122 BioWallacea Jurnal Ilmiah Ilmu Biologi September 2015 Vol. 1 No. 3, p 122-133 ISSN: 2442-2622 PERLUNYA PENUNJUKAN KAWASAN KONSERVASI BARU UNTUK MENGANTISIPASI DEGRADASI KEANEKARAGAMAN HAYATI AKIBAT PERUBAHAN RTRW DI KAWASAN WALLACEA (LESSON LEARNT INISIASI PENGUSULAN TAMAN NASIONAL MEKONGGA, SULAWESI TENGGARA) Hendra Gunawan1, Sugiarti2 Peneliti Utama Konservasi Sumberdaya Hutan, Puslitbang Konservasi dan Rehabilitasi (Leader AP4-ICBG Indonesia) Humas Madya pada Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya (Anggota AP4-ICBG Indonesia Email :
[email protected]
Otonomi daerah membawa perubahan yang sangat mendasar pada pengelolaan sumberdaya hutan. Otonomi daerah menjadi alasan pemekaran wilayah yang berimplikasi pada perubahan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Sejak Undang-Undang No. 26 tahun 2007 tentang Tata Ruang diberlakukan, ada 22 pemerintah provinsi yang mengusulkan perubahan RTRW termasuk perubahan fungsi dan peruntukan kawasan hutan. Dari 10 provinsi di wilayah Wallacea (Sulut, Gorontalo, Sulteng, Sulsel, Sulbar, Sultra, Maluku, Maluku Utara, NTB dan NTT), hanya NTB dan Sulsel yang tidak mengusulkan perubahan RTRW. Sementara NTT masih dalam proses penilaian Tim Terpadu. Pasca revisi RTRW, luas hutan di wilayah Wallacea berkurang 1.376.227 Ha (6,24%), dari 22.066.089 Ha menjadi 20.689.862 Ha. Meskipun demikian, luas kawasan konservasi justru bertambah 220.769 Ha (5,42%) yaitu dari 4.070.030 Ha menjadi 4.290.799 Ha. Walaupun dari luasannya bertambah namun proses perubahan peruntukan kawasan konservasi yang terjadi menyebabkan dampak penting pada habitat, akibat proses-proses perubahan lanskap seperti perforaasi, pemotongan, fragmentasi, penyusutan dan erosi habitat yang berdampak pada penurunan dan kepunahan keanekaragaman hayati dalam jangka panjang. Untuk itu perlu dipikirkan skema pencegahan kepunahan melalui pembentukan kawasan konservasi baru sebagai pengganti yang rusak dan hilang. Ada tiga kawasan konservasi baru yang diusulkan di Sulawesi yaitu TN Nantu Boliyohutu, TN. Ganda Dewata dan TN. Mekongga. Kata Kunci : Otonomi, Wallacea, RTRW, Konservasi, Mekongga, Nantu, Ganda Dewata PENDAHULUAN Era reformasi yang bergulirkan sejak tahun 1999 telah membawa banyak perubahan, baik pada kehidupan berbangsa, bernegara, berpolitik maupun kehidupan sosial-ekonmi dan budaya masyarakat. Dalam kehidupan berpolitik dan bernegara, telah lahir beberapa Undang-undang yang berpengaruh sangat signifikan, yaitu antara lain Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 atau yang lebih dikenal dengan undang-undang otonomi daerah. Undang-undang ini kemudian menjadi dasar atau alasan pemekaran wilayah di beberapa provinsi dan kabupaten. Jika sebelum era reformasi, ada 27 provinsi di Indonesia, maka hingga saat ini Indonesia telah memiliki 33 provinsi dan tambahan satu provinsi baru lagi yaitu Kalimantan Utara sehingga menjadi 34 provinsi. Pembentukan provinsi dan kabupaten baru membawa konsekuensi pada perubahan struktur dan pola pemanfaatan ruang wilayah untuk berbagai kepentingan pembangunan. Oleh karena itu sejak Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Tata Ruang dikeluarkan, ada 22 provinsi yang mengajukan perubahan atau Revisi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang melibatkan perubahan fungsi dan kawasan hutan. Sementara 11 provinsi lainnya tidak mengusulkan perubahan fungsi dan peruntukan kawasan hutan dalam Revisi RTRWP nya
(www.penataanruang.pu.go.id). Perubahan tata ruang yang melibatkan perubahan fungsi dan peruntukan kawasan hutan, tentu saja berdampak pada keanekaragaman hayati yang terkandung di dalam kawasan hutan. Hal ini karena ada pengurangan luasan kawasan hutan, fragmentasi hutan maupun degradasi akibat eksploitasi. Ke 22 provinsi yang mengusulkan perubahan fungsi dan peruntukan kawasan hutan (konversi) adalah: Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Sumatera Utara, Riau, Kepulauan Riau, Jambi, Bangka Belitung, Sulawesi Tenggara, Gorontalo, Nangroe Aceh Darussalam, Bengkulu, Sumatera Barat, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, Maluku, Papua, Sumatera Selatan, Maluku Utara dan Papua Barat. Pulau Sulawesi dan Kepulauan Maluku merupakan wilayah biogeografi Wallacea yang mengalami perubahan fungsi dan peruntukan kawasan hutan, sehingga potensial mengalami degradasi dan ancaman terhadap keanekaragaman hayati. Gunawan (2014) mengidentifikasi kegiatankegiatan pembangunan pada kawasan hutan yang potensial berdampak pada keanekaragaman hayati antara lain adalah pembangunan-pembangunan jalan, perkantoran, pelabuhan, lapangan terbang, perkebunan besar, pertanian rakyat, pertambangan, bendungan, kawasan industri (kawasan pengembangan ekonomi terpadu), pemukiman-perkotaan, jaringan irigasi, jaringan listrik dan transmigrasi.
123 Untuk mengantisipasi ancaman degradasi keanekaragaman hayati di wilayah Wallacea maka perlu dilakukan beberapa upaya, diantaranya adalah dengan menetapkan kawasan-kawasan hutan yang masih utuh dan memiliki nilai konservasi tinggi sebagai kawasan konservasi baru. Penetapan ini harus didasari pertimbangan ilmiah hasil riset dan didukung oleh kebijakan pemerintah daerah serta dapat diterima oleh masyarakat setempat. Dalam rangka mengidentifikasi kawasankawasan hutan yang potensial menjadi kawasan konservasi baru, maka diperlukan kegiatan-kegiatan riset yang sifatnya eksploraif. Dalam hal ini, peranan lembaga-lembaga penelitian dan perguruan tinggi sangat penting sebagai pelopor dalam menginisiasi penetapan kawasan konservasi baru. Paper ini bertujuan untuk berbagi informasi tentang kondisi kawasan hutan pasca reformasi di wilayah Wallacea, khususnya sub kawasan Sulawesi dan Kepulauan Maluku serta berbagi pengalaman dalam menginisiasi kawasan konservasi baru di Sulawesi melalui kegiatan riset eksploratif. II. KONDISI KAWASAN HUTAN WALLACEA PASCA OTONOMI DAERAH Secara biogeografi, wilayah Indonesia sebagian besar masuk dalam wilayah biogeografi oriental. Wilayah oriental ini dibagi dalam empat sub wilayah (sub region) (Lavieren, 1982) yaitu: (1) India meliputi India kecuali Assam, Srilanka dan Burma bagian barat. (2) Indochina meliputi Assam di India, Cina sub tropik, Taiwan dan kontinen Asia Tenggara ke selatan sampai tanah genting Kra di Semenanjung Malaysia. (3) Sunda meliputi Semenanjung Malaysia selatan tanah genting Kra, Malaysia bagian timur (Sabah dan Serawak) dan bagian barat Indonesia seperti Kepulauan Sunda besar Sumatera, Jawa, Kalimantan dengan pulau-pulau kecil sekitarnya dan Bali. (4) Wallacea meliputi Philipina, Sulawesi dan pulau-pulau kecil di sekitarnya, Maluku dan Kepulauan Sunda Kecil di sebelah timur Bali. Wilayah Wallacea merupakan daerah pertemuan antara pengaruh wilayah zoogeografi Oriental (Asia) dan Australasia (Australia). Wilayah Wallacea meliputi Pulau Sulawesi dan pulau-pulau di sekitarnya, Kepulauan Maluku dan Kepulauan Sunda Kecil (Nusa Tenggara) dan Philipina (MacKinnon, 1992; Coates et al., 1997). Bila wilayah Oriental dicirikan oleh satwa kera, monyet, kukang, babi, kucing, musang dan gajah, wilayah Australasia dicirikan oleh satwa mamalia berkantung (marsupial), burung megapoda dan kakatua, maka wilayah Wallacea merupakan campuran kedua wilayah tersebut (MacKinnon, 1992). Dari segi zoogeografi, pulau-pulau di wilayah Wallacea memiliki satwa-satwa endemik. Sulawesi memiliki Rangkong Sulawesi (Aceros cassidix), Tarsius (Tarsius spectrum), Macaca nigra, Kelelawar Wallace, Maleo (Macrocephalon maleo) dan Anoa (Bubalus depressicornis, B. quarlesi). Nusa Tenggara memiliki
