WACANA KEPEREMPUANAN DALAM NOVEL-NOVEL CHARLOTTE BRONTË Desi Prawita Sari
Program Pascasarjana, Universitas Sebelas Maret e-mail:
[email protected]
Bani Sudardi
Program Pascasarjana, Universitas Sebelas Maret e-mail:
[email protected]
Mugijatna
Program Pascasarjana, Universitas Sebelas Maret
Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk menemukan dan menjelaskan wacana keperempuanan baru dalam novel-novel Charlotte Brontë yang menunjukan resistensi terhadap wacana keperempuanan ideal di Masa Victoria. Penelitian ini menggunakan pendekatan new historicism yang mengakomodasi konsep Foucault tentang wacana. Data yang digunakan dalam penelitian adalah kalimat atau ungkapan dalam novel-novel Brontë dan data historis lain pada masa Victoria yang diambil dari berbagai sumber. Novelnovel yang dianalisis adalah Jane Eyre (1847), The Professor (1857), Shirley (1849), dan Villete (1853). Hasil dari penelitian ini adalah ditemukannya dua wacana baru tentang keperempuanan dalam novel-novel tersebut yaitu wacana kesetaraan gender dan wacana kebebasan berekspresi dan berkehendak bagi perempuan. Kata kunci: wacana keperempuanan ideal, novel-novel CharlotteBrontë PENDAHULUAN Wacana keperempuanan (womanhood) di Inggris pada abad ke-19 khususnya di awal hingga pertengahan pemerintahan Ratu Victoria berkutat pada dua hal utama yaitu kerumahtanggaan (domesticity) dan pengasuhan (mothering). Kedua hal tersebut menjadi tolok ukur perempuan agar bisa dikatakan ideal selain tetap menjaga dan melestarikan nilai-nilai feminin pada saat itu, ‘the true womanhood’. Wacana tentang keperempuanan ideal dipelopori dan dikembangkan pertama kali oleh kaum perempuan dari keluarga kelas menengah dan selanjutnya menyebar ke seluruh lapisan masyarakat terutama kelas atas (borjuis). Hal ini dikarenakan 36
kelas menengah memiliki pengaruh besar di masyarakat pada masa itu. “it was middleclass ideology that was dominant in Victorian society, because it was the middle class that controlled the presses, writing and producing most of the books and periodicals that voiced and shaped public opinion. Thus, it was middle-class model, in which work was generally divorced from home, that gave rise to an idea crucial to the era’s construction of family, namely the concept of separate spheres.”(Nelson, 2007: 6) Wacana keperempuanan ideal selanjutnya berpengaruh terhadap pola pikir masyarakat khususnya berkaitan
Haluan Sastra Budaya Vol. XXXV No. 68 Oktober 2016: 36-46
dengan masalah gender yang pada waktu itu mengacu kepada ideologi ‘separate spheres’. Wacana tersebut menginginkan perempuan untuk senantiasa menjaga nilainilai feminisme yang menjadi karakteristik gender mereka. Sebaliknya, laki-laki juga harus menjaga nilai-nilai maskulin yang menjadi karakteristik gender mereka. Laki-laki mendominasi wilayah publik dan perempuan mendominasi wilayah domestik.
Wacana tersebut menjadi wacana dominan bagi perempuan di Masa Victoria karena mendapat dukungan dari berbagai pihak dan lapisan masyarakat. Dukungan tersebut dilakukan dengan cara menjaga dan melestarikan nilai-nilai keutamaan ideal. Kondisi ini sesuai dengan konsep Foucault tentang kekuasaan (power) dalam hal ini sistem patriarki yang menyebarkan kekuasaannya melalui praktek-praktek diskursif salah satunya dengan wacana keperempuanan ideal. Patriarki menginginkan perempuan berada di bawah dominasi laki-laki, “a system of social structures and practices in which men dominate, oppress, and exploit women” (Walby, 1990: 20) dengan cara menghegemoni mereka dengan wacana keperempuanan ideal tersebut yang dianggap sesuai dengan kodrat perempuan. Ideologi ‘separate spheres’ yang dikemukakan oleh John Ruskin diantaranya menegaskan tentang pemisahan dunia perempuan dari laki-laki sebagai berikut “But the woman’s power is for rule, not for battle,….Her great function is Praise….By her office, and place, she is protected from all the danger and temptation. The man, in his rough work in the open world, must encounter all peril and trial….But he
guards the woman from all this; within his house, as ruled by her….”(Ruskin dalam Mitchell, 2009: 268)
Perempuan dianggap sebagai makhluk yang lemah dan membutuhkan perlindungan dari laki-laki, “he guards the woman from all this; within his house.” Sebaliknya, laki-laki dianggap lebih pantas beraktivitas di luar rumah karena memiliki fisik kuat dan intelektual tinggi untuk menghadapi persaingan hidup. Perempuan didaulat untuk menjaga dan melestarikan keutamaan nilai-nilai feminin, ‘the true womanhood’ antara lain kesalehan (piety), kemurnian (purity), ketundukan (submissiveness), dan kerumahtanggaan (domesticity) (Welter, 1966 : 152) Nilainilai feminin tersebut bersinergi dengan wacana keperempuanan ideal untuk melegitimasi superioritas laki-laki atas perempuan di wilayah publik.
