RESTRUKTURISASI BUMN MENJADI HOLDING COMPANY Dr. Toto Pranoto Dr. Willem A. Makaliwe (Tim Riset Lembaga Management FEUI) This research is designed as a learning material for the public, academics, as well as corporations, about the experience of restructuring state-owned enterprises. The method used in this study is based on a combination of the assessment on company performance, examination of SOEs restructuring strategic plan made by policy makers, and in-depth interviews with relevant resource persons. There are several SOE restructuring plan that inhibited or unperformed due to complexity of the bureaucratic process. Based on case studies noted that decision makers have to ensure some points, i.e. ideal restructuring model, simple bureaucratic, good planning, and great leadership, are fulfilled in order to succeed the corporate restructuring. Kunci keberhasilan restrukturisasi BUMN terletak pada bagaimana pemerintah secara tegas memilih metode yang paling sesuai dalam pencapaian hasil yang disepakati, seperti efisiensi pengendalian kebijakan, dan penguatan mata rantai aktivitas, untuk mencapai peningkatan nilai perusahaan. Merujuk praktek yang dijalankan di banyak negara, terdapat beberapa pilihan metode restrukturisasi, seperti pembentukan Holding Company, penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan (merjer dan akuisisi), penjualan saham kepada publik (IPO), penjualan kepada mitra strategis (Strategic Sale), penjualan kepada manajemen pengelola (MBO), Kontrak Manajemen, serta aliansi strategis lainnya. Implementasi dari Masterplan 2014‐2019 Kementerian BUMN Republik Indonesia, terutama sehubungan dengan restrukturisasi BUMN, acapkali terhambat oleh karena realisi perencanaan tersebut harus disertai dengan produk hukum, yakni Peraturan Pemerintah (PP). Hal ini yang kemudian menjadi salah satu kelemahan restrukturisasi BUMN. Banyaknya stakeholder terkait, membuat proses pengambilan keputusan harus melewati proses birokrasi yang panjang dan rumit. Karena itu pihak
1
pengambil kebijakan akan menyusun Masterplan BUMN 2014‐2019 yang bersifat bottom‐up. Dalam hal ini Kementerian melibatkan BUMN (terutama yang bergerak di bidang sekuritas dan investasi) untuk melakukan kajian mengenai target dan perencanaan BUMN ke depan. Ide awal dari pembentukan holding company sebagai pilihan untuk restrukturisasi BUMN adalah untuk optimalisasi manajemen. Jika beberapa BUMN di sektor yang sama di‐holding‐kan maka paling tidak akan ada share support di dalam holding tersebut, misalkan human capital, distribution, information communication and technology) dan sebagainya. Selain itu pembentukan holding BUMN akan meningkatkan fleksibilitas perusahaan, yang pada gilirannya anak perusahaan akan bergerak sebagai pure corporate. Bentuknya dapat berupa: financial (investment) holding company, strategic holding company (dengan jenis varian yang ada), atau operational holding company, yang tergantung dari perbedaan karakteristik anak perusahaan, value yang diharapkan dari holding. Pembentukan holding company ini berbeda dengan perusahaan induk yang sudah berdiri dan membentuk anak‐anak perusahaan untuk menunjang aktivitasnya. Holding BUMN Industri Pupuk dan Semen telah berjalan saat ini, dengan proses inisiasi pembentukan holding telah dimulai sejak tahun 1990‐an. Yang mana cikal bakal pembentukan Pupuk Indonesia Holding Company (PIHC), dimulai sejak Pupuk Sriwijaya menjadi induk perusahaan bagi empat BUMN sektor industri pupuk pada tahun 1997. Sedangkan, inisiasi pembentukan Semen Indonesia dimulai sejak Semen Gresik mengakuisisi Semen Padang dan Semen Tonasa pada tahun 1995. Lebih lanjut terkait dengan restrukturisasi BUMN dalam hal Holding Company, Peraturan Pemerintah (PP) tentang pembentukan induk perusahaan BUMN Perkebunan dan Kehutanan sedang dalam tahapan menunggu persetujuan Presiden. Hal tersebut dikarenakan rencana tersebut tidak tercantum dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Konsistensi merupakan salah satu isu yang harus diperhatikan guna mencapai kelancaran implementasi Masterplan BUMN. Hal ini didasari oleh karena, produk hukum yang mendasari Masterplan BUMN hanya dapat sebatas Peraturan Menteri, sehingga sangat dimungkinkan perombakan Masterplan tersebut apabila terjadi pergantian Menteri. Untuk mengantisipasi hal tersebut, diperlukan konsistensi kepemimpinan agar design pengelolaan BUMN dapat berjalan secara berkesinambungan.
2
Berdasarkan Undang‐Undang yang berlaku, restrukturisasi badan usaha terdiri dari empat opsi, di antaranya adalah pembentukan holding, penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan. Perbedaan Holding Company dengan opsi lainnya merujuk pada beberapa faktor yang harus dipertimbangkan. Konsekuensi dari restrukturisasi suatu badan usaha adalah perubahan perlakuan dalam beberapa aspek internal perusahaan. Beberapa aspek tersebut di antaranya adalah aspek teknis (operasional), aspek legal, aspek organisasi dan sumber daya manusia, dan aspek perpajakan. Dimana menurut aspek legal, keempat bentuk restrukturisasi tersebut memiliki beberapa perbedaan. Hal tersebut dapat dijelaskan melalui tabel berikut. Tabel 1. Aspek Hukum terkait Restrukturisasi
Sumber: Diolah oleh Tim Lembaga Management FEUI
3
Tabel 2. Aspek Hukum terkait Restrukturisasi (lanjutan)
Sumber: Diolah oleh Tim Lembaga Management FEUI Selain aspek hukum, restrukturisasi suatu badan usaha juga perlu memperhatikan perubahan yang akan terjadi dalam sistem kepegawaian perusahaan. Perubahan tersebut diantaranya adalah perbedaan status kepegawaian, sistem remunerasi, budaya perusahaan, dan sebagainya. Beberapa poin dalam aspek SDM dan budaya perusahaan dapat dijelaskan melalui tabel berikut.