Komodo (Varanus comodoensis), Kelelawar Lombok pemakan buah, Ular piton Timor dan orange footed schrub fowl. Maluku memiliki chattering lory, salmon crested cockatoo, pala, raja udang biru dan putih, Goliath bidrwing of Seram, Sail-fin lizard. (The State Ministry of Environment Republic of Indonesia dan KONPHALINDO, 1995). A. Luas Kawasan Hutan Wallacea 1. Kepulauan Sunda Kecil Provinsi Nusa Tenggara Barat dengan luas wilayah 2.015.054,20 Ha, berdasarkan SK. Menhut Nomor 598/Menhut-II/2009 memiliki kawasan hutan (daratan) seluas 1.035.838,00 Ha (51,40% dari luas wilayah) dan memiliki kawasan konservasi daratan 168.044,00 (16.22% dari luas hutan). Sedangkan Provinsi Nusa Tenggara Timur dengan luas wilayah 4.768.584,20 Ha berdasarkan SK. Menhut Nomor 3911/Menhut-VII/KUH/2014 memiliki kawasan hutan daratan 1.528.269,00 Ha (32,05% dari luas wilayah) dan kawasan konservasi darat seluas 260.219,00 Ha (17,03% dari luas hutan). Disamping kawasan konservasi daratan, NTB juga memiliki kawasan konservasi perairan seluas 11.121,00 Ha, sehingga total kawasan konservasi di provinsi ini adalah 179.165,00 Ha. Sedangkan NTT memiliki kawasan konservasi perairan seluas 256.482,00 Ha sehingga total kawasan konservasi di provinsi ini adalah 516.701,00 Ha. 2. Sulawesi Pasca otonomi daerah Pulau Sulawesi berkembang menjadi enam provinsi dari sebelumnya empat provinsi. Enam provinsi tersebut adalah Sulawesi Utara, Gorontalo(pemekaran dari Sulawesi Utara), Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat (pemekaran dari Sulawesi Selatan) dan Sulawesi Tenggara. Pemekaran wilayah provinsi tersebut berimplikasi pada perubahan luas kawasan hutan melalui Revisi RTRW Provinsi. Provinsi Gorontalo memiliki luas wilayah1.221.544,00 Ha dengan luas kawasan hutan 1.187.552,4 Ha (97.22% dari wilayah) dan kawasan konservasi seluas 193,908.70 ha (16.33% dari luas hutan). Provinsi Sulawesi Utara memiliki luas wilayah 1527310 Ha dengan luas kawasan hutan daratan 701904 Ha (45.96 % dari luas wilayah) dan Kawasan Konservasi daratan 245516 Ha (34,98 % dari luas hutan). Provinsi Sulawesi Utara juga memiliki kawasan konservasi laut seluas 69.900 Ha. Provinsi Sulawesi Selatan memiliki luas wilayah 4.671.748,00 Ha dengan luas kawasan hutan daratan 2.118.992,00 Ha (45,36 % dari luas wilayah) dan kawasan konservasi daratan 244.463.00 (11,54% dari luas hutan). Provinsi ini juga memiliki kawasan konservasi laut seluas 606.804,00 Ha. Provinsi Sulawesi Barat yang merupakan pemekaran dari Sulawesi Selatan memiliki luas wilayah 1.678.718,00 Ha dengan kawasan hutan seluas 1.185.688,00 Ha (70,63 % dari luas wilayah) dan Kawasan Konservasi seluas 1.283,00 Ha (0,11 % dari luas hutan).
124 Provinsi Sulawesi Tengah memiliki luas wilayah 6.184.129 Ha dengan kawasan hutan daratan seluas 4.185.126 Ha (67,68 % dari luas wilayah) dan kawasan konservasi daratan seluas 672.161Ha (16,06 % dari luas hutan). Provinsi ini juga memiliki kawasan konservasi laut seluas 338.819 Ha, sehingga total kawasan konservasi di provinsi ini adalah 1.010.980 Ha (22,35% dari luas hutan). Provinsi Sulawesi Tenggara memiliki wilayah 3.653.360 Ha dengan kawasan hutan seluas 2.492.455 Ha (68,22% dari luas wilayah) dan kawasan konservasi seluas 292.847 Ha (11,79% dari luas hutan). 3. Kepulauan Maluku Kepulauan Maluku, sebelumnya tergabung dalam satu provinsi yaitu Provinsi Maluku, namun setelah otonomi daerah dimekarkan menjadi dua provinsi yaitu Provinsi Maluku dan Provinsi Maluku Utara. Provinsi Maluku merupakan Kepulauan yang terdiri atas 1.340 pulau besar dan kecil dengan luas wilayah provinsi 712.479,69 km² yang terdiri dari lautan 658.294,69 km² (92,4 %) dan daratan sekitar 54.185 km² (7,6%). Provinsi Maluku memiliki kawasan hutan seluas 4.282.294,00 Ha (79,03% dari daratan) dan kawasan konservasi 424.538,00 Ha (9,91%). Provinsi Maluku Utara luas wilayah 145.801,10 km2 merupakan provinsi kepulauan dengan 395 pulau besar dan kecil, sebanyak 64 pulau diantaranya dihuni manusia dan 331 pulau tidak berpenghuni. Provinsi ini memiliki kawasan hutan seluas 2.781.285,00 (19,08%) dan kawasan konservasi 218.557,00 Ha (7,86 Ha). B. Perubahan Fungsi dan Peruntukan Kawasan Hutan Sejak UU No. 26 Tahun 2007 tentang Tata Ruang ditetapkan, ada 22 provinsi yang mengajukan perubahan fungsi dan kawasan hutan dalam Revisi RTRW dalam rangka mengakomodir pemekaran wilayah1. Provinsi-provinsi yang mengusulkan perubahan fungsi dan peruntukan kawasan hutan adalah: Tahun 2007 (1 provinsi): Kalimantan Tengah Tahun 2008 (3 provinsi ): Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur. Tahun 2009 (7 provinsi): Sumatera Utara, Riau, Kepulauan Riau, Jambi, Bangka Belitung, Sulawesi Tenggara (Sultra), Gorontalo Tahun 2010 (8 provinsi): Aceh, Bengkulu, Sumatera Barat, Sulawesi Utara (Sulut), Sulawesi Tengah (Sulteng), Sulawesi Barat (Sulbar), Maluku, Papua. Tahun 2011 (3 provinsi): Sumatera Selatan, Maluku Utara (Malut), Papua Barat Dari 22 provinsi yang mengajukan usulan perubahan fungsi dan peruntukan kawasan hutan provinsi-provinsi di wilayah Wallacea termasuk yang ikut mengusulkan yaitu Sulut, Gorontalo, Sulteng, Sulbar, Sultra, Maluku dan Malut. Sementara Provinsi 1
Penataanruang.pu.go.id/bulletin/view/_printart.asp?idart=354
Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Sulsesl tidak mengusulkan perubahan, sedangkan Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) sedang dalam proses pengkajian oleh Tim Terpadu untuk perubahan fungsi dan peruntukan kawasan hutan dalam rangka revisi RTRW provinsi. Perubahan fungsi kawasan hutan umumnya untuk mengakomodir pembangunan jaringan jalan, jaringan irigasi, jaringan listrik, bendungan, pelabuhan, pertambangan, dan lapangan terbang. Sementara perubahan peruntukan kawasan hutan (konversi hutan) umumnya karena kawasan hutan tersebut telah berubah menjadi kebun rakyat, pemukiman-perkotaan, perkantoran dan transmigrasi atau dialokasikan untuk pengembangan kawasan pengembangan ekonomi terpadu. Secara umum, pasca era reformasi yang diikuti dengan otonomi daerah dan pemekaran wilayah telah berdampak pada pengurangan luas kawasan hutan. Untuk 10 provinsi di wilayah Wallacea yang sebelumnya memiliki kawasan hutan seluas 22.066.089,00 ha berkurang 1.376.227,00 Ha (6,24%) sehingga menjadi 20.689.862,00 Ha. Rekapitulasi pengurangan luas kawasan hutan di wilayah Wallacea pasca otonomi daerah disajikan pada Tabel 1. C.
