1 BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Metode Penelitian Berangkat dari rumusan masalah, tujuan dan subyek penelitian serta karakteristik data yang akan ditelitinya, serta memperhatikan pula rumusan hasil akhir yang diharapkan dari penelitian ini, yakni studi evaluasi kinerja Implementasi Kebijakan Wajar Dikdas 9 tahun bagi anak dari keluarga miskin, maka tanpa mengabaikan arti pentingnya penyajian angka-angka yang bersifat statistis, pendekatan yang dianggap tepat untuk melakukan penelitian ini adalah dengan menggunakan metode penelitian kualitatif, sebuah metode yang pas digunakan untuk mengkaji permasalahan sekaligus memperoleh makna yang lebih dalam tentang banyak fenomena sosial berkait dengan implementasi kebijakan penyelenggaraan Wajar Dikdas dalam rangka membantu anak dari keluarga miskin. Pilihan untuk menentukan pendekatan atau metode kualitatif dalam penelitian ini bukan tanpa alasan. Pertama, dalam penelitian ini peneliti bermaksud untuk mengembangkan konsep pemikiran, pemahaman dari pola yang terkandung dalam implementasi kebijakan Wajar Dikdas 9 tahun dalam rangka meringankan beban anak dari keluarga miskin. Kedua, melalui penelitian ini, peneliti bermaksud untuk menganalisis dan menafsirkan suatu fakta, gejala dan peristiwa yang berkait dengan implementasi kebijakan Wajar Dikdas 9 tahun bagi anak dari keluarga miskin dalam konteks ruang dan waktu yang sangat alami. 100
2 Ketiga, bidang kajian penelitian ini berkenaan dengan proses dan kegiatan manajemen yang melibatkan proses ineraksi antara beberapa stakeholders terkait, bahkan dengan komuniti masyarakat tertentu, masyarakat miskin, yang tentunya memiliki karakter unik karena dikonstruksi oleh latarbelakang kultur yang berbeda dengan komuniti masyarakat lainnya. Oleh karena substansi penelitian ini tidak dirancang untuk menguji hipotesis
keculai
mendeskripsikan
kecenderungan
fenomena–fenomena
simbolik dan merefleksikan fenomena itu apa adanya, maka teknis studi deskriptif menjadi sangat relavan digunakan untuk tujuan penelitian ini. Dalam penelitian ini, study deskripsi digunakan untuk mengidentifikasi sekaligus mengambarkan apa adanya mengenai dua hal pokok yang menjadi sasaran penelitian, yakni deskripsi mengenai rumusan dan implementasi kebijakan Wajar Dikdas 9 tahun bagi anak dari keluarga miskin. Seperti dikemukakan Best (1987 :116) : “A descriptive study describes and interprets wahat is. It is concerned with condition or relationship that exist, opinion that are held, processes that are going on, affects that are evidents, or trend that are developing”.
Singkatnya,
metode
deskriptif
itu
bersifat
menjabarkan,
menguraikan dan menafsirkan kondisi, peristiwa dan proses yang sedang terjadi dalam konteks permasalahan. Penting untuk ditegaskan bahwa metode deskripsi yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah deskripsi kualitatif yang intinya ditujukan untuk mengkaji dan memperoleh makna yang lebih dalam dari setiap gejala yang diteliti berkait dengan implementasi kebijakan Wajar Dikdas 9 tahun bagi anak
3 dari keluarga miskin. Seperti diungkapkan Lincoln dan Guba (1985 : 189) : “....take their meaning as much from their contex as they do from themselves” . Sesuai dengan sasaran dalam penelitian ini, maka studi deskripsi ini akan menitik berakan pada studi kasus terhadap daerah-daerah yang memiliki banyak kantong-kantong kemiskinan, baik yang ada dipedesaan maupun yang ada di perkotaan. Sementara fokus studinya selain akan diarahkan kepada upaya untuk menggali tingkat partisipasi mereka, yakni anak dari keluarga miskin dalam mensuskseskan program Wajar Dikdas, juga akan difokuskan untuk menggali persepsi sekaligus respon terhadap implementasi kebijakan Wajar Dikdas yang sedang gencar dilaksanakan. B. Teknik dan Instrumen Pengumpulan Data Untuk memperoleh data yang diperlukan dalam penelitian ini, dan sesuai pula dengan jenis dan karakteristik data yang dibutuhkannya, akan digunakan beberapa metode yang relavan, yang meliputi eksplorasi, yaitu upaya untuk menelusuri secara cermat berbagai dokumen yang terkait dengan masalah penelitian, wawancara yang bersifat luas dan mandalam (deep interview), dan pengamatan langsung atau observasi, termasuk juga focus group discussion untuk menggali informasi berkat fokus penelitian, yakni implementasi kebijakan Wajar Dikdas 9 tahun bagi anak dari keluarga miskin. Jelasnya, studi dokumentasi digunakan untuk menjaring data di dalam dokumen-dokumen tertulis yang berkaitan dengan substansi penelitian, khususnya dalam rangka menelusuri rumusan kebijakan penyelenggaraan Wajar Dikdas 9 tahun. Sementara wawancara dan observasi akan digunakan peneliti ketika harus membuat deskripsi tentang implementasinya. Adapun penggunaan
4 FGD, disamping akan digunakan untuk menggali pemahaman mendalam tentang sikap dan perilaku anak dari keluarga miskin sebagai penerima dari dampak kebjakan, juga dalam beberapa aspeknya akan digunakan untuk menggali informasi dari para orang tua murid, termasuk tokoh masyarakat dari komunitas masyarakat miskin. Diperolehnya informasi akurat berkenaan dengan masalah-masalah pendidikan yang dihadapi dan dirasakan anak dari keluarga miskin, adalah tujuan inti dari penggunaan FGD. Bukan hanya itu, informasi mengenai harapan sekaligus kebutuhan yang merupakan tuntutan mereka dalam rangka bisa mengakses layanan pendidikan dasar, merupakan tujuan inti lain dari pemakaian metode FGD dimaksud. Penting untuk diungkapkan bahwa dalam penelitian ini, peneliti akan menggunakan manusia sebagai instrumen utama yaitu peneliti sendiri. Seperti diungkapkan Nasution (1992), instrumen manusia dalam penelitian kualitatif dipandang lebih cermat dengan ciri-ciri sebagai berikut : (1) manusia sebagai alat peka dan dapat bereaksi terhadap segala stimulus dari lingkungan yang harus diperkirakannya bermakna atau tidak bermakna bagi peneliti; (2) manusia sebagai alat dapat menyesuaikan diri terhadap semua aspek keadaan dan dapat mengumpulkan aneka ragam data sekaligus; (3) tiap situasi merupakan suatu keseluruhan; (4) suatu situasi yang melibatkan interaksi manusia, tidak dapat dipahami dengan pengetahuan semata-mata; (5) peneliti sebagai instrumen dapat segera menganalisis data yang diperoleh; (6) hanya manusia sebagai instrumen dapat mengambil kesimpulan berdasarkan data yang dikumpulkan pada suatu saat dan segera menggunakannya sebagai balikan untuk memperoleh
5 penegasan, perubahan, perbaikan atau penolakan; dan (7) manusia sebagai instrumen, respon yang aneh, menyimpang justru diberi perhatian. C. Unit Analisis dan Penentuan Informan Kunci Sesuai dengan fokus masalah dan pendekatan yang akan digunakan, yakni pendekatan kualitatif, maka unit analisis dalam penelitian ini adalah meliputi sekelompok orang atau individu, termasuk di dalamnya lembaga, obyek atau kegiatan yang memiliki keterkaitan dengan implementasi Kebijakan akselerasi penuntasan Wajar Dikdas 9 Tahun bagi anak dari keluarga miskin di Kabupaten Cianjur. Sementara sumber data atau informasi dalam penelitian ini ialah pilihan peneliti terhadap aspek apa, peristiwa apa, dan siapa yang dijadikan fokus pada saat dan situasi tertentu berkaitan dengan implementasi kebijakan Wajar Dikdas 9 tahun bagi anak dari keluarga miskin. Karenanya, pemlihan nara sumber (atau sampel dalam istilah penelitian kuantitatif) akan dilakukan terus-menerus sepanjang penelitian, atau akan menggunakan tehnik yang sering disebut dengan snowball sampling technique ( bekembang mengikuti informasi atau data yang diperlukan). Melalui pengunaan tehnik ini, peneliti diharapkan bisa memperoleh informasi yang lebih bervariasi dan memperluas informasi yang diperoleh terdahulu sehingga dapat dipertentangkan dan diminimalisir kesenjangannya. Sesuai dengan fokus dalam penelitian ini,
maka sumber informasi
dalam garis besar penelitian ini akan dibagi dan diarahkan kepada tiga kelompok nara sumber. Pertama, adalah narasumber yang diharapkan bisa menjadi sumber informasi yang dibutuhkan untuk membuat deskripsi mengenai rumusan kebijakan berkait dengan penyelenggaraan Wajar Dikdas 9 tahun,
6 dalam hal ini adalah para pejabat dari Dinas Dikbud, Departemen Agama dan Bappeda Kabupaten Cianjur. Kedua, adalah nara sumber yang diharapkan bisa menjadi sumber informasi berkait dengan implementasi kebijakan Wajar Dikdas 9 tahun, yakni para implementor kebijakan pada lingkup Dinas Pendidikan Kabupaten Canjur serta stakeholders dari lembaga terkait lainnya, termasuk para penyelenggara pendidikan pada satuan pendidikan setingkat sekolah dasar dan SMP/ MTs. Yang terakhir, ketiga, adalah sampel yang diharapkan bisa jadi representasi dari objek yang menjadi sasaran kebijakan, dan yang akan menerima dampak kebijakan, yakni anak usia SD/SLTP dari keluarga miskin. D. Validasi Data Guna memperoleh data yang sahih dan absah, terutama data yang diperoleh melalui wawancawa dan observasi, diperlukan sebuah tehnik pemeriksaan atau uji data untuk membuktikan kesahihan (validtas) dan keandalan (reliabilitas) yang merupakan hal penting dalam sebuah penelitian. Upaya untuk memvalidasi dibutuhkan untuk membuktikan bahwa apa yang diamati oleh peneliti telah sesuai dengan apa yang sesungguhnya ada dan terjadi dalam dunia kenyataan (Nasution, 1988 : 105). Dalam penelitian ilmiah, setidaknya ada dua sisi yang perlu dilakukan dalam proses validasi tersebut; meliputi validasi internal yang berkatan dengan instrumentasi dan validasi external yang berkatan dengan generalisasi. Validasi external dalam penelitian kualitatif merupakan upaya peneliti untuk meyakinkan baha konsep peneliti memiliki kesesuaian dengan konsep yang ada pada persepsi responden. Sementara validasi external diperlukan untuk memastikan
7 bahwa hasil penelitian memiliki kecockan (fittingness) sehingga memungkinkan untuk diaplikasikan oleh peneliti yang lainnya.. Dengan mengacu kepada model yang dikemukakan Lincoln dan Guba sebagaimana dikutip Burhan Bungin (2003:60), dalam penelitian ini akan dilakukan langkah sebagai berikut : 1. Memperpanjang keikutsertaan peneliti dalam proses pengumpulan data di lapangan. Caranya antara lain dilakukan dalam bentuk peningkatan frekuensi pertemuan peneliti dengan responden sebagai sumber informasi, atau peningkatan frekuensi kontak dengan menggunakan berbagai momentum yang relavan dengan masalah penelitian. 2. Melakukan observasi secara terus menerus dan sungguh-sungguh terhadap masalah yang menjadi fokus penelitian, dalam hal ini berkait dengan isu menyoal implementasi kebijakan Wajar Dikdas bagi anak dari keluarga miskin. Langkah ini sangat diniscayakan agar si peneliti betul-betul bisa memperoleh sekaligus membedakan antara informasi yang bermakna dan kurang atau bahkan tidak bermakna berkait dengan maslah yang diteliti. 3. Melakukan trigulasi, yakni teknik pemeriksaan keabsahan data yang diperoleh dari satu sumber dan membandingkannya kepada sumber yang lainnya dalam waktu yang berbeda, atau membandingkan data yang diperoleh dari satu sumber dengan menggunakan metode yang berbeda. 4. Melibatkan teman sejawat yang tidak terlibat dalam penelitian untuk memberikan masukan, kritik atau tanggapan terhadap hasil penelitian (peer debriefing). Teknik yang juga sering disebut dengan peer examination ini akan dilakukan sejak proses awal penelitian sampai penyusunan laporannya
8 untuk menyempurnakan keterbatasan peneliti dalam mengkaji dan menganalisis hasil penelitian. 5. Mengupayakan referensi yang cukup untuk meningkatkan keabsahan informasi yang diperlukan dengan memperbanyak dukungan bahan referensi seperti buku, media cetak maupun elektronik, journal, makalah, artikel yang berkait dengan impelemtasi kebijakan Wajar Dikdas 9 tahun dalam rangka merngankan beban anak dari keluarga miskin. 6. Melakukan pemeriksaan ulang atau sering disebut dengan “memberchek pada setiap kali selesai melakukan wawancara untuk meyakinkan bahwa informasi yang diperoleh peneliti mengenai segala masalah berkait dengan implementasi kebijakan Wajar Dikdas bagi anak dari keluarga miskin telah sesuai dengan yang dimaksud responden. E. Analisis dan Penafsiran Data Setelah data seluruhnya terkumpul dan dipandang wajar, selanjutnya dilakukan persiapan analisis yang menurut Moleong (1990 : 198) sulit dipisahkan dari proses penafsiran data. Menurutnya, analsis data dimulai sejak dilapangan
karena sejak saat itu sudah ada proses penghalusan data,
penyusunan kategori, dan ada upaya dalam rangka penysusunan hypothesa, yaitu teorinya itu sendiri. Jadi, proses analisis data selalu terjalin secara terpadu dengan penafsiran data. Bogdan dan Biklen (1982) mengemukakan beberapa saran penting dalam melakukan analisis data dalam penelitian kualitatif, antara lain : (1) force yourself to make decissions that narrow the study, (2) force yourself to make decissions concerning the type of study you wan to accomplish, (3) develop
9 analytic question, (4) plan data collection sessions in light of what you find in previous observation, (5) write many “observer’s comments” about ideas you generate, write memos to yourself about you are learning”. Sejalan dengan pendapat di atas, Nasution (1988 : 126) mengemukakan bahwa analisis data kualitatif
adalah proses proses menyusun data
(mengolongkan ke dalam tema dan kategori) agar dapat ditafsirkan atau diinterpretasikan. Dengan demikian, dalam proses analisis data kualitatif ini sangat diperlukan daya kreatif dari penelti untuk mengolah data hasil peneltiannya sehingga memiliki makna. Berangkat dari pemahaman itu, maka proses analisis data dalam penelitian ini akan mengacu pada model analisis data yang dikemukakan oleh Miles dan Huberman (1994: 429), dikutip Burhan Bangin (2003), yang menyajikan sebuah model siklus analisis data seperti bisa dilihat dalam gambar di bawah ini
Penyajian Data
Pengumpulan Data
Reduksi Data
Gambar 3.1 Proses analisis data
Simpulan : Verifikasi
10 Model siklus analisis data seperti dikemukakan di atas menjelaskan bahwa proses analisis data dalam penelitian ini senantiasa berlangsung bersamaan dengan proses pengumpulan data. Jelasnya, setelah data terkumpul (data collection), penulis mengadakan reduksi data (data reduction) dengan jalan merangkum laporan lapangan, mencatat hal-hal pokok yang relevan dengan fokus penelitian. Langkah berikutnya adalah menyusun secara sistematik temuan hasil penelitian berdasarkan kategori dan klasifikasi tertentu yang diikuti oleh pembuatan display data (data display) dalam bentuk tabel ataupun gambar sehingga hubungan antara data yang satu dengan yang lainnya menjadi jelas dan utuh (tidak terlepas-lepas). Proses
berikutnya adalah
melaukan cross site
analysis dengan cara membandingkan dan menganalisis data secara mendalam. Terakhir adalah menyajikan temuan, menarik kesimpulan (conclussion) dalam bentuk kecenderungan umum dan implikasi penerapannya, dan rekomendasi bagi pengambangan. Melalui upaya-upaya itu diharapkan akan membantu peneliti untuk mempertajam perumusan masalah penelitian, menyusun kerangka teoritik, membina komunikasi dengan informan, mengumpulkan data, menganalisis data, dan menyusun laporan penelitian. Lebih dari itu, tingkat akurasi dan kredibilitas penelitian sudah memenuhi prosedur dan persyaratan ilmiah sebagai suatu penelitian.
11 F. Prosedur Penelitian
Sesuai dengan masalah dan tujuan penelitian, yaitu mendiskripsikan rumusan kebijakan dan implementasinya, maka penelitian ini akan dilaksanakan melalui prosedur sebagai berikut : 1. Persiapan (Pra-lapangan) Dalam tahap paling awal ini, ada tiga langkah pokok yang dilakukan, yaitu : a. Melakukan studi penjajagan untuk menentukan arah dan fokus penelitian. b. Melakukan studi kepustakaan atau dokumentasi untuk menemukan acuan dasar sekaligus mempertajam arah penelitian. c. Menyusun rancangan atau desain penelitian sebagai pedoman pelaksanaan penelitian 2. Orientasi. a. Melakukan pembicaraan pendahuluan dengan Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan dan Kantor Departemen Agama Kabupaten Cianjur untuk menjelaskan sekaligus meminta informasi yang relavan berkait dengan rencana penelitian yang akan difokuskan kepada “Implementasi Kebijakan Wajar Dikdas 9 Tahun dalam rangka membantu anak dari keluarga miskin. b. Menghimpun data awal melalui studi dokumentasi dan wawancara dengan Kepala Sub Dinas (Subdin) Perencanaan, Subdin Pendidikan Dasar, dan Subdin Pendidikan Luar Sekolah pada Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Cianjur. Hal serupa juga dilakukan dengan Kepala Seksi terkait di Departemen Agama, Kepala Bappeda dan Kepala Bidang (Kabid) Sosial
12 Budaya pada Bappeda Kabupaten Cianjur, disamping lembaga terkait lainnya sesuai dengan sasaran penelitian. c. Menganalisis temuan data awal untuk mempertajam arah dan fokus penelitian sekaligus fokus wilayah yang akan diteliti dikaitkan dengan sasaran penelitian. 3. Pelaksanaan Penelitian Lapangan a. Melakukan pengumpulan data dan penggalian informasi melalui studi dokumentasi, wawancara, observasi, fokus group discussion (FGD), dan penulusuran terhadap subyek-subyek penelitian yang dipandang perlu dan ditentukan secara snowball dengan memperhatikan saran-saran dari informan tedahulu b. Menginterpretasikan, menganalisis dan memprediksi data dan informasi yang telah berhasil dikumpulkan dan digali c. Sementara penelitian dan penulisan laporan ini berlangsung, peneliti selalu berupaya untuk selalu melengkapi dan memperbaharui data, serta melakukan trianggulasi atau memberchek hingga akhir penelitian di lapangan 4. Penyusunan Laporan .Kegiatan akhir dari penelitian ini berupa penyusunan laporan penelitian secara lengkap ke dalam bentuk disertasi yang berjudul “Efektivitas Implementasi Kebijakan Wajar Dikdas 9 tahun bagi anak dari keluarga miskin” (Studi Evaluasi Kinerja Kebijakan di Kabupaten Cianjur, termasuk di dalamnya adalah rumusan rekomendasi dalam bentuk pengembangan model (hipotetik) penyelenggaraan Wajar Dikdas 9 tahun sebagai bentuk penyempurnaan atau perbaikannya.
13 Secara
keseluruhan,
proses
pelaksanaan
penelitian
sebagaimana
diuraikan diatas bisa dilihat dalam chrat di bawah ini yang mengambarkan tahapan-tahapan penelitian, mulai dari tahap persiapan yang diawali dari kegiatan orientasi dan perencanaan penelitian, persiapan lapangan, dan pelaksanaan penelitian itu sendiri sampai kepada analisis hasil penelitian serta perumusan rekomendasi, termasuk pengajuan model hipotetik penyelenggaraan Wajar Dikdas 9 tahun yang didasarkan hasil kajian empirik dan teoretik dengan menggunakan sumber-sumber yang relavan.
1. ORIENTASI DAN PERENCANAAN PENELITIAN 1. LAPANGAN / PRA LAPANGAN 2.PERSIAPAN
3. PELAKSANAAN PENELITIAN LAPANGAN 4. PENGAMBILAN DATA RUMUSAN KEBIJAKAN DAN PROGRAM (DATA DOKUMENTER)
5.PENGAMBILAN DATA IMPLEMENTASI KEBIJAKAN DAN PROGRAM (DOKUMENTER DAN LAPANGAN) 6.PENGAMBILAN DATA TTG MASALAH PENDIDIKAN BAGI ANAK DARI KELUARGA MISKIN YANG MENJADI SASARAN KEBIJAKAN (DATA LAPANGAN)
TEORI DAN HASIL PENELITIAN
KAJIAN TEORETIK HASIL ANALISIS 1 HASIL ANALISIS 2 KAJIAN TEORETIK DAN EMPIRIK HASIL ANALISIS 3
KAJIAN EMPIRIK HASIL ANALISIS 1,2 DAN 3 KAJIAN TEORETIK
REKOMENDASI PENGEMBANGAN MDEL WAJAR DIKDAS 9 TAHUN BAGI ANAK DARI KELUARGA MISKIN
Gambar 3:2. Bagan Prosedur Penelitian
14 BAB IV DESKRIPSI HASIL PENELITIAN Berikut ini adalah uraian mengenai dua hal penting yang akan menjawab tujuan penelitian ini. Yang pertama, adalah deskripsi mengenai rumusan serta bentuk-bentuk program implementasi kebijakan Wajar Dikdas 9 tahun yang telah dan sedang dilaksanakan di Kabupaten Cianjur dalam kaitannya dengan upaya untuk membantu meringankan beban anak dari keluarga miskin. Termasuk dalam bagian ini adalah uraian mengenai kondisi umum kabupaten Cianjur dilihat dari aspek geografis, demografis dan struktur pemerintahan serta kondisi sosial ekonomi dan budaya penduduknya. Informasi yang terakhir itu penting untuk diangkat guna memberikan pemahaman yang lebih utuh tentang lingkungan kebijakan yang melatarbelakangi sekaligus akan mempengaruhi rumusan kebijakan yang akan dilaksanakan. Yang kedua, adalah deskripsi mengenai hasil atau kinerja kebijakan dalam bentuk kecenderungan pencapaian tingkat partisipasi anak usia 7-15 tahun dalam mengkases pendidikan dasar 9 tahun. Lebih jauh lagi, dalam sub bab ini juga akan diangkat sejumlah potret kasus anak dari keluarga miskin yang sampai saat ini belum tersentuh dengan kebijakan Wajar Dikdas 9 tahun, diangkat dari hasil penelitian terhadap sejumlah kasus anak yang pada saat dilakukan penelitian sedang tidak berada di sekolah, baik karena alasan tidak melanjutkan ataupun karena putus di tengah jalan alias dropout. Alasan tentang mengapa masih banyak anak usia 7-15 tahun dari keluarga miskin belum atau tidak bisa mengikuti pendidikan dasar 9 tahun alias belum tersentuh dengan kebijakan yang dilaksanakan pemerintah, adalah fokus dari uraian di atas. 113
15 Informasi tersebut juga menjadi sangat penting dan relevan dalam penelitian ini untuk menilai sampai sejauh mana tingkat efektivitas pelaksanaan kebijakan Wajar Dikdas 9 tahun yang digencarkan pemerintah selama ini dalam rangka membantu meringankan beban pendidikan bagi anak dari keluarga miskin. Bahkan dari informasi itulah pula, salah satunya, pengembangan model peningkatan partisipasi masyarakat dalam rangka akselerasi penuntasan Wajar Dikdas 9 Tahun bagi anak dari keluarga miskin yang sekaligus merupakan rekomendasi hasil penelitian ini akan dirumuskan.
A. Gambaran Umum Kabupaten Cianjur Secara geografis, Cianjur yang merupakan salah satu kabupaten di provinsi Jawa Barat ini memiliki letak yang cukup strategis karena posisinya yang berada di tengah Propinsi Jawa Barat dengan jarak sekitar 65 Km dari Ibu Kota Provinsi (Bandung) dan 120 Km dari Ibu Kota Negara (Jakarta). Karena letaknya yang strategis itulah, Kabupaten Cianjur dengan jumlah penduduknya yang telah mencapai angka 2 juta jiwa lebih ini tidak saja merupakan bagian dari wilayah administrasi Provinsi Jawa Barat, melainkan dalam banyak aspeknya juga juga sangat diperhitungkan sebagai daerah penyangga yang diharapkan bisa mendukung pembangunan kawasan yang dikenal dengan sebutan Botabekjur (Bogor, Tanggerang, Bekasi dan Cianjur). Masih secara geografis, kabupaten yang memiliki luas sebanyak 350.148 hektar dan merupakan daerah terluas kedua di Jawa Barat setelah kabupaten Sukabumi ini dibatasi oleh Kabupaten Bogor dan Purwakarta di sebelah Utara, Kabupaten Sukabumi disebelah Barat, Samudera Indonesia
16 disebelah Selatan, dan Kabupaten Bandung dan Garut disebelah Timur sebagaimana tergambar dalam peta wilayah berikut ini :
Gambar 4.1 : Peta Kabupaten Cianjur
Masih secara geografis, Kabupaten Cianjur terbagi dalam 3 bagian wilayah pembangunan, yakni Cianjur Bagian Utara, Cianjur Bagian Tengah, dan Cianjur Bagian Selatan. Pembagian wilayah pembangunan dengan berbagai karakteristiknya ini penting untuk diangkat di sini karena dalam beberapa aspeknya, langsung ataupun tidak langsung, akan ikut mempengaruhi penyelenggaraan pembangunan di bidang pendidikan.
17 1. Cianjur Bagian Utara Merupakan dataran tinggi terletak di kaki Gunung Gede yang sebagian besar merupakan daerah dataran tinggi pegunungan dan sebagian lagi merupakan areal perkebunan dan persawahan, dengan ketinggian sekitar 2.962 m di atas permukaan laut. Termasuk dalam wilayah ini adalah daerah Puncak dengan ketinggian sekitar
1.450 m, Wilayah perkotaan Cipanas (Kecamatan
Pacet dan Sukaresmi) dengan ketinggian sekitar 1.110 m, serta Kota Cianjur dengan ketinggian sekitar 450 m di atas permukaan laut. Sebagian daerah ini merupakan dataran tinggi pegunungan dan sebagian lagi merupakan perkebunan dan persawahan. Di bagian barat berbatasan dengan Kabupaten Bogor terdapat Gunung Salak yang merupakan gunung api termuda dan sebagian besar permukaannya ditutupi bahan vulkanik. Kecamatan yang termasuk wilayah Utara dan relatif memiliki infra struktur dan sarana pendidikan yang memadai ini adalah Kecamatan Cibeber, Bojongpicung, Ciranjang, Karangtengah, Cianjur, Warungkondang, Cugenang, Pacet, Mande, Cikalongkulon, Sukaluyu, Cilaku, Sukaresmi, Gekbrong dan Cipanas. 2. Cianjur Bagian Tengah Merupakan daerah perbukitan, tetapi juga terdapat dataran rendah berupa persawahan, perkebunan yang dikelilingi oleh bukit-bukit kecil yang tersebar dengan keadaan struktur tanahnya yang labil sehingga sering terjadi tanah longsor, dataran lainnya terdiri dan areal perkebunan dan persawahan. Kecamatan Wilayah Tengah yang sarana pendidikannya relatif lebih baik ini
18 terdiri dari Kecamatan
Tanggeung
Pagelaran, Kadupandak, Takokak,
Sukanagara, Campaka dan Campaka Mulya. 3. Cianjur Bagian Selatan Merupakan dataran rendah yang terdiri dari bukit bukit kecil diselingi oleh pegunungan yang melebar ke Samudra Indonesia, di antara bukit-bukit dan pegunungan tersebut terdapat pula persawahan dan ladang huma. Dataran terendah di selatan Cianjur mempunyai ketinggian
sekitar 7 m di atas
permukaan laut. Seperti halnya daerah Cianjur bagian Tengah, bagian Cianjur Selatan pun tanahnya labil dan sering terjadi longsor. Di wilayah pembangunan ini terdapat juga areal perkebunan dan pesawahan tetapi tidak begitu luas. Kecamatan yang termasuk wilayah pembangunan ini adalah Agrabinta, Leles, Sindangbarang, Cidaun, Naringgul, Cibinong, Cikadu dan Cijati. Di kecamatan-kecamatan yang termasuk wilayah pembangunan inilah pula banyak desa yang karena keterisolasiannya tidak memiliki sarana pendidikan yang memadai. Masalah jarak antara tempat tinggal anak dengan lokasi sekolah, adalah merupakan persoalan berat tersendiri yang sering dihadapi anak diwilayah Cianjur selatan ini. Bahkan kondisinya menjadi tambah parah ketika sarana jalan dan transformasinya pun sering jauh dari keadaan yang memadai. Secara demografis, kabupaten Cianjur yang memiliki luas sebanyak 3.501,46 km2 dan secara administratif dibagi ke dalam 30 kecamatan, 340 desa dan 6 kelurahan ini memiliki jumlah penduduk yang cukup besar, yakni sekitar 2.125.023 jiwa (BPS, 2006). Rincian menurut pembagian jenis seksnya, 1.100.412 jiwa merupakan penduduk laki-laki, dan 1.024.611 jiwa merupakan penduduk perempuan. Dengan demikian, sex ratio penduduk kabupaten yang
19 memiliki potensi pertanian ini jatuh pada angka 107,40. Arti demografisnya, jumlah penduduk laki-laki di kabupaten yang banyak mengirim tenaga kerja perempuan (TKI) ke luar negeri ini lebih besar dibanding jumlah penduduk perempuan. Persisnya, 100 penduduk perempuan berbanding 107 penduduk laki-laki. Karakteristik demografis ini sengaja diangkat di sini karena ada kecenderungan bahwa keutuhan sebuah keluarga akan sangat mempengaruhi dan menentukan kelangsungan pendidikan anak-anaknya. Dibanding dengan luas daerahnya, maka tingkat kepadatan penduduk (densitas) kabupaten ini sudah mencapai angka 598,14 jiwa / km2 dengan sebaran penduduk yang relatif kurang merata sehingga dalam beberapa aspeknya
kurang
menguntungkan,
termasuk
jika
dikaitkan
dengan
penyelenggaraan pembangunan dibidang pendidikan Menurut persebarannya, kepadatan penduduk di kecamatan-kecamatan yang berlokasi di wilayah Cianjur utara jauh lebih tinggi dibanding kecamatan yang berada di wilayah Cianjur tengah dan Cianjur bagian selatan. Hal ini terjadi karena sangat berkaitan erat dengan faktor daya tarik daerah, terutama dengan faktor ekonomi dan kondisi sarana atau infrastruktur yang tersedia, termasuk tentunya sarana pendidikan. Umumnya di wilayah pembangunan ini, masalah jarak dan ketersediaan sarana pendidikan, termasuk tenaga pendidikan relatif lebih memadai dibanding daerah yang ada diwilayah pembangunan yang lainnya. Sebaliknya, karena keterbatasan dalam beberapa faktor strategis itulah pula, terutama infra struktur seperti jalan, maka kepadatan penduduk di wilayah Cianjur selatan relatif masih cukup rendah. Di daearah-daerah yang termasuk
20 wilayah pembangunan inilah pula, masalah transportasi dan ketersediaan sarana pendidikan, termasuk tenaga pendidikan sering menjadi masalah. Itulah pula beberapa faktor yang selama ini sering hadir menjadi salah satu penghambat dalam pelaksanaan Wajar Dikdas 9 tahun. Beberapa kecamatan yang memiliki tingkat kepadatan penduduk tinggi adalah kecamatan Cianjur dengan kepadatan sebesar 6.275,98 jiwa/km2, disusul kecamatan Karangtengah (3.073,68/km2), kecamatan Ciranjang (2.276,98/km2), kecamatan Cipanas (1.834,47 jiwa/km2), kecamatan Pacet (1.496,18 jiwa/km2, kecamatan Sukaluyu (1.546,98 jiwa/km2, dan kecamatan Cugenang sebesar 1.424,14 jiwa/km2. Sementara kecamatan dengan tingkat kepadatannya yang relatif rendah adalah kecamatan Naringgul sebesar 180,75 jiwa/km2 disusul kecamatan Agrabinta sebanyak 184,80 jiwa/km2. Dilihat dari aspek pertumbuhannya, Susenas 2005 mengungkap bahwa laju pertumbuhan penduduk (LPP) di kabupaten Cianjur ini mencatat angka 1,86 persen pertahun, atau naik dari posisi hasil Sensus penduduk tahun 2000 sebesar 1,57 persen. Ini semua menunjukan bahwa tren kependudukan di kabupaten ini masih menjadi ancaman karena akan besar pengaruhnya terhadap kelancaran pembangunan hampir seluruh sektor pembangunan, termasuk pembangunan di sektor pendidikan. Logika demografisnya, semakin tinggi laju pertumbuhan penduduk, maka akan semakin tinggi pula pertambahan jumlah absolutnya, termasuk pertambahan penduduk usia sekolah yang menjadi sasaran Wajar Dikdas 9 Tahun. Dari sumber data yang ada juga terungkap bahwa tingginya laju pertumbuhan penduduk tersebut tidak semata diakibatkan oleh faktor migrasi,
21 melainkan
justeru
oleh
faktor
fertilitas
yang
trennya
masih
cukup
mengkhawatirkan. Masih menurut sumber BPS yang diambil dari hasil Suseda tahun 2005, angka kelahiran total (Total Fertility Rate-TFR) untuk kabupaten Cianjur selama ini masih bertengger pada angka 2.45 anak. Artinya, setiap wanita usia subur di Kabupaten Cianjur saat ini masih berpotensi memiliki anak antara 2-3 orang, tentu dengan segala implikasi demografisnya terhadap struktur penduduk Kabupaten Cianjur. Bandingkan dengan angka kelahiran atau TFR Jawa Barat yang posisinya sudah mendekati angka 2.3. Itulah pula fakta demografis yang akan menghambat upaya akselerasi pencapaian Wajar Dikdas 9 tahun. Di sini berlakuk kaidah demografis sebagai berikut : semakin tinggi angka kelahiran, maka akan semakin muda struktur umur penduduknya, dan pada gilirannya akan semakin besar pula peningkatan penduduk usia sekolahnya, termasuk struktur umur dalam kelompok usia 7-15 tahun yang menjadi sasaran Wajar Dikdas 9 tahun. Di bawah ini adalah
tren peningkatan jumlah penduduk usia 7-15
tahun, penduduk usia SD/SLTP di kabupaten Cianjur, diambil dari sumber hasil Pendataan Keluarga yang setiap tahun dilakukan oleh Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Kabupaten Cianjur :
22 Tabel 4:2. Tren Peningkatan Jumlah Penduduk Usia 7-15 Tahun TAHUN
JUMLAH PENDUDUK
PENDUDUK USIA 7-15 TAHUN
% DARI TOTAL PENDUDUK
2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
1.877.650 1.932.204 2.009.785 2.035.122 2.070.123 2.094.365 2.122.756
357.400 372.666 376.152 388.773 393.365 398.365 402.918
19,03 19,29 18,82 18,56 19,00 19,03 18,98
Sumber : Hasil Pendataan Keluarga BKKBN Dari tabel di atas terungkap bahwa dalam periode enam tahun sejak tahun 2001 sampai dengan 2007, telah terjadi peningkatan jumlah penduduk usia 7-15 tahun dari 357.400 jiwa pada tahun 2001 menjadi 402.918 jiwa pada akhir tahun 2007, atau bertambah sebanyak 52.504 jiwa, atau sekitar 7.586 anak untuk tambahan setiap tahunnya. Dalam pandangan peneliti, itulah salah satu tantangan berat pelaksanaan Wajar Dikdas dilihat dari aspek kependudukan. Disebut tantangan berat karena dengan itu berarti bahwa setiap tahunnya diperlukan tambahan sarana dan prasarana pendidikan dasar untuk bisa menampung sekaligus menjamin akses tidak kurang dari 7.000 tambahan sasaran anak usia SD/SLTP, disamping menjamin kelangsungan pendidikan dasar bagi anak yang telah ada. Bayangkan, jika setiap tambahan 40 orang siswa saja membutuhkan tambahan satu ruang kelas baru (RKB), maka di Kabupaten Cianjur ini setiap tahunnya dibutuhkan tidak kurang dari 190 ruang kelas baru (RKB). Itu belum termasuk tambahan yang dibutuhkan untuk penyediaan tenaga guru dan prasarana pendidikan yang lainnya.