4
Tabel 3. Aspek Sumber Daya Manusia dan Budaya Perusahaan terkait Restrukturisasi SU B ST A N S I
H O LD IN G
PE NG GA B UN G AN
PE LE B UR A N
P EN G A M B I LA LIH A N
ST A T U S KE PE GA W A IA N
St a tus p e g aw ai di pe r usa ha a n in duk bi sa be rb e da de ng a n d i a na k pe r usa ha a n
Sta t us pe g a w a i d i d ua pe ru sah aa n ya ng dig a bung k a n m e nj a di sa t u (m o no st a tus)
St a tus p e g aw ai di dua pe ru sa h aa n ya n g dile b ur m e nj a di sa tu (m on o s ta t us )
S ta tu s pe g a w a i di p e ru sa h aa n ind uk bisa b e rb e da de ng a n d i a na k p e ru sa h aa n
SI S T E M SD M (te r m a suk RE M UN E R A S I)
Si ste m S D M (te r m a suk re m u ne r asi) di pe r usa ha a n in duk bi sa be rb e da de ng a n d i a na k pe r usa ha a n
Si st e m S D M (te rm as u k re m un e ra si) di dua pe ru sah aa n ya ng dig a bung k a n m e nj a di sa t u
Si s te m S D M (te r m a suk re mu ne r as i) di dua pe ru sa h aa n ya n g dile b ur m e nj a di sa tu
S ist e m SD M (te rm a suk r e m un e ra si) di p e ru sa h aa n ind uk bisa b e rb e da de ng a n d i a na k p e ru sa h aa n
BU D A YA PE RU S A H A A N
Bu da ya pe r usa ha a n di pe r usa ha a n in duk bi sa be rb e da de ng a n d i a na k pe r usa ha a n
Bud ay a pe rus a ha a n di dua pe r usa ha a n ya ng di g ab ung ka n m e nja di sa tu
Bu da ya pe r usa ha a n di dua pe ru sa h aa n ya n g dile b ur m e nj a di sa tu
B uda y a p e rusa ha a n di p e ru sa h aa n ind uk bisa b e rb e da de ng a n d i a na k p e ru sa h aa n
Jum l ah pe g aw ai da pa t be rk ur an g ka r e na a da
Jum l a h pe g a w a i da pa t be rk ur an g
J um la h pe g aw ai bi sa s a ja d ipe r ta ha nk a n se pe r ti
ka r e na or g an isa si di ka nt or hol din g
fung si y a ng ta di ny a ad a di m asi ng‐ m a si ng pe ru sah aa n se ka r ang dij ad ik an sa tu
ka r e na a da fu ng si ya n g ta din ya a da di m a s ing ‐m a si ng pe r usa ha a n se ka r a ng di ja dik a n s a tu
s e d ia k al a
Bi a ya S D M bisa be r ta m ba h k a re na a da ta m ba h an pe r sone l di ka nt or hol din g.
Bia y a pe g aw ai te r ka i t go lde n sha ke h and tid ak s e be sa r ya ng te r ja di di pe le bur a n ka r e na a ka n dim a nfa a tk a n ol e h
Bi a ya pe g a w a i te r ka i t g old e n sha ke ha nd bis a sa ja be s a r ka r e na a ka n di m a nfaa t ka n
B ia y a pe g aw ai te r ka it g ol de n sh a ke ha nd ti da k s e b e sa r y a ng te r ja di d i p e le bur a n k a re na ad a k e m ung k in an d im a nfa a tk a n ol eh
pe g aw ai di sa tu pe ru sah aa n saj a
ol e h pe g a w a i d i dua pe ru sa h aa n
p e g aw ai di sat u p e ru sa h aa n sa j a
JUM L A H PE G A W A I Jum l a h pe g a w a i a ka n be rt am b a h
BIA YA SD M
na m un te rg a nt ung ke bi ja k an sur viv a l com p any
Sumber: Diolah oleh Tim Lembaga Management FEUI
5
Perbedaan bentuk restrukturisasi badan usaha akan berpengaruh terhadap perlakuan pajak yang dikenakan pada badan usaha tersebut. Sehingga hal tersebut perlu dipertimbangkan sebelum melakukan restrukturisasi. Perbedaan perlakuan pajak dalam empat bentuk restrukturisasi dirangkumkan pada tabel berikut. Tabel 4. Aspek Perpajakan terkait Restrukturisasi
Sumber: Diolah oleh Tim Lembaga Management FEUI
6
2. Perjalanan Restrukturisasi BUMN di Indonesia Pada tahun 1997/1998 program privatisasi di Indonesia tidak berjalan. Selain disebabkan kondisi sosial politik yang tidak mendukung, program privatisasi juga dikritik karena tidak transparan, tidak memiliki prosedur yang jelas, serta tidak dijalankan oleh lembaga yang memiliki komitmen dan kapabilitas yang memadai. Situasi sosial politik tahun 1997‐1998 yang sangat bergejolak, di mana terjadi transformasi kepemimpinan nasional secara fundamental, menyebabkan kebijakan privatisasi sulit untuk dijalankan. Kebijakan privatisasi BUMN mulai marak terutama pada era pemerintahan Presiden B.J. Habibie. Pada tahun 1999, pemerintah menerbitkan Master Plan Reformasi BUMN 1999‐2004, yang mengandung tiga