HOW TO SCRIPT A KISS #TheScriptProject2
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2002 TENTANG HAK CIPTA Lingkup Hak Cipta: Pasal 2 1. Hak Cipta merupakan eksklusif bagi Pencipta dan Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan Pidana: Pasal 72 1. Barangsiapa dengan sengaja atau tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah). 2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)
ii
Judul: How To Script A Kiss #TheScriptProject2 Penggagas: Putri Widi Saraswati, Winona Rianur, Sulung Lahitani, Tengku A. Reza, dan Dzulfikar Adi Putra
Penyunting: Penggagas #TheScriptProject2 Penata Letak: Winona Rianur Desain Sampul dan Ilustrasi: Jung Jawa dan Winona Rianur Penerbit Nulisbuku.com ILP Center Lt. 3-01 Jalan Raya Pasar Minggu No. 39A Pancoran, Jakarta Selatan 12780 Telp: (021) 7981283 Blog: www.nulisbuku.com E-mail:
[email protected] Twitter: @nulisbuku
Buku ini diterbitkan melalui:
Copyright © 2015 by The Script Project 2
iii
iv
Ucapan Terima Kasih Kepada Tuhan yang bertahta di Surga sana, dengan nama apa pun Engkau disebut. Kepada seluruh kontributor yang sudah meluangkan waktu, tinta, dan hatinya. Terima kasih atas kesediaan kalian ikut bernyanyi di sini. To the inspirators of this dream : Danny O'Donoghue, Mark Sheehan, Glen Power. If you guys didn‘t write and sing, we wouldn‘t be able to write – and sing – these babies out loud. We love you! Kepada rekan editor, desainer, dan layouter : Penggagas #TheScriptProject2, Jung Jawa, dan Winona Rianur. Terima kasih atas kerepotan dan kerja keras kalian. Kepada pihak Nulisbuku yang sudah membantu kami mewujudkan mimpi. Kepada para pembaca, baik penggemar The Script maupun bukan, yang telah berkenan menikmati buah karya kami ini. Semoga bisa menjadi suara yang indah bagi hati.
v
Tentang The Script dan Lirik Lagu Mereka Siapa yang tidak pernah mendengar lagu ―Six Degrees Of Separation‖, ―If You Could See Me Now‖, ―Flares‖ atau ―No Good In Goodbye‖? Lagu-lagu tersebut begitu sering menjadi sound track galau massal banyak orang, terutama kaum muda. Dari Irlandia sampai ke seluruh penjuru dunia. Termasuk Indonesia. The Script, the three young men who have made those magics, adalah sebuah band beraliran pop rock yang lahir pada tahun 2008 di Dublin, Irlandia. Beranggotakan Danny O'Donoghue, Mark Sheehan, dan Glen Power, mereka mendaki perlahan namun pasti. Dimulai dari bermain dari klub ke klub, sampai ke konserkonser internasional dengan ribuan fans yang histeris (salah satunya di Jakarta pada bulan November 2011). The Script sudah melahirkan empat album, yaitu The Script (2008), Science and Faith (2010), #3 (2012), dan No Sound Without Silence (2014). Yang terakhir ini sukses mendapatkan Sertifikat Gold dan Platinum di beberapa negara, seperti UK dan Australia. Salah satu keunggulan The Script – selain musikalitasnya, tentu saja – adalah lirik lagu-lagunya. Lirik yang mereka tulis berbeda dengan grup musik lain. Sangat praktis, tidak bertele-tele, sangat menyentuh, serta
vi
membuat hati jungkir balik. Dan satu lagi : sangat inspiratif. Proyek menulis #TheScriptProject2 adalah kelanjutan dari #TheScriptProject yang telah terbit pada 2013 lalu. Masih mengangkat tema yang sama – namun dengan pemilihan lagu yang berbeda – proyek ini ingin kembali bercerita. Tentang bagaimana sebuah lagu bisa mengungkapkan satu kisah, dan dari satu kisah dapat lahir berjuta kisah yang lain. Tentang bagaimana hati bisa memainkan musik dan naskahnya sendiri. Tentang bagaimana uraian kata-kata adalah wujud nyanyian hati – yang ingin didengar. Dipersembahkan oleh 31 orang penulis dalam 33 cerita berbeda, semoga naskah hati kami ini mampu membuat hati Anda pun ikut bernyanyi.
Surabaya, Desember 2015 Penggagas
vii
viii
Daftar Isi
ix
Putri Widi Saraswati
No Words - #3 Science and Faith – Science and Faith Moon Boots - #3
3
ku tak ingin purnama ini ditelan Batara Kala.‖ ―Kenapa?‖ ―Saat nanti kau terbang ke bulan, jadi bidadari, dan meninggalkanku, aku tak mau kau berakhir di perut seorang buto.‖ ―Tapi tak ada yang bilang di sana aku akan dimakan raksasa.‖ ―Siapa tahu.‖ ―Ssst. Sudah, diam. Menikmati gerhana tak boleh banyak omong.‖ O, Sayang. Bagaimana kau bisa mencitrakan perpisahan, kepergian, dengan begitu ringan? Bidadari terbang ke bulan, katamu. Seolah tak ada apa-apa. Seolah ini bukan apa-apa. ―Tidakkah lebih indah seperti itu?‖ katamu saat aku mengajukan protes. ―Dalam dongeng, tak ada yang harus merasa masygul. Dan tahukah kamu? Siapa tahu Neil Armstrong pun dulu bertemu banyak bidadari.‖ Ah. Sekarang siapa yang banyak omong, Sayang? ―Nanti jangan lupa gambarkan aku,‖ mintamu. ―Tapi jangan seperti ini. Ya?‖ Jemarimu menarik-narik selang yang berdesis di hidungmu. Aku berusaha membayangkanmu. Mengenakan baju keperakan, sepasang sayap menyilaukan membentang di kelok bahumu. Kau lepas. Bebas. Kulitmu bersimbah cahaya bulan kelip, seolah Dewa Chandra sendiri turun dari swargaloka menjemputmu. ―Kau akan butuh tabung oksigen di bulan,‖ kataku, mengabaikan tepi mataku yang mulai menghangat. ―Tak ada atmosfer di sana. Nanti akan kugambarkan satu. Yang paling canggih. Begitu mungil, sampai-sampai kau takkan merasakannya di balik sayapmu.‖ ―Ah, repotnya,‖ bisikmu. ―Jangan terlalu logis. Bidadari tak perlu tabung oksigen. Cukup terakan saja wajahku di permukaan bulan.‖ Lalu kau tertidur. Di lekuk lenganku.
―A
I could burn you ear off all about space Why we have a moon, the moon has a face But there are no words
4
―Udah sana. Gue nggak akan ikut.‖ ―Rea. Re. Lo jangan jadi nggak waras kayak gini, dong, Re. Kasihan Luna….‖ ―Lo jangan sebut-sebut itu lagi, Sur. Jangan sekali-sekali.‖ Surya tertegun. Menatapku dengan ekspresi keras yang tak pernah kulihat sebelumnya. ―Munafik lo, Re. Bukan begini caranya berkabung. Pengecut.‖ Kudorong dadanya. Ia pergi. Bagus. Peduliku, toh, sudah habis. Tapi rupanya air mataku tak sehabis itu. Ya, aku memang pengecut. Lelaki mana yang takkan jadi pengecut bila ditinggalkan semena-mena? Kutampar pelipisku. Air mata itu memenuhi pandanganku, membuat segalanya bayang-bayang. Bayang-bayangmu, yang memakai gaun putih yang sama sekali tak kusuka. Bayangbayang orangtuamu, menaruh bunga di dadamu, bahu mereka berguncang seperti sedang gempa bumi. Bayang-bayang Surya, menopang peti berat berisi tubuh adik kesayangan, menggerutu sambil mengisak bahwa setahunya beratmu tak pernah lebih dari lima puluh. Air mata itu jatuh, tenggelam di antara serat kertas. Lihat aku, Sayang. Lihat aku. Charles Darwin akan murka melihatku. Seorang mahasiswa biologi, merusak buku suci teori evolusi dengan perasaan-perasaannya yang tak terkendali! Bidadari bulan apanya. Setan. Setan semua. Air mata itu makin memburu. Di bawahnya, bagan evolusi manusia seolah beriak. Kera di tanah. Kera tegak. Manusia membungkuk. Manusia tegak. Apakah kera bisa mencinta? Apakah kera kehilangan? Jika tidak, aku berdoa pada Darwin,tolong biarkan aku tak berevolusi. Siapa kira berakal budi akan terasa sepahit ini? I tried pushing evolution As the obvious conclusion of the start But it was for my own amusement Saying love was an illusion of a hopeless heart
5
Ada penjual tiket untuk terbang ke bulan. Aku menatap sebuah amplop putih dan sepasang sepatu baru. Tak sepertimu, untuk pergi ke bulan aku butuh sepatu astronot. Aku tahu, mereka sudah menyediakan jalur spesial untukmu, jalan khusus dengan segala kemudahan untuk para bidadari. Tetap saja, sebelum kau pergi, aku telah telanjur membeli dua tiket itu. Hanya supaya ada yang bisa aku kenang. ―Jadi pergi, Re?‖ Surya sesungguhnya belum memaafkanku. Aku pun belum. ―Tiketnya udah di tangan,‖ gumamku. Kita lahir sendirian. Mati sendirian. Ada cukup banyak kesendirian dalam hidup manusia. Bukannya aku tak berusaha, Sayang. Sumpah mati, sudah kucoba melesapkan kenangankenangan kita dalam kabut kelabu yang sedang memenuhi kepalaku ini. Sebab hakikat manusia, awal akhirnya, adalah kesendirian. Tapi aku tak sanggup. ―Gue baru tahu Luna suka meditasi.‖ Surya memandangi isi amplop itu. Aku tak menjawab. Di bulan akan sunyi sekali, begitu katamu waktu itu, sementara jarimu menunjuk sebuah gambar promo yang lewat di linimasa media sosial. Bagaimana kalau kita berlatih dengan sunyi, Re? Kita berdua saja. Siapa tahu bisa sekaligus berlatih telepati. Aku tak mungkin membawa telepon ke sana. ―Nanti sore, ya, berangkat ke Denpasar? Berapa lama, seminggu?‖ ―Hm-mh.‖ ―Rasanya gue pengin ikut. Mungkin seluruh keluarga gue harusnya ikut juga.‖ Jangan, bisikku dalam hati. Kalian tak punya sepatu bulan. Di balik lemari, tersembunyi dari pandangan luka di mata Surya – luka yang sama – kudekap sepatu pemberianmu itu. I‘ve got my moon boots on I‘m headed for a great new world The only difference is that you‘re not here
6
Dzulfikar Adi Putra
Take You Down – The Script Superheroes – No Sound Without Silence If You Could See Me Now - #3
7
ak, saya berangkat dulu, pulang habis maghrib.‖ ―Mau judo lagi? Sampai tua pun hidupmu nggak akan sejahtera!‖ ―Tapi..‖ ―Griyadi! Kamu masih anggap saya Bapakmu, ‗kan?!‖ nada Bapak mulai meninggi. ―Tapi, besok ada kejuaraan Walikota Cup, kesempatan jadi juara besar, Pak.‖ ―Kamu tau apa? Atlet judo yang lebih hebat dari kamu sudah banyak di negara ini. Pokoknya saya nggak ridho kamu jadi atlet judo professional!‖ Tahu apa Bapak soal keinginanku. Atlet judo kan juga punya masa depan menjanjikan, lihat itu si Joe Taslim. Memang, sepeninggal Ibu ke alam-Nya, Bapak hanya tahu soal kasih uang SPP dan uang jajan. Selebihnya hanya menuntutku rajin belajar agar masuk kampus teknik ternama. Apa iya semua Bapak seperti itu? Kurasa hanya Bapak yang keterlaluan. Buktinya, bapak si Wahyu tak masalah meski anaknya pengin jadi the next Carlos Santana. Bapak si Karin malah membelikan Mac Book Air terbaru biar desain putrinya makin oke. Nah, aku yang berjuang jadi sang juara malah dilarang-larang. Maunya apa?
―P
Pertandingan dimulai. Musuhku kali ini lebih pendek sepuluh senti, kurasa dia mudah dirobohkan dengan beberapa gerakan saja. ―Hajime1!! Fight!‖ teriak wasit. Braak!! ―Matte2!! Matte!‖ wasit berteriak lantang ―Aaaargh! Tulang lenganku!‖ Before this goes over the edge Gonna use my heart and not my head And try to open up your eyes, this is relationship suicide
1 2
8
hajime : begin matte : stop
Kubaca lagi headline koran hari ini, ‗Sea Games 2015, Cabang Judo Sumbang Emas bagi Indonesia.‘ Ada haru yang tiba-tiba menyeruak, kueja baris demi baris, ―Griyadi, atlet judo paling muda berhasil menyabet emas. Pemuda kelahiran Surabaya ini … ‖ Kubaca satu paragraf di bawahnya, ―Griyadi sempat vakum dua tahun karena cedera tulang rusuk hingga akhirnya … ― Aku masih tak percaya benar dengan pencapaianku. Mengharumkan nama bangsa di kancah Internasional. Ini semua berkat doa dan dukungan .. atau cacian?! Kukepalkan tangan, dengus nafasku menderu. Ah, sudahlah. Drrt..drrt..drrt. Ada message dari kekasihku. ―Sayang, nanti sore jangan lupa datang ke radio RRI, lho! Itu, soal talkshow Sea Games.‖ ―Iya, ini aku lagi nyiapin jawaban.‖ ―Lho, emang tau mau ditanya apa?‖ ―Ya enggak sih, kira-kira aja. Haha.‖ ―Haha.‖ ―Pendengar setia, kembali lagi bersama saya, Ronald. Kali ini saya akan mewawancarai atlet judo yang berhasil menyabet medali emas di Sea Games lalu. Selamat sore, Mas Griyadi.‖ ―Selamat sore.‖ ―O, iya, selamat atas medali emas yang berhasil Anda raih. Ini pertama kalinya Anda ikut Sea Games, ‗kan?‖ ―Iya, Alhamdulillah ini pertama kalinya saya ikut dan langsung dapat emas.‖ ―Orang-orang terdekat anda pasti sangat bangga dengan hal ini—orang tua, kakak, adik, pacar, terutama bapak Anda. Bagaimana pendapat beliau?‖ ―….‖ When you‘ve been fighting for it all your life You‘ve been struggling to make things right
9
That‘s how a superhero learns to fly Every day, every hour, turn the pain into power
―In the ring we have the greatest man from Thailand! Sahachai Chatchawan. And the new guy, Griyadi from Indonesia.‖ Pertandingan puncak ini akan menentukanku, apakah menjadi sang juara atau hanya jadi yang kedua. ―Uchi Mata! Griyadi make a score, Griyadi push down Sahachai! Sahachai now under pressure, if Griyadi can hold this situation for 30 seconds, he will win.‖ ―Ow, Sahachai look so desperate, he can‘t push away! Griyadi, 10 seconds left!‖ komentator terus saja berceloteh. Teeeng! Bunyi lonceng kali ini adalah bunyi lonceng paling merdu yang pernah kudengar. ―Yeah, Indonesia! Griyadi win the fight. He is the new champion!‖Tepuk tangan bergemuruh, lagu Garuda di Dadaku menggema dari arah tribun penonton. Aku, Griyadi menjadi sang juara, menyabet emas dalam Sea Games 2015! Sontak kulakukan sujud syukur, merapikan baju yang telah koyak, bersalaman dengan Sahachai, lantas berlari ke sisi arena pertandingan. Berpeluk haru dengan pelatih, dan seluruh kru timnas judo Indonesia. Lagu Indonesia Raya dikumandangkan, sang saka merah putih diarak naik. Di sini, di atas podium, bahagia menjalari seluruh tubuh. Kupejamkan mata, bayang-bayang perjuanganku sampai berada di fase ini terbayang jelas. Tiap hari diomeli pelatih, latihan fisik yang menguras tenaga, dikarantina, jauh dari orangorang tersayang. Semua itu seolah terbayar lunas saat melihat rona bahagia memancar dari wajah para suporter, dan … kulihat bapak duduk diantara mereka. Tunggu dulu. Bapak? Bukankah bapak meninggal akibat serangan jantung setahun setelah cedera tulang lenganku masa SMA dulu? ―Kamu kok ya ndableg! Sudah tahu hidup kita susah, malah cari masalah!‖ ―Maafkan Yadi, Yah.‖ ―Mau ngomong apalagi kamu sekarang? Jadi anak kok berani ngelawan orang tua!‖
10
Segera kutepis bayang-bayang masa pemulihan cedera tulang lenganku dulu. Bapak yang rela merawatku meski kutahu dalam hatinya sebal. Bapak, inilah bukti bahwa anakmu mampu. Andai engkau disini, pastilah engkau menatapku bangga. Atau engkau malah merasa kalah? Bagaimanapun juga, terimakasih bapak. Aku menyayangimu. I still look for your face in the crowd Oh if you could see me now Would you stand in disgrace or take a bow Oh if you could see me now
11
12
Hindun Fikrotul Indiyyi
And you are not alone „Cause someone‟s out there Sending out flares
Flares No Sound Without Silence
13
S
etiap kali Rati bertemu mata dengan laki-laki itu, maka waktu seakan rela berhenti berdetik untuk menyaksikan bagaimana terpesonanya Rati oleh dambaannya itu. Ketika laki-laki itu telah berlalu, barulah ia sadari bahwa jantungnya serasa akan keluar dari rusuknya lantaran hendak meneriakkan nyanyian cinta pada
dunia. Sebenarnya, Rati tak begitu yakin dengan perasaannya. Dengan kata lain, ia begitu asing dengan perasaan semacam ini. Tak habis ia berpikir apakah perasaan semacam ini sungguh ada dalam kehidupan manusia, dimana semua orang pastilah mengalaminya. Maklumlah, ia adalah seorang gadis yang baru kali pertama mengecap manisnya jatuh cinta. Setiap kali ia mengingat bagaimana raut laki-laki itu, bagaimana legam netra laki-laki itu, bagaimana elok senyum laki-laki itu, bagaimana hangat kedengarannya suara laki-laki itu, maka Rati akan tersenyum sendiri. Menurutnya, semua hal itu sangat berharga dalam sejarah hidupnya. Saking berharganya, ia menuliskan setiap detailnya dalam sebuah buku harian sebelum berangkat tidur. Karena, ia takut bila suatu hari nanti ia akan melupakan hal-hal indah itu. ―Inikah wujud dari cinta?‖ bisiknya sambil menatap langitlangit kamarnya yang gelap. Dia memiringkan tubuh, membenarkan letak selimut yang memeluk tubuhnya, lalu menatap handphone yang tergeletak di samping bantalnya. Benar juga. Belakangan ini, laki-laki itu sering mengiriminya SMS yang padahal isi pesannya sangat tidak penting. Katanya, jika seseorang berbuat demikian, maka itu berarti ada niatan suka. Memikirkan ini, semakin membuat Rati kegirangan saja. Bahkan, ia sempat berpikir untuk tidak tidur semalaman demi memutar semua ingatan yang telah melibatkan dia dengan lakilaki itu. Namun, angan-angannya harus melebur lantaran dikejutkan oleh handphone-nya yang bergetar pertanda pesan. ―Arun!‖ seru Rati pelan. Matanya yang sedari tadi begitu berat dibuka karena mengantuk segera saja berbinar seakan melihat kembang api di tahun baru. Dengan semangat, ia menekannekan tombol handphone-nya. Lalu, dengan wajah agak merona, ia baca pesan dari laki-laki yang ia suka itu.
14
―‘Materi UTS kimia apa?‘ Hah, yang benar saja. Bukannya dia sudah tahu?‖ gumam Rati heran. Namun, mendadak mata Rati membulat penuh binar. ―Mungkinkah...‖ ucapnya dengan wajah yang semakin memerah. Rati nyaris tak bisa memfokuskan diri pada pelajaran lantaran memikirkan dugaannya semalam. Dia berharap bahwa dugaannya itu benar. Namun, dia juga dilanda ketakutan bila dugaannya itu salah. Namun, bila ia harus membandingkan antara benar atau salah dugaannya itu, maka dia akan menyatakan keyakinan bahwa dugaannya itu benar sebanyak delapan puluh persen. Namun, bila dia menyimpulkan yang demikian, justru membuatnya merasa seakan ia adalah gadis yang berpikiran dangkal. Ah! Terlalu banyak ‗namun‘! Labil benar Rati ini. ―Rati, belakangan aku menangkap banyak tingkah yang tak biasa darimu. Adakah suatu hal yang mengganggumu?‖ tanya seseorang yang duduk sebangku dengan Rati yang tengah asyik berangan sembari menatap langit-langit kelas. Sejenak, tak ada jawaban dari Rati yang kini telah memalingkan muka memandang sahabatnya itu sambil tersenyum lebar. Ketika lama kedua mata mereka saling beradu, mendadak Rati merasa wajahnya menegang lalu ditundukan pada buku biologinya sambil tersipu. ―Tidak ada apa-apa kok, Ev.‖ balasnya sambil tersenyum pada bukunya. Meskipun Rati berkata ‗tidak ada apa-apa‘, tapi Eva tetap mampu mencium gelagat Rati yang tak biasa. ―Jatuh cinta, rupanya.‖ sahut Eva sembari memandang papan tulis yang kosong. Rati tersentak dari senyumnya, lantas memalingkan wajah pada Eva dengan ekspresi kaku. ―Apa maksudmu?‖ tanya Rati berusaha memastikan. Namun, Eva hanya melempar senyum jahil padanya. Sebuah senyuman yang membuat Rati merasa sedang di-bully. Semenjak hari itu, berita bahwa Rati jatuh cinta telah tersebar di kelas. Banyak yang tak percaya, dan memang benar sulit dipercaya, bahwa sosok Rati yang sedemikian tomboinya dapat merasakan jatuh cinta.
15
―Aku juga manusia.‖ balas dengan nada bosan lantaran hampir setiap hari ia diejek oleh kawan-kawannya. Untungnya, mereka tak tahu siapa orang yang disukai Rati. Ia telah bertekad tidak akan mengatakan hal itu pada mereka, sekalipun dipaksa. Namun lebih dari itu, Rati lebih tertarik akan tingkah Eva yang belakangan ini turut pula menjadi aneh. Rati semakin tertarik lantaran menyadari bahwa tingkah Eva ini serupa tingkahnya sendiri. Tak salah lagi, Eva jatuh cinta. Pada siapa? Sebenarnya, hendak betul Rati menanyakan langsung pada Eva. Namun, nyatanya ia tak sampai hati untuk membalas perbuatan Eva yang telah berkata pada teman-teman sekelas bahwa Rati sedang jatuh cinta. Alih-alih bertanya, Rati justru geli melihat sobatnya itu sesekali tersenyum sendiri. Hingga suatu ketika Eva ke kantin, kedua mata Rati nyalang ingin tahu pada sebuah kertas berwarna merah yang terselip di dalam buku matematika Eva. Karena berpikir sahabatnya itu tak memiliki privasi apapun padanya, segera ia tarik surat itu dan kemudian membacanya. Selama kedua bola matanya bergerak dari kiri ke kanan membaca setiap kalimat yang tersusun elok pada surat itu, ia tak habis-habisnya membayangkan betapa bahagianya Eva menerima surat yang bagaikan syair ini. Jadi, inilah yang menyebabkan Eva berlaku sangat aneh. Karena surat cinta. Tibatiba, raut muka bahagia Rati lenyap, digantikan oleh ekspresi datar bagai patung liberty. Perlahan nan pasti, muncul kerutan di antara kedua alis Rati yang melengkung. Ia bisa merasakan kedua netranya memanas. Semalaman Rati didera air mata kesedihan. Tak henti-hentinya ia merasa kawannya sendiri mengkhianatinya meskipun sebenarnya Eva tiada berbuat apapun. Hilanglah harapannya. Selesai sudah, meski ini semua belum dimulai sama sekali. Dalam malam yang berlumur tangisan itu Rati belajar bagaimana pahitnya cinta, sendirian di dalam kamarnya. Tak bisa dibayangkan betapa sakit semua itu, hingga membuat Rati bertekad takkan jatuh cinta lagi.
16
And no one cares There‘s no one there Dan semenjak hari itu, Rati tiada lagi bicara pada Eva. Tak hanya itu, ia tak lagi membalas setiap pesan dari Arun yang masuk pada handphone-nya. ―Sudah lama tak kutemui kau bersama Eva. Ada apa, Rati?‖ sapa seseorang ketika Rati tengah duduk sendiri di bangku teras depan kelas. Rati terperanjat dengan sapaan yang begitu mendadak itu. Ia lebih terperanjat lagi begitu mengetahui bahwa yang menyapanya adalah seorang laki-laki yang begitu jarang ia ajak bicara sekalipun ia teman satu kelas. ―Tidak. Bukan apa-apa, Sen. Kami...baik-baik saja.‖ jawab Rati sambil tersenyum. Namun, Rati yakin bahwa Sena sadar akan senyumannya yang sejatinya tak lebih sebagai senyum paksaan. ―Jika kau begitu takut memercayai orang lain untuk membagikan masalahmu, tidak ada jalan lain selain memercayai diri sendiri.‖ ucap Sena sambil memasang headset pada kedua telinganya. ―Apa maksudmu?‖ tanya Rati. Namun, rupanya Sena menyetel volume terlalu besar, menjadikan pertanyaan dari Rati tak dijawab olehnya. Detik selanjutnya, Sena meluruskan diri, maju selangkah membelakangi Rati yang termangu oleh tingkah Sena. ―Maksudku, kudengar kau berbakat menulis.‖ ujar Sena sembari berlalu meninggalkan Rati yang semakin larut dalam kemanguannya. Dan, begitulah yang setiap hari dilakukan Sena ketika mengetahui Rati tengah duduk sendirian di teras depan kelas. Bila sudah demikian, laki-laki itu sudah hafal bahwa Rati pastilah sedang bersusah hati. Dan sayangnya, tiap hari kesusahannya itu semakin tampak saja pada muka gadis itu. ―Kau masih duduk-duduk di sini?‖ tanya Sena mendudukkan diri dengan menumpangkan lutut kaki kanannya pada lutut kaki kirinya. Rati memalingkan muka lalu tersenyum ke arah sumber suara. Karena telah terbiasa dengan keberadaan Sena, Rati pun semakin akrab dengan laki-laki yang dikenal pandai ini. ―Apakah maksud ucapanmu?‖ tanya Rati yang kemudian dibalas senyuman oleh Sena.
17
Seharian penuh Rati memikirkan ucapan Sena. Dan tak hanya ucapan Sena, namun juga sikapnya yang menjadi ramah padanya. Adakah maksud tertentu mengapa mendadak Sena dekat dengannya? Yang padahal sebelumnya saling bicara pun begitu jarang. Mungkinkah Sena menyukinya? Tapi sayang, Rati tak lagi mau tersakiti. ―Kau pandai menulis. Buatlah karangan tentang segala keluh kesahmu ini. Curahkan segala ganjalanmu di sana. Itu lebih produktif dibanding kau yang duduk-duduk sendirian meratapi hal yang telah dianggap sejarah.‖ Deretan kalimat itu selalu menggema dalam kepala Rati yang kini menghadap sebuah lembar putih bersih dengan sebatang pena di sampingnya. Dialihkanlah matanya pada sebuah buku harian, dimana di dalamnya penuh oleh masa-masa yang bergelombangkan cinta pada Arun. Bersamaan dengan itu, bayangan kebersamaan Eva dan Arun membuat hati Rati serasa dilindas truk. Dia ambil buku harian itu dengan tangan gemetar lantaran takut kenangan itu akan membangkitkan kesedihannya kembali. Dengan segenap tekad yang nyaris bulat, ia baca tiap paragraf curahan hatinya dahulu. Rati terkejut menemukan dirinya yang entah mengapa jijik dengan dirinya dahulu yang begitu memuja Arun. Namun, demi mendapatkan ketenangan jiwa, ia memejamkan mata, membangun plot sebuah kisah, dan menuliskannya pada lembaran kertas yang ada di depannya. ―Kau masih duduk-duduk di sini? Apa kau belum juga...‖ ucapan Sena harus terpotong karena ia tersenyum melihat Rati yang juga tersenyum padanya. ―Sudah kusertakan pada sebuah lomba mengarang.‖ sahut Rati segera. Sena menatapnya dalam. Entah mengapa, sesuatu di dalam hati Rati seakan terbangun dari tidur kesedihan yang mendalam ketika kedua mata teduh Sena terpancang pada matanya. ―Bagaimana hasilnya?‖ ―Aku menang.‖ balas Rati. Sena mengangkat kedua sudut bibirnya sambil memasang headset pada kedua telinganya seperti biasa. Sungguh melegakan jiwa ketika melihat Sena yang
18
duduk di sampingnya. Seperti biasanya, Sena duduk dengan menumpangkan lutut kanannya di atas lutut kirinya dengan kedua tangan memeluk lutut kanannya. Mendadak Sena memalingkan muka pada Rati. ―Apa yang kau lihat?‖ Gelagapan, Rati membuang muka karena tahu wajahnya pasti memerah. Sunyi di antara mereka hanya dipecahkan oleh suara teman-teman sekelas yang ramai lantaran jam kosong. Meski demikian, Rati takut Sena akan mendengar degub jantungnya yang bertalu-talu. Dan Rati bisa merasakan bahwa Sena masih juga memandang padanya. ―A...aku, hanya ingin tahu lagu apa yang kau dengar.‖ ucap Rati dengan nada bergetar. Sena bergeser kekiri, mendekat pada Rati, lalu menawarkan salah satu headset dari telinga kirinya. But did you see the flares in the sky? Where you blinded by the light? Did you feel the smoke in your eyes? Did you? Did you? Did you see the sparks filled with hope? And you are not alone ‗Cause someone‘s out there Sending out flares Ya, barangkali Rati memang ditakdirkan untuk merasakan sakit hati agar ia dapat belajar bahwa pasti ada orang yang tetap memberikannya sinar harapan. Dan dialah sinar harapan itu, Sena. Kalau begitu, sudah tidak ada lagi alasan bagi Rati untuk membenci Eva. Dan ini adalah saat yang tepat dimana dia akan membuka lembaran hari-harinya dengan pemikiran yang lebih dewasa.
19
20
Helni
You can beat the word You can bear the war You can talk to God, go banging on his door Hall Of Fame #3
21
epuluh menit yang lalu suara lembut seorang wanita mengabarkan kedatangan sebuah kereta. Ingarnya mengalahkan langkah-langkah tergesa. Menghalau riuh suara dari mulut-mulut yang terus berbicara. Tubuh-tubuh bergegas. Udara dingin meranggas. Kelam yang sebentar lagi datang. Angin bertiup kencang. Debu-debu berterbangan. Kenangan itu pun kembali datang.
S
―Bagaimana kabarmu?‖ Kalimat yang kerap kunanti. Aku hanya menunggumu memulainya. Setelah itu waktu seolah tiada. Jarak seolah sirna. Mata berbinar-binar. Senyum terus mengembang. Hatiku berdebar-debar. Bila kulihat kaca, pipiku pasti merona. Dan aku enggan melepas tatapanku dari kaca. Terus memandanginya dengan wajah yang berbunga-bunga. Tidak jemu aku melihatnya. Pernah kumencoba untuk memulai sebuah percakapan. Tapi itu sia-sia. Kata-kataku tak berbalas. Tidak ada tanda kau akan membalas. Namun aku tetap berharap sapaku akan kau jawab. Sehari, dua hari, berhari-hari pesanku kau biarkan begitu saja. Sapaku tak kau sentuh. Hingga waktu melumatnya lalu mencampakkannya karena basi. Aku bosan menunggu kau memberi jawab. Aku marah. Aku kesal. Kau tega membuatku menunggu dan berlumut. Akhirnya kuputuskan untuk melupakanmu. Dinding kamarku tampak setuju. Karena dia pun jengah mendengarku yang selalu menggerutu. Yeah, you can be the greatest You can be the best You can be the king kong banging on your chest You can beat the word You can bear the war You can talk to God, go banging on his door Aku tidak mengerti kenapa kau kirimkan kalimat-kalimat berbahas Inggris itu kepadaku. Apa kau tidak tahu bahwa aku sedang marah. Berhari-hari tidak ada kabar, tiba-tiba kau
22
mengirim kalimat-kalimat yang tidak kumengerti. Maksudku, aku mengerti arti dari kalimat yang kau kirim. Tapi ada apa dengan kalimat-kalimat tersebut? Jangan-jangan kau salah kirim. Bukan aku orang yang kau maksud. Tapi sudahlah, apa pun itu, aku tidak peduli karena aku masih marah. Pesanmu itu pun kubiarkan berlumut di kotak surat elektronikku. Sama seperti pesanku yang kau abaikan dulu. Aku enggan untuk membalasnya. Entah akan sampai kapan. Yang pasti aku masih marah. Di sebuah kota kecil yang dingin. Di tepi jalan berlubang dan berkerikil. Kau dan aku berdiri bersisian. Diam tanpa berkata. Hening dan dingin. Dicandakan oleh angin yang meniup keras ujung-ujung rambutku. Menampar dingin pipiku. Namun aku hanya bergeming. Tak kugubris caci maki angin padaku. Karena bosan dia pun pergi dan membawa kertas-kertas lusuh yang dibuang sembarangan terbang bersamanya. Cakrawala tertutup kelam. Mendung menggelayut gelap. Dingin makin mencekam. Begitupun dengan sikap yang saling kita tunjukkan. Entah kenapa kau suka sekali memilih waktu berjumpa ketika langit selalu berona kemerahan. Ketika mentari luruh dan sekumpulan burung lebih memilih terbang untuk kembali pulang. Sayang, kali ini langit tak merona seperti biasanya. Begitupun halte yang kotor itu, tempat kita berjanji untuk kembali bersua. Menambah muram senja. Kau berdiri di sampingku. Diam hanya membisu. Hanya gerutuan angin yang terdengar. Aku bisa menangkap jelas rintihan ranting yang terinjak oleh pejalan kaki yang tergesa-gesa menghindari muram senja. Aku bisa mendengar jelas desau angin di telingaku memberi kabar bahwa hujan akan luruh dengan gemuruh yang riuh. Tetapi tidak sedikit pun kudengar kau mengeluarkan kata selain bisikan lirih dedaunan. Kulirik dirimu yang berdiri kaku di sampingku. Tas ransel itu masih saja menghiasi punggungmu. Rambutmu sudah lebih panjang dari sebelumnya. ―Aku suka lelaki gondrong.‖ Begitu kubilang padamu dulu. Melihat rambutmu, hatiku berdesir. Jantungku berdetak sedikit lebih cepat. Wajahku menghangat. Sebelum aku makin terbuai oleh rasa, segera kualihkan
23
pandanganku pada jalanan yang kosong melompong. Langit yang kelam membuat orang enggan berkeliaran. Angkutanangkutan umum pun tampaknya lebih memilih untuk berkemul tinimbang berkeliaran mencari penumpang. Bila bukan karena janji, aku pun enggan berada di halte yang penuh dengan coretan ini. Hening. Hanya desau angin yang ribut. Kita tidak melakukan apa-apa. Berdiri begitu saja. Nafas pun seakan tertahan. Mulut kita sama-sama terkatup. Mata. Mungkin inilah satu-satunya panca indera yang masih bisa berkerja. Sekeras apa pun sikap yang tengah kita tunjukan. Mata kita saling bicara. Aku tahu itu. Karena di setiap ada kesempatan, kita sama-sama mencuri pandang. Dan bila ketahuan, tatapan itu akan dibuang ke cakrawala yang menghitam. Menunggu waktu yang tepat untuk sebuah kalimat yang menggantung di ujung lidah. Beberapa saat lamanya, kita masih bertahan dengan kebisuan. Diam, tidak ada yang berbicara. Salah satu dari kita belum ada yang ingin memulai mencairkan suasana. Jangan kau harapkan aku akan bersuara terlebih dahulu. Biarlah resahku kuserahkan pada angin, pada daun, pada ranting, dan pada air yang hendak turun ke bumi, atau pada tanah yang merindukan hujan. Biarlah mereka yang mewakiliku. Jalanan masih saja kosong melompong. Sesekali sepeda motor melintas. Meraung dengan kecepatan penuh. Lalu menghilang di kejauhan. Dan kamu yang berada di sisiku masih saja mematung. Tercenung entah memikirkan apa. Ini bukan hal yang aku suka. Ada tapi tampak tiada, dekat namun terasa jauh. Akan mudah bagiku bila aku tidak melihatmu di sini. Ini menyiksaku. Banyak sekali kata-kata yang ingin kutumpahkan. Tapi lidahku kelu. Tenggorokan tercekat. Gigiku makin merapat setiap kali aku ingin memulai bercakap. Kenapa kau pun berlaku demikian? Aku tidak tahu. Kenapa kau harus ada di sini? Bila hanya bisu yang kau hadirkan. Tapi kumohon, lakukanlah sesuatu untuk mencairkan kebekuan ini. Kumohon. ―Apa kabar?‖ Lirih kudengar suaramu yang sedikit bergetar. Akhirnya permohonanku terkabul juga. Kau tahu, aku hampir saja melompat kegirangan. Senyumku mengembang lebar. Mataku menatapmu tak percaya. Sebuah keajaiban di senja ini. Gerimis belum turun. Senyum manis sudah kulayangkan. Aku senang bukan alang-kepalang. Akhirnya kau gebrak keheningan
24
ini. Kau hancurkan dinding penyekat di antara kita. Kau tahu, dua kata itu yang sangat kunanti. Dua kata yang akan memulai keceriaan di senja yang muram ini. ―Baik.‖ ―Aku menunggumu membalas pesanku,‖ lanjutmu segera. Tak kau biarkan waktu merenggut sedikit keceriaan yang mulai tampak. ―Aku tidak mengerti pesan terakhir yang kau kirimkan dulu. Itu tentang apa? Aku kira kamu salah kirim. Dan aku enggan bertanya.‖ ―Tidak. Aku tidak salah kirim. Kenapa kau enggan menanyakannya? ‖ ―Waktu itu aku masih marah. Berhari-hari kutunggu jawabmu namun tiada berbalas. Aku pun tidak ingin membalas pesan surel-mu. Tapi ternyata kau pun tidak mencoba untuk kembali menghubungiku.‖ ―Karena aku kira kau tidak ingin kuhubungi lagi.‖ ―Hei..!! Kau tahu, semenjak pesan terakhirmu itu, hampir tiap detik sejak saat itu, aku menantimu memberi kabar mengenaimu, mengenai kita. Bukan kata-kata yang tidak kau mengerti. Atau setidaknya kau jelaskan kata-kata berbahasa Inggris tersebut. Tapi tidak ada. Kotak surel-ku tidak menampilkan apa pun darimu. Kau berjanji akan selalu menghubungiku walaupun Papa belum memberi restu untuk hubungan ini. Tapi…‖ Tiba-tiba kau rengkuh tubuhku lalu mendekapku erat. Sekali sentak saja tubuhku sudah jatuh dalam pelukanmu. Dan setelah itu kita pun kembali terdiam. Waktu serasa berhenti. Kelam terasa benderang. Suram terhapuskan. Degup jantung menjadi melodi yang melenakan. Deg, deg, deg. Iramanya sangat teratur. Jelas dan merdu. ―Sudah, cukup Elena. Kumohon, jangan kau siksa aku lagi dengan kata-katamu. Tanpa itu pun aku sudah merana. Maafkan bila aku telah membuatmu bersedih.‖ Lirih kau bisikan kata-kata penyejuk itu padaku. Perlahan gerimis pun turun. Udara terasa semakin dingin. Pelukanmu semakin rapat. Nafasmu menyapu hangat kulitku. Kutarik tubuhku sedikit menjauh darimu. Kucari kedua bola matamu. Lalu menusuknya dalam. Pandangan kita pun beradu tajam.
25
―Selama ini aku menunggu tanpa kepastian yang jelas. Kukira kau menyerah dengan hubungan ini. Aku mencoba untuk memahami keadaan. Tetapi aku selalu gagal menerima kenyataan. Saat itu aku….‖ ―Stttt… Aku tahu itu.‖ Titk-titik air semakin rapat. Tetesnya membungkam semua kata. Langit menumpahkan segala bebannya di senja itu. Begitupun dengan rasa. Tumpah ruah tak terbendung. Melodimelodi cinta kembali bersenandung. Kini aku menunggumu di stasiun ini. Menantimu seraya mendengarkan kembali iPhone-ku yang menyanyikan lagu yang sama seperti yang kita dengarkan di halte kotor itu. Sebuah lagu yang memantapkan pilihanmu menjejakkan kaki ke negeri Sakura. Lagu yang membawa benakku kembali mengenang masa yang lalu. ―Aku akan menjemputmu. Aku pasti akan menjemputmu. Dan Papamu pasti akan memberi restunya terhadap kita. Tunggu aku. Aku pasti akan kembali dan membawa sebuah kebanggaan bagimu. Akan kugondol gelar sarjanaku di Tokyo Institute of Technology. Setelah itu kan kutaklukkan Papa mu dengan kesuksesan yang beliau pinta. Tunggu aku kekasihku. Aku pasti menjemputmu.‖ Itu kata-kata yang kau luncurkan dulu. Saat kita berada di halte kotor dulu. Saat senja tengah merajuk. Angin mengamuk. Dan langit murka lalu mencurahkan berkubik-kubik air yang menghalanginya menatap dunia. Di atas atap halte yang penuh dengan coretan itu, titik-titik air saling ribut, saling berebut menyentuh bumi. Tapi tak kita hiraukan itu semua. Karena kita pun tengah asik menghayati tiap lirik Hall Of Fame yang mengalun dari iPhone-ku. Masa yang menjadi awal untuk sebuah keyakinan terhadap hubungan yang ditentang keras oleh Papaku. Kini aku tengah menantimu kekasih. Di stasiun ini. Duduk di deretan bangku-bangku yang dipenuhi oleh orang-orang dengan beragam kepentingan. Mengada di antara orang-orang yang bergegas. Tenggelam bersama riuh yang terdengar dari segala penjuru.
26
Kini aku menantimu kekasih. Di stasiun ini. Lekaslah tiba. Temani aku mendengarkan Hall Of Fame seperti dulu. Lalu bersama kita raih asa. Kita taklukkan dunia. Dan kita rengkuh cinta. Kini aku tengah menantimu kekasih. Di stasiun ini. Ditemani Hall Of Fame yang bersenandung lirih dari bibirku. Yeah, you can be the greatest You can be the best You can be the king kong banging on your chest You can beat the word You can bear the war You can talk to God, go banging on his door
27
28
Bethari Berlianti
Till the song kickin‟ in and I‟m ready to go I‟ve got my moon boots on Moon Boots #3
29
N
amaku Isaac Ford, aku matematikawan, dan aku suka astronomi. Aku sedang dalam misi mencari alternate universe.
Segerombolan mahasiswa mendekat, memamerkan senyumsenyum yang tak kumengerti, mengepalkan tangan mereka. Aku tahu senyuman Ana yang senang setiap saat melihatku. Senyum menunjukan suatu perasaan yang dihasilkan oleh hormon endorfin akibat adanya pemicu emosional, yang mereka sebut dengan kesenangan. Lalu apakah mereka senang ketika melihatku, seperti Ana melihatku? Sepertinya tidak. Ada yang salah pada hipotesisku. ―Hai, Icey!‖ ucap seseorang yang berdiri terdepan. ―Icey? Maaf namaku bukan Icey, namaku Isaac Ford. Kau salah orang.‖ ―Wow! Kau mau kemana, Icey? Kita belum selesai main-main.‖ ―Maaf aku sibuk. Aku tak ada waktu main-main.‖ ―Nerd! Aku tak sedang meminta ijinmu untuk mengajakmu bermain!‖ serunya menyambar kerahku, dan melemparkan hantaman ke wajahku. BUK! Aku terjatuh, dan bisa kudengar tawa mereka. Pipiku panas. Tapi aku harus segera bertemu Prof.Paddington. Akupun bangkit dan, ―WOW! Kau masih mau bermain?!‖ pekiknya di telingaku. Beberapa temannya mengerubungiku, memegangiku, memukuliku, dan menendangiku. Ah. Sakit. Hentikan! Permainan macam apa bisa menyakitkan seperti ini? Penciptanya pasti masokis. Aku tak mau bermain. Bisa kurasakan aliran dingin di pelipisku, menetes mengenai kemejaku, jahitan Ana. Aku tak sanggup melawan, juga tak sanggup kabur, hingga tiba-tiba kudengar suara pria lain berteriak. ―HENTIKAN!‖ Seketika mereka berhenti. ―Oh Ethan!‖ seru salah satunya. Aku menoleh menahan sakit, menatap pria yang telah hebat membuat mereka berhenti. Kudapati seorang pria mungil berkulit pucat, bermata bulat dan
30
hitam pekat, berambut hitam dengan potongan rapi, dan berbibir merah tebal. ―Jangan ganggu dia!‖ ucap pria mungil itu, ―Kau ingin aku lap…‖ ―Baiklah. Baiklah,‖ ucap salah satunya, ―Kalau bukan karena keponakan Cambridge, pasti sudah kuhabisi kau. Ayo pergi!‖ Gerombolan itu pergi, meninggalkanku bersama pria yang kuduga bernama Ethan. Ia memungut kacamataku yang terjatuh, memasangkannya perlahan. ―Lain kali jika mereka mendekat, segera berlari!‖ ujarnya memberikan sapu tangan. Ia tersenyum. Manis sekali. Dan berbaliklah ia, meninggalkanku dengan senyum menggantung di bibir. Endorfin ini bekerja. Dia membuatku senang. I‘m gonna leave this place I made a snap decision Music rock n‘ roll membahana. Aku sudah berkata pada Abby, housemateku, bahwa aku benci keramaian. Abby menahan buku agendaku, ia takkan mengembalikan jika aku tak ikut pesta dansa. Abby, Steven, dan Deon telah menghilang dari pandangan, sibuk mencari wanita yang bisa diajak berkencan. Saat-saat seperti ini aku rindu Ana. Rindu adalah sebuah perasaan ingin bertemu kembali. Aku rindu buku agendaku, ruang eksplorasiku, kapur-kapurku. Aku rindu ... ―Hai!‖ seseorang menyapaku membuatku tersadar dari lamunan. ―Hai,‖ jawabku ketika sadar pria yang kuduga bernama Ethan berdiri di depanku. ―Bertemu lagi,‖ ujarku yang membuatnya tersenyum manis. Aku rindu senyumannya. ―Oh iya!‖ Kurogoh saku dalam jasku. ―Ini sapu tanganmu. Sudah bersih.‖ Ia meraih sapu tangannya dan bisa kurasakan kelembutan telapak tangannya yang tak sengaja bersentuhan denganku, menyambarkan suatu setruman cepat di hatiku. A-apa ini? Apa ia baru saja menghantarkan listrik stastis? Atau ia memiliki sumber listrik? Mata bulatnya menatapku lucu, seakan sedang menonton Charlie Chaplin di parade-paradenya.
31
Ini sungguh suatu rasa yang berbeda. Seumur hidupku tak tahu aku eksistensi perasaan ini. Aku penasaran, dan aku kecanduan. ―Ethan. Ethan Eleanor. Music & Art faculty. Jurusan Musical Opera,‖ ucapnya mengulurkan tangannya, pertanda ingin berjabat tangan denganku, mengenalku lebih. ―Namaku Isaac Ford. Aku seorang matematikawan, dan aku suka astronomi. Aku sedang dalam misi mencari alternate universe.‖ Malam pesta dansa itu, secara resmi kumengenalnya, kuceritakan semua hal yang aku tahu padanya. Ia membuatku ingin berbagi dunia bersamanya. I‘m gonna find another earth And start my own religion ―Wajahmu cerah bak mentari hari ini, Ethan.‖ Ethan tertawa mendengar gombalan yang baru saja dilontarkan Isaac. ―Darimana kau belajar merayu, Isaac?‖ tanyanya tersenyum. ―Opera sabun. Abby menontonnya semalam,‖ lanjut Isaac membenarkan kacamatanya. ―Oh. Kau lucu sekali, Isaac.‖ Ethan menunduk wajahnya menahan tawa. Wajah pucatnya merona, membuat listrik kembali mengalir dalam tubuh Isaac. Ini benar-benar teka-teki besar yang belum terpecahkan. ―Apa yang sedang kau lakukan, Ethan?‖ tanya Isaac mengganti topik. ―Menyusun drama musikal.‖ ―Oh. Apa yang membuatmu senang pada drama musikal, Ethan?‖ ―Hmm. Seperti dirimu, Isaac, melalui drama musikal, aku bisa menemukan alternate universe. Aku lebih hebat darimu, Isaac. Aku menciptakan alternate universeku sendiri.‖ Dank! Sebuah ilmu baru ia pelajari hari ini dari teman barunya, baru jika 1 bulan terakhir ini bisa disebut baru. Bisakah aku menciptakan alternate universeku sendiri? Dunia yang benar-benar baru, tanpa aturan, tanpa teritori, tanpa batas. Tapi bukan sekarang. Aku harus menemukan alternate universe
32
yang ada dahulu, menemukannya.
lalu
mempelajarinya.
Ya,
aku
harus
Yeah, I‘m shooting through space Where there ain‘t no division ―Tidak. Tidak! Bukan!‖ Ethan berbicara pada kalbunya. Diambilnya buku dari atas meja, dibukanya kasar dan buruburu, membaca beberapa baris, dan ―AH, TERNYATA!‖ Dengan cepat Isaac meraih kapurnya, menulis angka, atau apalah itu yang hanya Isaac tahu artinya. Ethan memperhatikan Isaac dengan penasaran hampir satu jam, bertanya-tanya apa yang sedang diselesaikan Isaac. Isaac menulis bersemangat, menimbulkan decitan-decitan ngilu di telinga. Adrenalin terus terpacu. Ethan bangkit dari kursi, mendekat, melihat Isaac yang terus menari-nari dalam dunianya, hingga akhirnya. TAK! Isaac menjatuhkan kapurnya, tubuhnya terdiam dengan tangan terangkat di udara. ―Alternate universe,‖ ucapnya lirih. Isaac membalik badannya dan mendapati Ethan berdiri di belakangnya. ―A-ada apa, Isaac?‖ tanya Ethan gugup. ―Aku menemukannya, Ethan.‖ Isaac langsung meraih badan mungil Ethan, membenamkannya dalam pelukan. ―Aku menemukannya! Aku menemukannya, Ethan!‖ tawa membahana di Ruang Eksplorasi. Ethan yang tak begitu pahampun turut bahagia. Mereka bersorak-sorak. Alternate universe telah ditemukan. I‘m gonna see some shapes You won‘t see on the television Dingin merangsuk dari celah jendela. Mereka terdiam membisu, hanya suara rintik hujan yang menemani. Isaac terus mengamati Ethan seakan menelanjanginya, dengan tangan
33
mereka yang tak sengaja terkait. Ethan merasa malu, menundukan wajah memerahnya. ―Housematesmu mana, Isaac?‖ tanya Ethan mencairkan suasana. ―Mereka libur musim panas, Ethan.‖ ―Kau tak pulang, Isaac? Kau tak merindukan Ana?‖ tanya Ethan menarik tangannya, namun Isaac tak melepaskan. ―Untuk apa aku pulang, Ethan? Jika yang aku rindukan ada di hadapan?‖ ―Aku-‖ Ethan bangkit dari kursi, merasa bersalah akan apa yang belum terucapkan. ―-sebaiknya pulang, Isaac.‖ ―Ethan!‖ Isaac ikut bangkit dan menarik tubuh mungil Ethan, menguncinya di antara meja makan dan dirinya. ―Is-saac,‖ ucap Ethan terlampau terkejut. ―Kau tahu kan apa yang kau rasakan padaku adalah ilegal dan tabu? Kita tak-‖ ―Ini pertama kalinya aku merasakannya, Ethan.‖ ―Tapi, Isaac, Ana?‖ ―Aku menikah karena itu merupakan fase yang harus aku lalui, lahir, sekolah, bekerja, menikah, beranak, dan mati. Tapi aku tak mau begitu, Ethan. Aku mau meruntuhkanya. Untuk itu aku mencari alternate universe, Ethan, dimana tak kan ada yang menyalahkan jika kita bersama.‖ ―Tapi-‖ Isaac merenggut bibir Ethan, mencengkeram rahangnya, menyesap semua rasa. Ethan yang terkejut menjadi tak berdaya, toh ini yang sesungguhnya ia inginkan. Belenggu dalam hati mereka telah terurai, terlepas, terbebas. Gelora yang mereka tahan, tersampaikan sempurna. Mereka memadu cinta dalam sayup-sayup rintikan hujan. The countdown started on the day we parted Leaving you is hardest Angin malam membelai-belai, kunaikan selimut sedikit ke atas, mecegah dingin menyapa tubuh polos kami. Gorden lelambaian. Harum tanah menyeruak mengisi ruangan. Aku berbaring begitu nyaman dalam pelukan pria yang beberapa bulan terakhir ini mengisi seluruh celah hatiku. Kuamati wajah naif Isaac dalam
34
tidurnya. Ini pertama kali kutatap wajahnya tanpa kacamata yang menghias. Tampan. Selama ini tak ku sadar bahwa ia setampan ini. Kacamata tebalnya, sisiran rapi rambut blondenya, dan style pakaiannya yang begitu dull, telah menenggelamkan ketampanannya. Apalagi tindak-tanduknya yang begitu kuno. Kunaikan tanganku berusaha meraih wajahnya, mengusap, namun tiba-tiba matanya birunya terbuka, dan diraihnya tanganku cepat. ―Ethan, aku-‖ belum selesai Isaac berkata, ―DEMI TUHAN, ISAAC FORD!‖ kami menoleh cepat pada sumber suara. ―Ana,‖ seru Isaac lirih. ―Kalian-‖ kaki Ana bergetar melihat apa yang ia lihat, ―menjijikan!‖ Airmata mengalir dari ujung matanya. Aku segera bangkit, perasaan bersalah mencuat dalam hatiku. Ana cepatcepat pergi meninggalkan kami dengan ekspresi penuh rasa jijik. Aku panik, namun saat aku menoleh pada Isaac, ia justru menyamankan posisi tidurnya, tak berniat melakukan apa-apa. Mungkin baginya tak ada yang salah telah terjadi. I‘m a man on a mission I‘ve built a rocket to the sky Gonna say goodbye Gonna cut off all transmission ―Is-saac,‖ panggil Abby ragu-ragu ketika melihat Isaac berjalan melalui aula, menenteng buku-buku, ―Ethan-‖ ucapnya terputus. ―Ada apa dengan Ethan?‖ tanya Isaac seketika khawatir. ―Taman belakang, air mancur Hyacinth-‖ Wajah Abby mengisyaratkan sesuatu yang buruk terjadi pada Ethan. Tanpa pikir panjang segera dijatuhkannya buku-buku itu, berlarilah ia melesat menuju air mancur Hyacinth. Dilewatinya lorong-lorong dengan banyak pasang mata yang menatapnya penuh rasa jijik, seakan melihat tumpukan kotoran teronggok di depan mereka. Isaac tak mempedulikan itu, yang ada dipikirannya hanya Ethan, dan ketika Isaac tiba di air mancur Hyacinth...
