DISERTASI
PERLAWANAN ORANG KATOBENGKE TERHADAP HEGEMONI ELITE TRADISIONAL DI KOTA BAUBAU SULAWESI TENGGARA
LAODE DIRMAN
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015
DISERTASI
PERLAWANAN ORANG KATOBENGKE TERHADAP HEGEMONI ELITE TRADISIONAL DI KOTA BAUBAU SULAWESI TENGGARA
LAODE DIRMAN
10903711018
PROGRAM DOKTOR PROGRAM STUDI KAJIAN BUDAYA PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015
PERLAWANAN ORANG KATOBENGKE TERHADAP HEGEMONI ELITE TRADISIONAL DI KOTA BAUBAU SULAWESI TENGGARA
Disertasi untuk Memperoleh Gelar Doktor pada Program Doktor, Program Studi Kajian Budaya Program Pascasarjana Universitas Udayana
LAODE DIRMAN
10903711018
PROGRAM DOKTOR PROGRAM STUDI KAJIAN BUDAYA PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015
ii
iii
Disertasi Ini Telah Diuji pada Ujian Tertutup Tanggal, 24 Oktober 2014
Panitia Penguji Disertasi, berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana Nomor: 3946/UN14.4/HK/2014, Tanggal, 21 Oktober 2014
Ketua
: Prof. Dr. A.A. Bagus Wirawan, S.U.
Anggota : 1. Prof. Dr. A.A.N. Anom Kumbara, M.A. 2. Prof. Dr. Aron Meko Mbete 3. Dr. I Gede Mudana, M.Si. 4. Prof. Dr. I Gde Parimartha, M.A. 5. Prof/ Dr. Phil. I Ketut Ardhana, M.A. 6. Dr. Putu Sukardja, M.Si 7. Dr. Ida Bagus Darmika, M.A.
iv
KETERANGAN BEBAS PLAGIAT
Nama
: La Ode Dirman
NIM
: 1090371018
PROGRAM STUDI
: Doktor (S3) Kajian Budaya
JUDUL DISERTASI
: Perlawanan Orang Katobengke Terhadap Hegemoni Elite Tradisional di Kota Baubau Sulawesi Tenggara
Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah Disertasi ini bebas plagiat.
Apabila dikemudian hari terbukti terdapat plagiat dalam karya ilmiah ini, maka saya bersedia menerima sanksi sesuai peraturan Mendiknas RI No. 17 Tahun 2010 dan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku
Denpasar, 22 Desember 2014
Materai Rp 6.000
La Ode Dirman
v
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur kehadirat Allah SWT, atas rahmat dan hidayah-Nya jualah naskah disertasi ini dapat diselesaikan. Penulisan disertasi ini bertujuan untuk memenuhi sebagian persyaratan guna memperoleh gelar doktor pada Program Studi Kajian Budaya Program Pascasarjana Universitas Udayana Denpasar. Sejak penulis diterima sebagai karyasiswa Program Doktor pada Program Studi Kajian Budaya pada tahun 2010 hingga sekarang, penulis telah memperoleh banyak sekali bantuan dari berbagai pihak, baik berupa material maupun nonmaterial. Segenap bantuan tersebut, khususnya penulisan disertasi, pada kesempatan yang sangat berbahagia ini, patut kiranya penulis menyampaikan penghargaan setinggi tingginya dan ucapan limpah terima kasih yang mendalam kepada Prof. Dr. Anak Agung Ngurah Anom Kumbara, M.A, selaku promotor, yang di tengah-tengah kesibukannya meluangkan banyak waktunya memberikan bimbingan kritis keilmuan dengan penuh perhatian, ketekunan, dan ketelitian, demi perbaikan selama penulisan disertasi ini; Prof. Dr. Aron Meko Mbete, selaku kopromotor I yang di tengah-tengah kesibukannya dengan sifat kebapakannya bersedia meluangkan banyak waktunya untuk memberikan bimbingan dengan penuh perhatian, kesabaran, ketekunan, ketelitian, dan selalu membangkitkan motivasi ke arah penyelesaian disertasi ini; Dr. I Gede Mudana selaku kopromotor II yang di tengah-tengah kesibukannya selalu bersedia tanpa pamrih meluangkan banyak waktunya memberikan bimbingan dengan penuh perhatian, ketekunan, ketelitian serta membangkitkan motivasi tinggi ke arah perbaikan disertasi ini.
Pada kesempatan ini pula perkenankanlah penulis
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak di bawah ini.
1.
Prof. Dr. dr. I Ketut Swastika, Sp.P.D.,KEMD., (Rektor Universitas Udayana) dan Prof. Dr. dr. Anak Agung Raka Sudewi, Sp.S. (K) (Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana) yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menggali dan menimba ilmu pada Program Pascasarjana (S3) Kajian Budaya Universitas Udayana.
vi
2.
Prof. Dr. Anak Agung Bagus Wirawan, S.U. (Ketua Program Doktor (S3) Kajian Budaya) dan selaku anggota penguji telah banyak membantu penulis, baik secara kelembagaan untuk memberikan pemahaman secara akademik maupun perhatian secara pribadi, untuk lebih membangkitkan motivasi penulis, sikap optimisme dan kesabaran menghadapi berbagai hambatan.
3.
Dr. Putu Sukarja, M.Si. (Sekretaris Program Doktor, S3 Kajian Budaya) dan selaku anggota penguji, telah banyak membantu penulis, baik secara kelembagaan untuk memberikan pemahaman secara akademik maupun arahan secara kritis konstruktif selama penulisan disertasi ini.
4.
Prof. Dr. I Gde Parimartha, M.A., selaku anggota penguji yang telah memberikan saran dan kritik konstruktif yang sangat bermanfaat demi perbaikan disertasi ini.
5.
Prof. Dr. Phil. I Ketut Ardhana, M.A., selaku anggota penguji yang telah memberikan saran dan kritik konstruktif yang sangat bermanfaat demi perbaikan disertasi ini.
6.
Dr. Ida Bagus Dharmika, M.A., selaku anggota penguji dan di tengah-tengah kesibukannya sebagai Rektor Universitas Hindu Indonesia, bersedia meluangkan banyak waktunya untuk memberikan saran dan kritik konstruktif yang sangat bermanfaat demi perbaikan disertasi ini.
7.
Para Dosen S3 Kajian Budaya yang telah banyak memberikan sumbangan ilmu pengetahuan kepada penulis selama menempuh pendidikan di Universitas Udayana, pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada Prof. Dr. I Wayan Cika,M.S., Prof. Dr. I Nyoman Kutha Ratna, S.U., Prof. Dr. I Made Swastika, S.U., Prof. Dr. I Wayan Ardika, M.A., Prof. Dr. I Nyoman Weda Kusuma, M.S., Prof. Dr. I Nyoman Shirta, S.U., Dr. Ida Bagus Pujaastawa, M.A., Dr. I Nyoman Dana. Ucapan yang sama disampaikan pula kepada seluruh staf administrasi Program Doktor Kajian Budaya Universitas Udayana: Putu Sukaryawan, S.T., Dra. Ni Luh Witari, Cok Murniati, S.E., Wayan Ariyati, S.E., Putu Hendrawan, I Nyoman Candra, Ketut Budiarta yang telah membantu mengkritisi kelengkapan administrasi dan memberikan petunjuk teknis dalam
vii
memperlancar
proses
edukasi.
Terima
kasih
kepada
teman-teman
seperjuangan pada Program Doktor (S3) Kajian Budaya Udayana. 8.
Prof. Dr. Ir. H. Usman Rianse, M.S. (Rektor Universitas Halu Oleo) dan Prof. Dr. Ir. La Rianda Baka, M.S. (Purek I Universitas Halu Oleo) yang telah mengizinkan kami meninggalkan tugas selaku staf pengajar pada Universitas Halu Oleo Kendari serta memberikan dorongan moril dan bantuan material selama penulis mengikuti Pendidikan Doktor Kajian Budaya.
