Ernita Dewi, S. Ag., M. Hum Syarifuddin, S. Ag., M. Hum
NILAI DALAM WACANA FILOSOFIS
Editor: Drs. Fuadi, M. Hum
Diterbitkan Oleh: Ushuluddin Publishing 2013 i
PERPUSTAKAAN NASIONAL KATALOG DALAM TERBITAN (KDT) NILAI DALAM WACANA FILOSOFIS Edisi Pertama, Cetakan ke-1, Tahun 2013 Ushuluddin Publishing vi + 240 hlm, 13 cm x 20,5 cm ISBN: 978-602-14439-4-1 Hak Cipta Pada Penulis All Right Reserved Cetakan Pertama, September 2013 Pengarang : Ernita Dewi, S.Ag, M. Hum & Syarifuddin, S.Ag., M. Hum Editor : Drs. Fuadi, M. Hum Layout : Jundy Grafika Ushuluddin Publishing Jl. Lingkar Kampus Darussalam, Banda Aceh 23111 Telp (0651) 7551295 /Fax. (0651) 7551295 Email: ii
KATA PENGANTAR Syukur Alhamdulillah, buku dihadapan pembaca sekalian telah dapat kami selesaikan, dengan judul “ Nilai dalam Wacana Filosofis”. Adalah suatu kebanggaan tersendiri bagi kami, sehingga buku dihadapan pembaca sekalian telah dapat kami selesaikan penyusunannya sesuai dengan waktu yang ditetapkan. Mudah-mudahan kehadiran buku ini, walau masih banyak kekurangannya, dapat meningkatkan suatu gairah disertai perhatian kita semua terhadap Filsafat Nilai. Kemudian shalawat beriringan salam kami sampaikan kehadirat Nabi Muhammad, panutan kita semua, pembawa gairah nilai-nilai keislaman bagi kehidupan manusia suutuhnya, Beliau merupakan tokoh besar pembawa risalah ketuhanan, yang telah membawa nilai-nilai perubahan dan peradaban bagi kehidupan umat manusia sampai akhir zaman. Buku dihadapan pembaca ini, berfokus pada tiga titik pembahasan, sesuai pembahasan aksiologi atau filsafat nilai, yang secara formal menjadi pembicaraan dan kajian pada pertengahan abad ke-19, walaupun dalam kenyataannya telah ada sejak zaman Yunani Kuno. Tiga titik pembahasan tersebut adalah tentang nilai, etika, dan estetika, serta dilengkapi dengan beberapa pemikiran dan pandangan para filsuf tentang nilai, yaitu di dunia Islam diwakili oleh Ibnu Maskawaih, dan di dunia Barat diwakili oleh Karl Marx dengan sudut pandang materialismenya, serta konsep nilai menurut Max Scheler dan Henri Bergson. Nilai sangat mempengaruhi kehidupan manusia, dan manusia sendiri menciptakan nilai-nilai tersebut, sehingga manusia sendiri tidak dapat hidup tanpa nilai. Nilai begitu berarti dalam perjalanan hidup manusia, dan nilailah yang dapat membuat sesuatu dapat berharga, dikehendaki, dipuji, dihormati, dijunjung tinggi, dicari, dicita-citakan dan iii
sebagainya. Sebagai pengarah, petunjuk, bahkan sebagai pemandu dalam kehidupan manusia. Intinya nilai sangat berarti bagi kehidupan. Maka sebagaimana disebutkan di atas, kajian nilai ini meliputi bidang etika dan estetika. Etika membicarakan perilaku seseorang atau kelompok, sehingga semua perilaku memiliki nilai; baik atau tidak baik. Demikian juga estetika, yang menitikberatkan sudut pandangnya pada segi karya manusia dari sudut indah atau jelek. Sebagaimana dimaksudkan oleh Sutardjo A. Wiramihardja, nilai indah dan jelek merupakan pasangan dikotomis, dalam arti bahwa yang dipermasalahkan secara essensial adalah pengindraan atau persepsi yang dapat menimbulkan rasa senang dan rasa nyaman pada suatu pihak, rasa tidak senang dan tidak nyaman pada pihak lain. Akhirnya, kepada Allah jua kita menyerahkan diri dengan penuh pengharapan hidayah dan taufiq-Nya. Harus diakui bahwa buku ini masih sangat banyak kekurangan, sehingga masukan, kritikan dan perlu kiranya berupa saransaran. Semoga pula buku kecil ini dapat membawa manfaat kepada kita semua dan dapat diterima sebagai amal kebaikan oleh-Nya. Amin yaa rabbal ‘alaim Billaahitaufiq wal hidayah Banda 2013 Penulis
iv
Aceh,
Agustus
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR – iii DAFTAR ISI – v BAB I RUANG LINGKUP KAJIAN FILSAFAT NILAI –1 Syarifuddin BAB II KEDUDUKAN ETIKA DALAM FILSAFAT NILAI – 41 Syarifuddin BAB III KEDUDUKAN ESTETIKA DALAM FILSAFAT NILAI –103 Ernita Dewi BAB IV PANDANGAN PARA FILSUF TENTANG NILAI A. Pandangan Filsuf Islam: Nilai Menurut Ibnu Maskawaih – 129 Ernita Dewi B. Pandangan Filsuf Barat – 1. Nilai Materialisme dalam Perspektif Karl Marx – 145 Ernita Dewi 2. Konsep Nilai Menurut Max Scheler – 192 Syarifuddin 3. Nilai Menurut Henri Bergson – 216 Syarifuddin
v
vi
BAB 1 RUANG LINGKUP KAJIAN FILSAFAT NILAI Oleh: Syarifuddin
A. Pengertian Nilai Sesungguhnya manusia tidak dapat hidup tanpa nilai. Nilai sebagai suatu sifat atau kualitas yang membuat sesuatu menjadi berharga, layak diinginkan atau dikehendaki, dipuji, dihormati, dan dijunjung tinggi, pantas dicari, diupayakan dan dicita-citakan perwujudannya, merupakan pemandu dan pengarah dalam kehidupan kita sebagai manusia.1 Oleh karenanya, nilai merupakan sesuatu yang berharga, bermutu, menunjukkan kualitas, dan berguna bagi manusia. Sesuatu dapat dikatakan bernilai apabila sesuatu itu berharga dan dapat berguna bagi kehidupan manusia. Nilai sama dengan sesuatu yang membuat seseorang menjadi senang, apalagi nilai tersebut sangat identik dengan segala sesuatu dengan apa yang diinginkan. Nilai diartikan juga sebagai sifat-sifat atau halhal yang dianggap penting atau berguna bagi kemanusiaan.2 Nilai tersebut praktis dan efektif dalam jiwa dan tindakan manusia serta melembaga secara objektif di dalam masyarakat.3 Pembahasan masalah Filsafat Nilai merupakan nama lain dari aksiologi, yang secara sejarah kemunculannya diawali pada pertengahan abad ke-19. Pembicaraan 1 J. Sudarminta, Kata Pengantar, dalam buku Nilai, Etika Aksiologi Max Scheler, Yogyakarta: Kanisius, 2004, hal. 5. 2 W.J.S. Purwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1999, hal. 677. 3 Muhaimin dan Abdul Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam, Bandung: Trigenda Karya, 1993, hal. 110.
Bab 1, Ruang Lingkup Kajian Filsafat Nilai
|1
mengenai aksiologi ini, sebenarnya sudah ada sejak zaman Yunani Kuno, namun pembicaraannya masih dalam lingkup secara khusus yang pembicaraannya hanya dalam lingkup tertentu pada waktu itu. Maka nilai “value” termasuk ke dalam kajian filsafat. Persoalan-persoalan tentang nilai dibahas dan dipelajari dalam salah satu cabang filsafat, sebagai disebutkan di atas, yaitu Filsafat Nilai (axiology, theory of value), dan filsafat juga sering diartikan sebagai sebagai ilmu tentang nilai-nilai. Maka istilah nilai di dalam bidang filsafat dipakai dalam rangka untuk menunjuk kata benda abstrak yang artinya ‘keberhargaan’ (worth) atau ‘kebaikan’ (goodness), dan kata kerja yang artinya merupakan suatu tindakan kejiwaan tertentu dalam menilai atau melakukan penilaian.4 Aksiologi mempunyai kaitan dengan axia yang berarti nilai atau dapat juga dikatakan sebagai sesuatu yang berharga. Jadi, aksiologi dapat diartikan sebagai wacana filsufis yang membicarakan tentang nilai dan penilaian.5 Aksiologi sendiri merupakan asal kata dari bahasa Yunani yaitu axios yang memiliki arti sesuai atau wajar, sedangkan logos berarti ilmu atau teori. Jadi, aksiologi dapat diartikan sebagai wacana filsufis yang membicarakan nilai atau penilaian. Sebagai suatu teori yang membicarakan tentang nilai dan membahas tentang hakikat nilai sehingga disebut sebagai Filsafat Nilai.6 Hakikat nilai di sini ditinjau dari sudut pandang kefilsafatan, yang menurut Louis O. Kattsoff terdapat banyak cabang, seperti ekonomi, etika, estetika, 4Kaelan, Pendidikan Pancasila, Proses Reformasi UUD Negara Amandemen 2002, Pancasila sebagai Sistem Filsafat, Pancasila sebagai Etika Politik, Paradigma Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara, Yogyakarta: Paradigma, 2004, hal. 87. 5 Sutardjo A. Wiramihardja, Pengantar Filsafat, Sistematika Filsafat, Sejarah Filsafat, Logika dan Filsafat Ilmu (Epistemologi), Metafisika dan Filsafat Manusia, Aksiologi, Bandung: PT Refika Aditama, 2006, hal. 155. 6 H.A. Fuad Ihsan, Filsafat Ilmu, Jakarta: Rieneka Cipta, 2010, hal. 231.
2| Nilai dalam Wacana Filosofis
filsafat agama, dan epistemologi yang berhubungan dengan kebenaran.7 Dalam Dictionary of sosciology and Related Sciences, sebagaimana ditulis oleh Kaelan, dikemukakan bahwa nilai merupakan suatu kemampuan yang dipercayai yang ada pada suatu benda yang tujuannya adalah untuk memuaskan manusia. Maka sifat dari suatu benda yang menyebabkan menarik minat seseorang atau kelompok, (the believed capacity of any object to statisfy a human desire). Jadi nilai itu pada hakikatnya adalah sifat atau kualitas yang melekat pada suatu objek, bukan merupakan objek itu sendiri. Sesuatu itu mengandung nilai artinya memiliki sifat atau ada kualitas yang melekat pada sesuatu itu. Misalnya, bunga itu indah, perbuatan itu baik, pria itu menyenangkan. Indah, baik, menyenangkan adalah merupakan sifat atau kualitas yang melekat pada bunga dan perbuatan. Maka dengan demikian, nilai itu sebenarnya adalah merupakan suatu kenyataan yang “tersembunyi” di balik kenyataankenyataan lainnya. Ada nilai itu karena adanya kenyataankenyataan lain sebagai pembawa nilai (wartrager). Menilai berarti menimbang, suatu kegiatan manusia untuk menghubungkan sesuatu dengan sesuatu yang lain, kemudian untuk selanjutnya baru diambil suatu keputusan. Keputusan tersebut merupakan keputusan nilai yang dapat menyatakan berguna atau tidak berguna, benar atau tidak benar, baik atau tidak baik, indah atau tidak indah. Keputusan nilai yang dilakukan oleh subjek penilai tentu memiliki atau berhubungan dengan unsur-unsur yang ada pada manusia sebagai subjek penilai, yaitu berupa unsurunsur jasmani, akal, rasa, karsa (kehendak) dan berupa kepercayaan. Maka sesuatu itu baru dapat dikatakan bernilai, oleh karena sesuatu itu mengandung harga,
7 Louis O. Kattsoff, Element of Philosophy, New York: The Ronald Press Company, 1986, hal. 325.
Bab 1, Ruang Lingkup Kajian Filsafat Nilai
|3
berguna, benar, indah, baik, bagus, bermanfaat, dan lain sebagainya.8 Nilai mengandung cita-cita, harapan-harapan, dambaan-dambaan dan berupa keharusan. Ketika seseorang berbicara tentang nila, maka pada dasarnya orang itu berbicara tentang sesuatu hal yang ideal, tentang hal yang merupakan cita-cita, haparan, dambaan, serta keharusan. Berbicara tentang nilai berarti berbicara tentang das sollen, bukan das sein, maka dalam hal ini masuk ke dalam kerohanian bidang makna normatif, bukan kognitif, masuk ke dalam dunia yang ideal bukan merupakan dunia yang real. Meskipun demikian, di antara keduanya, antara das sollen dan das sein, antara yang bermakna normatif dan kognitif, antara dunia ideal dan dunia real, maka saling berhubungan atau saling berkaitan secara erat. Artinya, bahwa das sollen itu harus menjelma menjadi das sein, yang ideal harus menjadi real, yang bermakna normatif harus direalisasikan dalam perbuatan sehari-hari yang tak lain adalah merupakan suatu fakta.9 Selanjutnya dalam rangka menjelaskan adanya nilai, hakikat, serta memiliki maknanya, Lorens Bagus dalam Kamus Filsafat10 menjelaskan tentang nilai dari Bahasa Inggris, value, dari bahasa Latin valere yang berarti berguna, mampu akan, berdaya, berlaku, kuat. Oleh Lorens Bagus memberikan ke dalam beberapa pengertian sebagai berikut: 1. Nilai dalam bahasa Inggris berarti value yang memiliki padanan arti seperti; berguna, mampu akan, berdaya, berlaku, kuat. 2. Ditinjau dari segi harkat, nilai merupakan kualitas suatu hal yang menjadikan hal tersebut dapat disukai,
Kaelan, Pendidikan Pancasila……, hal. 87. R. Soejadi dan Silvester A. Khodi, Filsafat, Ideologi dan Wacana Bangsa Indonesia, Yogyakarta: Universitas Atma Jaya, 1989, hal. 21. 10 Lorens Bagus, Kamus Filsafat, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2005, hal. 713-714. 8 9
4| Nilai dalam Wacana Filosofis
diinginkan, berguna, atau dapat menjadi objek kepentingan. 3. Nilai ditinjau dari segi keistimewaan, Nilai ditinjau dari segi keistimewaan, mupakan apa yang dihargai, dinilai tinggi, atau dihargai sebagai suatu kebaikan. Lawan dari suatu nilai positif adalah “tidak bernilai” atau “nilai negatif”. Baik akan menjadi suatu nilai dan lawannya jelek atau buruk akan menjadi suatu “nilai negatif” atau “tidak bernilai”. 4. Ditinjau dari ilmu ekonomi, yang bergelut yang bergelut dengan kegunaan dan nilai tukar benda-benda material, pertama kali menggunakan secara umum kata ‘nilai’ Nilai mempunyai bermacam makna, seperti mengandung nilai yang artinya berguna. Merupakan nilai yang artinya baik, benar atau indah. Mempunyai nilai yang artinya merupakan objek keinginan. Mempunyai kualitas yang dapat menyebabkan orang mengambil sikap menyetujui atau mempunyai sifat nilai tertentu. Memberi nilai yang artinya menanggapi sesuatu sebagai hal yang diinginkan atau sebagai hal yang menggambarkan nilai tertentu. Makna yang dikandung nilai tersebut menimbulkan tiga masalah yang bersifat umum, seperti: 1. Apakah yang dinamakan nilai itu? 2. Apakah yang menyebabkan bahwa suatu objek atau perbuatan bernilai? dan 3. Bagaimanakah cara mengetahui nilai dapat diterapkan? B. Beberapa Pendapat Ahli tentang Nilai. Nilai dalam pendekatan terminologis, para ahli mengajukan aneka pengertian tentang nilai, sesuai dengan sudut pandang yang digunakan atau berdasarkan lingkup keilmuan para ahli tersebut, diantaranya adalah; Bab 1, Ruang Lingkup Kajian Filsafat Nilai
|5
1. Driyarkara, filsuf, menurutnya “nilai adalah hakikat suatu hal, yang menyebabkan hal itu pantas dikejar oleh manusia”. 2. Max Scheller, filsuf Jerman, mengatakan bahwa, “ nilai merupakan suatu kualitas yang tidak tergantung pada pembawanya, merupakan kualitas apriori atau merupakan yang telah dapat dirasakan manusia tanpa melalui pengalaman inderawi terlebih dahulu”. 3. Sidi Gazalba, mengatakan “nilai adalah sesuatu yang bersifat abstrak, ideal, nilai bukan merupakan benda konkrit, bukan fakta, tidak hanya persoalan benar dan salah yang menuntut pembuktian empirik, melainkan berdasarkan penghayatan yang dikehendaki atau yang tidak dikehendaki”. 4. Fraenkel, menurutnya, “value is any idea, a concept, about what some one think is important in life, (nilai adalah idea atau konsep yang bersifat abstrak tentang apa yang dipikirkan seseorang atau yang dianggap penting oleh seseorang, biasanya mengacu kepada estetika (keindahan), etika polaperilaku, dan logika benar-salah atau keadilan)”. 5. Ending Sumantri berpendapat, bahwa “nilai adalah seseuatu yang berharga, yang penting dan berguna serta menyenangkan dalam kehidupan manusia yang dipengaruhi pengetahuan dan sikap yang ada pada diri atau hati nuraninya. 6. H. M. Chotob Thoha menganggap “nilai adalah merupakan sikap yang melekat pada sesuatu sistem kepercayaan yang telah berhubungan dengan subjek yang memberi arti manusia yang meyakini, atau dikatakan juga nilai sebagai sesuatu yang bermanfaat dan berguna bagi manusia sebagai acuan dalam suatu tingkah laku. 7. Richard Merril, menurutnya nilai adalah patokan atau standar pola-pola pilihan yang dapat membimbing 6| Nilai dalam Wacana Filosofis
seseorang atau kelompok ke arah satisfaction, fulfillment, and meaning. 8. Kenneth Andersen dalam bukunya “Introduction to Communication Theory and Practise” mendefinisikan nilai sebagai jenis sikap, suatu sikap yang sedemikian umumnya dan sedemikian pervasifnya, sehingga relevan bagi sejumlah besar permasalahan dan kegiatan (a special kind of attitude, an attitude which is so general and so pervasive that it is relevant to a large number of inssues, responses, activities”. 9. Kuntjaraningrat, mengatakan “merupakan suatu sistem nilai budaya terdiri dari konsepsi-konsepsi yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar keluarga masyarakat, mengenai hal-hal yang harus mereka anggap bernilai dalam hidup. C. Hakikat Nilai Sebagaimana berdasarkan beberapa pengertian di atas tentang nilai, dapatlah dikemukakan kembali bahwa nilai itu adalah merupakan rujukan dan keyakinan dalam menentukan suatu pilihan. Sejalan dengan definisi yang telah dikemukakan, maka maksud dengan hakikat nilai adalah; berupa norma, etika, peraturan, undang-undang, adat kebiasaan, aturan agama, dan berupa rujukan yang lainnya yang memiliki harga dan dirasakan berharga bagi seseorang. Nilai bersifat abstrak, keberadaannya ada dibalik fakta, memunculkan berupa tindakan, terdapat dalam moral seseorang, muncul sebagai ujung proses psikologis dan berkembang ke arah yang lebih kompleks.11
11 Dudung Rahmat Hidayat, Mulyadi, Hakikat dan Makna Nilai, Makalah Mata Kuliah Pendidikan Nilai dalam Pendidikan Umum, pada Program Pendidikan Umum, Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia, 2006.
Bab 1, Ruang Lingkup Kajian Filsafat Nilai
|7
Nilai sebagai kualitas yang independen tidak berbeda dengan benda. Sebagaimana warna biru tidak berubah menjadi merah manakala objek yang berwarna biru dicat menjadi merah, demikian juga halnya dengan nilai yang tetap tidak terpengaruh oleh perubahan yang terjadi dalam objek yang digabunginya. Maka nilai itu mutlak, nilai tidak dikondisikan oleh perbuatan, tanpa memperhatikan hakikatnya, maka nilai itu akan bersifat historis, sosial, biologis atau murni individual. Hanya pengetahuan tentang nilailah yang bersifat relatif, akan tetapi bukan nilai itu sendiri.12 Menurut Kattsoff,13 hakikat nilai hanya dapat dijawab melalui tiga macam cara, yaitu; 1. Subjektivitas, yaitu nilai sepenuhnya berhakikat subjektif. Ditinjau berdasarkan sudut pandang ini, maka nilai merupakan suatu reaksi yang diberikan oleh manusia sebagai pelaku dan keberadaannya yang tergantung berdasarkan suatu pengalaman. 2. Objektivisme logis, yaitu nilai merupakan kenyataan yang ditinjau dari segi ontologis, namun tidak terdapat dalam ruang dan waktu. Nilai-nilai tersebut merupakan suatu esensi logis dan dapat diketahui melalui akal. 3. Objektivisme metafisis, yaitu nilai merupakan suatu unsur objektif yang menyusun kenyataan. D. Ciri-ciri Nilai K. Bertens, menjelaskan definisi tentang nilai melalui cara memperbandingkannya dengan fakta. Fakta menurutnya adalah sesuatu yang ada atau berlangsung begitu saja. Sementara nilai adalah sesuatu yang berlaku, sesuatu yang memikat atau menghimbau kita. Fakta dapat ditemui dalam konteks deskripsi semua unsurnya dapat Risieri Frondizi, Pengantar Filsafat Nilai……, hal. 115. Louis O. Kattsof, Pengantar Filsafat, dialihbahasan oleh: Soejono Soemargono, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2004, hal. 323. 12 13
8| Nilai dalam Wacana Filosofis
dilukiskan satu demi satu dan uraian itu pada prinsipnya dapat diterima oleh semua orang. Nilai berperanan dalam suasana apresiasi atau penilaian dan akibatnya sering akan dinilai secara berbeda oleh orang banyak. Nilai selalu berkaitan dengan penilaian seseorang, sementara fakta menyangkut ciri-ciri objektif saja. Perlu dicatat dalam membedakan nilai dan fakta bahwa fakta selalu mendahului nilai. Terlebih dahulu ada fakta yang berlangsung, baru kemudian menjadi mungkin memberikan penilaian terhadap fakta tersebut. Nilai sekurang-kurangnya memiliki tiga ciri sebagai berikut, a. Nilai berkaitan dengan subjek. Kalau tidak ada subjek yang menilai, maka tidak akan ada nilai. Tanpa kehadiran manusia, gunung mungkin saja meledak. Akan tetapi untuk dapat menilai apakah dengan ledakannya itu dapat merugikan atau tidak, sangat tergantung tergantung terhadap kehadiran subjek dalam rangka untuk menilai atau melakukan suatu penilaian. b. Nilai tampil dalam suatu konteks yang sangat praktis, di mana subjek ingin membuat sesuatu. Dalam pendekatan yang semata-mata teoritis, tidak akan ada nilai. c. Nilai menyangkut sifat-sifat yang ditambah oleh subjek pada sifat-sifat yang sifat-sifat tersebut dimiliki oleh objek. Nilai tidak dimiliki oleh objek pada dirinya, karena objek yang sama bagi pelbagai subjek dapat menimbulkan nilai yang berbeda-beda. Pada konteks ini harus dilakukan penjelasan, sebab objek yang sama dapat melahirkan suatu penilaian yang berbeda-beda dari subjek yang berbeda pula.14
14
Mukijat, Asas-asas Etika, Bandung: Mandar Maju, 1995, hal.
68. Bab 1, Ruang Lingkup Kajian Filsafat Nilai
|9
Menurut J.R. Fraenkel, mengemukakan nilai memiliki beberapa ciri, yaitu sebagai berikut; a. Nilai itu merupakan suatu konsep yang keberadaannya tidak dalam dunia yang empirik, melainkan berada dalam pikiran manusia. b. Nilai juga sebagai standar dalam perilaku, adapaun ukuranlah yang akan menentukan apa yang dapat menjadi segala sesuatu sebagai yang indah, apa yang efisien, apa yang dapat berharga yang kemudian ingin dipelihara serta dapat dipertahankan. c. Nilai itu sesuatu hal yang direfleksikan dalam suatu perkataan demikian juga dalam perbuatan. d. Nilai merupakan abstraksi atau berupa idealis manusia tentang apa yang dianggap penting dalam kehidupan manusia tentunya. E. Nilai Merupakan Kualitas Empiris yang Tidak dapat Didefinisikan dan sebagai Objek suatu Kepentingan. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, nilai adalah kualitas dari suatu yang bermanfaat bagi kehidupan manusia, baik secara lahir ataupun batin, dan dalam kehidupan manusia, nilai menjadi landasan, alasan, atau berupa motivasi dalam bersikap, bertindak apakah disadar atau tidak. Nilai berbeda dengan fakta di mana fakta dapat diobservasi melalui suatu verifikasi empiris, sedangkan nilai bersifat abstrak yang hanya dapat dipahami, dipikirkan, dimengerti, dan dihayati oleh manusia.15 Kualitas merupakan sesuatu yang dapat disebutkan dari suatu objek atau suatu segi dari barang yang merupakan bagian dari barang tersebut dan dapat membantu melukiskannya. Adapun kualitas empiris didefinisikan sebagai kualitas yang diketahui atau dapat diketahui melalui pengalaman. Sebagai contoh pengertian baik, artinya pengertian nilai. 15
Kaelan, Pendidikan Pancasila……, hal. 92.
10| Nilai dalam Wacana Filosofis
Menurut Moore, sebagaimana dikutip oleh Kattsoff,16 mengatakan bahwa baik merupakan pengertian yang bersahaja, namun tidak dapat diterangkan apakah baik itu. Pendefinisian nilai juga didasarkan pada hal-hal lain, seperti rasa nikmat atau kepentingan. Moore menyebutnya sesat-pikir naturalistis. Nilai tidak dapat didefinisikan maksudnya nilai-nilai tidak dapat dipersamakan dengan pengertian-pengertian yang setara. Nilai dapat didefinisikan dengan cara-cara lain, seperti dengan menunjukkan contohnya sehingga dapat diketahui secara langsung. Jika nilai merupakan suatu kualitas objek atau perbuatan tertentu, maka objek dan perbuatan tersebut dapat didefinisikan berdasarkan atas nilai-nilai, tetapi tidak dapat sebaliknya. Kenyataan bahwa nilai tidak dapat didefinisikan tidak berarti nilai tidak bisa dipahami. Seringkali orang tidak sepakat mengenai suatu nilai walapun nilai tersebut sudah jelas. Apabila seseorang mempertimbangkan tanggapan-tanggapan penilaian yang lain yang dibuatnya mengenai barang sesuatu atau tindakan maka pasti akan dijumpai semacam keadaan, perangkat, sikap atau kecenderungan untuk setuju atau menentang. Dalam hal ini tersedia tiga kemungkinan pilihan yaitu: sikap setuju atau menentang tersebut sama sekali bersangkut paut dengan masalah nilai sikap tersebut bersangkutan dengan sesuatu yang tidak hakiki sikap tersebut merupakan sumber pertama serta ciri yang tetap dari segenap nilai. Kemungkinan pertama sudah jelas. Kemungkinan kedua berarti bahwa, misalkan sikap tersebut ditimbulkan oleh suatu kualitas nilai tetapi bukan merupakan bagian dari hakikatnya. Kemungkinan ketiga berarti bahwa apabila seseorang mengatakan x bernilai maka dalam arti yang sama dapat dikatakan bahwa seseorang tersebut mempunyai kepentingan terhadap x. Sikap setuju atau menentang oleh Perry sebagaimana dijelaskan oleh 16
Louis O. Kattsof, Pengantar Filsafat……, hal. 325. Bab 1, Ruang Lingkup Kajian Filsafat Nilai
|11
Kattsoff,17 yang disebut kepentingan. Perry juga berpendapat bahwa setiap objek yang ada dalam kenyataan maupun pikiran, setiap perbuatan yang dilakukan maupun yang dipikirkan, dapat memperoleh nilai jika berhubungan dengan subjek-subjek yang mempunyai kepentingan. F. Nilai Objektif dan Nilai Subjektif Pada prinsipnya nilai adalah semata-mata realitas psikologi yang harus dibedakan secara tegas dari kegunaan, karena terdapat dalam jiwa manusia dan tentunya tidak pada bendanya itu sendiri. Nilai itu oleh orang dianggap terdapat pada suatu benda sampai kemudian terbukti ketidakbenarannya. Maka menjadi wajar ketika nilai itu dibedakan antara nilai subjektif dan nilai objektif, atau ada yang membedakan berupa nilai perorangan dan nilai kemasyarakatan. Tetapi penggolongan yang terpenting adalah nilai ekstrinsik dan nilai intrinsik. Nilai ekstrinsik adalah berupa sifat baik dari suatu benda sebagai alat atau sarana untuk suatu hal lainnya (instrumental/contributory value), yakni nilai yang bersifat sebagai alat atau membantu. Sedangkan nilai intrinsik adalah sifat baik dari benda yang bersangkutan, atau sebagai suatu tujuan, ataupun demi kepentingan dari benda itu sendiri.18 Berdasarkan pertanyaan tentang, apakah nilai itu bersifat objektif atau subjektif, menurut The Liang Gie terdapat kepada dua jenis jawaban, yaitu; a. Menurut kaum subjektivisme, nilai itu sangat bergantung dan berkaitan dengan pengalaman manusia sebagai subjek. b. Sedangkan menurut kaum objektivisme, nilai itu adalah merupakan unsur-unsur yang berpadu pada realitas, Louis O. Kattsof, Pengantar Filsafat……, hal. 329. Rohiman Notowidagdo, Ilmu Budaya Dasar Berdasarkan alQur’an dan Hadits, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002, hal. 86. 17 18
12| Nilai dalam Wacana Filosofis
bersifat metafisik, objektif, dan bahkan aktif. Misalnya, ada definisi tentang keindahan yang dinyatakan sebagai nilai positif, intrinsik, dan diobjektifkan, yakni sebagai suatu kualitas yang ada dan terdapat pada benda.19 Bagi kelompok subjektif mereka menganggap bahwa pernyataan nilai menunjukkan pada perasaan atau berupa emosi dari sesuatu yang disukai atau tidak disukai. Tidak lebih dari itu; makan, minum, mendengar musik, melihat indahnya terbenam matahari, menikmati air terjun, hal ini dianggap bernilai, kenapa dianggap bernilai, karena pada persoalan-persoalan seperti ini dapat membangkitkan rasa senang serta dapat menimbulkan pengalaman-pengalaman yang disukai dan disenangi, bahkan dapat memuaskan rasa batin terhadap apa yang memberikan rasa senang dan rasa keindahan dari apa yang disenangi dan disukai. Menurut Lorens Bagus, pandangan ini menganggap bahwa nilai-nilai, seperti kebaikan, kebenaran, keindahan, tidak ada sama sekali dalam dunia real objektif, melainkan merupakan suatu perasaan-perasaan, sikap-sikap pribadi, dan merupakan penafsiran terhadap suatu kenyataan.20 Ada yang beranggapan bahwa, tidak ada nilai di luar suatu penghargaan seseorang terhadap nilai. Maka antara emosi dan kesadaran sangat diperlukan dalam rangka untuk adanya kebaikan dan pemahaman seseorang terhadap kebaikan itu. Kepuasan keinginan adalah merupakan nilai yang sesungguhnya, sesuatu yang memberikan kesan puas, tak lain adalah merupakan alat atau dengan kata lain adalah merupakan instrument. Dapat saja sesuatu benda dianggap benda itu berharga, namun belum tentu benda tersebut
19 The Liang Gie, Garisbesar Estetik (Filsafat Keindahan), Yogyakarta: Karya Yogyakarta, 1976, hal. 41-42. 20 Lorens Bagus, Kamus Filsafat, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2005, hal. 718.
Bab 1, Ruang Lingkup Kajian Filsafat Nilai
|13
bernilai.21 Mengutip pendapatnya Risieri Frondiz, nilai itu objektif ataukah subjektif adalah sangat tergantung dari hasil pandangannya yang muncul dari filsafat. Nilai akan menjadi subjektif, apabila subjek sangat berperan dalam segala hal, kesadaran manusia menjadi tolak ukur segalanya; atau eksistensinya, maknanya dan validitasnya tergantung pada reaksi subjek yang melakukan penilaian tanpa mempertimbangkan apakah ini bersifat psikis ataupun fisik. Dengan demikian nilai subjekif akan selalu memperhatikan berbagai pandangan yang dimiliki akal budi manusia seperti perasaan, intelektualitas dan hasil nilai subjektif akan selalu mengarah pada suka atau tidak suka, senang atau tidak senang.22 Sedangkan bagi kelompok objektif, mereka beranggapan bahwa nilai itu objektif karena terdapat di dunia empiris dan manusia harus menggalinya. Nilai-fakta kualitas atau kumpulan kualitas mengundang orang untuk melakukan suatu pertimbangan. Maka, sesuatu yang terpisah dari pengamatan menarik perasaan moral atau berupa perasaan keindahan. Seseorang mempunyai perhatian kepada benda-benda dan pengalamanpengalaman yang nampak kepadanya memiliki nilai, bukan perhatiannyalah yang menciptakan nilai. Dalam istilah awam mengekspresikan hal tersebut jika seseorang dapat mengatakan “lukisan yang indah dan menarik, dapat menawan hatiku”.23 Menurut Sidi Gazalba, mereka menganggap keindahan atau ciri-ciri yang menimbulkan suatu keindahan merupakan sifat yang melekat pada benda indah, apakah 21 Harol H. Titus, Marilyn S. Smith, Richard T. Nolan, Persoalanpersoalan Filsafat, Alihbahasa H.M. Rasjidi, Jakarta: Bulan Bintang, 1984, hal. 123-14. 22 Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004, hal. 64-65. 23 Harol H. Titus, Marilyn S. Smith, Richard T. Nolan, Persoalanpersoalan Filsafat……, hal. 124.
14| Nilai dalam Wacana Filosofis
seseorang mengamatinya atau tidak. Pengamatan hanyalah menemukan atau menyingkapkan kualitas indah yang sudah ada pada suatu benda yang sudah adanya dari sejak awal. Sebagai contoh misalnya; tentang atribut Tuhan, Tuhan itu maha kuasa, apakah diakui oleh manusia atau tidak. Maka bagi orang yang mengakuinya disebut sebagai orang beriman, sedangkan bagi yang menentang atau pun yang tidak mengakuinya disebut kafir. Akan tetapi yang perlu dipahami dan diketahui adalah, bahwa Tuhan itu sudah ada sebelum manusia itu ada, bahka adanya manusia disebabkan oleh adanya Tuhan atau karena Tuhan mengadakannya (menciptakannya). Tuhan menciptakan alam dan manusia, dan Tuhan menguasai keduanya, hal ini apakah diakui oleh manusia atau tidak. Maka kalau demikian halnya, bagi Gazalba kemudian menimbulkan pertanyaan, ciri-ciri apakah yang membuat suatu benda itu menjadi indah dan memiliki nilai, apa kualitas keindahan. Maka menurut kaum objektif; keindahan itu terjadi dengan pertimbangan antara bagianbagian yang ada pada benda dan nilai keindahan wujud yang melekat pada benda itu kalau dipenuhi asas-asas tertentu mengenai bentuk suatu benda.24 Maka nilai itu akan objektif, jika tidak tergantung pada subjek atau kesadaran yang menilai. Nilai objektif muncul karena adanya pandangan dalam filsafat tentang objektivisme. Objektivisme ini beranggapan pada tolak ukur suatu gagasan berada pada objeknya, sesuatu yang memiliki kadar secara realitas benar-benar ada.25 Menurut Lorens Bagus,26 bagi teori objektivisme nilai dapat terbagi dalam beberapa bagian, yaitu; 24 Sidi Gazalba, Islam dan Kesenian, Relevansi Islam dengan SeniBudaya Karya Manusia, Jakarta: Pustaka AlHusna, 1988, hal. 70-71. 25 Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004, hal. 65. 26 Lorens Bagus, Kamus Filsafat, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2005, hal. 716.
Bab 1, Ruang Lingkup Kajian Filsafat Nilai
|15
a. Teori objektivisme nilai adalah teori nilai yang menyatakan bahwa nilai-nilai, seperti nilai kebaikan, kebenaran, keindahan, keadilan, itu semua ada dalam dunia nyata dan dapat ditemukan sebagai entitasentitas, kualitas-kualitas, atau hubungan nyata, dalam bentuk yang sama sebagaimana dapat ditemukan objek-objek, kualitas-kualitas, atau berupa hubunganhubungan seperti meja, kursi, merah, hijau. b. Teori objektivitas nilai adalah merupakan suatu pandangan yang menyatakan bahwa nilai-nilai adalah objektif dalam arti bahwa nilai-nilai itu dapat didukung oleh argumentasi cermat dan rasional konsisten sebagai sesuatu yang terbaik dalam situasi itu. Selanjutnya bagi mereka yang menganggap dan berpendapat bahwa nilai itu objektif akan mengatakan bahwa keindahan dan kebaikan itu dihargai oleh semua pihak dan bahwa di antara orang-orang terpelajar dan kritikus terdapat kesempatan umum tentang pertimbangan nilai estetik. Bagi pengikut aliran objektivis akan mengatakan bahwa setelah perdebatan yang berlangsung beberapa tahun suatu Universal Declaration of Human Right telah disahkan oleh Sidang Umum Perserikatan BangsaBangsa. Mereka juga akan mengatakan bahwa kesepakatan tentang nilai-nilai fundamental mencerminkan kondisi fisik, psikologi, dan sosial serta keperluan manusia di mana saja. Jika nilai itu subjektif, ia akan hanya mencerminkan berupa keinginan, kepentingan atau kemauan seseorang. Tetapi meskipun nilai yang dicari itu bersifat kemasyarakatan, moral atau berdasarkan keindahan, maka pilihan orang akan tetap menjadi terbatas. Pribadi-pribadi dan golongangolongan yang menyimpang terlalu jauh dari norma-norma yang telah disetujui, cenderung untuk menghilangkan diri mereka dari “yang diakui”. Pengalaman dan latihan dalam
16| Nilai dalam Wacana Filosofis
bidang yang dinilai akan menjadikan seseorang lebih uniform.27 G. Letak Nilai Dalam buku Soejono Dirdjosiswono, Esesnsi Moralitas dalam Sosiologisme, sebagaimana dikutip oleh Cecep Sumarna, menjelaskan bahwa, pada sadarnya nilai itu terletak di antara persoalan intrinsik dan ekstrinsik. Nilai intrinsik merupakan nilai itu berada di dalam objek itu sendiri. Sedangkan nilai ekstrinsik adalah adanya nilai tergantung pada penghargaan subjek. Persoalan ini kemudian ternyata mempengaruhi pemikiran para filsuf, yang selanjutnya justeru melahirkan perdebatan, yaitu antara mereka yang menganggap bahwa ilmu itu bebas nilai karena ilmu memiliki nilainya sendiri, dan mereka yang menganggap bahwa nilai berdiri di luar ilmu dan karenanya, ilmu semestinya ditopang oleh nilai. Makanya nilai merupakan persoalan apresiasi, positif-negatif yang tergantung pada disposisi subjek serta hubungan antara subjek dengan objek. Perbedaan penghargaan terhadap objek serta hubungan terhadap objek akan sangat tergantung pada bakat, naluri, pendidikan, sejarah, ruang, waktu, selera, pengetahuan dan lain-lain. Selain itu, disposisi individu dipengaruhi oleh kebudayaan, agama, dan adat istiadat masyarakat.28 Apabila nilai ada pada barang secara objektif (tidak secara subjektif), maka tentunya tidak aka nada perbedaan nilai antara subjek-subjek. Air adalah benda cair, maka cairnya air itu objektif ada pada air. Bahwa air itu cair, tidak 27 Harol H. Titus, Marilyn S. Smith, Richard T. Nolan, Persoalanpersoalan Filsafat……, hal. 125. 28 Soejono Dirdjosiswono, Esensi Moralitas dalam Sosiologisme, Bandung: Mandar Maju, 1996, hal. 107. Lihat juga; Cecep Sumarna, Filsafat Ilmu, dari Hakikat Menuju Nilai, Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2004, hal. 122.
Bab 1, Ruang Lingkup Kajian Filsafat Nilai
|17
pernah ada perbedaan pendapat yang ditimbulkan dikarenakan air itu cair. Ada orang yang mengatakan jelek. Bahwa rambut itu hitam semua orang pasti akan setuju. Bahwa rambut panjang atau gondrong itu bagus, maka hal belum tentu semua orang akan setuju, maka di sini perbedaan pendapat akan terjadi, kenapa dapat terjadi, hal ini tidak lain, dikarenakan nilai itu tak lain karena ditentukan oleh subjek. Disposisi subjek itu bergantung lagi pada bakat, berdasarkan naluri pendidikan, sejarah, ruang dan waktu, selera, pengetahuan, cita-cita dan sebagainya. Disposisi masyarakat ditentukan oleh adat, kebudayaan atau agama. Disposisi individu dipengaruhi sekali oleh kebudayaan dan agama masyarakatnya.29 Nilai tidak aka nada dengan sendirinya atau nilai itu tidak berdiri sendiri, sebagaimana wujud dari suatu barang. Maka suatu barang tertentu ia akan tetap ada, walaupun manusia itu tidak ada, atau tidak ada manusia yang melihatnya. Bunga-bunga atau alam dengan pemandangan yang indah akan tetap ada, walaupun tidak ada mata yang memandang atau walaupun tidak ada manusia yang mengagumi keindahannya. Akan tetapi nilai itu menjadi tidak ada, kalau manusia tidak ada, atau tidak melihatnya. Karena nilai itu baru timbul, ketika terjadi suatu hubungan interaksi antara manusia sebagai subjek dan hal yang dilihat serta yang dinilai sebagai suatu objek. Setelah terjadinya kontak antara subjek dengan objek, baru setelahnya timbullah masalah nilai, perbedaan selera atau perbedaan sudut pandang yang didasarkan, apakah karena pengetahuan, pengalaman, dan sebagainya, maka menyebabkan perbedaan terhadap nilai. Perbedaan ini merupakan sumber dari perbedaan pandangan dan sikap, selanjutnya menuju kepada perselisihan, tantangan, Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat, Pengantar Kepada: Dunia Filsafat, Teori Pengetahuan, Metafisika, Teori Nilai, Jakarta: Bintang Bulan, hal. 484-485. 29
18| Nilai dalam Wacana Filosofis
bentrokan, kenapa hal semacam ini dapat terjadi, tak lain adalah karena di samping karena perbedaan sebab, juga dikarenakan perbedaan penilaian yang kemudian menjadi latar belakang. Maka untuk dapat disimpulkan; perbedaan selera adalah merupakan perbedaan hubungan antara subjek dengan objek, nilai tidak dapat berdiri sndiri (pada barang), nilai selalu berharga bagi seseorang (karena sifat hubungan subjek dan objek), dan nilai tidak diberikan oleh barang atau tindakan, akan tetapi oleh jiwa manusia. Walaupun nilai diciptakan oleh subjek, namun nilai juga memiliki kepribadian sendiri, ia tidak dapat diperlakukan oleh jiwa secara sewenang-wenang atau sekehendak hati. Di sini tersembunyi garis persamaan nilai pada individu dan kesatuan sosial, karena itulah kemudian orang dapat berkata tentang segi objektivitas nilai. Nilai diberikan kepada objek berdasarkan sifat ideal, nilai itu serba tetap, tapi objek kepada apa nilai itu dikaitkan dapat berubahubah. Misalnya; nilai indah itu serba tetap, nilai ini misalnya dilekatkan pada lukisan. Lukisan itu dapat berubah-ubah atau berbeda-beda, dan tentunya memang demikian adanya. Karena itulah, nilai itu dapat dipisahkan dari lukisan. Nilai baik dan buruk itu selalu tetap. Tetapi tindakan ke dalam mana nilai itu dimasukkan berbeda-beda. Nilai yang diberikan manusia kepada suatu objek, maka dihayatinya berdasarkan bahan-bahan yang dapat ditangkap.30 H. Alat Nilai Alat kebenaran adalah budi (pikiran) dengan kerjanya berpikir. Kebenaran sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, selalu menuntut persesuaian antara pengetahuan dengan objeknya. Yang menentukan pengetahuan itu benar atau salah, terletak pada fakta 30
Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat……, hal. 485-491. Bab 1, Ruang Lingkup Kajian Filsafat Nilai
|19
empiris dan hasil berdasarkan olah pikiran. Sementara itu, alat untuk menilai bukanlah budi, melainkan hati (perasaan) atau merasa. Apakah sesuatu dianggap bernilai atau tidak, semuanya yang memutuskan adalah perasaan.31 Apabila suatu pengetahuan itu dianggap benar, maka sudah pasti membawa kepuasan kepada pikiran dan batin, walaupun yang puas adalah budi, namun apabila mendapat nilai, maka puaslah perasaan, maka sampailah puas itu ke hati. Keputusan yang dihasilkan oleh budi dan hati tentunya tidak saling identik. Benar dan salah adalah putusan budi, baik dan buruk putusan hati, maka yang baik itu belum tentu benar dan yang benar belum tentu baik, sekalipun yang ideal adalah manakala yang baik sekalipun juga benar. Misalnya, tentang tidak sama antara yang baik dan yang benar. Menurut Sidi Gazalba,32 suatu putusan budi dan hati merupakan dua hal yang tidak indentik, benar dan salah merupakan putusan dari budi, sedangkan baik dan buruk merupakan putusan hati, maka yang baik itu belum tentu benar, demikian juga yang benar itu belum tentu baik. Antara budi dan hati selalu saling mempengaruhi, karena keduanya sering berinteraksi. Oleh karenanya, persesuaian antara budi dan hati melahirkan kemauan, yang menjadi pangkal lakuperbuatan. Sasaran budi adalah alam nyata, aktivitas kerjanya adalah berpikir. Pikiran membentuk pengetahuan, didasarkan pada hukum berpikir dalam rangka membentuk kebenaran. Karena berpikir dengan budi dengan berpangkal pada objek, maka disebut berpikir objektif. Sedangkan sasaran hati adalah alam ideal, aktivitasnya adalah merasa. Perasaan membentuk penghayatan, maka hukum rasa adalah membentuk nilai-nilai positif. Oleh karenanya
31 32
Soejono Dirdjosiswono, Esensi Moralitas dalam……, hal. 135. Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat……, hal. 4492-496.
20| Nilai dalam Wacana Filosofis
berpikir dengan budi yang berpangkal pada subjek, maka disebut sebagai berpikir subjektif. Pertumbuhan dan perkemabangan rasa dan pikir menentukan nilai-nilai, karena sistem nilai berbeda dengan pernbedaan masyarakat (bahkan individu) dan kebudayaan. Walau nilai ditentukan oleh rasa, namun piker juga ikut berperan, ia menyusun, mengatur bahan-bahan yang diterima oleh rasa. Peranan pikir sangat luas, meliputi menyelidiki, mempertimbangkan, memperbandingkan, mengatur dan menyimpulkan. Maka dengan demikian, menjadi jelas hubungan antara hati dan budi, jika hati baik maka akan baik budinya, selanjutnya akan baik juga kerjanya yakni berupa pemikiran, demikian juga sebaliknya. Berdasarkan penjelasan di atas, maka perlu untuk diperincikan rasa rohaniah berupa rasa-agama, rasa-etika, rasa-estetika, rasa-intelek, rasa-sosial, dan rasa-diri sendiri. Selanjutnya dapat juga diperincikan nilai-nilai itu dalam jenis, yaitu: a. Nilai agama, yaitu berhubungan dengan suruhan dan larangan Tuhan. b. Nilai etika, yaitu menyangkut soal baik dan buruk. c. Nilai estetika, yaitu menyangkut indan dan jelek. d. Nilai intelek, yaitu nilai yang berhubungan dengan logika dan pengetahuan. e. Nilai sosial, yaitu menyangkut hubungan antara manusia dengan pergaulan hidup. f. Nilai diri, yaitu berhubungan dengan masalah pribadi. Selanjutnya yang menjadi bagian lain sebagai alat nilai adalah dalam segi kebudayaan (di samping adat), sebagaimana diketahui, kebudayaan adalah perwujudan aktif nilai-nilai beserta hasilnya. Kebudayaan adalah kehidupan manusia, makanya kebudayaan bernilai dan nilai-nilai yang terkandung dalam kebudayaan beragam, nilai-nilai sosial, ekonomi, politik, pengetahuan, teknik, seni, filsafat. Agamapun diperlukan manusia, maka agama Bab 1, Ruang Lingkup Kajian Filsafat Nilai
|21
mengandung nilai. Agama setiap bidang dalam kebudayaan dan agama berbeda-beda, yaitu: a. Nilai sosial, interaksi antara pribadi dan masyarakat berkisar sekitar nilai baik atau buruk, pantas atau tidak pantas, semestinya atau tidak semestinya sopan santun atau kurang ajar. Nilai-nilai baik dalam masyarakat, yang dituntut pada setiap anggota masyarakat mewujudkannya, disebut susila atau moral. b. Nilai ekonomi, ekonomi merupakan hubungan antara manusia dengan benda. Benda diperlukan dan dianggap penting karena kegunaannya. Nilai ekonomi menyangkut nilai guna. c. Nilai politik, politik merupakan suatu pembentukan dan penggunaan kekuasaan. Maka nilai politik menyangkut nilai kekuasaan. d. Nilai pengetahuan, nilai ini menyangkut nilai kebenaran. e. Nilai seni, nilai seni ini menyangkut nilai bentuk-bentuk yang menyenangkan estetik. f. Nilai filsafat, nilai filsafat menyangkut nilai hakikat kebenaran bersama nilai-nilai itu sendiri. g. Nilai agama, yaitu yang menyangkut nilai ketuhanan (nilai kepercayaan, ibadat, ajaran, pandangan, dan sikat hidup serta amal), yang kesemuanya terbagi dalam baik dan buruk Perbedaan yang terjadi pada kebudayaan membawa perbedaan pada tataran tata nilai, perbedaan tersebut terjadi dikarenakan terjadi perbedaan pada pengalaman, sejarah, pemikiran, pengetahuan, cita-cita, lingkungan, pendeknya adalah terjadinya perbedaan cara hidup. Demikian juga yang terjadi dalam perbedaan kepercayaan (agama) yang dianut oleh manusia, maka akan terjadi perbedaan sudut pandang dalam segi baik dan buruk. Maka dalam kehidupan manusia, terdapat dua alat (sumber) nilai, yaitu: 22| Nilai dalam Wacana Filosofis
1. Akal pikiran, yaitu yang berpangkal pada manusia, yang diwujudkan melalui filsafat. 2. Naqal, yaitu yang berpangkal dari Tuhan, yang perwujudannya melalui agama. Akal itu pada manusia, berbeda-beda dan bersifat nisbi, untuk itu nilai tersebut berbeda-beda sejalan dengan perbedaan yang ditimbulkan oleh filsafat. Sedangkan naqal (wahyu) itu satu dan serba tetap, bersifat mutlak, mengatasi ruang dan waktu.33 I. Hierarki Nilai Sebagaimana disampaikan oleh Kaelan dalam bukunya,34 persoalan nilai, ternyata menimbulkan berbagai macam pendapat, bahkan menimbulkan berbagai macam aliran. Demikian juga lahir berbagai macam pandangan, yang kesemuanya itu tergantung pada titik tolak dan sudut pandangnya masing-masing dalam menentukan apakah tentang pengertian serta hierarki nilai. Semisal pandangan yang dikemukakan oleh kaum materialis, yang menyatakan bahwa nilai tertinggi adalah materi, untuk itu, pada hakikatnya segala sesuatu itu bernilai, hanya saja nilai macam apa yang ada serta bagaimana hubungan nilai tersebut dengan manusia. Banyak usaha yang dilakukan dalam rangka untuk mengolong-golongkan nilai dan penggolongan tersebut melahirkan beranekaragam pandangan, tergantung pada sudut pandang dalam rangka penggolongan tersebut. Max Scheler mengemukakan bahwa nilai-nilai yang ada, tidak sama luhurnya dan sama tingginya. Nilai-nilai itu pada secara nyatanya ada yang lebih tinggi dan ada yang lebih rendah dibandingkan dengan nilai-nilai lainnya. Sidi Gazalba, Masyarakat Islam, Pengantar Sosiologi dan Sosiografi, Jakarta: Bulan Bintang, 1976, hal. 218-219. 34 Kaelan, Pendidikan Pancasila……, hal. 88-89. 33
Bab 1, Ruang Lingkup Kajian Filsafat Nilai
|23
Menurut tinggi rendahnya, nilai-nilai dapat kelompokkan dalam empat tingkatan sebagai berikut, yaitu: 1. Nilai-nilai kenikmatan, dalam tingkatan ini terdapat deretan nilai-nilai yang mengenakkan dan yang tidak mengenakkan (die wertreihe des angenehmen und unangehmen), yang menyebabkan orang menjadi senang atau menderita tidak mengenakkan. 2. Nilai-nilai kehidupan, dalam tingkatan ini terdapat nilainilai yang penting dalam kehidupan (werte des vitalen fuhlens), misalnya kesehatan, kesegaran jasmani, kesejahteraan umum. 3. Nilai-nilai kejiwaan, dalam tingkat ini terdapat nilainilai kejiwaan (geistige werte) yang sama sekali tidak tergantung dari keadaan jasmani maupun lingkungan. Nilai-nilai semacam ini adalah berupa keindahan, kebenaran, keadilan, dan pengetahuan murni yang dicapai dalam filsafat. 4. Nilai-nilai kerohanian, dalam tingkatan ini terdapatlah modalitas nilai dari yang suci dan tidak suci (wermodalitas des heiligen ung unheiligen), nilai-nilai semacam ini terutama terdiri dari nilai-nilai pribadi. Walter G. Everet menggolong-golongkan nilai-nilai manusiawi kepada delapan kelompok, yaitu: 1. Nilai-nilai ekonomis, yang ditujukan kepada harga pasar dan meliputi semua benda yang dapat dibeli. 2. Nilai-nilai kejasmanian, yang ditujukan kepada kesehatan, efesiensi dan keindahan dalam kesehatan badan. 3. Nilai-nilai hiburan, yang ditujukan kepada permainan dan waktu senggang yang dapat menyumbangkan pada pengayaan kehidupan. 4. Nilai-nilai sosial, berasal mula dari keutuhan kepribadian dan sosial yang diinginkan. 5. Nilai-nilai watak, keseluruhan dari keutuhan kepribadian dan sosial yang diinginkan. 24| Nilai dalam Wacana Filosofis
6. Nilai-nilai estetis, berupa nilai-nilai keindahan dalam alam raya ini serta yang berhubungan dengan nilai seni. 7. Nilai-nilai intelektual, yaitu nilai-nilai pengetahuan dan pengajaran kepada suatu kebenaran. 8. Nilai-nilai keagamaan. Selanjutnya persoalan nilai-nilai ini juga disampaikan oleh Notonogoro, menurut Notonogoro nilai terbagi kepada tiga macam, yaitu: 1. Nilai material, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi kehidupan jasmani manusia, atau berupa keperluan material ragawi manusia. 2. Nilai vital, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi manusia dalam rangka untuk dapat mengadakan berupa kegiatan atau aktivitas. 3. Nilai kerohanian, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi rohani manusia, nilai kerohanian ini dapat dibedakan lagi atas empat macam, yaitu: a. Nilai kebenaran, yaitu nilai yang bersumber pada akal budi manusia (rasio, budi, cipta). b. Nilai keindahan atau nilai estetis, yang bersumber pada unsure perasaan manusia. c. Nilai kebaikan atau nilai moral, yaitu nilai yang bersumber pada unsur kehendak manusia (will, wollen, karsa). d. Nilai religius, yaitu yang merupakan nilai kerohanian tertinggi dan bersifat mutlak. Nilai religius ini bersumber kepada kepercayaan dan keyakinan manusia. Menurut Sandin, apabila dilihat dari sifatnya, nilai dapat digolongkan menjadi beberapa golongan, yaitu: 1. Nilai yang memiliki sifat relatif stabil dan bertahan dari waktu ke waktu mengikuti kelangsungan hidup sistem sosial budaya masyarakat yang bersangkutan. 2. Nilai sebagai suatu bentuk keyakinan, memiliki komponen kognitif, afektif, dan psikomotrik. Bab 1, Ruang Lingkup Kajian Filsafat Nilai
|25
3. Nilai memiliki dua kategori utama, yaitu nilai instrumental dan nilai terminal. Nilai instrumental adalah nilai yang menyangkut gaya perilaku yang dipandang sebagai nilai yang sesuai atau bernilai atau berharga. Sementara nilai terminal adalah nilai yangthe end state, dimana nilai-nilai instrumental menjadi bermakna. 4. Nilai-nilai disusun atau diorganisasikan ke dalam suatu sistem nilai, yang menjadi keyakinan mengenai polapola hidup manusia yang terus berkembang sesuai dengan perkembangan budayanya. Menurut Sutan Takdir Alisjahbana, sebagaimana mengikuti filsuf dan pedagog Jerman Eduard Spranger (1882-1963), bagi Takdir nilai bertolak dari enam gugus nilai, yaitu: 1. Nilai-nilai teoritis atau gugus nilai ilmu pengetahuan. Penilaian teoritis mengikuti tolak ukur benar-salah. Yang bernilai positif adalah berupa kebenaran, dan yang bernilai negative adalah berupa kekeliruan. 2. Nilai-nilai ekonomis atau gugus nilai-nilai ekonomi. Sesuatu itu akan bernilai secara ekonomis tergantung dari apakah sesuatu itu menguntungkan atau tidak menguntungkan, atau malahan merugikan. Jadi, kriterianya adalah berupa untung atau rugi. 3. Nilai-nilai religius atau gugus nilai agama. Nilai religius tertinggi adalah yang Kudus. Maka lawan dari yang Kudus adalah yang profan. 4. Nilai-nilai estetik atau gugus nilai seni. Penilaian estetik adalah mengenai indah-tidaknya sesuatu. Yang indah dianggap bernilai positif dan yang jelek atau tidak indah dianggap bernilai negatif. 5. Nilai-nilai politis atau gugus nilai kuasa. Dalam dimensi nilai-nilai politis yang bernilai positif adalah berupa kekuasaan, dan yang bernilai negatif adalah ketertundukan. 26| Nilai dalam Wacana Filosofis
6. Nilai-nilai sosial atau gugus nilai solidaritas. Inilah berupa nilai-nilai yang menentukan apa yang positif dan apa yang negatif dalam hubungannya dengan orang lain. Kriterianya adalah baik-buruk, juga solider-egois. Bagi Sutan Takdir Alisjahbana, enam nilai itu melalui pelbagai konfigurasi, menentukan sistem nilai atau berupa sistem moral khas setiap kepribadian, setiap kelompok sosial, dan juga setiap kebudayaan. Dalam pengertian ini, nilai-nilai merupakan kekuatan-kekuatan integratif manusia, masyarakat, dan budaya.35 Menurut Franz Magnis Suseno, buku utama Takdir adalah Value as Integrating Force, yang mau merintis sebuah ilmu menyeluruh tentang manusia, menguraikan peran kunci konstelasi nilai-nilai itu dalam tiga dimensi realitas manusia yang sekaligus merupakan “tiga proses etis”, yaitu dalam pembentukan kepribadian, dalam kehidupan sosial masyarakat, dan dalam kebudayaan. Pengintegrasian keenam nilai tersebut menentukan keutuhan manusia dalam tiga dimensi itu: dalam dimensi karakter individual diharapkan tercapai integrasi personal. Integrasi kepribadian itu menurut Takdir harus tercapai pada tiga pusat manusia, dalam kehidupan instingtual, emosional, dan intelektua. Jadi, perlunya tercapai integrasi vital, integrasi hati, dan integrasi budi.36 Menurut J. De. Finance, filsuf Perancis, membagi nilai-nilai berdasarkan kaitannya dengan aspek spiritual manusia. Menurut De Finance, semakin tinggi dan baik salah satu nilai, maka semakin berkaitlah ia dengan aspek spiritual manusia yang lebih tinggi. Beberapa pembagian nilai menurut De Finance, yaitu:
35 Franz Magnis Suseno, Pijar-pijar Filsafat, dari Gotholoco ke Filsafat Perempuan, dari Adam Muller ke Postmodernisme, Yogyakarta: Kanisius, 2005, hal. 135. 36 Franz Magnis Suseno, Pijar-pijar Filsafat……, hal. 136.