35
―Ethan!‖ Isaac berlutut di depan tubuh Ethan yang terekspos sinar mentari, luka-luka menghiasi kulit pucatnya. Ethan membuka mata perlahan. ―Isaac.‖ Sebuah senyuman manis merekah di bibir merahnya yang berdarah. ―Mengapa mereka tega melakukan ini padamu, Ethan?‖ ―Aku akan segera sembuh, Isaac.‖ ―Mengapa mereka sejahat ini padamu, Ethan?!‖ ―Aku baik-baik saja, Isaac.‖ ―MENGAPA DUNIA INI BEGITU KEJAM?!‖ ―Isaac, sudahlah...‖ I‘m in a far off place That‘s stranger than a distant land I cut my parachute off Oh, to see if I could stand Aku berjalan perlahan melalui pintu utama rumah Isaac yang tak terkunci. Sudah tujuh hari aku tak bertemu setelah insiden pelecehan yang aku alami karena mereka mengetahui orientasi kami. Teman-temannya satu persatu pindah, mungkin karena tak ingin dikira homosex, atau mungkin jijik, atau entahlah. ―Ethan,‖ panggilku lagi yang tak juga mendapat jawaban. Kuberhenti sejenak di depan Ruang Eksplorasi Isaac. Tanganku terangkat menyentuh handle pintu. Seketika jantungku bergenderang keras. Sesuatu membuatku begitu ketakutan yang tak terdefinisikan. Sangat hati-hati kubuka pintu itu. Suara decitan khas pintu tua menelisik keheningan. Dan ketika pintu mulai terbuka dalam penglihatan yang terbatas.... ―ETHAN!‖ BRUK! Aku tersimpuh. Jantungku seakan berhenti berdetak, tak berfungsi, terpelentang, meloncat keluar dari dada. Mataku menatap nanar pada apa yang aku saksikan di depanku. Airmataku menetes. Aku tak mempercayai penglihatanku. Aku tak mempercayai apa yang terjadi. Tubuh Isaac kaku. Di tali gantungan.
36
Dear best friend, Ethan Eleanor. Aku telah menemukan alternate universe. Sebelum seorang bayi lahir. Setelah seorang renta mati. Itu letak alternate universe, Ethan. Aku akan pergi mempelajarinya. Kan kucari cara untuk kembali, seperti halnya kucari cara untuk kemari. Tunggu aku, Ethan. Aku pasti kembali. Seseorang yang mencinta, Isaac Ford. I‘m headed for a great new world Somewhere there ain‘t no fears It‘s gonna look and sound the same Only difference is that you‘re not here Surabaya, 14-03-15
37
38
Zinta Zi
Gotta keep myself calm but the truth is you‟re gone
If You Could See Me Now #3
39
i langit yang tinggi, terdapat berlapis-lapis langit yang tersusun. Tiap lapisan langit tinggallah malaikat yang bertugas untuk menjaga keseimbangan alam. Lapisan tertinggi adalah lapisan ke tujuh, tempat dimana Baginda Besar bersemayam, kepala dari seluruh malaikat. Di langit keenam terdapat malaikat anggota Dewan Kerajaan Langit yang bertugas untuk mengevaluasi hasil kerja para malaikat pekerja yang tinggal di langit kelima sampai langit pertama. Pada langit pertama diatur tentang terbit dan tenggelamnya matahari, di mana para malaikat yang tinggal di langit ini dinamakan sebagai malaikat penjaga senja, yang bertugas untuk menenggelamkan senja atau menerbitkan dan membenamkan matahari. Ada sembilan malaikat yang menjaga senja yang tinggal di sini, yaitu, penjaga senja planet Merkurius, Venus, Bumi, Mars, Yupiter, Saturnus, Uranus, Neptunus, dan satu malaikat yang diangkat sebagai malaikat kepala, yang bertugas untuk mengkoordinir kerja para malaikat lain. Namun, bukan hanya di Kerajaan Langit, di planet bumi juga terdapat malaikat yang disebut sebagai Malaikat Penjaga Manusia, di mana tiap manusia memiliki satu malaikat penjaga. Saat ini senja di planet Bumi akan segera tenggelam, Radinka yang bertugas di divisi ini akan memulai ritualnya. Seperti biasa, di saat langit mulai memberi sinyal sebagai tanda senja siap untuk diangkat dari langit bumi, maka Radinka akan melakukan ritual demi memastikan semua berjalan dengan baik. Hal pertama yang Radinka lakukan adalah berkeliling, dia akan mengelilingi tempat ini sebelum senja benar-benar dia labuhkan. Hidup sebagai malaikat penjaga senja dan matahari terbit adalah tugas yang ia sukai, meski hal ini selalu menjadi kegiatan yang sama setiap hari. Tapi ini adalah tanggung jawab besar, memastikan setiap wilayah memperoleh bagiannya masingmasing, mengatur kapan jadwal terbit dan tenggelamnya matahari di suatu daerah. Seperti kapan terbit matahari di negara bagian Eropa, Amerika, dan Afrika atau daerah terpencil lainnya yang mungkin tidak terdapat di peta manusia. Setelah, hal itu selesai dia lakukan, kini dia siap untuk melabuhkan senja. Radinka menggerai awan putih yang menghalangi pandangannya terhadap bumi, melihat sekeliling, memperdekat radius pendengaran dan pandangannya.
D
40
―Senja akan segera berlabuh.‖ Terdengar suara perempuan yang tampak mendesah, Radinka menaikkan radius pendengarannya. ―Kenapa cepat sekali?‖ kata perempuan itu lagi. Radinka terus saja memandangi perempuan itu, ada rasa yang berbeda yang dia rasakan. Jantungnya berdetak lebih cepat nyaris tanpa spasi. Ada hasrat untuk membuat senja lebih lama bertahan, tapi menyalahi aturan dari Kitab Besar akan membuat alam tidak seimbang. Dia lalu melanjutkan ritual penenggelaman senja dan menggantinya dengan langit malam. Perempuan itu pun pergi ketika senja telah berlabuh. Radinka terbang meninggalkan tempat kerjanya dengan sayap yang lebar, mengelilingi langit menuju pos di mana dia harus melaporkan tugas yang telah dikerjakan hari ini, biasanya berjalan lancar, tapi entah kenapa pikirannnya masih terus terbawa oleh perempuan tadi. Perempuan yang berkulit putih dengan wajah tirus dan muka pucat itu, dari raut wajahnya Radinka tahu dia sedang bersedih. Suasana tampak sangat sibuk, karena malaikat pekerja di divisi lain juga melaporkan hasil kerjanya. ―Permisi... Maaf, kau yang menjaga perempuan yang memperhatikan senja tadi sore?‖ Tanya Radinka pada malaikat penjaga divisi manusia yang bernama Heracless. Dia tampak heran ―Kenapa mempertanyakan hal yang bukan urusanmu?‖ ―Aku hanya ingin tahu saja.‖ ―Kamu tahukan, kode etik setiap malaikat? Apalagi malaikat penjaga manusia sepertiku.‖ ―Tidak bisakah kau memberitahuku? Namanya saja, apa tidak bisa?‖ ―Aku takut murka dari Baginda Besar.‖ Radinka terlihat makin gusar mendengar kata-kata dari malaikat itu. Entah mengapa. ―Kenapa tidak terpikirkan dari tadi?‖ Radinka memutuskan malam itu untuk terbang ke bumi manusia, dia penasaran dengan perempuan tadi, perempuan yang telah menggetarkan seluruh ruang hati, hingga sayap seakan rontok menahan getaran yang begitu hebat. Ini pertama kalinya Radinka mengunjungi bumi, tempat yang biasanya hanya ia pandang jauh di balik langit senja.
41
Radinka mendapati perempuan itu di kamar kosnya yang sempit, hanya satu ranjang dan meja yang menyatu dengan lemari pakaian, serta bunga mawar putih yang di taruh dekat dengan jendela, perempuan itu sedang memegang jarum suntik. ―Apa yang kau lakukan?‖ Kening Radinka berkerut, perasaannya tidak enak. Perempuan itu menatap bunga mawar putih yang hampir layu dengan tersenyum. Dia lalu menancapkan jarum suntik di lengan kirinya. Sesaat perempuan itu kejang, keringatnya berpeluh, seluruh tubuhnya gemetaran menahan rasa sakit, ia limbung, terjatuh. Tapi sebelum tubuhnya menyentuh lantai, Radinka dengan sigap menahannya, Ada rasa yang menyembul kala Radinka melakukan itu. Perempuan itu tiba-tiba terbangun, dia merasakan kehadiran seseorang. Radinka pun memberanikan diri memeluk perempuan itu walau dia tahu, perempuan itu tidak melihatnya. Perempuan itu merasa tersentuh, jantungnya berdetak cepat merasakan hal yang tak bisa ia gambarkan. ―Siapa kau?‖ Perempuan itu penasaran, namun tubuhnya terlalu lemah. Dia pun terlelap di pangkuan Radinka. Ini tidak benar, tapi aku akan menjagamu. Ada rasa yang dia rasakan, jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Detik seolah berhenti, kala ia menatap wajah perempuan itu. Seketika itu, tubuh Radinka terpelanting, terhempas jauh dari bumi. ―Apa kau tahu yang telah kau lakukan?‖ Baginda Besar bertanya dengan penuh kewibawaan. Radinka diam. Kini dia berada di mahkamah para malaikat, tempat penghakiman bagi pelanggar aturan kelas menengah. ―Kau tahu isi Kitab Besar?‖ ―Ya, Baginda Besar.‖ ―Kau tahu mencampuri tugas malaikat lain adalah pelanggaran, meninggalkan Kerajaan Langit adalah pelanggaran, dan mencampuri urusan manusia adalah pelanggaran. Bagaimana bisa kau melakukan tiga pelanggaran berat sekaligus?‖ ―Aku tahu, Baginda Besar. Aku salah.‖ ―Kau dihukum, dipindah tugaskan sebagai malaikat pekerja.‖ Radinka berjalan lesu, memikirkan tugas yang baru yaitu mencuci jubah para malaikat. Tapi bukan itu yang dia sesalkan, dia tidak bisa lagi melihat perempuan itu. ―Dia bernama Allea,‖ bisik Heracless. Allea, nama yang indah….
42
―Dia menjadi pecandu narkoba karena orang tuanya bercerai, dan suaminya memilih pergi ketika tahu dia yang sebenarnya.‖ ―Kenapa kau tidak mencegahnya? Kenapa kau membiarkannya menjadi pecandu seperti itu?‖ ―Aku selalu membisikinya, tapi nafsu menutupi mata hatinya.‖ ―Lalu apa yang akan kau lakukan selanjutnya?‖ ―Entahlah, aku hanya mengikuti alur takdir dan nasib yang dipilih oleh Allea. Manusia adalah makhluk pilihan, kita hanya bertugas untuk menunjukkan jalan padanya. Namun tentu semua pilihan ada di tangannya. Kau mengerti?‖ Radinka tertunduk. Heracless pergi, terbang menjauh setelah mengantar Radinka sampai di pos yang baru. Kamp malaikat pekerja, kasta pekerjaan terendah bagi para malaikat. Yang bertugas mengurusi segala seluk-beluk urusan para malaikat lain di Kerajaan Langit. Radinka termenung memandangi Allea dari balik langit kelam. Radius pendengaran tak bisa lagi dia gunakan, ini termasuk bagian dari hukuman atas kenekatannya memasuki area yang bukan urusannya. Hanya penglihatan yang tanpa batas yang masih dimilikinya, yang menjadi jendela pertemuannya dengan Allea. Dari kejauhan dia melihat Allea menangis menatap senja di tepi tebing. Tolong jangan menangis Allea, itu melukaiku. ―Apa yang harus kulakukan?‖ kata Allea dengan tubuh yang gemetar sambil menengadahkan kepalanya pada langit ―Ini bukan keinginanku, tapi aku pun tak bisa mencegah ini terjadi padaku. Maafkan aku, tapi aku ingin lepas dari ini. Bagiku tidak ada lagi jalan untuk kembali. Aku sudah sangat jauh. Ibu, Ayah, maafkan aku.‖ Allea lalu menenggak beberapa pil putih yang diambil dari saku celana denimnya. Dia kejang-kejang, buih keluar dari mulutnya, bersamaan dengan itu, malaikat Helios yang bertugas sebagai malaikat pencabut nyawa bersiap untuk mengeluarkan roh yang bersemayam di tubuh Allea. Secepat kilat Radinka terbang turun ke bumi untuk mencegah malaikat Helios, dia meninju malaikat Helios hingga terpental jauh. ―Bangun Allea, bangun!!!!‖ Radinka mengguncangkan tubuh Allea berkali kali, namun Allea tetap diam, tubuhnya terasa sangat dingin.
43
―Kau melakukan kesalahan yang fatal!‖ Dua orang malaikat berjubah merah menjemput paksa Radinka. Kini Radinka berada di dalam Mahkamah Tingkat Tinggi. Sebuah tempat persidangan bagi para malaikat yang bermasalah dengan kesalahan yang berat. ―Kau melakukan kesalahan yang sangat besar, Radinka!‖ kata Baginda Besar menggelegar, sampai-sampai petir bergemuruh bersahut-sahutan. ―Maaf Baginda Besar, aku tidak bermaksud melakukannya. Tapi, entah kenapa ada sesuatu yang mendorongku untuk menolong perempuan itu.‖ ―Kau tahu, malaikat tidak boleh menggunakan naluri dalam bekerja?‖ ―Aku…..aku… aku mencintainya, Baginda besar.‖ ―Apa katamu? Sungguh lancang dirimu!!!‖ Baginda Besar berang, suaranya menggelegar sekali lagi. Petir menyambar dan bergemuruh. ―Aku tidak bisa membohongi perasaanku, maafkan aku Baginda Besar.‖ Radinka berlutut di depan Baginda Besar, namun hal itu sama sekali tidak mengubah Baginda Besar. ―Baiklah, aku akan menghilangkan seluruh kekuatanmu.‖ Radinka merasakan kejang sesaat, lalu limbung tak sadarkan diri Oh if you could see me now It was February 14 valentine‘s day The roses came but they took you away Tattooed on my arms is charm to disarm all the harm Gotta keep myself calm but the truth is you‘re gone Lagu itu berkumandang dengan jelas di sebuah toko bunga. Hari ini tanggal 14 Februari: hari Valentine. Tidak heran toko bunga itu ramai dengan pengunjung. ―Anda mau bunga apa?‖ sapa pemilik toko ―Bunga mawar putih,‖ kata Radinka pelan. Dia lalu berjalan memasuki sebuah gerbang putih yang tak jauh dari toko bunga itu. ―Semua ini salahku, aku telah menjadi manusia, tapi sayang takdir tidak menyatukan kita. Aku mencintaimu.‖ Katanya sambil menaruh bunga mawar putih di atas gundukan tanah yang
44
nisannya bertuliskan RIP Roosevelt Allea da Lopez. Radinka menitikkan air mata, Andai saat ini kau melihatku. Radinka lalu berdiri meninggalkan makam Allea. Namun langkahnya terhenti, dia merasakan kehadiran seseorang. ―Allea? Kau kah itu??‖ Jantung Radinka berdegup cepat. Allea memeluk Radinka. Radinka tertegun menikmati pelukan Allea. Ia tahu kalau Allea sedang bersamanya. ―Aku juga mencintaimu, terimakasih dengan kebaikanmu selama ini. Jaga dirimu baik-baik‖ Allea pun terbang meninggalkan Radinka.
45
46
Qiny Shonia
No, I can‟t look down I‟m trying to fight the feeling I will fall to the ground if I ever see you „cause I feel like I‟m walkin‟ on a tightrope Man On Wire No Sound Without Silence
47
Another stranger. Atau mungkin, bukan. Setelah sekian lama, kuputuskan untuk duduk di satu- satunya kursi yang tersisa. Disampingnya. Lagi.
A
ku tidak begitu yakin sebenarnya. Masih orang yang sama dengan kemeja yang sama, sepertinya. Kemeja berwarna maroon dan bagian lengannya digulung sampai siku. Bedanya sekarang ada sedikit noda tinta yang membuatnya lebih mencolok. Tipikal orang yang selalu menyimpan bolpoin di saku depan kemejanya. Lalu bocor. Baiklah, kuputuskan untuk duduk di sana. Di sampingnya. Dia terlihat sangat lelah, ada sedikit lingkaran hitam di bawah matanya. Sesekali dia mengusap keringat yang mengalir di dahi. Suhu udara memang cukup panas hari ini. Memang bukan musim penghujan, tapi sudah beberapa hari ini awan cenderung kehitaman. Sebenarnya, aku benci keramaian. Hiruk pikuk. Bus yang kutumpangi memang cukup penuh. Hanya ada tiga kursi kosong saat aku naik. Pertama, jok paling belakang, namun sepertinya tinggal setengah kursi yang tersedia. Seorang anak berusia sekitar enam tahun dengan jaket tebal, kupluk, selimut tipis, dan kaus kaki di kakinya tidur di pangkuan seorang ibu paruh baya. Aku tidak tega jika harus memaksakan diri duduk di sana. Kedua, kursi dekat pintu keluar. Agak belakang memang. Seorang remaja SMP dengan…wait, make up? Does she wear make up? Gosh. Dan aksesoris yang cukup berlebihan. Handphone di tangan dan terlihat asyik menelpon seseorang, mungkin kekasihnya. Bukannya sok tahu, tapi bisa terlihat dari raut mukanya yang senyam-senyum sendiri sambil cekikikan. Dan yang paling parah, suaranya bisa membuat semua penumpang melirik ke arahnya. Beberapa penumpang terlihat tersenyum, menahan tawa, menggerutu bahkan mendelik melihat dedek ABG yang sedang dibuai asmara. Namun sia-sia, baginya sang pacar adalah segalanya. Here we go, again. Secarik kertas tebal dia sulap menjadi kipas alternatif. Setidaknya, mungkin itu yang ada di pikiran lelaki berkemeja
48
maroon dengan noda tinta itu. Yeah, i‘ve to mention that. Lelaki berkemeja maroon yang di sampingku saat ini, bukan lelaki berkemeja maroon yang berada di balik kemudi; Pak Supir. Entah apa isi map yang dia jadikan pengusir gerah versi lain yang sepertinya tidak berkesudahan ini. Bisa terlihat dari ekor mataku, lama kelamaan kibasannya semakin mengecil. Mungkin dia lelah, atau bahkan sangat lelah. Tapi, apa urusannya denganku? Yang benar saja, dia bahkan seorang lelaki asing yang entah dari planet mana dia berasal. Bisa saja dia alien yang menyamar menjadi manusia dan ingin menikmati liburannya di bumi. Atau mungkin tidak. Seorang alien pun tidak akan mau berlibur di kota yang tidak pernah mati, kota dengan hiruk pikuk yang terus bertambah dan bertumbuh setiap harinya. Kota yang penuh dengan beragam problematika yang tak kunjung usai. Namun di sisi lain, ini kota dengan jutaan manusia yang penuh pengharapan untuk memiliki kehidupan yang lebih baik. Masih dalam keadaan yang sebenarnya cukup asing, dengan orang yang cukup tidak asing karena kali kedua kami duduk dalam kursi yang bersebelahan. Tapi tetap saja, kita berdua hanya orang asing yang kebetulan berada di tempat yang sama dan dalam waktu yang bersamaan pula. Untuk kedua kalinya. Apa mungkin ini bukan kebetulan. Ada yang bilang semua sudah dtitakdirkan Tuhan. Baik itu pertemuan, juga perpisahan. Ah, aku terlalu sibuk dengan pikiranku sendiri, sepertinya. Sesekali, lelaki berkemeja maroon itu menguap dengan cukup lebar dan matanya terkantuk-kantuk hingga map yang dipegangnya jatuh. Dia tertidur.Kuraih map dan beberapa arsipnya yang tercecer. Aku tidak berniat meneliti lebih jauh, kita orang asing. Dia orang asing bagiku, begitupun sebaliknya. Tidak berhak untuk membuka sembarangan barang milik orang yang tidak kita kenal. Bisa jadi hal penting atau sangat rahasia. Sopan santun, kalau kata Ibu. Benar-benar ceroboh. Bolpoin bocor yang berbekas, map yang mungkin berisi hal penting yang terjatuh, dan tertidur di sarana umum seperti ini. Dan… apa? Suara apa itu? Ngorok. Baiklah, lelaki berkemeja maroon yang tertidur karena sepertinya kelelahan, bisakah kau pelankan orkestramu kali ini? Segera setelah aku menggerutu dalam hati, orkestra alamiahnya terhenti. Sebagai gantinya, bisa kalian bayangkan adegan yang
49
cukup klise ketika seorang perempuan dan laki- laki duduk bersebelahan dalam kendaraan umum dan salah satunya tertidur. Benar, kepalanya err… tak sengaja bersandar di bahuku yang tak cukup lebar namun cukup kuat untuk tempat bersandar. Tunggu, apa yang sebenarnya aku pikirkan? Untuk kesekian kalinya aku menyempatkan makan siang di sela jadwal kerjaku di sebuah perusahaan yang bergerak dalam industri kreatif. Dan di sini pula kami makan siang bersama. Bersama Mia teman sekantorku, dan laki- laki ceroboh yang dulu berkemeja maroon dengan map yang ternyata berisi arsip lamaran kerja. Namun sekarang berbeda, kami telah memakai kemeja yang sama. Dia memakai chino warna khaki dan vans hitam sedangkan aku memakai rok hitam di bawah lutut serta sneakers yang senada dengan baju seragam kami. ―Nanti pulang bareng, nggak?‖ Aku mengangguk tanda setuju. Laki- laki itu mendengus. Dan Mia hanya tertawa melihat kebiasaanku sejak lama ini. Ketika sedang makan, aku lebih memilih tidak banyak bicara karena mulutku penuh dengan makanan. Bukannya serius, aku sangat menikmati gado- gado yang terkenal enak se-ibukota ini. Sayurannya masih fresh, bumbunya khas, dan porsinya cukup mengenyangkan. Hampir pukul sepuluh malam aku menyambar tasku dan menunggunya di lobby. Entah tepat atau tidak, aku selalu menunggunya hingga dia selesai dengan pekerjaannya. Meski dalam perusahaan yang sama, untungnya kami berada dalam divisi yang berbeda. Aku tidak bisa membayangkan jika kami berada dalam divisi yang sama. Karena aku sadar, lelaki berkemeja maroon dengan noda tinta di bagian sakunya mulai tinggal di kepalaku tanpa permisi. Aku menyalakan iPod-ku mengatasi kebosanan yang menyapa. Who‘d have thought that I‘d here by myself? Who‘d have thought that you‘d be bad for my health? Now I know, no I know I‘m just a man on a wire
50
―Sorry ya, telat. Udah lama nunggu?‖ Dia menggenggam tanganku, mengajakku berjalan menuju menuju halte terdekat. Aku menurut saja. Merapikan kunciran rambut sebahuku, lalu memasukan iPod ke dalam tas. ―Lo marah?‖ Aku mendengus. Lalu dia mengacak rambutku sambil tertawa. Menunggu bukan hal yang menyenangkan. Apalagi satu jam tanpa pemberitahuan atau kabar sama sekali. Siapa yang tidak sebal, coba? ―Tadi ada masalah kecil, tapi Mas Bayu marahnya ga ketulungan. Semua kena semprot. Deadline besok harus beres malam ini.‖ Aku masih sibuk dengan diamku. ―Di perempatan belok kiri ada mie goreng yang katanya enak. Nyobain yuk!‖ Sial, dia tahu kalau aku tidak bisa menolak kalau diajak makan. Aku mengiyakan. Aku tahu, dia pasti mati- matian menahan tawa. Apalagi suara perutku yang keroncongan bukan tidak mungkin terdengar meski kami berada di jalanan yang cukup padat. Baiklah, aku menyerah. Nyatanya aku selalu kalah. Namanya, Andromeda Gandhi. Lelaki ceroboh yang kutemui di bus beberapa tahun lalu. Hingga akhirnya beberapa minggu kemudian kami dipertemukan Tuhan dalam perusahaan yang sama. Mia, yang merupakan teman sekantorku adalah teman SMA-nya. And here we are, a lovebird. Setidaknya itu yang orang lain lihat, meski kenyataannya tidak. Meski dalam hati kecilku, aku mengharapkan sebaliknya. Saat ini kita hanya laki- laki dan perempuan yang saling merasa nyaman berada di dekat satu sama lain. Itu saja. Who‘d have thought about the ‗cause and effect? Yesterday‘s love is not tomorrow‘s regret Now I know, now I know, I‘m just a man on a wire Who‘d have thought that i‘d see you with someone else ? Who‘d have thought that I‘d be in such a mess? Gabriel. Seseorang dari masa lalu Andromeda Gandhi. Mereka sedang makan siang di kafe dekat kantor. Gosh, they looked good together. And they looked so happy.
51
Aku memukul- mukul kecil dadaku karena tersedak. Mia memanggil pelayan untuk memesan lagi air putih. Aku tidak bisa menyembunyikan rasa kecewaku pada Andro. Tidak, bukan karena dia sedang makan siang sambil sesekali tersenyum dan sesekali tertawa dengan mata berbinar senang bahagia dan apapun itu. Tidak, aku tidak cemburu. Oh well, mungkit sedikit. Pun, sedikit kecewa. He lied. He lied to me. I hate liars. And he knows it. Karena aku punya prinsip bahwa berkata jujur lebih baik daripada harus berbohong. Apapun alasannya. Menurutku, berkata jujur berkata jujur tidak harus capek mencari alasanalasan basi. Sejak saat itu, Andro masih bersikap seperti biasanya. Aku pun begitu. Andro kadang memintaku menunggu untuk pulang bareng meski aku sering menolak. Selain itu, ritual makan siang bersama aku dan Mia kadang dia sempatkan meski tidak sesering dulu. Tentu saja, Andro lebih sering menghabiskan waktunya dengan Gabriel. Entahlah, aku tidak tahu jika mereka kembali bersama. Atau mungkin tidak. Aku tidak mau tahu. Kala Maryamah bukan lagi prioritas seorang Andromeda Gandhi. Aku hanya tidak mau menjadi pilihan. Meski begitu, Andro semakin giat memenuhi kepalaku. Aku selalu membukakan pintu jika ia datang. Namun sebaliknya, sejak adanya Gabriel, Andro kadang membangun tembok tiba- tiba setelah ia membukakan pintu untukku. He said he likes me. But he didn‘t say he love me. Demi Tuhan, Kala, you need to stop! ―Halo, ini Mia. Gue pake telepon kantor. Andro, lo udah di kantor belum? Kala resign.‖ But I walk that line I try to keep my senses Make it to the other side I know the consequences And I feel like I‘m walkin‘ on a tightrope Masih ceroboh, seperti dulu. Masih memakai kemeja kebanggan kami, dulu. Bedanya kemeja kami sekarang berbeda. Tepatnya kali ini aku memakai dress selutut dengan jaket jeans oversized yang kubeli bersama Mia tahun lalu. Dia tertidur,
52
dengan tas dipelukannya. Rambutnya terlihat lebih rapi kali ini. Kutebak, kali ini motornya ngadat lagi sehingga dia harus terjebak bersamaku di bus ini. Bus yang sama. Pak sopir yang sama. Sekilas tak berbeda dengan beberapa tahun lalu. Dia terbangun, mengucek matanya sebentar dan hendak menggumamkan ‗Maaf‘. ―Hai,‖ ujarku. Kusunggingkan bibirku sambil menatap matanya. ―Hai, Kala!‖ Diacaknya rambutku. Kebiasaan yang tak pernah absen ketika kami bertemu di kantor setiap pagi atau saat aku marah. Dulu. Aku berniat menangkis tangannya namun sia- sia. He did it. Hal yang semakin mengingatkanku pada hari- hari yang tak pernah bisa kulupa, hingga sekarang. Tak banyak yang kubicarakan dengan Andro meski sebenarnya ribuan kata menggunung untuk kuperdengarkan padanya. Seorang Kala harus tetap berjalan, meski bertemu dengannya di persimpangan dan berhenti sejenak. Kuputuskan untuk berhenti di pemberhentian selanjutnya, meski itu bukan destinasiku. Kuputuskan untuk membuat destinasi dan pemberhentian baru, meski harus bertemu dengan orang asing yang mungkin menjadi tak asing. Atau mungkin tidak.
53
54
Mawar Hijati
My head is full of things that I should've done My heart is heavy, and it sinks like a stone It‘s Not Right For You No Sound Without Silence
55
ku berdiri di sini, di atap gedung hotel di tengahtengah kota. Berdiri dengan kaki yang sedikit gemetar, dan keringat yang berseluncur di atas kulit kotorku ini. Jakarta tampak begitu kelam sejak senja tadi. Aku curiga, sepertinya tokoh Sukab dalam cerpen ‗Sepotong Senja untuk Pacarku‘ kembali berulah. Kembali memotong senja dengan sebilah pisau Swiss, mengantonginya lalu kabur. ―Dionisus...‖ Tiba-tiba aku mematung mendengar namaku sendiri. Pupil mataku membulat. Keringat di tubuhku seolah membeku. Lalu kukepalkan tanganku kuat-kuat sebelum menoleh ke belakang. Menoleh ke tempat di mana suara itu datang. ―Dionisus...‖ Di sana, sepuluh langkah ke belakang dari tempatku berdiri, Erana telah memaku tubuhnya. Dengan keringat yang juga membeku, dan sebuah kepalan tangan. ―Ikutlah aku pulang...‖ Bibirku gemetar. Kemudian, segala kelam dari sang langit memenuhi ruangku, juga ruangnya.
A
―Er, itu Dennis lewat!‖ Erana yang tengah menghapus tulisan di papan tulis kelas melonjak kaget ketika temannya meneriakkan nama Dennis. Lalu dengan terkaku-kaku, Erana bersembunyi di balik pintu kelas 3A. Bersembunyi dengan menutup mulutnya sendiri agar tak berteriak. Setelah Dennis berlalu dari koridor di depan kelasnya, barulah Erana keluar dari persembunyian. Ia membiarkan kepalanya keluar dari pintu, sementara seluruh tubuhnya masih tertinggal di dalam. Erana memperhatikan punggung Dennis dari kejauhan. ―Tuh, kan, pergi lagi.‖ Anak perempuan yang berteriak tadi kini telah berdiri tepat di belakang Erana. ―Yang penting aku melihatnya.‖ ―Maksud kamu punggungnya?‖ ―Biar saja, yang penting aku melihatnya.‖
56
―Ini sudah tahun terakhir. Kamu nggak takut berpisah sama Dennis tanpa dia tahu kalau kamu suka sama dia dari awal masuk sekolah ini?‖ ―Buat apa? Aku akan selalu mengekorinya. Jadi, tak akan ada perpisahan.‖ Aku berdiri di depan rumah dengan seragam sekolah yang sudah bau keringat. Rumah tampak gelap dari luar sini, seperti tak ada kehidupan. Aku berjalan menuju pintu. Kubuka kedua daun pintu dengan perlahan. Pintu berderit ketika aku memaksanya terbuka. Benar, di sini begitu gelap, di sini tak ada kehidupan. Dengan sembarang, aku melempar tas sekolahku. Kemudian aku berjalan menuju kamar. Membuka pintunya dengan cepat, dan masuk dengan mata yang tak ingin tidur. Kubiarkan kamar tetap gelap. Kemudian aku merebahkan tubuh di atas ranjang yang penuh dengan gambar bola sepak. Aku diam sejenak. Memikirkan hal yang tak ingin kupikirkan. Seperti tentang: sedang apa Ayah sekarang, dan bersama siapa Ayah sekarang. Sungguh, aku tak ingin memikirkan kedua hal itu. Kutengok jam dinding yang sedari tadi berdetak lirih. Sudah lewat tengah malam. Tiba-tiba, deru mesin mobil memecahkan lamunanku. Biar kutebak, itu pasti suara dari mobil kekasih Ayah. Dengan cepat aku menyembunyikan seluruh tubuh di balik selimut. Aku malas kalau harus melihat wajah lelahnya. Namun, tak lama, pintu kamarku terbuka. Cahaya ruang tengah pun menyerbu masuk. ―Dionisus, kau sudah tidur?‖ Lelaki tua itu, Ayahku, membuka mulutnya. Aku memilih untuk tetap bergeming dan pura-pura tidur. ―Ayah tahu kau belum tidur.‖ Aku tetap menutup mulutku lekat-lekat. ―Dionisus, kau dengar Ayah?‖ ―Aku tak suka dipanggil Dionisus. Aku tak suka nama itu. Begitu aneh.‖ Akhirnya, benteng pertahanan lidahku runtuh. ―Sudah makan?‖ Aku tetap diam. Sama sekali tidak ada hasrat untuk membalas ucapannya.
57
―Tidur nyenyaklah. Jangan seperti Ayah.‖ Jangan seperti Ayah tak pernah tidur, sebab harus menemani yang lain tidur. Aku tertawa dalam hati. ―Ayah keluar, ya...‖ Pria bersepatu hitam pekat itu membalikkan badan lalu melangkah keluar. ―Tidak bisakah Ayah berhenti?‖ Pertanyaan itu tiba-tiba saja keluar dari mulutku. Lucunya, suaraku terdengar sedikit bergetar. ―Berhenti apa?‖ ―Berhenti menjalani apa yang Ayah jalani sekarang.‖ ―Kalau berhenti, mau jadi apa kau?‖ Sekarang suara Ayah juga terdengar bergetar di telingaku. Bahkan, sepertinya lebih bergetar. ―Ayah tidak mau kau seperti aku nantinya. Karenanya, aku seperti ini. Aku ingin kau hidup seperti manusia, bukan seperti binatang,‖ lanjutnya. ―Ayah merasa seperti binatang?‖ Aku terus berbicara dengan tubuh yang masih terbungkus selimut. Tanpa sadar, bantalku telah basah. Mataku berair. ―Tidurlah, matahari sebentar lagi terbit. Kau harus tetap tidur.‖ Ayah mengakhiri kalimatnya tanpa menunggu balasan dariku. Ditutupnya pintu kamar dengan deritan kepedihan. Sementara aku, masih di sini. Dengan selimut yang dingin, juga bantal yang basah, dan mata yang memerah. ―Bagaimana Dennis? Sudah bertemu?‖ ―Entahlah, aku benar-benar kehilangan jejaknya.‖ ―Hmm lalu? Mau mencari? Atau menunggu?‖ ―Menunggu? Dia bahkan tidak pernah tahu kalau dia sedang ditunggu.‖ ―Lalu sekarang?‖ ―Sekarang, aku hanya akan mendoakannya. Apa pun yang ia lakukan, semoga bukan hal yang bisa menyakiti dirinya sendiri. Dan dia mana pun dia, semoga dia bukan sedang berada di mulut ikan hiu. Sudah dulu, ya.‖ Erana menutup panggilan dari teman semasa SMA-nya dengan wajah datar. Kemudian kembali mengerjakan tugas-
58
tugas kuliahnya di tengah hirup pikuk kantin. Erana, gadis bermata sipit ini benar-benar merindukan Dennis Dionisus. My hands, my hands are scarred by things I should've done My feet, my feet are weary from all the miles that I've run Raja siang telah lama menghilang. Malam sudah berjalan hampir sepenuhnya. Sementara aku, masih di sini, di kamar 202 di hotel berbintang ini, dengan mata yang terus terbuka, dengan helaan napas yang tiada berkehabisan. Aku menelanjangi pemandangan malam dari jendela kamar. Jakarta begitu ramai, begitu menyala. Sepertinya, Jakarta baru saja dihujani bintang. ―Dionisus... Kau tidak tidur?‖ lirih lelaki yang kini tengah terbaring di atas ranjang. Dengan tubuh yang tak terbungkus apa pun, selain selimut polos berwarna putih. ―Kau saja.‖ Satu, tiga, lima, delapan, sepuluh. Tak ada jawaban, yang ada hanya sebuah dengkuran. Aku memang sudah bisa memastikan kalau lelaki ini hanya mengigau. Kemudian, aku membalikkan badan. Mengambil jaketku, lalu kupakai lekat-lekat. Kuambil lembaran-lembaran uang berwarna merah yang berserakan di atas ranjang. Lantas kutinggalkan kamar 202 itu tanpa membangunkan lelaki yang telah membayarnya untukku. Aku harus segera pulang. Mendiang Ayahku bilang, aku harus tetap tidur di rumah walau hanya tersisa lima menit lagi untuk matahari terbit. Ya, seingatku beliau bilang begitu dulu. Namun, sulit sekali rasanya tidur di tengah kota sibuk ini. Tidur di antara lampu-lampu gemerlap, lenguhan di atas ranjang, dan rintih kelaparan dari kolong jembatan. Ya, di sinilah aku berada. Melakukan segala yang menyakiti diriku, seperti berada di mulut hiu. Erana mengaduk-aduk green tea latte yang sedari tadi tak ia minum. Sore ini Erana benar-benar sedang tidak ingin tersenyum. Sudah dua hari ini, ia kembali memikirkan Dennis. Dennis, membikin Erana mabuk rindu, padahal tak bisa bertemu.
59
Erana melemparkan pandangannya ke arah jalan raya. Walau sudah hampir gelap seperti ini, jalanan tetap terlihat sibuk. Erana terus memandangi satu per satu mobil yang saling berkejaran. Ia ingat, dulu, Dennis sudah begitu mahir menyetir mobil, walau saat itu ia baru menginjak kelas 1 SMA. Benar, Dennis memang lelaki tanpa cela di mata Erana. Erana terus membiarkan kedua matanya menjelajah jalan raya. Hingga pada satu titik, mata Erana terhenti. Membeku pada sosok di seberang jalan. Erana mematung. Ia berhenti mengaduk green tea latte miliknya, lantas berlari keluar dengan cepat. Hanya butuh tak lebih dari tiga detik agar Erana bisa sampai di tepi jalan, di seberang sosok yang membekukan kedua matanya. Sosok itu berdiri di shelter berwarna biru. Tak lama, sebuah sedan merah berhenti tepat di depan shelter. Sedan merah dengan seorang pria berkulit cerah yang duduk di bagian kemudi. Sosok itu pun lenyap. Seolah tersedot oleh sedan merah itu. Erana masih saja diam. Bahkan ketika sosok itu hilang. Memang, ia tak pernah berani untuk mengejar seorang Dennis Dionisus. ―Aku melihatnya. Kemarin, bersama seorang pria.‖ ―Kau lihat di mana?‖ ―Kau tak akan percaya kalau aku memberi tahu, Erana.‖ ―Katakan saja,‖ ―Sebuah... hotel. Dia keluar bersama seorang laki-laki dari sebuah kamar hotel.‖ Sebuah percakapan singkat dengan temannya di telepon terus berputar di kepala Erana. Dengan terberat-berat, Erana menghela napas. Ia mencoba melihat ke sekeliling lobi, berharap menemukan wajah Dennis yang tak pernah menjadi asing bagi kedua matanya. Atau paling tidak, ia bertemu dengan pria berkulit putih yang menjemput Dennis sore tadi di shelter yang sama seperti hari kemarin. Entah apa yang Erana pikirkan, hingga ia nekat menunggu di seberang shelter itu, bahkan mengikutinya sampai masuk ke hotel ini. Erana menengok jam tangannya. Sudah pukul dua pagi, tapi matanya belum juga menangkap Dennis. Berkali-kali Erana dihampiri oleh pekerja di hotel itu. Namun, Erana tetap
60
mengatakan hal yang sama dan terus memohon untuk tidak diusir. Ia hanya sedang menunggu, menunggu sebentar lagi. Hingga jarum jam menunjuk pada angka tiga, barulah kedua retinanya menangkap sosok pria tampan berkulit putih, yang sebelumnya datang bersama Dennis. ―Tuan berkulit putih, tunggu!‖ Erana setengah berlari menghampiri pria itu. ―Bisa beri tahu aku di mana Dennis sekarang?‖ She said, Open your mind, take a look within Are you happy with the world that you're living in? If not, you gotta change what you do Di sinilah aku berdiri. Di atap gedung di mana aku menyakiti diriku sendiri. Jakarta sudah sepenuhnya gelap sejak delapan jam yang lalu. Namun aku, belum juga membiarkan tubuh ini tertidur. ―Dionisus...‖ Tiba-tiba aku mematung mendengar namaku sendiri. Pupil mataku membulat. Keringat di tubuhku seolah membeku. Lalu kukepalkan tanganku kuat-kuat sebelum menoleh ke belakang. Menoleh ke tempat di mana suara itu datang. ―Dionisus...‖ Di sana, sepuluh langkah ke belakang dari tempatku berdiri, Erana telah memaku tubuhnya. Dengan keringat yang juga membeku, dan sebuah kepalan tangan. ―Ikutlah aku pulang...‖ Bibirku gemetar. Mataku terasa perih. Perempuan gila dari masa lalu ini, ternyata benar-benar ada. ―Aku tidak mengenalmu.‖ Suaraku ikut bergetar. Lidahku menjadi kaku. Jelas lidah ini tak menerima kebohongan yang baru saja aku paksakan ia untuk membuatnya. ―Tapi aku sangat mengenalmu.‖ Aku membalikkan badan. Membiarkan wajah lesunya bicara kepada punggungku. "Kalau kau sangat mengenalku, tentu saat ini kau sudah lari karena jijik."
61
Tak ada jawaban. Tak ada tanggapan. Hingga hitungan kesepuluh, kurasakan sebuah lengan memeluk tubuhku dari belakang. ―Pulanglah. Jangan lakukan apa yang menyakiti dirimu.‖ ucapnya sembari terisak-isak. If you even have to think about it It's not right, it's not right for you If you really have to think about it You got one life to love what you do ―Keluarlah dari mulut hiu ini atau tubuhmu akan habis digerogoti oleh gigi-gigi tajamnya.‖ Kurasakan, kedua mataku semakin perih. Di balik kedua pelupuk mata ini, ada segumpal hujan yang siap menganak sungai di kedua lembah pipiku. ―Aku merindukanmu...‖ lirih Erana. Tak sampai hitungan kelima, bisa kurasakan betul kedua pipiku telah basah. Kini, hujan yang selama ini menggumpal, telah berani menyiramkan dirinya ke bumi. Tak lagi sembunyi. Tak lagi lari. ―Aku juga merindukanmu, bodoh.‖ ―Er, itu Dennis lewat!‖ Teriakan itu terdengar jelas di gendang telingaku. Dengan sedikit tertawa kecil, aku terus melewati kelas milik gadis paling bodoh di sekolah ini. Bisa kupastikan, ia tidak akan berani melihat keluar. Hanya akan bersembunyi di balik pintu kelasnya, dan menutup mulutnya dengan kedua tangan agar tak berteriak. ―Yang penting aku melihatnya.‖ Samar-samar aku mendengar suara gadis bodoh itu. Lagi, aku tertawa kecil sembari terus berjalan. Berjalan jauh darinya. Membiarkannya menatap punggungku, hingga lenyap di kejauhan. Gadis bodoh itu, aku benar-benar menyukainya.
62
Novia Lelyana
Fifth, you see them out with someone else And the sixth, is when you admit that you may have fucked up a little Six Degrees Of Separation #3
63
anyak cara yang dilakukan oleh manusia untuk mengeluarkan wujud dari rasa gundah dalam hati. Berbagi cerita dengan sahabat. Menulis bait-bait berima indah. Menggemakan rantai melodi merdu dari seutas senar. Dan aku, di antara semua itu, lebih memilih untuk mencampur warna, lalu menuangnya perlahan sebagai pengganti kata-kata. Melukis, persis seperti yang kulakukan saat ini. Aku terhipnotis oleh sosok yang menatapku dari kanvas yang kulukis. Seorang perempuan dengan sepasang bola mata yang bercahaya. Meski lukiasanku belumlah tamat sempurna, tapi aku sudah dapat mengagumi setiap garis yang membentuk rupanya dan guratan ekspresi yang memberikan banyak cerita bahagia. Serta ajaibnya, aku merasa seolah ada kekuatan magis yang kemudian mengisapku ke dalam lukisan itu, membuatku terlena di ketidakterbatasan waktu. Tok tok tok. Seketika aku menoleh ke arah ketukan dari luar ruangan ini. ―Siapa?‖ tanyaku kemudian, sedikit keras. ―Ini aku, Raka‖ Menangkap suara itu, aku menyambar cepat kain putih kumal yang tergumpal di lantai. Dengan helaian itu, aku menyelimuti kanvasku, menyembunyikannya dari mata yang lain. Lukisanku tak boleh dilihat, masih belum sempurna wujudnya. ―Hai,‖ sapa tamuku dengan suara lembut begitu aku membuka pintu. ―Maaf pagi begini aku datang ke apartemenmu.‖ ―Tak apa, mengapa kau sungkan begitu?‖ Kami, aku dan Sarah, saling bertukar pandang. Tersenyum bersama di ambang pintu. Kuajak perempuan itu masuk ke dalam ruangan setelah itu. ―Seperti biasa, kamarmu tak pernah terlihat rapi, ya?‖ Sarah memandang ke seluruh penjuru ruangan yang kami tempati ini. Helaian kertas berserakan di lantai. Tumpukan kanvas menghuni satu sudut yang dibentuk oleh ujung sisi dinding yang putih pucat. Menurutku, kondisi ini normal. Tapi, ternyata, tidak bagi orang yang memiliki kehidupan yang normal. Termasuk juga kekasihku yang baru saja menyindirku.
B
64
―Sudah lama mengenalku, tentu kau seharusnya tak terkejut dengan pemandangan ini.‖ ―Aku sudah mulai terbiasa, tenanglah.‖ Sarah tertawa kecil, memandangiku dengan kilat mata gemas. Kemudian, aku merasakan hangat di sebelah pipi. Dari tangan Sarah. Ia mengusap lembut pipiku sementara sepasang matanya lurus pada mataku. Ujarnya, ―Ada cat yang mengotori wajahmu begini. Kau sedang melukis, ya?‖ Sarah lalu melempar pandangannya ke arah lain, lalu menemukan sebuah benda yang berdiri tegak, bersembunyi di balik helaian kain yang menjuntai menyentuh lantai. Ia pun menghampirinya tanpa ragu, pasti diketahuinya kalau itu adalah sebuah lukisan. ―Itu belum selesai,‖ ujarku dengan tenang. Padahal dalam hati aku meraung-raung agar Sarah tak menyibak kain itu dan melihat lukisanku setelahnya. ―Mengapa? Aku suka dengan lukisanmu, Raka. Goresan tanganmu itu selalu sanggup menyihir mata yang melihatnya. Memukau.‖ ―Tapi,‖ aku memutar bola mata, mencari sambungan kata yang tepat sebagai alasan untuk Sarah. ―Aku tahu melukis adalah caramu untuk mengekspresikan kegelisahan.‖ Aku menatap perempuan itu, mencoba untuk membuatnya mengerti. ―Sarah, aku belum mau menunjukkannya.‖ ―Kau bahkan tak mau berbagi denganku. Ada apa ini?‖ Sarah merengut. Dari nada bicaranya sangat kentara ia sebal denganku. Detik kemudian, Sarah menarik kain itu. Aku diam. Sarah juga begitu. Sama-sama kami membisu menatap satu lukisan yang belum sempurna di hadapan. ―Siapa itu?‖ Sarah memiringkan kepala. Ekspresi wajahnya kini penuh dengan tanya. ―Sambil melukis, aku akan menceritakannya, Sarah.‖ Tersenyum untuknya, aku lalu mengambil peralatan lukisku. Kuas di tangan kanan dan palet di tangan kiri. ―Miranti adalah nama perempuan itu.‖
65
Kurasa begini lebih baik, menceritakan semuanya pada Sarah sembari melukis. Kuasku lalu memberi lekuk untuk satu hidung di wajah lukisanku. Miranti. Dahulu, mendengar namanya saja jiwaku lalu tenang. Senyumnya seakan menawariku damai yang abadi. Bersamanya, tak ada lagi yang kuingin lebih dari itu. Sekarang, mendengar namanya sudah beda. Ingatku, sungguh tulus aku memberinya hati ini, dan ia mengembalikannya setelah dihancurkan milikku ini sebelum ia pergi. Rasanya sakit. ―Ia adalah masa laluku.‖ Dengan pelan aku berujar, ekor mataku menunjuk ke arah kanvas. Setelah mendeskripsikan lukisan itu, aku tahu, udara di sini seketika terasa terlalu pekat untuk dihirup. Sarah bermuram durja, tak sama lagi kudapati air wajahnya yang mengalir bahagia saat aku menyambutnya di ambang pintu tadi. Kuperjelas dua lesung pipit milik Miranti di kanvasku kemudian. Rasanya, semua ingatanku tentang dirinya, kutuang penuh hingga menjadi potret diri perempuan itu. ―Matamu berduka saat melihat lukisan itu.‖ Sarah berkata pelan. Berhati-hati, tepatnya. ―Karena ia aku sempat bertanya pada diri sendiri. Apa alasanku untuk memilih bersuka daripada berduka?‖ Karena Miranti, hatiku mati. Terkadang aku bertanya, kalau hati ini sudah mati, lalu untuk apa jantungku masih saja berdenyut? Mengapa tidak semua milikku ikut mati? Mengapa aku tidak juga mati? Cerita usang itu tak lagi kuperbolehkan menggempur ruang pikirku. Kualihkan perhatian kembali pada lukisan. Kupadukan catku untuk mendapat warna kelabu sempurna. Memberi pulasan untuk tiga bayangan di sudut-sudut matanya. Tiba-tiba, ketika aku tengah menggerakkan kuas, ada rasa hangat yang menjalari isi rongga dadaku. Alam khayalku kembali ke ingatan yang lama. Terngiang kalimat favoritku bersama Miranti dulu. Aku dan kamu adalah dunia. Selalu bergandengan tangan. Hidup bersama. Selama itu kita adalah dunia. Segalanya.
66
Sesudah mengatakan itu, Miranti tersenyum padaku. Saat itu juga, aku melihatnya seperti malaikat penolong, menjanjikan indah surga selamanya. Kupikir, selamanya. Ternyata, sementara. Bait manis itu tak menyelamatkan kami. Tak bisa membuatnya betah tinggal di dunia yang kami ciptakan. Miranti pergi, mencari dunia yang menurutnya lebih nyaman, yang bisa memberi segalanya lebih dari sanggupku. Saat itu juga duniaku langsung runtuh. Tak tahu harus di mana lagi aku memijakkan kaki. Kudengar Sarah menghela napas berat. Ucapnya, ―Aku tahu, Miranti adalah orang yang dulu pernah mengajarimu bagaiman sakitnya patah hati. Begitu, kan?‖ Aku menarik kedua sudut bibirku untuk menutup rongga tanya milik Sarah, sedang tanganku meraih kuas dengan ukuran yang lebih kecil, mengganti sebelumnya. Aku pun menorehkan kuas itu, membentangkan garis leher Miranti. Ada empat yang aku buat, agar semakin nyata sosok yang ada di kain kasar nan pucat itu. ―Aku sudah mencoba untuk pergi dari dunia itu, kenyamananku, asal kau tahu.‖ Aku melanjutkan percakapan, namun fokus tangan dan mataku tercurahkan sepenuhnya untuk melukis. ―Semua terang dan gelapnya hidup kukunjungi, berusaha untuk mencari kedamaian. Dan, orang yang mengenalku dekat berduyun-duyun memberiku nasihat penyemangat.‖ Mereka, orang yang berada di sekitarku, banyak memberi nasihat. Bahwa masih ada kelanjutan cerita selagi napasku masih ada, patah hati bukan berarti harus mati. Rasa perih yang menyayat hati ini bukanlah siksaan dari kehidupan selanjutnya. ―Lalu, aku menemukanmu, Sarah. Saat aku terperangkap di dalam lingkaran keputusasaan.‖ ―Ah, ya,‖ Sarah melebarkan mata. ―Saat pertama kali kita bertemu itu, aku membantumu yang hampir kehilangan kesadaran. Aku ingat benar.‖ Aku tersenyum simpul kemudian. Memang, setelah halaman ceritaku bersama Miranti berakhir, Sarah adalah tokoh yang bermain bersamaku di bab selanjutnya.
67
Ketika itu, masih dini hari. Langit masih hitam, hanya pendaran cahaya dari lampu jalan saja yang menuntunku. Kakiku melangkah terhuyung, buah tangan setelah menghabiskan waktu di bar, mencoba mengenyahkan kenangan lama yang menggerogoti akal sehat. Dibekap rasa pengar, entah logika dari mana aku bisa berharap agar sampai ke rumah dengan selamat. Perutku berguncang tak lama kemudian. Keringat dingin mengembun di pelipis. Aku berhenti sejenak, menyandarkan tubuhku di satu tembok rumah yang asing. Rasanya, duniaku berputar lebih cepat, pandanganku makin kabur, dan suara mendenging terperangkap di telingaku. Tak lama dari itu, samar aku menangkap bayangan datang menghampiriku. Bukan, itu bukan malaikat maut yang hendak menjemputku, aku tahu. Aku tak merasa ketakutan saat sosok itu mulai merendahkan tubuhnya dan mendekatkan wajahnya ke arahku.Ia seorang perempuan. Ia bertanya padaku, dan aku tak terlalu ingat jawaban apa yang kuberi padanya. Lalu,ia tanpa ragu membantuku. Cepat ia memberhentikan satu taksi ke arah kami, setelah itu aku dipapahnya masuk ke dalam mobil biru itu. Dan aku tak tahu cerita selanjutnya. Semuanya hitam, begitu saja. Keesokan harinya, aku terbangun di tempat yang tidak asing. Kamarku. Hal pertama yang menyapaku adalah sinar terang yang menembus kaca jendela, cahaya siang. Sembari menahan berat kepala yang membebani, aku meraih ponsel yang ada di meja lampu tidur untuk melihat jam, angka mana yang tengah ditunjukkannya. Dan, aku mendapati selembar stickynote tertempel di layar ponselku. Ada barisan kalimat yang meminta untuk dibaca. Kalau kau perlu bantuan, hubungi saja satu kontak nama di ponselmu Sarah Pesan itu yang akhirnya membawa kami ke pertemuan selanjutnya. Aku menerima bantuan Sarah. Tak hanya sekali, berkali-kali setelahnya. Dari perempuan itu, aku mendapat segenggam kenyamanan. Waktu kembali ke kehidupan sekarang. Aku masih berdiri di sebarang Sarah dalam jarak serengkuhan lengan saja. ―Kau bisa mengalihkan kesedihanku, Sarah.‖
68
Perempuan itu tersenyum getir. ―Lalu, mengapa kau masih melukis wajah Miranti saat ini?‖ Dengan meletakkan peralatan lukis dari tangan, aku menghampiri meja kayu yang mengisi ruang di satu sudut kamar. Meraih sebuah kertas berwarna krem di atasnya. ―Aku melukisnya karena ini. Kutemukan di kotak surat pagi kemarin.‖ ujarku sembari menyodorkan itu untuk Sarah. Sementara Sarah memerhatikan dan membaca apa yang ada ditangannya, aku kembali mengambil kuasku. Memperjelas ruasruas di lima jari Miranti. Lukisanku hampir usai. ―Ini undangan pernikahan Miranti dengan calon suaminya. Kau ingin memberi lukisanmu itu sebagai bingkisan nanti?‖ tanya Sarah dengan sepasang mata meminta keyakinan. ―Bukan. Aku hancur karena isi dari kertas itu.‖ Aku memutar tubuh dari kanvas untuk berhadapan dengan Sarah, lalu menggeleng pelan.―Kau mengalihkan kesedihanku, tapi ternyata tak bisa menggantikan Miranti di hidupku.‖ Mendapati kabar bahwa Miranti akan menikah, aku kacau seketika. Mimpi-mimpi buruk yang dulu kupikir telah terkubur dalam, ternyata bangkit kembali. Ternyata, Miranti masih hidup di dalam harapku. Meski aku tahu ia selamanya tak bisa kuharap untuk datang padaku lagi. ―Maafkan aku, Sarah. Percayalah, aku bersungguh-sungguh untuk mencintaimu, hanya mengingatmu. Tapi…‖ ―Cukup,‖ Hanya suara isakan yang kemudian menggema rendah di ruangan ini. Terdengar begitu menyesakkan, dan aku tahu, sudah bertumpahan air mata di sekitarku. Bulir-bulir kesedihan itu jatuh dan hancur untukku. ―Kurasa ini akhir dari kita.‖ Sarah menyeka air matanya kasar, ia masih sesenggukan. ―Tak mungkin aku berhubungan dengan lelaki yang bahkan di kepalanya masih dipenuhi oleh bayangan perempuan lain.‖ Percakapan kami diakhiri dengan langkah pergi milik Sarah. Pintu berdebam keras setelahnya. Aku kembali pada lukisanku, menambahkan enam helai rambut selengan Miranti. Rambut yang dulu dapat kubelai dan kurasakan kelembutannya. Hanya ini, dan kemudian lukisanku sempurna sudah. Tapi, lukisanku tak menyelesaikan semuanya.
