HEGEMONI MITOS NYAI RORO KIDUL TERHADAP KEKUASAAN JAWA DALAM NOVEL SANG NYAI KARYA BUDI SARDJONO Skripsi Diajukan untuk Menempuh Syarat Ujian Sarjana Program Strata 1 dalam Ilmu Sastra Indonesia
Oleh : Herning Puspitarini 13010110120021
JURUSAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS DIPONEGORO 2014
HALAMAN PERNYATAAN
Penulis menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi ini disusun tanpa mengambil bahan hasil penelitian, baik untuk suatu gelar diploma atau sarjana yang sudah ada di suatu Universitas maupun hasil penelitian lain. Sejauh yang penulis ketahui, skripsi ini juga tidak mengambil bahan dari publikasi atau tulisan orang lain, kecuali yang telah dirujuk dalam daftar pustaka. Saya bersedia menerima sanksi jika terbukti melakukan penjiplakan.
Herning Puspitarini
MOTTO DAN PERSEMBAHAN Kebanggaan dalam hidup adalah bila kita melakukan apa yang menurut orang lain tidak mungkin kita lakukan. (Waiter Bouyen Not) Hidup sepatutnya diperkaya dengan persahabatan. Mencintai dan dicintai adalah kebahagiaan tak terperikan. (Sidney Smith)
Skripsi ini saya persembahkan untuk: Keluarga besarku Bapak dan Ibu, Eyang Putri, Pak Lik, dan Adikku yang selalu memotivasi, membimbing, dan memberiku kasih sayang.
HALAMAN PERSETUJUAN
Skripsi ini telah disetujui oleh dosen pembimbing untuk diajukan kepada Tim Penguji Skripsi pada: Hari
: Sabtu
Tanggal
: 30 Agustus 2014
Disetuji oleh: Dosen Pembimbing I,
Dosen Pembimbing II,
Drs. M. Muzakka, M.Hum. NIP 196508181994031002
Sukarjo Waluyo, S.S., M.Hum. NIP 197605022008121002
HALAMAN PENGESAHAN
Diterima dan disahkan oleh Panitia Ujian Skripsi Program Strata-1 Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro Pada tanggal: 20 September 2014 Ketua Dr. Redyanto Noor, M.Hum. NIP 195903071986031002 ........................................ Anggota I Drs. M. Hermintoyo, M.Pd. NIP 196103141988031001 ........................................ Anggota II Drs. M. Muzakka, M.Hum. NIP 196508181994031002 ......................................... Anggota III Sukarjo Waluyo, S.S., M.Hum. NIP 197605022008121002
........................................
Ketua Jurusan Sastra Indonesia
Drs. Suharyo, M.Hum. NIP 196107101989031
KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, serta inayah-Nya atas selesainya skripsi dengan judul “Hegemoni Mitos Nyai Roro Kidul Terhadap Kekuasaan Jawa dalam Novel Sang Nyai Karya Budi Sardjono”.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi tersebut banyak pihak yang telah membantu, baik secara langsung maupun bentuk dukungan lain. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada. 1. Dr. Agus Maladi Irianto, M.A., sebagai dekan Fakultas Ilmu Budaya dan selaku dosen wali yang selalu memberikan arahan selama menempuh perkuliahan; 2. Drs. Suharyo, M.Hum., Ketua Jurusan Sastra Indonesia Universitas Diponegoro atas kemudahan dan dukungan yang diberikan sejak penulis mengajukan proposal; 3. Drs. M. Muzakka, M.Hum. selaku dosen pembimbing I yang dengan sabar selalu membimbing, mengarahkan, dan memotivasi penulis untuk segera menyelesaikan penulisan skripsi; 4. Sukarjo Waluyo, S.S., M.Hum. selaku dosen pembimbing II yang telah memberikan bimbingan, arahan, dan motivasi kepada penulis; 5. Dosen-dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro atas ilmu pengetahuan yang telah diberikan sepanjang masa perkuliahan dan seluruh staf Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro, yang telah membantu kelancaran dan kelengkapan administrasi selama kuliah.
6. H. Tohir Sugiyanto, S.Pd., dan Dra. Hj. Sri Wahyuningtyas, M.Hum. orangtua penulis, Eyang Putri Sutjiati, Om Wahyu Widodo, S.T, adik saya Wahyu Aprillia, S.Ked., terimakasih telah memberikan doa, kasih sayang, motivasi, dan dukungan selama penulis menimba ilmu. 7. Sahabat-sahabatku David, Purna, Esti, Ina, Isnan, Febi, Eka, Arum, Danu, Windi, Erinda, Ade, Valen, Hanif, Okvi, Cicha, terimakasih atas keakraban yang sudah terjalin selama ini, tidak lupa sahabat-sahabatku Korean Pop Iki, Shinta, Junee, Unn Nana, Kemmi, Pappiyong Family (Aegy, Unn Indry, Bunda Cha, Ocha, Juni, dan Velly), Ikhsan, Dwi, Wiwit, dan Wisnu yang selalu memberikan perhatian dan dukungan, serta Super Junior members sebagai inspirasi penulis. 8. Semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini, yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih memiliki kekurangan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi perkembangan keilmuan khususnya ilmu sastra.
Semarang, 30 Agustus 2014
ABSTRAK
Puspitarini, Herning. NIM 13010110120021. 2014. Hegemoni Mitos Nyai Roro Kidul Terhadap Kekuasaan Jawa dalam Novel Sang Nyai. Skripsi (S-1). Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro Semarang. Novel Sang Nyai merupakan novel yang bertema kebudayaan. Di dalam novel tersebut, terdapat hegemoni Nyai Roro Kidul terhadap kekuasaan Jawa. Hegemoni menunjuk pada dominasi kekuasaan yang secara sadar diikuti oleh masyarakat. Berdasarkan hal tersebut, tujuan penelitian ini menjelaskan bentuk-bentuk hegemoni mitos Nyai Roro Kidul terhadap kekuasaan Jawa dan perlawanan terhadap hegemoni mitos Nyai Roro Kidul yang terdapat dalam novel Sang Nyai karya Budi Sardjono. Penelitian ini menggunakan metode penelitian yang dikaji dengan teori hegemoni Gramsci. Untuk itu penelitian bersifat deskriptif kualitatif yang melalui tahapan pengumpulan data, seleksi data, analisis data, dan menarik simpulan. Seleksi data dilakukan dengan mengidentifikasi setiap unsur dalam novel Sang Nyai. Analisis data dengan menganalisis relevansi tokoh dan penokohan dengan unsur cerita yang lain. Kemudian, analisis tersebut menjadi pijakan untuk menganalisis hegemoni mitos Nyai Roro Kidul terhadap kekuasaan Jawa dan perlawanan terhadap hegemoni mitos Nyai Roro Kidul dalam novel Sang Nyai karya Budi Sardjono. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa bentuk-bentuk hegemoni mitos Nyai Roro Kidul dalam novel Sang Nyai meliputi Sang Nyai sebagai ratu, Sang Nyai mendukung eksistensi raja, Sang Nyai sebagai penguasa kosmis, dan Sang Nyai dalam tradisi. Akibat dari hegemoni mitos Nyai Roro Kidul dengan ideologi tradisional tersebut, maka terjadi perlawanan dari tokoh dengan ideologi modern yang rasional terhadap hegemoni yang ada. Namun, perlawanan tersebut kalah dengan ideologi tradisional masyarakat Jawa yang terdapat dalam novel Sang Nyai karya Budi Sardjono.
Kata kunci: hegemoni, kekuasaan, ideologi, perlawanan
DAFTAR ISI
HALAMAN PERNYATAAN ...................................................................................... ii MOTTO DAN PERSEMBAHAN ............................................................................... iii HALAMAN PERSETUJUAN ..................................................................................... iv HALAMAN PENGESAHAN....................................................................................... v KATA PENGANTAR................................................................................................... vi ABSTRAK ..................................................................................................................... viii DAFTAR ISI.................................................................................................................. ix DAFTAR LAMPIRAN................................................................................................. xi BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang .............................................................................................. 1 B. Rumusan Masalah......................................................................................... 7 C. Tujuan Penelitian .......................................................................................... 8 D. Manfaat Penelitian ........................................................................................ 8 E. Ruang Lingkup Penelitian............................................................................. 8 F. Landasan Teori.............................................................................................. 9 G. Metode Penelitian ......................................................................................... 13 H. Sistematika Penulisan ................................................................................... 15 BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka........................................................................................... 16 B. Kerangka Teori ............................................................................................. 18 1. Novel dan Struktur Novel ....................................................................... 18 a. Alur atau Plot...................................................................................... 20 b. Tema ................................................................................................... 20 c. Latar atau Setting ................................................................................ 21 d. Amanat .............................................................................................. 22 e. Tokoh dan Penokohan ........................................................................ 22 2. Teori Hegemoni....................................................................................... 24 a. Hegemoni Gramsci ............................................................................. 25 b. Kekuasaan Jawa.................................................................................. 29 c. Mitos Nyai Roro Kidul ....................................................................... 30 BAB III ANALISIS RELEVANSI ANTARUNSUR STRUKTUR CERITA DALAM NOVEL SANG NYAI A. Analisis Relevansi Antarunsur Struktur Cerita ............................................. 34 B. Analisis Tokoh dan Penokohan..................................................................... 43 1. Tokoh Sam .............................................................................................. 43 2. Tokoh Kesi/Nyai Roro Kidul .................................................................. 49
BAB IV ANALISIS HEGEMONI MITOS NYAI RORO KIDUL TERHADAP KEKUASAAN JAWA DALAM NOVEL SANG NYAI A. Bentuk-bentuk Hegemoni Nyai Roro Kidul .......................................... 52 1. Sang Nyai Sebagai Ratu.................................................................... 53 2. Sang Nyai Mendukung Eksistensi Raja ............................................ 66 3. Sang Nyai Sebagai Penguasa Kosmis ............................................... 73 a. Keraton ........................................................................................ 74 b. Gunung Merapi............................................................................ 76 c. Laut Selatan ................................................................................. 79 4. Sang Nyai dalam Tradisi................................................................... 81 a. Tradisi Labuhan........................................................................... 81 (a) Sesajen ................................................................................... 82 (b) Selamatan ............................................................................. 84 (c) Kenduri ................................................................................. 85 (d) Upacara Labuhan................................................................... 87 b. Tradisi Ziarah .............................................................................. 90 B. Perlawanan Terhadap Hegemoni Mitos Nyai Roro Kidul ...................... 93 C. Hasil dari Perlawanan Terhadap Hegemoni Mitos Nyai Roro Kidul ..... 101 BAB V SIMPULAN ...................................................................................................... 108 DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................... 111
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1 : Sinopsis.................................................................................................... 114 Lampiran 2 : Biografi Pengarang .................................................................................. 118 Lampiran 3 : Peta Wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta............................................ 119 Lampiran 4 : Keraton Yogyakarta................................................................................. 120 Lampiran 5 : Keraton Surakarta .................................................................................... 121 Lampiran 6 : Gunung Merapi........................................................................................ 122 Lampiran 7 : Laut Selatan ............................................................................................. 123 Lampiran 8 : Tradisi Labuhan Kesultanan Yogyakarta ................................................ 124 Lampiran 9 : Eksistensi Nyai Roro Kidul ..................................................................... 126 Lampiran 10 : Daftar Istilah............................................................................................ 127 Lampiran 11 : Riwayat Penulis....................................................................................... 130
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Manusia hidup dalam suatu peradaban yang menghasilkan kebudayaan masyarakat tertentu. Kebudayaan tersebut mempengaruhi manusia, sehingga membentuk pola pikir, tingkah laku, kepercayaan, adat istiadat, kebiasaan, tradisi, nilai, bahkan mitos di dalam masyarakat. Namun, saat ini banyak berkembang paham-paham baru di dunia, dan hal itu berpengaruh terhadap budaya masyarakat. Hal ini menimbulkan pertentangan ideologi antara masyarakat tradisional dengan masyarakat modern. Dengan demikian, hal tersebut tentu berpengaruh terhadap perkembangan karya sastra. Menurut Ratna (2004:356-357) sastra merupakan bagian integral kebudayaan yang menceritakan berbagai aspek kehidupan dengan cara imajinatif kreatif, sekaligus masuk akal. Faruk (2012:141) menambahkan bahwa karya sastra
sebagai
salah
satu
bentuk
karya
seni yang merupakan integral
kebudayaan juga merupakan suatu situs hegemoni. Pengarang termasuk dalam kategori kaum intelektual organis yang merupakan salah satu pelaku hegemoni. Dengan demikian, segala aktivitas kultural, termasuk sastra dalam konteks ini, akan bermuara pada satu sasaran tunggal yaitu penciptaan satu iklim kultural tunggal melalui proses yang rumit. Penciptaan satu iklim yang tunggal ini menuntut pemersatuan sosial kultural yang heterogen melalui multiplisitas kehendak dan tujuan. Hal tersebut tersebar kemudian menjadi satu. Kegiatan
1
2
serupa itu merupakan aktivitas historis yang hanya mungkin dilakukan oleh “manusia kolektif”. Karya sastra yang berhubungan dengan manusia kolektif merupakan sesuatu yang dapat dikaji dengan sosiologi sastra. Namun terdapat teori khusus yang tidak hanya mengakui eksistensi sastra sebagai lembaga sosial yang relatif otonom,
melainkan
mempunyai
kemungkinan
relatif
formatif
terhadap
masyarakat. Teori tersebut merupakan penjabaran teori kultural/ideologis general Gramschi yang diterapkan dalam karya sastra, yaitu teori hegemoni (Faruk, 2012:130). Hegemoni sendiri berdasarkan pemikiran Gramsci dapat dijelaskan sebagai suatu kekuasaan atau dominasi atas nilai-nilai kehidupan, norma, maupun kebudayaan sekelompok masyarakat yang akhirnya berubah menjadi doktrin terhadap kelompok masyarakat lainnya, sehingga kelompok yang didominasi tersebut secara sadar mengikutinya (Anwar, 2010: 83). Sekuat apapun hegemoni pada pihak yang dominan, hal itu juga akan melahirkan orang yang memiliki ide atau gagasan yang berlawanan dari pihak tersebut. Bila gagasan serupa itu muncul ke permukaan, biasanya ia akan mengalami represi. Novel Sang Nyai mengambil setting masa kini saat paham modern telah menyebar luas, sehingga terdapat pihak yang menentang atau menolak terhadap hegemoni mitos Nyai Roro Kidul yang masih berpegang pada paham tradisional. Perlawanan terhadap hegemoni mitos Nyai Roro Kidul merupakan bentuk perlawanan terhadap kekuasaan Jawa. Novel Sang Nyai karya Budi Sardjono merupakan karya sastra (novel) yang menceritakan kehidupan seorang jurnalis bernama Sam. Ia mendapatkan
3
tugas untuk membuat feature tentang sosok kontroversial penguasa gaib Laut Selatan yaitu Nyai Roro Kidul. Namun, setelah berada sangat dekat dengan keberadaan Nyai Roro Kidul di Puri Parangkusumo, tepi pantai Laut Selatan, ia justru bertemu dengan sesosok gadis misterius bernama Kesi yang membawanya masuk ke dalam dunia yang sulit masuk ke nalar manusia. Sam sebagai tokoh utama sempat melakukan perlawanan terhadap hegemoni mitos Nyai Roro Kidul walaupun terbatas dalam batin tokoh. Namun, saat Sam yang tidak percaya akan hal gaib dan cenderung melakukan perlawanan, justru ia sendiri yang mengalami hal-hal mistik setelah bertemu dengan Kesi. Hal ini karena secara tidak langsung Kesi selalu ada di tempat keberadaan mitos Nyai Roro Kidul. Bahkan, Kesi juga mengajak Sam ke suatu tempat yang terasa asing sembari mengenalkannya dengan Kang Petruk, yang belakangan Sam ketahui sebagai legenda penjaga kawah Merapi. Budi Sardjono sebagai penulis Novel Sang Nyai lahir di Yogyakarta, pada 6 September 1953 merupakan penduduk setempat kota Yogyakarta. Ia telah menerbitkan beberapa novelnya antara lain: Ojo Dumeh (2005), Kabut dan Mimpi (2008), Sang Nyai (2011), Kembang Turi (2011), Api Merapi (2012), Roro Jonggrang (2013), serta Nyai Gowok (2014). Berdasarkan judul novel tersebut, maka Budi Sardjono merupakan penulis produktif yang telah mempublikasikan karya-karyanya. Pada Maret 2011 ia menerbitkan novel Sang Nyai yang menjadi objek material dalam kajian analisis penelitian ini. Novel Sang Nyai berhasil meraih penghargaan dari Balai Bahasa Yogyakarta. Novel tersebut ditulis berdasarkan
4
mitos dan realitas sosial masyarakat Jawa, khususnya daerah YogyakartaSurakarta. Ia menceritakan kejadian tiap segmen secara terstruktur dengan alur cerita yang menarik, sehingga melalui novel tersebut pembaca dapat memahami bahwa mitos dan adat masih kuat dijalankan masyarakat Jawa. Salah satu daerah dengan simbolisme masyarakat Jawa dan tradisinya yang menjadi acuan dan sangat dikenal masyarakat luas yaitu Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). DIY merupakan sebuah provinsi daerah istimewa di pesisir selatan pulau Jawa yang berdampingan dengan provinsi Jawa Tengah. Mitos dan kepercayaan tentang Nyai Roro Kidul berkembang sangat kuat di masyarakat daerah Yogyakarta dan sekitarnya. Terbukti dengan masih adanya Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta yang masih mengakui eksistensi Nyai Roro Kidul, membuat masyarakat patuh dan mengikuti tradisi yang ada. Sebagai contoh yaitu kenduri, selamatan, sesajen, ziarah, dan labuhan di Pantai Selatan merupakan tradisi yang masih dilakukan masyarakat Jawa pada waktu-waktu tertentu. Tradisi tersebut merupakan bentuk hegemoni dalam masyarakat Jawa karena secara sadar masyarakat mengikuti aktivitas tersebut sebagai bentuk penghormatan kepada penguasa, serta untuk memperoleh berkah dari alam. Dengan demikian, kebudayaan Jawa mempunyai pandangan hidup yang berbeda dengan masyarakat masa kini, karena kebudayaan Jawa masih mempertahankan kejawennya dengan mempercayai mitos dan tunduk kepada raja. Hal ini merupakan hegemoni yang masih terdapat dalam lingkungan sosial Jawa terutama Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta.
Untuk itulah
mengapa Yogyakarta merupakan provinsi yang menyandang gelar Daerah
5
Istimewa. Setiap hal yang berhubungan dengan Keraton masih sangat dihormati dalam lingkungan tersebut, bahkan hal itu berlangsung hingga sekarang, ketika Indonesia telah menjadi negara yang merdeka. Pengarang menjelaskan hubungan yang kuat antara Laut Selatan, Keraton, dan Gunung Merapi dalam novel Sang Nyai. Ketiga tempat tersebut berada dalam satu garis lurus yang memanjang dari selatan ke utara. Sosok Nyai Roro Kidul sebagai mitos dalam tradisi masyarakat Jawa yang mempunyai hubungan dengan Keraton dan penunggu kawah Merapi merupakan bentuk relasi yang menarik. Kekuasaan Jawa yang terdapat dalam novel tersebut menunjukkan betapa kuatnya kepercayaan masyarakat Jawa akan mitos yang ada, sehingga membentuk suatu hegemoni mitos Nyai Roro Kidul terhadap kekuasaan Jawa yang secara terbuka dijalankan oleh masyarakat secara turun-temurun. Hal disebabkan mitos dalam masyakarat Jawa mampu menjadi pranata sosial yang ampuh dalam membingkai kehidupan kultural masyarakatnya. Namun, apabila terjadi perpecahan, maka akan membuahkan pranata baru. Kekuasaan Jawa tradisional tersebut hingga era modern ini masih tetap bertahan. Hal ini membuat perlawanan muncul terhadap bentuk kekuasaan Jawa tradisional itu. Perlawanan berasal dari pemikiran-pemikiran modern yang bertentangan dengan hal-hal gaib, apalagi berkaitan dengan sosok Nyai Roro Kidul. Menurut Saini K.M. (1986:14-15) pengarang karya sastra mempunyai peran sebagai pendukung hegemoni, yakni menggunakan sastra untuk mendukung adanya hegemoni dengan mengkaji nilai-nilai yang terdapat dalam karya sastra sesuai realitas sosial masyarakat; pengarang menentang hegemoni, yaitu dengan
6
melakukan perlawanan atau memberikan gambaran yang bertentangan dengan hegemoni yang ada; dan pengarang mempunyai peran sebagai pendukung hegemoni tetapi dengan tujuan untuk melakukan kritik terhadap hegemoni. Berdasarkan hal tersebut, novel Sang Nyai menempatkan pengarangnya sebagai pendukung hegemoni. Namun, pengarang juga menyampaikan kritik melalui peran tokoh yang menganut ideologi modern. Tokoh tersebut mengalami pertentangan dengan hegemoni mitos Nyai Roro Kidul yang dipercaya oleh masyarakat Jawa dengan ideologi tradisional. Bentuk perlawanan antara ideologi tradisional dan ideologi modern tersebutlah yang akan dikaji dalam penelitian ini. Hegemoni mitos Nyai Roro Kidul terhadap kekuasaan Jawa yang terdapat dalam novel Sang Nyai juga merupakan pengetahuan yang diperlukan untuk memperkenalkan bentuk kekuasaan dan budaya Jawa kepada masyarakat luas. Tidak banyak novel yang bercerita tentang tradisi atau mitos Jawa secara terstruktur seperti dalam novel Sang Nyai. Hal tersebut sebagai gambaran wujud kekuasaan Jawa yang bersifat tradisional, sehingga gagasan di atas yang melatarbelakangi penulis untuk melakukan penelitian dengan judul “Hegemoni Mitos Nyai Roro Kidul Terhadap Kekuasaan Jawa dalam Novel Sang Nyai Karya Budi Sardjono”. Diharapkan dalam penelitian ini dapat menghasilkan sebuah temuan baru dengan analisis dari perspektif hegemoni mitos Nyai Roro Kidul terhadap kekuasaan Jawa yang terdapat dalam novel Sang Nyai. Dari analisis ini akan ditemukan perlawanan ideologi tradisional terhadap ideologi modern berkaitan dengan mitos Nyai Roro Kidul yang masih berkembang di masyarakat Jawa pada masa kini.
7
B. Rumusan Masalah Rumusan masalah merupakan acuan dari masalah yang diteliti agar penelitian menjadi lebih fokus dan tidak menyimpang dari tujuan dan manfaat yang hendak dicapai. Meskipun telah terjadi perubahan zaman, tetapi unsur budaya, mitos, dan tradisiJawa sangat mendominasi kisah dalam novel ini. Perlawanan ideologi tradisional dan modern membuat sebuah hegemoni dalam karya tersebut, yaitu hegemoni Nyai Roro Kidul terhadap kekuasaan Jawa. Berdasarkan uraian latar belakang penelitian di atas dapat diidentifikasi masalah sebagai berikut. 1) Bentuk-bentuk hegemoni mitos Nyai Roro Kidul terhadap kekuasaan Jawa yang terdapat dalam novel Sang Nyai karya Budi Sardjono. 2) Perlawanan terhadap hegemoni mitos Nyai Roro Kidul dalam novel Sang Nyai karya Budi Sardjono.
C. Tujuan Penelitian Sesuai dengan rumusan masalah tersebut maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut. 1) Menjelaskan bentuk-bentuk hegemoni mitos Nyai Roro Kidul terhadap kekuasaan Jawa yang terdapat dalam novel Sang Nyai karya Budi Sardjono. 2) Menjelaskan perlawanan terhadap hegemoni mitos Nyai Roro Kidul dalam novel Sang Nyai karya Budi Sardjono.
8
D. Manfaat Penelitian Penelitian ini memiliki manfaat praktis dan teoritis. Manfaat praktis yang diharapkan yaitu membantu pembaca untuk lebih mengetahui bentuk hegemoni mitos Nyai Roro Kidul terhadap kekuasaan Jawa yang terdapat di dalam novel Sang Nyai karya Budi Sardjono. Selanjutnya, kontribusi teoritis yang akan didapatkan setelah melakukan penelitian ini yaitu membantu mengembangkan ilmu pengetahuan, khususnya ilmu sastra dalam hal mengkaji sebuah karya sastra (novel). Hasil studi ini dapat dimanfaatkan untuk dasar pengembangan penelitian berikutnya yaitu, kajian sastra dengan teori hegemoni, untuk mengkaji bentuk-bentuk hegemoni Nyai Roro Kidul terhadap kekuasaan Jawa dan perlawanan terhadap hegemoni Nyai Roro Kidul.
E. Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini menggunakan objek material berupa novel Sang Nyai karya Budi Sardjono dan objek formal yakni hegemoni mitos Nyai Roro Kidul. Kajian sosiologi sastra khusus yaitu kajian hegemoni digunakan untuk mengkaji bentukbentuk hegemoni Nyai Roro Kidul dan perlawanan terhadap hegemoni Nyai Roro Kidul dalam novel Sang Nyai. Kekuasaan Jawa terfokus pada kekuasaan sang Ratu Pantai Selatan, yaitu Nyai Roro Kidul dan Raja (penguasa Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta). Dengan pemikiran bahwa, kekuasaan Keraton masih ada karena dukungan dari kekuasaan gaib Nyai Roro Kidul, sehingga membentuk hegemoni mitos Nyai Roro Kidul. Namun, terdapat
9
pertentangan antara ideologi tradisional pada kekuasaan Jawa tersebut dengan ideologi modern yang ada melalui beberapa tokohnya, yaitu Sam, Ki Aji Sembada, dan Raden Mas Damar Kusumo. Penelitian dimulai dengan analisis struktural teks yaitu menganalisis relevansi antara tokoh dan penokohan dengan unsur tema, alur, setting, dan amanat. Kemudian, dengan menganalisis hegemoni mitos Nyai Roro Kidul terhadap kekuasaan Jawa yang terdapat dalam novel yakni Sang Nyai sebagai ratu, Sang Nyai mendukung eksistensi raja, Sang Nyai sebagai penguasa kosmis, dan Sang Nyai dalam tradisi. Dilanjutkan dengan menganalisis perlawanan yang dilakukan tokoh terhadap hegemoni mitos Nyai Roro Kidul dalam novel Sang Nyai karya Budi Sardjono.
F. Landasan Teori Untuk menganalisis permasalahan yang telah diuraikan di atas, diperlukan adanya landasan teori yang tepat. Teori merupakan alat terpenting dari suatu ilmu pengetahuan. Tanpa teori, hanya ada pengetahuan tentang serangkaian fakta saja (Koentjaraningrat, 1977:19). Penulis menggunakan kajian hegemoni untuk meneliti kekuasaan Jawa yang terdapat dalam novel Sang Nyai karya Budi Sardjono. Namun, dalam mengkaji masalah utama tersebut penulis akan menggunakan pendekatan struktural sebagai pijakan dalam meneliti novel Sang Nyai karya Budi Sardjono secara lebih cermat. Berikut teori yang relevan dalam kajian penelitian ini.
10
1.
Teori Struktural
Teori struktural adalah teori penelitian sastra yang bertindak pada prinsip strukturalisme, bahwa karya sastra dipandang sebagai peristiwa seni bahasa yang terdiri dari norma-norma dan secara keseluruhan membangun sebuah struktur (Wellek dan Warren, 1989:59). Menurut Hill yang dikutip oleh Pradopo, karya sastra adalah sebuah struktur yang kompleks, oleh karena itu untuk dapat memahaminya haruslah karya satra dianalisis. Dalam analisis itu karya sastra diuraikan unsur-unsur pembentuknya. Dengan demikian, makna keseluruhan karya sastra akan dapat dipahami. Hal ini mengingat pendapat Hawkes melalui Pradopo bahwa karya sastra itu adalah sebuah karya sastra yang utuh. Di samping itu, sebuah struktur sebagai kesatuan yang utuh dapat dipahami makna keseluruhannya bila diketahui unsur-unsur pembentuknya dan saling berhubungan di antaranya dengan keseluruhannya. Unsur-unsur atau bagian-bagian lainnya dengan keseluruhannya (Pradopo, 2005:108). Kemudian Sudjiman (1988:16-7) berpendapat bahwa struktur yang membangun cerita rekaan biasanya terdiri atas alur dan pengaluran, tema dan amanat, latar dan pelataran, tokoh dan penokohan serta pusat pengisahan. Teori struktural terdiri atas dua bagian yaitu unsur instrinsik dan unsur ekstrinsik. Adapun yang terkandung di dalam unsur intrinsik antara lain alur, penokohan, latar serta tema dan amanat. Untuk itulah, analisis struktural ini diperlukan sebagai pijakan untuk menuju analisis berikutnya.
11
2.
Sosiologi Sastra
Hartoko dan B. Rahmanto dalam bukunya yang berjudul Pemandu di Dunia Sastra memaparkan bahwa sosiologi sastra adalah cabang ilmu sastra yang mempelajari sastra dalam hubungannya dengan kenyataan sosial. Kenyataan sosial mencakup pengertian konteks pengarang dan pembaca (produksi dan resepsi) dan sosiologi karya sastra (aspek-aspek sosial dalam teks sastra). Pembicaraan tentang konteks sosial pengarang dan pembaca disebut sosiologi komunikasi sastra dan pembicaraan sosiologi karya sastra disebut penafsiran teks sastra secara sosiologis (dalam Noor, 2009:87). Sosiologi sastra yang dikembangkan oleh Goldman mencoba untuk menyatukan analisis struktural dengan materialisme historis dan dialektik. Baginya, karya sastra harus dipahami sebagai totalitas yang bermakna. Ia berpendapat bahwa karya utama sastra dan filsafat memiliki kepaduan total, dan bahwa unsur-unsur yang membentuk teks itu mengandung arti hanya apabila bisa memberikan suatu lukisan lengkap dan padu tentang makna keseluruhan karya tersebut (Damono, 2010:55). Pada saat ini, pendekatan sosiologi sastra yang paling banyak dilakukan orang, adalah menaruh perhatian kepada teks sastranya atau aspek dokumenter sastra. Menurut Damono (2009: 8-9) landasannya adalah suatu gagasan bahwa karya sastra merupakan cermin langsung dari berbagai struktur sosial, hubungan kekeluargaan, pertentangan sosial, dan sebagainya. Dalam hal ini tugas ahli sosiologi sastra hanya menghubungkan pengalaman tokoh-tokoh khayali dan situasi ciptaan pengarang, dengan sejarah asal-usul sosiologi. Jadi tema dalam
12
karya sastra, yang bersifat pribadi harus diubah oleh pengarangnya menjadi hal yang bersifat sosial.