Bab 1, Ruang Lingkup Kajian Filsafat Nilai
|27
1. Nilai-nilai pra-manusiawi (pra human). Yang berlaku untuk manusia tetapi tidak membuatnya manusiawi (nilai-nilai hedonis dan biologis). 2. Nilai-nilai manusia par-moral (human value par-moral), berkaitan dengan kepentingan sosial atau kultural yaitu: nilai-nilai ekonomi, intelektual, nilai-nilai estetis. 3. Nilai-nilai moral (moral value), meliputi nilai-nilai yang merupakan tindak pelaksanaan kebebasan dalam realisasinya terhadap kewajiban (duty) dan kebaikan. 4. Nilai-nilai spiritual dan religius: nilai-nilai dalam lingkup yang “suci” dan “Tuhan”. Eric Fromm, membagi nilai ke dalam dua ringkasan yang sangat padat, yaitu sebagai berikut: 1. Nilai-nilai ekonomis, yaitu nilai-nilai yang menyangkut dunia/lingkup “having” (pemilikan): keberadaan di dunia dengan kecenderungan atau memiliki semua. 2. Nilai-nilai entitatif, yaitu nilai-nilai yang menyangkut dunia being. Nilai ini dasariah demi eksistensi sama dengan being sebagai ruang keberadaan di dunia dengan nilai-nilai yang mengembangkan pribadi.37 Menurut Kaelan, masih banyak lagi cara pengelompokan nilai, misalnya seperti yang dilakukan oleh N. Rescher, yaitu pembagian nilai berdasarkan pembawa nilai, hakikat keuntungan yang diperoleh, dan hubungan antara pendukung nilai dan keuntungan yang didapatkan. Begitu juga dengan pengelompokan nilai yang menjadi nilai intrinsik dan nilai ekstrinsik, nilai ojektif dan nilai subjektif, nilai positif dan nilai negative (disvalue) dan sebagainya. Berdasarkan uraian mengenai macam-macam nilai tersebut, dapat dikemukakan bahwa yang mengandung nilai itu bukan hanya sesuatu yang berwujud material saja, akan 37 FX. Mudji Sutrisno, Determinisme sebagai Antitese Kebebasan dan Fenomenologi Nilai, dalam Manusia dalam Pijar-Pijar Kekayaan Dimensinya, Editor FX. Mudji Sutrino, Yogyakarta: Kanisius, 1993, hal. 8889.
28| Nilai dalam Wacana Filosofis
tetapi juga sesuatu yang berwujud non-material atau immaterial. Bahkan sesuatu yang immaterial itu dapat mengandung nilai yang sangat tinggi dan mutlak bagi manusia. Nilai-nilai material relatif lebih mudah untuk diukur, yaitu dengan menggunakan alat indera maupun dengan alat pengukur seperti berat, panjang, luas, tinggi, dan sebagainya. Sedangkan nilai kerohanian/spiritual lebih sulit untuk mengukurnya. Dalam menilai hal-hal kerohanian/spiritual, yang menjadi alat ukurannya adalah berupa hati nurani manusia yang dibantu oleh alat indera, cipta, rasa, karsa dan berupa keyakinan manusia. Selain nilai-nilai yang dikemukakan oleh para tokoh aksiologi tersebut yang menyangkut tentang wujud macamnya, nilai-nilai tersebut juga berkaitan dengan tingkatan-tingkatannya. Hal ini dapat dilihat secara objektif karena nilai-nilai tersebut menyangku segala aspek kehidupan manusia. Ada sekelompok nilai yang memiliki kedudukan atau hierarki yang lebih tinggi dibandingkan dengan nilai-nilai lainnya ada yang lebih rendah bahkan ada tingkatan nilai yang bersifat mutlak. Namun demikian, hal ini sangat tergantung pada filsafat dari masyarakat atau bangsa sebagai subjek pendukung nilai-nilai tersebut. Bagi negara yang paham keagamaannya masih kental, maka nilai-nilai religius merupakan suatu nilai yang tertinggi dan mutlak, sedangkan suatu bangsa yang menganut paham sekuler, nilai yang tertinggi adalam berupa akal pikiran manusia, sehingga ketuhanan di bawah otoritas pemikiran dan akal manusia.38 J.
Nilai Dasar, Nilai Instrumental, dan Nilai Praktis Menurut Kaelan39 dalam bukunya Pendidikan Pancasila, dalam kaitannya dengan derivasi atau berupa 38 39
Kaelan, Pendidikan Pancasila……, hal. 90. Kaelan, Pendidikan Pancasila……, 91-92. Bab 1, Ruang Lingkup Kajian Filsafat Nilai
|29
penjabarannya, maka nilai-nilai dapat dikelompokkan menjadi tiga macam, yaitu nilai dasar, nilai instrumental, dan nilai praksis. Hal tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: a. Nilai dasar. Nilai berdasarkan realisasi sangat berhubungan dengan tingkah laku manusia dan bersifat nyata, namun nilai tetap memiliki nilai dasar (ontologism), yaitu merupakan hakikat, esensi, intisari atau makna yang terdalam nilai tersebut. Nilai dasar universal sifatnya karena menyangkut hakikat kenyataan objektif segala sesuatum misalnya hakikat Tuhan, manusia atau segala sesuatu lainnya. Jika nilai dasar ini berkaitan dengan hakikat Tuhan, maka nilai ini bersifat mutlak karena hakikat Tuhan adalah kausa prima (sebab pertama), sehingga segala sesuatu diciptakan (berasal) dari Tuhan. Demikian juga bila nilai dasar itu berkaitan dengan hakikat manusia, maka nilai tersebut bersumber pada hakikat kodrat manusia, jika nilai ini dijabarkan pada tataran hukum kemanusiaan, maka kemudian diistilah sebagai hak dasar atau hak asasi, demikian juga jika dikaitkan dengan hakikat suatu benda dan lain-lain. Nilai dasar ini dapat juga disebut sebagai sumber norma yang kemudian direalisasikan dalam kehidupan bersifar praksis. b. Nilai instrumental. Dalam rangka untuk merealisasikan dalam suatu kehidupan praksis maka nilai dasar di atas harus memiliki suatu formulasi serta parameter atau ukuran yang jelas. Maka nilai instrumental ini merupakan suatu pedoman yang dapat diukur dan dapat diarahkan. Apabila nilai instrumental ini berkaitan dengan kehidupan manusia secara real dalam kehidupan sehari-hari, maka menjadi suatu norma moral, namun jika berkaitan dengan suatu organisasi atau negara, maka nilai-nilai instrumental merupakan suatu arahan, kebijaksanaan atau strategi yang 30| Nilai dalam Wacana Filosofis
bersumber pada nilai dasar, jadi dapat juga dikatakan bahwa nilai istrumetal ini merupakan suatu eksplitasi dari nilai dasar. c. Nilai praksis. Nilai ini merupakan penjabaran selanjutnya dari nilai instrumental dalam suatu kehidupan yang nyata. Sehingga nilai ini merupakan suatu perwujudan dari nilai tersebut. Walaupun memungkinkan berbeda pada wujudnya, namun tidak dapat menyimpang atau bahkan tidak dapat bertentangan, dikarenakan adalah nilai dasar, nilai instrumental, dan nilai praktis merupakan suatu sistem perwujudannya yang tidak boleh menyimpang dari sistem tersebut.
K. Tingkat dan Pembagian Nilai Menurut Sidi Gazalba,40 nilai itu bertingkat-tingkat. Dalam susunannya, yang satu selalu akan berhubungan dengan yang lain atau demikian juga sebaliknya. Yang baik berhubungan dengan yang bagus, yang jahat berhubungan dengan benci. Yang baik berlawanan dengan yang buruk, dan yang indah berlawanan dengan yang jelek. Dalam kenyataan tingkat-tingkat tersebut tidak ada, ia bersifat ideal, dengan demikian, maka tingkat-tingkat itu ada dalam rohani manusia. Nilai memberikan kehidupan batin dan makna kehidupan, tanpa itu semua tindakan dan semua barang akan sama saja, karena sama adanya. Kehidupan batin berlangsung karena di belakang wujud tindakan, barang dan peristiwa, manusia menghadapi nilai-nilai, tindakan barang dan peristiwa itu baru member makna kepada kepada kehidupan manakala dipandang dari segi nilai agama dan kebudayaan.
40
Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat……, hal. 498-510. Bab 1, Ruang Lingkup Kajian Filsafat Nilai
|31
Nilai memaksa orang mengarah kepadanya. Nilai etika memaksa orang berlaku-berbuat kepadanya. Nilai guna barang memaksa manusia untuk memilikinya. Maka dipandang berdasarkan subjek yang bertindak dan menilai, apabila nilai yang bersangkutan bersifat etika, maka kita harus berbuat demikian, maka nilai itu memanggil kita. Susunan nilai etika umumnya terbagi kepada dua bagian, yaitu baik dan buruk. Demikian pula nilai agama, nilai baik dan buruk dalam agama identik dengan pahala dan dosa, nilai pahala dan dosa di akhirat nanti diwujudkan dalam bentuk surge dan neraka. Islam dating dengan tingkattingkat nilai yang lebih banyak dan ini memberikan gerak kepada muslim lebih luas dalam pilihan. Maka dalam Islam memiliki lima tingkat nilai Islam, yaitu; 1. Fardhu atau wajib. Yaitu sesuatu yang wajib, mesti, tidak boleh tidak. Bagi yang mengerjakannya akan mendapatkan pahala dan bagi yang meninggalkannya akan berdosa, bahkan akan celaka di dunia. Dalam kehidupan sehari-hari malah yang fardhu menjadi suatu keutamaan dan pujian, apabila ditinggalkan akan mendapatkan celaan dan apabila dikerjakan akan mendapat pujian. Jadi, nilai fardhu itu adalah baik. 2. Sunnat atau mandup. Dapat diartikan juga sebagai menurut jalan yang seharusnya atau patut. Bagi yang melakukannya mendapat pahala, bagi yang meninggalkannya tidak berdosa. Nilainya adalah setengah baik. 3. Mubah atau jaiz atau halal. Dapat diartikan boleh, tidak ada halangan. Tidak ada perintah yang menyuruhnya atau bahkan yang melarang dan mencegahnya. Mubah itu berhubungan dengan laku suatu perbuatan, halal itu mengenai barang. Dalam melaksanakan sesuatu yang berhubungan dengan mubah tidak ada ganjaran apaapa, boleh dikerjakan dan boleh ditinggalkan. Nilainya adalah netral (hampa nilai) 32| Nilai dalam Wacana Filosofis
4. Makruh. Nilai ini dapat dikatakan tidak disukai, boleh dikerjakan tapi alangkan baiknya ditinggalkan, artinya kalau dikerjakan tidak berdosa, namun apabila ditinggalkan mendapat pahala. Nilainya adalah setengah buruk. 5. Haram. Nilai ini haram untuk dikerjakan, apabila mengerjakannya akan berdosa dan apabila ditinggalkan akan mendapat pahala. Maka nilainya adalah buruk bahkan sangat buruk. Demikianlah tingkat nilai-nilai Islam dan perwujudannya dalam kehidupan pemeluknya yang hidup dalam tata nilai Islam. Di samping itu, juga dikenal dengan beragam tata nilai lainnya, antara lain adalah; 1. Nilai saling tantang, yaitu nilai ini dapat dikelompokkan dalam dua-dua bagiannya dengan saling tantang, misalnya; nilai dan tidak bernilai, seperti baik-buruk, indah-jelek, manfaat-mudharat, sopan-kurang ajar, nikmat-siksaan. a. Nilai keorangan dan kebendaan. Nilai keorangan hanya dapat peruntukkan kepada orang-orang secara individual saja, seperti setia, pengasih, pembenci, curang, terpelajar, pendendam, jujur, egois, cemburu dan sebagainya. Sedangkan nilai kebendaan hanya diruntukkan bagi barang-barang saja, misalnya; kemudahan, mewah, bagus, mahal, indah, dan sebagainya. b. Nilai sendiri. Yaitu nilai yang terletak pada dirinya sendiri, yang diperuntukkan tidak hanya orang, namun juga kepada barang. c. Nilai individual dan nilai sosial. Nilai yang dianut oleh seorang individu menjadi berbeda nilai yang dianut sebagian besar anggota masyarakat, nilai yang dianut secara sendiri-sendiri disebut nilai individual, sedangkan nilai-nilai yang dianut oleh sebagian besar anggota masyarakat disebut nilai sosial. Bab 1, Ruang Lingkup Kajian Filsafat Nilai
|33
d. Nilai pinjaman atau turunan, nilai ini karena ada keterkaitan dengan nilai lain, dan berlawanan dengan nilai sendiri. Nilai ini pula dikatakan pada sesuatu yang bagi seseorang memiliki kegunaan tertentu. Misalnya; uang kertas, karena dianggap bernilai karena dengan kertas tersebut dapat mendapatkan barang yang lain, sehingga nilai yang ditimbulkan oleh kertas tersebut dapat ditukarkan dengan benda lainnya. Contoh yang lain, misalnya giro dapat bernilai karena uang yang ada dalam rekening, cangkul dapat bernilai untuk membajak sawah, mobil bernilai karena perlu untuk pengangkutan, dan sebagainya. e. Nilai pancaran. Nilai ini terpancar secara khusus pada bagian-pagiannya, yang pada hakikatnya sudah memiliki nilai. Misalnya, badan pemerintahan mempunyai nilai tersendiri, pegawainya memiliki nilai yang terpancar dari dinas tempat mereka bekerja atau dinas yang diwakilinya. Contoh yang lain, misalnya pegawai kantor gubernur, mereka merasa nilainya tersendiri, bahkan dapat menjadi kebanggaan tersendiri ketika bertemu dengan pegawai dari dinas yang lain, atau bertemu dengan pegawai dari kantor bupati atau walikota. 2. Nilai pancaran indera. Nilai pancaran indera ini terbagi kepada nilai nikmat, nilai hidup, dan nilai guna. a. Nilai nikmat atau hedonismee. Nilai ini tergantung pada nilai kenikmatan dan kepuasan rasa dalam suatu tindakan yang dilakukan oleh manusia. Suatu tindakan dikerjakan serta dilaksanakan sematamata berdasarkan rasa nikmat, apabila tidak memberikan nilai kenikmatan maka dianggap tidak bernilai. Bagi penganut nilai ini, rasa puas atau kenikmatan dan bahagia disamakan. Kebahagiaan menenangkan manusia. 34| Nilai dalam Wacana Filosofis
b. Nilai vitalisme atau nilai serbahidup. Bagi penganut vitalisme beranggapan bahwa, yang bernilai adalah yang mencerminkan kekuatan dalam hidup manusia, manusia yang kuasa adalah manusia yang baik, sekalipun kekuasaan dan kekuatan itu dipergunakannya untuk menaklukkan orang lain yang lemah. c. Nilai serbaguna atau utilitarisme. Nilai yang dianggap baik oleh utilitaris adalah yang berguna atau yang bermanfaat. Ada juga utiliarisme pribadi yaitu ukuran kegunaan berdasarkan pribadi, dan ada juga utilitarisme sosial yaitu nilai kegunaan berdasarkan masyarakat dan Negara, hal ini dapat diamati dan dipahami bahwa kecenderungan penentuan nilai pada kegunaan dan manfaat. d. Nilai pragmatisme. Aliran ini menjadi bagian dari utiletarisme, dan berkembang di Amerika Serikat dan digolongkan orang ke dalam filsafat hidup. Menurut pragmatisme, segala sesuatu dianggap bernilai adalah menentukan kegunaan yang praktis dan manfaat yang praktis sebagai ukuran perkembangan kehidupan manusia. Dapat juga dikatakan sebagai serbapraktis, yang benar adalah yang berguna, kegunaan dan kemanfaatan merupakan satu-satunya ukuran dan hakikat kebenaran. 3. Nilai yang berguna, pemahaman ini lebih kea rah Islam, di mana di dunia Islam ada yang memahami bahwa, yang benar adalah yang berguna, hal ini membawa kepada ajaran iman dan amal saleh. Amal saleh adalah berupa tindakan dan perbuatan yang taat kepada Allah, sedangkan iman intinya adalah tauhid, keyakinan kepada Allah. Tuhan menyeru hamba-Nya berbuat dan berlaku kepada perbuatan yang baik dan berguna dan melarang untuk berbuat kejahatan. Tuhan adalah Maha Benar, maka tindakan yang benar adalah tindakan Bab 1, Ruang Lingkup Kajian Filsafat Nilai
|35
menurut suruhan-Nya, dan tindakan itu pasti berguna dan bermanfaat bagi hamba yang melakukannya. 4. Nilai berdasarkan pandangan manusia. Menurut Islam sesuatu yang yang dipandang berguna oleh manusia belum tentu benar, karena manusia adalah makhluk Tuhan yang nisbi. Yang benar bagi seseorang belum tentu benar bagi orang lain, yang benar pada suatu waktu, belum tentu benar pada waktu yang lain. Sekalipun menghasilkan kegunaan bagi yang melakukan, belum tentu benar bagi masyarakat, bagi umat manusia dan seterusnya. Oleh karenanya, kebenaran hanya ada pada Tuhan dan hanya milik Tuhan. Tuhan menyuruh manusia berbuat sesuatu, pasti sesuatu itu ada manfaat dan kegunaan bagi manusia seutuhnya. 5. Nilai-nilai rohani, nilai ini dapat dibagi kepada; nilai logika, nilai estetika, nilai etika, dan nilai agama. a. Nilai logika atau nilai keilmuan. Pengetahuan, penelitian, putusan, penuturan, pembahasan, teori atau cerita dapat mengandung nilai logika dan tentunya dapat tidak. Sebuah karya ilmiah, harus mengandung nilai logika, karena logika menjadi metode berpikir dalam ilmu. Sebagaimana pengalaman suatu ilmu, kritik yang pertama terhadap suatu ilmu, biasanya akan dipertanyakan; apakah ia mengandung nilai kebenaran atau tidak, kalau kemudian dinyatakan tidak, maka dianggap belum memenuhi ukuran atau persyaratan suatu ilmu. Masyarakat yang warganya menjunjung tinggi nilai ini. Pada umumnya berkembang dan cepat maju. Walaupun kegiatan pendidikan dan proses belajar ada di dalam setiap masyarakat, namun nyatanya tidak semua masyarakat sama tingkat kemajuannya. Hal ini disebabkan oleh kadar penghargaan mereka terhadap nilai keilmuan tidak sama. Pikirkanlah, mengapa bangsa Jepang, Jerman, 36| Nilai dalam Wacana Filosofis
dan bangsa Barat mampu menguasai perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, sementara kita jauh tertinggal? b. Nilai estetika. Nilai ini selalu disangkutpautkan dengan suatu hasil karya manusia, nilai ini berupa; keindahan. Maka suatu bentuk yang menyenangkan dari hasil karya manusia biasanya mengandung nilai tersebut. Nilai estetika berhubungan dengan ekspresi perasaan atau isi jiwa seseorang mengenai keindahan. Setiap orang memiliki penghayatan yang berbeda terhadap keindahan. Ada orang yang penghayatan estetikanya disalurkan lewat gambar, sastra, arsitektur, tari-tarian, musik dan nyanyian, ukir-ukiran, dan tata warna. Hampir semua aspek kehidupan manusia diwarnai oleh nilai estetika. Setiap kali membeli tas, buku, dan pakaian baru, salah satu pertimbangan pilihan Anda adalah keindahan penampilannya. Bahkan, cara orang berbicara pun tidak terlepas dari unsur nilai keindahan. c. Nilai etika. Nilai etika hanya diperuntukkan kepada manusia saja. Nilai etika pada prinsipnya bersifat memaksa, karena memaksa seseorang mengarah kepadanya. Sebagai contoh, mencuri itu jahat, dan bagi orang yang melakukan mencuri, orang tersebut dapat dihukum, apalagi sampai dapat meresahkan suatu masyarakat. Oleh karenanya, manusia sampai diwajibkan bahkan dipaksa untuk tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat meresahkan masyarakat. Nilai etika adalah segala sesuatu yang menyangkut perilaku terpuji. Dalam kehidupan sehari-hari kita sering menyebutnya dengan istilah tatakrama atau sopan-santun. Nilai etika disebut juga nilai watak atau nilai kepribadian. Nilai watak tercermin pada sikap adil, kejujuran, keberanian bertindak, dan kemampuan mengontrol diri. Bab 1, Ruang Lingkup Kajian Filsafat Nilai
|37
Misalnya, orang yang menjunjung nilai watak tidak akan mengingkari janji yang ia sepakati. Ukuran terpuji atau tidaknya sesuatu, bergantung penilaian masyarakat yang bersangkutan. Secara umum, perilaku suka menolong dan rela berkorban demi orang lain dianggap terpuji. Anda akan mendapat pujian dari orang lain, karena telah melakukan perbuatan yang baik atau mulia. Anda akan dicela orang lain, apabila melakukan tindakan yang tercela. Hal tersebut menunjukkan, bahwa dalam pergaulan hidup bermasyarakat ada nilai etika yang berperan mengendalikan perilaku kita. Dalam berbicara, berpakaian, makan, berlalu-lintas, bertamu, dan perbuatan lainnya, semua dikendalikan oleh nilai etika. a. Nilai agama. Nilai ini, segala sesuatu dapat dianggap bernilai, apabila tindakan dan perbuatannya sesuai dengan pandangan suatu agama. Baik dan buruk suatu perbuatan berdasarkan baik atau tidaknya dalam pandangan suatu agama yang dianut oleh seseorang. Nilai religius berkaitan dengan kepercayaan terhadap Tuhan. Hanya orang atheis yang tidak percaya akan adanya kekuatan Tuhan. Setiap agama dan kepercayaan meyakini adanya kekuatan Tuhan. Keyakinan itu berpengaruh terhadap perilaku manusia. Sehingga, secara umum orang berpedoman pada ajaran-ajaran yang diyakini berasal dari Tuhan. Tuhan mengajak kepada kebaikan dan keselamatan. Apabila Anda selalu berbuat baik, suka membantu sesama, tidak menyakiti orang lain, dan patuh menjalankan perintah agama dengan didasari keyakinan bahwa itu semua akan dibalas dengan pahala dari Tuhan, maka Anda telah berpedoman pada nilai-nilai religius. 38| Nilai dalam Wacana Filosofis
Daftar Rujukan Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004. Dudung Rahmat Hidayat, Mulyadi, Hakikat dan Makna Nilai, Makalah Mata Kuliah Pendidikan Nilai dalam Pendidikan Umum, pada Program Pendidikan Umum, Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia, 2006. Franz Magnis Suseno, Pijar-pijar Filsafat, dari Gotholoco ke Filsafat Perempuan, dari Adam Muller ke Postmodernisme, Yogyakarta: Kanisius, 2005. FX.
Mudji Sutrisno, Determinisme sebagai Antitese Kebebasan dan Fenomenologi Nilai, dalam Manusia dalam Pijar-Pijar Kekayaan Dimensinya, Editor FX. Mudji Sutrino, Yogyakarta: Kanisius, 1993.
H.A. Fuad Ihsan, Filsafat Ilmu, Jakarta: Rieneka Cipta, 2010. Harol H. Titus, Marilyn S. Smith, Richard T. Nolan, Persoalanpersoalan Filsafat, Alihbahasa H.M. Rasjidi, Jakarta: Bulan Bintang, 1984. J. Sudarminta, Kata Pengantar, dalam buku Nilai, Etika Aksiologi Max Scheler, Yogyakarta: Kanisius, 2004. Kaelan, Pendidikan Pancasila, Proses Reformasi UUD Negara Amandemen 2002, Pancasila sebagai Sistem Filsafat, Pancasila sebagai Etika Politik, Paradigma Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara, Yogyakarta: Paradigma, 2004. Lorens Bagus, Kamus Filsafat, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2005. Louis O. Kattsoff, Element of Philosophy, New York: The Ronald Press Company, 1986.
Bab 1, Ruang Lingkup Kajian Filsafat Nilai
|39
______________, Pengantar Filsafat, dialihbahasan oleh: Soejono Soemargono, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2004. Muhaimin dan Abdul Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam, Bandung: Trigenda Karya, 1993. Mukijat, Asas-asas Etika, Bandung: Mandar Maju, 1995. R. Soejadi dan Silvester A. Khodi, Filsafat, Ideologi dan Wacana Bangsa Indonesia, Yogyakarta: Universitas Atma Jaya, 1989. Rohiman Notowidagdo, Ilmu Budaya Dasar Berdasarkan alQur’an dan Hadits, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002. Sidi Gazalba, Islam dan Kesenian, Relevansi Islam dengan Seni-Budaya Karya Manusia, Jakarta: Pustaka AlHusna, 1988. ___________, Sistematika Filsafat, Pengantar Kepada: Dunia Filsafat, Teori Pengetahuan, Metafisika, Teori Nilai, Jakarta: Bintang Bulan. ___________, Masyarakat Islam, Pengantar Sosiologi dan Sosiografi, Jakarta: Bulan Bintang, 1976. Soejono Dirdjosiswono, Esensi Moralitas dalam Sosiologisme, Bandung: Mandar Maju, 1996, hal. 107. Lihat juga; Cecep Sumarna, Filsafat Ilmu, dari Hakikat Menuju Nilai, Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2004. Sutardjo A. Wiramihardja, Pengantar Filsafat, Sistematika Filsafat, Sejarah Filsafat, Logika dan Filsafat Ilmu (Epistemologi), Metafisika dan Filsafat Manusia, Aksiologi, Bandung: PT Refika Aditama, 2006. The Liang Gie, Garisbesar Estetik (Filsafat Keindahan), Yogyakarta: Karya Yogyakarta, 1976. W.J.S. Purwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1999. 40| Nilai dalam Wacana Filosofis
BAB 2 KEDUDUKAN ETIKA DALAM FILSAFAT NILAI Oleh: Syarifuddin A. Pengertian Etika Kata etika berasal dari bahasa Yunani ethos yang merupakan bentuk tunggal, memiliki arti tempat tinggal, padang rumput, kandang, kebiasaan adat, watak, perasaan, sikap dan cara berpikir. Bentuk jamak dari kata ta etha yang memiliki arti adat istiadat.1 Menurut Kanter,2 arti dari kata adat istiadatlah yang kemudian menjadi latar belakang terbentuknya istilah etika. Oleh filsuf Yunani Aristoteles (384-322 SM), etika digunakan untuk menunjukkan filsafat moral yang menjelaskan fakta moral tentang nilai dan norma moral, perintah, tindakan kebijakan, dan suara hati. Secara etimologis, etika berarti ilmu apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan yang berkenaan dengan hidup yang baik dan yang buruk. Yang dimaksud di sini adalah adat istiadat atau kebiasaan baik yang melekat pada kodrat manusia, seperti kebiasaan berbuat dan berkata jujur, menghormati orang tua, mengutamakan keselarasan dalam relasi dengan sesama makhluk dan alam. Kebiasaan-kebiasaan ini merupakan kaidah atau prinsip untuk berbuat baik, bukan berupa hasil dari evaluasi atas suatu tindakan. Kaidah tersebut melekat pada kodrat manusia dan karenanya akan selalu menuntut kehendak bebas manusia untuk hanya memilih yang baik dan benar. Kebiasaan kebiasaan tersebut juga menyangkut dengan tanggung jawab dan berupa kewajiban serta sanksi moral, 1
K. Bertens, Etika, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001, hal.
4. 2 E. Y. Kanter, Etika Profesi Hukum, Sebuah Pendekatan SosioReligius, Jakarta: Storia Grafika, 2001, hal. 2.
Bab 2, Kedudukan Etika dalam Filsafat Nilai
|41
sehingga pada akhirnya kebiasaan-kebiasaan moral tersebut menjadi sesuatu yang bernilai bagi kehidupan individu dan orang lain dalam tatanan masyarakat, dan tertanam dalam hati nurani setiap pelaku kebiasaan moral tersebut.3 Etika adalah refleksi kritis, metodis dan sistematis tentang tingkah laku manusia sejauh berkaitan dengan norma-norma atau tentang tingkah laku manusia dari sudut baik dan buruk. Segi normatif merupakan sudut pandang yang khas bagi etika. Etika mempersoalkan apa yang boleh atau apa yang tidak boleh dilakukan, apa yang baik atau tidak baik untuk dilakukan. Jadi tugas utama etika adalah menyelidiki apa yang harus dilakukan oleh manusia. Etika juga bergerak dalam bidang intelektual, akan tetapi objeknya langsung berkaitan dengan kehidupan praktis yang dijalankan oleh manusia.4 Etika mengajak manusia untuk bertanggung jawab terhadap diri sendiri, sesama manusia, lingkungannya demikian juga kepada Tuhan. Dalam hal tanggung jawab inilah etika selalu berusaha mengarahkan manusia secara praktis dalam skala ukuran baik dan buruk. Hasilnya manusia dapat mengatur tingkah lakunya.5 Endang Daruni Asdi,6 dalam laporan penelitiannya juga mengatakan, persoalan etika, yang juga disebut sebagai filsafat moral, merupakan perbincangan yang telah lama dipersoalkan oleh para filsuf. Persoalan ini disebabkan karena persoalan tentang etika menyangkut tentang 3 Lorens Bagus, Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2000, hal. 217. 4 E.Y. Kanter, Etika Profesi Hukum……, hal. 11. 5 Husainy Ismail, Jalan Menuju Filsafat, Suatu Uraian Pendahuluan Ilmu Filsafat, Banda Aceh: Syiah Kuala University Press, 1993, hal. 108. 6 Endang Daruni Asdi, Sistem-Sistem Etika pada Masa Yunani Kuno, Yogyakarta: Laporan Penelitian Fakultas Filsafat, Universitas Gadjah Mada, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, hal. 108.
42| Nilai dalam Wacana Filosofis
kehidupan manusia yang mempermasalahkan tentang “yang baik” dan “yang buruk” dalam melakukan hubungan antar manusia. Pada dasarnya etika tidak saja menarik bagi para ahli filsafat saja, melainkan para ahli ilmu pengetahuan yang lain juga mempermasalahkan sesuai dengan bidangnya masing-masing, misalnya para dokter, para pakar hukum dan para pakar yang lainnya, sehingga dikenal bermacammacam bidang etika yang sesuai dengan pembahasannya. Berdasarkan sejarah filsafat dapat diketahui bahwa etika telah diminati oleh para ahli filsafat sejak zaman Yunani Kuno. Tokoh-tokoh seperti Socrates, Plato, dan Aristoteles telah berkecimpung di bidang ini. Luasnya bidang ini menyebabkan pembahasannya tidak pernah tuntas untuk diperbincangkan. Etika yang asal katanya berasal dari etikos, yang dalam bentuk tunggalnya memiliki banyak arti, yaitu tempat tinggal yang biasa, padang rumput, kandang, kebiasaan adat, akhlak, watak, perasaan, sikap serta cara berpikir, yang bentuk jamaknya ta etha memiliki arti kebiasaan, baik berupa kebiasaan individu maupun kebiasaan masyarakat, dan etika lebih mengindahkan tabiat daripada perbuatanperbuatan lahiriah.7 Istilah lain yang dekat dengan etika adalah moral. Kata moral berasal dari bahasa Latin “mos” (tengah), “mores” (jamak) dan kata sifatnya “moralis”. Bentuk jamak “more” yang memiliki arti kebiasaan, adat, kata sifat “moralis” yang berarti susila.8 Susila dapat berarti norma-norma yang baik, peraturan hidup yang benar atau dapat juga berarti perintah yang baik.9 Secara etimologis kata etika dan kata moral dapat diartikan yang sama, yaitu 7 James F. Drane, Religion and Ethics, New York: Paulist Press, 1976, hal. 6. 8 Gunawan A, Setiardja, Dialektika Hukum dan Moral dalam Pembangunan Masyarakat Indonesia, Yogyakarta: Kanisius, 1990, hal. 90. 9 S.A. Kodhi, Referendum dalam Negara Demokrasi Pancasila, Suatu Tinjauan Kefilsafatan dan Yuridis Konstitusional, Yogyakarta: Universitas ATMA JAYA, 1988, hal. 35.
Bab 2, Kedudukan Etika dalam Filsafat Nilai
|43
suatu adat kebiasaan, hanya saja kedua kata tersebut berasal dari bahasa yang berbeda, sebagaimana dijelaskan sebelumnya, etika berasal dari bahasa Yunani, sedangkan moral berasal dari bahasa Latin.10 Kamus Besar Bahasa Indonesia,11 memberikan tiga arti yang cukup lengkap tentang etika, yaitu: a. Ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral atau dapat disebut juga dengan akhlak, b. Kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak, c. Nilai mengenai benar dan salah yang dianut oleh satu golongan atau oleh masyarakat umum. Berdasarkan pengertian di atas, maka dapat dirumuskan tentang definisi dari etika adalah, pertama, nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau oleh sekelompok orang dalam masyarakat untuk mengatur tingkah lakunya, atau dapat juga dirumuskan sebagai siatu sistem nilai yang dimiliki fungsi menjaga dan mengatur hidup manusia baik perorangan maupun bersama. Kedua, etika juga berarti sebagai kumpulan asas atau berupa nilai moral, dalam hal ini dapat dimaksudkan sebagai kode etik sebagaimana tentang kode etik wartawan, kode etik advokat, kode etik kedokteran dan sebagainya. Ketiga, etika dapat juga dipahami sebagai ilmu tentang yang baik dan yang buruk. Dalam kaitan ini, etika baru dipahami sebagai ilmu, jika asas-asas dan nilai-nilai tentang yang baik dan yang buruk dijelaskan secara rasional, kritis, sistematis, dan dengan dukungan metode yang jelas, dalam hal ini etika dapat
10 Suhardi, Makna Etis Cangget Agung dalam Adat Perkawinan Tulang Bawang, Yogyakarta: Tesis Program Studi Ilmu Filsafat, Jurusan Ilmu-Ilmu Humaniora, Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, 2002, hal. 96. 11 Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Depdikbud, 1988.
44| Nilai dalam Wacana Filosofis
disamakan artinya dengan filsafat moral atau ilmu tentang moralitas. Menurut E.Y. Kanter,12 etika bukan sumber tambahan bagi ajaran moral, melainkan filsafat atau pemikiran rasional-kritis dan mendasar tentang ajaran dan pandangan moral. Jadi, etika bukanlah sebuah ajaran melainkan merupakan sebuah kajian ilmu. Etika merefleksikan mengapa seseorang harus mengikuti moralitas tertentu atau bagaimana kita harus mengambil sikap yang bertanggungjawab ketika berhadapan dengan berbagai moralitas. Dalam pengertian ini, etika memberikan orientasi mengapa harus bersikap begini atau bersikap begitu, sehingga mampu mempertanggungjawabkan kehidupannya. Etika memberikan evaluasi menganai suatu perbuatan yang dilakukan oleh manusia, apakah manusia itu memuji atau sebaliknya malah mencelanya. Etika sebagai ilmu membantu merefleksikan unsurunsur etis ketika berhadapan dengan berbagai pendapat tentang moral dalam kehidupan sehari-hari. Pendapatpendapat moral itu sering berbeda satu sama lain, manakah yang benar? Apakah dasar objektif dari pendapat tersebut? Mana norma moralnya? Berdasarkan permasalahan ini, etika memberikan refleksi kritis, rasional, metodis, dan sistematis tentang perbuatan manusia sejauh itu berkaitan dengan norma moral. Demikian juga halnya etika juga sering dipakai dalam arti yang lebih longgar, yaitu untuk menunjukkan secara keseluruhan pandangan moral sebuah kelompok sejauh merupakan suatu kesatuan yang sistematis. Etika dapat didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari tentang segala persoalan kebaikan dalam kehidupan manusia semuanya, mengenai gerak-gerik pikiran dan rasa yang dapat merupakan pertimbangan perasaan sampai mengenai tujuannya yang dapat 12
E.Y. Kanter, Etika Profesi Hukum……, hal. 12. Bab 2, Kedudukan Etika dalam Filsafat Nilai
|45
merupakan perbuatan. Ilmu etika ini tidak membahas kebiasaan semata-mata yang berdasarkan tata adab, melainkan membahas tata sifat-sifat dasar , atau adat istiadat yang terkait tentang baik dan buruk dalam tingkah laku manusia. Jadi, etika menggunakan refleksi dan metode pada tugas manusia untuk menemukan nilai-nilai itu sendiri ke dalam etika dan menerapkan pada situasi kehidupan konkret.13 Pada perkembangan selanjutnya, etika dihubungkan dengan hal-hal yang berkait erat dengan nilai, sehingga etika menjadi bagian dari ranah aksiologi yang bahkan sering disebut dengan filsafat tingkah laku manusia. Pada saat inilah etika memiliki pengertian yang sangat berbeda dengan sebelumnya. Franz Magnis Suseno member pengertian etika sebagai ilmu yang mengkaji tentang nilai, sedangkan Sudikno member pengertian etika sebagai sebuah usaha manusia untuk mencari norma baik dan buruk. Pengertian ini kemudian menjadikan etika sebagai sesuatu yang sangat berbeda dengan istilah sebelumnya, yaitu adat istiadat, namun memiliki landasan pemikiran atau berupa suatu kerangka berpikir yang pada akhirnya melahirkan suatu sikap yang lebih bernilai.14 Etika dapat mengantar orang kepada kemampuan dalam rangka bersikap kritis dan rasional, dalam rangka membentuk pendapat seseorang serta dapat bertindak sesuai dengan apa yang dapat dipertanggungjawabkannya sendiri. Etika dapat menyanggupkan seseorang untuk dapat mengambil suatu sikap yang rasional terhadap semua norma, baik berupa norma-norma yang bersifat tradisi maupun norma-norma lainnya. Sekaligus etika membantu
13 Jan Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat, Yogyakarta: Kanisius, Pus Wilayah, 1996, hal. 62. 14Alexandra Indrayanti Dewi, Etika dan Hukum Kesehatan, Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2008, hal. 18.
46| Nilai dalam Wacana Filosofis
seseorang untuk lebih menjadikan seseorang mejadi otonom. Sesungguhnya, otonomi manusia tidak terletak pada dalam kebebasan dari segala norma dan tidak sama dengan kesewenang-wenangan, melainkan tercapai dalam kebebasan untuk hanya mengakui norma-norma yang menjadi suatu keyakinan seseorang sebagai kewajibannya. Justeru dalam persaingan ideologi-ideologi dan berbagai sistem normatif, berhadapan dengan berbagai macam lembaga-lembaga yang semakin hari semakin kuasa yang seolah-olah dapat begitu saja menuntut agar masyarakat dapat tunduk terhadap ketentuan-ketentuan mereka. Etika perlu sebagai pengantar pemikiran kritis dan dewasa yang dapat membedakan apa yang asli dan apa yang dianggap palsu dan dengan demikian memungkinkan seseorang untuk dapat mengambil sikap sendiri atau dapat ikut menentukan suatu arah perkembangan masyarakat. Etika dapat menjadi alat pemikiran rasional dan bertanggung jawab bagi orang yang memiliki keahlian dalam ilmu kemasyarakatan, pendidik, politikus dan pengaran serta bagi siapa saja yang tidak rela diombang-ambingkan oleh kegoncangan norma-norma masyarakat saan sekarang ini.15 Ruang lingkup etika menurut Heru Santoso menjelaskan, etika menaruh perhatian pada pembicaraan mengenai prinsip-prinsip pembenaran tentang keputusan yang telah ada. Etika tidak akan memberikan kepada manusia arah yang khusus atau pedoman yang tegas dan tetap tentang cara hidup dengan kebajikan.16 Sedangkan
15 Franz von Magnis, Seri Driyarkara, Etika Umum, MaslahMaslah Pokok Filsafat Moral, Yogyakarta: Yayasan Kanisius, 1975, hal. 1314. 16Heru Santosa, Landasan Etis bagi Perkembangan Teknologi, Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 2000, hal. 20-21.
Bab 2, Kedudukan Etika dalam Filsafat Nilai
|47
menurut Hamzah Ya’qub,17 ruang lingkup dalam etika berdasarkan etika Islam adalah sebagai berikut: a. Etika menyelidiki sejarah dan berbagai aliran, baik yang lama maupun yang baru tentang tingkah laku yang dilakukan oleh manusia. b. Etika membahas tentang cara-cara menghukum/menilai mengenai baik dan buruknya sesuatu pekerjaan. c. Etika menyelidiki faktor-faktor penting yang mencetak, mempengaruhi dan yang mendorong lahirnya tingkah laku manusia yang meliputi manusia itu sendiri, fitrahnya, adat kebiasaannya, lingkungannya, suara hatinya, kehendak dan cita-citanya. d. Etika menerangkan mana perbuatan yang baik dan mana perbuatan yang buruk yang harus dilakukan serta dihindari oleh manusia. e. Etika mengajarkan cara-cara yang perlu ditempuh demikian juga meningkatkan budi pekerti ke jenjang kemuliaan, misalnya dengan cara melatih diri untuk mencapai suatu perbuatan bagi kesempurnaan pribadi. f. Etika menegaskan arti dan tujuan hidup yang sebenarnya, sehingga dapatlah manusia terangsang secara aktif mengerjakan kebaikan dan menjauhkan segala kelakuan yang buruk dan tercela. Menurut M. Yatimin Abdullah,18 pemakaian untuk membedakan arti mengenai definisi etika ini, perumusannya dapat diperjelas sebagai berikut: 1. Etika dapat dipakai dalam arti nilai-nilai yang menjadi pegangan bagi seseorang atau kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Misalnya, jika orang membicarakan tentang “Etika suku-suku Indian, Etika 17
Hamzah Ya’qub, Etika Islam, Bandung: Diponogoro, 1996, hal.
17-19. 18M. Yatimin Abdullah, Pengantar Studi Etika, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006, hal. 5-6.
48| Nilai dalam Wacana Filosofis
Agama Hindu, Etika Protestan (Max Weber, The Protestan The Spirit of Capitalim), Etika Islam, Etika Konghucu” tidak dimaksudkan ilmu, melainkan arti pertama tadi. Secara singkat, arti ini dapat dirumuskan juga sebagai sistem nilai. Boleh juga dicatat lagi, sistem nilai tersebut dapat berfungsi dalam kehidupan manusia baik dalam taraf perseorangan maupun pada taraf sosial. 2. Etika dapat dipakai dalam arti asas norma tingkah laku, tata cara melakukan, sistem perilaku, tata karma. Lebih tegasnya lagi adalah kode etik. Misalnya, “kode etik jurnalistik, kode etik pegawai negeri, kode etik guru, kode etik mubaligh”, di sini tidak dimaksudkan ilmu melainkan arti tata cara. Secara singkat, arti ini dapat dirumuskan juga sebagai suatu sistem aturan atau berupa peraturan-peraturan. 3. Etika dapat dipakai dalam arti perilaku baik buruk, boleh tidak boleh, suka atau tidak suka, senang atau tidak senang. Etika semacam ini baru dapat diakui apabila perilaku etis asas-asas dan nilai-nilai yang terkandung menjadi ukuran baik-buruk secara umum, diterima oleh masyarakat di suatu tempat, menjadi persetujuan bersama dan dilaksanakan secara bersama pula. 4. Etika dapat dipakai dalam arti, ilmu tentang perbuatan yang baik dan yang buruk. Etika baru menjadi ilmu bila disusun secara metodis dan sistematis yang terdiri dari asas-asas dan nilai-nilai baik dan buruk. Dalam masyarakat sering kali tanpa disadari menjadi suatu bahan referensi atau rujukan bagi suatu penelitian perilaku etika yang disusun secara sistematis dan metodis mengarah pada filsafat. Etika di sini sama artinya dengan filsafat etika. Sebagai cabang dari filsafat, etika memberikan tuntutan kepada manusia terutama tingkah laku dan perbuatan yang dilakukan dengan sengaja dan baik Bab 2, Kedudukan Etika dalam Filsafat Nilai
|49
buruknya. Etika sebagai cabang-cabang filsafat memasukkan ruang lingkupnya pada pandanganpandangan dan persoalan-persoalan tingkah laku baikburuk, diungkapkan dalam batas-batas pernyataan. Etika dipengaruhi dalam dua pengertian, seperti yang dijelaskan oleh Suyono Sumargono, sebagaimana dikutip M. Yatimin sebagai berikut: 1. Etika terlibat dalam pernyataan seperti saya atau kita mempelajari etika. Dalam penggunaan ini etika dimaksud suatu kemampuan pengetahuan mengenai pemeliharaan perbuatan yang dilakukan dan dikerjakan oleh seseorang. 2. Etika dipakai bila orang mengatakan, “ia seorang yang bersifat etis, ia seorang adil, ia seorang pembunuh, ia seorang pembohong, ia seorang penipu.” Di sini ruang lingkupnya mencapai suatu predikat yang dipergunakan untuk membedakan barang-barang perbuatan atau orang-orang tertentu dengan orang lain. Etika tidak hanya mengetahui pantandangan (theory), bahkan setengah dari tujuan-tujuannya, ia memengaruhi dan mendorong kehendak supaya membentuk kehidupan yang suci dan bersih, menghasilkan kebaikan, kesempurnaan, dan member faedah kepada sesama manusia. Oleh karenya, etika itu sendiri mendorong sekaligus mengajak manusia agar berbuat baik, tetapi ia tidak selalu berhasil kalau seandainya tidak ditaati oleh kesucian manusia.19 Sebelum menjelaskan pembahasan tentang etika secara lebih lanjut, maka dalam hal ini sangat diperlukan untuk menjernihkan pemakaian beberapan istilah yang memiliki keterkaitan dengan etika, hal ini menjadi perlu agar dalam pemakaiannya sehari-hari tidak terjadi keranjuan dan tidak salah dalam penggunaannya, apalagi 19
M. Yatimin Abdullah, Pengantar Studi……, hal. 13
50| Nilai dalam Wacana Filosofis
dalam pergaulan sehari-hari orang sering melakukan kerancuan penggunaannya. B. Etika dan Etiket Dalam kehidupan bermasyarakat sering mendengar pemakaian kata etika dan etiket, kedua kata ini sering digunakan untuk menunjukkan suatu pengertian yang sama. Sebagaimana dalam pembahasan sebelumnya, kata etika sendiri berasal dari bahasa Yunani, yang memiliki beberapa arti, yang kemudian dapat diartikan sebagai adat istiadat. Hubungan antara etika dan etiket, dalam keseharian banyak salah dalam menggunakannya, sehingga orang tidak dapat lagi membedakan mana yang dikatakan etika dan mana yang dikatakan etiket, bahkan dalam pemakaian kata sebagai praktek pun sering salah penggunaannya. Dalam bahasa Inggris, bentuk kata etika dan etiket memiliki perbedaan. Kata ethics berpadanan kata etika, yang memiliki arti sistem prinsip moral bagi perilaku manusia. Etika berkaitan dengan nilai dan moral bagi penilaian baik dan buruk terhadap suatu perbuatan manusia sebagai manusia yang merupakan ciptaan terindah Tuhan. Sedangkan padanan kata etiquette adalah etiket, yang berarti aturan-aturan kesopanan atau tata karma bagi perilaku manusia dalam pergaulan masyarakat atau sebagaimana digunakan si antara anggota-anggota pada suatu profesi. Etiket berkenaan dengan bersopan santun dalam suatu pergaulan masyarakat.20 Berdasarkan pengertian etika secara etimologis, sebagaimana dijelaskan sebelumnya, yaitu merupakan sesuatu yang biasa dilakukan atau ilmu yang membahas tentang adat kebiasaan yang berhubungan dengan hidup yang baik dan buruk, atau dikatakan juga sebagai kebiasaan baik yang melekat pada kodrat manusia. Maka antara etika 20 A.S. Hornby, Oxford Advanced Learner’s Dictionary, London: Oxford University Press, 1995, hal. 393.
Bab 2, Kedudukan Etika dalam Filsafat Nilai
|51
dan etiket memiliki persamaan, namun juga memiliki perbedaan. Persamaannya terletak pada objek persoalan, yaitu yang berkenaan tentang perilaku manusia. Kedua istilah ini sama-sama berupaya mengatur perilaku manusia secara normatif, yakni memberi norma pada tingkah laku yang dilakukan oleh manusia sehingga dapat menentukan mana yang baik dan mana yang buruk, apa yang harus dilakukan dan apa yang tidak boleh untuk dilakukan. Menurut Kanter,21 antara etika dan etiket memiliki perbedaan yang sangat mendasar. Etika tidak hanya terbatas pada cara melakukan suatu perbuatan, akan tetapi juga memberi norma tentang persuatan tersebut. Etika menyangkut masalah apakah suatu perbuatan boleh dilakukan atau tidak boleh dilakukan, sehingga etika selalu berlaku di mana dan kapan saja, entah ada atau tidak ada orang lain sebagai saksi mata. Berdasarkan hal tersebut prinsip-prinsip etika tidak dapat untuk ditawar-tawar, akan tetapi merupakan suatu keharusan atau berupa kewajiban untuk dilakukan. Etika tidak bergantung pada apakah ada atau tidak ada orang lain yang melihat ketika suatu perbuatan itu dilakukan, karena etika itu bersifat absolute dan universal, misalnya; larangan untuk melakukan pencurian, larangan ini selalu berlaku di segala tempat dan segala waktu, apakah ada orang lain yang melihat atau tidak, larangan ini tentunya tetap akan berlaku. Etika menuntut orang agar sungguh-sungguh menjadi baik, agar memiliki sikap etis. Orang yang bersikap etis tidak akan munafik, akan tetapi selalu mengutamakan kejujuran dan kebenaran, dalam artian, etika itu menyangkut manusia dari dalam, dari kerohanian dirinya. Nilai dan norma moral telah terinternalisasi dalam diri dan dalam hati nurani, sehingga perintah untuk tidak membunuh, mencuri atau tidak berdusta muncul daru suara hati. 21
E. Y. Kanter, Etika Profesi Hukum……, hal. 3-5.
52| Nilai dalam Wacana Filosofis
Etiket, lebih menyangkut cara dalam melakukan suatu perbuatan, umumnya cara tersebut merupakan cara yang tepat dan diharapkan serta ditujukan bagi suatu kalangan tertentu, misalnya; memberikan sesuatu cara menggunakan tangan kanan dan dianggap dilanggar etiket apabila dilakukan dengan tangan kiri. Berdasarkan hal ini, etiket hanya berlaku dalam pergaulan pada suatu kelompok sosial atau kebudayaan tertentu dan tentunya sangat bergantung pada kehadiran orang lain. Etiket baru dapat dikatakan berlaku manakala ada orang lain yang melihat dan menyaksikan, apabila tidak ada orang yang melihat dan menyaksikan maka etiket tidak berlaku. Dalam hal tata cara makan misalnya, jika kita makan sendiri, kita dapat makan sambil meletakkan kaki di atas meja atau kita dapat makan sambil menggoyang-goyangkan pinggul dan itu tentunya tidak melanggar etiket. Akan tetapi baru dapat dinilai dan dapat dikatakan telah melanggar, apabila kita makan bersama-sama orang lain. Dengan demikian, etiket bersifat local dan relatif. Etiket hanya memiliki keterbatasan pada tempat dan berupa kebudayaan kelompok sosial tertentu saja. Suatu tindakan yang menurut suatu nilai budaya tidak sopan, belum tentu berlaku pula untuk kebudayaan atau kelompok masyarakat yang lain. Selain itu, etiket mengenai manusia hanya dari luar saja, hal ini tentu memungkinkan seseorang untuk bersikap munafik, dari luar seseorang tampak sangat sopan dan lembut, akan tetapi di dalam dirinya penuh kebusukan dan kebohongan. Maka selanjutnya menurut Bertens, sebagaimana dikutip oleh Alexandra Indriyanti Dewi, etika sebagai ilmu atau usaha manusia di dalam mencari norma atau nilai yang lebih mulia, maka ada perbedaan mendasar antara etika dan etiket yang oleh Bertens diurai sebagai berikut:
Bab 2, Kedudukan Etika dalam Filsafat Nilai
|53
Etika Menyangkut masalah apakah suatu perbuatan boleh dilakukan atau tidak. Tidak tergantung pada hadir tidaknya orang lain. Bersifat absolute artinya prinsip etika tidak dapat ditawar berlakunya. Tidak hanya memandang segi lahiriah tetapi juga dari segi batiniah.
Etiket Menyangkut cara suatu perbuatan yang harus dilakukan manusia. Hanya berlaku dalam pergaulan hidup. Relatif, karena adat di satu tempat dapat berbeda di tempat lain. Hanya memandang manusia dari segi lahiriyahnya saja.
Dengan demikian etika sebagai ilmu tidaklah terletak di dalam tataran konsep, tetapi lebih jauh merupakan aplikasi yang sudah mengalami berbagai macam pertimbangan-pertimbangan. Jika nilai hanya terletak di dalam kerangka pemikiran sebagai bahan pertimbangan maka etika melahirkan sikap sebagai hasil dari pertimbangan.22 C. Etika dan Moral Kata yang agak dekat dengan etika adalah kata moral. Kata moral berasal dari bahasa Latin mos dan bentuk jamaknya adalah mores, yang memiliki arti adat istiadat, kebiasaan, kelakuan, tabiat, watak, akhlak, dan juga cara hidup. Maka secara etimologis, kata etika dalam bahasa Yunani sama dengan arti kata moral dalam bahasa Latin, yaitu adat istiadat mengenai baik buruk suatu perbuatan.23 Adat istiadat ini merupakan konsep yang mencerminkan perilaku aktual anggota masyarakat tentang apa yang Alexandra Indriyanti Dewi, Etika dan Hukum……, hal. 18-19. Franz Magnis Suseno, Etika Dasar, Masalah-Masalah Pokok Etika Moral, Yogyakarta: Kanisius, 1987, hal. 19. 22 23
54| Nilai dalam Wacana Filosofis
diizinkan atau dilarang untuk dapat dilakukan. Konsep ini merupakan model-model atau patokan kelakuan yang dianut oleh anggota suatu masyarakat. Oleh karenanya, adat istiadat secara keseluruhan mengandung moralitas dari suatu komunitas sosial atau masyarakat.24 Menurut AI. Purwa Hadiwardoyo,25 moral itu menyangkut dengan kebaikan. Orang yang tidak baik juga disebut sebagai orang yang tidak memiliki moral, atau sekurang-kurangnya disebut sebagai orang yang tidak bermoral. Maka, secara sederhana dapat menyamakan moral dengan kebaikan orang atau kebaikan manusiawi. Pada hakikatnya, moral memuat dua segi yang berbeda, yakni segi batiniah dan segi lahiriah. Orang yang baik adalah orang yang memiliki sikap batin yang baik dan melakukan perbuatan-perbuatan yang baik pula. Sikap batin tersebut juga sering disebut dengan kata hati. Orang yang baik memiliki hati yang baik, akan tetapi sikap batin yang baik baru dapat dilihat oleh orang lain setelah terwujud dalam perbuatan lahiriah yang baik pula. Franz Magnis Suseno membedakan antara ajaran moral dengan etika. Ajaran moral adalah ajaran, wejangan, khutbah, peraturan lisan atau tulisan tentang bagaimana manusia harus hidup dan bertindak agar manusia dapat menjadi manusia yang baik serta menjadi harapan banyak orang.26 Sumber langsung ajaran moral adalah pelbagai orang dalam kedudukan yang berwenang, seperti orang tua dan guru, para pemuka masyarakat dan agama, dan tulisantulisan orang bijak. Etika bukanlah sumber tambahan bagi ajaran moral, tetapi filsafat atau pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran dan pandangan moral. Etika merupakan sebuah ilmu, bukanlah ajaran moral. Dengan Lorens Bagus, Kamus Filsafat……, hal. 672. AI. Purwa Hadiwardoyo, Moral dan Masalahnya, Yogyakarta: Kanisius, 1990, hal. 13. 26 Franz Magnis Suseno, Kuasa dan Moral, Jakarta: Gramedia, 1985, hal. 14. 24 25
Bab 2, Kedudukan Etika dalam Filsafat Nilai
|55
demikian antara etika dan ajaran moral tidak berada pada tingkat yang sama. Yang mengatakan bagaimana kita harus hidup, bukanlah etika, melainkan berupa ajaran moral. Etika mau mengerti ajaran moral tertentu, atau bagaimana kita dapat mengambil sikap yang bertanggung jawab terhadap dengan pelbagai ajaran moral.27 Moral pada prinsipnya memiliki sama dengan etika dalam konteks baik dan buruk, hubungan keduanya juga sangat erat, mengingat etika sangat memerlukan moras sebagai landasan atau berupa pijakan di dalam melahirkan sikap tertentu. Banyak sekali para ahli yang kemudian membuat analogi seperti apa sebenarnya hubungan antara moral dan etika itu. Beberapa ahli mengartikan moral dan etika secara etimologis tidak ada bedanya, yaitu suatu norma atau nilai yang menjadi pegangan seseorang atau suatu kelompok. Sehingga jika terjadi pelanggaran seseorang atau suatu kelompok. Sehingga jika terjadi pelanggaran atas norma tersebut seringkali seseorang dikatakan bahwa perbuatannya tidak etis atau tingkah lakunya bejat dan tidak bermoral. Contohnya, seseorang membunuh orang lain agar organ tubuhnya dapat diperjualbelikan, hal ini merupakan suatu perbuatan sadis, tidak etis, dan dapat juga dikatakan sebagai tindakan tidak bermoral. Dengan demikian, kata etis dan tidak bermoral merupakan suatu kata yang nampaknya hampir sama, namun pada kenyataannya memiliki perbedaan yang cukup mendasar. Memang tidak terlalu mudah menarik garis pemisah antara moral dan etika, karena keduanya di dalam arti tertentu memiliki unsure yang sama yaitu nilai. Namun menilik kata “tidak etis” maka yang terlintas di dalam pikiran adalah bahwa perbuatan tersebut sudah terjadi atau sekurang-kurangnya hampir terjadi. Di sini letak perbedaan mendasar antara kaidah etika dan kaidah moral. 27
Franz Magnis Suseno, Etika Dasar, …… hal. 14.
56| Nilai dalam Wacana Filosofis
Apabila seseorang dikatakan melakukan suatu tindakan yang “tidak etis” maka perbuatan tersebut sudah terjadi dan tentunya ada ketentuan moral yang telah dilanggar. Oleh karena itu, moral merupakan suatu konsep nilai sedangkan etika merupakan suatu konsep perilaku. Konsep nilai melandasi kansep perilaku sehingga suatu perbuatan tertentu dapat terjadi. Berdasarkan penjelasan di atas, dapat diambil sebuah contoh, yaitu sebagaiman terdapat dalam ketentuan moral seorang dokter yang dilarang untuk menyakiti pasiennya. Namun di dalam melakukan perawatan (treatment) seorang dokter kadangkala tidak dapat menghindari dampak sakit yang dialami oleh si pasien. Misalnya ketika melakukan injeksi, padahal injeksi tersebut dapat mempercepat kesembuhan seorang pasien. Oleh karena itu, seorang dokter tetap melakukan injeksi tidak dalam konteks menyakiti pasien meskipun terasa sakit, melainkan melandaskan pada konsep etis di mana sakit yang sedikit itu akan menyembuhkan dalam jangka waktu yang lebih cepat. Dapat dibayangkan, seandainya suatu ketentuan moral untuk tidak menyakiti seorang, dokter tidak berbuat apapun untuk pasiennya. Tindakan dokter tersebut merupakan tindakan etis dan bukan merupakan suatu tindakan moral. Karena meskipun dokter tersebut mungkin tidak memenuhi konsep moralitas tertentu, namun dengan pertimbangan etis yang mengkaji nilai moral tersebut menghasilkan perbuatan yang menyakitkan tetapi lebih cepat menyembuhkan pasien yang sedang diobatinya. Pertimbangan ini juga dilandasi dengan aspek teleologi, di mana keuntungan atau manfaat yang didapatkan jauh lebih besar dari rasa sakit atau berupa kerugian yang ditimbulkan. Oleh karena itu, perlu membedakan antara landasan moral dan landasan etika, di mana keduanya juga akan berhubungan erat seperti dua sisi mata uang. Bab 2, Kedudukan Etika dalam Filsafat Nilai
|57
Etika dalam hal ini merupakan tinjauan praktis dan kritis dalam rangka untuk mengatasi permasalahanpermasalahan tertentu dengan menggunakan moral sebagai referensinya. Etika dalam hal ini juga mempertanyakan secara kritis mengapa seseorang harus mengikuti ketentuan moral tertentu dan bagaimana dalam mengambil sikap untuk bertanggungjawab terhadap konsep moral yang secara terus menerus mengalami ssssperubahan dalam mengikuti pertimbangan peradaban. Untuk itu, etika tidak menentukan benar dan salah, karena hal yang demikian ini telah diatur oleh yang namanya konsep moral.28 Dengan kata lain, moral rupanya hanya dapat diukur secara tepat apabila kedua seginya diperhatikan. Orang hanya dapat dinilai secara tepat apabila hati maupun perbuatannya ditinjau bersama dan disitulah terletak kesulitannya, orang hanya dapat menilai orang lain dari luar, dari perbuatan lahiriahnya, sementara hatinya hanya dapat dinilai dengan hanya menduga-duga. Maka untuk menilai sikap batin maupun perbuatan lahir diperlukan suatu alat, yakni ukuran moral. Maka ukuran yang dapat dipakai untuk menilai suatu kebaikan yang dimiliki oleh manusia, menurut Purwa Hadiwardoyo,29 berdasarkan pengalaman dan pengamatan, kiranya dapat dikatakan bahwa sekurang-kurangnya dapat mengenal adanya dua ukuran yang berbeda, yakni ukuran yang ada dalam hati orang dan ukuran yang dipakai oleh orang pada waktu mereka menilai diri seseorang. Dalam hati seseorang ada ukuran subjektif, sedangkan orang lain kemungkinan memakai ukuran yang lebih objektif. Maka masalah ukuran moral, sebagaimana sering mendengar istilah hati nurani dan norma. Kedua istilah itu memang dapat membantu pemahaman seseorang tentang ukuran moral, secara singkat dapat dikatakan bahwa hati 28 29
Alexandra Indriyanti Dewi, Etika dan Hukum,……, hal. 20-22. AI. Purwa Hadiwardoyo, Moral dan……, hal. 14-15.