Perubahan Pada Kawasan Konservasi Sebagian perubahan fungsi dan peruntukan kawasan hutan menimpa kawasan konservasi (Kawasan Suaka Alam/KSA dan Kawasan Pelestarian Alam/KPA). Mesikpun demikian, luas total kawasan konservasi di setiap provinsi relatif tidak berkurang signifikan bahkan ada yang bertambah. Sebagai contoh, pada usulan revisi RTRW Provinsi Gorontalo (tidak termasuk Kabupaten Pohuwatu) luas KPA/KSA yang semula 141.165 Ha malah bertambah menjadi 156.639 Ha karena adanya usulan penambahan luas Taman Nasional Bogani Nani Wartabone (TNBNB) dan penambahan usulan kawasan konservasi baru yaitu Taman Nasional Nantu-Boliyohutu. Meskipun demikian sekitar 14.000 ha kawasan TNBNW berubah fungsinya menjadi HPT untuk lokasi pertambangan emas, dan saat ini kondisinya telah dirambah oleh penambang emas tanpa ijin (PETI). Provinsi Sulawesi Utara paling sedikit mengalami perubahan, dari luas awal kawasan hutan 771.804 Ha setelah revisi RTRW menjadi 766.812 atau berkurang 0,33 %. Sementara kawasan konservasi (KSA/KPA) yang berubah peruntukannya (konversi menjadi areal penggunaan lain) seluas ± 182 Ha, namun di sisi lain ada penambahan luas kawasan konservasi yaitu dari Hutan Lindung (HL) berubah fungsi menjadi KSA/KPA seluas ± 296 ha, sehingga secara umum terjadi penambahan luas kawasan konservasi. Dari 182 Ha yang berubah menjadi Areal Penggunaan Lain (APL) adalah Taman Nasional (TN) Bunaken 164 Ha lahan daratan untuk pemukiman, Cagar Alam (CA) Gunung Dua Saudara 2 Ha untuk pemukiman dan CA Gunung Ambang 16 Ha untuk pemukiman adat suku terasing binaan Dinas Sosial.
125 Tabel 1.
Rekapitulasi pengurangan luas kawasan hutan di wilayah Wallacea pasca otonomi daerah. Luas Kawasan Hutan (Ha)
Provinsi
Sebelum Revisi
Setelah Revisi
Perubahan (Ha)
Keterangan
Sulawesi Utara
771,804.00
766,812.00
4,992.00
Berkurang
Gorontalo*
475,186.00
455,369.00
19,817.00
Berkurang
Sulawesi Tengah
4,523,945.00
4,381,582.00
142,363.00
Berkurang
Sulawesi Selatan
2,725,796.00
2,725,796.00
0.00
Sulawesi Barat
1,180,614.00
1,101,755.00
78,859.00
Berkurang
Sulawesi Tenggara
2,492,455.00
2,326,419.00
166,036.00
Berkurang
Maluku
4,282,293.00
3,611,750.00
670,543.00
Berkurang
Maluku Utara
2,782,286.00
2,488,669.00
293,617.00
Berkurang
Nusa Tenggara Barat
1,046,959.00
1,046,959.00
0.00
Tetap
Nusa Tenggara Timur
1,784,751.00
1,784,751.00
0.00
Tetap
Tetap
Jumlah 22,066,089.00 20,689,862.00 1,376,227.00 Sumber : Laporan Tim Terpadu Revisi Tata Ruang Wilayah Provinsi. *Tidak termasuk Kab. Pohuwatu. Provinsi Sulawesi Tengah sebelum revisi RTRW memiliki luas kawasan hutan 4.523.945 Ha atau 69,04 % luas wilayah, setelah revisi menjadi 4.381.582 Ha atau 66,87 % dari total luas wilayah Provinsi Sulawesi Tengah atau hanya berkurang 2,17% (142.363 Ha). Secara umum kawasan konservasi terjadi pengurangan dari 672.161 Ha menjadi 665.393 Ha atau turun 6.869 Ha (1,02 %). Penyebab penurunan luas kawasan konsevasi yang terbesar adalah perubahan peruntukan (konversi) TN Lore Lindu seluas 4.654,00 Ha dan Suaka Margasatwa (SM) Tanjung Bakiriang seluas 1.818 Ha karena sudah menjadi pemukiman dan kebun rakyat. Provinsi Sulawesi Tenggara mengalami penurunan luasan kawasan hutan sekitar 166.036 Ha, dari 2.492.455 Ha (68,22% dari wilayah provinsi) menjadi 2.326.419 Ha (63,68%). Kawasan Konservasi semula luasnya 293.847 Ha (11,79% dari luas hutan) berubah menjadi 282.924 Ha (11,35% dari luas hutan) atau berkurang sekitar 10.923 Ha (3, 72%) karena berubah menjadi HPK seluas 8.061Ha dan menjadi areal penggunaan lain 2.862 Ha. Dari luasan tersebut 2.828 Ha adalah kawasan TN Rawa Aopa (di Desa Basaala) yang telah berubah menjadi pemukiman dan lahan budidaya pertanian serta ±34 ha kawasan SM Tanjung Peropa (Desa Laonti) yang diperuntukan pembangunan jalan. Kawasan konservasi juga berkurang karena perubahan fungsi kawasan, yaitu Taman Buru (TB) Matausu seluas 8.601 Ha berubah menjadi Hutan Produksi Konversi (HPK), sehingga Sulawesi Tenggara kini tidak lagi memiliki taman buru lagi, karena TB Matausu merupakan taman buru satu-satunya di provinsi ini. Perubahan fungsi tersebut untuk mengakomodir kepentingan eksploitasi tambang emas yang dipandang lebih menguntungkan. Provinsi Sulawesi Selatan adalah satu-satunya provinsi di Sulawesi yang tidak mengusulkan perubahan fungsi dan peruntukan kawasan hutan, sehingga komposisi dan luas kawasan hutannya tidak berubah. Provinsi Maluku Utara mengalami penurunan luas kawasan hutan dari 2.782.286 ha atau (88,29% dari
luas daratan provinsi) menjadi 2.488.669 ha (78,97% dari luas daratan provinsi). Meskipun demikian luas kawasan konservasi tidak mengalami perubahan. Provinsi Maluku mengalami penurunan luas kawasan hutan dari 4.282.293 ha (92,51% dari luas daratan provinsi) menjadi 3.611.750 ha (78,02% dari luas daratan provinsi) atau mengalami penurunan luas sekitar 14,49%. Luas kawasan konservasi mengalami perubahan, baik pengurangan maupun penambahan. Kawasan konservasi seluas 424.538 Ha, berkurang 6.578 Ha karena berubah fungsi menjadi Hutan Produksi Terbatas (HPT) 6.576 Ha dan menjadi APL 2 Ha. Meskipun demikian ada penambahan luasan kawasan konservasi seluas 21.198 Ha karena adanya perubahan fungsi dari HPT 9.637 Ha, dari Hutan Produksi (HP) 5.824 Ha, dari Hutan Produksi Konversi (HPK) 5.736 Ha. Dengan demikian secara umum terjadi penambahan kawasan konservasi seluas 14.619 Ha (3.44 %) dari 424.538 Ha (9,91% dari luas kawasan hutan) menjadi 439.157 Ha (10,26% dari kawasan hutan). Provinsi Sulawesi Barat 1.180.614 (69,71% luas wilayah) menjadi 1.101.755 (65,05%) atau mengalami penurunan 330.460 Ha (27,99%). Semula Sulawesi Barat memiliki kawasan konservasi seluas 825 Ha, namun kawasan ini semua dibuah menjadi areal penggunaan lain seluruhnya. Meskipun demikian, Provinsi Sulawesi Barat mengusulkan penambahan kawasan konservasi baru seluas 214.184 Ha yaitu dari HL Ganda Dewata menjadi taman nasional seluas 213.240 Ha dan HL Indorannuang seluas 944 Ha diusulkan menjadi taman wisata alam. Dengan demikian secara umum, di provinsi ini kawasan konservasi luasnya bertambah dari 825 Ha menjadi 214.184 Ha. Rekapitulasi perubahan luas kawasan konservasi di wilayah Wallacea disajikan pada Tabel 2. Secara luasan tampak bahwa ke depan, luasan kawasan konservasi di wilayah Wallacea akan bertambah secara signifikan. Meskipun demikian, itu merupakan pengganti kawasan konservasi sebelumnya yang telah
126 dikonversi atau berubah fungsinya. Dalam hal ini penggantian luasan belum tentu mampu mengganti
keanekaragaman hayati yang telah hilang.
Tabel 2. Rekapitulasi perubahan luas kawasan konservasi di wilayah Wallacea. Provinsi Luas Kawasan Konservasi (Ha) Perubahan Keterangan Luas (Ha) Sebelum Revisi Setelah Revisi RTRW RTRW Sulawesi Utara 771,804.00 766,812.00 4,992.00 Berkurang Gorontalo* 141,165.00 156,639.00 15,474.00 Bertambah Sulawesi Tengah 672,161.00 665,393.00 6,768.00 Berkurang Sulawesi Selatan 851,267.00 851,267.00 0.00 Tetap Sulawesi Barat 825.00 214,184.00 213,359.00 Bertambah Sulawesi Tenggara 293,847.00 282,924.00 10,923.00 Berkurang Maluku 424,538.00 439,157.00 14,619.00 Bertambah Maluku Utara 218,557.00 218,557.00 0.00 Tetap Nusa Tenggara Barat 179,165.00 179,165.00 0.00 Tetap Nusa Tenggara Timur 516,701.00 516,701.00 0.00 Tetap Jumlah 4,070,030.00 4,290,799.00 220,769.00 Bertambah Sumber : Laporan Tim Terpadu Revisi Tata Ruang Wilayah Provinsi. *Tidak termasuk Kabupaten Pohuwatu. D.