kebijakan pokok pengelolaan BUMN, yaitu restrukturisasi, profitisasi dan privatisasi untuk mensinergikan 158 BUMN yang ada sehingga menciptakan nilai tambah bagi BUMN. Dalam fase ini, kebijakan privatisasi BUMN terutama didorong oleh hasil kesepakatan antara International Monetary Fund (IMF) dengan Pemerintah RI terkait dengan Kebijakan Reformasi Struktural (structural reform policy) yang tercantum dalam berbagai Letter of Intent (LOI) yang ditandatangani oleh Pemerintah RI sebagai kompensasi atas pemberian pinjaman oleh IMF berupa extended fund facility (EFF) kepada Pemerintah RI. Pada tahun 1999 program privatisasi telah dilakukan atas sejumlah BUMN seperti Semen Gresik, Telkom (lanjutan), Pelindo, Indosat, Kimia Farma, Bank Mandiri. Pada periode 1999‐2004 ini proses privatisasi mengalami banyak hambatan tidak saja dari kalangan legislator dan karyawan namun juga dari publik luas yang mencapai puncaknya pada kasus spinn‐off PT Semen Padang. Menurut referensi, penolakan ini antara lain disebabkan oleh faktor kurangnya sosialisasi, dan perbedaan metoda divestasi. Walaupun pemerintah telah memiliki tujuan kebijakan privatisasi yang dituangkan dalam Master Plan BUMN, namun dalam pelaksanaannya terlihat unsur memenuhi kebutuhan defisit anggaran APBN lebih dominan dibandingkan tujuan meningkatkan kinerja BUMN. Pada masa Tanri Abeng, Menteri BUMN 1998‐1999, penyusunan Master Plan BUMN dimaksudkan sebagai roadmap untuk penciptaan nila (value creation) BUMN, dengan melibatkan enam konsultan internasional, ternyata tidak dijalankan sebagai mestinya karena terjadi lebih banyak distorsi politik yang menjadi penghambat proses penciptaan nilai. Dimensi kepentingan politik dalam pengelolaan BUMN belum dapat secara tuntas dipisahkan dari kekuasaan yang memang bersumber dari kekuatan politik.
7
Pada era reformasi, pembentukan Kementrian Negara pendayagunaan BUMN sudah memposisikan BUMN sebagai korporasi yang seyogyanya terisolasi dari kepentingan politik serta kultur birokrasi. Karenanya untuk memperkuat reformasi BUMN, Presiden Habibie pada 2009 telah mencanangkan delapan pondasi korporasi BUMN. Selain itu master Plan BUMN 2000‐2005 telah memperoleh persetujuan DPR di Agustus 1999, sehingga sesungguhnya proses politik sudah dipenuhi. Dinamika politik 1998–2004 yang berjalan begitu cepat di mana terjadi empat kali pengantian presiden membawa implikasi terhadap pelaksanaan reformasi BUMN dan implementasi master plan 1999 – 2004. Dari Dinamika Politik tersebut bisa dibayangkan dalam waktu 10 tahun telah terjadi 7 kali penggantian Menteri BUMN dan memunculkan keraguan terhadap konsistensi pelaksanaan kebijakan kementrian BUMN. Pada era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dilakukan usaha penyesuaian masterplan BUMN dengan dikeluarkannya Master Plan Revitalisasi BUMN 2005‐2009. Inti dari masterplan ini adalah upaya untuk menciptakan BUMN Indonesia masa depan yang kompetitif, menembus batas sebagai perusahaan multinasional yang berukuran menengah, memiliki core competence dan dapat masuk dalam jajaran perusahaan terkemuka di dunia. Dalam Masterplan Revitalisasi BUMN 2005‐2009 disebutkan bahwa pemerintah akan melakukan beberapa kebijakan strategis dalam rangka upaya peningkatan kinerja, di antaranya dengan cara restrukturisasi BUMN untuk stand alone, merger/konsolidasi, holding, divestasi, serta likuidasi. Proses privatisasi sendiri akan dilaksanakan melalui mekanisme yang cukup ketat di antara pemerintah dan DPR. Proses ini mengikuti tahapan sebagai berikut: 1) proses internal di pemerintah yang terdiri dari proses penetapan BUMN yang akan di privatisasi melibatkan Komite Privatisasi yang diketuai oleh Menko Ekonomi dan beranggotakan Menteri Keuangan, Menteri Negara BUMN serta Menteri Teknis terkait; 2) proses persetujuan dan konsultasi di DPR yang dimulai dengan penetapan hasil privatisasi dalam APBN (jika ada); 3) proses pelaksanaan privatisasi sesuai dengan program tahunan privatisasi dan sesuai dengan persetujuan DPR.
