HUBUNGAN KOMPETENSI SOSIAL DENGAN RESILIENSI SISWA YANG MENGALAMI KONFLIK ANTAR KAMPUNG PADA SMP NEGERI 03 SAPARUA
Oleh: CHRISELDA AUSTRIN MAITIMU
80 2011 084
TUGAS AKHIR Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan Untuk Mencapai Gelar Sarjana Psikologi Programa Studi Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA 2015
HUBUNGAN KOMPETENSI SOSIAL DENGAN RESILIENSI SISWA YANG MENGALAMI KONFLIK ANTAR KAMPUNG PADA SMP NEGERI 03 SAPARUA
Chriselda Austrin Maitimu Heru Astikasari S Murti
Programa Studi Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA 2015
ABSTRAK Jenis penelitian ini adalah penelitian korelasional yang bertujuan untuk mengetahui signifikansi hubungan antara Kompetensi sosial dengan Resiliensi siswa yang mengalami konflik antar kampung pada SMP Negeri 03 Saparua. Sebanyak 62 orang diambil sebagai sampel yang dilakukan dengan menggunakan teknik sampel insidental sampling. Metode penelitian yang dipakai dalam pengumpulan data dengan metode skala, yaitu skala Kompetensi sosial dengan Resiliensi. Teknik analisa data yang dipakai adalah teknik korelasi product moment. Dari hasil analisa data diperoleh koefisien korelasi (r) 0,005 dengan 0,484 (p > 0,05) yang berarti tidak ada hubungan antara Kompetensi sosial dengan Resiliensi siswa yang mengalami konflik antar kampung pada SMP Negeri 03 Saparua. Kata Kunci : Kompetensi sosial, Resiliensi
ABSTRACT This research is a correlational study which aimed to determine the significance of the correlation between social competence with the resilience of students who experience conflict at SMP Negeri 03 Saparua. There are 62 students were taken as samples using incidental sampling technique. Research methods used in the data collection was scale, method using scales of social competence with the resilience. Data analysis technique used was product moment of correlation technique. Analysis of data obtained from the coefficient of correlation was (r) 0,005 with 0,484 (p > 0,05), which which means that there is no relationship between. Keywords :
Social competence, Resiliene
PENDAHULUAN Memasuki masa pasca-konflik sesungguhnya daerah-daerah pasca-konflik di Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan pembangunan perdamaian yang bersumber bukan hanya dari belum teratasinya masalah-masalah konflik di masa lalu tetapi juga masih rentannya kondisi perdamaian yang disebabkan belum efektif dan majunya pembangunan perdamaian karena, masih lemahnya kelembagaan sosial-politik dan penyelenggaraan pemerintahan dalam mengatasi berbagai potensi konflik terpendam. Membangun kembali masyarakat pasca-konflik membutuhkan pendekatan dan strategi pembangunan perdamaian pasca-konflik secara khusus, bukan hanya untuk mencegah agar konflik tidakkembali muncul ke permukaan tetapi juga untuk mengkonsolidasikan perdamaian menuju tercapainya pembangunan dan perdamaian berkelanjutan (Trijono, 2009). Salah satu daerah yang sering terjadi konflik adalah pada bagian timur Indonesia yaitu Maluku. Konflik yang terjadi di Maluku bukan hanya terjadi antar agama, namun juga terjadi antar Desa. Konflik antar Desa yang sering terjadi di Maluku biasanya dipicu oleh masalah sengketa perbatasan wilayah tanah adat, masalah anak muda dan lain sebagainya. Konflik yang terjadi di Maluku memang masih rentan terjadi karena luka kerusuhan lama belum sepenuhnya sembuh. Sehingga sejak ditanda tanganinya perjanjian Malino sudah berkali-kali terjadi konflik di Maluku yang memakan korban jiwa (Manuputty dkk, 2014). Saparua adalah salah satu pulau yang terletak di Provinsi Maluku.Masyarakat di pulau ini juga merasakan situasi konflik yang serius ketika terjadi "konflik Maluku".Saat ini pulau tersebut adalah salah satu pulau yang masuk dalam wilayah administratif Kabupaten Maluku Tengah. Saparua terdiri atas 16 negeri (desa) dengan 3 negeri beragama Islam, serta 13 negeri lainnya mayoritas beragama Kristen (Kolopaking dkk, 2007). Di pulau Saparua sering muncul konflik antar desa yang bertetangga, salah satunya adalah konflik Desa Haria dan Desa
1
2
Porto.Konflik kekerasan yang melibatkan Desa Porto dan Desa Haria belum sepenuhnya tuntas. Bahkan, konflik kekerasan yang bermula dari saling klaim batas desa dan kepemilikan air “sumur raja” inisudah terjadi bertahun-tahun lamanya sampai dengan saat ini belum terselesaikan pangkal penyelesaiannya, sehingga setiap ada permasalahan kecil akan dapat membuat menjadi masalah besar jika tidak ditangani dengan baik dan cepat serta optimal. Seringnya terjadi permasalahan kecil seperti perkelahian antar pemuda bisa berujung pada perkelahian antar kampung yang telah menyebabkan korban jiwa dan materi yang tidak sedikit sehingga telah membuat para Pejabat Pemerintah, Tokoh Agama, Tokoh Pemuda, Tokoh Masyarakat, Tokoh Adat, para Raja dan Aparat Keamanan, berbagai upaya perdamaian telah dilakukan bersama secara optimal, mulai dari tingkat Desa, Kecamatan, dan Kabupaten, bahkan sampai Provinsi, tetapi hasilnya tidak sesuai dengan yang diharapkan karena masih ada oknum masyarakat yang sengaja menciptakan instabilitas di kedua Negeri tersebut (http://www.tni.mil.id/view-49996-seminar-konsep-penyelesaian-konflik-porto-haria.html). Konflik