Jeprut: Perlawanan terhadap Hegemoni Kekuasaan1 Ipit S. Dimyati (Sekolah Tinggi Seni Indonesia Bandung)
Abstract Jeprut is a well-known art performance in Bandung. Its form is unusual because Jeprut does not follow the usual norms in arts performance. Therefore, sometimes its existence is not recognized as an art, but rather as a compensation for people who are not competent enough to deliver an art performance. Jeprut artists are actually conducting an indirect resistance towards the New Order's authority. There are two resistance movements showing by the Jeprut. First is the external, by doing resistance to the political situation and the second is an internal resistance, by which Jeprut is conducting a resistance towards art's existence during the New Order's regime. A study about Jeprut is confirming that an art's definition can not be determined by only its internal aspects but also by its external ones. It means that something can not be defined as arts just by its own existence but also by some power.
Dua sisi kebudayaan Tulisan ini melihat jeprut, sejenis seni pertunjukan (performing art2 ), yang sedang tumbuh di Bandung, sebagai perlawanan terhadap hegemoni kekuasaan dari sudut 1
Ide tulisan ini sebagian besar diambil dari tesis saya dengan judul yang sama, sebagai salah satu syarat dalam mencapai gelar magister di Program Pascasarjana Departemen Antropologi FISIP UI Depok. Telah dipertahankan di depan tim penguji pada tanggal 3 Juni 2003. 2
Istilah performing art dibedakan dari performance art. Jika yang pertama merujuk pada seni pertunjukan secara umum, istilah yang ke dua merupakan penamaan terhadap fenomena kesenian yang diterima sebagai medium ekspresi artistik pada tahun 1970-an di Amerika Serikat. Ia memiliki hubungan yang dekat dengan conceptual art yang memandang bahwa gagasan lebih penting dibandingkan hasil (produk) (Goldberg 1999:7; Carlson 1996:101). Ia merupakan perluasan dari seni rupa. Karena itu, performance art di Indonesia seringkali diterjemahkan menjadi ‘seni rupa pertunjukan’.
ANTROPOLOGI INDONESIA 75, 2004
pandang kebudayaan. Dalam tulisan ini kebudayaan dipahami sebagai hal yang memiliki dua sisi yang, meskipun saling bertentangan, tidak bisa dipisahkan, yakni sisi yang mapan, dan sisi yang memberi peluang bagi perubahan. Sisi yang mapan merupakan kebudayaan dominan, berisi norma atau aturan yang menjadi pedoman untuk bertingkah laku anggota suatu masyarakat, sedangkan sisi yang lainnya merupakan potensi-potensi yang mendesak keluar untuk menjadi aktual. Di antara kedua sisi itu, ada ruang yang tak ada di mana-mana, tapi juga ada di mana-mana, yakni ruang liminal3 . Ruang liminal itu semacam ambang, in3
Kata ini berasal dari kata Latin ‘limen’ yang berarti ambang pintu (threshold). Kata liminal pertama kali digunakan oleh van Gennep dalam membahas ritusritus peralihan (rites de passage) secara luas (Turner 1980:15; Winangun 1990:32). Liminalitas merupakan tahap di mana orang mengalami keadaan ketidakberbedaan, artinya orang mengalami sesuatu yang lain
79
between, yang berisi sesuatu yang keluar dari sisi peluang yang disediakan kebudayaan. Dengan kata lain, ruang liminal merupakan tempat teraktualisasikannya potensi-potensi yang dimiliki oleh suatu kebudayaan. Ia berada di ruang liminal, sebab ia tak lagi berupa potensi, tapi juga kehadirannya ditolak oleh sisi yang mapan (dominan), karena mengingat sifatnya yang ‘subversif’, berbeda, dan dianggap menganggu ketertiban, keharmonisan dan kenormalan yang telah berjalan. Kebudayaan merupakan suatu sistem gagasan yang dimiliki bersama oleh kelompok atau masyarakat tertentu (Geertz 1974; Keesing 1993). la bukanlah benda dan peristiwa yang dapat diamati, dihitung atau dapat diukur, seperti kursi, pertunjukan teater, atau cara berjaIan. Benda atau peristiwa semacam itu merupakan wujud dari kebudayaan. Seperti halnya kedipan mata (contoh yang diberikan Geertz), ia akan menjadi kebudayaan bila mengandung gagasan atau makna yang dipahami bersama. Lalu, apakah kebudayaan dominan itu? Seymour-Smith (1990:82) mengatakan, dalam antropologi dominasi dalam perilaku manusia ditafsirkan dengan dua cara, yang pertama dipengaruhi oleh etnologi dan sosiobiologi, disebut model orientasi biologis; jadi dominasi dilihat sebagai ekspresi dan regulasi dari agresi. Pandangan kedua, merupakan analisis yang berorientasi secara sosial dan budaya, menganggap dominasi dengan keadaan hidup sehari-hari, yaitu pengalaman yang ‘antistruktur’. Victor Turner menggunakan konsep liminal untuk menggambarkan pengalaman masyarakat suku yang belum mengenal industrialisasi; sedangkan bagi masyarakat yang telah mengenal industrialisasi ia menggunakan konsep liminoid, yaitu suatu pengalaman yang dihayati orang saat berada dalam situasi senggang. Saya meminjam konsep liminal untuk menggambarkan suatu situasi yang mirip berada dalam kondisi ambang ketika suatu kegiatan manusia yang berada dalam bayang-bayang dominasi kebudayaan tertentu berusaha eksis meskipun kehadirannya senantiasa ditekan atau dimarjinalkan.
80
sebagai perilaku yang mengungkapkan ketidaksamaan sosial, dan secara sosiokultural terstruktur oleh hubungan kekuasaan. Dengan bertitiktolak dari pengertian yang kedua, kebudayaan dominan dimaksudkan sebagai suatu tata nilai atau norma yang dikonstruksi oleh elite penguasa bagi kepentingan menjaga status quo, dan karena penyebarannya yang sistematis melalui berbagai institusi yang dikuasainya, akhirnya ia menjadi pedoman perilaku yang dominan dalam suatu masyarakat. Orang-orang yang berada dalam kekuasaan cenderung untuk mempertahankan situasi dan kondisi yang ada, sebab ia telah diuntungkan oleh keadaan itu. Untuk menjaga agar kebudayaan tetap berada dalam keadaan stabil, biasanya diciptakan aturan beserta sanksinya, baik berupa kurungan atau penyiksaan badan, bagi orang yang melanggar aturan tersebut. Strategi ini bisa pula berupa penyebaraan wacana melalui berbagai bentuk media, seperti teks-teks pidato, karya tulis para pakar, seni sekolah, dan media massa. Bila strategi ini berhasil diterapkan, maka norma-norma yang telah menguntungkan penguasa itu terinternalisasi di dalam diri orang yang dikuasainya, dan secara tidak sadar mereka patuh untuk melaksanakannya dengan tanpa melalui paksaan. Dalam konsep Gramsci (Simon 2000:21), kondisi serupa itu disebut sebagai hegemoni, yakni menguasai dengan kepemimpinan moral dan intelektual secara konsensual. Asumsi teori ini: kekuatan fisik dalam kontrol sosial politik tidaklah cukup, yang lebih penting adalah penguasaan ide beserta penyebarannya. Menurut Gramsci, supaya yang dikuasai mematuhi penguasa, yang dikuasai tidak hanya mesti merasa memiliki dan membatinkan nilai serta norma penguasa, lebih dari itu mereka pun mesti memberikan persetujuan atas subordinasi mereka. Secara berlawanan Gramsci mendudukkan hegemoni sebagai satu bentuk supremasi
ANTROPOLOGI INDONESIA 75, 2004
satu atau beberapa kelompok atas yang lainnya, dengan bentuk supremasi lain yang dinamakan ‘dominasi’, yakni kekuasaan yang dipertahankan melalui kekuatan fisik. Akan tetapi, secanggih apapun hegemoni itu dikembangkan, ia senantiasa akan melahirkan orang-orang yang memiliki gagasan yang relatif berbeda dari gagasan yang dominan. Meski gagasan itu selalu ditekan ketika muncul ke permukaan, tapi biasanya para pelakunya akan membuat strategi-strategi yang bisa memungkinkan tetap hadir dalam kehidupan. Ketika hal itu sudah tidak dapat dibendung lagi dan telah menjadi perilaku bagi sebagian anggota masyarakat, maka orang-orang yang merasa memiliki kepentingan untuk menjaga stabilitas keteraturan yang telah tercipta, ia akan membingkainya (framing) dalam stigma-stigma yang merendahkan. Seni sebagai bagian kebudayaan yang bersifat simbolik, 4 tak pernah lepas dari ketegangan antara konvensi, yakni aturanaturan penciptaan baik yang tertulis maupun tidak tertulis, dengan inovasi, yakni upayaupaya untuk mengatasi aturan-aturan. Suatu kekuasaan biasanya akan merestui suatu ‘ideologi’ berkesenian tertentu yang selaras dengan pikiran-pikiran dominan, dan akan menolaknya bila bertentangan dengannya. Hal itu tampak jelas bila melihat sejarah bernegara di Indonesia. Setelah lepas dari penjajahan Belanda, di Indonesia telah ada dua orde yang berkuasa: Orde Lama dan Orde Baru. Dalam 4
Simbol merupakan ‘sesuatu’ yang merujuk pada “sesuatu yang lebih besar” yang berada di luar dirinya. Menurut Dillistone (2002:20) sesuatu itu bisa ‘Sebuah kata atau barang atau obyek atau tindakan atau peristiwa atau pola atau pribadi atau hal yang konkret’. Sedangkan ‘sesuatu yang lebih besar’ adalah makna yang terkandung dalam simbol tersebut. Jadi dalam simbol ada dua lapisan yang saling terkait, namun sekaligus tidak identik. Lapisan pertama adalah sesuatu yang disimbolkan, sedangkan lapisan kedua makna yang dirujuk oleh simbol tersebut.
