ANALISIS PEMEKARAN WILAYAH DAN PENGEMBANGAN PUSAT-PUSAT PERTUMBUHAN EKONOMI (STUDI DI KOTA BAUBAU PROPINSI SULAWESI TENGGARA DAN KOTA TASIKMALAYA PROPINSI JAWA BARAT)
EBED HAMRI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
ii
iii
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Analisis Pemekaran Wilayah dan Pengembangan Pusat-Pusat Pertumbuhan Ekonomi (Studi di Kota Baubau Propinsi Sulawesi Tenggara dan Kota Tasikmalaya Propinsi Jawa Barat) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir disertasi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor Agustus 2015 Ebed Hamri NIM H162100191
iv
v
RINGKASAN EBED HAMRI. Analisis Pemekaran Wilayah dan Pengembangan PusatPusat Pertumbuhan Ekonomi (Studi Di Kota Baubau Propinsi Sulawesi Tenggara dan Kota Tasikmalaya Propinsi Jawa Barat). Komisi Pembimbing EKA INTAN KUMALA PUTRI sebagai Ketua, HERMANTO J. SIREGAR dan DEDDY SUPRIADY BRATAKUSUMAH sebagai Anggota. Desentralisasi dan Otonomi daerah menjadi isu yang penting sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang telah direvisi dengan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Desentralisasi dan Otonomi daerah dengan implikasi pemekaran wilayah telah mendorong menguatnya tuntutan dari daerah-daerah untuk melakukan pemekaran wilayah, hal karena selama ini daerah-daerah merasakan terjadi ketimpangan dan ketidak merataan hasil-hasil pembangunan, disatu sisi sistem pemerintahan yang sentralistik membuat daerah-daerah kurang berkembang. Sehingga akibat kondisi tersebut daerah-daerah menuntut dilaksanakan pemekaran wilayah sebagai upaya percepatan pembangunan dan mengurangi ketimpangan pembangunan antar wilayah. Pemekaran wilayah sebagai fenomena pembentukan propinsi, kabupaten dan kota telah menciptakan perbedaan antara daerah, ada daerah yang penduduk/kegiatan terkonsentrasi pada suatu tempat yang dikenal istilah kota, pusat perdagangan, pusat industri, simpul industri, pusat perdagangan, daerah perkotaan atau daerah nodal dan ada juga yang kurang terkonsentrasi dikenal istilah seperti daerah pedalaman, daerah pertanian, daerah pedesaan atau disebut sebagai wilayah belakang (hinterland). Terciptanya daerah nodal tidak hanya di propinsi, namun terjadi di kabupaten/kota, kabupaten dengan wilayah yang luas biasanya membagi dua wilayah secara administratif, wilayah kota (kotamadya) dan wilayah kabupaten. Wilayah kota inilah yang kemudian dijadikan sebagai pusat kegiatan ekonomi (pusat pertumbuhan), sedang kabupaten sebagai daerah hinterland. Penelitian ini bertujuan: 1) Mengevaluasi penerapan Peraturan Pemerintah Nomor 78 tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan dan Penggabungan Daerah khususnya faktor-faktor yang dipergunakan untuk menilai usulan pemekaran wilayah di Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya. 2) Menganalisis perkembangan struktur perekonomian wilayah Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya serta sektor unggulan yang menjadi daya saing perekonomian wilayah Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya sehingga potensial menjadi pusatpusat pertumbuhan dibandingkan dengan daerah sekitarnya. 3) Menganalisis perkembangan wilayah, interaksi ekonomi dan daya tarik wilayah Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya terhadap daerah sekitarnya. 4) Menganalisis persepsi stakeholder dan merumuskan kebijakan yang ditempuh pemerintah pasca pemekaran agar bermanfaat bagi daerah. Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu: 1) Analisis Deskriptif, 2) Analisis Skalogram, 3) Analisis Model Gravitasi, 4) Analisis Tipologi Klassen, 5) Analisis Diversitas Entropy, 6) Analisis Shift Share, 6) Analisis Location Quotient, 7) Analisis Hirarki Proses. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: Evaluasi terhadap sebelas faktorfaktor penilaian usulan pemekaran wilayah berdasarkan Peraturan Pemerintah
vi
Nomor 78 Tahun 2007 dengan analytical hierarchy process menunjukkan ada perbedaan prioritas terhadap sebelas faktor pembentukan daerah otonom baru berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 dengan persepsi masyarakat Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya. Struktur perekonomian wilayah Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya lebih maju dan berkembang dibandingkan dengan daerah hinterland terlihat dari analisis diversitas entropi. Hasil Analisis Tipologi Klasen Kota Baubau berada pada klasifikasi daerah berkembang cepat; sedang kabupaten sekitarnya (hinterland) yaitu Kabupaten Wakatobi dan kabupaten Buton Utara juga berada pada klasifikasi daerah berkembang cepat, Kabupaten Muna berada pada klasifikasi daerah maju tapi tertekan, Kabupaten Buton dan Kabupaten Bombana berada pada klasifikasi daerah relatif tertinggal. Hasil Analisis Tipologi Klasen menunjukkan Kota Tasikmalaya berada pada klasifikasi daerah berkembang cepat, sedang daerah sekitarnya (hinterland) berada pada klasifikasi daerah relatif tertinggal. Hasil analisis Loqation Quotient menunjukkan sektor perekonomian wilayah Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya lebih maju dan unggul. Sektor-sektor unggulan yang menjadi sektor basis Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya adalah sektor bangunan, perdagangan, hotel dan restoran; pengangkutan dan komunikasi; keuangan, persewaan dan jasa keuangan; dan sektor jasa-jasa. Namun pada Analisis Shift Share dimana pada ditingkat lokal (differential shift) menunjukkan sektor-sektor yang menjadi sektor basis Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya justru mengalami pergeseran dan pertumbuhan yang lambat. Hasil Analisis Skalogram menunjukkan Kota Baubau berada pada wilayah Hirarki II/sedang; sedangkan kabupaten hinterland yaitu Kabupaten Buton Utara justru berada pada wilayah Hirarki I/tinggi, Kabupaten Buton, Muna masuk kategori hirarki III/rendah. Analisis Skalogram menunjukkan Kota Tasikmalaya berada pada wilayah hirarki I/tinggi, kabupaten/kota sekitarnya (hinterland) yaitu Kabupaten Garut dan Kabupaten Ciamis berada pada kategori wilayah hirarki II/sedang; Kabupaten Tasikmalaya dan Kota Banjar pada wilayah hirarki III/rendah. Hasil Analisis Gravitasi menunjukkan interaksi ekonomi dan daya tarik wilayah Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya dengan wilayah hinterlandnya bervariasi intensitasnya. Interaksi ekonomi dan daya tarik wilayah Kota Baubau yang kuat adalah dengan Kabupaten Buton dan Kabupaten Muna, sedang dengan Kabupaten Buton Utara, Kabupaten Wakatobi dan Kabupaten Bombana sangat lemah terlihat dari nilai indeks gravitasi yang kecil. Interaksi ekonomi dan daya tarik wilayah Kota Tasikmalaya dengan wilayah hinterlandnya yang kuat adalah dengan Kabupaten Tasikmalaya dan Kabupaten Ciamis terlihat dari indeks gravitasi yang besar, sedang dengan Kabupaten Garut, Kota Banjar dan Kabupaten Pangandaran sangat lemah terlihat dari indeks gravitasi yang kecil. Hasil analisis persepsi masyarakat dengan analytical hierarchy process (AHP) secara umum menunjukkan pemekaran wilayah memberikan manfaat yang besar bagi masyarakat baik dari sisi pendapatan, pelayanan dan ketersedian infrastruktur maupun bagi perkembangan perekonomian daerah Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya. Hasil analisis AHP menunjukkan dari empat alternatif strategi dalam penelitian ini, alternatif strategi yang menjadi prioritas utama adalah “pemekaran wilayah menciptakan pusat pertumbuhan (PW-PP)”. Katakunci: Kota Baubau, Kota Tasikmalaya, desentralisasi, otonomi daerah, pusat pertumbuhan.
vii
SUMMARY EBED HAMRI. Pemekaran Wilayah Analysis and the Development of Centrals of Economic Growth (A Study at Baubau City South Sulawesi Province and Tasikmalaya City West Java Province). Counselors EKA INTAN KUMALA PUTRI as Head Counselor, HERMANTO J SIREGAR and DEDDY SUPRIADY BRATAKUSUMAH as Member. Decentralization and regional autonomy are important issues since the prevailing of Act No. 22, 1999 revised by Act No. 32, 2004 on Regional Government. Decentralization and regional autonomy through the implication of pemekaran wilayah has encouraged demand from other areas to have pemekaran wilayah due to the gap and inequality felt by those areas regarding development results. A centralistic governmental system has made local areas under developed. Therefore, many areas has demanded for pemekaran wilayah in order to accelerate development and reduce developmental gap among areas. Pemekaran wilayah as a phenomenon of the formation of provinces, regencies and cities has created differences among areas. There are areas with population/activities concentrated in certain area known as cities, centers of trade, centers of industry, industrial knot, urban areas or nodal areas. There are also, however, areas with less concentration known as hinterland, agricultural area, and rural area. The creation of nodal areas is not only in provincial level but also in the level of regency/city. Regency has wide area and divides into two administrative areas, municipality and regency. The rural area (municipal) is made as the central of economic activities (central of growth) and regency area is the hinterland. The research aims to: 1) evaluate the implementation of Government Regulation No. 78, 2007 on the Procedures of Areas Establishment, Removal and Merger especially factors used to assess proposal of pemekaran wilayah at Baubau and Tasikmalaya Cities; 2) analyze the development of economic structure of Baubau and Tasikmalaya Cities and their leading sectors that become their economic competitiveness thus they will have potential to become the centrals of growth compare to their surrounding areas; 3) analyze the regional development, economic interaction and attraction of Baubau and Tasikmalaya Cities toward their surrounding areas; 4) analyze stakeholders’ perception and formulate beneficial policies for government after the pemekaran wilayah. Methods used in the research are: 1) descriptive analysis, 2) Schallogram Analysis, 3) Gravity Model Analysis, 4) Klassen Typology Analysis, 5) Entropy Diversity Analysis, 6) Shift Share Analysis, 7) Location Quotient Analysis, and 7) Process Hierarchy Analysis. Research results show that: evaluation on eleven assessment factors of pemekaran wilayah proposal based on Government Regulation No. 78, 2007 using analytical hierarchy process shows priorities differences on eleven factors of the formation of new autonomy area based on Government Regulation No. 78, 2007 with the perception of societies at Baubau and Tasikmalaya Cities. Regional economic structure of Baubau and Tasikmalaya is more advanced and developed than the hinterlands. It is indicated by the result of entropy diversity analysis. Result of Klasen Typology Analysis shows that Baubau City is within the classification of fast growing area along with its hinterlands, which are Wakatobi and North Buton Regencies; whereas, Muna Regency is within the classification of advanced but depressed area and Buton and Bombana Regencies are within the
viii
classification of relatively underdeveloped areas. Result of Klasen Typology analysis shows that Tasikmalaya City is within the classification of fast growing area and its hinterlands are within the classification of relatively underdeveloped areas. Result of Location Quotient Analysis shows that the economic sector of Baubau and Tasikmalay Areas is more advanced and superior. The leading sectors that are the basic sectors of Baubau and Tasikmalaya Cities are development, trade, hotel and restaurant, transportation and communication, finance, leasing and financial services and services sectors. Shift Share Analysis in local level (differential shift), however, shows that the basic sectors of Baubau and Tasikmalaya Cities are experiencing a shift and slow growth. Result of Schallogram Analysis shows that Baubau City is in Hierarchy II/Medium area and its hinterland, North Buton Regency, is in Hierarchy I/High and Buton,and Muna Regencies are in Hierarchy III/Low. Result of Schallogram Analysis shows that Tasikmalaya City is in Hierarchy I/High area and its hinterland, Garut and Ciamis Regencies are in Hierarchy II/Medium and Tasikmalaya,and Banjar Regencies are in Hierarchy III/Low. Result of Gravity Analysis shows that the intensity of economic interaction and attraction of Baubau and Tasikmalaya Cities with their hinterlands are varied. Strong economic interaction and attraction is indicated by Baubau City with Buton and Muna Regencies; whereas Baubau City with North Buton, Wakatobi and Bombana Regencies has a very weak interaction and attraction indicated by small gravity index. Economic interaction and attraction of Tasikmalaya City area with its hinterland shows strong intensity with Tasikmalaya and Ciamis Regencies indicated from large gravity index and it is very weak with Garut, Banjar and Pangandaran Regencies indicated by small gravity index. Result of society’s perception analysis using analytical hierarchy process (AHP), in general, shows that pemekaran wilayah gives great benefit for the society in terms of income, service and the availability of infrastructure and the development of regional economy of Baubau and Tasikmalaya Cities. Result of AHP analysis shows that from four alternative strategies in the research, the main priority of alternative strategy is pemekaran wilayah creates central of growth (PW-PP). Keywords: Baubau City, Tasikmalaya City, decentralization, regional autonomy, central of growth.
ix
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
x
xi
ANALISIS PEMEKARAN WILAYAH DAN PENGEMBANGAN PUSAT-PUSAT PERTUMBUHAN EKONOMI (STUDI DI KOTA BAUBAU PROPINSI SULAWESI TENGGARA DAN KOTA TASIKMALAYA PROPINSI JAWA BARAT)
EBED HAMRI Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor Pada Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
xii
Penguji pada Ujian Tertutup
: 1. Dr Ir Arya Hadi Dharmawan, MScAgr (Ketua Program Studi Sosiologi Pedesaan, FEMA Institut Pertanian Bogor)
2. Prof Dr Ir Kaman Nainggolan, MS (Direktur Sekolah Pascasarjana STMIK Nusa Mandiri, Jakarta)
Komisi Promosi pada Sidang Promosi Terbuka
: 1. Dr Ir Arya Hadi Dharmawan, MScAgr (Ketua Program Studi Sosiologi Pedesaan, FEMA Institut Pertanian Bogor)
2. Prof Dr Ir Kaman Nainggolan, MS (Direktur Sekolah Pascasarjana STMIK Nusa Mandiri, Jakarta)
xiii
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala kasih dan karunia-Nya sehingga penelitian dan penulisan disertasi ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dan merupakan judul disertasi ini adalah Analisis Pemekaran Wilayah dan Pengembangan Pusat-Pusat Pertumbuhan Ekonomi (Studi Di Kota Baubau Propinsi Sulawesi Tenggara dan Kota Tasikmalaya Propinsi Jawa Barat).
Proses penelitian dan penulisan disertasi ini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan berbagai pihak. Secara khusus penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Dr Ir Eka Intan Kumala Putri, MS selaku Ketua Komisi Pembimbing, Prof Dr Ir Hermanto J Siregar, MEc dan Dr Ir Deddy S Bratakusumah, BE MSc MURP selaku anggota komisi pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan, saran, masukan, dukungan dan motivasi sehingga penulis mampu menyelesaikan disertasi. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Dr Ir Arya Hadi Dharmawan, MScAgr dan Prof Dr Ir Kaman Nainggolan, MS yang telah berkenan dan meluangkan waktu untuk menjadi penguji luar komisi pada Ujian Tertutup dan Anggota Promosi Luar Komisi Pembimbing pada Promosi Terbuka yang telah memberikan banyak masukan, koreksi dan saran-saran perbaikan sehingga menambah kazanah dan kualitas disertasi ini. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Pimpinan Institut Pertanian Bogor, Dekan Sekolah Pascasarjana beserta jajaran dan staf administrasi yang telah memberikan pelayanan yang baik selama penulis mengikuti pendidikan di IPB. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Dekan Fakultas Ekonomi IPB Dr Ir Yusman Syaukat, MEc, Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan (PWD) Prof Dr Ir Bambang Juanda, MS, Sekretaris Program Studi dan seluruh staf dosen yang telah mencurahkan dan membagikan waktunya untuk memberikan pencerahan kepada penulis terkait dengan bidang Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan serta seluruh staf administrasi PWD atas segala dukungan administrasi dan fasilitas yang diberikan selama penulis menempuh pendidikan pada Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan (PWD). Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada Pemerintah Propinsi Sulawesi Tenggara dan Pemerintah Kabupaten Konawe yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan S3 di IPB serta segala bantuan sehingga dapat meringankan biaya pendidikan selama penulis menempuh pendidikan S3 di Institut Pertanian Bogor. Ungkapan terima kasih yang tak terhingga dan doa yang tulus kepada kedua orang tua, serta seluruh saudara-saudara dan keluarga atas dukungan doa dan kasih sayang yang diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan studi. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada teman-teman Program Studi PWD 2010 yang tidak saya sebutkan satu persatu, atas sosial kapital yang telah ditunjukkan selama ini serta yang senantiasa memberikan dukungan, sharing pemikiran sehingga penelitian ini dapat diselesaikan dengan baik. Terima kasih penulis sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu dan berkontribusi baik langsung maupun tidak langsung, memberikan dorongan
xiv
moril maupun materiil sejak penyusunan proposal hingga kegiatan penelitian dilapangan sampai pada penyusunan disertasi ini. Akhir kata, tak ada gading yang tak retak, meskipun penelitian ini jauh dari sempurna, namun penulis berharap semoga hasil penelitian ini berguna dan bermanfaat bagi Pemerintah dan pihak terkait dalam merumuskan kebijakan pemekaran wilayah di Indonesia sehingga hakekat pemekaran wilayah dapat memberikan manfaat bagi masyarakat. Bogor, Agustus 2015
Ebed Hamri
xv
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Kegunaan Penelitian Ruang Lingkup Penelitian Hipotesis Penelitian Novelty (Kebaruan) Penelitian
xviii xx xxii 1 1 6 11 12 12 12 13
2 TINJAUAN PUSTAKA Landasan Teoritik Pemekaran Wilayah Pemekaran Wilayah Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 78 tahun 2007 Tentang Tata cara Pembentukan, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah Pusat Pertumbuhan (Growth Center) Teori Kutub Pertumbuhan (Growth Pole Theory) Teori Tempat Sentral (Central Place Theory) Teori Polarisasi Pertumbuhan Ekonomi (Polarization of Economic Growth) Teori Pusat Pembangunan (Localized Poles of Development) Pembangunan dan Pengembangan Wilayah Perekonomian Wilayah Desentralisasi dan Otonomi Daerah Desentralisasi Otonomi Daerah Kerangka Pemikiran Penelitian – Penelitian Terdahulu
14 14 17
3 METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Jenis dan Sumber Data Populasi dan Sampel Metode Analisis Analisis Deskriptif Analisis Skalogram Analisis Model Gravitasi Analisis Tipologi Klassen Analisis Diversitas Entropi Analisis Shift Share Analisis Location Quotient Analisis Hirarki Proses
56 56 56 57 58 60 61 62 63 64 65 66 66
22 25 27 29 31 33 34 35 35 36 39 40 44
xvi
4 GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN Gambaran Umum Kabupaten/Kota Sultra Kepulauan Geografis dan Administrasi Wilayah Indikator Sosial dan Kependudukan Jumlah dan Perkembangan Penduduk Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kemiskinan Indikator Perekonomian Daerah Struktur Ekonomi Wilayah Laju Pertumbuhan Ekonomi Gambaran Umum Kabupaten/Kota Priangan Timur Geografis dan Administrasi Wilayah Indikator Sosial dan Kependudukan Jumlah dan Perkembangan Penduduk Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kemiskinan Indikator Perekonomian Daerah Struktur Ekonomi Wilayah Laju Pertumbuhan Ekonomi 5 KLASIFIKASI WILAYAH, PERKEMBANGAN SEKTOR UNGGULAN DAN DAYA SAING WILAYAH Klasifikasi Wilayah dan Perkembangan Struktur Perekonomian Wilayah Klasifikasi Pertumbuhan Kabupaten/Kota Analisis Perkembangan Struktur Perekonomian Wilayah Perkembangan Sektor Basis/Unggulan dan Daya Saing Perekonomian Wilayah Analisis Perkembangan Sektor Basis/Unggulan Wilayah Analisis Daya Saing Perekonomian Wilayah 6 PERKEMBANGAN WILAYAH, INTERAKSI EKONOMI DAN DAYA TARIK WILAYAH DAN ANALISIS PEMEKARAN WILAYAH Perkembangan Wilayah, Interaksi Ekonomi Dan Daya Tarik Wilayah Analisis Perkembangan Wilayah Analisis Interaksi Ekonomi dan Daya Tarik Wilayah Analisis Pemekaran Wilayah: Persepsi Masyarakat Tentang Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 dan Manfaat Kebijakan Pemekaran Wilayah Analisis Deskriptif Analytic Hierarchy Process (AHP) Persepsi Masyarakat tentang Perbandingan antar Elemen Faktor Persepsi Masyarakat tentang Perbandingan Aktor terhadap Faktor
69 69 69 70 70 71 73 75 75 77 79 79 80 80 81 83 84 84 87
89 90 90 98 102 102 113
122 122 122 126
134 135 137 137 137
xvii
Persepsi Masyarakat tentang Perbandingan Tujuan terhadap Aktor Persepsi Masyarakat tentang Perbandingan Alternatif Strategi terhadap Tujuan Analisis Tipologi Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya : Deskriptif Perkembangan Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya sebagai Pusat Pertumbuhan (Growth Center) dan Kutub Pertumbuhan (Growth Pole) Analisis Tipologi Kota Baubau Analisis Tipologi Kota Tasikmalaya
139 141
149 149 152
7 KONSEPTUALISASI GAGASAN PEMEKARAN WILAYAH KEDEPAN Implikasi Hasil Penelitian
156 161
8 KESIMPULAN DAN SARAN Simpulan Implikasi Kebijakan Saran Penelitian Lanjutan
164 164 164 168
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN RIWAYAT HIDUP
169 177
xviii
DAFTAR TABEL Halaman 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
Perkembangan Jumlah Daerah Otonom Baru Hasil Pemekaran di Indonesia dari tahun 1999 - 2013 Perkembangan PDRB Rata-rata Perkapita Kabupaten/Kota Sultra Kepulauan dan Priangan Timur tahun 2003, 2007 dan 2009-2013 Faktor dan Indikator dalam rangka Pembentukan Daerah Otonom Baru berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 Perkembangan Pemekaran Wilayah di Propinsi Sulawesi Tenggara dan Propinsi Jawa Barat dari tahun 1999 – 2013 Matriks Penelitian-Penelitian Terdahulu (International) Matriks Penelitian-Penelitian Terdahulu di Lingkungan IPB Jumlah Responden Penelitian Tujuan, Uraian dan Data yang dibutuhkan, Teknik Pengumpulan Data, Alat/Metode Analisis dan Output yang di harapkan Aspek, Variabel, Indikator dan Sumber Data Model Skalogram Matrik Klassifikasi Kabupaten/Kota Berdasarkan Tipologi Klassen Matriks Sistem Urutan (Ranking) Skala Perbandingan Berpasangan antar Variabel Perkembangan Jumlah Penduduk Kabupaten/Kota Sultra Kepulauan Tahun 2009-2013 Perkembangan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kabupaten/ Kota Sultra Kepulauan dan Propinsi Sulawesi Tenggara tahun 2009-2013 Perkembangan Penduduk Miskin Menurut Kabupaten/Kota Sultra Kepulauan dan Propinsi Sulawesi Tenggara tahun 2009-2013 Perkembangan Jumlah Penduduk Kabupaten/Kota Priangan Timur Tahun 2009-2013 Perkembangan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kabupaten/ Kota Priangan Timur dan Propinsi Jawa Barat tahun 2009-2013 Perkembangan Penduduk Miskin Menurut Kabupaten/Kota Priangan Timur dan Propinsi Jawa Barat tahun 2009-2013 Perkembangan Laju Pertumbuhan Ekonomi (LPE) Kabupaten/Kota se Propinsi Sulawesi Tenggara tahun 2009-2013 Perkembangan PDRB ADHK 2000 Kabupaten/Kota se Propinsi Sulawesi Tenggara tahun 2009-2013 Perkembangan Laju Pertumbuhan Ekonomi (LPE) Kabupaten/Kota se Propinsi Jawa Barat tahun 2009-2013 Perkembangan PDRB ADHK 2000 Kabupaten/Kota se Propinsi Jawa Barat tahun 2009-2013 Nilai Indeks Diversitas Entropi (IDE) Kota Baubau dan wilayah hinterlandnya tahun 2003, 2007 dan tahun 2009-2013 Nilai Indeks Diversitas Entropi (IDE) Kota Tasikmalaya dan wilayah hinterlandnya tahun 2003, 2007 dan tahun 2009-2013 Perhitungan Location Quotient (LQ) Kabupaten/Kota Sultra
2 5 24 42 45 53 57 58 59 61 63 67 71
72 73 81 82 83 91 91 94 95 98 99
xix
26
27 28
29
30 31 32 33 34
35
36 37 38 39 40 41
42
Kepulauan meliputi Kota Baubau dan wilayah hinterland (Kabupaten Buton, Buton Utara, Wakatobi, Muna dan Kabupaten Bombana) tahun 2003, 2007, 2009 dan 2013 Perhitungan Location Quotient (LQ) kabupaten/kota Priangan Timur meliputi Kota Tasikmalaya dan wilayah hinterland ( Kabupaten Tasikmalaya, Garut, Ciamis, Pangandaran dan Kota Banjar) tahun 2003 dan 2007-2009 dan 2013 Perbandingan Nilai Location Quotient (LQ) Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya tahun 2003 dan 2007-2009 dan 2013 Analisis Shift Share Kab/Kota Sultra Kepulauan meliputi Kota Baubau dengan wilayah hinterland (Kab. Buton, Buton Utara, Wakatobi, Muna dan Kab. Bombana) tahun 2003/2007 dan tahun 2009/2013 Analisis Shift Share Kab/Kota Priangan Timur meliputi Kota Tasikmalaya dengan wilayah hinterland (Kab. Tasikmalaya, Garut, Ciamis, Kota Banjar dan Kab. Pangandaran) tahun 2003/2007 dan 2009/2013 Nilai Selang Hirarki Indeks Perkembangan Kabupaten (IPK) Analisis Skalogram Perkembangan Wilayah menurut Kabupaten/ Kota se Sultra Kepulauan tahun 2013 Analisis Skalogram Perkembangan Wilayah menurut Kabupaten/ Kota Priangan Timur tahun 2013 Perbandingan Analisis Skalogram Perkembangan Wilayah menurut Kabupaten/ Kota Sultra Kepulauan dan Priangan Timur tahun 2013 Indeks Gravitasi antar Kabupaten/Kota Sultra Kepulauan meliputi Kota Baubau dan wilayah hinterland (Kabupaten Buton, Buton Utara, Wakatobi, Muna dan Kabupaten Bombana) tahun 2009-2013 Indeks Gravitasi Kabupaten/Kota Wilayah Priangan Timur meliputi Kota Tasikmalaya dan daerah hinterland (Kabupaten Tasikmalaya, Kabupaten Garut, Kabupaten Ciamis, Kota Banjar dan Kabupaten Pangandaran) tahun 2009-2013 Perbandingan Analisis Nilai Indeks Gravitasi kabupaten/kota Sultra Kepulauan dan Priangan Timur Tahun 2009-2013 Persepsi Responden terhadap Aspek Pendapatan Masyarakat Persepsi Responden terhadap Aspek Pelayanan Persepsi Responden terhadap Aspek Infrastruktur Persepsi Responden terhadap Aspek Perkembangan Kota Perbandingan Prioritas 11 (Sebelas) Faktor-Faktor Pembentukan Daerah Otonom Baru (DOB) Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 dan Persepsi Masyarakat Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya Perbandingan Perbedaan Prioritas Pengaruh Aktor terhadap Faktor Berdasarkan AHP pada Masyarakat Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya
102
107 112
114
118 122 123 124 125
127
131 132 135 136 136 137
140
142
xx
DAFTAR GAMBAR Halaman 1 2
3 4 5 6 7
8 9 10 11 12 13
14 15
16 17 18 19 20 21 22
Perkembangan PDRB Perkapita Sultra Kepulauan dan Priangan Timur tahun 2003, 2007 dan tahun 2009-2013 Pertumbuhan PDRB ADH Konstan 2000 Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya dan wilayah sekitarnya (hinterland) tahun 2003, 2007 dan 2009-2013 Pertumbuhan Ekonomi Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya dan wilayah sekitarnya (hinterland) tahun 2003, 2007 dan 2009-2013 Rentang wilayah (range) model teori lokasi pusat (central place theory Pusat Pertumbuhan (inti) dengan sub-sub wilayah inti dengan berbagai tingkatan dalam suatu wilayah nodal (nodal region) Perkembangan Jumlah Propinsi/Kabupaten dan Kota dari Tahun 1999-2013 Sejak Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Perkembangan Alokasi APBN untuk Belanja Daerah Kab/Kota Pemekaran Tahun 1999 – 2006, Rata – Rata Penerimaan DAU Kab/ Kota 2001 – 2011 dan Perekembangan DAK 2003 – 2009 Kerangka Pemikiran Penelitian Peta lokasi penelitian Propinsi Sulawesi Tenggara dan Jawa Barat Kerangka AHP untuk persepsi masyarakat Peta Wilayah Propinsi Sulawesi Tenggara menurut Kabupaten/Kota dan Posisi Kabupaten/Kota Sultra Kepulauan Rata-Rata IPM Enam Kab/Kota Sultra Kepulauan dan Propinsi Sulawesi Tenggara tahun 2004-2013 Jumlah Penduduk Miskin di Sulawesi Tenggara dan Enam Kab/Kota Sultra Kepulauan dan Persentase Kontribusi Kemiskinan tahun 20092013 Perkembangan PDRB Perkapita Kabupaten/Kota Sultra Kepulauan dan Propinsi Sulawesi Tenggara tahun 2003, 2007 dan 2009-2013 Perkembangan PDRB ADH Konstan Kabupaten/Kota Sultra Kepulauan dan Propinsi Sulawesi Tenggara tahun 2003, 2007 dan 2009-2013 Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten/Kota Sultra Kepulauan dan Propinsi Sulawesi Tenggara tahun 2003, 2007 dan 2009-2013 Peta Wilayah Propinsi Jawa Barat menurut Kabupaten/Kota dan Posisi Kabupaten/Kota Priangan Timur Rata-Rata IPM Enam Kab/Kota Priangan Timur dan Propinsi Jawa Barat tahun 2003-2013 Jumlah Penduduk Miskin Propinsi Jawa Barat dan Lima Kab/Kota Priangan Timur dan Kontribusi Kemiskinan tahun 2009-2013 Perkembangan PDRB Perkapita Kabupaten/Kota Priangan Timur dan Propinsi Sulawesi Tenggara tahun 2003, 2007 dan 2009-2013 Perkembangan PDRB ADH Konstan Kabupaten/Kota Priangan Timur dan Propinsi Jawa Barat tahun 2003, 2007 dan 2009-2013 Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten/Kota Priangan Timur dan Propinsi Jawa Barat tahun 2003, 2007 dan 2009-2013
6
9 10 15 16 22
23 44 55 68 69 72
74 76
77 78 79 82 84 85 86 88
xxi
23 Klasifikasi Kabupaten/Kota se-Propinsi Sulawesi Tenggara dan Posisi Kota Baubau dan wilayah hinterland (Kabupaten Buton, Buton Utara, Wakatobi, Muna, Bombana) menurut Tipologi Klassen 24 Klasifikasi Kabupaten/Kota se-Propinsi Jawa Barat dan Posisi Kota Tasikmalaya dan wilayah hinterland (meliputi Kab. Tasikmalaya, Garut, Ciamis, Pangandaran dan Kota Banjar) menurut Tipologi Klassen 25 Perbandingan Klasifikasi Kabupaten/Kota se-Sultra Kepulauan dan Priangan Timur dan Posisi Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya menurut Tipologi Klassen 26 Perbandingan perkembangan indeks diversitas entropi (IDE) kabupaten/kota Sultra Kepulauan dan kabupaten/kota Priangan Timur 27 Perkembangan rata-rata LQ Kota Baubau dibandingkan daerah sekitarnya (hinterland) tahun 2003/2007 dan 2009/2013 28 Perkembangan rata-rata LQ Kota Tasikmalaya dibandingkan daerah sekitarnya (hinterland) tahun 2003/2007 dan 2009/2013 29 Model Gravitasi Kabupaten/Kota Wilayah Sultra Kepulauan meliputi Kota Baubau dan wilayah hinterland (Kabupaten Buton, Buton Utara, Wakatobi, Muna dan Kabupaten Bombana) 30 Model Gravitasi Kabupaten/Kota Wilayah Priangan Timur meliputi Kota Tasikmalaya dan wilayah hinterland (Kabupaten Tasikmalaya, Garut, Ciamis, Kota Banjar dan Kabupaten Pangandaran) 31 Perbandingan Model Gravitasi Kabupaten/Kota Sultra Kepulauan dan Priangan Timur tahun 2009-2013 32 Hasil Analisis Persepsi Masyarakat Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya Perbandingan Prioritas antar Elemen Faktor dalam Penerapan Peraturan Pemerintah Nomor 78 tahun 2007 33 Hasil Analisis Persepsi Masyarakat Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya tentang Perbandingan Pengaruh Aktor terhadap Faktor 34 Hasil Analisis Persepsi Masyarakat Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya terhadap Perbandingan Pengaruh Tujuan terhadap Aktor 35 Hasil Analisis Persepsi Masyarakat Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya Perbandingan Alternatif Strategi terhadap Tujuan 36 Hasil Analysis Hierarchy Process (AHP) Persepsi Masyarakat Kota Baubau secara Vertikal tentang Penerapan PP. Nomor 78 Tahun 2007 serta Manfaat Kebijakan Pemekaran Wilayah di Kota Baubau 37 Hasil Analysis Hierarchy Process (AHP) Persepsi Masyarakat Kota Tasikmalaya secara Vertikal tentang Penerapan PP. Nomor 78 Tahun 2007 serta Manfaat Kebijakan Pemekaran Wilayah di Kota Tasikmalaya 38 Hasil Analisis Persepsi Gabungan Masyarakat Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya dalam Penerapan PP. Nomor 78 Tahun 2007 serta Manfaat Kebijakan Pemekaran Wilayah di Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya 39 Bagan/Skema Proses Pemekaran Wilayah di Indonesia
93
96
97 101 106 111
129
132 133
138 141 143 144
146
147
148 161
xxii
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 2 3 4 5 6
Kuesioner Penelitian Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya 178 Hasil Pengolahan Analisis Hirarki Proses Kota Baubau 198 Hasil Pengolahan Analisis Hirarki Proses Kota Tasikmalaya 200 Output Gabungan Hasil Pengolahan Analisis Hirarki Proses Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya 201 Hasil Pengolahan Data Skalogram Kota Baubau 204 Hasil Pengolahan Data Skalogram Kota Tasikmalaya 209
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Bergulirnya reformasi di Indonesia ditandai dengan berlakunya UndangUndang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah telah membawa tatanan baru dalam sistem pemerintahan di Indonesia. Sebelum era reformasi pelaksanaan sistem pemerintahan mengacu pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan Daerah. Kedua undang-undang tersebut didalamnya telah diatur desentralisasi dan otonomi daerah. Namun, kenyataannya dalam Undang - Undang Nomor 5 Tahun 1974, pemberian otonomi kepada daerah ternyata memperhitungkan berbagai aspek yang cukup complicated mengingat keberagaman kondisi sosial, ekonomi, politik dan keamanan antar daerah sehingga ikut mempengaruhi penentuan seberapa besar otonomi akan diberikan kepada daerah (Widiyanto 1991). Kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 salah satunya implikasinya adalah pemekaran wilayah. Dalam implementasinya kedua undang-undang tersebut mempunyai perbedaan yang signifikan dalam pengaturan pemekaran wilayah. Kebijakan pemekaran wilayah pada masa Orde Baru, lebih bersifat elitis dan memiliki karakter sentralistis, dimana perencanaan lebih merupakan inisiatif pemerintah pusat (top down) daripada partisipasi dari bawah (bottom up). Proses pemekaran wilayah seringkali menjadi proses yang tertutup dan menjadi arena kalangan pemerintah pusat (Percik 2007). Menurut Kuncoro (2004), Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah telah dijiwai oleh semangat desentralisasi dan otonomi, namun dalam penerapannya yang terjadi adalah sentralisasi yang dominan dalam perencanaan maupun implementasi pembangunan Indonesia. Booth (2011) dan Kuncoro (2002), mengungkapkan bahwa struktur pemerintahan yang terpusat (sentralisasi) telah mengakibatkan kesenjangan regional (regional disparity) antara Jakarta atau Jawa dengan luar Jawa, maupun antara Kawasan Timur Indonesia dan Kawasan Barat Indonesia. Disatu pihak terjadi percepatan pembangunan dan penumpukan manufaktur, dipihak lain pembangunan berjalan sangat lambat. Kondisi tersebut mendorong terjadinya berbagai ketimpangan pembangunan dan kesenjangan wilayah baik yang bersifat vertikal maupun horizontal secara spasial, ekonomi, politik, sosial dan budaya yang menyebabkan daerah-daerah semakin tertinggal. Kesenjangan wilayah dan ekonomi yang terjadi telah menimbulkan rasa ketidakadilan yang muncul. Beberapa daerah yang kaya sumber daya alam tidak menerima manfaat dari hasil kekayaan sumberdaya alamnya pada pembangunan ekonomi nasional tidak sebanding dengan manfaat yang diterima karena semua mengalir ke pusat (Kuncoro 2002). Besarnya kesenjangan wilayah (regional disparity) sejalan dengan studi Garcia (2000) dalam Kuncoro (2002) yang menganalisis trend aglomerasi dan kluster sektor industri manufaktur Indonesia tahun 1976-1999, menyatakan bahwa kebijakan liberalisasi perdagangan yang diterapkan Pemerintah Indonesia sejak 1985-1999 berdampak semakin menguatnya konsentrasi industri secara spasial di
2
daerah-daerah perkotaan di Pulau Jawa, terutama di wilayah JabodetabekBandung dan Gerbangkertosusilo. Kuncoro (2002), menyimpulkan konsentrasi spasial industri besar dan menengah dapat diasosiasikan dengan konsentrasi perkotaan Pulau Jawa. Terlihat kontribusi PDRB Jawa terhadap PDB Indonesia (1983-1996) menunjukkan kecenderungan yang meningkat dan mendominasi yaitu dari 51% (1983) meningkat menjadi 60% (1996). Sistem pemerintahan yang terpusat (sentralisasi), kesenjangan (regional disparity) antara Jakarta atau Jawa dengan luar Jawa, maupun kesenjangan antara Kawasan Timur Indonesia dan Kawasan Barat Indonesia, krisis moneter yang terjadi pada tahun 1998 serta diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 dengan titik berat pada desentralisasi dan otonomi daerah, menjadi momentum bagi daerah-daerah untuk menuntut pemekaran wilayah sebagai jalan keluar untuk meningkatkan perekonomian daerah dan mengejar ketertinggalan pembangunan. Menurut Butt (2010), perubahan politik di Indonesia ditandai jatuhnya rezim orde baru dan krisis moneter tahun 1998 mengubah Indonesia dari salah satu negara paling otoriter dan terpusat di dunia menjadi salah satu negara paling demokratis dan terdesentralisasi. Kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah mendorong berkembangnya jumlah propinsi/kabupaten/kota (Tabel 1). Tabel 1 Perkembangan Jumlah Daerah Otonom Baru (DOHP) di Indonesia tahun 1999-2013 Tahun
Propinsi
Hasil Pemekaran
Kab
Kota
Jumlah
Keterangan Masih mengacu pada U.U. No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah.
Sebelum 1999
26
234
59
319
1999
2
34
9
45
2000
3
-
-
3
2001
-
-
12
12
2002
1
33
4
38
2003
-
47
2
49
2004
1
-
-
1
2007
-
21
4
25
2008
-
27
3
30
2009
-
2
-
2
2012
1
4
-
5
2013
-
7
-
7
DOHP Pasca UU. No. 22 Tahun 1999
8
175
34
217
Total Propinsi, Kab/ Kota s.d. Tahun 2013
34
409
93
536
Mengacu U.U. No.22/99 tetapi belum berdasarkan PP No. 129 Tahun 2000. Mengacu U.U. No.22 Tahun 1999 dan PP No. 129 Tahun 2000 tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan dan Penggabungan Daerah. Berdasarkan PP. No. 129 Tahun 2000. Sejak Nopember 2008 pemekaran wilayah sudah berdasarkan PP. No. 78 Tahun 2007 Tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan dan Penggabungan Daerah.
Sumber : Juanda (2007), Pramusinto (2010) dalam Kuncoro (2012), Depdagri (2009) dalam Ratnawati (2010), Kemendagri (2013).
Tabel 1 menunjukkan terjadi penambahan jumlah Daerah Otonom Baru (DOB) yang cukup signifikan selama kurun waktu 14 tahun , dimana dari total 536 (propinsi, kabupaten/kota) 7 propinsi dan 196 Kabupaten/Kota hasil pemekaran, sebagian besar yaitu 6 provinsi (85%) dan 185 Kabupaten/Kota (94%) terjadi pemekaran diluar Jawa (Jewang 2009), yaitu Pulau Sumatera 75 daerah otonom hasil pemekaran (DOHP), Nusa Tenggara 11 DOHP, Kalimantan 25 DOHP, Sulawesi 33 DOHP, Maluku dan Papua 45 DOHP serta Pulau Jawa 9
3
DOHP (Kemendagri 2011). Dalam perspektif ekonomi, kurangnya pemekaran wilayah di Jawa karena daerah-daerah Jawa relatif maju dan tak mengalami masalah ketidakadilan ekonomi akibat kebijakan pusat sehingga tidak melihat pemekaran sebagai pilihan membangun perekonomiannya dan menjadikan birokrasi negara sebagai sektor ekonomi, dan secara sosio-politik, di Jawa hampir tidak ada satuan etnik/subetnik yang belum terwujud sebagai suatu entitas administrasi modern (Jewang 2009). Mengacu dari grand design penataan daerah sampai tahun 2025, diestimasi penambahan jumlah maksimum daerah otonom sebanyak 11-16 provinsi dan 54 daerah otonom kabupaten/kota, maka terlihat bahwa pemekaran wilayah masih terus berlanjut (Partnership 2011). Menurut Charras (2005) dalam Booth (2011), proses desentralisasi dan penambahan provinsi baru, kabupaten dan unit pemerintah daerah yang lebih rendah di luar Jawa adalah reaksi terhadap ketidaksetaraan dan ketidakadilan yang dirasakan. Lebih lanjut disebutkan bahwa perubahan ini adalah hasil dari suatu kompleksitas kekuatan politik, sosial budaya dan ekonomi yang muncul setelah pemerintahan Soeharto berakhir. Realitas kesenjangan pembangunan wilayah (regional disparity) maupun ketidakadilan dan ketimpangan dalam hal pemerataan hasil pembangunan (regional inequality) telah menimbulkan dorongan dan tuntutan yang kuat kepada daerah-daerah untuk melakukan pemekaran semakin sukar untuk dibendung perkembangannya. Menurut Juanda (2007) pemberlakuan kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi membuka peluang bagi provinsi, kabupaten/kota untuk melakukan pemekaran wilayah, dengan alasan meningkatkan pelayanan publik, mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat, mendekatkan pelayanan pemerintahan, pembangunan dan pembinaan sosial kemasyarakatan, meningkatkan prakarsa dan peran serta masyarakat serta memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Namun ternyata pemekaran telah membuka peluang terjadinya bureaucratic and political rent-seeking, yakni kesempatan untuk memperoleh keuntungan dana, baik dari pemerintah pusat maupun dari penerimaan daerah sendiri. Lebih lanjut disebutkan, adanya tuntutan pemekaran wilayah untuk menunjukkan kemampuan menggali potensi wilayah, maka banyak daerah menetapkan berbagai pungutan untuk meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD), serta pelayanan publik semakin buruk, menyebabkan terjadinya ekonomi daerah biaya tinggi (high cost economic) dan menghambat kegiatan usaha dan investasi baru (Fitrani et al. 2005). Perkembangan jumlah kabupaten/kota hasil pemekaran yang cukup pesat disatu sisi membebani anggaran namun disisi lain menunjukkan kinerja perkembangan ekonomi yang baik. Kajian Yulistiani et. al. (2007) berdasarkan pertumbuhan ekonomi dan PDRB perkapita terhadap 114 kabupaten pemekaran dibandingkan daerah induknya menunjukkan ada 60 kabupaten pemekaran pertumbuhan ekonominya lebih tinggi dan 54 kabupaten pemekaran pertumbuhan ekonominya lebih rendah dari daerah induknya. Dalam konteks tersebut, menunjukkan bahwa pemekaran wilayah memberikan dampak pembangunan ekonomi pada daerah pemekaran, kondisi tersebut memacu adanya pemerataan pembangunan beserta hasil-hasilnya diberbagai daerah, yang diharapkan dapat memacu pertumbuhan ekonomi suatu daerah dalam mempercepat perubahan
4
struktur perekonomian daerah dari perekonomian yang terbelakang menuju perekonomian daerah yang lebih dinamis dan berkembang. Kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah telah mendorong terbentuknya propinsi, kabupaten dan kota sebagai suatu wilayah, dan kondisi ini menciptakan perbedaan antara daerah propinsi, kabupaten dan kota pemekaran tersebut, yaitu ada daerah yang penduduk/kegiatan terkonsentrasi pada suatu tempat dan ada juga yang kurang terkonsentrasi. Menurut Tarigan (2005), tempat yang terkonsentrasi tersebut dikenal dengan berbagai istilah, kota, pusat perdagangan, pusat industri, simpul industri, pusat perdagangan, daerah perkotaan atau daerah nodal. Sedang daerah yang diluar pusat konsentrasi dinamakan dengan berbagai istilah seperti daerah pedalaman, daerah pertanian, daerah pedesaan atau disebut sebagai wilayah belakang (hinterland). Sutikno dan Maryunani (2007) menyebutkan fenomena terciptanya daerah nodal tidak hanya diwilayah propinsi, namun terjadi diwilayah kabupaten/kota, dimana biasanya pusat kegiatan ekonomi terjadi di daerah kota. Untuk kawasan kabupaten/kota fenomena tersebut khususnya terjadi pada kabupaten-kabupaten yang mempunyai wilayah yang luas. Kabupaten dengan wilayah yang luas biasanya membagi dua wilayah secara administratif, wilayah kota (kotamadya) dan wilayah kabupaten. Wilayah kota inilah yang kemudian dijadikan sebagai pusat kegiatan ekonomi (pusat pertumbuhan), sedang kabupaten sebagai daerah hinterland. Proses desentralisasi dan otonomi daerah memberikan dampak positif bagi pengembangan wilayah yaitu mempercepat perkembangan ekonomi kabupaten/ kota yang baru dibentuk (Muta’ali 2011). Simangunsong (2011), menyatakan sejatinya pemekaran daerah berdampak positif bagi tumbuhnya pusat-pusat pertumbuhan baru. Pemekaran wilayah sebagai salah satu bentuk pengembangan wilayah disatu sisi akan mendorong pertumbuhan ekonomi disisi lain menciptakan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi yang juga akan diikuti oleh pembangunan wilayah. Kegiatan pembangunan tersebut berupa pembangunan pada infrastruktur, transportasi, komunikasi dan kelembagaan sosial yang meningkatkan daya tarik daerah. Implikasi terhadap kegiatan ekonomi masyarakat adalah, pada satu sisi produk yang ada dari pusat pertumbuhan akan digunakan pada kegiatan ekonomi yang ada pada daerah sekitarnya, sedangkan sisi lainnya hasil dari kegiatan ekonomi yang ada di daerah sekitar tersebut akan mempunyai peluang untuk digunakan pada pusat pertumbuhan. Kondisi ini akan menciptakan hubungan timbal balik yang akan menjadi generator bagi pertumbuhan perekonomian daerah (Sagala 2009). Sebagai salah satu bentuk pengembangan wilayah, pemekaran wilayah diharapkan dapat memperkecil kesenjangan antar wilayah (regional disparity), serta dapat menyeimbangkan pertumbuhan dan perkembangan antar wilayah (Muta’ali 2011). Hirschman (1958) dalam Dawkins (2003), menyatakan bahwa pembangunan terpolarisasi (polarized development) dapat memberikan manfaat bagi wilayah pertumbuhan dan daerah belakang/daerah sekitarnya. Pemekaran wilayah merupakan fenomena pembentukan propinsi, kabupaten dan kota dari kondisi diatas, dimana Kota Baubau dan Kota Tasimalaya sebagai kota hasil pemekaran potensial menjadi wilayah nodal maupun sebagai pusat pertumbuhan ekonomi diharapkan dapat memberikan dampak penyebaran (spread effect) maupun sebagai generator untuk mendukung kegiatan perekonomian wilayah daerah-daerah hinterland. Studi Sang-arun (2012) pada 4 wilayah di
5
Thailand menemukan kebijakan desentralisasi dengan strategi pusat-pusat pertumbuhan telah meningkatkan dan mengembangkan hubungan ekonomi antara pusat-pusat pertumbuhan wilayah dan pertumbuhan daerah sekitarnya. Dampak dari pusat pertumbuhan regional sebagai pendorong pertumbuhan sub-regional, serta sebagian besar faktor pembangunan pusat pertumbuhan regional berkorelasi positif dengan pertumbuhan sub-region, perkembangan spasial pusat-pusat pertumbuhan regional telah menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang positif, walaupun pertumbuhan ini belum merata. Mengacu pada studi Sang-arun (2012), penelitian ini dilakukan pada dua kota hasil pemekaran yaitu Kota Bau-Bau dan Kota Tasimalaya untuk dianalisis sejauhmana kebijakan desentralisasi yang dilaksanakan di Indonesia dengan strategi pemekaran wilayah telah mampu menumbuhkan dan mengembangkan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi pada suatu wilayah sehingga mendorong pertumbuhan dan perkembangan ekonomi bagi daerah sekitarnya. Otonomi daerah dengan implikasi pemekaran wilayah bagi Kota Bau-Bau dan Kota Tasikmalaya, menjadi peluang dalam menumbuhkan dan mengembangkan kemampuan ekonomi daerah. Diharapkan dengan pertumbuhan dan perkembangan ekonomi Kota Bau-Bau dan Kota Tasikmalaya sesuai dengan terhadap kegiatan ekonomi masyarakat adalah hasil kegiatan dan produksi dipakai oleh kegiatan ekonomi yang berada daerah hinterland, sedangkan sisi lainnya adalah kegiatan dan produksi daerah hinterland dipakai untuk kegiatan ekonomi yang ada di pusat pertumbuhan. Sebagai kota pemekaran dalam kurun waktu 10 tahun setelah pemekaran yaitu tahun 2003-2013 perkembangan perekonomian wilayah khususnya PDRB perkapita mengalami pertumbuhan yang pesat, terlihat dari rata-rata PDRB perkapita Kota Baubau sebesar Rp.5.498.911,79 juta lebih besar jika dibandingkan dengan Kab. Buton Rp.2.856.250,12 juta, Muna Rp.4.159.772,19 juta, Wakatobi Rp. 2.698.208,54 juta dan Bombana Rp.3.095.969,85 juta namun masih dibawah Kab. Buton Utara Rp.6.947.994,67 juta (Tabel 2). Tabel 2 Perkembangan Rata-Rata PDRB Perkapita Kab/Kota Sultra Kepulauan dan Priangan Timur tahun 2003-2013 Kabupaten/Kota Sultra Kepulauan Kota Bau-Bau Kab. Buton Kab. Buton Utara Kab. Wakatobi Kab. Muna Kab. Bombana
Rata-Rata PDRB Perkapita Tahun 2003-2013 (Kurun waktu 10 tahun) 5.498.911,79 2.856.250,12 6.947.994,67 2.698.208,54 4.159.772,19 3.095.969,85
Kabupaten/Kota Priangan Timur Kota Tasikmalaya Kab. Tasikmalaya Kab. Garut Kab. Ciamis Kota Banjar Kab. Pangandaran
Rata-Rata PDRB Perkapita Tahun 2003-2013 (Kurun waktu 10 tahun) 6.156.109,12 3.209.386,32 4.628.514,29 4.740.458,93 4.333.575,71 -
Sumber: BPS Kota Baubau, Kab: Buton, Buton Utara, Wakatobi, Muna dan Kab. Bombana (2009-2014) dan Kota Tasikmalaya, Kab: Tasikmalaya, Garut, Ciamis, Kota Banjar (2009-2014) dan Kab. Pangandaran (2011-2014)
Tabel 2 memperlihatkan rata-rata PDRB perkapita kabupaten/Kota Priangan Timur, dimana dalam kurun waktu 10 tahun rata-rata PDRB perkapita Kota Tasikmalaya sebesar Rp.6.156.109,12 juta lebih besar dibandingkan daerah sekitarnya (hinterland) Kabupaten Tasikmalaya Rp.3.209.386,32 juta, Kabupaten Garut Rp.4.628.514,29 juta, Kabupaten Ciamis Rp.4.740.458,93 juta dan Kota Banjar Rp.4.333.575,71 juta.
6
Berdasarkan Tabel 2, pada Gambar 1 memperlihatkan pertumbuhan PDRB Perkapita Kota Baubau dalam kurun tahun 2003-2007 dan 2009-2013 mengalami pertumbuhan yang cukup pesat jika dibandingkan dengan dibandingkan daerah sekitarnya, PDRB perkapita Kota Baubau pertumbuhannya lambat atau masih dibawah Kabupaten Buton Utara, namun terhadap 5 (lima) kabupaten lainnya yaitu Kabupaten Buton, Kabupaten Wakatobi, Kabupaten Bombana dan Kabupaten Muna, pertumbuhan PDRB perkapita Kota Baubau lebih tinggi (Gambar 1).
Sumber: BPS Kota Baubau, Kab: Buton, Buton Utara, Wakatobi, Muna dan Kab. Bombana (2009-2014) dan Kota Tasikmalaya, Kab: Tasikmalaya, Garut, Ciamis, Kota Banjar (2009-2014) dan Kab. Pangandaran (2011-2014)
Gambar 1 Perkembangan PDRB Perkapita Kabupaten/Kota Sultra Kepulauan dan Priangan Timur tahun 2003, 2007 dan tahun 2009-2013 Gambar 1 memperlihatkan Kota Tasikmalaya dalam kurun tahun 2003, 2007 dan 2009-2013 pertumbuhan PDRB Perkapita Kota Tasikmalaya lebih tinggi dibandingkan daerah sekitarnya yaitu Kabupaten Tasikmalaya, Kabupaten Garut, Kabupaten Ciamis, dan Kota Banjar. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah memberikan dampak yang signifikan bagi perkembangan perekonomian wilayah Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya, sehingga perkembangan perekonomian wilayah Kota Baubau di wilayah Sultra Kepulauan dan Kota Tasikmalaya di wilayah Priangan Timur disatu sisi dapat memberikan efek penyebaran (spread effect) bagi pertumbuhan ekonomi dan menjadi daya tarik tersendiri bagi daerah sekitarnya (hinterland) disisi lain kebijakan yang diambil di pusat pertumbuhan tersebut dapat menjadi generator untuk kegiatan ekonomi daerah sekitar. Berdasarkan data-data, posisi strategis dan kondisi diatas menunjukkan bahwa Kota Baubau maupun Kota Tasikmalaya memperlihatkan posisi perekonomian yang cukup strategis terhadap daerah sekitarnya (hinterland), maka perlu dianalisis potensi Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya sebagai pusat pertumbuhan, sehingga akan memberikan efek penyebaran (spread effect) bagi perekonomian wilayah kabupaten/kota sekitarnya. Perumusan Masalah Pemekaran wilayah merupakan implikasi dari penerapan desentralisasi dan otonomi daerah sebagaimana amanah Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999. Implementasi pemekaran wilayah sebagai suatu bentuk percepatan pembangunan
7
maupun peningkatan kesejahteraan masyarakat memang tidak selalu memberikan dampak positif tetapi tidak dapat di katakan berdampak negatif terhadap perekonomian wilayah. Praktikno (2007) dalam Ratnawati (2009) mengatakan pemekaran wilayah memiliki “wajah ganda” yaitu ada sisi positif dan sisi negatif, dari sudut pandang kepentingan daerah atau kepentingan pusat, manfaat dan kerugian dari pemekaran wilayah tergantung dari sudut pandang siapa. Jika dari sudut pandang daerah, pemekaran wilayah memberikan dampak positif bagi perkembangan percepatan pembangunan (Nugroho 2011), jika dari sudut pandang pemerintah pusat pemekaran wilayah banyak mengalami kegagalan dalam implementasinya (Bappenas 2007). Berbagai permasalahan yang timbul sejak pemekaran wilayah, Depdagri (2005), Bappenas (2007), (Ratnawati (2009), memberikan kesimpulan bahwa kinerja keuangan, pembiayaan, pembangunan daerah, aparat pemerintah, pengisian jabatan, kewilayahan (RTWR) daerah pemekaran belum memberikan dampak yang signifikan bagi daerah tersebut serta perlu mendapat perhatian dari Pemerintah untuk diperbaiki dan ditingkatkan, konflik ditingkat lokal, termasuk isu kesukuan dan/atau keagamaan. Konflik, perebutan wilayah dan masalah letak ibukota pemekaran, perebutan asset (Pamungkas 2007, Agustino dan Yussof 2008). Semangat kedaerahan untuk menonjolkan kesukuan tanpa mau berinteraksi dengan suku lain (Nugroho 2011). Dari sisi hukum fenomena muncul kecenderungan suatu daerah untuk mengatur segala yang ada di wilayah pemerintahan melalui perda sehingga terjadi euforia otonomi daerah, suatu daerah otonom baru terkadang membuat perda melampaui batas wilayahnya atau bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi (Butt 2010). Dibalik berbagai permasalahan (bad practice) yang ditimbulkan sebagaimana disebutkan diatas, pemekaran wilayah menghasilkan hal yang positif bagi daerah (best practice) seperti Kabupaten Jembrana dengan pembebasan biaya sekolah untuk sekolah negeri, pemberian beasiswa dari SDSMA dan asuransi kesehatan masyarakat. Kabupaten Sragen yang sukses dengan kantor pelayanan terpadu. Kabupaten Musi Banyuasin menyediakan fasilitas kuliah gratis di Politeknik Sekayu dan Akademi Perawat Muba (Nugroho 2011). Kabupaten Kutai Timur, Kabupaten Palawan Riau dan Kabupaten Way Kanan Lampung banyak menarik investor, selain melimpah SDA daerah berhasil membangun sistem pelayanan satu atap. Kabupaten Tanah Bumbu, Kalsel pembangunan infrastrukturnya sampai pelosok pedesaan serta mampu memberikan subsidi pembangunan desa setiap desa Rp. 250 juta pertahun. Kota Metro Lampung berhasil mengembangkan sektor jasa seperti pendidikan dan perdagangan (Ratnawati 2009). Selain pemekaran wilayah menghasilkan bad practice dan best practice seperti yang disebutkan diatas, Booth (2011), Kuncoro (2002), Sjafrizal (1997), Nazara (1994) mengatakan bahwa pemekaran wilayah timbul karena isu pemerintahan yang sentralistik, kesenjangan pembangunan wilayah (regional disparity) dan pemerataan hasil pembangunan antara Jawa - luar Jawa maupun antara Kawasan Indonesia Timur dan Kawasan Indonesia Barat. Sehingga akibat ketimpangan regional (regional disparity) dapat dirasakan dalam pertumbuhan ekonomi rendah, maupun ketimpangan yang berkaitan dengan prasarana ekonomi, sosial politik dan pembangunan fisik lainnya. Prasetyantoko et. al. (2012) melihat ketimpangan pendapatan dan pengeluaran antar pulau (Papua, Maluku, Sulawesi,
8
Kalimantan, Bali-NusaTenggara, Jawa dan Sumatera) cenderung menurun tahun 2008 berkisar antara 0,3 dan 0,4 dan tidak satu indeks memperlihatkan lebih tinggi dari 0,5. Terlepas dari berbagai problematik maupun dampak negatif yang ditimbulkan, pemekaran wilayah harus diapresiasi sebagai upaya untuk mendekatkan pelayanan pemerintahan, meningkatkan pelayanan publik, meningkatkan perekonomian wilayah, serta upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat (Juanda dan Tuerah 2007). Jika dilihat dari aspek kewilayahan pemekaran wilayah mampu membuka dan meningkatkan ketersediaan infrastruktur khususnya di daerah-daerah terisolir yang berada diluar pulau Jawa, memberi peluang kepada daerah untuk mengelola potensi sumber daya alam secara optimal, mengurangi kesenjangan/ketimpangan regional (regional disparity), bahkan dapat mendorong tumbuhnya pusat-pusat pertumbuhan baru (Simangunsong 2011). Berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang telah di revisi dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, memberi peluang bagi Provinsi Sulawesi Tenggara dan Propinsi Jawa Barat untuk melakukan pemekaran. Dalam kurun waktu 15 tahun Provinsi Sulawesi Tenggara telah memekarkan 8 kabupaten dan 1 kota, hingga sampai saat ini terdapat 12 kabupaten dan 2 kota, dimana sebelum Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 berlaku terdapat 5 kabupaten/kota. Sedang Propinsi Jawa Barat dalam kurun waktu 15 tahun memekarkan 1 propinsi, 2 kabupaten dan 4 kota sehingga sampai saat ini terdapat 17 kabupaten dan 9 kota. Proses pemekaran wilayah menurut Sutikno dan Maryunani (2007), merupakan fenomena dimana kabupaten dengan wilayah yang luas membagi dua wilayah secara administratif, wilayah kota (kotamadya) dan wilayah kabupaten. Wilayah kota inilah yang kemudian dijadikan sebagai pusat kegiatan ekonomi (pusat pertumbuhan), sedangkan daerah kabupaten sebagai daerah hinterland. Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya dengan status kota administratif (kotif) dimekarkan masing-masing dari Kabupaten Buton dan Kabupaten Tasikmalaya tahun 2001. Sebagai kota pemekaran dengan proses transformasi (Kemendagri 2013), perkembangan perkonomian wilayah Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya cukup signifikan jika dilihat dari PDRB Perkapita PDRB Atas Dasar Harga Konstan (ADHK), maupun pertumbuhan ekonomi. Gambar 2 dibawah memperlihatkan pertumbuhan PDRB ADH Konstan 2000 Kota Bau-Bau pada awal pemekaran tahun 2003 sebesar 438 milyar, masih dibawah Kabupaten Buton (induk) sebesar 815 milyar dan Kabupaten Muna sebesar 921 milyar, sejak tahun 2007 PDRB ADH Konstan meningkat sebesar 586 milyar lebih besar dibandingkan Kabupaten Buton (induk) sebesar 551 milyar dan beberapa kabupaten sekitarnya, namun masih dibawah Kabupaten Muna sebesar 896 milyar. Peningkatan PDRB ADH Konstan Kota Baubau terus meningkat dari tahun 2009 sebesar 700 milyar s.d. tahun 2013 sebesar 987 milyar. Dibandingkan dengan daerah sekitarnya (hinterland) lainnya yaitu Kabupaten Buton (induk) tahun 2009 sebesar 651 milyar s.d. 2013 sebesar 921 milyar, Kabupaten Buton Utara tahun 2009 sebesar 334 milyar s.d. tahun 2013 sebesar 472 milyar, Kabupaten Wakatobi tahun 2009 sebesar 234 milyar s.d. 2013 sebesar 342 milyar dan Kabupaten Bombana tahun 2009 sebesar 388 milyar s.d. tahun 2013 sebesar 539 milyar. Namun terhadap Kabupaten Muna merupakan salah satu daerah
9
hinterland PDRB ADH Konstan tahun 2009 sebesar 1.041 triliyun sampai dengan tahun 2013 sebesar 1,37 triliyun, pertumbuhan PDRB ADH Konstan 2000 Kota Bau-Bau masih berada dibawah Kabupaten Muna. Dari gambaran kondisi perekonomian dan perkembangan PDRB ADH Konstan Kota Baubau yang menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun secara umum menunjukkan adanya peningkatan kegiatan perekonomian di Kota Baubau (Gambar 2).
Sumber : BPS Kota Baubau, Kab. Buton, Buton Utara, Wakatobi, Muna dan Kab. Bombana (2009-2014)
Gambar 2
Pertumbuhan PDRB ADH Konstan 2000 Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya dengan wilayah sekitarnya (hinterland) tahun 2003, 2007 dan 2009-2013.
Gambar 2 memperlihatkan perkembangan PDRB ADH Konstan 2000 Kota Tasikmalaya dimana pada awal pemekaran tahun 2003 PDRB ADH Konstan Kota Tasikmalaya sebesar 2,69 triliyun dibandingkan dengan daerah sekitarnya (hinterland) terhadap Kota Banjar sebesar 538 milyar PDRB ADH Konstan Kota Tasikmalaya lebih besar, namun terhadap Kabupaten Tasikmalaya sebesar 4,03 triliyun, Kabupaten Garut sebesar 8,09 triliyun dan Kabupaten Ciamis sebesar 5,39 triliyun, PDRB ADH Konstan Kota Tasikmalaya masih lebih kecil. PDRB ADH Konstan Kota Tasikmalaya terus meningkat dari tahun 2007 sampai dengan tahun 2009-2013, yaitu tahun 2009 sebesar 3,66 triliyun sampai dengan tahun 2013 mengalami peningkatan 4,60 triliyun. Namun dibandingkan dengan 3 (tiga) kabupaten sekitarnya (hinterland) masing-masing Kabupaten Tasikmalaya tahun 2009 sebesar 5,29 triliyun meningkat sampai tahun 2013 sebesar 6,26 triliyun, Kabupaten Garut tahun 2009 sebesar 10,56 triliyun meningkat tahun 2013 sebesar 12,87 triliyun, dan Kabupaten Ciamis tahun 2009 sebesar 7,07 triliyun, meningkat tahun 2013 meningkat sebesar 8,61 triliyun PDRB ADHK Kota Tasikmalaya masih dibawah ke-3 (tiga) kabupaten tersebut. Namun jika dibandingkan dengan Kota Banjar dan Kabupaten Pangandaran, PDRB ADHK Kota Tasikmalaya lebih besar dari 2 (dua) daerah sekitarnya (hinterland) yaitu Kota Banjar tahun 2009 sebesar 712 milyar tahun 2013 sebesar 875 milyar dan Kabupaten Pangandaran tahun 2013 sebesar 2,36 triliyun. Indikasi lain perkembangan perekonomian wilayah adalah pertumbuhan ekonomi. Gambar 3 memperlihatkan pertumbuhan ekonomi Kota Baubau dari tahun 2003 (awal pemekaran), 2007 dan 2009-2013 mengalami peningkatan dari
10
tahun ke tahun. Jika dirata-ratakan pertumbuhan ekonomi Kota Baubau dari tahun 2003-2013 sebesar 8,11 persen, lebih besar dibandingkan dengan Kabupaten Buton 7,53 persen dan Kabupaten Muna 7,22 persen, namun masih dibawah dari Kabupaten Buton Utara 8,61 persen, Kabupaten Wakatobi 9,88 persen dan Kabupaten Bombana 8,16 persen. Jika dilihat dari sisi pertumbuhan ekonomi memperlihatkan pertumbuhan ekonomi Kota Baubau antara tahun 2009 sebesar 10,79 persen dan tahun 2013 sebesar 8,22 persen menunjukkan pertumbuhan yang lebih rendah dibandingkan pertumbuhan ekonomi kabupaten hinterlandnya, yakni Kabupaten Buton (induk) 8,60 persen tahun 2009, tahun 2013 8,63 persen, Kabupaten Buton Utara sebesar 10,56 persen tahun 2009, tahun 2013 9,46 persen, Kabupaten Wakatobi sebesar 13,67 persen tahun 2009, tahun 2013 8,04 persen, Kabupaten Muna sebesar 7,81 persen tahun 2009, tahun 2013 7,23 persen, dan Kabupaten Bombana sebesar 7,74 persen tahun 2009, tahun 2013 8,86 persen. Untuk jelasnya perbandingan pertumbuhan ekonomi dapat dilihat pada Gambar 3.
Sumber : BPS Kota Baubau, Kab. Buton, Buton Utara, Wakatobi, Muna dan Kab. Bombana (2009-2014) Kota Tasikmalaya, Kab. Tasikmalaya, Garut, Ciamis, Kota Banjar (20092014) dan Kab. Pangandaran (2011-2014).
Gambar 3 Pertumbuhan ekonomi Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya dengan wilayah sekitarnya (hinterland) tahun 2003, 2007 dan 2009-2013 Gambar 3 memperlihatkan pertumbuhan ekonomi Kota Tasikmalaya dari tahun 2003 (awal pemekaran), 2007 dan 2009-2013. Dalam kurun waktu 10 (sepuluh) tahun pertumbuhan ekonomi Kota Tasikmalaya menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun. Jika dirata-ratakan pertumbuhan ekonomi Kota Tasikmalaya dari tahun 2003 (awal pemekaran), 2007 dan 2009-2013 sebesar 5,64 persen lebih besar dibandingkan dengan daerah sekitarnya (hinterland) yaitu Kabupaten Tasikmalaya 4,18 persen, Kabupaten Garut 4,75 persen, Kabupaten Ciamis 4,88 persen dan Kota Banjar 5,07 persen. Melihat berbagai indikator makro ekonomi Kota Bau-Bau dan Kota Tasikmalaya yang menunjukkan perkembangan positif dari tahun ke tahun, ini membuktikan bahwa kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah yang dilaksanakan pemerintah telah mendorong dan memberikan dampak yang cukup signifikan bagi perkembangan perkonomian wilayah kedua kota tersebut. Kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah dengan implikasi pemekaran wilayah yang dilaksanakan justru membuat perekonomian wilayah Kota Bau-Bau
11
dan Kota Tasikmalaya lebih berkembang perekonomiannya dibandingkan sebelum ditetapkan sebagai salah satu daerah otonom baru, sehingga dengan tumbuh dan berkembangannya perekonomian wilayah Kota Bau-Bau dan Kota Tasikmalaya dapat memberikan efek penyebaran (spread effect) bagi pertumbuhan ekonomi daerah-daerah hinterland. Studi Sang-arun (2012) pada 4 wilayah di Thailand melihat bahwa kebijakan desentralisasi telah meningkatkan strategi pusat-pusat pertumbuhan dengan mengembangkan hubungan ekonomi antara pusat-pusat pertumbuhan wilayah dan pertumbuhan daerah hinterland. Studi ini menunjukkan bahwa kebijakan desentralisasi yang tepat akan menyebarkan pertumbuhan pusat-pusat pertumbuhan regional dan mengarah pada pengembangan daerah sekitarnya. Sehubungan studi Natapon (2012), Kota Bau-Bau dan Kota Tasikmalaya sebagai kota yang baru hasil pemekaran tahun 2001, dengan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah telah mendorong perkembangan perekonomian wilayah yang begitu pesat sehingga meningkatkan hubungan/interaksi ekonomi dan daya tarik wilayah bagi daerah sekitarnya, kondisi tersebut diharapkan dapat mendorong dan mengembangkan Kota Bau-Bau dan Kota Tasikmalaya menjadi pusat pertumbuhan ekonomi yang dapat memberikan pengaruh bagi daerah-daerah sekitarnya. Pemekaran wilayah sebagai pemecahan wilayah dari satu kabupaten menjadi dua atau lebih kabupaten, dilihat dari sisi teori Christaller (Harmantyo 2007), disatu sisi terbentuknya daerah baru kabupaten dapat menjadi suatu lokasi pusat (central place) disisi lain kota sebagai daerah nodal. Keduanya, lokasi pusat dan wilayah nodal pada dasarnya melayani daerah belakang (hinterland), mendekatkan jarak pelayanan dan terutama dapat memberikan efek penyebaran bagi daerah sekitarnya. Disisi lain pemekaran wilayah telah membuka daerahdaerah baru sehingga arus perdagangan antar daerah, pergerakan perekonomian antar daerah semakin terbuka kondisi ini akan membuat suatu wilayah yang sebelumnya terbelakang akan berkembang. Berdasarkan latar belakang diatas, maka pertanyaan penelitian adalah : 1. Bagaimanakah perkembangan struktur perekonomian wilayah Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya dan sektor unggulan apakah yang menjadi daya saing perekonomian wilayah Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya potensial menjadi pusat pertumbuhan dibandingkan dengan daerah sekitarnya? 2. Bagaimana perkembangan wilayah dan interaksi ekonomi dan daya tarik wilayah wilayah Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya terhadap daerah sekitarnya? 3. Apakah penerapan Peraturan Pemerintah Nomor 78 tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan dan Penggabungan Daerah khususnya faktorfaktor pembentukan daerah cukup efektif di Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya? 4. Bagaimana persepsi stakeholder tentang kebijakan pemekaran wilayah dan apakah pemekaran wilayah dapat memberikan manfaat bagi daerah? Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan penelitian diatas, tujuan umum penelitian ini yaitu ingin mengkaji pemekaran wilayah sebagai pengembangan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi studi di Kota Baubau Propinsi Sulawesi Tenggara dan
12
Kota Tasikmalaya Propinsi Jawa Barat. Sedang tujuan khusus penelitian yang ingin dicapai adalah: 1. Menganalisis perkembangan struktur perekonomian wilayah Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya serta sektor unggulan yang menjadi daya saing perekonomian wilayah Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya sehingga potensial menjadi pusat-pusat pertumbuhan dibandingkan dengan daerah sekitarnya. 2. Menganalisis perkembangan wilayah dan interaksi ekonomi dan daya tarik wilayah Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya terhadap daerah sekitarnya. 3. Mengevaluasi Peraturan Pemerintah Nomor 78 tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan dan Penggabungan Daerah khususnya faktorfaktor yang dipergunakan untuk menilai usulan pemekaran wilayah di Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya. 4. Menganalisis persepsi stakeholder dan merumuskan kebijakan yang ditempuh pemerintah pasca pemekaran agar bermanfaat bagi daerah. Kegunaan Penelitian 1. 2.
3.
4.
Kegunaan yang diharapkan dari penelitian ini adalah: Sebagai bahan evaluasi, masukan dan rekomendasi bagi Pemerintah dalam membuat kebijakan pemekaran wilayah yang lebih terencana. Memberikan informasi bahwa pemekaran wilayah dapat memberikan nilai tambah (value added) dan manfaat (benefit) bagi masyarakat dalam rangka untuk mendekatkan pelayanan pemerintahan, pembangunan dan pembinaan sosial kemasyarakatan serta merupakan upaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dari sisi pengembangan ilmu dapat memperkaya kajian penerapan desentralisasi dan otonomi daerah sehubungan dengan pusat-pusat pertumbuhan. Sebagai bahan kajian bagi peneliti dan pemerhati masalah otonomi daerah dan pembangunan wilayah serta bagi penelitian selanjutnya. Ruang Lingkup
Ruang lingkup penelitian ini mencakup 2 (dua) kota pemekaran tahun 2001 yaitu Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya yang memiliki karakteristik sebagai pusat pertumbuhan dan kutub pertumbuhan. Kedua kota pada awalnya adalah kota administratif (kotif), setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 kedua kota administratif (kotif) ini dimekarkan dari kabupaten induknya masingmasing pada tahun 2001melalui proses transformasi (Kemendagri 2011). Berlakunya Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 yang efektif mulai berlaku pada tahun 2001. Pemekaran wilayah pada tahun 2001 terdapat beberapa daerah yang mekar yaitu Kota Lhoksumawe, Langsa, Padangsidempuan, Prabumulih, Lubuk Linggau, Pager Alam, Tanjung Pinang, Cimahi, Batu, Sikawang, Bau-Bau dan Tasikmalaya. Pemilihan dua kota sebagai tempat penelitian karena kedua kota hasil pemekaran ini masing-masing berada pada suatu kawasan yang memiliki daerah hinterland. Kota Baubau berada pada suatu kawasan yang disebut Sulawesi Tenggara (Sultra) Kepulauan yang dikelilingi oleh beberapa kabupaten
13
disekitarnya, Kota Tasikmalaya berada pada suatu kawasan yang disebut Priangan Timur yang dikelilingi oleh beberapa kabupaten disekitarnya. Alasan lain pemilihan kedua kota tersebut karena Kota Baubau merupakan kota pesisir/kepulauan dan Kota Tasikmalaya merupakan kota daratan, kedua kota tersebut memiliki karakteristik sebagai pusat pertumbuhan yang mempunyai daerah hinterland. Hipotesis Penelitian Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang diuraikan diatas, hipotesis penelitian yang dibangun dan dirumuskan dalam penelitian ini adalah : 1. Sebagai kota hasil pemekaran Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya potensial berkembang menjadi pusat-pusat pertumbuhan ekonomi. 2. Perkembangan perekonomian Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya dapat menjadi daya tarik dan berpengaruh terhadap daerah sekitarnya (hinterland). 3. Kebijakan pemekaran wilayah memberikan manfaat bagi peningkatan pembangunan, perekonomian wilayah dan kesejahteraan masyarakat. Kebaruan (Novelty) Penelitian 1.
2.
3.
4.
5.
6.
