HOMEOSTASIS By :Setiadi Tujuan instruksional : Setelah mempelajari materi ini, diharapkan pembaca mampu : 1) Menjelaskan tinjauan anatomi struktur tubuh dengan benar 2) Menyebutkan mekanisme homeostasis engan benar 3) Menjelaskan macam-macam sistem umpan balik yang ada dalam tubuh dengan benar 4) Menjelaskan homeostasis suhu tubuh (termoregulasi) dengan benar 5) Menjelaskan keseimbangan glukosa dengan benar 6) Menjelaskan jumlah air tubuh dengan benar
Homeostasis adalah segala upaya yang dilakukan oleh tubuh kita agar lingkungan hidup sel didalam tubuh kita, yaitu cairan extrasel selalu dalam keadaan statis, konstan, atau menetap. Cairan extrasel sebagai tempat sel hidup menyediakan berbagai kebutuhan sel, namun disitu pulalah sel akan membuang berbagai sisa metabolismenya dan melepaskan berbagai macam produk yang dihasilkannya. A. Mekanisme Homeostasis Mekanisme homeostasis melibatkan hampir seluruh system organ tubuh. Walaupun kondisi internal berubah secara konstan, tubuh dilindungi terhadap perubahan yang besar dengan mekanisme kontrol pengaturan sendiri seperti umpan balik. Sistem ini mengacu pada pemberian informasi dari suatu sistem (output) kembali kesistem (input) untuk menimbulkan respon B. Komponen Sistem Umpan Balik Komponen sistem umpan balik antara lain adalah : 1. Setpoint, yaitu nilai fisiologis normal dari masing-masing variabel tubuh (suhu normal, konsentrasi cairan, keasaman dan kebasahan) 2. Sensor (penerima), yang mendeteksi suatu penyimpangan dari setiap variabel normal 3. Pusat pengendali, yaitu menerima informasi dari berbagai sensor, mengintegrasi dan memproses infromasi tersebut, kemudian menentukan respon balasan untuk kembali ke setpoint 4. Efektor, yang menjalankan respon, yang terus berlangsung sampai setpoint tercapai kembali C. Macam-Macam Sistem Umpan Balik Yang Ada Dalam Tubuh 1. Homeostasis Suhu Tubuh (Termoregulasi) Pengaturan suhu tubuh dapat diibaratkan seperti pengaturan suhu ruangan, kamar, atau kantor kita yang menggunakan AC atau pemanas udara ditempat-tempat dingin. Bila kita berada dicuaca panas, alat pendingin bekerja menurunkan suhu sampai sesuai dengan suhu yang kita kehendaki. Misalnya : Alat diatur untuk suhu 25 derajad celcius, maka bila suhu mencapai 24 derajad celcius alat pendingin itu mati dan akan bekerja kembali bila suhunya makin naik menjadi 25 derajad celcius. Alat pengatur nyala mati yang ada didalam mesin pendingin itu disebut termostat. Agar suhu yang kehendaki tidak cepat hilang, kita perlu menggunakan isolator panas seperti dinding rumah, jendela kaca tertutup, atap genteng, dan plafon dari bahan-bahan bukan penghantar panas. Bagaimana Tubuh kita bekerja Panas diproduksi oleh metabolisme tubuh kita dan terbesar berasal dari metabolisme yang berasal dari hepar dan otot. Panas didistribusikan keseluruh tubuh secara merata oleh sistem aliran darah dan cairan tubuh.
Sebagai isolator suhu adalah kulit dan jaringan lemak dibawah kulit. Sedangkan sebagai termostat suhu tubuh adalah bagian otak yang disebut hipothalamus. Hipothalamus sangat peka terhadap perubahan suhu yang dibawah oleh aliran darah. Perubahan suhu tubuh 0,01 derajad celcius saja hipothalamus sudah bereaksi dan menjaga suhu tubuh manusia konstan 37 derajd celcius. Bila suhu tubuh melampui 37 derajd celcius, maka akan terjadi hal yang sebaliknya. Kita mencari kesejukan, aktivitas metabolisme berada dalam taraf yang biasa saja, produksi keringat dan penguapan bertambah, terjadi vasodilatasi pembulu darah kulit sehingga panas tubuh lebih mencapai permukaaan , terjadi peningkatan radiasi, konduksi, dan konveksi panas tubuh. Semua hal ini akan menurunkan suhu tubuh, hal seperti itu terus terjadi dan homeostasis suhupun terjaga dengan baik. Sebagai gambaran sistematis bisa dilihat bagan dibawah ini : Suhu tubuh turun
Otak besar (serebrum)
Kel. Adrenal
kesadaran
Otot skeletal
Thiroid (kel. Gondok)
Mencari kehangatan - Selimut - Baju tebal - Berlindung - Minuman hangat
Kulit
Otot-otot mengigil unntuk meningkatkan produksi panas
Dikeluarkan lebih Banyak sehingga : - metabolisme meningkat
Peningkatan produksi Hormon untuk meningkatkan metabolisme seluler
-Mengurangi bahkanmenghentikan produksi Keringat -Vasokontriksi pembulu darah kulit
Bagan 3.1 : Homeostasis suhu tubuh 2. Keseimbangan Glukosa Glukosa relative konstan yaitu 90 sampai 110/100 ml darah. Setelah makan terjadi peningkatan kadar glukosa darah yang merangsang keluarnya insulin dari sel-sel khusus dalam pankreas yang memfasilitasi masuknya glukosa kedalam sel-sel tubuh sehingga mengurangi kadar glukosa darah. Penurunan kadar glukosa darah mempengaruhi sel-sel pelepas insulin untuk mengurangi pelepasan insulin dan glukosa darah dipertahankan pada kadar yang sesuai.
3. Jumlah Air Tubuh Apabila terjadi suatu perubahan dalam pola pemasukan dan pengeluaran air sehingga tubuh kekurangan air, maka sel-sel dipusat haus di hypothalamus akan terangsang, kemudian memerintahkan individu mencari minum dan merangsang sel-sel hipofisis posterior untuk melepaskan simpanan ADHnya (anti diuretic hormone). ADH yang beredar dalam darah akan mempengaruhi sel-sel tubulus distal dan duktus koligentes ginjal untuk lebih banyak menarik air kembali kedalam darah, akibatnya jumlah air kemih menjadi berkurang. Sebaliknya bila jumlah masukan air sedemikian banyaknya , maka hipofisi posterior akan menghentikan sama sekali hormon ADH, sehingga air tidak diabsorbsi pada tubuli distal dan duktus koligentes ginjal. Dengan demikian, air lolos saja, sehingga menyebabkan jumlah air kemih banyak . dengan demikian homeostasis jumlah air tubuh tetap terjaga dalam keseimbangan Komponen terbesar dalam tubuh adalah air dan air merupakan pelarut bagi semua zat terlarut dalam tubuh baik dalam bentuk suspensi maupun larutan. Air tubuh total (TBW, total body water) yaitu presentase dari berat air dibandingkan dengan berat badan total, bervariasi menurut jenis kelamin, umur dan kandungan lemak dalam tubuh. Air membentuk sekitar 60 % berat badan pada orang dewasa, pada orang tua TBW sekitar 45-50 % dari berat badannya.
