Jurnal Program Studi Sejarah STKIP PGRI Sidoarjo GENTA Vol. 2 No. 2, September 2014 ISSN : 2337-9707
PEMIKIRAN KH. ABDURRAHMAN WAHID TENTANG PLURALISME AGAMA DI INDONESIA TAHUN 1999-2001
(KH. WAHID’S THOUGHT ABOUT RELIGIOUS PLURALISM IN INDONESIAN IN 1999-2001) Listiana.
[email protected]. Ahmad Fatikhul Amin Abdullah Widjijanto. Program Studi Pendidikan Sejarah STKIP PGRI Sidoarjo Jl. Jenggala Kotak Pos 149 Kemiri Sidoarjo Abstrak Studi ini dilatarbelakangi oleh keragaman (pluralisme) yang ada di Negara Indonesia baik dalam suku, agama, ras, dan antar golongan (kelompok). Masalah keragaman terutama pluralisme agama, toleransi, hak asasi manusia, dan penegakkan hak kaum minoritas, hal ini tidak lepas dari sosok KH. Abdurrahman Wahid yang selalu memperjuangkan kesetaraan kaum beriman. Dari latar belakang diatas dapat diambil permasalahan yakni, bagaimana pemikiran KH. Abdurrahman Wahid terhadap pluralisme agama di Indonesia dan bagaimana peran KH. Abdurrahman Wahid dalam memperjuangkan toleransi dan kesetaraan kaum beriman. Dan untuk menjawab permasalahan yang ada, studi ini menggunakan metode heuristik, verifikasi, interpretasi, dan historiografi. Dengan menggunakan metode tersebut maka hasil dari studi ini yaitu perjuangan Gus Dur terhadap pluralisme agama, hak-hak asasi manusia, dan pembelaannya terhadap kesetaraan kaum beriman yang di mulai tahun 1999-2001, telah membuahkan hasil dengan saling menghargai, menghormati, tolong-menolong, dan hidup rukun dalam keadaan masyarakat Indonesia yang plural. Gus Dur juga dinobatkan sebagai Bapak Pluralisme karena telah menjadi inspirasi bagi masyarakat Indonesia. Pengaruh pemikiran Gus Dur tentang pluralisme agama sampai saat ini masih terus berlanjut, terutama yang dilanjutkan oleh keluarga, sahabat dan para pecinta pemikiran Gus Dur. Adapun kesimpulan dari studi ini, pertama, Pemikiran keagamaan Gus Dur yang demikian ini sebenarnya bersumber dari kegelisahannya melihat realitas agama yang hanya sekedar menjadi suplemen dalam kehidupan beragama. Sumbangsih terbesar Gus Dur terhadap bangsa adalah perjuangannya yang pantang mundur dalam mengusung pluralisme. Bagi Gus Dur keberagaman adalah rahmat yang telah digariskan Allah. Menolak kemajemukan sama halnya mengingkari pemberian ilahi. Kedua, Peran Gus Dur dalam memperjuangkan pluralisme salah satunya bisa dilihat saat Beliau membela orang-orang Tionghoa untuk mendapat hak yang sama sebagai warga negara. Gus Dur mendambakan terciptanya komunitas yang merdeka dalam masyarakat Indonesia. 264
Jurnal Program Studi Sejarah STKIP PGRI Sidoarjo GENTA Vol. 2 No. 2, September 2014 ISSN : 2337-9707
Kata kunci : KH. Abdurrahman Wahid, Pluralisme, Agama, Islam, HAM, NU. Abstract With the existence of the pluralism in our country, Indonesia, either from its ethnics, religions, races, even from one group to the other groups, problem will continuously come out as impacts of the pluralism itself. Those problems are considered as incontrovertible problems, such as problems of the religion, tolerance, human right, and enforcement of the law toward minority, which are not able to be separated from KH Abdurrahman Wahid as a person who was struggle for the equality of believers (people who have faith towards certain religions). This study aims to find out on how KH Abdurrahman Wahid’s thought toward the pluralism of religion in Indonesia and his own role in struggling the tolerance and equality of believers. Heuristic, verification, interpretation, and historiography are being the method in revealing the answer of those problems. The data analysis showed the symptoms of Gus Dur’s struggle towards the pluralism of religion, human right, and its enforcement of the equality of believers from 1999-2001 which resulted to the goodness toward the current society in which pluralism is being the core of the problem of the society surroundings. Gus Dur had been crowned as the Father of Pluralism in which he was inspiring the current society. The influence of his thought has been continued by his family, friends, and his own fans. From the data analysis, it is found that the thought in terms of religion according to Gus Dur, is first basically because of his own worry toward the reality of religion which only been supplementary stuff toward their lives. The greatest contribution of him is that his own struggle in bringing the idea of pluralism blended in the society because he thought that the pluralism of the religion is God’s mercy which is not able to be rejected by them. Second is his contribution in struggling to bring the idea of equality toward Chinese ethnics in possessing the same right as Indonesia’s citizen. Key Words: KH. Abdurrahman Wahid, pluralism, religion, Islam, human right, NU.