Prakiraan Dampak Pada Keanekaragaman Hayati Walaupun secara jumlah luasan, kawasan konservasi di wilayah Wallacea jumlahnya akan bertambah, namun apabila dilihat dari proses perubahan fungsi dan peruntukan pada setiap tapak kawasan konservasi dapat dilihat dan diperkirakan dampak yang terjadi di masa mendatang. Untuk mengetahui dampak yang akan terjadi, maka perlu dilihat tapak per tapak bentuk perubahan (pengurangan) dan penyebabnya (Tabel 3). Secara umum, penyebab perubahan atau pengurangan luas kawasan konservasi adalah pemukiman, lahan garapan masyarakat dan pertambangan. Menurut Forman (1995), perubahan lanskap terjadi melalui lima proses spasial dengan berbagai
derajat overlap sepanjang periode perubahan lahan, yaitu: 1. Perforasi (perforation) merupakan proses membuat lubang di dalam habitat. 2. Pemotongan (dissection) adalah pemotongan atau pembagian area menjadi habitat berbeda dengan lebar yang relatif sama. 3. Fragmentasi (fragmentation) adalah pemecahan habitat menjadi potongan-potongan yang lebih kecil. 4. Penyusutan (shrinkage) terjadi seiring potongan habitat berlanjut dengan penurunan luas. 5. Erosi habitat (attrition) adalah proses dimana fragment habitat yang tersisa berangsur hilang, karena degradasi habitat atau suksesi.
Tabel 3. Bentuk dan alasan pengurangan luas kawasan konservasi di wilayah Wallacea. No. Kawasan Provinsi Luas Asal Berkurang Bentuk Konservasi (Ha) (Ha) Pengurangan* 1 TN. Bogani Nani Gorontalo 287,115.00 14,000.00 Perforasi Warta Bone 2 CA. Gunung Sulut 8,638.00 16.00 Perforasi Ambang 3 SM. Tanjung Sulut 12,500.00 1,818.00 Perforasi, Penyusutan bakiriang 4 TN. Bunaken Sulut 89065 164.00 Perforasi Manado Tua 5 CA. Gunung Dua Sulut 4,299.00 2.00 Penyusutan Saudara 6 SM Pati-Pati Sulteng 3,103.79 6.00 Penyusutan 7 SM Lombuyan Sulteng 3,069.00 27.00 Penyusutan 8 Tahura Paboya Sulteng 8,100.00 1,305.00 Penyusutan, Fragmentasi 9 CA. Morowali Sulteng 209,400.00 440.00 Penyusutan 10
CA. Pangi Binangga
Sulteng
6,000.00
9.00
11
TN Lore Lindu (8 lokasi)
Sulteng
217,991.18
4,654.00
Penyusutan Penyusutan, Perforasi, Fragmentasi, Pemotongan
Penyebab/Alasan Penambangan emas Pemukiman dan lahan garapan Pemukiman dan lahan garapan Pemukiman dan lahan garapan Pemukiman Pemukiman Pemukiman Pertambangan Pemukiman dan lahan garapan Pemukiman dan lahan garapan Pemukiman, lahan garapan, jalan
127 No.
Sulteng
Luas Asal (Ha) 25,967.30
Berkurang (Ha) 99.00
Sulteng
4,246.00
539.00
14
TN. Togian (CA. Tj. Api) CA. Gunung Dako
Sulteng
19,590.20
37.00
Penyusutan
15
SM Tanjung Matop
Sulteng
1,612.50
58.00
Penyusutan
16
SM Lampoko
Sulbar
2,000.00
102.00
17
SM Mampie
Sulbar
1,000.00
723.00
18
SA Sahuwai-CA Tanjung Sial CA Tafermar (Pulau Molu) TN Rawa Aopa Watumohai
Maluku
19,934.16
6,576.00
Maluku
3.039,30
2.00
SM Tanjung Peropa
Sultra
12 13
19 20
21
Kawasan Konservasi CA. Pamona
Provinsi
Sultra
2,828.00 105,194.00
34,00 38,937.00
22
TB Mataosu
Sultra
8,061.00 8,061.00 Jumlah 986,758.13 41,500.00 Sumber : Tim Terpadu Revisi RTRWP masing-masing provinsi. Dari Tabel 3 tampak bahwa perubahan fungsi atau peruntukan kawasan konservasi bentuknya bervariasi. Secara jumlah luasan, mungkin tidak seberapa karena hanya 4,21% dari luasan kawasan konservasi yang diubah, namun dampaknya bisa sangat signifikan mengingat bentuk-bentuk perubahan lanskap tersebut dinamis dan bisa ekstensif sehingga bisa berdampak pada terjadinya fragmentasi (fragmentation), penurunan kualitas habitat (habitat degradation) sampai hilangnya habitat (habitat loss). Pada akhirnya ketiga dampak tersebut akan menyebabkan penurunan populasi sampai pada kepunahan lokal jenis-jenis flora dan fauna di kawasan konservasi tersebut. Perubahan struktur dan konfigurasi lanskap yang terjadi akibat perubahan fungsi dan peruntukan kawasan hutan berdampak pada habitat berupa (Gunawan, 2014): 1. Fragmentasi habitat (Habitat fragmentation) 2. Kehilangan habitat (Habitat loss) 3. Penyusutan habitat (Habitat shrinkage) 4. Penurunan kualitas habitat (Habitat degradation) 5. Efek tepi (Edge effect) 6. Isolasi habitat (Habitat isolation) 7. Penurunan ragam habitat (Habitat diversity) Disamping berdampak pada habitat, perubahan peruntukan dan fungsi kawasan konservasi yang melibatkan ke lima proses perubahan lanskap, selanjutnya akan berdampak pada individu spesies, populasi dan komunitas satwaliar, baik secara langsung (primer) maupun tidak langsung (sekunder dan tersier). Semua dampak pada akhirnya akan dirasakan oleh
Bentuk Pengurangan* Penyusutan
Penyebab/Alasan
Erosi Habitat (Attrition) Erosi Habitat (Attrition) Penyusutan, Perforasi
Pemukiman dan lahan garapan Pemukiman dan lahan garapan Pemukiman dan lahan garapan Pemukiman dan lahan garapan Pemukiman dan lahan garapan Pemukiman dan lahan garapan Lahan garapan
Penyusutan
Pemukiman
Fragmentasi, Perforasi, Penyusutan, Erosi Habitat (Attrition) Fragmentasi, Penyusutan Erosi Habitat (Attrition) 4,21%
Pemukiman, jalan, lahan budidaya pertanian Jalan
Perforasi
Pertambangan (rencana)
individu spesies, populasi dan komunitas. Dampakdampak tersebut di antaranya adalah : 1. Penurunan populasi akibat penurunan daya dukung dan pindah ke lokasi lain 2. Terganggunya reproduksi, seperti sulit bertemu pasangan, hilangnya pohon sarang; tempat melahirkan dan memelihara anak 3. Terganggunya kenyamanan akibat kebisingan dan gangguan aktifitas manusia 4. Terganggunya keamanan akibat meningkatnya perburuan karena semakin dekat dengan pemukiman dan terbukanya akses. 5. Perubahan perilaku : agresif atau sebaliknya menjadi jinak dan pemangsaan ternak. 6. Terganggunya rantai makanan dalam ekosistem akibat ada satu atau beberapa mata rantai yang hilang. III. URGENSI PENAMBAHAN KONSERVASI BARU
KAWASAN
A. Urgensi Penetapan Kawasan Konservasi Baru Melihat hebatnya perubahan fungsi dan peruntukan kawasan hutan pada masa otonomi daerah dalam rangka memberikan ruang dan sumberdaya alam bagi pembangunan daerah, maka perlu adanya pemikiran untuk mengganti kawasan-kawasan konservasi yang rusak atau hilang, agar keanekaragaman hayati tidak mengalami kepunahan. Pemikiran untuk menambah kawasan konservasi telah muncul pada beberapa pemerintah daerah, diantaranya Pemerintah Provinsi Gorontalo, Sulawesi Barat dan
128 Sulawesi Tenggara, yaitu dengan mengusulkan taman nasional baru. Pemikiran tentang perlunya penetapan kawasan konservasi baru juga disuarakan oleh kalangan peneliti dan akademisi. Hal ini karena, perubahan kawasan konservasi menjadi peruntukan lain sudah cukup massive dan mengancam kelestarian keanekaragaman hayati. Bahkan, penggantian kawasan konservasi yang hilang dengan kawasan konservasi baru belum tentu dapat menggantikan keterwakilan dan keunikan ekologis atau keanekaragaman hayati yang hilang. Sebagai contoh, hilangnya habitat burung Maleo di SM. Tanjung Bakiriang tidak dapat diganti dengan kawasan konservasi baru Gunung Ganda Dewata atau Mekongga yang bukan merupakan habitat burung Maleo. Sehubungan dengan hal tersebut, usulan penetapan kawasan konservasi baru harus memperhatikan juga keterwakilan dan keunikan ekologis, khususnya kekayaan keanekaragaman hayati yang akan dikonservasi. Sementara pertimbangan luasan disesuaikan dengan kebutuhan luas minimal (minimum dynamic area) untuk dapat mendukung populasi minimum yang dapat lestari (minimum viable population). B. Usulan Taman Nasional Baru di Sulawesi 1. Taman Nasional Nantu-Boliyohutu (Provinsi Gorontalo) Penetapan kawasan hutan Nantu menjadi suaka margasarwa dilakukan berdasarkan penunjukan Menhut dengan SK No. 573/Kpts-II/1999, 2 Juli 1999, dengan luas 31,215 ha. Suaka margasatwa ini pernah