ANTROPOLOGI INDONESIA 75, 2004
setiap orde muncul perilaku yang direstui dan tidak direstui. Orde Lama memunculkan realisme sosialis, seperti yang disuarakan oleh orangorang yang tergabung dalam LEKRA, dan menolak humanisme universal seperti yang menjadi anutan seniman yang tergabung dalam Manifes Kebudayaan; sedangkan Orde Baru mendukung konsep humanisme universal, dan menolak realisme sosialis. Jeprut merupakan bentuk ekspresi berkesenian beberapa seniman Bandung yang hadir ketika kekuasaan Orde Baru yang begitu kuat merepresi penduduk Indonesia. Semula kehadirannya mungkin hanya sekedar mainmain, atau seperti dalam teater, satu tahap latihan sebelum muncul di atas panggung. Kemudian berkembang menjadi perlawanan dalam menghadapi kekuasaan yang demikian kuat dan represif. Ia seperti ’senjata dari orangorang yang kalah’ dalam istilah Scott (2000), yang dianggap remeh dan tak berarti apa-apa. Secara etimologis, jeprut (bahasa Sunda) berarti putus (secara tiba-tiba), tapi bisa juga berarti gila. Pada kenyataannya, karya-karya seniman yang dikategorikan jeprut, memang ‘terputus’ dari penciptaan yang biasa, dan ia tampak aneh, abnormal, berada di luar kelaziman atau ‘gila’. Banyak orang yang menganggap jeprut bukan sebagai karya seni, tapi tak lebih sebagai hasil perilaku dari orang-orang yang melakukan kompensasi karena ketidakmampuan membuat karya seni yang konvensional. Bila dilihat secara lebih jauh, mengapa jeprut dipilih seniman untuk secara sadar melakukan perlawanan, tampaknya dimaksudkan sebagai strategi dalam mengecoh penguasa sehingga mereka bisa lepas dari pelarangan dan pembredelan terhadap karya seni yang kerap dilakukan oleh pihak keamanan.5 5
Banyak karya seni yang dilarang hadir pada masa ORBA. Mengenai daftar karya seni yang disensor atau dilarang dari tahun 1968 hingga 1995, lihat makalah Taryadi (1995).
81
Apakah jeprut itu? Dulu, pada tahun 90-an, ketika berkunjung ke Bandung, mungkin pernah ada beberapa pendatang yang dikagetkan oleh suatu ‘peristiwa’ yang menginterupsi keseharian dengan hal-hal yang tidak wajar: di tengahtengah panas terik dan lengang, tiba-tiba seseorang yang bertelanjang dada, dengan tubuh dan muka yang digambar sedemikian rupa, berlari sambil menggusur seng, sehingga menimbulkan polusi suara, kemudian lenyap; atau seseorang menggoreng ikan asin di sebuah diskotek; atau serombongan orang berkostum hitam-hitam, memakai cetok (topi bambu), berjalan beriringan (babaduyan), menawarkan benih pepohonan kepada orang-orang yang ditemuinya. Itulah jeprut. Orang-orang itu sedang ngajeprut (kata kerja). Jeprut mulai populer saat para seniman Bandung melakukan protes terhadap Pemda Bandung yang menyerahkan Gedung YPK, salah satu gedung untuk melaksanakan peristiwa kesenian di jalan Naripan, kepada perusahaan PD. Kertawisata, yakni pada awal Januari 1996.6 Ketika peristiwa itu terjadi, para seniman muda Bandung melakukan hal-hal yang tampak aneh, tidak lumrah, dan ‘gila’. Ada yang mandi dan gosok gigi tak henti-henti hingga gerahamnya luka sambil duduk di atas kursi yang tinggi; ada yang berguling-guling sambil mengerang; ada yang membungkus dirinya dengan perban dan isolatif; ada yang menggoreng daging ayam; ada yang membuat kolam di tengah-tengah gedung yang sedang diperebutkan itu; dan ada yang bolak-balik 6
Peristiwa ini tepatnya terjadi pada tanggal 5 Januari– 9 Pebruari 1996. Kurang lebih 150 orang seniman yang melakukan protes tersebut, kemudian membuat suatu gerakan yang disebut sebagai Solidaritas Seniman Bandung untuk Gedung Naripan 7–9. Lihat: ‘Laporan Kerja Tim 7: Solidaritas Seniman Bandung untuk Gedung Naripan 7–9’. Manuskrip. Tanpa nama penyusun.
82
bergumam sambil mengukur jalan. Ketika Pemda memutuskan kembali bahwa Gedung YPK akan dikembalikan pada seniman dan budayawan, kegiatan itu baru dihentikan. Komunitas jeprut: seniman dan penonton Momentum jeprut sebagai fenomena berawal dari peristiwa ‘perebutan’ kembali Gedung YPK oleh para seniman, ia sebetulnya bukan ‘barang baru’. Saini KM, seorang budayawan, mengatakan bahwa pada tahun 60an di Bandung sudah ada peristiwa semodel jeprut. Begitu pula pada tahun 70-an di kampus senirupa ITB pernah pula terjadi ‘perilakuperilaku aneh’ yang dilakukan oleh beberapa mahasiswa dengan menggunakan media tubuh. Tampaknya kondisi yang mematangkan jeprut lahir, terjadi pada akhir tahun 70-an dan awal tahun 80-an, saat dibukanya jurusan teater STSI Bandung (1978) dan diaktifkannya kembali Acting Course, sebuah agenda kursus akting yang menjadi salah satu program Studi klub Teater Bandung (STB). Di kedua lembaga itu, pengajar utama pemeranannya adalah Suyatna Anirun, salah seorang tokoh penggerak teater (modern) Indonesia, yang begitu kokoh berpendirian bahwa media utama teater7 adalah manusia (aktor). Dalam pandangan Suyatna, agar aktor bisa tampil secara baik dalam pertunjukan teater, maka ia harus mengolah terlebih dulu perangkat aktingnya yang utama, yakni: tubuh dan sukmanya. Para murid Suyatna melakukan hal tersebut dalam ruang-ruang kuliah. Saat melakukan eksplorasi, tampaknya dari proses latihan tersebut mereka menemukan suatu bentuk sajian yang bisa dipertontonkan di depan umum. Sambil melatih keberanian, proses latihan itu dibawa 7
Istilah ‘teater’ dalam penelitian ini merujuk pada teater modern Indonesia yang bermula di Barat. Saat istilah tersebut merujuk pada teater tradisional, Timur atau yang lainnya (bukan Barat), maka di depannya akan diberi imbuhan yang sesuai dengan maksud tulisan.
ANTROPOLOGI INDONESIA 75, 2004
ngamen ke ruang-ruang publik, seperti alun-alun atau restoran-restoran. Penyajian yang tidak dipersiapkan terlebih dulu, menampilkan perilaku itu populer dengan nama improp (kependekatan dari kata improvisasi8 ). Namun selanjutnya, ketika latihan itu lebih mengarah pada pengolahan tubuh, terutama pada saat dilakukan oleh peserta kursus akting, istilah improp berubah menjadi perengkel jahe.9 Latar belakang serupa itulah yang kemudian melahirkan istilah jeprut, dengan komunitas yang semakin banyak dan meluas. Pada masa reformasi, para seniman mulai terpecah seiring dengan munculnya istilah performance art. Beberapa seniman kini mulai lebih menyukai disebut sebagai performer (seniman performance art), beberapa lagi tetap bertahan menyebut diri sebagai jepruter (penjeprut),10 dan ada pula seniman yang tidak perduli terhadap kategori-kategori itu. 8
Dalam teater, improvisasi berarti bermain teater dengan tanpa menggunakan teks yang tertulis. Dalam teater tradisional improvisasi adalah sesuatu yang lumrah. Artinya, pertunjukan-pertunjukan teater tradisional seperti ketoprak, ludruk atau sandiwara Sunda, umumnya tidak memakai naskah tertulis yang harus dihapalkan oleh para aktornya. Pertunjukan bisa berjalan secara lancar karena kemampuan para aktornya dalam melakukan improvisasi. 9
Kata ‘perengkel’ dan ‘jahe’ (bahasa Sunda) masingmasing berarti mengkerut dan jahe. Jika kata-kata itu diterapkan pada pertunjukan artinya kurang lebih tubuhnya meliuk-liuk dan mengkerut seperti jahe. Istilah itu mungkin awalnya merupakan ejekan bagi orang-orang yang menggunakan tubuh sebagai medium dalam pertunjukan yang terlihat spontan, tidak jelas, aneh, dan tak berbetuk secara mimetik. Dalam bahasa Sunda umumnya bila seseorang disebut merengkel (mengkerut) seperti jahe, berarti orang tersebut pelit, tidak pernah mau menyumbangkan uang atau hartanya untuk orang yang membutuhkan. Dalam suatu kelakar orang-orang semacam itu dikatakan sebagai ‘cap jahe’.
Mengapa jeprut menjadi label sebuah fenomena kesenian di Bandung? Awalnya hal itu dimaksudkan untuk mengejek perilaku seniman yang nampak aneh, tak lazim dan cenderung ‘gila’, dan karena hal itu dianggap tepat untuk menyebut suatu kecenderungan penciptaan suatu karya seni pertunjukan yang relatif baru dan keluar dari jalur utama, maka ungkapan itu diterima sebagai istilah yang paling mewakili dari kreativitas seniman tersebut. Istilah jeprut tidak diciptakan atau dipopulerkan oleh seseorang atau kelompok tertentu seperti halnya istilah ‘dada’ bagi suatu gerakan kesenian di Eropa misalnya.11 Pada umumnya para pendukung jeprut adalah kawula muda yang masih berstatus mahasiswa. Hal itu terlihat pada setiap acara jeprut yang diselenggarakan, para penonton yang hadir jarang atau nyaris tak pernah dihadiri oleh orang yang berusia lebih dari lima puluh tahunan. Para senimannya pun berusia sekitar 30 tahunan. Ada seorang seniman jeprut yang berusia sekitar 50 tahunan, beberapa menginjak usia 40 tahunan. Mengapa hal itu bisa demikian? Kiranya ini berhubungan dengan semangat yang terdapat di dalam jeprut, yakni semangat untuk melawan dan memberontak dari kekangan norma atau konvensi, yang memiliki kesejajaran dengan gejolak jiwa muda yang senantiasa ingin menjelajah pengalaman yang relatif baru. Jeprut awalnya dilakukan oleh orang-orang teater, namun pada perkembangan selanjutnya, para pendukungnya berlatarbelakang pendidikan (dan kesenimanan) beragam. Ada tiga yang paling dominan, yaitu sastra, teater dan seni rupa. Jeprut sebagai fenomena yang relatif baru, diusung oleh orang-orang yang sebelum-
10
Dalam tulisan ini tidak dibedakan antara jeprut dengan performance art. Mengenai istilah ‘jepruter’, biasa digunakan oleh kalangan seniman jeprut untuk menyebut sesama rekannya. Ada juga yang menggunakan kata ‘jeprutis’, tampaknya kata yang pertama itulah yang lebih sering digunakan.
ANTROPOLOGI INDONESIA 75, 2004
11
Sebelum gerakan ‘dada’ muncul di Eropa sebagai perlawanan terhadap kesenian yang mapan, terlebih dulu istilah itu dirundingkan oleh para seniman yang menjadi pelopornya. Selanjutnya Lihat: Ades (1983: 110-137).
83
Tabel 1 Latar belakang seni dan pekerjaan jepruter No.