PENDAHULUAN Islam merukapan Agama Samawi terakhir yang diperuntukkan bagi seluruh alam rahmatan lil ‘alamin. Dengan demikian watak asasi seluruh ajaran Islam bukan hanya mengakui perbedaan, tetapi
menghormatinya. Islam menghormati
perbedaan, terlihat jelas dalam Al-Qur’an, yang artinya “Tidak ada paksaan dalam agama”. Termasuk Indonesia yang merupakan negara majemuk, baik dalam hal suku, bangsa, agama, budaya, hingga golongan (kelompok). Al-Qur’an juga mengakui keberadaan suku-suku, dan bangsa-bangsa agar saling mengenal 265
Jurnal Program Studi Sejarah STKIP PGRI Sidoarjo GENTA Vol. 2 No. 2, September 2014 ISSN : 2337-9707
satu sama lain, dan agar saling bertukar nilai-nilai budaya dan peradaban. Terlihat jelas dalam Firman Allah yang artinya, “Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”. Agama sebagai pedoman hidup bagi manusia mengandung ajaran tentang nilai-nilai kebaikan dan kedamaian hidup manusia di dunia,
yang menjadi perekat bagi kerukunan antar umat beragama. Dengan
banyaknya, perjuangan yang di lakukan oleh Gus Dur, maka masyarakat terutama penulis tertarik untuk mengenal lebih detail lagi sosok bapak pluralis Indonesia. Berdasarkan realita di atas, penulis juga merasa terpanggil untuk mengkaji pandangan Gus Dur tentang pluralisme agama di Indonesia yang di mulai tahun 1999-2001. Oleh karena itu, janganlah melihat atau menilai seseorang dari luarnya saja yang belum tentu apa yang ditampilkannya adalah pribadi yang sesungguhnya, kita seharusnya berkaca dari sosok Gus Dur yang telah mengajarkan banyak hal dalam kehidupan beragama maupun bersosial, semangatnya yang tidak pernah surut dalam memperjuangkan kesetaraan kaum beriman menjadikannya sosok kontroversial dimata masyarakat luas namun itu semua dilakukannya demi masyarakat Indonesia yang sejahtera. Rumusan masalah 1. Bagaimana kebijakan KH. Abdurrahman Wahid terhadap pluralisme agama di Indonesia? 2. Bagaimana peran KH. Abdurrahman Wahid dalam memperjuangkan toleransi dan kesetaraan kaum beriman dari tahun 1999-2001?
Tujuan penelitian
266
Jurnal Program Studi Sejarah STKIP PGRI Sidoarjo GENTA Vol. 2 No. 2, September 2014 ISSN : 2337-9707
1.
Secara teoritis dapat menambah dan memperkaya khasanah studi sejarah pemikiran terutama pluralisme agama di Indonesia.
2.
Menambah sumber informasi atau acuan berfikir bagi yang berminat mengadakan penelitian lebih lanjut mengenai Gus Dur khususnya berkaitan dengan pandangan Gus Dur tentang pluralisme agama di Indonesia.
3.
Diharapkan melalui kajian ini dapat menjadi penghubung atas kajian berikutnya dengan tema yang sama, sehingga tercipta suatu pemahaman terhadap pluralitas bangsa Indonesia, dan agar menjadi lebih komperehensif dan berkesinambingan.
Metode penelitian Metode yang digunakan dalam penulisan ini adalah metode sejarah yang terdiri dari empat tahap. Heuristik yaitu mengumpulkan data-data dari berbagai sumber yang terdapat di Perpustakaan STKIP PGRI Sidoarjo, Perpustakaan UMSIDA, Perpustakaan daerah Sidoarjo, Perpustakaan UIN Sunan Ampel Surabaya, dan Perpustakaan daerah Surabaya. Dari pencarian data-data di dapatlah sumbersumber yang berkaitan dengan pandangan Gus Dur terhadap pluralisme agama dan setelah semua data terkumpul maka dilakukan penulisan. Kritik ekstern (apakah sumber itu kongkrit atau keakuratan sumber), berupaya untuk mengetahui otentisitas data yang telah ditemukan. Hal ini berkaitan dengan pluralisme agama yang menjadi topik dalam penulisan ini. Kemudian, pengujian data tersebut sebelum digunakan sebagai bahan penulisan masih memerlukan tahap intern. Kritik intern (menilai kredibilitas data dalam sumber), langkah ini untuk menentukan tingkat kredibilitas data terhadap isi yang ada dalam pokok bahasan pluralisme agama, apakah data tersebut layak untuk dijadikan sumber atau tidak. 267
Jurnal Program Studi Sejarah STKIP PGRI Sidoarjo GENTA Vol. 2 No. 2, September 2014 ISSN : 2337-9707
Interpretasi. Setelah melalui tahapan kritik sumber, kemudian dilakukan interpretasi atau penafsiran akan makna fakta dan hubungan antara satu fakta dengan fakta lain. Penafsiran atas fakta dilandasi oleh sikap obyektif agar ditemukan kesimpulan atau gambaran sejarah yang ilmiah. Penafsiran juga memberikan makna terhadap fakta sejarah yang telah diperoleh. Historiografi atau penulisan sejarah merupakan tahapan akhir dari seluruh rangkaian metode sejarah, yaitu dengan melakukan penulisan dari hasil studi literatur.
HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Indonesia, khususnya pulau Jawa pada awal abad XX ditandai dengan mulai terjadinya ketegangan antara kaum pembaru dan kaum tradisional. Upaya untuk melambangkan tradisi keagamaan Islam yang telah lama mengakar di tengah masyarakat, terutama dalam menghadapi serangan dari kalangan pembaru adalah yang mendasari di dirikannya NU sebagai sebuah organisasi. Arti penting di bentuknya organisasi NU tidak bisa dilepaskan dari konteks waktu, terutama yang berkaitan dengan upaya menjaga eksistensi jama’ah tradisional berhadapan dengan arus paham pembaruan Islam (modernisme Islam) yang ketika itu, telah terlembagakan. Meskipun terlahir sebagai cucu pendiri Nahdlatul Ulama (NU), secara “de jure” keterlibatan Gus Dur di organisasi Islam terbesar di Indonesia itu baru terjadi pada tahun 1979, atau tepatnya berlangsungnya Muktamar NU di Semarang. Sebelumnya Gus Dur, sudah pernah diminta untuk ikut berperan aktif dalam menjalankan roda jam’iyah NU. Langkah-langkah Gus Dur di NU dengan cepat menempatkannya sebagai fungsionaris PBNU yang paling populer di kalangan nahdliyin. Muktamar NU tahun 1984, Gus Dur masuk dalam nominasi calon Ketua Umum Dewan Tanfidz PBNU. Gus Dur menerima pencalonan itu dengan syarat harus mendapatkan wewenang penuh untuk memilih para pengurus 268
Jurnal Program Studi Sejarah STKIP PGRI Sidoarjo GENTA Vol. 2 No. 2, September 2014 ISSN : 2337-9707
di bawahnya. Reformasi Abdurrahman Wahid membuatnya sangat populer di kalangan NU hingga saat Musyawarah Nasional 1984, Gus Dur terpilih sebagai ketua umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama. Terpilihnya Gus Dur sebagai Ketua Umum PBNU ternyata dinilai positif oleh rezim Orde Baru yang dipimpin oleh Presiden Soeharto. Penerimaan Gus Dur terhadap Pancasila sebagai ideologi negara bersamaan dengan citranya sebagai seorang moderat menjadikannya disukai oleh pejabat pemerintahan. Bahkan, pada tahun 1985, Presiden Soeharto menjadikan Gus Dur salah seorang indoktrinator Pancasila. Awal masa jabatannya memimpin NU, kiprah Gus Dur sebagai tokoh pluralis dan lintas batas memang sudah mulai terasa. Pertama yang dilakukannya adalah mereformasi sistem pendidikan pesantren dan Gus Dur berhasil meningkatkan kualitas sistem pendidikan pesantren sehingga setara dengan pendidikan di sekolah umum. Rumusan diatas jelas mencerminkan gelombang baru pemikiran yang sedang menghempas di kalangan NU tentang pendidikan yang sebelumnya dikenal sebagai gerakan Islam tradisi dalam bentuk pesantren dengan kurikulum yang tidak standar atau bahkan tanpa kurikulum. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa munculnya gelombang baru yang sifatnya radikal tidak dapat dilepaskan dari pengaruh Abdurrahman Wahid. Pemikiran pluralisme agama muncul pada masa yang disebut Pencerahan (Enlightenment) Eropa, tepatnya pada abad ke 18 Masehi, masa yang disebut sebagai titik permulaan bangkitnya gerakan pemikiran modern, yaitu masa yang di warnai dengan wacana-wacana baru pergolakan pemikiran manusia yang berorientasi pada superioritas akal (rasionalisme). Pergolakan pemikiran di Eropa yang timbul sebagai konsekuensi logis dari konflik-konflik yang terjadi antara gereja dan kehidupan nyata di luar gereja, muncullah suatu paham yang di kenal dengan “liberalisme” yang komposisi utamanya adalah kebebasan, toleransi, persamaan, dan keragaman atau pluralisme. Istilah “pluralisme agama” masih sering di salah pahami atau mengandung pengertian yang kabur. Secara etimologis, pluralisme agama, berasal dari dua kata yaitu pluralisme dan agama. Terdapat dalam bahasa arab yang di terjemahkan al-ta’addudiyyah al-diniyyah 269
Jurnal Program Studi Sejarah STKIP PGRI Sidoarjo GENTA Vol. 2 No. 2, September 2014 ISSN : 2337-9707
dan dalam bahasa Inggris religious pluralism. Pluralisme agama adalah istilah khas dalam teologi menyatakan bahwa, ada tiga sikap dialog agama yang dapat diambil. Pertama, sikap ekslusif, yang mengklaim agama lain salah. Kedua, sikap inklusif bahwa agama-agama lain adalah bentuk implisit agama sendiri. Ketiga, sikap pluralis yang bisa terekspresi dalam macam-macam rumusan, misalnya Agama-agama yang lain adalah jalan yang sama-sama sah untuk mencapai kebenaran yang sama. Karena itu, Pluralisme Agama merupakan istilah yang khas, yang tidak bisa didefinisikan dengan menganggap remeh. Seorang Prof. Dr. Franz Magnis Suseno (Seorang tokoh Katolik terkenal di Indonesia dan Direktur Pasca Sarjana Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara), berpendapat tentang pluralisme agama, pluralisme agama merupakan paham yang menolak ekslusivisme kebenaran. Sebagian orang beranggapan bahwa hanya agamanya sendiri yang benar ini merupakan kesombongan.