3.
Teori Hegemoni
Berdasarkan pemikiran Gramsci dapat dijelaskan bahwa hegemoni merupakan suatu kekuasaan atau dominasi atas nilai-nilai kehidupan, norma, maupun kebudayaan sekelompok masyarakat yang akhirnya berubah menjadi doktrin terhadap kelompok masyarakat lainnya dimana kelompok yang didominasi tersebut secara sadar mengikutinya (Anwar, 2010: 83). Istilah hegemoni umumnya dipakai oleh para komentator politik untuk menunjuk
dominasi
kekuasaan
dan
kepemimpinan.
Namun,
dalam
perkembangannya istilah hegemoni tidak hanya digunakan oleh banyak orang untuk merujuk sebuah dominasi kekuasaan atau kepemimpinan seperti misalnya hegemoni laki-laki terhadap perempuan atau sebaliknya. Menurut Gramsci, konsep tersebut mengacu kepada pengertian yang kompleks yang di dalamnya bentuk-bentuk politis, kultural, dan ideologis turut membangun kepemimpinan ini secara tawar-menawar bukan dominasi yang bersifat memaksa(Faruk, 2012: 132133). Sebuah dominasi atau hegemonik tidak hanya mengenai proses kultural dalam peranannya yang aktif dan konstitutif, tetapi juga berurusan dengan bentukbentuk kultural oposisional dan alternatif yang mungkin menentang tatanan dominan
bahkan
ketika
bentuk-bentuk
itu
masih
terbungkus
termarginalisasikan oleh batas-batas tekanan hegemonik (Faruk, 2012: 156).
atau
13
Studi sastra tentang kebudayaan menurut Raymond Williams yaitu masyarakat dan kebudayaan merupakan suatu totalitas yang tidak terpisahkan satu sama lain. Dengan demikian, di dalamnya
tidak ditemukan
hubungan
determinasi antara elemen yang satu dengan elemen lain. Yang ada hanyalah hubungan pembatasan (setting limits). Pada gilirannya, untuk mengatasi persoalan determinasi Gramscian. membedakan
Williams,
tersebut
Williams menggunakan
dalam
kebudayaan
yang
menerapkan terlibat
teori
konsep
hegemoni
hegemoni
Gramsci,
dengan kekuasaan menjadi tiga
kategori: kebudayaan hegemonik atau dominan, bangkit atau emergent, dan endapan atau residual (Faruk, 2012:155-156; Harjito, 2002:28). Teori hegemoni tersebut yang akan menjadi acuan dari analisis penelitian ini.
G. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan sosiologi sastra, yaitu pendekatan yang menitikberatkan pada hubungan antara karya sastra dengan realitas kehidupan masyarakat. Sastra umumnya berusaha untuk menampilkan keadaan masyarakat secermat-cermatnya agar mampu menggambarkan kehidupan asli dari masyarakat zamannya. Mitos merupakan bagian dari aspek sosiologi sastra, sedangkan penelitian ini meneliti sosiologi teks. Sosiologi teks tersebut meneliti mitos yang berkembang dalam novel Sang Nyai karya Budi Sardjono. Penelitian ini juga merupakan jenis penelitian deskriptif kualitatif. Penafsiran penelitian ini dijelaskan secara rinci dengan gambaran atau lukisan yang sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta-fakta, peristiwa-peristiwa
14
maupun hubungan antarfenomena dalam menganalisis novel Sang Nyai karya Budi Sardjono. Oleh sebab itu, untuk memperoleh sebuah temuan yang empiris diperlukan data yang teruji. Sumber data primer dalam penelitian ini adalah novel Sang Nyai karya Budi Sardjono. Sumber data lain yang mendukung penelitian ini yaitu skripsi, tesis, atau penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan teori hegemoni dan novel Sang Nyai. Sumber data sekunder berasal dari dokumen lainnya yang mendukung adanya fakta dari objek penelitian seperti buku-buku literatur, buku tentang kebudayaan Jawa, mitos, internet, atau buku-buku lainnya. Teknik penelitian meliputi beberapa hal yaitu (1) teknik pengumpulan data, kegiatan ini merupakan bagian terpenting dalam penelitian. Kualitas sebuah penelitian tergantung dari proses yang dilakukan pada saat pengumpulan data. Pada saat mengerjakan aktivitas ini peneliti akan melakukan analisis yang membutuhkan penguasaan teori atau konsep struktural, agar penelitian menjadi terstruktur dan sesuai target yang diharapkan, cara operasional pengumpul data itu dikenal dengandata reduction dan data selection (Siswantoro, 2010:74), (2) menyeleksi data yaitu dengan mengidentifikasi setiap unsur dalam novel Sang Nyai, (3) analisis data digunakan untuk menganalisis relevansi tokoh dan penokohan dengan tema, alur, setting, dan amanat, hegemoni mitos Nyai Roro Kidul terhadap kekuasaan Jawa, serta perlawanan terhadap hegemoni mitos Nyai Roro Kidul; dilanjutkan dengan (4) menarik simpulan dari analisis yang telah dilakukan.
15
H. Sistematika Penyajian Bab I merupakan pendahuluan, yang berisi latar belakang penulisan, rumusan masalah, tujuan penulisan, ruang lingkup penelitian, landasan teori, metode penelitian, serta sistematika penelitian. Bab II berupa tinjauan pustaka yang mencakup penelitian sebelumnya dan kerangka teori yang menjelaskan teori struktural novel dan teori hegemoni. Bab III berisi analisis relevansi antarunsur struktur cerita dalam novel Sang Nyai karya Budi Sardjono menggunakan metode struktural. Bab IV berisi paparan analisis hegemoni mitos Nyai Roro Kidul terhadap kekuasaan Jawa dan perlawanannya dalam novel Sang Nyai karya Budi Sardjono. Bab V merupakan penutup, yang memuat simpulan hasil analisis yang diperoleh dari hasil penelitian bab-bab sebelumnya.
16
BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI
Bab II ini terdiri atas dua subbab, yaitu subbab penelitian sebelumnya dan subbab kerangka teori.Subbab penelitian sebelumnya memaparkan intisari beberapa penelitian sejenis yang pernah dilakukan, subbab kerangka teori memaparkan beberapa teori yang digunakan dalam penelitian novel Sang Nyai karya Budi Sardjono.Teori yang digunakan di antaranya adalah teori struktural dan teori hegemoni. Berikut uraiannya.
A. Tinjauan Pustaka Terdapat beberapa penelitian mengambil objek material novel Sang Nyai karya Budi Sardjono yang relevan dengan penelitian ini, yaitu: penelitian yang dilakukan oleh Dwi Isma Hajarwati (2013) dengan judul “Mitos dalam Novel Sang Nyai Karya Budi Sardjono” dalam jurnal skripsi mahasiswa STKIP PGRI Jombang. Penelitian tersebut bertujuan untuk mengetahui struktur mitos dan fungsi mitos dalam novel Sang Nyai karya Budi Sardjono. Metode yang digunakan adalah metode deskriptif kualitatif, difokuskan pada mitos yang terjadi pada novel
Sang
Nyai yang dikaji dengan strukturalisme Lèvi-Strauss.
Pendekatan ini membuat pemahaman akan karya sastra lebih mudah karena bertujuan untuk memahami mitos yang tertuang dalam realita kehidupan masyarakat modern. Hasil penelitian menunjukkan bahwa struktur mitos yang terdapat dalam novel tersebut hanya ada pada tokoh Kesi dan Kang Petruk.
17
Berikutnya, penelitian yang dilakukan oleh Intan Dewi Permatasari (2013) yang berjudul “Nilai Budaya Jawa dalam Novel Sang Nyai Karya Budi Sardjono dan Implikasinya terhadap Pembelajaran Sastra Indonesia di SMA” dalam skripsi mahasiswa Universtias Pancasakti, Tegal. Penelitian tersebut menganalisis lima nilai budaya Jawa yang terdapat dalam novel Sang Nyai karya Budi Sardjono. Lima nilai budaya Jawa tersebut adalah (1) nilai agama, (2) nilai moral; (3) nilai budaya; (4) nilai sosial; dan (5) nilai terhadap alam sekitar. Teknik analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Teknik pengumpulan data yang digunakan penelitian ini adalah teknik dokumentasi, teknik kepustakaan, dan teknik baca, simak dan catat. Metode dan teknik analisis data menggunakan metode analisis deskriptif kualitatif. Hasil akhirnya yakni implikasi nilai budaya Jawa dalam novel Sang Nyai karya Budi Sardjono dapat menambah minat siswa untuk membaca karya-karya sastra dalam kegiatan pembelajaran sastra di SMA. Selain itu, juga bermanfaat untuk menambah wawasan siswa tentang nilai budaya Jawa. Selain penelitian di atas yang menggunakan objek material sama yaitu novel Sang Nyai karya Budi Sardjono, ada penelitian lain yang relevan dengan objek formal kajian analisis penelitian ini, antara lain skripsi yang ditulis oleh Irma Anita Sary (2013), mahasiswa STKIP PGRI Jombang yang berjudul “Hegemoni Gramsci dalam Novel Sekali Peristiwa di Banten Selatan Karya Pramoedya Ananta Toer.” Skripsi ini membahas tentang hegemoni kultural, hegemoni ideologi, dan instabilitas hegemoni dalam novel Sekali Peristiwa di Banten Selatan karya Pramoedya Ananta Toer. Penelitian lainnya yaitu oleh Dewi
18
Ayu Larasati tahun 2011, mahasiswa Universitas Sumatera Utara, Medan yang berjudul “Etika Kekuasaan Jawa dalam Novel Para Priyayi Karya Umar Kayam”. Penelitian ini menghasilkan analisis mengenai etika kekuasaan Jawa yang dilakukan oleh para priyayi. Selanjutnya, penelitian lain yang berkaitan dengan budaya Jawa yaitu pada penelitian yang digarap oleh Muharrina Harahap (2009) yang berjudul “Mitologi Jawa dalam Novel-Novel Kuntowijoyo” tesis mahasiswa Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
B. Kerangka Teori 1. Novel dan Struktur Novel Sastra merupakan wujud refleksi realitas sosial meskipun dalam penyajiannya dibumbui oleh unsur imajinatif dari pengarang. Sejalan dengan pendapat Damono (2010:1) yang menyebutkan bahwa sastra adalah lembaga sosial yang menggunakan bahasa sebagai medium, hal ini tentu karena bahasa itu sendiri merupakan ciptaan sosial. Dengan demikian sastra menampilkan gambaran kehidupan, dan kehidupan itu sendiri adalah suatu kenyataan sosial. Wellek dan Warren mengatakan bahwa karya sastra sebuah lembaga masyarakat yang bermedium bahasa, sedangkan bahasa adalah ciptaan masyarakat (1989:48). Menanggapi hal tersebut, bahasa merupakan hal terpenting dalam karya sastra. Bahasa sebagai sarana menuangkan suatu karya imajinatif hasil karya cipta dunia pengarang yang bersifat imajinatif berbentuk cerpen, novel, novela, puisi maupun karya sastra yang lainnya. Pengertian lain mengenai karya sastra dirumuskan secara metodik oleh Jehlen (dalam Anwar, 2010: 143) yang
19
menempatkan karya sastra sebagai objek materi yang berbeda dengan objek-objek materi lain dalam studi fisik dan sosial. Karya sastra adalah dirinya sendiri yang telah ditafsirkan oleh pengarangnya. Novel merupakan cerita rekaan yang panjang, yang mengetengahkan tokoh-tokoh dan menampakkan serangkaian peristiwa dan latar (setting) secara terstruktur (Noor, 2009:27). Novel sendiri merupakan gabungan dari realitas dan kenyataan. Pembaca sebagai penikmat karya sastra tersebut juga harus memahami novel dan menafsirkan peristiwa yang ada dalam kenyataan sehari-hari. Struktur karya sastra sendiri dapat diartikan sebagai susunan, penegasan, dan gambaran yang membentuk kebulatan yang indah. Selanjutnya, menurut Abrams (dalam Nurgiyantoro, 2010:36) sebuah karya sastra, fiksi atau puisi mempunyai unsur pembangun yang koherensif sehingga merupakan sebuah totalitas. Dengan demikian, unsur pembangun tersebut merupakan hal penting dalam penyusunan sebuah karya fiksi atau puisi untuk membentuk suatu totalitas yang koheren, guna membuat sebuah gambaran yang mempunyai nilai estetis. Struktur karya sastra juga mengacu pada hubungan antarunsur instrinsik yang bersifat timbal balik, saling menentukan dan mempengaruhi, sehingga membentuk satu kesatuan yang utuh jika bersama-sama. Lain halnya jika unsur tersebut hanya berdiri sendiri maka bagian-bagian tersebut tidak penting, namun jika berhubungan dengan unsur-unsur yang lain, maka akan lebih mempunyai makna dan membentuk suatu wacana (Nurgiyantoro, 2010:36). Berdasarkan pernyataan tersebut, agar lebih mudah dalam mengkaji novel Sang Nyai karya Budi Sardjono, maka penelitian dilakukan dengan menganalisis pada tokoh dan
20
penokohan, namun dihubungkan dengan unsur instrinsik lain pembangun novel yaitu tema, alur, latar (setting), dan amanat.
a. Alur/Plot Sebuah cerita tidak dapat dipisahkan dari unsur yang disebut plot atau alur. Definisi menurut Stanton (2012:26) alur merupakan rangkaian peristiwa-peristiwa dalam sebuah cerita. Peristiwa tersebut terhubung secara kasual, dan peristiwa tersebut merupakan peristiwa yang dapat menyebabkan atau menjadi dampak dari peristiwa yang lain. Hal tersebut tidak dapat diabaikan karena akan berpengaruh pada keseluruhan cerita. Kenny (dalam Nurgiyantoro, 2010:113) mengemukakan plot sebagai peristiwa-peristiwa yang ditampilkan dalam cerita yang tidak sederhana, karena peristiwa itu telah disusun berdasarkan kaitan sebab akibat oleh sang pengarang. Menambahkan pengertian di atas, Forster mengemukakan plot sebagai peristiwa cerita yang mempunyai penekanan pada hubungan kasualitas. Berdasarkan tiga pengertian di atas, alur merupakan sebuah bentuk penyampaian kejadian tiap peristiwa yang mempunyai hubungan sebab akibat dan tidak dapat berdiri sendiri, namun saling berkaitan antara satu dengan yang lain.
b. Tema Tema menurut Stanton dan Kenny (melalui Nurgiyantoro, 2010:67) merupakan makna yang dikandung sebuah cerita, namun makna yang dimaksud adalah
21
makna khusus yang mewakili keseluruhan cerita. Makna tersebut merupakan poin utama yang menjadi garis besar cerita dan menjadi acuan isi cerita. Tema memberi kekuatan yang menegaskan kesatuan kejadian-kejadian yang sedang diceritakan sekaligus mengisahkan kehidupan dalam konteksnya yang paling umum. Tema merupakan bentukan dari kesatuan cerita dan memberi makna pada setia peristiwa. Dengan demikian, dengan adanya tema maka dapat diketahui apa makna cerita, karena pengarang memanfaaatkan tema sejauh tema memberikan makna pada pengalaman cerita (Stanton, 2012:8).
c. Latar/Setting Menurut Abrams (dalam Nurgiyantoro, 2010:216), latar atau setting disebut juga sebagai landas tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan. Pendapat lainnya menurut Stanton, latar merupakan lingkungan yang melingkupi sebuah peristiwa dalam cerita, semesta yang berinteraksi dengan peristiwaperistiwa yang sedang berlangsung di dalam sebuah karya sastra (Stanton, 2012:35). Dalam novel terdapat hubungan antara latar dengan unsur cerita yang lain, baik secara langsung maupun tak langsung, khususnya dengan alur dan tokoh. Perbedaan latar, baik yang menyangkut hubungan tempat, waktu, maupun sosial menuntut adanya perbedaan pengaluran dan penokohan (Nurgiyantoro, 2010:223225).
22
d. Amanat Amanat atau moral cerita merupakan pandangan hidup pengarang yang disampaikan, tentang nilai-nilai kebenaran, dan hal tersebut ingin disampaikan kepada pembaca melalui cerita, pengertian tersebut diungkapkan oleh Kenny (dalam Nurgiyantoro, 2010:321). Melalui amanat tersebut maka dengan melihat sikap para tokoh, maksud dari kejadian dan peristiwa, serta melalui sikap, cerita dan tingkah lakunya dapat mengambil hikmah atau pesan dari cerita yang diamanatkan.
e. Tokoh dan Penokohan Istilah “tokoh” menunjuk pada pelaku cerita. Abrams menjelaskan bahwa tokoh (character) merupakan orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan mempunyai kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam dialog atau melalui tindakan (Nurgiyantoro, 2010:165). Dari segi peranan atau tingkat pentingnya tokoh, maka oleh Nurgiyantoro (2010:176) tokoh dibedakan menjadi tokoh utama cerita dan tokoh tambahan. Tokoh utama adalah tokoh yang tergolong penting dan ditampilkan terusmenerus, sehingga terasa mendominasi sebagian besar cerita. Tokoh tambahan adalah tokoh-tokoh yang dimunculkan sekali atau beberapa kali dalam cerita dalam porsi yang relatif lebih pendek. Berdasarkan fungsi penampilan tokoh, maka dikenal tokoh protagonis, yaitu tokoh yang dikagumi –dikenal sebagai hero– tokoh yang sesuai dengan
23
harapan-harapan pembaca, segala hal yang dirasakan tokoh tersebut seperti yang dirasakan pembaca. Berlawanan dengan tokoh protagonis, tokoh antagonis adalah tokoh yang menciptakan konflik dan ketegangan, khususnya terhadap tokoh protagonis (Nurgiyantoro, 2010:178-179). Foster (melalui Nurgiyantoro, 2010:181) membagi tokoh berdasarkan perwatakannya, yaitu tokoh sederhana dan tokoh bulat. Tokoh sederhana adalah tokoh yang mempunyai satu kualitas pribadi sehingga hanya mempunyai sifat atau watak tertentu saja, sedangkan tokoh bulat merupakan tokoh yang lebih kompleks, sehingga mempunyai berbagai kemungkinan dalam sisi kehidupan, kepribadian, bahkan jati dirinya. Kriteria
lain
dalam
menentukan
perwatakan
tokoh
berdasarkan
berkembang atau tidaknya perwatakan tokoh cerita, hal ini dibedakan menjadi tokoh statis dan tokoh berkembang. Tokoh statis adalah tokoh yang tidak mengalami perkembangan atau perubahan akibat dari peristiwa yang terjadi. Berlawanan dengan tokoh statis, tokoh berkembang adalah tokoh yang mengalami perubahan dan perkembangan perwatakan sejalan dengan peristiwa atau plot yang dikisahkan (Nurgiyantoro, 2010:188). Pembedaan tokoh yang lain yaitu berdasarkan kemungkinan pencerminan tokoh cerita terhadap manusia dari kehidupan nyata. Menurut Altenberd dan Lewis (dalam Nurgiyantoro, 2010:190-191) tokoh itu terbagi atas tokoh tipikal yaitu tokoh yang hanya sedikit ditampilkan individualitasnya, sehingga lebih banyak ditampilkan kualitas pekerjaan dan kebangsaannya, dan tokoh netral yaitu
24
tokoh yang bereksistensi demi cerita itu sendiri, hanya dihadirkan semata-mata demi cerita. Nurgiyantoro (2010:166) mengungkapkan bahwa selain unsur tokoh, juga terdapat penokohan dalam sebuah karya sastra. Penokohan merupakan salah satu unsur pembangun karya fiksi yang mencakup masalah identitas tokoh cerita, bagaimana perwatakan, dan bagaimana penempatan pelukisannya dalam sebuah cerita, sehingga sanggup memberi gambaran yang jelas pada pembaca. Unsur penokohan sebagai unsur yang penting dapat dikaji dan dianalisis keterjalinannya dengan unsur pembangun lainnya. Jika penokohan terjalin secara harmonis dan saling melengkapi dengan unsur yang lain, maka suatu karya fiksi telah dianggap sebagai karya yang berhasil. Seperti halnya berkaitan dengan unsur plot, tema, setting, amanat, sudut pandang, gaya, dan lain-lain (Nurgiyantoro, 2010:172). Berdasarkan pengertian di atas, penelitian ini memfokuskan hubungan antara penokohan dengan unsur cerita yang lain. Seperti yang telah diungkapkan Nurgiyantoro (2010:172-173) unsur cerita yang lain tersebut meliputi : (1) Penokohan dan pemplotan; (2) Penokohan dan tema; (3) Penokohan dan setting; (4) Penokohan dan amanat. Unsur-unsur tersebut saling berkaitan, sehingga membentuk analisis struktural teks yang menjadi satu kesatuan. Hal ini akan lebih memudahkan dalam mengapresiasi karena keterkaitan antar elemen dalam cerita tidak dapat dipisahkan yaitu relevansi antara tokoh dan penokohan dengan unsur tema, plot, setting, dan amanat.
25
2. Teori Hegemoni a. Hegemoni Gramsci Hegemoni berasal dari akar kata bahasa Yunani hegeisthai (to lead atau shidouken) yang artinya memimpin, kepemimpinan, ataupun kekuasaan yang melebihi kekuasaan yang lain. Dengan demikian, secara leksikografis hegemoni mempunyai arti ‘kepemimpinan’. Namun, dalam kehidupan sehari-hari istilah hegemoni dikaitkan dengan dominasi. Istilah hegemoni sendiri sering dikacaukan dengan istilah ideologi karena terdapat unsur kepemimpinan dan persetujuan dari kelompok yang dihegemoni. Hal ini sangat berbeda, karena dalam hegemoni yang mempunyai struktur lebih kompleks dapat terkandung ideologi, namun belum tentu sebaliknya (Ratna, 2010:175). Hegemoni juga banyak dipakai oleh para ahli sosiologi untuk menggambarkan suatu usaha mempertahankan kekuasaan. Artinya, bagaimana kelompok yang mendominasi berhasil mempengaruhi kelompok yang didominasi untuk menerima nilai-nilai moral, politik, dan budaya dari kelompok berkuasa. Hegemoni dikembangkan oleh seorang filsuf Marxis Italia Antonio Gramsci (1891-1937). Konsep tersebut dikembangkan atas dasar dekonstruksinya terhadap konsep-konsep Marxis Ortodoks. Menurut Chantal Mouffe istilah hegemoni mulai digunakan pada tahun 1926 dalam tulisannya yang berjudul “Notes on The Sourthen Question”. Berbeda halnya dengan pendapat Roger Simon karena istilah hegemoni telah digunakan Plekhanov dan para pengikut Marxis pada umumnya sekitar tahun 1880-an (Ratna, 2010:176).
26
Kepemimpinan merupakan sebuah hegemoni seperti yang dikemukakan oleh Gramsci. Hegemoni itu didefinisikan sebagai sesuatu yang kompleks, yang sekaligus bersifat ekonomik dan elit-politis. Dalam hegemoni perlu diperhatikan kecenderungan dan interes-interes suatu kelompok tempat hegemoni tersebut dijalankan. Terdapat pengorbanan tertentu yang dilakukan secara kompromi oleh kelompok dalam berbagai hal, baik dalam aktivitas ekonomi maupun elit-politis (Faruk, 2010:142). Hegemoni Gramscian populer pada dekade 1970-an hingga 1980-an dengan memberikan perhatian pada proses pemaknaan yang didominasi oleh praktik otoritatif. Dalam analisis Gramscian, ideologi dipahami sebagai ide yang mendukung kelompok sosial tertentu. Benet membandingkan konsep kebudayaan menurut Foucault dan Gramsci. Pusat perhatian Foucoult pada pemerintahan birokrasi, sedangkan Gramsci pusat perhatiannya adalah ideologi. Bagi Foucoult kekuasaan tidak mempunyai asal usul dan tidak bersifat tunggal, sedangkan kekuasaan (hegemoni) menurut Gramsci mengalir ke bawah mengarah pada perjuangan kaum tertindas untuk menentang sumber kekuasaan tunggal (Ratna, 2010:179). Bagi Gramsci, sejarah adalah suatu proses konflik dan kompromi yang di dalamnya terdapat kelas fundamental yang nanti akan muncul sekaligus sebagai dominan dan direktif dalam batas-batas ekonomik, bahkan hingga dalam batasbatas moral dan intelektual. Hegemoni yang mendefinisikan sifat kompleks dari hubungan antara rakyat dengan kelompok-kelompok pemimpin masyarakat dalam suatu hubungan yang tidak hanya politis dalam pengertian sempit, tetapi juga
27
mengenai gagasan-gagasan atau kesadaran. Tekanan inilah yang menandakan orisinalitas konsep hegemoni. Apabila marxisme ortodoks memberikan tekanan secara berlebihan pada pentingnya dasar ekonomi masyarakat, berbeda dengan gagasan liberal Gramsci yang berpegang pada penyatuan kedua aspek tersebut. Salah satu cara yang terdapat di dalamnya yaitu “pemimpin” dan “yang dipimpin” disatukan melalui “kepercayaan-kepercayaan populer” (Faruk, 2012:143-144). Menurut Gramsci, ada tiga cara untuk membentuk gagasan, yaitu: (1) bahasa merupakan sarana utama yang berpengaruh terhadap konsep dunia tertentu. Makin luas wilayah maka makin banyak bahasa yang dikuasai, dan makin mudah dalam penyebaran ideologi; (2) pendapat umum (common sense) yang bersifat kolektif. Menurut Gramsci budaya pop telah menjadi arena penting dalam pertarungan ideologi. Melalui pendapat umum maka dibangunlah ideologi, yang juga berfungsi untuk melawan ideologi; (3) Folklor, dalam hal ini meliputi kepercayaan, opini, dan takhayul juga sangat berperan dalam menopang hegemoni, kekuatan ini berfungsi untuk mengikat masyarakat tanpa kekerasan. Pada dasarnya hegemoni tidak dapat dipaksakan dari pemimpin, namun tidak juga berkembang secara bebas atau tidak disengaja, hegemoni diperoleh dari negoisasi dan kesepakatan (dalam Ratna, 2010:184). Raymond Williams
dalam
menerapkan
teori
hegemoni
Gramsci,
membedakan kebudayaan yang terlibat dengan kekuasaan menjadi tiga kategori yaitu kebudayaan hegemonik atau dominan, bangkit atau emergent, dan endapan atau residual. Kebudayaan hegemonik atau dominan merupakan kebudayaan yang mendominisi, namun tidak secara pasif, melainkan sesuatu yang terus-menerus
28
harus
diperbarui,
diciptakan
kembali,
dipertahankan,
dan
dimodifikasi.
Selanjutnya, kebudayaan bangkit atau yang diperjuangkan yaitu praktik-praktik, makna-makna, dan nilai-nilai baru, dan jenis-jenis hubungan yang tidak hanya bersangkutan dengan ciri-ciri kebudayaan dominan, melainkan secara substansial merupakan alternatif yang bertentangan dengannya. Kemudian, kebudayaan residual mengacu pada pengalaman, makna-makna, nilai-nilai yang dibentuk masa lalu, meskipun bukan merupakan bagian dari kebudayaan dominan, terus hidup dan dipraktikkan pada masa kini (Faruk, 2012:155-56). Dengan demikian, pada awalnya kepercayaan tentang mitos merupakan sebuah kebudayaan yang residual. Dominasi peran penguasa yang ada membuat sebuah hegemoni kekuasaan tercipta di masyarakat Jawa yang berasal dari mitos Nyai Roro Kidul, dan masih diikuti oleh raja terdahulu hingga sekarang. Dengan dominasi Sang Nyai sebagai ratu, Sang Nyai mendukung eksistensi raja, sebagai penguasa kosmis, dan dalam tradisi menunjukkan bentuk dari hegemoni Nyai Roro Kidul yang dipercaya oleh masyarakat. Meskipun demikian, dalam sebuah masyarakat jika ada penguasa, maka tentu ada represi sehingga menimbulkan perlawanan pada hegemoni Nyai Roro Kidul terhadap kekuasaan Jawa yang ada dalam novel Sang Nyai karya Budi Sardjono. Hal ini disebabkan adanya sebuah ideologi baru yang masuk, maka tumbulah kebudayaan bangkit, untuk memperjuangkan nilai-nilai baru yang diharapkan dapat melawan kebudayaan sebelumnya.