Berbagai pihak mendukung wacana keperempuanan ideal untuk hidup dan berkembang di masyarakat. Ratu Victoria menjadi ikon feminitas perempuan pada masanya yang berpusat pada hal keluarga dan rumah tangga, ‘Victoria became an icon of late-19th-century middle-class feminity and domesticity’.(Abrams, Lynn. “Ideals of Womanhood in Victorian Britain” 9 Oktober 2015. http://www.bbc.co.uk/ history/trail/victorian_britain/women_ home/ideals_womanhOod_01.shtml) Para kelompok rohaniawan meyakini doktrin suami (laki-laki) adalah pemimpin atas istri (perempuan) yang dimaknai sebagai bentuk subordinasi laki-laki terhadap perempuan dalam keluarga, “To the woman he (God) said…your desire will be for your husband, and he will rule over you” (Genesis, 3: 16 dalam Chang, Annette. “Christian Service and Female Servitude 37
Wacana Keperempuanan... (Desi Prawita Sari) in North and South.” The Victorian Web. 1993. 9 Oktober 2015. http://www. victorianweb.org/authors/gaskell/ chang1.html) Para ilmuwan menganggap perempuan lebih tepat untuk fungsi domestik dan reproduksi sedangkan lakilaki dengan kapasitas energy yang lebih besar lebih tepat untuk fungsi produksi (mencari nafkah). (Elizabeth, Lee. “Victorian Theories of Sex and Sexuality”. The Victorian Web 1966. 9 Oktober 2015. http://www.victorianweb.org/gender/ sextheory.html) Ada pula dari kalangan sastrawan melalui karya-karya mereka seperti Coventry Patmore dengan ‘Angel in the House’ yang menjadi referensi populer tentang keperempuanan ideal dan John Ruskin dengan ‘Of Queens Garden’ yang menegaskan ideologi ‘separate spheres’. Hingga sampai pada lingkungan keluarga, seorang ibu selalu berperan dalam menanankan wacana keperempuanan ideal dan perbedaan gender sedari dini. Mereka memberikan pekerjaan rumah tangga kepada anak perempuan sebagai tugas pokok sementara anak laki-laki tidak tidak demikian. Pihak-pihak tersebut diatas merupakan agen-agen dari kekuasaan patriarki dalam mendistribusikan, menanamkan, dan melestarikan wacanawacana keperempuanan ideal sekaligus perbedaan gender sehingga laki-laki dan perempuan tetap berada dalam batasanbatasan gender mereka. Charlotte Bronte sebagai seorang penulis perempuan juga mengalami fenomena tersebut di dalam keluarganya. Ayah dan bibinya membesarkan dan mendidik dia dan saudaranya sesuai dengan norma dan nilai yang berlaku di dalam masyarakat patriarki. sebagai 38
contoh, meskipun sang ayah menanamkan keutamaan pendidikan sedari dini, namun keluarga masih mengutamakan anak lakilaki untuk mendapat prioritas pendidikan lebih tinggi. “His aunt especially made him her great favourite. There are always peculiar trials in the life of an only boy in a family of girls. He is expected to act a part in life; to DO, while they are only to BE; and the necessity of their giving way to him in some things, is too often exaggerated into their giving way to him in all, and thus rendering him utterly selfish. (https://ebooks. adelaide.edu.au/g/gaskell/elizabeth/ bronte/v1chap9.html) Dari kutipan diatas terdapat suatu wacana gender yang berkembang dalam masyarakat Inggris. Sebuah wacana gender yang memberikan laki-laki nilai lebih (superior) dalam masyarakat daripada perempuan. ‘He is expected to act a part in life to DO, while they are only to BE. ’Laki-laki diasosiasikan dengan sikap aktif sementara perempuan dengan sikap pasif. Laki-laki berhak atas segala aktivitas publik termasuk mendapat pendidikan tinggi dan bekerja. Mereka diyakini menjadi penentu keberhasilan keluarga. Di sisi lain, perempuan harus menerima kodratnya menjadi istri dan ibu rumah tangga. Sebagai seorang sastrawan yang memiliki sensitivitas sosial tinggi terhadap masyarakat dan lingkungannya, sangat wajar apabila Charlotte menaruh perhatian terhadap kondisi perempuan saat itu yang memiliki posisi inferior dibandingkan dengan laki-laki. Wacana keperempuanan ideal saat itu cenderung mendukung adanya ketidakadilan gender dalam
Haluan Sastra Budaya Vol. XXXV No. 68 Oktober 2016: 36-46