Agama lahir dalam sebuah lingkup sejarah dan
kemudian menciptakan tradisi. Kebesaran sebuah agama, akan di ukur melalui tradisi yang di tinggalkan. Sedangkan kuat lemahnya sebuah tradisi agama akan ditentukan oleh kualitas dan kuantitas pendukungnya. Namun, sesungguhnya semua doktrin agama selalu berkembang dalam perjalanan sejarahnya sehingga apa yang disebut teologi. Pluralisme agama menjadi sebuah keniscayaan, yang di mana adanya pluralitas bahasa, dan etnis. Pluralitas (kemajemukan), merupakan suatu keniscayaan sehingga tidak dapat ditolak keberadaannya. Bahkan kemajemukan dapat di pandang sebagai ketetapan Allah (sunnatullah). Uniknya, kemajemukan ini tidak hanya di dasarkan pada realitas bahwa secara alamiah manusia memang memiliki perbedaan di karenakan keragaman latar belakang sosial, pendidikan, budaya, dan aspek lokalitas lainnya. Allah juga menetapkan hukum perbedaan ini berlaku dikalangan umat Islam. Dalam konteks kemajemukan inilah Allah mengajarkan bahwa di antara kaum beriman itu bersaudara. Penjelasan diatas mengingatkan kita pada sosok yang sangat hangat di juluki sebagai bapak pluralisme kemampuan Gus Dur dalam memahami tradisi dan keilmuan, serta penguasaan sejarah dunia yang cukup memadai membuat 270
Jurnal Program Studi Sejarah STKIP PGRI Sidoarjo GENTA Vol. 2 No. 2, September 2014 ISSN : 2337-9707
dirinya menjadi seorang religius, ulama yang berpegang teguh terhadap tradisi, juga menjadi politisi yang sekuler dan intelektual liberal ini justru mampu memposisikan diri sebagai pemikir yang modern. Gus Dur mengedepankan seorang yang progresif dalam pemikiran, tapi sekaligus konservatif dalam teologi, hal inilah yang menjadi watak dasar pemikiran Gus Dur yang dialektis, selalu menyandingkan setiap persoalan secara bebas tanpa adanya dominasi apapun, sekalipun diimbangi dengan daya kritis dan ketajaman analisa. Pemikiran Abdurrahman Wahid yang paling menonjol adalah komitmennya untuk mengeluarkan gagasan tentang perlunya ditegakkan nilainilai kemanusiaan dalam masyarakat. Kecintaannya yang mendalam terhadap kemanusiaan membuat Gus Dur sangat terkenal dalam melakukan pembelaan terhadap berbagai bentuk penindasan dan kekerasan, atas nama apapun terlebih atas nama Agama. Ukuran nilai kemanusiaan ini bagi Gus Dur merupakan bentuk pengakuan atas martabat kemanusiaan yang harus dijunjung tinggi, kapanpun, dimanapun, dan oleh siapapun. Sikap konsistensi Gus Dur dalam melakukan pembelaan terhadap kelompok minoritas merupakan penghargaan yang cukup tinggi terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Pemikiran plural Gus Dur memiliki makna kebebasan untuk berfikir dan mengeluarkan pendapat serta tanpa harus terikat pada sebuah bentuk pengetahuan dan otoritas manapun. Bersamaan dengan kegigihannya dalam memperjuangkan kesetaraan, Gus Dur juga digelari sebagai bapak pluralisme, karena keberpihakannya pada kelompok minoritas, baik dalam kalangan muslim maupun karena kedekatannya dengan umat Kristen, dan Katholik serta etnis Tionghoa. Selain pemikirannya tentang pluralisme, Gus Dur juga menonjol dalam masalah demokrasi. Gus Dur memandang demokrasi sebagai suatu proses, maksudnya demokrasi tidak dipandang sebagai suatu sistem yang pernah selesai dan sempurna. Gus Dur digelari sebagai bapak pluralisme, karena keberpihakannya pada kelompok minoritas, baik dalam kalangan muslim maupun karena kedekatannya 271
Jurnal Program Studi Sejarah STKIP PGRI Sidoarjo GENTA Vol. 2 No. 2, September 2014 ISSN : 2337-9707