23 Itulah fenomena demografis yang dalam pandangan peneliti sangat tidak menguntungkan anak dari keluarga miskin. Alasannya, semakin terbatas sarana pendidikan yang tersedia, maka akan semakin kecil kesempatan yang dimiliki anak dari keluarga miskin untuk bisa menikmatinya. Dan di situlah pula letak strategisnya upaya pengendalian kelahiran melalui intensifikasi program Keluarga Berencana (KB) dalam menunjang sukses Wajar Dikdas 9 Tahun. Sesuai dengan potensi yang dimilikinya, maka sektor pertanian menjadi mata pencaharian pokok penduduk kabupaten Cianjur, yakni mencapai angka 59,18 persen, disusul sektor jasa sebesar 7,20 persen, sektor transportasi dan kominikasi sebesar 7,17 persen, sektor perdagangan 6,03 persen, sektor industri 5,0 persen, dan sektor keuangan sebesar 0,61 persen. Itulah pula gambaran mengenai potensi ekonomi kabupaten Cianjur yang dalam banyak aspeknya akan berpengaruh dalam melihat potensi pembangunan di kabupaten ini, termasuk potensi pembangunan di bidang pendidikan. Namun perlu dicatat, meskipun mayoritas penduduknya banyak berkiprah pada sektor pertanian, namun dilihat menurut kepemilikan lahan dan statusnya
ternyata
menunjukan
kondisi
yang
tidak
menggembirakan.
Berdasarkan hasil sensus pertanian tahun 2003, sebesar 14,54 persen dari rumah tangga yang bergerak dibidang pertanian adalah merupakan rumah tangga penggarap lahan pertanian yang dimiliki orang lain, dan hanya 4,07 persen rumah tangga yang mengolah tanah sendiri. Bahkan menurut sumber data dari Bappeda, sebagaian besar dari mereka yang mengolah tanah sendiri, sebanyak 76,69 persen, hanya memiliki lahan pertanian kurang dari 0,5 hektar, dan hanya 23,31 persen petani yang memiliki
24 lahan di atas 0,5 hektar. Tidak mengherankan kalau tingkat kesejahteraan petani di kabupaten Cianjur ini relatif sulit ditingkatkan karena sebagain besar diantara mereka itu statusnya justeru hanya sebagai buruh tani. Itulah pula fakta yang ada di balik besarnya angka kemiskinan di Kabupaten Cianjur ini. Bahkan dalam pandangan peneliti, itulah pula salah satu kendala utama dalam mensuskseskan implementasi pelaksanaan Wajar Dikdas 9 tahun di Kabupaten berbasis pertanian ini. Berkait dengan itu, masalah partisipasi angkatan kerja yang berdampak terhadap angka pengangguran, merupakan persoalan pelik tersendiri yang dihadapi kabupaten Cianjur. Sebagai gambaran, dari jumlah angkatan kerja yang ada pada tahun 2004, hanya 55,57 persen mereka yang bekerja. Bahkan kondisi ini turun dari tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) tahun 2000 sebesar 57,37 persen, bahkan jauh lebih rendah lagi jika dibanding dengan partisipasi angkatan kerja tahun 1995 yang sudah mencapai angka 59,31 persen. Tidak mengherankan jika laju pertumbuhan ekonomi kabupaten Cianjur pada tahun 2006 ini masih berkutat pada angka 3,82 persen, sebuah angka yang menurut kajian Bappeda masih sangat tidak memadai. Disebut tidak memadai, karena dengan LPE sebesar itu diperkirakan hanya mampu menyerap tenaga kerja sebanyak sekitar 600.000 orang. Bahkan masih menurut hasil kajian Bappeda, dengan LPE yang tidak memadai itu kini diperkirakan bakal ada penganggur sebanyak sekitar 210.000 orang. Itulah pula faktor
yang selama ini banyak menyebabkan tingginya
kemiskinan. Sebagai gambaran, sumber BPS Kabupaten Cianjur mengungkap bahwa jumlah penduduk kurang beruntung alias miskin di kabupaten yang
25 memiliki basis pertanian dan pariwisata ini masih mencapai angka 651.329 jiwa, atau mencapai 30,6 persen dari total jumlah penduduk kabupaten Cainjur (BPS Cianjur, 2006). Di bawah ini adalah daftar jumlah penduduk miskin menurut sumber paling akhir, tahun 2006, yang dikeluarkan Kantor Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Cianjur.
Tabel 4.2 Jumlah Penduduk Miskin Kabupaten Cianjur Menurut Kecamatan No
Kecamatan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
Agrabinta Leles Sindangbarang Cidaun Naringgul Cibinong Cikadu Tanggeung Kadupandak Cijati Takokak Sukanagara Pagelaran Campaka Campakamulya Cibeber Warungkondang Gekbrong Cilaku Sukaluyu Bojongpicung Ciranjang Mande Karangtengah Cianjur Cugenang Pacet Cipanas Sukaresmi Cikalongkulon Jumlah
Sumber : BPS Cianjur 2006
Jumlah Total Penduduk 38.158 34.600 50.221 63.323 45.436 59.251 36.212 64.430 49.119 32.539 50.661 47.311 86.458 62.650 24.318 117.651 64.701 47.430 90.866 69.004 104.886 88.109 64.654 124.855 151.981 94.325 98.422 91.405 78.006 94.040 2.125.023
Jumlah Penduduk Miskin 13.763 10.590 12.589 15.844 13.540 17.854 12.770 20.464 15.854 9.198 13.893 16.515 27.544 .19.707 6.021 38.167 21.655 15.134 26.098 23.107 29.596 34.327 25.729 35.085 44.456 26.256 23.655 21.507 24.710 35.597 651.239
Prosentase 35,94 30,06 25,06 25,02 29,80 30,13 35,26 31,76 32,27 28,26 27,42 34,90 31,85 31,45 24,75 32,44 33,46 31,90 28,72 33,48 28,21 38,95 39,79 28,07 29,25 17,23 24,03 23,52 31,67 37,85 30,6
26 Dari tabel di atas nampak jelas bahwa beberapa kecamatan di Kabupaten Cianjur ternyata masih memiliki jumlah penduduk miskin dengan proporsinya yang mencolok dibanding kecamatan yang lainnya. Lima kecamatan, yaitu Mande, Ciranjang, Cikalongkolon, Agrabinta dan Cikadu, merupakan beberapa kecamatan yang cukup parah karena prosentase jumlah penduduk miskinnya masih berada di atas 35 persen. Itulah pula salah satu tantangan yang akan menjadi penghambat dalam implementasi kebijakan Wajar Dikdas 9 tahun. Dalam pandangan Robert Chambers
sebagaimana
dikutip
Soetrisno
(1997),
misalnya,
karena
kemiskinannya, mereka sering terpaksa tinggal di daerah yang secara geografis terisolasi dari akses berbagai informasi, termasuk akses kepada pendidikan. Karena kemiskinannya, mereka sering tidak berdaya ketrika berhadapan dengan mereka yang tidak miskin. Sebagai bahan perbandingan, di bawah ini adalah potret kemiskinan yang bersumber dari hasil Pendataan keluarga yang setiap tahun dilakukan BKKBN dan
sekaligus
merupakan
gambaran
penduduk
dilihat
dari
tahapan
kesejahteraannya sebagai berikut : Tabel 4.3 Perkembangan Keluarga Pra Sejahtera dan Sejahtera 1 Hasil Pendataan Keluarga BKKBN 2001-2007
2001
JUMLAH KEPALA KELAURGA 504.927
JUMLAH PRA S DAN KS I 255.738
50,65
2002
519.734
270.921
52,13
2003
536.805
271.453
50,57
2004
547.426
269.309
49,20
2005
570.047
283.528
49,74
2006
597.792
261.021
45,02
TAHUN
%
27 Dari tabel di atas nampak bahwa jumlah maupun prosentase keluarga yang masih tergolong Pra Sejahtera (Pra S) dan Keluarga Sejahtera 1 (KS 1) dengan enam indikatornya, termasuk di dalamnya satu indikator pendidikan, dari tahun ke tahun masih menunjukan angka yang cukup memprihatinkan. Itulah pula bukti sekaligus tantangan berat lain dalam pelaksanaan Wajar Dikdas 9 Tahun di kabupaten Cianjur. Disebut tantangan berat, karena salah satu indikator penting sebuah keluarga masuk dalam kategori KS 1 berkait dengan ketidakmampuannya untuk mengakses pendidikan dasar dengan berbagai alasannya. Sebaginnya tidak bisa mengakses sekolah karena berkait dengan persoalan ekonomi keluarga mereka, sebagian yang lainnya berkaut dengan persoalan tempat tinggal yang jauh dari lokasi sekolah, dan sebagian yang lainnya karena persoalan kesadaran atau motivasinya yang kurang, atau memang karena gabungan antara banyak faktor kemiskinan yang memang melekat pada diri mereka. Seperti kata Amartya Sen (1997), dalam kemiskinan ekonomi selalu melekat kemiskinan secara total; miskin pengetahuan, miskin kesehatan dan miskin kesadaran. Di situlah kompleksnya menyoal dan mengatasi masalah kemiskinan Dilihat menurut rincian per kecamatannya, maka potret untuk masingmasing daerah memiliki angka yang satu sama lain berbeda seperti terlihat dalam tabel di berikut ini:
28 Tabel 4.4 Tabel Keluarga Pra Sejahtera (Pra S) dan Keluarga Sejahtera I (KS 1) Menurut kondisi tiap kecamatan tahun 2006 NO
KECAMATAN
JUMLAH KK
PRA S DAN KS I
%
1
SINDANGBARANG
15,330
4,918
32.08
2 3 4
CIDAUN CIBINONG PAGELARAN
19,009 18,548 24,959
6,411 6,110 12,651
33.73 32.94 50.69
5
KADUPANDAK
13,433
5,257
39.13
6
SUKANAGARA
13,313
7,359
55.28
7
CAMPAKA
17,340
7,393
42.64
8
CIBEBER
32,699
12,271
37.53
9
BOJONGPICUNG
29,150
16,324
56.00
10
CIANJUR
37,827
13,749
36.35
17,364
7,426
42.77
25,481
12,868
50.50
11 12
WARUNGKONDANG CUGENANG
13
KARANGTENGAH
32,343
16,536
51.13
14
CIRANJANG
23,320
13,167
56.46
15
MANDE
18,079
9,458
52.31
16
CIKALONGKULON
23,587
13,688
58.03
17
PACET
22,256
7,711
34.65
18
CILAKU
22,913
8,822
38.50
19
SUKALUYU
18,234
7,717
42.32
20
SUKARESMI
19,741
10,365
52.50
21
TAKOKAK
15,371
6,995
45.51
22
TANGGEUNG
18,610
7,476
40.17
23
CAMPAKAMULYA
7,364
3,750
50.92
24
AGRABINTA
11,946
4,074
34.10
25
NARINGGUL
13,096
4,312
32.93
26
CIKADU
10,028
5,166
51.52
27
GEKBRONG
13,169
6,614
50.22
28
CIPANAS
24,104
9,955
41.30
29
CIJATI
9,742
6,072
62.33
30
LELES
11,436
6,406
56.02
KABUPATEN
579,792
261,021
45.02
29 Melihat angka kemiskinan seperti bisa dilihat dalam tabel di atas nampak bahwa betapa masih berat beban pembangunan yang harus dihadapi Kabupaten Cianjur saat ini. Beberapa kecamatan seperti Cijati, Cikalongkulon, Leles dan Ciranjang, merupakan kecamatan yang memiliki beban paling berat karena masih memilki jumlah keluarga Pra Sejahtera dan Sejahtera I di atas 55%, jauh lebih tinggi di atas rata-rata tingkat kabupaten, 40,02%. Sebagai dampaknya, tidak mengherankan jika masalah pendidikan di Kabupaten Cianjur ini masih berada dalam kondisi yang relatif masih cukup memprihatinkan. Salah satu indikatornya, sumber BPS Cianjur (2006) mengungkapkan bahwa 50% lebih penduduk Cianjur hanya mampu menamatkan pendidikan pada jenjang Sekolah Dasar atau MI, dan hanya 1,8% yang mampu menamatkan jenjang pendidikan setingkat D1 atau S1. Bahkan yang sangat memprihatinkan, masih ada sekitar 2,3% penduduk usia 10 tahun ke atas, atau sebanyak 39.820 oang dari sekitar 1.704.488 orang penduduk Cianjur yang diketahui tidak atau belum pernah sekolah. Tidak mengherankan pula jika di Kabupaten Cianjur ini masih ada penduduk yang berstatus butu huruf, yakni sekitar 3,29%. Lengkapnya, berikut ini adalah potret pencapaian pendidikan penduduk Kabupaten Cianjur usia 10 tahun ke atas, dilihat menurut jenjangnya.
30 Tabel 4.5 Penduduk 10 Tahun Ke atas Menurut Status Pendidikan yang ditamatkan dan Jenis Kelamin Pendidikan yang ditamatkan Tidak/Belum
Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan 11.528 28.292
Jumlah
%
39.820
2,33
pernah sekolah Tidak/belum tamat
225.119
225.876
450.995
26,45
SD/MI
467.157
425.830
892.987
52,39
SLTP/MTs
97.342
77.536
174.878
10,26
SLTA/SMK
66.262
48.746
115.008
6,74
D1/S1
18.088
12.712
30.800
1,80
Jumlah
885.496
818.992
1.704.488
100.00
Sumber : BPS Cianjur, Suseda 2006 Bukan hanya itu, dalam bidang kesehatan yang merupakan salah satu faktor penting yang akan menentukan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) ini juga ternyata masih menunjukan angka yang relatif rendah. Sebagai gambaran, data terakhir yang dikeluarkan BPS kabupaten Cianjur mengungkap bahwa angka harapan hidup (life expectancy at birth) yang merupakan indikator penting pencapaian kesehatan di kabupaten Cianjur ini masih bertengger pada angka 66,0 tahun. Sementara rata-rata lama sekolah (rate of year schooling) baru mencapai angka 6,6 tahun. Bahkan jika melihat satu indikator penting yang lainnya, yakni indikator daya beli, posisi kabupaten Cianjur masih sangat memprhatinkan karena masih bertengger pada angka 54,81. Itu didasarkan kepada komponen daya beli masyarakat kabupaten Cianjur yang menurut sumber BPS Cianjur (2006) baru mencapai angka Rp.537.160,- perkapita. Inilah pula yang menjadi penyebab kenapa posisi Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di kabupaten Cianjur
31 sampai dengan tahun 2006 ini baru mencapai angka 67,44 dari target 76 untuk mendukung pencapaian IPM Jawa Barat sebesar 80 pada tahun 2010. Tabel berikut di bawah ini adalah posisi pencapaian IPM kabupaten Cianjur hasil Survey BPS yang diselenggarakan pada tahun 2006, diperinci menurut pencapaian tiga indikator penentunya : Tabel 4.6 : Posisi Pencapaian IPM Kabupeten Cianjur 2006 KOMPONEN
Pendidikan : a. Melek Huruf b. Rata-rata lama sekolah Kesehatan a. Rata-rata Usia Harapan hidup Waktu lahir Ekonomi – Daya beli a. Kemampuan Daya beli Indeks Pembangunan Manusia (IPM)
ANGKA
INDEKS KOMPONEN
96,79
79,19
6,60 66,0
68,33
537.190
54,81
-
67,44
Sumber: BPS Cianjur 2007 Dengan memperhatikan kondisi obyektif permasalahan dan tantangan yang dihadapi kabupaten Cianjur itulah, juga mempertimbangkan nilai-nilai yang ada, maka Kabupaten Cianjur telah menetapkan visi dan misi, termasuk didalamnya strategi pokok sebagai berikut: 1. Visi Inilah harapan masa depan yang ingin diwujudkan oleh pemerintah dan masyarakat kabupaten Cianjur sebagaimana secara eksplisit tercantum dalam visinya sebagai berikut: “Mewujudkan Masyarakat Kabupaten Cianjur yang lebih Cerdas, Sehat, Sejahtera dan Berakhlakul-karimah”. Visi yang pada
32 awalnya merupakan visi calon bupati dan wakil bupati tersebut, saat ini telah disyahkan menjadi visi resmi pemerintah Kabupaten Cianjur. Terkandung makna penting dalam visi untuk mewujudkan masyarakat Cianjur yang lebih cerdas tersebut adalah kesadaran sekaligus komitmen kuat pemerintah akan arti pentingnya pembangunan pendidikan sebagai pilar dasar bagi pelaksanaan pembangunan sektor yang lainnya. Bukan hanya itu, melalui visinya itu juga kabupaten Cianjur memiliki komitmen yang tinggi akan arti pentingnya pendidikan sebagai modal manusia (human capital) yang akan menentukan masa depan masyarakat kabupaten Cianjur dimasa yang akan datang. Melalui visinya itu pula, pemerintah kabupaten Cianjur sadar bahwa upaya untuk mewujudkan masyarakat yang cerdas itu tidak akan banyak memiliki banyak arti jika tidak dibarengan dengan upaya untuk meningkatkan derajat kesehatannya dan tingkat kesejahteraan masyarakatnya. Bahkan dalam perkembangan yang paling kontemporer, konsepsi pembangunan manusia (human development) itu sendiri senantiasa meniscayakan arti pentingnya memadukan dan mensinergikan ketiga sektor pembangunan di atas; pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan. Karenanya, rumusan visi itu menjadi sangat pas dengan upaya untuk meningkatkan indeks pembangunan manusia (IPM) yang sekaligus juga merupakan tekad yang ingin diwujudkan oleh pemerintah provinsi Jawa Barat. Tidak sampai di situ, melalui visinya itu pula pemerintah kabupaten Cianjur sadar bahwa apalah artinya masyarakat yang cerdas, sehat dan sejahtera secara materi jika tidak dibarengi dengan sikap dan perilakunya yang berakhlak
33 mulia. Itu sebabnya, cita-cita untuk mewujudkan masyarakat religious yang ditandai dengan sekap dan perilakunya yang akhlakul-karimah (berakhlak mulia), adalah harapan yang menjadi greget (creative tension) lain yang secara eksplisit tercantum dalam visi kabupaten Cianjur. Dengan visi itu, demikian diungkapkan bupati Cianjur yang sering disampaikan dalam setiap kesempatan, maka setiap gerak dan langkah pembangunan yang akan dilakukan di kabupaten yang terkenal dengan Kota Santri-nya ini diharapkan selalu dilandasi oleh nilai-nilai agama (Islam) yang diyakini bisa mejadi motivasi sekaligus landasan spiritual pelaksanaan pembangunan masyarakat di kabupaten Cianjur.
2. Misi dan Strategi Untuk menjabarkan visi tersebut di atas, maka telah dirumuskan empat misi dengan beberapa strateginya sebagaimana tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kabupaten Cianjur tahun 2006-2011 sebagai berikut:
Misi Pertama; yakni meningkatkan akses masyarakat terhadap pendidikan yang bermutu dengan enam strateginya sebagai berikut: a.
Meningkatkan tarap pendidikan masyarakat Kabupaten Cianjur dengan fokus pada akselerasi penuntasan Wajar Dikdas 9 tahun
b.
Mengembangkan jumlah dan mutu Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM)
c.
Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam bidang pendidikan, baik pendidikan umum maupun agama
34 d.
Meningkatkan kualitas pendidikan formal dan non-formal
e.
Mengalokasikan dana yang relavan untuk meningkatkan sistem manajemen pendidikan
f.
Meningkatkan sarana dan prasarana pendidikan dalam rangka pelayanan pendidikan, mulai dari pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi
Misi Kedua; Meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dengan sembilan strategi pokoknya sebagai berikut : a. Meningkatkan peran Posyandu dan Puskesmas sebagai ujung tombak pembangunan kesehatan masyarakat b. Meningkatkan sarana dan prasarana, mutu dan jumlah Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) c. Meningkatkan kuantitas dan kualitas tenaga medik d. Memberikan pelayanan jaminan kesehatan bagi penduduk miskin e. Meningkatkan kesehatan lingkungan dan Pola Hidup Sehat f.
Meningkatkan kuantitas dan kualitas pelayanan kesehatan dasar
g. Optimalisasi kinerja pelayanan kesehatan h. Pemberdayaan masyarakat melalui penyebarluasan informasi tentang kesehatan i.
Peningkatan partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan program KB dan kesehatan reproduksi Misi Ketiga; Meningkatkan Pembangunan Ekonomi yang berbasis
potensi lokal melalui sepuluh strateginya sebagai berikut :
35 a. Meningkatkan kegiatan usaha koperasi dan pelaku usaha skala mikro, kecil dan menengah b. Menciptakan iklim investasi yang kondusif c. Meningkatkan pembinaan dan pemberdayaan masyarakat petani dan nelayan d. Meningkatkan kesempatan kerja dan perlindungan tenaga kerja e. Meningkatkan pembinaan dan pengelolaan kawasan wisata f.
Meningkatkan penguatan lembaga-lembaga ekonomi pendukung pertanian dan kepariwisataan
g. Memelaksanakan pengendalian pemanfaatan ruang. h. Meningkatkan mutu pelayanan jasa transfortasi daerah i.
Meningkatkan kualitas pelayanan infrastruktur wilayah
j.
Meningkatkan intensifikasi dan ekstensifikasi pendapatan daerah.
Misi Keempat ; Meningkatkan Pembinaan akhlakul – karimah dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara melalui empat strategi pokok sebagai berikut : a. Meningkatkan kegiatan pembinaan kehidupan beragama b. Meningkatkan forum-forum dialogis antar tokoh umat beragama c. Meningkatkan kegiatan pembinaan keagamaan dilingkungan pemerintah daerah dan masyarakat d. Meningkatkan intensitas kemitraan antara legislatif dan eksekutif. Itulah empat misi dengan dua puluh tiga strategi pokoknya yang menjadi arah sekaligus acuan pelaksanaan pembangunan di Kabupaten Cianjur
36 saat ini dan ke depan sebagaimana tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) yang secara formal telah disahkan melalui Peraturan Daerah Nomor 14 Tahun 2006. Berdasarkan visi dan misi itulah pula pelaksanaan pembangunan seluruh sektor, termasuk sektor pendidikan di Kabupaten Cianjur dilakukan. B. Arah Kebijakan Pembangunan Pendidikan Hal penting yang bisa dipetik dari rumusan visi dan misi, termasuk strategi pembangunan sebagaimana telah diangkat sebelumnya adalah, bahwa urusan pembangunan disektor pendidikan, terutama pendidikan dasar 9 tahun, ternyata memiliki posisi sekaligus landasan yang kuat dalam rumusan kebijakan pembangunan di Kabupaten Cianjur. Itulah pula yang kemudian dijadikan arah dan acuan pembangunan pendidikan sebagaimana dijabarkan dalam Rencana Strategis (Renstra) Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Dikbud) Kabupaten Cianjur. Secara garis besar, terdapat empat misi yang sekaligus merupakan arah pelaksanaan pendidikan di kabupaten Cianjur. Sementara visinya itu sendiri sebagaimana dijelaskan Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan setempat, persis sama dengan visi pemerintah Kabupaten Cianjur. Alasannya, adalah kebijakan Wakil Bupati Cianjur yang telah memerintahkan agar seluruh Satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD) yang ada di Kabupaten ini memiliki rumusan visi yang persis sama dengan rumusan visi Pemerintah Daerah. Misi-lah yang membedakan fungsi dan tugas yang mesti diemban oleh masing-masing SKPD. Berkait dengan itu, ada lima misi yang telah dirumuskan sekaligus ditetapkan dalam Renstra Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten
37 Cianjur, yaitu (1) Menuntaskan pelaksanaan Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun, (2) Meningkatkan mutu pendidikan, (3) Memeratakan pelayanan pendidikan,
(4)
Mengembangkan
nilai-nilai
kebudayaan,
dan
(5)
Mengembangkan peran serta kepemudaan dan olah raga. Untuk menjabarkan kelima misi tersebut, berikut ini adalah tujuan, sasaran serta strategi yang sekaligus merupakan arah dan kebijakan penyelenggaraan pendidikan di Kabupaten Cianjur sebagaimana bisa dilihat dalam tabel berkiut ini: Figur 4.7 : Arah Kebijakan Pendidikan Kabupaten Cianjur Cara mencapai Tujuan dan Sasaran / Strategi
Sasaran
Tujuan Uraian
Indikator 3
Kebijakan 4
Program
1
2
1. Menuntaskan pelaksanaan Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun
Tuntasnya pelaksanaan Wajar Dikdas 9 Tahun dengan
Meningkatnya APM ( SD/MI/SLTP) menjadi 98%
Peningkatan pelaksanaan Wajar Dikdas 9 Tahun melalui 1. Sekolah 2. Luar Sekolah
1. Program pendidikan Anak Usia Dini ( PAUD ) 2. Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun 3. Program Pendidikan Menengah 4. Program Pendidikan Non Formal
2. Meningkatka n mutu pendidikan
Meningkatny a mutu pendidikan
Meningkatnya jumlah siswa yang lulus dalam Unas menjadi 100%
Peningkatan mutu tenaga pendidik dan tenaga pendidikan melalui diklat fungsional dan diklat teknis substantif serta pembinaan kepegawaian lainya
5. Program Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga 6. Program Manajemen Peleyanan Pendidikan 7. Program Peningkatan Disiplin 8. Program Peningkatan Sumber Daya Aparatur di bidang Pendidikan 9. Program Pengembangan budaya baca dan pembinaan 10. Program Pengembangan Pemdidikan Keagamaan
3. Memeratakan pelayanan pendidikan
Meratanya pemberian pelayanan pendidikan kepada masyarakat Berkembangn ya nilai-nilai kebudayaan
5. Mengembang kan Pemuda dan Olah Raga
Mengembang kannya peranserta kepemudaan dan olah raga
Terpeliharanya dan berkembangnya nilai-nilai kebudayaan
Terpenuhinya kebutuhan ruang kelas dan sarana pendukung lainnya melalui proyek rehabilitasi dan penbangunan RKB Terpelihara dan berkembangnya nilai-nilai budaya yang telah ada Meningkatnya peranserta kepemudaan dan olah raga
11. Program Peningkatan Sarana dan Prasarana Sumber Daya Aparatur di bidang Pendidikan
4. Mengembang kan nilai kebudayaan
Terpenuhinya sarana/prasaran a serta optimalisasi fungsi sarana/prasaran a tersebut Terpeliharanya nilai-nilai kebudayaan
Sumber : Renstra Dinas Pendidikan Kab. Cianjur
5
12. Program Pengembangan Nilai Budaya 13. Program Pengelolaan Budaya 14. Program Peningkatan Peranserta Kepemudaan 15. Program Kebijakan dan Manajemen Olah Raga 16. Program Peningkatan Sarana dan Prasarana Olah Raga
38 Dari tabel di atas tampak bahwa pada tataran kebijakan, program Penuntasan Wajar Dikdas 9 tahun yang ditandai dengan target pencapaian angka partisipasi murni (APM) sebesar 98 persen pada tahun 2011, merupakan bukti bahwa pemerintah Kabupaten Cianjur memiliki komitmen yang cukup tinggi, paling tidak pada tataran politis-yuridis, dalam mengupayakan pencapaian Wajar Dikdas 9 tahun sebagaimana telah digariskan oleh kebijakan pemerintah pusat dan provinsi Jawa Barat. Bahkan kebijakan penting itu secara langsung didukung pula oleh dua kebijakan lainnya, yakni upaya peningkatan pemerataan dan mutu pendidikan. Melalui kebijakan pertamanya yang ditujukan kepada upaya pemerataan, pelaksanaan kebijakan Wajar Dikdas 9 tahun diharapkan bisa menyentuh seluruh lapisan masyarakat, tidak terkecuali lapisan masyarakat kurang beruntung alias miskin yang selama ini masih banyak meninggalkan sasaran. Melalui kebijakannya yang kedua, peningkatan mutu, pelaksanaan Wajar Dikdas 9 tahun diharapkan bisa dilakukan tidak hanya dalam rangka mengejar kuantitas yang ditandai dengan peningkatan Angka Partisipasi Kasar (APK) atau Angka Partisipasi Murni (APM), melainkan lebih jauh lagi mampu memberikan pengetahuan dan keterampilan dasar bagi setiap warga masyarakat sebagai modal utama untuk bisa mengakses hak-hak hidupnya dalam banyak aspek kehidupan yang semakin mengglobal dan sarat dengan kompetisi ini. C. Target Wajar Dikdas 9 Tahun yang ingin Dicapai Inilah target yang ingin dicapai pemerintah Kabupaten Cianjur khusus dalam rangka percepatan pencapaian Wajar Dikdas 9 tahun yang diukur
39 berdasarkan pencapaian Angka Partisipasi Kasar (APK) dan Angka Partisipasi Murni (APM), dirumuskan berdasarkan kesepakatan dan mempertimbangkan kondisi permasalahan pendidikan yang ada. Tabel 4 .8 : Target Pencapaian APK/ APM Kabupaten Cianjur 2004-2011
Indikator
Kondisi 2004*)
Target 2005 **)
Target 2006
Target 2007
Tahun 2008
APK
76,03
77,49 %
95,40 %
98,50
104%
%
Tahun 2011
Wajar Dikmen
APM
68,99
70,20 %
83,56 %
95,00
98,50
%
%
Sumber : *) Kantor Infokom Kabupaten Cianjur, Potret Pendidikan 2008 **) Untuk angka target, diambil dari Makalah sekaligus arahan Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Cianjur yang disajikan dalam Forum Rakor tahun 2008
Dari tabel di atas nampak bahwa ambisi Kabupaten Cianjur untuk melakukan akselerasi dibidang Wajar Dikdas 9 Tahun cukup kuat. Bayangkan, dari kondisi APK tahun 2004 yang baru mencapai angka 76,03 persen, dalam satu tahun berikutnya, tahun 2005, ditargetkan bisa naik secara spektakuler menjadi 77,79 persen, atau naik sebesar 22,85 point dalam jangka waktu satu tahun. Bandingkan dengan posisi APK tahun 2001 sebesar 49,17 persen, atau hanya mampu meningkatkan APK sebesar 5,47 point persen dalam jangka waktu 4 tahun (2001 – 2005). Demikian halnya dalam pencapaian APM yang ditargetkan naik secara dari posisi 76,03 persen pada tahun 2004 menjadi 77,79 persen pada tahun 2005, atau ditargetkan naik sekitar 1,76 point persen dalam jangka waktu satu tahun.
40 Bandingkan pula dengan posisi APM tahun 2001 yang baru mencapai angka 38,32, atau bisa naik sebesar 37,71 point persen dalam jangka waktu 4 tahun (2001 -2004). Tuntas Wajar Dikdas 9 Tahun, itulah pula target yang ingin dikejar oleh pemerintah Kabupaten Cianjur pada tahun 2008. Bahkan dari tabel diatas pula nampak bahwa pada tahun 2011 nanti, Kabupaten Cianjur punya komitmen yang tinggi untuk mendeklarasikan dimulainya program Wajib belajar pada tingkat menengah (Wajar Dikmen). Dan menurut Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Cianjur, penentuan target tersebut itu sekaligus juga merupakan
bentuk
komitmen
pemerinrtah
Kabupaten
Cianjur
untuk
mewujudkan visinya, yakni mewujudkan masyarakat Cianjur yang lebih cerdas, sehat, sejahtera dan berakhlakul karimah. Bukan hanya itu, penentuan target tersebut juga merupakan keniscayaan jika dikaitkan dengan besarnya target yang mesti dicapai kabupaten Cianjur yang pada tahun 2008 yang ditargetkan bisa meningkatkan rata-rata lama sekolah (rate of years schooling) dari 6,68 tahun pada tahun 2005 menjadi 7,31 tahun pada tahun 2008. Dengan angka itu, dan dengan didukung oleh peningkatan indikator makro lainnya – indikator kesehatan dan daya beli, Kabupaten Cianjur diharapkan mampu meningkatkan pencapaian IPM-nya dari posisi 72,27 pada tahun 2005 menjadi 76,3 pada tahun 2008 sesuai dengan target akselerasi peningkatan IPM yang telah ditetapkan Provinsi Jawa Barat. Lengkapnya, di bawah ini adalah rincian target pencapaian indikator makro pendidikan dalam rangka akselerasi peningkatan IPM Kabupaten Cianjur
41 yang telah ditetapkan pemerintah Provinsi Jawa Barat sebagaimana tertera dalam Program Akselerasi Pendidikan Jawa Barat tahun 2004 – 2008 : Tabel 4 .9: Target peningkatan Indeks Pendidikan Kabupaten Cianjur dalam rangka akselerasi pencapaian IPM Jawa Barat tahun 2008 Indikator
2004
2005
2006
2007
2008
96,63
97,10
97,58
98,05
98,53
6,48
6,68
6,88
7,09
7,31
71,6
72,27
73,9
75,0
76,3
Angka Melek Huruf Rata-rata lama Sekolah IPM
Sumber : Kantor Bappeda Jawa Barat 2004
Dari tabel di atas nampak bahwa rata-rata lama sekolah (RLS) Kabupaten Cianjur yang pada tahun 2004 baru mencapai angka 6,48 tahun, pada tahun 2008 ditargetkan naik menjadi 7,31 tahun. Itu semua mengandung arti bahwa akselerasi peningkatan APK dan APM melalui akselerasi Wajar Dikdas 9 Tahun akan hadir menjadi faktor yang akan banyak menentukan. Itu semua juga mengandung arti bahwa perlu ada terobosan program atau gebrakan, termasuk di dalamnya dukungan sarana dan anggaran yang cukup berarti untuk mendongkrak akselerasi pencapaian Wajar Dikdas 9 tahun sesuai dengan taget berat yang telah ditentukan. Bukan hanya itu, besarnya beban target itu juga sekaligus mengisyaratkan akan arti pentingnya dukungan komitmen yang tingi dari semua pihak terkait, termasuk komitmen dari masyarakat itu sendiri. Kesanalah pula mestinya implementasi Kebijakan Wajar Dikdas 9 tahun diarahkan.
42 D.
Bentuk-bentuk Program Implementasi Untuk Mencapai Target Tentang bagaimana target dan arah kebijakan itu dilaksanakan secara
operasional, berikut ini adalah deskripsi sekaligus pembahasan mengenai upaya dan langkah yang ditempuh Kabupaten Cianjur dalam rangka melaksanakan akselerasi penuntasan Wajar Dikdas 9 tahun, dinarasikan dari hasil studi dokumentasi, wawancara serta observasi selama penelitian berlangsung sebagaimana bisa ditelaah dalam Grand Design berikut ini :.