8
3. Studi Kasus Holding Company: PT. Semen Indonesia, Tbk Pembentukan Semen Indonesia sebagai induk perusahaan dari beberapa BUMN sektor Industri Semen (Semen Gresik, Semen Padang, dan Semen Tonasa) telah dimulai sejak Bapak Dwi Soetjipto diangkat oleh Menteri BUMN saat itu (Bapak Sugiharto), sebagai Direktur Utama Semen Gresik tahun 2005. Pada waktu itu posisi Semen Gresik adalah sebagai Operating Holding dari dua BUMN semen lainnya yang telah diakuisisi sejak tahun 1995. Ide dasar pembentukan Holding Company adalah guna menciptakan value added, meningkatkan daya saing perusahaan, serta menyelesaikan konflik yang terjadi diantara BUMN sektor industri semen. Strategi utama yang digunakan adalah sinergi antara BUMN semen yang dilakukan secara bertahap (adanya process to readiness). Adapun untuk mencapai suatu sinergi, selain proses, juga diperlukan kepemimpinan yang mampu membangun kepercayaan, sehingga perubahan ini dapat diterima dan diimplementasikan dengan baik. Tahapan awal yang dilalui dalam proses pembuktian sinergi BUMN sektor Industri Semen adalah dengan “memaksa” orang untuk mau bersinergi (human approach). Proses pembuktian sinergi melalui human approach ini terlebih dahulu dimulai di lingkup internal Semen Gresik, yang kemudian dilanjutkan dengan proses pembentukan kepercayaan BUMN semen yang lain bahwa pembentukan holding adalah demi kepentingan bersama. Untuk mengatasi permasalahan antar‐BUMN, dibutuhkan leadership yang didukung oleh aspek legal dari pemerintah guna memberikan wewenang kepada induk perusahaan. Pada tahun 2009, Semen Gresik mulai menjajaki system approach di antaranya dengan mengkaji bentuk Holding Company, sistem operasi, serta strategi yang ideal untuk digunakan. Kajian tersebut diselesaikan pada tahun 2011, dan mulai tahun 2012 PT. Semen Indonesia, Tbk terbentuk serta mulai beroperasi sebagai strategic holding. Adapun terdapat beberapa tahapan sebelum Semen Indonesia beroperasi dengan pendekatan strategic holding. Beberapa tahapan tersebut, diantara lain: •
Tahapan Operating Holding (periode 2003‐2005): Semen Gresik menjadi induk dari Semen Padang dan Semen Tonasa, namun masih menjalankan kegiatan operasional.
•
Tahapan Functional Holding (periode 2005‐2011): Penerapan sinergi antar‐perusahaan di beberapa fungsi operasional utama (pemasaran, pengadaan, dan capital project) guna
9
meningkatkan kinerja operasional dan keuangan operating company. Namun, Semen Gresik sebagai induk perusahaan masih menjalankan fungsi opersional. •
Tahapan Strategic Holding (periode 2012‐ke depan): Semen Gresik bertransformasi menjadi Semen Indonesia, dan mengalihkan fungsi operasional kepada Semen Gresik yang baru. Hal ini merupakan upaya pembentukan strategic holding company yang berfokus dalam pencapaian sinergi pada seluruh aspek operasional.
Pembentukan strategic holding ini nyaris terhambat oleh karena permasalahan pajak yang diperkirakan mencapai Rp 4 triliun jika terjadi pengalihan aset akibat dibentuknya perusahaan baru yang berfungsi sebagai operating company. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, kemudian aset Semen Gresik tetap dimiliki oleh Semen Indonesia, sementara posisi Semen Gresik yang baru adalah sebagai operator atau pengelola aset yang dimiliki Semen Indonesia. Dengan opsi tersebut, strategic holding tetap dapat berjalan tanpa dikenakan beban pajak pengalihan aset. Beberapa strategi yang digunakan oleh Semen Indonesia guna mencapai sinergi, adalah: 1) pengaturan sistem pemasaran per area, yakni dengan menentukan ruang lingkup pemasaran produk untuk setiap operating company; 2) pengaturan sistem pemasaran terintegrasi, sebagai contoh: memasarkan produk Semen Tonasa dengan brand Semen Gresik di wilayah Kalimantan guna mencapai efisiensi biaya; 3) penerapan sistem sinergi penjualan sehingga operating company berlomba‐lomba untuk meningkatkan total sales, bukan meningkatkan penjualan perusahaan secara individu. Unit kerja yang terdapat di Semen Indonesia, antara lain adalah: Capex Strategis, Legal, Human Resource, Research and Development, Engineering, Communication. Berdasarkan unit kerja tersebut dapat diketahui bahwa Semen Indonesia tidak lagi menjalankan kegiatan operasi, melainkan hanya melakukan kegiatan pengembangan usaha dan investasi strategis perusahaan. Secara umum pasca dibentuknya Semen Indonesia sebagai strategic holding terlihat dampak positif pada kinerja keuangan serta kapasitas produksi yang meningkat cukup signifikan.