58| Nilai dalam Wacana Filosofis
nurani dapat menyediakan ukuran subjektif, sedang norma menunjuk pada ukuran objektif. Baik yang subjektif maupun yang objektif mengandung ukuran yang benar atas moralitas manusia. Dengan kata lain; hati nurani memberitahukan mana yang benar, norma diberikan untuk menunjukkan kepada semua orang mana yang benar itu. Oleh karenanya, kata moral selalu mengacu pada baik buruknya manusia sebagai manusia, hal ini dapat dipahami manakala mendengan ada orang yang mengatakan, “perbuatannya tidak bermoral”. Maksud dari ucapan ini adalah perbuatan tersebut dianggap buruk atau tidak baik atau salah karena melanggar nilai-nilai dan norma-norma moral yang berlaku dalam suatu masyarakat. Maka moral berarti nilai-nilai atau norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau sekelompok orang dalam mengatur suatu tingkah lakunya, menyangkut apa yang baik dan yang buruk atau apa yang benar dan apa yang salah, ini berarti moral menyangkut nilai dan norma bagaimana cara seseorang bertingkah laku dalam hubungan dengan orang lain agar seseorang itu menjadi manusia yang baik, yang bermoral sebagai manusia. Jika boleh menarik garis batas antara moral dan etika. Menurut Amin Abdullah,30 ‘moral’ adalah aturanaturan normatif atau (dalam bahasa agama disebut juga sebagai akhlak) yang berlaku dalam suatu masyarakat tertentu yang terbatas oleh ruang dan waktu. Penerapan tata nilai moral dalam kehidupan sehari-hari dalam masyarakat tertentu menjadi bidang kajian antropologi, sedangkan ‘etika’ adalah bidang garap filsafat. Realitas moral dalam kehidupan masyarakat yang menjernihkan lewat suatu studi kritis (critical studies) adalah wilayah yang dibidangi oleh etika. Jadi, studi kritis terhadap kajian
30 M. Amin Abdullah, Falsafah Kalam di Era Postmodernisme, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009, hal. 147.
Bab 2, Kedudukan Etika dalam Filsafat Nilai
|59
moralitas menjadi wilayah kajian etika, sehingga moral tidak lain adalah objek material daripada etika. Berbeda dari etika, yakti filsafat moral, maka akhlak lebih dimaksudkan sebagai ‘studi paket’ atau ‘produk jadi’ yang bersifat normatif-mengikat, yang harus diterapkan dalam kehidupan sehari-hari seorang muslim. Akhlak atau kadang disebut juga dengan tasawuf adalah merupakan seperangkan nilai-nilai keagamaan yang harus direalisasikan dalam kehidupan sehari-hari, tanpa perlu mempertanyakan dan menguyah secara kritis terlebih dahulu. Perbuatan yang dilakukan oleh manusia dapat dikatakan baik apabila tujuan akhir atau tujuan sasaran perbuatan, motivasi dan lingkungan juga baik. Ketiga hal tersebut merupakan faktor penentu moralitas perbuatan manusia. Jika salah satu di antara faktor-faktor tersebut tidak ada, maka keseluruhan dari perbuatan itu menjadi tidak baik. Sasaran atau tujuan akhir diwujudkan dalam pelaksanaan suatu perbuatan, perbuatan itu terjadi karena secara bebas dan sadar merupakan motivasi dalam menjalankan perbuatan itu, di sini moralitas perbuatan terletak pada kehendak bebas si pelaku dalam mengerjakan suatu perbuatan. Perbuatan itu dikehendaki karena perbuatan itu mempunyai nilai, dan dilakukan juga dengan berpatokan pada norma-norma tertentu pula.31 Nilai menurut Bertens,32 merupakan suatu perbuatan akan tampak jelas manakala perbuatan itu sendiri sudah dilakukan. Hal ini berarti, nilai merupakan suatu apresiasi atas fakta atau peristiwa yang terjadi, maka dalam hal ini fakta mendahului nilai. Berdasarkan hal ini, nilai memiliki 3 (tiga) cirri, yaitu: nilai berkaitan dengan subjek yang menilai, nilai terjadi dalam praksis hidup ketika subjek ingin membuat sesuatu dan nilai merupakan sifat31 32
E.Y. Kanter, Etika Profesi Hukum……, hal. 5. K. Bertens, Etika……, hal. 141.
60| Nilai dalam Wacana Filosofis
sifat yang ditambahkan oleh subjek pada sifat-sifat yang memiliki objek karena dari dirinya sendiri objek tidak memiliki nilai. Nilai moral tidak dapat berdiri sendiri, akan tetapi berkaitan dengan nilai-nilai yang lainnya. Setiap nilai dapat mempunyai bobot moral bila diikutsertakan dalam suatu tingkah laku moral. Misalnya, kesetiaan adalah suatu nilai moral, dan nilai ini akan mendapat makna apabila diterapkan pada nilai manusiawi yang lebih umum seperti cinta antara suami dan isteri atau antara anak dan ibu bapaknya. Kendati nilai moral itu menumpang pada nilai lain agar dapat dimaknai. Menurut Bertens,33 nilai moral tetap memiliki ciri-ciri khas sebagai berikut: Pertama, berkaitan dengan tanggung jawab. Nilai moral berhubungan dengan pribadi manusia yang bertanggung jawab. Suatu nilai moral hanya dapat terwujud dalam perbuatanperbuatan yang sepenuhnya menjadi tanggung jawab si pelaku perbuatan tersebut. Karena itu, dapat dikatakan bahwa manusia sendiri menjadi sumber bagi nilai moralnya. Manusia sendiri yang secara bebas membuat tingkah laku menjadi baik atau buruk dari sudut moral. Maka di sini, kebebasan dan tanggung jawab merupakan syarat mutlak bagi nilai moral perbuatan manusia. Kedua, berkaitan dengan hati nurani. Umumnya, semua nilai mengandung semacam imbauan untuk dapat diakui atau dapat diwujudkan. Tetapi pada nilai moral, imbauan tersebut lebih mendesak karena perwujudannya merupakan imbauan dari hati nurani. Hati nurani akan menuduh kita apabila meremehkan atau menentang nilainilai moral, dan akan memuji jika nilai itu diwujudkan. Hati nurani akan selalu menghimbau untuk melakukan suatu perbuatan yang bernilai moral, dan akan melarangnya bila perbuatan bertentangan dengan nilai moral.
33
K. Bertens, Etika……, hal. 143-147. Bab 2, Kedudukan Etika dalam Filsafat Nilai
|61
Ketiga, mewajibkan kita secara absolute dan tidak dapat ditawar-tawar untuk diwujudkan atau diakui. Nilai moral harus diakui dan harus direalisasikan. Immanuel Kant, filsuf Jerman, mengatakan bahwa nilai moral bersifat imperatif kategoris (perintah) dan nilai yang lain bersifat imperatif hipotesis. Artinya, nilai moral mewajibkan bagi seseorang tanpa adanya syarat, suatu keharusan yang mutlak untuk dilakukan. Misalnya, kejujuran mewajibkan seseorang untuk harus mengembalikan barang yang dipinjam, suka atau tidak suka. Sedangkan, nilai lain menuntut adanya syarat tertentu agar dapat dilakukan. Kewajiban absolut pada nilai moral terjadi karena nilai tersebut berlaku bagi manusia sebagai manusia, berlaku untuk setiap manusia tanpa kecuali atau tanpa ada dispensasi. Nilai moral menyangkut pribadi manusia sebagai totalitas atau keseluruhan. Nilai moral tidaklah berasal dari luar diri manusia, melainkan berakar dalam sisi kemanusiaan seseorang. Jika tidak diakui dan tidak dilaksanakan, ia dianggap cacat sebagai manusia. Kegagalan dalam melaksanakan nilai moral dapat merendahkan martabat pribadi sebagai manusia. Kegagalan dalam melaksanakan nilai moral merendahkan martabat pribadi sebagai manusia, atau merupakan kegagalan total sebagai manusia. Sementara nilai lain hanya menyangkut satu aspek saja dari pribadi manusia. Sementara nilai lain hanya menyangkut satu aspek saja dari pribadi manusia dan berasal dari luar diri manusia sehingga ada pengecualian atau berupa dispensasi dalam upaya perwujudannya. Kegagalan dalam upaya tersebut tidak merendahkan martabat dirinya sebagai manusia, hanya mendatangkan kekecewaan saja. Keempat, nilai moral bersifat formal. Dalam arti, nilai moral tidak dapat berdiri sendiri, akan tetapi mengikuti pada nilai-nilai lain dalam usaha perwujudannya. Kita merealisasikan nilai moral dengan cara mengikutsertakan nilai-nilai yang lain dalam suatu tingkah laku moral. Max 62| Nilai dalam Wacana Filosofis
Scheler mengungkapkan hal yang sama dengan menegaskan bahwa nilai-nilai moral “mengikuti” pada nilai-nilai yang lain. Menurut Alexandra Indrayanti Dewi,34 kebenaran etika ditentukan oleh baik berupa faktor internal maupun berupa faktor eksternal. 1. Faktor Internal yang melandasi tindakan etis. a. Kepercayaan atau berupa keimanan seseorang. Kepercayaan atau keimanan seseorang pada saat usia yang sangat dini, sehingga menghasilkan internalisasi nilai yang kadangkala hampir mutlak. Ketika internalisasi ini demikian kuatnya, maka ada kecenderungan untuk bersikap fanatik sehingga tidak jarang menutup perspektif nilai dari sumber yang lain. b. Pendidikan. Dasar pendidikan sangat menentukan terhadap pandangan seseorang. Semakin sedikit referensi pengetahuan yang disampaikan maka semakin kecil juga kemampuan seseorang untuk mengkaji suatu permasalahan berdasarkan landasan pemikiran yang ilmiah. Oleh karena itu, perilaku yang dilakukan dilandaskan pada instingtif manusia, dalamrangka untuk bertahan hidup, untuk berkembang biak, dan untuk memperoleh kehidupan. Namun, jika landasan pendidikan yang diberikan kepada seseorang dari usia yang sangat dini tersebut melekat kuat, maka dapat dipastikan landasan itulah yang akan memiliki pengaruh sangat besar pada fase kehidupan selanjutnya. Suatu perilaku yang berdasarkan suatu moralitas tertentu sangat ditentukan oleh bagaimana dasar pendidikan masing-masing individu dan tahapan-tahapan perkembangannya. 34
Alexandra Indriyanti Dewi, Etika dan Hukum, …… hal. 22-36 Bab 2, Kedudukan Etika dalam Filsafat Nilai
|63
c. Kepribadian dan aspek psikologisnya. Selain pendidikan, struktur kepribadian juga sangat menentukan pengambilan keputusan dan pengakajian setiap nilai yang terdapat disekelilingnya. Untuk itulah perlu mengenal struktur kepribadian manusia, yang dalam pemikiran Sigmund Fruid membagi kepada tiga tingkatan, yaitu id, ego, dan super ego. Ketiga struktur kepribadian tersebut yang mempengaruhi setiap keputusan etis yang dibuat oleh seseorang. Meskipun internalisasi nilai tetap tidak dapat diabaikan karena bagaimana pun super ego akan menyaring setiap nilai atau berupa pengaruh yang masuk ke dalam dirinya. Watak yang dibentuk dalam struktur kepribadian ini ikut serta di dalam menyaring pada setiap pandangan baru. 2. Faktor eksternal yang melandasi tindakan etis. a. Situasi dan kondisi yang dialami. Setiap keputusan yang diambil oleh seseorang di dalam menghadapi suatu permasalahan yang sama kemungkinan akan cenderung berbeda, hal ini dikarenakan dipengaruhi oleh situasi dan kondisi yang dihadapi. b. Aspek politik. Situasi politik terkadang menjadi pertimbangan yang sangat penting di dalam memutuskan suatu permasalahan etis. c. Aspek ekonomi. Ekonomi biasanya menjadi permasalahan yang dilematis di dalam setiap pertimbangan etis. d. Aspek teknologi dan ilmu pengetahuan. Teknologi telah melahirkan industry dan ilmu pengetahuan yang telah melahirkan penemuan-penemuan baru di segala bidang. Pertimbangan teknologi dan ilmu pengetahuan seharusnya menjadi 100% diusahakan untuk kepentingan umat manusia dan 64| Nilai dalam Wacana Filosofis
tidak seharusnya dijadikan sebagai aspek pertimbangan industry dan ekonomi. e. Aspek hukum dan adat istiadat. Hukum menjadi faktor yang tidak kalah penting sebagai salah satu aspek pemberi pertimbangan di dalam membuat keputusan etis. f. Aspek sosial. Aspek ini tidak banyak berbeda dengan aspek budaya dan adat di mana setiap individu yang akan mengambil keputusan pasti akan dipengaruhi oleh kehidupan sosialnya. Begitupun sebaliknya, setiap aspek sosial selalu dipengaruhi individu-individu yang membentuk suatu hubungan sosial. Dalam setiap keputusan yang diambil dipastikan memiliki dampak yang tidak kecil, oleh karenanya selalu perlu mempertimbangkan efek sosialnya. D. Beberapa Faktor yang Mempengaruhi Etika. Menurut M. Yatimin, ada beberapa hal yang dapat mempengaruhi etika, namun menurut Iman Al-Ghazali agar manusia sejauh kesanggupan yang benar meniru-niru perangai dan sifat-sifat yang benar dan disukai oleh Tuhan, yaitu sabar, jujur, takwa, zuhud, ikhlas, bersyukur, menjalankan segala perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya. Adapun faktor-faktor tersebut yaitu: 1. Sifat manusia. Sifat manusia tidak dapat ditinggalkan ataupun dihilangkan. Sifat manusia itu terbagi menjadi beberapa bagian, yang diantaranya adalah sifat baik dan sifat buruk. Sifat baik ini sangat penting dan wajib bagi setiap manusia untuk dijaga, dipelihara, dipupuk, dipraktekkan serta dilestarikan. Adapun cara menjaga dan melestarikannya dapat dilakukan dengan cara melakukan perbuatan yang dapat member kesenangan bagi diri sendiri demikian juga orang lain. Sifat baik dapat diperoleh dengan cara melakukan perbuatan Bab 2, Kedudukan Etika dalam Filsafat Nilai
|65
yang dianjurkan oleh Allah Swt., dengan cara melakukan perbuatan yang dianjurkan oleh-Nya. Dapat dilakukan dengan cara berbuat baik kepada sesama manusia. Demikian juga, sifat manusia yang buruk, ini yang menjadi masalah yang berat yang selalu harus dilakukan dalam rangka mencari solusinya. Sifat buruk mempengaruhi etika. Sifat yang demikian ini membuat seseorang menjadi lupa kendali yang di antaranya dapat berubah-ubah. 2. Norma-norma etika. Norma etika tidak dapat disangkal dan mempunyai hubungan yang erat dengan perilaku baik. Dengan praktik kehidupan sehari-hari motivasi yang terkuat dan terpenting bagi perilaku norma etika adalah agama. Mengapa perbuatan ini tidak dapat dilakukan, hampir selalu diberikan jawaban spontan karena agama sangat melarangnya. Karena hal itu sangat bertentangan dengan yang namanya kehendak Tuhan. Contoh konkret adalah masalah norma tingkah laku yang aktual, seperti hubungan seksualitas sebelum melaksanakan acara perkawinan atau pernikahan serta berupa masalah lainnya yang berhubungan dengan seksualitas. Menghadapi masalah-masalah yang demikian, banyak orang kemudian mengambil sikap, “aku ini orang yang beragama dan agama yang aku anut sangat melarang perbuatan yang demikian, maka aku akan merasa berdosa apabila aku melakukan perbuatan yang berdosa ini, apalagi kalau aku melanggar dan aku mengetahuinya”. 3. Aturan-aturan agama. Setiap agama mengandung suatu ajaran etika yang selalu menjadi pegangan bagi perilaku penganutnya. Ajaran berperilaku baik sedikit berbeda, akan tetapi secara menyeluruh perbedaan tidak terlalu besar. Dapat dikatakan ajaran etika yang terkandung di dalam suatu agama meliputi dua macam aturan. Di satu pihak sangat banyak aturan berbicara dengan cara agak mendetail. Banyak orang yang tidak 66| Nilai dalam Wacana Filosofis
menyadari dan memahami bahwa hidup manusia ada dalam jaringan norma etika. Konsep norma etika memiliki arti penyiku, yaitu alat yang selalu digunakan oleh tukang kayu. Dari sinilah berkembang aturan dan pedoman, standar atau ukuran baik yang ditulis maupun yang tidak ditulis. Makna ini mempunyai implikasi normatif, yaitu bagaimana sebenarnya sesuatu itu berada atau terjadi, sehingga merupakan petunjuk atau berupa perintah, setidak-tidaknya menjadi harapan. 4. Fenomena kesadaran etika. Fenomenologi ini termasuk faktor-faktor yang mempengaruhi etika. Gejala apa yang kelihatan selalu muncul dalam kesadaran etika seseorang. Kesadaran seseorang timbul apabila harus mengambil suatu keputusan mengenai sesuatu yang menyangkut kepentingan pribadinya, hak dan kepentingan orang lain. Sebagaimana dijelaskan oleh M. Yatimin Abdullah di atas, keputusan dalam melakukan atau tidak melakukan sesuatu sesungguhnya tidak disebabkan oleh suatu faktor yang dating dari luar kesadaran manusia itu sendiri, akan tetapi melainkan didasarkan pada faktor-faktor tersebut di atas walaupun tidak secara total.35 E. Sistematika Etika Franz Magnis Suseno,36 secara sangat sederhana menegaskan bahwa etika dibagi ke dalam dua bagian, yaitu etika umum dan etika khusus. Etika umum membahas prinsip-prinsip moral dasar, seperti kebebasan dan suara hati, atau membahas tentang kondisi-kondisi dasar manusia untuk bertindak secara etis, teori-teori etika dan prinsipM. Yatimin Abdullah, Pengantar Studi……, hal. 39-41. Franz Magnis Suseno, 13 Tokoh Etika Sejak Zaman Yunani sampai Abad ke-19, Yogyakarta: Kanisius, 1996. Hal. 7. 35 36
Bab 2, Kedudukan Etika dalam Filsafat Nilai
|67
prinsip moral dasar yang menjadi pegangan bagi manusia dalam bertindak serta tolak ukur dalam menilai baik dan buruknya suatu tindakan. Sedangkan etika khusus membahas tentang penerapan prinsip-prinsip dasar tersebut pada masing-masing bidang kehidupan manusia. Etika khusus ini juga disebut sebagai etika terapan (applied ethics). Menurut Burhanuddin Salam, mengenai etika khusus, etika ini menerangkan penerapan prinsip-prinsip moral dasar dalam bidang kehidupan yang khusus. Penerapan ini dapat berwujud manusia mengambil keputusan dan bertindak dalam bidang kehidupan dan kegiatan yang khusus yang didasari oleh cara, teori, dan prinsip-prinsip moral dasar. Namun, penerapan itu dapat juga berwujud; bagaimana saya menilai perilaku pribadi saya dan juga pribadi orang selain saya dalam suatu bidang kegiatan dan berupa kehidupan khusus yang dilatarbelakangi oleh suatu kondisi yang tentunya memungkinkan manusia bertindak secara etis. Cara bagaimana mengambil keputusan atau suatu tindakan, dan teori serta prinsip moral dasar yang ada dibaliknya.37 Etika khusus, selanjutnya dibagi lagi dalam dua bagian, yaitu etika individual dan etika sosial. Etika individual membicarakan mengenai kewajiban seseorang terhadap dirinya sendiri. Sedangkan etika sosial membahas tentang kewajiban, sikap dan pola perilaku manusia sebagai manusia. Menurut Kanter,38 antara etika individual dan etika sosial tidak dapat dipisahkan secara tajam, karena kewajiban terhadap diri sendiri dan sebagai manusia saling berkaitan. Etika sosial menyangkut hubungan manusia dengan manusia baik secara perorangan dan langsung, maupun Burhanuddin Salam, Etika Sosial Asas Moral Terhadap Kehidupan Manusia, Jakarta: Rineka Cipta, 1997, hal. 7. 38 E.Y. Kanter, Etika Profesi Hukum……, hal. 15. 37
68| Nilai dalam Wacana Filosofis
secara bersama dan dalam bentuk kelembagaan (keluarga, masyarakat, negara), sikap kritis terhadap pandanganpandangan dunia dan ideologi, sikap dan pola perilaku dalam bidang kegiatan masing-masing, maupun tentang tanggung jawab manusia terhadap makhluk hidup lainnya, serta alam semesta pada umumnya. Menurut Burhanuddin Salam, tujuan dan fungsi dari etika sosial, pada dasarnya untuk menggugah berupa kesadaran yang dimiliki oleh manusia akan tanggung jawabnya sebagai manusia dalam kehidupan bersama di segala macam dimensi. Etika sosial dalam bidang kekhususan masing-masing, berusaha merumuskan prinsipprinsip moral dasar yang berlaku untuk bidang khusus tersebut.39 Selanjutnya Kanter menjelaskan, bahwa pada dewasa ini etika sosial sedang menjadi sorotan yang sangat tajam. Etika sosial ini menyangkut tentang kesadaran dan tanggung jawab manusia dalam kehidupan bersama dengan sesama dan lingkungannya. Etika sosial, pada dasarnya juga membahas masalah-masalah aktual pada zaman ini, yaitu tentang sikap terhadap sesama, keluarga, profesi (biomedis, bisnis, hukum, iptek, jurnalistik), politik, dan lingkungan hidup secara rasional, kritis, dan sistematis. Etika sosial membicarakan juga tentang prinsip-prinsip atau normanorma moral bagi masalah khusus tersebut. Karenanya, orang menemukan nama-nama seperti etika keluarga, etika profesi, etika politik, etika kedokteran, atau etika lingkungan hidup.40 F. Macam-Macam Etika Persoalan tentang etika atau filsafat moral selalu menarik untuk dibahas dan dikaji, karena permasalahan ini menyangkut manusia yang dikaitkan hubungannya dengan 39 40
Burhanuddin Salam, Etika Sosial……, hal, 9. E.Y. Kanter, Etika Profesi Hukum……, hal. 15. Bab 2, Kedudukan Etika dalam Filsafat Nilai
|69
manusia lainnya. Manusia sebagai makhluk yang berakal dengan sadar mengetahui bahwa manusia itu merupakan pusat perhatiannya sendiri. Manusia mempunyai tujuan dalam kehidupannya dan tujuan tersebut pada dasarnya adalah berupa kebaikan dan kebahagiaan. Sebagaimana dalam sejarah filsafat Barat, etika merupakan suatu cabang filsafat yang sangat berpengaruh sejak zaman Socrates (470-399 SM). Etika membahas berupa baik-buruk atau benar tidaknya tingkah laku dan tindakan yang dilakukan oleh manusia serta sekaligus menyoroti kewajibankewajiban manusia. Etika tidak mempersoalkan apa dan siapa manusia itu, akan tetapi bagaimana manusia itu seharusnya berbuat dan bertindak. Jan Hendrik Rapar memandang, ada berbagai pembagian etika yang dibuat oleh para ahli yang membahas tentang etika. Beberapa ahli membagi etika ke dalam dua bagian, yakni etika deskriptif dan etika normatif. Demikian juga dengan par ahli yang lain, ada juga yang membagi ke dalam etika normatif dan metaetika. Sedangkan para ahli yang lain lagi membagi ke dalam tiga bidang studi, yaitu etika deskriptif, etika normatif, dan metaetika.41 Selanjutnya dalam pembahasan berikut akan dibahas ketiga pembagian etika ini; a. Etika Deskriptis Etika deskriptif berisi aturan-aturan moral pada masing-masing kelompok manusia yang sesuai dengan kenyataannya dan hanya memberikan apa yang berlaku dalam kelompok-kelompok tersebut. Dengan demikian dapatlah diketahui perbedaan dan persamaan dari masingmasing kelompok yang diketahui. Etika deskriptif menguraikan dan menjelaskan berupa kesadaran dan pengalaman moral secara derkriptif. Hal ini dilakukan dengan bertolak dari kenyataan bahwa 41
Jan Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat, ……, hal. 62.
70| Nilai dalam Wacana Filosofis
ada berbagai fenomena moral yang dapat digambarkan dan diuraikan secara pendekatan ilmiah, seperti yang dilakukan terhadap fenomena spiritual lainnya, misalnya religi dan seni. Oleh karenanya, etika deskriptif digolongkan ke dalam bidang ilmu pengetahuan empiris dan berhubungan erat dengan sosiologi. Hubungannya dengan sosiologi, etika deskriptif berupaya menemjukan dan menjelaskan berupa kesadaran, keyakinan, dan pengalaman moral dalam suatu kultur tertentu. Bertens mengatakan, ilmu pengetahuan lainnya berusaha untuk membuat deskripsi yang cermat lewat pencatatan terhadap corak-corak, predikat-predikat serta tanggapan kesusilaan yang dapat ditemukan.42 Menurut Achmad Charris Zubair, etika deskriptif tidak dapat membicarakan tentang ukuran-ukuran bagi tanggapan kesusilaan yang baik, meskipun kadang-kadang etika deskriptif mencampuradukkan antara menerima suatu tanggapan kesusilaan dengan kebenarannya. Singkatnya, etika deskriptif hanya melukiskan tentang predikat dan tanggapan kesusilaan yang telah diterima dan dipakai.43 b. Etika Normatif Etika normatif kerap kali juga disebut sebagai filsafat moral (moral philosophy) atau disebut juga dengan etika filsafati (philosophical ethics). Etika normatif dapat dibagi ke dalam dua teori, yaitu berupa teori-teori nilai (theories of value) dan teori-teori keharusan (theories of obligation). Teori-teori nilai mempersoalkan sifat-sifat kebaikan, sedangkan teori-teori keharusan membahas tentang tingkah laku.44
Bertens, Etika, ……, hal. 84. Achmad Charris Zubair, Kuliah Filsafat, Jakarta: Rajawali Press, 1987, hal. 94. 44 Jan Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat,……, hal. 63. 42 43
Bab 2, Kedudukan Etika dalam Filsafat Nilai
|71
Etika normatif dipandang sebagai suatu ilmu yang mengadakan ukuran atau norma yang dapat dipakai untuk menanggapi atau menilai suatu perbuatan. Menerangkan apa yang seharusnya terjadi dan apa yang seharusnya dilakukan, dan memungkinkan kita untuk mengukur dengan apa yang seharusnya terjadi. Etika normatif ini, bersangkutan dengan penyelesaian ukuran kesusilaan yang benar.45 Menurut Endang Daruni Asdi, etika normatif ini bersifat umum yang memberikan ketentuan norma-norma yang biasanya tidak tertulis. Meskipun demikian, normanorma ini dipatuhi oleh kelompoknya demikian juga diakui oleh kelompok yang lainnya.46 Heru Santosa dalam bukunya Landasan Etis bagi Perkembangan Teknologi,47 dengan mengutip pendapat Bertens, berpendapat; etika normatif merupakan bagian terpenting dari etika dan bidang tempat diskusi-diskusi yang paling menarik tentang masalah-masalah moral berlangsung. Di sini ahli yang bersangkutan tidak bertindak sebagai penonton yang netral, seperti halnya dalam etika deskriptif, akan tetapi juga melibatkan diri dengan mengemukakan penilaiannya tentang perilaku manusia. Etika normatif ini kemudian dibagi menjadi dua bagian, yaitu: Pertama, etika umum, yaitu etika yang memandang berupa tema-tema yang umum, seperti; apa itu norma etis, jika ada norma etis, bagaimana hubungan satu sama lainnya. Mengapa norma moral mengikat kita. Apa itu nilai dan apakah kekhususan nilai moral. Bagaimana hubungan antara tanggung jawab manusia dan kebebasan. Tema-tema seperti inilah yang menjadi objek penyelidikan etika umum. Achmad Charris Zubair, Kuliah Etika, ……, hal, 94. Endang Daruni Asdi, Sistem-Sistem Etika pada Masa Abad Pertengahan, Yogyakarta: Laporan Penelitian pada Fakultas Ilmu Filsafat Universitas Gadjah Mada, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1989, hal. 12. 47 Heru Santosa, Landasan Etis……, hal. 15-16. 45 46
72| Nilai dalam Wacana Filosofis
Kedua, etika khusus. Etika khusus ini berusaha menerapkan prinsip-prinsip etis yang umum atas wilayah perilaku manusia yang khusus. Dengan menggunakan suatu istilah yang lazim dalam konteks logika, dapat dikatakan juga bahwa dalam etika khusus itu premis faktual untuk sampai pada suatu kesimpulan etis yang bersifat normative juga. Etika khusus mempunyai tradisi, yang kerap kali dilanjutkan dengan memakai suatu norma baru, yaitu “etika terapan” (applied ethics). c. Metaetika Metaetika merupakan suatu studi analitis terhadap disiplin etika. Metaetika baru muncul pada abad XX, yang secara khusus menyelidiki dan menetapkan arti serta makna istilah-istilah normatif yang diungkapkan lewat pernyataan-pernyataan etis yang membenarkan atau menyalahkan suatu tindakan. Istilah-istilah normatif yang sering mendapat atau menjadi perhatian khusus antara lain, tentang keharusan, baik buruk, benar salah, yang terpuji, yang adil, yang baik, yang semestinya. Jan Hendrik Rapar,48 membagi aliran metaetika ke dalam enam teori yang cukup terkenal, yaitu: 1. Teori naturalis. Teori ini mengatakan bahwa istilahistilah moral sesungguhnya mengenai hal-hal atau fakta-fakta yang pelik dan rumit. Istilah-istilah normatif etik, seperti baik dan benar, dapat disamakan dengan istilah-istilah deskriptif, yang dikehendaki Tuhan, yang diidamkan, atau yang biasa. Teori naturalis ini juga berpendapat bahwa pertimbangan-pertimbangan moral dapat dilakukan lewat penyelidikan dan penelitian ilmiah. 2. Teori kognitif. Teori ini menyatakan bahwa pertimbangan-pertimbangan moral tidak selalu benar, sewaktu-waktu dapat keliru. Itu berarti keputusan 48
Jan Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat……, hal. 65-66. Bab 2, Kedudukan Etika dalam Filsafat Nilai
|73
3.
4.
5.
6.
moral dapat menjadi subjek pengetahuan atau kognisi. Teori kognitif dapat bersifat naturalis dan dapat juga bersifat non naturalis. Teori intuitif. Teori ini berpendapat bahwa pengetahuan manusia tentang baik dan yang buruk diperoleh secara intuitif. Teori intuitif menolak kemungkinan untuk memberi batasan-batasan nonnormatif terhadap istilah-istilah normatif etis. Bagi teori intuitif, pengetahuan manusia tentang yang baik dan yang buruk, atau benar tidaknya suatu perbuatan dan tindakan. Teori subjektif. Teori ini menekankan bahwa pertimbangan-pertimbangan moral sesungguhnya hanya dapat mengungkapkan fakta-fakta objektif. Karena itu, apabila seseorang mengatakan bahwa sesuatu itu benar, sebenarnya ia mengatakan bahwa ia menyetujui sesuatu itu benar demikian. Sebaliknya, ia hanya mengungkapkan ketidaksetujuan terhadap apa yang dikatakan salah itu. Teori emotif. Teori ini menegaskan bahwa pertimbangan-pertimbangan moral tidak mengungkapkan sesuatu apapun yang dapat disebut salah atau benar, kendati hanya secara subjektif. Pertimbangan-pertimbangan moral tidak lebih dari suatu ungkapan emosi semata-mata. Menurut teori emotif, istilah-istilah etis tidak memiliki makna apapun kendati hanya sebagai tanda dari luapan perasaan dan dalam hal ini, sama saja seperti kritikan, seruan dan umpatan. Teori imperatif. Teori ini berpendapat bahwa pertimbangan-pertimbangan moral sesungguhnya bukanlah ungkapan dari sesuatu yang dapat dinilai salah atau benar. Teori imperatif mengatakan bahwa istilah-istilah moral itu sesungguhnya hanya merupakan istilah-istilah samar dari keharusankeharusan ataupun perintah. Jadi, apabila dikatakan
74| Nilai dalam Wacana Filosofis
“kebohongan itu tidak baik”, yang dimaksudkan adalah “jangan berbohong”, atau dimaksudkan juga adalah “lakukanlah hal yang baik”. Teori emotif dan teori imperatif dapat dimasukkan ke dalam non-kognitisme. Teori subjek tidak dapat disebut non-kognitisme, emotinisme, dan imperatinisme dapat dimasukkan ke dalam skpetisisme. Golongan yang dapat masuk ke dalam skeptisisme adalah teori-teori yang mengajarkan bahwa sesungguhnya tidak ada kebenaran moral, yang mengemukakan bahwa prinsip-prinsip moral tidak dapat dibuktikan kebenarannya, yang berpendapat bahwa salah benarnya suatu perbuatan itu hanyalah semata-mata persoalan adat, kebiasaan atau selera, atau yang mengatakan bahwa norma-norma etis tidak mutlak. Karena itu, relativisme pun termasuk ke dalam skeptisisme karena relatif dan hanya benar serta berlaku dalam suatu lingkungan budaya tertentu dan dalam kurun waktu tertentu pula. G. Etika Religius Etika religius adalah ajaran etika yang mendasarkan pada kitab-kitab suci yang ada pada tiap-tiap agama. Tiaptiap kitab suci suatu agama berisi nilai-nilai dan ajaranajaran tentang cara hidup di dunia ini bersama dengan manusia lain dan makhluk ciptaan Tuhan lainnya. Cara-cara hidup menurut ajaran tiap agama harus dilakukan menurut norma-norma etika yang sesuai dengan ajaran tersebut. Norma-norma agama telah menentukan hukum-hukum tersebut bagi pelanggar norma-norma etika agama itu yang berlaku di dunia dan di akhirat kelak. Etika religius beranggapan bahwa perbuatan yang bermoral merupakan perwujudan dari iman. Iman merupakan relasi seorang pribadi manusia dan norma-moral menggerakkan keputusan-keputusan moral sebagai perwujudan dari iman itu sendiri. Bab 2, Kedudukan Etika dalam Filsafat Nilai
|75
Di Indonesia sebagai pedoman nilai-nilai etik adalah etik agama, sebab manusia Indonesia umumnya masih mematuhi agama masing-masing, malah ajaran etika agama dapat dianggap bahkan menjadi sebagai pedoman serta penuntun kehidupan. Etika mana pun juga tetap akan membawa kesejahteraan masyarakatnya dan member kepuasan kepada pemeluknya untuk memiliki tingkah laku yang baik, dan terutama karena nilai-nilai agama itu berlaku secara mutlak. Oleh sebab itu, etika agama harus dikenal dengan baik. Untuk itu, etika religius yang dipahami oleh setiap manusia sesuai dengan agama mana yang mereka anut dan peluk. oleh karenanya, di Indonesia sangat konsen dan dipatuhi oleh pemeluknya terhadap ajaran-ajaran yang telah menjadi pegangannya sesuai dengan agama yang menjadi kepercayaannya masing-masing. menurut Tashihiko Izutsu,49 etika religius adalah etika yang berdasarkan pada ajaran agama Islam, sebagaimana menurutnya: “konsep etika religius dalam al-Qur’an dengan banyak cara kita dapat memulai dari sistem hukum Islam yang luas dan terperinci, yang pada abad-abad selanjutnya, mampu mengatur fase tingkah laku manusia sampai sekecil-kecilnya. Sehingga kita bisa melihat bahwa al-Qur’an sebagai sumber asli dari semua perintah dan larangan” Al-Qur’an merupakan sumber segala-galanya bagi ajaran Islam, karena semua konsep tentang kehidupan tercantum di dalamnya. Konsep etika religius merupakan yang paling penting dan paling dasar dari semua yang berhubungan dengan moralitas. Pemikiran Islam dalam alQur’an tidak memberikan perbedaan yang jelas antara agama dan etika. Bahasa etik al-Qur’an dalam hal ini, yang 49 Tashihiko Izutsu, Konsep-Konsep Etika Religius dalam alQur’an, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997, hal. 3.
76| Nilai dalam Wacana Filosofis
tersusun atas berbagai konsep kunci yang berhubungan dengan etika sosial. Bidang ini pun, secara essensial mempunyai sifat religius, karena semua aturan tingkah laku pada akhirnya tergantung pada perintah dan larangan wahyu. Tetapi konsepnya membahas hubungan horizontal antara manusia yang hidup dalam komunitas religius yang sama, sementara konsep religius membahas hubungan vertikal antara manusia dengan Tuhannya.50 Berdasarkan ini, berarti nilai-nilai etika religius yang asasi terdapat dalam al-Qur’an. Semangat etika al-Qur’an tersebut hendaknya menjadi rantai penghubung (jiwa) antara ajaran al-Qur’an yang religius (agamis) dengan kajian disiplin-disiplin ilmu dan aturan-aturan yang bersifat duniawi (sekuler). Dengan demikian, hasilnya akan masih tetap mengandung nilai agamis, tentu tanpa meninggalkan ketentuan hukum yang sangat sedikit tapi pokok. Sehingga nilai ganda bersifat duniawi dan ukhrawi akan dapat diperoleh yang berkonsekuwensi pahala di akhirat kelak. Ajaran etika yang terdapat dalam al-Qur’an perlu penjabaran secara lebih lanjut.51 Etika Islam menggunakan ukuran kebaikan dan keburukan bersifat mutlak, pedomannya adalah al-Qur’an dan as-Sunnah. Dipandang dari segi ajaran yang mendasar, etika Islam tergolong ke dalam etika teologis. Menurut Ali Yafie, aliran ini berpendapat bahwa yang menjadi ukuran baik dan buruk bagi perbuatan manusia adalah yang didasarkan atas ajaran Tuhan. Segala perbuatan yang diperintahkan oleh Tuhan itulah yang baik dan segala perbuatan yang dilarang oleh Tuhan itulah perbuatan yang buruk, sebagaimana tertera di dalam kitab suci.
Tashihiko Izutsu, Konsep-Konsep Etika……, hal. 305. Ahmad Qodri A. Azizy, Islam dan Permasalahan Sosial: Mencari Jalan Keluar, Yogyakarta: LkiS, 2000, hal. 144. 50 51
Bab 2, Kedudukan Etika dalam Filsafat Nilai
|77
Etika Islam adalah doktrin etis yang berdasarkan ajaran-ajaran agama Islam yang terdapat dalam al-Qur’an dan Sunnah. Di dalamnya terdapat nilai-nilai luhur dengan sifat-sifat terpuji (mahmudah). Adapun sifat-sifat terpuji tersebut adalah ; setia dan jujur (amanah), pemaaf (al-afwu) berlaku benar (shiddieq), menepati janji (al-wafa), adil (‘adl), memelihara kesucian diri (al-iffafah), malu (haya’), kuat (quwwah), sabar (as-shabr), kasih sayang (ar-rahman), murah hati (as-sakha’u), tolong menolong (at-ta’awun), damai (al-ishlah), persaudaraan (al-ikha’), silaturahmi, menghormati tamu (adl-dliyafah), merendah diri (tawadlu’), menundukkan diri hanya kepada Allah (khusyu’), berbuat baik (al-ihsan), memelihara kebersihan badan (annadhafah), selalu cenderung kepada kebaikan (as-shalihah), merasa cukup dengan apa yang ada (al-qana’ah), tenang (sakinah), lemah lembut (ar-rifqu), dan lain-lain sikap dan sifat yang baik.52 Agama memberi makna dan nilai moral kepada hidup pribadi seseorang, masyarakat, dan kebudayaan. Maka, agama meletakkan landasan etik, moral dan spiritual bagi seluruh kegiatan penganutnya. Landasan etika mengacu kepada tanggung jawab bersama dan landasan moral mengenai apa yang baik dan apa yang buruk. Dikatakan baik karena menopang dan menghormati hidup, dan dikatakan buruk karena merusak kehidupan. Sementara landasan spiritual mengarahkan kegiatan pada kesejahteraan bersama sesuai dengan amanah dari Allah. Dalam pengertian ini, agama harus tampil sebagai sebuah kekuatan moral dan nilai yang besar dan kritis atau kekuatan etis yang berkarya dalam menyampaikan suarasuara pembaruan dan perubahan demi tercapainya sebuah tatanan hidup yang lebih baik, lebih sejahtera, lebih berkeadilan, lebih bebas dan manusiawi bagi semua orang.53 52 53
Hamzah Ya’qub, Etika Islam……,hal. 98. E.Y. Kanter, Etika Profesi Hukum……, hal. 168.
78| Nilai dalam Wacana Filosofis
Umumnya orang beragama berpendapat bahwa moralitas itu erat terkait dengan agama dan tidak mungkin orang dapat sungguh-sungguh hidup bermoral tanpa agama. Alasannya karena ; pertama, moralitas pada hakekatnya bersangkut paut dengan bagaimana manusia menjadi baik. Jalan terbaik untuk menjamin tercapainya kebahagiaan yang sejati adalah melaksanakan perintah dan kehendak Allah. Apa yang menjadi perintah dan kehendak Allah tidak mungkin dapat diketahui dan dipahami apabila tanpa adanya agama. Karenanya, moralitas atau hal hidup baik bagi manusia senantiasa mengandaikan agama. Kedua, agama merupakan salah satu pranata kehidupan manusia yang paling lama bertahan sejak dahulu kala. Dengan demikian moralitas dalam suatu masyarakat erat terjalin dengan praktek hidup beragama. Dan ketiga, tentunya agama dapat menjadi penjamin yang kuat bagi hidup bermoral. Henri Bergson (1859-1941) sebagaimana dikutip oleh I. Bambang Sugiharto dan Agus Rachmat,54 sumber moral haruslah suatu kenyataan yang supraintelektual, yang ada. Hanya berkat hubungan pribadi dengan Allah, manusia akan mampu mengatasi ikatan primordialnya yang egosentris atau sosiosentris serta mengarahkan diri dengan sepenuh hati kepada kemanusiaan. Kontak dengan Allah ini mengalir secara emosi kreatif (emotion creative) agar manusia menghargai sesamanya sebagai makhluk yang agung berharga dalam dirinya sendiri, dan bukannya sebagai lawan yang harus ditentang dan dikotak-kotakkan atau kawan sekelompok yang harus didahulukan. Keseluruhan pengertian tentang etika dalam alQur’an dapat dibagi dalam dua kategori. Pertama, istilahistilah yang berkaitan dengan etika kaum muslim dalam komunitas Islam (ummah), dan kedua,istilah-istilah etika 54 I. Bambang Sugiharto dan Agus Rachmat, Wajah Baru Etika dan Agama, Yogyakarta: Kanisius, 2000, hal. 114.
Bab 2, Kedudukan Etika dalam Filsafat Nilai
|79
yang bersifat keagamaan. Konsep-konsep etika tersebut menekankan sifat hakiki manusia sebagai makhluk religius.55 Manusia religius ini dalam waktu yang bersamaan adalah juga manusia yang berakhlak, manusia etis. Dasar etika al-Qur’an adalah keimanan kepada Allah. Iman menjadi titik tolak berperilaku. Karena dengan iman seseorang akan merasakan adanya Tuhan yang Maha Kuasa, Mahamurah, Mahakasih, Mahaadil, Maha Pengampun, Mahabenar dan Maha Mengetahui. Iman ini akan mendasari relasi etik seseorang kepada Tuhan dan sesamanya.56 Derajat iman seseorang tampak pada tingkatan iman yang menunjuk pada kebaikan atau perilaku yang dapat dinilai berdasarkan sejumlah indicator, seperti kecintaan pada perbuatan baik dan ketidaksenangan pada perbuatan buruk. Kehidupan muslim yang baik terwujud pada akhlak yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW. Hal ini sesuai dengan Sunnatullah (hukum-hukum yang telah ditetapkan oleh Allah SWT). Sejalan dengan penjelasan Toshiko Izutsu,57 Dawam Rahardjo,58 mengatakan bahwa konsep etika dalam al-Qur’an dapat dibedakan dalam tiga kategori berikut. Pertama, sifat-sifat etis pada Tuhan. Hal ini tercermin dalam sifat-sifat Allah, seperti Pengasih, Pemurah, Pengampun atau Adil. Ameer Ali,59 menegaskan bahwa kaum muslimin mengimani Allah sebagi Penguasa dari seluruh jagat raya. Allah itu Yang Mahasuci, Mahadamai, Mahasetia, Pemimpin para abdi-Nya, Pelindung anak yatim piatu, Penunjuk jalan bagi yang sesat, Penghibur bagi mereka yang mendapat musibah, Sahabat bagi mereka 55 M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedi al-Qur’an, Jakarta: Paramadina, 1996, hal. 418. 56 Tashihiko Izutsu, Konsep-Konsep Etika……, hal. 23-27.. 57 Tashihiko Izutsu, Konsep-Konsep Etika……, hal. 257. 58 M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedi al-Qur’an……, hal. 418-419. 59 Ameer Ali, The Spirit of Islam, London: Christophers, 1922, hal. 150.
80| Nilai dalam Wacana Filosofis
yang sedang terampas haknya ; dalam tangan-Nya terletaklah kebaikan, karena Dia adalah Mahamurah, Maha Pengampun, Yang Mendengarkan, Yang Pengasih, Yang Selalu Dekat, Yang Paling Baik Hati, yang cinta-Nya kepada manusia lebih lembut dari cinta manusia kepada anakanaknya. Allah sebenarnya tidak bertanggung jawab kepada siapapun, sehingga tidak bisa dikatakan bahwa Allah memiliki sifat atau sikap etis. Hanya saja Allah sendiri yang menyatakan sifat-sifat tersebut kepada manusia, yang ditangkap dan dinilai oleh manusia mengandung makna etis bagi dirinya sendiri. Kenyataan tentang sifat Tuhan ini mendasari konsep etika Ilahiyah. Kedua, sikap dasar manusia terhadap Allah. Sikap dasar ini merupakan respons etis manusia terhadap sifatsifat Tuhan. Itulah yang sidebut agama. Dalam artian ini, agama bisa disebut sebagai respons etis manusia terhadap sifat-sifat Tuhan. Respons itu diwujudkan dalam usaha penumbuhan sifat-sifat Ilahiyah pada diri seseorang sebagaimana telah diperintahkan oleh Nabi Muhammad SAW “Takhllaqu bi’akhlaqi Ilahi” (berakhlaklah dengan akhlak Tuhan). Sehingga manusia memiliki akhlak Tuhan, seperti adil, pemurah, kasih sayang dan pengampun kepada sesama. Jawaban manusia ini juga dinyatakan dengan bersyukur (syukr) melalui ibadah (shalat, puasa, zakat, haji) dan relasi yang baik dengan sesame manusia seturut akhlak Tuhan. Bila manusia menjalankan akhlak Tuhan, ia akan memperoleh nikmat, karunia, kasih saying dan ampunan dari Allah. Ketiga, prinsip-prinsip dan aturan perilaku bagi individu dan masyarakat. Hal ini diatur dengan seperangkat prinsip moral dengan segala turunannya. Itulah yang disebut etika sosial. Dasar utamanya adalah cinta persaudaraan. Cinta persaudaraan ini bukan hanya tertuju kepada sesame kaum muslim, tetapi juga kepada semua ras di atas bumi. Kaum muslim diwajibkan untuk toleransi dan mencintai semua orang. Setelah periode turunnya al-Qur’an Bab 2, Kedudukan Etika dalam Filsafat Nilai
|81
di zaman Nabi Muhammad, sistem ini menjadi hukum Islam yang bersumber pada al-Qur’an, Hadits, al-Qias, dan ijma’. Pada hakikatnya, ketiga konsep etika ini tidak dapat dipahami secara terpisah, akan tetapi berkaitan satu sama lain. Ketiga konsep ini berkaitan dalam konsep etika yang teosentris. Konsep etika manusia tidak terlepas dari konsep disekitar Tuhan, konsep etika manusia merupakan respon atas tindakan-tindakan Ilahiyah. Misalnya, dalam etika sosial keagamaan ada ketentuan bahwa manusia tidak boleh berbuat zalim kepada sesamanya. Karena Tuhan tidak pernah berbuat zalim kepada manusia sebagai umat-Nya. H. Aliran-Aliran dalam Etika 1. Naturalisme Aliran naturalism memandang bahwa, perbuatan yang sesuai dengan fitrah (naluri) manusia itu sendiri, baik mengenai fitrah lahir maupun fitran secara batin, atau yang menekankan dorongan-dorongan alamiah seseorang dipuaskan tanpa arahan dari suatu norma yang independen dari golongan-golongan ini.60 Kebahagiaan yang menjadi tujuan setiap manusia didapat dengan jalan memenuhi panggilan fitran (nature) kejadian manusia itu sendiri, oleh karena itulah aliran ini dinamakan dengan naturalism.61 Aliran ini berpendirian bahwa segala sesuatu dalam dunia ini akan menuju kepada suatu tujuan tertentu, yaitu dengan memenuhi panggilan nature setiap sesuatu akan dapat sampai kepada kesempurnaan. Benda-benda dan tumbu-tumbuhan juga menuju kepada tujuan yang satu dan akan dapat dicapainya secara otomatis tanpa pertimbangan atau perasaan. Hewan menuju kepada tujuan itu lewat naluri kehewanannya, sedangkan manusia akan menuju Loren Bagus, Kamus……, hal. 688. Endang Saifuddin Anshari, Ilmu, Filsafat dan Agama, Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1987, hal. 96. 60 61
82| Nilai dalam Wacana Filosofis
kepada tujuan itu dengan akal pikirannya. Akal bagi manusia menjadi washilah untuk mencapai tujuan kesempurnaan, maka manusia harus melakukan kewajibannya dengan berpedoman kepada akal, akallha yang menjadi pedoman hidup manusia sampai kapan pun tanpa batasannya. Tokoh aliran naturalism ini adalah Zeno (340-264 SM), merupakan filsuf Yunani yang terkenal dengan perguruan dan aliran “Stoa”. Zeno berpendapat bahwa dirinya adalah bahagian dari alam fitrahnya (nature). 2. Hedonismee Aliran hedonismee telah tersebar luas sebagai suatu sikap hidup, di samping hedonismee adalah salah satu dari teori etika yang paling tua bahkan dari abad kea bad aliran ini dapat ditemukan kembali. Aliran hedonismee bertolak dari pendirian bahwa menurut kodratnya manusia selalu menginginkan kenikmatan atau berupa kesenangan dalam hidup dan kehidupannya, yang dalam bahasa Yunani disebut “hedone”, dari kata inilah kemudian timbul istilah hedonismee.62 Karena kenikmatan dan kesenangan itu merupakan tujuan hidup manusia, maka menurut aliran ini jalan yang akan mengantarkan kepada kenikmatan dipandangnya sebagai keutamaan. Hedonismee pertama kali diperkenalkan oleh Aristippos pendiri mazhab Cyrene (400 SM). Aristippos adalah salah seorang murid dari Sokrates (469 – 399 SM), menurut Aristippos, kebahagiaan atau kenikmatan sama hal nya dengan kesenangan. Oleh karenanya, suatu perbuatan dapat disebut baik sejauh perbuatan itu dapat memberikan nilai kesenangan dan dapat memberikan kenikmatan.63 62 De Vos, Pengantar Etika, alih bahasa oleh Soejono Soemargono, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1987, hal. 161. 63 Mangunhardjana, Isme-Isme dalam Etika dari A sampai Z, Yogyakarta: Kanisius, 1997, hal. 90.
Bab 2, Kedudukan Etika dalam Filsafat Nilai
|83
Menurut Poespoprodjo, aliran hedonismee ini kemudian diperluas dan diperkenalkan kembali oleh Epicuros (341271 SM), bagi Epicuros hidup bukan hanya berupa kesenangan saja akan tetapi juga mendapatkan kedamaian, begitu juga dengan kesenangan intelektual lebih baik karena lebih bertahan lama, akan tetapi bagi manusia tidak cukup tanpa ada baginya berupa kesenangan-kesenangan inderawi. Epicuros kemudian juga berpendapat bahwa orang yang bijaksana dapat mengatur kehidupannya sedemikian rupa, sehingga ia dapat mencapai kesenangankesenangan dengan sebanyak mungkin dan ia tentunya mendapatkan kesedihan sangat sedikit sekali.64 Menurut Epicuros, ada tiga macam kenikmatan, yaitu : pertama,kenikmatan yang wajar dan sangat diperlukan sekali dan kenikmatan ini selalu didambakan oleh setiap orang, seperti makanan dan minuman. Kedua, kenikmatan yang wajar tetapi belum diperlukan sama sekali, yaitu seperti kenikmatan makanan yang enak lebih dari pada biasanya, dan ketiga, kenikmatan yang tidak wajar yaitu kenikmatan yang tidak diperlukan, yang dirasakan oleh manusia atas dasar pikiran yang salah, misalnya kemegahan harta benda. Tetapi menurut Epicuros, nikmat yang dicari oleh manusia haruslah berupa kenikmatan yang sesungguhnya, karena diantara kenikmatan ada yang mempunyai akibat yang justru bertentangan dengan kenikmatan, yakni berupa penderitaan. Dengan demikian, kenikmatan yang dicari oleh manusia menurut Epicuros adalah berupa kenikmatan yang tidak mengakibatkan penderitaan dalam kehidupan manusia.65 Hedonisme juga mempengaruhi filsuf Inggris, John Locke (1632-1704). John Locke berpendapat bahwa yang 64 W. Poespoprodjo, Filsafat Moral Kesusilaan dalam Teori dan Praktek, Bandung: Pustaka Grafika, 1999, hal. 60. 65 Hamzah Ya’cub, Etika Islam, Bandung: Diponogoro, 1996, hal. 44.
84| Nilai dalam Wacana Filosofis
disebut baik adalah apa yang menyebabkan kesenangan, sebaliknya, dinamakan jahat karena mendatangkan ketidaksenangan dalam diri manusia. Bahkan dalam kehidupan modern sekarang ini secara implicit, hedonisme kian lama kian bertumbuh subur. Prinsip-prinsip hedonistis sesungguhnya sedang berjalan hingga sekarang ini, hal ini tampak jelas dalam publisitas periklanan masyarakat yang sangat konsumeristis. Sesungguhnya hedonisme ini berkaitan erat dengan berbagai daya kemampuan (faculty) pada diri manusia, seperti kemampuan inderawi, inteletual dan spiritual. Perwujudan dan pemenuhan daya kemampuan tersebut justeru membawa rasa nikmat dan kesenangan tersendiri. Ada kesenangan inderawi karena dorongan pancaindera terpenuhi. Jika kita tahu sesuatu atau memperoleh pemahaman baru tentang sesuatu hal, maka kita merasakan kenikmatan intelektual. Bila kita dapat menghayati dan mempraktekkan nilai-nilai moral, maka kita mengalami kenikmatan moral. Demikian juga halnya kenikmatan religius akan dirasakan bila kita menghayati serta mengamalkan nilai-nilai religius, apalagi jika kita dapat bertemu dengan Tuhan yang selalu kita dambakan dan kita puja siang dan malam.66 Menurut Mangunhardjana, kenikmatan merupakan suatu kenyataan hidup, orang dapat merasakan yang namanya kenikmatan dalam bentuk, kadar dan frekuwensi yang berbeda. Kenikmatan yang dirasakan oleh seseorang tentunya akan berbeda dengan kenikmatan yang dirasakan oleh orang lain. Yang satu mungkin lebih kerap dari orang lain. Yang lain lagi kemungkinan lebih suka pada kenikmatan dalam kadar yang berbeda dan lebih sederhana, dan yang lainnya lagi lebih suka pada kenikmatan yang mewah. Ada yang lebih mengutamakan kenikmatan
66
E.Y. Kanter, Etika Profesi Hukum,……, hal. 26. Bab 2, Kedudukan Etika dalam Filsafat Nilai
|85
duniawi, dan ada yang lain lebih mementingkan kenikmatan religius.67 Menurut Kanter, hedonisme tidak dapat dijadikan berupa prinsip sekaligus sebagai patokan moral bagi suatu penilaian moral yang berupa baik dan buruk atas suatu perbuatan. Kenikmatan itu sendiri jelas bermacam-macam dan ada tingkatnya. Setiap orang pun merasakan kenikmatan yang berbeda, maka kenikmatan itu bersifat sebjektif. Hal ini berarti pula, kenikmatan itu bersifat relatif. Karena relative, kenikmatan tidak dapat diterima menjadi prinsip moral.68 Menurut Aristoteles, nikmat itu baik asal saja tidak menjadi tujuan. Segala kegiatan yang berhasil akan memberikan rasa nikmat yang tidak berhingga. Tanpa nikmat, kegiatan apapun terasa kurang sempurna. Baik buruknya perasaan nikmat bergantung pada perbuatan yang memberikan rasa nikmat tersebut, dikatakan baik, apabila perbuatan penghasil rasa nikmat itu adalah baik demikian halnya sebaliknya. Maka, nikmat itu bukanlah berupa suatu pengalaman bagi manusia yang bersifat mandiri, melainkan suatu pengalaman yang menyertai suatu tindakan yang lain. Sebagai tujuan, nikmat masih bergantung pada tujuan-tujuan yang lain pula. Itulah sebabnya, sikmat bukanlah tujuan terakhir bagi manusia, tujuan terakhir dan tertinggi manusia adalah kebahagiaan. 3. Eudemonisme Eudemonisme ini merupakan pandangan yang berasal dari filsuf Aristoteles. Aristoteles menegaskan bahwa dalam setiap kegiatan manusia ingin mencapai tujuan. Tujuan akhir yang ingin dicapai oleh manusia dan ini merupakan cita-cita manusia adalah berupa kebahagiaan. Eudemonisme berasal dari kata “eudaimonia”, yang secara 67 68
A. Mangunhardjana, Isme-Isme dalam Etika……, hal. 91. E.Y. Kanter, Etika Profesi Hukum,……, hal. 27-28.
86| Nilai dalam Wacana Filosofis
harfiah memiliki arti; mempunyai roh pengawal (demon) yang baik, artinya mujur dan beruntung. Dengan demikian, pertama-tama sekali mengacu kepada keadaan lahiriah, kemudian lebih dititikberatkan kepada suasana batiniah yang kemudian mempunyai arti “bahagia”, dalam arti hidup berbahagia atau kebahagiaan. Kata ini menggambarkan perasaan tenang terhadap diri sendiri maupun terhadap lingkungan, sebagai akibat pengetahuan mengenai berupa penyelarasan diri. Orang yang telah mencapai tingkatan eudemonia mempunyai keinsafan akan kepuasan yang sempurna tidak hanya secara jasmani, melainkan juga secara rohani.69 Prinsip dasar yang menjadi etikanya Aristoteles adalah bahwa hendaknya manusia hidup dan bertindak sedemikian rupa sehingga dapat mencapai hidup seperti yang dicita-citakan dan didamba-dambakan, yaitu mencapai hidup yang baik, yang bermutu, dan yang berhasil. Memperoleh hidup yang yang berhasil, sebagaimana yang dicita-citakan, itu apabila mencapai tujuan akhir yang dicapai melalui segala daya upaya dan cara, Aristoteles menyatakan, bahwa kebahagiaan yang diperoleh serta dicapai dengan cara mengejar kenikmatan, kekayaan, atau berupa kedudukan yang terhormat adalah merupakan pandangan yang salah. Hidup yang demikian merupakan tidaklah mungkin merupakan tujuan terakhir yang dikehendaki oleh manusia.70 Eudemonisme sebagai salah satu aliran dalam etika yang juga sudah tersebar luas, Aristoteles secara tegas menetapkan kebahagiaan sebagai tujuan akhir dari perbuatan manusia. Paham ini dapat mengambil dalam berbagai bentuk. Demikianlah ada juga berbentuk eudemonisme keagamaan, yang mengajarkan agar manusia mempersatukan dengan Tuhan demi mendapatkan 69 70
De Vos, Pengantar Etika……, hal. 168. Franz Magnis Suseno, ……., hal, 91. Bab 2, Kedudukan Etika dalam Filsafat Nilai
|87
kebahagiaan yang dapat diberikannya, apa pun sifat kebahagiaan tersebut.71 Sebagai titik pusat dari teori etika Aristoteles adalah berupa tindakan. Nilai tertinggi bagi manusia adalah terletak pada suatu tindakan yang merupakan kemampuan atau berupa potensialitas khas manusia. Manusia dapat mencapai kebahagiaan dengan cara mengembangkan diri. Manusia dalam mencapai kebahagiaan bukanlah dengan cara pasif dalam menikmati sesuatu, melainkan dalam bentuk bertindak. Dengan bertindak maka ia menjadi nyata. Suatu hidup yang bermutu tidak akan tercapai melalui nikmat yang pasif, melainkan akan diperoleh melalui hidup yang aktif. Jadi, yang membahagiakan adalah kalau kita mengembangkan diri sedemikian rupa sehingga bakatbakat yang kita punyai dan kita miliki dapat menjadi kenyataan. Manusia adalah makhluk yang banyak potensi, akan tetapi potensi-potensi tersebut baru menjadi suatu kenyataan kalau seandainya manusia mau merealisasikannya. Kebahagiaan akan tercapai dalam mempergunakan atau mengaktifkan bakat-bakat dan kemampuan-kemampuan yang dimilki oleh manusia. Manusia bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri, termasuk dalam mempertanggungjawabkan keahlian dan kemampuan yang dimilikinya. Oleh karenanya salah satu kewajiban dasar yang harus dilakukan oleh manusia adalah mengembangkan diri. Ia semakin dapat bahagia, semakin ia mengembangkan diri.72 Menurut Aristoteles, sebagaimana ditulis oleh Sumiyem,73 seseorang akan mencapai tujuan akhir dalam hidupnya yaitu dengan menjalankan fungsinya secara baik. Jika manusia menjalankan fungsinya sebagi manusia secara De Vos, Pengantar Etika……, hal. 169. Franz Magnis Suseno, 13 Tokoh Etika……, hal. 28. 73 Sumiyem, Makna Etis Upacara Begalan dalam Perkawinan Adat Banyumasan, Tesis Program Pascasarjana, Fakultas Ilmu Filsafat, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2002, hal, 56. 71 72
88| Nilai dalam Wacana Filosofis
baik, ia juga mencapai tujuan terakhirnya atau kebahagiaan. Menurut Aristoteles, akal budi atau rasio merupakan fungsi yang khas yang ada pada diri manusia, oleh karena itu manusia akan mencapai tujuan dengan menjalankan secara paling baik berupa kegiatan-kegiatan rasional nya dan tidak cukup melakukan demikian beberapa kali saja akan tetapi harus sebagai sikap yang tetap. Hal itu berarti kegiatankegiatan rasional itu harus dijalankan dengan disertai keutamaan. Menurut Aristoteles keutamaan adalah berupa sikap-sikap batin yang dimiliki oleh manusia. Dalam hal ini Aristoteles telah membagi keutamaan menjadi dua bagian, yaitu : keutamaan intelektual dan keutamaan moral. Keutamaan intelektual menyempurnakan secara langsung rasio itu sendiri. Dengan keutamaan moral, rasio menjalankan pilihan-pilihan yang perlu diadakan dalam kehidupan sehari-hari. Keutamaan menurut Aristoteles merupakan jalan tengah diantara dua jalan yang ekstrim dan berlawanan, keutamaan adalah keseimbangan antara kurang dan terlalu banyak. Jalan tengah memiliki keseimbangan dan keteraturan. Melalui jalan tengah orang dapat berada dalam wilayah yang sederhana, tidak berlebihan tapi tidak juga kekurangan. Keutamaan yang menentukan jalan tengah ini, oleh Aristoteles disebut berupa kebijaksanaan praktis (phronesis). Phronesis menentukan apa yang dianggap sebagai berkeutamaan dalam suatu situasi konkrit, karena itu keutamaan merupakan inti dari keseluruhan kehidupan moral. Kebahagiaan hanya dapat dicapai melalui tindakan yang mengaktualisasikan seluruh potensi yang ada dalam diri manusia. Kebahagiaan akan diraih hanya dengan mengembangkan diri. Lewat pengembangan diri, seseorang akan berupaya menemukan hidup yang baik, yaitu berupa hidup yang terasa bermakna, positif, bermutu, dan memuaskan. Itu dicapai lewat perenungan hal-hal Ilahi (theoria) dan partisipasi aktif dalam suatu kehidupan Bab 2, Kedudukan Etika dalam Filsafat Nilai
|89
bersama sebagi makhluk sosial (praxis). Hal itu sangat menentukan apakah ia menjadi bahagia atau tidak, apakah hidupnya menjadi bermutu/berhasil atau tidak. Erich Fromm (1900-1980) katakan bahwa mutu kehidupan manusia tidak ditentukan oleh apa yang dimiliki (having), melainkan oleh apa yang menjadi dirinya sendiri.74 Tindakan pengembangan diri dalam rangka untuk meraih kebahagiaan harus dipandu oleh rasio manusia itu sendiri. Dengan menjalankan kegiatan-kegiatan rasional secara baik dan tepat, maka manusia pasti mencapai tujuan terakhir itu. Tetapi kegiatan rasional itu mestilah dilakukan dengan memperhatikan keutamaan intelektual (aretai dianoetikai) dan keutamaan moral (aretai etikai). Keutamaan menjadi jalan tengah dalam proses pencarian itu. Misalnya, kemurahan hati adalah keutamaan yang menjadi jalan tengah itu oleh Aristoteles disebut kebijaksanaan praktis (phronesis). Phronesis merupakan kemampuan orang untuk mengambil sikap dan mengambil keputusan bijaksana dalam memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari, atau kebiasaaan bertindak berdasarkan pertimbangan yang tepat dalam menentukan baik dan buruk suatu perbuatan bagi manusia. Phronesis memuat kesadaran manusia. Kesadaran moral ini berkaitan dengan pilihan-pilihan rasional yang tepat terhadap nilai dan norma masyarakat. Manusia hidup dengan baik apabila ia dapat berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat, dalam kehidupan bernegara dan menjalankannya menurut aturan yang berlaku.75 Kebahagiaan memang merupakan yang selalu dicitacitakan oleh semua orang tanpa terkecuali siapa pun. Namun, kebahagiaan Aristoteles hanya berupa aspek horizontal, sementara aspek vertical (transcendental) tidak diperhitungkan. Padahal untuk mencapai kebahagiaan 74 75
E.Y. Kanter, Etika Profesi Hukum,……, hal. 28. E.Y. Kanter, Etika Profesi Hukum,……, hal. 29.
