Hubungan antara Self-Regulation dan Self-Esteem pada Mahasiswa Psikologi Jenjang Sarjana Sasrya Ratri Harumi dan Julia Suleeman Fakultas Psikologi Universitas Indonesia Email:
[email protected]
Abstrak Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan antara self-regulation dan self-esteem pada mahasiswa psikologi jenjang sarjana. Topik ini penting diteliti karena self-regulation dan self-esteem merupakan aspek penting dalam kehidupan, karena berhubungan dengan fungsi adaptif seseorang (Baumeister, dalam Ridder & Wit, 2006; Guindon, 2010). Self-regulation merupakan kemampuan seseorang dalam mengarahkan tingkah lakunya untuk mencapai hasil yang diinginkan di masa mendatang (Carey, Neal, dan Collins, 2004). Sementara itu, self-esteem adalah sikap seseorang terhadap dirinya, baik positif maupun negatif, secara keseluruhan (Rosenberg, dalam Mruk, 2006). Pengukuran self-regulation menggunakan alat ukur Short Self-Regulation Questionnaire (SSRQ) dan pengukuran self-esteem menggunakan alat ukur Rosenberg Self-Esteem Scale (RSES). Penelitian ini melibatkan 179 responden yang merupakan mahasiswa jenjang sarjana kelas reguler dan paralel Fakultas Psikologi Universitas Indonesia angkatan 2009, 2010, 2011, dan 2012. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara self-regulation dengan self-esteem pada mahasiswa (r = 0,519; p = 0.001). Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan bagi para pembuat kebijakan untuk lebih peka terhadap keadaan psikologis mahasiswa. Untuk penelitian lanjutan, perolehan data dapat dilengkapi dengan metode wawancara atau focus group discussion (FGD) untuk mengetahui gambaran yang lebih spesifik terkait self-regulation dan self-esteem mahasiswa.
The Relationship between Self-Regulation and Self-Esteem among Undergraduate Psychology Students Abstract This research is carried out to identify the relationship between self-regulation and self-esteem among undergraduate psychology students. This topic is an important study because self-regulation and self-esteem are important aspects of human life as they relate to a person's adaptive functioning (Baumeister, in Ridder & Wit, 2006; Guindon, 2010). Self-regulation is a person’s ability to direct behavior in order to achieve desired outcomes in the future (Carey, Neal, & Collins, 2004). Meanwhile, self-esteem is a positive or negative attitude toward the self of a person as a whole (Rosenberg, in Mruk, 2006). Self-regulation was measured by the adaptation version of Short Self-Regulation Questionnaire (SSRQ) and self-esteem was measured by Rosenberg Self-Esteem Scale (RSES). Research participants were 179 undergraduate psychology students at Universitas Indonesia from years of 2009, 2010, 2011, and 2012. The results indicate a significant positive correlation between self-regulation and self-esteem among psychology undergraduate students (r = 0,519; p = 0.001). Results of this study might be taken as a consideration for the policymakers of the faculty to be more sensitive to the psychological state of the students. For further study, the data acquisition could be equipped with interviews or focus group discussion (FGD) to explore more specific overview about self-regulation and self-esteem of students. Keywords: Self-regulation; self-esteem; undergraduate psychology students
Hubungan antara..., Sasrya Ratri Harumi, FPsi UI, 2013
1
Pendahuluan Psikologi merupakan salah satu jurusan perkuliahan yang dianggap populer di kalangan mahasiswa (Corbalis, dalam Goedeke, 2007). Namun alasan yang melandasi kebanyakan mahasiswa psikologi dalam memilih jurusan perkuliahan ini bukan untuk mempelajari ilmu tentang mind seseorang, melainkan ingin lebih mendalami bidang psikologi klinis, seperti memahami masalah yang dialami oleh dirinya, teman-temannya, atau keluarganya (Goedeke, 2007). Pendapat lain dari Tillet (2003) menyatakan bahwa alasan dari kebanyakan orang yang berkecimpung dalam bidang helping profession, seperti psikologi, adalah karena mereka memiliki masalah pribadi yang terkait dengan psikopatologis, seperti rentan terhadap stres. Stres adalah kondisi dimana seseorang tidak dapat mentolerir tuntutan yang terjadi akibat interaksi antara dirinya dengan lingkungannya (Guthrie & Black, 1997). Stres ini bisa disebabkan oleh tekanan dalam perkuliahan atau pekerjaan yang ditambah dengan menumpuknya masalah pribadi mereka (Guthrie & Black, 1997; Tillett, 2003). Secara umum, orang-orang seperti ini cenderung lebih rentan terhadap kecemasan, depresi, atau bahkan penyalahgunaan alkohol dan narkoba (Tillett, 2003). Selain itu, mereka juga cenderung tidak menyadari dan kesulitan untuk mengakui jika mereka sedang memiliki masalah psikologis dan sering mereka juga menunjukkan gejala gangguan somatisasi (Tillett, 2003). Berdasarkan hasil percakapan terhadap beberapa mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Indonesia angkatan 2009, 2010, 2011, dan 2012, diketahui bahwa alasan mereka untuk berkuliah di Fakultas Psikologi adalah karena mereka senang mendengarkan orang lain, sering dijadikan tempat berbagi dan bercerita, ingin menolong orang lain, serta ingin lebih memahami diri sendiri untuk bisa mengatasi berbagai masalah yang sedang dialami. Sayangnya pada tahun pertama, mata kuliah yang diperoleh mahasiswa dianggap masih bersifat abstrak, seperti Psikologi Umum I dan Filsafat Manusia, sehingga mahasiswa baru masih kesulitan dalam mengaitkan ilmu yang didapat dalam kehidupan sehari-hari. Namun seiring berjalannya waktu, mata kuliah yang didapat semakin memberikan wawasan psikologis dan semakin aplikatif. Pada masa-masa inilah biasanya para mahasiswa mulai memahami dirinya. Setelah berhasil memahami dirinya, para mahasiswa kemudian mencoba untuk memahami orang-orang di sekitarnya. Kecenderungan mahasiswa untuk memahami dan menolong orang-orang di sekitarnya ini mengakibatkan beberapa di antara mereka menjadi kurang peduli terhadap masalah-masalah yang sedang dialaminya sendiri. Hal inilah yang mungkin menyebabkan beberapa mahasiswa merasa dirinya belum memerlukan
Hubungan antara..., Sasrya Ratri Harumi, FPsi UI, 2013
2
konseling dengan tenaga ahli. Mungkin saja mereka merasa masih mampu mengatasi masalahnya sendiri dan cukup berbagi dengan sesama teman. Selain orientasi kepada orang lain yang lebih besar dibandingkan dengan orientasi kepada diri sendiri, beberapa mahasiswa bahkan tidak tahu bahwa ada fasilitas konseling di Klinik Terpadu Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Beberapa mahasiswa juga menyatakan bahwa pelayanan di Klinik Terpadu Fakultas Psikologi Universitas Indonesia tidak mempunyai prosedur yang cukup jelas, karena ada mahasiswa yang cepat mendapatkan jadwal untuk konseling, namun ada juga mahasiswa yang harus menunggu berminggu-minggu untuk mendapatkan jadwal atau malah akhirnya diabaikan oleh pihak klinik. Menurut beberapa mahasiswa, dampak yang terjadi akibat permasalahan ini adalah berkurangnya motivasi mahasiswa untuk berkuliah dan turunnya IPK mahasiswa. Kondisi dimana beberapa mahasiswa mengalami penurunan motivasi berkuliah dan/atau penurunan IPK dapat disebabkan karena para mahasiswa tersebut kurang memiliki kemampuan
self-regulation.