69
Tersisa satu pertanyaan yang kini mengusik pikirku. Sebenarnya, aku harus menyesal karena susah melupakannya atau telah gagal memilikinya? Satu yang kutahu pasti, aku sudah berada di tingkat paling akhir dalam keputusasaan cinta. First, you think the worst is a broken heart What‘s gonna kill you is the second part And the third, is when your world splits down the middle And fourth, you‘re gonna think that you fixed yourself Fifth, you see them out with someone else And the sixth, is when you admit that you may have fucked up a little
70
Bethari Belianti
Sometimes words just ain‟t enough For this love that‟s more than love I‟ve never seen anything quite like you
Never Seen Anything Quite Like You No Sound Without Silence
71
aru saja aku mengirimkan bidadari kecilku ke alam mimpi. Kunaikkan selimut hingga menutupi hampir seluruh tubuh mungilnya, menyisakan wajahnya saja. Kubelai rambut hitamnya lembut, mengagumi wajah cantiknya. Ia menurun kecantikan dari ayahnya. Ayahnya sangat tampan. Mata lebar dengan hidung kecil nan membuncah. Bibir tebal merah dengan telinga perinya. Tubuh semampai dengan bahu lebar, serta tangan-tangan dan kaki-kaki jenjangnya. Ia benar-benar indah. Setelah bangkit dan mematikan lampu kamar, akupun berjalan menuju dapur, untuk memanaskan masakan, melewati TV yang menyala tanpa pemirsa. Anggap saja sebaga peramai suasana, mengingat rumah terasa begitu lengang, kecuali senandung burung yang terkandang di taman belakang. Aku merindukannya. Sangat merindukannya. Teramat merindukannya. Sudah satu minggu ia berada di Paris, dan malam ini akan kembali. Membayangkan bisa kembali menatap senyum hangatnya, mendengar suara beratnya, dipeluknya, diciumnya, ahh... aku larut dalam perasaan bahagia. Tanpa sadar ponselku berdering, segera kuraih dan kuangkat. Nama adikku terpampang di sana. ―Kenapa telepon malam-malam?‖ tanyaku sambil melirik jam yang bertengger di atas kulkas. 22:16 ―Kak,‖ ucapnya terputus ragu-ragu. Muncul secuat perasaan tak enak dalam hatiku. ―Ada apa?‖ tanyaku berusaha tenang. ―K-kak,‖ ucapnya kembali, sedikit bergetar kali ini, dan aku sungguh tak suka perasaan ini. ―C-coba lihat TV.‖ Hah? Ada apa memangnya?! Hatiku berdegup cepat seketika, berdebar kencang, bergemuruh, menggedor-gedor memaksa keluar. Segebyaran pikiran buruk merangsuk masuk dalam otakku. Langkahku terasa berat. Suara percikan minyak, suara jam dinding, suara burung, semua seakan membisu, begitu tenang dan sunyi, hanya suara berita yang berhasil kutangkap. Berita yang langsung membuat kakiku lemah, terhuyung, jatuh, bersimpuh pada kenyataan yang tak sanggup kupercayai. Berita yang menghancurkanku dari dalam, membuat setiap mili hatiku luluh
B
72
lantak menjadi kepingan debu, menghilang. Ia takkan pulang. Selamanya.
tertiup
angin,
terbang,
02:00 Seorang pria masuk ke dalam rumahnya berjinjit-jinjit bak maling yang takut membangunkan pemilik rumah, menutup pintu perlahan, dan menguncinya rapat-rapat. Didapatinya sesosok wanita tertidur di sofa depan TV. Pria itu berjalan mendekat, mengamati wajahnya, dan membelai rambutnya lembut. Perlahan diangkatnya tubuh mungil itu dengan kedua tangan gagahnya. Setiba di kamar, dibaringkannya wanita itu di atas tempat tidur, sangat hati-hati, takut mengusik tidur cantiknya. Namun saat ia hendak bangkit, sebuah tangan kecil menahannya, memeganginya posesif. ―Kau sudah pulang?‖ tanya wanita itu pada suaminya. ―Malam, Sugar.‖ Tangan beruratnya meraih rambut wanita itu, membelainya seakan tengah memilin-milin benang, sehelai demi sehelai. ―Kenapa menungguku pulang? Seharusnya kau tidur saja.‖ ―Bagaimana bisa tidur, sementara kau belum pulang,‖ sahutnya diiringi pukulan ringan mendarat di dada pria itu. ―Kenapa begitu mengawatirkanku?‖ tanyanya retorik sambil mengulum senyum. ―Tentu saja aku khawatir! Aku tak kan tenang sebelum kau pulang. Bagaimana kal-‖ ―Sssttt. Aku, akan, selalu, pulang, Sugar. Sejauh apapun aku pergi.‖ Seketika mereka membisu dalam keheningan, seakan berlempar telepati dari radar yang terpasang dalam hati mereka, mengirimkan pesan bahwa mereka saling mengasihi dan tak perlu ada keraguan sedikitpun akan itu. Mata mereka beradu seteru. Mengibarkan kilatan-kilatan perasaan dalam keremangremangan malam. Perlahan wajah mereka mendekat, menyatu, berhimpit tanpa batas dalam pergumulan yang erotis, membuat iri semut-semut yang berbaris di dinding.
73
Seorang wanita terduduk sendirian, termenung, terpekur di salah satu sudut restoran. Diputar-putarnya sedotan dalam gelas lemonade. Jam menunjukkan setengah sepuluh malam – makanan sudah sepenuhnya terhidang – namun suaminya belum juga datang. Sesekali ia menatap layar ponsel, berharap ada notifikasi masuk. ―Maafkan aku terlambat, Sugar,‖ ucap suara pria tiba-tiba seiring dirasakannya pelukan hangat dari belakang. ―Untukmu. Selamat ulang tahun.‖ Pria itu melangsungkan rangkaian bunga berbagai macam warna dan mengecup pipi istrinya. Sang Istri yang semula cemberut, berubah merona. ―Kukumpulkan rangkaian 99 jenis bunga istimewa untuk orang istimewa dari beberapa kios berbeda, membuatku terpaksa terlambat dan membiarkan wanita secantikmu harus menunggu sendirian di hari ulang tahunmu. Aku sungguh minta maaf.‖ Mereka duduk berhadap-hadapan. Jari-jari mungil terkunci di antara jari-jarinya yang lebih besar. Selama beberapa saat wanita itu membisu, terdiam dan berkaca-kaca, hingga akhirnya iapun berkata, ―Ini benar-benar hadiah termanis dalam hidupku. Terimakasih.‖ ―Aku yang harusnya berterimakasih kau hadir dalam kehidupanku. Aku menyayangimu.‖ ―Halo, istriku yang manis.‖ ―Kau jadi pulang hari ini?‖ tanya wanita itu sibuk menyisir rambut putrinya. ―Tentu. Sekitar jam sepuluh malam aku tiba di bandara. Tunggu aku pulang ya.‖ ―Tumben kau tak menyuruhku tidur duluan,‖ sindirnya pada suaminya. ―Hahaha. Iya. Aku sangat ingin segera bertemu denganmu, aku merindukanmu, matamu, hidungmu, bibirmu, rambutmu, suaramu, semuanya.‖ ―Baiklah. Aku akan menunggumu pulang. Love you. See you.‖ ―See you, Sugar.‖
74
Aku mematung di depan peti mati suamiku, menatap kosong pada karangan bunga-bunga putih. Pikiranku hanyut karam tenggelam bersama kenanganku dengannya. Aku hampa. Kenapa kau meninggalkanku sendiri? Bagaimana bisa aku hidup tanpamu? Bagaimana bisa?! Aku lemah, hancur, remuk tanpamu. Kenapa tak kau bawa mati saja aku bersamamu? Kenapa?! Tolong! Siapa saja, tolong aku! Aku terlalu lemah untuk menjalani ini semua. Bangunkan aku dari mimpi buruk ini! Kumohon! Jangan tinggalkan aku sendiri! Berhari-hari ku tak berhenti menangis. Kini hanya bisa kumenangis dalam kekosongan, tanpa airmata setetespun yang berhasil lolos. Mungkin airmataku sudah kering tak bersisa. ―Mama harus makan.‖ Sebuah tangan kecil meraih wajahku membuatku terusik dan menatap si Empunya Tangan. Gadis kecil bermata cantik menatapku, menyodorkan sebuah kue. Bidadari kecilku. Segera kupeluk tubuhnya erat, bersamaan ketika kudengar suara seorang pria meraung-raung masuk ke dalam ruang persemayaman, membuatku terpaksa menatapnya. Pria berbadan kecil dengan bahu turun, pinggang ramping, mata doe, bibir merah yang kontras dengan kulit pucatnya, berlutut di depan peti mati suamiku, memeluk benda kotak itu seakan memeluk tubuh suamiku yang berbaring di dalamnya. Matanya terlihat bengkak. Sangat bengkak. Teramat bengkak. Tak jauh beda dengan mataku yang berhari-hari menangis sejak adanya berita kecelakaan pesawat. Pria itu menangis begitu memilukan hati, meminta agar suamiku tak pergi. Aku yang sudah merasa benar-benar kehabisan airmata, kembali menitikan air menyedihkan ini. When it‘s right it‘s more than right cause you feel it more than feel I could take this moment now right into the grave with me Ia terhuyung ke sebelahku menatapku lekat dengan buliran keringat membasahi dahi dan rahangnya. Seluruh tubuh polosnya penuh peluh, begitu juga tubuhku. Dibelainya pipiku lembut dengan ibu jari, sambil sesekali merapikan rambutku yang sudah pasti berantakan. Kami terdiam selama beberapa
75
saat, mengatur nafas yang berkejar-kejaran. Kuusap dadanya, mengikuti lekak lekuk yang ada di sana, mengagumi keindahannya. ―Kau harus pulang sekarang,‖ ucapku lirih sambil menatap matanya dalam. Ia menghela nafas dan melempar pandangan ke arah jam dinding. 01:14 ―Aku ingin menginap malam ini,‖ ucapnya mengerucutkan bibir bak anak kecil yang sedang merajuk, lucu sekali, apalagi telinga perinya itu, membuatku tersenyum dibuatnya. ―Tega kau membiarkannya menunggumu?‖ tanyaku tersenyum. Ia mendengus keras. ―Ia pasti tertidur di sofa lagi, tanpa bantal, tanpa selimut. Benar katamu, aku harus pulang,‖ ucapnya namun tetap tak menghentikan gerakan melingkar di pipiku dengan ibu jarinya itu. ―Segeralah pulang,‖ seruku menarik tangannya berhenti. ―Katamu kau mencintainya?‖ ―Mencintai?‖ sahutnya dengan alis yang terkerutkan, ―Tidak! Aku tidak mencintainya. Aku menyayanginya, menghormatinya, mengasihinya. Dia ibu anakku. Tapi kau yang kucintai. Hanya kau yang-‖ ―Uh, stop it!‖ Aku tertawa geli tiap kali ia mengatakan hal itu, seakan ada kumpulan lebah yang menari-nari dalam perutku. ―Kau tak pernah cemburu padanya?‖ tanyanya yang seketika menghentikan tawaku. ―Tentu pernah! Selalu!‖ jawabku cepat, ―Tapi seperti katamu, dia ibu anakmu. Dan dia wanita yang baik.‖ Ia mengangguk setuju. ―Terimakasih, kau memahami posisiku.‖ I think I want you more than want And know I need you more than need ―Aku tak lupa, hanya bingung memberi apa.‖ Bisa-bisanya ia semepet ini baru bilang tentang ulang tahunnya. Kuhela nafas jengkel, berputar-putar ruangan
76
kamarku dengan telepon masih menggantung, berpikir hadiah apa yang spesial. ―Ah! Iya! Pulang kantor, jemput aku. Kutemani kau mencari hadiah.‖ ―Memangnya apa yang akan kita beli?‖ tanyanya penasaran dari seberang sana. ―Bunga.‖ ―Bunga?‖ ―Rangkaian 99 jenis bunga istimewa untuk orang istimewa,‖ jawabku begitu percaya diri bahwa siapapun akan jatuh jika diberi hadiah semanis itu. ―Brilliant! Kalau begitu aku akan beli dua rangkaian bunga istimewa, satu untuknya, satu unt-‖ ―Stop! I ain‘t in mood. Just pick me up SOON!‖ Bisa kudengar tawa renyah dari suara beratnya, sebelum akhirnya kuakhiri sambungan telepon. I think you know me more than know nd you see me more than see ―Hahaha. Iya. Aku sangat ingin segera bertemu denganmu, aku merindukanmu, matamu, hidungmu, bibirmu, rambutmu, suaramu, semuanya.‖ ―See you, Sugar.‖ Ia menutup teleponnya dan berbalik menghadapku, melingkarkan tangannya di pinggangku, menarikku merapat padanya. ―Sudah selesai teleponnya, Mr.Cheesy?‖ tanyaku memamerkan wajah jijik. ―Dasar pria bermulut manis! Jadi ini senjata rahasiamu, hah? Baiklah. Aku tak kan jatuh padamu.‖ Ia tak bisa menahan tawanya. Tawa khas-nya kembali membahana. ―It can‘t help, Baby. You already fell. Fell to the deepest abyss of my heart.‖ ―Iuhhh. Kupingku kebakaran! Segera berangkat sana!‖ seruku berusaha memukul dadanya ringan. ―Kau sungguh tak ikut pulang bersamaku? Aku pasti akan sangat merindukan,‖ tanyanya sambil mengaitkan ibu jarinya di pipiku, tempat favoritnya. ―Aku masih ada urusan. Setelah urusan di sini selesai, aku akan pulang.‖
77
―Baiklah. See you, Baby.‖ ―See you.‖ Ia mengecup dahiku, kemudian menggeret kopernya dan berjalan menuju gate, sesekali menatap ke arahku dan melempar senyuman termanisnya. I wanna hold you more than hold when you stood in front of me Pria mungil itu bangkit dari memeluk (peti) suamiku, ketika menyadariku ikut menangis di dekatnya. Matanya menyiratkan pesan kehilangan yang amat sangat kupahami. Ia berusaha bangkit dengan kaki dan tangan kecilnya gemetaran, perlahan memegangi pinggir-pinggir peti untuk mencapai tempatku duduk. Iapun bersimpuh di depanku dan menatap lekat ke arah gadis kecil dalam pelukanku. ―H-hai,‖ ucapnya serak sambil membelai rambut putriku. Ia membuka mulutnya sedetik kemudian menutupnya kembali, terlihat ingin menyampaikan sesuatu namun tertahan di tenggorokan. Ditekan-tekannya dadanya sendiri yang membuatku serasa sesak. Setelah beberapa saat ia membelai rambut putriku, menciumi pipi dan keningnya, kini ia menatapku dalam-dalam sembari terlihat begitu frustasi, tak sanggup mengatakan apa yang ingin sekali ia katakan. Satu kalimat yang berhasil lolos dari bibir merahnya, ―Kau sangat beruntung.‖ M-mengapa ia berkata seperti itu? Siapa ia memangnya? Iapun bangkit dan menyeret kakinya paksa, melihat suamiku untuk terakhir kalinya, menurunkan wajahnya, mengecup kening jenazah sedetik dua detik, dengan tangis yang terus menerus ketara. Pria kecil itu kini memunggungiku, perlahan keluar dari ruang persemayaman, menghilang di balik kerumunan. Aku menyayanginya, menghormatinya, mengasihinya. Dia ibu anakku. Tapi kau yang kucintai. Hanya kau. Sometimes words just ain‘t enough For this love that‘s more than love I‘ve never seen anything quite like you Surabaya, 12-03-14
78
Caroline Ratri
I could die now more than die Every time you look at me
Never Seen Anything Quite Like You No Sound Without Silence
79
ejak satu bulan yang lalu, hampir setiap hari aku bermimpi. Mimpi yang tak pernah sama. Tapi entah kenapa, aku merasa mimpi-mimpi itu saling berkaitan satu sama lain. Aku ingat mimpi mulaku. Dua jalan terbentang di hadapanku. Yang ke arah kanan terang benderang, dilingkupi sinar keperakan yang menyejukkan. Ujungnya tak kelihatan, hanya putih yang membentang. Ada jalan setapak indah yang akan mengantar aku ke ujungnya, dengan beraneka macam bunga di tepiannya. Indah sekali. Aku mengendus. Ada harum segar membuai hidung. Tapi tiba-tiba ada semerbak bau lain yang menggeliat merasuki ujung-ujung saraf penciumanku. Aku menoleh ke jalan lain di sebelah kiri. Gelap. Hanya ada sinar kemerahan di ujungnya. Semerbak bau itu berasal dari sana. Manis, tapi bercampur dengan anyir. Itu mimpiku satu bulan yang lalu. Kemudian mimpi-mimpi yang lain datang susul menyusul. Pernah aku seperti sedang menonton konser Elvis Presley dan Frank Sinatra. Ah, penyanyi-penyanyi idolaku. Mereka berduet di atas panggung kapas. Elvis dengan baju khasnya yang berwarna putih. Frank Sinatra dengan jasnya yang juga berwarna putih. Entah lagu apa yang mereka bawakan.
S
I'm blessed as a man to have seen you in white But I've never seen anything quite like you tonight No, I've never seen anything quite like you Aku belum pernah mendengarnya. Aneh juga, padahal aku hafal dari Jailhouse Rock hingga Love Me Tender. Juga hafal One for My Baby hingga New York, New York. Aku memandang sekeliling. Manusia-manusia memadati area di depan panggung mereka. Mereka berpakaian putih-putih. Mereka semua menggoyangkan tubuh masing-masing berirama hingga serupa gelombang. Dan saat Elvis juga Franky mendaki refrain, serempak pula masing-masing manusia ini membentangkan sayap. Lain waktu aku seperti sedang berkemah di sebuah lereng gunung. Tapi alih-alih aku melihat pemandangan menghijau, aku melihat segala yang putih membentang seluas pandang.
80
Ada banyak orang lain yang juga berada di situ bersamaku. Anehnya mereka menghadap ke satu titik yang sama; puncak gunung yang bersinar keemasan. Kurasakan ada tangan yang menggenggam tanganku. Aku menoleh. Seraut wajah itu tersenyum. Mama, sedang apa di sini? Bukankah Mama ... Tapi aku tak kuasa melanjut tanya. Ada beberapa mimpi lagi setelahnya, namun aku paling ingat mimpiku kemarin. Di mimpi terakhirku itu, aku menemui titian yang terbuat dari ribuan bintang-bintang yang berderet bagaikan jembatan. Ada lelaki yang berdiri di ujung teratas. Aku tak mampu melihat wajahnya dengan jelas. Namun aku begitu hafal sosok itu. Sosok yang selalu kurindu. Selalu dan sangat. Dan di setiap mimpi selalu kulihat lorong gelap lain yang berbau manis sekaligus anyir itu. Kapan pun dan di mana pun aku berada dalam mimpiku. Tunggu. Apakah aku akan mati? Sekarang? Pintu berderit. Terdengar sapaan perawat yang baru saja keluar dari kamar. Kemudian ada suara lain yang sangat kukenal membalasnya. Suara langkah kaki mendekat perlahan. ―Pagi, Mama.‖ Anakku, Gayatri. Pagi-pagi sekali sudah sampai lagi di sini. ―Makuta ke mana, Ma?‖ Aku mendengar tas plastik yang diletakkan di atas meja. Aku tak tahu ke mana Makuta. Setengah jam yang lalu, ia memang masih kudengar mendengkur di sofa. Mungkin ia keluar ketika perawat shift pagi tadi datang dan memeriksaku. Kemungkinan paling besar adalah ia keluar untuk merokok. ―Di luar sedang merokok sepertinya,‖ kata Gayatri. ―Mama baik? Nyenyak tidurnya semalam?‖ tanyanya kemudian. Aku merasakan sentuhan di lengan kananku yang terbebas dari jarum infus, lalu ada usapan hangat di pipiku. Ah, kulit pipiku pasti terasa kasap di jemarinya.
81
Aku mencoba tersenyum. Ingin kukatakan bahwa aku baikbaik saja, tapi lagi-lagi sepertinya aku bahkan tak punya kekuatan di ujung bibirku. "Kamu nggak ke kantor, Ay?" Kudengar empasan tubuh Gayatri di sofa di sampingku. ―Kenapa Aya males banget kerja hari ini, Ma?‖ tanyanya, lebih pada diri sendiri. Sepertinya ia butuh teman untuk mendengar, seperti biasa jika ia datang padaku. ―Aya semalaman nggak tidur. Aya pengin Mama segera pulang.‖ Ada suara tas plastik dibuka, kemudian dikeluarkan isinya. Entah apa. Mungkin stok untuk Makuta yang memang bertugas menungguiku. ―Sasi juga selalu menanyakan Mama,‖ suara Gayatri terdengar lagi. Sasi, aku juga ingin mendengar celotehannya yang masih cadel dan ribut. Aku ingin memangkunya meski ia tak pernah bisa diam di pangkuanku. ―Nanti sore biar kubawa Sasi ke sini kalau Mama kangen,‖ katanya seperti menjawabku. Ada suara pintu yang dibuka. Meski kedua mataku memejam, aku tahu itu pintu yang menghadap ke taman. Suara deritnya berbeda dengan pintu yang ada di seberangnya, yang menghadap ke arah lorong kamar. ―Mbak Aya ...‖ Terdengar suara berat Makuta menyapa. Makuta, anak laki-lakiku. Adik Gayatri. Belum menikah di usianya yang ke-36. Terlalu asyik dengan pekerjaannya sebagai web programmer, katanya. Aku tak tahu benda apa itu, web programmer. Yang aku tahu, ia betah sekali berada di depan laptopnya dari subuh hingga subuh lagi. Seperti pasangan belahan jiwa. Aku tak akan heran jika suatu hari nanti ia akan membawa serta laptopnya juga kala ia harus berbulan madu dengan istrinya. Kurasa ia nanti harus mencari istri yang rela dimadu dengan sebuah laptop. ―Sudah satu bulan, dan Mama tak juga sadar.‖ Terdengar suara Makuta perih. Iya. Aku juga perih mendengarmu, Makuta. ―Apa yang harus kita lakukan, Mbak?‖ ―Tetap berharap mukjizat itu ada,‖ jawab Gayatri.
82
Bagaimana bisa ia mencoba meyakinkan Makuta, sedangkan ia sendiri sedang meragukannya? ―Uang kita juga semakin menipis, Mbak,‖ kata Makuta lagi. ―Aku tahu. Mas Wegig juga sudah mengatakan padaku, entah berapa lama kita bisa mempertahankan diri di kamar ini.‖ Tentu, tentu. Wegig, suamimu, pasti lama-lama juga akan keberatan, Aya. Aku tahu itu. ―Sepertinya tak ada kemajuan.‖ Hening sesaat. Dua saat. Tiga saat. Hanya terdengar suara gelembung dari tabung oksigen yang berusaha menjejalkan udara ke dalam paru-paruku. ―Jadi, menurutmu bagaimana?‖ kembali suara sendu Gayatri mengayun. Kudengar desahan napas berat Makuta yang tercemar oleh nikotin. ―Aku nggak tahu, Mbak. Mungkin kita sebaiknya bawa Mama pulang saja, dan merawatnya di rumah.‖ Gayatri sejenak tak bersuara. ―Entahlah. Serangan stroke Mama kali ini cukup parah. Aku tak tahu apakah kita bisa merawat Mama sendiri. Tapi ... Baiklah, aku akan membicarakannya dengan Mas Wegig.‖ ―Atau Mbak mau mencoba pengobatan alternatif yang kemarin?‖ Gayatri diam. ―Itu bukan pengobatan. Dan bukan mukjizat seperti itu yang kita perlukan,‖ katanya tandas. ―Mbak, zaman sekarang sudah lazim orang pakai jasa pengobatan alternatif di samping medis.‖ ―Tapi, ya Tuhan, Makuta, kenapa mesti ada kembang tujuh rupa, telur dan rokok gitu sih? Seandainya dia menawarkan sesuatu yang lebih masuk di akal, aku pasti akan setuju-setuju saja.‖ Tak terdengar jawaban dari Makuta. ―Dia itu dukun! Bukan penyembuh!‖ ―Dia bilang, Mama cuma tinggal menunggu kedatangan Ayah untuk menjemput, Mbak. Itu cara untuk melapangkan jalan Ayah untuk datang saja.‖ Gayatri menggeram. ―Ya Tuhan. Jangan bilang seperti itu!‖ desisnya penuh kemarahan. Ah. Kekasihku. Yang sudah lebih dulu menempuh jalannya sembilan tahun yang lalu. Juga karena serangan stroke. Apa
83
katanya tadi? Tinggal menunggu datangnya kekasihku itu? Di mana ia akan datang? Aku akan menyongsongnya. Aku rindu padanya. Rindu yang teramat sangat. Ada langkah kaki bergeser. Lalu kurasakan Makuta mencium pipiku. ―Semoga benar mukjizat itu ada,‖ bisiknya. Ada embusan napas mengenai wajahku. Seandainya aku bisa, tentu akan kurengkuh wajah itu lalu kurapatkan ke dada seperti ketika ia masih kecil dan menangis karena terjatuh dari sepeda. ―Mukjizat itu ada, Makuta. Dan bukan dalam bentuk dukun!‖ Nada suara Gayatri masih tetap getas, mengantarkan Makuta yang beranjak keluar kamar. ―Aku ke sini lagi nanti pukul sepuluhan, Mbak,‖ katanya sebelum menutup pintu. ―Oke. Pukul sepuluh. Nggak lebih! Aku bisa dipecat nanti!‖ Pintu sudah terdengar menutup. ―Nah, Mama, sampai kapan kami harus terus berharap, Mama?‖ Oh, Aya, tahukah kamu betapa menusuknya kalimatmu barusan? Aku tahu, aku sangat merepotkanmu. Dulu aku selalu berdoa, agar di hari tuaku nanti, aku tak akan menjadi beban bagi kalian, anak-anakku. Tapi aku bisa apa, Aya? Aku tahu seharusnya aku tak menghabiskan uang kalian, uangmu dan uang Makuta, hasil kerja keras kalian berdua. Seharusnya uangmu bisa kaubelikan baju, mainan dan jajan untuk Sasi. Sedangkan uang Makuta, bisa ditabungnya untuk biaya menikahnya sendiri nanti. Tapi kini aku malah membebani kalian berdua. Sungguh, jika aku bisa bangun sekarang, aku pasti akan bangun, Aya. Aku akan segera turun dari tempat tidur yang sama sekali tak nyaman ini. Berjalan bersamamu, mendampingimu, membantumu mengasuh Sasi. Juga untuk Makuta. Hanya kalianlah hartaku saat ini. Atau, mungkin lebih baik aku pergi saja, Aya? Apa kata dukun itu tadi? Katanya, aku hanya tinggal menunggu Ayah menjemput? Coba tanyakan pada dukun itu, kapan Ayah akan menjemput? Dan di mana? Bagaimana ia akan datang? Dengan melalui jalan terang di antara padang bunga? Atau apakah ayahmu akan datang diiringi lagu I Can‘t Help Falling In Love milik Elvis
84
Presley seperti saat ia melamar ibumu ini dulu? Ataukah ia akan meniti jembatan bebintang itu? Ya, mungkin ia akan datang dengan jalan yang paling akhir itu. Seperti yang kulihat di mimpi terakhir kali. Ia akan turun dengan dramatis, tersenyum, dengan tangan yang dipenuhi buket bunga mawar merah kesukaanku. Menyerahkan buket itu padaku, dan mengulurkan tangannya. Kemudian kami berdua akan bersama meniti jembatan bebintang itu hingga ke ujungnya. Ya, mungkin begitu. Jika dukun itu dukun sakti, seperti yang dibilang, ia pasti tahu jawabannya. Tanyakan padanya, Aya. Tanyakan! Sementara itu, biarkan aku tetap menunggu. Menunggu kekasihku. Di sini. Hanya kekasihku. Aku sudah rindu sekali. Lamat-lamat terdengar lagu mengalun. Di dalam kepalaku. Aku tak tahu itu lagu apa. I think I want you more than want And know I need you more than need I wanna hold you more than hold When you stood in front of me Kurasakan tanganku digenggam hangat. Aku menoleh, dan kulihat ia tersenyum. Lalu ada hangat menjalari hatiku. I think you know me more than know And you see me more than see I could die now more than die Every time you look at me Kulihat Frank Sinatra dan Elvis Presley sedang bernyanyi di atas panggung. Tubuhku meringan. Ringan ... Ringan ... Ring ...
85
86
Yenita Anggraini
See the thing about karma is it loves a bit of drama. It loves to hunt you down and pay you back for the things you did Give The Love Around #3
87
amanya Juni. Untuk pertama kali aku kenal seseorang bernama bulan. Dulu pernah punya teman dengan namaYuli, tapi Yuli bukan Juli. Jadi tidak masuk hitungan. ―Hai, boleh kenalan?‖ Saat itu bulan Juli, tibatiba saja ia berlari ke hadapanku malam itu. Di tengah keramaian Jatinangor yang padat mahasiswa pencari makan malam. Tubuh tinggi dan kurusnya, rambut sebahu dan halus seperti rambut wanita, serta uluran tangannya yang penuh dengan kepercayaan diri membuatku berpikir jangan-jangan hal inilah yang setiap hari dia lakukan. Mengajak berkenalan orang di jalan. Kata-katanya klise. Tidak penuh gombalan atau trik-trik berkenalan yang biasa dimuat di kolom berita ringan majalah wanita. Ditodong seperti itu, membuatku berhenti dari jalan yang tidak terburu-buru. Kaget lalu mengamatinya. Uluran tangan itu masih menanti jawaban. Terdiam di udara menungguku menjatuhkan pilihan. Menyambutnya dengan sopan atau membiarkannya terus begitu sementara aku mempercepat langkah kaki karena ketakutan. Tapi rupanya aku memang baik hati. Kusambut uluran tangan itu yang tanpa kuduga sedingin es rasanya. ―Aku Nadya,‖ kataku kepada laki-laki yang mengajakku berkenalan itu. ―Saya... Eh aku, Juni.‖ Wajah lega jelas terlihat dari mata itu, dari senyum yang melebar itu. ―Aku harus pergi sekarang. Ada urusan penting,‖ kataku. Padahal tidak. Hanya bentuk usaha agar tidak terlihat gampangan karena sudah mau-maunya diajak kenalan di pinggir jalan. Laki-laki yang mengaku bernama Juni itu kaget, sepertinya ini berjalan tidak seperti yang dia rencanakan. ―Eh, Oh…oke terima kasih ya sudah mau berkenalan,‖ jawabnya sedikit gugup. Kepercayaan diri yang ditunjukkannya di awal pertemuan tadi kini hilang seolah tak pernah ada. Juni terlihat bingung dengan situasi ini. ―Ya…sama-sama,‖ jawabku dengan senyum yang sedikit dipaksakan untuk mempertahankan sikap sok jual mahal yang tadi aku citrakan. Sembari berlalu dari hadapan Juni yang membisu, aku tahan mulutku untuk tidak menyemburkan tawa.
N
88
Ya…sama-sama terima kasih karena sudah memberi malam yang berbeda, Juni Besok malamnya, Juni datang lagi. Oh, tepatnya aku yang mendatangi Juni. Bukan sengaja mendatangi, tapi aku memang harus melewati tempat itu malam ini, seperti malam-malam lainnya. Tempat dimana semalam dia mengajakku berkenalan. Di seberang warung makan soto, di sebelah ATM Mandiri. Setengah berlari kali ini dia mensejajari langkahku. Aku meliriknya sejenak, dia tidak. Dia menatap lurus ke depan tapi tetap mendampingiku. Aku pun diam saja, tidak tertarik memulai percakapan. Bermenit-menit kami berjalan dalam diam. Aneh rasanya ditemani oleh seseorang yang baru aku tahu namanya semalam. Tapi setelah dipikir-pikir, tidak terlalu aneh juga, sih. Aku sering ditemani oleh orang yang namanya bahkan tidak kukenal saat berjam-jam dalam perjalanan di bis menuju kampung halaman, atau berboncengan dengan tukang ojek menuju kampus. Jadi, harusnya ini juga hanya peristiwa biasa saja. ―Mau ke mana?‖ Akhirnya ada suara yang keluar dari pita suara Juni. ―Situ...‖ jawabku sambil menunjuk gerai minimarket yang sudah dekat. Kami menaiki undakan tangga gerai lalu Juni membukakan pintu untukku masuk. Aku masuk. Juni tidak. Dia menunggu di luar. Atau mungkin pergi. Biarkan sajalah. Acara belanja aku lakukan dengan santai, berusaha membuang pikiran kalau di depan sana ada seseorang yang mungkin menungguku. Dan dia memang menungguku. Dia membukakan pintu saat aku keluar gerai, membawakan kantung belanjaan tanpa memberiku kesempatan menolak, dan berjalan lagi mengiringiku pulang. Kali ini benar terasa aneh. Seperti memiliki pengawal pribadi. ―Nadya...‖ panggilnya pelan sesaat sebelum aku memasuki pintu kosan. ―Ya.‖ jawabku, juga dengan pelan. ―Aku boleh minta nomor ponselmu?‖ Hal mainstream pertama yang dia lakukan sejak kemarin.
89
Aku punya pilihan untuk menolak sebenarnya, tapi sikapnya beberapa menit terakhir ini sepertinya merupakan jebakan. Jebakan agar aku tidak menolak permintaannya. Jebakan agar aku merasa pantas untuk memberinya nomor ponselku. Jebakan agar aku merasa penasaran akan sikap misteriusnya dan tertarik. Ya, tertarik untuk berkomunikasi lagi. ―0856-223-6357,‖ ucapku cepat. Sengaja agar dia berusaha menghapalnya. ―Terima kasih,‖ jawabnya tanpa bergegas mencatat atau memintaku mengulang. Lalu dia berpamitan. Hanya kujawab dengan anggukan. Aku masuk, Juni melangkah pergi. Dering ponsel pukul sembilan malam memutus kegiatanku mengerjakan tugas kampus. Nomor tidak dikenal. Juni? Tidak mungkin rasanya. Semalam sejak menanyakan nomor teleponku, dia tidak juga menghubungi. Bukan berarti aku menunggu, hanya aku merasa dia tidak benar-benar berniat meneleponku. Pertanyaannya kemarin pun sambil lalu, nomorku tidak dicatat, tidak juga berusaha diingat. Jadi tidak mungkin ini Juni. ―Halo,‖ sapaku. ―Halo Nadya,‖ terdengar suara yang sejak kemarin hanya mengeluarkan beberapa patah kata tapi bisa aku kenali. Ternyata ini benar-benar Juni. ―Hei, kamu. Kenapa?‖ aku berusaha membuat suaraku terdengar biasa saja. ―Aku takut kamu tidak nyaman kalau kita ngobrol berduaan padahal baru kenal. Jadi lewat telepon dulu ya?‖ Kalimat terpanjang yang kudengar darinya selama 3x24 jam. ―Hmm...iya. Aku hanya heran saja, ada yang tiba-tiba ngajak kenalan di pinggir jalan. Kenapa?‖ Sejenak tidak ada suara di ujung sana. ―Taruhan. Ditantang kenalan dengan orang yang dipilih teman-teman. Orangnya kamu,‖ jawabnya setelah beberapa detik yang lama. ―Jadi, aku objek taruhan?‖ tanyaku meminta kepastian atas jawaban Juni barusan.
90
―Iya.‖ Aku diam. Harusnya aku marah, kan? Perempuan sensitif sekali soal ini. Jadi objek taruhan. Kurang ajar dan merendahkan. Tapi kejujuran Juni membuatku sedikit berhatihati menyampaikan ketidaksukaanku. ―Kamu sering ikut taruhan begitu?‖ Pertanyaan yang kuajukan hanya untuk mencoba memahami tindakan Juni. ―Baru pertama kali. Itu juga karena mereka memilih kamu. Kalau bukan kamu, aku mungkin tidak ikutan.‖ Mungkin Juni yang pandai bicara, atau aku yang mulai tertarik, tapi aku merasakan kebenaran di ucapan Juni barusan. ―Wajar kalau kamu marah. Aku hanya tidak mau memulai pertemanan dengan kebohongan.‖ Aku pun sebenarnya tidak marah, aku tahu kekonyolan mahasiswa kurang kerjaan. ―Kalau begitu, sampai besok.‖ dengan tiba-tiba Juni mengakhiri pembicaraan telepon. ―Oke.‖ jawabku singkat sambil menutupi rasa kesalku karena terlihat sekali Juni terburu-buru mengakhiri percakapan telepon kami. Besok? Mana mungkin ada besok. Sudah bisa kupastikan yang terjadi selanjutnya adalah Juni akan menghilang. Nomornya tidak bisa dihubungi karena perkenalan kemarin pasti iseng saja dan tidak akan kemana-mana. Aku sering mengalami keisengan seperti itu. Tebakanku saat itu tidak tepat. Nyatanya, Juni tidak hanya hadir di bulan Juli, dia tetap ada di bulan Agustus, September, Oktober, bahkan hingga tahun berikutnya. Perkenalan malam itu telah berubah menjadi kebersamaan erat. Obrolan singkat itu kini menjadi obrolan panjang di setiap harinya. Rasa penasaran telah menjelma menjadi rasa nyaman yang semakin sulit aku abaikan. Aku dan Juni menjadi semakin jarang terpisahkan. ―Aku rasanya jatuh cinta,‖ curhatku kepada Naya, seorang sahabat.
91
―Kamu, kan, mudah jatuh cinta. Hari ini Juni, besok mungkin Juli,‖ sindir Naya. ―Tapi kami pasti dipertemukan karena suatu alasan. Ini seperti takdir. Dia tiba-tiba hadir di depan mataku, muncul begitu saja. Lalu dengan mudahnya kami cocok,‖ jawabku berargumen. ―Alasan itu belum tentu cinta,‖ jawab Naya lagi. ―Tapi bisa jadi cinta, kan?‖ Naya terdiam sejenak, kemudian dia menjawab, ―Ah, melihat ngototnya kamu kali ini, mungkin kamu benar-benar sudah jatuh cinta.‖ Tidak sulit untuk jatuh cinta dengan seorang Juni, andai Naya tahu itu. Hari ini untuk pertama kalinya sejak aku duduk di bangku kuliah, aku menangis. Bukan karena Juni, melainkan karena sebuah ‗telepon gelap‘ yang menerorku dengan segala umpatan kasar. Mulanya tidak pernah aku tanggapi, tapi setelah beberapa kalimat berisi fitnah disampaikan, emosiku terpancing. Kubalas cacian dengan cacian, umpatan dengan umpatan, katakata kasar bertebaran dalam percakapan kami hingga kesabaranku hilang dan kubanting ponselku di depan Juni yang sedari tadi hanya terdiam keheranan. Tangisku pecah. Bukan tangis kesedihan, lebih kepada tangis kesal karena perempuan itu tidak ada di depanku hingga tidak bisa kucakar-cakar wajahnya. ―Sarah sialan. Siapa dia? Bisa-bisanya dia bilang aku perempuan murahan,‖ kataku sembari tersedu. ―Sarah?‖ Juni bertanya memastikan. Aku hanya menjawabnya dengan anggukan kecil. Tanpa melihat matanya. Tanpa melihat raut wajahnya saat bertanya. Hal yang seharusnya aku lakukan. Kalau ada yang lebih menyakitkan dari patah hati, mungkin jawabannya adalah meminta seseorang yang sangat dicintai untuk pergi.
92
―Sekarang berjanjilah satu hal padaku, Juni.‖ Kupandang matanya lekat-lekat meminta keseriusannya menyanggupi permintaanku ini. ―Apa?‖ Pasrah suara Juni terdengar. ―Pergi. Benar-benar pergi. Pergi dari hidupku. Ganti nomor ponselmu. Ganti e-mailmu. Tutup facebook, twitter, dan apapun media sosialmu. Tutup semua aksesku untuk menjangkaumu.‖ Tidak ada jawaban Juni atas permintaanku ini. Melihat matanya yang kuyu, aku ingin rasanya menarik semua ucapanku dan mencoba memaafkannya. Tapi aku tahu kalau memaafkan dengan tulus bukan keahlianku. Apalagi untuk kesalahan Juni. ―Kenapa harus begini?‖ akhirnya keluar suara lemah itu dari bibirnya. ―Karena semarah apapun, aku pasti mereda kembali. Aku pasti akan mencarimu lagi. Jangan biarkan aku menemukanmu lagi karena itu akan menyulitkanku.‖ ―Lalu, bagaimana bila kita dipertemukan kembali?‖ Pertanyaan yang terdengar mengandung sebuah harapan. ―Lari, menghindar, atau apapun itu. Pergi sampai aku tidak bisa meraihmu walau hanya untuk menyapa. Percayalah. Itu akan lebih baik. Itu akan menghemat waktu kita untuk maju. Berjanjilah padaku, Juni.‖ Sore itu, Juni harus pergi dari hidupku untuk menanggung kesalahannya di masa lalu sebelum ada aku. Aku harus memintanya pergi karena Juni di masa depan tidak akan pernah bisa aku miliki. Aku harus memintanya pergi karena kesalahan Juni di masa lalu, tidak akan pernah bisa aku maafkan. Kesalahan tak termaafkan itu muncul dalam wujud Sarah, wanita di masa lalu Juni. Kini aku memaklumi semua umpatannya. Kini aku memaklumi segala usahanya untuk mempertahankan Juni. Korban perkosaan yang menuntut sebuah pertanggungjawaban atas kehidupan di masa depan. Karma kini mengetuk pintu rumah Juni. Karma yang menyakitinya, juga menyakitiku. ―Aku melakukan kesalahan besar dengannya dulu. Aku kira semua sudah berakhir, tapi ternyata mungkin tidak akan
93
berakhir.‖ Pengakuan Juni beberapa hari setelah ‗telepon gelap‘ dari Sarah yang merusak hariku. ―Dengan perempuan itu?‖ Sengaja aku tidak menyebut namanya. Mulut ini rasanya masih belum mengizinkan nama perempuan itu mampir. Juni mengangguk lemah. Tidak lama kemudian terdengar dia menarik nafas dalam. ―Kenakalan zaman SMA ternyata berbuntut panjang. Aku tidak akan bisa kemana-mana.‖ See the thing about karma is it loves a bit of drama. It loves to hunt you down and pay you back for the things you did Kini, sudah lebih dari satu tahun sejak kepergian Juni. Dia benar-benar memegang janjinya. Juni seolah-olah hilang dari duniaku. Mungkin di suatu tempat sana dia melihatku, tapi kemudian seperti permintaanku, dia akan menghindar hingga tidak akan terjangkau. Dulu, kubilang ini akan menghemat waktu kami untuk maju dengan hidup masing-masing. Nyatanya, kini Juni masih memegang erat hatiku. Aku tidak bisa kemanamana. Jangankan untuk maju, untuk bertahan dengan hari-hari tanpa Juni saja aku harus berusaha keras. Juni yang kukira dipertemukan oleh takdir untukku, ternyata sedang menjalani takdirnya sendiri. Life has a funny way of going in a ring
94
Febriana Christiani
We could all be blown to pieces Because time‟s a ticking bomb
The Energy Never Dies No Sound Without Silence
95
eberapa langkah telah dijejakkan di pelataran lantai aluminium yang kokoh. Bekas-bekas tapaknya tidak tampak terlihat. Hanya butiran-butiran pasir halus yang menetap di sekitar jatuhnya langkah kaki itu, menunggu tersapu oleh paksaan angin. Kaki-kaki yang pergi meninggalkan mereka, berhenti pada suatu titik pertemuan dengan dua kaki lain. Rasanya, mereka telah menghabiskan satu putaran menit penuh di sana, seakan sedang tersihir oleh tiap detik yang berdetak. Pada saat itu, ruangan masih dalam keadaan temaram. Seberkas cahaya dari arah timur menorehkan kemilau emasnya di lantai keperakan. Menghasilkan cahaya yang semakin membutakan mata. Kibasan sinar itu berlangsung dengan cepat hingga telah mencapai kaki-kaki yang saling bertemu, melingkupi mereka dalam kehangatan. Sinar itupun semakin meninggi, dan mencetak sebuah bayangan besar di dinding. Perpaduan dua insan yang sedang bercumbu mesra. Bayangan di dinding kemudian membelah, membentuk dua sosok yang tergambar jelas sebagai pria dan wanita lewat lekukan tubuh mereka. Dua bayangan itu merambah dinding, menyapu segala hal yang ada di ruangan itu hingga akhirnya sirna di pelupuk pintu. Di sisi lain benda vertikal itu, kedua bayangan sedang kepayahan mengejar tubuh nyata mereka. Tidak pernah menyadari bahwa mereka tidak akan pernah bisa memeluk tubuh yang bebas itu. Ketika kedua tubuh itu berhenti, berakhirlah perjuangan mereka di pagi yang ramah ini. ―Kapan kamu akan menceritakan kisah tragis Oliver Twist? Aku sudah tidak sabar mendengarnya,‖ kata Rosi dengan penuh semangat. ―Aku akan menceritakan kisah itu padamu suatu saat nanti ketika aku sudah menyampaikan kisah lain yang lebih menarik,‖ balas Gormannet. ―Aku sudah mendengar kalimat itu sebelumnya dan kamu berakhir dengan cerita sejarah.‖ Mulut Rosi mengerucut dengan dihiasi ketidaksenangan. ―Tapi sejarah ini lain daripada sebelumnya. Ini adalah sejarah mengenai terbentuknya negeri ini. Satu abad yang lalu telah terjadi insiden di sebuah ruang laboratorium komputer di kota yang dahulu dikenal sebagai Kota Manhattan.‖ Seperti biasa, tanpa memedulikan segala mimik yang terukir di wajah sang
B
96
tambatan hati, Gormannet mulai menguntaikan kalimat demi kalimat dari bibirnya. ―Seorang teknisi tersengat listrik yang mengalir dari CPU komputer ketika sedang memperbaiki sirkuit yang rusak. Teknisi itu segera dibawa ke rumah sakit untuk segera diobati. Setelah dilakukan pemeriksaan X-Ray, di dalam tubuhnya terkandung jutaan virus yang bukan berasal dari makhluk hidup, melainkan virus yang tersimpan di dalam komputer. Hari demi hari, tubuh teknisi itu mengalami mutasi. Sebagian organ tubuhnya mengeras, kulitnya mengelupas dan digantikan oleh kulit logam, serta wajahnya membentuk carut-carut yang mengerikan. Tak berapa lama kemudian, teknisi itu meninggal. Wabah virus komputer tidak hanya terhenti sampai di situ, melainkan merebak hingga setengah daratan bumi. Wilayah yang terjangkit pun diisolasi, bahkan hampir akan diledakkan ketika akhirnya wabah tersebut berhenti dengan sendirinya. ―Beberapa tahun kemudian, terciptalah dinding pembatas untuk membatasi dua dunia yang berbeda – Bumi dan Negeri Mati. Negeri Mati hanya sekedar istilah karena kami masih tetap hidup dengan memakan energi inti bumi. Hal ini menyebabkan belahan dunia lain menjadi gersang sehingga terpecahlah perang di antara kedua negeri – saling menyalahkan atas segala hal. Banyak nyawa melayang selama setengah abad. Atas keprihatinan tersebut, kedua pihak memutuskan untuk berdamai. Jalur ini mereka tempuh dengan saling bekerja sama untuk menjaga kelestarian bumi. Bukan hanya itu, mereka juga melakukan hubungan global dalam semua segi kehidupan. Hingga akhirnya terciptalah dunia yang seperti sekarang ini. Kita harus berterima kasih kepada para pejuang itu karena tanpa mereka tidak akan ada kamu dan aku.‖ Lautan garis lekuk di dahi Rosi mengumandangkan keheranan. Kata-kata meluncur dalam benaknya, merangkai sebuah pernyataan bahwa Gormannet benar-benar pria yang luar biasa. Bibirnya selalu melahirkan romantisme yang tidak berlebihan – itulah yang membuat Rosi jatuh ke dalam sebuah rasa. Terlebih bidang wajah Gormannet yang dihiasi pahatanpahatan logam membuatnya terlihat seperti alien yang keren. Tanpa sadar Rosi tersenyum. Senyum yang teranyam di wajahnya menyeret Gormannet untuk ikut larut dalam naungan kebahagiaan.
97
Sebuah belati hampir bersarang di tubuh yang empuk karena sebuah tangan lihai memainkannya di udara. Bukan ketidaksengajaan, tetapi amarahlah yang telah membangkitkan iblis dari jiwa pencemburu. Kata-kata yang belum pernah terucap turut tertuang dalam kitab kecemburuan. Sumpah dan umpat hampir tak dapat dibedakan. Niatnya hanya untuk menggertak, tetapi rasanya pedas hingga ke relung hati. ―Ada apa denganmu?! Aku baru saja pulang dan kamu menghujaniku dengan tuduhan!‖ pekik Gormannet. ―Aku melihatmu bersama dengan manusia itu pagi ini dan hari-hari sebelumnya. Apa kamu berniat mendua?‖ pekik Cyberdeanne tak kalah keras. ―Demi Tuhan, aku tidak tahu maksudmu,‖ Gormannet beralih. ―Deanne, tidak ada nama lain di hatiku. Hanya kamu.‖ Cukup dengan rangkaian kata itu telah mampu membuat amarah Cyberdeanne luruh. Pujian dan perhatian adalah energi batin untuknya. Satu kecupan saja telah membuat segala rasa cemburunya punah. Memang kedua hal itulah yang dia tunggu dari sang kekasih sepanjang pelataran fajar berganti menjadi siang yang garang. Kedua lengannya terentang untuk mendekap Gormannet dalam pelukannya. Empat huruf satu kata terulur dari bibirnya. Gormannet membalas dekapan itu sembari mengutarakan perasaan maklum. Dalam hatinya, tersusun pondasi kelegaan karena dia merasa memenangkan hati Cyberdeanne dengan mudah. Menebas seluruh kecemburuannya hingga ke akar. Namun, ada hal yang tidak dia pahami. Cyberdeanne lebih andal dalam hal beralih layaknya aktris profesional. Ketika sinar senja tengah menyapa di ufuk barat, pergilah Cyberdeanne menuju Gerbang Timur, wilayah untuk para manusia yang singgah di negerinya. Dia menemui wanita yang telah merasuki jiwa kekasihnya sehingga pikiran kekasihnya itu tidak lagi disemayami kilasan wajahnya. Rosi sedang berkebun di sebidang tanah, meneliti kemampuan tanaman bumi untuk bisa hidup di tanah aluminium di Negeri Mati. Wabah virus komputer tidak hanya menyerang manusia, tetapi juga mengubah lingkungan menjadi gundukan logam. Segala macam jenis logam mengerubungi daratan yang dulunya
98
subur, membuatnya seperti tambang logam yang mampu mengisi pundi-pundi uang perbisnisan di belahan bumi lain. Namun, suasananya berbeda. Kehidupan lebih penting daripada segala bentuk kekayaan. ―Aku ingin berbicara padamu.‖ kata Cyberdeanne. Rosi melihat ke kanan dan ke kiri, meyakinkan diri dengan siapa wanita cantik itu berbicara. Jari telunjuknya dia arahkan ke dirinya sendiri. ―Ya. Kamu,‖ kata Cyberdeanne tidak sabar. ―Aku tahu apa yang kamu lakukan dengan Gorman. Aku ingin kamu pergi menjauh darinya. Pergi ke tempat seharusnya kamu berada.‖ ―Boleh aku tanya mengapa?‖ ―Gorman adalah kekasihku dan kami sudah bertunangan. Kalau kamu seorang wanita sejati, seharusnya kamu tahu bagaimana perasaanku.‖ Cyberdeanne melangkahkan kakinya keluar dari Gerbang Timur. Meninggalkan Rosi dalam kebimbangan. Di hatinya telah terukir harapan untuk bisa bersatu dengan Gormannet. Dia sangat menginginkan pria itu. Namun, dia masih memiliki norma untuk melihat jalan kebenaran. Meski padang cinta di hatinya diruntuhi batu-batu kesakitan, dia tetap meninggalkan negeri itu tepat ketika bulan sedang berada di puncaknya. Matahari masih enggan untuk menemui penggemarpenggemarnya. Dia berharap agar bulan selalu tampil di muka langit. Namun, popularitas bulan tidak seheboh dirinya. Dia selalu ditinggal tidur oleh para manusia, bahkan sinarnya selalu dihadangi oleh kabut malam. Mau tidak mau, matahari beranjak dari tempatnya tidur. Membagikan sinarnya kepada semua makhluk hidup yang rindu untuk dia belai. Gormannet sudah tiba di depan rumah Rosi lebih cepat daripada pergerakan matahari. Tiga hingga tujuh ketukan di muka pintu sudah dia lakukan, tetapi sang tambatan hati belum juga menunjukkan pesonanya. Gormannet mengitari rumah itu hingga dia mendapati jejak pertamanya lagi yang dengan setia melekat di tanah aluminium. Kecurigaan mulai meraba pikirannya. Keinginan untuk terus bisa bersama dengan Rosi membawanya kembali ke rumah.