90| Nilai dalam Wacana Filosofis
sejati, manusia perlu mengusahakan kebahagiaan yang sesuai dengan makhluk moral dan religius. Kebahagiaan material dan kebahagiaan sosial hanyalah berupa alat dan sarana untuk mencapai kebahagiaan rohani. Kebahagiaan rohani adalah merupakan kebahagiaan yang terakhir bagi kehidupan manusia.76 4. Utilitarianisme Utilitarianisme diturunkan dari kata Latin utilis, yang berarti berguna, berfaedah, bermanfaat dan menguntungkan.77 Menurut aliran ini, yang baik adalah yang berguna, yang berfaedah dan yang menguntungkan. Sebaliknya, yang jahat atau buruk adalah yang tidak bermanfaat, tidak berfaedah dan merugi. Maka, baikburuknya suatu perilaku dan perbuatan bergantung pada keguanaannya. Keguanaan atau keuntungan menjadi prinsip, norma, criteria dan cita-cita moral.78 Utilitarisme tampil sebagai sistem etika yang telah berkembang, bahkan juga sebagai pendirian yang agak bersahaja mengenai hidup. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, aliran ini mengatakan bahwa orang yang baik adalah orang yang membawa manfaat, dan yang dimaksudkannya adalah agar setiap orang menjadikan dirinya membawa manfaat yang sebesar-besarnya. Akan tetapi dalam kenyataannya seseuatu yang bermanfaat tidak pernah berdiri sendiri; sesuatu hal senantiasa bermanfaat bagi sesuatu hal yang lainnya. Umpamanya, obat dapat bermanfaat untuk memulihkan kesehatan, sejumlah barang tertentu bermanfaat bagi pertanian, dan sebagainya. Begitu pula kebalikannya, hal-hal yang merugikan.79
76 A. Mangunhardjana, Isme-isme dalam Etika dar A sampai Z, Yogyakarta: Kanisius, 1997, hal. 53-57. 77 Hamzah Ya’cub, Etika Islam….., hal.44. 78 Bertens, Etika, ……, hal. 247-249. 79 De Vos, Pengantar Etika……, hal. 181.
Bab 2, Kedudukan Etika dalam Filsafat Nilai
|91
Menurut Franz Magnis Suseno,80 utilitarisme adalah meruapakan etika yang menilai kebaikan seseorang dari aspek apakah perbuatannya menghasilkan suatu yang baik atau tidak baik. Maksud yang sebenarnya dari aliran utilitarisme adalah agar semua orang selalu bertindak sedemikian rupa hingga sebanyak mungkin memberikan manfaat dan menghindari akibat buruk, dengan cara itu orang akan mendapatkan kebahagiaan. Yang khas bagi utilitarisme, bahwa akibat-akibat bauk yang ditimbulkan suatu perbuatan tidak hanya dipandang dari kepentingan si pelaku, akan tetapi juga bermanfaat bagi kepentingan semua orang yang terkena akibat dari tindakan tersebut. Tokoh aliran ini adalah Jeremy Bentham (1748-1832) dan John Mill (1806-1973). Menurut Bentham, kehidupan manusia ditentukan oleh dua ketentuan besar yaitu nikmat dan perasaan sakit sehingga tujuan moral tindakan manusia adalah memaksimalkan perasaan nikmat, dan meminimalkan perasaan sakit.81 Gagasan ini bertolak sekali dengan aliran hedonisme, Benthan merumuskan prinsip utilitarisme sebagai kebahagiaan yang sebesar mungkin bagi jumlah yang sebesar mungkin. Prinsip ini harus mendasari kehidupan politik dan reundang-undangan. Berbeda dengan Bentham, John Stuart Mill mengemukakan bahwa kebaikan yang tertinggi (summun bonum) adalah yang memberikan manfaat, maka segala tingkah laku manusia selalu diarahkan kepada pekerjaan yang membuahkan manfaat yang sebesar-besarnya.82 Lebih lanjut Sudiardja menjelaskan bahwa John Stuart Mill mengajarkan , suatu tindakan itu disebut baik kalau selaras dengan kecenderungan untuk memberikan kebahagiaan, salah kalau sebaliknya menghasilkan kesakitan. Bagi John 80 Franz Magnis Suseno, Etika Dasar, Masalah-masalah Pokok Etika Moral, Yogyakarta: Kanisius, 1987, hal. 122 81 Franz Magnisi Suseno, 13 Tokoh Etika sejak Zaman Yunani sampai Abad ke-19, Yogyakarta: Kanisius, 1997, hal. 180. 82 Hamzah Ya’qub, Etika Islam,….., hal. 45.
92| Nilai dalam Wacana Filosofis
Stuart Mill, tujuan moral bukanlah hanya sebatas untuk si pelaku, melainkan kebahagiaan itu untuk semua orang, dan kebahagiaan bukanlah sekedar untuk kebaikan melainkan kebaikan itu sendiri. Misalnya seseorang yang mengumpulkan uang sebanyak mungkin, bukan hanya semata-mata demi untuk uang itu sendiri, akan tetapi kebahagiaan yang ditimbulkan karena seseorang memiliki uang yang banyak, dengan demikian uang tersebut hanya dikejar sebagai sarana dari tujuan yang sesungguhnya. Selanjutnya bagi John Stuart Mill, kehidupan sosial adalah sesuatu yang wajar bagi manusia. Antara perhatian seseorang dan perhatian masyarakat tidak ada perbedaan yang jelas.83 John Stuart Mill menegaskan bahwa suatu tindakan dianggap baik dan betul apabila mendatangkan kebahagiaan dan salah apabila menghasilkan rasa sakit. Kebahagiaan itu dapat menjadi norma etis jika kebahagiaan tersebut mengenai banyak orang, bukan hanya untuk satu orang atau untuk si pelaku saja. Kebahagiaan satu orang tidak boleh dianggap lebih penting daripada kebahagiaan orang lain, sehingga raja dan seseorang bawahan harus diperlakukan sama dalam mendapatkan kebahagiaan, karenanya, setiap orang bertindak sedemikian rupa sehingga menghasilkan kebahagiaan sebesar mungkin bagi banyak mungkin orang. Sebagai pendirian etis, utilitarisme terasa masuk akal. Apa arti suatu perbuatan bila tidak mendatangkan kegunaan, manfaat atau keuntungan. Semua perbuatan baru bernilai manakala akibat dan tujuannya sudah dipertimbangkan. Karena itu, sebelum ditaati, aturan-aturan harus dapat dipertanggungjawabkan akibatnya bagi orang yang terkena aturan tersebut. Itu berarti, manusia harus bertanggung jawab atas perilaku dan perbuatannya. Karena manusia tidak hidup sendirian, tetapi bersama-sama orang lain dalam masyarakat. 83
W. Poespoprodjo, Filsafat Moral……, hal. 47. Bab 2, Kedudukan Etika dalam Filsafat Nilai
|93
Perasaan sosial merupakan tenaga yang kuat, yang mungkin meningkat kalau orang bertambah maju. Kalau orang bekerjasama dalam masyarakat sebagaimana mestinya, perhatiannya pun akan menjadi sama, sebab mereka sadar bahwa perhatian orang lain menurut hakikatnya berada dalam keadaan yang selaras dengan perhatian seseorang. Tujuan John Stuart Mill adalah hendak meningkatkan rasa senang yang sebanyak-banyaknya bukanlah tujuan untuk meningkatkan kebahagiaan bagi seseorang saja.84 Tujuan dari utilitarisme adalah mencari kesempurnaan hidup sebanyak mungkin baik dari segi kualiti maupun dari segi kuantiti. Jadi tujuannya adalah kebahagiaan (happiness) orang banyak. Pengorbanan misalnya dipandang baik apabila pengorbanan itu mendatangkan manfaat, lain daripada itu hanyalah pengorbanan yang dianggap sia-sia belaka. 5. Deontologi Deontologi berasal dari bahasa Yunani deon, yang memiliki arti apa yang harus dilakukan, kewajiban teoti deontologi menganggap suatu tindakan dapat dibenarkan dengan menunjukkan bahwa suatu tindakan itu benar, bukan dengan menunjukkan tindakan-tindakan tersebut mempunyai akibat baik. Jadi etika deontologis berpendapat bahwa moralitas suatu tindakan melekat pada tindakan itu sendiri, bukan tergantung kepada akibat-akibatnya.85 Aliran etika deontologi berpendapat bahwa suatu tindakan dilakukan semata-mata berdasarkan tindakan itu sendiri, artinya suatu tindakan bernilai moral disebabkan tindakan tersebut dilaksanakan berdasarkan kewajiban Heru Santosa, Landasan Etis……, hal. 37. Ridwan Ahmad Sukri, Kebebasan Moral dalam Pandangan John Stuart Mill dan Fazlur Rahman, Suatu Studi Etika Komparatif, Yogyakarta: Laporan Penelitian, Departemen Pendidikan Nasional Fakultas Ilmu Filsafat, Universitas Gadjah Mada, 2000, hal. 5. 84 85
94| Nilai dalam Wacana Filosofis
yang memang harus dilaksanakan, terlepas dari apapun akibat dari tindakan tersebut, karena pada dasarnya kewajiban merupakan kebaikan. Melaksanakan kebaikan merupakan tuntutan dari kodrat manusia. Dengan demikian, kewajiban adalah merupakan keharusan atau merupakan keniscayaan dari principium identitas atau manusia adalah manusia, karena itu manusia harus berlaku sebagai manusia dan jika tidak maka manusia dianggap sebagai manusia yang mengingkari kemanusiaannya sendiri.86 Menurut A. Sonny Keraf,87 etika deontologi adalah suatu tindakan dinilai baik atau buruk berdasarkan apakah tindakan itu sesuai atau tidak dengan kewajiban, suatu tindakan dianggap baik karena tindakan itu memang baik pada dirinya sendiri, sehingga merupakan kewajiban yang harus dilakukan. Etika ini sama sekali tidak mempermasalahkan akibat dari tindakan tersebut, baik atau buruk. Akibat dari suatu tindakan tidak pernah diperhitungkan untuk menentukan kualitas moral dari suatu tindakan. Menurut Lili Thahjadi,88 sistem moral deontologi diciptakan oleh Immanuel Kant (1724-1804) seorang filsuf Jerman. Kant berpendapat, yang dapat dikatakan baik dalam arti yang sesungguhnya, tanpa adanya pembatasan, hanyalah berupa kehendak baik. Sejauh seseorang berkehendak baik, maka ia dianggap baik. Kehendak baik itu selalu baik dan dalam kebaikannya tidak bergantung pada sesuatu di luar dirinya. Sedangkan semua hal lain yang baik, seperti watak, kesehatan, dan kekayaan, bukan baik pada dirinya sendiri, melainkan hanya baik secara terbatas 86 Driyarkara, Pancasila dan Religi, Mencari Kepribadian Nasional, Bandung: PT Jemmars, 1977, hal. 28. 87 A. Sonny Keraf, Etika Lingkungan, Jakarta: Kompas, 2002, hal. 9. 88 S.P. Lili Tjahjadi, Hukum Moral: Ajaran Immanuel Kant tentang Etika dan Imperatif Kategoris, Yogyakarta: Kanisius, 1991, hal. 50.
Bab 2, Kedudukan Etika dalam Filsafat Nilai
|95
atau dengan syarat. Yakni, jika semua itu diabadikan dan dipakai oleh kehendak baik. Karena bila dipakai oleh kehendak jahat manusia, maka akan menjadi jelek sekali. Bahkan keutamaan-keutamaan pun dapat disalahgunakan oleh kehendak yang jahat. Sehingga syarat mutlak bagi pelbagai sifat manusia adalah kehendak baik. Kehendak menjadi baik jika kehendak itu mau melakukan kewajiban. Suatu perbuatan dilakukan karena wajib dilakukan. Bila perbuatan itu dilakukan dengan maksud atau memiliki motif yang lain, perbuatan itu tidak dapat disebut baik, kendatipun motifnya luhur. Tetapi, perbuatan itu juha tidak baik bila dilakukan berdasarkan atau sesuai dengan kewajiban. Karena jika perbuatan dilakukan berdasarkan kewajiban, itu disebut legalistis, dan itu belum memenuhi norma moral. Baru semata-mata karena kewajiban, perbuatan itu dinilai baik.89 Menurut Kant, kemauan baik adalah syarat mutlak untuk bertindak secara moral. Kemauan baik menjadi kondisi yang mau tidak mau harus dipenuhi agar manusia dapat bertindak secara baik, sekaligus membenarkan tindakannya. Tindakan yang baik adalah tindakan yang tidak saja sesuai dengan kewajiban tetapi karena dijalankan berdasarkan dan demi kewajiban. Kant menolak segala tindakan yang bertentangan dengan kewajiban sebagai tindakan yang baik, walaupun tindakan itu mendatangkan konsekuensi yang baik.90 Franz Magnis Suseno91 berpendapat, ada tiga kemungkinan orang memenuhi kewajibannya. Pertama, karena hal itu menguntungkan, seperti mendapat nama baik pada langganan, dan ini hanya masalah kebijaksanaan. Kedua, karena merasa langsung mendorong dalam hati, seperti membantu orang yang menderita karena terdorong E.Y. Kanter, Etika Profesi Hukum……, hal. 33. A. Sonny Keraf, Etika Lingkungan……, hal. 10. 91 Franz Magnis Suseno, 13 Tokoh Etika……, hal. 144. 89 90
96| Nilai dalam Wacana Filosofis
oleh rasa kewajiban, dan ini termasuk masalah konstitusi emosional. Ketiga, karena demi kewajiban yang baik, karena hanya mau memenuhi apa yang telah menjadi kewajiban, dan ini adalah kehendak yang baik, tanpa adanya pembatasan. Melakukan perbuatan demi kewajiban adalag betul-betul perbuatan moral. Melakukan suatu kewajiban karena mau memenuhi kewajiban disebut moralitas. Lantas, apakah yang menjadi suatu kewajiban moral. Menurut Kant, sebagaimana dijelaskan oleh Kanter,92 yang criteria tersebut adalah inperatif kategoris. Kewajiban moral mengandung suatu inperatif kategoris, yakni inperatif (perintah) yang mewajibkan begitu saja, tanpa syarat, tanpa pengecualian, dan mengungkapkan suatu keharusan. Engkau harus begitu saja untuk melakukan suatu perbuatan. Misalnya, janji harus selalu ditepati, entah itu dilakukan dengan senang hati atau tidak. Imperatif kategoris menjiwai semua peraturan etis sehingga dapat berlaku umum, selalu, dan di mana-mana. Inperatif kategoris ini memuat perintah, bertindaklah secara moral. Perintah ini tidak bergantung pada pelbagai maksud atau tujuan atau kondisi, melainkan berlaku di mana dan kapan saja, tanpa pengecualian. Sedangkan perintah yang lain selalu mengandaikan adanya syarat dan pengecualian (inperatif hipotesis), sehingga tidak dapat menjadi norma moral. Dasar seseorang dapat bertindak sesuai dengan imperatif kategoris adalah otonomi kehendak, dan bukan heteronomi kehendak. Otonomi kehendak memainkan peranan penting dalam pelaksanaan inperatif kategoris. Kehendak bersifat otonom manakala dapat menentukan diri sendiri. Sedangkan heteronomi kehendak membiarkan diri ditentukan oleh faktor dari luar diri seperti kecenderungan atau emosi. Otonomi kehendak memberikan hukum moral kepada dirinya sendiri dan mendorong seseorang untuk 92
E.Y. Kanter, Etika Profesi Hukum……, hal. 34-35. Bab 2, Kedudukan Etika dalam Filsafat Nilai
|97
mengikuti hukum moralnya sendiri. Menurut Bertens,93 dengan adanya keotonomian kehendak itu diketemukanlah kebebasan manusia. Kebebasan ini tidak berarti bebas dari segala ikatan, akan tetapi manusia itu bebas dengan mentaati hukum moral. Nilai tertinggi bagi manusia adalah penyatuan kebahagiaan dengan moralitas. Dalam hidup sekarang ini dan di sini, moralitas tidak menjamin kebahagiaan. Maka, nilai tertinggi ini baru akan terpenuhi dalam hidup sesudah hidup sekarang ini dan di sini, itu pun jika jiwa tidak ikut mati. Agar perbuatan dan kesadaran moral tidak percuma, maka harus diakui bahwa jiwa tidak mati dan adanya pengada yang mahatahu, mahakuasa, dan suci. Hanya Dialah, Allah, yang dapat menjamin pemenuhan nilai tertinggi. Daftar Rujukan A. Mangunhardjana, Isme-isme dalam Etika dar A sampai Z, Yogyakarta: Kanisius, 1997. A. Sonny Keraf, Etika Lingkungan, Jakarta: Kompas, 2002. A.S. Hornby, Oxford Advanced Learner’s Dictionary, London: Oxford University Press, 1995. AI. Purwa Hadiwardoyo, Moral dan Masalahnya, Yogyakarta: Kanisius, 1990. Alexandra Indrayanti Dewi, Etika dan Hukum Kesehatan, Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2008. Ahmad Qodri A. Azizy, Islam dan Permasalahan Sosial: Mencari Jalan Keluar, Yogyakarta: LkiS, 2000. Achmad Charris Zubair, Kuliah Filsafat, Jakarta: Rajawali Press, 1987. 93
K. Bertens, Etika….., hal. 257.
98| Nilai dalam Wacana Filosofis
Ameer Ali, The Spirit of Islam, London: Christophers, 1922. Burhanuddin Salam, Etika Sosial Asas Moral Terhadap Kehidupan Manusia, Jakarta: Rineka Cipta, 1997. De Vos, Pengantar Etika, alih bahasa oleh Soejono Soemargono, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1987. Driyarkara, Pancasila dan Religi, Mencari Kepribadian Nasional, Bandung: PT Jemmars, 1977. E. Y. Kanter, Etika Profesi Hukum, Sebuah Pendekatan SosioReligius, Jakarta: Storia Grafika, 2001. Endang Saifuddin Anshari, Ilmu, Filsafat dan Agama, Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1987. Endang Daruni Asdi, Sistem-Sistem Etika pada Masa Yunani Kuno, Yogyakarta: Laporan Penelitian Fakultas Filsafat, Universitas Gadjah Mada, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Franz Magnis Suseno, Etika Dasar, Masalah-Masalah Pokok Etika Moral, Yogyakarta: Kanisius, 1987. _________, Kuasa dan Moral, Jakarta: Gramedia, 1985. _________, 13 Tokoh Etika Sejak Zaman Yunani sampai Abad ke-19, Yogyakarta: Kanisius, 1996. Franz von Magnis, Seri Driyarkara, Etika Umum, MaslahMaslah Pokok Filsafat Moral, Yogyakarta: Yayasan Kanisius, 1975. Gunawan A, Setiardja, Dialektika Hukum dan Moral dalam Pembangunan Masyarakat Indonesia, Yogyakarta: Kanisius, 1990. Hamzah Ya’qub, Etika Islam, Bandung: Diponogoro, 1996. Heru Santosa, Landasan Etis bagi Perkembangan Teknologi, Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 2000. Bab 2, Kedudukan Etika dalam Filsafat Nilai
|99
Husainy Ismail, Jalan Menuju Filsafat, Suatu Uraian Pendahuluan Ilmu Filsafat, Banda Aceh: Syiah Kuala University Press, 1993. I. Bambang Sugiharto dan Agus Rachmat, Wajah Baru Etika dan Agama, Yogyakarta: Kanisius, 2000. James F. Drane, Religion and Ethics, New York: Paulist Press, 1976. Jan Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat, Yogyakarta: Kanisius, Pus Wilayah, 1996. K. Bertens, Etika, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Depdikbud, 1988. Lorens Bagus, Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2000. M. Amin Abdullah, Falsafah Kalam di Era Postmodernisme, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009. M.
Dawam Rahardjo, Ensiklopedi Paramadina, 1996.
al-Qur’an,
Jakarta:
M. Yatimin Abdullah, Pengantar Studi Etika, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006. Mangunhardjana, Isme-Isme dalam Etika dari A sampai Z, Yogyakarta: Kanisius, 1997. Ridwan Ahmad Sukri, Kebebasan Moral dalam Pandangan John Stuart Mill dan Fazlur Rahman, Suatu Studi Etika Komparatif, Yogyakarta: Laporan Penelitian, Departemen Pendidikan Nasional Fakultas Ilmu Filsafat, Universitas Gadjah Mada, 2000. S.A. Kodhi, Referendum dalam Negara Demokrasi Pancasila, Suatu Tinjauan Kefilsafatan dan Yuridis Konstitusional, Yogyakarta: Universitas ATMA JAYA, 1988. 100| Nilai dalam Wacana Filosofis
S.P. Lili Tjahjadi, Hukum Moral: Ajaran Immanuel Kant tentang Etika dan Imperatif Kategoris, Yogyakarta: Kanisius, 1991. Suhardi, Makna Etis Cangget Agung dalam Adat Perkawinan Tulang Bawang, Yogyakarta: Tesis Program Studi Ilmu Filsafat, Jurusan Ilmu-Ilmu Humaniora, Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, 2002, hal. 96. Sumiyem, Makna Etis Upacara Begalan dalam Perkawinan Adat Banyumasan, Tesis Program Pascasarjana, Fakultas Ilmu Filsafat, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2002. Tashihiko Izutsu, Konsep-Konsep Etika Religius dalam alQur’an, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997. W. Poespoprodjo, Filsafat Moral Kesusilaan dalam Teori dan Praktek, Bandung: Pustaka Grafika, 1999.
Bab 2, Kedudukan Etika dalam Filsafat Nilai
|101
102| Nilai dalam Wacana Filosofis
Bab 3 KEDUDUKAN ESTETIKA DALAM
FILSAFAT NILAI Oleh: Ernita Dewi
A. Pendahuluan Diskursus tentang nilai menjadi semakin urgen dan menarik untuk dikaji seiring dengan perkembangan peradaban manusia yang semakin mengabaikan makna nilai dalam kehidupannya. Teknologi komunikasi yang berkembang pesat menggiring manusia untuk mulai berpikir praktis individualis dan cendrung melihat nilai pada aspek material saja, bahkan terkadang bebas dari nilai baik itu secara etika maupun estetika. Nilai merupakan tema baru dalam filsafat, dan aksiologi sebagai cabang dari filsafat telah mempelajari nilai secara lebih mendalam. Problematika tenteng nilai muncul untuk pertama kalinya pada paroh kedua abad ke-19. Sebelumnya beberapa filsuf telah membicarakan tentang nilai termasuk Plato yang telah membahas tentang nilai secara mendetail dalam karyanya, dan bahwa keindahan, kebaikan, dan kesucian merupakan tema yang penting bagi para pemikir di sepanjang zaman.1 Begitu juga dengan minat untuk mempelajari keindahan belum menghilang sama sekali, keindahan sebagaimana yang nampak dewasa ini sebagai salah satu perwujudan dari cara pandang yang khas terhadap dunia, sebuah cara yang disebut dengan nilai. Penemuan ini merupakan salah satu penemuan yang terpenting dalam filsafat dewasa ini, dan secara mendasar mengandung arti 1 Risieri Frondizi, What is Value, terj. Cuk Ananta Wijaya Filsafat Nilai,(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007) hal.1
Bab 3, Kedudukan Estetika dalam Filsafat Nilai
|103
perbedaan antara ada (being) dengan nilai (value). Baik pada zaman kuno maupun pada zaman moderen, orang tanpa menyadarinya, menempatkan nilai di bawah dan mengukur keduanya dengan tolok ukur yang sama. Dewasa ini penelitian tentang nilai dilakukan dengan melibatkan semua unsur yang tidak dapat dipisahkan sebagai suatu kajian nilai yang bersifat menyeluruh. Oleh karena itu, saat ini etika ataupun estetika sebagai warisan filsafat kuno, mulai melangkah jauh ke depan ke arah peningkatan kemampuan untuk mengkaji nilai sebagaimana adanya.2 Berbicara tentang nilai berarti kita mendiskusikan sesuatu yang tidak ada untuk dirinya sendiri, setidaknya di dunia ini nilai membutuhkan pengemban untuk mengakui keberadaannya. Oleh karena itu nilai nampak kepada kita seolah-olah hanya merupakan kualitas dari pengemban nilai itu, keindahan dari sebuah lukisan, kebagusan dari sepotong pakaian, kegunaan dari sebuah peralatan. Munculnya suatu nilai setelah ada benda yang kemudian dikaji dan diberikan penilaian yang dapat dikategorikan dalam bentuk indah atau jelek, baik atau buruk, berguna atau tidak berguna, dan nilai positif seperti keadilan, kesenangan atau nilai negatif seperti ketidakadilan dan kesulitan. Selain itu nilai juga tersusun secara hirarkhis, yakni ada nilai yang lebih tinggi dan ada nilai yang lebih rendah. Orang mungkin membagi manusia menjadi gemuk dengan yang kurus, yang tinggi dengan yang pendek, yang belum kawin dan yang sudah kawin, dan sebagainya tanpa perlu mengartikan bahwa kelompok satu lebih penting daripada kelompok lain. Nilai dalam bentuk hirarkhi juga ditunjukkan dengan tabel penilaian tentang seorang anak berprestasi mendapatkan nilai tertinggi dan anak yang prestasinya kurang mendapatkan nilai yang rendah.
2
Risieri Frondizi, What is…, hal.2
104| Nilai dalam Wacana Filosofis
B. Pengertian Estetika Kata estetika berasal dari kata kerja Yunani yang berarti merasakan (to sense, or perceive). Kata tersebut mempunyai akar yang sama dengan kata teori dan teater. Pengalaman estetika tergolong dalam tingkat persepsi dalam pengalaman manusia. Agar lebih jelasnya untuk memahami estetika maka terlebih dahulu harus dipahami perbedaan antara sensasi atau rasa indera (sensation), percept dan concept. Karena adanya suatu perangsang, kita menerima sensation melalui salah satu panca indera.3 Istilah estetika sendiri baru muncul tahun 1750 oleh seorang filsuf minor bernama A.G Baumgarten (1714-1762), istilah ini diambil dari bahasa Yunani Kuno, aistheton, yang berarti “kemampuan melihat lewat penginderaan”. Baumgarten menamakan seni itu sebagai pengetahuan sensoris, yang dibedakan dengan logika sebagai pengetahuan intelektual. Tujuan estetika adalah keindahan, sedangkan tujuan adalah kebenaran. 4 Estetika adalah filsafat tentang nilai keindahan, baik yang terdapat di alam maupun dalam aneka benda seni buatan manusia. Istilah estetika muncul pertama sekali di linkungan barat, mulai sejak zaman Yunani kuno yaitu Plato, Aristoteles dan Sokrates. Sampai sekarang masih menjadi persoalan, Filsafat estetika yang timbul pada zaman Yunani merupakan bagian dari pemikiran filsufis seorang filsuf. Karena filsafat berupaya memberikan jawaban yang mendasar tentang segala hal secara logis, maka persoalan seni dan keindahan juga menjadi persoalan yang harus dijawab. Estetika adalah salah satu cabang filsafat yang didalamnya mencari suatu keidahan, atau segi-segi
Harold H.Titus,Living Issue in Philosophy, terj, Persoalanpersoalan Filsafat, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), hal.125 4 Jacob Sumardjo, Filsafat Seni, (Bandung: ITB, 2000), hal.25 3
Bab 3, Kedudukan Estetika dalam Filsafat Nilai
|105
penyelidikan terhadap hakekat keindahan.5 Di sisi lain, estetika disebut juga sebagai sesuatu yang dibahas dalam filsafat nilai ditinjau dari segi akhlak yang bersifat perilaku baik-buruk (indah-jelek). Akan tetapi dalam memaknai arti estetika para ahli berbeda pendapat tentang arti estetika sebagaimana ungkapan ahli berikut ini:“Estetika pada mulanya diartikan dengan teori tentang penyerapan penghayatan pengamalan indera. Kemudian dikembangkan menjadi hakekat seni dan keindahan yang dimasukkan ke dalam lapangan nilai,sehingga Jonan Cohn (Jerman) menyebutkan sebagai teori tentang keindahan dan seni. Bahkan Max Desair (Jerman) menambahkan lapangan estetika lebih jauh dari keindahan belaka, tetapi termasuk juga yang sedih, lucu, bergaya, kemilau, dan yang buruk serta etotika (percintaan laki-laki dan perempuan) sedangkan Teodoee Lipps mengatakan bahwa hakikat estetika adalah kesan yang dibentuk oleh alam, yang menyusup dalam diri manusia.6 Pengalaman estetik yang merupakan hasil dari pengalaman perceptual biasanya bersifat visual (terlihat) atau auditory (terdengar) walaupun tidak terbatas kepada dua bidang tersebut. Pengalaman keindahan mungkin ada hubungannya dengan rasa sentuh, rasa atau bau. Pengalaman keindahan mencakup perhatian yang menyenangkan dan pengalaman-pengalaman perceptual sejauh ia timbul yang bebas dari pengaruh terhadap suatu fenomena, baik yang alami atau yang dibuat manusia. Emosi estetik dapat dibangkitkan karena hasil-hasil kesenian ketika seorang seniman berusaha menimbulkan respons, tetapi juga dibangkitkan oleh bermacam-macam objek atau
Louis O, Kattsoff, Elements of Philosophy, terj. Pengantar Filsafat, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1996), hal.378 6 Harold H.Titus, Living Issues…, hal.115 5
106| Nilai dalam Wacana Filosofis
pengalaman-pengalaman yang terjadi, kadang-kadang secara tidak disangka-sangka dalam kehidupan sehari-hari.7 C. Nilai dan Estetika (Keindahan) Terdapat bermacam-macam pendapat tentang objek apakah yang menarik respon estetik dari suatu benda seni. Keindahan terletak dari imajinasi atau pada kreatifitas seni yang memunculkan nilai praktis. Seringkali seseorang tidak dapat mengatakan bahwa benda-benda tertentu pada zaman sekarang merupakan karya seni yang mengandung nilai estetis. Jika kita sendiri tidak menemukan keindahan estetis dalam benda yang untuk orang lain sangat bernilai, lebih baik kita menangguhkan pertimbangan kita sehingga kita dapat melakukan analisa yang tepat tentang pengalaman keindahan. William James mengatakan bahwa manusia tidak mempunyai mata selain untuk melihat aspek benda-benda yang sudah terlatih untuk membedakannya. Dalam syair atau seni, kita memerlukan orang dapat memberitahukan kepada kita, aspek apa yang harus ditonjolkan, efek apa yang harus dikemukakan, dan efek apa yang harus dikagumi, sebelum rasa keindahan berkembang penuh. Latiha mata dan telinga yang berlangsung lama sangat diperlukan utuk menemukan nilai estetik yang murni.8 Ketika seseorang dihadapkan untuk memilih nilainilai yang diperlukan dalam hidupnya, maka ada kesepakatan yang berlaku secara luas tentang kelompok nilai tertentu yaitu nilai agama, moral, estetik, intelektual, keilmuan, ekonomi dan sebagainya. Disamping itu ada kesepakatan mengenai jumlah nilai tersebut, seperti Harold H. Titus, Living Issue…,hal.126 Louis O, Kattsoff, Elements of Philosophy, terj. Pengantar Filsafat, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1996), hal.378 Harold H. Titus, Living Issue…, hal. 128 7
88
Bab 3, Kedudukan Estetika dalam Filsafat Nilai
|107
wataknya, hubungannya antara yang satu dengan yang lainnya, derajat masing-masing dan prinsip-prinsip yang harus kita pakai untuk mengadakan pilihan. Keputusan kita tentang nilai selalu dipengaruhi oleh bermacam-macam nilai tradisional yang kita wariskan dari masa lalu dan yang terpancang dalam bahasa, adat istiadat dan lembaga-lembaga kita. Pemikir-pemikir Yunani membicarakan berbagai macam nilai seperti kebaikan, kebenaran, keindahan, dan kebahagiaan. Aristoteles dalam bukunya yang berjudul Ethics mengemukakan beberapa keutamaan nilai. Dalam Islam terdapat nilai-nilai kebaikan sebagaimana yang tercantum dalam Alquran dan hadis Nabi Muhammad Saw, yang menjadi pedoman dan landasan bertindak kaum muslimin. Secara umum nilai dapat dibagi dalam bentuk nilai intrinsik dan ekstrinsik. Suatu benda adalah berharga secara intrinsik (baik dari dalam dirinya sendiri) jika benda itu dinilai untuk dirinya bukan karena ia dapat menghasilkan sesuatu lainnya. Sesuatu benda adalah berharga secara ekstrinsik (baik karena sesuatu hal dari luar) jika benda itu merupakan sarana untuk mendapatkan benda lain. Kebanyakan benda-benda yang kita lihat dan kita pakai dalam aktivitas kita sehari-hari, dari buku-buku sampai komputer, juga gedung-gedung dan lembagalembaga semua itu mengandung nilai ekstrinsik.9 Nilai-nilai instrinsik dan ekstrinsik tidak harus terpisah satu dengan yang lainnya. Benda yang sama dapat bernilai instrinsik dan kemudian dapat berubah nilainya menjadi ekstrinsik. Contohnya pengetahuan dapat dinilai baik untuk dirinya sendiri dan juga sebagai sarana untuk hal-hal yang lain serta berharga seperti keberhasilan ekonomi dan kekuasaan. Nilai juga ada yang bersifat permanen dan kurang permanen, untuk itu nilai yang permanen harus 9
Harold H.Titus, Living Issue…, hal.129
108| Nilai dalam Wacana Filosofis
didahulukan dari nilai yang kurang permanen. Sebagai contoh nilai ekonomi akan habis dalam aktivitas kehidupan. Uang yang kita miliki akan seketika habis setelah kita berbelanja atau maka-makan di restoran. Akan tetapi nilai pesahabatan akan tetap abadi jika kita dapat saling menjaganya, dan nilai ilmu pengetahuan akan tetap ada selama kita mampu berbagi dengan orang lain untuk tujuan memberikan pencerahan dan kecerdasan bagi yang membutuhkan. Nilai kasih sayang akan senantiasa bertahan ketika seseorang dengan penuh keikhlasan tanpa pamrih mau menolong orang lain. Meskipun sangat dibutuhkan, namun nilai ekonomi dan fisik tidak akan memuaskan secara permanen bagi pemenuhan kebutuhan hidup manusia, karena sifatnya yang instrinsik. Akan tetapi sepanjang sejarang pengalaman hidup manusia telah menunjukkan bahwa nilai-nilai sosial, intelektual, estetik dan agama lebih memberi kepuasan daripada nilai-nilai material.10 D. Makna Nilai dalam Aspek Subjektif dan Objektif Nilai itu “objektif” jika tidak tergantung pada subjek atau kesadaran yang menilai, sebaliknya nilai itu subjektif jika eksistensinya, maknanya, dan validitasnya tergantung pada reaksi subjek yang melakukan penilaian, tanpa mempertimbangkan apakah ini bersifat psikis ataupun fisis. Adakalanya seseorang cendrung memberikan penilaian bersifat subjektif, ketika merasakan telah menemukan di dalam sudut pandang yang berlawanan tentang suatu khayalan belaka, sama dengan orang yang menjadi korban halusinasi menakutkan akibat bayangan tentang hantu yang diciptakannya sendiri. Di sisi lain, adakalanya ketika ia menunjukkan bukti kepada kita tentang nilai itu merupakan realitas objektif yang seharusnya diajukan sesuai dengan 10
Harold H.Titus, Living Issue…, hal.130 Bab 3, Kedudukan Estetika dalam Filsafat Nilai
|109
bukti-bukti yang dibutuhkan. Ketika seseorang menciptakan satu karya seni yang tidak cukup syarat untuk dikatakan indah, maka nilai keindahan tersebut sangat tergantung dari subjek untuk mencari dalil argumentatif agar karyanya tersebut dapat dikatakan indah, tentunya dengan mengutamakan pendapat pribadi, yang berbeda dengan orang lain.11 Subyetivisme memiliki dasar yang kuat untuk mengatakan bahwa nilai tidak bebas dari penilaian. Nilai mendahului penilaian, jika tidak ada yang dinilai, maka penilaian mustahil dilakukan. Antara nilai dan penilaian dijelaskan dengan mengambil analogi antara objek dengan persepsi, objek diketahui setelah ada persepsi untuk menentukan tentang objek tersebut, begitu juga dengan nilai, diketahui dan diberikan nama setelah dilakukan penilaian. Ketika menjelaskan tentang nilai, kaum subjektivisme berlindung pada pengalaman, dengan argumentasi apabila nilai itu objektif maka para individu mesti sampai pada satu kesepakatan tentang nilai-nilai tersebut. Namun sejarah menunjukkan pada kita adanya ketidaksepakatan tentang nilai secara berkepanjangan. Hal itu diakibatkan oleh kenyataan bahwa masing-masing orang memiliki selera tersendiri yang berbeda dengan orang lain. Dalam hal menjelaskan tentang nilai kaum objektif percaya bahwa suatu kebenaran tidak tergantung pada subjektivitas seseorang, akan tetapi ditentukan oleh objektivitas fakta, dengan demikian nilai tidak dipengaruhi oleh perhitungan banyak atau sedikitnya penilaian yang diberikan. Pendapat orang yang berselera rendah tidak mengurangi keindahan sebuah karya seni. Meskipun akan menjadi usaha sia-sia untuk mencapai satu kesatuan pendapat, bagi kaum objektivis ini bukan pendapat terakhir, sebab ada pendapat lain yang mneyebutkan bahwa 11
Risieri Frondizi, What is…, hal.21
110| Nilai dalam Wacana Filosofis
ketidaksesuai mengacu pada benda, bukan pada nilai. Tidak seorang pun yang bisa gagal menghargai keindahan, yang mungkin terjadi adalah bahwa orang tidak dapat mengenali kehadiran keindahan dalam objek tertentu, baik itu sebuah patung, lukisan atau pun simfoni. Merujuk pada argumentasi kaum objektif, kaum subjektif justru melihat ketidak sesuai tersebut justru terletak pada nilai itu sendiri. Sebagai contoh seorang Cina dengan seorang Amerika ketika menilai keindahan sebuah sepatu, pasti akan berbeda tergantung pemahaman dan selera masing-masing. Begitu juga ketika dua orang memutuskan tentang nilai yang ada dalam putusan sebuah hukuman, ketulusan perilaku seseorang, ketidaksepakatan atas berbagai objek ini seringkali menampakkan ketidaksesuaian yang mendalam dalam kaitannya dengan apa yang dimengerti melalui istilah keindahan, keadilan atau pun kepantasan.12 Contoh konkret yang diajukan oleh kaum subjektif tentang subjektifitas nilai adalah pada perangko, dimana letak nilai sebuah perangko, apakah pada kualitas kertasnya, atau keindahan gambarnya atau pada cetakannya, dimana nilai dapat ditempatkan. Perangkoperangko itu tidak akan benilai jika bukan pada orang yang gemar filateli. Keinginan untuk mengumpulkannyalah yang memberi nilai pada perangko tersebut, jika kepentingan ini hilang, maka nilai yang diberikan juga ikut hilang. Begitu juga halnya dengan kasus nilai estetis, sangat tergantung pada serangkaian kondisi yang bersifat subjektif, kultural dan sebagainya. Nilai keindahan sebuah lukisan akan tidak terdeteksi pada seseorang yang tidak memiliki mata. Begitu juga ketika menilai keindahan musik, menjadi tidak berarti bagi seseorang yang tidak bisa mendengar. Menjawab persoalan tersebut, kaum objektifis memiliki jawaban tersendiri, bahwa terkadang kita juga 12
Risieri Frodizi, What is…, hal.24 Bab 3, Kedudukan Estetika dalam Filsafat Nilai
|111
menilai sesuatu yang tidak menyenangkan kita. Sebagai contoh siapa orang yang mampu mempertaruhkan hidupnya untuk menyelamatkan orang lain yang tenggelam di lautan. Tetapi penyelamatan itu dilakukan dengan pertimbangan nilai moral yang sifatnya objektif, walaupun orang itu tidak merasa senang menjatuhkan dirinya dalam masalah, tetapi dilakukan juga karena itu suatu kewajiban moral. Perseteruan antara kaum subjektif dan objektif seakan tidak pernah berakhir, keduanya berpegang teguh pada dalil masing-masing. Untuk menyelesaikan polemik ini, maka banyak pemikir yang beralih pada pembahasan tentang kriteria dan metode yang digunakan dalam menentukan suatu nilai. John Dewey menyebutkan bahwa persoalan nilai sangat ditentukan oleh persoalan metodologis. Tanpa metode yang jelas maka diskusi tentang nilai akan mengalami kebuntuan. Dewey sebagai filsuf beraliran pragmatis yang empiris menyebutkan bahwa pengalaman merupakan hakim tertinggi yang akan bercerita tentang sesuatu yang bernilai dan mengandung keindahan atau kesenangan.13 E. Estetika Dalam Filsafat Nilai Kaum materialis cenderung mengatakan nilai bersifat subjektif sedangkan menurut kaum idealis, nilai bersifat objektif. Seandainya kita sepakat memandang nilaisekedar merupakan reksi-reaksi subjektif, maka jika keindahan menggambarkan nilai, keindahan pun merupakan sekedar reaksi subjektif. Maka benarlah apa yang terkandung dalam ungkapan “Mengenai masalah selera tidaklah perlu ada pertentangan”. Ditinjau dari sudut pandangan semacam ini, melihat keindahan terbenam matahari, serupa dengan menyukai kerang-sesuatu yang 13
Risieri Frodizi, What is…, hal.37
112| Nilai dalam Wacana Filosofis
semata-mata bersifat perseorangan. Tiada seorangpun berhak mendakwakan diri betul atau tidak dalam hal ini, karena pernyataan-pernyataan semacam itu tidak mengandung makna. Siapapun yang berbicara tentang kebenaran dan kebaikan, pasti akan teringat , dan kepada istilah ketiga yaitu estetika (keindahan). Epistemologi bersangkutan dengan teori kebenaran dan etika berkaitan dengan teori mengenai kebaikan ditinjau dari segi kesusilaan. Istilah aksiologi dipakai untuk memberikan batasan pengertian terhadap penyelidikan mengenai kebaikan pada umumnya, sedangkan bagi penyelidikan mengenai hakekat keindahan dinamakan estetika. Meskipun demikian, estetika mempersoalkan pula teori-teori mengenai seni. Estetika merupakan suatu teori yang meliputi: (1) penyelidikan mengenai yang indah, dan (2) penyelidikan mengenai prinsip-prinsip yang mendasari seni, (3) pengalaman yang bertalian dengan seni termasuk di dalamnya penciptaan seni, penilaian terhadap seni atau perenungan atas seni.14 Ketika kita mendengar suara lagu yang merdu dari sebuah radio, maka kita akan mengatakan karya musik yang indah. Begitu juga ketika kita memandang sebuah foto air terjun maka kita akan mengatakan indah sekali gambarnya. Secara tiba-tiba kita akan menyadari bahwa kita telah menggunakan kata yang sama yaitu indah pada dua benda dan situasi tang berbeda. Berbicara keindahan dalam arti kata yang sebenarnya perlu dikaitkan dengan isi atau makna yang dikandungnya. Seorang wanita yang indah bukan hanya merupakan wanita yang dapat menyenangkan mata, melainkan seorang wanita yang mampu mengungkapkan suatu makna. Sering terjadi ada seorang wanita yang tidak secantik wanita lain, namun lebih indah, sebab kecantikan 14
Louis O. Kattsoff, Elemetns of…,hal. 381 Bab 3, Kedudukan Estetika dalam Filsafat Nilai
|113
biasanya hanya dikaitkan dengan sesuatu yang hanya sekedar menyenangkan mata, sedangkan indah meliputi banyak hal. Sesungguhnya di dunia ini terdapat lebih banyak jumlah wanita yang cantik dibandingkan dengan jumlah wanita yang indah. 15 Menurut istilah yang lain, suatu objek yang indah bukan semata-mata bersifat selaras serta berpola baik , melainkan harus juga mempunyai kepribadian. Tetapi terdapat kesulitan saat menentuka makna selaras. Sejumlah karya seni dewasa ini tidak dapat dikatakan selaras bagianbagiannya, meskipun kadang-kadang justru ketidakselarasannya tersebut dikatakan mengungkapkan keselarasan yang menyeluruh. Ungkapan ini kiranya ikut mendasari pengertian keindahan. Begitu juga ada ungkapan keindahan dalam situasi yang jelek. Kematian dapat dikatakan bukan hal yang mengandung keindahan, tetapi situasi kesedihan, namun seorang seniman bernama Saint justru menciptakan tarian kematian (Dance Macabre) yang menggambarkan suasana keindahan bercampur keredupan. Terlepas dari banyaknya pendapat orang terhadap tarian ini, Melvin Rader mengatakan “Keindahan dapat dihasilkan oleh hakikat hal yang diungkapkan atau oleh berhasilnya pengungkapan.16 Berbicara nilai keindahan memang tidak bisa dilepaskan dari suatu karya seni, sebab keindahan sangat identik dengan seni. Suatu karya seni akan dinilai dari aspek keindahannya, tanpa nilai keindahan maka karya seni tidak menghasilkan apapun. Sebagai contoh ketika kita memperhatikan sebuah gambar yang indah mengenai wanita yang jelek dan membandingkannya dengan gambar yang jelek mengenai wanita yang indah, maka kesimpulannya adalah nilai indah mengenai wanita yang jelek dapat membawa pesan-pesan tertentu atau 15 16
Yacob Sumardjo, Filsafat…, hal.25 Louis O Kattsoff, Elemets of…,hal.382
114| Nilai dalam Wacana Filosofis
mengandung makna tertentu,itulah yang disebut karya seni. Adapun gambar yang jelek mengenai wanita yang indah tidak mungkin disebut karya seni karena tidak mengungkapkan keindahan wanita tersebut, artinya yang indah itu hanya wanitanya dan bukan gambarnya. Untuk dapat dinamakan karya seni maka setidak-tidaknya dalam salah satu seginya harus terdapat keindahan, disamping gambar itu harus juga mengandung makna meskipun sekedar bersifat simbolis atau impresionistis.17 Nilai estetika bagi seorang penganut aliran idealis didasarkan pada aspek kejiwaan. Filsuf Italia Bernedet to Croce, melalui karya besarnya yang masih sangat berpengaruh sampai sekarang dengan judul Aesthetics,mencoba mendekati masalah estetika dengan jalan melakukan analisa mengenai kegiatan kejiawaan, yang memberikan petunjuk pertama mengenai hakekat seni, bagi Croce seni merupakan kegiatan kejiwaan. Pandangan yang dianut Croce bersifat subjektif, karena hakekat seni diletakkan pada instuisi serta perasaan seseorang. Santayana, dalam bukunya berjudul The Sence of Beauty, juga memandang keindahan dan seni berhubungan secara intrinsic dengan manusiannya, namun dengan cara yang lain. Keindahan suatu objek dapat diketahui setelah ada proses pencerapan, kalau tidak dicerap tentu keindahan suatu benda tidak diketahui. Tentu saja tidak mungkin seseorang membayangkan suatu objek yang tidak mempunyai eksistensi. Sebenarnya keindahan bukanlah merupakan suatu kualitas objek, melainkan sesuatu yang senantiasa bersangkutan dengan perasaan. Perhatikan sebuah bangunan, ketika orang melihatnya, tampak sejumlah sifat melekat padanya, yaitu warnanya, luasnya,bangunannya, kepadatannya, dan sebagainya, akhirnya dapat pula orang menambahkan satu sifat lagi yaitu keindahan. Sejatinya 17
Louis O Kattoff, Elemets of…, hal.383 Bab 3, Kedudukan Estetika dalam Filsafat Nilai
|115
suatu onyek dipandang mempunyai sifat-sifat sebagai kualitas-kualitas segenap kesan yang kita peroleh darinya, maka cepat atau lambat kita akan menyadari bahwa hal-hal seperti warna, terdapat di dalam subjek yang bersangkutan dan bukan pada objeknya.18 Warna pada sebuah objek ialah cara kita memberikan reaksi terhadap suatu rangsangan. Oleh karena itu sangat mudah dimengerti bahwa rasa nikmat atau sakit bersifat subjektif, karena kedua macam rasa itu tidak akan dimengerti secara masuk akal sebagai kualitas-kualitas yang terdapat pada objek lain. Tetapi orang dapat membayangkan keindahan yang terdapat pada objek yang lain, artinya orang dapat memproyeksikan perasaannya. Keindahan juga berkaitan dengan nilai kenikmatan, seperti saat seseorang bangun pagi, matahri memancarkan sinarnya yang indah, seseorang dalam keadaan sehat sangat menikmatinya suasana pagi dengan pancaran sinar matahari, orang tersebut pasti akan mengatakan pagi yang indah, meskipun pagi itu tidak indah tetapi orang tersebut mengalami perasaan senang ketika menghabiskan waktu paginya. Dalam keadaan seperti itu seseorang cenderung mengalihkan perasaan tadi menjadi sifat objek itu, artinya memandang keindahan sebagai sifat objek yang kita cerap, padahal sebenarnya tetap merupakan perasaan. Sebenarnya terdapat banyak rasa nikmat yang tidak merupakan bagian dari citra kita mengenai sesuatu objek, dan untuk membedakan antara rasa nikmat yang merupakan bagian dari citra kita mengenai suatu objek dengan yang buka, maka digunakan kata kindahan. Menurut Santayana keindahan merupakan rasa nikmat yang dianggap sebagai kualitas barang sesuatu. Sebagai akibatnya tidak mungkin ada keindahan yang terpisahkan dari pemahaman kita mengenai objek, yang merupakan keindahan, yaitu rasa nikmat, tidak akan bermakna jika 18
Louis O Kattsoff, Elemets of…, hal.386
116| Nilai dalam Wacana Filosofis
tidak dialami. Selanjutnya jika objek tidak menimbulkan rasa nikmat pada siapa pun, maka tidak mungkin objek tersebut dikatakan indah.19 Tentu saja perpsektif Santayana menimbulkan pro dan kontra, apalagi jika semua keindahan dikaitkan dengan nilai kenikmatan, akan tetapi Santayana telah berbicara mengenai unsure hakiki untuk memahami keindahan. Apabila keindahan senantiasa dihubungkan dengan kenikmatan, adakalanya keindahan tidak berhubungan dengan kenikmatan. Meskipun rasa nikmat senantias menyertai keindahan, namun tidak berarti kedua hal tersebut sama sepenuhnya. Timbulnya keberatan-keberatan terhadap definisi keindahan berdasarkan perasaan atau kenikmatan, menunjukkan teori-teori yang bersangkutan belum sepenuhnya benar, untuk itu muncul teori-teori lain yang mendefinisikan keindahan, yaitu: pertama, keindahan terdapat di dalam objek sebagai salah satu kualitasnya, (kedua), keindahan hendaknya dicari pada hubungan yang terdapat antara objek manusianya. Jacques Maritain dalam bukunya yang berjudul Art and Shcolasticism mengatakan bahwa keindahan bukannlah terletak pada objek perasaan akan tetapi lebih kepada objek hasil tangkapan. Maritain tidak mengingkari peranan yang dipunyai oleh alat-alat inderawi, karena akal menangkap sesuatu dengan jalan melakukan abstraksi dan analisa. Akibatnya hanya pengetahuan yang diperoleh melalui alatalat inderawi yang dapat mempunyai sifat khas yang diperlukan untuk menangkap keindahan. Maratain mengatakan bahwa suatu objek dapat menimbulkan kesenangan pada akal sebagai satu-satunya sarana langsung yang dapat ditangkap oleh intuisi jiwa, maka objek tersebut merupakan sesuatu yang indah. Keindahan ialah sesuatu di dalam objek yang dapat menimbulkan kesenangan pada 19
Louis O Kattsoff, Elements of…, hal.387 Bab 3, Kedudukan Estetika dalam Filsafat Nilai
|117
akal semata-mata karena keadaannya sebagai objek tangkapan akali.20 Maritain menghubungkan antara akal dan keindahan karena suatu objek mmeiliki kesempurnaan tertentu yang juga dipunyai akal. Akal merasa senang pada sesuatu yang indah, karena di dalam sesuatu yang indah ia menemukan kembali dirinya, mengenal kembali dirinya, dan berhubungan dengan pancarannya sendiri. Ciri-ciri khas yang harus mempunyai objek suatu objek agar dapat dikatakan indah dapat ditemukan dengan ajaln memperhatikan apa yang diutamakan oleh akal. Akal senantiasa gelisah apabila menyadari dirinya kurang sempurna. Berdasarkan anggapan tersebut, maka salah satu syarat keindahan ialah harus ada keutuhan atau kesempurnaa, karena yang dapat disebut indah ialah sesuatu yang manakala ditangkap dapat menimbulkan kesenangan pada akal. Disamping faktor akali yang menentukan keindahan, seseorang juga senantiasa menentukan keindahan dengan mengacu pada pengalaman sebagai unsure hakiki dalam penilaian estetis. Jika tidak terdapat pengalaman, maka tidak mungkin ada penilaian estetis. Keindahan dapat dikenal melalui pengalaman, dan terbentuk pengalaman membayangkan sesuatu. John Dewey sebagai seorang pragmatis, menerima unsur ini dan memakainya sebagai dasarbagi teorinya yang terdapat dalam bukunya berjudul Art as Experience. Pendekatan Dewey terhadap segala pengalaman didasarkan atas pengalaman hidup seseorang, dan di dalam pengalaman hidup tersebut Dewey mencari makna keindahan. Pengalaman hendaknya tidak dipisahkan dari alam lingkungan tempat individu yang bersangkutan berda, karena tidak mungkin ada pengalaman yang terpisah dari suatu keadaan lingkungan tertentu. Menurut Dewey “Pengalaman merupakan akibat, tanda imbalan yang terjadi 20
Louis O Kattsoff, Elements of…, hal.389
118| Nilai dalam Wacana Filosofis
karena adanya keadan saling mempengaruhi antara organisme dengan alam lingkungan. Karena pengalaman merupakan keberhasilan organisme dalam perjuangan serta merupakan hasil-hasil yang dicapainya di alam bendabenda, maka sesungguhnya pengalaman merupakan seni dalam awal perkembangannya. Bahkan dalam bentukbentuknya yang paling awal,pengalaman hidup sudah mengandung semacam janji akan terjadinya cerapan yang menimbulkan kesenangan yang disebut pengalaman estetis.21 Kunci pemikiran Dewey mengenai keindahan terdapat pada kata-kata “keberhasilan” dan “hasil-hasil yang dicapai”. Pengalaman estetis merupakan pegalaman yang menyeluruh, suatu pengalaman lengkap, yang didalamnya terdapat kualitas perasaan yang menimbulkan kepuasaan sebagai akibat keikutsertaan serta keberhasilan. Pada hakekatnya tidak terdapat perbedaan antara pengalaman estetis dengan pengalaman bukan estetis sebagai pengalaman. Hanya aspek keberhasilan itulah yang membedakan suatu pengalaman dengan pengalaman yang lain. Hal yang sangat unik dalam memahami estetika adalah kenyataan bahwa ilmu-ilmu estetika merupakan ilmu untuk melihat ilmu lain secara mudah lewat panca indera dan sentuhan hati. Mengenai estetika banyak para peneliti mengkaji tentang nilai-nilai estetika barat, lain halnya dengan estetika Islam, hanya sedikit orang yang membahasnya. Padahal secara sadar harus diakui bahwa estetika Islam lebih menarik kita kaji dari pada estetika barat. Banyak pegelaran-pegelaran telah diadakan yang
21John Dewey, Art as Experience (New York: Minton, Balsh & Co.,1934), hal.22-23
Bab 3, Kedudukan Estetika dalam Filsafat Nilai
|119
berhubungan dengan seni, seperti festival-festival musik Islam, kaligrafi, dan bahkan sastra-sastra.22 F. Estetika Islam Salah satu pemikir Islam yang sangat konsen dengan nilai estetika dalam Islam adalah Ismail Raji Al-Faruqi. Beliau mencoba membangkitkan kembali estetika dalam Islam sebagai hal yang sangat menarik untuk dikaji. Dalam pemahaman Ismail Raji Al-Faruqi seni atau estetika dipandang sebagai ekspresi estetis Alquran, yang menurutnya seni Islam pada dasarnya adalah seni Qurani.23 Seni peradaban Islam dapat dilihat sebagai pernyataan estetis yang berasaskan al-Quran. Aspek budaya Islam ini harus dipandang dalam kaitannya dengan sifatsifat al-Quran dari segi asas dan motivasi. Begitu juga dnegan peradaban Islam harus dilihat sebagai ungkapan yang estetika sama bentuk dengan pelaksanaannya, sesungguhnya kesenian Islam adalah kesenian al-Quran. 24 Bangkit di tengah pengaruh tradisi asing (YunaniRomawi dan sumber Hellenistik) yang telah berakar selama beberapa abad diberbagai wilayah Semit Timur, Islam membawakan sebuah tuntutan baru bagi ekspresi estetis. Kaum muslim memerlukan pola estetis yang dapat menyediakan objek bagi kontemplasi estetis yang akan menyokong ideologi dasar dan struktur masyarakat menjadi sarana yang secara kontinu mengingatkan kepada prinsipprinsip Islam. Karya seni Islam bertujuan untuk meneguhkan kesadaran terhadap Wujud Transenden, yang 22 Oliver Leaman, Estetika Islam : Menafsirkan Seni dan Keindahan, (Bandung: Mizan, 2005), hal.12 23 Ismail Raji al-Faruqi, Seni Tauhid, terj. Hartono Hadikusomo (Yogyakarta: Bentang, 1999), hal.vi 24Ismail Razi al-Faruqi, Atlas Budaya Islam, Dewan Bahasa dan Pustaka, Kementerian Pendidikan Malaysia, Kuala Lumpur, 1992, hal. 172.
