KONSEP PENDIDIKAN PLURALISME MENURUT ABDURRAHMAN WAHID DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM
SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Tugas dan Syarat guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Ilmu Pendidikan Islam
Oleh: Achmad Mustholih NIM: 063111064
FAKULTAS TARBIYAH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG 2011
1
2
3
4
ABSTRAK Judul : Konsep Pendidikan Pluralisme Menurut Abdurrahman Wahid dalam Perspektif Pendidikan Islam Nama : Achmad Mustholih NIM : 063111064 Skripsi ini membahas konsep pendidikan pluralisme menurut seorang tokoh pejuang pluralisme bernama Abdurrahman Wahid ditinjau dari sudut pandang Pendidikan Islam. Studi ini dimaksudkan untuk menjawab permasalahan: (1) Bagaimana Pemikiran Abdurrahman Wahid (Gus Dur) tentang Konsep Pendidikan Pluralisme? (2) Bagaimana Konsep Pendidikan Pluralisme menurut Abdurrahman Wahid dalam Perspektif Pendidikan Islam? Permasalahan tersebut dibahas melalui studi kepustakaan yang datanya diperoleh dari berbagai karya tulisan Abdurrahman Wahid terkait pendidikan pluralisme. Semua data penelitian dianalisis menggunakan pendekatan studi pemikiran tokoh yaitu dengan pendekatan sosio histories dan factual histories, penulis juga menekankan pada metode hermeneutika. Kajian ini menunjukkan bahwa: (1) Menurut Abdurrahman Wahid Konsep Pendidikan pluralisme merupakan suatu pendidikan untuk menerima perbedaan sebagai sunnatullah agar saling mengenal, menghindari perpecahan, mengembangkan kerjasama dengan menanamkan rasa saling pengertian, saling memiliki dan bersikap inklusif, tidak membatasi pergaulan dengan siapapun, namun tetap meyakini kebenaran agama sendiri dengan tidak mempersamakan keyakinan secara total. (2) Dalam perspektif pendidikan Islam, pemikiran Abdurrahman Wahid tentang Pendidikan pluralisme memiliki keserasian yaitu berorientasi pada terbentuknya kepribadian serta akhlak yang luhur dengan berdasarkan al-Qur’an dan al-Hadits, serta mengupayakan untuk menanamkan nilai-nilai toleransi pada peserta didik sejak dini yang berkelanjutan dengan mengembangkan rasa saling pengertian dan memiliki terhadap umat agama lain.
5
TRANSLITERASI
Penulisan transliterasi huruf-huruf Arab Latin dalam skripsi ini berpedoman pada SKB Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI. Nomor: 158/1987 dan Nomor 0543b/U/1987. Penyimpangan penulisan kata sandang (al-) disengaja secara konsisten supaya sesuai teks Arabnya. ا
a
ط
t
ب
b
ظ
z
ت
t
ع
‘
ث
s
غ
g
ج
j
ف
f
ح
h
ق
q
خ
kh
ك
k
د
d
ل
l
ذ
z
م
m
ر
r
ن
n
ز
z
و
w
س
s
<
h
ش
sy
ء
,
ص
s
ي
y
ض
d
Bacaan Madd:
Bacaan Diftong
ā
= a panjang
َْاو
= au
i
= i panjang
َْاي
= ai
ū
= u panjang
6
MOTTO ¨β)Î 4#( θþ ùè ‘u $èy Gt 9Ï ≅ Ÿ ←Í $! 7t %s ρu $/\ θèã © ä Ν ö 3 ä ≈Ψo =ù èy _ y ρu 4 \s Ρ&é ρu 9 .x Œs ΒiÏ /3 ä ≈Ψo ) ø =n z y $Ρ‾ )Î ¨ â $Ζ¨ 9#$ $κp ‰š 'r ≈‾ ƒt ∩⊇⊂∪ × 7Î z y Λî =Î ã t ! © #$ β ¨ )Î 4 Ν ö 3 ä 9) s ?ø &r ! « #$ ‰ y Ψã Ï /ö 3 ä Βt t 2 ò &r
“Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”1
Indahnya Perbedaan sebagai Rahmat Tuhan
1
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Jakarta: Al Huda Kelompok Gema Insani,2005), hlm. 518
7
PERSEMBAHAN
Skripsi ini khusus Ku persembahkan kepada Sang Guru Bangsa KH. Abdurrahman Wahid (alm.). Allâhummaghfir lahu warhamhu wa ‘âfîhi wa’fu’anhu
serta
Para Pecinta Pluralisme
8
KATA PENGANTAR Puji syukur ke hadlirat Allah SWT. Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, Pembimbing manusia menuju jalan yang lurus. atas segala limpahan rahmat, taufiq, hidayah serta inayahnya. shalawat serta salam semoga senantiasa terlimpahkan kepada beliau Nabi besar Muhammad SAW., keluarga dan para sahabatnya. Hanya dengan ridla dan pertolongan Allah-lah penulisan skripsi ini bisa terselesaikan. Akan tetapi penulis sadar bahwa pada seluruh pembahasannya masih terdapat kekurangan, baik yang menyangkut segi metodologi maupun analisisnya, hal ini penulis harapkan agar dapat dimaklumi sebagai akibat keterbatasan
kemampuan
penulis.
Maka
demi
kesempurnaannya,
kritik
membangun dari pembaca senantiasa penulis harapkan. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada semua pihak yang telah memberikan pengarahan, bimbingan dan bantuan apapun yang sangat besar artinya bagi penulis. Ucapan terima kasih ini terutama penulis sampaikan kepada : 1. Bapak Dr. Suja’i, M. Ag. selaku Dekan Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang, 2. Bapak Dr. H. Abdul Wahib, M. Ag. dan Bapak Syamsul Ma’arif, M. Ag. selaku dosen pembimbing yang telah bersedia meluangkan waktu, tenaga dan pikiran untuk memberikan pengarahan dalam penyusunan skripsi ini. 3. Bapak dan Ibu dosen beserta karyawan di lingkungan Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang yang telah membekali berbagai pengetahuan, sehingga penulis mampu menyelesaikan penulisan skripsi ini. 4. Bapak dan Ibuku yang tak hentinya mendo’akanku, pengorbananmu yang penuh keikhlasan sungguh berdampak luar biasa pada jiwaku. Kasih sayangmu semoga berbuah kebaikan di sisi Tuhanku. 5. Para Kiai dan Guruku yang telah membimbing, mengarahkan, mendidik dan mendo’akanku, menuntun ruhaniku ke jalan yang lurus menuju Tuhanku. Berkah ilmu darimu semoga berbuah kemanfa’atan bagi ummat.
9
6. Adik-adikku, simbahku, serta paman-pamanku yang selalu memberi semangat serta dorongan moril-materiil. Semoga Allah membalas dengan yang lebih baik 7. Keluarga besar santri Ponpes. Raudlatut Thalibin (PPRT) Tugurejo, Tugu, Kota Semarang, segenap jajaran pengurus tahun 2009/2010, teman seangkatan, seperjuangan, serta seluruh santri PPRT. Kalian semua adalah keluarga baru bagiku, orang-orang istimewa yang akan berkenang selalu dalam hidupku. Terima kasih atas semuanya. 8. Teman-teman seperjuangan di “Desa tercinta”, motivator yang tak pernah surut ditelan zaman. 9. Teman-teman seangkatan PAI B 2006, kebersamaan dalam kuliah, senda gurau, diskusi, serta jatuh bangun sampai proses skripsi semoga akan selalu terkenang manis dalam ikatan persaudaraan. 10. Teman-teman PPL, KKN, serta organisasi Nafilah, terima kasih atas segala bimbingan yang kau berikan. 11. Teman-teman di MTs dan SMU Robin yang akan terus tersambung tali silaturrahmi kita sampai kapanpun. 12. Gadis yang singgah di hatiku, terima kasih atas senyumanmu. Engkaulah inspirasiku. 13. Saudara-saudara yang belum kusebutkan namanya satu persatu, semoga Allah membalas jasa baikmu. Amiin... Hanya untaian rasa terima kasih yang tulus dengan diiringi do’a semoga Allah SWT membalas semua amal kebaikan mereka dengan sebaik-baik balasan. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Amin
Semarang, 01 Juni 2011 Penulis,
Achmad Mustholih NIM: 063111064
10
DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL ...................................................................................
i
PERNYATAN KEASLIAN .........................................................................
ii
PENGESAHAN ...........................................................................................
iii
NOTA PEMBIMBING ................................................................................
iv
ABSTRAK ..................................................................................................
v
TRANSLITERASI .......................................................................................
vi
MOTTO ....................................................................................................... vii PERSEMBAHAN......................................................................................... viii KATA PENGANTAR .................................................................................
ix
DAFTAR ISI ...............................................................................................
xi
BAB I:
PENDAHULUAN ...................................................................... 1 A. Latar Belakang Masalah......................................................... 1 B. Rumusan Masalah ................................................................. 8 C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian ............................. 8 D. Penegasan Istilah .................................................................. 9 E. Tinjauan Pustaka ................................................................... 10 F. Metode Penelitian ................................................................. 13 1. Jenis dan Pendekatan Penelitian ...................................... 13 2. Sumber-Sumber Data ...................................................... 14 3. Metode Analisis Data ...................................................... 15 G. Sistematika Pembahasan Skripsi ........................................... 15
BAB II : TINJAUAN
UMUM
TENTANG
PENDIDIKAN
PLURALISME DAN PENDIDIKAN ISLAM ......................... 18 A. Pendidikan Pluralisme .......................................................... 18 1. Pengertian dan Sejarah Munculnya Pluralisme ................ 18 2. Pengertian
dan
Sejarah
Munculnya
Pendidikan
Pluralisme ....................................................................... 22 3. Dasar dan Tujuan Pendidikan Pluralisme ........................ 25
11
B. Pendidikan Islam .................................................................. 40 1. Pengertian Pendidikan Islam ........................................... 40 2. Sumber atau Dasar Pendidikan Islam .............................. 44 3. Tugas dan Fungsi Pendidikan Islam ................................ 48 4. Tujuan Pendidikan Islam ................................................. 50 BAB III : PEMIKIRAN
ABDURRAHMAN
WAHID TENTANG
KONSEP PENDIDIKAN PLURALISME .............................. 52 A. Biografi Abdurrahman Wahid .............................................. 52 1. Biografi ......................................................................... 52 2. Karya-Karya Abdurrahman Wahid ................................ 60 3. Penghargaan-Penghargaan yang Diperoleh Abdurrahman Wahid ........................................................................... 63 B. Pemikiran Abdurrahman Wahid Mengenai Konsep Pendidikan Pluralisme ............................................................................. 65 1. Dasar Pemikiran Pluralisme Abdurrahman Wahid ........... 65 2. Pandangan Pluralisme Abdurrahman Wahid .................... 67 3. Cara Menyikapi Pluralisme ............................................. 68 4. Pluralisme Dalam Konteks Keindonesiaan ...................... 70 5. Aktualisasi Pemikiran Pluralisme Abdurrahman Wahid.. 73 BAB IV: ANALISIS TERHADAP PEMIKIRAN ABDURRAHMAN WAHID TENTANG KONSEP PENDIDIKAN PLURALISME DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM .................. 81 A.Analisis Tentang Konsep Pendidikan Pluralisme Menurut Abdurrahman Wahid ........................................................... 83 1. Terbentuknya Watak Pluralisme Abdurrahman Wahid .. 83 2. Konsep Pendidikan Pluralisme Abdurrahman Wahid .... 85 B. Konsep Pendidikan Pluralisme Menurut Abdurrahman Wahid Ditinjau dari Pendidikan Islam ............................................ 89 1. Maqashid al-Syari’ah
Sebagai
Prinsip Pendidikan
Pluralisme ..................................................................... 89
12
2. Konsep Pendidikan Pluralisme Menurut Abdurrahman Wahid Ditinjau dari Pendidikan Islam ........................... 92 C. Relevansi
Pemikiran
Abdurrahman
Wahid
dalam
Konteks Keindonesiaan ....................................................... 97 1. Indonesia adalah Negara Pancasila, Bukan Negara Islam ............................................................................. 97 2. Memperjuangkan Penegakan Demokrasi, HAM, dan Pluralisme di Indonesia ................................................. 100 3. Solusi bagi Permasalahan Kemajemukan di Indonesia ..... 105 BAB V:
PENUTUP................................................................................ 108 A. Simpulan ............................................................................ 108 B. Saran dan Penutup .............................................................. 109
DAFTAR PUSTAKA DAFTAR LAMPIRAN RIWAYAT HIDUP
13
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Menurut para ahli, masyarakat Indonesia adalah masyarakat majemuk atau plural society,2 dari segi etnis, misalnya ada suku melayu dan ada suku Melanesia yang selanjutnya membentuk seratus suku besar dan 1.072 sukusuku derivative besar dan kecil. Dari segi bahasa, terdapat ratusan bahasa yang digunakan di seluruh wilayah Nusantara. Dari segi pulau yang dihuni, terdapat sekitar 13.000 lingkungan kehidupan kepulauan. Dari segi sejarah politik lokal, terdapat puluhan bahkan ratusan sistem kerajaan kesukuan lama yang berpengaruh terhadap sistem stratifikasi sosial dan adat istiadat setempat sekarang. Dari segi mata pencaharian, terdapat keragaman antara kehidupan pedesaan dan perkotaan. Dari segi agama, terdapat sejumlah agama besar dunia dan sejumlah sistem kepercayaan lokal yang tersebar diseluruh wilayah Nusantara.3 Masyarakat semacam itu merupakan suatu fenomena unik dan menarik, tetapi juga bisa menjadi pangkal konflik seperti yang banyak terjadi sejak dahulu hingga kini. Di satu sisi keragaman dapat diterima oleh masyarakat sebagai sebuah keniscayaan yang disikapi dengan arif, namun di sisi lain ternyata menimbulkan masalah yang cukup kompleks. Pada hakikatnya, bangsa kita sebagai sebuah masyarakat heterogen yang sedang tumbuh, tentu sulit untuk mengembangkan saling pengertian yang mendalam antara beraneka ragam unsur-unsur etnis, budaya daerah, bahasa ibu, dan kebudayaannya. Paling tidak tentu saling pengertian tercapai 2 Setelah Indonesia merdeka, kemajemukan masyarakat Indonesia disebabkan oleh keadaan intern tanah air dan bangsa Indonesia sendiri. Golongan Eropa yang sebelum itu mempunyai kedudukan sangat penting di dalam masyarakat Indonesia kemudian terlempar keluar dari sistem sosial masyarakat Indonesia. Lihat Dr. Ichtijanto, “Masyarakat Majemuk dan Kerukunan Hidup Beragama”, dalam Prof. Atho Mudzhar, Meretas Wawasan dan Praksis Kerukunan Umat Beragama di Indonesia dalam Bingkai Masyarakat Multikultural, (Jakarta: Puslitbang Kehidupan Beragama, 2005), Cet. I, hlm. 47 3 Atho Mudzhar, Pengembangan Masyarakat Multikultural Indonesia dan Tantangan ke Depan (Tinjauan dari Aspek Keagamaan) dalam Atho Mudzhar, Meretas Wawasan dan Praksis Kerukunan Umat Beragama di Indonesia dalam Bingkai Masyarakat Multikultural, (Jakarta: Puslitbang Kehidupan Beragama, 2005), Cet. I, hlm. 1-2
14
barulah bersifat nominal belaka. Pola hubungan seperti itu dengan sendirinya tidak memiliki daya tahan yang ampuh terhadap berbagai tekanan yang datang dari perkembangan politik, ekonomi, dan budaya, sehingga kerukunan yang ada hanyalah kondisi yang rapuh. 4 Sering kali perbenturan dalam pluralisme yang mendapat sorotan tajam adalah mengenai pluralisme agama. Karena secara historis, di negara ini agama-agama besar berkembang dengan suburnya. Dan secara sosiologis, hubungan masing-masing agama sarat dengan berbagai dinamika, terkadang akomodatif dan terkadang konfrontatif. Pola hubungan akomodatif terjadi karena masing-masing umat dapat mengaktualisasikan ajaran agamanya dengan benar sekaligus para pemeluk agama menaati dan mengakomodir nilai-nilai budaya lokal. Sedangkan mencuatnya hubungan konfrontatif disebabkan oleh sifat dan watak umat beragama, termasuk pemahaman agama yang sempit serta adanya pengaruh provokasi dari luar. Yang selanjutnya menyebabkan kerusuhan yang bernuansa agama. Perbedaan sikap dan pandangan, apalagi perbenturan kepentingan dapat membuat ketenangan suasana sewaktu-waktu berubah menjadi kebalauan. Mereka yang tadinya saling menghormati, tiba-tiba dapat bersikap saling menyalahkan. Dua dasawarsa terakhir ini, Indonesia sedang ditandai oleh friksi dan tensi krusial dengan warna keagamaan, misalnya konflik Kristen-Islam di Poso, Maluku sampai Paling mutakhir dan paling menonjol dalam kurun tahun 2008 hingga awal 2011 adalah pada 1 Juni 2008 terjadi penyerangan oleh FPI (Front Pembela Islam) terhadap anggota AKKBB (Aliansi Kebebasan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan) yang tengah melakukan aksi di Monas, Jakarta. Pada 27 Juli 2010 masjid Syekh Ali Martaib di desa Lumban Lobu, Kec. Tapanuli Utara-Sumatera Utara dibakar oleh orang tak dikenal menjelang subuh, 06 Februari 2011 terjadi tragedi di Cikeusik, PandeglangBanten yaitu penyerangan terhadap Jama’ah Ahmadiyah yang menewaskan 4
Abdurrahman Wahid, Gus Dur Menjawab Perubahan Zaman, Kumpulan Pemikiran K. H. Abdurrahman Wahid Presiden ke-4 RI, (Jakarta: Kompas, 1999), Cet. II, hlm. 15
15
empat orang dan melukai lima orang, 08 Februari terjadi perusakan tiga Gereja di Temanggung Jawa Tengah oleh massa yang tidak puas karena terdakwa kasus penistaan agama Antonius Richmon hanya divonis lima tahun penjara, serta yang terakhir adalah penyerangan pesantren di Pasuruan oleh gerombolan bermotor pada 15 Februari 2011.5 Sebenarnya,
konflik-konflik
tersebut
tidak
selalu
berdasarkan
pertimbangan keagamaan, tetapi juga karena faktor kebangsaan, kesejarahan, kesenjangan sosial-ekonomi dan politik, hegemoni kultural, kekuasaan teritorial, dan sebagainya. Meskipun demikian, tampak bahwa pertimbangan religiusitas sedikit banyak mengandung semangat kebencian pemeluk suatu agama vis a vis pemeluk agama lainnya.6 Menurut Yenni Wahid7, kekerasan berbau SARA terjadi karena ada pihak-pihak yang ingin memecah belah bangsa Indonesia yang majemuk. Mereka membenturkan hal-hal yang berbeda, juga ada keinginan untuk memimpin ruang-ruang tertentu namun rela mengacaukan hubungan yang telah harmonis. Serta ada pula penyebab lain, terutama faktor ekonomi yang bisa menyebabkan seseorang menjadi frustasi lalu mudah ditawari untuk menjadi mujahid dengan mengikuti kelompok yang menjanjikan surga dan kemuliaan.8 Agama dewasa ini ditantang dan diuji oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sedemikian pesatnya,9 agama-agama besar
5
Fauzan Dj, “Kekalahan Negara atas Kekerasan Berlatar Agama”, Suara Merdeka, Semarang, 20 Februari 2011, hlm 4 6 Abdul Dubbun Hakim, “Islam, Inklusivisme, Dan Kosmopolitanisme”, dalam Abdul Dubbun Hakim, Menembus Batas Tradisi, Menuju Masa Depan yang Membebaskan, Refleksi atas Pemikiran Nurcholis Madjid (Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2006), hlm. 3-4 7 Yenni Wahid bernama asli Zannuba Arrifah Chafsoh, putri ke-2 KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) adalah Direktur The Wahid Institut 2004-sekarang. 8 Zannuba Arrifah Chafsoh, “Perangi Ahmadiyah Dengan Dakwah”, Suara Merdeka, Semarang, 20 Februari 2011, hlm. 2 9 Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi berasal dari munculnya revolusi industri yang berlangsung di beberapa masyarakat Barat terutama pada abad ke- 19 dan awal abad ke- 20. Revolusi industri bukanlah peristiwa tunggal, melainkan terdiri dari beberapa perkembangan yang saling terkait dan berpuncak pada transformasi dunia Barat dari sistem pertanian menuju sistem industri besar-besaran. Dengan munculnya pabrik-pabrik sebagai buah dari kemajuan teknologi. Lihat George Ritzer dan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2009), cet. II, hlm. 7
16
dunia, Yahudi, Kristen, dan Islam disadari ataupun tidak telah memasuki periode krisis yang akut dan berlangsung secara kontinyu. Krisis tersebut karena agama-agama sudah tidak mampu memberikan solusi-solusi alternatif bagi manusia modern dalam ragam masalah kehidupan mereka. Adanya keanekaragaman corak beragama adalah fenomena empiris historis yang tidak mungkin kita hindari. Berhadapan dengan realitas tersebut setiap umat beragama disapa untuk menyikapi adanya pluralitas tersebut tanpa mengambil sikap yang eksklusif, partikularis, dan intoleran dalam hidup di tengah-tengah kemajemukan. Sebenarnya, pluralitas keagamaan adalah sebuah kehendak Tuhan yang tidak akan berubah sehingga keberadaannya tidak mungkin ditolak atau ditawar.10 Sikap mental yang apresiatif dan inklusif terhadap adanya keanekaragaman agama tersebut sejalan dengan semangat nash al-Qur’an surat al-Hujurat: 13
¨βÎ) 4 (#þθèùu‘$yètGÏ9 Ÿ≅Í←!$t7s%uρ $\/θãèä© öΝä3≈oΨù=yèy_uρ 4s\Ρé&uρ 9x.sŒ ÏiΒ /ä3≈oΨø)n=yz $‾ΡÎ) â¨$¨Ζ9$# $pκš‰r'‾≈tƒ ∩⊇⊂∪ ×Î7yz îΛÎ=tã ©!$# ¨βÎ) 4 öΝä39s)ø?r& «!$# y‰ΨÏã ö/ä3tΒtò2r& Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.11 Jika dicermati secara mendalam, Allah SWT. Secara tegas menyatakan melalui firman-Nya tersebut bahwa terdapat kemajemukan di muka bumi ini. Adanya laki-laki dan perempuan serta perbedaan suku bangsa harus diterima sebagai kenyataan dan berbuat sebaik mungkin atas dasar keniscayaan tersebut. Bahkan kita disuruh untuk menjadikan pluralitas tersebut dengan berinteraksi sosial sebagai instrumen untuk menggapai kemuliaan di sisi Allah SWT.
10
Abdul Dubbun Hakim, op. cit. hlm. 9-10 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Jakarta: Al Huda Kelompok Gema Insani,2005), hlm. 518 11
17
Sejalan dengan firman tersebut, maka pluralitas umat meningkat menjadi pluralisme. Yaitu sistem nilai yang memandang optimis-positif terhadap keanekaragaman dan berbuat sebaik mungkin berdasarkan kenyataan itu. Dalam sejarah perkembangan agama Islam, diketahui bahwa hijrahnya Nabi ke Madinah bukan bertujuan untuk membentuk negara Islam, melainkan hanya untuk menjamin keamanan masyarakat agamanya serta demi kondisikondisi yang dibutuhkan bagi penyiaran agama Islam. Selain itu Nabi juga ingin mengimplementasikan perintah-perintah Allah SWT. di Makkah untuk diterapkan di Madinah. Di Madinah12, Nabi mengeluarkan sebuah Piagam13 yang menjamin kebebasan beragama orang-orang Yahudi sebagai suatu komunitas, dengan menekankan kerjasama seerat mungkin dengan sesama kaum Muslimin dan menyerukan kepada orang-orang Muslim dan Yahudi untuk bekerjasama demi keamanan mereka bersama.14 Pluralisme merupakan kenyataan bahwa dalam suatu kehidupan manusia terdapat keragaman suku, ras, budaya, dan agama. Keragaman itu bisa terjadi karena adanya faktor lingkungan tempat manusia hidup yang berbeda-beda. Lingkungan empat musim bagi seseorang akan membuat orang tersebut memiliki karakter dan pembawaan yang berbeda dengan orang yang hidup dalam lingkungan dua musim. Menurut Nurcholis Madjid, Pluralisme tidak dapat dipahami hanya dengan mengatakan bahwa masyarakat kita majemuk, beraneka ragam, terdiri dari berbagai suku dan agama15, yang justru hanya menggambarkan kesan 12
Masyarakat Madinah terkenal sebagai masyarakat plural, terdiri dari berbagai macam suku yang sering berselisih, bermacam agama dan kepercayaan, serta beraneka profesi penduduknya. 13 Teks Piagam Madinah ditetapkan bersama Sahabat Anshar dan beberapa Kepala Keluarga dari Makkah, teks tersebut terdiri dari 47 pasal. 14 Fazlur Rahman, Islam, (Bandung: Pustaka, 2000), hlm.13 15 Para ahli ilmu perbandingan agama membagi agama secara garis besar ke dalam dua bagian. Pertama, kelompok agama yang diturunkan oleh Tuhan melalui wahyu-Nya yang disebut sebagai agama samawi atau agama langit (antara lain; Islam, Yahudi dan Nashrani). Kedua, kelompok agama yang didasarkan pada hasil renungan mendalam dari tokoh yang membawanya sebagaimana terdokumentasikan dalam Kitab Suci yang disusunnya, agama demikian disebut sebagai agama ardli atau agama bumi (seperti; Hindu, Budha, Majusi, Konghucu, dsb.), lihat Abudin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2009), hlm. 119
18
fragmentasi, bukan pluralisme. Pluralisme juga tidak boleh dipahami sekedar sebagai “kebaikan negatif” (negative good), hanya ditilik dari kegunaannya untuk menyingkirkan fanatisme. Pluralisme harus dipahami sebagai pertalian sejati kebhinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban. Bahkan juga suatu keharusan bagi keselamatan ummat
manusia,
antara
lain
melalui
mekanisme
pengawasan
dan
pengimbangan yang dihasilkannya.16 Dengan demikian, hal tersebut menegaskan adanya masalah besar dalam kehidupan beragama yang ditandai oleh kenyataan pluralisme dewasa ini. Salah satu masalah besar dari paham pluralisme yang telah menyulut perdebatan abadi sepanjang masa menyangkut masalah keselamatan adalah bagaimana suatu teologi dari suatu agama mendefinisikan dirinya di tengah agama-agama lain.17 Dari uraian tersebut, menjadi nyata bagi kita bahwa masalah pokok dalam hal hubungan antarumat beragama adalah pengembangan rasa saling pengertian yang tulus dan berkelanjutan. Kita akan menjadi bangsa yang kukuh, kalau umat agama-agama yang berbeda dapat saling mengerti satu sama lain, bukan hanya sekedar saling menghormati. Yang diperlukan adalah rasa saling memiliki (sense of belonging), bukannya hanya saling bertenggang rasa satu terhadap yang lain.18 Sikap
mental
ini
kemudian
berubah
menjadi
eksklusivisme,
sektarianisme, dan intoleransi antarumat beragama sehingga terjadilah konflik-konflik dan perang atas nama agama. Realitas empirik inilah yang memprihatinkan kita semua. Namun, justru karena itulah dialog antaragama menjadi sangat penting.19 Kecenderungan sekelompok kecil umat Islam yang sering bersikap keras terhadap penganut agama lain menurut Abdurrahman Wahid merupakan proses pendangkalan agama. Pendangkalan ini muncul karena pengaruh
16
Budhi Munawwar-Rachman, Islam Pluralis, Wacana Kesetaran Kaum Beriman, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 39 17 Ibid, hlm. 40 18 Abdurrahman Wahid, op. cit, hlm. 16 19 Ibid, hlm. 4
19
politik Islam di Timur Tengah di mana Islam sudah dijadikan ideologi atau komoditas politik. Proses pendidikan dan dakwah Islam yang cenderung bersifat memusuhi, mencurigai, dan tidak mau mengerti agama lain merupakan faktor lain yang memperburuk hubungan antarumat beragama di Indonesia. Hal ini dilakukan baik oleh mubalig maupun guru-guru di sekolah. Padahal tidak ada ayat atau hadis nabi yang memerintahkan kaum Muslim bersikap keras demikian, apalagi terhadap agama-agama samawi.20 Pluralisme yang ditekankan Abdurrahman Wahid adalah pluralisme dalam bertindak dan berpikir. Pluralisme dalam bertindak mensyaratkan seseorang untuk tidak membatasi pergaulan dengan orang lain (eksklusif) meskipun berbeda keyakinan. Pluralisme dalam berpikir adalah kesediaan untuk menerima atau mengambil gagasan atau pemikiran dari kalangan lain. Sikap hidup yang demikian merupakan realisasi dari pandangan demokratis, toleran dan pluralistik Abdurrahman Wahid. Sikap itu pula yang bisa menjelaskan keluasan pergaulan dan wawasan Abdurrahman Wahid yang ternyata bersumber dari banyak sekali ajaran, nilai moral, dan budaya yang ada di dunia termasuk faktor pendidikan yang diterima di dalam keluarga dan pendidikan formal yang ditekuninya bahkan sampai kepada keaktifannya di berbagai organisasi kemasyarakatan. Oleh sebab itu, pendidikan yang sampai sekarang masih diyakini mempunyai peran besar dalam membentuk karakter generasi muda penerus bangsa, maka melalui sistem pendidikannya, sebuah pendidikan pluralisme akan sangat dibutuhkan serta dapat memelihara dan berupaya menumbuhkan pemahaman yang inklusif pada anak bangsa. Dengan suatu orientasi untuk memberikan
penyadaran
akan
pentingnya
sikap
saling
menghargai,
menghormati dan bekerja sama dengan agama-agama lain. Mencermati
realitas
tersebut,
pemikiran
mengenai
pentingnya
pendidikan pluralisme terutama bagi bangsa Indonesia yang majemuk menurut pandangan seorang tokoh yang sangat mengedepankan pluralisme, baik 20
Abdurrahman Wahid, “Dialog Agama dan Masalah Pendangkalan Agama,” dalam Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus (ed), Passing Over: Melintas Batas Agama, (Jakarta: Paramadina, 1998), hlm. 51-54
20
pemikirannya yang diaktualisasikan dalam bentuk tulisan di berbagai media, maupun bentuk sikap dan tindakan riil yang dilakukannya, entah itu ketika menjabat sebagai presiden, sebelum maupun sesudah menjabat, sangatlah menarik untuk dikaji.