dengan kalangan umat Kristen dan Katholik serta etnis Tionghoa. Julukan sebagai Bapak Pluralisme tidak hanya dikenal di Indonesia, melainkan Bapak Pluralisme Dunia. Sejak kecilpun Gus Dur memang terpapar oleh berbagai ragam pemikiran dan wawasan, semua itu menjadi bangunan visi tentang negeri yang kokoh bersandar pada gagasan mendasar kemanusiaan, inklusivisme, toleransi, dan pluralisme. Gus Dur merupakan samudera yang menerima segala keragaman dan kebhinekaan untuk disyukuri sebagai rahmat bagi bangsa ini. Istimewanya pluralisme yang di kembangkan Gus Dur tidak hanya pada tataran pemikiran, melainkan menjadi sebuah tindakan sosial-politik. Partai Kebangkitan Bangsa yang didirikan Gus Dur secara eksplisit menjadikan kebangsaan sebagai pijakan utamanya. Padahal partai tersebut didukung sepenuhnya oleh basis kalangan Muslim tradisional. Gus Dur telah mampu menggabungkan antara pemikiran dan pluralisme. Gus Dur juga memperlakukan kelompok-kelompok minoritas, terutama mereka yang tertindas sebagai warga negara yang mempunyai hak yang sama. Menjadi presiden ke-4 RI, Gus Dur juga memulihkan hak politik etnis Tionghoa, Gus Dur selalu menegaskan bahwa kelompok minoritas mempunyai hak sipil, politik, ekonomi, dan budaya. Tepatnya, ketika Gus Dur mengembangkan pemikiran dan gerakan sosial budaya untuk penghargaan terhadap eksistensi pluralisme, sebenarnya Gus Dur tengah melakukan penyadaran kepada masyarakat dan penyelenggara negara untuk terus memperkokoh bangunan ke Indonesiaan. Buah pikiran Gus Dur yaitu dengan menyatukan perbedaan agama, suku, ras, dan antar golongan di bawah bingkai demokrasi. Gus Dur berhasil meyakinkan bangsa bahwa demokrasi bisa dikembangkan bersama-sama dalam masyarakat yang majemuk. Gerakan toleransi dan kerukunan antar umat beragama di Indonesia, terutama yang dilakukan oleh NU, maka tidak bisa lepas dari figur KH. Abdurrahman Wahid. Gus Dur merupakan tokoh yang berjuang keras dalam memyebarkan gerakan toleransi dan kerukunan antar umat beragama. Gus Dur sering disebut sebagai tokoh pejuang demokrasi dan Hak Asasi Manusia (HAM). Gus Dur mendirikan Forum Demokrasi (Fordem) pada tahun 1991. Selain sebagai tokoh pejuang 272
Jurnal Program Studi Sejarah STKIP PGRI Sidoarjo GENTA Vol. 2 No. 2, September 2014 ISSN : 2337-9707
demokrasi dan Hak Asasi Manusia, KH. Abdurrahman Wahid juga giat dalam memperjuangkan terwujudnya toleransi antar umat beragama, baik dalam lingkup Indonesia maupun internasional. Secara umum, pandangan KH. Abdurrahman Wahid dalam hal hubungan antar umat beragama adalah bersifat moderat, inklusif, dan toleran. Menurutnya, yang terpenting dari gerakan toleransi dan kerukunan antar umat beragama yang perlu di perjuangkan adalah pengembangan di antara umat beragama yang berbeda. Bahwa Indonesia akan mampu menjadi bangsa yang kuat, kalau umat agama-agama yang berbeda dapat saling mengerti satu sama lain, bukan hanya sekedar saling menghormati. Akan diulas tentang beberapa aktivitas yang dilakukan oleh KH. Abdurrahman Wahid pada era Reformasi yang menunjukkan keseriusannya dalam memperjuangkan terwujudnya persatuan di Indonesia dengan mengembangkan toleransi di antara warga masyarakat yang berbeda-beda, baik dalam hal agama, suku, ras, maupun golongan. Seorang pelopor dalam membangun gerakan toleransi dan kerukunan beragama di Indonesia adalah KH. Abdurrahman Wahid. Gus Dur dengan gigih terus menyebarkan pentingnya kerukunan
antar umat beragama. Langkah nyata Gus Dur terlihat ketika ia
bersama tokoh-tokoh agama yang berasal dari Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Kong Hu Chu, menandatangani prasasti “Deklarasi Soko Tunggal” yang bertempat di pondok pesantren Soko Tunggal Semarang pada bulan Desember 2005. Menurutnya, menjaga kerukunan antar agama adalah tugas semua agama tanpa pandang bulu. Gus Dur juga menyatakan bahwa apabila ingin Indonesia menjadi negara yang maju, maka syaratnya adalah jangan lagi membeda-bedakan agama, ras, maupun suku.