Karena lemak pada dasarnya bebas air, maka makin sedikitnya lemak akan mengakibatkan makin tingginya presentase air dalam berat badan seseorang, sebaliknya jaringan otot mengandung lebih banyak air. Oleh karena itu bila dibandingkan orang yang kurus akan mengandung lebih banyak air dari pada orang yang gemuk. Secara proporsional, wanita mengandung lebih banyak lemak dan lebih sedikit otot dibandingkan dengan laki-laki, sehingga kandungan airnya lebih sedikit dibandingkan dengan berat badannya. TBW paling tinggi adalah bayi baru lahir yaitu sekitar 75 % dari berat badan totalnya, presentase ini akan cepat menurun pada akhir tahun pertama sampai sekitar 60 %, dan kemudian berangsur-angsur turun sampai mencapai proporsi orang dewasa pada usia menjelang dewasa. Tabel 11.1 : prosentase cairan tubuh Jenis Bayi (baru lahir) Dewasa Pria (20-40 tahun ) Dewasa wanita (20-40 tahun) Usia lanjut
Prosentase cairan tubuh 75 % 60 % 50 % 45-50 %
Pembagian cairan tubuh Cairan tubuh total 60 %
Cairan intra sel 40 %
Cairan Intertisiel 15 %
Cairan Extra sel 20 %
Cairan intravascular / plasma 5 %
Cairan transeluler 1-2 % Rongga sinovial Cerebrospinal Liquor humos Intra okuler liquor
Cairan Intrasel adalah cairan yang berada didalam sel, sekitar 40 % dari jumlah cairan tubuh. Cairan Ekstrasel Adalah cairan yang berada diluar sel dan cairan ini terus-menerus bercampur. Jumlah total cairan di dalam ruangan ekstrasel sekitar 20 %. Cairan ekstrasel dapat dibagi menjadi : - Cairan interstitial, yaitu cairan yang berada dicelah-celah jaringan antar sel. - Plasma (cairan intra vascular), yaitu cairan yang berada dalam pembulu darah (5 %) - Cairan limfe, yaitu cairan yang berada didalam pembulu limfe. - Caiaran trans selular, yaitu cairan yang berada ditempat-tempat khusus seperti cairan serebrospinalis, cairan intraokular, cairan traktus gastro interstinalis, dan cairan ruang-ruang potensial. Cairan ekstrasel disebut juga lingkungan internal tubuh dan bahwa unsur-unsurnya diatur dengan seksama sehingga sel-sel tersebut tetap terendam terus-menerus di dalam suatu cairan yang mengandung elektrolit dan bahan gizi yang sesuai untuk berlangsungnya fungsi sel. Dari dan ke situlah sel mengambil zat (O2, nutrisi) dan membuang sisa metabolitnya. Karena cairan ekstrasel merupakan lingkungan hidup maka harus dijaga kelestariannya dengan cara homeostasis agar sel tetap hidup secara baik. Mekanisme Homeostasis Cairan Tubuh Homeostasis adalah usaha dari tubuh sendiri agar lingkungan sel tubuh dalam keadaan stabil. Keseimbangan cairan tubuh dicapai dengan masukan dan keluaran air yang seimbang. Air mengalami proses kehilangan yang tidak terelakkan setiap saat melalui ginjal, kulit, paru-paru. Air dalam tubuh dapat diperoleh dengan dua cara: 1. Dengan minum, diperoleh atau diatur oleh rasa haus dan kebiasaan minum. Pada bagian hipotalamus dari otak terdapat “pusat minum” yang bereaksi terhadap dehidrasi. 2. Dengan makan-makanan yang mengandung air Proses kehilangan air terjadi dalam empat cara: 1. Sebagai urin sekitar 1,5 liter per hari 2. Dengan ekspirasi udara dari paru-paru sekitar 400 ml per hari 3. Dalam feses sekitar 100 ml per hari 4. Melalui kulit sebagai keringat, jumlahnya sesuai dengan temparatur kelembaban dan sirkulasi udara. Tabel 11. 2 Hilangnya air setiap hari (dalam mililiter) Hilang tak terasa Suhu normal Cuaca panas Kulit Sal. pernapasan Urina Keringat Feses Total
350 350 1400 100 100 2300
350 250 1200 1400 100 3300
Gerak badan 350 650 500 5000 100 6600
Kehilangan air terbesar melalui ginjal yang merupakan bagian yang tidak dapat dihindarkan, bagian yang dikendalikan oleh antidiuretik hormon (ADH). ADH dihasilkan di dalam hipotalamus dan ditransportasikan ke kelenjar pituitari, dari mana dilepaskan sesuai dengan kebutuhan. Hal tersebut mengatur reabsorpsi air dari tubulus distal ginjal dan juga mengatur jumlah urin yang diekskresikan.
Gangguan Keseimbangan Air 1. Dehidrasi
Tubuh terlalu banyak kehilangan air dan elektrolit. Seseorang bisa mengalami dehidrasi antara lain adalah : a. Berkeringat terlalu banyak, seperti pada keadaan ditempat panas tinggi (oven, lokomotif, tanur, padang arafah, lari maraton) tanpa pengimbangan jumlah cairan yang masuk (keringat mengandung banyak Na dan CL) b. Muntah-muntah hebat karena berbagai sebab, dimana bersama air keluar pula H+, Cl - yang bisa mengganggu pula keseimbangan asam basa, jadi alkalosis c. Diare hebat seperti pada penyakit kolera dimana bersama air dan elektrolit juga keluar HCO3 dan terjadi asidosis bersama dehidrasi d. Diuresis (jumlah air kemih berlebih baik karena obat dieretik maupun beberapa penyakit ginjal) Kompartemen cairan tubuh yang hilang atau berkurang pertama kali adalah cairan interstitiel, disusul dengan pergerakan pindah dari cairan intravaskular (plasma). Kedua kompartemen cairan inilah yang paling cepat perpindahannya. Bila dehidrasi berlangsung lama maka akan terjadi pergeseran cairan intraselluler keluar sel dan untuk mengatasinya memerlukan waktu yang lama. Kematian bisa terjadi bila kehilangan cairan ekstrasel 60 % atau kehilangan cairan intra selluler cukup 30 %. 2. Over hidrasi
Suatu keadaan klinik akibat kelebihan cairan ekstraselluler secara keseluruhan atau kelebihan cairan baik dalam kompartemen plasma maupun kompartemen cairan interstitiel. Pemasukan air ekstra yang cepat (pemasukan air 1 liter sekaligus) mengakibatkan penghambatan ADH dan diuresis air yaitu ekstraksi urine encer dalam volume besar. 3. Edema
Adalah terkumpulnya cairan didalam cairan interstitiel lebih dari jumlah yang biasa. hal ini ada hubunganya dengan gangguan pertukaran cairan dan elektrolit antara plasma dengan jaringan interstitiel. Edema bisa terjadi akibat hal-hal sebagai berikut, yaitu : a. Tekanan darah kapiler yang meningkat, sehingga darah seperti diperas kejaringan. Hal ini terjadi karena : 1) Vena terbendung - Pada kasus ibu hamil dengan edema pada tungkai ini diakibatkan bendungan vena cava inferior dan vena dalam panggul. - Pada kasus payah jantung bendungan vena bersifat menyeluruh akibat kegagalan ventrikel jantung memompa darah dengan baik, sehingga darah terkumpul dipembulu vena, lebih mundur lagi kekapiler karena kapiler merupakan pembulu darah yang sangat porus (pori-porinya lebar) maka cairan diperas kejaringan interstitiel 2) Arteriola berdilatasi atau melebar Arteriola melebar seperti kran air yang terbuka lebar, sehingga darah dari arteria langsung mengisi kapiler banyak. Pelebaran arteriola bisa hanya setempat seperti alergi, kaligata, gigitan nyamuk ini karena reaksi setempat terhadap alergen, jaringan tubuh setempat melepaskan histamin yang melebarkan arteriola.
b. Berkurangnya jumlah protein plasma Berkurangnya jumlah protein plasma menyebabkan tekanan osmotik koloid plasma berkurang, sehingga daya tarik cairan kearah lumen pembulu darah berkurang. Keseimbangan cairan bergeser kearah jaringan. Contoh : Edema pada penyakit ginjal nefrotik dimana protein banyak terbuang lewat ginjal yang rusak. c. Bendungan aliran limfe Bila aliran limfe terbendung pada suatu bagian tubuh, maka mekanisme pengembalian molekul-molekul besar seperti protein yang lolos kejaringan kealiran darah melalui vena subklavia tidak terjadi. Akibatnya molekul-molekul protein tersebut makin lama makin banyak terkumpul dijaringan interstitiel, sehingga meninggihkan tekanan koloid osmotik jaringan, kemudian terjadi pergeseran cairan kearah jaringan interstitiel lebih banyak dari biasanya (edema) d. Pemeabilitas kapiler yang meningkat Dinding kapiler bisa berubah menjadi sangat permeabel pada keadaan tertentu seperti : - pada bagian tubuh yang mengalami luka bakar - Penderita yang mengalami renjatan (shock) dimana secara tiba-tiba permeabilitas sangat meningkat, plasma berpindah cepat kejaringan, volume vaskular menjadi kurang, darah yang kembali kejantung berkurang, organ-organ vital kekurangan darah sehingga bila pertolongan terlambat klien akan mati. Terkena toksin, seperti pada infeksi oleh kuman clostridium edematiens, racun
ini meningkatkan permeabilitas dinding pembulu darah e. Ginjal gagal membuang air padahal asupan air minum jumlahnya seperti biasa, maka air terkumpul didalam badan. Hal ini bisa karena gagal ginjal. Cairan Elektrolit Zat terlarut yang ada dalam cairan tubuh terdiri dari elektrolit dan non elektrolit. 1. Cairan nonelektrolit adalah zat terlarut yang tidak terurai dalam larutan dan tidak bermuatan listrik. Cairan nonelektrolit terdiri dari: - protein, - urea, - glukosa, - oksigen, - karbon di oksida - dan asam organik lainnya. 2. Cairan elektrolit Garam yang terurai didalam air menjadi satu atau lebih partikel bermuatan, disebut ion atau elektrolit. Elektrolit tubuh mancakup antara lain adalah: - Natrium (Na+), - Kalium (K+), - Kalsium (Ca+), - Magnesium (Mg++), - Klorida (Cl+), - Bicarbonat (HCO3-), - Fosfat (HPO4-), - Sulfat (SO4-). Larutan elektrolit menghantarkan aliran listrik, ion yang bermuatan positif disebut kation dan yang bermuatan negatif disebut anion.