PROGRAM INTERVENSI KONDISI TAHUN 2004
APK SLTP = 76,03 APM = 68,99
PENDATAAN JALUR PENDIDIKAN FORMAL
Pembent ukan Tim Koordina si Wajar Dikdas Tingkat Kab s/d Tk. Desa
SOSIALISASI
PENGEMBANGAN SMP SEATAP PENGEMBANGAN SMP TERBUKA PEMBUKAAN KELAS JAUH PENGEMBANGAN SEKOLAH RAKYAT/ TERBUKA MANDIRI
JALUR PENDIDIKAN NON FORMAL
PENGEMBANGAN PONTERN CERDAS PENGEMBANGAN PONTREN SALAFIYAH
PENGEMBANGAN PROGRAM PAKET A, B MELALUI PENGEMBANGAN PKBM
PEMBANGU NAN INFRA STRUKTUR
PEMBANGU NAMBAHAN USB DAN RUANG KELAS BARU, TRERMASU K REHAB YANG BERSUMBE R DARI BERBAGAI BANTUAN
TARGET
TH 2008 : APK = 98,50 APM = 95,40
TAHUN 2011 WAJAR 12 TAHUN
BANTUAN OPERASIONAL – BOS, BAGUS, DLL
GAMBAR 4.10. GRAND DESIGN IMPLEMENTASI WAJAR DIKDAS 9 TAHUN KABU PATEN CIANJUR
Dari figur di atas dapat dijelaskan bahwa target yang akan dicapai Kabupaten Cianjur dalam rangka akselerasi peningkatan Wajar Dikdas 9 tahun ini adalah meningkatkan Angka Partisipasi kasar (APK) pada jenajng SLTP dari 76,03 pada tahun 2008 menjadi 104 %, dan angka partisipasi murni (APM) meningkat dari posisi 68,99 persen pada tahun 2004 menjadi 96,40 % pada
43 tahun 2008, sebuah target yang sangat berat sekaliogus spektakuler jika dibanding dengan rata-rata kemampuan yang dicapai pada periode sebelumnya. Dengan kata lain, pada tahun 2008 nanti, Kabupaten Cianjur yang pada tahun 2006 yang lalu masih termasuk daerah yang paling rendah di Jawa Barat dalam pencapaian APK-nya, bisa meningkat menjadi kabupaten yang termasuk kategori tuntas secara paripurna dalam program Wajar Dikdasnya. Bahkan karena begitu besar komitmen dan gregetnya, Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Cianjur, Drs. Hidayat Atori Msi sering melontarkan statemennya yang menantang ; ”Saya siap mengundurkan diri jika pelaksanaan Wajar Dikdas 9 Tahun tidak berhasil mencapai sasaran yang telah ditetapkan”, tegasnya hampir dalam setiap kesempatan. 1. Pembentukan Tim Koordinasi Sesuai dengan petunjuk yang telah ditetapkan tingkat pusat, maka salah satu langkah awal yang dilakukan dalam pelaksanaan Wajar Dikdas 9 tahun ini adalah membentuk Tim Koordinasi Percepatan Penuntasan Wajar Dikdas 9 Tahun yang melibatkan lembaga, Dinas / Instansi terkait disemua tingkatan, mulai dari tingkat kabupaten sampai dengan tingkat desa. Hal ini antara lain tertuang dalam Surat Keputusan Bupati No. 421.10.05/Kep.97-Ks/2007 Tentang Pembentukan
Tim
Koordinasi
Perecepatan
Penuntasan
Wajib Belajar
Pendidikan Dasar 9 tahun yang sekaligus merupakan penyempurnaan terhadap Tim yang telah dibentuk sebelumnya sebagaimana tertuang dalam SK Bupati Nomor
41.10.05/Kep.21-Ks//2007,
tanggal
26
Januari
2007
Tentang
Pembentukan Tim Sukses Percepatan Penuntasan Wajar Dikdas 9 tahun.
44 Inilah struktur untuk melihat dinas /instansi atau lembaga terkait yang terlibat secara langsung dalam Tim Koordinasi Percepatan Penuntasan Wajar Dikdas 9 Tahun Kabupaten Cianjur sebagaimana tertuang dalam Surat Keputusan Bupati tersebut di atas : Pelindung
: Bupati Kabupaten Cianjur
Pengarah Operasional : Wakil Bupati Cianjur Ketua Umum
: Skretaris Daerah Pemda Kabupaten Cianjur
Ketua Harian
: Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Cianjur
Ketua
: Asisten 1 Bidang Pemerintahan dan Kesra Pemda Kabupaten Cianjur
Skretaris 1
: Kepala Sub Dinas Bina Program pada Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Cianjur
Sekretaris II
: Kepala Bagian Kesra Pemda Kabupaten Cianjur
Bendahara I Bendahara II Anggota
: Kepala Bagian Keuangan Setda Kab. Cianjur : Kepala Sub Bagian pada Bagian Tata Usaha Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kab. Cianjur : 1. Kepala Bappeda 2. Kepala BKKBN 3. Kepala Dinas Sosial, Tenaga Kerja, Kependudukan dan Catatan Sipil 4. Kepala Kantor Departemen Agama 5. Kepala Sub Dinas Bina Pra Sekolah dan Pendidikan Dasar pada Dinas P&K Cianjur 6. Kepala Sub Dinas PLS pada Dinas P&K Kabupaten Cianjur 7. Unsur Kodim 0608 Cianjur 8. Unsur Polres Cianjur 9. Koordinator Tim Sarjana Pemuda Penggerak Wajib Belajar (SP2WB) 10. Kepala Kantor BPS Cianjur 11. Kepala Kantor Informasi dan Komunikasi Kabupaten Cianjur
45 Menurut Kepala Dinas Pendidikan Dan Kebudayaan Kabupaten Cianjur, pelibatan banyak sektor terkait dalam Tim Koordinasi tersebut bukan tanpa landasan dan alasan. Selain mengikuti
pedoman yang diberikan melalui
kebijakan yang diberikan oleh tingkat yang lebih atas, kebijakan provinsi dan pemerintah pusat, juga dilandasi oleh pertimbangan bahwa sebagai sebuah gerakan, pelaksanaan Wajar Dikdas sangat meniscayakan dukungan dan partisipasi semua pihak sesuai dengan potensi dan fungsinya. Bukan saja dukungan dalam bentuk kebijakan serta koordinasi sebagaimana bisa deperankan oleh unsur pemerintah daerah, tetapi juga dukungan teknis dari unsur dinas/ instansi terkait. Bahkan dukungan dari unsur Kodim dan Polres. Untuk menentukan sasaran Wajar Dikdas, misalnya, BKKBN dan Kantor BPS sengaja dilibatkan dengan harapan bisa berperan aktif memberikan informasi tentang jumlah anak usia 7-15 tahun yang menjadi sasaran Wajar Dikdas 9 tahun, disamping membantu melakukan kegiatan sosialisasi. Masih menurut Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Cianjur, unsur Kodim dan Polres yang memiliki jaringan sampai dengan tingkat desa, dan dengan fungsinya yang strategis, sengaja dilibatkan dengan harapan bisa membuat kehadiran Tim Wajar Dikdas 9 tahun ini tampil lebih menggigit dan menggetarkan. Melalui fungsi ketertiban dan keamanannya, kedua institusi itu antara lain bisa membantu menggerakan partisipasi masyarakat dalam melaksanakan program Wajar Dikdas sekaligus mengawasinya. Sementara peran Departemen Agama lebih jelas lagi. Disamping institusi vertikal ini memiliki fungsi untuk menyelenggarakan pendidikan dasar secara langsung melalui jalur sekolah atau lembaga pendidikan, termasuk pesantren, yang
46 menjadi binaannya sebagaimana diatur dalam ”Grand Design Penuntasan Wajar Dikdas 9 Tahun 2006-2009” yang diterbitkan Depdiknas (2007), kehadiran institusi ini juga menjadi sangat strategis karena fungsinya yang melekat dalam melakukan sosialisasi, disamping dilakukan juga oleh kantor Infokom. Sebagai gambaran, inilah beberapa tugas pokok Tim Koordinasi tingkat kabupaten Cianjur yang sekaligus juga merupakan kepanjangan dari Tim Koordinasi Percepatan Penuntasan Wajar Dikdas 9 tahun tingkat provinsi, tertuang dalam Surat Keputusan Bupati Cianjur Nomor 421.10.05/Kep. 97-Ks/ 2007. Tugas pokok pertama, adalah menyusun perencanaan program penuntasan Wajar Dikdas 9 tahun, mulai dari proses pendataan sasaran, perumusan bentuk program sampai kepada penentuan prioritas daerah dan sasaran penggarapan dengan mempertimbangkan pencapaian angka partisipasi sekolah (APK dan APM) masing-masing kecamatan. Tugas pokok kedua, melakukan sosialisasi atau penyuluhan tentang arti pentingnya gerakan percepatan penuntasan Wajar Dikdas 9 tahun kepada seluruh komponen masyarakat disemua tingkatan melalui berbagai media yang tersedia, termasuk dilakukan melalui kegiatan yang disebut dengan kampanye Wajar Dikdas melalui kegiatan ”Safari” oleh Tim tingkat Kabupaten ke setiap kecamatan, pemanfaatan berbagai lembaga dan forum strategis seperti pengajian atau majlis taklim, termasuk khitbah jumat dan forum penting lainnya. Tugas pokok ketiga, adalah melakukan kegiatan pengendalian melalui kegiatan monitoring, baik yang dilakukan melalui kegiatan kunjungan langsung kelapangan atau sekolah-sekolah, disamping monitoring yang dilakukan melalui
47 kegiatan pencatatan dan pelaporan secara rutin. Termasuk dalam kegiatan tersebut adalah melakukan ketatausahaan atau kesekretariatan guna mendukung sekaligus memastikan bahwa seluruh tugas pokok Tim Koordinasi bisa memperoleh dukungan dan berjalan sesuai yang diharapkan. 2. Sosialisasi Wajar Dikdas Jika Tim Koordinasi sebagaimana telah diuraikan di atas dibangun dalam rangka memperkuat kelembagaan yang diharapkan mampu menjadi motor penggerak dalam implementasi pelaksanaan Wajar Dikdas 9 tahun di semua tingkatan, dan karenanya hadir menjadi salah satu aktor atau pelaku kebijakan, maka kegiatan sosialisasi ditujukan dalam rangka meyakinkan arti pentingnya pelaksanaan kebijakan Wajar Dikdas 9 Tahun bisa dipahami oleh seluruh lapisan masyarakat. Menurut penjelasan Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Cianjur yang juga menjadi ketua Harian Tim Koordinasi, terdapat beberapa kegiatan strategis yang telah dirumuskan dalam rangka melaksanakan langkah sosialisasi Wajar Dikdas 9 tahun tersebut. Yang pertama, adalah sosialisasi yang dilakukan melalui kegiatan pertemuan atau rapat dinas antara jajaran pimpinan Dinas P & K Kabupaten dengan para Kepala Cabang Dinas (Kacadin) yang diselenggarakan secara rutin setiap bulan. Melalui forum itulah pula, kinerja masing-masing Tim Koordinasi Wajar Dikdas tingkat kecamatan, bahkan desa, dievalusi, dibahas dan diumpanbalikan. Tidak sampai di situ, melalui forum itulah pula, berbagai masalah dan kendala yang muncul dalam proses sosialisasi diangkat dan dipecahkan. Tidak sampai di situ, demikian ditegaskan Kepala Dinas
48 Pendidikan Kabupaten Cianjur, melalui forum Rakor itulah pula akan dianugerahkan berbagai pujian dan penghargaan kepada setiap kecamatan yang berhasil dalam penyelenggaraan Wajar Dikdas, mulai dari aspek poses sampai kepada hasilnya. Yang kedua, sosialisasi melalui pemanfaatan berbagai forum pertemuan strategis, seperti Rapat Koordinasi bulanan disetiap tingkatan yang melibatkan seluruh Dinas Instansi terkait. Agenda pokoknya adalah membahas dan merumuskan arti pentingnya keterlibatan berbagai Dinas/ instansi atau sektor terkait dalam pelaksanaan sosialisasi Wajar Dikdas sesuai dengan tugas dan fungsinya masing-masing. Yang ketiga, sosialisasi melalui berbagai media lain, khususnya media cetak, terutama media cetak lokal seperti Pakuan (Suplemen Harian Umum Pikiran Rakyat), Radar Bogor, Jurnalika dan sebagainya. Melalui media cetak inilah seluruh kebijakan Wajar Dikdas yang telah dirumuskan disosialisasikan, baik dalam bentuk opini maupun berita yang sengaja diterbitkan untuk membantu dan mendukung pelaksaanaan Wajar Dikdas 9 tahun. Singkatnya, melalui kegiatan sosialisasi semua informasi mengenai kebijakan Wajar Dikdas 9 tahun bisa tersampikan. Dampak lebih jauhnya, melalui kegiatan sosialisasi dukungan masyarakat terhadai implenentasi kebijakan bisa diwujudkan 3. Pendataan Sasaran Upaya ini dilakukan tidak saja dalam rangka membuat peta atau potret tentang pencapaian pendidikan dasar yang telah dicapai oleh masing-masing wilayah kecamatan sampai dengan Desa atau kelurahan, namun sekaligus juga dilakukan dalam rangka mempersiapkan dan memperjelas sasaran yang akan
49 menjadi fokus penggarapan kegiatan Wajar Dikdas 9 tahun menurut berbagai tingkatannya. Intinya, berapa seluruh anak usia 7-15 tahun yang sedang dan tidak sedang sekolah, baik melalui jalur pendidikan formal maupun non formal, adalah sasaran pokok dari kegiatan pendataan yang secara serentak dilakukan oleh Tim yang dibentuk pada setiap Desa atau kelurahan, bahkan sampai dengan tingkat RT ini. Dan dari hasil pendataan yang dilakukan secara berjenjang inilah, nama dan alamat dari anak usia 7-15 tahun yang sedang tidak sekolah bisa diketahui untuk selanjutnya dijadikan sasaran penggarapan kegiatan Wajar Dikdas oleh Tim Wajar Dikdas di semua tingkatan. Sebagai ilustrasi, berikut ini adalah bagan pelaksanaan pendataan sasaran dan mekanisme pelaporannya oleh Tim Wajar Dikdas pada semua tingkatan yang diangkat dari hasil penelitian :
50 FIGURE 4.11. MEKANISME PENDATAAN WAJAR DIKDAS 9 TAHUN KABUPATEN CIANJUR TIM TINGKAT KABUPATEN SK No. 421.10.05./KEP.97-KS/2007 Rekapitulasi
TIM TINGKAT KECAMATAN Instruksi Bupati Cianjur No. 421.10.05./Kep.97-KS/2007 Rekapitulasi
TIM TINGKAT DESA/ KECAMATAN Instruksi Bupati No. 421.10.05./Kep.97-KS/2007 Rekapitulasi
TIM TINGKAT RW/DUSUN Instruksi Bupati N0. 421.10.05/Kep.97-KS/2007 Rekapitulasi
TIM TINGKAT RT Instruksi Bupati N0. 421.10.05/Kep.97-KS/2007 Pelaksanaan Operasional Pendataan INSTRUKSI ALUR LAPORAN
Dari figur diatas, nampak bahwa secara sistem, pelaksanaan pendataan sasaran Wajar Dikdas 9 Tahun di Kabupaten Cianjur sudah dirancang dalam sebuah mekanisme yang terarah, diawali dengan pembentukan Tim Pendata yang menurut Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Cianjur sekaligus juga merupakan Tim Koordinasi Wajar Dikdas. Melalui Tim yang melibatkan
51 banyak sektor itulah, data sasaran Wajar Dikdas di data, bahkan disisir dan dilaporkan secara berjenjang ketingkat yang lebih atas. Namun sayangnya, dari hasil penelitian pula terungkap bahwa proses pendataan
sasaran
tersebut
baru
sebatas
dilaksanakan
dalam
rangka
mengungkap nama dan alamat, sementara alasan atau motif mereka tidak bersekolah, apalagi sampai mengungkap klasifikasi anak miskin dan tidak miskin, sama sekali absen dari perhatian. Itulah pula yang kemudian menjadi salah
satu
penyebab
munculnya
kesulitan
dalam
merumuskan
dan
menyampaikan pesan sosialisasi atau motivasi dan penenrtuan progran intervensi yang perlu dilakukan dalam tahap berikutnya. 4. Upaya Peningkatan Akses Berikut ini adalah deskripsi mengenai upaya yang telah dilakukan dalam rangka meningkatkan akses pendidikan bagi anak dari keluarga miskin yang diwujudkan dalam berbagai bentuk pengembangan program pelayanan pendidikan alternatif yang secara khusus lebih banyak diperuntukan dalam rangka menyediakan pelayanan pendidikan bagi anak dari keluarga miskin. Upaya ini juga sekaligus merupakan penjabaran dari arah kebijakan Wajar Dikdas yang telah ditetapkan. a. Upaya Peningkatan Akses melalui Pengembangan SMP Cerdas Seatap Program ini pada intinya ditujukan dalam rangka memfasilitasi anak usia13-15 tahun, sebutlah lulusan SD/MI yang selama ini belum tertampung di sekolah setingkat SLTP yang ada, baik karena alasan geografis berupa jauhnya jarak domisili anak dengan sekolah, maupun karena alasan ekonomi berkait
52 dengan besarnya beban transportasi yang sering jadi kendala bagi anak dari keluarga miskin. Menampung mereka yang selama ini tidak mampu mengakses SLTP yang ada, itulah tujuan dari pengembangan SMP Cerdas Seatap yang sekaligus juga merupakan program unggulan dari Program Pendanaan Kompetisi dalam rangka Peningkatan Indeks Pembangunan Manusia (PPK-IPM) sektor pendidikan yang digulirkan pemerintah Provinsi Jawa Barat. Gambaran konkritnya, demikian diungkapkan oleh Drs. Sulaeman Zuhdi, Ketua Satlak (Satuan Pelaksana) PPK IPM Bidang Pendidikan Kabupaten Cianjur, ketika program SMP Cerdas Seatap ini baru akan digulirkan, tahun 2006, di kabupaten Cianjur terdapat sekitar 59.722 anak lulusan SD/MI yang belum tertampung oleh faslitas SMP/MTs yang ada, atau mencapai 1.990 anak setiap kecamatannya. Dan itulah pula yang dijadikan sasaran dari pengembangan program SMP Cerdas Seatap yang merupakan bagian dari Program PPK-IPM sektor pendidikan itu. Dijelaskan oleh Ketua Penanggung jawab Program ini, kehadiran SMP Cerdas Seatap di Kabupaten Cianjur ini diharapkan bisa menjadi pilihan yang rasional dalam rangka mengakselerasi Wajar Dikdas pada umumnya, dan membantu akses pendidikan bagi anak dari keluarga miskin pada khususnya. Ditambahkannya, pengembangan program ini diharapkan mampu membantu mempercepat pencapaian Wajar Dikdas 9 yang ditandai dengan peningkatan angka partisipasi kasar maupun murni (APK dan APM) SLTP
53 sekaligus meningkatkan angka rata-rata lama sekolah (rate of years schooling) sebagaisalah satu komponen dalam peningkatan IPM. Di bawah ini adalah gambaran mengenai kontribusi pengembangan SMP Cerdas Seatap dalam penyerapan lulusan SD/MI terhadap upaya penuntasan Wajar Dikdas 9 Tahun pada umumnya, dan membantu akses pendidikan bagi anak dari keluarga miskin pada khususnya, diambil dari dokumen Satuan Pelaksana (Satlak) PPK-IPM Kabupaten Cianjur sebagai berikut : Tabel 4.12 : Perkembangan SMP Cerdas Seatap 2006-2008 TAHUN
JUMLAH SISWA
JUMLAH
TOTAL
SEKOLAH
KELAS 7
KELAS 8
KELAS 9
2006
83
2.796
-
-
2.796
2007
83
1.948
2.756
-
4.704
2008
77
2.415
1.988
2.137
6.540
Dari figur di atas nampak bahwa jumlah sekolah yang berhasil dikembangkan pada tahun pertama Program SMP Cerdas Seatap ini dirintis, bulan Agustus 2006, adalah sebanyak 83 buah sekolah dan bertahan pada angka yang sama pada tahun 2007, namun kemudian turun menjadi hanya 77 buah pada tahun 2008, berkurang sebanyak 6 buah sekolah. Alasan
penurunannya,
demikian
diungkapkan
oleh
Ketua
Penanggungjawab Programnya, Drs. Sulaeman Zuhdi, adalah : pertama, 3 sekolah berganti status menjadi SMP Mandiri, 2 sekolah dinilai kurang efektif dan efisien karena sasarannya nyaris habis dan dipindahkan ke SMP reguler, sementara yang 1 sekolah yang berlokasi di Kecamatan Agrabinta, kehabisan
54 murid karena ada pembukaan SMP baru disekitarnya, yakni di daerah perbatasan dengan Kabupaten Sukabumi. Dari figur di atas pula nampak bahwa pengembangan program SMP Cerdas Seatap ini, pada tahun pertamanya berhasil menampung siswa, sebutlah kelas 7 (setara dengan kelas 1 SMP/MTs) sebanyak 2.798 anak, atau sekitar 34 siswa setiap sekolahnya. Jika dibandingkan dengan jumlah anak sekolah lulusan SD/MI yang tidak tertampung pada SMP/MTs yang tersedia sebanyak 59.722 anak sebagaimana telah diungkapkan pada uraian sebelumnya, maka kehadiran SMP Cerdas Seatap pada tahun pertama berhasil menyerap sebanyak 4,7 persen sekaligus juga merupakan gambaran tentang kontribusi model sekolah ini terhadap peningkatan APK dan APM SMP Pada tahun berikutnya, tahun 2007, pelaksanaan SMP Cerdas Seatap ini hanya mampu menampung lulusan SD/MI, sebutlah siswa baru sebanyak 1.948 anak, atau turun sebanyak 848 siswa dibanding tahun 2006. Alasannya, demikian diungkap oleh Ketua Tim Monitoring dan Evaluasi PPK-IPM, Ir Elizabet MT, berkait dengan keraguan sekaligus kekurangpercayaan masyarakat akan kelangsungan program PPK-IPM ini yang dijadwalkan hanya akan berlangsung 2 tahun. Tegasnya, masyarakat waktu itu khawatir jika anaknya kelak akan terlantar ketika pemerintah provinsi Jawa Barat menghentikan proyeknya. Namun karena pihak pemerintah daerah berhasil meyakinkan masyarakat bahwa kelangsungan program SMP Cerdas Seatap ini akan dijamin oleh dukungan anggaran yang bersumber dari APBD Kabupaten Cianjur, bahkan akan dijadikan program tetap Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten
55 Cianjur, maka siswa baru (kelas 7) pada tahun berikutnya, tahun 2008, kembali meningkat menjadi 2.415 anak. Dari tabel di atas pula nampak bahwa semakin tinggi tingkat kelas pada SMP Cerdas Seatap ini, semakin berkurang pula jumlah siswanya. Angka konkritnya, jumlah siswa yang pada tahun 2006 berada pada kelas 7 sebanyak 2.796, menurun menjadi 2.756 ketika mereka menduduki kelas 8 pada tahun 2007, dan menurun lagi menjadi hanya 2.137 ketika mereka berada pada kelas 9 pada tahun 2008, turun sekitar 30 persen. Alasannya, demikian diaungkapkan oleh Tim Monev PPK IPM Kabupaten Cianjur, sebagiannya, terutama murid perempuan, terpaksa drop out karena dinikahkan orang tuanya, sebagiannya drop out karena lebih memilih menjadi Tenaga Kerja Wanita (TKW) ke Timur Tengah karena faktor desakan ekonominya, sebagian yang lainnya pindah ke SMP atau Tsanawiyah reguler, disamping juga ada diantara mereka yang karena berbagai alasan berhenti di tengah jalan. Sebagai bagian dari program PPK-IPM pada sektor pendidikan, banyak keuntungan bisa dipetik dari penyelenggaraan SMP Cerdas Seatap ini. Diantaranya, demikian diungkapkan oleh Kasubdin Dikdas pada Dinas P dan K Kabupaten Cianjur, Agus Maelani, bahwa dari aspek tempat, misalnya, program ini bisa dikembangkan hanya dengan menggunakan bangunan SD yang ada sehingga tidak memerlukan biaya pembangunan fisik. Bahkan karena diselenggarakan di daerah terpencil, kehadiran SMP Cerdas Seatap ini mampu mendekatkan pelayanan pendidikan dasar kepada masyarakat atau anak yang berada pada kantong-kantong drop out tingkat SLTP.
56 Keunggulan lainnya, penyelenggaraan SMP Cerdas Seatap ternayata juga mampu memberikan tambahan kesejahteraan para guru yang ada di daerah, termasuk guru sukarelawan (Sukwan). Gambaran konkritnya, program yang pertamanya didanai pemerintah Provinsi Jawa Barat melalui program PPK-IPM ini, setiap bulannya menyediakan biaya oparasional dan transportasi yang jumlahnya berkisar antara Rp. 150.000,- sampai Rp. 200.000,- per guru per bulan, baik untuk guru bidang studi maupun transport bagi guru yang menjadi Wali Kelas di SD yang ditunjuk jadi lokasi SMP Cerdas Seatap, bahkan program ini pun menyediakan biaya transport bagi guru dalam melakukan kegiatan ekstra kulikuler. Menurut pandangan peneliti, kegiatan SMP Cerdas Seatap ini mengandung inovasi yang penting bagi dunia pendidikan, khususnya pendidikan dasar bagi anak dari keluarga miskin. Secara nyata, kegiatan SMP Cerdas Seatap ini telah mampu mendekatkan akses pendidikan dasar kepada masyarakat sehingga memudahkan siswa untuk menjangkau lokasi belajar yang selama ini dirasakan cukup jauh. Hal ini pun membuat masyarakat menjadi lebih ringan dalam hal beban biaya transportasi dari rumah ke sekolah, jalan kaki tidak terlalu jauh, naik angkutan umum pun tidak terlalu mahal. Selanjutnya, selain inovatif, kegiatan SMP Cerdas Seatap ini juga bisa dikatakan efisien dan efektif. Kegiatan SMP Cerdas Seatap yang berbasis kegiatan ini cukup memanfatkan sarana prasarana milik SD setempat, tenaga pengajarnya pun diambil dari sekitar sekolah SMP Cerdas Seatap tersebut. Siswa yang menjadi muridnya pun tidak harus mengenakan pakaian seragam
57 sekolah yang selama ini sering menjadi beban bagi anak dari keluarga miskin, meskipun sekolahnya formal. Itulah pula kultur sekolah yang dalam banyak aspeknya menjadi kondusif dalam mendekatkan akses pelayanan pendidikan bagi anak dari keluarga miskin. Dan yang menarik, dari jumlah siswa kelas 9 tahun 2008 sebanyak 2.137 anak,
sebanyak 75 persen diantaranya dinyatakan lulus
mengikuti Ujian Nasional (UN), sebuah angka yang cukup tinggi jika dibandingkan dengan input yang tersedia dalam penyelenggaraan SMP Cerdas Seatap ini. Itulah pula fakta yang bisa diangkat untuk menjelaskan besarnya kontribusi penyelenggaraan model pendidikan dasar model yang dikembangkan dari program PPK-IPM ini terhadap upaya percepatan penuntasan Wajar Dikdas 9 tahun bagi anak dari keluarga miskin b.
Upaya perningkatan Akses Melalui Pengembangan SD/SMP Seatap Jika program SMP Cerdas Seatap merupakan bagian dari program PPK-
IPM yang digulirkan Pemerintah Provinsi Jawa Barat dalam rangka akselerasi peningkatan IPM, maka program SMP Seatap dilakukan dengan tujuan dan sasaran yang sama namun dengan sumber pendanaan yang berbeda, yakni dari APBD tingkat II Kabupaten Cianjur. Singkatnya, Program SD/SMP Seatap ini dilakukan dalam rangka memberikan peluang yang lebih luas lagi bagi anak dari keluarga miskin dalam mengakses pendidikan dasar 9 tahun. Seperti diungkapkan oleh Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Cianjur, meskipun rata-rata daya tampung sekolah pada beberapa kecamatan yang ada masih memungkinkan, namun karena distribusinya tidak merata jika dikaitkan dengan konsentrasi persebaran penduduk anak dari keluarga miskin, maka
58 kebijakan pengembangan SD/SMP Satu atap di Kabupaten Cianjur ini masih sangat relavan dan strategis dalam memperluas akses pendidikan bagi anak dari keluarga miskin, bahkan untuk anak yang tinggal di daerah perkotaan sekali pun. Singkatnya, kehadiran SD/SMP Seatap ini sekaligus diharapkan bisa memperkuat program SMP Cerdas Seatap seperti telah diuraikan sebelumnya. Konkritnya, inilah realisasi dari pengembangan SD/ SMP Satu Atap, diluar SMP Cerdas Seatap, yang telah dan sedang dilaksanakan di Kabupaten Cianjur mulai dari tahun 2005 sampai dengan tahun 2008
adalah sebagai
berikut : Tabel 4.13 : Perkembangan Program SD/ SMP Seatap Kabupaten Cianjur TAHUN
JML SISWA TERTAMPUNG
JML ANAK SEKOLAH USIA SLTP
% SISWA SMP SEATAP/ ANAK SEKOLAH USIA SLTP
2004
-
100.803
-
2005
-
104.632
-
2006
2.796
111.435
2,51
2007
4.704
133.094
3,53
2008
6.540
120.130
5,44
Sumber : Subdin Dikdas P dan K Kabupaten Cianjur, 2007 Dari tabel di atas nampak bahwa kehadiran program SMP Seatap sebagai salah satu program alternatif yang di Kabupaten Cianjur baru dimulai tahun 2006 memiliki kontribusi yang cukup berarti dalam meningkatkan akses pendidikan dasar 9 tahun. Dibandingkan dengan total siswa pada tingkat SLTP yang ada, pada tahun 2006 bisa memberikan kontribusi sebesar 2,51 persen, dan kemudian meningkat pada tahun 2007 menjadi 3,53 persen, dan meningkat lagi menjadi 5,53 persen pada tahun 2008. Dengan angka-angka itu saja bisa
59 disimpulkan bahwa kehadiran program SMP Seatap tidak sedikit sumbangannya dalam memberi kesempatan bagi anak miskin untuk mengakses pendidikan dasar 9 tahun. c. Upaya Peningkatan Akses Melalui Pesantren Salafiyah Optimalisasi pencapaian target Wajar Dikdas di Kabupaten Cianjur tidak hanya dilakukan di lingkungan pendidikan formal sekolah-sekolah umum, tetapi juga melibatkan dan dilaksanakan di pondok-pondok pesantren yang diselenggarakan atas kerjasma antara Pondok Pesantren Salafiyah (kajian kitab kuning). Kegiatannya, Kata Kasi Mapenda, Dra. Ida Farida pada Kantor Depag Cianjur, berupa pengintegrasian program wajar dikdas ke dalam kurikulum pesantren, seperti Paket B yang diwajibkan bagi santri-santri sesuai usianya. Masih menurutnya, bentuk penyelenggarakan kegiatan ini dirasakan sangat membantu dalam menunjang akselerasi penuntasan Wajar Dikdas 9 tahun karena banyak dari para santri yang masuk pesantren itu adalah para luiusan SD yang karena ketidakmampuan orang tuanya tidak mampu melanjutkan ke SMP atau Madrasah Tsanawiyah. Bahkan tidak sedikit dari mereka yang memang atas keinginan atai dorongan orang tuanya lebih memilih pesantren ketimbang sekolah formal. Salah satu contoh pondok pesantren yang menerapkan program ini adalah Pondok Pesantren Miftahulhuda Al-Musri yang terletak di Kecamatan Ciranjang. Peserta santri warga belajar yang ditampung di pesantren ini berasal dari desa-desa di sekitar kecamatan Ciranjang. Dalam rangka penuntasan Wajar Dikdas 9 tahun, Pondok Pesantren Miftahulhuda Al-Musri ini terlibat juga menyelanggarakan program Paket B setara SLTP bagi santrinya, bahkan Paket
60 C setara SLTA pun dilaksanakan di pesantren ini. Yang cukup membanggakan, meskipun kegiatan pembelajaran di pondok pesantren
dilaksanakan secara
tutorial yang dilengkapi dengan fasilitas ICT. Menurut data yang ada, dari banyak Pondok Pesantren yang telah menyelenggarakan Program Wajar Dikdas ini, saat ini tercatat ada sekitar 2.875 santri yang tercatat sebagai siswanya. Artinya, kehadiran Pondok Pesantren Salafiyah ini paling tidak telah menyumbangkan sebesar 2,8 persen dalam menampung anak usia 13-15 tahun yang pada tahun 2008 berjumlah 137.015 anak. Jika ditambah dengan jumlah santri yang sedang mengikuti program yang disebut dengan Pontren Cerdas Seatap, bnetuk penyelenggaraan pendidikan dasar 9 tahun di pesantren yang sengaja dikembangkan sebagai bagian dari Program Proyek Pendanaan Kompetisi (PPK_ – IPM yang didanai Pemerintah Provinsi sebanyak 7.703 siswa, maka jumlah total siswanya menjadi 10.578 anak, atau sekitar 3 persen dibanding dengan jumlah total SLTP sederajat yang mencapai angka 344.739 anak. d.
Upaya Peningkatan Akses Melalui Pengembangan SMP Terbuka Masih dalam rangka meningkatkan pemerataan kesempatan belajar,
khususnya bagi tamatan SD/MI yang karena beberapa alasan tidak berkesempatan mengikuti pendidikan pada jenjang SLTP, serta mengacu pula kepada kebijakan
yang dikembangkan
oleh
pemerintah
pusat,
maka
pengembangan SMP Terbuka yang memiliki karakteristik tersendiri itu juga menjadi pilihan yang dikembangkan di Kabupaten Cianjur dalam rangka memperluas akses pendidikan dasar bagi anak dari keluarga miskin.
61 Menurut Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Cianjur, SMP terbuka ini tidak lain merupakan salah satu satuan penyelenggara pendidikan tiga tahun yang menggunakan kurikulum seperti SLTP regular, namun dengan pola kegiatan belajar mengajarnya yang berbeda, yakni yang menekankan kepada prinsip belajar mandiri, atau cara belajar yang dilakukan sendiri oleh siswa dan membatasi seminimal mungkin bantuan orang lain. Itu sebabnya, media utama yang digunakannya adalah bahan belajar mandiri berupa modul yang ditunjang oleh media lain yang relavan. Adapun waktu dan tempat belajar secara kelompoknya ditentukan bersama oleh siswa dan guru pembimbingnya. Sementara waktu dan tempat belajar mandirinya ditentukan sendiri oleh siswanya. Dijelaskan oleh Kasubdin Dikdas Dinas P dan K Kabupaten Cianjur, Drs. Agus Maelani, bahwa kehadiran jenis satuan pendidikan yang merupakan salah satu kebijakan yang berasal dari pemerintah pusat ini sengaja dikembangkan di Kabupaten Cianjur dengan maksud untuk memenuhi tuntutan pelayanan pendidikan dasar yang tidak tertampung pada SLTP reguler yang umumnya merupakan anak dari keluarga tidak mampu, disamping untuk menampung anak lainnya yang kebetulan bertempat tinggal jauh dari lokasi SLTP yang tersedia. Lebih jauh diungkapkan, kehadiran SMP Terbuka juga sengaja dikembangkan untuk memenuhi tuntutan pelayanan pendidikan dasar bagi anak yang karena kemiskinannya, sebutlah karena harus banyak membantu beban ekopnomi keluarganya, terpaksa tidak memiliki banyak kesempatan untuk mengkuti pendidikan dasar pada sekolah reguler. Adanya fleksibilitas dalam
62 cara belajar siswa, cara belajar mandiri, yang memungkinkan siswa tetap bisa membantu pekerjaan orang tuanya, adalah hal lain yang dinilai sangat efektif dalam rangka mempermudah akses pendidikan bagi anak dari keluarga miskin Menurut sumber yang ada pada Kasubdin Dikdas Dinas P dan K Kabupaten Cianjur, sampai tahun 2008 ini telah berhasil dikembangkan sebanyak 41 buah SMP Terbuka yang tersebar di 30 kecamatan yang ada di Kabupaten Cianjur dengan jumlah total murid sebanyak 9.285 siswa. Rinciannya, sebanyak 3.947 merupakan murid yang masih duduk di kelas I, sebanyak 2.710 untuk kelas 2, dan sisanya sebanyak 2.628 adalah anak yang sudah berada pada bangku sekolah kelas 3, atau kelas akhir. Bandingkan dengan jumlah total siswa SMP Terbuka pada tahun 2006 yang baru mencapai angka 1.170 siswa. Dengan trend itu, dalam perkembangan terakhirnya kehadiran SMP terbuka ini telah memberikan kontribusi yang cukup berarti dalam meningkatkan akses pendidikan bagi anak dari keluarga miskin pada khususnya, dan pencapaian Wajar Dikdas 9 tahun pada umumnya. Persisnya, jika jumlah total anak usia 13-15 tahun (usia SLTP) pada tahun 2008 tercatat sebanyak 137.015 anak, maka kontribusi SMP Terbuka dengan jumlah siswanya yang telah mencapai angka 9.285 anak jatuh pada angka 6,77 persen, sebuah kontribusi yang secara kuantitatif cukup berarti jika diakitkan dengan upaya peningkatan APK/APM pada khususnya, dan beban berat pendidikan pemerintah Kabupaten Cianjur pada umumnya. Bahkan jika dibandingkan dengan jumlah total anak sekolah usia SLTP sebanyak 114.913,
63 maka kontribusi SMP Terbuka dengan jumlah siswanya sebanyak 9.285 anak itu menjadi lebih besar lagi, yakni 8,08 persen. Namun diakui oleh Wakil Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Cianjur, besarnya kontribusi secara kuantitatif yang disumbangkan SMP Terbuka ini, tidak berarti bahwa kehadiran satuan pendidikan ini tidak memiliki masalah dan kendala. Masalah mutu yang ditandai rendahnya mutu lulusan, merupakan salah satu masalahnya.
