Perlawanan Lokal terhadap Gempuran Liberalisasi dan Fundamentalisme
ASASI EDISI JULI-AGUSTUS 2012
www.elsam.or.id
daftar isi nasional......................................15-20 Ramai-Ramai Mempersoalkan Kawasan Hutan Jantung persoalan kehutanan Indonesia adalah keadilan dan kepastian hukum berkaitan dengan penguasaan kawasan hutan sebab cakupannya yang luas, ilegalitas yang tinggi dan tafsir terhadapnya yang lentur. Kawasan hutan juga menjadi basis utama bagi berlakunya kewenangan Kementerian Kehutanan yang mencapai ±120 juta Ha atau setara dengan lebih dari 61% wilayah daratan Indonesia (Moniaga, 2006) atau menurut data terbaru seluas 135,5 juta Ha setara dengan 68,57 % wilayah daratan Indonesia (Mulyono, 2012).
Kolom Karena Kini Adalah Akibat Lalu pembatasan-pembatasan akses sipil politik ditambah dengan eforia kebencian ideologi tetap terawat di tengah masyarakat. Media dan pendidikan menjadi arena perebutan yang kerap tidak menyisakan ruang bagi para korban peristiwa 1965-1966 untuk menggugat. Kondisi ini diperburuk dengan pengabaian negara secara struktural atas apa yang terjadi di masa lalu. Perjuangan panjang para korban peristiwa 1965-1966 di usia senjanya nyaris tidak menghasilkan apapun.
internasional ...............................21-22 Land Grabbing Sebagai Isu Regional
Dalam laporan regional, masing-masing negara ASEAN memiliki isu spesifik terkait land grabbing. Namun secara umum masalah yang dihadapi hampir sama di semua negara. Sebut saja masalah keterlibatan militer dan konsesi lahan kepada para investor. Semua perwakilan negara pada workshop “Promoting People’s Right to Land and Natural Resources” baik, Kamboja, Indonesia, Vietnam, Myanmar, dan Filipina mengalami dampak obral konsesi pengusahaan hutan maupun tambang oleh pemerintahan negara masing-masing.
RESENSI...........................................23 Perjuangan Hidup Wanita Perkasa Setelah Prahara 1965
Membaca novel sejarah Istana Jiwa : Langkah Perempuan di Celah Aniaya karya Putu Oka Sukanta ini seakan mengajak kita terjun langsung dalam suasana sebelum dan sesudah prahara 1965. Pergulatan politik yang mengerucut pada dua kutub besar yakni Angkatan Darat (AD) dan Partai Komunis Indonesia (PKI) berujung pada prahara yang seketika mengubah jalan hidup jutaan masyarakat Indonesia terutama yang bersentuhan dan dianggap PKI sebagai tumbal dari prahara tersebut.
profil elsam...................................... 24
editorial.................................................................................. 4 Ilusi ‘Hantu Komunisme’: Lagu Sumbang dalam Melawan Pelupaan Massal Setelah hampir empat tahun menunggu, akhirnya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mengumumkan hasil penyelidikan mereka atas beberapa peristiwa kekerasan di masa lalu, di antara peristiwa yang mengikuti tragedi 1965 -1966 dan serentetan pembunuhan misterius yang terjadi pada medio delapanpuluhan. Dalam konferensi pers yang mereka gelar, KOMNAS menyatakan terdapat suatu indikasi yang kuat akan adanya pelanggaran HAM berat dalam peristiwa-peristiwa yang diselidiki tersebut, dan karena merekomendasikan untuk Kejaksaan Agung untuk menindaklanjuti laporan tersebut.
laporan utama....................................................... 5-14 Dayak Limbai Pelaik Keruap Melawan Tambang
Masyarakat Adat Dayak Limbai Ketemenggungan Pelaik Keruap tinggal di kawasan Bukit Kerapas, Kalimantan Barat. Bagi masyarakat setempat, Bukit Kerapas begitu berarti sehingga berbagai upaya untuk mempertahankannya dari serbuan eksploitasi tambang perusahaan terus dilakukan. Termasuk yang menimpa tiga anggota masyarakat adat yang dikriminalisasi dengan tuduhan perampasan kemerdekaan.
Monumentasi Budaya Versus “Gairah Syariah” di Purwakarta September 2011, kota Purwakarta membara. Ribuan orang dari kalangan ormas Islam menghancurkan sejumlah patung di beberapa titik jalan utama kota Purwakarta. Aksi penghancuran dan pembakaran patung itu konon ditengarai sebagai bentuk protes keras warga terhadap kebijakan Bupati Purwakarta, Dedi Mulyadi, yang kian gencar membangun patung hampir di setiap sudut kota.
Perlawanan Masyarakat Pegunungan Kendeng Utara Di Pegunungan Kendeng Utara, ketegangan antara masyarakat dan perusahaan semen sudah berlangsung sejak tahun 2006. Saat itu PT. Semen Gresik Tbk. berusaha mengeksploitasi bentang alam kars di Pegunungan Kendeng Utara, tepatnya di wilayah Kecamatan Sukolilo dan Kayen. Guna memuluskan langkahnya, perusahaan ini dituding telah melakukan praktik intimidasi terhadap masyarakat, melakukan kampanye hitam terhadap tokoh-tokoh kunci hingga kriminalisasi sembilan orang petani.
Walikota Risma dan Kebijakan Pengupahan Surabaya Walikota Risma berani mengusulkan pertama kali ke Gubernur angka UMK Surabaya sebesar Rp. 1.257.000,00, meskipun unsur pengusaha/APINDO menolaknya di Dewan Pengupahan. Keberanian tersebut perlu diapresiasi mengingat Surabaya selalu dijadikan barometer dalam penentuan UMK di wilayah ring I Jawa Timur (Surabaya, Sidoarjo, Gresik, Mojokerto, Kota dan Kabupaten Pasuruan, Kota Malang dan Kabupaten Malang).
dari redaksi Redaksional Penanggung Jawab: Indriaswati Dyah Saptaningrum
Segenap pimpinan dan pengurus Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Mengucapkan:
Pemimpin Redaksi: Otto Adi Yulianto Redaktur Pelaksana: Widiyanto Dewan Redaksi: Widiyanto, Indriaswati Dyah Saptaningrum, Zainal Abidin, Wahyu Wagiman Redaktur: Indriaswati DS, Otto Adi Yulianto, Triana Dyah, Wahyu Wagiman, Mohamad Zaki Hussein Sekretaris Redaksi: Triana Dyah Sirkulasi/Distribusi: Khumaedy Desain & Tata Letak: alang-alang Penerbit: Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Penerbitan didukung oleh: Alamat Redaksi: Jl. Siaga II No. 31, Pejaten Barat, Pasar Minggu, Jakarta 12510, Telepon: (021) 7972662, 79192564 Faximile: (021) 79192519 E-mail:
[email protected],
[email protected]
Tulisan, saran, kritik, dan komentar dari teman-teman dapat dikirimkan via email di bawah ini:
Website: www.elsam.or.id.
[email protected]
Redaksi senang menerima tulisan, saran, kritik dan komentar dari pembaca. Buletin ASASI bisa diperoleh secara rutin. Kirimkan nama dan alamat lengkap ke redaksi. Kami juga menerima pengganti biaya cetak dan distribusi berapapun nilainya. Transfer ke rekening ELSAM Bank Mandiri Cabang Pasar Minggu No. 127.00.0412864-9
ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA
ASASI EDISI JULI-AGUSTUS 2012
3
editorial Ilusi ‘Hantu Komunisme’: Lagu Sumbang dalam Melawan Pelupaan Massal
S
etelah hampir empat tahun menunggu, akhirnya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mengumumkan hasil penyelidikan mereka atas beberapa peristiwa kekerasan di masa lalu, di antara peristiwa yang mengikuti tragedi 1965 -1966 dan serentetan pembunuhan misterius yang terjadi pada medio delapanpuluhan. Dalam konferensi pers yang mereka gelar, KOMNAS menyatakan terdapat suatu indikasi yang kuat akan adanya pelanggaran HAM berat dalam peristiwa-peristiwa yang diselidiki tersebut, dan karena merekomendasikan untuk Kejaksaan Agung untuk menindaklanjuti laporan tersebut. Seperti dapat segera diduga, laporan ini mengundang berbagai macam reaksi dari masyarakat. Bagi para korban yang sebagian besar mereka selama ini belum pernah memperoleh pengakuan sebagai korban, lantaran negara tak pernah sampai saat ini secara terbuka mengakui keberadaan seluruh kejahatan tersebut, dan dengan sendirinya juga tak mengakui keberadaan mereka, berita ini tentu menjadi oase untuk kerinduan dan penantian panjang mereka. Senada, berbagai organisasi masyarakat sipil menyambut hal ini sebagai sebuah momentum baru yang membuka ruang untuk kembali mendiskusikan hal yang selama ini rapat-rapat disimpan di bawah karpet, membuka babak keadaban baru untuk dapat tegak mengangkat dada sebagai masyarakat yang bermartabat. Namun, pada saat yang bersamaan, laporan tersebut segera mengundang reaksi balik dari politisi dan berbagai kelompok yang melihat laporan KOMNAS tersebut sebagai sebuah ancaman akan kembalinya hantu Komunisme di tanah Air, seperti tercermin dalam gerakan deklarasi Bandung 4 Agustus, yang juga didukung sejumlah eksponen organisasi di masa Orde Baru, seperti mantan Gubernur Bandung Solihin GP dan beberapa organisasi masyarakat lainnya. Tak lama berselang disusul oleh mobilisasi aksi yang dilakukan Arukat ke kantor Komnas HAM yang menuntut KOMNAS membatalkan rekomendasi atas kasus 1965-1965 dan menolak pembentukan pengadilan HAM ad hoc untuk menangani kasuskasus tersebut. Reaksi-reaksi ini jelas mematahkan klaim bahwa masa lalu tak lagi perlu diperbincangkan namun mengarahkan ke masa depan. Meski bertahuntahun dicoba disimpan rapat-rapat dibawah karpet perbincangan formal, tetap saja, masa lalu yang kelam dengan sejumlah kekejaman dan kekerasan tak bisa dianggap tak pernah ada. Hantu komunisme yang didengung-dengungkan dalam forum di Bandung tersebut seperti lagu lama yang dipaksakan. Mungkin lima belas tahun lampau, lagu hantu komunisme jadi
4
ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA
ASASIEDISI EDISIJULI-AGUSTUS MEI-JUNI 20122012 ASASI
rima ampuh membungkam perbincangan. Namun dengan berbagai perkembangan global yang dimulai dengan runtuhnya tembok Berlin dan hancurnya Uni Sovyet, lagu lama tersebut seperti kehilangan konteksnya. Sebaliknya seluruh reaksi tersebut jelas mengirimkan pesan penting setidaknya atas dua hal, pertama, yang diklaim sebagai masa lalu tak sepenuhnya adalah masa lalu. Ia hidup dan masih hidup dalam ingatan dan realitas saat ini, sehingga sulit menampik aktualitas darinya dalam situasi aktual. Apa yang terjadi di masa lalu hidup sebagai warisan yang hidup seperti tercermin dalam seluruh reaksireaksi tersebut. Jadi, bilasampai kini belum juga ada ruang mengurus kekerasan dimasa lalu secara bermartabat, kita boleh punya praduga, itu bukan karena tidak relevan tapi karena faktor lain. Bisa jadi karena ketiadaan niat politik, maupun karena mereka mereka yang saat ini punya kendali dan sumber daya politik adalah bagian dari masa lalu itu sendiri. Hal ini tak terlalu berlebihan bila menimbang berbagai kajian yang menyoal mengenai karakteristik transisi politik yang ada dimana kekuatan lama masih terus berperan dan menentukan arah transisi. Konteks yang mirip dengan proses transisi di Chile maupun Argentina. Kedua, reaksi-reaksi tersebut, jelas menunjukkan bahwa pelanggaran HAM di masa lalu terus menyandera bangsa ini, membuat langkah tak bisa berayun, meniscayakan lahirnya fajar baru keadaban politik yang baru yang lebih bermartabat dan rasional. Tentu sebagai generasi penerus pemilik masa depan bangsa ini, tak selayaknya kita berdiam diri dan membiarkan kekejaman masa lalu terus menyandera masa depan kita. Semoga kita tak lupa, bangsa yang besar ada bukanlah mereka yang menutup sejarah kelam mereka dibawah karpet dan membungkam mereka yang ingin memperbincangkannya, sebaliknya mereka adalah negara-negara yang berani mengungkap dan menghadapinya. Sederet negara melalui proses ini, tengoklah Jerman, Amerika, Brasil, Inggris dan beberapa negara lainnya, mereka telah membuktikannya. Indriaswati Dyah Saptaningrum Direktur Elsam
laporan utama
Dayak Limbai Pelaik Keruap Melawan Tambang Oleh Tandiono Bawor
M
(Koordinator Program Pengembangan PHR dan Advokasi Masyarakat HuMa)