Pluralisme agama yang telah di perjuangan oleh KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), ternyata penting untuk diketahui, terutama pluralisme dengan agama lain. Karena, setiap agama memiliki nilai dan kepercayaan tersendiri yang dimana semua kegiatannya memiliki keunikan tersendiri. Toleransi terhadap 273
Jurnal Program Studi Sejarah STKIP PGRI Sidoarjo GENTA Vol. 2 No. 2, September 2014 ISSN : 2337-9707
berbagai agama perlu ditumbuh kembangkan terutama di Indonesia yang merupakan negara multikultural. Berbeda keyakinan bukan berarti manusia harus bermusuhan, hubungan agama Yahudi, Kristen, dan Islam sudah lama terjalin terutama di Indonesia. Sikap saling menghormati harus di tanamkan pada diri manusia agar tidak memandang perbedaan sebagai permusuhan karena agama. Menurut Harold Coward, agama Yahudi (Judaism) menjadi rujukan awal pembahasan pluralisme keagamaan. Pandangan Coward ini didasarkan pada dua hal; pertama, agama Yahudi adalah agama pertama yang mencapai bentuk dan keyakinan yang mengajarkan monoteisme. Agama monoteisme lain, Kristen, dan Islam yang telah menjadikan Yahudi sebagai konteks kemunculan dan ajarannya. Keterkaitan agama Yahudi, Kristen, dan Islam yang mengajarkan monoteisme telah menjadikan para filosof dan teolog Yahudi.Kedua, pluralisme keagamaan dalam agama Yahudi banyak berkaitan dengan pengalaman hidup para pengikutnya. Masyarakat Yahudi memiliki pengalaman hidup yang dinamakan diaspora, yakni hidup dalam komunitas keagamaan yang terpencar dan hidup sebagai kelompok minoritas di tengah komunitas agama lain. Agama Kristen juga menunjukkan adanya kesadaran bahwa pluralisme keagamaan dapat menjadi tantangan bagi komunitas Kristiani dalam membangun hubungan dengan agama-agama lain. Masalah utama yang dihadapi agama Kristen adalah adanya keharusan untuk meyakini ajaran Kristiani yang memiliki doktrin Kristen (inkarnasi Allah dalam diri Kristus). Doktrin dalam agama Kristen juga banyak mengemukakan ajaran yang sangat ekslusif sehingga dapat menutup pintu dialog dengan komunitas agama lain. Memahami ajaran Islam tentang pluralisme atau kemajemukan dalam perjalanan sejarah umat Islam sejak zaman Nabi Muhammad Saw. Sangatlah penting guna mengembangkan wacana berpikir masyarakat dan mendororng terjadinya transformasi sosial. Kemajemukan umat manusia dalam ajaran Islam di pandang sebagai kenyataan sejarah yang telah menjadi kehendak Allah. Ajaran Islam sejati juga secara tegas mengakui dan menghormati hak-hak agama lain, 274
Jurnal Program Studi Sejarah STKIP PGRI Sidoarjo GENTA Vol. 2 No. 2, September 2014 ISSN : 2337-9707
kecuali paganism (menyembah berhala) dan syirik. Pengakuan atas hak agama lain itu dengan sendirinya merupakan dasar kemajemukan sosial, budaya, dan agama yaitu sebagai ketetapan Allah yang tidak berubah. Melihat bentuk masyarakat majemuk seperti Indonesia, adanya perbedaan suku bangsa, adat, tradisi, bahasa, dan agama sudah menjadi hal biasa. Dalam usaha membangun masyarakat Indonesia baru atau masyarakat madani (civil society), masalah besar bangsa kita salah satu bagaimana mengelola nilai kemajemukan agar menjadi escalator terbangunnya landasan yang kukuh bagi tumbuhnya masyarakat madani. Segala persoalan kehidupan manusia sejatinya tidak bisa dilepaskan dari agam. Agama telah hadir sebagai realitas teologi, sosial, ekonomi, politik, hukum, dan budaya yang mengiringi manusia. Karena manusia tidak bisa lepas dari agama sebagai pemberi sense of meaning (kesadaran makna) dalam hidup, terkadang agama digunakan juga sebagai alat melegalkan segala perbuatan. Peperangan, perdamaian, perjuangan, pengkhianatan, konflik politik dan sebagainya semua itu atas nama demi agama. Demi agama dalam sejarah umat manusia terjadi perang agama (Perang Salib) antara umat Islam dengan Nasrani. Sampai sekarang sejarah ini masih di catat dan masih membekas di antara kedua agama tersebut. Penerimaan Islam terhadap agama lain didasarkan pada dua alasan sejarah dan obyektif. Alasan sejarah didasarkan pada hubungan tiga agama besar (Yahudi, Kristen, dan Islam). Melalui sejarah, umat Islam dapat memahami bahwa tiga agama ini sesungguhnya terlahir dari Tuhan yang satu. Oleh karena itu, pluralitas agama lebih mengutamakan toleransi, dan saling melengkapi. Pluralitas agama lebih baik daripada satu agama. Sebagai sebuah realita, pluralisme dimaknai sebagai adanya aneka agama Islam, Kristen, Hindu, Budha, Yahudi, Kong Hu Chu, dan sebagainya yang tak mungkin kita nafikan begitu saja. Dalam konteks pluralisme sebagai suatu kenyataan historis mengandung maksud bahwa dalam pemahaman pluralisme ini belum mengandung pandangan tentang benar atau salah suatu agama.