Dan untuk penelitian ini, pemikiran Abdurrahman
Wahid tentang Pendidikan Pluralisme akan ditinjau dalam perspektif Pendidikan
Islam,
sehingga
penelitian
ini
diberi
judul
KONSEP
PENDIDIKAN PLURALISME MENURUT ABDURRAHMAN WAHID DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM. B. Rumusan Masalah Dari latar belakang masalah dan kerangka pemikiran di atas, terdapat beberapa permasalahan yang akan dikaji: 1. Bagaimana Pemikiran Abdurrahman Wahid (Gus Dur) tentang Konsep Pendidikan Pluralisme? 2. Bagaimana Konsep Pendidikan Pluralisme menurut Abdurrahman Wahid dalam Perspektif Pendidikan Islam? C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan penelitian Dari beberapa permasalahan di atas, maka tujuan penulisan skripsi ini adalah: a. Mengetahui pemikiran Abdurrahman Wahid (Gus Dur) tentang Konsep Pendidikan Pluralisme b. Mengetahui bagaimana Pemikiran Abdurrahman Wahid (Gus Dur) tentang Konsep Pendidikan Pluralisme jika dilihat dalam Perspektif Pendidikan Islam 2. Manfaat penelitian Harapan dari penulisan skripsi ini adalah agar bermanfaat dalam memberikan gambaran tentang Konsep Pendidikan Pluralisme untuk dijadikan pegangan sesama praktisi pendidikan yang sekiranya dapat memberikan sumbangsih dan kontribusi nyata dalam memecahkan
21
berbagai masalah berbau SARA yang bisa menimbulkan dampak ketegangan di antara kelompok, suku, serta pemeluk agama yang dihadapi oleh masyarakat plural, seperti di Indonesia. D. Penegasan Istilah Untuk menghindari kesalahan dalam mengartikan dan memahami pokok kajian penelitian ini, maka dirasa perlu untuk mengemukakan makna dan batasan-batasan istilah dalam judul tersebut agar mudah dipahami secara konkret dan lebih operasional. Adapun penjelasan tersebut adalah: 1. Konsep Istilah Konsep dalam Kamus Ilmiah Populer diartikan sebagai ide umum, pengertian, pemikiran, rancangan, serta rencana dasar21 2. Pendidikan Pluralisme Pluralisme berasal dari kata plural (Inggris) yang berarti jamak, dalam arti terdapat keanekaragaman dalam masyarakat. Dalam Oxford Advanced Learner’s Dictionary, Pluralisme diartikan sebagai keberadaan atau toleransi keragaman etnik atau kelompok-kelompok kultural dalam suatu masyarakat atau negara serta keragaman kepercayaan atau sikap dalam suatu badan, kelembagaan, dan sebagainya.22 Pendidikan Pluralisme merupakan pendidikan yang mengandaikan kita untuk membuka visi pada cakrawala yang semakin luas, mampu melintas batas kelompok etnis atau tradisi budaya dan agama sehingga kita mampu melihat kemanusiaan sebagai sebuah keluarga yang memiliki perbedaan maupun kesamaan cita-cita.23 3. Pendidikan Islam Pendidikan
Islam
mengandung
arti
upaya
membimbing,
mengarahkan, dan membina peserta didik yang dilakukan secara sadar dan
21
Pius A. Partanto dan M. Dahlan al Barry, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya: Arkola, 1994), hlm. 362 22 Syamsul Ma’arif, Pendidikan Pluralisme di Indonesia, (Jogjakarta: Logung Pustaka, 2005), hlm. 13 23 Ibid, hlm. 92
22
terencana agar terbina suatu kepribadian yang utama sesuai dengan nilainilai ajaran Islam.24 E. Tinjauan Pustaka Sejak menjabat sebagai Ketua PBNU, ketika Almarhum Abdurrahman Wahid diangkat menjadi Presiden, bahkan setelah wafatnya Beliau pada 30 Desember 2010 yang lalu, banyak pakar yang melakukan penelitian, pengumpulan berbagai tulisan-tulisan Beliau yang tercecer di surat kabar dan makalah-makalah, serta melakukan analisa tentang sikap, langkah kebijakan maupun pemikiran-pemikiran mantan Presiden RI ke-4 ini, baik itu pemikiranpemikiran Beliau tentang politik, ekonomi, budaya, agama, pesantren, dan sebagainya. Penelitian tentang Beliau memang sudah banyak dilakukan oleh beberapa pakar, misalnya; Al-Zastrouw Ng, karyanya berjudul “Gus Dur, Siapa sih Sampeyan? Tafsir Teoritik atas Tindakan dan Pernyataan Gus Dur”,25 mengungkapkan bahwa Gus Dur sebagai tokoh besar yang memiliki gagasan besar pula, tidak jarang gagasan-gagasan tersebut menimbulkan salah pengertian yang berujung pada terjadinya perdebatan, ketika gagasan tersebut disosialisasikan ke tengah-tengah kehidupan masyarakat. Pandangan Gus Dur tentang agama juga dengan gamblang dipaparkan dalam buku ini bahwa sekalipun agama itu mengandung ajaran tunggal, namun karena dia dipahami oleh umat yang memiliki latar belakang pengetahuan, pengalaman, dan kepentingan yang berbeda, maka dalam prakteknya menjadi berbeda dan plural. Sebenarnya umat beragama memiliki kebebasan untuk mengubah simbol dan ritus yang menjadi bagian dari dimensi kebudayaan agama. Inilah yang dilakukan Gus Dur selama ini, yaitu langkah untuk membawa agama dalam nilai-nilai yang tetap relevan dengan realitas zamannya, dan agar agama memiliki fungsi yang maksimal dalam menjawab problem kehidupan, salah
24
Abudin Nata, op. cit. hlm. 339-340 Zastrouw Ng, Gus Dur, Siapa sih Sampeyan? Tafsir Teoritik atas Tindakan dan Pernyataan Gus Dur, (Jakarta: Erlangga, 1999) 25
23
satunya adalah membela pluralisme dalam beragama. Atas sikapnya yang demikian, Gus Dur banyak mendapat tudingan dan hujatan. Dia dituduh sekuler, pengkhianat umat, dan tidak membela umat Islam. Padahal, kalau dilacak secara cermat, sebenarnya Gus Dur justru berusaha memfungsikan agama secara maksimal. ”Neo-Modernisme Islam di Indonesia Gagasan Sentral Nurcholis Madjid dan Abdurrahman Wahid”, karya Ahmad Amir Aziz, yang memberikan pencerahan bagaimana Abdurrahman Wahid membela kalangan minoritas dalam keberatannya terhadap pembentukan ICMI yang didasarkan atas kuatnya semangat membentuk “Masyarakat Islam” pada sejumlah aktifitas organisasi itu. Jika perkembangannya tidak direm, maka yang akan terjadi adalah pengabaian semangat toleransi keagamaan.26 Pandangannya yang mengedepankan Universalisme Islam semakin terlihat nyata ketika Ia dalam kancah sosial dalam perpolitikan nasional, menunjukkan perhatian besar pada hak-hak kelompok minoritas. Salah satu manifestasi dari komitmen atas pluralisme, adalah ketika menjadi presiden, Gus Dur mempelopori penghapusan diskriminasi terhadap etnis Tionghoa dengan mengeluarkan Inpres No 6/2000 tanggal 17 Januari 2000, mencabut Inpres 14/1967 tentang agama, kepercayaan, dan adat istiadat Cina. Gus Dur juga mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) No. 29/1998 tentang Bakorstanas dan Keppres No. 16/1990 tentang Litsus. Kedua lembaga itu dinilainya lebih banyak menimbulkan kesulitan dari pada manfaat dan secara jelas merugikan nilai-nilai hak asasi manusia. Perjuangan membela kaum tertindas dan termarjinalkan tanpa membedakan agama dan keyakinan seseorang atau kelompok, misalnya pembelaannya terhadapa Jama’ah Ahmadiyah dan sebagainya semakin menunjukkan jiwa pluralis Gus Dur. Sikap semacam itu dibentuk melalui proses panjang, di mana Ia pernah berorganisasi dan belajar di Mesir, Irak, serta beberapa negara Eropa. 26
Ahmad, Amir, Aziz, Neo-Modernisme Islam di Indonesia Gagasan Sentral Nurcholish Madjid dan Abdurrahman Wahid, (Jakarta, Rineka Cipta, 1999)
24
Douglas E. Ramage27 juga mengatakan bahwa strategi Pancasila Gus Dur tidak hanya ditujukan untuk mengoreksi perilaku kekuasaan elit negara, tetapi juga untuk mangatakan bahwa Pancasila pada dasarnya adalah sebuah kompromi politik untuk tidak menjadikan Islam sebagai dasar negara. Sebagai suatu bangsa yang terdiri atas berbagai suku dan agama, bangsa Indonesia menerima Pancasila sebagai pernyataan ideologis tentang toleransi dan komitmen untuk menghindari lahirnya perilaku-perilaku politik yang sifatnya ”eksklusif”. Faktor toleransi di antara umat beragama inilah yang menurut Gus Dur harus menjadi dasar bagi pengembangan demokrasi di Indonesia. Gejala menurunkan kemampuan masyarakat untuk memelihara sikap toleransi yang demikian itu, mendorongnya pada 1992 lewat rapat akbar untuk memperingatkan betapa bahayanya jika hal itu terus dibiarkan sejalan dengan kuatnya
kecenderungan
ke
arah
apa
yang
disebutnya
sebagai
rekonfensionalisasi politik di kalangan umat beragama. Sebab, seperti yang sudah sering kali ia katakan, tanpa toleransi di antara umat beragama maka demokrasi tidak akan pernah bisa dikembangkan. Buku karya A. Nur Alam Bakhtiar28 juga memberikan gambaran untuk mengenal Gus Dur secara dekat, baik konsep dan tindakannya. Sekalipun buku ini sedikit subjektif dalam memberikan penilaian terhadap Gus Dur, tetapi cukup menggelitik pembacanya untuk semakin mengaguminya. Menurut Gus Dur, Prinsip pluralisme harus dilihat dalam konteks manifestasi universalisme dan kosmopolitanisme peradaban Islam, ajaran moralitas Islam yang secara teoritik bertumpu pada adanya lima buah jaminan dasar yang diberikan Islam kepada warga masyarakat, meliputi; keselamatan fisik warga masyarakat (hifdzu al-nafs), keselamatan keyakinan agama masing-masing (hifdzu al-din), keselamatan keluarga dan keturunan (hifdzu al-nasl), keselamatan harta benda dan milik pribadi (hifdzu al-mal), dan
27
Douglas E. Ramage, Gus Dur, NU dan Masyarakat Sipil, (Yogyakarta: LKiS, 2010), Cet. III, hlm. 115 28 A. Nur Alam Bakhtiar, 99 Keistimewaan Gus Dur, (Jakarta: Kultural, 2008)
25
keselamatan hak milik dan profesi (hifdzu al-milk). Kesemuanya itu merupakan konsep yang dijadikan Gus Dur sebagai prinsip Universal Islam.29 Namun, sejauh ini semua jaminan dasar itu hanya menyajikan kerangka teoritik yang tidak berfungsi tanpa didukung oleh kosmopolitanisme peradaban Islam, yang muncul dalam sejumlah unsur dominan, seperti hilangnya batasan etnik, kuatnya pluralitas budaya, dan heterogenitas politik.30 Berbagai karya penelitian yang telah dipaparkan di atas memiliki keistimewaan dan corak tersendiri dalam mengkaji pemikiran serta sikap seorang tokoh besar bernama Abdurrahman Wahid, karena kajian dan cara pandang yang digunakan berbeda-beda. Begitu juga dalam penelitian ini, pencarian sebuah konsep Pendidikan Pluralisme dalam pandangan Beliau dilihat dari perspektif Pendidikan Islam. F. Metode Penelitian 1. Jenis dan Pendekatan Penelitian Penelitian
ini
merupakan
Penelitian
Kepustakaan
(library
research). Artinya penelitian yang bersifat kepustakaan murni yang datadatanya didasarkan/diambil dari bahan-bahan tertulis, baik yang berupa buku atau lainnya yang berkaitan dengan topik/tema pembahasan skripsi ini.31 Adapun pendekatan penelitian yang digunakan adalah studi pemikiran tokoh yaitu dengan pendekatan sosio histories dan factual histories, pendekatan sosio histories yaitu penelitian yang berupaya memeriksa secara kritis peristiwa, perkembangan masa lalu, kemudian mengadakan interpretasi terhadap sumber-sumber informasi.32 Sedangkan
29
Abdurrahman Wahid, Islam Kosmopolitan, Nilai-Nilai Indonesia dan Transformasi Kebudayaan, (Jakarta: The Wahid Institute: 2007), hlm. 4-5 30 Ibid, hlm. 9 31 Moh. Nazir, Metode Penelitian, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2005), hlm. 63 32 Komaruddin, Kamus Research, (Bandung: Angkasa, 1984), hlm. 120
26
factual histories yaitu suatu pendekatan dengan mengemukakan sejarah fakta mengenai tokoh.33 2. Sumber-Sumber Data a. Sumber Primer Sumber Primer dalam hal ini adalah hasil-hasil penelitian atau tulisan-tulisan karya peneliti atau teoritisi yang orisinil.34 Sumber primer ini berupa buku-buku dan karya ilmiah yang digunakan sebagai referensi utama, dan sebagian besar penulis gunakan sebagai rujukan dalam penulisan skripsi ini. Adapun sumber primer tersebut adalah buku-buku
karya
Abdurrahman
Wahid,
di
antaranya;
Islam
Kosmopolitan Nilai-Nilai Indonesia dan Transformasi Kebudayaan, Islamku Islam Anda Islam Kita, Gus Dur Bertutur, Prisma Pemikiran Gus Dur, Dialog kritik dan Identitas Agama, dan lain sebagainya. b. Sumber Sekunder Sumber sekunder adalah bahan pustaka yang ditulis dan dipublikasikan oleh seorang penulis yang tidak secara langsung melakukan pengamatan atau berpartisipasi dalam kenyataan yang ia deskripsikan. Dengan kata lain penulis tersebut bukan penemu teori.35 Sumber sekunder ini digunakan sebagai bahan referensi tambahan untuk lebih memperkaya isi skripsi, dan sebagai bahan pelengkap dalam pembuatan skripsi ini. Sumber ini terdiri dari buku-buku atau karya ilmiah lain yang masih ada hubungannya dengan isi skripsi. Misalnya; Biografi Gus Dur, Dialog Kritik dan Identitas Agama, Gus Dur, NU dan Masyarakat Sipil, 41 Kebesaran Gus Dur, The Beauty of Islam, Pendidikan Pluralisme di Indonesia, karya ilmiah Islam dan Pendidikan Pluralisme, dan sebagainya.
33
Anton Bekker dan Achmad Charris Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1990), hlm. 61 34 Ibnu Hadjar, Dasar-Dasar Metode Penelitian Kualitatif, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), hlm. 83 35 Ibid, hlm. 84
27
3. Metode Analisis Data Dalam
metode
analisis
data,
ditekankan
pada
metode
hermeneutika, yang secara etimologis berarti penafsiran atau interpretasi. Menurut istilah, Hermeneutik diartikan sebagai proses mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi mengerti.36 Dengan Metode tersebut, bisa ditafsirkan tulisan KH. Abdurrahman Wahid dengan menggunakan bahasa sendiri. G. Sistematika Pembahasan Skripsi Untuk mempermudah penjelasan, pembahasan, penelaahan pokokpokok masalah yang dikaji, maka disusunlah sistematika sebagai berikut: 1. Bagian muka, pada bagian ini termuat halaman judul, kata pengantar dan daftar isi. 2. Bagian isi, pada bagian ini termuat: BAB I :
Bab ini merupakan bab pendahuluan, dalam bab ini dijelaskan tentang latar belakang masalah, mengapa topik ini diambil. Dalam menghindari meluasnya pembahasan skripsi ini, maka dijelaskan penegasan istilah dan rumusan masalah, tujuan penelitian dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian skripsi yang meliputi: jenis dan pendekatan penelitian, sumber-sumber data, metode analisis data, serta dijelaskan juga mengenai sistematika pembahasan skripsi.
BAB II : Bab ini merupakan landasan teori yang menguraikan tinjauan umum tentang pendidikan pluralisme dan pendidikan Islam. Yaitu pendidikan pluralisme yang meliputi: pengertian dan sejarah munculnya pluralisme, pengertian dan sejarah munculnya pendidikan pluralisme, dasar dan tujuan pendidikan pluralisme. Juga diuraikan tentang pendidikan Islam yang meliputi: pengertian pendidikan Islam, sumber atau dasar pendidikan Islam, tugas dan fungsi pendidikan Islam, tujuan pendidikan Islam. BAB III : Pada bab ini diuraikan tentang pemikiran Abdurrahman Wahid mengenai konsep pendidikan pluralisme. Yaitu biografi Abdurrahman Wahid yang meliputi: biografi, karya-karya 36
E. Sumaryono, Hermeneutik Sebuah Metode Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1999),
hlm. 23
28
Abdurrahman Wahid, penghargaan-penghargaan yang diperoleh Abdurrahman Wahid. Serta diuraikan tentang pemikiran Abdurrahman Wahid mengenai konsep pendidikan pluralisme yang meliputi: dasar pemikiran pluralisme abdurrahman wahid, pandangan pluralisme Abdurrahman Wahid, cara menyikapi pluralisme, pluralisme dalam konteks keindonesiaan. BAB IV: Bab ini merupakan bab pembahasan dari pokok masalah yang diajukan. Dalam hal ini merupakan analisis terhadap pemikiran abdurrahman wahid tentang konsep pendidikan pluralisme dalam perspektif pendidikan Islam. Yaitu termuat analisis tentang konsep pendidikan pluralisme menurut Abdurrahman Wahid yang meliputi: terbentuknya watak pluralisme Abdurrahman Wahid, konsep pendidikan pluralisme Abdurrahman Wahid. Dijelaskan pula tentang konsep pendidikan pluralisme menurut Abdurrahman Wahid ditinjau dari pendidikan Islam yang meliputi: maqashid al-syari’ah sebagai prinsip pendidikan pluralisme, konsep pendidikan pluralisme menurut Abdurrahman Wahid ditinjau dari pendidikan Islam. Serta dijelaskan mengenai relevansi pemikiran Abdurrahman Wahid dalam konteks keindonesiaan yang meliputi: Indonesia adalah negara Pancasila, bukan negara Islam, memperjuangkan penegakan demokrasi, HAM, dan pluralisme di Indonesia serta solusi bagi permasalahan kemajemukan di Indonesia. BAB V : Pada bagian ini termuat simpulan serta saran dan penutup. 3. Bagian akhir, pada bagian ini termuat: kepustakaan, lampiran-lampiran dan riwayat hidup.
29
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENDIDIKAN PLURALISME DAN PENDIDIKAN ISLAM A. Pendidikan Pluralisme 1. Pengertian dan Sejarah Munculnya Pluralisme a. Pengertian Pluralisme Pluralisme yang dalam bahasa arabnya diterjemahkan alta’addudiyyah37, secara lughawi berasal dari kata plural (Inggris) yang berarti jamak, dalam arti ada keanekaragaman dalam masyarakat, ada banyak hal lain di luar kelompok kita yang harus diakui. Pluralisme adalah sebuah “ism” atau aliran tentang pluralitas.38 Pluralisme yang berarti jamak atau lebih dari satu, dalam kamus bahasa Inggris mempunyai tiga pengertian. Pertama, pengertian kegerejaan: (i) sebutan untuk orang yang memegang lebih dari satu jabatan dalam struktur kegerejaan, (ii) memegang dua jabatan atau lebih secara bersamaan, baik bersifat kegerejaan maupun nonkegerejaan. Kedua, pengertian filosofis, berarti sistem pemikiran yang mengakui adanya landasan pemikiran yang mendasar yang lebih dari satu. Sedangkan ketiga, pengertian sosio-politis: adalah suatu sistem yang mengakui koeksistensi keragaman kelompok, baik yang bercorak ras, suku, aliran maupun partai dengan tetap menjunjung tinggi aspekaspek perbedaan yang sangat karakteristik diantara kelompokkelompok tersebut. Ketiga pengertian tersebut sebenarnya bisa disederhanakan dalam satu makna, yaitu koeksistensinya berbagai kelompok atau keyakinan di satu waktu dengan tetap terpeliharanya perbedaan-perbedaan dan karakteristik masing-masing.39 37
Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis, (Jakarta: Gema Insani, 2007), Cet. III, hlm. 11 38 Syamsul Ma’arif, Pendidikan Pluralisme di Indonesia, (Jogjakarta: Logung Pustaka, 2005), hlm. 11 39 Anis Malik Thoha, op. cit. hlm. 12
30
Nurcholis Madjid menyatakan bahwa pluralisme tidak dapat dipahami hanya dengan mengatakan bahwa masyarakat kita majemuk, beraneka ragam, terdiri dari berbagai suku dan agama, yang justru hanya
menggambarkan
kesan
fragmentasi,
bukan
pluralisme.
Pluralisme juga tidak boleh dipahami sekedar sebagai “kebaikan negatif” (negative good), hanya ditilik dari kegunaannya untuk menyingkirkan fanatisme. Pluralisme harus dipahami sebagai pertalian sejati kebhinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban. Bahkan juga suatu keharusan bagi keselamatan ummat manusia, antara lain melalui mekanisme pengawasan dan pengimbangan yang dihasilkannya. Dalam kitab suci justru disebutkan bahwa Allah menciptakan mekanisme pengawasan dan pengimbangan antara sesama manusia guna memelihara keutuhan bumi, dan merupakan salah satu wujud kemurahan Tuhan yang melimpah kepada ummat manusia40. Menurut Alwi Shihab, pengertian konsep pluralisme dapat disimpulkan sebagai berikut: Pertama, pluralisme tidak semata menunjuk pada kenyataan tentang adanya kemajemukan. Namun yang dimaksud dengan pluralisme adalah keterlibatan aktif terhadap kenyataan kemajemukan tersebut. Pluralisme agama dan budaya dapat dijumpai di mana-mana, tapi seseorang dapat dikatakan menyandang sifat tersebut apabila ia dapat berinteraksi secara positif dalam lingkungan kemajemukan tersebut. Kedua, pluralisme harus dibedakan dengan kosmopolitanisme, kosmopolitanisme menunjuk suatu realitas di mana aneka ragam, ras, bangsa hidup berdampingan di suatu lokasi. Ambil contoh kota New York, kota ini adalah kota kosmopolitan, yang terdapat orang Yahudi,
40
Seperti dijelaskan dalam QS. al-Baqarah: 251, yang artinya: Seandainya Allah tidak mengimbangi segolongan manusia dengan segolongan yang lain, maka pastilah bumi hancur; namun Allah mempunyai kemurahan yang melimpah kepada seluruh alam. Lihat Budhi Munawwar-Rachman, Islam Pluralis, Wacana Kesetaraan Kaum Beriman, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 31
31
Kristen, Muslim, Hindu, Buddha, bahkan orang-orang tanpa agama. Namun interaksi positif antar penduduk ini, khususnya di bidang agama, sangat sedikit, kalaupun ada. Ketiga, konsep pluralisme tidak dapat disamakan dengan relativisme. Seorang relativisme akan berasumsi bahwa hal-hal yang menyangkut kebenaran atau nilai-nilai ditentukan oleh pandangan hidup serta kerangka berfikir seorang atau masyarakatnya. Sebagai konsekuensi dari paham ini adalah agama apapun harus dinyatakan benar, atau tegasnya, semua agama adalah sama. Keempat, pluralisme agama bukanlah sinkretisme, yakni menciptakan suatu agama baru dengan memadukan unsur tertentu atau sebagian komponen ajaran dari beberapa agama tersebut.41 Atau dapat diartikan bahwa pluralisme merupakan suatu sikap saling mengerti, memahami, dan menghormati adanya perbedaanperbedaan demi tercapainya kerukunan antarumat beragama. Dan dalam berinteraksi dengan aneka ragam agama tersebut, umat beragama diharapkan masih memiliki komitmen yang kokoh terhadap agama masing-masing.42 b. Sejarah Munculnya Pluralisme Pemikiran Pluralisme muncul pada masa yang disebut dengan pencerahan (Enlightenment) Eropa, tepatnya pada abad ke-18 M, masa yang sering disebut sebagai titik permulaan bangkitnya gerakan pemikiran modern. Yaitu masa yang diwarnai dengan wacana-wacana baru pergolakan pemikiran manusia yang berorientasi pada superioritas akal
(rasionalisme)
dan
pembebasan
akal
dari
kungkungan-
kungkungan agama. Di tengah hiruk pikuk pergolakan pemikiran di Eropa yang timbul dari konflik-konflik yang terjadi antara gereja dan kehidupan nyata di luar Gereja, muncullah suatu paham yang dikenal dengan “liberalisme”, yang komposisi utamanya adalah kebebasan, 41 42
Alwi Shihab, Islam Inklusif, (Bandung: Mizan, 1999), hlm. 41-42 Syamsul Ma’arif, Pendidikan Pluralisme di Indonesia, op. cit., hlm. 17
32
toleransi, persamaan dan keragaman atau pluralisme. Oleh karena paham liberalisme pada awalnya muncul sebagai madzhab sosial politis, maka wacana pluralisme yang lahir dari rahimnya, termasuk gagasan pluralisme agama juga lebih kental dengan nuansa dan aroma politik.43 Secara umum sebab-sebab lahirnya teori pluralisme dapat di klasifikasikan dalam dua faktor utama yaitu faktor internal (ideologis) dan faktor eksternal. Faktor internal merupakan faktor yang timbul akibat tuntunan akan kebenaran yang mutlak (absolute truth claims) dari agama-agama itu sendiri, baik dalam masalah akidah, sejarah maupun dalam masalah keyakinan atau doktrin. 1) Faktor ideologis (internal) Keyakinan seseorang yang serba mutlak dan absolut dalam apa yang diyakini dan diimaninya itu paling benar adalah alami belaka. Keyakinan akan absolutisme dan kemutlakan ini berlaku dalam hal akidah dan ideologi (baik yang berasal dari wahyu Allah dan sumber lainnya). Kenyataan ini hampir tak satupun yang mempertanyakannya, hingga datangnya era modern di mana faham relativitas agama mulai dikenal dan menyebar secara luas di kalangan para pemikir dan intelektual, khususnya pada dekade terakhir abad ke-20 ini. 2) Faktor Eksternal a) Faktor Sosio-Politis Faktor yang mendorong munculnya teori pluralisme agama adalah berkembangnya wacana-wacana sosio politis, demokratis dan nasionalisme yang telah melahirkan sistem negara-bangsa dan kemudian mengarah pada apa yang dewasa ini dikenal dengan globalisasi, yang merupakan hasil praktis dari sebuah proses sosial dan politis yang berlangsung selama kurang lebih tiga abad. Proses ini bermula semenjak pemikiran 43
Anis Malik Thoha, op. cit. hlm. 16
33
manusia mengenal liberalisme yang menerompetkan iramairama
kebebasan,
toleransi,
kesamaan
dan
pluralisme
sebagaimana telah di singgung di atas. b) Faktor Keilmuan atau Ilmiah Pada hakikatnya terdapat banyak faktor keilmuan yang berkaitan dengan pembahasan ini. Namun yang memiliki kaitan langsung dengan timbulnya teori-teori pluralisme agama adalah maraknya studi-studi ilmiah modern terhadap agama-agama dunia, atau yang sering juga dikenal dengan studi perbandingan agama. Dengan kata lain peran penting studi agama modern adalah sebagai supplier para filosof agama dan teolog dengan pengetahuan–pengetahuan dan data–data lengkap yang dapat membantu peran dan tugas utama mereka, yakni memahami hakikat agama.44 2. Pengertian dan Sejarah Munculnya Pendidikan Pluralisme a. Pengertian Pendidikan Pluralisme Definisi tentang pendidikan pluralisme menurut Frans Magnez Suseno adalah suatu pendidikan yang mengandaikan kita untuk membuka visi pada cakrawala yang semakin luas, mampu melintas batas kelompok etnis atau tradisi budaya dan agama sehingga kita mampu melihat “kemanusiaan” sebagai sebuah keluarga yang memiliki
baik
perbedaan
maupun
kesamaan
cita-cita.
Inilah
pendidikan akan nilai-nilai dasar kemanusiaan untuk perdamaian, kemerdekaan, dan solidaritas.45 Pendidikan Pluralisme sering dikenal orang dengan sebutan “Pendidikan Multikultural”. Ainurrofiq Dawam menjelaskan definisi pendidikan multikultural sebagai proses pengembangan seluruh potensi manusia yang menghargai pluralitas dan heterogenitasnya 44 45
Ibid Syamsul Ma’arif, Pendidikan Pluralisme di Indonesia, op. cit. hlm. 92
34
sebagai konsekuensi keragaman budaya, etnis, suku, dan aliran (agama). 46 Muhammad Ali menyebut pendidikan multikultural sebagai pendidikan berwawasan
yang
berorientasi
pluralis
secara
pada agama
proses
penyadaran
sekaligus
yang
berwawasan
multikultural, seperti itu, dengan sebutan “Pendidikan Pluralis Multikultural”. Menurutnya, pendidikan semacam itu harus dilihat sebagai bagian dari upaya komprehensif mencegah dan menanggulangi konflik etnis agama, radikalisme agama, separatisme, dan integrasi bangsa, sedangkan nilai dasar dari konsep pendidikan ini adalah toleransi. 47 Memperhatikan
beberapa
definisi
tentang
pendidikan
pluralisme tersebut di atas, secara sederhana pendidikan pluralisme dapatlah didefinisikan sebagai pendidikan untuk/tentang keragaman keagamaan dan kebudayaan dalam merespon perubahan demografis dan kultural lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan dunia secara keseluruhan. Pendidikan di sini, dituntut untuk dapat merespon terhadap perkembangan keragaman populasi sekolah, sebagaimana tuntutan persamaan hak bagi setiap kelompok. Melalui sistem pendidikannya, sebuah pendidikan yang berbasis pluralisme akan berusaha memelihara dan berupaya menumbuhkan pemahaman yang inklusif pada peserta didik. Dengan suatu orientasi untuk memberikan penyadaran terhadap para peserta didiknya akan pentingnya saling menghargai, menghormati dan bekerja sama dengan agama-agama lain.48
46
Ainurrofiq Dawam, Emoh Sekolah; Menolak Komersialisasi Pendidikan dan Kanibalisme Intelektual, Menuju Pendidikan Multikultural, (Yogyakarta: Inspeal Ahimsa Karya Press, 2003), hlm. 100 47 Syamsul Ma’arif, Pendidikan Pluralisme di Indonesia, loc. cit 48 Syamsul Ma’arif, The Beauty of Islam dalam Cinta dan Pendidikan Pluralisme, (Semarang: Nedd’s Press, 2008), hlm. 100
35
b. Sejarah Munculnya Pendidikan Pluralisme Menurut sejarahnya, di negara-negara yang menganut konsep demokrasi seperti Amerika Serikat dan Kanada, Pendidikan Pluralisme bukanlah barang baru lagi. Karena mereka telah melaksanakannya khususnya dalam upaya melenyapkan diskriminasi rasial antara orang kulit putih dan kulit hitam yang bertujuan memajukan dan memelihara integrasi nasional. Sedangkan di Indonesia, pendidikan pluralisme relatif baru dikenal sebagai suatu pendekatan yang dianggap lebih sesuai bagi masyarakat Indonesia yang heterogen. Memang terdapat sejumlah kekuatan di dunia ini yang ikut melahirkan Pendidikan Pluralisme-Multikulturalisme. Yang menurut H.A.R Tilaar, kekuatan-kekuatan tersebut adalah: a. Proses demokratisasi dalam masyarakat dunia, yang dipicu oleh pengakuan terhadap Hak Asasi Manusia yang tidak membedakan atas warna kulit, agama, dan gender. b. Pembangunan kembali Eropa sesudah Perang Dunia II (marshal plan), yang telah menarik pekerja-pekerja di luar Eropa memasuki negara-negara Eropa Barat. Akhirnya banyak yang menetap dan menjadi warga setempat sehingga mereka meminta perlakuan adil, terutama
pendidikan
bagi
generasi
mudanya
agar
bisa
mengakomodir kultur asal mereka. c. Lahirnya
paham
nasionalisme
kultur,
sejalan
dengan
berkembangnya paham demokrasi dan HAM. Sehingga pendidikan pun
mulai
terbuka
untuk
memenuhi
kebutuhan
serta
mempersiapkan paradigma baru bagi kelompok-kelompok etnis baru dengan kebudayaan mainstream-nya.49
49
Syamsul Ma’arif, The Beauty of Islam dalam Cinta dan Pendidikan Pluralisme , op. cit., hlm. 98-99
36
3. Dasar dan Tujuan Pendidikan Pluralisme a. Dasar Pendidikan Pluralisme 1) Dasar Historis Ada banyak bukti historis bahwa Nabi Muhammad SAW. Sangat
proeksistensi
terhadap
pemeluk
agama
lain
dan
memberikan kebebasan kepada mereka untuk melakukan ritual di masjid milik umat Islam. Dikisahkan oleh Ibnu Hisyam dalam al Sirah al-Nabawiyyah, bahwa Nabi pernah menerima kunjungan para tokoh Kristen Najran berjumlah 60 orang. Menurut Muhammad ibnu Ja’far ibnu al-Zubair, ketika rombongan itu sampai di Madinah, mereka langsung menuju masjid. Saat itu Nabi sedang melaksanakan shalat ashar bersama para sahabatnya. Mereka datang dengan memakai jubah dan surban, pakaian yang juga lazim digunakan oleh Nabi Muhammad SAW. Dan para sahabatnya. Ketika waktu Kebaktian tiba, mereka pun tak harus mencari gereja. Nabi memperkenankan mereka untuk melakukan sembahyang di masjid.50 Sikap yang sama juga ditunjukkan oleh kalangan Kristen. Ketika umat Islam dikejar-kejar oleh Kafir-Quraisy Mekkah, yang memberikan perlindungan adalah Najasy, raja Abesinia yang Kristen. Ia berpendirian bahwa pengikut Muhammad haruslah dilindungi hak-haknya, termasuk hak memeluk agama.51 Begitu pula ketika Nabi hijrah ke Madinah, Beliau mengadakan pertemuan secara besar-besaran bersama sahabat Anshar dan beberapa keluarga (Naqib) dari Mekkah. Dalam pertemuan itu, 23 artikel dari Piagam Madinah telah ditetapkan. Juga tercantum dalam piagam itu, untuk membentuk masyarakat dan hubungan-hubungan legal bagi kelompok Muslim yang baru. 50
Moh. Shofan, Menegakkan Pluralisme; Fundamentalisme-Konservatif di Tubuh Muhammadiyah, (Jogjakarta: LSAF, 2008), hlm. 54-55 51 Ibid
37
Selanjutnya Beliau berkonsultasi dengan perwakilan dari nonMuslim. Akhirnya seluruh dari mereka menyepakati dasar-dasar pembentukan sebuah “city-state” yang baru. Inilah yang kemudian diabadikan dengan sebutan “Piagam Madinah”.52 Seperti yang telah dikatakan oleh Muhammad Husain Haekal bahwa: Antara kaum Muhajirin dan Anshar dengan masyarakat Yahudi, Muhammad membuat perjanjian tertulis yang berisi pengakuan atas agama mereka dan harta benda mereka, dengan syarat-syarat timbal balik. Sehingga setiap warga Madinah tanpa membedakan agama maupun suku, mereka berkewajiban mempertahankan kota itu. Mereka harus bekerja sama antar sesama.53 Piagam Madinah adalah piagam pertama dalam sejarah peradaban Islam yang menyepakati soal-soal hubungan atau interaksi
sosial antara
kelompok-kelompok
yang
memiliki
perbedaan agama dan budaya, yakni antara kelompok Yahudi, Nasrani dan Muslim. Di sini, Nabi Muhammad SAW bertindak sebagai pencetus dan mediator dalam gerakan ishlah ini. Hal-hal penting yang dapat dijadikan sebagai dasar interaksi sosial di tengah komunitas yang plural antara lain: 54 a) Seluruh suku yang ada di Madinah disebut dalam pasal-pasal piagam dengan maksud menghormati identitas kolektivitas keagamaan dan etnik yang ada dalam masyarakat tersebut. b) Tiap-tiap kelompok etnik dan keagamaan dijamin otonomi hukum dan budayanya secara total. c) Secara garis besar Piagam Madinah memuat kesepakatan antara Muhammad, kaum Musyrik, dan Yahudi. Dari 47 pasal yang 52
Syamsul Ma’arif, The Beauty of Islam dalam Cinta dan Pendidikan Pluralisme, op. cit.,
hlm. 67 53 Muhammad Husain Haikal, Sejarah Hidup Muhammad, terj. Ali Audah (Jakarta: Litera Antar Nusa, 2008), cet. Ke-30, hlm. 202 54 MukhsinAbdurrahman,PendidikanPluralisme-Multikultural ,http://mukhsinblog.blogspot.com/2010/06 pendidikan-pluralisme-multikultural.html
38
termuat dalam piagam itu meliputi masalah monoteisme, persatuan-kesatuan, persamaan hak, keadilan, kebebasan beragama, bela negara, pelestarian adat, perdamaian dan proteksi. d) Masing-masing berkewajiban menjaga keamanan dan stabilitas Madinah. e) Piagam
Madinah
menunjukkan
bahwa
Islam
memiliki
kepedulian tinggi terhadap kesetaraan antaretnis dan ras. Dari sudut tinjauan modern, ia diterima sebagai sumber inspirasi untuk membangun masyarakat yang majemuk. f) Piagam Madinah menjadi bukti bagi kerja sama kaum Muslimin
dengan
kelompok
beragama
lain,
sekaligus
menunjukkan bahwa Muhammad telah melembagakan asas toleransi beragama yang dinyatakan dalam al-Qur’an (Q.S alBaqarah: 156, al-Maidah: 48, dan al-Kafirun: 6) g) Piagam Madinah menjadi piagam pertama yang mengakui kebebasan hati nurani yang ditemui dalam sejarah umat manusia. Juga dikisahkan oleh al Qushairi dalam al-Risalah; saya mendengar
seorang
ulama
mengabarkan,
“seorang
Majusi
mengundang Nabi Ibrahim as. untuk makan. Ibrahim menjawab: ‘aku mau menerima undanganmu dengan satu syarat, yaitu bahwa engkau memeluk Islam.’ Mendengar jawaban Ibrahim itu, orang Majusi itu langsung pergi. Kemudian Allah SWT menurunkan wahyu kepada Ibrahim, ‘selama lima puluh tahun Kami (Allah) telah memberinya makan sekalipun ia kafir. (apa salahnya) jika engkau menerima seporsi makanan darinya tanpa menuntutnya mengganti agama?’ Ibrahim kemudian mengejar si Majusi itu lalu meminta maaf kepadanya. Ketika si Majusi bertanya mengapa ia minta maaf, Ibrahim menceritakan apa yang telah terjadi, dan orang Majusi itu kemudian masuk Islam.”