Self-regulation
adalah
kemampuan
seseorang
untuk
mengarahkan pikiran, perasaan, keinginan, dan tindakan untuk mencapai tujuan tertentu (Zimmerman, 2000; Carey, Neal, & Collins, 2004; Carver & Scheier, 2008; Hoyle, 2010; Bauer & Baumeister, 2011). Self-regulation yang efektif menurut Hoyle (2010) merupakan dasar dari fungsi psikologis yang sehat. Orang yang mampu melakukan self-regulation dengan baik memiliki kondisi psikologis yang stabil dan kontrol diri yang memungkinkan mereka untuk mengelola persepsi tentang diri mereka dan bagaimana mereka diterima oleh orang lain (Hoyle, 2010). Hoyle (2010) menambahkan juga bahwa orang yang dapat melakukan self-regulation dengan baik biasanya menunjukkan tingkah laku yang mencerminkan tujuan dan standar tertentu. Baumeister (dalam Ridder & Wit, 2006) menyebutkan bahwa self-regulation yang efektif merupakan aspek penting dalam kehidupan seseorang untuk beradaptasi. Jika para mahasiswa tersebut dapat melakukan self-regulation dengan baik, maka mereka akan dapat mengarahkan dirinya untuk tetap fokus pada tujuan utama mereka yang seharusnya di bidang akademis, yakni tetap termotivasi untuk berkuliah dan berusaha untuk mempertahankan atau bahkan meningkatkan IPK-nya. Ada beberapa hal yang mempengaruhi self-regulation seseorang, antara lain working self-concept, self-efficacy, personal control, fokus diri, dan motivasi (Fiske & Taylor, 2008). Sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi self-regulation, motivasi menurut Santrock (2009) adalah suatu proses yang dapat mendorong, mengarahkan, dan mempertahankan perilaku tertentu. Dalam melakukan self-regulation, seseorang termotivasi oleh beberapa kebutuhan, seperti need of accuracy, need for consistency, need for improvement, dan need
Hubungan antara..., Sasrya Ratri Harumi, FPsi UI, 2013
3
for enhancement (Fiske & Taylor, 2008). Beberapa ahli, seperti Rhodewalt dan Tragakis (2003) serta Crocker et al. (2006) mengaitkan self-regulation dengan komponen yang terdapat dalam need for enhancement, yakni self-esteem. Need for enhancement merupakan kebutuhan seseorang untuk dapat merasakan kualitas dirinya (Fiske & Taylor, 2008). Sementara itu, selfesteem merupakan sikap seseorang tentang seberapa berharga dirinya secara keseluruhan (Coopersmith dalam Heatherton & Wyland, 2003; Rosenberg dalam Mruk, 2006; Baumeister, Campbell, Krueger, & Vohs, 2003; Guindon, dalam Guindon, 2010). Untuk dapat memenuhi need for enhancement, seseorang harus memiliki self-esteem yang baik (Fiske & Taylor, 2008). Sama halnya dengan self-regulation, self-esteem juga merupakan aspek penting dalam kehidupan seseorang, karena self-esteem dapat dikatakan sebagai akar dari permasalahan yang dihadapi seseorang (Guindon, 2010). Guindon (2010) juga menyatakan bahwa self-esteem dapat mempengaruhi motivasi, functional behavior, dan kepuasan hidup seseorang. Selain itu, self-esteem juga secara signifikan berhubungan dengan well-being seseorang (Guindon, 2010). Apa yang hendak dilakukan seseorang dan bagaimana cara orang tersebut melakukannya dipengaruhi oleh kondisi self-esteem orang tersebut (Guindon, 2010). Kondisi self-esteem yang rendah cenderung berhubungan dengan situasi-situasi yang tidak menyenangkan, seperti mengalami kekerasan, depresi, atau prestasi yang menurun (Guindon, 2010). Sebaliknya, kondisi self-esteem yang tinggi cenderung berhubungan dengan situasisituasi yang menyenangkan (Guindon, 2010). Hal ini dikarenakan seseorang dengan selfesteem tinggi dapat merasakan kualitas dirinya dan selalu berpikiran positif tentang dirinya (Fiske & Taylor, 2008). Fiske dan Taylor (2008) kemudian menyatakan bahwa seseorang memiliki kebutuhan untuk menciptakan atau mempertahankan perasaan postif dalam diri. Kebutuhan ini kemudian menjadi motivasi seseorang dalam melakukan self-regulation (Fiske & Taylor, 2008). Berdasarkan hasil studi mengenai self-esteem pada mahasiswa yang dilakukan oleh Guindon (2010), diketahui bahwa lemahnya performa akademik dapat menurunkan selfesteem pada mahasiswa. Studi yang dilakukan oleh Rosli et al. (2012) terhadap mahasiswa di Malaysia menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara self-esteem dengan IPK mahasiwa. Hal ini menunjukkan bahwa keberhasilan dapat mempengaruhi selfesteem seseorang. Donnelan et al. (dalam Guindon, 2010) menyatakan bahwa rata-rata skor self-esteem seseorang secara global meningkat dari masa remaja menuju dewasa muda, kemudian meningkat lagi secara bertahap selama masa dewasa muda hingga dewasa madya dan cenderung lebih stabil (Donnelan et al., dalam Guindon, 2010). Orang yang pada masa kanak-kanak dan remajanya sudah memiliki self-esteem yang tinggi cenderung akan terus
Hubungan antara..., Sasrya Ratri Harumi, FPsi UI, 2013
4