9.
Prof. Dr. La Iru, S.H., M.Si (Dekan FKIP Universitas Halu Oleo), yang telah mengizinkan penulis meninggalkan tugas selaku staf pengajar pada Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Halu Oleo Kendari.
10. Rekan staf dosen, Dr. Hilaluddin Hanafi, Dr. Rivai Nur,M.Hum., Dr. Mursidin, M.Hum., Drs H. Rauf Suleman, M.Hum., Dr. Safilu, M.Hum., Dr. Jasin, M.Hum., Dr. Fahinu, M.Hum., Drs. La Rabani, M.Hum., dan Drs. Haeruddin, M.S., yang telah memotivasi untuk mempercepat penyelesaian studi doktor. 11. Dosen Senior asal Buton, Prof. Drs. H. La Ode Siradjudin Djarudju (alm), Prof. Dr. H. Faad Maonde, Prof. Dr. H. Zalili Sailan, Drs. H. Asrif Ahmad, M.Si., Prof. Dr. Ir. H. La Sara, Prof. Dr. La Ode Murdjani Kamaluddin, Prof. Dr. H. Taane La Ola, Prof. Dr Takdir Saili, atas dorongan, motivasi, dan doanya selama penulis mengikuti pendidikan ini . 12. Drs. La Kaju, selaku Camat Betoambari, Lurah Lipu, Lurah Katobengke, dan Lurah Waborobo yang telah bersedia membantu memberikan informasi dan dorongan selama penulis melakukan penelitian.
Penulis mengucapkan
terima kasih tak terhingga kepada para informan khususnya tokoh masyarakat Buton, La Ode Ansari, La Mbalangi, La Ode Arsal, dan tokoh masyarakat Katobengke, Maa Hasini selaku Parabela Katobengke, Imam Katobengke H. La Amba, H. Wa Iya, La Hamu, La Obo, La Mande, La Naihu, Fifin atas jasa mereka memberikan informasi tanpa rasa jenuh, menerima kehadiran penulis sebagai peneliti pada berbagai tempat dalam wilayah Kecamatan Betoambari.
viii
13. Sembah sujud ananda kepada ayahanda H. La Ode Dimi dan ibunda Hj. Wa Ode Marfu’a, serta kakek/ nenek, La Ode Djarudju (alm) dan Wa Ode Saleha (alm) yang semasa hidupnya telah merawat dan membesarkan penulis bersama bibi dan paman yang tercinta; Wa Ode Marfiah (alm), Prof. H. La Ode Siradjuddin (alm), Wa Ode Munira, Hj.Wa Ode Naana Zam’ah, Wa Ode Afiah, Wa Ode Ramlah (alm), dan Wa Ode Rasidah, S.Pd., Adik kandung, H. La Ode Dirham, M. Mar., H. La Ode Darmin, SH., MSi., La Ode Djumain, S.T., MSi., La Ode Dahlan, S.H., La Ode Darmawan, S.Sos., La Ode Darwin, S.T., Wa Ode Mardiana, Wa Ode Marniati, S.E., Wa Ode Marlina, S.P., Hj. Wa Ode Marhayeni, S.E., Wa Ode Farniah, S.P.
Bapak
dan ibu mertua, La Satu (alm) dan Zamu’ah (alm), berkat doa mereka semasa hidupnya. Adik ipar, Mustakim Sarantoga A.Md dan Ismail Anasara sekeluarga, yang semuanya berkat bantuan, doa restu mereka sehingga penulis dapat merampungkan studi ini. 14. Istri tercinta, Suriati, S.E., M.Si. atas jasanya yang tak terhingga, terutama dorongan, baik moril maupun material, dalam proses menyelesaikan studi doktor, di samping melakukan tugas dan kewajibannya sebagai ibu rumah tangga. Kepada Anakku; La Ode Muhamad Suardi Dirman, Wa Ode Imelda Asriani, La Ode Ardian Dirman, SH., La Ode Ovel Ihram Dirman, Wa Ode Imelda Asriani Dirman, S.T., dan Fahmi serta Al cucu tercinta sebagai pembangkit motivasi penulis menyelesaikan studi doktor. Semoga apa yang tertuang dalam disertasi ini mendapat hidayah Allah SWT untuk dapat memberikan manfaat, baik kepentingan akademik, pribadi, keluarga, maupun kepentingan praktis Masyarakat Buton, khususnya masyarakat Katobengke di Kota Baubau Buton Sulawesi Tenggara.
Denpasar, Desember 2014
Penulis
ix
ABSTRAK Orang Katobengke merupakan salah satu subetnik Buton yang mengalami diskriminasi dan stigmatisasi pada era kesultanan hingga orde baru. Sejak reformasi berjalan, orang Katobengke mulai melakukan perlawanan, baik melalui wacana, perlawanan simbolik maupun kekerasan fisik yang berimplikasi, baik terhadap elite maupun orang Katobengke sendiri. Hal tersebut menarik untuk dikaji secara mendalam yang terfokus pada (1) bentuk perlawanan orang Katobengke terhadap hegemoni elite tradisional, (2) faktor yang melatarbelakangi perlawanan tersebut, dan (3) implikasinya terhadap orang Katobengke sendiri dan elite tradisonal. Untuk memahami fenomena tersebut digunakan metode kualitatif dengan teknik pengumpulan data melalui observasi, wawancara mendalam dan dokumentasi serta dipandu dengan teori hegemoni, diskursus dan praktik sosial. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) bentuk perlawanan orang Katobengke melalui diskursus mitos asal usul dan identitas; perlawanan simbolik melalui ritual dan perkawinan, keparanormalan; perlawanan pasif hingga kekerasan fisik; (2) faktor yang melatarbelakangi perlawanan meliputi diskriminasi identitas, stigmatisasi PKI, stereotip budak, tabu perkawinan dengan elite dan ibadah haji; (3) implikasi perlawanan bahwa ideologi kesultanan tidak efektif lagi bagi kepentingan orang Katobengke, munculnya stratifikasi secara achieved status, adaptasi teknologi tradisional ke arsitektur modern, dan pakaian adat Katobengke berubah bahan, motif, dan warnanya, elite Katobengke memasuki ruang kepolitikan elite tradisional, memakai gelar La Ode. selain itu longgarnya larangan perkawinan antara elite dan Katobengke, mata pencaharian dari bertani ke sektor jasa, merebut kepemilikan lahan adat, pertunjukan ritual sebagai penguatan solidaritas Katobengke, pengetahuan astronomi tradisional dimanfaatkan untuk komunikasi politik dengan elite tradisional. Temuan penelitian bahwa perlawanan orang Katobengke merefleksikan perjuangan penegasan identitas, mencari identitas baru. Ideologi harmoni elite kesultanan dinodai politik indirect rule Belanda dengan kekerasan membayar pajak terhadap rakyat, mewarisi orde baru mencitranegatifkan Katobengke. Reformasi berjalan, ketidakpercayaan Katobengke terhadap ideologi elite tradisional, munculnya tiga kekuatan elite Katobengke: Katobengke Islam tradisional, Katobengke Islam murni, dan Katobengke elite modern untuk bersama menolak label budak terhadap diri mereka. Longgarnya kekerasan simbolik elite mengenai status kadie dan tabu adat. Katobengke Islam modern menyatakan ritual Katobengke Islam tradisional bertentangan dengan ajaran Islam dan lunturnya karisma “Parabela”. Tindakan menyembunyikan identitas sebagai strategi untuk membebaskan diri dari stigma elite tradisional. Predikat inaa laode dan maa laode menjadi senjata elite Katobengke mentabuadatkan elite tradisional yang melanggar norma adat dan agama. Dapat disimpulkan bahwa bentuk perlawanan orang Katobengke terjadi akibat perlakukan tidak adil elite sejak era kesultanan hingga orde baru. Ketidakberfungsian ideologi harmoni elite sebagai ekspresi penolakan predikat budak dan tabu adat. Perlawanan fisik sebagai representasi ketersinggungan historis yang terinternalisasi dalam diri mereka. Pelanggaran adat perkawinan,
x
naik haji, gelar maa Laode, penguasaan tanah bekas kesultanan, mendapat reaksi pasif dari elite tradisional. Kemampuan paranormal adalah modal budaya dan politik untuk meng-counter hegemoni elite tradisional bahwa mereka sebagai orang tua bangsawan serta ritualnya menunjukan mereka sebagai suku asli Buton. Disarankan, kiranya pemerintah memanfaatkan kearifan solidaritas mereka untuk memediasi, menyatukan variasi, mengonstruksi identitas Katobengke baru. Selain itu merevitalisasi nilai kebinekaan elite direlevansikan dengan filosofi Katobengke. Stereotip dan tabu adat dilokalisasi dan membuka forum adat diadaptasikan dengan perkembangan global dewasa ini Kata kunci: hegemoni, kontra hegemoni, stereotip, dan tabu adat