diusulkan menjadi taman nasional namun prosesnya berhenti di tengah jalan. Pada saat Revisi RTRW Provinsi Gorontalo tahun 2009, SM Nantu seluas 31.215Ha bersama-sama dengan Kelompok HL Boliyohuto seluas 20.220 Ha diusulkan kembali untuk menjadi TN NantuBoliyohuto. Kawasan ini merupakan kawasan penting bagi pelestarian Babirusa, satwa endemik dan terancam punah di wilayah ini. Pengusulan TN Nantu-Boliyohuto memiliki arti dan tujuan strategis karena pertimbangan sebagai berikut: a. Pengelolaan suaka margasatwa dan hutan lindung belum optimal dalam melindungi dan melestarikan babirusa. b. Tanpa pengelolaan yang intensif, dikhawatirkan kawasan tersebut akan semakin terancam oleh perambahan dan penambangan emas liar. c. Sebagai pengganti kawasan TNBNWB yang berubah fungsinya menjadi HPT untuk kepentingan pertambangan emas. d. Menjaga keseimbangan neraca luas kawasan konservasi di Provinsi Gorontalo sehingga tidak terjadi penurunan luas. 2. Taman Nasional Ganda Dewata (Provinsi Sulawesi Barat) Gunung Ganda Dewata adalah gunung tertinggi di Provinsi Sulawesi Barat dengan ketinggian 3.074 m dpl. Gunung Ganda Dewata merupakan kawasan hutan lindung yang terletak di Kabupaten Mamuju dan
Kabupaten Mamasa. Tim Terpadu Revisi RTRW Provinsi Sulawesi Barat merekomendasikan perubahan fungsi kawasan HL Gunung Ganda Dewata menjadi taman nasional dengan luas 213.240 Ha. Perubahan ini lebih didasari pertimbangan aspek bio-ekologi, yakni aspek keanekaragaman hayati dan ekosistemnya yang khas. Menurut laporan hasil penelitian Universitas Hassanudin dan Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Barat pada tahun 2011, kawasan HL Ganda Dewata layak menjadi KSA/KPA (Tim Terpadu Revisi RTRW Proviinsi Sulbar, 2012). Menurut Whitten et al. (1987) di kawasan HL Gunung Ganda Dewata ditemukan berbagai jenis pohon penting antara lain Nauclea orientalis, Anthocephalus chinensis, Palaquium obtusifolium, Pterocarpus indicus, Ficus spp., Sterculia foetida, Dracontomelon dao, Dracontomelon mangiferum, Arenga pinnata, Dillenia serrata, Pterospermum celebicum, Mangifera spp., Cananga odorata, Duabanga moluccana, Eugenia spp., Garcinia spp., Syzigium cumini, Artocarpus spp., Diospyros celebica, Anthocephalus macrophyllus, Myristica spp., dan Knema spp. (Tim Terpadu Revisi RTRW Proviinsi Sulbar, 2012). Wilayah ini dihuni oleh jenis satwa langka dan endemik Sulawesi, yakni Anoa (Bubalus sp.), Musang Sulawesi (Macrogalidia muschenbroecki), Kera hitam (Macaca tonkeana), Tangkasi (Tarsius sp.), Kuskus Sulawesi (Phalanger celebencis, Kuskus beruang (Phalanger ursinus), ular piton (Phyton reticulatus), Burung Alo Sulawesi (Aceros cassidix), dan Burung Enggang Hitam (Penelopides exerhatus) (Tim Terpadu Revisi RTRW Proviinsi Sulbar, 2012). 3. Taman Nasional Mekongga (Provinsi Sulawesi Tenggara) Pegunungan Mekongga merupakan jajaran Pegunungan Verbeck yang puncak-puncaknya terdiri atas jenis batuan karst dataran tinggi dengan puncak 2.620 m dpl dan menjadi gunung tertinggi di Provinsi Sulawesi Tenggara. Menurut administrasi kehutanan, komplek hutan Mekongga memiliki luas 345.843 yang terdiri atas Hutan Lindung (HL) seluas 258,519.50 Ha, Hutan Produksi Terbatas (HPT) 46,248.50 Ha, Hutan Produksi (HP) 24,867.50 Ha, Hutan Produksi Konversi (HPK) 8,684.35 Ha dan Hutan Konservasi (Taman Wisata Alam Padamarang bagian darat 3,654.10 Ha dan Cagar Alam Mangolo 3,869.05 Ha) (Gunawan dan Sugiarti, 2013). Pegunungan Mekongga memiliki kekayaan keragaman hayati yang luar biasa dan mewakili ekosistem khas Sulawesi Tenggara. Pegunungan Mekongga juga memiliki kerentanan terhadap gangguan karena kondisi biofisiknya antara lain merupakan pegunungan karst yang peka erosi dan memiliki sistem hidrologi yang unik yaitu goa-goa dan sungai bawah tanah yang rawan terhadap kegiatan penambangan dan penggundulan hutan. Kawasan ini juga menjadi tangkapan air tiga daerah aliran sungai yang mengaliri 30 sungai yang penting bagi kehidupan dan penghidupan masyarakat di dua kabupaten (Gunawan dan Sugiarti, 2013).
129 Untuk dapat menjamin keberlanjutan fungsifungsi dari keragaman hayati dan ekosistemnya, maka, Pegunungan Mekongga perlu ditunjuk dan ditetapkan sebagai kawasan hutan konservasi dalam bentuk Kawasan Pelestarian Alam (KPA). Pegunungan Mekongga layak menjadi hutan konservasi dan menjadi harapan baru bagi konservasi keragaman hayati Sulawesi yang kian hari kian terancam dan bisa menjadi pelengkap kawasan konservasi yang sudah ada serta menggantikan kawasan konservasi yang telah terdegradasi. Tim ICBG-Indonesia (International Coperative Biodiversity Groups) - yaitu tim kerjasama riset Univeristas CaliforniaDavis; LIPI; Balitbang Kehutanan; dan ITB) - telah menginisiasi pengusulan Mekongga sebagai taman nasional. Pengusulan ini telah mendapatkan dukungan dari berbagai pihak dari tingkat kabupaten dan provinsi, namun masih perlu menempuh proses yang panjang dan lama. Kawasan hutan yang diusulkan menjadi hutan konservasi (taman nasional) adalah kawasan Hutan Lindung Pegunungan mekongga dengan luas 258.519,5 Ha (Gunawan dan Sugiarti, 2013). C. Pembelajaran dari Mekongga 1. International Cooperative Biodiversity Groups (ICBG) ICBG (International Cooperative Biodiversity Group) merupakan program kerjasama penelitian antara University of California – Davis (UC-DAVIS) dengan Puslitbang Konservasi dan Rehabilitasi, Badan Litbang Kehutanan (FORDA); Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan Institut Teknologi Bandung (ITB). ICBG terdiri dari empat Program Pendukung (Associate Program/AP) yaitu (Gunawan dan Sugiarti, 2013): AP1: Conservation and Biodiversity Inventory (Leader: Andrew Engilis Jr. / UCD) AP2: Microbial Surveys and Discovery of Energy Solutions (Leader: Kyria BoundyMills/ UCD) AP3: Discovery of Human Health Solutions (Leader: Len Bjeldanes / UC Barkeley) AP4: Local Conservation Education and Outreach (Leader: Hendra Gunawan, FORDA, Ministry of Forestry) AP1 bertujuan untuk melakukan survei keragaman hayati dan mengumpulkan spesimen tumbuhan, serangga dan vertebrata dari berbagai ketinggian (altitude) sebagai data untuk perencanaan konservasi dan pemanfaatan lestari dan monitoring keragaman hayati. AP2 bertujuan untuk mengumpulkan bakteri, ragi (yeast) dan jamur (filamentous fungi) dari tanah, tumbuhan, serangga dan vertebrata; membangun koleksi di LIPI, Badan Litbang kehutanan dan UC Davis; melakukan skrining mikroba untuk mendapatkan enzim yang berguna untuk biofuel, dan skrining mikroba untuk kandungan high lipid. AP3 bertujuan melakukan skrining mikroba dan tumbuhan untuk mendapatkan produk alami sebagai zat aktif anti kanker,