10
4. Studi Kasus Holding Company: Pupuk Indonesia Holding Company (PIHC) Pembentukan Pupuk Indonesia Holding Company (PIHC) tidak lepas dari sejarah pendirian Pupuk Sriwidjaja (Pusri). Pada tahun 1959 sektor agriculture Indonesia sangat dominan terhadap PDB, sehingga banyak pupuk yang dibutuhkan. Selanjutnya dibentuk beberapa BUMN Pupuk lainnya seperti Petrokimia Gresik, Pupuk Kujang, Pupuk Kaltim, dan sebagainya. Kemudian pada tahun 1997, pemerintah melihat bahwa terjadi persaingan antar‐BUMN Pupuk karena adanya same production, same product, and same customer. Persaingan ini menyebabkan corporate value menjadi kurang optimal. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, pemerintah mengambil langkah penting dalam pembentukan holding saat ini, yakni dengan menunjuk Pusri sebagai distributor tunggal dari seluruh produk pupuk dalam negeri. Secara bertahap produsen‐produsen pupuk mulai digabung dan Pusri berubah bentuk menjadi operating holding. Niat awal dari penggabungan ini adalah menjadikan Pusri sebagai distribution center, dengan masing‐masing produsen produksi dan kemudian didistribusikan melalui Pusri. Dengan desain tersebut diharapkan akan terjadi efisensi dengan didukung oleh sarana dan prasarana yang memadai. Pada periode tersebut, Pusri menjalankan dua peran, yakni sebagai operating holding serta distribution center, sehingga banyak yang beranggapan bahwa terjadi konflik kepentingan yang memungkinkan Pusri melakukan pengaturan pasar. Untuk menghadapi permasalahan tersebut, dibuatlah kajian untuk mengubah bentuk holding BUMN Pupuk. Dari tahun 1997 hingga tahun 2010 banyak sekali wacana serta kajian berkaitan dengan pembentukan holding company yang optimal bagi BUMN Pupuk. Di samping isu konflik kepentingan tersebut, kenaikan biaya produksi menjadi trigger agar perubahan bentuk holding cepat direalisasikan. Pada tahun 1997, biaya bahan baku pupuk (70 persen dari gas alam) masih berkisar US$ 1. Sedangkan pada tahun 2010, rata‐rata biaya bahan baku ada di level US$ 5. Kenaikan COGS sebesar lima kali lipat. Terdapat urgency pada waktu itu untuk dibuat holding baru, dengan disertai spin‐off pada aset‐aset produktif Pusri. Pada tahun 2010 dibentuklah Pusri Palembang, yang merupakan hasil spin‐off aset‐aset produktif Pusri Persero. Pada saat itu terdapat dua Pusri, yakni Pusri Palembang dan Pusri Persero. Hal tersebut diperlukan guna menghindari adanya resistensi dini terhadap adanya perubahan. Faktor non‐teknis
11
berperan penting dalam menentukan keberhasilan suatu proses restrukturisasi. Faktor non‐teknis yang dimaksud antara lain adalah adanya “legacy”, karena Pusri merupakan perusahaan pupuk pertama di Indonesia. Agar tidak menghilangkan sisi legacy dari Pusri Persero kepada Pusri Palembang, maka Pusri Palembang merupakan Pusri yang dibentuk dari tahun 1959, seperti halnya yang dilakukan oleh BRI. Langkah ini diambil guna menumbuhkan rasa kebersamaan dan kepercayaan, sehingga meminimalisir resistensi. Bentuk pengembangan dari Pusri yang tadinya hanya ada satu Pusri sekarang menjadi dua Pusri. Setelah semuanya telah settle, baru namanya menjadi Pupuk Indonesia (PIHC). Aspek non‐teknis berperan penting dalam proses tersebut. Hasil kajian dari konsultan independen yang dilakukan sebelumnya, menyatakan bahwa penggabungan ini menciptakan optimalisasi kinerja perusahaan. Optimalisasi terlihat dari aset yang meningkat dari Rp 2 triliun menjadi Rp 5 triliun tanpa ada perubahan produksi, dan hanya dengan adanya mekanisme pengaturan. Posisi bargaining power pun meningkat karena menjadi price maker. Berikutnya mulai dilakukan mekanisme efisiensi ke tingkat bawah, di antaranya dengan standardisasi biaya umum, sehingga biaya produksi menurun. Adapun fungsi‐fungsi umum yang terdapat di holding company pada waktu itu, diantaranya adalah fungsi pengambil kebijakan, distribusi, pengadaan, keuangan, investasi dan sebagainya. Salah satu kegunaan fungsi keuangan di level holding adalah meningkatkan kemudahan akses kredit bagi keseluruhan perusahaan. Sebelum dibentuk holding, setiap perusahaan operating maju sendiri‐sendiri untuk memperoleh kredit, sehingga yang dilihat adalah balance sheet dari masing‐masing operating company. Namun dengan adanya holding, diperoleh posisi yang lebih baik, karena yang di‐leverage neraca konsolidasi. Pada akhirnya risiko dan harga (suku bunga kredit) yang diperoleh akan lebih baik. Sehingga kami dapat membantu anak perusahaan yang kondisi keuangannya belum cukup perform. Pada periode tersebut bentuk holding berubah menjadi investment holding. Adapun benchmark‐nya adalah Temasek. Jika akan dilakukan suatu investasi di Australia misalnya, maka akan dibuat konsep paper, research, planning, dan sebagainya. Namun demikian, ternyata di aturan setiap perusahaan harus ada kegiatan operasionalnya. Hal ini dapat memunculkan permasalahan terutama di bidang pajak. Karena berdasarkan surat Dirjen Pajak, RKAP BUMN harus diserahkan pada Dirjen Pajak, maka RKAP dapat saja rugi terus, karena tidak ada operasional.