Bahkan dari aspek proses belajar mengajar dengan
keterbatasan tenaga dan sarananya, termasuk kondisi sosial ekonomi para muridnya, yakni anak dari keluarga miskin dengan karakteristiknya yang begitu kompleks, merupakan masalah lain yang dihadapi dalam pengembangan SMP Terbuka. ”Murid-murid di SMP Terbuka di sini sering tidak hadir di Tempat Kegiatan Belajar (TKB) lantaran sering dipanggil orang tuanya untuk bekerja, bahkan ada yang menikah”, tegas Drs Dadang yang selama ini mengelola SMP Terbuka di Kecamatan Sukaresmi. Fakta ini sekaligus mengingatkan bahwa upaya untuk mendekatkan pelayanan dan menggratiskan pendidikan saja tidaklah cukup, karena banyak faktor lain yang selama ini belum disentuh kebijakan yang dijalankan pemerintah. e.
Upaya Peningkatan Akses Melalui Pembukaan Kelas Jauh Jika model SMP Terbuka merupakan model penyelenggaraan pendidikan
mandiri yang dilaksanakan untuk menampung akses anak yang tinggal di daerah terpencil, maka model SMP Kelas Jauh diselenggarakan di daerah atau lokasi yang memiliki banyak calon anak namun karena beberapa alasan, sebutlah karena keterbatasan anggaran, belum memungkinkan dibangun ruang kelas Baru
64 (RKB). Namun demikian, penyelenggaraan Kelas Jauh dilaksanakan dilokasi yang memungkinkan bisa dibangun Unit Sekolah Baru (USB) sehingga kelak, setelah dukungan yang dibutuhkannya memungkinkan – ketersediaan dukungan anggaran dan ketersediaan tanah - bisa diresmikan sebagai unit sekolah baru (USB). Dari hasil penelitian terungkap bahwa kehadiran model pendidikan alternatif ini ternyata cukup membantu meningkatkan akses anak dari keluarga miskin. Wujudnya, jumlah anak yang memanfaatkan model pendidikan ini meningkat dari 2.968 anak pada tahun 2004 menjadi 3.124 pada tahun 2005, dan meningkat lagi menjadi 3.760 pada tahun 2006. Satu tahun berikutnya, tahun 2007, jumlahnya meningkat menjadi 3.835 anak dan meningkat lagi menjadi 3.911 anak pada tahun 2008. Jika dibanding dengan jumlah total anak sekolah usia SLTP sebesar 114.913, maka secara kuantitatif kontribusi penyelenggaraan model SMP Kelas Jauh ini mencapai angka 3,40 persen, sebuah angka yang walaupun lebih rendah dibanding kontribusi penyelenggaraan model SMP Terbuka, namun relatif cukup efektif dalam mendukung upaya percepatan Wajar Dikdas 9 tahun. Sebagaimana diungkapkan oleh salah seorang penyelenggaranya, walaupun mutu lulusan dari model sekolah ini tidak bisa disamakan dengan mutu lulusan dari sekolah reguler, namun kehadirannya cukup membantu meringankan beban pendidikan dasar bagi anak yang umumnya merukapan anak dari keluarga miskin yang karena kemiskinannya tidak mampu sekolah dilokasi yang jauh dari rumahnya.
65 f.
Upaya Peningkatan Akses Melalui Jalur Pendidikan Non Formal Deskripsi hasil penelitian terhadap sejumlah kasus berikut ini barangkali
bisa dijadikan salah satu illustrasi untuk menggambarkan tentang bagaimana kontribusi penyelenggaraan pendidikan dasar jalur non formal dalam membantu meringankan beban anak dari keluarga miskin dalam mengakses pendidikan dasar yang menjadi haknya. Muhamad Husaeni (18 tahun), anak ke 3 dari 6 bersaudara yang lahir dari orang tua dengan pekerjaan hanya sebagai buruh di Bandung itu, adalah salah satu anak yang cukup beruntung. Bukan semata karena ia telah berhasil menamatkan pendidikan setara SMP atau Paket B pada tahun 2007 yang lalu, namun karena motivasinya yang tinggi, ditambah karena tidak ada pungutan biaya yang membebani orang tuanya, saat ini ia juga sudah nyaris berhasil bisa menyelesaikan pendidikan setara SLTA pada program Paket C PKBM ”Mandiri Bersemi” yang beralamat di Desa dan Kecamatan Karangtengah Cianjur. Saya ingin pintar, punya ijazah dan bekerja. Bahkan saya ingin jadi pengusaha sukses seperti orang lain, ungkapnya ketika ditanya mengenai alasannya yang mendorong ia mengikuti program pendidikan non formal. Waktu itu, pada tahun 2007, saya juga terpaksa mengikuti jalur pendidikan non formal mengingat tidak ada beban biaya yang harus dikeluarkan orang tua, disamping lokasinya tidak jauh dari tempat tinggalnya di Rt 02 Desa Hegarmanah Kecamatan Karangtengah. Ditambahkannya pula, mengikuti jalur pendidikan non formal sangat didorong orang tuanya, Parhan Silmi (48), karena
66 bisa dilakukan si anak sambil membantu pekerjaan rumah tangga orangtuanya di rumah. Hal yang hampir sama juga dialami oleh anak bernama Tati Setiawati (16) yang kini duduk dibangku kelas 3 program Paket B pada PKBM Ciimbangsari. Putri dari pasangan Suryana (40) dan Siti Chadijah (35) yang sehari-harinya bekerja hanya sebagai buruh tani itu mengaku bangga kalau dirinya bisa mengikuti pendidikan setara SMP sambil bisa mengikuti pendidikan (ngaji) di Pesantran yang tidak jauh dari tempat tinggalnya di Kampung Cijerah Sukasari. Hoyong gaduh ijazah kanggo neraskeun sakola ka SLTA (Ingin punya ijazah dan bisa melanjutkan ke SLTA), ungkapnya ketika ditanya tentang citacitanya dikemudian hari setelah lulus dari Kejar Paket B yang diikutinya sejak tahun 2006 itu. Mung hanjakal guruna (para tutornya) sering tara sumping (namun sayangnya, para guru atau tutornya sering tidak hadir), disamping kadang sulit membagi waktu antara kegiatan belajar di PKBM dengan pesantren, tegasnya ketika ditanya tentang kendala yang sering dihadapinya dalam kegiatan belajar di PKBM. Sedikit berbeda dengan Tati Setiawati adalah apa yang dialami Siti Fatimah (15). Saat ini, putri dari pasangan Sahmudin (38) dan Ibu Eeng (35) ini berkesempatan bisa mengikuti program Paket B yang diintegrasikan dengan pendidikan agama (ngaji) yang sedang dijalaninya di Pesantren. Paket B Pontern, itulah sebutan program yang sedang dijalani anak bernama Siti Fatimah ini. Jika anak bernama Tati Setiawati merasa terganggu karena harus mengikuti dua program pendidikan ; PKBM dan Pesantern, maka Siti Fatimah justru
67 merasa lebih beruntung karena bisa mengikuti program Paket B secara terintegrasi dalam pengajaran di pesantren yang menjadi pilihannya setelah menamatkan SD pada tahun 2007 lalu. Hoyong gaduh ijazah sareng dipiwarang pa Ustadz sareng teu kedah mayar (ingin punya ijazah dan disuruh pa Ustadz, disamping tidak harus membayar), tegasnya ketika ditanya motivasi yang mendorongnya si anak mengikuti program kesetaraan (Paket B) di pesantren Al Hikmah yang tidak jauh dari lokasi tempat tinggalnya di Kampung Caringin Desa Sukasari. Orang tuanya yang bekerja sebagai buruh tani itu mengaku kalau anaknya terpaksa masuk pesantren karena tidak memiliki biaya untuk bisa melanjutkan ke SMP sebagaimana dilakukan teman-teman yang lainnya. Lain yang dialami oleh kasus tiga anak di atas, lain pula yang dialami oleh anak yang bernama Ela Susilawati (16), anak ke 3 dari lima anak dari pasangan Bapak Usep (40) dan Ibu Dedah (38) yang sehari-harinya bekerja sebagai buruh tani itu.
Anak yang pernah mengikuti pendidikan melalui jalur
SMP Terbuka ini dipaksa orang tua dan lingkungannya untuk melanjutkan pendidikan dasarnya melalui program Paket B yang tidak jauh dari Rumahnya. Namun baru saja menjalaninya sampai kelas 2 smester I, ia keluar alias drop out dengan alasan malas belajar. Bosan sekolah, disamping malu, tegasnya ketika ditanya tentang alasannya tidak mau melanjutkan sekolah. Hal senada juga diungkapkan oleh orang tuanya yang berpendidikan SD itu. Menurutnya, meskipun banyak pihak yang memotivasi dan sekaligus menggiring anaknya supaya bisa menamatkan pendidikan melalui program Paket B, namun karena anaknya yang memang malas, maka pada akhirnya ia
68 pun harus merelakan anaknya tidak bisa melanjutkan pendidikan sebagaimana diikuti oleh anak-anak yang lainnya. Tos teu hoyongeun sakola (sudah tidak punya minat bersekolah), tegasnya menambahkan. Itulah beberapa kasus yang berhasil diangkat untuk menggambarkan tentang bagaimana anak dari keluarga yang kurang beruntung, sebut pula anak dari keluarga miskin, dengan kondisi kehidupan sehari-harinya yang serba paspasan, bahkan dengan kesibukannya yang harus membantu orang tua mempertahankan hidupnya, tetap bisa mengikuti pendidikan dasarnya, kendati hanya melalui jalur pendidikan non-formal. Tentu saja, beberapa kasus yang diangkat di sini hanyalah bagian kecil dari potret sekian banyak anak usia sekolah di Kabupaten Cianjur yang karena banyak faktor, umumnya faktor ekonomi dan faktor geografis, atau keduaduanya, bahkan faktor psikologis dan faktor lainnya, terpaksa tidak bisa mengikuti pendidikan pada jalur formal sebagaimana yang ditempuh oleh anakanak yang lainnya. Sebagiannya terdaftar mengikuti proses pembelajaran melalui Kelompok Belajar (Kejar) Paket A (setara SD) atau B (setara SMP) di Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) yang tersebar disetiap kecamatan. Sebagian yang lainnya aktif mengikuti program yang sama di beberapa Pondok Pesantren Salafiyah dengan cara mengintegrasikan program Wajar Dikdas (Paket A dan B) ke dalam Kurikulum pesantren. Seperti diungkapkan oleh Kasubdin Pendidikan Luar Sekolah (PLS), Drs. Himam Haris MPd, sejak tahun 1994 yang lalu, persisnya sejak Program Wajar Dikdas pertama kali mulai banyak diangkat dan digalakan, banyak upaya dan langkah yang telah dan sedang dilakukan Bidang PLS dalam mendukung
69 upaya penuntasan Wajar Dikdas 9 Tahun selama ini, termasuk yang dilakukan atas dasar kerja sama dan koordinasi dengan Kantor Departemen Agama Kabupaten Ciajur. Wujud konkritnya, jumlah kelompok maupun warga belajar yang aktif berpartisipasi mengikukti program pendidikan kesetaraan, baik untuk jenjang SD (Kejar Paket A) maupun SLTP (Kejar Paket B) yang diharapkan bisa membantu mempercepat sukses Wajar Dikdas 9 Tahun, dari tahun ketahunnya terus mengalami peningkatan. Peningkatan trend tersebut terjadi tidak saja karena didukung oleh adanya kebijakan pusat yang memang banyak mendukung, termasuk dukungan anggarannya, tetapi juga oleh adanya komitmen yang kuat dari Pemerintah Daerah Kabupaten Cianjur sendiri, termasuk komitmen sektor lain yang terkait. Adanya MoU antara Ka Dinas P dan K, BKKBN serta Kantor Departemen Agama dalam rangka Pembangunan Keluarga Sejahtera / Sakinah melalui peningkatan peran PKBM, salah satunya, merupakan bukti bahwa implementasi kebijakan pendidikan jalur non formal ini memperoleh dukungan yang kuat dari sektor lainnya. Hal yang sama juga ternyata telah dilakukan dinas P dan K Kabupaten Cianjur dengan Gerakan PKK dalam pemberantasan buta aksara melalui Program Keaksaraan Fungsional, pendidikan berbasis kesetaraan jender, Kelompok Belajar Usaha (KBU), pengembangan program PAUD dan bahkan secara khusus dalam pelaksanaan percepatan pencapaian Wajar Dikdas 9 tahun. Berikut ini adalah perkembangan jumlah kelompok belajar Kejar dan warga belajar yang aktif dalam pelaksanaan Program Pendidikan Luar Sekolah,
70 sebut pula pendidikan non formal, dalam rangka menunjang program percepatan Wajar Dikdas 9 tahun, baik yang dikelola melalui jalur Dinas Pendidikan dan Kebudayaan maupun Jalur Departemen Agama sebagaimana bisa ditelaah dalam figur di bawah ini : Tabel 4.14 : Perkembangan Jumlah Kelompok dan Warga Belajar Program Pendidikan Luar Sekolah Kabupaten Cianjur Kejar Paket B
Kejar Paket A TAHUN
Jml Kel
Jml WB
Ikut UN
2004
13
260 119
2005
9
2006
Lulus
Jml Kel
Peserta UN
Lulus
94
208 4.160 1.362
877
971
268 106
58
336 6.720 1.416
989
1.047
10
284 165
144
336 5.180 2.943
707
851
2007
10
300
50
27
398 7.803 3.420 1.953
1.980
2008
11
409 249
112
367 8.398 6.519 3.497
3.609
RataRata
-
302 138
87
-
Jml WB
Jml Total Lulusan Paket Kejar A dan B
6.452 3.132 1.605
1.692
Sumber : Dokumentasi Subdin PLS Dinas P dan K Kabupaten Cianjur
Dari tabel di atas nampak bahwa jumlah kelompok belajar (Kejar), baik untuk Paket A (Setara SD/MI) maupun Paket B (setara SLTP), dari tahun ketahunnya menunjukan trend peningkatan, khususnya untuk Kejar Paket B. Demikian pula untuk warga belajarnya (WB). Jumlah anak yang mengikuti program paket A, meningkat dari 260 anak pada tahun 2004 menjadi 302 anak pada tahun 2008. Demikan halnya untuk paket B meningkat dari 4.160 anak pada 2004 menjadi 8.398 anak pada tahun 2008, meningkat lebih dari 100 persen dalam kurun waktu lima tahun. Semua itu menunjukan bahwa kehadiran jalur pendidikan non formal nampak merupakan pilihan akhir bagi anak dari keluarga miskin dalam memenuhi kebutuhan pendidikan dasarnya.
71 Namun dari tabel di atas pula nampak bahwa besarnya jumlah warga belajar (WB) yang setiap tahunnya terus mengalami peningkatan, ternyata tidak sebanding dengan besarnya jumlah warga belajar yang mengikuti Ujian Nasional (UN), bahkan sangat tidak sebanding dengan jumlah mereka yang lulus UN. Persisnya, dari rata-rata jumlah warga belajar sebanyak 302 anak, hanya 138 anak yang bisa mengikuti UN, atau sekitar 45 persen, dan hanya 87 anak yang berhasil atau lulus UN, atau sekitar 28 persen dari jumlah warga belajar. Padahal menurut standar pelayanan minimum (SPM) yang telah ditetapkan, jumlah WB yang diharapkan bisa mengikuti UN adalah sebesar 95 persen. Demikian halnya untuk Paket B atau setara SLTP, dari rata-rata jumlah warga belajar sebanyak 6.452 anak, hanya 3.132 yang mengikuti UN, atau sekitar 48,5 persen. Bahkan dari jumlah warga belajar sebanyak itu, 6.452 anak hanya sekitar 26 persen atau sebanyak 1.692 anak yang berhasil lulus ujian nasional. Angka kelulusan ini sangat jauh dari SPM sebagaimana diatur Kepmendiknas Nomor 129a Tahun 2004 yang menetapkan angka 95 persen. Itu semua menunjukan bahwa ada masalah yang belum terpecahkan dalam proses penyelenggaraan program kesetaraan yang berjalan selama ini. Seperti diungkapkan Kasubdin PLS Dinas P dan K Kabupaten Cianjur, Drs, Himam Haris MPd, proses belajar mengajar di PKBM sering terganggu oleh karena banyak warga belajar yang yang terpaksa tidak bisa mengikutinya hanya karena mereka harus membantu pekerjaan orang tuanya yang memang miskin. Buat mereka, belajar adalah pemanfaatan sisa waktu luang dari banyak kegiatan yang harus dijalani untuk berjuang membantu kehidupan keluarganya.
72 Fakta ini diakui oleh Muchtar Arief, salah seorang tokoh masyarakat penggerak kegiatan PKBM di Kecamatan Karangtengah. Menurutnya, benar bahwa dilihat dari banyak aspeknya, kehadiran Kejar Paket A dan B yang tergabung dalam PKBM ini sangat membantu anak dari keluarga tidak mampu, termasuk membantu pemerintah, dalam menyukseskan Wajar Dikdas 9 tahun. Bahkan melalui program Life Skill-nya, pendidikan kesetaraan yang dikembangkan pemerintah selama ini banyak membantu memberi mereka berbagai keterampilan yang bisa dijadikan salah satu modal hidupnya. Namun karena keterdesakan hidup yang harus dijalaninya, tak jarang diantara mereka yang tidak bisa mengikuti proses belajar mengajar sebagaimana mestinya, bahkan untuk bisa belajar dari modul yang diberikan. Da karunya ema (soalnya kasihan ibu), ungkap Hasan (14), salah seorang warga belajar di PKBM Mandiri Karangtengah yang terpaksa sering absen karena sehari-harinya harus membantu berdagang keliling dengan ibunya. Ditambahkan Muchtar Arief, pemerintah daerah pun belum optimal memperhatikan semua kebutuhan proses belajar mengajar (PBM), sebutlah seperti honor para tutor yang selain kecil juga sering terlambat diterima, disamping juga terhambat oleh ketersediaan sarana yang dibutuhkan untuk mendukung kelancaran proses belajar-mengajarnya. Kondisi itu diperparah oleh adanya perbedaan perlakukan antara PKBM yang didanai dari sumber APBN dengan PKBM yang didanai APBD kabupaten. Persisnya, jika penyerlenggaraan program Paket B yang didanai sumber APBN menyiapkan biaya tambahan untuk ATK dan motivasi, maka sumber dari APBD
73 tidak menyediakannya, tegas Drs. Dadang, salah seorang staf pengelola program kesetaraan dilingkungan Dinas P dan K Kabupaten Cianjur ini. Namun lepas dari semua masalah itu, dari hasil kajian peneliti menunjukan bahwa kehadiran program kesetaraan ini tetap masih memiliki kontribusi dalam akselerasi penuntasan Wajar Dikdas 9 tahun. Paling tidak, program luar sekolah ini telah berhasil membantu mengurangi jumlah anak usia 7-15 tahun yang tidak bisa mengakses pendidikan dasar melalui jalur pendidikan formal seperti bisa dilihat dalam figur di bawah ini : Tabel 4.15 : Kontribusi Pendidikan non Formal Dalam Menyerap Akses Pendidikan Anak Usia 7-15 Tahun
No
Tahun
1 2 3 4 5
2004 2005 2006 2007 2008
Jml Warga Belajar Paket A dan B *) 4.420 6.988 5.464 8.112 8.807
Jml Anak Usia 7-15 Tahun **) 377.737 393.365 398.565 402.918 407.694
Prosentase Penyerapan 1,17 % 1,77 % 1,37 % 2,01 % 2,16 %
Sumber : *) Dokumentasi pada Kasubdin PLS Dinas P dan K Kab Cianjur **) Hasil Pendataan BKKBN Kabupaten Cianjur
Dari figur di atas nampak bahwa dari total anak usia 7-15 tahun (anak usia SD/SMP) pada tahun 2004 sebanyak 377.737, sebanyak 4.420 atau sekitar 1,17 persen diserap melalui program pendidikan dasar non formal. Prosentasenya kemudian meningkat menjadi 1,77 % pada tahun 2005, dan meningkat lagi menjadi 2,16 % pada tiga tahun berikutnya, tahun 2008. Bahkan jika dibanding dengan jumlah total siswa SD/ SLTP yang ada, maka prosentase kontribusinya lebih besar lagi sebagaimana bisa ditelaah dalam figur di bawah ini :
74 Tabel 4.19 : Kontribusi Pendidikan non Formal Di banding Jumlah Total Siswa SD/SLTP
No
Tahun
1 2 3 4 5
2004 2005 2006 2007 2008
Jml Warga Belajar Paket A dan B *) 4.420 6.988 5.464 8.112 8.807
Jml Total Siswa SD/SLTP 316.755 341.315 354.830 363.867 377.745
Prosentase Penyerapan 1,39 % 2,04 % 1,53 % 2,29 % 2,33 %
Sumber : *) Dokumentasi pada Kasubdin PLS Dinas P dan K Kab Cianjur **) Hasil Pendataan BKKBN Kabupaten Cianjur
Dari tabel di atas nampak bahwa jumlah warga belajar Paket Kejar A dan B dibanding jumlah total anak yang trertampung dalam bangku pendidikan SD/SLTP meningkat dari hanya 1,39 persen pada tahun 2004 menjadi 2,33 persen pada tahun 2008. Ini semua mengandung arti bahwa tidak sedikit sumbangan telah diberikan oleh pendidikan jalur non formal ini dalam membantu meningkatkan APK dan APM SD dan SLTP. g. Peningkatan Akses Melalui Jalur Pendidikan Sekolah Luar Biasa (SDLB dan SMP LB) Walaupun jumlahnya tidak banyak, kehadiran jalur pendidikan luar biasa, baik untuk tingkat SD (LB) maupun SMP (LB) dalam memberikan akses pendidikan dasar bagi Anak Berkebutuhan Khusus – ABK (Children with special needs), merupakan program tersendiri yang layak diperhitungkan dalam meningkatkan kinerja Wajar Dikdas 9 tahun di Kabupaten Cianjur. Alasannya, meskipun anak berkebutuhan khusus ini tidak semuanya merupakan anak dari keluarga miskin, namun dalam banyak aspeknya, kehadiran mereka, dengan kelainan yang dimilikinya (kelainan phisik maupun kelainan mental-intelektual, termasuk kelainan sosial dan emosionnalnya), layak diperhitungkan sebagai
75 salah satu faktor yang apabila tidak ditangani akan menjadi salah satu faktor penghambat dalam mendukung akseresai penuntasan Wajar Dikdas 9 tahun. Di bawah ini adalah kontribusi lembaga pendidikan SDLB dan SMPLB dalam
melayani
pendidikan
bagi
anak
berkebutuhan
khusus
(ABK)
sebagaimana bisa ditelaah dalam tabel berikut ini : Tabel 4.17 Trend Peningkatan Akses Pendidikan Dasar Bagi Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) Kabupaten Cianjur
No
Tahun
Jenis Sekolah
Jumlah Sekolah
Jumlah Siswa Kelas 1
Kelas 2
Kelas 3
Kelas 4
Kelas 5
Kelas 6
Jumlah
16
15
20
120
SDLB
6
25
24
20
SMPLB
5
9
9
6
SDLB
6
26
25
24
SMPLB
5
20
9
9
SDLB
6
38
26
25
SMPLB
5
15
20
9
SDLB
6
49
38
26
SMPLB
5
16
15
10
SDLB
6
32
49
38
SMPLB 5 16 Sumber : Gugus SLB Kabupaten Cianjur
15
20
1
2
3
4
5
2004
2005
2006
2007
2008
24 20
16
15
38 24
20
16
149 44
25
24
10
172 41
26
25
24
Dari tabel diatas nampak bahwa jika dibandingkan dengan jumlah total siswa usia 7-15 tahun pada tahun 2008 sebesar 377.745, maka kontribusi SDLB dan SMPLB dalam menunjang akselerasi peningkatan Wajar Dikdas 9 tahun bagi anak dari keluarga tidak beruntung atau miskin jatuh pada angka 0.07 %, sebuah angka yang relatif kecil namun memiliki makna penting tersendiri dalam menjamin kelangsungan pendidikan mereka sebagai bagian dari salah satu haknya sebagaimana telah dijamin Undang-undang.
126
194 51
76 5. Upaya Peningkatan Daya Tampung Jika program yang dibahas sebelumnya lebih terfokus pada implementasi kebijakan Wajar Dikdas dilihat dari dimensi peningkatan akses melalui berbagai programnya, maka uraian berikut ini lebih terfokus pada upaya peningkatan daya tampung satuan pendidikan dasar
dalam bentuk pembangunan unit
sekolah baru (USB), ruang kelas baru (RKB) maupun dalam bentuk rehabilitasi terhadap sekolah maupun ruang kelas yang kondisinya rusak, mulai dari rusak ringan sampai rusak berat. a. Pembangunan Unit Sekolah Baru (USB) Dari hasil penelitian terungkap bahwa sejak tahun 2004 sampai dengan tahun 2008 telah berhasil dibangun sebanyak 17 Unit Sekolah Baru (USB)
yang seluruh pendanaannya berasal dari sumber pusat dengan
rincian sebagaimana bisa ditelaah dalam figur sebagai berikut :
TABEL 4.18 : PENAMBAHAN DAYA TAMPUNG MELALUI PEMBANGUNAN UNIT SEKOLAH BARU (USB)
TAHUN
JUMLAH USB YANG DIBANGUN (SD/SMP)
JML RUANG KELAS
KAPASITAS DAYA TAMPUNG SISWA
SUMBER DANA
2004
-
-
-
-
2005
2
6
240
APBN
2006
4
12
480
APBN
2007
4
12
480
APBN
2008
7
21
840
APBN
JUMLAH
17
51
2.040
-
Sumber : Data Subdin Sarana Dinas P dan K Kabupaten Cianjur 2008 Dari tabel di atas nampak bahwa dalam periode lima tahun sejak tahun 2004 sampai 2008, pemerintah hanya mampu menambah Unit
77 Sekolah Baru (USB) yang dapat membantu meningkatkan daya tampung siswa sebanyak 17 buah dengan jumlah ruang kelas sebanyak 51 buah. Dengan asumsi bahwa setiap ruang kelas bisa menampung 40 siswa, maka pembangunan USB selama lima tahun hanya mampu menambah kapasitas daya tampung sebesar 2.040 siswa, atau hanya 408 siswa setiap tahunnya. Jika dibandingkan dengan penambahan secara absolut anak usia 7-15 tahun yang mencapai angka 7.500 anak setiap tahunnya, maka program penambahan USB hanya menyumbangkan
sekitar 5,44 persen dalam
meningkatkan daya tampung, angka yang sangat jauh dari kebutuhan yang sesungguhnya. b. Penambahan Ruang Kelas Baru (RKB) Jika pembangunan USB lebih banyak ditujukan dalam rangka memperluas akses pelayanan pendidikan dasar di daerah-daerah kantung, sebut pula daerah-daerah terpencil dengan sasaran Wajar Dikdas yang banyak namun dengan tingkat pencapaian APK dan APM yang rendah, maka program penambahan ruang kelas baru (RKB) lebih banyak diarahkan kepada upaya untuk meningkatkan daya tampung siswa bagi sekolahsekolah yang mengalami kelebihan kapasitas - over capacity. Demikian kebijakan yang diambil Dinas Pendidikan Kabupaten Cianjur sebagaimana ditegaskan Kasubdin Prasarban, Drs. Adang Subagja M.Pd dalam sebuah wawancara dengan peneliti yang juga dikuatkan oleh Wakil Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Cianjur, Drs. Djadjang Sofyan Haris SH. MM. Ditambahkan oleh Wakadis, ada tiga faktor yang selama ini sering menjadi penyebab sebuah sekolah mengalami over capacity, dan
78 karenanya senantisa menjadi prioritas dalam penentuan lokasi penambahan Ruang Kelas Baru (RKB) ini. Yang pertama, adalah sekolah yang berlokasi di daerah dengan laju pertumbuhan penduduk yang tinggi. Sementara dua penyebab lainnya berkait dengan letak strategis lokasi sekolah kalau bukan karena keberhasilan pihak sekolah dalam membangun public image yang memungkinkan masyarakat lebih banyak meminatinya. Di bawah ini adalah perkembangan jumlah penambahan RKB dalam rangka meningkatkan daya tampung anak sekolah sebagai bagian tak terpisahkan dari implementasi kebijakan percepatan Wajar Dikdas 9 Tahun yang terjadi sejak tahun 2004 sampai dengan tahun 2008. TABEL 4.19 : PENAMBAHAN DAYA TAMPUNG MELALUI PEMBANGUNAN RUANG KELAS BARU (RKB) BAGI SD/MI DAN SMP/MTs
TAHUN
JUMLAH SEKOLAH YANG MENDAPAT BANTUAN
JML RUANG KELAS BARU YANG DIBANGUN
TAMBAHAN KAPASITAS DAYA TAMPUNG SISWA
SUMBER DANA
2004
-
-
-
-
2005
30
65
2.600
APBN
2006
29
88
3.520
APBN
2007
57
171
6.480
APBN
2008
26
78
3.120
APBN
Jumlah
142
402
16.080
-
Sumber : Data Subdin Sarana Dinas P dan K Kabupaten Cianjur 2008 Jika melalui pembangunan USB dalam lima tahun sebagaimana telah diungkapkan di atas mampu meningkatkan kapasitas daya tampung sebanyak 2.040 siswa, atau sekitar 408 siswa setiap tahunnya, maka jumlah anak yang bisa ditampung melalui pembangunan RKB yang jumlahnya
79 mencapai 402 RKB itu bisa mencapai angka 16.080 siswa, atau sebanyak 3.216 siswa setiap tahunnya. Dengan
demikian,
jumlah
total
daya
tampung
USB
dan
pembangunan RKB dalam lima tahun mencapai angka 18.120 anak, atau penambahan kapasitas daya tampung sebanyak 3.624 siswa setiap tahunnya. Bandingkan dengan rata-rata penambahan anak usia 7-15 tahun, tambahan anak usia Wajar Dikdas 9 tahun, yang setiap tahunnya mencapai angka tidak kurang dari 7.500 anak, sebuah angka yang besarnya melebihi kemampuan pemerintah untuk menampungnya. Itu semua mengandung arti bahwa kemampuan pemerintah dalam menambah daya tampung siswa dalam rangka akselerasi Wajar Dikdas 9 tahun selama ini hanya mencapai angka sekitar 48 persen. Artinya, sulit bagi pemerintah untuk bisa memenuhi kewajibannya menyediakan fasilitas ruangan kelas yang memadai jika tidak diimbangi dengan pengembangan jalur pendidikan alternatif, termasuk pengembangan jalur pendidikan non formal kalau bukan ditunjang dengan pengembangan sekolah swasta. Itulah pula yang menjadi kendala dalam membantu meningkatkan akses pendidikan dasar bagi anak dari keluarga miskin. Logikanya, semakin banyak sekolah yang mengalami over capacity, maka akan semakin besar kemungkinan anak dari keluarga miskin yang tidak bisa tertampung mengikuti pendidikan. c. Rehabilitasi Ruang Kelas Dengan maksud untuk memelihara kelangsungan proses belajar dan mengajar sesuai dengan yang diharapkan, terutama dikaitkan dengan
80 banyaknya kondisi bangunan sekolah SD maupun SMP, termasuk MI dan MTs yang dalam keadaan rusak sebagaimana telah dijelaskan dalam uraian sebelumnya, maka upaya untuk merehabilitasi banyak bangunan sekolah rusak, baik rusak ringan maupun rusak berat, merupakan langkah strategis tersendiri dalam upaya penuntasan Wajar Dikdas 9 tahun. Seperti diungkapkan oleh Kadis Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Cianjur, meskipun program rehabilitasi ini tidak memiliki dampak dalam meningkatkan daya tampung, tetapi membiarkannya, terutama membiarkan bangunan sekolah yang dalam kondisi rusak berat, justeru bisa berdampak mengurangi daya tampung sekolah yang ada. Menurut sumber dari Kasubdin Prasarana dan Bantuan Dinas P dan K Kabupaten Cianjur, jumlah total ruang kelas yang berhasil direhabilitasi dalam kurun waktu lima tahun sejak tahun 2004 sampai dengan tahun 2008 adalah sebanyak 1.598 ruang kelas, terdiri dari 1.084 ruang kelas untuk SD dan MI dan sebanyak 234 ruang kelas untuk jenjang sekolah SMP dan Madrasah Tsanawiyah. Dengan asumsi bahwa setiap ruang kelas bisa menampung 40 siswa, maka kegiatan rehabilitasi sekolah yang dilaksanakan dalam kurun waktu lima tahun paling tidak telah memberikan sumbangan dalam memelihara atau mempertahankan kemampuan sekolah untuk menampung sebanyak 63.920 siswa. Pengalaman selama ini menunjukan banyak proses belajar dan mengajar menjadi terganggu, bahkan anak tidak bersekolah karena ruang sekolahnya roboh atau tidak layak dipakai sebagaimana layaknya sebuah sekolah.
81 6. Upaya Pemberian Bantuan Untuk Meringankan Beban Pembiayaan Pendidikan Bagi Anak Dari Keluarga Miskin Sebagai bentuk keberpihakan pemerintah terhadap rakyatnya yang tidak mampu, banyak upaya pemerintah telah dilakukan dalam rangka membantu meringankan beban pembiayaan pendidikan bagi anak dari keluarga miskin, baik yang bersumber dari pemerintah pusat, provinsi maupun Kabupaten. a. Pemberian Bantuan Melalui Program BOS Esensi dari Program bernama Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang bersumber dari bantuan pemerintah pusat ini
adalah untuk
memberikan bantuan kepada sekolah dalam rangka membebaskan iuran siswa yang selama ini sering menjadi masalah bagi anak dari keluarga miskin, dengan catatan bahwa sekolah penerima bantuan tetap dapat mempertahankan mutu pelayanan pendidikan kepada masyarakat sesuai dengan standar pelayanan yang telah ditentukan. Adapaun sasaran program BOS sebagaimana telah ditetapkan Pertunjuk Teknis yang dirumuskan tingkat pusat adalah semua sekolah pada jenjang pendidikan dasar (SD/MI dan SMP/ MTs) baik negeri maupun swasta.
Sementara
untuk
jalur
pendidikan
non
formal
seperti
penyelenggaraan Program Paket A, Paket B dan SMP Terbuka tidak termasuk
sasaran
dari
PKPS-BBM.