120| Nilai dalam Wacana Filosofis
menjadi tujuan akhir hidup manusia. Orientasi dan tujuan estetika Islam tidak bisa dicapai dengan pengambaran melalui alam, tetapi hanya bisa direalisasikan melalui kontemplasi, terhadap karya artistik yang dapat membawa pengamatnya kepada instuisi tentang kebenaran itu sendiri bahwa Allah sangat berbeda dengan ciptaanNya dan tidak dapat direpresentasikan atau diekspresikan.25 Menurut Al-Faruqi selain ditentukan oleh ajaran alQuran, seni Islam juga bersifat “Qurani” dalam arti bahwa kitab suci al-Quran menjadi model utama dan tertinggi bagi kreativitas dan produk estetis. al-Quran dinyatakan sebagai “karya seni pertama dalam Islam”. Bukan berarti bahwa alQuran dianggap sebagai karya sastra jenius dari Nabi Muhammad, sebagaimana yangs eringkali dinyatakan oleh kalangan non muslim. Sebaliknya orang Islam menyakini isi dan bentuknya bersifat Ilahi yang merupakan representasi pola-pola infinit dari seni Islam. Ekspresi dan ajaran al-Quran mengkontruksikan sebuah wolrd view yang mendasari terciptanya seni Islam yang berbeda dengan kebudayaan lain. Seni Islam tidak menganut semboyan seni untuk seni, seperti yang berkembang dalam seni Barat, melainkan seni membawa kesadaran pengamat kepad ide transendensi Tuhan. Bahkan, Rasyidi memasukkan pengalaman keindahan atau estetika bersama-sama dengan pengalaman ilmiah, pengalaman moral, pengalaman dalams ejarah dan pengalaman keagamaan, sebagai salah satu bukti kuat tentang keberadaan Allah, artinya wilayah ontologismetafisis mampu dicapai seseorang melalui pengalaman estetis. Estetika dalam Islam tidak hanya terpaku pada bentuk dan nilai yang tampak, akan tetapi estetika Islam lebih melihat keindahan itu dengan nilai yang tersembunyi 25Ismail Razi al-Faruqi, Seni Tauhid, Terj.Hartono Hadikusumo (Yogyakarta : Bentang, 1999), hal.1
Bab 3, Kedudukan Estetika dalam Filsafat Nilai
|121
tidak dapat dijangkau panca indera, dalam melihat nilai estetika Islam harus dilihat lewat pikiran halus dan pendekatan hati. Meskipun masih ada penolakan terhadap seni dalam Islam, karena ditakutkan akan bertentangan dengan nilai moralitas, akan tetapi ajaran Islam mengandung nilai keindahan, bahkan Allah Swt sebagai Khaliq yang Maha Indah sangat mencintai keindahan. Keteraturan alam semesta mencerminkan keindahan yang tiada tara, begitu juga dengan semua ciptaan Allah Swt mengandung nilai keindahan. Secara tegas Nasr memberikan pendapatnya mengenai sumber seni Islam bersumber dari dua sumber pokok ajaran Islam, yaitu al-Quran dan Sunnah Nabi. Nasr mengatakan bahwa al-Qur’an berisi kumpulan petunjuk bagi manusia agar ia mampu memenuhi janjinya kepada Tuhan, sebagai pusat kehidupan Islam dan merupakan dunia bagi umat Muslim.26 Secara umum pengertian alQur’an bagi Muslim adalah sebuah kitab kumpulan petunjuk bagi manusia yang berasal dari Allah yang diturunkan kepada Rasullullah Muhammad melalui malaikat Jibril. Umat Islam mempercayai bahwa al-Qur’an adalah mukjizat dari Nabi Muhammad yang akan abadi sepanjang zaman. Menurut Oliver Leaman bahwa kemukjizatan alQur’an berada pada nilai estetika yang merupakan hasil kreasi yang luar biasa yang hal ini dapat dipercaya sebagai berasal dari Tuhan,27 walaupun ia menolak segala argumen kemukjizatan al-Qur’an yang diberikan oleh para pemikir Islam. Ini membuktikan kebesaran al-Qur’an secara estetik memang sebuah kemukjizatan yang abadi dan sesuai dengan tantangan yang dilontarkan al-Qur’an sendiri yang
26Seyyed Hossein Nasr, Islam Antara Cita dan Fakta, terj. Abdurrahman Wahid dan Hasyim Wahid, (Yogyakarta: Pu saka, 2001), hlm.23. 27Oliver Leaman, Estetika Islam: Menafsir S eni dan Keindahan, terj. Irfan Abubakar, (Bandung: Mizan, 2005), hlm.255.
122| Nilai dalam Wacana Filosofis
mempersilahkan siapapun membuat al-Qur’an tandingan yang niscaya tidak akan dapat dilakukan. Nasr berpendapat bahwa kesucian al-Qur’an menyebabkan semua yang terkait dengan bentuk al-Qur’an juga suci. Bahasa Arab yang menjadi bahasa al-Qur’an adalah bahasa suci umat Islam, karena ia terkait langsung dengan dzat al-Qur’an yang memang turun dengan bahasa Arab. Kesucian bahasa Arab bukan karena tingginya sastra Arab yang dipakai. Kalau ini ukurannya, sebenarnya bahasa Arab masih kalah tinggi kesusasteraannya dengan bahasa Persia28 Sehingga semua ritus peribadatan dan segala ritus keislaman termasuk mengucapkan perkataan (doa) dengan bahasa Arab merupakan sebuah kewajiban khususnya dalam ibadah shalat. Tidak ada yang namanya kebebasan dalam diri manusia. Manusia senantiasa diliputi Yang Mutlak pada setiap kehidupannya. Manusia tidak dapat melepaskan diri dari lingkup Ketuhanan dalam segala hal. Rasio manusia dengan demikian tidak dapat bebas sebebas-bebasnya berfikir29 yang dapat berakibat mendorong terciptanya tingkah laku yang tidak sesuai dengan hakekat kebenaran. Sarana yang dapat membimbing manusia untuk menghindari perbuatan yang demikian hanyalah dengan mengikuti petunjuk-petunjuk dari ajaran agama, khususnya Islam. Dalam Islam telah tersedia segala rujukan untuk melakukan segala hal yang telah tertuang dalam al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Keduanya memberikan wawasan dan Nasr, Islam…, hlm.25. tentang bebas tidak berfikir telah sejak lama terjadi. Kaum Islam yang menghargai akal berpendapat bahwa akal adalah anugerah terbesar manusia yang membedakan dengan makhluk lainnya. sehingga tidak mempergunakan akal sebagaimana mestinya termasuk mengingkari nikmat Allah. Kesalahan berfikir tidak berdosa, tapi kebenaran dalam berfikir mendapat pahala, sehingga tidak ada alasan menutup pintu ijtihad.. lihat Abd al-Mutaal al-Saidi, Keb ebasan Berfikir Dalam Islam,terj. Ibnu Burdah (Yogyakarta: Adi Wacana, 19 99), hlm. 11-16. 28
29Perdebatan
Bab 3, Kedudukan Estetika dalam Filsafat Nilai
|123
pengetahuan mengenai spiritualitas yang bermuara pada ketuhanan. Pendapat Nasr yang demikian sejalan dengan pandangan seni dari Mohammad Iqbal yang dengan tegas mengatakan bahwa seni harus berhubungan dengan etika dan dia harus berada dibawah kendali moral, sehingga tidak ada yang disebut seni – betapapun ekspresifnya seorang seniman – kecuali ia mampu menimbulkan nilai-nilai yang cemerlang, menciptakan harapan-harapan baru, kerinduan dan aspirasi baru bagi peningkatan kualitas hidup manusia dan masyarakat. 30 Keterikatan yang sangat kuat antara agama dan karya seni budaya seperti yang terlihat di atas disatu sisi memang mempunyai pengaruh yang positif, yaitu selalu terpeliharanya nilai-nilai etik yang ada sepanjang jaman. Hal ini sempat kacau pada era modern dengan banyak disinyalir mulai tergradasinya nilai-nilai universal yang tinggi. Seni tidak hanya sebatas karya yang berupa objek hiburan semata yang diukur secara material ansich berdasar nilai pasar. Makna yang terkandung di dalamnya tetap terpelihara dengan baik. Kandungan makna yang dalam menjadi nilai spiritual yang tinggi yang menghubungkan manusia dengan Tuhan. Visi keilahian mensyaratkan segala sesuatu harus suci, terhindar dan terlepas dari unsur duniawiah yang buruk. Akan tetapi yang demikian juga mempunyai dampak kurang bagus pula dalam perkembangan kreatifitas seni. Aturan yang ada dalam al- Qur’an dan Sunnah terbatasi dalam bentuk teks suci yang masih memerlukan penafsiran atau interpretasi. Bahkan menurt Palmer, manusia mulai bangun tidur di pagi hari hingga tidur kembali terus
30Soleh,
Wacana..., hlm. 309. Lebih jelas lagi lihat Syarif, Iqbal: Tentang Tuhan dan Keindahan, terj. Yusuf Jamil, (Bandung: Mizan, 1993), hlm. 133.
124| Nilai dalam Wacana Filosofis
melakukan penafsiran.31 Bahkan dalam kondisi tidur pun manusia mampu mendapatkan pengetahuan dan tentunya masih dapat diinterpretasikan. 32 Jika demikian halnya, maka, kreatifitas manusia dalam mengekspresikan hasil perenungannya juga tidak dapat dibatasi. Perenungan yang berdasarkan ketajaman intelektual juga memunculkan manifestasi yang terus berkembang, tidak terbatas pada kaidah-kaidah Arabes dan pandangan Phytagorean. Dengan demikian seni dapat terus berkembang dan menghasilkan karya-karya yang lain yang juga memancarkan Keindahan Universal dengan bentuk yang lain pula. Bentuk disini adalah bentuk estetik inderawiyah33 yang tentunya berupa bentuk material sebagai konsekuensi keanekaragaman bentuk diwilayah eksoteris. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kebebasan seni memang perlu guna mendapatkan sebuah karya estetis yang terus tercurah, tapi juga perlu memperhatikan aspek norma dan batas etika yang ada agar senantiasa terjaga keindahan lahir dan batin. Karena batin yang suci juga ditentukan lahir yang suci pula. Cara ini memungkinkan seni Islam terus berkembang secara anggun dan menyejukkan jiwa dan memuaskan pancaindera. Nilai estetika dalam Islam tidak bisa dipisahkan dari nilai akhlak dan keduanya harus berjalan secara bersamaan. Menampilkan perempuan telanjang bagi 31Richard E. Palmer, Hermeneutika: Teori Baru Mengenai Interpretasi, terj.Masnur Hery dan Damanhuri Muhammed, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), Hlm.9. 32Fuad Nashori menyatakan dalam bukunya bahwa manusia dalam keadaan suci mampu mendapatkan sebuah pengetahuan berupa mimpi akan kebenaran dalam tidurnya. Pengetahuan itu berupa pengetahuan di masa depan (mimpi prediktif), kehidupan di masa lalu (mimpi retrospektif), petunjuk hidup dan peringatan hidup. Lebih jelas lihat Fuad Nashori, Mimp...,hlm.5-6 33Herbert Marcuse, Cinta dan Peradaban, terj. Imam Baehaqi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm.235.
Bab 3, Kedudukan Estetika dalam Filsafat Nilai
|125
sebagian seniman merupakan keindahan seni yang patut untuk dipertontonkan. Mengumbar aurat di atas pentas atau panggung merupakan keindahan, bahkan semakin minim pakaian yang digunakan maka semakin seksi dan indah. Bagian-bagian aurat yang tidak pantas untuk ditampilkan menjadi pantas untuk dipamerkan atas nama seni dan keindahan. Memperlihatkan aurat dalam Islam adalah larangan yang harus dijalankan, tidak ada pembenaran untuk mengatakan bahwa seseorang perempuan demi keindahan seni dapat telanjang di depan umum. Begitu juga dengan kaum laki-laki, semuanya memiliki batasan nilai indah dan nilai akhlak yang sudah diatur dalam Alquran dan hadis, yang harus diikuti. Nilai keindahan dalam Islam tidak ditentukan oleh hawa nafsu atau keinginan subjektif manusia, tetapi nilai kebaikan dan keindahan sudah ditetapkan, dan kita sebagai umat muslim mengikutinya, sebab nilai-nilai dalam Islam bersifat Universal bahkan sangat rasional. G.
Penutup Nilai adalah ukuran yang diberikan kepada suatu benda atau perbuatan yang diberikan dalam kategori baik atau buruk, indah atau jelek, berguna atau tidak berguna. Penilaian adalah hal yang senantiasa diberikan oleh seseorang, tidak ada benda yang tidak dinilai, karena dengan label nilai yang diberikan akan diketahui kualitas dari benda atau perbuatan yang ada. Tanpa nilai maka tidak akan pernah diketahui berguna atau tidaknya sesuatu dalam kehidupan manusia. Begitu pentingnya persoalan nilai sehingga banyak pemikir yang merumuskan tentang nilai walaupun dalam perspektif yang berbeda. Nilai senantiasa ditempatkan pada pengemban, baik itu berupa benda atau perbuatan manusia, yang dilihat dari aspek etika atau estetika. Nilai keindahan merupakan faktor yang sangat dominan untuk mengetahui kualitas sesuatu. Keindahan dapat dipancarkan dari suatu karya atau juga 126| Nilai dalam Wacana Filosofis
dari tingkah laku. Betapa indahnya gaya berbicara seorang yang dalam dirinya sudah ada nilai seni. Sebab antara seni dan keindahan tidak dapat dipisahkan, keduanya saling berkaitan. Pribadi yang santun akan menunjukkan sikap hidup penuh keteraturan dan keindahan jauh dari arogansi serta keburukan. Harus diakui dalam penetapan nilai baik atau buruk, nilai indah atau jelek, sesuai atau tidaknya dengan etika, para filsuf masih berbeda pendapat dan belum memiliki suatu kesepakatan. Ada filsuf yang berpendapat bahwa nilai ditentukan secara subjektif tergantung pada orangnya dan apa yang dirasakannya, ada juga yang berpendapat bahwa nilai itu sangat objektif tidak tergantung kepada seseorang akan tetapi nilai tersebut melekat pada nilai, sehingga orang bisa mengatakan bahwa itu indah, karena memang benda itu indah. Berbeda dengan keindahan yang mengandung ambivalensi dari berbagai kalangan pemikir di barat, Islam justru menetapkan keindahan dengan ketentuan syariat dan akhlakul karimah. Keindahan dalam Islam tidak berlawanan dengan hukum yang telah ditetapkan, misalnya seorang perempuan tidak boleh memperlihatkan auratnya dihadapan umum, ketentuan ini berlaku umum bagi yang namanya muslimah. Tidak ada pembenaran demi kreatifitas seni maka memperlihatkan tubuh pada orang lain adalah benar, yang namanya telanjang adalah perbuatan dosa yang bernilai buruk. DAFTAR KEPUSTAKAAN Harold H.Titus,Living Issue in Philosophy, terj, Persoalanpersoalan Filsafat, Jakarta: Bulan Bintang, 1984. Herbert Marcuse, Cinta dan Peradaban, terj. Imam Baehaqi ,Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004. Bab 3, Kedudukan Estetika dalam Filsafat Nilai
|127
Ismail Raji al-Faruqi, Atlas Budaya Islam, Dewan Bahasa dan Pustaka, Kementerian Pendidikan Malaysia, Kuala Lumpur, 1992. Ismail Raji al-Faruqi, Seni Tauhid, terj. Hartono Hadikusomo, Yogyakarta: Bentang, 1999. Jacob Sumardjo, Filsafat Seni, Bandung: ITB, 2000. John Dewey, Art as Experience, New York: Minton, Balsh & Co.,1934. Louis O, Kattsoff, Elements of Philosophy, terj. Pengantar Filsafat, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1996. Oliver Leaman, Estetika Islam : Menafsirkan Seni dan Keindahan, Bandung: Mizan, 2005. Seyyed Hossein Nasr, Islam Antara Cita dan Fakta, terj. Abdurrahman Wahid dan Hasyim Wahid, Yogyakarta: Pusaka, 2001. Syarif Iqbal, Tentang Tuhan dan Keindahan, terj. Yusuf Jamil, Bandung: Mizan, 1993 Risieri Frondizi, What is Value, terj. Cuk Ananta Wijaya Filsafat Nilai, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007 Richard E. Palmer, Hermeneutika: Teori Baru Mengenai Interpretasi, terj.Masnur Hery dan Damanhuri Muhammed, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003
128| Nilai dalam Wacana Filosofis
Bab 4 PANDANGAN PARA FILSUF TENTANG NILAI A. Pandangan Maskawaih
Filsuf
Islam:
Nilai
Menurut
Ibnu
Oleh: Ernita Dewi 1. Pendahuluan Nilai-nilai ajaran akhlak merupakan suatu kebutuhan pokok dalam kehidupan manusia, walaupun pada kenyataannya masih banyak masyarakat Muslim kurang menggali nilai-nilai ajaran akhlak. Ibnu Miskawaih yang merupakan bapak etika Islam mencoba mempelajari dan mengembangkan nilai-nilai ajaran akhlak melalui pendidikan. Karena menurutnya, pendidikan merupakan jembatan dan cara paling ampuh untuk mengembangkan nilai-nilai akhlak. Pendidikan akhlak menurut Miskwaih adalah jiwa, fitrah dan manusia, kebaikan dan kebahagiaan, keadilan, persahabatan dan cinta, kesehatan jiwa serta perannya pendidikan akhlak dalam kehidupan sehari-hari. Pemikiran Miskawaih sesuai dengan al-Qur’an dan Hadis. Konsep akhlak Ibnu Miskawaih didasarkan pada konsepnya tentang manusia. Tujuannya adalah untuk memperkokoh daya-daya positif yang dimiliki manusia agar mencapai tingkatan manusia yang seimbang atau harmoni (al-adalat), sehingga perbuatannya mencapai tingkat perbuatan (af’al ilahiyyat). Perbuatan yang demikian adalah perbuatan yang semata-mata baik yang lahir secara spontan. Empat ajaran pokok Miskwaih tentang keutamaan akhlak yaitu: kearifan (al-hikmah), sederhana (al-iffah), berani (as-saja’ah), dan adil (al-adalah). Keempat pokok ajaran Miskawaih ini adalah induk akhlak yang mulia. Namun, Miskawaih menegaskan bahwa di antara semua itu, yang tengah adalah bersifat terpuji dan yang ekstrem adalah Bab 4, Pandangan Para Filosof tentang Nilai
|129
tercela. Sehingga, perlu usaha bagi manusia untuk menumbuhkan sifat terpuji itu dalam diri manusia, tujuannya adalah untuk menjalani hidup yang lebih baik. 2. Riwayat Hidup Maskawaih Ibnu Maskawaih adalah seorang ilmuan hebat yang dikenal sebagai filsuf, penyair dan, mendidik dan sejarawan. Maskwaih dilahirkan di Ray, Persia (Iran sekarang) pada sekitar 320 H/9M. pada era kejayaan Kekhalifahan Abbasiyyah. Ibnu Maskawaih adalah seorang keturunan Persia, yang konon dulunya keluarganya dan dia beragama Majuzi dan pindah ke dalam Islam. Ibnu Maskawaih berbeda dengan al-Kindi dan al-Farabi yang lebih menekankan pada aspek metafisik, ibnu Maskawaih lebih pada tataran filsafat etika seperti al-Ghazali.1 Sejarah dan filsafat merupakan dua bidang yang sangat disenanginya. Sejak masih muda, ia dengan tekun mempelajari sejarah dan filsafat, serta pernah menjadi pustakawan Ibnu al-‘Abid, tempat dia menuntut ilmu dan memperoleh banyak hal positif berkat pergaulannya Dengan kau melit. Tak hanya itu, Ibnu Miskawaih juga merupakan seorang yang aktif dalam dunia politik di era kekuasaan Dinasti Buwaih, di Baghdad. Ibnu Miskawaih meninggalkan Ray menuju Baghdad dan mengabdi kepada istana Pangeran Buwaih sebagai bendaharawan dan beberapa jabatan lain. Dia mengkombinasikan karier politik dengan peraturan filsafat yang penting. Tak hanya di kantor Buwaiah di Baghdad, ia juga mengabdi di Isfahan dan Rayy. Akhir hidupnya banyak dicurahkannya untuk studi dan menulis. Ibnu Miskawaih lebih dikenal sebagai filsuf akhlak (etika) walaupun perhatiannya luas meliputi ilmu-ilmu yang lain seperti kedokteran, bahasa, sastra, dan sejarah. Bahkan 1 Jalaluddin, dan Usman Said, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), hal. 134
130| Nilai dalam Wacana Filosofis
dalam literatur filsafat Islam, tampaknya hanya Ibnu Miskawaih inilah satu-satunya tokoh filsafat. Semasa hidupnya, ia merupakan anggota kelompok intelektual terkenal seperti al-Tawhidi and al-Sijistani. Sayangnya ia harus menghembuskan nafas terakhirnya di Asfahan 9 Safar 421 H (16 Februari 1030 M). 3. Konsep Akhlak Menurut Ibnu Maskawaih Akhlak merupakan hal yang paling utama yang harus ada pada diri manusia, karena akhlak adalah tingkah laku, tabi’at, atau sikap yang hadir atau lahir dari diri seseorang. Itu disebabkan karena manusia diciptakan Tuhan sebagai makhluk yang paling mulia, dan kemuliaan manusia itu ditentukan oleh ketakwaan dan akhlaknya. Jika takwa tidak dimiliki dan akhlak tidak dipunyai oleh manusia, maka jangan harap kemuliaan itu akan hinggap menjadi harkat dan predikat manusia. Kurangnya takwa dan akhlak akan membuat predikat mulia turun menjadi hina atau bahkan lebih hina dari binatang. Pendidikan akhlak yang diintrodusir pertama kali oleh Ibnu Maskawaih memiliki urgensi yang sangat signifikan dalam membentuk kepribadian bangsa kedepan. Semua krisis kebangsaan yang terjadi di dunia baik ekonomi, politik, dan sosial-budaya sekarang karena akhlak tidak lagi menjadi kerangka acuan dan anutan.2 Akhlak menurut konsep Ibnu Maskawayh ialah suatu sikap mental atau keadaan jiwa yang mendorongnya untuk berbuat tanpa berpikir dan mempertimbangkan terlebih dahulu. Adapun tingkah laku manusia terbagi menjadi dua unsur, yaitu unsur watak naluriah dan unsur kebiasaan serta latihan. Meskipun Maskawayh dalam beberapa hal sepakat dengan pemikiran Plato dan Imam Tholkhah, Ahmad Barizi, Membuka Jendela Pendidikan; Mengurai Akar Tradisi dan Integrasi Keilmuan Pendidikan Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), hal. 244 2
Bab 4, Pandangan Para Filosof tentang Nilai
|131
Aristoteles, namun banyak pendapat keduanya yang ditolak oleh Maskawayh diantaranya, pendapat yang mengatakan bahwa akhlak manusia tidak dapat berubah. Menurut Ibnu Maskawaih akhlak yang tercela bisa berubah menjadi terpuji dengan jalan pendidikan (tarbiyah al-akhlak) dan latihan-latihan. Pemikiran seperti ini sejalan dengan Islam yang secara eksplisit telah mendorong manusia kepada syariat agama yang bertujuan untuk mengokohkan dan memperbaiki akhlak manusia.3 Akhlak merupakan hal yang sangat penting dan mendasar. Dengan akhlak dapat ditetapkan ukuran segala perbuatan manusia, baik buruk, benar salah, halal dan haram. Berbicara pada tatanan ahklak tentu tidak dapat dapat dipisahkan dengan manusia sebagai sosok ciptaan Allah yang semrna. Akhlak adalah mutiara hidup yang membedakan mahkluk manusia dengan mahkluk hewani. Manusia tanpa akhlak akan hilang derajat kemanusiaannya sebagai makhluk Allah yang paling mulia. Oleh karena itu, ahklak sangatlah urgen untuk manusia, urgensi ahklak ini tidak dirasakan oleh manusia dalam kehidupan perorangan, tetapi juga dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, bahkan juga dirasakan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara4. Islam merupakan agama yang sangat menjunjung tinggi ahklak yang mulia. Bahkan diutusnya Rasulullah ke dunia ini bertujuan untuk menyempurnakani ahklak manusia. Rasulullullah Saw bersabda bahwa orang yang sangat saya cintai dan yang paling dekat tempat duduknya dengan saya diantara kalian adalah yang paling baik akhlaknya5. Akhlak fondasi yang kokoh bagi terciptanya hubungan baik antara hamba dan Allah Swt dan antara 3 Zahruddin dan Hasanuddin Sinaga, Pengantar Studi Akhlak, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004,hal:13. 4 Zahruddin dan Hasanuddin Sinaga, Pengantar,… hal:13 5 Kamal al Hadari, Manajemen Ruh, Cahaya, Bogor, 2004, hal: 27
132| Nilai dalam Wacana Filosofis
sesama manusia. Akhlak yang mulia tidak lahir berdasarkan keturunan atau terjadi secara tiba-tiba. Akan tetapi membutuhkan proses panjang, yakni melalui pendidikan akhlak6. Pendidikan akhlak merupakan permasalahan utama yang selalu menjadi tantangan manusia sepanjang sejarahnya. Islam telah menetapkan pentingnya keseimbangan dan kesempurnaan dalam ahklak. Akhlak dalam Islam merupakan sekumpulan prinsip dan kaidah yang mengandung perintah atau larangan dari Allah. Prinsip-prinsip atau keidah-kaidah tersebut dijelaskan oleh Rasululullah Saw, dalam perkataan, perbuatan dan ketetapan-ketetapan beliau yang mempunyau kaitan dengan tasyri’. Untuk itu dalam mengarungi kehidupan, setiap muslim wajib berpegang pada prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah tersebut7. Maka tidak salah jika Ibnu Maskawaih yang merupakan bapak etika Islam mengatakan bahwa akhlak tidak bersifat natural atau pembawaan, tetapi hal itu perlu diusahakan secara bertahap, antara lain melalui pendidikan.8 Ibnu Maskawaih berpandangan bahwa pendidikan merupakan media harmoni bagi daya-daya yang dimiliki manusia. Melalui pendidikan yang berlangsung secara berkesinambungan sejak dari keluarga sampai ke jenjang formal bersama dengan para pendidik, seorang anak akan diberikan pemahaman tentang apa yang baik dan yang buruk. Kebiasaan ini akan menjadi bagian hidup yang tidak terpisahkan dari aktivitas kesehariannya, karena anak-anak sudah mengerti apa alasan dia melakukan perbuatan tersebut. Ibnu Miskawaih telah merumuskan dasar-dasar etika di dalam kitabnya Tahdzib al-Akhlaq wa Tathir al6 Ali Abdul Halim Mahmud, Akhlak Mulia, Gema Insani Press, Jakarta, 2004, hal: 9 7 Ali Abdul Hakim, 2004, hal: 81 8 Abuddin Nata, Manajemen Pendidikan, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007), hal. 221
Bab 4, Pandangan Para Filosof tentang Nilai
|133
A’raq (pendidikan budi dan pembersihan akhlak). Sementara itu sumber filsafat etika ibnu Miskawaih berasal dari filsafat Yunani, peradaban Persia, ajaran Syariat Islam,dan pengalaman pribadi.Menurut Ibnu Miskawaih, akhlak merupakan bentuk jamak dari khuluq yang berarti peri keadaan jiwa yang mengajak seseorang untuk melakukan perbuatan-perbuatan tanpa difikirkan dan diperhitungkan sebelumnya, sehingga dapat dijadikan fitrah manusia maupun hasil dari latihan-latihan yang telah dilakukan, hingga menjadi sifat diri yang dapat melahirkan khuluq yang baik, menurutnya ada kalanya manusia mengalami perubahan khuluq sehingga dibutuhkan aturanaturan syariat, nasihat, dan ajaran-ajaran tradisi terkait sopan santun. Ibnu Maskawayh memperhatikan pula proses pendidikan akhlaq pada anak. Dalam pandangannya, kejiwaan anak-anak seperti mata rantai dari jiwa kebinatangan dan jiwa. Tugas orang dewasa adalah menghilangkan jiwa binatang tersebut dan memunculkan jiwa kemanusiaannnya. ''Jiwa manusia pada anak-anak mengalami proses pekembangan. Sementara itu syarat utama kehidupan anak-anak adalah syarat kejiawaan dan syarat sosial,'' ungkap Ibnu Miskawayh. Sementara nilainilai keutamaan yang harus menjadi perhatian ialah pada aspek jasmai dan rohani. Maskawayh pun mengharuskan keutamaan pergaulan anak-anak pada sesamanya mestilah ditanamkan sifat kejujuran, qonaah, pemurah,suka mengalah, mengutamakan kepentingan orang lain, rasa wajib taat, menghormat kedua orangtua,serta sikap positif lainnya. Oleh karena itu, Ibnu Maskawaih menawarkan konsep akhlak berdasarkan pada doktrin jalan tengah. Doktrin jalan tengah (al-wasath) yang dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah The Doktrin of the Mean atau The Golden, doktrin ini juga sudah dikenal oleh para filsuf sebelum Ibnu Maskawaih. Ibnu Maskawaih secara umum memberi pengertian pertengahan (jalan tengah) tersebut 134| Nilai dalam Wacana Filosofis
antara lain dengan keseimbangan, moderat, harmoni, utama, mulia, atau posisi tengah antara dua ekstrem. Akan tetapi Ibnu Maskawaih cenderung berpendapat bahwa keutamaan akhlak secara umum diartikan sebagai posisi tengah antara ekstrem kelebihan dan ekstrem kekurangan masing-masing jiwa manusia. Dari sini terlihat bahwa Ibnu Maskawaih memberi tekanan yang lebih untuk pertama kali buat pribadi.9 Ibnu Maskawaih memulai membahas akhlak dengan membahas mengenai jiwa, jiwa manusia menurutnya ada tiga, yaitu: jiwa al-bahimiyah, al-ghadabiyah, dan annathiqah.10 Menurut Ibnu Maskawaih, posisi tengah jiwa albahimiyah adalah al-‘iffah yaitu menjaga diri dari perbuatan dosa dan maksiat seperti berzina. Selanjutnya posisi tengah jiwa al-ghadabiyah adalah as-saja’ah atau perwira, yaitu keberanian yang diperhitungkan dengan masak untung ruginya. Sedangkan posisi tengah dari jiwa an-nathiqah adalah al-hikmah yaitu kebijaksanaan. Perpaduan ketiga posisi tengah tersebut adalah keadilan atau keseimbangan. Kesemua keutamaan akhlak tersebut merupakan pokok atau induk akhlak yang mulia. Akhlak-akhlak mulia lainnya seperti jujur, ikhlas, kasih sayang, hemat, dan sebagainya merupakan cabang dari induk akhlak tersebut. Menurut Ibnu Maskawaih, al-‘iffah (menjaga diri), as-saja’ah (keberanian), al-hikmah (kebijaksanaan), al‘adalah (keadilan) merupakan pokok atau induk akhlak yang mulia. Doktrin ajaran tengah yang ditawarkan Maskawaih sejalan dengan ajaran Islam, yaitu ayat al-Qur’an yang artinya: “Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak
9 Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam; Seri Kajian Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, TT), hal. 8 10 Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh,… hal. 8
Bab 4, Pandangan Para Filosof tentang Nilai
|135
(pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengahtengah antara yang demikian.” Ibnu Maskawaih menegaskan bahwa setiap keutamaan tersebut memiliki dua sisi yang ekstrem. Yang tengah bersifat terpuji dan yang ekstrem tercela. Dalam menguraikan sikap tengah dalam bentuk akhlak tersebut, Ibnu Maskawaih tidak membawa satu ayat pun dari alQur’an, dan tidak pula membawa dalil al-hadits. Namun demikian menurut Abd al-Halim Mahmud dan Al-Ghazali, bahwa spirit doktrin ajaran tengah ini sejalan dengan ajaran Islam. Hal demikian dapat dipahami, karena banyak dijumpai ayat-ayat Al-Qur’an yang memberi isyarat untuk itu, seperti tidak boleh kikir tetapi juga tidak boleh boros, melainkan harus bersifat diantara kikir dan boros. Hal ini sejalan dengan Q.S Al-Isra’: 29 yang berbunyi:11 “Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan jangan pula kamu terlalu mengulurkannya, karena kalau demikian kamu menjadi tercela dan menyesal.” (Q.S Al-Isra’ ayat 29) Dengan dalil tersebut, walaupun Ibnu Maskawaih tidak menggunakan dalil-dalil ayat al-Qur’an dan hadits untuk menguatkan doktrin jalan tengah tersebut, namun konsep tersebut sejalan dengan ajaran Islam. Doktrin jalan tengah ini juga dapat dipahami sebagai doktrin yang mengandung arti dan nuansa dinamika. Letak dinamikanya, pada tarik-menarik antara kebutuhan, peluang, kemampuan, dan aktivitas. Karena sebagai makhluk sosial, manusia selalu berada dalam gerak (dinamis), mengikuti gerak zaman. Yang menjadi pemicu perkembangan tersebut adalah ilmu pengetahuan, teknologi, pendidikan, ekonomi, dan lainnya. Ukuran akhlak tengah disini selalu mengalami perubahan menurut perubahan ekstrem kekurangan maupun ektrem kelebihannya. Ukuran kesederhanaan 11
Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh,… hal. 9
136| Nilai dalam Wacana Filosofis
dibidang materi misalnya, pada masyarakat desa dan kota tidak dapat disamakan, dan juga dikalangan mahasiswa dan dosen. Demikian juga pada tingkat kesederhanaan pada masyarakat negara maju otomatis akan bebeda dengan tingkat kesederhanaan pada masyarakat negara berkembang. Dengan demikian, doktrin jalan tengah tidak hanya memiliki nuansa dinamis saja tetapi juga fleksibel. Karena itu, doktrin tersebut dapat berlaku terus-menerus sesuai dengan tantangan dan perkembangan zaman tanpa menghilangkan nilai-nilai esensial dari pokok keutamaan akhlak tentunya.12 Jadi, dengan doktrin jalan tengah, manusia tidak akan kehilangan arah dalam kondisi apapun. Karena dasar pemikiran Ibnu Maskawaih dalam bidang akhlak, maka konsep pendidikan yang dibangunnya pun adalah pendidikan akhlak. Baik itu tujuan pendidikan, materi pendidikan, maupun semua hal yang berbau-bau dengan pendidikan. Untuk yang pertama yang menjadi sasaran Ibnu Maskawaih adalah membicarakan mengenai tujuan pendidikan akhlak. Karena menurut Ibnu Maskawaih, Tujuan pendidikan akhlak adalah terwujudnya sikap batin yang mampu mendorong secara spontan untuk melahirkan semua perbuatan yang bernilai baik sehingga mencapai kesempurnaan dan memperoleh kebahagiaan sejati dan sempurna. Dan tujuan pendidikan akhlak yang diinginkan Ibnu Maskawaih bersifat menyeluruh, yakni mencakup kebahagiaan hidup manusia dalam arti yang seluas-luasnya.13 Selanjutnya materi pendidikan akhlak, sesuai dengan konsepnya tentang manusia, secara umum Ibnu Maskawaih menghendaki agar semua sisi kemanusiaan mendapatkan materi didikan yang memberi jalan bagi tercapainya tujuan pendidikan. Materi-materi yang dimaksudkannya diabdikan sebagai pengabdian kepada 12 13
Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh,… hal. 10 Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh,… hal. 12 Bab 4, Pandangan Para Filosof tentang Nilai
|137
Allah Swt. Sejalan dengan itu, Ibnu Maskawaih menyebutkan tiga hal pokok yang dapat dipahami sebagai materi pendidikan akhlaknya, yaitu: 1.) hal-hal yang wajib bagi kebutuhan tubuh manusia, 2.) hal-hal yang wajib bagi jiwa, dan 3.) hal-hal yang wajib bagi hubungannya dengan sesame manusia. Ketiga hal tersebut menurut Ibnu Maskawaih dapat diperoleh dari ilmu-ilmu yang secara garis besar dapat dikelompokkan secara garis besar menjadi dua kelompok. Pertama, ilmu-ilmu yang berkaitan dengan pemikira (al-ulum al-fikriyah), dan Kedua, ilmu-ilmu yang berkaitan dengan indera (al-ulum al-bissiyat). Berbeda dengan al-Ghazali, Ibnu Maskawaih tidak membedabedakan antara satu ilmu dengan ilmu lainnya, antara ilmuilmu agama dengan ilmu umum, serta hukum mempelajarinya. Secara sepintas Ibnu Maskawaih mengatakan bahwa materi pendidikan akhlak yang wajib bagi kebutuhan manusia antara lain shalat, puasa, dan sa’i.14 Selanjutnya materi pendidikan akhlak yang wajib dipelajari bagi keperluan jiwa dicontohkannya dengan pembahasan akidah yang benar, mengesakan Allah dengan segala kebesarannya, serta motivasi untuk senang kepada ilmu. Adapun materi yang terkait dengan kehidupan sosial manusia dicontohkan dengan materi ilmu mu’amalat, pertanian, perkawinan, dan lainnya. 15 4. Filsafat Moral Akhlak Dalam bidang inilah Ibnu Miskawaih banyak di sorot di karenakan langkahnya filsuf islam yang membahas bidang ini..secara praktek etika sebenarnya sudah berkembang di dunia Islam,terutama karena islam sendiri sarat berisi ajaran tentang akhlak. Bahkan tujuan di utusnya Nabi Muhammad saw. adalah untuk menyempurnakan 14 15
Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh,… hal. 12-13 Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh,… hal. 14
138| Nilai dalam Wacana Filosofis
akhlak manusia. Ibnu miskawaih mencoba menaiikan taraf kajian etika dari praktis ke teoritis-filsufis,namun dia tidak sepenuh nya meninggalkan aspek praktis. Moral,etika atau akhlak menurut Ibnu Miskawaih adalah sikap mental yang mengandung gaya dorong untuk berbuat tanpa berpikir dan pertimbangan.Sikap mental terbagi dua,yaitu yang berasal dari watak dan yang berasal dari kebiasaan dan latihan. Akhlak yang berasal dari watak jarang menghasilkan akhlak yang terpuji ; kebanyakan akhlak yang jelek. Sedangkan latihan dan pembiasaan lebih dapat menghasilkan akhlak yang terpuji. Karena itu Ibnu Miskawaih sangat menekankan pentingnya pendidikan untuk membentuk akhlak yang baik. Dia memberikan perhatian penting pada masa kanak-kanak,yang menurutnya merupakan mata rantai antara jiwa hewan dengan jiwa manusia.16 Masalah pokok yang dibicarakan dalam kajian akhlak adalah kebaikan (al-khair),kebahagiaan (alsa’dah),dan keutamaan (al-fadhila). Kebaikan adalah suatu keadaan dimana kita sampai kepada batas akhir dan kesempurnaan wujud. Kebaikan ada dua,yaitu kebaikan umum dan kebaikan khusus. Kebaikan umum adalah kebaikan bagi seluruh manusia dalam kedudukannya sebagai manusia,atau dengan kata lain ukuran-ukuran kebaikan yang di sepakati oleh seluruh manusia. Kebaikan khusus adalah kebaikan bagi seseorang secara pribadi. Kebaikan yang kedua inilah yang di sebut kebahagiaan. Karena itu dapat di katakan bahwa kebahagiaan itu berbeda-beda bagi tiap orang.17 Ada dua pandangan pokok tentang kebahagian. Yang pertama di wakili oleh Plato yang mengatakan bahwa hanya jiwalah yang mengalami kebahagiaan. Karena itu selama manusia masih berhubungan badan ia tidak akan 16 17
Syarif, Para Filsuf Muslim, (Bandung: Mizan, 1993), hal 91 Syarif, Para Filsuf,… hal. 92. Bab 4, Pandangan Para Filosof tentang Nilai
|139
memperoleh kebahagiaan. Pandangan kedua di pelopori oleh Aristoteles, yang mengatakan bahwa kebahagiaan dapat dinikmati di dunia walaupun jiwanya masih terkait dengan badan. Ibnu Miskawaih mencoba mengkompromi kedua pandangan yang berlawanan itu. Menurutnya,karena pada diri manusia ada dua unsur, yaitu jiwa dan badan, maka kebahagiaan meliputi keduanya. Hanya kebahagiaan badan lebih rendah tingkatnya dan tidak abadi sifatnya jika di bandingkan dengan kebahagiaan jiwa. Kebahagiaan yang bersifat benda mengandung kepedihan dan penyesalan, serta menghambat perkembangan jiwanya menuju kehadirat Allah. Kebahagiaan jiwa merupakan kebahagiaan sempurna yang mampu mengantar manusia menuju berderajat malaikat.18 Tentang keutamaan, Ibnu Miskawaih berpendapat bahwa azas semua keutamaan adalah cinta kepada semua manusia. Tanpa cinta yang demikian, suatu masyarakat tidak mungkin ditegakkan. Ibnu Miskawaih memandang sikap uzlah (memencilkan diri dari masyarakat) sebagai mementingkan diri sendiri. Uzlah tidak dapat mengubah masyarakat menjadi baik walaupun orang yang uzlah itu baik. Karena itu dapat dikatakan bahwa pandangan Ibnu Miskawaih tentang akhlak adalak manusia dalam konteks masyarakat. Ibnu Miskawaih juga mengemukakan tentang penyakit-penyakit moral. Di antaranya adalah rasa takut, terutama takut mati, dan rasa sedih. Kedua penyakit itu paling baik jika diobati dengan filsafat. Filsafat moral sangat berkaitan dengan psikologi, sehingga Miskawaih memulai risalah besarnya itu dengan moral/akhlak, Tahdzib alAkhlaq, dengan menyatakan doktrinnya tentang ruh. Disini pemaparannya kurang filsufis, tetapi snagat rinci. Masalah peralihan dari psikologi ia menyamakan dengan pembawaan-pembawaan ruh dengan kebajikan-kebajikan. 18
Syarif, Para Filsuf,… hal. 93.
140| Nilai dalam Wacana Filosofis
Sejauh ini, Miskawaih adalah Platonis, tetapi ia menjadi Aristotelian dan menganggap kebajikan sebagai jalan tengah diantara dua kejahatan. Ia menggunakan doktrin ini untuk mengartikan empat kebajikan utama.19 Miskawaih juga membahas doktrin-doktrin yang berlainan dan menyimpulkan dengan mengatakan bahwa kita harus menolak ajaran yang mengatakan bahwa kebahagiaan hanya dapat diperoleh setelah mati, dan menekankan bahwa hal itu dapat pula dicapai di dunia ini. Kebahagiaan tidak dapat dicapai kecuali dengan mengupayakan kebaikan di dunia maupun di akhirat. Kemudian, Miskawaih membahas tentang keadilan, persahabatan dan cinta secara terinci tentang arti dari ketiga hal tersebut. Hal yang menarik pada bagian ini adalah tentang dua macam cinta, yaitu: a) Cinta manusia kepada Tuhan, dan Cinta murid kepada guru. Cinta bagian pertama ialah cinta yang sangat sulit dicapai oleh makhluk yang fana, dan cinta ini hanya sebagian kecil saja yang mendapatkannya. Sedangkan untuk cinta yang kedua, Miskawaih menyamakannya dengan cinta anak kepada orang tuanya dengan cinta murid kepada gurunya, dan ia berpendapat bahwa cinta yang terakhir ini lebih mulia dan lebih pemurah, karena guru mengajar ruh kita dan dengan petunjuk mereka kita memperoleh kebahagiaan sejati. Guru adalah bapak ruhani dan orang yang dimuliakan, kebaikan yang diberikan kepada muridnya merupakan kebaikan Ilahiah, karena ia membawanya kepada kearifan, mengisinya dengan kebijaksanaan yang tinggi dan menunjukkan kepada muridnya kehidupan dan keberkatan yang abadi.20
19 20
Syarif, Para Filsuf,… hal. 94. Syarif, Para Filsuf,… hal. 94. Bab 4, Pandangan Para Filosof tentang Nilai
|141
Orang yang bahagia dalah orang yang mempunyai sahabat dan berusaha agar dirinya bermanfaat bagi mereka. Miskawaih mengutip pendapat Aristoteles yang mengatakan bahwa manusia itu membutuhkan teman dalam hidupnya, dalam keadaan baik ataupun dalam keadaan buruk. Secara umum, tulisan Miskawaih tentang keadilan bersifat Aristoteles. Meskipun baginya kebajikan ini merupakan suatu bayangan dari keesaan Tuhan, keseimbangan sejati. Misalnya, seorang raja adalah sebagai Khalifah Tuhan, dan dapat melaksanakan kebijaksanaan secara terinci sesuai dengan keadaan waktu dan tempat tanpa merusak nilai-nilai kehendak Ilahiah. Aristoteles mengakui kebajikan secara samar-samar dalam bentuk kebebasan yang tidak sempurna. Ia berpendapat bahwa hal itu berarti memberi orang-orang yang layak, dalam proporsi dan waktu yang tepat. Sedangkan bagi Miskawaih, hal itu merupakan keberlebihan terhadap keadilan dan dapat menghilangkan segala kemungkinan meremehkan keadilan itu sendiri, asalkan efek prasangkanya terbatas pada orang yang baik, dan penerima itu sendiri merupakan suatu pilihan yang layak untuk itu. Dengan demikian, kemurahanhatian merupakan suatu bentuk keadilan yang aman dari gangguan. Akhirnya, Miskawaih membahas penyembuhan penyakit jiwa. Ia menyebutkan penyakitpenyakit yang paling penting; marah, bangga diri, suka bertengkar, khianat, penakut, sombong, takut dan susah, dan dikaitkan dengan cara-cara penyembuhannya.21 5. Jiwa Manusia dan Akhlak Ibnu Miskwaih, dalam karyanya yang berjudul Tahdzib al-Akhlaq menjelaskan bahwa tujuan penulisan buku tersebut untuk mengembangkan nilai moralitas dalam 21
Syarif, Para Filsuf,… hal. 95.
142| Nilai dalam Wacana Filosofis
jiwa. Jalan terbaik dalam mewujudkan adalah memahami terlebih dahulu seluk-beluk jiwa. Dalam konsepsi Miskawaih, jiwa dilukiskan sebagai sesuatu yang bersifat imateria, bukan bagian tubuh, tidak membutuhkan tubuh, tidak dapat ditangkap oleh indera jasmani, dan merupakan substansi sederhana. Ibnu Miskwaih membuktikan kebenaran jiwa dengan mengemukakan argumentasi adanya fakta tentang penerimaan atau rekaman kesadaran manusia terhadap berbagai bentuk yang berasal dari bendabenda jasmani/emperik, dan juga terhadap ide-ide rasional yang abstrak. Bila yang merekam atau yang menerima bersifat jasmani, tentu hal tersebut mustahil terjadi, sebab benda jasmani hanya dapat menerima satu bentuk dalam satu waktu, dan hanya bisa dapat menerima bentuk-bentuk yang berbeda pada waktu yang berlainan.22 Rekaman/penerimaan kesadaran diri manusia pada bentuk-bentuk konkret dan abstrak berlangsung secara berkesinambungan, dan tidak terjadi pergantian bentukbentuk lama dengan bentuk-bentuk yanag beru diterima. Oleh karena itu, jelas bahwa yang menerima atau merekam bukanlah sesuatu yang bersifat jasmani, melainkan substansi yang immaterial yang dikenal dengan sebutan jiwa. Menurut Miskawaih, faktor yang membedakan jiwa manusia dengan jiwa binatang ialah adanya potensi akal dalam jiwa manusia, sedangkan potensi akal bukan untuk dimiliki pengetahuan teoritis (memiliki gambaran yang benar tentang realitas) dan pengetahuan praktis (pengetahuan tentang perbuatan baik dan menghindari perbuatan buruk). Kebaikan dan kebahagiaan manusia terletak pada mengaktualnya potensi akal dalam jiwa secara sempurna. Manusia yang paling sempurna kemanusiaannya ialah manusia yang paling benar aktivitas berpikir dan 22
Syarif, Para Filsuf,… hal. 45. Bab 4, Pandangan Para Filosof tentang Nilai
|143
mulia ikhtiarnya. Manusia paling utama ialah manusia paling mampu mewujudkan perilaku yang membedakan dirinya dari binatang. Karena itu, manusia wajib bersungguh-sungguh mewujudkan kebaikan dan menolak kejahatan. Dalam rangka mewujudkan kebaikan-kebaikan itu, manusia perlu membangun kerja sama dengan manusia lainnya. Demi tercapainya sebuah kerja sama, manusia hanya saling mencintai dan menyadari bahwa kesempurnaan kebaikan, dan kebahagiaan tidak tercapai tanpa kebersamaan.23 Daftar Rujukan Jalaluddin, dan Usman Said. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 1996. Imam
Tholkhah, Ahmad Barizi. Membuka Jendela Pendidikan; Mengurai Akar Tradisi dan Integrasi Keilmuan Pendidikan Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2004.
Zahruddin dan Hasanuddin Sinaga. Pengantar Studi Akhlak. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2004. Kamal al Hadari. Manajemen Ruh. Bogor: Cahaya. 2004. Ali Abdul Halim Mahmud. Akhlak Mulia, Jakarta: Gema Insani Press. 2004. Abuddin Nata. Manajemen Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007. Abuddin Nata. Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam; Seri Kajian Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada, TT. Syarif. Para Filsuf Muslim. Bandung: Mizan, 1993. 23
Syarif, Para Filsuf,… hal. 45.
144| Nilai dalam Wacana Filosofis
B. Pandangan Filsuf Barat 1. Nilai Materialisme Dalam Perspektif Kalr Marx Oleh: Ernita Dewi a. Pengantar Materialisme adalah aliran yang berpendapat bahwa segala sesuatu yang ada adalah benda yang kongkrit dan bukan abstrak. Suatu benda atau aktivitas dianggap memiliki nilai karena ada manfaat secara materi. Materialisme lebih mengarah pada kehidupan ekonomi, sebab perhitungan yang muncul kemudian adalah materi, sedangkan materi sangat identik dengan ekonomi, uang dan kebendaan. Penekanan pada nilai materi mengarahkan orang pada berpikir yang ada untungnya dengan melepaskan diri dari hal-hal yang bersifat spiritual. Materialisme berasal dari bahasa Latin, yaitu materia yang berarti bahan atau bahan untuk menyusun sesuatu.24 Secara istilah materialisme dapat diberi definisi dengan beberapa cara: pertama, materialisme adalah teori yang mengatakan bahwa atom materi sendiri yang ada, dan materi yang bergerak merupakan unsur-unsur yang membentuk alam, dan yang dikatakan akal, pikiran serta kesadaran manusia, termasuk didalamnya segala proses psikal (sesuatu yang tidak tampak, seperti jiwa, roh, ide) merupakan mode materi tersebut dan dapat disederhanakan menjadi unsur-unsur fisik atau materi yang bergerak. Kedua, bahwa doktrin alam semesta dapat ditafsirkan seluruhnya dengan sains fisik.25 Oleh karena itu,
24 Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005), hal. 586. 25 Listiyono Santoso, dkk, Epistemologi Kiri, (Jogjakarta: Ar-Ruzz, 2006), hal. 39.
Bab 4, Pandangan Para Filosof tentang Nilai
|145
materialisme berpendirian bahwa pada hakikatnya segala sesuatu itu adalah bahan belaka atau materi.26 Diskursus tentang materilisme sudah lama dikembangkan dalam kajian filsafat terutama sejak muncul filsuf kealaman zaman klasik seperti Demokritos yang mengatakan bahwa sumber dari segala sesutau yang ada di dunia ini adalah atom-atom.27 Pemikiran Democritos beranggapan bahwa atom adalah materi yang dapat dijelaskan secara bendawi dan bukan sesuatu yang abstrak. Paham tersebut terus berkembang hingga abad modern. Dalam pandangan materialisme modern menyatakan bahwa alam itu merupakan kesatuan materi yang tidak terbatas, dan alam temasuk didalamnya segala materi dan energi (gerak dan tenaga) selalu ada dan akan tetap ada, dan bahwa alam adalah realitas yang keras, dapat disentuh, material, dan objektif yang dapat diketahui oleh semua manusia. Materialisme modern mengatakan bahwa materi itu ada sebelum jiwa, dan dunia material adalah yang pertama.28 b. Riwayat Hidup Karl Marx dan Karyanya Karl Marx dikenal sebagai sosoknya sudah lama tiada, tapi sampai detik ini pemikiran-pemikiran ekonomi dan teori kemasyarakatannya sangat menginspirasi berbagai kalangan diberbagai belahan dunia.29 Karl Marx adalah salah satu tokoh materialisme abad 19 M, yang mengembangkan paham ini secara mendalam dan
26 Suparlan Suhartono, Sejarah Pemikiran Filsafat Modern, (Jogjakarta: Ar-Ruzz, 2005), hal. 62. 27 Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 1, (Yogyakarta: Kanisius, 1980), hal. 55. 28 Atang Abdul Hakim, dkk, Filsafat Umum, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hal . 363. 29 Frederick Engels, Tentang Kapital Marx, terj. Oey Hay Djoen, ( Bandung: Ultimus, 2006), hal. V.
146| Nilai dalam Wacana Filosofis
ekstrem30 dan pembangkit kembali materialisme dengan memberi interpretasi dan hubungan baru dengan sejarah manusia.31 Materialisme historis Karl Marx merupakan hasil pemikiran ilmu yang terbesar yang pada dasarnya dari dialektika Hegel. Karl Marx lahir pada tanggal 5 Mei 1818 di Jerman dan meninggal dunia pada tanggal 14 Maret 1883 di London. Ayahnya bernama Heinrich Marx dan ibunya bernama Henrietta Philips32. Kedua orang tuanya berasal dari keturunan Yahudi.33 Ketika Karl Marx masih remaja, ayahnya sangat khawatir melihat kondisi anaknya. Karena Karl Marx seorang putra yang luar biasa dengan kecerdasan yang tajam dan cermerlang, Karl Marx juga memiliki sikap keras kepala dan mau menang sendiri atau egois. Ayahnya takut akan kondisi anaknya yang keras kepala, karena akan mengundang permusuhan dengan orang lain, khususnya orang penting. Meskipun demikian kondisi anaknya, ayahnya selalu memberikan nasihat-nasihat untuk menjadi anak yang beradap, sopan, dan tidak menentang keradikalan pemikiran anaknya. Sedangkan ibunya, sangat terkejut melihat kondisi anaknya yang radikal.34 Karl Marx masuk sekolah menengah pada tahun 1830 di Trier, ia sangat menguasai matematika dan teologi, minat utamanya adalah sastra dan seni. Kecenderungan Karl Marx terhadap sastra dan seni disebabkan adanya pengaruh dari ayahnya dan teman akrab ayahnya, yaitu Freiherr Ludwig von Westphalen35, yang pada akhirnya Suparlan Suhartono, Sejarah Pemikiran..., hal. 63 Bertrand Russell, Sejarah Filsafat Barat, terj. Sigit Jatmiko, dkk., (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hal. 1018. 32 Isaiah Berlin, Biografi Karl Marx, terj. Eri Setiyawati Alkhatap, dkk., (Yogyakarta: Jejak, 2007), hal. 31. 33 Fadhli. “Formulasi Nilai Sosial Dalam Perspektif Karl Marx,” Skripsi, ( Banda Aceh: Ushuluddin, 2001), hal. 11. 34 Isaiah Berlin, Biografi karl Marx..., hal. 28 35 Freiherr Ludwig von Westphalen adalah seorang pejabat pemerintah Prussia terkemuka, dan ia menjadi bagian dari golongan 30 31
Bab 4, Pandangan Para Filosof tentang Nilai
|147
menjadi mertua Kalr Marx. Freiher, tertarik dengan kemampuan yang luar biasa Karl Marx yang penuh semangat, dan mendorongnya untuk membaca, serta mengajaknya berjalan-jalan sambil berbagi-bagi ilmu. Tulisannya pada masa remaja memperlihatkan jiwa ketaatan agama Kristen dan kerinduan untuk mengorbankan diri demi kepentingan kemanusiaan.36 Selesai dari sekolah Gymnasium, pada tahun 1835 Karl Marx melanjutkan pendidikan ke Universitas di Bonn dengan belajar hukum, namun tidak begitu lama di Universitas tersebut, ia menuju Berlin dan melanjutkan pendidikannya di Universitas Berlin, juga mempelajari hukum dan filsafat pada tahun 1836. Berlin merupakan tempat ia banyak mempelajari masalah-masalah sosial dan politik, serta masuk dalam pergerakan Young Hegelian sayap kiri. Karl Marx masuk dalam suatu perkumpulan yang disebut dengan Klub Doktor, yang anggota-anggotanya dengan giat terlibat dalam kesusasteraan baru dan pergerakan filsafat dan Karl Marx menjadi anggota yang paling radikal. Klub Doktor memakai filsafat Hegel dalam mengkritik berbagai hal, terutama sistem-sistem politik yang otoriter dan menentang pengaruh agama Protestan di Prussia.37 Klub Doktor yang dipimpin oleh Bruno Bauer, seorang dosen muda dalam bidang teologi dan yang mengembangkan pemikiran bahwa injil adalah bukan suatu catatan yang bersejarah, akan tetapi catatan fantasi manusia
liberal dan terpelajar kelas atas Jerman, yang wakil-wakilnya dapat ditemui digaris depan setiap gerakan yang tercerahkan dan progresif di negara mereka pada paro pertama abad kesembilan belas. Isaiah Berlin, Biografi Karl Max…, hal. 31 36 Isaiah Berlin, Biografi Karl Marx..., hal. 31 37 Franz Magnis Suseno, Pemikiran Karl Marx Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003), hal. 47.
148| Nilai dalam Wacana Filosofis
yang timbul dari kebutuhan-kebutuhan emosional manusia dan Yesus bukan suatu person yang bersejarah.38 Kemudian ia memperoleh gelar doktor pada tahun 1841 di Universitas Jena dengan disertasinya tentang filsafat Euphicurus dan Demokritus.39 Kemudian Karl Marx beralih propesinya menjadi jurnalistik. Dalam usia dua puluh empat tahun, yaitu pada tahun 1842 ia menjadi editor surat kabar liberal Rheincih Zaitung di Cologne, ia rajin menulis isu-isu sosial dan politik disurat kabar, tetapi dianggap ia terlalu radikal dalam pemikirannya.40 Pada tahun 1843, Karl Marx menikahi Jenny Von Westphalen seorang putri pejabat pemerintahan Prussia terkemuka, yaitu Freiherr Ludwig von Westphalen.41 Setelah menikah mereka pergi ke Paris dan disinilah ia berjumpa dengan Joseph Proudhon (1809-1865) dan bersahabat dengan Friedrich Engels, sehingga menjadi kawan seperjuangan seumur hidupnya dan Karl Marx mengenal istilah materialisme historis adalah dari Engels sendiri. Friedrich Engels (1820-1895) merupakan kawan setia selalu membantu menanggung kebutuhan sehari-hari keluarga Karl Marx maupun pembiayaan karya-karyanya dalam persiapan dan penerbitannya dalam sejumlah bahasa.42 Dari Paris, Karl Marx dibuang ke Brussels (Belgia) pada tahun 1845 beserta keluarganya dan F. Engels mengikutinya43. Tiga tahun kemudian pada awal revolusi, Karl Marx dan keluarganya diusir dari Belgia dan pindah ke London. London merupakan tempat tinggal sampai akhir hidupnya. Di Belgia, Karl Marx dan Engels masih sempat Fadhli, Formulasi Nilai Sosial..., hal. 12 Juhaya S. Praja, Aliran-aliran..., hal. 154 40 Fadhli, Formulasi Nilai Sosial..., hal. 12 41 Isaiah Berlin, Biografi Karl Marx..., hal. 81 42 Sumitro Djojohadikusumo, Perkembangan Ekonomi, ( Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1991), hal. 185. 43 Fadhli, Formulasi Nilai Sosial..., hal. 14 38 39
Pemikiran
Bab 4, Pandangan Para Filosof tentang Nilai
|149
menulis tulisan mereka yang paling terkenal, yaitu Manifesto Komunis. Selama revolusi 1848, Karl Marx kembali ke Jerman dan mendirikan sebuah harian atau media masa. Tetapi akhirnya revolusi Eropa gagal dan Karl Marx harus kembali ke London.44 Sebelum Karl Marx meninggal dunia, ia sering mengalami kesakitan. Pada tahun 1882 setelah musim dingin yang sangat hebat, dokter mengirim Karl Marx ke kota Algiers, Afrika Utara, untuk penyembuhan. Ia menghabiskan waktu selama satu bulan di Afrika Utara yang teramat dingin dan basah. Kemudian Karl Marx kembali ke Eropa dalam keadaan sakit dan lelah. Setelah beberapa minggu sia-sia berkelana dari satu kota ke kota lainnya di French Riviera untuk mencari sinar matahari, ia pergi ke Paris dan tinggal beberapa minggu disana, dan kemudian pergi ke London. Pada tahun berikutnya, tahun 1883, ia kembali jatuh sakit. Karl Marx meninggal dunia ketika tidurnya, dalam keadaan duduk dikursi diruang belajarnya. Ia dikuburkan dipemakaman Highgate dan ditempatkan berdampingan dengan istrinya. Tidak banyak yang hadir pada pemakamannya hanya anggota-anggota keluarganya, beberapa teman pribadinya, dan wakil para pekerja dari berbagai negeri.45 Karya tulis Karl Marx diantaranya, yaitu: pertama, Philosophical and Economic Manuscripts dari tahun 1844, juga disebut Naskah-naskah Paris, yang baru dicetak untuk pertama kalinya pada tahun 1929 di Moskow. Didalamnya Karl Marx menganalisis segi-segi utama keterasingan manusia dalam pekerjaan. Dalam refleksi-refleksi itu tampak apa yang sering disebut oleh Karl Marx, yaitu humanisme atau suatu gambaran manusia sebagai makhluk yang seharusnya bebas dan universal, individual dan sosial serta alami. Naskah-naskah ini adalah tulisan Karl Marx 44 45
Franz Magnis Suseno, Pemikiran Karl Marx..., hal. 52 Ibid, hal. 288.