29
b. Kekuasaan Jawa Sekalipun ada banyak pandangan berbeda tentang konsep kekuasaan, namun mencapai sebuah deskripsi yang mewakili semua bahwa kekuasaan dianggap sebagai kemampuan pelaku (merujuk pada seseorang, sekelompok orang, atau suatu kolektivitas) untuk mempengaruhi tingkah laku pelaku lain, sehingga perilaku dari pelaku lain sesuai dengan keinginan dari pelaku yang mempunyai kekuasaan (Budiardjo, 1984:9). Penelitian ini memfokuskan pada kekuasaan Jawa yang berkembang di sekitar Yogyakarta. Kekuasaan Jawa sangat erat kaitannya dengan hegemoni sebagai dominasi dari pemerintahan raja. Koentjaraningrat mengatakan bahwa tidak hanya kesaktian yang diperlukan untuk menjadi seorang pemimpin. Seperti halnya semua pemimpin di dunia, seorang pemimpin dalam masyarakat berkebudayaan Jawa perlu memperhitungkan semua komponen kekuasaan yang diperlukan seorang pemimpin secara universal. Seorang pemimpin juga perlu memiliki sifat yang diperlukan sebagai syarat pimpinan yang bermutu. Kita akan sesat apabila kita mengira bahwa orang Jawa menganggap kekuasaan identik dengan satu energi sakti yang dapat diraih dengan upacara atau bertapa. Konsepsi orang Jawa mengenai kekuasaan dan kepemimpinan jauh lebih kompleks dari itu; konsepsi masa kini sedang berkembang dari konsepsi tradisional, ke arah suatu konsepsi Indonesia masa kini. (Koentjaraningrat dalam Budiardjo, 1984:143). Masyarakat tradisional Jawa harus mempunyai sosok penguasa yang mencerminkan sifat-sifat kepemimpinan dan kekuasaan seperti dalam kerangka teori pemikiran Koentjaraningrat pada masyarakat negara kuno. Raja harus mempunyai kharisma sebagai komponen paling penting, sehingga hal tersebut merupakan unsur yang menjamin kontinuitas wewenang atau tanggungjawab
30
kepemimpinan. Namun, raja dalam masyarakat tradisional tidak dapat mengabaikan unsur yang lain seperti kewibawaan yang menampilkan pemimpin dengan sikap-sikap yang menjadi cita-cita atau keyakinan masyarakat, serta kekuasaan dalam arti khusus yang meliputi kekuatan fisik serta kemampuan raja dalam mengorganisasi orang dalam jumlah banyak dan memberikan sistem sanksi (Koentjaraningrat, 1984:135).
c. Mitos Nyai Roro Kidul Mitos (mite) pada umumnya mengisahkan tentang alam semesta, dunia, manusia pertama, terjadinya maut, bentuk khas binatang, topografi, gejala alam, dan sebagainya. Mitos juga mengisahkan petualangan, kisah percintaan, hubungan kekerabatan, kisah perang, dan sebagainya yang menceritakan para dewa (Danandjaja, 1997:51). Menurut Yunus (dalam Pusposari, 2011:4) mitos termasuk dalam kajian foklor. Mitos dapat dituangkan dalam bentuk karya sastra sehingga melalui karya sastra, maka mitos akan menjadi cerita yang bertahan di masyarakat. Danandjaja (1997:23) menjelaskan bahwa folklor sebagian lisan merupakan campuran antara unsur lisan dan unsur bukan lisan, sebagai contoh di dalamnya adalah kepercayaan rakyat. Pengertian orang “modern” disebut sebagai takhayul,
tidak
berdasar
logika,
dan
secara
ilmiah
tidak
dapat
dipertanggungjawabkan. Mitos Indonesia bisanya menceritakan tentang terjadinya alam semesta (cosmogony), terjadinya susunan para dewa, dunia dewata (pantheon), terjadinya manusia pertama dan tokoh pembawa kebudayaan (culture
31
hero), terjadinya makanan pokok, seperti beras, dan sebagainya (Danandjaja, 1997:52). Jawa merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang terkenal dengan mitos. Terdapat beberapa dongeng yang tersamar berkembang dalam kebudayaan Jawa, khususnya yang berkaitan dengan Ratu Kidul yang mendiami dan menguasai Samudra Hindia (Samudra Indonesia). Mitos tersebut tersebar dari Parangtritis selatan Yogyakarta, Karangbolong di Selatan Gombong, Cilacap di Selatan Banyumas (Jawa Tengah), sampai ke Pelabuhan Ratu di Selatan Sukabumi (Jawa Barat). Ratu Kidul inilah yang dikenal oleh banyak orang awam sebagai Nyai Roro Kidul. Keberadaan Sang Nyai tersebut sangat diyakini oleh masyarakat Surakarta dan Yogyakarta sebagai istri raja dari dinasti Mataram Islam, sejak zaman raja terdahulu, Raden Sutawijaya yang bergelar Panembahan Senopati (Herusatoto, 2012:85). Mitos tentang Nyai Roro Kidul masih dipercayai rakyat setempat hingga saat ini, baik dari pihak Keraton (Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta), maupun rakyat kedua keraton tersebut dan dari bekas wilayah Kraton Galuh Padjajarandi Tanah Sunda (Jawa Barat). Mitos berawal dari kisah kisah pertemuan antara Panembahan Senopati dengan Nyai Roro Kidul di Babad Tanah Jawa: Setelah Panembahan Senopati mendapat wahyu pada suatu malam, Ki Juru Mertani, paman sekaligus penasehatnya, belum merasa yakin jika kemenakannya itu telah menerima wahyu. Untuk memastikan, Panembahan Senopati diminta bertapa ke Laut Kidul, sedangkan Ki Juru Mertani bertapa ke Gunung Merapi. Panembahan Senopati segera berangkat, dan ia menceburkan diri ke laut Opak, bertapa dengan menghanyutkan diri mengikuti arus sungai Opak (tanpa mbathang) sampai di Laut Kidul. Mengetahui hal itu, Ratu Kidul menemui Panembahan
32
Senopati, dan diajaknya Senopati ke keratonnya di dasar samudera. Menyadari akan kecantikan Ratu Kidul dan ketampanan Senopati, keduanya saling terpikat dan menyatu dalam asmara. Sejak saat itulah Ratu Kidul menjadi istri Panembahan Senopati. Ketika Senopati mengajaknya hidup bersama dan mendampinginya sebagai Raja Mataram, Ratu Kidul dengan halus menjelaskan bahwa itu tidak mungkin dilakukan, karena ia makhluk halus/peri. Meski tak dapat mendampingi Senopati, Ratu Kidul berjanji akan selalu siap membantunya jika keraton Mataram sewaktu-waktu menghadapi bahaya (Herusatoto, 2012:84). Dari kisah tersebut diketahui bahwa mitos Nyai Roro Kidul hidup karena kepercayaan masyarakat akan rajanya yang memperistri seorang makhlus halus atau peri. Mitos ini berkembang di masyarakat karena terbukti dengan kisah tersebut adanya keselarasan kehidupan Jawa di lingkungan Yogyakarta meliputi wilayah Laut Selatan, Keraton, dan Gunung Merapi. Selain Ratu Kidul, raja wanita yang menempati keraton di dasar Laut Kidul (laut Selatan Pulau Jawa), yang bergelar Kanjeng Ratu Kidul, dikenal juga panglima atau senapati perangnya yang bergelar Nyai Rara Kidul (Herusatoto, 2012:84).Namun, sering terdapat kekeliruan pengertian dari orang awam tentang kedua sosok tersebut. Untuk mempermudah, maka dalam penelitian ini menekankan pada tokoh Nyai Roro Kidul yang dikenal masyarakat Jawa. Pengaruh agama dan filsafat Islam dalam tindakan simbolis orang Jawa terdapat dalam rangkaian upacara sekatenan. Upacara ini berkaitan dengan simbol pantai selatan sebagai wilayah kekuasaan Nyai Roro Kidul, hal ini dilakukan dengan melarung pakaian wanita persembahan dari raja yang merupakan keturunan Panembahan Senopati. Kisah panembahan Senopati atau yang disebut sebagai Wong Ngeksi Ganda
terdapat dalam Serat Wedatama karya
Mangkunegara IV. Tindakan simbolis upacara tersebut menampakkan pengaruh
33
mitos mengalirnya kesaktian Panembahan Senopati yang telah berhasil menyatukan dirinya dengan kesaktian Nyai Roro Kidul demi kesejahteraan keturunannya yang bertahta di wilayah kerajaan (Herusatoto, 1985:103).
34
BAB III RELEVANSI ANTARUNSUR STRUKTRUR DALAM NOVEL SANG NYAI
Pada bab ini akan diuraikan hasil analisis relevansi antarunsur struktur cerita. Analisis ini menjelaskan unsur intrinsik tema, alur, setting, dan amanat yang mempengaruhi perkembangan tokoh dan penokohan dalam novel Sang Nyai. Analisis ini dilakukan dengan menggunakan teori struktural. Berikut paparan analisisnya.
A. Analisis Relevansi Antarunsur Struktur Novel Sang Nyai Novel Sang Nyai mengungkapkan tentang kepercayaan terhadap mitos Nyai Roro Kidul pada masyarakat Jawa.Sebagai cerita yang menampilkan tema mayor yaitu kepercayaan rakyat Yogyakarta terhadap eksistensi keberadaan Nyai Roro Kidul, maka Sam sebagai tokoh utama sangat berpengaruh dalam membuktikan kebenaran dari kepercayaan masyarakat tersebut. Sam yang semula menolak keberadaan dari hal-hal gaib sekitarnya dengan ideologi modern yang dianut, membuatnya harus membuktikan sendiri mengenai kebenaran mitos yang berkembang di masyarakat. Novel ini mengambil sudut pandang dari sisi Sam sebagai tokoh utama dan sebagai pelaku utama atau bentuk “aku-an”. Cerita difokuskan pada karakter Sam yang sedang melakukan liputan tentang Nyai Roro Kidul. Dalam novel ini yang mengungkap kepercayaan rakyat Yogyakarta khususnya dan Jawa pada umumnya terhadap eksistensi keberadaan Nyai Roro Kidul, maka tokoh Sam sangat berpengaruh dalam membuktikan kebenaran dari kepercayaan masyarakat
35
tersebut. Sam yang semula menolak keberadaan dari hal-hal gaib sekitarnya dengan ideologi modern yang dianut, membuatnya harus membuktikan sendiri mengenai kebenaran dari mitos yang ada. Sosok Kesi secara tidak langsung membantu menyampaikan tema bahwa kepemimpinan dan kekuasaan Nyai Roro Kidul benar adanya. Segala keanehan Sam alami ketika bertemu dengan Kesi, karena Kesi merupakan jelmaan dari Nyai Roro Kidul. Hal ini menguatkan bahwa kepercayaan terhadap mitos Nyai Roro Kidul ada di masyarakat. Selain itu, tradisi dan budaya Jawa sangat kuat dalam novel ini, sebagai tokoh utama maka Sam mengikuti tradisi Jawa yang dilakukan seperti di dalam novel tersebut. Seperti pada saat Sam mengikuti jalannya prosesi upacara labuhan. Novel Sang Nyai merupakan novel dengan alur maju. Peristiwa awal dialami Sam ketika ia ditugaskan untuk membuat feature tentang Nyai Roro Kidul. Sam harus terjun secara langsung ke lapangan untuk mencari berita tentang sosok kontroversial tersebut. Peristiwa diawali dengan kunjungan Sam di Parangkusumo. Di tempat inilah Sam bertemu dengan gadis misterius bernama Kesi yang pada akhirnya akan mengantarnya masuk ke dalam dunia gaib yang berhubungan dengan Nyai Roro Kidul. Berikut kutipannya: Aku seperti terbang! Tinggi sekali! Seperti remaja yang baru pertama kali dicium oleh pacarnya. Wow, luar biasa! Terima kasih Pak Yos karena telah memberi tugas kepadaku untuk membuat feature tentang penguasa Laut Selatan, Nyai Roro Kidul. Hampir saja tugas ini kutolak. Karena aku harus memasuki dunia mistik, alam supranatural, dan mengorek hal-hal yang bersifat gaib. Apa gunanya semuanya itu di zaman nuklir ini? (Sang Nyai, 2011:36-37).
36
Kesi membuka pikiran Sam, sehingga wartawan tersebut dengan senang hati membuka pikirannya untuk menerima mitos Nyai Roro Kidul. Kesi lalu mengantarkan Sam untuk berkenalan dengan Kang Petruk, teman Kesi yang tinggal di Merapi. Hal gaib mulai dirasakan Sam saat perjalanan menuju rumah Kang Petruk, hingga tiba di gua milik Kang Petruk. Sebagai tokoh utama maka Sam membawa peristiwa ini memasuki sebuah alam yang tidak bisa diterima nalar manusia. Banyak kejadian aneh Sam alami ketika berada di kediaman Kang Petruk. Hal itu ia ceritakan kepada Sugeng, dan dari situlah Sam mengetahui bahwa Kang Petruk adalah sosok lain dari Kiai Sapu Jagad, atau yang lebih dikenal sebagai Mbah Petruk, penunggu kawah Merapi. Saat itulah awal munculnya konflik, saat pemikiran Sam goyah karena ia mengalamikejadian di luar akal sehat atau mempertahankan ideologi yang dianutnya. Keadaan semakin gawat ketika pada akhirnya Sam mendapatkan telepon dari Kang Petruk untuk menjauh dari Merapi. Ini merupakan tahap pemunculan konflik, karena Sam mendapat peringatan langsung dari sosok yang dipercaya sebagai penjaga kawah Merapi tentang kondisi Merapi yang berbahaya. Sam akhirnya menyampaikan berita itu dengan menyamar sebagai sosok imajiner yaitu Syekh Tunggul Wulung, ulama dari Demak. Masyarakat yang masih percaya pada wisik mempercayai apa yang dikatakan oleh ulama tersebut, terlebih ketika status Merapi dinaikkan dari waspada menjadi siaga dan raja telah memerintahkan untuk membuat sayur tolak bala. Perhatikan kutipan berikut: “Merapi gawat! Merapi gawat!” teriak pengasong koran sambil mengangkat barang dagangannya. “Mbah Petruk ketemu Syekh Tunggul
37
Wulung di Merapi!” lanjut si pengasong itu. “Koran, Om?” (Sang Nyai, 2011:272). Keadaan bertambah buruk saat dikabarkan ada isu tentang perahu layar yang berlayar di Kali Code tanpa penumpang dan naga yang muncul di Kali Opak yang dipercaya masyarakat sebagai tanda datangnya musibah besar. Kejadian yang tidak diduga oleh Sam, sehingga setelah memutuskan bertemu dengan Nyai Maryatun yang mendapatkan koin emas dari seorang wanita misterius yang memesan batiknya secara borongan yaitu tujuh batik motif sidomukti, dan tujuh belas batik motif parangrusak Sam segera kembali ke Parangkusumo tempat Romo Darpo berada. Keadaan Laut Selatan pun tidak berbeda dengan penduduk lereng Merapi. Mereka turut prihatin dengan musibah yang mengancam. Mereka was was jika Merapi benar-benar meletus. Apalagi Sang Sultan sudah memerintahkan untuk membuat selametan, kenduri, dan mengadakan labuhan di Pantai Selatan untuk memohon kebaikan dari Nyai Roro Kidul agar membujuk Kiai Sapu Jagad, agar Merapi tidak meletus. Hal ini memperkuat kondisi yang semakin gawat dengan status Merapi saat itu. Proses labuhan yang semula berjalan lancar menjadi sebuah malapetaka. Ada beberapa orang yang tewas saat menjarah barang yang dilabuh. Hal ini memperburuk kondisi Sam. Hingga akhirnya Merapi benar-benar memuntahkan laharnya. Yogyakarta dalam kondisi gawat, pada saat yang bersamaan Sam kehilangan Sugeng, teman akrabnya yang tewas akibat menyelamatkan warga dusunnya dari panasnya awan wedhus gembel.
Bagian inilah yang menjadi
38
konflik utama dalam novel Sang Nyai karena menyebabkan cerita dalam keadaan klimaks. Perhatikan kutipan berikut: Aku menghela nafas. Merapi benar-benar mengamuk. Baru saja statusnya ditingkatkan dari siaga ke awas. Langsung meletus. Kang Petruk tidak main-main, ternyata. Ia mengingatkan kepada mereka yang tinggal di lereng Merapi agar hati-hati dan waspada. Peringatan itu sudah disampaikan oleh Syekh Tunggul Wulung, hehehe.... Karena, dialah yang mendapatkan bisikan langsung. Sebagian masyarakat ada yang percaya, sebagian lagi mengabaikan. Ngarsa Dalem sendiri sudah menginagtkan mereka yang tinggal di kawasan rawan bencana agar segera mengungsi. Namun, ada yang berkilah, mereka mau mengungsi kalau Mbah Juru Kunci Merapi juga ikut mengungsi. Selama Mbah Juru Kunci Merapi bertahan di rumahnya, mereka juga tidak mau pergi. Sebab, empat tahun lalu ketika Merapi meletus, mereka juga aman-aman saja. Karena waktu itu, Mbah Juru Kunci duduk di rumahnya tidak mau mengungsi. Memang selamat. Karena waktu itu, Bukit Geger Boyo tegak berdiri dan mampu menahan laju lahar panas. Namun, hari-hari terakhir, bukit itu ambrol juga. Dan sekarang, tak ada lagi bukit yang bisa menghadang lajunya lahar panas. Mereka tewas (Sang Nyai, 2011:414-415). Tahap penyelesaian dari konflik dalam novel ini dengan keputusan Sam sebagai tokoh utama untuk kembali ke Jakarta. Ia menolak perintah Pak Yos untuk menambah tiga hari waktu liputan di Yogyakarta sekaligus meliput bencana Merapi yang terjadi. Sam mengalami guncangan karena kehilangan temantemannya, dimulai tewasnya Kang Trisno akibat mengadu nasib dengan mengambil barang-barang labuhan di Laut Selatan yang sedang mengamuk, dan meninggalnya Sugeng karena menyelamatkan warga yang berada di lereng Merapi. Karena penasaran, bungkus kado itu kurobek. Di dalamnya terdapat kotak kayu ukir yang halus, motif naga dan kembang melati. Kotak kubuka. Isinya brokat warna hijau gadung, kain batik motif sidomukti, ulos atau selendang dari Batak, satu bungkus plastik kecil berisi abu. Di bawah barang-barang itu, ada tujuh buah uang logam emas. Ketika kuamati, uang itu persis dengan milik Nyai Maryatun. Bergambar wanita cantik. Dan, wanita itu adalah Kesi! (Sang Nyai, 2011: 435).
39
Tahap penyelesaian ini juga mencengangkan karena pada tahap inilah Sam mengetahui bahwa Kesi adalah sosok Nyai Roro Kidul yang sesungguhnya dari sebungkus kado yang secara gaib diletakkan di koper Sam. Dengan demikian, terungkap misteri yang membuat Sam penasaran dengan sosok Kesi yang selalu muncul tiba-tiba, bahkan seolah seperti muncul dengan cara gaib ke tempat yang diyakini merupakan tempat persinggahan Nyai Roro Kidul ketika Sam melakukan liputan. Novel Sang Nyai mempunyai latar waktu yang beragam namun dibatasi dengan proses peliputan Sam tentang sosok Nyai Roro Kidul sebagai bahan featurenya. Waktu Sam berada di Yogyakarta dalam melaksanakan tugas hanya dua minggu. Pada saat terjadi letusan Merapi, seharusnya Sam sudah kembali ke Jakarta. Namun, atasannya ingin menambah tiga hari lagi agar Sam bisa meliput kejadian tersebut. Sam menolaknya karena ia merasa tidak dapat menyaksikan penderitaan rakyat Yogyakarta yang sedang mengalami bencana. “Perintah Pak Yos agar aku bertahan tiga hari lagi di Yogya kutolak. Pimpinan redaksi itu minta agar aku sekalian meliput bencana Merapi. Mumpung ada di Yogya. No way! Aku ingin segera pulang, ingin segera meninggalkan Yogya yang sedang berduka cita... (Sang Nyai, 2011:429). Dari data di atas, maka dapat dianalisis bahwa waktu kejadian dalam novel tersebut berkisar pada tanggal 26 Oktober 2010. Merapi mengalami letusan hebat pada tanggal tersebut yang menelan ratusan korban jiwa. Dengan demikian, waktu Sam dalam cerita mempengaruhi berlangsungnya jalan cerita Sang Nyai. Ketika ia kembali ke Jakarta maka berakhirlah kisah Sam yang tengah meliput sosok kontroversial Nyai Roro Kidul.
40
Tokoh Sam juga menentukan kelangsungan jalan cerita novel Sang Nyai, karena berkaitan dengan waktu dinasnya ke Yogyakarta untuk meliput sosok Nyai Roro Kidul. Cerita diakhiri dengan kondisi Sam baru mengetahui bahwa Kesi adalah sosok yang sama dengan Nyai Roro Kidul. Pukul tujuh malam aku meditasi di bawah tujuh lukisan sosok Nyai Roro Kidul. Tujuh kali aku seperti dibawa kekuatan gaib ke tempat-tempat di mana Nyai Roro Kidul sering berada. Mulai dari Sanur Beach Hotel Bali, Ambarukmo Palace Hotel, Hotel Queen, Parangkusumo, Samudera Beach Hotel, Banglampir Gunung Kidul, dan Pantai Karangbolong. Tujuh tempat yang berbeda itu ternyata memiliki aura yang sama. Aura mistis yang sulit diterangkan dengan akal sehat. Orang boleh percaya, namun juga boleh mendebat. Sebab, aura semacam itu hanya bisa dirasakan jika seseorang mau datang sendiri di tempat tersebut... (Sang Nyai, 2011:161). Berdasarkan kutipan di atas, Sam yang melakukan pertapaan di tempat Nyai Mundingsari mengantarkan padanya ke tempat-tempat gaib yang diyakini sebagai tempat persinggahan Nyai Roro Kidul. Setelah Sam tiba di Yogyakarta dan berkunjung ke Parangkusumo lalu bertemu Kesi, ia mulai mengalami hal-hal gaib. Sam merasa seperti berada di dua alam. Termasuk ketika berada di rumah Kang Petruk, ia merasa berada di dunia makhluk halus. Kejadian-kejadian aneh inilah yang membuat Sam meyakini keberadaan Nyai Roro Kidul yang sebelumnya hanyalah mitos di masyarakat. Perilaku kehidupan sosial bermasyarakat dalam cerita merupakan latar sosial sebuah karya sastra (novel). Awal keadaan di tempat Sam melakukan wawancara dengan Mas Darpo di Parangkusumo sudah menunjukkan interaksinya dengan masyarakat, karena lingkungan yang dikunjungi sangat kuat menjunjung tradisi yang ada. Daerah Yogyakarta merupakan daerah yang masih kuat
41
menjunjung tinggi adat istiadat, mempercayai mitos, dan tunduk kepada perintah raja. Berikut kutipannya: Entahlah. Semua serba mungkin, namun sekaligus juga tidak mungkin. Tetapi, inilah upaya terakhir masyarakat pesisir untuk membantu saudara-saudaranya yang tinggal di sekitar Merapi (Sang Nyai, 2011:355). “Lho, andaikata meletus pun bukankah masyarakat di sini tidak akan jadi korban? Hujan abu pun tidak akan sampai sini. Sebab, abu di angkasa pasti akan didorong angin laut dan kembali ke utara,” kataku. “Memang. Tapi, apakah kita akan diam saja melihat saudara kita di sana menderita? Tidak mungkin kita hanya diam dan menonton tho?” Mas Darpo menatapku. Ekspresi wajahnya memang serius.“Bagaimanapun juga, antara Merapi dan Laut Selatan punya hubungan istimewa. Mas Sam pasti sudah mendapat informasi itu dari beberapa orang, bukan?” (Sang Nyai, 2011:336) Sam menyampaikan pelajaran kehidupan melalui beberapa pemikirannya yang kritis. Ketika mengetahui bahwa Laut Selatan dan Gunung Merapi mempunyai hubungan khusus, namun Sam mencoba memancing jawaban dari Mas Darpo tentang hubungan istimewa yang menghubungkan garis imajiner dari selatan ke utara dengan Keraton Yogyakarta sebagai penengah, dan maksud di baliknya. Berdasarkan kutipan tersebut terlihat jelas hubungan masyarakat pesisir pantai selatan dengan warga pantai utara yang harmonis. Ketika, tersebar kabar Merapi akan meletus warga Pantai Selatan memberikan bantuan tanpa pamrih berupa doa untuk saudara-saudaranya di lereng Merapi sebagai bentuk kepedulian. Sebagai masyarakat Jawa yang masih memegang teguh kepercayaannya, rakyat juga mempunyai hubungan baik dengan satu sama lain, sehingga akan saling membantu jika mengalami musibah. Seperti keprihatinan penduduk daerah pesisir yang ditunjukkan dengan melakukan selametan, kenduri, dan labuhan
42
untuk membantu saudara-saudaranya yang tinggal di Merapi. Sam pun turut bersosialisasi dengan kegiatan tersebut, seperti saat terjadinya prosesi labuhan yang membuatnya khawatir karena kondisi cuaca yang tidak memungkinkan untuk mengadakan labuhan di Laut Selatan. Tradisi yang masih kokoh inilah yang membuat kehidupan masyarakat Yogyakarta layak menyandang status keistimewaannya. Terlebih dengan masih adanya eksistensi Keraton Yogyakarta dan Pakualaman yang membuat daerahnya menjadi semakin dilindungi. Hegemoni raja dominan dalam masyarakat daerah, sehingga segala hal yang berhubungan dengan Keraton merupakan hal keramat. Penokohan Sam pun membuatnya mau tidak mau masuk membaur ke dalam masyarakat yang telah mempercayai tradisinya erat secara turun-temurun. Tradisi dan mitos dalam masyarakat Jawa merupakan sesuatu yang dominan, sehingga seseorang dengan pemikiran modern seperti Sam yang pada awalnya tidak percaya, namun ketika mengalaminya akhirnya paham yang dianutnya runtuh karena pengalaman spiritual yang ia peroleh selama mencari informasi tentang Nyai Roro Kidul. Tradisi dan mitos tersebut merupakan bentuk kearifan lokal dan warisan budaya yang harus dijaga dan menjadi warisan turun temurun. Manusia terutama masyarakatnya, sebagai salah satu pelakunya diharapkan dapat melindungi warisan budaya atau tradisi nenek moyang tersebut. Terlepas dari kebenaran cerita Nyai Roro Kidul, sesungguhnya kehidupan di dalam dan sekitar Keraton mengajarkan Sam bahwa hidup bermasyarakat di Jawa dapat mengembangkan sikap gotong royong, saling membantu, laku prihatin, dan kepedulian terhadap sesama. Bahkan, ketika terjadi musibah letusan
43
di Gunung Merapi pun Sam turut berduka cita merasakan penderitaan Yogyakarta waktu itu. Sam sebagai salah satu bagian dari kehidupan Yogyakarta pada saat itu merasa belum melakukan sesuatu yang berarti seperti yang dilakukan oleh temantemannya,
seperti
meninggalnya
Sugeng
karena
membantu
penduduk
menyelamatkan diri dari serangan awan panas.
B. Analisis Tokoh dan Penokohan Berdasarkan analisis struktural dalam novel Sang Nyai di atas, maka memperlihatkan adanya keterkaitan di setiap unsur intrinsik yang digunakan. Tema dominan yang diusung dalam novel yakni mengenai eksistensi Nyai Roro Kidul dalam kebudayaan Jawa. Latar tempat, waktu dan sosial Sam sejak melakukan
peliputan
tentang sosok
Nyai
Roro
Kidul
yang
akhirnya
mempengaruhi perkembangan watak Sam, termasuk juga alur cerita dan amanat yang menggambarkan kehidupan Sam yang tiba-tiba berubah orientasi sosialnya. Perkembangan ideologi dan perwatakan dalam novel Sang Nyai terlihat jelas dari tokoh-tokohnya. Bertolak pada hal itu, melalui relevansi antarunsur struktur dalam novel Sang Nyai yang telah dibahas, penulis akan memaparkan analisis tokoh Sam dan Kesi sebagai tokoh dominan yang sangat berpengaruh terhadap analisis pada bab berikutnya. Berikut paparan analisisnya.
1.
Tokoh Sam
Sam adalah seorang wartawan yang berasal dari ibukota. Ia ditugaskan oleh bosnya, Pak Yos, untuk membuat feature tentang Nyai Roro Kidul. Ia adalah
44
tokoh utama yang menjadi poros dalam cerita. Sam juga merupakan tokoh yang protagonis karena profesinya sebagai wartawan yang mempunyai karakter pekerja keras, kuat, berani, hati-hati, dan pemikir. Karakter itulah yang mengantarnya untuk masuk lebih jauh ke lapangan tempatnya mencari informasi untuk mencari bahan tulisan tentang Nyai Roro Kidul. Sam selalu menenangkan pikiran dengan cara meditasi, sehingga mulai dari situ ia dapat merasakan hal-hal gaib di sekitarnya. Penggambaran tokoh Sam dilakukan secara langsung melalui deskripsi pengarang. Sudut pandang “aku”-an menjadi dominasi pemikiran Sam dalam perkembangan cerita. Oleh sebab itu, novel itu menempatkan Sam sebagai tokoh utama cerita. Perwatakan Sam sebagai tokoh utama dapat dilihat dari kegigihannya dalam mencari informasi tentang Nyai Roro Kidul. Ia merupakan seseorang yang pekerja keras. Hal ini dapat dilihat dari kutipan berikut: Dikejar deadline. Hal yang biasa bagi orang pers. Untuk menjawab hal itu, hanya ada satu kata: kerja keras! Tidak bisa dibayangkan bagaimana ritme kerja wartawan koran harian atau televisi yang kejar tayang. Setiap hari melewati saat-saat kerja yang menuntut disiplin tinggi. Tegang, stres, lupa makan, lupa tidur, adalah hal biasa bagi insan pers. Karena itu, seseorang harus mampu mengelola waktu dengan baik. Menjaga kesehatan dengan prima. Bukan rahasia lagi banyak orang pers meninggal dunia dalam usia muda karena sakit... (SangNyai, 2011:198). Sikap tersebut membuat profesinya sebagai wartawan harus berpikir rasional dan profesional. Perhatian kepada diri sendiri sangat diperlukan orang pers jika tidak ingin jatuh sakit. Pekerjaan yang membutuhkan perhatian khusus ini telah menunjukkan bahwa Sam adalah seorang berideologi modern yang harus siap dengan segala tantangan untuk ia selesaikan. Termasuk dalam hal melakukan liputan terhadap Nyai Roro Kidul yang sempat ditolaknya. Pekerjaan Sam
45
menuntut kerja keras individu dalam melakukan liputan. Namun, dalam prakteknya banyak pihak yang membantu Sam dalam memberikan informasi tentang bahan feature yang harus ia kumpulkan. Perwatakan Sam yang lain juga ditunjukkan pada kutipan berikut ini: Sekarang, aku harus masuk jauh ke dalam dunia semacam itu. tidak bisa setengah hati. Menulis feature beda jauh dibanding menulis berita. Kalau berita cukup memakai rumus 5W +1H, untuk feature perlu ditambah insting, visi, misi, dan sedikit imajinasi. Karena itulah, sebuah feature bisa tahan lama. Tidak cepat basi. Apa yang kutulis minggu ini masih layak dibaca dua tahun mendatang. Bahkan, bertahun-tahun kemudian sejauh data dan lokasi tidak banyak mengalami perubahan. Jika pun terjadi banyak perubahan, maka feature tersebut malah bisa jadi semacam dokumaen sejarah (Sang Nyai, 2011:39). Berdasarkan kutipan di atas, meskipun Sam merupakan wartawan dari Jakarta dengan latar belakang modern, individualisme, dan pekerja keras, namun Sam juga sangat berdedikasi terhadap pekerjaannya. Pelukisan karakter tokoh Sam dilakukan secara langsung oleh pengarang. Melalui perilaku dan pemikiran Sam inilah dapat dilihat karakter Sam yang sesungguhnya. Ia dengan ideologi modern yang dianut harus melakukan liputan pada sosok Nyai Roro Kidul yang bertentangan dengan rasionalisme yang dianutnya. Selain itu, Sam juga mempunyai watak cerdas, dilihat dari pemikirannya yang kritis. Pengarang menceritakannya dalam bentuk konflik batin, sehingga karakter Sam mengalami perkembangan karakter termasuk perkembangan ideologi setelah berada dalam lingkungan yang berbeda. Ia harus melakukan liputan secara langsung ke tempat keberadaan mitos Nyai Roro Kidul.