39
2) Dasar Normatif Al-Qur’an secara jelas menyatakan bahwa pluralitas adalah salah satu kenyataan objektif komunitas umat manusia, sejenis hukum Allah atau sunnah Allah, dan bahwa hanya Allah yang tahu dan dapat menjelaskan di hari akhir nanti, mengapa manusia berbeda satu dari yang lain. Hal tersebut tercantum dalam QS. alHujurat: 13.
Ÿ≅Í←!$t7s%uρ $\/θãèä© öΝä3≈oΨù=yèy_uρ 4s\Ρé&uρ 9x.sŒ ÏiΒ /ä3≈oΨø)n=yz $‾ΡÎ) â¨$¨Ζ9$# $pκš‰r'‾≈tƒ ∩⊇⊂∪ ×Î7yz îΛÎ=tã ©!$# ¨βÎ) 4 öΝä39s)ø?r& «!$# y‰ΨÏã ö/ä3tΒtò2r& ¨βÎ) 4 (#þθèùu‘$yètGÏ9 Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.55 Asbabun nuzul ayat tersebut menegaskan kesatuan asal usul manusia dengan menunjukkan kesamaan derajat kemanusiaan manusia. Tidak wajar seseorang berbangga dan merasa diri lebih tinggi dari yang lain, bukan saja antar satu bangsa, suku atau warna kulit dengan selainnya, tetapi juga antara jenis kelamin mereka. Kata ta’ārafū terambil dari kata ‘arafa yang berarti mengenal. yakni mengandung makna timbal balik, dengan demikian ia berarti saling mengenal. Semakin kuat pengenalan suatu pihak kepada selainnya, semakin terbuka peluang untuk saling memberi manfaat. Karena itu ayat di atas menekankan perlunya saling mengenal. Perkenalan itu dibutuhkan untuk saling menarik pelajaran dan pengalaman pihak lain, guna meningkatkan
55
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Jakarta: Al Huda Kelompok Gema Insani,2005), hlm. 518
40
ketakwaan kepada Allah swt. yang dampaknya tercermin pada kedamaian dan kesejahteraan hidup duniawi dan kebahagiaan ukhrawi.56 Islam juga memerintahkan umatnya untuk berinteraksi terutama dengan agama Kristen dan Yahudi, dan dapat menggali nilai-nilai keagamaan melalui diskusi dan debat intelektual dan teologis secara bersama-sama dengan cara yang sebaik-baiknya. Hal tersebut terdapat pada QS. al-Ankabut: 46
(#θßϑn=sß tÏ%©!$# āωÎ) ß|¡ômr& }‘Ïδ ÉL©9$$Î/ āωÎ) É=≈tGÅ6ø9$# Ÿ≅÷δr& (#þθä9ω≈pgéB Ÿωuρ $oΨßγ≈s9Î)uρ öΝà6ö‹s9Î) tΑÌ“Ρé&uρ $uΖøŠs9Î) tΑÌ“Ρé& ü“Ï%©!$$Î/ $¨ΖtΒ#u (#þθä9θè%uρ ( óΟßγ÷ΨÏΒ ∩⊆∉∪ tβθßϑÎ=ó¡ãΒ …çµs9 ßøtwΥuρ Ó‰Ïn≡uρ öΝä3ßγ≈s9Î)uρ Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli kitab, melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang dzalim di antara mereka, dan katakanlah: "Kami Telah beriman kepada (kitab-kitab) yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepadamu; Tuhan kami dan Tuhanmu adalah satu; dan hanya kepada-Nya kami berserah diri.57 Dalam ayat ini, Allah memberi petunjuk kepada Nabi Muhammad dan kaum Muslimin tentang materi dakwah dan cara menghadapi Ahli Kitab karena sebagian besar mereka ini tidak menerima seruannya. Ketika Rasulullah menyampaikan ajaran Islam, kebanyakan mereka mendustakannya. Hanya sedikit sekali di antara mereka yang menerimanya. Padahal mereka telah mengetahui Muhammad dan ajaran yang dibawanya, sebagaimana
56
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbāh, Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati, 2005), Vol. 13, hlm. 261-262. 57 Ibid, hlm. 402
41
mereka mengetahui dan mengenal anak-anak mereka sendiri. Seperti juga dijelaskan dalam QS. al-Baqarah: 14658 Serta
mengapa
jalan
manusia
berbeda-beda
dalam
beragama, telah dijelaskan dalam QS. al-Maidah: 48;
Zπ¨Βé& öΝà6n=yèyfs9 ª!$# u!$x© öθs9uρ 4 %[`$yγ÷ΨÏΒuρ Zπtã÷Å° öΝä3ΖÏΒ $oΨù=yèy_ 9e≅ä3Ï9 «!$# ’n<Î) 4 ÏN≡uöy‚ø9$# (#θà)Î7tFó™$$sù ( öΝä38s?#u !$tΒ ’Îû öΝä.uθè=ö7uŠÏj9 Å3≈s9uρ Zοy‰Ïn≡uρ ∩⊆∇∪ tβθà,Î=tFøƒrB ϵŠÏù óΟçGΨä. $yϑÎ/ Νä3ã∞Îm6t⊥ãŠsù $Yè‹Ïϑy_ öΝà6ãèÅ_ötΒ Untuk masing-masing dari kamu (umat manusia) telah Kami tetapkan hukum (syari’ah) dan jalan hidup (minhaj). Jika Tuhan menghendaki, maka tentulah ia jadikan kamu sekalian umat yang tunggal (monolitik). Namun Ia jadikan kamu sekalian berkenaan dengan hal-hal yang telah dikaruniakan-Nya kepada kamu. Maka berlombalah kamu sekalian untuk berbagai kebajikan. Kepada Allah-lah tempat kalian semua kembali, maka Ia akan menjelaskan kepadamu sekalian tentang perkara yang pernah kamu perselisihkan59 Allah telah menetapkan syari’at dan minhaj yang khusus buat mereka dan masa mereka. Umat yang hidup pada masa Nuh as. ada syari’ah dan minhajnya, demikian juga pada masa nabi dan rasul yang datang sesudahnya, Musa as. dan Muhammad saw. pun demikian. Allah juga tidak menghendaki menjadikan manusia semua sejak dahulu hingga kini satu umat saja, yakni satu pendapat, satu kecenderungan, bahkan satu agama dalam segala prinsip dan rinciannya. Karena jika Allah menghendaki demikian, dia tidak 58
Kementerian Agama RI, al-Qur’an dan Tafsirnya, (Jakarta: Lentera Abadi, 2010), Jilid VII, hlm. 29 59 Ibid, hlm. 117
42
akan memberi manusia kebebasan memilah dan memilih, termasuk kebebasan memilih agama dan kepercayaan. Kebebasan memilah dan memilih itu dimaksudkan agar manusia dapat berlomba-lomba dalam kebajikan, dan dengan demikian akan terjadi kreativitas dan peningkatan kualitas, karena hanya dengan perbedaan dan perlombaan yang sehat, kedua hal itu akan tercapai.60 Menurut Moh. Shofan, setidaknya ada empat tema pokok yang menjadi kategori utama al-Qur’an tentang pluralisme agama:61 a) Tidak ada paksaan dalam beragama, yang terdapat pada QS. alBaqarah: 256
Äcxöø9$# zÏΒ ß‰ô©”9$# t¨t6¨? ‰s% ( ÈÏe$!$# ’Îû oν#tø.Î) Iω Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dari jalan yang sesat.62 Tidak boleh ada paksaan dan tindakan kekerasan untuk masuk ke dalam agama. Iman itu tunduk dan khudhu’ (patuh). Untuk mencapai hal itu tidak bisa dilakukan dengan paksaan dan tekanan, tetapi harus dengan alasan dan penjelasan yang menguatkan. Iman adalah urusan hati. Tidak seorang pun bisa menguasai hati manusia. Ayat ini cukup untuk membuktikan tentang kekeliruan musuh-musuh agama Islam yang mengatakan: “agama Islam ditegakkan dengan pedang, dan orang yang tidak mau memeluk agama Islam dipancung lehernya”. Sejarah telah membuktikan 60
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbāh, Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati, 2005), Vol. 3, hlm. 115-116. 61 Moh. Shofan, op. cit., hlm. 74-75 62 Departemen Agama, Mushaf Al-Qur’an Terjemah, (Jakarta: Al Huda Kelompok Gema Insani, 2002), hlm. 43
43
kebohongan dari pernyataan itu. Peperangan yang terjadi pada masa Nabi bertujuan membela diri, supaya kaum Musyrik berhenti mengganggu dan memfitnah para Muslim. Inilah sebabnya, para Muslim tidak lagi memerangi para Musyrik ketika mereka telah memeluk Islam atau tetap pada agama semula dengan membayar jizyah (pajak) sebagai jaminan keamanan.63 Allah Maha Kuasa, sehingga dengan kekuasaan-Nya, Dia bisa jadi ada yang menduga bahwa hal tersebut dapat menjadi alasan bagi Allah untuk memaksa makhluk mematuhi agama-Nya. Namun yang terjadi tidak demikian, yang dimaksud dengan tidak ada paksaan dalam menganut agama adalah menganut akidahnya. Ini berarti jika seseorang telah memilih satu akidah, maka dia terikat dengan tuntunantuntunannya,
dia
berkewajiban
melaksanakan
perintah-
perintahnya. Dia terancam sanksi jika melanggar ketetapannya. Allah menghendaki agar setiap orang merasakan kedamaian.
Agama-Nya
dinamai
Islam,
yakni
damai.
Kedamaian tidak dapat diraih kalau jiwa tidak damai, karena itu tidak ada paksaan dalam menganut keyakinan agama Islam. Mengapa ada paksaan, padahal telah jelas jalan yang benar dari jalan yang sesat. Sangatlah wajar semua memilih agama ini, pasti ada sesuatu yang keliru dalam jiwa seseorang yang enggan menelusuri jalan yang lurus setelah jelas jalan yang terbentang di hadapannya. Tidak ada paksaan dalam menganut agama, karena telah jelas jalan yang lurus. Itu sebabnya, sehingga orang gila dan belum dewasa, atau yang tidak mengetahui tuntunan agama, 63
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shieddieqy, Tafsir al-Qur’anul Majid an Nuur, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2000), Jilid II, hlm. 450-451
44
tidak berdosa jika melanggar atau tidak menganutnya, karena bagi dia jalan yang jelas itu belum diketahuinya. Tetapi Anda jangan berkata bahwa Anda tidak tahu jika Anda mempunyai potensi untuk mengetahui tetapi potensi itu tidak Anda gunakan. Di sini Anda pun dituntut karena menyia-nyiakan potensi yang Anda miliki. Anda juga tahu bahwa telah jelas yang ini membawa manfaat dan itu mengakibatkan mudharat, jika demikian tidak perlu ada paksaan karena yang dipaksa adalah yang enggan tunduk akibat ketidaktahuan. Di sini telah jelas jalan itu sehingga tidak perlu ada paksaan. Anda memaksa anak untuk minum obat yang pahit, karena Anda tahu bahwa obat itu adalah mutlak untuk kesembuhan penyakit yang dideritanya.64 b) Pengakuan akan eksistensi agama-agama lain. Pengakuan alQur’an terhadap pemeluk agama-agama lain, antara lain tercantum dalam QS. al-Baqarah: 62
ôtΒ šÏ↔Î7≈¢Á9$#uρ 3“t≈|Á¨Ζ9$#uρ (#ρߊ$yδ šÏ%©!$#uρ (#θãΨtΒ#u tÏ%©!$# ¨βÎ) y‰ΨÏã öΝèδãô_r& öΝßγn=sù $[sÎ=≈|¹ Ÿ≅Ïϑtãuρ ÌÅzFψ$# ÏΘöθu‹ø9$#uρ «!$$Î/ ztΒ#u ∩∉⊄∪ šχθçΡt“øts† öΝèδ Ÿωuρ öΝÍκön=tæ ì∃öθyz Ÿωuρ óΟÎγÎn/u‘ Sesungguhnya orang-orang Mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabi'in, siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, Hari Kemudian dan beramal shaleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak
64
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbāh, Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati, 2005), Vol. 1, hlm. 551-552.
45
ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.65 Pada dasarnya ayat di atas berbicara tentang empat kelompok: al-ladzîna Âmanû (menunjuk pada umat Islam), alladzîna Hâdû (ummat Yahudi), al-Nashârâ (umat Kristen), dan al-Shâbi’în. Al-Thabari berpendapat bahwa jaminan Allah atas keselamatan tersebut bersyaratkan tiga hal: beriman, percaya pada hari kemudian, dan perbuatan baik. Syarat beriman itu termasuk beriman kepada Allah dan Muhammad saw. atau dengan kata lain, yang dimaksud dalam ayat ini ialah mereka yang telah memeluk Islam.66 Yang dimaksud dengan kata Hâdû adalah orang-orang yang beragama Yahudi. Mereka dalam bahasa Arab disebut Yahûd.
Penulis
mengamati
bahwa
al-Qur’an
tidak
menggunakan kata Yahûd kecuali dalam konteks kecaman. Agaknya itulah sebabnya maka di sini tidak digunakan kata tersebut tetapi digunakan kata Hâdû. Kata al-Nashârâ terambil dari kata Nâshirah yaitu satu wilayah Palestina. Di mana Maryam, ibu Nabi ‘Isa as. Dibesarkan dan dari sana dalam keadaan mengandung ‘Isa as., beliau menuju baitul maqdis, tetapi sebelum tiba beliau melahirkan ‘Isa as. Di Bethlehem. Dari ‘Isa as. Digelari oleh Bani Israil dengan Yasu’, dari sini pengikut-pengikut beliau dinamai Nasharaa yang merupakan bentuk jamak dari Nashry atau Nâshiry. Kata al-Shâbi’în ada yang berpendapat terambil dari kata Shaba’ yang berarti muncul atau Nampak, misalnya ketika melukiskan bintang yang muncul. Dari sini ada yang memahami istilah al-Qur’an ini dalam arti penyembah bintang. 65 66
Departemen Agama, op. cit. hlm. 11 Alwi Shihab, op. cit., hlm. 79
46
Ada juga yang memahaminya terambil dari kata Saba’, satu daerah di Yaman di mana pernah berkuasa ratu Balqis dan penduduknya menyembah matahari dan bintang. Persyaratan beriman kepada Allah dan hari Kemudian, seperti bunyi ayat di atas, bukan berarti hanya kedua rukun itu yang dituntut dari mereka, tetapi keduanya adalah istilah yang biasa digunakan oleh al-Qur’an dan Sunnah untuk makna iman yang benar dan mencakup semua rukunnya.67 Ada sementara orang yang perhatiannya tertuju pada penciptaan toleransi antarumat beragama yang berpendapat bahwa ayat ini dapat menjadi pijakan untuk menyatakan bahwa penganut agama-agama yang disebut ayat ini, selama mereka beriman kepada Tuhan dan hari Kemudian, maka mereka semua akan memperoleh keselamatan dan tidak akan diliputi oleh rasa takut di akhirat kelak, dan tidak pula bersedih hati. Pendapat semacam ini nyaris menjadikan semua agama sama, padahal agama-agama itu pada hakikatnya berbeda-beda dalam akidah serta ibadah yang diajarkannya. Bagaimana mungkin
Yahudi
dan
Nashrani
dipersamakan,
padahal
keduanya saling mempersalahkan. Bagaimana mungkin yang ini dan itu dinyatakan tidak akan diliputi rasa takut atau sedih, sedang yang ini menurut itu –dan atas nama Tuhan yang disembah– adalah penghuni surga dan yang itu penghuni neraka? Yang ini tidak sedih dan takut, dan yang itu bukan saja takut, tetapi disiksa dengan aneka siksa. Bahwa surga dan neraka adalah hak prerogatif Allah memang harus diakui. Tetapi hak tersebut tidak menjadikan 67
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbāh, Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati, 2005), Vol. 1, hlm. 215-216.
47
semua penganut agama sama dihadapan-Nya. Bahwa hidup rukun dan damai antar pemeluk agama adalah sesuatu yang mutlak dan merupakan tuntunan agama, tetapi cara untuk mencapai hal itu bukan dengan mengorbankan ajaran agama. Caranya adalah hidup damai dan menyerahkan kepada-Nya semata untuk memutuskan di hari Kemudian kelak, agama siapa yang direstui-Nya dan agama siapa saja yang keliru, serta siapa yang dianugerahi surge dan siapa pula yang akan takut dan bersedih.68 c) Kesatuan Kenabian, yang bertumpu pada QS. Asy Syura: 13
$tΒuρ y7ø‹s9Î) !$uΖøŠym÷ρr& ü“Ï%©!$#uρ %[nθçΡ ÏµÎ/ 4œ»uρ $tΒ ÈÏe$!$# zÏiΒ Νä3s9 tíuŸ° (#θè%§x,tGs? Ÿωuρ tÏe$!$# (#θãΚŠÏ%r& ÷βr& ( #|¤ŠÏãuρ 4y›θãΒuρ tΛÏδ≡tö/Î) ÿϵÎ/ $uΖøŠ¢¹uρ tΒ Ïµø‹s9Î) ûÉ
Ibid, hlm. 216 Departemen Agama, op. cit. hlm. 485
48
terkecuali Nabi Muhammad saw. Itu untuk mengisyaratkan kedudukan terhormat yang diperoleh Nabi Muhammad saw. Di kalangan para Nabi. Ini serupa dengan firman-Nya dalam QS. al-Ahzab: 7. Thabathaba’i memahami dari penyebutan nama Nuh dalam urutan pertama dalam konteks syari’at sebagai isyarat bahwa syari’at Beliau adalah syari’at pertama dan penyebutan kelima Nabi di atas mengisyaratkan bahwa merekalah tokoh para nabi, atau yang diistilahkan dengan Ulil ‘Azmi. Ulama ini juga memahami bahwa syari’at kedua adalah syari’at Nabi Ibrahim, lalu syari’at Nabi Musa kemudian Nabi ‘Isa as., dan berakhir dengan syari’at Nabi Muhammad saw. Ini menurutnya berarti bahwa Nabi yang diutus setelah Nabi Nuh dan sebelum Nabi Ibrahim tidak memiliki syari’at khusus, tetapi mereka menjalankan syari’at Nabi Nuh as. Demikian juga nabi yang diutus setelah Nabi Ibrahim dan sebelum Nabi Musa as., mereka semua melaksanakan syari’at Nabi Ibrahim as. Sampai datangnya Nabi Musa as., demikian seterusnya.70 d) Kesatuan Pesan Ketuhanan yang berpijak pada QS. an-Nisa’: 131
(#θè?ρé& tÏ%©!$# $uΖøŠ¢¹uρ ô‰s)s9uρ 3 ÇÚö‘F{$# ’Îû $tΒuρ ÏN≡uθ≈yϑ¡¡9$# ’Îû $tΒ ¬!uρ $tΒ ¬! ¨βÎ*sù (#ρãà,õ3s? βÎ)uρ 4 ©!$# (#θà)®?$# Èβr& öΝä.$−ƒÎ)uρ öΝà6Î=ö6s% ÏΒ |=≈tGÅ3ø9$# ∩⊇⊂⊇∪ #Y‰ŠÏΗxq $†‹ÏΖxî ª!$# tβ%x.uρ 4 ÇÚö‘F{$# ’Îû $tΒuρ ÏN≡uθ≈yϑ¡¡9$# ’Îû Dan kepunyaan Allah-lah apa yang di langit dan yang di bumi, dan sungguh Kami telah memerintahkan 70
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbāh, Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati, 2005), Vol. 12, hlm. 473
49
kepada orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu dan (juga) kepada kamu; bertakwalah kepada Allah. tetapi jika kamu kafir Maka (ketahuilah), Sesungguhnya apa yang di langit dan apa yang di bumi hanyalah kepunyaan Allah dan Allah Maha Kaya dan Maha Terpuji71 Apa saja yang ada di langit dan bumi adalah kepunyaan Allah. Dialah yang menciptakan dan Dialah yang mengurus. Dalam mengurus makhluk-makhuk-Nya, Allah menciptakan hukum secara mutlak, dan semuanya tunduk di bawah hukum itu. Orang yang benar-benar memahami hukum-hukum Allah yang berlaku umum terhadap bumi, langit dan semua isinya serta memahami pula hukum yang mengatur kehidupan makhluk-Nya, akan mengetahui betapa besar limpahan rahmat dan karunia-Nya kepada semua makhluk-Nya. Oleh sebab itulah kepada setiap hamba diperintahkan agar bertakwa kepada-Nya, seperti telah diperintahkan kepada umat-umat terdahulu, yang telah diberi al-Kitab seperti orang-orang Yahudi dan Nashrani. Serta kepada orang-orang yang melaksanakan ketakwaan dengan tunduk dan patuh kepadaNya dan dengan menegakkan syari’at-Nya. Dengan tunduk dan patuh kepada-Nya dan dengan menegakkan syari’at-Nya manusia
akan
berjiwa
bersih
dan
dapat
mewujudkan
kesejahteraan di dunia dan kebahagiaan di akhirat.72 b. Tujuan Pendidikan Pluralisme Menurut Clive Back dalam Better School: a Value Perspective, Tujuan Pendidikan Pluralisme adalah sebagai berikut:
71 72
Departemen Agama, op. cit. hlm. 100 Kementerian Agama RI, al-Qur’an dan Tafsirnya, (Jakarta: Lentera Abadi, 2010), Jilid
II, hlm. 29
50
1) Teaching “ethnic” students about their own ethnic culture, including perhaps some “heritage language” instruction; 2) Teaching all students about various traditional cultures, at home and abroad; 3) Promoting acceptance of ethnic diversity in society; 4) Showing that people of different religious, races, national background and so on are equal worth’s; 5) Fostering full acceptance and equitable treatment of the ethnic sub cultures associated with different religions, races, national background, etc. in one’s own country and in other parts of the world; and 6) Helping students to work toward more adequate cultural forms, for themselves and for society.73 Melalui pendidikan pluralisme yang demikian, seorang murid bisa diantarkan untuk dapat memandang pluralitas dalam berbagai aspek sosial, ekonomi, politik, sosial, dan agama sebagai kekayaan spiritual bangsa yang harus dijaga kelestariannya. Ainurrofiq Dawam memberikan kerangka orientasi Pendidikan Pluralisme atau Pendidikan Multikultural agar pendidikan tersebut tidak kehilangan arah dan dibangun berdasarkan orientasi nilai dasar multikulturalisme, yaitu:74 1) Orientasi Kemanusiaan. Kemanusiaan atau humanisme merupakan sebuah nilai kodrati yang menjadi landasan sekaligus tujuan pendidikan. Kemanusiaan bersifat universal, global, di atas semua suku, aliran, ras, golongan, dan agama. 2) Orientasi kebersamaan. Kebersamaan yang dibangun adalah kebersamaan yang sama sekali lepas dari unsur kolutif maupun koruptif. Kebersamaan 73 74
Syamsul Ma’arif, Pendidikan Pluralisme di Indonesia, op. cit. hlm. 93 Ainurrofiq Dawam, op. cit., hlm. 104 – 105.
51
yang dibangun adalah kebersamaan yang tidak merugikan diri sendiri, orang lain, lingkungan, negara, bahkan Tuhannya. Dengan demikian diharapkan muncul manusia yang aktif, kreatif, toleran, tenggang rasa yang mendalam, dan terbuka. 3) Orientasi kesejahteraan. Kesejahteraan yang dimaksud di sini adalah kondisi sosial yang menjadi harapan semua orang. Konsistensi terhadap kesejahteraan harus dibuktikan dengan perilaku menuju terciptanya kesejahteraan. Konsekuensi yang kemudian terjadi adalah adanya kedamaian di mana semua orang merasa aman, dihargai, diakui, dan diperlakukan sebagai manusia oleh semua pihak yang berinteraksi secara langsung atau tidak langsung. 4) Orientasi proporsional. Proporsional merupakan sebuah nilai yang dipandang dari aspek apapun adalah sangat tepat. Tepat landasan, tepat proses, tepat pelaku, tepat ruang, tepat waktu, tepat anggaran, tepat kualitatif, tepat kuantitatif, dan tepat tujuan. Orientasi pendidikan inilah yang diharapkan menjadi pilar pendidikan multikultural. 5) Orientasi mengakui pluralitas dan heterogenitas. Pluralitas dan heterogenitas merupakan sebuah kenyataan yang tidak mungkin ditindas secara fasih dengan memunculkan sikap fanatisme terhadap sebuah kebenaran yang diyakini oleh sekelompok orang. 6) Orientasi anti hegemoni dan anti dominasi. Dominasi dan hegemoni adalah dua istilah yang sangat populer bagi kaum tertindas. Istilah ini dihindari jauh-jauh oleh para pengikut faham liberalis, kapitalis, globalis, dan neoliberalis. Hegemoni yang dimaksud adalah hegemoni dalam segalanya; politik, pelayanan dan lain sebagainya
52
B. Pendidikan Islam Pendidikan merupakan term terpenting dan menentukan dalam perubahan masyarakat. Bahkan Islam sendiri menempatkan pendidikan dalam posisi vital. Bukan sebuah kebetulan jika dalam lima ayat pertama dimulai dengan perintah membaca. Tak heran jika dalam syiar yang dikembangkan Nabi Muhammad dilakukan dengan pendekatan pendidikan.75 Gagasan utama pendidikan, termasuk Pendidikan Islam, terletak pada pandangan bahwa setiap manusia mempunyai nilai positif tentang kecerdasan, daya kreatif, dan keluhuran budi. Namun fokusnya bukan semata kemampuan ritual dan keyakinan tauhid tetapi juga akhlak sosial dan kemanusiaan. Kualitas akhlak pun tak bisa dicapai hanya dengan doktrin halal-haram, tapi usaha budaya dari rumah, masyarakat dan ruang kelas.76 1. Pengertian Pendidikan Islam a. Pengertian Pendidikan Islam Secara Etimologi Dewasa ini, terutama sejak dekade 1970-an sering terjadi diskusi berkepanjangan berkenaan dengan wacana apakah Islam memiliki konsep tentang pendidikan ataukah tidak. Sementara para ahli berasumsi bahwa Islam tidak memiliki konsep, karena itu maka penerapan Pendidikan Islam Selama ini hanyalah mengadopsi konsep dan sistem Pendidikan Barat yang kini mendominasi sistem secara global. Asumsi demikian tentu tidak boleh serta merta disalahkan ataupun secara mutlak dibenarkan. Salah satu argumentasi yang biasa diajukan adalah karena sampai sekarang peristilahan yang secara baku dan konsisten disepakati semua pihak belumlah ada, kecuali dalam wujud polemik yang tidak berkesudahan.77 Pendidikan dalam konteks Islam pada umumnya mengacu kepada term: tarbiyah, ta’lim, ta’dib, riyadhah, irsyad, dan tadris. 75
Husni Rahim, Arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Logos, 2001),
hlm. 4 – 5. 76
Abdul Munir Mulkhan, “Humanisasi Pendidikan Islam”, dalam Hamami Zada, et. Jurnal Tashwirul Afkar edisi no. 11 tahun 2001, hlm. 17. 77
Moh. Shofan, Pendidikan Berparadigma Profetik, (Jogjakarta: IRCiSoD, 2004), Cet. I,
hlm. 37-38
53
Masing-masing memiliki keunikan makna tersendiri, namun memiliki makna yang sama. Akan tetapi term yang populer digunakan dalam praktek Pendidikan Islam adalah term al-tarbiyah.78 Istilah kunci yang seakar dengan kata tarbiyah adalah al-rabb, rabbayâni, nurabbi, yurbi, dan rabbâni. Istilah tarbiyah yang diambil dari madhi-nya (rabbayâni) memiliki arti memproduksi, mengasuh, menanggung, memberi makan, menumbuhkan, mengembangkan, memelihara, membesarkan, dan menjinakkan. Pemahaman tersebut diambil dari tiga ayat dalam al-Qur’an: 1) QS. al-Isra’: 24 “kamâ rabbayânî shaghîrâ” (sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil). 2) QS. al-Syu’ara: 18 “alâ nurabbika fînâ walîdâ” (bukankah Kami telah mengasuhmu di antara (keluarga) Kami, waktu kamu masih kanak-kanak). 3) QS.
al-Baqarah:
shadaqah”.(Allah sedekah).