99
Pintu dalam keadaan terbuka ketika Gormannet sampai. Dia berlalu melewati pondasi-pondasi bajanya yang kokoh, mendapati Cyberdeanne sedang memandangnya dengan kesal. Beribu ungkapan mulai dia lepaskan dari sangkar hatinya hingga akhirnya dia memohon sang kekasih untuk tidak lagi menjejakkan cintanya ke pintu hati wanita lain. Namun, Gormannet berkeras. Dia sadar rasa cintanya tertanam di hati yang salah. Bahwa Cyberdeanne bukan wanita yang selama ini menjadi tempatnya berlabuh dari pelayaran romantismenya yang panjang dan melelahkan. Cyberdeanne menjadi murka, bahkan semakin menjadi-jadi ketika Gormannet meluncurkan sumpah untuk membatalkan segala janji yang dia ikrarkan. Ketika pria itu membawa seluruh cintanya melewati pintu, Cyberdeanne tersulut api beragam warna; kesedihan, kekecewaan, kecemburuan, dan kemarahan. Dia tidak memiliki wadah untuk menampung semuanya itu sehingga akhirnya dia meledak serupa monster ganas yang akan meluluh-lantahkan seisi bumi. Segera setelah meninggalkan rumah, Gormannet menelusuri jejak langkah Rosi. Dia berharap tambatan hatinya tidak mengupas perasaannya seiring berlalunya dia ke tempat yang ingin dia tuju. Namun, ke manakah dia pergi? Gormannet hampir putus asa ketika pencariannya berujung pada kehampaan. Ah, di sanalah Rosi. Berdiam di bawah pohon ek yang rimbun di garis perbatasan antara kedua negeri. Gormannet mengayuh kakinya di udara bebas, dan langsung memeluk erat Rosi. Dirapatkannya bibirnya pada bibir Rosi seiring jatuhnya tetesan air mata kebahagiaan dari mata keduanya. ―Aku hanya ingin mengucapkan selamat tinggal,‖ kata Rosi lemah. ―Tidak! Kita akan tetap bersama hingga akhir waktu.‖ ―Tapi, tunanganmu,‖ ―Cinta bukanlah sesuatu tentang apa melainkan sesuatu tentang bagaimana. Bagaimana cinta akan menghadapi rintangan dan bukan bagaimana cinta akan bertahan. Cinta tidak mengenal kata menyesal karena cinta hanya memandang
100
masa depan. Masa depan dimana ada aku dan kamu, atau aku dan dia. Cinta yang seperti bagaimana yang ingin kamu jalani, Rosi?‖ Bibir Rosi terkunci oleh keraguan, meski hasrat membakar jiwanya yang menggelora. Kata-kata tak teruntai dari bibir itu, tetapi ada suara bising yang begitu mengganggu. Cyberdeanne datang dengan membawa pesawat pribadi, melontarkan beberapa tembakan ke arah dua insan yang sedang beradu rasa itu. Sepertinya, dia tidak akan memberi pilihan ‗di antara dia atau aku‘ karena dia ingin mengakhiri perselingkuhan yang kejam ini. ―Gawat! Mungkin kita bisa berdiskusi lagi nanti. Sekarang kita perlu menyelamatkan diri!‖ pekik Gormannet. Mereka lantas menerjang rimbunan pohon ek yang mengular sepanjang mata memandang. Cyberdeanne mengudara di atas mereka sambil tetap melepaskan tembakan. Hingga di penghujung hutan barulah dia berhenti. Dia mendarat untuk memastikan jiwa kedua orang itu telah meninggalkan raganya. Namun tidak satu pun jejak atau bagian tubuh mereka tergeletak di sana. Ke mana perginya mereka? Ini adalah sebuah misteri yang akan terus menghantui urat-urat nadinya, membuatnya tidak akan tenang hingga rasa sakit hatinya terbalaskan. Hingga sampai penghujung hari, Cyberdeanne masih berputar-putar dalam pencariannya, sementara Rosi dan Gormannet sedang menikmati waktu mereka di suatu tempat. Di mana? Mereka sendiri tidak tahu karena mereka baru saja bertemu dengan seekor anaconda yang sedang bermain-main di habitat barunya. It‘s not the end, cause the energy never dies Cause this love, it transcends
101
102
Khairunnisa
You are not alone 'Cause someone's out there sending out flares Flares No Sound Without Silence
103
upikir tak ada yang lebih menyakitkan ketimbang mencintai orang lain diam-diam sementara ia telah memiliki tambatan hatinya. Namun ternyata aku salah. Ada yang lebih menyakitkan dari itu. Ketika orang yang kerap kali diagungkannya sebagai sang Permaisuri hati justru ialah yang mengubah orang yang kau sayangi menjadi keramik retak yang sekali sentuh maka pecah berkeping-keping. Sementara kau hanya mampu bergeming. Menatap nanar. Kepada cahaya mata yang kehilangan pendar. Berharap andai saja sang tambatan hati adalah engkau. Tapi ini sudah terlalu siang untuk merajut mimpimu. Sebuah malam di pertengahan Februari menjadi awal bencana itu datang. Menoreh luka. Memaksakan seyumnya ‗tuk mati bersama sang hati. Wanita itu, Raizel Zahira baru saja memutuskan kisah kasih yang telah berjalan selama 3 tahun. Namun, bukan hanya itu yang membuat Daffa terlihat bagai raga tak berjiwa. Sebuah undangan berwarna coklat dengan lapisan gold di pinggirannya bak ribuan hunusan pedang menghantam jantung. Aku masih ingat betul bagaimana kondisi Daffa kala itu. ―Kiyana.‖ Rapalnya lirih begitu aku membuka pintu kamar kosku di suatu malam dua jam setelah azan Isya berkumandang. ―Daffa? Lo kenap….― Tubuhnya yang menerjangku hingga aku sedikit terhuyung membuatku tak mampu menyelesaikan kalimat. Kepalanya terjatuh tepat di pundakku. Dapat kurasakan hembusan nafasnya yang tidak teratur di sana. Lama ia terdiam seperti itu sebelum aku mulai merasakan tubuhnya bergetar. Lama-lama semakin parah hingga isakan meluncur bebas dari mulutnya. Selama aku dan dia bersahabat untuk pertama kalinya aku melihat Daffa menangis.Kuusap punggungnya mencoba meredakan tangis, namun semakin menjadi. Dipeluknya tubuhku erat. Seolah hidupnya bergantung. Seolah ketika pelukannya merenggang sedikit, ia bisa saja ambruk sewaktu-waktu. Ada perih yang menggerogotiku. Ada sesak yang memenuhi rongga pernafasanku.
K
104
But did you see the flares in the sky? Were you blinded by the light? Did you feel the smoke in your eyes? Did you, did you? Did you see the sparks filled with hope? You are not alone 'Cause someone's out there sending out flares Kunyanyikan lagu Flares milik The Script ketika vocal O‘Donoghue menggema di dalam kamar Daffa. Aku memang sengaja memutar playlist musiknya agar kamar ini tak terlalu sepi. Daffa mulai mengalihkan perhatian dari angan kosongnya di luar jendela kamarnya, hal yang kerap kali ia lakukan beberapa pekan ini. Kugenggam tangannya begitu lagu Flares berakhir. Menyampaikan padanya bahwa ketika ia merasa benar-benar tak punya harapan. Terkungkung dalam gelap. Aku ingin meyakinkannya bahwa ia tak sendiri. Bahwa ada aku disini mengirimkannya sebuah kobaran semangat yang menyala. ―Gue ibarat pot itu.―Ia kembali bersuara setelah ada jeda yang cukup lama. Matanya tiba-tiba mengarah pada kepingankepingan pot bunga di dalam keranjang sampah. Yah, Daffa memecahkannya dua hari yang lalu. Pemberian Raizel. ―Pecah berkeping-keping.‖ Ia membuang wajahnya dari pot penuh kenangan tersebut seolah lebih lama ia menatap maka ia akan berdarah. ―Bahkan gue sendiri gak tau gimana caranya mungutin keping-kepingan itu lalu menyambungnya lagi.‖ Tatapannya penuh keputusasaan. Kurapatkan jarakku dengannya. Kuraih wajahnya, memaksanya untuk fokus kepadaku. ―Terus, lo berharap gue ngebuang lo kayak pot bunga itu?‖ ―...‖ ―Gue sahabat lo. Tujuh tahun, Fa,― bisikku pelan. Amarah, sedih, kecewa, penyesalan, semua berkecamuk dari balik manik hitam yang menatapku intens. ―Kalau lo gak tau cara mungutin kepingannya, biar gue yang lakuin.‖ ―Kepingannya bisa ngelukain lo.― ―Kalau itu adalah satu-satunya jalan buat ngebalikin sahabat gue, terluka separah apapun gue gak peduli.‖
105
―Mungkin masalahnya bukan hanya menyoal kepingan. Mungkin kepingan itu tak akan pernah menyatu…― Kurengkuh tubuh ringkih itu agar ia tak melanjutkan kalimat yang lebih menyayatku. Tuhan, mataku memanas. Hatiku mencelos. Sahabatku saying, sahabatku malang. Kuusap pelan punggungnya berusaha melenyapkan kekhawatiran terbesarnya.Mungkin ia butuh waktu lebih lama lagi untuk mengumpulkan keberanian, melanjutkan langkah hidup yang sempat terhenti. Harapanku salah. Dua bulan berlalu ia tak berubah namun semakin parah. Mendatangkan amarah. Akibat hati yang selalu resah. Mungkin juga tamu bulananlah yang bertingkah, menguasai moodku berubah bak serigala. ―Pengecut lo! Ngerasa kayaknya Cumalo yang punya masalah paling berat di dunia ini. Dikasih cobaan segitu aja, udah ciut. Mental tempe! Lembek lo!.‖ Gesekan keras kursi yang terdorong akibat kebangkitan dirinya dari posisi duduk sempat membuatku terkejut. Matanya dipenuhi amarah. ―Balik deh ke kamar lo, sebelum gue….― ―Gak!‖ Aku dan dia kini berdiri bertatap-tatapan. ―Kiyana Alana!‖ Nafasnya memburu. Mulutnya terkatup rapat menahan geramnya terhadap ucapan sarkasku. Tangannya mengepal kencang hingga aku bisa melihat urat-urat di pergelangannya. ―Lo ngomong gitu karena lo gak pernah berada di posisi gue. Lo gak pernah ngerasain gimana rasanya sakit hati. Jangankan sakit hati, jatuh cinta aja lo gak pernah. Lo gak pernah punya orang yang lo sayangin segenap hati terus tau-tau lo ditinggal. Lo gak pernah ngerasain itu. Jadi jangan sok nge-judge gue!‖ ―Siapa bilang gue gak pernah ngerasain jatuh cinta? Tau darimana gue gak pernah patah hati?‖ ―Gue jatuh cinta saat naik kelas dua. Gue patah hati ketika di tahun pertama kuliah orang yang gue sayang dengan antusiasnya cerita ke gue kalau dia jatuh cinta pada gadis lain. Dunia gue runtuh ketika suatu malam dia ceritaia telah menjalin hubungan dengan tambatan hatinya itu. Enam tahun gue memendam rasa. Tigatahun diantaranya gue harus ikhlas
106
melihatnya bahagia dengan wanita pilihannya tanpa perlu menjauh dari dia. ― ―...‖ ―Lo tau gimana rasa sakitnya? Sakit banget, Fa. Perih. Ibarat luka yang disirami air perasan jeruk. Belum lagi gue harus akting gue baik-baik aja. Bahwa gue masih ceria, masih tertawa seperti gue yang dulu. Lalu ketika ia dicampakkan oleh tambatan hatinya, gue juga ikut hancur melihatnya seperti raga tak bernyawa. Gue lebih hancur karena gak ada yang bisa gue lakuin buat ngembaliin cahaya kehidupan buat orang yang paling gue sayang.‖ Nafasku tak beraturan. Saling memburu. Tenggorokanku perih setelah mengeluarkan suara sekeras itu. Rahasia yang selama 6 tahunkututup rapat-rapat akhirnya terkuak. Emosi yang terpancing membuatku kesulitan mengontrol ucapan. Daffa terdiam. Tak lagi kutemukan amarah dari rautnya. Terkejut, bingung, sedih, semuanya menyelimuti wajah lelaki itu sekarang. Ya, mengetahui bahwa sahabatmu yang selama 7 tahun tidak pernah menunjukkan pertanda apapun, dengan tibatiba mengaku bahwa ia telah menyukaimu sejak lama, memendam cintanya selama bertahun-tahun, itu semua bukanlah fakta yang mudah diterima. ―Bodoh, kan? Namun, yang terbodoh dari semuanya adalah ketika dia menghardikku, menghakimiku, menuduhku sebagai pembual yang tak pernah berada diposisinya, gue bahkan masih tetap cinta sama dia.‖ Air mataku terjun bebas. Hanya detak jam dinding dan rintik hujan yang berangsur deras memenuhi rongga pendengaran kami. Kamar Daffa memiliki ventilasi yang cukup baik namun entah mengapa aku merasa sesak kesulitan menghirup oksigen. ―Kiyana....‖ Lafalnya dengan lirih meruntuhkan sunyi yang mendera. Ia maju selangkah, membuatku dan ia tak berjarak lagi. Kutepis pelan tangannya ketika hendak mengusap cairan bening yang merembes di pipiku. Aku tak butuh rasa kasihannya, paling tidak untuk sekarang. Setelah pertahananku benar-benar tumbang, runtuh berserakan. ―Ki... gue….―
107
―Kalau lo emang bersikeras gak mau keluar dari ini semua dan nolak uluran tangan gue, gue berhenti. Gue gak akan ngurusin lo lagi.Gue mundur, Fa.‖ Bisikku menyerah. Aku mundur teratur kembali memberi jarak dengannya. Semakin lama semakin besar hingga aku sadar dia masih bergeming di sudut kamarnya sementara aku telah berada di pintu kamar. Sekarang terserah padanya. Aku lelah menariknya ‗tuk bangkit namun ia terus saja mendorongku hingga aku tersungkur dan tak berdaya ‗tuk menariknya lagi. Aku memunggungnginya. Menatap tanganku yang telah bertengger manis pada gagang pintu. Cairan bening dari mataku sekali lagi turun mengaliri pipi bak anak sungai. ―Baik-baik, Fa. Gue pergi.‖ ―Kiyana?‖ Beragam gejolak mengamuk saat memandangnya, memaksa mataku kembali berkaca-kaca. Telepon dari kawan kos yang mengabariku bahwa Daffa tengah terbaring sakit di kamarnya dan menolak dibawa ke rumah sakit sukses memaksaku mengepak barang pagi itu dari lokasi KKN setelah hampir dua bulanlost contact. Hingga di sinilah aku. Di depan kosnya. Jenggot dan kumisnya mulai tumbuh akibat lama tak dicukur. Beberapa jerawat mulai menghiasi wajahnya yang dulu lebih mulus dari wajahku. Daffa, ia manis menurutku apalagi dengan tahi lalat di sudut bawah dagunya. Meski tak semua orang sependapat denganku atau mungkin hanya aku yang bisa melihat betapa manisnya Daffa. ―Bukannya gue udah pesan jaga diri baik-baik?‖ Kugeser badannya yang bergeming di pintu. ―Lo tuh bikin repot aja, sih. Kalau gak takut kena sidang nyokap lo aja gue gak bakal matimatian balik ke sini.‖ Omelku berusaha menutupi rasa yang tidak boleh kutampakkan. Kuletakkan bubur ayam hangat dan beberapa kaleng susu cair serta buah-buahan di sebuah meja dekat jendela. Meja tempat ia selalu menyepi dengan segala perih. Kemasan obat sakit kepala dan penurun panas beserta antibiotiknya berserakan.
108
Aku bergerak membereskan yang bisa dibereskan. Membuang beberapa makanan basi lalu menyemprot pewangi ruangan. Aku memang bukan pembersih tapi kondisi kamarku tak pernah seperti ini.Tak kupedulikan tatapannya yang seolah menembus punggung ku. Aku sibuk menyajikan bubur ayam yang kubeli di ujung jalan, tempat makan favorit kami. Daffa tak bersuara. Kamar itu hanya dipenuhi suara remasan kantong kresek yang siap-siap berakhir di tempat sampah. ―Ternyata lo masih perduli, Ki.‖ Tiba-tiba kurasakan lengan melingkaripinggangku. Ada hembusan nafas yang mengusap pelan kulit leherku membuat bulu kudukku sedikit meremang. Aku sempat kesulitan menemukan suaraku. ―Apa-apaan sih, Fa. Balik ke kasur gih!‖ Ku coba melonggarkan pelukannya namun ia semakin dalam meraihku. Meraih sang hati yang sempatku kira mati. Membuatku sadar bahwa rasa itu masih ada dan tak akan pernah sirna. ―Maaf... Kepingan itu akhirnya ngelukain lo separah ini.‖ ―...‖ ―Bodohnya, gue justru gak bertindak apa-apa. Harusnya gue ngeraih lo, membantu mengobati luka lo. Tapi yang gue lakukan malah ngebiarin lo. Ngebiarin lo pergi membawa luka berbekas itu.‖ Kutatap pantulan wajah Daffa tepat di depan kaca jendela di hadapanku. Ia menangis. Seperti malam itu. ―Pantaskah lelaki bodoh ini mengemis bantuan sekali lagi?‖ ―Daffa….‖ Aku telah berbalik menghadapnya. Tenggelam dalam tatap penyesalan. Terbuai oleh ketulusan. ―Bantu gue sekali lagi buat ngumpulin pecahan-pecahan itu. Bantu gue sekali lagi berdiri kokoh seperti pot bunga itu.‖ Daffa melirik pot bunga yang malam itu dipecahkannya, namun beberapa hari kemudian aku membawakannya dalam bentuk yang sudah tersambung. Kuberi variasiwarna membuatnya tampak seperti mozaik. ―Lalu setelah itu lo bisa mulai menuai bibit bunga yang baru dan menjadikan pot itu kembali hidup.‖ ―Seperti pot bunga itu.‖ Setelah kuperhatikan lebih seksama, ada bunga yang menghiasi pot mini itu. Benih bunga yang kutanam sendiri ketika pot itu kembali berfungsi. Meski masih
109
sangat kecil namun entah mengapa mengetahui bahwa Daffa merawat bunga itu dan tak membiarkannya mati membuatku cukup terkejut. ―Gue gak tau akan butuh waktu berapa lama. Akan butuh perjuangan dan pengorbanan sebesar apa. Tapi, lo mau kan berjanji ngebantu gue sampai saat itu tiba, Kiyana?‖ Kubahasakan kesanggupanku melalui anggukan dan tatapan hangat padanya. Detik itu aku tersadar akhirnya cinta terpendam dan tak berbalas itu telah menemui titik terangnya. Ia akan segera usai. Memulai kisah baru, seperti pot bunga Daffa yang telah mengukir kisah barunya bersama bibit baru.
110
Mandewi
What happened in their lives? What happened in their hearts? To make them want to write the words Without Those Songs No Sound Without Silence
111
amu selalu berpendapat bahwa lagu yang akan dikenang sepanjang masa merupakan perpaduan dari enam puluh persen lirik yang baik dan empat puluh persen musik yang baik. Kamu tak pandai bermain alat musik, maka kamu mengalokasikan seratus persen kemampuanmu untuk menulis lirik. Ketika kamu selesai menulis lirik sebuah lagu lalu hasil karya itu kamu serahkan pada orang kepercayaanmu, lalu orang kepercayaanmu menghubungi orang kepercayaannya untuk membuatkan musik, lalu setelah tercipta satu lagu yang utuh, lagu tersebut dijual kepada penyanyi atau band papan atas, lalu meledak di pasaran. Kamu menerima di tanganmu, sebuah amplop berisi seikat rupiah. Kamu pulang dan mendengarkan radio. Menunggu lagu ciptaanmu diputar berulang-ulang. Lalu kamu membaca lagi liriknya baris demi baris. Celakanya, meskipun lagu tersebut terbukti laris hingga membuat penyanyi atau band yang membeli lagu itu mendatangimu lalu meminta dibuatkan lagu yang lain, kamu tetap akan menemukan satu bagian yang kosong. Seharusnya bukan ‗sukma‘ tetapi cukup ‗kata‘. Karena, pikirmu lagi, sebuah perasaan yang terlalu mudah diungkapkan tak pantas memengaruhi sukma. Ia cukup sampai di udara berupa katakata. Begitulah pendapatmu tentang lagu yang diputar di radio berulang-ulang, yang menceritakan tentang betapa mudahnya kata-kata cinta diucapkan belakangan ini. Sehingga cinta bukan lagi sesuatu yang keramat. Ia menjadi biasa. Seperti halo ketika orang mengangkat telepon atau sial ketika seseorang mengumpat karena menemui kesulitan. ―Kapan lirik terbarumu jadi?‖ Belum tiga bulan. Bahkan lagu terakhirmu yang meledak di pasaran masih banyak diputar di mana-mana, tapi orang kepercayaanmu sudah meminta lirik yang baru. ―Aku masih mencari kesalahan di lirikku yang terakhir agar tak kuulangi lagi di lirik berikutnya.‖ Kamu berkilah kepadanya yang ada di seberang telepon. Padahal kamu sudah menemukan kekurangan pada lagu tadi. Padahal kamu sedang terbaring di atas tempat tidurmu sembari menendang-nendangkan kaki ke udara. Persis seperti bayi yang kesenangan karena perutnya digelitik. Bedanya, kamu tidak sedang tertawa, melainkan sedang menangis.
K
112
Penulis yang baik, katamu, harus sensitif. Peka. Setiap perasaan harus dirasakan betul-betul. Setiap yang dialami harus diserap betul-betul. Simpan baik-baik, untuk dipakai di kemudian hari. Beberapa orang yang menjadi panutanmu, kebanyakan dari mereka sudah mati, mengulangi rutinitas mereka datang ke kepalamu. Dylan, Marley, Bono. Johny Cash, Buddy Holly, Lenon. Juga pertanyaan yang sama, muncul seiring kunjungan mereka. What happened in their lives? What happened in their hearts? To make them want to write the words Apa? Apa yang terjadi dalam hidup mereka sehingga mereka bisa menulis kata-kata itu? Lalu kamu bertanya pada orang kepercayaanmu, adakah hal penting yang terjadi dalam hidupmu dan bisa kamu jadikan bahan untuk menulis lirik yang baik. Seperti karya hebat idolamu. ―Kesuksesanmu menulis lirik. Membuat penyanyi dan band itu menjadi idola. That is what happened in your life.‖ Kesuksesan tak pernah memberi pelajaran, balasmu. Dan orang kepercayaanmu sudah mencium kekalahan bahkan sebelum perdebatan dimulai. Dia tak mengatakan apa-apa. Kamulah yang keras kepala dan tak suka dibantah sehingga merekalah yang harus mengalah. Pembicaraan kalian berakhir. Kamu menarik kertas kosong dan pensil dari laci meja. Kamu bertanya-tanya dalam hati, apa yang akan kamu tulis kali ini. Rasanya bosan menulis tentang cinta, tentang rindu, tentang masa lalu. Rasanya ingin menulis sesuatu yang baru. Bisa jadi yang kamu bosani bukanlah cinta, rindu, atau masa lalu melainkan menulis lirik lagu, kataku. Aku tak pernah menyangka kamu memikirkan kata-kataku dengan sungguhsungguh lalu kamu tersenyum seperti ada sebuah lampu menyala dalam kepalamu. ―Kamu benar! Aku bosan menulis lirik lagu.‖ Aku mengernyit. Pertama, karena kamu terlalu cepat menyetujui kata-kataku. Kedua karena, mana ada orang yang mengungkapkan kebosanannya sambil tertawa. Bosan adalah
113
kata kerja negatif. Tidak boleh diselingi sesuatu yang positif. Tawa adalah sesuatu yang positif. Kamu mengguncang-guncang bahuku. ―Aku akan menulis lirik lagu untuk terakhir kalinya. Lirik ini akan menjadi yang terakhir. Aku perlu sesuatu yang besar. Aku perlu sesuatu yang megah!‖ Kamu berdiri dan berjalan hilir mudik. Kepalamu menunduk, kedua tanganmu menyilang di depan dada. Sesekali kamu memegang kepala. ―Aku perlu inspirasi. Di mana dapat kutemukan inspirasi?‖ Aku pergi. Inspirasi datangnya ketika sendiri, kamu pernah bilang. Dan aku masih ingat. Aku menutup pintu kamarmu dan diam sebentar. Mendengarkan. Tak lama kemudian, kamu bersenandung. Tak tertangkap dengan jelas lagu apa itu, tetapi aku tahu bahwa earphone-mu sedang tertempel di telinga. Volume-nya cukup tiga. Kamu tidak suka suara-suara lebih keras dari itu. Tidak ada hitam yang terlalu hitam Atau putih yang terlalu putih Mari, Kukenalkan kau pada kelabu Kamu mencorat-coret kalimat tersebut. Mengang-gapnya kurang istimewa, kurang megah. Lagi-lagi para legenda lainnya menyambangimu. Elvis, Rolling Stones, Sinatra. Jackson, Madonna, Nirvana. Nirvana. Apakah nirvana hanya akan menjadi sebuah nama bagi suatu tempat apabila tak ada lagu-lagu itu?3 Hati kecilmu mengatakan bahwa kamu bisa membuat lagu sebaik mereka. Bahwa kalimat-kalimatmu akan abadi dan terus
terjemahan bebas dari potongan lirik: Or Nirvana be just a place without those songs? 3
114
dinyanyikan hingga beberapa generasi berikutnya. Sebegini cintanya kamu akan kata-kata. Hingga setiap saat sejak kamu putuskan bahwa lagu ini akan jadi lagu terakhirmu, kamu lebih sering membuka kamus. Memakai kata-kata baru akan memberikan sebuah perbedaan, kamu bergumam. Aku setuju. Pilihlah kata-kata dengan benar, karena salah memilih akan membawamu ke tempat yang jauh dari harapan. Untung-untung kalau tempat itu sama bagusnya dengan bayangan, tapi kenyataannya tempat yang salah adalah tempat yang salah. Pilihlah kata-kata dengan benar seperti kamu menempatkan ‗layur‘ di lirik lagu Aku Tahu Bagaimana Hidup Mengajarkanmu untuk Menjadi Dewasa atau ‗hiatus‘ pada lirik lagu Puisi. Tapi itu bertahun-tahun yang lalu. Sebelum kamu menjadi terkenal dan orang mengemis lagu. Mengapa sekarang kamu ingin kembali ke masa lalu? Ke masa-masa ketika orang-orang tak menerimamu karena kamu tak bisa diajak kompromi. Kata-kata seperti layur dan hiatus tak dapat dijual kala itu. Apakah membosankan berada dalam ketenaran? Sorot kamera memang di mana-mana dan membuat kamu tak bisa lagi bebas duduk di pinggir jalan dan memperhatikan tingkah laku orang-orang. Kita dilahirkan untuk mati. Dan kamu akan mati sendirian. Begitu dulu kamu bilang tentang dirimu sendiri. Dan sekarang kamu seperti baru sadar. Sehingga kamu hendak menarik diri. Menjauh, hingga tak ada yang mengenalmu. Dan untuk bisa sendirian dengan tenang, kamu harus menyelesaikan lirik lagu ini. Aku menyarankan sebuah kata. Beberapa kata. Perai. Karena setelah lirik ini selesai, kita akan berpisah. Cemani. Karena begitulah hidupku setelah kamu pergi. Korion. Karena mungkin sampai akhirnya pergi, kamu tak akan tahu keberadaan janin ini. ―Mengapa kata-kata ini?‖ Aku tak menjawab. ―Aku tak janji bisa memakai semua kata-kata ini dalam satu lagu. Rasanya tidak saling berhubungan.‖ Kamu berkata lagi. Lalu melepaskan kacamata. Lalu meraihku dalam pelukan.
115
―Aku ingin sekali menulis tentang kita. Tapi aku tak melihat ada yang salah. Tak seperti mereka yang bisa menuliskan sesuatu yang benar sama baiknya dengan ketika mereka menuliskan sesuatu yang salah.4 Aku hanya tahu bahwa yang salah harus lebih banyak diungkap. Sehingga orang ramairamai memperbaikinya.‖ Kalimat panjang pertamamu. ―Sesuatu yang sudah benar sebaiknya jangan kita singgung.‖ Berhari-hari kamu lebih banyak mengurung diri di dalam kamar. Berdiam, menyelam, memeram kata-kata. Aku sengaja melewati kamarmu sering-sering. Diam sebentar lalu menempelkan telinga di daun pintu, mengintip dari lubang kunci atau melalui ruang antara pintu dengan lantai. Tak ada suara apa-apa. Dari lubang kunci aku tak melihat kamu. Dari bawah pun sama. Aku tebak kamu sedang duduk di atas meja, menghadap jendela. Meja kerjamu memang terletak tepat di jendela dan jendela itu tidak berhadapan dengan pintu. Pada hari kelima, kamu mengejutkanku di dapur. ―Aku akan pergi.‖ Aku mengernyit. Lagi-lagi karena kamu langsung sampai pada kesimpulan tanpa menjelaskan apa-apa. Kepalamu bekerja terlalu cepat untuk bisa aku pahami. ―Aku akan pergi, mencari inspirasi.‖ ―Berhari-hari kemarin, apa kamu tidak mendapat apa-apa dari meditasi?‖ Kamu berjalan memutar agar menghadapiku. Lalu memegang kedua bahuku dengan senyum mengembang di bibir dan matamu. ―Aku perlu mengalami apa yang akan aku tulis. Aku mau menjiwai lirik ini.‖ ―Berarti kamu sudah memutuskan akan menulis tentang apa.‖ Kamu mengangguk pasti. Kamu adalah orang yang lembut sekaligus keras. Kamu bisa menjadi lentur sekaligus kaku. Selama bertahun-tahun aku
terinspirasi dari potongan lirik: When anything went right. When anything went wrong. They put it in a song. 4
mengenalmu, aku tak pernah tepat mengira kapan kamu bisa aku bantah kapan tidak. Karenanya aku memilih mengiyakan semua. ―Kapan?‖ ―Sekarang.‖ ―Berapa lama?‖ Kamu menggedikkan bahu. ―Ke mana?‖ Sekali lagi kamu menggedikkan bahu. ―Mau menulis tentang apa?‖ Kalau aku tidak bisa berjalan bersama, setidaknya aku tahu apa yang akan kamu hadapi. ―Nirvana.‖ ―Nirvana band kesayanganmu?‖ Kamu menggeleng. ―Nirvana tanpa lagu-lagu itu.‖ Aku bergidik. Hal pertama yang muncul di kepalaku pertama kali adalah kamu harus mati terlebih dahulu untuk bisa mengalami nirvana. Dan kamu memang harus mengalami nirvana kalau kamu mau menjiwainya. ―Jawab dengan jujur, apakah kamu menyukai aku yang dikenal di mana-mana karena karya besarku?‖ Aku menggeleng malu-malu. ―Sudah kuduga. Makanya aku sampai pada keputusan bahwa aku ingin hidup dan dibicarakan hanya ketika aku benar-benar hidup. Orang-orang terlalu bersemangat agar terus diingat bahkan setelah mati. Aku tak perlu itu. Lagipula tak ada bedanya aku yang terkenal dengan aku yang bukan siapa-siapa. Aku tetaplah aku. Sementara orang-orang terus menerus ingin dikenal. Aku, tidak lagi.‖ Kalimat panjang keduamu. Aku mengernyit lagi. ―Aku tidak akan membebani anak-anakku dengan nama besarku.‖ Anak-anak mana yang kamu maksud? Tak ada perempuan yang kamu temui selain aku dan tak ada anak lain sebelum yang sekarang ada di perutku. Yang terus berdoa sekuat tenaga agar ayahnya jangan dulu pergi sebelum menyadari keberadaannya. ―Aku akan mati sebagai bukan siapa-siapa dan aku rasa itulah cara mati yang paling baik. Sunyi dan sendirian.‖
117
Lalu kamu memakai baju terbaikmu. Berjalan menuju nirvana, katamu. Tak ada rasa takut akan tersesat, bahkan kematian itu apalah. Karena prinsipmu yang lain, kamu belum akan mati sebelum lirik terakhirmu selesai kamu tulis. Kalaupun mati, kamu tidak akan mati dengan tenang.
118
Wanda Sp
I can take this mistake but I can't take the ache from heartbreak No Good In Goodbye No Sound Without Silence
119
—Sisa Hujan Sebagai sisa hujan, aku hanya menemaninya. Membiarkan tubuhnya, tetap menunggu bersama waktu yang makin tergerus.
N
amaku Luis. Namaku sederhana. Namaku perempuan. Namaku penunggu. Namaku.... Baiklah, kuakui jika aku hanyalah seorang penunggu. Pekerjaan yang tak akan lebih dari bersembunyi di balik jendela—menghitung sisa hujan.Tentu saja menunggumu. Ayo, Luis. Carilah dia. ―Kau bohong!‖ ucapku pada salah satu di antara mereka. Kau tahu, Jov, sore ini hujan kembali mengendapkan sisanya pada jendela kaca yang telah lama berdebu di ruanganku.Aku menghirupnya, aroma sederhana, tapi bernyawa—hidup. Seperti bau tanah basah, yang sering kita nikmati di tepian taman setelah reda. Apa kau masih mengingatnya? Pada masa menjelang musim penghujan, dan tanah kering yang tersiram adalah batas kerinduan yang tertebus tuntas. Kau pernah bilang seperti itu bukan? Jangan bilang kau sudah lupa. Di mana kekasihmu, Luis? Aku berusaha mengabaikannya, kembali memperbaiki posisi dudukku pada sebuah kursi disamping jendela. Menunggumu. Tentu saja bukan yang lain. Pada ruang kecil yang membuatku merasa paling nyaman dan dapat berkehendak bebas dari orang lain, kamar tentunya, aku tidak perlu khawatir. Tak perlu merasa takut melihat peristiwa yang terjadi di luar sana. Diriku aman, tapi perasaanku tidak berkata demikian. Terlebih jika itu tentangmu. Baik disadari atau tidak, sebuah ruangan hanya akan membuat pikiranku menjadi lebih sempit. Sungguh. Aku tak membual. Kau tahu, sisa hujan kali ini banyak sekali. Mungkin,hujan terlalu bersemangat menjatuhkan diri ke akar langit, dan berteduh di jendela kamar. Ada satu, dua, tiga...bahkan puluhan. Oh... tidak, aku menghitungnya ada ratusan. Tapi, kenapa kau tak ada? Jov,
120
Kali ini, kau tidak datang padaku. Kau tidak menemukannya di antara kami? Cinta macam itu? Sudah! Tak bisakah temanmu ini berhenti mengejekku saban hari? Mereka mengolok-olokku. Saat hujan telah reda,dan aku tidak menemukanmu di antara mereka. Hai, Luis! Tidakkah kau berprasangka, jika lelaki itu mengendap pada jendela kamar perempuan lain, hah? Satu minggu berturutturut dia tak kunjung datang. Atau, dia telah melupakanmu, meninggalkanmu, jauh. Di atas langit, hingga dia tak mau datang kepadamu. Mungkinkah kau melakukannya padaku? Aku masih menunggumu. Berharap kau segera datang dengan sisa hujan yang terus membasah pada jendela. Oh, bolehkah aku menceritakannya, kenapa kekasihku (tunggu dulu, masih pantaskah aku menyebutmu sebagai kekasih, Jov, atau... sudah tidak pantas lagi) bisa menjadi setetes sisa hujan di luar jendelaku? Maukah kau membagi cerita ini? Kau orang yang baik bukan? Kupikir, kau bersedia jika kisah ini kuceritakan kepada mereka. Tapi nanti. Nanti. Jov, Aku merindukanmu. —Jovial Kamu seorang Jovial. Jika jiwamu telah memudar hebat dan ragamu mulai merekat pada nama yang bukan aku lagi. Karena kamu tidak sanggup untuk jatuh cinta dan mencintai lagi. Hampir satu tahun kita menjalin hubungan. Hampir? Ya,aku katakan demikian. Karena hampir adalah sebuah kata yang harus kuucapkan dengan penuh pertimbangan dan kehatihatian. Hampir adalah keadaan, yang mana tidak pernah bermuara pada sebuah titik temu. Seperti, hampir memiliki, kukira mereka tidak jadi memiliki. Hampir bunuh diri, kukira mereka tidak sampai bunuh diri. Dan hampir satu tahun,
121
kukira... kita tidak sampai satu tahun. Bukankah ini sebuah kenyataan? Hampir. Masih ingatkah, saat kita berada di sebuah kedai kopi kesukaan kita di pinggir kota Jogja? Kau tak pernah lupa memesan macchiato — minuman kesukaanmu itu. Dan aku akan memesan cappucino. Namamu Jovial. Jika mereka bertanya padaku, perempuan yang sangat mencintaimu ini, pasti aku akan menjawab jika dirimu tidak terlalu tampan. Bukankah wajahmu enak dipandang karena tertolong oleh hidung mancungmu itu? Ah, kau jangan manyun saat aku berkata demikian. Aku tak mengerti, kenapa aku sangat suka bersandar dan tertidur di atas dadamu yang bidang. Saat merasakan kepedihan, aku ingin melakukannya. Dan kau akan membiarkanku melakukan hal serupa saat kita bersama. Dadamu hangat, membuatku ingin berlama-lama bersamamu, terus dalam dekapanmu. ―Bersandarlah semaumu. Sungguh, jika alam menghendaki, aku ingin kau memilikiku selamanya. Bukan yang lain.‖ Kau membelai rambutku. Rambutku sekarang banyakyang rontok, Jov. Mungkin karena sering memikirkan hal di antara aku dan kamu, tapi, sulit menjadi kita. Bukankah banyak pikiran membuat rambut kita akan sering terjatuh—rontok? ―Luis, maafkan aku,‖ ―Iya, Jov,‖ sahutku tak terdengar, bersamaan gejolak dalam dadaku. Aku mengerti, bagaimana perasaanmu yang mulai campur aduk, mual, dan serasa ingin muntah menghadapinya.Aku juga merasakannya, bagaimana ratusan belati mulai menusuk-nusuk dan menyiksa keseluruhan perasaanku. Tidak membuatku mati, Jov, tidak. Tapi mengoyak dan melukainya. Saat kamu harus... ah, haruskah kuulang pernyataan yang penuh dengan mata pisau itu—melukaiku? Jika kau akan bersama yang lainnya. Lain yang bukan aku. Ini terlalu berat buatku. Sudah beberapa malam berganti rembulan, air matakutak kunjung habis. Memang, beginilah ceritanya, benda cair ituselalu terbit di sudut mata saat aku bersamamu, atau saat mengingat
122
hubungan ini. Hubungan kita yang terlalu jauh di luar jalur, kata mereka. Jov, Bukankah aku adalah perempuan yang baik-baik saja sebelum mengenalmu? Tapi setelah aku mengenalmu, kenapa harus ada luka yang harus kuterima? Terlebih, kita (mungkinkah masih bisa disebut kita) telah terlanjur jauh saling mencintai. Kupikir, kau tidak bermaksud melukaiku bukan? ―Luis, aku...‖ kalimatmu terhenti. Aku paham perasaan kita. Tapi, kau tahu, bagaimanapun juga suatu ketika aku dan kamu akan menemukan muara lain yang disebut perpisahan. Ya, perpisahan. Kita tidak bisa memungkirinya. Menikahi perempuan lain adalah sebuah keharusan bagimu ya, Jov? ―Maafkan aku,‖ ucapmu pelan. ―Luis, aku tak tahu, bagaimana baiknya perpisahan. Tolong, perintahkan diriku dan semua ini untuk berhenti. Aku mencintaimu, Luis, bukan dia. Where's the good in goodbye?‖ Kita terdiam. Kita mengingat sesuatu. ―Where's the nice in nice try?‖ ucap kita bersamaan – terputusputus. ―Where's the us in,‖ aku terisak,―Trust gone?‖ Aku melihatmu terdiam. Sementara,air mata ini tidak bisa kutahan. ―Lanjutkan, Jov,‖ kataku berat, ―lekas.‖ ―Tapi...‖ Kau masih ingat? Aku meraih tanganmu waktu itu, lalu menciumnya. Mataku terpejam, betapa sebuah pedal pilu akan diayuh menuju hatiku. Aku harus mendengarnya darimu. ―Where's the soul in soldier on?‖ ―Now...‖ ada hal basah yang akurasakan. Barangkali air mata mata yang mulai deras.―I'm alone and lonely...‖ 'Cause I don't own you only I can take this mistake but I can't take the ache from heartbreak No, I can't take the ache from heartbreak
123
Dan kala itu, No Good In Goodbye kita alunkan bersama. Bersama perasaanku yang telah koyak. —Kutukan Kau wanita sampah! Pengganggu! Perusak! Penyusup! Tak lebih baik dari bangkai binatang! Kalimat itu terus berteriak di telingaku. Aku sangat menginginkanmu. Namun aku sadar, jika kita tidak mungkin terus-terusan dalam hal ini. Kau bukan hakku. Kali ini,aku sepakat dengan Bara, penulis novel berjudul Cinta. Setelah cinta, memang harus selalu ada air mata dan luka hati. Aku menemukannya, saat aku mencintaimu. Aku mencintaimu. Tapi, aku membencimu. Oh, tunggu dulu. Mana mungkin aku membenci orang yang aku cintai? Yang aku tahu, aku sangat benci dengan pilihanmu, menikah dengan perempuan lain.Kau tahu, aku seperti pihak ketiga di antara kalian. Sedangkan bagiku... perempuan itulah yang sesungguhnya menjadi pihak ketiga di antara cinta kita? Kau sepakat denganku? Jov, Banyak cerita yang kudengar, jika kau telah dijodohkan oleh orangtuamu. Kenapa kau tak menolaknya jika kau tak mencintainya? Aku serasa simpananmu saja. ―Perempuan itu...‖ katamu datar, ―ia telah menyelamatkan ibuku, wanita yang paling aku cintai di dunia ini. Dan aku... aku berhutang budi karenanya.‖ Oh, apa karena hutang budi, suatu saataku dan lainnyajuga harus membalasnya dengan cinta? Dunia ini dipenuhi dengan rekayasa ya, Jov.Untuk itu, aku setuju. ―Sungguh, aku hanya mencintaimu, bukan yang lain. Jika saja kau datang lebih awal, aku akan memilihmu.‖ ―Jangan salahkan waktu. Bukankah kita telah sepakat untuk berani memulai? Dan seharusnya kita telah mempersiapkan diri untuk mengakhirinya. Aku tahu resiko yang akan terjadi, jauh sebelum kita memutuskan untuk memulai.Aku hanya seseorang yang mencoba menyusup ke dalam masa pertunanganmu.‖ Kau tahu, saat itu hatiku semakin luka. Mengucapkan kalimatkalimat yang...rekayasa.
124
―Apa kau mampu mengakhiri?‖ ―Kupikir begitu,‖ ucapku berat. ―Tapi aku mencintaimu.‖ ―Kau egois memilih semuanya,‖ kataku jauh lebih berat. Kala itu, aku masih bersamamu, di sebuah ruangan yang membuat pikiran kita menjadi sempit. Hujan mulai mereda, memayungi kota Jogja. Hening, hanya rintik yang terdengar samar, dan suhu... yang jauh terasa dingin daripada suhu AC yang sering kunyalakan di kamar. ―Kau perempuanku.‖ Tanpa persiapan, kau menarik badanku. Ini kali pertamanya kau meraih bibirku sore itu. Bersama hujan, aku menikmatinya dengan dalam. Atas perasaan cinta, yang hanya aku berikan untukmu seorang. Jov, bolehkah kukatakan, jika bibirmu terasa begitu lembut saat kita saling mengulum? Seperti kelopak mawar, yang dilumuri kelembutan eskrim. Tapi es krim kali ini hangat — manis. Akankah kau menyangkal? Bagaimana dengan bibirku? ―Sayang, jika kita harus berakhir, biarkan sisa hujan di jendela itu menjadi saksi jika kita pernah melakukannya sejauh ini. Tanpa orang lain, yang tidak pernah kita cintai. Dan, jika kita memang tidak diijinkan untuk bersama, aku ingin menjadi setetes sisa hujan di jendela. Biar aku bisa melihat dan menemuimu setiap saat, agar orang lain tidak tahu keberadaanku di sana.‖ ―Semoga Dewa Agung mendengarnya, jika kauingin selalu di sini, menemuiku.‖ Ucapku sekenanya. ―Ya, aku sepakat untuk menjadi bagian dari mereka. Di jendela jika kau mau.‖ Katamu yakin. Lagi-lagi, kau menyambar bibirku jauh lebih cepat. Kali ini, kau sedikit kasar terhadapku. Dan karena hubungan kita terlalu dalam, maka aku memutuskan untuk menutup semua tirai di ruangan itu. Aku dan kamu. Aku tak menyangka, kala itu akan menjadi pertemuan terakhir kita.
125
Memang, pernikahan itu dibatalkan, kau tidak jadi menikah. Meskipun, ada pertunangan dan perjodohan seperti yang pernah kudengar. Aku senang? Tidak, Jov. Perasaanku abu-abu. Tapi lebih pilu. Jauh lebih pilu daripada menyaksikan pernikahanmu, Jov. Kau masih mencarinya, Luis? ―Di mana dia? Aku merindukannya.‖ Carilah di antara kami. Jika dia ada, pasti akan menyapamu sebagai sisa hujan. Aku terdiam. Kau bodoh, Luis!Kau yang membuatnya pergi lebih cepat. Serangan jantung itu, semua kerenamu, Luis! Kutukan Dewa Agung, itu juga karenamu! Kau pembunuh! ―Aku bukan pembunuh.‖ Sangkalku pelan. Bagaimana mungkin bukan kau pelakunya? Hanya kau yang ada di ranjang bersamanya. Benarkah, pelaku yang menghilangkan nyawamu adalah aku, perempuan yang mencintaimu? Apa aku juga, yang telah mengutukmu seperti ini? Sehingga kau tersiksa—terperangkap menjadi setetes sisa hujan di jendela. Jika saja aku menolak permintaanmu, mungkin... kau masih ada di sini. Dan serangan jantung itu.... Jov... maafkan aku. Masih bisakah aku menemuimu lagi? Atau, mungkinkah kau pergi kepada pemilik jendela yang lain? Tiga bulan berlalu, kau selalu datang tepat waktu. Tapi, kenapa seminggu ini kau tak pernah datang? Tidak rindukah dengan perutku yang mulai buncit ini? Aku ingin sekali hujan kembali turun, dan Dewa Agung mendengarku, jika aku ingin menjadi setetes sisa hujan. Bukan perempuan yang berdiri sekarang ini. Jov, cerita ini selalu kuletakkan di samping jendela kamarku. Semoga saat kau pulang (bolehkah aku mengatakan jika ruangan ini adalah istanamu juga di dunia), kau dapat membacanya.
126
Deasy Serviana
No matter how it falls apart. There‟s an „art‟ in breaking hearts. No Good In Goodbye No Sound Without Silence
127
D
a menatap sosok di dalam cermin. Sosok itu bukan dirinya. Siapa yang memiliki mata bulat seperti bola kelereng – berlipat dua pada kelopak? Hidungnya tidak pernah setinggi itu sebelumnya. Bentuk wajah tidak sesempurna itu. Rahangnya tidak setirus itu. Itu bukan dirinya! Where‘s the ‗good‘ in ‗goodbye‘?
Hari ini lagi-lagi ia memandangi sosok itu dari jauh. Untuknya sosok itu adalah sesuatu yang tak akan pernah ia bisa gapai. Satu hal tentangnya yang membuat Rani menyukainya, ia selalu baik pada siapapun tanpa memandang status dan jabatan dari orang yang dihadapinya. ―Pagi, Rani,‖ sapa sosok itu begitu berada di hadapannya. ―P-pagi, Aksel.‖ Ia gelagapan membalas sapaan Aksel yang selalu terucap setiap kali mereka bertemu. Mendengar suaranya yang seperti tikus mencicit, wajah Rani segera memanas. Ingin sekali ia mencari lubang dan bersembunyi di sana. Rani tahu dirinya bersikap sangat canggung pada Aksel. Namun ia tidak bisa memungkiri ia tidak punya nyali untuk menghadapi Aksel – menatap matanya. ―Sel, buruan, meeting sudah mau mulai.‖ Seorang perempuan memanggil Aksel yang terlihat ingin berbicara dengan Rani. Perempuan itu adalah staf lain dari acara J-O Radio ‗The Unspoken‘, acara yang selalu ditunggu Rani setiap Sabtu malam karena acara itu dipandu oleh Aksel. ―Iya, bentar.‖ Aksel menoleh pada Rani. ―Duluan ya, Rani.‖ Apa Rani sudah mengatakan bahwa ia juga sangat menyukai suara Aksel? Sedikit dalam tapi lembut dan menenangkan. ―Iya.‖ Rani tersenyum lemah. Ia menatap punggung yang menjauh itu dan menghela napas. Rani menghela napas ketika memandangi wajahnya di dalam cermin di salah satu toilet di gedung tempatnya bekerja. Setiap kali ia menatap sosok lainnya, setiap kali itu pula ia selalu
128
memikirkan satu kata yang bisa diikuti berbagai pasangan kata lainnya. Seandainya... Seandainya tubuhnya lebih ramping. Seandainya bentuk wajahnya lebih tirus. Seandainya Rani memiliki fisik yang indah. Rani sangat membenci penampilannya. Ia benci wajahnya. Ia tidak menyukai bibirnya yang tebal. Kulitnya yang sawo matang. Ia juga benci rambutnya yang ikal dan kelam. ―Gendut! Gendut! Rani jelek!‖ Tawa canda anak kecil terus berulang. ―Tidak!‖ Tawa itu tercampur dengan tangisan penolakan untuk ejekan tersebut. Rani terbangun dengan peluh mencucur di sekujur badan. Tubuhnya bergetar hebat oleh emosi yang dirasakannya. Rani membuka kepalan tangandan melihat jejak kuku terukir dalam pada telapak tangannya yang kuning pucat. Rani, stop it! Rani terus mengucapkan kalimat itu dalam hati. Ia tahu ia tidak boleh melakukan hal ini. Ia tahu pemikiran ini tidak baik untuk hati, tetapi itu tidak bisa dihindari. Ingatan tentang hari itu masih saja menghantui, bahkan lebih buruk dari sekedar mimpi buruk. Ini seperti neraka. Rani menghela napas panjang setelah mampu mengendalikan diri. Ia melirik jam yang dipajang di atas lemari samping tempat tidur. Pukul 07.00. Ia harus segera bersiap untuk pergi ke kantor. ―Sore, Rani,‖ sapa suara yang dalam namun lembut dan menenangkan itu. Rani yang sedang menikmati kopi sendiri di kafetaria menoleh ke belakang. Sreg! Brak! Rani nyaris terjatuh dari tempat duduknya karena terkejut melihat sosok di belakangnya.
129
―Lu nggak apa-apa?‖ ―Aksel? Eh, nggak apa-apa.‖ Rani segera menyingkirkan tubuhnya dari sentuhan Aksel yang menahan agar Rani tidak terjatuh. ―Kayaknya sekarang setiap kali ketemu gue, lu selalu jatuh.‖ Aksel berkomentar sambil duduk di sebelah Rani. Ia menatap ke arah luar jendela kaca kafetaria yang terletak di lantai empat gedung. Rani bergeser menjauh untuk menjaga debaran hatinya agar tidak semakin kencang. Ia takut. Takut kalau debaran itu akan terdengar oleh pria di sisinya. ―Nggak kok, cuma kebetulan.‖ Dengan susah payah, Rani akhirnya mampu menjawab celetukan Aksel. ―Jauh amat duduknya, Ran.‖ Aksel mendekatkan bangkunya pada Rani dan menatap Rani. Ada apa? Rani merasa tatapan itu menyadarkannya akan keanehan dalam diri. Ia menyentuh wajah. ―Gua pergi dulu ya.‖ Rani beranjak dari kursinya. Dengan canggung ia segara memutus pertemuan tak disengaja itu. Ia merasakan perasaan tidak nyaman kembali hinggap di hatinya. ―Buru-buru amat, Ran. Sudah mau siaran?‖ Rani tidak menjawab pertanyaan Aksel. Rani setengah berlari menjauh dari Aksel, memasuki toilet perempuan terdekat. Ia menempelkan punggung di dinding toilet dan merosot hingga berjongkok. Ia merasakan dadanya begitu sesak. Matanya terasa sangat panas. I can take this mistake. But, I can‘t take the ache from heartbreak. Rani menatap sosok diri di dalam cermin. Matanya memerah. Lingkaran hitam di bawah mata terlihat mengerikan. Hidung tinggi dan bibir tipisnya seolah mengejek. Ia ingin menghancurkan pantulan dirinya. Ia tidak akan pernah bisa mengembalikan semua yang telah terjadi.
130
Semua berawal dari saat itu. "Kayaknya ada yang aneh dengan lu dan Rani." Rani mendengar namanya disebut ketika ia berjalan di koridor depan ruangan yang ditempati Aksel dan teman perempuan yang Rani tahu bernama Eileen. "Apa yang aneh? Gue baik-baik saja sama dia." Aksel malah bertanya balik dengan gaya cueknya. Ia mengelap tempurung kura-kura betinanya agar terlihat bersih. "Kelewat baik. Tiap ketemu selalu saja ngajak dia ngobrol dulu. Eh, lu sama Rani bukannya sudah kenal lama ya?" "Hmm," Aksel tidak menjawab dengan jawaban pasti – hanya menggumam. "Lu dan Rani pernah jadian?" Aksel menatap dramatis pada Eileen. "Gue sama Rani? Amitamit deh!" "Loh kenapa? Rani kan cantik, keren pula. Lu nggak pernah dengarin dia nge-DJ sih. Sukses bikin gue pengin jalan-jalan melulu." Temannya melirik. "Ah gue tahu. Lu sama Rani tipikal yang kucing-anjing waktu kecil ya? Eh, tapi nggak benar juga, lu kayaknya baik sama Rani." Aksel memukul bahu Eileen pelan, menghindar untuk menjawab. "Lu kebanyakan nonton drama Korea." "Jadi lu sama Rani punya rahasia apa?" Eileen tidak menyerah untuk mengorek informasi tersebut. Rani yang berdiri di depan pintu ruangan juga masih mendengarkan. Aksel menatap pada dinding ruangan yang berwarna abu-abu metalik tersebut. Terdiam selama beberapa saat. Detik-detik itu sangat menyiksa setiap orang yang ingin tahu jawaban Aksel, termasuk Rani. "Gue... nggak suka cewe yang bermake up tebal, apalagi yang terlalu terobsesi dengan kecantikan luar dan mau melakukan apa pun demi jadi cantik." Rani tahu. Ia selalu tahu Aksel tidak mungkin menyukainya. Ia tahu bahwa dirinya tidak akan pernah bisa menjadi seseorang yang berbeda. No matter how it falls apart. There‘s an ‗art‘ in breaking hearts.