275
Jurnal Program Studi Sejarah STKIP PGRI Sidoarjo GENTA Vol. 2 No. 2, September 2014 ISSN : 2337-9707
Sedangkan pluralisme sebagai paham, paling tidak mengenal lima pemahaman tentang pluralisme itu sendiri. Pertama, paradigm ekslusivisme, dimana pandangan ini menganggap bahwa yang selamat hanya kita, sedangkan diluar kita tidak ada keselamatan. Kedua, pluralisme indifferent, yakni paradigma ini berkeyakinan bahwa mereka selamat dengan caranya masing-masing. Ketiga, paradigma dialog yakni pentingnya ruang dialog bagi semua umat beragama dengan belajar sambil mengambil kebaikan yang ada pada orang lain. Ketiga agama ini bisa memberikan contoh untuk agama-agama lain bahwa perbedaan agama bukanlah permasalahan yang harus diragukan kebenaran. Allah memang satu, tapi agama-agama dan organisasi keagamaan tetap berbeda untuk melakukan peribadatannya masing-masing. Tokoh yang paling berpengaruh dalam pluralisme ini adalah Gus Dur, kepandaiannya dalam berdialog membawanya kedunia liberal yang dimana, Gus Dur menganggap bahwa semua agama sama, dan tidak ada perbedaan antara yang Islam dan non Muslim. Pluralisme agama, konflik intern dan ekstern antar pemeluk agama adalah fenomena riil yang saat ini tetap bergolak di berbagai belahan bumi. Pluralisme agama yang merupakan salah satu karakteristik fundamental, secara khusus menghadapkan seorang beragama kepada situasi dan kondisi teologis yang cukup dilematis. Indonesia merupakan bangsa yang paling pluralis di dunia dengan kelompok etnis, serta bahasa dan kebudayaan yang sangat majemuk. Enam agama (Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Budha, dan Kong Hu Cu) diakui secara resmi dan yang secara umun dapat hidup berdampingan. Namun, kehidupan beragama di Indonesia senantiasa mengalami pasang-surut . Hal ini tentu akan terus menyadarkan para penganut agama yang tercerahkan untuk selalu mencari jalan keluar yang dapat membebaskan diri dari potensi konflik dan kekerasan. Salah satunya adalah dengan menyebarkan benih-benih pemikiran teologi inklusif dan pluralis yang akan melahirkan pandangan-pandangan keagamaan yang berwatak damai, toleran, dan sejuk serta menguntungkan bagi semua pihak. Sehingga, kehidupan berbangsa dan bernegara dapat dijalani secara produktif dan harmonis.
276
Jurnal Program Studi Sejarah STKIP PGRI Sidoarjo GENTA Vol. 2 No. 2, September 2014 ISSN : 2337-9707
Pluralisme yang benar bukanlah semata dimaknai sebagai sikap toleransi biasa tanpa reserve. Pluralisme seperti ini hanya akan melahirkan toleransi yang semu dan basa-basi belaka. Pluralisme harusnya dipahami sebagai suatu pertemuan sejati dari keberagaman dalam ikatan-ikatan kesopanan (bonds of civility). Pertemuan sejati dari kemajemukan yang dimaksud berarti hubungan yang tulus berdasar pemahaman atas kesetaraan tiap-tiap individu. Negara yang plural seperti Indonesia, mengkaji dan memahami konsep pluralisme tetap penting, actual dan senantiasa relevan. Pluralisme yang benar dan baik adalah ketika seseorang berkeyakinan bahwa yang bercorak banyak dianggap sebagai anugerah. Artinya ada ketulusan hati pada setiap manusia untuk menerima keanekaragaman. Namun, harus disadari pula bahwa pluralisme bukan hal yang mudah. Alwi Shihab dalam karyanya yang berjudul Islam Inklusif, mengurai garis-garis besar pengertian pluralisme, yang menurutnya mencakup beberapa hal berikut ini. Pertama, pluralisme tidak semata menunjuk pada kenyataan tentang adanya kemajemukan. Namun, yang dimaksud adalah keterlibatan aktif terhadap kenyataan kemajemukan tersebut. Pluralisme agama dan budaya dapat dijumpai di mana-mana. Dengan kata lain, pluralisme agama adalah tiap pemeluk agama dituntut bukan saja mengakui keberadaan dan hak agama lain, namun juga terlibat dalam usaha memahami perbedaan serta persamaan guna tercapainya kerukunan dalam
kebhinekaan.