Nama
Latar Belakang Seni
1.
Aendra Medita
Fotografi & Teater
Seniman & Wartawan
2.
Anggiat Tornado
Teater & Arsitektur
Seniman & Dosen
3.
Arahmaiani
Seni Rupa
Seniman & Penulis
4.
Bambang Subarnas
Seni Rupa
Seniman & Guru
5.
Christiawan
Teater & Seni Rupa
Seniman & Dosen
6.
Deden Sambas
Seni Rupa
Seniman
7.
Dedi Koral
Sastra & Teater
Seniman
8.
Hermana
Teater
Seniman & Mahasiswa
9.
Herry Dim
Seni Rupa & Teater
Seniman & Wartawan
10.
Iman Soleh
Teater
Seniman & Dosen
11.
Isa Perkasa
Seni Rupa
Seniman & Dosen
12.
Marintan
Seni Rupa
Seniman
13.
Mimi Kahlo
Seni Rupa
Seniman & Mahasiswa
14.
Nandang Gawe
Seni Rupa
Seniman & Mahasiswa
15.
Rahmat Jabaril
Seni Rupa
Seniman
16.
Tisna Sanjaya
Seni Rupa
Seniman & Dosen
17.
Tony Broer
Teater
Seniman & Mahasiswa
18.
Wawan S. Husin
Sastra
Seniman & Dosen
19.
Yoyo Yogasma
Seni Rupa
Seniman
20.
Yusef Muldiyana
Teater
Seniman & Penulis
nya telah berkecimpung dalam dunia kesenian. Hingga kini tidak ada seniman yang langsung dikenal sebagai jepruter dengan tak memiliki latar belakang berkesenian tertentu.
84
Pekerjaan
Jumlah seniman yang termasuk jepruter sulit dipastikan karena beberapa alasan. Pertama, walaupun orang yang melakukannya mayoritas berlatarbelakang seni rupa dan
ANTROPOLOGI INDONESIA 75, 2004
teater, tapi jeprut bukan sebuah gerakan milik cabang seni tertentu. Jeprut bisa dilakukan oleh siapa pun, bahkan mungkin oleh orang yang tidak memiliki latar belakang seni. Searah dengan itu, alasan kedua, ketika orang-orang melakukan jeprut, ia tidak secara otomatis melepaskan predikatnya sebagai sastrawan atau teatrawan, misalnya, tapi tetap berkarya seperti semula meskipun dalam waktu-waktu tertentu melakukan jeprut. Kendati demikian, kiranya di sini dapat pula dibuat suatu daftar nama orang yang bisa diperkirakan sebagai jepruter beserta seni tempat awal keberangkatannya. Mereka adalah para seniman dari berbagai jenis cabang seni, yang sering melakukan aktivitas-aktivitas, walaupun mereka tidak memakai nama jeprut, tapi paling tidak menurut beberapa pengamat mengarah pada jeprut (seperti terlihat pada tabel 1). Tentu saja daftar nama di atas tidak menggambarkan jumlah sebenarnya dari para pelaku jeprut. Orang-orang yang melakukan jeprut lebih banyak dari daftar itu. Nama-nama yang disusun dalam daftar itu hanya para seniman yang memang secara kuantitatif banyak menghasilkan karya jeprut dibandingkan seniman lainnya. Saat pagelaran Bila ditanyakan: kapan atau dalam kesempatan apa saja jeprut ditampilkan? Jawabannya adalah: kapan saja. Artinya, tidak ada waktu khusus untuk menampilkan jeprut. Seorang jepruter bisa tampil kapan saja sesuai dengan mood. Bila ia sedang berbincangbincang dengan teman-temannya di suatu tempat, tiba-tiba ada dorongan untuk ngajeprut, maka pada saat itu juga ia melakukannya. Meskipun begitu, ada dua dasar yang sering dimanfaatkan oleh seniman jeprut untuk tampil: (1) Pada saat-saat tertentu, atas undangan penanggap, baik individu atau kelompok. Pertunjukan berdasarkan undangan pun memiliki variasinya: untuk pembukaan sebuah peristiwa,
ANTROPOLOGI INDONESIA 75, 2004
biasanya peristiwa budaya, seperti pasar seni, bazaar seni, festival seni, dan pembukaan atau penutupan pameran seni rupa; (2) Untuk pertunjukan yang digagas oleh keinginan sendiri, bisa tampil kapan dan di mana saja: jeprut bisa hadir sebagai ‘tamu yang tak diundang’ yang sedang ‘mencuri adegan’ dalam sebuah peristiwa budaya; ia pun bisa tiba-tiba hadir di tengah-tengah kerumunan orang, kemacetan lalu lintas, atau kegiatan rutin tertentu; dan akhirnya, meskipun hanya baru seorang seniman yang melakukannya, ia bisa pula sebagai sebuah pertunjukan khusus yang sengaja dilakukan oleh senimannya di sebuah gedung atau tempat tertentu dengan mengundang penonton. Kostum dan penampilan Kostum yang sering digunakan oleh para jepruter pun banyak ragamnya. Dalam penggunaan warna, banyak didominasi oleh warna hitam dan putih. Dalam beberapa kasus pakaian atau kostum yang digunakan saat pertunjukan sering dilepaskan semuanya, telanjang bulat. Secara umum kostum yang digunakan seperti berikut: (1) Bila bertelanjang dada kadangkadang hanya menggunakan celana dalam, pangsi (celana longgar yang panjangnya hanya sampai betis), melilitkan kain dari bagian pinggang hingga paha atau sampai kaki bawah, atau hanya melepaskan baju sehari-hari yang dikenakannya; (2) Ada juga yang berkostum penuh, artinya menggunakan kostum lengkap yang menutupi bagian atas dan bawah tubuhnya, tapi umumnya kostum itu dibuat aneh, lucu, dan tak lazim, sehingga, jika ia disajikan di ruang publik, ia menjadi titik berat (emphasis) perhatian; (3) Menggunakan kostum dengan pakaian keseharian yang sedang digunakan pada saat itu. Penggunaan pakaian keseharian ini lebih sering terjadi, terutama bila pertunjukan diselenggarakan di ruangan khusus, atau dilakukan secara spontan. Begitu pula
85
dengan penggunaan tempat, jeprut bisa tampil di mana saja. Namun jeprut sangat jarang ditampilkan di panggung-panggung proskenium yang begitu tegas memisahkan antara penonton dengan yang ditonton. Jeprut malah sering ‘menyamar’ hadir di ruang publik seperti pasar, jalan raya atau alun-alun. Jeprut semacam ini biasanya ditampilkan berdasarkan keinginan senimannya sendiri. Bila jeprut itu ditampilkan berdasarkan permintaan atau undangan, biasanya pertunjukan dilaksanakan di ruangruang yang relatif kecil yang memuat sekitar 30–50 penonton. Di Bandung ada beberapa tempat yang dikelola sebagai studio atau galeri yang sering digunakan untuk menampilkan jeprut, yaitu: Galeri Barak, Gedung YPK, Rumah Nusantara, Griya Seni Popo Iskandar, Studio Selasar Sunaryo, CCF, Black Box dan Studio Teater STSI. Ciri umum lain, yang tampil dalam jeprut biasanya hanya seorang, yaitu senimannya sendiri. Beberapa pertunjukan ada juga yang tampil lebih dari seorang, namun karena seniman yang merancang pertunjukan itu (dalam teater biasa disebut sutradara) senantiasa turut serta sebagai salah satu penampil. Jeprute r yang memiliki latar belakang teater biasanya lebih suka tampil lebih dari seorang, yang memiliki latar belakang seni rupa lebih suka sendirian. Walau lebih umum tampil sendiri, dalam pertunjukan jeprut para penonton sering diajak masuk ke dalam pertunjukan untuk tampil bersama-sama. Sedikitnya ada dua jenis pertunjukan dalam melibatkan satu atau beberapa penonton ke dalam pertunjukan: (1) Pelibatan secara penuh . Dalam pelibatan jenis ini penonton menjadi bagian integral yang sangat sulit sekali bila ditiadakan di dalam pertunjukan. Misalnya Isa Perkasa, dalam karyanya berjudul ‘Pseudo-Demokrasi’, setelah menyusun properti, seperti sepiring nasi, pete, ikan asin peda, kompor, dan katel, kemudian dia meminta bantuan 3 orang penonton untuk ikut ber-
86
partisipasi. Setelah ada yang bersedia, masingmasing diberi satu piring yang diisi satu biji pete, dan mata mereka ditutup dengan kain hitam. Kemudian Isa menggoreng ikan asin peda, dan setelah matang, ia makan dengan lahap. Selesai makan, ia mendekati 3 orang penonton yang dikutsertakan salam pertunjukan itu, lalu menghembuskan nafas dari mulutnya ke arah hidung orang-orang tersebut. Isa keluar arena pertunjukan dan selesai. Dari ilustrasi itu terlihat, bila keterlibatan penonton dihilangkan, maka pertunjukan itu akan akan melenceng dari tujuan semula seperti yang disarankan oleh judul; (2) Pelibatan yang tidak penuh. Pelibatan penonton jenis ini lebih longgar daripada yang pertama, artinya meskipun penonton diikutsertakan dalam pertunjukan, tetapi ia tidak terlalu ketat terkait pada keseluruhan pertunjukan. Yoyo Yogasma, contoh yang lain, melibatkan anaknya yang berumur enam tahun, dengan berkostum kain di bagian pinggul hingga lutut serta lilitan tambang di tubuhnya yang bertelanjang dada; sebelum memulai pertunjukan (atau sudah dimulai?) ia meminta penonton untuk menyelipkan kembang-kembang yang dibawanya ke tubuh anaknya yang telah dililit oleh benang sutra. Setelah dianggap cukup, sementara anaknya berada di tengahtengah sambil memegang seutas tambang yang terkait di tubuh, Yoyo berlari searah jam hingga anak itu terlilit tambang. Yoyo jatuh, dan selesailah. Di sini terlihat bahwa penonton hanya dilibatkan pada awal pertunjukan saja. Sekiranya anaknya itu telah diberi kembang sejak awal, tentu partisipasi penonton tidak diperlukan, dan tampaknya hal itu tidak akan mengubah maksud atau tema yang akan disampaikan. Selanjutnya, bila jeprut ditampilkan dalam sebuah ruangan, baik yang terbuka maupun tertutup, kerap kali ada pengaturan bendabenda sebelum pertunjukan dimulai. Dalam teater hal itu disebut penataan pentas, yakni
ANTROPOLOGI INDONESIA 75, 2004
penataan atau pengaturan benda-benda mati di atas atau di dalam ruang dan waktu yang berlaku di pentas itu (Padmodarmaya 1983:4). Dalam jeprut, penataan pentas tidak terlalu mutlak dan penting. Malah banyak jeprute r yang menyajikan karyanya dengan membiarkan ruang tetap kosong. Bila pentaan pentas dilakukan, benda-benda itu dihadirkan saat pertunjukan, atau bisa juga sebelum pertunjukan dimulai. Struktur pertunjukan Mengenai struktur penyajian jeprut, ada beberapa hal yang bisa dikatakan sebagai ciri umum di dalam jeprut yang bisa ditarik sebagai benang merah. Namun hal serupa ini lebih banyak terjadi pada jeprut yang disajikan di ruang yang relatif kecil, dan jarang terjadi pada jeprut yang menggunakan ruang publik. (1) Pembukaan. Maksudnya adalah bahwa dalam jeprut ada suatu peristiwa yang bisa dikategorikan sebagai pembukaan, yakni saat para jepruter mempersiapkan segala sesuatunya di atas pentas ketika lampu tanda dimulai sudah menyala; (2) Pengantar. Biasanya setelah pembukaan, sebelum pertunjukan betul-betul dimulai, beberapa seniman sering memberikan pengantar tentang apa yang akan dilakukannya. Dalam pengantar itu pun, jika diperlukan partisipasi penonton, maka seniman bersangkutan meminta kesediaan beberapa atau mungkin seluruh penonton untuk aktif ikut dalam pertunjukan tersebut sesuai dengan arahan yang diberikan penampil. Bila tak ada pembukaan (1), biasanya seniman langsung memberi pengantar; (3) Inti Pertunjukan. Setelah pengantar selesai, seolah-olah pertunjukan yang sebenarnya baru dimulai pada taraf ini; (4) Penutup, atau akhir pertunjukan. Umumnya akhir pertunjukan cukup dengan membungkukkan badan atau memakai kata-kata: ‘demikianlah penyajian saya. Terimakasih’. Sering juga seniman meninggalkan pentas begitu saja,
ANTROPOLOGI INDONESIA 75, 2004
sehingga kadang-kadang menimbulkan kebingungan di antara penonton apakah pertunjukan sudah berakhir atau belum. Judul Jeprut bisa memiliki judul maupun tidak. Kebanyakan pemberian judul atau tidak, tergantung pada ada atau tidak niat sang penampil sebelumnya; artinya, jeprut diberi judul bila disajikan dengan terlebih dulu direncanakan, dan ia tak diberi judul bila dilakukan secara spontan. Dari uraian di atas, maka dapat disarikan perbedaan ciri-ciri umum antara jeprut yang hadir di ruang publik dengan yang di ruang khusus (kecil). Tentu saja, seperti telah diuraikan, perbedaan ini tidak mutlak, karena dalam kenyataannya ada juga karya-karya jeprut yang tidak bisa secara tegas dibedakan antara satu dengan lainnya (lihat tabel 2).
