brokoli Wortel Kentang Daun Singkong Bayam Kangkung Sawi Daun Pepaya Buah-buahan Jeruk Pepaya Tomat Jambu Biji Mangga Nenas Pisang Makanan Jajanan Bakso Mie Gorengan Minuman Teh Kopi Susu Suplemen * Signifikan pada taraf kepercayaan < 0.1
Koefisien Korelasi 0.131 - 0.043 0.113 0.011 0.044 0.028 - 0.009 0.011 0.023
Sig. 0.009* 0.396 0.023* 0.855 0.448 0.632 0.861 0.824 0.641
0.035 - 0.071 0.005 0.069 - 0.054 0.018 - 0.085 - 0.108 0.029
0.480 0.155 0.928 0.167 0.281 0.725 0.088* 0.031* 0.558
- 0.005 - 0.034 - 0.042
0.923 0.496 0.398
- 0.103 - 0.026 0.015 - 0.077 0.010 0.052 0.018 0.017 - 0.053 - 0.087 - 0.017
0.040* 0.604 0.757 0.123 0.840 0.298 0.723 0.730 0.290 0.082* 0.733
0.074 - 0.123 - 0.026 0.055 - 0.039 0.012 0.066
0.138 0.014 0.605 0.274 0.432 0.803 0.186
- 0.038 0.069 0.003
0.446 0.170 0.957
- 0.037 - 0.054 0.068 - 0.017
0.462 0.281 0.175 0.735
Lampiran 4 Hasil Analisis Regresi Logistik Usia Status Gizi Menstruasi Riwayat Penyakit Aktivitas Fisik Konsumsi Pangan
Faktor Risiko 13-15 thn (13-15thn=1, 10-12thn=0) 16-18 thn (16-18thn=1, 10-12thn=0) Kurus (IMT < 18.5 = 1, IMT > 25 = 0) Normal (18.5
25= 0) Sudah = 1, Belum = 0 Ya = 1, Tidak = 0 OR Sedang (Sedang = 1, Ringan = 0) OR Berat (Berat = 1, Ringan = 0) Telur ayam (Jarang = 1, Sering = 0) Telur bebek (Jarang = 1, Sering = 0)
Konstanta * Signifikan pada taraf kepercayaan 0.1
OR 2.727 1.689 8.323 6.733 1.220 0.714 0.369 0.956 0.901 0.782 0.052
90% C.I OR 1.673 - 4.539 0.979 - 3.066 2.270 - 29.152 1.794 - 22.531 0.689 - 2.066 0.089 - 4.445 0.667 - 1.392 0.049 - 2.465 0.173 - 1.734 0.551 - 2.573