46
Paham rasionalisme Sam ditunjukkan dengan sikapnya yang menentang keras segala hal berbau gaib. Hal gaib merupakan sesuatu yang tidak wajar dalam perkembangan dunia modern. Berikut kutipannya. Apa gunanya semuanya itu di zaman nuklir ini? bagaimana mungkin bangsa ini akan maju kalau masih mempercayai sesuatu yang gaib? Masih bersandar pada pusaka nenek moyang, lalu mengabaikan kecerdasan otak (Sang Nyai, 2011:37). Dari data di atas menunjukkan karakter Sam yang rasional. Zaman berkembang semakin maju, sehingga segala hal terus mengalami perubahan. Tidak hanya terpaut pada peninggalan masa lalu. Kecerdasan otak sangat penting di era modern. Segala hal dalam dunia modern dibuktikan dengan penyajian data yang empiris dan terbukti kebenarannya, sedangkan hal gaib seperti kisah Nyai Roro Kidul hanya merupakan kisah yang berkembang secara turun temurun di masyarakat. Bahkan belum tentu yang melaksanakan perintah-perintah berkaitan dengan sosok Nyai Roro Kidul pernah melihat secara langsung sosok Nyai Roro Kidul sebagai pemimpin Laut Selatan. Hidup di Yogyakarta dengan latar belakang ideologi tradisional, konvensional, berpegang pada kultur, dan feodalisme yang sebagian dianut oleh masyarakatnya membuat Sam harus mengubah pikiran modernnya mengikuti masyarakat tempat ia bernaung. Segala hal yang semula dianggapnya hanya omong kosong belaka terbukti dengan kejadian gaib yang dialami oleh Sam. Ideologi tradisional masyarakat Yogyakarta tersebut berwujud dengan masih adanya kepercayaan terhadap kekuatan lain yaitu Nyai Roro Kidul yang menyokong keberadaan Keraton. Masyarakat Yogyakarta juga masih memegang tinggi budaya Jawa baik dalam hal sopan santun maupun perilaku kehidupan
47
sehari-hari, serta tunduknya masyarakat dengan perintah raja sebagai bentuk kepemimpinan di lingkungan Yogyakarta. Sebagai tokoh utama yang pada mulanya mempunyai ideologi bertentangan dengan masyarakat tersebut, Sam diharuskan mengikuti tradisi yang ada selama hidup di dalam lingkungan Yogyakarta. Terjadilah konflik antara Sam dengan batinnya yang mempengaruhi pemahamannya tentang hegemoni mitos Nyai Roro Kidul. Ideologi modern awalnya membuat Sam menentang pemikiran yang berhubungan dengan hal mistis. Namun, peristiwa yang dialami mengubah Sam, sehingga ia merupakan tokoh bulat dan tokoh yang berkembang dalam cerita ini karena mengalami perubahan kepercayaan dan perkembangan karakter. Terdapat perubahan yang kompleks dari pemikiran yang dianut oleh tokoh tersebut, dari seorang Sam yang menganut paham rasionalisme, berubah menjadi Sam yang percaya pada hal-hal irrasionalisme, seperti hal-hal gaib yang ada di sekitarnya. Perkembangan watak Sam sangat berkaitan dengan sosok Kesi yang menjadi tokoh pendukung dan sangat berkaitan dengan tokoh utama. Paham irrasionalisme Sam yang tercipta yaitu ketika Sam harus mempercayai eksistensi Nyai Roro Kidul. “Hehehe..., di mana ada Samhudi, di situ ada Kesi. Begitu ya?” Aku mengangguk. “Sangat aneh. Kadang-kadang aku merasa seperti berada di alam gaib, bertemu makhluk-makhluk gaib pula. Tapi tiba-tiba, aku bisa kembali ke alam nyata sehari-hari. Kalau aku cerita kepada orang lain, mungkin malah dianggap aku sudah sinting. Bahkan sudah gila (Sang Nyai, 2011:246). Kutipan di atas menunjukkan bahwa Sam mulai mengalami perubahan ideologi ketika menyadari bahwa Kesi bukan makhluk biasa, disebabkan
48
kemunculannya secara tiba-tiba di setiap tempat yang Sam datangi. Perubahan ideologi ini menandakan kuatnya kekuasaan Jawa yang terfokus pada hegemoni mitos Nyai Roro Kidul. Perubahan kepercayaan dan ideologi Sam terjadi ketika ia semakin penasaran dengan kejadian yang dialaminya ketika berada di rumah Kang Petruk. Ia menanyakan perihal pertemuannya dengan Kang Petruk dengan Bu Mul atau yang dikenal sebagai Nyai Mundingsari, wanita yang sangat menyukai hal gaib, apalagi segala hal yang berhubungan dengan Nyai Roro Kidul. Di rumah Bu Mul inilah Sam melihat tujuh lukisan bergambar Nyai Roro Kidul dengan berbagai versi. Di rumah Bu Mul jugalah Sam mengadakan meditasi dan secara gaib ia terlempar ke tempat-tempat keberadaan Nyai Roro Kidul sesuai asal usul lukisan tersebut dan bertemu Kesi di tempat itu. Perhatikan kutipannya: “Semakin mantap niatmu untuk menulis kisah tentang Nyai Roro Kidul?” “Ya.” “Mas Sam percaya bahwa sosok Nyai Roro Kidul itu bukan isapan jempol belaka? Bukan hanya ada di alam dongeng?” “Ya.” (Sang Nyai, 2011:151). Kejadian tersebut mengubah perwatakan Sam. Ia mengalami kejadian aneh, sehingga ia percaya bahwa hal gaib yang dialaminya berkaitan dengan Nyai Roro Kidul. Sesuatu gaib yang sebelumnya tak pernah terbukti, akhirnya ia alami. Hal ini membuktikan bahwa Sam dapat menerima rasio pemikiran irasionalisme yang sebelumnya ditentang olehnya.
49
2.
Kesi/Nyai Roro Kidul
Tokoh Kesi merupakan sosok yang misterius. Namun, ia digambarkan sebagai gadis yang sangat cantik, menarik, dan seksi. Siapa pun laki-laki yang melihatnya pasti akan tergoda. Kesi berteman baik dengan Kang Petruk yang belakangan Sam ketahui sebagai penjaga kawah Merapi. Ia sering menggunakan kebaya. Karakternya ceria, namun cerdas. Ia selalu berada di tempat yang berkaitan dengan Nyai Roro Kidul yang Sam datangi. “Aneh sekali,” kataku. “Waktu aku di rumah Kang Petruk, kamu datang. Lalu pergi tiba-tiba. Waktu aku seperti berada di Sanur Beach Hotel, kamu pun ada di sana. Dan sekarang aku di sini, kamu sudah lebih dulu tiba. Kamu benar-benar mirip angin. Pergi ke mana saja sesuka hatimu (Sang Nyai, 2011:246). Kutipan di atas menyimpulkan bahwa Kesi merupakan sosok misterius yang selalu hadir di tempat keramat keberadaan Nyai Roro Kidul. Dari kutipan di atas secara tidak sengaja Sam bertemu dengannya di Panggung Sanggabuwana pada malam hari. Akhirnya, setelah ditelusuri oleh Sam, wartawan itu menemukan fakta bahwa Kesi merupakan sosok penjelmaan Nyai Roro Kidul. Dengan demikian, akhirnya jelaslah misteri tentang Kesi yang selalu muncul di setiap tempat yang berhubungan dengan Nyai Roro Kidul pada saat Sam mencari liputan tentang sosok kontroversial itu. Kesi
sebagai
tokoh
protagonis
merupakan
tokoh
yang
sangat
mempengaruhi kisah dari novel Sang Nyai, karena semua hal berawal dari misteri yang dibawa oleh Kesi. Penggambaran tokohnya pun dilakukan secara langsung melalui interaksi dengan Sam dan Kang Petruk. Sosok Kesi yang misterius juga ditunjukkan dengan tidak ada interaksi antara ia dengan tokoh lain, selain Kang
50
Petruk temannya. Hal ini membuat Sam akhirnya percaya bahwa Kesi merupakan sosok Nyai Roro Kidul. Ia mempunyai peran ganda dalam novel ini. “Nyai Roro Kidul itu bukan sosok yang kejam, Mas Sam,” kata Kesi kemudian. “Dia itu justru pribadi yang welas asih, suka menolong, dan memberikan apa yang dimiliki bagi siapa saja yang meminta kepadanya.” (Sang Nyai, 2011: 374). Berdasarkan kutipan di atas, sosok Nyai Roro Kidul sendiri merupakan sosok yang misterius namun sangat dipercaya oleh sebagian besar masyarakat Jawa sebagai penguasa Laut Selatan. Selanjutnya, tokoh ini merupakan sosok yang welas asih dan dipercaya dapat mengabulkan doa dari rakyat yang memohon secara tulus kepadanya, misalnya melalui ziarah di Parangkusumo pada malam Jum’at Kliwon, atau melalui upacara sesaji dan labuhan. Tokoh kontroversial ini hidup di dua alam, alam gaib dan manusia, serta bertugas melindungi masyarakat Jawa pada umumnya dan rakyat Yogyakarta khususnya. Ia mempunyai keterkaitan dengan raja-raja Mataram dan keturunannya, serta berhubungan baik dengan penunggu kawah Merapi. Penggambaran sosok Nyai Roro Kidul dilakukan melalui dialog antartokoh. Nyai Roro Kidul tidak secara langsung menampakkan diri di hadapan manusia biasa, sehingga masyarakat yang percaya dengan eksistensi Nyai Roro Kidul hanya dapat mendeskripsikannya seperti kepercayaan yang berkembang di masyarakat. Hanya orang-orang tertentu atau orang-orang suci yang bisa merasakan atau melihat keberadaan Nyai Roro Kidul. Hal inilah yang membuat hegemoni mitos Nyai Roro Kidul tercipta dalam masyarakat Yogyakarta. Meskipun demikian, dari sosok Nyai Roro Kidul inilah pengarang memulai cerita tentang novel Sang Nyai, karena acuan tokoh utama Sam untuk
51
mencari liputan adalah sosok Nyai Roro Kidul. Oleh sebab itu, Nyai Roro Kidul mengambil peran penting pada kelangsungan cerita. Tanpa Nyai Roro Kidul yang diceritakan dan sosok Kesi yang hadir maka cerita Sang Nyai tidak akan berjalan sesuai yang pengarang harapkan. Sebagai sosok yang sama, maka Kesi dan Nyai Roro Kidul merupakan tokoh bulat, tokoh ini mempunyai jati diri yang berbeda seiring perkembangan cerita. Seorang gadis bernama Kesi ternyata adalah perwujudan dari Nyai Roro Kidul. Hal ini merupakan surprise atau kejutan bagi Sam yang menyadarinya di akhir cerita. Kejutan ini tentu saja menguatkan perubahan ideologi yang dianut oleh Sam. Dengan demikian, posisi Kesi tidak hanya terfokus pada salah satu karakter saja, namun menjadi karakter lain yang membuatnya menjadi tokoh yang berkembang. Tokoh ini pun meruntuhkan kepercayaan Sam yang semula menentang keras hal-hal yang berbau gaib menjadi Sam yang harus mempercayai keberadaan dari sosok Nyai Roro Kidul sebagai wujud lain dari diri Kesi. Selain Sam dan Kesi, dalam novel Sang Nyai karya Budi Sardjono terdapat banyak tokoh yang berkaitan dengan cerita. Tokoh tambahan ini mempunyai peranan yang berbeda-beda dalam membawa cerita. Tokoh tambahan tersebut diantaranya: Mas Darpo, Bu Mul, Sugeng, Pak Nung, Kang Petruk, Kanjeng Sultan, Kanjeng Sunan, Nyai Maryatun, Ki Aji Sembada, Raden Mas Damar Kusumo, Kang Trisno, Pak Yos, Kang Jiman, Mbak Sum, Mujimin, dan Tiga wartawan dari Jakarta (Dodo, Tata, Murti).Dengan tokoh tambahan tersebut mendukung tokoh utama saat menjalani peristiwa di setiap cerita dalam novel Sang Nyai karya Budi Sardjono. Sam terhubung dengan banyak orang yang menambah informasinya tentang sosok Nyai Roro Kidul untuk menjadi bahan featurenya.
52
BAB IV ANALISIS HEGEMONI MITOS NYAI RORO KIDUL TERHADAP KEKUASAAN JAWA DALAM NOVEL SANG NYAI
Pada bab ini akan diuraikan hasil analisis dan pembahasan hegemoni mitos Nyai Roro Kidul terhadap kekuasaan Jawa. Proses analisis relevansi antarunsur struktur cerita pada bab sebelumnya digunakan sebagai pijakan dalam menganalisis hegemoni mitos Nyai Roro Kidul terhadap kekuasaan Jawa dan perlawanan terhadap hegemoni mitos Nyai Roro Kidul tersebut. Berikut paparan analisisnya.
A. Bentuk-bentuk Hegemoni Mitos Nyai Roro Kidul Analisis penelitian ini menggunakan hegemoni Gramsci yang menunjuk pada dominasi kekuasaan, namun tidak bersifat memaksa karena dilakukan melalui cara-cara intelektual kultural dan politis. Cara-cara tersebut dilihat dengan patuhnya hampir sebagian masyarakat Yogyakarta kepada dominasi kekuataan lain yang menyokong legitimasi Keraton, yakni keberadaan Nyai Roro Kidul. Hegemoni Gramsci digunakan sebagai dasar teori yang menjadi acuan penelitian ini untuk menganalisis hegemoni mitos Nyai Roro Kidul yang terdapat dalam novel Sang Nyai. Hegemoni mitos Nyai Roro Kidul merupakan dominasi kekuasaan yang dilakukan oleh Nyai Roro Kidul mencakup seluruh lapisan masyarakat Yogyakarta dan sekitarnya, wilayah alam, bahkan adat istiadat yang berkembang di dalamnya. Hegemoni mitos Nyai Roro Kidul tersebut mempunyai beberapa bentuk yakni Sang Nyai sebagai ratu, Sang Nyai mendukung eksistensi raja, Sang Nyai sebagai penguasa kosmis, dan Sang Nyai dalam tradisi. Berikut paparan analisisnya.
53
1. Sang Nyai Sebagai Ratu Nyai Roro Kidul merupakan sosok yang tidak asing di telinga masyarakat Jawa. Sosoknya sangat dihormati karena dianggap suci sebagai penguasa gaib Laut Selatan. Nyai Roro Kidul merupakan pemimpin yang tidak diketahui asal-usulnya secara jelas, karena terdapat berbagai versi mengenai kelahiran sosok tersebut. Salah satunya yang disebutkan dalam novel Sang Nyai yakni tercantum dalam kutipan berikut: “Ada yang mengatakan bahwa ia berasal dari tanah Batak. Sebagian orang percaya dia berasal dari Banten atau tanah Pasundan. Namun, ada juga yang percaya dia itu berasal dari Kudus,” kataku (Sang Nyai, 2011:181-182). Berdasarkan data di atas tidak ada yang tahu pasti asal usul Nyai Roro Kidul. Ada berbagai macam versi kisah tentang Ratu Laut Pantai Selatan tersebut. Salah satunya yang dikisahkan oleh S. Padmoesoekotjo, bahwa Ratu Kidul adalah jelmaan dari bidadari yaitu Dewi Nawangwulan yang pernah diperistri oleh Jaka Tarub. Kisah tersebut bercerita bahwa Jaka Tarub mencuri selendang Nawangwulan, sehingga sang Dewi tidak dapat kembali ke kahyangan. Saat itulah Jaka Tarub datang menolong dan memperistrinya. Namun, setelah mengetahui kebenaran bahwa ia ditipu suaminya, Nawangwulan mencoba kembali ke Kahyangan. Sayangnya, ia telah digauli manusia, sehingga tidak berhak tinggal di Kahyangan. Selanjutnya, oleh Sang Hyang Guru (Raja Para Dewa) Sang Dewi diperintahkan untuk menjadi ratu di Laut Kidul, membawahi para makhluk halus di daerah tersebut (Herusatoto, 2012:88).
54
Wiryapanitra (melalui Herusatoto, 2010:88) menuliskan kisah lainnya tentang Nyai Roro Kidul yaitu, Sang Ratu berasal dari kerajaan Padjajaran yang merupakan putri sulung dari Raden Bondhanwangi. Sang putri tidak mau menikah sehingga dikutuk ayahnya dan diusir ke luar istana. Sang putri lalu bertapa dan berubah menjadi makhluk halus lalu memimpin Laut Selatan, cerita ini dikisahkan dalam Babad Tanah Jawa. Dua cerita tersebut menegaskan bahwa, tidak adanya kejelasan sejarah dari berdirinya kerajaan Laut Selatan yang dipimpin oleh Nyai Roro Kidul. Asal usulnya masih menjadi teka-teki yang misterius. Namun, Nyai Roro Kidul sebagai penguasa dipercaya oleh masyarakat mempunyai istana dan pasukannya yang terdiri atas puluhan ribu bangsa jin, siluman, dan lelembut yang menjaga Pantai Selatan. Bertolak dari kisah tersebut, masyarakat mengenal Nyai Roro Kidul dengan ciri-ciri tertentu. Dalam novel Sang Nyai, Nyai Roro Kidul digambarkan sebagai sosok perempuan muda yang cantik, mengenakan kemban warna hijau gadung, bermahkota, dan biasanya berada di atas ombak. Setidaknya itu yang tergambar di lukisan-lukisan yang sering dilihat orang pada umumnya. Hal ini disebabkan banyak pelukis yang menggambarnya dengan model tidak jauh melenceng dari karya lukisan Basuki Abdullah. Sosok yang misterius. Dia berada di dua alam: alam nyata dan alam gaib. Di alam nyata, nama sang Nyai sangat akrab di telinga masyarakat. Siapa yang tidak kenal nama itu? Bahkan, ia mendapat satu tempat terhormat. Beberapa hotel besar menyediakan kamar khusus untuknya. Setiap kali keraton mengadakan labuhan, dia tidak ditinggalkan. Dihantarkan kepadanya segala macam makanan dan pakaian kesenangan sang Nyai. Dan, setiap malam Jum’at Kliwon, Ratusan orang ngalap berkah kepadanya dengan cara ziarah di Cepuri Parangkusumo (Sang Nyai, 2011:430).
55
Kutipan di atas menjelaskan bahwa Nyai Roro Kidul menunjukkan ‘hegemoni’-nya terhadap masyarakat Jawa. Nyai Roro Kidul mempunyai tempat khusus di masyarakat. Ia merupakan ratu yang diyakini dapat menjelma menjadi manusia di alam nyata dan menjadi pemimpin di alam gaib. Segala hal yang berhubungan dengan Nyai Roro Kidul menjadi hal yang keramat, bahkan ada waktu ziarah khusus untuknya yaitu pada malam Jum’at Kliwon di Puri Parangkusumo. Masyarakat menghormati sosoknya, bahkan ketika ada peristiwa labuhan Nyai Roro Kidul tidak pernah ditinggalkan, sehingga pada saat labuhan benda yang dilarung berisi segala macam makanan dan pakaian yang disukai Nyai Roro Kidul. Selain itu, Nyai Roro Kidul juga dihormati oleh banyak orang tidak hanya sebagai sosok mitos pemimpin Laut Selatan Jawa, namun ia juga sebagai istri dari Raja Mataram terdahulu. Terdapat hubungan “spesial” antara Panembahan Senopati dengan Nyai Roro Kidul, sehingga sampai sekarang masih ada kepercayaan Nyai Roro Kidul akan membantu Panembahan Senopati hingga keturunannya apabila menghadapi masalah. Eksistensi Nyai Roro Kidul sebagai pemimpin Laut Selatan merupakan bentuk hegemoni kekuasaan yang ia miliki, sehingga secara tidak langsung sosoknya sangat berpengaruh terhadap kelangsungan Keraton. Berikut kutipan yang menjelaskan hubungan Nyai Roro Kidul dengan Kanjeng Sultan dan Sunan. Di antara catur sagotrah itu ada orang ketiga atau kelima yang sangat diperhitungkan eksistensinya, yakni Nyai Roro Kidul. Namun, penguasa Laut Selatan itu hanya berhubungan asmara dengan orang nomor satu di Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta. Rupanya, Ratu cantik yang terkenal sangat sakti itu tidak melirik penguasa di Pura
56
Mangkunegaran maupun Pura Pakualaman. Keduanya mungkin dianggap tidak selevel karena hanya menyandang gelar adipati. Selevel di bawah sunan maupun sultan (Sang Nyai, 2011: 221). “Nyai Roro Kidul itu memang...apa ya... kalau zaman sekarang istilahnya, mungkin termasuk perempuan selebriti papan atas. Beliau hanya mau bercinta dengan kalangan atas. Dengan raja-raja. Bukan dengan lelaki biasa.” “Ya, ya, karena beliau sendiri juga seorang penguasa di Laut Kidul,” imbuhku (Sang Nyai, 2011:206). Nyai Roro Kidul sebagai penguasa Laut Selatan yang terkenal dengan kecantikan dan kesaktiannya hanya berhubungan dengan pemimpin Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta, karena hanya dua pemimpin tersebut yang dianggap setingkat dengannya sebagai pemimpin suatu masyarakat tradisional. Dominasi Nyai Roro Kidul tersebut menandai bahwa tidak sembarang orang yang bisa berhubungan dengan sang Nyai, karena ia hanya mau berhubungan dengan orang-orang tertentu sesuai kehendaknya. Jadi, jika tidak berkehendak maka Nyai Roro Kidul tidak akan muncul karena ia mempunyai kekuasaan tersendiri. Selain menjalin hubungan dengan Raja Mataram seperti yang diungkapkan sebelumnya, Nyai Roro Kidul sebagai ratu mempunyai kharisma. Kharisma Nyai Roro Kidul terpancar dari asal usulnya yang merupakan sosok ratu gaib Laut Selatan. Hanya orang-orang tertentu yang dapat melihat atau berinteraksi dengannya. Nyai Roro Kidul sebagai ratu Laut Selatan sendiri kemunculannya mempunyai ciri-ciri yang khusus dan waktu tertentu. Hal ini disebabkan sosok Nyai Roro Kidul merupakan makhluk yang tak kasat mata, sehingga kedatangannya melalui tanda-tanda gaib. Tanda-tanda gaib tersebut dapat dilihat dari kutipan percakapan antara Pak Nung seorang peziarah yang sering
57
berkunjung ke Cepuri Parangkusumo tiap malam Jum’at Kliwon dengan Sam berikut ini: “Kalau Gusti Ratu Kidul hadir, angin datang persis dari arah selatan pintu Cepuri. Dan, tidak pakai berputar-putar segala. Hanya memang cukup besar anginnya. Namun, tidak sampai merusak atau menerbangkan sampah segala,” kata Pak Nung, peziarah yang mengaku berasal dari Temanggung. “Pernah melihat hal itu?” tanyaku. “Sering, Mas. Karena setiap malam Jum’at Kliwon, saya selalu datang.” “Ada tanda-tanda lain?” “Ada. Biasanya disertai harum kembang melati. Sangat harum.” (Sang Nyai, 2011: 50). Dari kutipan di atas dapat ditafsirkan bahwa masyarakat awam menandai kedatangan Nyai Roro Kidul melalui kejadian alam seperti dalam bentuk angin yang berhembus dari selatan melalui pintu Cepuri disertai harum kembang melati. Fenomena alam berupa angin menjadi pertanda sebagai bentuk kedatangan leluhur yang besar. Peristiwa ini sering terjadi ketika upacara atau pada waktu-waktu ziarah. Harum melati juga merupakan pertanda akan keberadaan makhlukmakhluk astral, baik dari leluhur maupun kalangan yang lebih tinggi sekelas dewi, bidadari, ataupun arwah para raja. Dalam novel Sang Nyai, hembusan angin dan harum melati mencirikan kehadiran Nyai Roro Kidul di tempat tersebut. Ia datang lalu lenggahan atau duduk-duduk di sekitar Cepuri Parangkusumo pada malam Jum’at Kliwon. Hal itu dipercaya merupakan tanda-tanda bahwa Nyai Roro Kidul telah hadir di Cepuri untuk mengabulkan keinginan para peziarah melalui perantara doa-doa Mas Darpo, sang juru kunci Parangkusumo. Dengan demikian, pada malam tersebut
58
banyak sekali orang datang ke Cepuri Parangkusumo untuk ziarah dan meminta berkah pada Nyai Roro Kidul. Nyai Roro Kidul juga digambarkan sebagai seorang pemimpin yang suci dan keramat. Tidak hanya manusia yang takut padanya, bahkan kharismanya juga membuat api tidak berani mendekatinya. Hal itu juga menegaskan bahwa sosok Nyai Roro Kidul tidak dapat diremehkan. Berikut kutipannya. “Kamar ini adalah saksi hidup. Tidak bisa dinalar dengan akal sehat, tapi terbukti. Nyata. Siapa pun bisa melihat dengan mata telanjang. Apa yang melindungi kamar ini dari amukan api? Tidak ada, bukan? Kamar ini terbuka seperti kamar yang lain. Dan nyatanya? Api pun tak berani mendekat. Itu berarti Nyai Roro Kidul tidak termasuk sebangsa jin atau demit. Sebab, jin atau demit itu takut dengan api. Sedang apa yang terjadi di sini, justru apinya yang takut.” (Sang Nyai, 2011:151). Dari kutipan di atas dapat disimpulkan bahwa Nyai Roro Kidul bukan hanya makhluk halus biasa, namun makhluk setingkat dewi karena api saja takut dengannya. Hotel Sanur Beach Hotel Bali pernah mengalami kebakaran dan hanya satu kamar dalam hotel itu yang tidak terjilat oleh api. Sebagai makhluk yang mempunyai sumber api lebih kuat dari api yang lain, menjadi penyebab api biasa tidak berani melawan kekuatan Nyai Roro Kidul. Kamar tersebut akhirnya selamat dari tragedi kebakaran. Kejadian yang tidak masuk akal jika dipikirkan dengan akal sehat. Masyarakat kemudian percaya bahwa kamar tersebut merupakan tempat persinggahan Nyai Roro Kidul pada saat itu, sehingga kamar tersebut menjadi tempat yang keramat. Hal itu dijelaskan Kesi yang tiba-tiba berada di kamar hotel itu kepada Sam, ketika pemuda itu tiba-tiba terlempar ke Sanur Beach Hotel Bali dalam meditasinya di bawah tujuh lukisan Nyai Roro Kidul. Terlihat bahwa
59
kharisma Nyai Roro Kidul terpancar dari figurnya yang mempunyai ciri-ciri khusus. Seorang penguasa mempunyai aura tersendiri dan cenderung memiliki kemampuan khusus yang membuatnya disegani rakyat dan memancarkan kharisma yang dimilikinya. Hal ini mendapat tempat tersendiri di masyarakat Jawa, sehingga sampai sekarang sosok Nyai Roro Kidul masih dipercaya eksistensinya. Dominasi Nyai Roro Kidul sebagai ratu lainnya juga dilihat dengan sosoknya yang mempunyai tempat-tempat terhormat yang dipercaya oleh masyarakat sebagai tempat yang keramat. Tempat-tempat tersebut berada di alam nyata yang dikenal menjadi tujuh tempat persinggahan Nyai Roro Kidul. Tujuh tempat keramat yang disebutkan dalam novel Sang Nyai yaitu Sanur Beach Hotel, Ambarukmo Palace Hotel, Hotel Queen, Parangkusumo, Samudera Beach Hotel, Banglampir Gunungkidul, dan Pantai Karangbolong. Hal ini diketahui Sam selama melakukan meditasi di rumah Nyai Mundingsari di bawah tujuh lukisan sosok Nyai Roro Kidul. Ia seperti merasa dibawa kekuatan gaib menuju ke tempat Nyai Roro Kidul berada. Nyai Roro Kidul juga mempunyai tempat khusus untuk bertemu dengan Sultan seperti di selo gilang yang bertempat di Cepuri Parangkusumo, maupun tempat pertemuan dengan Sunan di Panggung Sanggabuwana di Keraton Surakarta. Itulah bukti hegemoni mitos Nyai Roro Kidul dan kebesaran yang ia miliki yang dipercaya oleh masyarakat Jawa. Selanjutnya, Nyai Roro Kidul sebagai ratu menurut pandangan masyarakat Jawa dianggap sebagai sosok yang berwibawa karena dapat mengabulkan segala
60
