[UNIVERSITAS MATARAM]
[Jurnal Hukum JJA ATTIISSW WA AR RA A]
HUBUNGAN DPR DAN BPK DALAM MELAKSANAKAN FUNGSI PENGAWASAN
AD. Basniwati1 Fakultas Hukum Universitas Mataram ABSTRAK Keberadaan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) merupakan implementasi dari pembagian kekuasaan secara horizontal dalam sistem ketatanegaraan RI. Dewan Perwakilan Rakyat merupakan institusi negara yang memiliki fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan. Sedangkan Badan Pemeriksa Keuangan merupakan institusi negara yang mempunyai fungsi utama sebagai badan pemeriksa keuangan negara atas pelaksanaan tugas-tugas negara. Dalam pelaksanaan fungsi pengawasan ada dua lembaga negara yang diberi kewenangan yaitu DPR dan BPK, dalam hal ini DPR melakukan pengawasan di bidang politik sedangkan BPK melakukan pengawasan di bidang keuangan. Hasil audit keuangan yang telah dilakukan oleh BPK harus disampaikan ke DPR untuk di bahas, sehingga dalam melaksanakan fungsi tersebut adanya keterkaitan antara keduanya. Dalam melaksanakan fungsi pengawasan antara DPR dan BPK mempunyai hubungan fungsional secara timbal balik yaitu hasil temuan pemeriksaan/pengawasan yang dilakukan oleh BPK merupakan bahan bagi DPR untuk melaksanakan fungsi pengawasan. Kata Kunci: Lembaga Negara, Pengawasan ABSTRACT The existence of the House of Representatives (DPR) to the Supreme Audit Agency (BPK) is an implementation of a power-sharing horizontally in order to perform the functions of state institutions in the capacity and parallel position. Parliament is an institution that state institutions have a legislative function, the function of the budget, and monitoring functions. While the Audit Board is an institution with a state institution whose primary function as a body of state financial check on the tasks of the state. In performing supervisory functions there are two state agencies that have oversight function in this field, namely the House of Representatives and the CPC, in this case the House of Representatives to supervise in politics while the CPC conduct supervision in the financial sector. The results of the financial audit conducted by the CPC in return it back to Parliament to be discussed, so that in carrying out the functions of a connection between the two. Keywords: State Institutions, Supervision Pokok Muatan FUNGSI PENGAWASAN DPR YANG BERKAITAN DENGAN PENGAWASAN BPK ................................................................................................................................. 131 A. PENDAHULUAN.......................................................................................................... 132 1 Dosen tetap Fakultas Hukum Universitas Mataram
[Fakultas Hukum Universitas Mataram] | Jurnal Hukum JATISWARA
131
[Jurnal Hukum JJA ATTIISSW WA AR RA A]
[FAKULTAS HUKUM]
B. PEMBAHASAN ............................................................................................................ 133 1. Negara Hukum Secara Umum ................................................................................... 133 2. Negara Hukum Indonesia .......................................................................................... 134 3. Pemisahan Kekuasaan dan Checks And Balances ..................................................... 135 4. Teori Kewenangan..................................................................................................... 137 5. Konsep Pengawasan .................................................................................................. 139 6. Hubungan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Dalam Melaksanakan Fungsi Pengawasan ................................... 141 C. KESIMPULAN DAN SARAN ...................................................................................... 144 1. Kesimpulan ................................................................................................................ 144 2. Saran .......................................................................................................................... 144 DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................................... 145 A. PENDAHULUAN Negara Indonesia adalah negara hukum. Hal ini diatur dalam ketentuan Pasal 1 ayat (3) Undang–Undang Dasar Republik Indonesia 1945 yang menyatakan: Negara Indonesia adalah negara hukum. Konsep negara hukum mempunyai prinsip yang bersifat universal sehingga dalam mengukur suatu negara hukum dapat dilihat pada prinsip negara hukum umumnya. Dalam konsep negara hukum men-syaratkan beberapa unsur seperti yang dikemukakan oleh F.J Stahl dan A.V Dicey, sebagaimana dikutip oleh Marbun yakni: (a) adanya jaminan terhadap hak asasi manusia, (b) adanya pembagian kekuasaan, (c) pemerintah haruslah berdasarkan peraturan-peraturan hukum, (d) adanya peradilan administrasi.1 Sedangkan menurut A.V Dicey ciri negara hukum sebagaimana dikutip Romi Librayanto adalah sebagai berikut: 1. Supremacy of law, dalam arti tidak boleh ada kesewenang-wenangan,
1 Marbun SF dkk, Dimensi-dimensi Pemikiran Hukum Administrasi Negara , Cet II, ( Yogyakarta: UII Press, 2001), hlm. 7
132
