NILAI-NILAI HUMANIS, KULTURAL, DAN FILOSOFIS DALAM FALSAFAH PENDIDIKAN KH ABDURRAHMAN WAHID Moh Dahlan1 Abstract:Nilai-nilai humanis, kultural dan filosofis pendidikan KH Abdurrahman Wahid pada dasarnya tidak lepas dari akar pemikiran pendidikan pesantren yang kokoh walaupun ia seringkali tidak menggunakan dasar-dasar al-Qur’an dan Sunnah. Ia menawarkan falsafah pendidikan yang yang berwawasan humanis, kultural dan filosofis dalam kehidupan kemajemukan hidup umat manusia. Gagasan pendidikan ini dilakukan untuk mengembangkan potensi dan kemampuan peserta didik sebagai aset strategis pembangunan bangsa. Watak dinamis pendidikan itu harus dikembangkan dengan berpijak pada masalah-masalah kongkrit dan memberikan penyelesaian bagi persoalan-persoalan hidup aktual yang dihadapi manusia. Keywords: Nilai-nilai humanis, kultural, filosofis dan pendidikan Islam
PENDAHULUAN Kerumitan hidup manusia telah menuntut adanya arah baru filsafah dalam dunia pendidikan Islam, sebab tantangan hidup -peserta didik sebagai generasi masa depan- umat Islam dan bangsa semakin rumit yang tidak bisa diselesaikan hanya dengan arah lama filsafat yang berisfat spekulatif dalam dunia pendidikan. 2 Untuk menjawab fenomena tersebut, paradigma berpikir pendidikan Islam harus mempunyai banyak wajah (multifaces), bukan lagi berwajah tunggal. Pendidikan Islam semestinya tidak lagi hanya berorientasi pada penanaman pengetahuan yang hanya semata-mata terkait erat dengan persoalan ketuhanan, kepercayaan, keimanan, credo, pandangan hidup dan melupakan masalah aspek historis kehidupan manusia, tetapi pendidikan Islam saat ini harus mampu menyentuh arus nyata kehidupan
1
Adalah Direktur Program Pascasarjana IAI Nurul Jadid Paiton Probolinggo Abdurrahman Wahid, ”Universalisme Islam dan Kosmopolitanisme Peradaban Islam”, dalam Budhy MunawarRachman (ed.), Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah, (Jakarta: Paramadina, 1995) 2
Afkarina | Vol. 1 No. 2 Oktober 2014 – Pebruari 2015
| 68
manusia yang komplek, majemuk, dan sekaligus menyediakan perangkat keilmuan yang aplikatif dan profesional sesuai dengan tuntutan era saat ini.3 Kompleksitas dan kemajemukan itu digambangkan KH Abdurrahman Wahid bahwa pendidikan Islam harus menyediakan wahana yang bisa memberikan wawasan kepada peserta didik yang inklusif dan pluralis, sehingga peserta didik mampu melakukan penafsiran ulang atas nas-nas agama Islam. Misalnya, Rasulullah Saw pernah bersabda: ”Maka Aku (akan) membanggakan kalian (dihadapan) umat-umat lain pada hari kiamat” (fa innî mubāhin bikum al-umam yauma al-qiyāmah). Dalam pandangan lama, arah pendidikan kaum muslimin mengartikannya sebagai kebanggaan itu bertalian dengan jumlah (kuantitas) kaum muslim, hingga meraka pun berbanyakbanyak anak.4 Tetapi arah pendidikan kaum Muslim kontemporer justru memberikan pengajaran bahwa kebanggaan itu bukan terletak pada kuantitasnya, tetapi terletak pada kebanggaan akan mutu (kualitas) pendidikan dan keilmuan kaum muslim itu sendiri.5 Dalam konteks ini, K.H. Abdurrahman Wahid (panggilan akrabnya Gus Dur) menekankan perlunya paradigma berpikir pendidikan Islam yang memadai dalam mengajarkan ajaran agama Islam yang terdapat dalam al-Qur’an dan Sunnah. Bahkan ia menyebutkan bahwa pendidikan Islam harus memberikan titik tekan pada penggalian semangat dan prinsip-prinsip utama ajaran agama Islam yang diyakini akan mampu memberikan dan mendukung kemajuan dan kesejahteraan.6 Prinsip utama pendidikan Islam itu memuat lima aspek, yakni keselamatan fisik
(1)
peserta didik dari tindakan badani di luar ketentuan, sehingga
pendidikan Islam memperhatikan pentingnya senam kesegaran jasmani, (2) keselamatan keyakinan yang dilakukan dengan penanaman pengetahuan akidah yang murni dan benar, (3) keselamatan kelompok yang berarti bahwa pendidikan Islam memberikan wawasan kepada peserta didik akan arti penting kebersamaan, kerukunan, 3
M. Amin Abdullah, Studi Agama: Normativitas dan Historisitas (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hlm. 5; Achmad Syahid, “Peta Kerukunan Umat Beragama Propinsi Bengkulu” (Seri II), dalam Riuh Di Beranda Satu, Peta Kerukunan Umaat Beragama di Indonesia, (Jakarta: Depag RI, 2003), hlm. 1; M. Amin Abdullah, “Rekonstruksi Metodologi Studi Agama”, dalam Ahmad Baidowi dkk (eds.), Rekonstruksi Metodologi Ilmu-ilmu Keislaman (Yogyakarta: Suka Press, 2003), hlm. 4-5. 4 Abdurrahman Wahid, ”Penafsiran Kembali ”Kebenaran Relatif”, dalam Abdurrahman Wahid, Islamku, Islam Anda, Islam Kita: Agama Masyarakat Negara Demokrasi, (Jakarta: The Wahid Institute, 2006), hlm. 125-126. 5 Abdurrahman Wahid, ”Penafsiran Kembali ”Kebenaran Relatif”, dalam Abdurrahman Wahid, Islamku, Islam Anda, Islam Kita: Agama Masyarakat Negara Demokrasi, (Jakarta: The Wahid Institute, 2006), hlm. 125-126. 6 Greg Barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia: Pemikiran Neo-Modernisme Nurcholish Madjid, Djohan Efendi, Ahmad Wahid, dan Abdurrahman Wahid, terj. Nanang Tahqiq (Jakarta: Paramadina, 1999), hlm. 334; KH Abdurrahman Wahid, Prisma Pemikiran Gus Dur, (Yogayakarta: LKiS, 2000), hlm. 34-52.