Konsentrasi elektrolit dalam cairan tubuh bervariasi pada satu bagian dengan bagian yang lain dan dalam keadaan sehat mereka akan berada pada bagaian dan jumlah yang tepat. - Kation utama pada cairan ekstraselluler (ECF) adalah natrium (Na+) - dan anion utama adalah klorida (Cl-) dan bicarbonat (HCO3-) konsentrasi dari elektrolit ini rendah dalam ICF. Pada cairan intaseluler (ICF) kation utama adalah kalium (K +) dan fosfat (HPO4-) adalah anion utama, dan sebaliknya elektrolit ini rendah dalam ECF. Sebagai partikel terbanyak cairan ekstra seluler (ECF) adalah natrium yang memegang peran penting dalam mengendalikan volume cairan tubuh total, sedangkan kalium penting dalam mengendalikan volume sel. Perbedaan muatan listrik di dalam dan di luar membran sel penting untuk menghasilkan kerja syaraf dan otot, dan perbedaan konsentrasi Na + dan K+ diluar dan didalam membran sel penting untuk mempertahankan perbadaan muatan listrik itu. Tabel 11.3 Elektrolit plasma dan intraselluler Muatan
Plasma
Intraseluler
Kation Natrium Kalium Kalsium Magnesium
142 mEq 4 mEq 5 mEq 3 mEq
10 mEq 160 mEq < 1 mEq 35 mEq
Anion Klorida Bicarbonat Fosfat Sulfat Asam organik Protein
103 mEq 27 mEq 2 mEq 1 mEq 5 mEq 16 mEq
2 mEq 8 mEq 140 mEq
55 Eq
Sistem Transportasi Cairan dan elektrolit 1. Perpindahan Air Diantara Bagian Tubuh Antara plasma dengan cairan interstisial didaerah arteriola-kapiler- venula terjadi pertukaran yang dinamik berbagai zat. Cairan interstitial adalah “ milleu interiure” tempat sel hidup, pembulu darah adalah prasarana transport (jalan raya) untuk pengangkutan zat-zat yang diperlukan oleh sel maupun zat-zat sisa metabolic untuk nanti dikeluarkan dari tubuh. Proses keluar masuknya zat-zat melalui membran kapiler inilah yang akan dibicarakan. Hukum Starling Kapiler menyatakan, bahwa pertukaran air dan elektrolit antara plasma dengan cairan interstisial dipengaruhi oleh empat factor tekanan yaitu : a. Tekanan hidrostatik dari dalam pembulu darah arahnya ke jaringan interstisial. Tekanan ini ditentukan oleh tekanan darah dan tekanan jaringan. b. Tekanan osmotik koloid dari dalam darah yang menahan atau menghambat tekanan keluar. Tekanan ini ditentukan oleh kehadiran protein plasma dan protein jaringan. c. Tekanan hidrostatik jaringan yang melawan tekanan hidrostatik darah. d. Tekanan osmotic koloid dari jaringan yang melawan tekanan osmotic koloid darah. Sifat dinding kapiler adalah permeable terhadap air, elektrolit, asam amino serta glukosa, namun impermeable terhadap protein, sehingga protein plasma tidak bisa keluar kejaringan walaupun ada beberapa molekul protein plasma yang berhasil lolos kejaringan (sedikit) dan ini tentu menambah tekanan osmotic koloid jaringan. Karena ukuran molekul-molekul protein ini besar, maka ia tidak masuk kembali kedalam venula, ia terkumpul dijaringan, kewajiban pembulu limfe untuk menangkap dan menyalurkan molekul besar ini kembali ke aliran darah setelah melalui duktus limfatikus ke vena subklavila.
Pada awal kapiler praktis semua pergerakan pindah dari arah dalam pembulu darah kejaringan (air, elektrolit, glukosa, asam amino) sehingga plasma menjadi lebih hiperosmotik karena protein tetap didalam pembulu darah. Pada akhir kapiler dan venula tekanan darah sudah semakin rendah, sebaliknya tekanan osmotic koloid darah tinggi, maka pergerakan cairan dan elektrolit menjadi arah sebaliknya yaitu dari jaringan kedalam pembulu darah dengan membawa sisa metabolit yang dilepaskan sel. Perubahan tekanan osmotic koloid jaringan tidak terjadi karena molekul-molekul protein yang sempat lolos kejaringan segera diangkut melalui system limfatik yang ada juga disekitar tempat itu. Proses macam ini berlangsung terus menerus sehingga homeostasis di cairan interstisial terjaga dengan baik. Perpindahan Cairan Tubuh Dan Elektrolit Cairan tubuh dan zat terlarut didalamnya berada dalam mobilitas yang konstan. Ada proses menerima dan mengeluarkan cairan yang terjadi terus menerus, baik dalam tubuh secara keseluruhan maupun di antara berbagai bagian tubuh untuk membawa zat-zat gizi, oksigen kepada sel, membuang sisa dan membentuk zat tertentu dari sel. a. Oksigen, zat gizi, cairan dan elektrolit diangkut ke paru-paru dan saluran cerna, dimana mereka menjadi bagian dari intra vaskuler fluid (IVF) dan di bawa ke berbagai bagian tubuh melelui sistem sirkulasi. b. Intra vaskuler fluid (IVF) dan zat-zat terlarut di dalamnya secara cepat saling bertukaran dengan intra selluler fluid (ISF) melalui membran kapiler yang semipermiabel. c. Intra seluler fluid (ISF) dan zat-zat yang ada di dalamnya saling bertukaran dengan ICF melalui membran sel yang permeabel selektif. Meskipun keadaan diatas merupakan proses pertukaran dan pergantian yang terus menerus, namun komposisi dan volume cairan relatif stabil, suatu keadaan yang disebut keseimbangan dinamis atau homeostasis. Perpindahan air dan zat terlarut di antara bagian-bagian tubuh melibatkan mekanisme tranportasi aktif dan pasif. - Mekanisme tranport aktif memerlukan energi, - Mekanisme pasif tidak (difusi dan osmosis adalah mekanisme tranpor pasif) Pembatas utama dari perpindahan zat terlarut adalah membran sel. Molekul lemak dan protein yang membentuk membran ini tersusun sedemikian rupa sehingga hanya zat tertentu yang dapat melewatinya. Pori-pori dari membran ini dapat dilewati air dan zat kecil yang larut dalam air seperti ion dan glukosa, tapi molekul protein yang lebih besar tidak dapat melewatinya dengan mudah. Zat yang larut dalam lemak seperti urea, oksigen, dan karbondioksida dapat langsung menembus membran.
