PENDAHULUAN Sebutan nyai adalah bagi mereka perempuan-perempuan pribumi yang dijadikan gundik para orang Eropa di Hindia Belanda. Kata ‘Nyai’ sendiri didapat dari bahasa Bali, bahasa Sunda, dan bahasa Jawa dengan pengertian perempuan (muda), adik perempuan, dan juga dianggap sebagai istilah panggilan. 1 Istilah-istilah Belanda untuk seorang gundik ialah huishoudster, bijzit, menagere, dan meid. Di tanah Melayu, istilah gundik atau munci umum digunakan. 2 Pada awalnya sebutan nyai tersebut hanya digunakan untuk menyebut perempuan simpanan laki-laki Eropa saja namun di masa selanjutnya sebutan tersebut juga digunakan bagi gundik dari kelompok lain, misalnya bangsa Cina. Sebutan nyai dan gundik memunculkan istilah kata kerja pernyaian, yang juga dapat disebut pergundikan, untuk seterusnya penulis akan menggunakan kata pernyaian dalam penulisan ini. Seiring dengan perkembangan perekonomian sejak diberlakukan Politik Liberal dan perkembangan pendidikan sejak Politik Ethis menyebabkan semakin besarnya arus modernisasi di Hindia Belanda. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, modernisasi berarti proses pergeseran sikap dan mentalitas sebagai warga masyarakat untuk dapat hidup sesuai dengan tuntutan masa kini. Budaya bangsa Eropa yang datang ke Hindia Belanda inilah yang djadikan ukuran dalam menentukan modern, bisa dalam hal pemutakhiran transportasi, mata uang yang beredar, bahasa, bangunan, budaya, serta gaya hidup. Modernisasi ini ditransformasikan dengan berbagai cara dan media secara disengaja maupun secara alami oleh beberapa masyarakat pendukungnya, termasuk nyai diantaranya. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia transformasi berarti perubahan rupa (bentuk, sifat, fungsi, dsb), atau perubahan struktur gramatikal menjadi struktur gramatikal lain dengan menambah, mengurangi, atau menata kembali unsur-unsurnya. Seorang nyai berperan di dalam transformasi modernisasi di Jawa pada khususnya, transformasi modernisasi yang penulis maksud adalah proses perubahan kebiasaan atau budaya masyarakat Jawa yang termodernkan oleh budaya masyarakat Eropa yang datang ke Hindia Belanda. Modernisasi tersebut terjadi di berbagai bidang kehidupan masyarakat, hingga membentuk suatu akulturasi budaya. Dalam transformasi modernisasi di Jawa seorang nyai mempunyai peranan, yaitu sebagai mediator dua budaya, yaitu budaya Belanda dan budaya Jawa (pribumi). A. Kajian Pustaka Kajian pustaka dari penelitian yang berjudul “Peranan Nyai dalam Transformasi Modernisasi di Jawa (1870-1942)” berangkat dari rumusan 1
Tineke Hellwig, Citra Kaum Perempuan di Hindia Belanda. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007, hlm. 36. 2 Ibid.