asyarakat Adat Dayak Limbai Ketemenggungan Pelaik Keruap tinggal di kawasan Bukit Kerapas. Bukit ini merupakan sumber kehidupan masyarakat setempat. Di dalam bukit terdapat tumbuhan obatobatan tradisional, kayu belian, kayu meranti, tempat suci atau keramat leluhur masyarakat adat, sumber air bersih, sumber irigasi sawah, dan bahan tambang seperti emas dan batubara. Di hutan yang masih lestari ini juga banyak terdapat binatang buruan. Bagi masyarakat setempat, Bukit Kerapas begitu berarti sehingga berbagai upaya untuk mempertahankannya dari serbuan eksploitasi tambang perusahaan terus dilakukan. Termasuk yang menimpa tiga anggota masyarakat adat yang dikriminalisasi dengan tuduhan perampasan kemerdekaan. Cerita tentang kriminalisasi dimulai pada 11 Mei 2009. Pada hari itu datang serombongan karyawan PT Mekanika Utama Group (MUG) bersama aparat Kecamatan Menukung, anggota Polsek Menukung, dan staf Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Melawi dan penduduk lokal dari kampung tetangga ke wilayah Pelaik Keruap.1 Kedatangan rombongan ini dicurigai warga berkaitan dengan rencana eksplorasi tambang di hutan adat Pelaik Keruap. Kecurigaan semakin menguat karena kedatangan tim survey batubara dilakukan pada jam. 23.00 WIT, dengan mesin perahu dan lampu yang dipadamkan sepanjang perjalanan di sungai. Warga masih merasa trauma atas rencana eksploitasi yang pernah dilakukan sebuah perusahaan. PT. Sumber Gas Sakti Prima (SGSP) tahun 2006 pernah dihukum adat di sana yang berdampak dibatalkannya niatan perusahaan itu melanjutkan kegiatan eksplorasinya. Kali ini penolakan dilakukan oleh masyarakat atas kehadiran PT. Mekanika Utama Group, yang sama seperti PT. SGSP sebelumnya, berusaha melakukan eksplorasi kandungan batubara di wilayah adat masyarakat Pelaik keruap. Sempat terjadi pertemuan untuk membahas rencana eksplorasi PT. MUG tersebut. Namun pada akhirnya warga bersama sembilan kampung lainnya sepanjang DAS Keruap menyatakan penolakan terhadap survey dan keberadaan batubara. Malam itu, warga meminta rombongan untuk berhenti. Warga meminta penjelasan mengenai maksud kedatangan mereka, apakah sudah meminta ijin kepada kepala desa dan dusun. Tim Survey tetap bersikeras menolak memberikan penjelasan. Kepala Dusun Pelaik Keruap, Alfonsius Iyon, kemudian
meminta pembicaraan dilakukan di rumahnya bukan di tepi sungai. Warga menilai masuknya rombongan secara diam-diam pada malam hari ini melanggar adat yaitu Kesupan Temenggung, Kesupan Kampung, Kesupan Pengurus Kampung. Namun karena hari sudah malam, maka sidang adat akan dilakukan esok hari. Saat menunggu pagi itu, rombongan diperlakukan layaknya tamu dan dipersilahkan menginap di kediaman kepala desa. Beberapa anggota rombongan saat itu berdalih sakit. Sebagian di antaranya meminta ijin pulang. Akhirnya disepakati bahwa dua orang perwakilan rombongan, yaitu dari PT. Mekanika Utama dan Staf Kecamatan Menukung, untuk tidak meninggalkan kampung. Mereka masih ditempatkan di kediaman kepala desa. Ternyata anggota rombongan yang meninggalkan kampung dengan berdalih sakit tadi melaporkan kepada Camat dan Kapolsek Menukung bahwa dua orang anggota rombongan telah “ditahan” masyarakat. Aparat kepolisian pun merespon laporan tersebut. Dua hari berselang, seratus anggota Polres Melawi datang ke lokasi untuk melakukan operasi pembebasan. Polisi menangkap Kepala Desa, Bambang bin Nail, Kepala Dusun, Alfonsius Iyon dan Ketua RT, Sergius Selamat. Ketiganya diproses hukum di Pengadilan Negeri Sintang, Kalimantan Barat. Pengadilan menjatuhkan sanksi pidana penjara selama hukuman 4 bulan 5 hari karena dianggap melanggar Pasal 333 ayat (1) KUHP dengan sengaja menahan (merampas kemerdekaan) orang atau meneruskan tahanan itu tanpa hak. Akhirnya pada 28 Mei 2010 Ronti, Temenggung Pelaik Keruap, dilampiri 505 nama dan tanda tangan/ cap jempol masyarakat warga desa setempat menolak proses peradilan terhadap ketiga warga masyarakat adatnya. Pernyataan tersebut diperkuat dengan nota penjelasan tanggal 15 September 2010 sebagai jawaban atas permintaan penjelasan dari MA no. 242/ PAN/VII/2010.2 Dalam hukum adat Dayak, secara umum mereka akan menghormati dan melindungi tamu yang menghormati hukum adatnya, bahkan menjadikannya sebagai saudara angkat. Namun, sebaliknya hukum adat juga akan memberikan sanksi kepada tamu yang tidak menghormati hukum adat. Menurut JJ Kusni, dalam hukum adat Suku Dayak ditemukan juga hal istimewa untuk melindungi dan menjadi orang asing yang mengembara di daerah suku Dayak. Suku Dayak merasa terhina apabila ada orang asing yang datang ke daerahnya, selagi dalam ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA
ASASI EDISI JULI-AGUSTUS 2012
5
perjalanan di daerah suku Dayak kemudian orang asing tersebut menderita atau mengalami kesusahan. Oleh karena itu ada Hukum Adat Dayak yang isinya antara lain harus menerima dan memelihara keamanan orang asing yang masuk daerah suku Dayak dan telah berjanji menyerahkan nasib kepada Kepala Adat dan berjanji untuk tunduk kepada Hukum Adat suku Dayak di mana orang asing tersebut berada.3 Maka dalam persfektif masyarakat adat, kedatangan tim survey batubara pada malam hari dan tidak meminta ijin adalah pelanggaran hukum adat. Namun, untuk menunggu proses sidang adat, keduanya diperlakukan sebagai tamu dalam hukum adat. Seperti menyediakan makanan dan minuman sesuai dengan kemampuannya, serta menyiapkan tempat tidur terbaik. Penempatan dua orang rombongan di kediaman pengurus adat, merupakan simbol keduanya berada dalam lindungan adat, dan masyarakat adat akan patuh. Kasus kriminalisasi terhadap Masyarakat Adat Pelaik Keruap ini mengandung beberapa poin penting. Pertama, terdapat perbedaan persepsi terhadap perampasan kemerdekaan antara aparat penegak hukum dan masyarakat adat. Aparat penegak hukum—biasanya juga termasuk pengusaha dan birokrasi—cenderung menggunakan perspektif sentralisme negara dan memandang bahwa masyarakat adat tidak memiliki hak untuk menahan seseorang di kampungnya, karena otoritas perampasan kemerdekaan adalah kewenangan aparat penegak hukum. Namun, di sisi lain masyarakat adat berpandangan yang dilakukan bukanlah perampasan kemerdekaan, tetapi untuk menunggu waktu sidang adat dilakukan, dan mereka diperlakukan secara terhormat sebagai tamu, bukan tahanan; Poin kedua, tim survey batubara tidak memiliki itikad baik dengan sengaja mendatangi Bukit Kerapas pada tengah malam, dan dengan mematikan mesin perahu dan lampu, merupakan pelanggaran hukum adat kesupan. Ketiga, perbuatan datang di malam hari, memasuki wilayah adat tanpa ijin, menurut masyarakat adat merupakan perbuatan yang melanggar hukum adat, dan perbuatan tersebut tidak dikategorikan sebagai perbuatan pidana. KUHP merumuskannya sebagai kejahatan jika perbuatan mengakses ke suatu wilayah tanpa ijin ke dalam dalam rumah, ruangan atau pekarangan tertutup rumah atau ruangan yang tertutup.4 Sehingga aparat penegak hukum pun seharusnya memproses Tim Survey secara pidana berdasarkan UU No.1/Drt/1951 karena kedatangan mereka tidak ijin terhadap masyarakat setempat. Keempat, hakim dalam memutus perkara tidak menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”, khususnya adat bertamu, dan tata cara sidang adat dilakukan. Ketiga tokoh Masyarakat Adat Pelaik Keruap tersebut memang dipidana oleh sistem peradilan formal Indonesia. Hakim berpatokan pada hukum negara meski dalam kasus tersebut secara utuh terdapat perbedaan persepsi yang sangat jelas antara hukum negara dengan hukum adat.
6
Kriminalisasi ini ternyata memicu perlawanan meluas masyarakat di wilayah Kecamatan Menukung Kabupaten Melawi. Gerakan ini kemudian didukung oleh organisasi-organisasi rakyat dan kesatuankesatuan masyarakat adat. Mereka yang mendukung antara lain Jaringan Komunikasi Antar Kampung (JAKA), Persatuan Masyarakat Adat Dayak Limbai (PERMADALI), Persatuan Masyarakat Adat Dayak Ransa (PEMADAR), Gerakan Masyarakat Serawai (GEMAS) dan Gerakan Masyarakat Adat Kabupaten Melawi (GEMA-KAMI) yang semenjak 2005 telah menyatakan sikapnya untuk menolak berbagai jenis perusahaan skala besar yang ingin masuk ke wilayah adat mereka.5 Pada tanggal 14 Maret 2011 Bupati Melawi, Firman Muntaco, mengeluarkan surat No 540/200/ Ekbang yang ditujukan kepada Camat Menukung untuk melakukan Penundaan Aktivitas Eksplorasi Pertambangan serta Perkebunan. Meskipun begitu perjuangan Kesatuan Masyarakat Hukum Adat di Kecamatan Menukung belumlah usai. Tantangan demi tantangan untuk mengambil alih sumber-sumber kehidupan terus dilakukan oleh para pemilik modal. Sebagai sebuah pertempuran, kemenangan rakyat yang sudah didapat adalah sebuah modal untuk memenangkan peperangan. Kita tidak boleh lalai untuk terus bersiap dan mengumpulkan kekuatan.
Keterangan 1
Keterlibatan aparat pemerintah dan nama-namanya dalam rombongan perusahaan bisa dilihat pada http://hukumonline. com/berita/baca/lt4bfb59f7c4dde/tolak-perusahaantambang-warga-masyarakat-adat-dihukum-pengadilan . Selasa 25 Mei 2010. Diunduh tanggal 10 januari 2012.
2
Surat Ketemenggunggn Pelaik Keruap yang ditujukan kepada Ketua PN Sintang, perihal Surat Penolakan Proses Peradilan di PN Sintang tertanggal 28 Mei 2010 yang ditandatangani Ronti selaku Temenggung Pelaik Keruap; dan Surat Ketemenggunagn Pelaik keruap kepada Ketua Mahkamah Agung, perihal Nota Penjelasan tertanggal 28 Mei 2010 yang ditandatangani Ronti selaku Temenggung Pelaik Keruap.
3 J Kusni, “Kalimantan Tengah, Betang Kekinian”, Jurnal Toddoppuli, Cerita Untuk Andriani S. Kusni & AnakAnakku, Posted September 27, 2009 4
Pasal 167 KUHP dan Pasal 551 KUHP
5
http://agustinusmualang.blogspot.com/kamis 25 Agustus 2011.
ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA
ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA
ASASI EDISI JULI-AGUSTUS 2012
laporan utama
Monumentasi Budaya Versus “Gairah Syariah” di Purwakarta Oleh Sofian Munawar Asgart
M
(Direktur Eksekutif Demos, Jakarta)
emang banyak versi mengenai asal-usul istilah Purwakarta. Dalam istilah Sansekerta yang paling umum, Purwakarta seringkali dinisbatkan pada dua kata: purwa dan karta. Purwa artinya pertama atau utama, sedangkan karta artinya: aman, tenteram, dan tertib.1 Karenanya dengan mudah dapat ditebak bahwa para pendiri kota ini menyimpan harapan atas terbangunnya Purwakarta sebagai sebuah kota utama yang aman, tenteram, dan tertib. Namun belakangan, sesuatu yang ironis terjadi. September 2011, kota Purwakarta membara. Ribuan orang dari kalangan ormas Islam menghancurkan sejumlah patung di beberapa titik jalan utama kota Purwakarta. Aksi penghancuran dan pembakaran patung itu konon ditengarai sebagai bentuk protes keras warga terhadap kebijakan Bupati Purwakarta, Dedi Mulyadi, yang kian gencar membangun patung hampir di setiap sudut kota. Apa sebenarnya yang menjadi latar belakang dan pertimbangan Bupati Purwakarta membangun patung di kotanya? Mengapa timbul gejolak dalam masyarakat terkait upaya pembangunan patung yang dilakukan Bupati Purwakarta? Bagaimana respon bupati dan para pihak lainnya atas kasus tersebut? Uraian singkat berikut akan mencoba berfokus untuk menjawab pertanyaan itu.
Impian sebagai Kota Estetik Kehadiran tokoh-tokoh pewayangan seperti Arjuna, Bima, Gatot Kaca, Semar, dan lain-lain dalam suatu pertunjukan wayang seringkali menjadi hiburan tersendiri. Namun siapa sangka kehadiran tokoh-tokoh pewayangan yang jenaka itu juga dapat melahirkan prahara. Sejumlah media massa, Minggu (18/9/2011) melaporkan terjadinya amuk massa menghancurkan patung-patung tokoh pewayangan yang tak berdosa itu. Aksi tersebut ditengarai merupakan akumulasi kekesalan warga terhadap Bupati Dedi Mulyadi yang membandel dan terus membangun patung wayang, meskipun sejumlah pihak berkali-kali mengingatkannya untuk menghentikan proyek pembangunan patung-wayang itu. Agaknya, Dedi Mulyadi memang bergeming. Dia bahkan tak jera untuk membangun kembali patungpatung yang lebih bagus. Pendirian patung-patung ini merupakan salah satu langkahnya dalam membangun Kota Purwakarta dengan pendekatan estetik dan seni. Deni menambahkan bahwa anak-anak sekarang lebih paham tentang kartun ketimbang tokoh pewayangan yang merupakan kearifan lokal kita. Dengan demikian patung wayang itu bukan hanya pemanis saja, tetapi mempunyai makna kultural.2 Ini yang membedakan Purwakarta dengan daerah lain di Jawa Barat.