Alasannya,
ketiga
program
penyelenggaraan pendidikan tersebut telah dibiayai secara penuh oleh pemerintah. Seperti
tertera
dalam
buku
petunjuk
teknisnya,
pemerintah
menggulirkan program bernama Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang
82 dimulai pada tahun 2005 ini adalah untuk menanggulangi secara bertahap pemenuhan Biaya Satuan Pendidikan (BSP) yang diperlukan untuk menunjang terselenggaranya proses belajar mengajar sesuai dengan standar pelayanan minimum yang telah dietapkan. BSP ini terdiri dari biaya investasi, yaitu biaya yang dikeluarkan untuk menyediakan sumber daya tidak habis pakai yang dapat digunakan lebih dari setahun (misalnya untuk pengadaan tanah, bangunan, perabot kantor); dan biaya operasional, yaitu biaya yang dipergunakan untuk menyediakan sumber daya yang habis pakai yang mencakup biaya personil dan non personil. Unit cost BOS yang ditetapkan untuk setiap siswa per tahun untuk tingkat SD/MI sebesar Rp.235.000,00, dan untuk tingkat SMP/MTs sebesar Rp.324.500,00. Dari hasil penelitian terungkap bahwa untuk tahun 2008 saja, Kabupaten Cianjur telah menerima bantuan yang bersumber dari dana BOS ini sebesar tidak kurang dari Rp.101.443.731.400,-, termasuk didalamnya bantuan BOS untuk pembelian buku yang diperuntukan bagi tidak kurang dari 1.587 buah sekolah untuk tingkat SD/MI dengan jumlah siswanya sebanyak 272.149 anak, dan 172 buah sekolah untuk tingkat SMP/MTs dengan jumlah siswanya sebanyak 75.672 anak. Bandingkan dengan jumlah alokasi BOS tahun sebelumnya, tahun 2007, sebesar Rp. 99.443.731.000,- yang diperuntukan bagi 1237 SD/MI dengan jumlah siswanya sebanyak 266.296 anak, dan 127 SMP/MTs dengan jumlah siswanya sebanyak 57.185 anak. Bandingkan pula dengan bantuan
BOS
untuk
tahun
2006
yang
baru
mencapai
angka
Rp.75.427.823.500,- yang diperuntukan bagi 1.465 SD/MI dengan jumlah
83 siswanya sebanyak 287.452 anak, dan 228 SMP/MTs dengan jumlah siswanya sebanyak 67.996 anak. Singkatnya, besaran jumlah bantuan dana untuk BOS untuk Kabupaten Cianjur ini, setiap tahunnya terus mengalami peningkatan sebagaimana tergambar dalam figur di bawah ini :
Tabel 4. 20 : Perkembangan Program Pemberian Bantuan Melalui Program BOS Kabupaten Cianjur 2005-2008
THN
JML SD /MI PENER IMA BOS
2005 2006 2007 2008 Jml
1.468 1465 1237 1.587 -
JUMLH SISWA
JML SMP PENERI MA BOS
JML TOTAL SISWA
JUMLAH TOTAL BIAYA BOS YG DITERIMA KABUPATEN CIANJUR
284.546 287.452 266.296 272.149 -
248 228 127 172 -
64.277 67.996 57.185 75.672 -
Rp. 10.428.943.250,- *) Rp. 75.427.823.500,Rp. 99.187.766.000,Rp.101.443.731.400,Rp.497.548.704.800,-
*) Hanya untuk periode Juli Desember 2008 dan tidak termasuk BOS untuk buku
Dari tabel di atas nampak bahwa sejak triwulan akhir tahun 2005 sampai dengan tahun 2008, pemerintah telah mengeluarkan dana BOS yang dampaknya diharapkan bisa membantu meringankan beban pendidikan bagi anak dari keluarga miskin ini tidak kurang dari Rp. 497.548.704.800,-, disamping juga membantu meringankan beban pendidikan bagi anak lainnya yang berada pada jenjang pendidikan dasar. Paling tidak, demikian diungkapkan oleh salah seorang Kepala Sekolah Dasar Sayang Semper Kecamatan Cianjur, Ibu Neneng, bahwa besarnya jumlah dana BOS tersebut telah banyak membantu beban banyak sekolah pinggiran yang sebelumnya sering dihadapkan kepada besarnya beban opersional sekolah karena tidak sedikit anak dari keluarga miskin yang tidak mampu membayar iuran sekolah. Jika dulu pihak sekolah sering
84 dihadapkan kepada banyak kesulitan karena banyak anak dari keluarga miskin yang tidak bisa membayar iuran sekolah, kini masalahnya teratasi karena ada bantuan BOS. b. Pemberian Bantuan Melalui Program Lainnya Di luar Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang telah menjadi kebijakan pemerintah pusat dalam rangka mempercepat pencapaian target Wajar Dikdas 9 tahun pada umumnya, dan membantu meringankan beban pendidikan bagi anak dari keluarga miskin pada khususnya, untuk maksud dan sasaran yang sama, Kabupaten Cianjur juga, sebagaimana juga kabupaten lainnya, memiliki program yang disebut dengan BAGUS, yakni Bantuan Gubernur untuk Siswa Miskin yang bersumber dari APBD Tingkat I jawa Barat yang disalurkan melalui Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat. Bedanya, jika bantuan dari program BOS diperuntukan untuk membantu beban biaya operasional Sekolah pada jenjang SD/MI sampai SMP/MTs, maka program BAGUS ditujukan untuk membantu secara langsung meringankan beban biaya personal anak tidak mampu alias miskin. Itu pun hanya diperuntukan bagi anak dari keluarga miskin yang berada pada jenjang pendidikan tingkat SMP/MTs, termasuk anak yang belajar di Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM). Persisnya, demikian dikemukakan dalam Petunjuk Teknis (Juknis) Penyaluran dan Pemanfaatan Dana Bagus (2008), bahwa sasaran program yang pada tahun sebelumnya (2007) yang terkenal dengan sebutan Kartu Bebas Biaya Sekolah (KBBS) itu memiliki sasaran sebagai berikut (1) anak lulusan SD/MI sederajat yang putus sekolah atau tidak melanjutkan
85 sekolah, (2) anak yang drop out di kelas 1,2,3 pada jenjang pendidikan SMP/MTs/PKBM, (3) siswa kelas 2 dan 3 SMP/MTs/PKBM (Paket B) yang rawan DO berasal dari keluarga miskin yang pada tahun 2006 atau 2007 telah memperoleh BAGUS dan masih berada di sekolah. Singkatnya, jika penerima dan yang mengatur penggunaan BOS adalah Kepala Sekolah, maka penerima program KBBS dan BAGUS adalah siswa secara langsung dengan besaran jumlah biaya yang diterima persiswa adalah Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah) pertahun untuk KBBS yang berjalan pada tahun 2005, dan Rp. 500.000,- (lima ratus ribu rupiah) persiswa pertahun untuk program BAGUS. Adapun penggunaannya diarahkan kepada 8 komponen biaya pendidikan yang selama ini sering menjadi beban pendidikan anak dari keluarga miskin, yakni (1) pakaian seragam sekolah anak, (2) pakaian khusus seragam sekolah, (3) pakaian pramuka, (4) pakaian olah raga, (5) sepatu, (6) tas sekolah, (7) alat tulis, dan (8) pembelian buku tulis. Sementara bagi anak yang menjadi warga belajar pada program Paket B setara SMP, penggunaannya diarahkan kepada upaya untuk membiayai lima komponen biaya pendidikan, yakni (1) pembelian alat tulis, (2) penyelenggaraan tes belajar, (3) buku pelajaran, (4) bahan keterampilan belajar, dan (5) biaya transportasi. Singkatnya, demikian diungkapkan Kasubdin Dikdas pada Dinas P dan K Kabupaten Cianjur, Agus S Maelani, bantuan program bernama BAGUS ini diberikan untuk membantu mengurangi beban biaya pendidikan bagi anak dari keluarga miskin yang tidak terbiayai oleh bantuan yang bersumber dari program BOS.
86 Di bawah ini adalah data mengenai banyaknya sekolah (SMP/Mts), besarnya biaya dan banyaknya jumlah anak dari keluarga miskin di Kabupaten Cianjur yang telah dan sedang menikmati pemberian bantuan program KBBS serta BAGUS, sebutlah pula beasiswa miskin, sebagai berikut : Tabel 4. 21 : Perkembangan Bantuan Bagi Anak Miskin yang dialokasikan Untuk Kabupaten Cianjur
No
Tahun
Sumber / Program
1
2005
2
2006
3 4
2007 2008
Kartu Bebas Biaya Sekolah (KBBS) Bantuan Gubernur Untuk Sekolah (BAGUS) BAGUS Bantuan Siswa Miskin (BSM)
Jumlah Siswa Penerima Bantuan 8.900
Besarnya Bantuan per siswa
Jumlah Total Bantuan Biaya (Rp)
Rp1.000.000
Rp.8.900.000.000,-
3.434
Rp.500.000
Rp. 1.717.000.000,-
10.615 4.995
Rp.500.000 Rp.576.000
Rp. 5.307.500.000,Rp. 1.438.560.000,-
Jumlah Sumber : Dokumentasi pada Subdin Dikdas Kantor P dan K Kab. Cianjur
Dari tebel diatas terungkap bahwa sejak tahun 2005 sampai dengan tahun 2008, terdapat tiga bentuk program bantuan yang digulirkan pemerintah provinsi maupun pemerintah pusat dalam rangka membantu meringankan beban pembiayaan pendidikan bagi anak dari keluarga miskin. Yang pertama, tahun 2005, adalah program yang disebut dengan Kartu Bebas Biaya Sekolah (KBBS) yang digulirkan pemerintah provinsi
87 Jawa Barat untuk membantu 8.900 anak sekolah. Yang kedua, adalah program yang dikenal dengan sebutan Bantuan Gubernur Untuk Sekolah (BAGUS) yang sekaligus merupakan pengganti dari program KBBS dengan jumlah biaya sebanyak 1,7 milyar untuk membantu sebanyak 3.434 siswa miskin selama tahun 2006, dan meningkat pada tahun 2007 menjadi 5,3 milyar untuk membantu tidak kurang dari 10.1000 siswa miskin, atau Rp. 500.000,- persiswa dalam setahunnya. Sementara yang ketiga, adalah program yang disebut dengan Bantuan Siswa Miskin (BSM) yang bersumber dari pemerintah pusat sekaligus juga sebagai pengganti dari program BAGUS yang berakhir pada tahun 2007 dengan besaran biaya sebanyak 1,4 milyar untuk membantu hampir 5.000 siswa miskin dengan masing-masing siswa memperoleh bantuan
sebesar Rp. 576.000,-
pertahunnya. Tentang bagaimana implementasinya dilapangan, berikut ini adalah hasil wawancara dengan beberapa siswa penerima manfaat dana Bagus, termasuk wawancara dengan pengelolanya pada tingkat sekolah. Yang pasti, hampir semua sekolah penerima bantuan dana Bagus, tidak serta merta memberikan bantuan tersebut dalam bentuk pemberian bantuan uang secara langsung kepada murid, melainkan semuanya dikelola oleh sekolah sesuai dengan komponen peruntukan sebagaimana tercantum dalam Juknis. Alasannya, demikian diungkapkan oleh para pihak sekolah penerima dana BAGUS, pemberian uang tunai secara langsung kepada anak justeru dikhawatirkan tidak mengenai sasaran karena sulit dalam pengendaliannya. Lamun dipasihkeun artosna, saminggu oge seep (kalau diberikan uangnya,
88 seminggu juga habis), kata Bapak Toto, guru olah raga sekaligus bagian kesiswaan SMPN 4 Cianjur yang diberi tugas mengelola dana BAGUS disekolahnya. Sebaliknya, dengan pengaturan oleh sekolah diharapkan setiap anak bisa menikmati dan menggunakan bantuan dana dimaksud sesuai dengan yang diharapkan. Alasan lainnya, pihak sekolah terpaksa harus memutar otak karena alokasi dan kuota jumlah siswa miskin yang menerima bantuan dana BAGUS disekolahnya ternya jauh lebih kecil dibanding jumlah total anak msikin yang diajukan. Parsisnya, kata Toto, dari 251 siswa miskin yang diajukan pada tahun 2008, ternyata hanya 160 yang mendapatkan bantuan. Karenanya, pihak sekolah terpaksa harus mengatur kembali pembagiannya sesuai dengan jumlah anak miskin yang ada disekolahnya. Dan itulah pula yang menyebabkan siswa tidak bisa memperoleh paket sesuai dengan yang semestinya, Rp. 500.000,- persiswa dalam setahunnya. Mardi Sucipto, salah satu siswa kelas 2 penerima dana BAGUS di SMPN 5 Cianjur, misalnya, mengaku kalau dari sekolahnya pernah menerima paket bantuan berupa buku tulis, seragam sekolah, baju pramuka, kaos olah raga dan sepatu, kendati pun tidak mengetahui nilai harga dari bantuan yang diterimanya, termasuk tidak mengetahui kalau bantuan dimaksud berasal dari dana bantuan yang bersumber dari BAGUS. Hal itu dikuatkan oleh pengakuan orang tuanya, Bapak Bedi yang sehari-harinya bekerja sebagai tukang becak. Syukur we aya keneh nu mantuan, sok sanajan teu nyukupkeun ( syukur masih ada yang membantu, walau pun tidak mencukupi), tegasnya ketika ditanya tentang pemberian
89 bantuan tersebut. Disebut tidak mencukupi, karena setiap harinya anak masih harus mengeluarkan biaya transportasi, bahkan masih harus mengeluarkan biaya untuk membeli keperluan sekolah yang lainnya, keluh orang tuanya yang ternyata memiliki 7 orang anak tersebut. Apa yang dialami Mardi Sucipto, berbeda dengan yang dialami Nurinda, siswi kelas 2 SMPN 4 Cianjur. Anak dari seorang tukang Mie Ayam ini mengaku telah menerima paket seperti yang diterima Mardi Sucipto yang siswa SMPN 5 Cianjur itu. Bedanya, dari sekolahnya ia juga menerima bantuan uang tunai sebesar Rp. 90.000,- untuk keperluan transportasi. Hal ini dibenarkan oleh pihak sekolah yang mengatakan bahwa setiap siswa memang memperoleh satu paket buku tulis, pakaian dan sebagainya senilai Rp.410.000,-, dan sisanya sebesar Rp.90.000,- diberikan tunai kepada setiap siswa untuk membantu transportasi. Celakanya, Nurinda yang merupakan anak kedua dari 4 bersaudara tersebut mengeluhkan kalau baju seragam yang diterima dari sekolahnya ternyata tidak bisa dipakai karena kekecilan. Teu kaanggo, tuh masih nagjugrug di bumi (tidak terpakai, sampai saat ini masih utuh ada di rumah), keluh ibunya, Ibu Nuraeni, yang suhari-harinya bekerja hanya membantu suaminya sebagai pedagang Mie Ayam. Ia juga mengeluhkan beratnya beban biaya transportasi, termasuk uang jajan anaknya ke sekolah yang bisa mencapai Rp.10.000,- setiap harinya, atau sekitar Rp. 250.000,setiap bulannya. Itu pun belum termasuk keperluan biaya sekolah yang lainnya, sebut seperti pemberian Lembar Kerja Siswa (LKS) yang masih sering dibebankan kepada siswa, tegas orang tuanya.
90 Masalah yang sama juga dikeluhkan orang tua anak dari Nining, salah seorang siswa penerima dana BAGUS yang masih duduk dibangku kelas 3 SMPN 3 Karangtengah. Meskipun anaknya sama memperoleh bantuan paket baju seragam, sepatu dan alat tulis, namun tanpa ada bantuan biaya transport sebagaimana diterima anak miskin di SMPN 4 Cianjur, namun ia yang bekerja hanya sebagai buruh tersebut merasa begitu terbebani dengan pungutan sekolah untuk pembelian lembar kerja siswa (LKS) yang biayanya mencapai Rp. 7.500,- per mata pelajaran. Ia juga mengeluhkan besarnya biaya transport sekolah anak yang setiap hari harus dikeluarkan. Singkatnya, meskipun bantuan dana yang bersumber dari dana BAGUS senilai Rp 500.000,- persiswa itu sedikit banyak telah membantu meringankan beban biaya pendidikan bagi anak dari keluarga miskin, namun jika dikaitkan dengan kebutuhan riel mereka, jumlahnya ternyata masih jauh lebih kecil dibanding dengan yang mereka butuhkan. Masalah lainnya, jumlah kuota anak miskin yang memperoleh bantuan ternayata juga jauh dari jumlah anak miskin yang diajukan sekolah. Dan celakanya, kondisi itu juga diperparah oleh pihak sekolah yang kebanyakan masih menarik biaya dari siswa, termasuk siswa dari keluarga miskin, sebut seperti untuk pembelian LKS, kendati pemerintah juga sudah menyiapkan dana BOS. Dan itulah pula yang menurut peneliti menjadi salah satu kendala dalam akselerasi penuntasan Wajar Dikdas 9 Tahun di Kabupaten Cianjur selama ini.
91 7. Dukungan Anggaran Uraian berikut adalah penyediaan dukungan anggaran yang disediakan pemerintah sebagai salah satu faktor atau variabel yang akan menentukan keberhasilan implementasi Wajar Dikdas sekaligus merupakan indikator dari komitmen pemerintah daerah dalam mendukung pelaksanaan kebijakan Wajar Dikdas 9 tahun pada khususnya dan pembangunan pendidikan pada umumnya sebagaimana bisa ditelaah dalam tabel di bawah ini : TABEL 4.22 : TREN PENINGKATAN DUKUNGAN ANGGARAN UNTUK PEMBANGUNAN PENDIDIKAN TREND DUKUNGAN ANGGARAN URAIAN Total APBD Kabupaten Cianjur (Rp) Alokasi Anggaran Untuk Pendidikan Diluar Gaji (Rp) Prosentase Dari Total APBD Alokasi Anggaran Khusus Untuk Wajar Dikdas 9 TH (Rp) : - Sumber Pusat * - Sumber Prov** - APBD II /DAU - Total APBD II Prosentase : - Dari Total Anggaran Pendidikan - Dari Sumber APBD II/ DAU
2004
2005
2006
2007
2008
578,3 M
593.7 M
940.4 M
1.1 Tr
1.3 Tr
40.3 M
45,1 M
70,1 M
89,6 M
86.5 M
6,9
7,6
7,4
7,9
6,23
19.9 M 19.9 M
23.9 M 23.9 M
14.9 M 2.5 M 21.4 38,8 M
28.9 M 16.4 M 20.0 M 65.3 M
47.2M 0.6 M 14.4 M 62.6 M
49,4
52,99
55,34
72,8
72,3
49,4
52,99
30,52
22,32
16,6
Ket : * Dana Alokasi Khusus / DAK Untuk Rehab SD ** Dana Role Sharing untuk Rehab SD/ MI
92 Cukup siginifikant, itulah kesimpulan yang bisa diangkat untuk menjelaskan tren kenaikan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) kabupaten Cianjur yang terjadi dalam periode 2004 sampai dengan tahun 2008. Persisnya, total APBD Kabupaten Cianjur naik dari hanya Rp. 579, 3 Milyar pada tahun 2004 menjadi Rp. 1,3 Triliun pada tahun 2008, kenaikan lebih dari 100 persen dalam periode lima tahun. Demikian halnya anggaran yang secara khusus dialokasikan untuk pembangunan pendidikan yang naik dari hanya Rp.40,3 milyar pada tahun 2004 menjadi Rp. 86,5 Milyar pada tahun 2008, kenaikan yang juga melebihi angka 100 persen. Namun dilihat menurut prosentasenya, kenaikan anggaran untuk pembangunan pendidikan tersebut ternyata belum menunjukan kecenderungan yang diharapkan, terlebih jika dikaitkan dengan tuntutan Undang-undang, bahkan cenderung menurun dari tahun 2004 yang sudah mencapai angka 6,9 persen menjadi hanya 6,3 persen pada tahun 2008, sebuah kecenderungan yang cukup ironis juka dikaitkan dengan tuntutan publik yang meniscayakan arti pentingnya komitmen untuk meningkatkan anggaran pendidikan. Ini semua menunjukan bahwa komitmen pemerintah daerah untuk memenuhi tuntutan anggaran pendidikan sebesar 20 persen sekaligus merealisasikan visinya yang sangat meniscayakan arti pentingnya pendidikan layak dipertanyakan. Namun tidak demikian untuk anggaran yang secara khusus dialokasikan untuk mendukung implementasi Wajar Dikdas 9 tahun. Buktinya, baik besaran maupun prosentase anggaran untuk pelaksanaan Wajar Dikdas ini ternyata mengalami peningkatan dari hanya Rp.19,9 milyar pada tahun 2004 menjadi 62,6 milyar pada tahun 2008, meskipun kenaikan itu - sebagaimana bisa ditelaah
93 dalam tabel - lebih banyak disumbang dari dana yang bersumber dari pemerintah pusat (melalui DAK-nya untuk rehabilitasi SD) dan pemerintah provinsi (melalui dana Rolesharing yang juga ditujukan untuk rehabilitasi SD/MI dan SMP/MTs). Jika dibanding dengan total anggaran untuk pembangunan pendidikan secara keseluruhan, prosentasenya meningkat dari hanya 19,9 persen pada tahun 2004 menjadi 62,6 persen pada tahun 2008. Yang memprihatinkan, tren dukungan anggaran Wajar Dikas 9 tahun yang bersumber dari APBD asal DAU (tanpa DAK dan Rolesharing) justeru mengalami penurunan dari 19,9 milyar pada tahun 2004 menjadi hanya 16,6 persen pada tahun 2008. Jika dibanding dengan total anggaran pendidikan, prosentasenya menurun dari 49,4 persen menjadi hanya 16,6 persen pada tahun 2008. Artinya, komitmen pemerintah daerah dalam mendukung implementasi percepatan penuntasan Wajar Dikdas 9 tahun ini juga layak dipertanyakan. Dan tidak
mengherankan jika pelaksanaan Wajar Dikdas 9 tahun di
Kabupaten Cianjur akan banyak mengalami masalah dan hambatan. Dikatakan masalah atau hambatan, karena seperti ditekankan oleh Dunn (1981) ”kecukupan” (adequacy) biaya ini akan menentukan efektivitas pencapaian kinerja sebuah kebijakan. E. Kinerja Kebijakan Meskipun masih jauh dari target yang telah ditetapkan, disamping masih begitu banyak masalah dan kendala yang belum terpecahkan, namun tidak sedikit indikator bisa diangkat untuk menjelaskan beberapa keberhasilan yang dicapai dari pelaksanaan kebijakan Wajar Dikdas 9 Tahun bagi anak dari keluarga miskin selama ini.
94 1. Keberhasilan Meningkatkan Akses Pelayanan Di bawah ini adalah figur yang bisa diangkat untuk menjelaskan berbagai intervensi kebijakan atau program yang dilakukan pemerintah Kabupaten Cianjur dalam meningkatkan akses bagi seluruh anak usia 7-15 tahun pada umumnya, dan anak dari keluarga miskin pada khususnya: Tabel 4.23 : Daya Tampung Lembaga Pendidikan dalam Pelaksanaan Wajar Dikdas 9 Tahun URAIAN
Jml Anak Usia 7-15 tahun (Usia Wajar Dikdas 9 Tahun Jml siswa tertampung pada jenjang SD / MI dan SMP/MTs, termasuk SDLB dan SMPLB Jumlah siswa tertampung pd Cerdas Seatap Jumlah siswa tertampung pd SMP Terbuka Jumlah siswa tertampung pd Kelas Jauh Jumlah siswa tertampung pd SMP Satu Atap Jumlah siswa tertampung pd SMTP Mandiri Jumlah siswa tertampung pd Pontren Cerdas Jumlah siswa tertampung pada PKBM Jumlah siswa tertampung pd Pontren Depag
2004
2005
TAHUN 2006
2007
2008
388.773 393.363
398.565
402.918 407.694
309.367 329.823
337.159
338.664 344.739
-
-
2.796
4.704
6.540
-
1.034
1.170
1.193
1.216
2.968
3.124
3.760
3.835
3.911
-
187
200
408
832
-
167
270
550
1.122
-
-
1.851
3.776
7.703
4.420
6.980
5.384
8.103
8.807
-
2.240
2.634
2.875
-
Jumlah total anak usia 7-15 Tahun yang Tertampung 316.755 341.315 Jumlah anak usia 7-15 tahun yang belum/ tidak 72.018 52.048 Tertampung Prosentase anak yang tidak tertampung 18,52 13,23
Diambil dari berbagai sumber
354.830
363.867 377.745
43.735
39.051
29.949
10,97
9,69
7,34
95 Dari tabel di atas nampak bahwa meskipun jumlah anak usia Wajar Dikdas 9 tahun, anak usia 7-15 tahun, terus mengalami peningkatan sesuai dengan laju pertumbuhan penduduk, naik dari 388.773 anak pada tahun 2004 menjadi 402.694 anak pada tahun 2008, namun jumlah mereka yang bisa mengakses pendidikan dasar 9 tahun, dari tahun ke tahunnya terus mengalami peningkatan. Persisnya, jumlah mereka yang tertampung meningkat dari 316.755 pada tahun 2004 menjadi 377.745 anak pada akhir tahun 2008, atau naik dari 81,14 persen pada tahun 2004 menjadi 92,6 persen pada tahun 2008. Artinya, dari rata-rata 100 anak usia 7-15 tahun yang ada di Kabupaten Cianjur, masih ada sekitar 7 anak lebih yang tidak bisa mematkan pendidikan dasarnya sebagaimana akan dibahas dalam bagian berikutnya. Jika dilihat dari angka absolutnya, maka jumlah anak 7-15 tahun yang tertampung di bangku sekolah, termasuk di jalur pendidikan non formal, selama periode lima tahun pelaksanaan Wajar Dikdas 9 tahun terjadi penambahan sebanyak 60.990 anak, atau bertambah sebanyak 12.198 anak setiap tahunnya. Jumlah ini jauh melebihi penambahan penduduk usia 7-15 tahun yang rata-rata pertahunnya bertambah sebanyak 7.587 anak. Dampaknya, jumlah anak yang tidak tertampung pada pendidikan dasar 9 tahun, sebutlah pula anak yang tidak tersentuh kebijakan Wajar Dikdas 9 tahun, berkurang dari 72.018 pada tahun 2004 menjadi hanya 29.949 anak pada tahun 2008, atau turun dari 18,52 persen pada tahun 2004 menjadi hanya 7,34 persen pada tahun 2008. Dari tabel di atas bisa disimpulkan pula bahwa kebijakan penerapan penyelenggaraan program jalur alternatif seperti SMP Seatap, termasuk SMP Cerdas
Seatap, pembukaan SMP Kelas Jauh, SMP Terbuka, Pontern Cerdas,
96 termasuk jalur pendidikan non formal (Paket A dan B) melalui wadah PKBMnya, sebutlah program –program yang pro anak dari keluarga miskin, ternyata memiliki dampak yang cukup berarti dalam membantu anak dari keluarga miskin dalam mengakses pendidikan dasar 9 tahun sebagaimana bisa ditelaah dalam figur di bawah ini : Figur 4.24 Tren peningkatan persentase daya serap jalur pendidikan alternatif dibanding dengan jumlah total siswa usia 7-15 tahun
10 8 6 Persentase
4 2 0
Jumlah siswa tertampung Total siswa usia 7-15 tahun
2004
2005
2006
2007
2008
7.388
11.512
17.671
25.212
33.606
316.755
341.315
354.830
363.867
337.745
Dari figur di atas nampak bahwa jika jalur pendidikan alternatif yang sengaja dibangun untuk membantu akses anak dari keluarga tidak beruntung alias miskin itu mampu menampung hanya sekitar 7.388 anak pada tahun 2004, pada tahun berikutnya meningkat menjadi 11.512 anak, dan meningkat lagi menjadi 17.671 anak pada tahun 2006 seerta menjadi 25.212 anak pada tahun 2007. Satu tahun berikutnya, pada tahun 2008, jumlah anak yang tertampung dalam jalur pendidikan dasar alternatif itu meningkat menjadi 33.606. Itu semua menunjukan bahwa penyelenggaraan pendidikan dasar melalui jalur alternatif
97 ini ternyata, dalam beberapa aspeknya, cukup efektif dalam membantu meningkatkan akses pendidikan bagi anak dari keluarga miskin. 2.
Peningkatan Angka Melanjutkan Sekolah Sebagai bahan evaluasi, di bawah ini disampaikan pula tabel yang
menunjukan tren peningkatan Angka Melanjutkan Sekolah dari tingkat SD/ sederajat ke tingkat SLTP sekaligus merupakan indikator lain yang bisa diangkat untuk menjelaskan
bahwa tidak sedikit hasil yang dicapai dalam
implementasi percepatan Wajar Dikdas 9 tahun selama ini. Tabel 4.25 Tren Angka Melanjutkan Sekolah SD/MI Ke Jenjang SLTP JML PESERTA UJIAN
JML LULUSAN
MELANJUT KAN
% MELANJUTK AN
41,272
41,272
34,966
84.72
41,755
41,755
35,483
84.98
40,521
40,521
34,739
85.73
41,285
41,285
35,844
86.82
45,316 45,316 40,154 Sumber : Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Cianjur
88.61
TAHUN PELAJARAN 2004/2005 2005/2006 2006/2007 2007/2008 2008/2009
Dari tabel di atas nampak bahwa walaupun setiap tahunnya belum seluruh lulusan SD/MI bisa melanjutkan, namun angka melanjutkan sekolah daritingkat SD/MI ke tingkat SLTP dalam periode lima tahun meningkat dari 34.966 siswa pada tahun 2004 menjadi 40.154 siswa pada tahun 2008, atau dari 84,72 persen menjadi 88,61 persen. Jika dihitung menurut rata-ratanya, maka prosentase angka melanjutkan sekolah dari SD ke SLTP tersebut jatuh pada angka 86,17. Artinya, dari rata-rata
98 42.029 anak lulusan SD/MI, hanya sekitar 36.237 anak yang melanjutkan, Dengan demikian, rata-rata setiap tahunnya masih ada sejumlah anak yang tidak melanjutkan ke jenjang SLTP sebanyak 5.792 anak. Itu semua menjadi isyarat kuat bahwa meskipun prosentase yang melanjutkan sekolah cenderung meningkat setiap tahunnya, tetapi sesungguhnya masih begitu berat tantangan yang dihadapi dalam program akselerasi penuntasan Wajar Dikdas 9 tahun di Kabupaten Cianjur ini. Dan hampir bisa dipastikan bahwa sebagian besar – kalaupun tidak seluruhnya – yang tida melanjutkan sekolah itu adalah anak dari kelaurga miskin dengan karakteristiknya yang begitu kompleks. 3. Peningkatan Angka Partsisipasi Merujuk kepada salah satu ukuran yang secara umum sering digunakan dalam mengevaluasi pembangunan di bidang pendidikan, inilah indikator penting lain yang bisa diangkat untuk mengambarkan keberhasilan atau kegagalan dalam implementasi Kebijakan Wajar Dikdas 9 Tahun bagi anak dari keluarga miskin selama ini. Persisnya, di bawah ini adalah trend angka partisipasi sekolah, baik angka partisipasi kasar (APK) maupun angka partisipasi murni (APM) yang bisa diangkat untuk menjelaskan keberhasilan implementasi Wajar Dikdas pada jenjang SD/MI sebagai berikut :
99 Figur 4.26 : Tren Peningkatan Angka Partisipasi Sekolah pada Jenjang Pendidikan SD/MI Sederajat Persen
120 100 80 APK
60
APM
40 20 0 Jml. Anak Usia 7-12 tahun Jml. Total siswa SLTP Sederajat Jml. Total siswa SLTP Sederajat Usia 7-12 tahun
2004
2005
2006
2007
2008
256.086
258.863
259.442
268.010
270.679
280.875
282.853
285.813
287.233
294.276
225.208
242.667
248.291
257.667
262.832
Dari tabel di atas nampak bahwa meskipun pernah mengalami penurunan pada tahun 2007, namun secara umum angka partisipasi kasar (APK) untuk jenjang pendidikan dasar (SD/MI sederajat) menunjukan tren peningkatan yang cukup berarti dari 109,67 persen pada tahun 2004 menjadi 111,63 persen pada tahun 2008, atau peningkatan sebesar 1,96 point persen dalam kurun waktu lima tahun. Itu semua mengandung arti bahwa implementasi Wajar Dikdas pada jenjang SD/MI sederajat yang dilaksanakan selama ini cukup efektif dalam meningkatkan angka partisipasi sekolah, termasuk partisipasi dari mereka yang usianya di atas 12 tahun, di atas usia SD, namun belum mampu menyelesaikan pendidikan dasarnya. Seperti dijelaskan Kasubdin PLSPO, Drs Imam Haris, MM, sebagian besar mereka yang mengikuti program Paket A, pendidikan setara SD, adalah mereka yang umumnya berusia di atas 13 tahun, bahkan ada
100 yang berusia 16 tahun. Pernyataan itu juga sekaligus menegaskan bahwa kegiatan pendidikan non-formal yang digulirkan pemerintah cukup efektif dalam program penuntasan Wajar Dikdas 9 tahun. Tren yang sama juga terjadi pada angka partsisipasi murni (APM) yang mengalami peningkatan dari 87,94 persen pada posisi 2004 menjadi 97,10 pada tahun 2008, atau peningkatan sebesar 9,16 point persen dalam kurun waktu lima tahun. Itu semua menunjukan bahwa pelaksanaan Wajar Dikdas untuk jenjang pendidikan dasar 6 tahun, jenjang pendidikan SD/MI sederajat,
sudah
menunjukan keberhasilan yang cukup meyakinkan, meskipun ada sekitar 2,80 persen anak usia 7-12 tahun, atau sekitar 7.380 anak, yang karena drop out atau alasan lainnya ternyata tidak berhasil menamatkan pendidikannya. Dan dari hasil pengamatan menunjukan bahwa sebagian besar - kalaupun tidak seluruhnya - dari mereka yang terpaksa tidak bisa menamatkan sekolah itu adalah merupakan anak dari keluarga miskin yang secara khusus akan dibahas lebih jauh dalam bagian berikutnya. Namun untuk tingkat partisipasi pada tingkat SLTP, jenjang pendidikan dasar 9 tahun, angka pencapaiannya ternyata masih menunjukan trend yang masih jauh dari yang diharapkan, bahkan masih sangat memprihatinkan seperti bisa ditelaah dalam figur di bawah ini :
101 Figur 4.27 : Tren Peningkatan Angka Partisipasi pada Jenjang Pendidikan SLTP Sederajat Persen
90
APK
80
APM
70 60 50 40 30 20 10 0 2004 Jml. Anak Usia 1315 tahun Jml. Total siswa SLTP Sederajat Jml. Total siswa SLTP Sederajat Usia 13-15 tahun
2005
2006
2007
2008
132.687
134.500
139.123
134.908
137.015
100.893
104.632
111.435
114.267
120.130
91.547
98.648
106.539
106.200
114.913
Dari tabel di atas nampak bahwa implementasi Wajar Dikdas 9 tahun di Kabupaten Cianjur telah menunjukan hasil yang cukup berarti karena telah mampu meningkatkan angka partsisipasi. Angka partisipasi kasar (APK), misalnya, meningkat dari 76,03 persen pada tahun 2004 menjadi 87,67 persen pada tahun 2008, atau peningkatan sebesar 11,64 point persen dalam kurun waktu lima tahun. Absolutnya, angka anak yang ada dibangku sekolah jejang SLTP meningkat dari 100.893 anak pada tahun 2004 menjadi 120.130 pada tahun 2008, atau penambahan sebanyak 19.237 anak dalam periode lima tahun.