Liminalitas Jeprut Seorang seniman, Tisna Sanjaya, menuturkan pengalamannya ketika diundang ke Jepang untuk berbicara tentang kesenian Indonesia pada tahun 1996. Di tengah-tengah pembicaraan, tiba-tiba ia naik ke atas meja dan membuka baju dan celana yang dipakainya. Tidak telanjang bulat, sebab ia telah mempersiapkan baju Korpri dan celana sepak dilapis dalam, ditambah sarung yang diselendangkan. Kemudian ia membacakan sebuah statement tentang sosial politik di Indonesia yang dikaitkan dengan perilaku/tata cara sepak bola. Konon perilakunya itu dilakukan secara spontan, artinya meskipun segala sesuatunya telah dipersiapkan semenjak di Indonesia (ia menyebutnya telah dilatih secara spiritual), tapi manifestasinya terbentuk pada saat peristiwa itu dilakukan. Katanya, itulah jeprut . Ia sedang ngajeprut. Saat melakukan itu Tisna sebetulnya sedang menjawab satu pertanyaan dari seorang penanya. ‘Saya ingin menyampaikan sesuatu
87
Tabel 2 Perbandingan antara jeprut di ruang publik dan ruang khusus Jeprut di Ruang Publik
Jeprut di Ruang Privat
Spontan
Direncanakan terlebih dulu
Seringkali tanpa konsep
Memiliki konsep
Tampil berdasarkan keinginan sendiri
Tampil berdasarkan undangan
Tanpa judul
Berjudul
Struktur tidak jelas
Struktur lebih teratur
Tema atau gagasan yang ingin disampaikan tidak jelas (abstrak)
Tema atau gagasan yang ingin disampaikan jelas
Penonton heterogen
Penonton homogen
Lebih banyak dilakukan oleh orang-orang yang memiliki latar belakang teater
Lebih banyak dilakukan oleh orang-orang yang memiliki latar belakang seni rupa
secara jelas, tapi hal itu tidak bisa diwakili dengan teks; oleh karena itu saya melakukannya dengan bahasa simbol.’ Setelah ngajeprut, menurut pengakuannya, ia merasa puas, bucat (pecah), dan lapang. Ketika acara selesai, ia merasa kikuk, agak malu. ‘Anjir! Kikituan. Naon coba maksudna!’, katanya dalam bahasa Sunda, yang berarti kurang lebih: ’Kok begitu. Apa coba maksudnya.’ Sesampai di Indonesia, pengundangnya, Japan Foundation, mengirimkan foto-foto peristiwa itu ke Indonesia, isterinya berkomentar: ‘Kang, ieu teh nanaonan? Kalakuan teh lain-lain wae!’ (‘Kang, apaapaan sih? Tingkahlakumu macam-macam saja!’). Tisna menjawab: ‘Ya, saya juga malu melihatnya!’ Bagi Tisna jeprut merupakan sarana untuk masuk ke dalam kondisi katarsis (penyucian). Dalam menerangkan hal ini, ia mengatakan bahwa dalam memasuki dunia sehari-hari ia harus melakukan kompromi dengan peran yang dimainkannya, baik sebagai seorang ayah,
88
pengajar (ia seorang dosen di Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB), maupun pegawai negeri. Hal itu terus menerus diulang-ulang, hingga sampai pada satu titik jenuh. Saat kejenuhan itu telah sampai puncaknya, ia merasa harus keluar dari dunia kesehariannya. Ia harus masuk ke dalam dunia yang berbeda, meskipun aneh, tak lazim. Itulah kemudian ia masuk ke dalam jeprut, suatu dunia yang seolah-olah terputus, ’ngajeprut’, dari dunia sehari-hari. Dikatakan sebagai katarsis, karena justru dalam jeprut itu Tisna bisa melihat lagi siapa dirinya, mau ke mana, dan apa saja yang telah dilakukannya. Dunia keseharian yang dilakukan secara rutin, menyebabkan manusia tak lagi kritis terhadap kondisi dirinya sendiri dan lingkungannya. Melalui jeprut, dunia sehari-hari dipertanyakan, digugat. Karena itulah, menurut Tisna, seringkali dalam jeprut unsur sensasinya menjadi sangat kuat. Hal yang hampir sama diungkapkan oleh Wawan S. Husin. Menurutnya, ketika merasa
ANTROPOLOGI INDONESIA 75, 2004
tidak puas dengan kondisi sekitarnya, ia melakukan semacam penerobosan ke dalam suatu wilayah yang tak lagi memiliki apa pun. Masuk ke dalam kondisi nol, ruang kosong. Jeprut merupakan ruang kosong itu. Di dalam ruang kosong tak lagi ada aturan-aturan. Ia merupakan kemungkinan-kemungkinan yang keluar secara spontan, individual. Karena itu, jeprut genuine, asli dan naif. Untuk mengutarakan maksudnya itu secara lebih jelas, Wawan S. Husin membuat sebuah akronim yang aneh dari kata ‘jeprut’, yakni menggabungkan ungkapan Sunda dan kata Inggris: ‘jep’ dan ‘root’. ‘Jep’ adalah ungkapan bahasa Sunda yang bermakna ‘diam’, ‘sunyi’, ‘tak ada suara’, sedangkan ‘root’ dalam bahasa Inggris berarti ‘akar’. Jadi, sunyi merupakan akar segalagalanya. Akar merupakan potensi-potensi yang bisa menjadi apa pun. Menurutnya, ketika seseorang memasuki jeprut, ia sedang masuk ke dalam ruang tanpa struktur, tanpa aturan. Di sisi lain, ia jadi menyadari kemungkinan yang bisa muncul untuk mengatasi keterbatasan struktur yang permanen dan rutin. Mungkin jeprut terlihat ‘aneh’ atau tak lazim, sebab ia sengaja membengkokkan yang telah dianggap biasa. Pembengkokkan itu dilakukan untuk menyadari bahwa di samping yang biasa itu, ada kemungkinan lain yang bisa dijadikan sebagai alternatif dalam memaknai kehidupan. Pengalaman-pengalaman yang dialami oleh Tisna Sanjaya dan Wawan S. Husin, dapat disebut sebagai pengalaman memasuki dunia liminal, yakni dunia ambang (in-between). Di dalamnya kesenian tahap liminal itu selalu ada. Seperti yang pernah dikatakan Schechner (1985: 4), bahwa tahap liminal merupakan suatu tahap ketika seorang seniman memasuki dunia yang dimainkannya, tapi bersama dengan itu dirinya yang asli tidak hilang sama sekali. Untuk menerangkan maksudnya, Schechner mengambil contoh tari kijang Indian Yaqui Arizona. Dalam tarian itu seseorang secara simultan
ANTROPOLOGI INDONESIA 75, 2004
memasuki dunia tarian, dan juga dirinya sendiri. Di sana identitas menjadi tak jelas. Dia adalah kijang dan sekaligus dirinya. Dia adalah bukan kijang, dan sekaligus juga bukan dirinya. Dengan kata lain, saat menarikan kijang seseorang memasuki dunia liminal yang mengaburkan batas antara dirinya dengan dunia yang ditarikannya. Ia berada dalam suatu daya tarik menarik yang membiarkan ambiguitas melanda dirinya. Perilaku Tisna Sanjaya saat ngajeprut adalah suatu pemutusan dengan struktur formal keseharian. Ia masuk ke dalam pengalaman liminal yang tak lagi memiliki aturan. Pada saat itu ia merasa gagasan yang ada dalam dirinya tumpah secara total. Saat peristiwa itu kembali dihadirkan dalam pikirannya yang ‘normal’, ia menjadi begitu asing, malu, dan tak paham mengapa hal itu terjadi. Dalam kesadaran seperti itu Tisna mulai mempertanyakan kediriannya yang seolah-olah lenyap saat ia melakukan semacam ‘ritual’, namun hadir kembali ketika ‘ritual’ itu selesai dilaksanakan. Suatu peristiwa unik terjadi pada saat upacara perkawinan seorang seniman musik, Harry Pocang. Herry Dim, seniman lukis, tibatiba bergerak memunguti kulit-kulit buah semangka yang tercecer di sekitar tempat perkawinan itu. Dengan suatu gerakan tertentu ia masukkan kulit-kulit semangka tersebut ke dalam kotak-kotak secara beraturan. Musik masuk dalam aliran yang saling membaur. Kemudian beberapa orang meresponnya dengan gerak. Tak lama kemudian, hampir semua yang hadir bergerak dalam suasana berjeprut-ria. Intens. Penuh irama. Ritual perkawinan bisa disebutkan sebagai salah satu ruang liminal sebelum kedua mempelai memasuki dunia yang baru, yakni keluarga. Ketika ia telah menjadi rutin, maka makna yang terkandung di dalamnya tak lagi terhayati. Oleh karena itu, untuk mengembalikan perkawinan sebagai ritus yang memberikan
89
suatu pengalaman lain, tampaknya ia harus dibawa ke dalam suatu suasana yang relatif berbeda dengan suasana perkawinan yang biasa. Ia harus dibawa ke dalam tahap liminal lagi walaupun terlihat agak ‘aneh’ dan ‘tidak tahu aturan’. Herry Dim awalnya tidak menyadari bahwa perilakunya yang spontan itu akan memberikan dampak yang demikian besar bagi orang-orang yang hadir. Begitu pun dengan para undangan lain yang juga secara spontan merespon ‘ajakan’ Herry Dim untuk masuk ke dalam ‘ruang’ yang tak memiliki keteraturan. Mereka yang terlibat di dalamnya masuk ke dalam tahap liminal yang menghapuskan batasbatas dirinya sebagai tamu dan subyek ritual. Jeprut sebagai suatu pengalaman liminal terlihat pula dalam karya Bambang Subarnas, Membelah Batu, yang disajikan di Galeri Pohaci. Dalam karya itu Bambang memukulkan martil ke sebongkah batu yang masif berulang-ulang. Meskipun tangannya mengayunkan martil itu dengan segenap tenaga, tapi batu itu tetap saja tak terbelah. Hingga sampai satu titik, Bambang kehabisan tenaga, dan ia berhenti melakukannya. Seorang penonton berkomentar, Bambang semestinya memahami urat batu terlebih dulu, sebagaimana halnya tukang batu, jika ingin batu itu terbelah. Tentu saja dalam karya tersebut Bambang tidak sungguh-sungguh untuk membelahnya. Ia ingin menyampaikan bahwa persoalan bangsa Indonesia sudah membatu, sulit dipecahkan. Jika batu itu belah atau pecah, mungkin ia menjadi karya yang tidak sesuai dengan maksudnya semula. Komentar penonton itu tentu saja tidak salah, jika dilihat dari perspektif keseharian. Hanya saja ketika Bambang memberi label sebagai karya seni terhadap perilakunya itu, semestinya ia tidak lagi dilihat dengan ukuranukuran yang berlaku dalam ruang dan waktu sehari-hari, walaupun idiom-idiom yang digunakannya begitu lazim dilakukan dalam