xi
ABSTRACT Katobengke people is one of the sub-ethnic Buton who experience discrimination and stigmatization in the empire until the New Orde r era. Since the Reformation goes, people started to take the fight Katobengke either through discourse, symbolic and physical violence as well as the implications for the elite Katobengke own. It is interesting to study in depth which focused on (1) a form of resistance, the Katobengke against the hegemony of the traditional elite, (2) the factors underlying the resistance and (3) the implications for themselves and the people Katobengke traditional elite. To understand the phenomenon used qualitative methods of data collection techniques through observation, in-depth interviews and documentation as well as guided by the theory of hegemony, discourse and social practice. The results showed that 1) a form of resistance through discourse Katobengke the origin myth and identity; through the symbolic resistance, and mating rituals, keparanormalan; passive resistance to physical violence; 2) factors underlying resistance include; identity discrimination, stigmatization PKI, stereotypical slave, taboo marriage with elite and pilgrimage; 3) Implications of resistance that the imperial ideology is no longer effective for the benefit of Katobengke, the emergence of stratification is achieved status, adaptation technologies and traditional to modern architecture, custom clothing Katobengke change material and color motif, elite kepolitikan Katobengke entered the traditional elite, using the title La Ode ., the loose prohibition of marriage between elite and Katobengke, livelihood from agriculture to services, seize customary tenure, ritual performances as strengthening solidarity Katobengke, traditional astronomical knowledge, used for political communication with the traditional elite. The findings of the research that the resistance struggle Katobengke reflect the assertion of identity, searching for a new identity. Harmony of the imperial elite ideology, politics tainted Dutch indirect rule with violence against the people paying taxes, inherited the image the negatifkan Katobengke ORBA. Reform runs, distrust Katobengke against traditional elite ideology, the emergence of three elite force Katobengke: Katobengke Traditional Islam, Islamic Katobengke Pure and modern elite Katobengke together reject the label slaves to themselves. Looseness of the elite on the status of symbolic violence Kadie and customary taboos. Katobengke modern Islamic states Katobengke traditional Islamic rituals contrary to the teachings of Islam and the erosion of charisma "Parabela". Conceal identity as a strategy to liberate themselves from the stigma of the traditional elite. Predicate Inaa Laode and maa Laode become an elite weapon Katobengke mentabu adatkan traditional elites who violate customary and religious norms. It was concluded that a form of resistance Katobengke due unfair treatment of the elite since the Sultanate until a new orde r. Malfunction harmony ideology as an expression of rejection predicate elite slaves and indigenous taboo. Physical resistance as representase historical ketersingunggan internalized within them. Marriage customs violations, pilgrimage, Laode maa title, tenure, got a passive reaction of the traditional elite. Paranormal ability is culture capital, and
xii
political, to mencouter traditional elite hegemony that they as parents show their nobility and rituals as tribal Buton. It is suggested, the government would utilize their wisdom to mediate solidarity, uniting variation, constructing new Katobengke identity. revitalize the value of diversity elite relevanced with Katobengke philosophy. Stereotypes and traditional taboos and open forums localized custom adapted to today's global development. Keywords: hegemony, counter hegemony, stereotypes, and taboos
xiii
RINGKASAN
Orang Katobengke merupakan salah subetnik Buton yang konsentrasi permukimannya berada di pusat Kota Baubau. Dalam struktur sosial Kesultanan Buton, orang Katobengke tergolong strata papara (rakyat) yang kemudian sejak orde
baru mendapat stigma dari kalangan elite yang mengonotasikan mereka
sebagai komunitas budak dan pekerja kasar. Dalam praktik kehidupan sehari-hari orang-orang non-Katobengke pada berbagai tempat menstigmakan bahwa orang Katobengke selalu dijadikan contoh yang sifatnya destruktif, baik melalui ungkapan tradisional maupun berbagai lelucon, seperti orang Katobengke banyak makan, kotor atau perumpamaan buruk lainnya yang dialamatkan pada diri mereka.
Sejak era reformasi
tindakan
kecil-kecilan,
mereka mulai melakukan perlawanan berupa
demonstrasi,
tindakan
perorangan
perkelahian dengan pemuda di kelurahan lainnya.
secara
brutal,
Perlawanan fisik orang
Katobengke secara terorganisasi ditandai dengan terjadinya peristiwa berdarah pada tahun 2001 berhadapan dengan pemuda di kelurahan tetangga, seperti Kelurahan Bone-bone, Wameo, dan kelompok eksodus Ambon. Konflik bersumber pada masalah pencaplokan sebagian wilayah permukiman mereka oleh warga non-Katobengke dan eksodus Ambon. Tujuan penelitian ini adalah mencari bentuk-bentuk perlawanan, faktor yang melatarbelakangi perlawanan, dan implikasinya, baik terhadap orang Katobengke sendiri maupun elite tradisonal.
Secara teoretis, dalam upaya
menentukan arah penelitian ini maka diperlukan kajian-kajian pustaka yang relevan dengan kekuatan tiga teori yang saling mendukung, yaitu teori hegemoni Gramsci,
teori praktik sosial Bourdieu, dan teori diskursus kuasa Foucault.
Untuk menggali permasalahan penelitian dalam rangka mencapai tujuan penelitian tersebut maka diperlukan metode yang relevan. Adapun metode yang digunakan adalah metode kualitatif sesuai dengan roh kajian budaya yang bersifat kualitatif dan kritis berciri induktif, interdisipliner, multikulturalis, emansipatoris, dan holistik.
Data diperoleh
melalui sumber primer dan sekunder serta peneliti sendiri sebagai instrumen yang
xiv
dibantu dengan pedoman wawancara.
Teknik pengumpulan data melalui
wawacara mendalam, observasi, dan dokumen hingga analisis melalui reduksi, seleksi informan dan penyajiannya menghasilkan sebuah disertasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bentuk, latar belakang,dan implikasinya dapat disajikan sebagai berikut. 1) Bentuk perlawanan orang Katobengke terhadap hegemoni elit dilakukan melalui (1) diskursus pengetahuan mitos asal usul, diskursus pengetahuan identitas, diskursus posisi dan peran mereka dalam struktur sosial; (2) bentuk perlawanan simbolik dalam bentuk ritual, perkawinan, dan keparanormalan; dan (3) perlawanan pasif hingga kekerasan. Pada era reformasi ini mereka semakin meningkatkan solidaritasnya yang ditunjukkan dalam berbagai perlawanan simbolik melalui atraksi ritual, kemampuan paranormal tidak hanya berfungsi dalam lingkungan Katobengke, tetapi juga melibatkan para elite birokrasi untuk memenangkan sebuah pertarungan politik di Kota Baubau. Perlawanan dengan kekerasan fisik mulai tahun 2001 hingga sekarang masih tampak dilakukan, baik secara perorangan maupun kolektif.