kekerasan yang terjadi ini tidak hanya melibatkan antar warga akan tetapi sudah melibatkan antar pelajar dari kedua desa yang mengakibatkan pengaruh yang negatif bagi para pelajar di sekolah (Sistem Nasional Pemantauan Kekerasan (SNPK) Mei 2013). Dalam proses pembelajaran di sekolah tentunya setiap siswa memiliki daya serap yang berbeda. Tekanan yang terjadi dalam kehidupan merupakan proses yang tidak terkecuali dialami oleh semua individu, salah satunya adalah tekanan akibat konflik, namun yang membedakan antara individu yang satu dengan lainnya adalah pada keberhasilan individu yang dalam beradaptasi dengan tekanan-tekanan yang ada. Bagi individu yang mampu beradaptasi dengan baik, mereka akan menghasilkan performa-performa positif dalam hidupnya, sebaliknya bagi individu yang kurang mampu beradaptasi mereka akan tetap berada dalam kondisi tidak menyenangkan tersebut. Istilah lain yang menggambarkan kualitas pribadi yang
3
memungkinkan individu dan komunitasnya untuk tumbuh walaupun berada dalam ketidakberuntungan disebut resiliensi (Connor;2006). Connor& Davidson 2003 (dalam Ekasari & Bayani 2009) menyebutkan resiliensi merupakan kualitas seseorang dalam hal kemampuan untuk menghadapi penderitaan.Resiliensi memiliki sumber-sumber dalam pembentukan resiliensi itu sendiri. Menurut Grotberg (dalam Desmita 2006) ada tiga sumber dari resiliensi, yaitu I have (aku punya), I am (Aku ini), I can (Aku dapat), dan ketiga sumber ini mempengaruhi satu sama lain atau bisa dikatakan saling menopang dalam membentuk resiliensi yang baik. Siswa yang resilien adalah mereka yang mampu menunjukan performa tinggi dan tetap termotivasi dalam belajar maupun dalm berkompetensi secara sosial meskipun terdapat berbagai hal yang menekankan dan menurunkan resiko akan menurunnya performa mereka. Faktor resiliensi terdiri faktor resiko dan faktor protektif. Dengan adanya faktor resiko, maka akan timbul apa yang disebut sebagai faktor protektif. Faktor resiko meliputi faktor prenatal yang berkaitan dengan penanganan kesehatan, dan faktor yang berasal dari lingkungan seperti kemiskinan,wilayah konflik, bencana alam atau perceraian (Rickel dan Becker, 1997 dalam Berns 2007). Faktor protektif internal meliputi self esteem dan self efficacy. Siswa yang memiliki
resiliensi
yang
tinggi
berkorelasi
dengan
meningkatnya
self
efficacy
(keyakinan/ketangguhan diri) sedangkan resiliensi yang rendah juga akan menurunkan self esteem (harga diri) siswa. Pengetahuan tentang resiliensi bisa menginformasikan intervensi yang bertujuan untuk meningkatkan hasil yang lebih positif pada siswa karena tercapai keseimbangan antara resiko dan faktor protektif yang diketahui berimbas pada kesehatan mental siswa. Martin dan Marsh (2006) mengatakan bahwa resiliensi meningkatkan kemungkinan anak untuk sukses disekolah dan berbagai aspek lain dalam hidup mereka meskipun terdapat
4
rintangan atau kejadian yang tidak menyenangkan. Namun setiap individu memiliki kondisi yang berbeda untuk mampu bertahan dan pulih dari situasi negatif secara efektif dengan menghasilkan performa-performa positif dalam hidupnya, salah satunya adalah memiliki prestasi yang baik di sekolah. Sekolah merupakan lingkungan di mana anak tidak hanya memperoleh pelajaran akademik, tetapi merupakan tempat mereka memperoleh pengalaman interaksi sosial dan emosional dengan orang dewasa dan teman sebayanya, yang memungkinkannya memupuk harga diri dan mengembangkan kompetensi sosialnya. Pengalaman ini sangat penting untuk meningkatkan prospek keberhasilannya di kemudian hari dalam membina hubungan sosial, karir, dan pencapaian cita-cita pribadinya (Paavola, 1995). Weissberg (dalam Goleman, 2000) berpendapat bahwa individu yang kompeten secara sosial mempunyai pengendalian hati yang baik, terampil dalam menyelesaikan masalah, mempunyai keterlibatan yang intens dengan teman sebaya, memiliki efektivitas dan popularitas antar pribadi, terampil dalam mengatasi masalah antar pribadi, terampil dalam mengatasi kecemasan dan terampil dalam menyelesaikan konflik. Menurut Braumind (dalam Rydell, et al.,1997) kompetensi sosial merupakan mood positif yang menetap, harga diri, physical fitness, tanggung jawab sosial yang mencakup kemampuan untuk berinteraksi dengan orang lain, perilaku menolong teman sebaya, kematangan moral, cognitive agency yang mencakup kognisi sosial, orientasi terhadap prestasi, internal locus of controlyang mencakup sikap egalitarian terhadap orang dewasa, sikap kepemimpinan terhadap teman sebaya, dan perilaku yang berorientasi pada tujuan. Rydell, et al. (1997) mengemukakan aspek kompetensi sosial adalah aspek prosocial orientation (perilaku sosial) dan socialinitiative(inisiatif sosial)
5