Dedi Mulyadi barangkali bukan saja memimpikan kota yang estetik, ia juga bahkan mencitrakan dirinya sebagai tokoh eksentrik saat ia menolak bantuan mesin traktor dan alat-alat pertanian modern dari pemerintah pusat. Politisi Partai Golkar ini menilai, traktor kurang cocok digunakan di Purwakarta karena tidak sesuai dengan kultur pertanian yang berbasis kearifan lokal. Karena itu, dia meminta kepada pemerintah pusat, supaya bantuan mesin traktor itu diganti saja dengan kerbau. Menurut Dedi, selain tak sesuai kultur petani Purwakarta, mesin traktor juga mengeluarkan limbah kimia. Sehingga jika diakumulasikan limbah itu justru akan mencemari tanah. Akibatnya, unsur hara dalam tanah akan menghilang. Sebaliknya, jika membajak sawah dengan menggunakan kerbau justru banyak manfaatnya. Petani, bisa berinteraksi dengan hewan peliharaannya. Hewan tersebut bisa pula mengeluarkan kotoran dan air kencingnya. Kotoran tersebut bisa menjadi pupuk organik bagi sawah. Kemudian, kerbau tersebut memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi dibanding traktor.3 Kembali ke soal estetika patung, politisi Partai Golkar ini mengatakan estetika kota itu bukan hanya soal bangunan saja, tapi harus diubah hingga pada tingkat kehidupan masyarakat. “Jadi semua dikembalikan lagi kepada jati diri masyarakat. Itu yang mendorong kita agar Kota Purwakarta menjadi estetik,” ungkapnya. Dedi menjelaskan, ke depan Purwakarta diproyeksikan sebagai kota estetik yang bukan hanya didorong melalui pembangunan patung, tapi juga berbagai hal lain yang menopangnya, termasuk sistem pertanian yang berbasiskan kearifan lokal. Untuk itu, menurutnya, dibutuhkan perjuangan dan kesadaran masyarakat dalam banyak hal, termasuk kesadaran dalam hal seni dan budaya yang akan menopang terciptanya Purwakarta sebagai kota yang estetik.4 Ketegangan Budaya dan Agama? Idealitas kota estetik yang dibayangkan dan dibanggakan Bupati Purwakarta ternyata tidak serta-merta mendapat respon balik yang positif dari masyarakat. Sejumlah kalangan justru mencibirnya sebagai khayalan semu belaka. Dedi Mulyadi bahkan mendapat respon keras dari kalangan ormas Islam yang menudingnya akan ‘menyulap’ Purwakarta menjadi kota berhala dengan banyak terbangun patung wayang di sejumlah titik kota Purwakarta. “Kota Purwakarta sebagai kota santri tak pantas dijejali berhala. Ajaran Islam dengan tegas menyebutkan bahwa berhala merupakan simbol kemusyrikan, karenanya harus dimusnahkan,” ujar salah seorang pendemo yang terlibat dalam aksi perusakan patung. Sementara pendemo lain mengutip ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA
ASASI EDISI JULI-AGUSTUS 2012
7
visi pembangunan Kabupaten Purwakarta: cerdas, sehat, produktif, dan berakhlakul karimah. “Gagasan bupati sangat ironis, bertentangan dengan visi yang telah disepakati dan ditetapkan,” tambahnya.5 Koordinator aksi, KH Abdullah AS Djoban tak ketinggalan menyampaikan komentar pedasnya dengan menyatakan kenapa Bupati Dedi beraniberaninya mengubah Kota Santri ini menjadi Kota Patung. Djoban mengatakan, masyarakat Purwakarta sudah resah dan gerah oleh sikap Bupati Dedi tersebut. Sepak terjang Dedi memang kerap kontroversial semenjak dia menjabat Wakil Bupati hingga menjadi Bupati sekarang. ”Dari mulai menyamakan Al Quran dengan seruling sampai sekarang membangun banyak patung yang kami anggap musyrik. Jangan jadikan Purwakarta ini sebagai Kota Berhala,” seru Djoban.6 Namun demikian, Dedi Mulyadi tentu tidak sendirian. Sejumlah kalangan justru mendukung langkah yang ditempuh Sang Bupati, Dedi Mulyadi. Pemerhati budaya, Hashim Djojohadikusumo, misalnya, jauhjauh dari Jakarta memberikan dukungan moral bagi Dedi Mulyadi. Hasyim bersama dengan budayawan Eka Budianta dari Badan Pelestarian Pusaka Indonesia (BPPI) memberikan dukungan menyusul berita perusakan sejumlah patung di kota Purwakarta. Dukungan terhadap Bupati Dedi datang dari Majelis Ulama Indonesia (MUI). Tokoh MUI, Amidhan, bahkan menyebutkan bahwa alasan syirik yang diduga melatari aksi perusakan sangat tidak tepat. Menurut Amidhan, hal itu merupakan sikap yang kebablasan. Apalagi kalau patung itu sudah menjadi cagar budaya. Karena itu dia menyayangkan kejadian ini. Menurut Amidhan, dalam Islam memang tidak diperbolehkan memiliki patung-patung, namun jika itu dibangun pemerintah dan sudah dijadikan cagar budaya maka perusakan tidak boleh dilakukan. Dalam Islam memang tak boleh memiliki patungpatung seperti itu, tapi kan negara kita negara Pancasila. “Tidak sepatutnya perusakan itu dilakukan, apalagi kalau itu sudah menjadi cagar budaya milik pemerintah,” katanya. Karena itu, lanjutnya, alasan syirik dalam perusakan patung-patung ini sangat tidak masuk akal.7 Hal senada juga disampaikan budayawan Acep Zamzam Noor. Acep menjelaskan, larangan tentang patung memang pernah ada pada zaman jahiliyah karena patung disembah. Tetapi seiring waktu berubah, patung kini menjadi karya seni dan tidak disembah lagi. Namun kisruh patung wayang di Purwakarta tidak semata-mata merupakan ketegangan budaya dan agama. Ada asumsi lain yang menduga bahwa ia juga implikasi dari politisasi dan intrik politik lokal semata, terutama mendekati Pemilukada di kota Purwakarta. Dalam setiap pilkada, agama seringkali dijadikan alat mobilisasi politik, dan di Purwakarta politisasi agama dipakai untuk pemilihan bupati pada periode mendatang.8 Selain itu, fenomena perusakan patung di Purwakarta bisa juga dijelaskan dengan bacaan lain. Terutama terkait kondisi sosial ekonomi masyarakat yang kian morat-marit dihimpit sejumlah kesulitan hidup. Angka pengangguran yang makin tinggi, pelayanan publik yang masih buruk, pemenuhan hakhak dasar seperti kesehatan, pendidikan, pekerjaan,
8
dan hak-hak dasar lainnya yang tak terpenuhi secara memadai sehingga memicu meluasnya kekesalan massa. Karenanya, penghancuran patung wayang dengan dalih syariah itu bisa jadi hanyalah simbolik frustasi publik. Memiliki visi dan misi sebagai kota yang berbasis religi tentu tidak salah, bahkan hal ini dapat menjadi kemuliaan. Pun demikian halnya memiliki niat menjadikan kota yang berkarakter senibudaya berbasiskan kearifan lokal dapat menjadi monumentasi yang berarti. Persoalannya kemudian bagaimana mengkomplementasikannya, dan menjaga implementasinya agar tidak bertubrukan satu sama lainnya, termasuk dan terutama tidak menegasikan hak-hak dasar warga yang lebih fundamental. Sehingga karenanya tidak perlu ada korban siapa pun atau apapun yang dikorbankan, walau hanya sebongkah patung wayang yang tak bernyawa.
Keterangan 1
Hardjasaputra, A. Sobana. Sejarah Purwakarta. Purwakarta: Dinas Pariwisata Kabupaten Purwakarta, 2004.
2
Simak antra lain http://berita.liputan6.com/read/423504/ bupati-purwakarta-ingin-jadi-kota-estetik dan juga harian Pikiran Rakyat, Bandung 18 September 2011.
3
INILAH.COM, 10 Mei 2012.
4
Mulyadi, Dedi, “Tata Kota Membangun Jiwa-Raga” dalam http://www.purwakartakab.go.id/beranda/wacana/167tata-kota-membangun-jiwa-raga.html. Semangat ini juga sejalan dengan salah satu visi Kabupaten Purwakarta yang kemudian menjadi slogan: “Purwakarta Berkarakter”.
5
Simak: Pos Kota, 18 September 2011, Koran Tempo, 18 dan 19 September 2011.
6
Pos Kota, 14 Juli 2011.
7
Simak:http://news.okezone.com/ read/2011/09/19/337/504088/mui-kecam-aksi-perusakan ... dan Tempo.Co 18 September 2011.
8
INILAH.COM, 28 September Bandung, 29 September 2011.
2011.
Pikiran
ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA
ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA
ASASI EDISI JULI-AGUSTUS 2012
Rakyat,
laporan utama Perlawanan Masyarakat Pegunungan Kendeng Utara Oleh Erwin Dwi Kristianto
(Mahasiswa Pascasarjana PMLP Universitas Katolik Soegijapranata)
K
abupaten Pati, Jawa Tengah, memiliki kekayaan alam yang unik, yaitu bentang alam kars di Pegunungan Kendeng Utara. Pegunungan ini meliputi wilayah Kabupaten Pati, Kudus, Grobogan, Blora, Rembang hingga Tuban di Jawa Timur. Kars adalah bahan baku utama pembuatan semen. Data Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendheng (JMPPK) menunjukkan bahwa ekosistem kars kawasan Pegunungan Kendeng Utara memiliki sungai bawah tanah. Ia mampu mensuplai kebutuhan air rumah tangga dan lahan pertanian seluas 15.873,9 ha di Kecamatan Sukolilo dan 9.063,232 ha di Kecamatan Kayen, Kabupaten Pati. Kekayaan alam lainnya di atas tanah Pati adalah sumberdaya hutan. Di lokasi yang akan dijadikan pabrik semen, terdapat sekitar 2.756 hektar lahan Perhutani yang saat ini dikelola oleh kelompok LMDH (Lembaga Masyarakat Desa Hutan). 5.512 orang menggantungkan hidup pada sumberdaya hutan. Di sisi lain, kekayaan alam berupa bentang alam kars menjadi incaran perusahan semen. Pada titik inilah ketegangan muncul. Masyarakat mengandalkan ketergantungan hidupnya pada sumberdaya alam, sementara perusahaan berkepentingan melakukan eksploitasi untuk kepentingan komersial. Dengan benturan kepentingan terkait pemanfaatan sumberdaya alam, kita menjadi paham bahwa tantangan terhadap pemanfaatan sumberdaya alam selalu berputar pada apakah ia dapat dinikmati oleh masyarakat dibandingkan hanya oleh seorang atau sekelompok orang saja.1
Masyarakat lokal pun melakukan penolakan. Berbagai macam metode penolakan dilakukan oleh masyarakat yang dimotori oleh JMPPK, yang didalamnya termasuk komunitas Sedulur Sikep. Komunitas ini secara turun-temurun menghuni kawasan pegunungan di ujung selatan Kabupaten Pati tersebut. Akhirnya, PT. Semen Gresik Tbk. gagal melakukan eksploitasi. Kegagalan juga diwarnai dengan pembatalan dokumen perijinan yang dikeluarkan Kantor Pelayanan dan Perijinan Terpadu (Kayandu) Kabupaten Pati oleh Mahkamah Agung (MA) pada tahun 2010.
Ketegangan yang tak Kunjung Berhenti Di Pegunungan Kendeng Utara, ketegangan antara masyarakat dan perusahaan semen sudah berlangsung sejak tahun 2006. Saat itu PT. Semen Gresik Tbk. berusaha mengeksploitasi bentang alam kars di Pegunungan Kendeng Utara, tepatnya di wilayah Kecamatan Sukolilo dan Kayen. Guna memuluskan langkahnya, perusahaan ini dituding telah melakukan praktik intimidasi terhadap masyarakat, melakukan kampanye hitam terhadap tokoh-tokoh kunci hingga kriminalisasi sembilan orang petani.
Demo penolakan eksploitasi PT. Semen Gresik Tbk. (sumber: rellybejanakata.wordpress.com)
Meskipun berhasil melakukan penolakan eksploitasi terhadap PT. Semen Gresik, namun masyarakat setempat tidak punya waktu lama untuk bernafas lega. Pada akhir 2010, giliran PT. Sahabat Mulia Sakti (PT. SMS) yang berusaha mengeksploitasi bentang alam kars di Pegunungan Kendeng Utara. Kali ini rencana lokasi anak perusahaan PT. Indocement Tunggal Prakarsa itu berada di wilayah Kecamatan Kayen dan Tambakromo. Ia tidak jauh dari rencana eksploitasi oleh PT. Semen Gresik, TBk. ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA
ASASI EDISI JULI-AGUSTUS 2012
9
PT. SMS melakukan berbagai provokasi dan adu domba untuk memuluskan rencananya sehingga menyebabkan konflik-konflik horisontal. Tensi pro-kontra di masyarakat meningkat. Mereka yang setuju diwakili para preman, perangkat desa dan orang-orang bayaran. Sementara yang tidak setuju mayoritas adalah petani yang memang mengandalkan pengairan irigasinya dari aliran air di bawah pegunungan tersebut. Pada 20 April 2011 tatkala masyarakat hendak melakukan demonstrasi di Kantor Pemda dan DPRD Pati, mereka dihadang preman bayaran di depan Polsek Kayen, jalan raya Pati – Purwodadi, Km 26. Sempat terjadi baku pukul antara preman dan warga yang melakukan aksi. Premanisme berulang pada 1 Januari 2012 saat
Demo penolakan eksploitasi PT. Semen Gresik Tbk. (sumber: radioledeng.blogspot.com)
peserta aksi pawai lingkungan dipukuli. Peristiwa ini terjadi di wilayah Desa Keben, Kecamatan Tambakromo. Ia terjadi karena provokasi dan adu domba kepala desa dan preman-preman bayaran PT. SMS. Bentuk pembungkaman terhadap perlawanan masyarakat, selain dengan metode provokasi dan adu domba, juga dilakukan dalam bentuk kriminalisasi. Seorang perempuan bernama Jemi, warga Desa Brati Kecamatan Kayen, yang menolak keras rencana pembangunan pabrik semen, dilaporkan ke polisi karena pencemaran nama baik. Jemi dianggap menghina tetangganya yang mendukung rencana pembangunan pabrik semen. Kasus Jemi ini bergulir ke pengadilan dan dia telah dihukum bersalah oleh hakim. Pada saat tensi pro-kontra di masyarakat sedang meningkat, PT. SMS melengkapi kelengkapan dokumen perijinan lingkungan. Tanggal 30 Januari 2012, Komisi Penilai Amdal Kabupaten Pati
10