Hal tersebut menunjukkan pula adanya
perubahan perilaku, yaitu dari introver menjadi introvert, terutama bagi para pemuda yang biasanya memperlihatkan sikap antipati ketika berhadapan dengan pemuda non-Katobengke. Suatu hal yang perlu dicermati, yaitu ketika mereka berada di luar daerah selalu menyembunyikan identitas kesukuan. Sebaliknya, ketika berada dalam komunitasnya, mereka menunjukkan sikap kurang bersahabat, tidak berbaur dengan pemuda lain. Artinya, di depan mengatakan ya, tetapi di belakang tidak dilakukan. 2) Faktor-faktor yang melatarbelakangi perlawanan tersebut adalah tereproduksinya stigma elite terhadap indentitas mereka sebagai kelompok masyarakat terkebelakang, budak, miskin, bodoh, serta faktor tabu adat, seperti larangan perkawinan dengan elite, tabu naik haji, tidak boleh sama dengan ciri fisik dan bahan bentuk rumah elite.
Faktor-faktor tersebut menyebabkan orang
Katobengke melakukan perlawanan sebagaimana diutarakan di atas atau sebagai bentuk kontra hegemoni terhadap elite melalui diskursus pengetahuan tradisional
xv
yang didukung oleh orang-orang Katobengke yang telah mapan secara ekonomi, pendidikan, dan politik (achieved status). 3) Implikasi perlawanan orang Katobengke terhadap hegemoni elite adalah sebagai berikut. Pertama, aspek suprastruktur meliputi (a) implikasi ideologi elite, binciki binciki kuli bermakna tenggang rasa antarsesama yang tampaknya tidak mencerminkan realitas apa adanya. Oleh karena itu, orang Katobengke mulai mempersandingkan filosofi mereka atau kontra hegemoni terhadap filosofi elite. Hal itu dilakukan melalui mitos identitas kepahlawan melalui falsafah patasingkupatawala bermakna
empat sudut mata angin sebagai kitab suci.
Falsafah tersebut bermakna persaudaraan antara elite keraton dan orang Katobengke yang dijadikan sebagai pedoman dalam berlaku dan bertindak dalam kehidupan sehari-hari. (b) Implikasi aspek agama melahirkan golongan progresif yang
menghendaki
perubahan
tradisi
dan
golongan
konservatif
yang
mempertahankan nilai–nilai adat dan tradisi, sebagai strategi menguatkan solidaritas mereka. (c) implikasi aspek iptek, mereka memiliki kemampuan adaptif pengetahuan dan keterampilan tradisional ke arsitektur modern dan kemudian elite tradisional membutuhkan ketrampilan mereka dalam membangun rumah baru atau bangunan pemerintah. Era orde
baru tragis, pakaian adat
kabhaleko dan bidha dimusnahkan pemerintah, tetapi kemudian sejak reformasi berjalan muncul motif-motif pakaian adat baru yang tampak terlihat pada setiap kegiatan perkawinan atau ritual lainnya dalam komunitas mereka. Hal tersebut sebagai bentuk perlawanan terhadap diskriminasi elite tradisional dan mereka memiliki peradaban yang sama dengan elite.
Kedua, aspek struktur sosial,
implikasi kepolitikan, orang Katobengke telah memasuki ruang kepolitikan elite, dalam dunia kepartaian, legislatif dan untuk pertama kali dalam sejarah orang Katobengke menjadi camat dan lurah di wilayah mereka sendiri. Elite tradisional yang menguasai panggung kepolitikan di Kota Baubau tampak semakin persuasif terhadap orang Katobengke, karena berkaitan dengan pemilihan langsung wakilwakil rakyat. Orang Katobengke mengubah satus (kamiya), yaitu penggunaan gelar maa Laode (bapak bangsawan) di depan nama mereka, kemudian muncul stratifikasi masa kini dengan indikator kemajuan ekonomi dan pendidikan.
xvi
Terjadinya kawin lari antara wanita elite dan laki-laki Katobengke sebagai bentuk perlawanan atas tabu adat dan perkawinan secara endogami dipertahankan dan berkembang perkawinan secara eksogami suku antara mereka dan suku nonButon sebagai strategi perluasan jaringan hubungan kekerabatan bagi orang Katobengke sendiri. Ketiga, aspek infrastruktur, perubahan mata pencaharian dari petani ke sektor jasa bahwa mereka sudah menunjukkan kemampuan adaptifnya, ketrampilan teknologi tradisional ke modern yang bersumber dari status kepemilikan lahan atau kadie. Dengan demikian, modal ekonomi yang bersumber dari hasil penjualan lahan di Kota Baubau sebagai kekutan utama dalam menciptakan modal sumber daya yang lain. Seni pertunjukan ritual sebagai strategi penguatan solidaritas,
stratifikasi tradisional simultan dengan dengan
stratifikasi masa kini merupakan bentuk kontra hegemoni terhadap elite tradisional, perlawanan atas tabu adat perkawinan dan penguatan identitas keadaban, pertumbuhan penduduk sebagai indikator kemampuan memenuhi kebutuhan hidup, kemampuan adaptif sebagai warisan pengetahuan dalam menjaga keseimbangan ekologi perladangan yang melahirkan pengetahuan astronomi meteorologi tradisional menuju ke dunia politik dan ekonomi kapitalistik. Sebagai refleksi penelitian ini menunjukkan bahwa stigma elite tradisional terhadap masyarakat termaginalkan yang terbentuk sejak kolonisasi hingga kini tampaknya masih terwariskan, melekat dalam perilaku dan etos kerja elite dalam dunia pendidikan dan birokrasi pemerintahan. Sebagaimana diungkapkan para peneliti terdahulu bahwa elite birokrasi merupakan representasi
birokrasi
kolonial. Orang Katobengke yang dijadikan fokus kajian ini adalah salah satu di antaranya yang mendapat stigma atas kekuasaan elite tradisional yang tampak masih menguasai panggung kepolitikan di Kota Baubau. Orang Katobengke sebagai salah satu subkultur Buton diharapkan memperoleh posisi yang wajar dalam struktur sosial di Kota Baubau. Kepemilikan adat dan ritual merupakan indikator bentuk solidaritas kebersamaan mereka, sebagai modal sosial dan budaya yang diimplementasikan dalam pembangunan sistem sosial di Kota Baubau. Untuk itu, diperlukan sebuah kesadaran mondial. Kesadaran palsu yang
xvii
ditampilkan selama ini di pelbagai posisi sosial, maka strategi yang digunakan adalah mengubah kepalsuan sistem sosial itu yang masih mengakar dalam ruang ekosistem kepolitikan, ekonomi, sosial, dan budaya di Kota Baubau. Dengan demikian, kesadaran yang sesungguhnya niscaya dapat terwujud. Temuan penelitian menunjukkan bahwa elite tradisional kaomu dan walaka merupakan kelompok penguasa pada era kesultanan dan kelompok papara merupakan kelompok yang dikuasai. Berakhirnya era kesultanan, memasuki era orde lama, orde baru hingga orde
reformasi ini kedua elite tradisional tersebut
masih menguasai panggung kepolitikan di Kota Baubau. Stigma elite kaomu dan walaka terhadap orang Katobengke sebagai warisan peninggalan kolonialisme Belanda berkaitan dengan pemaksaan sistem pembayaran pajak (balaste). Aparat kesultanan dengan senjata ideologi persuasifnya tidak mampu melawan tekanan Belanda dan memaksa aparat kesultanan untuk menggunakan kekerasan terhadap rakyatnya. Pada era orde baru kekerasan warisan kolonial itu muncul kembali melapisi bentuk persuasif pemerintahan yang ditandai dengan kekerasan penumpasan G 30S PKI di Kota Baubau secara membabi buta khususnya terhadap orang Katobengke sebagai kelompok termarginalkan sejak era kesultanan bermukim di pusat Kota Baubau. Selama pemerintahan orde baru berbagai bentuk kekerasan simbolik terhadap orang Katobengke yang dilakukan ABRI, memperalat elite tradisional, baik yang berada di posisi pemerintahan, pengusaha, maupun masyarakat umum di Kota Baubau. Kekerasan simbolik tersebut, seperti stereotip budak, bodoh, diskriminasi terhadap perempuan Katobengke, dan praktik tabu adat yang disematkan pada orang Katobengke. Elite yang menduduki posisi pemerintahan menghaluskan kekuasaan, menggunakan slogan falsafah bolimo karo somanamo lipu artinya korbankan diri untuk kepentingan daerah yang kemudian sejak reformasi berjalan orang Katobengke mulai menunjukkan ketidakpercayaan atas slogan-slogan tersebut, tetapi lebih pada ketersingungan historis atas stigma elite tradisional. Penolakan orang Katobengke merupakan reaksi terhadap elite yang mengekang dan mereka mulai menggunakan kekuatan pengetahuan tradisional yang mengacu mitos asal usul identitas dan falsafah patasingku patawala sebagai
xviii
kitab suci serta pengetahuan astronomi dan meteorologi tradisional. Predikat Katobengke inaa laode dan maa Laode merupakan strategi hegemonik untuk mempertahankan kekuasaan elite tradisional tampak tidak berfungsi lagi dalam komunitas Katobengke. Reproduksi stereotip dan tabu adat elite yang disematkan atas orang Katobengke merupakan sumber perlawanan melalui diskursus mitos identitas, karisma pemimpin adat Parabela Mancuana.