masalah yang disusun oleh peneliti. Mengenai bagaimana awal fenomena pergundikan, kisah kehidupan para gundik-gundik Eropa, juga tentang bagaimana pergundikan itu sempat ditolak dan diberantas keras oleh beberapa Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Pustaka yang digunakan adalah karya terjemahan dari Reggie Baay yang berjudul Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda terbitan Penerbit Komunitas Bambu tahun 2010. Posisi seorang nyai pada masa penjajahan Belanda sangatlah tidak menentu, bayang-bayang pengusiran selalu menghantui. Usaha-usaha penghapusan pernyaian di Hindia Belanda juga beberapa kali dilakukan oleh beberapa gubernur jenderal. Hal ini dikaji dalam buku terjemahan karya Tineke Hellwig berjudul Citra Kaum Perempuan di Hindia Belanda terbitan Yayasan Obor Indonesia. Pernyaian tidak hanya terjadi di kalangan masyarakat umum atau sipil, tetapi juga terjadi di pusat-pusat kegiatan ekonomi pemerintah Hindia Belanda dan di kalangan militer Hindia Belanda, tepatnya di tangsi-tangsi militer tentara Hindia Belanda. Pernyaian yang terdapat di ketiga tempat tersebut mempunyai karakteristik yang berbeda, baik dalam hal pengambilan nyai maupun perlakuan kepada para nyai tersebut. Mengenai hal ini peneliti menggunakan pustaka John Ingleson berjudul Perkotaan, Masalah Sosial dan Perburuhan di Jawa Masa Kolonial yang diterbitkan oleh Penerbit Komunitas Bambu. Keberadaan seorang wanita yang hidup bersama lelaki Eropa menjadi salah satu perjalananan sejarah bangsa hingga terbentuk satu bangsa Indonesia dengan ciri khas budayanya. Nyai diharuskan mampu berbahasa Belanda, membantu tuannya menyesuaikan diri dengan budaya pribumi, hingga mengimbangi penampilan tuan Eropanya. Akhirnya, ada satu ciri khas tersendiri dari sang nyai yang membuatnya mudah dikenali sebagai seorang nyai, baik dari gaya berbusana, gaya hidup, maupun cara mengasuh anakanaknya. Peneliti menggunakan literatur karya Dr. Frances Gouda yang berjudul Dutch Culture Overseas: Praktik Kolonial di Hindia Belanda, 19001942, penerbit Serambi Ilmu Semesta. Budaya Belanda telah mempengaruhi gaya hidup masyarakat pribumi, begitu pula sebaliknya budaya pribumi juga telah mempengaruhi gaya hidup orang-orang Belanda, baik orang Belanda totok 3, orang keturunan Belanda yang lahir di Hindia Belanda ataupun anak-anak Indo-Belanda. Sejak awal kehadiran bangsa Belanda telah terjadi kontak budaya yang kemudian menghasilkan perpaduan budaya. Mengenai hal ini peneliti menggunakan buku yang berjudul Kebudayaan Indis: Dari Zaman Kompeni sampai Revolusi karya Djoko Soekiman penerbit Komunitas Bambu. Metode Penelitian Helius Sjamsuddin menerangkan bahwa metode ada hubungannya dengan suatu prosedur, proses, atau teknik yang sistematis dalam penyidikan 3
Totok digunakan untuk menyebut orang Belanda atau orang Eropa asli.
suatu disiplin ilmu tertentu untuk mendapatkan objek (bahan-bahan) yang diteliti. 4 Peneliti menggunakan metode sejarah kritis. Metode ini menjelaskan langkah-langkah penelitian sejarah dimulai dari Pemilihan topik, heuristik (pengumpulan sumber), verifikasi (kritik sumber), interpretasi atau penafsiran fakta-fakta yang telah diuji kebenarannya dan terakhir adalah historiografi atau penulisan sejarah. PEMBAHASAN 1. LATAR BELAKANG PERYAIAN a. Kedatangan Pegawai-pegawai Eropa ke Hindia Belanda Pembentukan Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) di Hindia Belanda berakibat datangnya sejumlah pegawai-pegawai VOC ke Hindia Belanda. Kedatangan para pegawai ini mempengaruhi lahirnya sistem pernyaian di Hindia Belanda khususnya di Pulau Jawa. Kebanyakan dari pegawai-pegawai Eropa itu datang ke Hindia Belanda sebagai perjaka dan tidak menyertakan keluarganya. Diantara pegawai-pegawai Eropa tersebut akhirnya memilih untuk tinggal bersama perempuan pribumi sebagai nyai. Sebenarnya praktik pernyaian sudah banyak terjadi di kalangan para pedagang Asia dan Portugis ketika jumlah kaum pria Belanda atau Eropa tidak sebanding dengan jumlah kaum wanita Belanda atau Eropa yang ada.5 Jumlah kaum wanita Belanda atau Eropa yang jauh lebih sedikit mengakibatkan semakin maraknya praktik pernyaian pada masa pemerintahan Belanda di Hindia Belanda sejak dibentuknya VOC di Batavia. b. Kondisi Jawa pada Tahun 1870-1942 Pada tahun 1870 hingga 1942 terjadi beberapa tahap peristiwa yang penting bagi negara Indonesia. Walaupun Negara Kesatuan Republik Indonesia belum terbentuk, namun pada sekitaran tahun inilah mulai terjadi perubahan besar bagi rakyat pribumi. Peristiwa awal adalah dihapuskannya cultuurstelsel 6 (Sistem Tanam Paksa) dan digantikan dengan politik kolonial Liberal. Politik kolonial Liberal ditandai dengan dikeluarkannya UndangUndang Agraria 7 pada tahun 1870, kemudian pada tahun 1900 disusul 4
Helius Sjamsuddin, Metodologi Sejarah, Yogyakarta : Penerbit Ombak, 2012,
hlm. 11.
