Karangan Asli
Efek Terapi Bedah terhadap Reversibilitas Gangguan Penglihatan pada Penderita Tumor Intrakranial Studi Retrospektif di Departemen Bedah Saraf RSUPN Cipto Mangunkusumo Tahun 2000 – 2005 Hilman Mahyuddin, Lutfi Hendriansyah Departemen Bedah Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia RSUPN Cipto Mangunkusumo
Abstrak: Latar belakang: gangguan penglihatan akibat suatu tumor intrakranial memerlukan penanganan secara optimal dan di waktu yang tepat. Pembedahan merupakan salah satu modalitas dalam menangani kelainan intrakranial tersebut sehingga selanjutnya diharapkan dapat memperbaiki gangguan penglihatan. Berbagai faktor menentukan dalam keberhasilan terapi pembedahan untuk memperbaiki gangguan penglihatan. Tujuan: untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi progresifitas gangguan penglihatan akibat tumor intrakranial serta peranan terapi bedah terhadap dalam menghentikan proses kerusakan yang terjadi. Metode: desain penelitian adalah studi retrospektif yang dilakukan di Departemen Bedah Saraf RSUPN Ciptomangunkusumo dari bulan Oktober 2000 sampai September 2005. Populasi dan subjek penelitian adalah semua penderita tumor intrakranial dengan gangguan penglihatan yang dilakukan terapi pembedahan. Hasil: dari 32 pasien yang didapatkan proses tumor supratentorial sebagai penyebab tersering gangguan penglihatan (81,3%) dengan Adenoma Hipofisis dan Meningioma sebagai jenis yang sama-sama menempati porsi terbesar. Lebih dari separuh penderita datang mencari pengobatan setelah mengalami gangguan penglihatan antara 1 sampai 6 bulan (59,4%), sementara yang berobat dalam jangka waktu 1 bulan setelah mulai keluhan hanya 15,6%. Pasca operasi, perubahan ke arah perbaikan/tetap terjadi pada kondisi papil n.Optikus (84,4 -87,5%), pada tajam penglihatan (87,5%), pada lapang pandang (81,3 – 93,8%), serta pada refleks cahaya (90,6 – 93,8%). Kesimpulan: Jenis tumor intrakranial dan lama keluhan berhubungan dengan kondisi papil N. Optikus. Tindakan bedah sebagai cara untuk menghentikan progresifitas kerusakan saraf penglihatan pada penderita tumor intrakranial, dapat mencegah perburukan gangguan penglihatan, bahkan memulihkannya bila dilakukan pada saat yang tepat. Kata kunci: terapi operatif, gangguan penglihatan, tumor intrakranial
PENDAHULUAN Gangguan penglihatan dapat merupakan manifestasi kelainan intrakranial dan muncul dalam bentuk penurunan tajam penglihatan, penyempitan lapang pandang, maupun penurunan respons pupil terhadap rangsang cahaya. Kerusakan saraf penglihatan ini, sesuai dengan sifat alamiah jaringan saraf khususnya susunan saraf pusat adalah kerusakan ireversibel. Pada proses intrakranial yang berkembang secara lambat gangguan penglihatan sering merupakan gejala awal yang dirasakan pertama kali. Namun tidak jarang pula gejala ini tidak dikeluhkan sehingga proses penyakit terus berjalan. Penanganan pada saat yang tepat akan mencegah gangguan penglihatan yang berat bahkan dapat memperbaiki gangguan yang sudah terjadi.1 414
Dengan penelitian ini dapat diketahui faktor-faktor yang berpengaruh dalam progresifitas gangguan penglihatan akibat tumor intrakranial serta peranan terapi bedah dalam menghentikan proses kerusakan yang terjadi, sehingga hal-hal tersebut dapat dipakai untuk memulihkan fungsi penglihatan yang terganggu. PASIEN DAN METODE Populasi Pasien Populasi dalam penelitian ini mencakup semua penderita tumor intrakranial dengan gangguan penglihatan yang dirawat di Departemen Bedah Saraf dan Departemen Saraf Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo Jakarta serta menjalani pemeriksaaan neurooftalmologis di Divisi Neuro-oftalmologi,
Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 y No. 4 y Desember 2006
intrakranial. Kriteria eksklusi mencakup penderita tumor intrakranial dengan gangguan penglihatan yang tajam penglihatannya 0 (buta total) pada pemeriksaan neuro-oftalmologis awal.
