Wacana Emansipatoris Nyai Ontosoroh Dalam Novel “Bumi Manusia” Susilo Mansurudin Dosen Sastra Inggris Fakultas Humaniora UIN Maulana Malik Ibrahim Malang
Abstract: This writing explored the emancipation discourse in the novel Bumi Manusia. In the novel Bumi Manusia, Nyai Ontosoroh represented a woman in a patriarchy culture. The women were mostly being the oppressed. In cultural clash, law, economy, or politics was always won by the men. With the big power of cultural construct added by men’s domination in the global level gave more super strength to men in the patriarchy culture. To struggle for emancipation, Nyai Ontosoroh tried to find wisdom by stealing the knowledge quietly. From here, Nyai Ontosoroh began building emancipation. Keywords: Emancipation Discourse, Privilege, Colonial.
A. Pendahuluan Kajian tentang fenomena wanita lebih banyak dilakukan peneliti di sektor politik dan publik dibanding wilayah sastra. Dalam domain sastra, kajian wanita ketika bersentuhan dengan emansipasi atau gender jarang dilakukan. Akan berbeda, kajian wanita di sektor politik maupun publik secara umum telah banyak dilakukan. Hal
Vol. 1, No. 1, Januari - Juni 2016
141
Wacana Emansipatoris Nyai Ontosoroh...
ini sejalan dengan semakin maraknya fenomena wanita di sektor publik dan meningkatnya peran wanita di bidang politik. Sementara dalam khasanah sastra selama ini, seolah-olah ditujukan pembaca laki-laki dan perempuan “dipaksa” untuk membaca sebagai laki-laki. Secara kultural memang, persoalan kemenangan pria terhadap wanita telah terpupuk sejak lama ketika masyarakat budaya Indonesia memamahi dari tingkat persoalan adat. Dalam konsep Jawa sering dipahami bahwa wanita dalam kehidupanya dianggap hanya sekedar berurusan dengan sumur, kasur, dan dapur. Bahkan konsep yang ekstrem dipahami perempuan hanya sekedar masak, manak, dan macak. Wanita dipahami keterlibatannya hanya serkedar dalam konteks urusan domestik, sementara pria dapat berperan mengambil keputusan, menentukan arah maupun kebijakan rumah tangga dan serta-merta dapat melakukan keputusan yang superio ritas. Sementara wanita (perempuan) kurang mempunyai bar gaining power terhadap pria. Inilah yang mengakibatkan tingkat keterpurukan atau tersubordinasinya wanita terhadap pria. Karya-karya sastra Indonesia yang mengangkat persoalan feminisme sebenarnya telah banyak dimunculkan. Mulai dari persoalan pertentangan adat yang bermuara superioritas pria dibanding wanita. Seperti karya sastra Indonesia yang mengangkat topik pertentangan adat dan prasangka feminis, topik percintaan remaja pria dan wanita, maupun polemik pemahaman konsep dari perempuan dengan wanita1. Karya sastra yang pernah muncul dan mengangkat topik pertentangan adat dan prasangka feminis, antara lain Azab dan Sengsara (1921) karya Merari Siregar, Siti Nurbaya (1922) karya Marah Rusli, Asmara Jaya (1926) karya Adi Negoro, Salah Asuhan (1928) Karya Abdoel Moeis, Tak Putus Dirundung Malang (1929) karya Sutan Takdir Alisjahbana, Kalau Tak Untung (1933) karya Selasih, Tenggelemnya Kapal Van Der Wiijck (1936) dan Di Bawah Lind1
142
Vol. 1, No. 1, Januari - Juni 2016
Susilo Mansurudin
Bahkan era 2000-an wanita novelis Indonesia lebih punya greget dan berani menampilkan eksploitasi seks. Fira basuki, Ayu Utami, dan Jenar Mahesa Ayu menggunakan diksi dalam karya fiksinya lebih berani untuk menantang dan menentang pria. Artinya, jika persoalan seks yang selama ini tabu dibicarakan oleh wanita, --sementara yang berhak berbicara seks seolah-olah hanyalah pria— telah dimentahkan oleh para wanita novelis Indonesia. Ini sebagai pertanda bahwa posisi wanita ingin emansipatoris dalam wilayah produktivitas karya sastra maupun bahasa seks. Jika selama ini dalam karya sastra seolah wanita ditindas dan tidak boleh berbicara seks, maka novel dari para wanita novelis inilah yang menuntut persamaan hak. Demikian pula pada Novel ‘Bumi Manusia’ beberapa bagian menceritakan penindasan yang terjadi pada kehidupan wanita, dalam situasi dan waktu kolonial, yakni tokoh Nyai Ontosoroh. Nama aslinya adalah Sanikem, perempuan desa dari anak seorang juru tulis yang harus rela melepaskan hak-hak asasi kewanitaannya untuk dijadikan barter sebagai imbalan kenaikan pangkat dari bapaknya. Sanikem atau Nyai Ontosoroh merupakan sosok perempuan yang berkultur Jawa. Prinsipnya hanya nrimo ing pandum. Apa yang dilakukan ayahnya untuk menjadikan ‘tumbal’ demi karir jabatan ungan Ka’bah (1938) karya Hamka. Selanjutnya novel yang berbicara tentang feminisme atau emansipasi, antara lain, Layar Terkembang (1937) karya Sutan Takdir Alisjahbana, Belenggu (1940), karya Armyn Pane, Pada Sebuah Kapal (1973), La Barka (1976), dan Keberangkatan (1977) karya Nh. Dini, Sri Sumarah dan Bawuk (1975) Karya Umar Kayam, Pengakuan Pariyem (1981) karya Linus Suryadi, Ronggeng Dukuh Paruk (1982), Lintang Kemukus Dini Hari (1985), dan Jentera Bianglala (1986) karya Ahmad Tohari, Saman (1998) karya Ayu Utami (Cf. Sugihastuti & Suharto, 2002: 34). Vol. 1, No. 1, Januari - Juni 2016
143
Wacana Emansipatoris Nyai Ontosoroh...