Hasil Penelitian Brooks(2006) mengatakan bahwa sekolah dapat memperkuat resiliensi dengan mengembangkan kompetensi sosial, karena kompetensi sosial sering dipandang sebagai faktor pelindung. Banyak kurikulum yang tersedia untuk mengembangkan keterampilan yang membangun kompetensi sosial terutama dalam memecahkan masalah, pengambilan keputusan, ketegasan, berkomunikasi secara efektif, mengelola emosi, konflik resolusi, menolak tekanan teman sebaya, dan mengembangkan hubungan personal.Jadi ada hubungan yang signifikan antara kompetensi sosial dengan resiliensi. Selain itu penelitian yang dilakukan oleh Destalya (2013) Terdapat 10 remaja tunanetra (18,18%) yang memiliki kompetensi sosial yang tinggi, 38 orang (69,09%) berada pada kategori sedang dan 7 orang (12,73%) memiliki kompetensi sosial yang rendah; 3) terdapat 10 remaja tunanetra (18,18%) yang memiliki resiliensi yang tinggi, 40 orang (69,09%) berada pada kategori sedang dan 8 (12,73%) memiliki resiliensi yang rendah; 4) Adanya pengaruh yang signifikan antara kompetensi sosial terhadap resiliensi remaja tunanetra.Remaja tunantera yang memiliki kompetensi sosial dan resiliensi yang tinggi dikarenakan remaja tunanetra tersebut ketika menghadapi situasi yang sulit tetap menjaga hubungan yang positif dengan orang lain bahkan mereka mampu untuk terus melihat sisi positif dari hal yang mereka alami. Sedangkan pada remaja tunantera dengan kompetensi sosial dan resiliensi yang rendah, mereka cenderung mudah terpengaruh dengan situasi hatinya, sehingga mereka cenderung menarik diri dari lingkungannya. Bertolak belakang dari hasil-hasil penelitian sebelumnya menurut Hartuti & Frieda (2009) dalam penelitiannya mengatakan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara kompetensi sosial dengan resiliensi.Kompetensi sosial mencangkup kerjasama komunikasi dan empati (Benard, 2004).Anak-anak yang memiliki kompetensi sosial akanmembangun hubungan yang positif dengan orang dewasa dan teman sebaya, membantu ikatan mereka dengan keluarga mereka, sekolah, dan masyarakat walaupun mereka memiliki resiliensi yang rendah. Selain itu
6
juga dalam penelitian Cove dkk. (2005) menjelaskan bahwa tidak ada hubungan antara kompetensi sosial dengan resiliensi, karena anak yang hidup dalam keluarga yang memiliki pendapatan yang sangat rendah dan mereka hidup dalam masyarakat di mana mereka harus menghadapi setiap hari dengan bahaya perdagangan narkoba dan kejahatan kekerasan, mereka tetap bersekolah dan dalam aktivitasnya di sekolah, anak-anak ini memiliki self efficacy dan kompetensi sosial yang tinggi. Fenomena yang di dapati penulis pada SMP Negeri 03 Saparua sepertinya mengindikasikan bahwa adanya hubungan yang signifikan antara kompetensi sosial dengan resiliensi.Hal ini berdasarkan pada hasil wawancara oleh Kepala Sekolah dan salah satu guru pada SMP Negeri 03 (Wawancara dilakukan pada 09 Juli 2014), yang mengatakan bahwa setiap siswa dari kelas VII sampai kelas IX mempunyai hubungan sosial dilingkungan sekolah sangat kurang baik akibat konflik yang terjadi antara kedua Negri yang bertetangga yaitu Negeri Haria dan Negri Porto. Pemerintah Provinsi Maluku dan Dinas Pendidikan perlu memberikan perhatian yang serius kepada lembaga pendidikan yang ada di daerah ini. Pasalnya, aktivitas belajar mengajar di daerah ini sangat terganggu pasca konflik yang sering terjadi dari kedua negri tersebut. Hingga sekolah mengalami kesulitan dalam melakukan proses belajar mengajar akibat dari konflik yang terjadi. Banyak siswa yang mengalami trauma dan tidak mau ke sekolah sehingga sekolah semakin mengalami kekurangan siswanya karena banyak yang tidak masuk lantaran dihantui dengan rasa khawatir dan takut. Selain itu para siswa mengalami kesulitan dalam berinteraksi dengan guru maupun dengan teman sebaya meraka. Kesulitan dalam bersosialisasi akanmempengaruhi keterampilan sosial anak, hal ini dilihat dari kepercayaan diri dan pengendalian diri siswa yang kurang sehingga pada kegiatan ekstrakulikuler seperti pramuka, olahraga, dan kesenian siswa yang ikut tergolong sangat sedikit akibat konflik yang terjadi. Dengan demikian hal yang harus dicapai dari bersosialisasi
7
adalah untuk menciptakan siswa yang kompeten secara sosial.Selain itu berdasarkan hasil observasi pada beberapa kelas di SMP Negeri 03 Saparua, adanya kesesuaian antara wawancara dengan kepala sekolah dan realita di lapangan. Melihat hasil penelitian dan fenomena yang ada, maka penulis ingin melakukan penelitian lebih lanjut mengenai hubungan antara Kompetensi sosial dengan Resiliensi siswa yang mengalami konflik antar kampung. Alasan penulis memilih judul ini ialah, karena dalam penelitian sebelumnya para peneliti hanya meneliti mengenai kompetensi sosial sebagai faktor pelindung didalam resiliensi, sehingga penulis ingin meneliti secara langsung hubungan antara kompetensi sosial dengan resiliensi siswa yang mengalami konflik antar kampung. Penulis juga memilih SMP Negeri 03 Saparua sebagai tempat penelitian, karena dimana SMP ini berada tepat diantar kedua Negeri yang selalu terjadi Konflik.Selain itu, pertimbangan teknis seperti akses yang cukup mudah antara penulis dengan pihak sekolah. Berdasarkan latar belakang yang telah di kemukakan sebelumnya maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adakah hubungan yang signifikan antara Kompetensi sosial dengan Resiliensi siswa yang mengalami konflik antar kampung pada SMP Negeri 03 Saparua ?.Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara Kompetensi sosial dengan Resiliensi siswa yang mengalami konflik antar kampong pada SMP Negeri 03 Saparua.