Departemen Saraf antara Oktober 2000 sampai September 2005. Sampel mencakup semua penderita tumor intrakranial seperti tersebut di atas yang menjalani tindakan bedah di Departemen Bedah Saraf RSUPN CM. Sampel ditentukan dengan cara Consecutive Sampling, dimana sampel yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi dijadikan subyek
HASIL Dari 365 penderita tumor intrakranial dengan gangguan penglihatan yang menjalani pemeriksaan neuro-oftalmologi di Divisi Neurooftalmologi Departemen Saraf Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo Jakarta antara Oktober 2000 sampai September 2005, 32 orang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi untuk dijadikan subyek pada penelitian ini.
2,3
yang diteliti. Kriteria inklusi mencakup penderita tumor intrakranial dengan gangguan penglihatan yang: menjalani pemeriksaan neuro-oftalmologis sedikitnya 2 kali dalam rentang waktu penelitian, satu pemeriksaan sebelum tindakan bedah dan satu lagi sesudahnya serta menjalani terapi bedah untuk penanganan tumor Tabel 1. Diagnosis klinis Tumor Supratentorial Tumor Infratentorial Tumor Retrobulbar Total
Frekuensi 26 5 1 32
Persen (%) 81.3 15.6 3.1 100.0
Frekuensi 9 9 4 1 2 1 1 1 4 32
Persen (%) 28.1 28.1 12.5 3.1 6.3 3.1 3.1 3.1 12.5 100.0
Tabel 2. Diagnosis patologis Adenoma Hipofisis Meningioma Astrositoma Meduloblastoma Pinealoma CPA Tumor Metastasis Fibrous Dysplasia Unspecified Total
Tabel 3. Lama gangguan penglihatan Frekuensi 5 19 8 32
< 1 bulan 1 - 6 bulan > 6 bulan Total
Persen (%) 15.6 59.4 25.0 100.0
Tabel 4. Kondisi Papil N. Optikus Kondisi Awal Kanan Atrofi Edema Normal Total
Frek 6 10 16 32
Kondisi Akhir Kiri
% 18,8 31,3 50,0 100
Frek 8 9 15 32
Kanan % 25,0 28,1 46,9 100
Frek 11 4 17 32
Kiri % 34,4 12,5 53,1 100
Frek 12 4 16 32
% 37,5 12,5 50,0 100
Tabel 5. Tajam penglihatan Kondisi Awal
Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 y No. 4 y Desember 2006
Kondisi Akhir
415
Karangan Asli
Kanan
Kiri
Kanan
Kiri
Frek
%
Frek
%
Frek
%
Frek
%
< 1/60 1/60-6/60 > 6/60
4 5 23
12,5 15,6 71,9
2 6 24
6,3 18,8 75,0
5 3 24
15,6 9,4 75,0
3 6 23
9,4 18,8 71,9
Total
32
100
32
100
32
100
32
100
Tabel 6. Lapang pandang Kondisi Awal Kanan
Kondisi Akhir Kiri
Kanan
Kiri
Frek
%
Frek
%
Frek
%
Frek
%
Tdk dpt diperiksa Terganggu Normal
2
6,3
1
3,1
4
12,5
2
6,3
13 17
40,6 53,1
13 18
40,6 56,3
12 16
37,5 50,0
9 21
28,1 65,6
Total
32
100
32
100
32
100
32
100
Tabel 7. Refleks cahaya Kondisi Awal Kanan
Kondisi Akhir Kiri
Kanan
Kiri
Frek
%
Frek
%
Frek
%
Frek
%
Negatif Lambat Normal
1 2 29
3,1 6,3 90,6
1 5 26
3,1 15,6 81,3
0 3 29
0 9,4 90,6
1 2 29
3,1 6,3 90,6
Total
32
100
32
100
32
100
32
100
Tabel 8. Interval 2 pemeriksaan Frekuensi
Persen (%)
< 1 bulan 1-6 bulan > 6 bulan
10 15 7
31.3 46,9 21,9
Total
32
100.0