sehingga seseorang hanya boleh dihukum jika melanggar hukum; 2. Equality before the law, artinya kedudukan yang sama di depan hukum; 3. Human right, yakni terjaminnya hak asasi manusia oleh Undang-Undang dan keputusan-keputusan pengadilan.2 Berkaitan dengan unsur tersebut di atas, maka dapat dimaknai bahwa dalam setiap negara hukum, posisi hukum harus selalu dalam supremasi dimana hukum sebagai instrumen utama dalam mengendalikan semua tingkah laku perbuatan dari para subjek hukum termasuk perbuatan para aparatur penyelenggara negara, sehingga dapat di tempatkan sesuai dengan fungsi aparatur penyelenggara negara. Sistem ketatanegaraan Indonesia telah mengatur dan menempatkan posisi Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 (UUD 1945) sebagai hukum dasar tertulis yang tertinggi dan menjadi pedoman bagi semua peraturan perundangundangan yang ada di bawahnya, sehingga dalam konsep negara hukum Indonesia makna dari supremasi hukum tertuju pada 2 Romi Librayanto, Trias Politica Dalam Struktur ketatanegaraan Indonesia, Cetakan pertama, (Makassar: puKAP-Indonesia, 2008) hlm. 12
Jurnal Hukum JATISWARA | [ Fakultas Hukum Universitas Mataram]
[UNIVERSITAS MATARAM] penyelenggaraan bernegara dan pemerintahan dengan berdasarkan supremasi konstitusi. Keberadaan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sebagai salah satu lembaga negara merupakan implementasi dari pembagian kekuasaan secara horizontal. Dewan Perwakilan Rakyat merupakan institusi yang memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan, sedangkan Badan Pemeriksa Keuangan merupakan institusi dengan fungsi utama memeriksa keuangan negara. Dalam sistem kekuasaan di Indonesia, UUD 1945 membedakan cabang-cabang kekuasaan negara dalam bidang Legislatif, eksekutif dan yudikatif. Legislatif meliputi Majelis Permusyawaran Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Bidang Eksekutif yaitu Presiden dan Wakil Presiden , dan Yudikatif yaitu Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK). Lembaga-lembaga negara itulah yang melaksanakan fungsifungsi kekuasaan negara yang utama (main states functions atau principal statis functions Hubungan antara lembaa-lembaga negara trsebut di atur sedemikian rupa sehingga tidak terjadi pemusatan kekuasaan pada salah satu institusi negara saja, sehingga dibutuhkanlah prinsip checks and balances. Prinsip checks and balances menunjukkan bahwa adanya kesetaraan diantara lembaga-lembaga negara, termasuk DPR dengan BPK. Checks and balances itu merupakan bentuk konkrit/implementasi dari pengawasan yang dilakukan oleh kedua lembaga tersebut. Dalam sistem ketatanegaraan RI ada dua lembaga negara yang mempunyai fungsi di bidang pengawasan ini yaitu DPR dan BPK, dalam hal ini DPR melakukan
[Jurnal Hukum JJA ATTIISSW WA AR RA A]
pengawasan di bidang politik sedangkan BPK melakukan pengawasan di bidang keuangan. Hasil audit keuangan yang telah dilakukan oleh BPK di serahkan ke DPR untuk di bahas. Dan dalam melaksanakan fungsipengaasan tersebut ada keterkaitan antara DPR dan BPK. Pengawasan merupakan salah satu fungsi manajemen. Pengawasan harus dilaksanakan untuk menjaga agar pelaksanaan kegiatan sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan dalam rangka pencapaian tujuan. Sehingga melalui pengawasan dapat diperoleh informasi mengenai efisiensi dan efektifitas pelaksanaan kegiatan. Informasi tersebut dapat digunakan untuk penyempurnaan kegiatan dan pengambilan keputusan oleh pimpinan. Pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan diperlukan untuk menjamin agar pelaksanaan pemerintahan berjalan sesuai dengan rencana dan sesuai dengan ketentuan Undang-undang yang berlaku. Pengawasan juga di maksudkan untuk mewujudkan “Good Governance” dan “Clean Governance”, selain itu Pengawasan juga diperlukan untuk mendukung penyelenggaraan pemerintahan yang efektif, efisien, transparan, akuntabel serta bersih dan bebas dari praktek Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Berdasarkan uraian diatas, permasalahan yang akan dikaji adalah Bagaimanakah hubungan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam melaksanakan fungsi pengawasan B. PEMBAHASAN 1. Negara Hukum Secara Umum Indonesia berdasarkan UUD 1945 adalah negara hukum. Sehingga dalam penyelenggaraan negara harus berdasarkan atas hukum.
[Fakultas Hukum Universitas Mataram] | Jurnal Hukum JATISWARA
133
[Jurnal Hukum JJA ATTIISSW WA AR RA A]
[FAKULTAS HUKUM]
Istilah negara hukum telah dikenal sejak zaman Yunani Kuno. Menurut Aristoteles negara hukum ialah negara yang berdiri di atas hukum dan yang menjamin keadilan bagi warga negaranya. Dimana keadilan merupakan syarat bagi tercapainya kebahagiaan hidup untuk warga negaranya dan sebagai dasar bagi keadilan itu perlu diajarkan rasa susila kepada setiap manusia agar ia menjadi warga negaranya.3
1. Supremaci hukum (supremacy of law);
Pengertian negara hukum sangat banyak, sehingga sulit untuk menemukan atau mencari rumusan yang sama. Menurut F.J Stahl menjadi unsur negara hukum adalah:4
8. Peradilan Tata Negara;
1. Adanya jaminan terhadap hak asasi manusia (grondrechten); 2. Adanya pembagian (scherding van machen);
kekuasaan
3. Pemerintahan haruslah berdasarakan peraturan-peraturan hukum (wet matigheid van heid bestuur); 4. Adanya peradilan administrasi (Administratief rechpraak). Sedangkan menurut A.V. Dicey ciri negara hukum adalah sebagai berikut:5 1. Supremacy of law, dalam arti tidak boleh ada kesewenang-wenangan, sehingga, seseorang hanya boleh dihukum jika melanggar hukum; 2. Equality before the law, artinya kedudukan yang sama di depan hukum; 3. Human right, yakni terjaminnya hak asasi manusia oleh undang-undang dan keputusan-keputusan pengadilan. Kemudian menurut Ni’matul Huda, dua belas pokok negara hukum modern adalah:6 3 titik Triwulan Tutik., Pokok-pokok Huum Tata Negara Indonesia Pascaamandemen UUD 1945, Edisi Revisi (Surabaya: Cerdas Pustaka Publisher) hlm. 31 4 Marbun SF, Loc.Cit. 5 Librayanto, Loc.cit.