peningkatan imunitas dan neurologik (Gunawan dan Sugiarti, 2013). AP4 bertujuan: (1) mempublikasikan dan mendiseminasikan hasil-hasil penting dari proyek ICBG kepada para pemangku kepentingan termasuk pengelola konservasi, pemerintah daerah, universitas dan NGO; (2) mengembangkan training kepada masyarakat lokal untuk meningkatkan ketrampilan yang dapat meningkatkan pendapatan dan memberikan alternatif pekerjaan yang tidak tergantung pada eksploitasi sumberdaya alam yang dapat mengancam kelestarian keragaman hayati, (3) mengusulkan satu atau lebih kawasan konservasi di Sulawesi Tenggara bekerjasama dengan pemerintah setempat dan menggunakan informasi yang diperoleh AP1, AP2 dan AP3 (Gunawan dan Sugiarti, 2013). 2. Ekspedisi Pegunungan Mekongga Sejak tahun 2009 hingga 2013, Tim ICBGIndonesia telah melakukan ekspedisi survei keragaman hayati di Pegunungan Mekongga. ICBG Indonesia memilih Pegunungan Mekongga sebagai wahana risetnya karena belum pernah dieksplorasi dan diduga masih menyimpan kekayaan kenakeragaman hayati yang endemik, langka dan bahkan belum teridentifikasi. Kawasan ini juga memiliki kekayaan jenis serangga dan mikrofauna (mikroba) yang melimpah, namun belum teridentifikasi semua. Komplek hutan Mekongga bisa jadi merupakan tempat terakhir yang tersisa dan masih baik kondisinya bagi perlindungan keanekaragaman hayati di zona Wallacea Sulawesi, khususnya di jasirah Sulawesi Tenggara (Gunawan dan Sugiarti, 2013). Kawasan Hutan Lindung Pegunungan Mekongga memiliki kekayaan keanekaragaman hayati satwa langka endemik yang dilindungi. Jenis-jenis satwa tersebut antara lain : Anoa pegunungan (Bubalus quarlesi), babirusa (Babyrousa babirussa), Tarsius (Tarsius sp.), Monyet Digo (Macaca ochreata) dan Burung Rangkong Sulawesi (Aceros cassidix). Berbagai jenis burung, amfibi, reptilia, mamalia, serangga dan ikan banyak diantaranya belum teridentifikasi dan beberapa jenis diduga belum pernah dipertelakan (belum diberi nama ilmiah) (Gunawan dan Sugiarti, 2013). Ekspedisi dilakukan dari ketinggian 200 m di atas permukaan laut hingga ke puncak Mekongga. Konserentrasi eksplorasi dan identifikasi jenis dilakukan pada lima level ketinggian yaitu 200-500 m dpl; 1.000 m dpl; 1.700 m dpl; 2.000 m dpl; dan 2.400 m dpl. Pembagian ketinggian tersebut untuk mengetahui gradien perubahan struktur dan komposisi jenis flora dan fauna. Ekspedisi melibatkan para peneliti dari berbagai bidang ilmu dan kepakaran dari University CaloiforniaDavis (UC-Davis); LIPI dan Universitas Haluoleo, LSM lokal dan dibantu masyarakat setempat. Selaini mengidentifikasi flora dan fauna di lokasi, Tim ekspedisi juga mengoleksi berbagai spesimen penting baik, tumbuhan maupun mikro fauna dan makro fauna, khususnya jenis-jenis yang dicurigai sebagai jenis baru.
130 3. Temuan-Temuan Penting Pegunungan Mekongga merupakan jajaran Pegunungan Verbeck yang puncak-puncaknya terdiri atas jenis batuan karst dataran tinggi dengan puncak 2.620 m dpl dan menjadi gunung tertinggi di Provinsi Sulawesi Tenggara. Secara geologis kawasan Pegunungan Mekongga terbentuk dari atol yang terangkat sekitar ratusan juta tahun yang lalu. Dari segi geologi, Pegunungan Mekongga, menempati batuan batuan ultrabasa/ofiolit (Ku) berumur Kapur dengan tipologi tanah Podsolik Merah Kuning, Podsolik Cokelat Kelabu, Litosol, Regosol, Aluvial, Mediteran Merah Kuning dan Renzina (Gunawan dan Sugiarti, 2013). Pegunungan Mekongga merupakan kawasan Hutan Lindung yang secara teknis ditetapkan berdasarkan skoring dengan mempertimbangkan faktor lereng (topografi), ketinggian (elevasi), jenis tanah dan iklim (curah hujan). Topografi Pegunungan Mekongga umumnya curam (lereng 25-40%) sampai sangat curam (lereng > 40%). Bentuk lahannya berbukit dan bergunung dengan puncak gunung tertingginya 2.620 m dpl. Menurut klasifikasi curah hujan Schmidt dan Ferguson wilayah Pegunungan Mekongga dan sekitarnya memiliki tipe iklim (curah hujan) A dan B (Gunawan dan Sugiarti, 2013). Puncak Gunung Mekongga berada dalam bentang alam karst dataran tinggi yang ketebalannya di atas 2000 m. Kawasan karst ini memanjang dari Desa Ranteangin (Kab. Kolaka Utara) ke timur melewati puncak Mekongga sampai ke Desa Alaha (Kab. Kolaka) bagian selatan. Ini memungkinkan terbentuknya lorong gua horisontal yang panjang dan gua vertikal yang dalam. Adanya beberapa Resurgent di pantai Tamborasi Menandakan sebuah sistem hidrologi yang besar berada di kawasan karst ini (Gunawan dan Sugiarti, 2013). Pegunungan Mekongga juga merupakan hulu dari tiga DAS (Daerah Aliran Sungai) yaitu DAS Konaweha-Lahumbuti, DAS Toari and DAS Woimendoa- Susua. Mengingat banyaknya sungai yang berhulu di Pegunungan Mekongga, maka pegunungan ini memiliki peranan penting bagi sistem penyangga kehidupan. Hal ini disebabkan banyak sumber penghidupan seperti pertanian, perkebunan dan kegiatan pembangunan lainnnya sangat bergantung pada kelestarian penyediaan air dari Pegunungan Mekongga (Gunawan dan Sugiarti, 2013). Kawasan Pegunungan Mekongga memiliki tiga Daerah Aliran Sungai (DAS) yang seluruhnya bermuara ke teluk Bone dan teluk Mekongga. Daerah Aliran Sungai tersebut adalah: (1) DAS Konaweha-Lahumbuti, (2) DAS Toari dan (3) DAS Woimendoa-Susua. Terdapat setidaknya 12 sungai di Kabupaten Kolaka Utara dan 18 Sungai di Kabupaten Kolaka yang suplai airnya dipengaruhi oleh kelestarian Hutan di ketiga DAS tersebut yang meliputi komplek hutan Pegunungan Mekongga (Gunawan dan Sugiarti, 2013). Mekongga dikelilingi oleh 11 kecamatan dengan populasi penduduk 42 351 orang. Tujuh kecamatan terdapat di Kolaka, yaitu : Wolo, Tirawuta, Latambaga, Samaturu, Mowewe, Uluiwoi dan Lalolae. Empat
kecamatan di Kolaka Utara yaitu : Wawo, Ranteangin, Lambai and Lasusua. Kepadatan penduduk di Kolaka 45.5 orang/km2 dengan pertumbuhan rata-rata 2.79% per tahun. Sedangkan kepadatan penduduk Kolaka Utara 36 orang/km2 dengan rata-rata pertumbuhan 5.58% per tahun (Gunawan dan Sugiarti, 2013). Ekosistem hutan di Pegunungan Mekongga dapat dikelompokkan menurut ketinggian tempat dari permukaan laut, menjadi zona atau wilayah sebagai berikut (Gunawan dan Sugiarti, 2013). (a) Zona 1 : hutan hujan bawah karena terletak pada daerah dengan ketinggian tempat 0 1.000 m dari permukaan laut. (b) Zona 2 : hutan hujan tengah karena terletak pada daerah dengan ketinggian tempat 1.000 - 3.300 m dari permukaan laut. Berdasarkan ketinggian tempat dan penciri vegetasinya hutan Pegunungan Mekongga dapat dikelompokkan menjadi : Hutan dataran rendah (0 – 1.000 m dpl) dan hutan pegunungan (>1.000 m dpl). Hutan hujan pegunungan dapat dibagi lagi menjadi tiga sub zona yaitu (Gunawan dan Sugiarti, 2013): (a) Sub montana (sub-pegunungan atau disebut juga hutan pegunungan bawah), antara ketinggian 1.000—1.500 m dpl. (b) Montana (hutan pegunungan atas) antara 1.500—2.400 m. (c) Sub alpin, di atas ketinggian 2.400 m. Dengan demikian Pegunungan Mekongga secara umum didominasi oleh ekosistem hutan sub montana dan montana serta memiliki tipe hutan sub alpin. Hutan pegunungan ini biasanya dicirikan oleh lumut dan liken yang melimpah. Ekosistem hutan di Pegunungan Mekongga yang termasuk dalam kawasan Hutan Lindung umumnya masih asli dan belum terganggu, hanya sebagian di bagian tepi kawasan mengalami perambahan untuk pertanian lahan kering (Gunawan dan Sugiarti, 2013). Apabila habitat atau tanah tempat hutan berada menjadi pertimbangan pengelompokan hutan, maka Pegunungan Mekongga juga memiliki tipe hutan batu kapur atau Ultra Basis. Hal ini karena Pegunungan Mekongga menempati batuan batuan ultrabasa (Gunawan dan Sugiarti, 2013). Hutan Lumut juga sering dikelompokkan menjadi ekosistem tersendiri. Hutan lumut merupakan jenis hutan yang didominasi oleh tanaman lumut atau biasanya berupa padang lumut yang memiliki udara lembab atau basah sepanjang tahun. Hutan atau padang lumut bisa kita temukan di daerah pegunungan dengan ketinggian mencapai 1.500 – 3.000 m dpl (Gunawan dan Sugiarti, 2013). Kekayaan hayati di kawasan Pegunungan Mekongga sangat tinggi. Berdasarkan hasil temuan penelitian yang dilakukan oleh ICBG Indonesia, ditemukan beberapa flora, fauna, maupun mikroba yang unik dan belum ada rekaman hasil penelitian sebelumnya. Selain itu juga ada temuan flora maupun fauna yang endemik. Beberapa jenis satwa endemik yang dijumpai di kawasan ini antara lain: Anoa
131 pegunungan (Bubalus quarlesi), Rangkong Sulawesi (Aceros cassidix), Tarsier (Tarsius sp.), Monyet Sulawesi (Macaca ochreata), Babirusa (Babyrousa babyrussa) dan Musang Sulawesi (Macrogalidia musschenbroekii) (Gunawan dan Sugiarti, 2013).