5
Bedjo Riyanto, Iklan dan Surat Kabar dan Perubahan Masyarakat di Jawa Masa Kolonial (1870-1915). Yogyakarta: Tarawang Press, 2000, hlm. 7. 6 Cultuurstelsel disebut juga Sistem Tanam Paksa yang dicetuskan oleh Van den Bosch, yang hakikatnya adalah bahwa penduduk sebagai ganti membayar pajak tanah sekaligus, harus menyediakan sejumlah hasil bumi yang niainya sama dengan pajak tanah itu, lihat Sartono Kartodirdjo dalam Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional dari Kolonialisme Sampai Nasionalisme Jilid 2. hlm. 13. 7 Undang-undang Agraria pada masa liberal berisi antara lain diperbolehkan menyewakan tanah oleh orang-orang Indonesia kepada orang-orang bukan Indonesia, lihat Dr. D. H. Burger dalam Sedjarah Ekonomis Sosiologis Indonesia Jilid Pertama. Jakarta: Negara Pradnjaparamita, 1962, hlm. 220-221.
politik Ethis 8 dan berakhirnya pemerintahan Hindia Belanda di Indonesia pada 1942. c. Munculnya Pernyaian di Jawa Terdapat beberapa penyebab mengapa praktik pernyaian tumbuh begitu kuat di tanah jajahan, antara lain; 1) Jumlah laki-laki Eropa atau Belanda lebih banyak dibandingkan jumlah perempuan Eropa atau Belanda. Alasan para lelaki Eropa enggan membawa keluarga mereka ke daerah koloni adalah perbedaan iklim Eropa dengan daerah tropis seperti Indonesia yang mencolok. Selain itu, perjalanan melalui laut yang memakan waktu sangat lama, sekitar 7-10 bulan, dan melelahkan, bahkan terkadang disertai cuaca yang tidak baik dan penuh bahaya. Perjalanan seperti ini tentunya sangat berbahaya bagi seorang perempuan, apalagi perempuan Eropa yang sangat rentan dan tidak terbiasa dengan iklim tropis. Perbedaan ini dapat dilihat dari sensus penduduk Hindia Belanda sebagai berikut. TABEL 1. JUMLAH WANITA ASING PADA SETIAP 1000 PRIA DI HINDIA BELANDA DARI TAHUN 1860-1930 Tahun Eropa China Arab 1860 590 809 1880 481 620 830 1900 636 548 857 1905 672 526 890 1920 800 563 865 1930 884 646 841 Sumber : Creutzberg dan van Laanen, Sejarah Statistik Ekonomi Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor, 1987, hlm. 33. 2) Peraturan gereja yang tidak memperbolehkan terjadinya pernikahan beda keyakinan Seorang laki-laki Eropa Kristen harus menikahi seorang perempuan Kristen pula. Jadi jika laki-laki Eropa Kristen menginginkan menikah dengan seorang perempuan pribumi, perempuan tersebut haruslah beragama Kristen. Sebagai ganti peralihan agamanya, ia memperoleh kewarganegaraan suaminya. Anak-anak mereka hanya boleh dibaptis 8
Politik Ethis dicetuskan oleh salah seorang kaum ethis bernama Van Deventer. Politik ini menggunakan tiga sila sebagai slogannya, yaitu Irigasi, Edukasi, dan Emigrasi, lihat Sartono Kartodirdjo dalam Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional dari Kolonialisme sampai Nasionalisme Jilid 2. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1999, hlm. 30-32.