menyelenggarakan sidang komisi pertama kali dengan agenda membahas Kerangka Acuan Analisa Dampak Lingkungan (KA-ANDAL) Rencana Pembangunan Pabrik Semen dan Pertambangan PT. SMS. Sidang ini dijaga oleh ratusan polisi dan juga ratusan Barisan Serbaguna (Banser) NU. Nampak juga banyak orang yang diindentifikasi sebagai preman bayaran perusahaan. Ribuan masyarakat yang menolak rencana pembangunan pabrik semen berencana menghadiri sidang komisi. Mereka menumpang 56 truk menuju Hotel Pati, tempat digelarnya sidang. Namun di tengah perjalanan, tiba-tiba mereka dihadang oleh ratusan preman bayaran di depan Polsek Kayen. Sebagian besar preman ini menggunakan seragam berwarna putih-biru bertuliskan “Pro Investasi”. Adu fisik tidak bisa dihindari. Polisi tidak berkutik dan cenderung membiarkan. Meski demikian, puluhan truk tersebut tiba juga di lokasi sidang. Mereka pun menggelar orasi tolak pabrik semen. Memasuki pertengahan bulan Februari 2012 tensi pro-kontra tetap tinggi. Masyarakat penolak pabrik semen mendatangi kepala desa di enam desa yang pro pembangunan pabrik. Sikap kepala desa yang bertentangan dengan keinginan warganya membuat masyarakat geram. Para kepala desa itu dipaksa menandatangani pernyataan resmi untuk menolak rencana pendirian pabrik semen. Peristiwa itu terjadi di Desa Brati Kecamatan Kayen, Desa Keben, Larangan, Maitan, Karangawen dan Wukirsari Kecamatan Tambakromo. Pelanggaran Hukum PT. SMS Hasil penelitian Pusat Studi Manajemen Bencana UPN ”Veteran” Yogyakarta dan Acintyacunyata Speleological Club (ASC) Yogyakarta menunjukkan bahwa lokasi Pegunungan Kendeng Utara memiliki ciri-ciri batu kapur (Karst) kelas satu. Jika mengacu pada Surat Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia Nomor 1456 K/20/MEM/2000 tentang Pedoman Pengelolaan Kawasan Kars, maka perlindungan terhadap kawasan kars harus menjadi perhatian utama dalam menentukan keberlanjutan ekologi di dalamnya (Pasal 12).2 Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral sendiri telah menetapkan wilayah kecamatan Sukolilo dan Tambakromo—lokasi rencana eksploitasi PT. SMS—dan beberapa kecamatan lainnya sebagai Kawasan Kars Sukolilo. Keputusan Menteri tersebut tertuang dalam SK No. 0398 K/40/MEM/2005 tentang Penetapan Kawasan Kars Sukolilo. SK menyatakan bahwa Kawasan Kars Sukolilo meliputi Kawasan Perbukitan Batu Gamping yang terletak di Kecamatan Sukolilo, Kecamatan Kayen, Kecamatan Tambakromo, di Kabupaten Pati dan Kecamatan Brati, Kecamatan Grobogan, ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA
ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA
ASASI EDISI JULI-AGUSTUS 2012
laporan utama Kecamatan Tawangharjo, Kecamatan Wirosari, Kecamatan Ngaringan Kabupaten Grobogan dan Kecamatan Todanan di Kabupaten Blora. Berdasarkan dokumen Status Lingkungan Hidup Daerah (SLHD) Kabupaten Pati 2010, luas total Kawasan Kars Sukolilo yang meliputi Kabupaten Pati, Kabupaten Grobogan dan Kabupaten Blora adalah 19.590 Ha. Luas ini terdiri luas kawasan lindung 3.210 Ha dan luas kawasan budidaya 16.380 Ha. Kawasan Kars Lindung Sukolilo yang berada di wilayah Kabupaten Pati seluas 2.262,55 Ha yang menyebar di tiga kecamatan; yakni di wilayah Kecamatan Sukolilo 1.682 Ha, Kecamatan Kayen 569,50 Ha dan Kecamatan Tambakromo 11,05 Ha. Sementara luas Kawasan Budidaya Kars Sukolilo yang masuk Kabupaten Pati adalah 9.101 Ha dengan rincian di wilayah Kecamatan Sukolilo 6.250 Ha, Kecamatan Kayen 1.524 Ha, Kecamatan Tambakromo 1.327 Ha.3 Pada tahun 2011, JMPPK berhasil mengakses beberapa dokumen perijinan yang sudah dimiliki oleh PT. SMS. Pertama ijin pinjam pakai hutan dari Kementerian Kehutanan yang sudah habis masa perijinannya pada tanggal 25 Mei 2011, kedua ijin usaha pertambangan (IUP) eksplorasi mineral bukan logam (tanah liat) yang dikeluarkan oleh Dinas Enegi dan Sumberdaya Mineral Jawa Tengah atas Keputusan Gubernur Jawa Tengah No: 603/07/C/2010 yang dikeluarkan pada tanggal 25 Mei 2010 untuk jangka waktu satu tahun sejak surat tersebut diterbitkan, ketiga ijin usaha pertambangan eksplorasi (IUP) tanah liat dan batu kapur yang dikeluarkan oleh Kantor Pelayanan dan Perijinan Terpadu (KPPT) Kabupaten Pati yang keduanya terbitkan secara serentak tertanggal 8 Agustus 2011; kedua ijin ini berlaku untuk dua tahun semenjak surat ijinnya diterbitkan, dan keempat ijin lokasi pabrik semen PT. Sahabat Mulia Sakti dari Kantor Pelayanan Perijinan Terpadu Kabupaten (KPPT) Kabupaten Pati, Nomor 591/02/2011 tertanggal 18 Mei 2011. Perijinan-perijinan tersebut jelas melanggar ketentuan hukum karena sampai saat ini PT. SMS belum memiliki dokumen AMDAL, sehingga belum memiliki ijin lingkungan sebagai prasyarat melakukan usaha atau kegiatan. Menurut UU No 32 Thn 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkunan Hidup, yang dimaksud Izin Lingkungan adalah “izin yang diberikan kepada setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan yang wajib Analisis mengenai dampak lingkungan hidup (AMDAL) dalam rangka perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebagai prasyarat untuk memperoleh izin usaha dan/atau kegiatan” Sedangkan, AMDAL adalah kajian mengenai dampak penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan
tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan.” PT. SMS dan Pemerintah tidak belajar dari keputusan Majelis Hakim Mahkamah Agung pada perkara Nomor 103 K/TUN/2010 di Kasus Semen Gresik. Dalam kasus ini Majelis Hakim Agung membatalkan izin usaha pertambangan yang dikeluarkan Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu Kabupaten Pati karena belum melalui prosedur AMDAL. Putusan ini telah memiliki kekuatan hukum tetap dan menjadi yurisprudensi. Secara ideal, Pemerintah tidak boleh menjadi pihak yang berkonflik atau mendukung pihak swasta ketika berhadapan dengan rakyat. Sebab sebagai pihak yang dipercayai rakyat, Pemerintah harus mempunyai komitmen untuk menciptakan keadilan yang mampu mengidentifikasi tujuan kebijakan publik yang disusunnya dan memilih instrument-instrumen yang dapat membantu pencapaian tujuan tersebut.4 Dalam konteks lingkungan, peranan pemerintah lewat berbagai regulasi sangat dibutuhkan untuk mendistribusikan resiko dan keuntungan secara adil dalam masyarakat.5 Dalam kasus rencana pembangunan pabrik semen di Pegunugan Kendeng Utara, Pemerintah telah berselingkuh dengan PT SMS. Pemerintah telah mengabaikan kepentingan masyarakat setempat.
Keterangan 1 Amartya Sen, 2000, Development as Freedom, New York: Random House Inc. 2000, hal. 269 2
Lihat: lampiran laporan, ET Paripurno dkk, Kajian Kawasan Karst Sukolilo- Pati, Jawa Tengah oleh Pusat Study Manajemen Bencana UPN ”Veteran” Yogyakarta dan Acintyacunyata Speleological Club (ASC) Yogyakarta.
3 BLH Kabupaten Pati, Dokumen SLHD Kabupaten Pati Tahun 2010 4
Op. Cit, 270
5 Dobson, Andrew, 1998, Justice and The Environment: Conception of Environmental Sustainability and Dimensions of Social Justice, United Kingdom: Oxford University Press, 1998, hal 12 -16
ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA
ASASI EDISI JULI-AGUSTUS 2012
11
laporan utama Walikota Risma dan Kebijakan Pengupahan Surabaya Oleh Domin Dhamayanti
(Koordinator Forum Pendamping Buruh Nasional)
P
ada awalnya, sosok Risma Tri Harini tidak begitu dikenal masyarakat Surabaya. Orang baru mengenalnya setelah tahu siapa arsitek di balik tata ruang Surabaya yang mulai banyak ditemukan taman kotanya. Sebelum menjadi walikota Surabaya, Risma adalah Kepala Dinas Pertamanan Kota Surabaya. Ia menjadi walikota diusung oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dengan Bambang D.H. sebagai wakilnya. Di awal pemerintahannya, Risma sempat membuat gerah partai lawan dan PDIP sendiri yang mengusungnya. Mosi tidak percaya dan upaya menurunkannya dari jabatan walikota pernah dilakukan oleh DPRD Kota Surabaya dan PDIP. Ketua DPRD Surabaya berasal dari Demokrat. Konflik dipicu oleh kebijakan Risma yang mengeluarkan Peraturan Walikota No. 56 tahun 2010 tentang Kenaikan Pajak Reklame. Kebijakan tersebut didasari pada upayanya menata kota Surabaya agar tidak semrawut dengan reklame. Konfliknya di PDIP dipicu oleh pernyataannya yang mengatakan bahwa dirinya menjadi walikota karena dipilih rakyat langsung, bukan karena PDIP. Tindakan dan pernyataannya inilah yang sempat membuat PDIP dan partai lain, khususnya Partai Demokrat, seperti kebakaran jenggot. Aksi massa ribuan simpatisan dan kader PDIP di bulan Januari 2011 sempat memintanya turun. Namun akhirnya konflik dapat diakhiri dengan kompromi di internal PDIP dan ketua DPRD Surabaya untuk menata Surabaya. Tentu saja sosok pemimpin seperti Tri Risma Harini adalah salah satu karakter pemimpin yang langka di Indonesia saat ini. Dia berani membuat gebrakan yang peduli pada rakyat miskin/kecil meskipun berseberangan pendapat dengan kepentingan pemodal bahkan partai pengusungnya. Keberanian tersebut didasari karena obsesi politis dan kekuasaan yang biasanya kental ada di kader partai yang duduk di pemerintahan atau legislatif tidak ada padanya. Warga Surabaya yang pernah berjumpa dan berdialog dengannya melihat bahwa ia adalah sosok Walikota yang “tidak neko-neko” (tidak aneh-aneh), baik dari penampilan, pemikiran dan gaya berbicara yang apa adanya. Dia jarang
12
sekali dikelilingi petugas keamanan saat berdialog dengan warga. Hal itu yang membuat warga merasa simpatik dan dekat dengan pemimpinnya. Berbagai macam kebijakan populis telah dia keluarkan, antara lain jaminan pengobatan gratis bagi warga miskin meskipun masih harus dengan rekomendasi RT/RW, tidak adanya penggusuran selama menjabat, penutupan SPBU yang menempati area untuk taman kota. Satu kebijakan populis lainnya yang mendapat apresiasi dari kalangan buruh adalah mengusulkan upah 100% hasil survey kebutuhan hidup layak (KHL) usulan Dewan Pengupahan Kota (DPK). Tulisan ini akan menceritakan proses penentuan UMK Surabaya 2012 yang disahkan 100% hasil survey KHL yang transparan, upaya perjuangan di tingkat Dewan Pengupahan Kota Surabaya dan peran Walikota Surabaya sebagai aktor penting penentu di tingkat pemerintahan. Penentu Kebijakan Upah Minimum Kota Surabaya 2012 Di penghujung tahun 2011 yang berlanjut sampai dengan Maret 2012, aksi buruh menuntut upah layak marak di beberapa kota di Indonesia. Di Jakarta, Semarang, Bandung, dan Batam, ribuan buruh turun ke jalan berkali-kali. Di sisi lain, Surabaya yang sering dijadikan barometer gerakan buruh, terlihat tenang paska putusan UMK 2012. Konsolidasi aksi lima puluhan ribu massa buruh lintas serikat di tahun 2006, sebagai penanda bangkitnya lagi konsolidasi gerakan buruh seolah “minggir” sejenak saat kota-kota lain sedang riuh akan demonstrasi buruh. Apakah gerakan buruh di Surabaya mengalami kelesuan? Tidak. Kejutan menarik terjadi ketika Gubernur Jawa Timur menetapkan besaran Upah Minimum Kota (UMK) Surabaya tahun 2012 berdasar 100% hasil survey KHL atas usulan Walikota Surabaya, Tri Risma Harini. Penetapan ini merupakan pengalaman pertama kali sejak disahkannya Permenaker No. 17 tahun 2005. Walikota Risma mengajukan usul UMK berdasar masukan dari DPK Surabaya. Dewan Pengupahan Kota (DPK) adalah penentu pertama yang berperan dalam proses survey pasar, penghitungan dan penentuan besaran UMK. ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA
ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA
ASASI EDISI JULI-AGUSTUS 2012
laporan utama Komposisi anggota DPK terdiri dari unsur buruh, pengusaha dan pemerintah, dengan perbandingan 1:1:2. Peluang mengontrol kebijakan terjadi ketika satu orang perwakilan unsur buruh dari Serikat Buruh Kerakyatan (SBK) Surabaya masuk dalam Dewan Pengupahan. Selain itu, perwakilan dari Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) mengalami pergantian, dari elit tua diganti orang-orang yang lebih muda dan dikontrol langsung oleh beberapa basis buruh (anggota di tingkat perusahaan) saat rapat Dewan Pengupahan. Walikota Risma berperan mengusulkan angka UMK yang diperoleh dari DPK tersebut ke Gubernur untuk memperoleh penetapan. Walikota sebenarnya memiliki kewenangan untuk mengusulkan angka UMK disesuaikan kondisi wilayahnya. Pertarungan mempertahankan kepentingan di unsur pemodal, buruh dan pemerintah terjadi di kedua level tersebut. Meskipun Gubernur adalah pengetok palu akhir UMK se-provinsi, namun ia selalu harus meminta pertimbangan dan usulan dari Walikota. Walikota Risma berani mengusulkan pertama kali ke Gubernur angka UMK Surabaya sebesar Rp. 1.257.000,00, meskipun unsur pengusaha/APINDO menolaknya di Dewan Pengupahan. Keberanian tersebut perlu diapresiasi mengingat Surabaya selalu dijadikan barometer dalam penentuan UMK di wilayah ring I Jawa Timur (Surabaya, Sidoarjo, Gresik, Mojokerto, Kota dan Kabupaten Pasuruan, Kota Malang dan Kabupaten Malang). Kota-kota di area ring I biasanya saling menunggu dalam mengusulkan UMK ke Gubernur. Kebiasaan memprihatinkan yang mencerminkan tidak transparan dan apa adanya proses survey dan penghitungan UMK di area ring I. Proses di Dewan Pengupahan Kota Surabaya Barangkali langkah Walikota Risma untuk menggunakan usulan dari unsur buruh di DPK baru pertama kali terjadi. Upah buruh sebagaimana sering diusulkan oleh DPK masih jauh dari layak. Permenaker tahun 2005 mensyaratkan agar usulan UMK didasarkan pada survei kebutuhan hidup layak. Nah, survei oleh DPK seringkali tertutup dan manipulatif sampai dengan tahun 2009. Angka yang diusulkan rata-rata hanya 90% dari besaran hasil survei pasar. Aroma suap unsur buruh oleh unsur berpengaruh di DPK tercium kuat walaupun masih sulit untuk membuktikannya secara legal. Bahkan, di tahun 2006, suap kepada aktivis buruh oleh unsur lain pernah terjadi. Aktivitis buruh diajak dalam kegiatan ramah-tamah di sebuah rumah makan yang diikuti dengan pemberian uang transport sebesar Rp. 2 juta. Dugaan suap ini kemudian dilaporkan
oleh Gerakan Buruh Anti Korupsi (GEBRAK) yang memperoleh dukungan dari ICW ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). GEBRAK diinisiasi oleh sembilan orang aktivis serikat buruh dari Surabaya, Sidoarjo dan Malang yang secara sengaja hadir dan menerima uang, sebagai cara membuktikan bahwa selama ini praktek bagi-bagi uang untuk membungkam tuntutan upah layak memang terjadi. Ketika Serikat Buruh Kerakyatan (SBK) masuk dalam keanggotaan DPK, upaya manipulasi survei dan penghitungan upah mulai berkurang. Wakil dari SBK selalu menginformasikan dan memastikan proses dan hasil survey ke media massa, setidaknya di pasar di mana dia terlibat. Wakil dari SBK di Dewan Pengupahan sering memperoleh tekanan dan intimidasi atas tindakannya mengekspos proses dan hasil survei ke publik, termasuk ancaman kekerasan. Menurut anggota DPK dari unsur lain, tindakan wakil SBK tersebut menyalahi kesepakatan DPK Surabaya yang melarang mempublikasikan hasil survei sebelum tiba waktunya.