276
“yamhu
Allâh
memusnahkan
riba
al-ribâ dan
wa
yurbi
menyuburkan
79
b. Pengertian Terminologi Pendidikan Islam Pengertian Pendidikan Islam ini sebetulnya sudah cukup banyak dikemukakan oleh para ahli. Meskipun demikian, perlu dicermati dalam rangka melihat relevansi rumusan baik dalam hubungan makna, tujuan, fungsi, maupun proses kependidikan Islam yang dikembangkan dalam rangka menjawab permasalahan dan tantangan yang dihadapi dalam kehidupan umat manusia sekarang ini. Ahmad D. Marimba menyatakan bahwa Pendidikan Islam adalah bimbingan jasmani-rohani berdasarkan hukum-hukum agama
78
Menurut Muhammad Athiyah al-Abrasy dalam kitabnya Ruh al-Tarbiyah wa al-Ta’lim, seperti dikutip oleh Abdul Mujib, Pendidikan Islam dalam khazanah keislaman populer dengan Istilah Tarbiyah,78 karena mencakup keseluruhan aktivitas pendidikan, sebab di dalamnya tercakup upaya mempersiapkan individu secara sempurna. Lihat. Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2006), cet. I, hlm. 10 79 Ibid 10-11
54
Islam menuju terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran Islam.80 Ramayulis
dalam
bukunya
ilmu
Pendidikan
Islam
mengemukakan bahwa Pendidikan Islam adalah suatu proses edukatif yang mengarah kepada pembentukan akhlak atau kepribadian.81 Sedangkan hakikat Pendidikan Islam menurut M. Arifin adalah usaha orang dewasa muslim yang bertaqwa secara sadar mengarahkan dan membimbing pertumbuhan dan perkembangan fitrah anak didik melalui ajaran Islam ke arah titik maksimal pertumbuhan dan perkembangannya.82 Memang dalam pendidikan Islam terdapat sebuah karakteristik yang khusus, rekomendasi Konferensi Internasional Pendidikan Islam di Universitas King Abdul Aziz Jeddah tahun 1997 mendefinisikan pendidikan Islam sebagai keseluruhan pengertian yang terkandung dalam istilah ta’lim, tarbiyah, dan ta’dib. Berdasarkan pemaknaan ini, Abdurrahman al-Nahlawy menyimpulkan bahwa pendidikan Islam terdiri dari empat unsur, yaitu: pertama, menjaga dan memelihara fitrah anak menjelang baligh; kedua, mengembangkan seluruh potensi; ketiga, mengarahkan seluruh fitrah dan potensi menuju kesempurnaan; dan keempat, dilaksanakan secara bertahap.83 Dari beberapa definisi Pendidikan Islam yang dikemukakan di atas, tampak sekali umumnya penekanan utama diberikan kepada pentingnya pembentukan akhlak, disamping adanya penekanan persoalan fitrah dan upaya manusia dalam mencapai hidup makmur dan bahagia sesuai dengan ajaran dan norma Islam. Dunia
pendidikan,
termasuk
pendidikan
Islam
akan
dipertanyakan dan menjadi sorotan tajam tatkala anak didiknya
80
Ahmad D. Marimba, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: al-Ma’arif, 1989), hlm. 23 Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 1994), hlm. 4 82 M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam Suatu Tinjaun Teoritis dan Praksis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner, (Jakarta: Bumi Aksara, 1994), hlm. 32 83 Ngainun Naim dan Achmad Sauqi, op. cit. hlm. 31-32 81
55
terbawa arus modernitas; menjadi robot-robot yang tidak mempunyai daya kreativitas kecuali hanya terseret arus. Domain ini yang sejatinya mampu membawa perubahan tak lebih hanya teranggap sebagai sesuatu yang konservatif dan sia-sia. Ini tak lebih karena pengajaran agama selama ini bersifat normatif, dogmatis, dan hanya memikirkan kebenaran
yang
masih
di
angan-angan
(akhirat).
Sedangkan
pemahaman tentang Tuhan beserta ritual pengabdiannya (baca: teologi) cenderung eksklusif dan ada klaim-klaim apologis seperti klaim kebenaran (truth claim) dan klaim keselamatan (salvation claim). Hal ini menyebabkan fragmentasi dan permusuhan antar agama hingga menyebabkan konflik berkepanjangan dan berdarah-darah. Nilai keagamaan menjadi luntur dan hanya memunculkan simbolsimbol agama saja. Dalam lingkup yang lebih luas, gerakan ini merupakan bentuk perlawanan terhadap westernisasi. Walaupun dalam bentuk kaku, formalistik, dan ritualistik semacam berjenggot, berpakaian putih dan berjilbab, angkatan muda yang masih tergolong puritan dan steril dari idiologi sekuler meyakini Islam sebagai satu-satunya juru selamat. Karenanya identitas Islam harus dikembalikan dari pengaruh luar (westernisasi). 84 Melihat realitas tersebut, bahkan ditambah dengan adanya banyak konflik, kekerasan, dan bahkan kekejaman yang dijalankan atas nama agama, sebagaimana tersebut di atas, seharusnya yang menjadi tujuan refleksi atas pendidikan Islam adalah mampu melakukan transformasi kehidupan beragama itu sendiri dengan melihat sisi Ilahi
dan sosial-budayanya. Pendidikan Islam harus
mampu menanamkan cara hidup yang lebih baik dan santun kepada peserta didik. Sehingga sikap-sikap seperti saling menghormati, tulus,
84
Hassan Hanafi, Agama, Kekerasan dan Islam Kontemporer, (Yogyakarta: Jendela, 2001), hlm. 14 – 15.
56
dan toleran terhadap keanekaragaman agama dan budaya dapat tercapai di tengah-tengah masyarakat plural. Dengan menyadari bahwa masyarakat kita terdiri dari banyak suku dan beberapa agama, jadi sangat pluralis. Maka, pencarian bentuk pendidikan
alternatif
mutlak
diperlukan.
Yaitu
suatu
bentuk
pendidikan yang berusaha menjaga kebudayaan suatu masyarakat dan memindahkannya kepada generasi berikutnya, menumbuhkan akan tata nilai, memupuk persahabatan antara siswa yang beraneka ragam suku, ras, dan agama, mengembangkan sikap saling memahami, serta mengerjakan keterbukaan dan dialog. Bentuk pendidikan seperti inilah yang
banyak
ditawarkan
oleh
“banyak
ahli”
dalam
rangka
mengantisipasi konflik keagamaan dan menuju perdamaian abadi, yang kemudian terkenal dengan sebutan “Pendidikan Pluralisme”.85 2. Sumber atau Dasar Pendidikan Islam Sumber Pendidikan Islam yang dimaksudkan di sini adalah semua acuan atau rujukan yang darinya memancarkan ilmu pengetahuan dan nilai-nilai yang akan ditransinternalisasikan dalam Pendidikan Islam. Sumber ini tentunya telah diyakini kebenaran dan kekuatannya dalam mengantar aktivitas pendidikan, dan telah teruji dari waktu ke waktu. Sumber Pendidikan Islam terkadang disebut dengan dasar ideal Pendidikan Islam.86 Dasar Pendidikan Islam harus bersifat mutlak, baku dan final, karena dari dasar inilah berbagai konsep, rumusan dan produk pemikiran Pendidikan Islam dihasilkan. Apabila dasar sebagai rujukan utamanya tidak kuat atau dapat berubah-ubah, bias dipastikan proses perjalanan pendidikan bukan saja kehilangan arah, namun justru tidak memiliki arah.87 Sebagai aktifitas yang bergerak dalam proses pembinaan kepribadian muslim, maka Pendidikan Islam memerlukan asas atau dasar 85 MohibAsrori,IslamdanPendidikanPluralisme http://gurutrenggalek.blogspot.com/2010/05/islam-dan pendidikan-pluralisme.html 86 Abdul Mujib, op. cit., hlm. 31 87 Ahmad Syari’, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2005), hlm. 22
57
yang dijadikan landasan kerja. Dengan dasar ini akan memberikan arah bagi pelaksanaan pendidikan yang telah diprogramkan. Dalam konteks ini, dasar yang menjadi acuan Pendidikan Islam hendaknya merupakan sumber nilai kebenaran dan kekuatan yang dapat mengantarkan peserta didik ke arah pencapaian pendidikan. Oleh karena itu dasar yang terpenting dari Pendidikan Islam adalah al-Qur’an dan Sunnah Rasul SAW.88 Menetapkan al-Qur’an dan Sunnah Rasul SAW. Sebagai dasar Pendidikan Islam bukan hanya dipandang sebagai kebenaran yang didasarkan pada keimanan semata. Namun justru karena kebenaran yang terdapat dalam keduanya dapat diterima oleh nalar manusia dan dapat dibuktikan dalam sejarah atau pengalaman kemanusiaan.89 Menurut Sa’id Ismail Ali, sebagaimana yang dikutip oleh Hasan Langgulung, dasar Pendidikan Islam terdiri dari al-Qur’an, al-Sunnah, Madzhab Shahabi (kata-kata sahabat), Kemaslahatan ummat/sosial, ‘Urf (tradisi atau adat kebiasaan masyarakat), dan Ijtihad (hasil pemikiran para ahli dalam Islam). Keenam sumber tersebut didudukkan secara berurutan diawali dari sumber pertama yaitu al-Qur’an.90 Al-Qur’an sebagai sumber utama pendidikan Islam memiliki beberapa prinsip dasar yang berkaitan dengan masalah pluralisme dan toleransi. Paling tidak, dalam dataran konseptual, al-Qur’an telah memberi resep atau arahan-arahan yang sangat diperlukan bagi manusia muslim untuk memecahkan masalah kemanusiaan universal, yaitu realitas pluralitas keberagamaan manusia dan menuntut supaya bersikap toleransi terhadap kenyataan tersebut demi tercapainya perdamaian di muka bumi.
88
Al-Rasyidin dan Syamsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Press, 2005), Cet. V, hlm. 34 89 Ibid 90 Abdul Mujib loc. cit. Lain halnya dengan Hasan Langgulung sendiri yang menyatakan bahwa Dasar Pendidikan Islam merupakan landasan operasional yang dijadikan untuk merealisasikan dasar ideal sumber Pendidikan Islam. Sehingga dasar operasional Pendidikan Islam terdapat enam macam, yaitu historis, sosiologis, ekonomi, politik dan administrasi, psikologis dan filosofis, yang mana keenam dasar tersebut berpusat pada dasar filosofis. keenam dasar tersebut agaknya sekuler, dan perlu ditambahkan satu dasar lagi yaitu agama, karena dalam Islam dasar operasional segala sesuatu adalah agama.
58
Karena Islam menilai bahwa syarat untuk membuat keharmonisan adalah pengakuan terhadap komponen-komponen yang secara alamiah berbeda. Kajian yang dilakukan oleh Adnan Aslam menghasilkan beberapa proposisi yang mendukung konstruksi “Pluralistic Islam”, yaitu:91 a. Universalitas dan keragaman wahyu Tuhan kepada manusia ditegaskan Islam secara eksplisit untuk mendukung universalitas wahyu Tuhan, yang memainkan peran penting dalam pemahaman Islam akan agama lain. Tuhan dalam al-Qur’an bukan hanya Tuhan kaum muslim, tetapi Tuhan seluruh manusia. QS. al-Baqarah ayat 115 menggambarkan hal ini dengan mengatakan: “Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, Maka ke manapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya
Allah
Maha
Luas
(rahmat-Nya)
lagi
Maha
mengetahui.” Tuhan semua manusia tidak akan membiarkan bangsa manapun dalam kegelapan. Sebaliknya, dia menerangi mereka dengan mengutus para rasul. b. Keragaman ras, warna kulit, komunitas, dan agama dipandang sebagai tanda Rahmat dan Keagungan Tuhan yang ditunjukkan melalui makhluk-Nya. Pluralis dalam pengertian ini diterima sebagai suatu fenomena alamiah. Dalam al-Qur’an dinyatakan dalam Surat alHujurat: 13 c. Setiap agama yang diwahyukan dapat disebut Islam jika dipandang sebagai sikap pasrah kepada Tuhan (makna harfiah Islam). Jadi, Nuh, Ibrahim, Musa, Isa, Muhammad, semuanya adalah Muslim. Karena itu, siapa saja di kalangan orang Yahudi dan Kristen serta semua kaum agama lain yang tunduk kepada Tuhan yang Esa, tidak menyekutukan Tuhan, maka mereka adalah Muslim d. Tidak ada paksaan dalam beragama, ini merupakan salah satu prinsip unik al-Qur’an yang dimaksudkan untuk mangatur kebebasan beragama dalam Islam. “Tidak ada paksaan dalam beragama; 91
Ngainun Naim dan Achmad Sauqi, Pendidikan Multicultural Konsep dan Aplikasi, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2010), cet. II, hlm. 88-93
59
Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat.”(QS. al-Baqarah: 256), “Sesungguhnya jika mereka dapat mengetahui tempatmu, niscaya mereka akan melempar kamu dengan batu, atau memaksamu kembali kepada agama mereka, dan jika demikian niscaya kamu tidak akan beruntung selama lamanya “(QS. al-Kahfi: 20), “dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang ada di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya”(QS. Yunus: 99) e. Agama di hadapan Tuhan adalah Islam. Di samping ayat-ayat yang menunjukkan bentuk pluralisme Islam, ada juga beberapa ayat yang menunjukkan eksklusivisme Islam. Dalam konteks ini, al-Qur’an menyatakan: “Sesungguhnya agama di sisi Allah hanyalah Islam”(QS. Ali Imran: 19), “Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, Maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) darinya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi”(QS. Ali Imran: 85), f. Orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir serta berbuat baik akan selamat. Gagasan Islam tentang keselamatan tidak bisa disamakan dengan pembebasan Buddha atau pencerahan Kristen. 3. Tugas dan Fungsi Pendidikan Islam Pada hakikatnya, Pendidikan Islam adalah suatu proses yang berlangsung secara kontinyu dan berkesinambungan. Berdasarkan hal ini maka tugas dan fungsi yang perlu diemban oleh Pendidikan Islam adalah pendidikan manusia seutuhnya dan berlangsung sepanjang hayat. Konsep ini bermakna bahwa tugas dan fungsi pendidikan memiliki sasaran pada peserta didik yang senantiasa tumbuh dan berkembang secara dinamis mulai dari kandungan sampai akhir hayatnya.92 Secara umum, tugas Pendidikan Islam adalah membimbing dan mengarahkan pertumbuhan dan perkembangan peserta didik dari tahap ke tahap kehidupannya sampai mencapai titik kemampuan optimal. 92
Al Rasyidin dan Syamsul Nizar, op. cit. hlm. 32
60
Sementara
fungsinya
adalah
menyediakan
fasilitas
yang
dapat
93
memungkinkan tugas pendidikan berjalan dengan lancar.
Menurut Hujair AH. Sanaky, tugas dan fungsi Pendidikan Islam adalah mengarahkan dengan sengaja segala potensi yang ada pada manusia seoptimal mungkin, sehingga dapat berkembang menjadi manusia muslim yang baik atau insan kamil.94 Fungsi Pendidikan Islam adalah menyediakan segala fasilitas yang dapat memungkinkan tugas-tugas Pendidikan Islam tersebut tercapai dan berjalan dengan lancar. Penyediaan fasilitas ini mengandung arti dan tujuan yang bersifat struktural dan institusional. Menurut Kursyid Ahmad, yang dikutip Ramayulis dalam bukunya Metodologi Pengajaran Agama Islam, Fungsi Pendidikan Islam adalah: a. Alat untuk memelihara, memperluas dan menghubungkan tingkattingkat kebudayaan, nilai-nilai tradisi dan sosial serta ide-ide masyarakat dan bangsa. b. Alat untuk mengadakan perubahan, inovasi dan perkembangan yang secara garis besarnya melalui pengetahuan dan skill yang baru ditemukan, dan melatih tenaga-tenaga manusia yang produktif untuk menemukan perimbangan perubahan sosial dan ekonomi.95 Pendidikan Islam sebagai penyedia segala fasilitas yang dapat memungkinkan tugas-tugasnya tersebut tercapai dan berjalan lancar dengan melihat realitas keanekaragaman ras dan agama di Indonesia, maka pendidikan Islam harus memperhatikan beberapa hal berikut: Pertama, Pendidikan Islam harus mempunyai karakter sebagai lembaga pendidikan umum yang bercirikan Islam. Artinya, di samping menonjolkan pendidikannya dengan penguasaan atas ilmu pengetahuan, namun karakter keagamaan juga menjadi bagian integral dan harus dikuasai serta menjadi bagian dari kehidupan siswa sehari-hari. 93
Ibid Hujair AH. Sanaky, Paradigma Pendidikan Islam, Membangun Masyarakat Madani Indonesia, (Yogyakarta: Safiria Insani Press, 2003), hlm. 128 95 Abdul Mujib, op. cit., hlm. 69 94
61
Kedua; Pendidikan Islam juga harus mempunyai karakter sebagai pendidikan yang berbasis pada pluralitas. Artinya, bahwa pendidikan yang diberikan kepada siswa tidak menciptakan suatu pemahaman yang tunggal, termasuk di dalamnya juga pemahaman tentang realitas keberagamaan. Ketiga; Pendidikan Islam harus mempunyai karakter sebagai lembaga pendidikan yang menghidupkan sistem demokrasi dalam pendidikan. Sistem pendidikan yang memberikan keleluasaan pada siswa untuk mengekspresikan pendapatnya secara bertanggung jawab.96 Hal tersebut dengan suatu pertimbangan, bahwa salah satu peran dan fungsi pendidikan Islam diantaranya adalah untuk meningkatkan keberagamaan peserta didik dengan keyakinan agama sendiri, dan memberikan
kemungkinan
keterbukaan
untuk
mempelajari
dan
mempermasalahkan agama lain sebatas untuk menumbuhkan sikap toleransi. Ini artinya, pendidikan Islam pada prinsipnya, juga ikut andil dan memainkan peranan yang sangat besar dalam menumbuh-kembangkan sikap-sikap pluralisme dalam diri siswa. 4. Tujuan Pendidikan Islam Dalam buku-buku mengenai Pendidikan Islam, tujuan Pendidikan Islam selalu dihubungkan dengan konsep mengenai kepribadian muslim atau insan kamil, atau takwa dan term yang sepadan dengannya.97 Zakiyah Daradjat menyatakan bahwa Pendidikan Islam ialah perubahan sikap dan tingkah laku sesuai dengan petunjuk ajaran Islam. Tujuannya adalah kepribadian yang mengantarkan seseorang yang membuatnya menjadi insan kamil.98 Pendidikan Islam sebagaimana dilakukan Rasulullah SAW. dimulai dari mengubah sikap dan pola pikir masyarakat, menjadikan masyarakat Islam menjadi masyarakat belajar. Berkembang menjadi
96
Syamsul Ma’arif, The Beauty of Islam dalam Cinta dan Pendidikan Pluralisme, op. cit.,
hlm. 120 97
Abdul Munir Mulkhan, Nalar Spiritual Pendidikan, Solusi Problem Filosofis Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002), hlm. 300 98 Ibid hlm. 301
62
masyarakat ilmu yaitu masyarakat yang mau dan mampu menghargai nilai-nilai ilmiah, yang dapat bertanggung jawab untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi.99 Menurut Prof. Achmadi,100 tujuan tertinggi/terakhir Pendidikan Islam, yaitu: menjadi hamba Allah yang bertakwa, mengantarkan subjek didik menjadi khalifatullah fi al-ardl yang mampu memakmurkannya, dan memperoleh kesejahteraan, kebahagiaan hidup di dunia sampai akhirat. Apakah sistem Pendidikan Islam itu sukses atau gagal dalam mewujudkan misinya, Fazlur Rahman menegaskan bahwa yang harus menciptakan kriteria riil untuk menilai sukses atau tidaknya sistem Pendidikan Islam adalah tumbuhnya pemikiran Islam yang asli, orisinal dan mencukupi.101 Sehingga rumusan Tujuan Pendidikan Islam diharapkan lebih bersifat problematis, strategis, antisipatif, menyentuh aspek aplikasi serta dapat menyentuh kebutuhan masyarakat. Karena menurut analisa Hujair AH. Sanaky, tujuan Pendidikan Islam yang ada sekarang ini dirasakan tidaklah benar-benar diarahkan pada tujuan positif, tetapi hanya diorientasikan 102 Demi tujuan itu, maka Pendidikan Islam sebenarnya masih dianggap sebagai instrumen penting. Sebab, pendidikan Islam sampai sekarang masih diyakini mempunyai peran besar dalam membentuk karakter individu-individu yang dididiknya. Dalam konteks inilah, pendidikan Islam sebagai media penyadaran umat perlu membangun teologi inklusif dan pluralis, demi harmonisasi agama-agama yang telah menjadi kebutuhan masyarakat agama sekarang.
99
Chabib Thoha, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Yogya: Pustaka Pelajar, 1996), hlm.
12 100
Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam, Paradigma Humanisme Teosentris, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 95 101 Mujamil Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam dari Metode Rasional hingga Metode Kritik, (Jakarta: Erlangga, 2004), hlm. 229 102 Hujair AH. Sanaky, op. cit.
63
Dengan
demikian,
Tujuan
Pendidikan
Islam
seharusnya
diprioritaskan untuk menumbuhkan saling menghormati kepada semua manusia yang memiliki iman berbeda atau mazhab berbeda dalam beragama, Untuk merealisasikan tujuan pendidikan Islam tersebut, lembaga pendidikan Islam perlu menerapkan sistem pengajaran yang berorientasi pada penanaman kesadaran pluralisme dalam kehidupan.103 Pendidikan Islam, merupakan sarana yang sangat efektif untuk menginternalisasi nilai-nilai atau aqidah inklusif pada peserta didik. Perbedaan agama di antara peserta didik bukanlah menjadi penghalang untuk bisa bergaul dan bersosialisasi diri. Justru pendidikan agama pada peserta didik yang berbeda agama, dapat dijadikan sarana untuk menggali dan menemukan nilai-nilai keagamaan pada agamanya masing-masing sekaligus dapat mengenal tradisi agama orang lain. Pendidikan Islam harus memandang “iman”, yang dimiliki oleh setiap pemeluk agama, bersifat dialogis artinya iman itu bisa didialogkan antara Tuhan dan manusia dan antara sesama manusia. Iman merupakan pengalaman kemanusiaan ketika berhubungan dengan-Nya (dengan begitu, bahwa yang menghayati dan menyakini iman itu adalah manusia, dan bukannya Tuhan), dan pada tingkat tertentu iman itu bisa didialogkan oleh manusia, antarsesama manusia dan dengan menggunakan bahasa manusia.104
103
Syamsul Ma’arif, The Beauty of Islam dalam Cinta dan Pendidikan Pluralisme, op. cit., hlm. 125 104 Ibid.
64
BAB III PEMIKIRAN ABDURRAHMAN WAHID TENTANG KONSEP PENDIDIKAN PLURALISME B. Biografi Abdurrahman Wahid 1. Biografi K.H. Abdurrahman Wahid yang akrab dipanggil Gus Dur, lahir di Jombang, Jawa Timur, 7 September 1940 dan meninggal di Jakarta, 30 Desember 2009 pada umur 69 tahun adalah tokoh Muslim Indonesia dan pemimpin politik yang menjadi Presiden Indonesia keempat dari tahun 1999-2001. Ia menggantikan Presiden B.J. Habibie setelah dipilih oleh MPR hasil Pemilu 1999. Penyelenggaraan pemerintahannya dibantu oleh Kabinet Persatuan Nasional. Masa kepresidenan Abdurrahman Wahid dimulai pada 20 Oktober 1999 dan berakhir pada Sidang Istimewa MPR pada tahun 2001. Tepat 23 Juli 2001, kepemimpinannya digantikan oleh Megawati
Soekarnoputri
setelah
mandatnya
dicabut
oleh
MPR.
Abdurrahman Wahid adalah mantan Ketua Tanfidziyah (Badan Eksekutif) Nahdlatul Ulama dan pendiri Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).105 a. Kehidupan Awal Walaupun Gus Dur selalu merayakan hari ulang tahunnya pada 4 Agustus, tampaknya teman-teman dan keluarganya tak sadar bahwa hari lahir Gus Dur bukanlah tanggal itu.106 Gus Dur lahir pada tanggal 7 September 1940 (4 Sya’ban 1940) di desa Denanyar, Jombang, Jawa Timur107. Ia putra pertama dari enam bersaudara. Wahid lahir dalam keluarga yang sangat terhormat dalam komunitas Muslim Jawa Timur. 105
BiografiAbdurrahmanWahid,http://kumpulanmakalahdanartikelpendidikan.blogspot.co m/2011/02/abdurrahman-wahid.html Abdurrahman Wahid 106 Di beberapa buku banyak tertulis bahwa tanggal lahir Gus Dur adalah 4 Agustus 1940. akan tetapi menurut Greg Barton ketika wawancara dengan Gus Dur, sebenarnya Gus Dur memang dilahirkan pada hari ke empat, bulan ke delapan. Padahal tanggal itu adalah menurut kalender Islam, yakni bulan Sya’ban. Tetapi pejabat catatan sipil setempat mencatat tanggal 4 Agustus sebagai tanggal lahir Gus Dur. Lihat Greg Barton, Biografi Gus Dur, terj. (Yogyakarta: LKiS, 2008), cet. VIII, hlm. 25 107 ibid
65
Secara geneologi, Abdurrahman Wahid memiliki keturunan ”darah biru” dan, menurut Clifford Geertz108, Ia termasuk golongan santri dan priyayi sekaligus. Baik dari garis keturunan ayah maupun ibunya, Abdurrahman Wahid adalah sosok yang menempati strata sosial tertinggi dalam masyarakat Indonesia.109 Kakek dari ayahnya adalah K.H. Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama (NU), sementara kakek dari pihak ibu, K.H. Bisri Syansuri, adalah pengajar pesantren pertama yang mengajarkan kelas pada perempuan. Ayah Gus Dur, K.H. Wahid Hasyim, terlibat dalam Gerakan Nasionalis dan menjadi Menteri Agama tahun 1949. Ibunya, Ny. Hj. Sholehah, adalah puteri pendiri Pondok Pesantren Denanyar Jombang. Saudaranya adalah Shalahuddin Wahid dan Lili Wahid. Ia menikah dengan Sinta Nuriyah dan dikaruniai empat putri: Alisa, Yenny, Anita, dan Inayah. Gus Dur, Tokoh fenomenal yang dikenal sebagai pemikir brilian, rasional, kiprah dan sepak terjangnya telah banyak mewarnai pelbagai bidang: politik, sosial, budaya, ekonomi, seni, dan lainnya, lahir dengan nama Abdurrahman ad Dakhil.110 "Ad Dakhil" berarti "Sang Penakluk". Lalu ditambahkan nama "Wahid" (nama ayahnya), dan kemudian lebih dikenal dengan panggilan Gus Dur. "Gus" adalah panggilan kehormatan khas pesantren kepada seorang anak Kiai yang berati "abang" atau "mas". Sejak masa kanak-kanak, Gus Dur mempunyai kegemaran membaca dan rajin memanfaatkan perpustakaan pribadi ayahnya. Selain itu, Ia juga aktif berkunjung ke perpustakaan umum di Jakarta. Pada usia belasan tahun, Gus Dur telah akrab dengan berbagai majalah, surat kabar, dan novel. di samping membaca, Ia juga hobi bermain bola, catur, dan musik. Sehingga kesenangan Gus Dur 108
Seorang ahli ilmu Antropologi asal Amerika Serikat, yang telah meneliti kebudayaan Indonesia dan menulis buku yang berjudul The Religion of Java. 109 Abudin Nata, Tokoh-Tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), hlm. 33 110 Badiatul Roziqin, dkk., 101 Jejak Tokoh Islam Indonesia, (Yogyakarta: e-Nusantara, 2009), hlm. 35.
66
terhadap
sepak
bola
menjadikannya
pernah
diminta
menjadi
komentator sepak bola di televisi. Kegemaran lainnya adalah menonton bioskop. Kesukaaannya ini menimbulkan apresiasi yang mendalam dalam dunia film. Inilah sebabanya Gus Dur pada tahun 1986-1987 diangkat menjadi Ketua Juri Festival Film Indonesia (FFI).111 b. Riwayat Pendidikan Pertama kali belajar, Gus Dur kecil belajar pada sang kakek, K.H. Hasyim Asy’ari. Saat serumah dengan kakeknya, Ia diajari mengaji dan membaca al-Qur’an di Ponpes. Tebu Ireng, Jombang. Dalam usia lima tahun Ia telah lancar membaca al-Qur’an. Selanjutnya pada usia 13 tahun, Abdurrahman Wahid harus sudah kehilangan ayahnya, yang meninggal pada usia 38 tahun karena kecelakaan mobil. Dahulu, pada saat sang ayah pindah ke Jakarta112, di samping belajar formal di sekolah, Gus Dur juga mengikuti les privat Bahasa Belanda. Guru lesnya bernama Willem Buhl, seorang Jerman yang telah masuk Islam, yang mengganti namanya dengan Iskandar. Untuk menambah pelajaran Bahasa Belanda tersebut, Buhl selalu menyajikan musik klasik yang biasa dinikmati oleh orang dewasa. Inilah pertama kali persentuhan Gus Dur dengan dunia Barat dan dari sini pula Gus Dur mulai tertarik dan mencintai musik klasik.113 Namun dalam waktu yang pendek, Gus Dur tidak terlihat sebagai siswa yang cemerlang. Pada tahun 1954, setahun setelah Ia menamatkan sekolah dasar dan memulai Sekolah Menengah Ekonomi Pertama (SMEP), Ia terpaksa mengulang kelas satu karena gagal dalam 111
Ibid, hlm. 36. Pada tahun 1949, ketika clash dengan pemerintahan Belanda telah berakhir, ayahnya diangkat sebagai Menteri Agama pertama, sehingga keluarga Wahid Hasyim pindah ke Jakarta. Dengan demikian suasana baru telah dimasukinya. Tamu-tamu yang terdiri dari para tokoh-dengan berbagai bidang profesi yang sebelumnya telah dijumpai di rumah kakeknya, terus berlanjut ketika ayahnya menjadi Menteri Agama. Hal ini memberikan pengalaman tersendiri bagi seorang anak bernama Abdurrahman Wahid. Secara tidak langsung, Gus Dur juga mulai berkenalan dengan dunia politik yang didengar dari kolega ayahnya yang sering ke rumahnya. 113 WiwitFathurrohman,BiografiGusDur, http://wiwitfatur.wordpress.com/2009/04/21/ biografi-abdurrahman-wahid/ 112
67
ujian. Kegagalan tersebut disebabkan oleh karena seringnya Ia menonton pertandingan sepak bola sehingga Ia tak mempunyai cukup waktu untuk menegerjakan pekerjaan rumah (PR). Lalu pada tahun 1954 tersebut, ketika sang ibu berjuang sendirian untuk membesarkan anaknya (karena telah ditinggalkan suaminya dalam kecelakaan maut) sementara Gus Dur sendiri kurang berhasil dalam pelajaran sekolahnya, ia dikirim ke Yogyakarta untuk melanjutkan sekolah di SMP. Di kota ini Ia berdiam di rumah seorang teman ayahnya Kiai Junaidi, seorang anggota Majlis Tarjih Muhammadiyah. Dan untuk melengkapi pendidikannya, Ia juga pergi ke pesantren al Munawwir di Krapyak yang terletak di luar kota Yogyakarta tiga kali seminggu.114 Ketika menjadi siswa SMP tersebut, hobi membacanya semakin mendapatkan tempat. Gus Dur, misalnya, didorong oleh gurunya untuk menguasai Bahasa Inggris, sehingga dalam waktu satudua tahun Gus Dur menghabiskan beberapa buku dalam bahasa Inggris. serta untuk meningkatan kemampuan bahasa Inggrisnya sekaligus untuk menggali informasi, Gus Dur aktif mendengarkan siaran lewat radio Voice of America dan BBC London. Di toko-toko buku di Yogyakarta yang menyediakan bukubuku untuk mahasiswa-mahasiswa UGM, Gus Dur dapat menemukan judul-judul buku menarik. Sebagai seorang remaja, ia mulai mencoba memahami tulisan-tulisan Plato dan Aristoteles, dua orang pemikir penting bagi sarjana-sarjana mengenai Islam zaman pertengahan. Pada saat yang sama ia bergulat memahami Das Kapital karya Marx dan What is To be Done karya Lenin, kedua buku yang mudah diperoleh di negeri ini ketika Partai Komunis Indonesia membuat kemajuan besar. Ia juga banyak tertarik pada ide Lenin tentang keterlibatan sosial secara radikal, seperti dalam Infantile Communism dan dalam Little Red Book-Mao.115 114 115
Greg Barton, op. cit., hlm. 50-51. Ibid, hlm. 56.