keinginan dari para peziarah, dan sebagai perantara antara manusia dengan Tuhan. Meskipun begitu ada yang pro dan kontra dengan sosok tersebut. Ada yang mengatakan jika Laut Selatan sedang berombak dan memakan korban jiwa, banyak yang menganggap bahwa Nyai Roro Kidul sedang marah dan mencari tumbal. Sebenarnya hal tersebut hanya takhayul yang dibicarakan masyarakat saja. Pada dasarnya, sosok Nyai Roro Kidul yang sesungguhnya merupakan sosok yang welas asih, suka menolong, dan memberikan apa yang dimiliki bagi yang meminta. Berikut keterangan yang dilontarkan oleh Kesi tentang sosok Nyai Roro Kidul sebenarnya. Simak kutipan di bawah ini: Mereka itulah yang nanti akan menjarah benda-benda labuhan yang dikembalikan ke pantai. Menyimpan benda-benda itu sebagai pusaka, atau berharap ada berkah tersendiri karena telah memperoleh benda-benda labuhan. Mereka percaya jika benda itu sudah disentuh oleh Nyai Roro Kidul. Bahkan ada yang dicoba. Nyai Roro Kidul bukannya menolak barang-barang yang dipersembahkan kepadanya itu, namun konon ia memang kepengen memberikannya kembali kepada rakyat kecil yang percaya dan setia dengan dirinya (Sang Nyai, 2011:365). “Karena kita dianggap melecehkan beliau. Seolah kita hanya bermain-main saja, tidak serius. Padahal kalau kita berhasil, beliau benarbenar akan datang dan mengabulkan semua permohonan kita. Hebat, bukan?” “Hebat sekali. Menyamai Sang Pencipta dong!” “Lho, beliau memang dekat dengan Sang Pencipta, Mas! Kalau tidak, dari mana beliau bisa mengabulkan permohonan para peziarah?” (Sang Nyai, 2011:54). Sosok Nyai Roro Kidul merupakan sosok yang baik hati dan menghargai rakyatnya. Dari kutipan di atas maka dapat disimpulkan bahwa berkah yang diterima saat labuhan merupakan berkah dari Nyai Roro Kidul. Barang-barang persembahan yang dilarung, dipercaya dapat memberikan rezeki, karena Nyai Roro Kidul bermaksud memberikannya kembali kepada rakyat kecil yang percaya
61
dan setia kepada dirinya. Hal itu merupakan wujud kewibawaan dari seorang ratu kepada rakyatnya, sehingga rakyat akan tunduk, patuh, dan menghormati sang pemimpin. Dengan demikian, Nyai Roro Kidul merupakan figur yang sesuai dengan dicita-citakan oleh masyarakat Jawa. Sebagai ratu, Nyai Roro Kidul juga mempunyai wewenang yang harus dijalankan oleh seorang ratu. Tanggungjawab ini berkaitan dengan segala hal yang berhubungan dengan tugas-tugas kerajaan seperti seorang Ratu harus mempunyai kekuatan sakti. Kekuatan sakti Nyai Roro Kidul sudah terlihat dari bentuk kekuasaan dan kemampuan Sang Nyai. Nyai Roro Kidul merupakan sosok penguasa Laut Selatan yang terkenal mempunyai pasukan dari bangsa makhluk halus. Hal itu dimanfaatkan oleh Sultan Agung pada masa lampau untuk menyerang Belanda, karena kekuatan gaib diyakini susah untuk tertandingi. Hal ini membuktikan bahwa Nyai Roro Kidul merupakan sosok yang memiliki kemampuan khusus karena berhasil memimpin puluhan ribu lelembut, makhluk halus dalam kuasa kerajaan Laut Selatan. Berikut kutipannya: Benarkah engkau seorang panglima, Nyai? Tanyaku dalam hati. Mungkin saja. Pasukannya adalah para lelembut, makhluk halus yang jumlahnya tidak bisa dihitung. Konon, waktu Sultan Agung dari Mataram menggempur Batavia, Raja Mataram itu pun minta dukungan dari Nyai Roro Kidul. Katanya, ada sekitar lima belas ribu makhluk halus gabung bersama para prajurit Mataram (Sang Nyai, 2011:159). Kekuatan sakti Nyai Roro Kidul tersebut dapat memimpin sekitar lima beras ribu makhluk halus. Dilihat dari sejarah hal itu merupakan kekuatan yang luar biasa dari seorang ratu alam gaib dalam membantu Sultan Agung, Raja Mataram kala itu. Kekuatan sakti juga merupakan modal utama seorang raja
62
untuk membela kekuasaannya, sehingga dengan demikian rakyat, bahkan pemimpin dari bangsa lain akan tunduk dan menghormatinya. Kekuatan Nyai Roro Kidul dalam memerintah bangsa lelembut menandakan kekuasaannya yang meliputi makhluk-makhluk gaib, hal itu hanya dapat dilakukan oleh seseorang yang mempunyai kekuatan sakti sehingga makhluk tersebut tunduk kepada sang penguasa, yaitu Nyai Roro Kidul. Sebagai seorang ratu, meskipun Nyai Roro Kidul berada dalam kehidupan dua alam, manusia dan alam gaib, tetapi ia dimitoskan mempunyai seorang putri bernama Nyi Blorong. Nyi Blorong merupakan anak dari Nyai Roro Kidul dengan Begawan Antaboga (Dewa Ular Bumi). Nyi Blorong inilah yang dikenal masyarakat untuk tempat mencari pesugihan. Berikut kutipannya: “Nyai Blorong? Siapa dia, Mas?” tanyaku heran. “Belum pernah dengar?” Aku menggeleng. “Dia itu dipercaya sebagai putri dari Nyai Roro Kidul. Kalau ada orang mencari kekayaan dengan cara gaib, biasanya mereka ditemui Nyi Blorong. Dia makhluk berkepala manusia, namun tubuhnya berbentuk ular bersisik. Sisik emasnya itu yang diberikan kepada mereka yang haus harta benda dunia, namun tidak mau kerja keras. Mereka mau hidup enak, harta melimpah, namun dengan jalan pintas. Karena korupsi tidak bisa, ya bisanya minta kepada Nyai Blorong itu, hehehe....” (Sang Nyai, 2011:341) Data di atas menunjukkan bahwa masyarakat percaya Nyi Blorong merupakan keturunan Nyai Roro Kidul dengan wujud ular (turunan dari ayahnya) berkepala manusia yang mempunyai sisik emas. Sisik emas itulah yang menjadi sumber pesugihan bagi manusia yang ingin hidup enak tanpa bekerja keras. Namun tidak semudah itu, apapun yang di dapat secara instan tentu mempunyai syarat tertentu. Nyi Blorong tidak memberikannya secara sukarela, ia meminta tumbal berupa orang-orang yang dicintai. Hal itu tentu berlawanan dengan sosok
63
Nyai Roro Kidul ibunya, meskipun makhluk gaib, namun ia sering berwujud dalam rupa wanita cantik dan membantu rakyatnya dengan mengabulkan doa-doa tanpa mengajukan syarat, karena Nyai Roro Kidul mempunyai sikap muraj hati. Pusaka merupakan bentuk kebesaran atau lambang dari sebuah kekuasaan. Namun, pusaka keramat juga bisa digunakan sebagai tanda kebesaran dalam pertempuran. Nyai Roro Kidul juga mempunyai senjata keramat sebagai wujud dari dirinya yang merupakan seorang Ratu. Perhatikan kutipan berikut: “Punten Nyai,” kataku menirukan apa yang tadi diucapkan petugas hotel. Tiba-tiba, bulu kudukku berdiri waktu menatap lukisan yang tergantung di dinding. Persis dengan lukisan yang tergantung di rumah Bu Mul! Sosok Nyai Roro Kidul digambarkan sedang naik kuda warna putih. Ia tidak mengenakan mahkota kebesaran. Justru rambutnya dibiarkan tergerai. Di pinggangnya terselip keris pusaka. Sosok penguasa Laut Selatan itu tidak digambarkan sebagai wanita cantik yang lemah gemulai. Namun, wanita yang gagah perkasa. Ia siap memimpin pasukannya maju ke medan perang! (Sang Nyai, 2011:158). Dari kutipan tersebut bisa dilihat bahwa sosok Nyai Roro Kidul mempunyai senjata berupa keris pusaka. Sosok lain dari Sang Nyai ketika berada di medan perang digambarkan sebagai wanita yang gagah perkasa menurut pemikiran Sam. Meskipun hanya bentuk visualisasi dalam bentuk lukisan, namun lukisan yang berbau mistik itu secara tidak langsung menggambarkan sosok Nyai Roro Kidul dalam rupa seorang panglima perang berkuda. Selanjutnya, Nyai Roro Kidul sebagai ratu juga mempunyai kekuasaan untuk menggerakkan masyarakat Jawa, baik melalui mitos maupun tradisi yang ada. Bahkan ia juga merupakan sosok yang paling dinanti kedatangannya ketika ziarah di Cepuri Parangkusumo pada malam Jum’at Kliwon. Para peziarah menanti kedatangan Sang Nyai, sehingga mereka sangat patuh dengan waktu yang
64
biasa didatangi oleh Nyai Roro Kidul seperti ketika harus mengajukan permohonan setelah lewat tengah malam. Simak kutipan berikut ini: “Maka itu bagi peziarah yang sudah tahu, mereka baru mengajukan permohonannya setengah lewat tengah malam. Kalau sore-sore begini, tidak ada gunanya. Gusti Ratu Kidul tidak bakal mendengar. Coba kalau nanti beliau sudah duduk sinewaka di atas selo gilang. Semua permohonan para peziarah akan didengar dan dikabulkan. Mas Sam ini mau minta apa?” tanya perempuan itu tiba-tiba (Sang Nyai, 2011:45). Dari kutipan tersebut dapat dilihat bahwa Nyai Roro Kidul mempunyai waktu kunjungan pada saat-saat tertentu, sebagai rakyat yang tunduk kepada rajanya maka para peziarah mulai mengajukan permohonan seperti pada waktu yang telah ditentukan. Hal ini dikarenakan jika mengajukan sebelum itu tidak akan didengar sang Nyai karena ia belum hadir ke Puri Parangkusumo. Namun, ketika lewat tengah malam dipercaya Nyai Roro Kidul telah hadir dan duduk sinewaka di atas selo gilang, batu pertemuan dengan Panembahan Senopati. Sinewaka merupakan istilah dalam bahasa Jawa yang mempunyai arti raja yang duduk pada sebuah acara. Istilah tersebut hanya diperuntukan bagi para raja karena duduknya seorang raja harus dihormati dengan cara menyembah dan meninggikan raja. Hal tersebut merupakan bentuk adikodrati yang merupakan kesakralan yang harus dilakukan sebagai seorang pemimpin ketika berhadapan dengan rakyat. Dengan demikian, setelah Nyai Roro Kidul duduk sinewaka maka ia dapat memberikan berkah keselamatan pada rakyat yang telah berkunjung di Puri Parangkusumo dengan mengabulkan doa-doa dari para peziarah. Para peziarah pun memberikan penghormatan dengan menyembah dan memanjatkan doa yang mereka harapkan pada Nyai Roro Kidul.
65
“Sampai sekarang, saya tidak berani lagi mengulang puasa ngebleng agar bisa bertemu dengan Gusti Kanjeng Ratu Kidul. “Kenapa?” “Konon, kalau kita gagal sampai tiga kali, maka Gusti Kanjeng Ratu Kidul sendiri yang akan menjemput kita.” “Dia akan menjemput kita? Berarti, kita diajak ke keratonnya di Laut Selatan sana?” “Ya.” “Modar kita!” (Sang Nyai, 2011:54). Kutipan terakhir dari data di atas juga menegaskan kekuasaan Nyai Roro Kidul sebagai ratu. Apabila seseorang melakukan puasa ngebleng selama tujuh hari tujuh malam berturut-turut, maka dapat bertemu dengan Nyai Roro Kidul dan segala permohonannya akan dikabulkan. Nyai Roro Kidul dianggap sebagai sosok yang dekat dengan Pencipta, sehingga bisa mengabulkan permohonan para peziarah. Hal tersebut diyakini dan dianut oleh masyarakat sehingga para peziarah datang untuk meminta berkah dari Nyai Roro Kidul pada malam Jum’at Kliwon. Namun, mitos lain juga berkembang jika tiga kali gagal dalam melaksanakan puasa tersebut maka akan dijemput Nyai Roro Kidul lalu dibawa ke istananya. Jika melanggar atau membuat kesalahan seperti hal tersebut ia akan mendapatkan sanksi berupa kematian. Sanksi inilah yang membuat rakyat takut untuk menemui Nyai Roro Kidul dengan puasa ngebleng tujuh hari tujuh malem. Dominasi hegemoni mitos Nyai Roro Kidul sebagai ratu merupakan bentuk dari ideologi tradisional yang ada di dalam masyarakat Jawa, khususnya daerah Yogyakarta dan sekitarnya. Paham ini masih dianut oleh sebagian masyarakatnya yang percaya adanya Ratu Laut Selatan sebagai penyokong eksistensi Kesultanan Yogyakarta dan Keraton Surakarta.
66
2. Sang Nyai Mendukung Eksistensi Raja Eksistensi raja pada kekuasaan Jawa terwakili oleh karakter Kanjeng Sultan dan Kanjeng Sunan, karena kedua raja tersebut merupakan bagian dari catur sagotrah yang merupakan bagian dari kerajaan Mataram.
Kedua pemimpin tersebut
masing-masing memimpin Keraton Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta. Keduanya memiliki gelar masing-masing yang menjadi ciri khas seorang pemimpin hingga sekarang. Kharisma seorang pemimpin dalam masyarakat negara kuno ditekankan pada pengisolasian pemimpin dari rakyatnya, berdasarkan gagasan bahwa seorang raja merupakan pemimpin utama yang suci. Setiap rakyat yang melihat raja atau keturunan raja harus memberikan penghormatan kepada pemimpin tersebut. Dalam novel Sang Nyai (2011:238), ketika Raden Mas Damar Kusumo (cicit lelaki dan keturunan lelaki lain dari garis pria kerajaan) berjalan di depan. Setiap kali berpapasan dengan abdi dalem, ia menerima penghormatan sembah. Dari hal tersebut dapat disimpulkan bahwa Raden Mas Damar Kusumo sebagai keturunan raja mendapat penghormatan dari para abdi dalem kerajaan. Hal itu biasa dilakukan oleh para abdi setiap berpapasan atau bertemu muka dengan bangsawan kerajaan dengan tujuan untuk menghormati. Sembah juga sekaligus bentuk sopan santun dari rakyat atau abdi kepada rajanya. Raja atau kaum bangsawan kerabat raja dianggap paling suci, sehingga merupakan hal tabu jika langsung menatap wajahnya secara langsung, etika yang harus dipenuhi adalah dengan menghaturkan sembah terlebih dahulu agar tidak terkesan lancang.
67
Nama juga merupakan bentuk kharisma dari seorang raja atau keturunan raja. Keraton Yogyakarta mempunyai pemimpin dengan gelar Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem ingkang Sinuhun-Kanjeng Sultan Hamengkubuwono ing Alaga Ngabdulrrakhman Sayidin Panotogomo Kalifatullah Ingkang Jumeneng Ing Ngayogyakarta Hadiningrat yang mempunyai arti pemimpin yang menguasai dunia, komandan besar, pelayan Tuhan, dan Tuan semua orang yang percaya. Untuk Kasunanan Surakarta Sri Susuhunan Pakubuwana mempunyai gelar Sampeyan Dalem ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Prabu Sri Paku Buwana Senapati ing Alaga Ngabdulrrakhman Sayidin Panatagama Kaping... Dengan demikian, mempunyai kuasa atas daerah Keraton Surakarta dengan falsafah kepemimpinan seperti yang dilakukan oleh Keraton Yogyakarta. Dalam novel Sang Nyai juga dijabarkan mengenai permasalahan gelar kebangsawananan. Perhatikan kutipan berikut: Orang yang sangat pede, percaya diri. Bisa dimaklumi. Gelar kanjeng raden tumenggung atau KRT termasuk terhormat di kalangan para abdi dalem keraton. Pada zaman dulu, gelar itu memang bisa dibanggabanggakan. Karena tidak semua orang bisa memperolehnya. Hanya orangorang tertentuyang berjasa kepada keraton bisa memperoleh gelar tersebut. Tetapi konon, Kasunanan Surakarta lebih mudah memberikan gelar tersebut. Beberapa pengamat budaya mengatakan jika gelar terhormat itusepertinya diobral begitu saja. Beda dengan Kesultanan Yogyakarta. Sangat selektif menganugerahkan gelar kehormatan kepada para individu (Sang Nyai, 2011:310). Nyai Maryatun mempunyai suami yang bergelar KRT yaitu Kanjeng Raden Tumenggung. Gelar tersebut termasuk gelar terhormat pada abdi dalem kerajaan Kasunanan Surakarta. Gelar yang diberikan oleh Kanjeng Sunan tersebut bisa menjadi kebanggaan masing-masing abdi dalem. Untuk itulah kanjeng Sunan
68
sangat disegani, hal itu juga berlaku di Kesultanan Yogyakarta. Seperti tokoh Mas Darpo dalam novel Sang Nyai yang mempunyai gelar Lurah. Gelar kepemimpinan merupakan bentuk kharisma dari seorang raja. Dengan demikian, raja tersebut harus mempunyai sifat seperti falsafah kepemimpinan yang dianut oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX yang memimpin pada 1940-1988. Falsafah kepemimpinan tersebut adalah ‘hamengku, hamangku, hamengkoni’. Hamengku berarti harus melindungi rakyat secara adil tanpa membeda-bedakan
golongan,
keyakinan,
maupun
agamanya;
hamangku
mempunyai arti berkewajiban memberi kepada rakyat bukan lebih banyak menerima; hamengkoni yang berfungsi sebagai teladan dan memikul tanggung jawab sebagai pemimpin kepada rakyatnya (Achmad, 2013:68). “Ya, kami berdoa begitu. Mosok Tuhan akan tega melihat kawula Ngayogyakarta itu pada mampus dimangsa lahar panas? Pasti tidak. Karena itu kemarin-kemarin ada imbauan agar kita semua membuat sayur tolak bala. Dan untunglah, banyak yang membuat. Memang ada satu dua keluarga ya balela, kebanyakan keluarga muda, ya tidak apa-apa. Kalau terjadi sesuatu biar ditanggung sendiri, hehehe...” (Sang Nyai, 2011:280). Berdasarkan kutipan di atas, sebagai raja harus memperhatikan rakyatnya dengan memberikan perintah untuk mengantisipasi suatu kejadian. Seperti tradisi untuk membuat sayur tolak bala merupakan kegiatan yang harus dilakukan agar menghindarkan dari bencana. Tradisi membuat sayur tolak bala
merupakan
tradisi yang dipercaya masyarakat. “Ya, harus begitu. Dulu, saat banjir tahun 1969 itu, Ngarsa Dalem sendiri turun tangan langsung. Beliau katanya sampai cuci muka di Kali Code. Dampaknya, banjir langsung surut.” (Sang Nyai, 2011:298). Kutipan di atas menjelaskan bahwa sebagai seorang raja, tanggungjawab untuk turun mengatasi bahaya demi rakyatnya juga merupakan tugas raja. Hal itu
69
dilakukan oleh Sang Sultan ketika terjadi banjir di Kali Code pada tahun 1969. Sultan mencuci muka di sungai tersebut, sehingga secara ajaib banjir yang melanda warga surut. Itu membuktikan bahwa raja mempunyai kekuatan sakti yang dapat membuat bencana banjir itu surut. Dengan kekuatan sakti maka raja dapat membebaskan rakyatnya dari penderitaan akibat bencana. Bertolak pada analisis di atas, raja mempunyai peran yang sangat besar untuk mengendalikan rakyat. Sementara itu, sebagai pusat kekuasaan di tanah Jawa, raja menjadi penengah hubungan yang terjadi antara Laut Selatan (Nyai Roro Kidul) dengan Merapi yang dijaga oleh Kiai Sapu Jagad. Berdasarkan perjanjian yang telah dibuat antara Panembahan Senopati dengan Nyai Roro Kidul pada masa lampau, maka Keraton sangat bergantung pada kekuasaan Laut Selatan. Nyai Roro Kidul sebagai bentuk dominasi kekuasaan lain yang menyokong kehadiran Keraton merupakan bentuk ideologi tradisional yang melekat di benak masyarakat Jawa. Dengan rakyat yang mengakui dan menghormati eksistensi Sultan sebagai pemimpin mereka, maka hal yang dipercaya raja akan dianut oleh masyarakatnya, termasuk mempercayai eksistensi Nyai Roro Kidul. Hegemoni mitos Nyai Roro Kidul dalam mendukung eksistensi raja dalam novel Sang Nyai terlihat dengan kepercayaan bahwa Nyai Roro Kidul mendukung kewibawaan Sang Sultan. Kewibawaan Sultan dalam ditunjukkan dengan kekuatan pasukan Mataram pada masa lampau, jika dengan bantuan tentara Nyai Roro Kidul, maka pasukan Mataram akan semakin kuat dan disegani oleh rakyat. Sultan Agung sebagai pemimpin kerajaan Mataram pendahulu merupakan sosok
70
raja yang diakui sebagai raja yang dapat menakhlukkan banyak wilayah. Ia juga dikenal sebagai pemimpin dengan tangguhnya pasukan Mataram yang tercatat dalam sejarah. Hingga keturunannya sekarang pun eksistensi dari kerajaan Mataram masih tetap ada berkat bantuan dari Nyai Roro Kidul yang merupakan istri dari Raja Mataram. Berikut kutipannya: Sultan Agung yakin sekali akan menang. Sebab, para lelembut itu tidak mungkin dikalahkan. Tentara Belanda tidak bisa menembaknya. Mereka tidak punya ilmu untuk melihat alam gaib. Lagi pula, ruh halus tidak bisa mati. Mau diapa-apakan pun, ruh itu tetap ruh. Karena keyakinannya itu, Sultan Agung menolak bantuan dari raja-raja di luar Pulau jawa. Cukup mengandalkan bantuan lelembut dari Laut Selatan. Jika nanti menang, kira-kira demikian pemikiran Sultan Agung, yang akan mendapat nama harum adalah dirinya. Dia sebagai Raja Mataram dianggap memiliki pasukan yang hebat dan tangguh. Kalau Belanda saja bisa ditaklukkan, maka dengan mudah ia bisa menaklukkan kerajaankerajaan kecil yang selama ini belum mau tunduk kepadanya (Sang Nyai, 2011:159). Dari kutipan di atas, Sultan Agung sebagai raja pada masa itu akan disegani oleh kerajaan-kerajaan kecil tetangga jika berhasil menyerang Belanda dengan bala tentara Nyai Roro Kidul. Sultan Agung mempunyai rencana untuk menggempur Belanda yang sedang menguasai tanah Jawa. Sangat terlihat bahwa Sultan Agung sangat bergantung dengan bantuan dari kekuatan Nyai Roro Kidul. Dengan mempunyai pasukan yang tangguh dengan tambahan dari bangsa jin atau lelembut dari Nyai Roro Kidul dapat menaikkan kekuatan tempur kerajaan Mataram. Hal itu menunjukkan bahwa hegemoni mitos Nyai Roro Kidul mempengaruhi bidang politik kerajaan Mataram. Selain itu, hegemoni mitos Nyai Roro Kidul terhadap raja ditandai dengan Kanjeng Sultan dan Kanjeng Sunan yang menyediakan tempat khusus bagi pertemuannya dengan Nyai Roro Kidul. Terkadang kedua tokoh tersebut
71
menyempatkan diri menemui Nyai Roro Kidul yang merupakan kekasih mereka pada waktu-waktu tertentu. Simak kutipan berikut: “Kalau Ngarsa Dalem ke Parangkusumo, beliau itu tidak datang pas malam Jum’at Kliwon. Terlalu ramai. Mana beliau mau? Beliau itu datang pada hari biasa dan menyamar seperti rakyat biasa. Hanya mengenakan surjan lurik, sarung tenun, dan sandal jepit. Tidak ada pengawal, tidak ada abdi dalem yang mengiringi. Beliau datang sendiri. Kadang naik sepeda motor. Mas Darpo sendiri sering tidak tahu. Karena memang tidak diberi tahu. Begitulah cara Ngarsa Dalem kalau ingin bertemu dengan kekasih hatinya, Nyai Roro Kidul.” (Sang Nyai, 2011:204-205) “Begitu pun kalau Kanjeng Sunan mau bertemu dengan Nyai Roro Kidul. Beliau naik ke Panggung Sanggabuwana sendirian. Biasanya tengah malam ketika seluruh penghuni keraton sudah tidur,” lanjut Pak Nung (Sang Nyai, 2011:205). Berdasarkan kutipan di atas, Nyai Roro Kidul telah dianggap sebagai istri dari raja-raja Mataram pendahulu hingga penguasa Yogyakarta dan Surakarta sekarang ini. Hal tersebut telah melekat di benak masyarakat. Kondisi ini pun sampai saat ini masih begitu kuat, sehingga masih banyak yang mempercayai eksistensi Nyai Roro Kidul. Efek dari kepercayaan adanya Nyai Roro Kidul, juga dapat dilihat dari cara pandang masyarakat terhadap raja-raja Yogyakarta dan Surakarta. Adanya hegemoni tersebut memperkuat posisi raja di masyarakat. Raja dianggap sebagai manusia setengah dewa karena dapat berhubungan dengan penguasa gaib Laut Selatan, sehingga tak seorang pun yang berani melanggar perintah Raja. segala hal
yang
diperintahkan
Raja
termasuk
seperti
melakukan
labuhan,
sesajen,kenduri, dan selamatan juga harus dipatuhi oleh rakyat untuk menghindarkan dari bencana.
72
“Sebagai penengahnya adalah Ngarsa Dalem di Keraton Yogyakarta.” “O....” “Maka itu. Ngarsa Dalem menugaskan abdi dalem keraton untuk menjaga Laut Selatan dan Merapi. Keduanya harus dijaga, diberi sesajen, jangan sampai marah. Karena itu, setiap kali Ngarsa Dalem mengadakan upacara labuhan, selalu diadakan di beberapa tempat. Antara lain ya di Laut Selatan dan Gunung Merapi (Sang Nyai, 2011:330). Berdasarkan kutipan tersebut, terlihat jelas bahwa untuk memperkuat posisinya itu raja menempatkan orang-orang yang dipercaya yaitu abdi dalem kerajaan untuk menjadi juru kunci pada kekuatan kosmis yang menjadi penyokong
pemerintahannya
di
Yogyakarta.
Kekuatan
kosmis
tersebut
mempunyai masing-masing pemimpin, yaitu Gunung Merapi yang dijaga oleh Kiai Sapu Jagad dan Laut Selatan yang dipimpin oleh Nyai Roro Kidul. Raja sebagai pelaku dominan dalam hegemoni mempunyai sistem kekuasaan yang otoriter sehingga raja merupakan sumber kedaulatan rakyat yang utama menurut pemikiran Jawa. Jika raja telah menanamkan ideologi tradisional, secara turun temurun maka rakyat akan patuh dalam kuasa raja dan ideologi tersebut. Dominasi raja yang bersifat mutlak membuat kepercayaan Raja terhadap Nyai Roro Kidul akhirnya diikuti oleh rakyatnya. Nyai Roro Kidul tentu saja berpengaruh terhadap eksistensi raja yang bertahta hingga sekarang. Kekuasaan raja juga merupakan hal yang bersifat mutlak dan didukung oleh rakyat, sehingga pemimpinan tertinggi di provinsi tetap harus dipegang oleh Sang Sultan, tidak dibebankan kepada orang lain. Rakyat tidak menginginkan ada pihak lain yang memerintah Sultan di daerah kekuasaannya. Seperti yang terjadi dalam sidang rakyat di gedung DPRD DIY pada 26 Agustus 1998, mereka mengangkat Sri Sultan Hamengkubuwono X menjadi Kepala Daerah. Rakyat
73
mengatakan hanya Sri Sultan Hamengkubuwono X yang berhak menduduki kursi Gubernur DIY. Demikian pula dengan masalah kepercayaan, sebagai pusat kekuasaan yang sinkretis, hegemoni mitos Nyai Roro Kidul pada Keraton membuat raja harus memusatkan perhatian pada rakyatnya dengan mengirimkan orang-orang kepercayaannya untuk menjadi juru kunci di Merapi dan Parangkusumo. Masyarakat Jawa tunduk kepada raja dengan kekuasaan dominan yang terikat pada hegemoni mitos Nyai Roro Kidul. Mereka merasa bahwa dipersatukan dalam lindungan raja merupakan sebuah berkah yang luar biasa.
3. Sang Nyai Sebagai Penguasa Kosmis Hubungan antara Keraton, Gunung Merapi, dan Laut Selatan merupakan satu kesatuan kekuatan kosmis Jawa. Nyai Roro Kidul sebagai pemimpin Pantai Selatan, mempunyai pengaruh kuat terhadap ketiga tempat tersebut. Nyai Roro Kidul sebagai tokoh untuk menyokong eksistensi keberadaan raja yang memerintah di Keraton, sedangkan di Merapi, ia berteman baik dengan Kiai Sapu Jagad penjaga kawah Merapi. Selain persahabatan yang terjalin kuat sejak dahulu, Nyai Roro Kidul Kidul juga mempunyai hubungan khusus dengan penunggu kawah Merapi. Berikut merupakan paparan analisis yang menjelaskan hegemoni mitos Nyai Roro Kidul terhadap tiga tempat tersebut.