jika ibu mereka orang Kristen yang aktif menganut agamanya.9 Rezim semacam ini telah mendorong lahirnya hubungan tanpa ikatan antara laki-laki Eropa dengan perempuan Asia. Karena dalam kenyataannya tidak banyak perempuan pribumi yang bersedia masuk ke agama Nasrani. 3) Memelihara seorang nyai dianggap lebih mudah dan menguntungkan dibandingkan menikah secara resmi dengan seorang perempuan pribumi. Memelihara nyai dianggap lebih mudah dan menguntungkan daripada menikah secara resmi dengan seorang perempuan Eropa. Memelihara nyai lebih mudah untuk ditinggalkan dan dapat diperlakukan sekehendak hati. Nyai juga dapat dimanfaatkan dalam hal menjaga kesehatan tuan Eropanya dibandingkan dengan jika harus berhubungan dengan pelacur yang tidak terjamin kebersihannya. Kehadiran nyai juga dimanfaatkan untuk memperoleh pengetahuan mengenai kebudayaan Melayu, baik dalam bidang bahasa, kebiasaan, maupun adat istiadatnya. 10 d. Kebijakan Pemerintah Hindia Belanda terhadap Praktik Pernyaian 1) Kebijakan Jan Pieterszoon Coen terhadap Praktik Pergundikan Jan Pieterszoon Coen adalah pendiri Batavia setelah pada tahun 1619 Djakarta berhasil diduduki oleh VOC. Maraknya pernyaian pada masa itu yang terjadi di kalangan lelaki Belanda atau Eropa dengan perempuan pribumi sangat ditentang dan dibenci oleh Coen. Coen menganggap pernyaian sebagai penyebab dari timbulnya kasus pengguguran kandungan, pembunuhan bayi, dan terkadang aksi peracunan terhadap si tuan Eropa yang dilakukan oleh gundik yang cemburu. 11 Ia pun meminta calon-calon pengantin perempuan kulit putih kepada Heren van de Compagnie.12 Maka Coen mengeluarkan larangan bagi kaum lelaki Belanda atau Eropa untuk menikahi kaum perempuan pribumi seperti yang tercantum pada Regering bij Plakaat pada tahun 1625.13 Larangan Coen ternyata tidak dapat menghapus pernyaian di Hindia Belanda, kebutuhan biologis telah mengalahkan kebijakan pemerintah. Pernyaian baru benar-benar hilang berabad-abad setelah kepemimpinan Coen, yaitu seiring dengan perginya bangsa Eropa dari Indonesia. 9
Tineke Hellwig, op.cit., hlm. 35. Hayu Adi Darmarastri, “Keberadaan Nyai di Batavia 1870-1928”, dalam Lembaran Sejarah, Vol. 4 No. 2, 2002, hlm. 15. 11 Ibid., hlm 8. 12 Reggie Baay, Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda. Jakarta: Komunitas Bambu, 2010, hlm 2. 13 Hayu Adi Darmarastri, op.cit., hlm. 9. 10
2) Peraturan Kolonial tentang Perkawinan Campuran Peraturan perkawinan campuran di Hindia Belanda diatur dalam Staatsblad 1898 No. 158, yaitu Beslit Kerajaan 29 Desember 1896 No 23, S 1898/158. Praktik pernyaian yang terjadi antara laki-laki Eropa dengan seorang perempuan pribumi tentu adalah sebuah perkawinan campuran. Karena keduanya dipisahkan tidak hanya karena perbedaan ras dan kewarganegaraan saja, tetapi golongan dan agama yang berbeda. 2. MODEL PERNYAIAN DI JAWA a. Pernyaian dalam Dunia Sipil Masyarakat Eropa bertempat tinggal terutama di kota-kota besar di Jawa seperti Batavia, Bandung, Surabaya, Yogyakarta, Semarang, dan Surakarta.14 Pada tahun 1880, terdapat 19,5 juta penduduk pribumi sedangkan orang Eropa hanya berjumlah sekitar 50.000. 15 Menurut perkiraan terdapat lebih dari setengah jumlah keseluruhan laki-laki Eropa di koloni hidup bersama seorang nyai pribumi dalam 25 tahun terakhir pada abad ke-19. 