pangkat ayahnya, Sanikem rela menjadi ‘perempuan’ seorang kompeni bernama Herman Mellema. Rupanya dalam perjalanan kehidupanya Nyai Ontosoroh banyak berubah, tidak lagi menjadi seorang perempuan Jawa yang pasrah, manut, dan nurut. Dalam pengertian ketika menjadi ‘perempuan’ Herman Mellema, Nyai Ontosoroh mampu banyak ‘mencuri’ ilmu kolonial demi kesuksesan anaknya, keluarganya, dan dirinya sebagai representasi perempuan Jawa. Nyai Buitenzorg (sebutan Belanda), bukan tipe perempuan Jawa lagi dalam berfikir, bekerja, berinteraksi, belajar dan bahkan menentang hak-hak asasi yang dirampas oleh kaum lelaki, sistem feodal maupun sistem kolonial saat itu. Artinya Nyai Ontosoroh mengalami benturan yang keras dalam memperoleh hak emansipasinya sebagai perempuan, sebagai ‘perempuan’, ibu rumah tangga, sebagai pemimpin perusahaan maupun sebagai hamba hukum. Benturan yang keras ini tidak hanya sekedar melawan suami, namun lebih dahsat dari itu, yakni kultur patriakhi, sistem global yang notabene selalu menzalimi wanita jajahan. Untuk kalangan raja-raja Jawa zaman dulu sudah bukan hal baru lagi kalau mempunyai perempuan sampai lebih dari tiga. Inilah yang disebut sebagai selir, sedangkan istri pertama adalah permaisuri. Bahkan cerita-cerita dari India Utara pun dalam tokoh-tokoh pewayangan seperti Arjuna mempunyai lebih dari satu istri mulai dari Wara Srikandi, Gandawati, Dewi Ulupi, Dyah Manuhara, dan Sembodro2. Demikian pula Sanikem yang dijadikan ‘perempuan’ oleh Herman Mellema, dikarenakan faktor lemahnya perempuan, rendahnya Susilo Mansurudin, “Gundik dalam Burung-burung Manyar”. Dalam Topik Wanita dan Lingkungan (FSU in the Limelight, 5(2)1997), hlm. 87-90 2
144
Vol. 1, No. 1, Januari - Juni 2016
Susilo Mansurudin
pendidikan, maupun karena kultur Jawa yang memposisikan fungsi wanita hanya sebagai konco wingking. Akan tetapi, Sanikem tidak menyerah dan menerima keadaan sebagai gundik. Sanikem lebih banyak berjuang untuk harkat dirinya melawan sistem, feodal, kultur, kolonial, hukum demi martabatnya sebagai perempuan yang mempunyai hak yang sama dan perlakukan sama atas tindakantindakan kaum pria, keadaan, maupun kolonial. Barangkali Pamudya A. Toer (PAT) ketika menulis tidak serta menyertakan makna maupun maksud ideologi di dalam novelnya. Namun dapat diketahui ketika teks didalamnya diinterpretasikan oleh pembaca dengan analisis wacana kritis. Istilah Fairclough sebagai ‘pengisian celah’3. Artinya, bahwa suatu interprestasi dari pembaca novel Bumi Manusia sebagai bentuk kesadaran akan adanya status ideologi dalam novel tersebut. Intinya novel Bumi Manusia mengandung syarat implisit secara halus sekali akan norma, nilai maupun ideologi garis kiri dan tanpa disadari bagi pembaca yang tidak manfaatkan kesadaran kritis atau mengisi celah, maka akan terhegemoni larut dalam narasi yang menyenangkan dan mengasikkan. Oleh karena itu, Zaman Orde Baru (pemerintahan Soeharto) novel “Bumi Manusia” tidak boleh beredar di Indonesia. Soeharto dan rezimnya rupanya telah lebih tahu akan kesadaran bahasa kritis terselubung dibalik novel tersebut. Dalam novel tersebut jelas mengandung berbagai relasi kekuasaan, penindasan nilai, norma, ras, kelas bahkan ideologi yang dianggap tidak sesuai dengan ideologi Pancasila. Dalam kacamata Aanalisis Wacana Kritis (AWK) novel “Bumi Manusia” sangat sarat dengan nilai, norma, ideologi maupun Norman Fairclogh, Language and Power Relasi Bahasa, Kekuasaan, dan Ideologi. iterjemahkan oleh Indah Rohmani, (Malang: Boyan Publishing, 2003), hlm. 98 3
Vol. 1, No. 1, Januari - Juni 2016
145
Wacana Emansipatoris Nyai Ontosoroh...
hegemoni dari kekuatan yang superior pada gilirannya akan ada kesadaran hegemoni penindasan atas perempuan Indonesia. Jika dilihat dari interpretasi pengarang, dalam hal ini Pramudya A. Toer, pertama akan terbongkar dari efek interpreasi maupun eksplorasi atas teks novel tersebut untuk menggugah kesadaran nilai provokasi atas dasar kelompok kiri (marxis). Kedua juga akan muncul adanya penindasan atau pertentangan kelas atas nasib pribumi datas kolonial dalam hal ini adalah penjajah. Dengan demikian novel Bumi Manusia dapat dianalisis secara AWK mengingat adanya relasi kekuasaan, relasi hegemoni, nilai maupun adanya ketertindasan, konflik, superior-subordinat yang melibatkan kaum proletar dan borjuis. Dalam istilah Hillary janks dan Roz Ivanic menggunakan terminologi Topdog dan Underdog4. Topdog adalah kelompok Belanda dan Underdog adalah kelompok pribumi dalam hal ini perempuan yakni repersentasi Nyi Ontosoroh.
Hillary Janks dan Roz Ivanic, “KBK dan Wacana Emansipatoris” dalam Norman Fairclogh (Ed.). (Semarang: IKIP Press, 1992). Kesadaran Bahasa Kritis diindonesiakan oleh Hartoyo. 1995), hlm. 334. Makna kesadaran kritis bahwa dalam hubungan kekuasaan yang tidak seimbang terdapat orang atau kelompok orang yang berkuasa (topdog) dan mereka yang lemah (underdog) Orang dapat memperoleh kekuasaan dapat melalui nilai-nilai yang ada dalam masyarakat seperti usia atau kepriaan (jenis kelamin pria) atau kelas atau kepandaian atau kulit putih. Contoh Pasien dengan dokter, guru-murid dsb. Selanjutnya, nilai-nilai yang tak dapat ditentang dan semakin kecil untuk diperjuangkan untuk mempertahankan nilai tersebut maka akan berlaku apa yang disebut dengan pikiran sehat (common sense). Barangkali dalam terminologi Gramsi adalah hegemoni (red. Penulis). 4
146
Vol. 1, No. 1, Januari - Juni 2016
Susilo Mansurudin
B. Fokus Bahasan Bagaimana upaya perjuangan menuntut persamaan hak, maupun peran perempuan dapat disejajarkan dengan laki-laki pada sistem global Kolonial. Dalam permasalahan ini yang akan dikupas seputar ‘Relasi kekuasaan, hegemoni dan ideologi’ apa yang dialami Nyai Ontosoroh pada Novel Bumi Manusia. Nyai Ontosoroh mengalami benturan tidak lokal, regional, namun dihadapkan pada sistem, pada kondisi, pada kultur, pada keadaan, pada hukum yang kurang dapat bertindak adil. Sementara Nyai Ontosoroh diposisikan oleh kultur patriakhi sebagai perempuan yang nrimo, bodoh, tidak berpendidikan, lemah, dan harus nurut dengan kondisi maupun keadaan. Yang ada hanya pasrah, nrimo ing pandum. Nyai Ontosoroh yang sebelumnya menjadi perempuan Jawa, yang dianggap remeh, lemah, tidak berpendidikan, buta pengetahuan dapat berjuang demi hak-hak perempuan. Meskipun begitu kendala yang merintangi adalah benturan yang dahsat.