TINJAUAN PUSTAKA Resiliensi Menurut Connor& Davidson (2003) resiliensi merupakan kualitas seseorang dalam hal kemampuan untuk menghadapi penderitaan. Berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Commor & Davidson (2003) disebutkan lima aspek tentang resiliensi yang menjelaskan tentang resiliensi siswa yang mengalami konflik, yaitu:
8
1. Kompetensi pribadi, standar yang tinggi dan keuletan. Memperlihatkan bahwa seseorang merasa sebagai orang yang mampu mencapai tujuan dalam situasi kemunduran atau kegagalan. 2. Percaya pada diri sendiri, memiliki toleransi terhadap afek negatif dan kuat/tegar dalam menghadapi stres Hal tersebut berhubungan dengan ketenangan , cepat melakukan coping terhadap stress, berpikir secara hati-hati dan tetap fokus sekalipun sedang dalam menghadapi masalah. 3. Menerima perubahan secara positif dan dapat membuat hubungan yang aman (secure) dengan orang lain Hal ini berhubungan dengan kemampuan beradaptasi atau mampu beradaptasi jika menghadapai perubahan. 4. Kontrol diri dalam mencapai tujuan dan bagaimana meminta atau mendapatkan bantuan dari orang lain . 5. Pengaruh spiritual, yaitu yakin pada Tuhan atau nasib. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Resiliensi Ibeagha dkk, 2004 (dalam Masdianah 2010) mengatakan Seorang anak dapat disebut sebagai anak yang resilien apabila mereka memenuhi kriteria yang diperlukan.Kriteria pertama adalah terdapatnya sebuah keadaan yang merupakan ancaman atau sifatnya berbahaya bagi individu tersebut.Keadaan demikian disebut juga sebagai faktor resiko.Kedua, kualitas penyesuaian individu terhadap keadaan tersebut sesuai dengan tahap perkembangannya dimana hal ini juga dikenal sebagai faktor protektif . Faktor Resiko Faktor resiko dalam Berns (2007) didefinisikan sebagai keadaan yang membahayakan. Mash dan Wolfe (2005)mengemukakan definisi serupa mengenai faktor resiko yaitu variabel yang berkemungkinan memberikan dampak negatif dari kejadian yang dialami individu.
9
Individu yang berada dalam keadaan beresiko rentan terhadap hasil perkembangan yang negatif seperti dikeluarkan dari sekolah, penggunaan obat-obatan terlarang, kehamilan di masa remaja bahkan terlibat dalam kasus bunuh diri. Faktor resiko yang melibatkan siswa dapat diklasifikasikan menjadi empat jenis yaitu faktor genetik seperti kemunduran mental, faktor prenatal seperti masalah kesehatan saat berada dalam kandungan, faktor prenatal yang berkaitan dengan penanganan kesehatan, dan faktor yang berasal dari lingkungan seperti kemiskinan,wilayah konflik, bencana alam atau perceraian (Rickel dan Becker, 1997 dalam Berns 2007). Faktor Protektif Faktor protektif adalah hal-hal yang membantu individu bertahan dari dampak yang diakibatkan oleh tekanan yang diterima, membantu mengatasi keadaan tidak menyenangkan tersebut dan mampu menyesuaikan diri dalam keadaan mengancam tersebut (Ibeaghadkk, 2004).Sejalan dengan definisi tersebut dikatakan pula bahwa faktor protektif adalah keadaan yang mengurangi dampak dari stres dini dan cenderung memprediksi hasil positif dari keadaan tidak menyenangkan (Masten dan Coatsworth dalam Papalia, 2004) Faktor protektif berasal dari dua sumber yaitu internal dan eksternal.Faktor protektif internal meliputi self esteem dan self efficacy dimana adalah asset atau faktor protektif yang secara konstan muncul dalam pembahasan mengenai karakteristik siswa yang resilien dan meliputi kompetensi sosial, kemampuan memecahkan masalah, aktif dalam pembelajaran, otonomi dan kesadaran akan tujuan dan masa depan. Hal ini sering disebut juga sebagai kekuatan pribadi dan merupakan manifestasi dari resiliensi itu sendiri.Faktor-faktor ini pasti dimiliki setiap siswa namun dalam derajat yang berbeda-beda (Chavkin dan Gonzales, 2000).Sementara faktor eksternal adalah faktor yang mendukung timbulnya resiliensi siswa dari luar diri mereka. Faktor protektif
10
eksternal dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori besar yaitu keluarga, sekolah dan lingkungan sehari-hari.
Kompetensi Sosial Vaughn dan Waters (dalam Sroufe dkk, 1996) Kompetensi sosial adalah kemampuan anak untuk mengajak maupun merespon teman- temannya dengan perasaan positif, tertarik untuk berteman dengan teman-temannya serta diperhatikan dengan baik oleh mereka, dapat memimpin dan juga mengikuti, mempertahankan sikap memberi dan menerima dalam berinteraksi dengan temannya. Rydell, et al., (1997) mengemukakan aspek kompetensi sosial adalah 1. Aspek prosocial orientation (perilaku prososial) yang terdiri dari: a. Kedermawanan (generosity) yaitu, kesediaan untuk memberikan sukarela sebagian barang miliknya kepada orang yang membutuhkan. b. Empati (emphaty) yaitu, kemampuan seseorang untuk mengerti tentang perasaan dan emosi orang lain serta kemampuan untuk membayangkan diri sendiri di tempat orang lain. c. Memahami orang lain (understanding of others) yaitu, memiliki rasa simpati terhadap permasalahan yang dihadapi oleh orang lain dan keinginan untuk membantu meskipun hanya untuk menghibur. d. Penanganan konflik (conflict handling) yaitu, Usaha manusia untuk meredakan pertikaian atau konflik yang terjadi. Pihak-pihak yang berkonflik kemudian saling menyesuaikan diri pada keadaan tersebut dengan cara bekerja sama. e. suka menolong (helpfulness) yaitu, kesediaan untuk menolong orang lain yang sedang berada dalam kesulitan.