12
Butuh kurang lebih dua tahun untuk meyakinkan. Kemudian disetujui BPK dan meminta ada perubahan UU BUMN tentang adanya investment holding. Sekarang dalam akta disebutkan bahwa PIHC bergerak dalam bidang pengelolaan perusahaan. Memang hal ini jadi rumit terutama di sisi pajak. Sebagai contoh dari sisi penerimaan, karena penerimaan utama dari dividen, maka tidak dapat menentukan COGS jika menetapkan dividen tersebut sebagai pendapatan. Mungkin hal itu yang membedakan dengan BUMN lain. Adapun perubahan UU BUMN tentang adanya status kegiatan usaha pengelolaan perusahaan, telah didahului oleh Perusahaan Pengelola Aset (PPA), sehingga terdapat benchmark mengenai hal tersebut. Adapun berkaitan dengan spin‐off aset Pusri Persero ke Pusri Palembang, dikenakan pajak atas pengalihan aset. Hal ini cukup menyedihkan, mengingat ini hanya re‐statusasi dari satu BUMN ke BUMN lain, akan tetapi pajak tetap berlaku. Hal ini yang kemudian menjadi kendala restrukturisasi beberapa BUMN di Indonesia. Pada akhirnya, dibayar kurang lebih Rp 1 triliun. Mengenai sumberdaya manusia, dapat dikatakan bahwa aspek ini adalah bagian tersulit dibandingkan dengan aspek yang lain. Pada awalnya memang ada resistensi terhadap perubahan di sisi SDM, akan tetapi lambat laun resistensi tersebut semakin menurun intensitasnya. Namun demikian, dalam jangka pendek banyak terjadi downsize dari sisi operasional. Banyak terjadi merger dari “cicit dan cucu perusahaan”. Hal ini yang kemudian menyebabkan penyusutan wewenang pada beberapa pihak. Adapun salah satu hal yang belum berhasil dalam rangkaian restrukturisasi ini adalah dari sisi SDM, dalam hal belum berhasil membuat suatu culture bersama. Memang seperti yang diketahui mungkin banyak teori di buku yang dapat menjelaskan hal tersebut. Namun kembali lagi, apakah kita akan walk the talk? Karena terdapat banyak aspek non‐teknis yang harus dipertimbangkan. Implikasi adanya restrukturisasi pada anak perusahaan, seperti terdapat dalam akte, klausa tambahan, misal: tentang kerja sama dan investasi harus dengan persetujuan RKAP. Sehingga peran direksi anak perusahaan bersifat operasional, yakni menjalankan kebijakan dari holding company. Sesuai dengan akte, mungkin inilah satu‐satunya holding (BUMN) yang direksinya diberikan kuasa untuk menentukan direksi anak perusahaan. Berkaitan dengan chain of command, Dirut pada anak perusahaan akan melaporkan kegiatan pada Direksi dan Dirut holding, akan tetapi belum ada matriks yang eksplisit. Untuk pengawasan anak perusahaan, di bawah direktur keuangan holding. Ke depannya, akan ada direksi‐
13
direksi yang dibuat matriks. Sebagai contoh, direktur keuangan tidak perlu lagi ada di level anak perusahaan. Jadi, GM keuangan itu akan dimatrikskan ke atas. Direktur komersil tidak perlu ada lagi, karena wewenangnya juga ada di GM pemasaran. Perlahan hal tersebut mulai dipikirkan, namun belum dapat diimplementasikan dalam waktu dekat. 5. Rekomendasi Holding Company: BUMN Sektor Perkebunan Secara overall, beberapa BUMN sektor perkebunan menunjukkan pola pertumbuhan dan earning stability yang serupa, yakni berada di kuadran kedua. Rata‐rata pertumbuhan pendapatan tahunan pada sektor perkebunan mencapai 10,6 %, sedangkan hasil perhitungan rata‐rata earning stability sebesar 0,17. Hal tersebut menggambarkan kondisi keuangan BUMN sektor perkebunan yang cenderung stabil dan stagnan dibandingkan dengan beberapa sektor lainnya. Secara spesifik, kinerja beberapa BUMN pada sektor perkebunan dapat dijelaskan melalui gambar berikut. Gambar 1. Pemetaan Kinerja BUMN Sektor Perkebunan
Sumber: Diolah Tim Lembaga Management FEUI (2013)
14
Dalam gambar tersebut, ukuran bubble menunjukkan besarnya laba tahun berjalan perusahaan. Beberapa perusahaan yang cenderung besar dari sisi laba tahun berjalan diantara lain adalah PTPN III dan PTPN IV. Beberapa perusahaan yang memiliki pertumbuhan pendapatan dan earning stability di atas rata‐rata sektoral adalah PTPN I, PTPN V, PTPN VI, PTPN VII, dan PTPN XII. Hal ini menggambarkan bahwa beberapa BUMN tersebut memiliki pertumbuhan dan volatilitas pendapatan yang relatif tinggi. Kondisi secara makro menunjukkan rata‐rata pertumbuhan PDB sektor perkebunan yang mencapai 3,7 % dengan rasio Coefficient of Variation (CV) sebesar 0,07. Berdasarkan hasil pemetaan kinerja BUMN sektor perkebunan dapat terlihat kinerja keuangan BUMN pada sektor tersebut cenderung serupa. Melihat kondisi tersebut dapat diambil suatu kesimpulan rekomendasi model restrukturisasi yang ideal, yang digambarkan melalui matriks berikut. Tabel 5. Matriks Model Restrukturisasi BUMN Sektor Perkebunan
Sumber: Diolah oleh Tim Lembaga Management FEUI (2013), dari Model Kocourek‐Hyde (2001) Matriks tersebut merupakan pengembangan dari model Kocourek‐Hyde yang telah disesuaikan dengan kondisi yang dihadapi. Beberapa BUMN sektor perkebunan dimaksud adalah PTPN I sampai dengan
15
PTPN XIV, serta RNI. Dapat terlihat pada matriks di atas, bahwa Customer Base pada kasus BUMN sektor perkebunan cenderung berbeda. Hal tersebut dikarenakan adanya keragaman produk hasil perkebunan, seperti: kelapa sawit, teh, tebu, kopi, tembakau, dan sebagainya. Adapun input atau sumber daya (resources) yang digunakan antar perusahaan cenderung serupa. Sedangkan pada studi kasus ini, didapati risiko usaha yang cenderung berpengaruh antar unit, serta volatilitas pasar komoditas primer yang relatif stabil. Selain itu juga dapat diketahui bahwa Strategic Agenda antar perusahaan pada sektor ini cenderung serupa, mengingat core business yang sama. Berdasarkan hasil olahan dari berbagai referensi dapat disimpulkan bahwa model restrukturisasi yang ideal untuk BUMN sektor perkebunan adalah pembentukan Operational Holding Company. 6. Rekomendasi Holding Company: BUMN Sektor Kehutanan Beberapa BUMN sektor kehutanan menunjukkan pola pertumbuhan pendapatan dan earning stability yang cenderung beragam. Berdasarkan pemetaan keuangan perusahaan dalam sektor tersebut, didapati beberapa perusahaan memiliki rata‐rata pertumbuhan pendapatan yang bernilai negatif, sedangkan beberapa perusahaan lain mencapai rata‐rata pertumbuhan dua digit. Adapun rata‐rata pertumbuhan pendapatan BUMN sektor kehutanan mencapai 40 %, disertai dengan hasil perhitungan rata‐rata earning stability sebesar 0,42. Angka tersebut menggambarkan kondisi keuangan BUMN sektor kehutanan yang cenderung tidak stabil relatif terhadap BUMN sektor lainnya. Lebih lanjut, kinerja beberapa BUMN pada sektor kehutanan dapat dijelaskan melalui gambar berikut.