berbagai aspek. Dalam hal pendidikan misalnya, perempuan tidak mendapatkan kesempatan yang sama dengan laki-laki untuk menuntut ilmu setinggi-tingginya. “Both social customs and practical circumstances meant that girls were less likely than boys to go to school. Girls did not need preparation for public life.”(Mitchell, 2009:181) Kalimat terakhir menunjukan satu wacana bahwa perempuan tidak berhak untuk mengembangkan diri di ranah publik. Perempuan berada pada posisi inferior dalam berbagai aspek dan hanya bisa menerima keadaan tersebut. Dalam hal hukum misalnya, perkawinan mengakibatkan perempuan kehilangan hak waris atas semua properti karena posisi laki-laki adalah yang utama di mata hukum. William Blackstone1, seorang ahli hukum abad ke-18 mengatakan bahwa suami dan istri adalah “one person, and that person was the husband” (William dalam Mitchell, 2009: 104) Pernyataan tersebut dengan jelas menunjukan satu wacana yang meniadakan keberadaan perempuan sebagai subjek di hadapan hukum. Perempuan dianggap sebagai properti bagi suami, bukan sebagai subjek individu seperti halnya laki-laki. Setelah mengetahui tentang wacana keperempuanan ideal dari berbagai sumber di masa Victoria serta pengaruhnya terhadap kondisi perempuan, maka penelitian ini mencoba mencari wacana keperempuan lain dalam novel-novel Brontë yang menunjukan resisitensi terhadap wacana keperempuanan ideal 1. Sir William Blackstone, lahir di London 10 Juli 1723 dan meninggal 14 Februari 1780, seorang ahli hukum yang karyanya berjudul ‘Commentaries on the Laws of England, 4 vol. (1765-69) dianggap sebagai deskripsi tebaik dan paling populer terhadap doktrin-doktrin hukum Inggris. http://www.britannica.com/biography/William-Blackstone
tersebut. Wacana keperempuanan yang mengakomodasi suara hati perempuan yang selama ini terhegemoni oleh kekuasaan patriarki dan menginginkan adanya kesetaraan dan kebebasan sebagai sesama manusia ciptaan Tuhan. METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif yang memakai data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati (Bodgan dan Taylor dalam Lexy J. Moleong, 1999:4) yang bersumber dari novel dan data sekunder lainnya. Pendekatan New Historicism dengan teori Greenblatt digunakan dalam melakukan analisis terhadap data teks maupun co-teks. Pendekatan ini melihat teks sastra sebagai teks budaya yang menghendaki konteks penciptaan dalam menginterpretasi makna teks sastra. Pendekatan ini melihat teks sastra sebagai medan pergulatan wacana bagi ideologi atau pemikiran yang berkuasa (mayoritas) dan pemikiran minoritas. Penelitian ini menggunakan dua jenis data yaitu data primer berupa teks dalam novel Charlotte Brontë; Jane Eyre, The Professor, Shirley, dan Villete, dan data sekunder yang terdapat dalam teks non sastra. Metode pengumpulan data menggunakan metode pustaka karena mayoritas data yang dipakai bersumber dari buku. HASIL DAN PEMBAHASAN
Novel-novel Charlotte Brontë merupakan representasi dari sejarah kehidupan masyarakat khususnya perempuan di masa Victoria. Novel-novel tersebut antara lain Jane Eyre (1847), The Professor (1857), Shirley (1849), 39
Wacana Keperempuanan... (Desi Prawita Sari) dan Villete (1853). Novel-novel tersebut mengandung berbagai wacana budaya yang berkembang di masyarakat saat itu. Salah satu dari wacana tersebut adalah wacana keperempuanan ideal yang diyakini oleh masyarakat terutama kaum perempuan sesuai dengan kodrat mereka sebagai perempuan. Wacana tersebut hidup dan berkembang dalam masyarakat yang menganut sistem patriark. Sistem ini memberikan ruang dan kesempatan yang lebih banyak bagi laki-laki untuk berkembang daripada perempuan dengan menjauhkan perempuan dari wilayah publik. Kondisi ini sesuai dengan substansi wacana keperempuanan ideal yang menginginkan perempuan untuk memfokuskan aktivitasnya dalam hal kerumahtanggaan (domesticity) dan pengasuhan (mothering). Meskipun demikian, wacana tersebut bagi sebagian perempuan justru mengakibatkan ketidakadilan. Charlotte berusaha menyampaikan suara minoritas tersebut dalam novel-novelnya. Setelah melakukan pembacaan terhadap novel tersebut maka dapat ditemukan wacana-wacana keperempuanan lain, yaitu; Wacana Kesetaraan Gender