memiliki self-esteem yang tinggi di masa dewasa muda (Donnelan et al., dalam Guindon, 2010). Sayangnya, peneliti belum menemukan adanya penelitian mengenai self-regulation yang dikaitkan dengan self-esteem pada mahasiswa, khususnya mahasiswa psikologi jenjang sarjana. Pemilihan subyek mahasiswa psikologi jenjang sarjana didasarkan pada fenomena mengenai tujuan mempelajari ilmu psikologi, yakni untuk mengenali diri sendiri serta memahami dan menolong orang lain (Goedeke, 2007). Berdasarkan gejala yang dipaparkan sebelumnya, kecenderungan mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, yang lebih memperhatikan orang lain dibandingkan dirinya sendiri menyebabkan beberapa mahasiswa kesulitan dalam melakukan self-regulation atau mengatur dirinya untuk tetap memperhatikan tugas dan kewajiban yang harus mereka kerjakan, disamping membantu orang lain. Kesulitan ini kemudian menyebabkan terbengkalainya tugas dan kewajiban tersebut yang pada akhirnya berdampak pada penurunan self-esteem. Fakultas Psikologi seharusnya menjadi salah satu lembaga untuk meningkatkan kesejahteraan mental masyarakat, terutama bagi para mahasiswanya, karena mahasiswa psikologi merupakan orang-orang yang dipersiapkan untuk dapat terjun langsung dalam menangani masalah kesehatan mental masyarakat. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan bagi pihak fakultas untuk lebih peka terhadap kondisi psikologis mahasiswa. Selain itu, diharapkan juga mahasiswa lebih memiliki kesadaran untuk memanfaatkan fasilitas konseling dari fakultas. Berdasarkan latar belakang penelitian di atas, terdapat tiga masalah penelitian yang akan dijawab dalam penelitian ini, antara lain yang pertama, bagaimana gambaran selfregulation pada mahasiswa psikologi program studi sarjana? Kedua, bagaimana gambaran self-esteem pada mahasiswa psikologi program studi sarjana? Ketiga, apakah terdapat hubungan positif yang signifikan antara self-regulation dan self-esteem pada mahasiswa psikologi program studi sarjana?
Tinjauan Pustaka Self-Regulation Self-regulation adalah kemampuan seseorang dalam mengarahkan tingkah lakunya untuk mencapai tujuan dan memungkinkan orang tersebut untuk menunda kepuasan jangka pendek guna mencapai hasil yang diinginkan di masa mendatang (Carey, Neal, & Collins, 2004). Definisi ini dipilih karena biasa digunakan dalam penelitian yang berhubungan dengan konteks mahasiswa (Carey, Neal, & Collins, 2004). Ketika melakukan self-regulation,
Hubungan antara..., Sasrya Ratri Harumi, FPsi UI, 2013
5
seseorang akan menerima informasi terkait tujuan yang dimiliki, mengevaluasi diri, memiliki keinginan untuk berubah, mencari alternatif perubahan tingkah laku, serta menilai efektivitas perubahan tingkah laku tersebut (Miller & Brown, dalam Neal & Carey, 2005). Menurut Fiske dan Taylor (2008), terdapat empat faktor yang mempengaruhi self-regulation, yakni working self-concept (konsep diri yang sifatnya situasional), self-efficacy beliefs (harapan tentang kemampuan diri untuk menyelesaikan tugas tertentu), personal control (pengendalian diri untuk merencanakan, mengatasi rintangan, dan melakukan kegiatan-kegiatan yang dapat menunjang pencapaian tujuan), fokus diri (atensi diri dalam mengevaluasi tingkah laku untuk disesuaikan dengan standar tingkah laku yang dimiliki), serta motivasi. Faktor motivasi (Fiske & Taylor, 2008) kemudian terbagi lagi menjadi beberapa kebutuhan, antara lain need of accuracy (kebutuhan untuk memiliki penilaian diri yang cukup akurat mengenai kemampuan, opini, keyakinan, dan emosi yang dimiliki), need for consistency (kebutuhan untuk memiliki keyakinan bahwa diri memiliki kualitas intrinsik dan tujuan yang akan relatif stabil sepanjang waktu), need for improvement (kebutuhan untuk memperbaiki tingkah laku), dan need for enhancement (kebutuhan untuk menciptakan atau mempertahankan perasaan positif dalam diri). Self-Esteem Self-esteem adalah sikap seseorang terhadap dirinya, baik positif maupun negatif, secara keseluruhan (Rosenberg, dalam Mruk, 2006). Definisi ini dipilih karena menggambarkan self-esteem secara global (Emler, 2001; Baumeister et al., 2003). Baumeister et al. (2003) dan Guindon (2010) menyatakan bahwa self-esteem terdiri dari dua jenis, yakni global self-esteem dan specific self-esteem. Global self-esteem menekankan pada sikap seseorang terhadap dirinya secara keseluruhan yang realif stabil. Sedangkan specific selfesteem menekankan pada sikap seseorang terhadap dirinya yang ditinjau dari aspek-aspek tententu dan bersifat situasional. Baumeister et al. (2003) juga menyatakan bahwa intervensi pada global self-esteem lebih baik daripada specific self-esteem. Hal ini dikarenakan intervensi pada global self-esteem secara afektif lebih berpengaruh terhadap keberhargaan diri seseorang secara keseluruhan, sedangkan intervensi pada specific self-esteem hanya pada aspek-aspek tertentu. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi self-esteem menurut Mruk (2006) antara lain perasaan diterima oleh orang lain, kemampuan seseorang dalam berinteraksi di lingkungannya, dan keberhasilan. Faktor-faktor lain yang mempengaruhi selfesteem juga dikemukakan oleh Emler (2001), antara lain ras/etnis, status sosial, gender, penampilan fisik, dan orangtua.