C. Analisis Wacana Kritis Wacana emansipatoris merupakan bagian integrasi dari praktik emansipatoris. Artinya wacana emansipatoris berarti menggunakan bahasa, bersama dengan aspek lain dan praktik sosial dengan cara yang mengarah pada kebebasan dan rasa hormat yang lebih besar bagi kita semua orang , termasuk kita sendiri. Istilah ’wacana eman sipatoris’ menyiratkan adanya orang atau kelompok orang yang membutuhkan emansipasi dari seseorang atau sesuatu. Bila wacana bahasa dapat menghentikan dominasi wacana tersebut dapat disebut emansipatoris Pada novel Bumi Manusia banyak membentuk citra perempuan Jawa yang dibelenggu dengan feodalisme perempuan pada periode Vol. 1, No. 1, Januari - Juni 2016
147
Wacana Emansipatoris Nyai Ontosoroh...
zamannya dengan mengusung citra perempuan tersebut dapat survive di tengah benturan-benturan sistem patriakat. Upaya nyai Ontosoroh dalam berjuang untuk mencapai eman sipatoris lewat teks bahasa yang diucapkan agar tidak dilabeli sebagai underdog. Artinya, pada tataran ini ada bentuk dan wujud dari perjuangan wacana emansipatoris melalui perjuangan dari Nyai Ontosorh. Istilah ’wacana emansipatoris’ menyiratkan adanya orang atau kelompok orang yang membutuhkan emansipasi dari seseorang atau sesuatu. Intinya, wacana emansipatoris merupakan bagian integrasi dari praktik emansipatoris. Dengan demikian ada nilai-nilai yang diperjuangan dalam menegakkan nilai-nilai Emansipatoris. Apa yang dilakukan oleh Nyai Ontosoroh untuk mencapai emansipatoris adalah dengan upaya bertarung dan bangkit dengan dua hal Pertama, langkah yang ditempuh adalah mulai memahami bahwa kelompok underdog membutuhkan pembebasan. Langkah kedua, upaya untuk mencoba menentang penundukan/penaklukan/pertarungan atas orang lain dalam sebuah teks. Untuk mendedah novel Bumi Manusia karya PAT dapat digunakan kerangka analisisnya Fairclough. Analisis yang digunakan meliputi tiga macam, yakni Deskripsi yakni menguraikan isi dan analisis secara deskriptif atas teks. Kedua, interpretasi menghubungkan teks wacana dengan praltik wacana yang dilakukan, dan ketiga adalah eksplanasi yakni mencari penjelasan atas penafsiran dari tahap kedua5.
Erianto, Analisis wacana. Pengantar Analisis Teks Media, (Yogyakarta: LKIS, 2009), hlm. 327 5
148
Vol. 1, No. 1, Januari - Juni 2016
Susilo Mansurudin
D. Feminis Dalam Kajian sastra Dalam kajian wanita, peranan wanita tidak hanya dipahami sebagai fenomena perubahan sosial dan kultural dari suatu masyarakat tertentu. Gerakan wanita telah mencapai suatu tahap keilmuan; gerakan feminisme telah mampu mengembangkan fenomena peranan wanita menjadi suatu bentuk kajian ilmu tersendiri6. Dalam khasanah kehidupan publik, wanita banyak mengalami bentuk penindasan (subordinat) yang dilakukan oleh laki-laki yang notabene sebagai manifestasi superior7. Tidak hanya dalam balutan penindasan yang dilakukan oleh lelaki, namun dalam balutan yang lain banyak ditemukan yang selalu menyudutkan posisi dan peran wanita sebagai second class, entah dalam khasanah politik, hukum, bahasa, kultur maupun persoalan-persoalan yang menyangkut seks. Contoh, predikat gagah, perkasa, dan kuat seakan tabu disandangkan pada bahu perempuan. Kultur kita masih malu-malu untuk memberikan predikat perempuan sebagai manusia kuat, perkasa, dan kuat. Ketidakberanian ini membuat embrio diskriminasi seks merangkak kokoh dan melebar luas, hingga menyentuh konteks yang lebih makro, yakni bahasa.
Pat Bell Diane Chaplan and Wazir Karim Johan (Eds.), General Field Women, Men, & Ethnography, (London and New York, 1993) P. 46 6
Nyoman Kutha Ratna, Penelitian Sastra dari Strukturalisme hingga Posmodernisme prespektif Wacana Naratif, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004) hlm. 205. Kutha Ratna menyebut “sebagai tradisi intelektual, bersama-sama dengan postmodernisme, feminisme memusatkan perhatiannya terhadap kaum perempuan dengan cara membangun teori yang dianggap mampu untuk mengganggu dominasi laki-laki yang sudah stabil. Irigarai (bahasa perempuan), Kristeva (semanalysis), Cixous (praktik menulis feminim), dan Haraway (cyborg)”. 7
Vol. 1, No. 1, Januari - Juni 2016
149
Wacana Emansipatoris Nyai Ontosoroh...