Tim ICBG telah berhasil mengumpulkan, mengidentifikasi dan mengawetkan sejumlah spesimen tumbuhan, invertebrata dan vertebrata dari Mekongga (Gunawan dan Sugiarti, 2013). Rekapitulasi jumlah keragaman hayati yang berhasil diidentifikasi disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4. Keragaman hayati yang teridentifikasi di Pegunungan Mekongga. Takson Total specimens Genus Spesies 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Mammalia Aves-Birds Reptilia Amphibia Osteichthyes-Fish Insecta Crustacea
897 403 366 401 1072 50, 000 to 60,000 932
35 57 21 9 20 unknown 8
50 71 27 16 35 unknown 23
8. Flora
1105
353
427
9. Microbes
2,015
not available
Over 250
Keterangan 6-8 spesies baru Tidak ada yang baru 2+ spesies baru 3-5 spesies baru 3 spesies baru Diperirakan 12% spesies baru 1 spesies baru + 2 diduga spesies baru 8 spesies baru 60 spesies baru yeast, banyak spesies baru bakteri dan filamentous fungi
Sumber: AP1-ICBG (2013) 4. Menginisiasi Pengusulan Mekongga Sebagai Taman Nasional a. Koordinasi dan Konsultasi Koordinasi dan konsultasi dilakukan sejak inisiasi proyek kerjasama ini hinggga saat-saat terakhir pada tahap pengusulan Taman Nasional Mekongga. Koordinasi dan konsultasi penting dilakukan untuk menjaga spirit dukungan Pemerintah Daerah dalam mengusulkan Mekongga sebagai taman nasional. Koordinasi dilakukan secara langsung dengan mendatangi pejabat-pejabat instansi terkait seperti Dinas Kehutanan, BAPPEDA, Dinas Lingkungan Hidup, hingga Camat dan Lurah terdekat dengan Mekongga. b. Sosialisasi dan Kampanye Untuk memperkenalkan keberadaan Mekongga dan nilai pentingnya bagi kehidupan masyarakat dan pembangunan di masa mendatang serta untuk menggalang dukungan berbagai pihak, maka ICBG melalui program AP-4 melakukan sosialisasi dan kampanye di tingkat lokal (kabupaten), regional Sulawesi dan nasional. Sosialisasi dan kampanye dilakukan melalui berbagai cara dan media, diantaranya melalui penyebarluasan leaflet, brosur, poster dan banner. Sasaran sosialisasi adalah semua lapisan. Poster-poster dibagikan kepada sekolah-sekolah, leaflet dibagikan ke lembaga-lembaga dan perorangan di acara seminar. Banner di pasang di kantor-kantor stakeholders. Sedangkan Booklet disebarkan secara nasional pada saat peringatan hari cinta puspa dan satwa nasional. c. Membangun dukungan Setelah para pihak memiliki pengetahuan akan potensi Pegunungan Mekongga dan memiliki kesadaran akan pentingnya mengkonservasi kawasan ini maka selanjutnya perlu digalang dukungan yang utuh dan
komitmen untuk menentukan nasib Pegunungan Mekongga di masa mendatang. Penggalangan dukungan dimulai dari level yang paling mendasar yaitu masyarakat sekitar hutan, kemudian di tingkat kabupaten, tingkat provinsi dan akhirnya di tingkat nasional (Gunawan dan Sugiarti, 2013). 1. Tingkat Masyarakat Lokal Untuk menggalang dukungan di tingkat masyarakat lokal AP4 melakukan kegiatan melalui (Gunawan dan Sugiarti, 2013): (a) Participatory Rural Appraisal pada tanggal 2124 September 2011 dengan tujuan : mesosialisasikan program dan misi ICBG; meningkatkan kepedulian masyarakat akan pentingnya konservasi keragaman hayati; mengetahui persepsi masyarakat terhadap rencana penetapan Mekongga sebagai kawasan konservasi, mengidentifikasi kebutuhan pelatihan masyarakat. PRA diikuti oleh lima etnis yang ada mewakili berbagai profesi. (b) Pelatihan pengolahan kelapa terpadu pada 2428 Januari 2013 dengan kurikulum : pembuatan VCO, minyak goreng; Nata de Coco, kecap, pupuk organik cair, pellet pakan ternak, kompos dan pengemasan produk. Dalam pelatihan ini juga dihibahkan tiga mesin pengolahan yaitu mesin pemarut kelapa, pemeras santan dan cup sealer. Pelatihan diikuti oleh perwakilan dari 11 kecamatan di sekitar Mekongga. 2. Tingkat Kabupaten Penggalangan dukungan di tingkat kabupaten dilakukan melalui konsultasi, diskusi dan koordinasi dengan pejabat penting, kemudian dilanjutkan dengan lokakarya yang mengundang semua stakeholders di dua kabupaten yang wilayahnya mencakup Pegunungan Mekongga yaitu Kolaka dan Kolaka Utara. Lokakarya diselenggarakan di Lasusua, Ibukota Kabupaten Kolaka
132 Utara pada tanggal 15 November 2011. Lokakarya dihadiri 60 peserta yang mewakili pemerintah dua kabupaten, masyarakat lokal, LSM lokal, pengelola konservasi, universitas lokal, guru, siswa dan swasta. Hasil lokakarya yang penting adalah adanya kesepakatan semua pihak bahwa Mekongga perlu diusulkan sebagai kawasan konservasi (Gunawan dan Sugiarti, 2013). 3. Tingkat Provinsi Penggalangan dukungan di tingkat provinsi dilakukan melalui lokakarya yang diselenggarakan di Kendari, Ibu kota Provinsi Sulawesu Tenggara pada 22 Januari 2013. Lokakarya ini dihadiri oleh 61 peserta perwakilan dari pemerintah pusat, provinsi, kabupaten, dan LSM pusat, provinsi dan kabupaten dan para puhak lainnya. Lokakarya ini menghasilkan beberapa komitmen penting antara lain (Gunawan dan Sugiarti, 2013): Gubernur akan mengusulkan Mekongga menjadi taman nasional Semua stakeholders provinsi setuju mendukung Mekongga sebagai taman nasional. Pemerintah provinsi akan menyediakan dana untuk proses pembentukan taman nasional Mekongga. 4. Tingkat Nasional Penggalangan dukungan di tingkat nasional dilakukan melalui lokakarya nasional yang diselenggarakan di Jakarta pada tanggal 23 Mei 2012. Lokakarya ini menghasilkan beberapa keputusan penting yaitu : (1) diperlukan tindak lanjut strategis pasca proyek Mekongga selesai; (2) Diperlukan penelitian untuk menghitung nilai ekonomi keragaman hayati Mekongga sebagai argumen untuk yang menguatkan usulan taman nasional Mekongga; (3) semua peserta sepakat bahwa Mekongga layak menjadi taman nasional dan semua mendukung usulannya; (4) Dalam pengusulannya diperlukan proses bottom up untuk menghindari konflik di masa mendatang (Gunawan dan Sugiarti, 2013). Disamping menyelenggarakan sendiri lokakarya nasional, Tim AP4 juga mengkamanyekanMekongga melalui seminar nasional di Makassar pada Oktober 2013. 5. Tingkat Internasional Menggalang dukungan di tingkat internasional dilakukan melalui penyebarluasan hasil riset melalui Jurnal Internasional dan seminar internasional yaitu di Seminar Internasional Biodiversity di Manado dan Konferensi Wallacea di Wangi-wangi, Kabupaten Wakatobi. d. Menyusun Naskah akademik Untuk mempercepat proses penetapan Mekongga sebagai taman nasional dan sebagai pelengkap persyaratan pengusulan, maka Tim AP4-ICBG menyiapkan Naskah Akademik pengusulan Mekongga sebagai taman nasional. Naskah Akademik ini yang berisi pertimbangan teknis hasil riset ICBG (AP1, AP2,