134
2. Persamaan dalam hukum ( Equality before the law); 3. Asas legalitas ( Due Process of law); 4. Pembatasan kekuasaan; 5. Organ-organ Eksekutif Indefenden; 6. Peradilan Bebas dan tidak Memihak; 7. Peradilan Tata Usaha Negara; 9. Perlindungan HAM; 10. Bersifat Demokratis; 11. Berfungsi sebagai sarana mewujudkan tujuan bernegara ( welfare recht states); 12. Transparansi dan Kontrol sosial. 2. Negara Hukum Indonesia Perkembangan pemikiran tentang negara hukum di Indonesia, terlihat dan berawal dari sejarah pembentukan negara Indonesia. Dalam hal ini adanya perdebatan antara Soekarno dan Soepomo di satu pihak dengan Hatta dan Yamin di lain pihak ketika BPUPKI membahas materi rancangan Undang-Undang Dasar pada Tahun 1945 dapat dijadikan titik tolak pemikiran negara hukum di Indonesia. Soekarno dan Soepomo dapat dipandang sebagai penganut HAM yang lebih menitik beratkan pada HAM komunal sehingga keduanya menolak gagasan Hatta dan Yamin untuk memasukkan pasal tentang HAM yang dipandang lebih individual. Perdebatan tersebut pada akhirnya menghasilkan kesepakatan sehingga di tuangkan di dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945.7
6 Ni’matul Huda, Lembaga Negara Dalam Masa Transisi Demokrasi (Yogyakarta: UII Press, 2007) Hlm 61 7 Librayanto, op.cit., hal .15
Jurnal Hukum JATISWARA | [ Fakultas Hukum Universitas Mataram]
[UNIVERSITAS MATARAM] Menurut Philipus M. Hadjon, negara hukum Indonesia mengandung unsur: (a) keserasian hubungan pemerintah dan rakyat, (b) hubungan fungsional dan proporsional antara kekuasaan negara, (c) penyelenggaraan sengketa melalui musyawarah, dan peradilan sebagai sarana terakhir, (d) keseimbangan antara hak dan kewajiban.8 Philipus M. Hadjon menjelaskan, bahwa makna yang paling dalam dari negara hukum Indonesia adalah: “keserasian hubungan antara pemerintah dan rakyat,yang mengedepankan asas kerukunan antara pemerintah dan rakyat. Dari asas ini berkembang proporsional antara kekuasaan-kekuasaan negara, penyelenggaraan sengketa secara musyawarah sedangkan peradilan merupakan sarana terakhir dan hak asasi manusia tidaklah hanya menekankan hak atau kewajiban tetapi terjalinnya suatu keseimbangan-keseimbangan antara hak dan kewajiban.”9 Terkait rumusan konsep negara hukum Indonesia, Ismail Suny menyebut, empat syarat negara hukum, yakni: (1) hak asasi manusia; (2) pembagian kekuasaan; (3) pemerintahan berdasarkan undangundang; (4) peradilan administrasi.10 Sementara itu Azhary memberikan unsur-unsur dari negara hukum Indonesia sebagai berikut:11 1. bersumber pada pancasila; 2. Hukum Kedaulatan Rakyat; 3. Pemerintah berdasar atas sistem konstitusi; 4. Persamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan; 5. Kekuasaan kehakiman yang bebas dari kekuasaan lainnya;
[Jurnal Hukum JJA ATTIISSW WA AR RA A]
6. Pembentuk undang-undang Presiden bersama DPR; 7. Sistem MPR. 3. Pemisahan Kekuasaan dan Checks And Balances Dalam praktek ketatanegaraan tidak jarang terjadi pemusatan kekuasaan pada satu tangan, sehingga terjadi pengelolaan sistem pemerintahan yang dilakukan secara absolut atau otoriter. Misalnya dalam bentuk monarki dimana kekuasaan berada ditangan seorang raja. Untuk menghindari pemisahan kekuasaan tersebut perlu adanya pembagian/pemisahan kekuasaan, sehingga terjadi kontrol dan keseimbangan diantara lembaga pemegang kekuasaan. Pembagian kekuasaan ke dalam tiga pusat kekuasaan oleh Emmanuel Kant kemudian di beri nama Trias Politica.12 Doktrin Trias Politica ini banyak mempengaruhi orang-orang Amerika pada masa Undang-undang Dasarnya dirumuskan, sehingga dokumen-dokumen itu dianggap paling banyak mencerminkan Trias Politica. Namun para penyusun undang-undang dasar Amerika merasa perlu untuk menjamin bahwa masingmasing kekuasaan tidak akan melampaui batas kekuasaannya. Kecenderungan ini di bendung dengan mekanisme checks and balances (pengawasan dan keseimbangan) di mana setiap cabang kekuasaan dapat mengawasi dan mengimbangi cabang kekuasaan lainnya.13 Kekuasaan dapat dibagi dengan 2 cara yaitu: 1. Secara Vertikal, yaitu pembagian kekuasaan menurut tingkatnya, dalam hal ini yang dimaksud adalah kekuasaan antara beberapa tingkat pemerintahan.
8
Ibid., Ibid., 10 Ibid., hal . 74 11 Librayanto, op.cit 9
12
Miriam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik ( Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2003) hal.153 13 Ibid., hlm .153
[Fakultas Hukum Universitas Mataram] | Jurnal Hukum JATISWARA
135
[Jurnal Hukum JJA ATTIISSW WA AR RA A]
[FAKULTAS HUKUM]
2. Secara Horizontal, yaitu pembagian kekusaan menurut fungsinya, pembagian ini menunjukkan antara fungsifungsi pemerintahan yang bersifat Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif, yang lebih di kenal dengan Trias politica.14
pemisahan kekuasaan negara ke dalam 3 organ, yaitu:17
Sebelum perubahan UUD 1945, sistem kelembagaan yang dianut bukan pemisahan kekuasaan (separation of power) tetapi sering disebut dengan istilah pembagian kekuasaan (distribution of power).
c) Kekuasaaan yudikatif (kekuasaan mengadili atas pelanggaran UndangUndang).
a) Kekuasaan Legislatif Undang-Undang); b) Kekuasaan Eksekutif Undang-Undang);
(membuat
(melaksanakan
Selanjutnya Jimly Asshiddiqie berpendapat bahwa kekuasaan selalu harus dibatasi dengan cara memisah-misahkan kekuasaan ke dalam cabang-cabang yang bersifat checks dan balances dalam kedudukan yang sederajat dan saling mengimbangi serta mengendalikan satu sama lain.15
Ada perbedaan pendapat antara teori yang dikemukakan oleh John Locke dan teori yang disampaikan oleh Montesquieu. John menge-mukakan adanya kekuasaan federatif yaitu kekuasaan untuk mengadakan perserikatan dan aliansi serta segala tindakan dengan semua orang dan badan-badan di luar negeri, sedangkan Montesquieu harus adanya kekuasaan yudikatif yaitu kekuasaan yang mengadili atas pelanggaran undang-undang.
Konsep pemisahan kekuasaan sebagaimana yang telah di kemukakan oleh John Locke dalam bukunya yang berjudul “Two Treatis on Civil Goverment” (1690), kekuasaan negara dapat dipisahkan dalam 3 bagian yaitu:
Pada akhir abad ke-19 C. Van Vollenhoven sudah menganjurkan bukan Trias Politica melainkan Kuartas Politica atau Catur Praja. Ia beranggapan bahwa fungsi politik atau pemerintahan negara itu ada empat.18
a. Kekuasaan legislatif, kekuasaan untuk membuat undang-undang;
Adapun tugas negara yang empat menurut Van Vollenhopen adalah:19
b. Kekuasaan eksekutif, kekuasaan untuk melaksanakan undang-undang;
1. tugas legislatif;
c. Kekuasaan federatif, kekuasaan untuk mengadakan perserikatan dan aliansi serta segala tindakan dengan semua orang dan badan-badan di luar negeri.16
3. tugas yudikatif;
Menurut Montesquieu untuk tegaknya negara demokrasi perlu diadakan
14
Ibid. Hlm. 160 Jimly Asshiddiqie, Sengketa Kewenangan Antar Lembaga Negara, Cetakan Kedua, (Jakarta: Konstitusi Press, 2006) , hlm. 3 16 Samidjo, Ilmu Negara, (Bandung: CV. ARMICO, 1986), hlm. 92
2. tugas eksekutif; 4. tugas polisionil. Dalam perjalanan sejarah sistem ketata-negaraan Indonesia mengalami perubahan yang sangat mendasar sejak adanya amandemen UUD 1945 yang dilakukan MPR pada tahun 1999 hingga 2002. Perubahan tersebut dilatarbelakangi adanya kehendak untuk membangun
15
136
17
Ibid., hlm. 19 M.Solly Lubis, Hukum Tata Negara Indonesia, (Bandung: Mandar Maju,1992) hal .59 19 Ibid., 18
Jurnal Hukum JATISWARA | [ Fakultas Hukum Universitas Mataram]
[UNIVERSITAS MATARAM]
[Jurnal Hukum JJA ATTIISSW WA AR RA A]
pemerintahan yang demokratis dengan sistem chekcs and balances yang setara dan seimbang di antara cabang-cabang kekuasaan, mewujudkan supremasi hukum dan keadilan, serta menjamin dan melindungi hak asasi manusia.