68
Setamat dari SMP, dari tahun 1957-1959 Gus Dur melanjutkan belajarnya di Pesantren Tegalrejo Magelang Jawa Tengah. Pesantren ini diasuh oleh K.H. Chudhari, sosok Kyai yang humanis, shaleh dan guru yang dicintai. Kyai Chudhari inilah yang memperkenalkan Gus Dur dengan ritus-ritus sufi dan menanamkan praktek-praktek ritual mistik. Di bawah bimbingan Kyai ini pula, Gus Dur mulai mengadakan ziarah ke kuburan-kuburan keramat para wali di Jawa. Setelah menghabiskan dua tahun di pesantren Tegalrejo, Gus Dur pindah kembali ke Jombang, di Pesantren Tambak Beras di bawah bimbingan KH. Wahab Chasbullah. Ia belajar di sini hingga tahun 1963 dan selama kurun waktu itu ia selalu berhubungan dengan Kiai Bisri Syansuri. Selama tahun pertamanya di Tambak Beras, Gus Dur mendapat dorongan untuk mulai mengajar. Dan kemudian ia mengajar di madrasah modern yang didirikan di kompleks pesantren dan juga menjadi Kepala sekolahnya. Selama masa ini pula ia tetap berkunjung ke Krapyak secara teratur. Di kota ini ia tinggal di rumah Kiai Ali Ma’shum. Pada masa inilah Gus Dur mengalami konsolidasi dalam studi formalnya tentang Islam dan sastra arab klasik. Di kalangan pesantren ia dianggap sebagai siswa yang cemerlang. Studinya ini banyak bergantung pada kekuatan ingatan, hampir-hampir tidak memberikan tantangan kepada Gus Dur yang mempunyai ingatan yang amat kuat walaupun ia dikenal sebagai siswa yang malas dan kurang disiplin dalam studi formalnya. Pada bulan November 1963, Gus Dur mendapat beasiswa dari Menteri Agama berangkat ke Kairo-Mesir untuk melanjutkan studi di Universitas al-Azhar.116 Pada saat ia tiba di Universitas al-Azhar, ia diberitahu oleh pejabat Universitas itu bahwa dirinya harus mengikuti kelas khusus untuk memperbaiki pengetahuan bahasa arabnya karena tidak memiliki ijazah dari pesantren, meskipun ia telah lulus berbagai studi di pondok pesantren. Di sekolah Ia merasa bosan, karena harus mengulang mata 116
Ibid, hlm. 53
69
pelajaran yang telah ditempuhnya di Indonesia. Untuk menghilangkan kebosanan, Gus Dur sering mengunjungi perpustakaan dan pusat layanan informasi Amerika (USIS) dan toko-toko buku di mana Ia dapat memperoleh buku-buku yang dikehendaki.117 Terdapat kondisi yang menguntungkan saat Gus Dur berada di Mesir, di bawah pemerintahan Presiden Gamal Abdul Nasser, seorang nasionalis yang dinamis, Kairo menjadi era keemasan kaum intelektual. Kebebasan untuk mengeluarkan pendapat mendapat perlindungan yang cukup. Pada tahun 1966 Gus Dur pindah ke Irak, sebuah negara modern yang memiliki peradaban Islam yang cukup maju. Di Irak Ia masuk dalam Departement of Religion di Universitas Baghdad sampai tahun 1970. Selama di Baghdad, Gus Dur mempunyai pengalaman hidup yang berbeda dengan di Mesir. Di kota seribu satu malam ini Gus Dur mendapatkan rangsangan intelektual yang tidak didapatkan di Mesir.118 Di kota ini Ia merasa cocok karena tidak hanya mempelajari sastra arab, filsafat, dan teori-teori sosial barat, tetapi ia bisa memenuhi hobinya untuk menonton film-film klasik. Bahkan, Gus Dur merasa lebih senang dengan sistem yang diterapkan Universitas Baghdad yang dalam beberapa segi dapat dikatakan lebih berorientasi barat dari pada sistem yang diterapkan al-Azhar. Selama belajar di Timur Tengah inilah Gus Dur menjadi Ketua Persatuan Mahasiswa Indonesia untuk Timur Tengah (1964-1970). Di luar dunia kampus, Gus Dur rajin mengunjungi makammakam keramat para wali, termasuk makam Syekh Abdul Qadir alJailani, pendiri jamaah tarekat Qadiriyah. Ia juga menggeluti ajaran Imam Junaid al-Baghdadi, seorang pendiri aliran tasawuf yang diikuti oleh jamaah NU. Di sinilah Gus Dur menemukan sumber spiritualitasnya. 117 118
http://gudang-biografi.blogspot.com/2010/01/biografi-abdurrahmanwahidbiografi.html Badiatul Roziqin, dkk., op. cit., hlm. 37
70
Selepas belajar di Baghdad Gus Dur bermaksud melanjutkan studinya ke Eropa. Akan tetapi persyaratan yang ketat tidak dapat dipenuhinya, akhirnya yang dilakukan adalah melakukan kunjungan dan menjadi pelajar keliling, dari satu Universitas ke Universitas lainnya. Pada akhirnya Ia menetap di Belanda selama enam bulan dan mendirikan Perkumpulan Pelajar Muslim Indonesia dan Malaysia yang tinggal di Eropa. Untuk biaya hidup, dua kali sebulan Ia pergi ke pelabuhan untuk bekerja sebagai pembersih kapal tanker. Gus Dur juga sempat pergi ke Mc Gill University di Kanada untuk mempelajari kajian-kajian keislaman secara mendalam. Namun, akhirnya Ia kembali ke Indonesia setelah terilhami berita-berita yang menarik sekitar perkembangan dunia pesantren.119 Pada tahun 1971, Sepulang dari Timur Tengah, Gus Dur kembali ke Jombang, menjadi guru. Ia mengajar di Fakultas Ushuluddin Universitas Tebu Ireng Jombang. Tiga tahun kemudian Ia menjadi Sekretaris Pesantren Tebu Ireng dan pada tahun yang sama, Gus Dur mulai aktif menulis. Lewat tulisan-tulisannya, gagasan dan pemikirannya, Ia mulai mendapat perhatian dari khalayak. Pada pertengahan 1970-an, secara beraturan Ia telah menjalin hubungan dengan Cak Nur dan Djohan Efendi. Karena itu, ketika pindah ke Jakarta Ia semakin intens bergabung dalam rangkaian forum akademik dan kelompok-kelompok kajian. Dari sini Gus Dur mulai sering mendapat undangan menjadi nara sumber di sejumlah forum diskusi keagamaan dan dunia pesantren, baik dalam maupun luar negeri. Semangat belajar Gus Dur memang belumlah surut. Pada tahun 1979 Gus Dur ditawari untuk belajar ke sebuah Universitas di Australia guna mendapatkkan gelar Doktor. Akan tetapi maksud yang baik itu tidak dapat dipenuhi, sebab semua promotor tidak sanggup, dan menggangap bahwa Gus Dur tidak membutuhkan gelar tersebut. 119
Greg Barton, op. cit., hlm. 104-105
71
Memang dalam kenyataannya beberapa disertasi calon doktor dari Australia justru dikirimkan kepada Gus Dur untuk dikoreksi, dibimbing yang kemudian dipertahankan di hadapan sidang akademik. Setelah pindah ke Jakarta, mula-mula Gus Dur merintis Pesantren Ciganjur. Pada awal tahun 1980, Gus Dur dipercaya sebagai Wakil Katib Syuriah PBNU. Gus Dur pun menjadi ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) pada tahun 1983. pada 1984 Gus Dur dipilih secara aklamasi oleh tim ahl halli wa al-’aqdi yang diketuai KH. As’ad Syamsul Arifin untuk menjabat ketua umum PBNU pada Muktamar ke-27 di Situbondo. jabatan tersebut kembali dikukuhkan pada Muktamar ke-28 di Pesantren Krapyak Yogyakarta (1989) dan Muktamar di Cipasung Jawa Barat (1994). Jabatan Ketua Umum PBNU kemudian dilepas ketika Gus Dur terpilih menjadi Presiden RI ke-4. selama menjadi Presiden, pemikiran beliau masih mengundang kontroversi. Sering kali pendapatnya berbeda dari pendapat banyak orang.120 Catatan perjalanan karier Gus Dur yang patut dituangkan dalam pembahasan ini adalah Ia menjadi ketua Forum Demokrasi untuk masa bakti 1991-1999, dengan sejumlah anggota yang terdiri dari berbagai kalangan, khususnya kalangan nasionalis dan non muslim. Anehnya lagi, Gus Dur menolak masuk dalam organisasi ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia). Tidak hanya menolak bahkan menuduh organisasi kaum ‘elit Islam’ sebagai dengan organisasi sektarian. Gus Dur juga pernah mengumumkan Tahun Bam Cina (Imlek) menjadi hari libur nasional dan mencabut larangan penggunaan huruf Tionghoa, berusaha membuka hubungan dengan Israel, sempat tercatat dalam keanggotaan Yayasan Shimon Peres, memisahkan Polri dari TNI, mengembalikan nama Papua, merintis perdamaian dengan GAM
120
Badiatul Roziqin, dkk., loc. cit
72
di Aceh, dan banyak "pluralisme" lain. Demokrasi juga tentu saja adalah bagian vital perjuangan seorang Gus Dur. Dari paparan tersebut di atas memberikan gambaran betapa kompleks
dan
rumitnya
perjalanan
Gus
Dur
dalam
meniti
kehidupannya, bertemu dengan berbagai macam orang yang hidup dengan latar belakang ideologi, budaya, kepentingan, strata sosial dan pemikiran yang berbeda. Dari segi pemahaman keagamaan dan ideologi, Gus Dur melintasi jalan hidup yang lebih kompleks, mulai dari yang tradisional, ideologis, fundamentalis, sampai modernis dan sekuler. Dari segi kultural, Gus Dur mengalami hidup di tengah budaya Timur yang santun, tertutup, penuh basa-basi, sampai dengan budaya Barat yang terbuka, modern dan liberal. Demikian juga persentuhannya dengan para pemikir, mulai dari yang konservatif, ortodoks sampai yang liberal dan radikal semua dialami.121 Inilah sebabnya mengapa Gus Dur selalu kelihatan dinamis dan sulit dipahami. Kebebasannya dalam berpikir dan luasnya cakrawala pemikiran yang dimilikinya melampaui batas-batas tradisionalisme yang dipegangi komunitasnya sendiri. Gus Dur wafat, hari Rabu, 30 Desember 2009, di Rumah Sakit Cipto Mangunkosumo (RSCM), Jakarta, pukul 18.45 WIB. akibat berbagai komplikasi penyakit, diantaranya jantung dan gangguan ginjal yang dideritanya sejak lama. 2. Karya-Karya Abdurrahman Wahid Sejak 1971 tulisan-tulisan
Gus Dur telah dikenal luas sebagai
representasi kaum sarungan (Pesantren), padahal jika dicermati isi tulisannya, banyak yang mengedepankan analisis progresif. Gus Dur menawarkan pandangan baru untuk menjawab persoalan-persoalan yang sedang tren saat itu. Dunia tulis-menulis Gus Dur dimulai sejak Beliau menjadi pengurus Sekolah Mu’allimat pondok pesantren Tambak Beras, Jombang. Mulai 1961, aktif mengirimkan artikelnya untuk majalah Horison dan Budaya Jawa. Tulisan-tulisannya semakin meningkat ketika 121
Wiwit Fathurrohman, op. cit.
73
Ia berada di Kairo. Pada 1964, bersama Musthofa Bishri (Gus Mus, Rembang), Gus Dur menerbitkan majalah Perhimpunan Pelajar Indonesia Kairo (PPI-Kairo). Pada 1972, Gus Dur mulai memberikan ceramah dan seminar secara berkala di sela-sela aktivitasnya menulis untuk majalah Tempo dan Kompas. Kolom-kolomnya mendapat sambutan sangat baik. Intensitas menulisnya semakin tinggi setelah LP3ES menerbitkan Jurnal Prisma yang mengedepankan pemikiran sosial yang kritis. Bagi Gus Dur, menulis atau berceramah bukan sekedar menebarkan ide-ide segar kepada masyarakat, melainkan juga berfungsi sebagai perlawanan kultural terhadap rezim yang berkuasa. Hingga tahun 2000, Incres mengumpulkan 493 tulisan Gus Dur yang terbagi dalam berbagai bentuk, yakni:122 Tabel Bentuk-Bentuk Tulisan Gus Dur No. 1 2 3 4 5 6 7 8
Bentuk Tulisan Buku Terjemahan Kata pengantar buku Epilog buku Antologi
Jumlah 12 buku 1 20 1 41 263
Artikel Kolom
105 50
Makalah Jumlah
Keterangan Terdapat pengulangan Bersama Wahid Hasyim
Tersebar di beberapa majalah dan koran Tersebar di berbagai majalah Sebagian besar tidak dipublikasikan
493
Setelah tahun 2000, terbit 3 buku kumpulan tulisan Gus Dur lainnya, yaitu Kumpulan Kolom dan artikel Abdurrahman Wahid Selama Era Lengser (60 artikel), Gus Dur Bertutur (2 artikel), dan Universalisme dan Kosmopolitanisme Peradaban Islam (20 artikel yang dimuat di
122
Munawar Ahmad, Ijtihad Politik Gus Dur Analisis Wacana Kritis, (Yogyakarta: LKiS, 2010), hlm.126-127
74
Kompas). Selain itu, publisitas tulisan Gus Dur dilakukan melalui situs internet www.gusdur.net. Spektrum intelektualitas Gus Dur mengalami perluasan dari waktu ke waktu, terutama wacana yang dikembangkannya. Temuan Incress (2000) mengidentifikasi perkembangan tersebut sesuai dengan periodesasi per sepuluh tahun, mulai 1970-2000;123 Tabel Tema-Tema Tulisan Gus Dur No.
Periode
Jumlah
1
1970-an
37
2
1980-an
189
3
1990-an
253
4
2000-an
122
Keterangan Tradisi pesantren, modernisasi pesantren, NU, HAM, reinterpretasi ajaran, pembangunan, demokrasi Dunia pesantren, NU, ideologi negara (Pancasila), pembangunan, militerisme, pengembangan masyarakat, pribumisasi Islam, HAM, modernisme, kontekstualisasi ajaran, Parpol. Pembaruan ajaran Islam, demokrasi, kepemimpinan umat, pembangunan, HAM, kebangsaan, Parpol, Gender, toleransi agama, Universalisme Islam, NU, Globalisasi. Budaya, NU dan Parpol, PKB, demokratisasi dan HAM, ekonomi dan keadilan sosial, ideologi dan negara, tragedi kemanusiaan, Islam dan fundamentalisme.
Sedangkan buku-buku kumpulan tulisan Gus Dur yang telah dipublikasikan adalah:124 a. Bunga Rampai Pesantren (Dharma Bakti, 1979) b. Muslim di Tengah Pergumulan (Lappenas, 1981) c. Kiai Menggugat Gus Dur Menjawab, Suatu Pergumulan Wacana dan Transformasi (Fatma Press, 1989) d. Universalisme dan Kosmopolitanisme Peradaban Islam (Kompas, 1991) 123 124
Ibid, hlm. 128-129 Ibid, 146
75
e. Kiai Nyentrik Membela Pemerintah (LKiS, 1997) f. Tabayun Gus Dur (LKiS, 1998) g. Islam, Negara, dan Demokrasi: Himpunan Percikan Perenungan Gus Dur (Erlangga, 1999) h. Gus Dur Menjawab Perubahan Zaman (Kompas, 1999) i. Tuhan Tidak Perlu Dibela (LKiS, 1999) j. Prisma Pemikiran Gus Dur (LKiS, 1999) k. Membangun Demokrasi (Rosda Karya, 1999) l. Mengurai Hubungan Agama dan Negara (Grasindo, 1999) m. Melawan Melalui Lelucon (Tempo, 2000) n. Pergulatan Negara, Agama, dan Kebudayaan (Desantara, 2001) o. Menggerakkan Tradisi (LKiS, 2001) p. Kumpulan Kolom dan Artikel Abdurrahman Wahid Selama Era Lengser (LKiS, 2002) q. Gus Dur Bertutur (Proaksi, 2005) r. Islamku, Islam Anda, Islam Kita (The Wahid Institute, 2006) s. Membangun Demokrasi (Rosdakarya, 1999) t. Gus Dur Menjawab Perubahan Zaman (Kompas, 1999) 3. Penghargaan Yang Diperoleh Abdurrahman Wahid a. Pada 1993, Gus Dur menerima penghargaan Ramon Magsaysay Award, sebuah “Nobel Asia” dari pemerintah Filipina. Penghargaan ini diberikan karena Gus Dur dinilai berhasil membangun landasan yang kokoh bagi toleransi umat beragama, pembangunan ekonomi yang adil, dan tegaknya demokrasi di Indonesia b. Pada akhir 1994, Gus Dur juga terpilih sebagai salah seorang Presiden WCRP (World Council for Religion and Peace-atau Dewan Dunia untuk Agama dan Perdamaian). c. Pada tahun 1996 dan 1997, majalah Asiaweek memasukkan Gus Dur dalam daftar orang terkuat di Asia. Gus Dur menjadi pemimpin besar dan diakui dunia karena pemikirannya dan gerakan sosial yang
76
dibangunnya mempunyai dampak yang luas terhadap demokrasi, keadilan dan toleransi keagamaan di Indonesia. d. Dia ditahbiskan sebagai "Bapak Tionghoa" oleh beberapa tokoh Tionghoa Semarang di Kelenteng Tay Kak Sie, Gang Lombok, pada 10 Maret 2004. e. Pada 11 Agustus 2006, Gadis Arivia dan Gus Dur mendapatkan Tasrif Award-AJI sebagai Pejuang Kebebasan Pers 2006. Gus Dur dan Gadis dinilai memiliki semangat, visi, dan komitmen dalam memperjuangkan kebebasan berekspresi, persamaan hak, semangat keberagaman, dan demokrasi di Indonesia. f. Ia mendapat penghargaan dari Simon Wiethemthal Center, sebuah yayasan yang bergerak di bidang penegakan HAM di Israel, karena dianggap sebagai salah satu tokoh yang peduli dalam persoalan HAM. g. Gus Dur memperoleh penghargaan dari Mebal Valor yang berkantor di Los Angeles karena Wahid dinilai memiliki keberanian membela kaum minoritas. h. Dia juga memperoleh penghargaan dari Universitas Temple dan namanya diabadikan sebagai nama kelompok studi Abdurrahman Wahid Chair of Islamic Studies125 Selain itu, Gus Dur juga memperoleh banyak gelar Doktor Kehormatan (Doktor Honoris Causa) dari berbagai Perguruan Tinggi ternama di berbagai negara, antara lain:126 a. Doktor Kehormatan bidang Kemanusiaan dari Netanya University, Israel (2003) b. Doktor Kehormatan bidang Hukum dari Konkuk University, Seoul, Korea Selatan (2003) c. Doktor Kehormatan dari Sun Moon University, Seoul, Korea Selatan (2003)
125
M. Hanif Dhakiri, 41 Warisan Kebesaran Gus Dur, (Yogyakarta: LKiS, 2010), hlm.
43-44 126
http://gudang-biografi.blogspot.com/2010/01/biografi-abdurrahmanwahidbiografi.html
77
d. Doktor Kehormatan dari Soka Gakkai University, Tokyo, Jepang (2002) e. Doktor Kehormatan bidang Filsafat Hukum dari Thammasat University, Bangkok, Thailand (2000) f. Doktor Kehormatan dari Asian Institute of Technology, Bangkok, Thailand (2000) g. Doktor Kehormatan bidang Ilmu Hukum dan Politik, Ilmu Ekonomi dan Manajemen, dan Ilmu Humaniora dari Pantheon Sorborne University, Paris, Perancis (2000) h. Doktor Kehormatan dari Chulalongkorn University, Bangkok, Thailand (2000) i. Doktor Kehormatan dari Twente University, Belanda (2000) j. Doktor Kehormatan dari Jawaharlal Nehru University, India (2000)127 C. Pemikiran
Abdurrahman
Wahid
Mengenai
Konsep
Pendidikan
Pluralisme Mengamati
pemikiran
Gus
Dur
memang
menarik
sekaligus
menyulitkan. Menarik karena ide-idenya sangat sederhana, tetapi mampu memberikan wawasan tersendiri dalam menganalisis persoalan, baik di Indonesia maupun di dunia. Menyulitkan karena pemikirannya terkadang keluar dari kultur yang membesarkannya (NU dan Pesantren).128 1. Dasar Pemikiran Pluralisme Abdurrahman Wahid Tulisan
Gus
Dur
berjudul
’Pengembangan
Fiqih
Secara
Kontekstual’, dipaparkan bahwa Ideologi pluralisme yang dibawa Beliau dan penghormatannya terhadap pluralitas sepenuhnya berdasarkan pemahaman yang mendalam terhadap ajaran Islam dan juga tradisi keilmuan NU sendiri. Pertama, prinsip pluralisme secara tegas diakui di dalam kitab suci. Al-Qur’an secara tegas mendeklarasikan bahwa pluralitas masyarakat dari segi agama, etnis, warna kulit, bangsa, dan 127 128
Ibid, hlm. 45-46 Munawar Ahmad, op. cit. hlm. 55
78
sebagainya, merupakan keharusan sejarah yang menjadi kehendak Allah (sunnatullah). Karena itu, upaya penyeragaman dan berbagai bentuk hegemonisasi
yang
lain,
termasuk
dalam
hal
pemahaman
dan
implementasi ajaran agama, merupakan sesuatu yang bertentangan dengan semangat dasar al-Qur’an. Pluralitas agama dan masyarakat menjadi alat uji parameter kualitas keberagamaan umat, apakah dengan pluralitas itu setiap kelompok atau umat beragama bisa hidup berdampingan secara damai dengan pemeluk agama lain dengan semangat saling belajar dan saling menghormati. Atau sebaliknya, pluralitas itu justeru menjadi alasan untuk membangun klaim-klaim kebenaran yang bersifat sektarian129 Kedua, nalar keragaman NU sepenuhnya dibangun di atas spirit pluralisme. NU mengikuti tradisi pemikiran madzhab yang menjadi pilar tegaknya peradaban fiqih. Ajaran Islam digali secara langsung dari sumbernya, tetapi melalui pemikiran, NU terhindar dari pendekatan tekstual dan interpretasi tunggal terhadap al-Qur’an dan al-Hadis. Fiqih dirumuskan sebagai hukum atau kumpulan hukum yang ditarik dari dalildalil syar’i, yaitu al-Qur’an dan al-Hadis (al-ahkam al-mustanbathah min adillatiha al-syar’iyyah). Definisi ini menurut Gus Dur, secara jelas menampakkan adanya proses untuk memahami situasi yang di situ ayat alQur’an dan al-Hadis memperoleh pengolahan untuk disimpulkan berdasarkan kebutuhan manusia.130 Di sini nyata terlihat bahwa pluralisme yang dikembangkan Gus Dur adalah revitalisasi dari ajaran Islam dan tradisi berpikir pesantren yang telah berkembang selama-berabad-abad. Toleransi yang diajarkan dan dipraktekkan Gus Dur tidak sekedar menghormati dan menghargai keyakinan atau pendirian orang lain dari agama yang berbeda, tetapi juga disertai kesediaan untuk menerima ajaran-ajaran yang baik dari agama lain, dalam sebuah tulisannya yang
129 130
M. Hanif Dhakiri, op. cit. hlm. 63-64 Ibid, hlm. 67
79
berjudul Intelektual di Tengah Eksklusivisme, Gus Dur pernah mengatakan: Saya membaca, menguasai, menerapkan al-Qur’an, al-Hadis, dan kitab-kitab Kuning tidak dikhususkan bagi orang Islam. Saya bersedia memakai yang mana pun asal benar dan cocok dan sesuai hati nurani. Saya tidak mempedulikan apakah kutipan dari Injil, Bhagawad Gita, kalau bernas kita terima. Dalam masalah bangsa, ayat al-Qur’an kita pakai secara fungsional, bukannya untuk diyakini secara teologis. Keyakinan teologis dipakai dalam persoalan mendasar. Tetapi aplikasi adalah soal penafsiran. Berbicara masalah penafsiran berarti bukan lagi masalah teologis, melainkan sudah menjadi masalah pemikiran.131 2. Pandangan Pluralisme Abdurrahman Wahid Dalam QS. Ali Imran: 85 yang artinya: ”Barang siapa mengambil selain Islam sebagai agama, maka amal kebajikannya tidak akan diterima oleh Allah, dan dia di akhirat kelak akan menjadi orang yang merugi”, Gus Dur memberikan penjelasan bahwa ayat tersebut jelas menunjuk kepada masalah keyakinan Islam yang berbeda dengan keyakinan lainnya, dengan tidak menolak kerjasama antara Islam dengan berbagai agama lainnya.132 Dalam pidato perayaan Natal pada tanggal 27 Desember 1999 di Balai
Sidang
Senayan
Jakarta,
misalnya,
Abdurrahman
Wahid
menyampaikan : Saya adalah seorang yang menyakini kebenaran agama saya, tapi ini tidak menghalangi saya untuk merasa bersaudara dengan orang yang beragama lain di negeri ini, bahkan dengan sesama umat beragama. Sejak kecil itu saya rasakan. Walaupun saya tinggal di lingkungan pasantren, hidup dikalangan keluarga kiai, tak pernah sedikitpun saya merasa berbeda dengan yang lain.133
131
Abdurrahman Wahid, Prisma Pemikiran Gus Dur, (Yogyakarta: LKiS, 2010), cet. II,
hlm. 204 132
Menurut Gus Dur, Hal inilah yang membedakan amal sholeh yang merujuk pada amal baik seorang Muslim dengan amal khoir atau amal baik non muslim. Kalau amal saleh itu akan sampai kepada Allah dan akan diterima oleh Nya, sedangkan amal khair tidak demikian, dan hanya akan menjadi fatamorgana. 133 Rumadi, “Dinamika Agama dalam Pemerintahan Gus Dur”, dalam Khamami Zada (ed) Neraca Gus Dur di Panggung Kekuasaan (Jakarta: LAKPESDAM), hlm. 144
80
Perbedaan keyakinan tidak membatasi atau melarang kerjasama antara Islam dan agama-agama lain, terutama dalam hal-hal yang menyangkut kepentingan umat manusia. Penerimaan Islam akan kerjasama itu tentunya akan dapat diwujudkan dalam praktek kehidupan, apabila ada dialog antaragama. Dengan kata lain prinsip pemenuhan kebutuhan berlaku dalam hal ini, seperti adagium ushul fiqh/teori legal hukum Islam: ”sesuatu yang membuat sebuah kewajiban agama tidak terwujud tanpa kehadirannya, akan menjadi wajib pula (Ma la yatimmu al wajibu illa bihi fahuwa wajibun)”. Kerjasama tidak akan terlaksana tanpa dialog, oleh karena itu dialog antaragama juga menjadi kewajiban.134 Tentang pluralitas, seperti terdapat dalam QS. al-Hujurat: 13, menurut Gus Dur, ayat tersebut menunjuk kepada perbedaan yang senantiasa ada antara laki-laki dan perempuan serta antar berbagai bangsa atau suku bangsa. Dengan demikian, perbedaan merupakan sebuah hal yang diakui Islam, sedangkan yang dilarang adalah perpecahan dan keterpisahan. Tentu saja adanya berbagai keyakinan itu tidak perlu dipersamakan secara total, karena masing-masing memiliki kepercayaan atau aqidah yang dianggap benar. Demikian pula kedudukan penafsiran-penafsiran aqidah itu. Umat Katholik sendiri memegang prinsip itu. Seperti dalam Konsili Vatikan II yang dipimpin Paus Yohannes XXIII dari tahun 19621965, menyebutkan bahwa para Uskup yang menjadi peserta menghormati setiap upaya mencapai kebenaran, walaupun tetap yakin bahwa kebenaran abadi hanya ada dalam ajaran agama mereka. jadi keyakinan masingmasing tidak perlu diperbandingkan atau dipertentangkan.135 Di sinilah nantinya tebentuk persamaan antaragama, bukannya dalam ajaran atau aqidah yang dianut, namun hanya pada tingkat capaian materi. Karena ukuran capaian materi menggunakan bukti-bukti kuantitatif seperti tingkat penghasilan rata-rata masyarakat. 134
Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam Kita, (Jakarta: The Wahid Institute, 2002), hlm. 133-134 135 Ibid
81
3. Cara Menyikapi pluralisme Menurut Gus Dur, pluralisme di tanah air disimbolisasi dengan banyak hal, utamanya agama, suku, dan bahasa. Tetapi ada hal yang banyak dilupakan oleh banyak kalangan, yaitu pluralisme makanan. Ekspresi
dan
manifestasi
pluralisme
dalam
makanan
semakin
memperkukuh entitas kebhinekaan yang mewujud dalam bangsa ini. Ketika berkunjung ke tempat manapun, yang paling menarik dan menjadi salah satu kekuatan adalah aneka macam menu makanan dengan variannya. Bahkan, belakangan soal pluralisme makanan tersebut dijadikan sebagai salah satu acara di stasiun televisi, yang dikenal dengan wisata kuliner.136 Gus Dur memandang bahwa siapapun yang memahami realitas keragaman masakan yang hampir dimiliki oleh setiap daerah di seluruh pelosok negeri ini, maka pemahamannya terhadap pluralisme justru akan semakin kokoh. Keragaman masakan yang kita miliki sebenarnya merupakan unsur kekuatan, bukan unsur ancaman. Ia semakin menjadikan kita sehat secara jasadi dan sehat secara ruhani. Makanan yang begitu banyak aneka ragamnya telah menjadi fakta bahwa pluralisme atau kebhinekaan merupakan rahmat Tuhan yang harus didayagunakan untuk kemajuan bangsa. Belajar dari pluralisme makanan, maka kita sebenarnya dapat merayakan manfaat dari pluralisme. Pluralisme bukanlah ide yang menyatakan semua agama sama. Kita semua mengakui dan menyadari bahwa setiap agama mempunyai ajaran
yang berbeda-beda. Tetapi perbedaan tersebut bukanlah alasan
untuk menebarkan konflik dan perpecahan. Perbedaan justru dapat dijadikan sebagai katalisator untuk memahami anugerah Tuhan yang begitu nyata untuk senantiasa merajut keharmonisan dan toleransi. Oleh sebab itu, perbedaan dan keragaman merupakan keniscayaan yang tidak dapat dihindari. Apalagi dalam perbedaan dan keragaman tersebut 136
Maman Imanulhaq Faqih, Fatwa dan Canda Gus Dur, (Jakarta: Kompas, 2010),
hlm.148
82
tersimpan keistimewaan, yang mana antara kelompok yang satu dengan kelompok lain bisa saling mengisi dan menyempurnakan.137 Restoran merupakan ruang publik yang sebenarnya dapat memperkokoh pluralisme, karena di situlah perbedaan dirayakan dalam konteks menentukan eksistensi setiap kelompok dengan basis saling menghargai dan menghormati. Sebab itu kebiasaan Gus Dur dalam menyantap aneka ragam menu masakan di negeri ini merupakan salah satu apresiasi terhadap pluralisme dan bagaimana menyikapinya dengan positif dan konstruktif. Menurut Gus Dur, Setidaknya ada tiga hal mendasar yang bisa dilakukan sebagai ikhtiar mengurangi berbagai bentuk ancaman terhadap kemajemukan bangsa, Pertama, penegakan hukum secara tegas terhadap pelaku tindak kekerasan dan pemaksaan kehendak yang mengatasnamakan agama.