150| Nilai dalam Wacana Filosofis
yang paling filsufis dimana nilai-nilai etis yang mendasari seluruh karyanya. Naskah-naskah inilah yang mengubah gambaran Marxisme tradisional, bahwa Karl Marx pertamatama harus dilihat sebagai ekonomi dan sosiologi yang bebas nilai, yang tidak mempunyai keyakinan-keyakinan filsufis dan etis. Sebaliknya, dalam naskah-naskah Paris itu Karl Marx tampil sebagai pemikir yang dengan penuh semangat hendak mengembalikan manusia dari 46 keterasingannya ke dalam keutuhannya. Kedua, The Holy Family. Didalamnya Karl Marx menyatakan dirinya berpisah dari teman-teman Hegelian Muda. Pada masa Karl Marx masuk Klub Doktor, mereka terpecah menjadi dua yang saling bertentangan, yaitu Hegelian Kiri dan Hegelian Kanan. Dalam penilaian Karl Marx, Hegelian Kanan merupakan idealistik atau religius, karena mereka mencari akar keterasingan manusia dalam cara berpikir, bukan dalam susunan sistem produksi yang keliru, seperti sistem kapitalisme.47 Ketiga, pada tahun 1846 Karl Marx menulis karya tulisnya bersama Engels dengan judul The German Ideologi. Dalam karya ini, Karl Marx merumuskan perbedaannya dengan Feuerbach (yang tetap dikaguminya) serta menyerang Max Stirner (seorang anarkis dan individualis ekstrem). Dalam karya ini, Karl Marx menegaskan bahwa sosialisme, yaitu penghapusan hak milik pribadi, bukan sekedar tuntutan etis, melainkan keniscayaan objektif. Karl Marx mengklaim bahwa ia menemukan hukum yang mengatur perkembangan masyarakat dan sejarah, dan hukum itu adalah prioritas bidang ekonomi. Oleh kerena itu, Karl Marx menyebut anggapannya dengan pandangan sejarah yang materialistik. Mulai saat itu, Karl Marx menganggap dirinya sebagai penemu sosialisme ilmiah, artinya sosialisme yang tidak berdasarkan harapan dan 46 47
Franz Magnis Suseno, Pemikiran Karl Marx..., hal. 49 Ibid, hal. 50. Bab 4, Pandangan Para Filosof tentang Nilai
|151
tuntutan belaka, melainkan berdasarkan analisis ilmiah terhadap hukum perkembangan masyarakat.48 Pada tahun 1848, Karl Marx menulis karyanya bersama Engels yang sangat terkenal dengan judul Manifesto Komunis. Dalam karya ini, menyatakan bahwa sejarah perkembangan masyarakat dari awalnya adalah sejarah yang berkisar pada pertentangan kelas dan perjuangan kelas. Penafsiran Karl Marx tentang perkembangan sejarah berkaitan dengan serangkaian perjuangan antar kelas. Tiap perjuangan berlangsung akan menghasilkan suasana baru dalam masyarakat, dan suasana baru akan melahirkan suasana baru lagi.49 Dalam masyarakat kapitalisme, telah muncul kaum borjuis sebagai kelas yang berkuasa. Memang banyak kemajuan telah tercapai oleh masyarakat kapitalisme, seperti dibidang produksi dan dalam hal peningkatan produktivitas tenaga kerja manusia. Hal itu belum pernah terjadi pada zaman sebelumnya. Walaupun begitu, kapitalisme tidak mengurangi pemerasan terhadap tenaga kerja, bahkan terus meningkatkan pemerasan para pekerja.50 Oleh karena itu, perjuangan kelas akan terjadi dan meninggkat. Kaum proletar sebagai kelas yang baru merupakan akibat dari perkembangan kapitalisme sendiri atau akibat ulah kapitalisme. Dalam tahap selanjutnya, tekanan hidup memaksa kaum proletar untuk meningkatkan perjuangan atas kepentingannya sendiri. Kontradiksi menjadi semakin jelas antara besarnya kemampuan berproduksi dalam sistem kapitalisme, namun dipihak lain, kemampuan berkomsumsi kaum proletar menjadi semakin terbatas. Kaum proletar ini terus-menerus Ibid, hal. 51. hal. 52. 50 Sumitro Djojohadikusumo, perkembangan Pemikiran..., hal. 48
49Ibid,
188
152| Nilai dalam Wacana Filosofis
dan menjadi semakin miskin. Dan pada akhirnya kaum proletar akan memperjuangkan hak-hak mereka terusmenerus sampai pada akhirnya sistem kapitalisme akan runtuh.51 Setelah karya Manifesto Komunis, pada tahun 1867 Karl Marx menerbitkan buku pertama dari karya utamanya yang dimaksudkan untuk membuktikan kebenaran ramalannya tentang kehancuran kapitalisme dan keniscayaan sosialisme, yaitu Das Kapital. Mekipun Das Kapital mengecewakan banyak teman Karl Marx sendiri, karena dianggap terlalu kering dan tidak jelas maksudnya.52 Dalam karya di atas, Karl Marx berbicara sebagai seorang ahli ekonomi, yaitu ia berusaha memperlihatkan bahwa cara produksi kapitalis dengan sendirinya mesti membawa kapitalisme kepada keruntuhannya sendiri. Jadi analisis ekonomi tentang kapitalisme merupakan dasar pandangan Karl Marx tentang keniscayaan revolusi sosialis dan pewujudan masyarakat komunisme tanpa kelas.53 Secara subjektif, setiap filsuf selalu berusaha mencari atau memahami sesuatu yang disebut kebenaran. Setiap para filsuf mungkin berbeda pendapat mengenai definisi kebenaran sesuatu, tetapi pada tingkat apapun definisi kebenaran, baik bersifat rasional maupun irrasional itu merupakan sesuatu yang objektif. Sesuatu pengertian yang menurut dia benar dan bekeinginan kebenarannya diterima semua orang, hal ini sulit terjadi, karena setiap orang memiliki pemahaman sendiri. Tidak ada seorang pun yang akan sibuk dalam perburuan atau memahami filsafat, jika ia mengira bahwa semua filsafat hanyalah ekspresi dari akibat yang irrasional, tetapi kenapa para filsuf sibuk memahami filsafat, justru adanya ekspresi lain untuk memahami sesuatu, yaitu rasional. Semua filsuf akan setuju 51Ibid,
hal. 189. Franz Magnis Suseno, Pemikiran Karl Marx..., hal. 54 53 Ibid, hal. 161. 52
Bab 4, Pandangan Para Filosof tentang Nilai
|153
bahwa setiap filsuf memiliki ekspresi atau alasan-alasan yang ekstra-rasional masing-masing untuk memahami sesuatu kebenaran, karena apa yang ia pahami belum tentu yang lain memahaminya. Karl Marx percaya kepada kebenaran doktrinnya sendiri dan tidak menganggap doktrinnya hampa. Pada zamanya, ia melihat adanya kaum pemberontak terhadap kaum lainnya. Apa yang bisa dikatakan mengenai konflik ini, yaitu adanya pandangan yang subjektif dan objektif tentang sesuatu.54 Karl Marx mengatakan dirinya materialis, tetapi bukan jenis meterialis abad 18 M, yaitu hanya menafsirkan dunia ini. Tipe materialis Karl Marx, katanya adalah yang dibawah pengaruh Hegelian, yaitu filsafat dialektikanya. Dalam ajaran Hegel, dialektis adalah bahan yang paling utama. Dialektis berasal dari kata dialego yang artinya membuat percakapan, polemik. Dalam proses berpikir dapat dibagi tiga lapisan, yaitu pendapat, jawaban dan persatuan. Persatuan itu merupakan pendapat baru yang menuntut keberatan atau pendapat yang baru lagi. Demikian proses itu berlangsung terus membimbing sampai pengetahuan yang lebih terang. Proses itu dinamakan oleh murid-murid Hegel dengan tesis, antitesis dan sintesis.55 Salah satu murid Hegel adalah Karl Marx. Berbeda dengan materialisme tradisional atau yang lama. Karl Marx mengatakan materialisme lama menganggap keliru bahwa penginderaan adalah pasif, dan menyamakan antara aktivitas atau subjek dengan objek, ketika seseorang mengatakan secara objektifnya, saya sanggup menganggkat seratus sak beras dalam jangka dua puluh menit, maka hal ini objektif hanya dalam pikiran, 54 Bertrand Russell, Sejarah Filsafat Barat, dan Kaitannya Dengan Kondisi Sosio-politik Dari Zaman Kuno Hingga Sekarang, terj. Sigit Jatmiko, dkk., (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hal. 1022. 55 Rustam E. Tamburaka, Pengantar Ilmu Sejarah, Teori Filsafat Sejarah, Sejarah Filsafat, dan Iptek, (Jakarta: Rineka Cipta, 1999), hal. 164.
154| Nilai dalam Wacana Filosofis
padahal secara objektif atau praktis belum tentu benar. Dalam pandangan Karl Marx, semua penginderaan atau pencerapan merupakan interaksi antara subjek dan objek, artinya penginderaan hal yang terpenting dalam memahami sesuatu. Pertanyaan, apakah kebenaran objektif termasuk dalam pemikiran manusia ataukah tidak, itu bukan pertanyaan teoritis, tetapi pertanyaan praktis, demikian kata Karl Marx. Kebenaran pikiran, yaitu realitas dan kekuasaan, harus diperagakan dalam praktek. Karl Marx mengatakan para filsuf hanya menafsirkan dunia dengan beragam cara, padahal tugas mereka sebenarnya adalah mengubahnya. 56 Pemikiran Karl Marx tidak hanya dipengaruhi oleh dialektika Hegel, tetapi juga dipengaruhi Feuerbach. Karl Marx memakai istilah materi dalam pikirannya pada intinya berasal dari ajaran Feuerbach seorang murid dari Hegel. Feuerbach bermaksud atas segala pikirannya dalam persoalan religius. Ia memandang manusia sebagai Tuhan untuk manusia dan Tuhan adalah pikiran manusia. Manusia dalam hakikatnya adalah makhluk yang bermasyarakat, dan masyarakat dalam persatuannya dengan manusia yang lain, manusia itu adalah makhluk yang sejati. Dari Feuerbach, Karl Marx mengambil pikiran tentang humanisme yaitu citacita untuk melepaskan manusia dari perbudakkannya, dan dari pikiran itu Karl Marx dibimbing ke sosialisme. Feuerbach mengajarkan apakah manusia itu, yaitu hanya makhluk yang berindra dan itu adalah realita yang sejati. Semua yang disebut rohani dan spiritual yang umumnya hanya ilusi manusia.57 Karl Marx juga terpengaruh dengan pemikiran Joseph Proudhan (1808-1865) yang sangat membenci kaum kapitalis. Proudhon menyatakan dalam sebuah pertanyaan dan kemudian ia jawab sendiri, yaitu apa yang dimaksud 56 57
Bertrand Russel, Sejarah Filsafat Barat..., hal. 1020 Rustam E. Tamburaka, pengantar Ilmu Sejarah…, hal. 165 Bab 4, Pandangan Para Filosof tentang Nilai
|155
dengan kekayaan (what is property)? kekayaan adalah hasil curian (property is theft). Kekayaan yang dimaksud oleh Proudhon adalah kekayaan yang dimiliki kaum kapitalis. Kekayaan tersebut pada hakikatnya merupakan hasil rampokan dari kaum buruh, yaitu dengan menggaji mereka dengan tingkat upah yang rendah. Pandangan Proudhon inilah yang sesungguhnya menjadi dasar pemikiran Karl Marx tentang kapitalis.58 Karl Marx sangat membenci sistem perekonomian liberal-kapitalisme yang digagas oleh Adam Smit (17291790). Untuk menunjukkan kebenciannya Karl Marx menggunakan berbagai argumen dalam membuktikan bahwa sistem liberal kapitalisme itu buruk. Argumenargumen yang disusun Karl Marx dapat dilihat dari berbagai segi, baik dari sisi moral, sosiologi maupun ekonomi. Dari segi moral Karl Marx melihat bahwa sistem kapitalisme mewarisi ketidak adilan dari dalam. Ketidakadilan ini akhirnya akan membawa masyarakat kapitalis ke arah kondisi ekonomi dan sosial yang tidak bisa dipertahankan, walupun ada pengakuan bahwa sistem yang didasarkan pada mekanisme pasar ini lebih efisien, sistem ini tetap dikecam. Hal itu karena sistem liberal tersebut tidak perduli tentang masalah kepincangan dan kesenjangan sosial. Dengan menerapkan sistem upah besi kaum buruh dalam sistem perekonomian liberalkapitalisme tidak akan pernah mampu mengangkat derajatnya lebih tinggi, karena sebagaimana diucapkan Karl Marx, yaitu pasar bebas memang telah mentakdirkannya demikian. Untuk mengangkat harkat para buruh yang sangat menderita dalam sistem liberal-kapitalisme tersebut, Karl Marx mengajak kaum buruh untuk bersatu. Sistem perekonomian liberal-kapitalisme harus digantikan dengan sistem lain yang lebih memperhatikan masalah pemerataan 58 Deliarnov, Perkembangan Pemikiran Ekonomi, RajaGrafindo Persada, 2007), hal. 72.
156| Nilai dalam Wacana Filosofis
(Jakarta:
bagi semua untuk semua, yaitu sistem perekonomian sosialis-komunis.59 Dari segi sosiologi, Karl Marx melihat adanya sumber konflik antar kelas. Dalam sistem liberalkapitalisme yang diamati Karl Marx, ada sekelompok orang (para pemilik modal) yang menguasai kapital, dan dilain pihak ada sekelompok orang lainnya (kaum buruh) sebagai kelas proletar yang sepertinya sudah ditakdirkan untuk selalu menduduki posisi kelas bawah. Karl Marx mengatakan, jika tidak dilakukan sesuatu, maka jumlah kaum nestapa ini akan semakin besar. Sebagai langkah antisipasi, Karl Marx menganjurkan agar sistem liberalkapitalisme yang menyebabkan kaum buruh menderita tersebut harus diperbaiki, atau lebih tepat lagi diganti dengan sistem sosialis yang lebih berpihak kepada golongan kaum buruh. Sistem perekonomian liberal-kapitalisme harus diganti, karena sistem ini cenderung menciptakan masyarakat berkelas-kelas, yaitu kelas kapitalisme yang kaya raya dan kelas buruh yang sangat menderita. Karl Marx tidak menginginkan bentuk masyarakat berkelaskelas seperti ini. Obat satu-satunya yang dapat dilakukan dalam usaha menciptakan masyarakat tanpa kelas itu adalah dengan memperjuangkan sistem sosialis atau komunisme.60 Adapun pakar yang sangat mempengaruhi pemikiran Karl Marx tentang ekonomi adalah Francois Quesnaiy (1694-1774) dari Perancis yang bermazhab physiokrasi. Physiokrasi berasal dari bahasa Yunani dan merupakan penyatuan dari istilah physis yang artinya fisika, ilmu alam dan cratos yang artinya kekuatan, kekuasaan. Mazhab ini membela keadilan, karena pada zamannya kehidupan kaum tani sangat tertekan, pajak-pajak yang tinggi, berbagai macam kerja paksa, pungutan-pungutan 59 60
Deliarnov, perkembangan pemikiran..., hal. 73 Ibid, hal. 74. Bab 4, Pandangan Para Filosof tentang Nilai
|157
liar, semuanya itu dibebankan atas pundak rakyat penduduk di sektor pertanian. Karl marx mengakui Quesnaiy adalah pemikir yang pertama kalinya menyajikan suatu gambaran secara mendasar mengenai proses ekonomi dalam kehidupan masyarakat secara menyeluruh. Karl Marx juga terpengaruh dengan David Ricardo (1772-1823) yang bermazhab klasik. Karl Marx terpengaruh dengan teori tentang nilai dan upah yang dikembangkan David Ricardo.61 Dari segi ekonomi, Karl Marx melihat bahwa akumulasi kapital ditangan kaum kapitalisme memungkinkan tercapainya pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Akan tetapi, pembangunan dalam sistem kapitalisme sangat bias atau menguntungkan terhadap pemilik modal. Untuk bisa membangun secara nyata bagi seluruh lapisan masyarakat, perlu dilakukan perombakan struktural melalui rovolusi sosial. Jika langkah ini berhasil (sistem komunisme), langkah berikutnya yang harus diambil adalah penataan kembali hubungan produksi (khususnya dalam sistem pemilikan tanah, alat-alat produksi, dan modal). Menurut Karl Marx, hanya atas dasar hubungan yang lebih manusiawi ini pembangunan dapat berjalan lancar tanpa hambatan dan dapat diterima oleh seluruh lapisan rakyat.62 Karl Marx meramalkan bahwa suatu masa sistem liberal-kapitalisme akan hancur. Sistem liberal-kapitalisme hancur bukan disebabkan oleh faktor-faktor lain, melainkan karena keberhasilannya sendiri. Dalam penilaian Karl Marx sistem liberal-kapitalisme mewarisi daya self destruction, yaitu daya dari dalam yang akan membawa kehancuran bagi sistem perekonomian liberal-kapitalisme itu sendiri. Bagi Karl Marx sistem liberal-kapitalisme adalah suatu sistem yang sudah busuk dari dalam dan tidak mungkin diperbaiki. Sistem liberal-kapitalisme lebih menguntungkan mereka 61
Sumitro Djojohadikusumo, perkembangan Pemikiran..., hal.
62
Deliarnov, Perkembangan Pemikiran..., hal. 74
13
158| Nilai dalam Wacana Filosofis
diatas penderitaan kaum buruh, hal wajar pada suatu saat kaum buruh akan menyerang mereka. Untuk membawa masyarakat pada kehidupan yang lebih baik, tidak ada jalan lain. Menurut Karl Marx sistem liberal-kapitalisme tersebut harus dihancurkan dan diganti dengan sistem yang lebih manusiawi, yaitu sistem sosial-komunisme.63 Setelah kita melihat latar belakang pemikiran Karl Marx diatas, ternyata Karl Marx memiliki tahap-tahap perkembangan pemikiran dalam kehidupannya. Semua ahli sependapat bahwa pemikiran Karl Marx mangalami perkembangan ketika masa muda dan masa tuanya. Pendapat paling keras tentang adanya perubahan radikal dalam pemikiran Karl Marx, dikemukakan oleh Lois Althusser dalam buku Paur Marx. Althusser berpendapat bahwa diantara pemikiran Karl Marx masa mudanya dan masa tuanya terjadi sebuah potongan atau perubahan tajam. Karl Marx pra-1848 adalah humanis, dan Karl Marx pasca 1845 adalah anti humanis atau ilmia. Pendapat ini dipengaruhi oleh pandangan strukturalistik Althusesser maupun oleh kecurigaan komunisme resmi terhadap filsafat Karl Marx muda (Althusser waktu itu anggota komite sentral partai komunis Perancis). Mayoritas para ahli sebaliknya menekankan untuk kontinuitas dalam pemikiran Karl Marx. Adanya kontinuitas untuk pertama kali diutarakan dalam tahun 50 an oleh Jean-Tves Cavez SJ dalam karya raksasa La Pensee de Karl Marx.64 Oleh karena itu, jelas ada perkembangan dan perubahan dalam pemikiran Karl Marx, tetapi perkembangan itu berjalan dalam berkesinambungan. c. Pengaruh Pemikiran Karl Marx Konsep materialisme yang ada diatas telah memberikan gambaran atau titik terang materialisme yang 63 64
Ibid, hal. 75. Franz Magnis Suseno, Pemikiran Karl Marx..., hal. 6 Bab 4, Pandangan Para Filosof tentang Nilai
|159
dibangun oleh Karl Marx (1818-1883). Ia termasuk tokoh yang mengembangkan materialisme yang lebih runcing dan ekstrem yang sangat berpegang pada materialisme sejati. Pemikiran Karl Marx sangat dipengruhi oleh filsafat Hegel dan Feurbach dalam mengembangkan materialisme historis. Dari Hegel, Karl Marx menerima ajaran dialektika dan pendapat lain tentang hubungan rapat antara filsafat, sejarah, dan masyarakat. Sedangkan dari Feurbach, Karl Marx menerima ajaran tentang kecenderungan terhadap kerohanian yang dapat dikembalikan kepada yang jasmani dan pengarahan minat kepada manusia yang hidup di dalam masyarakat. Marx menghubungkan rapat-rapat antara filsafat dan ekonomi, yang paling penting baginya adalah bertindak, bukan kehendak dan tahu saja. Tugas ahli pikir adalah mengubah dunia, bukan menerangkan dunia.65 Dalam perkembangan filsafat materialisme Karl Marx, ia mengembangkan konsep materialisme dialektika dan melahirkan materialisme historis. Pada prinsipnya materialisme dialektika dan materialisme historis menyatakan bahwa peristiwa-peristiwa yang berkenaan dengan sejarah rohani dan perkembangan manusia, merupakan akibat-akibat dan refleksi-refleksi kegiatan ekonomis manusia. Inti materialisme dialektika adalah pemutlakkan materi yang bergerak dalam waktu dan ruang atau pengukuhan terhadap yang ada tanpa suatu sebab. Kontradiksi yang dikukuhkan oleh teori ini hanya bisa menjadi syarat kemungkinan perkembangan lebih jauh, tetapi kontradiksi itu tidak dapat menjadi landasan perkembangan yang memadai.66 Oleh karena itu, roh manusia tidak bisa menjadi produk perkembangan alam secara murni yang naik dari yang lebih rendah kepada yang lebih tinggi, karena roh manusia mengandaikan suatu sebab yang memadai supaya 65 66
Suparlan Suhartono, Sejarah Pemikiran…, hal. 63 Lorens Bagus, Kamus filsafat…, hal. 597
160| Nilai dalam Wacana Filosofis
bekerja di dalam alam inorganis dan organis.67 Dan salah satu prinsip materialisme dialektika ialah perubahan dalam kuantitas dapat mengakibatkan perubahan dalam kualitas. Artinya, bahwa suatu kejadian pada taraf kuantitatif dapat menghasilkan sesuatu yang sama sekali baru. Dengan cara itulah kehidupan berasal dari materi mati dan kesadaran manusiawi berasal dari kehidupan organis.68 Kemudian materialisme historis berpendapat bahwa dinamika sejarah di tentukan oleh dialektika pada basis material. Teori ini pada dasarnya atau refleksi berangkat dengan titik tolak aliensi atau keterasingan. Pada abad ke 19 M, kaum pekerja tertekan dan diperas tenaganya serta terasing dari dirinya sendiri dan dari masyarakat. Atas dasar ini, Karl Marx beranggapan bahwa pengkomunisan total segala cara produksi sebagai satu-satunya pemecahan problem itu, sebab dengan cara ini keterasingan dapat dihilangkan.69 Karl Marx, menyatakan manusia itu dianggap manusia sejauh ia bermasyarakat dan manusia individu yang hanya mementingkan dirinya sendiri tidak berarti, seperti para penganut sistem kapitalisme. Masyarakat harus berkembang dan perkembangannya disebut sejarah. Marx berkeyakinan bahwa sejarah manusia menuju ke suatu keadaan ekonomis tertentu, yaitu komunisme, dimana milik pribadi akan diganti dengan milik bersama. Perkembangan menuju fase sejarah ini akan berlangsung secara mutlak dan tidak mungkin dihindarkan.70 Materialisme menurut Karl Marx mempunyai paham bahwa alam semesta menurut sifatnya adalah material atau terdiri dari materi ke materi. Materi itu benar-benar ada dan hukum-hukumnya tidak dapat diketahui sepenuhnya oleh manusia. Materi itu abadi, dalam arti tidak diciptakan Ibid, hal. 600. Surajiyo, Ilmu Filsafat Suatu pengantar, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), hal. 159. 69 Lorens Bagus, Kamus filsafat…, hal. 604 70 Surajiyo, Ilmu filsafat…, hal. 160 67 68
Bab 4, Pandangan Para Filosof tentang Nilai
|161
oleh kekuatan lain. Pandangan ini sangat bertentangan dengan ajaran Islam, Allah Swt menurut pandangan agama adalah cretio ex-nihillo.71 Dalam pandangan dunia Ilahiah bahwa keberadaan alam ini memiliki tujuan, bersandar pada wujud yang memiliki perasaan dan berdasarkan pada sebuah rancangan, sistem, serta perhitungan yang pasti. Sedangkan dalam pandangan dunia materialisme bahwa alam ini tidak didasari oleh rancangan sebelumnya, tidak memiliki perancang yang berperasaan, tanpa tujuan dan tanpa perhitungan.72 Pemikiran Karl Marx mempengaruhi kehidupan jutaan manusia dan memberikan pengaruh dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat modern, khususnya pada materialisme historis, sosiologi, ekonomi, filsafat.73 Ketika usianya lima puluh tahun, gagasan-gagasannya menjadi mapan. Karyanya Das Capital diterjemahkan kedalam bahasa Rusia pada tahun 1872 dan dibaca secara luas oleh orang, kemudian Karl Marx menjadi terkenal dan menikmati kontak reguler dengan para teoritikus seluruh Eropa yang berpikiran sejalan dengannya.74 Das Kapital adalah karya terbesar Karl Marx yang merupakan salah satu buku paling berpengaruh dalam sejarah dunia. Karya ini mengungkapkan sebuah pandangan yang menyeluruh atas dunia dan sejarah dunia, yang didalamnya faktor-faktor ekonomi dan kelas memainkan peran yang menentukan sejarah kehidupan manusia. Karl Marx merupakan tokoh yang memberikan pemahaman baru terhadap ekonomi dan kelas dalam perubahan sosial. Tidak ada pemikir serius pada masa kini yang tidak menganggap pentingnya faktor ekonomi dan kelas, dan jika ada pemikir 71 Juhaya S. Praja, Aliran-aliran Filsafat dan Etika, (Jakarta: Prenada Media, 2003), hal. 158. 72 Muhsin Qiraati, Mencari Tuhan, (Bogor: Cahaya, 2001), hal. 1. 73 Diane Collinson, Lima Puluh Filsuf Dunia Yang Mengerakkan, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2001), hal. 161. 74 Diane Callinson, Lima Puluh Filsuf…, hal. 162
162| Nilai dalam Wacana Filosofis
yang tidak menganggap faktor ekonomi dan kelas sebagai perubahan sosial, maka ia bukan pemikir yang serius. Oleh karena itu, para pemikir serius pada masa kini berutang budi pada Karl Marx. Sebelum Karl Marx memberikan pemahaman baru terhadap ekonomi dan kelas, jauh sebelumnya jarang muncul pemikir yang memperhatikan ekonomi dan kelas sebagai agen dalam perubahan sosial, meskipun ada namun tidak seruncing dan seekstrem Karl Marx. Ia berpendapat bahwa perubahan yang ada pada kehidupan masyarakat disebabkan faktor ekonomi. Karl Marx sangat mempengaruhi kita semua dan bukan hanya mempengaruhi mereka yang sedang atau pernah menjadi seorang Marxisme, dan karena pemikiran Karl Marx dunia ini menjadi sebuah dunia yang berbeda, tidak hanya secara objektif, tetapi juga dalam cara kita memandang dunia ini.75 Karya Karl Marx yang sangat berpengaruh juga adalah The Communist Manifesto atau Manifesto Komunis. Dalam karya ini, berisikan tentang pertentangan kelas. Menurut Karl Marx, sejarah segala masyarakat yang ada hingga sekarang pada hakikatnya adalah pertentangan kelas. Sejak zaman kuno ada kaum bangsawan yang bebas dan budak yang terikat, dan pada zaman pertengahan ada tuan tanah sebagai pemilik tanah dan hamba sahaya yang menggarap tanah bukan kepunyaannya. Kemudian pada zaman modern ada majikan yang memiliki alat-alat produksi dan buruh yang hanya punya tenaga kerja untuk dijual kepada majikan. Bahkan pada zaman modern ada masyarakat kelas kaya dan kelas masyarakat tidak memiliki atau miskin. Menurut Karl Marx, semua kelas-kelas masyarakat ini timbul sebagai hasil dari kehidupan ekonomi masyarakat.76 Oleh karena itu, dalam pengamatan Karl Marx, diseluruh dunia ini sepanjang 75 Bryan Magee, Memoar Seorang Filsuf: Pengembaraan di Belantara Filsafat, terj. Eko Prasetyo, (Bandung: Mizan Pustaka, 2005), hal. 43. 76 Deliarnov, perkembangan pemikiran..., hal. 75
Bab 4, Pandangan Para Filosof tentang Nilai
|163
sejarah, kelas yang lebih bawah atau tidak memiliki sesuatu, selalu berusaha untuk membebaskan dan meningkatkan status kesejahteraan mereka dengan cara memperjuangkan kelas mereka. Karl Marx meramalkan bahwa kaum proletar yang terdiri dari para buruh akan bangkit melawan kesewenang-wenangan kaum pemilik modal dan akan menghancurkan kelas yang berkuasa.77 d. Nilai Materialisme Historis Materialisme adalah yang berkeyakinan bahwa tidak ada sesuatu selain materi itu sendiri, apa yang disebut dengan pikiran, roh, kesadaran dan jiwa, tidak lain adalah materi yang sedang bergerak.78 Dalam kajian filsafat nilai, penempatan materi bagi sebab segala sesuatu yang bernilai, tanpa materi Dalam kehidupan kemasyarakatan, satusatunya yang nyata adalah adanya masyarakat. Kesadaran masyarakat yaitu ide-ide, teori-teori, dan pandanganpandangan masyarakat hanya mewujudkan suatu gambarcermin dari apa yang nyata. Ibarat kita bercermin, wujud kita yang ada dalam cermin itu bukan yang nyata, tetapi pantulan dari yang nyata. Oleh karena itu, dalam memahami daya-daya pendorong dan perkembangan yang ada didalam kehidupan kemasyarakatan, jangan berdasarkan daripada ide-ide dan teori-teori masyarakat itu, sebab semuanya itu hanya gambaran-gambaran dari hal yang nyata. Untuk mencari daya pendorong kehidupan kemasyarakatan harus berdasarkan materi, yaitu cara memproduksi barangbarang materi, seperti mesin dan alat-alat kerja lainnya. Karena alat-alat produksi tersebut yang menentukan perkembangan kehidupan kemasyarakatan.79
77Ibid,
hal. 78. Lorens Bagus, kamus Filsafat..., hal. 593 79 Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2..., hal. 121 78
164| Nilai dalam Wacana Filosofis
Adapun historis adalah ibarat pohon senantiasa mendeskripsikan proses tumbuh dan berkembang dari bumi ke udara atau dari bawa ke atas. Dalam proses tumbuh dan berkembang tersebut, kemudian memunculkan cabang, dahan, daun, kembang, bunga, dan buah.80 Historis merupakan gambaran masa lalu tentang manusia dan sekitarnya sebagai makhluk sosial yang disusun secara ilmiah dan lengkap, meliputi urutan fakta masa tersebut dengan tafsiran dan penjelasan, yang memberikan pengertian tentang apa yang telah berlalu. Dalam pengertian lain, historis adalah salah satu bidang ilmu yang meneliti dan menyelidiki secara sistematis keseluruhan perkembangan masyarakat dan kemanusiaan dimasa lampau, beserta segala kejadiannya dengan maksud untuk meneliti secara kritis. Dari seluruh hasil penelitian dan penyelidikan tersebut, untuk dijadikan suatu bukti adanya keadaan masa lampau serta melihat perubahannya pada masa sekarang, dan bagaimana perkembangannya pada masa akan datang.81 Dari pengertian historis tersebut, yang menjadi hakikat historis adalah manusia, waktu, dan ruang. Hanya dengan adanya manusia, waktu, dan ruang historis bisa berproses. Tanpa adanya ketiga hal ini, maka sejarah tidak ada.82 Oleh karena itu, materi adalah sesuatu yang mempunyai waktu dan menempati ruang. Penafsiran historis sebelum Karl Marx, sangat beragam pengertiannya, yang dimulai dari sudut pandang agama, politik, kepahlawanan, dan ide-ide. Dari sudut pandang agama, historis ditafsirkan sebagai ketentuan Yang Maha Kuasa, yaitu memandang perkembangan manusia sebagai suatu rencana Tuhan dalam alam semesta. Kesukaran pokok dalam penafsiran sejarah dari sudut 80 Juraid Abdul Latief, Manusia, Filsafat, dan Sejarah, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2006), hal. 39. 81 Ibid, hal. 40. 82Ibid, hal. 42.
Bab 4, Pandangan Para Filosof tentang Nilai
|165
agama terletak pada kenyataan bahwa kemauan Tuhan tidak diketahui dan tidak akan dapat diketahui oleh manusia dengan pengalaman langsung. Sementara Tuhan hanya satu, dan penafsiran manusia mengenai Tuhan beragam sudut pandang, ada yang mentiadakan dan ada mengakui Tuhan. Rencana Tuhan terhadap umat manusia adalah banyak dan berlainan,83 dan manusia tidak mengetahui rencana Tuhan. Dari sudut pandang politik, yang menentukan kekuatan-kekuatan dalam historis adalah orang-orang terpadang, seperti para raja-raja, pembuat undang-undang, perperangan, orang pembuat perjanjian perdamaian dan sebagainya. Oleh karena itu, tulisan-tulisan tentang historis, sebagian besar adalah keterangan-keterangan tentang para raja-raja, dewan perwakilan rakyat, peperanganpeperangan, dan perjanjian-perjanjian perdamaian. Dari pandangan politis ini memiliki kekurangan, karena dengan cara ini menimbulkan kecenderungan untuk terlalu membesar-besarkan para penguasa atau pihak terpandang yang dilakukan oleh sebagian orang terhadap mereka (penguasa), sebab para penulis menyusun historis kehidupan mereka seluruhnya. Politis dipandang oleh para negarawan, kaum politisi, dan ahli-ahli pikir, sebagai satusatunya unsur yang terpenting dalam kehidupan manusia. Melalui penyelesaian-penyelesaian politis adalah jawaban yang paling tepat bagi persoalan-persoalan kehidupan manusia. Tetapi alam manusia dan persoalan-persoalan kehidupannya lebih berbelit-belit daripada politik. Oleh karena itu, politik hanya merupakan satu cara pendekatan historis kehidupan manusia, dan politis bukan cara yang
83William
Ebenstein, Isme-isme yang Mengguncang Dunia: Komunisme, Fasisme, Kapitalisme, Sosialisme, (Yogyakarta: Narasi, 2006), hal. 2.
166| Nilai dalam Wacana Filosofis
mendalam diantara banyak metode lainnya dalam memahami kehidupan manusia.84 Salah satu tokoh abad 19 yang membahas dan mengembangkan historis secara ilmiah adalah Karl Marx, yang melihat dari sudut pandang ekonomi sebagai penyebab perkembangan masyarakat. Oleh karena itu, dari pengertian materi dan historis diatas dapat kita simpulkan bahwa materialisme historis adalah suatu paham yang menyatakan bahwa materi merupakan hal yang sangat dibutuhkan oleh historis, karena tanpa ada manusia, waktu, dan ruang, maka historis tidak bisa berproses untuk berkembang. Historis sangat bergantung kepada materi. Dalam materialisme historis diungkapkan bahwa manusia hanya dapat dipahami selama ia ditempatkan dalam konteks historis, dan manusia pada hakikatnya adalah insan berhistoris.85 e. Pokok-pokok Konsep Materialisme Historis Karl Marx Ilmu historis merupakan konsepsi dasar yang melihat manusia dan alam sebagai realitas yang berubah. Perubahan ini terjadi karena adanya dialektika, seperti asalusul sesuatu pasti ada tujuannya, ada sebab dan ada akibat, ada maju dan ada mundur, ada dasar-dasar dan ada relasirelasi. Sampai sejauh ini, konsepsi Karl Marx menunjukkan bahwa, pertama, realitas manusia dan alam itu berubah atau bersejarah, dan kedua, manusia adalah bagian dan satu kesatuan dengan alam. Inilah pandangan dasar Karl Marx yang membedakan dari semua filsuf dan ilmuwan modern. Oleh karena itu, seperti ilmu alam yang telah diteliti dan dipraktekkan sepanjang sejarah masyarakat manusia itu 84 85
Ibid, hal. 3. Tojib84.
blogspot.com/2008/07/peta-pemikiran-karl-
marx.html Bab 4, Pandangan Para Filosof tentang Nilai
|167
sendiri kemudian diwariskan dari generasi demi generasi dengan pencapaian-pencapaian yang menonjol sejak zaman Pencerahan Eropa, sejarah manusia yang masih samarsamar itu kemudian dibahas oleh Karl Marx sebagai suatu ilmu, yaitu mengungkapkan dasar-dasar konseptual dan metode yang bisa diterapkan pada semua kondisi historis manusia. Seperti alam, masyarakat manusia kini mulai dibahas secara konseptual dari sudut pandang sejarah. Kritik historis ini sangat menentukan atau sebagai titik pijak dari semua pemikiran Karl Marx. Kritik historis ini adalah dasar Karl Marx dalam mengkritik pemikiran Hegel, idealisme secara umum dan ekonomi politik dari para pemikir ekonomi abad ke-18 dan 19 di Eropa.86 Konsepsi Karl Marx tentang historis bermula dari prinsip bahwa produksi adalah dasar dari setiap tatanan sosial, dan pembagian masyarakat ke dalam kelas-kelas ditentukan oleh apa yang dihasilkan dan bagaimana ia dihasilkan, dan dipertukarkan. Dalil pokok yang digunakan Karl Marx dalam menganalisa masyarakat ialah penafsiran ekonominya tentang historis. Produksi barang dan jasa merupakan yang membantu manusia dalam hidupnya, dan pertukaran barang-barang dan jasa-jasa ini adalah dasar dari segala proses dan lembaga-lembaga sosial. Karl Marx tidak menuduh faktor ekonomi adalah satu-satunya yang penting dalam proses pembentukan historis. Karl Marx memang mendakwakan faktor ekonomi adalah yang terpenting sebagai dasar untuk membangun superstruktur kebudayaan, perundang-undangan, pemerintahan, dan diperkuat oleh ideologi-ideologi politik, sosial, keagamaan, kesusastraan, dan artistik yang sejalan. Secara umum, Karl Marx melukiskan hubungan diantara kondisi-kondisi materiil kehidupan manusia dan ide-ide manusia. Sebagaimana pernyataan Karl Marx :
86
Hidayatullah, Materialisme Historis…, hal. 73
168| Nilai dalam Wacana Filosofis
“bukanlah kesadaran manusia yang menentukan adanya mereka, akan tetapi sebaliknya. Adanya mereka dalam kehidupan sosiallah yang menentukan kesadaran mereka.”87 Sebelum Karl Marx, perubahan pokok dibidang sosial sebagian besar dianggap sebagai perbuatan pemimpin-pemimpin besar politik, perbuatan undangundang, dan kaum pelopor dalam membuat perubahanperubahan. Karl Marx menolak kebiasaan untuk meletakkan titik berat pada kekuatan pribadi sebagai penggerak yang utama dalam suatu perubahan sosial yang penting. Karl Marx mencari teori perubahan sosial pada sebab-sebab ekonomis yang tidak ada hubungannya dengan keperibadian, dan bahkan menghapuskan sistem hak milik pribadi. Dua konsepsi utama yang digunakan Karl Marx sebagai pendekatan dalam perubahan sosial, yaitu pertama, kekuatan-kekuatan produksi, dan kedua, hubungan produksi. Konflik diantara kedua faktor ini merupakan sebab yang lebih dalam dari perubahan dasar dibidang sosial.88 Proses perubahan melalui konflik merupakan proses dialektika. Menurut Karl Marx, pangkal dari semua perubahan adalah dilakukannya pengisapan atau eksploitasi para kapitalis terhadap kaum buruh. Pengisapan terhadap kaum buruh tersebut telah memungkinkan terjadinya akumulasi kapital dipihak pemilik modal, tetapi menyebabkan kemiskinan dikalangan buruh. Dialektika historis merupakan suatu keniscayaan, yaitu sesuatu yang pasti bakal terjadi, dan yang jelasnya jika kaum buruh sudah tidak tahan lagi mereka akan menghancurkan revolusi. Para pekerja akan menghancurkan pabrik-pabrik an merusak segala milik kaum pemilik modal.89 William Ebenstein, Isme-isme Yang Mengguncang…, hal. 6 Ibid, hal. 13. 89 Deliarnov, Perkembangan Pemikiran…, hal. 80 87 88
Bab 4, Pandangan Para Filosof tentang Nilai
|169
Secara pokok dapat dijelaskan bahwa pedomanpedoman dasar dalam konsep materialisme historis adalah: pertama, landasan dasar setiap masyarakat terletak pada tata susunan ekonominya. Khususnya hal itu yang menyangkut perimbangan-perimbangan kekuatan yang menentukan proses produksi. Landasan dasar dan tata susunan ekonomi yang dimaksud menumbuhkan citarasa, cara berfikir, perilaku, dan bahkan peradaban manusia secara menyeluruh. Kedua, setiap tata susunan ekonomi masyarakat terdiri atas golongan-golongan kelas, dan masing-masing kelas menganut pandangan hidupnya sendiri dan mempunyai kepentingannya sendiri. Ketiga, perkembangan sejarah merupakan serangkaian tahapan yang susul-menyusul dan berkisar hanya pada pergulatan konflik antarkelas.90 Dapat disimpulkan bahwa pokok-pokok konsep materialisme historis Karl Marx dan sebagai ajaran yang aslinya sebagai berikut: 1. Faktor yang paling penting yang menyebabkan perkembangan historis, yaitu faktor ekonomi.91 Dari basis ekonomi timbullah segala yang disebut rohani dan akibat-akibat perbuatan rohani, seperti kebudayaan, kesenian, agama, ide dan sebagainya, semua itu dinamakan bangunan atas (uberbau).92 2. Basis ekonomi bergerak secara dialektis dan akibatakibat gerakan itu adalah pertentangan sosial, dan selanjutnya pertentangan sosial itu menyebabkan perjuangan kaum buruh terhadap kelas yang menguasai mereka. Kemenangan perjuangan kaum buruh memusnahkan pertentangan antar kelas-kelas itu. 90
Sumitro Djojohadikusumo, perkembangan Pemikiran…, hal.
210 Rustam E. Tamburaka, Pengantar Ilmu Sejarah…, hal. 166 Uberbau adalah proses kehidupan sosial, politik, dan sprititual yang ditentukan oleh materi. 91 92
170| Nilai dalam Wacana Filosofis
Menurut Karl Marx, yang menjadi motor perubahan dan perkembangan masyrakat adalah pertentangan antara kelas-kelas sosial. Kelas-kelas sosial merupakan aktor historis yang sebenarnya. Jadi yang menentukan jalannya historis bukan orang-orang tertentu, seperti raja, pemilik tanah, pemilik pabrik, melainkan kelas-kelas sosial yang masing-masing memperjuangkan kepentingan mereka. Kepentingan mereka bukan apa yang dikehendaki oleh orang-orang tertentu, melainkan ditentukan secara objektif oleh kedudukan kelas masing-masing dalam proses produksi. Diumpamakan, sekelompok orang selalu bertindak berdasarkan kepentingan mereka untuk mempertahankan diri, maka kelas-kelas lain, yaitu kelas atas tentu selalu berkepentingan untuk mempertahankan kedudukan mereka, sedangkan kelas-kelas bawah sebaliknya berkepentingan untuk mengubah situasi dimana mereka tertindas. Karl Marx tidak beranggapan bahwa seseorang secara buta mengikuti kepentingan kelasnya, seakan-akan ia tidak mempunyai pendirian dan cita-cita sendiri. Tetapi cita-cita dan tujuan-tujuan seseorang selalu sudah bergerak dalam kerangka acuan visi kelas sosialnya, dan visi itu ditentukan oleh kepentingannya sebagai kelas.93 Dalam pandangan Karl Marx, semua kelompok masyarakat akan mengalami fase-fase perkembangan yang dimulai dari komunisme primitif, perbudakan, feodalisme, kapitalisme, sosialisme, dan komunisme. Dalam masyarakat komunisme primitif (masyarakat persukuan), sosialisme, dan komunisme, alat produksi merupakan milik bersama. Dalam kelompok-kelompok tersebut tidak ada pengisapan dari satu kelompok masyarakat terhadap kelompok masyarakat lainnya. Namun, dalam tiga kelompok masyarakat yang lain, yaitu perbudakan, feodalisme, dan kapitalisme alat-alat atau modal produksi dimiliki dan dikendalikan oleh suatu kelompok, sedangkan elompok 93
Franz Magnis Suseno, Pemikiran Karl Marx..., hal. 125 Bab 4, Pandangan Para Filosof tentang Nilai
|171
lainnya hanya sebagai pekerja. Dalam masyarakat seperti ini sangat potensial terjadi pengisapan dari suatu kelas masyarakat terhadap kelas masyarakat lainnya. Para tuan akan menindas budak, para tuan tanah mengisap buruh tani, dan para pemilik modal akan mengisap kaum buruh.94 Menurut Karl Marx, historis masyarakat manusia adalah historis berbagai macam sistem produktif yang berbasis eksploitasi kelas. Karl Marx mengatakan kita dapat membagi historis setiap masyarakat ke dalam setiap masa, dan setiap masa itu didominasi oleh mode produksi (caracara memproduksi) tertentu dengan hubungan ciri khas kelas sendiri. Semua masyarakat sebenarnya akan melalui semua tahap perkembangan ini dalam historis, yaitu yang dimulai dari komunisme primitif, perbudakan, feodalisme, kapitalisme, sosialisme dan kelak semuanya akan menjadi komunisme. Namun, tidak semua masyarakat berevolusi dengan kecepatan yang sama. Itulah sesabnya mengapa pada suatu masa tertentu dalam historis berbagai masyarakat menunjukkan mode produksi yang berbedabeda, atau berbagai masyarakat tersebut berada pada tahap perkembangan historis yang berbeda-beda.95 Kemajuan teknologi membawa berbagai perubahan dan perkembangan dalam kehidupan manusia, dan bahkan teknologi mampu menciptakan kelas baru dalam masyarakat. Teknologi memiliki kekuatan dan kekuasaan untuk merombak institusi yang bergerak lamban tersebut. Terciptanya kelas baru tentu sesuai dengan kemauan dan keinginan para perombaknya, yaitu mereka yang menguasai kekuasaan. Adanya kelas baru yang tercipta, maka untuk sementara keadaan kehidupan penguasa akan membaik, meskipun para pekerja menderita, mau tidak mau mereka Deliarnov, Perkembangan Pemikiran…, hal. 83 Pip Jones, Pengantar Teori-Teori Sosial, Dari Teori Fungsionalisme Hingga Postmodernisme, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2009), hal. 79. 94 95
172| Nilai dalam Wacana Filosofis
tunduk kepada penguasa demi kelangsungan hidup. Akan tetapi, kemudian teknologi kembali bergrak lebih cepat melebihi gerak institusi yang ada. Contoh, ketika fase feodalisme dimana pada awalnya para pekerja dengan mudah mendapatkan tanah yang disewakan dari tuan tanah, namun pada akhirnya sangat sulit untuk mendapatkan tanah dari tuan tanah, dikarenakan pada saat itu juga teknologi berkembang. Akibat dari kecepatan teknologi bergerak, maka timbul lagi kelas masyarakat baru, yang pada gilirannya akan melakukan perombakan terhadap institusi yang ada, sesuai yang mereka inginkan. Proses seperti ini akan berjalan terus-menerus. Menurut Karl Marx, gerak dari proses ini pasti, niscaya, tidak dapat ditahan, sehingga akhirnya sampai pada tahap atau fase paling tinggi yang disebutnya komunisme penuh.96 Setelah melihat tahap-tahap perkembangan masyarakat yang tertera diatas, apa yang menjadi hukum perkembangan masyarakat tersebut. Hukum umum perkembangan masyarakat adalah suatu hukum yang objektif. Hukum itu timbul dan berlangsung secara objektif didalam masyarakat, dan diluar kesadaran dan diluar kemauan manusia. Berlangsung dan terlaksananya hukum perkembangan masyarakat tidak bisa dihindari, dan tidak bisa ditolak oleh manusia dengan kekuatan apapun. Hal ini telah menjadi kepastian sejarah dalam proses perkembangan masyarakat. Hukum perkembangan masyarakat dimulai dari proses kebutuhan hidup manusia yang pokok, yaitu mempertahankan dan melangsungkan hidup dalam proses kehidupan dan perkembangan selanjutnya.97
96Ibid,
hal. 85.
97http://lenterarakyat.blogspot.com/2009/02/materialisme-
historis.html Bab 4, Pandangan Para Filosof tentang Nilai
|173
f.
Ekonomi Kapitalisme Dalam Pandangan Karl Marx Pada dasarnya munculnya ilmu ekonomi sebagai ilmu pengetahuan yang mandiri adalah berkaitan erat dengan sejarah munculnya kapitalisme modern, yaitu sekitar akhir abad ke-18 M. Dengan demikian ilmu ekonomi sebagai ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri, keberadaanya masih relatif baru.98 Kapitalisme modern bermula dari kekuasaan dan penipuan terhadap para kaum buruh Inggris, yaitu dari tanah mereka (kaum buruh) didirikan pabrik-pabrik yang ditentukan oleh revolusi industri. Para orang kaya besar pemilik pabrik-pabrik pemintalan tekstil meraup keuntungan dari eksploitasi, yang dimulai dari anak-anak kecil dan perempuan, lalu kaum laki-laki dewasa.99 Dalam pandangan Karl Marx kegiatan manusia yang paling penting adalah kegiatan ekonomi,100 karena dengan ekonomi manusia dapat menjalankan perkembangan dalam kehidupannya. Ekonomi dipandang baik apabila tidak ada kesenjangan dalam memperoleh keuntungan, dan pengisapan terhadap orang lain. Ekonomi kapitalisme merupakan sistem pengisapan terhadap orang lain. Oleh karena itu, Karl Marx sangat memusuhi sistem ekonomi kapitalisme. Sebagaimana yang kita ketahui, dari segi proses kapitalisme adalah sistem ekonomi yang hanya mengakui satu hukum, yaitu hukum tawar-menawar di pasar. Jadi, kapitalisme adalah ekonomi yang bebas, yaitu bebas dari berbagai pembatasan oleh raja dan penguasa lain, orang boleh membeli dan menjual barang di pasar manapun. Kemudian bebas dari pembatasan-pembatasan produksi, artinya orang bebas mengerjakan dan memproduksikan apa pun yang dikehendakinya. Bebas dari pembatasan tenaga 98 Edilius, dkk., Pengantar Ekonomi Perusahaan (Jakarta: Rineka Cipta, 1992), hal. 1. 99Robert Lekachman dan Borin van Loon, Kapitalisme: Teori…, hal. 170 100 Pip Jones, Pengantar Teori-Teori Sosial…, hal. 77
174| Nilai dalam Wacana Filosofis
kerja, orang boleh mencari pekerjaan dimanapun, dan tidak terikat pada tempat kejanya. Dalam sistem kapitalisme para pemilik pabrik, industri dan lainnya, bebas membayar upah para pekerja sesuai dengan kehendakknya.101 Hukum keras kapitalisme adalah persaingan. Demi persaingan, produksivitas produksi harus ditingkatkan terus-menerus. Artinya, biaya produksi perlu ditekan serendah mungkin sehingga hasilnya dapat dijual semurah mungkin, dengan demikian lama kelamaan semua bentuk usaha yang diarahkan secara tidak murni keuntungan akan kalah, dan itu berarti bahwa hanya usaha-usaha besar yang dapat berkuasa, dan toko-toko dan perusahaan-perusahaan kecil tidak dapat menyaingi efisiensi kerja, kecuali usahausaha yang besar. Lama kelamaan semua bidang produksi maupun pelayanan dijalankan secara kapitalistik. Semua yang dijalankan secara iseng-iseng dan sampingan, misalnya membuka biro perjalanan, akan dijalankan dengan semakin efisien, dan hal itu hanya mungkin dilakukan oleh usahausaha besar. Maka usaha kecil akan dimakan oleh yang besar. Sungguh meggegerkan kita sistem kapitalisme yang mementingkan kekayaan sendiri melalui persaingan yang tidak sehat, apakah ini bukan sebuah bentuk penghianatan terhadap yang lain. Dari persaingan ini nampak bahwa kapitalisme ingin menghilangkan kelas-kelas yang banyak.102 Begitu pula kelas petani lama-kelamaan akan hilang. Pertanian menjadi usaha produksi hasil pertanian. Hanya usaha besar yang dapat bertahan dan mampu mengorganisasikan pertanian secara kapitalistik, karena mereka memiliki modal yang banyak. Akhirnya tinggal dua kelas sosial saja, yaitu para pemilik modal besar, yang mereka berjumlah sedikit dan kelas buruh. Sementara itu, Franz Magnis Suseno, Pemikiran Karl Marx..., hal. 163 Karl Marx, Das Capital, Volume 3, terj. Samuel Moore dan Edward Aveling, (New York: International Publishers, 1967), hal. 222. 101 102
Bab 4, Pandangan Para Filosof tentang Nilai
|175
kelas buruh pun mengalami perkembangan. Kelas buruh bertambah terus, karena kebanyakan anggota kelas menengah yang kehilangan dasar eksistensi mereka, yaitu tidak dapat bertahan dalam persaingan dengan modal besar dan akhirnya bangkrut, lalu mereka masuk ke dalam kelas buruh.103 Akibat dari sistem kapitalisme ini, kelas menengah (para pemilik modal yang sedikit) menjadi semakin sadar akan situasinya, akan ekploitasi yang mereka derita, dan situasi mereka sebagai kelas proletariat. Pada mulanya para buruh belum mempunyai kesadaran kelas. Mereka berhadapan dengan kaum kapitalis sendiri-sendiri. Mereka bersaingan satu sama lain dalam mencari tempat kerja. Tetapi pengalaman bersama dalam memperjuangkan kepentingan mereka terhadap para kapitalis menjadi kaum buruh semakin sadar bahwa mereka merupakan satu kelas senasib sepenanggungan. Buruh tidak lagi merasa diri sebagai tukang kayu, tukang cat, tukang tani melainkan sama-sama buruh. Konflik antara buruh dan pemilik modal tidak lagi bersifat lokal, melainkan regional dan nasional. Kaum buruh memperjuangakan kepentingan mereka bersama-sama. Maka kesadaran bahwa mereka merupakan satu kelas yang mempunyai misi perjuangan bersama semakin kuat.104 Oleh karena itu, sistem ekonomi kapitalisme sangat dibenci oleh Karl Marx, dan untuk menunjukkan kebenciannya, ia menggunakan berbagai argumen membuktikan bahwa sistem ekonomi kapitalisme itu buruk. Argumen-argumen itu mencakup dari segi moral, sosiologi, dan ekonomi. Dari argumen-argumen tersebut Karl Marx meramalkan bahwa kapitalisme akan hancur, dan yang menghancurkannya adalah Undang-undang perkembangan dan perubahan sosial yang tidak kenal ampun, yaitu kaum 103 104
Franz Magnis Suseno, Pemikiran Karl Marx..., hal. 166 Ibid, hal. 166.
