HOLDING BUMN: SELURUH SAHAM PEMERINTAH DI PGN DIALIHKAN KE PERTAMINA
Bisnis.com
Terkait rencana pembentukan holding BUMN sektor energi, pemerintah berencana mengalihkan seluruh saham negara di PT PGN (Persero) Tbk ke PT Pertamina (Persero). Berdasarkan draf Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Penambahan Penyertaan Modal Negara ke Pertamina yang diperoleh di Jakarta, negara akan menambah penyertaan modal ke Pertamina. Penambahan penyertaan modal negara ke Pertamina itu melalui pengalihan seluruh saham Seri B milik negara pada PGN yang berjumlah 13,809 miliar. Dengan skenario yang disebut holdingi energi tersebut, Pertamina akan memiliki 13,809 miliar saham PGN. Dalam RPP, disebutkan bahwa nilai penambahan penyertaan modal negara itu ditetapkan Menteri Keuangan berdasarkan usulan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Bagian lain RPP yang tinggal menunggu ditandatangani Presiden Joko Widodo menyebutkan pula bahwa penambahan penyertaan modal negara akan mengakibatkan status PGN berubah menjadi perseroan terbatas dan tidak lagi menjadi BUMN. Pada saat PP berlaku, PP Nomor 37 Tahun 1994 tentang Pengalihan Bentuk Perusahaan Umum Gas Negara menjadi Perusahaan Perseroan (Persero) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Sesuai dengan RPP, penambahan penyertaan modal negara ke Pertamina dimaksudkan untuk memperkuat permodalan Pertamina. Sebelumnya, Menteri BUMN Rini Soemarno mengatakan bahwa pembentukan perusahaan induk (holding) BUMN sektor energi akan dilakukan melalui penggabungan PGN Seksi Informasi Hukum –Ditama Binbangkum
ke dalam Pertamina. Setelah pembentukan holding itu, menurut Rini Sumarno, Pertamina diarahkan mendapatkan pendanaan melalui penerbitan obligasi. Menteri Rini Soemarno mengatakan bahwa pembentukan holding energi tersebut tidak memerlukan persetujuan DPR meski status PGN sebagai BUMN akan hilang. Pemerintah menargetkan PP holding BUMN energi tersebut terbit pada bulan Juni 2016. Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Muhammad Faiz Aziz menyebutkan, paling tidak ada tiga persoalan hukum yang mungkin mencuat terkait dengan kebijakan tersebut. Persoalan yang pertama, kata Muhammad Faiz Aziz, berkaitan dengan status hukum BUMN. Menurutnya, potensi permasalahan itu berangkat dari definisi BUMN sebagaimana diatur Pasal 1 angka 1 UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN.ii Dengan merujuk pada pasal itu, berarti yang masuk kategori sebagai BUMN hanyalah perusahaan induk saja atau holding. Frasa „penyertaan (modal) secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan‟ memberi konsekuensi terhadap anak usaha dari induk perusahaan menjadi tidak termasuk kategori BUMN. Namun demikian, jika nantinya arah kebijakan pemerintah menginginkan anak usaha dari perusahaan induk juga dianggap sebagai BUMN, maka langkah yang bisa ditempuh yakni dengan merevisi definisi BUMN dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003. Dikatakan Muhammad Faiz Aziz, revisi tersebut mestinya bisa memperjelas status hukum anak usaha BUMN terkait dengan sampai sejauh mana penyertaan modal dari negara kepada BUMN dan anak usahanya. Potensi kedua yang mungkin muncul, lanjut Muhammad Faiz Aziz, terkait dengan aspek persaingan usaha tidak sehat dalam ketentuan UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Menurutnya, potensi yang mungkin muncul berkaitan dengan oligopoli, pembagian wilayah, trust, integrasi vertikal, pemilikan saham, serta penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan.“Ini mesti dilihat secara detail, bisa jadi mereka masuk kategori merger, akuisisi, dan konsolidasi. Bisa jadi masuk ke oligopoli atau bisa jadi ke trust,” katanya. Menurut Muhammad Faiz Aziz, hanya Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) semata yang berwenang dan bisa menilai potensi holding BUMN dari segi persaingan usaha. Pasal 35 huruf e Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 menyatakan bahwa KPPU bisa Seksi Informasi Hukum –Ditama Binbangkum
memberikan saran dan pertimbangan terhadap kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan praktik persaingan usaha tidak sehat. Untuk itu, Muhammad Faiz Aziz menyarankan agar pemerintah dan KPPU saling bersinergi terkait holding BUMN ini, terlebih terkait aspek persaingan usaha. Sedangkan persoalan yang ketiga, kata Muhammad Faiz Aziz, berkaitan dengan aspek hukum pasar modal. Menurutnya, dari total 119 perusahaan BUMN yang ada, tentu ada sejumlah perusahaan yang telah menjadi perusahaan terbuka (Tbk). Untuk itu, perlu ada perlindungan terhadap investor berkaitan dengan kebijakan holding BUMN ini. Bahkan, kebijakan ini akan mempengaruhi kepemilikan saham di perusahaan terbuka.