Afkarina | Vol. 1 No. 2 Oktober 2014 – Pebruari 2015
| 69
dan kerjasama, (4) keselamatan hak milik yang berarti bahwa pendidikan Islam memperhatikan hak dan kewajiban baik guru maupun murid, dan (5) keselamatan akal yang berarti bahwa pendidikan Islam sangat menghargai dan memperhatikan profesionalitas seseorang.7 Dalam konteks ini, pendidikan Islam perlu senantiasa memberikan standar pengajaran dan evaluasinya dengan ukuran-ukuran kebenaran yang fleksibel dan sekaligus objektif, sebab apa yang dianggap tepat dan kondusif dalam mengukur standar pengajaran dan evaluasinya pada suatu waktu bisa menjadi kurang tepat dan tidak kondusif lagi pada waktu yang lain, tidak sesuai lagi dengan kondisi lingkungan belajar dan kemampuan peserta didik.8 Pendidikan Islam perlu memperhatikan fenomena historis-empirik yang majemuk bangsa ini. Sebab, keutuhan suatu bangsa ini hanya dapat terwujud dengan adanya proses pendidikan yang bisa melahirkan wawasan yang inklusif-pluralis tanpa melihat latar belakang agama, budaya, etnis, golongan, dan ras. Pendidikan Islam perlu memberikan corak yang mampu menghargai perbedaan keyakinan, tidak membatasi atau melarang kerjasama antara
sesama umat, terutama dalam hal-hal yang
menyangkut kepentingan umat manusia. Penerimaan pendidikan Islam akan perlunya wawasan yang mendorong adanya kerjasama bagi peserta didik itu, tentunya akan dapat diwujudkan dalam praktek kehidupan, apabila proses pendidikan yang diselenggarakan mendukung. Dengan kata lain, prinsip pemenuhan kebutuhan berlaku dalam hal ini, seperti adagium Islam yang menyatakan; ”sesuatu yang membuat sebuah kewajiban agama tidak terwujud tanpa kehadirannya, akan menjadi wajip pula (mā lā yatimmu al-wājib illā bihi fahuwa wājibun)”.9 Berpijak dari hal tersebut, penulis dapat menegaskan bahwa pendidikan Islam sekarang harus mampu menjawab perkembangan zaman dan waktu yang begitu pesat perkembangannya dengan memberikan wawasan yang inklusif-pluralis bagi peserta didik. Pendidikan Islam10 -sebagai paradigma penyampaian ajaran keislaman- sangat 7
Abdurrahman Wahid, ”Universalisme Islam dan Kosmopolitanisme Peradaban Islam”, dalam Budhy MunawarRachman (ed.), Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah, (Jakarta: Paramadina) 8 KH Abdurrahman Wahid, ”Penafsiran Kembali ”Kebenaran Relatif”, dalam KH Abdurrahman Wahid, Islamku, Islam Anda, Islam Kita..., hlm. 126. 9 KH Abdurrahman Wahid, ”Islam dan Dialog Antar-Agama”, dalam KH Abdurrahman Wahid, Islamku, Islam Anda, Islam Kita..., hlm. 126. 10 Subhi Mahmashani, “Penyesuaian Fikih Islam dengan Kebutuhan Masyarakat Modern”, dalam John J. Donohue dan John L. Esposito (peny.), Islam dan Pembaruan: Ensiklopedi Masalah-masalah, terj. Machnun Husein (Jakarta: Rajawali Pers, 1995), hlm. 325.
Afkarina | Vol. 1 No. 2 Oktober 2014 – Pebruari 2015
| 70
mendesak untuk dikembangkan di masa kini, yakni paradigma falsafah pendidikan yang menggunakan metode hitoris-kritis –melengkapi metode doktriner-normatif– adalah pilihan yang sangat tepat di Indonesia yang plural dalam mengajarkan normanorma agama Islam.11
PEMBAHASAN Biografi Intelektual K.H. Abdurrahman Wahid Jombang dikenal sebagai daerah agraris dan sekaligus kota santri atau kota pesantren. Dari kota inilah lahir kiai dan pesantren terkenal di antaranya adalah KH Hasyim Asy’ari (Pendiri Nahdlatul ‘Ulama) yang mendirikan dan menjadi pengasuh pertama Pondok Pesantren Tebuireng dan yang kemudian dilanjutkan oleh putranya, KH Wahid Hasyim (Mantan Menteri Agama RI), KH Yusuf Hasyim dan sekarang dilanjutkan oleh cucunya KH Solahuddin Wahid, sedangkan KH Wahab Hasbullah dengan Pondok Pesantren Tambakberas, KH Bisri Syansuri dengan Pondok Pesantren Denanyar, dan Kiai Romli Tamim sebagai tokoh Tarekat Naqsabandiyah.12 Abdurrahman Wahid adalah seorang anak yang lahir di Jombang tahun 1940 dari lingkungan Nadlatul Ulama (NU), cucu dua pendiri NU, KH Hasyim Asy’ari dan KH Bisri Syansuri. Ayah Abdurrahman Wahid, KH Wahid Hasym, adalah putra KH Hasyim Asy’ari dan Ibunya, Solichah, adalah putri KH Bisri Syansuri. Sejak masa kanak-kanak, ibunya telah diberi isyarat bahwa Abdurrahman Wahid akan memiliki tanggung jawab besar terhadap organisasi NU.13 Ayah Abdurrahman Wahid meninggal dunia pada usia 40 tahun, dan saat itu masih menjabat Ketua PBNU. Walaupun ayahnya sudah wafat, ibunya tetap
11
M. Amin Abdullah, Studi Agama..,, hlm. 5-7; Nurcholish Madjid, “Keharusan Pembaruan Pemikiran Islam dan Penyegaran Kembali Pemahaman Keagamaan”, dalam Charles Kurzman (ed.), Wacana Islam Liberal: Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isu-Isu Global, terj. Bahrul Ulum (Jakarta: Paramadina, 2001), hlm. 485; Greg Barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia…, hlm. 370-374;. Muhammad Syahrur, Dirasah al-Islamiyah Mu’ashirah (Damaskus, 1994), hlm. 117-178; Kazuo Shimogaki, Kiri Islam: Antara Modernisme dan Postmodernisme Telaah Kritis Pemikiran Hassan Hanafi, terj. M. Imam Aziz dan M. Jadul Maula (Yogyakarta: LKiS, 1997), hlm. 17-9; Asghar Ali Engeneer, Islam dan Teologi Pembebasan, terj. Agung Prihantoro (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), hlm. 32. 12 Muhammad Rifai, Gus Dur, KH Abdurrahman Wahid Biografi Singkat 1940-2009, (Jakarta: Ar-Ruzz Media, 2010), hlm. 20. 13 Ibid., hlm. 21; Greg Barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia; Pemikiran Neo-Modernisme Nurcholish Madjid, Djohan Efendi, Ahmad Wahib, dan Abdurrahman Wahid, terj. Nanang Tahqiq, (Jakarta: Pramadina, Pustaka Antara, dan The Ford Foundation, 1999), hlm. 326.
Afkarina | Vol. 1 No. 2 Oktober 2014 – Pebruari 2015
| 71
melanjutkan peran informalnya yang penting dalam menjalankan organisasi NU. Sejak ayahnya meniggal, rumah Abdurrahman Wahid mulai sepi dari tamu-tamu penting.14 Selanjutnya, perjalanan hidup Abdurrahman Wahid diawali dengan bimbingan kedua orang tuanya, setelah mulai agak besar sedikit ia dititipkan pada seorang Belanda, teman ayahnya, dan saat itulah Abdurrahman Wahid mulai mengenal musik-musik klasik Eropa. Sejak tahun 1953-1957, ia belajar di Sekolah Menengah Ekonomi Pertama (SMEP) dan tinggal di rumah Kiai Junaid, seorang Kiai Muhammadiyah dan Anggota Majlis Tarjih Muhammadiyah. 15 Pada waktu itu, Abdurrahman Wahid banyak membaca buku-buku tentang komunis seperti Das Kapital, filsafat Plato, Thales, Novel-novel William Bochner dan Romantisme Revolusioner, dan karangan Lenin Vladimir Ilyeh.16 Adapun perjuangan Abdurrahman Wahid dimulai jauh sebelum menjadi Ketua PBNU. Kesadaran terhadap organisasi pergerakan sudah dimulai ketika ia berada di Mesir dan Baghdad. Pada masa itu ia memperhatikan konteks gerakan nasionalisme, Islamisme dan gerakan Islam radikal, sehingga ketika ia sudah di Indonesia, ia lalu berusaha menangkal gerakan-gerakan (sosial dan pendidikan) keagamaan yang dipandang mengancam eksistensi kemanusiaan. Yang diperjuangkan oleh Abdurrahman Wahid adalah perjuangan kemanusiaan, yang dibungkus dalam wacana
demokrasi,
pluralisme,
dan
nasionalisme.