176| Nilai dalam Wacana Filosofis
buruh akan menyerang kaum pemilik, dikarenakan mereka tidak tahan lagi atas sewenang-wenang kaum pemilik modal terhadap mereka. Karl Marx mula-mula menggunakan teori penggali kubur, yaitu semakin berhasil kapitalisme, dan semakin kuat organisasi perusahaan kapitalis, akan tetapi semakin tidak dapat dielakkan pula terciptanya penggali kubur sendiri, karena kaum proletar yang sadar akan keadaan mereka, sehingga menyerang dan mengahancurkan para pemilik modal besar.105 g. Sangahan Terhadap Materialisme Historis Karl Marx Dengan memahami penafsiran ekonomis Karl Marx, menambah pemahaman kita tentang historis. Sesungguhnya tidak mungkin menulis tentang sejarah dengan tidak memberikan sedikit perhatian sekurang-kurangnya terhadap hubungan kekuatan-kekuatan dan konflik-konflik ekonomis dengan soal-soal politik, militer dan internasional. Oleh karena itu, interpretasi ekonomis Karl Marx mempunyai kekurangan yang sama dengan teori-teori pemikir lainnya, Karl Marx dalam anggapannya seakan-akan telah menemukan kunci utama bagi penafsiran sejarah,106 yaitu hanya melalui faktor ekonomi. Karl Marx mengatakan ekonomi merupakan kunci paling utama dalam historis kehidupan dan perkembangan masyarakat manusia. Apabila diperlukan hanya satu faktor, apakah faktor agama, peperangan, politik, ekonomi, dan lainnya, untuk melakukan penafsiran dan penggambaran tentang sesuatu historis masyarakat, yang seharusnya lebih tepat dilakukan dengan beberapa faktor, maka penafsiran akan terbukti terlalu berat. Tidak pernah ada satu faktor yang dengan sendirinya lebih berpengaruh disepanjang sejarah, tetapi faktor 105 106
William Ebenstein, Isme-isme Yang Mengguncang…, hal. 28 Ibid, hal. 8. Bab 4, Pandangan Para Filosof tentang Nilai
|177
manakah yang lebih penting dalam suatu keadaan tertentu, apakah faktor ekonomi, agama, politik yang lebih berpengaruh. Bukanlah hal mudah dalam menjelaskan satu keadaan dengan cara banyak faktor. Karl Marx dalam konsep materialisme historisnya yang menjadi faktor utama perkembangan kehidupan masyarakat adalah faktor ekonomi, dan bukan faktor yang lain, seperti politik, perang, pemerintah, dan lainnya, mekipun ada pengaruhnya dari berbagai faktor tersebut.107 Terlepas dari masalah di atas, penulis mencantumkan salah satu dari banyak para pengkritik Karl Marx, yaitu Jurgen Habermas (1929-).108 Tidaklah berlebihan kiranya jika dikatakan Habermas adalah salah seorang kritikus Karl Marx yang paling radikal dalam mempersoalkan inti teoritis dari seluruh Marxisme. Dalam pandangan Habermas, Karl Marx banyak belajar dari Hegel. Filsafat Hegel mengandaikan adanya hubungan dialektis Ibid, hal. 9. Jurgen Habermas adalah tokoh yang banyak mewarisi idealideal modern Pencerahan. Ia adalah pembela gigih dari kebaikan dan kesinambungan pemikiran modernis untuk masa kini, dan menolak pembantaian oleh post-modernisme kemungkinan manusia mencapai kemajuan melalui kebenaran. Bagi Habermas, kita dapat dan harus memelihara kepercayaan terhadap Pencerahan dalam kekuasaan rasionalitas manusia untuk mendorong kemampuan kita untuk mengetahui berbagai hal dengan pasti, karena dalam kemampuan dasar kita sebagai manusia untuk berbicara satu sama lain kita memiliki rasio untuk menghilangkan perbedaan-perbedaan kebudayaan yang ditemukan ketika berkomunikasi. Hebermas mengatakan bahwa kita tidak dihambat oleh kebudayaan, dan tidak jadi soal betapa beragam latar belakang kebudayaan kita, tidak jadi soal betapa besar perbedaan pengalaman hidup kita. Manusia selalu mempunyai satu hal yang sama, yaitu kemampuan kita yang unik menggunakan bahasa untuk berkomunikasi. Habermas mengatakan bahwa selama kita bersungguhsungguh dalam keinginan untuk melakukan sesuatu, kemampuan berkomunikasi melalui bahasalah yang selalu memberikan kemampuan kepada kita untuk saling mengerti satu sama lain, lintas budaya, dan membangun komunitas moral lintas budaya. Pip Jones, Pengantar TeoriTeori Sosial..., hal. 232 107 108
178| Nilai dalam Wacana Filosofis
antara subjek dan objek pengetahuan dalam sebuah pengetahuan sejarah. Dalam wawasan Hegelian ini, menurut Habermas teori Karl Marx yang sebetulnya bersifat historis dengan alasan: Pertama, Karl Marx memandang masyarakat sebagai sebuah totalitas, yang memandang aspek sosial dan ekonomi secara integral. Kedua, masyarakat juga dipandang sebagai proses historis yang dialektis. Ketiga, dalam pemikiran Karl Marx, teori dan praktis terpadu atau bersatu.109 Habermas mengatakan bahwa status kritis dari teori sosial Karl Marx adalah berdiri diantara filsafat dan ilmu pengetahuan. Teori Karl Marx menjadi kritis karena mengaitkan kritik dengan krisis objektif (penghisapan terhadap kaum buruh), dari hal ini lalu menjadi jelas bahwa teori Karl Marx betul-betul mau memberi basis empiris pada filsafat.110 Maksud dari teori Karl Marx ini adalah untuk mengatasi krisis di abad 19, yaitu krisis ekonomi yang bersifat objektif.111 Pada abad 19 dimana industriindustri telah banyak menyengsarakan rakyat banyak (kaum buruh). h. Pandangan Islam terhadap Nilai Materialisme Setelah melihat bagaimana konsep materialisme historis Karl Marx yang dibahas diatas, maka pada pembahasan ini penulis mengkaji bagaimana pandangan Islam terhadap materialisme historis Karl Marx. Materialisme dalam memperoleh kesadaran dan pengetahuan hanya bersandar pada indera. Segala apa yang tidak dapat dicapai oleh indera dengan penglihatannya dianggap tidak ada, dan segala sesuatu yang tidak dapat diterima akal yang merupakan potensi fundamental indera mustahil akan menjadi objek F. Budi Hardiman, Menuju Masyarakat…, hal. 58 Ibid, hal. 59. 111 Ibid, hal. 62. 109 110
Bab 4, Pandangan Para Filosof tentang Nilai
|179
ilmu pengetahuan secara objektif.112 Pemikiran dalam pandangan materialisme merupakan sebagai refleksi materi dan salah satu pengeluaran darinya (materi). Oleh karena itu, aliran ini menafikan dan menolak peranan langit, yaitu agama dan wahyu dalam alam pikiran.113 Karl Marx memandang segala sesuatu diluar materi, seperti agama, wahyu, ide adalah akibat dari materi itu sendiri atau materi yang sedang bergerak. Materi yang hubungannya dengan kehidupan manusia, yang disebut oleh Karl Marx dengan materialisme historis. Materialisme historis memandang manusia itu mengalami perubahan dan perkembangan yang diakibatkan oleh materi (ekonomi). Dari setiap fase perkembangan manusia itu berbeda-beda dalam sistem ekonomi masyarakatnya, yaitu sistem persukuan, perbudakan, feodalisme, kapitalisme, dan komunisme. Karl Marx mempelajari dari berbagai fase perkembangan itu, ia mendapatkan sebuah masalah, yaitu penghisapan terhadap kaum buruh oleh pemilik kekayaan. Oleh karena itu, Karl Marx tidak hanya tinggal diam saja melihat kondisi ini, tetapi ia memberikan kritikan-kritikan yang tajam terhadap sistem ekonomi yang merugikan sepihak. Karl Marx sadar akan hal setiap perkembangan dan perubahan masyarakat, dengan menyatakan mau tidak mau masyarakat tetap mengalami dan melalui tahap-tahap fase perkembangan itu, dan hal ini merupakan proses sejarah. Dengan kritikan yang tajam, Karl Marx menghapuskan hak milik pribadi, kelas-kelas sosial, sehingga pengisapan dan kecurangan sosial lainnya terhapuskan, dan hal ini merupakan cita-cita Karl Marx dalam konsep materialisme historisnya. Apakah mungkin hak-hak milik pribadi dan kelaskelas sosial akan terhapuskan dipermukaan bumi ini? Saifullah Kamalie, Karakteristik Metode Islam, (Jakarta: Media Da’wah, t.t.), hal. 72. 113 Ibid, hal. 121. 112
180| Nilai dalam Wacana Filosofis
Menurut penulis sendiri, tidak mungkin akan terhapuskan hal itu, karena sejak dari dulu kala hingga sekarang hak milik pribadi, kelas-kelas sosial, dan sistem penguasa selalu ada. Apakah mungkin ini adalah takdir Allah Swt yang telah ditetapkanNya. Sebagaimana firman Allah Swt, dalam Q.S An-Nahl ayat 71: yang artinya: dan Allah melebihkan sebahagian kamu dari sebagian yang lain dalam hal rezki, tetapi orang-orang yang dilebihkan (rezkinya itu) tidak mau memberikan rezki mereka kepada budak-budak yang mereka miliki, agar mereka sama (merasakan) rezki itu. Maka mengapa mereka mengingkari nikmat Allah.114 Dari firman Allah Swt tersebut, benar bahwa Allah telah menciptakan adanya hak milik pribadi dan kelas-kelas sosial, tetapi mereka banyak tidak bersyukur kepadaNya, sehingga terjadinya kesenjangan sosial. Satu sisi Karl Marx benar, karena membela kaum budak yang diupah tidak sesuai dengan pekerjaan sehingga mereka terasingkan, mau tidak mau mereka harus menerima nasib, meskipun upah kecil demi melangsungkan kehidupan. Tetapi apakah pantas mereka diupah dengan upah yang kecil, tentunya tidak, dan para pemilik kekayaan sungguh tidak bermoral. Dari kondisi-kondisi seperti ini Karl Marx ingin mengapuskan hak milik pribadi dan adanya sistem kelas-kelas sosial. Pengapusan hak milik pribadi dan kelas-kelas sosial ini yang menjadi masalah, sesuatu yang mustahil akan terwujudkan. Mungkinkah Karl Marx melampaui kekuatan Allah Swt, bagi Karl Marx mungkin, karena ia adalah seorang yang tidak bertuhan. Dalam agama Islam adanya perbedaan kelas-kelas sosial dan hak milik pribadi dalam kehidupan manusia merupakan Sunatullah (hukum alam). Adanya kelas-kelas sosial, dalam visi Islam merupakan salah satu dari hakikat kehidupan nyata yang bersumber dari perbedaan dorongan 114 Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahannya, (Bandung: Diponegoro, t.t.), hal. 274.
Bab 4, Pandangan Para Filosof tentang Nilai
|181
(keinginan), kemampuan, kesungguhan dan kecerdasan manusia yang menghasilkan berbagai macam akibatnya (hasil). Contohnya, seseorang yang bersungguh-sungguh belajar, maka ia akan cerdas dan mudah mendapatkan pekerjaannya. Agama Islam tidak membutakan diri dari perbedaan-perbedaan kelas sosial kehidupan manusia, akan tetapi Islam menganjurkan dan mengaturnya agar selalu berada dalam lingkup Syari’at dan keadilan yang tidak bertujuan terciptanya persamaan yang sempurna, tidak semuanya hak milik pribadi diberikan kepada orang lain untuk mensamaratakan, umpamanya seseorang yang kaya harus membagikan kekayaannya kepada orang lain, hal ini mustahil dalam Islam. Dalam Islam adanya kelas-kelas sosial dan hak milik pribadi yang sesuai dengan Syari’at merupakan keseimbangan diantara pihak-pihak yang berbeda, dan Islam mengajarkan adanya hak milik pribadi dan kelas-kelas sosial merupakan keadilan, tetapi sesuai dengan Syari’at.115 Dalam Q.S Ali Imran ayat 14: Artinya: dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, Yaitu: wanitawanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allahlah tempat kembali yang baik (surga).116 Bila perbedaan sosial dan ekonomi berlandaskan kepada sebab-sebab yang sah, seperti karena kemampuan, keuletan kerja dan usaha keras manusia, hal ini menimbulkan perbedaan umat menjadi kelas-kelas sosial yang berbeda-beda, dan Islam memandang adanya perbedaan-perbedaan kelas sosial bukanlah sebuah kekurangan dan kehinaan umat manusia, tetapi sebagai ikatan universal yang dalam metodenya mempunyai kedudukan yang tinggi. Sebagaimana Islam telah menjalin 115 116
Saifullah Kamalie, Karakteristik Metode Islam…, hal. 259 Departemen Agama RI, Al-Quran…, hal. 52
182| Nilai dalam Wacana Filosofis
hubungan yang saling mengikat antara individu dan umat, maka demikian pula Islam mengatur dan mengendalikan batasan perbedaan kelas sehingga hubungan kelas-kelas sosial tersebut tetap berimbang. Karena keseimbangan dengan ikatan saling menopang dan menggabungkan berbagai kelas tersebut adalah keadilan sikap pertengahan dalam metode Islam.117 Dalam Islam mengwajibkan umatnya untuk mambayar zakat dengan tujuan menghindari kesenjangan sosial antara yang kaya dengan si miskin. Bahkan zakat dapat memberantas penyakit iri hati, rasa benci dan dengki dari diri orang-orang yang miskin. Zakat merupakan ibadah yang mempunyai dimensi dan fungsi sosial, dan ekonomi yang berdampak positif terhadap perwujudan solidaritas sosial, rasa kemanusian dan keadilan, pembuktian persaudaraan Islam, pengikat persatuan umat dan bangsa.118 Apabila kelas-kelas sosial dan hak milik pribadi tidak sesuai dengan Syari’at, yaitu terjadinya kesombongan, menghina, melecehkan, tidak membayar zakat, dan mengabaikan orang-orang miskin, sehingga dari hal ini terjadinya kontradiksi, permusuhan, dan pertarungan antara kelas bawah dan kelas atas. Terjadinya kontradiksi dalam kehidupan manusia termasuk salah satu dari kenyataan objektif dan realita sosial yang tidak ditolak keberadaannya oleh metode Islam. Akan tetapi Islam juga membuat aturan-aturan untuk pertarungan antara kedua kelas tersebut, dan memberikan batasan tujuan-tujuannya. Tujuannya adalah mengembalikan hubungan antar kelas tersebut kepada tingkat keseimbangan dan keadilan. Tujuan ini bukannya menafikan sama sekali sisi kutub yang lain Ibid, hal. 260. Wawan Susetya, Tangan di Atas Lebih baik Daripada Tangan di Bawah: Menyelami Nikmatnya Bershadaqah, (Yogyakarta: Tugu Publisher, 2007), Hal. 168. 117 118
Bab 4, Pandangan Para Filosof tentang Nilai
|183
sebagaimana dalam peradaban Barat, yaitu mengapus kelas saingannya, seperti teori Karl Marx. Pengapusan kelas saingan merupakan karakteristik peradaban Barat, karena mereka mempunyai pengertian tersendiri tentang cakrawala kebebasan kelas dalam perbedaan, yaitu cakrawala yang terkadang tidak mengenal batas. Sebagaimana kaum borjuasi berusaha untuk menghilangkan feodalisme, dan proletariat telah dan masih berusaha menghapus borjuasi.119 Dalam pandangan Islam, tidak mengabaikan realita adanya perbedaan-perbedaan kelas sebagai konsekwensi perbedaan sosial alami. Islam mengajarkan adanya perbedaan kelas sosial, maka yang harus dilakukan adalah berusaha untuk memelihara kelestarian perbedaan tersebut dalam batas sebab-sebab yang sah dan memelihara cakrawalanya (batasan) agar tidak melampaui batas keseimbangan yang merupakan tingkat keadilan pertengahan. Apabila cakrawala tersebut melampaui batas keseimbangan dan kezaliman sosial mengambil alih kedudukan keadilan sosial, atau terjadinya kecurangan (menzalimi) kelas lain, maka dalam Islam tidak ada salahnya masyarakat menyaksikan penolakan kelas, bahkan Islam memandangnya sebagai salah satu sunnah Allah Swt yang berlaku dalam masyarakat, yaitu yang membawa fenomena sosial dari tingkat kezaliman dan kepincangan kepada tingkat keseimbangan dan keadilan antara kelas. Dengan bahasa lain bahwa adanya kebaikan dan keburukan dalam kehidupan manusia merupakan sunnah Allah Swt.120 Penolakan sosial yang merupakan salah satu sunnah Allah Swt, dalam masyarakat adalah sarana mengembalikan hubungan kelas bila keluar dari lingkaran perbedaan yang sah dan alami dalam ikatan universal kepada lingkaran kontradiksi yang saling bermusuhan dan memecah belah 119 120
Saifullah Kamalie, Karakteristik Metode Islam… hal. 160. Ibid, hal. 161.
184| Nilai dalam Wacana Filosofis
kesatuan dan persatuan umat. Dari lingkup perpincangan dan kezaliman kepada lingkup keseimbangan dan keadilan, agar umat selalu menjadi suatu liga yang membawa misi Islam, yaitu aqidah, syari’ah, peradaban, dan bukannya merupakan kelas yang membawa misi sebagaimana dalam peradaban Barat, yaitu kelas borjuis dan misinya liberalisme kapitalisme, dan kaum proletar dengan misinya totalisme komunisme.121 Dalam materialisme historis Karl Marx, kita dapatkan bahwa keadaan materi (ekonomi) adalah dasar pertama dan kriteria yang paling besar dalam perbedaan kelas secara sosial, dan jenis pekerjaan dalam metode tersebut tidak lain dari pembatasan tingkat keadaan materi. Adapun dalam metode Islam, kriteria yang membedakan kelas tersebut adalah banyak jumlahnya dan bermacammacam, tidak cukup dengan faktor materi saja. Sebagai contoh, seorang anak petani yang keluar dari kelas petani dan ia menjadi seorang professional, baik dokter, sarjana, negarawan, komandan meliter, sesungguhnya ia termasuk ke dalam kelas sosial yang baru yang dibedakan secara sosial, meskipun sianak ekonominya atau gajinya sama seperti ayahnya, umpama sianak gaji perbulannya menjadi PNS satu juta dan ayahnya sebagai petani satu juta juga, sianak dan ayahnya tetap sebagai kelas sosial yang berbeda, sianak adalah pegawai negeri sipil dan ayahnya petani.122 i.
Kasus Indonesia Indonesia adalah negara berkembang yang masih sangat terpengaruh oleh nilai materialisme. Pencarian terhadap nilai kenikmatan tidak jarang telah menyebabkan orang-orang kehilangan rasa malu dan mengedepankan sikap hedonismee. Akibatnya penyimpangan terhadap hukum negara maupun hukum Islam semakin tinggi. Maka 121 122
Ibid, hal. 263. Ibid, hal. 264. Bab 4, Pandangan Para Filosof tentang Nilai
|185
tidak mengherankan apabila tingkat korupsi semakin tinggi di Indonesia, yang tidak lagi mengenal batas umur dan pendidikan. Korupsi telah menjadi penyakit kronis yang sangat sulit obatnya, dan merongrong ekonomi bangsa. Banyaknya koruptor telah menimbulkan kesenjangan secara ekonomi, jumlah penduduk miskin bertambah, yang kaya semakin zalim. Hal ini diakibatkan oleh semangat dan dorongan materialisme yang sangat kuat, dan menggeser rasa keimanan seseorang. Menanggapi persoalan materilisme yang sudah merajalela, maka keimanan harus diperkuat kembali, ajaran agama Islam harus dapat diamalkan secara kaffah, dan yang paling penting adanya penegakan hukum terhadap pelaku korupsi yang mencari kekayaan untuk kepentingan sendiri dan golongannya. j.
Penutup Karl Marx adalah salah seorang filsuf materialisme pada abad modern. Tetapi ia bukan tipe materialisme sebelum modern atau ortodoks yang hanya menjelaskan tentang alam. Sebuah pernyataan Karl Marx yang terkenal, yaitu tugas ahli pikir adalah mengubah dunia, dan bukan menerangkan dunia. Dia membuktikan pernyataan ini dengan mengubah materialisme sebelumnya yang hanya membicarakan dan memperdebatkan asal-usul alam, menjadi materialisme yang hubungannya dengan kehidupan sosial manusia, dia menyebutnya dengan materialisme historis. Materialisme historis adalah membicarakan perkembangan kehidupan masyarakat, dan penyebab perkembangan itu adalah faktor materi (ekonomi). Oleh karena itu, objek kajian materialisme historis adalah kehidupan masyarakat. Dari faktor materi ini terciptanya kelas-kelas sosial, yaitu kelas atas dan kelas bawah. Kelas atas adalah orang yang menguasai dan memiliki materi, seperti tanah, pabrik-pabrik, industri, dan 186| Nilai dalam Wacana Filosofis
bentuk kekayaan lainnya. Sedangkan kelas bawah adalah orang yang tidak memiliki materi, sehingga mereka untuk bertahan hidup memperjualkan tenaga kepada para pemilik materi demi mendapatkan materi (upah). Adanya kelas-kelas sosial ini, Karl Marx mempelajari bahwa kelas atas mengupah kelas bawa sesuai dengan kehendak mereka, atau dengan upah kecil. Tujuan upah kecil ini agar para kelas atas memperoleh keuntungan yang banyak, dan tidak perduli dengan para pekerja, bahkan para pekerja dijadikan sebagai alat kekayaan mereka. Karl Marx menyatakan kekayaan para kelas atas adalah hasil rampasan hak-hak para pekerja. Akibat dari upah kecil ini, dikatakan oleh Karl Marx para pekerja terasingkan, sebenarnya pada dasarnya setiap manusia mengingginkan kepuasan materi sepuas-puasnya, tetapi apa boleh buat para pekerja tidak dapat menikmati materi sepuasnya. Karena para pekerja tidak merasa puas, menurut Karl Marx para pekerja akan menghancurkan para kelas atas atau terjadinya kontradiksi diantara mereka. Akibat dari kontradiksi ini maka terjadinya perubahan dalam kehidupan masyarakat. Dari perubahan ini terciptalah perkembangan kehidupan baru. Dengan istilah lain, dalam setiap situasi kehidupan masyarakat selalu terjadinya perubahan, yang disebut oleh Karl Marx adalah proses dialektika. Materialism historis Karl Marx, ia mengkritik adanya hak milik pribadi dan kelas-kelas sosial, yaitu dengan tujuan semua kekayaan adalah milik bersama, inilah cita-cita Karl Marx atau dengan istilah teorinya, yaitu sosialisme. Seseorang dikatakan manusia adalah sejauh ia bermasyrakat, yaitu mengutamakan kepentingan bersama, daripada kepentingan dirinya sendiri. Berbeda dengan pandangan Islam, adanya kelaskelas sosial dan hak milik pribadi merupakan hukum alam dan bukan sesuatu yang dibuat-buat oleh manusia itu sendiri. Akan tetapi Islam mengajarkan agar kelas-kelas Bab 4, Pandangan Para Filosof tentang Nilai
|187
sosial saling menghargai sesama mereka. Terjadinya kesenjangan sosial, Islam mengajarkan agar kembali kepada syari’at, dan bukan menghapus atau menyerang kelas tertentu, seperti keinginan Karl Marx, hak milik pribadi harus dihapuskan dalam kehidupan sosial. Sesuatu yang mustahil pengapusan hak milik pribadi dan kelas-kelas sosial dalam pandangan Islam. Daftar Rujukan Amsal Bakhtiar. Filsafat Ilmu. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004. Atang Abdul Hakim, dkk. Filsafat Umum. Bandung: Pustaka Setia, 2008. Anthoni Giddens dan David Held. Perdebatan Klasik dan Kontemporer Mengenai Kelompok, Kekuasaan, dan Konflik. terj. Vedi R. Hadiz. Jakarta: PT Rajawali, 1987. Burhanuddin Salam. Logika materiil: Filsafat Ilmu Pengetahuan. Jakarta: Rineka Cipta, 2003. Bertrand Russell. Sejarah Filsafat Barat. terj. Sigit Jatmiko, dkk. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004. Bryan Magee. Memoar Seorang Filsuf: Pengembaraan di Belantara Filsafat. terj. Eko Prasetyo. Bandung: Mizan Pustaka, 2005. Cecep Sumarna. Filsafat Ilmu. Bandung: Pustaka Bumi Quraisy, 2004. Deliarnov. Perkembangan Pemikiran Ekonomi. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2007. Departemen Agama RI. al-Quran dan Terjemahan. Bandung: t.t. 188| Nilai dalam Wacana Filosofis
Diane Collinson. Lima Puluh Filsuf Dunia Yang Mengerakkan. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001. Edilius, dkk. Pengantar Ekonomi Perusahaan. Jakarta: Rineka Cipta, 1992. Franz Magnis Suseno. Pemikiran Karl Marx Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003. Franz Magnis Suseno. Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1987. F.
Budi Hardiman. Menuju Masyarakat Yogyakarta: Kanisius, 1993.
Komunikatif.
Frederick Engels. Tentang Kapital Marx. terj. Oey Hay Djoen. Bandung: Ultimus, 2006. Fadhli. Formulasi Nilai Sosial Dalam Perspektif Karl Marx. Skripsi. Banda Aceh: Ushuluddin, 2001. Harun Hadiwijono. Sari Sejarah Filsafat Barat 1. Yogyakarta: Kanisius, 1980. Isaiah Berlin. Biografi Karl Marx. terj. Eri Setiyawati Alkhatap, dkk. Yogyakarta: Jejak, 2007. J. Sudarminta. 2002.
Epistimologi Dasar. Yogyakarta: Kanisius,
Juhaya S. Praja. Aliran-aliran Filsafat dan Etika. Jakarta: Prenada Media, 2003. Juraid Abdul Latief. Manusia, Filsafat, dan Sejarah. Jakarta: Bumi Aksara, 2006. Karl Marx. Kapital: Sebuah Kritik Ekonomi Politik. Volume I. terj. Oey Hay Djoen. Jakarta: Hasta Mitra, 2004.
Bab 4, Pandangan Para Filosof tentang Nilai
|189
Karl Marx. Das Capital. Volume 3. terj. Samuel Moore dan Edward Aveling. New York: International Publishers, 1967. Lorens Bagus. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005. Listiyono Santoso, dkk. Epistemologi Kiri. Yogjakarta: ArRuzz, 2006. Muhsin Qiraati. Mencari Tuhan. Bogor: Cahaya, 2001. Muhammad Taqi Mishbah Yazdi. Buku Daras Filsafat Islam. Bandung: Mizan, 2003. Pip Jones. Pengantar Teori-Teori Sosial, Dari Teori Fungsionalisme Hingga Postmodernisme. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2009. Rustam E. Tamburaka. Pengantar Ilmu Sejarah, Teori Filsafat Sejarah, Sejarah Filsafat, dan Iptek. Jakarta: Rineka Cipta, 1999. Robert Lekachman dan Borin van Loon. Kapitalisme: Teori dan Sejarah Perkembangan. Yogyakarta: Resist Book, 2008. Saifullah Kamalie. Karakteristik Metode Islam. Jakarta: Media Da’wah, t.t. Stephen Palmquis. Pohon Filsafat, Teks Kuliah Pengantar Filsafat. terj. Muhammad Shodiq. Yogyakarta: PT Pustaka Pelajar, 2002. Sumitro Djojohadikusumo. Perkembangan Pemikiran Ekonomi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1991. Surajiyo. Ilmu Filsafat Suatu pengantar. Jakarta: Bumi Aksara, 2008. Suparlan Suhartono. Sejarah Pemikiran Filsafat Modern. Yogjakarta: Ar-Ruzz, 2005. 190| Nilai dalam Wacana Filosofis
William Ebenstein. Isme-isme yang Mengguncang Dunia; Komunisme, Fasisme, Kapitalisme, Sosialisme. Yogyakarta: Narasi, 2006. Susetya. Tangan di Atas Lebih Baik Daripada Tangan di Bawah: Menyelami Nikmatnya Bershadaqah. Yogyakarta: Tugu Publisher, 2007. Kolom-biografi.blogspot.com/2009/01/biografi-karlmarx.html. Tojib84. blogspot.com/2008/07/peta-pemikiran-karlmarx.html. http://lenterarakyat.blogspot.com/2009/02/materialismehistori.
Bab 4, Pandangan Para Filosof tentang Nilai
|191
2. Konsep Nilai Menurut Max Scheler Oleh: Syarifuddin a. Pendahuluan Sungguh kemungkinan sekali dalam filsafat Jerman kontemporer tidak ada orang lain yang dapat dibandingkan dengan orang seperti Max Scheler, ia memiliki kelebihan yang luar biasa, seperti memiliki kekuatan ide dan memiliki gaya prosanya yang menawan. Scheler dianggap berhasil memasukkan ke dalam tulisan prosanya suatu kekuatan emosional yang kemudian dianggap sebagai ilham terhadap teorinya. Scheler tidak menempatkan pribadinya dalam rangka melayani berbagai idenya, idenya agaknya mengikuti cara nafsunya yang meluap, nafsu ini kemudian dinyatakan dala berbagai bentuk tema yang ia pilih untuk dipikirkan secara tulus dan serius. Scheler merasa terpanggil dan pilihannya menjadi cocok dengan dunianya, yaitu dirinya merasa tertarik pada persoalan manusia dan bahkan ia mengabdikan seluruh hidupnya pada tema manusia.123 Inti pemikiran filsafat Scheler adalah nilai. Berbeda dengan Mill yang mengatakan bahwa manusia bertindak berdasarkan kepuasan diri, Scheler menyatakan bahwa nilai adalah hal yang dituju manusia Jika ada orang yang mengejar kenikmatan, maka hal itu bukan demi kepuasan perasaan, melainkan karena kenikmatan dipandang sebagai suatu nilai. Nilai tidak bersifat relatif, melainkan mutlak. Nilai bukan ide atau cita-cita, melainkan sesuatu yang kongkret, yang hanya dapat dialami dengan jiwa yang bergetar dan dengan emosi.
123 Risieri Frondisi, Pengantar Filsafat Nilai, terjemahan Cuk Ananta Wijaya, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011, hal. 102.
192| Nilai dalam Wacana Filosofis
b. Riwayat hidup Max Scheler Max Scheler adalah seorang filsuf Jerman yang berpengaruh dalam bidang fenomenologi, filsafat sosial, dan sosiologi pengetahuan. Ia berjasa dalam menyebarluaskan fenomenologi Husserl. Scheler dilahirkan pada tahun 1874 di Muenchen. Ibunya seorang Yahudi dan ayahnya beragama Protestan. Ketika umurnya menanjak ke 15 tahun dan belajar di sekolah menengah pada tahun 1889, kemudian ia masuk agama Katolik. Ia menempuh studi itu di Muenchen, Berlin, Heidelberg dan Jena. Pada tahun 1898, ia meninggalkan gereja Katolik, yang dikarenakan suatu konflik sosial.124 Hidup Scheler penuh dengan drama dan krisis, namun sebagai filsuf ia sangat cemerlang, dikagumi, bahkan pernah cukup berpengaruh dalam dunia filsafat di benua Eropa.125 Pada tahun 1897 Scheler mencapai promosi di bawah bimbingan professor Rudolf Eucken di Jena berdasarkan karangannya tentang “Sumbangan Pikiran untuk Menetapkan Hubungan antara Prinsip-Prinsip Logis dan Etis”. Eucken merupakan filsuf yang sangat dihormati oleh Scheler, bahkan Eucken sangat gigih menentang dominasi positivism dan materialism pada waktu itu. Eucken menganggap bahwa adanya roh di samping materi, dengan menitikberatkan nilai-nilai manusiawi, seperti kesusilaan, agama, dan kebudayaan. Pada tanggal 2 Oktober 1899, dua belas hari setelah ia dipermandikan di Gereja Katolik, Max Scheler menikan dengan Amelie di catatan sipil, ia menikah dengan wanita yang sebelumnya sudah pernah menikah (janda cerai). Hal yang demikian, gereja Katolik tidak membenarkan pernikahan yang demikian, dan sejak saat 124 K. Bertens, Filsafat Barat Dalam Abad XX Jilid 1, Jakarta: PT. Gramedia, 1981, hal. 105. 125 Franz Magnis Suseno, Etika Abad Kedua Puluh, 12 Teks Kunci, Yogyakarta: Kanisius, 2006, hal. 15.
Bab 4, Pandangan Para Filosof tentang Nilai
|193
itulah Max Scheler memutuskan diri dari partisipasinya dari kehidupan sakramental gereja, namun demikian Scheler tetap menganggap dirinya sebagai seorang Katolik. Malah ketika masih muda, saat yang bersamaan sebagai dosen muda di sebuah universitas yang anti katolik, malah ia memiliki keberanian untuk membela hak kelompok mahasiswa Katolik yang ketika itu terjadi perdebatan antara organisasi mahasiswa Katolik dengan pejabat universita. Setelah ia menjadi dosen di Jena, namun tidak begitu lama dikarenakan terjadi insiden kecil oleh isterinya dan selanjutnya Scheler atas bantuan Husserl kemudian ia menjadi dosen di Universitas Muenchen di kotanya sendiri, kemudian di sinilah ia berkenalan dan belajar serta memahami dengan fenomenologi Husserl. Melalui kepribadiannya dan kejeniusan filsafatnya, Scheler sangat mengesankan banyak orang.126 Pada tahun 1900 sebelumnya, Scheler sudah pernah mencapai habilitation di Jena dengan karangannya tentang “Metode Transendental dan Psikologi”. Pada tahun 1919, Scheler menjabat guru besar di Koln. Pada tahun 1922 yang ditandai dengan terbitnya jilid pertama Der Formalismus in der Ethik und die Materiale Wertethik, yang diterbitkan dalam Jahrbuch fur Philosophie und Phanomenologische Fordchung volume pertama, pada tahun 1913, yang dieditori oleh Husserl. Pada periode ini banyak artikel yang dikumpulkan dalam dua jilid; Concerning the Revolution in Values atau “Mengenai Revolusi dalam Nilai-Nilai” dan The Eternal in Man atau “Keabadian dalam Manusia”, dan buku ini berisi tentang esensi aksiologi Scheler, karena etikanya dapat diubah yang kemudian menjadi sebuah teori nilai.127
Paulus Wahana, Nilai Etika Aksiologis Max Scheler, Yogyakarta: Kanisius, 2004, hal. 17-18. 127 Risieri Frondizi, Pengantar Filsafat Nilai……, hal. 104-105. 126
194| Nilai dalam Wacana Filosofis
Kemudian ia meninggal dunia di Frankfurt pada tahun 1928. Maka pada menjelang akhir hidupnya, Mac Scheler mengalami suatu perubahan yang sangat mendalam, bahkan Scheler meninggalkan konsepsi yang teistis dan Kristen, hal ini kemudian menjadi berlaku sebagai dasar bagi aksiologinya, dalam rangka menghapuskan jejak konsepsi teologis revolusioner, walaupun belum dirumuskan secara utuh, dan dianggap gagasannya ini dirumuskannya dengan suatu gaya yang sangat berani. Gagasan tersebut Scheler tulis dalam bukunya, The Position of Man in the Cosmos (Kedudukan Manusia dalam Kosmos), dalam bukunya ini Scheler menulis: “Kami menolak hipotesis teis tentang “Tuhan yang spiritual dan berpribadi, yang maha kuasa dalam Spiritualitasnya”. Bagi kami hubungan yang dijalin manusia dengan prinsip alam semesta terkandung dalam fakta bahwa prinsip ini dipahami secara langsung dan disadari di dalam diri manusia sendiri, yang sebagai makhluk hidup, makhluk spiritual, hanya mereupakan sebuah nucleus parsial dari gerak hati dan semangat dari ‘Ada yang mengada melalui dirinya sendiri’, itu merupakan ide kuno dari Spinoza, Hegel dan yang lainnya: ada yang pertama yang memperoleh kesadaran dirinya di dalam manusia… Kedatangan manusia dan kehadiran Tuhan mengimplikasikan satu sama lain, secara timbale balik, sejak awalnya, menurut konsepsi kami. Manusia tidak dapat memenuhi nasibnya tanpa mengetahui dirinya sebagai salah satu anggota dari dua atribut Ada yang tertinggi dan sebagai penghuni Ada; juga tidak dapat menjadi Ada melalui Dirinya sendiri tanpa kerjasama manusia. Roh dan gerak hati, dua atribut ada, tidak sempurna dalam dirinya sendiri tanpa memperhatikan adanya peresapan timbale balik yang berangsur-angsur, sebagai tujuan Bab 4, Pandangan Para Filosof tentang Nilai
|195
akhir, namun agaknya, berkembang selama perwujudannya dalam sejarah; ruh manusia di dalam evolusi hidup universa.128 c. Fenomenologi Max Scheler Fenomenologi merupakan aliran yang membicarakan tentang suatu fenomena atau gejala sesuatu yang menampakkan diri. Tokoh dan pendirinya adalah Edmund Husserl (1859-1938) yang baginya ada kebenaran untuk semua orang dan menurutnya juga kebenaran itu dapat dicapai oleh siapa pun. Akan tetapi, fenomenologi baginya adalah dalam rangka menemukan pemikiran yang benar, seseorang harus kembali kepada “benda-benda” sendiri. Kembali kepada “benda-benda” yang dimaksudkan oleh Husserl adalah bahwa “benda-benda” diberi kesempatan untuk berbicara tentang hakikat dirinya. Pernyataan tentang hakikat “benda-benda” tidak lagi tergantung kepada orang yang membuat pernyataan, melainkan ditentukan oleh “benda-benda” itu sendiri. Namun benda-benda itu tidak secara langsung memperlihatkan hakikatnya, hakikat tersebut berada dibalik yang kelihatannya, dan dalam menemukan hakikat tersebut adalah melalui intuisi.129 Intuisi memiliki kemampuan yang tepat dalam menangkap serta merasakan nilai serta tanpa memerlukan dasar pengalaman inderawi terlebih dahulu terhadap objek bernilai yang terkait. Dalam penangkapan dan memahami nilai, maka akan dapat merasakan hal yang sebenarnya, yang diberikan kepada seseorang secara terang dan jelas, bahkan sekalipun tanpa menggunakan pembawa nilai bersangkutan. Terdapat suatu jenis pengalaman yang objeknya sama sekali tidak dapat diterima oleh pemahaman Risieri Frondizi, Pengantar Filsafat Nilai……, hal. 105-106. Juhaya S. Praja, Aliran-Aliran Filsafat dan Etika, Jakarta: Prenada Media, 2003, hal. 179-180. 128 129
196| Nilai dalam Wacana Filosofis
akal, sebagaimana telinga atau indera pendengaran buta terhadap warna; jenis pengalaman ini memberikan objekobjek yang sungguh objektif yang diatur dalam suatu susunan yang tetap; yaitu pengalaman akan nilai-nilai beserta ketersusunannya yang bersifat hierarkis. Keteraturan dan hukum yang termuat dalam pengalaman ini bersifat pasti serta jelas, seperti dalam logika serta matematika. Menurut Scheler orang berhubungan dengan dunia terutama tidak melalui persepsi intelektual tetapi melalui perasaan terhadap nilai. Hubungan emosional mendahului kegiatan intelektual. Seluruh hubungan utama dengan dunia tidak hanya dengan dunia luar, tetapi juga dengan dunia batin, tidak hanya dengan yang lain tetapi juga dengan diri manusia sendiri, bukan bersifat konseptual, bukan suatu hubungan persepsi, tetapi pada pokoknya selalu bersifat emosional dan mewujudkan nilai. Dimensi nilai dari dunia kenyataan diungkapkan dalam dan melalui proses dinamis perasaan intensional.130 Maka menurut Husserl usaha dalam melihat hakikat dengan intuisi adalah dengan pendekatan reduksi, yaitu dengan cara penundaan segala pengetahuan yang ada tentang objek sebelum pengamatan intuisi dilakukan, atau dapat juga diartikan penyaringan atau pengecilan. Dan reduksi ini juga merupakan salah satu prinsip yang mendasari sikap fenomenologis, maka untuk mengetahui segala sesuatu seorang fenomenolis harus bersikap netral, tidak menggunakan teori-teori atau pengertian-pengertian yang telah ada dalam hal ini diberi kesempatan berbicara tentang dirinya sendiri.131 Berbeda dengan yang dikemukakan Husserl, fenomenologi bagi Max Scheler (1874-1928) lebih dikenal Paulus Wahana, Nilai Etika….., hal. 71-72. Anton Bakker, Metode-metode Filsafat, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984, hal. 112. 130 131
Bab 4, Pandangan Para Filosof tentang Nilai
|197
dengan sebutan “gerakan fenomenologi”. Istilah tersebut digunakan untuk membedakan corak fenomenologi Scheler dengan Husserl, meskipun memang, sebelumnya Scheler sempat demikian terinspirasi oleh Husserl, namun pengisolasian diri Husserl terhadap permasalahan hidup sehari-hari berikut kecenderungannya pada idealismetransendental membuat Scheler syarat mengkonstruksi konsep fenomenologinya sendiri. Di samping itu, perbedaan mendasar antara Scheler dengan Husserl adalah, Scheler sama sekali tak tertarik dengan persoalan fundamental ilmu pengetahuan berikut tak terobsesi untuk mengganti terminus filsafat dengan fenomenologi. Sebagai seseorang yang berlatar belakang praksis dan berupaya memecahkan persoalan hidup sehari-hari, Scheler sekedar menempatkan fenomenologi sebagai salah satu alternatif guna memecahkan persoalan tersebut.132 Menurut Max Scheler, fenomenologi bukanlah nama dari suatu ilmu pengetahuan baru, demikian juga tidak untuk mengganti nama ‘filsafat’, namun hanya berupa sikap pengamatan spiritual, yang membuat orang dapat melihat dan mengalami sesuatu, yang kiranya akan tetap tersembunyi tanpa sikap tersebut, yaitu suatu realitas dari fakta-fakta jenis khusus. Fenomenologi bukan merupakan metode, sebagai prosedur pemikiran tentang fakta-fakta yang terarah pada tujuan dalam memperoleh hasil kegiatan. Fenomenologi merupakan sikap atau prosedur pengamatan terhadap fakta-fakta baru yang sedang dihadapi sebelum adanya proses pemikiran secara logis dalam rangka untuk menghasilkan kesimpulan. Fenomenologi merupakan usaha dalam menampilkan hal yang diberikan secara langsung dan ada dalam kesadaran manusia. Scheler secara langsung menggunakan fenomenologi untuk beraneka ragam tema filsafat, khususnya bidang nilai, etika, dan filsafat agama.133 132 133
Paulus Wahana, Nilai Etika……, hal. 37. Paulus Wahana, Nilai Etika……, hal. 38.
198| Nilai dalam Wacana Filosofis
Fokus utama dalam gerakan fenomenologi Scheler adalah pengetahuan yang bersifat perspektif, yakni menyangkut posisi sosial-budaya seseorang. Pada era Scheler, di mana pergulatan antar berbagai ideologi tengah santer bersaing untuk mendapatkan simpati rakyat— fasisme, komunisme, liberalisme, Protestan serta Katolik— Scheler percaya bahwa hanya seorang intelektual-lah yang mampu bersikap objektif dan mampu memisahkan dunia politik dengan perjuangan berbagai ideologi. Melalui sikap objektif tersebut, Scheler meyakini seorang intelektual akan dapat mengungkap sumber-sumber sosial dari berbagai ideologi politik yang ada. Selanjutnya, intelektual syarat menggiring para pemeluk ideologi untuk tak sekedar memahami ideologinya sendiri, tetapi juga prasangka berikut kritikan ideologi-ideologi lain terhadap ideologinya. Dengan demikian, dapatlah ditilik secara jelas bahwa fenomenologi Scheler lebih memiripkan bentuknya sebagai sosiologi pengetahuan, dan memang, pandangan fenomenologi-nya begitu mempengaruhi pemikiran Karl Mannheim kemudian.134 Ditinjau berdasarkan konteksnya, tampaklah jelas bahwa fenomenologi Scheler berupaya menelisik motif serta alasan pribadi seseorang dalam menganut ideologi tertentu, berikut berupaya menyingkap pandangan ideologi lain terhadap ideologi yang dianut seseorang tersebut sehingga tersajikan secara gamblang kelebihan berikut kekurangan dari masing-masing ideologi yang ada. Di satu sisi, sebagaimana fenomenologi Husserl dan verstehen Weber, fenomenologi Scheler tak menunjukkan kemampuan subjek individu dalam memanipulasi diri, orang lain, ruang serta waktu yang melingkupinya. Meskipun memang, esensi dari ideologi adalah sebentuk instrumen guna memanipulasi dunia, namun manipulasi yang dilakukan 134 M. Irving Zeitlin, Memahami Kembali Sosiologi, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1995, hal. 228-231.
Bab 4, Pandangan Para Filosof tentang Nilai
|199
individu dengan ideologi yang dianutnya sesungguhnya tak lebih dari manipulasi ideologi itu sendiri, bukan manipulasi subjek yang otonom. Sebagaimana penjelasan sebelumnya, metode fenomenologi Scheler terutama bertumpu pada karya Husserl yang bernama penelitian-penelitian tentang logika dan ia tidak merasa tertarik kepada usaha yang dilakukan Husserl di kemudian haru dalam rangka mendasarkan fenomenologi sebagai suatu “ilmu rigorus”. Dari sini dapat dirasakan perbedaan mendasar antara Husserl dengan Scheler, Husserl sebagai seorang sarjana klasik yang mencurahkan segala perhatiannya kepada masalah-masalah yang paling fundamental dan sedapatmungkin Husserl menjauhkan diri dari keramaian masyarakat. Berbalik sama sekali dengan Scheler, bagi Scheler antara filsafat dengan kehidupan yang bersifat konkret tidak dapat dipisahkan, dalam kehidupannya selalu menganggap serius terhadap persoalan-persoalan yang dihadapinya, sehingga Scheler sering sambil duduk-duduk di warung kopi (café) ia menyempatkan selalu untuk menulis. Scheler dengan penuh kesetiaanya, selalu mengomentari masalah-masalah yang actual yang terjadi dalam masyarakat. Oleh karenanya, metode fenomenologis bagi Scheler sama dengan suatu cara tertentu untuk dalam memandang realitas. Fenomenologi bagi Scheler merupakan suatu sikap, bukan suatu prosedur khusus yang diikuti oleh pemikiran . dalam sikap itu seseorang akan mengadakan suatu hubungan langsung dengan realitas yang berdasarkan intuisi. Hubungan tersebut dinamakannya sebagai “pengalaman fenomenologis”. Yang memainkan dalam pengalaman fenomenologis tersebut bukannya sembarangan fakta, melainkan fakta-fakta jenis yang tertentu, yaitu berupa fakta-fakta fenomenologis. Bahwa benda, realitas, ataupun objek tidaklah secara langsung memperlihatkan hakekatnya sendiri. Apa yang kita temui pada “benda-benda” itu dalam pemikiran biasa bukanlah 200| Nilai dalam Wacana Filosofis
hakekat. Hakekat benda itu ada di balik yang kelihatan itu. Karena pemikiran pertama (first look) tidak membuka tabir yang menutupi hakekat, maka diperlukan pemikiran kedua (second look). Alat yang digunakan untuk menemukan pada pemikiran kedua ini adalah intuisi dalam menemukan hakekat, yang disebut dengan wesenchau, melihat (secara intuitif) hakekat gejala-gejala.135 Selanjutnya Scheler menganggap, bahwa benda dianggap sebagai “sesuatu” yang bernilai; oleh karena itu, adalah keliru menginginkan inti nilai dari benda-benda, atau memandang keduanya dengan tempat berpijak yang sama. Dunia benda-benda terdiri atas segala sesuatu, maka dapat dihancurkan oleh kekuatan alam dan sejarah. Dan jika nilai moral kehendak kita tergantung pada benda-benda, maka kehancuran tersebut akan mempengaruhinya. Sebaliknya benda itu memiliki nilai empiris, induktif, dan prinsip yang didasarkan diatasnya bersifat relatif.136 Menurut Scheler, empirisme itu tidak keliru, sebagaimana yang dipercayai oleh Immanuel Kant, karena kewajiban tidak dapat diturunkan dari realitas, maka keadilan itu bersifat independen. Menurt Kant, kewajiban, kesadaran tentang hukum moral, mendahului nilai; sebaliknya, Scheler berpendapat bahwa nilai itu mendahului kewajiban dan berlaku sebagai dasar bagi hukum moral.137 Scheler kemudian membedakan tiga jenis fakta, yaitu; a. Fakta natural. Fakta ini berasal dari pengenalan yang bersifat inderawi dan menyangkut dengan bendabenda konkrit, fakta yang semacam ini akan tampak dalam pengalaman biasa. b. Fakta ilmiah. Fakta ini mulai melepaskan diri dari pencerapan inderawi yang langsung dan akan semakin 135 Anton Bakker, Metode-Metode Filsafat, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986, hal. 113. 136 Risieri Frondizi, Pengantar Filsafat Nilai……, hal. 109. 137 Risieri Frondizi, Pengantar Filsafat Nilai……, hal. 113.
Bab 4, Pandangan Para Filosof tentang Nilai
|201
menjadi abstrak; dapat terjadi bahwa fakta ilmiah dijadikan suatu formula simbolis yang dapat diperhitungkan dan dimanipulasikan, sehingga kaitannya dengan suatu realitas inderawi sangatlah menipis. c. Fakta fenomenologis yang disebut juga sebagai fakta murni. Fakta ini berupa “isi intuitif” atau berupa hakikat yang diberikan dalam pengalaman langsung, tak tergantung dari berada tidaknya dalam realitas di luar. Fakta fenomenologis selalu “diberikan” sepenuhpenuhnya, bukanlah sebagian saja seperti misalnya simbolsimbol dank arena itu tidak mungkin terancam ilusi. Menurut Scheler fakta-fakta jenis lain, seperti fakta natural dan fakta ilmiah mempunyai dasarnya dalam fakta-fakta fenomenologis.138 Dalam pendekatan fenomenologis sebagaimana yang dimengerti oleh Scheler, secara skematis dapat dibedakan tiga unsur berikut ini: 1. “Penghayatan” (erleben); berupa pengalaman intuitif yang secara langsung menuju kepada “yang diberikan”, dengan demikian menghadapi di sini suatu sikap yang sama sekali aktif, bertentangan dengan bentuk-bentuk penghayatan yang lain yang bersifat pasif belaka. 2. Perhatian kepada washeit (whatness: apa-nya, esensi), sambil tidak memperhatikan segi eksistensi (adanya). Inilah salah satu aspek dari apa yang ditunjukkan Husserl sebagai “reduksi transsendental”. 3. Perhatian kepada hubungan satu sama lain (wesenszusammenhang) antara esensi-esensi tadi. Hubungan itu bersifat apriori: “diberikan” dalam intuisi, terlepas dari kenyataan. Hubungan satu sama lain antara esensi-esensi itu dapat bersifat logis belaka maupun juga berupa non-logis. Prinsip kontradiksi (“A 138
K. Bertens, Filsafat Barat……, hal. 109-110.
202| Nilai dalam Wacana Filosofis
bukanlah non-A”) dapat dikemukakan sebagai contoh tentang hubungan antara satu sama lain antara esensiesensi logis (dasarnya adalah bahwa “ada” dan “tidak ada” tidak mungkin diperdamaikan). Dan kenyataan bahwa warna tidak mungkin tanpa keluasan (extension), dapat disebut sebagai contoh tentang hubungan satu sama lain yang bersifat non-logis. Max Scheler memahami fenomenologi sebagai alat besar yang dapat membawa kepada suatu keputusan bagi pandangan manusia. Scheler mengungkapkan harapannya bahwa fenomenologi akan membawa masuk orang ke kebun bunga dari penjara yang telah bertahun-tahun membelenggunya. Yang dimaksud dengan penjara di sini adalah lingkungan hidup manusia yang dibatasi oleh suatu pemikiran yang terarah pada hal yang bersifat mekanis serta yang dapat dimekanisasikan, sedangkan kebun bunga adalah dunia ciptaan Allah yang berwarna-warni.139 d. Konsep Nilai Max Scheler Pada hakikatnya Scheler bukanlah seorang penyusun sistem, sebagaimana kebanyakan filsuf Jerman, ia dapat dikatan dalam buku-bukunya banyak memuatkan penggalan-penggalan, ia banyak menyoroti berbagai persoalan, tentang manusia, hubungan manusia dengan Tuhannya, dan bahkan Scheler menjawab persoalanpersoalan yang dihadapinya dengan menggunakan metodika fenomenologi Husserl. Namun demikian Scheler tidak berpusat pemikirannya pada metode ini, metode ini sesungguhnya hanya sebagai sarana dalam menyoroti serta menyelidiki hakikat manusia. Cara berpikirnya tidak formal, melainkan material. Karena itu Scheler tidak dapat merasa puas dengan etika wajib formal yang diajarkan oleh Kant,
139
Paulus Wahana, Nilai Etika……, hal. 38. Bab 4, Pandangan Para Filosof tentang Nilai
|203
melainkan ia mengusahakan suatu etika yang mengingatkan manusia untuk mewujudkan nilai-nilai.140 Sejak zaman Yunani purba, para filsuf telah membicarakan dan menulis segi, teori tentang problematika nilai. Sekarang, penyelidikan tentang apa yang dinilai oleh manusia, dan apa yang harus dinilai, telah menjadi suatu perhatian baru. Penyelidikan mengenai teori umum khususnya tentang nilai tersebut, asal, watak, klasifikasi dan tempat terjadinya nilai di dunia terbit secara teratur. Penyelidikan tentang nilai dalam suatu tingkah laku manusia (etik) serta penyelidikan tentang nilai dalam dunia seni (estetik) merupakan dua bidang yang besar yang samasama berhubungan erat dengan nilai.141 Pada hakikatnya, pemikiran Scheler tentang nilai berdasarkan karya besarnya berjudul Der Formalismus in der Ethik und die material Wert Ethik (Etika Formalisme dan Etika Nilai Material), dalam buku ini Scheler menunjukkan dengan jelas tentang dua tema, yaitu; pertama, Scheler bermaksud mengajukan suatu penilaian kritis terhadap etika formal Kant. Dan kedua, Scheler berusaha mengatasi formalism Kant, dan mendirikan etika nilai material baru. Namun dalam pembahasan di sini, tidak membicarakan serta membandingkan antara Scheler dengan Kant, secara gambling hanya membicarakan konsep nilai Max Scheler. Scheler menolak etika material yang empiris (yang mendasarkan pada pengalaman indera dan bersifat aposteriori), dan menerima prinsip apriori Kant (yang mendasarkan pada prinsip yang keberadaannya mendahului pengalaman dan bersifat mutlak serta tetap). Prinsip apriori ini merupakan titik tolak dalam pemikiran
140 Bernard Delfgaauw, Filsafat Abad 20, Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 1988, hal. 110. 141 Harold H. Titus, dkk, Persoalan-Persoalan Filsafat, alih bahasa H.M. Rasjidi, Jakarta: Bulan Bintang, 1984, hal. 120.
204| Nilai dalam Wacana Filosofis
Scheler, ia juga berusaha menemukan suatu titik tolak yang bersifat apriori yang bersifat mutlak dan tetap.142 Menurut Scheler, nilai adalah hal yang dituju oleh perasaan, yang mewujudkan apriori emosi. Nilai bukanlah idea atau cita, melainkan sesuatu yang konkrit yang hanya dapat dialami dengan jiwa yang bergetar, dengan emosi. Mengalami nilai tidak sama dengan mengalami secara umum, dalam mendengar, melihat, mencium, dan lain sebagainya. Akal tidak dapat melihat nilai, sebab nilai itu tampil jikalau ada rasa yang diarahkan kepada sesuatu. Nilai adalah hal yang dituju perasaan, apriori perasaan. Dari sini menjadi jelas bahwa pendapat Scheler tentang nilai berbeda sekali dengan pendapat yang dikemukakan oleh Immanuel Kant. Menurut Kant, nilai adalah merupakan suatu a priori formal, akan tetapi menurut Scheler nilai itu adalah a priori material. Tidaklah benar, jikalau dikatakan bahwa manusia berusaha mendapatkan kenikmatan atau kepuasan perasaan. Sebab yang diusahakan oleh manusia adalah nilai. Juga jikalau orang bermaksud mendapatkan kenikmatan, hal yang demikian itu, bukanlah demi untuk mendapatkan kepuasan perasaan, melainkan karena kenikmatan itu dipandang sebagai suatu nilai. Tidak semua nilai dikaitkan dengan usaha. Orang dapat merasa adanya nilai, sekalipun ia tidak berusaha untuk mendapatkannya.143 Menurut Scheler, adalah tidak mungkin untuk mengkritik dunia benda-benda yang ada pada satu jaman tertentu, karena etika pasti didasarkan pada benda-benda tersebut. Juga salah, bahwa setiap prinsip etis yang berusaha untuk menetapkan tujuan yang berkaitan dengan nilai moral dari hasrat yang terukur. Sebab tujuan, sebagaimana adanya, tidak pernah baik ataupun buruk, sebab benda-benda itu bebas dari nilai yang harus Paulus Wahana, Nilai Etika……, hal. 47-48. Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Yogyakarta: Kanisius, 1980, hal. 145. 142 143
Bab 4, Pandangan Para Filosof tentang Nilai
|205
direalisasikan. Dengan model pemikiran seperti ini, maka menurut Scheler, perilaku yang baik dan yang buruk tidak dapat diukur dengan menghubungkannya dengan tujuan karena konsep tentang baik dan buruk tidak dapat disarikan dari isi empiris tujuan. Jelasnya, Scheler ingin mengatakan bahwa nilai itu berasal dari benda-benda, namun tidak tergantung pada mereka. Dan dari ketidaktergantungan tersebut memungkinkan benda itu untuk “menyusun” sebuah etika aksiologis yang sekaligus material dan a priori.144 Menurut Max Scheler, hal atau barang yang baik pada hakikatnya adalah hal bernilai atau hal dari nilai, hal bernilai harus dibedakan dengan nilai. Benda bernilai adalah pembawa nilai, seperti halnya benda sebagai pembawa warna. Nilai merupakan kualitas yang dapat terwujud dalam benda, akan tetapi sama sekali tidak identik dengan benda-benda tersebut. Selanjutnya Scheler menunjukkan perbedaan antara nilai dengan barang bernilai, sambil memberikan contoh, bagi Scheler baik berupa pengalaman akan nilai maupun kepastian akan nilai bagaimana pun juga tidak tergantung pada pengalaman terhadap pembawa nilai. Akan tampak bahwa dimensi nilai dari suatu objek merupakan pengetahuan pertama dan asli yang dimiliki serta bahwa pengetahuan berikutnya akan objek tersebut baru hadir melalui nilai sebagai perantaranya. Kualitas nilai itu tidak pernah berubah ketika pembawanya berubah, bahkan tidak rusak ketika pembawanya dimatikan atau dihancurkan. Ini menunjukkan bahwa ada perbedaan jelas antara nilai dengan pembawa nilai. Warna biru tidak pernah menjadi merah ketika objek yang berwarna biru dicat menjadi merah, demikian pula suatu nilai tertentu tidak akan pernah berubah ketika pembawanya menjadi berubah. Nilai persahabatan tidak
144
Risieri Frondizi, Pengantar Filsafat Nilai……, hal. 110.