c) Pasal-pasal yang sifatnya terlalu “luwes” sehingga dapat menimbulkan multitafsir;
Checks and balances di Indonesia dilatarbelakangi oleh Penyelenggaraan kedaulatan rakyat sebelum perubahan UUD 1945 melalui MPR telah menimbulkan kekuasaan bagi Presiden yang demikian besar dalam segala hal termasuk pembentukan MPR. Periode Orde Lama (1959-1965), seluruh anggota MPR(S) dipilih dan diangkat langsung oleh Presiden.20
e) Rumusan UUD 1945 tentang semangat penyelenggaraan negara belum cukup didukung ketentuan konstitusi.21
Dan di sisi lain sesuai dengan ketentuan UUD 1945, keberadaan MPR sebagai Lembaga Tertinggi Negara, dianggap sebagai pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat. Konstruksi ini menunjukkan bahwa MPR merupakan Majelis yang mewakili kedudukan rakyat sehingga menjadikan lembaga tersebut sebagai sentral kekuasaan, yang mengatasi cabang-cabang kekuasaan lainnya. Adanya satu lembaga yang berkedudukan paling tinggi membawa konsekuensi seluruh kekuasaan lembaga-lembaga penyelenggara negara yang berada di bawahnya harus bertanggungjawab kepada MPR. Akibatnya konsep keseimbangan antara elemen-elemen penyelenggara negara atau sering disebut checks and balances system antar lembaga tinggi negara tidak dapat dijalankan. Hasil nyata dari reformasi adalah adanya perubahan UUD 1945 yang dilatar belakangi beberapa alasan, yaitu: a) Kekuasaan tertinggi di tangan MPR; b) Kekuasaan yang sangat besar pada Presiden; 20
Anton Praptono, Teori Pembagian Kekuasaan, (Rabu,12 November 2008) www.geoogle.com ( 12 maret 2010)
d) Kewenangan pada Presiden untuk mengatur hal-hal penting dengan undang-undang;
Dari penjelasan tersebut maka dapat simpulkan bahwa Negara Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 hasil perubahan telah menganut teori “pemisahan kekuasaan” (seperation of power) untuk menjamin prinsip checks and balances demi tercapainya pemerintahan yang demokratis yang merupakan tuntutan dan cita-cita reformasi. 4. Teori Kewenangan Dalam berbagai literatur seperti ilmu politik, ilmu pemerintahan dan ilmu hukum, seringkali di temukan istilah kekuasaan, kewenangan dan wewenang. Kekuasaan sering disamakan dengan kewenangan dan sebaliknya. Bahkan sering sekali disamakan dengan wewenang, otomatis wewenang disamakan pula dengan kekuasaan. Tetapi jelas bahwa ilmu politik, ilmu pemerintahan dan ilmu hukum objek kajiannya adalah negara. Prajudi me-ngatakan:” perlunya membedakan antara wewenang ( competance, bevoegheid) kewenangan (autority, gezag), walaupun dalam praktiknya, perbedaan tidak selalu perlu, kewenangan apa yang disebut kekuasaan formal, kekuasaan yang berasal dari kekuasaan legislative ( diberi oleh undangundang) atau dari kekuasaan eksekutife administratif.22 21
Ibid., Prayudi Admosudirjo, Hukum Administrasi Negara, Edisi revisi, (Jakarta: Ghalia, 1995) hlm.94 22
[Fakultas Hukum Universitas Mataram] | Jurnal Hukum JATISWARA
137
[Jurnal Hukum JJA ATTIISSW WA AR RA A]
[FAKULTAS HUKUM]
Secara yuridis, menurut Indroharto pengertian wewenang adalah: “kemampuan yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan untuk menimbulkan akibat-akibat hukum yang sah”.23 Menurut Harbet A. Simon “wewenang adalah suatu ke-kuasaan untuk mengambil keputusan yang berkaitan dengan hubungan antara atasan/pimpinan dengan bawahan”.24 Hal senada juga diberikan oleh Marbun.S.F, yang menyatakan bahwa: “ wewenang adalah kemampuan bertindak yang diberikan oleh undang-undang yang berlaku untuk melakukan hubunganhubungan hukum. Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dalam memperoleh wewenang tersebut dapat melalui dua cara pokok yaitu melalui atribusi dan delegasi. Selain itu wewenang dimaksud dapat juga diperoleh melalui mandat”.25 Ada tiga konsep kewenangan yang dimiliki pemerintah dalam membuat keputusan yaitu: 1. Atribusi adalah pemberian kewenangan oleh pembuat undang-undang itu sendiri kepada suatu organ pemerintah baik yang sudah ada atau yang baru sama sekali. Misalnya: Presiden berdasarkan ketentuan perundang-undangan mengeluarkan peraturan pemerintah dimana diciptakan wewenangwewenang pemerintan kepada badan atau jabatan tata usha tertentu. 2. Delegasi adalah penyerahan wewenang yang di punyai oleh organ pemerintahan pada organ lain, dan 23 Indroharto, Usaha Memahami Undang-undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Buku 1 Beberapa Pengertian Dasar Hukum Tata Usaha Negara , (Jakarta: Sinar Harapan, 1996) hlm.154 24 Harbet A. Simon, Prilaku Administrasi (Terjemahan), ( Jakarta: Bina Aksara,1984) hlm.128 25 Deni Firmansyah, Pelimpahan Kewenangan Pemerintah Daerah Kepada Pemerintah Kecamatan, (Skripsi Starata satu Fakultas Hukum, Universitas Mataram), Mataram, 2008. hlm 13
138
dalam delegasi mengandung suatu unsur penyerahan. Misalnya: apa yang semula kewenangan A, untuk selanjutnya menjadi tanggung jawab penerima wewenang. 3.