Kebaruan (novelty) dari penelitian ini adalah : Dari sisi metodologi, dengan menggunakan model gravitasi terintegrasi dengan analisis tipologi klasen, indeks diversitas entropi, loqation quotient, shift share dan skalogram untuk menganalisis interaksi ekonomi dan daya tarik wilayah kota terhadap daerah sekitarnya (hinterland). Dari sisi substansi, penelitian ini dapat mengkatagorikan kota hasil pemekaran dengan pendekatan pusat pertumbuhan (growth center) dan kutub pertumbuhan (growth pole). Dari sisi kebijakan, mengevaluasi Peraturan Pemerintah Nomor 78 tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan dan Penggabungan Daerah khususnya sebelas faktor-faktor yang dipergunakan untuk menilai usulan pemekaran wilayah. Penelitian ini dapat mengkontraskan hasil analysis hierarchy process dengan Peraturan Pemerintah Nomor 78 tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan dan Penggabungan Daerah berdasarkan persepsi masyarakat (people driven) dengan 11 (sebelas) faktor/indikator pemekaran wilayah. Alat analisis yang dipergunakan dalam penelitian ini dapat menilai bagaimana kebijakan yang telah ditetapkan oleh stakeholder dengan growth center dan growth pole. Penelitian ini dapat menunjukkan bagaimana sinergisme antar wilayah dengan pusat pertumbuhan (growth center) dan kutub pertumbuhan (growth pole).
14
2 TINJAUAN PUSTAKA Landasan Teoritik Pemekaran Wilayah Teori – teori tentang lokasi dan wilayah telah mengalami kemajuan dengan pesat. Berbagai macam teori lokasi dan wilayah yang dikemukakan oleh para ahli seperti Von Thunen (1826), Webber (1909), Christaller (1933), Losch (1940), Perroux (1955) dan Boudeville (1961) dan telah memberikan kontribusi dan pengaruhnya yang signifikan terhadap pengembangan wilayah. Teori lokasi dan wilayah berhubungan dengan keruangan. Landasan dari lokasi adalah ruang, tanpa ruang maka tidak mungkin ada lokasi. Dalam studi tentang wilayah yang dimaksud dengan ruang adalah permukaan bumi baik yang ada diatasnya maupun yang ada dibawahnya sepanjang manusia masih bisa menjangkaunya (Tarigan, 2005). Menurut Rustiadi et. al, (2009) bahwa proses perencanaan pengembangan wilayah selalu berhadapan dengan objek-objek perencanaan yang memiliki sifat keruangan (spasial). Oleh karenanya dalam analisis perencanaan wilayah, analisis yang menyangkut objek-objek dalam sistem keruangan (analisis spasial) menjadi sangat penting. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pemekaran wilayah sebagai suatu proses pemecahan wilayah (dari satu wilayah membentuk wilayah lain) memiliki sifat-sifat keruangan. Mengacu dari berbagai teori lokasi dan wilayah tersebut maka ide dasar dari konsep pemekaran wilayah jika mengacu pada teori-teori lokasi dan wilayah pada umumnya lebih banyak dipengaruhi dan diadopsi dari model atau teori lokasi pusat (central place theory). Teori lokasi pusat (central place theory) pertama kali di kemukakan oleh Walter Christaller (1933), kemudian diperluas dan dikembangkan oleh August Losch (1940). Teori lokasi pusat berasumsi bahwa suatu tempat merupakan pusat pemasaran atau pusat pelayanan yang membentuk suatu hirarki yang teratur. Untuk itu Christaller memperkenalkan konsep threshold dan range. Berkaitan dengan fungsinya sebagai pasar yang menyediakan barang dan jasa bagi kebutuhan penduduk di sekitarnya, masing-masing pusat kegiatan akan memiliki dua kondisi yang berkaitan dengan ukuran dan luasan sebagai berikut : threshold yakni ukuran atau besaran minimum volume pasar yang dipersyaratkan untuk menyelenggarakan barang dan jasa tertentu dan range yakni jarak maksimum bagi konsumen untuk membeli barang dan jasa. Jarak yang terlalu jauh dapat menyebabkan konsumen tidak lagi berminat membeli barang/jasa tersebut. Dari pusat kegiatan besaran range menjadi batasan bagi luas daerah pelayanan pasar (Setiono, 2011). Karena range memiliki ukuran layanan dan batas jarak sehingga akan menciptakan/menumbuhkan range yang baru dan seterusnya akibatnya range akan saling bersinggungan sisinya luarnya sekalipun tidak ada kompetisi antar produsen namun ada wilayah/daerah/konsumen yang tidak terlayani, sebaliknya jika range diperbesar maka akan terjadi kompetisi antar produsen dalam melayani konsumen, dan dapat menurunkan keuntungan dari sisi wilayah atau jika range diperbesar maka akan terjadi tumpang tindih (overlaping) wilayah pelayanan. Untuk itu Christaller memperkenalkan range yang ideal diubah dalam bentuk heksagonal, dimana produsen bisa mengoptimalkan keuntungan, konsumen dapat terlayani dengan harga yang murah dan jarak yang dekat. Dari sisi wilayah
15
dengan model heksagonal semua wilayah dapat terlayani dan tidak terjadi tumpang tindih wilayah pelayanan (Rustiadi, et al, 2009; Setiono, 2012). 1
2
3
Sumber : Capello (2007); Rustiadi, et al, (2009); Setiono (2011) Gambar 4
Rentang wilayah (range) model teori lokasi pusat (central place theory) Keterangan : 1) Penduduk/wilayah yang tidak terlayani; 2) Overlap pasar/wilayah pelayanan terjadi kompetisi; 3) Solusi menurut Christaller atas masalah 1 dan 2 dengan model heksagonal. Prinsip dasar dalam teori lokasi pusat (central place theory) menurut Christaller adalah struktur hubungan pusat-pusat kegiatan dengan system k = 3 (role of threes) atas dasar 3 prinsip (three principles) yaitu prinsip pasar (the market principle), prinsip transportasi (the transportation principle) dan prinsip administrative (the administrative principle). Pada prinsip pasar digambarkan dengan sistem k = 3, prinsip transportasi digambarkan dengan model k = 4 dimana lokasi pusat terbentuk sebagai jalur transportasi/trafic yang lurus yang menyebar dari titik pusat, dimana pusat yang ordenya lebih tinggi mendominasi lokasi pasar dari pusat-pusat yang ordenya lebih rendah, dan prinsip administratif mengatur hirarki pusat dari sudut pandang politik atau administrasi. Prinsip administrasi di gambarkan dengan model k = 7, prinsip ini mengatur seluruh pusat-pusat dari orde yang lebih rendah dimasukkan ke dalam pusat yang berorde tertinggi. Penerapan teori lokasi pusat berkaitan erat dengan konsep pusat pertumbuhan. Jayadinata (1999) menyebutkan bahwa suatu tempat merupakan pusat pemasaran atau pusat pelayanan. Sedang konsep pertumbuhan mengandung pengertian adanya suatu hubungan saling mempengaruhi secara timbal balik antara pusat-pusat tersebut dengan daerah pengaruhnya. Pusat-pusat itu sendiri berada pada suatu jenjang tertentu yang terdiri atas pusat pertumbuhan pertama, pusat pertumbuhan kedua, dan seterusnya. Menurut teori ini pertumbuhan akan dapat dijalarkan dari pusat pertama ke pusat kedua dan seterusnya melalui mekanisme yang disebut spread effect oleh Gunner Myrdal (1976) atau disebut trickling down effect oleh Hirschman (1958), yaitu gaya-gaya yang mendorong perkembangan ke daerah pengaruhnya yang biasanya merupakan daerah yang relatif kurang berkembang (Harahap, 2009). Konsep teori lokasi pusat dan pusat pertumbuhan selaras dengan konsep model wilayah Nodal. Menurut konsep model wilayah nodal adalah salah satu konsep wilayah fungsional/system yang sederhana karena memandang suatu wilayah secara dikotomis (terbagi atas dua bagian), yang didasarkan atas asumsi bahwa suatu wilayah diumpamakan sebagai suatu “sel hidup” yang mempunyai inti dan plasma. Inti (pusat simpul) adalah pusat-pusat pelayanan dan atau
16
permukiman sedang plasma adalah daerah belakang (periphery/hinterland), yang mempunyai sifat-sifat tertentu dan mempunyai hubungan fungsional (Rustiadi, et. al. 2009). 3 3
2
3
3 3
3 3
2
3
3
1
2
3
3
3 3 3
2
3
3
Sumber : Rustiadi, et al, (2009) Gambar 5 Pusat Pertumbuhan (inti) dengan sub-sub wilayah inti dengan berbagai tingkatan dalam suatu wilayah nodal (nodal region) Keterangan : 1) Pusat pertumbuhan (inti) ; 2) sub-sub wilayah inti (hinterland); 3) sub-sub wilayah inti (hinterland). Gambar diatas menunjukkan hubungan fungsional antara sub wilayah hinterland dengan inti. Suatu wilayah/pusat pertumbuhan yang luas dapat mempunyai inti dengan dengan hirarki tertentu. Sub wilayah inti dengan hirarki yang lebih tinggi merupakan pusat bagi beberapa sub wilayah inti dengan hirarki yang lebih rendah. Unit terkecil suatu wilayah nodal berpusat pada satu sub wilayah inti dengan sub wilayah plasma disekelilingnya. Menurut Richardson (1969) dalam Rustiadi et. al. (2009) menyebutkan bahwa konsep wilayah nodal lebih fokus pada peran pengendalian/pengaruh central atau pusat (node) serta hubungan ketergantungan pusat dan elemen-elemen sekelilingnya dibandingkan soal batas wilayah. Sehubungan dengan penerapan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah, pemekaran wilayah dapat dipandang sebagai bentuk pendekatan model lokasi pusat (central place). Dimana jika melihat syarat pembentukan provinsi paling sedikit 5 (lima) kabupaten/kota; pembentukan kabupaten paling sedikit 5 (lima) kecamatan; dan pembentukan kota paling sedikit 4 (empat) kecamatan, jika dihubungkan dengan prinsip – prinsip dari teori lokasi pusat (central place theory) Christaller maka pemekaran wilayah sebagai pemecahan (splitting) dari satu kabupaten menjadi dua atau lebih kabupaten baru, kabupaten baru cenderung sebagai atau menjadi suatu lokasi pusat (central place) baru yang mampu atau dapat melayani daerah belakang (hinterland) dan mendekatkan jarak pelayanan. Terbentuknya lokasi pusat (central place) yang baru, membuka daerah-daerah baru sehingga arus perdagangan antar daerah, pergerakan perekonomian antar daerah semakin terbuka. Kondisi ini akan membuat suatu wilayah yang sebelumnya terbelakang menjadi potensial dapat berkembang. Pemekaran Wilayah Pemekaran wilayah menjadi tren dalam sistem pemerintahan di Indonesia sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang
17
Pemerintahan Daerah dengan titik sentral pada otonomi daerah dan desentralisasi. Berlakunya undang-undang tersebut berimplikasi pada besarnya tuntutan daerahdaerah untuk memekarkan daerahnya menjadi daerah otonom baru. UndangUndang Nomor 22 tahun 1999 yang telah direvisi dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 menyebutkan bahwa, pembentukan daerah pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan pelayanan publik guna mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat. Pembentukan daerah dapat berupa pemekaran dari satu daerah menjadi dua daerah atau lebih, atau penggabungan bagian daerah yang bersandingan, atau penggabungan beberapa daerah. Proses pembentukan daerah didasari pada 3 (tiga) persyaratan, yakni administratif, teknis, dan fisik kewilayahan. 1. Persyaratan administratif didasarkan atas aspirasi sebagian besar masyarakat setempat untuk ditindaklanjuti oleh pemerintah daerah dengan melakukan kajian daerah terhadap rencana pembentukan daerah. 2. Persyaratan secara teknis didasarkan pada faktor kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, kependudukan, luas daerah, pertahanan, keamanan, dan faktor lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah. Adapun faktor lain tersebut meliputi pertimbangan kemampuan keuangan, tingkat kesejahteraan masyarakat, dan rentang kendali penyelenggaraan pemerintahan. 3. Persyaratan fisik kewilayahan dalam pembentukan daerah meliputi cakupan wilayah, lokasi calon ibukota, sarana, dan prasarana pemerintahan. Dengan persyaratan dimaksud diharapkan agar daerah yang baru dibentuk dapat tumbuh, berkembang dan mampu menyelenggarakan otonomi daerah dalam rangka meningkatkan pelayanan publik yang optimal guna mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat dan dalam memperkokoh keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam pembentukan daerah, tidak boleh mengakibatkan daerah induk menjadi tidak mampu menyelenggarakan otonomi daerah, dengan demikian baik daerah yang dibentuk maupun daerah induknya harus mampu menyelenggarakan otonomi daerah, sehingga tujuan pembentukan daerah dapat terwujud. Dengan demikian dalam usulan pembentukan dilengkapi dengan kajian daerah. Pemekaran wilayah menurut Ferrazzi (2007) dalam Ratnawati (2009) dapat dilihat sebagai bagian dari proses penataan daerah atau territorial reform atau administrative reform yaitu “management of the size, shape and hierarchy of local government units for the purpose of achieving political and administrative goals‖. (reformasi teritorial atau reformasi administrasi yaitu "pengelolaan ukuran, bentuk dan hirarki satuan pemerintah daerah untuk maksud mencapai/melaksanakan tujuan politik dan administrasi). Penataan daerah umumnya mencakup pemekaran, penggabungan dan penghapusan daerah. Ferrazzi (2007) berpendapat bahwa grand strategy otonomi daerah yang optimal tidak berhenti pada menentukan berapa jumlah daerah otonom yang ideal disuatu negara, namun lebih dari itu, harus mampu menjawab pertanyaan apa sebenarnya hakekat otonomi daerah disuatu negara bersangkutan. Baru setelah itu mencari jawaban apa sebenarnya pemekaran wilayah (dalam konteks territorial reform) tersebut. Tryatmoko (2010) menyebutkan ada tiga varian kebijakan territorial reform yang menjadi preferensi beberapa negara. Pertama, pemekaran (proliferation) daerah. Kebijakan pemekaran wilayah ini terutama menjadi pilihan bagi negara-
18
negara berkembang (Pakistan, Filipina, Nigeria, Uganda, Kenya) yang mengutamakan kedekatan geografi (geographic proximity). Kedua, penggabungan (amalgamation) daerah. Kebijakan ini dipilih negara-negara maju (VictoriaAustralia, Jepang, Kanada, Swedia) yang terutama berorientasi pada prinsip ekonomi (efisiensi) dalam penyelenggaraan pemerintahan. Ketiga, bentuk campuran antara pemekaran dan penggabungan. Negara-negara yang menganut kebijakan ini menyesuaikan dengan kondisi politik dan ekonomi yang ada. Pemilihan territorial reform melalui pemekaran wilayah tidak tergantung pada bentuk negara apakah federal atau kesatuan. Menurut Sjafrizal (2008) secara teoritis, pengertian penataan daerah sebenarnya cukup luas dimana pembentukan suatu daerah baru dapat muncul dalam tiga bentuk yaitu; pemisahan (split-off), perluasan (enlarging) dan penyatuan (amalgamation). Masing-masing bentuk penataan daerah tersebut mempunyai tujuan dan pertimbangan serta dampak yang berbeda terhadap proses pembangunan daerah bersangkutan. Pemisahan atau pemekaran adalah pemisahan suatu wilayah dari daerah administratif lama untuk membentuk suatu daerah administratif baru. Perluasan biasanya terjadi pada daerah perkotaan bila perkembangan pembangunan sudah meluas sehingga daerah yang semula desa (rural area) mulai berubah struktur perekonomiannya menjadi daerah perkotaan (urban area), dan daerah tersebut secara administratif biasanya digabung dengan daerah perkotaan tersebut. Penyatuan yaitu penggabungan antara dua daerah administratif atau lebih menjadi satu daerah administratif baru. Sedang Ferrazzi (2007) dalam Suryanto (2009) melihat dalam kaitan dengan pemekaran di Indonesia, terdapat hal yang bertolak belakang atas fenomena pemekaran dengan beberapa negara lain seperti Denmark, Ontario-Kanada dan Victoria-Australia yang justru melakukan penggabungan wilayah atas dasar pertimbangan efisiensi. Sedangkan Yordania melakukan penggabungan atas dasar pembatasan biaya dan Jepang melakukan penggabungan atas alasan pelayanan yang lebih baik. Jika dilihat dalam konteks sistem pemerintahan di Indonesia maka kebijakan territorial reform yang pertama (proliferation), tampaknya menjadi pilihan dalam pelaksanaan pemekaran wilayah di era reformasi ini (Kimura 2010). Kebijakan territorial reform yang pertama (proliferation) tampaknya disukai oleh Indonesia. Hal disebabkan karena terdapatnya beberapa faktor yang mendorong dukungan luas elit dan masyarakat terhadap pemekaran wilayah: pertama, dengan berlandaskan pendekatan geografis (geographic proximity) masyarakat percaya bahwa semakin kecil lingkup geografis, maka pelayanan publik akan semakin cepat dan tepat. Kedua, elit menjadi sangat antusias membentuk wilayah administratif baru karena fragmentasi kekuasaan memberikan kesempatan bagi mereka yang belum mendapat kekuasaan. Ketiga, sejalan dengan semangat kedaerahan dan kesukuan (ethnic nationalism) masyarakat merasa lebih nyaman berada dalam lingkup geografis dengan komposisi yang lebih homogen. Keempat, elit dan masyarakat lokal merasa yakin dapat mengelola daerah barunya secara baik, karena terdapat jaminan finansial minimal dari pemerintah dalam bentuk Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), dan Dana Bagi Hasil (DBH), dari pajak. Faktor-faktor ini merupakan pendorong yang lebih kuat ke arah pemekaran dibandingkan kebijakan penggabungan daerah (Tryatmoko 2010 dalam Prayudi 2011).
19
Rasyid (2000) lebih jauh menjelaskan bahwa jika pembangunan atau pemekaran wilayah dilakukan, maka kebijakan itu harus memberi jaminan bahwa aparatur pemerintahan yang ada harus memiliki kemampuan yang cukup untuk memaksimalkan fungsi-fungsi pemerintahan. Asumsi yang menyertainya adalah bahwa pemekaran pemerintahan yang memperluas jangkauan pelayanan itu akan menciptakan dorongan-dorongan baru dalam masyarakat bagi lahirnya prakarsa yang mandiri menuju kemandirian bersama. Ada tiga pola dalam pembentukan wilayah pemerintahan daerah selama ini, yaitu: 1. Pembentukan wilayah-wilayah pemerintahan yang sekaligus menjadi daerah otonom (Provinsi Kab/Kota) dengan persyaratan yang cukup objektif seperti jumlah penduduk dan potensi ekonomi (terutama terlihat di Jawa dan Sumatera). 2. Pembentukan wilayah-wilayah administrasi dan daerah otonom berdasarkan pertimbangan politis dengan jumlah penduduk relatif kecil tapi memiliki potensi ekonomi yang besar (seperti Papua) serta potensi ekonomi dan penduduk yang sedikit tetapi secara historis dipandang khas. 3. Pembentukan wilayah administrasi pemerintahan tanpa disertai pembentukan daerah otonom seperti lazim terjadi untuk pembentukan wilayah. Selanjutnya menurut Rasyid (2000) pemekaran wilayah juga harus mampu mengoptimalkan jangkauan pelayanan kepada masyarakat sebagaimana dikatakan, dalam rangka mengoptimalkan pelayanan kepada masyarakat, pemekaran wilayah harus didasarkan pada: 1. Pengembangan wilayah pemerintahan atau pemekaran wilayah harus selaras dan sesuai, sehinga efektifitas penyelengaraan pemerintahan tetap dengan konsep lingkungan, kerja yang ideal, dengan ukuran organisasi dan jumlah instansi yang terjamin. 2. Pengembangan wilayah pemerintahan atau pemekaran wilayah bertolak dari pertimbangan atas prospek pengembangan ekonomi yang layak dilakukan berdasarkan kewenangan yang akan diletakan pada pemerintahan yang baru. 3. Kebijakan pengembangan wilayah harus menjamin bahwa aparatur pemerintahan di daerah yang dibentuk memiliki kemampuan yang cukup untuk melaksanakan fungsi pemerintahan dan mendorong lahirnya kebijakan yang konsisten mendukung peningkatan kualitas publik. Ide pemekaran wilayah sebenarnya merupakan penataan kembali daerahdaerah agar diperoleh suatu sistem pemerintahan yang efektif dan efisien dengan mendekatkan pelayanan publik kepada rakyat. Ujung dari penataan ini tidak lain adalah suatu kesejahteraan rakyat yang lebih merata di semua daerah. Wujud Pemekaran wilayah bisa berbentuk penggabungan, penghapusan, ataupun pembentukan daerah otonomi baru. Namun demikian hampir semua usulan daerah yang melandaskan diri pada undang-undang ini lebih merupakan suatu usaha untuk membentuk daerah otonomi baru (DOB), dengan cara memecah daerah otonomi lama (Induk). Sedangkan Suwandi (2011) menyebutkan bahwa, argumen dasar pemekaran wilayah biasanya adalah: daerah induk terlalu luas sehingga menyulitkan pelayanan publik dan tidak efektifnya span of control; mendekatkan pelayanan pemda kepada masyarakat secara demokratis; adanya keinginan dari masyarakat untuk mendirikan otonomi lepas dari daerah induknya; daerah yang akan mekar
20
menginginkan diskresi untuk menyelenggarakan otonominya sesuai dengan kearifan lokal masing-masing. Kesenjangan pembangunan (regional inequality) yang terjadi selama ini antara Jawa dan Luar Jawa maupun antara Kawasan Barat Indonesia dan Kawasan Timur Indonesia (Kuncoro 2002; Sjafrizal 1997; Nazara 1994) sebagai pendorong bagi daerah-daerah untuk melakukan pemekaran semakin sukar dibendung. Di era reformasi disatu sisi kebijakan pemekaran wilayah semakin memperoleh ruang yang luas, disisi lain kebijakan dan isu pemekaran wilayah terkadang menjadi agenda politik baik dalam skala nasional maupun dalam skala lokal/daerah. Menurut Prayudi (2011) politisasi agenda pemekaran tidak jarang dituduh sekedar sebagai instrumen bagi elit dalam mencapai tujuan tertentu kekuasaan dan kepentingan kelompoknya. Pemekaran wilayah yang sejatinya ditujukan dalam konteks kemakmuran bagi rakyat setempat dan meningkatkan kualitas pelayanan publik (public service) telah bias dengan kepentingan politik kekuasaan. Hasil penelitian Juanda (2007), menyatakan bahwa pemekaran wilayah memberikan beberapa manfaat bagi daerah baru dan masyarakat lokal, yang dikelompokkan dalam 5 manfaat, yaitu: 1. Peningkatan pelayanan pemerintah daerah terhadap masyarakat. Hal ini disebabkan karena jangkauan wilayah pelayanan akan semakin kecil dibandingkan dengan sebelum daerah tersebut dimekarkan. Badan dan dinas yang berfungsi memberikan pelayanan langsung kepada masyarakat relatif lebih dekat dengan masyarakat. Selain itu, pemekaran memungkinkan pemerintah daerah membangun fasilitas-fasilitas pelayanan dasar seperti fasilitas kesehatan dan pendidikan sampai di wilayah pedesaan, dimana sebelum pemekaran hanya terkonsentrasi di pusat- pusat kecamatan. 2. Kemungkinan pengelolaan sumber daya alam dengan prinsip-prinsip kearifan lokal dan berkelanjutan. Konsekuensi pemekaran wilayah antara lain, luas wilayah akan semakin berkurang sehingga sumber daya alam yang dimiliki daerah akan semakin mudah untuk dikontrol dan dikelola oleh masyarakat bersama-sama dengan pemerintah daerah. Selain itu, otonomi daerah akan mengurangi intervensi-intervensi pemerintah pusat dalam pengelolaan sumberdaya alam seperti yang terjadi selama era pemerintahan sentralistik lebih dari 30 tahun, sebagai penyebab utama hilangnya sebagian sumber daya alam yang tidak diperbaharui (unrenewable resources) karena kurang control pemerintah pusat dan daerah terhadap pengelolaan dan eksploitasi sumber daya alam, menyebabkan terjadinya kerusakan lingkungan secara besar-besaran. SDA semakin berkurang dan sebagian sudah terkuras habis. Ironisnya, masyarakat sekitar lokasi SDA masih tetap miskin, belum diberdayakan dan terbatas sumber bahan makannya. 3. Partisipasi masyarakat dan rasa memiliki dapat semakin meningkat. Adanya pemekaran wilayah dapat memberikan ruang yang lebih besar bagi masyarakat lokal untuk berpartisipasi secara langsung dan komprehensif dimulai dengan proses perencanaan pembangunan daerah mulai dari tingkat desa atau kelurahan, kecamatan, sampai kabupaten atau kota. Melibatkan masyarakat secara langsung dan aktif dalam proses perencanaan, pelaksanaan pembangunan dan menikmati hasil perencanaan dan pembangunan daerah, akan menciptakan rasa memiliki (sense of belonging) terhadap hasil-hasil pembangunan yang telah dicapai serta mendorong masyarakat lokal untuk turut
21
serta secara aktif dalam merawat dan memelihara fasilitas-fasilitas serta infrastruktur yang telah dibangun bersama-sama antara masyarakat dan pemerintah daerah. 4. Efisiensi dan efektifitas pengelolaan sumber daya alam kemungkinan meningkat. Karena masyarakat ikut berpartisipasi aktif dalam proses pembangunan, maka hasil-hasil pengelolaan sumber daya alam dapat meningkatkan jumlah penerimaan oleh pemerintah daerah serta mempermudah alokasi-alokasi penggunaan dana untuk kepentingan publik sehingga hasil-hasil pengelolaan sumberdaya alam diharapkan akan digunakan untuk membangun infrastruktur dan fasilitas-fasilitas umum serta pelayanan publik akan semakin ditingkatkan dan semakin baik. 5. Kesejahteraan masyarakat yang berkeadilan dapat terwujud. Pemekaran wilayah membuka ruang yang lebih luas untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang makin berkualitas. Hal ini lebih realistik terjadi kepada masyarakat lokal sebab bagian terbesar kewenangan pemerintah telah diserahkan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah (kabupaten dan kota). Demikian juga untuk pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam, pajak daerah, retribusi dan bagi hasil pajak sumber daya alam, minyak dan gas sepenuhnya diserahkan dan dikelola oleh pemerintah daerah. Selain itu, masyarakat lokal menentukan sendiri secara langsung para wakil-wakil mereka di DPRD dan pemimpin daerah (bupati/walikota). Jadi dengan mengelola dan memanfaatkan secara langsung sumber-sumbernya di daerah oleh pemerintah daerah dan masyarakat lokal; roda pemerintah daerah dikelola dengan prinsipprinsip good government; pemimpin daerah yang berkepribadian berani dan tegas dalam pengambilan keputusan; serta memiliki ciri-ciri entreprenuership, akan memacu lebih cepat terwujudnya masyarakat lokal yang sejahtera dan berkeadilan. Juanda (2007), menyatakan bahwa meskipun pemekaran wilayah dapat memberikan berbagai manfaat yang dapat menyentuh langsung kepada masyarakat lokal, pemekaran wilayah juga berdampak secara langsung terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD Provinsi). Penerapan Undang- Undang Nomor 22 tahun 1999 yang telah direvisi dengan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, titik berat pada desentralisasi dan otonomi daerah implikasi pada Pemekaran wilayah dalam pelaksanaan memasuki tahun ke 14 (empatbelas) yaitu sejak tahun 2001 sampai tahun 2015, fenomena pemekaran wilayah terus bertambah, hal ini perlu disikapi dan dipertimbangkan oleh Pemerintah, terutama dengan keterbatasan anggaran yang tersedia, yang menjadi beban tambahan dengan alokasikan anggaran untuk daerah-daerah pemekaran baru. Untuk itu dalam rangka efisiensi pengelolaan anggaran maka pemekaran wilayah perlu dilakukan pertimbangan dan perhitungan yang akurat sampai sejauhmana manfaat dan pencapaian tujuan pemekaran. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 78 tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah Sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pasal 18 ayat 2 menyebutkan pemerintah daerah berwenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan
22
tugas pembantuan. Pemberian otonomi luas kepada daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat. Disamping itu melalui otonomi luas, daerah diharapkan mampu meningkatkan daya saing dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan serta potensi dan keanekaragaman daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Undang- Undang Nomor 22 tahun 1999 merupakan pengganti Undang- Undang Nomor 5 tahun 1974 tentang Pemerintahan Daerah yang dianggap sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman dirasakan lebih banyak mengalami kegagalan dalam pelaksanaan sistem pemerintahan di Indonesia. Berlakunya Undang- Undang Nomor 22 tahun 1999 yang telah direvisi dengan Undang- Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah telah membawa tatanan baru dalam sistem pemerintahan Indonesia. Penerapan Undang- Undang ini, berfokus pada desentralisasi dan otonomi daerah dengan implikasi pemekaran wilayah telah mendorong bertambahnya jumlah propinsi/kabupaten dan kota di Indonesia sampai dengan tahun 2013 sebanyak 34 propinsi, 409 kabupaten dan 93 kota sehingga berjumlah 536 propinsi/kabupaten dan kota (Gambar 6).
Sumber: Kemendagri 2013
Gambar 6 Perkembangan Jumlah Propinsi/Kabupaten dan Kota dari Tahun 19992013 Sejak Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Pertambahan jumlah propinsi, kabupaten dan kota membawa konsekuensi pada semakin beratnya beban anggaran yang harus dialokasikan. Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dalam pelaksanaannya khususnya yang mengatur otonomi daerah, pemekaran wilayah merupakan kondisi yang tidak dapat dielakkan di era otonomi daerah. Hal ini berdampak terhadap pengeluaran keuangan negara. Menurut catatan APBN Tahun 2000-2004 dana yang dialokasikan untuk belanja daerah mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Hasil studi dari Tim Asistensi Menteri Keuangan bidang Desentralisasi Fiskal (TADF) menemukan bahwa pemekaran wilayah/daerah berdampak negatif terhadap APBN/APBD propinsi yaitu berkurangnya rata-rata DAU tiap daerah, total DAK prasarana meningkat tapi DAK tiap daerah menurun, meningkatnya pendanaan instansi vertikal didaerah,
23
pendanaan sarana pelayanan umum dan dana bantuan dari APBD propinsi induk (Gambar 7). 600
562
539
550
Belanja Daerah (triliun)
500 448
450
413
400 341
350
302
300 250 200
161
150 81
100 50
29
178 94
187 116
228 180 130
358 362
363 351
250 184 148
Rata-Rata Penerimaan DAU Kab/Kota (milyar) Perkembangan DAK Bidang Prasarana Pemerintahan (milyar)
88
33
0 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011
Sumber: Harjowiryono (2011) dalam Kuncoro (2012); Kemenkeu (2010); Ratnawati (2009)
Gambar 7 Perkembangan Alokasi APBN untuk Belanja Daerah Kab/Kota Pemekaran Tahun 1999-2006, Rata-Rata Penerimaan DAU Kab/Kota 2001-2011 dan Perkembangan DAK 2003-2009. Gambar 7 menunjukkan seiring dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 mendorong bertambahnya jumlah kabupaten/kota hal ini semakin membebani anggaran Negara, dimana sejak tahun 1999 sampai tahun 2006 alokasi APBN untuk belanja daerah dalam bentuk dana perimbangan (DAK, DAU dan DBH) mengalami peningkatan dari tahun ke tahun; Rata-rata penerimaan DAU kab/kota menunjukkan tren peningkatan kecuali tahun 2004 dan 2009 menurun masing-masing 180 dan 351 milyar; Sedang DAK bidang prasarana pemerintahan menunjukkan tren peningkatan kecuali tahun 2005 dan 2008 menurun masing-masing sebesar 148 dan 362 milyar. Dalam penerapan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 dengan implikasi pemekaran wilayah terdapat beberapa peraturan pemerintah sebagai pedoman dan petunjuk. Pemekaran wilayah pada awal pelaksanaan Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 berpedoman pada Peraturan Pemerintah Nomor 129 tahun 2000 tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan dan Penggabungan Daerah, dimana dalam peraturan ini cara penilaian pembentukan, pemekaran, penghapusan dan penggabungan daerah terdiri dari 7 kriteria/syarat dengan 19 indikator dan 43 subindikator, sub indikator dan indikator tersedia. 7 kriteria/syarat tersebut yaitu kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, jumlah penduduk, luas daerah dan pertimbangan lain-lain. Setiap kelompok syarat/kriteria mempunyai bobot yang berbeda-beda sesuai dengan perannya dalam pembentukan daerah otonom. Peraturan Pemerintah Nomor 129 tahun 2000 mulai berlaku sejak tahun 2001 sampai dengan tahun 2007. Namun sejak Nopember 2008 pemekaran wilayah sudah berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 Tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan dan Penggabungan Daerah. Berlakunya Peraturan Pemerintah tersebut yang efektif mulai berlaku sejak Nopember 2008 penilaian syarat teknis dalam pembentukan daerah otonom baru mengalami perubahan, dimana dari 7
24
(tujuh) kriteria/syarat pembentukan daerah otonom baru berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 129 tahun 2000, bertambah menjadi 11 (sebelas) kriteria/syarat teknis dalam pembentukan daerah otonom baru berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 Faktor dan Indikator dalam rangka Pembentukan Daerah Otonom Baru Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 No 1.
FAKTOR Kependudukan
2.
Kemampuan Ekonomi
3.
Potensi Daerah
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14.
15. 16. 17. 18.
4.
Kemampuan Keuangan
5.
Sosial Budaya
6.
Sosial Politik
7.
Luas Daerah
8.
Pertahanan
19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31.
9. 10. 11.
Keamanan
32.
Tingkat Kesejahteraan Rentang Kendali
33. 34. 35.
INDIKATOR Jumlah Penduduk Kepadatan penduduk PDRB non migas perkapita Pertumbuhan ekonomi Kontribusi PDRB non migas Rasio bank dan lembaga keuangan non bank per 10.000 penduduk Rasio kelompok pertokoan per 10.000 penduduk Rasio pasar per 10.000 penduduk Rasio sekolah SD per penduduk usia SD Rasio sekolah SLTP per penduduk usia SLTP Rasio sekolah SLTA per penduduk usia SLTA Rasio fasilitas kesehatan per 10.000 penduduk Rasio tenaga medis per 10.000 penduduk Persentase rumah tangga yang mempunyai kendaraan bermotor atau perahu atau perahu motor atau kapal motor Persentase pelanggan listrik terhadap jumlah rumah tangga Rasio panjang jalan terhadap jumlah kendaraan bermotor Persentase pekerja yang berpendidikan minimal SLTA terhadap penduduk usia 18 tahun ke atas Persentase pekerja yang berpendidikan minimal S-1 terhadap penduduk usia 25 tahun ke atas Rasio pegawai negeri sipil terhadap penduduk Jumlah Pendapatan Daerah Sendiri (PDS) Rasio PDS terhadap jumlah penduduk Rasio PDS terhadap PDRB non migas Rasio sarana peribadatan per 10.000 penduduk Rasio fasilitas lapangan olahraga per 10.000 penduduk Jumlah balai pertemuan Rasio penduduk yang ikut pemilu legislatif penduduk yang mempunyai hak pilih Jumlah organisasi kemasyarakatan Luas wilayah keseluruhan Luas wilayah efektif yang dapat dimanfaatkan Rasio jumlah personil aparat pertahanan terhadap luas wilayah Karakteristik wilayah, dilihat dari sudut pandang pertahanan Rasio jumlah personil aparat keamanan terhadap jumlah penduduk Indeks Pembangunan Manusia Rata-rata jarak kabupaten/kota atau kecamatan ke pusat pemerintahan (provinsi atau kabupaten/kota). Rata-rata waktu perjalanan dari kabupaten/kota atau kecamatan ke pusat pemerintahan (provinsi atau kabupaten/kota).
Sumber: Peraturan Pemerintah Nomor 78 tahun 2007
25
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 menyebutkan pembentukan daerah dapat berupa pemekaran dari satu daerah menjadi dua daerah atau lebih, atau penggabungan bagian daerah yang bersandingan, atau penggabungan beberapa daerah. Tabel 3 menunjukkan faktor dan indikator sebagai kriteria/syarat dalam pembentukan daerah otonom baru berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007, untuk itu dalam penelitian ini akan di titik beratkan pada 11 (sebelas) faktor yang akan dievaluasi berdasarkan persepsi masyarakat. Dimaksudkan berdasarkan persepsi masyarakat akan diketahui 11 (sebelas) faktor yang menjadi prioritas dalam pembentukan daerah otonom baru. Pusat Pertumbuhan (Growth Center) Konsep pusat pertumbuhan (growth center) sejak tahun 1960an sampai dengan awal tahun 1970an merupakan konsep pembangunan yang sangat populer dilaksanakan dinegara-negara maju maupun negara-negara berkembang dalam merumuskan kebijakan pembangunan (Higgins dan Salvoie 2005). Dasar teori dari pusat pertumbuhan (growth center) adalah kegiatan ekonomi di dalam suatu daerah cenderung terpusat pada satu titik lokal (pusat). Pengaruh kegiatan ekonomi akan semakin berkurang jika semakin menjauh dari pusat pertumbuhan. Pusat dapat dikatakan sebagai titik pertumbuhan sedangkan daerah sekitarnya (hinterland) yang masih terpengaruh adalah daerah pengaruhnya. Menurut Tarigan (2005) pusat pertumbuhan dapat diartikan dengan dua cara yaitu: pertama, secara fungsional, pusat pertumbuhan dapat dijelaskan sebagai suatu lokasi konsentrasi kelompok usaha atau cabang industri yang karena sifat hubungannya memiliki unsur-unsur kedinamisan sehingga mampu menstimulasi kehidupan ekonomi baik ke dalam maupun keluar (daerah belakangnya). Kedua, secara geografis, pusat pertumbuhan adalah suatu lokasi yang banyak memiliki fasilitas dan kemudahan sehingga menjadi pusat daya tarik (pole of attraction), yang menyebabkan berbagai macam usaha tertarik untuk melakukan kegiatan ekonomi di tempat tersebut dan masyarakat senang datang untuk memanfaatkan fasilitas yang ada di kota tersebut, walaupun kemungkinan tidak ada interaksi antara usaha-usaha tersebut. Friedman (1966) dalam Setiadi (2009), menjelaskan pandangannya mengenai transformasi sistem perkotaan di dunia ketiga. Friedmann menyatakan bahwa pengembangan daerah melalui pusat-pusat pertumbuhan, dalam skala regional kegiatan akan disebar ke beberapa pusat-pusat pertumbuhan sesuai dengan hirarki dan fungsinya. Skala regional hirarki pusat – pusat pertumbuhan adalah sebagai berikut : “Pusat pertumbuhan primer” atau pusat utama orde satu ialah pusat utama dari keseluruhan daerah, pusat ini dapat merangsang pusat pertumbuhan lain yang lebih rendah tingkatannya. Pusat pertumbuhan ini biasanya dihubungkan dengan tempat pemusatan penduduk terbesar, kelengkapan fasilitas dan potensi aksesibilitas terbaik, mempunyai daerah belakang terluas serta lebih multi fungsi dibandingkan dengan pusat-pusat lainnya. “Pusat pertumbuhan sekunder” adalah pusat dari sub-daerah, seringkali pusat ini diciptakan untuk mengembangkan sub-daerah yang jauh dari pusat utamanya. Perambatan perkembangan yang tidak terjangkau oleh pusat utamanya dapat dikembangkan oleh pusat pertumbuhan sekunder ini. Dan “Pusat pertumbuhan
26
tersier” merupakan titik pertumbuhan bagi daerah pengaruhnya. Fungsi pusat tersier ini ialah menumbuhkan dan memelihara kedinamisan terhadap daerah pengaruh yang dipengaruhinya. Menurut Sihotang (2001), semakin kuat ciri-ciri nodal dari daerah yang bersangkutan, akan semakin tinggi tingkat pertumbuhannya dan perkembangan ekonomi sosialnya. Dengan demikian, kebijakan regional yang diterapkan akan berhasil jika kebijakan tersebut mendukung ciri-ciri nodal alami yang sudah terbentuk pada daerah tersebut. Suatu kota dikatakan sebagai pusat pertumbuhan apabila memiliki empat ciri-ciri pusat pertumbuhan (Hansen 1972; Tarigan 2005; Adisasmita 2008) sebagai berikut : 1. Ada hubungan internal dari berbagai macam kegiatan yang memiliki nilai ekonomi: Ada keterkaitan antara satu sektor dengan sektor lainnya sehingga apabila ada satu sektor yang tumbuh akan mendorong sektor lainnya, karena saling terkait. 2. Ada efek pengganda (multiplier effect): keberadaan sektor-sektor yang saling terkait dan saling mendukung menciptakan efek pengganda (multiplier effect). 3. Terdapat Konsentrasi geografis: konsentrasi geografis dari berbagai sektor atau fasilitas, selain bisa menciptakan efisiensi diantara sektor – sektor yang saling membutuhkan, juga meningkatkan daya tarik (attractiveness) dari kota tersebut. 4. Bersifat mendorong daerah belakangnya: berarti kota dan wilayah belakangnya terdapat hubungan yang harmonis. Kota membutuhkan bahan baku dari wilayah belakangnya dan menyediakan berbagai kebutuhan wilayah belakangnya untuk dapat mengembangkan diri. Berdasarkan teori kutub pertumbuhan Perrox selanjutnya muncul konsepkonsep yang sama yang dipakai oleh penulis lain seperti core region (wilayah inti), growth areas (daerah-daerah pertumbuhan), growth point (titik-titik pertumbuhan), growth and development poles (kutub-kutub pertumbuhan/ pengembangan), growth centers (pusat-pusat pertumbuhan) yang pada prinsipnya mendorong perkembangan suatu wilayah (Nurzaman 2012). Meskipun konsepkonsep tersebut diatas pada prinsipnya sama dengan kutub pertumbuhan, namun menurut Glasson (1977), terdapat perbedaan, dimana konsep kutub pertumbuhan tanpa suatu dimensi geografik yang spesifik, sedang konsep core region (wilayah inti/pusat), growth areas (daerah-daerah pertumbuhan), growth point (titik-titik pertumbuhan), growth and development poles (kutub-kutub pertumbuhan/ pengembangan), growth centers (pusat-pusat pertumbuhan) dan growth zones (zona-zona pertumbuhan) sudah memasukkan dimensi geografik dan lokasi. Konsep pusat-pusat pertumbuhan yang disebutkan Nurzaman (2012), mempunyai kaitan sangat erat dengan aspek penataan ruang dan mempunyai peranan yang cukup penting untuk mempercepat perkembangan daerah. Konsep pusat-pusat pertumbuhan diatas baik merupakan konsep pengembangan wilayah maupun berguna sebagai konsep perencanaan pembangunan nasional dan daerah yang bertujuan untuk mendorong perkembangan suatu daerah. Konsep pusatpusat pertumbuhan merupakan konsep perencanaan pembangunan yang sangat populer antara tahun 1960an-1970an yang dilaksanakan dinegara berkembang, beberapa teori yang mendasari pusat pertumbuhan dapat dijelaskan sebagai berikut:
27
a. Teori Kutub Pertumbuhan (Growth pole theory) Teori kutub pertumbuhan (growth pole) pertama kali dikemukakan oleh Francoise Perroux (1955) seorang ekonom kebangsaan Perancis dengan teori pole de croissance. Asumsi dasar dari kutub pertumbuhan Perroux (1955) adalah―growth does not appear everywhere at the same time; it appears at points or poles of growth with varying intensity; it spreads along various channels and with differing overall effects on the whole economy (Parr 1999; Serra 2003). Inti idenya bahwa pertumbuhan selalu terpolarisasi (terkonsentrasi di pusat-pusat atau kutub tertentu), karena ada sektor utama sehingga menyebabkan adanya dominasi dan ketergantungan bagi daerah komplementernya. Higgins dan Salvoie (2005) dan Adisasmita (2008) menyatakan bahwa pembangunan atau pertumbuhan tidak terjadi disegala tata ruang (wilayah), akan tetapi hanya terbatas pada beberapa tempat tertentu dengan variabel-variabel yang berbeda intensitasnya. Tata ruang diidentifikasikan sebagai suatu arena (medan) kekuatan yang di dalamnya terdapat kutub-kutub pertumbuhan. Setiap kutub mempunyai kekuatan pancaran pengembangan ke luar (sentrifugal) dan kekuatan tarikan ke dalam (sentripetal). Ide tentang kutub pertumbuhan (growth pole) Perroux muncul karena karena reaksi terhadap pemikiran Cassel mengenai stationary circuit yang menyatakan bahwa besarnya laju perkembangan diantara semua sektor ekonomi adalah sama sehingga perkembangannya menjadi stasioner (Nurzaman 2012; Sjafrizal 2012). Pemikiran Perroux lebih cenderung terhadap pemikiran Schumpeter mengenai peran inovasi didalam perubahan struktural dari perkembangan ekonomi, Perroux percaya bahwa inovasi kewirausahaan terutama bertanggung jawab untuk proses pembangunan (Nurzaman 2012; Serra 2003). Perroux dalam Monsted (1974); Miyoshi (1997), mendefinisikan kutub pertumbuhan sebagai ―as a field of forces, economic space consists of centers (pole and foci) from which centrifugal forces emanate and to which forces are attracted. Each center being a center of attraction and repulsion has its proper field, which is a set in the field of all other centers―. Sedang Richardson (1978) dalam Sjafrizal (2008) memberikan definisi kutub pertumbuhan sebagai : "A growth pole was defined as a set of industries capable of generating dynamic growth in the economy, and strongly interrelated to each other via input-output linkages around a leading industry (propulsive industry)". Dari definisi ini terlihat bahwa ada empat karakteristik utama sebuah kutub pertumbuhan, yaitu: 1. Adanya sekelompok kegiatan ekonomi terkonsentrasi pada suatu lokasi tertentu. Ini berarti bahwa analisis pusat pertumbuhan ini tidak berlaku untuk kegiatan ekonomi tertentu saja, tetapi harus menyangkut dengan kumpulan beberapa kegiatan ekonomi. Karena kegiatan ekonomi tersebut terkonsentrasi pada lokasi tertentu, maka analisis tidak dapat dikaitkan untuk analisis ekonomi nasional, tetapi menyangkut dengan ekonomi regional. Biasanya pusat pertumbuhan ini berlokasi di daerah perkotaan, atau daerah tertentu yang mempunyai potensi ekonomi spesifik seperti daerah pertambangan, pelabuhan; perkebunan, dan lain-lainnya; 2. Konsentrasi kegiatan ekonomi tersebut mampu mendorong pertumbuhan ekonomi yang dinamis dalam perekonomian, ini dapat berfungsi sebagai pusat pertumbuhan adalah yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi nasional, atau paling kurang daerah sekitarnya secara dinamis. Tidak semua konsentrasi
28
kegiatan ekonomi pada suatu lokasi dapat dianggap sebagai sebuah pusat pertumbuhan. Kemampuan untuk mendorong ekonomi daerah secara dinamis tersebut dapat dilihat dari dampak ekonomi yang dapat dihasilkan untuk daerah sekitarnya, baik dalam bentuk peningkatan kegiatan produksi, penyediaan lapangan kerja dan peningkatan pendapatan masyarakat; 3. Terdapat keterkaitan input dan output yang kuat antara sesama kegiatan ekonomi pada pusat tersebut, ini sangat penting artinya untuk dapat menghasil Keuntungan Aglomerasi karena adanya konsentrasi tersebut. Keuntungan Aglomerasi ini merupakan kekuatan utama dari pengembangan sebuah pusat pertumbuhan karena dapat memberikan keuntungan eksternal (external economies) kepada para pengusaha yang ada di dalam pusat tersebut. Dengan demikian, bilamana keterkaitan antar industri tersebut tidak terdapat, maka pusat pertumbuhan tersebut menjadi lemah dan sulit untuk dikembangkan; dan 4. Dalam kelompok kegiatan ekonomi tersebut terdapat sebuah industri induk (propulsive industry) yang mendorong pengembangan kegiatan ekonomi pada pusat tersebut, ini berarti bahwa tidak semua konsentrasi kegiatan ekonomi dapat berfungsi sebagai Pusat Pertumbuhan bilamana di dalamnya tidak terdapat sebuah industri induk. Keberadaan industri induk sangat penting artinya dalam menunjang pengembangan sebuah pusat pertumbuhan, karena keberadaannya dapat menjamin tersedianya bahan baku dan pemasaran sehingga kegiatan produksi dari kegiatan ekonomi yang ada dalam pusat tersebut akan dapat berkembang dengan baik. Arsyad (1999) menyebutkan, inti dari teori kutub pertumbuhan (growth pole) yang dikemukakan oleh Perroux adalah: 1. Dalam proses pembangunan akan muncul industri unggulan yang merupakan industri penggerak utama dalam pembangunan suatu daerah, Karena keterkaitan antara industri. Sehingga, pengembangan terhadap industri unggulan akan mempengaruhi industri lainnya yang berhubungan erat dengan industri unggulan tersebut 2. Pemusatan industri pada suatu daerah akan mempercepat pertumbuhan ekonomi, karena pemusatan industri akan menciptakan pola konsumsi yang berbeda antar daerah sehingga perkembangan industri di daerah akan mempengaruhi perkembangan daerah-daerah lainnya. 3. Perekonomian merupakan gabungan dari sistem yang relatif aktif dengan industri-industri yang relatif pasif yaitu industri yang bergantung pada industri unggulan atau pusat pertumbuhan. Daerah yang relatif maju atau aktif akan mempengaruhi daerah-daerah yang relatif pasif atau daerah pendukung. Di Indonesia penerapan kutub pertumbuhan dalam perkembangan wilayah telah dilaksanakan sejak tahun 1970an, yang membagi Indonesia kedalam empat wilayah pembangunan. Pertama, wilayah pembangunan A yang mencakup Propinsi Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jambi, dan Riau dengan pusatnya di Medan. Kedua, wilayah pembangunan B meliputi wilayah DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, DI Yogyakarta, Bengkulu, Lampung dan Kalimantan Barat, berpusat di Jakarta. Ketiga, Wilayah pembangunan C yang mencakup Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Bali dan Nusa Tenggara Barat, berpusat di Surabaya. Keempat, wilayah pembangunan D mencakup wilayah Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, NTT, Maluk dan Irian Jaya berpusat di Makassar (Kamal Salih et
29
al. 1978 dalam Nurzaman 2012). Pembagian wilayah ini mengacu pada pusat kota industri yang akan membentuk kaitan antar propinsi sehingga dicapai integrasi ekonomi nasional. Kebijakan perwilayahn berbasiskan konsep pusat pertumbuhan terbukti tidak mencapai sasarannya, integrasi ekonomi tidak tercapai bahkan kesenjangan semakin besar (Kamal Salih et al. 1978 dalam Nurzaman 2012). Penerapan konsep kutub pertumbuhan yang banyak dilaksanakan dalam perencanaan nasional dan daerah di negara maju dan negara berkembangan menimbulkan perdebatan dan bahkan banyak mengatakan gagal. Dikatakan demikian karena kutub pertumbuhan justru menyebabkan kesenjangan, baik antar wilayah, antar sektor maupun antar pelaku ekonomi (Nurzaman 2012). Namun Parr (1999) menyatakan bahwa kegagalan kutub pertumbuhan bukan pada konsepnya tetapi pada penerapannya, karena sering terdapat bagian yang diabaikan dalam penerapan konsep ini disisi lain mekanisme birokrasi sering menghambat dan tidak sejalan dengan konsep tersebut, masalah seringnya berubah-ubah tujuan, masalah keuangan dan kesalahpahaman pemerintah yang melihat kutub pertumbuhan butuh biaya besar (Miyoshi 1997). Meskipun demikan harus diakui bahwa konsep ini banyak dikembangkan dinegara berkembang sebagai acuan dalam penyusunan strategi pembangunan dan perencanaan terutama pada tahun 1960 – 1970an (Setiono 2011). b. Teori Tempat Sentral (Central Place Theory) Teori tempat sentral (central place theory) pertama kali dikemukakan oleh Walter Christaller (1933), seorang ahli geografi yang berasal dari Jerman. Teori tempat sentral Christaller tercipta dengan asumsi: (1) Wilayah adalah dataran tanpa roman, semua memiliki permukaan datar yang sama (homogen); (2) Lokasi memiliki jumlah penduduk dan sumberdaya yang merata; (3) Penduduk membutuhkan barang dan jasa serta memiliki daya beli yang sama, yang tersebar secara merata di seluruh wilayah; (4) Konsumen bertindak rasional dengan biaya transportasi yang sama dan proporsional terhadap jarak. Teori Christaller ini didasarkan pada lokasi dan pola persebaran permukiman dalam ruang. Lokasi pusat (central place) merupakan suatu tempat dimana produsen cenderung mengelompok dilokasi tersebut untuk menyediakan barang dan jasa bagi populasi sekitarnya. Lokasi pusat membentuk suatu hirarki yang teratur dan tertata dalam suatu pola yang vertical maupun horizontal (Rustiadi et al. 2009). Dalam suatu ruang kadang ditemukan persebaran pola permukiman desa dan kota yang berbeda ukuran luasnya. Menurut Christaller, suatu tempat sentral mempunyai batas-batas pengaruh yang melingkar dan komplementer terhadap tempat sentral tersebut. Daerah atau wilayah yang komplementer ini adalah daerah yang dilayani oleh tempat sentral. Lingkaran batas yang ada pada kawasan pengaruh tempat-tempat sentral itu disebut batas ambang (threshold level). Christaller mengembangkan model pusat-pusat pelayanan yang tersebar dengan pola berbentuk heksagonal (segi enam). Tiap wilayah perdagangan hexagonal memiliki pusat, heksagonal yang besar memiliki pusat yang besar, hexagonal yang kecil memiliki pusat yang kecil. Teori Christaller dapat diterapkan secara baik di suatu wilayah dengan syarat-syarat: (1) topografi yang seragam sehingga tidak ada bagian wilayah yang mendapat pengaruh dari lereng dan pengaruh alam lain dalam hubungan dengan jalur pengangkutan, (2)
30
kehidupan ekonomi yang homogen dan tidak memungkinkan adanya produksi primer, yang menghasilkan padi-padian, kayu atau batu bara. Dalam kaitannya dengan fungsinya sebagai tempat yang menyediakan barang dan jasa bagi kebutuhan penduduk sekitarnya, Christaller memperkenalkan konsep threshold dan range. Berkaitan dengan fungsinya sebagai pasar yang menyediakan barang dan jasa bagi kebutuhan penduduk di sekitarnya, masingmasing pusat kegiatan akan memiliki dua kondisi yang berkaitan dengan ukuran dan luasan sebagai berikut: threshold yakni ukuran atau besaran minimum volume pasar yang dipersyaratkan untuk menyelenggarakan barang dan jasa tertentu dan range yakni jarak maksimum bagi konsumen untuk membeli barang dan jasa. Jarak yang terlalu jauh dapat menyebabkan konsumen tidak lagi berminat membeli barang/jasa tersebut. Dari pusat kegiatan besaran range menjadi batasan bagi luas daerah pelayanan pasar (Setiono 2011; Tarigan 2005). Tempat sentral memiliki batas-batas pengaruh. Batas-batas itu melingkar dan komplementer dengan tempat sentral tersebut. Suatu tempat sentral dapat berupa kota-kota besar, pusat perbelanjaan, rumah sakit, ibu kota provinsi, dan kota atau kabupaten. Masing-masing tempat sentral tersebut menarik penduduk yang tinggal di sekitarnya dengan daya jangkau yang berbeda-beda. Secara horizon model Christaller menunjukkan kegiatan manusia yang terorganisasikan dalam tata ruang geografis, dan tempat-tempat sentral (pusat-pusat) yang lebih tinggi ordenya mempunyai wilayah perdagangan atau wilayah pelayanan yang lebih luas. Tempat-tempat sentral kecil dan wilayah-wilayah komplementernya tercakup dalam wilayah-wilayah perdagangan dari pusat-pusat yang lebih besar. Sedang secara vertikal, model tersebut memperlihatkan bahwa pusat-pusat yang lebih tinggi ordenya mensuplai barang-barang ke seluruh wilayah, dan kebutuhan akan bahan-bahan mentah di pusat-pusat yang lebih tinggi ordenya disuplai oleh pusat-pusat yang lebih rendah ordenya. Pusat-pusat yang lebih tinggi ordenya mempunyai jumlah dan jenis kegiatan- kegiatan serta volume perdagangan yang lebih besar dibandingkan pusat-pusat yang lebih rendah ordenya. Jika hirarki pusat-pusat tersebut sudah terbentuk, maka dapat disaksikan dominasi pusatpusat yang lebih besar dan mengutubnya arus gejala ekonomi ke pusat besar yang mencerminkan ciri sebagai wilayah-wilayah nodal (Adisasmita 2008). Teori tempat sentral yang dikemukan Christaller masih bersifat statis, belum menjelaskan bagaimana pola geografis terjadi secara gradual dan kemungkinan mengalami perubahan-perubahan di masa yang akan datang atau dengan kata lain belum menjelaskan fenomena-fenomena pembangunan. Selanjutnya oleh Losch (1945) seorang ahli ekonomi Jerman, mengembangkan teori tempat sentral Christaller dengan membuat susunan hirarki pusat-pusat lebih fleksibel. August Losch membuat susunan hierarki pusat-pusat lebih fleksibel dibandingkan Christaller. Losch berpendapat bahwa daerah pasar tidak hanya dapat disusun menurut pengaturan 3, 4, atau 7 tetapi masih memungkinkan terjadinya lebih banyak susunan daerah pasar dalam suatu jaringan. Menurut Losch teori yang diungkapkan Christaller bersifat kaku karena pasar tidak dikaitkan dengan pusat-pusat produksi. Dengan menggunakan asumsi yang sama tetapi pendekatan yang berbeda, Christaller dan Losch menurunkan hierarki perkotaan yang berbeda. Skema hierarki Christaller terdiri dari serangkaian tingkatan distrik dimana satu pusat menghasilkan campuran barangbarang yang sama dengan pusat lain pada tingkatan hierarki yang sama. Skema
31
Losch menggambarkan kombinasi fungsi dan posisi hierarki yang tidak sama. Skema Losch membiarkan terjadinya spesialisasi produksi di centralplace sedangkan Christaller tidak, kecuali jika tingkat hierarki dibedakan oleh barang berhirarki spesifik (Rustiadi et al. 2009). Pada akhirnya baik Christaller maupun Losch, keduanya berkesimpulan, bahwa cara yang baik untuk menyediakan pelayanan berdasarkan aspek keruangan dengan menempatkan aktivitas yang dimaksud pada hierarki permukiman yang luasnya meningkat dan lokasinya ada pada simpul-simpul jaringan heksagonal. Lokasi ini terdapat pada tempat sentral yang memungkinkan partisipasi manusia dengan jumlah maksimum, baik mereka yang terlibat dalam aktivitas pelayanan maupun yang menjadi konsumen dari barang-barang yang dihasilkannya. Tempat-tempat tersebut diasumsikan sebagai titik simpul dari suatu bentuk geometrik berdiagonal yang memiliki pengaruh terhadap daerah di sekitarnya. c. Teori Polarisasi Pertumbuhan Ekonomi (Polarization of Economic Growth) Gunnar Myrdal (1957) adalah seorang ahli ekonomi asal Swedia. Myrdal memperkenalkan beberapa tesis yang utama: teori backwash dan spread effect dalam Pengaruh Perdagangan Internasional; Teori Cumulative Causation; dan Institutional Reform Theory of Development. Dari ketiga teori tersebut, teori Myrdal yang sangat terkenal adalah backwash dan spread effect theory dan cumulative causation theory. Asumsi Myrdal bahwa dalam hubungan ekonomi internasional maupun antar daerah dalam praktek melibatkan hubungan yang tidak seimbang dalam arti bahwa yang lemah selalu dieksploitasi oleh yang kuat. Spread effects akan memberikan momentum ekspansif dari pusat ekspansi ekonomi dengan daerah lain, atau bersifat sentrifugal. Menurutnya bahwa penyebab utama keterbelakangan ekonomi dan kesenjangan antar daerah disebabkan backwash effects yang dan kuat lemahnya spread effects (Rengasamy 2008). Menurut Myrdal (1957), teori cumulative causation dibangun atas dua efek yaitu, spread effect dan backwash effect. Menurut Myrdal asumsi teori cumulative causation menekankan bahwa kemiskinan adalah disebabkan oleh kemiskinan (di mana backwash effect lebih kuat daripada spread effect), dan kemakmuran akan meningkatkan kemakmuran, (spread effect lebih kuat daripada backwash effect). Menurut Myrdal seharusnya efek menyebar dari daerah nodal ke daerah belakang, namun, efek penyebaran ini tidak pernah membantu dalam proses ekspansi di daerah pedesaan. Untuk dapat menghasilkan spillovers positif dari spread effect pelaksanaannya dalam jangka panjang dan dibutuhkan suatu strategi khusus agar berhasil (Richardson 1976). Dalam menjelaskan fenomena spread effect dan backwash effect, Myrdal menggunakan model pusat-pinggiran (core-periphery). Teori pusat-pinggiran didasarkan pada pemikiran bahwa suatu wilayah atau negara berkembang dalam kemakmuran ekonomi, akan menguras daerah terdekat untuk memastikan keberhasilan ekonomi dan politik berkelanjutan. Daerah pertumbuhan yang tinggi disebut sebagai inti, dan daerah sekitar adalah pinggiran. Core dan peripheries mungkin sebagai kota (kecil), kota besar, negara, atau bangsa (Myrdal 1957 dalam
32
Rengasamy 2008). Menurutnya konsep pusat-pinggiran merugikan daerah pinggiran, sehingga perlu diatasi dengan membatasi migrasi (urbanisasi), mencegah keluarnya modal dari daerah pinggiran, membangun daerah pinggiran, dan membangun wilayah pedesaan. Menurut Myrdal, setiap daerah mempunyai pusat pertumbuhan yang menjadi daya tarik bagi tenaga buruh dari pinggiran. Pusat pertumbuhan mempunyai daya tarik terhadap tenaga terampil, modal, dan barang-barang dagangan yang menunjang pertumbuhan suatu lokasi. Demikian terus-menerus akan terjadi pertumbuhan yang makin lama makin pesat atau akan terjadi polarisasi pertumbuhan ekonomi (polarization of economic growth). Sebagaimana halnya teori polarisasi ekonomi Myrdal dengan konsep pusat-pinggiran (core-periphery) dan spread dan backwash effect, konsep yang sama yang dikemukan Hirschman dengan ―trickling-down effect” dan ―polarization effects‖. Hirschman (1958) adalah seorang penganjur teori pertumbuhan tidak seimbang (unbalanced theory). Menurutnya pertumbuhan ekonomi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari faktor lingkungan dan keuntungan-keuntungan lokasi. Pembangunan terpolarisasi dapat memberikan manfaat bagi wilayah pertumbuhan dan daerah belakang/sekitarnya (Hirschman 1958 dalam Muta’ali 1999; Dawkins 2003). Hirschman menggunakan istilah titik pertumbuhan (growing point) atau pusat pertumbuhan (growing centre). Pertumbuhan ekonomi diutamakan pada titik originalnya sebelum disebarkan ke berbagai tempat lainnya. Hirschman (1958) dalam Adisasmita (2008) menyebutkan bahwa dalam suatu negara terdapat beberapa titik pertumbuhan. Industri akan cenderung berkelompok suatu tempat, karena diperoleh beberapa manfaat dalam bentuk penghematan-penghematan dan kemudahan-kemudahan. Kesempatan investasi, lapangan kerja dan upah buruh relatif tinggi lebih banyak terdapat di pusat- pusat pertumbuhan dari pada daerah belakang. Pusat dan daerah belakang terdapat ketergantungan dalam suplai barang dan tenaga kerja. Pengaruh yang paling hebat adalah migrasi penduduk ke kota-kota besar (urbanisasi) akan dapat mengabsorsikan tenaga kerja yang trampil dan pihak lain akan mengurangi pengangguran tidak kentara di daerah belakang. Hal ini tergantung pada tingkat komplementaritas antara dua tempat tersebut. Komplementaritas yang kuat akan mendorong trikling down effect kedaerah-daerah belakang, sebaliknya jika komplementaritas lemah akan terjadi polarization effects. Jika pengaruh polarisasi lebih kuat dari pengaruh penyebaran pembangunan maka akan timbul masyarakat dualistik, yaitu selain memiliki ciriciri daerah perkotaan modern juga memiliki daerah perdesaan terbelakang (Hammand 1985; Catri 1993). Walaupun terlihat suatu kecenderungan yang suram namun Hirschman optimis dan percaya bahwa pengaruh trikling-down akan mengatasi polarization effects. Perbedaan pandangan antara Hirschman dan Myrdal, kebijaksanaan perspektif yang dianjurkan oleh keduanya berbeda pula. Hirschman menyarankan agar membentuk lebih banyak titik-titik pertumbuhan supaya dapat menciptakan pengaruh-pengaruh penyebaran pembangunan yang efektif, sedangkan Myrdal menekankan pada langkah-langkah kebijaksanaan untuk melemahkan backwash effets dan memperkuat sread effect agar proses kausasi sirkuler kumulatif mengarah keatas, dengan demikian semakin memperkecil ketimpangan regional (Adisasmita 2008).
33
d. Teori Pusat Pembangunan (Localized poles of development) Boudeville (1961) seorang ahli ekonomi Perancis, mengemukakan teori kutub pembangunan yang terlokalisasikan (localized poles of development). Teori yang dikemukakan oleh Boudeville merupakan pengembangan dari teori kutub pertumbuhan Perroux. Menurut Boudeville dalam Miyoshi (1997), kutub pertumbuhan adalah "a set of expanding industries located in an urban area and inducing further development of economic activity throughout its zone of influence". (Seperangkat industri berkembang yang berlokasi di suatu daerah perkotaan dan mendorong perkembangan kegiatan ekonomi seluruh wilayah pengaruhnya). Lebih lanjut, Boudeville mengembangkan konsep kutub pertumbuhan menjadi "model perencanaan operasional" yang menjelaskan suatu kondisi di mana pertumbuhan akan dibuat dalam "wilayah terpolarisasi" dan mendefinisikan tiga jenis polarisasi yaitu polarisasi pusat nasional, regional dan lokal, dan mengubah teori kutub pertumbuhan menjadi sebuah konsep praktis untuk perencanaan regional. Boudeville dalam Muta’ali (1999), menyatakan bahwa setiap wilayah mempunyai perbedaan struktur ekonomi. Perbedaan ini dipengaruhi oleh adanya perbedaan latar belakang historis dan potensi sumberdaya manusia pada wilayah tersebut. Konsep kutub pertumbuhan dapat diinterpretasikan sebagai aglomerasi geografis dari adanya propulsive industries didalam kota atau wilayah tertentu dan pertumbuhan ekonomi cenderung akan terpolarisasikan pada kota atau wilayah tersebut. Untuk dapat menyebarkan pertumbuhan ekonomi dari pusat ke daerah belakangnya, ia mengusulkan perlu dilakukan pemilihan lokasi pusat atau kutub pertumbuhan yang dapat mendorong efek kumulatif kegiatan ekonomi dan menyebarkannya ke wilayah belakangnya. Teori yang dikemukakan Boudeville merupakan modifikasi dari teori kutub pertumbuhan karena dapat dipergunakan untuk menganalisis gejala-gejala dinamis dan praktis untuk perencanaan regional (Miyoshi 1997; Adisasmita 2008). Karena bersifat dinamis dan praktis menurut Boudeville pusat pertumbuhan adalah sekumpulan fenomena geografis dari semua kegiatan yang ada di permukaan Bumi. Suatu kota atau wilayah kota yang mempunyai industri propulsif yang kompleks, dapat dikatakan sebagai pusat pertumbuhan. Industri propulsif merupakan industri yang mempunyai pengaruh yang besar (baik langsung maupun tidak langsung) terhadap kegiatan lainnya. Dalam aplikasinya, teori dan konsep kutub pertumbuhan dalam konteks geografis dan regional, pendapat Boudenville dan konsep Perroux tidak searah. Perroux menganggap tata ruang secara abstrak, yang menekankan karakteristikkarakteristik regional tata ruang ekonomi. Boudeville menekankan pada tata ruang ekonomi tidak dapat dipisahkan dari tata ruang geografis, dalam mengembangkan pemikirannya lebih lanjut Boudeville menekankan pada tata ruang polarisasi. Tata ruang polarisasi dikaji dalam pengertian ketergantungan antara berbagai elemen yang terdapat di dalamnya. Konsep ini erat berkaitan dengan pengertian hirarki, yang selanjutnya dapat digunakan sebagai landasan untuk studi pusat-pusat kota dan saling ketergantungannya (Adisasmita 2008).
34
Pembangunan dan Pengembangan Wilayah Menurut Perroux, dalam Dawkins (2003) pembangunan adalah jumlah dari perubahan pola sosial dan mentalitas di mana perangkat produksi ditambah dengan populasi. Konsep pembangunan identik dengan memperoleh kapasitas untuk memanfaatkan perangkat produksi dalam mencapai apa yang dianggap menjadi tingkat pertumbuhan yang memuaskan, dan perangkat produksi memasok produk yang melayani penduduk. Pengembangan wilayah terdiri dari dua kata yaitu pengembangan dan wilayah. Pengembangan dapat berarti sebagai suatu usaha-usaha tertentu untuk mengubah kondisi yang ada menjadi suatu kondisi yang lebih baik. Wilayah bagian permukaan bumi yang memiliki satu kesatuan tertentu yang lebih besar daripada kota dan lebih kecil daripada negara (Muta’ali 2011). Menurut Rustiadi, et al (2009), beberapa pihak lebih senang menggunakan istilah pengembangan daripada pembangunan untuk beberapa hal yang spesifik. Secara umum istilah pembangunan dan pengembangan di Indonesia memang sengaja dibedakan karena istilah pengembangan dianggap mengandung konotasi pemberdayaan, kedaerahan, kewilayahan dan lokalitas. Sedang Jayadinata (1999) membedakan istilah pembangunan adalah mengadakan atau membuat atau mengatur sesuatu yang belum ada. Pengembangan ialah memajukan atau memperbaiki atau meningkatkan sesuatu yang sudah ada. Selanjutnya Rustiadi et al. (2009) menyatakan bahwa ada juga yang berpendapat bahwa pengembangan lebih menekankan proses meningkatkan dan memperluas. Dalam artian pengembangan tidak membuat sesuatu dari nol, melainkan dari sesuatu yang sudah ada tapi kualitas dan kuantitasnya ditingkatkan dan diperluas. Oleh karena itu dalam konteks kewilayahan, isitilah pengembangan wilayah lebih banyak dipakai daripada pembangunan wilayah. Dari beberapa pandangan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa pembangunan lebih bersifat fisik dan dimulai dari nol, sedang pengembangan dapat bersifat fisik atau non fisik dan tidak dimulai dari nol. Sekalipun kedua konsep tersebut pembangunan dan pengembangan secara harfiah berbeda namun tujuan dilaksanakannya pada dasarnya adalah untuk meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat (Jayadinata 1999). Menurut Mubyarto (2000), hakekat pengembangan atau pengembangunan wilayah pada dasarnya adalah: 1). Meningkatkan kelompok masyarakat termiskin di perdesaan; 2). Meningkatkan kemampuan pemerintah daerah dalam upaya pembangunan perdesaan yang mampu menaikkan produktivitas kelompok masyarakat miskin; 3). Meningkatkan kemampuan pemerintah pusat dalam memberikan dukungan kepada upaya-upaya pembangunan perdesaan oleh pemerintah daerah yang akan menaikkan pendapatan masyarakat miskin di perdesaan. Sedang Muta’ali (2011) menyebutkan bahwa pengembangan wilayah merupakan perencanaan mengenai bagaimana mengalokasikan sumberdaya yang dimiliki, baik sumberdaya manusia (tenaga kerja), sumberdaya alam, maupun kesempatan-kesempatan interregional yang dikaitkan dengan prospek-prospek dan kecenderungan ekonomi dalam jangka panjang. Lebih lanjut disebutkan pembangunan wilayah juga bertujuan untuk memperkecil kesenjangan antar wilayah (disparitas wilayah). Di sini peran pengembangan wilayah adalah untuk "menyeimbangkan" pertumbuhan dan perkembangan antar wilayah.