102 Padahal dalam kurun waktu yang sama, jumlah penduduk usia 7-15 tahun bertambah sebanyak 4.328 jiwa, termasuk didalamnya adalah anak yang kendati usianya sudah melebihi 15 tahun tetapi masih duduk dibangku sekolah jenjang SLTP. Hal yang sama juga terjadi pada peningkatan angka partisipasi murninya (APM). Persisnya, jumlah anak usia 13-15 tahun yang sedang berada pada bangku sekolah SLTP meningkat dari 91.547 anak pada tahun 2004 menjadi 114.913 anak pada tahun 2008, atau naik 23.366 anak selama periode lima tahun, atau naik dari 68,99 persen pada tahun 2004 menjadi 83,87 persen pada tahun 2008, atau naik sebesar 14,88 persen dalam kurun waktu lima tahun. Seperti juga terlihat pada angka partisipasi tingkat SD/MI, terdapat perbedaan antara pencapaian angka partisipasi kasar (APK) yang lebih tinggi dengan angka partisipasi murni (APM) yang lebih rendah. Itu semua menunjukan bahwa sebagian diantara anak yang selama ini aktif berada pada bangku SLTP, adalah mereka yang umurnya di atas 15 tahun. Itulah pula anakanak yang selama ini banyak ditampung dalam pendidikan jalur nom formal seperti paket B dalam wadah PKBM. Tidak berlebihan pula jika implementasi kebijakan akselerasi penuntasan Wajar Dikdas 9 tahun selama ini cukup besar sumbangannya
dalam
membantu
meningkatkan
pencapaian
Indeks
Pembangunan Manusia (IPM) sebagimana bisa ditelaah dalam dalam tebel berikut ini :
103 Figure... Sumbangan kinerja Wajar Dikdas 9 tahun terhadap Peningkatan IPM Kabupaten Cianjur Tahun
RLS
Melek Huruf
2004 2005 2006 2007 2008
6,42 6,47 6,60 6,88 6,92
96,51 96,67 96,79 97,46 92,66
Indeks Pendidikan 78,61 78,82 79,19 80,26 80,48
IPM 66,18 66,79 67,44 68,28 68,72
Sumber : Bappeda Kabupaten Cianjur 2008
Namun kendatipun setiap tahunnya terjadi peningkatan yang cukup signifikan, namun posisi APK maupun APM Kabupaten Cianjur untuk tingkat SLTP ini ternyata masih menunjukan angka yang jauh dari yang diharapkan, lebih-lebih jika dikaitkan dengan target yang telah ditetapkan sebagaimana bisa ditelaah dalam tabel di bawah ini : Tabel 4.27 : Pencapaian Angka Partisipasi Sekolah SLTP dibanding Target yang Telah ditetapkan NO
INDIKATOR
1
Angka Partisipasi Kasar (APK) Angka Partisipasi Murni (APM)
2
POSISI 2004
TARGET 2008
PENCAPAIAN 2008
76,03
104 %
87,67
Minus 16,33 point persen dibanding target
96,40 %
83,87
Minus 12,53 point persen dibanding target
68,99
KETERANGAN
Apa yang bisa ditegaskan dari figur di atas adalah bahwa meskipun implementasi kebijakan Wajar Dikdas 9 tahun selama ini telah menunjukan hasil yang efektif yang antara lain ditandai dengan adanya peningkatan angka partisipasi, baik angka partisipasi kasar (APK) atau angka partisipasi murninya (APM), namun jika dibandingkan dengan target yang telah ditentukan sebagaimana telah dikemukakan pada bagian sebelumnya, maka angka
104 pencapaiannya ternyata
masih menunjukan angka yang jauh dari yang
diharapkan. Meminjam istilahnya Andrew Dunsire, dalam Wahab (1997:61), masih ada “Implementation gap” atau kesenjangan antara kinerja yang diharapkan dengan realitas hasil yang dicapai sebagai akibat dari adanya “implementation capacity” dari para pelaku kebijakan. Persisnya,
dari target APK tahun 2008 sebesar 104 persen, ternyata
hanya bisa dicapai sebesar 87,67 persen, atau masih terdapat kesenjangan atau kekurangan sebesar 16,33 poin persen. Hal yang sama terjadi pada pencapaian APM. Dari target tahun 2008 sebesar 96,40 persen, ternyata hanya bisa dicapai angka 83,87 persen, atau masih kekurangan sebesar 12,53 point persen. Fakta di atas sekaligus memperkuat apa yang dikatakan Eugene Bardach (1991) dalam Leo Agustino (2006) yang mengatakan “adalah cukup untuk membuat sebuah program dan kebijakan umum yang kelihatannya bagus di atas kertas. Namun yang paling sulit adalah melaksanakannya dalam bentuk yang memuaskan semua orang” Singkatnya, meskipun implementasi kebijakan Wajar Dikdas 9 tahun melaui berbagai bentuk programnya telah berhasil menyentuh dan sekaligus membantu meningkatkan akses anak dari keluarga miskin dalam mengakses pendidikan dasar sebagai bagian dari haknya, termasuk sangat membantu dalam meningkatkan rata-rata lama sekolah (RLS) sebagai salah satu indikator peningkatan IPM, namun masih banyak diantara mereka yang karena kemiskinan dengan karakteristiknya yang begitu kompleks itu ternyata belum tersentuh. Karenanya, efektivitas implementasi kebijakan percepatan Wajar Dikdas 9 tahun selama ini layak dipersoalkan, atau paling tidak dipertanyakan.
105 Tegasnya, dari dimensi equality-nya, selama ini pemerintah, melalui kebijakan-kebijakannya, telah memberikan kesempatan yang sama kepada seluruh anak, termasuk anak dari keluarga miskin untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam mengakses pendidikan dasarnya. Namun karena keterbatasan-keterbatasan
yang
dimilikinya,
pemerintah
belum
mampu
memenuhi semua tuntutan dan kebutuhan pendidikan mereka sehingga aspek efektivitas kinerja kebijakan dilihat dari dimensi “equity”-nya masih menyisakan banyak beban dan garapan. G. Potret Anak dari Keluarga Miskin yang Belum Tersentuh Kebijakan Inilah potret dari sebagian anak yang pada saat dilakukan penelitian belum banyak tersentuh dengan kebijakan Wajar Dikdas 9 tahun. Jika dalam uraian sebelumnya diuraikan mengenai hasil-hasil dari pelakasanaan kebijakan Wajar Dikdas 9 tahun yang antara lain ditandai dengan pencapaian angka partisipasi murni (APM) dan angka partisipasi kasar (APK) tingkat SLTP, maka dalam uraian berikut ini akan diangkat sejumlah kasus anak dari keluarga miskin, yakni anak usia 7-15 tahun yang pada saat diteliti belum atau bahkan tidak tersentuh dengan kebijakan yang dilaksanakan. Deskripsi tentang apa yang menjadi faktor penyebab anak dari keluarga miskin tidak melanjutkan sekolah dilihat dari persepsi anak dan keluarga atau orang tuanya, baik sikap atau kondisi ekonominya, termasuk kondisi sosialnya, adalah fokus utama yang akan diangkat dalam sub bab ini. Melalui deskripsi ini, gambaran mengenai ketidaksesuaian atau ”diskrepansi” antara layanan pendidikan dasar yang diberikan pemerintah (suply side) dengan tuntutan atau kebutuhan anak dari keluarga miskin (demand side) bisa diangkat dan dikaji.
106 Dan di situlah pula efektivitas kebijakan percepatan penuntasan Wajar Dikdas 9 tahun yang dilaksanakan selama ini bisa dikaji dan dievaluasi lebih dalam lagi. 1. Potret Sejumlah Kasus Many children left behid, tulis Deborah Meier (2005), seorang penulis sekaligus praktisi pendidikan di daratan Amerika Serikat, dikutip Rohmat Mulyana (2007) untuk menggambarkan sekaligus mengkritisi
disparitas
pendidikan antara rakyat miskin alias kurang beruntung dengan mereka yang kaya. Itulah pula salah satu potret buram yang terjadi dalam penyelenggaraan pendidikan di negeri ini, bahkan untuk penyelenggaraan pendidikan tingkat dasar sekalipun. Dan di situlah pula penyelenggaraan pendidikankita, khususnya Wajar Dikdas 9 tahun yang sangat diniscayakan dalam Undang-undang sesungguhnya digugat. Banyak sekali faktor yang selama ini hadir menjadi alasan seorang anak tidak melanjutkan sekolah, kendati pun pemerintah, melalui kebijakankebijakannya, telah berupaya untuk mempermudah akses masyarakat terhadap layanan pendidikan, khususnya layanan pendidikan dasar 9 tahun. Seperti diungkapkan Paulo Freire (1995), sebagai kaum marginal, mereka adalah anakanak yang mengalami kesulitan akses pendidikan karena faktor kemiskinan, hambatan geografis, bias gender, atau karena faktor kecacatan (difable – defferent ability). Bahkan bagi mereka, belajar dilembaga pendidikan yang berkualitas menjadsi sesuaru yang sangat mahal. Rahmat (14 tahun) yang beralamat di kawasan perumahan padat yang ada kelurahan Sayang Cianjur kota, misalnya, terpaksa tidak melanjutkan sekolah setelah tamat SD pada tahun 2006. Alasannya, ia cenderung lebih
107 memilih memenuhi ajakan ibunya untuk ikut berdagang keliling kampung ketimbang memenuhi ajakan gurunya untuk melanjutkan sekolah ke tingat SLTP yang jaraknya tidak jauh dari tempat tinggalnya. Bahkan orang tua dan anaknya mengetahui kalau penyelenggaraan pendidikan dasar di daerahnya, melalui program BOS-nya, telah dibebaskan dari segala bentuk iuran alias gratis. Di sini, masalah biaya sekolah, khsusnya biaya langsung – direct cost bukanlah perupakan masalah utama karena ada faktor lain yang selama ini menjadi kendala bagi anak miskin dalam mengakses pendidikan. Dari hasil wawancara terungkap bahwa beban berat hidup keluarga dengan segala dampak psikologisnya terhadap sikap dan perilaku anak yang diperkuat dengan miskinnya kesadaran orang tua akan arti pentingnya pendidikan, hadir menjadi penyebab dominan anak bernama Rahmat yang memiliki ayah hanya sebagai kuli kasar itu tidak melanjutkan sekolah. Apa yang dialami Rahmat juga dialami oleh Diki (15), anak dari seorang ayah yang memiliki pekerjaan hanya sebagai tukang becak dan ibunya sebagai tukang cuci baju tetangganya. Persisnya, Diki yang beralamat di Rancabali Cianjur kota itu terpaksa harus meninggalkan bangku sekolah pada kelas V SD lantaran kurang memperoleh perhatian sama sekali dari orang tuanya. Seperti dialami keluarga Rahmat, maka beban berat ekonomi keluarga serta kesadaran orang tua akan arti pentingnya pendidikan hadir menyatu menjadi faktor penyebab si anak harus meninggalkan bangku sekolah. Kasus ini sesuai dengan tesisnya Bruner (1970) dan Beeby (1979) yang mengeaskan bahwa kemampuan ekonomi masyarakat yang rendah dapat mengurangi hasrat orang tua dan semangat anak untuk melanjutkan pendidikan.
108 Pengalaman yang harus dijalani anak bernama Ai Siti Aminah (15) yang beralamat di Desa Sukagalih Kecamatan Mande lebih memprihatinkan lagi. Meskipun motivasi ia untuk melanjutkan sekolah cukup tinggi, bahkan sampai sempat menangis-nangis ingin melanjutkan sekolah, namun si anak pada akhirnya harus puas menikmati pendidikan hanya sampai tingkat SD. Alasannya, ayahnya yang hanya seorang buruh kuli itulah yang justeru melarangnya melanjutkan sekolah dengan alasan takut tidak bisa membiayai kebutuhan pendidikan anaknya. Dari hasil wawancara terungkap bahwa biaya yang dikeluhkan bukan berkait dengan kebutuhan bayaran sekolah yang diketahuinya telah dibebaskan pemerintah, tetapi menyangkut kebutuhan sekolah yang lainnya, terutama perlengkapan sekolah seperti baju seragam, sepatu dan sejenisnya. Itulah pula alasan yang banyak dialami oleh anak dari keluarga miskin yang lainnya. Suryana (15) yang merupakan anak pertama dari pasangan Lukman dan Ny. Masliah asal Desa Saganten Kecamatan Sindangbarang terpaksa hanya bisa menikmati bangku sekolah kelas satu Madrasah Tsanawiyah (MTs) selama 15 hari hanya karena merasa kasihan kepada orang tuanya yang kondisi ekonominya dalam keadaan morat marit. Persisnya, si anak merasa kasihan sekaligus takut kalau orang tuanya kelak tidak bisa memenuhi banyak kebutuhan sekolah yang perlu dilengkapinya. Di sini, masalah motivasi anak dan beban ekonomi keluarga hadir saling memperkuat menentukan sikap anak dan keluarga terhadap pendidikan. Sangat berbeda dengan yang dialami oleh anak-anak dalam kasus di atas adalah beberapa kasus yang dialami oleh anak di bawah ini. Leman (15) yang
109 beralamat di Desa Mekarsari Cikalongkulon, misalnya, terpaksa tidak bisa melanjutkan sekolah ke tingkat SLTP bukan karena tidak mendapat dukungan dari orang tuanya, tetapi lebih karena faktor motivasi yang dimiliki anaknya sendiri. Ah abdi mah alim sareng males we (ah tidak mau dan saya ini malas saja), kata si anak sambil mengekspressikan keinginannya untuk membantu pekerjaan orang tuanya ketimbang melanjutkan sekolah. Di sini, kondisi kemiskinan keluarga dengan banyak dimensinya adalah akar yang menjadi penyebab hilangnya motivasi anak untuk melanjutkan pendidikan. Hal yang sama juga dialami oleh Rita (14), anak kedua dari lima bersaudara pasangan U Suherlan dan Ny. Rani yang beralamat di Desa Mekarwangi Kecamatan Ciranjang. Dalam kasus ini, meskipun orang tuanya terus mendorong anaknya untuk kembali masuk sekolah, namun Rita terpaksa meninggalkan bangku sekolah pada kelas IV SD karena merasa malu terlalu sering tidak masuk sekolah berkait dengan sakit yang sering dideritanya. Faktor psikologis yang ditandai dengan perasaan rendah diri merupakan alasan lain kenapa seorang anak tidak mau melanjutkan sekolah. Itulah pula yang antara lain dialami oleh beberapa anak berikut ini. Aris (15), misalnya, terpaksa meninggalkan bangku sekolah dasar (SD) pada tahun 2006 bukan semata karena faktor ekonomi orang tua yang memang miskin, tetapi lebih oleh karena faktor psikologis berupa perasaan minder yang tak jarang diciptakan lingkungan sekolahnya. Menurut penjelasan orang tuanya, Empep yang hanya pedagang asongan dilingkungan sekolah itu, Aris yang beralamat di Desa Jamali Kecamatan Mande itu tidak mau sekolah karena sering diolok-olok
teman sekolahnya
110 sendiri dengan sebutan ”si begang” (kurus), ”si penyol” (lonjong) dan sebagainya. Dan ironisnya, cemoohan yang sering menekan secara psikologis sekaligus membuat minder anak itu justeru tak jarang dilakukan oleh gurunya sendiri, tegas Aris dan keluarganya. Bahkan oleh orang tua dan kakeknya, Aris telah dicoba dan berkali-kali dimotivasi untuk bisa pindah sekolah, namun ia tetap memilih meninggalkan bangku sekolah lantaran faktor psikologis yang dialaminya. Dari kasus ini bisa diangkat bahwa lingkungan sekolah, bukan semata lingkungan keluarga, termasuk kesadaran orang tuanya, apalagi semata faktor ekonomi, merupakan faktor penting lain yang turut berpengaruh sekaligus menjadi alasan kenapa seorang anak tidak melanjutkan sekolah. Itulah pula yang dialami oleh beberapa anak yang lainnya. Nunang (14) yang hanya mampu menikmati pendidikan sampai kelas IV SD pada tahun 2003 tidak mau melanjutkan sekolah karena merasa malu kalau usianya sudah terlalu tua usia untuk kembali melanjutkan sekolah setingkat SD. ”Ah era geus gede” (ah malu sudah besar), ujarnya ketika dimintai alasan kenapa ia tidak melanjutkan sekolah. Padahal jarak jauh antara sekolah dan rumahnya hanya sekitar 200 meter, bahkan pemerintah telah menyediaakan layanan pendidikan bernama Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) yang jaraknya juga tidak jauh dari tempat tinggalnya. Itulah pula yang dialami oleh Santi (15), anak kedua dari enam bersaudara yang beralamat di Desa Jambudipa Kecaamatan Warung Kondang. Persisnya, Santi yang tamat SD pada tahun 2005 itu, kini tidak mau melanjutkan kejenjang SLTP yang jaraknya hanya sekitar 100 meter dari rumahnya itu
111 karena merasa malu berkait dengan usianya yang sudah menginjak umur 15 tahun, usia dimana teman-temannya sudah bisa menyelesaikan pendidikan jenjang SLTP. Kasus berikut lebih memprihatinan lagi. Meskipun dorongan dari orang tuanya kuat, namun Jali (13), anak tunggal dari pasangan Basiri dan Ny.Lilis yang beralamat di Desa Purabaya Kecamatan Leles terpaksa meninggalkan bangku sekolah kelas satu SMP pada tahun 2007 hanya karena merasa dirinya memiliki kekurangan secara fisik, cacat kaki. ”Isin pa, pan abdi cacat sampean” (malu pak, kan saya ini punya cacat kaki), keluhnya ketika ditanya alasan tidak melanjutkan sekolah. Singkatnya, bahwa dorongan orang tua saja tidaklah cukup karena aspek motivasi dan kesadaran anak juga sangat berpengaruh. Caca (13), misal lain, anak tunggal pasangan Mumuh dan Ny.Sarwati yang beralamat di Desa Sukajaya Kecamatan Leles Cianjur Selatan itu terpaksa tidak melanjutkan sekolah ke jenjang SLTP bukan karena tidak
didukung orang tuanya,
melainkan karena anaknya sendiri yang memang ngotot tidak mau melanjutkan. Alasannya, ia lebih senang bermain alias keluyuran dengan motor (bodong) yang dibelikan orang tuanya ketimbang melanjutkan sekolah ke SMP Satu Atap yang jaraknya hanya sekitar 300 meter dari rumahnya. Faktor jarak jauh antara rumah dengan lokasi sekolah, adalah merupakan salah satu determinan penting yang selama ini hadir menjadi alasan kenapa masih banyak anak yang tidak melanjutkan sekolah. Itulah pula yang terutama banyak dialami oleh anak-anak dari keluarga miskin yang tinggal di daerahdaerah terpencil, terutama di daerah Cianjur selatan. Hal ini menunjukan bahwa
112 program-program Wajar Dikdas 9 tahun yang selama ini digulirkan pemerintah belum mampu menyentuh dan menjawab persoalan yang dimiliki anak dari keluarga miskin. Ami Diyanti (13), anak dari pasagan Ibu Sinah dan Iskandar yang pendidikanya haya tamatan SD degan pekerjaan sebagai buruh tani di Desa Sirnagalih itu terpaksa tidak melanjutkan sekolah se jenjang SLTP hanya karena jauhnya jarak, sekitar 7 km. Bahkan untuk bisa masuk jalur pendidikan nonformal berupa Kejar Paket B pun ia harus menempuh jarak sekitar 6 km. Kondisi itu diperkuat oleh masalah beban ekonomi keluarga, disamping karena si anak tidak mau sekolah karena merasa dikampungnya tidak punya teman sejenis, yakni teman sesama perempuan. Ketersediaan tenaga pendidikan seperti guru atau tenaga pengajar merupakan masalah lain yang selama ini sangat berpengaruh dalam menunjang keberhasilan Wajar Dikdas 9 tahun. Yuyu Yuningsih (14) yang anak seorang tukang baso dan bertempat tinggal di desa Sukamulya Kecamatan Mande, misalnya, terpaksa meninggalkan proses belajar dalam bentuk Paket Kejar B yang disediakan Dinas Pendidikan Kabupaten Cianjur hanya karena guru pengajarnya yang jarang datang. Di sini, efektivitas layanan pendidikan nonformal yang disediakan pemerintah dipertanyakan.
Bahkan anak bernama
Yuyu ini pernah berkeinginan untuk pindah ke SMP terbuka namun akhirnya mengurungkan diri lantaran tidak mampu menyediakan biaya untuk membeli kaos olah raga dan baju seragam, bahkan untuk uang jajan. Dalam konteks ini, kondisi atau lingkungan internal sekolah menjadi masalah tersendiri bagi anak dari keluarga miskin.
113 Demikian halnya yang dialami oleh anak bernama Agung (12), anak ke tiga dari 5 orang anak paasangan Adang dan Ny. Tini yang beralamat di Desa Cipanas Kecamatan Cipanas yang terpaksa meninggalkan bangku sekolah pada kelas IV SD pada tahun 2005. Alasannya bukan oleh karena masalah beratnya membayar SPP seperti sebelum ada pembebasan biaya sekolah, tetapi lebih oleh karena ketidakmampuannya untuk bisa membeli perlengkapan seolah seperti untuk membeli buku, seragam, bahkan untuk membayar iuran keterampilan yang masih diminta oleh pihak sekolah. Alasan karena orang tuanya ingin melanjutkan pendidikan anaknya ke pesantren, adalah faktor lain yang di kabupaten Cianjur cukup berpengaruh terhadap upaya penuntasan Wajar Dikdas 9 tahun. Kecenderungan ini sesuai dengan budaya ”ngaos” yang memang melekat kuat dalam kehidupan masyarakat Cianjur, tegas beberapa tokoh masyarakat
yang sempat
diwawancarai. Itulah yang antara lain dialami oleh Yuyu (14), anak ke tujuh dari tujuh anak pasangan Supriatna dan Ny. Popon yang pendidikannya hanya tamat SD itu. Itulah pula yang dialami oleh Yusuf (15), anak ke dua dari empat bersaudara yang bertempat tinggal di Desa Gunungsari Kecamatan Sukanagara yang meninggalkan bangku sekolah hanya sampai kelas V SD pada tahun 2004 hanya karena cita-citanya ingin jadi ustadz. Hal yang sama juga dialami oleh Siti Nurhaeni (14), satu dari empat anak pasangan Ujang Husen dan Ny. Enok Sadiah yang beralamat di Desa Bobojong Kecamatan Mande. Bedanya, jika Yusuf masuk pesantren karena memang ingin jadi ustadz, maka Siti Nurhaeni masuk pessantren karena desakan ekonomi.
114 Persisnya, setelah anak dari pasangan orang tua yang pekerjaanya hanya sebagai buruh itu lulus SD pada tahun 2006, ia didorong orang tuanya melanjutkan pendidikan ke Pesantren dengan alasan faktor biaya yang ditangkap dari ceritera para orang tua yang mejadi tetangganya. Nahasnya, baru dua bulan di pesantren anaknya sudah dibawa pulang karena ketidakmampuan orang tua untuk memberi bekal makan anaknya. Karena kemiskinan, singkatnya, si anak haris rela tidak bisa menikmati pendidikan, bahkan untuk pendidikan pesantren yang tidak memungut biaya sekali pun. 2. Beberapa Faktor Utama Penyebab Apa yang dialami oleh banyak anak dari keluarga miskin seperti yang diangkat dalam beberapa kasus di atas sesungguhnya hanyalah merupakan representasi saja dari
sekian banyak kasus yang sama, atau setidaknya
cenderung sama, yang umumnya banyak dialami oleh anak dari keluarga miskin yang lainnya. Persisnya, dari 270 anak yang tinggal di 270 Desa / Kelurahan yang sengaja diwawancarai dan diobservasi dalam penelitian ini, dan setelah dilakukan klasifikasi atau kategorisasi, maka setidaknya ada empat faktor dominan yang sekaligus menjadi alasan anak dari keluarga miskin di Kabupaten Cianjur selama ini terpaksa meninggalkan bangku sekolah, baik dropout di tengah jalan, maupun tidak melanjutkan sekolah. Dari hasil penelitian pula terungkap bahwa masing-masing faktor tersebut tidak selamanya hadir secara terpisah dari faktor yang lainnya, melainkan melekat atau hadir tidak terpisahkan dari satu atau bahkan semua
115 faktor yang lainnya. Pengklasifikasian di sini dibuat sekadar untuk memudahkan analisis sekaligus menjelaskan faktor dominan paling berpengaruh yang selama ini muncul menjadi penyebab anak dari keluarga miskin tidak melanjutkan atau putus sekolah. Pertama, dan yang paling utama, adalah menyangkut faktor ekonomi keluarga, sebutlah beban berat ekonomi keluarga. Inilah pula faktor yang pada akhirnya banyak mempengaruhi lahirnya faktor penyebab lain, sebutlah seperti menyangkut faktor kesadaran atau motivasi, baik motivasi anak maupun orang tuanya, bahkan motivasi kedua belah pihaknya. Fakta di atas sesuai dengan hasil sebuah penlitian terkini yang dilakukan El findri dan Davy (2006), dalam Devy Hendri (Kompas, 30 Juli 2007) yang menyebutkan, meski salah satu alasan utama tidak bersekolahnya anak-anak dari keluarga miskin adalah karena jauhnya jarak sekolah dengan rumah, faktor kemiskinan rumah tangga tetap menjadi kontributor utama. Masalah pokoknya muncul ketika tuntutan biaya yang dibutuhkan untuk menyekolahkan anaknya harus menyedot tuntutan biaya untuk memenuhi keseharian hidup mereka, bahkan untuk kebutuhan sangat primer karena menyangkut pemenuhan perut atau makan sehari-hari mereka. Kecenderungan tersebut diperparah oleh besarnya beban hidup yang harus ditanggung oleh keluarga miskin lantaran besarnya jumlah anak yang dimiliki mereka. Hasil penelitian ini juga mengungkapkan, semakin miskin sebuah keluarga, maka akan semakin besar keinginan untuk memiliki banyak anak. Hal ini juga sesuai dengan tesis yang dikembangkan para ahli demografi – sosiologi yang menegaskan bahwa besarnya anak bagi keluarga miskin adalah investasi.
116 Itu sebabnya, semakin miskin sepasang keluarga, maka akan semakin banyak kemungkinan
anak yang mereka miliki. Buat mereka, anak adalah mesin
produksi yang diharapkan bisa membantu meringankan beban ekonomi kelauraga. Dari hasil penelitian juga terungkap bahwa masalah beban berat ekonomi di sini bukan menyangkut besarnya biaya yang harus dipenuhi anak untuk membayar iuran sekolah yang memang sudah dibebaskan pemerintah, melainkan menyangkut biaya untuk keperluan seperti seragam, baju olah raga, biaya transportasi, bahkan biaya jajan anak, adalah beberapa komponen lain yang mesti diperhitungkan dalam pembiayaan pendidikan. Jelasnya, beban biaya tidak langsung, atau indirect cost, itulah yang menjadi masalah berat yang sering dihadapi anak dari keluarga miskin dalam mengakses layanan Wajar Dikdas 9 tahun selama ini. Bahkan bagi mereka yang sangat miskin, anak justeru ditarik dari sekolah dengan maksud hanya untuk membantu meringankan beban hidup keluarga, bahkan anak dibiarkan bermain keluyuran. Di situlah pula arti pentingnya mempertimbangkan apa yang dalam konsep ekonomi pendidikan disebut dengan opportunity foregone (kesempatan yang hilang) yang mesti dipertimbangkan dalam membicarakan pembiayaan pendidikan, lebih-lebih bagi anak dari keluarga miskin. Kedua, adalah faktor kesadaran, baik menyangkut kesadaran orang tua maupun kesadaran anaknya sendiri, bahkan menyangkut kesadaran keduaduanya, yakni kesadaran anak dan orang tuanya. Persisnya, dari banyak kasus anak tidak bersekolah yang diteliti, sebagian diataranya terjadi karena berkait dengan persoalan miskinnya kesadaran atau awarnesses mereka. Kondisi ini
117 diperkuat oleh tingkat pendidikan orang tua mereka yang secara rata-rata memang tidak lebih dari tamatan SD, bahkan banyak yang tidak tamat SD. Namun perlu dicatat bahwa faktor kesadaran di sini tidaklah berdiri sendiri atau lepas dari faktor lainnya yang memang merupakan karakter khas dari keluarga miskin. Jelasnya, dari hasil penelitian juga terungkap bahwa kesadaran mereka akan arti pentingnya pendidikan menjadi berkurang lantaran memang terdesak oleh tuntutan hidup yang dihadapi mereka. Karena begitu beratnya beban hidup yang harus ditanggung mereka, misalnya,
motivasi
mereka untuk melanjutkan pendidikan anaknya menjadi berkurang. Faktor jarak jauh antara tempat tinggal anak dengan lokasi sekolah, ketiga, adalah merupakan masalah berat tersendiri yang selama ini menjadi penyebab sebagian anak dari keluarga miskin tidak melanjutkan atau putus sekolah. Dari banyak kasus anak tidak sekolah yang diteliti, sebagiannya mengeluh karena masalah biaya transportasi. Dalam konteks itu, efektivitas semua kebijakan yang diimplementasikan pemerintah selama ini jelas-jelas belum mampu memenuhi seluruh kebutuhan dan tuntutan anak dari keluarga miskin, dan karenanya layak dipertanyakan. Bahkan karena sangat jauh dan langkanya sarana transportasi, ada diantara mereka yang setiap harinya harus mengeluarkan biaya transport saja tidak kurang dari Rp. 50.000,-, sebuah angka yang jauh lebih besar dibanding besarnya iuran yang dibebaskan pemerintah. Itulah pula faktor yang selama ini belum banyak dijawab dalam implementasi kebiajakan Wajar Dikdas. Seperti pernah ditegaskan pakar pendidikan dari Universitas Pendidikan Indonesia, Nanang Fatah (Kompas, 20 Desember 2006), salah satu kesulitan masyarakat
118 dalam mengakses pendidikan berkait dengan persoalan transportasi karena selama ini pemerintah tidak memperhitungkan jarak jangkauan calon siswa dengan sekolah. Bahkan jauhnya jarak yang terpaksa sering harus ditempuh anak dari keluarga miskin – karena ketiadaan infrastruktur jalan serta sarana transfortasi – adalah contoh dari bentuk pengorbanan yang tak jarang hadir menjadi beban berat sendiri bagi anak dari keluarga miskin dalam mengakses pendidikan. Meminjam istilahnya Thomas Yanes (1985), Non – monetary cost, itulah faktor lain yang selama ini tak jarang hadir menjadi beban berat sendiri bagi anak dari keluarga miskin dalam mengakses pendidikan Itulah pula faktor ketiga yang selama ini jadi penyebab lain anak dari keluarga miskin tidak melanjutkan sekolah ke jenjang SLTP. Masalah ini tak jarang diperburuk oleh beratnya beban kehidupan ekonomi keluarga mereka, disamping aspek kesadaran atau motivasi mereka terhadap pendidikan yang memang rendah. Di sini, efektivitas layanan pendidikan yang dilakukan pemerintah saat ini juga layak dipertanyakan karena belum mampu menjawab kondisi riel kehidupan anak dari keluarga miskin. Seperti diungkapkan oleh Drs. Dadang, Kepala SMP Sukaresmi 1 yang menjadi sekolah Induk SMP Terbuka yang mengatakan : bahwa ”hanya sekitar 70 persen dari murid-muridnya yang rtin mengikuti kegiatan belajar”. Alasannya, tegasnya pula, ”anak-anak yang selruhnya berasal dari keluarga miskin itu sering bolos karena memang diajak orang tuanya, kalau bukan karena memang motivasi anaknya sendiri yang rendah, yang menjadi penyebab anak sering tidak hadir mengikuti proses pembelajaran”.
119 Hal itu didukung pula oleh tesisnya Bruner (1970) dan Beeby (1979) yang menegaskan bahwa kemampuan ekonomi masyarakat miskin yang rendah dapat mengurangi hasrat orang tua dan semangat anak untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Parahnya, demikian pernah terlontar dari beberapa tokoh masyarakat di Cianjur selatan, bahwa tidak jarang anak yang sedang sekolah ditingkat SMP terpaksa harus meninggalkan bangku sekolah hanya karena ada iming-iming mau diajak bekerja keluar negeri (umumnya jadi pembantu rumah tangga) oleh oknum dari penyalur tenaga kerja yang selama ini menjadi masalah pelik tersendiri bagi pemerintah dalam upaya untuk mengimplementasikan kebijakan Wajar Dikdasnya, bahkan menjadi masalah pelik dan kompleks tersendiri dalam menaggulangi masalah ”trafficking” yang tak jarang muncul di kabupaten Cianjur. Keempat, adalah menyangkut
faktor psikologis seperti perasaan
rendah diri atau minder, baik karena status sosialnya yang memang miskin maupun karena faktor kelainan atau cacat fisik yang dimilikinya, termasuk didalamnya faktor psikologis karena memang anaknya yang karena berbagai hal malas bersekolah. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Silverstein dan Krate, dikutip Saratri Wilonoyudho (Kompas, 16 Mei 2005) yang mengungkapkan bahwa anak-anak dari keluarga miskin yang umumnya tinggal di daerah kumuh atau tertinggal / terisolasi menyebebkan mereka memiliki sifat kurang percaya diri dan penghargaan pada diri sendiri rendah (low self esteem). Hasil penelitian itu juga sesuai dengan pendapatnya Oscar Lewis (1961) yang banyak melihat kemiskinan lebih dari aspek budaya – budaya kemiskinan (culture of poverty) – yang menegaskan bahwa dilihat dari perilaku
120 kesehariannya, budaya miskin itu tampak dari tanda-trandanya seperti merasa tidak berharga, tidak berdaya, rendah diri dan ketergantungan. Salah satu wujud kongkritnya, sebagian diantara mereka terpaksa meninggalkan bangku sekolah hanya karena tidak mampu membeli sepatu atau baju seragam seperti halnya yang bisa dilakuan oleh anak-anak yang lainnya. Sebagian diantaranya tidak mau melanjutkan sekolah lantaran merasa umurnya sudah berada di atas umur anak yang lainnya kalau bukan karena malu karena cacat
tubuh
yang
dimilikinya.
Bahkan
sebagian
dintaranya
terpaksa
meninggalkan bangku sekolah hanya karena merasa tertekan berkait dengan berbagai tindakan kekerasan yang tak jarang diterima anak, terutama dalam bentuk kekerasan mental yang terkadang harus dihadapi dilingkungan sekolahnya. Di sini, kondisi lingkungan internal sekolah turut memperparah penderitaan anak dari keluarga miskin. Itulah faktor kelima yang dari hasil penelitian ini terangkat sebagai penyebab lain kenapa anak dari keluarga miskin tidak bisa menyelesaikan pendidikan dasarnya.
121 BAB V PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN Jika uraian dalam bab sebelumnya diarahkan kepada upaya untuk mendeskripsikan temuan-temuan
penelitian sesuai dengan fokus dan
pertanyaan penelitian yang diajukan, maka dalam bab berikut ini akan disajikan uraian yang berisi pembahasan terhadap seluruh temuan penelitian, terutama yang ditekankan pada fokus penelitian. Melalui bab ini, efektivitas dari implementasi kebijakan percepatan Wajar Dikdas 9 tahun dalam rangka membantu meringankan beban pendidikan bagi anak dari keluarga miskin akan dijawab. Melalui bab ini pula, alasan mengani masih banyaknya anak dari keluarga miskin yang belum tersentuh kebijakan akan dibahas. Bukan hanya itu, melalui bab ini pula akan dimunculkan beberapa isu strategis yang bisa dijadikan landasan dalam rangka meningkatkan efektivitas pelaksanaan akselerasi penuntasan Wajar Dikdas 9 tahun dikaitkan dengan upayanya untuk membantu meringankan beban pendidikan bagi anak dari keluarga miskin. A. Kajian Terhadap Arah Kebijakan yang Ditempuh Secara umum, dari hasil penelitian terungkap bahwa meskipun kebijakan percepatan penuntasan Wajar Dikdas 9 Tahun di Kabupaten Cianjur ini telah memiliki arah yang jelas dan dukungan kebijakan yang kuat, namun pada tataran implementasinya masih menunjukan banyak kelemahan dan kekurangan. Lebih-lebih jika dikaitkan dengan upaya untuk menenuntaskan
220
122 Wajar Dikdas 9 tahun bagi anak dari keluarga miskin sesuai dengan fokus penelitian ini. Adalah misi dan visi Kabupaten Cianjur yang secara eksplisit telah menjadikan pembangunan bidang pendidikan sebagai salah satu agenda sentralnya. Bahkan dari empat misi yang telah ditetapkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menegah Daerah (RPJMD) sekaligus menjadi acuan perencanaan pembangunan di Kabupaten Cianjur, satu misi diantaranya berisi tentang arti pentingnya pembangunan pendidikan dengan fokus pada penuntasan Wajar Dikdas 9 tahun. Bukan hanya itu, adalah Rencana Strategis (Renstra) Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Cianjur yang secara eksplisit dan dengan begitu tegas telah menetapkan bahwa dari tujuh tujuan dan sasaran prioritas yang sekaligus merupakan arah kebijakan yang akan ditempuhnya, agenda penuntasan Wajar Dikdas 9 tahun merupakan salah satu prioritasnya. Bahkan arah kebijakan ini juga ditunjang oleh dua tujuan atau sasaran yang lainnya, yakni upaya untuk meningkatkan pemerataan pendidikan dan upaya peningkatan mutunya, dua besaran sasaran program yang apabila bisa diimplementasikan akan sangat besar sumbangannya dalam upaya mempercepat program penuntasan Wajar Dikdas 9 tahun. Jelasnya, kebijakan yang ditujukan kepada upaya pemerataan, maka pelaksanaan Wajar Dikdas 9 tahun diharapkan bisa menyentuh seluruh lapisan masyarakat, tidak terkecuali masyarakat yang kurang beruntung alias miskin yang selama ini masih banyak menyisakan sasaran.