Beberapa faktor yang menentukan mudah tidaknya difusi zat terlarut menembus membran kapiler dan sel yaitu permeabilitas membran, konsentrasi, potensial listrik, perbedaan tekanan. 1. Permeabilitas membran Permeabilitas adalah perbandingan ukuran dari partikel zat yang akan lewat terhadap ukuran pori-pori membran. Partikel kecil seperti air dan ion paling mudah menembus pori-pori membran. Partikel yang besar seperti glukosa dan asam amino, harus terlebih dulu menjalani proses yang disebut difusi yang dibantu, sebelum dapat melewati membran. Gambar 11.1 Mekanisme difusi yang dibantu (fasilitated diffusion)
2. Konsentrasi Perpindahan zat terlarut melalui sebuah membran sel melawan perbedaan konsentrasi dan atau muatan listrik disebut tarnspor aktif. Tranport aktif berbeda dengan tranportasi pasif karena memerlukan energi dalam bentuk adenosin triphospat (ATP). Salah satu tranportasi aktif yang umum terjadi adalah sistem ATPase yang diaktivasi oleh NaK pompa (Natrium Kalium Pump) yang berlangsung pada membran sel. Molekul enzim tunggal ini memompa 3 molekul ion Na+ keluar dari sel untuk ditukar dengan 2 ion K+ dan membutuhkan 1 molekul ATP. Sistem NaK-ATPase ini berperan dalam penting dalam mempertahankan konsentrasi yang benar dari Na dan K didalam dan diluar sel, sehingga mempertahankan elektro potensial membran. Gambar 11.2 Mekanisme Transportasi aktif
Perpindahan Air Di Antara ECF Dan ICF Perpindahan air diantara ECF dan ICF ditentukan oleh kekuatan osmotik koloid, natrium klorid pada ECF dan kalium pada ICF adalah zat terlarut yang tidak dapat menembus, dan sangat berperan pada konsentrasi air pada kedua sisi membran (beberapa ion Natrium bocor dan masuk kedalam sel, tapi pompa Na-K, mengembalikan mereka ka bagian yang seharusnya). Karena 90 % adalah natrium, maka natrium yang paling menentukan jumlah air tubuh total dan distribusinya. Prinsip osmosis dapat diterapkan pada pemberian cairan intra vena, yang berupa isotonik, hipotonik dan hipertonik, tergantung pada keadaan konsentrasi partikel, apakah sama, kurang atau melebihi cairan sel tubuh. Jika sel darah ditempatkan pada larutan garam isotonik (0,9%) mereka tidak akan mengalami perubahan volume. Jika sel darah ditempatkan pada larutan hipotonik (0,45 %), maka sel-sel akan membengkak. Sebaliknya jika sel darah ditempatkan pada larutan hipertonik (3%) akan mengakibatkan sel tersebut mengkerut karena larutan tersebut hiperosmotik terhadap sel, terjadi difusi air dari sel darah merah ke larutan hipertonik. Pertukaran Air Dengan Lingkungan Eksternal Keseimbangan air tubuh total dan elektrolit ditentukan oleh keseimbangan antara pemasukan dan pengeluaran. Kebutuhan air normal orang dewasa yang sehat atau bayi adalah sekitar 1500 ml/m2 luas permukaan tubuh. Air dan elektrolit masuk melalui saluran cerna dalam bentuk cairan atau makanan. Air juga dibentuk dari oksidasi makanan, oksidasi dari setiap 100 kalori menghasilkan sekitar 14 ml air, karena itu diet 2100 kalori/hari akan menghasilkan sekitar 300 ml air. Air secara normal akan hilang dari tubuh melalui 4 jalan yaitu, ginjal (kemih), usus halus (feses), paru-paru (penguapan air ekspirasi) dan kulit (keringat). Hilangnya air paru-paru dan kulit dikenal sebagai kehilangan yang tidak di sadar (water insensible loss) yang bertujuan mengatur temperatur tubuh. Pemasukan Minuman cairan Makanan padat Oksidasi makanan
Jumlah 1200 ml 1000 ml 300 ml
Pemasukan total
2500 ml
Pengeluaran Ginjal Feses Paru-paru keringat
Jumlah 1500 ml 200 ml 400 ml 400 ml 2500 ml
4. PERDARAHAN
Pengertian Perdarahan adalah keluarnya darah dari pembuluh darah akibat rusaknya pembuluh darah. Perdarahan dapat terjadi secara internal dan enternal, secara internal (dalam tubuh) seperti ruptur organ ataupun pembuluh darah besar, secara external (luar tubuh) seperti perdarahan melalui vagina, mulut, rectum, atau melalui luka dari kulit (Lammers, 2009). Kehilangan darah melebihi 15% dari total estimasi jumlah darah tubuh akan menyebabkan terjadinya hipoperfusi jaringan dan mengarah kepada keadaan syok hemoragik, maka diperlukan pergantian cairan untuk mengembalikan kehilangan darah yang keluar akibat perdarahan (Leksana, 2007). Penyebab perdarahan yang paling sering dijumpai adalah hilangnya integritas dinding pembuluh darah yang memungkinkan darah keluar. Beberapa hal yang menyebabkan perdarahan anatara alain adalah : - Kerusakan pembuluh darah - Trauma - Proses patoloogik - Penyakit yang berhubungan dengan gangguan pembekuan darah. - Kelainan pembuluh darah. Perdarahan dapat bersifat local atau sistemik, perddarahan local akan tergantung lokasi perdarahan, bila lokasinya tidak vital maka tidak tampak gejala (tidak penting), sedangkan bila lokasinya vital, seperti pada medulla oblongata, akan timbul kematian, perdarahan pada Otak, mengganggu fungsi otak sehingga dapat terjadi kelumpuhan dan perdarahan pada rongga pleura, mengakibatkan volume paru mengecil Perdarahan sistemik juga tergantung dari cepat dan banyaknya perdarahan. Bila akut dan banyak maka dapat menyebabkan kollaps sehingga semua organ tubuh akan iskhemi dan tampak pucat. Bila kronis, sedikit-sedikit dan berulang atau terus menerus akan timbul kekurangan zat besi sehingga mengakibatkan anemia hipokhrom dan tejadi pula kelainan sum-sum tulang Tempat perdarahan Hemorhagi dapat terjadi pada kapiler, vena, arteri, atau jantung , dimana terjadi karena darah keluar dari susunan kardiovaskuler atau karena diapedesis (artinya eritrosit keluar dari pembuluh darah yang tampak utuh). Dilihat dari sudut tempat perdarahan ada berbagai macam perdarahan antara lain adalah : Tempat terjadinya perdaraha. a. Kulit, dapat berupa: - Petechiae, yaitu perdarahan kecil-kecil bibawah kulit yang terjadi secara spontan, biasanya pada kapiler-kapiler. - Echymosis, yaitu perdarahan yang lebih besar dari petechiae, yang terjadi secara Spontan. - Purpura, yaitu perdarahan yang berbentuk bercak, biasarnya bercak antara petechiae dan echymosis. b. Perdarahan tergantung lokasi - Hematoma, yaitu penimbunan darah setempat, diluar pembuluh darah, biasanya telah membeku, sering menonjol seperti suatu tumor pada suatu jaringan. - Apopleksi, yaitu penimbunan darah yang dihubungkan dengan perdarahan otak.
- Hemoptysis, yaitu perdarahan pada paru-paru atau salurannya kemudian dibatukkan keluar. - Hematemesis, yaitu keluarnya darah dari saluran pencernaan melalui muntah (muntah darah). - Melena, yaitu keluarnya darah dari saluran pencernaan melalui anus sehingga feces berwarna hitam Patofisiologi Komponen penting yang terlibat dalam proses hemostasis terdiri atas pembuluh darah, trombosit, kaskade faktor koagulasi, inhibitor koagulasi, dan fibrinolisis. Permeabilitas, fragilitas dan vasokonstriksi merupakan sifat yang dimiliki oleh pembuluh darah. Peningkatan permeabilitas mengakibatkan keluarnya darah berupa petekie, purpura, dan ekimosis yang besar. Peningkatan fragilitas menyebabkan ruptur yang berefek sama seperti peningkatan permeabilitas, namun disertai dengan perdarahan hebat pada jaringan yang lebih dalam (Suharti, 2006). Bila pembuluh darah mengalami cedera atau ruptur, hemostasis terjadi melalui beberapa cara: 1) konstriksi pembuluh darah; 2) pembentukan sumbat platelet (trombosit); 3) pembentukan bekuan darah sebagai hasil dari pembekuan darah; dan 4) akhirnya terjadi pertumbuhan jaringan fibrosa ke dalam bekuan darah untuk menutup lubang pada pembuluh secara permanen (Guyton and Hall, 2007). Empat langkah utama koagulasi darah untuk menghasilkan fibrin adalah: a. Langkah pertama: proses awal yang melibatkan jalur intrinsik dan ekstrinsik yang menghasilkan tenase kompleks yang mengaktivasi faktor X. b. Langkah kedua: pembentukan prothrombin activator (kompleks protrombinase) yang akan memecah protrombin menjadi trombin. c. Langkah ketiga: prothrombin activator merubah protrombin menjadi trombin. d. Langkah keempat: trombin memecah fibrinogen menjadi fibrin serta mengaktifkan F.XIII sehingga timbul fibrin yang stabil (Bakta, 2006). Penyebab perdarahan sistemik Perdarahan hebat dapat terjadi akibat defisiensi salah satu dari faktor-faktor pembekuan. Tiga jenis utama perdarahan adalah: 1) perdarahan akibat defisiensi vitamin K, 2) hemofilia, dan 3) trombositopenia. Defisiensi vitamin K dapat menyebabkan kekurangan protrombin, faktor VII, faktor IX, dan faktor X. Hemofilia adalah penyakit perdarahan yang diturunkan. Hemofilia A disebabkan oleh kekurangan faktor VIII, hemofilia B disebabkan oleh kekurangan faktor IX, dan hemofilia C disebabkan oleh kekurangan faktor XI (Guyton and Hall, 2007). a. Trombosit dan Trombositopenia Trombosit diproduksi di sumsum tulang dengan cara fragmentasi sitoplasma megakariosit. Produksi trombosit diatur oleh hormon trombopoetin yang diproduksi oleh hepar dan ginjal (Suharti, 2007). Trombosit memegang peranan penting dalam proses awal faal koagulasi yang akan berakhir dengan pembentukan sumbat trombosit (platelet plug).