Upaya
memperjuangkan
nasionalisme itu jelas sekali ketia ia berjuang keras untuk mengembalikan Organsasi NU ke khittah 1926 dan sekaligus bersama KH Ahmad Siddiq juga merumuskan bagaimana Pancasila sebagai ideologi kenegaraan dan kebangsaan adalah sah dan sudah final, sebagai titik temu dan kompromi dari keberagaman budaya di Indonesia. Selain berjuang untuk NU, Abdurrahman Wahid juga memperjuangkan kemajuan dan keselamatan semua kalangan, terutama kalangan tertindas, minoritas.17
Prinsip Falsafah Pendidikan Islam KH Abdurrahman Wahid Falsafah egaliter dan kebebasan dalam tradisi pendidikan Islam dapat disimak dari sabda Nabi Muhammad saw yang mengajarkan bahwa;”siapa saja muslim yang 14
Ibid. Barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia…, hlm. 326-327. 16 Abuddin Nata, Tokoh-tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, Ahmad Sulhi Chotib (eds), (Jakarta: Gramedia, 2005), hlm. 340. 17 Rifai, Gus Dur...., hlm. 42. 15
Afkarina | Vol. 1 No. 2 Oktober 2014 – Pebruari 2015
| 72
menyakiti (atau membunuh) non-muslim yang tidak bersalah, maka ia tidak akan memiliki kesempatan sedikit-pun untuk mendapatkan bau Surga. Lindungi mereka”. Lebih dari itu, Nabi menyatakan bahwa: “Aku sendiri akan merasakan atas beban yang ia (non-muslim) pikul atau kerugian apa-pun dari yang dimilikinya”.18 Tahapan-tahapan pendidikan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad saw ini memiliki nilai filosofis yang begitu mendalam bagi dinamika dan kemajuan peserta didik, yakni pertama-tama, Nabi membangun membangun sarana pendidikan berupa masjid yang terbukti sangat kondusif dan mampu mendorong peserta didik untuk belajar dan mengamalkan ilmunya. Dengan adanya sarana pendidikan berupa masjid itu, para sahabat sebagai peserta didik tidak hanya mengetahui pengetahuan agama, tetapi sekaligus masjid itu sebagai laboratorium tempat praktek ilmu agama itu. Kedua, falsafah pendidikan Islam mengajarkan kepada peserta didik untuk bersikap ramah dan santun kepada sesama dan kepada gurunya, sehingga pendidikan Islam menandaskan bahwa ilmu peserta didik tidak akan berguna, apabila seorang peserta didik tidak menghargai dan menghormati gurunya. Ketiga, falsafah pendidikan Islam juga mengajarkan kepada peserta didik untuk membangun dan memelihara persaudaraan serta kerjasama antara sesama tanpa adanya diskriminasi atas nama jenis kelamin, ras, golongan maupun agama. Semua peserta didik diberi hak dan tanggung jawab yang sama untuk membangun dan meningkatkan prestasi belajarnya.19 Dalam pandangan Abdurrahman Wahid, gagasan pendidikan Islam yang ideal tersebut sekarang mengalami keredupan karena adanya arus besar pemikiran pendidikan (Islam) yang apologetik dan rigid, hanya mengajarkan pelajaran yang terlalu ideal dengan mengambarkan bahwa pelajaran agama yang menjelaskan kebahagiaan hidup duniawi dan ukhrawi, dunia yang mana merupakan kota Tuhan (civitas Dei) yang masih jauh dari jangkauan masa kini. Wawasan pendidikan agama ini menjauhkan peserta didik -dari generasi umat Islam- dari kebutuhan dan persoalan aktualnya yang memerlukan keahlian dan profesionalitas. Wawasan pendidikan agama ini pada dasarnya sudah tidak relevan lagi dengan perkembangan hidup manusia, bahkan bertentangan dengan realitas faktual yang plural di masa kini. Muatan 18
Momoon al-Rasheed, “Islam, Anti-Kekerasan, dan Transformasi Sosial”, dalam buku, Islam and Nonviolence, Glenn D. Paige, Chaiwat Satha-Anand dan Sarah Gailiatt (ed) yang diterjemahkan oleh M. Taufiq Rahman dengan Judul, Islam tanpa Kekerasan, (Yogyakarta: LkiS, 1998), hlm.121 19 Abdul Adhim Ma’ani dan Ahmad Ghandari, Ahkam min al-Qur’an wa al-Sunnah, (Makkah: Dar al Ma’arif, 1967), hlm 311-2.