Sedikit sekali wanita yang menentang dengan dasar intelegensi yang memadai, sehingga pergerakan feminisme baru dapat terasa sedikit hasilnya pada era 1960-an di saat universitas-universitas ternama di dunia sudah mulai bersedia menerima wanita sebagai mahasiswanya8. Mengapa terjadi penindasan pria terhadap wanita? Prespektif Antropologis dalam stratifikasi perolehan martabat, laki-laki men dapat martabatnya karena bekerja dan membantu. Perempuan mendapat martabatnya dengan mendapatkan pria. Pria berbuat, wanita menarik9. Pandangan Elain Showalter10 ada sejumlah tahapan yang terjadi dalam perkembangan kritik sastra feminis. Tahap pertama, kritik sastra femininis menganalisis berbagai citra stereotip perempuan dengan kritis. Kebanyakan kritikus menganalisis bagaimana kaum pria manggambarkan dan memandang perempuan. Tahap kedua, perhatian diarahkan kepada para pengarang perempuan dan menitikberatkan pada penemuan kembali para penulis perempuan yang terlupakan serta evaluasi ulang terhadap sastra kaum perempuan. Tahap ketiga, berusaha memecahkan masalah-masalah teoritis, merevisi pelbagai asumsi teoritis yang telah diterima masyarakat mengenai membaca dan menulis yang seluruhnya didasarkan pada pengalaman laki-laki.
S. Djajanegara, Kririk Sastra Feminis: Sebuah Pengantar, (Jakarta Gramedia, 2000), hlm. 8 8
William A. Haviland, Antropologi 2, (Jakarta: Erlangga, tanpa tahun) diterjemahkan oleh R.G. Soekardijo. 1988. Hlm. 87 9
Tineke Hellwig, In the Shadow of Cange: Citra Perempuan dalam sastra Indonesia. Jakarta: Women Research Institute dan Desantara, 2003) 10
150
Vol. 1, No. 1, Januari - Juni 2016
Susilo Mansurudin
E. Mendobrak Nilai Feodal Dalam hubungan kekuasaan yang tidak seimbang terdapat orang atau kelompok orang yang berkuasa (topdog) dan mereka yang lemah (underdog) Orang dapat memperoleh kekuasaan dapat melalui nilai-nilai yang ada dalam masyarakat seperti usia atau kepriaan (jenis kelamin pria) atau kelas atau kepandaian atau persoalan RAS. Makna dapat dipahami tidak hanya terdapat pada teks tapi dalam relasi sosial dimana makna tersebut berada. Contoh konkrit adalah bagaimana seorang Pramudya Ananta Toer (PAT) dimaknai sebagai kelompok Lekra, garis kiri, PKI karena dasar pertentangan dan konflik kelas dalam novelnya. Oleh Beberapa negara PAT dihargai dan bahkan novel Bumi Manuisa menjadi bacaan wajib di beberapa negara seperti Jerman, Perancis, Singapura, dan Inggris. Di Indonesia diberikan makna dan maksud lain oleh pemerintah. Nyai Ontosoroh merupakan kontruksi sosial terhadap wanita yang ketika ‘sudah’ berusia 13 tahun harus mengalami pencekalan dirinya (pemingitan) terhadap lingkungannya, dengan melarang keluar rumah sampai dia dikawinkan dengan seorang pria. Padahal, umur 13 tahun merupakan tipikal perempuan desa yang pasrah, manut, dan nurut (lugu). Maka sangat relevan dalam nilai-nilai feodal telah terkonstruksi bahwa wanita hanya merupakan konco wingking saja. Persoalan pingitan dalam konstruksi sosial yang dialami oleh Nyai Ontosoroh, begitu transparan akan dominasi laki-laki terhadap perempuan. Oleh karenanya kaum hawa dianggap lemah dan butuh perlindungan. Selanjutnya nilai-nilai feodal yang tetap sampai saat ini, wanita secara kultural dianggap sebagai orang kedua. Dalam male oriented kultur Jawa, laki-laki selalu memingit wanita atau sering disebut dengan pagar ayu. Di pedesaan Cina tradisional, seorang gadis sering tidak melihat suaminya sebelum Vol. 1, No. 1, Januari - Juni 2016
151
Wacana Emansipatoris Nyai Ontosoroh...
perkawinan, karena perkawinan diatur oleh orang tua. Sedangkan dalam Islam atau dalam tradisi perkawinan Jawa diperbolehkan menikah lebih dari satu, asalkan adil. Artinya istri yang sudah ada dapat di-wayuh 11. Nilai-nilai feodal yang ingin dihilangkan atau didobrak oleh Nyai Ontosoroh adalah berupa hak sebagai wanita maupun istri dari Herman Mellema. Akan tetapi, sering hukum kolonial menjadikan segalanya terabaikan. Segalanya hanya dijadikan boneka atau tak ubahnya invetaris, yang dapat dipindahkan dari satu ruang, dari waktu, bahkan seenaknya disingkirkan. Dalam arti, ketika Nyai Ontosoroh mencari legitimasi putrinya sebagai anak sah, tidak hanya dihadapkan pada ideologi gender, melainkan juga berhadapan dengan himpitan persoalan diskriminasi kelas sosial, ideologi politik maupun hukum kolonial. “Waktu berumur tiga belas aku mulai dipingit, dan hanya tahu dapur, ruang belakang dan kamarku sendiri. Teman-teman lain sudah pada dikawinkan. Kalau ada tetangga atau sanak datang baru kurasai diri berada di luar rumah seperti semasa kanakkanak dulu. Malah duduk di pendopo ku tak diperkenalkan. Menginjak lantainya pun tidak” (PAT, 1980: 73). Sangat jelas dan terang bagaimana Nyai Ontosoroh (SanikemIkem) harus pada posisi yang manut, nrimo ing pandum sebagai perempuan Jawa. Terungkap selama ini sebagai perempuan Jawa Sanikem adalah banyak dibela oleh orang tuanya, namun ketika akan dikawinkan dengan tuan besar Belanda, dirinya tak kuasa. Kekuuasaan kolonial jelas dalam teks tersebut mendominasi. Hubungan kekuasaan terjadi, pribumi dianggap sebagai underdog dan kolonial (Belanda sebagai topdog. 11
152
Kodiran dalam Koentjaraningrat, 1990: 338. Vol. 1, No. 1, Januari - Juni 2016
Susilo Mansurudin
Selanjutnya, nilai-nilai feodal yang ingin dihilangkan atau didobrak oleh Nyai Ontosoroh adalah berupa hak sebagai wanita maupun istri dari Herman Mella, tetapi, sering hukum kolonial menjadikan segalanya tidak ada apa-apanya (kekuatan hukumnya). Lihat pernyataan di bawah ini: “Rasanya aku menjadi pingsan membacai surat-surat resmi dengan bahasa yang dipergunakan begitu aneh. Sedikit dari isinya dapat kupahami benar: tak mengandung perasaan manusia – menganggap manusia-manusia hanya sebagai iventaris” (PAT, 1980: 322). Besarnya peranan perempuan dalam melakukan pembacaan ulang atau citra-citra perempuan, khususnya perempuan Jawa dalam berhadapan dengan sistem nilai yang feodal sekaligus berada dalam ketegangan kolonial. PAT telah melihat sejak awal bahwa perempuan telah menanggung beban yang paling berat atas kedua sistem nilai tersebut, akan tetapi harus ditandai dengan tegas pula bahwa PAT menampilkan perempuan sebagai tokoh-tokoh yang melihat beban dan subordinasi yang mereka alami bukan sesuatu yang alamiah, yang sudah seharusnya begitu, sebaliknya mereka mengolah beban dan subordinasi itu untuk membangun energi untuk membangun kekuatan, yang tidak saja dapat mengubah hidup orang-orang lain di sekitarnya. “Memang ada sangat banyak wanita hebat. Hanya saja baru Nyai Ontosoroh yang pernah kutemui. Menurut cerita Jean Marais wanita Aceh sudah terbiasa turun ke medan perang melawan kompeni. Dan rela berguguran di samping pria. Juga di Bali. Ditempat kelahiranku sendiri wanita petani bekerja keras bahu-membahu dengan kaum pria di sawah dan ladang.