Hubungan antara..., Sasrya Ratri Harumi, FPsi UI, 2013
6
Mahasiswa Psikologi Jenjang Sarjana Berdasarkan pembagian usia yang dikemukakan oleh Levinson (dalam Berk, 2011), mahasiswa berada pada tahap perkembangan early adult transition (17-22 tahun). Pada tahap ini, seseorang akan membangun sebuah image tentang tujuan yang hendak dicapai di masa mendatang. Image ini kemudian menjadi bahan pertimbangan orang tersebut untuk membuat keputusan. Ilmu psikologi merupakan ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia dan aplikasinya pada masalah-masalah yang dihadapinya (Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2012). Tujuan mempelajari psikologi adalah agar dapat memberikan penjelasan dan gambaran tentang tingkah manusia, sekaligus membuat prediksi tentang kemungkinan terjadinya suatu tingkah laku, serta melakukan modifikasi tingkah laku (Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2012). Dari penjelasan mengenai tujuan pendidikan psikologi jenjang sarjana di atas, dapat disimpulkan bahwa mahasiswa psikologi jenjang sarjana merupakan mahasiswa yang dipersiapkan untuk dapat memahami dirinya sendiri dan mengatasi masalahnya sendiri. Selain itu, mahasiswa psikologi jenjang sarjana juga dipersiapkan untuk memahami orang lain dan membantu mengatasi masalah orang lain.
Metode Penelitian Berdasarkan desain penelitian yang dijelaskan oleh Gravetter dan Forzano (2009), penelitian ini tergolong deskriptif dan korelasional yang bertujuan untuk melihat gambaran umum dan hubungan dari variabel self-regulation dan self-esteem pada mahasiswa psikologi program studi sarjana. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah mahasiswa jenjang sarjana reguler dan paralel Fakultas Psikologi Universitas Indonesia dari tingkat pertama hingga tingkat akhir, yakni yang pada tahun ajaran 2012/2013 terdiri dari angkatan 2009, 2010, 2011, dan 2012, serta berusia 17 sampai dengan 22 tahun. Berdasarkan Gravetter dan Forzano (2009), prosedur pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah convenience sampling, dimana peneliti memilih mahasiswa jenjang sarjana reguler dan paralel Fakultas Psikologi Universitas Indonesia yang telah menyatakan kesediaannya untuk menjadi responden. Untuk mencapai distribusi data yang mendekati kurva normal, diperlukan jumlah sampel minimal sebanyak 30 responden (Gravetter & Forzano, 2009). Berdasarkan pertimbangan ini, peneliti berencana untuk mengambil sampel minimal sebanyak 120 responden yang terbagi dalam angkatan 2009, 2010, 2011, dan 2012, sehingga di tiap
Hubungan antara..., Sasrya Ratri Harumi, FPsi UI, 2013
7
angkatan akan diperoleh sampel minimal sebanyak 30 responden. Terdapat dua variabel yang digunakan dalam penelitian ini, yakni self-regulation dan self-esteem. Self-regulation diukur menggunakan Short Self-Regulation Questionnaire (SSRQ) yang dikembangkan oleh Carey, Neal, dan Collins (2004). Alat ukur ini merupakan bentuk sederhana dari Self-Regulation Questionnaire (SRQ) yang dikembangkan oleh Brown, Miller, dan Lawendowski pada tahun 1999 (Carey, Neal, & Collins, 2004). Sama halnya dengan SRQ, item-item pada SSRQ merupakan single factor dan bertujuan untuk mengukur kapsitas regulasi tingkah laku individu. Sementara itu, self-esteem diukur menggunakan Rosenberg Self-Esteem Scale (RSES) yang dirancang oleh Morris Rosenberg pada tahun 1965 (Heatherton & Wyland, 2003). Item-item pada RSES merupakan single factor dan bertujuan untuk mengukur self-esteem individu secara umum (Byrne, dalam Schmitt & Allik, 2005). Pengolahan data dalam penelitian ini dilakukan untuk melihat gambaran data demografis responden dan hasil data kuesioner. Teknik-teknik statistik yang digunakan antara lain statistik deskriptif, One-Way Analysis of Variance (ANOVA), dan Pearson Correlation.