Dalam novel Jane Eyre, wacana keseteraan gender nampak dalam dialog antara tokoh Jane dan St. John. Saat itu Jane mendesak St. John untuk mengatakan yang sebenarnya tentang hubungan mereka. St.John bersikeras meminta Jane menanyakan hal itu kepada Diana dan Mary, saudara perempuan St. John. St. John mempunyai karakter dingin terhadap perempuan karena nilai religi yang diyakininya. Dia selalu menghindar dari godaan nafsu dalam bentuk cinta yang 40
menurutnya disebabkan dari interaksi dengan perempuan. “But I appraised you that I was a hard man”, said he, “difficult to persuade.” And I am a hard woman, - impossible to put off.” “And then”, he he pursued, “I am cold: no fervor infects me.” “Whereas I am hot, and fire dissolves ice,…” (https://ebooks.adelaide. edu.au/b/Brontë/charlotte/b869j/ chapter33.html)
Ungkapan Jane, “I am a hard woman” dan “I am hot” tersebut menunjukan adanya wacana perlawanan terhadap salah satu nilai keperempuanan ideal yaitu ketundukan. Perempuan dalam konteks ini adalah sama dengan laki-laki yang mempunyai kehendak serta keinginan kuat. Batasan gender yang dikonstruksi pada saat itu dirobohkan melalui karakter Jane yang suka memberontak (rebellious), blak-blakan (outspoken) dan keras kepala (stubborn). Karakter tersebut terrepresentasikan dalam kata “hot” yang menunjukan semangat (passion) sementara karakter dingin St. John terrepresentasikan dalam kata ‘‘cold’’. Wacana kesetaraan gender juga muncul dalam novel ini ketika Jane berbicara kepada Rochester dalam konteks Jane tidak bisa menyembunyikan kekecewaannya mendengar Rochester akan menikah dengan orang lain, Blanche Ingram. Selama ini Jane memiliki perasaan terhadap Rochester sehingga dia tidak bisa menuruti keinginan Rochester untuk tetap di Thornfield setelah dia menikah. “Do you think I am an automaton? – a machine without feelings? And can bear to have my morsel of bread
Haluan Sastra Budaya Vol. XXXV No. 68 Oktober 2016: 36-46
snatched from my lips, and my drop of living water dashed from my cup? ….Do you think because I am poor, obscure, plain, and little, I am soulless and heartless? I am not talking to you now through the medium of custom, conventionalities, nor even of mortal flesh; it is my spirit that addresses your spirit; just as if both had passed through the grave, and we stood at God’s feet, equal, as we are! (https:// ebooks.adelaide.edu.au/b/Brontë/ charlotte/b869j/chapter23.html)
Ekspresi Jane yang tercermin dalam pertanyaannya kepada Rochester menunjukan suatu keberanian untuk mengutarakan pendapat bahwasanya perempuan adalah manusia yang mempunyai hati dan perasaan. Ekspresi tersebut juga merepresentasikan pemikiran Jane tentang perempuan dari sudut pandang patriarki saat itu yang dilihat sebagai ‘a machine’, ‘an automaton’, yang bergerak sesuai dengan apa yang diprogramkan kepada mereka salah satunya melalui wacana keperempuanan. Perlawanan terhadap gagasan tersebut ditunjukan dalam kalimat berikutnya yang merepresentasikan adanya kesetaraan antara laki-laki dan perempuan sebagai manusia ciptaan Tuhan “I have as much soul as you, and full as much heart.” Selain itu, ungkapan Jane, “I am not talking to you now through the medium of custom, conventionalities, nor even of mortal flesh” tersebut sesungguhya menunjukan bahwa terdapat aturan, norma yang mengatur hubungan interaksi antara laki-laki dan perempuan di masyarakat. Dari segi status sosial Rochester memiliki posisi tinggi yaitu tuan rumah dan majikan Jane sehingga Jane harus hati-