35
Perekonomian Wilayah Pada dasarnya struktur ekonomi suatu wilayah merupakan faktor yang sangat penting dan mendasar yang membedakan keadaan suatu wilayah dengan wilayah lainnya. Untuk mengetahui kemakmuran suatu wilayah maka perlu diketahui seberapa besar pertumbuhan dan perkembangan perekonomian suatu wilayah. Perekonomian wilayah menelaah pola penyebaran dan keterkaitan kegiatan-kegiatan ekonomi dipandang dari ruang dan waktu. Dasar pemikiran dalam ilmu ekonomi wilayah (regional economics) adalah teori ekonomi mikro dan teori ekonomi makro. Dalam konteks ini, ekonomi wilayah mampu menawarkan pemecahan masalah yang berkaitan dengan ekonomi perkotaan, transportasi, dan sumberdaya (sumberdaya alam, sumberdaya manusia). Arsyad (1999) menjelaskan bahwa secara regional pembangunan ekonomi adalah suatu proses mengelola sumberdaya yang ada dan membentuk suatu pola kemitraan antara pemerintah daerah dengan sektor swasta untuk menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang perkembangan pertumbuhan kegiatan ekonomi dan wilayah tersebut. Dijelaskan lebih lanjut bahwa untuk terlaksananya pembangunan ekonomi didaerah tersebut harus ada proses pembentukan institusiinstitusi baru, pembangunan industri-industri alternatif, perbaikan kapasitas tenaga kerja yang ada untuk menghasilkan produk dan jasa yang lebih baik, identifikasi pasar-pasar baru, alih ilmu pengetahuan dan pengembanganpengembangan perusahan baru. Dikatakan juga keragaman perekonomian suatu wilayah dapat diketahui melalui berberapa indikator pembangunan ekonomi, dengan syarat tersedianya statistik pendapatan regional secara berkala. Dari data statistik tersebut nantinya akan diketahui (1) tingkat pertumbuhan ekonomi yang tercermin dalam PDRB berdasarkan harga konstan, dimana akan menunjukan laju pertumbuhan perekonomian suatu daerah, baik secara menyeluruh maupun persektor, (2) tingkat kemakmuran daerah, untuk mengetahui tingkat memakmuran suatu daerah perlu dilakukan perbandingan dengan daerah lain, sedangkan untuk mengetahui perkembangannya melalui perkembangan perkapita secara berkala, (3) tingkat inflasi dan deflasi. Peningkatan pendapatan yang diterima oleh masyarakat apabila diikuti dengan laju inflasi yang tinggi mengakibatkan kemampuan daya beli dari pendapatan yang diterima akan menurun dan sebaliknya untuk deflasi. Dalam hal ini deflasi dapat diketahui berdasarkan PDRB harga konstan dan PDRB harga berlaku, dan (4) gambaran struktur perekonomian, yang dapat diketahui melalui sumbangan dari masing-masing sektor pembangunan terhadap PDRB (Arsyad 1999). Desentralisasi dan Otonomi Daerah Berlakunya Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang telah di revisi dengan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004, telah mengubah tatanan sistem pemerintahan di Indonesia dari sistem sentralisasi ke sistem desentralisasi, dan sekaligus mempengaruhi pola pembangunan nasional dan daerah secara keseluruhan. Berlakunya undang-undang Pemerintahan Daerah tersebut dengan prinsip desentralisasi dan otonomi daerah, menjadikan kedua konsep tersebut bagaikan dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Menurut Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004, Desentralisasi adalah
36
penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Otonomi Daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Kedua konsep dalam pelaksanaan pemerintahan di Indonesia tidak dapat dipisahkan, tetapi dapat disimpulkan pengertian desentralisasi berbeda dengan otonomi. Dalam desentralisasi harus ada pendistribusian wewenang atau kekuasaan dari tingkat pemerintahan yang lebih tinggi kepada pemerintahan yang lebih rendah. Sedang otonomi berarti adanya kebebasan menjalankan atau melaksanakan sesuatu oleh unit politik atau bagian wilayah/teritori dalam kaitannya dengan masyarakat politik atau negara (Saragih 2003). Dengan kata lain, desentralisasi adalah berkurangnya atau diserahkannya sebagian atau seluruh wewenang pemerintahan dari pusat ke daerah-daerah sehingga daerah yang menerima kewenangan bersifat otonom untuk menentukan caranya sendiri berdasarkan prakarsa sendiri secara bebas. Memasuki era otonomi daerah dan desentralisasi, salah satu implikasi dari pelaksanaan asas otonomi daerah dan desentralisasi dalam sistem pemerintah Indonesia adalah pemekaran wilayah. Perbincangan diseputar wacana pemekaran wilayah (kabupaten/kota dan provinsi), menjadi salah satu tema politik yang menggelembung dimasyarakat. Perdebatan seputar diskursus tentang pemekaran wilayah bahkan sudah sangat mengkristal dan mewacana dengan cepat, tajam, dan menimbulkan friksi politik yang keras dikalangan berbagai pemerhati otonomi daerah dan desentralisasi. Maka tak heran isu pemekaran wilayah terus menggelinding bagaikan bola salju, khususnya dalam zona politik elite pusat maupun elite lokal di daerah. Desentralisasi Penerapan asas desentralisasi dalam suatu negara merupakan jawaban atas ketidakpuasan dengan sistem sentralisasi. Namun demikian penerapan desentralisasi tidak secara otomatis sistem sentralisasi menjadi hilang, melainkan kedua sistem ini selalu beriringan dalam pelaksanaannya. Antara desentralisasi dan sentralisasi tidak dapat di dikotomikan karena kedua sistem ini merupakan sistem atau manajemen kekuasaan pemerintahan. Menurut Smith (1985) menyatakan bahwa ‖decentralization involves the delegation of power to lower levels in a territorial hierarchy whether hierarchy is one of goverment within a state or offices a large scala organization.‖ Bahwa desentralisasi merupakan pendelegasian wewenang ke tingkat yang lebih rendah dalam suatu hirarki wilayah apakah hirarki itu dalam suatu pemerintahan, negara atau instansi atau dalam suatu organisasi yang besar. Dari sisi teori, desentralisasi mengandung berbagai macam pengertian, menurut Kaho (1998) dalam Safi’i (2008) menyatakan bahwa desentralisasi adalah suatu system dalam mana bagian dari tugas-tugas negara diserahkan penyelenggaraannya kepada organ atau institusi yang mandiri. Institusi ini berkewajiban untuk melaksanakan wewenang sesuai kehendak dan inisiatif programnya sendiri. Leemans (1970) dalam Kuncoro (2004), misalnya, membedakan dua macam desentralisasi: representative local government dan field
37
administration. Maddick (1983) mendefinisikan desentralisasi sebagai proses dekonsentrasi dan devolusi. Devolusi adalah penyerahan kekuasaan untuk melaksanakan fungsi-fungsi tertentu kepada pemerintah daerah; sedang dekonsentrasi merupakan pendelegasian wewenang atas fungsi-fungsi tertentu kepada staf pemerintah pusat yang tinggal di luar kantor pusat. Terlihat bahwa pemerintah daerah pada umumnya dianggap sebagai manifestasi struktural dari desentralisasi (political decentralization). Sementara itu, administrasi lapangan (field administration) atau desentralisasi administratif adalah kata lain dari dekonsentrasi (Kuncoro 2004). Cheema dan Rondinelli (2007) mendefinisikan decentralization was defined as the transfer of authority, responsibility, and resources—through deconcentration, delegation, or devolution - from the center to lower levels of administration. Selanjutnya disebutkan bahwa pemerintah dewasa ini menerapkan 3 bentuk desentralisasi. Pertama, ―deconcentration, sought to shift administrative responsibilities from central ministries and departments to regional and local administrative levels by establishing field offices of national departments and transferring some authority for decision making to regional field staff; Kedua, devolution aimed to strengthen local governments by granting them the authority, responsibility, and resources to provide services and infrastructure, protect public health and safety, and formulate and implement local policies; dan Ketiga, delegation, national governments shifted management authority for specific functions to semiautonomous or parastatal organizations and state enterprises, regional planning and area development agencies, and multi-and single-purpose public authorities‖. Bahwa dekonsentrasi berusaha untuk melimpahkan wewenang administratif dari kementerian dan departemen kepada administrasi tingkat daerah dengan mendirikan kantor dan memberikan sebagian kewenangan dalam pengambilan keputusan didaerah. Devolusi bertujuan untuk memperkuat pemerintah daerah dengan memberikan kewenangan, tanggung jawab, dan sumber daya untuk menyediakan layanan dan infrastruktur, perlindungan kesehatan dan keselamatan masyarakat, serta merumuskan dan melaksanakan kebijakan di daerah. Delegasi, pemerintah pusat melimpahkan kewenangan pengelolaan untuk fungsi-fungsi khusus kepada organisasi semi autonomous, BUMN, perencanaan dan instansi di daerah dan kewenangan lainnya untuk kepentingan masyarakat. Mintzberg (1995) dalam Riyadi dan Bratakusumah (2004) membedakan 3 tipe desentralisasi. Pertama; vertical decentralization yaitu desentralisasi yang diberikan secara hirarki dari atas ke bawah dalam suatu struktur organisasi, kedua; horizontal decentralization yaitu pendelegasian dari suatu unit dalam sebuah organisasi kepada unit lain yang setingkat, ketiga; dispersal decentralization yaitu pelimpahan wewenang dari organisasi/unit lebih tinggi kepada unit-unit lainnya sebagai kepanjangan tangan. Sedang di Indonesia pelaksanaan desentralisasi mengacu pada Undang – Undang Nomor 32 tahun 2004 yang menyebutkan bahwa desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dari sudut pandang desentralisasi, pemekaran wilayah merupakan pelaksanaan azas desentralisasi. Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, juga telah meletakkan dasar-dasar tentang sistem hubungan pemerintah pusat dan daerah dalam 3 prinsip yaitu:
38
Pertama, desentralisasi yang mengandung arti penyerahan urusan pemerintahan dari pemerintah atau daerah tingkat atasnya kepada daerah. Kedua, dekonsentrasi yang berarti pelimpahan wewenang dari pemerintah atau kepala wilayah atau kepala instansi vertikal tingkat atasnya kepada pejabat-pejabat di daerah. Ketiga, tugas perbantuan (medebewind) yang berarti pengkoordinasian prinsip desentralisasi dan dekonsentrasi oleh kepala daerah, yang memiliki fungsi ganda sebagai penguasa tunggal di daerah dan wakil pemerintah pusat di daerah. Akibat prinsip ini, dikenal adanya daerah otonom dan wilayah administratif (Kuncoro 2004). Selanjuntya Kuncoro (2004) menyebutkan bahwa titik tolak desentralisasi di Indonesia adalah Daerah Tingkat II (Dati II)/kabupaten, sebagai "ujung tombak" pelaksanaan pembangunan sehingga kabupatenlah yang lebih tahu kebutuhan dan potensi rakyat di daerahnya. Masalahnya, meskipun harus diakui bahwa UndangUndang Nomor 5 tahun 1974 adalah suatu komitmen politik, namun dalam praktek yang terjadi adalah sentralisasi (kontrol dari pusat) yang dominan dalam perencanaan maupun implementasi pembangunan Indonesia. Salah satu fenomena paling menonjol dari hubungan antara sistem Pemda dengan pembangunan adalah ketergantungan Pemda yang tinggi terhadap pemerintah pusat. Ketergantungan ini terlihat jelas dari aspek keuangan dan pembangunan. Pemerintah pusat dapat memilih apakah akan menekankan pada pemerintah daerah (Pemda) ataukah pada administrasi lapangan. Pilihan tergantung pada apakah administrasi lapangan dapat seefektif Pemda dalam mengurangi tekanan pusat dan mengembangkan periferi. Di pihak lain dapatkah Pemda melayani kebutuhan masyarakat secara lebih efisien dibandingkan dengan agen/kantor pemerintah pusat di daerah? Perbedaannya terutama terletak pada kemampuan untuk memahami kebutuhan dan masalah daerah, serta tingkat tanggung jawab yang diembannya (Kuncoro 2004). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pelaksanaan desentralisasi akan mengurangi beban pemerintah pusat terutama dalam penentuan program dan kegiatan yang sesuai dengan kebutuhan dan keinginan yang berkembang dalam masyarakat suatu daerah. Sejalan dengan pendapat Abe (2002) yang mengemukakan bahwa desentralisasi dapat memberikan dampak positif. Pertama ; bagi pemerintah pusat, desentralisasi tentu akan menjadi jalan yang mengurangi beban pusat; Kedua, program atau rencana-rencana pembangunan yang hendak diwujudkan akan lebih realistik, lebih mengena dan lebih dekat dengan kebutuhan lokal; Ketiga, memberikan kesempatan kepada daerah untuk belajar mengurus rumah tangganya sendiri, belajar untuk menangkap dan merumuskan aspirasi masyarakat setempat; Keempat, dengan adanya pemberian kewenangan (politis kearah devolusi), maka berarti akan membuka peluang bagi ketertiban rakyat dalam mengontrol jalannya pemerintahan. Dalam pelaksanaan desentralisasi oleh pemerintah pusat kepada daerahdaerah bukan saja hanya meliputi penyerahan wewenang urusan pemerintahan tetapi didalamnya sudah mencakup desentralisasi fiskal. Desentralisasi fiskal adalah proses distribusi anggaran dari tingkat pemerintahan yang lebih tinggi kepada pemerintahan yang lebih rendah untuk mendukung fungsi atau tugas pemerintahan dan pelayanan public sesuai dengan banyaknya bidang pemerintahan yang dilimpahkan (Saragih 2003). Dengan demikian konsekuensi
39
dari suatu desentralisasi maka harus disertai dengan pembiayaan, disinilah berlaku prinsip money follow function. Otonomi Daerah Undang – Undang Nomor 32 tahun 2004 menyebutkan bahwa otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sedang daerah otonom, selanjutnya disebut daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Secara teoritis kata otonomi berasal dari bahasa Yunani “outonomous‖ berarti pemerintahan sendiri (auto = sendiri, nomus = pemerintahan) yang mempunyai makna kemandirian untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Dapat disebut pula penyerahan penuh kepada daerah otonom untuk melaksanakan urusan rumah tangga. Dengan demikian pengertian otonomi menyangkut dengan dua hal pokok yaitu; kewenangan untuk membuat hukum sendiri (own laws) dan kebebasan untuk mengatur pemerintahan sendiri (self government) (Sjafrizal 2008). Dari pengertian diatas maka otonomi daerah pada hakekatnya adalah hak atau wewenang untuk mengurus rumah tangga sendiri bagi suatu daerah otonom (Sarundajang 2000). Undang-Undang Nomor 5 tahun 1974 tentang Pemerintahan Daerah pada dasarnya juga telah menunjukkan semangat otonomi daerah, namun ternyata dalam implementasinya tidak sesuai yang diharapkan sehingga otonomi daerah dapat dikatakan bersifat semu (pseudo autonomy). Semua wewenang pembangunan dan pemerintahan dari level pemerintahan tingkat propinsi sampai desa diatur oleh pemerintah pusat (central goverment) (Saragih 2003). Sehingga dengan kondisi tersebut, menurut Hidayat, (2000) ada tiga alasan pokok otonomi daerah diperlukan. Pertama, political equality, yaitu guna meningkatkan partisipasi politik pada tingkat daerah. Hal ini penting artinya untuk meningkatkan demokratisasi dalam pengelolaaan negara. Kedua local accountability, yaitu meningkatkan kemampuan dan tanggungjawab pemerintah daerah dalam mewujudkan hak dan aspirasi masyarakat di daerah. Hal ini sangat penting artinya dalam rangka meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan sosial di masing-masing daerah. Ketiga local responsiveness, yaitu meningkatkan tanggungjawab pemerintah daerah terhadap masalah-masalah sosial ekonomi yang terjadi di daerahnya. Kegagalan sistem pemerintahan yang sentralistik yang selama ini diterapkan oleh pemerintahan Orde Baru telah menimbulkan berbagai permasalahan dalam pembangunan daerah, hal ini mengakibatkan: Pertama, proses pembangunan daerah secara keseluruhan menjadi kurang efisien dan ketimpangan antar wilayah semakin besar. Keadaaan tersebut terjadi karena sistem pembangunan yanag terpusat cenderung mengambil kebijakan yang seragam dan mengabaikan perbedaan potensi daerah, baik sumberdaya alam maupun sumberdaya manusia yang belum dapat dimanfaatkan secara maksimal. Sementara itu, daerah yang potensinya kebetulan sesuai dengan kebijakan nasional akan dapat bertumbuh
40
dengan cepat. Sedangkan daerah yang potensinya tidak sesuai dengan prioritas pembangunan nasional akan cenderung tertekan pertumbuhan ekonominya. Akibatnya, ketimpangan pembangunan antar wilayah cenderung melebar yang selanjutnya cenderung pula mendorong terjadinya keresahan sosial di daerah. Kedua, sistem pembangunan yang sangat terpusat menimbulkan ketidakadilan yang sangat besar dalam alokasi sumberdaya nasional, terutama dana pembangunan. Keadaan tersebut dapat dilihat dari banyaknya provinsi yang kaya sumberdaya alam namun tingkat kesejahteraan masyarakatnya ternyata masih sangat rendah dan ketinggalan dibandingkan dengan daerah lainnya (Sjafrizal 2008). Karena kegagalan dan kelemahan tersebut maka tuntutan otonomi daerah semakin besar karena adanya dorongan political equality, local accountability, dan local responsiveness, ketiga unsur ini sangat penting untuk dilaksanakan di era otonomi dan desentralisasi bagi upaya peningkatan pembangunan dan peningkatan kesejahteraan di daerah. Ida (2005) mengemukakan bahwa ada 3 esensi dalam pelaksanaan otonomi daerah. Pertama, pengelolaan kekuasaan berpusat pada tingkat lokal yang berbasis pada rakyat. Kedua, dimensi ekonomi, artinya dengan otonomi daerah, maka daerah-daerah diharapkan mampu menggali dan mengembangkan sumber-sumber ekonomi yang ada diwilayahnya. Adanya kemampuan daerah untuk membiayai dirinya sendiri paling tidak memperkecil ketergantungan terhadap pemerintah pusat. Ketiga, dimensi budaya artinya dengan otonomi daerah masyarakat lokal harus diberikan kebebasan untuk berekspresi dalam mengembangkan kebudayaan lokal. Lebih jauh lagi, otonomi tidak saja merupakan penyerahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada daerah untuk melaksanakan pemerintahan yang sifatnya technical administration atau pratical administration saja tetapi terdapat adanya kebebasan daerah dalam melaksanakan desentralisasi kewenangan berdasarkan aspirasi dari rakyat dalam wilayah territorial otonomi. Proses tersebut merupakan suatu process of political interaction, yang berarti bahwa otonomi sangat erat kaitannya dengan demokrasi, hal mana yang diinginkan tidak hanya demokrasi pada tingkat nasional dalam suasana sentralistik, melainkan juga demokrasi ditingkat lokal (local democracy) yang arahnya kepada pemberdayaan (empowering) atau kemandirian daerah (Isra 2009). Kerangka Pemikiran Implikasi dari Undang Undang Nomor 22 tahun 1999 yang telah di revisi dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dengan titik berat pada Otonomi Daerah dan Desentralisasi telah mendorong berkembangnya pemekaran wilayah atau pembentukan daerah otonomi baru di Indonesia. Kebijakan pemekaran wilayah menjadi booming di era reformasi hal ini berkaitan dengan dua faktor yaitu; 1) Keterbukaan dan demokrasi pasca Soeharto; 2) Kebijakan pemerintah yang bergeser dari sentralisasi ke desentralisasi. Pemekaran wilayah era reformasi bersifat bottom up, dimana proses pengusulannya dimulai dari elit-elit daerah atau kelompok-kelompok masyarakat (Ratnawati 2009). Booming ini menjadikan elit-elit daerah atau
41
kelompok-kelompok masyarakat di propinsi, kabupaten/kota berlomba mengajukan usulan pemekaran wilayah. Hasil studi dari tim Bank Dunia (2004) dalam Ratnawati (2009) menyimpulkan adanya empat faktor utama pendorong pemekaran wilayah di masa reformasi yaitu: (1) motif untuk efektivitas dan efisiensi administrasi pemerintahan mengingat wilayah daerah yang begitu luas, penduduk yang menyebar, dan ketertinggalan pembangunan, (2) kecenderungan untuk homogenitas etnis, bahasa, agama, urban-rural, tingkat pendapatan,dan lain-lain, (3) adanya kemanjaan fiskal yang dijamin oleh undang-undang yaitu disediakanya dana perimbangan daerah berupa; Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), dan Dana Bagi Hasil (DBH), serta disediakannya sumber-sumber pendapatan asli daerah (PAD) yang lainnya, (4) motif pemburu “rente” (bureaucratic and political rent-seeking) para elit (Fitrani et al, 2005). Disamping keempat faktor pendorong tersebut, masih ada faktor “tersembunyi” dari pemekaran wilayah yang oleh Bhakti disebut ―gerrymander‖ yaitu usaha pembelaan/pemekaran wilayah untuk kepentingan parpol tertentu. Dari keempat pendorong tersebut, motif pragmatis ternyata lebih mendominasi usulan pemekaran wilayah di Indonesia. Penerapan desentralisasi dan otonomi daerah dengan implikasi pemekaran wilayah telah mendorong dan menambah perkembangan jumlah kabupaten/kota yang begitu pesat dari tahun 1999 sampai dengan 2013, yang karena didorong oleh berbagai motif seperti ekonomi, sosial, politik dan wilayah. Namun dalam pelaksanaan dan perkembangan pemekaran wilayah ini justru menimbulkan berbagai problema masing-masing di daerah pemekaran tersebut. Kondisi ini menimbulkan keprihatinan dari berbagai kalangan akademisi, politisi, birokrasi, masyarakat maupun para pemerhati masalah otonomi daerah tentang masa depan dan keberlanjutan dari pelaksanaan pemekaran wilayah di Indonesia. Praktikno (2007) dalam Ratnawati (2009) menyebutkan bahwa pemekaran wilayah memiliki “wajah ganda” ada sisi positif dan sisi negatif, dapat dilihat dari sudut pandang kepentingan daerah atau kepentingan pusat. Dapat dikatakan bahwa implementasi pemekaran wilayah memberikan manfaat maupun kerugian bagi suatu daerah pemekaran. Demikian juga dengan keberhasilan dan kegagalan dari pemekaran wilayah selalu menjadi dikotomi, tergantung dari sudut pandang dan kepentingan masing-masing pusat dan daerah. Berbagai isu problema seputar pemekaran wilayah selain kesenjangan wilayah dan ketidakadilan pemerataan hasil-hasil pembangunan, permasalahan otonomi daerah dan desentralisasi menjadi tantangan terpenting dalam pengembangan wilayah. Semangat otonomi daerah itu sendiri salah satunya bermuara kepada keinginan daerah untuk memekarkan diri. Bahkan tidak jarang sebagian stakeholder pembangunan memaknai pengembangan wilayah secara sempit mengidentikkannya dengan pemekaran wilayah (Muta’ali 2011). Lebih lanjut disebutkan bahwa pemekaran wilayah juga secara potensial dapat membawa dampak positif bagi pengembangan wilayah, antara lain mempercepat perkembangan perekonomian daerah yang baru dibentuk, meningkatkan kontrol dan pengawasan (surveilance) daerah yang jauh (remote), menghindari konflik horisontal, dan mengefektifkan rentang kendali (span of control) pemerintah daerah (Pratikno 2008 dalam Muta’ali 2011).
42
Kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah telah mendorong terbentuknya propinsi, kabupaten dan kota sebagai suatu wilayah. Kondisi ini menciptakan perbedaan antara daerah propinsi, kabupaten dan kota pemekaran tersebut, yaitu ada daerah yang penduduk/kegiatan terkonsentrasi pada suatu tempat dan ada juga yang kurang terkonsentrasi. Menurut Sutikno dan Maryunani (2007), fenomena terciptanya daerah nodal tidak hanya diwilayah propinsi, namun terjadi diwilayah kabupaten/kota, dimana biasanya pusat kegiatan ekonomi terjadi di daerah kota. Untuk kawasan kabupaten/kota fenomena tersebut khususnya terjadi pada kabupaten-kabupaten yang mempunyai wilayah yang luas. Kabupaten dengan wilayah yang luas biasanya membagi dua wilayah secara administratif, wilayah kota (kotamadya) dan wilayah kabupaten. Wilayah kota inilah yang kemudian dijadikan sebagai pusat kegiatan ekonomi (pusat pertumbuhan), sedang kabupaten sebagai daerah pendukung (hinterland). Pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah memberi peluang bagi Provinsi Sulawesi Tenggara dan Propinsi Jawa Barat untuk melakukan pemekaran. Pemekaran di Provinsi Sulawesi Tenggara dilakukan oleh 4 (empat) kabupaten induk yaitu Kabupaten Buton, Konawe, Kolaka dan Muna yang mempunyai potensi wilayah, penduduk, maupun SDA yang cukup besar. Pemekaran wilayah di Provinsi Sulawesi Tenggara kemudian berkembang menjadi 12 (duabelas) kabupaten dan 2 (dua) kota, telah berlangsung selama ±12 (dua belas) tahun yaitu sejak tahun 2001 sampai dengan tahun 2013 telah memekarkan 8 (delapan) kabupaten dan 1 (satu) kota (Tabel 4 ). Tabel 4 menunjukkan pemekaran di Propinsi Sulawesi Tenggara dapat dibagi dalam 2 (dua) periode. Pertama; sebelum tahun 1999 atau masa Undang Undang Nomor 5 Tahun 1974, pemekaran oleh Kabupaten Kendari (Konawe) memekarkan 1 (satu) kota yaitu Kota Madya Kendari pada tahun 1995. Kedua; setelah Tahun 1999 atau masa berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999. Tabel dibawah menunjukkan dalam kurun waktu 12 tahun yaitu sejak tahun 2001-2013 pemekaran wilayah di Propinsi Sulawesi Tenggara sebanyak 9 (sembilan) kabupaten (Konawe Selatan, Konawe Utara, Wakatobi, Bombana, Kolaka Utara, Kolaka Timur dan Buton Utara serta Konawe Kepulauan) dan 1 kota (Kota Bau-Bau) hasil pemekaran. Tabel 4 Perkembangan Pemekaran Wilayah di Propinsi Sulawesi Tenggara dan Propinsi Jawa Barat dari tahun 1999 – 2013 No
1
2 3 4
Propinsi Sulawesi Tenggara Kabupaten Induk Daerah Hasil Pemekaran Kota Bau-Bau Kab Buton Kab Bombana Kab Wakatobi Kab Konawe Selatan Kab Konawe Kab Konawe Utara Kab Konawe Kepulauan Kab Kolaka Utara Kab Kolaka Kab Kolaka Timur Kab Muna Kab Buton Utara
Sumber: diolah Kemendagri (2013).
No 1. 2.
Propinsi Jawa Barat Kabupaten Induk Daerah Hasil Pemekaran Kab Bogor Kota Depok Kota Cimahi Kab Bandung Kab Bandung Barat
3.
Kab Tasikmalaya
4.
Kab Ciamis
Kota Tasikmalaya Kota Banjar Kab Pangandaran
43
Tabel 4 menunjukkan bahwa dalam kurun waktu 14 (empatbelas) tahun sejak berlakunya otonomi daerah tahun 1999- 2012, Propinsi Jawa Barat memekarkan 4 (empat) kota dan 2 (dua) kabupaten. Dengan adanya pemekaran wilayah maka hingga sekarang ini Propinsi Jawa Barat berkembang menjadi 18 (delapan belas) kabupaten dan 9 (sembilan) kota. Jika dibandingkan dengan Propinsi Sulawesi Tenggara yang dalam kurun waktu 12 (duabelas) tahun telah memekarkan 8 (delapan) kabupaten dan 1 (satu) kota. Propinsi Jawa Barat pada awalnya terdiri 21 (duapuluh satu) kabupaten/kota masing-masing 16 (enam belas) kabupaten dan 5 (lima) kota. Selanjutnya 4 kabupaten induk yaitu Kabupaten Bogor, Kabupaten Bandung, Kabupaten Tasikmalaya dan Kabupaten Ciamis melakukan pemekaran wilayah (Tabel 4 ). Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya sebagai kota hasil pemekaran tahun 2001 telah menunjukkan perkembangan perekonomian yang cukup signifikan dibandingkan dengan kabupaten induknya. Kondisi inilah mendorong penelitian ini untuk melihat apakah kedua kota hasil pemekaran ini potensial berkembang menjadi pusat pertumbuhan baru diwilayahnya masing-masing, sebagaimana menurut Simangunsong (2011), bahwa sejatinya pemekaran daerah berdampak positif bagi : 1) demokratisasi; 2) tumbuhnya pusat-pusat pertumbuhan baru; 3) pendekatan pelayanan kepada masyarakat; 4) kemudahan membangun dan memelihara sarana dan prasarana; (5) tumbuhnya lapangan kerja baru dan (6) adanya motivasi pengembangan inovasi dan kreatifitas daerah. Sebagai salah satu bentuk pengembangan wilayah, pemekaran wilayah diharapkan dapat memperkecil kesenjangan antar wilayah (disparitas wilayah), serta dapat menyeimbangkan pertumbuhan dan perkembangan antar wilayah (Muta’ali 2011). Hirschman (1958) dalam Dawkins (2003), menyatakan bahwa pembangunan terpolarisasi (polarized development) dapat memberikan manfaat bagi wilayah pertumbuhan dan daerah belakang/daerah sekitarnya. Dari uraian tersebut diatas, kerangka pemikiran penelitian dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 8.
44
Issu-issu krusial : 1. Kemiskinan 2. Kesehatan 3. Pendapatan 4. Infrastruktur 5. Rentang kendali 6. dll
Undang-Undang Nomor 5 tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah
Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 direvisi Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Titik berat pada : Desentralisasi dan Otonomi Daerah
Issu-issu krusial : 1. Ketimpangan wilayah. 2. Ketidakmerataan hasil-hasil Pemb. 3. Kesenjangan KTI dan KBI. 4. Jawa dan Luar Jawa. 5. dll.
Pemekaran Wilayah Kab. Buton Kab. Buton Utara Kab. Wakatobi Kab. Muna Kab. Bombana
Kota Tasikmalaya
Kota Bau-Bau
Potensi Perekonomian Wilayah sebagai Pusat Pertumbuhan
Interaksi Ekonomi dan Daya Tarik Wilayah
Analisis Scalogram : Perkembangan Hirarki wilayah Ketersediaan fasilitas-fasilitas pelayanan (infrastruktur dll) sebagai keuntungan yg dapat menjadi daya tarik wilayah.
Analisis Gravitasi : Interaksi ekonomi dan daya tarik wilayah kuat dengan wilayah sekitarnya (hinterland). Interaksi ekonomi dan daya tarik wilayah lemah dengan wilayah sekitarnya (hinterland).
Perkembangan Struktur Perekonomian Wilayah
Tipologi Klassen : Daerah cepat maju dan cepat tumbuh. (I) Daerah berkembang cepat.(II) Daerah maju tapi tertekan. (III) Daerah relatif tertinggal. (IV)
Indeks Diversiti Entropi :
Analisis Tingkat perkembangan perekonomian wil : Wil.berkembang jika nilai IDE besar. Wil. kurang berkembang jika nilai IDE kecil.
Kab. Tasikmalaya Kab. Garut Kab. Ciamis Kota Banjar Kab. Pangandaran
Evaluasi/Mengkritisi PP. No. 78/2007 dan Mengetahui Persepsi Stakeholder
Sektor Basis/Unggulan/Daya Saing Wilayah sebagai Pusat Pertumbuhan
Analisis Shift Share: Sektor memiliki daya saing (kompetitiveness) wilayah. Sektor berkembang (pergeseran) cepat. Sektor berkembang (pergeseran) lambat.
Analisis Location Quostient : Sektor basis/ unggulan sebagai penggerak perekonomian wilayah (LQ > 1) Sektor non basis/non unggulan (LQ < 1)
Analisis Hirarki Proses : Untuk menilai perbandingan kepentingan setiap elemen dan mengetahui persepsi dan efektifitas pelaksanaan pemekaran wilayah dan mengevaluasi PP. No. 78/2007.
Pusat Pertumbuhan Ekonomi (Growth Pole/Growth Center)
Rekomendasi Kebijakan
Gambar 8 Kerangka Pemikiran Penelitian
Penelitian – Penelitian Terdahulu Berlakunya Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah telah mengubah tatanan maupun sistem pemerintahan di Indonesia. Titik berat dari undang-undang tersebut adalah otonomi daerah dan desentralisasi, dan kondisi ini memberi peluang kepada daerah untuk mengusulkan melakukan pemekaran wilayah dengan berbagai argument baik yang bersifat politik maupun
Hasil Persepsi masyarakat dengan Distribusi frekwensi
45
dengan alasan kesejahteraan. Perkembangan pemekaran wilayah yang begitu pesat sejak diberlakukannya otonomi daerah yaitu sebanyak 8 propinsi, 175 kabupaten dan 34 kota yang terbentuk, telah mendorong perkembangan perekonomian wilayah, aksesibilitas makin terbuka, maupun peningkatan infrastruktur didaerah-daerah pemekaran. Berbagai kajian dan penelitian telah dilaksanakan, dengan menggunakan berbagai metode dan alat analisis maupun pendekatan, baik yang bersifat kuantitatif maupun kualitatif untuk mengukur dan mengetahui seberapa besar manfaat pemekaran wilayah. Hasil Kajian dan penelitian yang telah dilaksanakan oleh berbagai lembaga juga menimbulkan pro dan kontra, karena disatu sisi suatu daerah hasil pemekaran menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan namun disisi lain terjadi penurunan atau menunjukkan kinerja yang tidak signifikan, sehingga selalu memunculkan penafsiran ganda akan manfaat dan efektifitas dari pelaksanaan pemekaran wilayah. Kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah dengan implikasi pemekaran wilayah telah berlangsung lebih kurang 14 (empat belas) tahun, namun hal yang menarik bahwa belum pernah ada yang mengkaji seberapa besar dampak kebijakan tersebut memberikan peluang dan potensial propinsi/kabupaten/kota hasil pemekaran berkembang menjadi pusat pertumbuhan ekonomi. Berikut ini beberapa hasil kajian/penelitian tentang desentralisasi/otonomi daerah dan pusatpusat pertumbuhan (Tabel 5). Tabel 5 Matriks Penelitian-Penelitian Terdahulu Studi tentang Desentralisasi/Otonomi Daerah/Pemekaran Wilayah No. 1.
2.
Nama (tahun)/Judul Penelitian/organisasi Sajjad Ali Khan (2013). Decentralization and Poverty Reduction: A Theoretical Framework for Exploring the Linkages. (Journal)
Syawal Zakaria (2013). The Impact of Fiscal Decentralization toward Regional Inequalities in Eastern Region of Indonesia. (Journal)
Alat Analisis Deskriptif
Model Ekonometrika dengan Data Panel
Hasil Penelitian Penelitian ini mengeksplorasi hubungan antara desentralisasi dan pengurangan kemiskinan, menganggap pelembagaan sebagai faktor kunci circum scribing potensi desentralisasi untuk mengurangi kemiskinan, dan berpendapat bahwa penanggulangan kemiskinan merupakan fungsi dari tingkat pelembagaan reformasi desentralisasi. Artikel ini berpendapat bahwa desentralisasi dan pengurangan kemiskinan sangat erat terkait satu sama lain. Penelitian menyimpulkan: Desentralisasi fiskal belum mampu mengurangi kesenjangan regional di Kawasan Timur Indonesia (KTI) karena alokasi anggaran untuk hal-hal pemerintah (gaji, perjalanan dinas, dan kantor peralatan / perlengkapan); Terkait pemanfaatan variabel kontrol: pertumbuhan penduduk, pengangguran terbuka memiliki efek pada peningkatan kesenjangan reg, pertumbuhan ekonomi, partisipasi pendidikan, tingkat investasi dapat mengurangi kesenjangan regional. Terjadi perubahan ekonomi di KTI dari pola tradisional ke modern tercermin dari konfirmasi hipotesis Kuznets U terbalik. Kebijakan desentralisasi fiskal dalam sepuluh tahun, untuk mencapai pemda independen belum mencapai target yang diharapkan.
46
3.
Abachi Terhemen Philip dan Salamatu Isah (2012). An Analysis of the Effect of Fiscal Decentralisation on Eonomic Growth in Nigeria. (Journal)
Barro- type endogenous growth model
4.
Michael Kiwanuka. (2012). Decentralization and Good Governance in Africa: Institutional Challenges to Uganda's Local Governments. (Journal)
Survei cross sectional dengan pendekatan kualitatif dan kuantitatif
5.
Winnie V. Mitullah, (2012). Decentralized Service Delivery in Nairobi and Mombasa Policies: Politics and interGovernmental Relations. (Journal)
Deskriptif
Tiga ukuran berbeda dari desentralisasi fiscal (DF) yang digunakan dalam penelitian ini. DF 1 memiliki dampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi di Nigeria, tetapi secara statistik tidak signifikan, karena pendapatan yang dihasilkan secara internal dari pemerintah daerah rendah maka kontribusinya signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. DF 2 dari hasil estimasi adalah negatif, secara statistik tidak signifikan, menunjukkan belanja daerah sangat besar kaitannya dengan sumber daya yang tersedia, terdapat ketidaksesuaian antara tanggung jawab fiskal dan alokasi sumber daya ditingkat yang lebih rendah dari pemerintah di Nigeria. DF 3 memiliki koefisien statistik tidak signifikan, berarti ukuran desentralisasi fiskal tidak memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi menunjukkan desentralisasi fiskal berdampak negatif pada pertumbuhan ekonomi di Nigeria Kesimpulan : desentralisasi fiscal tidak berdampak terhadap pertumbuhan ekonomi di Negeria. Kekhawatiran mengenai kapasitas pemerintah pusat, kendala fiskal dan akuntabilitas yang terbatas di semua tingkat pemerintahan menyebabkan negara-negara Afrika menempatkan pentingnya desentralisasi dan mengembangkan kapasitas pemerintahan lokal yang efektif. Penelitian ini mengeksplorasi tantangan kelembagaan pemerintah daerah untuk tata pemerintahan yang baik di Uganda. Disimpulkan bahwa lingkungan hukum – pemerintahan memperlambat pemerintahan yang baik; kurangnya informasi sangat membatasi partisipasi mereka. Kurangnya kapasitas personil yang kompeten menggagalkan kinerja pemerintah daerah. Direkomendasikan pemerintah pusat untuk membuat kebijakan yang mendukung inklusi dan keterlibatan semua warga negara, memperkuat proses reformasi kebijakan kelembagaan dan penguatan struktur pemerintah daerah untuk mendukung kebebasan politik dan pemerintahan. Di banyak negara Afrika, desentralisasi telah lama dipandang sebagai sarana untuk meningkatkan pelayanan lokal. Namun, terlepas dari berbagai upaya desentralisasi, pelayanan publik terus menjadi bermasalah di dua kota terbesar di Kenya, Nairobi dan Mombasa. Reformasi pemerintahan lakukan untuk meningkatkan proses desentralisasi di Kenya, dengan dukungan undang-undang. Bahwa proliferasi aparat pemerintah dengan tugas yang tumpang tindih, kerangka pembangunan yang tidak jelas, dan politik intra-dan antar-partai
47
6.
Anne Booth (2011). Splitting, Splitting and Splitting Again: A Brief History of The Development of Regional Government in Indonesia since Independence. (Journal) Einar Braathen (2008). Decentralisation and Poverty Reduction: A review of the Linkages in Tanzania and the International Literature.
Deskriptif
8.
Blessings Chinsinga (2008). Decentralisation and Poverty Reduction in Malawi – A Critical Appraisal.
Deskriptif
9.
John-Mary Kauzya (2007). Political Decentralization in Africa: Experiences of Uganda, Rwanda, and South Africa.
Deskriptif
7.
Deskriptif
masih menjadi kendala dalam menyediakan layanan penting dikota Nairobi dan Mombasa. Efektivitas desentralisasi tidak dapat dilakukan tanpa kebijakan penting menyertainya, komitmen pemimpin baik di tingkat pusat dan daerah termasuk pelimpahan sumber daya dan hubungan antar-pemerintah. Artikel ini berpendapat bahwa perubahan pasca - Soeharto dalam pemerintahan daerah di Indonesia dapat dilihat sebagai reaksi terhadap kebijakan sentralisasi otokratis rezim Soeharto, yang pada gilirannya adalah reaksi terhadap ' de facto ' federalisme dari tahun 1960-an.
Tanzania menyajikan jenis baru dari desentralisasi : tidak konservatif , dan tidak transformatif. Reformasi telah membantu menghasilkan kemajuan yang signifikan selama beberapa tahun terakhir dalam kemampuan layanan dan peran pemerintah daerah, mereka telah meningkatkan demokrasi pada akar rumput dan partisipasi kaum miskin, telah menyebabkan peningkatan keuangan daerah untuk mengurangi kemiskinan. Upaya kebijakan desentralisasi di Malawi digambarkan sebagai dekonsentrasi namun sulit membuat penilaian dampak reformasi desentralisasi terhadap pemerintahan lokal dan pengentasan kemiskinan karena desentralisasi belum sepenuhnya dilaksanakan. Desentralisasi memiliki potensi meningkatkan partisipasi politik dan mengurangi kemiskinan, namun hasilnya tergantung pada penerapannya. Kasus Malawi, menunjukkan ada resiko besar dalam pelaksanaan reformasi desentralisasi karena hanya menjadi tempat masyarakat untuk menyampaikan keinginan mereka, namun keputusan hampir seluruhnya hak prerogatif negara. Ini berarti bahwa desentralisasi tidak mungkin menjadi elemen penting dalam meningkatkan kemampuan kelembagaan negara, baik sebagai dasar untuk sektor publik yang efektif maupun sebagai sarana mendekatkan negara kepada masyarakat. Tujuan desentralisasi di tiga negara, adalah untuk pengembangan masyarakat lokal dalam menentukan nasib mereka. Meningkatkan partisipasi dalam pengambilan keputusan, memungkinkan masyarakat menentukan kepemimpinan lokal melalui pemilu demokratis, berdasarkan pengaturan struktural kelembagaan untuk perencanaan pembangunan dari bawah yang partisipatif, melibatkan kelompok khusus (perempuan, kaum muda dan orang cacat) dalam pengambilan keputusan. Memfasilitasi pengarusutamaan gender dalam
48
10.
Benjamin Kohl (2003). Democratizing Decentralization in Bolivia The Law of Popular Participation. (Journal)
Deskriptif
11.
Richard C. Crook (2003).Decentralizati on and Poverty Reduction In Africa: The Politics of Local–Central Relations. (Journal)
Deskriptif
12.
Namaraj Ghimire. Decentralization in Nepal: Review of Fiscal Decentralization Policy. (Journal)
Deskriptif
13.
Brendan F. D. Barrett
Deskriptif
perencanaan pembangunan di tingkat lokal. Tiga kasus menunjukkan desentralisasi bukan hanya tindakan tapi proses yang berjalan terusmenerus melibatkan stakeholder untuk menghasilkan tujuan yang diinginkan. Akhirnya jika desentralisasi harus sukses harus dipahami sebagai transfer kekuasaan dan otoritas kepada rakyat dan tidak hanya kepada pemerintah daerah. Pada tahun 1994, Bolivia melembagakan program desentralisasi bukan hanya dana transfer dan tanggung jawab baru untuk pemerintah kota tetapi juga diamanatkan penganggaran partisipatif dan pengawasan oleh organisasi lokal. Artikel ini menawarkan penilaian awal dari program desentralisasi, berfokus pada dampaknya terhadap efisiensi pemerintah, pembangunan ekonomi, dan akuntabilitas politik. Ditemukan di beberapa pemerintah kota, dengan organisasi dan lembaga swadaya masyarakat yang kuat, proses demokratis desentralisasi relatif terjadi meskipun desentralisasi bukan sebagai penggerak pembangunan ekonomi. Di banyak pemerintah kota, kebijakan desentralisasi menghasilkan penguatan hubungan dukungan elit lokal dan desentralisasi korupsi. Para penganut desentralisasi berpendapat bahwa pemerintah yang desentralisasi lebih responsif terhadap kebutuhan masyarakat miskin dari pada pemerintah pusat, karena lebih mungkin untuk memahami dan melaksanakan kebijakan yang berpihak pada masyarakat miskin. Prospek penerapan desentralisasi pemerintahan untuk mengembangkan kebijakan yang lebih berpihak pada masyarakat miskin harus bergantung pada upaya nyata yang dilakukan untuk memperkuat dan memperluas mekanisme akuntabilitas , baik horisontal dan vertikal, baik di tingkat lokal maupun nasional. Jurnal menjelaskan upaya yang dilakukan oleh pemerintah Nepal untuk melaksanakan kebijakan desentralisasi fiskal. Desentralisasi menjadi kebijakan utama pemerintahan Nepal sejak tahun 1950an dan diambil sebagai alat kebijakan yang kuat untuk alokasi sumber daya dan pengurangan kemiskinan. Kesadaran masyarakat tumbuh dan menyadari perlunya pemerintahan daerah yang efektif dan efisien. Kemampuan mobilisasi sumber daya di tingkat lokal ditingkatkan dan otonomi badan lokal untuk meningkatkan pendapatan dan pengeluaran bagi perkembangan masyarakat. Pengaruh pemerintah pusat dalam pembangunan harus dihilangkan, sehingga sepenuhnya sistem pemerintahan daerah dapat berhasil dilaksanakan di Nepal. Makalah ini telah menjelaskan reformasi
49
(2000). Decentralization in Japan: Negotiating the Transfer of Authority. (Journal)
desentralisasi di Jepang difokuskan pada hubungan kekuasaan pemerintah pusat dan daerah. Pengalaman di Jepang menunjukkan keberhasilan pelaksanaan desentralisasi yang menyeluruh mensyaratkan bahwa sejumlah hambatan politik, sosial, kelembagaan, administrasi dan keuangan dapat diatasi. Tujuan utama reformasi desentralisasi adalah meningkatkan pemerintah daerah yang kuat, efisien dalam kerangka pemerintahan nasional yang kuat. Bahwa langkah berikutnya dalam proses reformasi desentralisasi harus melibatkan perubahan dalam rangka untuk meningkatkan otonomi daerah, bukan hanya sekedar transfer kekuasaan. Keberhasilan pelaksanaan reformasi desentralisasi pemerintahan di Jepang karena pelimpahan kekuasaan yang lebih besar dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah.
Studi tentang Kutub dan Pusat Pertumbuhan (growth pole/growth center) No. 1.
2.
Nama (Tahun)/ Judul Penelitian/ organisasi Alimos Mushuku dan Rejoice Takuva (2013). Growth Points or Ghost Towns? Post Independence Experiences of the Industrialisation Process at Nemamwa Growth Points in Zimbabwe. (Journal)
Sang-arun Nattapon, (2012). Development of regional growth centers and impact on regional growth: A Case Study of Thailand’s Northeastern region. (Journal)
Alat Analisis Deskriptif
A One‑Stage Theil Decompositio n Method; Theil index; Z‑Score Regression; Gravity Model Analysis; Multiple Regression
Hasil Penelitian Penelitian ini berusaha untuk menyelidiki pengalaman industrialisasi Titik Pertumbuhan di Nemamwa. Penelitian ini menemukan bahwa sejumlah industri telah dikembangkan di Titik Pertumbuhan, namun gagal memicu pembangunan sehingga menciptakan kesenjangan hubungan antara sumber daya didaerah belakang dan kegiatan di Nemamwa . Terjadi migrasi desa-kota yang besar karena orang berusaha mendapatkan pekerjaan lebih baik sesuai kualifikasinya, menyebabkan kesenjangan antara inti dan pinggiran. Terungkap bahwa industri menghadapi sejumlah tantangan kurangnya investasi modal, infrastruktur, pemasaran, transportasi dan dokumen penting seperti sertifikat pendirian, sehingga ancaman bagi proses industrialisasi di titik Pertumbuhan Nemamwa. Di rekomendasikan pemerintah harus mendukung pertumbuhan industri di Nemamwa melalui pengenalan bebas pajak, pembangunan infrastruktur, target pendanaan dan menempatkan industri dekat titik pertumbuhan. Studi pada 4 wilayah di Thailand melihat kebijakan desentralisasi sangat penting dalam meningkatkan strategi pusat-pusat pertumbuhan dengan mengembangkan hubungan ekonomi antara pusat-pusat pertumbuhan wilayah dan pertumbuhan daerah sekitarnya. Ditemukan dampak pusat pertumbuhan regional sebagai pendorong pertumbuhan sub – regional, serta sebagian besar pembangunan pusat pertumbuhan regional berkorelasi positif dengan pertumbuhan sub-region, perkembangan spasial pusat-pusat pertumbuhan
50
Model.
3.
Biplob Kanti Mondal dan Kausik Das (2010). Role of Growth Center: A Rural Development Perspective. (Journal)
Deskriptif
3.
Mauricio Aguiar Serra (2003). Development Pole Theory and the Brazilian Amazon. (Journal)
Deskriptif
4.
Sari Pekkala (2003): What Draws People to Urban Growth Centers: Jobs vs. Pay?
Ekonomi Mikro Model Harris Todaro
6.
Jörgen Gren (2003). Reaching the Peripheral Regional Growth Centres: Centre-periphery convergence through the Structural Funds transport infrastructure actions and the evolution of the centre-periphery
Deskriptif
regional telah menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang positif, walaupun pertumbuhan ini belum merata. Kebijakan desentralisasi yang tepat akan menyebarkan pertumbuhan pusatpusat pertumbuhan regional dan mengarah pada pengembangan daerah sekitarnya. Penelitian ini melihat manfaat dari pusat pertumbuhan terhadap pembangunan ekonomi dan sosial pedesaan di Bangladesh. Bahwa pusat pertumbuhan memfasilitasi penyediaan pertanian, perikanan, peternakan dan sektor lainnya untuk perbaikan pembangunan pedesaan. Pusat pertumbuhan mendominasi penyediaan layanan dan pembangunan infrastruktur untuk menjamin keberlanjutan sosial dan menciptakan kesempatan kerja produktif dan perluasan ekonomi; Ditemukan pusat pertumbuhan sebagai tempat berkembang pelayanan di daerah pedesaan dan menjembatani kesenjangan antara ekonomi pedesaan dan perekonomian daerah. Artikel ini menganalisis strategi kutub pembangunan yang dilaksanakan di wilayah Amazon, berfokus pada asumsi-asumsi di balik teori sehubungan dengan efek penyebaran, yang menguntungkan seharusnya dihasilkan oleh kutub-kutub pembangunan untuk daerah periferi. Penelitian ini menganalisis pola migrasi di Finlandia untuk menguji apakah terbukti model ekonomi mikro Harris - Todaro dapat ditemukan dalam pola migrasi. Terungkap komponen modal manusia (berpendidikan tinggi , individu muda ) dari angkatan kerja pindah ke atau berada di pusat-pusat pertumbuhan. Ditemukan bukti model Harris – Todaro, bahwa terjadinya migrasi dari desakota disebabkan upah yang lebih tinggi dan prospek pekerjaan yang lebih baik di daerah perkotaan. Hasil tingkat mikro membuktikan model Harris – Todaro, bahwa pendapatan dan pekerjaan memikat orang ke pusat pertumbuhan. Menunjukkan utilitas yang dirasakan lebih besar di pusat-pusat pertumbuhan regional, seperti yang diasumsikan dalam model. Artikel ini memberikan analisis sistematis kontribusi dan dampak dari dana struktural terhadap infrastruktur transportasi untuk konvergensi pusat-pinggiran; membahas kemungkinan evolusi paradigma pusatpinggiran dalam perkembangan pembangunan ekonomi, kohesi dan aksesibilitas di daerah pinggiran Eropa, yang tampaknya investasi infrastruktur di bawah dana struktural benarbenar cukup berhasil mengurangi kesenjangan antara inti/pusat dan pinggiran. Artikel ini
51
paradigm. (Journal)
7.
Harry W. Richardson (1999). Growth Centers, Rural Development and National Urban Policy: A Defense. (Journal)
Deskriptif
8.
John B. Parr (1999). Growth-pole Strategies in Regional Economic Planning: A Retrospective View. Part 1. Origins and Advocacy. (Journal)
Deskriptif
9.
Takahiro Miyoshi (1997). Successes and Failures Associated With the Growth Pole Strategies. (disertasi)
Deskriptif
berpendapat,pusat-pusat pertumbuhan regional memainkan peranan yang penting dalam menjelaskan konsep pusat-pinggiran serta meragukan paradigma pusat-pinggiran tradisional. Pengembangan pusat-pusat pertumbuhan daerah pinggiran, dalam kenyataannya dampak investasi tersebut dalam transportasi untuk meningkatkan aksesibilitas diwujudkan dalam pembangunan yang lebih baik dari pusat-pusat pertumbuhan regional dalam daerah pinggiran. Pusat pertumbuhan regional juga cenderung menarik daerah belakang (hinterland). Pusat-pusat pertumbuhan telah mengalami kegagalan sebagai instrumen kebijakan tata ruang di negara berkembang. Makalah ini menunjukkan pusat pertumbuhan mungkin masih bias diterapkan, jika diselaraskan dengan kondisi ekonomi dan sosial setempat. Pusatpusat pertumbuhan harus diintegrasikan dengan kebijakan pembangunan pedesaan dengan mengembangkan industri agro-processing daripada manufaktur padat modal, dan berfungsi sebagai tujuan alternatif bagi perpindahan dari desa ke kota, dengan memperkuat hirarki layanan di wilayah pedesaan. Kebijakan pusat pertumbuhan akan berhasil jika pusat pertumbuhan terintegrasi dalam kerangka strategi pembangunan nasional perkotaan. Makalah ini menjelaskan secara mendalam pentingnya strategi kutub pertumbuhan dalam perencanaan ekonomi regional selama tahun 1960-an. Hasil dari strategi Growth-pole: Pertama, mendorong pertumbuhan lapangan kerja dan jumlah penduduk dalam suatu wilayah/lokasi atau kutub yang direncanakan. Kedua, menetapkan batasan yang pasti tentang jumlah lokasi atau pusat yang ditunjuk sebagai kutub yang direncanakan. Ketiga, diperlukan perbedaan spasial atau selektivitas antara lokasi, ini berkaitan identifikasi pusat-pusat yang memiliki potensi untuk mendukung kegiatan ekonomi tertentu, didasarkan pada faktor-faktor seperti keuntungan locational antardaerah atau intraregional, hirarki dalam sistem perkotaan atau kondisi pertumbuhan masa lalu. Keempat, melibatkan perubahan dari struktur ruang kerja dan jumlah penduduk suatu daerah, perubahan struktur spasial berhubungan pekerjaan dan struktur penduduk. Studi melihat penerapan dari strategi kutub pertumbuhan di negara – negara maju dan berkembang. Review empiris untuk masa depan. Pertama, kutub pertumbuhan tidak dilaksanakan lagi karena tujuan pembangunan diubah untuk pemberantasan kemiskinan dan pembangunan kota-kota kecil, sehingga
52
10.
Harry W. Richardson (1976). Growth Pole Spillovers: The Dynamics of Backwash and Spread. (Journal)
Deskriptif
11.
Hansen, N. M. (1975). An Evaluation of Growth-Center Theory and Practice. (Journal)
Deskriptif
meninggalkan ide pengembangan pusat pertumbuhan, padahal kutub pertumbuhan bisa untuk pembangunan pedesaan, misalnya, pengembangan agropolitan. Kedua, kutub pertumbuhan dihadapkan masalah keuangan, kesalahpahaman pemerintah melihat strategi kutub pertumbuhan hanya investasi di daerah terbatas, adanya persepsi kutub pertumbuhan terlalu mahal sekalipun bukan alasan logis meninggalkan strategi kutub pertumbuhan karena konsep kutub pertumbuhan masih menjadi kerangka kerja analisis yang bermanfaat. Ketiga, bukti empiris kasus Jepang dan Korea menunjukkan keberhasilan perencanaan daerah terkait kuat dengan keberhasilan pembangunan ekonomi nasional. Kutub pertumbuhan, memiliki keterbatasan mengadopsi perencanaan wilayah yang baik, kasus Amerika Serikat, dua kutub pertumbuhan menunjukkan hasil kontras, keberhasilan dan kegagalan. Sebaiknya, growth pole harus memiliki berbagai bentuk dari besar, industri, perspektif perkotaan kecil, pertanian, perspektif pedesaan sesuai karakteristik masalah regional. Akhirnya kedepan perencanaan daerah harus kembali ke pemikiran Perroux dalam membangun kerangka umum analisis ekonomi. Strategi kutub pertumbuhan sudah ditinggalkan oleh banyak negara karena kegagalan untuk menghasilkan pembangunan daerah yang jauh dari sasaran. Makalah ini menggunakan teori spread dan backwash, untuk menunjukkan bahwa spillovers positif tidak akan menimbulkan di sekeliling kutub pertumbuhan pada tahun awal pelaksanaannya, dan dalam jangka panjang dibutuhkan suatu strategi agar berhasil. Hal ini juga menunjukkan bahwa ada pengaruh spread dan backwash atas ruang asimetris, temuan yang sampai sejauh itu berimplikasi/ berpengaruh terhadap perencanaan tata ruang. Makalah ini membahas isu-isu empiris dan teoritis terkait dengan pendekatan pusat pertumbuhan untuk pembangunan daerah. Berpendapat bahwa meskipun banyak kesulitan dalam pembahasan literatur pusat pertumbuhan namun masih memiliki relevansi dengan kebijakan daerah. Meskipun telah ada peningkatan perhatian dalam menganalisis jenis dan pentingnya secara spontan tempat-tempat pertumbuhan perkotaan, pendekatan pusat pertumbuhan mempunyai pengaruh dalam pertumbuhan. Sedikit bukti bahwa pusat-pusat pertumbuhan menghasilkan pengaruh efek penyebaran yang signifikan terhadap daerahdaerah belakang yang tertinggal secara ekonomi; tetapi dapat berfungsi sebagai pusat regional migrasi.
53
Disamping itu beberapa studi dan penelitian tentang desentralisasi, otonomi daerah dan pemekaran wilayah yang dilakukan oleh mahasiswa dilingkungan Institut Pertanian Bogor sebagai berikut: Tabel 6 Matriks Penelitian-Penelitian Terdahulu di Lingkungan IPB No. 1.
Nama (Tahun)/ Judul Penelitian/ organisasi Bambang Supriyadi (2012). Pengembangan Wilayah di Daerah Otonom Baru (Studi Kasus 3 Kabupaten Pemekaran di Indonesia). Disertasi Pascasarjana IPB. Bogor.
2.
Muhammad Arafat (2011). Kajian Dampak Pemekaran Wilayah Terhadap Pembangunan Daerah (Studi Kasus di Kabupaten Mamasa Propinsi Sulawesi Barat). Tesis Pascasarjana IPB. Bogor.
3.
Nelson Sayori (2009). Analisis Dampak Pemekaran Wilayah Terhadap Perekonomian Wilayah Kepulauan dan Pengembangan
Alat Analisis
Hasil Penelitian
Analisis Klassen Tipology; Location Quotient; Indeks Spesialisasi; SSA; Indeks Diversity Entropy (IDE); Indeks Williamson
1. Hasil analisis Typology Klassen menunjukkan Kab Rokan Hilir sebagai daerah maju tetapi tertekan; Kab. Roten Ndao merupakan daerah relatif tertinggal; Kab Mamasa daerah berkembang cepat. 2. Hasil IDE, Kab. Roten Ndao memiliki nilai tertinggi disusul Mamasa dan Rokan Hilir artinya perekonomian di Kab. Roten Ndao lebih menyebar dan berimbang tapi sektor tidak berdaya saing; Kab Mamasa semua sektor berdaya saing kecuali pengangkutan dan jasa; Kab Rokan Hilir daya saing utamanya sektor pertanian. 3. Persepsi masyarakat terhadap pelayanan publik di 3 kabupaten adalah baik. 4. Penerapan teori Christaller dan teori Molotch di Kab. Roten Ndao; Di Kab Rokan Hilir perlu didukung teori path-goal ; Di Kab Mamasa, tidak dapat diterapkan karena tidak ada birokrasi yang kuat dan fungsi spasial dari infrastruktur. 1. Berdasarkan PP. No. 78 tahun 2007, Kab. Mamasa tidak layak dimekarkan ditinjau dari aspek kependudukan dan kemampuan ekonomi. 2. Perkembangan ekonomi menunjukkan IDE Kab. Polewali Mandar lebih baik daripada Kab. Mamasa yang IDEnya fluktuatif peningkatannya. 3. Terhadap Kapasitas fiskal Kab. Mamasa lebih baik dari perbandingan laju pendapatan daerah tetapi dari perbandingan perkembangan belanja langsung daerah, perkembangan DBH dan pengaruh pemekaran terhadap PAD Kab. Polewali Mandar lebih baik. 4. Terhadap pelayanan publik dan aparatur daerah; Kab. Mamasa lebih baik dari Kab. Polewali Mandar; Kualitas infrastruktur jalan serta pesentase jumlah PNS yang S1 Kab. Polewali Mandar lebih baik dari Kab. Mamasa.
Analisis Deskriptif; Analisis IDE; Analisis Kelayakan Pemekaran; Analisis Regresi dengan Peubah Dummy; Analisis Potensi Pajak Daerah; Metode Penghitungan IPM; Analisis Persepsi Stakeholder Analisis Deskriptif dan Skoring; Analisis IDE; Analisis Komparatif dan Kompetitif Wilayah; Analisis Strategi
1. Pembentukan karena alasan politik dibandingkan alasan teknis, hak inisiatif DPR; tidak memiliki indikator pemekaran wilayah. 2. Pertumbuhan ekonomi wilayah belum nyata meningkat, namun dari tahun ke tahun kecenderungan peningkatan ekonomi wil. 3. Kapasitas fiskal setelah pemekaran tumbuh, namun perkembangannya cenderung menurun. 4. Proporsi PAD terhadap total penerimaan belum menunjukkan peningkatan, ketergantungan pemda
54
Pariwisata Bahari (Studi Kasus di Kabupaten Raja Ampat Propinsi Papua Barat). Tesis Pascasarjana IPB. Bogor.
Pengembangan Pariwisata Bahari; Analisis Koresponden
4.
Rosda Malia (2009). Analisis Dampak Pemekaran Wilayah Terhadap Pembangunan Ekonomi Daerah (Studi Kasus di Kota Cimahi Propinsi Jawa Barat). Tesis Pascasarjana IPB. Bogor.
Analisis Deskriptif; Analisis Indeks Diversity Entropy (IDE); Analisis Partisipatif; Uji Friedman; Analisis Keuangan; Analisis Kelayakan Pemekaran
5.
Nurlaela (2010). Dampak Pemekaran Wilayah Terhadap Pembangunan Manusia (Human Capital) di Propinsi Sulawesi Barat. Tesis Pascasarjana IPB. Bogor. Ami Agusniar (2006). Analisis Dampak Pemekaran Wilayah Terhadap Perekonomian Wilayah dan Kesejahteraan Masyarakat (Studi Kasus di Kabupaten Aceh Singkil Propinsi Nangroe Aceh Darussalam ). Tesis Pascasarjana
6.
Analisis Deskriptif; Analisis Indeks Diversity Entropy (IDE); AHP; Analisis Kuantifikasi Hayasi II
terhadap Daper. 5. Sektor pertanian (subsektor perikanan) dan sektor pertambangan (subsector minyak dan gas bumi) menjadi unggulan, sektor lainnya prioritas kedua. 6. Kontribusi sektor pariwisata terhadap perekonomian wilayah masih minim, karena minim sarana prasarana pendukung. 7. Persepsi masyarakat, secara umum menilai pembangunan meningkat setelah adanya pemekaran. 1. Awal pemekaran Pertumbuhan Ekonomi (PE) menurun, meningkat tahun berikutnya. Laju PE masih dibawah daerah induk. Analisis IDE PDRB struktur ekonomi berkembang tapi masih di bawah kabupaten induk. Analisis Partisipatif, pemekaran berdampak positif. 2. Kapasitas fiskal (KF) meningkat karena meningkatnya penerimaan DAU. Nilai IDE pendapatan daerah 0.55-0.60 artinya KF daerah belum berkembang, demikian juga daerah induk. 3. Pemberian otonomi belum meningkatkan kemampuan daerah dalam menghasilkan penerimaan. Ketergantungan yang besar terhadap dana perimbangan. 4. Hasil skoring kelayakan pemekaran, Kota Cimahi tidak layak dimekarkan karena tidak memenuhi nilai minimal faktor kependudukan. 1. Pembangunan pendidikan dan kesehatan semakin meningkat dari tahun ketahun. 2. Perhitungan IPM sejak pemekaran meningkat tahun 2008 senilai 68,55 kategorikan standar PBB menengah keatas. 3. Laju IPM Sulawesi Barat cenderung menurun setelah dimekarkan, namun lebih tinggi dibanding induknya Provinsi Sulawesi Selatan tahun 2005 dan 2006. 4. Keuangan daerah meningkat sejak pemekaran, peningkatan bukan dari PAD melainkan tingginya penerimaan DAU dengan kontribusi 70%. 5. Nilai IDE yang berkisar 0,16-0,37 artinya kapasitas fiskal daerah belum berkembang. 1. Pertumbuhan ekonomi meningkat dibandingkan sebelum pemekaran. 2. Nilai IDE rendah dibawah masih dengan kabupaten induk. 3. Kapasitas fiskal meningkat setelah pemekaran namun ketergantungan yang tinggi terhadap DAU dan DAK. 4. Persepsi stakeholder, dampak pemekaran belum merata. Pemekaran menguntungkan pemerintah/ pengusaha. 5. Tingkat kesejahteraan setelah pemekaran menurut persepsi masyarakat untuk bidang ekonomi, partisipasi masyarakat, layanan pemerintah dan penyediaan fasilitas umum semakin baik/ada peningkatan.
55
IPB. Bogor. 7.
Kadir Lumbesi (2005). Analisis Dampak Pemekaran Wilayah Terhadap Perkembangan Perekonomian Wilayah dan Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat di Kabupaten Buru. Tesis Pascasarjana IPB. Bogor.
Analisis Location Quotient (LQ), Location Indeks (LI), Specialization Indeks (SI); SSA; Analisis Statistika Deskriptif; Analisis Kebijakan dan Proses Pemekaran; AHP; Analisis Koresponden; Analisis Economies of Scale and Economies of Scope
1. Hasil LQ setelah pemekaran memberikan dinamika pertumbuhan ekonomi. Hasil LI, tidak ada pemusatan disuatu daerah yang dikembangkan. Hasil SI, bahwa tidak ada perubahan aktifitas tenaga kerja disetiap wilayah (kecamatan), berarti pembangunan tetap seperti sebelumnya, tidak ada suatu wil yang mempunyai keunggulan yang dikembangkan. 2. Hasil SSA, tahun 1999-2002 total laju pertumbuhan 0.073. Terjadi pergeseran kegiatan pada sektor yang banyak menyerap tenaga kerja seperti pertanian, industri pengolahan dll. Berarti pemekaran berdampak positif di Kab. Buru. 3. Hasil AHP, masyarakat menginginkan pemekaran, namun manfaatnya hanya dirasakan oleh pemerintah, pengusaha besar/kecil/ menengah, masyarakat adat dan transmigrasi. 4. Hasil Analisis Economies of Scale and Economies of Scope, pelayanan dan peranan pemerintah dlm pembangunan infrastruktur sudah memenuhi Economies of Scale sekalipun pelayanan masih terbatas pada pelayanan adm pemerintahan. SDM belum memenuhi Economies of Scale.
Dari beberapa penelitian yang telah dilakukan sebagaimana disebutkan diatas, hal yang membedakan dengan penelitian ini adalah: 1. Dari sisi pendekatan: penelitian ini mencoba menganalisis dengan pendekatan pusat pertumbuhan (growth center) dan kutub pertumbuhan (growth pole) terhadap 2 kota hasil pemekaran (Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya). 2. Dari sisi metode penelitian: penelitian ini mencoba menganalisis interaksi ekonomi dan daya tarik wilayah Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya terhadap wilayah sekitarnya, dengan menggunakan Analisis Model Gravitasi. 3. Mengevaluasi Peraturan Pemerintah Nomor 78 tahun 2007 khususnya 11 (sebelas) faktor-faktor yang dipergunakan untuk menilai usulan pemekaran dengan persepsi masyarakat di Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya.
56
3 METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada dua kota hasil pemekaran tahun 2001 yaitu Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya yang memiliki karakteristik sebagai pusat pertumbuhan. Pemilihan kedua lokasi penelitian untuk membandingkan 2 (dua) kota hasil pemekaran potensial berkembang menjadi pusat pertumbuhan ekonomi, dimana Kota Baubau berada di Kawasan Timur Indonesia serta merupakan kota pesisir/kepulauan dan Kota Tasikmalaya berada di Kawasan Barat Indonesia serta merupakan kota daratan. Penelitian direncanakan pada bulan Juli 2014 sampai dengan Desember 2014.
Lokasi Penelitian Sumber : BPS Propinsi Sulawesi Tenggara dan Propinsi Jawa Barat (2012)
Gambar 9 Peta lokasi penelitian di Kota Tasikmalaya dan Kota Baubau Jenis dan Sumber Data Dalam penelitian ini data yang digunakan terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dan dikumpulkan langsung dari responden dan informan kunci di lapangan melalui wawancara dan menggunakan pertanyaan/ kuisioner yang terstruktur sesuai dengan tujuan penelitian. Data primer yang dikumpulkan adalah; data karakteristik responden (umur, perkerjaan dan pendidikan formal). Data persepsi stakeholder mengenai manfaat pemekaran daerah dan data persepsi masyarakat mengenai dampak pemekaran terhadap perekonomian daerah dan kesejahteraan masyarakat. Data sekunder adalah data diperoleh dan dikumpulkan dari berbagai literatur maupun referensi, dari berbagai laporan maupun penelitian terdahulu yang telah dilakukan. Data sekunder juga diperoleh dari instansi dan dinas-dinas yang terkait dengan penelitian ini, seperti BPS, Bappeda, Dinas Pendapatan Daerah maupun data yang dikumpulkan dan bersumber dari lembaga pemerintah seperti; data PDRB, APBD, RPJMD, RTRW, gambaran umum daerah penelitian yang meliputi aspek fisik, sosial, ekonomi, budaya dan data sekunder lainnya.
57
Populasi dan Sampel Populasi dalam penelitian ini adalah kabupaten/kota hasil pemekaran yang ada di Provinsi Sulawesi Tenggara sebanyak 8 (delapan) kabupaten dan 1 (satu) kota dan kabupaten/kota hasil hasil pemekaran yang berada di Propinsi Jawa Barat sebanyak 4 (empat) kota dan 2 (dua) kabupaten serta kabupaten induk sebagai kabupaten kontrol. Sampel penelitian adalah Kota Baubau terdiri dari 8 kecamatan dan Kota Tasikmalaya terdiri dari 10 kecamatan. Pemilihan sampel Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya karena 2 kota tersebut merupakan salah satu kota yang pertama kali dimekarkan sejak Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 diberlakukan, dimana Kota Baubau berada di Kawasan Timur Indonesia serta merupakan kota pesisir/kepulauan dan Kota Tasikmalaya berada di Kawasan Barat Indonesia serta merupakan kota daratan yang memiliki karakteristik sebagai pusat pertumbuhan serta berada pada satu kawasan dikelilingi oleh beberapa kabupaten/kota disekitarnya. Untuk mencapai tujuan penelitian maka responden diambil/dipilih secara disengaja (purposive sampling) dari kalangan legislatif, eksekutif (birokrasi) dan masyarakat yang dianggap mengetahui tentang permasalahan penelitian (Juanda 2009). Pemilihan dengan disengaja (purposive sampling) dalam penelitian untuk meminimalisir terjadinya bias dalam pengambilan data primer, sehingga diharapkan dengan responden yang mempunyai wawasan terhadap masalah yang diteliti dapat diperoleh jawaban sesuai dengan permasalahan dimaksud. Jumlah responden dalam penelitian ini masing – masing diambil dari: Legislatif (DPRD) sebanyak 5 orang; Eksekutif (birokrasi) masing – masing sebagai key person Walikota, Wakil Walikota dan Sekretaris Kota, sedang dari Dinas/Badan/Kantor dipilih 8 Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) sesuai dengan tujuan penelitian masing – masing setiap SKPD dipilih 3 orang responden (eselon II, III, dan IV/Staff); masyarakat diambil dari kecamatan sampel masing-masing 3 orang responden. Pemilihan kecamatan diambil masing-masing kecamatan yang berada di pusat kota, pinggiran dan luar kota. Dari setiap kecamatan sampel kemudian diambil 3 orang responden masing-masing dari 3 kelurahan yang berbeda, yaitu kelurahan yang berada di pusat kecamatan, kelurahan berada pada wilayah tengah dan luar/pinggiran kecamatan; sedang pengusaha/investor dan akademisi masingmasing diambil 2 orang responden, seperti terlihat pada Tabel 7. Tabel 7 Jumlah Responden Penelitian No.
Lembaga/Intansi
1.
DPRD (Legislatif)
2.
Birokrasi (Eksekutif) Dinas/Badan/Kantor (10)
3.
Kecamatan
4. 5.
Pengusaha/investor Akademisi
Jumlah Responden Kota Bau-Bau Kota Tasikmalaya 5 orang 5 orang 3 orang x 8 =27 responden
3 orang x 8 = 27 responden
3 orang x 5 kecamatan =15 responden
3 orang x 6 kecamatan = 18 responden
2 orang 2 orang
2 orang 2 orang
Keterangan Ketua 1 orang; Wakil ketua 2 orang dan anggota 2 orang. Walikota, Wakil Walikota dan Sekretaris Daerah. Eselon II = 1 orang Eselon III = 1 orang Eselon IV/staf = 1 orang. Terdiri tokoh-tokoh masyarakat yang berpengaruh dan mengetahui seputar permasalahan pemekaran wilayah. Pengusaha lokal Mewakili universitas
58
Jumlah responden penelitian tersebut diatas untuk mengetahui persepsi masyarakat (stakeholder) manfaat pemekaran wilayah dan analisis hirarki proses (AHP). Metode Analisis Data Analisis data dalam penelitian ini dilakukan untuk menjawab tujuan penelitian sebagaimana dikemukakan pada Bab I. Untuk itu dilakukan dalam beberapa tahapan sebagai berikut: Tabel 8 Tujuan penelitian, Uraian data yang dibutuhkan, Jenis data, Teknik Pengumpulan Data, Alat/Metode Analisis dan Output yang di harapkan No
Tujuan Penelitian
1.
Menganalisis perkembangan struktur perekonomian wilayah dan sektor unggulan yang menjadi daya saing wilayah Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya dibandingkan dengan daerah sekitarnya (hinterland).
Uraian Data yang dibutuhkan Data – data sosial (pemerintah an, fasilitas umum). Data – data Ekonomi (PDRB kab/kota/pro pinsi, PDRB perkapita kab/kota/pro pinsi, PDRB persektor.
Jenis Data yang diperoleh Primer. Sekunder.
Teknik Pengumpul an Data Kuesioner. Studi/Penga matan lapangan. Studi literatur.
Alat/ Metode Analisis Analisis Shift Share (SSA)
Menganalisis perkembangan wilayah dan pengaruh/ interaksi ekonomi dan daya tarik wilayah Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya dengan daerah sekitarnya (hinterland).
Data – data Ekonomi (PDRB kab/kota/pro pinsi, PDRB perkapita kab/kota/pro pinsi, PDRB persektor.
Mengetahui keunggulan kompetitif sektorsektor dua kota. Mengetahui/memba ndingkan sektorsektor dgn daerah yang diatasnya. Mengetahui cepat/ lambat perkembangan/ pergeseran sektor.
Analisis Location Quotient (LQ)
Indeks Diversity Entropi
2.
Output yang diharapkan
Sekunder.
Kuesioner. Studi/Penga matan lapangan. Studi literatur.
Tipologi Klassen
Analisis Skalogram
Mengetahui sektor basis dan non basis sebagai sektorsektor potensial pendorong pertumbuhan dua kota. Mengetahui tingkat perkembangan struktur perekonomian wilayah (Wilayah berkembang=nilai IDE besar; wilayah kurang berkembang = nilai IDE kecil. Memetakan/mengkl asifikasikan dua kota pemekaran dgn kabupaten lain di propinsi. Mengetahui ketersediaan fasilitas perkotaan yang dimiliki sebagai keuntungan konsentrasi perkotaan yang dapat menjadi daya tarik.
59
Mengetahui kemampuan kota dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat berdasarkan kualitas dan kuantitas fasilitas sosial, ekonomi dan pemerintahan yang tersedia. Model Gravitasi
Mengetahui interaksi ekonomi dan daya tarik wilayah dua kota terhadap daerah sekitarnya (hinterland) Mengetahui daerah hinterland dua kota.
3.
4.
Mengevaluasi penerapan PP No. 78 tahun 2007 khususnya faktor-faktor yang dipergunakan untuk menilai usulan pemekaran wilayah di Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya Menganalisis persepsi stakeholder dan merumuskan kebijakan yang ditempuh pemerintah pasca pemekaran agar bermanfaat bagi daerah.
Data Persepsi stakeholder.
Data Persepsi stakeholder.
Primer. Sekunder.
Primer. Sekunder.
Kuesioner. Studi/Penga matan lapangan. FGD. Studi literatur.
Deskriptif/ Distribusi frekwensi
Kuesioner. Studi/Penga matan lapangan. FGD. Studi literatur.
Analisis Hirarki Proses (AHP)
AHP
Mengetahui persepsi masyarakat manfaat pemekaran. Mengevaluasi/men gkritisi sebelas faktor-faktor dalam pembentukan daerah otonom baru (DOB)/pemekaran wilayah.
Mengetahui persepsi stakeholder dan merumuskan kebijakan yang ditempuh pemerintah pasca pemekaran agar bermanfaat bagi daerah.
Analisis data dalam penelitian ini dilakukan secara kualitatif maupun kuantitatif. Variabel yang menjadi subyek dalam penelitian ini meliputi: Tabel 9 Aspek, Variabel, Indikator dan Sumber Data No 1.
Ruang Lingkup Data Ekonomi
Variabel Perekonomian Wilayah
Pendapatan Perkapita
Indikator Pertumbuhan Ekonomi, PDRB Kabupaten/kota/ propinsi (ADHK/ADHB), Sumber dan Pendapatan daerah, investasi daerah. Pendapatan Perkapita kab/kota/propinsi. PDRB perkapita.
Sumber Data BPS, Bappeda, instansi terkait dengan penelitian.
BPS, Bappeda, instansi terkait dengan penelitian.
60
2.
Sosial
Pertanian dalam arti luas (Tanaman Pangan, Kelautan dan Perikanan, Peternakan, Perkebunan, Kehutanan).
PDRB persektor kab/kota/propinsi.
BPS, Bappeda, Dinas/instansi terkait.
Kesehatan
Angka Kematian, Angka Kelahiran, Angka Harapan Hidup, Angka Kematian Bayi, Balita Gizi Buruk, Jumlah fasilitas kesehatan. Angka Partisipasi Sekolah, Angka Melek Huruf, Jumlah Fasilitas Pendidikan (Dasar, Menengah, Tinggi) IPM, Lama Sekolah, Tingkat Harapan Hidup. Jumlah Penduduk, Kepadatan Penduduk, Pertumbuhan Penduduk, Usia Penduduk, Penyebaran Penduduk.
BPS, Bappeda, Dinas Kesehatan, BKKB
Pendidikan
Kependudukan
3.
Fisik
Ketenagakerjaan
Jumlah Angkatan Kerja, Jumlah Pengangguran, Jumlah dan Tenaga Kerja Persektor, Usia Produktif.
Infrastruktur
Panjang Jalan dan Jembatan (propinsi, kab/kota); Panjang dan Jumlah Jembatan, Kondisi Jalan (propinsi, kab/kota); Peta Administrasi Pemerintahan (propinsi, kab/kota); RTRW (propinsi, kab/kota);
Peta - Peta
Kondisi Fisik Wilayah
4.
Pemerintahan
Peraturan - peraturan
Letak, luas wilayah, topografi, kesesuaian lahan, dan tata guna tanah Peraturan perundangundangan, Perda, Peraturan dan Keputusan Bupati, RPJP Nasional, propinsi, kab/ kota; RPJM nasional, propinsi, kab/ kota.
BPS, Bappeda, Dinas Kesehatan, Dinas Pendidikan, instansi terkait dgn penelitian. BPS, Bappeda, Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil, Instansi terkait dengan penelitian. BPS, Bappeda, Dinas Tenaga Kerja, Instansi terkait dengan penelitian. Dinas PU, Bappeda, BPS, Instansi terkait dengan penelitian. Dinas Tata Ruang, Dinas PU, Bappeda, Instansi terkait dengan penelitian. BPS, Bappeda, Instansi terkait dengan penelitian BPS, Bappeda, Instansi terkait dengan penelitian
Sebagaimana digambarkan dalam tabel 8 untuk menjawab tujuan penelitian, maka alat/metode analisis data yang dipergunakan dalam penelitian ini dapat dijelaskan sebagai berikut: Analisis Deskriptif Analisis deskriptif digunakan untuk memberikan gambaran dan mengetahui persepsi masyarakat akan manfaat pemekaran wilayah terhadap kesejahteraan masyarakat, pembangunan ekonomi dan perkembangan kota. Analisis deskriptif data yang diolah diperoleh dari hasil jawaban reponden dalam bentuk pertanyaan terbuka kemudian ditabulasi dengan menggunakan distribusi frekwensi dan hasil jawaban reponden dari analisis hirarki proses.
61
Analisis Skalogram Menurut Blakely (1994) alat Analisis Skalogram membahas mengenai fasilitas perkotaan yang dimiliki suatu daerah sebagai indikator difungsikannya daerah tersebut sebagai salah satu pusat pertumbuhan. Analisis skalogram bertujuan untuk mengidentifikasikan peran suatu kota berdasarkan pada kemampuan kota/daerah tersebut memberikan pelayanan kepada masyarakat. Model Skalogram memiliki enam varian (skalogram tipe I, II, III, IV, V dan VI) yang berkembang mulai dari yang paling sederhana hingga model yang paling kompleks (Pribadi et, al. tanpa tahun). Secara umum model skalogram adalah sebagai berikut: Tabel 10 Model Skalogram Fasilitas-1
Fasilitas-2
…….
Fasilitas-j
Hirarki
.……..
1
1
.……..
1
1
………
.……..
1
1
.……..
1
2
…
………
.……..
1
1
.……..
1
…
…
.……..
.……..
1
1
.……..
1
…
n
……...
.……..
1
1
.……..
1
n
Wilayah
Jumlah Penduduk
1
.……..