16 Dalam dunia sipil para nyai sering dipanggil dengan nama Mina. Pengambilan seorang nyai pribumi oleh para laki-laki Eropa terbilang mudah. Biasanya pelayan atau pembantu rumah tangga seorang majikan Eropa berjumlah lebih dari satu. Namun, jika seorang laki-laki Eropa tidak menemukan yang sesuai diantara para pembantu rumah tangganya, ia akan memerintah kepada salah seorang pembantu laki-lakinya agar mencarikan seorang gundik. Cara lain untuk menjalin hubungan pernyaian adalah dengan melalui perjodohan. b. Pernyaian dalam Tangsi Militer Hendrik Colijn, perdana menteri sekaligus mantan perwira tentara kolonial memberikan nama Koninklijk Nederlandsch-Indisch Leger (KNIL) bagi tentara Hindia (Timur atau tentara kolonial. Tentara kolonial direkrut dari negeri Belanda, beberapa negara Eropa, bahkan termasuk laki-laki pribumi. Di tanah koloni, para serdadu ditempatkan dan diberi pendidikan militer di tangsi militer di Jawa. Di bawah pemerintahan Menteri Daerah Jajahan Keuchenius (18881890), tangsi-tangsi disekat-sekat untuk para prajurit yang telah memiliki pasangan.17 KNIL pun menjadi ketentaraan yang secara resmi mengizinkan serdadunya tinggal bersama, tanpa ikatan pernikahan,
14
Reggie Baay, op.cit., hlm. 40. Ibid. 16 Ibid., hlm. 44. 17 Petrik Matanasi, Sejarah Tentara: Munculnya Bibit-bibit Militer di Indonesia Masa Hindia Belanda sampai Awal Kemerdekaan Indonesia. Yogyakarta: Penerbit Narasi, 2011, hlm. 13. 15
dengan perempuan pribumi di dalam tangsi. Tangsi tentara kolonial menjadi tempat dimana Jan 18, Kromo 19, dan Sarina tinggal. Untuk menjadi seorang nyai di tangsi militer KNIL terdapat beberapa jalan, ada seorang perempuan pribumi yang menawarkan diri. Ada juga hubungan pernyaian yang terjalin karena para serdadu mencari sendiri nyai mereka di sekitar tangsi. Pada saat itu bahkan terdapat sebuah kelompok gundik tangsi profesional, yaitu para perempuan yang memenuhi kebutuhan hidup mereka dengan menawarkan diri menjadi gundik. c. Pernyaian dalam Perkebunan-perkebunan Wilayah perkebunan adalah tempat yang banyak memunculkan terjadinya kotak sosial antara orang Eropa dan pribumi. Tempat ini terdapat pula tenaga kerja wanita yang jumlahnya jika dibandingkan dengan tenaga kerja laki-laki terbilang minoritas.20 Banyak buruh kontrak perempuan dipaksa hidup dalam pernyaian dengan laki-laki Eropa. Bisa dikatakan pernyaian yang terjadi di perkebunan lebih buruk dari praktik pernyaian yang terjadi di tengah masyarakat sipil atau di dalam tangsi militer. Kenyataan mengenai pengusaha perkebunan Eropa yang hidup bersama seorang nyai bukanlah suatu hal yang baru di Jawa. Perkebunan kopi dan teh yang terletak di daerah Priangan, Jawa Barat, dan perkebunan tebu di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur menjadi tempat praktik pernyaian yang terjadi bertahun-tahun lamanya. Seperti halnya pernyaian di tengah masyarakat sipil maupun dalam tangsi militer, seorang nyai di perkebunan juga lah yang membebaskan tuannya (dalam hal ini sang pengusaha perkebunan Eropa) dari rasa kesepian dalam keterasingan di perkebunan. Sang nyai juga bertugas mengurus rumah tangga, memenuhi kebutuhan seksual dan tidak jarang menjadi jembatan sang pengusaha perkebunan dengan lingkungan pribumi, baik urusan bahasa, kebiasaan, maupun hubungan perdagangan. 