hati dan menjaga sikapnya. Namun, dalam ungkapan tersebut juga ditemukan adanya penolakan terhadap konvensi tersebut yang terrepresentasikan pada kata “I am not”. Sikap penolakan tersebut semakin tegas pada ungkapan selanjutnya, “we stood at God’s feet, equal, as we are!” yang merepresentasikan adanya wacana kesetaraan antara laki-laki dan perempuan tentang posisi mereka ketika berinteraksi. Wacana kesetaraan gender kembali muncul dalam novel Shirley dalam konteks konstruksi selera maskulin dan feminin di masyarakat patriarki. Wacana keperempuan ideal menuntut perempuan agar bersikap sesuai dengan karakter gendernya, yaitu feminin. Salah satu bentuk feminitas perempuan adalah dalam hal selera. Namun, dalam novel ini terjadi suatu perbedaan mengenai konstruksi karakter feminin yang secara umum dapat diterima oleh masyarakat. Tokoh Shirley menunjukan bahwa konstruksi sifat maskulin tidak harus melekat pada lakilaki. Kondisi ini terrepresentasikan dalam dialog antara Mr. Donne dan Shirley ketika Shirley menanggapi komentar Donne tentang anjingnya, Tar-tar. “’A very dangerous dog that, Miss Keeldar. I wonder you should keep such an animal.’ ‘Do you Mr. Donne? Perhaps you will wonder more when I tell you I am very fond of him.’ ‘I should say you are not serious in the assertion. Can’t fancy a lady fond of that brute – ‘tis so ugly – a mere carter’s dog – pray hang him.’ ‘Hang what I am fond of!’ ‘And purchase in his stead some sweetly pooty pug or poodle: something appropriate to the fair sex: ladies generally like lapdogs.’ 41
Wacana Keperempuanan... (Desi Prawita Sari) ‘Perhaps I am an exception.’ ‘Oh! You can’t be, you know. All ladies are alike in those matters: that is universally allowed.’” (http://ebooks. adelaide.edu.au/b/Brontë/charlotte/ shirley/chapter15.html)
Kalimat Donne yang berbunyi, ‘Can’t fancy a lady fond of that brute – ‘tis so ugly – a mere carter’s dog’, merepresentasikan suatu wacana tentang konstruksi feminitas dalam masyarakat bahwa perempuan tidak seharusnya memelihara anjing jenis ‘carter’. Tar-tar adalah sejenis anjing dengan ukuran relative besar dan pada umumnya dimanfaatkan sebagai anjing penjaga. Anjing seperti tar-tar dianggap tidak merepresentasikan citra feminin perempuan. Perempuan dianggap lebih tepat memelihara anjing yang merepresentasikan gender mereka seperti ‘pooty pug’ atau ‘poodle’. ‘Jenis anjing tersebut merupakan anjing domestik yang biasa dipelihara sebagai ‘pet’ dan sifatnya lebih jinak dan penurut. Kalimat Donne berikutnya yang berbunyi, ‘something appropriate to the fair sex: ladies generally like lapdogs,’ merepresentasikan pola pikir masyarakat patriarki yang berbasis gender. Pola pikir tersebut menilai perempuan dimanapun adalah sama dengan mengacu pada sifat gender feminin perempuan. Hal ini dibantah oleh Shirley yang merepresentasikan penolakan terhadap konstruksi gender tersebut dalam kalimatnya, ‘Perhaps I am an exception’. Kalimat tersebut sekaligus menunjukan suatu wacana konstruksi gender yang bersifat variatif (fluid) yang menggugurkan persepsi bahwa laki-laki dan perempuan memiliki posisi yang berbeda dalam masyarakat atas dasar gender. 42
Dalam novel berjudul The Professor, ditemukan satu wacana yang menempatkan perempuan pada posisi yang selama ini didominasi oleh laki-laki. Sebuah posisi sekaligus peran yang menuntut keahlian memimpin dan mengambil keputusan yang melibatkan publik. Madame Reuter adalah seorang perempuan independen pemilik sekolah putri ternama di Brussel. Dia memiliki kuasa untuk mengambil keputusannya sendiri tanpa tekanan dari pihak manapun. “But it is often well to act on one’s own judgement,” said she, “and to lead parents, rather than be led by them.” (http://ebooks.adelaide.edu.au/b/ Brontë/charlotte/b869pr/chapter25. html) Kalimat tersebut merepresentasikan satu wacana dimana perempuan mempunyai potensi dan kemampuan untuk memimpin dan mengambil keputusan yang berhubungan dengan kepentingan publik. Madame Reuter yakin bahwa keputusan yang dia ambil dengan menerima William bekerja di sekolahnya sudah tepat. Ucapan Reuter tersebut dengan kata lain menunjukan bahwasanya perempuan memiliki kemampuan untuk memimpin di ranah publik seperti halnya laki-laki.