2
Luas wilayah
Sumber: Pribadi et, al.(tanpa tahun); Riyadi dan Bratakusumah (2004)
Dengan menggunakan tabel model skalogram maka dapat teridentifikasi dan diketahui jumlah fasilitas-fasilitas infrastruktur yang ada dan tersedia dalam suatu berupa sarana prasarana ekonomi pendidikan, kesehatan dan sosial. Selanjutnya dilakukan transformasi data kedalam bentuk biner (0 dan 1). Fasilitas diberi bobot, sebagai faktor pembobot untuk setiap jenis fasilitas adalah ratio jumlah total unit wilayah terhadap jumlah unit wilayah yang memiliki fasilitas tersebut (persamaan 1). ………………………………………………………………………. (1) dimana : n : jumlah total wilayah (kab/kota). nj : jumlah wilayah yang memiliki fasilitas ke-j Dengan mengalikan nilai bobot matriks dasar maka akan diperoleh nilai terbobot dari jumlah fasilitas tertentu yang terdapat di wilayah tertentu (persamaan 2). ……………………………………………………………………. (2) dimana : n nj xij
: jumlah total wilayah (kab/kota). : jumlah wilayah yang memiliki fasilitas ke-j : Jumlah unit fasilitas ke-j di wilayah ke-i Dalam pemetaan hirarki wilayah dengan teknik analisis skalogram, variabel infrastruktur menjadi variabel utama yang menjadi awal dari berkembangnya teori
62
lokasi pusat. Tetapi dalam perkembangannya muncul modifikasi-modifikasi sehingga variabel - variabel non infrastruktur dapat juga digunakan untuk memetakan hirarki wilayah (Pribadi et, al. tanpa tahun). Semakin lengkap pelayanan yang diberikan, menunjukkan bahwa kota/daerah tersebut mempunyai tingkatan yang tinggi dan dapat dikatakan sebagai pusat pertumbuhan (Sagala, 2009). Tujuan digunakan analisis ini agar dapat mengidentifikasikan kabupaten/kota mana saja yang dapat menjadi pusat pertumbuhan, jika dilihat dari fasilitas-fasilitas perkotaan (sosial, ekonomi dan pemerintahan). Analisis Model Gravitasi Interaksi spasial adalah suatu istilah umum mengenai pergerakan spasial aktivitas manusia (Hayness dan Fotheringham 1984 dalam Rustiadi et al, 2009), dan model gravitasi adalah model interaksi spasial yang paling umum digunakan. Model Gravitasi adalah suatu model yang umum dipakai didalam menjelaskan fenomena interaksi antar wilayah (Rustiadi et al, 2009). Menurut Richardson (1977) model gravitasi (gravity model) adalah suatu alat operasional yang sangat bermanfaat untuk memperkirakan nodalitas, dan dapat digunakan untuk mengidentifikasi pusat-pusat yang dominan dalam daerah perkotaan yang sangat kompleks. Model ini dapat membantu perencana wilayah untuk memperkirakan daya tarik suatu lokasi dibandingkan dengan lokasi lain di sekitarnya. Hal ini bermanfaat untuk simulasi apakah suatu fasilitas yang dibangun pada suatu lokasi akan menarik cukup pelanggan atau tidak (Tarigan 2006). Konsep dasar dari alat analisis ini adalah membahas mengenai ukuran dan jarak antara dua tempat, yaitu pusat pertumbuhan dengan daerah sekitarnya, sampai seberapa jauh sebuah daerah yang menjadi pusat pertumbuhan mempengaruhi dan berinteraksi dengan daerah sekitarnya (Daldjoeni 2006 dalam Ardila 2012). Semakin dekat jarak antara dua lokasi semakin besar pula gaya tarik yang terjadi antara keduanya, atau sebaliknya semakin besar jarak antara dua lokasi semakin kecil gaya tarik yang terjadi antara keduanya (Setiono 2011). Analisis model gravitasi bertujuan untuk mengetahui hubungan kedekatan antara dua daerah, dalam hal ini daerah dianggap massa yang mempunyai daya gravitasi yang saling tarik-menarik, hubungan ini diidentifikasikan sebagai interaksi ekonomi antara pusat pertumbuhan dengan daerah sekitarnya, hubungan antara kedua daerah tersebut dicerminkan dalam nilai indeks gravitasi yang diperoleh. Sang-arun (2012) dengan unit analisis propinsi pada model gravitasi melihat interaksi/pengaruh propinsi sebagai pusat pertumbuhan dengan kota satelit (hinterland). Dalam penelitian ini model gravitasi untuk melihat interaksi spasial antara Kota Bau-Bau dan Kota Tasikmalaya sebagai daerah nodal dengan kabupaten yang ada disekitarnya (hinterland) dapat dirumuskan sebagai berikut (Isard 1960 dan Sang arun 2012): I12 = k dimana: I12 =
(W1 P1) (W2 P2)
d12b
interaksi spasial antara wilayah 1 (wilayah pusat= Kota Bau-Bau dan Kota Tasikmalaya) dan wilayah 2 (hinterland=Kabupaten Buton, Buton Utara, Wakatobi, Bombana, Muna, Kabupaten Tasikmalaya, Ciamis, Garut, Kota Banjar, dan Kabupaten Pangandaran).
63
W1 W2 P1
= = =
P2
=
d12 k b
= = =
PDRB perkapita wilayah 1 PDRB perkapita wilayah 2 Jumlah penduduk wilayah 1 (wilayah tujuan/pusat=Kota Bau-Bau dan Tasikmalaya)). Jumlah penduduk wilayah 2 (wilayah asal/hinterland=Kabupaten Buton, Buton Utara, Wakatobi, Bombana, Muna, Kab. Tasikmalaya, Ciamis, Garut, Kota Banjar, dan Kabupaten Pangandaran) jarak antar wilayah 1 (tujuan/pusat) dan wilayah 2 (asal/hinterland) Konstanta. Konstanta nilai 2 Analisis Tipologi Klassen
Alat analisis Tipologi Klassen digunakan untuk mengetahui gambaran tentang pola dan struktur pertumbuhan ekonomi masing-masing daerah. Tipologi Klassen pada dasarnya membagi daerah berdasarkan dua indikator utama, yaitu pertumbuhan ekonomi daerah dan pendapatan per kapita daerah (Kuncoro 2002). Menurut Yulistiani et al. (2007) bahwa penggunaan Tipologi Klasen untuk melihat pertumbuhan pembangunan ekonomi suatu daerah serta dapat digunakan untuk memetakan atau menggolongkan daerah-daerah yang mengalami pertumbuhan ekonomi dan pendapatan perkapita yang diukur dengan membandingkan nilai rata-rata propinsi. Tipologi Klassen dipergunakan untuk mengetahui gambaran tentang pola dan struktur pertumbuhan ekonomi daerah serta untuk mengklasifikasikan daerah yang masing-masing mempunyai pertumbuhan ekonomi yang berbeda kedalam 4 (empat) klasifikasi (Safrizal 1997; Kuncoro 2013) yaitu: 1. Daerah maju dan cepat tumbuh (rapid growth region) atau (high growth, high income); 2. Daerah berkembang cepat (growing region) atau (high growth but low income); 3. Daerah maju tapi tertekan (retarded region) atau (high income but low growth); 4. Daerah relatif tertinggal (relatively backward region) atau (low growth and low income). Tabel 11 Matrik Klasifikasi Kabupaten/Kota Berdasarkan Tipologi Klassen PDRB ADHK (y) yi < y
yi > y
Daerah berkembang cepat(growing region) Daerah relatif Tertinggal (relatively backward region)
Daerah maju dan cepat tumbuh (rapid growth region) Daerah maju tapi tertekan (retarded region)
Laju Pertumbuhan (r) ri > r ri < r
Sumber: Safrizal (1997), Kuncoro (2013)
dimana: ri = r = yi y
= =
Rata-rata laju pertumbuhan ekonomi kab/kota i Rata-rata laju pertumbuhan ekonomi kab/kota se Propinsi Sulawesi Tenggara dan Propinsi Jawa Barat Rata-rata PDRB ADHK kab/kota i Rata-rata PDRB ADHK kab/kota se Propinsi Sulawesi Tenggara dan Propinsi Jawa Barat
64
Dalam penelitian ini akan dilakukan analisis Tipologi Klasen pada kabupaten/kota yang ada di Propinsi Sulawesi Tenggara dan kabupaten/kota yang ada di Propinsi Jawa Barat untuk mengetahui posisi Kota Bau-Bau dan Kota Tasikmalaya berdasarkan klasifikasi tipologi klassen. Analisis Indeks Diversitas Entropi Dalam suatu wilayah perkembangan ekonominya dapat berkembang maju atau sebaliknya. Untuk mengukur maju/berkembangnya atau tidak maju/tidak berkembangnya perekonomian wilayah dapat dilihat dari Indeks Diversitas Entropinya. Prinsip pengertian indeks entropi adalah semakin beragam aktifitas atau semakin luas jangkauan spasial, maka semakin tinggi entropy wilayah, artinya wilayah tersebut semakin berkembang. Jika hasilnya semakin mendekati 1, maka wilayah tersebut semakin berkembang, sedangkan jika hasilnya semakin mendekati 0, maka wilayah tersebut semakin tidak berkembang. Nilai Indeks Diversitas Entropi ditujukan untuk menghitung tingkat keberagaman dan keberimbangan aktivitas/sektor ekonomi disuatu wilayah. Semakin berimbang komposisi berbagai aktivitas/sektor ekonomi tersebut nilai IDE juga semakin besar ini berarti suatu wilayah dapat dianggap semakin maju/ berkembang (Pribadi et al. tanpa tahun). Persamaan umum yang sering dipakai dalam perhitungan Indeks Diversitas Entropi adalah: n
S=
n
∑ ∑ P lnP i
i
i=1 j=i dimana: S Pi i j n
= nilai entropy = nilai rasio antara aktivitas/sektor ekonomi ke-i dibagi jumlah total aktivitas/sektor ekonomi = kategori aktivitas/sektor ekonomi ke-i = kategori wilayah ke-j (kota) = total aktivitas/sektor ekonomi
Persamaan diatas digunakan untuk melakukan perbandingan tingkat perkembangan perekonomian antar wilayah. Mengingat adanya keterkaitan antara nilai indeks entropy dengan luasan wilayah dan kapasitas sumberdaya yang dimilikinya, maka akan lebih baik apabila pembandingan dilakukan di tingkat makro, karena pada skala makro luasan wilayah dan sumberdaya yang dimiliki akan mencukupi, sehingga nilai entropy benar-benar menggambarkan kinerja pembangunan ekonomi yang lebih maju. Skala wilayah makro ini bisa berada ditingkat wilayah propinsi atau minimal wilayah kabupaten (Pribadi et al. tanpa tahun).
65
Analisis Shift Share (SSA) Analisis Shift-Share pertama menganalisis perubahan berbagi indikator kegiatan ekonomi, seperti produksi dan kesempatan kerja pada dua titik waktu di suatu wilayah. Dari hasil analisis akan diketahui bagaimana perkembangan suatu sektor disuatu wilayah apakah bertumbuh cepat atau lambat. Hasil analisis ini juga dapat menunjukkan bagaimana perkembangan suatu wilayah dibandingkan dengan wilayah lainnya, apakah bertumbuh cepat atau lambat. Wilayah yang dimaksud bisa berupa wilayah propinsi dalam wilayah cakupan agregat nasional, atau wilayah kabupaten/kota dalam cakupan wilayah agregat propinsi dan seterusnya (Pribadi et al. tanpa tahun). Dalam analisis shift-share dipengaruhi 3 komponen yaitu: komponen pertumbuhan nasional (national growth component), komponen pertumbuhan proporsional (proportional or industrial mix growth component) komponen pertumbuhan pangsa wilayah (regional share growth component). Cepat lambatnya pertumbuhan suatu wilayah dibandingkan dengan wilayah lainnya ditentukan oleh keunggulan komparatif, akses ke pasar, dukungan kelembagaan, prasarana sosial dan ekonomi serta kebijakan ekonomi regional pada wilayah tersebut (Budiharsono 2001; Daryanto dan Hafizrianda 2010). Analisis shift-share mampu menjelaskan kinerja suatu sektor di kabupaten dan membandingkan dengan kinerja sektor pada tingkat nasional/propinsi berdasarkan agregatnya. Analisis shift-share dapat memberikan gambaran sebabsebab terjadinya pertumbuhan suatu sektor di suatu wilayah. Sebab-sebab dimaksud dapat dibagi dalam 3 bagian yaitu: yang berasal dari dinamika lokal (kabupaten), dinamika sektor total wilayah (propinsi) dan dinamika wilayah secara umum (nasional). Hasil analisis shift-share akan menunjukkan gambaran 3 komponen yang menjelaskan kinerja suatu wilayah, yaitu: 1. Komponen laju pertumbuhan total (share) menyatakan bahwa pertumbuhan total wilayah pada dua titik waktu yang menunjukkan dinamika total wilayah. 2. Komponen Pergeseran Proporsional (proportional shift) yang menyatakan pertumbuhan total sektor tertentu secara relatif dibandingkan dengan pertumbuhan secara umum dalam total wilayah yang menunjukkan dinamika sektor total dalam wilayah. 3. Komponen Pergeseran Deferensial (differential shift), ukuran yang menjelaskan tingkat daya saing suatu sektor tertentu dibandingkan dengan total sektor dalam wilayah. Komponen ini menggambarkan dinamika suatu sektor tertentu disuatu wilayah terhadap sektor di wilayah lain. Persamaan Analisis Shift-Share (Rustiadi, et al. 2009) adalah:
SSA =
X..(t1) X..(t0)
1
+
Xi (t1)
X..(t1)
Xi (t0)
X..(t0)
a b dimana: a = komponen share b = komponen proportional shift c = komponen differential shift
+
Xij (t1)
Xi (t1)
Xij (t0)
Xi (t0) c
66
X.. Xi Xij t1 to
= = = = =
nilai total aktivitas/sektor i dalam total wilayah (propinsi) nilai aktivitas/sektor i dalam total wilayah (propinsi) nilai aktivitas/sektor i pada wilayah ke j (kota) tahun akhir analisis (2007, 2013) tahun awal/dasar analisis (2003, 2009) Analisis Location Quotient (LQ)
Metode/Analisis location quotient (LQ) merupakan salah satu metode pengukuran tidak langsung. Metode ini digunakan untuk mengetahui apakah suatu sektor dalam suatu wilayah merupakan sektor basis atau non basis, (Budiharsono, 2001). Menurut Riyadi dan Bratakusumah (2004) location quotient analysis (LQA) dimaksudkan untuk mengetahui gambaran umum mengenai kemampuan sektor-sektor pembangunan disuatu wilayah dalam mendukung proses pembangunan didaerah, atau merupakan metode yang membandingkan kemampuan sektor-sektor pembangunan dalam suatu daerah/wilayah dengan kondisi sektor-sektor pembangunan yang ada didaerah yang lebih luas/besar. Rumus untuk Metode Location Quotient (LQ) adalah:
LQij dimana: LQij Xij Xi. X.j X..
= : : : : :
Xij / Xi. X.j / X..
Nilai LQ untuk sektor ke-j di daerah ke-i (kota) Nilai sektor ke-j di wilayah ke-i (kota) Nilai total sektor wilayah ke-i (kota) Nilai sektor ke-j di wilayah ke-i (propinsi) Nilai total sektor wilayah ke-i (propinsi)
Hasil yang diperoleh dari Metode/Analisis Location Quotient (LQ) menurut Bendavid-Val dalam Kuncoro (2002) adalah: LQ > 1 : menunjukkan bahwa sektor tersebut merupakan sektor unggulan karena mampu meningkatkan dan mengembangkan daerah/ wilayah karena hasil produksinya atau merupakan sektor basis. LQ = 1 : menunjukkan bahwa sektor tersebut bukan merupakan sektor basis tetapi memiliki potensi menjadi sektor basis/ekspor disisi lain sektor ini hanya mampu memenuhi kebutuhan lokal daerah. LQ < 1 : menunjukkan bahwa sektor tersebut bukan sektor unggulan/basis, karena sektor ini tidak bisa memenuhi kebutuhan lokal maka ada kecenderungan untuk mengimpor dari luar daerah. Analytical Hierarchy Process Analytical Hierarchy Process (AHP) pada dasarnya didesain untuk menangkap persepsi orang yang berhubungan sangat erat dengan permasalahan tertentu melalui prosedur yang didesain untuk sampai kepada suatu skala preferensi diantara berbagai alternatif. Model AHP ini dianggap model multi – objectif – multi – citeria (Aziz 1994). Menurut Saaty (1986) pemilihan alat analisis didasarkan pertimbangan bahwa AHP merupakan salah satu alat atau model pengambilan keputusan dengan input utama adalah persepsi manusia. AHP merupakan salah satu metode yang memecah suatu masalah kompleks ke dalam kelompok-kelompok secara hirarki. Dengan AHP pembobotan suatu faktor atau variabel dapat dilakukan sesuai dengan persepsi manusia sehingga diharapkan
67
mampu menggambarkan kondisi yang senyatanya (Kuncoro dan Rahajeng 2005). Untuk dapat mengetahui persepsi stakeholder akan manfaat dari kebijakan pemekaran wilayah serta mengevaluasi efektifitas dari Peraturan Pemerintah Nomor 78 tahun 2007, maka tahapan langkah-langkah yang dilakukan dalam menyusun AHP meliputi (Saaty 1986; Suryadi dan Ramdhani 2000): 1. Menentukan masalah dan solusi yang diinginkan. 2. Membuat struktur hirarki yang diawali dengan tujuan umum dilanjutkan dengan sub-sub tujuan, kriteria dan kemungkinan alternatif-alternatif pada tingkatan kriteria yang paling bawah. 3. Membuat matriks perbandingan berpasangan yang menggambarkan kontribusi relatif atau pengaruh setiap elemen terhadap masing-masing tujuan atau kriteria yang setingkat di atasnya. Perbandingan dilakukan berdasarkan judgement dari pengambil keputusan dengan menilai tingkat kepentingan suatu elemen dibandingkan elemen lainnya. 4. Melakukan perbandingan berpasangan sehingga memperoleh judgement seluruhnya sebanyak n x[(n-1)]/2 buah dengan n adalah banyaknya elemen yang dibandingkan. 5. Menghitung nilai Eigen dengan menguji konsistensinya. Jika tidak konsisten maka pengambilan data diulangi. 6. Menghitung langkah 3,4,5 untuk seluruh tingkat hirarki. 7. Menghitung vector Eigen dari setiap matriks perbandingan berpasangan. Nilai vektor eigen merupakan bobot setiap elemen, Langkah ini untuk mensintesis judgement dalam penentuan prioritas elemen-elemen pada tingkat hirarki terendah sampai pencapaian tujuan. 8. Mengevaluasi dan memeriksa konsistensi hirarki. Jika nilainya lebih besar dari 10% maka penilaian data judgement harus diperbaiki. Setelah menentukan tahapan langkah-langkah maka selanjutnya dimasukkan nilai numerik perbandingan dari skala 1 sampai 9 yang ditetapkan sebagai pertimbangan dalam membandingkan untuk menilai pasangan suatu elemen dengan elemen lainnya (Tabel 12). Tabel 12 Matriks Sistem Urutan (Ranking) Skala Perbandingan Berpasangan antar Variabel Intensitas Kepentingan
Definisi variabel
1
Kedua elemen sama pentingnya
3
Elemen yang satu sedikit lebih penting dibanding dengan elemen lainnya Elemen yang satu lebih esensial atau sangat penting dari elemen lainnya Elemen yang satu lebih jelas penting dibandingkan elemen yang lainnya Satu elemen mutlak lebih penting dibanding elemen yang lainnya
5
7
9
2,4,6,8
Kebalikan dari nilai diatas
Nilai-nilai tengah diantara dua pertimbangan/penilaian yang berdekatan
Penjelasan Dua elemen memberikan pengaruh yang sama pentingnya Pengalaman dan pertimbangan sedikit memihak/menyokong elemen satu dibanding yang lainnya Pengalaman dan penilaian dengan kuat memihak/menyokong elemen satu atas elemen yang lainnya Elemen yang satu dengan kuat disukai dan dominasinya tampak nyata dalam praktek Bukti yang memihak/menyokong elemen yang satu atas yang lain berada pada tingkat persetujuan tertinggi yang mungkin menguatkan Diperlukan kompromi antara dua pertimbangan
Jika untuk nilai aktivitas i mendapat satu angka bila dibandingkan dengan aktivitas j, maka j mempunyai nilai kebalikannya bila dibandingkan dengan i.
Sumber: Saaty (1986), Kuncoro dan Rahajeng (2005)
68
Kerangka AHP untuk persepsi masyarakat : Strategi dan kebijakan Pemekaran Wilayah memberikan manfaat bagi Kota Bau-Bau dan Kota Tasikmalaya
Ultimate Goal
Faktor
Kepend udukan
Kemampua n Ekonomi
DPRD
Aktor
Tujuan
Alternative Strategi
Potensi daerah
Kemampuan Keuangan
Sosial Budaya
Bupati/wakil/Sekda/Kepala Dinas/kepala Bidang/Kepala Seksi/Staff
Mendekatkan Pelayanan Publik kepada Masyarakat
Proses pentahapan dalam pemekaran wilayah
Mengetahui persepsi stakeholder akan manfaat pemekaran bagi daerah
Pusat pertumbuhan menciptakan Pemekaran wilayah
Sosial Politik
Luas Daerah
Tokoh masyarakat
Pertah anan
Keama nan
Pengusaha/ Inverstor
Merumuskan kebijakan yang ditempuh pasca pemekaran agar bermanfaat bagi daerah
Pemekaran wilayah menciptakan pusat pertumbuhan
Tingkat Kesejahteraa n
Pendidik/ Akademisi
Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat
Pemekaran digabung/kembali ke daerah induk
Gambar 10 Kerangka AHP persepsi masyarakat terhadap manfaat kebijakan pemekaran wilayah di Kota Bau-Bau dan Kota Tasikmalaya.
Rentang Kendali
69
4 GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN Gambaran Umum Kabupaten/Kota Sultra Kepulauan Geografis dan Administrasi Wilayah Secara geografis Wilayah Sulawesi Tenggara Kepulauan selanjutnya disingkat Sultra Kepulauan berada pada bagian Selatan Provinsi Sulawesi Tenggara yang berupa wilayah kepulauan. Pulau-pulau yang masuk dalam gugusan Sultra Kepulauan meliputi Pulau Muna, Pulau Buton, Pulau Kabaena, Kepulauan Wakatobi (Wanci-Kaledupa-Tomia-Binongko) atau biasa dikenal dengan kepulauan tukang besi. Titik koordinat wilayah Sultra Kepulauan berada pada 0,50 15’ hingga 050 32’ Lintang Selatan dan 1220 46’ Bujur Timur. Posisi kabupaten/kota Sultra Kepulauan yang meliputi Kota Baubau dan wilayah sekitarnya (hinterland) yaitu Kabupaten Buton, Kabupaten Buton Utara, Kabupaten Wakatobi, Kabupaten Muna dan Kabupaten Bombana dapat dilihat pada Gambar 11.
Kab. Kolaka Utara
Kab. Konawe Utara
Kab. Konawe Kab. Kolaka
Kab. Kolaka Timur
Kota Kendari Kab. Konawe Kepulauan Kab. Konawe Selatan
Kab. Buton Utara
Kab. Bombana
Kab. Muna
Kab. Buton Kota Baubau Kab. Wakatobi
Kab/Kota Daratan Prop. Sulawesi Tenggara Kab/Kota Kepulauan Prop. Sulawesi Tenggara
Sultra Kepulauan
Sumber: BPS Kota Baubau (2013)
Gambar 11 Peta Wilayah Propinsi Sulawesi Tenggara menurut Kabupaten/Kota dan Posisi Kabupaten/Kota Sultra Kepulauan Luas wilayah kabupaten/kota Sultra Kepulauan adalah 11.475,79 Km2 atau 32% dari total wilayah Propinsi Sulawesi Tenggara terdiri dari Kota Baubau luas wilayah 221,00 Km2, Kabupaten Buton luas wilayah 2.488,71 km2, Kabupaten Buton Utara luas wilayah 1.923,03 Km2, Kabupaten Wakatobi luas wilayah 823,00 Km2, Kabupaten Muna luas wilayah 2.963,97 Km2 dan Kabupaten Bombana luas wilayah 3.056,08 Km2. Batas wilayah Sultra Kepulauan adalah sebelah utara, berbatasan dengan Selat Tiworo, Kabupaten Konawe Selatan, Kabupaten Konawe Kepulauan dan Laut Banda; Sebelah timur berbatasan dengan Laut Banda; Sebelah selatan berbatasan dengan Laut Flores; dan sebelah barat berbatasan dengan Teluk Bone dan Laut Flores. Secara administratif Kota Baubau merupakan pemekaran dari Kabupaten Buton, dimana pada zaman Indonesia sebelum merdeka Kabupaten Buton adalah
70
wilayah kekuasaan Kerajaan/Kesultanan Buton. Dalam perkembangannya yaitu sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah, Kabupaten Buton kemudian banyak memekarkan kabupaten antara lain Kabupaten Bombana, Kabupaten Wakatobi, Kabupaten Buton Utara dan yang terakhir tahun 2014 memekarkan Kabupaten Buton Tengah dan Kabupaten Buton Selatan. Oleh karena kondisi tersebut secara geografis maupun sosial budaya kabupaten/kota yang berada di wilayah Sultra Kepulauan mempunyai kedekatan dan keeratan hubungan, sehingga berkembang dan menguatnya isu pembentukan Propinsi Buton Raya. Posisi lima kabupaten/kota yang saling berdekatan memiliki hubungan kultural, hubungan emosional maupun kedekatan dan keterkaitan ekonomi namun dengan karakteristik wilayah yang beragam kelima kabupaten dapat saling mendukung dalam upaya pengembangan potensi ekonominya yaitu Kabupaten Buton, Kota Baubau, Kabupaten Buton Utara, Kabupaten Bombana, Kabupaten Wakatobi, sedang Kabupaten Muna hanya memiliki keterkaitan ekonomi karena posisi wilayahnya yang berdekatan dan berada pada wilayah Sultra Kepulauan. Keberhasilan pembangunan suatu negara atau wilayah (propinsi dan kabupaten/kota) dapat dilihat dari indikator ekonomi maupun indikator sosial. Indikator ekonomi biasanya ditunjukkan dengan seberapa besar peningkatan dan perkembangan PDRB baik itu PDRB perkapita maupun ADH Konstan dan laju pertumbuhan ekonomi. Sedang indikator sosial biasanya ditunjukkan dengan seberapa besar peningkatan dan perhatian pada pengembangan sumber daya manusia yang tercermin melalui indeks pembangunan manusia, dan kemiskinan, karena hal-hal tersebut merupakan persoalan-persoalan mendasar daripada pembangunan serta kesejahteraan masyarakat yang merupakan tujuan dari pembangunan. Dengan demikian indikator ekonomi dan indikator sosial bagaikan dua sisi mata uang, bahwa keberhasilan pembangunan sosial didalamnya juga keberhasilan pembangunan ekonomi. Sehingga dapat dikatakan keberhasilan pembangunan bukan hanya diukur dan dilihat dari indikator ekonomi saja namun keberhasilan pembangunan juga diukur dan dilihat dari indikator sosial. Indikator Sosial dan Kependudukan a. Jumlah dan Perkembangan Penduduk Penduduk merupakan elemen penting dalam pengembangan wilayah. Wilayah Sulawesi Tenggara (Sultra) Kepulauan dalam penelitian ini meliputi Kota Baubau sebagai lokus penelitian dan beberapa kabupaten sekitarnya (hinterland) yaitu Kabupaten Buton, Kabupaten Buton Utara, Kabupaten Wakatobi, Kabupaten Muna dan Kabupaten Bombana. Perkembangan jumlah penduduk di kabupaten/kota Sultra Kepulauan menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun. Tabel 13 dibawah memperlihatkan peningkatan jumlah penduduk kabupaten/kota Sultra Kepulauan dari tahun 2009 yaitu Kota Baubau 134.218 jiwa; Kabupaten Buton 255.118 jiwa; Kabupaten Buton Utara 53.959 jiwa; Kabupaten Wakatobi 92.796 jiwa; Kabupaten Muna 248.461 jiwa; dan Kabupaten Bombana 135.295 jiwa. Sampai dengan tahun 2013, dari 2.360.611 jiwa jumlah penduduk Propinsi Sulawesi Tenggara, sebanyak 989.847 jiwa atau 41,93 persen berada di wilayah Sultra Kepulauan. Perkembangan jumlah penduduk kabupaten/kota Sultra Kepulauan tahun 2009-2013 dapat dilihat pada Tabel 13.
71
Tabel 13 Perkembangan Jumlah Penduduk Kabupaten/Kota Sultra Kepulauan Tahun 2009-2013 Kab/kota Sultra Kepulauan 1. Kota Baubau 2. Kab. Buton 3. Kab. Buton Utara 4. Kab. Wakatobi 5. Kab. Muna 6. Kab. Bombana Jumlah Sulawesi Tenggara No.
2009 134.218 255.118 53.959 92.796 248.461 135.295 919.847 2.191.951
Jumlah Penduduk Tahun 2010 2011 2012 136.991 139.726 142.576 255.712 260.801 261.119 54.736 55.828 56.631 92.995 94.846 94.953 268.277 273.616 278.437 139.235 142.006 146.072 947.946 966.823 979.788 2.232.586 2.277.049 2.318.600
2013 145.427 261.727 57.422 95.157 279.928 150.186 989.847 2.360.611
Rata-rata 139.787,6 258.895,4 55.715,2 94.149,4 269.743,8 142.558,8 2276159,4
Sumber: BPS Kota Baubau, Kabupaten: Buton, Buton Utara, Wakatobi, Muna dan Bombana dan Propinsi Sulawesi Tenggara tahun 2009-2013
Seiring dengan laju pertumbuhan penduduk, maka kepadatan terus meningkat dari tahun ke tahun. Kepadatan penduduk Kota Baubau 645 orang per km2; Kepadatan penduduk Kabupaten Buton 112 orang per km2; Kepadatan penduduk Kabupaten Buton Utara 105 orang per km2; Kepadatan penduduk Kabupaten Wakatobi 223 orang per km2; Kepadatan penduduk Kabupaten Muna 96 orang per km2; dan Kepadatan penduduk Kabupaten Bombana 48 orang per km2. b. Indeks Pembangunan Manusia Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau Human Development Index (HDI) dipublikasikan UNDP (United Nations Development Program) tahun 1990 dalam publikasi berjudul Human Development Reports dimaksudkan untuk mengukur pencapaian keseluruhan pembangunan manusia dan mengetahui kinerja pembangunan manusia suatu negara atau wilayah. UNDP (United Nations Development Programme) merumuskan indikator Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau Human Development Index (HDI) dalam skala 0 hingga 1 berdasarkan tiga dimensi pembangunan manusia yaitu pertama, dimensi usia panjang yang diukur berdasarkan tingkat harapan hidup; kedua, dimensi pengetahuan/ pendidikan yang diukur berdasarkan angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah; ketiga dimensi kualitas stándar hidup yang diukur dengan pendapatan perkapita riil yang disesuaikan dengan daya beli. Berdasarkan ketiga indikator Human Development Index (HDI) tersebut selanjutnya pencapaian pembangunan manusia suatu negara atau wilayah dikelompokkan menjadi tiga yaitu 1) jika nilai HDI berkisar antara 0,0 hingga 0,50 berarti pembangunan manusia suatu negara atau wilayah dikategorikan rendah (low human development); 2) jika nilai HDI berkisar antara 0,51 hingga 0,79 berarti pembangunan manusia suatu negara atau wilayah dikategorikan sedang (medium human development) ; dan 3) jika nilai HDI berkisar antara 0,80 hingga 1,00 berarti pembangunan manusia suatu negara atau wilayah dikategorikan tinggi (high human development). Dengan demikian bahwa semakin tinggi angka IPM suatu negara/wilayah menunjukkan pembangunan manusia yang semakin baik dan sebaliknya semakin rendah IPM mengindikasikan suatu negara/ wilayah kurang memperhatikan pembangunan manusia. Perkembangan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kota Baubau dan wilayah hinterlandnya tahun 2004-2013 dapat dilihat pada Tabel 14.
72
Tabel 14 Perkembangan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kabupaten/Kota Sultra Kepulauan dan Propinsi Sulawesi Tenggara tahun 2009-2013 No
Kab/kota Sultra Kepulauan
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
Ratarata
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Kota Baubau Kab. Buton Kab. Buton Utara Kab. Wakatobi Kab. Muna Kab. Bombana Sulawesi Tenggara
68,8 64,2 61,8 64,1 63,3 66,7
69,7 65,2 63,32 64,9 63,83 67,5
70,60 66,70 66,30 64,20 65,80 64,00 67,80
69,70 67,08 66,89 65,54 65,93 65,35 68,32
72,14 67,82 67,16 66,03 66,49 66,05 69,00
72,87 68.24 67,62 66,70 67,03 66,63 69,52
73,48 68,80 68,07 67,20 67,45 67,20 70,00
74,10 69,34 68,86 68,04 67,95 67,85 70,55
74,58 69,95 69,31 68,78 68,35 68,51 71,05
75,10 70,35 70,13 69,77 68,97 69,67 71,73
72,11 67,77 68,04 66,14 66,70 66,24 69,22
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Tahun
Sumber: BPS Kota Baubau, Kab: Buton, Buton Utara, Wakatobi, Muna dan Bombana dan Propinsi Sulawesi Tenggara (2003-2013)
Tabel 14 memperlihatkan dari enam kabupaten/kota wilayah Sultra Kepulauan menunjukkan peningkatan IPM dari tahun 2004 sampai dengan tahun 2013. Capaian nilai IPM masing-masing kabupaten/kota Sultra Kepulauan berada pada kategori “sedang/menengah (medium human development)” dengan kisaran IPM terrendah tahun 2004 yaitu Kabupaten Wakatobi 61,80 sampai IPM tertinggi tahun 2013 yaitu Kota Baubau 75,10. Perkembangan IPM kabupaten/kota tersebut diatas menunjukkan tren peningkatan dari tahun ketahun, hal ini berarti bahwa pembangunan yang dilakukan di enam kabupaten/kota wilayah Sultra Kepulauan secara umum relatif telah dapat meningkatkan kualitas sumberdaya manusia. Rata-rata perkembangan IPM dapat dilihat pada Gambar 12.
Sumber: BPS Kota Baubau, Kab: Buton, Buton Utara, Wakatobi, Muna dan Bombana dan Propinsi Sulawesi Tenggara (2003-2013)
Gambar 12 Rata-Rata IPM Enam Kab/Kota Sultra Kepulauan dan Propinsi Sulawesi Tenggara tahun 2004-2013 Jika dibandingkan Kota Baubau dan daerah sekitarnya (hinterland), rata-rata IPM Kota Baubau tahun 2004-2013 adalah 72,11 lebih besar dibandingkan ratarata IPM tahun 2004-2013 lima kabupaten/kota lainnya masing-masing Kabupaten Buton 66,77; Kabupaten Buton Utara 68,04; Kabupaten Wakatobi 66,14; Kabupaten Muna 66,70 dan Kabupaten Bombana 66,24. Jika dilihat dari perkembangan IPM dari tahun ke tahun Kota Baubau memiliki nilai IPM tertinggi diantara lima kabupaten lainnya. Sebaliknya, jika dibandingkan rata-rata nilai
73
IPM kabupaten/kota wilayah Sultra Kepulauan dengan rata-rata nilai IPM Provinsi Sulawesi Tenggara tahun 2004-2013 sebesar 69,22 terlihat hanya Kota Baubau memiliki rata-rata nilai IPM lebih besar daripada rata-rata nilai IPM Provinsi Sulawesi Tenggara, namun rata-rata nilai IPM lima kabupaten masingmasing Kabupaten Buton, Kabupaten Buton Utara, Kabupaten Wakatobi, Kabupaten Muna dan Kabupaten Bombana rata-rata nilai IPM Provinsi Sulawesi Tenggara lebih tinggi. c. Kemiskinan Untuk mengukur keberhasilan pembangunan ekonomi dan pembangunan manusia juga dapat dilihat dari tingkat kemiskinan masyarakat dalam suatu wilayah. Berdasarkan data tahun 2009-2013 menunjukkan bahwa jumlah penduduk miskin di enam kabupaten/kota Sultra Kepulauan mengalami penurunan setiap tahunnya. Kota Baubau jumlah penduduk miskin tahun 2009 sebanyak 18,2 ribu jiwa, tahun 2013 menurun sebesar 13,1 ribu jiwa; Kabupaten Buton jumlah penduduk miskin tahun 2009 sebanyak 62,6 ribu jiwa, tahun 2013 menurun sebesar 32,2 ribu jiwa; Kabupaten Buton Utara jumlah penduduk miskin tahun 2009 sebanyak 11,0 ribu jiwa, tahun 2013 menurun sebesar 8,2 ribu jiwa; Kabupaten Wakatobi jumlah penduduk miskin tahun 2009 sebanyak 23,0 ribu jiwa, tahun 2013 menurun sebesar 12,2 ribu jiwa; Kabupaten Muna jumlah penduduk miskin tahun 2009 sebanyak 54,2 ribu jiwa, tahun 2013 menurun sebesar 35,7 ribu jiwa; Kabupaten Bombana jumlah penduduk miskin tahun 2009 sebanyak 20,2 ribu jiwa, tahun 2013 menurun sebesar 18,6 ribu jiwa (Tabel 15). Tabel 15 Perkembangan Penduduk Miskin Menurut Kabupaten/Kota Sultra Kepulauan dan Propinsi Sulawesi Tenggara tahun 2009-2013 No.
Kab/Kota Sultra Kepulauan
1. Kota Baubau 2. Kab. Buton 3. Kab. Buton Utara 4. Kab. Wakatobi 5. Kab. Muna 6. Kab. Bombana Jumlah Sulawesi Tenggara
Penduduk Miskin menurut Kab/Kota Sultra Kepulauan (ribu orang) Tahun 2009 2010 2011 2012 2013 18,2 16,6 15,8 14,4 13,1 62,6 45,8 43,7 39,8 32,2 11,0 10,3 9,8 8,9 8,2 23,0 17,1 16,4 14,9 12,2 54,2 46,6 44,3 40,3 35,7 20,2 22,0 20,9 19,0 18,6 189,2 158,4 150,9 137,3 120,0 403,1 350,7 334,3 304,3 271,4
Jumlah 78,1 224,1 48,1 83,6 221,1 100,7 755,8 1663,8
Rata-rata (ribu orang) 15,62 44,82 9,64 16,64 44,22 20,14 151,16 332,76
Sumber: BPS Kota Baubau, Kab: Buton, Buton Utara, Wakatobi, Muna dan Bombana dan Propinsi Sulawesi Tenggara (2003-2013)
Tabel 15 memperlihatkan dari enam kabupaten/kota di wilayah Sultra Kepulauan, rata-rata jumlah penduduk miskin terbanyak tahun 2009-2013 adalah Kabupaten Buton sebanyak 44,82 ribu jiwa, diikuti oleh Kabupaten Muna sebanyak 44,22 ribu jiwa, Kabupaten Bombana sebanyak 20,14 ribu jiwa, Kabupaten Wakatobi sebanyak 16,64 ribu jiwa dan Kota Baubau sebanyak 15,62 ribu jiwa, sedangkan Kabupaten Buton Utara rata-rata jumlah penduduk miskin adalah yang terkecil sebanyak 9,64 ribu jiwa. Kecilnya rata-rata jumlah penduduk miskin Kabupaten Buton Utara hal ini karena jumlah penduduknya adalah yang terkecil dari enam kabupaten/kota Sultra Kepulauan.
74
Jumlah penduduk miskin di Propinsi Sulawesi Tenggara memperlihatkan penurunan dari tahun ke tahun. Jumlah penduduk miskin di Propinsi Sulawesi Tenggara adalah kontribusi dari 12 (duabelas) kabupaten/kota yaitu Kota Kendari, Kota Baubau, Kabupaten Buton, Kabupaten Muna, Kabupaten Bombana, Kabupaten Buton Utara, Kabupaten Wakatobi, Kabupaten Konawe, Kabupaten Kolaka, Kabupaten Konawe Selatan, Kabupaten Kolaka Utara, dan Kabupaten Konawe Utara serta kabupaten/kota. Dari 12 (duabelas) kabupaten/kota Propinsi Sulawesi Tenggara jumlah penduduk miskin tahun 2009 sebanyak 403,1 ribu jiwa, tahun 2010 sebanyak 359,7 ribu jiwa, Tahun 2011 sebanyak 334,3 ribu jiwa, tahun 2012 tahun 2013 sebanyak 271,4 ribu jiwa. Perkembangan jumlah penduduk miskin di Sulawesi Tenggara tahun 2009-2013 dapat dilihat pada Gambar 13.
Sumber: BPS Kota Baubau, Kab: Buton, Buton Utara, Wakatobi, Muna dan Bombana dan Propinsi Sulawesi Tenggara (2009-2013)
Gambar 13 Jumlah Penduduk Miskin di Sulawesi Tenggara dan Enam Kab/Kota Sultra Kepulauan dan Kontribusi Kemiskinan tahun 2009-2013 Berdasarkan Gambar 13 memperlihatkan kontribusi enam kabupaten/kota Sultra Kepulauan terhadap jumlah penduduk miskin di Propinsi Sulawesi Tenggara tahun 2009 sebanyak 189,2 ribu jiwa atau 46,94 persen dan itu terus memperlihatkan penurunan dari tahun ke tahun. Tahun 2010 dari 359,7 ribu jiwa jumlah penduduk miskin di Propinsi Sulawesi Tenggara kontribusi enam kabupaten/kota terhadap jumlah penduduk miskin di Propinsi Sulawesi Tenggara sebanyak 158,4 ribu jiwa atau 45,17 persen. Tahun 2011 dari 334,3 ribu jiwa jumlah penduduk miskin di Propinsi Sulawesi Tenggara sebanyak 150,9 ribu jiwa atau 45,14 persen kontribusi enam kabupaten/kota. Tahun 2012 dari 304,3 ribu jiwa jumlah penduduk miskin di Propinsi Sulawesi Tenggara sebanyak 137,3 ribu jiwa atau 45,12 persen kontribusi enam kabupaten/kota dan tahun 2013 dari 271,4 ribu jiwa jumlah penduduk miskin di Propinsi Sulawesi Tenggara sebanyak 120,0 ribu jiwa atau 44,22 persen kontribusi enam kabupaten/kota terhadap jumlah penduduk miskin di Propinsi Sulawesi Tenggara.
75
Indikator Perekonomian Daerah a. Struktur Ekonomi Wilayah Struktur ekonomi suatu wilayah mengambarkan peranan masing-masing sektor ekonomi dalam memberikan kontribusi terhadap Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB). PDRB baik PDRB ADHK maupun PDRB perkapita juga merupakan gambaran perkembangan ekonomi dan kemampuan suatu wilayah dalam mengelola potensi sumber daya yang dimiliki oleh wilayah tersebut dalam rangka memberikan nilai tambah ekonomi. Struktur ekonomi suatu daerah sangat ditentukan oleh besarnya kemampuan masing-masing sektor ekonomi dalam memproduksi barang dan jasa. Struktur yang terbentuk dari nilai tambah yang diciptakan oleh masing-masing sektor menggambarkan ketergantungan suatu daerah terhadap kemampuan berproduksi dari masing-masing sektor tersebut. Perkembangan PDRB Perkapita kabupaten/kota Sultra Kepulauan selama periode tahun 2003, 2007 dan tahun 2009-2013 memperlihatkan pada tahun 2003 (awal pemekaran) Kota Baubau pertumbuhan PDRB Perkapita Kota Baubau adalah sebesar 3.812.816,18; lebih besar dibandingkan daerah sekitarnya (hinterland) masing-masing Kabupaten Buton sebesar 2.033.930,39; Kabupaten Buton Utara belum ada karena pemekaran tahun 2005; Kabupaten Wakatobi sebesar 1.636.293,40; Kabupaten Muna sebesar 3.226.883,88; dan Kab. Bombana sebesar 3.226.883,88. Dalam kurun waktu 5 (lima) tahun kemudian yaitu tahun 2007 PDRB Perkapita Kota Baubau sebesar 4.705.314,38, mengalami pertumbuhan yang cukup pesat jika dibandingkan dengan dibandingkan 4 (empat) daerah sekitarnya yaitu Kabupaten Buton, Kabupaten Wakatobi, Kabupaten Bombana dan Kabupaten Muna, namun masih lebih kecil jika dibandingkan dengan PDRB perkapita Kabupaten Buton Utara sebesar 5.834.581,06. Perkembangan PDRB Perkapita Kota Baubau terus memperlihatkan tren peningkatan dalam kurun 5 tahun kedepan yaitu tahun 2009-2013. Jika dibandingkan dengan daerah sekitarnya (hinterland) memperlihatkan dari tahun 2009 sampai dengan tahun 2013 pertumbuhan PDRB Perkapita Kota Baubau adalah sebesar Kota Baubau adalah sebesar 5.216.577,88 dan 6.792.115,28 jauh lebih besar dibandingkan dengan 4 (empat) kabupaten sekitarnya Kabupaten Buton, Kabupaten Wakatobi, Kabupaten Bombana dan Kabupaten Muna, namun masih lebih kecil jika dibandingkan dengan PDRB perkapita Kabupaten Buton Utara sebesar 6.196.659,69 tahun 2009 dan 8.224.420,56 tahun 2013 (Gambar 14).
76
Sumber: BPS Kota Baubau, Kab: Buton, Buton Utara, Wakatobi, Muna dan Bombana dan Propinsi Sulawesi Tenggara (2003-2013)
Gambar 14 Perkembangan PDRB Perkapita Kabupaten/Kota Sultra Kepulauan dan Propinsi Sulawesi Tenggara tahun 2003, 2007 dan 2009-2013 Gambar 14 memperlihatkan perkembangan PDRB Perkapita Propinsi Sulawesi Tenggara selama periode tahun 2003, 2007 dan tahun 2009-2013 menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun. Jika dibandingkan PDRB Perkapita Propinsi Sulawesi Tenggara tahun 2003 sebesar 3.626.237,80, dimana dari 6 (enam) kabupaten/kota Sultra Kepulauan hanya Kota Baubau yang lebih melebihi besarnya PDRB Perkapita Propinsi Sulawesi Tenggara. Tahun 2007 PDRB Perkapita Kota Baubau dan Kabupaten Buton Utara lebih besar dari PDRB Perkapita Propinsi Sulawesi Tenggara. Demikian halnya antara tahun 2009 sampai 2013, tetap memperlihatkan 2 (dua) kabupaten/kota yaitu Kota Baubau dan Kabupaten Buton Utara PDRB Perkapitanya lebih besar dibandingkan PDRB Perkapita Propinsi Sulawesi Tenggara (Gambar 14). Gambar 15 memperlihatkan pertumbuhan PDRB ADH Konstan 2000 Kota Bau-Bau pada awal pemekaran tahun 2003 sebesar 438 milyar, masih dibawah Kabupaten Buton (induk) sebesar 815 milyar dan Kabupaten Muna sebesar 921 milyar, namun pada tahun 2007 PDRB ADH Konstan Kota Baubau meningkat sebesar 586 milyar lebih besar dibandingkan Kabupaten Buton (induk) sebesar 551 milyar dan beberapa kabupaten sekitarnya, namun masih dibawah Kabupaten Muna sebesar 896 milyar. Peningkatan PDRB ADH Konstan Kota Baubau terus meningkat dari tahun 2009 sebesar 700 milyar sampai dengan tahun 2013 sebesar 987 milyar. Dibandingkan dengan daerah sekitarnya (hinterland) lainnya yaitu Kabupaten Buton (induk) tahun 2009 sebesar 651 milyar s.d. 2013 sebesar 921 milyar, Kabupaten Buton Utara tahun 2009 sebesar 334 milyar s.d. tahun 2013 sebesar 472 milyar, Kabupaten Wakatobi tahun 2009 sebesar 234 milyar s.d. 2013 sebesar 342 milyar dan Kabupaten Bombana tahun 2009 sebesar 388 milyar s.d. tahun 2013 sebesar 539 milyar. Namun terhadap Kabupaten Muna merupakan salah satu daerah hinterland PDRB ADH Konstan tahun 2009 sebesar 1.041 triliyun s.d. tahun 2013 sebesar 1,37 triliyun, pertumbuhan PDRB ADH Konstan 2000 Kota Bau-Bau masih berada dibawah Kabupaten Muna. Dari gambaran kondisi perekonomian dan perkembangan PDRB ADH Konstan Kota Baubau
77
yang menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun secara umum menunjukkan adanya peningkatan kegiatan perekonomian di Kota Baubau (Gambar 15)
Sumber: BPS Kota Baubau, Kab: Buton, Buton Utara, Wakatobi, Muna dan Bombana dan Propinsi Sulawesi Tenggara (2003-2013)
Gambar 15 Perkembangan PDRB ADH Konstan Kabupaten/Kota Sultra Kepulauan dan Propinsi Sulawesi Tenggara tahun 2003, 2007 dan 2009-2013 Gambar 15 memperlihatkan peningkatan PDRB ADHK kabupaten/kota se Sultra Kepulauan dari tahun ketahun. Dari tahun 2003, 2007 dan 2009-2013 menunjukkan penyumbang terbesar dalam pembentukan struktur ekonomi khususnya PDRB ADHKonstan Kota Baubau adalah sektor Bangunan, Perdagangan, Hotel dan Restoran, Pengangkutan dan Komunikasi, Keuangan, Persewaan dan Jasa Keuangan dan sektor Jasa-Jasa; Sedangkan kabupaten hinterlandnya masing-masing Kabupaten Buton penyumbang terbesar sektor terhadap pembentukan PDRB diberikan oleh sektor Pertanian, Pertambangan & Penggalian, Industri Pengolahandan Jasa-Jasa; Kabupaten Buton Utara penyumbang sektor terhadap pembentukan PDRB adalah sektor Pertanian, Bangunan dan sektor Jasa-Jasa; Kabupaten Wakatobi sumbangan terbesar sektor terhadap pembentukan PDRB adalah sektor Pertanian, Listrik dan Air Bersih, Perdagangan, Hotel & Restoran, Keuangan, Persewaan & Jasa dan sektor JasaJasa; Kabupaten Muna sumbangan terbesar sektor terhadap pembentukan PDRB adalah sektor Pertanian, Perdagangan, Hotel & Restoran, dan sektor Jasa-Jasa; dan Kabupaten Bombana sektor yang memberikan sumbangan terhadap pembentukan PDRB adalah sektor Pertanian, Bangunan dan sektor Jasa-Jasa. b. Laju Pertumbuhan Ekonomi Pertumbuhan ekonomi menggambarkan tingkat perubahan ekonomi yang terjadi di suatu wilayah. Tingkat pertumbuhan ekonomi digunakan untuk mengetahui keberhasilan pembangunan yang telah dicapai di suatu daerah. Gambar 16 memperlihatkan pertumbuhan ekonomi kabupaten/ kota Sultra Kepulauan tahun 2003, 2007 dan tahun 2009-2013. Pada tahun 2003 hanya terdapat 3 (tiga) kabupaten/kota dengan pertumbuhan ekonomi masing-masing
78
Kota Baubau 2,49 persen, Kabupaten Buton 0,28 persen dan Kabupaten Muna 6,99 persen. Tahun 2007 terdapat 6 (enam) kabupaten/kota dengan pertumbuhan ekonomi masing-masing Kota Baubau 7,54 persen, Kabupaten Buton 7,52 persen, Kabupaten Buton Utara 10,56 persen, Kabupaten Wakatobi 13,67 persen, Kabupaten Muna 6,72 persen dan Kabupaten Bombana 7,14 persen. Sebaliknya antara tahun 2009-2013 menunjukkan pertumbuhan ekonomi Kota Baubau antara tahun 2009 sebesar 10,79 persen dan tahun 2013 sebesar 8,22 persen menunjukkan tren pertumbuhan yang lebih rendah dibandingkan pertumbuhan ekonomi kabupaten hinterlandnya, yakni Kab. Buton (induk) 8,60 persen tahun 2009, tahun 2013 8,63 persen, Kabupaten Buton Utara sebesar 10,56 persen tahun 2009, tahun 2013 9,46 persen, Kabupaten Wakatobi sebesar 13,67 persen tahun 2009, tahun 2013 8,04 persen, Kabupaten Muna sebesar 7,81 persen tahun 2009, tahun 2013 7,23 persen, dan Kab. Bombana sebesar 7,74 persen tahun 2009, tahun 2013 8,86 persen. Untuk jelasnya perbandingan pertumbuhan ekonomi kabupaten/kota Sultra Kepulauan dapat dilihat pada Gambar 16.
Sumber: BPS Kota Baubau, Kab: Buton, Buton Utara, Wakatobi, Muna dan Bombana dan Propinsi Sulawesi Tenggara (2003-2013)
Gambar 16 Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten/Kota Sultra Kepulauan dan Propinsi Sulawesi Tenggara tahun 2003, 2007 dan 2009-2013 Gambar 16 jika dirata-ratakan pertumbuhan ekonomi Kota Baubau dari tahun 2003 (awal pemekaran), 2007 dan 2009-2013 memperlihatkan peningkatan dari tahun ke tahun. Terlihat dirata-ratakan pertumbuhan ekonomi Kota Baubau dari tahun 2003-2013 sebesar 8,11 persen, lebih besar dibandingkan dengan Kabupaten Buton 7,53 persen dan Kabupaten Muna 7,22 persen, namun masih dibawah dari Kabupaten Buton Utara 8,61 persen, Kabupaten Wakatobi 9,88 persen dan Kabupaten Bombana 8,16 persen. Jika dibandingkan dengan rata-rata pertumbuhan ekonomi kabupaten/kota Sultra Kepulauan dengan Propinsi Sulawesi Tenggara sebesar 8,40 persen, terlihat hanya Kabupaten Wakatobi 9,88 persen dan Kabupaten Buton Utara 8,61 persen, yang mempunyai pertumbuhan ekonomi yang tinggi dibandingkan Propinsi Sulawesi Tenggara, namun terhadap 4 (empat) kabupaten/kota Sultra Kepulauan masing-masing Kota Baubau, Kabupaten Buton, Kabupaten Muna dan Kabupaten Bombana pertumbuhan ekonomi Propinsi Sulawesi Tenggara masih lebih tinggi.
79
Gambaran Umum Kabupaten/Kota Priangan Timur Geografis dan Administrasi Wilayah Wilayah Priangan Timur secara geografis berada pada bagian Timur Provinsi Jawa Barat serta berada pada jalur selatan perlintasan Jakarta-Jawa Barat-Jawa Tengah-Jogyakarta-Jawa Timur. Posisi koordinat Wilayah Priangan Timur terletak antara 1080 08’38” -1080 24’02” Bujur Timur dan antara 7010’-70 26’32” Lintang Selatan, berjarak ± 105 Km dari Kota Bandung dan ± 255 Km dari Kota Jakarta. Batas wilayah Priangan Timur adalah sebelah utara, berbatasan dengan Kabupaten Sumedang, Kabupaten Majalengka dan Kabupaten Kuningan; Sebelah timur berbatasan dengan Propinsi Jawa Tengah (Kabupaten Cilacap); Sebelah selatan berbatasan dengan Laut Hindia; dan sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Bandung dan Kabupaten Cianjur. Posisi wilayah Priangan Timur dan enam kabupaten/kota dapat dilihat pada Gambar 17.
Kab. Indramayu
Kab. Cirebon Kab. Bandung Barat Kota Cimahi
Kota Cirebon Kab. Sumedang
Kab. Majalengka
Kota Bandung Kab. Kuningan Kab. Cianjur
Kab. Bandung Kab. Ciamis Kota Tasikmalaya Kab. Garut
Kota Banjar
Kab. Tasikmalaya Kab. Pangandaran
Kab/Kota Daratan Prop. Sulawesi Tenggara Kab/Kota Kepulauan Prop. Sulawesi Tenggara
Priangan Timur
Sumber: Bappeda Jawa Barat (2013)
Gambar 17 Peta Wilayah Propinsi Jawa Barat menurut Kabupaten/Kota dan Posisi Kabupaten/Kota Priangan Timur Gambar 17 menunjukkan Wilayah Priangan Timur meliputi Kota Tasikmalaya, Kabupaten Tasikmalaya, Kabupaten Garut, Kabupaten Ciamis, Kota Banjar dan Kabupaten Pangandaran. Luas wilayah Priangan Timur adalah 7.654,43 Km2 atau 23,04 persen dari wilayah Propinsi Jawa Barat seluas 37.173,97 Km2 atau 3.710.061,32 hektar. Luas wilayah Priangan Timur terbagi dalam masing-masing kabupaten/kota yaitu Kota Tasikmalaya luas wilayah 184,38 Km2, Kabupaten Tasikmalaya luas wilayah 2.708,81 km2, Kabupaten Garut luas wilayah 3.094,40 Km2, Kabupaten Ciamis luas wilayah 1.433,87 Km2, Kota Banjar luas wilayah 131.97 Km2 dan Kabupaten Pangandaran luas wilayah 1.010 Km2. Keberhasilan pembangunan suatu negara atau wilayah (propinsi dan kabupaten/kota) dapat dilihat dari indikator ekonomi maupun indikator sosial. Indikator ekonomi biasanya ditunjukkan dengan seberapa besar peningkatan dan
80
perkembangan PDRB baik itu PDRB perkapita maupun ADH Konstan dan laju pertumbuhan ekonomi. Sedang indikator sosial biasanya ditunjukkan dengan seberapa besar peningkatan dan perhatian pada pengembangan sumber daya manusia yang tercermin melalui indeks pembangunan manusia, dan kemiskinan, karena hal-hal tersebut merupakan persoalan-persoalan mendasar daripada pembangunan serta kesejahteraan masyarakat yang merupakan tujuan dari pembangunan. Dengan demikian indikator ekonomi dan indikator sosial bagaikan dua sisi mata uang, bahwa keberhasilan pembangunan sosial didalamnya juga keberhasilan pembangunan ekonomi. Sehingga dapat dikatakan keberhasilan pembangunan bukan hanya diukur dan dilihat dari indikator ekonomi saja namun keberhasilan pembangunan juga diukur dan dilihat dari indikator sosial. Indikator Sosial Ekonomi dan Kependudukan a. Jumlah dan Perkembangan Penduduk Jumlah penduduk Propinsi Jawa Barat tahun 2009 sebanyak 42.686.512 juta jiwa meningkat pada tahun 2013 adalah sebanyak 46.183.642 juta jiwa, dimana dalam kurun waktu lima tahun bertambah sebanyak 3.490.130 juta jiwa atau 5,81 persen. Jumlah penduduk Propinsi Jawa Barat diatas merupakan kontribusi dari 27 (duapuluh tujuh) kabupaten/kota meliputi 18 kabupaten dan 9 kota. Dari besaran jumlah penduduk Jawa Barat dari tahun 2009 sampai dengan tahun 2013 tersebut, Wilayah Priangan Timur yang meliputi Kota Tasikmalaya, Kabupaten Tasikmalaya, Kabupaten Garut, Kabupaten Ciamis, Kota Banjar dan Kabupaten Pangadaran memberikan kontribusi penduduk tahun 2009 sebanyak 6.537.085 ribu jiwa atau 15,31 persen dan tahun 2013 sebanyak 6.907.785 ribu jiwa atau 14,96 persen dari total jumlah penduduk Propinsi Jawa Barat. Jumlah penduduk Priangan Timur yang meliputi Kota Tasikmalaya dan daerah sekitarnya (hinterland) yaitu Kabupaten Tasikmalaya, Kabupaten Garut, Kabupaten Ciamis, Kota Banjar dan Kabupaten Pangadaran mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Peningkatan ini terlihat, dimana pada tahun 2009 jumlah penduduk Kota Tasikmalaya sebesar 640.324 ribu jiwa, meningkat tahun 2013 sebesar 661.676 ribu jiwa bertambah sebanyak 21.352 ribu jiwa atau meningkat sebesar 3,33 persen. Kabupaten Tasikmalaya jumlah penduduk tahun 2009 sebanyak 1.727.320 ribu jiwa meningkat tahun 2013 sebesar 1.738.011 ribu jiwa bertambah sebanyak 10.691 ribu jiwa atau meningkat sebesar 0,62 persen. Kabupaten Garut jumlah penduduk tahun 2009 sebanyak 2.380.981 ribu jiwa meningkat tahun 2013 sebesar 2.525.483 ribu jiwa bertambah sebanyak 144.502 ribu jiwa atau meningkat sebesar 6,07 persen. Kabupaten Ciamis jumlah penduduk tahun 2009 sebanyak 1.605.414 ribu jiwa menurun tahun 2013 sebesar 1.372.846 ribu jiwa berkurang sebanyak 232.568 ribu jiwa atau menurun sebesar -14,49 persen. Kota Banjar jumlah penduduk tahun 2009 sebanyak 183.046 ribu jiwa meningkat tahun 2013 sebesar 187.183 ribu jiwa bertambah sebanyak 4.137 jiwa atau meningkat sebesar 2,26 persen. Sedang Kabupaten Pangandaran pemekaran dari Kabupaten Ciamis tahun 2010 perhitungan jumlah penduduk mulai tahun 2011 sebanyak 381.700 ribu jiwa meningkat tahun 2013 sebesar 422.586 ribu jiwa bertambah sebanyak 40.886 ribu jiwa atau meningkat sebesar 10,71 persen. Perkembangan jumlah penduduk kabupaten/kota Priangan Timur terlihat pada Tabel 16.
81
Tabel 16 Perkembangan Jumlah Penduduk Kabupaten/Kota Priangan Timur Tahun 2009-2013 Kab/Kota Priangan Timur 1. Kota Tasikmalaya 2. Kab. Tasikmalaya 3. Kab. Garut 4. Kab. Ciamis 5. Kota Banjar 6. Kab. Pangandaran Jumlah Jawa Barat No
Sumber:
Jumlah Penduduk Tahun 2010 2011 2012
2009 640.324 1.727.320 2.380.981 1.605.414 183.046
634.424 1.675.544 2.407.086 1.720.280 185.043
-
-
6.537.085 42.686.512
6.537.085 42.686.512
646.874 1.692.432 2.445.911 1.774.032 197.338 381.700 6.622.377 43.413.973
2013
649.885 1.716.178
661.676 1.738.011
2.485.732
2.525.483
1.781.660 203.512 383.900 7.138.287 60.199.040
1.372.846 187.183 422.586 7.220.867 45.509.147
Rata-rata 646.636,6 1.709.897,0 2.449.038,6 1.650.846,4 191.224,4 190.556,6 6.907.785 46.183.642
BPS Kota Baubau (2009-2013) Kab: Buton, Buton Utara, Wakatobi, Muna dan Bombana (2009-2013)
Seiring dengan laju pertumbuhan penduduk Kota Tasikmalaya, maka kepadatan penduduk juga terus meningkat dari tahun ke tahun. Kepadatan penduduk Kota Tasikmalaya sampai dengan tahun 2013 sebesar 508,37 orang/km2. Kepadatan penduduk Kabupaten Tasikmalaya tahun 2013 sebesar 631,10 orang/km2. Kepadatan penduduk Kabupaten Garut tahun 2013 sebesar 790,88 orang/km2. Kepadatan penduduk Kabupaten Ciamis tahun 2013 sebesar 569,19 orang/km2. Kepadatan penduduk Kota Banjar tahun 2013 sebesar 1.362,54 orang/km2 dan Kabupaten Pangadaran tahun 2013 sebesar 418 orang/km2. b. Indeks Pembangunan Manusia Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau Human Development Index (HDI) dipublikasikan UNDP (United Nations Development Program) tahun 1990 dalam publikasi berjudul Human Development Reports dimaksudkan untuk mengukur pencapaian keseluruhan pembangunan manusia dan mengetahui kinerja pembangunan manusia suatu negara atau wilayah. UNDP (United Nations Development Programme) merumuskan indikator Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau Human Development Index (HDI) dalam skala 0 hingga 1 berdasarkan tiga dimensi pembangunan manusia yaitu pertama, dimensi usia panjang yang diukur berdasarkan tingkat harapan hidup; kedua, dimensi pengetahuan/ pendidikan yang diukur berdasarkan angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah; ketiga dimensi kualitas stándar hidup yang diukur dengan pendapatan perkapita riil yang disesuaikan dengan daya beli. Berdasarkan ketiga indikator Human Development Index (HDI) tersebut selanjutnya pencapaian pembangunan manusia suatu negara atau wilayah dikelompokkan menjadi tiga yaitu 1) jika nilai HDI berkisar antara 0,0 hingga 0,50 berarti pembangunan manusia suatu negara atau wilayah dikategorikan rendah (low human development); 2) jika nilai HDI berkisar antara 0,51 hingga 0,79 berarti pembangunan manusia suatu negara atau wilayah dikategorikan sedang (medium human development) ; dan 3) jika nilai HDI berkisar antara 0,80 hingga 1,00 berarti pembangunan manusia suatu negara atau wilayah dikategorikan tinggi (high human development). Dengan demikian bahwa semakin tinggi angka IPM suatu negara/wilayah menunjukkan pembangunan manusia yang semakin baik dan sebaliknya semakin rendah IPM mengindikasikan suatu negara/ wilayah kurang memperhatikan pembangunan manusia.
82
Perkembangan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kota Tasikmalaya dan wilayah hinterlandnya tahun 2003-2013 dapat dilihat pada Tabel 17. Tabel 17 Perkembangan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kabupaten/Kota Priangan Timur dan Propinsi Jawa Barat tahun 2009-2013 No 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Kab/Kota Priangan Timur Kota Tasikmalaya Kab. Tasikmalaya Kab. Garut Kab. Ciamis Kota Banjar Kab. Pangandaran Jawa Barat
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Tahun 2003 69,78 67,06 65,21 69,93 70,96 67,87
2004 71,05 68,46 66,31 70,89 71,52 68,36
2005 71,62 69,08 67,03 71,08 69,73 69,93
2006 72,26 70,86 69,46 69,80 69,63 70,32
2007 72.72 71,23 69,99 70,14 70,17 70,71
2008 73,35 71,35 70,53 70,57 70,62 71,12
2009 73,96 71,67 70,98 71,79 71,25 71,64
2010 74,40 71,88 71,36 72,33 71,67 72,29
2011 74,85 72,18 71,70 72,83 71,82 72,73
2012 75,35 72,93 72,12 72.97 72,10 73,11
2013 75,66 73,26 72,43 73.32 72,84 70,74 73,58
Ratarata 73,18 70,91 69,74 71,42 71,12 70,74 71,06
Sumber : BPS Kota Tasikmalaya dan Kota Banjar, Kab: Tasikmalaya, Garut,Ciamis, Pangandaran dan Propinsi Jawa Barat (2009-2013)
Tabel 17 memperlihatkan peningkatan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dari enam kabupaten/kota Priangan Timur dari tahun 2003 sampai dengan tahun 2013. Capaian nilai Indeks Pembangunan Manusia (IPM) masingmasing kabupaten/kota Priangan Timur berada pada kategori “sedang/menengah (medium human development)” dengan kisaran Indeks Pembangunan Manusia (IPM) terendah tahun 2003 yaitu Kabupaten Garut 65,21 sampai dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) tertinggi tahun 2013 yaitu Kota Tasikmalaya 73,18. Perkembangan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) kabupaten/kota tersebut diatas menunjukkan tren peningkatan dari tahun ke tahun, hal ini berarti bahwa pembangunan yang dilakukan di enam kabupaten/kota wilayah Priangan Timur secara umum berjalan dengan baik terlihat karena telah dapat meningkatkan kualitas sumberdaya manusia sampai pada tingkat menengah.
Sumber: BPS Kota Tasikmalaya dan Kota Banjar, Kab: Tasikmalaya, Garut,Ciamis, Pangandaran dan Propinsi Jawa Barat (2003-2013)
Gambar 18 Rata-Rata IPM Enam Kab/Kota Priangan Timur dan Propinsi Jawa Barat tahun 2003-2013 Gambar 18 memperlihatkan jika dibandingkan Kota Tasikmalaya dan daerah sekitarnya (hinterland), rata-rata Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kota Tasikmalaya tahun 2003-2013 adalah 73,18 lebih besar dibandingkan ratarata Indeks Pembangunan Manusia lima kabupaten/kota lainnya tahun 2003-2013 masing-masing Kabupaten Tasikmalaya 70,91; Kabupaten Garut 69,74;
83
Kabupaten Ciamis 71,42; Kota Banjar 71,12 dan Kabupaten Pangandaran 70,74. Dilihat dari perkembangan Indeks Pembangunan Manusia dari tahun ke tahun, Kota Tasikmalaya memiliki rata-rata nilai Indeks Pembangunan Manusia tertinggi diantara lima kabupaten/kota lainnya se Priangan Timur. Sebaliknya, jika dibandingkan rata-rata nilai Indeks Pembangunan Manusia kabupaten/kota wilayah Priangan Timur dengan rata-rata nilai Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Provinsi Jawa Barat tahun 2003-2013 sebesar 71,06 terlihat hanya Kota Tasikmalaya memiliki rata-rata nilai Indeks Pembangunan Manusia yang lebih besar daripada rata-rata nilai Indeks Pembangunan Manusia Provinsi Jawa Barat, 2 (dua) kabupaten yaitu Kabupaten Ciamis dan Kota Banjar rata-rata nilai Indeks Pembangunan Manusia sedikit lebih besar daripada rata-rata nilai Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Provinsi Jawa Barat, sedangkan 3 (tiga) kabupaten yaitu Kabupaten Tasikmalaya, Kabupaten Garut, dan Kabupaten Pangandaran memiliki rata-rata nilai IPM lima lebih kecil dari rata-rata nilai IPM Provinsi Jawa Barat. c. Kemiskinan Keberhasilan pembangunan yang dilaksanakan oleh suatu negara/wilayah biasanya diukur dari pembangunan ekonomi dan pembangunan manusia yang dapat dilihat dari tingkat kemiskinan maupun kesejahteraan masyarakat dalam suatu wilayah. Berdasarkan data tahun 2009-2013 menunjukkan bahwa jumlah penduduk miskin di enam kabupaten/kota Priangan Timur mengalami penurunan setiap tahunnya. Jumlah penduduk miskin Kota Tasikmalaya tahun 2009 sebanyak 140,11 ribu jiwa, terus menurun hingga tahun 2013 sebesar 117,0 ribu jiwa; Kabupaten Tasikmalaya jumlah penduduk miskin tahun 2009 sebanyak 233,24 ribu jiwa, terus menurun hingga tahun 2013 sebesar 190,0 ribu jiwa; Kabupaten Garut jumlah penduduk miskin tahun 2009 sebanyak 365,39 ribu jiwa, terus menurun hingga tahun 2013 sebesar 298,30 ribu jiwa; Kabupaten Ciamis jumlah penduduk miskin tahun 2009 sebanyak 174,53 ribu jiwa, terus menurun hingga tahun 2013 menurun sebesar 140,9 ribu jiwa; Kota Banjar jumlah penduduk miskin tahun 2009 sebanyak 14,63 ribu jiwa, terus menurun hingga tahun 2013 menurun sebesar 13,30 ribu jiwa; Kabupaten Pangandaran jumlah penduduk miskin masih bergabung dengan Kabupaten Ciamis (Tabel 18). Tabel 18 Perkembangan Penduduk Miskin Menurut Kabupaten/Kota Priangan Timur dan Propinsi Jawa Barat tahun 2009-2013 No.
Kab/kota Priangan Timur
1. Kota Tasikmalaya 2. Kab. Tasikmalaya 3. Kab. Garut 4. Kab. Ciamis 5. Kota Banjar 6. Kab. Pangandaran Jumlah Jawa Barat
Penduduk Miskin menurut Kab/Kota Priangan Timur (ribu orang) Tahun 2009 2010 2011 2012 2013
Jumlah
Rata-rata
140.11 233.24 365.39 174.53 14.63
117.00 190.80 298.30 140.90 13.30
641.81 1.051.34 1.644.79 778.73 71.43
128.361,80 210.268,80 328.958,40 155.746,60 14.286,80
131.50 214.50 335.60 158.40 14.80
129.80 211.60 330.90 156.30 14.70
123.40 201.20 314.60 148.60 14.00
927,90
854,80
843,3
801,80
760,3
4.188,10
4.985,00
4.774,00
4.649,00
4.478,20
4.382.65
23.268,90
Sumber: BPS Kota Tasikmalaya dan Kota Banjar, Kabupaten: Tasikmalaya, Garut, Ciamis, Pangandaran dan Propinsi Jawa Barat (2009-2013)
Tabel 18 memperlihatkan dari enam kabupaten/kota di wilayah Priangan Timur jumlah penduduk miskin tahun 2009-2013 adalah 4.188,10 juta jiwa.
84
Sebaran jumlah penduduk miskin terbanyak adalah Kabupaten Garut sebanyak 1.644.79 ribu jiwa, diikuti oleh Kabupaten Tasikmalaya sebanyak 1.051,34 ribu jiwa, Kabupaten Ciamis sebanyak 778,73 ribu jiwa, Kota Tasikmalaya sebanyak 641,81 ribu jiwa dan Kota Banjar sebanyak 71,43 ribu jiwa. Perkembangan jumlah penduduk miskin di Propinsi Jawa Barat dan kabupaten/kota Priangan Timur dapat dilihat pada Gambar 19.
Sumber: BPS Kota Tasikmalaya dan Kota Banjar, Kabupaten: Tasikmalaya, Garut, Ciamis, Pangandaran dan Propinsi Jawa Barat (2009-2013)
Gambar 19 Jumlah Penduduk Miskin Propinsi Jawa Barat dan Lima Kab/Kota Priangan Timur dan Kontribusi Kemiskinan tahun 2009-2013 Gambar 19 memperlihatkan perkembangan jumlah penduduk miskin di Propinsi Jawa Barat mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Jumlah penduduk miskin di Propinsi Jawa Barat dari tahun 2009-2013 adalah 23.268,90 juta jiwa. Jumlah penduduk miskin tersebut merupakan kontribusi dari 27 (duapuluh tujuh) kabupaten/kota di Propinsi Jawa Barat. Dari 27 (duapuluh tujuh) kabupaten/kota Propinsi Jawa Barat jumlah penduduk miskin tahun 2009 sebanyak 4.985,00 juta jiwa, tahun 2010 sebanyak 4.774,00 juta jiwa, Tahun 2011 sebanyak 4.649,00 juta jiwa, tahun 2012 sebanyak 4.478,20 juta jiwa, tahun 2013 sebanyak 4.382,65 juta jiwa. Dari 23.268,90 juta jiwa jumlah penduduk miskin Propinsi Jawa Barat tahun 2009-2013, sebesar 4.188,10 juta jiwa atau 17,35 persen berada di kabupaten/kota Priangan Timur. Indikator Perekonomian Daerah a. Struktur Ekonomi Wilayah Struktur ekonomi suatu daerah sangat ditentukan oleh besarnya kemampuan masing-masing sektor ekonomi dalam memproduksi barang dan jasa. Struktur yang terbentuk dari nilai tambah yang diciptakan oleh masing-masing sektor menggambarkan ketergantungan suatu daerah terhadap kemampuan berproduksi dari masing-masing sektor tersebut. Perkembangan PDRB Perkapita kabupaten/kota Priangan Timur selama periode tahun 2003, 2007 dan tahun 2009-2013 memperlihatkan peningkatan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2003 (awal pemekaran) pertumbuhan PDRB Perkapita
85
Kota Tasikmalaya adalah sebesar 5.362.901,19 juta; lebih besar dibandingkan daerah sekitarnya (hinterland) masing-masing Kabupaten Tasikmalaya sebesar 2.774.413,56 juta; Kabupaten Garut sebesar 4.124.450,57 juta; Kabupaten Ciamis sebesar 3.989.055,71 juta; dan Kota Banjar sebesar 3.937.612,00 juta. Dalam kurun waktu 5 (lima) tahun kemudian yaitu tahun 2007 PDRB Perkapita Kota Tasikmalaya meningkat sebesar 5.615.367,36 juta mengalami pertumbuhan yang cukup pesat jika dibandingkan dengan dibandingkan 4 (empat) daerah sekitarnya yaitu Kabupaten Tasikmalaya, Kabupaten Garut, Kabupaten Ciamis dan Kota Banjar (Gambar 20).