Di samping itu,
mempertahankan status historisasi kepemilikan lahan sebagai modal ekonomi, kemampuan paranormal sebagai alat negosiasi politik dan ekonomi, atraksi pertunjukan dalam ritual dan tabu adat ciptaan elite tradisional Katobengke merupakan strategi penguatan solidaritas dan identitas komunitas mereka. Dalam hubungan itu, lahir tiga kekuatan elite Katobengke, yakni elite Katobengke Islam tradisional yang mempertahankan nilai tradisi lama, elite Katobengke Islam murni berusaha mengubah tradisi lama, dan elite pemuda Katobengke yang tampak mencari alternatif untuk menemukan bentuk-bentuk identitas Katobengke modern. Perlawanan dilakukan lewat wacana mitos asal usul, peran dan posisi dalam struktur sosial.
Perlawanan simbolik dilakukan lewat ritual hingga
perlawanan fisik, yang kemudian didukung alat perlawanan dari kelompok pemuda yang berpendidikan tinggi dan para elite pemuda Islam murni Katobengke.
Kemudian orang Katobengke yang berada dalam ruang elite
birokrasi pemerintahan tampak menjadi mediator di antara penguasa elite tradisional dan komunitas Katobengke di Kota Baubau.
Sejumlah tentara
Katobengke yang bertugas di luar Kota Baubau, tampak tidak terorganisasi, tetapi setiap individu terinternalisasi dalam alam pemikiran untuk pada saat tertentu mengontrol kekuatan perlawanan komunitas di Kota Baubau.
Di balik
perlawanan itu mereka telah memiliki modal sosial, budaya, dan ekonomi sebagai prinsip resiprositas antarsesama Katobengke, seperti gotong royong dalam aktivitas ritual, mendirikan rumah baru, dan saling membantu keluarga dalam bidang kelanjutan pendidikan anak. Semua itu sebagai bentuk kearifan lokal yang berguna untuk pembangunan daerah. Kemudian karisma parabela, jasa keparanormalan orang Katobengke yang selalu dimanfaatkan elite birokrasi pemerintahan digunakan sebagai alat negosiasi terhadap kelompok elite
xix
tradisional yang masih berkuasa di berbagai bidang pemerintahan, sosial, dan budaya di Kota Baubau. Ideologi harmoni elite kesultanan, dinodai politik indirect rule Belanda dengan kekerasan kewajiban membayar pajak. Kemudian diwarisi pemerintahan orde baru mencitranegatifkan orang Katobengke sebagai budak dan pekerja kasar. Sejak reformasi berjalan praktik ideologi harmoni elite tidak manjur lagi bagi orang Katobengke. Sehubungan dengan itu, mereka melakukan perlawan pasif dan fisik terhadap dominasi elite tradisional dengan berusaha membangun modal sumber daya ekonomi, pendidikan, dan politik. Terkait dengan itu, muncul tiga kekuatan elite Katobengke, yaitu Katobengke Islam tradisional, Katobengke Islam murni, dan Katobengke elite modern menolak label budak atas diri mereka. Predikat inaa laode dan maa laode menjadi senjata elite Katobengke mentabuadatkan elite yang melanggar norma adat dan agama.
Diskriminasi
kepemilikan lahan atau kadie orang Katobengke dilonggarkan dengan lahirnya UUPA No 5, Tahun 1960. Penghapusan status tanah kesultanan memperkuat status kepemilikan lahan Katobengke dan longgarnya kekerasan simbolik elite tradisional tentang status mereka sebagai pelayan, pekerja buruh tani di antara elite tradisional. Strategi adaptif orang Katobengke di daerah rantau mirip dengan strategi ekologi peladang berpindah, mengontrol, menyumbang komunitas mereka di kampung halaman (push pull). Perlawanan terhadap identitas sendiri, yaitu orang Katobengke Islam modern menyatakan bahwa ritual bertentangan dengan ajaran Islam. Kemudian mulai lunturnya karisma “parabela”. Sebuah strategi elite pemuda dan Islam Katobengke modern ketika berada di luar wilayah Kota Baubau adalah menyembunyikan identitas sebagai strategi membebaskan diri dari tekanan stigma elite tradisional. Berdasarkan hal-hal tersebut disimpulkan bahwa proses perlawanan orang Katobengke merupakan akibat perlakuan tidak adil dalam sejarah kesultanan. Faktor yang melatarbelakangi kebijakan elite yang memarginalkan orang Katobengke melalui aksi pasif reproduksi stereotip dan sistem tabu adat berimplikasi melahirkan perlawanan identitas ideologi tandingan, terjadinya perubahan mata pencaharian, dan ketidakpercayaan tabu adat elite. Di samping
xx
itu, juga munculnya stratifikasi masa kini, meningkatnya pendidikan, ekonomi, politik, perubahan watak introver menjadi ektrover, bertahannya adat istiadat seperti seni tradisional, adaptasi teknologi, dan tradisi ritual. Hal lainnya adalah munculnya kelompok progresif keagamaan di Katobengke. Dengan demikian, lahir tiga kekuatan elite Katobengke, yakni elite Katobengke Islam modern, elite pemuda Katobengke modern, dan elite Katobengke Islam murni yang mengancam eksistensi Islam tradisional. Di pihak lain, elite pemudanya sebagai implikasi perlawanan terhadap identitas sendiri. Perlawanan terhadap identitas sendiri yaitu tampak mulai merosotnya karisma parabela. Hal itu dimanmaatkan sebagai upaya strategik elite pemuda Katobengke modern mencari alternatif untuk menemukan bentuk-bentuk identitas Katobengke modern. Perubahan mata pencaharian orang Katobengke di sektor jasa sebagai akibat tekanan penduduk. Karisma kepemimpinan tradisional mulai luntur berimplikasi pada sebuah arena pertarungan antara aktor pejuang (achieved status) yang dalam status sosial tradisional berada pada posisi lapis bawah. Hal tersebut dapat berperan ganda secara simultan atau bersamaan sebagai kelas ekonomi kapital kepemilikan lahan,
pendidikan tinggi, dan peran-peran
kekuasaan masa kini yang kemudian secara perlahan mulai menyejajarkan diri dengan status kamiya (ascribed status) elite tradisional sekaligus mengancam eksistensi nilai–nilai tradisi orang Katobengke sendiri. Berdasarkan simpulan di atas daapat disarankan sebagai berikut. Elite Katobengke Islam tradisional, elite Katobengke Islam murni, dan elite pemuda disarankan agar duduk satu meja merevitalisasi nilai-nilai ideologi kebinekaan” poromundaasangu pogaa ndaakoolotaa” (berkumpul bukan satu, berpisah tidak berantara). Nilai-nilai tersebut dapat direlevansikan dengan falsafah lokal Katobengke patawala patasingku yang menggambarkan persaudaraan antara Buton dan Katobengke. Stereotip negatif secara historikal dilokalisasi sesuai dengan tanggung jawab zaman agar tidak dimanfaatkan oleh kelompok kepentingan dan tidak terbawa arus agenda-agenda yang dikembangkan oleh kepentingan politik sesaat. Pihak pemerintah hendaknya menciptakan ruang bagi masyarakat untuk terlibat dalam setiap proses pengambilan keputusan. Terkait
xxi
dengan adat istiadat perkawinan tabu antarstrata tradisional, kiranya para tokoh adat Buton dapat membuka forum sosialisasi yang diadaptasikan dengan perkembangan global dewasa ini.