Kedua,
ormas-ormas
keagamaan
harus
didorong
untuk
mengedepankan dialog dan kerjasama dalam berbagai bidang sosial dan kebudayaan sehingga toleransi dapat ditumbuhkan secara menyeluruh. Ketiga, nilai-nilai toleransi perlu ditanamkan dan diajarkan sejak dini dan berkelanjutan kepada anak-anak mulai dari Sekolah Dasar sampai Perguruan Tinggi.138 4. Pluralisme dalam Konteks Keindonesiaan Wajah budaya Indonesia yang bhineka menuntut sikap toleran yang tinggi dari setiap anggota masyarakat. Sikap toleransi tersebut harus dapat diwujudkan oleh semua anggota dan lapisan masyarakat sehingga terbentuklah suatu masyarakat yang kompak tapi beragam sehingga kaya akan ide-ide baru.139 Serta hubungan antaragama di Indonesia selama kurun waktu 30 tahun terakhir ini telah berkembang dalam berbagai dimensinya, yang
137
Ibid, hlm. 149 A. Muhaimin Iskandar, Melanjutkan Pemikiran dan Perjuangan Gus Dur, (Yogyakarta, LKiS, 2010), hlm. 19-20 139 HAR. Tilaar, Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Madani Indonesia, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2002), cet. III hlm. 180 138
83
secara kualitatif telah merubah, dan pada saat yang sama dipengaruhi oleh perkembangan pemikiran keagamaan di kalangan umat beragama itu sendiri. Hal ini minimal dapat ditelusuri pada pemikiran keagamaan kaum muslimin, dalam sosoknya yang tampak balau pada saat ini. Sebagaimana telah diketahui sejarah bangsa kita, Islam datang di kawasan ini dalam bentuk dan corak yang heterogen. Dalam garis besarnya, Islam datang dalam bentuk utusan-utusan politik, para pedagang dan para sufi.140 Heterogenitas asal usul Islam di Indonesia menunjukkan variasi sangat tinggi dalam pengalaman menjalani hubungan antaragama yang dibawa oleh kaum Muslimin ke negeri ini. Dalam pola sinkretik kehidupan beragama orang Islam di keraton Mataram hingga puritanisme Islam yang kemudian meletus dalam perang Paderi di Sumatera Barat pada paruh pertama abad yang lalu, terbentang spektrum luas dengan manifestasi hubungan antar beragama yang sangat beragam. Muslimin masyarakat Jawa menerima ”kekeramatan” bertemunya hari penting Arab Jum’at dan Hari Jawa Kliwon atau Legi, dengan melakukan ibadah ekstra pada hari tersebut. Begitu juga mereka menyebut hari Ahad dengan hari Minggu,141 serta mereka menjadikan hari tersebut sebagai hari tutup kantor dan tutup sekolah dengan mengganti kesibukan seperti majlis ta’lim serta pengajian umum. Perubahan ”Hari Kristen” menjadi ”Hari Islam”, tanpa merubah penyebutan nama harinya itu menunjukkan keindahan mozaik kerukunan hidup antara umat beragama yang menyejukkan hati dan menentramkan jiwa. Namun, tantangan modernisasi yang datang dari Barat ternyata menumbuhkan sikap-sikap baru di kalangan kaum muslimin, yang memerlukan pengamatan teliti.142
140
Abdurrahman Wahid, “Hubungan antar-Agama, Dimensi Internal dan Eksternalnya di Indonesia” dalam Adurrahman Wahid, dkk., Dialog: Kritik dan Identitas Agama, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1993), hlm. 3 141 Minggu berasal dari kata domingo yang berarti hari Tuhan bagi orang-orang Katolik Portugal, dan kemudian diikuti orang-orang Eropa lain untuk pergi ke gereja. 142 Ibid, hlm. 6-7
84
Pluralitas masyarakat Indonesia sendiri sekurang-kurangnya bisa dilihat sebagai fakta dalam dua sisi. Sisi pertama: pluralitas suku, agama, dan budaya serta berbagai turunannya. Sisi kedua: pluralitas di internal suku, agama, dan budaya itu sendiri. Dalam Islam misalnya, terdapat berbagai aliran yang secara formal sering kali berseberangan. Demikian juga di dalam agama, budaya dan suku yang lain. Toleransi yang diajarkan Gus Dur merupakan ajaran semua agama dan budaya, apalagi dalam masyarakat majemuk dan multikultur seperti Indonesia. Namun, toleransi yang diajarkan dan dipraktekkan Gus Dur berbeda dari tokoh-tokoh agama lain. Gus Dur mengajarkan toleransi plus, yaitu kalau kebanyakan orang membudayakan toleransi sebatas pada hidup berdampingan secara damai, yaitu hidup bersama dalam suasana saling menghormati dan menghargai. Tidak demikian dengan Gus Dur. Dalam menyikapi pluralitas tersebut, Gus Dur menegaskan bahwa tegaknya pluralisme
masyarakat
bukan
hanya
terletak
pada
pola
hidup
berdampingan secara damai (peaceful coexistence), karena hal demikian masih sangat rentan terhadap munculnya kesalah-pahaman antarkelompok masyarakat yang pada saat tertentu bisa menimbulkan disintegrasi. Lebih dari itu penghargaan terhadap pluralisme berarti adanya kesadaran untuk saling mengenal dan berdialog secara tulus sehingga kelompok yang satu dengan yang lain bisa saling memberi dan menerima.143 Selama tahun 2008, masih ada beberapa elemen bangsa yang mempermasalahkan pluralisme. Padahal pluralisme adalah keniscayaan bangsa Indonesia. Menurut Gus Dur, kelompok yang menolak pluralisme itu akibat ketidaktahuan terhadap sejarah lahirnya Bangsa Indonesia. Salah satu cara mengatasinya, kata Gus Dur, Bangsa Indonesia harus membangun batasan bersama. Batasan itu adalah penghargaan terhadap
143
Tulisan ini diambil dari makalah Gus Dur berjudul “Pluralisme Agama dan Masa Depan Indonesia”, disampaikan pada seminar di UKSW, th. 1992. lihat M. Hanif Dhakiri, op.cit. hlm. 120
85
pluralisme tidak akan diutak-atik. Batasan ini juga berlaku saat membahas Undang-Undang Dasar Negara.144 Konsep toleransi yang dikembangkan Gus Dur meniscayakan adanya kebenaran yang datang dari agama atau peradaban lain. Namun, jika kerendahan hati seperti itu bisa dikembangkan secara terus menerus, maka toleransi di tengah masyarakat, akan semakin menemukan polanya yang dengan sendirinya kerukunan antaragama akan menjadi bagian tak terpisahkan dari dinamika masyarakat dan suasana saling belajar, melengkapi dan mengisi akan menciptakan kultur keberagamaan yang matang dan dewasa. Jika sudah demikian, maka dengan sendirinya perbedaan agama dan keyakinan akan menjadi sumber kekuatan yang sangat dahsyat bagi perubahan dalam persaudaraan.145 5. Aktualisasi Pemikiran Pluralisme Abdurrahman Wahid Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat memimpin upacara pemakaman Gus Dur di lingkungan Ponpes. Tebu Ireng Jombang, 31 Desember 2009, secara terbuka mengakui Gus Dur sebagai Bapak Pluralisme. Jauh sebelumnya, tepatnya pada 24 Agustus 2005 sejumlah tokoh Lintas Agama, Jaringan Doa Nasional Tionghoa Indonesia dan warga Ahmadiyah menganugerahi Gus Dur sebagai Bapak Pluralisme Indonesia. Penganugerahan ini disampaikan di gedung PBNU, jalan Kramat Raya 164 Jakarta Pusat. Kepedulian Gus Dur terhadap kasus-kasus internasional yang beberapa diantaranya kontroversial termasuk hubungannya dengan Israel, maupun kasus kekerasan etnik dan keagamaan serta kasus yang berkaitan dengan HAM dan demokrasi di Indonesia, misalnya: persoalan Ahmadiyah, kasus Monitor, ICMI, Ulil Abshar Abdalla, Inul, peristiwa Banyuwangi dan pembunuhan di Jawa Timur tahun 1998, Sambas di Kalimantan Barat, peristiwa Ambon di Maluku, GAM di Aceh, masalah Timor Timur, persoaalan Etnis China, tidak hanya dibuktikan pada level 144
Catatan Akhir Tahun 2008 Gus Dur, Pluralisme di Indonesia Mengalami Krisis, http://wahidinstitute.org 145 Ibid, hlm. 120
86
pemikiran belakan, namun Gus Dur selalu tampil sebagai pembela pada level praktis. a. Jama’ah Ahmadiyah Ketika
banyak
kelompok
menghujat
dan
berusaha
menyingkirkan kelompok lain yang dianggap sesat dengan cara-cara kekerasan dan penistaan seperti yang sering dialami jamaah Ahmadiyah, Gus Dur selalu tampil sebagai pembelanya. Bukan berarti Gus Dur setuju dengan keyakinan Ahmadiyah itu, tetapi Ia sangat menghormati keyakinan seseorang. b. Kasus Monitor Kasus Monitor pada bulan Oktober 1990, di mana tabloid tersebut dirusak massa yang mengatasnamakan Islam gara-gara sebuah surveinya yang menyinggung perasaan umat Islam. Menurut Gus Dur, kasus monitor menunjukkan bahwa kelompok dalam masyarakat ingin memanipulasi isu-isu agama untuk mengedepankan kepentingan mereka. Sehingga beliau mendirikan Forum Demokrasi untuk memperjuangkan demokrasi di Indonesia c. Munculnya ICMI Berdirinya ICMI pada Desember 1990. Menurut Gus Dur, ICMI merupkan alat eksploitasi politik terhadap agama yang mengutamakan kepentingan kelompok eksklusif yang sempit di atas kepentingan nasional. ICMI akan mengaliansikan non-Muslim dan memperburuk pembelahan dan salah paham yang sudah kuat dalam masyarakat Indonesia selama ini antara kelompok keagamaan, kesukuan dan budaya yang berbeda. Peristiwa ini pula yang melatarbelakangi Gus Dur mendirikan Forum Demokrasi. d. Pembelaan terhadap Ulil Abshar Abdalla, Inul Daratista, dan kelompok yang dituduh Komunis. Ia tanpa ragu membela Ulil Abshar Abdalla, seorang intelektual muda NU yang juga tokoh muda “Islam Liberal” yang mengemukakan Liberalisme Islam, sebuah pandangan yang sama sekali baru dan
87
memiliki sejumlah implikasi yang sangat jauh, misalnya anggapan bahwa Ulil akan mempertahankan kemerdekaan berpikir seorang santri demikian bebasnya, sehingga meruntuhkan asas-asas keyakinannya sendiri akan kebenaran Islam. Itulah sebabnya mengapa demikian besar reaksi orang terhadap pemikirannya ini. Seperti diketahui bahwa sejumlah ulama’ serta aktifis Islam tertentu menilai pemikiran Ulil telah sesat dan keluar dari Islam, dan karena itu Ia layak dihukum mati. Menurut Gus Dur, kemerdekaan berpikir adalah sebuah keniscayaan dalam Islam. Demikian juga dalam kasus Inul Daratista, perempuan lugu dan sederhana ini dicerca keras oleh sebagian Tokoh Agama, Majelis Ulama’, dan Seniman karena goyang ngebornya dianggap melanggar batas-batas kesusilaan umum. Mereka menggunakan justifikasi fatwafatwa keagamaan untuk melarang Inul tampil di depan publik. Di tengah kontroversi itu, Gus Dur tampil melindungi dari gempuran kecaman dan panasnya opini publik yang menekan Inul. Pembelaan Gus Dur didasarkan pada melindungi Hak Asasi wong cilik dari hegemoni elit keagamaan dan klaim atas moralitas kesenian yang agak represif. Dalam pembelaannya terhadap mereka yang diperlakukan tidak manusiawi karena dituduh sebagai anggota kelompok Komunis. Karena itu, ketika Ia menjadi Presiden, Gus Dur mengusulkan pencabutan TAP No. XXV/MPRS/1966 soal pelarangan penyebaran ajaran Komunisme, Marxisme dan Leninisme. Namun usul tersebut akhirnya ditolak. Dalam rapat yang berlangsung hari Senin 29 Mei 2000, seluruh fraksi MPR yang ada di panitia Ad Hoc II badan pekerja (PAH II BP) MPR menolak usul Gus Dur tersebut. Para anggota MPR tampaknya masih sulit membedakan antara Komunisme sebagai
88
ideologi (pengetahuan) dan Komunisme sebagai gerakan partai (G 30 S PKI).146 e. Peristiwa Banyuwangi dan Pembunuhan di Jawa Timur Tahun 1998 Pembunuhan yang konon dilakukan oleh para Ninja berpakaian serba hitam itu telah memakan korban 200 orang lebih, terbukti bahwa orang yang terlibat dalam pembunuhan ini mempunyai pendidikan militer dan terorganisir dengan baik. serta menginginkan kerusuhan sosial di masyarakat. Perlu dicatat bahwa sebagian korban peristiwa itu adalah anggota NU yang memiliki kedudukan sebagai Ulama’ di daerah mereka. Respon Gus Dur terhadap pembunuhan tersebut adalah dengan mengunjungi Banyuwangi dan mendorong para tokoh agama lokal untuk menahan diri dari godaan untuk merespons kekerasan ini dengan kekerasan. f. Sambas di Kalimantan Barat Daerah ini mempunyai sejarah konflik yang panjang, khususnya antara transmigran Madura dengan penduduk lokal Dayak dan masyarakat Melayu. secara kebetulan penduduk asal Madura mempunyai hubungan dengan NU. mempelajari akar konflik itu, sering dikatakan bahwa elemen-elemen kekerasan etnik dan agama berakar pada kenyataan bahwa dalam konflik itu masyarakat Dayak yang Kristen bekerja sama dengan masyarakat Melayu yang Muslim dan karenanya kerusuhan itu berkaitan dengan faktor sosio-ekonomi. Meski selama hari-hari sibuk pra-kampanye, Gus Dur menyempatkan diri untuk mengunjungi langsung daerah sengketa tersebut untuk bertemu dengan para pemimpin lokal dan meminta respons mereka dengan sabar dan dewasa terhadap persoalan yang sangat kompleks ini. serta kunjungan meredamkan konflik tersebut terus berlanjut pada kesempatan berikutnya. saat itu beliau ditemani oleh Alwi Shihab untuk bertemu dengan kelompok yang terdiri atas ratusan pemimpin lokal, mengadakan makan siang bersama dan 146
M. Hanif Dhakiri, op. cit., hlm.72
89
membincangkan isu kekerasan dan peranan agama dan etnisitas. baik Alwi maupun Gus Dur berbicara dengan baik, sabar dan penuh keyakinan serta agaknya punya pengaruh besar terhadap para pendengarnya. sulit untuk menentukan sampai mana kunjungan singkat tersebut bersifat instrumental dalam pencapaian perubahan yang cepat, tetapi yang jelas Gus Dur konsisten dengan posisinya, memberikan prioritas untuk mendorong pemimpin agama lokal dan pemimpin masyarakat untuk menghindari kekerasan. g. Peristiwa Ambon di Maluku Di Ambon, tak lama setelah pecah kekerasan dan kondisinya saat itu benar-benar tegang sehingga tidak mungkin mengadakan pertemuan dengan kubu pemimpin Muslim maupun Kristen seperti yang direncanakan. meski demikian, Gus Dur tetap bertemu dengan para pemimpin masyarakat lokal dan membujuk mereka agar bersabar dan toleran dan menahan kekerasan. sulit sekali untuk mengukur arti kunjungan Gus Dur tersebut yang teramat penting, Gus Dur merasa perlu untuk mengunjungi dan mempertaruhkan reputasi persoalannya untuk mencari jalan pemecahan. h. GAM di Aceh Kunjungan Gus Dur ke Aceh pada bulan Mei 1999 adalah atas undangan mahasiswa Aceh untuk berbicara masalah-masalah yang dihadapi Aceh, khususnya berkaitan dengan kekerasan yang sedang dan terus berlangsung di Aceh di tangan militer/TNI dan semakin kuatnya Gerakan Aceh Merdeka (GAM). di sana Ia juga mengunjungi para pemimpin komunitas agama walaupun banyak diantaranya bukan anggota PKB, karna saat itu adalah saat menjelang kampanye. meski sibuk menyiapkan kampanye, Gus Dur tetap menyempatkan untuk meredamkan konflik Aceh padahal Ia juga tahu bahwa Aceh bukanlah basis PKB. ini menunjukkan kunjungan tersebut memang murni dorongan hati nurani beliau.
90
i. Masalah Timor Timur Dalam seluruh aktivitas untuk menyelesaikan kekerasan ini, pelanggaran HAM dan konflik yang sedang berlangsung, satu persoalan penting muncul di hadapan Gus Dur dan dituntut untuk segera disikapi untuk merespons pasukan internasional penjaga perdamaian di Timor Timur. pada bulan September 1999, Gus Dur membuat serangkaian komentar keras, khususnya diarahkan pada pemerintahan Australia dan juga lembaga-lembaga lain yang dianggap mencampuri urusan internal Indonesia. j. Persoalan Etnis China. Gus Dur sengaja melakukan hubungan dengan Beijing dan orang-orang China, baik di daratan China maupun seluruh Asia Tenggara. di samping untuk membantu orang-orang China di Indonesia sebagai WNI, juga menjadi pemikiran penting sebagai pendewasaan masyarakat Indonesia. karena itu dia nyatakan tujuan akhirnya adalah dihapuskannya diskriminasi atas orang-orang China Indonesia. bahkan dalam situasi yang tidak menguntungkan pun, berkaitan dengan resiko politik, dia telah menunjukkan dukungannya bagi orang-orang China, Kristen, dan masyarakat minoritas lainnya. Pada tanggal 10 Maret 2004, beberapa tokoh Tionghoa Semarang di Kelenteng Tay Kak Sie, Gang Lombok, yang selama ini dikenal sebagai kawasan pecinan di Semarang Jawa Tengah, mentahbiskan Gus Dur sebagai Bapak Tionghoa. Gus Dur bukan hanya banyak melahirkan pemikiran dan kebijakan yang menghormati masyarakat Tionghoa, tetapi juga mensejajarkan mereka dengan semua kelompok yang ada di bumi Nusantara dari berbagai agama, suku dan adat-istiadat yang berbeda. Pada level praktis dan kebijakan, pembelaan Gus Dur terhadap kelompok dan etnis Tionghoa dibuktikan secara nyata. Saat Ia menjadi Presiden, hari raya Imlek bisa diperingati dan dirayakan dengan bebas. Warga Tionghoa tidak perlu lagi harus sembunyi-sembunyi jika
91
merayakannya. Kebebasan ini tak lepas dari keputusan politik Gus Dur yang pada 17 Januari 2000 mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 6 tahun 2000, isinya mencabut Inpres nomor 14/1967 yang dibuat Soeharto tentang agama, kepercayaan, dan adat-istiadat China. Dengan Inpres No 14/1967 rezim Orde Baru yang represif telah membuat Imlek terlarang dirayakan di depan publik; Barongsai, Liang Liong harus sembunyi; huruf-huruf atau lagu Mandarin tidak boleh diputar di radio.147 k. Konflik Filipina Seiring dengan berjalannya waktu, Gus Dur telah tumbuh berkembang reputasinya bukan hanya sebagai pemimpin agama yang memiliki komitmen terhadap nilai toleransi, tetapi juga seorang pemikir yang independen dan bijaksana, pada kunjungan ke Jakarta pada September 1993, Presiden Filipina, Fidel Ramos mencuri kesempatan untuk berkonsultasi dengan Gus Dur berkaitan dengan masalah perselisihan Muslim Moro di bagian selatan Pulau Mindanao agar dapat diselesaikan tanpa konflik senjata, Gus Dur sepakat dengan menambahkan bahwa: “semakin lama masyarakat Islam dibiasakan dengan konflik bersenjata, semakin lama pula mereka diharuskan berjuang mengatasi kemundurannya”, Ramos kemudian mengundang Gus Dur untuk mengunjungi Filipina dan membantu berunding dengan Front Pembebasan Moro. permintaan yang diresponnya pada tahun berikutnya. lebih menarik lagi itu dua pekan sebelum kunjungan Ramos ke Jakarta, Gus Dur dianugerahi salah satu hadiah paling bergengsi di Filipina dan Asia Tenggara, yaitu Magsaysay Award (sebagai keterlibatan Gus Dur yang luas dalam upaya untuk mengembangkan toleransi beragama). l. Hubungan Diplomatik dengan Israel Dalam hal ini dukungan Gus Dur untuk membuka hubungan diplomatik dengan Israel. sangatlah penting untuk menimbang konteks 147
Hanif Dhakiri, op. cit. hlm. 71
92
historis posisi kebijakan Gus Dur, khususnya dalam pertemuanpertemuan sebelumnya dengan Israel. Gus Dur sendiri telah memberikan berbagai macam alasan bahwa hubungan tersebut berkaitan dengan pembangunan ekonomi dan perwujudan kemauan baik pada Israel itu sendiri. Jika Indonesia dapat membuka hubungan dengan Israel, maka Indonesia akan memiliki posisi yang sangat kuat untuk memperkuat argumentasi bagi perbaikan sosial dan politik di Timur Tengah, khususnya Israel dengan Palestina. dalam konteks ini, Gus Dur mengatakan bahwa sebagai Muslim terbesar di dunia, sangatlah tepat jika Indonesia memainkan peranan penting bagi perdamaian Israel dan Palestina. sudah pasti normalisasi hubungan diplomatik dengan Israel sangat terikat dengan suksesnya perdamaian itu. Inilah yang mendasari Gus Dur ketika pertama kali mengunjungi Israel pada bulan oktober 1994 untuk menjadi saksi kemajuan proses perdamaian antara Israel dengan negara-negara “Arab”. Gus Dur berempat, ditemani oleh tokoh utama dialog antaragama.148
148
Ibid
93
BAB IV ANALISIS TERHADAP PEMIKIRAN ABDURRAHMAN WAHID TENTANG KONSEP PENDIDIKAN PLURALISME DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM Memasuki pembahasan analisis ini, penulis menekankan pada metode hermeneutik, yakni metode penafsiran atau interpretasi. Menurut cerita mitologis Yunani, hermeneutik diambil dari nama tokoh yang bernama Hermes, yaitu seorang utusan yang bertugas menyampaikan pesan kepada manusia. Tugas Hermes menerjemahkan pesan-pesan dari Dewa di gunung Olympus ke dalam bahasa yang dapat dimengerti oleh umat manusia. Fungsi Hermes menjadi penting sebab apabila terjadi kesalahpahaman tentang pesan-pesan Dewa akibatnya akan fatal bagi seluruh umat manusia. Maka Hermes harus mempunyai kemahiran khusus sehingga mampu menginterprestasikan atau menyadur pesan-pesan itu ke dalam bahasa yang digunakan oleh yang diajak bicara. Sejak itulah Hermes menjadi simbol seorang yang dibebani misi tertentu, sehingga berhasil tidaknya misi itu tergantung pada metode atau cara penyampaian pesan itu.149 Oleh karena itu hermeneutik pada akhirnya diartikan sebagai proses mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi mengerti.150 Hermeneutik sebagai suatu metode diartikan sebagai cara menafsirkan simbol yang berupa teks atau benda kongkrit untuk dicari arti dan maknanya. Metode ini mensyaratkan adanya kemampuan untuk menafsirkan masa lampau yang tidak dialami, kemudian dibawa ke masa sekarang. Semula hermeneutik digunakan untuk menafsirkan kitab suci keagamaan yang kemudian dikembangkan dalam ilmuilmu humaniora dan termasuk di dalamnya ilmu filsafat. Hermeneutik sebagai filsafat bahasa mempunyai sejarah yang sangat panjang. Sejak Plato, Aristoteles, abad tengah, Renaissans, dan abad 19 M serta
149 Sudarto, Metodologi Penelitian Filsafat, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), cet. ke-3, hlm.84 150 E. Sumaryono, Hermeneutik Sebuah Metode Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1999), hlm. 23
94
abad 20 M. dikenal perkembangan filsafat bahasa yang namanya semantics. Semantik yang berkembang pada abad 20 M. telah menjadi tumpang tindih dengan hermeneutik phenomenologik. Garis batas antara strukturalisme semiotik atau semantik dengan hermeneutik bahasa kabur atau tumapang tindih. Semantik lebih berorientasi pada pemaknaan syntaxtical, adapun hermeneutik lebih ke pemahaman isi.151 Pada dasarnya semua objek itu netral, sebab objek adalah objek. Hanya subjeklah yang kemudian memberi ”pakaian” arti pada objek. Subjek dan objek adalah term-term yang korelatif atau saling menghubungkan diri satu sama lain. Tanpa subjek, tidak akan ada objek. Arti atau makna diberikan kepada objek oleh subjek sesuai dengan cara pandang subjek.152 Berkaitan dengan analisis terhadap pemikiran Abdurrahman Wahid tentang konsep pendidikan pluralisme dalam perspektif pendidikan islam, penulis menggunakan
metode
hermeneutik
tersebut
untuk
menginterprestasikan
pemikiran-pemikiran Abdurrahman Wahid dengan menggunakan bahasa yang dipakai penulis sendiri. Ibarat sebuah teks, Gus Dur banyak dibaca, diamati, dan bahkan ditafsirkan banyak orang atas apa yang diucapkan dan menjadi sikap kepribadiannya. Memahami Gus Dur tentu saja tak bisa lepas dari apa yang tampak secara kasat mata semata. Dengan penuturannya yang lugas dan mudah dicerna banyak kalangan, Gus Dur sesungguhnya tengah melakukan diagnosa situasi nasional dan problem keumatan yang melalui tulisannya pula Ia melempar gagasan yang berani dan konstruktif. Semuanya Ia lakukan tidak lain sebagai ikhtiar membingkai kehidupan masyarakat dan bernegara di masa depan yang lebih kondusif, ada jaminan hukum yang adil dan terciptanya harmonisasi yang maksimal diantara sesama umat manusia.
151
Noeng Muhadjir, Filsafat Ilmu, Kualitatif & Kuantitatif untuk Pengembangan Ilmu dan Penelitian, (Yogyakarta: Rake Sarasin, 2006), cet. ke-3, hlm. 153 152 E. Sumaryono, op. cit., hlm. 30
95
B. Analisis Tentang Konsep Pendidikan Pluralisme Menurut Abdurrahman Wahid 1. Terbentuknya Watak Pluralisme Abdurrahman Wahid Dari lacakan epitemologis, Gus Dur bukanlah seorang yang eksistensialis, melainkan seorang yang beragama dan percaya pada konsep wahyu, tetapi Ia gabungkan dengan pemikiran modern. Bahwa kalau memang ada Tuhan Allah Sang Pencipta, ada wahyu dan ada kitab suci, tetapi juga ada pengetahuan obyektif. Jadi ada yang mutlak tetapi kemutlakan itu dibatasi oleh yang tidak mutlak. Jadi secara otomatis ada implikasi pluralisme. Ini adalah sumber pluralisme intelektual, tetapi ada juga sumber-sumber pluralisme yang lain. Orang bisa pluralis karena punya sikap humanitarian, kecintaan kepada manusia membuat kita saling menghormati. Telah disadari bahwa betapa kompleks dan rumitnya perjalanan Gus Dur dalam meniti kehidupannya, bertemu dengan berbagai macam orang yang hidup dengan latar belakang ideologi, budaya, kepentingan, strata sosial dan pemikiran yang berbeda. Dari segi pemahaman keagamaan dan ideologi, Gus Dur melintasi jalan hidup yang lebih kompleks, mulai dari yang tradisional, ideologis, fundamentalis, sampai modernis dan sekuler. Dari segi kultural, Gus Dur mengalami hidup di tengah budaya Timur yang santun, tertutup, penuh basa-basi, sampai dengan budaya Barat yang terbuka, modern dan liberal. Demikian juga persentuhannya dengan para pemikir, mulai dari yang konservatif, ortodoks sampai yang liberal dan radikal semua dialami. Pemikiran Gus Dur mengenai agama diperoleh dari dunia pesantren. Lembaga inilah yang membentuk karakter keagamaan yang penuh etik, formal, dan struktural. Sementara pengembaraannya ke Timur Tengah telah mempertemukan Gus Dur dengan berbagai corak pemikirann Agama, dari yang konservatif, simbolik-fundamentalis sampai yang liberal-radikal. Dalam bidang kemanusiaan, pikiran-pikiran Gus Dur banyak
dipengaruhi
oleh
para
96
pemikir
Barat
dengan
filsafat
humanismenya. Secara rasa maupun praktek perilaku yang humanis, pengaruh para Kyai yang mendidik dan membimbingnya mempunyai andil besar dalam membentuk pemikiran Gus Dur. Kisah tentang Kyai Fatah dari Tambak Beras, KH. Ali Ma’shum dari Krapyak dan Kyai Chudhori dari Tegalrejo telah membuat pribadi Gus Dur menjadi orang yang sangat peka pada sentuhan-sentuhan kemanusiaan. Menurut Greg Barton, Sebagai seorang remaja, Gus Dur mulai mencoba memahami tulisan-tulisan Plato dan Aristoteles, serta pada saat yang sama ia bergulat memahami Das Kapital karya Marx dan What is To be Done karya Lenin, sehingga Ia tertarik pada ide Lenin tentang keterlibatan sosial secara radikal, seperti dalam Infantile Communism dan dalam Little Red Book-Mao. Saat di Mesir, Gus Dur juga dengan penuh minat mengikuti bagaimana Mesir sebagai negara memperlakukan pemikir Islam Sayyid Qutb. Pada saat itu ia telah membaca karya-karya penulis Islam dan akhirnya mendapati bahwa pemikiran Islam bersifat ekstrim dan sangat naif. Misalnya karya-karya Hasan al-Banna (pendiri Ikhwanul Muslimin), Ali Syari’ati, Sayyid Qutb, dan penulis-penulis lain. Gus Dur juga belajar kepada salah seorang temannya bernama Ramin ketika ia tinggal di Baghdad, tepatnya karena mereka berdua samasama bekerja di ar-Rahmadani (perusahaan impor tekstil dari Eropa dan Amerika). Ramin berasal dari komunitas kecil Yahudi Irak, juga merupakan pemikir liberal dan terbuka. Mereka bertemu secara rutin untuk membicarakan agama, filsafat, dan politik. Dari Ramin-lah Gus Dur pertama kali mengetahui Yudaisme dan pengalaman orang-orang Yahudi. Ramin berbicara panjang lebar mengenai cobaan berat yang dialami orangorang Yahudi yang tinggal di Rusia. Ia juga bercerita mengenai keluarganya sendiri yang tinggal di Irak. Dari Ramin jugalah Gus Dur mulai belajar menghormati Yudaisme dan memahami pandangan agama Yahudi serta keprihatinan politik dan sosial orang-orang Yahudi yang hidup dalam diaspora sebagai kaum minoritas yang selalu disiksa.