11
2. Aspek social initiative (inisiatif sosial) yang terdiri dari: a. Aktif untuk melakukan inisiatif dalam situasi sosial b. Withdrawal behavior (perilaku menarik diri) dari situasi tertentu. Dinamika Hubungan Antara Kompetensi Sosial dengan Resiliensi Linquanti (dalam Howard 1999) memberikan definisi resiliensi sebagai kualitas dalam diri anak yang walaupun dihadapkan dengan kejadian-kejadian yang tidak menyenangkan dalam hidup tidak mengalami kegagalan dalam hal kehidupan akademisnya.Resiliensi sangat penting pada diri individu. Pada situasi-situasi tertentu saat kemalangan tidak dapat dihindari, seseorang yang memiliki resiliensi dapat mengatasi berbagai permasalahan kehidupan dengan cara mereka. Mereka akan mampu mengambil keputusan dalam kondisi yang sulit secara cepat. Keberadaan resiliensi akan mengubah permasalahan menjadi sebuah tantangan, kegagalan menjadi kesuksesan, ketidakberdayaan menjadi kekuatan, korban menjadi penyintas, dan membuat penyintas terus bertumbuh. Berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa resiliensi adalah kunci sukses dalam pekerjaan dan kepuasan hidup. Resiliensi akan mempengaruhi penampilan seseorang di sekolah, di tempat kerja, kesehatan fisik maupun mental, dan kualitas hubungannya dengan orang lain. ( Reivich, 2002). Mendukung pernyataan tersebut, Nears (dalam Masdianah, 2010) dalam penelitiannya juga menyebutkan bahwa anak yang tidak dapat mengatasi tantangan yang ada dengan efektif akan lebih tidak menyenangi sekolah dan lebih jarang berpartisipasi dalam kegiatan di sekolah. Ada banyak sekali faktor yang dapat mempengaruhi resiliensi siswa yaitu faktor internal dan eksternal.Salah satu faktor internal yang dibahas dalam penelitian ini adalah adalah kompetensi sosial. Menurut Peterson & Leigh (Gullota dkk, 1990) kompetensi sosial adalah kemampuan, kecakapan, atau ketrampilan individu dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan dan
12
memberi pengaruh pada orang lain demi mencapai tujuan dalam konteks sosial tertentu yang disesuaikan dengan budaya, lingkungan, situasi yang dihadapi serta nilai yang dianut oleh individu.Kemampuan-kemampuan yang dibutuhkan dalam kompetensi sosial dapat diperoleh melalui proses belajar disekolah sebab proses belajar di sekolah tidak hanya berkaitan dengan perkembangan intelektual saja (kognitif), tetapi juga perkembangan sosial dan emosional (Atwater, 1992). Selain itu, mengembangkan kompetensi sosial merupakan salah satau strategi sekolah untuk memperkuat resiliensi. Kompetensi sosial sering dipandang sebagai faktor aprotective, karena salah satu cara membangun resiliensi adalah dengan mengembangkan kompetensi sosial anak disekolah (dalam Brooks 2006). Berbagai literatur tentang resiko danresiliensi menyebutkan bahwa sekolah merupakan lingkungan kritis bagi siswauntuk mengembangkan kapasitas untuk keluar dari adversitas, menyesuaikandiri dengan tekanan-tekanan, dan menghadapi problem-problem, sertamengembangkan berbagai kompetensi sosial, akademik dan vokasional yangdiperlukan untuk mencapai kehidupan yang lebih baik (Henderson dan Millstein dalam Desmita, 2006).Upaya tersebut melengkapi peran sekolah dalam membangun kompetensi akademik dan berkontribusi untuk mempersiapkan siswa yang berkompeten dan memiliki prestasi yang baik untuk masa depan (Konsorsium untuk Promosi Sekolah Berbasis Kompetensi Sosial. 1994). Dengan demikian untuk mengembangkan kompetensi sosial harus menyediakan konteks lingkungan dan dukungan yang penting untuk pengembangan resiliensi (Pianta & Walsh, 1998).Ini dapat dilakukan dengan memasukkan keterlibatan orang tua dan memperkuat keterampilan yang diinginkan anak dalam kegiatan-kegiatan disekolah {Learning Pertama Alliance.2001). Dalam penelitian Penelitian Fontana & Cillesen (dalam Denham & Queenan, 2003) juga mengungkapkan hal yang sama yaitu, bahwa individu yang mempunyai kompetensi sosial yang
13
tinggi lebih disukai oleh orang tua dan guru-guru di sekolah, mereka pada umumnya mampu mengatasi masalah dengan baik, mempertahankan hubungan sosialnya dengan teman sebaya dan mampu mengelola konflik dengan orang lain. Sebaliknya jika individu memiliki kompetensi sosial yang rendah maka mereka akan sulit mengatasi masalah, hubungan sosial dengan guru dan teman sebayanya akan rendah dan tidak mampu mengelolah setiap tantangan, tekanan-tekanan, dan konflik yang terjadi. Adam (dalam Tentrawati, 1989) juga mengungkapkan bahwa seseorang yang memiliki kompetensi sosial yang tinggi mampu menghadapi kondisi-kondisi yang penuh dengan ketegangan dan mampu menarik serta mempertahankan dukungan sosialnya terhadap orang lain. Ini dapat dikatakan bahwa saat individu mampu mengembangkan kompetensi sosialnya berati resiliensinya semakin kuat.Hasil Penelitian Brooks (2006) mengatakan bahwa sekolah dapat memperkuat resiliensi dengan mengembangkan kompetensi sosial, karena kompetensi sosial sering dipandang sebagai faktor pelindung. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kompetensi sosial memilikihubungan yang positif dengan resiliensi siswa. Hipotesis Berdasarkan tinjauan yang telah dikemukakan di atas, maka rumusan hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah terdapat hubungan positif yang signifikan antara kompetensi sosial dengan resiliensi siswa yang mengalami konflik antar kampung pada SMP Negeri 03 Saparua.