Wacana yang sama juga muncul dalam novel berjudul Villete pada peristiwa ketika Lucy Snowe mengamati sosok Madame Beck. Lucy Snowe pergi merantau ke Villete dan bekerja di tempat Madame Beck sebagai governess sekaligus guru bahasa Inggris di sekolah putri miliknya. Madame Beck adalah seorang janda dengan tiga anak yang mempunyai sekolah putri ternama di Villete. Dia merepresentasikan sosok perempuan
Haluan Sastra Budaya Vol. XXXV No. 68 Oktober 2016: 36-46
yang tangguh, independen, berkuasa, dan mempunyai pengaruh kuat terhadap lingkungannya. ‘Madame must have possessed high administrative powers: she ruled all these with four teachers, eight masters, six servants, and three children, managing at the same time to perfection the pupils’ parents and friends; and that without apparent effort; without bustle, fatigue, fever, or any symptom of undue, excitement: occupied she always was – busy, rarely. It is true that Madame had her own system for managing and regulating this mass of machinery;’ (http:// ebooks.adelaide.edu.au/b/Brontë/ charlotte/b869v/chapter8.html) Penjelasan Lucy tentang Madame Beck tersebut menggambarkan sosok perempuan perkasa yang mampu mengatur, mengawasi dan menggerakan orang-orang (publik) untuk bergerak sesuai dengan keinginginanya. Karakterisitik Madame Beck tersebut menunjukan suatu wacana kesetaraan gender dimana perempuan juga mempunyai kualitas dan kemampuan untuk tampil di wilayah publik sebagaimana laki-laki. Madame Beck tidak hanya memimpin sesama perempuan tetapi juga laki-laki. Selain itu dia juga dituntut mampu menghadapi sikap dari orang tua murid. Wacana Kebebasan Berekspresi dan Berpendapat bagi Perempuan.
Wacana keperempuanan ideal melihat sikap diam (reserved) bagi perempuan sebagai suatu keutamaan dan harus dijaga. Namun, terkadang sikap diam tersebut justru membuat perempuan kehilangan kebebasan berekspresi dan
berpendapat. Kebebasan bereksprresi dan berpendapat merupakan salah satu hak dasar setiap manusia. Apabila kebebasan tersebut tidak dimiliki, maka manusia dalam hal ini perempuan akan hidup seperti di dalam penjara.
Dalam novel berjudul Jane Eyre, hal ini ditemukan satu wacana kebebasan berekspresi dan berpendapat pada momen ketika Jane bersama dengan St. John untuk mempertimbangkan keinginan St. John. Jane tidak keberatan membantunya melaksanakan tugas sebagai misionaris ke India, namun bukan sebagai seorang istri dari St. John. Kedua hal itu bagi Jane sangatlah berbeda. Sebagai perempuan yang independen Jane dengan tegas menyatakan sikapnya, “I repeat I freely consent to go with you as your fellow-missionary, but not as your wife; I cannot marry you and become part of you.” (https://ebooks.adelaide.edu. au/b/Brontë/charlotte/b869j/chapter34. html) Kalimat Jane tersebut menunjukan sebuah ekspresi kebebasan untuk berpendapat atas apa yang terbaik untuknya. Menjadi seorang misionaris bagi Jane akan menempatkan posisinya setara dengan manusia lain (St. John) dalam menjalankan perintah Tuhan, tetapi dengan menjadi istri seorang St. John yang tidak memahami perempuan akan membuatnya kehilangan kebebasan untuk menjadi dirinya sendiri.