Afkarina | Vol. 1 No. 2 Oktober 2014 – Pebruari 2015
| 73
pendidikan agama Islam yang seharusnya diimbangi dengan wawasan budaya tidak berimbang, sehingga pendidikan agama Islam kebanyakan bersifat top down yang berarti mengkebiri dan mengekang kreatifitas dan potensi peserta didik. Di sinilah pentingnya falsafah pendidikan KH Abdurrahman Wahid yang mengkritisi wawasan pendidikan Islam yang lahir bukan untuk mendukung kemajuan dan dinamika hidup manusia, tetapi justru berperan membungkan dan mengebiri kreatifitas peserta didik.20 Praktek pendidikan Islam kebanyak menjadi sarana rekayasa yang mengarahkan seseorang/peserta didik untuk mengikuti dan menyakini kebenaran yang didapatkan lewat kerangka berpikir keilmuan yang dihasilkan. Kerangka ini menjadikan seseorang tidak mampu keluar dari jeratan pemahaman ilmu yang didapatkan dari lembaga pendidikan. Indoktrinasi mendominasi dan memaksakan kemauan ide-ide edukatif tanpa memperhatikan aspek kebutuhan dan aspirasi pengguna jasa pendidikan. Pendidik membentuk pribadi peserta didik dan pengguna jasa pendidikan sesuai dengan citra pendidik. Karena itu pengguna jasa pendidikan dirampas dari kata-kata, pikiran, bahasa, pengalaman hidup dan kebudayaannya, agar mudah diserbu dan diisi dengan nilai-nilai dan benda-benda asing yang cocok dengan kepentinggan pendidik.21 Dalam menanggapi kecenderungan ekslusifitas falsafah pendidikan Islam tersebut, KH Abdurrahman Wahid mengatakan bahwa pendidikan Islam tidak boleh hanya berpijak normativitas pendidikan lama yang becorak doktriner dan ke-Arab-an yang sudah pasti tidak akan sesuai dengan budaya bangsa Indonesia. Karena itu, ia menandaskan pentingnya merumuskan falsafah pendidikan Islam yang berwatak budaya keindonesiaan.22
Nilai-Nilai Humanis, Kultural dan Filosofis Pendidikan Pesantren Islam telah menyebar di Jawa melalui proses pendidikan yang tidak mudah, penuh tantangan dan secara bertahap.tahapan tersebut dapat dibagi dua gelombang: gelombang pertama adalah proses pendidikan melalui pengislaman orang Jawa menjadi orang Islam sekedarnya, yang selesai pada abad ke 16. Gelombang kedua 20
Barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia…, hlm. 366. Ahmad Ali Riyadi, “Studi Islam Dan Radikalisme Pendidikan Dalam Konteks Masyarakat Majemuk” dalam Makalah ACIS DIKTIS DEPAG RI, hlm. 1 22 Abdurrahman Wahid, “Islam di Asia Tenggara”, dalam Abu Zahra ed. Politik Demi Tuhan, (Jakarta: Pustaka Hidaya, 1999), hlm. 195-197. 21
Afkarina | Vol. 1 No. 2 Oktober 2014 – Pebruari 2015
| 74
adalah proses pemantapan pendidikan keagamaan mereka untuk betul-betul menjadi orang Islam yang taat, yang lambat tetapi pasti mengantikan kebiasaan lamanya, hampir menyeluruh walaupun tidak sempurna; misalnya, syariah Islam belum pernah diterapkan secara menyeluruh di Jawa.23 Pada masa pemerintahan Sultan Demak dan Pajang dan pada masa pemerintahan Sultan Agung Mataram, kerajaan-kerajaan tersebut melancarkan proses Islamisasi. Namun, pada masa pemerintahan kolonial Belanda, proses pemantapan pendidikan dan pembentukan masyarakat yang betul-betul taat kepada ajaran (fikih) Islam mengalami hambatan, karena pembatasan Belanda. Namun demikian, kekuatan Islam sebagai gerakan pendidikan dan perlawanan terhadap Belanda terus bertahan. Ketika peran sosial pendidikan, kutlural dan politik Islam di di kota-kota Jawa dibatasi, maka pusat pendidikan Islam pindah ke desa-desa, dalam konteks ini pesantren yang dikembangkan oleh para Kyai.24 Dalam tradisi pendidikan Pesantren, al-Qur’an dan Hadits yang penuh makna simbolik disampaikan melalui proses dan alat keilmuan yang lengkap, sehingga memerlukan para imam dan ulama terpilih. Setelah Nabi wafat, para sahabat Nabi adalah penerjemah al-Qur’an dan Hadits yang terpercaya, kemudian diikuti oleh para tabîn (pengikut sahabat), tabi’ al-tabîn (pengikut tabi’in) dan kemudian ulama besar. KH Hasyim Asy’ari menyatakan: ”Sesungguhnya ummat Islam telah sepakat dan serujuk bahwasanya agar untuk dapat memahami, mengetahui dan mengamalkan syari’at Agama Islam dengan benar, harus mengikuti orang-orang yang terdahulu”. ”Para tabîn di dalam menjalankan syari’at mengikuti atau berpegang kepada amaliah para sahabat Rasulullah. Sebagaimana generasi setelah tabi’in mengikuti para tabi’in, maka setiap generasi selalu mengikuti generasi sebelumnya”. ”Akal yang waras menunjukkan kebaikan sistem demikian ini. Karena syari’at Agama Islam tidak dapat diketahui, kecuali dengan jalan memindahkan dari orang yang terdahulu dan mengambil pelajaran, ketentuan atau patokan dari orang-orang terdahulu itu.”25 Karakter Kyai pesantren tersebut mempengaruhi falsafah pendidikan pesantrennya dimana pesantren kemudian menjadi lembaga pendidikan yang memiliki watak yang terlalu longgar, merakyat, dan individualistik, sehingga masa depannya 23
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi Pandangan Hidup Kyai, (Jakarta: LP3ES, 1982), hlm. 12-13. Dhofier, Tradisi Pesantren..., hlm. 13. 25 Dhofier, Tradisi Pesantren..., hlm. 151. 24
Afkarina | Vol. 1 No. 2 Oktober 2014 – Pebruari 2015
| 75
kurang menentu. Dengan demikian, sistem pendidikan di pesantren lalu mengalami krisis identitas luar biasa. Di satu pihak, pesantren tetap memiliki watak populisnya, karena elastisnya program pendidikan individual yang sudah berlangsung selama berabad-abad. Di pihak lain, pesantren memiliki watak elitis yang cukup kuat.26 Dalam
konteks
yang dilematis tersebut,
KH Abdurrahman Wahid
menawarkan masa depan optimistik. Menurutnya, pendidikan pesantren bukan saja akan mendapatkan tempat di wilayah pendidikan keagamaan, tetapi juga harus menyumbangkan sesuatu dengan menyediakan sistem nilai dan kerangka moral pada masyarakat. Nilai-nilai pendidikan yang harus ditanamkan di pesantren tersebut adalah sebagai berikut: Pertama, rasa kasih sayang kepada sesama makhluk hidup dalam arti luas dan dinamis. Termasuk dalam rasa kasih itu adalah kemampuan memahami pendirian orang lain, baik seagama maupun tidak. Falsafah pendidikan ini memiliki muatan keilmuan yang inklusif-toleran yang memiliki relevansi cukup signifikan dengan kepentingan kemajemukan hidup berbangsa. Kedua, berpegang pada nilai-nilai yang menetap (normatif) yang mampu membedakan antara yang benar dan salah, baik dan buruk, antara yang boleh dan tidak boleh. Falsafah pendidikan ini mengajarkan akan adanya objektifitas dan sportifitas. Ketiga, menyadari kemampuan serba terbatas dari manusia sebagai makhluk, dihadapan sang pencipta. Kesadaran demikian membawa kepada kemampuan memperlakukan hasil karyanya sebagai hal yang wajar. Hal ini akan menghindarkan seorang peserta didik (murid) dari sikap fanatik yang berlebihan dan sekaligus akan mudah menghargai pendirian orang lain.27 Bahkan Nabi menegaskan pentingnya pendidikan yang berbasis moderasi sebagaimana firman Allah swt: َﷲَ ﯾَ ْﮭﺪِي ﻣَﻦْ ﯾَﺸَﺎ ُء َوھُ َﻮ أَ ْﻋﻠَ ُﻢ ﺑِﺎ ْﻟ ُﻤ ْﮭﺘَﺪِﯾﻦ ﻚ َﻻ ﺗَ ْﮭﺪِي ﻣَﻦْ أَﺣْ ﺒَﺒْﺖَ َوﻟَﻜِﻦﱠ ﱠ َ إِﻧﱠ Artinya : Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk (Q.S: alQashshash [28]: 56). Di satu sisi pendidikan pesantren mengalami kesulitan dalam menghadapi perubahan situasi dan kondisi lantaran wataknya yang khas dan personal, tetapi pada sisi lain kapasitas pendidikan pesantren sebagai agen independen dalam 26 27
Barton, Gagasan Islam Liberal..., hlm. 349. Barton, Gagasan Islam Liberal..., hlm.350-355.