Vol. 1, No. 1, Januari - Juni 2016
153
Wacana Emansipatoris Nyai Ontosoroh...
Namun semua itu tidak seperti Mama – dia tahu lebih daripada hanya kampung halaman sendiri” (PAT, 1980: 63) Ada kegamangan menghadapi modernitas (bisa juga menjadi urbanitas). Pada Nyai Ontosoroh juga dihadapkan pada ideologi gender, melainkan juga berhadapan dengan himpitan persoalan diskriminasi kelas sosial, ideologi politik maupun hukum kolonial. “…Pikiranku bekerja keras memahami wanita luar biasa ini. Orang luar sebagian memandangnya dengan mata sebelah karena ia hanya seorang gundik. Atau orang menghormati hanya karena kekayaanya. Aku melihatnya dari segi lain lagi: dari segala apa yang ia mampu kerjakan, dari segala apa yang ia bicarakan …” (PAT, 1980:64) PAT masih menganggap feminitas sebagai sesuatu yang ideal bagi perempuan, dan tidak mengherankan jika tokoh Nyai Ontosoroh yang keibuan, pandai mengatur rumah tangga, lembut penyayang menjadi figur yang patut untuk diteladani. Meskipun dirinya terhimpit dengan persoalan feodal maupun kultur yang bertolak belakang antara kultur barat versus timur. “Ya, ann, Sanikem yang lama makin lama makin lenyap. Mama tumbuh jadi pribadi baru dengan penglihatan dan pandangan baru. Rasanya aku bukan budak yang dijual di Tulangan beberapa tahun yang lalu. Rasanya aku tak punya masa lalu lagi. Kadang aku bertanya pada diri sendiri: adakah aku sudah jadi wanita Belanda berkulit coklat?” (PAT, 1980: 84). Nyai Ontosoroh dianggap PAT sebagai strategi yang justru memberi perempuan semacam “arah” untuk memasuki ruang-ruang hidup yang lebih kuat. Identitas perempuan masa kini tidaklah dibangun dengan kualitas-kualitas tertentu yang esensialis, melainkan dari kemampuan perempuan untuk memetakan posisi Nyai Ontoso154
Vol. 1, No. 1, Januari - Juni 2016
Susilo Mansurudin
roh dan kemudian merajut kualitas-kualitas sesuai dengan keinginan Nyai Ontosoroh. Inilah yang akhirnya memberikan porsi pada peran tokoh Nyai Ontosoroh menghadapi bentuk sebuah benturan yang keras. Selain mendobrak nilai-nilai feodal, juga dihadapkan pada persoalan dikotomi kultur yang sifatnya tidak hanya lokal maupun regional, akan tetapi lebih pada universal (global). Upaya Sanikem merupakan bentuk pertentangan yang harus diperjuangkan sementara dirinya juga dihadapkan pada dikotomi hakhak perempuannya yang terbungkus pada benturan antara modern melawan tradisional, barat melawan timur, kodrat melawan hak asasi, dan independensi (individualitas) melawan ketergantungan.
F. Modern dan Tradisional Terkait dengan persoalan modernitas, lebih banyak mengacu para bentuk perubahan pemikiran yang bertambah maju. Pengertian maju juga dapat menyaran pada kemajuan yang dinamis dalam segala bidang kehidupan, baik dalam bidang hukum, ekonomi, politik maupun budaya. Sementara konsep tradisional dapat dipahami pada sebuah kerangka yang stagnan, mandeg, rutinitas dan statis. Artinya masih tetap terjadi kemandegan yang ajeg, tidak ada pembaharuan baik dalam bidang hukum, ekonomi, politik maupun budaya. Persoalan tradisional yang notabene melekat pada diri Sanikem dalam memperjuangkan hak perempuan baik secara politik, hukum, maupun ekonomi menjadi kendala sekaligus hambatan yang merupakan salah satu ‘tabrakan keras’. Sementara Sanikem dihadapkan pada konteks budaya yang lebih modern, yakni sistem kolonial Belanda yang notabene segalanya mempunyai inovasi kreasi, maupun inisiatif yang lebih maju. Itu artinya Sanikem dalam memperjuangkan hak-hak perempuannya bekerja ganda, mengingat dirinya harus berbenah diri mengejar ketertinggalan
Vol. 1, No. 1, Januari - Juni 2016
155
Wacana Emansipatoris Nyai Ontosoroh...