3. PERANAN NYAI DALAM TRANSFORMASI MODERNISASI DI JAWA a. Peranan Nyai sebagai Mediator Budaya Jawa dan Eropa Proses percampuran antara budaya pribumi dengan budaya Belanda yang melahirkan wujud atau budaya baru tersebut kemudian dinamakan kebudayaan Indis. Ada satu hal yang menjadi perhatian dalam tumbuhnya kebudayaan Indis di Hindia Belanda khususnya Jawa, yaitu adanya praktik pernyaian. Hubungan antarbudaya di antara dua pribadi yang sangat berbeda melalui saluran perkawinan campuran ini menghasilkan penyerapan budaya yang kemudian menjadi ciri perkembangan sosial 18
Jan adalah julukan yang diberikan kepada serdadu Eropa. Kromo adalah julukan yang diberikan kepada serdadu pribumi. 20 Fadly Rahman, Rijsttafel: Budaya Kuliner di Indonesia Masa Kolonial 18701942, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2011, hlm. 35. 19
budaya dalam sejarah Indonesia. Fenomena perkawinan campuran yang telah melahirkan pembauran kebudayaan antara kebudayaan pribumi dan Belanda, di samping membawa ide dan pranata Barat ke Jawa, ketika itu orang-orang Belanda beradaptasi pula dengan tradisi atau kebiasaan masyarakat pribumi. Kehidupan bersama antara laki-laki Eropa dan perempuan pribumi telah memunculkan pengaruh tersendiri bagi perkembangan kehidupan keduanya, terutama bagi para laki-laki yang kemudian lebih banyak terkena pengaruh budaya si perempuan pribumi. Laki-laki Eropa mulai mengubah gaya hidup dan kebiasaan asli mereka, meskipun seorang totok, misalnya dalam hal makan, tidur menggunakan guling, mandi, hingga kebutuhan seksual. 21 b. Peranan Nyai sebagai Mediator di berbagai Bidang 1) Dalam Bidang Kebiasaan Makan Kebiasaan makan di Hindia Belanda tentunya sangat kontras dengan kebiasaan makan di Belanda. Bahan-bahan makanan Eropa yang minim di Hindia Belanda memaksa bangsa Eropa beradaptasi dengan makanan pribumi. Di sinilah seorang nyai berperan, nyai yang merupakan seorang perempuan pribumi sedikit demi sedikit memperkenalkan makanan-makanan pribumi. Hal unik terjadi dalam proses pengenalan makanan pribumi oleh nyai kepada tuannya. Pengenalan ini disajikan dalam bentuk kebiasaan makan bangsa Eropa, yaitu terdapat makanan pembuka, makanan inti, dan makanan penutup. Roti yang menjadi makanan utama bangsa Eropa semakin lama tergantikan dengan nasi, makanan pokok bangsa Indonesia. Kebiasaan makan nasi dari generasi ke generasi pada akhirnya menjadi budaya tersendiri dalam ruang lingkup kehidupan orangorang Belanda, yang kemudian memunculkan istilah khusus “rijsttafel”. 2) Dalam Bidang Busana Seorang nyai pribumi selain memperolah materi dalam jumlah yang besar dari hubungan pernyaiannya, ia juga akan menyandang status sosial lebih tinggi dari yang dimiliki sebelumnya. Perubahan tersebut secara fisik dapat dilihat dari perubahan jenis serta warna pakaian, khususnya kebaya yang dikenakannya sehari-hari. Setelah perempuan menjadi nyai berganti menjadi kebaya putih berenda seperti yang biasa dikenakan oleh para perempuan Eropa atau Indo.22 Perubahan ini bertujuan untuk membedakan seorang nyai dengan perempuan-perempuan pribumi lainnya. Selain itu juga untuk menunjukkan perbedaan antara hak-hak istimewa dan kewajiban 21 22
Ibid., hlm. 24. Hayu Adi Darmarastri, op.cit., hlm. 15.