90
keseharian. Perilakunya harus dilihat sebagai tanda yang merujuk pada sesuatu yang berada di luar dirinya. Namun, bila komentar itu dilihat pula dalam konteks keseluruhan, artinya sebagai tanda yang tak lagi membedakan antara penonton dengan yang ditonton, seperti lazim yang terjadi pada upacara-upacara ritual, maka ia pun dapat diberi makna konotatif: sekeras apa pun masalah pasti akan terpecahkan, bila kita memahami akarnya. Tampaklah di sini dengan membelah batu Bambang mengajak penonton masuk ke dalam suatu pengalaman yang berbeda dengan pengalaman sehari-hari, yakni pengalaman liminal, sehingga dirinya dan seluruh yang hadir akan lebih memahami persoalan yang menghadangnya. Komentar spontan yang muncul dari penonton bukanlah suatu hal yang merusak suasana fiksional, tapi justru menjadi bagian integral yang melengkapi pengalaman liminal itu sebagai pengalaman yang memiliki potensi-potensi untuk mentransendensi kondisi sehari-hari. Seperti sudah disebutkan, bahwa pada dasarnya seni adalah dunia liminal, artinya suatu dunia yang membawa orang-orang yang mengapresiasinya pada suatu tahap pengalaman yang memiliki ambiguitas antara ‘ada’ dan ‘tiada’, ‘teratur’ dan ‘tidak teratur’. Ia merupakan suatu tegangan yang memiliki potensi untuk melihat kehidupan dengan cara yang berbeda dengan keseharian biasa. Dalam jeprut liminalitas itu menjadi berganda, sebab ia disajikan dengan cara-cara yang tak lazim sebagai karya seni. Oleh karena itu, bagi sebagian orang jeprut dianggap sebagai bukan karya seni, tapi tak lebih dari respon sesaat yang tak memiliki struktur. Namun terlepas dari penolakan-penolakan itu, paling tidak jeprut mengingatkan kembali bahwa di samping manifestasi dan definisi seni yang telah ada, akan muncul kemungkinan manifestasi dan definisi seni yang lain.
ANTROPOLOGI INDONESIA 75, 2004
Posisi jeprut dalam kebudayaan dominan Sebagai hal yang berada di garis liminal, jeprut tidak termasuk ke dalam wilayah kebudayaan yang dominan. Memang kehadirannya muncul dari peluang yang disediakan kebudayaan dominan, namun karena tabiatnya yang ‘aneh’, tak selaras dengan nilai-nilai yang dianut secara mayoritas, jeprut menempati posisi yang serba tak dimana-mana. Kebudayaan dominan adalah kebudayaan yang terwujud akibat nilai atau norma yang menjadi pedoman bertingkah laku yang dianut oleh mayoritas anggota masyarakat, serta direstui oleh kekuasaan yang mengawasinya. Lalu, kebudayaan dominan seperti apa yang menjadi sasaran jeprut? Yakni kebudayaan dominan seperti yang terbentuk akibat kebijakankebijakan orang yang berkuasa dalam masa Orde Baru. Pada masa Orde Baru jeprut lebih banyak hadir di ruang-ruang terbuka atau publik, seperti pasar, pusat-pusat keramaian, jalan, atau alun-alun. Umumnya ia hadir dengan tanpa ada yang mengundang, sering kali sangat tiba-tiba, dan mengagetkan orang-orang yang ada di sekitarnya. Jeprut serupa itu seolah-olah ingin menginterupsi keseharian yang sedang berjalan. Iman Soleh, misalnya, dalam karyanya yang diberi judul Beri Aku Uang (1996), mengejar-ngejar selembar uang yang ada di depannya. Uang itu digantungkan pada sepotong kawat berduri yang dililitkan di kepalanya. Ia bertelanjang dada, hanya memakai celana pendek (kolor), berlari-lari sambil membawa keranjang yang diranselkan di pundaknya dari pukul 8.00 WIB hingga 17.00 WIB; hampir seluruh pusat keramaian di Kota Bandung ia jelajahi. Bila dilihat secara sekilas, perilaku Iman Soleh tampak seperti perilaku orang kurang waras. Kehadirannya di pusat keramaian menjadi lebih menonjol dibandingkan orang yang
ANTROPOLOGI INDONESIA 75, 2004
kebetulan hadir di saat itu, karena ia berpenampilan dengan cara yang tidak umum dan aneh. Sebetulnya Iman Soleh hadir di tempattempat itu, baik disadari maupun tidak, untuk menginterupsi kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh orang-orang yang ada di sekitarnya. Ia ingin menyampaikan pendapatnya tentang kehidupan yang terlalu berorientasi pada uang. Ia mengajak untuk berpikir kembali tentang pola-pola hidup konsumtif. Dipilihnya suatu cara dengan menginterupsi keseharian, tampaknya dimasudkan agar orang yang selalu melakukan rutinitas sehari-hari, tergedor jiwanya serta dapat merenungkan kembali hal-hal yang telah biasa dilakukannya. Jadi, dalam jeprut orang bisa melihat kemungkinan lain dari kehidupan seperti yang digariskan oleh kebudayaan dominan. Interupsi merupakan salah satu strategi agar orangorang bisa menyadari hal tersebut. Dalam interupsi seperti yang tersaji pada jeprut , kondisi seharian sengaja diasingkan menjadi sesuatu yang berbeda, tidak normal, dan tanpa struktur. Pengasingan serupa itu akan menyebabkan orang kembali bertanya-tanya tentang kesehariannya yang selalu dilakukan secara berulang-ulang. Beri Aku Uang bisa ditanggapi secara beragam oleh orang-orang yang sedang menyaksikannya. Paling tidak, dengan menerobos pada keseharian sebagai representasi dari perilaku kebudayaan dominan, hal-hal yang telah biasanya itu dihentikan sejenak. Penghentian yang dilakukan secara aneh, yakni dengan menghadirkan diri seniman itu sendiri yang sedang mengejar-ngejar uang yang ada di hadapannya sambil berteriak: ’Beri aku uang!’ menyebabkan orang terhenyak, meskipun mungkin hanya sesaat. Keterhenyakan ini bisa dibaca sebagai sebuah ’ruang’ yang bisa digunakan oleh orang yang mengalaminya sebagai ‘peluang’ untuk melakukan suatu perentangan jarak dengan rutinitas yang
91
sedang dijalani, baik secara langsung pada saat itu juga, maupun pada saat-saat tertentu ketika ia teringat lagi tentang peristiwa yang dianggapnya aneh itu. Peristiwa jeprut dianggap aneh, ‘gila’ atau ‘abnormal’ karena ia mengasingkan hal-hal yang telah biasa. Sebagai kebudayaan dominan, Orde Baru selalu mengharapkan suatu keharmonisan atau keteraturan di dalam kehidupan. Ketika ada hal-hal yang keluar dari keharmonisan atau keteraturan itu seperti jeprut, maka ia dikategorisasikan ke dalam stigma negatif sehingga ia terpinggirkan, dan tidak menjadi ‘model’ perilaku yang ditiru oleh anggota masyarakat. ‘Sebagai sebuah kekuasaan, Orde Baru selalu menekankan masalah harmoni dan keseragaman. Perbedaan-perbedaan selalu dilihat sebagai petaka yang harus dilenyapkan,’ demikian kata Arahmaiani (wawancara, 12 Juni 2001). Pada masa Orde Baru peristiwa pembredelan terhadap karya seni sering terjadi, terutama terhadap karya-karya yang secara frontal menentang kekuasaan. Pembredelan ini sedikitnya menimbulkan dua akibat yang tampak seperti bertentangan, yaitu keprihatinan dan kreativitas. Maksudnya, dengan adanya suatu pelarangan yang sewenang-wenang terhadap karya seni yang dianggap menyimpang atau mengganggu ketentraman, banyak orang yang merasa prihatin. Namun di sisi lain, pembatasan ini menimbulkan pula sikap yang kreatif dari para seniman dalam membuat karya seni yang bisa lepas dari pengawasan sensor kekuasaan yang sangat kuat, walaupun di dalamnya berbicara tentang persoalanpersoalan peka. Kehadiran jeprut tampaknya bisa pula dilihat dari sisi itu. Artinya, karena begitu kuatnya penyensoran yang dilakukan oleh kekuasaan, para seniman Bandung, berusaha mencari bentuk pengucapan yang relatif berbeda dari sebelumnya, agar bisa lepas dari
92
pembredelan. Rupanya pilihan itu jatuh pada jeprut, suatu fenomena yang telah ada sebelumnya namun diremehkan. Keberhasilan para seniman dalam merebut Peristiwa perebutan kembali Gedung Yayasan Pusat Kebudayaan (YPK) dari PEMDA Kota Bandung dengan cara ’ngajeprut’, rupanya membuka kesadaran mereka terhadap kekuatan ‘energi’ jeprut dalam melawan kekuasaan Orde Baru yang represif. Perlawanan jeprut tidak bersifat frontal, tapi lebih cenderung ’main-main’, ‘gila’ dan tampak seperti tidak membicarakan apa pun selain tingkah laku yang ngajeprut.