menuju modernitas, sekaligus berhadapan dengan sistem yang telah establish, yakni modernitas yang dimiliki sistem kolonial saat itu. Sebagai contoh para kompeni telah memiliki piranti hukum secara tertulis maupun teknologi dengan menciptakan mesin. ”Dan di Eropa sana, orang sudah mulai membikin mesin yang lebih kecil dengan tanaga lebih besar atau setidaknya sama dengan mesin uap …. Jerman malah sudah membikin kereta digerakkan listrik …. Orang malah merancang akan terbang seperti Gatotkaca, seperti Ikarus” (PAT, 1980: 3) Kemudian di tengah masyarakat tradisional yang notabene banyak buta huruf, pemerintah Belanda di Indonesia telah mem punyai penerbitan berupa koran, cerpen, maupun novel yang menjadi bacaan para bangsawan, maupun kompeni sendiri. Sementara Sanikem, tidak mempunyai pengatahuan apa-apa sebagai perempuan Jawa yang hanya dapat dilakukan hanya manut, nurut maupun patuh dengan segala apa yang diperintahkan oleh Bapaknya. Bahkan ketika dirinya dipingit dan harus rela menjadi gundik Herman Mellema, tidak ada pemberontakan secara tersurat, meski sebenarnya terjadi pemberontakan hati nurani; sebagai pembangkangan terselubung akan hatinya yang berat menerima Herman Mellema sebagai suaminya yang tak sah. “… Mulai kapan perempuan boleh menarik keris dari sarungnya? Keris hanya untuk lelaki. Yang untuk perempuan bukan keris namanya…” (PAT, 1980: 306). Penggambaran perbedaan laki-laki dan perempuan dalam kultur tradisional masih kentara sekali, ketika orang Jawa seorang lakilakilah yang berhak untuk menarik keris dari sarungnya. Sementara manakala kita melihat saat itu, dalam konteks teks ”Bumi Manusia”,
156
Vol. 1, No. 1, Januari - Juni 2016
Susilo Mansurudin
perempuan Belanda dapat menggunakan pedang dan pandai bersastra tulis. Bahkan Nyai Ontosoroh sendiri meskipun mencoba memper juangkan hak dirinya sebagai repersentasi perempuan Jawa, justru masih tidak dapat meninggalkan akan superiroritas dari kaum lakilaki. Ini mengingat perkataanya yang selalu mengidentifikasikan seorang satria, laki-laki kuat, perkasa dan selalu melindungi wanita. Itu artinya perjuangan Nyai Ontosoroh masih dibalut dengan ‘tabrakan keras’ budaya Jawa yang menempatkan laki-laki yang superiror dan perempuan inferior. “Husy. Kau yang terlalu percaya pada segala yang serba Belanda. Lima syarat yang ada kesatria Jawa: wisma, wanita, turangga, kukila, dan curiga” (PAT, 1980: 307). Nyai Ontosoroh masih terlalu mendewakan kultur Jawa, dan masih dengan jelas mendikotomikan antara Jawa dengan Belanda. Bagi lelaki Jawa yang kuat (satria) harus mempunyai sarat yang harus dipenuhi untuk kebajikan, kemuliaan, maupun kesempurnaan hidupnya. Pertama, Wisma. Seorang satria harus harus mempunyai rumah untuk bertitik tolak. Wisma merupakan representasi bukan sekedar alamat, akan tetapi sebagai tempat kepercayaan sesama pada yang memberi tinggalan (meninggali). Kedua, Wanita. Wanita merupakan lambang kehidupan dan penghidupan, kesuburan, kemakmuran dan kesejahteraan. Wanita bukan sekedar istri untuk suami. Artinya wanita harus dipandang sebagai sumbu pada semua peghidupan dan kehidupan berputar dan berasal. Ketiga, Turangga. Kuda merupakan alat yang dapat membawa arah kemana tujuan; baik ilmu pengetahuan, kemampuan, ketrampilan, keahlian yang semuanya demi sebuah kemajuan. Keempat, Kukila. Kukila diartikan sebagai
Vol. 1, No. 1, Januari - Juni 2016
157
Wacana Emansipatoris Nyai Ontosoroh...
burung yang merupakan lambang keindahan, dan kelangenan (hobby). Kelima, Curiga yang sering diartikan dengan keris yang melambangkan kewaspadaan, kesiagaan, keperwiraan, dan sekaligus merupakan alat untuk mempertahankan empat hal sebelumnya. Dari uraian tersebut, jelas termaktub bahwa Nyai Ontosoroh yang berusaha keras memperjuangkan hak-hak perempuan untuk dapat maju dan setara dengan laki-laki, namun karena balutan kultur Jawa yang selalu di-ugemi, pada akhirnya juga masih mempertahankan superioritas kaum pria.
G. Pribumi dan Non-pribumi Dikotomi barat-timur sangat kental pada Bumi Manusia. Terlihat adanya tingkat diskriminasi yang mencolok antara pribumi dengan kompeni. Pribumi dianggap representasi orang yang bodoh, tidak terpelajar, dan kulit putih merupakan representasi dari ras yang tinggi. Diskriminasi nyata, ketika Nyai Ontosoroh mencoba menuntut hak dalam sebuah persidangan, terlihat perbedaan yang mencolok bagi rakyat atau pribumi biasa dengan warga negara yang bergelar Raden Mas. Ini dapat dimengerti ketika dalam persidangan tidak egaliter dengan orang Eropa yang masuk dalam forum Privilegiatum12 yang tak lain adalah para ningrat atau darah biru. Bagi Nyai Ontosoroh, dirinya hanya seorang anak dari Sastrotomo; juru tulis yang tidak mempunyai derajat dengan orang-orang Eropa atau darah ningrat.
Forum Privilegiatum merupakan forum sederajat dengan orang Eropa di depan pengadilan untuk bangsawan Pribumi sampai ke bawah bergelar Raden Mas atau setarafnya dan anak sampai cucu bupati. 12
158
Vol. 1, No. 1, Januari - Juni 2016
Susilo Mansurudin
“Tidak bisa begitu,” bantahku, aku seorang Raden Mas, tak bisa diperlakukan asal begini,” dan aku menunggu jawaban. Melihat ia tak tahu bagimana mesti menjawab aku teruskan, aku punya Forum Privilegiatum” (PAT, 1980: 111). Jika Nyai Ontosoroh mencoba menuntut hak dalam sebuah persidangan akan terjadi perbedaan yang mencolok bagi rakyat atau pribumi biasa dengan warga negara yang bergelar Raden Mas. Ini dapat dimengerti ketika dalam persidangan tidak dapat dianggap egaliter dengan orang Eropa harus masuk dalam Forum Privilegiatum yang tak lain adalah para ningrat atau darah biru. Bagi Nyai Ontosoroh, dirinya hanya seorang anak dari Sastrotomo; juru tulis yang tidak mempunyai derajat atau taraf dengan mereka; orang-orang Eropa atau darah ningrat. Benturan hukum sendiri dalam sebuah persidangan akan mem berikan perbedaan antara keturunan Raden Mas atau rakyat jelata atau pribumi biasa. Karena faktor pribumi biasa inilah Nyai Ontosoroh sering di ping-pong oleh kekuasaan hukum pengadilan Belanda waktu itu. Artinya ketika mencoba membela hak perempuanya, acapkali halangan pertama adalah persoalan diskriminasi hukum. “Nyai ontosoroh tidak diakui sebagai ibu dari Annelis Mellema, tetapi kali ini bukan anaknya yang tidak mengakui, melainkan pemerintah Netherland. Dalam setting konteks temporal, pemerintah Belanda mengharuskan seluruh warganya serta anak keturunnanya untuk pulang ke Netherland, sekaligus juga melarang dan tidak mengakui istri atau ibu warga keturunanya bila istri atau ibu tersebut orang pribumi”. Memang antara barat dan timur telah banyak diskriminasi. Nyai Ontosoroh telah berupaya sekuat mungkin untuk membela hak-hak pribuminya, meski tidak mempunyai hak istimewa seperti
Vol. 1, No. 1, Januari - Juni 2016
159
Wacana Emansipatoris Nyai Ontosoroh...