123 Melalui kebijakan yang ditujukan untuk meningkatkan mutu, maka implementasi kebijakan percepatan Wajar Dikdas 9 tahun diharapkan bisa dilakukan tidak hanya dalam rangka mengejar target kuantitas yang ditandai dengan peningkatan angka partisipasi sekolah, baik APK maupun APM, melainkan lebih jauh lagi mampu memberikan bekal pengetahuan dan keterampilan dasar yang sangat diniscayakan setiap warga masyarakat, khususnya bagi anak dari keluarga miskin sebagai modal utama untuk bisa mengakses hak-hak hidupnya, sebut pula memberdayakannya. Dari hasil kajian peneliti, pelaksanaan kebijakan Wajar Dikdas 9 tahun yang dilakukan di Kabupaten Cianjur saat ini memiliki landasan yang cukup kuat dan strategis. Tidak saja karena didukung oleh kebijakan-kebijakan yang telah dirumuskan dan ditetapkan pemerintah pusat dan provinsi Jawa Barat, melainkan diperkuat pula oleh visi dan misi pemerintah Kabupaten Cianjur yang secara eksplisit tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMD) yang kemudian dijabarkan dalam Rencana Strategis (Renstra) Dinas Pendidikan Kabupaten Cianjur 2006-2011. Dikaitkan dengan kebijakan pemerintah pusat, khususnya kebijakan Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas), pelaksanaan Wajar Dikdas 9 tahun merupakan realisasi dari Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 5 tahun 2006 Tentang Gerakan Nasional Percepatan Penuntasan Wajib Belajar 9 Tahun (Wajar Dikdas 9 Tahun) dan Pemberantasan Buta Aksara. Dikaitkan
dengan
kebijakan
pemerintah
pelaksanaan Wajar Dikdas 9 tahun merupakan
Provinsi
Jawa Barat,
bagian dari upaya strategis
dalam rangka pencapaian Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang
124 ditargetkan bisa mencapai angka 80 pada tahun 2010 sebagaimana bisa ditelaah dalam chart di bawah ini :
RATA-RATA LAMA SEKOLAH INDEKS PENDIDIKAN MELEK HURUF PENCAPAIAN VISI JAWA BARAT MELALUI IPM 80 TH 2010
INDEKS KESEHATAN
INDEKS DAYA BELI
UM UR HARAPAN HIDUP
PENDAPATAN PER KAPITA
WAJAR DIKDAS 9 TAHUN
GAMBAR 5.1 :. KETERKAITAN DAN NILAI STRATEGIS PELAKSANAAN WAJAR DIKDAS 9 TAHUN DENGAN PENCAPAIAN IPM JAWA BARAT
Dari gambar di atas nampak bahwa pelaksanaan program akselerasi penuntasan Wajar Dikdas 9 tahun disamping memiliki posisi yang strtaegis dalam menunjang peningkatan rata-rata lama sekolah (RLS) dan peningkatan buta aksara sebagai faktor penentu indeks pendidikan sebagai salah satu komponen penting peningkatan IPM. Tidak sampai di situ, keberhasilan pelaksanaan Wajar Dikdas
juga secara tidak langsung akan besar pula
sumbangannya terhadap upaya untuk mendukung peningkatan dua indeks IPM yang lainnya, yakni indeks kesehatan dan daya beli. Namun sebaliknya, upaya untuk meningkatkan Wajar Dikdas sendiri pada akhirnya akan pula banyak ditentukan oleh keberhasilan peningkatan derajat kesehatan dan juga tingkat daya beli masyarakat. Di situlah pula arti pentingnya mengintegrasikan pelaksanaan Wajar Dikdas itu dalam kaitannya dengan upaya untuk meningkatkan sektor pembangunan yang lainnya, dalam hal ini adalah pembangunan disektor kesehatan dan peningkatan daya beli masyarakat. Asumsinya, semakin tinggi tingkat pendidikan masyarakat, maka akan semakin meningkat pula sikap, kesadaran dan perilaku kesehatannya. Padahal
125 menurut Hendrik Blumm, faktor sikap dan perilaku masyarakat ini akan sangat menentukan derajat kesehatan mereka. Juga, semakin tinggi pendidikan sebuah masyarakat, maka akan semakin besar pula pengtetahuan dan keterampilan yang memunginkan mereka bisa mengakses peluang untuk meningkatkan taraf kesejahteraannya. Itulah gambaran mengenai letak strategisnya pelaksanaan wajar Dikdas 9 tahun dalam upaya untuk mendukung peningkatan indeks pembangunan manusia (IPM). Menurut kajian peneliti, itulah pula peluang yang sesungguhnya bisa dijadikan salah satu kekuatan utama untuk menarik dukungan seluruh sektor, termasuk dukungan masyarakat dalam pelaksanaan Wajar Dikdas 9 tahun di kabupaten Cianjur. Di situlah pula kemampuan para stakeholders di bidang pendidikan untuk melakukan advokasi tentang arti pentingnya pelaksanaan Wajar Dikdas 9 tahun diuji dan ditantang. Tidak sampai di situ, letak strategisnya pelaksanaan Wajar Dikdas 9 tahun itu diperkuat pula oleh visi dan misi kabupaten Cianjur yang secara eksplisit telah mencantumkan program perecepatan Wajar Dikdas 9 tahun sebagai prioritas dalam pelaksanaan pembangunan pendidikan. Yang tidak bisa diabaikan, adalah kebijakan Bupati Cianjur yang sejak dilantik secara resmi menjadi Bupati Cianjur telah mendeklarasikan tentang ”Pendidikan Gratis” untuk tingkat SD/MI sampai dengan SLTP yang sudah sering disampaikan dalam berbagai kesempatan penting.
Intinya, tidak
dibenarkan bagi sekolah (SD/MI dan SLTP) yang mendapatkan bantuan dari pemerintah melakukan pungutan biaya apa pun kepada siswa atau orang tua siswa. Pernyataan politis itu sekaligus merupakan isyarat tentang besarnya
126 perhatian sekaligus komitmen pimpinan tertinggi Kabupaten Cianjur dalam mendukung kelancaran akselerasi program penuntasan Wajar Dikdas 9 tahun. Singkatnya, dilihat dari aspek formulasinya, juga dilihat dari letak strategisnya, termasuk dari target yang telah ditetapkannya, sesungguhnya tidak ada alasan bagi pemerintah Kabupaten Cianjur untuk tidak bisa menjabarkan arah kebijakan itu kepada berbagai program yang mendukung upaya penuntasan Wajar Dikdas 9 tahun. B. Kajian Terhadap Program Implementasi Seperti telah diuraikan dalam bab sebelumnya, tidak sedikit bentukbentuk
program
telah
dilaksanakan
oleh
Kabupaten
Cianjur
dalam
mengimplementasikan kebijakan Wajar Dikdas 9 tahun sebagai penjabaran dari arah kebijakan yang telah ditetapkannya. Namun dari hasil penelitian terungkap bahwa tidak semua program yang dilaksanakan ternyata bisa menjawab dan mengakomodasi kebutuhan dan tuntutan anak dari keluarga miskin sebagai salah satu kelompok sasaran yang menjadi target kebijakan. Alasannya banyak, mulai dari persoalan yang berkaitan dengan lemahnya pelaksanaan fungsi dan tugas Tim Koordinasi yang telah dibentuk, termasuk lemahnya pelaku atau implementor kebijakan, lemahnya pendataan sebagai langkah awal untuk mengetahui sasaran yang akan digarap dengan kebijakan, kurang realistiknya target yang ingin dicapai, lemahnya sosialisasi sampai kepada miskinnya sumberdaya untuk mengoptimalkan dan mendukung kelancaran implementasi berbagai bentuk program intervensinya. 1. Kajian Terhadap Penentuan Target
127 Dikaitkan dengan sasaran yang yang ingin dicapainya, dari hasil analisis terungkap bahwa arah kebijakan Wajar Dikdas 9 Tahun di Kabupaten Cianjur juga ternyata telah dipertegas dengan rencana pencapaian target yang sebagai salah satu tolok ukur penting untuk melihat kinerjanya. Persisnya, dalam rangka percepatan Wajar Dikdas 9 tahun ini Kabupaten Cianjur memiliki target untuk bisa meningkatkan Angka Partisipasi Kasar (APK) dari posisi 76,03 pada tahun 2004 menjadi 104 pada tahun 2008, atau kenaikan sebesar 27,97 poin persen dalam kurun waktu lima tahun, sekitar 5,59 poin persen setiap tahunnya. Bandingkan dengan tren kenaikan APK dalam periode empat tahun sebelumnya, periode 2001-2004 yang meningkat sebesar 26,86 poin persen, atau sekitar 6,71 poin persen setiap tahunnya. Itu semua mengandung arti bahwa target yang dirumuskan lima tahun terakhir ini boleh dikatakan cukup realistik jika dibandingkan dengan tren pencapaian APK dalam periode empat tahun sebelumnya, bahkan secara kuantitatif sedikit lebih rendah. Tidak jauh dari itu, Angka Partisipasi Murni (APM) ditargetkan naik dari posisi tahun 2004 sebesar 68,99 menjadi 98,50 pada tahun 2008, atau meningkat sebesar 29,51 poin dalam kurun waktu lima tahun, sekitar 5,90 poin setiap tahunnya. Bandingkan juga dengan trend peningkatan APM dalam periode empat tahun sebelumnya, periode 2001-2004, yang meningkat sebesar 30,67 poin persen, atau meningkat sebesar 7,77 poin persen setiap tahunnya. Itu semua juga mengandung arti bahwa jika dilihat dari trend dan kemampuan pencapaian target beberapa tahun sebelumnya, maka penentuan target peningkatan APM ini cukup realistik, bahkan masih berada di bawah tren
128 peningkatan APM empat tahun sebelumnya. Namun persoalannya akan menjadi lain ketika target sebesar itu tidak dikaitkan dengan sukung dengan optimalisasi sumber daya dalam melaksanakan program-program pendukungnya, bahkan mungkin menjadi kurang realistik jika dikatkan dengan sisa sasarannya yang kebanyakan merupakan anak dari keluarga miskin dengan karakteristik sosial dan budayanya nya yang begitu kompleks. Dengan target sebesar itu, pada tahun 2008 Kabupaten Cianjur menargetkan dirinya untuk bisa menjadi daerah dengan kategori “tuntas Wajar Dikdas Paripurna. Bahkan target lebih jauhnya, pada tahun 2011 nanti Kabupaten Cianjur punya ambisi untuk mencapai status “wajib belajar 12 tahun - Wajar Dikmen, sebuah target yang luhur jika dikaitkan dengan kebijakan pemerintah provinsi maupun pusat yang telah mentargetkan penuntasan Wajar Dikdas 9 tahun pada tahun 2008. Bukan hanya itu, penentuan target sebesar itu juga merupakan sebuah keniscayaan
jika dikaitkan dengan besarnya target yang mesti dicapai
kabupaten Cianjur untuk bisa meningkatkan rata-rata lama sekolah (rate of years schooling) dari 6,68 tahun pada tahun 2005 menjadi 7,31 tahun pada tahun 2008. Dengan angka itu, dan dengan didukung oleh peningkatan indikator makro lainnya – indikator kesehatan dan daya beli, Kabupaten Cianjur diharapkan mampu meningkatkan pencapaian IPM-nya dari posisi 72,27 pada tahun 2005 menjadi 76,3 pada tahun 2008 sesuai dengan target akselerasi peningkatan IPM yang telah ditetapkan Provinsi Jawa Barat. Singkatnya, dari hasil kajian terungkap bahwa ada kecenderungan kalau proses dan besarnya penentuan target itu lebih banyak ditentukan oleh kebijakan
129 yang dibuat oleh pemerintah provinsi dan bahkan pemerintah pusat, dan karenanya bersifat top down, ketimbang banyak mempertimbangkan kondisi riel yang dihadapi kabupaten Cianjur, sehingga dilihat dari lima prinsip penentuan target yang harus memenuhi kriteria SMART-nya (specific, measurable, achievable, relaistic dan time bound), maka hanya tiga kriteria, yakni specific, measurable dan time bound-nya yang secara jelas sudah dipenuhinya. Sementara dua kriteria penting lainnya, kriteria achievable (prinsip harus dapat dicapai) dan realistiknya (prinsip kesesuaian dengan kondisi rielnya) masih dipertanyakan, dan akan dibahas dalam uraian mengenai pencapaian kinerjanya pada pembahasan berikutnya. 2. Kajian Terhadap Keberadaan Tim Koordinasi Dari hasil penelitian terungkap bahwa kehadiran lembaga koordinasi yang sekaligus merupakan koordinator sekaligus implementor, bahkan menjado motor penggerak dari pelaksanaan kebijakan ini tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan. Ketua Umum Tim, dalam hal ini Sekretaris Daerah (Sekda), yang diharapkan bisa memutarkan jalannya roda organisasi yang melibatkan banyak
pihak
yang
ada
dibawah
kewenangannya,
misalnya,
karena
kesibukannya nyaris tidak pernah hadir dalam rapat-rapat Tim yang dilakukan. Demikian halnya dengan anggota Tim yang lainnya, terutama anggota yang mewakili Polres dan Kodim dan beberapa Dinas lain juga nyaris tak pernah terlibat dalam kegiatan sesuai dengan tugas dan fungsinya. Padahal keberadaan
mereka selaku implementor, termasuk sikap dan pelakunya
(disposisi) dalam bahasa George C Edward (1990), atau dukungan sumber daya
130 (manusia) dalam bahasanya Donald Van Meter (1975), merupakan salah satu variable yang akan menentukan keberhasilan melaksanakan sebuah kebijakan. Singkatnya, demikian dari hasil pengamatan peneliti, hanya dari Unsur Dinas P dan K serta Kantor departemen Agama yang berperan aktif. Salah satu alasannya, disamping karena hampir semua institusi yang ditetapkan menjadi anggota Tim Koordinasi itu tidak terlebih dahulu diajak bicara kecuali sebatas ditunjuk dan ditetapkan SK Bupati, juga tidak pernah melakukan pertemuan untuk menjelaskan peran dan fungsinya. Maka benar apa yang dikatakan Peter Senge (1992), ”bahwa hampir dalam kebanyakan organisasi, relatif hanya sedikit orang yang mengikuti (enrolled), dan bahkan beberapa saja yang komit (committed), mayoritas orang berada dalam posisi pemenuhan (complant). Mereka mendukung visi pada tingkat tertentu, tetapi mereka tidak benar-0benar mengikuti (enrolled) atau komit (committed)”. Tidak mengherankan pula jika keterlibatan mereka pada umumnya menjadi kurang bahkan nyaris tidak berfungsi kecuali sebatas tertulis dalam SK Bupati. ”Kami tidak dilibatkan, bahkan kami tidak tahu kalau dalam SK Bupati tertuang sebagai anggota Tim Koordinasi”, demikian ungkap beberapa kepala Dinas Instansi ketika diwawancarai. Menurut pendapat peneliti, itulah pula awal dari lemahnya komitmen yang akan mempengaruhi kinerja Tim dalam menjalankan tugas pada tahap berikutnya. Hal tersebut juga ditegaskan Argyris (1964), dikutip Nyoman Sumaryadi (2005) yang menegaskan bahwa
131 keberhasilan sebuah organisasi, dalam hal ini Tim Koordinasi, dianggap tercapai apabila proses internal organisasi berjalan lancar. Lebih jauh ditegaskan Daniel Katz dan Robert Kahn, dalam Bryant & White (1987), ”bahwa pada tingkat pertama, keberhasilan implementasi sebuah kebijakan dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkannya dapat dilihat dari konteks proses internal organisasi melalui kerjasama, yang antara lain ditinjau dari berjalannya koordinasi dengan baik dan efektif” Kalau pun ada beberapa pihak yang terlibat, terutama Tim yang ada pada tingkat kecanatan dan Desa, demikian hasil pengamatan peneliti, maka perannya tidak lebih dari sebatas melakukan kegiatan pendataan dan pemetaan sasaran sebagai bagian kecil dari tugas merumuskan perencanaan atau program. Sementara pelaksanaan tugas dan fungsi yang lainnya, terutama menyangkut kegiatan sosialisasi, termasuk penggerakan masyarakatnya, ternyata lebih banyak dilakukan oleh petugas internal dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan. Itu pun dilakukan hanya dengan memanfaatkan forum-forum pertemuan internal yang ada. Dengan kata lain, tidak ada ”gerakan” yang meniscayakan arti pentingnya kebersamaan dan pelibatan banyak pihak dalam implementasi Wajar Dikdas sebagaimana yang sering didengang-dengungkan. 3. Kajian Terhadap Kegiatan Sosialisasi Jika Tim Koordinasi dibangun dalam rangka memperkuat kelembagaan yang diharapkan mampu menjadi motor penggerak dalam implementasi pelaksanaan Wajar Dikdas 9 tahun di semua tingkatan, dan karenanya hadir menjadi salah satu aktor atau pelaku kebijakan, maka kegiatan sosialisasi
132 ditujukan dalam rangka meyakinkan arti pentingnya pelaksanaan kebijakan Wajar Dikdas 9 Tahun bisa dipahami oleh seluruh lapisan masyarakat. Namun dari hasil penelitian terungkap bahwa sosialisasi kebijakan yang dalam kajian teoretis merupakan salah satu faktor yang akan menentukan keberhasilan
dalam
implementasi
sebuah
kebijakan,
termasuk
dalam
implementasi kebijakan Wajar Dikdas 9 tahun, ternyata belum secara optimal dilakukan, lebih-lebih jika dikaitkan dengan esensi sebuah gerakan yang meniscayakan arti pentingnya kesemarakan dan keserentakan dalam melakukan sebuah kegiatan. Konkritnya, demikian terungkap dari hasil penelitian, bahwa dari aspek pelaku atau implementor, maka praksis sosialisasi Wajar Dikdas 9 tahun dilapangan baru banyak dilakukan oleh pejabat dan petugas, terutama petugas dan pejabat dari lingkup Dinas Pendidikan. Sementara keterlibatan pihak-pihak lain, terutama dari kalangan tokoh masyarakat masih jauh dari esensi sebuah gerakan. Ini semua terjadi, disamping karena sosialisasinya yang memang kurang intens, cakupannya yang sempit, juga karena pelaksanaannya yang tidak terkoordinasi dengan baik. ”Kami tidak pernah diikutsertakan dalam perumusan rencananya, apalagi dalam pelaksanaannya”, kata beberapa tokoh masyarakat yang sempat diwawancarai. Dari aspek waktu, gerakan sosialisasi juga berlangsung hanya pada momentum-momentum khusus, sebut saja selama pada masa pencanangan, tetapi tidak berlangsung lama dan terus menerus sebagaimana yang diharapkan. Bahkan dari dimensi ruang atau tempat, sosialisasi Wajar Dikdas Juga
133 cenderung berlangsung hanya pada tempat-tempat yang secara langsung berkaitan dengan urusan pendidikan seperti sekolah artau ruang-ruang rapat, sementara banyak ruang strategis lain seperti mesjid atau majlis ta’lim belum banyak disentuh dan termanfaatkan. Maka tidak mengherankan kalau muncul kesan bahwa pelaksanaan Wajar Dikdas 9 tahun ini dipersepsi dan terkesan masih merupakan tugas dan urusannya pemerintah semata, bahkan cenderung dianggap merupakan tugasnya Dinas Pendidikan. Singkatnya, sosialisasi atau ”kominikasi” kebijakan yang menurut George Edward (1990) merupakan salah satu variable penting yang akan menentukan keberhasilan implementasi kebijakan belum berjalan sebagaimana yang diharapkan. 4. Kajian Terhadap Pendataan Sasaran Sebagai bagian dari langkah perencanaan, upaya ini dilakukan tidak saja dalam rangka membuat peta atau potret tentang pencapaian pendidikan dasar yang telah dicapai oleh masing-masing wilayah kecamatan sampai dengan Desa atau kelurahan, namun sekaligus juga dilakukan dalam rangka mempersiapkan dan memperjelas sasaran yang akan menjadi fokus penggarapan kegiatan Wajar Dikdas 9 tahun menurut berbagai tingkatannya. Namun dari hasil penelitian pula terungkap bahwa dari aspek mekanismenya sebagaimana telah ditetapkan, pelaksanaan pendataan sasaran ini tidak berjalan sepenuhnya sesuai dengan tahapan yang telah ditetapkan. Wujud konkritnya, pendataan yang mestinya dilakukan secara langsung atau sensus, di beberapa daerah dilakukan hanya dengan menggunakan data sekunder, yakni
134 hanya dengan cara merekap data yang telah ada, yakni data hasil pemutaakhiran yang dilakukan BKKBN setiap tahunnya. Dari aspek substansinya, pelaksanaan pendataan sasaran tersebut juga baru sebatas dilaksanakan dalam rangka mengungkap nama dan alamat, sementara alasan atau motif mereka tidak bersekolah, apalagi sampai mengungkap klasifikasi anak miskin dan tidak miskin dengan kondisi sosial kulturalnya yang memang berbeda, sama sekali absen dari perhatian. Itulah pula yang kemudian akan menjadi salah satu penyebab munculnya kesulitan dalam merumuskan dan menyampaikan pesan sosialisasi atau motivasi dan penenrtuan progran intervensi yang perlu dilakukan dalam tahap berikutnya. Maka tidak mengherankan jika masalah akurasi dan validitas hasil pendataannya pun layak dipertanyakan, bahkan dipersoalkan. Padahal tingkat efektivitas dari semua program yang akan dijalankan akan sangat tergantung kepada tingkat akurasi data sasaran yang akan digarap. Singkatnya, dari tahap persiapan implementasinya saja – koordinasi, sosialisasi dan pendataan sasaran, masih ada gap atau diskrepansi antara yang semestinya dilakukan dengan yang benar-benar dilakukan. Itulah pula temuan penelitian yang kemudian akan mempengaruhi keberhasilan melakukan implementasinya. 5. Kajian Terhadap Pelaksanaan Program dan Kinerjanya Sebagaimana telah dibahas dalam bab sebelumnya, tidak sedikit bentukbentuk pelayanan program Wajar Dikdas 9 tahun telah digulirkan oleh pemerintah Kabupaten Cianjur sebagai bentuk implementasi dari arah kebijakan yang telah ditetapkan, baik yang dilakukan melalui jalur pendidikan formal,
135 termasuk melalui jalur pendidikan alternatifnya seperti SMP Cerdas Seatap, SMP Pertbuka, maupu jalur pendidikan Non Formal. Bersamaan dengan itu, tidak sedikit pula hasil telah dicapai sebagai dampak dari pelaksanaan program-program tersebut. Gambarannya, meskipun jumlah anak usia 7-15 tahun meningkat cukup berarti dari posisi tahun 2004 sebesar 388.773 menjadi 407.694 anak pada posisi tahun 2008, namun tren peningkatan anak yang bisa mengakses pendidikan jauh meningkat lebih besar lagi. Peresisnya, jika jumlah anak yang bisa mengakses pendidikan dasar 9 tahun pada tahun 2004 tercatat sebanyak 316.755 orang, atau sekitar 81,7 persen dari jumlah total anak usia 7-15 tahun sebanyak 388.773 orang, maka pada tahun 2008 meningkat menjadi 377.745 anak, atau menjadi 92,6 persen dari total anak usia 7-15 tahun sebanyak 407.694 orang. Implikasinya, jumlah anak usia 7-15 tahun yang tidak atau belum bisa mengakses pendidikan dar 9 tahun menurun dari 18,52 persen pada tahun 2004 menjadi 7,34 persen pada tahun 2008. Artinya, intervensi program yang telah dilakukan pemerintah Kabupaten Cianjur selama ini, secara kuantitatif telah berhasil memberikan sumbangan dalam meningkatkan akses anak dari keluarga miskin dalam menikmati salah satu hak dasarnya, pendidikan dasar 9 tahun sebagaimana bisa dilihat dalam figur di bawah ini :
136 Tabel 5.2 Trend Peningkatan Anak Usia 7-15 Tahun yang Bisa Mengakses Pendidikan Wajar Dikdas 9 Tahun URAIAN
2004
Jml Anak Usia 7-15 tahun (Usia Wajar Dikdas 9 Tahun Jumlah total anak usia 7-15 Tahun yang Tertampung Jumlah anak usia 715 tahun yang belum/ tidak Tertampung Prosentase anak yang tidak tertampung
2005
388.773 393.363
TAHUN 2006
398.565
2007
2008
402.918 407.694
316.755 341.315
354.830
363.867 377.745
72.018
52.048
43.735
39.051
29.949
18,52
13,23
10,97
9,69
7,34
Dengan kata lain, ada pengaruh yang cukup berarti dari implementasi kebijakan Wajar Dikdas 9 tahun yang dilakukan selama ini, paling tidak jika dilihat dari aspek kuantitatifnya sesuai dengan tujuan penelitian ini. Dampak lebih jauhnya, rata-rata lama sekolah (rate of year schooling) meningkat dari 6,42 tahun pada tahun 2004 menjadi 6,92 tahun pada tahun 2008. Dampak lebih jauhnya, Indeks Pembangunan Pendidikan (IP) sebagai salah satu indikator yang sangat berpengaruh dalam meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM), cenderung terus mengalami peningkatan sebagaimana bisa ditelaah dalam tabel berikut ini : Tabel 5.3 Sumbangan kinerja Wajar Dikdas 9 tahun terhadap Peningkatan IPM Kabupaten Cianjur Tahun
RLS
Melek Huruf
2004 2005 2006 2007 2008
6,42 6,47 6,60 6,88 6,92
96,51 96,67 96,79 97,46 92,66
Indeks Pendidikan 78,61 78,82 79,19 80,26 80,48
IPM 66,18 66,79 67,44 68,28 68,72
137
Singkatnya, dilihat dari aspek peningkatan akses, baik yang dilakukan melalui pemberian pelayanan pendidikan melalui jalur formal maupun jalur non formal, termasuk didalamnya upaya peningkatan akses melalui jalur pendidikan alternatif, maka hasil kajian menunjukan bahwa implementasi kebijakan percepatan penuntasan Wajar Dikdas 9 Tahun dalam lima tahun belakangan ini, dari 2004-2008, secara kuantitatif telah berhasil meningkatkan akses anak usia 7-15 tahun dalam menikmati pendidikan dasarnya. Dilihat menurut jalur pendidikannya, hasil kaijian mengungkap bahwa jalur pendidikan formal reguler, yakni SD/MI dan SMP/MTs, cenderung dan tetap menjadi pilihan utama, yakni mencapai sekitar 91,27 persen dari total siswa usia 7-15 tahun yang ada pada tahun 2008. Bandingkan dengan jumlah siswa usia yang sama yang memilih jalur pendidikan formal non reguler seperti SMP Cerdas Seatap, SMP Terbuka dan sejenisnya serta jalur pendidikan non formal yang besarnya hanya mencapai 33.006 siswa, atau hanya sekitar 8,73 persen dari total jumlah siswa yang ada pada tahun 2008. Itu semua menunjukan bahwa jalur pendidikan formal reguler, tetap merupakan pilihan pertama dan utama masyarakat, termasuk masyarakat miskin, dan karenanya memiliki nilai strategis dalam upaya peningkatan akses pendidikan dasar 9 tahun. Dari hasil kajian pula terungkap bahwa dilihat dari tren peningkatannya dalam lima tahun terakhir ini, periode 2004-2008, prosentase peningkatan anak usia 7-15 tahun yang memanfaatkan atau mengikuti jalur pendidikan non reguler dan pendidikan non formal cenderung mengalami peningkatan yang jauh
138 lebih tinggi dibanding dengan prosesntase peningkatan anak yang mengikuti pendidikan dasar jalur non formal (paket A dan B) dan pendidikan formal reguler. Bahkan dari hasil kajian terungkap bahwa dilihat dari prosentasenya, jumlah siswa yang mengikuti pendidikan dasar melalui jalur formal justeru mengalami penurunan. Tren itu terjadi bukan karena jalur pendidikan formal reguler yang kurang diminati, melainkan lebih oleh karena kemampuan daya tampung dibanding dengan peminatnya yang tidak seimbang. Dan ketika jalur pendidikan formal reguler itu kelebihan daya tampung, maka hampir bisa dipastikan kalau anak dari keluarga miskin dengan segala ketidakberdayaannya yang akan banyak tersisihkan. Persisnya, jika prosentase siswa yang mengikuti pendidikan melalui jalur pendidikan formal reguler tercatat sebesar 97,67 persen dari juml;ah total siswa, maka pada prosentasenya pada tahun 2008 turun menjadi hanya 91,26 persen. Sebaliknya, prosentase siswa yang mengikuti jalur formal non reguler dan pendidikan non formal naik dari 2,33 persen pada tahun 2004 menjadi 8,73 persen pada tahun 2004. Semua itu menunjukan bahwa tujuan penyediaan layanan pendidikan dasar melalui jalur pendidikan non formal dan non reguler yang disediakan pemerintah selama ini cukup efektif, atau paling tidak membantu, dalam upaya untuk menjaring anak dari keluarga miskin yang tidak tertampung melalui jalur pendidikan formal reguler. Tabel di bawah ini sengaja diangkat untuk memperjelas perbedaan tren peningkatan prosentase pertahunnya :
139 Tabel 5.4 Perbandingan Trend Jumlah dan Prosentase Siswa usia 7-15 tahun yang Mengikuti Jalur Pendidikan Formal Reguler dengan Jalur Pendidikan Non Formal dan Formal Non Reguler URAIAN Jumlah Total Siswa Usia Wajar Dikdas 9 tahun Jumlah siswa yang mengikuti jalur pendidikan formal reguler
Prosentase Jml Siswa yang mengkuti jalur pendidikan non formal dan formal non reguler Prosentase
2004
2005
316.755
342.315
309.367
TAHUN 2006
2007
2008
354.830
363.867
377.745
329.823
337.159
338.664
344.739
97,66
96,35
95,01
93,07
91,26
7.388
12.492
17.671
25.203
33.006
2,33
3,64
4,98
6,92
8,73
KETERANGAN
Dalam Periode lima tahun naik sebanyak 60.990 siswa Dalam periode 5 tahun naik sebanyak 35.372 siswa Turun sebesar 6,41 persen Dalam periode 5 tahun naik sebanyak 25.618 siswa
Naik sebesar 6,4 persen
Dari hasil kajian terhadap temuan yang telah disajikan pada bab sebelumnya terungkap pula bahwa jalur pendidikan non formal melalui program PKBM-nya (Paket A dan B), serta program SMP Cerdas Seatap sebagai kelanjutan dari Program / Proyek PPK IPM yang dikembangkan Provinsi Jawa Barat, disamping program Wajar Dikdas 9 Tahun melalui jalur pendidikan pesantren, ternyata merupakan jalur pendidikan yang banyak diminati anak dari keluarga miskin dalam menyelesaikan pendidikan dasarnya. Hal itu terjadi tidak saja karena program-program tersebut relatif banyak mendapatkan bantuan dukungan dari pemerintah, juga ada kecenderungan bahwa tidak sedikit anak tamatan SD atau MI di Kabupaten Cianjur yang karena motivasi orang tuanya, karena nilai budaya religious yang dianutnya, disamping
140 karena kemiskinannya, cenderung lebih banyak memilih jalur pendidikan pesantren ketimbang pendidikan umum. Di situlah pula letak strategisnya bagi pemerintah Kabupaten Cianjur yang terkenal dengan ”kota santri”-nya ini untuk meningkatkan dan mengembangkan jalur pendidikan non formal di lingkungan pesantren. Dengan kata lain, jalur pendidikan yang mengintegrasikan Wajar Dikdas dengan sistem penyelenggaraan pendidikan di pesantren. a. Pencapaian Dibanding Target Namun dari hasil kajian terungkap pula bahwa meskipun berbagai bentuk program yang dilaksanakan selama ini telah berhasil membantu meningkatkan akses pendidikan dasar bagi anak dari keluarga miskin, tetapi jika dibandingkan dengan target yang telah ditetapkan, maka hasilnya ternyata masih jauh dari yang diharapkan sebagaimana bisa ditelaah dalam tabel di bawah ini: Figur 5.5 Pencapaian Dibanding Target yang Telah ditetapkan NO
INDIKATOR
1
Angka Partisipasi Kasar (APK) Angka Partisipasi Murni (APM)
2
POSISI 2004
TARGET 2008
PENCAPAIAN 2008
76,03
104 %
87,67
Minus 16,33 point persen dibanding target
68,99
96,40 %
83,87
Minus 12,53 point persen dibanding target
KETERANGAN
Jelasnya, dari target pencapaian APK tahun 2008 sebesar 104 persen, ternyata hanya bisa dicapai sebesar 87,67 persen, atau minus sebesar 16,33 poin persen. Demikian halnya untuk pencapaian APM. Dari target tahun
141 2008 sebesar 96,40 persen, ternyata hanya bisa dicapai sebesar 83,87 persen, atau minus sebesar 12,53 poin persen. Dengan kata lain, masih ada gap antara target dengan pencapaian. Angka absolutnya, dari jumlah total anak usia 7-15 tahun tahun 2008 sebanyak
409.694
orang
sebagaimana
telah
disajikan
dalam
bab
sebelumnya, hampir 30.000 anak diantaranya ternyata belum bisa tersentuh dengan kebijakan Wajar Dikdas 9 tahun yang digulirkan pemerintah Kabupaten Cianjur selama ini. Dan sesuai dengan hasil kajian, hampir bisa dipastikan bahwa sebagian besarnya - kalaupun tidak sampai seluruhnyadari mereka yang belum tersentuh itu
kebijakan itu adalah anak dari
keluarga miskin dengan karakteristiknya yang begitu kompleks. Itu semua menunjukan bahwa dari banyak aspeknya, target yang dibuat oleh Kabupaten Cianjur seperti telah dibahas dalam uraian sebelumnya menjadi tidak achievable dan bahkan tidak realistik jika dikaitkan dengan kemampuan dan kondisi riel pemerintah Kabupaten Cianjur dalam melakukan langkah intervensinya. Tegasnya, terget itu dibuat dan ditetapkan lebih banyak berdasarkan kepada upaya untuk mengejar besarnya target yang telah ditentukan pemerintah provinsi, bahkan mungkiun kepentingan politik ketimbang pertimbangan riel di lapangan. b. Beberapa Faktor Penyebab Tidak Tercapainya Target Banyak faktor bisa diangkat untuk menjelaskan tidak tercapainya target tersebut. Tidak saja karena menyangkut lemahnya tugas dan fungsi koordinasi dari Tim Wajar Dikdas yang telah dibentuk, atau karena kurangnya sosialisasi serta kurang akuratnya sasaran yang menjadi target
142 kebijakan sebagaimana telah dibahas sebelumnya, tetapi secara substantif, program-program yang digulirkannya itu sendiri ternyata belum sepenuhnya bisa menjawab dan memenuhi tuntutan dan kebutuhan riel yang dihadapi anak dari keluarga miskin. Dari upaya peningkatan daya tampung sekolah yang dilakukan pemerintah ternyata sangat tidak sebanding dengan besarnya laju pertambahan penduduk usia Wajar Dikdas 9 tahun (7-15 tahun) sebagai akibat dari tinnginya laju pertumbuhan penduduk. Persisnya, seperti telah diuraikan pada bab sebelumnya, rata-rata penambahan jumlah anak usia wajar Dikdas 9 tahun, anak usia 7-15 tahun, setiap tahunnya bertambah sebanyak 7.586 anak. Padalah pemerintah melalui penambahan ruang kelas baru (RKB) dan unit sekolah baru (USB), rata-rata setiap tahunnya hanya bisa menampung sebanyak 3.624 anak, atau hanya sekitar 47,7 persen dari kebutuhan. Fakta itu sekaligus juga menunjukan bahwa meskipun target pencapaian Wajar Dikdas 9 Tahun sebagaimana yang telah ditetapkan dan dibahas di atas tidakterlalu tinggi, bahkan masih berada di bawah rata-rata pencapaian empat tahun sebelumnya, namun jika dibandingkan dengan kemampuan pemerintah untuk melayaninya, sebut pula kemampuan pemerintah untuk meningkatkan daya tampung sekolahnya, maka penentuan target itu menjadi sangat tidak realistik. Dengan kata lain, ada inkonsistensi antara kebijakan yang dibuat dengan implementasinya, antara rumusan dengan implementasinya. Tegasnya, ada gap atau diskrepansi antara pelayanan yang disediakan dengan tuntutan masyarakat.