97
Akan tetapi bagi Gus Dur, topik yang sangat menarik perhatiannya bukanlah politik atau filasafat yang dipelajari sebagai sesuatu yang abstrak, namun bagaimana agar mempunyai sifat manusiawi. Pada waktu itu, dan kemudian sepanjang hidupnya, ia sangat suka memahami kepelikan sifat manusia. Sebagaimana yang ia pelajari dalam Wayang Kulit,
yang
berisi
kisah-kisah
mengenai
bagaimana
menghargai
ambivalensi, maka dalam sastra-sastra besar Eropa ia juga belajar menghargai kepelikan dan bermacam lapis kelabu yang membentuk sifat manusia. Cintanya akan kemanusian ini, yang dibinanya lewat sastra klasik, dilengkapi oleh kegemarannya menonton film. Demikianlah rasa cinta Gus Dur yang besar akan sastra dan ilmu pada umumnya. Pluralisme merupakan salah satu komponen dari liberalisme, di samping komponen yang lain yaitu kebebasan, toleransi, serta persamaan. Terbentuknya liberalisme Gus Dur tidaklah sulit untuk diidentifikasi, dan juga tidak mengejutkan bahwa daya tarik Islamisme radikalnya tidak berumur panjang. Menurut Greg Barton, Pengaruh yang pertama adalah keluarganya sendiri. Di dalam lingkungan keluarga ini ia dididik untuk bersikap terbuka dan selalu mempertanyakan sesuatu secara intelektual. Yang kedua, ia dibesarkan di dalam dunia sufistik Islam tradisional Indonesia, dan yang ketiga adalah ia dipengaruhi oleh orientasi budaya masyarakat Indonesia modern yang mengarah pada pluralisme dan egalitarianisme. Akhirnya ia sangat dipengaruhi oleh apa yang dibaca dan dipelajarinya karena keduanya memberikan kesempatan kepada dirinya untuk mencoba mensintesiskan pemikiran Barat modern dengan Islam. Greg Barton juga menyatakan bahwa, terdapat lima elemen kunci yang dapat disimpulkan dari pemikiran Abdurrahman Wahid153: Pertama, pemikirannya progresif dan bervisi jauh ke depan. baginya, dari pada terlena oleh kemenangan masa lalu, Gus Dur melihat masa depan dengan harapan yang pasti, bahwa bagi Islam dan masyarakat Muslim, sesuatu 153
Greg Barton, “Abdurrahman Wahid dan Toleransi Keberagamaan” dalam M. Syafi’i Ma’arif, dkk. Gila Gus Dur, (Yogyakarta: LKiS, 2000), hlm. 124-125
98
yang terbaik pasti akan datang. Kedua, pemikiran Gus Dur sebagian besar merupakan respons terhadap modernitas; respons dengan penuh percaya diri dan cerdas. Sembari tetap kritis terhadap kegagalan – kegagalan masyarakat Barat modern, Gus Dur secara umum bersikap positif terhadap nilai-nilai inti pemikiran liberal pasca pencerahan, walaupun dia juga berpendapat hal ini perlu diikatkan pada dasar-dasar teistik. Ketiga, dia menegaskan bahwa posisi sekularisme yang teistik yang ditegaskan dalam Pancasila merupakan dasar yang paling mungkin dan terbaik bagi terbentuknya negara Indonesia modern dengan alasan posisi non-sektarian Pancasila sangat penting bagi kesejahteraan dan kejayaan bangsa. Gus Dur menegaskan bahwa ruang yang paling cocok untuk Islam adalah ruang sipil (civil sphere), bukan ruang politik praktis, Keempat, Gus Dur mengartikulasikan pemahaman Islam liberal dan terbuka yang toleran terhadap perbedaan dan sangat peduli untuk menjaga harmoni
dalam
masyarakat.
Kelima,
pemikiran
Gus
Dur
mempresentasikan sintesis cerdas pemikiran Islam tradisional, elemen modernisme Islam, dan kesarjanaan Barat modern, yang berusaha menghadapi tantangan modernitas baik dengan kejujuran intelektual yang kuat maupun dengan keimanan yang mendalam terhadap kebenaran utama Islam. Dari kelima kunci pemikiran Gus Dur tersebut, terlihat bahwa fokus utama pemikiran beliau bertumpu pada terciptanya kehidupan yang damai sesuai dengan cita-cita Islam yang memberi rahmat kepada seluruh alam dengan menghormati HAM secara penuh, memberi ruang gerak demokrasi, serta mengembangkan sikap pluralisme, yang kesemuanya itu merupakan ajaran Islam yang terkandung pada prinsip universal Islam pada maqashid al-syari’ah. 2. Konsep Pendidikan Pluralisme Abdurrahman Wahid Salah satu aspek yang paling dapat dipahami dari Abdurrahman Wahid adalah bahwa Ia sang penyeru pluralisme dan toleransi, pembela kelompok minoritas, khususnya China Indonesia, juga penganut Kristen
99
dan kelompok-kelompok lain yang tidak diuntungkan. Gus Dur dipahami sebagai Muslim non-chauvinis, sebagai figur yang memperjuangkan diterimanya kenyataan sosial bahwa Indonesia itu beragam. Yang secara luas tidak atau tepatnya kurang diapresiasi adalah bahwa Gus Dur itu orang yang bangga sebagai seorang Muslim. Dia sangat mencintai kebudayaan Islam tradisionalnya dan juga pesan utama Islam sendiri. Lebih dari itu, Gus Dur adalah tokoh spiritual, figur mistik yang dalam pandangannya dunia spiritual nyata seperti dunia materi yang dapat dirasakan dengan indera manusia. Dengan memahami berbagai pemikiran Gus Dur yang telah dipaparkan pada bab-bab sebelumnya, maka ide-ide mengenai Konsep pendidikan pluralisme menurut beliau yaitu: a. Pendidikan
pluralisme
Abdurrahman
Wahid
didasarkan
pada
penghormatan yang mendalam terhadap tradisi keilmuan NU, yang prinsip pluralismenya terdapat dalam al-Qur’an dan al-Hadits. Dengan mengakui perbedaan sebagai keniscayaan bahwa Allah memang menciptakan perbedaan itu agar saling mengenal dan menghindari perpecahan. Konsep pluralisme yang didasarkan pada QS. al-Hujurat ayat 13, menurut Gus Dur ayat tersebut jelas menunjuk kepada perbedaan yang senantiasa ada antara laki-laki dan perempuan serta antar berbagai bangsa atau suku bangsa. Dengan demikian, perbedaan merupakan sebuah hal yang diakui Islam, sedangkan yang dilarang adalah perpecahan dan keterpisahan. Beliau tidak mempersamakan keyakinan secara total, karena masing-masing percaya bahwa akidahnya sendiri adalah benar. Namun hendaknya kita tetap meyakini kebenaran agama kita sendiri. Kendati demikian kita harus tetap menciptakan suasana yang harmonis. Sehingga dipahami bahwa Pluralisme bukanlah ide yang menyatakan semua agama sama. Kita semua mengakui dan menyadari bahwa setiap agama mempunyai ajaran
yang berbeda-beda. Tetapi perbedaan
tersebut bukanlah alasan untuk menebarkan konflik dan perpecahan.
100
Perbedaan justru dapat dijadikan sebagai katalisator untuk memahami anugerah Tuhan yang begitu nyata untuk senantiasa merajut keharmonisan dan toleransi. Oleh sebab itu, perbedaan dan keragaman merupakan keniscayaan yang tidak dapat dihindari. Apalagi dalam perbedaan dan keragaman tersebut tersimpan keistimewaan, yang mana antara kelompok yang satu dengan kelompok lain bisa saling mengisi dan menyempurnakan. b. Tugas Pendidikan pluralisme menurut Abdurrahman Wahid yaitu membentuk masyarakat yang mengakui perbedaan sebagai ketentuan dari Tuhan, serta menjalin kerjasama meskipun berbeda agama. Abdurrahman Wahid mengembangkan pluralisme dengan bertindak dan berpikir. Dalam bertindak yaitu hendaknya kita bersikap inklusif, tidak membatasi pergaulan dengan orang lain, meski berbeda keyakinan. Dalam berpikir, bersedia menerima dan mengambil gagasan atau pemikiran dari kalangan lain. Apa yang muncul paling jelas dalam pemikiran Gus Dur adalah keyakinan bahwa pandangan religius yang membentuk dan melahirkan nilai-nilai yang berasal dari Eropa Kristen dan Yahudi sejajar dalam visi pokoknya dengan pesan Islam. Dengan kata lain, Gus Dur seperti intelektual progresif lainnya di Indonesia, tidak mempermasalahkan hubungan antara Islam dan Barat. Walaupun tidak menolak adanya perbedaan penting antara keduanya, Gus Dur berargumentasi dengan efektif bahwa arah dan perhatian utama tradisi Judeo, Kristen dan Islam sangat dekat bila dicari sistem nilainya yang paling utama. Perbedaan keyakinan tidak membatasi atau melarang kerjasama antara Islam dan agama-agama lain, terutama dalam hal-hal yang menyangkut kepentingan umat manusia. Penerimaan Islam akan kerjasama itu tentunya akan dapat diwujudkan dalam praktek kehidupan, apabila ada dialog antaragama
101
c. Fungsi Pendidikan pluralisme menurut Abdurrahman Wahid yaitu sebagai wadah untuk Mengembangkan rasa saling pengertian yang tulus dan berkelanjutan terhadap umat beragama lain, bukan sekedar saling menghormati serta tenggang rasa, tetapi yang diperlukan adalah rasa saling memiliki . Sebenarnya
istilah
toleransi jauh
terlalu
lemah
untuk
mendeskripsikan sikap Gus Dur. Gus Dur tanpa sedikitpun memperlemah keyakinan Islaminya, sepenuhnya menerima keberadaan umat beragama lain. toleransi, keterbukaan, ketenangan berhadapan dengan agama-agama lain, itu agak unik pada Gus Dur. seakan-akan Ia begitu mantap dalam keislamannya sehingga dengan gampang dapat berbesar hati pada agama-agama lain. Gus Dur sering dianggap terlalu dekat dengan kaum minoritas dan kritis pada agamanya sendiri. tetapi argumen itu lebih merupakan tanda kekerdilan mereka yang mengajukannya. 154
humanis
Dengan
demikian,
Gus
Dur adalah
seorang
yakin dalam arti yang sebenar-benarnya; Ia akan selalu
membela yang lemah, tertindas, minoritas, dan Ia tidak akan tunduk terhadap prasangka-prasangka. d. Tujuan
Pendidikan
pluralisme
menurut
Abdurrahman
Wahid
berorientasi pada terciptanya kerjasama anhtar pemeluk agama yang berbeda serta menghindari perpecahan, agar terwujud kehidupan yang harmonis dan sejahtera. e. Mengenai penerapan Pendidikan pluralisme menurut Abdurrahman Wahid yaitu dengan menanamkan pendidikan nilai-nilai toleransi sejak dini dan berkelanjutan terhadap anak didik dari mulai kecil sampai perguruan tinggi. Upaya ini sangat efektif untuk menginternalisasi nilai-nilai atau aqidah inklusif pada peserta didik. Perbedaan agama di antara peserta didik bukanlah menjadi penghalang untuk bisa bergaul dan bersosialisasi diri. Justru pendidikan agama pada peserta didik 154
Seperti ketika menjelang wafatnya, Gus Dur berpesan agar batu nisan di makamnya kelak ditulis “di sini telah dikubur seorang humanis”.
102
yang berbeda agama, dapat dijadikan sarana untuk menggali dan menemukan nilai-nilai keagamaan pada agamanya masing-masing sekaligus dapat mengenal tradisi agama orang lain. Cara paling efektif untuk menumbuhkan sikap pluralisme yaitu berangkat dari penerimaan secara terbuka terhadap pluralisme makanan. Keragaman menu makanan di Indonesia bisa diterima oleh semua kalangan, demikian pula seharusnya pluralisme bangsa ini. Gus Dur sangat yakin bahwa Islam adalah keyakinan yang menebar kasih sayang, yang secara mendasar toleran dan menghargai perbedaan. Bagi Gus Dur, Islam adalah keyakinan yang egaliter, keyakinan yang secara fundamental tidak mendukung perlakuan yang tidak adil karena alasan ras, suku, kelas, gender, atau pengelompokanpengelompokan lainnya dalam masyarakat. Islam adalah keimanan yang mengakui bahwa dalam pandangan Tuhan, semua manusia adalah setara. Bagian dari keyakinan mendasar Gus Dur adalah bahwa nilai-nilai yang mendasari demokrasi dan liberalisme adalah nilai-nilai universal. Kemudian Ia berargumentasi bahwa prinsip-prinsip itu dapat diterapkan di Timur sebagaimana di Barat. Kendati demikian, Ia menolak argumentasi yang terlalu menyederhanakan, yaitu bahwa hal ini karena Islam adalah sumber asli pemikiran, nilai-nilai, dan ide-ide. Bahkan Gus Dur menganggap pandangan ini apologetik saja. Gus Dur lebih lanjut menegaskan bahwa prinsip-prinsip mendasar yang berasal dari pencerahan duduk setara dengan pesan utama Islam. C. Konsep Pendidikan Pluralisme Menurut Abdurrahman Wahid Ditinjau dari Pendidikan Islam 1. Maqashid al-Syari’ah Sebagai Prinsip Pendidikan Pluralisme Menurut Gus Dur, Prinsip pluralisme harus dilihat dalam konteks manifestasi universalisme dan kosmopolitanisme peradaban Islam, ajaran moralitas Islam yang secara teoritik bertumpu pada adanya lima buah
103
jaminan dasar yang diberikan Islam kepada warga masyarakat (maqashid al-syari’ah), meliputi; keselamatan fisik warga masyarakat (hifdzu alnafs), keselamatan keyakinan agama masing-masing (hifdzu al-din), keselamatan keluarga dan keturunan (hifdzu al-nasl), keselamatan harta benda dan milik pribadi (hifdzu al-mal), dan keselamatan hak milik dan profesi (hifdzu al-milk). Kesemuanya itu merupakan konsep yang dijadikan Gus Dur sebagai prinsip Universal Islam.155 Demikian juga jaminan dasar akan keselamatan keyakinan agama masing-masing bagi para warga masyarakat melandasi hubungan antarwarga masyarakat atas dasar sikap saling hormat-menghormati, yang akan mendorong tumbuhnya kerangka sikap tenggang rasa dan saling pengertian yang besar. Terlepas dari kentalnya perjalanan sejarah dengan penindasan, kesempitan pandangan, dan kedzaliman terhadap kelompok minoritas yang berbeda keyakinan atau agama dari keyakinan mayoritas, sejarah umat manusia membuktikan bahwa sebenarnya toleransi adalah bagian inherent dari kehidupan manusia. Jaminan akan keselamatan keluarga menampilkan sosok moral yang sangat kuat, baik moral dalam arti kerangka etis yang utuh maupun dalam arti kesusilaan. Kesucian keluarga dilindungi sekuat mungkin. Karena keluarga merupakan ikatan sosial paling dasar, maka tidak boleh dijadikan ajang manipulasi dalam bentuk apapun oleh sistem kekuasaan yang ada. Kesucian keluarga inilah yang melandasi keimanan yang memancarkan toleransi dalam derajat sangat tinggi. Jaminan dasar atas keselamatan harta-benda merupakan sarana bagi berkembangnya hak-hak individu secara wajar dan proporsional, dalam kaitannya dengan hak-hak masyarakat atas individu. Masyarakat dapat menentukan kewajiban-kewajibannya yang diinginkan secara kolektif atas masing-masing individu warga masyarakat. Tetapi penetapan kewajiban itu ada batas tejauhnya, dan warga masyarakat secara 155
Abdurrahman Wahid, Islam Kosmopolitan, Nilai-Nilai Indonesia dan Transformasi Kebudayaan, (Jakarta: The Wahid Institute: 2007), hlm. 4-5
104
perorangan tidak dapat dikenakan kewajiban untuk masyarakat lebih dari batas-batas tersebut. Jaminan dasar atas keselamatan profesi menampilkan sosok lain lagi dari universalitas ajaran Islam. Penghargaan kepada kebebasan penganut profesi berarti kebebasan untuk melakukan pilihan-pilihan atas resiko sendiri, mengenai keberhasilan yang ingin diraih dan kegagalan yang membayanginya. Dengan ungkapan lain, kebebasan menganut profesi yang dipilih berarti peluang menentukan arah hidup lengkap dengan tanggung jawabnya sendiri. Namun pilihan itu tetap dalam alur umum kehidupan masyarakat. Secara keseluruhan, kelima jaminan dasar di atas menampilkan universalitas pandangan hidup yang utuh dan bulat. Pemerintahan berdasarkan hukum, persamaan derajat, dan sikap tenggang rasa terhadap perbedaan pandangan adalah unsur-unsur utama kemanusiaan dan dengan demikian menampilkan universalitas ajaran Islam. Namun, sejauh ini semua jaminan dasar itu hanya menyajikan kerangka teoritik (atau bahkan mungkin hanya moralitas belaka) yang tidak berfungsi tanpa didukung oleh kosmopolitanisme peradaban Islam. Watak kosmopolitanisme dari peradaban Islam itu sesungguhnya telah tampak sejak awal pemunculannya. Peradaban itu, yang dimulai dengan cara-cara Nabi Muhammad saw. mengatur pengorganisasian masyarakat Madinah hingga munculnya ensiklopedis Muslim awal pada abad ketiga Hijriyah, memantulkan proses saling menyerap dengan peradaban-peradaban lain di sekitar Islam pada waktu itu. Yaitu mulai dari sisa-sisa peradaban Yunani Kuno yang berupa hellenisme hingga peradaban Anak Benua India. Kosmopolitanisme peradaban Islam itu muncul dalam sejumlah unsur dominan, seperti hilangnya batasan etnik, kuatnya pluralitas budaya, heterogenitas politik, dan bahkan menampakkan diri dalam unsur dominan
105
yang menakjubkan, yaitu kehidupan beragama yang eklektik156 selama berabad-abad. Kosmopolitanisme peradaban Islam tercapai atau berada pada titik optimal, manakala tercapai keseimbangan antara kecenderungan normatif kaum Muslim dan kebebasan berpikir semua warga masyarakat termasuk mereka
yang
non-Muslim.
Kosmopolitanisme
seperti
itu
adalah
kosmopolitanisme yang kreatif, karena di dalamnya warga masyarakat mengambil inisiatif untuk mancari wawasan terjauh dari keharusan berpegang pada kebenaran. Situasi kreatif yang memungkinkan pencarian sisi-sisi paling tidak masuk akal dari kebenaran yang ingin dicari dan ditemukan, situasi cair yang memaksa universalime ajaran Islam untuk terus-menerus mewujudkan diri dalam bentuk-bentuk nyata. Namun demikian, proses tersebut bukannya nyata dalam postulat-postulat spekulatif belaka. 2. Konsep Pendidikan Pluralisme Menurut Abdurrahman Wahid Ditinjau dari Pendidikan Islam Pendidikan
Islam
merupakan
bimbingan
jasmani-rohani
berdasarkan hukum-hukum agama Islam menuju terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran Islam.157 Pendidikan Islam juga mempunyai pengertian sebagai suatu proses edukatif yang mengarah kepada pembentukan akhlak atau kepribadian.158 Dari penjelasan tersebut, diketahui bahwa pendidikan pluralisme Abdurrahman Wahid yang mengupayakan untuk menanamkan nilai-nilai toleransi pada peserta didik sejak dini yang berkelanjutan dengan mengembangkan rasa saling pengertian dan saling memiliki terhadap umat agama lain itu sesuai dengan konsep pendidikan Islam yang selalu berorientasi pada terbentuknya kepribadian serta akhlak yang luhur.
156 Sikap berfilsafat yang bersifat memilih atau seleksi dari berbagai sumber untuk membangun pemikiran filsafat sendiri. 157 Ahmad D. Marimba, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: al-Ma’arif, 1989), hlm. 23 158 Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 1994), hlm. 4
106
Dasar yang menjadi acuan Pendidikan Islam merupakan sumber nilai kebenaran dan kekuatan yang dapat mengantarkan peserta didik ke arah pencapaian pendidikan. Oleh karena itu dasar yang terpenting dari Pendidikan Islam adalah al-Qur’an dan Sunnah Rasul SAW.159 kedua dasar itulah yang dijadikan Abdurrahman Wahid sebagai landasan pemikiran dan tindakannya. Menurut beliau, dalam mencapai taraf hidup yang sejahtera, Islam mengajarkan umatnya agar senantiasa bekerjasama dalam hal muamalat tak hanya dengan umat Muslim saja. Seperti yang telah dijelaskan dalam ajaran agama bahwa umat Islam hendaknya saling tolong menolong dalam hal kebaikan dan taqwa (wa ta’āwanū ’ala al-birri wa al-taqwā, QS.alMaidah:2), juga anjuran untuk berlomba dalam kebaikan (fastabiqu alkhairāt, QS. al-Baqarah: 148). Dalam mengakui perbedaan antara laki-laki dan perempuan, bersuku-suku dan berbangsa di bumi ini, menurut Gus Dur hal itu sebagai keniscayaan bahwa Allah memang menciptakan perbedaan itu agar saling mengenal dan menghindari perpecahan. Dalam al-Qur’an juga dijelaskan bahwa kita semua diperintahkan untuk berpegang teguh pada tali Allah, dan dilarang untuk bercerai berai (QS. Ali Imran: 103). Pada ayat yang lain misalnya, dalam menjelaskan QS. al-Baqarah: 120 yang artinya: “Dan orang-orang Yahudi dan Kristen tidak akan rela kepadamu, hingga engkau mengikuti kebenaran/aqidah mereka. Gus Dur memandang bahwa selama Nabi Muhammad saw. masih berkeyakinan; Tuhan adalah Allah, dan Beliau sendiri adalah utusan Allah swt. selama itu pula orang-orang Yahudi dan Kristen tidak dapat menerima (berarti tidak rela) kepada keyakinan/aqidah tersebut. Sama halnya dengan sikap kaum Muslimin sendiri. Selama orang Kristen yakin bahwa Yesus adalah anak Tuhan dan orang Yahudi percaya bahwa mereka adalah umat pilihan
159
Al-Rasyidin dan Syamsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Press, 2005), Cet. V, hlm. 34
107
Tuhan, maka selama itu pula kaum Muslimin tidak akan rela kepada kedua agama tersebut. Dalam arti tidak menerima ajaran mereka. Gus Dur menjelaskan bahwa jika kita bersikap demikian, hal itu sebenarnya wajar-wajar saja, karena menyangkut penerimaan keyakinan. Tetapi hal itu tidak menghalangi para pemeluk ketiga agama itu untuk bekerjasama dalam hal muamalat, yaitu memperbaiki nasib bersama dalam mencapai kesejahteraan materi. Mereka dapat bekerjasama untuk mengatur kesejahteraan materi tersebut dengan menggunakan ajaran masing-masing.160 Amal perbuatan kaum Muslimin yang ikhlas kepada agama mereka memiliki sebuah nilai lebih. hal itu dinyatakan sendiri oleh QS. Ali Imran: 85: “Dan orang yang menjadikan selain Islam sebagai agama, tak akan diterima amal perbuatannya di akhirat. dan ia adalah orang yang merugi”. dari Kitab suci ini dapat diartikan bahwa Allah tidak akan menerima amal perbuatan seorang non-Muslim, tetapi di dalam kehidupan sehari-hari kita tidak boleh memandang rendah kerja siapapun. Sebenarnya pengertian kata diterima di akhirat berkaitan dengan keyakinan agama dan dengan keyakinan demikian memiliki kualitas tersendiri. sedangkan pada tataran duniawi perbuatan itu tidak tersangkut dengan keyakinan agama, melainkan secara teknis membawa manfaat bagi manusia lain. jadi manfaat dari setiap perbuatan dilepaskan oleh Islam dari keyakinan agama dan sesuatu yang secara teknis memiliki kegunaan bagi manusia diakui oleh Islam. Namun dimensi penerimaan dari sudut keyakinan agama memiliki nilainya sendiri. pengislaman perbuatan kita justru tidak tergantung dari nilai-perbuatan teknis semata, karena antara dunia dan akhirat memiliki dua dimensi yang berbeda satu dari yang lain. Dengan demikian, dasar pendidikan Islam itulah yang juga menjadi dasar pemikiran pendidikan pluralisme Abdurrahman wahid, sehingga sangatlah relevan. Pemikiran mengenai sikap saling memahami dan 160
Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam Kita, (Jakarta: The Wahid Institute, 2002), hlm. 135
108
menghargai memang diajarkan dalam setiap agama. Islam dengan jelas menempatkan toleransi sebagai ajaran penting yang diwakili idiom alirham (QS. An Nisa’: 1) dan al-ta’aruf (QS. Al Hujurat: 13) yang berarti silaturrahmi dan saling mengenal. Demikian pula lafadz ‘amalunā ‘amalukum dapat ditafsirkan sebagai asas penghargaan terhadap wilayah keunikan setiap agama. Sejarah berbicara bahwa Rasulullah telah menanamkan sikap tasamuh pada masyarakat Makkah dan Madinah untuk hidup berdampingan dengan kaum Yahudi dan Nasrani.161 Ditinjau dari segi tugas pendidikan Islam yaitu membimbing dan mengarahkan pertumbuhan dan perkembangan peserta didik dari tahap ke tahap kehidupannya sampai mencapai titik kemampuan optimal,162 maka langkah beliau dalam merumuskan pendidikan pluralisme yaitu bahwa untuk menanamkan nilai-nilai toleransi pada peserta didik harus dilakukan sejak dini dan berkelanjutan mulai dari kecil sampai perguruan tinggi sehingga akan tercapai tugas tersebut yang menjadikan peserta didik mampu membuka visi pada cakrawala yang semakin luas, mampu melintas batas kelompok etnis atau tradisi budaya dan agama sehingga akan mampu melihat kemanusiaan sebagai sebuah keluarga yang memiliki perbedaan maupun kesamaan cita-cita. Dari segi fungsi pendidikan Islam yaitu menyediakan fasilitas yang dapat memungkinkan tugas pendidikan agar berjalan dengan lancar163, hendaknya mampu menjadi wahana mempererat persaudaraan di antara masyarakat beragama, mengantarkan peserta didik memiliki cara pandang inklusif, peduli terhadap sesama manusia yang sama-sama ciptaan Tuhan.
161
Hal tersebut sesuai dengan pembahasan dalam Seminar internasional pertama tentang pendidikan antar-agama (interfaith education) yang diselenggarakan UIN Jakarta secara resmi ditutup Presiden RI di Istana Negara tanggal 4 Februari 2005 lalu. Konferensi yang berlangsung tiga hari ini terbilang cukup prestisius. Mayoritas pembicara kunci (keynote speakers) datang dari sejumlah negara dengan beragam latar belakang keyakinan agama seperti Islam, Kristen, Budha, Hindu, Kong Hu Cu, serta Taoisme. dan Gus Dur merupakan salah satu pembicara yang mewakili Indonesia. Lihat: http://rohmatmulyana.blogspot.com/2006/11/issue-pendidikan-antar-agama.html 162 Al-Rasyidin dan Syamsul Nizar, loc. cit. 163 Ibid
109
Sementara itu, pendidikan pluralisme menurut Abdurrahman Wahid jika ditinjau dari segi Tujuan Pendidikan Islam164, memiliki tujuan yang sama, yaitu bertujuan menjadikan manusia sebagai hamba Allah yang bertakwa, mengantarkannya menjadi khalifatullah fi al-ardl yang mampu memakmurkannya, dan memperoleh kesejahteraan, kebahagiaan hidup di dunia sampai akhirat. Hal tersebut akan tercapai jika ada upaya untuk menjalankan amanat sebagai khalifatullah fi al-ardl dengan cara senantiasa menciptakan kedamaian bagi sesama makhluk Tuhan, mengembangkan rasa saling pengertian yang tulus terhadap umat beragama lain, bukan sekedar saling menghormati serta tenggang rasa, tetapi yang diperlukan adalah rasa saling memiliki. Dalam pembahasan mengenai kurikulum pendidikan Islam, maka kurikulum yang sesuai bagi masyarakat Indonesia yang majemuk yaitu kurikulum yang dapat menunjang proses siswa menjadi manusia yang demokratis, pluralis dan menekankan penghayatan hidup serta refleksi untuk menjadi manusia yang utuh, yaitu generasi muda yang tidak hanya pandai tetapi juga bermoral dan etis, dapat hidup dalam suasana demokratis satu dengan lain, dan menghormati hak orang lain.165 Selain itu, perlu kiranya memperhatikan kurikulum sebagai proses. Ada empat hal yang perlu diperhatikan guru dalam mengembangkan kurikulum sebagai proses ini, yaitu; (a) posisi siswa sebagai subjek dalam belajar, (b) cara belajar siswa yang ditentukan oleh latar belakang budayanya, (c) lingkungan budaya mayoritas masyarakat dan pribadi siswa adalah entry behaviour kultur siswa, (d) lingkungan budaya siswa adalah sumber belajar. Dalam konteks deskriptif ini, kurikulum pendidikan seharusnya mencakup subjek seperti: toleransi, tema-tema tentang
164
Menurut Prof. Achmadi, tujuan tertinggi/terakhir Pendidikan Islam, yaitu menjadi hamba Allah yang bertakwa, mengantarkan subjek didik menjadi khalifatullah fi al-ardl yang mampu memakmurkannya, dan memperoleh kesejahteraan, kebahagiaan hidup di dunia sampai akhirat. Lihat, Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam, Paradigma Humanisme Teosentris, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 95 165 Syamsul Ma’arif, Pendidikan Pluralisme di Indonesia, (Jogjakarta: Logung Pustaka, 2005), hlm. 99
110
perbedaan ethno-kultural dan agama, bahaya diskriminasi, penyelesaian konflik dan mediasi, HAM, demokrasi dan pluralitas, kemanusiaan universal dan subjek-subjek lain yang relevan.166 Salah satu cara paling efektif menerapkan kurikulum yang dapat menunjang proses belajar siswa menjadi manusia yang demokratis, pluralis
artinya
peserta
didik
dapat
menerima
dan
mampu
mengembangkan pluralisme dengan kesadaran diri, menurut Abdurrahman Wahid, hendaknya peserta didik mampu belajar dari penerimaan secara terbuka terhadap pluralisme makanan. Siapapun yang memahami realitas keragaman masakan yang hampir dimiliki oleh setiap daerah di seluruh pelosok negeri ini, maka pemahamannya terhadap pluralisme justru akan semakin kokoh. Keragaman masakan yang kita miliki sebenarnya merupakan unsur kekuatan, bukan unsur ancaman. Makanan yang begitu banyak aneka ragamnya telah menjadi fakta bahwa pluralisme atau kebhinekaan merupakan rahmat Tuhan yang harus didayagunakan untuk kemajuan bangsa. D. Relevansi
Pemikiran
Abdurrahman
Wahid
dalam
Konteks
Keindonesiaan 1. Indonesia Adalah Negara Pancasila, Bukan Negara Islam Bangsa Indonesia adalah bangsa majemuk yang terdiri dari bermacam-macam etnis, bahasa, suku, ras, agama, dan kepercayaan yang saling berinteraksi secara harmonis. Semuanya memiliki kesadaran berbangsa dan cinta tanah air dengan ditunjukkannya semangat membela Negara dan mempertahankan Kesatuan Negara Republik Indonesia dari pihak-pihak penjajah sampai titik darah penghabisan. Tak hanya suku Jawa
yang
berjuang
dan
tak
hanya
umat
Muslim
yang
mempertahankannya, namun semua komponen bangsa, bukan segelintir pihak. Sehingga upaya untuk menerapkan formalisasi, syari’atisasi maupun ideologisasi Islam pada Negara merupakan hal yang mustahil. 166
Ibid
111
Gus Dur dengan tegas menolak pembentukan Negara Islam bagi Indonesia, sikap tersebut didasari dengan pandangan bahwa Islam sebagai jalan hidup tidak memiliki konsep yang jelas tentang Negara. Dasar yang dipakai beliau adalah: Pertama, Islam tidak mengenal pandangan yang jelas dan pasti tentang pergantian kepemimpinan. Itu terbukti ketika wafatnya Nabi Muhammad saw., dan digantikan Abu Bakar melalui bai’at oleh kepala suku dan wakil-wakil kelompok umat pada waktu itu. Sedangkan Abu Bakar sebelum wafat menyatakan kepada kaum Muslimin, hendaknya Umar bin Khattab yang diangkat menggantikan posisinya. Berarti sistem yang dipakai adalah penunjukan. Sementara Umar menjelang wafat meminta agar penggantinya ditunjuk melalui dewan ahli yang terdiri dari tujuh orang. Lalu terpilihlah Usman bin Affan. Selanjutnya Usman digantikan oleh Ali bin Abi Thalib. Pada saat itu Abu Sufyan juga telah menyiapkan anak cucunya untuk menggantikan Ali. Sistem ini kelak menjadi acuan untuk menjadikan kerajaan atau sistem marga yang menurunkan calon-calon raja dan sultan dalam sejarah Islam. Kedua, besarnya Negara yang diidealisasikan oleh Islam, juga tak jelas ukurannya. Nabi Muhammad saw. meninggalkan Madinah tanpa ada kejelasan mengenai bentuk pemerintahan kaum Muslimin. Tidak ada kejelasan, misalnya Negara Islam yang diidealkan bersifat mendunia dalam konteks Negara-bangsa ataukah hanya Negara kota. Acuan inilah yang dipegang Gus Dur sebagai prinsip untuk menolak dijadikannya Indonesia sebagai Negara Islam. Perjalanan sejarah bangsa Indonesia sejak zaman Kerajaan Majapahit telah membuktikan adanya pluralisme. Para pendiri Indonesia juga telah mewariskan nilai-nilai utama dalam membangun kehidupan bangsa yang majemuk. Mereka mampu menempatkan antara agama dan nasionalisme secara seimbang. Sikap dan perjuangan Gus Dur membela pluralisme tidak datang seketika. Ia memahami sejarah kebangsaan dan ke-NU-an dengan cermat, sebelum akhirnya memilih jalan itu. Tokohtokoh NU sejak sebelum kemerdekaan, KH. Hasyim Asy’ari dan KH.