Mandat, adapun pada mandat tidak terjadi suatu pemberi wewenang baru maupun pelimpahan wewenang dari Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang satu kepada yang lain, karena tanggung jawab kewenangan atas dasar mandat masih tetap pada pemberi mandat, tidak beralih pada yang diberikan mandat.26
Kewenangan dapat di peroleh dengan dua cara yaitu dengan atribusi dan delegasi. Atribusi adalah wewenang yang melekat pada suatu jabatan. Kalau kita berbicara tentang delegasi dalam hal ada pemindahan atau pengalihan suatu kewenangan yang ada. Apabila kewenangan itu kurang sempurna, berarti bahwa keputusan yang berdasarkan kewenangan itu, tidak sah menurut hukum. Oleh sebab itu, pengertian-pengertian atribusi dan delegasi adalah alat-alat pembantu untuk memeriksa apakah suatu badan berwenang atau tidak. Dalam hal mandat tidak ada sama sekali pengakuan kewenangan atau pengalihtanganan kewenangan. Disini menganut janji-janji kerja intern antara penguasa dan pegawai. Dalam hal-hal tertentu seorang pegawai memperoleh kewenangan untuk atas nama si penguasa, misalnya seorang menteri, mengambil keputusan-keputusan tertentu dan menandatangani keputusan-keputusan tertentu.27 Dari penjelasan tentang konsep kewenangan agar tidak mencampur 26
Syaripin Pipin dan Jubaedah, Pemerintahan Daerah di Indonesia (Bandung: Pustaka Setia, 2005) hlm. 88 27 Philipus M.hadjon, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2001) hal.130
Jurnal Hukum JATISWARA | [ Fakultas Hukum Universitas Mataram]
[UNIVERSITAS MATARAM] adukkan pengertian-pengertian serta istilah kekuasaan, kewenangan dan wewenang. Dan dapat menempatkan kata tersebut pada konteks yang sebenarnya. 5. Konsep Pengawasan Dalam literatur aspek-aspek hukum pengawasan bahwa pengertian yang sebenarnya tentang pelaksanaan tugas apakah sesuai dengan semestinya atau tidak. Manullang memberikan definisi pengawasan yakni: ”suatu proses untuk menentukan pekerjaan apa yang sudah dilaksanakan, menilainya, mengoreksi bila perlu dengan maksud supaya pelaksanaan pekerjaan sesuai dengan rencana 28 semula”. . George R.Terry mengatakan bahwa pengawasan adalah untuk menentukan apa yang telah di capai, mengadakan evaluasi atasannya, dan untuk menjamin agar halnya sesuai dengan rencana.29 Henry Fayol mengatakan bahwa pengawasan terdiri dari pengujian apakah segala sesuatu berlangsung sesuai dengan rencana yang telah di tentukan dengan instruksi yang telah digariskan. Ia bertujuan untuk menunjukkan (menentukan) kelemahan-kelemahan dan kesalahan dengan maksud untuk memperbaiki dan mencegah berulangnya kembali.30 Jadi pengawasan ini dilakukan untuk mengadakan evaluasi agar dapat berjalan seperti apa yang telah direncanakan dan apabila terjadi kesalahan dapat diperbaiki dengan cepat. Menurut S.P Siagian dan Sondang bahwa: fungsi pengawasan merupakan suatu fungsi yang di sebut dengan kondisi organik, yang mana ruang lingkup dari fungsi ini dapat dibedakan antara
[Jurnal Hukum JJA ATTIISSW WA AR RA A]
Administratief control kemudian managerial control.31 Administratif Control meliputi seluruh kegiatan pada unit organisasi pada semua tingkat. maksudnya agar keputusan yang sudah dibuat dalam bentuk rencana sungguh-sungguh dilaksanakan sebagai kebijakan yang telah ditentukan sebelumnya. Jika hal ini tidak dilaksanakan, besar kemungkinan timbulnya penyelewenganpenyelewengan yang tadi akhirnya tidak tercapai tujuan yang telah di tentukan atau jika tujuan tercapai. Tujuan itu akan tercapai efisiensi dan pemborosan dalam berbagai bentuk.32 Berbeda dengan pengertianpengertian di atas maka Sujamto memberikan pengertian bahwa pengawasan adalah segala usaha atau kegiatan untuk mengetahui dan menilai kenyataan yang sebenarnya mengenai pelaksanaan tersebut dan kegiatan apakah sesuai dengan semestinya atau tidak.33 Pengawasan ini sangat penting dilakukan agar dapat mengetahui dengan cepat apakah rencana dan apa saja kelemahan-kelemahan yang dihadapi dalam kegiatan yang dilakukan.Secara langsung pengawasan bertujuan:34 1. Menjamin ketepatan pelaksanaan agar sesuai dengan rencana kebijaksanaan dan petunjuk operasional serta ketepatan sasaran terhadap perundangundangan yang benar-benar mencerminkan rasa keadilan; 2. Menjamin kelancaran dan terwujudnya kepuasan masyarakat atas mutu atau nilai barang dan jasa atau pelayanan yang dihasilkan;
31
28
M.Manullang, Dasar-dasar Management (Jakarta: Ghalia,1977) hal. 136 29 Ibid., 30 Ibid.,
Sondang dan P.Siagian, Filsafat Administrasi (Jakarta: PT.Bumi Aksara, 2006) hal. 112 32 Ibid, hal. 112 33 sujamto loc. cit 34 Op.cit
[Fakultas Hukum Universitas Mataram] | Jurnal Hukum JATISWARA
139
[Jurnal Hukum JJA ATTIISSW WA AR RA A]
[FAKULTAS HUKUM]
3. Menyerasikan dan memantapkan koordinasi pelaksanaan kegiatan yang saling terkait;
1. Pengawasan melekat yaitu pengawasan oleh setiap pemimpin dalam rangka pelaksanaan tugas pokok dan fungsinya;
4. Mencegah pemborosan dan penyelewengan atau penyalahgunaan wewenang;
2. Pengawasan fungsional yaitu pengawasan oleh aparat yang tugas pokoknya melakukan pengawasan;
5. Membina kepercayaan, penghargaan, dan kepatuhan masyarakat terhadap kepemimpinan dan pembinaan instansi tehnik terkait.