Trombosit akan mengalami peristiwa adhesi, aktivasi, dan agregasi. Nilai normal hitung trombosit adalah 150.000-450.000/mm3. Trombositopenia didefinisikan sebagai jumlah trombosit kurang dari 100.000/mm3. Jumlah trombosit yang rendah ini terjadi akibat berkurangnya produksi atau meningkatnya penghancuran trombosit. Umumnya tidak ada manifestasi klinis hingga jumlahnya kurang dari 100.000/mm3 (Baldy, 2006). Penyebab terjadinya trombositopenia pada dasarnya dapat dibagi menjadi 4, yaitu: (1)Gangguan produksi Gangguan produksi ini bersifat depresi selektif megakariosit karena obat, bahan kimia atau infeksi virus. Sebagai bagian dari “bone marrow failure” umum. Beberapa situasi yang menngangu poses produksi trombosit adalah: -
Anemi aplastik Leukemia akut Sindrom mielodisplastik Mielosklerosis Infiltrasi sumsum tulang: limfoma, carcinoma Mieloma multipel Anemia megaloblastik
(2)Peningkatan destruksi trombosit -
Autoimmune thrombocytopenic purpura atau idiopathic thrombocytopenic purpura (ITP) Immune thrombocytopenic purpura sekunder, misalnya pada: SLE, CLL, limfoma Alloimmune thrombocytopenic purpura: misalnya neonatal thrombocytopenia Drug induced immune thrombocytopenia: quinine dan sulfonamid Disseminated intravascular coagulation (DIC)
(3)Distribusi tidak normal, yaitu Sindrom hipersplenism: dimana terjadi pooling trombosit dalam lien. (4)Akibat pengenceran (dilutional loss), yaitu akibat transfusi masif. (Bakta, 2006) Kelainan hemostasis dengan perdarahan abnormal dapat merupakan kelainan pembuluh darah, trombositopenia atau gangguan fungsi trombosit, dan kelainan koagulasi. Sejumlah pemeriksaan sederhana dapat dikerjakan untuk menilai fungsi trombosit, pembuluh darah, serta komponen koagulasi dalam hemostasis. Pemeriksaan penyaring ini meliputi pemeriksaan darah lengkap (Complete Blood Count/CBC), evaluasi darah apus, waktu perdarahan (Bleeding Time/ BT), waktu protrombin (Prothrombin Time/PT), activated partial thromboplastin time (aPTT), dan agregasi trombosit. a. CBC dan evaluasi darah apus. Pasien dengan kelainan perdarahan pertama kali harus menjalani pemeriksaan CBC dan pemeriksaan apusan darah perifer. Selain memastikan adanya trombositopenia, dari darah apus dapat menunjukkan kemungkinan penyebab yang jelas seperti misalnya leukemia.
b. Pemeriksaan penyaring sistem koagulasi. Meliputi penilaian jalur intrinsik dan ekstrinsik dari sistem koagulasi dan perubahan dari fibrinogen menjadi fibrin. PT (Prothrombin Time) mengukur faktor VII, X, V, protrombin, dan fibrinogen. aPTT (activated Partial Prothrombin Time) mengukur faktor VIII, IX, XI, dan XII. TT (Thrombin Time) cukup sensitif untuk menilai defisiensi fibrinogen atau hambatan terhadap trombin. c. Pemeriksaan faktor koagulasi khusus. Pemeriksaan fibrinogen, faktor vW, dan faktor VIII. d. Waktu perdarahan (Bleeding Time/BT). Memeriksa fungsi trombosit abrnormal misalnya pada defisiensi faktor Von Willebrand (VWf). Pada trombositopenia, waktu perdarahan juga akan memanjang, namun pada perdarahan abnormal akibat kelainan pembuluh darah, waktu perdarahan biasanya normal. e. Pemeriksaan fungsi trombosit. Tes agregasi trombosit mengukur penurunan penyerapan sinar pada plasma kaya trombosit sebagai agregat trombosit f. Pemeriksaan fibrinolisis. Peningkatan aktivator plasminogen dalam sirkulasi dapat dideteksi dengan memendeknya euglobulin clot lysis time. (Suharti, 2007). b. Idiopathic Thrombocytopenic Purpura (ITP) ITP adalah kelainan akibat trombositopenia yang tidak diketahui penyebabnya (idiopatik), tetapi ternyata diketahui bahwa sebagian besar kelainan ini disebabkan oleh proses imun, karena itu disebut juga autoimmune thrombocytopenic purpura. Pada ITP jumlah trombosit menurun disebabkan oleh trombosit diikat oleh antibodi, terutama IgG. Antibodi terutama ditujukan untuk reseptor GP IIb/IIIa pada trombosit. Trombosit yang diselimuti antibodi kemudian difagositir oleh makrofag dalam RES terutama lien, akibatnya terjadi trombositopenia. Gambaran klinik ITP, yaitu 1) onset pelan dengan perdarahan melalui kulit atau mukosa berupa peteki, ekimosis, easy bruising, menorrhagia, epistaksis atau perdarahan gusi; 2) perdarahan SSP jarang, tetapi fatal; dan 3) splenomegali, terjadi pada 10% kasus. Pada ITP kelainan laboratorium yang terjadi: 1) darah tepi: trombosit paling sering antara 10.000-50.000/mm3; 2) sumsum tulang: megakariosit meningkat, multinuklear, disertai lobulasi; dan 3) imunologi: adanya antiplatelet IgG pada permukaan trombosit atau dalam serum. Yang lebih spesifik adalah antibodi terhadap gp IIb/IIIa atau gp Ib. Diagnosis ITP ditegakkan bila dijumpai: 1) gambaran klinik berupa perdarahan kulit atau mukosa; 2) trombositopenia; 3) sumsum tulang: megakariosit normal atau meningkat; 4) antibodi antiplatelet (IgG) positif, tetapi tidak harus demikian; dan 5) tidak ada penyebab trombositopenia sekunder (Bakta, 2006). Penatalaksanaan ITP a. Terapi untuk mengurangi proses imun sehingga mengurangi perusakan trombosit - Terapi kortikosteroid à menekan aktivitas makrofag, mengurangi pengikatan IgG oleh trombosit, dan untuk menekan sintesis antibodi. - Jika dalam 3 bulan tidak memberi respon pada kortikosteroid (trombosit <30×109/l) atau perlu dosis pemeliharaan yang tinggi maka diperlukan splenektomi, atau obatobatan immunosupresif lain seperi vincristine, cyclophospamide, atau azathiprim. b. Terapi suportif , terapi untuk mengurangi pengaruh trombositopenia. - Pemberian androgen (danazol). - Pemberian high dose immunoglobulin untuk menekan fungsi makrofag.