Sumber:
BPS Kota Tasikmalaya dan Kota Banjar, Kab: Tasikmalaya, Garut,Ciamis, Pangandaran dan Propinsi Jawa Barat (2009-2013)
Gambar 20 Perkembangan PDRB Perkapita Kabupaten/Kota Priangan Timur dan Propinsi Sulawesi Tenggara tahun 2003, 2007 dan 2009-2013 Gambar 20 memperlihatkan dalam kurun waktu tahun 2009-2013 terlihat PDRB Perkapita Kota Tasikmalaya terus memperlihatkan tren peningkatan. Dalam kurun waktu 2009-2013, jika dibandingkan dengan daerah sekitarnya (hinterland) memperlihatkan pertumbuhan PDRB Perkapita Kota Tasikmalaya lebih besar yakni 5.867.833,53 juta tahun 2009 meningkat tahun 2013 sebesar 7.083.021,00 juta. Sedang 4 (empat) kabupaten sekitarnya yakni Kabupaten Tasikmalaya tahun 2009 sebesar 3.083.272,84 juta meningkat tahun 2013 sebesar 3.625.943,04 juta, Kabupaten Garut tahun 2009 sebesar 4.461.515,17 juta meningkat tahun 2013 sebesar 5.145.602,01 juta, Kabupaten Ciamis tahun 2009 sebesar 4.497.431,00 juta meningkat tahun 2013 sebesar 5.492.498,01 juta, dan Kota Banjar tahun 2009 sebesar 4.184.032,00 juta meningkat tahun 2013 sebesar 4.822.530,00 juta. Dan Kabupaten Pangandaran tahun 2011 sebesar 5.637.849,28 juta meningkat tahun 2013 sebesar 6.123.574,99 juta. Sebaliknya jika dibandingkan PDRB Perkapita Propinsi Jawa Barat tahun 2003 sebesar 5.710.000,00 juta, tahun 2007 sebesar 6.799.000,00 juta, tahun 2009 sebesar 7.156.000,30 juta dan tahun 2013 sebesar 8.521.333,23 juta dan kabupaten/kota se Priangan Timur selama periode tahun 2003, 2007 dan tahun 2009-2013 menunjukkan PDRB Perkapita Propinsi Jawa Barat lebih besar dibandingkan 6 (enam) kabupaten/kota Priangan Timur (Gambar 20).
86
Gambar 21 memperlihatkan pertumbuhan PDRB ADH Konstan 2000 Kota Tasikmalaya pada awal pemekaran tahun 2003 sebesar 2.698,64 triliun, masih dibawah Kabupaten Tasikmalaya (induk) sebesar 4.035,62 triliun, Kabupaten Garut sebesar 8.093,89 triliun dan Kabupaten Ciamis sebesar 5.396,45 triliun namun lebih besar dari Kota Banjar sebesar 538,48 milyar. Pada tahun 2007 PDRB ADH Konstan Kota Tasikmalaya meningkat sebesar 3.283,26 namun masih lebih kecil dibandingkan Kabupaten Tasikmalaya (induk) sebesar 4.706,64 triliun, Kabupaten Garut sebesar 9.563,13 triliun dan Kabupaten Ciamis sebesar 6.422,12 triliun, terhadap Kota Banjar sebesar 646,32 milyar PDRB Kota Tasikmalaya lebih besar. PDRB ADH Konstan Kota Tasikmalaya terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2009 sebesar 3.668,63 triliun dan tahun 2013 sebesar 4.603,15 triliun. Namun terhadap 3 (tiga) daerah sekitarnya (hinterland) yaitu Kabupaten Tasikmalaya (induk) tahun 2009 sebesar 5.291,16 triliun dan tahun 2013 sebesar 6.262,92 triliun, Kabupaten Garut tahun 2009 sebesar 10.568,75 triliun s.d. tahun 2013 sebesar 12.876,41 triliun, Kabupaten Ciamis tahun 2009 sebesar 7.071,05 triliun s.d. tahun 2013 sebesar 8.610,62 triliun, PDRB ADH Konstan Kota Tasikmalaya jauh lebih kecil. Terhadap Kota Banjar tahun 2009 sebesar 712,21 milyar dan tahun 2013 sebesar 875,90 milyar, PDRB ADHK Kota Tasikmalaya jauh lebih besar. Sedangkan terhadap Kabupaten Pangandaran yang perhitungan PDRB ADHK dimulai tahun 2011 sampai dengan tahun 2013 terlihat PDRB ADH Konstan Kota Tasikmalaya jauh lebih besar
Sumber: BPS Kota Tasikmalaya dan Kota Banjar, Kab: Tasikmalaya, Garut,Ciamis, Pangandaran dan Propinsi Jawa Barat (2009-2013)
Gambar 21 Perkembangan PDRB ADH Konstan Kabupaten/Kota Priangan Timur dan Propinsi Jawa Barat tahun 2003, 2007 dan 2009-2013 Gambar 21 memperlihatkan peningkatan PDRB ADHK kabupaten/kota se Sultra Kepulauan dari tahun ketahun. Dari tahun 2003, 2007 dan 2009-2013 menunjukkan penyumbang terbesar dalam pembentukan struktur ekonomi khususnya PDRB ADHKonstan Kota Tasikmalaya adalah sektor Bangunan, Perdagangan, Hotel dan Restoran, Pengangkutan dan Komunikasi, Keuangan, Persewaan dan Jasa Keuangan dan sektor Jasa-Jasa; Sedangkan kabupaten hinterlandnya masing-masing Kabupaten Tasikmalaya penyumbang sektor terhadap pembentukan PDRB adalah sektor Pertanian, Perdagangan, Hotel dan
87
Restoran, Keuangan, Persewaan dan Jasa keuangan dan sektor Jasa-Jasa; Kabupaten Garut sumbangan terbesar sektor terhadap pembentukan PDRB adalah sektor Pertanian, Perdagangan, Hotel dan Restoran, Keuangan, Persewaan dan Jasa keuangan dan sektor Jasa-Jasa; Kabupaten Ciamis sumbangan terbesar sektor terhadap pembentukan PDRB adalah sektor Pertanian, Bangunan, Perdagangan, Hotel dan Restoran, Pengangkutan dan Komunikasi, Keuangan, Persewaan dan Jasa keuangan dan sektor Jasa-Jasa; Kota Banjar penyumbang terbesar sektor terhadap pembentukan PDRB diberikan oleh sektor Pertanian, Bangunan, Perdagangan, Hotel dan Restoran, Pengangkutan dan Komunikasi, Keuangan, Persewaan dan Jasa keuangan dan Jasa-Jasa; dan Kabupaten Pangandaran sektor yang memberikan sumbangan terhadap pembentukan PDRB adalah sektor Pertanian, Bangunan, Perdagangan, Hotel dan Restoran, Keuangan, Persewaan dan Jasa keuangan dan sektor Jasa-Jasa. b. Laju Pertumbuhan Ekonomi Pertumbuhan ekonomi menggambarkan tingkat perubahan ekonomi yang terjadi di suatu wilayah. Tingkat pertumbuhan ekonomi digunakan untuk mengetahui keberhasilan pembangunan yang telah dicapai di suatu daerah. Gambar 21 dibawah memperlihatkan pertumbuhan ekonomi kabupaten/ kota Priangan Timur tahun 2003, 2007 dan tahun 2009-2013. Pada tahun 2003 pertumbuhan ekonomi Kota Tasikmalaya adalah sebesar 4,43 persen, lebih besar dibandingkan dengan Kabupaten Tasikmalaya sebesar 3,44 persen, Kabupaten Garut 2,70 persen, Kabupaten Ciamis 4,07 persen dan Kota Banjar 4,20 persen. Dalam kurun waktu 5 (lima) tahun yaitu Tahun 2007 ke 6 (lima) kabupaten/kota tersebut pertumbuhan ekonomi meningkat masing-masing Kota Tasikmalaya sebesar 5,98 persen, lebih besar dibandingkan dengan daerah sekitarnya yaitu Kabupaten Tasikmalaya sebesar 4,33 persen, Kabupaten Garut 4,76 persen, Kabupaten Ciamis 5,01 persen dan Kota Banjar 4,93 persen. Antara tahun 2009-2013 pertumbuhan ekonomi Kota Tasikmalaya dan Kabupaten Tasikmalaya memperlihatkan tren peningkatan dari tahun ke tahun. Sedang daerah sekitarnya (hinterland) yang lain memperlihatkan peningkatan yang fluktuatif yaitu Kabupaten Garut, Kabupaten Ciamis dan Kota Banjar tahun 2009-2011 memperlihatkan pertumbuhan ekonomi yang meningkat, tetapi tahun 2012 ke 3 (tiga) daerah tersebut mengalami penurunan masing-masing Kabupaten Garut sebesar 0,87 persen, Kabupaten Ciamis 0,12 persen dan Kota Banjar 0,09 persen, namun tahun 2013 pertumbuhan ekonomi ke 3 (tiga) daerah tersebut kembali meningkat. Kabupaten Pangandaran yang merupakan pemekaran dari Kabupaten Ciamis tahun 2010 memperlihatkan tren pertumbuhan ekonomi yang meningkat dari tahun 2011 sampai tahun 2013. Pertumbuhan ekonomi kabupaten/kota Priangan Timur dapat dilihat pada Gambar 22.
88
Sumber:
BPS Kota Tasikmalaya dan Kota Banjar, Kabupaten: Tasikmalaya, Garut, Ciamis, Pangandaran dan Propinsi Jawa Barat (2009-2013)
Gambar 22 Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten/Kota Priangan Timur dan Propinsi Jawa Barat tahun 2003, 2007 dan 2009-2013 Laju pertumbuhan ekonomi di empat kabupaten di wilayah Priangan Timur tahun 2003, 2007 dan 2009-2013 secara umum menunjukkan kenaikan yang berfluktuatif, hanya 1 (satu) daerah yaitu Kota Tasikmalaya memperlihatkan tren peningkatan dari tahun ke tahun. Selama periode tahun 2003 sampai dengan 2013 rata tingkat pertumbuhan ekonomi di Kota Tasikmalaya sebesar 5,64 persen, lebih besar dibandingkan 5 (lima) kabupaten/kota se Priangan Timur yaitu Kabupaten Tasikmalaya sebesar 4,18 persen, Kabupaten Garut sebesar 4,75 persen, Kabupaten Ciamis sebesar 4,88 persen, Kota Banjar sebesar 5,07 persen dan Kabupaten Pangandaran sebesar 4,75 persen. Jika dibandingkan laju pertumbuhan ekonomi kabupaten/kota se Priangan Timur dengan Propinsi Jawa Barat sebesar 5,76 persen memperlihatkan laju pertumbuhan ekonomi Propinsi Jawa Barat lebih besar.
89
5 KLASIFIKASI WILAYAH, PERKEMBANGAN SEKTOR UNGGULAN DAN DAYA SAING WILAYAH Sejak berlakunya otonomi daerah dan desentralisasi, setiap daerah otonom termasuk di dalamnya daerah pemekaran baru di berikan kebebasan untuk menentukan arah pembangunan ekonominya sendiri. Pemberian kewenangan tersebut kepada pemerintah daerah tidak lain, karena daerah dianggap lebih mengetahui potensi dan kemampuan daerahnya masing-masing ketimbang Pemerintah Pusat, sehingga diharapkan pemerintah daerah dapat menganggarkan anggarannya dalam membiayai program dan kegiatan bagi pembangunan di daerahnya. Pertambahan jumlah daerah otonom baru menyebabkan semakin beratnya beban anggaran bagi APBN, kondisi ini berpengaruh terhadap pengalokasikan anggaran pembangunan setiap tahunnya di daerah yang cenderung menurun. Untuk itu pemerintah daerah khususnya daerah pemekaran harus mampu mengelola potensi yang ada semaksimal mungkin untuk mengembangkan pembangunan ekonomi didaerahnya. Penentuan skala prioritas mengenai sektorsektor yang menghasilkan percepatan pertumbuhan ekonomi didaerah harus lebih diutamakan pengembangannya. Sebaliknya kesalahan dalam pemilihan sektor ekonomi akan menyebabkan pemborosan anggaran dan perekonomian daerah tidak akan berkembang. Oleh karena itu penentuan kebijakan dalam pengembangan suatu sektor perekonomian harus dilakukan secara hati-hati dan didukung oleh data yang akurat yang tersedia di daerah serta mempertimbangkan aspek keberlanjutan (sustainable) pembangunan ekonomi. Model pengembangan daerah yang dapat diterapkan pada kawasan-kawasan pengembangan merupakan salah satu alternatif yang dapat diterapkan pada daerah-daerah yang ada di Indonesia. Karena, dengan adanya pengembangan wilayah ini dapat merangsang kegiatan-kegiatan ekonomi, yang pada akhirnya turut berdampak terhadap pengembangan kegiatan pembangunan wilayah. Adanya pengembangan wilayah pada pusat-pusat pertumbuhan tersebut juga akan diikuti oleh pembangunan infrastruktur, transportasi, komunikasi dan kelembagaan sosial yang secara alami dapat meningkatkan daya tarik investasi. Implikasinya terhadap kegiatan ekonomi yang terjadi di masyarakat adalah, bagaimana hasil produksi dari pusat-pusat pertumbuhan tersebut, dapat dipakai untuk melaksanakan kegiatan ekonomi yang berada di daerah sekitar pusat pertumbuhan (hinterland), sedangkan sisi lainnya adalah produksi hasil daerah hinterland tersebut juga dipakai untuk kegiatan ekonomi yang ada di pusat pertumbuhan. Oleh karena itu, dengan kebijakan yang diambil di pusat pertumbuhan tersebut dapat dijadikan sebagai generator untuk mendukung kegiatan ekonomi daerah sekitar. Pusat pertumbuhan dapat diaplikasikan untuk menjembatani perbedaan peluang-peluang kegiatan ekonomi yang ada. Kondisi ini akan menciptakan hubungan timbal balik yang akan menjadi generator bagi pertumbuhan perekonomian daerah. Analisis dilakukan pada dua kota pemekaran tahun 2001 yaitu Kota Baubau yang berada pada wilayah kepulauan Propinsi Sulawesi Tenggara yang berada pada Kawasan Timur Indonesia dan Kota Tasikmalaya yang berada di wilayah Priangan Timur Propinsi Jawa Barat yang berada pada Kawasan Barat Indonesia. Analisis perekonomian wilayah yang dilakukan meliputi klasifikasi dan perkembangan struktur perekonomian wilayah, sektor-sektor yang menjadi sektor unggulan dan daya saing wilayah, perkembangan wilayah, pengaruh/interaksi perekonomian wilayah dan daya tarik wilayah dibandingkan dengan daerah
90
sekitarnya (hinterland). Hasil penelitian lapangan yang telah dilaksanakan disajikan dalam uraian berikut beserta dengan data sekunder yang diperoleh dari berbagai sumber seperti BPS, Bappeda maupun dinas dan sumber lain yang terkait dan relevan dengan penelitian ini. Klasifikasi Wilayah dan Perkembangan Struktur Perekonomian Wilayah 1. Klasifikasi Pertumbuhan Kabupaten/Kota Untuk mengklasifikasikan kabupaten/kota berdasarkan pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita daerah/produk domestik regional bruto atas dasar harga konstan (PDRB ADHK) maka digunakan analisis tipologi klassen. Analisis tipologi klassen daerah digunakan untuk mengetahui gambaran mengenai pola dan struktur pertumbuhan ekonomi masing-masing daerah. Tipologi daerah pada dasarnya membagi daerah berdasarkan dua indikator utama, yaitu pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita daerah/produk domestik regional bruto atas dasar harga konstan suatu daerah. Kedua indikator utama kemudian terbagi dalam dua sumbu yaitu sumbu vertikal merupakan rata-rata pertumbuhan ekonomi dan sumbu horizontal merupakan rata-rata pendapatan per kapita/produk domestik regional bruto atas dasar harga konstan. Model tipologi klasen mengklasifikasi daerah menjadi empat yaitu: daerah cepat maju dan cepat tumbuh (high growth and high income), daerah berkembang cepat (high growth but low income), daerah maju tetapi tertekan (high income but low growth), dan daerah relatif tertinggal (low growth and low income) (Syafrizal 1997; Kuncoro 2013). Kriteria yang dipergunakan dalam mengklasifikasi kabupaten/kota dalam penelitian ini adalah: 1) Daerah cepat maju dan cepat tumbuh (high growth and high income), yaitu kabupaten/kota yang memiliki rata- rata tingkat pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita/produk domestik regional bruto atas dasar harga konstan yang lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata kabupaten/kota se propinsi; 2) Daerah berkembang cepat (high growth but low income), yaitu kabupaten/kota yang memiliki rata-rata pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tetapi memiliki rata-rata pendapatan per kapita/produk domestik regional bruto atas dasar harga konstan lebih rendah dibandingkan rata-rata kabupaten/kota se propinsi; 3) Daerah maju tetapi tertekan (high income but low growth), yaitu kabupaten/kota yang memiliki rata-rata pendapatan per kapita/produk domestik regional bruto atas dasar harga konstan yang tinggi, tetapi memiliki rata-rata pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah dibandingkan rata-rata kabupaten/kota se propinsi; 4) Daerah relatif tertinggal (low growth and low income), yaitu kabupaten/kota yang memiliki rata-rata pertumbuhan ekonomi dan rata-rata pendapatan per kapita/produk domestik regional bruto atas dasar harga konstan lebih rendah dibandingkan rata-rata kabupaten/kota se propinsi. Untuk mengklasifikasikan daerah berdasarkan kriteria tersebut, maka data yang disajikan yaitu perkembangan laju pertumbuhan ekonomi (LPE) dan pendapatan per kapita/produk domestik regional bruto atas dasar harga konstan tahun 2009-2013. Berdasarkan perkembangan laju pertumbuhan ekonomi dan PDRB ADHK 2000 dihitung nilai rata-rata laju pertumbuhan ekonomi dan ratarata produk domestik regional bruto atas dasar harga konstan kabupaten/kota se
91
Provinsi Sulawesi Tenggara dan se Propinsi Jawa Barat tahun 2009 sampai dengan tahun 2013. Perkembangan laju pertumbuhan ekonomi (LPE) dan pendapatan per kapita/produk domestik regional bruto atas dasar harga konstan tahun 2009-2013 kabupaten/kota se Provinsi Sulawesi Tenggara dapat dilihat pada Tabel 19. Tabel 19 Perkembangan Laju Pertumbuhan Ekonomi (LPE) Kabupaten/Kota se Propinsi Sulawesi Tenggara tahun 2009-2013 N o
Pertumbuhan Ekonomi (PE) 2010
2011
2012
2013
Total PE 2009-2013
1. Kota Baubau 10,79 9,18 2. Kota Kendari 11,88 9,89 3. Kab. Buton Utara 10,56 9,15 4. Kab. Konawe Utara 11,99 8,22 5. Kab. Kolaka Utara 7,08 7,25 6. Kab. Wakatobi 13,67 11,54 7. Kab. Bombana 7,74 8,06 8. Kab. Konawe Selatan 11,68 9,72 9. Kab. Kolaka 11,96 12,04 10. Kab. Konawe 9,71 6,68 11. Kab. Muna 7,81 6,82 12. Kab. Buton 8,60 7,73 Nilai Rata-rata Pertumbuhan Ekonomi Kab/Kota Sulawesi Tenggara 7,57 8,22
9,33 10,02 9,32 9,01 8,93 10,38 7,49 8,06 13,07 7,89 7,80 10,84
9,21 9,57 8,14 7,43 10,68 9,56 9,76 9,23 14,94 9,01 7,15 9,11
8,22 8,93 9,46 7,44 9,33 8,04 8,86 7,48 7,36 6,65 7,23 8,63
46,73 50,29 46,63 44,09 43,27 53,19 41,91 47,17 59,37 39,94 36,81 44,91
8,96
10,41
7,28
42,44
Kab/Kota
2009
Rata-rata PE 20092013
9,35 10,06 9,33 8,82 8,65 10,64 8,38 9,43 11,87 7,99 7,36 8,98 9,22 8,49
Sumber: data diolah dari BPS Kota : Baubau, Kendari (2009-2014) Kab: Buton Utara, Konawe Utara, Kolaka Utara, Wakatobi, Bombana, Konawe Selatan, Kolaka, Konawe, Muna dan Kab. Buton, (2009-2014), BPS Pusat (2009-2013).
Tabel 19 terlihat rata-rata laju pertumbuhan ekonomi 12 (duabelas) kabupaten/kota se Provinsi Sulawesi Tenggara tahun 2009-2013 sebesar 9,22 persen lebih besar jika dibandingkan dengan rata-rata laju pertumbuhan ekonomi (LPE) Provinsi Sulawesi Tenggara tahun 2009-2013 sebesar 8,49 persen. Sedang pada nilai rata-rata produk domestik regional bruto atas dasar harga konstan (PDRB ADHK 2000) 12 (duabelas) kabupaten/kota se Provinsi Sulawesi Tenggara tahun 2009-2013 adalah sebesar Rp. 1.058,53 lebih kecil jika dibandingkan dengan nilai rata-rata produk domestik regional bruto atas dasar harga konstan (PDRB ADHK 2000) Provinsi Sulawesi Tenggara tahun 20092013 sebesar Rp. 12.836,63. Perkembangan produk domestik regional bruto atas dasar harga konstan (PDRB ADHK 2000) 12 (duabelas) kabupaten/kota se Provinsi Sulawesi Tenggara tahun 2009-2013 dapat dilihat pada Tabel 20. Tabel 20 Perkembangan PDRB ADHK 2000 Sulawesi Tenggara tahun 2009-2013
Kabupaten/Kota se Propinsi
PDRB ADHK 2000 No
Kab/Kota
1. Kota Baubau 2. Kota Kendari 3. Kab. Buton Utara 4. Kab. Konawe Utara 5. Kab. Kolaka Utara 6. Kab. Wakatobi 7. Kab. Bombana 8. Kab. Konawe Selatan 9. Kab. Kolaka 10. Kab. Konawe 11. Kab. Muna 12. Kab. Buton Total PDRB Tahun Rata-rata PDRB
2009
2010
2011
2012
2013
700,16 1.823,95 334,37 336,10 810,68 234,70 388,83 940,56 2.615,47 858,06 1.041,77 651,12 10.735,77 894,65
764,46 2.004,36 364,96 363,74 869,45 261,79 420,17 1.032,00 2.930,32 915,36 1.112,81 701,45 11.740,87 978,41
835,77 2.205,21 398,99 398,99 947,13 288,89 451,64 1.115,14 3.313,20 987,60 1.199,57 777,46 12.917,10 1.076,43
912,76 2.416,18 431,46 425,96 1.048,31 316,61 495,72 1.218,05 3.808,06 1.076,54 1.285,34 848,26 14.283,25 1.190,27
987,76 2.632,00 472,26 458,00 1146,16 342,06 539,62 1.309,17 3.331,84 1.004,26 1.378,24 921,49 13.834,69 1.152,89
Total PDRB 2009-2013 4.200,91 11.081,70 2.002,04 1980,3 4.821,73 1.444,05 2.295,98 5.614,92 15.998,89 4.841,82 6.017,73 3.899,78
Rata-rata PDRB 2009-2013 840,18 2.216,34 400,41 396,06 964,35 288,81 459,20 1.122,98 3.199,78 968,36 1.203,55 779,96 12.839,97 1.070,36
Sumber: data diolah dari BPS Kota : Baubau, Kendari (2009-2014) Kab: Buton Utara, Konawe Utara, Kolaka Utara, Wakatobi, Bombana, Konawe Selatan, Kolaka, Konawe, Muna dan Kab. Buton, (2009-2014), BPS Pusat (2009-2013).
92
Tabel 19 dan 20 menunjukkan nilai rata-rata laju pertumbuhan ekonomi (LPE) dan nilai rata-rata produk domestik regional bruto atas dasar harga konstan (PDRB ADHK 2000) 12 (duabelas) kabupaten/kota se Provinsi Sulawesi Tenggara tahun 2009-2013. Dengan menggunakan software SPSS 16.0, dibuat tipologi klasen berdasarkan 4 (empat) kuadran yaitu kuadran I (pertama) daerah maju dan cepat tumbuh, kuadran II (kedua) daerah berkembang cepat, kuadran III (ketiga) daerah maju tetapi tertekan dan kuadran IV (keempat) daerah relatif tertinggal. Dalam analisis tipologi klasen sumbu vertikalnya menjelaskan rata-rata laju pertumbuhan ekonomi (LPE) 12 (duabelas) kabupaten/kota sebesar 9,22 persen dan sumbu horisontalnya menjelaskan rata-rata produk domestik regional bruto atas dasar harga konstan (PDRB ADHK 2000) kabupaten/kota dalam jutaan rupiah sebesar Rp.1.058,53. Hasil analisis tipologi klasen kabupaten/kota se Provinsi Sulawesi Tenggara tahun 2009-2013 dapat dilihat pada Gambar 23. Daerah berkembang cepat
Daerah relatif tertinggal
Daerah maju dan cepat tumbuh
Daerah maju tetapi tertekan
Sumber: data diolah dari BPS Kota : Baubau, Kendari (2009-2014) Kab: Buton Utara, Konawe Utara, Kolaka Utara, Wakatobi, Bombana, Konawe Selatan, Kolaka, Konawe, Muna dan Kab. Buton, (2009-2014), BPS Pusat (2009-2013).
Gambar 23
Klasifikasi Kabupaten/Kota se-Propinsi Sulawesi Tenggara dan Posisi Kota Baubau dan wilayah hinterland menurut Tipologi Klassen.
Gambar 23 menunjukkan hasil analisis Tipologi Klassen terhadap 12 (dua belas) kabupaten/kota se-Propinsi Sulawesi Tenggara menunjukkan, terdapat 3 (tiga) kabupaten/kota dengan klasifikasi daerah maju dan cepat tumbuh, yaitu Kabupaten Kolaka, Kota Kendari dan Kabupaten Konawe Selatan. Kabupaten/kota dengan klasifikasi daerah berkembang cepat, terdapat 3 (tiga) yaitu Kabupaten Wakatobi, Kota Baubau dan Kabupaten Buton Utara. Klasifikasi daerah maju tapi tertekan terdapat 1 (satu) kabupaten yaitu Kabupaten Muna. Sedangkan kabupaten dengan klasifikasi daerah relatif tertinggal, terdapat 5
93
(lima) kabupaten yaitu Kabupaten Buton, Konawe Utara, Kolaka Utara, Bombana dan Kabupaten Konawe. Berdasarkan hasil analisis tipologi klasen pada Gambar 23, untuk menggambarkan posisi perekonomian kabupaten/kota se Sulawesi Tenggara (Sultra) Kepulauan meliputi Kota Baubau dan wilayah hinterlandnya (Kabupaten Buton, Kabupaten Buton Utara, Kabupaten Wakatobi, Kabupaten Muna dan Kabupaten Bombana), menunjukkan Kota Baubau masuk daerah dengan klasifikasi daerah berkembang cepat, dibandingkan dengan wilayah hinterlandnya, masing-masing yaitu Kabupaten Wakatobi dan Buton Utara masuk daerah dengan klasifikasi daerah berkembang cepat. Kabupaten Muna merupakan daerah dengan klasifikasi daerah maju tapi tertekan. Sedang Kabupaten Buton dan Kabupaten Bombana, merupakan daerah dengan klasifikasi daerah relatif tertinggal. Posisi Kota Baubau sebagai daerah berkembang cepat, menunjukkan ratarata pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi sebesar 9,35 persen, dibandingkan daerah hinterlandnya dengan klasifikasi daerah berkembang cepat, yaitu Kabupaten Wakatobi memiliki rata-rata pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi sebesar 10,06 persen, namun terhadap Kabupaten Buton Utara dengan rata-rata pertumbuhan ekonomi sebesar 9,33 persen, rata-rata pertumbuhan ekonomi Kota Baubau lebih tinggi. Sedang 3 (tiga) daerah lainnya yaitu Kabupaten Muna sebesar 7,36 persen, Kabupaten Buton sebesar 8,93 persen dan Kabupaten Bombana sebesar 8,38 persen, memiliki rata-rata pertumbuhan ekonomi masih dibawah Kota Baubau. Pada laju pertumbuhan PDRB ADHK 2000, terdapat 3 (tiga) daerah dengan klasifikasi daerah berkembang cepat yaitu Kota Baubau memiliki rata-rata PDRB ADHK 2000 Rp. 840,18 milyar, lebih besar dibandingkan dengan Kabupaten Wakatobi sebesar Rp. 288,81 milyar dan Kabupaten Buton Utara Rp. 400,41 milyar. Terhadap 2 (dua) daerah dengan klasifikasi daerah relatif tertinggal yaitu Kabupaten Buton sebesar Rp. 779,99 milyar dan Kabupaten Bombana sebesar Rp.459,20 milyar, rata-rata PDRB ADHK Kota Baubau lebih besar, namun terhadap Kabupaten Muna dengan ratarata PDRB ADHK sebesar Rp. 1.203,55 triliun, rata-rata PDRB ADHK Kota Baubau masih lebih kecil. Struktur perekonomian Kota Baubau lebih mengandalkan sektor bangunan, sektor perdagangan, hotel dan restoran, sektor pengangkutan dan komunikasi, sektor keuangan, persewaan dan jasa keuangan dan sektor jasa-jasa. Kelima sektor tersebut memberikan kontribusi terbesar dalam pembentukan produk domestik regional bruto (PDRB) Kota Baubau sehingga membuat posisi Kota Baubau dalam tipologi klassen masuk daerah dengan klasifikasi daerah berkembang cepat. Untuk mengklasifikasikan kabupaten/kota se Propinsi Jawa Barat dalam analisis tipologi klasen, berikut ini disajikan perkembangan laju pertumbuhan ekonomi (LPE) dan produk domestik regional bruto atas dasar harga konstan (PDRB ADHK) kabupaten/kota se Propinsi Jawa Barat tahun 2009-2013. Berdasarkan perkembangan laju pertumbuhan ekonomi dan PDRB ADHK 2000
94
dihitung nilai rata-rata laju pertumbuhan ekonomi dan rata-rata produk domestik regional bruto atas dasar harga konstan kabupaten/kota se Propinsi Jawa Barat tahun 2009 -2013 pada Tabel 21. Tabel 21 Perkembangan Laju Pertumbuhan Ekonomi (LPE) Kabupaten/Kota se Propinsi Jawa Barat tahun 2009-2013 Pertumbuhan Ekonomi (PE) 2010
2011
2012
2013
Total PE 2009-2013 (5 thn)
1. Kab. Bogor 4,14 5,09 2. Kab. Sukabumi 3,65 4,02 3. Kab. Cianjur 3,93 4,53 4. Kab. Bandung 4,34 5,88 5. Kab. Garut 5,57 5,34 6. Kab. Tasikmalaya 4,15 4,27 7. Kab. Ciamis 4,92 5,07 8. Kab. Kuningan 4,39 4,99 9. Kab. Cirebon 5,08 4,96 10. Kab. Majalengka 4,73 4,59 11. Kab. Sumedang 4,76 4,22 12. Kab. Indramayu 1,87 4,03 13. Kab. Subang 4,63 4,34 14. Kab. Purwakarta 5,28 5,77 15. Kab. Karawang 7,40 11,87 16. Kab. Bekasi 5,04 6,18 17. Kab. Bandung Barat 4,64 5,47 18. Kab. Pangandaran 19. Kota Bogor 6,02 6,14 20. Kota Sukabumi 6,14 6,11 21. Kota Bandung 8,34 8,45 22. Kota Cirebon 5,05 3,81 23. Kota Bekasi 4,13 5,84 24. Kota Depok 6,22 6,36 25. Kota Cimahi 4,63 5,30 26. Kota Tasikmalaya 5,72 5,73 27. Kota Banjar 5,13 5,28 Nilai Rata-rata Pertumbuhan Ekonomi Kab/Kota Jawa Barat 4,19 6,20
5,96 4,07 4,74 5,94 5,48 4,32 5,11 5,43 5,03 4,67 4,82 4,89 4,45 6,40 8,97 6,21 5,75 4,62 6,19 6,31 8,73 5,93 7,08 6,58 5,56 5,81 5,35
5,99 4,34 5,08 6,15 4,61 4,32 4,99 4,73 4,81 4,76 4,69 5,03 4,52 6,31 5,44 6,19 6,04 4,79 6,15 5,29 8,98 5,57 6,85 7,15 5,24 5,89 5,26
6,04 4,70 4,67 5,96 4,82 4,46 5,02 4,84 4,83 4,87 4,60 3,33 3,10 7,39 7,92 6,11 5,94 4,85 5,86 4,88 8,87 4,79 6,81 6,92 5,18 5,92 5,34
27,22 20,78 22,95 28,27 25,82 21,52 25,11 24,38 24,71 23,62 23,09 19,15 21,04 31,15 41,60 29,73 27,84 14,26 30,36 28,73 43,37 25,15 30,71 33,23 25,91 29,07 26,36
6,48
6,21
6,06
N o
Kab/Kota 2009
Rata-rata PE 20092013 (5 thn)
5,44 4,16 4,59 5,65 5,16 4,30 5,02 4,88 4,94 4,72 4,62 3,83 4,21 6,23 8,32 5,95 5,57 2,85 6,07 5,75 8,67 5,03 6,14 6,65 5,18 5,81 5,27 5,37 5,83
Sumber: data diolah dari BPS Pusat (2009-2013) dan Propinsi Jawa Barat (20013).
Tabel 21 menunjukkan nilai rata-rata laju pertumbuhan ekonomi (LPE) 27 (dua puluh tujuh) kabupaten/kota se Provinsi Jawa Barat tahun 2009-2013 sebesar 5,37 persen lebih kecil dibandingkan rata-rata laju pertumbuhan ekonomi (LPE) Provinsi Jawa Barat tahun 2009-2013 sebesar 5,83 persen. Sedang rata-rata Produk Domestik Regional Bruto Atas Dasar Harga Konstan (PDRB ADHK 2000) 27 (dua puluh tujuh) kabupaten/kota se Provinsi Jawa Barat tahun 20092013 adalah sebesar Rp. 12.236,09 jauh lebih kecil dibandingkan dengan nilai rata-rata produk domestik regional bruto atas dasar harga konstan (PDRB ADHK 2000) Provinsi Jawa Barat tahun 2009-2013 sebesar Rp. 334.082,80. Perkembangan Produk Domestik Regional Bruto Atas Dasar Harga Konstan (PDRB ADHK 2000) 27 (dua puluh tujuh) kabupaten/kota se Provinsi Jawa Barat dapat dilihat pada Tabel 22.
95
Tabel 22 Perkembangan PDRB ADHK 2000 Kabupaten/Kota se Propinsi Jawa Barat tahun 2009-2013 No
Kab/Kota
1.
Kab. Bogor
173.212,38
Rata-rata PDRB 2009-2013 (5 thn) 34.642,48
38.738,21 9.924,63 9.561,00 25.899,00
44.898,26 43.629,59 115.630,44
8.979,65 8.725,92 23.126,09
12.876,41
58.607,16
11.721,43
6.262,92 8.610,62 4.592,00 9.382,18 5.091,67 6.437,59 16.342,00
28.821,65 39.116,21 20.900,17 42.748,16 23.273,16 29.461,59 75.371,68
5.764,33 7.823,24 4.180,03 8.549,63 4.654,63 5.892,32 15.074,34
8.329,45 8.800,22 27.346,00
38.519,68 38.797,63 117.224,51
7.703,94 7.759,53 23.444,90
65.810,68
293.017,62
58.603,52
9.552,08 2.364,50 5.710,00 2.255,00 40.890,01
42.734,09 6.771,54 25.479,62 10.177,74 173.837,51
8.546,82 2.257,18 5.095,92 2.035,55 34.767,50
6.148,00 18.912,21
27.874,32 83.288,86
5.574,86 16.657,77
35.004,40 34.399,46 20.600,60 3.959,40 1.647.357,43
7.000,88 6.879,89 4.120,12 791,88 330.374,36 12.236,09
PDRB ADHK 2000 2009
2010
2011
2012
30.952,14
32.526,4 5 8.641,73 8.299,88 21.734,6 6 11.133,6 3 5.517,02 7.426,48 3.967,07 8.130,33 4.427,89 5.608,74 14.356,3 6 7.373,21 7.244,68 21.615,1 8 54.989,4 1 8.040,22 4.785,43 1.920,73 31.697,2 8 5.246,86 15.476,1 1 6.519,33 6.509,31 3.878,72 749,85
34.464,84
36.530,7 4 9.030,82 9.135,00 24.443,0 0 12.284,5 4 5.995,40 8.198,90 4.380,00 8.949,93 4.885,36 6.154,59 15.815,0 0 8.049,45 8.194,70 25.339,0 0 62.021,9 5 9.016,25 2.255,07 5.394,00 2.149,89 37.558,3 2 5.867,25 17.706,4 1 7.446,00 7.231,38 4.345,86 831,48
2. 3. 4.
Kab. Sukabumi Kab. Cianjur Kab. Bandung
8.308,06 7.940,20 20.527,54
5.
Kab. Garut
10.568,75
6. 7. 8. 9. 10. 11. 12.
Kab. Tasikmalaya Kab. Ciamis Kab. Kuningan Kab. Cirebon Kab. Majalengka Kab. Sumedang Kab. Indramayu
5.291,16 7.071,05 3.778,70 7.746,39 4.233,44 5.381,58 13.799,70
13. 14. 15.
Kab. Subang Kab. Purwakarta Kab. Karawang
7.066,55 6.849,56 19.712,34
16.
Kab. Bekasi
51.789,57
17. 18. 19. 20. 21.
Kab. Bandung Barat Kab. Pangandaran Kota Bogor Kota Sukabumi Kota Bandung
7.623,01 4.508,71 1.810,15 29.228,27
22. 23.
Kota Cirebon Kota Bekasi
5.054,26 14.622,59
8.993,02 8.693,51 23.026,24 11.743,83 5.755,15 7.809,16 4.182,40 8.539,33 4.634,80 5.879,09 15.058,62 7.701,02 7.708,47 23.211,99 58.406,01 8.502,53 2.151,97 5.081,48 2.041,97 34.463,63 5.557,95 16.571,54
2013
24. Kota Depok 6.129,57 6.948,50 7.961,00 25. Kota Cimahi 6.181,40 6.871,22 7.606,15 26. Kota Tasikmalaya 3.668,63 4.104,24 4.603,15 27. Kota Banjar 712,21 789,96 875,90 Total PDRB kabupaten/kota Tahun Nilai Rata-Rata PDRB Kab/Kota ADHK 2000 se Propinsi Jawa Barat Tahun 2009-2013
Total PDRB 2009-2013 (5 thn)
Sumber: data diolah dari BPS Pusat (2009-2013) dan BPS Jawa Barat (2013).
Berdasarkan rata-rata laju pertumbuhan ekonomi (LPE) dan rata-rata produk domestik regional bruto atas dasar harga konstan (PDRB ADHK 2000) 27 (dua puluh tujuh) kabupaten/kota se Provinsi Jawa Barat tahun 2009-2013, dengan menggunakan software SPSS 16.0, dibuat tipologi klasen berdasarkan 4 (empat) kuadran yaitu kuadran I (pertama) daerah maju dan cepat tumbuh, kuadran II (kedua) daerah berkembang cepat, kuadran III (ketiga) daerah maju tetapi tertekan dan kuadran IV (keempat) daerah relatif tertinggal. Analisis tipologi klasen menunjukkan 2 (dua) sumbu, masing-masing sumbu vertikalnya menjelaskan rata-rata laju pertumbuhan ekonomi (LPE) kabupaten/kota sebesar 5,38 persen dan sumbu horisontalnya menjelaskan rata-rata produk domestik regional bruto atas dasar harga konstan (PDRB ADHK 2000) 27 (dua puluh tujuh) kabupaten/kota dalam milyar rupiah sebesar Rp.12.236,09. Hasil analisis tipologi klassen kabupaten/kota se Provinsi Jawa Barat dapat dilihat pada Gambar 24.
96
Daerah berkembang cepat
Daerah maju dan cepat tumbuh
Daerah relatif tertinggal
Daerah maju tetapi tertekan
Sumber: data diolah dari BPS Kota : Tasikmalaya dan Banjar (2009-2014) Kab: Tasikmalaya, Garut, Ciamis, dan Kab. Pangandaran (2009-2014), BPS Pusat (2009-2013) dan BPS Jawa Barat (2013).
Gambar 24 Klasifikasi Kabupaten/Kota se-Propinsi Jawa Barat dan Posisi Kota Tasikmalaya dan wilayah hinterland menurut Tipologi Klassen Keterangan : Kb. Bgr = Kab. Bogor Kb. Skb = Kab. Sukabumi Kb. Cjr = Kab. Cianjur Kb. Bdg = Kab. Bandung Kb. Grt = Kab.Garut Kb. Tsm = Kab.Tasikmalaya Kb. Cms = Kab. Ciamis Kb. Kng = Kab. Kuningan Kb. Crb = Kab. Cirebon
Kb. Mjlk = Kab. Majalengka Kb. Smd = Kab. Sumedang Kb. Idmy = Kab. Indramayu Kb. Sbg = Kab. Subang Kb. Pwk = Kab. Purwakarta Kb. Krw = Kab. Karawang Kb. Bks = Kab. Bekasi Kb. Bdg Brt = Kab.Bandung Barat Kb. Pgd = Kab. Pangandaran
Kt. Bgr = Kota Bogor Kt. Skb = Kota Sukabumi Kt. Bdg = Kota Bandung Kt. Crb = Kota Cirebon Kt. Bks = Kota Bekasi Kt. Dpk = Kota Depok Kt. Cmh = Kota Cimahi Kt. Tsm = Kota Tasikmalaya Kt. Bjr = Kota Banjar
Gambar 24 memperlihatkan dari hasil analisis Tipologi Klassen 27 (dua puluh tujuh) kabupaten/kota se-Propinsi Jawa Barat tahun 2009-2013, menunjukkan untuk klasifikasi daerah maju dan cepat tumbuh, terdapat 6 kabupaten/kota yaitu Kabupaten Karawang, Kota Bandung dan Bekasi, Kabupaten Bandung, Kabupaten Bogor dan Kabupaten Bekasi. Daerah dengan klasifikasi daerah berkembang cepat terdapat 6 kabupaten/kota yaitu Kota Depok, Kabupaten Purwakarta, Kota Bogor, Kota Tasikmalaya, Kota Sukabumi dan Kabupaten Bandung Barat. Daerah dengan klasifikasi daerah maju tapi tertekan terdapat 1 daerah yaitu Kabupaten Indramayu, dan daerah dengan klasifikasi daerah relatif tertinggal terdapat 14 kabupaten/kota yaitu Kota Banjar, Kota Cimahi, Kabupaten Garut, Kabupaten Ciamis, Kota Cirebon, Kabupaten Kuningan, Kabupaten Cirebon, Kabupaten Majalengka, Kabupaten Sumedang, Kabupaten Cianjur, Kabupaten Tasikmalaya, Kabupaten Subang, Kabupaten Sukabumi dan Kabupaten Pangandaran. Berdasarkan analisis tipologi klasen pada Gambar 24, untuk menggambarkan posisi kabupaten/kota se Priangan Timur meliputi Kota Tasikmalaya dan wilayah hinterlandnya dalam analisis tipologi klasen tahun 2009-2013, menunjukkan Kota Tasikmalaya merupakan daerah dengan klasifikasi
97
daerah berkembang cepat, dibandingkan dengan wilayah hinterlandnya yaitu Kabupaten Tasikmalaya, Kabupaten Garut, Kabupaten Ciamis, Kota Banjar dan Kabupaten Pangandaran, masuk dalam kategori daerah relatif tertinggal. Posisi Kota Tasikmalaya sebagai daerah berkembang cepat, karena memiliki rata-rata pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi sebesar 5,81 persen lebih tinggi dibandingkan dengan Kabupaten Tasikmalaya 4,30 persen, Kabupaten Garut 5,16 persen, Kabupaten Ciamis 5,02 persen, Kota Banjar 5,27 persen dan Kabupaten Pangandaran 2,85 persen. Namun untuk rata-rata PDRB ADHK 2000 kabupaten/kota se Priangan Timur, PDRB Kota Tasikmalaya sebesar Rp. 4.120,12 triliun relatif kecil dibandingkan Kabupaten Tasikmalaya Rp. 5.764,33 triliun, Kabupaten Garut Rp. 11.721,43 triliun dan Kabupaten Ciamis Rp. 7.823,24 triliun. Sebaliknya terhadap Kota Banjar sebesar Rp. 791,88 milyar dan Kabupaten Pangandaran sebesar Rp. 2.257,18 triliun, rata-rata PDRB ADHK 2000 Kota Tasikmalaya lebih besar. Analisis tipologi klasen memperlihatkan baik Kota Baubau maupun Kota Tasikmalaya termasuk daerah dengan klasifikasi daerah cepat berkembang, artinya bahwa rata-rata laju pertumbuhan ekonomi (LPE) kedua kota cukup tinggi namun rata-rata PDRB ADHK relatif kecil dibandingkan dengan rata-rata laju pertumbuhan ekonomi dan rata-rata PDRB ADHK kabupaten/kota se Propinsi Sulawesi Tenggara dan se Propinsi Jawa Barat (Gambar 25).
(A) Tipologi Klasen Kab/Kota Sultra Kepulauan Propinsi Sulawesi Tenggara
(B) Tipologi Klasen Kab/Kota Priangan Timur Propinsi Jawa Barat
Gambar 25 Perbandingan Klasifikasi Kabupaten/Kota se-Sultra Kepulauan dan Priangan Timur dan Posisi Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya menurut Tipologi Klassen Gambar 25 memperlihatkan perbandingan posisi 2 (dua) kota wilayah penelitian dalam tipologi klasen yaitu Kota Baubau Propinsi Sulawesi Tenggara dan Kota Tasikmalaya Propinsi Jawa Barat, menunjukkan rata-rata laju pertumbuhan ekonomi Kota Baubau adalah sebesar 9,35 persen, lebih besar dibandingkan dengan rata-rata laju pertumbuhan ekonomi Kota Tasikmalaya sebesar 5,81 persen. Namun untuk rata-rata PDRB ADHK 2000, memperlihatkan PDRB Kota Baubau sebesar Rp. 840,18 milyar lebih kecil jika dibandingkan dengan PDRB ADHK 2000 Kota Tasikmalaya sebesar Rp. 4.120,12 triliun.
98
2. Analisis Perkembangan Struktur Perekonomian Wilayah Perkembangan struktur perekonomian suatu wilayah pada dasarnya ditentukan seberapa banyak dan besarnya keberagaman ekonomi pada suatu wilayah. Semakin beragam dan banyak kegiatan ekonomi maka akan mendorong perkembangan ekonomi wilayah tersebut. Untuk mengetahui dan menganalisis perkembangan struktur perekonomian suatu wilayah maka dipergunakan diversitas entropi yang pada dasarnya ditujukan untuk menghitung tingkat keberagaman dan keberimbangan aktivitas/sektor ekonomi disuatu wilayah. Dengan Nilai Indeks Diversitas Entropi (IDE) akan mencerminkan tingkat perkembangan sektor-sektor ekonomi dalam suatu wilayah, semakin besar atau mendekati 1 nilai IDE suatu wilayah, maka wilayah tersebut dikatakan berkembang dan sebaliknya semakin kecil atau mendekati 0 nilai IDE suatu wilayah, maka wilayah tersebut dikatakan kurang berkembang. Hasil analisis Indeks Diversitas Entropi (IDE) perkembangan sektor-sektor PDRB Kabupaten/ Kota se-Sultra Kepulauan meliputi Kota Baubau dengan wilayah hinterlandnya (Kabupaten Buton, Kabupaten Buton Utara, Kabupaten Wakatobi, Kabupaten Muna dan Kabupaten Bombana) tahun 2003, 2007 dan tahun 2009-2013 dapat dilihat pada Tabel 23. Tabel 23 Nilai Indeks Diversitas Entropi (IDE) Kota Baubau dan wilayah hinterlandnya tahun 2003, 2007 dan tahun 2009-2013 No. 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Kab/kota Sultra Kepulauan Kota Baubau Kab. Buton Kab. Buton Utara Kab. Wakatobi Kab. Muna Kab. Bombana
2003 0,82 0,78 0,78 0,78 0,36
2007 0,84 0,78 0,71 0,80 0,80 0,42
Nilai Indeks Entropi Tahun 2009 2010 2011 2012 0,85 0,85 0,85 0,84 0,79 0,79 0,81 0,83 0,72 0,72 0,73 0,75 0,82 0,83 0,84 0,80 0,81 0,81 0,82 0,82 0,43 0,44 0,45 0,46
2013 0,86 0,84 0,76 0,86 0,82 0,47
Ratarata 0,84 0,80 0,73 0,82 0,81 0,43
Sumber: Hasil analisis Indeks Diversitas Entropi, data diolah dari BPS Kota Baubau (2009-2013) Kab: Buton, Buton Utara, Wakatobi, Muna dan Bombana (2009-2013).
Tabel 23 menunjukkan nilai Indeks Diversitas Entropi (IDE) Kota Baubau tahun 2003 sebesar 0,82 meningkat tahun 2007 sebesar 0,84 dan tahun 2009-2011 sebesar 0,85 namun cenderung menurun tahun 2012 sebesar 0,84 dan meningkat tahun 2013 sebesar 0,86. Kabupaten Buton nilai IDE tahun 2003 dan 2007 sebesar 0,78 meningkat tahun 2009–2010 sebesar 0,79 dan cenderung meningkat tahun 2011 sebesar 0,81; tahun 2012 dan tahun 2013 masing-masing meningkat sebesar 0,83 dan 0,84. Kabupaten Buton Utara, perhitungan nilai IDE mulai tahun 2007 sebesar 0,71 meningkat tahun 2009-2010 sebesar 0,72 dan cenderung meningkat masing-masing tahun 2011sebesar 0,73; tahun 2012 dan tahun 2013 masingmasing meningkat sebesar 0,75 dan 0,76. Kabupaten Wakatobi, nilai IDE tahun 2003 sebesar 0,78 meningkat tahun 2007 sebesar 0,80, tahun 2009 sebesar 0,82 meningkat tahun 2010-2011 masing- masing 0,83 dan 0,84 namun menurun tahun 2012 (0,80) dan meningkat tahun 2013 sebesar 0,86. Kabupaten Muna nilai IDE tahun 2003 sebesar 0,78 meningkat tahun 2007 sebesar 0,80, tahun 2009-2010 sebesar 0,81 dan tahun 2011-2013 meningkat sebesar 0,82. Sedang Kabupaten Bombana nilai IDEnya tahun 2003 sebesar 0,36 meningkat tahun 2007 sebesar 0,42 terus mengalami peningkatan tahun 2009 sebesar 0,43, tahun 2010 sebesar
99
0,44, tahun 2011 sebesar 0,45 tahun 2012 (0,46) dan meningkat tahun 2013 sebesar 0,47. Hasil analisis indeks diversitas entropi untuk wilayah Sultra Kepulauan meliputi Kota Baubau, Kabupaten Buton, Kabupaten Buton Utara, Kabupaten Wakatobi, Kabupaten Muna dan Kabupaten Bombana, menunjukkan perkembangan sektor-sektor ekonomi Kota Baubau dan wilayah hinterlandnya sejak tahun 2003, 2007 dan tahun 2009-2013 mengalami perkembangan, yakni terdapat 4 (empat) daerah, yaitu Kota Baubau, Kabupaten Buton, Kabupaten Wakatobi dan Kabupaten Muna memiliki rata-rata nilai indeks entropi yang relatif tinggi (diatas 0,80); Terdapat 1 (satu) kabupaten yaitu Kabupaten Buton Utara memiliki rata-rata indeks entropi diatas 0,70 dan 1 (satu) kabupaten yaitu Kabupaten Bombana memiliki rata-rata indeks entropi dibawah 0,50. Jika dilihat dari rata-rata IDE kabupaten/kota Sultra Kepulauan mengindikasikan bahwa terjadi penyebaran sektor-sektor ekonomi yang cukup berimbang pada 5 (lima) wilayah kabupaten/kota yaitu Kota Baubau 0,85; Kabupaten Buton 0,80; Kabupaten Wakatobi 0,82 dan Kabupaten Muna 0,81 dan Kabupaten Buton Utara diatas 0,73. Kecuali Kabupaten Bombana sebesar 0,43 sekalipun memperlihatkan peningkatan indeks entropi dari tahun ke tahun namun masih dibawah 0,50 hal ini mengindikasikan sektor ekonomi di Kabupaten Bombana belum maksimal berkembang. Jika dibandingkan rata-rata indeks entropi 2003, 2007 dan tahun 2009-2013 Kota Baubau sebesar 0,84 dengan rata-rata indeks entropi daerah hinterlandnya yaitu Kabupaten Buton 0,80; Kabupaten Buton Utara 0,73; Kabupaten Wakatobi 0,82; Kabupaten Muna 0,81 dan Kabupaten Bombana 0,43 menunjukkan bahwa sektor-sektor ekonomi Kota Baubau lebih maju dan berkembang. Hal ini tentunya tidak terlepas dari posisi strategis Kota Baubau sebagai kota penyangga yang mampu menyediakan dan menyuplai arus barang bagi daerah sekitarnya serta disisi lain perkembangan sektor-sektor ekonomi Kota Baubau seperti listrik, gas dan air bersih, bangunan, perdagangan, hotel dan restoran, pengangkutan dan komunikasi, keuangan, persewaan dan jasa keuangan serta jasa-jasa memberikan sumbangan yang besar dalam pembentukan PDRB Kota Baubau. Disatu sisi juga menunjukkan bahwa aktivitas pembangunan yang terjadi maupun aktivitas ekonomi lebih maju dan berkembang di Kota Baubau. Hasil analisis Indeks Diversitas Entropi (IDE) perkembangan sektor-sektor PDRB Kabupaten/kota se-Priangan Timur yang meliputi Kota Tasikmalaya dan wilayah hinterlandnya (Kabupaten Tasikmalaya, Kabupaten Garut, Kabupaten Ciamis, Kabupaten Pangandaran dan Kota Banjar) pada tahun 2003, 2007 dan 2009-2013 dapat dilihat pada Tabel 24. Tabel 24 Nilai Indeks Diversitas Entropi (IDE) Kota Tasikmalaya dan wilayah hinterlandnya tahun 2003, 2007 dan tahun 2009-2013 Kab/kota se Priangan Nilai Indeks Entropi Tahun Rata-rata Timur 2003 2007 2009 2010 2011 2012 2013 1. Kota Tasikmalaya 0,86 0,86 0,86 0,85 0,85 0,85 0,84 0,85 2. Kab. Tasikmalaya 0,76 0,68 0,70 0,70 0,70 0,71 0,72 0,71 3. Kab. Garut 0,64 0,67 0,67 0,68 0,66 0,68 0,68 0,67 4. Kab. Ciamis 0,80 0,80 0,81 0,81 0,81 0,81 0,81 0,81 5. Kota Banjar 0,86 0,83 0,82 0,82 0,82 0,82 0,82 0,83 6. Kab. Pangandaran 0,75 0,72 0,76 0,74 Sumber: Hasil analisis Indeks Diversitas Entropi, data diolah dari BPS Kota Tasikmalaya dan Banjar (20092013); Kab: Tasikmalaya, Garut, Ciamis dan Pangandaran (2009-2013). No.
100
Tabel 24 menunjukkan perkembangan nilai Indeks Diversitas Entropi (IDE) Kota Tasikmalaya tahun 2003, 2007, 2009 adalah sebesar 0,86 cenderung menurun antara tahun 2010-2012 nilai IDE sebesar 0,85 dan tahun 2013 sebesar 0,84. Jika dibandingkan nilai IDE antara tahun 2009-2013 Kota Tasikmalaya dengan wilayah hinterland meliputi Kabupaten Tasikmalaya nilai IDE tahun 2003 sebesar 0,76 menurun 2007 sebesar 0,68 dan meningkat tahun 2009-2011 sebesar 0,70 meningkat sampai dengan tahun 2013 sebesar 0,72. Kabupaten Garut nilai IDE tahun 2003 sebesar 0,64 meningkat 2007 sebesar 0,67 tahun 2009 dan 2010 masing-masing sebesar 0,67 dan 0,68, namun menurun tahun 2011 sebesar 0,66 dan kembali meningkat tahun 2012-2013 sebesar 0,68. Kabupaten Ciamis nilai IDE tahun 2003 dan 2007 sebesar 0,80 meningkat dari tahun 2009 sampai dengan tahun 2013 sebesar 0,81. Kota Banjar nilai IDE tahun 2003 sebesar 0,86 cenderung menurun 2007 sebesar 0,83, dan tahun 2009 sampai dengan tahun 2013 sebesar 0,82. Sedang Kabupaten Pangandaran yang pemekarannya dilaksanakan tahun 2010 maka nilai IDEnya mulai dihitung tahun 2011, perkembangannya indeks entropy mengalami fluktuasi dimana tahun 2011 sebesar 0,75 tahun 2012 menurun 0,72 dan meningkat tahun 2013 sebesar 0,76. Berdasarkan hasil analisis Indeks Diversitas Entropi untuk wilayah Priangan Timur meliputi Kota Tasikmalaya, Kabupaten Tasikmalaya, Kabupaten Garut, Kabupaten Ciamis, Kota Banjar dan Kabupaten Pangandaran, secara keseluruhan terlihat bahwa sektor-sektor ekonomi PDRB Kota Tasikmalaya dengan wilayah hinterlandnya antara tahun 2003, 2007, dan 2009-2013 cukup berkembang. Jika dilihat dari rata-rata indeks entropi masing-masing kabupaten/kota Priangan Timur, terdapat 3 (tiga) daerah yang memiliki rata-rata indeks entropi yang relatif tinggi (diatas 0,80) atau mendekati 1, yaitu Kota Tasikmalaya 0,85; Kota Banjar 0,83 dan Kabupaten Ciamis 0,81. Sedang 2 (dua) kabupaten yang memiliki ratarata indeks entropi dibawah 0,80 yaitu Kabupaten Tasikmalaya 0,71 dan Kabupaten Garut 0,67. Untuk Kabupaten Pangandaran rata-rata indeks entropi sebesar 0,74 perhitungannya mulai tahun 20011, sehingga dalam analisis ini tidak dibahas secara mendalam. Sekalipun indeks entropi kabupaten/kota se-Priangan Timur tidak merata namun secara umum hasil dari indeks entropi tersebut mengindikasikan bahwa terjadi penyebaran secara berimbang sektor-sektor ekonomi di wilayah kabupaten/kota se-Priangan Timur. Sebaliknya antara tahun 2003, 2007 dan tahun 2009-2013 rata-rata indeks entropi Kota Tasikmalaya 0,85 dibandingkan dengan wilayah hinterlandnya, yaitu Kabupaten Tasikmalaya 0,71, Kabupaten Garut 0,67, Kabupaten Ciamis 0,81, Kota Banjar 0,82 dan Kabupaten Pangandaran 0,74, menunjukkan bahwa sektorsektor ekonomi Kota Tasikmalaya lebih berkembang. Hal ini tentunya tidak terlepas dari posisi strategis Kota Tasikmalaya sebagai kota penyangga khususnya wilayah se-Priangan Timur, yang mampu menyediakan dan menyuplai arus barang bagi daerah sekitarnya. Disisi lain perkembangan sektor ekonomi Kota Tasikmalaya seperti industri pengolahan, listrik, gas dan air bersih, bangunan, perdagangan, hotel dan restoran, pengangkutan dan komunikasi, keuangan, persewaan dan jasa keuangan memberikan sumbangan yang besar dalam pembentukan PDRB Kota Baubau. Disatu sisi juga menunjukkan bahwa aktivitas pembangunan yang terjadi maupun aktivitas ekonomi lebih maju dan berkembang di Kota Tasikmalaya.
101
Perbandingan perkembangan nilai indeks diversitas entropi (IDE) Kota Baubau dengan wilayah hinterland (Kabupaten Buton, Kabupaten Buton Utara, Kabupaten Wakatobi, Kabupaten Muna dan Kabupaten Bombana) dan Kota Tasikmalaya dengan wilayah hinterland (kabupaten/kota se Priangan Timur meliputi Kabupaten Tasikmalaya, Kabupaten Garut, Kabupaten Ciamis, Kabupaten Pangandaran dan Kota Banjar) dapat dilihat pada Gambar 26.
Sumber: Data diolah tahun 2015, BPS Kota Baubau; Kab: Buton, Buton Utara, Wakatobi, Muna dan Bombana (2003-2014) dan BPS Kota Tasikmalaya, Kab: Tasikmalaya, Garut, Ciamis, Kota Banjar dan Kab. Pangandaran (2003-2014).
Gambar 26 Perbandingan perkembangan indeks diversitas entropi (IDE) kabupaten/kota Sultra Kepulauan dan Priangan Timur. Gambar 26 memperlihatkan perbandingan hasil perhitungan analisis indeks diversitas entropi (IDE) kabupaten/kota se-Sultra Kepulauan dan kabupaten/kota se-Priangan Timur tahun 2003, 2007 dan 2009-2013. Nilai indeks diversitas entropi (IDE) kabupaten/kota se-Sultra Kepulauan tahun 2003, 2007 dan 20092013 menunjukkan 5 (lima) kabupaten/kota yaitu Kota Baubau, Kabupaten Buton, Buton Utara, Wakatobi dan Kabupaten Muna memiliki rata-rata indeks diversitas entropi (IDE) diatas 0,70; hanya 1 (satu) kabupaten yang memiliki indeks entropi dibawah 0,70 yaitu Kabupaten Bombana sebesar 0,43. Sebaliknya Nilai indeks diversitas entropi (IDE) kabupaten/kota Priangan Timur tahun 2003, 2007 dan 2009-2013 lebih baik dimana 5 (lima) kabupaten/kota yang memiliki rata-rata indeks diversitas entropi (IDE) diatas 0,70 yaitu Kota Tasikmalaya, Kabupaten Tasikmalaya, Ciamis, Kota Banjar dan Kabupaten Pangandaran, hanya 1 (satu) kabupaten yang memiliki indeks entropi dibawah 0,70 yaitu Kabupaten Garut sebesar 0,67. Jika dibandingkan rata-rata Indeks Diversitas Entropi Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya tahun 2003-2013 menunjukkan rata-rata perkembangan IDE kedua kota tersebut cukup tinggi, Kota Baubau sebesar 0,84 dan Kota Tasikmalaya sebesar 0,85. Ini mengindikasikan bahwa kedua kota pasca pemekaran mengalami perkembangan ekonomi yang cukup pesat. Perkembangan ekonomi yang pesat hal ini karena posisi strategis kedua kota dalam dalam perekonomian di wilayahnya. Hal ini sejalan dengan penelitian Pede (2013) yang melakukan studi pada kabupaten-kabupaten di Amerika Serikat selama periode 1990-2007 menemukan bahwa keragaman ekonomi (diversity economy)
102
memperkuat dan memberikan dampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi daerah. Perkembangan Sektor Basis/Unggulan dan Daya Saing Perekonomian Wilayah 1. Analisis Perkembangan Sektor Basis/Unggulan Wilayah Pertumbuhan dan perkembangan ekonomi suatu daerah menunjukkan terjadinya aktivitas sektor-sektor pembangunan dalam daerah tersebut. Peningkatan aktivitas ekonomi wilayah akan meningkatkan nilai tambah (added value) perekonomian wilayah, sehingga dengan peningkatan nilai tambah ekonomi tersebut akan mendorong terjadinya interaksi ekonomi antar wilayah. Hasil analisis Location Quotient (LQ) sektor-sektor perekonomian wilayah kabupaten/kota se-Sultra Kepulauan tahun 2003, 2007, 2009 dan 2013 meliputi Kota Baubau dan wilayah hinterland (Kabupaten Buton, Kabupaten Buton Utara, Kabupaten Wakatobi, Kabupaten Muna dan Kabupaten Bombana) terhadap sektor-sektor perekonomian Propinsi Sulawesi Tenggara tahun 2003, 2007, 2009 dan 2013 dapat dilihat pada Tabel 25. Tabel 25 Perhitungan Location Quotient (LQ) Kabupaten/Kota Sultra Kepulauan meliputi Kota Baubau dan wilayah hinterland (Kabupaten Buton, Kabupaten Buton Utara, Kabupaten Wakatobi, Kabupaten Muna dan Kabupaten Bombana) tahun 2003 dan 2007 - 2009 dan 2013 Lapangan Usaha No
Kab/Kota
1.
Kota Baubau
2.
3.
Kab. Buton
Kab. Buton Utara
Nilai LQ tahun
Pertan ian
Pertam bangan & Pengga lian
Industri Pengol ahan
Listrik dan Air Bersih
Bangu nan
Perdaga ngan, Hotel & Restoran
Pengang kutan & Komuni kasi
Keuan gan, Perse waan & Jasa
JasaJasa
Jum lah
2003 2007 RataRata Basis/ Non Basis 2009 2013 RataRata Basis/ Non Basis 2003 2007 RataRata Basis/ Non Basis 2009 2013 RataRata Basis/ Non Basis 2003 2007 RataRata Basis/ Non Basis 2009 2013
0,27 0,27
0,10 0,09
0,51 0,46
1,06 1,42
2,37 2,49
1,56 1,43
1,51 1,42
1,11 1,33
1,97 1,96
10,46 10,85
0,27
0,09
0,48
1,24
2,43
1,49
1,47
1,22
1,96
10,66
Non Basis
Non Basis
Non Basis
Basis
Basis
Basis
Basis
Basis
Basis
6/3
0,27 0,26
0,11 0,08
0,55 0,53
1,35 1,28
2,34 2,58
1,33 1,23
1,35 1,20
1,22 1,02
1,81 2,11
10,33 10,30
0,27
0,10
0,54
1,32
2,46
1,28
1,27
1,12
1,96
10,31
Non Basis
Non Basis
Non Basis
Basis
Basis
Basis
Basis
Basis
Basis
6/3
1,01 1,14
0,48 0,52
0,58 0,70
1,67 0,54
1,39 0,88
1,01 1,01
0,32 0,31
0,66 1,05
1,64 1,51
8,76 7,65
1,07
0,50
0,64
1,11
1,14
1,01
0,31
0,86
1,58
8,20
Basis
Non Basis
Non Basis
Basis
Basis
Basis
Non Basis
Non Basis
Basis
5/4
1,22 1,27
0,81 1,31
1,02 0,98
0,60 0,53
0,59 0,51
0,87 0,91
0,33 0,32
0,98 0,82
1,42 1,66
7,84 8,30
1,24
1,06
1,00
0,56
0,55
0,89
0,32
0,90
1,54
8,07
Basis
Basis
Potensi al Basis
Non Basis
Non Basis
Non Basis
Non Basis
Non Basis
Basis
4/5
1,39
0,09
0,88
0,56
0,95
0,72
0,37
0,73
1,27
6,97
Basis
Non Basis
Non Basis
Non Basis
Non Basis
Non Basis
Non Basis
Non Basis
Basis
2/7
1,48 1,61
0,14 0,10
0,95 1,01
0,54 0,58
1,05 1,36
0,64 0,72
0,27 0,29
0,68 0,57
1,23 1,44
6,99 7,68
103
4.
5.
6.
Kab. Wakatobi
Kab. Muna
Kab. Bombana
RataRata Basis/ Non Basis 2003 2007 RataRata Basis/ Non Basis 2009 2013 RataRata Basis/ Non Basis 2003 2007 RataRata Basis/ Non Basis 2009 2013 RataRata Basis/ Non Basis 2003 2007 RataRata Basis/ Non Basis 2009 2013 RataRata Basis/ Non Basis
1,54
0,12
0,98
0,56
1,21
0,68
0,28
0,63
1,34
7,34
Basis
Non Basis
Non Basis
Non Basis
Basis
Non Basis
Non Basis
Non Basis
Basis
3/6
1,09 1,06
0,65 0,71
0,62 0,55
3,67 1,08
0,57 0,68
0,99 0,95
0,35 0,38
1,16 1,56
1,54 1,64
10,63 8,61
1,08
0,68
0,58
2,38
0,63
0,97
0,36
1,36
1,59
9,62
Basis
Non Basis
Non Basis
Basis
Non Basis
Non Basis
Non Basis
Basis
Basis
4/5
1,03 1,04
0,88 0,56
0,63 0,71
1,01 1,04
0,75 0,82
1,03 1,09
0,34 0,38
1,37 1,14
1,61 1,87
8,63 8,64
1,04
0,72
0,67
1,02
0,79
1,06
0,36
1,25
1,74
8,64
Basis
Non Basis
Non Basis
Basis
Non Basis
Basis
Non Basis
Basis
Basis
5/4
1,07 0,96
0,35 0,39
0,79 0,65
0,56 0,48
0,98 1,01
1,15 1,41
0,46 0,47
1,05 0,99
1,33 1,46
7,74 7,82
1,02
0,37
0,72
0,52
1,00
1,28
0,46
1,02
1,39
7,78
Basis
Non Basis
Non Basis
Non Basis
Basis
Basis
Non Basis
Non Basis
Basis
4/5
1,00 1,15
0,48 0,29
0,72 0,80
0,45 0,48
0,93 0,87
1,28 1,29
0,43 0,44
1,03 0,86
1,46 1,70
7,78 7,87
1,07
0,38
0,76
0,46
0,90
1,29
0,43
0,94
1,58
7,82
Basis
Non Basis
Non Basis
Non Basis
Non Basis
Basis
Non Basis
Non Basis
Basis
3/6
1,48 1,51
0,52 0,57
0,23 0,21
0,42 0,37
1,21 1,26
0,69 0,67
0,22 0,23
0,95 0,90
1,01 1,09
6,74 6,81
1,49
0,55
0,22
0,39
1,24
0,68
0,22
0,92
1,05
6,77
Basis
Non Basis
Non Basis
Non Basis
Basis
Non Basis
Non Basis
Non Basis
Basis
3/6
1,53 1,60
0,86 0,85
0,26 0,30
0,33 0,34
1,23 1,45
0,66 0,62
0,22 0,24
0,85 0,71
1,08 1,27
7,02 7,38
1,57
0,86
0,28
0,33
1,34
0,64
0,23
0,78
1,17
7,20
Basis
Non Basis
Non Basis
Non Basis
Basis
Non Basis
Non Basis
Non Basis
Basis
3/6
Sumber: Hasil analisis Location Quotient (LQ), data diolah dari BPS Kota Baubau, Kab: Buton, Buton Utara, Wakatobi, Muna, Bombana dan Propinsi Sulawesi Tenggara, 2003-2014.
Keterangan: LQ > 1 : menunjukkan bahwa sektor i yang terdapat di Kota Baubau, Kab. Buton, Kab. Buton Utara, Kab. Wakatobi, Kab. Muna dan Kab. Bombana merupakan sektor basis LQ < 1 : menunjukkan bahwa sektor i yang terdapat di Kota Baubau, Kab. Buton, Kab. Buton Utara, Kab. Wakatobi, Kab. Muna dan Kab. Bombana merupakan sektor non basis LQ = 1 : menunjukkan bahwa sektor i yang terdapat di Kota Baubau, Kab. Buton, Kab. Buton Utara, Kab. Wakatobi, Kab. Muna dan Kab. Bombana bukan merupakan sektor basis, tetapi memiliki potensi menjadi sektor basis/eksport dan sektor ini hanya mampu memenuhi kebutuhan lokal daerah Tabel 25 memperlihatkan perbandingan nilai Location Quotient (LQ), dari masing-masing kabupaten/kota serta perkembangan sektor basis dan non basis tahun 2003 dan 2007-2009 dan 2013 kabupaten/kota se- Sultra Kepulauan, meliputi Kota Baubau dan wilayah hinterlandnya (Kabupaten Buton, Kabupaten Buton Utara, Kabupaten Wakatobi, Kabupaten Muna dan Kabupaten Bombana) adalah sebagai berikut:
104
Kota Baubau, hasil perhitungan rata-rata Location Quotient (LQ) tahun 2003 dan 2007 menunjukkan terdapat 6 (enam) sektor basis dan 3 (tiga) sektor non basis dengan rata-rata nilai LQ sebesar 10,66. Namun dalam tahun 2009 dan 2013 rata-rata nilai LQ memperlihatkan penurunan dibandingkan tahun 2003 dan 2007, tetapi secara umum dalam tahun 2009 dan 2013 menunjukkan terdapat 6 (enam) sektor yang memiliki rata-rata nilai LQ>1 yaitu sektor tersebut adalah sektor Bangunan 2,46; jasa-jasa 1,96; listrik dan air bersih (1,32), perdagangan, hotel dan restoran (1,28), pengangkutan dan komunikasi (1,27) dan sektor keuangan, persewaaan dan jasa (1,12), sektor-sektor ini menjadi sektor basis. Sedang 3 (tiga) sektor memiliki nilai LQ<1 yaitu sektor industri pengolahan (0,45), pertanian (0,28) dan pertambangan dan pengalian (0,10) dikategorikan sebagai sektor non basis. Rata-rata nilai LQ tahun 2009 dan 2013 sebesar 10,31. Kabupaten Buton, hasil analisis Location Quotient (LQ) tahun 2003 dan 2007 menunjukkan terdapat 5 (lima) sektor basis dan 4 (empat) non basis dengan rata-rata nilai LQ sebesar 8,20. Sedang pada tahun 2009 dan 2013 menunjukkan terdapat 3 (tiga) sektor memiliki rata-rata nilai LQ>1 yaitu sektor jasa-jasa (1,45), pertanian (1,24) dan sektor pertambangan dan penggalian (1,06), sektor-sektor ini disebut sektor basis. Sedang 5 (lima) sektor yang memiliki nilai LQ<1 yaitu sektor keuangan, persewaan dan jasa (0,90), perdagangan, hotel dan restoran (0,89), listrik dan air bersih (0,56), bangunan (0,55), pengangkutan dan komunikasi (0,32) dikategorikan sebagai sektor non basis, dan terdapat 1 (satu) sektor yaitu sektor industri pengolahan (1,00) potensial menjadi sektor basis. Rata-rata nilai LQ tahun 2009 dan 2013 sebesar 8,07. Kabupaten Buton Utara, hasil analisis Location Quotient (LQ) 2007 menunjukkan terdapat 2 (dua) sektor basis dan 7 (tujuh) non basis dengan ratarata nilai LQ sebesar 6,97. Hasil analisis Location Quotient tahun 2009 dan 2013 menunjukkan terdapat 3 (tiga) sektor yang memiliki rata-rata nilai LQ>1 yaitu sektor pertanian (1,54), jasa-jasa (1,34) dan sektor bangunan (1,21), sektor-sektor ini disebut sektor basis. Sedang 6 (enam) sektor memiliki nilai LQ<1 yaitu industri pengolahan (0,98), perdagangan, hotel dan restoran (0,68), keuangan, persewaan dan jasa (0,63), listrik dan air bersih (0,56), pengangkutan dan komunikasi (0,28) serta sektor pertambangan dan penggalian (0,12) dikategorikan sebagai sektor non basis. Rata-rata nilai LQ tahun 2009 dan 2013 sebesar 7,34. Kabupaten Wakatobi, hasil analisis Location Quotient (LQ) tahun 2003 dan 2007 menunjukkan terdapat 4 (empat) sektor basis dan 5 (lima) non basis dengan rata-rata nilai LQ sebesar 9,62. Sedang analisis Location Quotient tahun 2009 dan 2013 menunjukkan terdapat 5 (lima) yang memiliki rata-rata nilai LQ>1 yaitu sektor jasa-jasa (1,74), keuangan, persewaan dan jasa (1,25), perdagangan, hotel dan restoran (1,06), pertanian (1,04) dan sektor listrik dan air bersih (1,02), sektor-sektor ini disebut sektor basis. Sedang 4 (empat) sektor memiliki nilai LQ<1 yaitu sektor bangunan (0,79), pertambangan dan pengalian (0,72), industri pengolahan (0,67), dan sektor pengangkutan dan komunikasi (0,36) dikategorikan sektor non basis. Rata-rata nilai LQ tahun 2009 dan 2013 sebesar 8,64.
105
Kabupaten Muna, hasil analisis Location Quotient (LQ) tahun 2003 dan 2007 menunjukkan terdapat 4 (empat) sektor basis dan 4 (empat) non basis dan 1 (satu) potensial basis dengan rata-rata nilai LQ sebesar 7,78. Hasil analisis Location Quotient tahun 2009 dan 2013 menunjukkan terdapat 3 (tiga) yang memiliki rata-rata nilai LQ>1 yaitu sektor jasa-jasa (1,58), diikuti sektor perdagangan, hotel dan restoran (1,29), dan sektor pertanian (1,07), sektor-sektor ini disebut sektor basis. Sedang 6 (enam) sektor memiliki nilai LQ<1 yaitu sektor keuangan, persewaan dan jasa (0,94), bangunan (0,90), industri pengolahan (0,76), listrik dan air bersih (0,46), pengangkutan dan komunikasi (0,43) dan sektor pertambangan dan penggalian (0,38) dikategorikan sebagai sektor non basis. Rata-rata nilai LQ tahun 2009 dan 2013 sebesar 7,82. Kabupaten Bombana, hasil analisis Location Quotient (LQ) tahun 2003 dan 2007 menunjukkan terdapat 3 (tiga) sektor basis dan 6 (enam) non basis dengan rata-rata nilai LQ sebesar 6,77. Hasil analisis Location Quotient tahun 2009 dan 2013 menunjukkan terdapat 3 (tiga) sektor yang memiliki rata-rata nilai LQ>1 yaitu sektor pertanian (1,57), bangunan (1,34) dan sektor jasa-jasa (1,17), sektor-sektor ini disebut sektor basis. Sedang 6 (enam) sektor memiliki nilai LQ<1 yaitu sektor pertambangan dan penggalian (0,86), keuangan, persewaan dan jasa (0,78), perdagangan, hotel dan restoran (0,64), listrik dan air bersih (0,33), industri pengolahan (0,28) dan sektor pengangkutan dan komunikasi (0,23) dikategorikan sebagai sektor non basis. Rata-rata nilai LQ tahun 2009 dan 2013 sebesar 7,20. Berdasarkan Tabel 25, hasil analisis nilai Location Quotient (LQ), perbandingan masing-masing sektor kabupaten/kota se Sultra Kepulauan tahun 2003 dan 2007 menunjukkan bahwa Kota Baubau memiliki 6 sektor basis dan 3 sektor non basis, Kabupaten Buton 4 sektor basis dan 5 sektor non basis, Kabupaten Buton Utara tahun 2007 terdapat 2 sektor basis dan 7 sektor non basis, Kabupaten Wakatobi 4 sektor basis dan 5 sektor non basis, Kabupaten Muna 4sektor basis, 4 sektor non basis dan 1 sektor potensial basis, dan Kabupaten Bombana 3 sektor basis dan 6 sektor non basis. Sedang tahun 2009 dan 2013 menunjukkan bahwa Kota Baubau memiliki 6 sektor basis dan 3 sektor non basis, Kabupaten Buton 3 sektor basis dan 6 sektor non basis, Kabupaten Buton Utara 3 sektor basis dan 6 sektor non basis, Kabupaten Wakatobi 5 sektor basis dan 4 sektor non basis, Kabupaten Muna 3 sektor basis dan 6 sektor non basis, dan Kabupaten Bombana 3 sektor basis dan 6 sektor non basis. Dari besaran rata-rata LQ sektor-sektor Kota Baubau dibandingkan daerah sekitarnya tahun 2003 dan 2007 memperlihatkan rata-rata LQ Kota Baubau lebih besar yaitu sebesar 10,66, disusul oleh Kabupaten Buton sebesar 8,20, Kabupaten Buton Utara 6,97, Kabupaten Wakatobi sebesar 9,62, Kabupaten Muna 7,78, dan Kabupaten Bombana sebesar 6,77. Sedang tahun 2009 dan 2013, menunjukkan rata-rata LQ Kota Baubau lebih besar yaitu 10,31, disusul oleh Kabupaten Buton 8,07, Kabupaten Buton Utara 7,34, Kabupaten Wakatobi 8,64, Kabupaten Muna 7,82, dan Kabupaten Bombana 7,20. Perkembangan rata-rata LQ sektor-sektor Kota Baubau dibandingkan daerah sekitarnya (hinterland) dapat dilihat pada Gambar 27.