Program-program ekonomi rakyat melalui
institusi lokal Katobengke perlu terus dikembangkan dengan melihat peluangpeluang pasar yang cocok bagi masyarakat termasuk mengembalikan hak-hak ulayat oleh pengusaha dan pemerintah.
Modal solidaritas kepatuhan, gotong
royong pohamba-hamba adalah sebuah bentuk kearifan lokal yang perlu dilestarikan, sekaligus sebagai modal sosial dalam membangun sebuah identitas modernis bagi komunitas Katobengke sebagai bagian dari masyarakat Kota Baubau.
xxii
DAFTAR ISI
SAMPUL DALAM .......................................................................................
i
PRASYARAT GELAR DOKTOR.................................................................
ii
LEMBAR PENGESAHAN............................................................................
iii
PENETAPAN PANITIA PENGUJI...............................................................
iv
PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT .............................................................
v
UCAPAN TERIMA KASIH ..........................................................................
vi
ABSTRAK ....................................................................................................
x
ABSTRACT ....................................................................................................
xii
RINGKASAN DISERTASI........................................................................... xiv DAFTAR ISI ................................................................................................. xxiii GLOSARIUM ...............................................................................................xxviii DAFTAR TABEL ........................................................................................xxxiv DAFTAR GAMBAR .................................................................................... xxxv DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................xxxvi BAB I PENDAHULUAN .............................................................................
1
1.1 Latar Balakang.......................................................................................
1
1.2 Rumusan Masalah ..................................................................................
10
1.3 Tujuan Penelitian ...................................................................................
11
1.3.1 Tujuan Umum ......................................................................................
11
1.3.2 Tujuan Khusus .....................................................................................
11
1.4 Manfaat Penelitian .................................................................................
11
1.4.1 Manfaat Teoretis ..................................................................................
11
1.4.2 Manfaat Praktis ....................................................................................
12
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka ......................................................................................
13
2.2 Konsep..................................................................................................
23
2.2.1 Perlawanan..........................................................................................
23
xxiii
2.2.2 Orang Kotobengke ..............................................................................
25
2.2.3 Hegemoni............................................................................................
26
2.2.4 Elite Tradisional..................................................................................
28
2.3 Landasan Teori .....................................................................................
32
2.3.1 Teori Hegemoni ..................................................................................
33
2.3.2 Teori Praktik Sosial.............................................................................
42
2.3.3 Teori Diskursus Kuasa dan Pengetahuan .............................................
50
2.4 Model Penelitian ...................................................................................
58
BAB III METODE PENELITIAN .................................................................
60
3.1
Rancangan Penelitian ...........................................................................
60
3.2
Lokasi Penelitian ..................................................................................
61
3.3
Jenis dan Sumber Data .........................................................................
62
3.3.1 Jenis Data ............................................................................................
62
3.3.2 Sumber Data .......................................................................................
62
3.4
Teknik Penentuan Informan .................................................................
63
3.5
Instrumen Penelitian .............................................................................
64
3.6
Teknik Pengumpulan Data ...................................................................
64
3.6.1 Wawancara Mendalam ........................................................................
65
3.6.2 Observasi ...........................................................................................
65
3.6.3 Dokumentasi .......................................................................................
66
3.7
Teknik Analisis Data ...........................................................................
66
3.8
Teknik Penyajian Hasil Analisis Data ...................................................
69
BAB IV GAMBARAN UMUM KOTA BAUBAU.......................................
70
4.1 Profil Kecamatan Betoambari Kota Baubau ...........................................
70
4.1.1 Geografi .............................................................................................
70
4.1.2 Administrasi Pemerintahan..................................................................
72
4.1.3 Demografi ...........................................................................................
74
4.1.3.1 Mata Pencaharian ............................................................................
77
4.1.3.2 Pendidikan .......................................................................................
79
4.1.3.3 Sosial Ekonomi ................................................................................
81
xxiv
4.1.4 Bahasa ................................................................................................
89
4.1.5 Kesenian .............................................................................................
90
4.1.6 Agama dan Kepercayaan ....................................................................
93
4.2
Pemerintahan Kerajaan dan Kesultanan Buton .................................... 101
4.2.1 Asal Usul dan Konsensus Pembentukan Kerajaan ............................... 101 4.2.2 Penyempurnaan Struktur Pemerintahan Kerajaan ................................ 107 4.2.3 Undang-Undang Murtabah Tujuh dan Struktur Pemerintahan.............. 109 4.2.3.1 Undang-Undang Murtabah Tujuh ...................................................... 109 4.2.3.2 Struktur Pemerintahan Kesultanan..................................................... 119 4.2.4 Stratifikasi Sosial Tradisional dan Perkawinan .................................... 137 4.2.4.1 Stratifikasi Sosial Tradisional ............................................................ 137 4.2.4.2 Adat Perkawinan .............................................................................. 142 BAB V BENTUK PERLAWANAN ORANG KATOBENGKE TERHADAP HEGEMONI ELITE TRADISIONAL DI KOTA BAUBAU ..