Gambaran klinikopatologis menunjukkan proses tumor supratentorial sebagai penyebab tersering gangguan penglihatan (81,3%) dengan Adenoma Hipofisis dan Meningioma sebagai jenis yang sama-sama menempati porsi terbesar yaitu dengan jumlah keduanya mencakup lebih dari separuh kasus (56,2%). Lebih dari separuh penderita datang mencari pengobatan setelah mengalami gangguan penglihatan antara 1 sampai 6 bulan (59,4%), sementara yang berobat dalam jangka waktu 1 bulan setelah mulai keluhan hanya 15,6%. Sebagian penderita datang pada saat kondisi awal papil N. Optikus paling tidak salah satu mata sudah dalam keadaan atrofi (18,8% - 25%). Kurang lebih separuh dalam kondisi awal papil yang normal (46,9 – 50%). Pemeriksaan ulang 416
setelah tindakan menunjukkan prosentasi yang lebih tinggi baik pada kondisi atrofi (34,4 – 37,5%) maupun normal (50 – 53,1%). Sementara edema papil menunjukkan prosentasi yang lebih rendah pada pemeriksaan pasca tindakan (12,5%) dibandingkan sebelumnya (28,1 31,3%). Tajam penglihatan awal sebagian besar masih >6/60 (71,9–75%) sama seperti pada pemeriksaan pasca tindakan. Sebaliknya tajam penglihatan <1/60 menunjukkan persentase yang lebih tinggi pada pemeriksaan pasca tindakan (9,4–15,6%) dibandingkan pemeriksaan awal (6,3–12,5%). Lapang pandang yang terganggu, pada pemeriksaan awal menunjukkan persentase yang cukup besar (40,6%), menurun jumlahnya pada
Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 y No. 4 y Desember 2006
Hilman Mahyuddin dkk.
pemeriksaan pasca tindakan. Di sisi lain baik lapang pandang yang normal maupun yang tidak dapat diperiksa karena buruknya tajam penglihatan menunjukkan persentase yang lebih besar pada pemeriksaan pasca tindakan ( masing-masing 50-65,6% dan 6,3–12,5%) dibandingkan pemeriksaan awal (53,1–56,3% dan 3,1–6,3%). Refleks cahaya yang lambat dijumpai lebih sedikit pada pemeriksaan pasca tindakan (6,3– 9,4%) dibandingkan pemeriksaan awal (6,3– 15,6%). Sementara baik refleks cahaya normal maupun negatif tidak berubah pasca tindakan (masing-masing sampai 90,6% dan 3,1%). Hampir separuh pemeriksaan neurooftalmologis ulangan pasca tindakan bedah dilakukan dalam kurun waktu 1 - 6 bulan setelah pemeriksaan awal (46,9%). Pada evaluasi tentang hubungan antara dua pemeriksaan variabel yang diteliti, saat awal dan setelah dilakukan tindakan bedah didaptakan bahwa perubahan ke arah perbaikan/tetap terjadi pada kondisi papil n.Optikus (84,4 -87,5%), pada tajam penglihatan (87,5%), pada lapang pandang (81,3 – 93,8%), serta pada refleks cahaya (90,6 – 93,8%). Hanya sebagian kecil lebihnya yang memburuk. DISKUSI Dalam penelitian ini hanya 32 orang yang memenuhi kriteria baik inklusi maupun eksklusi untuk dijadikan subyek yang diteliti. Alasan mengapa begitu sedikit jumlah penderita yang memenuhi kriteria karena penderita tidak menjalani tindakan operasi. Pada penderitapenderita yang dilakukan tindakan operasi pun, ternyata masih sedikit sekali yang mempunyai catatan pemeriksaan ulang pasca tindakan. Tidak ada keterangan mengapa hal demikian terjadi, apakah karena pemeriksaan berkala belum menjadi hal yang rutin dilakukan, atau memang penderita-penderita tersebut hilang dari pemantauan (loss to follow up). Sebagian besar pasien datang berobat setelah mengalami ganguan penglihatan dalam jangka waktu sampai 6 bulan atau lebih, sementara yang datang berobat segera setelah keluhan penglihatan timbul (jangka waktu kurang dari 1 bulan) hanya merupakan sebagian kecil di antaranya. Penyebab tersering timbulnya gangguan penglihatan pada penelitian ini adalah tumor supratentorial dengan gambaran histopatologi adenoma hipofisis dan meningioma. Hal ini sesuai dengan sifat tumor yang jinak dan