Sumber berita: 1. Bisnis.com, Holding BUMN: Seluruh Saham Pemerintah di PGN Dialihkan Ke Pertamina, Selasa, 31 Mei 2016. 2. Hukumonline.com, Tiga Persoalan Hukum di Balik Wacana Holding BUMN, 10 Februari 2016.
Catatan: Peraturan perundang-undangan Indonesia tidak mengenal istilah holding. UndangUndang Nomor 40 Tahun 2007 hanya mengenal adanya penggabungan. Berdasarkan Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007, penggabungan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu perseroan atau lebih untuk menggabungkan diri dengan perseroan lain yang telah ada yang mengakibatkan aktiva dan pasiva dari perseroan yang menggabungkan diri beralih karena hukum kepada perseroan yang menerima penggabungan dan selanjutnya status badan hukum perseroan yang menggabungkan diri berakhir karena hukum. Penggabungan harus dilakukan dengan RUPS. Mengingat PGN merupakan BUMN yang seluruh sahamnya dimiliki oleh Pemerintah, maka yang bertindak sebagai RUPS adalah Menteri BUMN sebagaimana diatur dalam Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN dan Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2003 tentang Pelimpahan Kedudukan, Tugas dan Kewenangan Menteri Keuangan pada Perusahaan Seksi Informasi Hukum –Ditama Binbangkum
Perseroan (Persero), Perusahaan Umum (Perum) dan Perusahaan Jawatan (Perjan) Kepada Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara. Sesuai Pasal 122 ayat (2) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007, PGN sebagai pihak yang menggabungkan diri, tidak perlu dilikuidasi terlebih dahulu. Berdasarkan Pasal 123 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007, direksi dari kedua perusahaan harus menyiapkan rancangan penggabungan yang memuat sekurang-kurangnya: a.
nama dan tempat kedudukan dari setiap perseroan yang akan melakukan penggabungan;
b.
alasan serta penjelasan direksi perseroan yang akan melakukan penggabungan dan persyaratan penggabungan;
c.
tata cara penilaian dan konversi saham perseroan yang menggabungkan diri terhadap saham perseroan yang menerima penggabungan;
d.
rancangan perubahan anggaran dasar perseroan yang menerima penggabungan apabila ada;
e.
laporan keuangan yang meliputi 3 (tiga) tahun buku terakhir dari setiap perseroan yang akan melakukan penggabungan yang berisi: 1) laporan keuangan; 2) laporan mengenai kegiatan perseroan; 3) laporan pelaksanaan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan; 4) rincian masalah yang timbul selama tahun buku yang mempengaruhi kegiatan usaha perseroan; 5) laporan mengenai tugas pengawasan yang telah dilaksanakan oleh Dewan Komisaris selama tahun buku yang baru lampau; 6) nama anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris; 7) gaji dan tunjangan bagi anggota direksi dan gaji atau honorarium dan tunjangan bagi anggota dewan komisaris perseroan untuk tahun yang baru lampau
f.
rencana kelanjutan atau pengakhiran kegiatan usaha dari Perseroan yang akan melakukan penggabungan;
g.
neraca proforma Perseroan yang menerima penggabungan;
h.
cara penyelesaian status, hak dan kewajiban anggota Direksi, Dewan Komisaris, dan karyawan perseroan yang akan melakukan penggabungan diri;
Seksi Informasi Hukum –Ditama Binbangkum
i.
cara penyelesaian hak dan kewajiban perseroan yang akan menggabungkan diri terhadap pihak ketiga;
j.
cara penyelesaian hak pemegang saham yang tidak setuju terhadap penggabungan perseroan;
k.
nama anggota Direksi dan dewan komisaris serta gaji, honorarium dan tunjangan bagi anggota Direksi dan dewan komisaris perseroan yang menerima penggabungan;
l.
perkiraan jangka waktu pelaksanaan penggabungan;
m.
laporan mengenai keadaan, perkembangan, dan hasil yang dicapai dari setiap perseroan yang akan melakukan penggabungan;
n.
kegiatan utama setiap perseroan yang melakukan penggabungan dan perubahan yang terjadi selama tahun buku yang sedang berjalan; dan
o.
rincian masalah yang timbul selama tahun buku yang sedang berjalan yang mempengaruhi kegiatan perseroan yang akan melakukan penggabungan Sesuai Pasal 126 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007, perbuatan hukum
penggabungan wajib memperhatikan kepentingan: a.
perseroan, pemegang saham minoritas, karyawan perseroan;
b.
kreditor dan mitra usaha lainnya dari perseroan; dan
c.
masyarakat dan persaingan sehat dalam melakukan usaha.
i
Holding adalah perusahaan yang menjadi perusahaan utama yang membawahi beberapa perusahaan yang tergabung ke dalam satu grup perusahaan (https://id.wikipedia.org/wiki/Perusahaan_induk). ii Definisi BUMN menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan.
Seksi Informasi Hukum –Ditama Binbangkum