Risma Tri Harini Walikota Surabaya Periode 2010-2015 (sumber: lensaindonesia.com)
Periode 2009-2011, unsur buruh dari SBK belum mampu mempertahankan hasil survei pasar yang diperoleh. Usulan DPK ke Walikota selalu di bawah hasil survey dan diusulkan dengan menggunakan mekanisme tanda tangan persetujuan seluruh anggota dewan. Selama dua tahun SBK tidak menandatangani usulan UMK karena tidak sesuai dengan hasil survey pasar. ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA
ASASI EDISI JULI-AGUSTUS 2012
13
Upaya-upaya memastikan kualitas komponen KHL yang disurvey adalah menengah (kualitas sedang) terus dilakukan, hingga survey pasar DPK tahun 2011 yang dilakukan di tiga pasar besar yang disepakati di Surabaya, yaitu Pasar Balongsari, Pasar Soponyono dan Pasar Wonokromo menghasilkan kenaikan upah sebesar 12,7% dibanding tahun sebelumnya Rp. 1.115.000,00. Kenaikan di atas rata-rata tahun sebelumnya yang berkisar 5-6% membuat gerah APINDO. Sebelum diusulkan ke Walikota, APINDO meminta agar komponen minyak tanah diganti dengan gas elpiji 3 kg seperti provinsi lain yang telah melaksanakan kebijakan tersebut. Usulan ini merujuk pada Surat Edaran Dirjen PHIJSK (Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja) No. B 149 /PHIJSK/III/2010 yang mengkonversi minyak tanah ke gas dalam komponen KHL. Tentu saja, usulan ini ditolak unsur buruh karena akan membuat upah buruh terjun bebas. Selain itu, secara hukum kebijakan konversi minyak ke gas tidak memiliki dasar hukum dan bertentangan dengan Permenaker No. 17/2005. Mekanisme voting kemudian diambil untuk menyelesaikan konflik berkepanjangan tersebut. Hasilnya lebih dari 50% anggota DPK yang berjumlah 43 orang menolak kebijakan konversi minyak tanah ke gas. Tingginya dukungan penolakan juga dipengaruhi oleh masuknya dua perwakilan muda dari unsur buruh yang menggantikan anggota lama dari serikat buruh plat kuning. Perwakilan anggota SPSI sektor Logam, Mesin dan Elektronik (Lomenik) ingin memastikan bahwa wakil baru yang ditunjuk dapat lebih jujur memperjuangkan upah layak untuk buruh. Anggota DPK dari SBK menceritakan bahwa tawaran uang Rp. 25 juta lebih, sempat beredar ke anggota DPK unsur buruh. Namun, kontrol anggota dari serikat yang mulai menguat membuat perwakilan unsur buruh tidak berani bermain api. Dengan harap-harap cemas, buruh terus berupaya mengawal usulan 100% hasil survey KHL agar diterima dan diusulkan Walikota Tri Risma Harini ke Gubernur untuk memperoleh penetapan. Aksi massa untuk memastikan Walikota Surabaya menetapkan upah 100% survey KHL terus dilakukan sampai dengan Gubernur mengeluarkan penetapan.
DPK. Apakah proses di DPK fair atau tidak ia tidak mau tahu. Itu adalah salah satu sikapnya yang dikenal publik, yaitu simple dan tidak mau ribet selama menjabat Walikota. Saat APINDO menolak usulan UMK dari DPK, dengan alasan akan mempengaruhi produktivitas dan kemampuan industri Surabaya berkompetisi dengan industri di luar Surabaya, publik dalam hal ini buruh ingin membuktikan pernyataan Walikota Risma. Dan itu dia buktikan dan pertahankan sampai ditetapkan oleh Gubernur Jawa Timur. Risma menyatakan dengan tegas apabila ada perusahaan yang tidak mampu membayar upah buruhnya sesuai peraturan, dapat mengajukan penangguhan pembayaran sesuai prosedur hukum yang berlaku. Hasilnya tanggal 21 November 2011 Gubernur mengeluarkan SK No. 81 Tahun 2011 tentang UMK Provinsi Jawa Timur. Dan UMK Surabaya tahun 2012 ditetapkan sebesar Rp. 1.257.000,00. Tentu saja, penetapan UMK Surabaya tahun 2012 sebesar Rp. 1.257.000,00, yang menjadi perdebatan seru di tingkat DPK direspon positif oleh buruh. Disambut positif di sini bukan berarti buruh menerima dengan legowo upah yang diterima. Karena, upah Rp. 1.257.000,00 masih jauh dari kecukupan hidup layak buruh lajang, apalagi yang berkeluarga di Surabaya. Buruh harus puas untuk sementara, karena angka tersebut adalah jumlah riel yang diterima berdasarkan penghitungan hasil survey 46 item/ komponen hidup layak sesuai Permenaker No. 17/2005. Survey independen Serikat Buruh Kerakyatan (SBK) Surabaya dengan menggunakan 116 komponen upah layak menghasilkan angka Rp. 2.200.000 untuk buruh lajang. Tantangan gerakan buruh ke depan adalah membangun sinergi dan persatuan untuk menambah dan meningkatkan kualitas komponen KHL dalam peraturan ketenagakerjaan. Dan untuk memastikan upaya tersebut terealisasi, maka membangun sekutu dengan pejabat publik yang proburuh dan isu populis lainnya harus mulai dibangun, untuk mengimbangi laju ekspansi bisnis.*****
Kebijakan Walikota Surabaya Maka faktor penentu kemudian adalah di Walikota. Sosok Tri Risma Harini yang banyak dinilai masyarakat Surabaya dan luar Surabaya prorakyat diuji di tahun ketiga pemerintahannya. Ia pernah menyampaikan bahwa besaran UMK yang diusulkan ke Gubernur adalah berdasarkan usulan
14
ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA
ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA
ASASI EDISI JULI-AGUSTUS 2012
nasional Ramai-Ramai Mempersoalkan Kawasan Hutan Oleh Yance Arizona
(Manajer Program Hukum dan Masyarakat Epistema Institute)
J
antung persoalan kehutanan Indonesia adalah keadilan dan kepastian hukum berkaitan dengan penguasaan kawasan hutan sebab cakupannya yang luas, ilegalitas yang tinggi dan tafsir terhadapnya yang lentur. Kawasan hutan juga menjadi basis utama bagi berlakunya kewenangan Kementerian Kehutanan yang mencapai ±120 juta Ha atau setara dengan lebih dari 61% wilayah daratan Indonesia (Moniaga, 2006) atau menurut data terbaru seluas 135,5 juta Ha setara dengan 68,57 % wilayah daratan Indonesia (Mulyono, 2012). Klaim atas kawasan hutan sangat luas tersebut juga menjadikannya sebagai “bank tanah” bagi usahausaha eksploitasi sumber daya alam seperti untuk perkebunan, pertambangan maupun konsesi kayukayuan yang menjadi perebutan pemerintah pusat dan daerah. Pada kawasan hutan tersebut, konflik dengan masyarakat banyak terjadi. Terdapat 33.000 desa dalam kawasan tersebut yang statusnya rentan kriminalisasi. Tidak jarang persoalan kawasan hutan telah memenjarakan manusia (HuMa, 2007). Pada situasi ini, masyarakat bertarung dengan berbagai insititusi untuk memperoleh ruang kehidupan atas kawasan hutan. Persoalan kawasan hutan itulah yang kemudian membuat banyak pihak datang ke Mahkamah Konstitusi untuk ‘menggugat’ institusi kawasan hutan. Mulai dari para bupati, pengusaha hingga masyarakat adat. Paling tidak sudah ada tiga perkara yang berkaitan dengan pengujian konstitusionalitas kawasan hutan dalam UU Kehutanan. Pertama adalah Perkara No. 45/PUU-IX/2011 yang diajukan oleh lima bupati dari Kalimantan Tengah dan satu pengusaha. Kedua, Perkara No. 34/PUU-IX/2011 yang diajukan oleh seorang pengusaha perkebunan dari Jambi, dan ketiga Perkara No. 35/PUU-X/2012 yang diajukan oleh masyarakat adat. Para bupati dan kawasan hutan Para bupati yang wilayahnya ditunjuk oleh Pemerintah untuk dijadikan sebagai kawasan hutan punya persoalan yang pelik sebab mereka tidak boleh mengeluarkan izin–izin usaha perkebunan, pertambangan, perumahan, dan permukiman, maupun sarana dan prasarana lainnya atas kawasan tersebut. Hal itulah yang kemudian membuat 5 orang bupati dari Kalimantan Tengah, antara lain yaitu (1) Muhammad Mawardi (Bupati Kapuas); (2) Duwel Rawing (Bupati Katingan); (3) H. Zain Alkim (Bupati Barito Timur); (4) H. Ahmad Dirman (Bupati
Sukamara); (5) Hambit Bintih (Bupati Gunung Mas); dan seorang pengusaha bernama Akhmad Taufik mengajukan pengujian terhadap Pasal 1 angka 3 UU Kehutanan. Perkara yang diregistrasi dengan No. 45/PUUIX/2011 itu menguji konstitusionalitas definisi kawasan hutan dalam Pasal 1 angka 3 UU Kehutanan yang menyebutkan bahwa “Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh Pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap.” Pemohon menghendaki agar frasa “ditunjuk dan atau” pada ketentuan tersebut dihapus dan dinyatakan inkonstitusional sehingga Pasal 1 angka 3 UU Kehutanan berubah menjadi: Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditetapkan oleh Pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. Tersirat bahwa para pemohon hendak melegalkan izin-izin usaha pertambangan yang telah mereka keluarkan di atas tanah yang telah ditunjuk untuk menjadi kawasan.1 Karena kebanyakan izin-izin usaha perkebunan yang dikeluarkan oleh para bupati tersebut berada di atas tanah yang baru ditunjuk untuk dijadikan sebagai kawasan hutan, tetapi belum dikukuhkan atau ditetapkan keberadaannya sebagai hutan tetap. Oleh karena itu, pengujian konstitusionalitas kawasan hutan oleh 5 orang bupati dan satu pengusaha dari Kalimantan Tengah merupakan arena perebutan kuasa, sebab para bupati tersebut kadung banyak memberikan konsesi-konsesi untuk perkebunan di atas tanah-tanah yang sudah diklaim menjadi kawasan hutan oleh Kementerian Kehutanan. Sehingga, perkara ini merupakan pertarungan dua gajah besar (the battle of two big elephants). Di antara dua gajah besar tersebut, ada masyarakat kecil yang terjepit karena selama ini dijadikan ‘penonton’ dari parade eksploitasi sumber daya alam. Setelah tujuh bulan sejak permohonan tersebut didaftarkan kepada MK dan setelah mendengarkan saksi dan para ahli persidangan, akhirnya pada 21 Februari 2012 MK membacakan putusannya. MK mengabulkan permohonan pemohon, tetapi tidak menjawab persoalan yang sebenarnya. MK hanya menerapkan cara penafsiran hukum yang sederhana sehingga gagal menyelesaikan persoalan kawasan hutan yang sebenarnya adalah kompleks. Karena kedangkalan penggunaan metode penafsiran hukum itulah, putusan ini penulis kategorikan bukan sebagai putusan yang progresif.2 ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA
ASASI EDISI JULI-AGUSTUS 2012
15
MK membatasi diri untuk tidak masuk dalam konteks persoalan kehutanan yang lebih luas (restrictive). Pembatasan tersebut terlihat dalam cara penggunaan tafsir hukum dalam pertimbangan hukumnya. Pada intinya ada tiga hal pokok dari pertimbangan MK dalam putusan tersebut, yaitu: (1) Penunjukan kawasan hutan pada masa lalu yang tidak melibatkan masyarakat adalah wujud pelaksanaan pemerintahan otoriter; (2) Tanah-tanah hak milik dan hak ulayat yang ada di atas kawasan hutan dikeluarkan keberadaannya dari kawasan hutan; dan (3) Keberadaan frasa “ditunjuk dan atau” dalam Pasal 1 angka 3 UU Kehutanan bertentangan dengan jaminan kepastian hukum yang adil sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. MK menyatakan bahwa Pasal 1 angka 3 UU Kehutanan yang mempersamakan antara penunjukan dan penetapan kawasan hutan bertentangan dengan Pasal 15 UU Kehutanan.3 Oleh karena Pasal 1 angka 3 bertentangan dengan Pasal 15, maka keberadaan Pasal 1 angka 3 menyebabkan terjadinya ketidakpastian hukum yang dijamin oleh Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Hal ini merupakan salah satu bentuk penggunaan metode tafsir sistematis (systematical interpretation) yang mengaitkan keberadaan satu ketentuan dengan ketentuan lain dalam peraturan tersebut atau dengan ketentuan dalam peraturan lainnya. Pertimbangan hukum MK yang demikian tidaklah keliru, tetapi tidak cukup untuk menyelesaikan persoalan legalitas atau konstitusionalitas kawasan hutan. Persoalan yang masih menjadi tanda tanya adalah persoalan dualisme antara hutan dengan kawasan hutan dalam UU Kehutanan yang menjadikan Kemenhut sebagai penguasa tanah yang ditetapkan menjadi kawasan hutan, meskipun pada tanah tersebut tak ada satu pohon pun yang hidup (treeless) dan telah dimanfaatkan oleh masyarakat sejak lama untuk kawasan pertanian. Belum lagi persoalan penerapan makna kawasan hutan yang sangat longgar di lapangan sehingga digunakan untuk mengkriminalisasi masyarakat yang telah lama hidup dan menggantungkan kehidupannya dari hutan. Melalui perkara tersebut, ibarat pemain bola, sebenarnya MK telah berada di mulut gawang. Telah mulai mengecoh keeper, tinggal menendang ke dalam tiang gawang. Namun sayang tendangan itu meleset. Permainan menghibur, tetapi tidak menciptakan gol. Tidak mengubah kedudukan kawasan hutan yang simpang siur sampai hari ini. Bahkan menimbulkan tafsir yang beragam setelah putusan tersebut dibacakan oleh hakim konstitusi.4 Kawasan hutan = hutan negara Salah satu tafsir MK terhadap kawasan hutan dalam putusan Perkara No. 45/PUU-IX/2011 menjadikan kawasan hutan selalu identik dengan hutan negara. Dikatakan demikian sebab MK mempertimbangkan bahwa pengukuhan kawasan hutan dilakukan dengan memperhatikan rencana tata ruang wilayah
16