Efek Terapi Bedah terhadap Reversibilitas…
berkembang secara lambat, sehingga pada keadaan ini sering tidak ada gejala lain yang dirasakan oleh penderita sampai timbulnya keluhan penglihatan tadi. Hasil ini tidak jauh berbeda dengan apa yang didapatkan oleh penelitian sebelumnya.4 Analisa mengenai kondisi papil N. Optikus, menunjukkan bahwa persentase edema papil berkurang setelah dilakukan tindakan bedah, sementara baik papil atrofi maupun yang normal menunjukkan peningkatan bila dibandingkan dengan persentase pada pemeriksaan awal. Hal ini berarti bahwa edema merupakan kondisi yang tidak stabil serta dapat berkembang ke arah perbaikan atau perburukan. Hasil penelitian terdahulu juga menemukan hal yang sama.4,5,6 Pada penelitian ini, perubahan ke arah atrofi lebih banyak dibandingkan perubahan ke arah normal. Sehingga harus ada batas yang jelas antara edema papil dengan atrofi papil sekunder, karena ini berakibat pada perbedaan yang jelas dalam prognosis. Demikian pula dengan tajam penglihatan. Pada penelitian ini tajam penglihatan yang buruk, yang hanya bisa melihat gerakan tangan atau membedakan gelap-terang, sedikit lebih banyak pada pemeriksaan pasca tindakan. Berarti masih terjadi penurunan fungsi tajam penglihatan pada beberapa penderita walaupun sudah dilakukan tindakan. Hal ini berkaitan dengan kondisi papil N. Optikus dan sebagai bukti bahwa proses deteriorasi akan terus berjalan bila sudah sampai taraf atrofi, walaupun proses primernya sudah diatasi. Untuk penurunan tajam penglihatan, kelainan akan segera dikenali dan dirasakan mengganggu oleh penderita. Sedikit saja tajam penglihatan terganggu, penderita akan pergi berobat. Tidak demikian halnya dengan lapang pandang. Defek lapang pandang umumnya tidak menjadi keluhan penderita dan ternyata cukup banyak penderita yang tidak menyadari kelainan ini. Padahal fungsi ini memegang peranan penting sebagai indikator adanya gangguan saraf penglihatan. Trobe dan Glaser7 menemukan bahwa defek lapang pandang juga dapat dideteksi dalam gangguan fungsi penglihatan, bahkan sering timbul sebelum keluhan penurunan tajam penglihatan. Selain itu mereka bahkan bisa menunjukkan bahwa pada gangguan N. Optikus akibat penekanan, bentuknya berupa skotoma sentralis yang mencakup berkas makulopapular untuk penglihatan sentral serta hemianopia, yang berbeda dengan gangguan pada neuritis optik. Bukti ini bisa dipakai untuk
Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 y No. 4 y Desember 2006
417
Karangan Asli