Afkarina | Vol. 1 No. 2 Oktober 2014 – Pebruari 2015
| 76
perubahan sosial dilihat KH Abdurrahman Wahid sebagai kekuatan terbesar dari sistem pendidikan pesantren dalam dunia pendidikan Islam: Perbedaan fungsi historis dalam perkembangan dari masa ke masa itu tercermin pula dalam latar belakang kultural pesantren. Jika di masa kehidupannya pesantren berfungsi sebagai instrumen Islamisasi, terutama dengan menggunakan gerakan tarekat, maka pada masa perlawanan terhadap kolonial pesantren secara kultural berfungsi sebagai benteng pertahanan menghadapi penetrasi kebudayaan luar, terutama dalam paroh kedua abad yang lalu. Fungsi yang sedemikian itu menghendaki adanya proses ”pemurnian” agama dalam batas-batas tertentu, dimulai dari penonjolan aspek syara’ (formalisme hukum agama) di pesantren di abad yang lalu. Para ulama terkemuka merasa terdorong untuk mulai menghadapkan aspek syara’ kepada aspek mistik dari kehidupan beragama Islam pada masa itu, seperti dilakukan oleh Syekh Nawawi Banten, Syekh Mahfudz Termas dan di penghujung abad yang lalu Syekh Hasjim Asj’ari. Proses pemurnian serba terbatas ini sedikit sekali mendapatkan sorotan para ahli tentang studi Indonesia, karena teraling oleh proses pemurnian lain yang terjadi setelah itu, yaitu dengan munculnya pengikut-pengikut Syekh Abduh di sini, tetapi sebenarnya ia memberikan gambaran menarik akan perpindahan fungsi kultural pesantren, dari dominasi kaum tarekat menjadi dominasi kaum syara’ atas kehidupan beragama Islam.28 Perubahan fungsi kultural ini menghasilkan gemanya pula dalam perubahan mendalam yang terjadi atas pola pendidikan agama dan pendayagunaannya dalam kehidupan masyarakat. Kalau tadinya pendidikan di pesantren hanya ditekankan pada penguasaan peralatan yang cukup untuk kebutuhan beribadat intensif dalam mendekatkan diri kepada Allah, dalam masa penonjolan aspek syara’ itu pendidikan lalu memiliki fungsi kemasyarakatan yang lebih luas: ia dipergunakan untuk melakukan transformasi kultural secara total.29 KH Abdurrahman Wahid melihat bahwa pesantren memiliki kekuatan yang luar biasa besar dalam menjaga etos sosial dan sistem nilai (syara’) secara kokoh, juga memupuk sub-kultur budaya kemjemukan bangsa walaupun kini pesantren sebagai warisan orisinal pendidikan Islam perlu melakukan pembaruan dalam menjawab perkembangan situasi dan kondisi terbaru masa kini.30 Program pendidikan yang menekankan pentingnya pemberian wawasan yang toleran cukup mendapat porsi yang besar dari KH Abdurrahman Wahid, karena ia sadar bahwa keharmonisan dan kebersamaan antarumat beragama dalam kemajemukan 28
Barton, Gagasan Islam Liberal..., hlm. 352-353. Barton, Gagasan Islam Liberal..., hlm. 352-353. 30 Barton, Gagasan Islam Liberal..., hlm. 360. 29
Afkarina | Vol. 1 No. 2 Oktober 2014 – Pebruari 2015
| 77
bangsa merupakan tantangan yang berat yang memerlukan investasi melalui proses pendidikan terhadap generasi muda harapan masa depan bangsa. Sebab, fenomena konflik yang marak akhir-akhir ini, menurut pandangan KH Abdurrahman Wahid, karena adanya kecenderungan arah pendidikan agama yang mendangkalkan wawasan keagamaan. Dalam sejarahnya, pendidikan agama yang mendangkalkan wawasan keberagamaan umat pada dasarnya sudah terjadi sejak lama dimulai sejak terjadinya interaksi antara Islam Indonesia dengan Islam dari mancanegara, terutama Timur Tengah, melalui proses pendidikan dan pengajaran agama. Pendidikan Islam di sana sudah dijadikan ideologi atau komoditas politik, baik komoditas yang mendindas maupun yang tertindas. Ini terjadi mulai dari Arab Suadi, Aljazair, Sudan, Maroko, Iran, dan Irak. Pendidikan Islam di sana merupakan ajang pertarungan yang tidak pernah berhenti, dimana konfrontasi dengan yang lain secara terbuka dan lugas. Pendidikan Islam di sana dijadikan sebagai kendaraan untuk melakukan tindak kekerasan dan menjaga kepentingan kelompok dan politik tertentu.31 Sementara itu, pendidikan Islam, tepatnya ajaran agama Islam, di Indonesia berbeda jauh dari Islam di Timur Tengah. Pendidikan Islam di Indonesia paling toleran, relatif tidak ada yang provokatif, dan karenanya tidak ada kekhawatiran apa pun. Namun akibat dari model pendidikan dan sistem pendidikan dakwah selama 40 tahun terakhir ini, maka muncullah beragam kecurigaan terhadap agama lain lantaran selalu ada kekhawatiran yang tidak beralasan. Hal ini terjadi lantaran dua hal: Pertama, masa transisi dari tradisional kepada model kehidupan modern yang plural, sehingga mereka selalu khawatir akan teralihkan dari agama Islam kepada agama lain. Kedua, Islam dijadikan ajang politik untuk menghadapi kepentingan politik dan bendera politik yang digunakan kelompok lain.32 Pendidikan yang memberikan wawasan toleran dengan kelompok non-Muslim banyak dikritik. Kritik itu kemudian menyitir ayat al-Qur’an yang mengatakan: ”seharusnya pengikut dari Nabi Muhammad itu keras terhadap orang kafir dan santun kepada sesamanya (Q.S.al-Fath: 48; 29)”.33 Kritik itu cukup serius, tetapi kesalahannya pun juga cukup serius. Ia menyatakan bahwa yang dimaksud keras kepada orang kafir dalam ayat itu bukan kepada kaum non-Muslim, tetapi kaum kafir yang memerangi 31
Abdurrahman Wahid, ”Dialog dan Masalah Pendangkalan Agama”, dalam Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF (eds), Passing Over Melintasi Batas Agama, (Jakarta: Gramedia, 1998), hlm. 51. 32 Ibid., hlm. 52. 33 Lihat Q.S. al-Fath: 48: 29: ْﺷﺪﱠا ُء َﻋﻠَﻰ ا ْﻟ ُﻜﻔﱠﺎ ِر رُﺣَ ﻤَﺎ ُء ﺑَ ْﯿﻨَﮭُﻢ ِ َﷲِ وَاﻟﱠﺬِﯾﻦَ َﻣ َﻌﮫُ أ ﻣُﺤَ ﱠﻤ ٌﺪ َرﺳُﻮ ُل ﱠ
Afkarina | Vol. 1 No. 2 Oktober 2014 – Pebruari 2015
| 78