106
Sumber: BPS Kota Baubau, Kab: Buton, Buton Utara, Wakatobi, Muna dan Bombana dan Propinsi Sulawesi Tenggara (20032013)
Gambar 27 Perkembangan rata-rata LQ Kota Baubau dibandingkan daerah sekitarnya (hinterland) tahun 2003/2007 dan 2009/2013 Besarnya nilai Location Quotient (LQ) Kota Baubau dibandingkan daerah sekitarnya tahun 2009 dan 2013 karena terdapat 6 (enam) sektor basis yaitu bangunan, listrik dan air bersih, perdagangan, hotel dan restoran, pengangkutan dan komunikasi, keuangan persewaan dan jasa dan sektor jasa-jasa, sekalipun menunjukkan penurunan dari tahun 2009 ke tahun 2013 namun sektor ini tetap menjadi sektor unggulan dalam perekonomian Kota Baubau, diasumsikan sektorsektor tersebut mampu memenuhi kebutuhan lokal serta memiliki kelebihan produk yang bisa dijual kedaerah lainnya. Perkembangan sektor-sektor diatas sebagai sektor basis, tidak terlepas dari peranan dan pertumbuhan sektor-sektor tersebut dalam pembentukan PDRB Kota Baubau. Peranan tersebut ditunjukkan besarnya kontribusi dalam pembentukan PDRB. Tahun 2009 sektor listrik dan air bersih nilai PDRB sebesar Rp.7.051,56, tahun 2013 meningkat sebesar Rp. 11.241,74, sektor bangunan tahun 2009 sebesar Rp.139.915,65, tahun 2013 meningkat sebesar Rp.248.314,47, sektor perdagangan, hotel dan restoran tahun 2009 sebesar Rp.156.796,43, tahun 2013 meningkat sebesar Rp.223.691,52, sektor pengangkutan dan komunikasi tahun 2009 sebesar Rp.82.611,47, tahun 2013 meningkat sebesar Rp.104.351,82, sektor keuangan persewaan dan jasa tahun 2009 sebesar Rp.49.099,12, tahun 2013 meningkat sebesar Rp.81.911,58 dan sektor jasa-jasa tahun 2009 sebesar Rp.167.297,95 tahun 2013 meningkat sebesar Rp.200.026,79. Sedangkan 3 (tiga) sektor yaitu sektor pertanian, pertambangan dan penggalian, industri pengolahan, sekalipun bukan sektor basis bagi perekonomian Kota Baubau, namun dalam pembentukan PDRB sektor-sektor ini memperlihat perkembangan yang signifikan. Hal ini terlihat dari perkembangan PDRB sektor pertanian tahun 2009 sebesar Rp. 62.820,01, tahun 2013 meningkat sebesar Rp. 70.027,82, sektor pertambangan dan penggalian tahun 2009 sebesar Rp. 3.864,93, tahun 2013 meningkat sebesar Rp. 7.777,80, dan sektor industri pengolahan tahun 2009 sebesar Rp. 30.701,53, tahun 2013 meningkat sebesar Rp. 40.413,40.
107
Pada Tabel 25 menarik untuk dicermati, dimana hasil perhitungan LQ Kota Baubau selama periode 2003 dan 2007-2009 dan 2013, sektor pertanian, pertambangan dan penggalian dan sektor industri pengolahan tidak pernah memiliki nilai LQ>1, sebaliknya sektor listrik, gas, dan air bersih, bangunan, perdagangan, hotel dan restoran, pengangkutan dan komunikasi, keuangan, persewaan, dan jasa dan sektor jasa-jasa memiliki nilai LQ>1. Melihat banyaknya sektor basis/unggulan berdasarkan perhitungan rata-rata LQ ini, penetapan Kota Baubau sebagai pusat pertumbuhan di Sultra Kepulauan cukup tepat. Hasil analisis Location Quotient (LQ) sektor-sektor dalam perekonomian wilayah se-Priangan Timur tahun 2003 dan 2007-2009 dan 2013 meliputi Kota Tasikmalaya dan wilayah hinterlandnya ( Kabupaten Tasikmalaya, Kabupaten Garut, Kabupaten Ciamis, Kota Banjar dan Kabupaten Pangandaran) terhadap sektor-sektor perekonomian Propinsi Jawa Barat tahun 2003 dan 2007-2009 dan 2013 dapat dilihat pada Tabel 26. Tabel 26 Perhitungan Location Quotient (LQ) kabupaten/kota Priangan Timur meliputi Kota Tasikmalaya dan wilayah hinterland (Kabupaten Tasikmalaya, Kabupaten Garut, Kabupaten Ciamis, Kota Banjar dan Kabupaten Pangandaran) tahun 2003 dan 2007-2009 dan 2013 Lapangan Usaha No
Kab/Kota
1.
Kota Tasikmalaya
2.
3.
4.
Kab. Tasikmalaya
Kab. Garut
Kab. Ciamis
Nilai LQ tahun
Pertani an
Pertam bangan & Pengga lian
Industri Pengol ahan
Listrik dan Air Bersih
Bang unan
Perdaga ngan, Hotel & Restoran
Pengang kutan & Komuni kasi
Keuan gan, Perse waan & Jasa
JasaJasa
2003 2007 RataRata Basis/ Non Basis 2009 2013 RataRata Basis/ Non Basis 2003 2007 RataRata Basis/ Non Basis 2009 2013 RataRata Basis/ Non Basis 2003 2007 RataRata Basis/ Non Basis 2009 2013 RataRata Basis/ Non Basis 2003 2007
0,79 0,69
0,00 0,00
0,41 0,40
0,70 0,78
3,49 3,02
1,69 1,45
2,39 2,04
2,45 2,48
1,76 2,04
13,68 12,90
0,74
0,00
0,41
0,74
3,25
1,57
2,22
2,46
1,90
13,64
Non Basis
Non Basis
Non Basis
Non Basis
Basis
Basis
Basis
Basis
Basis
5/4
0,59 0,60
0,00 0,00
0,41 0,42
0,74 0,72
3,19 3,04
1,48 1,41
1,96 1,36
3,31 2,84
1,79 1,71
13,49 12,11
0,60
0,00
0,42
0,73
3,12
1,44
1,66
3,08
1,75
12,80
Non Basis
Non Basis
Non Basis
Non Basis
Basis
Basis
Basis
Basis
Basis
5/4
2,77 3,72
0,04 0,11
0,15 0,17
0,61 0,49
1,75 0,23
1,35 1,06
1,16 1,10
1,08 1,09
2,36 2,72
11,26 10,69
3,24
0,07
0,16
0,55
0,99
1,21
1,13
1,09
2,54
10,98
Basis
Non Basis
Non Basis
Non Basis
Non Basis
Basis
Basis
Basis
Basis
5/4
3,27 3,67
0,09 0,12
0,17 0,19
0,45 0,45
0,22 0,17
1,07 1,03
1,07 0,86
1,22 1,04
2,24 2,14
9,80 9,66
3,47
0,11
0,18
0,45
0,19
1,05
0,96
1,13
2,19
9,73
Basis
Non Basis
Non Basis
Non Basis
Non Basis
Basis
Non Basis
Basis
Basis
4/5
3,87 3,58
0,02 0,06
0,17 0,15
0,23 0,24
0,99 0,84
1,43 1,35
0,67 0,66
0,80 0,81
2,36 1,14
11,26 8,82
3,72
0,04
0,16
0,23
0,91
1,39
0,67
0,81
1,06
8,99
Basis
Non Basis
Non Basis
Non Basis
Non Basis
Basis
Non Basis
Non Basis
Basis
3/6
3,35 3,95
0,05 0,07
0,16 0,18
0,23 0,26
0,82 0,72
1,32 1,21
0,65 0,51
1,17 1,00
1,45 1,38
9,21 9,29
3,65
0,06
0,17
0,25
0,77
1,27
0,58
1,09
1,42
9,25
Basis
Non Basis
Non Basis
Non Basis
Non Basis
Basis
Non Basis
Basis
Basis
4/5
2,63 2,47
0,05 0,15
0,17 0,15
0,31 0,28
2,26 1,75
1,30 1,25
1,85 1,90
1,70 1,72
1,91 2,20
12,17 11,89
Jum lah
108
5.
6.
Kota Banjar
Kab. Pangandaran
RataRata Basis/ Non Basis 2009 2013 RataRata Basis/ Non Basis 2003 2007 RataRata Basis/ Non Basis 2009 2013 RataRata Basis/ Non Basis 2011 2013 RataRata Basis/ Non Basis
2,55
0,10
0,16
0,30
2,00
1,28
1,88
1,71
2,06
12,03
Basis
Non Basis
Non Basis
Non Basis
Basis
Basis
Basis
Basis
Basis
6/3
2,21 2,40
0,14 0,18
0,16 0,19
0,28 0,33
1,62 1,19
1,26 1,20
1,92 1,41
1,71 1,47
2,46 2,35
11,76 10,71
2,30
0,16
0,18
0,30
1,40
1,23
1,67
1,59
2,41
11,23
Basis
Non Basis
Non Basis
Non Basis
Basis
Basis
Basis
Basis
Basis
6/3
1,74 1,57
0,05 0,13
0,32 0,26
0,49 0,48
1,77 1,54
1,36 1,62
1,76 1,65
3,99 4,05
1,69 1,94
13,17 13,25
1,66
0,09
0,29
0,49
1,65
1,49
1,70
4,02
1,82
13,21
Basis
Non Basis
Non Basis
Non Basis
Basis
Basis
Basis
Basis
Basis
6/3
1,46 1,51
0,12 0,14
0,27 0,30
0,45 0,45
1,57 1,37
1,61 1,52
1,63 1,28
2,03 1,74
2,23 2,13
11,38 10,44
1,49
0,13
0,28
0,45
1,47
1,56
1,46
1,89
2,18
10,91
Basis
Non Basis
Non Basis
Non Basis
Basis
Basis
Basis
Basis
Basis
6/3
2,77 2,83
0,30 0,35
0,12 0,13
0,32 0,32
1,20 1,09
1,44 1,43
0,34 0,31
1,34 1,23
2,52 2,35
10,35 10,06
2,80
0,33
0,13
0,32
1,15
1,44
0,32
1,28
2,43
10,20
Basis
Non Basis
Non Basis
Non Basis
Basis
Basis
Non Basis
Basis
Basis
5/4
Sumber: Hasil analisis Location Quation (LQ), data diolah dari PDRB Kota Tasikmalaya, Kab. Tasikmalaya, Kab. Garut, Kab. Ciamis, Kota Banjar, Kab. Pangandaran dan Propinsi Jawa Barat, 2003-2013. Keterangan: LQ > 1 : menunjukkan sektor i yang terdapat di Kota Tasikmalaya, Kab. Tasikmalaya, Kab. Garut, Kab. Ciamis, Kota Banjar dan Kab. Pangandaran merupakan sektor basis LQ < 1 : menunjukkan sektor i yang terdapat di Kota Tasikmalaya, Kab. Tasikmalaya, Kab. Garut, Kab. Ciamis, Kota Banjar dan Kab. Pangandaran merupakan sektor non basis LQ = 1 : menunjukkan sektor i yang terdapat di Kota Tasikmalaya, Kab. Tasikmalaya, Kab. Garut, Kab. Ciamis, Kota Banjar dan Kab. Pangandaran sama derajatnya dengan sektor i di Propinsi Jawa Barat secara umum. Pada sektor ini bukan merupakan sektor basis, tetapi memiliki potensi menjadi sektor basis/eksport,dimana sektor ini hanya mampu memenuhi kebutuhan lokal daerah Tabel 26 memperlihatkan hasil perhitungan nilai Location Quotient (LQ), dari masing-masing kabupaten/kota serta perkembangan sektor basis dan non basis tahun 2003 dan 2007-2009 dan 2013 kabupaten/kota se-Priangan Timur meliputi Kota Tasikmalaya dan wilayah hinterland ( Kabupaten Tasikmalaya, Kabupaten Garut, Kabupaten Ciamis, Kota Banjar dan Kabupaten Pangandaran) adalah sebagai berikut: Kota Tasikmalaya, hasil analisis Location Quotient (LQ) tahun 2003 dan 2007 menunjukkan terdapat 5 (lima) sektor yang memiliki nilai LQ>1 yaitu sektor bangunan (3,25), sektor keuangan, persewaan dan jasa (2,46), sektor jasa-jasa (1,90), sektor pengangkutan dan komunikasi (2,22) dan sektor perdagangan, hotel dan restoran (1,57), sektor-sektor ini dikategorikan sektor basis. Sedang 4 (empat)
109
sektor memiliki rata-rata nilai LQ<1 yaitu sektor listrik dan air bersih (0,74), pertanian (0,74), industri pengolahan (0,41) dan pertambangan dan penggalian (0,00) dikategorikan sebagai sektor non basis. Hasil analisis Location Quotient (LQ) tahun 2009 dan 2013 menunjukkan terdapat 5 (lima) sektor yang memiliki nilai LQ>1 yaitu sektor bangunan (3,12), sektor keuangan, persewaan dan jasa (3,08), sektor jasa-jasa (1,75), sektor pengangkutan dan komunikasi (1,66) dan sektor perdagangan, hotel dan restoran (1,44), sektor-sektor ini dikategorikan sektor basis. Sedang 4 (empat) sektor memiliki rata-rata nilai LQ<1 yaitu sektor listrik dan air bersih (0,73), pertanian (0,60), industri pengolahan (0,40) dan pertambangan dan penggalian (0,00) dikategorikan sebagai sektor non basis. Kabupaten Tasikmalaya, hasil analisis Location Quotient (LQ) tahun 2003 dan 2007 menunjukkan terdapat 4 (empat) sektor basis dan 5 (lima) non basis dengan rata-rata nilai LQ sebesar 10,98. tahun 2009 dan 2013 menunjukkan terdapat 4 (empat) sektor yang memiliki nilai LQ>1 yaitu sektor pertanian (3,47), diikuti sektor jasa-jasa (2,19), sektor keuangan, persewaan dan jasa (1,13), sektor perdagangan, hotel dan restoran (1,05), sektor-sektor ini dikategorikan sektor basis. Sedang 5 (lima) sektor memiliki rata-rata nilai LQ<1 yaitu sektor pengangkutan & komunikasi (0,96), listrik dan air bersih (0,45), bangunan (0,19), industri pengolahan (0,18) dan sektor pertambangan dan penggalian (0,11) sektorsektor ini dikategorikan sebagai non basis. Kabupaten Garut, hasil analisis Location Quotient (LQ) tahun 2003 dan 2007 menunjukkan terdapat 3 (tiga) sektor basis dan 6 (enam) non basis dengan rata-rata nilai LQ sebesar 8,99. Sedang hasil analisis Location Quotient tahun 2009 dan 2013 menunjukkan terdapat 4 (empat) sektor yang memiliki nilai LQ>1 yaitu sektor pertanian (3,65), diikuti sektor jasa-jasa (1,42), perdagangan, hotel dan restoran (1,27) dan sektor keuangan, persewaan dan jasa (1,09), sektor-sektor ini dikategorikan sektor basis. Sedang 5 (lima) sektor memiliki rata-rata nilai LQ<1 yaitu sektor bangunan (0,77), pengangkutan dan komunikasi (0,58), listrik dan air bersih (0,25), industri pengolahan (0,17), dan sektor pertambangan & penggalian (0,06) merupakan sektor non basis. Kabupaten Ciamis, hasil analisis Location Quotient (LQ) tahun 2003 dan 2007 menunjukkan terdapat 6 (enam) sektor basis dan 3 (tiga) sektor non basis dengan rata-rata nilai LQ sebesar 12,03. Hasil analisis Location Quotient (LQ) tahun 2009 dan 2013 menunjukkan terdapat 6 (enam) sektor yang memiliki nilai LQ > 1 yaitu sektor jasa-jasa (2,41), diikuti sektor pertanian (2,30), pengangkutan dan komunikasi (1,67), keuangan, persewaan dan jasa (1,59), bangunan (1,40) dan sektor perdagangan, hotel dan restoran (1,23), sektor-sektor ini dikategorikan sektor basis. Sedang 3 (tiga) sektor memiliki rata-rata nilai LQ<1 yaitu sektor listrik dan air bersih (0,30), industri pengolahan (0,18), dan pertambangan & penggalian (0,16) merupakan sektor non basis. Kota Banjar, hasil analisis Location Quotient (LQ) tahun 2003 dan 2007 menunjukkan terdapat 6 (enam) sektor basis dan 3 (tiga) sektor non basis dengan rata-rata nilai LQ sebesar 13,21. Sedang analisis Location Quotient (LQ) tahun 2009 dan 2013 menunjukkan terdapat 6 (enam) sektor yang memiliki nilai LQ>1
110
yaitu sektor jasa-jasa (2,18), diikuti sektor keuangan, persewaan dan jasa (1,89), perdagangan, hotel dan restoran (1,56), pertanian (1,49), bangunan (1,47), pengangkutan dan komunikasi (1,46), sektor-sektor ini dikategorikan sektor basis. Sedang 3 (tiga) sektor memiliki rata-rata nilai LQ<1 yaitu listrik dan air bersih (0,45), industri pengolahan (0,28), dan pertambangan & penggalian (0,13) merupakan sektor non basis. Kabupaten Pangandaran pemekaran tahun 2010 sehingga analisis dimulai tahun 2011. Hasil analisis Location Quotient (LQ) tahun 2011 dan 2013 menunjukkan terdapat 5 (lima) sektor yang memiliki nilai LQ>1 yaitu sektor pertanian (2,80), diikuti sektor jasa-jasa (2,43), perdagangan, hotel dan restoran (1,44), keuangan, persewaan dan jasa (1,28) dan bangunan (1,15), sektor-sektor ini dikategorikan sektor basis. Sedang 4 (empat) sektor memiliki rata-rata nilai LQ<1 yaitu sektor pertambangan & penggalian (0,33), listrik dan air bersih (0,32), pengangkutan dan komunikasi (0,32) dan sektor industri pengolahan (0,28) kategori sektor non basis. Berdasarkan hasil analisis nilai Location Quotient (LQ), tahun 2003 dan 2007 masing-masing sektor kabupaten/kota se Priangan Timur menunjukkan bahwa Kota Tasikmalaya memiliki 5 sektor basis dan 4 sektor non basis, Kabupaten Tasikmalaya memiliki 5 sektor basis dan 4 sektor non basis, Kabupaten Garut memiliki 3 sektor basis dan 6 sektor non basis, Kabupaten Ciamis memiliki 6 sektor basis dan 3 sektor non basis, Kota Banjar memiliki 6 sektor basis dan 3 sektor non basis. Sedang Tahun 2009 dan 2013 perbandingan masing-masing sektor kabupaten/kota se Priangan Timur menunjukkan bahwa Kota Tasikmalaya memiliki 5 sektor basis dan 4 sektor non basis, Kabupaten Tasikmalaya memiliki 4 sektor basis dan 5 sektor non basis, Kabupaten Garut memiliki 3 sektor basis dan 6 sektor non basis, Kabupaten Ciamis memiliki 6 sektor basis dan 3 sektor non basis, Kota Banjar memiliki 6 sektor basis dan 3 sektor non basis, dan Kabupaten Pangandaran memiliki 5 sektor basis dan 4 sektor non basis. Perkembangan besaran rata-rata LQ sektor-sektor Kota Tasikmalaya dibandingkan daerah sekitarnya (hinterland) berdasarkan analisis tahun 2003 dan 2007, menunjukkan rata-rata LQ Kota Tasikmalaya lebih besar yaitu 13,64, Kabupaten Tasikmalaya 10,54, Kabupaten Garut 9,31, Kabupaten Ciamis 12,04, Kota Banjar 12,37. Sebaliknya pada tahun 2009 dan 2013 menunjukkan penurunan rata-rata LQ Kota Tasikmalaya sebesar 12,80, sekalipun jika dibandingkan dengan daerah sekitarnya lebih besar dari Kabupaten Tasikmalaya 9,73, Kabupaten Garut 9,25, Kabupaten Ciamis 11,23, Kota Banjar 10,91, dan Kabupaten Pangandaran 10,20. Perkembangan rata-rata LQ sektor-sektor Kota Tasikmalaya dibandingkan daerah sekitarnya (hinterland) dapat dilihat pada Gambar 28.
111
Sumber: Hasil analisis Location Quation (LQ), data diolah dari PDRB Kota Tasikmalaya, Kabupaten: Tasikmalaya, Garut, Ciamis, Kota Banjar dan Kabupaten Pangandaran (2003-2014) Gambar 28 Perkembangan rata-rata LQ Kota Tasikmalaya dibandingkan daerah sekitarnya (hinterland) tahun 2003/2007 dan 2009/2013 Besarnya nilai LQ Kota Tasikmalaya dibandingkan daerah sekitarnya antara tahun 2003/2007 dan tahun 2009/2013 karena terdapat 5 (lima) sektor basis yaitu bangunan, perdagangan, hotel dan restoran, pengangkutan dan komunikasi, keuangan persewaan dan jasa dan sektor jasa-jasa. Sektor-sektor ini sekalipun menunjukkan penurunan LQ dari tahun 2003/2007 dan tahun 2009/2013 namun sektor ini tetap menjadi sektor unggulan dalam perekonomian Kota Tasikmalaya, diasumsikan sektor-sektor tersebut mampu memenuhi kebutuhan lokal serta memiliki kelebihan produk yang bisa diekspor kedaerah lainnya. Perkembangan sektor-sektor diatas sebagai sektor basis, tidak terlepas dari peranan dan pertumbuhan sektor-sektor tersebut dalam pembentukan PDRB Kota Tasikmalaya. Peranan tersebut ditunjukkan besarnya kontribusi dalam pembentukan PDRB, nilai PDRB sektor bangunan tahun 2009 sebesar Rp. 397.695,00,- tahun 2013 meningkat sebesar Rp. 600.309,03, sektor perdagangan, hotel dan restoran tahun 2009 sebesar Rp. 1.122.539,13, tahun 2013 meningkat sebesar Rp. 1.525.529,52, sektor pengangkutan dan komunikasi tahun 2009 sebesar Rp. 313.552,15, tahun 2013 meningkat sebesar Rp. 351.561,00, sektor keuangan persewaan dan jasa tahun 2009 sebesar Rp. 385.273,79, tahun 2013 meningkat sebesar Rp. 473.435,72 dan sektor jasa-jasa tahun 2009 sebesar Rp. 437.244,95, tahun 2013 meningkat sebesar Rp. 475.147,94. Sedangkan 4 (empat) sektor yaitu sektor pertanian, pertambangan dan penggalian, industri pengolahan dan listrik, gas dan air bersih walaupun bukan sektor basis bagi perekonomian Kota Tasikmalaya, namun dalam pembentukan PDRB sektor-sektor ini memperlihat perkembangan yang signifikan. Hal ini terlihat dari perkembangan PDRB sektor pertanian tahun 2009 sebesar Rp. 297.098,93, tahun 2013 meningkat sebesar Rp. 311.299,38, sektor pertambangan dan penggalian tahun 2009 sebesar Rp. 200,08, tahun 2013 meningkat sebesar Rp. 215,66, dan sektor industri pengolahan tahun 2009 sebesar Rp. 653.935,23, tahun
112
2013 meningkat sebesar Rp. 791.270,41, dan listrik, gas dan air bersih tahun 2009 sebesar Rp. 61.088,95 tahun 2013 meningkat sebesar Rp. 74.380,13. Menarik untuk dicermati Tabel 26, dimana hasil perhitungan LQ Kota Tasikmalaya selama periode 2009 dan 2013, sektor pertanian, sektor pertambangan dan penggalian, sektor industri pengolahan dan sektor listrik, gas dan air bersih memiliki nilai LQ<1, artinya sektor ini bukan sektor basis/unggulan bagi Kota Tasikmalaya, sesuai dengan kondisi alam dan sumberdaya alam yang dimiliki. Sebaliknya sektor bangunan, sektor perdagangan, hotel dan restoran, sektor pengangkutan dan komunikasi, sektor keuangan, persewaan, dan jasa dan sektor jasa-jasa memiliki nilai LQ>1, artinya sektor ini merupakan sektor basis/unggulan dan sebagai penggerak perekonomian bagi Kota Tasikmalaya. Suatu kota yang sedang bertumbuh dan berkembang biasanya akan diikuti dengan aktivitas pembangunan yang tinggi, disatu sisi akan memacu terjadinya transaksi ekonomi, sebagai kota juga akan menarik masyarakat dari daerah sekitarnya akan mendorong dan menggerakkan sektor-sektor ekonomi lainnya. Melihat banyaknya sektor basis/unggulan serta berdasarkan perhitungan rata-rata LQ Kota Tasikmalaya yang lebih besar dibandingkan daerah sekitarnya (hinterland), penetapan Kota Tasikmalaya sebagai pusat pertumbuhan di Priangan Timur cukup tepat. Berdasarkan hasil analisis Location Quotient (LQ) tahun 2003 dan 2007, 2009 dan 2013 Kota Baubau dengan wilayah sekitarnya dan Kota Tasikmalaya dengan wilayah sekitarnya, maka berikut ini disajikan perbandingan Location Quotient (LQ) Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya tahun 2003 dan 2007-tahun 2009 dan 2013 pada Tabel 27. Tabel 27 Perbandingan Nilai Location Quotient (LQ) Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya tahun 2003/2007 dan tahun 2009/2013 Lapangan Usaha No
Kab/Kota
1.
Kota Baubau
Nilai LQ tahun
Pertania n
Pertamba ngan & Penggalia n
Industri Pengola han
Listrik dan Air Bersih
Bangun an
Perdagang an, Hotel & Restoran
Pengan gkutan & Komun ikasi
Keuang an, Persewa an & Jasa
JasaJasa
Jum lah
2003 2007 RataRata
0,27 0,27
0,10 0,09
0,51 0,46
1,06 1,42
2,37 2,49
1,56 1,43
1,51 1,42
1,11 1,33
1,97 1,96
10,46 10,85
0,27
0,09
0,48
1,24
2,43
1,49
1,47
1,22
1,96
10,66
Non Basis
Non Basis
Non Basis
Basis
Basis
Basis
Basis
Basis
Basis
6/3
0,27 0,26
0,11 0,08
0,55 0,53
1,35 1,28
2,34 2,58
1,33 1,23
1,35 1,20
1,22 1,02
1,81 2,11
10,33 10,30
0,27
0,10
0,54
1,32
2,46
1,28
1,27
1,12
1,96
10,31
Non Basis
Non Basis
Non Basis
Basis
Basis
Basis
Basis
Basis
Basis
6/3
0,79 0,69
0,00 0,00
0,41 0,40
0,70 0,78
3,49 3,02
1,69 1,45
2,39 2,04
2,45 2,48
1,76 2,04
13,68 12,90
0,74
0,00
0,41
0,74
3,25
1,57
2,22
2,46
1,90
13,64
Non Basis
Non Basis
Non Basis
Non Basis
Basis
Basis
Basis
Basis
Basis
0,59 0,60
0,00 0,00
0,41 0,42
0,74 0,72
3,19 3,04
1,48 1,41
1,96 1,36
3,31 2,84
1,79 1,71
13,49 12,11
0,60
0,00
0,42
0,73
3,12
1,44
1,66
3,08
1,75
12,80
Basis
Basis
Basis
Basis
Basis
5/4
Basis/ Non Basis
2.
Kota Tasikmalaya
2009 2013 RataRata Basis/ Non Basis 2003 2007 RataRata Basis/ Non Basis
2009 2013 RataRata Basis/ Non Basis
Non Basis
Non Basis
Non Basis
Non Basis
5/4
Sumber: Hasil analisis Location Quation (LQ), data diolah dari BPS Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya 2009-2013.
113
Tabel 27 menunjukkan hasil perhitungan Location Quotient (LQ) tahun 2003 dan 2007-tahun 2009 dan 2013 untuk Kota Baubau terdapat 6 (enam) sektor yang memiliki rata-rata nilai LQ>1 yaitu sektor bangunan (2,46), jasa-jasa (1,96), listrik dan air bersih (1,32), perdagangan, hotel dan restoran (1,28), pengangkutan dan komunikasi (1,27) dan sektor keuangan, persewaaan dan jasa (1,12), sektor-sektor ini menjadi sektor basis. Sedang 3 (tiga) sektor memiliki nilai LQ<1 yaitu sektor industri pengolahan (0,45), pertanian (0,28) dan pertambangan dan pengalian (0,10) dikategorikan sebagai sektor non basis. Sedang Kota Tasikmalaya terdapat 5 (lima) sektor yang memiliki nilai LQ>1 yaitu sektor bangunan (3,12), sektor keuangan, persewaan dan jasa (3,08), sektor jasa-jasa (1,75), sektor pengangkutan dan komunikasi (1,66) dan sektor perdagangan, hotel dan restoran (1,44), sektor-sektor ini dikategorikan sektor basis. Sedang 4 (empat) sektor memiliki rata-rata nilai LQ<1 yaitu sektor listrik dan air bersih (0,73), pertanian (0,60), industri pengolahan (0,40) dan pertambangan dan penggalian (0,00) dikategorikan sebagai sektor non basis. Jika dibandingkan besaran rata-rata LQ sektor-sektor Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya tahun 2003 dan 2007-tahun 2009 dan 2013, menunjukkan rata-rata LQ sektor-sektor Kota Tasikmalaya tahun 2003 dan 2007 sebesar 13,64, lebih besar dibandingkan rata-rata LQ Kota Baubau sebesar 10,66. Kondisi ini terus terjadi pada tahun 2009 dan 2013 dimana rata-rata LQ sektor-sektor Kota Tasikmalaya sebesar 12,80, lebih besar dibandingkan rata-rata LQ Kota Baubau sebesar 10,31. Besaran LQ kedua kota tersebut ditentukan oleh besarnya kontribusi masing-masing sektor dalam pembentukan PDRB. Sekalipun LQ Kota Tasikmalaya lebih besar dibandingkan LQ Kota Baubau, namun pada perekonomian Kota Baubau terdapat 6 sektor yang memberikan sumbangan yang besar dalam pembentukan PDRB yaitu sektor bangunan, listrik dan air bersih, perdagangan, hotel dan restoran, pengangkutan dan komunikasi, keuangan persewaan dan jasa dan sektor jasa-jasa. Sedang pada perekonomian Kota Tasikmalaya terdapat 5 sektor yang memberikan sumbangan yang besar dalam pembentukan PDRB yaitu sektor bangunan, perdagangan, hotel dan restoran, pengangkutan dan komunikasi, keuangan persewaan dan jasa dan sektor jasa-jasa. Sebagai kota yang sedang bertumbuh dan berkembang menjadi pusat pertumbuhan baik Kota Baubau maupun Kota Tasikmalaya, menunjukkan adanya kecenderungan yang sama jika dilihat dari sektor-sektor yang menjadi sektor basis/unggulan masing-masing di wilayahnya. Ini menunjukkan bahwa kedua kota penelitian mempunyai sektor-sektor basis/unggulan yang cenderung sama. 2. Analisis Daya Saing Perekonomian Wilayah Analisis Shift Share pada dasarnya dipergunakan untuk menggambarkan besarnya kontribusi suatu sektor terhadap pembentukan PDRB suatu wilayah, serta untuk mengetahui PDRB (Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya) dibandingkan dengan PDRB Propinsi (Sulawesi Tenggara dan Jawa Barat) secara umum dalam satu tahun. Secara keseluruhan hasil yang diharapkan dari analisis ini adalah teridentifikasinya faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan PDRB daerah Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya. Hasil perhitungan analisis Shift Share untuk Kota Baubau dan wilayah hinterland dapat dilihat pada Tabel 28.
114
Tabel 28 Analisis Shift Share Kabupaten/Kota Sultra Kepulauan meliputi Kota Baubau dan wilayah hinterland (Kabupaten Buton, Kabupaten Buton Utara, Kabupaten Wakatobi, Kabupaten Muna dan Kabupaten Bombana) tahun 2003/2007 dan tahun 2009/2013 No
Kab/Kota
1.
Kota Baubau
Kom pone n/Ta hun
Lapangan Usaha Pertani an
Pertamb angan & Penggali an
Industri Pengol ahan
Listrik dan Air Bersih
Bangu nan
Perdaga ngan, Hotel & Restoran
Penga ngkuta n & Komu nikasi
Keuan gan, Perse waan & Jasa
JasaJasa
0,34121 0,16981 -0,16769
0,34121 0,33505 0,06756
0,34121 0,01972 0,06756
0,34121 0,01856 -0,11631
0,34121 0,09407 -0,09491
0,34121 0,34390 0,33641
0,34121 -0,08732 -0,00973
0,39674 -0,04076 -0,03965
0,39674 0,26111 -0,06362
0,39674 0,19787 0,18013
0,39674 0,13372 -0,10382
0,39674 0,01032 -0,14389
0,39674 0,27926 -0,00771
0,39674 -0,19998 -0,00112
0,34121 0,16981 1,62329
0,34121 0,33505 -0,74941
0,34121 0,01972 0,10110
0,34121 0,01856 0,95779
0,34121 0,09407 0,94728
0,34121 0,34390 2,87286
0,34121 -0,08732 0,71019
0,39674 -0,04076 -0,02488
0,39674 0,26111 -0,18538
0,39674 0,19787 -0,20785
0,39674 0,13372 0,07909
0,39674 0,01032 -0,01771
0,39674 0,27926 -0,23119
0,39674 -0,19998 -0,03214
0,34121 0,16981
0,34121 0,33505
0,34121 0,01972
0,34121 0,01856
0,34121 0,09407
0,34121 0,34390
0,34121 -0,08732
0,39674 -0,04076 0,10702
0,39674 0,26111 0,16271
0,39674 0,19787 0,50156
0,39674 0,13372 0,19796
0,39674 0,01032 0,07944
0,39674 0,27926 -0,22113
0,39674 -0,19998 0,05144
0,34121 0,16981 -0,24694
0,34121 0,33505 -1,20944
0,34121 0,01972 0,17659
0,34121 0,01856 -0,12347
0,34121 0,09407 0,05349
0,34121 0,34390 0,46333
0,34121 -0,08732 0,01279
0,39674 -0,04076 0,24803
0,39674 0,26111 0,11821
0,39674 0,19787 0,21191
0,39674 0,13372 0,16359
0,39674 0,01032 0,24758
0,39674 0,27926 0,00394
0,39674 -0,19998 0,17928
0,34121 0,16981 -0,61301
0,34121 0,33505 -0,62666
0,34121 0,01972 -0,34603
0,34121 0,01856 -0,15669
0,34121 0,09407 -0,37159
0,34121 0,34390 -0,53285
0,34121 -0,08732 -0,25346
0,39674 -0,04076 0,06902
0,39674 0,26111 0,02572
0,39674 0,19787 -0,18872
0,39674 0,13372 -0,07650
0,39674 0,01032 -0,05545
0,39674 0,27926 -0,37313
0,39674 -0,19998 0,03995
0,34121 0,16981 -0,23579
0,34121 0,33505 -0,33353
0,34121 0,01972 -0,06863
0,34121 0,01856 -0,13847
0,34121 0,09407 -0,05328
0,34121 0,34390 -0,23769
0,34121 -0,08732 -0,02823
0,39674 -0,04076 0,20361
0,39674 0,26111 0,05176
0,39674 0,19787 0,27901
0,39674 0,13372 -0,09169
0,39674 0,01032 0,10292
0,39674 0,27926 0,22348
0,39674 -0,19998 -0,03308
Tahun 2003/2007 KS PS DS
0,34121 -0,06805 0,01766
0,34121 -0,06275 -0,18199
Tahun 2009/2013 KS PS DS 2.
Kab. Buton
0,39674 -0,26247 -0,01953
0,39674 1,14040 -0,52473
Tahun 2003/2007 KS PS DS
0,34121 -0,06805 1,17902
0,34121 -0,06275 1,06283
Tahun 2009/2013 KS PS DS 3.
Kab. Buton Utara
0,39674 -0,26247 0,06280
0,39674 1,14040 1,63186
Tahun 2007 KS PS DS
0,34121 -0,06805
0,34121 -0,06275
Tahun 2009/2013 KS PS DS 4.
Kab. Wakatobi
0,39674 -0,26247 0,11326
0,39674 1,14040 -0,67052
Tahun 2003/2007 KS PS DS
0,34121 -0,06805 -0,11085
0,34121 -0,06275 0,05330
Tahun 2009/2013 KS PS DS 5.
Kab. Muna
0,39674 -0,26247 0,06247
0,39674 1,14040 -0,86012
Tahun 2003/2007 KS PS DS
0,34121 -0,06805 -0,44205
0,34121 -0,06275 -0,24105
Tahun 2009/2013 KS PS DS 6.
Kab. Bombana
0,39674 -0,26247 0,10316
0,39674 1,14040 -1,09076
Tahun 2003/2007 KS PS DS
0,34121 -0,06805 -0,08735
0,34121 -0,06275 -0,00113
Tahun 2009/2013 KS PS DS
0,39674 -0,26247 0,04597
0,39674 1,14040 -0,03642
Sumber: Hasil analisis Shift Share 2014, Data diolah dari PDRB Kota Baubau, Kab: Buton, Buton Utara, Wakatobi, Muna, Bombana dan Propinsi Sulawesi Tenggara, 2009-2013.
Keterangan: KS : Komponen Share PS : Proportional Shift DS : Differential Shift Berdasarkan Tabel 28 memperlihatkan hasil analisis Shift Share (SSA), sektor-sektor PDRB untuk wilayah Sultra Kepulauan meliputi Kota Baubau dengan wilayah hinterland (Kabupaten Buton, Kabupaten Buton Utara, Kabupaten Wakatobi, Kabupaten Muna dan Kabupaten Bombana) tahun 2003/2007 dan tahun 2009/2013 dapat dijelaskan sebagai berikut: Hasil analisis
115
Shift Share (SSA) memperlihatkan pada komponen Share (KS) tahun 2003/2007 pertumbuhan ekonomi adalah sebesar 0,34121 meningkat pada tahun 2009/2013 sebesar 0,3967. Pada komponen Proportional Shift (PS) tahun 2003/2007 terdapat 3 sektor memiliki nilai negatif yaitu sektor pertanian -0,06805, sektor pertambangan dan penggalian -0,06275, dan sektor jasa-jasa -0,08732 dan pada tahun 2009/2013 terdapat 3 (tiga) sektor memiliki nilai negatif yaitu sektor pertanian -0,26247, sektor industri pengolahan -0,04076, dan sektor jasa-jasa 0,19998. Terjadi pergeseran sektor yang memiliki nilai negatif, dimana pada tahun 2003/2007 terdapat sektor pertambangan dan penggalian memiliki nilai negatif namun tahun 2009/2013 sektor industri pengolahan yang mengalami pergeseran negatif. Sektor-sektor yang bernilai negatif diasumsikan bukan merupakan sektor yang dapat dikembangkan bagi perekonomian Propinsi Sulawesi Tenggara. Pada tahun 2003/2007 terdapat 6 (enam) sektor mengalami pertumbuhan yang pesat yaitu sektor industri pengolahan, listrik dan air bersih, bangunan, perdagangan, hotel dan restoran, pengangkutan dan komunikasi, keuangan, persewaan dan sektor jasa. Sebaliknya tahun 2009/2013 tetap 6 (enam) sektor mengalami pertumbuhan yang pesat namun terjadi pergeseran antara sektor pertambangan dan penggalian dan sektor industri pengolahan. Sektor yang bernilai positif menunjukkan bahwa sektor tersebut merupakan sektor yang potensial dikembang dalam perekonomian Propinsi Sulawesi Tenggara. Kota Baubau, pada komponen differential shift (DS) tahun 2003/2007 memperlihatkan 5 (lima) sektor memiliki nilai differential shift yang negatif yaitu sektor pertambangan dan penggalian -0,18199, industri pengolahan -0,16769, perdagangan, hotel dan restoran -0,11631, pengangkutan dan komunikasi -0,09491, dan sektor jasa-jasa -0,00973. Sedang 4 (empat) sektor memiliki nilai differential shift positif yaitu sektor pertanian 0,01766, listrik dan air bersih 0,06756, bangunan 0,06756, keuangan, persewaan dan jasa 0,33641, sektor ini diasumsikan memiliki keunggulan kompetitif yang relatif cukup besar untuk dikembangkan dibanding sektor-sektor lainnya di Kota Baubau. Sebaliknya tahun 2009/2013 terjadi pergeseran pada komponen differential shift dimana 8 (delapan) sektor justru memiliki nilai differential shift yang negatif yaitu pertanian -0,26247, pertambangan dan penggalian -0,52473, industri pengolahan -0,04076, listrik dan air bersih -0,06362, perdagangan, hotel dan restoran -0,10382, pengangkutan dan komunikasi -0,14389, keuangan, persewaan dan jasa -0,00771, dan sektor jasajasa -0,19998, sektor ini diasumsikan mempunyai tingkat competitiveness yang rendah pada tingkat lokal. Hanya terdapat 1 (satu) sektor yang memiliki nilai differential shift positif yaitu sektor bangunan 0,18013, artinya sektor bangunan diasumsikan memiliki keunggulan kompetitif yang relatif cukup besar untuk dikembangkan dibanding sektor-sektor lainnya di Kota Baubau. Tabel 28 dalam analisis shift share memperlihatkan antara tahun 2003/2007 dan tahun 2009/2013 terjadi pergeseran sektor-sektor kabupaten/kota Sultra Kepulauan yaitu Kota Baubau dan wilayah sekitarnya (hinterland) khususnya pada komponen differential shift. Dimana Kota Baubau tahun 2003/2007 terdapat 5 sektor yang memiliki differential shift negatif namun tahun 2009/2013 meningkat menjadi 8 (delapan) sektor, hal ini mengindikasikan sektor ini sangat dipengaruhi oleh faktor eksternal (pada sektor yang sama di Propinsi Sulawesi Tenggara), sebaliknya pada tingkat lokal sektor-sektor ini membutuhkan suplai dari daerah lain.
116
Hasil analisis Shift Share pada Tabel 28, jika dibandingkan antara Kota Baubau dengan daerah-daerah sekitarnya (hinterland) yaitu dengan Kabupaten Buton tidaklah lebih baik, dimana dari 9 (Sembilan) sektor yang ada, 6 (enam) sektor memiliki nilai differential shift yang negatif yaitu industri pengolahan, listrik dan air bersih, bangunan, pengangkutan dan komunikasi, keuangan, persewaan dan jasa, dan sektor jasa-jasa (Tabel 28), artinya sektor-sektor ini dalam tingkat lokal tingkat competitiveness yang rendah, sebaliknya hanya 3 (tiga) sektor yang memiliki nilai differential shift positif yaitu sektor pertanian, pertambangan dan penggalian, perdagangan, hotel dan restoran, artinya sektorsektor ini memiliki keunggulan kompetitif dan memiliki potensi untuk dikembangan di Kabupaten Buton. Dengan Kabupaten Buton Utara, menunjukkan sektor-sektor perekonomian lebih kompetitif, dimana dari 9 (Sembilan) sektor, terdapat 2 (dua) sektor memiliki nilai differential shift yang negatif yaitu sektor pertambangan dan penggalian, dan sektor keuangan, persewaan dan jasa, artinya sektor-sektor ini mempunyai tingkat competitiveness yang rendah pada tingkat lokal. Sebaliknya 7 (tujuh) sektor memiliki nilai differential shift positif, yaitu sektor pertanian; industri pengolahan; listrik dan air bersih; bangunan; perdagangan, hotel & restoran; pengangkutan & komunikasi dan sektor jasa-jasa. Sektor-sektor tersebut diasumsikan memiliki keunggulan kompetitif yang relatif cukup besar pada tingkat lokal dan potensial untuk dikembangan dibanding sektor-sektor lainnya di Kabupaten Buton Utara. Dengan Kabupaten Wakatobi, menunjukkan sektorsektor lebih kompetitif, terlihat dari sembilan sektor hanya terdapat 1 (satu) sektor yang memiliki nilai differential shift negatif yaitu sektor pertambangan dan penggalian, artinya pada level lokal hanya sektor pertambangan dan penggalian mempunyai tingkat competitiveness yang rendah dibandingkan sektor lain. Sebaliknya 8 (delapan) sektor memiliki nilai differential shift (DS) yang positif yaitu pertanian, industri pengolahan, listrik dan air bersih, bangunan, perdagangan, hotel dan restoran, pengangkutan dan komunikasi, keuangan, persewaan dan jasa, dan jasa-jasa. Jadi pada level lokal 8 (delapan) sektor ini memiliki keunggulan kompetitif dan potensial untuk dikembangan di Kabupaten Wakatobi. Terhadap Kabupaten Muna tahun 2009 dan 2013, memperlihatkan dari 9 (Sembilan) sektor perekonomian yang ada, 5 (lima) sektor memiliki nilai differential shift (DS) yang negatif yaitu sektor pertambangan dan penggalian, sektor bangunan, perdagangan, hotel dan restoran, pengangkutan dan komunikasi, keuangan, persewaan dan jasa. Sektor-sektor yang memiliki nilai negatif, diasumsikan pada tingkat lokal sektor-sektor ini mempunyai tingkat competitiveness yang rendah. Sedang 4 (empat) sektor masing-masing sektor pertanian, industri pengolahan, listrik dan air bersih, dan sektor jasa-jasa, memiliki nilai differential shift positif hal ini mengindikasikan sektor-sektor tersebut pada tingkat lokal mempunyai daya saing dan keunggulan kompetitif yang relatif cukup besar untuk dikembangan sebagai penggerak pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Muna. Dengan Kabupaten Bombana tahun 2009 dan 2013, menunjukkan dari 9 (sembilan) sektor perekonomian, terdapat 3 (tiga) sektor memiliki nilai differential shift (DS) yang negatif yaitu sektor pertambangan dan penggalian, perdagangan, hotel dan restoran, dan sektor jasajasa, artinya pada tingkat lokal sektor-sektor ini memiliki daya saing
117
(competitiveness) yang rendah. Namun 6 (enam) sektor memiliki nilai differential shift positif yaitu sektor pertanian, industri pengolahan, listrik dan air bersih, bangunan, pengangkutan dan komunikasi, keuangan, persewaan dan jasa, diasumsikan sektor-sektor tersebut memiliki keunggulan kompetitif yang relatif cukup besar untuk dikembangan sebagai penggerak pertumbuhan ekonomi dibanding sektor-sektor yang memiliki nilai differential shift negatif di Kabupaten Bombana. Dari analisis perbandingan Kota Baubau dengan daerah sekitarnya (hinterland), menunjukkan dari 9 (sembilan) sektor yang ada dalam perekonomian Kota Baubau tahun 2003/2007, 5 (lima) sektor yaitu pertambangan & penggalian; industri pengolahan; perdagangan, hotel & restoran; pengangkutan & komunikasi; jasa-jasa nilai differential shift yang negatif. Namun pada tahun 2009/2013 sektorsektor yang memiliki nilai differential shift negatif bertambah menjadi 8 (delapan) sektor yaitu pertanian, pertambangan dan penggalian, industri pengolahan, listrik dan air bersih, perdagangan, hotel dan restoran, pengangkutan dan komunikasi, keuangan, persewaan dan jasa dan sektor jasa-jasa. Artinya pertumbuhan sektor ini terjadi lebih banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal. Pada sektorsektor ini pertumbuhan ekonomi Sulawesi Tenggara (komponen share) memberikan pengaruh positif, namun pada pertumbuhan sektor yang sama di Sulawesi Tenggara (komponen proportional shift) 6 (enam) sektor yaitu pertambangan dan penggalian, listrik dan air bersih, bangunan, perdagangan, hotel dan restoran, pengangkutan & komunikasi, dan keuangan, persewaan dan jasa memberikan pengaruh positif. Sedangkan 3 (tiga) sektor lainnya yaitu pertanian, industri pengolahan dan jasa-jasa memberikan pengaruh negatif. Sebaliknya pada tingkat lokal (komponen differential shift) sektor-sektor tersebut memiliki kinerja yang negatif, hal ini mengindikasikan bahwa sektorsektor tersebut sangat bergantung pada suplai dari daerah sekitarnya (hinterland) maupun dari daerah lain di Sulawesi Tenggara, atau dari propinsi lain seperti Sulawesi Selatan. Sedangkan sektor yang potensial mampu memberikan keunggulan kompetitif bagi Kota Baubau adalah sektor bangunan. Jika melihat perkembangan sektor bangunan, sektor ini mengalami pergeseran yang positif (pertumbuhan) dari tahun 2003/2007 hingga 2009/2013. Secara potensial, sektor ini juga memiliki potensi untuk terus dikembangkan karena dinamika di level lokal juga mengalami pergeseran yang positif (nilai differential shift positif). Kondisi ini sejalan dengan keadaan di lapangan karena perekonomian Kota Baubau banyak ditopang oleh aktivitas pembangunan yang berkembang, disatu sisi Kota Baubau merupakan daerah penyangga untuk kebutuhan pembangunan bagi wilayah sekitarnya, meningkatnya aktivitas pembangunan di luar daerah/wilayah hinterland, perdagangan antar daerah maupun perdagangan dengan luar daerah, berkembangnya hotel dan restauran karena posisi Kota Baubau sebagai persinggahan jika masyarakat luar akan berkunjung atau berwisata kedaerah-daerah sekitarnya. Hasil perhitungan analisis Shift Share kabupaten/kota se-Priangan Timur meliputi Kota Tasikmalaya dan wilayah hinterland (Kabupaten Tasikmalaya, Kabupaten Garut, Kabupaten Ciamis, Kota Banjar dan Kabupaten Pangandaran) tahun 2003/2007 dan tahun 2009/2013 dapat dilihat pada Tabel 29.
118
Tabel 29 Analisis Shift Share Kab/Kota Priangan Timur meliputi Kota Tasikmalaya dengan wilayah hinterland (Kabupaten Tasikmalaya, Kabupaten Garut, Kabupaten Ciamis, Kota Banjar dan Kabupaten Pangandaran) tahun 2003/2007 dan 2009/2013 Lapangan Usaha No
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Kab/Kota
Kota Tasikmalaya
Kab. Tasikmalaya
Kab. Garut
Kab. Ciamis
Kota Banjar
Kab. Pangandaran
Kompo nen/ Tahun
Pertanian
Tahun 2003/2007 0,23999 KS -0,01622 PS -0,17499 DS Tahun 2009/2013 0,27499 KS -0,23736 PS 0,01016 DS Tahun 2003/2007 0,23999 KS -0,01622 PS 3,18655 DS Tahun 2009/2013 0,27499 KS -0,23736 PS 0,04110 DS Tahun 2003/2007 0,23999 KS -0,01622 PS -0,14485 DS Tahun 2003/2007 0,27499 SS -0,23736 PS 0,07758 DS Tahun 2003/2007 0,23999 SS -0,01622 PS -0,12034 DS Tahun 2009/2013 0,27499 KS -0,23736 PS 0,03928 DS Tahun 2003/2007 0,23999 KS -0,01622 PS -0,15835 DS Tahun 2009/2013 0,27499 KS -0,23736 PS -0,00581 DS Tahun 2011/2013 0,13317 KS -0,10487 PS 0,00353 DS
Pertamb angan & Penggali an
Industri Pengol ahan
Listrik dan Air Bersih
Bangu nan
Perdaga ngan, Hotel & Restoran
Penga ngkuta n & Komu nikasi
Keuan gan, Perse waan & Jasa
JasaJasa
0,23999 -0,85856 0,69238
0,23999 0,10342 -0,04305
0,23999 0,05305 0,12482
0,23999 0,25178 -0,22613
0,23999 0,15777 0,21887
0,23999 0,07611 -0,21702
0,23999 -0,01668 0,41363
0,23999 -0,16527 0,04284
0,27499 -0,39468 0,19756
0,27499 -0,07558 0,01059
0,27499 -0,00502 -0,05241
0,27499 0,33670 -0,10222
0,27499 0,17921 -0,09521
0,27499 0,36576 -0,51954
0,27499 0,21306 -0,25922
0,27499 0,06028 -0,24859
0,23999 -0,85856 2,71272
0,23999 0,10342 2,71145
0,23999 0,05305 1,51174
0,23999 0,25178 -0,97187
0,23999 0,15777 1,55978
0,23999 0,07611 2,05251
0,23999 -0,01668 2,48324
0,23999 -0,16527 1,04410
0,27499 -0,39468 0,11969
0,27499 -0,07558 0,04105
0,27499 -0,00502 0,35882
0,27499 0,33670 -0,47446
0,27499 0,17921 4,70650
0,27499 0,36576 -0,64076
0,27499 0,21306 -0,23765
0,27499 0,06028 -0,05229
0,23999 -0,85856 0,81068
0,23999 0,10342 -0,24412
0,23999 0,05305 -0,01685
0,23999 0,25178 -0,28352
0,23999 0,15777 -0,14129
0,23999 0,07611 -0,08955
0,23999 -0,01668 0,45329
0,23999 -0,16527 0,41565
0,27499 -0,39468 0,23410
0,27499 -0,07558 -0,01322
0,27499 -0,00502 0,00828
0,27499 0,33670 -0,31285
0,27499 0,17921 -0,23606
0,27499 0,36576 -0,47241
0,27499 0,21306 -0,27485
0,27499 0,06028 -0,18959
0,23999 -0,85856 0,77948
0,23999 0,10342 -0,14986
0,23999 0,05305 -0,15428
0,23999 0,25178 -0,37927
0,23999 0,15777 -0,10844
0,23999 0,07611 -0,01855
0,23999 -0,01668 -0,05051
0,23999 -0,16527 0,14586
0,27499 -0,39468 0,20150
0,27499 -0,07558 0,12914
0,27499 -0,00502 0,15927
0,27499 0,33670 -0,48269
0,27499 0,17921 -0,13153
0,27499 0,36576 -0,48495
0,27499 0,21306 -0,19722
0,27499 0,06028 -0,03901
0,23999 -0,85856 0,65936
0,23999 0,10342 -0,26711
0,23999 0,05305 -0,07507
0,23999 0,25178 -0,23671
0,23999 0,15777 0,21479
0,23999 0,07611 -0,12214
0,23999 -0,01668 -0,58363
0,23999 -0,16527 0,25827
0,27499 -0,39468 0,13656
0,27499 -0,07558 0,08828
0,27499 -0,00502 -0,06220
0,27499 0,33670 -0,25313
0,27499 0,17921 -0,13103
0,27499 0,36576 -0,39797
0,27499 0,21306 -0,24963
0,27499 0,06028 -0,14209
0,13317 -0,21065 0,09435
0,13317 -0,03850 0,19303
0,13317 0,03644 0,03817
0,13317 0,09800 0,12739
0,13317 0,06892 0,12109
0,13317 0,09511 0,01451
0,13317 0,09873 0,00652
0,13317 0,08158 -0,02157
Sumber: Hasil analisis Shift Share 2014, data diolah dari BPS Kota Tasikmalaya, Kab. Tasikmalaya, Kab. Garut, Kab. Ciamis, Kota Banjar, Kab. Pangandaran dan Propinsi Jawa Barat, 2009-2013.
Keterangan: KS : Komponen Share PS : Proportional Shift DS : Differential Shift Berdasarkan Tabel 29 hasil analisis shift share pada komponen share (SS) menunjukkan laju pertumbuhan sektor-sektor PDRB di Jawa Barat, terlihat pada komponen share tahun 2003/2007 sebesar 0,23999 bertumbuh sebesar 0,27499 pada tahun 2009/2013. Sedang pada komponen proportional shift (PS) memperlihatkan tahun 2003/2007 terdapat 4 (empat) sektor yang memiliki proportional shift (PS) negatif yaitu sektor pertanian, pertambangan dan penggalian, keuangan, persewaan dan jasa dan jasa-jasa, sedang 5 (lima) sektor
119
lainnya bernilai positif yaitu industri pengolahan, listrik dan air bersih, bangunan, perdagangan, hotel dan restoran, pengangkutan & komunikasi. Namun pada tahun 2009/2013 ada pergeseran sektor-sektor yang memiliki proportional shift (PS) negatif, dimana tahun 2009/2013 4 (empat) sektor mengalami pergeseran negatif yaitu sektor pertanian -0,23736, pertambangan dan penggalian -0,39468, industri pengolahan -0,07558, dan listrik dan air bersih -0,00502, artinya sektor–sektor tersebut bukan merupakan sektor yang potensial untuk dikembang dalam perekonomian Propinsi Jawa Barat. Sebaliknya 5 sektor bernilai positif yaitu sektor bangunan 0,33670, perdagangan, hotel dan restoran 0,17921, pengangkutan dan komunikasi 0,36576, keuangan, persewaan dan jasa 0,21306, dan sektor jasa-jasa 0,06028, mengalami pertumbuhan yang pesat diasumsikan sektor ini merupakan sektor unggulan yang memiliki potensi untuk dikembangan sebagai penggerak pertumbuhan ekonomi di Propinsi Jawa Barat. Berdasarkan Tabel 29, hasil analisis shift share terhadap Kota Tasikmalaya tahun 2003/2007 dan 2009/2013 menunjukkan bahwa sektor-sektor PDRB Kota Tasikmalaya pada komponen differential shift (DS) tahun 2003/2007 memperlihatkan 5 (lima) sektor memiliki differential shift (DS) positif yaitu pertambangan dan penggalian, listrik dan air bersih, perdagangan, hotel dan restoran, keuangan, persewaan dan jasa, jasa-jasa sedang 4 (empat) sektor lainnya bernilai negatif yaitu pertanian, industri pengolahan, bangunan, pengangkutan dan komunikasi. Namun pada tahun 2009/2013 sektor-sektor tersebut mengalami perubahan khususnya pada komponen differential shift. Dimana tahun 2009/2013 memperlihatkan 3 (tiga) sektor yaitu pertanian 0,01016, pertambangan dan penggalian 0,19756, industri pengolahan 0,01059, memiliki nilai differential shift positif, hal ini mengindikasikan pada tingkat lokal sektor-sektor memiliki keunggulan kompetitif yang relatif cukup besar untuk dikembangkan dibanding sektor-sektor lainnya di Kota Tasikmalaya. Namun jika dibandingkan sektor yang sama dengan di Propinsi Jawa Barat, pertumbuhan sektor pertanian, pertambangan dan penggalian dan industri pengolahan lebih tinggi di Kota Tasikmalaya. Sedang 6 (enam) sektor memiliki nilai differential shift yang negatif yaitu listrik dan air bersih -0,05241, bangunan -0,10222, perdagangan, hotel dan restoran -0,09521, pengangkutan dan komunikasi -0,51954, keuangan, persewaan dan jasa -0,25922, dan jasa-jasa -0,24859, di Kota Tasikmalaya mempunyai tingkat daya saing yang rendah dibandingkan sektor-sektor lain. Berdasarkan Tabel 29, untuk membandingkan perkembangan shift share Kota Tasikmalaya dengan wilayah hinterlandnya (Kabupaten Tasikmalaya, Kabupaten Garut, Kabupaten Ciamis, Kota Banjar dan Kabupaten Pangandaran) tahun 2003/2007 dan 2009/2013 dapat dijelaskan sebagai berikut: Dengan Kabupaten Tasikmalaya tahun 2009/2013, pada tingkat lokal memperlihatkan 4 (empat) sektor yaitu sektor bangunan, sektor pengangkutan dan komunikasi, keuangan, persewaan dan jasa, dan sektor jasa-jasa, memiliki nilai differential shift (DS) yang negatif, artinya pada tingkat lokal sektor-sektor ini memiliki daya saing (competitiveness) yang rendah dibandingkan sektor lainnya. Sedang 5 (lima) sektor memiliki nilai differential shift positif yaitu sektor pertanian, pertambangan dan penggalian, industri pengolahan, listrik dan air bersih, dan perdagangan, hotel dan restoran, diasumsikan sektor-sektor tersebut memiliki keunggulan kompetitif (competitiveness) yang relatif cukup besar untuk dikembangan sebagai penggerak pertumbuhan ekonomi di Kabupaten
120
Tasikmalaya. Dengan Kabupaten Garut tahun 2009/2013, dinamika sektorsektor di tingkat lokal menunjukkan 6 (enam) sektor memiliki nilai differential shift negatif yaitu sektor industri pengolahan, bangunan, perdagangan, hotel dan restoran, pengangkutan dan komunikasi, keuangan, persewaan dan jasa, dan sektor jasa-jasa, artinya sektor-sektor tersebut memiliki daya saing yang rendah dalam pembentukan perekonomian di Kabupaten Garut. Sedang 3 (tiga) sektor yaitu sektor pertanian, pertambangan dan penggalian, dan sektor listrik dan air bersih, memiliki nilai differential shift positif, artinya sektor ini memiliki keunggulan kompetitif (competitiveness) yang relatif cukup besar untuk dikembangan sebagai penggerak pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Garut. Kabupaten Ciamis tahun 2009/2013, memperlihatkan 4 (empat) sektor yaitu sektor pertanian, pertambangan dan penggalian, industri pengolahan, listrik dan air bersih, memiliki nilai differential shift positif, sektor-sektor ini diasumsikan memiliki daya saing dan keunggulan kompetitif yang relatif cukup besar di Kabupaten Ciamis. Sedang 5 (lima) sektor memiliki nilai Differential Shift negatif yaitu sektor bangunan, perdagangan, hotel dan restoran, pertanian, pengangkutan dan komunikasi, keuangan, persewaan dan jasa, dan jasa-jasa, diasumsikan sektor-sektor tersebut mempunyai tingkat daya saing yang rendah dalam perekonomian di Kabupaten Ciamis. Dengan Kota Banjar tahun 2009/2013, dinamika perkembangan sektor-sektor pada tingkat lokal memperlihatkan 7 (tujuh) sektor memiliki nilai differential shift negatif yaitu sektor pertanian, listrik dan air bersih, bangunan, perdagangan, hotel dan restoran, pengangkutan dan komunikasi, keuangan, persewaan dan jasa, dan sektor jasa-jasa, diasumsikan sektor-sektor tersebut mempunyai tingkat daya saing yang rendah dalam perekonomian di Kota Banjar. Hanya terdapat 2 (dua) sektor yang memiliki nilai differential shift positif yaitu pertambangan dan penggalian, industri pengolahan, diasumsikan sektor tersebut memiliki daya saing dan keunggulan kompetitif yang relative cukup besar untuk dikembangan di Kota Banjar. Dengan Kabupaten Pangandaran tahun 2009/2013, data PDRB ADHK 2000 Kabupaten Pangandaran memperlihatkan bahwa semua sektor mengalami pertumbuhan dari 9 sembilan sektor ekonomi 8 (delapan) sektor memiliki nilai differential shift yang positif yaitu sektor pertanian, pertambangan dan penggalian, industri pengolahan, listrik dan air bersih, bangunan, perdagangan, hotel dan restoran, pengangkutan dan komunikasi, dan sektor keuangan, persewaan dan jasa, sektor ini memiliki daya saing dan keunggulan kompetitif yang relatif besar untuk dikembangkan dan menjadi motor penggerak pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Pangandaran. Sebaliknya hanya terdapat 1 (satu) sektor yang memiliki nilai differential shift negatif yaitu jasa-jasa, diasumsikan sektor tersebut memiliki tingkat daya saing yang rendah pada tingkat lokal. Dari analisis perbandingan Kota Tasikmalaya tahun 2009/2013, dengan daerah sekitarnya (hinterland), menunjukkan dari (9) sembilan sektor yang ada dalam perekonomian Kota Tasikmalaya, 6 (enam) sektor diantaranya memiliki nilai differential shift yang negatif, yaitu listrik dan air bersih, perdagangan, hotel dan restoran, pengangkutan dan komunikasi, keuangan, persewaan dan jasa dan sektor jasa-jasa artinya pertumbuhan sektor ini terjadi lebih banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal. Pada sektor-sektor ini pertumbuhan ekonomi Jawa Barat (komponen share) memberikan pengaruh positif, namun pertumbuhan
121
sektor yang sama di Jawa Barat (pada komponen proportional shift) enam sektor yaitu bangunan, perdagangan, hotel dan restoran, pengangkutan dan komunikasi, dan keuangan, persewaan dan jasa dan sektor jasa-jasa memberikan pengaruh positif. Sedangkan tiga sektor lainnya yaitu pertanian, pertambangan dan penggalian, industri pengolahan dan listrik dan air bersih, memberikan pengaruh negatif. Sebaliknya pada tingkat lokal (komponen differential shift) sektor-sektor yang memiliki kinerja negatif diasumsikan tidak memiliki tingkat daya saing. Hal ini mengindikasikan bahwa sektor-sektor tersebut sangat bergantung pada suplai dari daerah sekitarnya (hinterland) maupun dari daerah lain di Jawa Barat, atau dari propinsi lain seperti Jawa Tengah. Sedangkan sektor yang secara aktual dan potensial mampu memberikan keunggulan kompetitif bagi Kota Tasikmalaya tahun 2009/2013 adalah sektor pertanian, pertambangan & penggalian, industri pengolahan. Secara aktual, sektor ini mengalami pergeseran yang positif (pertumbuhan) dari tahun 2009 hingga tahun 2013. Sektor ini juga memiliki potensi untuk terus dikembangkan karena dinamika di level lokal juga mengalami pergeseran yang positif (nilai differential shift positif). Fenomena bertentangan dengan kondisi di lapangan karena perekonomian Kota Tasikmalaya jika melihat dari PDRB ADHK 2000, dimana sektor pertanian, pertambangan dan penggalian dan industri pengolahan kontribusi terhadap pembentukan PDRB Kota Tasikmalaya tidak signifikan dilihat dari besaran perkembangannya. Perlu diketahui bahwa ketika Kota Tasikmalaya masih menjadi kota administratif (kotif) hanya terdiri dari 3 kecamatan yaitu Kecamatan Cihideung, Cipedes dan Kecamatan Tawang. Namun ketika dimekarkan dari Kabupaten Tasikmalaya tahun 2001 menjadi daerah otonom ada penambahan 7 (tujuh) kecamatan dari Kabupaten Tasikmalaya sehingga Kota Tasikmalaya menjadi 10 kecamatan. 7 (tujuh) kecamatan ini secara administratif sebelumnya masuk dalam wilayah Kabupaten Tasikmalaya, wilayahnya dominan pertanian, pertambangan & penggalian dan industri pengolahan sehingga jika diakumulasi 7 (tujuh) kecamatan mendominasi 3 kecamatan kotif. banyak ditopang oleh aktivitas pembangunan yang berkembang, disatu sisi Kota Tasikmalaya merupakan daerah penyangga untuk kebutuhan pembangunan bagi wilayah sekitarnya, meningkatnya aktivitas perdagangan antar daerah maupun perdagangan dengan luar daerah, berkembangnya hotel dan restauran karena posisi Kota Tasikmalaya sebagai persinggahan jika masyarakat luar akan berkunjung atau berwisata kedaerahdaerah sekitarnya.
122
6 PERKEMBANGAN WILAYAH, INTERAKSI EKONOMI DAN DAYA TARIK WILAYAH DAN ANALISIS PEMEKARAN WILAYAH Perkembangan Wilayah, Interaksi Ekonomi dan Daya Tarik Wilayah 1. Analisis Perkembangan Wilayah Untuk mengetahui tingkat perkembangan suatu wilayah analisis skalogram merupakan suatu alat analisis yang biasa digunakan. Analisis skalogram merupakan salah satu alat untuk mengidentifikasi suatu wilayah/daerah potensial menjadi pusat pertumbuhan wilayah berdasarkan fasilitas yang dimilikinya. Semakin lengkap dan banyak fasilitas yang dimiliki oleh suatu wilayah akan semakin tinggi hirarki dan sebaliknya. Wilayah dengan fasilitas yang lebih lengkap merupakan pusat pelayanan, sedangkan wilayah dengan fasilitas yang kurang akan cenderung menjadi daerah belakang (hinterland). Ketersediaan fasilitas yang dimiliki oleh suatu wilayah akan menentukan hirarki pusat-pusat pertumbuhan dan aktivitas pelayanan suatu wilayah. Dengan analisis skalogram dapat ditentukan daerah yang dapat dijadikan sebagai pusat pertumbuhan. Daerah yang memiliki kelengkapan fasilitas tertinggi dapat ditentukan sebagai pusat pertumbuhan. Tujuan analisis skalogram adalah untuk mengidentifikasi kota-kota yang dapat dikelompokkan menjadi pusat-pusat pertumbuhan berdasarkan pada fasilitas kota yang tersedia atau dimiliki (Blakely 1994). Untuk mengetahui Indeks Perkembangan Kabupaten (IPK) ditentukan dengan cara menghitung jumlah hasil standardisasi sarana dan aksesibilitas pada suatu wilayah. Nilai Indeks Perkembangan Kabupaten (IPK) diurutkan nilainya berdasarkan nilai yang terbesar sampai nilai terkecil. Semakin besar nilai IPK suatu wilayah maka semakin tinggi tingkat perkembangan dan hirarkinya, sebaliknya semakin kecil nilai IPK suatu wilayah maka semakin rendah tingkat perkembangan dan hirarkinya. Berdasarkan Indeks Perkembangan Kabupaten (IPK) wilayah dapat dikelompokkan dalam tiga hirarki, yaitu hirarki I (tinggi), hirarki II (sedang), dan hirarki III (rendah). Untuk menentukan hirarki wilayah didasarkan pada nilai standar deviasi (Std Dev) Indeks Perkembangan Kabupaten (IPK) masing-masing kabupaten/kota dan nilai rataannya, seperti terlihat pada Tabel 30. Tabel 30 Nilai Selang Hirarki Indeks Perkembangan Kabupaten (IPK) Hirarki I II III
Nilai Selang (X) IPK X > [rataanIPK+St Dev IPK] Rataan IPK ≥IPK X ≤ St DevIPK IPK X < rataan IPK
Tingkat Perkembangan Tinggi Sedang Rendah
Berdasarkan Tabel 30, penentuan hirarki wilayah dilakukan untuk mengetahui ketersediaan sarana dan prasarana dan fasilitas perkotaan yang dimiliki suatu daerah sebagai sebagai daya tarik maupun sebagai salah satu pusat pelayanan maupun pusat pertumbuhan. Hirarki dan tingkat perkembangan wilayah dalam skalogram dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Hirarki I adalah kabupaten/kota dengan tingkat perkembangan wilayah yang lebih maju dibandingkan dengan wilayah lainnya. Wilayah dengan hirarki I
123
memiliki jumlah dan fasilitas yang lengkap sehingga dikategorikan tingkat perkembangan tinggi. Kabupaten/Kota yang termasuk pada kategori ini memiliki aksesibilitas dan sarana prasarana yang lebih baik dibandingkan dengan wilayah lainnya, sehingga wilayah ini dapat menjadi pusat pelayanan dan penyedia fasilitas bagi wilayah disekitarnya. 2. Hirarki II adalah kabupaten/kota dengan tingkat perkembangan wilayah sedang. Wilayah dengan hirarki II adalah wilayah dimana jumlah dan jenis prasarananya tidak selengkap dengan wilayah pada hirarki I, sehingga dikategorikan tingkat perkembangan sedang. Wilayah ini tidak dapat dijadikan sebagai pusat pertumbuhan maupun pusat pelayanan bagi wilayah disekitarnya, hanya berfungsi sebagai wilayah hinterland. 3. Hirarki III adalah kabupaten/kota dengan tingkat tingkat perkembangan wilayah yang paling rendah. Wilayah dengan hirarki III adalah wilayah dimana jumlah dan jenis fasilitas sarana dan prasarananya tidak selengkap dengan wilayah pada hirarki I dan II, sehingga dikategorikan wilayah dengan tingkat perkembangan rendah dan berfungsi sebagai wilayah hinterland. Dengan menggunakan data tahun 2013 hasil analisis skalogram menunjukkan bahwa perkembangan wilayah kabupaten/kota se Sultra Kepulauan yang meliputi Kota Baubau dan wilayah sekitarnya (hinterland), dimana dari 6 (enam) kabupaten/kota yang dianalisis, terlihat wilayah yang berada pada hirarki I adalah Kabupaten Buton Utara dengan Indeks Perkembangan Wilayah (IPK) sebesar 22,609. Sedangkan 2 (dua) daerah masuk dalam kategori wilayah dengan hirarki II yaitu Kota Baubau dengan Indeks Perkembangan Wilayah (IPK) sebesar 11,156 dan Kabupaten Wakatobi Indeks Perkembangan Wilayah (IPK) sebesar 17,211. Pada wilayah dengan kategori hirarki III terdapat 3 (tiga) kabupaten yaitu Kabupaten Buton Indeks Perkembangan Wilayah (IPK) 6,604, Kabupaten Bombana Indeks Perkembangan Wilayah (IPK) 4,391 dan Kabupaten Muna Indeks Perkembangan Wilayah (IPK) 0,413. Hasil analisis skalogram Standar Deviasi (StdDev) sebesar 8,322 dengan rata-rata (average) sebesar 10,397. Fenomena yang terjadi dari hasil analisis skalogram adalah Kota Baubau sebagai pusat perlayanan dan pertumbuhan justru berada pada wilayah dengan hirarki II, sekalipun berdasarkan kondisi dilapangan Kota Baubau lebih maju dan berkembang namun karena faktor kependudukan salah satu penentu dalam perhitungan analisis skalogram dimana jumlah penduduk Kota Baubau sebanyak 139.717 jiwa sedang Kabupaten Buton Utara sebanyak 57.422 Jiwa. Tabel 31 Analisis Skalogram Perkembangan Wilayah menurut Kabupaten/ Kota Sultra Kepulauan tahun 2013 Kabupaten/Kota
Rataan IPK
StDevIPK
Hirarki
Tingkat Perkembangan
Kota Baubau Kabupaten Buton Kabupaten Buton Utara Kabupaten Wakatobi Kabupaten Muna Kabupaten Bombana
11,156 6,604 22,609 17,211 0,413 4,3910
2,12 1,45 4,32 0,71 3,53 0,04
II III I II III III
Sedang Rendah Tinggi Sedang Rendah Rendah
Average IPK = 10,397; StDev = 8,322 Sumber: BPS, diolah, 2015
124
Berdasarkan Tabel 31 hasil analisis skalogram memperlihatkan Kabupaten Buton Utara masuk kategori wilayah dengan hirarki I ditunjukkan dengan nilai IPK yang besar, mengindikasikan bahwa daerah tersebut tingkat perkembangannya tinggi/maju. Ini berarti memiliki jumlah dan fasilitas yang lengkap dan memiliki aksesibilitas dan sarana prasarana yang lebih baik dibandingkan dengan wilayah lainnya sehingga potensial menjadi pusat pelayanan. Sedang Kota Baubau dan Kabupaten Wakatobi masuk kategori wilayah dengan hirarki II, diasumsikan tingkat perkembangan sedang. Kabupaten Buton Kabupaten, Bombana dan Kabupaten Muna masuk pada kategori wilayah hirarki III atau tingkat perkembangan wilayah yang rendah. Tabel 32 hasil dari analisis skalogram dengan menggunakan data tahun 2013 menunjukkan bahwa perkembangan wilayah kabupaten/kota se Priangan Timur yang meliputi Kota Tasikmalaya, Kabupaten Tasikmalaya, Kabupaten Garut, Kabupaten Ciamis, Kota Banjar dan Kabupaten Pangandaran, memperlihatkan wilayah dengan hirarki I atau tingkat perkembangan tinggi/maju adalah Kota Tasikmalaya dengan Indeks Perkembangan Wilayah (IPK) sebesar 0,662, artinya Kota Tasikmalaya merupakan wilayah maju yang berpotensi menjadi pusat pelayanan maupun sebagai pusat pertumbuhan. Sedangkan kabupaten/kota hinterland yang masuk dalam kategori wilayah dengan hirarki II yaitu Kabupaten Garut dengan Indeks Perkembangan Kabupaten (IPK) sebesar 0,613 dan Kabupaten Ciamis dengan Indeks Perkembangan Kabupaten (IPK) sebesar 0,592. Sedangkan 2 (dua) kabupaten lainnya berada pada wilayah dengan kategori hirarki III atau tingkat perkembangan rendah yaitu Kabupaten Tasikmalaya dengan Indeks Perkembangan Wilayah (IPK) 0,383, dan Kota Banjar sebesar 0,363, diasumsikan ketersediaan fasilitas sarana dan prasaranya tidak selengkap dengan wilayah pada hirarki I dan hirarki II. Standar Deviasi (StdDev) hasil analisis skalogram sebesar 0,138 dengan rata-rata (average) sebesar 0,523. Hirarki wilayah kabupaten/kota Priangan Timur terlihat pada Tabel 32. Tabel 32 Analisis Skalogram Perkembangan Wilayah menurut Kabupaten/ Kota Priangan Timur tahun 2013 Kabupaten/Kota
Rataan IPK
Kota Tasikmalaya 0,662 Kabupaten Tasikmalaya 0,383 Kabupaten Garut 0,613 Kabupaten Ciamis 0,592 Kota Banjar 0,363 Kabupaten Pangandaran Average IPK = 0,523; StDev = 0,138 Sumber: BPS, data diolah, 2015
StDevIPK
Hirarki
0,08 0,10 0,09 0,05 0,11 -
I III II II III -
Tingkat Perkembangan Tinggi Rendah Sedang Sedang Rendah -
Tabel 32 memperlihatkan dari enam kabupaten/kota se Priangan Timur Kota Tasikmalaya adalah wilayah dengan hirarki I atau tingkat perkembangan tinggi/maju hal ini ditunjukkan dengan nilai rataan IPK yang besar, sehingga diasumsikan wilayah ini memiliki jumlah dan fasilitas yang lengkap dan memiliki aksesibilitas dan sarana prasarana yang lebih baik dibandingkan dengan wilayah lainnya sehingga potensial menjadi pusat pelayanan dan pusat pertumbuhan. Kabupaten Garut dan Kabupaten Ciamis termasuk dalam kategori wilayah hirarki
125
II atau tingkat perkembangan sedang, diasumsikan wilayah ini dimana jumlah dan jenis prasarananya tidak selengkap dengan wilayah pada hirarki I. Sedang Kabupaten Tasikmalaya dan Kota Banjar termasuk dalam kategori wilayah hirarki III atau tingkat perkembangan rendah, diasumsikan ketersediaan fasilitas sarana dan prasaranya tidak selengkap dengan wilayah pada hirarki I dan hirarki II. Kabupaten/kota yang termasuk dalam kategori wilayah hirarki II dan III berfungsi sebagai wilayah hinterland. Berdasarkan tabel 25 dan 26 untuk membandingkan tingkat perkembangan wilayah kabupaten/ kota Sultra Kepulauan dan Priangan Timur tahun 2013 dapat dilihat pada Tabel 33. Tabel 33 Perbandingan Analisis Skalogram Tingkat Perkembangan Wilayah menurut Kabupaten/Kota Sultra Kepulauan dan Priangan Timur tahun 2013 Kabupaten/ Kota se Sultra Kepulauan Kabupaten/ Rataan StDevIPK Kota IPK Kota Baubau 11,156 2,12 Kabupaten Buton 6,604 1,45 Kab. Buton Utara 22,609 4,32 Kab. Wakatobi 17,211 0,71 Kabupaten Muna 0,413 3,53 Kab. Bombana 4,391 0,04 Average IPK = 10,397; StDev = 8,322
Kabupaten/ Kota se Priangan Timur Hirarki/Tingkat Perkembangan II/Sedang III/Rendah I/Tinggi II/Sedang III/Rendah III/Rendah
Kabupaten/ Rataan StDevIPK Kota IPK Kota Tasikmalaya 0,662 0,08 Kab.Tasikmalaya 0,383 0,10 Kabupaten Garut 0,613 0,09 Kabupaten Ciamis 0,592 0,05 Kota Banjar 0,363 0,11 Kab.Pangandaran Average IPK = 0,523; StDev = 0,138
Hirarki/Tingkat Perkembangan I/Tinggi III/Rendah II/Sedang II/Sedang III/Rendah -
Sumber: BPS, data diolah, 2015
Tabel 33 memperlihatkan pada wilayah Sultra Kepulaun, dibandingkan dengan daerah sekitarnya (hinterland) Kota Baubau sebagai pusat pertumbuhan berada pada wilayah hirarki II, sedangkan Kabupaten Buton Utara berada pada wilayah hirarki I. Walaupun kondisi wilayah menunjukan bahwa Kota Baubau aktivitas ekonominya lebih beragam, ketersediaan sarana dan prasarana lebih lengkap, namun selisih jumlah penduduk yang cukup besar yaitu Kota Baubau sebesar 139.717 jiwa dan Kabupaten Buton Utara sebanyak 57.422 Jiwa menjadikan Kota Baubau berada pada wilayah hirarki II. Sebaliknya pada wilayah Priangan Timur dibandingkan dengan daerah sekitarnya (hinterland) Kota Tasikmalaya berada pada wilayah hirarki I, artinya bahwa ketersediaan fasilitas sarana dan prasarana sebagai pendukung untuk menjadi pusat pelayanan dan pertumbuhan sangat mendukung. Perbedaan tingkat perkembangan wilayah maupun ekonomi antar kabupaten/kota yang besar dalam suatu wilayah/kawasan akan memicu terjadinya arus pergerakan dan mobilitas penduduk yang semakin meningkat pula, dimana penduduk akan cenderung bergerak ke pusat-pusat kota (pertumbuhan) untuk mencari peluang maupun kesempatan kerja dan upah yang lebih besar. Kondisi ini akan berdampak pada hilang atau berkurangnya tenaga potensial dan produktif pada suatu wilayah. Perbedaan tingkat perkembangan antar wilayah yang sangat besar dalam suatu wilayah/kawasan juga dapat melemahkan dan menghambat kemajuan wilayah pada akhirnya dapat mengganggu sistem perekonomian wilayah. Sebaliknya jika terdapat hirarki wilayah yang berjenjang dengan tingkat keberimbangan yang baik antar wilayah disatu sisi bisa menimbulkan dan meningkatkan persaingan antar daerah, namun disisi lain dapat mendorong dan menggerakan wilayah-wilayah lainnya secara simultan sehingga dapat meningkatkan aktivitas ekonomi dan meminimalkan terjadinya arus mobilitas penduduk antar wilayah.