16
Gambar 2. Pemetaan Kinerja BUMN Sektor Kehutanan
Sumber: Diolah oleh Tim Lembaga Management FEUI (2013) Pada gambar di atas dapat terlihat beberapa perusahaan yang memiliki laba tahun berjalan yang cenderung besar diantaranya adalah Perhutani dan Inhutani I. Beberapa perusahaan yang memilki rata‐ rata pertumbuhan pendapatan bernilai negatif. Di sisi lain, beberapa BUMN yang relatif stabil pertumbuhannya di antaranya adalah Perhutani, Inhutani I, dan Inhutani IV. Hal tersebut didasari oleh nilai earning stability beberapa BUMN tersebut yang berada di bawah rata‐nilai rata earning stability sektoral. Adapun tingginya rata‐rata pertumbuhan pendapatan pada sisi mikro, tidak tergambar pada sisi makro. Sebagaimana terlihat pada gambar di atas bahwa rata‐rata pertumbuhan PDB sektor kehutanan sebesar 1,04 %, dengan rasio CV sebesar 0,02. Sebelumnya dari hasil pemetaan kinerja BUMN pada sektor kehutanan didapati rata‐rata pertumbuhan pendapatan dan nilai CV yang cenderung beragam. Namun demikian, dari sisi kegiatan usaha, terdapat beberapa variabel lain yang dipertimbangkan untuk menentukan model restrukturisasi BUMN. Beberapa variabel tersebut sebagaimana dijelaskan melalui matriks berikut.
17
Tabel 6. Matriks Model Restrukturisasi BUMN Sektor Kehutanan
Sumber: Diolah oleh Lembaga Management FEUI (2013), dari Model Kocourek‐Hyde (2001) Dari Gambar 2 dapat diketahui bahwa terjadi overlaps di sisi Customer Base pada studi kasus BUMN sektor kehutanan. Hal tersebut dikarenakan produk hasil kehutanan antar perusahaan yang serupa, antara lain: kayu dan produk olahan dari kayu. Input atau sumber daya (Resources) yang digunakan setiap perusahaan pada sektor tersebut juga serupa. Risiko usaha pada bisnis sektor kehutanan akan berpengaruh pada seluruh unit perusahaan. Di sisi Market Certainty, dapat dikatakan cukup stabil mengingat volatilitas pasar komoditas primer yang relatif rendah. Sedangkan dapat diketahui bahwa Strategic Agenda antar perusahaan pada sektor ini cenderung serupa, mengingat core business yang sama. Sehingga dari hasil observasi tersebut didapati rekomendasi model restrukturisasi yang ideal untuk BUMN sektor kehutanan adalah pembentukan Operational Holding Company. 7. Benchmark Khazanah Nasional Bhd Khazanah Nasional Berhad sebagai induk perusaahaan BUMN yang bersifat komersial di Malaysia didirikan sejak tahun 1994. Fungsi Khazanah adalah sebagai super holding company yang mengelola kelompok BUMN yang bersifat komersial di Malaysia. Nilai portfolio Khazanah yang dihitung
18
berdasarkan Net Worth Adjusted (NWA) telah berkembang tiga kali lipat selama 10 tahun terakhir, dimana value pada tahun 2004 sebesar RM 33,3 billion atau setara US$ 10.63 billion telah berkembang menjadi RM 103.5 billion atau setara US$ 33.04 billion pada akhir 2013. Sebagai investment holding company Khazanah saat ini beroperasi secara global ,termasuk diantaranya investasi di negara seperti Singapura, India, China, Indonesia dan beberapa negara di Eropa. Saat ini Khazanah Nasional bertindak sebagai investment holding company yang membawahi 11 sub holding lainnya meliputi industri : properti, transportasi dan logistik, utilitas, keuangan, infrastruktur dan konstruksi, media & komunikasi, kesehatan, agrikultur , basic material , teknologi dan biotek, dan bisnis lainnya (Other). Holding Khazanah ini tidak termasuk didalamnya kelompok Petronas dan kelompok Proton . Sumber keberhasilan peningkatan value Khazanah ini, berdasarkan wawancara LM dengan Abdullah Abdul Hamid ,Executive Director of Transformation Program Khazanah , diantaranya adalah : a) clear industry and regulatory structure and reporting lines ; b) professional management and board working in unision ; c) independence in key decision making; d) strong internal culture of performance and emphasis on systems and control ; e) focus on financial dicipline in addition to service delivery ; f) dicipline access to credit and orderly competition. Salah satu kunci keberhasilan tersebut adalah struktur organisasi yang jelas dalam membagi tugas antara Board dan Manajemen, dimana Board (yang dianggap sebagai perwakilan pemerintah) hanya mengatur masalah makro dan regulasi, sementara Manajemen dibawah CEO mengatur aspek mikro pengelolaan korporasi. Artinya pihak executing agency dijalankan pihak manajemen profesional . CEO Khazanah (dijabat oleh Tan Sri Dato Azman bin Hj Mohktar sejak 2004) bertanggung jawab langsung kepada Perdana Menteri Malaysia, sehingga intervensi pihak lain dapat dihindari seminimal mungkin . Pada tahun 2005 Perdana Menteri Abdulah Badawi mengambil inisiatif untuk pemberdayaan seluruh Goverment Link Companies (GLC) dengan mendirikan Putrajaya Committee on GLC High Performance (PCG) dimana Khazanah bertindak sebagai koordinator/ pusat sekretariat. PCG dipimpin Deputi Menteri Keuangan dan beranggotakan pimpinan GLC meliputi Permodalan Nasional Berhad (PMN), EPF, Lembaga Tabung Haji (LTH), Khazanah Nasional, dan LTAT. Struktur komisi tersebut melibatkan juga konsultan internasional sebagai penasehat manajemen. Tugas utama PCG adalah melakukan review dan