agama Islam (dalam hal ini, kaum kafir Makkah). Sedangkan kata ”santun kepada sesamanya” esensinya bukan menyayangi secara membabi buta tetapi justru terletak pada sikap dimana kita bisa saling mengoreksi dan bejalar sesama orang Islam.34 Apalagi proses pendidikan itu kemudian dilegitimasi dengan ayat lain yang diutarakan secara literal yang seolah-olah mengesankan permusuhan dan perlawanan, seperti bunyi ayat berikut: ”Wahai Muhammad, sesungguhnya orang-orang Yahudi dan Kristen tidak akan rela kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka” (Q.S.: al-Baqarah: 2: 120)35, maka akan semakin memperumit permasalahan. Sebab, kata ”tidak rela” di sini dianggap melawan atau memusuhi, lalu dikaitkan dengan pembuatan gereja, penginjilan, pengabaran penginjilan dan lain sebagainya. Pokok permasalahan ini pada hakikatnya memiliki arti yang berbeda satu sama lainnya. Sebab, kalau pendidik mau memahami arti ayat tersebut secara proporsional, maka pada hakikatnya yang tidak bisa diterima adalah konsepsi dasar keimanan mereka. Hal itu wajar karena masing-masing agama memiliki pijakan dasar pendidikan keagamaan yang berbeda. KH Abdurrahman Wahid lalu memberikan ilustrasi berikut: ”Tidak rela itu artinya tidak bisa menerima konsep-konsep dasar. Itu pasti. Ibarat seorang gadis muda dipaksa kawin dengan seorang kakek, dia pasti tidak akan rela. Artinya, dia tidak bisa menerima konsep dasar bahwa dia akan bahagia kalau kawin dengan kakek itu. Tetapi belum tentu dia melawan atau memusuhi. Dia jalani itu, meskipun tidak rela-seperti Siti Nurbaya yang dipakasa kawin dengan Datuk maringgih”.36 KH Abdurrahman Wahid mengajarkan bahwa orang-orang Yahudi dan Kristen tidak bisa menerima konsepsi dasar pendidikan keimanan agama Islam. Hal itu sudah pasti. Artinya, umat Islam juga tidak mungkin menerima konsepsi dasar pendidikan keimanan mereka (umat Yahudi dan Kristen). Dengan demikian, perbedaan itu bukan berarti permusuhan. Marilah mengecek data di kalangan umat Kristen. Di antara butir-butir Konsili Vatikan II tahun 1965 Paus Yohanes ke-23 menyatakan: ”Kami para uskup yang berkumpul di Vatikan dengan ini menyatakan rasa hormat yang setulus-tulusnya dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada pencarian kebenaran abadi menurut cara
34
Ibid., hlm. 53; Abdurrahman Wahid, “Islam dan Hak Asasi Manusia” dalam Abdurrahman Wahid, Islamku, Islam Anda, Islam Kita…, hlm. 123. 35 Lihat Q.S. Al-Baqarah: 2: 120: َوﻟَﻦْ ﺗَﺮْ ﺿَﻰ َﻋ ْﻨ َﻚ ا ْﻟﯿَﮭُﻮ ُد و ََﻻ اﻟﻨﱠﺼَﺎرَى ﺣَ ﺘﱠﻰ ﺗَﺘﱠﺒِ َﻊ ِﻣﻠﱠﺘَﮭُ ْﻢ 36 Abdurrahman Wahid, ”Dialog Agama dan Masalah Pendangkalan Agama”, dalam Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF, ed, Passing Over: Melintasi Batas Agama, (Jakarta : Gramedia, 2001), hlm. 53-54.
Afkarina | Vol. 1 No. 2 Oktober 2014 – Pebruari 2015
| 79
masing-masing. Tetapi kami tetap meyakini bahwa kebenaran abadi itu terletak di lingkungan Gereja Katolik Roma”.37 KH Abdurrahman Wahid kemudian mengutarakan pentingnya falsafah pendidikan agama yang berwawasan inklusif-pluralis. Sebab, dalam konteks Indonesia, pluralitas yang tinggi dalam kehidupan bangsa ini, membuat bangsa hanya bisa bersatu dan kemudian mendirikan negara, kalau masing-masing pemeluk agama mengajarkan pendidikan agama yang berwawasan inklusif-plurais. Pemikiran ini mengandaikan bahwa pendidikan yang berwawsan monolitik/monokultural ini tidak mungkin bisa diwujudkan di negara yang plural ini, sehingga fungsi pendidikan keagamaan seharusnya mengambil peran kultural yang optimal sesuai pesan agama yang sempurna dan komprehensif.38 Inilah yang dimaksud firman Allah: اﻹﺳ َْﻼ َم دِﯾﻨًﺎ ِ ْ ﺿﯿﺖُ ﻟَ ُﻜ ُﻢ ِ ا ْﻟﯿَﻮْ َم أَ ْﻛ َﻤﻠْﺖُ ﻟَ ُﻜ ْﻢ دِﯾﻨَ ُﻜ ْﻢ َوأَ ْﺗ َﻤﻤْﺖُ َﻋﻠَ ْﯿ ُﻜ ْﻢ ﻧِ ْﻌ َﻤﺘِﻲ َو َر Artinya: Hari ini telah Ku-sempurnakan bagi kalian agama kalian dan Ku-sempurnakan bagi kalian (pemberian) nikmat-Ku dan Ku-relakan bagi kalian Islam sebagai agama. (Q.S. al-Ma’idah [5]: 3). 39 Falsafah pendidikan agama yang disuarakan KH Abdurrahman Wahid kemudian dilanjutkan oleh kalangan Muda NU, yakni Jaringan Islam Liberal (JIL) yang memperjuangkan pendidikan keagamaan yang membebaskan. Ide pendidikan yang menawarkan wawasan kebebasan beragama dan bependapat mengandaikan adanya pembatasan yang proporsional terhadap aktivitas individu. Perbedaan dapat muncul seperti aneka warna bunga dalam taman, ketika ada jaminan bahwa, sampai batas tertentu, keberadaan mereka tidak diganggu oleh yang lain.40 Pendidikan agama yang berwawasan inksluf-pluralis ini sangat penting karena akan mampu melahirkan sikap penghargaan dan penghormatan terhadap pluralitas dan kerjasama antara agama sebagaimana tampak ketika para pendiri negara sedang merumuskan Pancasila. Mereka yang mayoritas Muslim memiliki sikap yang terbuka dan melapangkan dada untuk menghargai dan menghormati keyakinan agama lain. 37
Abdurrahman Wahid, ”Dialog Agama dan Masalah Pendangkalan Agama”, dalam Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF, ed, Passing Over..,hlm. 54. 38 Abdurrahman Wahid, ”NU dan Negara Islam (1)”, dalam Abdurrahman Wahid, Islamku, Islam Anda, Islam Kita...., hlm. 104. 39 Lihat tafsir Abdurrahman Wahid, ”NU dan Negara Islam (1)”, dalam Abdurrahman Wahid, Islamku, Islam Anda, Islam Kita...., hlm.309. 40 Saidiman, Kontekstualitas Islam Liberal. islamlib.com/id/artikel/kontekstualitas-islam-liberal. diakses 9 Agustus 2010
Afkarina | Vol. 1 No. 2 Oktober 2014 – Pebruari 2015
| 80