derajat dengan bangsa Eropa. Bahkan pemerintah Netherland tidak mengakui anak dari kelahiran orang pribumi. Bahkan pemerintah Belanda memperlakukan warga keturunan Belanda untuk pulang ke negaranya dan meninggalkan semuanya meski telah terjadi akulturasi, pembauran keturunan, budaya dengan pribumi. Tiba-tiba Robert bangkit, melotot pada mama dan menggerutu marah. “Papaku bukan pribumi.” Ia berlari sambil memanmgggilmanggil papa (PAT, 1980: 95) Selain itu, meski seorang kompeni telah ‘rusak’ atau kalah dan hidupnya menggantungkan kehidupan pada istrinya juga harus ditinggalkan untuk kembali ke Belanda. Bagi Nyai Ontosoroh secara hukum tidak ada keadilan. Semua dimaknai sebagai hasil jerih payah dari Belanda bukan pribumi, yang masih tetap dianggap bodoh dan tidak tahu-menahu tentang hukum. “Kembali aku merasa sebagai seorang nyai yang tak punya hak untuk dihormati di rumah sendiri. Seakan aku bukan pemegang saham perusahaan bersar ini. Mungkin dia menganggap aku menumpang hidup pada tuan Mellema. Tanpa bantuanku tuan takkan mungkin mendirikan rumah kita ini Ann. Tamu itu tak punya hak untuk bersikap seangkuh itu. (PAT, 1980: 89). Artinya, hukum, perilaku, maupun adab orang Eropa mengang gap pribumi dengan semena-mena, ceroboh, tidak sopan dan tak menghargai sama sekali jerih payah, pengetahuan, pembelajaran. Orang Eropa menganggap dirinya yang suci, bersih, berpengatahuan, berdedikasi dan segala yang baik akan dimiliki. Akan tetapi Pribumi adalah sebagai objek bulan-bulanan, cemoohan dan dianggap strata yang rendah. Lebih tragis lagi apa yang dialami tokoh sentral Bumi Manusia dipanggil Minke (baca: Mingke) yang sebenarnya merupakan 160
Vol. 1, No. 1, Januari - Juni 2016
Susilo Mansurudin
plesetan dari kata Monkey yang berarti monyet. Ini suatu penghinaan yang sungguh luar biasa yang menunjukkan diskriminasi yang sangat rendah. “Untuk selamanya takkan ada orang akan memanggil aku Mevrouw. Panggilan Nyai akan mengikuti aku terus, seumur hidup. Tak apa asal kalian mempunyai ayah cukup terhormat, dapat dipegang, dapat dipercaya, punya kehormatan” (PAT, 1980: 86). Memang antara barat dan timur telah banyak diskriminasi. Nyai Ontosoroh telah berupaya sekuat mungkin untuk membela hak-hak pribuminya, meski tidak mempunyai hak istimewa seperti derajat dengan bangsa Eropa. Bahkan pemerintah Netherland tidak mengakui anak dari Nyai Ontosoroh, Annelis sebagai anak yang sah.
H. Kodrat dan Hak Asasi Posisi Nyai Ontosoraoh merupakan posisi yang tidak mempunyai bargaining power terhadap Herman Merlema maupun Sastrotomo. Dirinya sebenarnya sebagai perempuan mempunyai hak asasi untuk melawan. Akan tetapi cengkeraman kuat dari ayahnya, menjadikan Nyai Ontosoroh sebagai gundik. Hak asasi Nyai Ontosoroh telah dirampas dan dapat diperjual-belikan dengan sebuah derajat maupun kedudukan. “Hidup sebagai Nyai terlalu sulit. Dia Cuma seorang budak belian yang kewajibannya hanya memuaskan nafsu tuannya. Dalam segala hal! Sebaliknya setiap waktu orang harus bersiapsiap terhadap kemungkinan tuannya sudah merasa bosan. Salah-salah bisa badan diusir dengan semua anak, anak sendiri. Yang tidak dihargai oleh umum pribumi karena dilahirkan tanpa perkawinan yang sah” (PAT, 1980: 80).
Vol. 1, No. 1, Januari - Juni 2016
161
Wacana Emansipatoris Nyai Ontosoroh...
Meski dirinya menyadari kodratnya sebagai wanita atau perempuan, Sanikem berusaha untuk belajar menjadi maju. Mulai belajar masak Eropa, bahasa Melayu, Bahasa Belanda bahkan berbagai macam bidang ekonomi, politik, hukum maupun ekonomi perusahaan. Nyai Ontosoroh telah membuktikan kehebatannya sebagai perempuan mandiri; dengan belajar dan cepat menerima serapan ilmu dari Herman Melema. Suatu hak, yang sebenarnya memang dapat disejajarkan dengan para orang Eropa dalam berpengetahuan. Inipun seharusnya sebuah pembuktian pemberontakan yang ‘cantik’ dari Nyai agar dirinya secara intelektual dapat sejajar dengan orang Eropa. “Pernah aku tanyakan padanya, apa wanita Eropa diajar sebagai mana aku diajar sekarang ini? Tahu kau jawabanya? “ Kau lebih mampu daripada rata-rata mereka, apalagi yang peranakan.” (PAT, 1980: 84). Kesan kerja profesional juga didapatkan dari Nyai Ontosoroh, meskipun dirinya hanya gundik dan bekerja pada pabrik suaminya, akan tetapi dirinya dihargai, digaji seperti pekerja lainnya. Jika kita coba menggali, maka apa yang dikerjakan oleh Nyai Ontosoroh yang notabene sebagai perempuan telah melakukan sebuah restrukturisasi organisasi perusahaan menuju manajemen modern. Ketetapan dan keteguhan hatinya sungguh menjadi tauladan bagi pribumi. Ketika Nyai Ontosoroh menjadi lebih berpengetahuan, dirinya tidak terlena dengan budaya Belanda, namun tetap mengangkat harkat dan martabat bangsanya dengan masih meng gunakan nama Nyai Ontosoroh. Di lain sisi, Nyai Ontosoroh demi mempertahankan Annelis, rela memperkerakan persoalan ke meja pengadilan dan menentangnya bahwa anak kandung bernama Annelis merupakan anak yang sah dari suami Herman Melema.