131
―Aksel, main, yuk.‖ Gadis kecil berusia tujuh tahun, dengan rambut diikat dua tinggi, menarik lengan anak laki-laki disampingnya yang sedang sibuk sendiri dengan mainannya. ―Ih, sana, ah! Aku nggak mau main sama kamu!‖ Anak laki-laki itu mendorong anak perempuan itu keras hingga terjatuh. Anak perempuan itu mulai menangis keras. ―Kenapa? Kenapa Aksel nggak mau main sama Rani?‖ ―Karena kamu jelek!‖ Rani terbangun dengan peluh membasahi dahi. Telinganya masih terus berdengung dan terngiang-ngiang kalimat yang berasal dari suara yang selalu menghantui selama beberapa tahun. Napas Rani tersenggal. Rani berlari ke kamar mandi di dalam ruangannya. Ia menatap lurus pada cermin namun ia tidak dapat mengenali pantulan dalam cermin. Siapa sosok di dalam sana? ―Argh!!!‖ Rani berteriak keras sambil berjongkok menutup telinganya. Ia tidak ingin mengingat apapun. Tidak dengan sosok di dalam cermin itu. Ia tidak tahu siapa sosok yang ada di dalam sana. Where‘s the ‗good‘ in goodbye to myself? Tok... Tok... Tok... ―Rani… Ran?‖ Rani mengangkat wajahnya sontak bergerak mundur merapat pada kepala tempat tidurnya. Ia tahu suara itu. Untuk apa dia datang ke sini? ―Buka pintu, Ran.‖ Rani tidak menyahut. Ketukan itu terus terdengar namun samar dan perlahan. ―Ada apa sama lu? Kata nyokap lu, lu histeris malam-malam.‖ ―Pergi, Sel.‖ ―Lu bisa ngomong sama gue.‖ Rani mengambil bantalnya dan melempar ke arah pintu. ―Gue bilang pergi! Gue nggak mau ketemu sama lu!‖
132
Rani terus melempar barang-barang yang bisa dijangkaunya. Ia tidak ingin mendengar apapun yang dikatakan Aksel. ―Ta da! Lihat dong muka gue. Cakep kan sekarang?‖ Rani berlari ke rumah Aksel, mendekati Aksel yang sedang membaca buku di sofa, hanya untuk memamerkan hasil terbaru dari usahanya mempercantik diri. Saat itu Rani masih merupakan mahasiswi dari salah satu universitas ternama di Depok, sama dengan Aksel. ―Dari mana aja lu seminggu ini?‖ tanya Aksel tanpa memandang Rani. ―Ih, lihat gue dong!‖ Rani memutar pundak Aksel paksa. Aksel berdecak kesal. ―Apa sih?‖ ―Bagus, nggak?‖ Rani memainkan kedua tangannya di bawah dagu untuk mengarahkan fokus mata Aksel. Aksel menatapnya lama. Harapan Rani telah melambung tinggi saat ia melihat reaksi Aksel. Ya, Rani akui. Ia memang sedikit – sangat, sih sebenarnya – terobsesi untuk membuat Aksel menarik perkataannya sewaktu kecil. Ia ingin membuat Aksel melihatnya cantik. Aksel mendengus dan membuang muka. ―Jelek.‖ Setiap kali Rani berpikir telah berhasil. Setiap itu pula, Aksel selalu mengatakan hal yang berlawanan dari yang Rani harapkan. Aksel selalu saja berhasil menghancurkan kepercayaan dirinya. Rani, sekarang. Tok... Tok... Tok... ―Rani.‖ Kali ini suara yang berbeda terdengar dari sebelumnya. Rani tahu itu adalah suara milik ibunya. ―Kamu sama Aksel kenapa lagi?‖ Rani terdiam. Ia tidak tahu bagaimana menjawab pertanyaan ibunya. Sejak awal hal ini memang hanya sepihak. Hanya ia saja yang terobsesi akan pengakuan Aksel.
133
―Rani, Sayang, Nak?‖ Ibunya masih saja berusaha membujuk Rani untuk keluar. ―Biarkan aku sendiri saat ini, Bu.‖ Rani akhirnya menjawab. Ia tidak sampai hati mendengar ibunya terus memohon. ―Ya sudah kalau kamu maunya begitu.‖ Ibunya akhirnya mengerti keinginan Rani. ―Aksel tadi titip pesan. Katanya, nyalakan radio.‖ Rani tercenung mendengar pesan itu. Apa yang Aksel ingin ia dengar? Ia tidak ingin mendengar perkataan Aksel yang akan menyakitinya sekali lagi. Namun ia begitu ingin mendengar suara Aksel. Rani bergerak untuk menyalakan radio di atas lemari kecil berwarna merah muda pastel di samping tempat tidur. Suara musik samar terdengar dari speaker compo milik Rani. ―J-O Radio 99.9 FM, kembali lagi dengan gue Aksel. Sobat The Unspoken, tadi kita sudah dengarkan The Script dengan Never Seen Anything ‗Quite Like You‘. Menyambung lagi dengan yang kita bicarakan tadi, Admiration. Sobat The Unspoken, apakah kalian pernah mengagumi seseorang dalam bentuk apapun? Baik dia itu cantik, baik atau apapun. Kalau gue sih pernah, pada Lucia. Eh, kalau itu sih nama kura-kura gue. ‖ Kekaguman yang tak terucapkan, hal itu membuat pikirannya otomatis tertuju pada Aksel. Ia masih bertanya-tanya apa yang ingin Aksel katakan lewat siaran ini. Yang jelas, kekaguman itu tentu saja bukan tentangnya. Aksel tidak mungkin mengatakan hal itu padanya. Ia bisa mengatakan hal itu pada semua orang kecuali padanya. Apakah ini yang dimaksud Aksel? "Jika hal itu disimpan seorang diri saja, mungkin akan menyelamatkan lu dari moment of embarrassment, tapi ketika diucapkan mungkin saja hal tersebut bisa saja menyelamatkan seseorang. Sekarang, gue akan bacakan email satu ini. ―Ini dimulai saat gue masih kecil. Ada satu orang anak perempuan yang selalu gue ejek. Tiap kali ketemu, satu hal yang pasti gue lakukan, yaitu membuatnya menangis." Rani menyimak isi surat yang dibacakan oleh Aksel. Ia merasa cerita surat tersebut tidaklah asing. Apakah ini yang Aksel ingin Rani dengar? Mengapa? "Seandainya waktu itu gue sempat ungkapinapa yang dia pengin dengar, mungkin saat ini dia nggak akan mengubah dirinya secara drastis. "
134
Kenangan masa kanak-kanaknya kembali terkilas di dalam benak. "She is beautiful. I mean, she‘s always beatiful even back then. Tapi, gue tahu kalaupun sekarang gue ngomong tidak akan merubah apapun." Dan setetes airmata turun mendengar perkataan Aksel di radio. If I could turn back time then I would re-write those scenes. Those decisions.
135
136
Andria Puspa Alisya
Who would have thought that I‟d be in such a mess? Now you know, I‟m just a man on a wire Man On Wire No Sound Without Silence
137
ei, 1999 Hidup tidak pernah mudah di Ancarkshze. Lahir di sepertiga malam yang kelam dan penuh suara tembakan, di sebuah gubuk kecil bekas gudang penyimpanan makanan bersama seorang perawat dari tenda gawat darurat, yang dengan senang hati melewati dinginnya udara di luar dan membantu seorang wanita muda melahirkan anak pertamanya. Diiringi suara ledakan bom yang semakin membara, anak lelaki tampan dengan mata biru lahir ke dunia. Dan di saat yang sama, wanita muda itu kehilangan pemuda dengan mata biru yang sama. Begitulah Justin Arteman menjadi seorang pemuda gagah berani yang tampan dan berdiri di barisan terdepan saat semua orang mencari tempat persembunyian. Hidup bersama kesendirian yang disembunyikan. Mendewasa bersama orangorang yang kerap kali meninggalkan. ―Kau hebat, Justin.‖ Felton sudah bersandar di kepala ranjangnya. Beberapa jam yang lalu, ia terbangun dan menangis keras karena mendapati dirinya sudah terkulai di ranjang tenda gawat darurat. Justin menemukan Felton—yang ia sebut sebagai sahabat kecil geniusnya—terletak tak berdaya dengan peluru bersarang di tungkainya. ―Kau selalu memintaku bercerita tentang kisah hidupku, Felton Greezio.‖ Justin mengusap kepala lelaki kecil itu sembari tertawa kecil dengan penuh kasih sayang. Justin sudah mengenalnya sejak bayi. Justinlah yang membawa ibu Felton ke tenda darurat saat ia akan melahirkan Felton. ―Mr. Arteman, ayahmu,‖ Felton menatap sayu kepada Justin yang sedang mengernyitkan sebelah alisnya, ―Ia seorang pemberani yang pintar, memutuskan pergi berperang daripada menemani ibumu melahirkanmu.‖ Justin tersenyum pahit. Anak ini terlalu cepat mendewasa, pikirnya. ―Jika ayahku menemani ibuku bersalin, mungkin gubuk itu akan diledakkan dan aku tidak pernah terlahir, Felt.‖ Felton mengangguk, ―Ya, tapi Mr. Arteman tahu ibumu adalah wanita yang kuat dan mampu melindungimu seorang diri.‖ Justin tersenyum pahit. ―Ada yang belum sempat aku ceritakan, Felt. Ini tentang seseorang yang aku yakin kau pasti mengenalnya.‖ Felton menegakkan badannya dan menatap tak
M
138
percaya kepada Justin. ―Sebaiknya aku tidak membicarakan ini denganmu.‖ Justin terkekeh. ―Dan aku yakin kau tidak punya teman untuk berbicara selain aku,‖ jawab Felton tanpa ekspresi. Ia lelaki 12 tahun yang tampan, tapi sangat dingin. Felton tidak punya banyak teman karena kata-katanya yang kasar dan wajahnya yang minim ekspresi. Justin adalah satu-satunya orang dewasa yang mau mendengarkan dan menanggapi omongannya. Salah satu alasan Felton menyayangi Justin adalah, Justin tidak pernah meremehkan siapapun dan ia adalah orang paling optimis yang Felton kenal. ―Aku pernah punya, Felt.‖ Justin tersenyum pahit. Juni, 1986 Mata cokelat terangnya mengerjap tidak percaya, ―Kau benarbenar akan ikut misi perdamaian di Kota Bark?‖ Yang ditanya hanya tersenyum ragu-ragu. Ia ingin menenangkan gadis di sampingnya itu, tapi ia bahkan tidak bisa menenangkan dirinya sendiri. ―Tidak, tidak, tidak.‖ Gadis itu menggeleng dengan tegas. ―Kau masih 18 tahun, aku tidak setuju. Kota Bark sangat jauh dan kau pasti akan bertemu dengan orang-orang jahat dari Kota Bark yang akan menghalangi jalanmu.‖ ―Lalu kenapa?‖ ―Justin, bagaimana kalau kau tidak kembali?‖ Ia menatap cemas. ―Kau harus melakukan perjalanan berbulan-bulan untuk ke Kota Bark dan kembali lagi ke sini.‖ ―Kau akan merindukanku, aku seharusnya sudah tahu, Ariana,‖ ujarnya tanpa perasaan bersalah sedikitpun. Ariana menepuk pundak kekasihnya kesal. ―Jika itu benar, kau tidak akan pergi?‖ Justin menjitak kepala Ariana Zheima, kekasihnya selama dua tahun terakhir. Ariana mengaduh sembari mengusap-usap kepalanya. Justin tertawa puas melihat gadis itu sibuk merapikan rambutnya lagi. ―Aku akan pergi untuk membebaskan Ancarkshze dari perang yang tidak berkesudahan ini, aku pergi untuk membuatmu aman, Ariana.‖ Justin menyentuh punggung tangan Ariana. ―Aku
139
ingin melamarmu setelah aku pulang nanti, kau mau menungguku?‖ Mata birunya memantulkan bayangan Ariana, seorang sahabat kecil yang sekarang menjadi kekasihnya, entah karena sudah terbiasa atau cinta. Ariana tersenyum hanya untuk Justin seorang. ―Kembali dengan selamat, dan bawakan aku cincin yang indah dari Kota Bark. Aku dengar ada batu sebiru safir yang harganya sama dengan setengah karung gandum di sana.‖ Justin mencium kening gadis itu. Justin Arteman tidak punya kesempatan untuk bertemu dengan Ariana Zheima setelah ia bergabung dengan Green Guard untuk melakukan misi ke Kota Bark yang berbahaya. Ia sibuk menjalani latihan bersama dengan orang-orang bertubuh lebih besar dan lebih tua yang sudah biasa berperang dan membunuh sebelumnya. Justin sudah sering kehilangan orang yang ia sayangi di hidupnya. Bagi Justin, dosa adalah hal yang patut ia risaukan di akhir. Asalkan kematian ayahnya bisa ia balas dengan kematian yang lain. Sebelum fajar, Justin dan dan anggota Green Guard yang lain harus sudah berjalan menuju Gunung Yekhzo dan mengitari perbukitan di baratnya agar bisa sampai ke Kota Bark dalam waktu yang lebih singkat. Malam itu purnama menghiasi Kota Jazeeda. Justin dengan mantel tebal berjalan menuju mansion di sebelah pohon oak tua, mansion keluarga Zheima. Tanpa ragu, Justin melompat ke balkon kamar Ariana. Ia sudah biasa melakukan itu sejak masih kecil, dan Ariana tidak pernah terganggu. Justin mengetuk jendela kamar tidur Ariana pelan. ―Ariana, ini aku!‖ Tak lama kemudian, Ariana keluar dengan terusan kuning pucat yang bagian bawahnya melebar. Ia menatap Justin tak percaya. ―Justin? Kau.. oh, Justin!‖ Ariana memeluk Justin beberapa saat. Air mata mulai memenuhi pelupuk matanya. ―Aku berangkat beberapa jam lagi, entah kapan aku akan pulang.‖ Justin menggenggam tangan Ariana, mengisi ruang kosong di antara jari-jari gadis itu. ―Aku akan membawakanmu
140
cincin dengan mata sebiru safir yang kau inginkan.‖ Justin mencium kening Ariana. ―Tidak bisakah kau tinggal saja di sini, Justin?‖ Ariana mulai menangis. ―Kita sudah bersama-sama sejak usia kita masih enam tahun, aku tak tahu bagaimana jika sekarang kau akan pergi meninggalkanku selama berbulan-bulan.‖ Justin menyingkap lengan mantelnya dan menunjukkan gelang dari perak yang berkilau di tangan kanannya. ―Setiap aku mengangkat pedang dan melihat gelang pemberianmu ini, aku akan berusaha untuk tidak mati, Ariana. Aku tidak akan rela meninggalkan gadis yang paling kucintai hidup sendirian di kota kecil yang memuakkan ini.‖ Justin mengusap kepala gadis itu dengan lembut. Ariana masih menangis. Tidak pernah sebelumnya ia ditinggalkan oleh Justin untuk waktu selama ini. Mereka sudah hidup bersama sepanjang hidup, dan berpisah untuk waktu yang tidak sebentar itu sama saja melelehkan Ariana di bawah teriknya matahari Ancarkshze. Rambut hitam Justin berkilauan di bawah purnama. Mata birunya lagi-lagi memantulkan bayangan Ariana Zheima, gadis yang tanpa ia sadari sudah membuat hidupnya bagaikan berjalan di atas sebuah tali. Perjalanan Justin tidak mudah. Setiap malam sebelum ia mengistirahatkan tubuhya yang lelah, bayangan Ariana selalu menghampirinya. Setiap melihat gelang perak di lengan kanannya berkilau saat mengangkat pedang, ia selalu ingin segera memenggal kepala musuh itu agar bisa kembali pulang dan bertemu dengan Ariana. Ia ingin segera pulang dan memasangkan cincin dengan mata sebiru safir yang Ariana inginkan di jari manis gadis itu. Justin ingin segera pulang dan naik ke balkon kamar tidur Ariana lalu merengkuhnya hingga rasa rindu itu hilang. Setelah 30 hari berjalan menuju Kota Bark dan menghabiskan satu minggu di kota itu untuk melaksanakan perundingan berdamai, Justin dan anggota Green Guard akhirnya kembali ke Kota Jazeeda. Dalam perjalanan menuju Kota Bark, ada banyak sekali suku-suku dari Kota Bark yang menghalangi jalan para Green Guard Kota Jazeeda. Hampir setengah saja dari anggota
141
Green Guard yang bertahan hidup selama perjalanan yang melelahkan itu. Tapi semua kelelahan itu setidaknya terbayar dari hasil perundingan bersama Kota Bark. Setidaknya, Kota Bark dan Kota Jazeeda membuat persetujuan tentang batas wilayah kekuasaan dan tidak boleh ada peperangan tanpa alasan yang jelas, terkecuali jika ada yang melanggar teritorial masingmasing. Green Guard bisa kembali ke Kota Jazeeda menggunakan kereta kuda yang mereka dapatkan dari kemurahan hati para petinggi Kota Bark. Setidaknya, perjalanan menjadi lebih singkat karena hanya membutuhkan waktu 10 hari saja. Setibanya di Kota Jazeeda, Green Guard langsung berkumpul dan para petinggi Green Guard membuat pengumuman hasil perundingan dan daftar nama personil yang gugur. Bagi Justin, pulang dalam keadaan selamat tanpa cacat adalah mukjizat mengingat banyaknya bandit Kota Bark saat di perjalanan. Kini, ia sudah sampai di tanah kelahirannya. Cincin dengan mata sebiru safir sudah tersimpan rapi di kantong mantel tebalnya. Ia sempat membeli cincin itu untuk Ariana sebelum perjalanan pulang ke Kota Jazeeda. Justin menemukan Ariana yang baru saja keluar dari sebuah toko. Ariana mengenakan terusan semerah mawar yang biasa ia kenakan sehari-hari. Bagi Justin, Ariana selalu terlihat cantik. Tapi kali ini, ada yang berbeda. Hatinya sedikit sakit. Who would have thought I‘d see you with someone else? ―Aku tidak tahu kau punya kisah yang menarik, Justin.‖ Felton menatap Justin prihatin. Justin terkekeh. ―Aku akan mengantarmu pulang, ibu dan ayahmu pasti cemas.‖ Felton mengangguk. Justin menggendong bocah 12 tahun itu dipunggungnya. Felton jarang sekali mau kembali ke rumahnya saat ia sudah bertemu dengan Justin. Hingga suatu hari, Justin menemukan cara agar anak itu mau pulang. Justin menggendongnya, dan Felton akan menepuk-nepuk lengan Justin seolah-olah ia sedang mengendarai kuda.
142
Mereka sampai di mansion keluarga Greezio. Senja semakin memerah. Jingga di ufuk barat sedikit menyilaukan, tapi tetap indah. ―Aku ingin bertemu ibumu, Felt.‖ Justin melangkah mendekat ke pintu berdaun tebal dan mengetuknya. Tak lama kemudian, seorang wanita sepantarannya keluar dan menyunggingkan senyum ramah. ―Ia bermain di dekat perbatasan dan tertembak. Tapi tenang saja, pelurunya sudah di keluarkan dan lukanya sudah dijahit dengan rapi.‖ Justin memperlihatkan kaki Felton yang terbalut perban. Wanita itu menengok ke dalam, memanggil suaminya. Seorang pria tampan berbadan tegap dan berwajah bersih tanpa cambang muncul dari balik daun pintu. Justin membalik tubuhnya agar pria itu bisa membawa Felton masuk ke dalam rumah. ―Apa kabar, Justin?‖ Wanita itu membuka suara setelah melihat suaminya pergi. Justin tersenyum ramah. ―Who would have thought that I‘d be here by my self?.‖ ―Aku sudah menunggu lama, tapi undangan pernikahanmu tidak pernah sampai ke mansion kami.‖ Wanita itu tertawa kecil, menatap Justin penuh sesal. ―Who would have thought that I‘d be in such a mess? Now you know, I‘m just a man on a wire. But I walk that line, I try to keep my senses, Ariana.‖ Justin menatap jauh ke dalam mata cokelat terang gadis itu, Ariana Zheima yang sekarang telah menjadi Ariana Greezio. Air mata bening mengalir di pipinya. ―Kau menyalahkanku karena memilih jalanku sendiri, Justin?‖ ujar Ariana. ―Aku mencintai James Greezio. Dan dia mengisi kekosongan di hatiku selama kau pergi. Aku masih mencintaimu saat itu, tapi ia sudah melamarku, Justin. Apa yang bisa kulakukan? Sementara aku sendiri tidak tahu, kau akan kembali dengan selamat atau tidak.‖ Ia menjaga nada suaranya agar tidak ada orang lain yang mendengar percakapan ini. ―Hanya untuk kau tahu, Ariana. I‘m still trying to fight the feeling, I will fall to the ground if I ever see you, Ariana.‖ Ariana menatap mata biru Justin, mata yang dulu selalu ia kagumi. Mata sebiru safir seperti mata cincin yang masih bertengger dengan manis di jarinya. Justin melihat kebahagiaan,
143
kekaguman, dan penyesalan di saat yang sama di dalam diri Ariana. ―Yesterday‘s love is not tomorrow‘s regret, Ariana.‖ Justin tersenyum, meninggalkan Ariana yang terpaku di ambang pintu. ―Oh, Ariana Zheima dan segala kenangannya, I‘m counting on high hopes to get me over you.‖ Justin bergumam.
144
Nadya Eka Lestari
Where‟s the “good” in “goodbye”? Where‟s the “nice” in “nice try”? Where‟s the “us” in “trust” gone? No Good In Goodbye No Sound Without Silence
145
ni kencan pertama kami sejak – berapa lama ya, empat atau lima tahun? – beberapa tahun lalu. Aku hampir lupa bagaimana rasanya berkencan, meski sudah mengencani enam wanita selama nyaris empat tahun ini. Karena tidak ada yang terasa seperti ketika berkencan dengan wanita ini. We – me and my dates – might have had breakfast in bed, lunch on the go, or a candle light dinner, but nothing beats having a meal with her out of her spontanity. The conversation, the atmosphere, the feeling that usually lasts for 2 weeks, are just about perfect. Ia membuat makanan apapun yang kumakan terasa lebih enak. Apapun bersamanya terasa lebih menyenangkan. ―Aku boleh telepon?‖ tanyaku di malam saat aku menghabiskan akhir pekan di rumah orang tua. Ternyata hari itu ia baru pulang dari Seoul. Sudah hampir empat tahun aku tidak melihatnya. Mendengar suaranya lewat telepon atau Skype pun tidak. Mengetahui kabarnya dari Twitter dan Instagram saja aku sudah bersyukur. Beruntung ia tidak mem-block akunku atau melenyapkan dirinya sendiri dari media sosial. Ia masih baik-baik saja. Apa yang terjadi antara kami empat tahun lalu itu rupanya tidak mempengaruhinya sama sekali. Entahlah, tapi aku merasa demikian. She‘s a natural born stoic. Aku tak heran. Atau aku saja yang terlalu cengeng. ―What, for a follow up? Seperti biasa?‖ ia terkekeh. ―Biar tahu kamu baik-baik aja.‖ ―Hahaha. Kamu kan tahu, aku enggak punya handphone di sini. Aku enggak akan lama.‖ Jawabnya sembari menyelipkan rambutnya ke balik telinga. Gerakannya itu selalu membuatku salah tingkah. Juga bagaimana rambutnya yang lurus itu jatuh di bahunya. Rambutnya pendek sekarang. Aku lebih suka rambutnya yang nyaris sepunggung dulu tapi begini juga cantik. Ia tampak… lebih matang. Dengan sisa-sisa keberanian yang kupunya, yang sebagiannya sudah kugunakan untuk keluar dari rumahku, berdiri di balik pagar rumput yang membatasi rumah kami, dan memanggilnya seperti yang kami lakukan sejak kami masih kecil dulu. Aku mengajaknya keluar. ―Untuk apa lagi? Kita bisa ngobrol-ngobrol di sini. Kalau kamu mau, aku bisa masak untuk kamu juga sekalian.‖
I
146
―Sudah empat tahun, lho. Aku pengin jalan sama kamu lagi. Sekali saja.‖ Sebenarnya apa yang kami lakukan sekarang? Bertingkah layaknya orang tak saling kenal – padahal aku bisa saja memanjat pagar tersebut, duduk dan bertelanjang kaki di halaman rumput rumahnya hingga orang tuanya menyuruh masuk karena hari sudah larut. Namun fakta memang berkata demikian. Kini kami tak lebih dari dua orang asing setelah semua halo dan selamat tinggal yang terucap berkali-kali selama separuh usia kami. Meski sebenarnya aku belum bisa menerima kenyataan ini, bahkan setelah kami mengucapkan selamat tinggal terakhir kalinya. Ia tertawa kecil. Aku ikut tertawa. Ah, satu lagi, aku rindu tawanya yang menular ini. ―Oke, sekali saja.‖ ―Sekali saja,‖ ulangku dengan senyum lebar yang tidak dapat kusembunyikan. Lalu akhirnya aku di sini, pukul delapan pagi keesokan harinya. Berdiri di depan rumahnya, menunggu ia keluar setelah menekan bel dan meminta ijin pada kakak laki-lakinya. Lucu sekali rasanya melihat bagaimana sekarang aku harus meminta ijin padahal dulu kami bebas ke luar masuk rumah masingmasing. Semua yang berhubungan dengannya pun kini ikut berubah. Ia keluar beberapa menit kemudian, terlihat cantik sekali dengan gaun selututnya yang berwarna putih gading. Aku tidak berhenti tersenyum-senyum sendiri sampai kami duduk di dalam taksi. Kami pergi sarapan di sebuah breakfast joint dekat gedung kantorku. Salah satu yang terbaru di Jakarta dan yang selalu ingin kucoba, tetapi belum juga kesampaian. Terlalu menyedihkan rasanya membayangkan pergi makan pagi di luar tanpa meal buddy-ku selama bertahun-tahun ini. ―Seru ya jalan bersamaku lagi? Enggak bosen lima belas tahun jalan sama aku?‖ ―Sudah cukup empat tahun enggak lihat kamu. Lebih lama lagi aku bisa sekarat.‖ Ia kembali menghadap piringnya sembari menahan tawa. ―Let me have you for one day,‖ ucapku. Kali ini ia langsung setuju, tanpa lama berpikir seperti semalam.
147
Di antara cangkir kopi dan teh, kami akhirnya berbicara lagi. Ia bercerita tentang kantor majalahnya, aku bercerita tentang teman-teman kantorku. Ia bercerita tentang jalan-jalan paginya di pinggir sungai Han, aku bercerita tentang akhir pekan yang kuhabiskan bermain XBOX hingga mual. Ia bercerita tentang liburan ke sebuah laut di pinggir Korea dan makan sashimi di kapal, aku bercerita tentang liburan ke Bali dan harus tinggal di hotel gara-gara meeting dengan bos besar. Dan masih banyak lagi. Dia bercerita tentang betapa menyenangkan hidupnya, aku bercerita tentang betapa menyedihkan hidupku. Kukira ia akan mendingin – menjadi betul-betul asing dan lupa pada bagaimana hubungan kami sebelumnya – tetapi ternyata tidak. Ia bersikap seperti biasa, tertawa dan bercerita seperti biasa; mengejek leluconku yang tidak lucu, menyentuh lenganku tanpa ragu, sesekali menggenggam tanganku sekilas, dan merapikan rambutku. Rasanya seperti tidak ada yang terjadi sebelum ia pergi dari Indonesia. Setelah hari agak siang dan ia kenyang makan pancake dan poffertjes, aku mengajaknya ke salah satu supermarket untuk belanja bulanan. Satu kebiasaan yang selalu ia lakukan bersamaku sebelum pergi ke Seoul. Apakah aku ke mari untuk mengisi kulkas dan apartemenku dengan barang di dalam troli ini? Tidak. Aku baru melakukannya sendiri kemarin sepulang kerja. I do this for the sake of our old memories. Hanya kegiatan ini yang terpikir olehku. Egois, bukan? Saat melewati rak sandal jepit aku melihat sepasang sandal kamar berbulu. Warnanya merah muda dengan kepala kelinci di atasnya. Ia benci warna merah muda, jadi aku mengambil sepasang lagi yang berwarna biru lalu menyodorkannya. ―Buat kamu. Aku enggak sempet ngasih apa-apa waktu farewell party kamu.‖ ―Sebenernya yang lama tinggal di Korea itu kamu atau aku, sih?‖ Ia tertawa. Setelah menimang-nimang sandal bulu itu akhirnya ia melepas sepatu haknya dan mengenakan sandal itu juga. Tertawa geli sendiri. ―Kamu enggak kesepian dikelilingi orang-orang pacaran dan couple-an di mana-mana begitu? Setidaknya kalo enggak bisa couple-an di luar, kamu bisa couple-an di apartemen. Nih,‖ aku menyodorkan sandal merah mudaku.
148
―Kedengerannya kamu yang kesepian.‖ Betul sekali. Dia memang pintar dan selalu bisa memukulku telak. Setelah itu kami makan gelato. Dengan aku menyeret-nyeret harga diri yang baru saja dia tusuk dan jatuhkan begitu saja di supermarket tadi. Lalu ia menciumku sekilas. Aku sempat kelabakan karena ada beberapa orang di meja lain. Tapi gadis ini senyum-senyum saja ketika aku protes. Aku jadi makin ingin membalasnya. Di akhir gelas kedua kami, dia marah. Tidak, bukan marah yang membentak-bentak atau mengomel. Marahnya adalah tiba-tiba diam dengan ekspresi dingin. Aku hendak menanyakan penyebabnya, namun urung karena tahu persis apa yang terjadi. Jadi, aku menyetop taksi selanjutnya dan membawanya pulang ke apartemenku. Hari sudah beranjak sore ketika kami berhasil menembus kemacetan dan tiba di apartemen. Setelah menutup pintu, aku langsung memelukknya. Sudah cukup aku menahan keinginan ini sepanjang jalan. ―Enggak apa-apa. Sekali ini saja. Bukan salah siapa-siapa,‖ ujarku pelan, mengelus rambutnya. Ia mengeratkan tangannya yang melingkari pinggangku. Ia duduk di sofa. Aku menyalakan ESPN dan memesan pizza. Semuanya terasa membaik karena ia mulai bertanya apa ia bisa menonton How I Met Your Mother saja. Aku ikut duduk di sebelahnya setelah berganti baju. Yang kutahu selanjutnya, kami sudah nonton tv berjam-jam, menghabiskan tiga kotak pizza dan berkaleng-kaleng cola dan lelah tertawa. Kami duduk berpelukan seperti seekor induk koala dan anaknya. ―Kapan kita ketemu lagi begini?‖ tanyaku. Alih-alih menjawab, ia meringkuk di dadaku, menyamankan diri dan memejamkan mata. ―Let‘s just stay like this for a while.‖ Sudah kuduga ia tak akan menjawab dengan pasti. Aku ingat pada minggu pertama kepindahannya. Dia meneleponku pukul satu pagi waktu Seoul. Aku baru saja pulang lembur. Katanya dia rindu berpelukan di sofa denganku hingga tertidur mengingat saai itu ia sedang tidak bisa tidur. Terus terang saja aku senang bukan main mendengarnya. Namun
149
keputusan yang kuambil ketika ia pergi membuatku mengalihkan pembicaraan dan segera mengakhiri telepon. Sejak saat itu ia tidak pernah lagi menelepon dan aku menyesal habis-habisan. Televisi menayangkan salah satu videoklip lagu The Script – yang sudah beberapa kali kudengar sebelumnya. Dengan gadis ini di pelukanku, tiba-tiba aku benci lagu itu. Where‘s the ―good‖ in ―goodbye‖? Where‘s the ―nice‖ in ―nice try‖? Where‘s the ―us‖ in ―trust‖ gone? Where‘s the ―soul‖ in ―soldier on‖? Now I‘m the ―low‖ in ―lonely‖ ‗Cause I don‘t own you only I can take this mistake Aku memaki dalam hati. Merasa tersentil. ‗Apanya yang bagus dari berpisah jika nantinya hanya akan saling bertemu dan memulai lagi?‘ tanyaku setiap kami mulai tampak akan berpisah. Ia kerap kali berkata bahwa berpisah adalah jalan yang baik. Aku tidak mengerti. Ini terjadi berkalikali – dicampakkan olehnya – tapi aku tidak pernah terlatih menangani sakitnya. Aku marah pada diriku sendiri yang tidak bisa menahan diri untuk menemuinya lagi. Aku bisa terima kesalahan-kesalahan yang kami buat dalam tahun-tahun hubungan kami yang hidup lalu mati berulang-ulang seolah kami punya tombol on off-nya. Aku tahu sekali kami akan berbuat salah dan apa-apa saja kesalahan itu. Kami sudah hafal gara-gara cap ‗pacar seumur hidup‘ yang menempel pada kami sejak masih remaja. Namun aku tidak pernah bisa terima perasaan diiris-iris ini di ujung setiap hubungan kami. Tidak menemuinya itu menyakitkan tetapi menemuinya bisa lebih menyakitkan. Ia marah dan menangis hari ini karena hal yang sama. Karena ia tidak bisa bilang ‗tidak‘ pada dirinya sendiri. Apalagi pada janji kami berdua empat tahun lalu untuk tidak saling bertemu lagi apapun yang terjadi. Ia bohong jika ia tidak ingin menerima ajakanku hari ini. Kini keinginannya untuk tidur dalam pelukanku akhirnya terkabul. Aku menggendongnya ke kamarku yang gelap dan
150
menidurkannya di tempat tidur lalu menyalakan lampu meja, ikut berbaring di sampingnya. Wajahnya damai. Kontras sekali dengan hal-hal yang selalu berputar seperti angin puyuh yang kacau berantakan dalam dirinya. Andai hubungan kami tak akan bisa terputus, tidak peduli seberapa ingin kami melepaskan diri dari satu sama lain. Agaknya mulai sekarang, kapanpun mendengar No Good In Goodbye, aku akan memutar adegan tadi di kepalaku: wajah tidurnya, rambutnya di bantalku, sisa wangi pizza di ruang TV, dan udara Jakarta yang kering. Aku terbangun pukul 8 keesokan harinya tanpa bantuan alarm – sengaja tak kuyalakan semalam. Saat itu aku menyadari sesuatu, di luar hujan dan tirai jendela lupa kututup. Saat menoleh, sisi kasur yang ia tiduri semalam sudah rapi. Hanya ada aku di kasur ini beserta sisa wangi parfumnya di bantal. Segera aku melompat dari kasur dan menemukan ruang TV yang juga sudah rapi. Bahkan sampah-sampah kami semalam tak ada di tong sampah di dapur. Ia seakan betul-betul menghapus jejaknya sendiri. Lalu aku menemukan secarik post-it kuning pucat tertempel di pintu kulkas dengan tulisan tangannya di atasnya. Menemui kamu lagi tidak pernah jadi keputusan yang mudah. B. Seperti yang sudah-sudah, dadaku mencelos membacanya. Namun kali ini rasanya lebih perih apalagi ketika mendengar tawa mengejek dari sebuah suara di kepalaku. ‗Jangan bilang aku tidak memperingatkanmu akan sakit yang tak bisa kamu terima ini.‘ ujar suara sial itu. Hari itu juga aku mencarinya ke rumahnya. Kakaknya berkata bahwa ia harus pergi ke suatu tempat sebelum kembali ke Seoul. Dan, ia tidak ingin dicari. Semestinya sejak awal aku sadar, ini hanyalah salah satu dari selamat tinggal-selamat tinggal yang kami coba ucapkan.
151
152
Erlia Sardizar
I'm blessed as a man to have seen you in white But I've never seen anything quite like you tonight Never Seen Anything Quite Like You No Sound Without Silence
153
Februari. Kau bilang, Hari Kasih Sayang bagi kita tidak akan pernah sama lagi setelah malam ini berlalu. ―Bagaimana penampilanku?‖ aku bertanya kepada adik laki-lakiku sambil merapikan jas dengan hati-hati. Aku menatap pantulan diriku di cermin, memastikan semua sudah sempurna. Dia tertawa kecil, ―Aku tidak ingat kapan terakhir kali kau tampil serapi ini. Kau terlihat sangat formal.‖ Dengan senyum lebar, aku berkata, ―Kuberitahu sesuatu, aku hanya mengenakan jas dalam tiga acara istimewa dalam hidupku. Yang pertama adalah ketika aku pergi ke pesta dansa sekolah dengan kakak iparmu.‖ ―Malam ketika kau memintanya menjadi kekasihmu?‖ dia mengangguk pelan. ―Ya, aku ingat cerita itu. Kau sangat gugup saat mengajaknya untuk menjadi pasangan dansamu.‖ Saat itu tahun terakhir kita di SMA. Aku meyakinkan diriku untuk mengajakmu menjadi pasangan dansaku atau aku akan menyesal seumur hidupku. Aku tahu kau adalah relawan untuk salah satu yayasan sosial yang membantu anak-anak tuli dan bisu setiap akhir minggu. Ada suatu ketika saat kelas kita sedang menjalani karyawisata, aku melihatmu mencoba berbincang dengan seorang penduduk lokal yang tidak bisa mendengar, menanyakan arah. Kalian berdua bertukar bahasa isyarat lalu kau mengangguk padanya, berterima kasih. Pria itu tersenyum begitu cerah seolah berbicara denganmu adalah salah satu hal terbaik yang ia lakukan hari itu. Aku terpana hanya dengan melihat dari jauh. Padahal kita adalah teman sekelas sejak tahun pertama di SMA tetapi aku masih belum paham mengapa aku tidak mencoba menjadi teman akrabmu sejak awal. Namun kau menyambutku dengan senyum hangat saat aku mengajakmu menjadi rekan di kelas Biologi. Aku masih ingat betul senyumanmu hari itu; senyuman yang membuatku ikut tersenyum bersamamu. Hari demi hari berlalu dan aku pun diam-diam mempelajari bahasa isyarat dari temanku. Rasanya sangat sulit tetapi aku ingat kau pernah bilang padaku bahwa semuanya akan terasa
14
154
sulit jika kita tidak melakukannya dengan tulus. Oleh karena itu aku pun bertekad untuk mempelajarinya bukan untuk membuatmu kagum, tetapi karena aku ingin membuat hidup orang lain menjadi lebih baik, seperti yang kau lakukan. Kemudian saat aku mengajakmu menjadi pasangan dansaku, aku membuatmu tertawa karena kesalahan kecil. Katamu, aku bukan memberikan isyarat untuk mengajakku pergi bersama, melainkan mengusirmu pergi. Sungguh memalukan, pikirku, tapi kau tersenyum padaku lalu mengangguk, sebuah isyarat yang bisa dimengerti semua orang. ―Ya, itu adalah malam istimewa yang pertama bagiku. Aku memintanya menjadi kekasihku dan aku ingin terlihat sempurna,‖ kataku bangga. ―Biar kutebak yang kedua,‖ adikku berdeham, mengerutkan kening seolah-olah dia berpikir sangat keras. ―Hari pernikahan kalian?‖ ―Oh, tidak, tidak. Kita perlu mundur sedikit. Dua tahun sebelum itu,‖ kataku santai. Dua tahun lalu di hari aku melamarmu. Aku tidak menyiapkan makan malam yang mewah meskipun itu adalah hari jadi kelima kita sejak pesta dansa SMA. Kau juga tidak memintanya, setuju bahwa kau cukup dengan memasak makan malam bersama di apartemenku. Malam itu kau bertanya mengapa aku mengenakan jas hitam dan kau hanya tertawa saat aku mengatakan ingin terlihat tampan di momen istimewa. Kau tidak menebak bagaimana aku akan membuat malam itu menjadi lebih istimewa lagi. Aku tidak berlutut di depanmu dengan kotak cincin di tangan. Setelah kita menghabiskan makan malam, aku memutar lagu favorit kita berdua, ―Never Seen Anything Quite Like You‖ oleh The Script. Well, I've seen you in jeans with no make-up on And I've stood there in awe as your date for the prom I'm blessed as a man to have seen you in white But I've never seen anything quite like you tonight Saat kukatakan bahwa cerita perjalanan kita masih belum sama dengan lirik lagu yang kita dengar, kau terlihat bingung.
155
Kukatakan bahwa aku belum melihatmu dalam gaun putih dan kau hanya tertawa kecil, tidak tahu harus bereaksi apa. Aku mengambil cincin yang sudah kusiapkan di kantong jas, memasangkannya di jarimu. Matamu mulai berkaca-kaca saat aku bertanya apakah kau akan memberiku kesempatan untuk membuat kisah hidup kita seperti lagu favorit kita berdua. Kau menjawab ‗iya‘ malam itu. ―Jadi yang ketiga pasti hari pernikahanmu,‖ adikku menebak dengan yakin. ―Kau memang terlihat luar biasa hari itu. Ayah dan Ibu bilang aku harus tampil sama tampannya denganmu saat aku menikah nanti.‖ Hari pernikahan kita sangat indah. Meskipun sudah enam bulan berlalu, setiap detik dari hari istimewa itu masih sangat jelas di ingatanku. Aku tidak bisa berkedip saat melihatmu berjalan ke altar dalam gaun pernikahanmu. Aku tersenyum, ―Jangan khawatir. Kau akan menjadi yang paling baik di mata orang yang kau cintai.‖ Mataku kembali ke cermin sambil memberitahunya bahwa malam ini adalah pengecualian di mana aku harus berpakaian serapi dan sebagus mungkin. Pembicaraan kami berlanjut di dalam mobilnya sembari dia mengantarku ke tempat di mana aku akan menemuimu malam ini. Rumah kita. Kita sudah setuju akan berpura-pura seolah rumah kita adalah tempat janji temu kita. Sahabat-sahabat kita sudah berkumpul lebih dulu, menyiapkan makan malam dan dekorasi. Aku tiba lebih awal setengah jam sebelum waktu yang kita sepakati. Mereka semua menyapaku dan menanyakan pendapatku tentang persiapan mereka. Rumah kita tampak seperti rumah impian. Mereka memajang beberapa foto kita bersama dalam bingkai. Aku bisa mencium wangi pasta yang akan segera siap. Meja makan kita pun sudah dilengkapi dengan bunga dan lilin. Saat jam menunjukkan lima menit sebelum jam tujuh malam, kami mendengar bunyi mobil dari luar. Kami bergegas ke teras depan untuk menyambutmu. Ayahmu yang mengantarkanmu ke sini. Dia membukakan pintu dan kau pun keluar dari mobil. Kau tampak sempurna. Ayahmu menawarkan tangannya untuk digandeng olehmu, persis seperti saat kau menggandengnya di hari pernikahan kita.
156
Rasanya hari ini dia sedang berjalan ke arahku, mengantarkanmu untukku sekali lagi. Kalian berdua menghampiri kami dan masing-masing dari kami menyapa ayahmu. Ia memberikanku pelukan sebelum memberikanmu kesempatan untuk mengecup pipiku. ―Kau terlihat sangat tampan,‖ katamu dengan senyum yang sangat manis. ―Kau jelas tidak tahu betapa kau terlihat sangat menawan,‖ aku memujimu balik, membuat teman-teman kita bersiul, menggodaku yang melontarkan kata-kata manis. Akhirnya mereka pun mengucapkan selamat tinggal, memberitahu kita untuk menjadikan malam ini yang terbaik dalam hidup kita. Mereka memelukmu, setuju bahwa kau tampak sangat cantik hari ini. Ayahmu adalah orang terakhir yang memelukmu sebelum ia pun pergi. Kita mulai menikmati makan malam yang sudah disiapkan, dilengkapi dengan alunan lagu-lagu favorit kita. Kau pun bercerita tentang bagaimana ibumu memilihkan baju yang kau kenakan, bagaimana kakak perempuanmu rewel tentang rambutmu, dan bagaimana sahabat kita mendesakmu untuk memberikan resep istimewa untuk makanan favorit kita. ―Oh, ini lagu favorit kita,‖ kau bersenandung saat lagu ―Never Seen Anything Quite Like You‖ mulai megalun. Kau meletakkan garpumu dan tersenyum padaku, ―Apakah kau mau berdansa?‖ Aneh rasanya memikirkan bahwa kau yang mengajakku untuk berdansa kali ini tetapi sungguh menyedihkan jika aku memikirkan bagaimana ini bisa menjadi dansa terakhir kita. Seharusnya semuanya baik-baik saja. Tidak. Semuanya begitu sempurna setelah kita menikah. Aku dipromosikan untuk naik jabatan di kantorku. Kau pun bergabung dengan sebuah yayasan sosial dan menjadi pekerja tetap di sana. Semuanya begitu sempurna hingga tiga bulan lalu. Menjatuhkan barang. Menabrak sesuatu. Tulisan menjadi tidak terbaca. Terbata-bata saat berbicara. Kesulitan menelan makanan. Semua itu sudah sering terjadi sejak tahun lalu tetapi tidak begitu mengkhawatirkan. Dua hari setelah hari ulang tahunmu, kesalahan-kesalahan itu menjadi semakin sering dan mulai
157
membuat cemas sehingga kita berdua hampir mengalami kecelakaan saat menyeberang jalan. Kita pun memutuskan untuk melakukan pemeriksaan singkat di rumah sakit. Mungkin semua karena rasa lelah yang berlebihan, kita berasumsi. Penjelasan sederhana itu tidak pernah diberikan oleh dokter. Spinocerebellar ataxia. Itulah kata yang diucapkan oleh si dokter saat kita bertanya apa penyebab dari hal-hal kecil yang tampaknya tak berbahaya. Kita berdua bertukar pandang, tidak paham sama sekali mengapa sang dokter terlihat sangat serius. Sebuah penyakit genetik. Penyakit yang sangat berbahaya dan fatal. Tidak ada cara maupun obat untuk menyembuhkannya hingga saat ini. Penyakit ini akan terus berkembang dan tidak bisa disembuhkan. Ada beberapa alasan yang menjadi penyebab penyakit ini, tetapi tidak ada yang bisa dijelaskan dengan pasti. Pihak rumah sakit menyebutkan tentang adanya program rehabilitasi untuk para pasien penyakit mematikan ini, tetapi itu tidak menghentikannya untuk membawa seseorang lebih dekat ke kematian. Semua yang bisa dilakukan hanyalah untuk memberi waktu lebih lama bagi segala hal yang tidak kita inginkan menjadi lebih buruk. Akan sulit untuk pergi bekerja. Kelak kemampuan berjalan sendiri pun akan menghilang. Tubuh tidak bergerak sesuai dengan apa yang sudah otak ingin lakukan. Kemudian, perlahan tapi pasti, entah kapan karena tidak ada yang bisa mengetahui kecepatan penyakit ini merusak saraf motorik manusia, kelak semua yang bisa dilakukan pasien adalah terbaring di tempat tidur dengan mesin untuk membantu bernafas. Air mata pun bergulir begitu dokter menjelaskan segalanya. Tidak ada yang bisa membuat kita tersenyum setelah mendengarnya. Orang tua kita menangis terisak-isak setelah kita memberitahu mereka. Aku mencoba sebisa mungkin untuk tampak tegar tapi, sungguh, aku ingin menangis hingga air mataku kering. Bagaimana mungkin ini terjadi pada kita? Siapa yang akan mengira bahwa rasanya hidup menjadi mimpi buruk di saat kita berdua begitu bahagia?
158
―Kau tahu,‖ aku menggenggam tanganmu, mengingat saat pertama aku menggandengmu di pesta dansa, ―aku sudah bersamamu bertahun-tahun tetapi kau tidak pernah berhenti membuatku kagum dengan kecantikanmu.‖ ―Kau selalu bicara begitu.‖ Kau tersenyum meski kutahu kau sedang menahan tangis. ―Yang cantik hanya baju ini. Aku terlihat buruk dengan mata yang bengkak ini.‖ ―Tidak,‖ aku meyakinkanmu. ―Aku sudah pernah melihatmu dalam setiap kesempatan dan, sungguh, kau terlihat begitu sempurna malam ini. Jangan menangis. Malam ini tidak akan terlupakan bagi kita kan?‖ Kau mengangguk dan tidak mampu lagi menahan air matamu. Kau memelukku dan meminta maaf, ―Maafkan aku karena tidak bisa bersamamu selamanya seperti yang dulu kujanjikan. Maafkan aku.‖ ―Kenapa kau meminta maaf? Ini bukan salahmu,‖ aku memelukmu erat seperti saat kau menerima lamaranku. Semua masih terasa sama bahkan setelah bertahun-tahun. ―Aku seharusnya berterima kasih padamu.‖ Terima kasih karena sudah menjadi istri yang paling luar biasa. Terima kasih atas semua momen yang kita lalui bersama. Terima kasih karena mencintaiku selama ini. ―Terima kasih untuk segalanya,‖ bisikku pelan. Kita pun menangis bersama untuk sesaat sebelum akhirnya memutuskan untuk menikmati sisa malam ini bersama di kamar kita. ―Ayo,‖ kau berjalan ke belakangku, mendorong kursi rodaku perlahan ke arah kamar tidur kita di mana aku akan tidur untuk terakhir kalinya sebelum esok tiba. ―Bagaimana kalau kita menonton film favorit kita?‖ ―Tentu,‖ jawabku, membiarkanmu membantuku kembali ke kamar kita. Aku sungguh bersyukur Tuhan mengirimkan malaikat sepertimu dalam hidupku. Aku seharusnya tegar dan melawan penyakit ini tetapi, aku tahu, kau juga berjuang untuk tetap tegar dan mendukungku dengan senyum dan cintamu. Meskipun kita tahu mulai besok aku akan selalu berada di rumah sakit, bahwa suatu hari nanti aku akan kehilangan kemampuan berbicaraku seperti apa yang masih bisa kulakukan
159
hari ini, dan nantinya aku akan selalu membutuhkan bantuanmu hingga hari terakhirku hidup, kau mencintaiku tanpa batas. ―Sayang,‖ aku memanggilmu pelan, menggenggam tanganmu erat. ―Aku mencintaimu.‖
160
Ninda Syahfi
All his life he's been told He'll be nothing when he's old. All the hurt, all the lies All the tears that they cry
Superheroes No Sound Without Silence
161
―I
ni konyol! Kamu tidak bisa terus-menerus membuntuti aku.‖ ―Ini bukti cintaku padamu. Tidakkah kamu mengerti?‖ ―Berhenti membuktikan apapun! Aku tidak mencintai kamu.‖
―Benarkah?‖ ―Kamu ingin aku jujur, kan? Aku tidak mencintai kamu.‖ ―Kamu bohong, Matilda!‖ ―Aku mohon, mengertilah, William. Aku tidak mencintai kamu.‖ Matilda menghela napas, memutar tubuhnya kemudian meninggalkan William. Pramugari cantik berambut cokelat itu sudah sampai pada titik jenuhnya. Pria kaya gila yang baru saja berbicara padanya, terus-menerus mengganggunya sejak mereka sama-sama duduk di bangku sekolah menengah atas. Matilda menyesal pernah menolong William sesaat setelah pria bermata tajam itu dihajar habis-habisan oleh teman-teman sekelasnya. Pertolongan tulus yang diartikan lain oleh William. Hingga kini hari-hari Matilda dipenuhi gangguan konyol dari William yang menginginkannya. Salah satunya William selalu ikut dalam penerbangan sesuai dengan jadwal bekerja Matilda. ―Begitu mendarat, langsung hubungi aku.‖ ―Siap, Sayang. Tapi ini hanya perjalanan Inggris-Amerika. Aku akan baik-baik saja.‖ ―Ya, tapi kamu sedang bersama si pembuat onar. Tentu saja aku khawatir.‖ ―Sayang, Mackenzie itu ponakanmu sendiri. Lagipula ini semua rencanamu, kan?‖ ―Sudahlah. Pokoknya kamu harus selalu waspada. Aku mencintai kamu.‖ ―Aku mencintai kamu sejauh bulan.‖ Madison meletakkan gagang telepon sambil tersenyum. Kemudian ia membuka laptopnya. Tatapannya kembali cemas saat ia melihat kode merah menyala pada peta penerbangan online pesawat yang ditumpangi Hamish dan Mackenzie. Hatinya berdebar kencang. Ini perjalanan pertama Hamish, calon suaminya, dan Mackenzie, ponakannya untuk mengisi libur
162
musim panas. Orangtua Mackenzie meninggal setahun lalu dalam kecelakaan kerja. Sudah setahun pula Mackenzie tinggal bersama Madison. Sebetulnya Mackenzie merupakan anak yang cerdas dan menyenangkan, hanya saja ia senang membuat kacau keadaan. Madison khawatir Hamish akan dibuat kewalahan. ―Mereka hanya ke Amerika. Tidak perlu cemas.‖ James, atasan Madison, datang menggoda sambil membawa dua gelas kopi. ―Kopi hitam seperti biasa, kan?‖ James meletakkan satu gelas kopi di atas meja kerja Madison. ―Ups! Tentu saja cemas, kan, akan menikah.‖ James menggoda lagi. ―Kamu tidak merasa sedang mengasuhku, kan, Paman Hamish?‖ ―Umurmu belum genap tujuh belas tahun. Tentu saja aku sedang mengasuhmu.‖ Mackenzie tidak menjawab lagi. Ia melepaskan sabuk pengaman kemudian beranjak ke toilet yang terletak di bagian depan barisan kursi pesawat. Lampu-lampu sudah dimatikan dan sebagian penumpang sudah mulai memejamkan mata. Namun, kedamaian itu rusak seketika begitu Mackenzie berteriak histeris menunjuk ke dalam toilet. Hamish bergegas mendatangi Mackenzie. Kru pesawat juga berhamburan menghampiri gadis berambut pirang itu. Suasana bertambah tegang karena para kru akhirnya juga berteriak spontan, membuat ribut para penumpang. Setelah mengenalkan diri sebagai agen dan psikolog swasta, Hamish meminta para kru untuk menenangkan para penumpang. Ia memutar otak mencari penyebab pembunuhan itu. Ya, pembunuhan. Seorang kru pesawat bernama Matilda terduduk kaku di atas WC dengan luka tusuk di perut. Mayat Matilda menggenggam sebuah kertas bertuliskan: aku mendengar merah, aku melihat merah. Hamish masih berdiri di lorong kursi pesawat. Lampu-lampu sudah dimatikan kembali agar para penumpang bisa sedikit tenang. Dengan pencahayaan
163
seadanya, mata Hamish menyisir wajah-wajah penumpang. Tidak menemukan apapun, ia kembali berembuk bersama para kru dan kapten di dalam kabin khusus. Mackenzie duduk termangu sambil melipat kaki di atas meja tidak jauh dari kabin khusus tersebut. Posisi Mackenzie saat itu memudahkan ia melihat ke arah enam baris pertama kursi pesawat sebelah kanannya. Pandangannya bertemu dengan pandangan seorang pria muda berambut cokelat ikal sebahu. Gerak-geriknya gugup mencurigakan. Mackenzie memicingkan mata kemudian turun dari atas meja, menghampiri Hamish. Ia membisikkan sesuatu. Hamish mengangguk mengerti kemudian meminta Mackenzie duduk kembali ke atas meja. ―Bisa aku lihat nama-nama penumpang di pesawat ini?‖ Hamish meminta dengan sopan. ―Ini...‖ Madeleine, salah satu pramugari, menyerahkan sebuah map. ―Penumpang 46-A...‖ Hamish memeriksa lembaran-lembaran kertas. ―William?‖ Meagan tahu itu tugasnya. Ia meraih gagang telepon yang tergantung di dinding kabin pesawat untuk memanggil nama penumpang yang Hamish maksud, namun lidahnya kelu saat ia melihat ke arah kursi 46-A. Kapten heran melihat rekan kerja Madeleine itu tiba-tiba pucat. ―Ada apa?‖ ―Aku rasa yang duduk di sana bukan William.‖ Meagan berbisik. ―Aku kenal William.‖ ―Sayang, bisa carikan profil William?‖ Hamish menghubungi Madison. ―William merupakan seorang pewaris klub sepak bola. Dua puluh tiga tahun. Belum menikah. Tidak punya catatan kejahatan.‖ Madison membacakan sederet data di laptopnya. ―Aku kirim foto William.‖ Madison menutup telepon. Matanya mengekor kedatangan James yang terburu-buru. ―Madison, kita harus ke bandara sekarang. Seseorang ditikam. Kabarnya, ia pewaris klub sepak bola.‖ James mengenakan jasnya sambil berlalu melewati meja kerja Madison.