dan memperhatikan kemungkinan adanya hakhak perseorangan atau hak pertuanan (ulayat) pada kawasan hutan yang akan ditetapkan sebagai kawasan hutan tersebut, sehingga jika terjadi keadaan seperti itu maka penataan batas dan pemetaan batas kawasan hutan harus mengeluarkannya dari kawasan hutan supaya tidak menimbulkan kerugian bagi pihak lain. Konsepsi yang tidak membolehkan adanya hakhak perorangan atau hak ulayat pada kawasan hutan membuat kawasan hutan menjadi identik dengan hutan negara. Praktik selama ini juga demikian. Padahal, UU Kehutanan tidak mengidentikan kedua hal tersebut. UU Kehutanan membagi hutan berdasarkan status menjadi dua, yaitu hutan negara dan hutan hak (Pasal 5 UU Kehutanan). Kemudian di atas hutan negara tersebut bisa terdapat hutan adat. Putusan MK yang menyebutkan untuk mengeluarkan hak perseorangan dan hak ulayat dari kawasan hutan membuat beberapa ketentuan dalam UU Kehutanan menjadi kehilangan makna. Dengan putusan yang demikian, MK melanggengkan praktik selama ini yang kurang tepat. Dalam putusan Perkara No. 34/PUU-IX/2011, MK memperkuat pandangannya untuk mengeluarkan hak perseorangan dan hak ulayat dari kawasan hutan. Pemohon dalam perkara No. 34/PUU-IX/2011 yang merupakan seorang pengusaha di Jambi itu mengajukan permohonan pengujian terhadap Pasal 4 ayat (3) UU Kehutanan yang berbunyi: “Penguasaan hutan oleh Negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional.” Pemohon menghendaki agar yang diperhatikan dalam penguasaan hutan oleh negara bukan saja hak masyarakat adat, tetapi juga hak-hak atas tanah lainnya yang diakui oleh peraturan perundangundangan. Dalam hal ini, pemohon mengalami kerugian konstitusional karena penetapan kawasan hutan yang membuat dirinya kehilangan Hak Guna Usaha untuk kegiatan perkebunan. Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan tersebut, sehingga MK memberikan makna baru terhadap Pasal 4 ayat (3) UU Kehutanan sehingga berbunyi: Penguasaan hutan oleh negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, hak masyarakat yang diberikan berdasarkan ketentuan peraturan perundangundangan, serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional”. Sehingga dalam melakukan pengukuhan kawasan hutan, pemerintah wajib menyertakan pendapat masyarakat terlebih dahulu sebagai bentuk fungsi kontrol terhadap Pemerintah untuk memastikan dipenuhinya hak-hak konstitusional warga negara baik berupa hak milik, hak ulayat, serta hak-hak lain menurut ketentuan peraturan perundangundangan seperti Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai. ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA
ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA
ASASI EDISI JULI-AGUSTUS 2012
nasional Peluang koreksi: Permohonan AMAN Pandangan yang mengidentikan kawasan hutan sebagai hutan negara di tengah kenyataan bahwa terdapat banyak masyarakat yang tinggal dalam kawasan hutan dan belum adanya kepastian kawasan hutan mengandung sejumlah persoalan. Pertama, bila seluruh keberadaan masyarakat dan hak-haknya dikeluarkan dari kawasan hutan, maka harus ada pengeluaran 33.000 desa dari kawasan hutan, sehingga akan menciutkan jumlah kawasan hutan. Kedua, bila kepastian hukum tentang batasbatas kawasan hutan tidak jelas, maka kriminalisasi terhadap masyarakat yang tinggal di dalam atau sekitar kawasan hutan akan menjadi-jadi. Peluang untuk mengoreksi praktik dan pendapat MK yang kurang tepat dalam dua putusan terdahulu dalam menguji konstitusionalitas kawasan hutan dibuka peluangnya lewat pengujian UU Kehutanan yang diajukan oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN). Permohonan yang tengah ditangani oleh MK ini mempersoalkan dua hal pokok, yaitu: Pertama, keberadaan hutan adat yang dijadikan sebagai hutan negara. Berlakunya ketentuan yang menyatakan bahwa hutan adat adalah hutan negara yang berada pada wilayah masyarakat adat selama ini telah menghilangkan, setidak-tidaknya mempersulit, masyarakat adat untuk dapat melangsungkan kehidupan dalam memanfaatkan dan menjaga hutan adatnya. Tuntutannya adalah pengeluaran hutan adat dari hutan negara, tetapi hutan adat tetap berada pada kawasan hutan. Kedua, persyaratan keberadaan masyarakat adat yang harus memenuhi syarat-syarat tertentu dan harus dikukuhkan dengan peraturan daerah. Persyaratan- persyaratan demikian selama ini telah dimanfaatkan oleh pemerintah untuk tidak mengakui keberadaan dan hak-hak masyarakat adat. Sejumlah persyaratan tersebut menunjukan bahwa pemerintah menaruh curiga atas eksistensi masyarakat adat yang sebenarnya telah menjadi fakta bagian dari proses pembentukan Republik Indonesia. Permohonan ini memiliki nilai strategis untuk mengubah paradigma penguasaan hutan oleh negara dalam putusan MK Perkara No. 45/PUU-IX/2011 dan Perkara No. 34/PUU-IX/2011. Pemohonan yang diajukan oleh AMAN membuka peluang perubahan konsepsi hutan berdasarkan status ‘kepemilikan’ (property) itu menjadi kawasan hutan berdasarkan fungsinya. Dengan pendekatan hutan berdasarkan fungsi atau zonasi ini, maka dapat saja wilayah masyarakat dan tanah-tanah dengan status hak miliki dijadikan sebagai kawasan hutan, yaitu kawasan hutan hak. Posisi strategis lain dari permohonan ini adalah serangannya terhadap pengakuan bersyarat terhadap keberadaan dan hak-hak masyarakat adat. Pengakuan bersyarat ini sebenarnya bukan saja ‘penyakit’ UU Kehutanan, tetapi juga undang-undang lain seperti UUPA 1960, UU Sumber Daya Air, UU Perkebunan, UU Pemda dan bahkan ketentuan di dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945.5 Dengan mempersoalkan
pengakuan bersyarat tersebut maka terbuka peluang untuk memberikan makna terhadap ketentuan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 dan memberikan panduan untuk memperbaiki sejumlah ketentuan pengakuan bersyarat yang ada pada undang-undang lain.
Tabel Perkara Pengujian Konstitusionalitas Kawasan Hutan No Perkara dan Pemohon
Pokok permohonan
Perkara No. 45/ PUU-IX/2011
Menghapuskan frasa dalam definisi kawasan hutan yang mempersamakan penunjukan sebagai penetapan kawasan hutan (Pasal 1 angka 3 UU Kehutanan)
Dikabulkan oleh MK. Penentuan kawasan hutan harus mengeluarkan hak milik individu dan hak ulayat dari kawasan hutan. Penunjukan merupakan tahapan awal dalam pengukuhan kawasan hutan.
Menguji tidak adanya perlindungan terhadap hak atas tanah (HGU) dalam penentuan kawasan hutan
Dikabulkan oleh MK. Penentuan kawasan hutan harus memperhatikan hak-hak atas tanah yang telah diberikan, termasuk HGU
Keberadaan hutan adat yang dijadikan sebagai bagian dari hutan negara dan persyaratan keberadaan masyarakat adat
Telah dilakukan sidang-sidang. Tinggal menunggu pembacaan putusan oleh Mahkamah Konstitusi
Pemohon 5 orang bupati dari Kalteng dan 1 pengusaha
Perkara No. 45/ PUU-IX/2011 1 pengusaha dari Jambi
Perkara No. 35/ PUU-IX/2012 AMAN dan Masyarakat Adat
Putusan MK
Percepatan pengukuhan kawasan hutan Mahkamah Konstitusi punya keterbatasan karena kewenangannya tidak selalu mencapai para perubahan hukum yang lebih konkret. Hal itu karena MK hanya berwenang untuk menguji ketentuan dalam undang-undang, tidak mengadili bagaimana undangundang tersebut dijalankan. Padahal, faktanya memang ada persoalan yang keliru berkaitan dengan kawasan hutan, yaitu berjalan lambat pengukuhan kawasan hutan yang menjadi potensi kerugian hakhak konstitusional warga negara. Dari 136,94 juta ha yang telah ditunjuk untuk menjadi kawasan hutan, baru sudah ditetapkan sebagai kawasan hutan seluas 15,2 juta ha atau setara dengan 11,1%. Sayang sekali selama ini MK belum mau mengambil peran lebih besar untuk mendorong pembaruan kehutanan dengan mendorong percepatan pengukuhan kawasan hutan. MK dapat memberikan pendapat di dalam pertimbangan hukumnya yang berisi arahan-arahan tentang bagaimana persoalan kawasan hutan cepat dapat diselesaikan. Beberapa putusan MK memberikan arahan-arahan misalkan dalam Putusan Pengujian Konstitusionalitas Pengadilan Tipikor (perkara No. 012-016-019/2006). Dalam putusan tersebut MK menyatakan bahwa ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA
ASASI EDISI JULI-AGUSTUS 2012
17
keberadaan Pengadilan Tipikor pada UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah bertentangan dengan konstitusi, sebab seharusnya pengadilan tipikor dibuat dalam undang-undang tersendiri.6 MK pun dalam putusan tersebut memberikan batas waktu 3 tahun untuk menyelesaikan UU Pengadilan Tipikor. Cara yang sama sebenarnya bisa diterapkan dalam memutus konstitusionalitas kawasan hutan terhadap ketentuan undang-undang yang tengah diuji. Percepatan pengukuhan kawasan hutan menjadi penting sebab dapat dijadikan sebagai sarana untuk penyelesaian konflik yang selama ini semakin meningkat, memastikan hak-hak masyarakat untuk terlibat dalam proses dan menjadi pihak yang diutamakan, serta perluasan wilayah kelola masyarakat dengan berbagai skema, apakah itu dengan mengeluarkan dari kawasan hutan atau menjadikan berbagai skema pengelolaan hutan baik atas hutan hak maupun di atas hutan negara. Adanya dasar konstitusional yang mendorong percepatan pengukuhan kawasan hutan dibutuhkan untuk mengoreksi sejumlah tindakan otoriter yang tengah berlangsung selama ini serta untuk menjadikan kegiatan pengukuhan kawasan hutan sebagai suatu ikhtiar untuk menjalankan mandat konstitusi.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor Perkara 45/ PUU-IX/2011 mengenai pengujian UU Kehutanan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor Perkara 34/ PUU-IX/2011 mengenai pengujian UU Kehutanan
Keterangan 1
Baru-baru ini pemerintah mengeluarkan PP No. 60 Tahun 2012 dan PP No. 61 Tahun 2012 untuk membuka peluang legalisasi semua izin usaha perkebunan dan pertambangan yang dikeluarkan oleh kepala daerah diatas kawasan yang telah ditunjuk untuk dijadikan kawasan hutan.
2
Feri Amsari dalam studinya tentang putusan mahkamah konstitusi membagi putusan MK dalam dua kategori, yang progresif karena memiliki daya kuat sampai merubah makna dari UUD, dan satu lagi sebagai putusan yang konvensional dengan penggunaan metode penafsiran yang sederhana. Lihat Feri Amsari, 2011, Perubahan UUD 1945: Perubahan konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia melalui keputusan Mahkamah Konstitusi, Jakarta: Rajawali Press.
3
Pasal 15 UU Kehutanan berbunyi: (1) Pengukuhan kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dilakukan melalui proses sebagai berikut: a. penunjukan kawasan hutan; b. penataan batas kawasan hutan; c. pemetaan kawasan hutan; dan d. penetapan kawasan hutan. (2) Pengukuhan kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan rencana tata ruang wilayah.
4
Beragam tafsir yang timbul setelah pembacaan putusan MK Perkara No. 45/PUU-IX/2011. Kementerian Kehutanan menafsirkan bahwa dengan dikeluarkannya putusan MK, maka kawasan hutan mengikuti Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) yang telah dibuat pada tahun 1980an. Sehingga semua tanah yang saat ini dimaknai sebagai kawasan hutan maka dimaksud sebagai kawasan hutan tetap. Artinya, luas kawasan hutan adalah 136,94 juta ha. Sedangkan menurut para kepala daerah yang menjadi pemohon, kawasan hutan harus mengacu kepada RTRW dan berdasarkan definisi kawasan hutan yang baru, maka luas kawasan hutan adalah seluas yang telah ditetapkan menjadi kawasan hutan, yaitu 15,2 juta Ha atau 11% dari tanah yang telah ditunjuk untuk dijadikan sebagai kawasan hutan.
5
Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 berbunyi: Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.
6
Pasal 53 UU KPK, berbunyi: “Dengan Undang-Undang ini dibentuk Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus tindak pidana korupsi yang penuntutannya diajukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi”.
Daftar Pustaka Amsari, Feri, 2011, Perubahan UUD 1945: Perubahan konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia melalui keputusan Mahkamah Konstitusi, Jakarta: Rajawali Press Arizona, Yance, 2012. Konsepsi konstitusional penguasaan negara atas agraria dan pelaksanaannya, Tesis pada Program Magister Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Indonesia Arizona, Yance, Siti Rakhma Mary Herwati dan Grahat Nagara, 2012. Anotasi Putusan MK No. 45/ PUU-IX/2011 mengenai pengujian konstitusional kawasan hutan dalam Pasal 1 angka 3 UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Firdaus, Asep Yunan (edt), 2007. Mengelola hutan dengan memenjarakan manusia, Jakarta: Perkumpulan HuMa Mulyono, Tri Joko, 2012. Kebijakan Pengukuhan Kawasan Hutan, presentasi dalam Diskusi Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan, Jakarta, Jakarta, 14 Agustus 2012 Moniaga, Sandra, 2006, Ketika UU Hanya Berlaku pada 39 persen Daratan Indonesia, Majalah Forum Keadilan No. 27, 12 November 2006. Rachman, Noer Fauzi, dkk, 2012. Kajian Kritis atas Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Permasalahan Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat, Working Paper Epistema Institute, segera terbit.