menunjukkan pentingnya pemeriksaan lapang pandang sebagai salah satu alat diagnostik dini gangguan fungsi penglihatan, di samping oftalmoskopi untuk melihat kondisi papil N. Optikus. Satu variabel lagi yang sering menjadi petunjuk adanya gangguan fungsi penglihatan adalah refleks cahaya.8 Dalam analisis hubungan antar variabel terlihat hubungan yang bermakna secara statistik antara diagnosis patologis/jenis tumor intrakranial serta lamanya keluhan penglihatan berlangsung dengan kondisi papil n.Optikus. Selanjutnya kondisi papil n.Optikus juga berhubungan secara bermakna dengan fungsi penglihatan berupa tajam penglihatan dan lapang pandang, namun tidak terhadap refleks cahaya. Perburukan nilai variabel yang diteliti hanya terjadi pada sebagian kecil penderita. Artinya tindakan bedah yang dilakukan mempunyai efek minimal menghentikan progresifitas gangguan penglihatan atau malah menghasilkan perbaikan pada fungsi penglihatan. Guyer et al9dalam penelitiannya terhadap neuropati optik akibat penekanan pada Fibrous Dysplasia, juga melaporkan hasil yang sama, yaitu bahwa tindakan dekompresi paling tidak menstabilkan bahkan memulihkan gangguan penglihatan yang terjadi. KESIMPULAN Jenis tumor intrakranial dan lama keluhan berhubungan dengan kondisi papil N. Optikus. Sementara kondisi papil sendiri berhubungan dengan tajam penglihatan dan lapang pandang, namun tidak terhadap refleks cahaya. Defek lapang pandang serta kelainan papil N. Optikus sering dijumpai pertama kali pada pemeriksaan dan tidak disadari oleh penderita sebelumnya. Sehingga penting dilakukannya pemeriksaan neuro-oftalmologis yang lengkap pada penderita tumor intrakranial atau pada penderita dengan kecurigaan ke arah sana. Gambaran edema papil N. Optikus belum tentu memberikan nilai prognostik buruk terhadap gangguan fungsi penglihatan. Hal ini justru menjadi pegangan untuk dilakukannya pemantauan berkala yang ketat, sementara penyebab primer dari kondisi ini diatasi. Tingkatan edema papil harus
418
dicermati, sehingga kondisi atrofi sekunder dapat dikenali, karena sangat berhubungan dengan prognosis. Tindakan bedah sebagai cara untuk menghentikan progresifitas kerusakan saraf penglihatan pada penderita tumor intrakranial, dapat mencegah perburukan gangguan penglihatan, bahkan memulihkannya bila dilakukan pada saat yang tepat.
DAFTAR PUSTAKA 1. Weisman JS, Hepler RS, Vinters HV. Reversible visual loss caused by fibrous dysplasia. Am J Ophthalmol 1990; 110: 224229. 2. Sastroasmoro S, Ismael S. Dasar-dasar metodologi penelitian klinis. 2nd ed. Jakarta: Sagung Seto; 2002. 3. Supranto J. Statistik: teori dan aplikasi. 6th ed. Jakarta: Penerbit Erlangga; 2001 4. Petrohelos MA, Henderson JW. The ocular findings in intracranial tumor: A study of 358 cases. Am J Ophthalmol 1951; 34: 1387. 5. Orcutt JC, Page NG, Sanders MD. Factors affecting visual loss in benign intracranial hypertension. Ophthalmology 1984; 91: 1303-1312. 6. Friedman DI. Papilledema and pseudotumor cerebri. Ophthalmol Clinic North Am 2001; 14. 7. Trobe JD, Glaser JS: Quantitative perimetry in compressive optic neuropathy and optic neuritis. Arch Ophthalmol 1978; 96: 1210– 1216. 8. Savino PJ, Danesh-Meyer HV. Neuroophthalmology: color atlas & synopsis of clinical ophthalmology. New York: McGraw-Hill; 2003. 9. Guyer DR, Miller NR, Long DM, et al. Visual function following optic canal decompression via craniotomy. J Neurosurg 1985; 62: 631-638.
Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 y No. 4 y Desember 2006