74
a. Keraton Keraton merupakan pusat pemerintahan sekaligus tempat keramat bagi tahta seorang raja. Tempat raja melakukan kepemimpinannya ini merupakan pusat dari segala kegiatan pemerintahan. Daerah kekuasaan Keraton biasanya berada dalam pusat kota. Namun, jika tinjauannya pada wilayah kebudayaan Jawa dari masa lalunya yaitu pada masa kerajaan Mataram, maka masyarakat Jawa oleh Koentjaraningrat dapat dibedakan ke dalam tiga tipe wilayah kebudayaan, yaitu (a) negarigung, (b) mancanegari, dan (c) pesisiran. Daerah Keraton inilah yang dikenal sebagai negarigung yaitu daerah di seputar kota Surakarta dan Yogyakarta. Keraton di pusat ibukota yang dikelilingi tempat-tempat penting membentuk lingkaran, dengan kantor-kantor pemerintahan di pusat kota. Para abdi dalem tinggal di sekitar wilayah keraton tersebut dengan pengabdian di Keraton. Masyarakat di daerah tersebut mengutamakan kehalusan baik dari tingkah laku, berbahasa, maupun kesenian. Namun, kepercayaan agama dalam masyarakat tersebut cenderung sinkretik karena menganut Islam kejawen (Thohir, http://staff.undip.ac.id/sastra/mudjahirin/ 2010/07/30/masyarakat-pesisir diakses pada tanggal 24 September 2012). Hegemoni mitos Nyai Roro Kidul dalam Keraton sangat terlihat karena tempat pertemuan khusus dengan sang raja berada di daerah sekitar wilayah Keraton. Raja menyediakan tempat khusus bagi Nyai Roro Kidul yang berposisi sebagai istri raja. Tempat pertemuan tersebut berada di Panggung Sanggabuwono di Keraton Surakarta untuk pertemuan dengan Kanjeng Sunan, dan Hotel
75
Ambarukmo serta selo gilang
di Parangkusumo untuk pertemuan dengan
Kanjeng Sultan di Yogyakarta. Berikut kutipannya: “Di dalam kompleks keraton, ada tempat yang diberi nama Panggung Sanggabuwana. Tempat itu dulu sering dipakai oleh Kanjeng Sunan untuk bertemu dengan Nyai Roro Kidul.” “Oh, menarik. Di Keraton Yogya malah tidak ada tempat semacam itu.” “Karena di Yogya, beliau sudah disediakan kamar khusus di Hotel Ambarukmo. Jadi tidak perlu lagi ada tempat khusus di lingkungan keraton,” papar Pak Nung. “Juga sudah ada selo gilang di Parangkusumo. Nanti malah kebanyakan tempat pertemuan, malah bisa dilihat banyak orang, hahaha....” (Sang Nyai, 2011:205). Yogyakarta, hampir setiap sudut kota dan peristiwanya tidak lepas dari kisah-kisah mistik. Sebagian masyarakatnya masih percaya wisik, wangsit, firasat, pralambang, dan kekuatan gaib. Jika menyangkut Merapi, maka jangan abaikan peran Keraton Yogyakarta dan penguasa Laut Kidul. Ketiganya seolah jadi sumber kekuatan yang saling menopang satu dengan yang lain. Keyakinan itu sudah hidup di tengah masyarakat secara turun temurun karena memang dijaga betul agar jangan sampai anak cucu generasi berikut melupakan begitu saja. Jangan sampai mereka lupa akan sejarah leluhurnya, namun juga belum memiliki tempat untuk berpijak dan menemukan nilai-nilai hidup yang baru. Jika hal itu sampai terjadi, maka mereka bisa menjadi generasi yang terombang-ambing oleh situasi zaman. Generasi yang tercerabut dari akar budayanya sendiri. Mungkin begitu. Sekurang-kurangnya, begitulah pendapat para budayawan dan sejarawan yang pernah kubaca (Sang Nyai, 2011:283-284). Berdasarkan kutipan di atas, daerah Yogyakarta hingga sekarang masih penuh dengan kepercayaan terhadap hal gaib. Daerah ini dulu merupakan bagian dari kekuasaan Mataram meski telah terbagi menjadi empat bagian dengan dua wilayah pemerintahan keraton dan dua kadipaten yaitu Kesultanan Yogyakarta, Kadipaten Pakualaman, Kasunanan Surakarta, dan Kadipaten Mangkunegaran (catur sagotrah) berdasarkan perjanjian Giyanti yang ditandatangi pada tanggal 13 Februari 1755 dengan VOC. Mitos Nyai Roro Kidul berkembang pesat di dalamnya. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat mempercayai
76
mitos tersebut yang menunjukkan bahwa hegemoni mitos Nyai Roro Kidul masih tertanam kuat. Meskipun ada pihak yang menganggap bahwa kehadiran legenda Nyai Roro Kidul hanya sebagai propaganda politik dari pihak kerajaan atau Keraton untuk menakut-nakuti rakyatnya, namun dalam novel ini ditampik karena mengungkapkan berbagai kejadian supranatural yang secara langsung dialami oleh Sam. Kejadian tersebut berhubungan dengan Laut Selatan, Keraton, dan Merapi yang menguatkan kebenaran tentang keberadaan tokoh Nyai Roro Kidul dan hegemoni kekuasaannya terhadap masyarakat Jawa.
b. Gunung Merapi Gunung Merapi merupakan gunung yang terletak di Jawa Tengah, wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta, tepatnya
± 20 km di sebelah utara Keraton
Yogyakarta. Gunung Merapi merupakan gunung yang dikenal sebagai gunung paling aktif di Indonesia, bahkan di dunia. Merapi dipercaya sebagai gunung yang keramat karena di dalamnya dihuni oleh para jin, lelembut, atau roh-roh leluhur. Gunung Merapi mempunyai peran yang sangat penting terhadap kelangsungan Keraton dan Laut Selatan. Pengadaan sesajen dan doa sering dilakukan di sekitar Merapi untuk menghormati kekuasaan makhluk halus Merapi dan Nyai Roro Kidul. Ritual tersebut dapat menghindarkan daerah Yogyakarta dari malapetaka, misalnya Merapi tidak akan marah dan meletus apabila diberi sesajen.
77
Keberadaan letak mistis geografis keraton Mataram bagi masyarakat Jawa memiliki filosofis istimewa. Posisi letak antara Gunung Merapi, Keraton Kesultanan Yogyakarta dan Laut Selatan berada dalam satu garis lurus dari selatan ke utara yang dinamakan "garis imajiner”. Merapi pun diyakini mempunyai penunggu bernama Kiai Sapu Jagad, yang mempunyai hubungan baik dengan Nyai Roro Kidul. “Antara Gunung Merapi dan Laut Kidul itu ada hubungan lho, Om. Di Laut Kidul ada Nyai Roro Kidul, sedang di Merapi ada Kiai Sapu Jagad alias Eyang Petruk. Mereka saling berhubungan baik (Sang Nyai, 2011:329-330).” Dalam novel Sang Nyai, Merapi digambarkan sebagai tempat tinggal Kang Petruk, teman Kesi. Kang Petruk dikenal warga sebagai Mbah Petruk penunggu kawah Merapi. Kondisi Merapi yang saat itu semakin berbahaya membuat rakyat Yogyakarta cemas. Bahkan, himbauan untuk membuat sayur tolak bala di sekitar lereng Merapi telah dilakukan. Kegiatan tersebut agar terhindar dari bencana letusan Merapi. Sementara itu untuk warga di pesisir Pantai Selatan mengadakan upacara labuhan meminta pertolongan kepada Nyai Roro Kidul untuk membujuk Kiai Sapu Jagad agar tidak marah dan memuntahkan laharnya ke daerah Yogyakarta. Hubungan baik antara penunggu Merapi dengan Nyai Roro Kidul menandakan bahwa Nyai Roro Kidul juga menghegemoni penguasa Merapi. Jika, Nyai Roro Kidul berhasil membujuk Kiai Sapu Jagad maka diharapkan bencana tidak akan terjadi dan rakyat Yogyakarta selamat. “Saya khawatir jika suatu saat nanti Merapi marah dan meluluhlantakkan tempat-tempat semacam itu. Sebab, sedikit banyak, keberadaan losmen itu mengotori kesakralan Merapi. Gunung yang satu ini tidak bisa dibuat main-main. Beda dibanding gunung-gunung yang lain. Merapi itu berkaitan erat dengan Keraton Yogyakarta dan penguasa
78
Laut Selatan, Nyai Roro Kidul. Ingat waktu kamu naik andong gaib. Berangkat dari selatan kali Opak melewati KeratonYogyakarta, lalu menyusuri Malioboro, melewati tugu, baru kamu tiba di rumah Mbah Petruk. Yang kamu lewati itu memang jalur penghubung utama tiga sumber kekuatan di jantung Pulau Jawa. Merapi-keraton-Laut Selatan. Para ahli budaya Jawa yakin sekali akan hal itu (Sang Nyai, 2011:172). Berdasarkan kutipan tersebut gunung Merapi adalah gunung yang aktif, namun mempunyai tanah yang subur sehingga menjadi surga bagi rakyatnya, Selain itu, pasir dari gunung yang larut di sungai-sungai menjadi harta karun bagi para penambang pasir. Sebagai salah satu kekuatan penting di jantung pulau Jawa yang terkait dengan Keraton dan Laut Selatan, Merapi memberikan banyak berkah kepada warganya. Sayangnya, kesakralan Merapi mulai berkurang. Di lereng Merapi terdapat banyak losmen-losmen untuk berbuat asusila, dan itu sudah menjadi pekerjaan sampingan beberapa warga gunung yang berprofesi mengelola losmen sejenis. Dengan adanya hal tersebut, maka tidak heran jika Merapi akan murka. Kekayaan alam, kesuburan, dan tempatnya yang strategis dimanfaatkan untuk melakukan hal yang tidak baik. Namun, letusan Gunung Merapi sebenarnya adalah sebuah siklus alam yang sudah seharusnya terjadi. Mitologi letusan Gunung Merapi tersebut dipakai dalam konseptual nilai-nilai yang mengatur hubungan antara manusia dengan manusia, manusia dengan pencipta hidup, manusia dan alam adikodrati (sakral) dalam pemahaman Jawa. Hegemoni mitos Nyai Roro Kidul tetap mencakup wilayah Merapi berdasarkan relasi yang dibangun antara Kiai Sapu Jagad dan Sang Sultan sebagai penengah, hal ini sangat dipercaya oleh masyarakat Jawa, sehingga Gunung Merapi merupakan wilayah cakupan hegemoni mitos Nyai Roro Kidul.
79
c. Laut Selatan Laut Selatan merupakan wilayah kekuasaan Nyai Roro Kidul yang paling terlihat. Ombak Laut Selatan Jawa yang tinggi dan ganas menandakan kekuasaan sang Ratu. Menurut Artha (2009:96), Laut Selatan dijadikan medium persembahan adikuasa, yang memberi simbolisasi tritunggal yaitu (1) Ingkang sinuhun, yakni raja yang bertahta di singgasana duniawi, (2) Sanahita, yakni ratu yang bertahta di singgasana kedewataan, dan (3) Sasinara, yakni ratu yang menguasai alam rohani. Dari ketiga unsur tersebut maka sosok Maharani Dewi Asmarawangi Cemaralungit dimitoskan sebagai Ratu Kidul, atau Nyai Roro Kidul pemimpin Laut Selatan. Berikut kutipan yang menjelaskan kekayaan dari Laut Selatan: “Mataram yang makmur! Jika sampai kekurangan, bisa minta bantuan Nyai Roro Kidul untuk membagikan kekayaannya. Sebab, konon di kerajaan Laut Selatan ditimbun berton-ton emas. Tinggal bagaimana caranya membujuk penguasa Laut Selatan itu untuk berbagi dengan kawula Mataram. Pasti tidak keberatan mengingat penguasa Mataram adalah kekasihnya!” (Sang Nyai, 2011:235). Sebagai kekasih dari para Raja Mataram di Keraton, Nyai Roro Kidul pemimpin Laut Selatan berkolaborasi dengan Sultan mempunyai hubungan simbolisasi seperti lingga dan yoni, laki-laki dan perempuan, suami istri yang menjalin kerjasama saling mengisi satu sama lain. Hubungan erat ini pun dibuktikan dengan bantuan Nyai Roro Kidul kepada Sri Sultan Hamengkubuwono I ketika membangun Keraton di kawasan bumi baru pada 1755 dengan bantuan Nyai Roro Kidul. Bantuan tersebut berupa perlindungan untuk kelancaran pembangunan Keraton. Pada saat itu terjadi badai, sehingga pembangunan itu takkan selesai jika terus demikian. Untuk itulah, Nyai Roro Kidul menggunakan
80
kekuatan gaibnya, sehingga pembangunan tetap berjalan meski hari sedang badai. Hal itu merupakan bentuk hegemoni mitos Nyai Roro Kidul terhadap Raja Mataram. Raja masih sangat bergantung terhadap eksistensi sosok Nyai Roro Kidul (Artha, 2009:97). Berdasarkan kepercayaan Jawa, Pantai Selatan yang berada di laut Jawa mempunyai ombak yang ganas. Keganasan laut dianggap mempunyai kekuatan supranatural. Segala aktivitas yang berhubungan dengan Laut Selatan harus dilakukan dengan seizin Nyai Roro Kidul agar selamat. Seperti contoh, upacara sesaji atau dikenal sebagai sedekah laut. Jika sesaji tidak dilakukan, maka rakyat percaya bahwa dapat terjadi kecelakaan laut atau timbul gelombang dan bencana yang bisa memakan korban. Namun, jika upacara dilaksanakan maka Nyai Roro Kidul akan memberikan berkah dan melindungi keselamatan rakyat Yogyakarta. “Bukankah nyala api kemenyan tampak menjilat-jilat tinggi?” “Ya.” “Itu pertanda bahwa sang Nyai berkenan atas Labuhan Jaladri yang kami laksanakan. Kalau beliau menolak, jangankan apinya menjilat-jilat, kadang-kadang malah tidak mau nyala sama sekali kemenyannya (Sang Nyai, 2011:403). Berdasarkan kutipan di atas, restu dari Nyai Roro Kidul pada acara labuhan mempengaruhi prosesi labuhan. Hegemoni mitos Nyai Roro Kidul menggerakkan rakyat untuk melaksanakan segala kegiatan harus dengan izin dari penguasa Laut Selatan, jika tanpa seizinnya maka akan menjadi musibah. Namun, kehidupan tidak ada yang tahu. Meskipun saat labuhan memakan korban, bukan berarti Nyai Roro Kidul tidak menerima persembahan. Hal itu merupakan takdir dari Sang Pencipta bahwa korban-korban yang tenggelam saat mencari barangbarang yang di larung memang sudah saatnya untuk berpulang.
81
Benar tidaknya mengenai kisah Nyai Roro Kidul berdasarkan kepercayaan masyarakat yang menjalankan hegemoninya. Bukti kepercayaan itu tentu saja dengan dilaksanakannya kegiatan labuhan yang dilaksanakan setiap tahun di Pantai Parangtritis. Kegiatan labuhan ini bertujuan untuk memberikan nafkah kepada Nyai Roro Kidul dari raja. Sebagaimana halnya seorang suami sang raja wajib memberikan nafkah kepada istrinya. Persembahan yang diberikan dalam labuhan ini juga berupa makanan dan barang-barang tertentu yang sudah ditentukan, termasuk pakaian sang raja yang sudah bekas juga diberikan kepada Sang Ratu.
4. Sang Nyai dalam Tradisi Sebagai bentuk hegemoni yang lain, Nyai Roro Kidul juga menghegemoni tradisi dan adat istiadat masyarakat Jawa. Hal ini mencakup tradisi labuhan dan tradisi ziarah ke Cepuri Parangkusumo. Berikut analisisnya.
a. Tradisi Labuhan Labuhan atau sedekah laut merupakan bentuk upacara yang dilakukan oleh warga pesisir. Tradisi ini sangat erat kaitannya dengan Nyai Roro Kidul karena dilakukan di tepi Pantai Selatan. Harus ada izin dari Nyai Roro Kidul jika ingin mengadakan labuhan, karena tradisi ini merupakan hubungan timbal balik antara raja yang berkuasa, dengan pemimpin Laut Selatan tersebut. Kewajiban Labuhan selalu dijalankan oleh raja setiap tahunnya, namun pada saat terjadi peristiwaperistiwa tertentu yang mengancam Yogyakarta maka ritual labuhan akan
82
diselenggarakan. Dalam novel Sang Nyai, kondisi Merapi sedang berada dalam tahap hampir meletus. Untuk itulah, Ngarsa Dalem meminta rakyat di pesisir untuk melakukan labuhan guna meminta pertolongan pada Nyai Roro Kidul. Ritual labuhan itu mempunyai beberapa langkah, yaitu menyiapkan sesajen, selamatan,kenduri, dan upacara labuhan. Berikut uraiannya.
(1) Sesajen Sesajen merupakan simbolisme dalam adat Jawa. Maksud dibuat sesajen adalah untuk mendukung kepercayaan terhadap adanya roh halus yang berdiam atau mbahu reksa di tempat-tempat tertentu agar jangan mengganggu keselamatan, ketentraman, dan kebahagiaan yang mengadakan sesajen, atau sebaliknya untuk meminta berkah dan lindungan dari yang mbahu reksa untuk menjauhkan atau menghindarkan dari gangguan maupun bencana (Herusatoto, 1985:100). Sesajen merupakan tradisi yang dilaksanakan oleh orang Indonesia khususnya Jawa dalam peristiwa tertentu. Dalam novel Sang Nyai, sesajen diadakan untuk keperluan sebelum labuhan. Biasanya berisi makanan, kembang, bubur, tumpeng, rempah-rempah, atau semacamnya yang mempunyai nilai-nilai tertentu. Perhatikan kutipan berikut: “Monggo, monggo, silakan.” Mbak Sum membuka taplak penutup sesajen yang akan dilabuh. “Ini ada tujuh tumpeng dan ingkung utuh satu. Ada jajan pasar lengkap. Tujuh macam kembang. Urap dari tujuh macam sayuran dan bubur tujuh warna,” jelas perempuan itu. Semua sesajen itu diletakkan di atas tampah, nampan besar terbuat dari anyaman bambu (Sang Nyai, 2011:354). Sesajen yang disiapkan tersebut semua serba angka tujuh. Dalam bahasa Jawa tujuh adalah pitu. Jadi, sesajen tersebut mempunyai makna untuk mohon
83
pitulungan atau pertolongan kepada Sang Pencipta agar diberi keselamatan. Sesajen yang diadakan tersebut juga bersamaan dengan kondisi Merapi yang sedang dalam keadaan darurat, sehingga dengan sesajen tersebut penduduk Pantai Selatan berharap bagi keselamatan saudara-saudara mereka yang tinggal di lereng Merapi. Perhatikan kutipan berikut ini: Rombongan orang yang mau mengadakan labuhan lalu masuk kembali ke dalam rumah Mas Darpo dan tetangganya. Padahal, mereka sudah siap-siap melakukan prosesi. Berangkat dari rumah Mas Darpo sebagai juru kunci, lalu masuk ke Cepuri Parangkusumo. Di situ, semua sesajen dan barang-barang labuhan diletakkan dulu di atas selo gilang. Mas Darpo mendoakannya. Mempersembahkan semuanya itu untuk Panembahan Senapati dan Nyai Roro Kidul. Dengan harapan, keduanya bertemu lagi di selo gilang itu untuk memberikan berkah pertolongannya. Setelah itu, barulah prosesi dilanjutkan menuju pantai (Sang Nyai, 2011:361). Berdasarkan kutipan tersebut jelas sekali bahwa hegemoni mitos Nyai Roro Kidul sangat mempengaruhi prosesi ini. Masyarakat membuat sesajen yang telah didoakan oleh Mas Darpo juga untuk dipersembahkan pada Panembahan Senopati dan Nyai Roro Kidul. Mereka percaya bahwa pertemuan keduanya akan dapat memberikan berkah pertolongan berkaitan dengan keadaan darurat di Merapi. Sesajen yang disediakan dengan barang labuhan akan dilarung ke Laut Kidul dengan tujuan agar Nyai Roro Kidul mau membujuk Eyang Sapu Jagad di Merapi supaya tidak marah. Benda-benda itu juga bisa dimaknai sebagai alat untuk perantara, dengan menyediakan barang-barang kesukaannya diharapkan Nyai Roro Kidul merasa iba dan sanggup membujuk Eyang Sapu Jagad agar meredakan kemarahannya, sehingga Merapi tidak meletus. Kepercayaan ini masih berkembang di masyarakat sehingga hegemoni mitos Nyai Roro Kidul masih
84
tertanam kuat di dalam jiwa masyarakat Jawa. Tradisi ini dapat dipercaya atau pun tidak, tetapi inilah upaya terakhir yang dapat dilakukan oleh masyarakat pesisir Pantai Selatan untuk membantu saudara-saudara mereka yang tinggal di sekitar Merapi.
(2) Selamatan Tradisi selamatan atau dalam bahasa Jawa dikenal dengan slametan merupakan budaya Jawa asli. Slametan berasal dari kata bahasa Jawa slamet yang mempunyai arti selamat, bahagia, dan sentosa. Kegiatan ini merupakan kegiatan yang biasanya digambarkan sebagai pesta ritual untuk mengawali proses upacara-upacara tertentu. Selain itu, tujuan dari selamatan adalah untuk tolak bala atau menahan gangguan dan musibah yang akan terjadi. Kegiatan berwujud perjamuan makan sederhana dengan dihadiri kerabat dan seluruh tetangga untuk mencapai keselarasan dengan alam. Nilai dari acara selamatan ini antara lain berwujud kerukunan, kekeluargaan dan kebersamaan karena semua orang berkumpul dalam satu tempat. Semua orang mempunyai kedudukan yang sama di mata masyarakat atau dalam bertetangga. Pada hakikatnya, ritual ini merupakan wujud dari permohonan izin kepada Sang Pencipta untuk mengawali suatu kegiatan yang lebih besar. Tradisi selamatan dalam novel Sang Nyai merupakan bentuk dari tradisi masyarakat Pesisir Selatan yang akan memulai upacara labuhan di pantai Selatan tempat Nyai Roro Kidul berkuasa. Selain itu, selamatan ini dalam rangka untuk menolak
85
bencana yang akan menimpa akibat kondisi Merapi yang berbahaya. Perhatikan kutipan berikut ini: “Pokoknya, utusan dari keraton,” jawab Mas Darpo kalem. “Mereka hanya meminta agar saya dan masyarakat di sini membantu keselamatan saudara-saudara kita yang tinggal di sekitar Merapi. Maka, kami lalu mengadakan selamatan, kenduri, dan nanti malam mengadakan labuhan. Yah, hanya itu yang bisa kami lakukan.” (Sang Nyai, 2011:345). Peringatan untuk mengadakan selamatan, kenduri, dan labuhan berasal dari utusan Keraton, sehingga hal ini merupakan perintah secara langsung dari Ngarsa Dalem atau sang Sultan. Jadi, secara tidak langsung Ngarsa Dalem meminta rakyatnya untuk melakukan ritual itu agar Nyai Roro Kidul memberi izin dalam melaksanakan labuhan jaladri agar prosesinya lancar dan agar ia mau membantu rakyat yang sedang prihatin terhadap bahaya Merapi. Secara tidak langsung, Nyai Roro Kidul merupakan tokoh yang dominan dan dipercaya sebagai perantara dengan Sang Pencipta.
(3)
Kenduri
Kenduri dalam bahasa Indonesia baku (KBBI, 1993:478) memiliki arti perjamuan makan untuk memperingati peristiwa, minta berkat. Kenduri merupakan bagian rangkaian dari selamatan, atau merupakan puncak kegiatan selamatan itu sendiri. Kenduri mempunyai makna untuk sedekah, wujud berbagi dengan keluarga, sanak saudara, serta tetangga. Dari kenduri inilah maka tercipta kerukunan yang mempererat kesatuan. Kesatuan kepentingan, kesatuan cita-cita, dan juga kesatuan masing-masing individu yang ikut dalam ritual ini.
86
Jika selamatan itu meminta izin, maka kenduri adalah wujud sedekah untuk memperlancar perizinan itu. Prosesi dilakukan dengan membagi-bagikan nasi berkat atau nasi besek dan nasi tumpeng yang telah didoakan sebelumnya. Berkat yaitu wadah dari anyaman bambu yang dialasi daun pisang, diisi dengan tatanan nasi putih, mie goreng, telor rebus, daging ayam, sambal goreng kentang, acar wortel atau ketimun, kerupuk udang, dan pisang (isi berkat menyesuaikan yang punya hajat). Dalam acara kenduri harus ada pemimpin yang akan memimpin dalam pembacaan doa-doa. Dalam novel Sang Nyai acara kenduri tersebut dipimpin oleh juru kunci Parangkusumo, yakni Mas Darpo. Berikut kutipannya: Mas Darpo mengangguk-angguk. Ia melihat jam tangan. Lalu, minta maaf karena harus pamit. Ia akan segera memimpin kenduri. “Silakan kalau Mas Sam mau istirahat dulu. Karena labuhan baru akan kami lakukan sekitar pukul delapan malam nanti,” katanya memberi informasi (Sang Nyai, 2011:349). Acara selametan dan kenduri merupakan satu rangkaian ritual orang Jawa, yang dilanjutkan dengan prosesi labuhan jaladri dalam novel Sang Nyai. Ritual tersebut merupakan sebuah bentuk hegemoni dari penguasa. Masyarakat dengan senang hati melaksanakannya karena menganggap hal itu penting. Selamatan dan kenduri itu juga sebagai wujud kepedulian bagi sesama karena manusia hidup untuk saling membantu. Jika yang lain mengalami kesusahan, wajibnya yang lain mengulurkan tangan memberi bantuan dan turut prihatin. Seperti halnya warga di lereng Merapi yang membutuhkan bantuan doa dari saudaranya yang tinggal di pesisir pantai Selatan Yogyakarta agar terhindar dari bencana.
87
(4) Upacara Labuhan Labuhan merupakan bentuk kebudayaan Jawa pesisir. Secara etimologis, labuhan berasal dari kata labuh atau larung yang mempunyai arti membuang sesuatu ke dalam air baik sungai maupun laut. Labuhan mempunyai maksud memberi sesaji kepada roh halus yang berkuasa di suatu tempat. Dalam hal ini labuhan dimaksud untuk memberi sesaji kepada Nyai Roro Kidul, penguasa Laut Selatan. Menurut Wiryapranitra dalam Babad Tanah Jawa, Raden Sutawijaya atau yang lebih dikenal sebagai Panembahan Senopati penguasa Mataram kala itu, pernah mengadakan perjanjian dengan Nyai Roro Kidul. Sang Nyai yang telah diperistri oleh Panembahan Senopati hendak dibawa hidup bersama dan mendampinginya sebagai Raja Mataram. Namun, Nyai Roro Kidul menjelaskan bahwa hal itu tidak mungkin dilakukan karena sang Nyai merupakan makhluk halus atau peri. Meskipun tak dapat mendampingi Sang Raja, Nyai Roro Kidul akhirnya berjanji akan selalu siap membantunya jika keraton Mataram sewaktuwaktu menghadapi bahaya (Herusatoto, 2012:81-82). Akhirnya, Panembahan Senopati mengabulkannya. Sebagai imbalan dari perjanjian itu Panembahan Senopati memberikan persembahan yang diwujudkan dalam upacara labuhan. Selanjutnya, upacara labuhan menjadi tradisi turuntemurun dalam kerajaan Mataram karena Nyai Roro Kidul dianggap hidup sepanjang masa. Raja pengganti Panembahan Senopati bertugas melestarikan tradisi yang telah ada tersebut sebagai wujud penghormatan terhadap Nyai Roro
88
Kidul dan ikatan perjanjian yang masih tetap terjalin antara Keraton Yogyakarta dengan penguasa Laut Selatan. Dengan demikian, jika memenuhi kewajiban untuk mengadakan labuhan tersebut maka Nyai Roro Kidul akan senantiasa menjaga keselamatan rakyat dan kerajaan Mataram. Bahkan jika sang raja meminta bantuan, dengan senang hati ia akan memberikan bantuannya. Dalam novel Sang Nyai, Merapi dalam kondisi terancam meletus. Ngarsa Dalem melalui utusannya memerintah Mas Darpo sebagai juru kunci Parangkusumo untuk mengadakan upacara labuhan yang didahului dengan selamatan dan kenduri. Perhatikan kutipan berikut: “Maksud dari labuhan itu apa, Mas?” “Ya, kami mohon kepada Sang Pencipta agar Merapi tidak sampai menelan korban nyawa. Biarkan meletus, karena memang sudah saatnya. Ini sudah memasuki siklus empat tahunan. Lalu, kami juga akan minta pertolongannya supaya membujuk Eyang Sapu Jagad di Merapi. Untuk apa? Ya, minta jangan sampai lahar panas Merapi terlalu banyak dimuntahkan, supaya tidak menelan korban nyawa.” (Sang Nyai, 2011: 345). Dari data tersebut, dapat disimpulkan bahwa melalui labuhan tersebut Ngarsa Dalem secara tidak langsung meminta bantuan kepada Nyai Roro Kidul untuk melindungi rakyat Yogyakarta dari ancaman letusan Merapi. Meskipun sudah masuk siklus empat tahunan sebuah gunung yang aktif untuk meletus, namun permintaan dari Ngarsa Dalem bertujuan agar Nyai Roro Kidul dapat membujuk Kiai Sapu Jagad sebagai penjaga kawah Merapi agar gunung tersebut tidak meletus. Seandainya meletus, dengan labuhan tersebut meminta jangan sampai lahar Merapi terlalu banyak dimuntahkan, supaya tidak membahayakan penduduk apalagi menelan korban jiwa.
89
Selain itu labuhan juga disambut antusias oleh warga maupun orang-orang jauh yang ingin berburu barang-barang labuhan tersebut. Barang-barang yang telah dilabuh ke Laut Selatan dipercaya membawa berkah. Seperti penuturan Kang Trisno kepada Sam. Ia mendapat keberuntungan pada labuhan tahun lalu berupa selendang lurik. Berikut kutipannya: “Di Parangkusumo, sering diadakan juga kok. Ramai sekali, Om. Barang-barang yang dilabuh itu dijadikan rebutan para pengunjung. Sebab, kami percaya jika barang-barang itu bertuah. Buktinya saya. Tahun lalu, saya mendapat selendang lurik. Ada yang mau membeli satu juta rupiah. Tidak saya berikan. Lalu tiba-tiba, datang seorang wanita cantik. Sudah tidak muda lagi. Umurnya kira-kira lima puluh tahun. Dia mau menukar selendang itu dengan sepeda motor baru. Ya sudah, saya berikan. Ini motornya, hahaha.... Rezeki dari Nyai Roro Kidul, Om.” (Sang Nyai, 2011:331). Berdasarkan kutipan tersebut maka barang-barang yang dilabuh dianggap telah disentuh oleh Nyai Roro Kidul sehingga dipercayai sebagai barang-barang yang
bertuah.