18
ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA
ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA
ASASI EDISI JULI-AGUSTUS 2012
nasional Karena Kini Adalah Akibat Lalu Oleh Puri Kencana Putri (Peneliti KontraS)
I
barat bertaruh dadu, demi rasa kebenaran dan keadilan, para korban peristiwa 1965-1966 telah lama melakukannya. Namun ‘pertaruhanpertaruhan maraton’ itu nihil dengan kemenangan nyata, dengan dampak sosial yang berkelanjutan. Tak sedikit harta benda, ikatan sosial, kepercayaan sekitar, dan hak-hak dasar yang sejatinya dijamin oleh negara, mereka ‘gadaikan’ atas nama kepentingan keamanan nasional Indonesia di masa lalu. Di lain sisi, pembatasan-pembatasan akses sipil politik ditambah dengan eforia kebencian ideologi tetap terawat di tengah masyarakat. Media dan pendidikan menjadi arena perebutan yang kerap tidak menyisakan ruang bagi para korban peristiwa 19651966 untuk menggugat. Kondisi ini diperburuk dengan pengabaian negara secara struktural atas apa yang terjadi di masa lalu. Perjuangan panjang para korban peristiwa 1965-1966 di usia senjanya nyaris tidak menghasilkan apapun. Hingga akhirnya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mengeluarkan hasil Laporan Akhir Penyelidikan Pro-Yustisia Komnas HAM atas Pelanggaran HAM yang Berat untuk Peristiwa 19651966. Sebuah titik cerah yang diharapkan mampu efektif dan kontributif dalam mendorong advokasi HAM peristiwa 1965-1966 di masa depan. Identifikasi Kekerasan Ringkasan eksekutif dari laporan tebal tersebut bisa diakses cuma-cuma oleh publik. Di dalamnya, publik bisa mendapatkan gambaran kekerasan yang diduga kuat terjadi secara sistematik dan/atau meluas. Secara runtun hasil penyelidikan Komnas HAM memberikan ilustrasi adanya praktik-praktik pelanggaran HAM yang serius seperti pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa, perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik secara sewenang-wenang, penyiksaan, perkosaan, persekusi, dan penghilangan orang secara paksa. Tidak hanya kekerasan fisik, Komnas HAM juga berhasil mengidentifikasi adanya penderitaan mental (psikologis) yang mewujud pada meluasnya tindak diskriminasi, baik di ranah hak-hak sipil politik maupun ekonomi, sosial dan budaya. Di mana kategori-kategori pelanggaran HAM tersebut sudah memenuhi unsur kejahatan terhadap kemanusiaan. Seperti adanya unsur serangan, meluas dan sistematik dan bisa dikategorikan sebagai Pelanggaran HAM yang Berat, sebagaimana tercantum dalam UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Kompleksnya temuan Komnas HAM tentu saja amat ditentukan dari kualitas dan kuantitas jumlah laporan pengaduan dan kesaksian yang diberikan.
Pada ringkasan eksekutif disebutkan bahwa setidaknya penyelidikan melibatkan 349 orang untuk diminta kesaksiannya. Komnas HAM juga menindaklanjuti dalam bentuk kunjungan lapangan ke sejumlah daerah di Indonesia. Tercatat beberapa wilayah di Sumatera, Sulawesi, Bali, Flores, dan Pulau Buru menjadi sampel wilayah. Pemilihan lokasi-lokasi tersebut mampu menunjukkan adanya luasan peta kekerasan yang terjadi sepanjang 1965-1966. Komnas HAM juga menemukan fakta adanya tindakan-tindakan ‘tanpa proses hukum’, yang tidak hanya dialami oleh anggota Partai Komunis Indonesia (PKI), namun juga warga sipil kebanyakan secara meluas dengan tuduhan-tuduhan ‘mengetahui atau terlibat’ dalam rencana kudeta September 1965 (hal. 18). Singkatnya, temuan Komnas HAM ini adalah momentum tepat untuk memangkas semua wujud pembohongan publik, yang selama ini dilestarikan melalui gaya hidup dan keseharian warga Indonesia. Hak atas Kebenaran Namun ada cerita panjang dalam menanti proses penyelidikan Komnas HAM yang harus diketahui publik luas. Dalam catatan KontraS, laporan akhir penyelidikan Komnas HAM ini telah memakan waktu selama 4 tahun. Setidaknya proses penundaan pengumuman hasil laporan akhir penyelidikan dilakukan sebanyak 6 kali. Tercatat beberapa kali sidang paripurna Komnas HAM yang digelar pada tanggal 5-6 Juli 2011, 9-10 Agustus 2011, 9-13 Januari 2012, 12 April 2012, 8 Mei 2012, dan 4-6 Juni 2012 diakhiri dengan keputusan untuk menunda hasil penyelidikan dan menginstruksikan kepada tim penyelidik Komnas HAM untuk merevisi beberapa isi dari laporan (lihat: Siaran Pers KontraS 9 Juli 2012). Terlepas dari banyaknya materi penyelidikan Komnas HAM yang juga dilakukan dalam waktu bersamaan, seperti penyelidikan dugaan pelanggaran HAM serius pada kasus penembakan misterius di era 1980-an, maupun kasus-kasus HAM serius lainnya yang juga ditangani simultan oleh Komnas HAM; melipatgandakan penundaan sesungguhnya adalah bagian dari praktik pengabaian yang juga merupakan bagian dari pelanggaran HAM yang sebenarnya bisa dicegah negara. Di sini korban dan keluarga korban adalah entitas subyek yang harus dikedepankan. Mereka berhak untuk mendapatkan suatu kepastian dari proses penyelidikan yang dilakukan Komnas HAM. Hal ini juga telah diatur dalam UU Pengadilan HAM– khususnya pada pembuktian adanya unsur kejahatan terhadap kemanusiaan-dan beberapa aturan-aturan HAM internasional lainnya, khususnya terkait pada Hak atas Kebenaran (right to truth). ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA
ASASI EDISI JULI-AGUSTUS 2012
19
Dalam studi pemutakhiran atas seperangkat prinsip-prinsip pada perlindungan dan promosi HAM melalui aksi melawan impunitas (Updated Set of principles for the protection and promotion of human rights through action to combat impunity) yang dilakukan ahli independen PBB, Diane Orenlicher (E/CN.4/2005/102/Add.1), diterangkan lebih detail tentang hak atas kebenaran dalam bingkai HAM. Studi tersebut menerangkan dua prinsip utama, yakni Prinsip 2 tentang Hak Kebenaran yang Tidak Dapat Dicabut (the inalienable right to the truth). Berikut adalah terjemahan bebas dari Prinsip 2. “Setiap orang memiliki hak atas kebenaran yang tidak dapat dicabut dari dirinya terkait dengan peristiwa di masa lalu, di dalamnya termasuk perbuatan kejahatan yang keji dan tentang berbagai keadaan maupun alasan yang melatarbelakanginya. Hal ini mewujud dalam suatu tindak pelanggaran HAM yang masif dan sistematis. Perlindungan penuh dan efektif untuk hak atas kebenaran dengan meyediakan mekanisme perlindungan untuk mencegah adanya praktik pengulangan serupa.” Selanjutnya pada Prinsip 4 tentang Hak Korban untuk Tahu (the victims right to know). Berikut adalah terjemahan bebas dari Prinsip 4. “Terlepas dari semua proses hukum yang telah dilalui, korban dan keluarga korban memiliki hak atas kebenaran yang tidak dapat dipisahkan, termasuk juga tentang kondisi dan situasi di mana pelanggaran terjadi, dan dalam hal kematian atau penghilangan secara paksa yang dialami para korban.” Studi lanjutan yang dilakukan Dewan HAM PBB tentang Hak atas Kebenaran (E/CN.4/2006/91) menyimpulkan bahwa hak atas kebenaran mengenai praktik pelanggaran HAM yang berat dan bentuk pelanggaran serius atas hukum HAM adalah hak yang mutlak dan bersifat otonom, berkaitan tugas dan tanggung jawab negara untuk melindungi dan menjamin HAM, termasuk melakukan penyelidikan efektif guna menjamin pemulihan dan reparasi yang efektif pula. Studi ini juga menerangkan bahwa hak atas kebenaran amat terkait dengan hak-hak lainnya dan juga memiliki dimensi individual dan sosial yang wajib diketahui sebagai hak yang tidak dapat dikurangi (non-derogable rights) maupun hak yang tidak tunduk pada ruang pembatasan. PBB melalui prinsip-prinsip HAM dan studi yang dilakukannya berupaya mendorong negara-negara transisi demokratik untuk segera mengupayakan terlaksananya agenda-agenda keadilan transisi. Dalam hal ini adalah menyegerakan adanya ruang keadilan dan kebenaran bagi korban dan keluarga korban 1965/1966, agar praktik serupa tidak terulang lagi di masa depan. Tantangan Indonesia Untuk mewujudkan prinsip penegakan, perlindungan dan pemenuhan hak-hak asasi manusia oleh negara, maka dalam konteks 1965/1966, negara sesungguhnya bisa menempuh beberapa langkah yudisial dan non-
20
yudisial, sebagaimana yang juga telah dipraktikkan di banyak negara transisi demokratik lainnya. Di ranah yudisial, dalam pernyataannya pada 25 Juli 2012, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah menginstruksikan kepada Kejaksaan Agung untuk segera mempelajari isi laporan penyelidikan Komnas HAM. Instruksi ini adalah langkah taktis. Meningkatkan hasil penyelidikan menjadi penyidikan sudah sesuai dengan amanat UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, khususnya pada Pasal 21 dan 22 tentang upaya penyidikan. Selain itu, di ranah non-yudisial, mekanisme lain yang bisa didorong negara adalah menghadirkan upaya rekonsiliasi, yang dapat dimulai dengan adanya inisiatif negara untuk mengakui adanya praktik kejahatan serius di masa lalu. Langkah ini akan efektif jika diikuti dengan permintaan maaf resmi kenegaraan (official apologize), sebagaimana yang juga telah dilakukan oleh Australia melalui Perdana Menteri Kevin Rudd (2008) terhadap praktik perlakuan diskriminatif kepada suku Aborigin dan Afrika Selatan melalui Presiden Nelson Mandela terhadap praktik politik apartheid di masa lalu. Pemerintah Indonesia di bawah pemerintahan Abdurrahman Wahid, sebelumnya juga sempat melakukan permintaan maaf tidak resmi kepada korban dan keluarga korban peristiwa 1965/1966. Namun demikian, akan lebih baik jika Pemerintah kembali merumuskan konsep permintaan maaf resmi, yang dapat digunakan untuk menginstruksikan semua jajaran kementerian dan institusi negara (seperti Kejaksaan Agung, Komnas HAM, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban) terkait, untuk berkoordinasi dalam menjamin adanya pemenuhan hak-hak korban. Termasuk di dalamnya mempercepat proses rehabilitasi sosial, kesehatan dan pemenuhan hak-hak dasar lainnya. Kedua ranah ini bekerja dalam sistem yang saling melengkapi dan tidak menegasikan satu dengan lainnya. Sifat dari mekanisme yudisial untuk mendorong penyelesaian kasus secara hukum, sedangkan mekanisme non-yudisial adalah untuk mendorong terciptanya keadilan restoratif. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) juga memiliki peran strategis dalam menghadirkan ruang pengawasan efektif atas kinerja Kejaksaan Agung dalam menjalankan hasil rekomendasi penyelidikan Komnas HAM. Terlepas dari pro dan kontra yang berkembang di tengah masyarakat atas temuan Komnas HAM, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono harus mampu menunjukkan sikap kenegarawanan yang tinggi, dengan menunjukkan komitmen dan ketetapan sikap politik dalam menuntaskan kasus peristiwa 1965/1966. Penyelesaian melalui cara yang adil dan bermartabat atas kekerasan politik di masa lalu juga adalah perwujudan dari semangat Reformasi 1998. Refleksi penting dari ini semua adalah bagaimana kita bisa menjadi manusia-manusia Indonesia yang bebas dan bertanggung jawab, karena itu kemanusiaan menjadi berarti. Semoga kebaikan-kebaikan yang kini kita nikmati bukan berasal dari kebencian-kebencian di masa lalu yang masih terus dipelihara. ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA
ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA
ASASI EDISI JULI-AGUSTUS 2012
internasional Land Grabbing Sebagai Isu Regional Oleh Widiyanto
(Koordinator Database dan Informasi HuMa, Redpel ASASI)
“
Pertumbuhan ekonomi” mungkin menjadi istilah yang paling sering diucapkan oleh para pemimpin negara-negara ASEAN, seperti Presiden SBY. Segala kondisi yang menyangkut pertumbuhan ekonomi menjadi perhatian serius Pemerintah setiap negara di region ini. Tentu saja sebagai istilah, ia bermakna banyak. Ia tidak berdiri sendiri. Bila menyangkut perspektif yang positif, maka Pemerintah akan “mendorong” laju pertumbuhan ekonomi. Segala macam cara telah dan akan dilakukan. Sebut saja pembuatan peta koridor ekonomi nasional dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI), di Indonesia. Melalui program MP3EI ini, Pemerintahan SBY membagi Indonesia ke dalam enam koridor ekonomi: Sumatera sebagai sentra produksi dan pengolahan hasil bumi dan lumbung energi nasional; Kalimantan sebagai pusat produksi dan pengolah hasil tambang dan lumbung energi nasional; Jawa sebagai pendorong industri dan hasil jasa nasional; Sulawesi sebagai pusat produksi dan pengolahan hasil pertanian, perkebunan, perikanan, serta pertambangan nikel internasional. Sementara koridor Bali-Nusa Tenggara dijadikan sebagai pintu gerbang pariwisata dan pendukung pangan nasional. Koridor Papua sebagai pusat pengembangan pangan, perikanan, energi dan pertambangan nasional. Dengan peta koridor ini, Pemerintah telah melapangkan jalan bagi investor— dalam sektor apapun—untuk menanamkan modalnya berdasarkan tema koridornya. Maka tak heran, berbagai proyek besar yang kemudian berkonflik dengan masyarakat lokal menyambut baik adanya peta jalan investasi atau lebih tepatnya pengkaplingan wilayah sumberdaya alam ini. Megaproyek ketahanan pangan raksasa telah disiapkan di Merauke. Industri tambang, seperti Inco, juga massif di pedalaman Sulawesi Tengah. Ekspansi industri kelapa sawit kian tak terkendali di Pulau Kalimantan. Laju pelepasan kawasan hutan untuk menjadi perkebunan kelapa sawit sangat tinggi. Demikian pula ijin pinjam pakai untuk pertambangan. Apa yang terjadi setelahnya? Kerusakan lingkungan kian parah. Suhu di Kalimantan yang bertanah gambut menjadi makin panas akibat mengerucutnya luas tutupan hutan di sana. Belum lagi dampak sosial dan infrastruktur publik, seperti jalan transkalimantan yang rusak parah. Tanah makin mudah longsor terseret arus air.