AP3) dan kajian kelayakan dari berbagai aspek sebagai dasar pertimbangan Menteri Kehutanan dalam menetapkan Mekongga menjadi taman nasional. e. Mengusulkan Mekongga Sebagai Taman Nasional Sesuai ketentuan Peraturan Menteri Kehutanan No. P. 34/Menhut-II/2010, pengusulan Mekongga menjadi taman nasional harus dilakukan oleh Gubernur karena mencakup dua wilayah kabupaten, yaitu Kolaka dan Kolaka Utara. Tim ICBG telah mendorong dan mendukung Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara untuk menyampaikan usulan kepada Menteri Kehutanan dan selanjutnya menunggu kajian dari Tim Terpadu yang dibentuk oleh Menteri Kehutanan. D Langkah Ke Depan Pengusulan kawasan konservasi baru perlu ditindaklanjuti dengan proses perubahan fungsi kawasan melalui prosedur sesuai dengan Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor: P. 34/MenhutII/2010 Tentang Tata Cara Perubahan Fungsi Kawasan Hutan. Usulan kawasan konservasi baru yang merupakan perubahan dari fungsi hutan lindung atau hutan produksi harus dikaji dan mendapatkan pertimbangan teknis dari Tim Terpadu yang terdiri atas perwakilan dari instansi/lembaga/Eselon I terkait lingkup Kementerian. Permasalahannya adalah bahwa menurut Pasal 14 Permenhut No. P. 34/Menhut-II/2010, biaya pelaksanaan penelitian Tim Terpadu dibebankan dan dikelola langsung oleh pengusul. Seringkali tidak ada alokasi anggaran biaya untuk menindaklanjuti usulan kawasan konservasi baru, sehingga lahirnya kawasan konservasi baru menjadi terhambat atau tertunda karena alasan biaya. Oleh karena itu perlu adanya kerjasama atau dukungan lembaga donor, baik pemerintah maupun lembaga swasta atau lembaga swadaya masyaraka (NGO). Selain menindaklanjuti usulan, langkah yang harus dilakukan setelah usulan adalah tetap menjaga konsistensi dan komitmen para pihak dalam mendukung lahirnya kawasan konservasi baru. Hal ini dapat dilakukan melalui kegiatan sosialisasi dan kampanye yang terus menerus, melalui berbagai media seperti seminar atau lokakarya, media cetak, elektronik maupun media online. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Otonomi daerah mendorong perubahan fungsi dan peruntukan kawasan hutan yang langsung berdampak pada kawasan konservasi. Secara umum, kuantitas (luasan) kawasan konservasi di wilayah Wallacea bertambah namun secara kualitas mungkin terjadi degrdasi berkaitan dengan bentuk dan proses perubahan yang berdampak pada hilangnya keterwakilan ekologis, terjadinya fragmentasi habitat; kehilangan habitat; penyusutan habitat penurunan kualitas habitat efek tepi; isolasi habitat dan penurunan ragam habitat.
133 Kehilangan luas kawasan konservasi dapat diganti dengan kawasan konservasi baru namun keterwakilannya dan keunikannya bisa tidak tergantikan dengan kawasan konservasi baru, seberapapun luasnya. Oleh karena itu dalam pengusulan dan penetapan kawasan konservasi baru harus mempertimbangkan keterwakilan dan keunikan ekologis khususnya keanekaragaman hayati, serta memperhatikan kecukupan luas yang dapat menjamin kelestarian keanekaragaman hayati yang menjadi target. . B. Saran Pengusulan kawasan konservasi baru harus ditindaklanjuti dengan penelitian oleh Tim Terpadu untuk mendapat pertimbangan teknis guna penetapan oleh Menteri Kehutanan. Selama menunggu proses penetapan, dukungan para pihak harus terus dijaga agar konsisten melalui kegiatan sosialisasi dan kampanye konservasi. Upaya pencarian dana untuk penetapan juga perlu dilakukan agar tidak membebani anggaran belanja daerah yang mengusulkan. UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih disampaikan kepada Hengky Wijaya (BAPLAN), Sulung (BAPLAN), Roy (BAPLAN) atas suplai datanya. DAFTAR PUSTAKA AP4 Team 0f ICBG and A. Susmianto. 2013. MEKONGGA: A New Spot For Biodiversity Conservation In Wallace Zone. Makalah disampaikan pada Second International Conference On Alfred Russel Wallace and The Wallacea, Wangi-Wangi, Wakatobi , 10-13 November 2013. AP4-ICBG (Associate Program – 4 International Cooperative Biodiversity Group). 2012. Naskah Akademik Usulan Perubahan Fungsi Kawasan Hutan Lindung Komplek Pegunungan Mekongga Menjadi Hutan Konservasi. Kerjasama antara Badan Litbang Kehutanan – LIPI – ITB – UC Davis. Bogor. Tidak Diterbikan. Gunawan, H. 2014. Dampak Rencana Pembangunan Jalan Melintasi Kawasan Lindung Terhadap Keseimbangan Ekosistem Dan Habitat. Makalah disampaikan pada National Inception Workshop dengan tema “Membangun Ketahanan Hutan Hujan Tropis Sumatera untuk Mitigasi Perubahan Iklim and Keanekaragaman Hayati”, Di Hotel Santika Dyandra, Medan, Tanggal 2324 September 2014. Gunawan, H. dan Sugiarti. 2013. MEKONGGA: Harapan Baru Bagi Pelestarian Keragaman Hayati Sulawesi. Makalah disampaikan pada Seminar Ilmiah Nasional Ekologi dan Konservasi, Makassar 20-21 November 2013, diselenggarakan atas kerjasama antara TN. Bantimurung Bulusaraung dengan Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin, Makassar.
Lavieren, L.P. van. 1982. Wildlife Management in The Tropics. School of Environmental Conservation Management (ATA-190). Ciawi, Bogor. MacKinnon, K. 1992. Nature’s Treasurehouse The Wildlife of Indonesia. Pt. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor: P. 34/Menhut-II/2010 Tentang Tata Cara Perubahan Fungsi Kawasan Hutan. The State Ministry of Environment Republic of Indonesia and KONPHALINDO. 1995. An Atlas of Biodiversity in Indonesia. Published by The State Ministry of Environment Republic of Indonesia and KONPHALINDO. Jakarta. Tim Terpadu Revisi RTRW Gorontalo. 2009. Laporan Tim Terpadu Dalam Rangka Pengkajian Perubahan Kawasan Hutan Dalam Usulan Revisi Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Gorontalo. Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan, Kementerian Kehutanan. Tidak Diterbikan. Tim Terpadu Revisi RTRW Maluku Utara. 2011. Laporan Tim Terpadu Dalam Rangka Pengkajian Perubahan Kawasan Hutan Dalam Usulan Revisi Rencana Tata RuangWilayah Provinsi Maluku Utara. Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan, Kementerian Kehutanan. Tidak Diterbikan. Tim Terpadu Revisi RTRW Maluku. 2010. Laporan Tim Terpadu Dalam Rangka Pengkajian Perubahan Kawasan Hutan Dalam Usulan Revisi Rencana Tata RuangWilayah Provinsi Maluku. Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan, Kementerian Kehutanan. Tidak Diterbikan. Tim Terpadu Revisi RTRW Sulawesi Barat. 2010. Laporan Tim Terpadu Dalam Rangka Pengkajian Perubahan Kawasan Hutan Dalam Usulan Revisi Rencana Tata RuangWilayah Provinsi Sulawesi Barat. Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan, Kementerian Kehutanan. Tidak Diterbikan. Tim Terpadu Revisi RTRW Sulawesi Tengah. 2010. Laporan Tim Terpadu Dalam Rangka Pengkajian Perubahan Kawasan Hutan Dalam Usulan Revisi Rencana Tata RuangWilayah Provinsi Sulawesi Tengah. Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan, Kementerian Kehutanan. Tidak Diterbikan. Tim Terpadu Revisi RTRW Sulawesi Tenggara. 2009. Laporan Tim Terpadu Dalam Rangka Pengkajian Perubahan Kawasan Hutan Dalam Usulan Revisi Rencana Tata RuangWilayah Provinsi Sulawesi Tenggara. Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan, Kementerian Kehutanan. Tidak Diterbikan. Tim Terpadu Revisi RTRW Sulawesi Utara. 2010. Laporan Tim Terpadu Dalam Rangka Pengkajian Perubahan Kawasan Hutan Dalam Usulan Revisi Rencana Tata RuangWilayah Provinsi Sulawesi Utara. Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan, Kementerian Kehutanan. Tidak Diterbikan. Whitten, A.J., M. Mustafa dan G.S. Henderson. 1987. Ekologi Sulawesi. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.
134