Siapa
yang
memiliki
barang
tersebut
akan
mendapat
keberuntungan. Seperti Kang Trisno yang mendapatkan motor baru dari menjual selendang lurik hasil dari berburu saat labuhan. Masyarakat percaya bahwa hal itu merupakan rezeki dari Nyai Roro Kidul. Dengan bentuk labuhan di atas maka diharapkan Nyai Roro Kidul dapat membantu mencegah letusan gunung Merapi, dan dapat memberikan berkah bagi masyarakat yang mendapatkan benda-benda labuhan demi kesejahteraan masyarakat itu sendiri. Dengan demikian seperti yang dikutip dari Sunarsih, dkk (1990:42-44) tujuan diadakannya upacara labuhan ialah untuk keselamatan pribadi Sri Sultan, Keraton Yogyakarta, dan rakyat Yogyakarta. Upacara labuhan
90
juga memperkuat hegemoni mitos Nyai Roro Kidul terhadap Raja, masyarakat Yogyakarta, dan Gunung Merapi.
b. Tradisi Ziarah Ziarah merupakan sebuah adat istiadat yang sering dilakukan oleh orang-orang Jawa seperti menengok makam leluhur atau mengunjungi tempat-tempat keramat. Hal tersebut mempunyai maksud untuk mendoakan atau meminta doa dari tempat yang diziarahi. Ziarah dalam novel Sang Nyai tersebut berkaitan dengan ziarah ke tempat keramat di Cepuri Parangkusumo, tepatnya di selo gilang. Selo gilang merupakan batu keramat tempat pertemuan Panembahan Senopati dengan Nyai Roro Kidul. Berikut kutipannya: “Nanti di sini, mereka itu sebenarnya mau apa?” tanyaku kepada Mas Darpo. “Ya, intinya ziarah, tirakat, laku prihatin, memohon kepada Sang Pencipta agar mau mengabulkan permohonan mereka.” “Katanya, agar permohonannya terkabul, mereka harus berhubungan suami istri, tetapi tidak dengan pasangan resminya, harus dengan orang lain. Benar begitu?” Mas Darpo tertawa terkekeh-kekeh. “Dari mana Mas Sam dengar hal itu? Ini Parangkusumo, bukan Gunung Kemukus.” (Sang Nyai, 2011:17). Parangkusumo merupakan tempat yang keramat. Untuk itulah banyak orang, bahkan dari luar kota melakukan ziarah, tirakat, maupun berlaku prihatin dengan mengunjunginya. Mereka berharap dapat memohon kepada Sang Pencipta agar mau mengabulkan permohonan mereka. Di Parangkusumo inilah Mas Darpo sebagai juru kunci bertugas menyampaikan doa dan permohonan para peziarah, dan
diharapkan
dengan
doa
tersebut
maka
Nyai
Roro
Kidul
akan
mengabulkannya. Nyai Roro Kidul merupakan perantara dengan Sang Pencipta.
91
Hal ini menegaskan bahwa hegemoni mitos Nyai Roro Kidul sangat kuat dalam adat ziarah di Parangkusumo. Untuk itulah Ngarsa Dalem memberikan surat tugas atau kekancingan pada Mas Darpo sebagai abdi dalem agar menjadi juru kunci Parangkusumo, yang terletak di Pantai Selatan. Mas Darpo mempermudah orang-orang untuk meminta berkah kepada Nyai Roro Kidul.Hal tersebut dijelaskan dalam kutipan berikut: Laki-laki itu memaknai sebagai berkah dari Ngarsa Dalem, sultan di Keraton Yogyakarta yang memberi kekancingan atau surat tugas kepada dirinya untuk melayani para peziarah. Dan, yang tidak boleh dilupakan, Mas Darpo lagi, adalah berkah dari Nyai Roro Kidul! Penguasa Laut Selatan itu seolah mau bermurah hati padanya karena ia telah sudi menjaga selo gilang dengan baik. Itulah upah dari sebuah kesetiaan. Upah dari sebuah kerja yang tulus dan ikhlas. Meski sederhana, namun maknanya bisa sangat dalam jika dikupas (Sang Nyai, 2011: 41). Hal ini menandakan bahwa Sultan mempercayakan tugas untuk menjadi juru kunci Parangkusumo pada Mas Darpo. Kekancingan merupakan surat silsilah yang dikeluarkan oleh Tepas Darah Dalem (Kantor Urusan Keturunan Raja) atas nama sang Sultan. Keluarnya surat tersebut biasanya ditandai dengan penambahan gelar pada nama seseorang yang telah diangkat menjadi abdi dalem, atau merupakan keturunan Keraton. Dalam novel Sang Nyai, Mas Darpo sebagai abdi dalem termasuk sebagai jajaran Lurah. Sebagai panggilan kehormatan ia dipanggil sebagai Mas Lurah. Walaupun gajinya hanya beberapa rupiah saja, tetapi tugas yang diembankan padanya oleh Ngarsa Dalem serta restu dari Nyai Roro Kidul membuahkan rezeki yang melimpah untuknya melalui tangan para peziarah. Hal itu merupakan upah dari kesetiaan dengan kerja yang tulus dan ikhlas. Hal itu juga yang membuat rakyat semakin tunduk dengan kekuasaan sang Sultan dan Nyai Roro Kidul.
92
Ziarah yang dipimpin oleh Mas Darpo dilakukan pada setiap malam Jum’at Kliwon. Dalam ziarah tersebut biasanya orang mengantri dengan membawa sebungkus kembang telon, kemenyan, rokok kretek, dan amplop berisi uang seikhlasnya sebagai ucapan terima kasih. Mas Darpo menganggap amplop tersebut sebagai mahar atau maskawin. Ketika saatnya tiba, Mas Darpo akan mulai mendoakan para peziarah di selo gilang yang dikenal sebagai batu cinta, tempat pertemuan Panembahan Senopati dan Nyai Roro Kidul. Hal tersebut ditandai dengan wangi kembang melati dan hembusan angin yang datang dari selatan pintu Cepuri Parangkusumo, Nyai Roro Kidul hadir ke tempat itu untuk mengabulkan permohonan dari para peziarah sehingga dengan demikian peziarah berharap doanya akan terkabul. Berikut kutipan yang menegaskan hegemoni mitos Nyai Roro Kidul melalui ziarah di Puri Parangkusumo: Laki-laki itu mengangkat bahu. “Monggo sampean sendiri yang bisa menyimpulkan. Nanti kalau saya, dikira memaksakan kehendak. Mentang-mentang Juru Kunci Parangkusumo, lalu berkata begitu. Orang bisa saja menuduh saya seperti itu. Apalagi, setiap malam Jum’at Kliwon, Ratusan peziarah minta pertolongan saya untuk mendoakan keinginan mereka, memohonkan kemurahan Sang Pencipta lewat Nyai Roro Kidul. Nanti dikira saya mencari kebenaran untuk diri sendiri karena punya pamrih, hehehe....” (Sang Nyai, 2011:348). Dari kutipan di atas dapat diyakini bahwa Nyai Roro Kidul dianggap akan bermurah hati dan memohonkan doa kepada Sang Pencipta, sehingga rakyat percaya bahwa doanya dapat terkabul. Hegemoni ini sangat kuat, ditandai dengan banyaknya peziarah yang datang ke Parangkusumo tiap malam Jum’at Kliwon, dan hal itu semakin menguatkan kekuasaan Nyai Roro Kidul sebagai Ratu gaib Pantai Selatan yang dihormati oleh masyarakat Jawa.
93
B. Perlawanan Terhadap Hegemoni Mitos Nyai Roro Kidul Sam digambarkan sebagai sosok wartawan yang pada mulanya mendukung ideologi modern. Ia menentang ideologi tradisional seperti halnya mitos, termasuk tidak mempercayai kisah tentang Nyai Roro Kidul. Ia mempunyai pemikiran bahwa dunia mistik, alam supernatural, dan hal-hal yang bersifat gaib tidak berguna di zaman nuklir ini. Sam menganggap bahwa percaya hal tersebut tidak akan membuat bangsa menjadi maju. Pemikiran tersebut beralasan, karena hal-hal demikian hanya akan bersandar pada tradisi nenek moyang yang di luar akal sehat, lalu mengabaikan kecerdasan otak. Perlawanan Sam terhadap hegemoni mitos Nyai Roro Kidul terjadi pada saat rapat redaksi untuk menentukan feature yang akan dimuat oleh majalah tempatnya bekerja. Pak Yos sang pemimpin redaksi meyakinkan bahwa pasar masih tertarik pada sosok Nyai Roro Kidul. Pemikiran Sam yang berlawanan dengan pemimpin redaksi tak menggoyahkan niat Sam untuk menentang. Ia bahkan menolak
keras ide tentang membuat feature Nyai Roro Kidul. Ada
beberapa rekan kerjanya yang mendukung. Mereka lebih memilih mengusulkan ide untuk membuat feature tentang orang-orang sukses di zaman sekarang. Hal tersebut bisa lebih menguntungkan dalam berbagai aspek seperti mudah meraih sponsor, sebagai inspirasi, dan kisah tersebut digemari oleh khalayak muda yang sedang mencari kerja, daripada kisah tentang Nyai Roro Kidul. Menurut Sam hanya sebagian kecil masyarakat tradisional yang berminat dengan kisah mengenai sosok penguasa gaib Laut Selatan tersebut.
94
Terlebih berdasarkan hasil survei, masyarakat tradisional bukan golongan pembeli majalah mahal seperti yang diproduksi oleh redaksi mereka. Namun, seberapa keras Sam menolak, tugas meliput itu tetap dibebankan padanya. Berikut ini kutipan yang menegaskan bahwa Sam harus tetap membuat feature tentang sosok yang Nyai Roro Kidul. Perhatikan kutipan berikut ini. Namun ketika Pak Yos tetap memutuskan memuat kisah Nyai Roro Kidul secara serial, justru aku yang ditunjuk! Bagiku ini seperti senjata makan tuan. Aku yang menolak secara keras, justru tugas liputan dibebankan di atas pundakku (Sang Nyai, 2011: 38). Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa Sam menganggap penolakannya merupakan senjata makan tuan. Ia yang semula menentang tentang ide pembuatan kisah Nyai Roro Kidul harus merelakan diri untuk mencari berbagai hal tentang sosok tersebut. Perlawanannya justru membuatnya harus masuk semakin dalam ke dunia mistis yang berkaitan dengan sang Nyai. Tugas ini menuntunnya untuk mengunjungi tempat ziarah Nyai Roro Kidul di Cepuri Parangkusumo dengan Mas Darpo sebagai juru kunci pantai Parangtritis sebagai narasumber awal. Biasanya Mas Darpo membacakan doa bagi para peziarah yang mencari berkah dari Nyai Roro Kidul. Sam juga bertemu dengan sosok gadis misterius bernama Kesi di tempat itu. Perlawanan Sam merupakan bentuk perlawanan terhadap ideologi tradisional Jawa yang mempercayai sosok Nyai Roro Kidul sebagai Ratu Pantai Selatan. Hegemoni mitos Nyai Roro Kidul belum dirasakan Sam karena waktu itu ia belum secara langsung terjun ke lapangan tempat berkembangnya mitos Nyai Roro Kidul. Sam tidak menganggap sosok Nyai Roro Kidul ada dan hanya
95
merupakan kisah masa lalu yang berkembang di masyarakat Jawa sebelum bertemu Kesi dan Kang Petruk. Perlawanan Sam terhadap hegemoni mitos Nyai Roro Kidul juga ditunjukkan ketika ia ragu untuk menyampaikan pesan Kang Petruk supaya tidak mendekati Merapi dalam waktu dekat. Kang Petruk adalah sosok yang dikenalnya melalui Kesi, yang dipercaya sebagai penguasa Merapi, teman dari Nyai Roro Kidul. Berikut kutipan yang menunjukkan pembelaan Sam terhadap naiknya status Merapi berdasarkan pemikiran modern, bukan hanya melalui mitos: Aku tertawa. “Mestinya mereka harus terbuka wawasannya. Wisik di zaman modern bukan berupa mimpi atau tanda-tanda dari langit. Khusus untuk Merapi, wisik itu sudah diberikan oleh Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi. Merekalah yang berhak menentukan status Merapi. Bukan para leluhur. Jadi, tugasmu adalah mengajak orang-orang untuk memaknai wisik dengan mindset baru. Tahu yang kumaksud, kan?” (Sang Nyai, 2011:210). Berdasarkan kutipan tersebut Sam menyimpulkan bahwa naiknya status Merapi telah ditetapkan oleh Pusat Vulkanologi dan badan Mitigasi Bencana Goelogi yang dilihat dari tanda-tanda bahaya Merapi. Ilmuwan telah melakukan pemeriksaan dengan alat-alat yang dapat mendeteksi aktivitas Merapi. Hal tersebut bertentangan dengan kepercayaan masyarakat tradisional Jawa terutama yang berada di lereng Merapi, mereka menunggu bahwa sering ada wisik apabila akan terjadi bencana. Bahkan masyarakat membuat sayur khusus tolak bala yang diperintah Ngarsa Dalem (Sang Sultan) untuk mencegah meletusnya Merapi. Menurut Sam, mindset masyarakat tradisional masih terpaku pada wisik yang berupa mimpi atau tanda-tanda dari langit. Padahal wisik di masa modern ini bisa berupa peringatan dari para ilmuwan yang meneliti aktivitas Merapi. Ia
96
bermaksud memberikan masukan kepada Sugeng rekannya yang merupakan penduduk setempat untuk mengajak penduduk sekitar memaknai wisik dengan pemikiran yang baru. Walaupun hal tersebut sulit karena masyarakat sudah terlanjur terpaku pada adat lama, yang mematuhi perintah dari penguasa. Pertentangan lain mengenai batin Sam yang masih belum mempercayai keberadaan hegemoni mitos Nyai Roro Kidul ditunjukkan kembali dengan dialog dengan Damar Kusumo, seorang kerabat dekat Kanjeng Sunan. Perhatikan kutipan berikut: “Benarkah di panggung itu Kanjeng Sunan sering menemui Nyai Roro Kidul?” tanyaku hati-hati. Damar Kusumo tertawa lirih. “Mas Sam percaya?” Aku tidak bisa menjawab. Tidak mungkin aku bilang tidak mempercayai cerita tersebut. Namun, aneh juga kalau aku langsung bilang percaya begitu saja. Dasarku apa? Pertanyaan yang benar-benar membuat KO (Sang Nyai, 2011:239). Berdasarkan kutipan di atas disimpulkan bahwa Sam masih mengalami pergolakan batin mengenai ideologinya yang masih tetap berbasis intelektual, sehingga ia belum bisa menerima secara mentah ideologi tradisional tentang Nyai Roro Kidul yang bertemu dengan Kanjeng Sunan di Panggung Sanggabuwana, atau pun keberadaan nyata sosok sang Nyai. Dengan demikian, Sam bahkan tidak bisa menjawab, karena kalau ia mengatakan percaya ia tidak mempunyai dasar tentang kepercayaan pada hal tersebut. Sam memilih diam karena ia belum dapat mengakui hegemoni mitos Nyai Roro Kidul secara terbuka di saat pemikiran modernnya masih mencoba untuk berpikir logis. Sebuah pemikiran untuk percaya pada hal gaib harus mempunyai dasar yang jelas. Itulah yang membuat Sam memikirkan ulang saat menjawab
97
pertanyaan dari Damar Kusumo. Ia masih mengalami pertentangan di dalam dirinya untuk percaya pada hegemoni mitos Nyai Roro Kidul atau menolaknya. Pemikiran Sam yang bimbang dijawab melalui perlawanan yang ditunjukkan oleh Raden Mas Damar Kusumo. Sebagai salah satu dari penghuni Keraton Surakarta, Damar Kusumo berada di sekitar lingkungan gaib yang erat dengan hegemoni mitos Nyai Roro Kidul. Namun, secara tidak langsung sebenarnya Damar Kusumo mengalami dilema mengenai kehadiran sosok tersebut. Hal ini dijelaskan dalam kutipan di bawah ini: “Maksud saya begini. Mungkin cerita itu benar. Ceritanya ya yang benar. Tetapi, benarkah bahwa leluhur kami bisa bertemu dengan Nyai Roro Kidul di situ? Itu masih tanda tanya besar. Di antara kami, para kerabat keraton, ada yang pro, ada juga yang kontra. Yang pro mempercayai begitu saja cerita yang sudah diwariskan secara turun temurun itu. Bagi yang kontra, terutama mereka yang mengandalkan penalaran akal sehat, mengatakan bahwa cerita itu hanya dongeng belaka. Sebab, sosok Nyai Roro Kidul sendiri kan masih menjadi tanda tanya besar...” (Sang Nyai, 2011:240). Terlihat bahwa Damar Kusumo membenarkan cerita mengenai adanya kisah Nyai Roro Kidul, tetapi ia tidak menjawab secara tegas mengenai keberadaan Nyai Roro Kidul sesungguhnya. Dari analisis kutipan tersebut ia termasuk sedikit meragukan keberadaan mitos yang menjadi pro dan kontra, bahkan di lingkungan Keraton. Secara tidak langsung Damar Kusumo melakukan perlawanan terhadap hegemoni mitos Nyai Roro Kidul dari pernyataan tersebut. Ia mempunyai pemikiran modern, namun dengan cerdas tidak menunjukkan secara langsung. Meskipun demikian, sebagai seorang keturunan kerabat raja, Damar Kusumo bersikap bijaksana dengan tetap menghormati tradisi masa lalu dari para leluhurnya.
98
Perlawanan Sam terhadap hegemoni tradisional secara tidak langsung juga ditunjukkan dengan pemikirannya tentang pesugihan terhadap Nyi Blorong sebagai tema yang dipakai sinetron-sinetron bertema tertentu pada stasiun televisi lokal. Hal itu dianggap Sam sebagai suatu pembodohan karena hal-hal gaib seperti itu dianggapnya tidak ada, walaupun pada kenyataannya memang ada di dunia nyata. Berikut kutipan yang menunjukkan pemikiran tersebut. “Ya. Dan selalu orang-orang yang dicintai yang diminta untuk tumbal.” “Kok seperti cerita di dalam sinetron, Mas?” “Sinetron itu yang meniru kisah yang sebenarnya.” “O....” Aku melongo. Selama ini, aku paling benci nonton sinetron begituan. Kuanggap sebagai bentuk pembodohan kepada pemirsa. Bagaimana mungkin di abad nuklir ini masih ada cerita-cerita mistik yang seolah hanya ada di negeri antah berantah. Ternyata, benar-benar ada. “Mas Darpo pernah dimintai tolong peziarah yang mau mencari pesugihan dengan Nyai Blorong?” (Sang Nyai, 2011: 341-342). Walaupun Sam semula menganggapnya sebagai pembodohan terhadap para penontonnya, dari data di atas dapat disimpulkan bahwa sinetron bertema mistis yang sering ditayangkan di layar kaca mengambil latar dari kisah nyata. Pemikiran modern Sam sejak awal telah menolak bahkan membenci sinetronsinetron tersebut karena dirasa tidak masuk akal. Meskipun faktanya hal tersebut ada. Bahkan, letak tempat tersebut tidak jauh dari Cepuri Parangkusumo. Tempat untuk mencari pesugihan Nyai Blorong terletak di sebuah gua di tepi pantai yang dijaga oleh juru kunci. Perlawanan Sam terhadap hegemoni mitos Nyai Roro Kidul juga ditunjukkan melalui perang batinnya. Antara hati dan pikirannya berbeda, pikirannya menganggap semua yang dialami merupakan kejadian mustahil dan aneh, namun hatinya mengatakan bahwa hal yang ia jumpai selama ini, meskipun
99
hal gaib tetapi terlihat dan dialami Sam seperti kenyataan. Berikut kutipan yang menggambarkan keadaan jiwa Sam saat itu. Ya, ya. Sekarang, aku bekerja di dua wilayah, hati dan kepala. Kepalaku sering mengatakan banyak hal mustahil dan aneh. Namun, hatiku mempercayai bahwa hal itu nyata dan bisa dilihat secara kasat mata. Ketika kepalaku mengatakan bahwa kemungkinan besar Kesi itu makhluk gaib, hatiku berkata lain (Sang Nyai, 2011: 358-359). Sam mengalami konflik di dalam dirinya, pertentangan mengenai dua ideologi yang tertanam di dalam pikiran dan hatinya. Sam yang masih berpegang pada ideologi modern menganggap hal yang dialami beberapa waktu mustahil dan aneh. Namun, begitu hatinya berbicara hal tersebut seolah nyata dan tak kasat mata. Seperti halnya kemisteriusan Kesi, Sam sedikit berpikir bahwa gadis itu merupakan makhluk halus, namun hatinya mengatakan bahwa Kesi adalah perempuan biasa yang misterius karena ia pernah merasakan bercinta dengan gadis itu. Seorang makhluk halus tidak dapat bercinta dengan manusia, sedangkan Sam pernah bercinta dengan Kesi. Perlawanan terhadap hegemoni mitos Nyai Roro Kidul justru membuat Sam mengalami kebimbangan. Hati dan pikirannya seolah berjalan masingmasing,
hatinya
mengikuti
ideologi
tradisional,
sedangkan
pikirannya
menganggap hal yang ia temui adalah hal yang mustahil dan aneh seperti dasar pemikiran ideologi modern. Dengan demikian, Sam berada di dalam dua wilayah tersebut, antara menolak hegemoni mitos Nyai Roro Kidul, dan mempercayai hegemoni Sang Nyai. Selain Sam dan Damar Kusumo, perlawanan dari tokoh lain terhadap hegemoni mitos Nyai Roro Kidul juga ditunjukkan oleh Ki Aji Sembada. Dalam
100
novel Sang Nyai, iadigambarkan sebagai tokoh yang menentang keras keberadaan Nyai Roro Kidul. Ia adalah seorang budayawan yang menganggap bahwa Nyai Roro Kidul merupakan rekaan pujangga keraton zaman dulu dan hanya omong kosong belaka. Pendapat Ki Aji Sembada tersebut merupakan bentuk perlawanan terhadap hegemoni mitos Nyai Roro Kidul dalam novel tersebut. Berikut kutipan yang menegaskan penolakannya terhadap sosok Nyai Roro Kidul: “Itulah pintarnya pujangga keraton zaman dulu. Membuat cerita, tapi juga dijadikan teka-teki sekaligus. Sampai tiga Ratus tahun lebih, teka-teki itu belum terpecahkan. Karena itu, sekali lagi menurut saya, Nyai Roro Kidul itu omong kosong. Ada karena sudah terlanjur ditanam di otak kita masing-masing. Untunglah di otakku cerita itu tidak bisa tumbuh, jadi saya tidak percaya sedikit pun, hahaha....” (Sang Nyai, 2011:182). Berdasarkan data di atas, Ki Aji Sembada mengatakan bahwa sosok Nyai Roro Kidul hanya rekaan dan menjadi teka-teki. Hal tersebut tumbuh karena ditanam melalui otak para pendengar cerita mitos tentang Nyai Roro Kidul. Kisah tersebut diceritakan secara turun temurun oleh masyarakat tradisional yang mempercayai keberadaan sang Nyai, sehingga banyak yang tertipu mengenai keberadaan sosok tersebut. Bahkan Ki Aji Sembada juga menolak pemikiran tentang tradisi labuhan. Ia kembali mengatakan bahwa labuhan bukan merupakan sesuatu yang menciptakan berkah, karena berkah hanya diperoleh dari sang Pencipta. Hal ini dapat dilihat dari kutipan berikut: “Lagi-lagi, itu akal-akalan orang keraton saja. Mereka menempatkan abdi dalem keraton di Merapi dan di Laut Kidul. Untuk apa? Ya biar orang percaya bahwa ketiganya saling berhubungan. Padahal, tidak ada, hahaha...,” lanjut Ki Aji. “Untuk lebih meyakinkan lagi, setiap tahun diadakan labuhan, baik di Merapi maupun di Laut Kidul. Rakyat dipersilahkan nonton. Bahkan disebar isu, siapa pun yang bisa
101
memperoleh benda-benda labuhan, akan mendapat berkah. Berkah apa? Yang bisamemberi berkah hanya Sang Pencipta!” (Sang Nyai, 2011:183). Data di atas juga merupakan perlawanan secara tidak berdasar yang diungkapkan oleh Ki Aji Sembada. Secara gamblang ia mengatakan bahwa tidak ada hubungan antara Merapi, Keraton, dan Laut Selatan yang seperti dipercaya masyarakat Jawa pada umumnya. Ia menolak tentang pendapat itu, bahkan labuhan yang sebenarnya bertujuan memberikan sedekah kepada alam untuk melakukan timbal balik juga dikatakan sebagai omong kosong. Pemikirannya hanya percaya kepada Tuhan, sehingga Ki Aji Sembada tidak terbuka sedikit pun untuk mempercayai mitos yang berkembang di masyarakat. Perlawanan Ki Aji Sembada merupakan buah pikir kontroversial tentang sosok Nyai Roro Kidul. Ia mengungkapkan penolakannya secara tegas karena mempunyai alasan bahwa cerita-cerita seperti Nyai Roro Kidul tidak bernalar. Ki Aji Sembada tidak percaya karena ia menganggap mitos Nyai Roro Kidul hanya direkayasa oleh para pujangga keraton untuk melindungi raja agar tidak diotakatik kekuasaannya yang mutlak oleh rakyatnya. Menurutnya, rakyat hanya dibodohi apabila percaya dengan cerita yang berkembang pada masa beberapa abad lalu. Ia menganggap bangsa tidak akan maju jika terus mengembangkan cerita yang sama, malah hal itu akan membuat kemunduran bagi bangsa itu sendiri.
C. Hasil Perlawanan Terhadap Hegemoni Mitos Nyai Roro Kidul Tokoh Sam, Ki Aji Sembada, dan Raden Mas Damar Kusumo yang terlihat melakukan perlawanan terhadap hegemoni mitos Nyai Roro Kidul menemukan
102
penyelesaian yang berbeda-beda. Tokoh tersebut masih mengutamakan pemikiran yang rasional dan mengandalkan logika. Hal gaib menurut mereka tidak masuk akal terutama berkaitan dengan tokoh Nyai Roro Kidul. Sam terus melanjutkan tugas lapangannya sehingga dapat mengungkap kebenaran di balik semua kejadian misterius yang menimpanya. Ki Aji Sembada hanya mengeluarkan pendapat tanpa menguji pembenaran secara langsung di lapangan. Damar Kusumo tetap pada posisinya sebagai kerabat Keraton yang mau tidak mau harus tetap melaksanakan tradisi yang ada, tentang kehadiran sosok Nyai Roro Kidul ia tidak mempermasalahkannya walaupun di dalam hati ia mengalami sedikit perlawanan. Akhirnya tokoh Sam yang semula tidak percaya akan adanya sosok Nyi Roro Kidul dan hegemoninya di dalam masyarakat merasakan sendiri hal yang berhubungan langsung dengan Sang Nyai melalui wujudnya sebagai Kesi. Berikut ini keanehan yang dialami Sam selama pertemuannya dengan Kesi yang mengantarkan kesimpulan dari wartawan itu bahwa Kesi adalah sosok Nyai Roro Kidul yang sesungguhnya: “Selesai sarapan, Sasongko mengantarku sampai di kamar. Di depan pintu, sudah ada lima orang yang duduk bersila. “Mengapa mereka ada di situ?” tanyaku heran. Sasongko tidak menjawab. Laki-laki itu hanya tersenyum (Sang Nyai, 2011:266). Berdasarkan kutipan tersebut kamar nomor 316 Hotel Bintang Solo seperti menyimpan suatu misteri. Sam tiba-tiba mendapat jamuan makan besar, dan pelayanan VIP dari pihak hotel. Itu semua berkat Kesi yang menyewa kamar tersebut, namun yang menjadi keanehan adanya lima orang laki-laki yang duduk
103
bersila di kamar tersebut. Hal itu menunjukkan bahwa kamar hotel tersebut keramat, sehingga orang-orang mencari peruntungan dengan mengunjungi hotel yang secara tidak langsung sebagai tempat persinggahan Nyai Roro Kidul. Peristiwa lain yang mencengangkan adalah Kesi sebagai jelmaan Nyai Roro Kidul sesungguhnya diperkuat dengan keanehan yang dialami Sam, hingga beberapa kali pertemuan mereka yang terkadang tidak masuk akal. Seperti ketika pertama kali bertemu di Parangkusumo, tiba-tiba Kesi muncul di Sanur Beach Hotel Bali di kamar khusus untuk Nyai Roro Kidul yang pada saat kebakaran masih utuh, lalu Kesi bisa tiba-tiba hadir di Panggung Sanggabuwana ketika Sam melakukan penelitian tentang Nyai Roro Kidul dengan bertanya-tanya kepada Raden Mas Damar Kusumo. Pelayanan di hotel bintang Solo yang tidak wajar. Kemudian, di tempat Kang Petruk dengan segala keajaiban, bahkan Sam yakin kuda yang ia naiki berkepala manusia, tangga yang ia turuni di rumah Kang Petruk seperti manusia, besi yang ditempa oleh pekerja di rumah Kang Petruk adalah manusia, dan kayu bakar yang dilempar Kang Petruk ke tungku Merapi merupakan potongan-potongan tubuh manusia atau manusia utuh. Sam yang menyamar sebagai Syekh Tunggul Wulung sebagai penyampai wisik kepada masyarakat diyakini telah mengunjungi tempat Kang Petruk dan mendapat wangsit tentang meletusnya Merapi dari Sang Kiai Sapu Jagad tersebut, masyarakat juga meyakini bahwa kuali yang sedang dijaga apinya oleh Kang Petruk agar terus menyala sebenarnya adalah kawah Merapi. Seperti yang diyakini masyarakat sosok Kang Petruk adalah Mbah Petruk atau lebih dikenal sebagai Kiai Sapu Jagad penjaga kawah Merapi.