19
membuat kebijakan yang sifatnya mendorong GLC Malaysia untuk masuk dalam kategori high performer. Struktur selengkapnya PCG dapat dilihat pada Gambar 3. Komite tersebut bekerja cukup komprehensf dan kemudian telah merekomendasikan beberapa rencana aksi (action plan) yang segera bisa diimplementasikan. Beberapa aktivitas yang dilaksanakan diantaranya melakukan analisis GLC operating framework untuk mendapatkan kerangka pengelolaan GLC yang lebih baik, melakukan interview dengan ratusan top leader bisnis (CEO GLC dan GLIC, foreign investor) dan melakukan benchmarking secara global dan regional untuk mendapatkan pola yang paling ideal untuk menjadi global champion .Keberadaan PCG ini mampu mengkoordinasikan potensi seluruh BUMN dan lembaga keuangan lainnya milik negara dalam sinergi yang optimal. PCG ini mampu menembus kelambanan birokrasi karena di Malaysia tidak ada Kementrian khusus yang menangani BUMN .
Gambar 3 Struktur PCG dan JWT
Sumber : Joint Working Team Compilation, PCG, 2005
20
8. Penutup Riset LM‐FEUI mengenai restrukturisasi BUMN ini, khususnya pembentukan holding company, ditujukan untuk kepentingan publik, yaitu kalangan akademik sebagai kajian lebih lanjut, dan bagi korporasi, untuk pembelajaran proses restrukturisasi yang semakin baik. Penulisan didasarkan pada metode konseptual, perkembangan terkini, pengalaman PT Semen Indonesia Tbk dan Pupuk Indonesia Holding Company, serta rekomendasi model untuk BUMN industri kehutanan dan perkebunan. Tim LM‐FEUI juga mengevaluasi performa BUMN dan proses restrukturisasi pada masing‐masing industri menurut master plan yang telah disusun. Pada akhirnya, untuk menjamin keberhasilan restrukturisasi beberapa hal perlu dicermati, seperti: penentuan metode restrukturisasi, birokrasi yang sederhana, perencanaan yang terarah, dan adanya kepemimpinan yang kuat. Daftar Referensi Bornstein, Morris. 2000. “Post‐Privatization Enterprise Restructuring”, Working Paper Number 327, University of Michigan. Forrer, John, and James Kee. 2004. Privatization and organizational change: Lesson from cross_national research. Working Paper. Haque, M. Samsul. 2000. “Privatization in developing countries: Formal causes, critiqal reason and adverse impact”, in Ali Farazmand (ed), Privatization or public enterprise reform? Westpoint, Conn: Greenwood Press, 2000. Husnan, S. 1996. “Penjualan saham BUMN: Apakah terjadi distribusi kemakmuran”, dalam Siagian (Editor) Reformasi BUMN dalam perspektif krisis ekonomi mikro. Jakarta: Pusat Reformasi dan Pengembangan BUMN, hal 175‐193. Ho, Daniel, and Angus Young. 2013. “China’s Experience in Reforming Its State‐Owned Enterprises: Something New, Something Old and Something Chinese?,” International Journal of Economy, Management and Social Sciences. Kementerian BUMN Republik Indonesia. 2012. Ikhtisar Laporan Keuangan Perusahaan Negara (BUMN) untuk Periode yang Berakhir 31 Desember 2012. Kementerian BUMN Republik Indonesia. 2009. Masterplan Kementerian BUMN Tahun 2010‐2014. Khazanah Media Statement. 2014. Tenth Khazanah Annual Review (KAR 2014) Kocourek, Paul, and Paul Hyde. 2001. “The Model 2 Organization: Making Your Company Safe for Zealots”. Strategy+Business, Q1 2001, Issue 22. Pranoto, Toto. 2011. “Faktor‐Faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan Privatisasi BUMN: Studi Komparatif Indonesia‐Malaysia”. Disertasi Program Pascasarjana FISIP UI. PT. Perkebunan Nusantara III. 2014. Holding BUMN Perkebunan: Menuju World Class Holding Company. Bahan Presentasi Diskusi bersama Lembaga Management FEUI tanggal 19 Februari 2014.
21
Putrajaya Committee on GLC High Performance (PCG). 2005. Shirley, Mary M. 1999. “Bureaucrats in business: The role of privatization in state owned enterprise reform”, World Development., 27:1, pp. 115‐136. Soetjipto, Dwi. 2014. Road to Semen Indonesia. Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara. Vickers, J. and G. Yarrow. 1988. Privatization: An economic analysis. London: MIT Press.
22