Patofisiologi perdarahan sistemik Saat terjadi perdarahan dibawah 10% dari jumlah estimasi darah dalam tubuh, mekanisme kompensasi tubuh akan mengatasi kekurangan volume cairan yang hilang, namun secara klinis tidak terlihat nyata dikarenakan volume darah yang hilang pun tidaklah banyak. Saat tubuh kehilangan darah lebih dari 15% dari volume darah yang beredar, tubuh akan segera memindahkan volume sirkulasinya dari organ non vital (organ-organ pencernaan, kulit, otot) ke organ-organ vital (otak dan jantung) untuk menjamin perfusi yang cukup ke organ-organ vital. Saat terjadi perdarahan akut, curah jantung dan denyut nadi akan turun akibat penurunan volume darah yang menyebabkan penurunan venous return dan volume preload jantung. Hal ini dapat menyebabkan hipoperfusi ke seluruh jaringan tubuh apabila tidak dikompensasi dengan baik. Perubahan ini akan mengaktivasi baroreseptor di arcus aorta dan atrium. Selanjutnya akan terjadi peningkatan aktivitas simpatis pada jantung sebagai mekanisme kompensasi dari penurunan preload, yaitu peningkatan denyut jantung, vasokontriksi perifer dan redistribusi aliran darah dari organ-organ nonvital seperti kulit, organ-organ pencernaan, dan ginjal (Pujo et al., 2013; Udeani, 2013) Dalam saat yang bersamaan, terjadi pula respon neurohormonal sebagai mekanisme kompensasi. Pelepasan hormon kortikotropin akan merangsang pelepasan glukokortikoid dan beta-endorphin. Hipofisis pars posterior akan melepas vasopressin, yang akan meretensi air di tubulus distalis ginjal. Kompleks Jukstamedula akan melepas renin, sebagai respon dari penurunan mean arterial pressure (MAP) akibat penurunan jumlah darah dalam tubuh dan meningkatkan pelepasan aldosteron yang berperan dalam reabsorpsi natrium dan air, sehingga volume urin menurun. Hiperglikemia sering terjadi saat perdarahan akut, karena proses glukoneogenesis dan glikogenolisis yang meningkat. Hal ini disebabkan karena penurunan perfusi dan nutrisi ke jaringan, serta pelepasan katekolamin yang dapat menstimulasi glikogenolisis dan lipolisis, dan diperkirakan memberikan efek terhadap resistensi insulin yang menyebabkan keadaan hiperglikemia pada perdarahan. Secara keseluruhan bagian tubuh yang lain juga akan melakukan perubahan spesifik untuk mengikuti kondisi tersebut. Pada otak, terjadi proses autoregulasi yang bermakna, yaitu aliran darah ke otak dijaga tetap konstan melalui serangkaian aktivitas di atas dalam menjaga MAP tetap stabil. Ginjal dapat mentoleransi penurunan aliran darah sampai 90% dalam waktu singkat, serta pasokan aliran darah pada saluran cerna akan turun karena mekanisme vasokonstriksi yang dicetuskan nervus splanchnicus. Namun, proses kompensasi akan berlanjut pada fase dekompensata, yaitu saat organ-organ vital seperti jantung dan otak mengalami kelemahan akibat mekanisme kompensasi yang panjang. Maka pemberian resusitasi awal dan tepat waktu dapat mencegah kerusakan organ tubuh yang irreversibel akibat kompensasinya dalam pertahanan tubuh (Pujo et al., 2013; Udeani, 2013) Klasifikasi Derajat Perdarahan Berdasarkan tanda gejala dan jumlah kehilangan darah, perdarahan dibagi menjadi 4 kelas (Leksana, 2007): Variabel sistolik (mmHg)
>110
Kelas I
> 100
Kelas II
>90
Kelas III
<90
Kelas IV
Nadi nafas Mental Kehilangan darah
<100 16 Gelisah <750 ml < 15 %
>100 16-20 cemas 750-1500 ml 15-30 %
>120 21-26 Bingung 1500-2000ml 30-40 %
>140 >26 Letargi >2000 ml >40 %
5. TROMBOSIS
Trombosis adalah terbentuknya masa dari unsur darah didalam pembuluh darah vena atau arteri pada makluk hidup. Trombosis hemostatis yang bersifat self-limited dan terlokalisir untuk mencegah hilangnya darah yang berlebihan merupakan respon normal tubuh terhadap trauma akut vaskuler, sedangkan trombosis patologis seperti trombosis vena dalam (TVD), emboli paru, trombosis arteri koroner yang menimbulkan infark miokard, dan oklusi trombotik pada serebro vaskular merupakan respon tubuh yang tidak diharapkan terhadap gangguan akut dan kronik pada pembuluh darah dan darah. Trombosis dapat mengakibatkan efek lokal adan efek jauh. Efek lokal tergantung dari lokasi dan derajat sumbatan yang terjadi pada pembuluh darah, sedangkan efek jauh berupa gejal-gejala akibat fenomena tromboemboli. Trombosis pada vena besar akan memberikan gejala edema pada ekstremitas yang bersangkutan. Terlepasnya trombus akn menjadi emboli dan mengakibatkan obstruksi dalam sistem arteri, seperti yang terjadi pada emboli paru, otak dan lain-lain. Ahli bedah vaskular berperan untuk mengeluarkan trombus yang sudah terbentuk yaitu dengan melakukan trombektomi. Dikenal 2 macam trombosis, yaitu Trombosis arteri dan Trombosis vena. Trombus arteri di sebut trombus putih karena komposisinya lebih banyak trombosit dan fibrin, sedangkan trombus vena di sebut trombus merah karena terjadi pada aliran daerah yang lambat yang menyebabkan sel darah merah terperangkap dalam jaringan fibrin sehingga berwarna merah. a. Trombosis arteri Trombosis arteri adalah pembekuan darah di dalam pembuluh darah arteri terutama sering terbentuk pada sekitar orifisium cabang arteri dan bifurkasio arteri. Penyebab/ kausa dapat lokal di tempat yang bersangkutan atau proksimalnya. Sebagian besar adalah kelainan jantung seperti kelainan katup, Infark jantung, fibrilasi artrium dan lain-lain. Dapat pula karena aneurisma aorta, bila trombusnya lepas dan bergerak ke lokasi terjadinya trombosis. Trombus yang bergerak ini disebut embolus. b. Trombosis vena Pada kasus-kasus yang mengalami trombosis vena perlu pengawasan dan pengobatan yang tepat terhadap trombosisnya dan melaksanakan pencegahan terhadap meluasnya trombosis dan terbentuknya emboli di daerah lain, yang dapat menimbulkan kematian. Trombosis vena terutama mengenai vena-vena di daerah tungkai antara lain vena tungkai superfisialis, vena dalam di daerah betis atau lebih proksimal seperti vena poplitea, vena femoralis dan viliaca. Sedangkan vena-vena di bagian tubuh yang lain relatif jarang di kenai. Trombosis vena dalam akan mempunyai keluhan dan gejala apabila menimbulkan bendungan aliran vena, peradangan dinding vena dan jaringan perivaskuler, emboli pada sirkulasi pulmoner. Keluhan dan gejala trombosis vena dapat berupa : 1. Nyeri Intensitas nyeri tidak tergantung kepada besar dan luas trombosis. Trombosis vena di daerah betis menimbulkan nyeri di daerah tersebut dan bisa menjalar ke bagian medial dan anterior paha. Keluhan nyeri sangat bervariasi dan tidak spesifik, bisa terasa nyeri atau kaku dan intensitasnya mulai dari yang enteng sampai hebat. Nyeri akan berkurang kalau penderita istirahat di tempat tidur, terutama posisi tungkai ditinggikan. 2. Pembengkakan Pembengkakan disebabkan karena adanya edema. Timbulnya edema disebabkan oleh sumbatan vena di bagian proksimal dan peradangan jaringan perivaskuler.