serta status atas ataukah bawah yang dimiliki seorang nyai. Kebaya putih berenda pada saat itu mempunyai mutu yang lebih baik serta harga yang lebih mahal jika dibandingkan dengan kebaya berwarna yang dikenakan oleh para perempuan Eropa atau Indo.23 3) Dalam Bidang Bahasa Interaksi antara bangsa Belanda dengan pribumi di Hindia Belanda dalam kehidupan sehari-hari tidak dapat terhindarkan. Praktik pernyaian yang menjadi fenomena sosial di wilayah Hindia Belanda semakin mendukung adanya pembauran bahasa. Pembauran bahasa Melayu dan bahasa Belanda terjadi terutama oleh keluarga dalam lingkungan “Indische landshuizen”, yang selanjutnya digunakan oleh golongan Indo-Belanda. Di Jawa Tengah dan Jawa Timur, proses perpaduan bahasa Belanda dan Jawa terjadi hanya pada sebagian masyarakat pendukung kebudayaan Indis. Proses ini menimbulkan bahasa pijin atau bahasa campuran, yang pada umumnya digunakan oleh orangorang keturunan Belanda dengan ibu Jawa, oleh Cina keturunan, dan Timur Asing. 24 Bahasa hasil campuran orang-orang Belanda dengan orang Jawa lazim disebut dengan bahasa peetjoek atau petjoek, terutama sebelum Perang Dunia II di Semarang, Jawa Tengah, dan sekelilingnya. 25 4) Dalam Bidang Gaya Hidup Sengaja atau tidak, gaya hidup seorang nyai akan terpengaruh dengan gaya hidup sang Tuan Eropa-nya. Awalnya nyai dituntut untuk melayani Tuannya dengan gaya Eropa, seperti berbicara, memasak, berperilaku, bahkan cara berpikir. Tetapi semakin lama, tuntutan tersebut menjadi sebuah kebiasaan yang menjadi ciri khas seorang nyai, yaitu sebuah gaya hidup yang dipengaruhi oleh dua budaya, pribumi dan Eropa atau Belanda. Kebiasaan seorang nyai yang berbeda dengan perempuan pribumi kebanyakan di Jawa adalah membaca. Seorang nyai akan berusaha untuk mengimbangi sang Tuannya, maka ia akan belajar menulis dan membaca. Hal itu dilakukan nyai karena ia tidak mau begitu saja dibuang dan diusir oleh sang Tuan, seorang nyai akan belajar sungguh-sungguh agar dapat diajak berdiskusi dengan Tuan Eropanya. Seorang nyai juga dipercaya memegang kunci-kunci rumah yang berharga. Nyai tidak hanya menjadi pendamping seorang laki-laki Eropa, tetapi menjadi orang kepercayaan tuannya untuk mengurus 23
Ibid. Djoko Soekiman, Kebudayaan Indis: Dari Zaman Kompeni sampai Revolusi. Jakarta: Komunitas Bambu, 2011, hlm. 22. 25 Ibid., hlm. 23. 24
rumah tangga. Seorang nyai tidak hanya pintar membelanjakan kebutuhan sehari-hari, ia juga pandai menyisihkan uang pemberian tuannya untuk tabungan. Disamping itu mereka juga dapat berkesempatan mendampingi pasangan mereka wandelen atau “makan angin” ketika sore hari di Senen. Seorang pelancong Eropa berpendapat bahwa nyai pribumi tidak begitu cantik karena warna kulit yang coklat, tetapi nyai-nyai tersebut memiliki sifat yang ramah. 