126
2. Analisis Interaksi Ekonomi dan Daya Tarik Wilayah Model gravitasi dalam ekonomi dipergunakan untuk menjelaskan interaksi dan hubungan antar daerah. Sasaran yang ingin dicapai dalam model gravitasi adalah untuk mengetahui secara kuantitatif hubungan ekonomi antara dua wilayah atau lebih melalui interaksi jumlah penduduk, pendapatan perkapita dan jarak. Interaksi ekonomi terjadi antara pusat-pusat yang umumnya merupakan kota, yang tidak hanya berkembang sangat pesat, akan tetapi memiliki daya tarik yang kuat bagi wilayah-wilayah sekitarnya. Perkembangan pusat kota baik cepat maupun lambat akan memberikan dampak pada wilayah pinggiran yang ada di sekitar pusat kota maupun pada wilayah sekitarnya yang secara geografis berada dalam satu kawasan atau berada pada jalur lintasan perekonomian yang sama. Pembangunan daerah yang diterapkan selama ini sebagai bagian dari pembangunan wilayah dan nasional menetapkan kota sebagai pusat pertumbuhan dimaksudkan untuk merangsang pertumbuhan ekonomi dan diharapkan memberikan pengaruh perkembangan ekonomi ke wilayah-wilayah sekitar dimana pusat kota itu berada. Pengaruh tersebut bukan saja akan menciptakan interdependensi antara pusat kota sebagai pusat pertumbuhan dengan daerah– daerah disekitarnya (hinterland) namun menciptakan interaksi dan pengaruh ekonomi yang kuat terhadap daerah sekitarnya. Akibat dari interaksi dan pengaruh ekonomi akan mendorong terjadinya trade off arus penduduk, modal, dan sumberdaya ke luar wilayah pusat pertumbuhan dengan daerah sekitarnya yang saling dimanfaatkan untuk menunjang dan mendorong perkembangan ekonomi baik di pusat pertumbuhan maupun menunjang dan mendorong perkembangan kegiatan ekonomi daerah sekitarnya (hinterland). Dalam arti hasil produksi pusat pertumbuhan dapat dipakai untuk mendorong kegiatan ekonomi daerah sekitarnya (hinterland), disisi lain hasil produksi daerah hinterland dipakai untuk menunjang kegiatan ekonomi yang ada di pusat pertumbuhan. Kota Baubau dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN) maupun dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Propinsi Sulawesi Tenggara ditetapkan sebagai Pusat Kegiatan Nasional (PKN) pada kawasan Sultra Kepulauan. Penetapan sebagai Pusat Kegiatan Nasional (PKN) dimaksudkan untuk mendorong percepatan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi Kota Baubau karena posisinya yang strategis berada pada bagian selatan Propinsi Sulawesi Tenggara dalam jalur perlintasan laut yang menghubungkan antara Indonesia Barat – Indonesia Timur disatu sisi sebagai daerah penyangga khususnya pada kawasan Sultra Kepulauan, diharapkan dapat memberikan efek penyebaran (spread effect) dan menggerakkan kegiatan ekonomi bagi daerahdaerah sekitarnya. Dengan menggunakan variabel jumlah penduduk, PDRB perkapita dan jarak antar kabupaten/kota, dapat diketahui interaksi ekonomi pusat pertumbuhan dengan kabupaten/kota sekitarnya maupun interaksi dari masing-masing kabupaten/kota dari nilai indeks gravitasi. Hasil perhitungan metode gravitasi selama periode pengamatan tahun 2009-2013 Kota Baubau dan wilayah
127
sekitarnya (hinterland yaitu Kabupaten Buton, Kabupaten Buton Utara, Kabupaten Wakatobi, Kabupaten Muna dan Kabupaten Bombana) dapat dilihat pada Tabel 34. Tabel 34 Indeks Gravitasi Kabupaten/Kota Sultra Kepulauan meliputi Kota Baubau dan wilayah hinterland (Kabupaten Buton, Buton Utara, Wakatobi, Muna dan Kabupaten Bombana) tahun 2009-2013 Kabupaten/ Kota
Kota Baubau
Kab. Buton
Kab. Utara
Buton
Kab. Wakatobi
Kab. Muna
Kab. Bombana
Nilai Indeks Gravitasi Kabupaten/Kota Priangan Timur Tahun
2009 2010 2011 2012 2013 Rata-rata 2009 2010 2011 2012 2013 Rata-rata 2009 2010 2011 2012 2013 Rata-rata 2009 2010 2011 2012 2013 Rata-rata 2009 2010 2011 2012 2013 Rata-rata 2009 2010 2011 2012 2013 Rata-rata
Kota Baubau
217 232 281 335 393 291,6 50,3 61,6 73,6 86,9 103 75,08 6,04 7,51 9,09 10,9 12,7 9,25 75,1 95,3 112 132 153 113,48 2,70 3,28 3,86 4,60 5,42 3,97
Kab. Buton
Kab. Buton Utara
Kab. Wakatobi
Kab. Muna
Kab. Bombana
217 232 281 335 393 291,6
50,3 61,6 73,6 86,9 103 75,08 6,95 7,24 8,77 10,4 12,3 9,13
6,04 7,51 9,09 10,9 12,7 9,25 3,88 4,11 5,05 6,03 7,08 5,23 0,87 1,05 1,27 1,51 1,78 1,30
75,1 95,3 112 132 153 113,48 31,6 34,1 40,7 47,9 55,7 42,00 4,25 5,26 6,18 7,22 8,46 6,27 2,56 3,23 3,84 4,54 5,25 3,88
2,7 3,28 3,86 4,6 5,42 3,97 2,28 2,35 2,81 3,34 3,96 2,95 0,69 0,82 0,97 1,14 1,36 1,00 0,45 0,55 0,65 0,78 0,92 0,67 4,01 4,93 5,71 6,72 7,84 5,84
6,95 7,24 8,77 10,4 12,3 9,13 3,88 4,11 5,05 6,03 7,08 5,23 31,6 34,1 40,7 47,9 55,7 42,00 2,28 2,35 2,81 3,34 3,96 2,95
0,87 1,05 1,27 1,51 1,78 1,30 4,25 5,26 6,18 7,22 8,46 6,27 0,69 0,82 0,97 1,14 1,36 1,00
2,56 3,23 3,84 4,54 5,25 3,88 0,45 0,55 0,65 0,78 0,92 0,67
4,01 4,93 5,71 6,72 7,84 5,84
Sumber: Hasil analisis Gravitasi, data diolah dari BPS Kota Baubau (2009-2013) Kab: Buton, Buton Utara, Wakatobi, Muna dan Bombana (2009-2013).
Tabel 34 menunjukkan hasil analisis gravitasi kabupaten/kota Sultra Kepulauan tahun 2009-2013, dari hasil analisis menunjukkan bahwa semakin besar indeks gravitasi antara suatu wilayah/daerah/kabupaten dengan wilayah/daerah/kabupaten lainnya berarti semakin besar interaksi ekonomi dan daya tarik wilayah dan sebaliknya. Hasil analisis gravitasi tahun 2009-2013 tabel 31 diatas menunjukkan rata-rata indeks gravitasi kabupaten/kota yang memiliki interaksi ekonomi dan daya tarik wilayah yang sangat kuat dengan Kota Baubau yaitu Kabupaten Buton dengan rata-rata indeks gravitasi yang besar yaitu 291,6 satuan gravitasi. Besarnya interaksi kedua daerah ini karena Kabupaten Buton
128
wilayahnya berbatasan langsung dengan Kota Baubau. Selanjutnya interaksi ekonomi dan daya tarik wilayah yang cukup kuat terjadi antara Kota Baubau dengan Kabupaten Muna ditunjukkan dengan rata-rata nilai gravitasi sebesar 113,45 satuan gravitasi. Kedua daerah tersebut yaitu Kota Baubau dan Kabupaten Muna secara geografis dipisahkan oleh laut namun jarak tempuh lewat laut ± 1(satu) jam memungkinkan interaksi keduanya cukup kuat. Besarnya nilai indeks gravitasi tersebut menunjukkan keeratan hubungan dan pengaruh yang kuat Kota Baubau terhadap Kabupaten Buton dan Kabupaten Muna. Sebaliknya 3 (tiga) kabupaten yaitu terhadap Kabupaten Buton Utara, interaksi ekonomi dan daya tarik wilayah Kota Baubau sangat lemah terlihat dari rataan nilai indeks gravitasi yang kecil sebesar 75,08 satuan gravitasi. Interaksi ekonomi dan daya tarik wilayah Kota Baubau terhadap Kabupaten Wakatobi sangat lemah terlihat dari rataan nilai indeks gravitasi yang kecil sebesar 9,25 satuan gravitasi. Terhadap Kabupaten Bombana interaksi ekonomi dan daya tarik wilayah Kota Baubau sangat lemah terlihat dari rataan nilai gravitasi yang kecil sebesar 3,97 satuan gravitasi. Dari hasil analisis gravitasi tersebut terlihat bahwa interaksi ekonomi dan daya tarik wilayah Kota Baubau terhadap 3 (tiga kabupaten tersebut yaitu Kabupaten Buton Utara, Kabupaten Wakatobi dan Kabupaten Bombana menunjukkan rataan nilai gravitasinya yang kecil diasumsikan hubungan dan pengaruh/interaksi sangat lemah walaupun menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun. Seiring dengan perkembangan ekonomi dan kemajuan yang dialami oleh kabupaten-kabupaten disekitarnya, terjadi perkembangan, perubahan dan pergeseran interaksi ekonomi dan daya tarik wilayah Kota Baubau terhadap daerah sekitarnya (hinterland), jika dilihat dari perkembangan nilai indeks gravitasi tahun 2009-2013 terjadi peningkatan interaksi ekonomi dan daya tarik wilayah walaupun intensitasnya berbeda-beda. Tabel 34 menunjukkan dalam lima tahun terakhir terjadi perkembangan, perubahan dan pergeseran daya tarik dan pengaruh Kota Baubau, ini ditunjukkan dengan indeks gravitasi kabupaten/kota. Peningkatan dan besarnya nilai indeks gravitasi dari tahun ke tahun, mengindikasikan hubungan dan daya tarik antara dua wilayah semakin erat. Hubungan dan daya tarik antara dua wilayah yang erat akan mendorong mobilitas penduduk, tenaga kerja, perdagangan maupun sumber-sumber ekonomi lainnya sangat tinggi dan sebaliknya. Gambar 29 memperlihatkan model gravitasi dari interaksi ekonomi dan daya tarik wilayah Kota Baubau terhadap daerah sekitarnya (hinterland). Sebagaimana dijelaskan diatas, interaksi ekonomi dan daya tarik wilayah Kota Baubau yang sangat kuat adalah terhadap Kabupaten Buton dan Kabupaten Muna, hal ini karena dua wilayah ini memiliki jarak yang dekat serta berbatasan langsung dengan Kota Baubau. Terhadap 3 (tiga) kabupaten lainnya yaitu Kabupaten Buton Utara, Kabupaten Wakatobi dan Kabupaten Bombana, interaksi ekonomi dan daya tarik wilayah Kota Baubau cukup sangat lemah, jika dilihat dari indeks gravitasi (Tabel 34). Model gravitasi interaksi ekonomi dan daya tarik
129
wilayah Kota Baubau terhadap daerah-daerah sekitarnya (hinterland) dapat dilihat pada Gambar 29. Kab. Konawe Utara
Kab. Buton Utara
Kab/Kota Sultra Kepulauan Pusat Pertumbuhan (Kota Baubau) Kota Ibukota Kabupaten Interaksi wilayah
Sumber:
Kota Baubau
Kab. Buton
data diolah 2015, Peta Propinsi Sulawesi Tenggara dari www.google.com dan Bappeda Propinsi Sulawesi Tenggara 2013.
Gambar 29 Model Gravitasi Kabupaten/Kota Wilayah Sultra Kepulauan meliputi Kota Baubau dan wilayah hinterland (Kabupaten Buton, Buton Utara, Wakatobi, Muna dan Kabupaten Bombana). Seiring dengan kemajuan dan perkembangan ekonomi, Kota Baubau berkembang sebagai pusat pertumbuhan di wilayah Sultra Kepulauan. Hal ini karena didukung tersedianya berbagai fasilitas-fasilitas, sarana prasarana dan jasa layanan yang merupakan daya tarik bagi daerah-daerah sekitarnya seperti fasilitas pendidikan, fasilitas kesehatan, fasilitas hiburan dan rekreasi, fasilitas dan layanan perdagangan seperti pusat perbelanjaan, perkembangan industri manufaktur, tersedianya lapangan udara, berkembangnya lembaga-lembaga keuangan, fasilitas tranportasi, kesempatan berusaha dan memperoleh pekerjaan serta upah minum regional yang lebih besar dibandingkan daerah-daerah sekitarnya. Dalam Rencana Tata Ruang Nasional (RTRN) maupun dalam Rencana Tata Ruang Propinsi Jawa Barat ditetapkan dua Pusat Kegiatan Nasional (PKN) yaitu Wilayah Barat dan Wilayah Timur. Pusat Kegiatan Nasional (PKN) selanjutnya dibagi dalam beberapa Pusat Kegiatan Wilayah (PKW). Pusat Kegiatan Nasional (PKN) Wilayah Barat di pusatkan di Kota Bandung, dan Pusat Kegiatan Nasional (PKN) Wilayah Timur dipusatkan di Kota Cirebon, untuk wilayah timur Pusat Kegiatan Wilayah (PKW) ditetapkan di Kota Tasikmalaya. Penetapan Kota Tasikmalaya sebagai Pusat Kegiatan Wilayah (PKW) tertuang dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN) dimaksudkan untuk mendorong percepatan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi Kota Tasikmalaya dan wilayah sekitarnya karena posisinya yang strategis berada pada bagian timur
130
Propinsi Jawa Barat dalam jalur perlintasan selatan tujuan Jakarta – Jogya dan Surabaya, disatu sisi sebagai daerah penyangga khususnya pada kawasan Priangan Timur yang berbatasan langsung dengan Propinsi Jawa Tengah. Penetapan Kota Tasikmalaya sebagai pusat kegiatan wilayah (PKW) dimaksudkan bukan saja untuk mendorong perkembangan perekonomian wilayah Kota Tasikmalaya itu sendiri, namun diharapkan mampu memberikan efek penyebaran (spread effect) dan menggerakkan kegiatan ekonomi bagi daerahdaerah sekitarnya, yang meliputi Kabupaten Tasikmalaya, Kabupaten Garut, Kabupaten Ciamis, Kota Banjar dan Kabupaten Pangandaran. Untuk melihat interaksi ekonomi dan daya tarik wilayah Kota Tasikmalaya terhadap daerah sekitarnya (hinterland) serta identifikasi keterkaitan antar kabupaten dan kota, dalam penelitian ini periode pengamatan akan dilakukan antara tahun 2009-2013, dalam rentang lima tahun diharapkan dapat diketahui besaran perkembangan pengaruh, pergeseran dan daya tarik Kota Tasikmalaya terhadap daerah-daerah sekitar (hinterland). Tabel 35 menunjukkan hasil perhitungan analisis gravitasi kabupaten/kota Priangan Timur tahun 2009-2013. Dari hasil analisis diketahui kabupaten yang memiliki interaksi ekonomi dan daya tarik wilayah yang sangat kuat terjadi antara Kota Tasikmalaya dengan Kabupaten Tasikmalaya ditunjukkan dengan rataan nilai gravitasi yang besar yaitu 174,60 satuan gravitasi. Selanjutnya interaksi ekonomi dan daya tarik wilayah antara Kota Tasikmalaya dengan Kabupaten Ciamis dengan rataan nilai gravitasi yang sebesar 101,52 satuan gravitasi. Sedang dengan 3 (tiga) kabupaten/kota yaitu interaksi ekonomi dan daya tarik wilayah Kota Tasikmalaya dengan Kabupaten Garut rataan nilai gravitasi sebesar 17,46 satuan gravitasi, Kota Tasikmalaya dengan Kota Banjar rataan nilai gravitasi sebesar 1,44 satuan gravitasi dan Kota Tasikmalaya dengan Kabupaten Pangandaran rataan nilai gravitasi sebesar 0,87 satuan gravitasi. Dari analisis tersebut terlihat rataan nilai gravitasi yang kecil, diasumsikan interaksi ekonomi dan daya tarik wilayah Kota Tasikmalaya terhadap 3 (tiga) kabupaten/kota tersebut sangat lemah. Disatu sisi Kota Banjar sebagai kota alternatif selain Kota Tasikmalaya di Priangan Timur ternyata kurang memiliki daya tarik wilayah yang kuat dengan kabupaten/kota se Priangan Timur jika dilihat dari rataan nilai gravitasi. Demikian halnya interaksi ekonomi dan daya tarik wilayah antar kabupaten se Priangan Timur terlihat lemah jika dilihat dari analisis gravitasi kabupaten/kota wilayah Priangan Timur (Tabel 35).
131
Tabel 35 Indeks Gravitasi Kabupaten/Kota Priangan Timur meliputi Kota Tasikmalaya dan daerah sekitarnya (hinterland) tahun 2009-2013 Kabupaten/ Kota
Kota Tasikmalaya
Kab. Tasikmalaya
Kab. Garut
Kab. Ciamis
Kota Banjar
Kab. Pangandaran
Nilai Indeks Gravitasi Kabupaten/Kota Priangan Timur Kota Kab. Kab. Tahun Tasikmalaya
2009 2010 2011 2012 2013 Rata-rata 2009 2010 2011 2012 2013 Rata-rata 2009 2010 2011 2012 2013 Rata-rata 2009 2010 2011 2012 2013 Rata-rata 2009 2010 2011 2012 2013 Rata-rata 2009 2010 2011 2012 2013 Rata-rata
141 156 173 190 213 174,6 14,1 15,4 17,3 19,1 21,4 17,46 78,6 87,0 101 113 128 101,52 1,18 1,28 1,41 1,57 1,78 1,44 0,70 0,77 0,86 0,95 1,07 0,87
Tasikmalaya
Garut
141 156 173 190 213 174,6
14,1 15,4 17,3 19,1 21,4 17,46 10,1 10,9 12,0 13,1 14,3 12,08
10,1 10,9 12,0 13,1 14,3 12,08 39,8 43,4 49,8 54,8 60,4 49,64 1,27 1,36 1,47 1,62 1,79 1,50 0,82 0,89 0,98 1,07 1,17 0,99
7,39 8,02 9,28 10,3 11,4 9,28 0,49 0,52 0,57 0,63 0,70 0,58 0,85 0,93 1,02 1,12 1,23 1,03
Kab. Ciamis
Kota Banjar
Kab. Pangandaran
78,6 87,0 101 113 128 101,52 39,8 43,4 49,8 54,8 60,4 49,64 7,39 8,02 9,28 10,3 11,4 9,28
1,18 1,28 1,41 1,57 1,78 1,44 1,27 1,36 1,47 1,62 1,79 1,50 0,49 0,52 0,57 0,63 0,70 0,58 9,30 9,97 11,4 12,7 14,1 11,49
0,70 0,77 0,86 0,95 1,07 0,87 0,82 0,89 0,98 1,07 1,17 0,99 0,85 0,93 1,02 1,12 1,23 1,03 2,30 2,52 2,90 3,21 3,56 2,90 0,47 0,51 0,55 0,61 0,68 0,56
9,30 9,97 11,4 12,7 14,1 11,49 2,30 2,52 2,90 3,21 3,56 2,90
0,47 0,51 0,55 0,61 0,68 0,56
Sumber: Analisis Gravitasi, data diolah dari BPS data diolah dari BPS Kota Tasikmalaya, Kab. Tasikmalaya, Kab. Garut, Kab. Ciamis, Kota Banjar, Kab. Pangandaran, 2009-2013.
Tabel 35 menunjukkan terjadi peningkatan indeks gravitasi antar kabupaten/kota se Priangan Timur dari tahun 2009 sampai dengan tahun 2013 walaupun intensitasnya berbeda-beda. Peningkatan indeks gravitasi ini seiring dengan kemajuan dan perkembangan masing-masing kabupaten/kota. Besarnya nilai indeks gravitasi menunjukkan interaksi ekonomi dan daya tarik wilayah yang kuat antar wilayah tersebut. Peningkatan nilai indeks gravitasi mengindikasikan interaksi ekonomi/hubungan dan daya tarik wilayah antara dua wilayah semakin erat. Hubungan dan daya tarik antara dua wilayah yang erat mengindikasikan meningkatnya mobilitas penduduk, tenaga kerja, perdagangan maupun sumbersumber ekonomi lainnya sangat tinggi dan sebaliknya. Gambar 30 memperlihatkan model gravitasi kabupaten/kota se Priangan Timur, dimana Kota Tasikmalaya sebagai pusat pelayanan dan pusat pertumbuhan. Sebagaimana telah dijelaskan diatas, dari hasil analisis gravitasi menunjukkan interaksi ekonomi dan daya tarik wilayah Kota Tasikmalaya yang sangat kuat adalah terhadap Kabupaten Tasikmalaya dan Kabupaten Ciamis, hal ini karena dua kota ini berbatasan langsung dengan Kota Tasikmalaya. Terhadap Kabupaten Garut, Kota Banjar dan Kabupaten Pangandaran interaksi ekonomi dan
132
daya tarik wilayah Kota Tasikmalaya sangat lemah. Model gravitasi interaksi ekonomi dan daya tarik wilayah Kota Tasikmalaya terhadap daerah-daerah sekitarnya (hinterland) dapat dilihat pada Gambar 30.
KOTA SUKABUMI
Kab. Ciamis Kab/Kota Priangan Timur
Kota Banjar
Kab. Garut
Pusat Pertumbuhan (Kota Tasikmalaya) Kota Kabupaten
Kota Tasikmalaya
Ibukota Kabupaten
Kab. Tasikmalaya
Interaksi wilayah
Kab. Pangandaran
Sumber : data diolah 2015, Peta Propinsi Jawa Barat dari www.google.com dan Bappeda Propinsi Jawa Barat 2013.
Gambar 30 Model Gravitasi Kabupaten/Kota se Priangan Timur meliputi Kota Tasikmalaya dan wilayah sekitarnya (hinterland) Gambar 30 memperlihatkan model gravitasi wilayah Priangan Timur, dimana interaksi ekonomi dan daya tarik wilayah Kota Tasikmalaya terhadap daerah sekitarnya (hinterland) dari tahun 2009-2013 menunjukkan peningkatan jika dilihat dari nilai indeks gravitasi dari tahun ke tahun. Peningkatan interaksi ekonomi dan daya tarik wilayah sering dengan perkembangan Kota Tasikmalaya yang pesat. Sebagaimana dalam analisis skalogram, berbagai daya tarik wilayah disebabkan oleh tersedianya fasilitas-fasilitas pelayanan yang lebih baik seperti pendidikan, kesehatan, sentra-sentra perbelanjaan (mall, pertokoan), transportasi dan sentra-sentra industri. Perbandingan rata-rata indeks gravitasi Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya tahun 2009-2013 dapat dilihat pada Tabel 36. Tabel 36 Perbandingan Analisis Nilai Indeks Gravitasi Kabupaten/Kota Sultra Kepulauan dan Priangan Timur Tahun 2009-2013 Rata-Rata Nilai Indeks Gravitasi Kab/Kota Sultra Kepulauan Kabupaten/ Gravitasi Kota Kota Tahun Baubau Kota 2009Baubau 2013 Kab. 2009Buton 2013 Kab.Buton 2009Utara 2013 Kab. 2009Wakatobi 2013 Kab. 2009Muna 2013 Kab. 2009Bombana 2013
Kab. Buton
Kab. Kab. Buton Wakato Utara bi
Kab. Kab. MunaBomba na
291,60
75,08
113,48
9,13
291,60 75,08 9,25 113,48 3,97
Rata-Rata Nilai Indeks Gravitasi Kab/Kota Priangan Timur
9,13 5,23 42,00
2,95
9,25
1,00
Kota Tasikmalaya Kab. Tasikmalaya
5,23
42,00
2,95
1,30
6,27
1,00
Kab. Garut
3,88
0,67
Kab. Ciamis
1,30 6,27
3,97
Kabupaten/ Kota
3,88 0,67
5,84 5,84
Kota Banjar Kab. Pangandaran
Gravitasi Kota Tahun Tasikma laya 20092013 2009174,6 2013 200917,46 2013 2009101,52 2013 20091,44 2013 20110,87 2013
Kab. Tasikma laya 174,6
Kab. Kab. Garut Ciamis 17,46
101,52
1,44
0,87
12,08
49,6 4
1,50
0,99
9,28
0,58
1,03
11,49
2,90
12,08 49,64
Kota Kab. Banjar Pangandaran 2011-2013
9,28
1,50
0,58
11,4 9
0,99
1,03
2,90
0,56 0,56
Sumber: Hasil analisis Gravitasi 2015, data diolah dari BPS Kota Baubau Kab: Buton, Buton Utara, Wakatobi, Muna dan Kab. Bombana; Kota Tasikmalaya, Kab. Tasikmalaya, Kab. Garut, Kab. Ciamis, Kota Banjar, Kab. Pangandaran dan Prop. Jawa Barat, 2009-2014.
133
Tabel 36 memperlihatkan dari hasil analisis gravitasi tahun 2009-2013 menunjukkan untuk wilayah Sultra Kepulauan rata-rata interaksi ekonomi dan daya tarik wilayah yang kuat antara Kota Baubau dengan Kabupaten Buton sebesar 291,60 satuan gravitasi, dan Kota Baubau dengan Kabupaten Muna sebesar 113,48 satuan gravitasi. Besarnya indeks gravitasi tersebut karena Kabupaten Buton dan Kabupaten Muna berbatasan serta mempunyai jarak yang dekat dengan Kota Baubau. Sedang dengan kabupaten lainnya yaitu Kabupaten Buton Utara, Kabupaten Wakatobi, dan Kabupaten Bombana rata-rata interaksi ekonomi dan daya tarik wilayah Kota Baubau sangat lemah. Sedang pada wilayah Priangan Timur rata-rata interaksi ekonomi dan daya tarik wilayah Kota Tasikmalaya yang kuat yaitu dengan Kabupaten Tasikmalaya sebesar 174,60 satuan gravitasi dan dengan walaupun interaksi ekonomi yang masih terjadi antara Kota Tasikmalaya dengan Kabupaten Ciamis sebesar 101,52 satuan gravitasi. Sebaliknya dengan daerah lainnya yaitu Kabupaten Garut, Kota Banjar dan Kabupaten Pangandaran rata-rata interaksi ekonomi dan daya tarik wilayah Kota Tasikmalaya sangat lemah. Demikian halnya dengan interaksi ekonomi dan daya tarik wilayah antar kabupaten/kota baik wilayah Sultra Kepulauan maupun wilayah Priangan Timur tidak memperlihat ada kabupaten atau kota sebagai alternatif lain yang memiliki interaksi ekonomi dan daya tarik yang besar/kuat. Berdasarkan model gravitasi Gambar 29 dan Gambar 30 berikut ini disajikan perbandingan model gravitasi Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya dengan daerah sekitarnya (hinterland) terlihat pada Gambar 31. Kota Bandung
Kota Kendari
Kab. Bombana
Kota Cirebon
Kab. Buton Utara Kab. Muna
Kota Baubau
Kab. Ciamis Kab. Garut
Pusat Pertumbuhan
Kota Banjar
Hinterland Interaksi Ekonomi/ Daya Wilayah
Kab. Wakatobi Kab. Buton
Pusat Pertumbuhan Hinterland Interaksi Ekonomi/ Daya Wilayah
Kota Tasikmalay a
Kab. Tasikmalaya
Kab. Pangandaran
Sumber : data diolah 2015, Peta Propinsi Sulawesi Tenggara dan Jawa Barat dari www.google.com dan Bappeda Propinsi Jawa Barat 2013. Gambar 31 Perbandingan Model Gravitasi Kabupaten/Kota Sultra Kepulauan dan Priangan Timur tahun 2009-2013. Perkembangan ekonomi Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya menjadi daya tarik tersendiri bagi daerah-daerah sekitarnya. Interaksi ekonomi dan daya tarik wilayah Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya karena didukung tersedianya berbagai fasilitas-fasilitas, sarana prasarana dan jasa layanan. Tersedianya fasilitas pendidikan yang lebih banyak di Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya mulai dari tingkat menengah sampai perguruan tinggi. Adanya kecenderungan masyarakat untuk mencari kualitas pendidikan yang lebih baik dengan sarana dan prasarana yang lengkap disertai dengan teknologi yang lebih baik dari daerah-daerah sekitarnya menjadi daya tarik tersendiri. Tersedianya fasilitas kesehatan dengan teknologi yang lebih baik, tersedinya fasilitas hiburan dan rekreasi, fasilitas dan
134
layanan perdagangan seperti sentra-sentra atau pusat perbelanjaan, perkembangan industri manufaktur, tersedianya lapangan udara, berkembangnya lembagalembaga keuangan makro dan mikro, fasilitas tranportasi, kesempatan berusaha dan memperoleh pekerjaan, upah minum regional yang lebih besar dibandingkan daerah-daerah sekitarnya mendorong mobilitas dan pergerakan penduduk dan sumber-sumber ekonomi lainnya daerah-daerah sekitarnya (hinterland) ke Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya. Analisis Pemekaran Wilayah: Persepsi Masyarakat Tentang Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 dan Manfaat Kebijakan Pemekaran Wilayah Proses desentralisasi dan otonomi daerah dengan implikasi pemekaran wilayah tidak lain bertujuan untuk mendekatkan pelayanan kepada masyarakat, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, membuka daerah terisolir dan mengurangi ketimpangan pembangunan antara wilayah serta memberikan dampak positif bagi pengembangan wilayah yaitu mempercepat perkembangan ekonomi kabupaten/ kota yang baru dibentuk. Pemekaran wilayah dapat dipandang sebagai salah satu bentuk pengembangan wilayah, diharapkan dapat memperkecil kesenjangan antar wilayah (regional disparity), serta dapat menyeimbangkan pertumbuhan dan perkembangan antar wilayah (Muta’ali 2011). Dalam perekonomian makro indikator pertumbuhan dan pembangunan maupun kesejahteraan suatu negara dan daerah selalu dilihat dari sisi pertumbuhan ekonomi, Produk Domestik Bruto/Produk Domestik Regional Bruto (PDB/PDRB), PDRB perkapita, Indeks Pembangunan Manusia dan berbagai indikator lainnya. Semakin baik/tinggi pertumbuhan ekonomi, PDB/PDRB, PDRB perkapita dan Indeks Pembangunan Manusia berarti kinerja ekonomi dan kesejahteraan masyarakat semakin baik. Namun ternyata indikator dan angkaangka tersebut hanya merupakan representase dari pembangunan yang telah dilaksanakan, karena pada kenyataannya jika kita melihat kondisi dilapangan, ternyata bahwa angka-angka tersebut tidak sesuai dengan kondisi dan keadaan masyarakat. Berlakunya Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 yang telah direvisi dengan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dengan titik berat pada desentralisasi dan otonomi daerah merupakan jembatan untuk memperbaiki perekonomian suatu daerah dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dengan desentralisasi dan otonomi daerah akan mengurangi ketimpangan pembangunan dan meningkatkan pemerataan pembangunan yang selama ini dirasakan sebagai salah satu penyebab kurang berkembangnya daerahdaerah yang berada di luar Pulau Jawa. Kondisi tersebut menjadi pemicu dan mendorong bertambahnya jumlah kabupaten/kota di Indonesia (lihat Tabel 1). Penerapan undang-undang otonomi daerah tersebut disikapi oleh daerah dengan berbagai usulan pemekaran wilayah/daerah. Agar berbagai usulan pemekaran sesuai yang diharapkan maka Pemerintah menerbitkan peraturan pemerintah sebagai dasar landasan hukum dan petunjuk operasional pemekaran wilayah. Peraturan pertama sebagai petunjuk operasional pemekaran wilayah yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 129 Tahun 2000 tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan dan Penggabungan Daerah. Peraturan ini diberlakukan sejak tahun 2001-2007. Daerah yang dimekarkan
135
berdasarkan peraturan ini sebanyak 125 kabupaten/kota. Namun sejak Nopember 2008 sampai sekarang pemekaran wilayah sudah berdasarkan pada Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan dan Penggabungan Daerah. Jumlah kabupaten/kota yang dimekarkan berdasarkan peraturan ini sebanyak 44 daerah sampai dengan tahun 2013. Untuk mengevaluasi/mengkritisi faktor-faktor pembentukan daerah otonom baru (DOB)/pemekaran wilayah dan mengetahui persepsi masyarakat manfaat kebijakan pemekaran wilayah di Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya, berikut ini disajikan hasil analisis factor pembentuk DOB sebagai berikut: 1. Analisis Deskriptif dengan Distribusi Frekwensi Hasil penelitian pada 2 (dua) kota hasil pemekaran yaitu Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya dengan menggunakan responden yang berasal dari DPRD (legislatif), birokrasi (eksekutif terdiri dari walikota, wakil walikota, sekretaris daerah, dinas/badan/kantor), kecamatan (tokoh masyarakat), pengusaha lokal dan perguruan tinggi/akademisi) berjumlah 105 responden masing-masing terdiri dari Kota Baubau 51 responden dan Kota Tasikmalaya 54 responden. Namun dari 105 responden dan daftar pertanyaan/kuisioner yang diberikan terdapat beberapa responden yang tidak mengembalikan/tidak mengisi daftar pertanyaan/kuesioner tersebut, sehingga hasil tabulasi data responden yang tercatat adalah Kota Baubau sebanyak 40 responden dan Kota Tasikmalaya 46 responden. Dalam penelitian ini data diperoleh langsung dari responden dengan menggunakan daftar pertanyaan/kuesioner yang terstruktur sesuai dengan tujuan penelitian yang ingin dicapai, hasil penelitian mencakup beberapa pertanyaan kunci dan pertanyaanpertanyaan pendukung untuk menguatkan/menolak setiap jawaban atau pernyataan responden. Hasil persepsi masyarakat di Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya terhadap pertanyaan “Apakah ada perbedaan sebelum dan sesudah pemekaran dari aspek pendapatan masyarakat” dengan 3 (tiga) pilihan. Hasil penelitian persepsi masyarakat di Kota Baubau terhadap aspek pendapatan masyarakat menunjukkan tidak ada responden yang memberikan jawaban “semakin miskin” (0,0%), 3 (tiga) responden (3,5%) menjawab “tetap saja” dan 37 responden (43,0%) menjawab semakin meningkat/baik. Tabel 37 Persepsi Responden terhadap Aspek Pendapatan Masyarakat Semakin Miskin Frek (%) Bau-Bau 0 0.0 Tasikmalaya 0 0.0 Total 0 0.0 Kota
Tetap Saja Frek 3 3 6
(%) 3.5 3.5 7.0
Semakin Meningkat Frek (%) 37 43.0 43 50.0 80 93.0
Total Frek 40 46 86
(%) 46.5 53.5 100.0
Hasil penelitian persepsi masyarakat di Kota Tasikmalaya terhadap aspek pendapatan masyarakat menunjukkan tidak ada responden yang memberikan jawaban “semakin miskin” (0,0%), 3 (tiga) responden (3,5%) menjawab “tetap saja” dan 41 responden (47,7%) menjawab semakin meningkat/baik (Tabel 37). Hasil persepsi masyarakat di Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya terhadap pertanyaan “Apakah ada perbedaan sebelum dan sesudah pemekaran, dari aspek
136
pelayanan (kesehatan, pendidikan, pemerintahan)” dengan 3 (tiga) pilihan. Hasil penelitian persepsi masyarakat terhadap aspek pelayanan di Kota Baubau menunjukkan tidak ada responden yang memberikan jawaban “semakin buruk” (0,0%), 5 (lima) responden (5,8%) menjawab “tetap saja” dan 35 responden (40,7%) menjawab “semakin baik”. Tabel 38 Persepsi Responden terhadap Aspek Pelayanan Kota
Semakin Buruk Frek (%) 0 0.0
Bau-Bau Tasikmalay a 0 Total 0
0.0 0.0
Tetap Saja
Semakin Baik
Total
Frek 5
(%) 5.8
Frek 35
(%) 40.7
Frek 40
(%) 46.5
5 10
5.8 11.6
41 76
47.7 88.4
46 86
53.5 100.0
Demikian halnya hasil penelitian terhadap persepsi masyarakat di Kota Tasikmalaya terhadap aspek pelayanan menunjukkan tidak ada responden yang memberikan jawaban “semakin buruk” (0,0%), 5 (lima) responden (5,8%) menjawab “tetap saja” dan 41 responden (47,7%) menjawab “semakin baik” (Tabel 38). Hasil persepsi masyarakat di Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya terhadap pertanyaan “Apakah ada perbedaan sebelum dan sesudah pemekaran, dari aspek infrastruktur (pendidikan, kesehatan, pemerintah, jalan dan jembatan)” dengan 3 (tiga) pilihan. Hasil penelitian persepsi masyarakat di Kota Baubau terhadap aspek infrastruktur menunjukkan tidak ada responden yang memberikan jawaban “semakin buruk” (0,0%), 2 (dua) responden (2,3%) menjawab “tetap saja” dan 38 responden (44,2%) menjawab “semakin baik”. Tabel 39 Persepsi Responden terhadap Aspek Infrastruktur Kota
Semakin Buruk Frek (%) 0 0.0
Bau-Bau Tasikmalay a 0 Total 0
0.0 0.0
Tetap Saja
Semakin Baik
Total
Frek 2
(%) 2.3
Frek 38
(%) 44.2
Frek 40
(%) 46.5
2 4
2.3 4.7
44 82
51.2 95.3
46 86
53.5 100.0
Hasil penelitian persepsi masyarakat di Kota Tasikmalaya aspek infrastruktur menunjukkan tidak ada responden yang memberikan jawaban “semakin buruk” (0,0%), 2 (dua) responden (2,3%) menjawab “tetap saja” dan 44 responden (51,2%) menjawab “semakin baik” (Tabel 39). Hasil persepsi masyarakat di Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya terhadap pertanyaan “Menurut Bapak/Ibu apakah dengan pemekaran wilayah, perkembangan kota lebih maju?” dengan 3 (tiga) pilihan. Hasil penelitian persepsi masyarakat di Kota Baubau terhadap aspek perkembangan kota menunjukkan 39 responden (45,3%) menjawab “ya atau semakin maju” tidak ada responden yang memberikan jawaban “tidak maju/berkembang” atau (0,0%), 1 (satu) responden (1,2%) menjawab “sama saja”.
137
Tabel 40 Persepsi Responden terhadap Aspek Perkembangan Kota Kota Bau-Bau Tasikmalay a Total
Ya Fre k 39
Tidak
Sama Saja
Total
(%)
Frek
(%)
Frek
(%)
Frek
(%)
45.3
0
0.0
1
1.2
40
46.5
45 84
52.3 97.7
0 0
0.0 0.0
1 2
1.2 2.3
46 86
53.5 100.0
Sedang hasil penelitian persepsi pada masyarakat Kota Tasikmalaya terhadap aspek perkembangan kota menunjukkan 45 responden (52,3%) menjawab “ya atau semakin maju” tidak ada responden yang memberikan jawaban “tidak maju/berkembang” atau (0,0%), 1 (satu) responden (1,2%) menjawab “sama saja” (Tabel 40). 2. Analisis Hierarchy Process (AHP) Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya masing-masing dimekarkan dari Kabupaten Buton dan Kabupaten Tasikmalaya tahun 2001. Pemekaran kedua kota tersebut merupakan produk Undang-Undang No. 22 tahun 1999 yang telah direvisi dengan Undang-Undang No. 32 tahun 2004 sebagai penjabaran dan pelaksanaan dari pasal 8 yang berbunyi Tata cara pembentukan, penghapusan, dan penggabungan daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6 diatur dengan Peraturan Pemerintah. Berdasarkan diktum tersebut selanjutnya terbitlah Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007. Untuk mengetahui sampai sejauhmana efektifitas pelaksanaan peraturan tersebut, maka penelitian ini dilakukan untuk mengetahui persepsi masyarakat (stakeholder) akan manfaat pemekaran dan mengevaluasi 11 (sebelas) faktor-faktor pembentukan daerah otonom baru berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 dengan menggunakan metode Analytic Hierarchy Process (AHP). a. Persepsi Masyarakat tentang Perbandingan Antar Elemen Faktor Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan dan Penggabungan Daerah menyebutkan bahwa dalam proses pembentukan daerah otonom baru terdapat 11 (sebelas) faktor dan 35 (tiga puluh lima) indikator sebagai penilaian syarat teknis dalam pembentukan daerah otonom baru. Ke 11 (sebelas) faktor tersebut di urutkan berdasarkan tingkat prioritas dalam pembentukan daerah otonom baru sebagai berikut: 1) Kependudukan, 2) Kemampuan ekonomi, 3) Potensi Daerah, 4) Kemampuan Keuangan, 5) Sosial Budaya, 6) Sosial Politik, 7) Luas Daerah, 8) Pertahanan, 9) Keamanan, 10) Tingkat Kesejahteraan Masyarakat, 11) Rentang Kendali. Berdasarkan urutan rangking tersebut dengan menggunakan metode Analytic Hierarchy Process dilakukan analisis berdasarkan hasil persepsi masyarakat. Hasil penelitian persepsi masyarakat di Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya terhadap perbandingan antar 11 (sebelas) elemen faktor dalam Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 dengan metode analysis hierarchy process dapat dilihat pada Gambar 32. Hasil analisis persepsi masyarakat Kota Baubau tentang perbandingan antar sebelas elemen faktor dalam pembentukan daerah otonom baru, menunjukkan prioritas pertama dari sebelas elemen faktor adalah
138
keamanan (KM) dengan score 0,18 diikuti faktor tingkat kesejahteraan (TK) score 0,126, rentang kendali (RK) score 0,117, pertahanan (PH) score 0,097, kemampuan keuangan (KK) score 0,077, kemampuan ekonomi score 0,076, potensi daerah (PD) score 0,074, luas daerah (LD) score 0,072, kependudukan (KP) score 0,062, sosial politik (SP) score 0,061, dan sosial budaya (SB) score 0,058 (Gambar 32).
Sumber: Hasil Analisis Data Primer, 2015
Gambar 32 Hasil Analisis Persepsi Masyarakat Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya Perbandingan Prioritas antar Elemen Faktor dalam Penerapan Peraturan Pemerintah Nomor 78 tahun 2007 Keterangan: KP KE PD KK SB SP
: : : : : :
Kependudukan Kemampuan ekonomi Potensi daerah Kemampuan keuangan Sosial budaya Sosial politik
LD PH KM TK RK
: : : : :
Luas daerah Pertahanan Keamanan Tingkat kesejahteraan Rentang kendali
Gambar 32 menunjukkan hasil analisis persepsi masyarakat Kota Tasikmalaya terhadap perbandingan antar 11 (sebelas) elemen faktor dalam pembentukan daerah otonom baru. Prioritas pertama dari 11 (sebelas) elemen faktor adalah tingkat kesejahteraan (TK) score 0,138, diikuti prioritas kedua faktor keamanan (KM) dengan score 0,120, kemampuan keuangan (KK) score 0,104, kemampuan ekonomi score 0,102, pertahanan (PH) score 0,092, rentang kendali (RK) score 0,088, potensi daerah (PD) score 0,088, sosial politik (SP) score 0,072, sosial budaya (SB) score 0,066, luas daerah (LD) score 0,065, dan kependudukan (KP) score 0,063. Hasil persepsi masyarakat di Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya dengan metode Analisis Hierarchy Process menunjukkan, terdapat perbedaan dalam menentukan prioritas dari 11 (sebelas) elemen faktor dalam pembentukan DOB. Pada Prioritas Pertama, masyarakat Kota Baubau menganggap bahwa faktor “keamanan” (KM) menjadi prioritas dan sangat penting dalam proses pemekaran wilayah. Hal ini karena masyarakat melihat proses pemekaran wilayah yang terjadi selama ini dimulai dari tahap proses pembentukan, pengusulan, penetapan ibukota sampai dengan proses pilkada sangat sering diwarnai dengan berbagai macam tindak kekerasan yang terjadi, sehingga sangat beralasan jika masyarakat
139
sangat menginginkan proses pemekaran maupun pasca pemekaran suatu daerah otonom baru dalam suasana dan situasi yang kondusif. Jika situasi dan kondisi yang aman, maka tujuan dan harapan dari pemekaran wilayah dapat berjalan dengan baik. Masyarakat Kota Tasikmalaya menganggap bahwa faktor “keamanan” (KM) sebagai prioritas kedua. Hal ini tentunya beralasan bahwa proses pemekaran yang terjadi selama ini di Jawa secara umum mengindikasikan situasi yang kondusif dibandingkan di luar Pulau Jawa. Sebaliknya pada masyarakat Kota Tasikmalaya menganggap faktor “tingkat kesejahteraan” sebagai prioritas pertama dari sebelas elemen faktor dalam pembentukan daerah otonom baru. Argumen ini tentunya didasarkan pada kondisi pemekaran yang terjadi di Kota Tasikmalaya dan umumnya di pulau Jawa, proses pemekaran berjalan dalam suasana yang kondusif, sehingga oleh masyarakat berasumsi bahwa tingkat kesejahteraan menjadi tujuan yang utama dalam proses pemekaran. Sebaliknya persepsi masyarakat Kota Baubau memandang “tingkat kesejahteraan (TK) sebagai prioritas kedua. Persepsi ini didasarkan pada kondisi bahwa tingkat kesejahteraan akan terwujud sebagaimana dengan tujuan pemekaran wilayah yaitu dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah pemekaran, jika situasi dalam keadaan kondusif. Masyarakat Kota Baubau melihat bahwa “rentang kendali” (RK) sebagai prioritas ketiga. Sedang masyarakat Kota Tasikmalaya berasumsi prioritas ketiga adalah “kemampuan keuangan” (KK). Perbedaan persepsi masyarakat Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya didasari latar belakang kondisi wilayah. Persepsi masyarakat Kota Baubau memandang “rentang kendali” sebagai prioritas ketiga dan tolok ukur pemekaran wilayah, karena dengan “rentang kendali” dapat memperpendek jarak pelayanan kepada masyarakat dan akan mampu menjangkau masyarakat sampai pada daerah-daerah yang terpencil. Sedang persepsi masyarakat Kota Tasikmalaya berasumsi bahwa “kemampuan keuangan” menjadi tolok ukur untuk menjadi daerah otonom baru. Hal ini tentu beralasan karena dari sisi wilayah dan infrastruktur daerah-daerah di Pulau Jawa cenderung lebih bagus sehingga oleh masyarakat melihat bahwa untuk menjadi suatu daerah otonom baru perlu didukung oleh kemampuan keuangan suatu daerah untuk mendukung keberlanjutan daerah otonom dimaksud serta pencapaian tujuan dari pembentukan daerah otonom baru. Dari 11 (sebelas) faktor-faktor pembentukan daerah otonom baru menunjukkan bahwa ada perbedaan persepsi masyarakat di Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya jika dilihat dari urutan prioritas. Berdasarkan persepsi masyarakat Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya menunjukkan ada perbedaan prioritas 11 (sebelas) faktor-faktor pembentukan daerah otonom baru dengan prioritas berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007. Perbandingan perbedaan prioritas 11 (sebelas) faktor-faktor pembentukan daerah otonom baru dapat dilihat pada Tabel 41.
140
Tabel 41 Perbandingan Prioritas 11 (sebelas) Faktor-Faktor Pembentukan Daerah Otonom Baru (DOB) menurut Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 dan Persepsi Masyarakat Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya Priori tas
Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 Kependudukan (KP)
Priori tas
2
Kemampuan ekonomi (KE)
2
3
3
5
Potensi Daerah (PD) Kemampuan Keuangan (KK) Sosial Budaya (SB)
6
Sosial Politik (SP)
6
1
4
7 8 9 10
1
4 5
Persepsi masyarakat Kota Baubau dengan AHP Keamanan (KM)
Priori tas
Tingkat Kesejahteraan Masyarakat (TK) Rentang Kendali (RK) Pertahanan (PH)
2
Kemampuan Keuangan (KK) Kemampuan ekonomi (KE) Potensi Daerah (PD) Luas Daerah (LD) Kependudukan (KP) Sosial Politik (SP)
5
Luas Daerah (LD) 7 Pertahanan (PH) 8 Keamanan (KM) 9 Tingkat 10 Kesejahteraan Masyarakat (TK) 11 Rentang Kendali 11 Sosial Budaya (SB) (RK) Sumber: PP. No. 78 Tahun 2007 dan data primer diolah, 2015
1
3 4
6
Persepsi masyarakat Kota Tasikmalaya dengan AHP Tingkat Kesejahteraan Masyarakat (TK) Keamanan (KM)
Kemampuan Keuangan (KK) Kemampuan ekonomi (KE) Pertahanan (PH)
7 8 9 10
Rentang Kendali (RK) Potensi Daerah (PD) Sosial Politik (SP) Sosial Budaya (SB) Luas Daerah (LD)
11
Kependudukan (KP)
Tabel 41 memperlihatkan perbedaan prioritas 11 (sebelas) faktor dalam pembentukan daerah otonom baru berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 dengan hasil analisis hirarki proses (AHP) Persepsi masyarakat Kota Baubau dan masyarakat Kota Tasikmalaya. b. Persepsi Masyarakat tentang Perbandingan Aktor terhadap Faktor Hasil penelitian persepsi masyarakat di Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya tentang perbandingan aktor terhadap faktor dalam penerapan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 dengan metode Analysis Hierarchy Process dapat dilihat pada (Gambar 33). Berdasarkan hasil penelitian persepsi masyarakat Kota Baubau tentang pengaruh aktor terhadap sebelas elemen faktor, menunjukkan dari lima aktor dalam proses pembentukan daerah otonom prioritas pertama aktor yang sangat berpengaruh terhadap elemen faktor adalah eksekutif (EK) dengan score 0,307 diikuti aktor legislatif (LG) score 0,221, tokoh masyarakat (TM) score 0,177, investor (INV) score 0,151 dan prioritas kelima perguruan tinggi (PT) score 0,145 (Gambar 33).
141
Sumber: Hasil Analisis Data Primer, 2015
Gambar 33 Hasil Analisis Persepsi Masyarakat Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya tentang Perbandingan Pengaruh Aktor terhadap Faktor. Keterangan: LG EK TM
: : :
Legislatif Eksekutif Tokoh masyarakat
INV PT
: :
Investor/pengusaha Perguruan Tinggi/akademisi
Gambar 33 memperlihatkan hasil analisis persepsi masyarakat Kota Tasikmalaya tentang pengaruh aktor terhadap sebelas elemen faktor, menunjukkan dari lima aktor sebagai stakeholder dalam proses pembentukan daerah otonom baru (DOB)/pemekaran wilayah, aktor yang berpengaruh terhadap sebelas elemen faktor dan menjadi prioritas pertama adalah eksekutif (EK) dengan score 0,282 diikuti prioritas kedua legislatif (LG) score 0,229, prioritas ketiga investor (INV) score 0,167, prioritas keempat perguruan tinggi (PT) score 0,156 dan prioritas kelima tokoh masyarakat (TM) score 0,165. Hasil penelitian dengan Analysis Hierarchy Process menunjukkan persepsi masyarakat Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya dari kelima aktor sebagai stakeholder dalam pembentukan daerah otonom baru, aktor yang berpengaruh terhadap sebelas faktor dan merupakan prioritas pertama adalah “eksekutif” (EK). Persepsi ini didasarkan pada asumsi bahwa eksekutif (pemerintah) yang menjalankan roda pemerintahan, maka pemerintah yang bertanggung jawab terhadap maju mundurnya suatu daerah. Kelayakan suatu daerah untuk menjadi daerah otonom baru atau dimekarkan menjadi suatu daerah dengan sebelas elemen faktor-faktor pembentuk semuanya ditentukan dan dipengaruhi oleh eksekutif. Aktor kedua menurut persepsi masyarakat Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya sebagai prioritas kedua yang berpengaruh terhadap sebelas elemen faktor adalah legislatif (LG). Persepsi ini didasarkan pada asumsi bahwa legislatif sebagai mitra dan penyeimbang pemerintah berpengaruh dalam proses pembentukan daerah otonom baru, karena merekalah yang akan merekomendasikan usulan tersebut kepada pemerintah propinsi dan pusat, disatu sisi proses pemekaran juga merupakan proses politik sehingga keterlibatan dan peran legislatif sangat besar. Sedang pada prioritas ketiga terdapat perbedaan persepsi, dimana persepsi masyarakat Kota Baubau memandang prioritas ketiga adalah tokoh masyarakat (TM) yang berpengaruh terhadap sebelas elemen faktor, sebaliknya masyarakat Kota Tasikmalaya memandang investor (INV) sebagai prioritas ketiga berpengaruh terhadap sebelas elemen faktor. Perbedaan ini dilatarbelakangi kondisi masing-masing daerah, pada masyarakat Kota Baubau memandang peran
142
tokoh masyarakat sangat berpengaruh terhadap sebelas elemen faktor sebaliknya pada masyarakat Kota Tasikmalaya memandang peran investor lebih besar atau berpengaruh terhadap sebelas elemen faktor penilai pembentukan daerah otonom baru. Demikian halnya dengan prioritas keempat, terdapat perbedaan persepsi antara masyarakat Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya. Persepsi masyarakat Kota Baubau memandang investor (INV) sebagai prioritas keempat yang berpengaruh terhadap sebelas elemen faktor, sedang persepsi pada masyarakat Kota Tasikmalaya memandang tokoh masyarakat (TM). Sedangkan pada prioritas kelima, persepsi masyarakat Kota Baubau maupun Kota Tasikmalaya, memandang Perguruan Tinggi (PT) sebagai prioritas kelima yang berpengaruh terhadap sebelas elemen faktor. Asumsi ini didasarkan bahwa perguruan tinggi sebagai lembaga yang fokus pada pengkajian ilmu pengetahuan dan menciptakan ilmuwan-ilmuwan muda lebih fokus pada upaya meningkatkan kualitas pendidikan mempunyai pengaruh yang lebih kecil terhadap sebelas elemen faktor pembentukan daerah otonom baru dibandingkan empat faktor lainnya. Tabel 42 Perbandingan Perbedaan Prioritas Pengaruh Aktor terhadap Faktor Berdasarkan Analysis Hierarchy Process pada Masyarakat Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya Priori tas 1 2 3
Persepsi Masyarakat Kota Prior Baubau itas Eksekutif (EK) 1 Legislatif (LG) 2 Tokoh Masyarakat (TM) 3
4
Investor/Pengusaha Lokal 4 (INV) Perguruan Tinggi (PT) 5
5
Persepsi Masyarakat Kota Tasikmalaya Eksekutif (EK) Legislatif (LG) Investor/Pengusaha Lokal (INV) Perguruan Tinggi (PT) Tokoh Masyarakat (TM)
Sumber: data primer diolah, 2015
Tabel 42 memperlihatkan perbedaan prioritas pengaruh aktor terhadap faktor-faktor dalam pembentukan daerah otonom baru berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 dan berdasarkan hasil analisis hirarki proses (AHP) Persepsi masyarakat Kota Baubau masyarakat Kota Tasikmalaya. c. Persepsi Masyarakat tentang Perbandingan Tujuan terhadap Aktor Hasil penelitian persepsi masyarakat (stakeholder) Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya tentang perbandingan tujuan terhadap aktor dalam penerapan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 dengan metode analysis hierarchy process dapat dilihat pada (Gambar 34). Hasil penelitian Persepsi masyarakat Kota Baubau tentang pengaruh tujuan terhadap aktor, menunjukkan dari empat tujuan yang ingin dicapai dalam pemekaran wilayah, tujuan yang berpengaruh terhadap aktor dan merupakan prioritas pertama adalah tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat (KM) dengan score 0,4038 diikuti prioritas kedua mendekatkan pelayanan publik kepada masyarakat (PP) score 0,2443, prioritas ketiga merumuskan kebijakan yang ditempuh pasca pemekaran agar bermanfaat bagi daerah (RK) score 0,2112, dan prioritas keempat adalah
143
tujuan mengetahui persepsi stakeholder akan manfaat pemekaran bagi daerah (PS) score 0,1404 (Gambar 34).
Sumber : Hasil Analisis Data Primer, 2015
Gambar 34 Hasil Analisis Persepsi Masyarakat Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya tentang Perbandingan Pengaruh Tujuan terhadap Aktor Keterangan: PP PS RK
: : :
KM
:
Mendekatkan pelayanan publik kepada Masyarakat Mengetahui persepsi stakeholder akan manfaat pemekaran bagi daerah Merumuskan kebijakan yang ditempuh pasca pemekaran agar bermanfaat bagi daerah Meningkatkan kesejahteraan masyarakat
Gambar 34 menunjukkan hasil AHP persepsi masyarakat Kota Tasikmalaya tentang perbandingan pengaruh tujuan terhadap aktor, menunjukkan dari empat tujuan, prioritas pertama yang berpengaruh terhadap aktor adalah tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat (KM) dengan score 0,4002 diikuti prioritas kedua mendekatkan pelayanan publik kepada masyarakat (PP) score 0,2262, prioritas ketiga yaitu merumuskan kebijakan yang ditempuh pasca pemekaran agar bermanfaat bagi daerah (RK) score 0,2182, dan prioritas keempat adalah mengetahui persepsi stakeholder akan manfaat pemekaran bagi daerah (PS) score 0,1539. Hasil penelitian persepsi masyarakat dengan metode Analisis Hierarchy Process menunjukkan secara umum masyarakat baik di Kota Baubau maupun masyarakat di Kota Tasikmalaya, melihat prioritas pertama dari empat tujuan pemekaran wilayah adalah “meningkatkan kesejahteraan masyarakat” (KM), artinya terlepas dari tendensi politik dan kepentingan kelompok, masyarakat pada dua kota tersebut memandang hakekat dari pemekaran wilayah yang dilaksanakan adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sedang pada prioritas kedua, persepsi masyarakat pada dua kota memandang tujuan “mendekatkan pelayanan publik kepada masyarakat” (PP), hal ini tentunya dilatar belakangi keadaan yang dirasakan oleh masyarakat selama ini, dimana pelayanan pemerintahan, pembangunan dan sosial kemasyarakatan menjadi masalah bagi daerah yang jauh dari pusat pemerintahan, sehingga masyarakat berasumsi bahwa solusi untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah dengan pemekaran wilayah.
144
Prioritas ketiga yang berpengaruh terhadap aktor adalah tujuan “merumuskan kebijakan yang ditempuh pasca pemekaran agar bermanfaat bagi daerah” (RK), artinya masyarakat berasumsi bahwa pemekaran itu masih perlu dilakukan, namun pasca pemekaran perlu dirumuskan kebijakan selanjutnya yang harus dilakukan sehingga pemekaran itu bisa memberikan manfaat yang besar bagi rakyat. Hal ini tentunya beralasan, ketika pasca pemekaran pada suatu daerah otonom baru, sering tidak ditindaklanjuti dengan pengawasan, sehingga daerah otonom baru cenderung melaksanakan dan merumuskan kebijakan didaerah yang sudah tidak sesuai dengan tujuan awal dari pemekaran wilayah itu sendiri. Pada tujuan “mengetahui persepsi stakeholder akan manfaat pemekaran bagi daerah” (PS), masyarakat pada dua kota melihat sebagai prioritas keempat, artinya bahwa untuk menilai keberhasilan program pembangunan yang dilaksanakan pada suatu daerah otonom baru tentunya masyarakat sebagai obyek dan penerima manfaat yang akan memberikan penilaian tersebut seberapa besar keberhasilan dan tujuan yang tercapai dari pemekaran wilayah. d. Persepsi Masyarakat tentang Perbandingan Alternatif Strategi terhadap Tujuan Hasil penelitian persepsi masyarakat (stakeholder) Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya tentang perbandingan alternatif strategi terhadap tujuan dalam penerapan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 dengan metode Analysis Hierarchy Process dapat dilihat pada (Gambar 35). Hasil analisis persepsi masyarakat Kota Baubau tentang perbandingan pengaruh alternatif strategi terhadap tujuan, menunjukkan dari empat alternatif strategi yang disusun, prioritas pertama yang berpengaruh terhadap tujuan adalah pemekaran wilayah menciptakan pusat pertumbuhan (PW-PP) score 0,4047 diikuti prioritas kedua pusat pertumbuhan menciptakan pemekaran wilayah (PP-PW) score 0,2154, prioritas ketiga yaitu proses pentahapan dalam pemekaran wilayah (PTPW) score 0,2102, dan prioritas keempat adalah pemekaran digabung/kembali ke daerah induk (PGDI) score 0,1699 (Gambar 35).
Sumber: Hasil Analisis Data Primer, 2015
Gambar 35 Hasil Analisis Persepsi Masyarakat Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya tentang Perbandingan Alternatif Strategi terhadap Tujuan
145
Keterangan: PTPW PP-PW PW-PP
PGDI
: : : :
Proses Pentahapan dalam Pemekaran Wilayah Pusat Pertumbuhan menciptakan Pemekaran Wilayah Pemekaran Wilayah menciptakan Pusat Pertumbuhan Pemekaran Gabung/kembali ke Daerah Induk
Berdasarkan Gambar 35 hasil analysis hierarchy process persepsi masyarakat Kota Tasikmalaya tentang pengaruh alternatif strategi terhadap tujuan, menunjukkan dari 4 alternatif strategi yang disusun prioritas pertama yang berpengaruh terhadap tujuan adalah pemekaran wilayah menciptakan pusat pertumbuhan (PW-PP) score 0,4412 diikuti oleh prioritas kedua proses pentahapan dalam pemekaran wilayah (PTPW) score 0,2202, prioritas ketiga yaitu pusat pertumbuhan menciptakan pemekaran wilayah (PP-PW) score 0,2196, dan prioritas keempat adalah pemekaran digabung/kembali ke daerah induk (PGDI) dengan score 0,1174. Hasil penelitian persepsi masyarakat dengan metode Analysis Hierarchy Process menunjukkan pada umumnya baik masyarakat Kota Baubau maupun Kota Tasikmalaya memandang bahwa alternatif strategi “pemekaran wilayah menciptakan pusat pertumbuhan” (PW-PP) sebagai prioritas pertama, ditunjukkan dengan nilai persepsi masing-masing dua kota yang cukup tinggi, Kota Baubau dengan nilai 0,4047 (40,47 persen) dan Kota Tasikmalaya 0,4412 (44,12 persen), artinya masyarakat melihat dan merasakan bahwa perkembangan maupun kemajuan ekonomi yang pesat dari kedua kota tersebut merupakan dampak atau manfaat yang diterima sebagai hasil dari adanya pemekaran wilayah. Masyarakat memandang bahwa pemekaran wilayah telah memberikan dampak yang cukup besar terhadap tumbuh dan berkembangnya Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya menjadi pusat pertumbuhan. Jika undang-undang otonomi daerah dengan implikasi pemekaran wilayah dan peraturan pemerintah yang mengatur tidak diberlakukan, kedua kota tersebut tentu belum mengalami perkembangan ekonomi sebagaimana seperti sekarang ini. Pada prioritas kedua masyarakat dua kota tersebut berbeda persepsi. Masyarakat Kota Baubau memandang alternatif strategi “pusat pertumbuhan menciptakan pemekaran wilayah” (PP-PW) sebagai prioritas kedua dibanding alternatif strategi proses pentahapan dalam pemekaran wilayah (PTPW), sebaliknya pada masyarakat Kota Tasikmalaya memandang alternatif strategi “proses pentahapan dalam pemekaran wilayah” (PTPW) sebagai prioritas kedua lebih penting dibandingkan dengan alternatif strategi pusat pertumbuhan menciptakan pemekaran wilayah (PP-PW). Perbedaan persepsi ini tentunya dilatar belakangi oleh kondisi masyarakat masing-masing, pada masyakat Kota Baubau yang mewakili masyarakat luar Jawa memandang bahwa suatu daerah/wilayah yang telah maju atau berkembang justru menjadi peluang untuk dimekarkan sepanjang itu sudah memenuhi persyaratan yang ditetapkan. Sebaliknya pada masyarakat Kota Tasikmalaya memandang bahwa dalam pelaksanaan pemekaran wilayah sebaiknya adanya proses/pentahapan yang harus dilewati oleh suatu daerah untuk menjadi daerah otonom yang berdiri sendiri, sehingga dengan melalui tahapan suatu daerah untuk menjadi daerah otonom baru, diharapkan kedepan dalam pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan akan lebih mandiri. Sedang pada alternatif strategi “pemekaran digabung/kembali ke daerah induk” (PGDI) sebagai prioritas keempat terlihat dari score masing-masing dua
146
kota yang kecil, Kota Baubau dengan nilai sebesar 0,1174 (11,74 persen) dan Kota Tasikmalaya 0,1699 (16,99 persen), artinya masyarakat dua kota tersebut melihat bahwa suatu daerah yang tidak berhasil dalam melaksanakan kemandirian sebagai daerah otonom baru (DOB) maupun dalam upaya melaksanakan hakekat dan tujuan dari pemekaran wilayah dapat kembali digabung dengan daerah induknya. Berdasarkan hasil analisis persepsi masyarakat diatas selanjutnya disusun masing-masing analisis Hierarchy Process secara vertikal untuk Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya sebagai berikut: OUTPUT ANALYSIS HIERARCHY PROCESS (AHP) KOTA BAUBAU SECARA VERTIKAL Strategi dan kebijakan Pemekaran Wilayah memberikan manfaat bagi Kota Bau-Bau
Ultimate Goal
Faktor
KP (6,2%)
KE (7,6%)
PD (7,4%)
KK (7,7%)
SB (5,8%)
SP (6,1%)
LD (7,2%)
PH (9,7%)
KM (18,01%)
TK (12,6%)
RK (11,7%)
(6,2%)
(7,6%)
(7,4%)
(7,7%)
(5,8%)
(6,1%)
(7,2%)
(9,7%)
(18,01%)
(12,6%)
(11,7%)
LEG (22,07%)
EKS (30,67%)
TM (17,72%)
INV (15,10%)
PT (14,45%)
(22,07%)
(30,67%)
(17,72%)
(15,10%)
(14,45%)
Aktor
Tujuan
Alternative Strategi
PP (24,43%)
PS (14,04%)
RK (21,12%)
KM (40,38%)
(24,43%)
(14,04%)
(21,12%)
(40,38%)
PTPW (21,02%)
PP – PW (21,54%)
PW – PP (40,47%)
PGDI (16,99%)
(21,02%)
(21,54%)
(40,47%)
(16,99%)
Gambar 36 Hasil Analysis Hierarchy Process (AHP) Persepsi Masyarakat secara Vertikal tentang Penerapan PP. Nomor 78 Tahun 2007 serta Manfaat Kebijakan Pemekaran Wilayah di Kota Baubau Berdasarkan Gambar 36 memperlihatkan dari 11 (sebelas) elemen faktor pembentuk daerah otonom baru prioritas pertama adalah keamanan (KM) dengan score 18,01 persen diikuti faktor tingkat kesejahteraan (TK) 12,6 persen; rentang kendali (RK) 11,7 persen; pertahanan (PH) 9,7 persen; kemampuan keuangan (KK) 7,7 persen; kemampuan ekonomi score 7,6 persen; potensi daerah (PD) 7,4 persen; luas daerah (LD) 7,2 persen; kependudukan (KP) 6,2 persen; sosial politik (SP) score 6,1 persen; dan sosial budaya (SB) 5,8 persen. Dari 5 (lima) aktor dalam proses pembentukan daerah otonom, prioritas pertama aktor yang sangat berpengaruh terhadap elemen faktor adalah eksekutif (EK) 30,67 persen; diikuti aktor legislatif (LG) 22,07 persen; tokoh masyarakat (TM) 17,72 persen; investor (INV) 15,10 persen; dan prioritas kelima perguruan tinggi (PT) 14,50 persen. Dari 4 (empat) tujuan yang ingin dicapai dalam pemekaran wilayah, prioritas pertama berpengaruh terhadap aktor adalah tujuan meningkatkan
147
kesejahteraan masyarakat (KM) dengan 40,38 persen; diikuti prioritas kedua mendekatkan pelayanan publik kepada masyarakat (PP) 24,43 persen; prioritas ketiga merumuskan kebijakan yang ditempuh pasca pemekaran agar bermanfaat bagi daerah (RK) 21,12 persen; dan prioritas keempat adalah tujuan mengetahui persepsi stakeholder akan manfaat pemekaran bagi daerah (PS) 14,04 persen. Dari 4 (empat) alternatif strategi yang ingin dicapai dalam pemekaran wilayah, prioritas pertama yang berpengaruh terhadap tujuan adalah pemekaran wilayah menciptakan pusat pertumbuhan (PW-PP) 40,47 persen; diikuti prioritas kedua pusat pertumbuhan menciptakan pemekaran wilayah (PP-PW) 21,54 persen; prioritas ketiga yaitu proses pentahapan dalam pemekaran wilayah (PTPW) 21,02 persen; dan prioritas keempat adalah pemekaran digabung/kembali ke daerah induk (PGDI) 16,99 persen. OUTPUT ANALYSIS HIERARCHY PROCESS (AHP) KOTA TASIKMALAYA SECARA VERTIKAL Strategi dan kebijakan Pemekaran Wilayah memberikan manfaat bagi Kota Tasikmalaya
Ultimate Goal
KP (6,3%)
Faktor
KE (10,2%)
( (6,4%)
PD (8,8%)
KK (10,4%)
SB (6,6%)
SP (7,2%)
LD (6,5%)
PH (9,2%)
KM (12,1%)
TK (13,8%)
RK (8,8%)
(8,5%)
(9,6%)
(6,3%)
(6,9%)
(6,8%)
(9,2%)
(13,9%)
(13,4%)
(9,4%)
(9,6%)
LEG (22,87%)
EKS (28,20%)
TM (16,45%)
INV (16,74%)
PT (15,64%)
(22,89%)
(29,35%)
(16,83%)
(15,88%)
(15,05%)
Aktor
Tujuan
Alternative Strategi
PP (22,62%)
PS (15,39%)
RK (21,82%)
KM (40,02%)
(23,13%)
(14,82%)
(21,52%)
(40,50%)
PTPW (22,02%)
PP – PW (21,96%)
PW – PP (44,12%)
PGDI (11,74%)
(21,92%)
(21,55%)
(43,33%)
(13,16%)
Gambar 37 Hasil Analysis Hierarchy Process (AHP) Persepsi Masyarakat secara Vertikal tentang Penerapan PP. Nomor 78 Tahun 2007 serta Manfaat Kebijakan Pemekaran Wilayah di Kota Tasikmalaya. Analisis Hirarki Proses secara vertikal pada Gambar 37 menunjukkan, dari 11 (sebelas) elemen faktor dalam pembentukan daerah otonom baru, prioritas pertama adalah tingkat kesejahteraan (TK) 13,80, diikuti prioritas kedua faktor keamanan (KM) 12,0 persen; kemampuan keuangan (KK) 10,4 persen; kemampuan ekonomi 10,2 persen; pertahanan (PH) 9,2 persen; rentang kendali (RK) 8,8 persen;potensi daerah (PD) 8,8 persen; sosial politik (SP) 7,2 persen; sosial budaya (SB) 6,6 persen; luas daerah (LD) 6,5 persen; dan kependudukan (KP) 6,3 persen.