3. Pengawasan legislatif yaitu pengawasan oleh lembaga perwakilan rakyat di pusat maupun di daerah;
Setelah mengetahui tujuan dari pengawasan maka yang perlu diketahui lagi yaitu fungsi pengawasan, adapun fungsi pengawasan menurut :35 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Pemeriksaan; Pengujian dan penilaian; Pengusutan; Peninjauan; Pengamatam dan pemantauan; Kunjungan; Pembinaan; Penertiban.
Macam-macam pengawasan menurut Sitomorang dilihat dari bidang pengawasannya yakni:36 1. Pengawasan anggaran pendapatan (Butgetary Control); 2. Pengawasan Biaya (Cost Control); 3. Pengawasan Barang (Inventary Control); 4. Pengawasan Produksi (Production Control); 5. Pengawasan Jumlah Hasil Kerja (Quality Contro); 6. Pengawasan Pemeliharaan (Maintenance Control); 7. Pengawasan Kualitas Hasil kerja (Quality Control). Dari segi kelembagaan, di Indonesia terdapat 4 (empat) subsistem pengawasan yakni:
4. Pengawasan masyarakat yaitu pengawasan oleh masyakat yang melakukan pengawasan dalam bentuk tulisan, pengaduan atau keluhan melalui media massa atau langsung.37 Adapun pengawasan terhadap keuangan negara dapat diklasifikasi menjadi:38 a.
Pengawasan internal, yang dimaksud dengan pengawasan internal adalah pengawasan yang dilakukan oleh lembaga pengawas Internal yaitu lembaga yang berada dalam struktur pemerintah/eksekutif, pengawasan ini terdiri dari:
b.
Pengawasan atasan langsung atau pengawasan melekat, dapat didefinisikan sebagai serangkaian kegiatan yang bersifat sebagai pengendalian yang secara terus menerus, dilakukan oleh atasan langsung terhadap bawahannya, secara preventif atau refresif agar pelaksanaan tugas bawahan berjalan secara efektif dan efisien sesuai dengan rencana kegiatan dan peraturan perundang-undangan. Pengawasan atasan langsung atau pengawasan melekat juga berarti tindakan, kegiatan atau usaha untuk mengawasi dan mengendalikan anak buah secara langsung, yang harus dilakukan sendiri 37
Loc.cit, Priyono, peran BPK dalam Melakukan Perbaikan Pengelolaan Keungan Negara (january 2010) www.google.com 38
35 36
140
Ibid., hlm. 66 Situmorang, Ibid., hlm. 23
Jurnal Hukum JATISWARA | [ Fakultas Hukum Universitas Mataram]
[UNIVERSITAS MATARAM] oleh setiap pimpinan organisasi. Atasan langsung adalah pejabat atasan yang karena struktur organisasinya atau kewenangan khusus termasuk proyek, membawahi dan wajib mengawasi bawahannya. Bawahan adalah mereka yang bertanggungjawab serta wajib melapor kepada atasan terhadap pelaksanaan pekerjaan yang ditugaskan kepadanya. c.
Pengawasan fungsional adalah pengawasan yang dilakukan oleh aparat pengawasan secara fungsional baik intern pemerintah maupun ekstern pemerintah, yang dilaksanakan terhadap pelaksanaan tugas umum pemerintahan dan pembangunan agar sesuai dengan rencana dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pengawasan fungsional dalam arti sempit adalah pengawasan yang dilakukan oleh aparat pengawas yang berasal dari lingkungan internal suatu instansi, baik aparat pengawas maupun pihak yang diawasi berada dalam suatu instansi yang sama-sama dibawahi pimpinan yang sama. Sedangkan pengawas funsional dalam arti luas adalah pengawasan yang berasal dari lembaga khusus pengawasan yang di bentuk secara internal oleh pemerintah. Sehingga lembaga-lembaga pengawas ini harus bertanggungjawab kepada kepala daerah untuk lembaga-lembaga pengawas ditingkat daerah dan presiden untuk lembaga-lembaga pengawas ditingkat pusat,
d. Pengawasan eksternal adalah suatu bentuk pengawasan yang dilakukan oleh suatu unit pengawasan yang sama sekali berasal dari luar lingkungan eksekutif, dengan demikian antara pengawas dan pihak yang diawasi tidak ada lagi hubungan kedinasan.
[Jurnal Hukum JJA ATTIISSW WA AR RA A]
Dalam hal melakukan pengawasan DPR melakukan pengawasan secara menyeluruh pada proses penyelenggaraan negara, sedangkan BPK dalam melakukan pengawasan yaitu hanya melakukan audit dan hasil audit tersebut di serahkan kembali kepada DPR untuk di bahas dan ditindak lanjuti. 6. Hubungan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Dalam Melaksanakan Fungsi Pengawasan BPK adalah lembaga negara yang bebas dan mandiri dari pengaruh lembaga negara lain. Namun secara konstitusional keberadaan BPK dimaksudkan untuk mendukung fungsi DPR, dengan kewajiban menyerahkan hasil pemeriksaan BPK kepada DPR sebagai pemegang fungsi anggaran dan fungsi pengawasan yang termasuk didalamnya yaitu keuangan negara. Hubungan BPK dengan DPR terjadi karena maksud dari pembentukan BPK adalah untuk memperkuat fungsi pengawasan legislatif terhadap keuangan negara baik yang berbentuk APBN, APBD, BUMN/D. Perubahan ketiga UUD1945 Pasal 23E mengatur bahwa hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh BPK diserahkan kepada DPR , DPD, dan DPRD. Dan lembaga negara tersebut akan menindaklanjuti hasi laporan pemerikasaan BPK. Ketentuan tersebut di uraikan lebih lanjut dalam Undang-Undang No.27 tahun 2009 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD pada Pasal 71 huruf (n) menyatakan bahwa DPR mempunyai tugas dan wewenang membahas dan menindaklajuti hasil pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang disampaikan oleh BPK.