Fenomena sejarah ini menjadi bukti yang sangat otentik dan tidak terbantahkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sudah final dan tidak bisa diganggu gugat lagi oleh wacana pendidikan yang ekslusif-radikal. KH Abdurrahman Wahid mengemukakan:41 ”Kita tidak akan goyang dari konsep tauhid, tetapi kita menghargai pendapat orang lain. Dalam sejarah pun tercatat bagaimana pendiri negara kita dulu bisa menerima bahwa konsep ketuhanan yang lain punya hak di Indonesia. Padahal sebagian besar, yakni 5 dari 9 orang, adalah wakil-wakil (gerakan) Islam yaitu Ki Bagus Hadikusumo, Abdul Wahid Hasyim, Kahar Mudzakkar, Agus Salim, dan Ahmad Subardjo-belum termasuk Soekarno dan Muhammad Hatta, sebab keduanya sering dianggap tidak mewakili Islam. Sebegitu jauh sikap lapang mereka, sampai mengakui bahwa semuanya itu ber-Ketuhanan Yang Mahaesa. Tidak ada pengecualian satu pun di situ.”42 Falsafah pendidikan yang mampu menanamkan sikap penghargaan dan penghormatan terhadap agama lain menjadi agenda KH Abdurrahman Wahid untuk memperkukuh NKRI. Pemikiran pendidikan ini dapat dilacak ketika KH Abdurrahman Wahid menjabat Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Ia tidak hanya melakukan reformasi di tubuh PBNU, tetapi juga bersama KH Ahmad Siddiq melakukan transformasi proses pemahaman bahwa Pancasila adalah titik kompromi yang sudah tepat dan final bagi kondisi kemajemukan dan keragaman budaya dan pendidikan di Indonesia. Dalam konteks ini, NU yang banyak memiliki lembaga pendidikan pesantren menjadi organisasi sosial keagamaan pertama yang menerima Pancasila sebagai asas tunggalnya. Perjuangan KH Abdurrahman Wahid bagi NKRI menjadi prinsip dasar falsafah pendidikannya, sehingga ia selalu menaruk perhatian yang besar terhadap Bhineka Tunggal Ika sebagai bentuk dari pluralisme. Perjuangan bagi tengaknya Negara RI menjadi kunci utama setiap pemikiran dan gerakan
41
Deskripsi KH Abdurrahman Wahid mengenai hal tersebut sebagai berikut: ”Dalam Muktamar tahun 1935 di Banjarmasin, ada pertanyaan dalam bahtsul masa’il; wajibkah kaum muslimin di kawasan Hindia Belanda mempertahankan kawasan itu, sedang mereka diperintah oleh kaum non-muslim (para kolonialis Belanda)? Jawaban Muktamar; wajib, karena kawasan itu dahulunya memiliki kerajaan-kerajaan Islam, dan kini kaum muslimin dapat menerapkan ajaran agama itu secara bebas”. ”Keputusan Muktamar NU sepuluh tahun sebelum proklamasi kemerdekaan itu, meratakan jalan bagi pencabutan Piagam Jakarta dari Pembukaan UUD 1945 oleh para wakil organisasi-organisasi islam di negeri kita, seperti NU dan Muhammadiyah. Kalau pemimpin dari gerakan-gerakan Islam tidak mewajiban, berarti negara yang didirikan itu tidaklah harus menjadi negara Islam. Kalau demikian, Islam tidak didekati secara kelembagaan atau institusional, melainkan dari sudut budaya. Selama budaya Islam masih ada di negeri ini, maka Islam tidak akan mengalami kekalahan dan tidak harus ”diperhatankan” dengan tindakan kekerasan seperti terorisme.” Abdurrahman Wahid, ”NU dan Negara Islam (1)”, dalam Abdurrahman Wahid, Islamku, Islam Anda, Islam Kita...., hlm.307-308. 42 Abdurrahman Wahid, ”Dialog Agama dan Masalah Pendangkalan Agama”, dalam Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF, ed, Passing Over..,hlm. 54-55.
Afkarina | Vol. 1 No. 2 Oktober 2014 – Pebruari 2015
| 81
pendidikannya.43 Ia mengemukakan contoh perilaku pendidikan yang bersifat inklusifpluralis sebagai berikut: ”Dalam konteks politik Islam mutakhir, rumusan tersebut (relasi agama dan negara, pen.) sudah dirumuskan secara formal oleh Nahdlatul Ulama dalam Munas Alim Ulama NU di Situbondo tahun 1983 setahun sebelum muktamar berlangsung. Dikatakan bahwa Pancasila adalah asas dari Nahdlatul Ulama sedangkan Islam adalah aqidahnya. Jadi antara aqidah dengan asas dipisahkan. Dengan kata lain ada dualisme legetimitas. Ini diakui oleh organisasi sebesar NU yang memiliki begitu banyak kyai yang pintar baca kitab. Posisi dualistik ini sebenarnya meneruskan yang sudah ada selama ini. Artinya, negara jangan terlalu ngurusin agama; berikan saja legitimitas (para pemeluk) agama akan jalan sendiri, dan negara diberi legitimitas,silahkan jalan sendiri.”44 Apa yang dilajarkan KH Abdurrahman Wahid tersebut merupakan wujud perhatian yang besar terhadap wawasan pendidikan agama yang berwawasan keindonesiaan, sehingga ia selalu berusaha melakukan upaya transformasi ide-ide cemerlang pendidikannya ke dalam wujud budaya keindonesiaan. KH Abdurrahman Wahid melakukan perjuangan dan pendidikan agama di negeri ini berlandaskan prinsip kemanusiaan, sehingga segala bentuk penindasan dan ketidakadilan harus ditumpas, termasuk pelanggaran terhadap hak-hak warga kaum minoritas. Semua perjuangan itu berpijak pada Pancasila dan UUD 1945. Oleh karena itu, kebijakan pendidikan baginya merupakan distribusi semua kepentingan yang ada dalam warga masyarakat tanpa membedakan agama, ras, suku dan golongan.45 Gagasan membangun pendidikan yang membumi berbasis kesadaran kritis ini memandang sebab masalah dilihat dari sistem alam sebagai sumber masalah. Kesadaran ini memberikan ruang bagi peserta didik atau masyarakat akademis agar mampu mengidentifikasi permasalahan yang ada dan mampu melakukan analisis bagaimana sistem itu dibangun. Karena itu, pendidikan Islam diharapkan dapat mengarahkan peserta didik untuk melihat sistem yang membelenggu dirinya. Sebab, seringkali dijumpai dalam doktrin agama selalu menggunakan sistem pemahaman pengajaran agama dengan menggagas pendekatan konflik yang tanpa disadari telah mengarahkan pada eksklusivitas pemahaman agama Islam. Wacana iman versus kafir, 43
Rifai, Gus Dur...., hlm.103. Abdurrahman Wahid, ”Kebebasan Beragama dan Hegemoni Negara”, dalam Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF, ed, Passing Over..,hlm. 166. 45 Rifai, Gus Dur...., hlm. 104. 44
Afkarina | Vol. 1 No. 2 Oktober 2014 – Pebruari 2015
| 82