14
METODE PENELITIAN Variabel Penelitian Variabel bebas dalam penelitian ini adalah Kompetensi sosial sedangkan Variabel terikat dalam penelitian ini adalah adalah Resiliensi siswa yang mengalami konflik antar kampung Populasi dan Sampel Penelitian Populasi dalam penelitian ini adalah keseluruhan siswa SMP Negeri 03 Saparuayang berjumlah 380 siswa. Dimana jumlah siswa kelas VII berjumlah 132 siswa, kelas VIII berjumlah 128 siswa, dan kelas IX berjumlah 120 siswa Menurut Sugiyono (2012) sampel merupakan sebagian dari jumlah karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut. Teknik sampel yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah insidental sampling. Untuk penentuan kelas mana saja yang menjadi sampel, penulis memberikan hak kepada pihak sekolah untuk menentukannya. Alat Ukur Penelitian Penelitian ini menggunakan dua skala, yaitu skala Kompetensi Sosial dan skala Resiliensi siswa. Skala kompetensi sosial menggunakan skala SCI (Social CompetenceInventory) yang disusun oleh Rydell at al., (1997) terdiri atas 2 aspek yaitu, aspek prosocial orientation dan aspek social initiative.Sedangkan skala resiliensi menggunakan skala CD-RISC (Connor Davidson ResilienceScale) yang disusun oleh Connor & Davidson (2003) yang terdiri dari 5 aspek, yaitu: kompetensi personal, percaya pada diri sendiri, menerima perubahan secara positif , kontrol diri, pengaruh spiritual. Pengumpulan Data Metode pengumpulan data yang digunakan adalah menggunakan sakala pengukuran psikologi, yang terdiri dari 2 skala, yaitu skala kompetensi sosialdan skala resiliensi.Item dalam
15
skala-skala tersebut dikelompokkan dalam pernyataan favorable dan unfavorable dengan menggunakan 4 alternatif jawaban dari skala Likert yang telah dimodifikasi yaitu, Sangat Sesuai (SS), Sesuai (S), Tidak Sesuai (TS), dan Sangat Tidak Sesuai (STS).Keseluruhan data diperoleh dari skala psikologi yang telah dibagikan kepada subjek. Analisis Data Teknik yang digunakan untuk menguji hubungan antara kedua variabel penelitian adalah korelasi Product Moment dari Pearson. Dalam penelitian ini, analisis data akan dilakukan dengan bantuan program khusus komputer statistik yaitu SPSS version 17.0 for windows.
HASIL PENELITIAN Hasil Seleksi Item dan Reliabilitas Alat Ukur 1. Kompetensi Sosial Berdasarkan pada perhitungan uji seleksi item dan reliabilitas skala kompetensi sosialyang terdiri dari 25 item, diperoleh item yang gugur sebanyak 7 item dengan koefisien korelasi item totalnya bergerak antara 0,310-0,606. Sedangkan teknik pengukuran untuk menguji reliabilitas adalah menggunakan teknik koefisien Alpha Cronbach, sehingga dihasilkan koefisien Alpha pada skala kompetensi sosialsebesar 0,862.Hal ini berarti skala kompetensi sosial reliabel. 2. Resiliensi Perhitungan uji seleksi item dan reliabilitas skala resiliensi yang terdiri dari 27 item, diperoleh 23 item yang valid dengan koefisien korelasi item total bergerak antara 0,2650,560, dan koefisien Alpha pada skala resiliensi sebesar 0,831 yang artinya skala tersebut reliabel.
16
Uji Deskriptif Statistika 1. Variabel Kompetensi Sosial
Tabel Kategorisasi Pengukuran Skala Kompetensi Sosial No 1
Interval 61,2 ≤ x ≤ 72
2 3 4 5
50,4 ≤ x < 61,2 39,6 ≤ x < 50,4 28,8 ≤ x < 39,6 18 ≤ x < 28,8
Kategori Sangat Tinggi Tinggi Sedang Rendah Sangat Rendah
Jumlah
Mean 68,18
N 48
Persentase 77,41%
10 2 2 0
16,13% 3,23% 3,23% 0%
62
100%
SD = 11,557, 829 Min = 300 Max = 69 Keterangan: x = kompetensi social
Berdasarkan tabel 4.4 di atas dapat dilihat bahwa 48 siswa memiliki skor sosial yang berada pada kategori sangat tinggi dengan persentase 77,41%, 10 siswa memiliki skor kompetensi sosial yang berada pada kategori tinggi dengan persentase 16,13%, 2 siswa memiliki skor kompetensi sosial yang berada pada kategori sedang dengan persentase 3,23%, 2 siswa memiliki skor kompetensi sosial yang berada pada kategori rendah dengan persentase 3,23%, dan tidak siswa yang memiliki skor kompetensi sosial yang sangat rendah dengan persentase 0%. Berdasarkan rata-rata sebesar 68,18 dapat dikatakan bahwa rata-rata kompetensi social siswa berada pada kategori sangat tinggi. Skor yang diperoleh subjek bergerak dari skor minimum sebesar 30 sampai dengan skor maksimum sebesar 89 dengan standard deviasi 11,557.
17
2. Variabel Resiliensi Tabel Kategorisasi Pengukuran Skala Resiliensi No Interval 1 78,2 ≤ x ≤ 92 2 3 4 5
64,4 ≤ x < 78,2 50,6 ≤ x < 64,4 36,8 ≤ x < 50,6 23 ≤ x < 36,8 Jumlah
Kategori Sangat Tinggi Tinggi Sedang Rendah Sangat Rendah
Mean
N Persentase 25 40,32%
78,08
35 2 0 0
56,45% 3,23% 0% 0%
62
100%
SD = 7,205 Min = 62 Max = 92 Keterangan: x = Resiliensi
Berdasarkan tabel 4.5 di atas, dapat dilihat bahwa 25 siswa yang memiliki skor resiliensi yang berada pada kategori sangat tinggi dengan persentase 40,32%, 35 siswa memiliki skor resiliensi yang berada pada kategori tinggi dengan persentase 56,45%, 2 siswa memiliki skor resiliensi yang berada pada kategori sedang dengan persentase 3,23%, dan tidak ada siswa yang memiliki skor kecurangan akademik yang berada pada kategori rendah dan sangat rendah dengan persentase 0%. Berdasarkan rata-rata sebesar 78,08, dapat dikatakan bahwa rata-rata resiliensi berada pada kategori tinggi. Skor yang diperoleh subjek bergerak dari skor minimum sebesar 62 sampai dengan skor maksimum sebesar 92 dengan standard deviasi 7,205.