143 Itulah faktor yang selama ini menjadi salah satu penyebab banyak anak dari keluarga miskin yang tidak tertampung dalam jalur pendidikan dasar formal. Itulah pula yang menjadi salah satu alasan mengapa jalur pendidikan non formal dan jalur pendidikan formal non reguler menjadi salah satu alternatif strategis, bahkan menjadi satu-satunya pilihan, dan karenanya cenderung meningkat sebagaimana bisa dilihat dalam tabel di atas. Itu pun, dalam realitasnya, tidak seluruh anak dari keluarga miskin, karena berbagai alasannya, tetap masih tidak bisa mengaksesnya. Di pihak lain, meskipun selama ini juga tidak sedikit upaya yang telah dilakukan pemerintah dalam rangka meringankan beban anak dari keluarga miskin melalui pemberian berbagai bantuan seperti BOS, Beasiswa Miskin (BSM) dan sejenisnya, namun dari hasil penelitian terungkap bahwa besarnya jumlah bantuan itu ternyata masih jauh dari kebutuhan dan karenanya belum bisa menjawab sepenuhnya masalah yang dihadapi anak dari keluarga miskin. Masalah lainnya, meskipun ada pos atau bagian dari dana BOS yang mestinya diberikan kepada anak dari keluarga miskin untuk membantu biaya transportasi yang memang sangat membutuhkannya, misalnya, namun tidak banyak sekolah yang bisa melakukannya karena sebagian besarnya habis untuk mendanai operasional sekolah. Padahal dari hasil penelitian terungkap, tidak sedikit anak dari keluarga miskin yang terpaksa drop out karena masalah besar atau mahalnya biaya transportasi ini. Demikian halnya dengan sumber bantuan yang diberikan dalam bentuk program yang disebut dengan ”Bantuan Siswa Miskin” atau BSM,
144 selain jumlah kuota yang diberikan oleh pemerintah jauh lebih sedikit dibanding dengan jumlah anak miskin yang perlu mendapat bantuan – dan karenanya ada gap. Sekedar gambaran, dari jumlah siswa miskin tingkat SD yang diajukan untuk mendapatkan BSM pada tahun 2008 sebesar 15.725 anak, yang bisa dipenuhi tingkat provisnsi hanya sebanyak 7.832 anak, atau sekitar 50 persen dari kebutuhan. Parahnya, karena keterbatasan yang dimilikinya, kekurangan itu belum bisa dipenuhi oleh dukungan anggaran yang khusus disediakan pemerintah daerah. Masalah lainnya, dari hasil penelitian juga terungkap bahwa pengelolaannya pun, sebagian besarnya, tidak langsung diberikan kepada anak melainkan dilakukan oleh sekolah dengan alasan bahwa kalau diberikan kepada anak, dikhawatirkan tidak digunakan untuk membiayai kebutuhan pendidikannya. Yang memprihatinkan, dari hasil penelitian terungkap bahwa ketika dana itu dikelola oleh pihak sekolah pun, sebutlah dibelikan untuk pakaian seragam atau buku tulis, banyak murid dan orang tua yang mengeluh kalau bentuk-bentuk bantuan yang diberikan sekolah itu tidak selamanya sesuai dengan kebutuhan riel pendidikan yang dirasakan anak dari keluarga miskin. Terbatasnya dukungan anggaran yang diberikan pemerintah dalam mendukung program akselerasi Wajar Dikdas 9 tahun ini merupakan persoalan tersendiri yang bisa diangkat untuk menjelaskan tidak tercapainya target. Sebagaimana secara deskriptif telah disajikan dalam bab sebelumnya, kendatipun besaran jumlah anggaran untuk mendukung program Wajar Dikdas 9 tahun ini mengalami peningkatan dari Rp. 19,9 Milyar pada tahun
145 2004 menjadi 62,6 milyar pada tahun 2008, namun sebagian besarnya lebih banyak digunakan untuk pembangunan fisik berupa rehabilitasi dan pembangunan ruang kelas baru, termasuk pembangunan unit sekolah baru. Itu pun sebagian besarnya merupakan bantuan anggaran yang bersumber dari pemerintah pusat (DAK) dan sumber anggaran provinsi Jawa Barat (Rolesharing). Sebaliknya, dukungan anggaran untuk Wajar Dikdas 9 tahun yang disediakan pemetrintah Kabupaten Cianjur justeru mengalami penurunan dari Rp. 19,9 milyar pada tahun 2004 menjadi hanya Rp. 14,4 milyar pada tahun 2008. Itupun penggunaan anggarannya bukan diperuntukan untuk mendanai
program-program
yang secara langsung bisa membantu
pendidikan anak dari keluarga miskin karena seagian besarnya diperuntukan untuk mendukung pelaksanaan Wajar Dikdas secara umum. Bahkan dari hasil kajian terungkap, tidak ada dukungan anggaran yang disediakan itu yang secara khusus dan langsung diperuntukan dalam rangka membantu meringankan biaya pendidikan bagi anak dari keluarga miskin. Dilihat dari aspek supply side-nya, singkatnya, walaupun selama ini telah banyak program dilakukan pemerintah dalam rangka membantu meringankan beban pendidikan bagi anak dari keluarga miskin, namun karena keterbatasan bantuan yang diberikannya, atau karena kekeliruan dalam mengelolanya, semua program itu belum mampu menjawab persoalan pendidikan yang dihadapi anak dari keluarga miskin. Dengan kata lain, masih ada gap atau diskrepansi antara layanan yang diberikan pemerintah dengan tuntutan riel anak dari keluarga miskin.
146 C. Kajian Terhadap Anak dari Keluarga Miskin yang Tidak Bisa Mengakses Pendidikan Dasar Seperti telah dibahas sebelumnya bahwa membicarakan masalah pendidikan bagi anak dari keluarga miskin, apalagi menanganinya, bukanlah merupakan persoalan sederhana, apalagi diangap gampang. Dari hasil penelitian sebagaimana telah dideskripsikan dalam bab sebelumnya terungkap bahwa begitu banyak faktor dominan saling terkait yang sekaligus menjadi alasan anak dari keluarga miskin di Kabupaten Cianjur selama ini terpaksa meninggalkan bangku sekolah, baik karena dropout di tengah jalan, maupun karena memang tidak melanjutkan sekolah. Beban berat ekonomi keluarga, jauhnya jarak dari tempat tinggal ke sekolah, kurangnya kesadaran anak dan orang tua akan arti pentingnya pendidikan, perasaan rendah diri atau minder dengan berbagai alasannya, lingkungan sosial dan sekolah yang kurang mendukung, rendahnya pendidikan orang tua, kurangnya dukungan masyarakat, termasuk lingkungan internal sekolah yang kurang kondusif, adalah beberapa faktor penting yang dari hasil penelitian terungkap sebagai penyebab anak dari keluarga miskin selama ini tidak bisa mengakses pendidikan dasar 9 tahun. Yang menarik, dari hasil kajian pula terungkap bahwa masing-masing faktor tersebut tidak bisa diposisikan secara terpisah dari faktor yang lainnya, melainkan melekat atau hadir tidak terpisahkan dari satu atau bahkan semua faktor yang lainnya dalam sebuah dinamika sistem sebagaimana bisa ditelaah dalam figur di bawah ini :
147
RENDAHNYA MOTIVASI ANAK
SIKAP MINDER – RENDAH DIRI ANAK
JAUHNYA JARAK DARI TEMPAT TINGGAL KE SEKOLAH
LINGKUNGAN SOSIAL DAN KULTUR YANG KURANG MENDUKUNG
RENDAHNYA KESADARAN ORANG TUA AKAN ARTI PENTINGNYA PENDIDIKAN
GAMBAR 5.6
ANAK DARI KELUARGA MISKIN TDK BISA MENGAKSES PENDIDIKAN DASAR
BEBAN BERAT BIAYA SEKOLAH
LINGKUNGAN SEKOLAH YANG TIDAK MENDUKUNG
RENDAHNYA PENDIDIKAN ORANG TUA
–
LINGKUNGAN KELUARGA HIMPITAN EKONOMI KELUARGA
DIAGRAM CAUSAL LOOP : FAKTOR SALING
TERKAIT PENYEBAB ANAK TIDAK BISA MENGAKSES PENDIDIKAN DASAR
Dari diagram diatas, paling tidak ada beberapa hal penting yang bisa diangkat
dan
dibahas.
Pertama,
bahwa
membahas
masalah
ketidakmampuan ekonomi anak dari keluarga miskin dalam mengakses pendidikan dasar 9 tahun pada prinsipnya merupakan masalah yang demikian kompleks karena melibatkan banyak masalah lain yang saling yang saling terkait dan menentukan. Dan realitas kompleks itulah yang belum banyak dipertimbangkan dalam mengimplementasikan Wajar Dikdas 9 Tahun selama ini. Kedua, di balik faktor ”ketidakmampuan anak dari keluarga miskin” yang selama ini sering dianggap sebagai penyebab utama sekaligus menjadi isu sentral, sesungguhnya terdapat banyak faktor yang satu sama lain saling
148 berkaitan dalam sebuah dinamika sistem yang melibatkan banyak aktor dan sektor. Bahkan dari sudut pemikiran sistem sebagaimana tergambar dalam diagram, maka faktor ketidakmampuan anak dari keluarga miskin yang selama ini banyak diangkat kepermukaan, sesungguhnya hanya merupakan ”akibat yang tidak diinginkan” (unintended effect) yang muncul karena banyak faktor lain yang saling berkaitan itu. Itulah pula realitas kompleks yang selama ini belum banyak diperhitungkan dan diintervensi dalam mengimplementasikan kebijakan percepatan penuntasan Wajar Dikdas 9 tahun bagi anak dari keluarga miskin Beberapa faktor ketidakberuntungan (disadvantages) berkait dengan kondisi ekonomi yang serba tidak memadai, ketidakberuntungan karena kelemahan fisik dan mental yang mereka miliki, ketidakberuntungan karena kerentanannya (vulnerability), ketidakberuntungan karena ketidakberdayaannya ketika harus berhadapan dengan kelompok masyarakat mampu (powerless) sampai ketidakberuntungan karena keterasingan kehidupannya dari masyarakat mampu, adalah beberapa saja yang mesti terakomodasi sekaligus terjawab dengan kebijakan atau pelayanan program yang akan dirumuskan. Di situlah pula relavansinya untuk mengintegrasikan atau mensinergikan pelaksanaan kebijakan percepatan penuntasan Wajar Dikdas 9 tahun ini dengan berbagai pendekatan dan program terkait – integrated program. Keniscayaan ini ini juga relavan dengan pemikiran Chambers dengan konsepnya yang dikenal dengan sebutan ”integrated poverty” yang intinya menegaskan bahwa kemiskinan pada umumnya selalu melibatkan banyak faktor kemalangan atau
149 tidakberuntungan (disadvantages) yang satu sama lain saling terkait melingkari kehidupan orang miskin. Itu sebabnya, apa pun bentuk atau rumusan kebijakan yang akan dijalankan mesti dijabarkan kedalam berbagai program yang mampu menjawab dan memecahkan persoalan-persoalan kompleks yang sering dihadapi anak dari keluarga miskin tersebut. Itulah pula yang menurut hasil penelitian dan kajian belum banyak dilakukan dalam mengimplementasikan program Wajar Dikdas 9 taun selama ini. Program peningkatan pendapatan ekonomi keluarga atau apa pun namanya
yang
diharapkan
bisa
membantu
memberdayakan
sekaligus
meningkatkan ekonomi keluarga miskin, adalah merupakan salah satu program yang mesti diangkat sebagai bagian integral dari dari upaya untuk mempercepat penuntasan Wajar Dikdas bagi anak dari keluarga miskin. Fakta selama inin menunjukan, tidak sedikit anak dari keluarga miskin yang terpaksa ditarik orang tuanya dari sekolah hanya karena anaknya harus membantu kerja orang tuanya. Bukan hanya itu, program pengendalian laju pertumbuhan penduduk melalui pelaksanaan program KB, misal lain, juga harus dijadikan salah satu kebijakan yang keberhasilannya akan banyak berpengaruh dalam upaya untuk mempercepat penuntasan Wajar Dikdas 9 tahun. Paling tidak, melalui akselerasi pengendalian angka kelahiran ini akan membantu meringankan beban pemerintah karena laju pertumbuhan anak usia Wajar Dikdas bisa dikendalikan sesuai dengan kemampuan pemerintah untuk menyediakan daya tampungnya. Bahkan dari hasil penelitian terungkap bahwa tidak jarang anak meninggalkan
150 bangku sekolah hanya karena untuk membantu orang tua mengurus anggota keluarga yang lainnya (mengasuh adik-adiknya yang memang banyak). Singkatnya, karena kemiskinan mereka tidak bisa menikmati pendidikan dengan alasan jauhnya jarak dari tempat tinggal ke sekolah. Karena kemiskinan, mereka tidak bisa menikmati pendidikan dasar karena orang tuanya, atau bahkan anaknya sendiri kurang memiliki kesadaran akan arti pentingnya pendidikan. Karena kemiskinan, mereka tidak bersekolah karena merasa minder dengan teman-teman sekolah yang lainnya. Karena kemiskinan, mereka hruas meninggalkan bangku sekolah untuk membantu orang tuanya. Karena kemiskinan, singkatnya, mereka tidak banyak memiliki peluang untuk bisa mengakses haknya untuk memperoleh pendidikan dasar sebagaimana dialami oleh teman-teman sebayanya dari keluarga mampu. Celakanya, kondisi itu diperparah oleh lingkungan sosial dan internal sekolah yang belum kondusif mendukung mereka bisa mengakses pendidikan dasarnya. Karena begitu kompleks, luas dan beratnya masalah yang dihadapi anak dari keluarga miskin, adalah tidak mungkin jika penanganannya pun hanya mengandalkan intervensi berdasarkan kemampuan yang hanya
dimiliki
pemerintah. Dan di situlah pula arti pentingnya pelibatan peran serta masyarakat, tentu dengan potensi dan kemampuan yang dimilikinya dalam implementasi kebijakan percepatan penuntasan Wajar Dikdas 9 tahun ini bagi anak dari keluarga miskin. Partsisipasi masyarakat di sini tidak selamanya harus dimaknai sebatas pemberian bantuan materi semata. Termasuk dalam pengertian partisipasi di sini adalah keterlibatan masyarakat dalam memberikan pengertian, mendorong
151 sekaligus menggerakan anak dari keluarga miskin untuk bisa menamatkan pendidikan dasar 9 tahunnya.
Itulah pula yang selama ini belum banyak
dilakukan. Padahal tidak sedikit anak dari keluarga miskin yang tidak bisa mengakses pendidikan selama ini, salah satunya, diakibatkan oleh karena masyarakat, terutama tokoh masyarakat yang belum melakukan peran dan fungsi penggerakan masyarakatnya. Intinya, apa yang tidak bisa ditangani atau dilakukan pemerintah karena keterbatasan yang dimilikinya, atau karena kekeliruan dalam memanej dan melaksanakan program-program implementasinya, saatnya kini dan ke depan bisa dibantu oleh masyarakat. Dan itulah pula yang saat ini belum banyak dilakukan. Padahal seperti telah banyak diungkapkan oleh para pakar, tingginya partisipasi masyarakat dalam pembangunan dapat dijadikan tolok ukur keberhasilan kebijakan yang diambil pemerintah. D. Beberapa Issu Strategis Dari pembahasan terhadap temuan hasil penelitian tersebut, paling tidak ada lima isu strategis yang bisa diangkat dari hasil penelitian ini, yaitu : 1. Memperkuat komitmen pemerintah daerah Meskipun pemerintah Kabupaten Cianjur selama ini telah memiliki arah kebijakan yang jelas berkait dengan upaya untuk mempercepat penuntasan Wajar Dikdas 9 tahun, namun masih banyak hal yang harus dibenahi dalam menjabarkan dan mengimplementasikannya. Hal itu terjadi karena implementasi program akselerasi Wajar Dikdas 9 tahun yang digulirkan selama ini belum secara optimal memperoleh dukungan sumber daya yang memadai, termasuk dukungan anggarannya. Bahkan sebagian
152 besar anggarannya masih banyak mengandalkan dukungan anggaran yang bersumber dari pemerintah pusatdisamping dari pemerintah provinsi 2. Meningkatkan integrasi program Wajar Dikdas 9 tahun bagi anak dari keluarga miskin dengan program sektor tekait lainnya Berbicara mengenai upaya penuntasan Wajar Dikdas 9 tahun bagi anak dari keluarga miskin adalah berbicara mengenai banyak sektor terkait yang
mesti
terlibat
dalam
penanganannya.
Itu
sebabnya,
upaya
penanganannya pun mesti dilakukan secara terpadu dan integral, tidak parsial. Semakin terintegrasi dalam penanganannya, maka akan semakin effektif hasil yang dicapainya. 3. Peningkatan mutu pendidikan, disamping peningkatan pemerataannya Selama ini ada kecenderungan kalau pelaklsanaan program akselerasi peningkatan Wajar Dikdas 9 tahun ini lebih banyak diarahkan kepada aspek pencapaian kuantitatifnya yang ditandai dengan peningkatan angka partisipasi sekolah, sementara pencapaian dari aspek mutunya cenderung terabaikan. Tidak mengherankan jika masih ada pihak masyarakat, khsusnya dari kalangan masyarakat tidak mampu alias miskin yang kurang memiliki kesadaran akan arti pentingnya pendidikan. 4. Pelibatan partisipasi masyarakat dalam Akselerasi Wajar Dikdas 9 tahun Karena keterbatasan yang dimilikinya, hampir bisa dipastikan bahwa tidak mungkin seluruh beban dan tanggung jawab dalam rangka penuntasan Wajar Dikdas 9 tahun bagi anak dari keluarga miskin ini hanya diserahkan kepada kemampuan pemerintah atau negara. Itu sebabnya, kehadiran
153 partisipasi masyarakat, mulai dari proses perencanaan, pelaksanaan sampai kepada proses evaluasinya akan memiliki makna yang signifikan dalam proses penuntasan Wajar Dikdas 9 tahun. 5. Pendekatan Sosi-kultural Dari hasil penelitian terungkap bahwa dari sekian banyak faktor yang selama ini bisa diangkat sebagai penyebab kurang efektifnya pencapaian kinerja implementasi kebijakan Wajar Dikdas 9 tahun bagi anak dari
keluarga
miskin
ini,
adalah
karena
program-program
yang
dilaksanakannya belum sepenuhnya mempertimbangkan nilai-nilai sosialkultural anak dari keluarga miskin dengan karakteristiknya yang begitu kompleks. Itu pula sebabnya, semakin akomodatif dan adaptif pelaksanaan program-program Wajar Dikdas itu dengan nilai sosial dan kultural masyarakat miskin, maka akan semakin efektif hasil-hasil yang dicapainya.
154 BAB VI KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI
A. Kesimpulan Dari keseluruhan uraian dan pembahasan yang telah dipaparkan pada bab-bab sebelumnya, dan dikaitkan pula dengan tujuan penelitian yang telah ditetapkan, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan penting sebagai berikut : Pada tataran formulasi, pertama, Kabupaten Cianjur telah memiliki arah dan landasan kebijakan yang tepat dan kuat dalam mendukung upaya percepatan penuntasan Wajar Dikdas 9 tahun. Tidak saja karena didukung oleh visi maupun visinya yang secara eksplisit dan tegas telah mencantumkan arti pentingnya pendidikan dan penuntasan Wajar Dikdas 9 tahun, tetapi juga didukung oleh kebijakan dan komitmen pemerintah provinsi Jawa Barat yang melalui program Peningkatan Pendanaan Kompetisi (PPK) IPM-nya sangat meniscayakan arti pentingnya peningkatan indeks pendidikan sebagai bagian dari upaya akselerasi peningkatan Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Bukan hanya itu, adalah Bupati dan Wakil Bupati Cianjur yang sejak dilantiknya pada bulan Maret tahun 2006 begitu lantang dan keras menyuarakan arti pentingnya pendidikan ”gratis” untuk tingkat SD dan SLTP sebagai bagian dari upaya untuk mempercepat penuntasan Wajar Dikdas 9 tahun di daerah yang dipimpinnya. Namun pada tataran implementasi, kedua, meskipun selama ini telah banyak upaya dan program berkait dengan penuntasan wajar Dikdas 9 tahun itu bisa dilakukan, dan meskipun pelaksanaan program-program itu telah banyak 253
155 memberikan sumbangan yang cukup berarti dalam membantu meringankan beban pendidikan bagi anak dari keluarga miskin yang ditandai dengan adanya peningkatan Angka Partisipasi Sekolah, baik angka partisipasi kasar (APK) maupun angka partisipasi murni (APM) untuk tingkat SD dan SLTP, namun hasilnya ternyata masih jauh dari target yang telah ditentukan – gap implementation. Kurang cermatnya dalam proses melakukan pendataan sasaran, belum optimalnya kegiatan sosialisasi yang sangat diniscayakan dalam proses implementasi sebuah kebijakan, belum optimalnya peran dan fungsi Tim Wajar Dikdas yang telah dibentuk dalam menjalankan tugas sesuai dengan fungsinya, terbatasnya kemampuan pemerintah daerah, terutama kemampuan dalam menyediakan dukungan dana dan sarana, belum terintegrasinya pelaksaan Wajar Dikdas 9 tahun dengan berbagai program terkait lainnya, adalah bebarapa faktor pokok yang selama ini menjadi penyebab pelaksanaan implementasi percepatan penuntasan Wajar Dikdas 9 Tahun di Kabupaten Cianjur ini belum berjalan secara efektif sesuai dengan target yang diharapkan. Kondisi ini diperparah oleh realitas yang menunjukan bahwa sekitar 30 persen dari total penduduk Cianjur yang jumlahnya telah mencapai angka lebih dari 2 juta jiwa itu, adalah mereka yang tergolong miskin dengan karakteristiknya yang begitu kompleks. Ketiga, banyak faktor yang selama ini menjadi penyebab anak dari keluarga miskin dengan karakteristiknya yang begitu kompleks itu terpaksa meninggalkan
bangku
sekolah
sehingga
tidak
sempat
menyelesaikan
pendidikan dasarnya. Akumulasi dari masalah ekonomi yang sering melilit
156 kehidupan anak dari keluarga miskin, masalah kesadaran atau motivasi akan arti pentingnya pendidikan, termasuk kesadaran orang tuanya, masalah transportasi berkait dengan jauhnya jarak yang harus ditempuh dari domisili ke lokasi sekolah, serta masalah psikologis – malu sekolah - berkait dengan kelainan fisik, usia atau karena faktor lainnya, termasuk karena faktor lingkungan sosial dan sekolah yang tidak mendukung, adalah beberapa faktor penting yang dari penelitian terungkap menjadi penyebab mereka tidak bisa mengakses pendidikan dasar 9 tahun. Itulah pula beberapa faktor saling terkait yang selama ini belum banyak terpecahkan dengan layanan pendidikan yang diberikan pemerintah. Singkatnya, meskipun selama ini telah banyak upaya dan langkah dilakukan oleh pemerintah dalam upaya untuk membantu meningkatkan akses pendidikan bagi anak dari keluarga miskin, bahkan meskipun pemerintah telah sepenuhnya membebaskan seluruh pembiayaan pendidikan dasar 9 tahun, namun dalam beberapa aspeknya belum mampu mengakomodasi dan memecahkan seluruh masalah yang dihadapi anak dari keluarga miskin. Dengan kata lain, masih ada gap atau diskrepansi antara layanan pendidikan yang diberikan pemerintah selama ini dengan kebutuhan pendidikan yang dituntut anak dari keluarga miskin. B. Implikasi Penelitian Karena fokus penelitian ini lebih banyak difokuskan kepada kajian mengenai implementasi kebijakan, khususnya kebijakan publik berkait dengan penyelenggaraan Wajar Dikdas 9 tahun yang keberhasilannya sangat dipertaruhkan dalam mengukur keberhasilan pembangunan manusia (IPM) ini,
157 maka ada beberapa implikasi yang bisa dan perlu diangkat dari hasil penelitian ini, meliputi : 1. Implikasi Bagi Para Pembuat Kebijakan Adalah amandemen Undang-undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 1 dan 2 yang secara eksplisit menegaskan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan, dan setiap warga negara wajib menikmati pendidikan dasar, dan karenanya, pemerintah punya kewajiban untuk memenuhinya. Bahkan secara operasional, amanat itu juga telah dipertegas lagi melalui Undang-undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Bukan hanya itu, adalah Undang-undang Dasar 1945 yang juga dengan tegas mengamanatkan bahwa fakir miskin dan anak terlantar wajib dipelihara oleh negara. Dengan landasan itu, tidak ada alasan bagi para penyelenggara negara untuk tidak merealisasikannya. Dengan landasan yuridis itu pula, maka adalah tugas dan kewajiban para penyelenggara negara, termasuk tugas dan kewajiban para wakil rakyat, yang secara politis punya kewajiban moral untuk mendesak pemerintah disemua tingkatan untuk bisa menjabarkan sekaligus mengimplementasikan amanat Undang-undang itu. Bukan hanya itu, adalah tugas para penyelenggara juga untuk menyediakan dukungan anggaran, tenaga dan sarana yang diperlukannya. Tegasnya, adalah tugas dan kewajiban para penyelenggara negara, tentu dengan kekuasaan dan kewenangan yang dimilikinya, untuk bisa mengontrol dan memastikan bahwa seluruh warga negara, termasuk anak dari keluarga miskin bisa menikmati pendidikan dasarnya.
158 2. Implikasi Bagi Para Pelaksana Kebijakan Jika para penyelenggara negara, dengan kekuasaan dan kewenangan yang dimilikinya punya kewajiban untuk menyediakan landasan politis dan yuridis sekaligus mengontrol dan mengendalikan pelaksanaannya, termasuk menyediakan dukungan dana, tenaga dan sarana yang menjadi prasyarat keberhasilannya, maka adalah tugas birokrasi atau pelaksana pemerintahan disemua tingkatan untuk menjabarkan amanat Undang-undang yang telah dirumuskan para penyelenggara negara kedalam berbagai bentuk program dan kegiatan yang mampu memastikan bahwa seluruh anak usia 7-12 tahun, anak usia pendidikan dasar, bisa mengakses dan menikmati pendidikan dasarnya, lebih-lebih bagi anak dari keluarga yang kurang beruntung (diasadvantage families) alias miskin. Namun perlu digaris bawahi bahwa bentuk program yang perlu dirumuskan tidak saja berkait dengan upaya untuk memperluas dan mengembangkan pembangunan pendidikan dari aspek supply-sidenya, sebutlah pula dari aspek pelayanannya, melainkan juga dari aspek demandsidenya, dari aspek penggerakan dan motivasi masyarakatnya. Harus jujur diakui, walaupun saat ini telah banyak upaya dilakukan pemerintah dalam rangka memperluas dan mendekatkan pelayanan pendidikan dasar kepada masyarakat, namun masih banyak anak dari keluarga tidak mampu, termasuk anak yang tinggal di daerah terpencil, yang belum tersentuh dengan pelayanan pendidikan. Bahkan kondisi itu diperburuk oleh miskinnya prasarana jalan dan sarana transfortasi yang
159 sering menjadi kendala bagi anak dari keluarga yang tinggal di daerah terpencil tidak bisa mengakses pendidikan dasar. Bukan hanya itu, program pengembangan pelayanan pendidikan dasar yang dilakukan pemerintah selama ini pun ternyata masih banyak menyisakan agenda krusial. Sebagian diantara mereka masih ada yang menganggap, terutama dari kalangan masyarakat tidak mampu, bahwa sekolah bagi mereka bukanlah solusi yang dapat membantu memberdayakan kehidupan mereka, melainkan justeru dirasakan jadi beban. Persepsi itu tentu saja merupakan masukan sekaligus kritik bahwa kualitas pendidikan yang diselenggarakan pemerintah selama ini, terutama yang dilakukan dalam bentuk penylenggaraan pendidikan alternatif seperti SMP Terbuka dan sejenisnya masih dipertanyakan, dan karenanya harus diperbaiki. Dari hasil penelitian ini juga terungkap bahwa program intervensi yang dilakukan pemrintah selama ini ternyata belum mampu menjawab masalah yang melekat pada anak dari keluarga miskin. Miskinnya kesadaran sebagian masyarakat miskin akan arti pentingnya pendidikan yang berakumulasi dengan kesulitan hidup yang harus dihadapi mereka, adalah masalah krusial tersendiri yang belum terjawab oleh implementasi kebijakan Wajar Dikdas yang diselenggarakan selama ini. Di situlah pula arti pentingnya merumuskan kebijakan dan program dengan menggunakan pendekatan integral, bukan parsial, apalagi sektoral. Artinya, saatnya kini pemerintah mengintegrasikan implementasi kebijakan Wajar Dikdas 9 tahun ini dengan berbagai kebijakan dan program yang mampu menjawab semua masalah yang dihadapi anak dari keluarga
160 miskin.
Tanpa pendekatan yang integral dan terpadu, akan sulit bagi
pemerintah untuk bisa memastikan bahwa seluruh anak dari keluarga miskin bisa mengakses pendidikan dasar. Hal itu juga sesuai dengan tesisnya Amartya Sen yang peraih Nobel Ekonomi tahun 2004 itu, bahwa dalam kemiskinan itu selalu melekat kemiskinan secara total, miskin secara ekonomi, miskin pengetahuan, miskin kesehatan, dan bahkan miskin kesadaran.
Di situlah pula arti
pentingnya mengintegrasikan program Wajar Dikdas 9 tahun dengan program pembangunan lainnya, terutama dengan program pemberdayaan ekonomi keluarga. 3. Implikasi Bagi Masyarakat Dari hasil penelitian juga terungkap bahwa salah satu penyebab dari kurang efektifnya pelaksanaan Wajar Dikdas 9 Tahun di Kabupaten Cianjur selama ini adalah karena masyarakat ternyata belum banyak dilibatkan, baik dalam proses perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi serta pengendaliannya. Peran apa yang bisa disumbangkan masyarakat dalam mendukung keberhasilan Wajar Dikdas 9 tahun, adalah pertanyaan mendasar yang selama ini belum terjawab. Padahal melalui potensi yang dimilikinya, kehadiran partisipasi mereka dalam mendukung program Wajar Dikdas akan sangat membantu dalam menutupi keterbatasan yang dimiliki pemerintah. Bukan saja keterbatasan dalam penyediaan dukungan dana, tetapi mungkin juga keterbatasan dalam merumuskan gagasan atau pemikiran.
161 Bukan hanya itu, melalui keterlibatan masyarakat maka rasa tanggung jawab bahkan rasa memiliki mereka terhadap pembangunan pendidikan bisa dibangun. Memadukan kekuatan yang dimiliki pemerintah dengan potensi yang dimiliki masyarakat, itulah agenda strategis yang harus jadi pertimbangan ke depan. Itu pun jika semua pihak punya komitmen untuk meningkatkan efektivitas implementasi sebuah kebijakan. Bahkan dalam konteks pembangunan yang berpusat kepada kepentingan manusia – poeple centered development sebagai paradigma baru pembangunan yang sering disuarakan belakangan ini, maka adalah kekeliruan besar jika keberadaan masyarakat diposisikan hanya sebagai obyek pembangunan, atau bahkan hanya sebagai pelaku pembangunan. Lebih jauh lagi, dalam paradigma baru pembangunan ini, masyarakat tidak hanya dijadikan semata sumber energi yang cenderung hanya dijadikan subyek atau pelaku pembangunan, melainkan mesti diposisikan sebagai ”sumber informasi” tempat banyak gagasan lahir. Singkatnya, dalam paradigma baru pembangunan ini – pembangunan yang berpusat pada kepetingan manusia – people centered development, adalah manusia, bukan yang lainnya, yang harus jadi sentral, dan karenanya harus menjadi tujuan pembangunan. C. Rekomendasi Sesuai dengan kesimpulan dan implikasinya, paling tidak ada beberapa rekomendasi yang perlu disampaikan sebagai bentuk saran dari hasil penelitian ini.
162 Pertama, kepada para perumus dan penentu kebijakan, saatnya agenda penuntasan Wajar Dikdas 9 Tahun ini diposisikan sebagai sebuah kebijakan yang sentral dan urgent. Tidak saja pada tataran politis, tetapi juga pada tataran yuridis yang mengikat dan bahkan mampu mendesak dan menggerakan semua stakeholder terkait terlibat aktif serta bertanggung jawab atas keberhasilan implementasinya. Itu sebabnya, kehadiran landasan hukum semacam Peraturan Daerah (Perda), atau paling tidak dalam bentuk Peraturan Bupati (Perbup) bisa merupakan salah satu alternatifnya. Kedua, karena begitu berat dan kompleksnya masalah pendidikan yang dihadapi anak dari keluarga miskin, sebut pula berkait dengan banyak faktor saling terkait, maka penanganan atau intervensi program yang dilakukan dalam rangka akselerasi Wajar Dikdas 9 tahun itu dilakukan tidak dengan menggunakan pendekatan parsial, melainkan mesti menggunakan pendekatan integral. Artinya, saatnya penanganan akselerasi penuntasan Wajar Dikdas 9 tahun saat ini dilakukan secara terintegrasi dengan pelaksanaan banyak program lainnya yang secara langsung maupun tidak langsung akan berpengaruh dan bahkan menentukan dalam meringankan beban pendidikan bagi anak dari keluarga miskin. Ketiga, menyadari begitu beratnya beban yang harus dipikul oleh pemerintah dalam pelaksanaan percepatan penuntasan Wajar Dikdas 9 tahun ini, lebih-lebih pula jika dikaitkan dengan keharusan untuk meningkatkan
kualitas
hasilnya,
maka
saatnya
penanganannyapun
melibatkan kemampuan yang ada dan dimiliki masyarakat. Di situlah pula arti pentingnya mengemas pelaksanaan percepatan Wajar Dikdas 9 tahun ini
163 dalam sebuah ”Gerakan Masyarakat” yang mampu mensinergikan sekaligus memadukan kekuatan yang dimiliki pemerintah dan potensi yang dimiliki masyarakat.