Hasil Penelitian Data yang diperoleh sebanyak 173 kuesioner dan rincian data demografis berupa angkatan, usia, dan jenis kelamin dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Gambaran Demografis Responden berdasarkan Agkatan, Usia, dan Jenis Kelamin Aspek Demografis Angkatan 2009 2010 2011 2012 Total Usia 17 18 19 20 21 22 Total Jenis Kelamin Perempuan Laki-laki Total
Frekuensi 51 36 37 49 173 3 31 42 30 47 20 173 146 27 173
% 29,5 20,8 21,4 28,3 100 1,7 17,9 24,3 17,3 27,2 11,6 100 84,4 15,6 100
Berdasarkan uji reliabilitas alat ukur SSRQ, diperoleh koefisien alpha sebesar 0,851 yang berarti item-item pada alat ukur ini memiliki konsistensi internal yang baik (Anastasi &
Hubungan antara..., Sasrya Ratri Harumi, FPsi UI, 2013
8
Urbina, 1997), dimana 85,1% dari hasil alat ukur ini berhasil mengukur self-regulation pada mahasiswa psikologi program studi sarjana dan 14,9% sisanya tidak mengukur selfregulation. Sementara itu, berdasarkan uji reliabilitas alat ukur RSES, diperoleh koefisien alpha sebesar 0,839 yang berarti item-item pada alat ukur ini memiliki konsistensi internal yang baik (Anastasi & Urbina, 1997). Hal ini menunjukkan bahwa 83,9% dari hasil alat ukur ini berhasil mengukur self-esteem pada mahasiswa psikologi program studi sarjana dan 16,1% sisanya tidak mengukur self-esteem. Selain uji reliabilitas, dilakukan pula uji validitas terhadap item-item pada SSRQ dan RSES. Uji validitas item dilakukan dengan menggunakan construct-identification procedures yang secara khusus menggunakan teknik internal consistency, dimana skor pada setiap item dikorelasikan dengan skor total dari alat ukur. Dari hasil uji validitas item yang dilakukan pada SSRQ, diketahui bahwa 29 dari 31 item pada alat ukur ini memiliki skor lebih dari 0,2, dimana menurut Aiken dan Groth-Marnat (2006), batas minimal indeks validitas item yang baik adalah 0,2. Dua item yang memiliki indeks validitas di bawah 0,2 adalah item nomor 8 dan 17, dimana indeks validitas item nomor 8 sebesar 0,191 dan item nomor 17 sebesar 0,201. Peneliti kemudian melakukan eliminasi terhadap item nomor 17, karena item tersebut memiliki indeks validitas item yang kurang baik, sedangkan item nomor 8 tetap dipertahankan karena indeks tersebut mendekati 0,2. Setelah melakukan eliminasi terhadap item nomor 17, koefisien reliabilitas alat ukur ini meningkat menjadi 0,864. Kemudian dari hasil uji validitas item yang dilakukan terhadap RSES, diketahui pula bahwa alat ukur ini memiliki item-item yang baik karena indeks validitas keseluruhan item memiliki skor lebih dari 0,2. Berdasarkan perhitungan yang dilakukan terhadap 30 item dari alat ukur SSRQ, diketahui bahwa mean skor total self-regulation adalah 84,98 (SD = 8,189). Sedangkan nilai minimum yang diperoleh dari skor total self-regulation adalah 64 dan nilai maksimum dari skor total self-regulation adalah 110. Setelah itu peneliti melakukan perhitungan statistik dengan teknik One-Way Analysis of Variance (ANOVA) untuk mengetahui gambaran selfregulation berdasarkan angkatan mahasiswa atau lamanya pengalaman berkuliah pada mahasiswa. Gambaran ini diketahui dengan cara membandingkan mean skor self-regulation responden di tiap angkatan (angkatan 2009, 2010, 2011, dan 2012). Dari hasil perhitungan yang dilakukan, diketahui bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara mean skor self-regulation dengan angkatan mahasiswa. Hal ini menunjukkan bahwa perbedaan mean skor self-regulation bukan disebabkan oleh lamanya pengalaman berkuliah pada mahasiswa. Rincian skor self-regulation di tiap angkatan dapat dilihat pada Tabel 2.
Hubungan antara..., Sasrya Ratri Harumi, FPsi UI, 2013
9
Tabel 2. Gambaran Self-Regulation berdasarkan Angkatan Mahasiswa Karakteristik Angkatan Mahasiswa
2009 2010 2011 2012
N 51 36 37 49
M 84,35 87,47 83,68 84,80
SD 7,456 8,389 9,612 7,441
F 1,547
p 0,204
Gambaran total skor self-regulation kemudian dibuat norma dan dibagi berdasarkan kategori rendah, sedang, dan tinggi. Pembuatan kategorisasi ini dilakukan berdasarkan mean skor total dan standar deviasi (z-score). Rincian tingkat self-regulation pada responden dapat dilihat pada tabel 3. Tabel 3. Tingkat Self-Regulation Responden Tingkat
Range
Rendah Sedang Tinggi
< 76,79 76,79 – 93,71 > 93,71
Skor SelfRegulation 64-76 77-93 94-110 Total
2009 15,7 78,4 5,9 100
Responden (%) 2010 2011 5,6 27,0 66,7 59,5 27,8 13,5 100 100
2012 10,2 79,6 10,2 100
M = 84,98 (SD = 8,189)
Dari Tabel 3, dapat diketahui bahwa range skor self-regulation responden adalah 76,79 sampai dengan 93,17. Berdasarkan range skor tersebut, dapat disimpulkan bahwa tingkat self-regulation sebagian besar responden tergolong sedang. Dari Tabel 3, dapat diketahui pula bahwa mahasiswa dengan tingkat self-regulation tinggi didominasi oleh angkatan 2010, tingkat self-regulation sedang didominasi oleh angkatan 2012, dan tingkat self-regulation rendah didominasi oleh angkatan 2011. Berdasarkan perhitungan yang dilakukan terhadap kesepuluh item RSES, diketahui bahwa mean skor total self-esteem adalah 29,21 (SD = 3,968). Sedangkan nilai minimum yang diperoleh dari skor total self-esteem adalah 15 dan nilai maksimum dari skor total selfesteem adalah 40. Setelah itu peneliti juga melakukan perhitungan statistik dengan teknik One-Way Analysis of Variance (ANOVA) untuk mengetahui gambaran self-esteem berdasarkan angkatan mahasiswa atau lamanya pengalaman berkuliah pada mahasiswa. Gambaran ini diketahui dengan cara membandingkan mean skor self-esteem responden di tiap angkatan (2009, 2010, 2011, dan 2012). Dari hasil perhitungan yang dilakukan, diketahui bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara mean skor self-esteem dengan angkatan mahasiswa. Hal ini menunjukkan bahwa perbedaan mean skor self-esteem bukan