Uji Asumsi Uji asumsi yang dilakukan terdiri dari uji normalitas dan uji linearitas. Uji normalitas dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
18
Uji Normalitas Pada skala Kompetensi sosial diperoleh hasil skor sebesar 0,666 dengan probabilitas (p) atau signifikansi sebesar 0,767 (p>0,05). Sedangkan pada skor resiliensi memiliki nilai KS-Z sebesar 0,895 dengan probabilitas (p) atau signifikansi sebesar 0,400.Dengan demikian kedua variabel memiliki distribusi yang normal. Uji Linearitas Hasil uji linearitas diperoleh nilai Fbeda sebesar 0,1008 dengan signifikansi = 0,493 (p>0,05) yang menunjukkan hubungan antara kompetensi sosial dengan resiliensi adalah linear. Uji Korelasi Dari perhitungan uji korelasi antara variabel bebas dan terikat, dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel Hasil Uji Korelasi antara Kompetensi Sosial dengan Resiliensi Correlations Kompetensi Sosial Kompetensi Sosial
Pearson Correlation
Resiliensi 1
Sig. (1-tailed) N Resiliensi
.005 .484
62
62
Pearson Correlation
.005
1
Sig. (1-tailed)
.484
N
62
62
Hasil koefisien korelasi antara kompetensi sosial dengan resiliensi, sebesar 0,005 dengan signifikansi = 0,484 (p>0,05). Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara kompetensi sosial dengan resiliensi yang mengalami konflik antar kampung pada SMP Negeri 03 Saparua.
19
PEMBAHASAN Berdasarkan penelitian mengenai hubungan antara kompetensi sosial dengan resiliensi siswa yang mengalami konflik antar kampung pada siswa SMP Negeri 03 Saparua, didapatkan hasil bahwa tidak ada hubungan antara kompetensi sosial dengan resiliensi siswa yang mengalami konflik antar kampung pada siswa SMP Negeri 03 Saparua. Berdasarkan hasil perhitungan uji korelasi diperoleh koefisien korelasi antara kompetensi sosial dengan resiliensi siswa yang mengalami konflik antar kampung sebesar 0,484 (p > 0.05). Temuan ini bertolak belakang dengan penelitian Brooks (2006) yang mengatakan bahwa sekolah dapat memperkuat resiliensi dengan mengembangkan kompetensi sosial, karena kompetensi sosial sering dipandang sebagai faktor pelindung. Selain itu, hasil ini juga bertolak belakang dengan penelitian yang mendukung penulis yaitu penelitian Nisel dan Griebel (2005) yang mengatakan bahwa resiliensi telah mengidentifikasi faktor-faktor pelindung yang bekerja sebagai penyeimbang salah satunya adalah kompetensi sosial, yang membantu anak-anak tidak hanya untuk bertahan, tetapi untuk mencapai keberhasilan dan berkembang lebih lanjut sesuai dengan usia, sehingga mengubah gangguan biografi menjadi perkembangan. Pada tingkat individu, anak dapat didukung dengan mengajar dan memperkuat kompetensi yang relevan yang diperlukan untuk mengatasi ketegangan yang terjadi. Kompetensi sosial adalah cara untuk dapat memecahkan masalah dan mengembangkan strategi agar dapat menangani konflik secara konstruktif. Hal ini sejalan dengan penelitian Hartuti & Frieda (2009) yang mengatakan bahwa kompetensi sosial yang tinggi oleh anak akan membangun hubungan yang positif dengan teman sebaya maupun orang dewasa, membantu ikatan mereka dengan keluarga mereka, sekolah, dam masyarakat walaupun mereka memiliki resiliensi yang rendah.
20
Menurut Masten & Coatsworth (dalam Kärkkäinen, dkk 2009) kualitas atau kompetensi seseorang belum tentu menentukan resiliensinya tinggi atau rendah. Dengan kata lain walaupun kompetensi sosial seseorang itu tinggi tetapi belum tentu dia adalah seorang yang resilien. Dalam penelitian ini tidak ada hubungan kompetensi sosial dan resiliensi siswa yang mengalami konflik antar kampung pada SMP Negeri 03 Saparua, hal ini dikarenakan konflik yang terjadi antara Desa Haria dan Desa Porto ini masih terus berkepanjangan dan belum menemukan solusi yang tepat untuk mengatasi konflik tersebut, sehingga walaupun resiliensi para siswa itu tergolong tinggi namun, saat konflik itu kembali terjadi maka akan berdampak pada resiliensi para siswa yaitu resiliensi mereka akan kembali menurun. Mereka akan kembali merasa trauma dan ketakutan sehingga aktifitas belajar para siswa disekolah akan terganggu. Dengan kata lain, walaupun kompetensi sosial para siswa itu sangat tinggi akan tetapi tidak berpengaruh terhadap resiliensi selama konflik yang terjadi itu belum terselesaikan. Dengan demikian dapat diketahui dengan tidak adanya hubungan antara kompetensi sosial dengan resiliensi siswa yang mengalami konflik antar kampung, membawa implikasi terhadap bagaimana semua komponen sekolah mulai dari kepala sekolah, guru-guru, dan peserta didik untuk ikut aktif mengembangkan resiliensi pada setiap siswa, didukung juga dengan peran orang tua agar dapat bekerja sama dengan pihak sekolah. Sekalipun lingkungan di luar sekolah tidak kondusif dikarenakan terjadi konflik antara Desa Haria dan Desa Porto.
21
PENUTUP Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan uraian yang telah disampaikan, maka dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa tidak terdapat hubungan antara variabel kompetensi sosial dengan resiliensi siswa yang mengalami konflik antar kampung pada SMP Negeri 03 Saparua. Saran Setelah penulis melakukan penelitian dan pengamatan langsung dilapangan serta melihat hasil penelitian yang ada, maka berikut ini beberapa saran yang penulis ajukan: 1. Bagi sunjek penelitian Hendaknya para subjek lebih aktif di sekolah, dan belajar secara optimal sehingga akan mencapai kesuksesan walaupun di lingkungan yang tidak kondusif. 2. Bagi Sekolah Karakteristik sekolah yang dapat meningkatkan resiliensi siswanya adalah model komunitas atau lingkungan sekolah yang mendukung, termasuk elemen-elemen yang secara aktif melindungi anak-anak dari kesulitan. Intinya adalah sekolah bisa menciptakan suasana yang harmonis agar siswanya merasa tidak ada perbedaan satu sama lain sehingga siswa dapat mengikuti proses belajar mengajar dengan baik dan meningkatkan prestasi mereka. 3. Bagi Orang tua Disarankan kepada para orang tua untuk dapat terus memberikan dukungan bagi anak agar mereka terus belajar dengan baik dan optimal walaupun di lingkungan tempat tinggal mereka masih tidak kondusif.