162
Vol. 1, No. 1, Januari - Juni 2016
Susilo Mansurudin
Pemberontakan Nyai Ontosoroh dalam memperoleh legitimasi hak atas dirinya beremansipatoris dalam kehidupan baik rumah tangga, pemerintahan, hukum, ekonomi maupun politik, menemui kegagalan. Energi yang dibangun oleh Nyasi ontosoroh seolah sia-sia. Kegagalan ini bukan karena ketidakmampuan Nyai Ontosoroh dalam memperjuangkan hak perempuan, namun ‘benturan’ yang meng hantam dirinya disebabkan persoalan ganda; selain dirinya sendiri juga dihadapkan pada persoalan penindasan hak atas perempuan yang sifatnya tidak hanya lokal, namun lebih pada porsi global. Meskipun begitu perjuangan Nyai Ontosoroh merupakan perjuangan anak manusia yang mempunyai strategi, nyali dan peradaban. Ide-ide Nyai Ontosoroh dalam memperlakukan lawanlawannya dinilai sebagai konstruksi yang cukup ‘cantik’ dalam arena pertandingan kehidupan ditengah isu ‘pencaplokan’ hak-hak perempuan karena terbelenggu oleh adat, kultur, sistem diskriminasi global. Perangai yang egaliter yang ada pada diri Annelis merupakan reperesentasi keberhasilan Nyai Ontosoroh dalam mendidik anak nya sekaligus membimbing peniadaan perbedaan antara laki-laki perempuan, pribumi dan non pribumi. Pada akhirnya memang perjuangan harus ditempuh, meskipun selanjutnya ada kata-kata dari Nyai Ontosoroh yang menyadari sebagai perempuan ditengah pertentangan sistem global yang pedih, perih, dan menyengat. Lihat dari pernyataan Nyai Ontosoroh di bawah ini kepada anaknya. “Ann, kita kalah, Ann. Kami akan menyertaimu kau berlayar ke Netherland, tapi mereka melarang. Ann, Kau dengar aku, Ann?” (PAT, 1980: 346).
Vol. 1, No. 1, Januari - Juni 2016
163
Wacana Emansipatoris Nyai Ontosoroh...
I. Simpulan Secara wacana kritis novel ”Bumi Manusia” karya Paramudya Ananta Toer khususnya tokoh perjuangan Nyai Ontosoroh telah optimal, akan tetapi dirinya dihadapkan pada dua perjuangan besar. Pertama, menyangkut mengangkat dirinya sendiri dari kubangan ketidakberdayaan. Kedua, Nyai Ontosoroh dalam menuntut persamaan hak (emansipatoris) terbentur dengan persoalanpersoalan rumit yang sifatnya lebih signifikan dan global yang natabene juga selalu mendiskriditkan dan memposisikan wanita sebagai subordinat. Analisis wacana kritis melihat sejak awal bahwa perempuan (Nyai Ontosoroh) telah menanggung beban yang paling berat atas sistem nilai, akan tetapi harus ditandai dengan tegas pula bahwa ”Bumi Manusia” menampilkan perempuan sebagai tokoh yang melihat beban dan subordinasi yang mereka alami bukan sesuatu yang alamiah, yang sudah seharusnya begitu (taken for granted), sebaliknya mereka mengolah beban dan subordinasi itu untuk membangun energi, untuk membangun kekuatan, yang tidak saja dapat mengubah hidup orang-orang lain di sekitarnya. Energi yang kuat yang dibangun tersebut dilakukan oleh Nyai Ontosoroh, akan tetapi sistem globallah yang kejam hingga Nyai Ontosoroh merasa kalah dengan besarnya gelombang penindasan kaum perempuan.
164
Vol. 1, No. 1, Januari - Juni 2016
Susilo Mansurudin
Daftar Pustaka Chaplan, Pat Bell Diane, and Wazir Karim Johan (Eds.). 1993, General Field Women, Men, & Ethnography, London and New York. Djajanegara, S. 2000. Kritik Sastra Feminis: Sebuah Pengantar. Jakarta Gramedia. Erianto. 2009. Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LKIS Fairclogh, Norman. 1989. Lanuage and Power. London and Newyork: Longman. Fairclogh, Norman. Tanpa tahun. Language and Power Relasi Bahasa, Kekuasaan, dan Ideologi. Diterjemahkan oleh Indah Rohmani. 2003. Malang: Boyan Publishing. Haviland, William A. tanpa tahun. Antropologi 2. diterjemahkan oleh R.G. Soekardijo. 1988. Jakarta: Erlangga. Hellwig, Tineke. 2003. In the Shadow of Cange: Citra Perempuan dalam sastra Indonesia. Jakarta: Women Research Institute dan Desantara. Janks, Hillary dan Ivanic, Roz. 1992. “KBK dan Wacana Emansipatoris” dalam Norman Fairclogh (Ed.). (Hlm. 333363). Kesadaran Bahasa Kritis diindonesiakan oleh Hartoyo. 1995. Semarang: IKIP Press. Mansurudin, Susilo. 1997. Gundik dalam Burung-burung Manyar. Dalam Wanita dan Lingkungan. FSU in the Limelight, 5(2): Hlm. 87-90
Vol. 1, No. 1, Januari - Juni 2016
165
Wacana Emansipatoris Nyai Ontosoroh...
Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Penelitian Sastra dari Strukturalisme hingga Posmodernisme Prespektif Wacana Naratif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Toer, Pramoedya Ananta. 1980. Bumi Manusia. Jakarta-Amsterdam: Hasta Mitra
166
Vol. 1, No. 1, Januari - Juni 2016