26 KESIMPULAN Kesendirian pegawai-pegawai Eropa yang tanpa ditemani keluarga maupun istri di Hindia Belanda memunculkan masalah baru dalam masyarakat, yaitu praktik pernyaian. Laki-laki Eropa akan mengambil seorang perempuan pribumi untuk menemani dan melayaninya dalam hal kebutuhan rumah tangga. Perempuan pribumi yang dijadikan gundik oleh laki-laki Eropa biasa disebut dengan ‘nyai’. Pengambilan nyai dilakukan karena sedikitnya jumlah perempuan Eropa didatangkan ke Hindia Belanda. Seorang nyai akan berfungsi sebagai pembantu rumah tangga hingga pemuas kebutuhan seksual tuan Eropanya. Praktik pergundikan banyak terjadi dalam beberapa tempat yang pada saat itu menjadi pusat-pusat pemerintahan atau perekonomian pemerintah Hindia Belanda. Setiap tempat mempunyai karakteristik yang berbeda, baik itu dalam pengambilan seorang nyai atau perlakuan terhadap nyai. Perlakuan terhadap nyai ini akan berpengaruh terhadap peranan nyai itu sendiri. Tempat-tempat tersebut antara lain dalam dunia masyarakat sipil, di dalam tangsi-tangsi militer, serta di perkebunan-perkebunan swasta. Para nyai biasanya dibiasakan oleh Tuan Eropanya untuk menjalani kehidupan keseharian dalam suasana Eropa. Proses pembaratan memang terjadi dalam kehidupan para nyai ini, nyai-nyai inilah perempuan-perempuan maju di zamannya. Seorang nyai akan mendampingi tuan mereka dalam pergaulan, tidak seperti perempuan-perempuan pribumi yang bersembunyi di balik dinding kamar atau dapur untuk mencuri dengar pembicaraan kaum lelaki dengan tamutamu. Nyai merupakan perempuan-perempuan pertama yang terpenetrasi oleh kebudayaan baru yang dibawa tuan Eropanya. Peranan nyai sebagai mediator budaya Jawa dan Eropa dapat dilihat dalam berbagai bidang kehidupan, antara lain rijsttafel (kebiasaan makan), busana, bahasa, dan gaya hidup. DAFTAR PUSTAKA [1]. Reggie Baay. “De Njai: Haet Concubinaat in Nederlands-Indië”. ab. Siti Hertini Adiwoso. 2010. Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda. Jakarta: Komunitas Bambu. [2]. Bedjo Riyanto. 2000. Iklan dan Surat Kabar dan Perubahan Masyarakat di Jawa Masa Kolonial (1870-1915). Yogyakarta: Tarawang Press. 26
H.C.C. Clockener Brousson, Batavia Awal Abad 20: Gedenschriften van Een Oud Kolonial. Jakarta: Massup, 2007, hlm. 26.
[3]. Brousson, Clockener. 2007. Batavia Awal Abad 20: Gedenschriften van Een Oud Kolonial. Jakarta: Massup. [4]. Burger, D.H. 1962. Sejarah Ekonomis Sosiologis Indonesia Djilid 1. Jakarta: Negara Pradnjaparamita. [5].Djoko Soekiman. 2011. Kebudayaan Indis: Dari Zaman Kompeni sampai Revolusi. Jakarta: Komunitas Bambu. [6].Fadly Rahman. 2011. Rijsttafel: Budaya Kuliner di Indonesia Masa Kolonial 1870-1942. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. [7].Hayu Adi Darmarastri. “Keberadaan Nyai di Batavia 1870-1928”. Lembaran Sejarah Vol. 4 No. 2. 2002. [8]. Tineke Hellwig. “Adjustment and Discontent”. ab. Mien Joebhaor. 2007. Citra Kaum Perempuan di Hindia Belanda. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. [9].Helius Sjamsuddin dan Ismaun. 1996. Pengantar Ilmu Sejarah. Jakarta: Depdikbud. [10]. Petrik Matanasi. 2011. Sejarah Militer: Munculnya Bibit-bibit Militer di Indonesia Masa Hindia Belanda sampai Awal Kemerdekaan Indonesia. Yogyakarta: Penerbit Narasi. [11].Sartono Kartodirdjo. 1999. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional dari Kolonialisme Sampai Nasionalisme Jilid 2. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. [12]. Staatsblad van Nederlandsch-Indië No. 158 Tahun 1898
Penguji Utama
Yogyakarta, Menyetujui, Pembimbing
Agustus 2014
Dr. Dyah Kumalasari, M.Pd. NIP. 19770618 200312 2 001
Terry Irenewaty, M.Hum NIP. 19560428 198203 2 003