22
4. Bagi Peneliti selanjutnya Diharapkan bagi penelitian selanjutnya agar penelitian ini dikembangkan, sehingga dapat diteliti variabel-variabel lain yang dapat mempengaruhi resiliensi. Dengan demikian dapat ditemukan dan dibuktikan variabel apa saja yang dapat mempengaruhi resiliensi.
23
DAFTARA PUSTAKA
Arwater, E. (1992). Andolesence (3rded). New Jersey: Pretince Hall. Azwar, S. (2012).Penyusunan skala psikologi.Edisi 2. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Brooks, Jean E. (2006) Strengthening Resilience in Children and Youths: Maximizing Opportunities through the Schools. Jurnal Children and Schools, Volume 28, Number 2, April 2006. Connor, K.M. (2006).Assesment of Resilience inthe Aftermath of Trauma. J. Clin Psychiatry,67 (suppl 2), 46-49. Cove, E dkk. (2005). Resilient Children: Literature Review and Evidence from the HOPE VI Panel Study. New York, NY 10017. The Ford Foundation Community and Resource Development Denham, S.A., & Queenan, P. (2003).Preschool Emotional Competence. Journal of Child Development, 74 (1): 238-256. Desmita. 2006. Psikologi Perkembangan. Cetakan kedua. Bandung: Rosda Destalya.A M.P (2013) Pengaruh Kompetensi Sosial Terhadap Resiliensi Remaja Tunanetra Bandung. ( Tesis) Bandung: Fakultas Psikologi Universitas Pendidikan Indonesia Ekasari. A. M.Psi, Bayani. I. S.Psi. (2009). “Attactment pada Ayah dan Penerimaan Peer-Group dengan Resiliensi”. Jurnal Soul, Vol. 2, No.2, September 2009 Goleman, D. (2000). Kecerdasan emosi untuk mencapai prestasi, terjemahan. Jakarta; Gramedia Pustaka Utama Gullota, T. P ., Adams, G.R., & Montemayor, R (Series Volume 3).(1990). Developing social competency in adolescence.California: Sage Publications, Inc. Hadi, S. (2004).Metodologi research. Yogyakarta: Andi Ofset. Hartuti & Frieda M. (2009).Pengaruh Faktor-Faktor Proktektif Internal dan Eksternal Pada Resiliensi Akademis Siswa Penerima Bantuan Khusus Murid Miskin (BKMM) Di SMA Negeri Di Depok. Jurnal Psikologi Indonesia2009, Vol VI, No. 2, 107-119, ISSN. 08533098 Kärkkäinen, dkk (2009) Parents' perceptions of their child's resilience and competencies. Journal of Psychology of Education, 2009. Vol. XXIV. n'3. 405-419 Kolopaking. L. M dkk (2007). Jejaring Sosial Dan Resolusi Konflik Masyarakaat Di Pedesaan (Kasus di pulau Saparua Provinsi Maluku). Jurnal llmu Pertanian Indonesia, Desember 2007, Vol. 12 Learning First Alliance. (2001). Everj' child learning: Safeand supportive scliooh. Retrieved June 30,2003, fromhttp://www.learningflrst.org
24
Martin, A.J., & Marsh, H.W. (2006).Academic resilience and its psychological and educational correlates: A construct validity approach. Psychology in The School, 43 (3). Manuputty dkk (2014).Carita Orang Basudara.Kisah-kisah Perdamaian dari Maluku.Jakarta : Lembaga Antar Iman Maluku (LAIM). Masdianah, (2010). Hubungan antara resiliensi dengan prestasi belajar anak binaan Yayasan Smart Ekselensia Indonesia (Skripsi) Jakarta : Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayattulah. Niesel.R & Griebel.W (2005). Transition Competence And Resiliency In Eucational Institution. International Journal of Transitions in Childhood, Vol.1, 2005 Paavola, J. C. et al. (1995). Health Services in the Schools: Building Interdisciplinary Partnerships. Digest. Washington DC: American Psychological Association. (Online).Tersedia: http://www.ed.gov/databases/ERIC_Digests/ed390019.html. Pellegrini, A. D. & Glickman, Carl D. (1991). Measuring Kindergartners' Pianta, R. C, & Walsh. DJ- (1998).Applying theconstruct of resilience in schools: Cautions from adevelopmental systenis perspective [Electronicversion]. School Psycholog]' Review, 21. 407-41 Pulungan. A. J. S & Tarmidi (2012). Gambaran Resiliensi Siswa SMA Yang Beresiko Putus Sekolah Di Masyarakat Pesisir. Jurnal Psikologi, Volume.1 Nomor. 2 Desember 2012 Reivich,K. & Shatte, A. 2002. The Resilience Factor. New York: Broadway Books Rinaldi (2010).Resiliensi Pada Masyarakat Kota Padang Ditinjau Dari Jenis Kelamin.Jurnal Psikologi Volume 3, No. 2, Juni 2010 Rydell, A.M,. & Hagekull, B., & Bohlin, G. (1997). Measurment of Two Social Competence Aspect in Middle Childhood. Journal of Development Psychology, 33 (5): 824-833. Sistem Nasional Pemantauan Kekerasan (SNPK) Mei 2013 Sroufe, L.A., dkk. (1996). Child development. New York : Mc Graww – Hill Inc. Sugiyono. (2012). Metodologi penelitian pendidikan: pendekatan kuantitatif, kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta Suryabrata, S. 2005. Psikologi Kepribadian. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Tentrawati, R. (1989). Hubungan antara Family Relationship dengan kompetensi Sosial Remaja pada Siswa-siswa SMA BOPKRI II di Yogyakarta. Skripsi (Tidak Diterbitkan). Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM. Trijono, L. (2009). Pembangunan Perdamaian Pasca-Konflik di Indonesia:Kaitan perdamaian, pembangunan dan demokrasi dalam pengembangan kelembagaan pasca-konflik. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Vol. 13, Nomor 1, Juli 2009 (4 - 0)ISSN 1410-4946. (http://www.tni.mil.id/view-49996-seminar-konsep-penyelesaian-konflik-porto-haria.html).
25