Apabila pembengkakan ditimbulkan oleh sumbatan maka lokasi bengkak adalah di bawah sumbatan dan tidak nyeri, sedangkan apabila disebabkan oleh peradangan perivaskuler maka bengkak timbul pada daerah trombosis dan biasanya di sertai nyeri. Pembengkakan bertambah kalau penderita berjalan dan akan berkurang kalau istirahat di tempat tidur dengan posisi kaki agak ditinggikan. 3. Perubahan warna kulit Perubahan warna kulit tidak spesifik dan tidak banyak ditemukan pada trombosis vena dalam dibandingkan trombosis arteri. Pada trombosis vena perubahan warna kulit di temukan hanya 17%-20% kasus. Perubahan warna kulit bisa berubah pucat dan kadang-kadang berwarna ungu 4. Perubahan warna kaki menjadi pucat dan pada perubahan lunah dan dingin, merupakan tanda-tanda adanya sumbatan cena yang besar yang bersamaan dengan adanya spasme arteri, keadaan ini di sebut flegmasia alba dolens. Sindroma posttrombosis. Penyebab terjadinya sindroma ini adalah peningkatan tekanan vena sebagai konsekuensi dari adanya sumbatan dan rekanalisasi dari vena besar. Keadaan ini mengakibatkan meningkatnya tekanan pada dinding vena dalam di daerah betis sehingga terjadi imkompeten katup vena dan perforasi vena dalam. Semua keadaan di atas akan mengkibatkan aliran darah vena dalam akan membalik ke daerah superfisilalis apabila otot berkontraksi, sehingga terjadi edema, kerusakan jaringan subkutan, pada keadaan berat bisa terjadi ulkus pada daerah vena yang di kenai. Manifestasi klinis sindroma post-trombotik yang lain adalah nyeri pada daerah betis yang timbul / bertambah waktu penderitanya berkuat (venous claudicatio), nyeri berkurang waktu istirahat dan posisi kaki ditinggikan, timbul pigmentasi dan indurasi pada sekitar lutut dan kaki sepertiga bawah DIAGNOSIS Diagnosis trombosis vena dalam berdasarkan gejala linis saja kurang sensitif karena banyak kasus trombosis vena yang besar tidak menimbulkan penyumbatan dan peradangan jaringan perivaskuler sehingga tidak menimbulkan keluhan dan gejala. Ada 3 jenis pemeriksaan yang akurat, yang dapat menegakkan diagnosis trombosis vena dalam, yaitu: a. Venografi Sampai saat ini venografi masih merupakan pemeriksaan standar untuk trombosis vena. Prinsip pemeriksaan ini adalah menyuntikkan zat kontras ke dalam di daerah dorsum pedis dan akan kelihatan gambaran sistem vena di betis, paha, inguinal sampai ke proksimal ke v iliaca. b. Flestimografi impendans Prinsip pemeriksaan ini adalah mengobservasi perubahan volume darah pada tungkai. Pemeriksaan ini lebih sensitif pada tombosis vena femrlis dan iliaca dibandingkan vena di betis. c. Ultra sonografi (USG) Doppler Pada akhir abad ini, penggunaan USG berkembang dengan pesat, sehingga adanya trombosis vena dapat di deteksi dengan USG, terutama USG Doppler. Pemeriksaan ini memberikan hasil sensivity 60,6% dan spesifity 93,9%. Metode ini dilakukan terutama pada kasus-kasus trombosis vena yang berulang, yang sukar di deteksi dengan cara objektif lain.
PENCEGAHAN Meskipun resiko dari trombosis vena dalam tidak dapat dihilangkan seluruhnya, tetapi dapat dikurangi melalui beberapa cara: a. Orang-orang yang beresiko menderita trombosis vena dalam (misalnya baru saja menjalani pembedahan mayor atau baru saja melakukan perjalanan panjang), sebaiknya melakukan gerakan menekuk dan meregangkan pergelangan kakinya sebanyak 10 kali setiap 30 menit. b. Terus menerus menggunakan stoking elastis akan membuat vena sedikit menyempit dan darah mengalir lebih cepat, sehingga bekuan darah tidak mudah terbentuk. Tetapi stoking elastis memberikan sedikit perlindungan dan jika tidak digunakan dengan benar, bisa memperburuk keadaan dengan menimbulkan menyumbat aliran darah di tungkai. c. Yang lebih efektif dalam mengurangi pembentukan bekuan darah adalah pemberian obat antikoagulan sebelum, selama dan kadang setelah pembedahan. d. Stoking pneumatik merupakan cara lainnya untuk mencegah pembentukan bekuan darah. Stoking ini terbuat dari plastik, secara otomatis memompa dan mengosongkan melalui suatu pompa listrik, karena itu secara berulang-ulang akan meremas betis dan mengosongkan vena. Stoking digunakan sebelum, selama dan sesudah pembedahan sampai penderita bisa berjalan kembali. PENGOBATAN Pengobatan trombosis vena diberikan pada kasus-kasus yang diagnosisnya sudah pasti dengan menggunakan pemeriksaan yang objektif, oleh karena obat-obatan yang diberikan mempunyai efek samping yang kadang-kadang serius, tujuan pengobatan adalah : 1. Mencegah meluasnya trombosis dan timbulnya emboli paru. 2. Mengurangi morbiditas pada serangan akut. 3. Mengurangi keluhan post flebitis 4. Mengobati hipertensi pulmonal yang terjadi karena proses trombo emboli. Mencegah meluasnya trombosis dan timbulnya emboli paru, meluasnya proses trombosis dan timbulnya emboli paru dapat di cegah dengan pemberian anti koagulan dan obatobatan fibrinolitik. Pada pemberian obat-obatan ini di usahakan biaya serendah mungkin dan efek samping seminimal mungkin. Pemberian anti koagulan sangat efektif untuk mencegah terjadinya emboli paru, obat yang biasa di pakai adalah heparin. Prinsip pemberian anti koagulan adalah Save dan Efektif. Save artinya anti koagulan tidak menyebabkan perdarahan. Efektif artinya dapat menghancurkan trombus dan mencegah timbulnya trombus baru dan emboli. Pada pemberian heparin perlu di pantau waktu trombo plastin parsial atau di daerah yang fasilitasnya terbatas, sekurangkurangnya waktu pembekuan. Kontra indikasi pemberian anti koagulan adalah : 1. Hipertensi : sistilik > 200 mmHg, diastolik > 120 mmHg. 2. Perdarahan yang baru di otak. 3. Alkoholisme. 4. Lesi perdarahan traktus digestif.
Syok Pengertian Syok Syok merupakan kondisi medis yang mengancam nyawa, yang terjadi ketika tubuh tidak mendapat cukup aliran darah sehingga tidak tercukupinya kebutuhan aerobik seluler atau tidak tercukupinya oksigen untuk memenuhi kebutuhan metabolik tubuh sehinggga dapat menyebabkan hipoperfusi jarngan secara global dan meyebabkan asidosis metabolic. Tanda khas (typical sign) syok adalah menurunnya tekanan darah, meningkatnya denyut jantung, tanda gangguan perfusi pada organ akhir, dan dekompensasi (peripheral shut-down), seperti menurunnya urin output, menurunnya kesadaran, dll. Klasifikasi syok Syok dapat diglongkan menjadi 5 klasifikasi, meliputi : 1. Syok hipovolemik (disebabkan oleh kehilagan cairan / darah) Syok hipovolemik disebabkan oleh menurunnya volume darah di sirkulasi diikuti dengan menurunnya Cardiac Output (Curah Jantung). Beberapa contoh penyebab dari syok hopovolemik, seperti pendarahan baik eksternal maupun internal, luka bakar, diare, muntah, peritonitis, dll (disebabkan oleh kehilagan cairan / darah).