Arah perlawanan jeprut Perlawanan eksternal Jeprut memiliki dua arah perlawanan, yaitu perlawanan yang bersifat eksternal dan internal. Istilah eksternal yang dimaksudkan di sini adalah kondisi sosial-politik yang berada di luar kehidupan kesenian secara langsung. Umumnya jeprut selalu berbicara masalah sosialpolitik. Hanya beberapa di antaranya yang tidak. Seperti yang terlihat pada karya Wawan S. Husin yang diberi judul Ulin Jeprut. Wawan tampaknya ingin membawa orang-orang yang menyaksikan ke dalam kondisi sunyi dan kosong, agar mereka dapat melihat suatu kehidupan lain sebagai kemungkinan yang bisa diwujudkan dalam keseharian. Meskipun tidak langsung, implikasi politiknya ada, yakni bahwa ketika pemahaman itu telah tertanam dalam diri apresiator, maka tentu saja ia bisa merambah ke berbagai segi kehidupan, karena akhirnya ia mempertanyakan kembali validitas nilai sebagai norma yang dianut oleh mayoritas, termasuk norma sosial dan politik. Begitu pula dengan Christiawan dalam karyanya yang diberi judul ‘Lecture’, ia mengungkapkan tentang suatu ironi atau mungkin juga parodi dari cara mengajar seorang guru dalam mentransfer ilmu yang dimilikinya kepada anak didiknya. Dalam karyanya ia pun terlihat ingin mengungkapkan
ANTROPOLOGI INDONESIA 75, 2004
bagaimana seorang guru sebetulnya menjadi orang yang turut melanggengkan status quo, dengan mengajarkan ‘kebenaran-kebenaran’ dari versi orang-orang yang sedang berkuasa. Seiring dengan perkembangan politik Orde Baru, setidaknya ada tiga tahap yang menunjukkan ciri yang relatif berbeda pada setiap tahap dalam mengekspresikan perlawanan terhadap kondisi eksternal tersebut. Tahap pertama merupakan tahap awal pembentukan, yakni saat jenis pertunjukan ini belum diberi istilah jeprut, tahap kedua adalah tahap setelah diberi istilah jeprut, dan tahap ketiga adalah saat istilah itu disandingkan dengan performance art. Pada tahap pertama, jeprut memperlihatkan suatu kondisi amorf, tanpa bentuk, dan umumnya diselenggarakan di sekitar kampus, dan kadang-kadang di ruang terbuka secara berkelompok, seperti alun-alun, restoran, atau jalan. Kemunculannya kira-kira sekitar awal tahun 1980-an. Ciri yang paling menonjol dari pertunjukan yang kadang-kadang disebut ’improp’, ‘perengkel jahe’, adalah penyajian bentuk yang tidak jelas (non-figuratif), lebih bertumpu pada tubuh, dan biasanya menggunakan iringan, atau kadang-kadang pula pertunjukan ini digunakan untuk merespon orang yang sedang membaca puisi atau memainkan musik. Kondisi politik pada saat itu sangat represif. Umumnya orang-orang takut untuk berbicara persoalan politik atau masalah sosial lainnya, seperti ras, agama, dan golongan, sebab kalau salah atau menyinggung perasaan sang penguasa, ia bisa diciduk secara tiba-tiba dengan tanpa ada berita apapun. Dalam kondisi serupa itu para seniman (muda) yang tinggal di Kota Bandung, kemudian mencari suatu bentuk ekspresi yang paling aman untuk menyuarakan kondisi sosial politik, dengan tanpa resiko dibredel atau dijebloskan ke penjara. Oleh karena itu kemudian mereka mempersembahkan
ANTROPOLOGI INDONESIA 75, 2004
pertunjukan yang tanpa bentuk, yang sangat sulit diacu dalam kenyataan, ’gila’, seperti tak memiliki makna, dan terlihat hanya sebagai dorongan spontan yang tidak terencana. Jika bentuknya terlihat seperti tak memiliki referensi dalam kenyataan sehari-hari, kiranya itu dimaksudkan untuk mengecoh sang penguasa, agar ia tak dianggap bahaya. Jadi secara simbolik pertunjukan-pertunjukan yang tanpa bentuk itu bisa ditafsirkan sebagai gambaran dari situasi politik yang mengungkung, membatasi, dan mengawasi ruang gerak secara berlebihan, sehingga kehidupan nyaris tak berubah dari saat ke saat. Menyiasati kondisi serupa itu, tampaknya para seniman berusaha untuk keluar dan melawannya, meskipun tidak secara frontal, dengan menghadirkan suatu bentuk ekspresi yang tak dapat dilacak lagi sebagai karya seni atau bukan. Bentuk-bentuk nonfiguratif yang ‘kacau’, seperti meliuk-liukkan tubuh, kemudian berguling di tanah sambil melilitkan tambang ke sekujur tubuh, mungkin hanya sebuah sensasi dari anak-anak muda yang sedang mencari perhatian, tapi secara disadari maupun tidak, ia pun merupakan suatu cerminan dari kondisi kehidupan yang terkurung oleh kekuasaan yang represif dan hegemonik. Tahap kedua diawali dengan ‘politik keterbukaan’ (1992) yang digulirkan oleh pemerintah Orde Baru. Seiring dengan melonggarnya pengawasan terhadap kehidupan masyarakat, para seniman mulai agak berani mengungkapkan persoalan-persoalan yang dulu terlarang dan sangat peka, seperti persoalan suksesi kepemimpinan, bisnis keluarga, nasib buruh, SDSB, atau juga kekuasaan yang represif. Pada masa itu penyajian jeprut sering disandingkan dengan demonstrasi para mahasiswa dari ITB, UNPAD atau Universitas Katolik Parahyangan. Bentuk-bentuk sajiannya lebih bersifat parodi, seperti mencoret-coret wajah dengan cat air, melumuri tubuh dengan lumpur, membacakan
93
puisi yang berisi kritikan sosial, dan melakukan semacam upacara 17-an dengan mengerek celana dalam ke puncak tiang bendera. Penamaan jeprut pada saat itu masih belum populer, beberapa orang lebih suka menyebut sebagai happening. Namun ketika terjadi pembredelan terhadap Detik, Tempo dan Editor (1994), karyakarya mereka terlihat lebih ‘berani’, artinya mengungkapkan persoalan sosial politik secara lebih gamblang, tidak terlalu ditutup-tutupi dalam ‘bahasa’ yang sulit dipahami. Tisna Sanjaya, yang pada saat itu baru pulang belajar seni rupa di German, menyajikan suatu pertunjukan yang diberi judul ‘Ladang Mengerang’ di pekarangan rumahnya, dengan mengubur tubuh seseorang, kemudian Tisna mengumandangkan rekaman siaran Radio Belanda yang memberitakan ihwal pembredelan. Herry Dim menerbangkan ratusan balon gas yang bertuliskan ‘Memohon Keadilan’. Harry Roesly, bersama Dieter Mack, menggelar pentas musik keprihatinan selama 24 jam di Kafetaria UNPAD yang melibatkan berbagai kalangan, bahkan perguruan Wu Shu, Tai Chi, dan dua perguruan tenaga prana. Saat itu penamaan jeprut masih samar-samar dilakukan, artinya orang-orang masih enggan menyebut karyanya sebagai jeprut, walaupun beberapa penonton telah melontarkan stigma tersebut. Perkembangan yang signifikan terjadi pada tahun 1996, saat ‘perebutan’ Gedung YPK. Kata jeprut mulai merebak digunakan untuk menyebut karya-karya pertunjukan yang tampak aneh, dan tidak tahu aturan itu. Perlawanan terhadap sikap yang sewenang-wenang dari Orde Baru semakin nampak nyata dalam karya para seniman. Seniman seperti Tisna Sanjaya, Wawan S. Husin, Iman Soleh, Aendra Medita, dan Yosef Muldiana, sering melakukan kolaborasi untuk membuat karya pertunjukan. Pertunjukan itu biasanya dipusatkan di gedung YPK. Seniman yang lain melakukannya di jalan raya, seperti di sekitar jalan Dago, Setiabudi, atau Buahbatu.
94
Pada tahap ketiga, yakni saat memasuki era 1998-an, kira-kira setelah Soeharto lengser dari kursi kepresidenan, jeprut jarang lagi ditemui di ruang-ruang publik. Bersama tumbuhnya ‘kantung-kantung budaya’, ia selalu hadir di ruang-ruang tertutup dan kecil. Beberapa tempat yang sering digunakan, antara lain: ‘Galeri Barak’, ‘Rumah Nusantara’, ‘Studio Selasar Sunaryo’, ‘Black Box’ STSI Bandung, dan ‘Griya Seni Popo Iskandar’. Selain itu, jeprut jarang hadir sebagai suatu pertunjukan yang digagas sendiri oleh senimannya, tapi tak lebih menjadi bagian dari suatu kegiatan seperti pameran atau diskusi tentang kesenian atau budaya secara umum. Penamaan jeprut pun mulai disandingkan dengan istilah seni rupa pertunjukan. Malah beberapa seniman, terutama dari seni rupa, mulai merasa enggan untuk disebut sebagai jepruter, dan lebih suka menamakan diri sebagai performer. Meskipun demikian, mereka masih menjaga spiritnya sebagai gerakan perlawanan. Seorang seniman, Iman Soleh, mengungkapkan (wawancara 23 April 2001) bahwa kecenderungan seniman untuk tampil di ruang-ruang tertutup serupa itu sebab ‘…pada masa reformasi ini, semua orang telah berbicara apa pun dengan lantang, bahkan koran-koran lebih menarik dibaca daripada kesenian. Oleh karena itu tampaknya seniman merasa tak perlu lagi turun ke jalan. Sebab jika ia masih tetap juga memaksakan, hal itu hanya akan menambah ”sesak” kondisi yang ada.’ Perlawanan internal Perlawanan internal adalah perlawanan terhadap kehidupan kesenian itu sendiri. Ada tiga titik yang menjadi sasaran para seniman jeprut dalam masalah internal ini, yaitu masalah pendefinisian seni yang dianggap sewenangwenang, masalah komersialisasi seni, dan yang terakhir masalah pendidikan seni.