Hubungan antara..., Sasrya Ratri Harumi, FPsi UI, 2013
10
disebabkan oleh lamanya pengalaman berkuliah pada mahasiswa. Rincian skor self-esteem di tiap angkatan dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Gambaran Self-Esteem berdasarkan Angkatan Mahasiswa Karakteristik Angkatan Mahasiswa
2009 2010 2011 2012
N 51 36 37 49
M 28.71 29.94 28.95 29.39
SD 3.196 4.256 3.873 4.536
F 0,770
P 0,512
Gambaran total skor self-esteem ini kemudian juga dibuat norma dan dibagi berdasarkan kategori rendah, sedang, dan tinggi. Pembuatan kategorisasi ini dilakukan berdasarkan rata-rata total skor dan standar deviasi (z-score). Ringkasan tingkat self-esteem pada responden dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Tingkat Self-Esteem Responden Tingkat
Range
Rendah Sedang Tinggi
< 25,24 25,24 – 33,19 > 33,19
Skor SelfRegulation 15-25 26-33 34-40 Total
2009 9,8 86,3 3,9 100
Responden (%) 2010 2011 13,9 16,2 66,7 70,3 19,4 13,5 100 100
2012 12,2 73,5 14,3 100
M = 29,21 (SD = 3,968)
Dari Tabel 5, dapat diketahui bahwa range skor self-regulation responden adalah 25,24 sampai dengan 33,19. Berdasarkan range skor tersebut, dapat disimpulkan bahwa tingkat self-esteem sebagian besar responden tergolong sedang. Dari Tabel 5, dapat diketahui pula bahwa mahasiswa dengan tingkat self-esteem tinggi didominasi oleh angkatan 2010, tingkat self-esteem sedang didominasi oleh angkatan 2009, dan tingkat self-esteem rendah didominasi oleh angkatan 2011. Untuk korelasi antara self-regulation dengan self-esteem, diperoleh hasil koefisien korelasi (r) sebesar 0,519 dan signifikan pada LOS 0,01. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara self-regulation dengan self-esteem. Teknik Pearson Correlation ini kemudian juga digunakan untuk mengetahui korelasi atau hubungan antara self-regulation dan self-esteem mahasiswa di tiap angkatan. Rincian mengenai perhitungan korelasi self-regulation dan self-esteem mahasiswa di tiap angkatan ini dapat dilihat pada Tabel 6.
Hubungan antara..., Sasrya Ratri Harumi, FPsi UI, 2013
11
Tabel 6. Hubungan antara Self-Regulation dan Self-Esteem Mahasiswa di tiap Angkatan Angkatan Mahasiswa 2009 2010 2011 2012
r 0,501 0,656 0,310 0,602
p 0,001 0,001 0,031 0,001
Berdasarkan Tabel 6, dapat diketahui bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara self-regulation dengan self-esteem pada mahasiswa baik di angkatan 2009, 2010, 2011, maupun 2012. Dari Tabel 6 juga diketahui bahwa mahasiswa yang memiliki hubungan selfregulation dan self-esteem terkuat ada pada angkatan 2010, sedangkan yang terlemah ada pada angkatan 2011.
Diskusi Dari hasil penelitian, diketahui bahwa self-regulation memiliki hubungan positif yang signifikan dengan self-esteem. Hasil penelitian ini mendukung pernyataan Carey, Neal, dan Collins, serta Neal dan Carey, terkait self-regulation, dan juga pernyataan dari Kalaian (dalam Allen), serta Rhodewalt dan Tragakis terkait self-esteem. Carey, Neal, dan Collins (2004), serta Neal dan Carey (2005) menyatakan bahwa self-regulation memiliki fokus pada tingkah laku yang mengarah pada tujuan yang diinginkan. Mengenai self-esteem, Kalaian (dalam Allen, 1993) juga menyatakan bahwa ketika seseorang memiliki self-esteem yang baik, ia akan memiliki harapan yang tinggi dan akan berusaha untuk mencapai harapan tersebut. Rhodewalt dan Tragakis (2003) juga menyebutkan bahwa self-esteem merupakan sumber dan hasil dari tingkah laku yang mengarah pada tujuan. Dari pernyataan Carey, Neal, dan Collins, Neal dan Carey, Kalaian (dalam Allen), serta Rhodewalt dan Tragakis ini dapat disimpulkan bahwa baik self-regulation maupun self-esteem memiliki fokus yang sama, yakni berkaitan dengan tingkah laku yang mengarah pada tujuan atau goal-directed behavior. Hasil penelitian ini juga mendukung pernyataan Fiske dan Taylor (2008) mengenai salah satu faktor yang mempengaruhi self-regulation, yakni need for enhancement. Untuk dapat memenuhi kebutuhan tersebut, seseorang perlu merasa dirinya memiliki kualitas yang baik dan perasaan tersebut baru akan muncul ketika orang tersebut memiliki self-esteem yang baik pula. Crocker et al. (2006) juga menyatakan bahwa self-esteem dianggap penting dalam menunjang self-regulation karena pada dasarnya seseorang memiliki motivasi untuk sukses
Hubungan antara..., Sasrya Ratri Harumi, FPsi UI, 2013
12
dan cenderung menghindari kegagalan. Orang yang memiliki self-esteem tinggi cenderung lebih mampu bertahan ketika sedang menghadapi situasi sulit, dibandingkan dengan orang yang memiliki self-esteem rendah (Baumeister et al., 2003). Kemampuan dalam bertahan ini adalah bagian dari kemampuan self-regulation seseorang untuk tetap fokus pada tujuan yang telah ditetapkan (Crocker et al., 2006). Crocker et al. (2006) kemudian juga menambahkan bahwa kesuksesan seseorang dalam melakukan self-regulation bukan dilihat dari tinggi atau rendahnya self-esteem yang dimiliki orang tersebut, melainkan dilihat dari keinginan orang tersebut untuk tetap meningkatkan dan mempertahankan self-esteem yang dimilikinya. Peneliti juga melakukan analisis mengenai gambaran self-regulation dan self-esteem yang ditinjau dari angkatan mahasiswa. Peneliti melakukan analisis ini karena peneliti menduga bahwa variasi skor self-regulation dan self-esteem dapat dijelaskan oleh lamanya pengalaman belajar mahasiswa selama berkuliah di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Namun dari hasil analisis yang telah dijelaskan sebelumnya, diketahui bahwa perbedaan mean skor self-regulation dan self-esteem bukan disebabkan oleh angkatan mahasiswa atau lamanya pengalaman berkuliah mahasiswa. Hal ini bisa disebabkan karena usia mahasiswa angkatan 2009 hingga 2012 berada pada kisaran antara 17 hingga 22 tahun, dimana menurut Levinson (dalam Berk, 2011), kisaran usia tersebut masih