155
5.1 Bentuk Perlawanan melalui Diskursus ................................................. 158 5.1.1 Diskursus Mitos Asal usul ................................................................. 158 5.1.2 Diskursus Pengetahuan Identitas ....................................................... 169 5.1.3 Diskursus Posisi dan Peran Katobengke Dalam Stratifikasi Sosial ..... 171 5.1.3.1 Diskursus Katobengke Sebagai Laskar Kesultanan Wolio ............... 172 5.1.3.2 Diskursus Naa Laode dan Maa Laode.............................................. 176 5.1.3.3 Diskursus Peran Parabela dan Kadie Katobengke ............................. 181 5.2. Bentuk Perlawanan Simbolik orang Katobengke..……………………… 199 5.2.1 Perlawanan melalui Ritual……………………………………………. 199 5.2.1.1 Ritual Posuo ..................................................................................... 201 5.2.1.2 Ritual Tuturangi Liwu ..................................................................... 212 5.2.2 Kekerabatan dan Perkawinan Katobengke dengan Elite Tradisional .. 223 5.2.3 Perlawanan Simbolik melalui Praktik Keparanormalan ...................... 231 5.3 Bentuk Perlawanan Pasif dan Kekerasan ............................................... 239 5.3.1 Perlawanan Pasif orang Katobengke................................................... 239 5.3.2 Perlawanan Kekerasan Fisik Orang Katobengke.................................. 242
xxv
BAB VI FAKTOR-FAKTOR MELATARBELAKANGI PERLAWANAN ORANG KATOBENGKE TERHADAP HEGEMONI ELITE 6.1 Faktor Diskriminasi dan Marginalisasi Identitas ..................................... 248 6.1.1 Diskriminasi Identitas Katobengke ....................................................... 250 6.1.2 Marjinalisasi Ekonomi dan Kepemilikan Lahan.................................... 257 6.1.2.1 Marginalisasi Ekonomi...................................................................... 257 6.1.2.2 Marginalisasi Kepemilikan Lahan ..................................................... 260 6.1.3 Stigmatisasi PKI ................................................................................. 265 6.2 Faktor Stereotip..................................................................................... 267 6.2.1 Stereotip Labhoora Batua ..................................................................... 267 6.2.2 Stereotip Bodoh ................................................................................... 271 6.2.3 Stereotip Kotor..................................................................................... 278 6.2.4 Stereotip bagi Perempuan Katobengke ................................................ 281 6.3 Faktor Tabu Adat .................................................................................. 285 6.3.1 Tabu Kawin dengan Elite Tradisional................................................... 286 6.3.2 Tabu menunaikan Ibadah Haji .............................................................. 294 6.3.3 Tabu Memiliki bentuk Rumah dan Wajah Elite Tradisional.................. 295 BAB VII IMPLIKASI PERLAWANAN ORANG KATOBENGKE TERHADAP HEGEMONI ELITE TRADISIONAL ...................... 305 7.1 Implikasi Suprastruktur ......................................................................... 305 7.1.1 Implikasi Ideologis ........................................................................... 305 7.1.2 Implikasi Agama ................................................................................. 311 7.1.3 Implikasi Seni .................................................................................... 318 7.1.4 Implikasi Iptek .................................................................................... 323 7.2 Implikasi Aspek Struktur Sosial .......................................................... 326 7.2.1 Implikasi Kepolitikan ......................................................................... 326 7.2.2 Implikasi Stratifikasi Sosial Tradisional ............................................. 333 7.2 3 Implikasi Kekerabatan dan Perkawinan ............................................... 339 7.2.4 Implikasi Perempuan Katobengke ....................................................... 344 7.2.5 Implikasi Identitas Etnik Katobengke .................................................. 348
xxvi
7.3
Implikasi Infrastruktur.......................................................................... 351
7.3.1 Implikasi Ekonomi ............................................................................. 351 7.3.2 Implikasi Demografi .......................................................................... 363 7.3.3 Implikasi Ekologi ............................................................................... 371 7.4 Refleksi................................................................................................. 376 7.5 Temuan Penelitian................................................................................. 382 BAB VIII SIMPULAN DAN SARAN ........................................................ 393 8.1 Simpulan ............................................................................................... 393 8.2 Saran ..................................................................................................... 398 DAFTARA PUSTAKA ................................................................................ 400 LAMPIRAN ................................................................................................ 410
xxvii
GLOSARIUM
amandawu
: secara harfiah berarti “jatuh” dalam konteks adat perkawinan adat Buton mengandung pengertian bahwa perkawinan seorang wanita yang berasal dari strata bangsawan kaomu, kemudian kawin dengan laki-laki berasal dari strata di bawahnya, yakni walaka atau papara, maka status kebangsawan wanita tersebut jatuh atau amandawu termasuk keturunannya.
ayinda yindamo karo somanamo lipu
: falsafah kesultanan Buton artinya korbankan diri untuk kepentingan daerah.
batua
: strata budak, lapisan paling rendah dalam stratifikasi tradisional orang Buton.
barata
: dalam bahasa Wolio Buton dianalogikan perahu bercadik yang memiliki dua sisi sebelah menyebelah bermakna penyeimbang untuk menyebut empat pertahanan keamanan kesultanan Buton yang terdir atas barata Muna, barata Kaledupa, barata Tiworo dan barata Kulisusu.
bhosu
: gerabah atau periuk terbuat dari tanah liat yang digunakan sebagai tempat air minum atau memasak dan kini orang Katobengke digunakannya sebagai syarat untuk kebutuhan ritual para gadis pingitan.
bhisa
: bhisa berarti dukun, istilah umum masyarakat Buton yang memiliki kemampuan merawat dan mengobati, juga istilah yang diberikan pada wanita yang memiliki kemampuan merawat gadis dalam upacara pingitan.
bhoka
: nilai mata uang real yang lazim disebut nilai mahar dalam adat perkawinan Buton misalnya satu real atau satu bhoka bernilai Rp 24.000,00.
bidha
: pakaian adat Katobengke bermotif warna krem ditambal sulam dengan potongan-potongan kain biru dan hijau.
binci binciki kuli
: falsafah Buton era kesultanan yang arti harfiahnya “saling mencubit” bermakna tenggang rasa dalam
xxviii
hubungan sosial sebagai individu dan kolektivitas anggota masyarakat adat. dalaana moalana uwe
: secara harfiah berarti tempat untuk mengalirnya air, sebuah istilah yang digunakan dalam upacara masa panen orang Katobengke bermakna metaforiknya memohon pada leluhur penjaga tanah untuk mengalirkan air kesuburan tanah dari arah timur yang secara simbolik tempat ritualnya di wilayah Lipu Morikana. Ritual yang disyaratkan lewat doa dan sesajen yang dipimpin oleh parabela.
galampa
: istilah wilayah pertemuan adat era kesultanan.
inaa Laode dan maa Laode
: ibu asuhnya bangsawan La Ode dan bapak asuhnya bangsawan La Ode, sebuah istilah panggilan pada orang Katobengke yang pada era kesultanan hingga masa awal Orde baru bertugas merawat bayi bangsawan.
la Ode dan wa Ode
: La Ode gelar kebangsawanan laki-laki dan Wa Ode kebangsawan bagi perempuan golongan kaomu yang digunakan di depan nama seseorang.
kadie
: wilayah adat tempat permukiman golongan papara atau rakyat pada era kesultanan.
katampai
: tanah adat era kesultanan yang diberikan pada seorang elite yang berjasa membela Negara.
katobengke wulala
: orang Katobengke asli yang berasal dari Johor.
katobengke balangege
: orang Katobengke yang berasal dari Laboora Muna.
kamiya
: untuk menyebut status sosial seseorang yang lazim menyebut status kebangsawanan Buton.
kaomu masasa
: golongan bangsawan, yaitu kedua orang tua si individu keturunan asli bangsawan keraton.
kaomu isambali
: golongan bangsawan La Ode yang bermukim di luar benteng keraton dan pada masa kesultanan tidak berhak atas jabatan dalam struktur kesultanan.
kaompu atau kusali
: balai pertemun adat, tempat yang lazim digunakan orang Katobengke dalam pertemuan upacara adat.
xxix
kabhaleko
: sarung adat wanita Katobenge yang bermotif kombinasi horizontal warna hijau dan merah jambu.
kambari
: arti harfiahnya “benang” dan dalam kesultanan adalah istilah sebutan bagi daerah pertahanan lapis ketiga kesultanan Buton.
kotika
: astronomi dan meteorologi tradisional yang biasa digunakan paranormal meramal cuaca, keberhasilan, kebaikan, keburukan nasib, atau penyakit seseorang atau masyarakat menurut waktu hari dan jam tertentu.
kabelai
: syarat untuk membuka dengan doa dalam suatu acara peletakan batu pertama membangun rumah atau acara ritual lainnya.
kaampea
: sebuah wadah sesajen sejenis nyiru yang digunakan pada ritual masa panen.
kaina-ina
: bermakna ibu asuh atau ibu sosial, di mana seorang anak menyebut seorang wanita tua sebagai ibu yang secara metaforik memiliki kedekatan emosional.
kamentea
: secara harfiah berarti heran yang berlebihan, istilah ini dapat berarti tabu adat atas seseorang yang tidak selayaknya dalam status sosialnya menunjukkan prilaku berlebihan yang terancam hukuman supranatural.
kande-kandea
: berarti makan bersama, dalam pesta adat Buton umumnya diadakan upacara adat makan bersama atas keberhasilan masa panen.
katiba
: tarian Katobengke pada upacara posuo atau pingitan yang diatraksikan oleh sejumlah laki-laki dengan formasi berbaris membawa selendang kepada ibuibu yang akan mengatraksikan tarian linda.
lakina
: gelar kepala wilayah perkampungan besar atau semacam raja bawahan dalam era Kesultanan Buton, seperti wilayah barata Muna dibawah pemerintahan lakina atau Raja Muna.
lipu Morikana
: wilayah perkampungan awal orang Katobengke sebagai petani menetap dan kini menjadi tempat upacara adat masa panen.
xxx
linda
: tarian Katobengke yang diatraksikan wanita dengan gerakan memutar sebagai simbol perlindungan tubuhnya yang lazim diatraksikan oleh ibu-ibu Katobengke dalam ritual pingitan.