164
Sambil memasang lencana ke pinggangnya, Madison mengejar atasannya tersebut. ―William?‖ ―Kamu mengenalnya?‖ James menghentikan langkah. ―Aku menemukannya terbaring di lantai toilet pria.‖ Seorang bapak memberikan kesaksian. ―Aku sempat membaca kalimat: aku mendengar merah, aku melihat merah sebelum kertas di lantai itu benar-benar dinodai darah.‖ ―Ia tercatat akan terbang ke Amerika, namun surat-surat perjalanannya hilang.‖ Madison mendengarkan hasil penyelidikan dengan pikiran kusut. ―James... Pembunuhnya berada satu pesawat dengan Hamish dan Mackenzie.‖ ―Bagaimana kamu tahu?‖ ―Hamish menghubungiku. Ia bilang, seorang pramugari tewas dengan luka tusuk di perut. Mackenzie mencurigai seseorang di kursi 46-A yang tercatat dengan nama William, tapi penumpang tersebut jelas bukan William, kan? Mayat William ada di sini bersama kita dan...‖ Kalimat Madison terpotong saat ia mendengar bunyi pesan singkat. ―Hamish mengirimkan foto. James, bantu aku selidiki orang ini.‖ Edward. Anak tunggal. Dua puluh tiga tahun. Belum menikah. Catatan kriminalnya dipenuhi laporan pencurian. Dulu ia pernah beberapa kali dikeluarkan dari sekolah karena dilaporkan bertingkah aneh dan mengganggu teman serta staf sekolah. Tidak memiliki pekerjaan tetap. Tidak memiliki rekening bank. Ibunya meninggal dan ayahnya masuk penjara sepuluh tahun lalu. Sekarang ia tinggal sendiri setelah satu-satunya bibi yang ia punya meninggal satu bulan lalu. Hamish menghela napas setelah membaca pesan singkat yang dikirimkan Madison. Pikirannya berpusat pada erangan kesal seorang gadis pemberani di depannya. Sambil mengangkat tinggi tangannya, Hamish meminta, ―Lepaskan. Aku yakin, kamu tidak ingin melakukan hal bodoh.‖ ―Gadis ini berbohong!‖ Edward membentak sambil menodongkan pisau ke leher Mackenzie.
165
―Gadis itu tidak berbohong, ia hanya bingung. Sekarang, lepaskan.‖ ―Aku pahlawan super dan aku tahu gadis ini berbohong.‖ Edward terlihat sangat marah. ―Pahlawan super tidak menyakiti anak-anak, Bodoh!‖ Tanpa rasa takut pada pisau di lehernya, Mackenzie menggeliat-geliat mencoba melepaskan diri dari cengkeraman kuat Edward. ―Paman, lakukan sesuatu!‖ Mackenzie berteriak kesal. ―Tenang, Mack. Tenang.‖ Hamish mengirimkan kode pada Mackenzie melalui matanya. Ia menarik napas lalu dengan tegas namun tenang melihat ke arah Edward. ―Gadis itu benar, Edward. Pahlawan super tidak menyakiti anak-anak.‖ Hamish melempar pandangannya ke arah para penumpang. ―Kalian setuju, kan?‖ Keriuhan memenuhi seluruh pesawat sesaat setelah seorang ibu berkomentar tentang bagaimana seharusnya seorang pahlawan super bertindak. Komentar berani yang langsung disetujui oleh seluruh penumpang. Edward terdiam. Perlahan ia menurunkan pisaunya dan melepaskan Mackenzie yang sigap berlari ke belakang tubuh Hamish. Sepuluh tahun lalu... All his life he's been told He'll be nothing when he's old All the hurt, all the lies All the tears that they cry Dengan sangat takut, Edward keluar dari persembunyiannya. Setelah keadaan benar-benar hening, ia memberanikan diri bertanya. ―Kenapa ayah mencekik ibu?‖ Tubuhnya gemetaran. ―Ibumu berbohong pada kita. Pembohong harus dibunuh.‖ Sam menghisap rokoknya lalu membungkuk, menyeret mayat Sue, ibu Edward, ke arah kebun belakang rumah. ―Tapi ayah, ibu berkata jujur. Aku melihat kata-katanya berwarna putih.‖ ―Apa maksudmu kata-katanya berwarna putih?‖ Sam berhenti.
166
―Aku tahu saat orang berbohong. Merah. Kata-katanya akan berwarna merah jika berbohong. Kadang berwarna jingga jika takut. Tapi kata-kata ibu berwarna putih. Ia berkata jujur.‖ ―Ibumu pembohong! Ia selingkuh dan mengabaikan kita! Tidakkah kau sadar itu?‖ ―Tapi saat ayah memukul ibu, aku melihat putih.‖ ―Lalu warna apa yang kamu lihat padaku sekarang?‖ Sam melanjutkan aktivitasnya. ―Aku melihat banyak warna. Ayah marah, takut, dan sedih. Ayah bingung, kan?‖ ―Anak sinting! Kamu pikir kamu pahlawan super, hah? Dasar tidak berguna!‖ Edward berdiri kaku dengan pandangan kosong ke arah kebun belakang rumah hingga sosok Sam yang sedang menyeret Sue hilang dari pandangannya. ―Ibu bilang, aku memang pahlawan super, Ayah,‖ bisiknya. ―Ini tidak seperti yang kalian pikirkan.‖ Edward melunak, namun masih memainkan pisaunya. ―Bicara padaku. Kamu ini siapa?‖ Hamish mulai bertanya dengan hati-hati. ―Aku pahlawan super!‖ ―Sudahlah, Paman. Ia orang gila.‖ Mackenzie berbisik di belakang tubuh Hamish. ―Aku tidak gila! Aku pahlawan super!‖ Edward mengacungkan pisaunya. ―Tapi pahlawan super tidak mencuri paspor orang lain.‖ ―Sebagai pahlawan super aku harus melakukan sesuatu.‖ ―Seperti yang kamu lakukan pada William dan Matilda?‖ Hamish menebak-nebak. ―William adalah temanku. Aku ada di sana saat mereka berbicara. Matilda berbohong. William tidak menyadarinya. Aku pahlawan super dengan kekuatan pendeteksi kebohongan. Mereka yang berbohong harus dibunuh. Ayahku bilang, mereka yang berbohong harus dibunuh!‖ ―Berbohong tentang apa?‖ Hamish berusaha keras mengolah kesabarannya.
167
―Aku melihat percakapan mereka. Mereka saling mencintai, hanya saja Matilda membohonginya. Awalnya aku melihat putih, lalu jingga, lalu merah. William tidak menyadarinya. Selama ini Matilda mencintainya. Aku hanya ingin menolong William. Ia adalah temanku.‖ ―Lalu kamu membunuh mereka? Itukah yang kamu lakukan?‖ ―Aku sudah memperingatkan William untuk membunuh Matilda karena sudah berbohong, tapi ia malah meninjuku. Aku bilang aku akan membantunya membunuh Matilda, tapi ia malah menghalangi aku. Lalu ia bilang ia akan membunuh Matilda dengan tangannya sendiri dan memintaku pergi. Tapi aku hanya melihat merah dari kata-katanya. William membohongi aku, ia tidak akan membunuh wanita yang sudah membohonginya itu. Pembohong harus dibunuh, maka aku harus membunuh William dan Matilda sebagai hukuman.‖ ―Berikan pisau itu. Bibimu akan sedih melihatmu seperti ini.‖ Hamish mengulurkan tangannya. ―Bibiku? Ia pembohong. Aku sudah menghukumnya.‖ Hamish mencoba menganalisis keanehan demi keanehan yang diucapkan Edward. Melihat percakapan? Apakah yang ia maksud adalah melihat percakapan tertulis? Maksudnya membaca percakapan? Apa yang ia maksud dengan merah, jingga, dan putih? Mengapa ia selalu menyebut merah lalu merasa kesal? Percakapan dan warna? Hamish bingung, namun tiba-tiba saja olahan data di otaknya merujuk pada satu kesimpulan. ―Edward, dengarkan aku. Kamu bukan pahlawan super. Kamu menderita synesthesia. Kamu bisa melihat berbagai warna saat mendengar berbagai suara. Apakah aku benar?‖ Hamish maju selangkah. ―Tapi bukan berarti kamu bisa membunuh orang lain.‖ Hamish melangkah lagi. Sekarang posisinya hanya berjarak satu meter dari tempat Edward berdiri. ―Tidak apa-apa. Kamu akan baik-baik saja, jika kamu menuruti perkataanku. Berikan pisau itu. Tidak lama lagi kita akan sampai di bandara dan aku akan mengantarmu ke dokter ahli. Percayalah padaku. Kamu lihat kata-kataku, apakah aku berbohong? Warna apa yang kamu lihat?‖ Edward menyerah. ―Aku melihat putih. Kamu jujur.‖ Edward menjatuhkan pisaunya.
168
―Semua sudah terkendali, Sayang. Sebentar lagi kami mendarat.‖ Madison menutup telepon kemudian menyunggingkan senyum. Butuh beberapa menit hingga kelegaan menyelimuti hatinya. Matanya berbinar melihat kode hijau menyala pada peta penerbangan online pesawat yang ditumpangi Hamish dan Mackenzie. Ia menghela napas lalu menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi. ―Syukurlah, mereka sudah tiba dengan selamat di Amerika.‖ Madison berbicara sendiri. ―Syukurlah.‖ James merespons Madison. Senyumnya tersungging, namun hatinya tidak.
169
170
Angga Taufik Nugraha
We're walking these streets like they're paved with gold Make any more excuses not to go Neither one of us want to take that taxi home Millionaires #3
171
f you have one wish to be granted, what would that be?‖ Tembak Maya langsung. Here we go again. Setelah berpacaran dengannya, Agus harus selalu siap menerima pertanyaan-pertanyaan ajaib seperti ini. ―Ng... kembali ke masa lalu?‖ jawab Agus. ―Aku tidak yakin itu sebuah pernyataan atau pertanyaan. Either way, that‘s lame. Kamu tahu sendiri jika time travel itu hanya berlaku secara matematika. Kecuali kamu percaya dengan teori multiverse dan itu tidak termasuk time travel. Kau hanya loncat dari satu semesta ke semesta lain. Ayolah, kau bisa lebih kreatif dari ini. ‖ Ucap Maya sambil membetulkan letak kacamatanya. ―Hei, ini bukan kelas kuantum. Kau tak perlu perlu memberiku kuliah, asisten dosen. Aku tetap dengan jawabanku.‖ Kata Agus ketus. ―Baiklah, kita asumsikan time travel is possible—‖ ―It is possible.‖ Potong Agus. ―Fine! Geez! Oke, ceritanya kamu sudah kembali ke masa lalu. Terus mau ngapain?‖ tanya maya kesal. ―Ra-ha-si-a. oke cukup. Sekarang giliran kamu.‖ Agus lalu menyeruput kopinya. ―Aku akan minta 1000 permintaan aku yang lain dikabulkan.‖ ―Hahaha! Curang! Baiklah, aku akan mengikuti permainanmu. Kalau begitu, apa permintaan keduamu?‖ ―Ra-ha-si-a!‖ jawab maya sambil meleletkan lidah. Ini adalah salah satu bahasan dari serangkaian obrolan yang akan menemani mereka. Seperti malam ini, malam kemarin, dan malam-malam sebelumnya, begitulah mereka menghabiskan waktu malam hari. Melepas penat setelah seharian bergumul dengan konsep-konsep fisika. Mereka duduk berhadapan dibatasi meja kayu yang di atasnya terdapat secangkir kopi yang menyisakan ampas, segelas orange juice hangat yang sudah dingin, dan dua piring bekas tempat surabi. Mereka duduk di lantai paling atas di warung surabi itu. Meja dekat jendela menjadi tempat kesukaan mereka, dari sana mereka dapat melihat jalanan Setiabudi yang mulai tenang. Kota Bandung masih bisa tidur. Acara live music di lantai satu telah selesai 30 menit lalu. Beberapa kali berganti wajah, akhirnya meja-meja itu telah kosong. Tapi meja dekat jendela masih berpenghuni dua orang
―I
172
yang sama dari tadi. Seorang pegawai berseragam biru dengan kain batik yang diikat di kepalanya dengan muka kelelahan dan mengantuk menghampiri mereka. ―Maaf, kami mau mau tutup.‖ Tersadar, Agus mengedarkan pandangan, tempat itu sudah sepi. Kursi-kursi sudah dinaikan ke atas meja, beberapa pegawai sedang mengelap meja atau menyapu lantai. ―Ya Tuhan, jam berapa sekarang?‖ tanya Maya. ―Jam 11. Yuk, pulang.‖ ―O, Relativity, thou art a heartless bitch—‖ ucap Maya pelan setengah mengomel. Di depan warung itu, Maya duduk di trotoar sambil memeluk lutut, dia lupa membawa sweater. Sejak pulang kuliah, Maya tidak ada keinginan untuk pulang ke rumah kontrakan. Tapi pagi, dia sempat berseteru dengan teman satu rumah, sekarang melihat muka temannya saja dia ogah. Agus masih di dalam warung membayar makanan tadi. Maya mengedarkan pandangannya ke jalanan yang sepi. Pandangan Maya berhenti pada sebuah lampu jalan yang berdiri sendiri, setia menjalankan tugasnya, meski tidak ada apapun yang lewat. Melihat itu, Maya kembali teringat pada awal masuk kuliah, seperti lampu itu maya sendiri. Maya selalu menganalogikan dirinya sebagai bilangan akar dua. Akar dua yang sendiri, terlalu takut untuk keluar pagar. Sampai akhirnya Agus masuk dalam kehidupannya, Agus adalah akar dua yang lain. Maya dan Agus seperti akar dua kuadrat yang membentuk bilangan bulat. ―Yang, ayo pulang.‖ Suara Agus muncul dari belakang. Maya berdiri. Saat dia mencoba membalikan badan tubuhnya, tertahan. Jari-jari agus memegang erat bahu Maya. Lalu tubuh Maya diputarnya. Tubuh maya terasa lebih berat, jaket Agus yang kebesaran sekarang hinggap di badan Maya. ―Makanya, kalau keluar malam jangan lupa bawa jaket.‖ Kata Agus. Ini adalah hal-hal kecil yang membuat Maya mencintai Agus. Dipandanginya lelaki di hadapannya itu. Agus bukan lelaki paling tampan yang pernah mendekati Maya, lelaki berkacamata dengan mata sedikit sipit, dan berkumis tipis, tubuhnya dengan tinggi 175 cm itu pernah menggendongnya saat kelelahan di acara OSPEK jurusan.
173
―Malah bengong, ayo pulang,‖ ucap Agus. Mereka berjalan kaki berdampingan, lengan mereka saling mengait pada pinggang pasangannya. Panas tubuh maya mengonduksi ke tubuh Agus yang hanya berlapiskan kaos. Agus menoleh ke arah Maya, wanita berkacamata dengan rambut bob menggantung di atas bahu, dengan bibir tipis dan manis. Wanita paling pintar dari satu angkatan. Maya mempunyai semua hal yang diimpikan Agus dari seorang wanita. Agus langung jatuh cinta pada jumpa pertama. Agus tidak mempercayai konsep jodoh. Bagi Agus, jodoh adalah tentang probabilitas, bukan sesuatu yang ditentukan oleh langit. Jika Agus dan Maya tidak masuk kampus yang sama, mereka tidak akan bertemu, hidup mereka tidak akan beririsan, maka mereka tidak akan ‗berjodoh‘. ―Yang, kita enggak usah pulang, ya?‖ tanya agus. ―Gus, kamu cenayang, ya?‖ Maya bertanya balik. Sampai sekarang, Maya tidak pernah memanggil Agus dengan nama kesayangan ; sayang, beb, atau apapun. Bagi Maya, segala romantisme yang diucapkan itu menggelikan. ―Well, i read you like a book.‖ sahut Agus sambil terkekeh. ―Kalau aku sebuah buku, kamu baru baca kata pengantar.‖ Maya menyahut sambil tertawa. ―O, girl. What am i gonna do with you?!‖ lalu mereka berdua tertawa. We're walking these streets like they're paved with gold Make any more excuses not to go Neither one of us want to take that taxi home Mereka berjalan mengendap-ngendap menyusuri jalananan yang sudah mereka kenal sejak tiga tahun lalu. Maya mengikuti Agus dari belakang. Jari mereka saling mengait. ―Gus, aku bilang, aku enggak mau pulang. Kenapa malah ke kampus, sih?‖ tanya Maya ketus.
174
―Udah, ikut aja. Jangan berisik.‖ Jawab Agus setengah berbisik. Mereka berjalan lagi beberapa puluh meter, lalu berhenti. Di hadapan mereka ada sebuah gedung gelanggang renang, di sampingnya ada stadion sepak bola. ―Ya. Di sini.‖ ―Gus, we shouldn‘t —‖ ucap Maya ragu. ―Ayolah, kapan lagi kita bisa mendapatkan seluruh kolam renang hanya untuk berdua?‖ ―Are we breaking and entering now?‖ ―Ya. God, This is gonna be fun.‖ ―Tapi, Gus—― Tanpa mengacuhkan perkataan Maya, Agus mulai berjalan mengitari gelanggang renang itu. Maya antara ragu dan penasaran mengikutinya dari belakang. Maya berpikir kesempatan untuk melakukan hal gila-gilaan seperti ini tidak akan datang dua kali. Di belakang gelanggang itu Agus berhenti. Sejenak, Agus melihat kanan dan kiri, memastikan tidak ada yang mengikuti. Dalam satu lompatan kedua tangan Agus bisa meraih puncak dari pagar batu bata itu. Dalam satu dorongan kini dia duduk di puncak pagar. ―Well, apa yang kamu tunggu?‖ tanya Agus. ―Gus, Aku enggak bisa melopat kayak kamu.‖ ―Oh , right—― Agus menjulurkan lengannya yang panjang dan kuat. Dalam beberapa lompatan akhirnya Maya bisa memegang lengan Agus. Ditariknya Maya oleh Agus. Seperti atlet panjat tebing, kaki Maya berpijak pada pagar batu bata itu. Ketika kedua tangannya sampai di puncak pagar, agus mengalungkan tangannya melewati ketiak Maya, dengan sekali angkat, Maya kini sudah duduk di puncak. Dari posisi itu, mereka bisa melihat bulan tergambar di kolam yang gelap. Hanya bulan yang menjadi sumber cahaya. Angin malam mampir di permukaan kolam yang tenang, menimbulkan riak-riak kecil yang membentuk gelombang. Lalu hilang. ―Yang, kamu sebaiknya balik badan.‖ Kata Agus sedikit risih.
175
―What? Oh! okay —― Jika ada cahaya, mungkin kau bisa melihat wajah Maya yang memerah. Agus membuka seluruh pakaiannya, memperlihatkan otot-otot tertentu di beberapa bagian tubuhnya. Tidak lupa, kacamatanya dia simpan di atas kursi yang ada di pinggir kolam. Sejenak dia terdiam, telanjang di tepi kolam. Seperti aba-aba sudah dikumandangkan, Agus bersiap-siap, bergaya seperti atlet profesional. Dalam hitungan yang entah keberapa, Agus langsung terjun ke dalam kolam. Dinginnya air tidak Agus hiraukan. Dua kali putaran Agus berenang dengan gaya bebas membuat air beriak-riak mengikuti gerakannya. Maya yang sedari tadi hanya melihat Agus, akhirnya mulai menanggalkan pakaiannya. Dia ragu apakah harus telanjang atau tidak. Dengan mata Agus yang rabun dan pencahayaan yang seadaanya, sepertinya tidak menjadi masalah. Tubuh telanjang Maya terpapar cahaya bulan, dari siluet tubuhnya terlihat beberapa lekukan dibeberapa bagian. Agus yang mendengar suara seseorang terjun ke kolam, berhenti berenang. Matanya menyipit mencari titik fokus, mata rabun minus lima ini menyiksa. Agus mengedarkan pandangannya, maya tidak tidak ada. ―Sayang?! May! Maya!‖ ucap Agus setengah berteriak. ―Jangan berisik, bodoh. Aku ada di belakangmu.‖ Kata maya. Saat Agus mencoba membalikan badannya, tiba-tiba punggung maya menyentuh punggungnya. ―Jangan berbalik, aku tidak memakai apa-apa.‖ Ucapnya cepat. ―Well, i am sure, i don‘t mind—‖ ―Gus, berhenti bicara. Aku ingin seperti ini lebih lama.‖ Mereka diam. Punggung mereka saling beresentuhan. Kepala mereka saling bersandar. Dingin air sudah tidak terasa, panas tubuh keduanya dibagi rata. Riak-riak air muncul ketika mereka sedikit bergerak, menjadikan Agus dan Maya sebagai titik pusat dari riak yang bertansformasi menjadi gelombang-gelombang yang mendistorsi bulan di kolam. Angin malam bertiup malas. Maya yang sedari tadi menikmati suasana dan memejamkan mata. Perlahan-lahan Maya mulai bernyanyi, dengan suara lembut nan merdu setengah berbisik. Seperti digerakan oleh kata hatinya, Maya hanya mengalunkan apa yang ada dipikirannya.
176
Lost my heart and I hope to die Seeing that sunlight hit your eyes Been up all night but you're still amazing me Half the time of night you only dream about If a guy came down who could take me now Cos in my mind, we will always be Agus yang dari tadi hanya diam mendengarkan, akhirnya ikut bernyanyi. Walaupun akhirnya, suara Agus yang berat malah membuat Maya berhenti dan tertawa. Mereka berdua tertawa. Seakan tidak peduli lagi jika ada yang datang. Ini malam mereka. ―Lihat kita! tertawa di tengah kolam renang, di tengah malam, dan tanpa memakai baju!‖ Agus tertawa sampai mengeluarkan air mata. ―Kamu bikin aku jadi orang gila, Gus!― Lalu Maya menyusul tertawa. Untuk meredakan tawa yang meledak, mereka diam sejenak. ―Gus?—― tanpa menunggu jawaban, Maya melanjutkan. ― Kamu ingat pertanyaanku di warung tadi?‖ ―May, aku ini mempunyai eidetic memory, aku ingat apapun yang pernah terjadi. Aku bahkan masih ingat wangi parfummu saat kita pertama bertemu, aku ingat rasa lipstick yang kamu pakai saat pertama kali kita berciuman. Aku ingat semuanya, May.‖ ―Okay, mister genius. Maksudku, Gus. Aku pengin tahu kenapa kamu pengin kembali ke masa lalu, apa yang ingin kamu perbaiki?‖ ―Aku ingin memperbaiki waktu pertemuan kita, aku terlambat 18 tahun bertemu kamu. Aku ingin bilang kepada aku yang berumur lima tahun, ‗di dunia ini ada seorang wanita yang membuatmu seperti miliuner, wanita yang membuatmu bisa menggenggam dunia, carilah dia sekarang juga.‘ Wanita itu kamu, May. Tapi paradoks dari itu semua adalah saat ini, detik ini, kejadian ini mungkin tidak akan terjadi. Ini adalah momen spesial di waktu spesial dan bersama orang paling spesial. Aku tidak akan melewatkannya untuk dunia.‖ Maya merasakan pipinya panas, seperti semua darah terpompa ke wajahnya. Maya merasa menjadi wanita paling bahagia di alam semesta.
177
―Gus, kau tahu apa yang menjadi permintaanku?‖ tanya Maya manja. ―Kau ingin tetap bersamaku seumur hidup?‖ ―Iya, Gus. Tapi paradoksnya adalah sekarang kakiku rasanya beku.‖ Mereka kembali tertawa.
178
Erita Wen
When I‟m surrounded And they‟re closing in When I feel the bullets graze against my skin Army Of Angels No Sound Without Silence
179
ku harus bertugas.‖ Hening sebentar, sebelum Louisa angkat bicara, ―Aku hamil.‖ Mereka berdiam untuk beberapa saat. Andrew berdiri di depan Louisa, ekspresi kaget tidak luntur dari wajahnya. Louisa memberikan senyum menenangkan dan mengusap pundak Andrew yang gagah. Andrew bergeming, mendadak membeku di tempatnya berdiri. ―Andrew?‖ panggil Louisa. ―Kamu kenapa? Tidak apa-apa kalau kamu bertugas. Aku bisa bertahan, kok … asal jangan lama-lama, ya?‖, di kalimat terakhir, Louisa memberikan cengiran jahil. ―Masa kamu tidak mau menyaksikan anak pertamamu lahir?‖ Andrew membayangkan Louisa dan anak pertama mereka yang pastinya sangat cantik dan pintar seperti Louisa kalau dia adalah perempuan, atau menjadi cerdas dan kuat seperti dia, ayahnya, kalau anak itu adalah laki-laki. Andrew menghela napas. Louisa prihatin melihat wajah Andrew yang semakin lama semakin terlihat depresi. ―Aku tidak berjanji, Louisa.― Andrew memberikan tatapan tajam, ―Tapi aku akan berusaha kembali sebelum kamu melahirkan.‖ Pria itu sudah mengenakan pakaian tentaranya dan Louisa memberikan lengkungan indah di bibir. Tegapnya tubuh pria itu serta tatapan tajamnya sudah cukup memberi Louisa ketenangan hingga akhir. Andrew mendekat dan Louisa memejamkan matanya, lalu Andrew mengecup dahi dan bibir Louisa, berkata bahwa semuanya baik-baik saja. Andrew akan mengusahakan hal itu. Dan Louisa percaya.
―A
When love‘s a battle And life‘s a war ―Kamu percaya kalau mereka akan menyerang tempat kita?‖ Seorang yang lebih tinggi dari Andrew, sesama tentara, menyenggol rusuk Andrew dengan main-main dan ekspresinya terlihat serius. Tadinya Andrew tidak mendengar hal itu, namun
180
ketika kepalanya yang menjadi sasaran sekarang, Andrew menoleh dengan penuh perhatian, ―Ya?‖ ―Mereka,‖ Gordon menggedikkan dagunya pada mereka yang bermil-mil jauhnya di sana, yang sedang sibuk merencanakan strategi dan taktik untuk memukul mundur para tentara yang berani ini, ―Katanya akan menyerang tempat kita. Aku tidak tahu itu palsu atau tidak.‖ Andrew tidak terlalu peduli karena tiba-tiba ada suara ledakan di dekat mereka. Kemudian segalanya menjadi kacau. Asap. Debu. Napas yang terengah di antara lautan darah, potongan tubuh di antara suara senjata. Gordon tak terlihat lagi. Tanah memenuhi pandangan Andrew. Bau anyir darah. Suara derap langkah yang terdengar sampai gendang telinga—oh, tidak, telinganya sakit sekali dan berdengung luar biasa—serta tubuhnya yang sudah terbanting di tanah. Ketika dia mengerjapkan mata, dia melihat Louisa dan anak pertamanya yang sedang berdua di rumah sakit, menunggu penantiannya. Andrew mengerjap lagi. Sudah berapa lama dia meninggalkan mereka? Berapa hari? Berapa bulan? Atau bahkan … sudah berapa tahun? Kulitnya terasa pedas dan matanya begitu perih. Ketika dia berhasil mengendalikan diri dan berdiri di atas kakinya sendiri, pasukan lain menyerbu mereka dengan bayonet teracung ke depan. Dengan sigap ia memantapkan diri untuk menyerang mereka. Senjatanya tak mau kalah, ikut teracung. Di dalam hatinya, dia berdoa untuk Louisa dan anak mereka. Bukan untuknya. Kemudian, terdengar suara yang membuat telinga Andrew berdenging lagi, namun disertai dengan jantung yang hampir berhenti berdetak karena tiga sampai empat orang mengepung dirinya. Sendirian. When I‘m surrounded and they‘re closing in When I feel the bullets graze against my skin Andrew merasa dirinya seperti meledak menjadi jutaan spektrum yang terpecah belah di langit, membakar dirinya penuh-penuh karena peluru itu mengenai bahunya.
181
Louisa tidak pernah setuju dengan keputusan Andrew untuk ikut dalam pelatihan tentara. ―Aku ingin menjadi kuat,‖ kala itu Andrew berujar dengan nada bangga, keyakinan dan tekad terpancar di wajahnya. ―Aku cinta dengan negaraku, Louisa. Aku ingin melindunginya. Aku tidak ingin hanya berada di belakang tanpa membantu apa pun.‖ Saat itu Louisa ingin berkata sesuatu, namun Andrew langsung memotong. ―Tenang saja, cintaku dengan negaraku sama besarnya dengan cintaku kepadamu, Louisa. Aku ingin menjadi kuat untuk melindungimu juga. Aku berjanji,‖ dia menelan ludahnya, ―Aku bersumpah.‖ Louisa tersenyum geli. Mereka berdua menghabiskan waktu di hamparan rerumputan segar yang berada di dekat wilayah rumah mereka yang sederhana. Mereka sering menghabiskan waktu di sana—di mana Andrew berolahraga dan terus latihan fisik untuk menambah kekuatan otot serta staminanya dan Louisa akan memberikan perhatian penuh dengan perlakuan sederhana yang selalu membuat Andrew bahagia, seperti mengelap keringatnya atau sekadar membawakan botol air minum. Setelah itu, mereka akan tidur-tiduran di atas rumput dan mulai berbicara apa pun yang ingin mereka bicarakan. Louisa dan semua tentang dirinya merupakan candu bagi Andrew, sedangkan Andrew dan segala sesuatu tentang dirinya merupakan sesuatu yang adiktif bagi Louisa. Terlihat sama saja, namun tentu saja berbeda. Mereka tidak membutuhkan kata-kata manis yang dilumuri madu ataupun gula, tapi mereka hanya membutuhkan tindakan penuh kasih yang membuat hati terenyuh. Contohnya saja, tangan Andrew yang kekar terentang lebar supaya Louisa bisa meletakkan kepalanya di atas lengan itu, sehingga dia merasa nyaman. ―Andrew?‖ panggil Louisa. Sayup-sayup Andrew merasa panggilan itu adalah mimpi, sebab dia sedang asyik memejamkan mata dan menikmati angin yang berembus pelan di sana. Tapi, dia sadar kalau itu adalah Louisa yang memanggilnya. Maka, dia menjawab dengan tenang. ―Ya?‖
182
―Aku menyetujui keinginanmu,‖ ucap gadis itu dengan ketenangan yang luar biasa, tapi kegetiran suaranya tak dapat ditutupi. Helaian rambut hitamnya sempat menyentuh pipi Andrew, tapi yang bersangkutan sama sekali tidak peduli. Louisa menghela napas dalam-dalam. ―Aku setuju dengan keputusanmu untuk menjadi tentara.‖ Karena Louisa tidak mau menjadi gadis yang mengekang keinginan orang lain. … apalagi keinginan orang yang dicintai olehnya. Andrew tersenyum dalam tidurnya. The world‘s a war zone But I‘ve got a shield And I won‘t surrender Seperti tersadar, Andrew segera mengeluarkan kemampuan yang selama ini masih tersimpan begitu saja di tubuhnya, belum tergunakan sama sekali. Kaki kanan segera menendang orang yang berada di depannya, kemudian dia menjatuhkan dirinya sendiri, menggunakan satu senjata untuk menembak dua orang di kirinya dengan kecepatan tak terduga, dan mencekal satu orang lagi yang baru saja ingin menembus kepalanya dengan peluru. Astaga, kekuatan cinta Louisa seperti memberikan kobaran api baru untuk Andrew. Dengan cepat dia pulih lagi dan memaksa kakinya untuk berlari dari sana, pergi untuk mencari lawan baru, atau pergi untuk melindungi teman, melindungi negara— melindungi Louisa. Dan anaknya. Dia tidak takut lagi. ‗Cause your love feels Like an army of angels Like an army of angels Like an army of angels Sekali atau dua kali, Louisa pernah memberikan Andrew tatapan membunuh karena Andrew pergi meninggalkannya begitu saja, berbalik lalu tak kembali lagi. Bukan karena Andrew meninggalkannya untuk memilih perempuan lain, tapi karena ketakutan Louisa begitu besar
183
sampai-sampai dia sendiri bingung—apakah dia yakin bisa melepaskan Andrew terus-menerus? Melepaskan Andrew untuk ambisinya serta keambisiusannya yang tak pernah berakhir? Louisa begitu takut, sampai-sampai dia menangis di malam hari hanya untuk memikirkan bayangan-bayangan mengerikan yang selalu berkelebat dan terpikir olehnya: Andrew, darah, kematian. Lalu dia yang hidup sendiri sampai tua karena tidak bisa melepaskannyabegitu saja. Mereka akan menikah. Louisa harus terbiasa. Dunia terus berputar dan waktu tidak pernah berhenti. Mereka akan baik-baik saja. If hate is poison then loves the cure And it‘s you that drives the demons from my door When they got me cornered Close to giving in Oh, I feel like you round me like a second skin Andrew pernah bertanya-tanya, bagaimana keadaan dunia jika semua manusia saling mengasihi tanpa ada kebencian yang terpercik? Mungkin, jawabannya adalah: tidak ada perang. Mungkin, jawabannya adalah, kebencian yang melapisi hati manusia akan menipis dan habis, kemudian mereka akan mulai memberikan tindakan yang paling menyenangkan seumur hidup mereka. Hahaha. Sayang, Andrew bukanlah orang yang suka berandai-andai. Dia kembali ke dunia nyata, di mana kakinya berpijak di antara tulang belulang dan darah segar yang mengalir keluar. Atau, suara memekakkan telinga yang selalu ada di siang dan malam. Mereka tidak pernah menikmati apa yang disebut ketentraman. Namun, setiap kali Andrew terpojok dan tak bisa apa-apa, dia teringat perkataannya pada Louisa. Dia sudah berkata bahwa dia akanmengusahakan untuk kembali. Dia teringat bahwa Louisa seperti semangat baru yang terkobar di dalam tubuhnya. This world‘s a war zone
184
Tik-tok-tik-tok. Jam dinding terus berdetik, waktu terus berjalan. Louisa menunggu. Dan dirinya seperti terbakar, karena…. Pertama kali yang Andrew tahu adalah, mereka menang. Karena saat itu sudah tidak ada lagi yang menyerang mereka, komandan mereka memberikan kepastian, dan rasa lega membanjiri seluruh tubuh Andrew, memberikan angin sejuk yang sudah lama tidak dia nikmati di tengah panas dan badai yang berlangsung di daerah perang. Tempat mereka untuk berperang sudah terbakar habis sebagai pengingat untuk masa depan: ‗Tolong, jangan berbuat ulah seperti ini lagi.‘ Andrew menelan fakta itu dengan pahit, mustahil. Yang membuatnya senang adalah bahwa dia bisa kembali ke pelukan Louisa, dia sudah tidak ingat lagi dengan waktu, karena dia terlalu rindu sampai waktu terasa beku. Through the flames and fire I will go ‗Cause I know, yeah, I know that I‘m not alone Tadinya, Andrew kira bahwa dia pergi ke tempat yang salah. Mana ada tempat tinggalnya menjadi hangus dan masih ada yang merah-merah, serta beberapa sudah tidak dikenali lagi? Tunggu, mana tempat penuh rumput yang biasa dia habiskan untuk berdua saja dengan Louisa, ketika dia berlatih dan Louisa menjaganya? Astaga, ke mana itu semua? Ucapan Gordon beberapa waktu yang lalu membuat Andrew tidak bisa berjalan lagi. Tubuhnya terasa lemas seketika. Kekuatannya seakan kabur dari tubuh dan menguap begitu saja, meninggalkan Andrew dalam kelemahan yang tak pasti. Kamu percaya kalau mereka akan menyerang tempat kita? Mungkin, mereka-mereka itulah, yang sudah menyerang tanah mereka dengan begitu keji dan membakar habis orang-orang tercinta mereka, menang dengan telak. Andrew jatuh terlutut.
185
Pelindungnya selama ini justru sudah merusaknya sampai ke titik kekuatan terakhir. Mungkin kalau dia tidak egois, dia akan menjadi suami yang baik dan akan bersama terus dengan Louisa sampai mereka terbakar bersama-sama. Mungkin kalau dia tidak egois, dia akan menjadi ayah yang diidolakan oleh anaknya karena berhasil menjaga mereka semua dan hidup bahagia sampai selamanya. Masalahnya, yang namanya happy ending di dunia nyata itu susah ditemukan. Kedua tangan Andrew bergetar. Lalu seluruh tubuhnya juga. Tak ada yang tersisa, kata mereka. Wilayah itu sudah mati. Beserta dengan remuknya diri Andrew yang tepekur di tanah, memandang langit dengan kobaran api yang tidak meredup. Like an army of angels Like an army of angels Like an army of angels Like an army of angels, angels, angels
186
Eliya Tanjung
I felt fear when I never got up I stay here forever 'til I turn to dust Just take every minute make it last for life The Energy Never Dies No Sound Without Silence
187
amu benci Senin? Tiga perempat manusia benci Senin. Tapi aku berada di seperempat sisanya. Mungkin terdengar aneh, aku, Raden, justru benci hari Minggu – dan hari libur lain. Oh, maafkan aku, Tuhan, sesungguhnya semua hari-Mu baik. Satusatunya alasan adalah karena pasti aku tidak bisa menatap wajah bidadari hatiku, Maya. Maka ketika Senin tiba, akulah manusia dengan senyum yang tak henti memompa endorphin, hormon kebahagiaan. Seragam putih-abu rapi, topi ada, dasi apik, sepatu bersih, PR Matematika sudah selesai. Menatap gerbang sekolah seperti menatap gerbang surga. ―Raden!‖ bahuku ditepuk. Cepat rambat udara pagi itu menghantarkan serangkaian getaran nada indah dari pita suara seorang gadis yang paling ingin kujumpai di sekolah ini, Maya. Bahkan sebelum mataku menangkap pantulan cahaya dari wajah Maya, aku tahu itu dia. ―Eh, Maya. PR matematikanya udah selesai?‖ tanyaku basa basi. ―Belum, mana pernah aku ngerjain PR Matematika. Hahaha,‖ tawa Maya renyah sekali. ―Kalau PR Bahasa Indonesia, baru deh kukerjain. Kamu kan tahu, aku nggak suka Matematika.‖ Aku hanya tersenyum pilu. Bagaimana mungkin aku jatuh cinta pada gadis yang bertolak belakang denganku. Aku gila sains, Maya teradiksi sastra. Aku suka musik klasik dan keroncong, Maya suka techno music. Aku tergolong kalem, tidak populer, teman sedikit. Tapi Maya? Dia sangat populer, terutama karena puisinya yang bisa membuat siapa saja bergidik hanya dengan membacanya saja. Sering juara antar sekolah. Temannya banyak sekali. Bahkan sampai sekolah tetangga mengenalnya. Ia gadis yang sangat ramah. Dan ia juga cantik. Ups, apakah tadi aku bilang, aku jatuh cinta padanya? Rahasiakan dulu ini. ―Raden, ajari aku yang belum paham,‖ ujarnya setengah berbisik. Wajah Maya agak ketat. Guru Fisika menerangkan Hukum Thermodinamika. Aku hanya mengangguk. Kami duduk sebangku. Satu hal yang juga sangat kusyukuri. ―Bagian mana yang belum paham?‖ tanyaku.
K
188
―Semua,‖ jawab Maya putus asa. Aku menahan tawa. Maya mencubit tanganku. Sekarang aku menahan sakit. ―Nanti aku ke rumahmu, ya,‖ ujarnya. Aku tersentak. ―Ngapain?‖ tanyaku berbisik. ―Belajar,‖ jawab Maya. Wajahku panas. Bisa kurasakan darahku yang merah berubah jadi biru. Membeku. Aku refleks mengangguk. Kuingat dulu itu, pertama kali masuk SMA, jarang ada siswa yang sevisi dan semisi denganku dalam hal sains. Mereka menganggap sains itu ‗horror‘. Tapi tidak buatku. Sains itu hati, sains itu alam, sains itu sastra, sains itu semesta. Lalu kutambahkan definisi sains ketika aku melihat sesosok gadis dengan senyum berlesung pipi, sains itu cinta. Dan tidak seperti remaja umumnya, aku memilih untuk mencintainya dalam diam. Diam yang sangat sunyi dan rahasia. Bahkan sel darah putihku yang senantiasa patroli dari satu pembuluh ke pembuluh lain tidak bisa mendeteksi cintaku pada Maya. Hingga saat ini. Kelas XI. Kami tetap bertegur sapa, saling bercanda, saling usil, saling bertukar lagu. Sekali dulu kami nonton bioskop, walaupun bersama rombongan. Tapi paling tidak ia duduk di sampingku. Entah bagaimana harus kunyatakan cinta ini padanya. Apakah harus pakai kaset seperti film Suckseed? Atau teka-teki seperti Shinichi? Atau main gitar seperti Arai? Atau.. Ini mimpi. Kutampar pipiku. Sakit. Oh, ini nyata. Maya, gadis yang biasanya hanya hidup di alam imajinasiku, gadis virtualku, sekarang ia duduk di kursi meja belajarku. Nyata, sambil memandangi buku-buku yang kuyakin ia tak paham. ―Banyak ya buku sainsnya, pantas kamu pintar, ya Den..‖ aku tertawa kecil. ―Eh, kita mulai belajarnya dari mana?‖ tanyaku mencairkan gumpalan-gumpalan darah di jantungku. ―Orang tua kamu nggak ada, Den? Jadi cuma kita berdua aja nih?‖ rupanya Maya tidak menyimak pertanyaanku. ―May,‖ panggilku. Maya menoleh, ―Kita mulai dari mana?‖ tanyaku lagi. Maya cuma senyum jahil.
189
―Maaf ya, Raden, aku sebenarnya lagi malas pulang. Aku main sebentar ya,‖ ini dia rupanya motif aslinya. Maya mendekati tumpukan CD koleksi keluarga kami. ―Eh, kamu punya CD-nya The Script? Suka juga ya?‖ Maya kelihatan girang, langsung memasukkan kepingan CD ke CD player. ―Kamu suka lagu yang mana?‖ tanyanya. ―Oh, itu punya adikku. Aku nggak terlalu suka musik begitu. Tapi secara umum aku suka yang The Energy Never Dies,‖ jawabku. ―Kamu suka yang mana?‖ tanyaku. Dentuman musik mulai bermain. Bibirnya membentuk kata ‗semua‘. Tak heran, pikirku. Lalu ia berdendang. Mengikuti irama lagu The Energy Never Dies. And you're looking in my eyes It's not the end 'cause the energy never dies Tadinya aku tidak terlalu suka dengan musik macam ini, tapi setelah dinyanyikan Maya, lain terdengarnya. I felt fear when I never got up I stay here forever 'til I turn to dust Just take every minute make it last for life Aku ikut bernyanyi sekuatnya di bait tersebut. Sialnya, tiba-tiba mati lampu. ―Yaah..‖ Maya kecewa. Acara konser bubar. Aku tertawa. ―Ya sudah, kita belajar aja, yuk?‖ ajakku. Maya cemberut. Ia menggeleng. ―Malas, ah.‖ Maya mengeluarkan sebuah diary. Sampulnya biru. Ia menulis sesuatu di situ. Duduk berselonjor di lantai. Sementara aku membaca buku di sofa panjang. ―May, nggak apa-apa nih, kita berduaan gini? Mana mati lampu lagi,‖ tanyaku. Sebenarnya hatiku yang tak menentu. Berdua di ruang tamu belakang, mati lampu, senyap, kondisi yang sangat bagus sebenarnya untuk menyatakan cintaku. ―Ah, nggak apa-apa, Den. Kan masih sore, lagi pula kita kan teman.‖ Jleb! Jleb! Jleb! Rasanya sebuah batu membelesak di tenggorokanku.
190
Kita kan teman, kata-katanya berputar di kepalaku. Habis aku. Friendzone activated kata anak sekarang. Aku patah hati. ―Raden!‖ tiba-tiba Maya memanggilku. Begitu aku menoleh, sebuah kilat menyilaukan mataku. Maya mengambil fotoku di ponselnya. ―Ah, curang! Kan jelek kalau gitu,‖ rengekku. ―Aku kan aslinya ganteng.‖ Kami tertawa. ―May, kamu sadar nggak? Lagu tadi hampir seperti pelajaran sains yang disastrakan?‖ Maya menggeleng. ―The energy never dies, terdengar seperti Hukum Thermodinamika I, kan? Hukum Kekekalan Energi. Energi tidak bisa dibuat dan tidak bisa dimusnahkan. Energi hanya berubah dari satu wujud ke wujud yang lain. Nah, perubahan wujud ini akan melepas sebagian kecil energi. Yang kita kenal dengan entalpi. Itulah dia Hukum Thermodinamika II. Seru kan?‖ jelasku panjang lebar. Maya memperhatikan dengan seksama. ―O, gitu. Eh, kok aneh ya, kalau kamu yang jelasin, aku jadi ngerti. Tapi ngomong-ngomong, energi itu seperti cinta ya, tidak bisa dibuat, tidak bisa dimusnahkan.‖ Maya bersandar di kursi sambil menerawang di balik jendela. ―Mungkin cinta juga energi,‖ ujarku. Lalu Maya menatapku. Tatapan yang lain. ―Ya udah lah, aku pulang dulu ya, Den.‖ Kuantar Maya sampai pagar. Bayangnya meredup di tikungan. PORSENI. Pekan OlahRaga dan Seni. Pesta rakyat, eh, pesta pelajar yang juga menyandang status rakyat jelata. Para kelinci percobaan kurikulum berseragam putih-abu berkumpul di lapangan. Menyaksikan band sekolah kami, Volvox, membawakan sebuah lagu dari The Script The Energy Never Dies. Semua teman di kelasku kegirangan. Seperti nonton konser betulannya saja. Tidak denganku. Aku di sini, di dalam kelas, bersama kesendirianku yang akut. Kudengarkan teman-temanku bernyanyi mengikuti sang vokalis. Buku kimia lebih menarik minatku. Lalu mataku menangkap benda tak asing di dalam tas Maya yang terbuka. Diary. Tadinya aku tak mau baca, tapi penasaran juga. Akhirnya kuambil buku bersampul biru itu,
191
kubuka, kubuka, dan kulihat ada fotoku tempo hari itu. Poseku yang sedang duduk dengan kepala menghadap kamera, tapi di foto itu ditambah kumis, topi badut, hidungku diureg-ureg seperti hidung badut sirkus. Di bawahnya terdapat tulisan yang melambungkan khayalku. ‗cowok yang aku suka, jelek ya‘. Diary kututup, kudapati sebuah fakta yang sangat jelas. Maya menyukaiku. Rahasiakan kalau aku punya perasaan yang sama. Tiga hari sudah kami liburan semester. Masih tersisa empat hari lagi. Aku tersiksa. Rindu rasanya pada Maya. Kuberanikan diri mengirim BBM. Pak Raden Gadis Maya Pak Raden Gadis Maya Pak Raden Gadis Maya Pak Raden
: : : : : :
May, apa kabar? Sakit Pak Raden Hah, seriusan? Sakit apa? Malarindu Ah, bercanda aja ni.. Haha, serius, aku sakit. Sini dong jenguk aku, katanya temen? : Iya deh.
Dalam perjalanan aku tak habis pikir. Aku suka Maya, Maya suka aku, tapi kami memutuskan untuk tidak memberi tahu. Alasanku jelas. Aku rasanya tak selevel dengan Maya. Aku tak tahu apa alasannya. Mungkin nanti bisa kutanyakan. Tapi yang jelas aku harus menyatakan perasaanku. Kurasa ini saat yang tepat. ―Eh, Raden, masuk, Maya ada di dalam.‖ Ibu Maya mengantarku ke kamar anak semata wayangnya itu. Lalu beliau berlalu. ―Pak Raden!‖ Maya terlihat senang. ―Wih, sakit beneran ya?‖ ujarku. Keceriaan Maya lindap. Wajahnya pucat. ―Iya, kecapekan ujian mungkin ya?‖ aku mengangguk. ―Cepat sembuh ya, kangen juga sama kamu, nggak ada lagi yang ngusilin aku.‖ Bisa kulihat pipi Maya merona. ―Makanya jangan suka ngedit foto orang sembarangan, kualat kan,‖ pancingku.
192
―Ngomong apa sih? Nggak ngerti aku.‖ Maya terlihat bingung. ―Kulihat di diary kamu, fotoku diedit pakai kumis dan topi badut‖ Maya tercekat. Matanya membulat. ―Kamu baca diary aku? Jahat banget sih!‖ Maya pura-pura marah. ―Nggak sengaja kok,‖ jelasku. Maya tersipu. Kami terdiam. Kugenggam tangan Maya sambil bersenandung. I'll take your hand and I'll hold real tight Kan kuraih tanganmu dan kan kugenggam erat I'll tell you life's just a blink so don't think twice Kan kukatakan padamu hidup hanyalah sebentar, maka jangan berpikir dua kali Let's catch the moment in a flash of light Mari ambil peluang secepatnya 24/7, baby, 3-6-5 Dua puluh empat jam tujuh hari, kasih, setahun ―Maya, kalau kamu gak mau bilang, aku yang akan bilang..‖ jantungku berdegup. ―Memang seharusnya begitu, kamu kan laki-laki,‖ Maya menatapku dalam. ―Aku suka kamu dari kelas X.‖ Tangan halus yang hangat, membalas genggaman tanganku. ―Aku juga, tapi aku takut mengganggu kecintaanmu belajar,‖ ujar Maya lirih. ―Kamulah energiku untuk belajar,‖ balasku. Kutatap matanya yang mulai berkaca-kaca. ―Kamu tahu, mencintaimu dalam diam sangat menyesakkan.‖ Maya mengambil nafas panjang. ―Bukankah dalam sesuatu yang diam pun punya energi? Ayo coba energi apa?‖ candaku. ―Potensial, Pak Raden.‖ Kami tertawa. ―Cinta bersaudara dengan sains,‖ ujarku. ―Dan cinta juga bersaudara dengan sastra,‖ balasnya. ―Jadilah energiku,‖ dua kata yang sulit sekali keluar dari mulutku. ―Jadilah bait puisiku, jadikan bait puisiku berenergi,‖ balasnya lagi. Kukecup punggung tangan Maya.
193
―Tapi katanya cuma teman?‖ candaku. ―Lho, memangnya teman nggak boleh jadian?‖ Tanya Maya. ―Ya boleh banget lah!‖ jawabku. Tiba-tiba Ibu Maya masuk membawa panganan dan air minum. ―Wah, kayaknya anak Mama udah sembuh nih,‖ sambil melirik tangan kami yang berpegangan. Refleks kulepas genggaman Maya. ―Tinggi suhunya Maya, ya, Bu. Panas banget,‖ ujarku. Maya cekikikan. Wanita paruh baya itu juga tertawa. Ia mempersilahkan aku minum. Kemudian Ia tinggalkan kami. ―Nanti kalau kamu sudah sembuh, kita ke bioskop. Tapi berdua aja, ya.‖ Maya mengangguk cepat. Masih empat hari lagi yang harus kulewati. Ah, saat ini aku benar-benar benci liburan.
194
Shasti Nandani Iradiva
There ain‟t no word in this world that describes you No Words #3
195
ua belas tahun. Ucok tidak percaya pada empat bilangan yang tertera di kalender ponselnya. Udah selama itu? Begitu pikirnya. Pagi tadi, Ucok bercermin dan napasnya tertahan saat ia melihat garis halus di ujung matanya. Ia mulai menua. Ia bukan lagi Ucok dua belas tahun yang lalu. Bukan lagi Ucok yang hobi menerobos atap tetangganya untuk duduk dan menikmati langit malam bersama teman baiknya. Ucok yang sekarang adalah ‗Pak Nael‘, manajer promosi di sebuah rumah produksi, yang baru berumur 33 tahun. Ucok menghela napas panjang. Tatapannya menyapu ke penjuru kedai kopi yang sepi itu. Dalam hatinya, Ucok mengutuki keterlambatan orang yang seharusnya datang sejak satu jam yang lalu. Namun ia tetap memutuskan untuk menunggu. Dia sudah menunggu selama dua belas tahun, satu jam jelas tidak ada artinya. Selama dua belas tahun itulah Ucok menyusun kata-kata yang akan ia ucapkan pada orang yang ditunggunya selama ini. Katakata itu terjalin dengan rapi di kepalanya. Kalau Ucok mau, kata-kata itu bisa ia susun menjadi sebuah buku monolog. Ucok sering menertawai kekonyolannya sendiri, tetapi ia tidak bisa menghentikannya. Medusa, begitu Ucok menyebut orang yang ditunggunya selama dua belas tahun ini. Bukan karena orang itu punya tubuh setengah ular melata ataupun punya rambut berupa ular-ular kecil, Ucok punya alasan lain atas panggilan itu. Tentu saja sebutan itu tidak pernah keluar dari bibirnya. Tidak ada yang pernah mendengarnya selain Ucok, hati kecilnya, dan Tuhan. Hanya mereka yang tahu betapa Ucok menginginkan momen yang tepat untuk melepaskan nama itu kepada orang yang ditunggunya selama ini. ―Cok! Sori banget! Udah lama, ya?‖ Ucok membatu selama sepersekian detik saat suara tipis yang ringan itu tertangkap oleh daun telinganya. Butuh usaha yang keras bagi Ucok untuk melepaskan dirinya dari jerat suara yang ditunggu-tunggunya selama ini. ―Enggak, kok. Gue juga baru dateng.‖
D
196
Ucok berbohong. Jelas, dia tidak ingin gadis dengan kemeja biru yang baru saja datang itu tahu bahwa sudah satu jam lebih ia menunggu dengan gelisah. ―Gila! Kok lu nggak ada berubah-berubahnya, sih, dari terakhir kita ketemu?‖ seru gadis itu penuh semangat. Matanya yang tajam menatap Ucok penuh selidik sambil mencondongkan tubuhnya dengan raut riang. Masih Dinta yang sama. Masih Dinta dua belas tahun yang lalu. ―Gue udah punye keriput, nih. Panik gue,‖ kata Ucok sambil tertawa. Dinta mengerang sambil bersandar dengan kesal. ―Iya, nih. Gue kesel, deh,‖ gerutunya pelan. ―Semua kosmetik anti-aging itu pembohong, ya, ternyata.‖ Ucok meringis. Masih Dinta yang sama, kata-kata itu terus diulang Ucok dalam hatinya seperti mantera. Dia tidak ingin membuka kemungkinan bahwa waktu punya kekuatan yang begitu dahsyat untuk mengubah sosok yang begitu disayanginya dua belas tahun yang lalu. Masih Dinta yang sama. ―Cok!‖ ―Eh, apa?‖ Dinta menggerutu. ―Kok lu kayak stoned gitu, sih? Lu teler, ya?‖ ―Ngaco!‖ Ucok melotot. ―Masih siang gini, juga.‖ ―Dulu lu nggak pernah peduli siang atau malem,‖ celetuk Dinta sambil tertawa. ―Apa kabar? Garing nggak, sih, gue nanya gitu sama lu?‖ candanya sambil bertopang dagu. ―Tapi serius, deh. Apa kabar? Dua belas tahun, lho, kita nggak ketemu.‖ Ucok tersenyum. ―Nggak kerasa udah selama itu.‖ ―Nggak kerasa gimana? Kerasa banget, lah! Setahun, dua tahun, sih, lu masih bisa bilang nggak kerasa. Kalau dua belas tahun, bohong banget kalau lu sampe bilang, ‗Rasanya kita baru ketemu kemarin‘,‖ timpal gadis berambut ikal itu sambil menggelengkan kepalanya tidak percaya. ―Serius gue. Nggak kerasa.‖ ―Masa, sih?‖ Dinta menyipitkan matanya curiga. ―Aliran waktu di sekitar lu beda kali, ya, sama gue?‖ Ucok hanya tertawa pelan. Dunia gue mengalir tanpa waktu selama dua belas tahun, lewat begitu aja kayak nggak punya friksi.