104
Terakhir pertemuan di Parangkusumo yang membuat Sam yakin bahwa Kesi bukan makhluk biasa terbukti dengan wajah Kesi yang terukir dalam uang logam emas yang menurut Nyai Maryatun diberikan kepada pengrajin kain batik tulis tersebut dengan pesanan tujuh kain batik motif sido mukti dan tujuh belas motif parang rusak dengan dibayar menggunakan enam uang legam emas. Uang logam emas yang tidak ada hak cipta dari pemerintahan. Berikut kutipannya. “Di beberapa tempat,” jawabku. Pertama kali kulihat di Parangkusumo. Kedua kali kulihat di Sanur Beach Hotel. Ketiga kali ketemudi Panggung Sanggabuwana Keraton Solo. Keempat kali di hotel Bintang Solo. Oh ya, di rumah Kang Petruk juga. Dan terakhir di Pantai Parangkusumo lagi. Malam ini, saat ini juga.” “Hehehe..., kok yakin sekali?” “Ya. Sangat, sangat yakin. Kamu tidak bisa mengelak. Ini wajahmu. Benar, bukan?” (Sang Nyai, 2011:381). Segala keanehan dalam diri Kesi merupakan bentuk dari penjelmaan Nyai Roro Kidul yang mendekati sang wartawan. Secara tidak langsung, Sam yang sebelumnya sangat tidak percaya dengan kejadian mistis tersebut akhirnya yakin bahwa Kesi bukan wanita biasa. Mulailah runtuhnya ideologi modern yang dianut Sam. Secara langsung ia telah masuk dalam kepercayaan masyarakat tentang keberadaan Nyai Roro Kidul sebagai tokoh penting dalam eksistensi ideologi tradisional yang menghegemoni Keraton Yogyakarta dan Gunung Merapi. Bahkan, bukti tersebut semakin kuat ketika Pak Nung yang terus berbicara kotor tentang Kesi membuatnya mendapat akibat seperti kata-kata sembrono yang diucapkannya. Akhirnya mobilnya terbakar dengan api yang muncul secara gaib. Itu merupakan sedikit hukuman kecil akibat perkataan kotor yang diucapkan pada Kesi yang sesungguhnya merupakan penjelmaan Nyai Roro Kidul, sesuatu yang diucapkan akan menjadi kenyataan. Termasuk pemikiran negatif Sam tentang
105
berlangsungnya labuhan akibat cuaca yang tidak mendukung, hal itu merupakan pantangan. Pantangan tersebut masih dipercaya masyarakat Jawa, karena pikiran negatif biasanya akan jadi kenyataan dan terbukti saat itu labuhan yang keramat menjadi mencekam karena ada beberapa orang tewas akibat mengambil barang labuhan. Namun harus ditekankan, apabila ada korban jiwa dalam labuhan bukan merupakan kehendak Nyai Roro Kidul, melainkan sudah menjadi takdir dari Yang Maha Kuasa. Seperti itulah yang akan ditegaskan oleh kejadian tersebut, karena Nyai Roro Kidul merupakan figur yang suci dan keramat. Berikut kutipannya: Tiba-tiba, tanganku ada yang menarik. Mbak Sum. Perempuan itu memberi isyarat agar aku menjauh dari Mas Darpo. Dan, itu kulakukan. “Mas Sam tidak boleh berpikir yang tidak-tidak,” katanya lirih. “Kenapa, Mbak?” “Itu pantangan. Nanti bisa terjadi sungguhan.” “Aku hanya ingin mengingatkan saja. Sebab, agak rawan kondisinya.” (Sang Nyai, 2011:362). “Oh ya, tadi di rumah Mas Darpo, ada wanita cantik, Mas. Benarbenar penuh pesona. Kulitnya kuning, rambutnya panjang sebahu, dan dibiarkan terurai begitu saja. Hehhh... tinggi pula tubuhnya. Huhhh...benar-benar sempurna.” Pak Nung meninju telapak tangannya sendiri. “Kehilangan mobil pun saya rela jika bisa tidur bersama dia. Sungguh, Mas. Semua laki-laki pasti akan bersikap sama seperti saya. Air liurku hampir menetes!” (Sang Nyai, 2011:393). Nyai Roro Kidul sebagai penjelmaan Kesi semakin diakui Sam keberadaannya dan bukan hanya mitos dengan ditemukannya sebuah bungkusan kado di dalam tasnya. Pria itu tidak tahu siapa yang menaruhnya karena seingatnya dalam perjalanan ia tidak bertemu siapapun. Hal ini membuktikan bahwa Nyai Roro Kidul dengan kekuatannya berhasil memberikan barang-barang
106
itu secara gaib kepada Sam, karena dengan tiba-tiba benda itu berada di dalam koper Sam. Karena penasaran, bungkus kado itu kurobek. Di dalamnya terdapat kotak kayu ukir yang halus, motif naga dan kembang melati. Kotak kubuka. Isinya kebaya brokat warna hijau gadung, kain batik motif sido mukti, ulos atau selendang dari Batak, satu bungkus plastik kecil berisi abu. Di bawah barang-barang itu, ada tujuh buang uang logam emas. Ketika kuamati, uang itu persis dengan milik Nyai Maryatun. Bergambar wanita cantik. Dan, wanita itu tiada lain adalah Kesi! Jadi..., benarkah Kesi itu penjelmaan dari sang Nyai?! Kedua tanganku gemetar. Kedua kakiku gemetar (Sang Nyai, 2011:435). Kutipan di atas juga mempertegas bahwa Kesi, gadis misterius yang mengikuti Sam selama mencari informasi untuk bahan featurenya adalah sang Nyai Roro Kidul sesungguhnya. Sam terlihat gemetar setelah mengetahui kebenaran itu, sehingga segala keingintahuannya tentang gadis misterius bernama Kesi akhirnya terjawab. Dengan demikian, eksistensi Kesi dalam novel Sang Nyai merupakan penjelmaan Nyai Roro Kidul. Pemikiran Sam terhadap mitos Nyai Roro Kidul yang semula tidak ia percayai, akhirnya tunduk pada hegemoni mitos Nyai Roro Kidul yang secara langsung ia temui dalam perwujudan tokoh Kesi. Pada akhirnya ideologi modern Sam, kalah dengan ideologi tradisional masyarakat Yogyakarta yang mempercayai hegemoni mitos Nyai Roro Kidul. Secara langsung Sam telah disadarkan bahwa tradisi dan mitos yang ada mempunyai dasar, untuk itulah masyarakat Jawa hingga kini tetap mempercayai kehadiran Nyai Roro Kidul sebagai penyokong kehidupan masyarakat Yogyakarta. Pengarang sempat melakukan perlawanan melalui tokohnya, namun pada akhirnya pengarang sebagai warga kota Yogyakarta tetap tunduk pada ideologi
107
tradisional yang berlaku. Dengan demikian, pengarang merupakan pendukung dari hegemoni tradisional yang ada. Dalam kisah ini ia menggambarkan bahwa sosok Nyai Roro Kidul menjelma menjadi Kesi untuk mengukuhkan adanya hegemoni mitos Nyai Roro Kidul. Ia tidak berniat untuk membuat perlawanan yang dilakukan oleh tokoh memenangkan ideologinya, justru ia mengantar tokoh jauh masuk lebih dalam dunia tempat sosok Sang Nyai berada untuk meruntuhkan ideologi yang tertanam sebelumnya. Hal ini didasarkan pada kepercayaan legitimasi kekuasaan raja pada Keraton masih tetap eksis karena didukung kekuatan Nyai Roro Kidul dan Gunung Merapi. Mitos Nyai Roro Kidul merupakan sebuah legenda yang pada dasarnya merupakan culture hero atau adanya tokoh yang membawa kebudayaan. Mitos ini bertujuan untuk mendukung keteraturan sosial dan mengukukuhkan kekuasaan raja yang sedang memerintah. Dengan adanya kekuatan lain sebagai penyokong kekuasaan raja, maka rakyat akan patuh dan tunduk sehingga tercipta keteraturan sosial. Selain itu, kepercayaan rakyat kepada mitos Nyai Roro Kidul sebagai wujud pelestarian budaya Jawa.
108
BAB V SIMPULAN
Berdasarkan analisis hegemoni mitos Nyai Roro Kidul dalam novel Sang Nyai karya Budi Sardjono, dapat dikatakan bahwa Nyai Roro Kidul sebagai ratu melakukan dominasi atas masyarakat Jawa khususnya Yogyakarta dan sekitarnya. Nyai Roro Kidul juga mendukung eksistensi raja yang berkuasa secara turuntemurun. Hal ini disebabkan adanya perjanjian yang terikat antara Panembahan Senopati dan Nyai Roro Kidul. Dengan adanya hubungan tersebut, maka mendukung posisi Nyai Roro Kidul sebagai penguasa kosmis yang membuat terjalinnya keselarasan hubungan antara Laut Selatan dengan dua elemen penting Yogyakarta yang lain, Keraton Yogyakarta dan Gunung Merapi. Hegemoni Nyai Roro Kidul juga dirasakan oleh masyarakat melalui tradisi yang masih berjalan hingga sekarang. Hal ini ditandai dengan pelaksanaan ziarah di Cepuri Parangkusumo pada malam Jum’at Kliwon. Tradisi yang lain yaitu upacara labuhan. Upacara ini dimulai dengan pengadaan sesajen, kemudian dilanjutkan rangkaian ritual yang terdiri atas selamatan, kenduri, diakhiri dengan prosesi labuhan. Tradisi yang ditanamkan melalui pemikiran masyarakat Jawa yang masih mempercayai kekuasaan raja merupakan alat penting untuk menyampaikan hegemoni kultural yang konsensual untuk membentuk keteraturan sosial pada masyarakat sipil. Tanpa adanya keseimbangan dan kepercayaan dari masyarakat terhadap hegemoni mitos Nyai Roro Kidul, hegemoni ideologi menjadi sulit
109
dilaksanakan, tradisi tidak akan berjalan seperti yang seharusnya. Bahkan, hal itu dapat mengancam eksistensi Keraton. Berlawanan dengan itu, sebuah kekuasaan atau dominasi selalu akan menghadapi perlawanan, bahkan dapat dimulai dari bentuk yang kecil dan jauh dari kekuasaan, seperti yang dilakukan oleh tokoh Sam, Ki Aji Sembada, dan Raden Mas Damar Kusumo. Sam mempunyai pemikiran modern bahwa mitos Nyai Roro Kidul merupakan pemikiran yang tidak logis, sedangkan Ki Aji Sembada bahkan menentang keras terhadap hegemoni Nyai Roro Kidul. Nyai Roro Kidul dianggap sebagai pembodohan kepada masyarakat dan hanya taktik politik dari Kesultanan Yogyakarta untuk mempertahankan eksistensi kerajaan. Namun, perlawanan tersebut tidak terlalu berpengaruh karena tradisi tetap dijalankan oleh masyarakat di Yogyakarta. Lain halnya dengan Damar Kusumo, ia membenarkan perihal cerita mengenai adanya kisah Nyai Roro Kidul, namun ia tidak menjawab secara tegas mengenai eksistensi Nyai Roro Kidul sesungguhnya. Meskipun demikian, Sam sebagai pihak yang awalnya menentang hegemoni mitos Nyai Roro Kidul akhirnya merasakan sendiri hegemoni itu dari pengalaman spiritual yang ia alami. Hal itu membuktikan bahwa, walaupun Budi Sardjono sebagai pengarang sempat melakukan kritik melalui beberapa tokohnya dengan menunjukkan perlawanan terhadap hegemoni, sebagai pengarang yang berlatar kehidupan di Yogyakarta, secara tidak langsung ia masih patuh terhadap ideologi kultural masyarakat Jawa sebagai pendukung hegemoni yang masih mempercayai eksistensi Sang Nyai sebagai pendukung Keraton.
110
Sehubungan dengan hal ini, tradisi yang telah dibentuk bertahun-tahun oleh masyarakat Jawa khususnya daerah Yogyakarta akan tetap dilestarikan oleh masyarakat penganutnya karena kuatnya dominasi kekuasaan Nyai Roro Kidul dengan dukungan dari pihak Keraton Yogyakarta dan keberadaan Gunung Merapi. Sebuah tradisi tidak akan hilang jika masyarakat yang mempercayai tradisi tersebut melestarikan tradisi sebagai bentuk kebudayaan dan kearifan lokal di masyarakat.
111
DAFTAR PUSTAKA Abimanyu, Seodjipto. 2013. Babad Tanah Jawi Terlengkap dan Terasli. Yogyakarta: Laksana. Achmad, Sri Wintala. 2013. Falsafah Kepemimpinan Jawa Soeharto, Sri Sultan HB IX & Jokowi. Yogyakarta: Arasta. Ahimsa-Putra, Heddy Shri. 2001. Strukturalisme Lèvi-Strauss Mitos dan Karya Sastra. Yogyakarta: Galang Press. Anwar, Ahyar. 2010. Teori Sosial Sastra. Jakarta: Penerbit Ombak. Artha, Arwan Tuti. 2009. Langkah Raja Jawa Menuju Istana Laku Spiritual Sultan. Yogyakarta: Galang Press. Barker, Chris. 2004. Cultural Studies, Teori dan Praktik. Bantul: Kreasi Wacana. Roland, Barthes. 2004. Mitologi. Terj. Nurhadi. Yogyakarta: Kreasi Wacana. Budiardjo, Miriam. 1991. Aneka Pemikiran Tentang Kuasa dan Wibawa. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Dananjaja, James. 1984. Folklor Indonesia. Jakarta: PT. Rusa Utama Grafiti. Damono, Sapardi Djoko. 2010. Sosiologi Sastra. Jakarta: Editum. Endraswara, Suwardi. 2013. Falsafah Kepemimpinan Jawa. Yogyakarta: Narasi. Faruk, H.T. 2012. Pengantar Sosiologi Sastra dan Strukturalisme Genetik Sampai Post-Modernisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hajarwati, Dwi Isma. 2013. “Mitos dalam Novel Sang Nyai Karya Budi Sardjono.” Skripsi. Jombang: STKIP PGRI. Harahap, Muharrina. 2009. “Mitologi Jawa dalam Novel-Novel Kuntowijoyo”. Tesis Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. Harjito. 2002. “Student Hijo Karya Marco Kartodikromo Analisis Hegemoni Gramscian”. Tesis. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. Herusatoto, Budiono. 1985. Simbolisme dalam Budaya Jawa. Yogyakarta: PT. Hanindita. _________________. 2012. Mitologi Jawa. Yogyakarta: Oncor Semesta Ilmu. Keraf, Gorys. 2004. Komposisi. Flores: Penerbit Nusa Indah.
112
Larasati, Dewi Ayu. 2011. “Etika Kekuasaan Jawa dalam Novel Para Priyayi Karya Umar Kayam”. Skripsi. Medan: Universitas Sumatera Utara. Noor, Redyanto. 2009. Pengantar Pengkajian Sastra. Semarang: Fasindo. Nurhadi. 2004. “Analisis Hegemoni pada Iblis Tidak Pernah Mati Karya Seno Gumira Ajidarma”. Jurnal Litera. Yogyakarta: FBS UNY. Nurgiyantoro, Burhan. 2010. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Pers. Permatasari, Intan Dewi. 2013. “Nilai Budaya Jawa dalam Novel Sang Nyai Karya Budi Sardjono dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Sastra Indonesia di SMA”. Skripsi. Tegal: Universtias Pancasakti. Pusposari, Dewi. 2011. Mitos dalam Kajian Sastra Lisan. Malang: Pustaka Kaiswaran. Ratna, Nyoman Kutha. 2010. Sastra and Cultural Studies Teori Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Saini K.M. 1986. Protes Sosial dalam Sastra. Bandung: Angkasa. Sardjono, Budi. 2011. Sang Nyai. Yogyakarta: Divapress. Sary, Irma Anita. 2013. “Hegemoni Gramsci dalam Novel Sekali Peristiwa di Banten Selatan Karya Pramoedya Ananta Toer.” Artikel Mahasiswa STKIP PGRI Jombang.
Siswantoro. 2010. Metode Penelitian Sastra Analisis Struktural Puisi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Sumadi. “Gunung Merapi dalam Budaya Jawa”. Jurnal Seni Rupa STSI Surakarta (Online), http://isi.ska.ac.id/index.php/ornamen/article/download/200/175 diakses pada tanggal 30 Juli 2014. Sumarsih, Sri, dkk. 1989. Upacara Tradisional Labuhan Kraton Yogyakarta. Yogyakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Stanton, Robert. 2007. Teori Fiksi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Teew, A. 1994. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya. Thohir, Mudjahirin. “Sosiologi Pedesaan Masyarakat Jawa Pesisiran” dalam http://staff.undip.ac.id/sastra/mudjahirin/2010/07/30/masyarakat-pesisir diakses pada tanggal 24 September 2012.
113
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1993. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Wellek, Rene dan Austin Warren. 1989. Teori Kesusastraan. Jakarta: PT. Gramedia.
114
LAMPIRAN 1 SINOPSIS NOVEL SANG NYAI
Novel Sang Nyai mengisahkan tentang seorang wartawan bernama Samhudi yang ditugaskan untuk membuat feature tentang Nyai Roro Kidul. Sam harus melakukan penelitian tersebut dengan memulainya di Parangkusumo, tempat untuk ziarah pada Nyai Roro Kidul. Ia sempat menolak tugas tersebut, karena bertentangan dengan ideologi modern yang ia anut. Ia menentang keberadaan sosok gaib Nyai Roro Kidul karena ia tidak mempercayai hal-hal gaib di era modern ini. Ketika berada di Parangksumo, ia bertemu dengan Kesi sosok misterius yang membuatnya tertarik. Dari Kesi inilah Sam memulai petualangan misterinya untuk berburu informasi tentang Nyai Roro Kidul. Ia dibawa oleh Kesi untuk bertemu dengan Kang Petruk, teman Kesi yang tinggal di Merapi dengan dalih bahwa Kang Petruk sangat mengetahui kisah tentang Nyai Roro Kidul. Ketika dijemput Kang Jiman menggunakan andong untuk ke tempat Kang Petruk, selama di perjalanan Sam merasa bahwa Jogja kembali ke beberapa abad silam. Bahkan Sam juga merasa bahwa kuda yang ia naiki berkepala manusia. Ketika sampai di tempat Kang Petruk pun suasana mistis semakin terasa, Sam bertemu Kesi dan Kang Petruk yang terlihat sangat akrab. Dari sinilah Sam mulai mengalami hal gaib yang selama ini mustahil bagi pemikirannya. Sam menceritakan pengalamannya selama di rumah Kang Petruk kepada Sugeng temannya. Sugeng kemudian membawa Sam ke tempat Bu Mul alias Nyai
115
Mundingsari yang diketahui sangat menyukai hal-hal berkaitan dengan Nyai Roro Kidul. Setelah menceritakan semua kejadian, maka dapat disimpulkan bahwa Kang Petruk yang ditemui oleh Sam adalah Mbah Petruk atau Kiai Sapu Jagat, penguasa kawah Merapi yang selama ini menjadi mitos di masyarakat. Sam akhirnya memutuskan untuk melakukan meditasi di tempat Nyai Mundingsari di bawah tujuh lukisan Nyai Roro Kidul yang asalnya dari tujuh tempat berbeda. Sam merasa terlempar ke tempat lukisan-lukisan tersebut berada yakni di Sanur Beach Hotel Bali, Ambarukmo Palace Hotel, Hotel Queen, Parangkusumo, Samudera Beach Hotel, Banglampir Gunung Kidul, dan Pantai Karangbolong. Selama berada di tempat itu, tanpa sengaja Sam bertemu dengan Kesi. Hal itu membuat Sam semakin mencurigai sosok gadis misterius yang menarik hatinya tersebut. Keadaan semakin gawat ketika dikabarkan Gunung Merapi akan meletus. Kang Petruk menelepon Sam agar memperingatkan warga untuk menjauhi Gunung Merapi sementara waktu. Peringatan ini dianggap sebagai wisik. Sam akhirnya menyamar sebagai tokoh imajiner yaitu Syekh Tunggul Wulung seorang ulama dari Demak yang melalui Sugeng temannya menyebarkan peringatan dari Kang Petruk tersebut, agar masyarakat percaya. Terlebih ketika ada kejadian aneh yang dilihat oleh warga sekitar yaitu perahu kosong yang berlayar di Kali Code, dan naga yang muncul di Kali Opak. Hal gaib tersebut merupakan wujud wisik yang didapat oleh masyarakat sebagai pertanda bahwa akan datang bencana besar. Sang Sultan yang akrab dipanggil Ngarsa Dalem pun memerintahkan penduduk Merapi untuk membuat sayur tolak bala guna menghindarkan dari
116
bencana letusan Merapi. Sementara itu, di Pantai Selatan utusan kerajaan yang mendapat perintah langsung dari Ngarsa Dalem pun menyuruh warganya untuk membuat acara selamatan, kenduri, dengan diakhiri dengan prosesi labuhan. Hal ini ditujukan untuk meminta bantuan kepada Nyai Roro Kidul agar membujuk Kiai Sapu Jagat yang mempunyai hubungan dekat dengannya agar tidak memuntahkan lahar Merapi kepada penduduk kota Yogyakarta. Ketika keadaan semakin gawat, setelah Sam mengunjungi Panggung Sanggabuwono di Keraton Surakarta untuk meliput tentang tempat yang berhubungan dengan Nyai Roro Kidul, Sam lalu menemui seorang pengrajin batik tulis yang berhubungan dengan Nyai Roro Kidul. Hal ini untuk menambah informasi tentang feature yang akan ia tulis. Pengrajin batik tulis yang bernama Nyai Maryatun tersebut disewa oleh seorang perempuan cantik untuk membuat tujuh kain batik motif sidomukti, dan tujuh belas kain batik motif parang rusak dengan bayaran koin emas yang bergambar seorang perempuan. Setelah Sam selidiki koin tersebut ternyata bergambar rupa Kesi. Sam kembali ke Parangkusumo untuk mengikuti prosesi labuhan ketika kondisi Merapi ditetapkan dalam kondisi yang darurat. Ombak ganas dengan badai yang mencekam di Pantai Selatan membaut upacara labuhan memakan korban jiwa, termasuk membuat seorang tukang ojek yang Sam kenal yaitu Kang Trisno meninggal. Sam terpukul akan kejadian ini. Namun, saat itulah Kesi datang dan menenangkan Sam. Ia mengatakan bahwa para korban akibat labuhan bukan merupakan kehendak Nyai Roro Kidul, itu hanya diakibatkan bencana alam, mereka masih menerjang badai walaupun sudah diperingatkan.
117
Keadaan semakin gawat ketika Merapi akhirnya meletus. Sam mengetahui bahwa Sugeng, sahabatnya meninggal akibat menyelamatkan penduduk dari serangan awan wedhus gembel yang menyerang penduduk lereng Merapi. Kejadian ini membuat Sam terpukul. Ia memutuskan untuk kembali ke Jakarta. Ia bahkan menolak memperpanjang masa tugasnya sekedar meliput bencana yang terjadi. Ketika sampai di Jakarta Sam dikejutkan oleh sebuah bingkisan di dalam tasnya yang berisi segala benda yang disukai Nyai Roro Kidul beserta tujuh koin emas bergambar wajah Kesi. Sam terkejut mengetahui fakta bahwa Kesi memang penjelmaan dari sosok Nyai Roro Kidul yang sesungguhnya.
118
LAMPIRAN 2 BIOGRAFI PENGARANG
M. Budi Sardjono lahir di Yogyakarta, 6 September 1953. Ia adalah seorang penulis autodidak. Memulai menulis karya-karya fiksi dari cerpen, novelete, novel, naskah sandiwara, dan sebagainya. Beberapa kali ia telah memenangkan sayembara mengarang, baik cerpen, novelete, dan lain-lain. Pernah memenangkan sayembara mengarang naskah sandiwara remaja oleh Dewan Kesenian Jakarta. Beberapa buku kumpulan cerpennya sudah terbit antara lain: Topeng Malaikatdan Dua Kado Bunuh Diri. Cerpen-cerpennya juga masuk dalam beberapa antologi kumpulan cerpen. Beberapa novelnya juga sudah terbit menjadi buku, antara lain: Ojo Dumeh (2005), Kabut dan Mimpi (2008), Sang Nyai (2011), Kembang Turi (2011), Api Merapi (2012), Roro Jonggrang (2013), serta Nyai Gowok (2014). Ia juga menulis buku cerita untuk anak-anak. Akhir-akhir ini banyak menulis buku-buku motivasi antara lain Hidup Rasa Jeruk, Doa Rasa Cappucino, 7 Mukjizat Sehari Semalam, Meditasi Syukur 20 Menit, Meditasi Cinta 20 Menit, 7 Meditasi Penyegar Hidup, Aneka Homili Prodiakon, 25 Ayat Dahsyat, dan sebagainya.
119
Lampiran 3 Peta Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
Sumber: http://yogyakarta.depag.go.id/
120
Lampiran 4 Keraton Yogyakarta
Sumber : http://www.jogjawae.com/2011/09/keraton-yogyakarta http://www.jogjawae.com/2011/09/keraton yogyakarta
Sumber: http://coretanpetualang.wordpress.com/keraton http:// /keraton-jogja/
121
Lampiran 5 Keraton Surakarta
Sumber: http://surakarta.go.id/konten/keraton-kasunanan-surakarta
122
Lampiran 6 Gunung Merapi
Sumber: http://ininyata.com/2014/02/Gunung-Merapi-Jogja/
123
Lampiran 7 Laut Selatan
Sumber: http://images.detik.com/customthumb/2012/10/18/1025/img_20121018221232_5 0801c6097506
124
Lampiran 8 Upacara Labuhan Kesultanan Yogyakarta Upacara labuhan merupakan salah satu upacara adat yang sejak jaman kerajaan Mataram Islam pada abad ke XIII hingga sekarang masih diselenggarakan secara teratur dan masih berpengaruh dalam kehidupan sosial penduduk di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Masyarakat meyakini bahwa dengan upacara labuhan secara tradisional akan terbina keselamatan,
ketentraman dan
kesejahteraan masyarakat dan negara. Meskipun yang menyelenggarakan upacara labuhan adalah keraton, namun dalam pelaksanaannya di lapangan, rakyat juga turut serta. Masyarakat merasa ikut memiliki upacara adat itu dan menganggap upacara labuhan adalah suatu kebutuhan tradisional yang perlu dilestarikan. Salah satu upacara keraton yang dilaksanakan oleh para Sultan sejak Sultan Hamengkubuwono I adalah upacara adat yang dalam istilah Jawa disebut labuhan. Upacara ini biasanya dilaksanakan di empat tempat yang letaknya berjauhan. Masing-masing tempat itu mempunyai latar belakang sejarah tersendiri sehingga pada. masing-masing tempat tersebut perlu dan layak dilakukan upacara labuhan
Tempat yang pertama ialah Dlepih, disebut juga Dlepih Kahyangan, terletak di Kecamatan Tirtomoyo, Kabupaten Wonogiri, Propinsi Jawa Tengah.
Tempat yang kedua adalah Parangtritis, di sebelah selatan kota Yogyakarta, di tepi Lautan Indonesia (Laut Selatan).
Tempat yang ketiga ialah di Puncak Gunung Lawu, di perbatasan Surakarta dan Madiun, yang membatasi daerah Jawa Tengah dan dae¬rah Jawa Timur.
Tempat yang keempat adalah di Puncak Gunung Merapi, letak¬nya termasuk wilayah Sleman, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Upacara labuhan tersebut merupakan pemberian atau persembahan (pisungsungJw) yang dilakukan di tempat-tempat tertentu, sesuai dengan kepercayaan bahwa di tempat tersebut pernah terjadi peristiwa penting yang berkenaan dengan para leluhur raja Berikut foto-foto upacara labuhan di Parangtritis:
125
Sumber : http://bantulbiz.com/id/berita_baca/idb-42.html http://kebudayaanindonesia.net/kebudayaan/1129/upacara-labuhan-kesultananyogyakarta diakses pada 14 Agustus 2014
126
Lampiran 9 Eksistensi Nyai Roro Kidul
Pawai Kereta Kencana di Purwakarta (30 Agustus 2014) Jika dilihat dengan mata telanjang tidak ada cahaya hijaunya, namun di flash kamera seperti ada sosok dengan memakai kain warna hijau di dalamnya. Diyakini sosok tersebut adalah Nyai Roro Kidul.
Sumber: Photo by Muhammad Ikhsan Anggara
127
Lampiran 10
DAFTAR ISTILAH
Adikodrati
: alam gaib, di luar kodrat.
Folklor
: meliputi legenda, musik, sejarah, lisan, pepatah, lelucon, takhayul, dongeng, dan kebiasaan yang menjadi tradisi dalam suatu budaya, subkultur, atau kelompok.
Formatif
: berdasarkan sifat awal atau dari bentuk awal yang terikat.
Hegemoni ideologi
: peta makna yang kendati mengklaim dirinya sebagai kebenaran universal, namun secara historis merupakan pemahaman yang khas, yang mengaburkan dan mempertahankan kekuasaan kelompok sosial.
Hegemoni kultural
: hegemoni yang memiliki ciri-ciri yaitu kekuasaan dengan kombinasi kekuatan dan persetujuan, yang secara timbal balik saling mengisi tanpa adanya kekuataan secara berlebihan memaksakan persetujuan.
Integral kebudayaan
: merupakan bagian yang saling berhubungan dengan kebudayaan
Kejawen
: aliran kebatinan masyarakat Jawa.
Kosmos
: jagad raya; alam semesta.
128
Layang kekancingan
:
merupakan surat silsilah yang dikeluarkan oleh Tepas Darah Dalem (Kantor Urusan Keturunan Raja) atas nama sang Sultan.
Manusia kolektif
: manusia yang saling berhubungan dengan manusia lainnya, tidak bisa hidup sendiri.
Marxis Ortodoks
: materialisme dialektik
Multisiplitas
:
Otonom
: kelompok sosial yang memiliki hak dan kekuasaan
keberagaman; diversitas; pluralitas
menentukan arah tindakannya sendiri Propaganda politik
: merupakan kegiatan komunikasi politik yang dilakukan secara terencana dan sistematik, untuk menggunakan sugesti
(mempermainkan
emosi),
untuk
tujuan
mempengaruhi seseorang atau kelompok orang , khalayak atau komunitas yang lebih besar (bangsa) agar melaksanakan atau menganut suatu ide (ideologi, gagasan sampai sikap), atau kegiatan tertentu dengan kesadarannya sendiri tanpa merasa dipaksa atau terpaksa. Represi
: tekanan
Ritual
:
berkenaan dengan ritus; suatu proses tertentu
Sinkretis
:
aliran islam kejawen
Sinewaka
: istilah dalam bahasa Jawa yang mempunyai arti raja yang duduk pada sebuah acara. Istilah tersebut hanya
129
diperuntukan bagi para raja karena duduknya seorang raja harus dihormati dengan cara menyembah dan meninggikan raja.
130
LAMPIRAN 11 BIODATA PENULIS
Nama
: Herning Puspitarini
Tempat/tanggal lahir : Purworejo, 21 Februari 1993 Alamat
: Wonosri, RT 02/01, Ngombol, Purworejo, Jawa Tengah 54172
Pendidikan Formal JENJANG TK SD SMP SMA
NAMA SEKOLAH TK Rahayu SD Negeri Wonosri SMP Negeri 11 Purworejo SMA Negeri 7 Purworejo
NAMA KOTA Purworejo Purworejo Purworejo Purworejo
TH MASUK 1997 1998 2004 2007
Semarang, 24 September 2014
TH LULUS 1998 2004 2007 2010