Wacana keperempuanan ideal menginginkan perempuan agar menjadi sosok ‘angel’ bagi suami dan keluarga seperti yang disebarluaskan dalam puisipuisi Victorian pada masa itu. Di dalam novel Charlotte, Jane Eyre, juga ditemukan wacana tentang perempuan ideal tersebut 43
Wacana Keperempuanan... (Desi Prawita Sari) yang terlihat pada kata-kata Rochester, “then years since, I flew through Europe half mad; with disgust, hate, and rage as my companions: now I shall revisit it healed and cleansed, with a very angel as my comforter.” Kalimat tersebut diucapkan oleh Rochester pada saat dia akan menikah dengan Jane. Dari sana dapat dilihat bagaimana seorang istri (Jane) diharapkan menjadi ‘angel’ bagi suaminya yang mampu menyembuhkan dia dari segala trauma, kepedihan yang ia alami dan membawa kebahagiaan di setiap hari-harinya.
Namun demikian, wacana isteri sebagai sosok ‘angel’ ini mendapat penolakan yang tercermin dalam respon Jane, “I am not an angel,” I asserted: “and I will not be one till I die: I will be myself.” (https://ebooks.adelaide.edu.au/b/ Brontë/charlotte/b869j/chapter24. html). Ucapan Jane tersebut selain menunjukan adanya sikap penolakan terhadap wacana isteri sebagai ‘angel’, juga merepresentasikan sebuah ekspresi kebebasan bagi perempuan untuk memilih menjadi diri mereka sendiri dan menentukan identitas mereka sendiri. Di dalam novel berjudul The Professor, wacana kebebasan berekspresi kembali muncul dalam konteks ketika Frances Henry menyatakan persetujuannya menikah dengan William dengan syarat bahwa dia boleh melanjutkan profesinya.
“Think of my marrying you to be kept by you, monsieur! I could not do it,” (http://ebooks.adelaide.edu.au/b/ Brontë/charlotte/b869pr/chapter25. html) pernyataan Frances tersebut menunjukan sikap penolakan Frances apabila pernikahan antara dia dan
44
William membuat dirinya terkekang dengan kehidupan berumah tangga. Selain itu, pernyataan tersebut juga merepresentasikan sebuah wacana dimana perempuan mempunyai kebebasan untuk mengutarakan pendapatnya demi kebaikan hidupnya.
Kebebasan berekspresi dan berpendapat bagi perempuan di masa Victoria masih kurang. Tidak jarang, perempuan dianggap tidak sopan ketika melakukannya. Kondisi tersebut dapat ditemukan dalam novel Shirley ketika terjadi perdebatan antara Mr. Sympson dan Shirley tentang kriteria calon suami yang diinginkan oleh Shirley. Mr. Sympson sebagai paman merasa bertanggungjawab untuk mencarikan suami terbaik untuk keponakannya tersebut. Meskipun demikian, Shirley selalu menolak dan membuat pamannya mengerti bahwa mereka memiliki pola pikir yang berbeda dan tidak mungkin menemui kesepakatan. Dia menyampaikan pendapatnya tentang si paman secara tajam dan blak-blakan. “Sir, your god, your great Bel, your fish-tailed Dagon, rises before me as a demon. You, and such as you, have raised him to a throne, put on him a crown, given him a spectre. Behold how hideously he governs! See him busied at the work he likes best – making marriages…. Your god is a masked death.” (https://ebooks. adelaide.edu.au/b/Brontë/charlotte/ shirley/chapter31.html)
Sikap dan kalimat Shirley tersebut menuai kecaman dari Mr.Sympson karena dianggap tidak pantas untuk diucapkan oleh seorang perempuan terutama dengan status sosial tinggi, “This language is terrible! My daughters and you must associate no longer, Miss Keeldar: there is danger in such
Haluan Sastra Budaya Vol. XXXV No. 68 Oktober 2016: 36-46