ANTROPOLOGI INDONESIA 75, 2004
Apakah jeprut itu seni atau bukan? Pertanyaan itu selalu terlontar dalam perbincangan-perbincangan yang tidak formal, tapi nyaris tidak pernah muncul dalam pertemuanpertemuan yang resmi. Dalam tiga kali pertemuan yang secara resmi membicarakan jeprut, perdebatan-perdebatan yang muncul tidak pernah menyentuh pertanyaan tersebut, atau jika pun muncul, seperti misalnya pertemuan yang pertama di Gelanggang Remaja Bandung, ia hanya diungkapkan secara implisit oleh salah seorang pembicaranya, Suyatna Anirun. Secara tunggal, sebab tak ada seorang peserta pun yang berusaha untuk menanggapinya. Hal itu tentu menarik: mengapa? Analisis sementara yang bisa ditarik, bahwa dalam pertemuanpertemuan resmi itu umumnya orang-orang yang hadir adalah para pendukung jeprut, atau paling tidak memiliki interes terhadapnya. Mereka seolah-olah sepakat bahwa hal tersebut tak perlu dipertanyakan lagi, karena menyadari tentang relativitas definisi-definisi seni, sehingga bila dibicarakan hanya akan menyita waktu yang panjang dengan tanpa ada kesepakatan. Orang-orang yang tidak menyukainya cenderung untuk tidak menghadiri pertunjukan atau pertemuan jeprut . Umumnya mereka menyaksikan jeprut secara tidak sengaja, yakni ketika menghadiri pembukaan pameran lukisan atau saat sedang melewati jalan yang dijadikan sebagai tempat pertunjukan. Meskipun begitu, biasanya dalam perbincangan-perbincangan yang tidak formal, mereka selalu berpendapat bahwa jeprut bukan seni, atau malah ada beberapa yang berkata bahwa banyak orangorang yang terlibat dalam jeprut melakukan kompensasi dari ketidakmampuannya dalam berkarya seni, seperti lazimnya para seniman berkarya. Kondisi-kondisi seperti tersebut di atas menunjukkan bahwa jeprut memang masih dianggap sebagai kegiatan yang belum (atau
ANTROPOLOGI INDONESIA 75, 2004
malah tidak) pantas disebut seni, bahkan oleh orang-orang yang kerap dan pernah melakukannya.12 Penolakan jeprut sebagai seni, selain karena secara intrinsik dianggap tidak memenuhi persyaratan estetika formal, seperti keutuhan, keselarasan, atau keseimbangan, dan secara ekstrinsik tidak jelas apa yang ingin diungkapkannya alias tidak memiliki kedalaman, juga karena jeprut dianggap hanya sekedar salah satu tahap dari proses latihan, terutama dalam teater, sebelum tampil bermain di atas panggung. Bagi orang-orang yang telah menganggap dirinya sebagai jepruter, seperti Wawan S. Husin dan Tisna Sanjaya, mereka tak lagi memerdulikan karya-karya jeprut-nya itu disebut seni atau bukan. Menurut mereka justru dengan melakukan jeprut, pernyataanpernyataan yang bersifat mengadili seperti ‘ini’ seni dan ‘itu’ bukan, dipertanyakan keabsahannya. Dalam sebuah wawancara dengan Diro Aritonang, wartawan koran Pikiran Rakyat Bandung, tanggal 10 Mei 2000, ketika diminta tanggapannya terhadap pendapat yang mengatakan bahwa jeprut bukan seni, Wawan S. Husin mengatakan: Ya, saya tidak keberatan dengan pendapat itu. Saya hormat saja sebab dia punya pendapat dan saya punya pendapat. Mengapa? Sebab saya memang mempertanyakan kembali apa itu seni teater, seni tari…. Ini sejalan dengan pemikiran saya akan kehidupan, kesementaraan, kematian, kelahiran, siklus bumi, siklus planet dan lainlain. Jika ada seratus definisi seni, maka saya mencari kemungkinan yang ke-1001. Perbedaan? Tidak masalah (ini saya pinjam dari iklan ketombe Kang). Tak apa-apa, perbedaan juga 12
Misalnya Mimi Kahlo yang bersikeras bahwa dirinya bukan sebagai penjeprut, tapi performer, meskipun ketika diundang dalam ‘Pertemuan Jeprut’ datang sebagai penampil, mengatakan dalam suatu wawancara: ‘Jeprut itu bukan bentuk. Itu biografi. Gambarannya bisa sifat kita yang emang jeprut, atau semangatnya. Makanya jeprut bukan kesenian, tapi sebuah semangat keluar dari mainstream…gila kreativitas.’ ‘Mimi Fadmi: “…tidak setiap seniman itu bisa performance”’, dalam: Baf Nomor 2 Juni-Juli 2001, hal. 6.
95
kerja otak, kerja hati. Apa itu seni, young man? Barangkali, seni dalam kehidupan itu sendiri, bukan dalam buku-buku. Penulis buku butuh bertahun-tahun untuk sampai pada tulisannya, tapi itu kan hari kemarin. Seberapa banyak sih para pemikir kebudayaan yang punya nyali, memprediksi masa depan? Prediksi seperti itu juga penting supaya kita menghargai yang lama, tapi selalu terbuka, kritis ketika ada hal lain yang bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan baru di batok kepalanya.
Arahmaiani mengatakan bahwa suatu pendefinisian seni yang terjadi selama ini sewenang-wenang. Suatu karya seni yang berbicara masalah politik, pada jaman Orde Baru selalu dikatakan sebagai pamplet, dangkal atau verbal. ‘Seolah-olah seni yang concern terhadap persoalan sosial dan politik dianggapnya bermutu rendah,’ ujarnya. Selanjutnya ia mengatakan, dalam karya-karya performance, dan juga jeprut, pendefinisian yang sewenangwenang dilabrak, dipertanyakan keabsahannya. Hal ini menyebabkan kesenian-kesenian semacam itu dimarjinalkan, dipinggirkan. Senada dengan Arahmainani, Tisna Sanjaya mengungkapkan bahwa ketika ia memasuki jeprut, sebetulnya ia mencoba untuk kritis terhadap segala sesuatu yang anggap telah berjalan dengan semestinya. ‘Bila saya ingin aman,’ demikian Tisna Sanjaya. ‘Saya bisa saja tidak usah macam-macam. Saya pegawai negeri yang mendapat gaji tiap bulan. Sebagai seniman grafis, karya saya pun laku dibeli orang. Akan tetapi, saya merasa bahwa hidup itu tidak hanya demikian. Saya harus mencari kemungkinan lain dalam berkarya.’ Para penggerak jeprut umumnya tidak percaya terhadap pendefinisian yang formal, sebab mereka tidak yakin bahwa pendefinisian itu ditarik secara obyektif. ‘Seni merupakan suatu wacana yang dibangun, bukan hal yang sudah semestinya demikian,’ kembali mengutip Arahmaiani. ‘Konsekuensinya ia bisa didefinisikan oleh siapa pun, dan untuk kepentingan apa pun. Saya suka dengan performance karena ia
96
kembali mempertanyakan hal-hal yang sudah mapan.’ Jadi, dalam pandangan para jepruter, sesuatu dianggap ‘seni’ atau ‘bukan seni’ tergantung kepada siapa yang mengatakan, dan sedang dalam posisi apa ketika ia mengatakan hal itu. Penggugatan terhadap pendefinisian seni itu pun memiliki dampak terhadap pembatasan wilayah-wilayah disiplin seni tertentu yang terjadi selama ini. Dalam karya jeprut kategori-kategori seperti ‘seni rupa’, ‘seni teater’, atau ‘seni sastra’, dikacaukan sehingga ia tidak lagi jelas termasuk ke dalam kategori atau wilayah disiplin apa karya yang disajikannya itu. Deden Sambas dalam ‘Body Morse’ (2001), misalnya, mengikat muka dan lidahnya dengan karet gelang, lantas menelan mikrofon, kemudian pengeras suara itu dipukul-pukulkan ke seluruh tubuhnya sehingga menimbulkan bunyi yang tidak keruan, tidak jelas lagi masuk ke dalam wilayah seni rupa, seni musik atau seni teater. Contoh yang lain, Arahmaiani dalam suatu pertunjukan di Galeri Barak dalam pertunjukan Violence No More(2001) meniupniup debu yang ada di lantai sambil membagikan lilin ke penonton, juga membongkar batasbatas yang terlalu kaku yang terjadi selama ini. Wawan S. Husin menerangkan bahwa ia melakukan jeprut karena merasa tidak puas dengan teater dan sastra. Oleh karena itu ia mencoba masuk ke dalam wilayah yang masih ‘kosong’, ‘Sebab melalui kekosongan itu kita bisa menjadi apa saja,’ katanya. Orang-orang yang memiliki latar belakang seni rupa, seperti Arahmaiani, Deden Sambas, Isa Perkasa dan Mimi Kahlo, umumnya berpendapat bahwa dengan memasuki performance art atau jeprut mereka seperti memasuki wilayah yang bebas, tak lagi terkena batasan-batasan yang kaku. Ia menjadi lebih hidup, karena ruang yang digunakan adalah ruang riel, berada dalam ‘kini’ dan ‘di sini’. Pertunjukan jeprut yang ‘fana’, artinya hilang bersama berlalunya waktu, menyebabkan ia menjadi pertunjukan yang tidak laku dijual. Para
ANTROPOLOGI INDONESIA 75, 2004