206| Nilai dalam Wacana Filosofis
akan terhapus, ketika seorang teman menunjukkan ketidaksetiaannya.145 Lebih jelasnya lagi, Scheler mengilustrasikannya dengan membandingkan “nilai” dengan “warna” untuk menunjukkan bahwa didalam kasus keduanya terdapat persoalan tentang kualitas yang keberadaannya tidak tergantung pada benda. Scheler mengatakan bahwa “merah” sebagai kualitas murni dalam spektrum, tanpa mengalami perlunya untuk mengkonsepsikannya sebagai yang meliputi permukaan yang berbadan. Nilai sebagai kualitas yang independen tidak berbeda dengan benda. Sebagaimana warna biru tidak berubah menjadi merah manakala objek yang berwarna biru dicat merah, demikian juga halnya dengan nilai yang tetap tidak terpengaruh oleh perubahan yang terjadi dalam objek yang digabunginya. Pengkhianatan seorang sahabat misalnya, tentunya tidak akan mengubah terhadap nilai persahabatan tentunya. Ketidaktergantungan nilai mengimplikasikan ketidakdapatberubahnya, nilai itu tidak berubah. Selain itu, nilai itu mutlak, nilai tidak dikondisikan oleh perbuatan, tanpa memperhatikan hakikatnya, nilai itu bersifat historis, sosial, biologis, atau murni individual. Hanya pengetahuan kita tentang nilai yang bersifat relative, akan tetapi bukan nilai itu sendiri.146 Dengan cara yang sama, “nilai” yang terkandung di dalam benda serta pembentukan atas suatu “kebaikan” tidak tergantung pada benda tersebut. Menurut Scheler, kita tidak memahami, misalnya nilai kenikmatan atau estetik melalui induksi yang umum. Dalam kasus tertentu, satu objek atau perbuatan tunggal cukup memadai bagi kita untuk menangkap nilai yang terkandung di dalamnya. Sebaliknya, kehadiran nilai yang menyertai objek yang bernilai memiliki hakekat “baik”. Dengan cara ini, kita tidak memeras keindahan dari benda yang indah; karena 145 146
Paulus Wahana, Nilai Etika……, hal. 53-54. Risieri Frondizi, Pengantar Filsafat Nilai……, hal. 115. Bab 4, Pandangan Para Filosof tentang Nilai
|207
keindahan mendahului bendanya.147 Dan bila dikaitkan dengan perbuatan manusia, maka menurut Scheler, manusia bukanlah pencipta nilai tingkah laku karena nilai-nilai itu berada diluar diri manusia. Lebih lanjut Scheler mengatakan bahwa tugas manusia adalah mengakui nilai-nilai itu serta mengikutinya dalam hidup.148 Menurut Max Scheler, nilai etika menurutnya dapat ditemukan melalui pengalaman indrawi manusia, dan secara apriori ditangkap oleh manusia melalui perasaan emosinya. Ungkapan inilah yang mendasari seluruh nilai etika Scheler.149 Bagi Scheler, nilai-nilai tidak berubah dan tidak bersifat subjektif. Nilai-nilai dapat ditangkap secara langsung berdasarkan intuisi. Nilai-nilai tidak tergantung pada subjek, akan tetapi sebaliknya, subjek seakan terhantung pada nilai-nilai dan hierarki yang berlaku antara nilai-nilai itu. Tidak dapat dikatakan pula bahwa lebih dulu suatu benda diamati dan baru melalui suatu proses abstraksi sifat “indah” dilepaskan dari benda itu. Kita secara langsung dapat melihat benda itu, sebagai contok melihat lukisan sebagai indah. Bahkan dikatakan Scheler, pengenalan tentang nilai mendahului pengenalan tentang benda. Melihat suatu lukisan yang indah berarti “menerapkan” padanya nilai “indah”. Tidak dapat dihindarkan kesimpulan bahwa nilai-nilai berlaku secara objektif dan apriori.150 Menurut Scheler, nilai tidak bersifat relatif, melainkan mutlak, tidak dapat berubah, dan berada demi dirnya sendiri. Jikalau ada yang berubah, maka yang berubah bukan nilai, melainkan pengenalan seseorang akan nilai dan nisbah seseorang terhadap nilai itu. Memang rasa atau pengenalan terhadap nilai dapat berbeda-beda, Risieri Frondizi, Pengantar Filsafat Nilai……, hal. 111. I.R. Poedjawijatna, Pembimbing ke Arah Alam Filsafat, Jakarta: Rieneka Cipta, 1997, hal. 140. 149 Paulus Wahana, Nilai Etika……, hal. 17-47. 150 K. Bertens, Filsafat Barat……, hal. 111-112. 147 148
208| Nilai dalam Wacana Filosofis
demikian juga pertimbangan seseorang terhadap nilai, macam nilai yang menjadi pemberi arah kepada perbuatan dan lain sebagainya. Akan tetapi nilai itu sendiri tidak berubah. Karenanya, suasana perasaan manusia ada bermacam-macam, yaitu perasaan inderawi, seperti; rasa enak, pahit, manis dan sebagainya. Perasaan vital, seperti; lelah, segar, sedih dan sebagainya. Perasaan rohani, seperti; bahagia, damai, senang, dan sebagainya, oleh karenanya ada bermacam-macam nilai juga. Ada nilai kehidupan inderawi, yang dapat disebut kenikmatan, ada nilai di bidang rasa vital, yang dapat disebut kebaikan atau berupa kesejahteraan, dan ada nilai rohani, yaitu umpamanya keadilan, kebenaran, keindahan, kecucian, dan sebagainya. Sudah barang tentu tidak semua nilai sama tinggi dan rendahnya.151 Berdasarkan pembahasan di atas, maka pada dasarnya sungguh banyak sekali nilai itu, maka berdasarkan penelitian fenomenologi Scheler, Scheler membagi empat kelompok nilai, yaitu; a. Nilai pertama adalah nilai tentang tidak nikmat atau nikmat dan nilai ini berhubungan dengan kenikmatan yang didapat dari kenikmatan indrawi.152 Deretan nilai ini ‘yang enak’ dan ‘yang tidak enak’, fungsi yang bersangkutan dengannya adalah perasaan inderawi dengan dua bentuk, yaitu menikmati dan menderita, pada lain pihak yang sesuai dengannya adalah keadaan perasaan “perasaan perseptif”, nikmat dan perasaan sakit tergantung dari segala macam bentuk pengorganisasian tindakan yang dilakukan oleh manusia.153 Indera-indera ini berbeda-beda pelbagai Harus Hadiwijono, Sari Sejarah……, hal. 145-146. Simon L. Tjahjadi, Petualangan Intelektual: Konfrontasi dengan para Filsuf dari Zaman Yunani hingga Zaman Modern, Yogyakarta: Kanisius, 2004, hal. 298. 153 Franz Magnis Suseno, Etika Abad Kedua Puluh……, hal. 23-24. 151 152
Bab 4, Pandangan Para Filosof tentang Nilai
|209
benda dapat tempat sebagai menyenangkan atau tidak menyenangkan kepada pelbagai macam individu, tetapi nilai-nilai itu sendiri tetap sama.154 b. Nilai kedua adalah nilai vital yang berhubungan dengan kondisi kesehatan manusia juga menyangkut kebesaran hati dan keberaniannya.155 Benda-benda bernilai modalitas memuat semua kualitas yang tercakup dalam tegangan antara “yang luhur” dan “yang hina” atau yang baik dalam artian khas istilahnya yang menyamakannya dengan yang bermutu dan yang buruk. Nilai-nilai lanjutan atau nilai-nilai teknis dan nilai-nilai symbol yang sesuai dengan nilai vital itu adalah semua nilai yang terletak dalam wilayah artian “keselamatan” dan “kesejahteraan”, dan yang lebih rendah dibandingkan dengan “yang luhur” dan “yang hina”, sebagai keadaan bernilai di sini termasuk semua bentuk perasaan akan kehidupan, sebagai perasaan reaksi jawaban di sini misalnya; bergembira dan bersedih hati, sebagai reaksi jawaban instingtusl dapat disebut “berani”, “takut”, ingin membalas dendam, marah dan sebagainya. Kualitas-kualitas nilai itu merupakan kekayaan luar biasa dan yang sesuai dengannya di sini bahkan disindir saja tidak mungkin.156 Nilai-nilai vital merupakan modalitas nilai yang sama sekali mandiri, dan dalam arti apa pun tidak dapat dikembalikan pada nilai-nilai “yang enak” dan “tidak enak” maupun pada nilai-nilai rohani. Dengan menerima nilai-nilai pada persoalan ini, sepertinya Scheler dipengaruhi oleh Nietzsche.157 c. Nilai ketiga dinamakan nilai rohani yang berhubungan dengan sikap kita terhadap keadilan dan estetika.158 K. Bertens, Filsafat Barat……, hal. 112. Simon L. Tjahjadi, Petualangan Intelektual……, hal. 298. 156 Franz Magnis Suseno, Etika Abad Kedua Puluh……, hal. 24. 157 K. Bertens, Filsafat Barat……, hal. 112. 158 Simon L. Tjahjadi, Petualangan Intelektual……, hal. 298. 154 155
210| Nilai dalam Wacana Filosofis
Tindakan dan fungsi-fungsi yang menangkap nilai-nilai itu merupakan fungsi perasaan rohani dan tindakan yang mendahului pilihan rohani, cinta, dan kebencian. Fungsi-fungsi itu kelihatan berlainan dan fungsi-fungsi dan tindakan-tindakan vital dengan nama yang sama, baik secara murni fenomenologis maupun karena struktur internal mereka.nilai-nilai rohani dibagi ke dalam jenis-jenis utama, seperti, pertama, nilai “yang indah” dan “yang jelek” serta seluruh wilayah nilai-nilai murni estetik. Kedua, nilai-nilai “yang benar” dan “yang tidak benar”, “benar” di sini bukan dalam arti dapat dibenarkan, kenyataan-kenyataan yang masih merupakan “nilai”, dan sama sekali lain dari “betul” dan “tidak betul” dalam arti sesuai dengan sebuah undang-undang dan gagasan Negara serta dari gagasan komunitas hidup yang mendasarinya. Ketiga, nilai-nilai “pengertian kebenaran murni” murni karena demi pengetahuan itu sendiri, bukan demi pemanfaatannya, sebagaimana mau direalisasikan oleh filsafat. Perasaanperasaan itu berubah-ubah terus dan dalam ini tidak tergantung dari perubahan-perubahan dalam suasana si bidang perasaan vital, apalagi dari suasana perasaanperasaan inderawi, karena perasaan rohani itu muncul langsung sesuai dengan perubahan nilai-nilai objekobjek sendiri menurut aturannya sendiri.159 Nilai-nilai rohani ini tidak tergantung dari hubungan timbal balik antara organism dengan dunia disekitarnya, nilai-nilai ini meliputi antara lain; nilai-nilai estetis (bagus dan tidak bagus/jelek), nilai-nilai yang menyangkut dengan benar dan salah, nilai-nilai yang berhubungan dengan pengetahuan murni atau pengetahuan yang dijalankan dengan tanpa pamrih.160
159 160
Franz Magnis Suseno, Etika Abad Kedua Puluh……, hal. 25-27. K. Bertens, Filsafat Barat……, hal. 112. Bab 4, Pandangan Para Filosof tentang Nilai
|211
d. Nilai keempat, Scheler menyebutnya nilai objek absolut yang berhubungan dengan sesuatu yang dianggap kudus.161 Nilai ini mempunyai satu syarat kehadirannya yang sangat pasti; kualitas-kualitas itu hanya muncul dalam kaitan dengan objek-objek yang dipahami “objekobjek mutlak”. Maksud di sini bukan suatu golongan objek yang disefinisi secara khusus, melainkan secara prinsipil setiap objek dalam “lingkungan mutlak”. Modalitas nilai ini sama sekali tidak berkaitan dengan benda-benda, kekuatan-kekuatan, orang-orang nyata, lembaga-lembaga yang dipelbagai zaman dan oleh pelbagai bangsa dianggap kudus (dari pandanganpandangan fetisisme sampai ke paham Allah yang paling murni). Semuanya ini termasuk cakupan objekobjek bernilai terberi dalam lingkungan nilai yang tidak termasuk ajaran nilai apriori dan ajaran tentang urutan hirarkis nilai-nilai. Namun dilihat dalam perspektif nilai-nilai “yang Kudus” semua nilai lain sekaligus muncul sebagai symbol nilai-nilai kekudusan itu.162 Berdasarkan pembahasan nilai menurut Max Scheler di atas, menunjukkan bahwa manusia sendiri bukanlah pencipta nilai, nilai itu berlaku dalam situasi apapun dan itu terlepas dari manusia. Tugas manusia hanyalah mengakui nilai-nilai, serta mewujudkannya dalam suatu kenyataan yang konkret.163 Dalam perwujudannya nilai itu tidak berada pada dirinya sendiri, melainkan selalu tampak sebagai yang ada pada pembawa nilai, atau disebut juga pada objek bernilai. Pembawa nilai ini merupakan objek yang nyata. Bagi Scheler, nilai sebagai fenomena dasar yang tidak dapat direduksikan atau dikembalikan pada fenomena lainnya, misalnya hasil pemahaman rasional inderawi, dan Simon L. Tjahjadi, Petualangan Intelektual……, hal. 298. Franz Magnis Suseno, Etika Abad Kedua Puluh……, hal. 27. 163 Bernard Delfgaauw, Filsafat Abad 20, alih bahasa Soejono Soemargono, Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 1988, hal. 111. 161 162
212| Nilai dalam Wacana Filosofis
fenomena dasar ini ditemukan dan dipahami melalui intuisi perasaan terhadap nilai tersebut. Dengan demikian, nilai itu telah tersedia bagi perasaan intensional, sebagai hubungan intensional antara perasaan dengan nilai yang bersangkutan. Bagi Scheler, pikiran itu pada prinsipnya buta terhadap nilai, nilai itu tidak dirasakan dengan pikiran, melainkan sampai dapat dirasakan melalui intuisi emosional atau penangkapan dan pemahaman secara langsung dengan perasaan emosi.164 e. Penutup Demikianlah nilai dalam pemikiran Max Scheler yang menurutnya lebih ke fenomenologi nilai, yang merupakan suatu yang ditawarkannya dalam rangka untuk menangkap dan menjelaskan nilai-nilai yang ditemukannya, tetapi sebenarnya tidak dapat memberikan suatu bukti tentang keberadaan suatu nilai-nilai serta ketersusunannya yang bersifat objektif universal serta ahistoris, karena dengan adanya perbedaan latar belakang sosiohistoris, tentu saja tidak ada jaminan kesamaan antara hasil dari intuisi Max Scheler dengan hasil intuisi orang lain tentang nilai tersebut. Suatu hasil yang sangat luar biasa, Scheler telah mampu membedakan antara ‘nilai’ dengan ‘hal yang bernilai’. Menurut Scheler, nilai merupakan suatu kualitas yang memiliki keberadaan secara objektif, tidak tergantung pada sikap dan ada tidaknya subjek, serta keberadaannya bersifat apriori, yang sama sekali tidak bergantung pada hal-hal yang empiris. Maka yang menjadi pusat filsafat Sheler adalah etika, etikanya berakar dalam sebuah pengalaman dasar, pengalaman akan nilai. Baginya, nilai adalah sebuah kualitas atau berupa sifat yang membuat apa yang bernilai maka akan menjadi bernilai. Maka yang bernilai itu adalah berupa 164
Paulus Wahana, Nilai Etika……, hal. 70-74. Bab 4, Pandangan Para Filosof tentang Nilai
|213
tindakan atau hubungan, yang pasti adalah berupa kenyataan yang dialami di dunia ini. Scheler tidak mau merumuskan sebuah teori, namun ia melukiskan apa yang memperlihatkan diri apabila seseorang mencoba untuk membuka hati. Daftar Rujukan Anton Bakker, Metode-metode Filsafat, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984. Bernard Delfgaauw, Filsafat Abad 20, alih bahasa Soejono Soemargono, Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 1988. Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Yogyakarta: Kanisius, 1980. Franz Magnis Suseno, Etika Abad Kedua Puluh, 12 Teks Kunci, Yogyakarta: Kanisius, 2006. Harold H. Titus, dkk, Persoalan-Persoalan Filsafat, alih bahasa H.M. Rasjidi, Jakarta: Bulan Bintang, 1984. I.R. Poedjawijatna, Pembimbing ke Arah Alam Filsafat, Jakarta: Rieneka Cipta, 1997. Juhaya S. Praja, Aliran-Aliran Filsafat dan Etika, Jakarta: Prenada Media, 2003. K. Bertens, Filsafat Barat Dalam Abad XX Jilid 1, Jakarta: PT. Gramedia, 1981. M. Irving Zeitlin, Memahami Kembali Sosiologi, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1995. Risieri Frondisi, Pengantar Filsafat Nilai, terjemahan Cuk Ananta Wijaya, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011. Paulus Wahana, Nilai Etika Aksiologis Max Scheler, Yogyakarta: Kanisius, 2004. 214| Nilai dalam Wacana Filosofis
Simon L. Tjahjadi, Petualangan Intelektual: Konfrontasi dengan para Filsuf dari Zaman Yunani hingga Zaman Modern, Yogyakarta: Kanisius, 2004.
Bab 4, Pandangan Para Filosof tentang Nilai
|215
3. Nilai Menurut Henri Bergson Oleh: Syarifuddin a. Pendahuluan Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi pada abad ke-20 ini, berkembang cepat termasuk perkembangan industrialisasi. Beserta hal demikian pula, segala pemikiran manusia mengarah kepada pemikiran bendawi, apalagi pascaempirisme dan positivisme, semua berpangku pada nilai-nilai nyata yang bersifat eksperimentasi dan observasi. Akal manusia bagaikan mesin penggerak untuk menyelidiki segala sesuatu, dianalis, dibongkar dan ditafsirkan serta disusun kembali. Demikian pula ilmu yang menyelidiki manusia dipandang sebagai mesin yang terdiri dari bagian-bagian yang menjadikan perkembangan jagad dan manusia itu berjalan secara mekanis, masing-masing mempunyai bagian-bagian tersendiri dan berjalan berdasarkan hukum-hukum yang telah ditentukan. Demikian juga manusia, roh bukanlah peristiwa yang berdiri sendiri, kerja roh disebabkan karena akibat suatu proses-proses bendawi yang berjalan dikarenakan suatu keharusan yang diakibatkan oleh mekanik. Maka reaksi terhadap permasalahan di atas, salah satunya adalah apa yang disebut dalam filsafat hidup yang dianut oleh Henri Bergson (1859-1941), filsuf Prancis berdarah Prancis-Yahudi.165 Filsafat Bergson di samping disebut sebagai filsafat hidup, disebut juga sebagai filsafat vitalisme, dan ada juga yang menyeburkan sebagai filsafat evolusi sebagaimana dikatakan oleh Bernard Delfgaauw dalam bukunya Filsafat Abad 20. Ungkapan ‘filsafat evolusi’ menunjukkan salah satu kecenderungan penting dalam pemikiran Bergson. Maka 165 Juhaya S. Praja, Aliran-aliran Filsafat dan Etika, Jakarta: Prenada Media, 2003, hal. 175.
216| Nilai dalam Wacana Filosofis
semenjak terbit bukunya Essai sur les Donnees immediate de la Conscience (1889), secara tegas Bergson telah memihak dalam menghadapi permasalahan pada zaman hidupnya. Bergson mengikuti garis yang dianut pada abad ke-19, yang tidak ingin melepaskan diri dari ilmu pengetahuan positif dan dapat pula dikatakan bahwa, salah satu tujuan filsafatnya adalah dalam rangka untuk memperbaharui tafsir dalam ilmu.166 Bergson dan filsafatnya sangat dipengaruhi oleh teori Darwin, menurut Bergson cara manusia bertindak sangat ditentukan oleh dunia sekitarnya. Darwin sendiri menekankan bahwa manusia yang sekarang ini merupakan hasil dari suatu proses evolusi, di mana manusia memiliki naluri untuk bertahan hidup. Pada prinsipnya, karakter demikian ini merupakan suatu hal yang alami dalam menjalankan proses hidup. Dalam menjawan proses evolusi tersebut yang selalu dipakai dalam rangka memperbaiki keberadaan hidup, bagi Bergson pada proses tersebut adanya élan vital atau berupa daya hidup atau sebagaimana orang menyebutnya, filsafat Bergson adalah filsafat hidup. Dengan élan vital dibawa menuju ke tingkat yang lebih tinggi yaitu menuju kepada keketeraturan. Filsafat hidup atau pandangan hidup di mana di dalamnya terkandung suatu tujuan hidup, ditentukan oleh pandangan tentang asal mula manusia dan alam semesta ini. Jika asal mula itu dipandang sebagai sesuatu yang spiritual, maka tujuan hidup tentu juga akan bersifat spiritual, maka sikap, cara, dan seluruh tingkah laku hidup sehari-hari tentunya bersifat spiritual pula. Demikian juga jika asal mula dipandang sebagai sesuatu yang material, maka mulai dari
166 Bernard Delfgaauw, Filsafat Abad 20, Alih Bahasa Soejono Soemargono, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2001, hal. 83-84.
Bab 4, Pandangan Para Filosof tentang Nilai
|217
tujuan hidup sampai ke tingkat hidup sehari-hari tentulah bersifat material juga.167 Proses evolusi merupakan proses dinamis, demikian juga terhadap pemikiran Bergson, selalu berjalan dan melalui pada tahapan-tahapan yang demikian. Sebagaimana pemikiran Bergson tentang pembagian moral, yang membagi kepada moral statis dan moral dinamis, masyarakat tertutup dan masyarakat terbuka, demikian juga dengan pemikirannya tentang agama, sebagaimana dikaitkan bahwa pada menjelang akhir hidupnya Bergson merupakan filsul yang taat terhadap keyakinannya. Bergson membagi agama kepada agama statis dan agama dinamis. b. Riwayat Hidup dan Karyanya. Henri Bergson (1859-1941) merupakan seorang filsuf Perancis, yang lahir di Paris dari perkawinan antara wanita Inggris dan pria Yahudi Polandia. Sebagian hidupnya yang sangat produktif dihabiskan sebagai dosen bidang filsafat serta sebagai seorang penulis. Berrgson merupakan filsuf Prancis pertama yang setelah Auguste Comte mempunyai pengaruh internasional. Pemikirannya disebut “vitalisme” atau “filsafat hidup”, karena tekanan yang diberikan kepada elan vital, “daya hidup” sebagai kekuatan yang menggerakkan proses evolusi.168 Sebagai seorang filsuf ternama abad ke-20, baginya pengetahuan yang mengabsolutkan adalah pengetahuan yang karena intuisi dan pemikiran rasional merupakan suatu pemikiran yang lebih banyak dan palsu, hal ini yang dianggab sebagai salah seorang filsuf yang mendobrak banyak filsuf, hal ini pula membuatnya menjadi dikenal, sampai dikemudian hari 167 Suparlan Suhartono, Dasar-dasar Filsafat, Credo ut inteligam, Saya percaya, supaya mengerti (Anselmus), Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2004, hal. 72-73. 168 Harry Hamersma, Tokoh-tokoh Filsafat Barat Modern, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1992, hal. 100.
218| Nilai dalam Wacana Filosofis
mendapatkan hadiah nobel tahun 1927 untuk karya literatur. Selama di Paris Bergson masuk pendidiakan pada Lycee Condorcet dan selanjutnya diteruskan di Ecole Normale, lulus pada tahun 1881. Selanjutnya Bergson mengajar filsafat di Angers dan Clermont-Ferrand. Kemudian kembali ke Paris, mengajar di beberapa Lycee dan di Ecole Normale. Tahun 1900, Bergson dianugerahkan Chair pada College de France, kemudian pada tahun itu juga Bergson menerbitkan Loughter, selanjutnya pada tahun 1907 Bergson menerbitkan karyanya Creative Evolution, merupakan karya yang telah memberikannya reputasi internasional dan menjadi sangat populer. Tahun 1911 mengunjungi Inggris untuk memberikan kuliah di Birmingham dan Oxford. Tahun 1914, Bergson terpilih menjadi anggota Academie Francaise dan pada tahun ini juga sebagian dari bukunya dimasukkan ke dalam indeks buku-buku yang dilarang oleh Holy Office di Roma karena antiintelektualismenya dianggap berbahaya bagi ajaran Katolik Roma. Pada sisi yang lain, filsafatnya terus dibaca dan dikagumi secara luas dan pengaruhnya pada para pemikir lain sangat mendalam. Pada tahun 1919 koleksi esainya, Mind energy, diterbitkan dan pada tahun 1922 Duree et simultaneite, sebuah diskusi dengan Eistein yang membicarakan tentang relativisme. Model berfilsafat Bergson yang penuh bunga bahasa dan penuh inspirasi, ternyata mengundang banyak kritik tajam sekaligus juga mengundang kekaguman. Kritikus yang paling utama adalah Julien Benda, yang menyebut Bergson sebagai sebuah contoh agung kemunduran filsafat dan kebudayaan umum yang telah meninggalkan pemikiran analitis dan ilmiah dengan mendukung emosionalisme, ketidakmenentuan, sikap pasif dan feminin. Kritik tajam juga datang dari yang lainnya, diantaranya; filsuf Amerika Charles Sander Peirce yang merasa tersinggung karena Bab 4, Pandangan Para Filosof tentang Nilai
|219
dianggap ada kesamaannya dengan Bergson oleh William James, para filsuf Katolik Roma di Perancis, Jaxques Maritain, demikian juga dari kaum modernis ajaran Katolik Roma. Bagi mereka pemikiran Bergson sangat mengancam keyakinan Katolik Roma, bahkan mereka menganjurkan bagi Bergson untuk pentingnya pengalaman keagamaan personal. Yang paling menarik adalah Bergson saat tua justeru dekat dengan ajaran Katolik.169 Bergson pensiun dari jabatan guru besarnya di College de France pada tahun 1921 karena kesehatannya buruk. Pasca perang dunia pertama, Bergson banyak memberi perhatian pada politik internasional dan bekerja mempromosikan kerjasama dan koeksistensi damai di antara negara-negara. Setelah pecah Perang Dunia Kedua, selama Bergson tinggal di Paris, Bergson diwajibkan untuk mendaftar sebagai seorang Yahudi, antri berjam-jam dalam cuaca dingin dalam rangka memenuhi persyaratan dan akhirnya Bergson mengidap penyakit pneumonia yang kemudian membawanya kematian pada tanggal 3 Januari 1941.170 c. Beberapa Karya Bergson 1. 1897, Matiere et Memoire, Materi dan Ingatan 2. 1907, L’Evolution creatrice, Evolusi yang berdaya cipta 3. 1919, L’Energie spirituelle, Energi rohani 4. 1922, Duree et simultaneite, Keberlangsungan dan Kebersamaan waktu 5. 1932, Les deux sources de la morale et de la religion, Kedua sumber moral dan agama.171
169 Diane Collinson, Lima Puluh Filsuf Dunia yang Menggerakkan, Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2001, hal. 196. 170 Diane Collinson, Lima Puluh Filsuf……, 2001, hal. 192-193. 171 Harry Hamersma, Tokoh-tokoh Filsafat……, hal. 102.
220| Nilai dalam Wacana Filosofis
d. Konsep Nilai Henri Bergson 1) Jalan menuju kesadaran moral Bergson melahirkan filsafat hidupnya sebagai reaksi terhadap pandangan materialisme dan pragmatisme.172 Sebagaimana kita ketahutahui menurut materialism kebenaran tidaklah ditentukan berdasarkan gambaran, melainkan oleh benda dan seluruh kenyataan yang ada dirumuskan dan ditentukan oleh benda. Sedangkan menurut pragmatisme suatu sikap, metode dan filsafat yang memahami akibat praktis dari pikiran dan kepercayaan sebagai suatu ukuran dalam rangka menetapkan nilai dan kebenaran atau sebagaimana yang dimaksudkan William James, suatu sikap memandang jauh terhadap benda-benda pertama, prinsip-prinsip dan kategori-kategori yang dianggap sangat penting serta melihat ke depan kepada benda-benda yang terakhir, buah-buah, dan fakta-fakta.173 Konsep nilai dalam pemikiran Bergson berhubungan dengan pemikirannya tentang aliran vitalisme atau filsafat kehidupannya, Bergson mempostulatkan dorongan vital, élan vital, yang merupakan realitas fundamental yang melaluinya kekuatan kosmik dialami dan Bergson menentang semua titik pandangan yang menganggap akal, rasionalitas dan ilmu sebagai hal yang superior.174 Bagi Bergson, elan vital merupakan penggerak yang pertama yang bekerja dalam dunia, dan aktif dalam suatu proses evolusi.175 Pada sisi yang lain juga, kurang lebih 25 tahun setelah Bergson menulis Creative evolution, Bergson berubah menjadi orang yang semakin religius dan mistis 172 Atang Abdul Hakim dan Beni Ahmad Saebani, Filsafat Umum, dari Menodologi sampai Teofilsufi, Bandung: Pustaka Setia, 2008, hal. 399. 173 Hasan Bakti Nasution, Filsafat Umum, Bandung: Ciptapustaka Media, 2005, hal. 201-217. Mengenai pragmatism, lihat juga: William James, Pragmatism, New York: Longmas Green, 1967, hal. 54-55. 174 Diane Collinson, Lima Puluh Filsuf……, hal. 192. 175 Lorens Bagus, Kamus Filsafat, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2005, hal. 192.
Bab 4, Pandangan Para Filosof tentang Nilai
|221
dalam pandangannya. Dalam bukunya The Two Sources of Morality, Bergson mencoba menguji secara filsufis jawabanjawaban antropologis dan sosiologis terhadap persoalanpersoalan mengenai asal-usul moralitas dan agama. Bagi Bergson, sumber fenomena tersebut dapat ditemukan sekali lagi dalam kedatangan secara serempak pikiran manusia dengan élan vital; dan pikiran yang paling mampu mempengaruhi kesatuan ini adalah berupa pikiran mistik.176 Filsafat hidup atau ‘vitalisme’, merupakan yang membicarakan kehidupan sehari-hari dan juga yang menembus melampauinya. Filsafat ini berhubungan dengan pandangan hidup yang menjadi pedoman dalam pengaturan sikap, cara, dan tingkah laku kehidupan sehari-hari dalam rangka mencapai tujuan hidup.177 Filsafatnya meneropong alam hidup sambil mempergunakan penemuan-penemuan ilmu biologi. Uraian dan penjelasan Bergson memikat, karena Bergson meneropong seluruh garis perkembangan kehidupan, dari makhluk-makhluk bersel satu sampai dengan manusia dan masyarakatnya (moral, religi), akibatnya hakikat kehidupan beserta tujuannya baru menjadi jelas bila diteliti roh. Akibat problematika kehidupan membawa manusia lebih jauh, kepada dunia rohani yang bertepatan dengan persoalan evolusi. Oleh karenanya, vitalisme Bergson sekaligus bersifat 178 spiritualisme. Sumber dari segala sesuatu yang terus mengalir adalah élan vital, satu hasrat vital, impuls yang bukan merupakan suatu substansi tapi kekuatan, penghasil segala bentuk yang selalu baru dan lebih baik. Élan vital ini merupakan sumber hidup vegetatif dan sensible, di mana terdapat kekuatan naluriah (instinct) dan intelek. Pada Diane Collinson, Lima Puluh Filsuf……, hal. 195. Suparlan Suhartono, Dasar-dasar Filsafat……, hal. 71-72. 178 C.A. van Peursen, Orientasi di Alam Filsafat, Sebuah Pengantar dalam Permasalahan Filsafat, diindonesiakan oleh Dick Hartoko, Jakarta: PT Gramedia, 1980, hal. 192-193. 176 177
222| Nilai dalam Wacana Filosofis
manusia, élan vital ini terangkat hingga kesadaran dan kebebasan, namun perkembangan intelek riskan untuk tidak mengetahui barang-barang real, (intelek mengetahui hanya hubungan konsep-konsep, dan bukan objek real). Naluri dan intelek bersatu dalam intuisi, yang merupakan kekuatan pengetahuan dan metafisis. Pengetahuan atas hidup sebagai ritme dinamis dan sumber yang tidak pernah kering hanya mungkin tercapai setelah kita sadar akan kekeliruan dari hypothesis mekanistis dan finalistis.179 Berdasarkan hal yang demikian, Bergson melihat seluruh proses evolusi sebagai usaha élan vital dalam rangka untuk membebaskan diri dari determinisme materi. “Daya hidup” menterjemahkan materi kasar dalam ‘dinamik’. Eksistensi menjadi tegangan, keluasan statis dari dunia anorganis menjadi dinamik padat dalam dunia organis. Ketiga bidang dalam proses ini, bidang vegetative, bidang instingtif (binatang-binatang), dan bidang rasional (manusia), tidak dianggap sebagai tahap-tahap hierarkis dalam suatu evolusi, melainkan sebagai tiga “arah”, tiga kemungkinan yang dipilih oleh élan vital untuk membebaskan diri keterikatan pada materi. Segala sesuatu yang dilihat sekeliling itu memang hasil, residu, sedimentasi dari kegiatan élan vital dalam periode-periode sebelum jaman kita.180 Dalam tahap pertama dorongan ini bertautan dengan naluri kebinatangan, pada tahap kedua berkaitan dengan inteligensi manusia. Dorongan ini menciptakan suatu komunitas insan dan moralitas sosial. Melampaui ini, dalam diri para tokoh profetis agung dari agama yang dinamis, maka dorongan tersebut menjadi meningkat kepada mistisisme religius. Selnjutnua ia akan menghasilkan suatu moralitas yang mengikat seluruh umat http://romopatris.blogspot.com/2011/08/Pandanganbergson-atas-problem.htm. 180 Harry Hamersma, Tokoh-tokoh Filsafat……, hal. 103-104. 179
Bab 4, Pandangan Para Filosof tentang Nilai
|223
manusia. Pikiran yang abstrak, konseptual meningkatkan control terhadap alam secara teknis dan eksternal. Akan tetapi, suatu pemahaman yang lebih mendalam tentang kenyataan mungkin hanya dengan menggunakan intuisi. Intuisis inilah yang memanfaatkan konsep-konsep yang luwes, tumpang tindih, metaforis yang digunakan untuk menggambarkan kenyataan.181 Bagi Bergson, kehidupan bukan semata-mata suatu peristiwa biologis dan vital, melainkan sesuatu yang bersifat spiritual, rohani. Materialism dialektis melukiskan dayadaya perkembangan dalam materi dengan berpangkal pada kemauan sosial. Demikian juga Bergson menggambarkan alam kebendaan dengan berpangkal pada suatu tahap yang lebih tinggi, yaitu berupa roh dan kesadaran manusia. Hidup merupakan suatu arah di dalam suatu organisme itu yang memperoleh kebebasan dengan mempergunakan kekuatankekuatan fisis. Kehidupan terutama diketahui dengan berpangkal pada pengalaman manusia yang menghayati sesuatu yang sedang berlangsung dalam waktu. Gairah kehidupan dapat dilukiskan sebagai suatu kesadaran yang meluncur dan menerobos materi (la conscience a travers la matiere).182 Intuisi merupakan suatu tenaga rohani, suatu kecakapan yang dapat melepaskan diri akal, kecakapan untuk menyimpulkan serta meninjau dengan sadar. Instuisi ini merupakan naluri yang telah mendapatkan kesadaran diri, yang telah disampaikan untuk memikirkan sasarannya serta memperluas sasaran itu menurut kehendak dan kemauan diri sendiri dengan tanpa batas. Intuisi adalah suatu bentuk pemikiran yang berbeda dengan pemikiran akal, sebab pemikiran intuisi bersifat dinamis. Fungsi intuisi adalah untuk mengenal hakikat pribadi atau “aku” dengan lebih murni dan untuk mengenal hakikat seluruh kenyataan. 181 182
Lorens Bagus, Kamus Filsafat……, hal. 255-256. C.A. van Peursen, Orientasi di Alam Filsafat….., hal. 194.
224| Nilai dalam Wacana Filosofis
Maka hakikat yang sebenarnya, baik dari “aku” maupun dari “seluruh kenyataan” oleh intuisi dilihat sebagai “kelangsungan murni” atau “masa murni”, yang keadaannya berbeda sekali dengan “waktu” yang dikenal akal. Berdasarkan dari apa yang dijelaskan tersebut, bagi Bergson segala sesuatu dikerjakan berdasarkan dua pengertian yang saling bertentangan, seperti; materi dan hidup, akal dan intuisi, waktu dan masa murni atau kelangsungan murni, statis, dan dinamis.183 Intuisi juga memainkan peranan dalam pengetahuan manusia yang berhubungan dengan organism-organisme hidup di dalam suatu evolusi kehidupan. Oleh karenanya, finalitas metafisis diganti dengan daya kehidupan yang mencari-cari jalan menuju hari depan. Pandangan demikian juga diterapkan Bergson dalam pemikirannya bidang moral dan religi (etika dan agama). Pada persoalan ini kemudian sepertinya tidak memiliki jalan lain, sepertinya kehilangan gairah dalam mencari jalan-jalan baru; moral menjadi legalistis, berdasarkan naluri kelompok saja, religi merupakan suatu jawaban sekaligus sebuah keputusan akhir dari gairah kehidupan yang berhadapan dengan maut yang mengancam. Pada persoalan ini adanya suatu semangat untuk mendobrak kemandegan itu dengan menghayati suatu moral personal dan dalam mistik para pemimpin agama.184 Inteligensi yang dimiliki oleh manusia jangan pula direduksikan pada kecakapan hanya untuk mengukur dan menghitung, Bergson menyebutnya inteligensi yang berlawanan dengan penggunaan yang lazim dan lawannya sebagaimana disebut sebelumnya, yaitu intuisi, dalam arti suatu partisipasi bersama kehidupan
Harus Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Yogyakarta: Kanisius, 1980, hal. 137. 184 C.A. van Peursen, Orientasi di Alam Filsafat……, hal. 194. 183
Bab 4, Pandangan Para Filosof tentang Nilai
|225
intim makhluk-makhluk. Sesungguhnya inteligensi manusia meliputi, baik berupa inteligensi maupun berupa intuisi.185 Intuisi bagi Bergson merupakan kemampuan yang dimiliki oleh manusia dalam rangka untuk meraih kenyataan yang tidak tergantung pada posisi seseorang , dengan perkataan lain kenyataan mutlak. Merupakan penglihatan langsung yang tidak tehalang oleh apapun, mengungkapkan kesadaran secara langsung, yaitu berupa penglihatan yang tidak berbeda dari objeknya, atau dengan kata lain suatu kontak langsung dengan objeknya. Intuisi merupakan, “a sympathy whereby one carries oneself into the interior of an object to coincide with what is unique and therefore inexpressible in it”. Sehingga intuisi ini menduduki tempat sentral dalam filsafat Bergson, apalagi manusia sebagai makhluk hidup dan satu-satunya yang memiliki inteligensi dan dengan inteligensinya manusia menghadapi hidup dan memiliki kedudukan yang amat penting dalam hidup manusia. Kecerdasannya, masyarakat dan bahasanya mengatakan dengan tegas perbedaannya dengan makhluk hewan. Selanjutnya ada intelek yang mampu menganalisis persoalan dalam artian melakukan melalui seleksi. Seleksi berisikan pemecahan dan penilaian. Tentu saja dalam hal ini mengenai pemecahan dan penilaian segala sesuatu yang telah ada, dan intelek bagi Bergson hanya mampu sejauh mengenai pengetahuan saja. Ia akan mampu meraih pemikiran konseptual dan diskursif, mampu menganalisis persoalan secara ilmiah dan intelek tidak ada lain, kecuali sebagai fungsi praktis operasional olah piker manusia. Intelek ini akan timbul dalam maksud yang khusus, yaitu untuk membuat manusia mampu menguasai benda-benda dalam alam. Ia merupakan perpanjangan indra yang dimiliki oleh manusia, yang berfungsi untuk menciptakan alat-alat 185 Louis Leahy, Manusia Sebuah Misteri, Sintesa Filsufis tentang Makhluk Paradoksal, Jakarta: PT. Gramedia, 1989, hal. 119.
226| Nilai dalam Wacana Filosofis
dan memikirkan penggunaan benda-benda bagi kelangsungan hidupnya. Namun kemampuan ini hanya tertuju pada benda mati yang sudah tertentu saja. Sedangkan emosi bagi Bergson merupakan gerakan kejiwaan yang efektif, karena gerakan kejiwaan ini menuju kepada kemajuan. Contoh yang diberikan oleh Bergson mengenai emosi ini adalah tentang musik dan karya sastra yang dengannya mampu menggugah emosi dalam hati sanubari manusia, dan mengantar manusia untuk bertindak secara moral. Karya seorang genius merupakan suatu hasil dari emosi dan selanjutnya menggugah emosi pada diri orang lain secara khusus “a work of a genius is in most cases the outcome of an emotion unique of its kind, which seemed to baffle expression, and yet which had to express itself”. Maka emosi sangat menentukan dan dapat tergugah dan tentunya menjadi sangat menentukan oleh suatu karya genius, dan ini bukanlah suatu emosi biasa, dan emosi ini pula oleh Bergson meletakkan pada posisi dan usur dalam melakukan tindakan moral. Maka hubungan antara emosi, inteligensi dan intuisi dengan moral dan agama, pendidikan moral, akal sangat diperlukan bagi dasar pendidikan itu, sangat menentukan tugas dan kewajiban dan penghubungan penentuan dengan kaidah-kaidah yang kemudian terjabar dalam pengetrapan. Pada kenyataannya, moral yang sempurna tidak pernah ada tanpa adanya refleksi, melakukan perenungan, analisis, dan berupa argument-argumen dengan orang lain maupun dengan diri sendiri lewat suatu pemikiran yang mendalam. Jika pelaksanaan pendidikan tertuju untuk peningkatan inteligensi supaya dapat memberikan kepercayaan dan kehalusan pada rasa moral, jalan yang ditempuh adalah memberikan petunjuk kepada kehendak. Maka dalam hal ini, menurut Bergson yang perlu dilakukan adalah memberikan latihan dan cara mistik. Latihan terlaksana secara alami melalui kebiasaan-kebiasaan kelompok, terjadi secara otomatis dan spontan. Maka ketika Bab 4, Pandangan Para Filosof tentang Nilai
|227
semakin berkembangnya suatu masyarakat yang dilakukan berdasarkan pembagian kerja, selanjutnya dengan sendirinya masyarakat akan terpilah-pilah, kelompok itu dibebani untuk menyelaraskan diri dengan masyarakat. Maka disiplin akan menjadikan seseorang untuk jujur, pada tataran latihan tentunya hanya berlaku dalam suasana impersonal. Sedangkan jalan kedua, Bergson menyebutnya religius (agama), atau bahkan Bergson menyebutnya mistik, berisikan unsur-unsur religius, dan tidak saja metafisis.186 2) Etika dan Agama sebagai Nilai Buku yang tulis Bergson pada tahun 1932 dengan judul Les Deux Sources de la Morale et de la Relion atau Kedua Sumber Moral dan Agama.187 Buku ini merupakan pandangan Bergson tentang moral dan agama, diterbitkan ketika Bergson sudah berumur 73 tahun, pikiran pokoknya buku ini adalah perbedaan antara moral tertutup dan moral terbuka, masyarakat tertutup dan masyarakat terbuka, agama yang statis dan agama yang dinamis.188 Menurut Bergson, tulisannya ini sebagai sintesis terbaik dari seluruh filsafatnya, pembahasannya tentang ketertutupan dan keterbukaan, antara unsur statis dan unsur dinamis, merupakan suatu perbedaan pokok antara waktu kuantitatif dan keberlangsungan kualitatif. Apakah dalam persoalan moral dan dalam persoalan agama memperlihatkan suatu unsur dialektika dari suatu sistem tertutup dan tendensitendensi kreatif dalam membuka sistem ini. Setiap sistem religius dan etis merupakan “residu”, “abu” dari suatu inspirasi kreatif yang sudah lewat. Moral dan agama statis merupakan hasil semangat kreatif yang sudah memadat.189 186 Djuretna A. Imam Muhni, Moral dan Religi menurut Emile Durkheim dan Henri Bergson, Yogyakarta: Kanisius, 1994, hal. 93-100. 187 Harry Hamersma, Tokoh-tokoh Filsafat……, hal. 103. 188 K. Bertens, Filsafat Barat Abad XX, Jilid II Prancis, Jakarta: PT Gramedia, 1985, hal. 264. 189 Harry Hamersma, Tokoh-tokoh Filsafat……, hal. 104.
228| Nilai dalam Wacana Filosofis
Bahkan Bergson dalam bukunya ini menguraikan dengan sangat teliti tentang moral dan agama.190 Dan dalam buku ini juga Bergson mencoba menguji secara filsufis jawabanjawaban antropologis dan sosiologis terhadap persoalanpersoalan mengenai asal-usul moralitas dan agama. Menurut Bergson, sumber fenomena tersebut dapat ditemukan dalam kedatangan secara serempak pikiran manusia dengan élan vital; dan pikiran yang paling mempu mempengaruhi kesatuan ini adalah pikiran mistik.191 Moral tertutup dan moral terbuka Dalam pembahasan moral, Bergson menggunakan pengertian masyarakat yang tertutup dan masyarakat terbuka, moral yang tertutup dan moral yang terbuka. Disadari atau tidak, sejak masa kecil manusia sudah mengenal larangan-larangan yang diperkenalkan oleh orang tuanya, saudara, guru dan lainnya, dan kepatuhannya terhadap larangan berdasarkan suatu kebiasaan. Masyarakat tertutup bagi Bergson adalah masyarakat yang menjadi suatu sumber kewajiban-kewajiban moral dan sumber adat istiadat. Sedangkan masyarakat terbuka adalah masyarakat yang memiliki asasnya yang meliputi seluruh umat manusia. Demikian juga yang dimaksud dengan moral terbuka, merupakan suatu moral yang terbuka mutlak bagi seluruh umat manusia, sedangkan moral yang tertutup adalah moral yang hanya berlaku bagi suatu masyarakat tertentu saja yang bagi masyarakat tersebut juga memiliki keterbatasannya.192 Tidak mungkin ada moral persekutuan tanpa ada agama yang menjamin kesatuan persekutuan. Tanpa agama, moral tidak akan dapat bertahan dan tanpa moral, perseketuan tidak akan bertahan. Karenanya agama Djuretna A. Imam Muhni, Moral dan Religi……, hal. 86. Diane Collinson, Lima Puluh Filsuf……, hal. 195. 192 Harus Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat……, hal.138. 190 191
Bab 4, Pandangan Para Filosof tentang Nilai
|229
tertutup dapat dirumuskan sebagai “suatu reaksi defensif dari alam terhadap pengaruh akal pikiran, sepanjang akal pikiran menindas perorangan dan membuyarkan persekutuan”. Yang dimaksud oleh Bergson dalam hal ini adalah kecerdasan konseptual-teknik. Berlawanan dengan agama tertutup yang statik, didapati agama yang terbuka dinamik. Sementara agama statik mempertahankan kehidupan pada taraf yang telah dicapainya, sementara agama dinamik membawa kehidupan lebih jauh sampai perkembangannya yang penuh dalam suasana kasih sayang, kasih sayang manusia bertalian dengan kasih sayang kepada Tuhan yang dipuja manusia.193 a. Moral tertutup Moral tertutup menandai masyarakat tertutup. Suatu masyarakat adalah tertutup tidak dikarenakan oleh sebab keterbatasannya menurut ruang, demikian juga tidak karena meliputi sebagian saja dari umat manusia, melainkan karena dikuasai oleh suatu moral yang hanya berlaku terhadap para warga masyarakat saja dan tidak terhadap mereka di luar masyarakat itu, dengan kata lain, suatu moral yang tertutup. Prinsip dasar moral tertutup adalah kerukunan di dalam kelompok dan permusuhan ke luar. Bergson tidak setuju dengan mereka yang melihat suatu kesinambungan antara keluarga, negara, dan umat manusia. Kerukunan dalam keluarga dapat membina seseorang untuk menjadi warga negara yang baik, keluarga dan negara berhubungan erat satu sama lain, karena keduanya mempunyai moral yang tertutup. Dalam suatu negara setiap warga negara memihak kepada sesama warga negara dan melawan musuh, bahkan dalam keadaan damai sekalipun. Bagi Bergson, kedamaian selama ini tidak lain daripada persiapan untuk berperang, sekurang-kurangnya dalam arti pertahanan tetapi dapat juga dalam arti agresi. 193
Bernard Delfgaauw, Filsafat Abad 20……, hal. 88.
230| Nilai dalam Wacana Filosofis
Maka peralihan dari negara ke umat manusia sama besar dengan peralihan dari yang berhingga ke yang tak berhingga. Berdasarkan penjelasan tersebut, sumber moral tertutup menurut Bergson, dengan segala aturan serta kewajibannya adalah desakan sosial (la pression sosiale) atau desakan kerukunan, yang harus dimengerti sejalan dengan insting yang berperan pada taraf ‘masyarakat binatang’, paling jelas pada serangga seperti semut dan lebah. Karena itu moral ini mempunyai asal mula infrarasional. Bagi Bergson, kehidupan etis tidak berasal dari rasio, kewajiban etis berasal dari desakan sosial yang bertujuan tetap mempertahankan kehidupan dan kerukunan masyarakat.194 b. Moral terbuka Moral terbuka menurut Bergson menandakan masyarakat terbuka, maka moral itu dapat dikatakan terbuka, karena menurut kodratnya bersifat universal dan mencari kesatuan antara seluruh umat manusia. Moral ini bersifat dinamis, sebab tertuju pada perubahan masyarakat dan tidak ada maksud untuk mempertahankan masyarakat sebagaimana adanya. Para nabi (dalam Perjanjian Lama) telah membawa suatu perubahan lewat moral yang dibawa secara terbuka, dan mereka para nabi tersebut tidak pernah mengecualikan ajaran yang mereka bawa terhadap kaum miskin dan golongan budak (hamba sahaya), sekalipun mereka para nabi mengemukakan aturan-aturan moral (etis) hanya untuk masyarakat Israel saja. Menurut Bergson, terutama agama Kristen telah mengajukan moral terbuka dan masyarakat terbuka. Moral terbuka tidak berdasarkan kewajiban, melainkan berupa anjuran, himbauan, aspirasi, appèl. Dalam sejarah telah dikenal dengan tokoh-tokoh besar, orangorang suci, pahlawan-pahlawan, mereka tidak hanya 194
K. Bertens, Filsafat Barat Abad XX……, hal. 264. Bab 4, Pandangan Para Filosof tentang Nilai
|231
mencanangkan dalam perjuangan mereka berupa cinta kasih secara universal sebagai cita-cita, namun jauh daripada itu, mereka juga mewujudkan dalam kepribadian dan kehidupan mereka, sehingga mereka menjadi contoh dan suri tauladan. Cara hidup mereka telah menggugah hati orang lain, dan apa yang mereka lakukan bukan karena paksaan atau berupa desakan sosial, bukan juga karena berupa alas an-alasan rasional yang dapat diterangkan dan dimengerti, melainkan karena suri tauladan dan himbauan. Maka Bergson mengatakan; moral terbuka mempunyai asalusul supra rasional. Moral tersebut berasal dari suatu émotion créatrice, suatu emosi kreatif yang mendorong tokoh-tokoh besar.195 Agama statis dan agama dinamis. a. Agama statis Pada hakikatnya Bergson tidak puas dengan psikologi, karena psikologi tidak sepenuhnya tidak dengan sepenuhnya memperhatikan bagian dari alam pikiran manusia, alam pikiran mengahasilkan takhayul bersifat fantasi. Psikologi menghubungkan gambaran-gambaran semacam ini dengan mendasarkan pada penemuan hasil dari ilmu pengetahuan, karya seni dan sastra, serta menempatkannya di bawah imajinasi. Bergson memberikan tempat khusus bagi gagasan atau gambaran fantasmik dan tindakan yang menghasilkannya disebut ‘fungsi dalam menciptakan mitos’, dan pada kenyataannya tidak ada satu masyarakat pun yang tidak memiliki agama. Menurut Bergson, jika pada suatu saat inteligensi manusia sudah mulai mengancam kohesi masyarakat, maka pada saat itu haruslah ada keseimbangan dari lawan yang menaham ancaman itu, untuk itu kalau bukan insting, karena insting sudah terdesak oleh inteligensi, maka ia adalah berupa sisa-sisa dari insting yang masih melekat 195
K. Bertens, Filsafat Barat Abad XX……, hal. 265.
232| Nilai dalam Wacana Filosofis
pada tepi intelegensi, dan melalui intelegensi ini kembali ia menghasilkan gambaran berupa imajinasi dalam rangka untuk melawan kerja intelegensi, inilah yang disebut dengan ‘fungsi pencipta mitos’. Perkembangan yang memuncak yang ada pada diri manusia, membuat manusia justeru dapat menemukan hal-hal yang baru, yaitu berupa inisiatif. Menurut Bergson, suatu daya tarik dari inisiatif perorangan yang langsung, dapat menimbulkan bahaya bagi suatu disiplin sosial. Jika berdasarkan kecerdasannya, ketika seorang individu lupa kepada komunitas masyarakat dan hanya mementingkan diri sendiri, yang justeru terjadi adalah sikap egois, maka seandainya tidak ada yang dapat untuk mengendalikan sikap individual tersebut, maka akal akan terus menerus berusaha untuk mementingkan kepentingannya sendiri. Pada tahap ini sangat mementingkan agama untuk sebuah reaksi dalam menghalau sifat merusak. Oleh karenanya, manusia sangat paham terhadap arti kematian, semua makhluk hidup berakhir dengan kematian, terhadap anggapan akan hidup terus di dunia, merupakan hal yang bertentangan dengan kehendak alam, maka manusia dihadapkan pada permainan khusus antara gambaran dan ide-ide, yang melekat pada agama pada masa permulaan pertumbuhannya. Hal ini menunjang adanya suatu aktivitas naluri manusia yang pada akhirnya mengarah kepada gambaran-gambaran terhadap lahirnya ide-ide religius. Gairah hidup tidak mau tahu tentang hal yang aksidental, yang belum diketahui sebelumnya, yang tidak pasti, yang tidak terduga. Namun manusia dapat menyadari terhadap lahirnya gambaran-gambaran tentang kekuatankekuatan yang murah hati (ada juga kekuatan-kekuatan yang tidak murah hati) yang membantu manusia mencapai tujuannya. Namun demikian, ‘gairah hidup’ tetap optimistis untuk menghadapinya. Gambaran-gambaran religius yang timbul, oleh Bergson mendefinisikan “they are defensive Bab 4, Pandangan Para Filosof tentang Nilai
|233
reactions of nature against the representation, by the intelligence of a depressive margin of the unexpected between the initiative taken and the effect desired”. Berdasarkan persoalan di atas, Bergson dapat mendefinisikan terhadap apa yang dinamakan dengan agama statis secara keseluruhan.196 Berdasarkan penjelasan Harun Hadiwijono,197 agama statis merupakan timbul dari hasil karya perkembangan. Dalam perkembangan alam telah memberikan kepada manusia kecakapan untuk menciptakan dongeng-dongeng yang dapat mengikat manusia yang seorang dengan yang lain dan dapat mengikat manusia dengan hidup. Karena akalnya manusia tahu, bahwa ia harus mati. Juga karena akalnya ia tahu, bahwa ada rintangan-rintangan yang tidak terduga, yang merintangi usahanya untuk mencapai tujuannya. Alam telah membantu manusia untuk memikul kesadaran yang pahit ini dengan khayalan-khayalan. Demikianlah timbul agama sebagai alat bertahan terhadap segala sesuatu yang dapat menjadikan manusia putus asa. Agama statis ini menunjang kesatuan sosial, manusia tidak lagi memiliki insting seperti binatang, manusia mempunyai akal budi, tetapi lebih cenderung kepada mengutamakan kepentingannya sendiri dan mengabaikan kepentingan masyarakat. Oleh karenanya, akal budi yang dimiliki oleh manusia, lebih bersifat kritis dan lebih memajukan kepentingan serta sikap individual, hal ini justeru lebih membahayakan kepentingan masyarakat. Dalam rangka untuk mengimbangi pengaruh akal budi, manusia memiliki la fanction fabulatrice; yaitu berupa fungsi dan daya menghasilkan mitos-mitos, hal ini dapat juga dikatakan sebagai bagian dari fantasi.
196 197
Djuretna A. Imam Muhni, Agama dan Religi……, hal. 100-105. Harun Hadiwijono, Seri Sejarah Filsafat……, hal. 138.
234| Nilai dalam Wacana Filosofis
Maka Bergson menekankan bahwa fungsi fabulatif itu merupakan buah hasil agama, bukan sebaliknya agama yang dihasilkan oleh fantasi. Dalam masyarakat primitive, fungsi fabulatif memegang peranan kuat, agama mempertahankan susunan sosial. Menurut apa yang diceritakan berdasarkan mitos-mitos, maka laranganlarangan dan adat kebiasaan berasal dari dewa-dewa. Dengan menjamin berlakunya adat kebiasaan dan menghukum bagi setiap yang melakukan pelanggaran, para dewa melindungi susunan masyarakat.198 b. Agama dinamis Agama dinamis adalah agama terbuka, oleh Bergson disamakan dengan mistik. Mistik oleh Bergson diuraikan oleh “identifikasi dengan kekuatan kreatif yang mengungkapkan diri dalam hidup”. Kekuatan kreatif ini berasal dari Allah, tetapi tidak sama dengan Allah. Allah memerlukan pencipta-pencipta, karena hanya penciptapencipta pantas diciptai oleh-Nya. Tugas mistik adalah menekankan agama dinamis dalam suatu dunia yang sering terlalu teknis, mistik dan teknik saling memerlukan. Teknik telah berhasil memperbesar “badan” manusia, tetapi badan yang luas memerlukan suatu ekspansi rohani, suatu jiwa yang luas. Ekspansi teknis sampai sekarang belum diikuti oleh suatu ekspansi rohani yang sepadan, maka dunia teknis memerlukan pahlawan-pahlawan, seniman-seniman, dan orang mistik untuk memperluas dimensi-dimensi jiwa dunia teknis.199 Sebagaimana pada pembahasan sebelumnya, dalam agama statis, fungsi menciptakan mitos menghasilkan agama statis. Di sinilah menurut Bergson berfungsinya intuisi, sehingga manusia perlu mendasarkan dirinya pada sebuah kekuatan. Jiwa yang kuat dan luhur yang mampu 198 199
K. Bertens, Filsafat Barat Abad XX……, hal. 266. Harry Hamersma, Tokoh-tokoh Filsafat……, hal. 105. Bab 4, Pandangan Para Filosof tentang Nilai
|235
berusahan dan tidak pernah berhenti untuk bertanya, apakah prinsip yang selalu menyentuhnya adalah merupakan sesuatu yang transenden, sebab utama terjadinya segala sesuatu di dunia, apakah hanya berupan suatu pancaran saja. Maka jiwa luhur tersebut tanpa kehilangan kepribadiannya cukup merasa bahagia, selalu diliputi oleh sesuatu yang jauh lebih mulia dari dirinya sendiri, bagaikan besi diliputi oleh api yang membuatnya membara dan bercahaya. Keterikatan kepada hidup selanjutnya merupakan keterikatan yang tidak terpisah dari suatu prinsip, kegembiraan dalam kegembiraan, kasih kepada sesuatu yang penuh kasih. Pelepasan diri dari masing-masing hal yang khusus akan menjadi keterikatan kepada hidup pada umumnya. Maka di sini Bergson sampai kepada sesuatu apa yang sering orang-orang maksud dengan tasawuf.200 Agama dinamis adalah yang diberikan oleh intuisi, dengan perantaraan agama ini manusia dapat berhubungan dengan asas yang Lebih Tinggi, yang lebih kuasa daripada dirinya sendiri, yang menyalami dia tanpa menghapuskan kepribadiannya. Karena agama inilah manusia diikatkan kepada hidup dan masyarakat atas dasar yang lebih tinggi. Maka bentuk agama yang lebih tinggi menurut Bergson adalah mistik.201 Mistik dalam filsafat Bergson. Mistik merupakan agama dinamis, para mistisi bersatu dengan usaha kreatif yang “berasal dari Allah dan barangkali malah dapat disamakan dengan Allah”. Bergson mempelajari mistik dalam agama Yunani, mistik Timur dan mistik Kristen. Bergson berpendapat bahwa, agama Kristen mistik mencapai bentuknya yang lain lengkap, karena di situ mistik disertai aktivitas dan kreativitas. Mistik yang 200 201
Djurenta A. Imam Muhni, Agama dan Religi….., hal. 105-106. Harry Hamersma, Tokoh-tokoh Filsafat……, hal. 105.
236| Nilai dalam Wacana Filosofis
berbalik dari dunia supaya mempersatukan diri dengan suatu pusat Ilahi, menurut Bergson tidak boleh disebut mistik yang lengkap. Menurut Bergson, jika refleksi filsufis dapat sampai pada adanya suatu energi kreatif yang bekerja dalam dunia, refleksi lebih lanjut atas mistik dapat memperoleh penjelasan tentang kodratnya prinsip kehidupan ini, yaitu berupa cinta. Melalui mistik dapat kita belajar bahwa energi kreatif adalah cinta.202 Menurut Bergson, pada kenyataannya seorang mistik merupakan alat Tuhan dalam menyampaikan kasih Tuhan kepada hambanya manusia, berdasarkan kekuatan yang diterimanya dari Tuhan. Cinta kasih mistik tidak hanya cinta kasih manusia kepada Tuhan, melainkan sama dengan kasih Tuhan kepada kemanusiaan seluruhnya. Melaului Tuhan dan dalam kekuatan Ilahi, mistik angung ini mencintai manusia seluruhnya. Maka cinta kasih ini bersifat khusus, bukan perkembangan naluri, juga bukan berasal dari satu ide, buka merupakan suatu sensasi ataupun pikiran melainkan keduanya dengan efek yang jauh lebih besar, ia berakar pada dasar perasaan dan akal manusia yang paling dalam.203 Masyarakat tertutup dan masyarakat terbuka a. Masyarakat tertutup Pembicaraan ini, sebagaimana dijelaskan oleh Djuretna A. Imam Muhni dalam bukunya, Moral dan Religi, Menurut Emile Durkheim dan Henri Bergson,204 sebagaimana dijelaskan oleh Bergson, masyarakat tertutup merupakan masyarakat di mana seluruh kehidupan anggota-anggotanya hanya tertuju atau terbatas pada hidup masyarakat itu sendiri. Tanpa sama sekali memperhatikan apa yang telah terjadi di luar masyarakat itu sendiri, kehidupan bersama K. Bertens, Filsafat Barat Abad XX……, hal. 267. Djurenta A. Imam Muhni, Agama dan Religi….., hal. 109-110. 204 Djurenta A. Imam Muhni, Agama dan Religi….., hal. 110. 202 203
Bab 4, Pandangan Para Filosof tentang Nilai
|237
hanya pada tataran dalam rangka mempertahankan diri, anggota masyarakat selalu dalam keadaan siap berperang. Hidup mereka hanya berdasarkan naluri, setiap manusia tunduk dan lebur dalam suatu masyarakat tanpa memiliki kepribadian. Kekuatan yang mereka miliki untuk kehidupan moral yang berupa “kewajiban moral”, justeru menekan, mencekam dengan erat dalam diri mereka, mereka dapat hidup langsung, jika pada suatu saat intelegensi cenderung merusak atau mengganggu kohesinya, akan ditolak oleh yang namanya insting yang masih mereka miliki, yaitu suatu daya dalam bentuk “daya mencipta mitos”, dan daya atau kemampuan ini merupakan sumber yang menghasilkan agama statis. Maka, dalam masyarakat tertutup berkuasalah moral tertutup, dan anggota masyarakatnya menganut agama statis juga. b. Masyarakat terbuka Masyarakat terbuka menurut Bergson adalah merupakan masyarakat yang meliputi seluruh kemanusiaan. Perubahan yang berasal dari masyarakat tertutup menjadi masyarakat terbuka, bukanlah hanya perluasan atau pelebaran, melainkan terjadi suatu perubahan secara radikal, perubahan tersebut bukan kuantitas, melainkan kualitas masyarakat itu. Pada dataran ini telah terjadi suatu perubahan, kemampuan yang terjadi dalam diri seseorang yang terpilih. Sesunggunya dorongan selalu hadir dalam suatu kehidupan, pada suatu waktu dalam perjalanannya akan berhenti pada manusia dalam masyarakat tertutup, dan akan terbangun kembali oleh seseorang yang terpilih, demikianlah kehidupan mistik sebagaimana yang dimaksud oleh Bergson. Dengan intuisinya, manusia meraih agama yang dinamis, mendapatkannya serta sekaligus menganutnya. Kehidupan
238| Nilai dalam Wacana Filosofis
moral terbuka dan agama dinamis merupakan dasar fundamental menuju ke arah masyarakat terbuka.205 e. Penutup Demikianlah pemikiran Bergson tentang nilai, yang dalam pemikirannya berpangku pada nilai evolusi, bergerak dari dataran statis menuju ke yang dinamis. Bagi Bergson, filsafatnya merupakan kesadaran dan berupa suatu refleksi yang merujuk kepada data yang langsung diperoleh dan didapatkan melalui intuisi. Bergson mengklarifikasikan akal sebagai suatu fakulti personal, sambil menekankan bahwa secara filsufis secara sadar terlebih dahulu mengikuti titik pandang yang dipilihnya. Maka Bergson beranggapan bahwa filsuf sebagai orang yang menghadapi pikiran yang essensial agar dapat menemukan kondisi-kondisi dari sebuah totalitas pengetahuan. Dengan demikian, sebagaimana tulis Bertens,206 Bergson melihat agama statis sebagai suatu reaksi terhadap pengaruh negative dari akal budi baik bagi individu maupun bagi masyarakat. Agama statis tersebut terutama menandai masyarakat primitif, namun tidak hanya terbatas di situ saja. Agama statis masih tetap ada sejauh mentalitas primitif masih hidup terus dalam kebudayaan manusia. Kalau dalam perang modern kedua belah pihak percaya bahwa Allah memihak kepada meraka, maka menurut Bergson di sini masih kelihatan suatu suasana agama statis. Alasannya adalah; mereka memperlakukan Allah sebagai dewa nasional, biarpun keduanya barangkali mengaku dirinya takwa kepada Allah yang Esa.
205 206
Djurenta A. Imam Muhni, Agama dan Religi….., hal. 111. K. Bertens, Filsafat Barat Abad XX……, hal. 266. Bab 4, Pandangan Para Filosof tentang Nilai
|239
Daftar Rujukan Atang Abdul Hakim dan Beni Ahmad Saebani, Filsafat Umum, dari Menodologi sampai Teofilsufi, Bandung: Pustaka Setia, 2008. Bernard Delfgaauw, Filsafat Abad 20, Alih Bahasa Soejono Soemargono, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2001. C.A. van Peursen, Orientasi di Alam Filsafat, Sebuah Pengantar dalam Permasalahan Filsafat, diindonesiakan oleh Dick Hartoko, Jakarta: PT Gramedia, 1980. Diane
Collinson, Lima Puluh Filsuf Dunia yang Menggerakkan, Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2001.
Djuretna A. Imam Muhni, Moral dan Religi menurut Emile Durkheim dan Henri Bergson, Yogyakarta: Kanisius, 1994. Harry Hamersma, Tokoh-tokoh Filsafat Barat Modern, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1992. Hasan
Bakti Nasution, Filsafat Ciptapustaka Media, 2005.
Umum,
Bandung:
Harus Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Yogyakarta: Kanisius, 1980. Juhaya S. Praja, Aliran-aliran Filsafat dan Etika, Jakarta: Prenada Media, 2003. K. Bertens, Filsafat Barat Abad XX, Jilid II Prancis, Jakarta: PT Gramedia, 1985. Lorens Bagus, Kamus Filsafat, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2005.
240| Nilai dalam Wacana Filosofis
Louis Leahy, Manusia Sebuah Misteri, Sintesa Filsufis tentang Makhluk Paradoksal, Jakarta: PT. Gramedia, 1989. Suparlan
Suhartono, Dasar-dasar Filsafat, Credo ut inteligam, Saya percaya, supaya mengerti (Anselmus), Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2004.
William James, Pragmatism, New York: Longmas Green, 1967. http://romopatris.blogspot.com/2011/08/Pandanganbergson-atas-problem.htm.
Bab 4, Pandangan Para Filosof tentang Nilai
|241
242| Nilai dalam Wacana Filosofis