2. Syok kardiogenik (disebabkan oleh masalah pada jantung) Syok kardiogenik digolongkan menjadi 2 yaitu intrakardia dan ekstrakardia. Jika penyebab dari dalam disebabkan karena kematian otot jantung (myocardiac infarct) atau pun terdapat sumbatan didalam jantung yang membuat curah jantung menjadi menurun. Beberapa contoh penyebab syok kardiogenik diantaranya, aritmia, AMI (Acute Myocard Infarct), VSD (Ventricular Septal Defect), Valvular lesion, CHF(Chronic Heart Disease) yang berat, Hypertrophic Cardiomyopathy. Syok kardiogenik ini terjadi ketika ventrikel gagal manejadi pompa disertai dengan menurunnya tekanan darah sistolik < 90mmHg minimal dalam waktu 30 menit, dan terjadi peningkatan tekanan kapiler pulmo yang disebabkan oleh kongesti pary, atau edema pulmo. Syok kardiogenik ekstrakardiak disebabkan oleh adanya obstruksi pada aliran sirkuit kardiovaskular dengan karakteristik terdapat gangguan pada pengisisan diastolik ataupun
adanya afterload yang berlebihan. Penyebab dari syok kardiogenik ini diantaranya, Pulmonary embolism, Cardiac temponade, Tension Penumothorax, dll 3. Syok anafilaktik (disebabkan oleh reaksi alergi) Syok anafilaktik ini terjadi akibat reaksi alergi yang dimediasi oleh IgE pada sel mast dan basofil yang diakibatkan oleh antigen tertentu yang menyebabkan terjadinya pelepasan mediator - mediator sepagai respon imun. Hal ini mengakibatkan terjadinya vasodilatasi perifer, konstriksi bronkhus, ataupun dilatasi pembuluh darah lokal. Mediator yang terlepas terdiri dari primer dan sekunder. mediator primer meliputi histamin, serotonin, Eosinofil chemotactic factor dan enzim proteoitik. Sedangkan mediator sekunder meliputi PAD, bradikinin, prostagandin, dan leukotriene. Beberapa penyebab syok anafilaktik diantaranya, insect venom, antibiotik (beta lactams, vancomycin, sulfonamide), heterologues serum (anti toxin, anti sera), latex, vaksin yang berbasis telur, tranfusi darah, immunogobulin. 4. Syok Septik (disebabkan oleh infeksi) Terjadinya syok septik diawali dengan adanya infeksi pada darah yang menyebar ke seluruh tubuh. Penyebab yang sering adalah peritonitis dan pyelonefritis. Dengan adanya infeksi tersebut tubuh melakukan respon dengan terlepasnya mediator inflamasi seperti il1, TNF, PGE2, NO, dan leukotriene yang menyebabkan berbagai kejadian berikut : - relaksasi vaskular - meningkatnya permeabilitas endotel (sehingga menyebabkan defisit volume intravaskular) - Menurunya kontraktilitas jantung Karakteristik tanda dan gejala dari syok septik adalah demam tinggi, vasodilatasi, meningkatanya / Cardiac Output tetap normal akibat vasodilatasi dan laju metabolime yang meningkat, serta adanya DIC yang menyebabkan pendarahan terutama di saluran cerna.
5. Syok Neurogenik (disebabkan oleh kerusakan sistem saraf) Syok neuro genik disebabkan oleh cederanya medula spinalis terutama pada segment thoracolumbal, sehingga menyebabkan hilangnya tonus simpatis. Hal ini menyebabkan hilangnya tonus vasomotor, bradikardi, hipotensi. Biasanya pasien tampak sadar namun hangat dan kering akibat hipotensi.
Patofisiologi Syok merupakan kondisi terganggunya perfusi jaringan yang disebabkan oleh beberapa factor yaitu : 1. Cardial : Cardiac Output melebihi volume darah yang dipompakan oleh jantung baik ventrikel kiri maupun ventrikel kanan dalam interval 1 menit. Perfusi jaringan dipengaruhi oleh cardiac output, sebagai contoh apabila Cardiac output menurun yang disebabkan oleh aritmia, atau AMI (Acute Myocard Infact) maka volume darah yang dipompa menuju seluruh tubuh pun akan menurun sehingga jaringan di seluruh tubuh pun mengalami hipoperfusi.
Vascular : Perubahan Resistensi Vaskular. Tonus vaskular diregulasi oleh : o Aktivitas tonus simpatis o Kotekolamin sistemik -> berperan dalam sistem saraf simpatis o Myogenic faktor -> berperan dalam menjaga aliran darah agar tetap konstan ketika terjadi berbagai macam faktor yang mempengaruhi perfusi o Substansi yang berperan sebagai vasodilator o Endothelial NO 3. Humoral : renin, vasopressin, prostaglandin, kinin, atrial natriuretic factor. Faktor - faktor yang mempengaruhi dalam mikrosirkulasi yaitu o Adanya adhesi platelet dan leukosit pada lesi intravaskuler. o Koagulasi intravaskuler o Adanya konstriksi pada pembuluh darah prekapiler dan post kapiler o Hipoksia -> vasodilatasi artriola -> venokonstriksi -> Kehilangan cairan intravaskuler o meingkatnya permeabilitas intrakapiler -> edema jaringan 2.
Patogenesis Patogenesis dari syok terjadi akibat penurunan Cardiac Output yang tidak adekuat. Penurunan cardiac output disebabkan oleh adanya anormalitas pada jantung sendiri maupun akibat menurunnya venous return. Abnormalitas yang terjadi pada jantung akan menyebabkan menurunnya kemampuan jantung untuk memompa darah secara adekuat.Beberapa abnormalitas jantung diantaranya MI, aritmia, dll. Sedangkan beberapa penyebab menurunnya venous return diantaranya, menurunya volume darah, menurunnya tonus vasomotor, terjadi obstruksi pada beberapa tempat pada sirkulasi. Tahapan Patofisiologi terdapat 4 stage perkembangan shock yang berlangsung secara progresif dan berkelanjutan, yaitu 1. inisial Selama tahap ini, terjadi keadaan hipoperfusi yang menyebabkan kurangnya/ tidak cukupnya oksigen untuk memberikan suplai terhadap kebutuhan metabolisme seluler. Keadaan hipoksia ini menyebabkan, terjadinya fermentasi asam laktat pada sel. Hal ini terjadi karena ketika tidak adanya oksigen, maka proses masuknya piruvat pada siklus kreb menjadi menurun, sehingga terjadi penimbunan piruvat. Piruvat tersebut akan diubah menjadi laktat oleh laktat dehidrogenase sehingga terjadi penimbunan laktat yang menyebabkan keadaan asidosis laktat. 2. Kompensatori Pada tahap ini tubuh menjalani mekanisme fisiologis untuk mengembalikan kepada kondisi normal, meliputi neural, humoral, dan bio kimia. Asidosis yang terjadi dalam tubuh dikompensasi dengan keadaan hiperventilasi dengan tujuan untuk mengeluarkan CO2 dari dalam tubuh, karena secara tidak langsung CO2 berperan dalam keseimbangan asam basa dengan cara mengasamkan ata menurunkan pH dalam darah. Dengan demikian ketika CO2 dikeluarkan melalui hiperventilasi dapat menaikkan pH darah didalam tubuh sehingga mengkompensasi asidosis yang terjadi. Pada syok juga terjadi hipotensi yang kemudian pada ambang batas tertentu dideteksi oleh barosreseptor yang kemudian tubuh merespon dengan menghasilkan norepinefrin dan epnefrin. Norepinefrin berperan dalam vasokonstriksi pembuluh darah namun memberikan efek yang ringan pada peningkatan denyut jantung. Sedangkan epinefrin memberikan efek secara dominan pada peningkatan denyut jantung dan memberikan efek yang ringan terhadap asokonstriksi pembuluh darah. Dengan demikian kombinasi efek keduanya dapat
berdampak terhadap peningkatan tekanan darah. Selain dilepaskan norepinefrin dan epinefrin, RAA (renin angiotensi aldosteron) juga teraktivasi dan terjadi juga pelepasan hormon vasopressor atau ADH (anti diuretic hormon) yang berperan untuk meningkatkan tekanan darah dan mempertahankan cairan didalam tubuh dengan cara menurunkan urine output. 3. Progresif Ketika shock tidak berhasil ditangani dengan baik, maka syok akan mengalami tahap progresif dan mekanisme kompensasi mulai mengalai kegagalan. Pada stadium ini, Asidosis metabolik semakin parah, otot polos pada pembuluh darah mengalami relaksasi sehingga terjadi penimbunan darah dalam pembuluh darah. Ha ini mengakibatkan peningkatan tekanan hidrostatik dikombinasikan dengan lepas nya histamin yang mengakibatkan bocornya cairan ke dalam jaringan sekitar. Hal ini mengakibatkan konsentrasi dan viscositas darah menjadi meningkat dan dapat terjadi penyumbatan dala aliran darah sehingga berakibat terjadinya kematian banyak jaringan. Jika organ pencernaan juga mengalami nekrosis, dapat menyebabkan masuknya bakteri kedalam aliran darah yang kemudian dapat memperparah komplikasi yaitu syok endotoxic. 4. Refraktori Pada stadium ini terjadi kegagalan organ untuk berfungsi dan shock menjadi ireversibel. Kematian otak dan seluler pun berlangsung. Syok menjadi irevesibel karena ATP sudah banyak didegradasi menjadi adenosin ketika terjadi kekurangan oksigen dalam sel. Adenosin yang terbentuk mudah keluar dari sel dan menyebabkan vasodilatasi kapiler. Adenosin selanjutnya di transformasi menjadi asam urat yang kemudian di eksresi ginjal. Pada tahap ini, pemberian oksigen menjadi sia- sia karena sudah tidak ada adenosin yang dapat difosforilasi menjadi ATP.