[Fakultas Hukum Universitas Mataram] | Jurnal Hukum JATISWARA
141
[Jurnal Hukum JJA ATTIISSW WA AR RA A]
[FAKULTAS HUKUM]
Pemeriksaan keuangan negara yang dimaksud adalah mencakup seluruh keuangan negara sebagaimana yang di maksud dalam Pasal 2 UU tentang Keuangan Negara yaitu sebagai berikut: 1. Hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan uang, dan melakukan pinjaman; 2. Kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum pemerintah negara dan membayar tagihan pihak ketiga; 3. Penerimaan negara; 4. Pengeluaran negara; 5. Penerimaan daerah; 6. Pengeluaran daerah; 7. Kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang bisa dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/ perusahaan daerah. Kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan dan/atau kepentingan umum; 8. Kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah. Dengan demikian cakupan tugas yang harus dilaksanakan oleh BPK dan DPR selaku lembaga pengawas sangat luas dan sangat besar. Karena begitu banyaknya tugas yang diberikan oleh Undang-Undang maka kedua lembaga negara tersebut harus benar-benar bisa bekerja sama dan saling mengoptimalkan fungsi masing-masing. Sehingga kedua lembaga negara tersebut harus saling mendukung dalam memeriksa dan melakukan pengawasan baik dukungan secara politik maupun 142
secara penegakan hukum terhadap hasil pemeriksaan yang telah dilakukan oleh BPK yang harus ditindaklanjuti secara cepat dan tepat oleh DPR. Pemeriksaan yang dilakukan oleh BPK merupakan pemeriksaan oleh pihak independen Laporan hasil pemeriksaan BPK wajib di tindaklanjuti oleh DPR. Tindaklanjut oleh DPR diwujudkan dengan menggunakan fungsinya tidak hanya dalam fungsi pengawasan saja tetapi juga dalam fungsi anggaran. DPR dalam melaksanakan tindaklanjut tetap meminta penjelasan kepada BPK sesuai dalam UU No.15 tahun 2004 tentang pemeriksaan, pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara Pasal 21 ayat (2). Hal ini dilakukan agar DPR dapat memahani secara mendalam laporan hasil pemeriksaan BPK sehingga dapat menjalankan fungsinya secara optimal. Setelah proses tersebut dilaksanakan DPR dapat meminta pemerintah melakukan tindaklanjut, namun meski demikian kesimpulan untuk menentukan apakah DPR akan meminta pemerintah menin-daklanjuti atau tidak, laporan hasil pemeriksaan BPK tersentral ditangan pimpinan fraksi sebagai refresentasi partai politik dan pimpinan DPR. Pada dasarnya baik BPK maupun DPR memiliki fungsi melakukan perbaikan terhadap cara pemerintah mengelola keuangan negara. BPK dan DPR berfungsi memastikan bahwa pemerintah membelanjakan keuangan negara sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan tujuan yang hendak dicapai. Namun demikian perlu diciptakan sistem cheks and balance agar dalam pelaksanaan fungsinya tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan (abuase of power) dalam pengelolaan keuangan negara oleh pemerintah. Bila sistem cheks and balance tersebut tidak berjalan dengan baik, maka pengelolaan keuangan negara tidak akan
Jurnal Hukum JATISWARA | [ Fakultas Hukum Universitas Mataram]
[UNIVERSITAS MATARAM] mampu mewujudkan tujuan bernegara, dan akan menyengsarakan kehidupan berbangsa dan bernegara kita. Karenanya penting untuk diperhatikan berjalannya sistem cheks and balance dalam pengelolaan keuangan negara. Tugas dan wewenang DPR diantaranya adalah membahas dan menindaklanjuti hasil pemeriksaan atas pertanggungjawaban keuangan negara yang disampaikan oleh BPK. Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor.8/DPR/I/2005-2006 tentang Peraturan Tata Tertib DPR kemudian mengatur tentang tindaklanjut atas hasil pemeriksaan BPK dalam Pasal 166 yang mengatur tentang tindaklanjut atas laporan hasil pemeriksaan semester dan Pasal 167 mengatur tentang tindaklanjut atas hasil pemeriksaan parsial/individual. Yang berbunyi sebagai berikut:39 a. DPR membahas hasil pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggungjawab keuangan negara yang diberitahukan oleh BPK dalam bentuk Hasil Pemeriksaan Semester, yang di sampaikan dalam rapat paripurna untuk dipergunakan sebagai bahan pengawasan; b. DPR menugaskan komisi untuk membahas dan menindaklanjuti Hasil Pemeriksaan Semester sebagaimana dimaksud dalam ayat (1); c. Untuk keperluan pembahasan dan mempelajari Hasil Pemeriksaan Semester, Komisi dapat mengadakan konsultasi dengan unsur BPK untuk mengklarifikasi hasil pemeriksaan BPK sesuai dengan ruang lingkup tugas komisi; d. Hasil pembahasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dijadikan bahan 39
Rapat Kerja Pendapat;
dan
[Jurnal Hukum JJA ATTIISSW WA AR RA A]
Rapat
Dengar
e. Hasil Rapat Kerja dan/atau Rapat Dengar Pendapat Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilaporkan secara tertulis kepada pimpinan DPR; f. Pimpinan DPR mengadakan konsultasi dengan pimpinan-pimpinan Fraksi untuk membahas laporan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (5); g. Apabila hasil konsultasi sebagaimana dimaksud pada ayat (6) menyimpulkan terdapat kasus yang perlu ditinjaklanjuti, dilakukan: 1.
Dalam kasus yang diduga merupakan tindak pidana korupsi maka pimpinan DPR menyampaikan kasus tersebut kepada kepolisian/kejaksaan untuk di proses lebih lanjut;
2.
Dalam kasus yang perlu di berikan sanksi administratif, maka pimpinan DPR menyampaikan kepada pimpinan instansi yang bersangkutan untuk di proses lebih lanjut.