Kedua,
pluralisme
harus
dibedakan
dengan
kosmopolitanisme. Kosmopolitanisme menunjuk kepada suatu realita di mana aneka agama, ras, dan bangsa hidup berdampingan. Ketiga, pluralisme agama bukanlah sinkretisme yang menciptakan suatu agama baru dengan memadukan unsure tertentu atau sebagian komponen ajaran dari beberapa agama untuk dijadikan bagian integral dari agama baru tersebut. Menurut Alwi Shihab, hal terpenting terhadap konsep pluralisme agama hendak diterapkan di Indonesia, maka ia harus bersyaratkan satu hal, yakni komitmen yang kokoh terhadap agama masing-masing. Seorang pluralis, dalam berinteraksi dengan beragam agama, tidak saja dituntut untuk membuka diri, belajar, dan menghormati mitra dialognya. Pluralisme agama sejatinya tidak semata mengakui keragaman agama, tetapi juga kesanggupan dan kesediaan untuk hidup bersama dalam kerukunan 277
Jurnal Program Studi Sejarah STKIP PGRI Sidoarjo GENTA Vol. 2 No. 2, September 2014 ISSN : 2337-9707
dengan semua penganut agama yang berbeda-beda. Dalam konteks teologi universal, keberadaan agama adalah bukti cinta kasih Tuhan kepada manusia. Simpulan Pertama, Pemikiran plural Gus Dur memiliki makna kebebasan untuk berfikir dan mengeluarkan pendapat serta tanpa harus terikat pada sebuah bentuk pengetahuan dan otoritas manapun. Gus Dur juga digelari sebagai bapak pluralisme, karena keberpihakannya pada kelompok minoritas, baik dalam kalangan muslim maupun karena kedekatannya dengan umat Kristen, dan Katholik serta etnis Tionghoa. Pemikiran keagamaan Gus Dur yang demikian ini sebenarnya bersumber dari kegelisahannya melihat realitas agama yang hanya sekedar menjadi suplemen dalam kehidupan beragama. Sumbangsih terbesar Gus Dur terhadap bangsa adalah perjuangannya yang pantang mundur dalam mengusung pluralisme. Bagi Gus Dur, keberagaman adalah rahmat yang telah digariskan Allah. Menolak kemajemukan sama halnya mengingkari pemberian ilahi. Kedua, Peran Gus Dur dalam memperjuangkan pluralisme salah satunya bisa dilihat saat Beliau membela orang-orang Tionghoa untuk mendapat hak yang sama sebagai warga negara. Kebijakan Gus Dur melahirkan kebebasan etnis Tionghoa
dalam
menjalankan
ritual
keagamaan,
adat-istiadat,
serta
diperbolehkannya budaya Tionghoa (Barongsai dan Hong) di Indonesia. Kebebasan menjadi prasyarat hadirnya pluralisme. Gus Dur mendambakan terciptanya komunitas yang merdeka dalam masyarakat Indonesia. Gus Dur juga sering disebut sebagai tokoh pejuang demokrasi dan Hak Asasi Manusia (HAM). Secara umum, pandangan KH. Abdurrahman Wahid dalam hal hubungan antar 85
umat beragama adalah bersifat moderat, inklusif, dan toleran. Menurutnya, yang terpenting dari gerakan toleransi dan kerukunan antar umat beragama yang perlu di perjuangkan adalah pengembangan di antara umat beragama yang berbeda. Perjuangan Gus Dur yang tak mengenal lelah bisa dilihat dalam membela hak-hak minoritas menunjukkan kepekaannya dalam keadilan. Gus Dur dengan gigih terus 278
Jurnal Program Studi Sejarah STKIP PGRI Sidoarjo GENTA Vol. 2 No. 2, September 2014 ISSN : 2337-9707
menyebarkan pentingnya kerukunan antar umat beragama. Intinya adalah adanya sikap saling meghormati dan menghargai antara pemeluk agama, tidak membedabedakan suku, ras, atau golongan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
DAFTAR PUSTAKA Al-Qur’an dan Terjemahannya (Q. S. Al-Hujuraat ayat 13). Amin, Samsul Munir. 2009. Ilmu Dakwah. Jakarta: Amzah. Al-Zastrouw Ng. 1999. Gus Dur Siapa Sih Sampeyan: Tafsir Teoritik atas Tindakan dan Pernyataan Gus Dur. Jakarta: Erlangga. Azhar, Muhammad. 2005. Posmodernisme Muhammadiyah. Yogyakarta: Suara Muhammadiyah. Bahri, Media Zainul. 2010. Tasawuf Mendamaikan Dunia. Jakarta: Erlangga. Barton, Greg. 2002. Biografi Gus Dur The Authorized Biography of ABDURRAHMAN WAHID. Yogyakarta: LKiS. Biyanto. 2009. Pluralisme Keagamaan dalam Perdebatan (Pandangan Kaum Muda Muhammadiyah). Malang: UMM Press. Baedhowi, 2008. Humanisme Islam Kajian Terhadap Filosofis Muhammad Arkoun, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008. Coward, Harold. 1989. Pluralisme Tantangan Bagi Agama-Agama. Yogyakarta: Kanisius. Fatwa MUI tentang Pluralisme, Liberalisme dan Sekularisme Agama, yang diterbitkan oleh MAJELIS ULAMA INDONESIA PROVINSI JAWA TIMUR. 279
Jurnal Program Studi Sejarah STKIP PGRI Sidoarjo GENTA Vol. 2 No. 2, September 2014 ISSN : 2337-9707
Fatwa. A. M. 2000. Satu Islam Multipartai Membangun Integritas Di Tengah Pluralitas. Bandung: Mizan. Gaus AF, Ahmad. 2010. Api Islam Nurcholish Madjid Jalan Hidup Seorang Visioner, Jakarta: Buku Kompas. Hasyim, Umar. 1991. Toleransi dan Kemerdekaan Beragama dalam Islam Sebagai Dasar Menuju Dialog dan Kerukunan Antar Agama. Surabaya: Bina Ilmu. Hidayat, Komaruddin. 2008. The Wisdom of Life: Menjawab Kegelisahan Hidup dan Agama. Jakarta: Buku Kompas. Hikam, Muhammad A. S. 2000. Islam Demokratisasi dan Pemberdayaan Civil Society. Jakarta: Erlangga. Husaini, Adian. 2002. Penyesatan Opini Sebuah Rekayasa Mengubah Citra, Jakarta: Gema Insani Press.
280