berada pada kategori yang sama, yakni kategori early adulthood transition. Self-regulation dan self-esteem seseorang pada tahap early adulthood transition ini sudah mulai stabil, karena pembentukkan self-regulation dan self-esteem seseorang berada pada masa anak-anak hingga dewasa muda dan cenderung stabil hingga tahap dewasa madya (Berk, 2011; Guindon, 2010). Hal inilah yang kemudian dapat menjadi penyebab dari mengapa lamanya pengalaman belajar tidak berpengaruh terhadap tingkat self-regulation dan self-esteem mahasiswa. Keterbatasan penelitian ini dapat dilihat dari teknik perolehan data, dimana dalam penelitian ini, perolehan data dilakukan dengan teknik kuesioner. Jika dibandingkan dengan teknik wawancara, Kumar (2005) menyatakan bahwa metode perolehan data dengan teknik kuesioner memang lebih mudah dilakukan karena lebih menghemat waktu dan tenaga, serta lebih menjamin kerahasiaan identitas responden karena tidak ada interaksi tatap muka antara peneliti dengan responden. Namun, Kumar (2005) juga menambahkan kekurangan dari teknik kuesioner, dimana kekurangan yang paling dirasakan oleh peneliti adalah item-item pada alat ukur SSRQ dan RSES kurang dapat menggali lebih jauh mengenai gambaran self-regulation dan self-esteem dari responden. Untuk itu diperlukan teknik wawancara untuk dapat mengetahui lebih lanjut mengenai gambaran self-regulation dan self-esteem dari masingmasing responden secara lebih detail dan spesifik.
Hubungan antara..., Sasrya Ratri Harumi, FPsi UI, 2013
13
Keterbatasan penelitian berikutnya juga dapat dilihat dari jumlah pengambilan data, dimana dalam penelitian ini, pengambilan data hanya dilakukan satu kali. Teknik ini hanya menggambarkan keadaan self-regulation dan self-esteem responden pada saat itu, sehingga belum diketahui bagaimana perkembangan self-regulation dan self-esteem responden dari waktu ke waktu, padahal keberhasilan akademis erat kaitannya dengan self-esteem seseorang (Guindon, 2010) dan kondisi self-esteem ini dapat menunjang kemampuan self-regulation seseorang (Crocker et al., 2006). Kemudian, selain mengajarkan mahasiswa mengenai dasar teoritis ilmu psikologi, pendidikan ilmu psikologi program studi sarjana juga mengajarkan mahasiswa dalam hal pengembangan kemampuan dan peningkatan kesadaran diri setiap mahasiswa terhadap diri mereka masing-masing (Goedeke, 2007). Untuk itu, diperlukan penelitian longitudinal untuk dapat mengetahui perkembangan self-regulation dan self-esteem responden di tiap periode tertentu, seperti di tiap semester, sebagai bahan perbandingan dan pertimbangan mahasiswa dan fakultas untuk melakukan asesmen dan intervensi terkait perkembangan kualitas diri mahasiswa yang seharusnya meningkat seiring makin banyaknya pengalaman belajar yang didapat, khususnya dengan berkuliah di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.
Kesimpulan Berdasarkan permasalahan penelitian yang diangkat, dapat diketahui bahwa selfregulation dan self-esteem pada mahasiswa psikologi program studi sarjana tergolong sedang. Kemudian, dapat diketahui pula bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara selfregulation dengan self-esteem pada mahasiswa psikologi program studi sarjana. Hal ini menunjukkan bahwa semakin baik self-regulation mahasiswa, maka semakin baik pula selfesteem mahasiswa tersebut. Sebaliknya, semakin buruk self-regulation mahasiswa, maka semakin buruk pula self-esteem mahasiswa tersebut.
Saran Berdasarkan hasil penelitian yang telah diperoleh, peneliti menyarankan beberapa hal untuk penelitian selanjutnya, yakni yang pertama, selain menggunakan kuesioner, metode pengambilan data sebaiknya dilengkapi dengan metode wawancara untuk mendapatkan gambaran yang lebih detail dan spesifik mengenai self-regulation dan self-esteem dari responden penelitian. Dengan metode wawancara, diharapkan dapat digali lebih dalam
Hubungan antara..., Sasrya Ratri Harumi, FPsi UI, 2013
14
mengenai permasalahan yang dirasa paling mengganggu dari masing-masing responden yang mungkin paling berpengaruh terhadap self-regulation dan self-esteem. Selain itu, dapat digali juga mengenai bagaimana strategi yang dilakukan oleh masing-masing responden dalam menunjang self-regulation dan self-esteem. Kemudian,
sebaiknya
dilakukan
penelitian
longitudinal
untuk
mengetahui
perkembangan self-regulation dan self-esteem mahasiswa di tiap angkatan, dari tingkat pertama hingga tingkat terakhir. Hasil penelitian longitudinal ini dapat menjadi asesmen dan menjadi acuan untuk mengadakan intervensi pada saat orientasi mahasiswa, seperti pada saat Kegiatan Awal Mahasiswa Baru (KAMABA), supaya para dosen mendapat catatan penting mengenai tingkat self-regulation dan self-esteem mahasiswa pada saat masuk tingkat pertama dan juga memperoleh data mengenai mahasiswa mana saja yang perlu mendapat perhatian khusus terkait kualitas diri mereka, terutama pada self-regulation dan self-esteem. Selain itu, intervensi awal juga dilakukan agar mahasiswa dapat mempersiapkan diri sebelum memasuki dunia perkuliahan dengan memahami pentingnya self-regulation dan self-esteem, serta diharapkan juga mahasiswa dapat menerapkan segala aspek yang terdapat dalam dua hal tersebut. Asesmen dan intervensi ini dapat dilakukan secara berkala, seperti di tiap semester untuk dapat mengetahui perkembangan kualitas diri mahasiswa. Terakir, hasil penelitian ini diharapkan menjadi bahan pertimbangan bagi pembuat kebijakan di fakultas, terutama para dosen dan pembimbing akademik, untuk lebih peduli terhadap kondisi psikologis mahasiswa, terutama yang terkait dengan self-regulation dan selfesteem. Selain bagi pihak fakultas, hasil penelitian ini diharapkan juga bisa meningkatkan kesadaran mahasiswa untuk memanfaatkan fasilitas konseling di fakultas guna meningkatkan kualitas diri.