muslim versus non-muslim, surga versus neraka menjadi bahan kurikulum yang dogmatik tanpa bantuan analisis folsofis dan substansial terhadap materi pelajaran agama itu. Oleh sebab itu, pendidikan agama Islam pada saat ini harus melakukan reorientasi filosofis paradigmatik tentang bagaimana membentuk kesadaran peserta didik berwajah inklusif-pluralis tanpa harus menghilangkan kesadaran akan keyakinannya.46 Hal ini menurut KH Abdurrahman Wahid menunjukkan bahwa falsafah pendidikan agama harus sesuai dengan situasi dan kondisi apa pun, asal tidak melanggar prinsip-prinsip dasar agama tersebut. Hal ini menurutnya yang dimaksud dengan ungkapan pendidikan agama Islam tepat untuk segenap waktu dan tempat (shālihun likulli zamānin wa makānin).47 Ia juga mengajarkan bahwa seorang pendidik harus mengajarkan ilmu yang dimiliki, sebab seorang pendidik yang tidak mau mengajarkan ajaran agama Islam sesuai dengan asas-asas ajaran agama Islam dengan sebenarnya, maka si pendidik itu masuk kategori orang yang kafir –atau dalam variasi yang lain dinyatakan dzalim atau munafiq ( َﻚ ھُ ُﻢ ا ْﻟﻜَﺎﻓِﺮُون َ ِﷲُ ﻓَﺄ ُوﻟَﺌ ( َوﻣَﻦْ ﻟَ ْﻢ ﯾَﺤْ ُﻜ ْﻢ ﺑِﻤَﺎ أَ ْﻧ َﺰ َل ﱠQ.S. al-Ma’idah [5]: 44)48 Tidak ada alasan bahwa pendidikan Islam itu harus diterapkan dengan paksaan, sebab yang dikedepankan oleh pendidikan Islam adalah munculnya kesadaran beragama (al-wa’u al-diniyyah) melalui proses pendidikan itu. Misalnya, umat shalat Jum’at juga tidak ada undang-undang negaranya, melainkan karena itu diperintahkan oleh syari’at Islam sebagai sebuah kesadaran.49 Inilah alasan mengapa pendidikan yang diselenggarakan oleh NU lebih bersifat fleksibel karena lantaran bahwa pendidikan Islam itu harus berpijak pada falsafah kesadaran, bukan falsafah paksaan atau keterpaksaan, sehingga pendidikan yang diselenggarakan di kalangan NU mampu mengakomodasi setiap perkembangan situasi dan kondisi yang aktual yang dihadapi umat.50
46
Ahmad Ali Riyadi, “Studi Islam Dan Radikalisme Pendidikan Dalam Konteks Masyarakat Majemuk” dalam Makalah ACIS DIKTIS DEPAG RI, hlm. 5. 47 Abdurrahman Wahid, ”NU dan Negara Islam (1)”, dalam Abdurrahman Wahid, Islamku, Islam Anda, Islam Kita...., hlm. 102-103. 48 Abdurrahman Wahid, ”NU dan Negara Islam (1)”, dalam Abdurrahman Wahid, Islamku, Islam Anda, Islam Kita...., hlm. 102-103. 49 Abdurrahman Wahid, ”NU dan Negara Islam (1)”, dalam Abdurrahman Wahid, Islamku, Islam Anda, Islam Kita...., hlm. 102-103. 50 Abdurrahman Wahid, ”NU dan Negara Islam (1)”, dalam Abdurrahman Wahid, Islamku, Islam Anda, Islam Kita...., hlm. 104.
Afkarina | Vol. 1 No. 2 Oktober 2014 – Pebruari 2015
| 83
PENUTUP Nilai-nilai humanis, kultural dan filosofis pendidikan KH Abdurrahman Wahid selama ini pada dasarnya tidak lepas dari akar pemikiran pesantren yang kokoh walaupun ia seringkali tidak menggunakan dasar-dasar al-Qur’an dan Sunnah. Pemikiran pendidikan KH Abdurrahman Wahid memiliki akar yang kokoh dalam tradisi pesantren. Ia telah berhasil mewariskan pemikiran-pemikiran pendidikan yang berwawasan humanis, kultural dan filosofis dalam kehidupan kemajemukan hidup umat manusia. Gagasan pendidikan yang ingin ditawarkan adalah pengembangan wawasan keislaman yang menjadi penunjang perkembangan alam pembangunan nasional. Watak dinamis pendidikan itu dapat dikembangkan kalau pemikiran pendidikan Islam meletakkan titik berat perhatiannya pada masalah-masalah kongkrit dan memberikan penyelesaian bagi persoalan-persoalan hidup aktual yang dihadapi manusia.
Afkarina | Vol. 1 No. 2 Oktober 2014 – Pebruari 2015
| 84
DAFTAR PUSTAKA Budhy Munawar-Rachman (ed.), Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah, Jakarta: Paramadina, 1995 M. Amin Abdullah, Studi Agama: Normativitas dan Historisitas, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996 Riuh Di Beranda Satu, Peta Kerukunan Umaat Beragama di Indonesia, Jakarta: Depag RI, 2003 Ahmad Baidowi dkk (eds.), Rekonstruksi Metodologi Ilmu-ilmu Keislaman, Yogyakarta: Suka Press, 2003. Abdurrahman Wahid, Islamku, Islam Anda, Islam Kita: Agama Masyarakat Negara Demokrasi, Jakarta: The Wahid Institute, 2006 Greg Barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia: Pemikiran Neo-Modernisme Nurcholish Madjid, Djohan Efendi, Ahmad Wahid, dan Abdurrahman Wahid, terj. Nanang Tahqiq, Jakarta: Paramadina, 1999 KH Abdurrahman Wahid, Prisma Pemikiran Gus Dur, Yogayakarta: LKiS, 2000. John J. Donohue dan John L. Esposito (peny.), Islam dan Pembaruan: Ensiklopedi Masalah-masalah, terj. Machnun Husein, Jakarta: Rajawali Pers, 1995. Charles Kurzman (ed.), Wacana Islam Liberal: Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isu-Isu Global, terj. Bahrul Ulum, Jakarta: Paramadina, 2001 Muhammad Syahrur, Dirasah al-Islamiyah Mu’ashirah, Damaskus, 1994 Kazuo Shimogaki, Kiri Islam: Antara Modernisme dan Postmodernisme Telaah Kritis Pemikiran Hassan Hanafi, terj. M. Imam Aziz dan M. Jadul Maula, Yogyakarta: LKiS, 1997 Asghar Ali Engeneer, Islam dan Teologi Pembebasan, terj. Agung Prihantoro, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999. Muhammad Rifai, Gus Dur, KH Abdurrahman Wahid Biografi Singkat 1940-2009, Jakarta: Ar-Ruzz Media, 2010. Abuddin Nata, Tokoh-tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, Ahmad Sulhi Chotib (eds), Jakarta: Gramedia, 2005 Glenn D. Paige, Chaiwat Satha-Anand dan Sarah Gailiatt (ed) yang diterjemahkan oleh M. Taufiq Rahman dengan Judul, Islam tanpa Kekerasan, Yogyakarta: LkiS, 1998 Abdul Adhim Ma’ani dan Ahmad Ghandari, Ahkam min al-Qur’an wa al-Sunnah, Makkah: Dar al Ma’arif, 1967 Abu Zahra ed. Politik Demi Tuhan, Jakarta: Pustaka Hidaya, 1999. Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi Pandangan Hidup Kyai, Jakarta: LP3ES, 1982. Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF (eds), Passing Over Melintasi Batas Agama, Jakarta: Gramedia, 1998. Saidiman, Kontekstualitas Islam Liberal. islamlib.com/id/artikel/kontekstualitas-islamliberal. diakses 9 Agustus 2010
Afkarina | Vol. 1 No. 2 Oktober 2014 – Pebruari 2015
| 85