companionship.(https://ebooks.adelaide. edu.au/b/Brontë/charlotte/shirley/ chapter31.html). Pernyataan Mr. Sympson tersebut merepresentasikan sebuah sikap penolakan terhadap kebebasan berekspresi dan berpendapat karena tidak sesuai dengan wacana keperempuanan ideal yang menginginkan perempuan untuk mengutamakan sikap diam (reserved) dan tunduk pada keinginan orang tua terutama laki-laki. Meskipun demikian, Shirley tetap berpegang teguh pada keputusannya dan menolak untuk tunduk pada keinginan pamannya, “I sweep your cobweb projects from my path, that I may pass on unsullied.” (https://ebooks.adelaide.edu.au/b/ Brontë/charlotte/shirley/chapter31. html). Pernyataan Shirley tersebut menunjukan suatu keberanian sikap untuk menentukan apa yang terbaik untuk diri sendiri meskipun harus menanggung konsekuensi. SIMPULAN
Dalam artikel ini terdapat dua wacana keperempuanan yang muncul sebagai resistensi terhadap wacana keperempuanan ideal yaitu wacana kesetaraan gender dan wacana kebebasan berekspresi dan berpendapat. Wacana keseteraan gender muncul dari beberapa faktor antara lain: kesadaran perempuan bahwa perempuan dan laki-laki adalah manusia yang diciptakan Tuhan sehingga kedudukan mereka adalah sama di hadapan Tuhan yang terepresentasikan oleh tokoh Jane; konstruksi karakter feminin dan maskulin di masyarakat tidak bisa membatasi perempuan untuk tertarik hal-hal di luar karakter gendernya seperti yang terjadi pada tokoh Shirley; munculnya fenomena perempuanperempuan tangguh, independen, dan
berjiwa pemimpin seperti Madame Reuter dan Madame Beck yang berkecimpung di tanah publik dan mempunyai pengaruh di lingkungan masyarakatnya menepis citra perempuan yang hanya berkutat pada masalah keluarga dan rumah tangga. Wacana kebebasan berekspresi dan berpendapat bagi perempuan muncul karena adanya kesadaran pada perempuan untuk tidak tunduk pada keinginan orang lain. Perempuan berhak untuk menjadi diri mereka sendiri dan menentukan apa yang terbaik bagi diri mereka seperti yang ditunjukan oleh tokoh Jane, Frances dan Shirley dalam novel-novel Brontë.
DAFTAR PUSTAKA Brontë, Charlotte. (2015) (terbit pertama kali tahun 1847). Jane Eyre. Tersedia di laman: https://ebooks.adelaide. edu.au/b/Brontë/charlotte/b869j/ index.html.
Brontë, Charlotte. (2015) (terbit pertama kali tahun 1849). Shirley. Tersedia di laman: https://ebooks.adelaide. edu.au/b/Brontë/charlotte/shirley/ index.html.
Brontë, Charlotte. (2015) (terbit pertama kali tahun 1853). Villete. Tersedia di laman: https://ebooks.adelaide. edu.au/b/Brontë/charlotte/b869v/ index.html. Brontë, Charlotte. (2015) (terbit pertama kali tahun 1857). The Professor. Tersedia di laman: https://ebooks. adelaide.edu.au/b/Brontë/ charlotte/b869pr/index.html.
Chang, Annette. (1993). “Christian Service and Female Servitude in North and South.” The Victorian Web. 1993. 9 Oktober 2015 http://www. victorianweb.org/authors/gaskell/ chang1.html. 45
Wacana Keperempuanan... (Desi Prawita Sari) Elizabeth, Lee. (2015) “Victorian Theories of Sex and Sexuality”. The Victorian Web 1996. 9 Oktober 2015. http:// www.victorianweb.org/gender/ sextheory.html. Gaskell, Elizabeth. (2015) (terbit pertama kali tahun 1857). The Life of Charlotte Bronte. Tersedia di laman: https:// ebooks.adelaide.edu.au/g/gaskell/ elizabeth/bronte/index.html
Moleong, Lexy J. (1999). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Mitchell, Sally. (2009). Daily Life in Victorian England. Second Edition. London: Greenwood Press.
46
Nelson, Claudia. (2007). Family Ties in Victorian England. London: Praeger Publishers Walby, S. (1990). Theorizing Patriarchy. Oxford: Basil Blackwell.
Welter, Barbara. (1966). “The Cult of True Womanhood: 1820-1860.” American Quarterly. Summer Vol. 18, No. 2, Part 1, pp. 151-174. The John Hopkins University Presshttp://www/jstor. org/stable/2711179