limbo
: wilayah perkampungan elite pada masa kesultan.
lingga
: tradisi Hindu yang dalam bahasa Buton disebut batu gandangi berupa phallus yang merupakan simbol pria, biasanya diletakkan di atas yoni. Lingga digunakan sebagai tempat pengambilan air suci untuk memandikan calon raja/calon sultan sebelum dilantik.
miapatamiana
: empat orang dewa “pembawa adat” pada awal terbentuknya kerajaan Buton.
matana sorumba
: secara harfiah “lubang jarum” untuk menyebut empat wilayah pertahanan lapis kedua kesultanan Buton, yaitu Kampung Wabula, kampung Lapandewa, Watumotobe, dan Mawasangka.
mangaru
: tari perang yang diatraksikan sepasang laki-laki dengan menggunakan keris dalam acara penutupan ritual pingitan. Pada era kesultanan tarian tersebut untuk menyambut para tamu yang berasal dari kerajaan lain yang kemudian diadopsi oleh masyarakat kadie dalam wilayah kesultanan.
maradika
: golongan strata lapisan budak yang dimerdekakan.
maiana bara
; datangnya musim barat sebagai upacara tahunan bagi orang Katobengke.
murtabah tujuh
; undang-undang Kesultanan Buton yang diciptakan pada ke-17 masa pemerintahan Sultan pertama Murhum.
miamiana tanah
: makhluk penjaga tanah wajib diberikan sesajen untuk meminta kesuburan tanah pertanian.
parika
: tokoh adat yang memimpin upacara masa panen untuk tingkat lokal di wilayah perkebunan.
parabela
: bermakna pembela, sebagai pemimpin adat atau kepala suku pada setiap wilayah kadie pada era kesultanan.
xxxi
parabela mancuana
:
pemimpin pertama orang Katobengke yang dimakamkan dalam kompleks Lipu Morikana tempat ritual tahunan orang Ktobengke.
papara
: golongan rakyat atau strata lapisan ketiga dalam struktur Kesultanan Buton.
poluka
: periuk yang terbuat dari tanah liat untuk memasak.
popolo
: mahar dalam perkawinan adat Buton.
posuo
: adat pingitan yang wajib dijalankan oleh gadis yang menginjak masa remaja.
patasingku pata wala
: falsafah orang Katobengke bermakna empat sudut mata angin sebagai simbolisasi dari persaudaraan orang Buton, Malaka, Dayak, dan Johor.
pepali
: tabu adat, bagi yang melanggar mendapat hukuman supranatural.
syara wolio
: perangkat adat pemerintahan kesultanan.
sulaana tombi
: bermakna “kibar bendera” sebagai tempat pendaratan awal orang Katobengke dan Buton yang kemudian mengibarkan bendera berwarna kuning.
salawa oe
: salawat Nabi yang meminta Rahmat pada Tuhan yang Mahakuasa untuk memohon air kesuburan lahan pertanian.
sara pataaanguna
: empat norma adat, yaitu saling menyayangi, saling memelihara antarsesama, saling mengangkat derajat antarsesama, saling menimbulkan rasa takut antarsesama.
tolowe
: alat untuk menimba air, berasal buah pohon maja bentuknya bundar yang sudah dibelah dan dikeringkan. Orang Katobengke menggunakan sebagai alat menggantang beras.
tuturangi liwu
: upacara tahunan bagi orang Katobengke untuk memohon kesuburan tanah melalui nenek moyang untuk kepada Tuhan yang Mahakuasa.
walaka masasa
: golongan asli lapis kedua elite kesultanan yang bukan campuran keturunan rakyat yang dalam
xxxii
struktur kesultanan menduduki posisi legislatif dan yudikatif. welia
: bermakna tebas, asal usul nama Wolio sebagai ibu kota atau pusat pemerintahan Kesultanan Buton.
wati
: wakil parabela untuk memimpin satu wilayah perkampungan dalam wilayah kadie.
yoni
: tradisi Hindu yang dalam bahasa Wolio disebut batu popaua melambangkan kelamin wanita yang berfungsi sebagai penampung air suci, Air tersebut kemudian dibagi-bagikan kepada peserta upacara sebagai air suci/ amerta. Batu Popaua sebagai tempat pelantikan atau penobatan raja dan Sultan Buton.
xxxiii
DAFTAR TABEL 4.1 Persebaran Penduduk Menurut Kecamatan di Kota Baubau 2000--2011..
74
4.2 Penduduk Menurut Kelompok Umur Kecamatan Betoambari Tahun 2012 76 4.3 Laju Pertumbuhan Penduduk Kecamatan Betoambari 2011--2012...........
77
4.4 Luas Areal Tanaman Perkebunan Kecamatan Betoambari Tahun 2012 ...
84
4.5 Produksi Tanaman Perkebunan Kecamatan Betoambari Tahun 2010-2011. 86 4.6 Banyaknya Sarana Perekonomian Menurut Kelurahan Tahun 2012 ........
xxxiv
87
DAFTAR GAMBAR
4.1 Peta Kota Baubau dan Kecamatan Betoambari ..................................
70
4.2 Teknologi Kuningan sebagai Peralatan Upacara Adat.........................
78
4.3 Batu Popaua, Tempat Sumpah Pelantikan Sultan Buton .....................
94
4.4 Makam Sultan Murhum, Sultan Buton Pertama .................................. 114 4.5 Undang-Undang Murtabah Tujuh Kesultanan Buton ......................... 118 4.6 Posisi Duduk Elite Tradisional Saat Pelantikan Sultan Buton ............. 133 5.1 Seorang ibu Katobengke mendemontrasikan cara membuat gerabah… 159 5.2 Bendera Sulaana Tombi Awal Permukiman Orang Katobengke ........ 164 5.3 Mesjid Keraton Buton dan Tiang Bendera Berumur 300 tahun…
183
5.4 Suasana Pembukaan pada Upacara Pingitan atau Posuo...................... 207 5.5 Lokasi Ritual Tuturangi di Lipu Morikana Betoambari……………… 214 5.6 Formasi Posisi Duduk Upacara Tuturangi Liwu……………………..
215
5.7 Perangkat adat Orang Katobengke…………………….……
220
5.8 Peringatan Maulid Nabi Muhammad di Rumah Warga Katobengke
235
5.10 Astronomi dan Meteorologi Tradisional Katobengke…………….… 236 6.1 Sekertaris Kelurahan Lipu Putra Katobengke Alumnus STPDN ........ 297 6.2 Rumah Adat Katobengke yang Mirip dengan Rumah Adat Elite ....... 300 7.1 Haji Orang Katobengke, Imam Haji La Amba dan istri...................... 316 7.2 La Zaami Caleg Katobengke yang Menggunakan Gelar Laode .......... 329 7.3 Tanah Kaplingan Milik Orang Katobengke yang Siap Dijual ............. 358 7.4 Bangunan Rumah Kos Milik Orang Katobengke .............................. 359 7.5 Kios mewah milik La Oro, pemuda Katobengke ............................... 360 7.6 Tempat Usaha Mebel La Oru Seorang Katobengke ............................ 361 7.7 Usaha Dagang Bahan Bangunan Milik Orang Katobengke ................ 362
xxxv
DAFTAR LAMPIRAN
1. Peta Pulau Buton dan Kota Baubau Berada pada Posisi Kaki Peta Pulau Sulawesi……………………………………………………….410 2. Gambar Kondisi Fisik Ekonomi, Ritual Orang Katobengke dan Undang-Undang Kesultanan Buton…………………………………411 3. Pedoman Wawancara………………………………………………..415 4. Daftar Informan……………………………………………………...420 5. Silsilah Elite Tradisional dan Hubungan Kekerabatan dengan Subetnik
Katobengke, Etnik Jawa, Bali, Melayu, dan Bangsa-bangsa lain…..422 6. Surat Keputusan Rektor Universitas Udayana …………………….. 427
xxxvi