197
Dinta mengamati Ucok lekat-lekat. ―Lu jadi lebih kalem, ya?‖ ―Itu pujian atau sindiran, nih?‖ ―Tapi jelas sifat curigaan lu nggak berubah,‖ dengus Dinta. ―Jadi pujian?‖ Ucok menyeringai. Dinta menggerutu. Lima belas menit berikutnya, Ucok bergeming dalam diam menikmati kata-kata yang meluncur dari mulut gadis yang duduk di hadapannya. Entah apa benang merah dari kata-kata itu, Ucok tidak memperhatikannya. Mungkin Dinta bercerita tentang hidupnya selama dua belas tahun terakhir, mungkin juga ia bercerita tentang Copenhagen – tempat tinggalnya setelah mereka berdua berpisah dua belas tahun lalu – atau mungkin saja Dinta hanya melontarkan kata-kata yang tidak berkesinambungan sama sekali. Ucok tidak peduli. Masih Dinta yang sama. Masih Dinta dua belas tahun yang lalu. ―Cok!‖ hardik Dinta lagi. ―Hm?‖ ―Kok gue terus, sih, yang ngomong? Gantian, dong! Ceritain dua belas tahun lu selama ini.‖ Ucok terdiam sejenak. Lenyap sudah kata-kata yang ia susun di dalam kepalanya. Monolog yang ia persiapkan selama dua belas tahun hilang seperti debu yang ditiup angin. ―Cerita? Cerita apa?‖ tanyanya kemudian. Dinta menatapnya dengan kesal. ―Serius gue. Nggak ada cerita apa-apa. Semuanya udah gue ceritain sama lu lewat email.‖ ―Apaan, deh? Lu kirim email ke gue kayak kirim telegram gitu. Singkat-singkat kayak kena charge per karakter. Gue kutip, ya: ‗Dinta, gue keterima di ABC Production‘, ‗Dinta, gue diangkat jadi manajer‘, ‗Dinta, perkutut bokap gue mati‘. Gitu yang namanya cerita?‖ protes gadis itu dengan bersungut-sungut. ―Nggak kangen apa lu sama gue?‖ Bibir Ucok menyunggingkan senyum datar. Kangen. Banget. ―Cok!‖ ―Hm?‖ Dinta mengerang. ―Lu kenapa, sih? Nggak niat, ih, ketemuan sama gue.‖ Ucok terdiam. Hening menyelimuti mereka berdua. Ucok menghela napas panjang dan akhirnya berkata, ―Semua yang gue rasain selama dua belas tahun terakhir...‖ katanya sambil menatap mata Dinta. ―bakal jadi sebuah kebohongan kalau gue gambarkan dengan kata-kata.‖
198
Gadis di hadapan Ucok terdiam. ―Gue menang taruhan sama semesta,‖ celetuk Ucok. Dinta mengerutkan kening tanpa kata. ―Lu masih inget kata-kata gue di atap rumah lu dua belas tahun yang lalu? Sebelum kita pisah?‖ Dinta tidak menjawab. ―Waktu itu, gue taruhan sama semesta,‖ gumam Ucok sambil mengaduk cangkir kopinya pelan. Senyum tipis masih terukir di wajahnya. ―Kalau kita ketemu lagi, gue bertaruh lu masih menjadi Medusa buat gue.‖ Ucok bisa menangkap binar kaget yang dipancarkan oleh mata Dinta. Gadis itu berusaha mati-matian untuk menyembunyikannya. ―Dan gue menang,‖ kata Ucok sambil tersenyum. ―Nggak peduli berapa tahun udah lewat, lo selalu punya kekuatan buat merampas kata-kata dari mulut gue, dari kepala gue. Apa istilah lu dua belas tahun yang lalu?‖ Dinta tersenyum. ―Petrification.‖ ―Petrification,‖ ulang Ucok. Senyumnya merekah. ―Selalu begitu dari pertama kita ketemu dulu.‖ ―Sampai sekarang?‖ Ucok mengangguk. ―Sampai sekarang.‖ Dinta terdiam sejenak. ―Lu nggak berubah, ya?‖ kata gadis itu akhirnya sambil tersenyum. ―Berubah, kok. Kan gue udah bilang, sekarang gue punya keriput.‖ Dinta tertawa. ―Bukan berubah itu maksud gue,‖ katanya sambil tergelak. ―Lu masih Ucok yang baik hati. Masih Ucok yang jujur.‖ Dinta mengulum senyum. ―Masih Ucok dua belas tahun yang lalu.‖ ―Gitu?‖ Dinta mengangguk. ―Tapi pertanyaan gue, apa lu masih Ucok yang mempertanyakan rahasia semesta kayak Ucok dua belas tahun yang lalu?‖ ―Emang ada pengaruhnya sama pembicaraan kita sekarang?‖ tanya Ucok bingung. ―Lu masih berharap takdir kita digariskan sama bintangbintang, Cok?‖ tanya Dinta yang hanya dijawab oleh kerutan kening Ucok. ―Karena mungkin ada saatnya lu menyesal dengan semua ini dan butuh seseorang... atau sesuatu untuk disalahkan
199
atas perasaan lu. Mungkin ini waktu yang tepat buat menyalahkan bintang-bintang.‖ ―Maksud lu?‖ Dinta mengatupkan bibirnya rapat-rapat. ―Din, kalau gue mau nyesel, gue seharusnya nyesel dari dua belas tahun yang lalu,‖ kata Ucok. ―Sekarang udah bukan waktunya buat menyesal. Udah terlambat buat menyesal.‖ ―Tapi gue...‖ ―Ini nggak ada hubungannya sama lu. Ini tentang gue,‖ potong Ucok. ―Gimana bisa ini bukan tentang gue? Perasaan lu itu ngelibatin gue!‖ Ucok menghela napas. ―Lu nggak ngerti juga, ya?‖ desahnya. ―Kadang sesuatu itu terlalu rumit buat diungkapin pakai katakata.‖ Dinta menggerutu. ―Omongan lu nggak ada korelasinya sama sekali dengan masalah ini.‖ ―Jelas ada,‖ tantang Ucok. ―Lu masih nyempatin diri buat ngeliat langit malam setiap harinya, Din?‖ Dinta mengangguk. ―Gue masih inget lu bilang kalau semua orang menyempatkan diri buat diam sambil mengamati langit malam setiap harinya – melihat sesuatu yang nggak berbatas, mereka akan sadar bahwa banyak hal lain yang lebih penting untuk dikerjakan daripada yang mereka lakukan selama ini.‖ ―Terus hubungannya?‖ ―Setiap gue ngamatin langit malam, gue nggak pernah kepikiran hal lain selain nyusun kata-kata yang harusnya gue ungkapin sama lu,‖ gumam Ucok. ―Tapi sekarang gue ada di hadapan lu, semuanya lenyap. Lu ngerti maksud gue?‖ Dinta menggeleng. ―Gue menyesali banyak hal, tapi perasaan gue buat lu bukan salah satunya,‖ kata Ucok. ―Perasaan itu nyata. Petrification itu ada, bukan sekedar ingatan tempelan atau perasaan fana yang pernah lo bilang ke gue dua belas tahun yang lalu.‖ ―Perasaan yang nggak bisa diungkapkan dengan kata-kata?‖ Ucok tersenyum. ―There ain‘t no word in this world that describes you.‖ Dinta menghela napas panjang. ―Apa ini seharusnya jadi sesuatu yang romantis? Karena gue malah merasa bersalah.‖ ―Kenapa?‖
200
―Gue pernah ada di posisi lu dan... gue tau rasanya nggak enak.‖ Ucok tertawa terbahak-bahak. ―Berarti perasaan lu nggak nyata.‖ Dinta menatap Ucok bingung. ―Dinta, feelings that transcends words adalah satu-satunya hal sakral yang bisa terjadi sama lo. Gimana bisa lu menganggap sesuatu yang suci kayak gitu adalah perasaan nggak enak?‖ Dinta hanya mengangkat bahu. ―Gue tau lu pernah ada di posisi gue.‖ Tiba-tiba kata-kata Ucok seperti tertelan begitu saja. Ia menatap Dinta curiga. ―Sebentar,‖ katanya sambil menyipitkan matanya penuh prasangka. ―Dia masih jadi Medusa lo?‖ Kali ini wajah Dinta menegang. Ucok tersenyum kecut sambil menatap keluar jendela. ―Dua belas tahun, ya?‖ ―Dua belas tahun.‖ Dinta menatap gelas berisi teh di hadapannya sambil tersenyum getir. ―Menurut lu kita menyedihkan?‖ Ucok mengangkat bahu. ―Kita berdiri di atas garis antara hopeful dan pathetic.‖ Dinta terdiam. Keduanya terdiam. Lama. Hanya dengung percakapan pengunjung kedai kopi yang memecah hening di antara keduanya. Udara terasa menekan, baik bagi Ucok maupun Dinta. ―Eh, sorry gue telat. Udah lama, ya?‖ Ucok bisa menangkap binar kaget Dinta saat sahabatnya yang lain datang dan menarik kursi di antara keduanya. Ucok yakin orang lain juga melihat binar itu di matanya saat Dinta menyapanya sebelumnya. Dinta tersenyum. ―Enggak, kok. Gue juga baru dateng. Ya, kan, Cok?‖ ―Gitu, deh.‖ Ucok ikut menyunggingkan senyumnya. ―Apa kabar, Van?‖ ―Oh? Baik, kok.‖ Ivan tertawa pelan. Pria itu diam sejenak sambil menatap kedua sahabatnya bergantian. Ivan tersenyum. ―Dua belas tahun, ya?‖ Ucok melirik Dinta dengan hati-hati. ―Iya. Nggak kerasa, ya?‖ Gadis itu menelan ludah. ―Iya, ya. Nggak kerasa...‖ gumamnya pelan.
201
―Dua belas tahun itu bukan setahun dua tahun, lho,‖ kata Ivan. Dinta tertawa hambar sambil melirik Ucok. ―Iya. Gue tau.‖ Ucok hanya membalasnya dengan senyum penuh arti. Believe me, I‘ve tried to break you down to a science. Still, there are no words to describe or define what‘s inside you, your feeling, your vibe. Bukankah semesta adalah tempat yang kejam, Din? Masih Dinta yang sama. Masih Dinta dua belas tahun yang lalu. Mantera itu masih didengungkan Ucok dalam hatinya. Dan ajaibnya, mantera itu menjadi kenyataan.
202
Refil Laurensia Better
Never gonna stop „til the clock stops tickin‟ Never gonna quit „til my leg starts kickin‟ Glowing #3
203
udah satu jam dia menungguku di tempat kerjaku ini. Ia bergeming sejak tadi. Hanya sesekali pandangan matanya bergeser mengikuti kalimat demi kalimat yang tercetak di halaman novel Agatha Christie yang sedang dibacanya. And Then There were None memang salah satu karya terbaik novelis misteri kelas dunia yang tentunyaakan menjadi bacaan favoritpara penulis cerita detektif seperti Adrien. Sesekali ia melonggarkan kacamata bingkai hitamnya sedikit dan mengucek mata perlahan sambil menguap. Ups. Salahku memang. Kalau saja aku tidak menghilang tanpa jejak selama dua minggu terakhir ini, mungkin Adrien bakal mendapatkan waktu tidur yang cukup karena tidak harus memikirkanku. Yah, bukannya aku percaya diri sekali kalau dia akan memikirkanku. Tapi,kan, dia pacarku, dan biasanya seorang pacar akan memikirkanmu saat kau menghilang tanpa bisa dihubungi selama dua minggu penuh, kan? Ah, Adrien memang pacar yang baik. Selain karena ia memikirkanku di kala aku menghilang, ia juga melakukan banyak hal manis lainnya. Misalnya, seperti menuliskan kata-kata romantis untukku di kata pengantar bukunya yang akan terbit; seolah buku itu memang dipersembahkan untukku. Atau menyanyikanku lagu karena paksaanku di saat aku ngambek meski dia sama sekali tidak bisa menyanyi. Intinya, aku tidak bisa meminta pacar yang lebih baik lagi. ―Samantha,‖ suara Lady Ann mengusik lamunan,―tolong kembalikan buku-buku ini ke rak asalnya.‖ Lady Ann wanita bertubuh gempal pemilik perpustakaan tempat aku bekerja. Meski terlihat galak, sebenarnya ia berhati malaikat. Buktinya aku masih dipekerjakan meski sering menghilang tak berbekas selama setengah bulan. Yah, tapi itu karena memang dia mengetahui kondisiku, sih. Tapi berhubungia tidak menikah dan karena orangtuaku sudah tiada sejak lima tahun silam,kamiselalu bersikap layaknya ibu dan anak perempuan. ―Baik, Ma‘am.‖ seruku. Dengan cepat aku melangkahkan kedua kakiku menuju mejanya dan mengangkat tumpukan sepuluh buah buku sekaligus;yangtiap jilidnya seteballima senti dengan berat sekitar satu sampai dua kilogram.Kini mata kecilku berusaha mengintip dari atas buku di tumpukan paling atas
S
204
supaya aku bisa melihat jalan. Bagiku ini tidak susah, kok. Aku sudah biasa melakukan pekerjaan yang agak kasar semacam ini. Adrien sering bertanya-tanya bagaimana bisa kekuatan sebesar itu berasal dari tubuh yang begitu mungil. Ternyata, hari itu perpustakaan Lady Ann kebanjiran pengunjung. Tapi aku memang bisa jadisangat gembiradan bersemangat saat bertemu orang lain. Sesekali aku mengajak mereka mengobrol singkat sambil mengurus peminjaman buku mereka. Lady Ann bilang sebenarnya pekerjaan di perpustakaan agak kurang cocok untukku, karena setiap kali datang aku selalu bawel dan berceloteh panjang lebar dengan pengunjung. Perpustakaan seharusnya sesunyi malam kudus, katanya. Begitu jam kerjaku usai, aku kembali mendesah panjang. Dengan langkah berat aku menghampiri meja Adrien. Sejujurnya aku ragu menceritakan alasan lenyapnya aku selama dua minggu terakhir, karena kami baru berpacaran selama dua bulan (jika waktu menghilangnya aku juga tetap dihitung). Tapi aku tidak mungkin menghindar terus, bukan? Sebelum aku tiba di mejanya, laki-laki itu sudah menoleh terlebih dahulu dan ada perasaan hangat mengalir dari dadaku saat melihatnya tersenyum seperti itu padaku. Sekaligus rasa sakit. Entah sampai kapan aku bisa melihatnya tersenyum padaku seperti itu. Aku mengaduk-aduk teh krisan pesananku meski tidak menambahkan apa pun ke dalamnya. Aku memang mengulurulur waktu untuk bicara. Tapi begitu sadar bahwa usaha ini siasia, aku menghela napas panjang, lalu menampilkan senyum terbaikku sambil berkata, ―Apa kabar, Adrien?‖ ―Aku tidak butuh basa-basimu, Sam.‖ dengus Adrien. ―Aku butuh penjelasan.‖ ―Oke. Oke. Jangan meledak dulu. Kau ini. Untung saja kafe ini sedang sepi.‖ Sontak aku menoleh ke sekelilingbagai buronankriminal paranoid yang mengira dirinya sedang dikuntit agen penyidik federal. ―Kalau saja kau tahu betapa takutnya aku saat kau tidak menghubungiku juga selama 3 hari pertama.‖ ―Kau terlalu banyak membaca Sherlock Holmes,‖ ucapku geli.
205
Adrien mengabaikan kelakarku. ―Dan aku nyaris menelepon polisi jika saja aku tidak bertanya terlebih dahulu pada Lady Ann tentangmu.‖ Tubuhku menegang. Apa Lady Ann mengatakan sesuatu?―Apa yang dikatakan Lady Ann tentang aku?‖ ―Dia juga tidak memberikan info penting.‖ Adrien mengedikkan bahu.―Dia bilang, ini waktumu berdiam diri.Tapi dia mengenalmu lebih lama dibanding aku. Jadi, saat itu kupikir tidak masalah untuk membiarkanmu berdiam diri.‖ Aku meringis. Semoga dia tidak bertanya macam-macam. Semoga saja dia tidak curiga. Semoga saja... ―Jadi?‖ Adrien mencondongkan tubuhnya ke depan. ―Hmm, dua minggu kemarin aku di apartemenku. Jadi aku tidak masuk kerja.‖ aku tertunduk. Adrien mendesah menanggapi jawabanku yang tidak memuaskan. ―Itu sama sekali tidak menjelaskan ‗berdiam diri‘ yang dikatakan Lady Ann. Tapi sudahlah, itu nanti dulu saja.‖ ia kembali mencondongkan tubuhnya ke arahku.―Kenapa kau tidak mengangkat teleponku kali ini?‖ ―Aku...tidak bisa.‖ ―Tidak bisa?‖ Adrien mengangkat alis. ―Kau tidak bisa memberitahuku kabarmu selama dua minggu penuh?‖ Ada penekanan yang lebih dari seharusnya pada tiga kata terakhir. Mendadak aku merasa sulit menelan. Aku tetap tak berani menatap matanya. ―Kenapa? Memangnya apa yang kau lakukan selama dua minggu kemarin?‖ ―Aku...ehm...aku sakit.‖ Kali ini aku memalingkan wajah. Astaga. Kapan-kapan aku harus latihan berbohong di depan cermin. ―Kau terlihat kurusan lagi, Sam. Terakhir kalinya kau menghilang selama tiga minggu, kau juga mengatakan alasan yang sama. Sebenarnya kau sakit apa? Kurasa aku harus tahu penyakit macam apa yang menyerangmu hingga membuatmu tak mampu menghubungi pacar sendiri sama sekali.‖ Kalimat terakhir dilontarkannya dengan sinis. Kini aku memilin-milin ujung kemejaku sambil menggigit bibir. Aku dalam masalah.
206
Seorang gadis bertubuh mungil tengah terduduk di pojok kamarnya yang nyaris gelap. Hanya sedikit cahaya mentari menyusup melalui celah ventilasi kamar yang membuatnya masih bisa melihat keadaan sekitar. Rambut hitam panjangnya kusut dan lepek karena sudah tidak dicuci selama dua hari terakhir. Wajahnya sepucat kapas. Dan lingkaran hitam terbentuk di sekitar mata kecilnya. Ia tidak tahu sudah berapa lama dirinya hanya duduk seperti ini di sini.Harusnya sekitar dua hari. Ia sendiri kurang yakin karena hanya melirik sekilas tanggal yang tertera padalayar ponsel di sampingnya yang sering bergetar itu. Dan kini ponselnya bergetar lagi. Nama Adrien tertera di tengah-tengah layar. Mungkin telepon ini sudah yang keseratus kalinya hari itu. Tapi tidak ada secuil niat pun dalam dirinya untuk mengangkat ponselnya. Lalu layar itu kembali berubah hitam. Tak lama bunyi ketukan di pintu terdengar. Gadis itu bergidik. Mungkinkah Adrien datang ke sini? Lalu samar-samar didengarnya bunyi rencengan kunci disusul dengan bunyi kunci yang diputar di pintu. Ia mengembuskan napas lega. Kalau dia punya kunci, itu pasti Lady Ann. ―Oh Samantha sayangku,‖ suara Lady Ann terdengar cemas.Gadis itu berusaha menarik sudut bibirnya berusaha membentuk senyum tapi gagal, senyumnya nyaris tidak terlihat. ―Maafkan aku karena baru sempat datang. Perpustakaan kita kemarin sibuk sekali. Semua orang hilir mudik di ruangan yang hanya sepetak itu. Ah ya, kau sudah makan?‖ Lady Ann bicara sambil memapah Samantha untuk berbaring di atas ranjang.―Kau harus makan, Sayang. Ini, kubawakan jus buah untukmu. Kau mau kubuatkan bubur?‖ Gadis itu menggeleng lemah. ―Terima kasih, Ma‘am.‖ ―Aku datang untuk memastikan keadaanmu dan aku yakin kau tidak meminum obatmu lagi, kan? Ada di mana dia?‖ Dengan tangan gemetaran gadis itu menunjuk kearah nakas di samping lemari. Bungkusan-bungkusan obat tergeletak di atasnya. ―Baik, baik. Ini, kau harus minum ini setelah kau menghabiskan jusmu. Kuletakkan di mana tadi ya? Ah, ini dia.‖ Lady Ann menyodorkan gelas berisi jus buah kepada Samantha. Dengan susah payah ia menyeruputnya melalui sedotan.
207
Ia merasa sedikit lebih baik setelah menyeruput beberapa tegukan jus buah. Hanya sedikit. Depresi sialan itu betul-betul menyiksanya. Untung saja Lady Ann datang di saat yang tepat. Kalau tidak, mungkin setelahnya ia akan mengambil pisau di dalam nakas dan...dan.... Tidak. Jangan sampai itu terjadi lagi. Ia tidak boleh melakukannya lagi. ―Aku masih menunggu jawabanmu, Sam.‖ Adrien mengetukngetukkan ujung-ujung jarinya di atas meja. Kesabarannya mulai tipis. ―Eh, ini sudah malam, Adrien. Kau tidak lelah menungguku seharian penuh? Tidak ingin pulang?‖ Sumpah. Aku benar-benar payah soal mengalihkan pembicaraan begini. ―Ini baru jam delapan,‖ tukasnya.―Lagipula, biasanya kau bilang selalu tidur di atas tengah malam, yang omong-omong, mungkin merupakan salah satu alasan kenapa kau sakit. Jadi, jangan alihkan pembicaraanku dan segeralahmenjawab.‖ Aku cuma tertunduk menatap cangkir teh krisanku. Dengan gugup aku mulai menelusuri bibir cangkir dengan jari telunjuk. ―Sam!‖ Adrien menarik pergelangan tanganku. Agak terlalu keras sehingga rasa sakit yang amat sangat datang menyerangku.Aku meringis. ―Kenapa tanganmu?‖ Celaka. Aku mulai gelagapan. ―Tidak. Aku... Tanganku baikbaik saja. Aku cuma....‖ Adrien menarik kembali tanganku dan menyibak lengan sweater-ku yang panjang. Ia melihat goresan-goresan luka melintang pada pergelangan tanganku. ―Sam, apa yang terjadi? Kenapa tanganmu?‖ Aku menggigit bibir dan mulai terisak. Pertahanan terakhirku runtuh sudah. Aku meremas kedua tanganku. Haruskah aku jujur? Bagaimana kalau dia pergi, seperti pria itu? Apakah aku sanggup ditinggalkan sekali lagi? ―Sam.‖ Adrien menangkupkan wajahku hingga mata hitamku menatap mata abu-abu miliknya. ―Ada apa?‖ Sorot mata Adrien begitu lembut. Begitu menenangkan. Seolah mengatakan padaku untuk percaya padanya.
208
―Aku punya masalah dengan mood-ku, Adrien.‖ Aku akhirnya bicara terpatah-patah sambil menahan diri agar tangisku tidak meledak. ―Aku ini... Emosiku tidak stabil. Ada satu fase ketika aku sangat bersemangat dengan energi yang meluap-luap. Aku sanggup bergadang bahkan tidak tidur berhari-hari tanpa mengantuk. Aku bisa bekerja keras seharian tanpa sedikit pun merasa lelah. Aku akan jadi orang yang bawel dan ceria, sampai tidak bisa berhenti bicara. Seperti saat ketika kita bertemu. Adrien tetap bergeming menungguku melanjutkan ucapanku. ―Tapi ada juga fase di mana aku akan menjadi depresi. Aku merasa tak berdaya untuk melakukan apa pun. Energiku seperti terkuras habis. Aku begitu tidak memiliki niat mengerjakanapa pun, bahkan hanya untuk sekadar berdiri. Dan ketika fase depresi ini menyerang, aku sering berpikir untuk... mengakhiri hidupku.‖ Mata Adrien melebar. ―Kau bercanda.‖ ―Apa luka sayatan ini terlihat seperti lelucon bagimu?‖ potongku dingin. Adrien terdiam. ―Sekarang kau tahu gadis seperti apa aku ini, bukan? Aku punya gangguan mental. Tidak, jangan mendebatku. Ini memang gangguan mental. Aku tidak mau minum obat seumur hidupku, Adrien. Dan aku tahu kau pantas mendapatkan gadis yang lebih baik.‖ Adrien menarikku ke dalam pelukan. Aku meronta, berusaha melepaskan diri darinya, tapi ia tetap memelukku. Aku menangis dan iatidak mengatakan apa pun, melainkan hanya memelukku. Lalu, sayup-sayup aku mendengarnya melantunkan lagu. Seperti yang biasa dilakukannya ketika aku mengamuk. Atau gelisah. Atau sedang merajuk. When you cried and told the truth And you left me speechless The secrets you‘ve been keeping But my decision‘s always gonna be To follow you Never gonna stop ‗til the clock stops tickin‘ Never gonna quit ‗til my leg starts kickin‘ I will follow you and we‘ll both go missin‘
209
No I‘m never givin‘ up ‗til my heart stops beatin‘ Never lettin‘ go ‗til my arm stops breathing I will follow you and we‘ll both go missin‘ Suara Adrien sama sekalitidak merdu. Banyak nada yang sumbang. Temponya pun tidak berirama. Tapi mendengar lagu itu tangisku kembali pecah. Karena nyanyiannya membuatku untuk pertama kalinya merasa dicintai sepenuh hati.
210
Akarui Cha
And you may see this place and find no worth But it‟s a little piece of heaven here on earth Hail Rain or Sunshine No Sound Without Silence
211
ufth ... Rin mengembuskan napasnya kuat, memajukan bibir bawahnya hingga poninya yang lurus rapat terangkat sedikit ke atas. Kepalanya terasa panas. Emosinya mendadak naik ke ubun-ubun. Layar laptop di meja kerjanya baru saja dia shut down. Sementara jam digital yang melingkari tangannya sudah menunjukkan pukul setengah sebelas malam. Kali ini, lagi-lagi dia harus bersabar menghadapi deadline yang rasanya nggak pernah habis meneror kehidupannya. Belum lagi tentang Fin yang memilih menghilang – seminggu ini dia benar-benar nggak bisa dihubungi. BBM. Whatsapp. Line. Argh, ke mana anak itu? Bahkan tiap kali dia menelpon, hanya nada tunggu yang didengarnya, lalu ... klik ... Fin me-reject-nya. Tega sekali dia melarikan diri di saat pekerjaan kantor sedang banyak-banyaknya. Saat waktu yang diberikan oleh para klien mepet! ―Benar-benar lelaki ini bikin aku gila!‖ Rin mengacak-acak poninya sendiri. ―Argh!‖ kedua tangannya menumpu kepalanya. Rin kembali mengela napas. Frustrasi. ―Fin! Kamu ke mana? Kenapa kamu nggak ngabarin aku? Terus buat apa kamu bilang sayang sama aku, kalau begini caramu?‖ Setelah layar laptopnya menggelap, dengan cepat Rin melipat laptop silver-nya, hingga dia menemukan stiker timbul mungil di tepi sebelah kiri, dengan dua tokoh berbaju merah dan tameng warna biru. Matanya memicing sesaat. LaMbakng kota Dublin di Irlandia yang ditempelkan oleh Fin di senja hujan itu, di ruang tunggu bandara – memanggil ingatannya pada lelaki dengan kacamata yang selalu menempel di hidungnya yang sedikit mancung. Seketika aroma tubuh Fin seperti dapat dia rasakan di sekitarnya. ―Rin, kapan ya kita bisa buat advertising company berdua? Aku art director-nya, kamu copywriter-nya.‖ Rin menatap ke dalam mata Fin. ―Lalu kita akan berlibur ke Irlandia, berdua.‖ Kala itu, wajah Rin memerah malu. Debar jantungnya cepat. Selalu saja berdetak lebih cepat saat berada di dekat Fin. Padahal sudah lebih dari empat tahun mereka saling mengenal sebagai teman kuliah, berpisah, lalu dipertemukan lagi oleh takdir. Begitu yang Rin pikirkan setahun lalu, ketika mereka
H
212
kembali bertemu dalam sebuah interview singkat, di tempatnya bekerja saat ini. Hingga enam bulan belakangan, Fin berkata kalau dia jatuh cinta padanya. Mungkin benar anggapan banyak orang. Hal tersulit saat bekerja di sebuah perusahaan adalah saat saling jatuh cinta dengan teman satu tim, satu divisi. Sulit. Terlebih bagi perempuan, sebab urusan hati juga bisa terbawa-bawa ke urusan pekerjaan. ―Aku yakin, kita nggak akan seperti itu, Rin. Apalagi, aku tahu banget, kamu paling bisa ngebedain mana urusan cinta mana urusan kerja. Dari zaman kuliah, sisi kamu yang seperti ini, sisimu yang bikin aku jatuh cinta,‖ ucapan Fin suatu pagi saat mereka bertemu di depan pintu lift, dihadirkan oleh ingatannya dengan sangat jelas. Termasuk saat mereka berdua saling berdiam, di dalam lift yang bergerak naik. Fin melepaskan sebelah earphone-nya, memasangkannya pelan di telinga Rin. Lagu Hail Rain or Sunshine milik The Script mengalun penuh semangat, membuat mereka saling pandang dan bertukar senyum. Seolah The Script tahu bagaimana rasanya jadi pekerja kreatif yang tak menentu jam kerjanya. Fin pun menggenggam tangan Rin kuat ketika pintu lift keMbakli terbuka. ―Yeah, we‘re always have a good time. Whether it‘s hail rain or it‘s sunshine.‖ Fin mulai bersenandung. ―Yeah, we‘re all living the good life. Whether it‘s hail rain or it‘s sunshine.‖ Fin melabaikan tangannya pada beberapa rekan kerja yang menyambut kedatangan keduanya. Tapi malam ini, apa yang terjadi? Rin merasa sendirian. Ditinggalkan tanpa kabar. Fin sama sekali nggak bisa dia hubungi. Entah ke mana perginya lelaki itu. Mungkin dia terjebak di negeri antah berantah. Atau, jangan bilang kalau Fin berniat menghindarinya, lalu resign dari kantor? ―Hhh...‖ Rin meraih tas punggungnya dari laci terbawah meja kerjanya. Sesaat matanya kebali tertuju pada stiker di laptop-nya. ―Fin,‖ panggilnya. Perlahan dia membelai stiker itu, merasakan bentuknya yang timbul, menikmati warnanya. Terbayang senyuman Fin, hal yang paling dia suka dari lelakinya. ―Kamu harus belajar untuk terbiasa bekerja tanpa aku Rin. Nggak selamanya aku akan ada di sini. Nggak akan ada yang
213
tahu, sampai kapan aku berkarya di advertising company ini, dan sampai kapan juga kamu betah membesarkan brand-brand para klien di sini dengan tulisanmu.‖ Suara Fin terngiang oleh Rin. Di senja saat mereka menunggu jam penerbangan pesawat untuk keMbakli ke Jakarta, Fin meracau seperti orang yang sudah berniat untuk resign dari kantor, pergi, mengejar karir impiannya. ―Jangan tinggalin aku sekarang, Fin.‖ Rin melangkah keluar ruangan. Menggemakan suara ketukan hak di sepatu boots coklat mudanya. Wajahnya tertunduk, menikmati keremangan, melewati kubikel-kubikel yang sepi sedari sore. Seorang satpam muda menunduk hormat padanya, sebelum mempersilakannya keluar. Dengan cepat Rin meletakan ibu jarinya pada fingerscan, sebelum berlari-lari kecil menuju jalan dan melaMbakikan tangannya pada taksi yang kebetulan lewat. Fin melangkah cepat menaiki tangga menuju lantai empat. Ranselnya yang besar masih melekat di punggung. Matanya masih berbinar penuh semangat, padahal jam digital bertali biru gelap yang melingkari pergelangan tangannya sudah menunjukkan pukul setengah sebelas malam. ―Kabari ya kalau dia sudah pulang.‖ Fin berbicara dengan seseorang di ujung sana, dari earphone yang menyuMbakt sepasang telinganya sedari dia turun dari taksi. ―Baik, Mas.‖ Fin mengulum senyum, menurunkan ranselnya, merogoh kantong depan, mencari kunci kamar kosnya. Gerakan tangannya dihentikan oleh sebentuk bintang mungil empuk, gantungan kunci yang dijahit Rin, sudah lama sekali. ―Aku pulang!‖ serunya seolah ada seseorang yang menunggunya di dalam. We‘re late to bed We‘re early to rise Wipe the sleep from our eyes
214
We head to work We catch a lift We have a smoke and we start this shift? We open up We start to wake Maybe it‘s gonna be our day And suddenly We start to smile The sun is out for a while And you may see this place and find no worth But it‘s a little piece of heaven here on earth ―Maaf Pak, boleh musiknya dimatikan saja?‖ Rin memperbaiki duduknya di kursi belakang taksi, memandang wajah si supir taksi dari kaca spion. Supir taksi paruh baya yang pengertian itu segera mematikan music player, membiarkan penumpangnya menikmati perjalanan pulangnya dengan sunyi. ―Mbak, kok malam minggu begini baru pulang kantor? Lembur ya Mbak?‖ Rin hanya tersenyum menanggapi ucapan supir taksi yang ditumpanginya. Dia menoleh ke jalanan yang mulai lengang, menikmati lampu-lampu kota yang menyala remang, gedunggedung tinggi menjulang, juga lalu lalang kendaraan. ―Semangat bekerja ya, Sayang!‖ Rin begitu merindukan kecupan yang selalu dihadiahkan di keningnya. Kecupan yang dia dapat tiap kali sebuah ide brilian muncul di kepala Fin, dan dia diminta untuk membuatkan body copy-nya. Rutinitas di tim mereka. ―Turun di mana, Mbak?‖ tanya sang supir kali ini. ―Setelah lampu merah, masuk ke komplek perumahan itu Pak.‖ Sang supir mengantarkannya hingga ke depan rumah kos yang ditinggali Fin. Saat menemukan lampu kamar Fin yang menyala ... ―Di sini saja, Pak!‖ Nggak sabaran, Rin segera turun. Dia melangkah buru-buru melewati taman kecil yang di bangun di tengah bangunan empat lantai itu. Saat menemukan tangga naik, suara ketukan sepatu boots-nya menggema. Statis.
215
Fin baru saja akan keluar lagi dari kamarnya. Tangannya memutar kunci. Belum Fin membalikkan tubuhnya .... ―Fin.‖ Rin berlari-lari kecil, memeluk tubuh lelakinya dari belakang. Semua penat di kepalanya menguap. Hidungnya dibuai aroma maskulin yang dia rindukan. ―Kamu ke mana aja? Seminggu hilang nggak ngasih kabar.‖ Fin terkejut. Dia baru saja tertangkap basah oleh gadisnya. Sengaja dia memejamkan mata, berusaha berpikir cepat, alasan apa yang harus dia katakan sekarang? Ketika Rin melepaskan pelukannya. ―Maaf ya, Rin.‖ Diam-diam Fin menarik napas. Ah, sial! Rencanaku bisa gagal kalau begini. Batinnya gemas sendiri. Rin menatap Fin penuh selidik. ―Kamu ke mana aja seminggu ini?‖ Fin menghela napas berat. Tangannya meraih pundak Rin, mengajaknya turun ke lantai bawah. Di tepi tangga, Rin menepis tangan Fin. Menjauh. ―Kamu belum jawab pertanyaan aku, Fin.‖ Kali ini, Fin menggenggam tangan Rin. Menariknya. Memaksanya menuruni anak tangga. Sesampainya di taman kecil di depan kos-kosan itu, Rin menghentakkan tangan Fin hingga terlepas. Fin berusaha menariknya lagi, tapi nggak berhasil. ―Fin! Aku ...,‖ Napas Rin tersengal, menahan gemas atas sikap diam Fin. ―Ikut aku dulu.‖ Fin memeluk pinggang Rin dengan lembut. ―Kamu ke mana seminggu ini?‖ desak Rin lagi. ―Kita cari kopi dulu, yuk!‖ Rin menggeleng. ―Jawab dulu pertanyaan aku, Fin.‖ Fin mengecup kening Rin. ―Ayolah, kita cari kopi dulu!‖ Rin mengikuti Fin ogah-ogahan. Sementara Fin sesekali menengadahkan wajahnya ke langit malam yang gelap. Memperhatikan rumah-rumah yang sudah sepi. Sesekali sigap memeluk pundak Rin tiap kali ada motor yang melintas. Fin masuk lebih dulu ke convenience store di depan komplek, persis di pertigaan jalan. Membiarkan Rin mengekorinya dan memilih duduk menunggu sendirian di sebuah bangku yang berderet menghadap jendela bening, memerhatikan kendaraan yang masih lalu-lalang. Muda-mudi yang asyik mengobrol di meja sebelah, memancing perhatian Rin. Seketika Rin sadar,
216
kalau malam ini, malam minggu. Seharusnya dia bisa menikmati banyak waktu untuk dirinya sendiri, atau ... ―Latte.‖ Fin meletakkan segelas latte hangat di depan Rin, lalu duduk di sampingnya, begitu dekat. ―Sekarang kamu nggak boleh nanya lagi, aku ke mana aja seminggu ini.‖ Rin berhenti menyeruput latte-nya. Menoleh. Memandang lelakinya penuh curiga. Kamu nggak mau tahu kalau banyak klien yang minta project-nya selesai dikerjakan, dan aku sangat butuh kamu seminggu ini? Seberapa kangennya aku? Juga, bingungnya aku nyariin kamu? Batin Rin, pasrah. ―Dua hari pertama cutiku, aku pulang ke rumah orangtuaku di Bandung.‖ Fin tersenyum. Wajahnya bersemu merah. ―Dua hari selanjutnya, aku ... aku di rumah orangtuamu.‖ Rin menyipitkan matanya. Mulutnya siap bertanya, tetapi Fin lebih dulu meletakan telunjuknya di sana, menahan kata-kata Rin. ―Aku … aku bilang sama ayahmu tentang semua impianku, rencana hidupku, sebagai proposal untuk dapatin kamu.‖ ―Kenapa Ayah?‖ ―Ssstt! Dengerin aku!‖ Fin meraih tangan Rin, menggenggamnya di pangkuannya. ―Aku yang bilang sama Ayah, biar nggak cerita ke kamu dulu.‖ Matanya menikmati rona merah di pipi Rin. ―Tiga hari sisanya, aku ke Bali. Aku ketemu sama beberapa teman lamaku, rencananya – kalau bisa segera – aku mau resign dari kantor kita. Aku mau mulai merintis advertising company sama mereka, teman-temanku itu.‖ ―Fin kamu ...‖ ―Rin, aku mau impianku untuk sama kamu terus, cepat kesampaian. Aku mau nikahin kamu. Aku maunya, nanti kamu yang jadi copywriter pribadiku. Temani aku ya. Kamu mau kan?‖ Secepat kata-kata Fin mengalir, secepat itu pula mata Rin berkaca-kaca. Haru. Tersanjung. Rin nggak tahan untuk nggak memeluk Fin, menikmati ritme jantungnya, juga aroma maskulinnya. ―Hufth. Tapi sayang ... malam ini rencana aku buat ngasih kamu kejutan romantis gagal total. Satpam di kantor kita itu memang nggak cepat tanggap ya. Padahal aku udah pesan, kalau dia harus ngabarin aku pas kamu pulang kantor. Hmm ... tapi teman-teman di tim kita nggak ada yang ngodein kamu kalau aku bakalan ngelamar kamu kayak begini, kan?‖
217
―Nggak.‖ Rin menjauhkan lagi dirinya. ―Baguslah.‖ Fin mengeluarkan earphone-nya, memutar sebuah lagu dari iPod, lalu memasangkan salah satu earphone tadi di telinga Rin. ―Mulai Senin nanti, aku akan bekerja lebih keras lagi. Untuk kita.‖ Intro lagu Hail Rain or Sunshine mulai mengalun. Menenggelamkan Rin dan Fin. Keduanya sesekali menyeruput latte masing-masing, dan melewatkan malam minggu hanya dengan duduk diam sambil bergenggaman tangan.
218
Yenita Anggraini
This time she's gonna fix her heart and make it bullet proof Broken Arrow No Sound Without Silence
219
erjalanan menuju stasiun terakhir tujuanku masih beberapa jam lagi. Di luar, gelap semakin pekat. Pemandangan yang biasa silih berganti di jendela kini hitam saja. Menimbulkan rasa kantuk bagi penikmatnya. Tapi tidak berlaku untukku, aku tidak terbiasa tidur dalam perjalanan, apalagi perjalanan
P
kali ini. Perlahan dengan penuh keraguan, aku buka tas ransel yang sedari tadi aku dekap di depan dada untuk mengurangi dinginnya AC kereta. Kukeluarkan amplop putih bertuliskan ‗Untuk Fajar‘ di sampul depan. Kukeluarkan lembar demi lembar tulisan yang kutulis selama beberapa hari ini. Apa ini akan cukup mewakili semuanya?
Jogja. Banyak pasangan mengatakan kota ini sebagai tempat romantis, Jar. Dulu, aku benci ikut-ikutan. Empat kali kunjungan ke sini tapi romantisme Jogja tidak pernah menempel di benakku. Tapi itu dulu, sebelum aku bertemu kamu di kota Jogja. Sekarang, bahkan mendengar kata Jogja bisa membuat jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya. Sebegitu kuatkah kenangan akan Jogja? Atau sebegitu kuatkah kamu mempengaruhiku? Masih jelas dalam ingatanku, tanggal 5 Juni, pukul 07.00 malam, tahun 2008 yang di kemudian hari selalu aku agungkan sebagai waktu yang cantik untuk sebuah pertemuan. Lihat angkaangka itu. Tanggal 5, bulan 6, pukul 7, tahun `08. Bahkan waktu pun bisa memaksa dirinya menjadi romantis saat itu. Ah, mungkin aku yang memaksanya. Gambaran tentang detik pertemuan kita masih terang adanya buatku. Malam itu, setelah tujuh tahun tidak pernah berjumpa, di depan Hotel Mataram dekat stasiun Tugu, untuk pertama kalinya lagi aku menatap matamu. Perubahan penampilan luar biasa ada di depanku. Bocah lelaki kelas 3 SMP yang kecil, berambut keriting, dan masih lugu kini berubah menjadi lelaki 22 tahun dengan penampilan layaknya gembel-Hehe. Maaf-dengan rambut panjang dan gimbal yang, sepertinya, tidak terurus. Ditambah dengan jaket jeans lusuh dan celana jeans belel akibat jarang dicuci. Untuk melengkapi kesan urakan itu, ada pula tas yang aku pastikan terbuat dari celana jeans bekas yang diselempangkan seenaknya. Belum cukup itu semua, terselip juga
220
sebatang rokok di sela jarimu yang tadi pasti sempat kamu hisap beberapa kali sambil menungguku keluar dari hotel. Kaget. Ya. Bagaimana mungkin aku tidak kaget? Gambaran tentang kamu di masa lalu yang selalu aku simpan, luluh lantak oleh transformasi penampilan besar-besaran. Namun, tiba-tiba penilaian tentang penampilan itu hanya berlarian di otakku dalam beberapa detik saja. Karena ada mata itu. Mata itu bicara banyak. Masih kehangatan yang sama. Masih binar yang sama. Saat itu aku lega, kamu tidak berubah. Satu-satunya yang aku sesali adalah kehebohan persiapanku sesaat sebelum bertemu kamu. Berlama-lama mematut diri di depan cermin hanya untuk sebuah kesan pertama. Harusnya aku lebih santai. Tapi tidak bisa. Buatku, pertemuan ini terlalu istimewa. Walau akhirnya pertemuan ini ternyata berlanjut di trotoar jalan depan hotel. ―Sini.‖ katamu. ―Kita ngobrol di sini.‖ katamu lagi sambil menarik tanganku untuk duduk di pinggir trotoar. Duduk-duduk di pinggir jalan adalah hal yang sangat tidak mungkin aku lakukan sebenarnya. Tapi saat itu aku menurut. Toh di Jogja tidak ada yang aku kenal. Aku turis di sini. Lalu, di sanalah kita berbagi cerita. Lebih banyak bercerita tentang dunia kita sekarang. Aku sedikit menghindari pembicaraan tentang masa lalu karena aku takut perasaanku akan jelas terbaca. Aku belum berani untuk berbicara tentang rasa denganmu. Karena saat itu aku masih menata hati. She says a winner never quits, quitters never win Kutarik nafas dalam-dalam. Membaca lagi surat ini ternyata pilihan yang salah. Bukan menguatkan malah membawa kembali gelombang kenangan yang harus segera aku hapus jika ingin bertahan. Tapi, bisakah aku bertahan jika hanya dengan membaca surat yang aku tulis sendiri pun aku menyerah? Tidak. Surat ini hanyalah ujian pertamaku sebelum besok. Aku harus membacanya lagi, kalau perlu berkali-kali agar hapal, agar kebal, agar benar-benar bosan membacanya sembari berharap rasa bosan itu akan mengikis perasaanku yang masih seperti dahulu.
221
Bicara tentang masa lalu, masih ingatkah kamu akan awal perkenalan kita? Tragedi Sendal Jepit aku menyebutnya. Aku ulang lagi ya cerita ini. Aku tahu kamu sudah bosan mendengarnya, tapi untuk kali ini biarkanlah aku bernostalgia tentang hal yang aku anggap sebuah destiny. Tujuh tahun yang lalu di tahun 2001. Berawal dari sebuah perjalanan study tour anak kelas 3 SMP ke Jogja, Bali, dan Jakarta. Berawal dari sebuah kejahatan kecil-kecilan ala anak baru gede, aku mengenal kamu yang sebelumnya belum pernah aku kenal walaupun kelas kita bersebelahan. Di perjalanan itu juga sedikit demi sedikit aku mulai memerhatikan dan melihat kamu sebagai seseorang yang berbeda. Orang yang terkesan cuek dan misterius tapi sekaligus juga sangat kocak dan ramah. Dua karakter yang jarang aku temukan dalam diri satu orang sekaligus. Hal ini tentu aku sadari nanti, bukan di perjalanan itu. Di perjalanan itu, aku baru sedikit mengagumi dan merasa kalau kamu adalah salah satu hal menyenangkan untuk diperhatikan. Perhatianku kepadamu terutama karena sandal jepit kita yang ternyata sama. Sandal jepit hitam merek Havainas. Tidak lebih dari itu. Saat itu, aku pikir...semua tidak akan pernah lebih dari itu. Namun, sesuatu yang aku anggap takdir berkata lain. Sepulang dari study tour ternyata sandal kita tertukar. Itu yang akhirnya menjadi jalan komunikasi kita berdua. Perasaan itu mulai tumbuh namun pupus karena terbentur waktu kelulusan yang membuat kamu harus meninggalkan Bandung dan bertolak ke Jogja untuk melanjutkan SMA di sana. Lagi-lagi aku pikir, kita hanya sebatas itu. Kesibukan kita memasuki dunia baru sepertinya mengubur pelan-pelan perasaan yang sempat tumbuh. Cinta Monyet pikirku waktu itu. Itulah awal perkenalan kita. Aku yakin kamu sudah hapal di luar kepala. Tapi apa kamu akan mengira kalau kita akan bertemu lagi di Jogja setelah 7 tahun berlalu? Aku rasa tidak. She says it seems too good to be true, well then it probably is Di bagian surat yang ini, air mata yang sudah mulai tergenang sedikit surut karena senyumku. Takdir. Betapa mudahnya dulu aku menyimpulkan kalau awal perkenalanku
222
dan Fajar adalah jalan Tuhan yang merestui kebersamaan kami hanya karena kami dipertemukan oleh sepasang sendal jepit. Miris. Senyum ini justru bagai garam menyirami luka. Naif sekali aku dulu. Aku lempar pandangan kosong ke luar jendela. Gelap itu ternyata punya sisi lain yang bisa kunikmati, sisi perenungan dan introspeksi. Ternyata, jalan yang terlalu mudah dalam hubungan ini bukanlah sebuah pertanda kalau akan berakhir indah. Seindah Jogja malam itu. Kembali ke pertemuan pertama kita di Jogja. Malam itu kita habiskan dengan berkeliling Jogja. Naik motormu yang hijau itu. Yang sekarang sudah kamu jual untuk biaya kelulusan agar tidak merepotkan ibu dan bapak. Motor merek apa aku tidak tahu, yang pasti motor itu sudah kamu ―telanjangi‖ sehingga kelihatan semua sparepart-nya. Mungkin dulu itu keren. Tempat pertama yang kita datangi adalah rumah makan. Entah di mana aku lupa. Aku punya masalah dalam mengingat arah dan tempat. Hal yang dulu selalu kamu tertawakan. Di rumah makan itu, kamu memesan rawon dan jeruk hangat. Aku ingat saat itu ada pengamen datang, dan aku minta dia menyanyikan lagu Jogjakarta. Kamu kurang suka dengan rawon yang kamu pesan, katamu ―Rawon seharusnya tidak begini.‖ Aku ikut mencicipi dan rasanya manis. Apa memang seperti itu? Entahlah aku belum pernah makan rawon, jadi aku tidak tahu mau komentar apa. Lalu kita pergi ke sebuah benteng tua yang aku tidak ingat ejaannya karena seperti bahasa Belanda. Sudah tutup memang. Hanya berfoto-foto di depannya saja. Ternyata kamu tidak suka difoto. Sampai larut malam kita di sana hingga akhirnya aku memutuskan kembali ke hotel. Namun, malam itu, masih enggan rasanya untuk dilepas begitu saja. Aku dan kamu melanjutkan lagi obrolan kita di lobi hotel. Obrolan itu membuat kita kembali mulai mengenal. Kita kembali mulai mengenang. Aku tidak ingat seluruhnya apa saja yang kita bicarakan malam itu hingga menjelang subuh. Tapi itu cukup untuk membuat perasaan yang tersimpan berani menampakkan dirinya lagi perlahan.
223
She says never never bite more than you can chew Semua rasanya berawal dari obrolan hingga menjelang subuh itu. Seharusnya memang tidak pernah aku mulai. Andai saat itu, aku langsung pulang dan masuk ke kamar hotel, apa perasaan yang dulu pernah tersimpan itu akan berani menampakkan dirinya? Mungkin pertemuan kami hanya akan jadi sebuah pertemuan biasa dengan teman lama. Mungkin Jogja tidak akan menjadi begitu istimewa. Tapi semua sudah terlanjur, kan? Aku dan Fajar telah memulai semuanya. Memulai sesuatu yang tidak bisa kami akhiri. Keesokan paginya, aku harus kembali ke Bandung. Kamu berjanji akan mengantarku ke stasiun tapi kamu tidak datang ke hotel. Aku memutuskan berangkat sendiri sembari masih berharap kamu akan datang menyusul ke stasiun. Dan ternyata layaknya cerita di sinetron pasaran, di detik-detik terakhir keberangkatan kereta, kamu datang. Masih dengan baju yang kemarin, dengan mata merah pengaruh tidur yang mungkin hanya sekitar dua jam, tanpa mandi. Berantakan sekali. Tapi sungguh aku tidak peduli. Aku hanya merasa sangat senang. Kereta menuju Bandung akan segera meninggalkan Jogja. Kamu tatap mataku. Entah apa maknanya. Aku bergegas masuk kereta. Tidak ada ucapan selamat jalan. Tidak ada janji untuk bertemu lagi. Tidak ada harapan yang diberikan. Saat kereta perlahan bergerak meninggalkan Stasiun Tugu, saat itu juga aku merasa takut. Takut karena sudah sedikit menyemai harapan akan pertemuan yang sebenarnya pertemuan biasa antar teman lama. Aku takut ini berakhir seiring aku meninggalkan Jogja. Aku mulai merasa takut kehilangan kamu saat itu. Tapi rupanya ketakutanku tidak beralasan, cerita kita ternyata baru dimulai sejak keretaku meninggalkan Jogja. Bandung, 7 hari yang lalu ―Tidak ada pilihan lain. Hubungan ini tidak akan bisa kemana-mana.‖ Rentetan kalimat itu adalah bom waktu yang akhirnya meledak walau aku telah mengusahakan segala cara untuk mengulur waktunya.