Dalam Pasal 20 ayat (1) UU No. 15 tahun 2004 tentang pemeriksaan, pengelolaan, dan tanggungjawab keuangan negara berisi bahwa pejabat wajib menindaklanjuti rekomendasi dalam laporan hasil pemeriksaan. Jadi, tindaklanjut atas rekomendasi BPK oleh pemerintah adalah besifat wajib, selain bersifat wajib pemerintah juga harus memberikan jawaban atau penjelasan kepada BPK tentang tindaklanjut atas rekomendasi BPK selambat-lambatnya 60 (enam puluh) hari setelah laporan hasil pemeriksaan diterima. Sedangkan BPK bertugas memantau pelaksanaan tindaklanjut hasil pemeriksaan BPK dan menyampaikan hasil pemantauannya tersebut kepada DPR. Meski pemantauan atas tindaklanjut dilaksanakan oleh BPK, tidak berarti tugas DPR untuk
Ibid., hal 117
[Fakultas Hukum Universitas Mataram] | Jurnal Hukum JATISWARA
143
[Jurnal Hukum JJA ATTIISSW WA AR RA A]
[FAKULTAS HUKUM]
mengawasi pemerintah dalam menindaklanjuti laporan hasil pemeriksaan BPK berkurang, peran BPK disini hanya mensupport (mendukung) DPR dalam memaksimalkan tugas dan fungsinya sementara DPR sebagai pemegang fungsi pengawasan (controlling) dan fungsi anggaran (budget) tetap berperan besar dengan menggunakan hak-hak politiknya yaitu hak tanya (angket), hak interpelasi, dan hak menyatakan pendapat. Untuk memastikan bahwa pemerintah bersungguh-sungguh memperbaiki pengelolaan keuangan negara salah satunya melalui pelaksanaan rekomendasi BPK. Banyaknya lembaga pengawasan dalam struktur kelembagaan pemerintahan sebenarnya tidak mengandung efektivitas dalam proses pelaksanaannya. Hal demikian disebabkan kemungkinan terjadinya tumpang tindih sangat besar yang akibat adanya, dalam suatu waktu yang bersamaan atau dalam jangka waktu yang dekat, dua aparat pengawasan fungsional atau lebih melakukan pemeriksaan terhadap suatu instansi/proyek tertentu dengan sasaran yang sama. Sebenarnya, tumpang tindih demikian tidak akan terjadi jika terdapat pengelompokkan atas dasar kewenangan unit pengawas intern yang ada. Sebab, sesuai dengan struktur pengawasan yang dianut dalam ICW 1925, di mana pelaksanaan APBN didasarkan atas administratief beheer dan comptabel beheer, maka pengawas intern akan membagi atas salah satu di antaranya atau kedua-duanya. Dengan tugas pemeriksaan yang dibedakan tersebut sebenarnya akan terdeskripsikan suatu pola pengawasan berjenjang. Pengawasan tersebut pada dasarnya dilakukan di mana, aparat pengawasan yang lebih tinggi tingkatnya secara hierarkis organisatoris melaksanakan tugas yang lebih luas pendekatannya 144
atau lebih makro wawasannya daripada aparat pengawasan yang lebih rendah. Dengan perkataan lain, sasaran pengawasan antar-aparat pengawasan berbeda satu sama lain, tergantung mana yang lebih ekstern dan mana yang lebih intern. Dalam melaksanakan fungsi pengawasan antara DPR dan BPK mempunyai hubungan fungsional secara timbal balik yaitu hasil temuan pemeriksaan/ pengawasan yang dilakukan oleh BPK merupakan bahan bagi DPR untuk melaksanakan fungsi pengawasan. Sedang-kan DPR dalam melaksanakan fugsi pengawasan tersebut dapat memerintahkan kepada BPK untuk melakukan tindakan tertentu sesuai dengan kebutuhan pemeriksaan dan DPR dapat meminta kepada BPK untuk melakukan/mengaudit terhadap unsur yang dipandang oleh DPR untuk ditindaklanjuti yang berkaitan dengan proses penyelesaian terhadap pengelolaan keuangan negara. C. KESIMPULAN DAN SARAN 1. Kesimpulan Dalam melaksanakan fungsi pengawasan antara DPR dan BPK mempunyai hubungan fungsional secara timbal balik yaitu hasil temuan pemeriksaan/ pengawasan yang dilakukan oleh BPK merupakan bahan bagi DPR untuk melaksanakan fungsi pengawasan. DPR dalam melaksanakan fugsi pengawasan tersebut dapat memerintahkan kepada BPK untuk melakukan tindakan tertentu sesuai dengan kebutuhan pemeriksaan. Sementara itu DPR dapat meminta kepada BPK untuk mengaudit unsur yang dipandang oleh DPR untuk ditindaklanjuti. 2. Saran Dalam hubungan pengawasan antara BPK dan DPR hendaknya bisa menjadi contoh yang baik bagi lembaga-lembaga yang lain dalam melaksanakan kerjasama
Jurnal Hukum JATISWARA | [ Fakultas Hukum Universitas Mataram]
[UNIVERSITAS MATARAM] demi terciptanya proses pemerintahan yang baik. DAFTAR PUSTAKA Assiddiqie, Jimly. Sengketa Kewenangan Antar Lembaga Negara. Jakarta: Konstitusi Press. 2006. Budiharjo, Miriam. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Utama. 2003
[Jurnal Hukum JJA ATTIISSW WA AR RA A]
Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada. 2006. Tutik,Triwulan Titik. Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pascaamandemen UUD 1945. Cet I. Jakarta: Cerdas Pustaka Publisher. 2008. Bahan Tayangan Materi Sosialisasi Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Sekretariat Jendral MPR RI. 2006. Indonesia, Undang-undang Dasar 1945.
Hadjon, M. Philipus. Pengantar Hukum Administrasi Negaa Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. 2001.
Indonesia, Undang-undang Tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD, UU No. 27 Tahun 2009, LN No.123 Tahun 2009 TLN No. 5043.
Huda, Ni’matul. Lembaga Negara dalam Masa Transisi Demokrasi. Cetakan I. Yogyakarta: UII Press. 2003.
Indonesia, Undang-undang Tentang Badan Pemeriksa Keuangan, UU No. 15 Tahun 2006, LN 85 Tahun 2006 TLN No. 4654.
Indroharto. Usaha Memahami UndangUndang tentang Pradilan Tata Usaha Negara. Buku I Beberapa Pengertian Dasar Hukum Tata Usaha Negara. Jakarta: Sinar Harapan. 1996. Librayanto, Romi. Trias Politica dalam Struktur Ketatanegaraan Indonesia. Cetakan Pertama. Makassar: puKAPIndonesia. 2008.
Indonesia, Undang-undang Tentang Pemeriksaan, Pengelolaan, dan Tanggungjawab Keuangan Negara. UU No. 15 Tahun 2004, LN No. 66 Tahun 2004 TLN NO. 4400. Indonesia, Undang-undang Tentang Keuangan Negara, UU No. 17 Tahun 2003, LN 47 Tahun 2003 TLN 4286.
Lubis, M. Solly. Hukum Tata Negara Indonesia. Bandung: Mandar Maju. 1992. Marbun.SF, dkk. Dimensi-dimensi Pemikiran Administrasi Negara. Cet II. Yogyakarta: UII Press. 2001. -------, dan Mahfud. Pokok-pokok Hukum Administrasi Negara. Cetakan empat, Edisi Pertama. Yogyakarta: Liberty. 2006. Pipin, Syaripin dan Jubaedah. Pemerintah Daerah di Indonesia. Bandung: Pustaka Setia. 2005. Ridwan. Hukum Administrasi Negara. [Fakultas Hukum Universitas Mataram] | Jurnal Hukum JATISWARA
145