Daftar Referensi Aiken, L. R., & Groth-Marnat, G. (2006). Psychological testing and assessment (12th ed.). Boston: Pearson. Allen, D. J. Y. (1993). The Effects of a Self-Esteem Training Program on Self- Esteem and College Persistence. Arkansas: University of Arkansas (Disertasi). Anastasi, A., & Urbina, S. (1997). Psychological testing: Seventh edition. New Jersey: Prentice-Hall. Baumeister, R. F., Campbell, J. D., Krueger, J. I., & Vohs, K. D. (2003). Does high selfesteem cause better performance, interpersonal success, happiness, or healthier lifestyles? Psychological science in the public interest, 4(1), 1-44. http://www.csom.umn.edu/assets/71496.pdf Berk, L. E. (2011). Exploring lifespan development: Second edition. Boston: Pearson.
Hubungan antara..., Sasrya Ratri Harumi, FPsi UI, 2013
15
Carey, K. B., Neal, D. J., & Collins, S. E. (2004). A psychometric analysis of the selfregulation questionnaire. Addictive Behaviors, 29, 253–260. DOI: 10.1016/j.addbeh.2003.08.001 Carver, C. S., & Scheier, M. F. (2008). Perspective on personality (6th ed.). Boston: Pearson. Crocker, J., Brook, A. T., Niiya, Y., & Villacorta, M. (2006). The pursuit of self esteem: Contingencies of self-worth and self-regulation. Journal of personality, 74(6), 1749 – 1771. DOI: 10.1111/j.1467-6494.2006.00427.x Emler, N. (2001). Self-esteem: The costs and causes of low self-worth. York: Joseph Rowntree Foundation. Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. (8 Februari 2012). Program studi S1 sarjana reguler. Diunduh pada 14 Juni 2013 dari http://www.psikologi.ui.ac.id/pages/program-studi-s1-reguler Fieske, S. T., & Taylor, S. E. (2008). Social cognition: From brains to culture. New Jersey: McGraw-Hills. Goedeke, S. (2007). Teaching psychology at undergraduate level: Rethinking what we teach and how we teach it. New Zealand journal of teacher’s work, 4(1), 48-63. http://www.teacherswork.ac.nz/journal/volume4_issue1/goedeke.pdf Gravetter, F. J., & Forzano, L. B. (2009). Research methods for the behavioral sciences (3rd ed.). Belmont: Wadsworth. Guindon, M. H. (2010). What is self-esteem? Dalam M. H. Guindon (Eds). Self-esteem across the lifespan: Issues and interventions (hal. 3-24). New York: Taylor and Francis Group. Guthrie, E., & Black, D. (1997). Psychiatric disorder, stress, and burn-out. Advances in psychiatric treatment, 3, 275-281. http://apt.rcpsych.org/content/3/5/275.full.pdf Heatherton, T. F., & Wyland, C. L. (2003). Assessing self-esteem. Dalam S. J. Lopez & C. R. Snyder (Eds.). Positive psychological assessment: A handbook of models and measures (hal. 219-233). Washington DC: APA. Hoyle, R. H. (2010). Personality and Self regulation. Dalam R. H. Hoyle, Handbook of personality and self-regulation (hal. 1-18). West Sussex: Wiley-Blackwell. Kumar, R. (2005). Research methodology: a step-by-step guide for beginners (2nd edition). Thousand Oaks: SAGE Publications. Mruk, C. J. (2006). Self-esteem research, theory, and practice: Toward a positive psychology of self-esteem (3rd ed.). New York: Springer. Neal, D. J. & Carey, K. B. (2005). A follow-up psychometric analysis of the self-regulation questionnaire. Psychology of addictive behaviors, 19(4), 414-422. DOI: 10.1037/0893164X.19.4.414 Rhodewalt, F., & Tragakis, M. W. (2003). Self-esteem and self-regulation: Toward optimal studies of self-esteem. Psychological inquiry, 14(1), 66-70. http://www.jstor.org/discover/10.2307/1449045?uid=3738224&uid=2&uid=4&sid=21 102525824007 Ridder, D. T. D. de., & Wit, B. F. de. (2006). Self-regulation in health behavior: Concept, theories, and central issues. Dalam D. T. D. de Ridder & B. F. de Wit (Eds). Selfregulation in health behavior (hal. 1-24). Chichester: John Wiley & Sons, Ltd. Rosli, Y., Othman, H., Ishak, I., Lubis, S. H., Saat, N. Z. M., & Omar, B. (2012). Self-esteem and academic performance relationship amongst the second year undergraduate students of Universiti Kebangsaan Malaysia, Kuala Lumpur Campus. Social and Behavioral Sciences, 60, 582-589. DOI: 10.1016/j.sbspro.2012.09.426 Schmitt, D. P., & Allik, J. (2005). Simultaneous administration of the Rosenberg self-esteem scale in 53 nations: Exploring the universal and culture-specific features
of global self-esteem. Journal of personality and social psychology, 89(4), 623-642. DOI:
Hubungan antara..., Sasrya Ratri Harumi, FPsi UI, 2013
16
10.1037/0022-3514.89.4.623 Tillet, R. (2003). The patient within – psychopathology in the helping professions. Journal of continuing professional development, 9, 272-279. DOI: 10.1192/apt.9.4.272
Hubungan antara..., Sasrya Ratri Harumi, FPsi UI, 2013
17