224
―Tapi, aku...‖ Kuhentikan kalimat yang hanya akan jadi rayuan picisan saja di telinga Fajar. Aku kira, melepaskan Fajar akan semakin mudah seiring berjalannya waktu. Aku terus berpikir begitu sampai berjumlah enam tahun kebersamaan kami dan nyatanya itu semakin sulit saja. ―Aku akan menikah. Itu beberapa hari lagi. Bisakah kita berhenti? Cinta kita menyakitkan, Jani. Bila diteruskan, kita akan sama-sama terluka.‖ Fajar akan menikah dengan wanita lain bukanlah hal yang baru aku dengar. Sudah ratusan diskusi dan perdebatan kami membahas ini. Pembicaraan yang hanya akan berakhir dengan kami yang sama-sama lelah. Aku tahu, waktunya akan tiba. Tapi mendengarnya lagi dan berkali-kali nyatanya tidak mengurangi rasa sakit itu. Dan kini, aku datang kembali ke Jogja. Menemuimu untuk terakhir kali sebagai kekasih. Mengucapkan maaf karena tidak bisa hadir di acara istimewamu. Surat ini juga tidak aku serahkan untuk merusak hari bahagia. Tidak sama sekali. Aku hanya ingin menyampaikan semua yang sudah terjadi di dalam hati sejak kehadiranmu. Aku hanya ingin mengakhiri semua cerita kita di Jogja, tempat kita memulainya. Lewat surat ini juga aku tutup semua rasa. Ternyata kamu bukanlah tokoh utama dalam cerita hidupku. Selamat berbahagia. Aku lipat surat yang akan aku serahkan langsung kepadanya sebentar lagi. Tepat sehari sebelum dia menjadi milik orang lain. Tepat sehari sebelum dia menikahi wanita yang akan menemani minggu paginya dengan ke gereja bersama. Hal yang tidak akan bisa aku lakukan. Sebentar lagi saat kereta ini berhenti di Stasiun Tugu, saat surat ini telah berpindah ke tangan Fajar, saat itulah cerita kami akan berakhir. This time she's gonna fix her heart and make it bullet proof
225
226
Ahmad Alkadri
I know you‟re missing home It‟s been so long since you‟ve been And that life you had in Dublin Now ain‟t nothing but a dream
Paint The Town Green No Sound Without Silence
227
ita mengangkat matanya dari layar ponselnya. Lagu itu, yang sedang diputar di kafe tempat dia berada, sepertinya dia pernah mendengarnya. Tapi, di mana? Dan apa judulnya? Dia melihat layar ponselnya lagi. Jarang sekali dia mendapatkan saat-saat seperti ini. Momen saat ia bisa berdiam, bersantai, beristirahat, tak memikirkan apapun. Rasanya, sejak setahun lalu, sedari dia menapak kembali di Bandara Soekarno-Hatta, ia tak pernah berhenti bergerak. Kembali ke rumah, bertemu keluarga, melamar kerja, memiliki atasan baru, pekerjaan, rekan-rekan baru, dan masih banyak lagi. Semuanya, sepertinya, memaksanya untuk terus bertindak tanpa henti selama dua puluh empat jam penuh. Dan di saatsaat sederhana ketika dia tidak bekerja, dia pastilah menutup matanya, tertidur. Dan mengenai pekerjaan… ―Lho? Nita?‖ Ia mendongak lagi. Seorang pemuda berdiri di luar kafe, membelalak padanya. Dia bergegas masuk, disalami oleh barrista yang bersemangat, dan menghampiri meja tempat Nita berada. Dia tergopoh-gopoh, kemejanya berantakan, rambutnya awut-awutan. ―Rudi,‖ kata Nita, mengangkat alisnya. Dia tak menyangka akan bertemu salah satu teman sekantornya di sini. ―Sedang apa?‖ Rudi nyengir dan menjawab, ―Nunggu kereta, tentu saja. Kamu… lagi apa?‖ ―Lagi nunggu kereta juga,‖ jawab Nita, mengangkat bahunya. Di luar, suara KRL yang melaju terdengar membahana, menggetarkan jendela-jendela. Kafe stasiun itu memang merupakan spot yang sangat strategis; dari dalamnya, Nita bisa menunggu sembari menikmati kopi. ―Menunggu?‖ tanya pemuda itu, tampak terkejut. ―Iya. Kenapa?‖ ―Nggak. Cuma… heran saja,‖ kata Rudi. ―Biasanya kamu ‗kan… sudah di kantor pagi-pagi banget, sebelum yang lainnya datang. Biasanya, jam setengah tujuh kamu sudah di sana.‖ Nita mengerjap. Apa yang Rudi katakan benar, tentu saja—dia selalu datang ke kantor pagi-pagi, sebelum para karyawan
N
228
lainnya di sana datang, kadang bahkan sebelum sekuriti tiba. Tapi… ―Dari mana kamu tahu itu?‖ tanya Nita. ―Oh—er—aku dikasihtahu Pak Jimbron, sekuriti kantor. Dia sering lihat kamu datang pagi-pagi, bahkan kadang sebelum dia datang katanya sudah ada kamu di kantor.‖ Dia buru-buru menambahkan, ―Aku bukan stalking kok! Sungguh!‖ ―Oke,‖ kata Nita dengan nada yang jelas menyatakan bahwa dia menduga Rudi adalah stalker. Dia mengerling ke peron. Kenapa belum ada kereta ke arah Jakarta lagi? ―Er… jadi…‖ Rudi nyengir canggung. ―Kenapa kamu berangkat jam segini?‖ Nita mendesah. ―Aku terlambat bangun. Semalam aku lembur sampai gara-gara Pak Abe minta aku menyelesaikan laporan workshop minggu lalu supaya bisa di-email ke beliau pagi ini. Aku baru sampai rumah jam satu, capek, jadi aku kesiangan dan ketinggalan kereta ke Jakarta yang biasanya kunaiki jam setengah lima pagi.‖ Rudi membelalak. Dalam hati, Nita tahu bahwa ia, meskipun rekan sekantornya, adalah orang yang tidak dikenalnya. Seingat Nita, baru kali ini mereka mengobrol, dan baru kali ini pula dia berbicara mengenai kehidupan pribadinya—yang meliputi bangun kesiangan—kepada orang lain. Nita mengerling ke gelas kopinya. Cappuccino, grande, tanpa flavor dan sugar. Apakah kafeinnya cukup kuat sampai-sampai bisa membuatnya berbicara sebanyak itu? ―Wow,‖ kata Rudi, mengangguk pelan. ―Laporan… workshop yang di Bandung?‖ Kali ini, giliran Nita yang terkejut. ―Iya,‖ katanya. ―Dari mana kamu tahu?‖ Masa‘ separah itu dia stalking-nya? ―Er—aku ikut,‖ jawab Rudi. ―Kita beda kendaraan. Kamu di mobil kantor bareng Pak Abe dan Bu Rita; aku bagian logistik, di mobil boks dengan barang-barang keperluan workshop.‖ Nita membelalak. ―Kamu yang…‖ ―Menyiapkan ruangan, logistik. Sama Pak Roni. Begitulah.‖ ―Oh,‖ Nita mengangguk. Mendadak, dia merasa tidak bisa menatap Rudi, malu karena kecuekannya yang sangat tinggi terhadap rekan sekantornya. Akhirnya, menyadari kecanggungan kondisi mereka, Nita berkata, ―Mau duduk? Mau beli minum, atau—―
229
―Er—tidak, tak usah,‖ kata Rudi cepat. ―Oh.‖ Hening sedetik. ―Nggak mau beli kopi?‖ tanya Nita. ―Oh. Tak usah,‖ kata Rudi. ―Tadi sudah di rumah, baru setengah jam lalu.‖ ―Kamu tinggal di Depok juga?‖ tanya Nita. ―Iya, dekat SMP PGRI. Tahu tidak tempatnya?‖ ―Tahu, aku lewat situ hampir tiap hari,‖ jawab Nita. ―Aku ngekos di dekat BSI.‖ ―Oh! BSI?‖ Rudi membelalak. ―Kamu tahu si Yuni? Resepsionis? Dia juga tinggal dekat situ!‖ ―Masa‘?‖ tanya Nita. ―Dia naik kereta juga?‖ ―Nggak, dia diantar suaminya yang juga kerja di Jakarta, naik motor,‖ kata Rudi, nyengir. ―Aku kaget waktu tahu, dia ternyata sudah menikah, padahal kukira lajang…‖ ―Oke…‖ Nita mengangguk perlahan. ―Kamu belum punya pacar?‖ Rudi mengerjap. ―Er—sudah. Kenapa…?‖ ―Nggak apa-apa,‖ jawab Nita buru-buru. Kaca-kaca jendela bergetar, suara gemuruh terdengar. mereka berdua menoleh, tepat ketika KRL memasuki peron. Pengumuman berkata, Jalur dua, kereta api jurusan Sudirman, Tanah Abang… Rudi berkata, ―Itu kereta kita! Penuh banget!‖ ―Iya,‖ kata Nita. Dari dalam kafe, mereka bisa melihat gerbong-gerbongnya yang penuh. Para calon penumpang yang menunggu segera berdiri dan bergegas ke pinggiran peron. Ramai, berjejal-jejalan, Nita tahu itulah risiko bekerja di Jakarta. Kereta berhenti, pintu-pintu dibuka, dan bersama dengan orangorang lainnya, dia naik. It‘s alright ‗Cause tonight We‘re gonna paint the town green Perjalanan menggunakan komuter membawa Nita, setiap pagi, melewati selusin stasiun. Sangat jarang dia mendapatkan
230
tempat duduk, tapi biasanya, jika dia berangkat menggunakan kereta pertama, gerbong perempuan belum begitu penuh dan dia bisa berdiri tenang tanpa tergencet sana-sini. ―Er—kamu tidak apa-apa?‖ tanya Rudi puluhan menit kemudian. Nita menatapnya. Mereka berdua menempel pada pintu sebelah kiri dari arah datangnya kereta. Sementara Nita terdesak pada sudut pintu, Rudi tidak bernasib baik. Dia tergencet punggung beberapa bapak-bapak bertubuh besar. Badan Rudi yang kurus seolah gepeng. Tapi, meski dalam keadaan itu, dia masih bisa bicara pada Nita—yang bersandar, diam, berusaha mengabaikan bapak-bapak lainnya yang berdiri cukup dekat. ―Ya.‖ Nita mengangguk. ―Tak apa-apa.‖ ―Kalau.. er… pas kuliah di Inggris sana, keretanya sering penuh seperti ini juga kah?‖ Nita mengangkat alisnya. ―Kamu.. tahu dari mana aku pernah kuliah di Inggris?‖ Rudi mengerjap. ―Er—sekantor tahu, kok.‖ Kali ini giliran Nita yang mengerjap. Lagi. ―Iya. Semua tahu kalau Nita pintar, pernah kuliah di Inggris, dan—― ―Siapa yang bilang begitu?‖ tanya Nita. ―Er—semuanya,‖ jawab Rudi. Dalam hati, Nita mengeluh, tak menyangka hal itu sudah diketahui semua orang di kantornya. ―Kenapa tak pernah bilang? ‗Kan itu keren,‖ kata Rudi, nyengir kecil. Karena aku tak mau ada ekspektasi yang tinggi padaku. Karena aku ingin kerja sederhana, hidup simpel-simpel saja, sembari mengumpulkan uang untuk melanjutkan kuliah lagi ke sana, batin Nita sembari berkata, ―Itu tak penting.‖ ―Menurutku itu penting,‖ kata Rudi, masih nyengir. ―Pak Abe sering memuji Nita, dan—― Nita mengangkat kedua alisnya tinggi-tinggi. ―Pak Abe memujiku?‖ ―Iya. Nggak cuma sekali lho,‖ kata Rudi bersemangat. ―Oh…‖ Nita mengangguk lambat-lambat, tak tahu apa yang harus dia katakan. ―Nah,‖ kata Rudi, berusaha mendekat, ―Cerita dong? Bagaimana sih komuter di sana?‖
231
Kereta melambat. Sebuah suara berbicara melalui interkom, mengumumkan bahwa mereka baru saja tiba di stasiun Tebet. Pintu-pintu sebelah kanan gerbong membuka, beberapa orang keluar, lebih banyak lagi yang masuk, lalu kereta bergerak lagi. ―Komuter di sana…‖ ucap Nita lambat-lambat. And we travel on the subway Like it was the Luas line ―Ya?‖ tanya Rudi lebih bersemangat. ―Sangat berbeda. Komuter di sana ada di bawah tanah. Penumpangnya lebih banyak, tapi kereta datang setiap beberapa menit sekali, tidak pernah ada gerbong yang penuh sesak. Dan keretanya cepat, satu kota bisa ditempuh dalam waktu hanya beberapa belas menit,‖ ujar Nita. ―Wah, masa‘?‖ tanya Rudi. ―Ya. Kekurangannya adalah jadwalnya yang sangat ketat. Telat lima detik, ditinggal. Tapi, karena jumlahnya banyak, jadwalnya banyak, waktu tunggu kereta berikutnya tidak lama.‖ ―Wah, enak sekali,‖ kata Rudi, matanya bersinar-sinar. ―Memang,‖ Nita tersenyum kecil. ―Terus, bagaimana kuliahnya? Susah tidak? Harus pakai Bahasa Inggris terus, ya?‖ ―Iya,‖ Nita mengangguk, ―Namanya juga di Inggris.‖ ―Wah, keren. Nggak heran kamu jago Bahasa Inggris! Workshop yang kemarin di Bandung—kamu pakai Bahasa Inggris lancar sekali!‖ ―Iya…?‖ Nita berkata lambat-lambat. ―Er—trims?‖ ―Mantap banget. Aku yakin Nita bakal sukses terus,‖ kata Rudi. Lagi-lagi, Nita merasa tak yakin harus menjawab apa atas pujian itu. Dia jarang sekali berbincang dengan teman kantornya, dan sepanjang dia tahu, ia tak pernah mendapati teman-temannya memujinya. Mendadak, kereta mereka melambat, dan sebuah suara dari interkom mengumumkan bahwa mereka akan segera tiba di Stasiun Sudirman. ―Akhirnya,‖ kata Rudi, menghela napas. Tak lama, pintu membuka. Mereka bergegas keluar. Gerbong mereka berhenti tak jauh dari eskalator, dan mereka berdua menaikinya, mengikuti arus manusia. Segera setelah mereka tiba
232
di atas, mereka bergabung dengan kerumunan yang sudah mengantri untuk keluar melalui gerbang tiket. Sembari berjalan, Nita melihat ke arah kafe yang berada di sisi Timur. Kopi. Kafe. Keramaian. Orang-orang yang berlalu-lalang mengisi pagi hari. Di mana dia pernah melihat itu semua sebelumnya? ―Nita? Kenapa?‖ tanya Rudi, yang berada di belakangnya. ―Aku…‖ Nita menggeleng. ―Rasanya, aku melupakan sesuatu.‖ Rudi mengangkat alisnya. ―Dompet? Kartu?‖ ―Bukan.‖ ―Kalau begitu…?‖ Nita menggeleng. ―Entahlah. Sepertinya…‖ Rudi tampak cemas. Dia bahkan meremas-remas tangannya. Merasa bersalah, Nita buru-buru berkata, ―Jangan khawatir. Bukan hal penting.‖ ―Ya,‖ kata Rudi. ―Dan… jangan cemas? Nanti mungkin ingat, sembari jalan?‖ ―Ya…‖ Nita menoleh ke depan lagi, menyadari gilirannya sudah hampir tiba. ―Benar.‖ Your friends are on the phone there It's so close to Paddy‘s Day And it kills you not to be there Kantor mereka berada di gedung yang berjarak lima menit jalan kaki. Mereka menggunakan jembatan penyeberangan yang tersambung dengan gedung tempat kantor mereka berada. Mereka menunjukkan kartu ID kepada sekuriti, lalu cepat-cepat menuju lift. ―Akhirnya,‖ kata Rudi. Dia membuka layar ponselnya, membaca pesan teks yang baru saja masuk, mengetik, dan menekan tombol reply. ―Untung saja. Kita tepat waktu!‖ ―Agak terlambat,‖ kata Nita, mengecek arlojinya. Dia baru saja melanggar prinsipnya untuk takkan pernah terlambat. Apa kata Pak Abe dan rekan-rekannya nanti begitu menyadari pegawai baru mereka ini tidak disiplin? ―Ah, tidak juga,‖ kata Rudi. ―Santai saja.‖
233
Lift cukup penuh. Hampir di setiap dua lantai sekali, lift berhenti, orang-orang melangkah keluar menuju kantor mereka masing-masing. Sebagian besar dari mereka mengenakan kemeja, dasi, dan jas, serta berpenampilan sangat rapi nan necis. Gedung itu memang berisikan kantor-kantor marketing, agensi, dan manajemen dari berbagai bidang industri. Nita tahu bahwa perusahaan-perusahaan yang bisa berkantor di gedung itu bukanlah sembarangan. Mereka bergerak di bidang yang cepat dan tanpa ampun. Sedikit kesalahan, ribuan dolar bisa menghilang dan klien berpindah tempat. Gedung itu memancarkan aura istana modernitas nan kompetitif yang tak terbendung. ―Ah, sampai,‖ kata Rudi cerah. Mereka keluar di lantai 33. Mereka melewati deretan pintu kantor-kantor, termasuk—salah satunya, yang bagian depannya terbuat dari kaca—yang berisikan banyak sekali anak muda berjas dan membawa map. ―Wawancara kerja?‖ tanya Rudi. ―Mungkin,‖ jawab Nita. ―Banyak kantor yang sedang buka lamaran. Kantor kita juga mau buka minggu besok…‖ Bayangan mengenai Pak Abe yang kecewa mendapati dirinya datang terlambat dan bersiap untuk mencari pegawai baru untuk menggantikannya memenuhi benak Nita. Dia merasa panik. Dia merasa harus melakukan sesuatu. Minta maaf secara resmi kepada Pak Abe melalui surat? ―Yak, tepat waktu!‖ kata Rudi, masuk lebih dulu dengan membuka pintu di depan Nita. Dia menahan pintunya membuka, mempersilakan Nita masuk duluan, dan ia terlampau tenggelam dalam lamunannya sampai-sampai tidak menyadari kerumunan orang yang sudah ada di kantor, dan baru tersadar ketika mereka semua serentak berteriak. ―SURPRISE!‖ Kegaduhan yang sepertinya terdiri atas tiupan puluhan terompet, petasan kecil, serta lusinan orang berteriak bersamasama menyerbu telinga Nita dalam sekejap. Dia berjengit, mengangkat kedua tangannya, membelalak. Kantornya sangat penuh, seolah semua pegawai, termasuk sekuriti dan para manejer, ada di sana. Ada troli-troli yang berisikan minuman, makanan, dan sebuah kue besar. Di langit-
234
langit, tergantung balon-balon dan spanduk yang bertuliskan, SELAMAT ULANG TAHUN KE-26 NITA! ―Oh,‖ Nita mengerjap, saat semua orang mulai menyanyikan ―Selamat Ulang Tahun! Selamat Ulang Tahun!‖ dengan sangat bersemangat. Beberapa orang menuang minuman. Beberapa lagi mendorong troli berisikan kue cake. Dan di tengah-tengah itu semua, Pak Abe menghampirinya, menyalaminya, dan berkata, ―Untung kamu datang telat!‖ ―Hah?‖ ―Iya, benar,‖ kata Pak Jimbron antusias, mengangkat piring dan pisau plastik untuk memotong kue. ―Kita semua sudah ketarketir lho. Kami agak telat barusan! Kami sudah khawatir! Kalau Mbak Nita datangnya gasik seperti biasa, bakalan gagal iki!‖ ―Oh,‖ Nita mengangguk, menatap troli berisikan kue cake dengan lilin menyala yang didorong ke depannya. ―Benar… aku ulang tahun.‖ Kata-katanya ditenggelamkan oleh nyanyian ―Selamat Ulang Tahun!‖ yang masih diulang dengan keras. Rudi berdiri di sebelahnya, tersenyum lebar, dan Nita pun menoleh padanya. ―Kamu tahu ini?‖ ―Er—tentu,‖ kata Rudi, nyengir bersalah. ―Waktu aku… melihatmu di stasiun, aku langsung mengabari Pak Abe, memberitahu beliau kalau kamu telat.‖ Pak Abe, pria bertubuh besar berusia lima puluh tahun berkebangsaan Jerman dengan janggut abu-abu berewok, nyengir jail. ―Jadi—er—Nita nggak marah, ‗kan?‖ tanya Rudi takut-takut. ―Tidak…‖ dia menggeleng, menatap lilin yang menyala di atas kuenya. ―Eh—sudah, sudah, sudah!‖ kata Pak Jimbron, suaranya yang keras mengatasi nyanyian ―Selamat Ulang Tahun!‖ yang entah sudah diulang berapa kali. ―Mbak Nita mau niup lilin dulu!‖ Sontak, semuanya bersorak menyemangati. Nyanyian berubah menjadi, ―Tiup lilinnya! Tiup lilinnya! Tiup lilinnya sekarang juga!‖ Pak Abe, yang berdiri di sampingnya, menepuk bahu Nita dan tersenyum hangat. Dia berkata, ―Make a wish, Nita. Make a good one!‖ Namun, Nita tak perlu diberitahu mengenai hal itu. Dia tersenyum kepada Pak Abe, dan, membungkuk sedikit di atas
235
lilin-lilin cake tersebut, memikirkan kampusnya di negara nun jauh sana, mengingat segala kenikmatan, kenyamanan, kemudahan, dan teman-teman sekelasnya di sana. Lalu, dia pun menyadari semua teman-teman sekantornya, atasan-atasannya, bahkan para staf seperti Pak Jimbron dan Rudi; semuanya ada di sini, saat ini, merayakan hari yang ia pun hampir melupakannya. Dia menutup matanya, menarik napas dalam-dalam, dan membatinkan harapannya. Let‘s make this place feel like our own Just like home
236
Refa Ans
Where‟s the „good‟ in „goodbye‟?
No Good In Goodbye No Sound Without Silence
237
adis ber-yukata5 navy dengan obi6 biru langit itu berdiri mematung di depan pohon bambu meski tanzaku7-nya sudah dari tadi ia gantung. Suara riuh orang-orang yang lewat tak dihiraukannya. Pikirannya hanya melayang ke satu arah, tentang sebuah janji. Hingga terdengar bunyi kembang api yang sangat keras, memekakkan telinga, membuat kepalanya seketika mendongak menatap langit malam berhias cipratan-cipratan kembang api. Air matanya tiba-tiba luruh, merefleksikan kembang api yang kini terangnya mengalahkan kilau bintang. Hatinya terasa kosong, juga nyeri, karena sesuatu yang hilang. Tapi, apa? ―Aku… Menunggumu.‖ Butiran bening dari matanya terus mengucur. Berbanding lurus dengan nyeri di dadanya.
G
365 hari yang lalu Sasa no ha sara-sara, nokiba ni yureru8 Ohoshi-sama kira-kira, kingin sunago9 Goshiki no tanzaku, watashi shigakata10 Ohoshi-sama kira-kira, sora kara miteru11 Gadis itu lirih menyanyikan lagu Tanabata sambil menggantungkan tanzaku miliknya di pohon bambu. Hatinya bahagia bercampur kalut. Rasanya akan ada sesuatu yang hilang. Ada perasaan bahwa festival ini tidak akan seperti biasa, tanpa dirinya tahu mengapa.
Jenis kimono yang dibuat dari kain katun tipis tanpa pelapis. Biasa dipakai saat festival musim panas di Jepang. 6 Sabuk kain yang dipakai bersama kimono. 7 Kertas berwarna-warni yang digantung di pohon bambu saat Tanabata. 8 Daun bambu tertiup angin, dan menyapu atap. 9 Bintang berkelap-kelip seperti pasir berwarna emas dan perak 10 Di atas kertas berwarna-warni kutuliskan harapanku 11 Bintang pun berkelap-kelip, memandangku dari langit 5
238
Ia menghela napas saat kertas berwarna biru muda miliknya sukses tergantung di pohon bambu, bersama dengan kertaskertas dan permohonan lain. Akankah permohonannya terkabul sehingga pemuda itu tahu perasaannya? Ia kemudian mengamati yukata biru donkernya. Diam menunggu. Berharap pemuda itu menepati janji. Walaupun pada kenyataannya ia berjalan pulang sendirian. Tanpa sedetik pun bertemu. 731 hari yang lalu…. Yukata biru donker itu adalah yukata favoritnya karena pemberian dari Ryuzaki, yang juga meminta untuk memakai yukata ini ketika mengajaknya. Ya, pemuda itu pula yang kini ditunggunya. Tanzaku-nya sudah digantung dari tadi, tetapi ia tetap saja berdiri di dekat pohon bambu. Tentu saja karena tempat itu yang menjadi tempat perjanjian pertemuan mereka. Gadis bersurai cokelat itu mendesah kesal. Siapa pun pasti tidak suka menunggu sepertinya. Suasana Tanabata12 yang menyenangkan menjadi suram. Ia merasa begitu sepi di tengah lalu-lalang manusia di sini. Menjadi entitas paling murung di tengah suasana suka cita festival musim panas. Aroma harum dari takoyaki13 yang selalu ia puja rasanya, sama sekali tidak menarik minat, tidak memunculkan selera makan sama sekali. ―Kumohon, datanglah, Ryu-kun, meski di menit terakhir festival ini. Aku hanya ingin menyatakan perasaanku padamu, atau aku harus menjauhimu,‖ mohonnya sambil mengatupkan kelopak mata, menandakan kesungguhannya meminta. Meminta permintaan yang sederhana, permintaan agar Ryuzaki datang.
Festival bintang yang berasal dari legenda Orihime dan Hikoboshi, diadakan pada musim panas di bulan ke-7 dan hari ke-7. Mereka menggantung tanzaku di pohon bambu yang berisi harapan dengan kepercayaan pohon itu akan sampai ke langit dan dibaca oleh Dewa Bintang. 13 Makanan berbentuk bola dari tepung yang diisi dengan gurita. 12
239
Cairan bening perlahan tapi pasti mengalir dari kedua matanya di sela permohonan itu. 1096 hari yang lalu Ia tidak tahu mengapa tadi orang-orang di rumah sempat melarangnya untuk pergi ke Tanabata tahun ini. Apa yang mereka pikirkan? Tidak tahukah mereka bahwa dirinya telah berjanji pada Ryuzaki untuk datang ke sini? Janji adalah hutang. Keduanya bersifat sama, harus ditepati sesuai kesepakatan bersama. Itu pula yang ia coba untuk lakukan. Yang lebih menyebalkan lagi adalah sulit sekali menemukan yukata biru donker ini, yang ternyata ada di tempat baju bekas dengan noda merah di beberapa tempat. Baiklah, lupakan bagian terakhir ini karena dirinya sangat kesal dengan hal itu. Sasa no ha sara-sara, nokiba ni yureru Ohoshi-sama kira-kira, kingin sunago Goshiki no tanzaku, watashi shigakata Ohoshi-sama kira-kira, sora kara miteru Sayup-sayup dinyanyikannya lagu Tanabata itu, berusaha menghilangkan sepi yang meliputi dirinya seorang di tengah keriuhan. Tanzaku biru mudanya sudah tergantung bersama tanzaku lain. Sudah dari tadi sekali. Namun, Ryuzaki belum juga menampakkan batang hidungnya. Mungkinkah Ryuzaki tidak mengingat janjinya? Airmata kini menggenang di kedua sudut matanya saat memikirkan kemungkinan tersebut. Sekali lagi dirinya melihat jam, kembali mengingat waktu yang kini sudah melangkah terlalu jauh dari waktu perjanjian. Butiran dari airmatanya itu langsung luruh. Di mana Ryuzaki? Mengapa belum datang juga? Pertanyaan beranak pertanyaan terus muncul di kepalanya, dalam kegelisahan menunggu. Menunggu seseorang yang sebenarnya tidak akan pernah datang. 1461 hari yang lalu Wajahnya tadi begitu cerah sejak menggumamkan ‗Ittekimasu!‘ di beranda rumah. Dandanannya manis sekali
240
dengan yukata biru donker dan obi biru langit. Rambutnya yang lebih cokelat dari sepasang irisnya dicepol satu. Tidak ada sapuan make up barang sedikit pun di wajah orientalnya. Seulas senyum melengkapi segalanya. Namun itu tadi, ketika bosan belum menggerogoti dadanya, ketika gelisah masih terlalu jauh untuk merengkuhnya. Tanzaku-nya sudah sejak tadi tergantung di pohon bambu, bersama harapan lain yang tertuang dalam warna-warni tanzaku. Ia menghela napas sembari kembali melihat arloji di tangan kirinya. Sudah satu jam ia menunggu dan sosok itu sama sekali belum menampakkan diri. Ia kembali menunduk lesu. Mengasihani nasibnya yang merasa sepi di tengah sebuah festival. Kini buliran bening menggenang di masing-masing sudut matanya. Dalam dadanya mulai berkecamuk kemungkinan-kemungkinan buruk. Mulai dari Ryuzaki yang tidak datang, lalu dirinya jelas akan gagal menyatakan perasaan. Karena gagal, ia harus menepati janji untuk menjauhi Ryuzaki setelahnya. Dan yang paling menyakitkan dari mencintai seseorang adalah ketika harus menjauhinya, apalagi diri kita sendiri penyebabnya. Ah, ya, ia melakukan sebuah janji pada dirinya sendiri, bahwa malam Tanabata ini dirinya harus menyatakan perasaan. Mau tidak mau. Perasaan itu sudah terlalu lama disimpan, maka harus diungkapkan sebelum semakin tidak bisa dikeluarkan. Dengan alasan itu, dirinya lalu mengucap janji untuk menjauhi Ryuzaki jika tidak menyatakan perasaan padanya. Ia hanya ingin perasaan ini terungkapkan, bukan menjadi sebuah gumpalan saja dalam dadanya. ―Nakanai de, Ran-cchi14.‖ Mata gadis itu langsung terbelalak kaget ketika mendengar suara yang begitu dikenalnya itu berbarengan dengan sebuah rengkuhan. Sepersekian detik kemudian seulas senyum kelegaan terpoles di wajahnya.
14
Berhentilah menangis, Ran-cchi.
241
―Ryu-kun?‖ Tangis gadis bernama Ran itu kemudian keluar, perlahan tapi pasti. Segala rasa takut, khawatir, dan lega keluar semuanya di pelukan pemuda itu, Ryuzaki. Ketakutannya langsung sirna, di sini ada kemungkinan ia bisa menyatakan perasaannya. Kekhawatirannya tentang keadaan pemuda itu juga sudah terjawab dengan jelas, bahwa pemuda itu baik-baik saja. Perasaan lega bahwa ternyata Ryuzaki menepati janji. Ya, dengan begini semuanya bisa berjalan sesuai keinginannya. ―Kukira kau tak akan datang, Ryu-kun,‖ ujar Ran sambil membalas pelukan Ryuzaki erat-erat. ―Aku sudah berjanji, maka aku harus menepatinya.‖ Pemuda itu tertawa kecil lalu melepaskan pelukan Ran, membuat gadis itu tersenyum tersipu. ―Jadi, kamu sudah selesai menangis?‖ goda Ryuzaki saat mendapati Ran mengusap bekas aliran airmata diwajahnya. Ran kemudian memasang wajah cemberut seakan dirinya marah dengan godaan itu, walaupun kenyataannya dia bahagia kini Ryuzaki ada di sisinya. ―Ayo kita jalan-jalan, tapi biar aku meletakkan tanzaku dulu.‖ Ryuzaki kemudian berjalan mendekat ke pohon bambu yang akan dibakar setelah Tanabata selesai dan menggantungkan tanzaku-nya. Tanzaku yang malam itu juga terkabul isinya. Mereka kemudian menghabiskan waktu di sana. Membeli takoyaki kesukaan Ran, lalu taiyaki – kue berbentuk ikan tai berisi selai kacang merah – yang selalu Ryuzaki beli saat Tanabata. Mereka menikmati malam dengan pelan, diiringi janji yang sama-sama mereka ucapkan pada diri sendiri. Masih 1461 hari yang lalu Malam semakin tua tanpa disadari dua orang yang tengah larut dalam Tanabata. Cepat atau lambat, mereka harus segera menepati janji mereka untuk menyatakan hal yang harus mereka nyatakan. Semakin larut Ryuzaki semakin resah. Namun Ran berada pada posisi yang berkebalikan, ia justru semakin menaruh harap. Bagi gadis itu, yang terpenting adalah Ryuzaki akan segera mengetahui tentang perasaannya. Tanpa tahu
242
sebenarnya sebuah sesuatu buruk membuntutinya dan Ryuzaki, seiring dengan waktu. ―Yamasaki Ran,‖ ―Hai15,‖ sahut Ran ketika mendapati Ryuzaki menyebut nama lengkapnya. Sungguh bukan sesuatu yang biasa. ―Nani?16‖ Mereka berdua sama sekali tidak menghentikan langkah. Ryuzaki hanya takut Ran akan curiga dengan hal yang akan dikatakannya. Alasan itu yang membuatnya tidak menghentikan langkah, tetap mengayunkan kakinya selaras dengan kaki Ran yang tertutup yukata-nya. ―Sebenarnya,‖ Ryuzaki menarik napas dalam-dalam, berusaha membuat debar jantungnya mereda. Berbagai reaksi Ran mulai terbayang di benaknya. Apakah Ran siap mendengar kenyataan paling pahit, yang tidak pernah ingin kurasakan? ―Aku adalah kakakmu.‖ Glek! Ran menelan ludah, seketika tubuhnya kaku. Takoyaki di tangannya jatuh berserakan di sisi kaki. Matanya mendadak mengabur dengan telinga yang terus menggaungkan ucapan Ryuzaki. Saat itu juga, dirinya ingin melupakan segalanya, ingin melupakan tentang memori ini. Air mata langsung mengalir deras. Tidak, ini hanya telingaku yang salah, kan? Ya, kan? Ryuzaki yang melihat Ran mendadak kaku merasa sangat menyesal, ingin rasanya mati di tempat. Ekspresi Ran sesuai dengan perkiraan buruknya. Sebuah lengkungan getir terulas di bibirnya. Ekspresi itu, ekspresi yang menandakan bahwa Ran membalas perasaannya sekaligus kesedihan yang sangat karena perasaan mereka itu terlarang. Mereka berdua terdiam di tengah jalan, Ran dengan pikirannya dan Ryuzaki dengan jantungnya yang terus berdebar menanti reaksi Ran selanjutnya. Sampai sebuah bunyi keras membuat banyak teriakan histeris menguar di udara. Ran dan Ryuzaki sama-sama belum mengetahui hal yang menimpa mereka itu, tiba-tiba saja
15 16
Ya. Apa?
243
merasakan tubuh mereka terlempar jauh. Lemparan yang mengakhiri hidup Ryuzaki dan memori masa depan Ran. Mengakhiri dua hal yang sangat krusial. Mengabulkan permintaan masing-masing dari mereka, setelah pohon bambu yang penuh kertas warna-warni tadi dibakar. 1500 hari yang lalu Suhu musim semi berangsur naik. Bunga sakura sudah sejak lama menanggalkan kelopak-kelopaknya. Di sisi jendela kelas yang menghadap ke ranting bekas sakura mekar lalu, Ryuzaki menghampiri Ran, memberikan sebuah kantong kertas. ―Ran-cchi, datanglah ke Tanabata bersamaku. Pakai yukata ini, ya.‖ Hanya kalimat itu dan seulas senyum yang diberikannya sebagai pengantar kantung kertasnya yang berisi yukata berwarna navy dan obi biru lagit itu kepada Ran. Ryuzaki hanya merasa terlalu sakit mengingat sesuatu yang harus dikatakannya pada Ran Tanabata nanti ketika sudah tepat. Fakta bahwa dirinya dan Ran adalah saudara seayah dan fakta lain bahwa ia terlanjur mencintai Ran. Ran‘s Tanzaku : Kami-sama, aku tak berharap banyak hal. Cukup biarkan aku menyatakan perasaanku pada Ryu-kun di Tanabata nanti. Atau aku tidak akan pernah menyatakan itu dan menjauhinya selamanya. Ryuzaki‘s Tanzaku : Semoga Ran bisa menerima kenyataan. Setidaknya, jika ia tidak bisa menerima, aku hanya berharap ia merasa seolah Tanabata itu hilang, dan biarkan aku tidak muncul di hadapannya lagi agar ia tidak sedih. Where‘s the ‗good‘ in ‗goodbye‘?
244
245
246
Sulung Lahitani
Man On Wire – No Sound Without Silence Walk Away – Science And Faith Hail Rain or Sunshine – No Sound Without Silence
247
ku memainkan kakiku di udara. Di bawah sana, penonton makin banyak berdatangan. Giliranku tampil memang masih lama, makanya aku sedikit santai. Tatapanku menuju seberang. Menelusuri kawat yang bentang, sedikit berharap kamu masih di sana. Menyambutku. "Kamu tidak takut mati?" Tanyamu suatu kali. "Takut? Bukankah kematian adalah keniscayaan? Setiap kita pasti berpulang. Entah kapan." Mendengar jawabku, kamu mengulum senyum. Lalu merengek pada pemilik sirkus agar bisa turut merasakan kebebasan yang kurasakan. Seharusnya aku lebih keras menolak niatmu. Terbukti, kau belum cekatan di atas sini. Mengela napas, aku melirik ke bawah. Gajah-gajah baru selesai beraksi. Giliranku sekejap lagi berarti. Aku berdiri sembari menepuk-nepuk pantat. Tunggu dulu! Apa aku tidak salah lihat? Seseorang sepertimu duduk di bangku terdepan. Tak terlalu jelas, karena batas jarak pandang. Aku tak tahu. Bolehkah aku melagang harap itu kamu? Masih ada yang ingin kusampaikan. Tapi peluit di bawah memaksaku bergerak. Aku mulai meniti kawat. Sesekali melirik, hal yang seharusnya kuhindari. Aku tak patut melongok saat nyawaku masih terkatung. Benar saja. Entah keseimbangan yang goyah atau apa, aku merasa kakiku hilang pijak. Kawat yang membentang tak lagi tampak. Aku terjun, melayang, bersiap. Sebab jaring pengaman yang biasa disediakan pun tak ada. Tubuhku berdebum. Entah bagaimana, sosok tadi langsung berada di dekatku. "Aku menjemputmu." Diiring pekik, aku menutup mata. Aku berpulang ke cerlang mata serupa.
A
I can't look down I'm trying to fight the feeling I will fall the ground if i ever see you
248
Ada bagian dari dirimu yang tak kumengerti. Padahal kita telah bersama semenjak orang tua kita pergi. Seperti pertengkaran kita terakhir kali. Kau bilang, jatuh hati pada pria di atas tali. "Kenapa harus dia?" "Kau pikir, kau bisa cegah datangnya cinta?" "Tapi dia tak labut untukmu! Sama sekali tak patut!" Kau malah memandangku sinis. "Sejak kapan kau mengatur-aturku? Kau bukan siapa-siapaku." "Aku ini abangmu!" "Kau bukan abangku!" Lalu kau berlari ke luar tenda. Ah, aku memang bukan abang kandungmu. Tapi aku hanya ingin menjagamu baik-baik. Pria yang pekerjaannya berjalan di atas tali, tak pantas memilikimu. Kenapa? Aku hanya takut. Kau keras kepala dan tak mau diatur. Suatu saat kau pasti ingin mencoba merasakan bersamanya. Padahal tempat kita di bawah sini. Menari dengan kostum warna-warni. Saat melihat tubuhnya jatuh dengan debum yang memancing pekik, aku tak menyesali sedikitpun perbuatanku. Ketakutanku memanjat ke atas sana dan mengendurkan ikatan tali, tak sebanding dengan ketakutanku kehilanganmu. Kau bilang ingin mencoba melangkah di atas sana. Aku sudah mencegah. Tanpa sepengetahuanku, kau panjat juga. Dan aku hanya bisa ternganga melihatmu terjatuh bahkan sebelum sampai di atas. Pria itu pantas mati. Ia telah meracuni otakmu. Meski kau lebih dulu pergi daripada dirinya, aku tetap bersyukur. Setidaknya hubungan kalian belum terlalu jauh. Tuhan mengabulkan doaku kiranya. Sebab, hanya aku yang pantas memilikimu. Seperti katamu, cinta tak pernah memilih tempat ia singgah. I save yourself from the heartache Go now before it's too late
249
Aku tak tahu kapan aku mulai terpikat denganmu. Pertama kali sua, aku bahkan bergidik. Kau yang dibawa pemilik sirkus, cengengesan ke sana-sini. Matamu tak bisa diam. Menjelajahi isi tenda sampai pandangan kita beradu. Kau terdiam dan tersenyum. Aku mendengus dan pilih menyingkir. Usahamu mendekatiku patut diacungi jempol. Gigih. Padahal kau mesti berhadapan dengan abangku lebih dulu. Sampai akhirnya aku luluh. Aku tak menyesali kepergianku. Sama seperti aku tak berusaha mencegah ulah abangku. Cinta tak mesti memiliki? Cuih! Omong kosong. Aku ingin memilikimu. Makanya aku diam waktu abangku mengutak-atik tali tempat kau biasa beraksi. Dan aku tersenyum waktu kau jatuh dengan debum yang sama denganku. Tak sakit bukan? "Kau kah yang menjemputku?" Aku tersentak saat kau menyentuh bahuku. Aku masih melayang di udara. Cepat juga kau datang. "Bukan," jawabku "malaikat maut yang menyerupaku. Mungkin agar kau tak ketakutan saat nyawamu ditarik dari kerongkongan." "Setelah ini, apa?― Aku menunjuk tangga cahaya menuju langit. Kau mahfum. Menarik tanganku hingga berdiri. Kita melangkah dalam diam, namun tangan kita bertaut erat. Tak peduli, hidup atau mati, kita selalu punya waktu bersama. We always have a good time Whether it's hail rain or it's sunshine
250
Tengku A. Reza
Breakeven – The Script Long Gone and Moved On – Science And Faith Broken Arrow - #3
251
epanjang malam, tidurku tak lelap. Pagi ini aku bangun dengan mata lebam dan hiasan hitam di kantung mata. Puluhan tisu yang kugunakan untuk membasuh air mata semalam berserakan di atas tempat tidur. Aku patah hati. Iya, sesaat setelah menerima balasan pesan singkatmu padaku. Belum sempat kamu mendengarkan penjelasanku, tapi kesepihakan telah memutuskanku. Pikiranku mandul. Tak tahu mengapa kau melakukan ini padaku? Tak tahu apa yang ada di pikiranmu selama beberapa hari ini? Aku merasa terbuang. Aku tak bisa berbuat apa-apa. Kamu membuat tembok perlindungan atas dirimu sendiri. Rimba. Sigh.
S
Bodoh. Memang aku bodoh. Ingatan tentangmu saat menerima telepon darinya membuatku menggelengkan kepala. Tak habis pikir. Sengaja aku memutuskan sepihak. Aku memang tak ingin hanya menjadi pelampiasan semata. Jadi, ini bukan hanya tentangku, tapi juga tentang cinta pertamamu. Cinta yang kamu elu-elukan. Dulu. ―Sebelum jam makan siang aku sudah di sana. Mau kubawakan apa?‖ ―…‖ ―Oh, okay. Pizza ukuran besar untuk dua orang. Sampai ketemu nanti, Sakti,― jawabmu mengulang keinginan seseorang di ujung telepon – ketika kamu sedang berada di halaman belakang membelakangiku. Dan saat itu aku baru saja sampai di rumahmu untuk berkunjung sehari setelah kedatanganku dari Bangkok. Diamdiam aku ke rumahmu sekaligus ingin menghabiskan hari cutiku. Kemudian, aku membalikkan badan dan mengurungkan niat bertemu denganmu. Cello. And what am I supposed to say when I'm choked up and you're OK? I'm falling to pieces, yeah.. I'm falling to pieces
252
Sakti. Yang entah bagaimana dan dari mana asalnya, bisa hadir dalam kehidupanmu kini. Karena kamu memang tak pernah menceritakannya padaku. Atau dia adalah jejak masa lalumu? Atau kamu seperti aku, yang menyelipkan unsur sengaja diam-diam datang ke rumahmu; sengaja untuk menyimpan semuanya dariku. Kepercayaanku seolah dilecehkan. Namun, inikah yang dinamakan terlanjur sayang? Meski hati berkata tidak untuk kembali padamu secara konkret, namun memori tentangmu melintas tajam, tak mau pergi dan meminta untuk bersatu lagi. Kucoba pandangi jalanan lengang siang hari dari lantai tiga puluh empat kantorku. Analogiku pun bermain. Sadar bahwa permainan pikiranku takkan mengubah apapun selama aku tak mencari tahu sendiri kebenarannya. Maka kuputuskan, lebih baik sakit sekalian karena kenyataan daripada terus menerus menambah tanda tanya besar di pikiranku. To: Cello Temui aku selepas jam kantor. Di coffee shop tempat biasa teman. Jam 7 malam, mungkin? Sent 13:28 WIB
kumpul
teman-
Kembali aku khidmat dalam deburan pikiranku tentangmu sambil menatap jalanan lengang yang sama. From: Rimba Temui aku selepas jam kantor. Di coffee shop tempat biasa teman. Jam 7 malam, mungkin? Sent 13:28 WIB
kumpul
teman-
Mataku berbinar. Hanya lega yang kurasa. Ibarat induk burung yang mendapatkan cacing dan ingin segera pulang memberikan makan kepada anak-anaknya. Ah, aku senang sekali. Hampir seminggu aku tak ada komunikasi denganmu.
253
Lalu, ada kabar baik datang di dalam kotak masuk pesan ponselku. Akhirnya. Kerinduan ikut menari di hati. Aku tak sabar bertemu denganmu nanti sore. Tak berapa lama, sebuah kesadaran menggempur pikiranku. Dahsyat. Apakah ia masih menginginkanku di hidupnya? Atau hanya ingin bertemu denganku, lalu berpisah secara formal? Bila sesuai dengan pertanyaan ke dua, maka aku harus bisa mempersiapkan kemungkinan terburuknya. To: Rimba Ya, jam 7 malam. Terima kasih sebelumnya. Sent 13:47 WIB Cause I got no business knowing where you‘re at - NO And its gonna be hard cause I have to wanna heal And its gonna be hard the way I feel that I have to get real
Jam 7 malam. Coffee Shop. Dengan manis aku duduk di meja yang cukup untuk dua orang, paling ujung di smoking area, ditemani segelas Greentea Latte. Jantungku berdetak kencang tak beraturan. Ini lebih mirip kencan anak SMA. Aku grogi. Kemudian, tiba-tiba saja berdiri di sampingku seorang pria. Aku terkejut. Tampangnya masam dan tampak tertekan. "Hei, kamu." "Sudah lama?‖, potong Rimba. "Lumayan." "Ma…mau kupesankan apa?" Dia lalu menghempaskan tubuhnya di sofa yang cukup untuk satu orang, di depanku. Diam. Hening. Dia hanya menatapku lekat-lekat dengan kepalanya disandarkan ke pundak kursi. Aku salah tingkah. ―Kamu baik-baik aja?‖ tanyaku memecah sunyi. Rimba mengangguk. "Jadi?"
254
Pundaknya terangkat. Tak mengerti maksud pertanyaanku. "Kamu… kita… ke… sini,‖ aku gugup. "Oh." Rimba menarik napas dalam-dalam dan membenarkan posisi duduknya. Kali ini lebih condong ke arahku. "Kamu dan Sakti… Sakti memang ‗sakti‘ ya?" tanyanya sinis. "Aku tidak ada apa-apa sama Sakti, Rim. Dia – jadi karena itu kamu mengajak bertemu? Jadi karena itu juga keputusan sepihakmu datang?‖ aku balik bertanya penuh emosi. Sekarang aku tahu mengapa sikapnya dingin kepadaku. Tapi, ini kesempatanku untuk menjelaskan semuanya. Aku harus bisa menyelamatkan hubunganku dengannya. Aku menatap matanya demi meyakinkan segala ceritaku. Mataku mulai panas. Sesekali menyembul air mata. Perlahan dan terbata. Aku bercerita. "Berhenti, Yang,‖ ia memanggilku dengan panggilan kesayangan. "Aku minta maaf,‖ lanjutnya. "Aku yang minta maaf,‖ timpalku. "Harusnya tidak selarut ini. Berkepanjangan.‖ Tangisku pun menjadi. Sesegukkan. Rimba menggeser tempat duduknya menjadi di sebelahku. "Kemari,‖ tangannya kini sudah merangkul pundakku. Aku luntur dalam dekapannya. Bersama rasa rinduku. Hatiku pun kembali berdamai. Diangkatnya mukaku dengan kedua tangannya. "Cello, aku memang kecewa dan benci kamu tapi rasa sayangku mengalahkan rasa benciku. Please jangan buatku cemburu lagi?‖ Aku mengangguk. Dan ia memelukku makin erat. Every break, every burn, every toss, every turn, every sin, everything we‘ve learned it‘s all programmed, all programmed
255
256
Winona Rianur
No Good In Goodbye – No Sound Without Silence Nothing – Science And Faith I‟m Yours – The Script
257
P
erempuan itu menatap dirinya di cermin. Para perias yang sejak satu jam lalu sibuk melukis di wajahnya kini telah bubar teratur, meninggalkan dirinya sendiri bersama cermin dan ketukan detik jam dinding yang berjalan teratur. Di sana, di wajah yang biasanya hanya bersentuhan dengan bedak tipis, kini dihiasi oleh corak hitam pekat Paes Agung. Rambut yang selalu dibiarkan tergerai kini sudah tergelung rapih di balik sanggul. Pula tak ada kemeja flannel atau denim, khusus hari ini, gaun hitam beludrulah yang akan melingkari tubuhnya. Setengah jam lagi ia akan resmi menjadi seorang istri, tapi bukan dari lelaki yang pernah melekat dalam hidupnya sejak satu dasawarsa dahulu. Pula menjadi menantu dari ibu lelaki yang nama lengkapnya belum juga berhasil ia hapal. Dan, barangkali ia juga akan segera jadi seorang ibu, tapi bukan dari anak hasil perkawinannya dengan lelaki yang paling mencintainya. Benarkah ia pernah benar-benar dicintai? Perempuan itu lalu meraih tasnya dan mengambil sebuah amplop putih kecil pemberian seseorang yang sudah lama hilang ditelan bumi. Ia hapal benar bunyi surat di dalamya, pula sadar kalau tak semestinya ia mencari pembenaran dengan cara begini. Namun, seperti ingin menaburi garam di atas luka, ia membuka amplop tersebut, membuka lipatan kertas di dalamnya, dan membaca ulang tiap kata yang tertera. Aku mencintaimu Aku mencintaimu Aku mencintaimu Tubuh perempuan itu bergetar. Rasa sesal kembali menjalari tubuhnya. Sesak. Ia pun terisak. Sebelum kembali menoleh ke cermin di hadapannya, ia sudah lebih dulu sadar bahwa segala warna di wajahnya telah luntur tersapu air mata. Wajah perempuan di cermin itu adalah wajahku. Where‘s the ―good‖ in goodbye? Where‘s the ―nice‖ in nice try?
258
―Aku nggak masalah anakku jadi muslim, asal ibunya secantik dan sebaik kamu.‖ Ia melirikku sekilas setelah memasukkan sepotong daging ke mulutnya. Daging yang sejak lahir diharamkan untukku. Aku hanya tersenyum lalu mengelus punggung tangannya. Tahun ini adalah tahun ke dua kami berpacaran setelah bersahabat selama delapan tahun. Kata orang, kami adalah pasangan yang sempurna. Memang, kami hampir memiliki segalanya. Tapi, seperti yang kalian juga tahu, ‗hampir‘ akan selamanya menjadi ‗hampir‘ – ia tak pernah masuk hitungan. ―Kita sudah terlalu lama mengagung-agungkan cinta dan berdalih kalau hubungan ini tidak salah, Sayang. Seharusnya cinta itu memberikan rasa aman dan nyaman, bukannya malah meletupkan rasa bersalah di tiap harinya.‖ Mendengarnya, lelakiku pun tersedak. Pisau dan garpu yang dipegangnya tanpa sengaja terjatuh, dentingnya mengudara, membuat beberapa pasang mata menoleh ke meja kami. ―Kamu yakin mau bahas ini sekarang?‖ tanyanya dengan kening berkerut. Intonasinya tak meninggi, tapi aku tahu hatinya mulai bergemuruh. Jelas terlihat dari tatapan matanya yang menghunus. ―Toh, nggak ada bedanya dengan malam besok atau malam setelahnya.‖ ―Kalau nggak ada bedanya, lalu kenapa harus sekarang?‖ ia mulai bernegosiasi. ―Kabar bahwa ada laki-laki lain yang ingin menikahimu saja sudah cukup menyakitkan buatku. Seiman, mapan, dan tampan. Oh, astaga, sempurnanya ia! Lalu sekarang kamu juga mau bahas di mana akhir hubungan kita?‖ Hatiku mulai ngilu mendengar pertanyaannya. Tidak, aku juga tak pernah mau semuanya jadi seperti ini, tapi mau sejauh apapun kami melangkah, kebenaran tak pernah muncul di ujung jalan. ―Sudah terlalu banyak waktu yang terbuang, Sayang. Mungkin sampai manusia dihidupkan kembali setelah hari kiamat pun restu tak pernah kita dapatkan,‖ jawabku datar sambil menatap kosong kalung salib yang menggantung di lehernya. Ia bergeming. Mendadak sunyi lahir dan mencekik kami. ―Maaf, Rey..‖ ia menatapku, ―Dan terima kasih juga untuk semuanya.‖
259
Segera ia memalingkan wajah. Detik itulah aku tahu semuanya benar-benar berakhir sambil berharap inilah yang terbaik. Am I better off dead? Am I better off a quiter?
Lima minggu lalu, di suatu tengah malam, seseorang menelponku. Suara dari seberang sana memberitahu bahwa Rey baru saja memotong nadinya, ia sukses menghabisi nyawanya sendiri. Segera aku pergi ke apartemennya, namun jenazah Rey sudah keburu dibawa pergi ke rumah sakit. Apartemen itu ditinggalkan kosong dan tak terkunci. Dengan tubuh bergetar dan air mata yang tak kunjung berhenti mengalir, aku nekat masuk ke dalam – menyaksikan kekacauan tempat tinggal mantan kekasih sekaligus mantan sahabatku tersebut. Seketika pertanyaan berawalan ‗mengapa‘ menggema di kepala. Tak jua kutemukan alasan logis dari tindakan konyol Rey yang satu ini. Hingga kemudian aku teringat akan pertemuan terakhir kami seminggu sebelumnya. ―Kabar bahwa ada laki-laki lain yang ingin menikahimu saja sudah cukup menyakitkan buatku. Seiman, mapan, dan tampan. Oh, astaga, sempurnanya ia! Lalu sekarang kamu juga mau bahas di mana akhir hubungan kita?‖ Seketika rasa sesal tumbuh di dada. Awalnya sekecil biji semangka, namun semakin sering aku mengingat percakapan singkat tersebut, rasa sesal ini semakin membesar dan menyesakkan. ―Semoga kamu selalu berbahagia,‖ ucapnya pelan dan lirih di akhir perjumpaan kami. Kala itu aku sudah menangis terisak di pelukannya. Samar-samar, kudengar bunyi patahan menggema di dalam dadanya. Sesuatu mendorongku masuk ke kamar Rey, entah rasa penasaran, sedih, kesal, atau rindu. Di sana, di atas meja, di samping botol bir yang sudah kosong, aku menemukan sebuah surat yang ditujukan untukku.
260
Aku mencintaimu Aku mencintaimu Aku mencintaimu Surat cintakah ini? Dan aku tak mampu bernyawa bila tak lagi jadi milikmu Oh, bukan. The day news came, my best friend died My knees went weak and you saw me cry
261
262
Mengenal Penulis
263
264
265
266