Pembuatan Koridor Ekonomi Nasional memang pada akhirnya mendorong meningkatnya land grabbing atau dalam bahasa advokasi disebut perampasan tanah. Konflik agraria yang diartikan sebagai konflik atas tanah dan kekayaan alam yang terkandung di dalam dan di atasnya, meningkat secara kuantitas dan meluas dalam arti luas area konflik serta sebarannya. Data HuMa hingga Agustus 2012 mencatat setidaknya terdapat 220 konflik lahan yang melibatkan komunitas belum selesai sampai sekarang. Ia tersebar di lebih dari 20 provinsi dengan luas area mencapai sekitar 7 jutaan hektar. Perampasan tanah dilakukan secara sistematis, involuntary maupun koersi. Penguasaan tanah masyarakat yang biasanya bersifat informal dikalahkan oleh bukti-bukti formal negara yang lantas menyerahkannya kepada investor. Peta kapling sumberdaya macam MP3EI ini kemudian hanya menguntungkan pihak pemegang kapital yang memiliki konsesi dan Pemerintah yang mempermudahnya hanya dengan timbal balik pajak. Tak ada pertimbangan hak asasi manusia dan sosial, apalagi ekologi. Yang ada hanya ekonomi. Tampaknya hal serupa terjadi di hampir semua negara-negara ASEAN. Seperti yang tersurat dalam workshop “Promoting People’s Right to Land and Natural Resources” yang diselenggarakan oleh ICCO dan 22 partnernya se-Asia Tenggara di Bali, akhir Juli silam. Land grab menjadi masalah utama regional beberapa tahun belakangan sejalan dengan kedudukan ASEAN sebagai pusat pertumbuhan ekonomi baru dunia. Saturnino Borras dan Jennifer Franco mengembangkan definisi kerja mengenai land grabbing sebagai: “Pengambilalihan kendali atas tanah yang relatif besar beserta sumber daya alam lainnya melalui berbagai konteks dan bentuk. Pengambilalihan ini melibatkan modal dalam skala besar yang seringkali berakibat pada bergesernya orientasi penggunaan sumber daya alam menjadi berkarakter ekstraktif, baik untuk tujuan internasional maupun domestik, seperti respon modal terhadap konvergensi krisis pangan, energi, dan finansial, mitigasi perubahan iklim yang imperatif, dan permintaan untuk sumber daya alam dari sumber-sumber modal global yang baru.”1
ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA
ASASI EDISI JULI-AGUSTUS 2012
21
Borras sendiri mengidentifikasi bahwa setidaknya telah terjadi peningkatan jumlah perjanjian pelepasan tanah berskala luas secara lintas batas negara sepanjang 2005-2009 yang dipicu oleh konvergensi krisis pangan, energi, finansial, hingga mitigasi perubahan iklim. Setidaknya sudah ada 20 juta hektar lahan yang menjadi obyek perjanjian semacam itu. Karakteristik lain dari land grabbing adalah penggunaan aparat militer sebagai pengaman proses pengambilalihan lahan kepada swasta atau negara. Penggunaan tindak kekerasan bersenjata kerapkali tidak dapat dihindari mengingat mereka selalu berlindung dibalik legitimasi untuk melakukannya. Di Indonesia, kita sudah sangat sering menyimak keterlibatan aparat dalam konflik lahan antara masyarakat melawan perusahaan atau pemerintah. Mulai dari Tragedi Mesuji, Lampung, tindakan brutal kepolisian terhadap lahan sengketa di Alas Tlogo, Pasuruan, hingga terbaru adalah kasus Cinta Manis di Ogan Ilir, Sumatera Selatan. Dalam laporan regional, masing-masing negara ASEAN memiliki isu spesifik terkait land grabbing. Namun secara umum masalah yang dihadapi hampir sama di semua negara. Sebut saja masalah keterlibatan militer tadi dan konsesi lahan kepada para investor. Semua perwakilan negara baik, Kamboja, Indonesia, Vietnam, Myanmar, dan Filipina mengalami dampak obral konsesi pengusahaan hutan maupun tambang oleh pemerintahan negara masing-masing. Menurut laporan yang dikutip Cambodia Center for Human Rights (CCHR) setidaknya hampir 4 juta hektar lahan di sana yang telah diberikan konsesinya oleh pemerintah kepada pihak swasta. Luasnya itu sama dengan 22 persen daratan Kamboja. Diperkirakan sekitar 20 persen penduduk Kamboja akan terkena dampak land grab. Yang paling rentan terkena dampaknya adalah masyarakat adat dan komunitas lokal yang tinggal di sekitar hutan. Tanah-tanah ulayat (ancestral domain) mengalami pencaplokan oleh adanya penerbitan konsesi-konsesi perusahaan. Ruang hidup mereka makin menyempit dan tanah yang dialokasikan sebagai cadangan kepada generasi penerus mereka menghilang karena pencaplokan. Di negara yang sedang mengalami transformasi ekonomi perlahan, seperti Kamboja, mereka biasanya memiliki masalah sosial perkotaan, seperti perdagangan manusia dan urbanisasi penduduk. Laju migrasi ke perkotaan tinggi, yang menyimpan masalah livelihood. Di desa-desa, penduduk akan relatif mudah melepaskan atau menjual tanahnya demi menjadikan dirinya sebagai bagian dari kehidupan kota yang instan dan glamor, meski tingkat kapabilitas mereka tidaklah seimbang. Kampungkampung di pinggir hutan akan jatuh dan dikuasai oleh perusahaan dengan gampangnya. Dengan
22
demikian, telah terjadi transformasi paksa pedesaan. Masyarakat adat akan kehilangan hak ulayat di tengah minimnya proteksi pemerintah terhadap keberadaan mereka. Satu isu yang menyelimuti semua negara di subregion Mekong adalah pembangunan dam raksasa. Sungai Mekong ini setidaknya mengalir di enam negara: Thailand, Myanmar, Vietnam, Kamboja, Laos hingga Cina. Perwakilan NGO dari Thailand, Kamboja, Vietnam dan Myanmar menganggap proyek raksasa dam ini akan mendatangkan ancaman serius terhadap degradasi lingkungan, hilangnya kehidupan masyarakat, pengungsian penduduk, serta eksistensi budaya lokal. Ini belum termasuk konflik perbatasan antar negara. Tren menguatnya regionalisme kawasan Asia Tenggara sebagai sentra baru pertumbuhan ekonomi dunia membuat para pemimpin negaranegara ASEAN menciptakan pola relasi ekonomi dengan lingkup regional. Hambatan perdagangan antar negara dipermudah. Maka interkonektivitas satu negara dengan yang lainnya akan diciptakan. Misalnya saja bagaimana membuka jalur-jalur perdagangan Kalimantan Utara dengan Malaysia, atau pun menghubungkan negara-negara subregion Mekong dalam sebuah rezim perdagangan bersama. Ini adalah challenge ke depan dalam melawan land grabbing di kawasan ASEAN ini. Studi interkonektivitas ini sudah dilakukan oleh Kementerian Luar Negeri beberapa tahun silam. Dan maraknya pembangunan infrastruktur, seperti pelabuhan, bandara, pembangunan jalan bebas hambatan maupun jembatan antarpulau merupakan bagian tak terpisahkan dari proyek besar kawasan ekonomi regional. Maka land grabbing pun akan terus marak.
Keterangan 1
Borras and Franco, Land Grabbing in Latin America and the Caribbean, Journal of Peasant Studies, Routledge, 2012.
ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA
ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA
ASASI EDISI JULI-AGUSTUS 2012
resensi
Perjuangan Hidup Wanita Perkasa Setelah Prahara 1965 Oleh Jefrianto
(Mahasiswa Pendidikan Sejarah Universitas Tadulako) Judul Buku : Istana Jiwa: Langkah Perempuan di Celah Aniaya Penulis : Putu Oka Sukanta Penerbit : Lembaga Kreatifitas Kemanusiaan & JAKER Tahun Terbit : 2012 Tebal : 323 Halaman
M
embaca novel sejarah Istana Jiwa : Langkah Perempuan di Celah Aniaya karya Putu Oka Sukanta ini seakan mengajak kita terjun langsung dalam suasana sebelum dan sesudah prahara 1965. Pergulatan politik yang mengerucut pada dua kutub besar yakni Angkatan Darat (AD) dan Partai Komunis Indonesia (PKI) berujung pada prahara yang seketika mengubah jalan hidup jutaan masyarakat Indonesia terutama yang bersentuhan dan dianggap PKI sebagai tumbal dari prahara tersebut. Jutaan masyarakat yang terlibat atau dilibatkan dalam prahara tersebut selanjutnya menjalani hari-hari penuh horor. Tidak jarang, mereka yang tertangkap ingin langsung dieksekusi karena tidak tahan dengan cara penyiksaan yang tidak beradab oleh orang-orang yang mengaku bertuhan. Periode bersimbah darah antara tahun 19651966 tersebut merupakan peretas jalan bagi rezim Orde Baru pimpinan Soeharto untuk berkuasa selama lebih dari 30 tahun. Jumlah korban pembunuhan massal selama periode tersebut sampai saat ini masih belum dapat diketahui secara pasti. Ada sumber menyebutkan antara 500.000 hingga 2 juta jiwa. Namun dampak sosial dan politik selama periode prahara tersebut masih dapat dirasakan hingga kini. Mereka yang terlibat atau dianggap terlibat mengalami diskriminasi dan dicabut hak-hak politiknya. Kebebasan hidup mereka dikungkung karena kesalahan yang tidak mereka lakukan. Setelah Orde Baru runtuh tahun 1998, tidak sedikit dari para korban prahara yang masih bertahan, mengisahkan bagaimana kehidupan mereka selama Orde Baru berkuasa dimana mereka mengalami hari-hari penuh teror dan bagaimana mereka bisa bertahan sampai saat ini. Hal penting inilah yang coba diangkat oleh Putu Oka Sukanta ke dalam novelnya. Menurut Putu Oka Sukanta, novel ini adalah sebuah novel sejarah.
Novel ini mudah dipahami dan memfokuskan diri pada perjuangan para wanita bertahan hidup setelah prahara 1965. Bagian pertama dari novel ini mengisahkan tentang beberapa anak muda menaruh harapan akan masa depan rakyat yang lebih baik dengan memilih bergabung dengan organisasi (PKI dan underbouw-nya). Program kerja organisasi yang dinilai berpihak pada rakyat dan perubahan tatanan hidup menuju ke arah yang lebih baik serta jumlah simpatisan yang mencapai tiga juta orang menjadi alasan harapan tersebut. Maria merupakan salah satu anak muda yang memiliki harapan tersebut. Maria yang merupakan eksponen CGMI dan anak dari Rampi, seorang pengurus PKI adalah seorang gadis intelektual yang menaruh harapan tinggi pada PKI yang dinilainya mampu mensejahterahkan rakyat dan memperbaiki tatanan hidup masyarakat. Atas dasar itulah Maria kemudian bergabung di partai tanpa sepengetahuan ayahnya. Sayang, partai yang begitu dibanggakan Maria ini hancur berantakan dalam sekejap setelah prahara 1965. Prahara ini pula seketika mengubah jalan hidupnya dan jutaan orang lainnya. Ayah Maria dibawa dari rumahnya oleh tentara. Dia beserta ibunya harus berpindah-pindah tempat tinggal untuk mengamankan diri dari intaian tentara. Maria pun dijauhi oleh teman-temannya di kampus karena dia adalah aktivis CGMI. Semua cobaan yang dihadapinya tersebut tidak serta-merta membuat Maria kehilangan ideologinya. Baginya, cita-cita partai adalah cita-cita luhur untuk kesejahteraan rakyat. Prahara tersebut menurutnya adalah “jebakan” untuk partainya yang saat itu merupakan salah satu kutub kekuatan politik terbesar di Indonesia. Dirinya bahkan tetap memperingati hari ulang tahun partai yang jatuh setiap tanggal 23 Mei. Maria yakin bahwa meskipun partainya hancur berantakan, semangat ideologi partai akan selalu ada dalam setiap kader yang masih percaya bahwa partai akan bangkit kembali sama seperti pernyataan Sudisman dalam pledoinya. Sudisman menegaskan bahwa walaupun saat ini partai “disuruh tiarap serendah-rendahnya” tetapi suatu saat ia akan berdiri tegak kembali di negeri ini. Apa yang diyakini oleh Maria ini mungkin adalah keyakinan yang sama oleh jutaan eks simpatisan yang masih bertahan sampai saat ini.
Siksaan fisik dan mental yang diderita oleh mereka bukanlah alasan bagi mereka untuk meninggalkan ideologinya. Rusaknya ranah perpolitikan bangsa ini karena partai-partai yang ada saat ini tidak lagi memiliki ideologi yang jelas seperti partai-partai di masa Orde Lama. Ketiadaan ideologi yang jelas tersebut menyebabkan rusaknya moral kader partai yang berakibat pada rusaknya tatanan perpolitikan di negeri ini. Beranjak dari kisah Maria, Putu Oka Sukanta juga mengisahkan perjuangan beberapa istri yang suaminya ditangkap, untuk bertahan hidup setelah meletusnya prahara 1965. Mereka harus mengambil alih peran suami mereka sebagai kepala keluarga untuk menghidupi keluarganya. Selain itu, mereka juga harus menghidupi suami mereka yang berada di tahanan. Para istri seperti memiliki kebiasaan rutin terhadap suaminya yang ditahan. Mereka mengirimi makanan, pakaian, dan berbagai keperluan suami selama berada di tahanan. Tidak jarang, mereka hanya dapat menitipkan barang-barang tersebut kepada petugas di tahanan karena mereka tidak dapat bertemu dengan suami-suaminya. Demi bertahan hidup, mereka harus berpindahpindah tempat tinggal, memulai usaha kecilkecilan, bahkan sampai bertaruh di meja judi seperti yang dilakukan oleh Kirtani. Selama suami mereka berada di tahanan, mereka menyiapkan segala sesuatu sembari menanti kekebasan suamisuaminya. Salah satu contohnya adalah Ibu Suri, ibu dari Maria yang menerima jahitan pakaian dan harus berjualan kue-kue dan penganan dari satu tempat ke tempat lain demi membeli sebuah rumah yang layak bagi suaminya setelah bebas kelak. Kerasnya kehidupan selama di dalam tahanan membuat beberapa tahanan kesulitan untuk menerima lingkungan barunya setelah bebas. Rampi, ayah Maria adalah satu diantaranya. Setelah pulang dari Pulau Buru, Rampi tinggal di rumah barunya beserta Ibu Suri, Maria dan Anton, suami Maria. Tetapi tekanan hidup yang dialami Rampi selama di penjara membuat Rampi merasa seperti orang asing di rumahnya sendiri. Ia merasa risih dengan dirinya yang dibiayai oleh anak dan istrinya. Rampi pun memutuskan untuk pergi dari rumah dan menikah dengan orang lain. Putu Oka Sukanta yang selain seorang novelis juga seorang pembuat film dokumenter, pengamat sosal dan politik, aktivis HIV AIDS, dan praktisi akupuntur ini tidak menulis novel ini dengan pendekatan seorang sejarawan walaupun novel ini adalah novel sejarah. Tetapi hal tersebut tidak lantas membuat novel ini kehilangan jiwa zamannya (zeitgeist). Novel ini patut dibaca oleh mereka yang ingin mengetahui bagaimana perjuangan dan pergulatan para perempuan dan istri tapol bertahan hidup di tengah berbagai cobaan hidup setelah prahara
1965. Novel ini akan membawa kita serasa hadir dan menyaksikan langsung apa yang disajikan di dalamnya. Selamat Membaca!
Judul Buku : Istana Jiwa: Langkah Perempuan di Celah Aniaya Penulis : Putu Oka Sukanta Penerbit : Lembaga Kreatifitas Kemanusiaan & JAKER Tahun Terbit : 2012 Tebal : 323 Halaman