112
Wahab Hasbullah, telah memikirkan bagaimana menempatkan Islam agar dapat berfungsi dalam Indonesia yang majemuk serta menjadikan Islam hidup berdampingan dengan agama lain. Pada Muktamar NU di Banjarmasin tahun 1935, NU telah memutuskan bahwa Hindia Belanda (nama Indonesia waktu itu) tidak memerlukan Islam sebagai ideologi negara. Namun, umat Islam tetap wajib membela negaranya meskipun negaranya tidak berbentuk negara Islam. Keputusan ini pulalah yang membuat NU mengakui Pancasila dan UUD 1945 saat ormas-ormas Islam lain masih memperdebatkannya. UUD 1945 dan Pancasila yang memberikan jaminan atas pluralisme juga banyak mengandung nilai Islam, seperti mewujudkan kesejahteraan bersama serta menciptakan masyarakat adil dan makmur. Sering kali Gus Dur mengutip atau bahkan mendasarkan tindakannya sesuai dengan kaidah ushul fiqih, menanggapi keadaan atau situasi bangsa. Dalam soal kepemimpinan, misalnya, Gus Dur sering mengutip kaidah ushul, tasharrafu al imām ’alā al-ra’iyyah, manūthun bi al-mashlahah (kebijakan pemimpin terhadap rakyatnya, bergantung pada kemaslahatan atau kesejahteraan). Dalam soal pembaruan, Gus Dur juga memakai kaidah ushul al-muhāfadzatu ’ala al-qadim al-shālih, wa alakhdu bi al-jadid al-ashlah (memelihara tradisi terdahulu yang baik, dan menerima sesuatu yang baru, yang lebih baik). Artinya, sikap pluralisme Gus Dur sudah terbangun sejak kecil dan menerapkannya pada era modern. Apa yang selama ini dipahami sebagai tradisi, Gus Dur mengubahnya menjadi sesuatu yang lebih bermakna. Sebelum dipimpin Gus Dur, citra NU yang menonjol adalah sebagai organisasi Islam yang eksklusif dari pengaruh pemikiran kontemporer keagamaan,
yang
berkembang,
konservatif
dalam
pemahaman
dan fundamentalis dalam memperjuangkan nilai-nilai
kebenaran yang diyakininya. hanya dalam tiga periode kepemimpinannya, dia berhasil mengubah citra NU menjadi inklusif, modern, dan moderat.
113
Semangat itu pula yang menginspirasinya untuk menjadikan Indonesia yang sejahtera dengan kemajemukan warganya. UUD 1945 telah menjamin hak hidup dan kemerdekaan untuk menganut keyakinan dan mengungkapkan pendapat. Ini harus dipertahankan mati-matian apa pun resikonya, Dalam hidup berbangsa, umat Islam perlu saling mengembangkan dialog dan kerja sama dengan umat agama lain. Hanya dengan dialog dan kerja sama inilah yang akan membuat umat Islam terus belajar dan mampu hidup berdampingan dengan umat lain. Kondisi ini menempatkan Islam bukan sebagai alternatif, tetapi sebagai bagian dari masyarakat dan bangsa. 2. Memperjuangkan Penegakan Demokrasi, HAM, dan Pluralisme di Indonesia Bagi kalangan minoritas, Gus Dur dianggap sebagai pembela utama eksistensi mereka. Masyarakat Papua, etnis Tionghoa, atau umat Nasrani menganggap Gus Dur sebagai pembela di tengah tantangan dan ancaman politis masyarakat atau negara. Ia mengatakan bahwa pembelaan terhadap kelompok minoritas bukan perjuangan mudah. Oleh karena itu, nasib kelompok minoritas yang selama ini tersisih harus terus diperjuangkan sesuai dengan amanat UUD 1945. Menurut Gus Dur, pemerintah tidak perlu melihat segala tuntutan kelompok minoritas hanya dari kacamata politis. Jika segala tindakan kelompok minoritas dipandang sebagai gerakan politis, berarti negara telah kehilangan penghargaan atas keragaman yang dibangunnya sendiri. Pluralisme Indonesia merupakan yang paling kuat dibandingkan negara lain. Karena itu, perbedaan itu tidak perlu dipolitisasi. Kegigihannya membela pluralisme inilah yang membuat Gus Dur pada dianugerahi Medals of Valor dari The Simon Wiesenthal Center di Amerika Serikat. Ia dinilai gigih memperjuangkan moderasi dalam Islam dan membangun dialog dengan agama-agama lain dan turut menciptakan perdamaian dunia. Gus Dur adalah orang yang konsisten dengan prinsip-prinsipnya. dan prinsip-prinsip ini berakar pada pemahamannya terhadap Islam yang
114
liberal,
yaitu
pemahamannya
yang
menekankan
pada
rahmat,
pengampunan, kasih sayang Tuhan dan keharusan kita untuk mengikuti sifat-sifat ini dalam kehidupan sehari-hari, terutama dalam kehidupan beragama. Gus Dur sudah lama dikenal sebagai pembela kaum yang lemah, dan selama berpuluh-puluh tahun Ia adalah orang yang terus terang, sering mempertaruhkan reputasi personal yang cukup besar, dalam membela
kelompok
yang orang lain
enggan
membelanya.
dan
komitmennya pada toleransi, keterbukaan, kasih sayang dan pembebasan dalam hubungan antar-komunal maupun antar-iman ini merupakan salah satu identitas Gus Dur dalam memandang kehidupan publik baik politik maupun religius. Gus Dur adalah sosok pemimpin sejati yang selalu memayungi dan mengayomi semua golongan tanpa melihat perbedaan ras, agama, kepercayaan dan profesi. Gus Dur selalu melindungi dan mengayomi hakhak minoritas dari kesewenang-wenangan mayoritas di Indonesia. Perjuangan beliau Tak hanya pada konsep pemikiran belaka, namun langkah konkret beliau lakukan dalam mewujudkan masyarakat berbangsa yang adil dan harmonis. Sehingga beliau layak disebut sebagai Bapak Pluralisme, Bapak Demokrasi, serta Pejuang HAM. m. Bapak Pluralisme Perjuangan konkrit Gus Dur misalnya, Ketika banyak kelompok menghujat dan berusaha menyingkirkan kelompok lain yang dianggap sesat dengan cara-cara kekerasan dan penistaan seperti yang sering dialami jamaah Ahmadiyah, Gus Dur selalu tampil sebagai pembelanya. Bukan berarti Gus Dur setuju dengan keyakinan Ahmadiyah itu, tetapi Ia sangat menghormati keyakinan seseorang. Ia juga ingin menunjukkan cara memahami dan menghayati agama secara dewasa, penuh kearifan dan kebijaksanaan. Tidak semata-mata pemahaman
agama
yang
berdasarkan
pengetahuan
dan
sisi
normatifnya saja. Ia berpegang pada ajaran sang Kiai bahwa boleh saja kita memandang keyakinan orang lain atau agama orang itu dianggap
115
sesat, tetapi hal itu tidak dengan sendirinya menjadi boleh bagi kita untuk melarangnya atau melenyapkannya. Pembelaan Gus Dur terhadap kelompok dan etnis Tionghoa dibuktikan secara nyata. Saat Ia menjadi Presiden, hari raya Imlek bisa diperingati dan dirayakan dengan bebas. Warga Tionghoa tidak perlu lagi harus sembunyi-sembunyi jika merayakannya. Karena sebelumnya para warga keturunan Tionghoa harus mengganti namanya menjadi nama pribumi, tidak boleh mendirikan sekolah, dilarang mendirikan surat kabar atau majalah yang berbahasa Mandarin, dan yang lebih parah lagi bahwa mereka dilarang beragama Konghucu. Beliau berpandangan bahwa Indonesia dari latar belakang sejarahnya terbentuk oleh orang yang mempunyai asal-usul berbedabeda secara bersama-sama mendirikan Negara ini, termasuk warga keturunan Tionghoa. Sehingga segala bentuk diskriminasi kepada masyarakat Tionghoa sangat bertentangan dengan nilai perjuangan pembentukan bangsa ini. n. Pejuang Demokrasi Gus Dur juga dikenal sebagai pejuang demokrasi yang sangat gigih. Karena itu, pada Maret 1991 Gus Dur bersama para koleganya mendirikan Forum Demokrasi. Tujuan utamanya adalah untuk memperjuangkan tegaknya demokrasi di Indonesia baik pada level kelembagaan maupun kesadaran masyarakat. Namun secara khusus berdirinya forum demokrasi dilatarbelakangi oleh dua peristiwa penting di Republik ini. Pertama, kasus Monitor pada bulan Oktober 1990, di mana tabloid tersebut dirusak massa yang mengatasnamakan Islam gara-gara sebuah surveinya yang menyinggung perasaan umat Islam. Menurut Gus Dur, kasus monitor menunjukkan bahwa kelompok dalam masyarakat ingin memanipulasi isu-isu agama untuk mengedepankan kepentingan mereka.
116
Kedua, berdirinya ICMI pada Desember 1990. Menurut Gus Dur, ICMI merupkan alat eksploitasi politik terhadap agama yang mengutamakan kepentingan kelompok eksklusif yang sempit di atas kepentingan nasional. ICMI akan mengaliansikan non-Muslim dan memperburuk pembelahan dan salah paham yang sudah kuat dalam masyarakat Indonesia selama ini antara kelompok keagamaan, kesukuan dan budaya yang berbeda. o. Pejuang HAM Apresiasi Gus Dur terhadap HAM bukan hanya dalam konsep saja, Gus Dur menyuarakan pembelaan terhadap sejumlah kasus tertentu yang menyangkut hak-hak kaum minoritas, penghormatan terhadap non-Muslim. Ia tanpa ragu membela Ulil Abshar Abdalla, seorang intelektual muda NU yang juga tokoh muda “Islam Liberal” yang mengemukakan Liberalisme Islam, sebuah pandangan yang sama sekali baru dan memiliki sejumlah implikasi yang sangat jauh, misalnya anggapan bahwa Ulil akan mempertahankan kemerdekaan berpikir seorang santri demikian bebasnya, sehingga meruntuhkan asas-asas keyakinannya sendiri akan kebenaran Islam. Itulah sebabnya mengapa demikian besar reaksi orang terhadap pemikirannya ini. Seperti diketahui bahwa sejumlah ulama’ serta aktifis Islam tertentu menilai pemikiran Ulil telah sesat dan keluar dari Islam, dan karena itu Ia layak dihukum mati Menurut Gus Dur, kemerdekaan berpikir adalah sebuah keniscayaan dalam Islam. Tentu saja Ia percaya akan batas-batas kemerdekaan itu, karena bagaimanapun tidak ada yang sempurna kecuali kehadirat Tuhan. Selama Ia percaya ayat 88 QS. al-Qashas yang berbunyi: “Segala sesuatu akan musnah kecuali Dzat Allah”. Serta yakin akan kebenaran kalimat tauhid, maka Ia adalah seorang Muslim. Orang lain boleh berpendapat apa saja, tetapi tidak dapat mengubah kenyataan ini. seorang Muslim yang menyatakan bahwa Ulil anti Muslim, akan terkena sabda Nabi Muhammad saw. ”Barang
117
siapa yang mengkafirkan saudaranya yang beragama Islam, justeru ialah yang kafir”. Disadari atau tidak, bahwa hanya dengan cara menemukan pemikiran seperti itu, barulah islam dapat berhadapan dengan tantangan sekularisme. Kalau demikian reaksi kita, tentu saja kita masih mengharapkan Ulil mau melahirkan pendapat-pendapat terbuka dalam media khalayak. Bukankah para ulama’ di masa lampau cukup bijaksana untuk memperkenalkan perbedaan-perbedaan pemikiran seperti itu? Berpijak pada adagium seperti “Perbedaan pandangan di kalangan para pemimpin adalah rahmat bagi umat.” Demikian juga dalam kasus Inul Daratista, perempuan lugu dan sederhana ini dicerca keras oleh sebagian Tokoh Agama, Majelis Ulama’, dan Seniman karena goyang ngebornya dianggap melanggar batas-batas kesusilaan umum. Mereka menggunakan justifikasi fatwafatwa keagamaan untuk melarang Inul tampil di depan publik. Di tengah kontroversi itu, Gus Dur tampil melindungi dari gempuran kecaman dan panasnya opini publik yang menekan Inul. Pembelaan Gus Dur didasarkan pada melindungi Hak Asasi wong cilik dari hegemoni elit keagamaan dan klaim atas moralitas kesenian yang agak represif. Dari pandangan dan impressinya terhadap HAM itu, jelas bahwa Gus Dur sebagai tokoh Islam punya paradigma sendiri dalam memahami dan mengaktualisasikan nilai-nilai HAM. Gus Dur menginginkan agar Islam memberikan kesempatan lebih luas kepada semua orang untuk berkarya tanpa dibatasi oleh apapun, seperti identitas politik dan etnik. Islam bagi Gus Dur, mencapai titik kemajuan tertinggi justru ketika seluruh ekspresi dan karya cipta orang perorang dan kelompok diberi hak hidup yang sama betapapun menyimpangnya atau dianggap bid’ah. Islam juga memberikan kesempatan kepada siapapun untuk terlibat langsung dalam pemajuan islam itu sendiri. Merespon balik
118
dengan cara menulis atau menciptakan karya sebanding adalah satusatunya cara yang diperbolehkan jika seseorang atau kelompok tidak menyetujuinya. Situasi seperti itulah ketika Islam mencapai titik tertinggi. Dan itulah cita-cita kebangkitan Islam.167 3. Solusi Bagi Permasalahan Kemajemukan di Indonesia Pada hakikatnya, sebuah masyarakat heterogen yang sedang tumbuh, tentu sulit untuk mengembangkan saling pengertian yang mendalam antara beraneka ragam unsur-unsur etnis, budaya daerah, bahasa ibu, dan kebudayaannya. kalaupun tidak terjadi salah pengertian mendasar antara unsur-unsur itu, paling tidak tentu saling pengertian yang tercapai barulah bersifat nominal belaka. Pola hubungan harmonis seperti itu dengan sendirinya tidak memiliki daya tahan yang ampuh terhadap berbagai tekanan yang datang dari perkembangan politik, ekonomi, dan budaya. Kerukunan yang ada hanyalah kondisi yang rapuh. Sudah tentu kedamaian yang terselenggara sekedar sikap bertetangga baik, tanpa rasa senasib dan sepenanggungan di antara orang yang merasa sesama bersaudara. Dari uraian tersebut, menjadi nyata bagi kita bahwa masalah pokok dalam hal hubungan antarumat beragama adalah pengembangan rasa saling pengertian yang tulus dan berkelanjutan. Kita akan menjadi bangsa yang kukuh, kalau umat agama-agama yang berbeda dapat saling mengerti satu sama lain, bukan hanya sekedar saling menghormati. Yang diperlukan adalah rasa saling memiliki, bukannya hanya saling bertenggang rasa satu terhadap yang lain.168 Memang mayoritas bangsa kita yang Notabene beragama Islam, masih dicekam oleh kemiskinan dan kebodohan sehingga mudah dirayu untuk berpindah agama secara murahan. kondisi logis dari kenyataan itu sebenarnya adalah keharusan bagi gerakan Islam untuk memajukan umat 167 168
Abdurrahman Wahid, op. cit., hlm. 145 Abdurrahman Wahid, Gus Dur Menjawab
Perubahan Zaman, Kumpulan Pemikiran K. H. Abdurrahman Wahid Presiden ke-4 RI, (Jakarta: Kompas, 1999), Cet. II, hlm. 15
119
mereka. ini berarti para pemimpin Islam di segenap tingkatan harus menutup mata terhadap semua ekses yang terjadi dalam kehidupan beragama di negeri ini. harus ada langkah-langkah untuk menangani dan mencegah terulangnya ekses-ekses itu, termasuk cara penyebaran agama terlalu agresif, yang dilakukan oleh sementara kelompok penganut agama dari golongan minoritas. Namun cara penanganan dan penangkalan haruslah dilakukan dengan bijaksana, tanpa harus melakukan generalisasi terhadap semua warga umat dari agama tersebut.
120
BAB V PENUTUP D. Simpulan Berdasarkan uraian dan analisis tentang pendidikan pluralisme menurut Abdurrahman Wahid yang ditinjau dari sudut pandang pendidikan Islam, maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Menurut Abdurrahman Wahid Konsep Pendidikan pluralisme merupakan suatu pendidikan untuk menerima perbedaan sebagai sunnatullah agar saling mengenal, menghindari perpecahan, mengembangkan kerjasama dengan menanamkan rasa saling pengertian, saling memiliki dan bersikap inklusif, tidak membatasi pergaulan dengan siapapun, namun tetap meyakini kebenaran agama sendiri dengan tidak mempersamakan keyakinan secara total. 2. Dalam perspektif pendidikan Islam, pemikiran Abdurrahman Wahid tentang Pendidikan pluralisme memiliki keserasian yaitu berorientasi pada terbentuknya kepribadian serta akhlak yang luhur dengan berdasarkan alQur’an dan al-Hadits, serta mengupayakan untuk menanamkan nilai-nilai toleransi pada peserta didik sejak dini yang berkelanjutan dengan mengembangkan rasa saling pengertian dan memiliki terhadap umat agama lain. E. Saran dan Penutup Hendaknya para subjek pendidikan, baik pemikir, tokoh maupun pelaksana lapangan dapat menjadikan pendidikan pluralisme sebagai pendidikan untuk mengembangkan sikap pluralisme pada peserta didik di era sekarang ini. Pendidikan Islam yang berorientasi pada perbaikan tingkah laku peserta didik sangatlah perlu untuk segera menerapkan ajaran-ajaran Islam yang toleran melalui kurikulum pendidikannya dengan tujuan pada pemahaman serta upaya untuk bisa hidup dalam konteks perbedaan agama dan budaya di tengah kehidupan berbangsa dalam konteks Indonesia yang plural
121
ini, baik secara individual maupun secara kelompok dan tidak terjebak pada primordialisme dan eksklusifisme kelompok agama dan budaya yang sempit. Demikian pula, hendaknya semua elemen masyarakat termasuk pemerintah ikut serta berperan aktif dalam meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia dan menggalakkan pendidikan pluralisme mencakup berbagai aspek seperti politik, sosial, ekonomi dan budaya yang mendukung terwujudnya tatanan pendidikan yang bermutu dan berkualitas, sehingga kemajemukan bangsa Indonesia bukanlah ancaman, namun akan menjadi kekuatan dengan sumber daya yang mampu bersaing di tengah globalisasi. Puji syukur ke hadirat Allah SWT., berkat rahmat, ridha dan inayahNya, dan dengan didasari ketulusan hati serta kesungguhan, akhirnya skripsi ini dapat terselesaikan. diakui bahwa dalam penyusunan skripsi ini tentunya masih banyak kekurangan sehingga jauh dari kesempurnaan, untuk itu demi perbaikan skripsi ini serta demi kesempurnaan dalam penelitian selanjutnya, saran kritik yang konstruktif dari para pembaca sangat diharapkan. Akhirnya penulis sampaikan terima kasih yang tak terhingga kepada semua pihak yang telah memberikan dukungan serta bantuan moril maupun materiil sehingga penulisan skripsi ini dapat terselesaikan. Teriring do’a semoga skripsi ini memberikan manfaat bagi penulis pribadi serta kepada para pembaca pada umumnya. hanya kepada Allah SWT. penulis memohon limpahan rahmat, taufiq, hidayah, serta inayah-Nya. Amin ya rabb al-’alamin. Wa Allahu a’lam bi al-shawab.
122
DAFTAR PUSTAKA Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam, Paradigma Humanisme Teosentris, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005) Ahmad, Munawar, Ijtihad Politik Gus Dur Analisis Wacana Kritis, (Yogyakarta: LKiS, 2010) Rasyidin dan Syamsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Press, 2005) Al Ash Shieddieqy, Teungku Muhammad Hasbi, Tafsir al-Qur’anul Majid an Nuur, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2000), Jilid II Arifin M., Ilmu Pendidikan Islam Suatu Tinjaun Teoritis dan Praksis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner, (Jakarta: Bumi Aksara, 1994) Aziz, Ahmad Amir, Neo-Modernisme Islam di Indonesia Gagasan Sentral Nurcholish Madjid dan Abdurrahman Wahid, (Jakarta, Rineka Cipta, 1999) Bakhtiar, A. Nur Alam, 99 Keistimewaan Gus Dur, (Jakarta: Kultural, 2008) Barton, Greg, Biografi Gus Dur, terj. (Yogyakarta: LKiS, 2008) ___________, “Abdurrahman Wahid dan Toleransi Keberagamaan” dalam M. Syafi’i Ma’arif, dkk. Gila Gus Dur, (Yogyakarta: LKiS, 2000) Bekker, Anton dan Achmad Charris Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1990) Chafsoh, Zannuba Arrifah, “Perangi Ahmadiyah Dengan Dakwah”, Suara Merdeka, Semarang, 20 Februari 2011 Dawam, Ainurrofiq, Emoh Sekolah; Menolak Komersialisasi Pendidikan dan Kanibalisme Intelektual, Menuju Pendidikan Multikultural, (Yogyakarta: Inspeal Ahimsa Karya Press, 2003) Departemen Agama RI, Mushaf Al-Qur’an Terjemah, (Jakarta: Al Huda Kelompok Gema Insani, 2002) _____________________, Al Qur’an dan Terjemahannya, (Jakarta: Al Huda Kelompok Gema Insani,2005) Dhakiri, M. Hanif, 41 Warisan Kebesaran Gus Dur, (Yogyakarta: LKiS, 2010)
123
Dj, Fauzan, “Kekalahan Negara atas Kekerasan Berlatar Agama”, Suara Merdeka, Semarang, 20 Februari 2011 Faqih, Maman Imanulhaq, Fatwa dan Canda Gus Dur, (Jakarta: Kompas, 2010) Hadjar, Ibnu, Dasar-Dasar Metode Penelitian Kualitatif, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996) Haikal, Muhammad Husain, Sejarah Hidup Muhammad, terj. Ali Audah (Jakarta: Litera Antar Nusa, 2008) Hanafi, Hassan, Agama, Kekerasan dan Islam Kontemporer, (Yogyakarta: Jendela, 2001) Hakim, Abdul Dubbun, “Islam, Inklusivisme, Dan Kosmopolitanisme”, dalam Abdul Dubbun Hakim, Menembus Batas Tradisi, Menuju Masa Depan yang Membebaskan, Refleksi atas Pemikiran Nurcholis Madjid (Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2006) Ichtijanto, “Masyarakat Majemuk dan Kerukunan Hidup Beragama”, dalam Prof. Atho Mudzhar, Meretas Wawasan dan Praksis Kerukunan Umat Beragama di Indonesia dalam Bingkai Masyarakat Multikultural, (Jakarta: Puslitbang Kehidupan Beragama, 2005) Iskandar, A. Muhaimin, Melanjutkan Pemikiran dan Perjuangan Gus Dur, (Yogyakarta, LKiS, 2010) Kementerian Agama RI, al-Qur’an dan Tafsirnya, (Jakarta: Lentera Abadi, 2010), Jilid II ___________________, al-Qur’an dan Tafsirnya, (Jakarta: Lentera Abadi, 2010), Jilid VII Komaruddin, Kamus Research, (Bandung: Angkasa, 1984) Marimba, Ahmad D., Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: al Ma’arif, 1989) Ma’arif, Syamsul, Pendidikan Pluralisme di Indonesia, (Jogjakarta: Logung Pustaka, 2005) ______________, The Beauty of Islam dalam Cinta dan Pendidikan Pluralisme, (Semarang: Nedd’s Press, 2008), Mudzhar, Atho, Pengembangan Masyarakat Multikultural Indonesia dan Tantangan ke Depan (Tinjauan dari Aspek Keagamaan) dalam Atho
124
Mudzhar, Meretas Wawasan dan Praksis Kerukunan Umat Beragama di Indonesia dalam Bingkai Masyarakat Multikultural, (Jakarta: Puslitbang Kehidupan Beragama, 2005) Muhadjir, Noeng, Filsafat Ilmu, Kualitatif & Kuantitatif untuk Pengembangan Ilmu dan Penelitian, (Yogyakarta: Rake Sarasin, 2006) Mujib, Abdul dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2006) Mulkhan, Abdul Munir, “Humanisasi Pendidikan Islam”, dalam Hamami Zada, et. Jurnal Tashwirul Afkar edisi no. 11 tahun 2001 ___________________, Nalar Spiritual Pendidikan, Solusi Problem Filosofis Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002) Naim, Ngainun dan Achmad Sauqi, Pendidikan Multicultural Konsep dan Aplikasi, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2010) Nata, Abudin, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2009) ___________, Tokoh-Tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005) Ng, Zastrouw, Gus Dur, Siapa sih Sampeyan? Tafsir Teoritik atas Tindakan dan Pernyataan Gus Dur, (Jakarta: Erlangga, 1999) Nazir, Moh., Metode Penelitian, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2005) Partanto, Pius A. dan M. Dahlan al Barry, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya: Arkola, 1994) Qomar, Mujamil, Epistemologi Pendidikan Islam dari Metode Rasional hingga Metode Kritik, (Jakarta: Erlangga, 2004) Rachman, Budhi Munawwar-, Islam Pluralis, Wacana Kesetaran Kaum Beriman, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004) Rahim, Husni , Arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Logos, 2001) Rahman, Fazlur, Islam, (Bandung: Pustaka, 2000) Ramage, Douglas E., Gus Dur, NU dan Masyarakat Sipil, (Yogyakarta: LKiS, 2010) Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 1994)
125
Ritzer, George dan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2009) Roziqin, Badiatul, dkk., 101 Jejak Tokoh Islam Indonesia, (Yogyakarta: eNusantara, 2009) Rumadi, “Dinamika Agama dalam Pemerintahan Gus Dur”, dalam Khamami Zada (ed) Neraca Gus Dur di Panggung Kekuasaan (Jakarta: LAKPESDAM) Sanaky, Hujair AH., Paradigma Pendidikan Islam, Membangun Masyarakat Madani Indonesia, (Yogyakarta: Safiria Insani Press, 2003) Shihab, Alwi, Islam Inklusif, (Bandung: Mizan, 1999) Shihab, M. Quraish, Tafsir al-Mishbāh, Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati, 2005), Vol. 1 ________________, Tafsir al-Mishbāh, Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati, 2005), Vol. 3 ________________, Tafsir al-Mishbāh, Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati, 2005), Vol. 12 ________________, Tafsir al-Mishbāh, Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati, 2005), Vol. 13 Shofan, Moh., Menegakkan Pluralisme; Fundamentalisme-Konservatif di Tubuh Muhammadiyah, (Jogjakarta: LSAF, 2008) ___________., Pendidikan Berparadigma Profetik, (Jogjakarta: IRCiSoD, 2004) Sudarto, Metodologi Penelitian Filsafat, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002) Sumaryono, E., Hermeneutik Sebuah Metode Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1999) Syari’, Ahmad, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2005) Thoha, Anis Malik, Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis, (Jakarta: Gema Insani, 2007) Thoha, Chabib, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Yogya: Pustaka Pelajar, 1996) Tilaar, HAR., Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Madani Indonesia, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2002)
126
Wahid, Abdurrahman, “Dialog Agama dan Masalah Pendangkalan Agama,” dalam Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus (ed), Passing Over: Melintas Batas Agama, (Jakarta: Paramadina, 1998) __________________, Gus Dur Menjawab Perubahan Zaman, Kumpulan Pemikiran K. H. Abdurrahman Wahid Presiden ke-4 RI, (Jakarta: Kompas, 1999) __________________,
“Hubungan
antar-Agama,
Dimensi
Internal
dan
Eksternalnya di Indonesia” dalam Adurrahman Wahid, dkk., Dialog: Kritik dan Identitas Agama, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1993) __________________,
Islam
Kosmopolitan,
Nilai-Nilai
Indonesia
dan
Transformasi Kebudayaan, (Jakarta: The Wahid Institute: 2007) __________________, Islamku Islam Anda Islam Kita, (Jakarta: The Wahid Institute, 2002) __________________, Prisma Pemikiran Gus Dur, (Yogyakarta: LKiS, 2010) Mukhsin
Abdurrahman,
Pendidikan
http://mukhsinblog.blogspot.com/
Pluralisme-Multikultural,
2010/06
pendidikan-pluralisme-
multikultural.html Asrori,
Mohib,
Islam
dan
Pendidikan
Pluralisme
http://gurutrenggalek.blogspot.com/2010/05/islam-danpendidikanpluralisme.html Biografi
Abdurrahman
Wahid,
http://kumpulanmakalahdanartikelpendidikan.blogspot.com/2011/02/abdur rahman-wahid.htmlAbdurrahman Wahid Catatan Akhir Tahun 2008 Gus Dur, Pluralisme di Indonesia Mengalami Krisis, http://wahidinstitute.org Fathurrohman,
Wiwit,
Biografi
Gus
Dur,
http://wiwitfatur.wordpress.com/2009/04/21/biografi-abdurrahman-wahid/ http://gudang-biografi.blogspot.com/2010/01/biografi-abdurrahman-wahidbiografi.html http://rohmatmulyana.blogspot.com/2006/11/issue-pendidikan-antar-agama.html
127
RIWAYAT HIDUP A. Identitas Diri 1. Nama
: Achmad Mustholih
2. Tempat & Tgl. Lahir
: Demak, 27 Agustus 1988
3. Nomor Induk Mahasiswa
: 063111064
4. Alamat Rumah
: Berahan Wetan RT 03/III Wedung-Demak Jawa Tengah
HP
: 085640016271
E-mail
:
[email protected]
B. Riwayat Pendidikan 1. Pendidikan Formal: a. SDN Berahan Wetan I, Wedung-Demak lulus tahun 2000 b. MTs Raudlatut Thalibin Bungo, Wedung-Demak lulus tahun 2003 c. SMU Raudlatut Thalibin Bungo, Wedung-Demak lulus tahun 2006 d. IAIN Walisongo Semarang Fak. Tarbiyah Jurusan Pendidikan Agama Islam (angkatan 2006) lulus tahun 2011 2. Pendidikan Non-Formal: a. Madrasah Diniyah dan Wustho Nurul Burhan, Berahan Wetan, Wedung, Demak b. Ponpes. Raudlatut Thalibin, Tugurejo-Tugu-Kota Semarang Tahun 2006 Yang menyatakan,
Achmad Mustholih
128