penggerak jeprut dari lingkungan seni rupa mengatakan bahwa karya lukis atau patung, misalnya, bisa dijual karena ia ‘tidak lekang’ oleh waktu. Artinya, sebagai benda karya lukis atau patung itu ada, bisa disimpan baik oleh senimannya sendiri maupun kolektornya. Pada era 80-90-an seni lukis di Indonesia mengalami ‘booming’. Banyak para seniman menjadi orang yang menjadi kaya mendadak, karena karyakaryanya dibeli oleh kolektor, baik dalam negeri maupun luar negeri, dengan harga yang sangat tinggi. Namun hal ini menyebabkan kondisinya menjadi tidak sehat, seniman berkarya hanya berdasarkan pesanan, tidak atas dorongan nuraninya sendiri. Selain itu, seperti diungkapkan Tisna Sanjaya, pemesan-pemesan itu bukan hanya orang-orang yang ‘independen’, tapi juga para penguasa yang ingin melanggangkan kekuasaannya lewat seni. Bagi Arahmaiani, maraknya para perupa melakukan performance art atau jeprut d i Bandung, karena ada kondisi komersialisasi seni yang hendak dilawan. Sementara itu, Tisna berpendapat bahwa sebetulnya komersialisasi seni itu tidak perlu dicemaskan bila tetap membaca wacana yang mampu membuat pencerahan bagi masyarakat. Namun umumnya, komersialisasi seni yang digerakkan oleh kapitalisme terkadang tidak membawa apa-apa, selain kepentingan-kepentingan. Sementara, jeprut dan seni kontemporer lainnya, selalu berisi wacana yang sangat menarik untuk diperbincangkan dan didiskusikan, karena memperkaya khasanah kebudayaan secara luas. Hal yang menarik adalah mencermati bahwa para penggerak jeprut itu umumnya pernah mengecap pendidikan di perguruan tinggi seni. Dari daftar seniman jeprut yang telah dibuat, hanya ada dua yang tidak pernah kuliah, yaitu Dedi Koral dan Rahmat Jabaril. Timbul pertanyaan, mengapa mereka yang pernah belajar tentang kesenian yang formal, dan boleh diasumsikan mengetahui estetika berkesenian yang ‘baik’,
ANTROPOLOGI INDONESIA 75, 2004
harus jadi, ‘pemberontak’ dalam berkesenian? Ketika dalam acara diskusi ‘Menengok Jeprut’, seorang pembicara, seperti Wawan S. Husin, mengatakan bahwa suatu keberanian bagi Jurusan Teater STSI Bandung yang telah mengadakan acara yang bertemakan ‘Jeprut’, sebab selama ini jenis pertunjukan tersebut tidak pernah dianggap ada kehadirannya, terutama oleh perguruan-perguruan tinggi seni. Jeprut bisa ditafsirkan sebagai perlawanan terhadap ideologi berkesenian yang selama ini dianut oleh perguruan tinggi seni, karena ia dihadirkan oleh para seniman yang umumnya berasal dari kampus seni, dengan ‘bahasa ungkap’ yang tidak pernah ada dalam teori-teori yang selalu diajarkan ulang di bangku-bangku kuliah. Tisna Sanjaya yang juga berprofesi dosen Seni Rupa ITB mengungkapkan bahwa semestinya perguruan tinggi itu bisa akomodatif menampung gejolak kreativitas para mahasiswanya: Saya mengajarkan Eksperimen Kreatif kepada mahasiswa. Dalam matakuliah itu saya berusaha untuk menampung segala keinginan mahasiswa, dengan tanpa terlebih dahulu harus apriori. Saya selalu menyediakan ‘ruang yang bebas’, namun mahasiswa harus presentasi, sehingga ia tidak hanya sekedar jadi luapan emosi semata, tapi juga memiliki konsep di belakangnya. Seorang dosen tiba-tiba melabraknya. Dengan bahasa kekuasaan dia mengatakan bahwa yang dibuat mahasiswa itu bukan seni. Itu artinya, dosen tersebut selalu memakai kriteria seni yang telah kuno, memaksakan teori-teori lama terhadap gejala-gejala yang relatif baru (Wawancara, 15 Desember 2001).
Menurut Arahmaiani, dalam performance art atau jeprut, ada sesuatu yang diresahkan, dikritisi, ditentang, atau juga dipertanyakan keabsahan dari sistem pendidikan seni. Seniman yang telah melanglang ke berbagai penjuru dunia ini mengatakan bahwa mungkin kritik para seniman terhadap kemandegan sistem pendidikan seni belum memberikan dampak dan manfaat. Namun, lanjutnya dalam
97
suatu tulisan yang berjudul ‘Kepada para Ibu Calon Seniman’ yang dimuat di Harian Kompas Minggu, “sikap kritis dan antikemapanan itu telah mengantarkan mereka untuk mengibarkan ‘bendera pemberontakan’-nya di berbagai penjuru benua dan menegaskan keberadaan seniman dan seni kontemporer Indonesia.’
Penutup: tiga otoritas pendefinisi seni Kehadiran jeprut sebagai gerakan perlawanan menimbulkan persoalan yang cukup urgen untuk direnungkan, yakni bahwa pendefinisian secara intrinsik, seperti ‘apa itu karya seni’, tidak bisa lepas dari persoalan ekstrinsik, atau kepentingan-kepentingan orang-orang yang sedang membuat definisi. Jadi, pertanyaan yang muncul dalam jeprut bukan pertanyaan ‘apa itu seni?’, melainkan ‘siapa yang mendefinisikan seni?’ Seni secara instrinsik mungkin bisa didefinisikan secara beragam, tergantung siapa yang mendefinisikannya. Namun bila dilihat secara ekstrinsik, tampak terlihat bahwa ada tiga pihak yang dianggap memiliki ‘otoritas’ yang bisa menjadikan ‘sesuatu’ menjadi karya seni dan yang lainnya bukan seni, yaitu: seniman, kritikus/pengamat, dan media massa. Untuk menerangkan hal ini penulis akan mengutip sajak Sutardji Calzum Bachri berjudul ‘Kalian’. Sajak hanya terdiri dari satu kata: ‘pun’. Andaikan saja sajak itu keluar dari seseorang yang belum dikenal sebagai penyair, lalu membawanya ke setiap orang yang ditemuinya
dengan mengatakan bahwa yang ditulisnya itu adalah sajak, bagaimanakah reaksi orangorang tersebut? Hal yang paling besar kemungkinannya adalah bahwa ia akan dianggap sebagai orang gila, frustasi, yang telah melakukan kompensasi dari ketidakmampuannya membuat karya seni (sajak). Tentu saja kini huruf-huruf itu telah dianggap sebagai karya sajak, karena ia berada dalam kumpulan puisi O Amuk Kapak karya Sutardji Calzum Bachri, sesosok yang telah dikenal sebagai penyair. Lalu bagaimanakah karya orang yang belum terkenal sebagai seniman itu diangkat oleh Sapardi Djoko Damono, yang selama ini dikenal selain sebagai penyair, juga pengamat sastra yang memiliki wibawa, dengan mengatakan susunan huruf itu merupakan karya sajak yang bagus, bermutu, dan menggetarkan jiwa? Oleh karena ia telah memiliki otoritas, maka secara ‘terpaksa’ para pembacanya harus menganggapnya sebagai sajak. Namun apabila yang dikatakan Sapardi atau yang ditulis Sutardji tidak dimuat dalam sebuah media massa, seperti televisi atau koran, yang bisa diakses oleh banyak orang, maka ungkapannya pun menjadi sia-sia. Kekuatan media massa untuk mempengaruhi opini publik, kadang-kadang tidak memerlukan otoritas apapun. Dengan menayangkan secara berulang-ulang, terutama dalam waktu-waktu yang banyak diakses oleh publik, maka ia akan menjadi otioritasnya sendiri yang bisa mengubah persepsi banyak orang.
Referensi Ades, D. 1983 ‘Dada and Surrealism’, dalam N. Stangos (peny.) Concepts of Modern Art. London: Thames and Hudson. Hlm. 110–137. Carlson, M. 1996 Performance: Critical Introduction. London: Routledge.
98
ANTROPOLOGI INDONESIA 75, 2004
Dillistone, F.W. 2002 The Power of Symbols (Daya Kekuatan Simbol) (Ter.j. A. Widyamartaya). Yogyakarta: Kanisius. Geertz, C. 1974 The Interpretation of Culture Selected Essays. London: Hutchinson & CO Publisher LTD. 1992 Tafsir Kebudayaan (Terj. F. Budi Hardiman). Yogyakarta: Kanisius. Goldberg, R.L. 1999 Performance Art from Futurism to the Present (Edisi revisi dan diperluas). London: Thames and Hudson. Gramsci, A. 2001 Catatan-catatan Politik (Terj. Gafna Raiza Wahyudi, dkk.). Surabaya: Pustaka Promethea. Keesing, R.M. 1993 Antropologi Budaya suatu Perspektif Kontemporer Jilid 1 dan 2 (Terj. Samuel Gunawan). Jakarta: Erlangga. Moeljanto, D.S., dan T. Ismail (peny.) 1995 Prahara Budaya Kilas Balik Ofensif LEKRA/PKI Dkk. Bandung: Mizan. Noerhadi, T.H. 1983 ‘Kreativitas, suatu Tinjauan Filsafat’, dalam S.T. Alisyahbana (peny.) Kreativitas. Jakarta: Dian Rakyat. Padmodarmaya, P. 1983 Tata dan Teknik Pentas. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah. Sarjono, A.R. 2001 Sastra dalam Tiga Orba. Yogyakarta: Aksara. Schechner, R. 1985 Between Theatre and Anthropology. Philadelphia: University of Pennsylvania Press. Scott, J.C. 2000 Senjatanya Orang-orang yang Kalah. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Simon, R. 2000 Gagasan-gagasan Politik Gramsci (Terj. Kamdani dan Imam Baehaqi). Yogyakarta: INSIST dan Pustaka Pelajar. Smith, C.S. 1986 Macmillan Dictionary of Anthropology. London and Basingstoke: The Macmillan Press Ltd.
ANTROPOLOGI INDONESIA 75, 2004
99
Smith, R. 1981 ‘Conceptual Art’, dalam N. Stangos (peny.) Concept of Modern Art. New York: Harper & Row. 1981. Hlm. 256–272. Taryadi, A. 1995 Seni dalam Persinggungannya dalam Peraturan dan Perizinan. Makalah Diskusi Kongres Kesenin Indonesia di Jakarta. Turner, V. 1980 From Ritual to Theatre. New York: Prentice Hall. Wijaya, P. 1997 Ngeh Kumpulan Esai. Jakarta: Grafiti. Winangun 1990 Masyarakat Anti-Struktur Victor Turner. Yogyakarta: Kanisius. Yuliman, S. 2001 Dua Senirupa. Jakarta: Kalam.
100
ANTROPOLOGI INDONESIA 75, 2004