148
Gambar 37 dari 5 (lima) aktor dalam pembentukan daerah otonom baru (DOB), aktor yang berpengaruh terhadap sebelas elemen faktor dan menjadi prioritas pertama adalah eksekutif (EK) 28,2 persen; diikuti prioritas kedua legislatif (LG) 22,9 persen; prioritas ketiga investor (INV) 16,74 persen; prioritas keempat tokoh masyarakat (TM) 16,5 persen; dan prioritas kelima perguruan tinggi (PT) 15,6 persen. Dari 4 (empat) tujuan yang ingin dicapai dalam pemekaran wilayah, prioritas pertama yang berpengaruh terhadap aktor adalah tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat (KM) 40,02 persen; diikuti prioritas kedua mendekatkan pelayanan publik kepada masyarakat (PP) 22,62 persen; prioritas ketiga yaitu merumuskan kebijakan yang ditempuh pasca pemekaran agar bermanfaat bagi daerah (RK) 21,82 persen; dan prioritas keempat adalah mengetahui persepsi stakeholder akan manfaat pemekaran bagi daerah (PS) 15,39 persen. Dari 4 (empat) alternatif strategi yang disusun dalam pemekaran wilayah, prioritas pertama yang berpengaruh terhadap tujuan adalah pemekaran wilayah menciptakan pusat pertumbuhan (PW-PP) 44,12 persen; diikuti oleh prioritas kedua proses pentahapan dalam pemekaran wilayah (PTPW) 22,02 persen; prioritas ketiga yaitu pusat pertumbuhan menciptakan pemekaran wilayah (PPPW) 21,96 persen; dan prioritas keempat adalah pemekaran digabung/kembali ke daerah induk (PGDI) 11,74 persen. Berdasarkan hasil analisis persepsi masyarakat Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya secara vertikal, selanjutnya disusun analisis Hierarchy Process persepsi gabungan masyarakat Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya sebagai berikut: OUTPUT GABUNGAN AHP SECARA VERTIKAL Strategi dan kebijakan Pemekaran Wilayah memberikan manfaat bagi Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya
Ultimate Goal
Faktor
KP (6,4%)
KE (9,6%)
PD (8,5%)
KK (9,6%)
SB (6,3%)
SP (6,9%)
LD (6,8%)
PH (9,2%)
KM (13,9%)
TK (13,4%)
RK (9,4%)
(10,2%)
(8,8%)
(10,4%)
(6,6%)
(7,2%)
(6,5%)
(9,2%)
(12,1%)
(13,8%)
(8,8%)
(6,3%)
Aktor
Tujuan
Alternative Strategi
LEG (22,89%)
EKS (29,35%)
TM (16,83%)
INV (15,88%)
PT (15,05%)
(22,87%)
(28,20%)
(16,45%)
(16,74%)
(15,64%)
PP (23,13%)
PS (14,82%)
RK (21,52%)
KM (40,50%)
(22,62%)
(15,39%)
(21,82%)
(40,02%)
PTPW (21,92%)
PP – PW (21,55%)
PW – PP (43,33%)
PGDI (13,16%)
(22,02%)
(21,96%)
(44,12%)
(11,74%)
Gambar 38 Hasil Analisis Persepsi Gabungan Masyarakat Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya tentang Perbandingan Aktor terhadap Tujuan dalam Penerapan PP. Nomor 78 Tahun 2007 serta Manfaat Kebijakan Pemekaran Wilayah.
149
Hasil Analisis Hirarki Proses persepsi gabungan masyarakat Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya pada Gambar 38 menunjukkan, dari 11 (sebelas) elemen faktor dalam pembentukan daerah otonom baru, prioritas pertama adalah faktor keamanan (KM) 13,9 persen; diikuti prioritas kedua tingkat kesejahteraan (TK) 13,5 persen; prioritas ketiga kemampuan ekonomi dan kemampuan keuangan (KK) masing-masing 9,6 persen dan 9,6 persen; rentang kendali (RK) 9,4 persen; pertahanan (PH) 9,2 persen; potensi daerah (PD) 8,5 persen; sosial politik (SP) 6,9 persen; luas daerah (LD) 6,8 persen; kependudukan (KP) 6,4 persen dan sosial budaya (SB) 6,3 persen. Pada stakeholder aktor, dari 5 (lima) aktor dalam pembentukan daerah otonom baru (DOB) hasil analisis persepsi gabungan menunjukkan, aktor yang berpengaruh terhadap sebelas elemen faktor prioritas pertama adalah eksekutif (EK) 29,35 persen; diikuti prioritas kedua legislatif (LG) 22,89 persen; prioritas ketiga tokoh masyarakat (TM) 16,83 persen; prioritas keempat investor (INV) 15,88 persen dan prioritas kelima perguruan tinggi (PT) 15,05 persen. Pada tingkatan tujuan, dari 4 (empat) tujuan yang ingin dicapai dalam pemekaran wilayah hasil analisis persepsi gabungan menunjukkan, prioritas pertama yang berpengaruh terhadap aktor adalah tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat (KM) 40,50 persen; diikuti prioritas kedua mendekatkan pelayanan publik kepada masyarakat (PP) 23,13 persen; prioritas ketiga yaitu merumuskan kebijakan yang ditempuh pasca pemekaran agar bermanfaat bagi daerah (RK) 21,52 persen; dan prioritas keempat adalah mengetahui persepsi stakeholder akan manfaat pemekaran bagi daerah (PS) 14,82 persen. Pada alternatif strategi, dari 4 (empat) alternatif strategi yang ingin dicapai dalam pemekaran wilayah, hasil analisis persepsi gabungan menunjukkan prioritas pertama yang berpengaruh terhadap tujuan adalah pemekaran wilayah menciptakan pusat pertumbuhan (PW-PP) 43,33 persen; diikuti oleh prioritas kedua proses pentahapan dalam pemekaran wilayah (PTPW) 21,92 persen; prioritas ketiga yaitu pusat pertumbuhan menciptakan pemekaran wilayah (PPPW) 21,55 persen; dan prioritas keempat adalah pemekaran digabung/kembali ke daerah induk (PGDI) 13,16 persen. Analisis Tipologi Kota Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya: Deskriptif Perkembangan Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya sebagai Pusat Pertumbuhan (Growth Center) dan Kutub Pertumbuhan (Growth Pole) 1. Analisis Tipologi Kota Baubau Kota Baubau yang kita jumpai hari ini bukanlah sebuah kota yang sekonyong konyong terbentuk, tetapi sebagaimana lazimnya kota-kota lain, kota ini telah melewati proses perjalanan sejarah yang begitu panjang. Meskipun ketentuan perundangan tentang terbentuknya kota ini secara resmi baru dikeluarkan pada tahun 2001, namun secara fisik kota ini telah tumbuh dan dipersiapkan sejak masa lampau. Berbagai sumber dan versi yang menyebutkan asal usul Kota Baubau. Dari berbagai sumber tersebut penulis mencoba merangkum bagaimana sejarah panjang perjalanan Kota Baubau sampai sekarang
150
ini berkembang menjadi kota yang cukup strategis khususnya di wilayah Sultra Kepulauan sebagai berikut: Pada awalnya, Baubau merupakan Pusat Kerajaan Buton (Wolio) yang berdiri pada awal abad ke-15. Dalam masa pemerintahan kerajaan Buton mengalami kemajuan terutama bidang politik pemerintahan dengan bertambah luasnya wilayah kerajaan serta mulai menjalin hubungan politik dengan kerajaan Majapahit, Luwu, Konawe dan Muna. Memasuki masa pemerintahan kesultanan juga terjadi perkembangan diberbagai aspek kehidupan antara lain bidang politik dan pemerintahan dengan ditetapkannya Undang-Undang Dasar kesultanan Buton yaitu “Murtabat Tujuh” yang didalamnya mengatur fungsi, tugas dan kedudukan perangkat kesultanan dalam melaksanakan pemerintahan serta ditetapkannya Sistem Desentralisasi (Otonomi Daerah) dengan membentuk 72 Kadie (Wilayah kecil). Selain bentuk pemerintahan tersebut, maka oleh pemerintah kesultanan juga mulai membangun benteng dan kubu-kubu pertahanan dalam rangka melindungi keutuhan masyarakat dan pemerintah dari segala gangguan dan ancaman. Kejayaan masa kerajaan Buton sampai kesultanan Buton sejak berdiri pada tahun 1332 sampai tahun 1960 telah banyak meninggalkan warisan masa lalu yang gemilang. Sampai saat ini masih dapat disaksikan berupa peninggalan sejarah, budaya dan arkeologi. Sumber-sumber mengenai Kota Baubau dalam masa pemerintah Hindia Belanda yang pernah bertugas di Buton tidak banyak ditemukan dan menyebut kata Baubau, demikian juga pada masa pendudukan Jepang, dan awal kemerdekaan kata Baubau belum begitu popular. Sekalipun kota diberi nama Baubau itu sudah berkembang menjadi pusat administrasi pemerintahan Hindia Belanda sejak tahun 1870-an. Baubau menjadi ramai pada tahun 1900-an dan puncaknya ketika Baubau dijadikan Ibukota Afdeling Oost Celebes (Sulawesi Timur) pada tahun 1911. Seiring dengan perkembangan Baubau sebagai pusat kota yang awalnya di dalam benteng Keraton Wolio kemudian berkembang ke arah pantai seiring dengan berkembangnya perdagangan dan pusat aktivitas ekonomi dominan berkembang di pantai. Pelabuhan beserta fasilitasnya dibangun untuk memenuhi kebutuhan perdagangan dan aktivitas masyarakatnya. Konsekuensi dari perkembangan ini adalah makin berkembangnya wilayah di sekitar pelabuhan dan memudarnya aktivitas ekonomi di dalam Benteng Keraton Wolio. Lama kelamaan pusat kota bergeser di sekitar pelabuhan. Secara ekologis wilayah Baubau terdiri dari daerah perbukitan dan sedikit daratan. Wilayah pantai pulau Buton yang berkembang adalah Baubau. Pulau Buton memiliki selat yang dinamakan selat Buton sebagai pintu masuk ke pelabuhan. Selat ini dinilai cukup untuk dilewati oleh kapal dan memudahkan pengawasan terhadap aktivitas di pelabuhan. Di sekitar pelabuhan terdapat beberapa kampung yang letaknya relatif datar dan masyarakat kampung ini sebagian besar bermata pencaharian sebagai pengrajin kuningan, gerabah, dan tukang besi. Dalam perkembangannya, Baubau pun menempati posisi laksana serambi pusat kota ”lama” Wolio (kawasan Benteng Keraton), karena letaknya yang strategis dalam jaringan perniagaan laut, kawasan kota baru (bhau-bhau) pun tumbuh pesat dan menjadi salah satu diantara deretan kota pantai yang turut memainkan peran dalam jaringan perniagaan laut nusantara. Dinamika perkembangan Kota Baubau telah memberi andil besar bagi dinamika dan
151
kontinuitas sejarah Buton dan Sulawesi Tenggara sebagaimana terefleksi dari kedudukannya sebagai: pusat pemerintahan Kerajaan Buton (abad 14–16), pusat pemerintahan Kesultanan Buton (abad 16–20), pusat pemerintahan Afdeling Boetoen en Laiwoei (sejak 1927), pusat pemerintahan Onder Afdeling Boetoen, Ibukota Kabupaten Sulawesi Tenggara 1950an-1964, dan Ibukota Kabupaten Buton 1964-2001 (Dinas Kebudayaan dan Pariwisata 2014). Terbentuknya Buton menjadi kabupaten berdasarkan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1959 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Tk. II di Sulawesi menjadikan Bau-Bau sebagai ibukota. Dalam perkembangannya Kabupaten Buton dengan ibukota Kota Bau-Bau memainkan peranan penting di wilayah kepulauan bagian timur Propinsi Sulawesi Tenggara sebagai pusat perdagangan bagi daerahdaerah sekitarnya maupun sebagai jalur perlintasan laut yang menghubungakan antara kawasan barat Indonesia dan Kawasan timur Indonesia. Perkembangan Kabupaten Buton dengan ibukota Kota Bau-Bau khususnya di kawasan Sulawesi Tenggara Kepulauan yang dilatarbelakangi sebagai pusat pemerintahan Kerajaan Buton telah melahirkan tonggak sejarah lahirnya Kota Baubau, yaitu dimulai dengan diresmikannya sebagai Kota Administratif (kotif) Bau-Bau pada tahun 1981 melalui Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1981. Melalui proses panjang sebagai Kota Administratif (kotif) yakni kurun waktu 20 tahun, ditandai dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, menjadi momentum bagi Kota Administratif (kotif) Bau-Bau melalui Undang-undang Nomor 13 tahun 2001, tanggal 21 Juni 2001, Kota Administratif (kotif) Bau-Bau resmi menjadi daerah otonom Kota Bau-Bau mempunyai kewenangan untuk mengatur rumah tangga sendiri. Perubahan status menjadi Kota Bau-Bau terlepas dari kabupaten induknya Kabupaten Buton cakupan wilayahnya adalah sebagian daerah Kabupaten Buton terdiri atas 4 kecamatan yaitu Kecamatan Wolio, Kecamatan Betoambari, Kecamatan Surawolio, Kecamatan Bungi. Dalam perkembangan Kota Bau-Bau kemudian 2 kecamatan yaitu Kecamatan Wolio dan Kecamatan Bungi dimekarkan sehingga bertambah 4 kecamatan yaitu Kecamatan Murhum, Kecamatan Kokalukuna, Kecamatan Lelalea dan Kecamatan Batupoaro, sampai dengan tahun 2014 Kota Baubau merupakan menjadi 8 kecamatan. Seiring dengan perkembangan sebagai pusat kota, diikuti tumbuh dan berkembangnya pusat-pusat perbelanjaan seperti pertokoan, mall, berkembangnya usaha hotel dan restoran, berkembangnya lembaga-lembaga keuangan mikro, berkembangnya usaha jasa pengangkutan dan komunikasi, tumbuh dan berkembangnya lembaga-lembaga pendidikan akademi, perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta, berkembangnya pusat-pusat pelayanan kesehatan, peningkatan daya tarik kota melalui penyediaan berbagai fasilitas hiburan dan rekreasi perkotaan, pembangunan dan pengembangan Bandar Udara Betoambari. Disisi lain adanya Pelabuhan Murhum di Kota Baubau memberikan kontribusi yang besar dalam perkembangan kota. Adanya pelabuhan tersebut menimbulkan dan meningkatkan arus pergerakan barang dan manusia serta meningkatkan interaksi dan keterhubungan suatu wilayah dengan wilayah lainnya baik yang bersifat interregional, regional maupun antar pulau dan kawasan yang memberikan dampak bagi perkembangan Kota Baubau. Perkembangan ekonomi dan pembangunan Kota Baubau yang begitu pesat sejak menjadi daerah otonom baru menjadikan Kota Baubau ditetapkan sebagai
152
Pusat Kegiatan Nasional (PKN) khususnya di wilayah Sultra Kepulauan tertuang dalam Rencana Tara Ruang Nasional (RTRN) dan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Propinsi Sulawesi Tenggara. Daerah yang termasuk dalam Pusat Kegiatan Nasional (PKN) di wilayah Sultra Kepulauan meliputi Kabupaten Buton, Kabupaten Buton Utara, Kabupaten Wakatobi, Kabupaten Muna dan Kabupaten Bombana. Dalam tataran wilayah Propinsi Sulawesi Tenggara sampai dengan tahun 2015 sedang diusulkan pemekaran wilayah Propinsi Buton Raya yang meliputi Kota Baubau, Kabupaten Buton, Kabupaten Buton Utara, Kabupaten Wakatobi, Kabupaten Buton Tengah, Kabupaten Buton Selatan dan Kabupaten Bombana. Berdasarkan uraian diatas sehubungan dengan analisis pengembangan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi Kota Baubau dengan pendekatan pusat pertumbuhan (growth center) dan kutub pertumbuhan (growth pole) maka dapat disimpulkan bahwa Kota Baubau sebagai kota pusat pemerintahan kerajaan dan kesultanan pada zaman dahulu bukanlah merupakan sebuah kota yang tiba-tiba terbentuk, namun perkembangan Kota Baubau menjadi salah satu kota tidak terlepas dari proses perjalanan sejarah yang begitu panjang. Kota Baubau mengalami pertumbuhan kota yang bertahap dan alamiah dari kota tradisional menjadi kota modern dan bahkan sebagai kota pelabuhan di kawasan Sulawesi Tenggara Kepulauan. Pertumbuhan dan perkembangan Kota Baubau sebagai kota modern dan kota pelabuhan sebagai dampak dari interaksi dan keterhubungan dengan wilayah sekitarnya maupun dengan wilayah-wilayah lain dalam jajaran nusantara. Dengan demikian Kota Baubau tumbuh secara alamiah dan berkembang sebagai pusat pertumbuhan (growth center). 2. Analisis Tipologi Kota Tasikmalaya Terbentuknya Kota Tasikmalaya sebagai daerah otonom baru pada tahun 2001 tidak terlepas dari berdirinya Kabupaten Tasikmalaya sebagai kabupaten induknya. Sebagaimana dengan perkembangan kota-kota di Indonesia, Kota Tasikmalaya bukanlah merupakan sebuah kota yang tiba-tiba terbentuk, namun perkembangan Kota Tasikmalaya menjadi salah satu kota tidak terlepas dari proses perjalanan sejarah yang begitu panjang. Meskipun proses pemerintahan dari kota administratif menjadi daerah otonom baru yang berdiri sendiri dan terlepas dari kabupaten induk secara resmi baru dikeluarkan pada tahun 2001, dengan adanya Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, namun secara fisik kota ini telah tumbuh dan dipersiapkan sejak masa lampau. Berbagai sumber dan versi yang menyebutkan asal usul Kota Tasikmalaya. Dari berbagai sumber tersebut penulis mencoba merangkum bagaimana sejarah panjang perjalanan Kota Tasikmalaya sampai sekarang ini berkembang menjadi kota yang cukup strtaegi khususnya dikawasan Priangan Timur sebagai berikut : Sejarah terbentuknya Tasikmalaya sebagai kota tidak terlepas posisi dan perannya sebagai pusat pemerintahan pada jaman dahulu. Bermula abad ke tujuh sampai abad ke duabelas wilayah yang sekarang dikenal sebagai Kabupaten Tasikmalaya, merupakan suatu bentuk Pemerintahan Kebataraan dengan pusat pemerintahannya di sekitar Galunggung. Pemerintahan Kebataraan selanjutnya berubah menjadi kerajaan dengan nama Kerajaan Galunggung. Setelah pemerintahan kebataraan,
153
selanjutnya periode pemerintahan di Sukakerta dengan Ibukota di Dayeuh Tengah (sekarang termasuk dalam Kecamatan Salopa, Tasikmalaya) yang merupakan salah satu daerah bawahan dari Kerajaan Pajajaran. Periode selanjutnya adalah pemerintahan di Sukapura, pada masa ini ibukota Kabupaten Sukapura di pindahkan ke Tasikmalaya. Wilayah Tasikmalaya merupakan salah satu kota yang dilewati pembangunan jaringan kereta api pada jalur selatan pulau Jawa. Letak geografis Tasikmalaya yang menjadi batas antara propinsi Jawa Barat dan Jawa Tengah, berdampak pada pertumbuhan ekonomi pada daerah yang dilewati jalur kereta api. Salah satu daerah penting yang dilewati adalah afdeling Tasikmalaya yang merupakan bagian dari wilayah pemerintah Kabupaten Tasikmalaya. Akibat pertumbuhan wilayah tersebut, maka ibu kota Kabupaten Sukapura dipindahkan dari Manonjaya ke Tasikmalaya dan Kabupaten Sukapura berganti nama menjadi Kabupaten Tasikmalaya tahun 1913. (Balai Pelestarian Nilai Budaya, 2014) Perpindahan ibu kota ke Tasikmalaya ternyata berdampak Kabupaten Tasikmalaya semakin berkembang, berbagai aktifitas ekonomi dan sosial tumbuh dengan pesat. Pemerintah Tasikmalaya membangun berbagai fasilitas kota yang dibutuhkan oleh warganya. Pertumbuhan Kabupaten Tasikmalaya yang begitu maju, telah menjadikan sebagai pusat pemerintahan karesidenan Priangan Timur oleh pemerintah kolonial Belanda, sehingga Kabupaten Tasikmalaya menjadi suatu kota yang dinamis di wilayah Priangan Timur. Wilayah Tasikmalaya merupakan salah satu kota yang dilewati pembangunan jaringan kereta api pada jalur selatan pulau Jawa. Letak geografis Tasikmalaya yang menjadi batas antara propinsi Jawa Barat dan Jawa Tengah, berdampak pada pertumbuhan ekonomi pada daerah yang dilewati jalur kereta api. Dinamika suatu kota ditandai dengan berbagai aspek yang meliputi aspek politik, ekonomi, sosial, budaya dan sebagainya. Hal tersebut dialami oleh Kabupaten Tasikmalaya pada seperempat awal abad ke-20. Dalam aspek politik disamping sebagai ibukota karesidenan Priangan Timur. Kehidupan sosial keagamaan tumbuh dengan dinamis di Tasikmalaya melalui jaringan pesantren dan aktivitas para kyainya dalam berbagai organisasi. Kegiatan ekonomi masyarakat tumbuh pesat dan pemerintah pribumi dalam hal ini memberikan perhatian kepada aktivitas ekonomi rakyat dengan mendirikan koperasi, sehingga di Tasikmalaya pernah lahir koperasi besar dan cukup berpengaruh yaitu Koperasi Mitra Batik. Tasikmalaya mengalami proses pertumbuhan dan perkembangan yang cukup pesat mulai jaman kolonial hingga sekarang di masa Republik Indonesia. Perkembangan Kabupaten Tasikmalaya khususnya di Priangan Timur yang dilatarbelakangi sebagai pusat pemerintahan kerajaan telah melahirkan tonggak sejarah lahirnya Kota Tasikmalaya, yaitu dimulai dengan diresmikannya Kota Administratif (kotif) Tasikmalaya pada tahun 1976 melalui Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1976. Pada awal berdirinya Kota Administratif (kotif) Tasikmalaya yang secara administratif merupakan bagian dan berada dalam wilayah pemerintahan Kabupaten Tasikmalaya. Melalui proses panjang sebagai Kota Administratif (kotif) yakni selama 25 tahun dengan berlakunya UndangUndang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, menjadi momentum bagi Kota Administratif (kotif) Tasikmalaya melalui Undang-undang Nomor 10 Tahun 2001, tanggal 17 Oktober 2001, Kota Administratif (kotif) Tasikmalaya
154
resmi menjadi daerah otonom Kota Tasikmalaya yang mempunyai kewenangan untuk mengatur rumah tangga sendiri. Proses transformasi atau pemekaran tahun 2001 Kota Administratif (kotif) Tasikmalaya menjadi Kota Tasikmalaya terlepas dari Kabupaten Tasikmalaya sebagai kabupaten induknya diikuti dengan bertambah luasnya wilayah Kota Tasikmalaya yang sebelumnya hanya meliputi 3 Kecamatan yaitu Cipedes, Cihideung dan Tawang dengan jumlah desa sebanyak 13 desa, terjadi penambahan 5 kecamatan yang berasal/diambil dari Kabupaten Tasikmalaya yaitu Kecamatan Indihiang, Kecamatan Kawalu, Kecamatan Cibeureum, Kecamatan Mangkubumi, dan Kecamatan Tamansari sehingga berjumlah 8 kecamatan, 15 kelurahan dan 54 desa. Namun berdasarkan Perda No. 30 Tahun 2003 tentang perubahan status Desa menjadi kelurahan, desa-desa dilingkungan Pemerintah Kota Tasikmalaya berubah statusnya menjadi kelurahan, sehingga jumlah kelurahan menjadi 69 kelurahan. Sebagai kota hasil pemekaran dari Kabupaten Tasikmalaya, saat ini, kata “Tasikmalaya” dipergunakan untuk dua nama hierarki pemerintahan daerah, yaitu : Pertama, Kabupaten Tasikmalaya yaitu daerah otonom yang dipimpin oleh seorang bupati, dan Kota Tasikmalaya yakni daerah otonom yang dipimpin oleh seorang wali kota. Kota Tasikmalaya dalam kurun waktu 14 tahun sekarang ini merupakan kota yang masih begitu muda. Akan tetapi, keberadaan Kota Tasikmalaya sudah dikenal jauh sebelum pemerintahan kota tersebut dibentuk, menunjukkan pertumbuhan yang dinamis seiring dengan perubahan fungsi dari kota administratif menjadi kota yang otonom. Perubahan fungsi tersebut telah mendorong perkembangan perekonomian wilayah Kota Tasikmalaya, dan bahkan menjadi barometer pembangunan dan perkembangan ekonomi khususnya di wilayah Priangan Timur. Perkembangan Kota Tasikmalaya sebagai kota di wilayah Priangan Timur mendorong tumbuh dan berkembangnya berbagai industri besar maupun industri kecil dan menengah maupun industri rumah tangga di kota tersebut yang cukup terkenal dan menjadi brand Kota Tasikmalaya yang berskala nasional dan international seperti sentra industri bordiran di Kecamatan Kawalu, sentra Industri Payung Geulis di Kecamatan Cipedes, sentra Industri Batik di Kecamatan Cipedes dan Kecamatan Indihiang, sentra industri kerajinan Mendong di Kecamatan Tamansari, Kecamatan Purbaratu dan Kecamatan Cibeureum, sentra utama industri anyaman bambu di Kecamatan Mangkubumi dan Kecamatan Indihiang, sentra Alas Kaki Kelom Geulis di Kecamatan Tamansari dan Kecamatan Mangkubumi, Kerajinan Kayu/Meubel di Kecamatan Cipedes, Tawang, Cibeureum, dan Kecamatan Tamansari, dan Industri Pengolahan Kayu (Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Perijinan Terpadu, 2014). Seiring dengan perkembangan sebagai pusat kota, diikuti tumbuh dan berkembangnya pusat-pusat perbelanjaan seperti pertokoan, mall, pembangunan pusat kerajinan, berkembangnya usaha hotel dan restoran, berkembangnya lembaga-lembaga keuangan mikro, berkembangnya usaha jasa pengangkutan dan komunikasi, tumbuh dan berkembangnya lembaga-lembaga pendidikan akademi, perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta, berkembangnya pusat-pusat
155
pelayanan kesehatan, muncul dan berkembangnya berbagai kuliner khas Tasikmalaya, peningkatan daya tarik kota melalui penyediaan berbagai fasilitas hiburan dan rekreasi perkotaan, perluasan dan penambahan kapasitas Lanud Wiriadinata. Melihat perkembangan industri Kota Tasikmalaya yang cukup potensial untuk pengembangan kedepan dan sebagai bentuk perhatian oleh pemerintah pusat melalui Peraturan Menteri Perindustrian Republik Indonesia tahun 2012 tentang Peta Panduan Kompetensi Inti Industri Kota Tasikmalaya menetapkan Kota Tasikmalaya sebagai Pusat Pengembangan Inti Industri khususnya di Priangan Timur. Perkembangan keagamaan Kota Tasikmalaya yang dikenal sebagai kota santri telah menjadikan Kota Tasikmalaya ditunjuk menjadi Pilot Project Pengembangan Busana Muslim Nasional melalui Surat Edaran Menteri Perekonomian tahun 2011. Perkembangan ekonomi dan pembangunan Kota Tasikmalaya yang begitu pesat sejak menjadi daerah otonom baru oleh pemerintah pusat menjadi moment untuk menjadikan Kota Tasikmalaya sebagai Pusat Kegiatan Wilayah (PKW) di wilayah Priangan Timur yang meliputi Kabupaten Tasikmalaya, Kabupaten Garut, Kabupaten Ciamis, Kota Banjar dan Kabupaten Pangandaran. Penetapan Kota Tasikmalaya sebagai Pusat Kegiatan Wilayah (PKW) di wilayah Priangan Timur tertuang dalam Rencana Tara Ruang Nasional (RTRN) dan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Propinsi Jawa Barat. Dalam rangka mendorong perkembangan ekonomi wilayah Kota Tasikmalaya sebagai Pusat Kegiatan Wilayah (PKW) di wilayah Priangan Timur direncanakan pada tahun 2016 akan dimulai pembangunan jalan tol Jakarta – Tasikmalaya yang berakhir di Kota Tasikmalaya. Berdasarkan uraian diatas sehubungan dengan analisis pengembangan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi Kota Tasikmalaya dengan pendekatan pusat pertumbuhan (growth center) dan kutub pertumbuhan (growth pole) maka dapat disimpulkan bahwa Kota Tasikmalaya sebagai kota pusat pemerintahan kerajaan pada zaman dahulu bukanlah merupakan sebuah kota yang tiba-tiba terbentuk, namun perkembangan Kota Tasikmalaya menjadi salah satu kota tidak terlepas dari proses perjalanan sejarah yang begitu panjang, mengalami pertumbuhan kota yang bertahap dan alamiah dari kota tradisional menjadi kota modern, namun dalam perkembangan sebagai kota yang modern, lambat laun mengalami proses keterlibatan pemerintah pusat dalam merancang dan menjadikan Kota Tasikmalaya sebagai pusat pertumbuhan khususnya di wilayah Priangan Timur. Dengan demikian Kota Tasikmalaya dapat dikategorikan sebagai kota yang berkembangan kearah kutub pertumbuhan (growth pole), dengan titik berat pada perekonomian rakyat (koperasi).
156
7 KONSEPTUALISASI GAGASAN PEMEKARAN WILAYAH KEDEPAN Sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 18 ayat (1), ditegaskan bahwa wilayah Negara Kesatuan Repulik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi dibagi atas kabupaten/kota yang masing-masing mempunyai pemerintahan daerah untuk menjalankan otonomi daerah seluas-luasnya. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, pembentukan daerah pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan pelayanan publik guna mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat. Pembentukan daerah dapat berupa pemekaran dari satu daerah menjadi dua daerah atau lebih, atau penggabungan bagian daerah yang bersandingan, atau penggabungan beberapa daerah. Pemekaran daerah adalah pemecahan provinsi atau kabupaten/kota menjadi dua daerah atau lebih. Sementara dalam prakteknya sampai dengan tahun 2008, Indonesia belum pernah mempunyai pengalaman penggabungan daerah. Sejak berlakunya Undang-undang nomor 22 tahun 1999 yang kemudian direvisi dengan undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, pemekaran daerah menjadi kecenderungan baru dalam system pemerintahan di Indonesia. Hal terlihat pertambahan jumlah propinsi, kabupaten dan kota dari tahun 1999 sampai dengan tahun 2013. Dimana sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 terdapat 319 propinsi, kabupaten dan kota dengan perincian propinsi sebanyak 26, kabupaten sebanyak 234 dan kota sebanyak 9. Namun sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 terjadi penambahan sebanyak 217 propinsi/kabupaten/kota terdiri dari 8 propinsi , 175 kabupaten dan 34 kota. Sampai dengan tahun 2013 terdapat 34 propinsi, 409 kabupaten dan 93 kota sehingga total terdapat 536 propinsi/kabupaten/kota. Maraknya pemekaran daerah yang terjadi tidak terlepas dari kondisi sistem pemerintahan yang dinilai oleh masyarakat gagal melaksanakan misinya dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat, satu sisi terjadi ketimpangan pembangunan dan ketidakmerataan pembangunan antar wilayah, regional maupun antar pulau, disisi lain terjadinya penumpukan sumber-sumber manufaktur dan modal yang besar pada suatu suatu wilayah. Dengan semangat otonomi daerah itu pulalah muncul paradigma pemekaran wilayah yang dapat mempercepat pelaksanaan pembangunan, memudahkan pelayanan publik kepada masyarakat,serta percepatan kesejahteraan masyarakat. Di masa era reformasi sekarang,ruang bagi daerah untuk mengusulkan pembentukan Daerah Otonomi Baru dibuka lebar oleh kebijakan pemekaran daerah berdasar Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan berbagai peraturan pemerintah yang mengaturnya. Di era otonomi daerah pemekaran wilayah menjadi daya tarik tersendiri bagi daerah-daerah, sehingga tidak heran itu menjadi isu nasional yang menjadi perbincangan dan perdebatan oleh berbagai elit, kalangan, kelompok dan lapisan masyarakat bahkan pembuat kebijakan itu sendiri dari tingkat lokal hingga pusat. Berbagai tanggapan yang beragam melalui media, seminar, lokakarya yang meramaikan kontroversi seputar pemekaran wilayah. Banyak mempertanyakan
157
urgensi gagasan manuver dari pemekaran tersebut dengan berbagai alasan yang mendasar seperti alasan ekonomi, politik, sosiologi, religius dan historis. Kuatnya wacana Orde Baru, menjadi domain Pemerintah, lebih bersifat elitis dan memiliki karakter sentralistis, perencanaan lebih merupakan inisiatif pemerintah pusat (top down) daripada partisipasi dari bawah (bottom up). Proses pemekaran wilayah seringkali menjadi proses yang sangat tertutup dan menjadi arena kalangan pemerintah pusat. Menyimak perkembangan politik nasional dan lokal saat ini, isu mengenai pemekaran wilayah nampaknya akan terus menjadi wacana politik yang tidak akan pudar. Hal itu karena berkaitan dengan konsen utama masyarakat lokal yang menyangkut berbagai tekanan politik seperti perasaan dan keinginan untuk mandiri. Alasan lain yang tidak kalah pentingnya adalah konsen utama untuk mensejahterakan rakyat karena biasanya daerah yang ingin dimekarkan tertinggal jauh dari daerah lainnya. Akibatnya isu pemekaran wilayah selama ini menjadi lebih banyak merupakan jawaban atas persoalan perasaan ketidakadilan, perasaan tidak diperhatikan, ataupun perasaan-perasaan yang ingin memisahkan diri dari Negara Kesatuan Indonesia. Silang pendapat yang terus berkembang selama beberapa waktu sekitar isu pemekaran wilayah merupakan salah satu bentuk penegasan dari kesemrawutan kebijakan desentralisasi pasca-Soeharto. Sejarah perjalanan panjang yang mewarnai terbentuknya kedua kota tersebut menjadi daerah otonom baru. Diawali dengan terbentuknya Kabupaten Buton menjadi kabupaten berdasarkan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1959 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Swantara Tk. II di Sulawesi, Kabupaten Buton menjadikan Bau-Bau sebagai ibukota. Selanjutnya pada tahun 1981 melalui Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1981 diresmikan sebagai Kota Administratif (kotif) Bau-Bau. Dalam kurun waktu 34 tahun perjalanan sebagai kota administratif, berlakunya Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, menjadi momentum bagi Kota Administratif (kotif) Bau-Bau menjadi daerah otonom baru terlepas dari Kabupaten Buton sebagai kabupaten induknya melalui Undang-undang Nomor 13 tahun 2001, tanggal 21 Juni 2001, resmi menjadi daerah otonom Kota Bau-Bau mempunyai kewenangan untuk mengatur rumah tangga sendiri. Sejarah perkembangan Kota Tasikmalaya dilatarbelakangi dengan terbentuknya Kabupaten Tasikmalaya pada tahun 1913. Pada tahun 1976 diresmikan Kota Administratif (kotif) Tasikmalaya melalui Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1976. Kota Administratif (kotif) Tasikmalaya yang secara administratif berada dibawah pemerintahan Kabupaten Tasikmalaya. Melalui proses panjang sebagai Kota Administratif (kotif) yakni selama 39 tahun sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, menjadi momentum bagi Kota Administratif (kotif) Tasikmalaya resmi menjadi daerah otonom Kota Tasikmalaya yang mempunyai kewenangan untuk mengatur rumah tangga sendiri melalui Undang-undang Nomor 10 Tahun 2001, tanggal 17 Oktober 2001. Proses menjadi kota administratif kedua kota tersebut dalam kurun waktu 34 tahun bagi Kota Baubau dan 39 tahun bagi Kota Tasikmalaya, merupakan waktu yang sangat panjang. Hal ini karena pada era pemerintahan Orde Baru dengan dasar pelaksanaan pemerintahan yaitu Undang-Undang Nomor 5 tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, kebijakan pemekaran wilayah pada
158
masa pemerintahan Orde Baru, menjadi domain Pemerintah, lebih bersifat elitis dan memiliki karakter sentralistis, perencanaan untuk pemekaran lebih merupakan inisiatif pemerintah pusat (top down) daripada partisipasi dari bawah (bottom up). Proses pemekaran wilayah seringkali menjadi proses yang sangat tertutup dan menjadi arena kalangan pemerintah pusat. Pemekaran wilayah Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya dari induk kabupatennya masing-masing dilihat dari sisi rentang kendali (span of control) memberikan 2 pandangan yang berbeda, jika dilihat dari kondisi fisik kewilayahan Kota Baubau sangat layak untuk dimekarkan dari Kabupaten Buton, mengingat hanya terdapat 2 kabupaten daerah otonom yang memerintah di kawasan Sultra Kepulauan yaitu Kabupaten Buton dimana wilayahnya mencakup sebagian Pulau Muna dan sebagian Pulau Buton, Pulau Kabaena dan Kepulauan Wakatobi dan Kabupaten Muna wilayahnya mencakup sebagian Pulau Muna dan sebagian Pulau Buton. Sehingga pada pada periode sebelum berlakunya UndangUndang Nomor 22 tahun 1999 rentang kendali Kabupaten Buton terhadap pulaupulau lainnya sangat luas dan jauh. Sehingga proses pemekaran Kota Baubau dan beberapa kabupaten lainnya sangat layak dalam rangka untuk memperpendek dan lebih efektifnya pelayanan pemerintahan, pembangunan dan pembinaan sosial kemasyarakatan. Sedang Kota Tasikmalaya dilihat dari sisi rentang kendali (span of control) dan dari kondisi fisik kewilayahan, tidaklah menjadi penting untuk dimekarkan dari kabupaten induknya, mengingat kawasan Priangan Timur khususnya Kabupaten Tasikmalaya adalah daerah dengan wilayah dataran yang rata, dimana akses terhadap daerah/wilayah lainnya cenderung mudah dijangkau dan terbuka. Dari sisi ekonomi politik, apakah pemekaran wilayah di Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya semata-mata persoalan ekonomi dalam hal ini karena tingkat kesejahteraan dan pendapatan masyarakat masih dibawah garis kemiskinan ketika masih menjadi kota administratif, atau karena persoalan politik karena dorongan untuk bagi-bagi kekuasaan, jabatan. Jika melihat kondisi fisik wilayah dan kondisi sosial ekonomi kedua kota tersebut, biasanya kondisi perekonomian masyarakat yang berada dipusat kota lebih baik dibandingkan daerah/wilayah lain diluar pusat kota. Demikian juga dengan keberagaman ekonomi dipusat kota lebih cenderung lebih beragam aktivitas ekonomi sehingga peluang untuk mendapatkan pekerjaan lebih mudan dan baik. Sehingga menurut saya pemekaran wilayah kedua kota tersebut lebih cenderung didorong persoalan politik, dalam hal ini dari aspek pemerintahan yang merasa selama menjadi kota administratif segala kewenangan pembiayaan pembangunan dan pengelolaan anggaran masih ditentukan oleh daerah induk. Disisi lain keinginan untuk berkuasa (bagi-bagi kekuasaan) oleh elit-elit di daerah menjadikan jargon peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat menjadi arena politik dalam proses pengusulan pemekaran wilayah kedua kota tersebut. Berdasarkan hasil penelitian pada 2 kota sehubungan dengan pemekaran wilayah di Indonesia timbul pertanyaan “siapa yang di untungkan dan menginginkan pemekaran, apakah masyarakat atau elit politik didaerah”. Pemekaran wilayah yang dilakukan dapat dikatakan sebagai bentuk aktualisasi dari pelaksanaan demokratisasi untuk merespon keberagaman di Indonesia, hal tersebut tentunya sangatlah tepat untuk dilaksanakan sepanjang tetap bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Namun realitas sosial yang terjadi
159
pemekaran wilayah lebih banyak menguntungkan sebagian elit daerah yang kemudian menjadi penguasa sebagai akibat dari adanya pemekaran wilayah tersebut. Sementara masyarakat lebih banyak yang dirugikan. Hal ini tidak hanya sekedar karena pemekaran wilayah tidak dapat meningkatkan kesejahteraan mereka namun, tidak jarang bahwa pemekaran wilayah justru menimbulkan konflik diantara masyarakat. Untuk menghentikan pemekaran wilayah yang terjadi sekarang ini tentunya adalah suatu persoalan yang sulit apalagi menggabungkan daerah yang telah menjadi daerah otonom. Namun upaya itu hanya bisa dilakukan bila kerangka regulasi yang mengaturnya di ubah atau revisi. Hal ini membutuhkan sikap kerjasama yang baik antar berbagai elemen dan stakeholder yang terlibat didalamnya. Usulan pemekaran wilayah saat ini berdasarkan undang-undang nomor 22 tahun 2009 yang telah direvisi dengan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 dilaksanakan melalui 3 (tiga) pintu yaitu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan Pemerintah (Kemendagri). Dengan adanya 3 pintu pemekaran wilayah elite-elite didaerah mencari berbagai peluang untuk mencapai dan menggolkan tujuan politiknya. Pengamatan dilapangan, normatif usulan pemekaran selalu melalui pintu Kemendagri, yang diusulkan oleh kabupaten induk, lewat gubernur. Namun situasi tersebut akan berubah ketika proses usulan mengalami deadlock ketika melalui pintu Kemendagri. Elite-elite kemudian beralih pada jalur politik melalui wakil-wakil rakyat yang berada di pusat, pada kondisi inilah manajemen pemekaran tidak berjalan dengan baik. Karena disatu sisi ditegakkannya efektivitas manajemen pemekaran wilayah justru oleh sebagian elite memandang itu merupakan proses menghambat aspirasi yang berkembang didaerah. Sehingga ditempuh proses pemekaran melalui pintu/jalur politik yaitu DPR dan DPD, yang lebih banyak didominasi oleh kepentingan politik dan partai ketimbang pencapaian hakekat pemekaran wilayah. Harapan terjadinya perubahan 3 pintu usulan pemekaran sebenarnya sudah dirancang dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014, dimana dalam rancangan tersebut bahwa pengusulan pembentukan daerah otonom baru melalui mekanisme DPR dan DPD, salah satu syaratnya mendapatkan rekomendasi dari Menteri Dalam Negeri sebagai menteri yang membidangi urusan pemerintahan dalam negeri. Namun naskah rancangan undang-undang yang “berani” tersebut mengalami perubahan yang drastis ketika disahkan menjadi undang-undang. DPR dan DPD tetap diberi kewenangan dalam pembentukan daerah otonom baru sebagaimana diatur dalam pasal 38 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014. Proses pemekaran wilayah pada saat sekarang ini dalam kondisi “dilematis” artinya untuk menghentikan pemekaran wilayah adalah sesuatu hal yang tidak mungkin karena masih ada kerangka regulasi yang mengatur dan memberikan peluang kepada setiap daerah untuk mengusulkan pemekaran. Pilihan “moratorium” oleh Pemerintah bukanlah solusi yang tepat karena masih adanya pintu-pintu lain pengusulan pemekaran, dan isu ini biasanya akan semakin menguat ketika proses pemilihan legislatif dan pemilihan presiden akan dilaksanakan, karena issu pemekaran kemudian menjadi komoditas politik yang dijual dimasyarakat dan didaerah-daerah. Untuk itu kedepan dalam upaya menyelamatkan agar kebijakan pemekaran wilayah tetap dapat berjalan sehingga mencapai tujuan sebagaimana yang diharapkan, diperlukan berbagai solusi perbaikan di dalam mekanisme pemekaran
160
wilayah diantaranya adalah: 1) Perlunya dilakukan penataan daerah dan persyaratan yang ketat dalam pembentukan daerah otonom baru sebagaimana yang diamanatkan dalam pasal 33 sampai pasal 37 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014. 2) Revisi terhadap undang-undang khususnya bagi lembaga yang berkompetensi dalam pembentukan daerah otonom baru terutama kewenangan ketiga lembaga tersebut yaitu DPR, DPD dan Kemendagri, dengan memberikan sepenuhnya kewenangan kepada Kemendagri karena pertimbangan pemerintah mempunyai sumberdaya keahlian personil yang memadai. DPR dan DPD menjadi lembaga yang mengawasi Pemerintah dalam melaksanakan kebijakan dan implementasi pemekaran wilayah. Hasil penelitian yang dilakukan pada 2 kota yaitu Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya, dalam proses untuk menjadi daerah otonom telah melewati tahapan yang lama menjadi kota administratif. Proses menjadi kota administratif yang begitu panjang, disatu sisi disebabkan pada masa pemerintahan Orde Baru proses pemekaran wilayah sangat sulit, namun disisi lain proses yang begitu panjang tersebut merupakan kesempatan untuk berbenah dan mempersiapkan diri menjadi daerah otonom. Sehingga hasil penelitian dipandang dari sisi pemerintahan, proses Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya menjadi daerah otonom baru dapat di jadikan model pemekaran wilayah di era reformasi. Artinya bahwa suatu kabupaten/kota yang akan menjadi daerah otonom baru sebaiknya melewati tahapan menjadi kota administratif untuk kota dan kabupaten persiapan/daerah persiapan untuk kabupaten. Dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 pasal 32 ayat (2) tentang pembentukan daerah disebutkan syarat bagi daerah yang diusulkan menjadi daerah otonom baru yang memenuhi persyaratan administrasi ditetapkan menjadi Daerah Persiapan yang secara administratif dipimpin oleh seorang kepala daerah persiapan yang diisi oleh pegawai negeri sipil yang diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Dalam Negeri. Untuk itu konsep pemekaran wilayah kedepan perlu diterapkan kembali pembentukan kota administratif untuk kota dan kabupaten administratif untuk kabupaten yang akan menjadi daerah otonom baru, hal ini tidak bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 yang memakai istilah Daerah Persiapan propinsi untuk tingkat propinsi dan Daerah Persiapan Kabupaten/Kota untuk tingkat kabupaten/kota sebagaimana pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014. Pemekaran wilayah yang dilaksanakan selama ini yaitu sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 yang direvisi dengan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 berserta seluruh peraturan dibawahnya yang menjadi pedoman pelaksanaan pemekaran wilayah tidak bisa dikatakan gagal karena pada kenyataan dilapangan justru dapat meningkatkan infrastruktur daerah dan membuka daerah-daerah terisolir, namun harus diakui bahwa terjadi kelemahan dan kekurangan didalam pelaksanaannya, untuk itu pemerintah seharus lebih intensif melakukan pengawasan ketika suatu daerah yang baru menjadi mekar, namun pada kenyataannya fungsi pengawasan tidak berjalan, sehingga daerah otonom yang baru dibentuk berjalan sendiri sesuai dengan kemauan dari pimpinan daerahnya. Gubernur sebagai perpanjangan tangan Pemerintah Pusat juga tidak efektif dalam melakukan pengawasan terhadap daerah otonom baru hal ini karena adanya berbagai kepentingan terutama kepentingan politik dan partai apalagi ketika yang berkuasa dari partai, maka ada kecenderungan untuk mengamankan
161
jabatan atau suara untuk pemilihan dan kepentingan partai ketimbangan untuk melaksanakan tugas pengawasan kepada daerah-daerah yang berada dalam wilayah kekuasaannya. Oleh karena itu agar pelaksanaan pemekaran wilayah kedepan berjalan sesuai dengan hakekat pemekaran maka berikut ini disajikan bagan/skema proses pengusulan Daerah Otonom Baru berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dengan beberapa modifikasi sebagai berikut: Jika memenuhi persyaratan dilanjutkan pengusulan dan sebaliknya
Gubernur melakukan penilaian kelayakan kab/kota untuk dimekarkan dengan berdasarkan syaratsyarat teknis dan administrasi
Memperhatikan syarat-syarat teknis yang menjadi persyaratan pengusulan
Musyawarah desa/kecamatan/kab upaten cakupan wilayah yang akan diusulkan
Pembentukan panitia Daerah Persiapan Hasil musyawarah dibawah/diusulkan kepada :
DPRD dan Bupati kabupaten Induk mendapatkan persetujuan
Gubernur dengan mendapatkan persetujuan DPRD propinsi
Pengusulan lewat 1 pintu
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
Dewan Perwakilan Daerah (DPD)
Pemerintah Pusat (Kemendagri)
Mengawasi
Mengawasi
Tim Kajian Independen Pemerintah Pusat Membentuk
Jika memenuhi persyaratan dilanjutkan pengusulan dan sebaliknya
Pemerintah Pusat (Kemendagri) melakukan penilaian kelayakan usulan DOB
Feedback sebagai dasar kebijakan Pemerintah Pusat dalam penetapan
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
Hasil kajian Tim Kajian Independen
Pemerintah Pusat (Kemendagri)
Dikonsulta sikan
Rekomendasi terhadap Usulan DOB
Dewan Perwakilan Daerah (DPD)
Pemerintah Pusat menetapkan Daerah Persiapan
Kelayakan Pembentukan Daerah Persiapan
Gambar 39 Bagan/Skema Proses Pengusulan Pemekaran Wilayah di Indonesia Implikasi Hasil Penelitian Berdasarkan hasil analisis tipologi klasen 12 kabupaten/kota dalam wilayah Propinsi Sulawesi Tenggara menunjukkan Kota Baubau berada pada kalsifikasi wilayah berkembang cepat, artinya bahwa rata-rata pertumbuhan ekonomi dan
162
PDRB perkapita Kota Baubau cukup besar dibandingkan dengan Kabupaten Buton, Buton Utara, Muna dan Kabupaten Bombana, namun lebih kecil dibandingkan dengan Kabupaten Wakatobi. Sedangkan hasil analisis tipologi klasen 27 kabupaten/kota dalam wilayah Propinsi Jawa barat menunjukkan Kota Tasikmalaya berada pada kalsifikasi wilayah berkembang cepat, artinya bahwa Kota Tasikmalaya rata-rata pertumbuhan ekonomi dan PDRB perkapitanya lebih besar dibandingkan dengan Kabupaten Tasikmalaya, Garut, Ciamis, Kota Banjar dan Kabupaten Pangandaran. Hasil analisis indeks diversitas entropi, menunjukkan bahwa kabupaten/kota Sultra Kepulauan dimana Kota Baubau nilai IDEnya lebih besar dibandingkan dengan Kabupaten Buton, Buton Utara, Wakatobi, Muna dan Kabupaten Bombana, artinya struktur perekonomian Kota Baubau lebih maju dan berkembang dibandingkan lima kabupaten hinterlandnya. Demikian halnya dengan kabupaten/kota Priangan Timur menunjukkan nilai IDE Kota Tasikmalaya lebih besar dibandingkan dengan dibandingkan dengan Kabupaten Tasikmalaya, Garut, Ciamis, Kota Banjar dan Kabupaten Pangandaran. Artinya bahwa struktur perekonomian Kota Tasikmalaya lebih maju dan berkembang dibandingkan kabupaten hinterlandnya. Hasil analisis IDE Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya menunjukkan bahwa lebih tinggi keragaman aktivitas/kegiatan ekonomi pada wilayah perkotaan. Hasil analisis location quotient (LQ), menunjukkan LQ Kota Baubau lebih besar dibandingkan dengan Kabupaten Buton, Buton Utara, Wakatobi, Muna dan Kabupaten Bombana, artinya sektor-sektor perekonomian Kota Baubau khususnya sektor basis memberikan kontribusi yang besar terhadap pembentukan PDRB dibandingkan kabupaten sekitarnya (hinterland). Sedangkan kabupaten/ kota Priangan Timur menunjukkan Kota Tasikmalaya nilai LQ lebih besar dibandingkan dengan Kabupaten Tasikmalaya, Garut, Ciamis, Kota Banjar dan Kabupaten Pangandaran. Artinya sektor-sektor perekonomian Kota Tasikmalaya khususnya sektor basis memberikan kontribusi yang besar terhadap pembentukan PDRB dibandingkan kabupaten/kota hinterlandnya. Hasil analisis shift share, menunjukkan sektor-sektor perekonomian Kota Baubau mengalami pergeseran yang lambat, hal ini terjadi juga terhadap daerah sekitarnya yang mengalami pergeseran yang lambat. Demikian halnya Kota Tasikmalaya menunjukkan sektor-sektor perekonomian mengalami pergeseran yang lambat, hal ini terjadi juga terhadap daerah sekitarnya yang mengalami pergeseran yang lambat. Hasil analisis skalogram menunjukkan Kota Baubau berada pada wilayah hirarki II, wilayah dengan hirarki I/tinggi untuk kawasan Sultra Kepulauan yaitu Kabupaten Buton Utara, hal ini karena faktor jumlah penduduk Kabupaten Buton Utara yang relatif sedikit dibandingkan Kota Baubau. Karena faktor jumlah penduduk sebagai pembagi dari ketersediaan fasilitas dan sarana prasarana memberikan dampak pada kedua wilayah tersebut, sekalipun kondisi dilapangan ketersediaan fasilitas sarana prasarana lebih lengkap di Kota Baubau dibandingkan kabupaten sekitarnya (hinterland). Sedang Kota Tasikmalaya untuk kawasan Priangan Timur berada pada wilayah hirarki I hal ini berarti ketersediaan fasilitas sarana prasarana lebih lengkap dibandingkan kabupaten/kota sekitarnya (hinterland). Hasil analisis gravitasi menunjukkan bahwa Kota Baubau maupun Kota Tasikmalaya mempunyai interaksi ekonomi dan daya tarik wilayah yang kuat
163
terhadap daerah sekitarnya, khususnya Kabupaten Buton artinya bahwa ada mobilitas penduduk dari daerah sekitarnya untuk masuk ke Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya. Pekkala (2003) membuktikan bahwa terjadinya migrasi dari desa-kota disebabkan upah yang lebih tinggi dan prospek pekerjaan yang lebih baik di daerah perkotaan. Pendapatan dan pekerjaan memikat orang ke pusat pertumbuhan, hal ini karena utilitas yang dirasakan lebih besar di pusat-pusat pertumbuhan. Dari hasil analisis tipologi klasen, indeks diversitas entropi, location quotient (LQ), menunjukkan bahwa sektor-sektor PDRB Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya mempunyai keunggulan komparatif maupun keunggulan kompetitif dibandingkan dengan daerah sekitarnya, sekalipun pada analisis shift share menunjukkan sektor-sektor PDRB mengalami pergeseran yang lambat namun hal tersebut juga terjadi dengan daerah sekitarnya. Dari hasil analisis skalogram dan analisis gravitasi menunjukkan bahwa Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya potensial menjadi pusat pertumbuhan dan pusat pelayanan karena ketersediaan fasilitas yang lebih lengkap dibandingkan daerah sekitarnya, sehingga menjadi daya tarik wilayah yang cukup besar. Dari hasil analisis persepsi masyarakat dengan distribusi frekuensi dan analisis hierarchy process menunjukkan bahwa masyarakat Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya merasakan manfaat dari pemekaran wilayah dibandingkan ketika menjadi kota administratif. Berdasarkan hasil penelitian dengan menggunakan alat analisis tipologi klasen, indeks diversitas entropi, location quotient (LQ), shift share, skalogram dan analisis gravitasi, temuan dari analisis tersebut mendukung dan memperkuat hipotesis Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya potensial menjadi pusat pertumbuhan ekonomi bagi daerah sekitarnya. Sedangkan hasil analisis hierarchy process terhadap persepsi masyarakat pada dua kota tersebut mendukung dan memperkuat manfaat dari pemekaran wilayah Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya dari kabupaten induknya masing-masing, artinya bahwa kedua kota itu mengalami perkembangan yang sangat pesat pasca pemekaran pada tahun 2001, disatu sisi hasil analisis hierarchy process persepsi masyarakat pada dua kota ditemukan alternatif strategi “pemekaran wilayah menciptakan pusat pertumbuhan (PW-PP)” sebagaimana yang dialami oleh Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya. Berdasarkan hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya dalam kurun waktu yang cukup lama mengalami metamorfosis dari kota tradisional menjadi kota modern. Pemekaran wilayah tahun 2001 telah mendorong perkembangan perekonomian wilayah yang begitu pesat, sehingga dalam perkembangan selanjutnya Kota Baubau tumbuh secara alamiah menjadi Pusat Pertumbuhan (growth center) sedangkan Kota Tasikmalaya dalam perkembangan awalnya tumbuh secara alamiah namun dalam perkembangannya ada desain dari pemerintah maupun keterlibatan pihak swasta untuk berinvestasi sehingga lambat laun Kota Tasikmalaya mengalami perkembangan kearah Kutub Pertumbuhan (growth pole). Hal ini diperkuat dengan hasil analisis dalam penelitian ini menunjukkan bahwa sektor-sektor perekonomian Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya lebih besar hal ini menjadi daya tarik wilayah bagi daerahdaerah sekitarnya, sehingga posisi sebagai Pusat Pertumbuhan (growth center) dan Kutub Pertumbuhan (growth pole) bagi daerah sekitarnya cukup tepat.
164
8 KESIMPULAN DAN SARAN Simpulan Dari hasil penelitian maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Struktur perekonomian wilayah Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya lebih maju dan berkembang dibandingkan dengan daerah sekitarnya (hinterland), Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya berada pada klasifikasi daerah berkembang cepat, sedang daerah sekitarnya berada pada klasifikasi daerah daerah berkembang cepat dan daerah relatif tertinggal. Sektor perekonomian wilayah Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya lebih maju dan berkembang. Sektor-sektor unggulan yang menjadi sektor basis Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya adalah bangunan, perdagangan, hotel dan restoran, pengangkutan dan komunikasi, keuangan, persewaan dan jasa keuangan dan jasa-jasa. Namun pada ditingkat lokal (differential shift) menunjukkan sektor-sektor yang menjadi sektor basis Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya justru mengalami pergeseran dan pertumbuhan yang lambat. 2. Hasil penelitian menunjukkan perkembangan wilayah Kota Baubau berada pada wilayah dengan kategori Hirarki II/sedang, perkembangan wilayah Kota Tasikmalaya berada pada wilayah dengan kategori Hirarki I/tinggi. Interaksi ekonomi dan daya tarik wilayah Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya dengan wilayah hinterlandnya bervariasi intensitasnya. Interaksi ekonomi dan daya tarik wilayah Kota Baubau yang kuat adalah dengan Kabupaten Buton dan Kabupaten Muna, sedang dengan kabupaten lainnya yaitu Kabupaten Buton Utara, Kabupaten Wakatobi dan Kabupaten Bombana sangat lemah terlihat dari nilai indeks gravitasi yang kecil. Interaksi ekonomi dan daya tarik wilayah Kota Tasikmalaya dengan wilayah hinterlandnya yang kuat adalah dengan Kabupaten Tasikmalaya dan Kabupaten Ciamis terlihat dari indeks gravitasi yang besar, sedang dengan kabupaten lain yaitu Kabupaten Garut, Kota Banjar dan Kabupaten Pangandaran sangat lemah dari indeks gravitasi yang kecil. 3. Hasil mengevaluasi/mengkritisi terhadap sebelas faktor-faktor penilaian usulan pemekaran wilayah Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 berdasarkan persepsi masyarakat Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya dengan menggunakan analytical hierarchy process menunjukkan ada perbedaan prioritas terhadap 11 (sebelas) faktor pembentukan daerah otonom baru. 4. Hasil analisis persepsi masyarakat secara umum menunjukkan pemekaran wilayah memberikan manfaat yang besar bagi masyarakat baik dari sisi pendapatan, pelayanan dan ketersediaan infrastruktur maupun perkembangan perekonomian Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya. Hasil analisis persepsi masyarakat dengan analytical hierarchy process (AHP) menunjukkan dari empat alternatif strategi, alternatif strategi yang menjadi prioritas utama adalah pemekaran wilayah menciptakan pusat pertumbuhan (PW-PP). Implikasi Kebijakan Kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah yang berlaku sejak UndangUndang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dengan implikasi
165
pemekaran wilayah/daerah telah memberikan ruang dan peluang kepada daerahdaerah untuk menuntut pemekaran wilayah sehingga berakibat meningkat dan bertambahnya jumlah propinsi, kabupaten dan kota, dimana sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 terdapat 319 propinsi, kabupaten dan kota dengan perincian propinsi sebanyak 26, kabupaten sebanyak 234 dan kota sebanyak 9. Namun sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 terjadi penambahan sebanyak 217 terdiri dari 8 propinsi , 175 kabupaten dan 34 kota. Sampai dengan tahun 2013 terdapat 34 propinsi, 409 kabupaten dan 93 kota sehingga total terdapat 536 propinsi/kabupaten/kota. Pemekaran wilayah/daerah yang berkembang pesat sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999, yang telah direvisi dengan UndangUndang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah muncul sebagai akibat karena sistem pemerintahan yang terpusat (sentralisasi), kesenjangan (regional disparity) antara Jakarta atau Jawa dengan luar Jawa, kesenjangan antara Kawasan Timur Indonesia dan Kawasan Barat Indonesia disatu pihak terjadi percepatan pembangunan dan penumpukan manufaktur, dipihak lain pembangunan berjalan sangat lambat, serta terjadinya berbagai ketimpangan pembangunan dan kesenjangan wilayah baik yang bersifat vertikal maupun horizontal secara spasial, ekonomi, politik, sosial dan budaya yang menyebabkan daerah-daerah semakin tertinggal. Namun pemekaran wilayah/daerah yang dilakukan bukan merupakan satu satunya solusi untuk mengatasi permasalahan tersebut diatas, karena ternyata pemekaran wilayah/daerah berwajah ganda, ada sisi positif ada sisi negatif, disatu sisi memberikan manfaat kepada daerah namun disisi lain menimbulkan permasalahan didaerah. Berbagai penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa/ perguruan tinggi, LSM, Pemerintah maupun lembaga penelitian mendukung kedua argumen tersebut. Penelitian ini merupakan salah satu argumen yang melihat bahwa kebijakan pemekaran wilayah/daerah telah mendorong dan memberikan manfaat bagi perkembangan perekonomian wilayah, bahkan mendorong suatu daerah berkembang menjadi pusat-pusat pertumbuhan baru di wilayah atau kawasan khususnya bagi daerah sekitarnya (hinterland). Penelitian yang dilaksanakan Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya, dimana kedua kota ini sebelumnya berstatus sebagai kota administratif (kotif), kemudian setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999, kedua kota tersebut dimekarkan dari kabupaten induknya masing-masing pada tahun 2001 melalui proses transformasi yaitu Kota Baubau dimekarkan dari Kabupaten Buton dan Kota Tasikmalaya dari Kabupaten Tasikmalaya. Hasil penelitian menunjukkan kebijakan pemekaran wilayah di Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya pada tahun 2001 telah mendorong perkembangan perekonomian wilayah kedua kota begitu pesat dibandingkan ketika masih berstatus sebagai kota administratif (kotif). Karena perkembangan perekonomian yang begitu pesat kedua kota tersebut ditetapkan sebagai pusat kegiatan nasional dan wilayah. Kota Baubau ditetapkan sebagai Pusat Kegiatan Nasional (PKN) tertuang dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN) maupun dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Propinsi Sulawesi Tenggara pada kawasan Sultra Kepulauan. Sebagai pusat kegiatan Wilayah (PKW) Priangan Timur ditetapkan Kota Tasikmalaya yang tertuang dalam Rencana Tata Ruang
166
Nasional (RTRN) maupun dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Propinsi Jawa Barat. Penetapan kedua kota secara khusus dimaksudkan untuk mendorong perkembangan ekonomi wilayah dan perekonomian bagi daerah sekitarnya dan kontribusi pada perekonomian nasional secara keseluruhan. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya, penelitian ini memberikan beberapa implikasi kebijakan terhadap stakeholder yang terlibat dalam proses pembentukan daerah otonom baru, antara lain: 1. Implikasi Kebijakan terhadap Pemerintah Pusat Sehubungan dengan perencanaan pemekaran wilayah/daerah kedepan perlunya ditetapkan kebijakan pengusulan pemekaran melalui satu pintu, dimana selama ini pengusulan pemekaran wilayah/daerah melalui DPR, Kemendagri, dan DPD, menjadi satu pintu yaitu Kemendagri. Dengan pertimbangan eksekutif mempunyai sumberdaya personil yang memadai dan keahlian yang tinggi dibandingkan dengan DPR dan DPD. Selama ini pemekaran wilayah/daerah yang dilakukan melalui DPR lebih banyak didominasi oleh kepentingan politik, disatu sisi kewenangan DPD masih sangat terbatas dalam UUD. Untuk itu sebaiknya DPR dan DPD cukup menjadi lembaga pengawas dan memberikan pertimbangan kepada eksekutif (Kemendagri) sehubungan kebijakan dan implementasi pemekaran daerah. Sehubungan dengan proses penetapan suatu daerah menjadi daerah otonom baru perlu dilakukan seleksi yang ketat terhadap usulan-usulan pembentukan DOB. Penetapan pembentukan daerah otonomi baru harus benar-benar memenuhi kriteria sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 Tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah, dimana suatu daerah dapat dimekarkan apabila memenuhi tiga persyaratan yaitu; syarat teknis, fisik kewilayahan, dan administrasi. Satu syarat saja tidak terpenuhi dari ketiga syarat tersebut semestinya suatu daerah tidak dapat dimekarkan Dalam rangka pemekaran wilayah/daerah kedepan lebih berhasil, perlunya ada persiapan-persiapan yang harus dilalui oleh suatu daerah untuk menjadi daerah otonom baru (DOB). Untuk itu perlu ada proses pertahapan yang harus dilewati suatu kabupaten/kota untuk menjadi kabupaten/kota yang otonom. melalui kota administratif (kotif) sebelum menjadi kota otonom. Untuk kabupaten sebelumnya perlu proses pertahapan melalui kabupaten administratif. Hal ini dilakukan dalam rangka untuk mempersiapkan suatu daerah untuk menjadi DOB melalui kesiapan infrastruktur pemerintahan, terutama mempersiapkan masyarakat dalam proses pemekaran dimaksud, karena selama ini yang terjadi kabupaten-kabupaten yang baru mekar ketika pemilihan dan penentuan ibukota sering menimbulkan gejolak sosial di masyakat. Disisi lain kabupaten-kabupaten yang baru mekar selalu terkendala dengan masalah infrastruktur pemerintahan karena keterbatasan anggaran. 2. Implikasi Kebijakan terhadap Pemerintah Daerah Sehubungan dengan pemekaran wilayah/daerah, pemerintah daerah dalam hal ini daerah induk perlu melihat potensi SDA dan sumber daya manusia yang dimiliki suatu daerah yang diusulkan. Selama ini pemahaman seperti itu tidak
167
ada, usulan pemekaran lebih banyak didorong oleh tendensi politik, jabatan dan untuk mendapatkan dana dari pusat sehingga tujuan pemekaran untuk memajukan daerah dan meningkatkan taraf hidup masyarakat menjadi bias. Kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah dengan implikasi pemekaran wilayah Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya tahun 2001, telah mendorong perkembangan prekonomian wilayah Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya lebih maju dan berkembang dibandingkan daerah hinterland, artinya penerapan otonomi daerah (pemekaran wilayah) memberikan manfaat terhadap daerah itu sendiri, terutama dalam pengelolaan anggaran dan pelaksanaan program pembangunan lebih fokus dan mandiri. Untuk itu agar Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya kedepan lebih berkembang perlu menetapkan kebijakan pembangunan yang diprioritaskan pada pengembangan sektor basis/unggulan sebagai pendorong pembangunan dengan tetap memperhatikan sektor lainnya secara proporsional sesuai potensi dan peluang pengembangannya. Dalam upaya untuk mendorong perkembangan perekonomian wilayah, selain meningkatkan sektor basis sebagai penggerak perekonomian wilayah, Pemerintah Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya perlu mengembangkan kebijakan baru yang lebih mendorong, memfasilitasi dan memberikan ruang bagi tumbuhnya investasi melalui insentif pajak dan kemudahan berinvestasi, karena sektor ini sangat memberikan dampak bagi pengembangan dan perekonomian wilayah, dengan tetap mendorong dan mengembangkan industri-industri dan sektor pengolahan lainnya yang telah ada. Sehingga akan memiliki dan meningkatkan keterkaitan wilayah Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya dengan wilayah sekitarnya (hinterland). Untuk itu perlu ada dan seharusnya dapat diupayakan oleh pemerintah daerah dalam membuat konsep perjanjian kerjasama yang lebih menguntungkan dengan wilayah sekitarnya (hinterland). Interaksi ekonomi dan daya tarik wilayah terhadap daerah sekitarnya (hinterland) dapat dijadikan sebagai momentum untuk meningkatkan ketersediaan fasilitas-fasilitas yang menjadi daya tarik bagi daerah sekitarnya, karena posisi Kota Baubau yang cukup strategis pada wilayah/kawasan Sultra Kepulauan dan Kota Tasikmalaya yang cukup strategis pada wilayah/kawasan Priangan Timur. Disisi lain arus pergerakan penduduk pada pusat kota dapat menjadi sumber-sumber pendapatan lain bagi Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya karena akan mendorong tumbuh dan berkembangnya sektor hotel dan restoran, industri kecil, pengangkutan dan komunikasi serta meningkatkan perdagangan baik antar daerah maupun luar daerah. Sebagai pusat pertumbuhan ekonomi wilayah Sultra Kepulauan dan Priangan Timur, Pemerintahan Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya perlu meningkatkan kualitas jasa pelayanan seperti jasa pelayanan perdagangan, pendidikan, serta hiburan dan rekreasi, yang biasanya kurang dimiliki daerah sekitarnya (hinterland) sehingga dengan demikian dapat meningkatkan interaksi ekonomi dan daya tarik wilayah bagi daerah hinterland serta menjadi sumber– sumber pendapatan ekonomi dari luar Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya. 3. Implikasi Kebijakan terhadap Masyarakat Untuk wilayah/daerah perlu ada persiapan-persiapan sosial masyarakat dalam proses pemekaran wilayah khususnya sosialisasi proses pengusulan daerah, dan persyaratan administrasi yang harus dipenuhi oleh suatu daerah. Hal ini
168
dimaksudkan untuk meminimalisir terjadinya konflik dilapangan, karena selama ini terkadang masyarakat tidak mendapatkan informasi mengenai tahapan dan proses suatu daerah diusulkan untuk menjadi DOB, akibatnya sering dipergunakan oleh sekelompok orang yang mengatasnamakan masyarakat dengan memprovokasi sehingga menimbulkan konflik vertikal maupun konflik horizontal. Untuk itu peran pemerintah daerah dan tokoh masyarakat sangat diperlukan dalam proses untuk memfasilitasi dan meminimalisir terjadi konflik tersebut. Saran Penelitian Lanjutan 1. Dengan menggunakan pendekatan pusat pertumbuhan (growth center) dan kutub pertumbuhan (growth pole), penelitian ini mengidentifikasi bahwa dua kota hasil pemekaran yaitu Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya potensial menjadi pusat pertumbuhan dan pusat pelayanan bagi daerah sekitarnya (hinterland). Namun kelemahan dari penelitian ini belum mampu memberikan informasi seberapa besar disparitas (disparity) antar wilayah, dan seberapa besar spread dan backwash effect Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya sebagai pusat dan kutub pertumbuhan terhadap daerah sekitarnya. Sehingga perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk mengetahui seberapa besar disparitas (disparity) antar wilayah spread dan backwash effect Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya Baubau dan Kota Tasikmalaya terhadap daerah sekitarnya (hinterland). 2. Penelitian ini menggunakan analisis gravitasi untuk mengetahui interaksi dan daya tarik wilayah Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya terhadap daerah sekitarnya (hinterland). Namun kelemahan dari penelitian ini belum mampu memberikan informasi yang menjadi penyebab interaksi dan daya tarik wilayah kedua kota tersebut, apakah daya tarik disebabkan oleh aktivitas produksi atau aktivitas pasar di wilayah tersebut. Sehingga perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk mengetahui apa yang menjadi penyebab interaksi dan daya tarik wilayah Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya terhadap daerah sekitarnya.
169
DAFTAR PUSTAKA Adisasmita R. 2008. Pengembangan Wilayah: Konsep dan Teori. Yogyakarta: Graha Ilmu. Adisasmita R. 1984. Konsepsi Dasar Pengembangan Wilayah Purnomosidi: Kasus Sulawesi Selatan. Disertasi Universitas Hasanuddin. Tidak dipublikasikan. Agustino L, Yussof, MA. 2008. Proliferasi dan Etno Nasionalisme daripada Pemberdayaan dalam Pemekaran Daerah di Indonesia. Bisnis dan Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi. Volume 15 Nomor 3, Sept – Des. 2008 hlm. 196 – 201. Arafat M. 2011. Kajian Dampak Pemekaran Wilayah Terhadap Pembangunan Daerah (Studi Kasus di Kabupaten Mamasa Propinsi Sulawesi Barat). Tesis Pascasarjana IPB. Bogor. Tidak Dipublikasikan. Ardila R. 2012. Analisis Pengembangan Pusat Pertumbuhan Ekonomi di Kabupaten Banjarnegara.Fakultas Ekonomi UNS.Economic Development Analysis Journal (EDAJ) 1 (2) (2012). Arsyad L. 1999. Ekonomi Pembangunan. Yogyakarta: STIE YKPN. Supriyadi B. 2012. Pengembangan Wilayah di Daerah Otonom Baru (Studi Kasus 3 Kabupaten Pemekaran di Indonesia). Disertasi Pascasarjana IPB. Bogor. Tidak Dipublikasikan. Barrett BFD. 2000. Decentralization in Japan: Negotiating the Transfer of Authority. United Nations University/Institute of Advanced Studies. Japanese Studies, Volume 20, No. 1, 2000. www.googel.com Blakely EJ. 1994. Planning Local Economic Development: Theory and Practice. Sage Publications. Booth A. 2011. Splitting, Splitting and Splitting Again: A Brief History of The Development of Regional Government in Indonesia Since Independence. Bijdragen tot de Taal – Land – en Volkenkunde, Vol. 167, No. 1(2011), pp. 31-59. [BPMPPT] Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Perijinan Terpadu. 2014. Profil Perijinan dan Promosi Investasi Kota Tasikmalaya. Pemerintah Kota Tasikmalaya. 2014. [BPNB] Balai Pelestarian Nilai Budaya. 2014. Sejarah Kota Tasikmalaya: Pertumbuhan dan Perkembangan Kota di Priangan Timur. Bandung. 2014. [BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Bombana. 2013-2014. Bombana Dalam Angka 2014 dan PDRB 2003-2013. Kerjasama BPS dengan Bappeda Kab. Bombana. [BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Buton. 2013-2014. Buton Dalam Angka 2014 dan PDRB 2003-2013. Kerjasama BPS dengan Bappeda Kabupaten Buton. [BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Buton Utara. 2013-2014. Buton Utara Dalam Angka 2014 dan PDRB 2003-2013. Kerjasama BPS dengan Bappeda Kab. Buton Utara.
170
[BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Ciamis. 2003-2014. Ciamis Dalam Angka 2014 dan PDRB 2003-2013. Kerjasama BPS dengan Bappeda Kabupaten Ciamis. [BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Garut. 2003-2014. Garut Dalam Angka 2014 dan PDRB 2003-2013. Kerjasama BPS dengan Bappeda Kabupaten Garut. [BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Muna. 2003-2014. Muna Dalam Angka 2014 dan PDRB 2003-2013. Kerjasama BPS dengan Bappeda Kabupaten Muna. [BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Pangandaran. 2011-2014. Pangandaran Dalam Angka 2014 dan PDRB 2011-2013. Kerjasama BPS dengan Bappeda Kabupaten Pangandaran. [BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Tasikmalaya. 2003-2014. Tasikmalaya Dalam Angka 2014 dan PDRB 2003-2013. Kerjasama BPS dengan Bappeda Kabupaten Tasikmalaya. [BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Wakatobi. 2003-2014. Wakatobi Dalam Angka 2014 dan PDRB 2003-2013. Kerjasama BPS dengan Bappeda Kab. Wakatobi. [BPS] Badan Pusat Statistik Kota Banjar. 2003-2014. Kota Banjar Dalam Angka 2014 dan PDRB 2003-2013. Kerjasama BPS dengan Bappeda Kota Banjar. [BPS] Badan Pusat Statistik Kota Baubau. 2003-2014. Kota Baubau Dalam Angka 2014 dan PDRB 2003-2013. Kerjasama BPS dengan Bappeda Kota Baubau. [BPS] Badan Pusat Statistik Kota Tasikmalaya. 2003-2014. Kota Tasikmalaya Dalam Angka 2014 dan PDRB 2003-2013. Kerjasama BPS dengan Bappeda Kota Tasikmalaya. [BPS] Badan Pusat Statistik Propinsi Jawa Barat. 2003-2014. Jawa Barat Dalam Angka 2014 dan PDRB Propinsi Jawa Barat 2003-2013. Kerjasama BPS dengan Bappeda Kabupaten Propinsi Jawa Barat. [BPS] Badan Pusat Statistik Propinsi Sulawesi Tenggara. 2013-2014. Sulawesi Tenggara Dalam Angka 2014 dan PDRB 2009-2013. Kerjasama BPS dengan Bappeda Propinsi Sulawesi Tenggara. Braathen E. 2008. Decentralization and Poverty Reduction: A review of the Linkages in Tanzania and the International Literature. Norad Report 22b/2008 Discussion. Norwegian Institute for Urban and Regional Research (NIBR). Budiharsono S. 2001. Teknik Analisis Pembangunan Wilayah Pesisir dan Lautan. Jakarta : PT. Pradnya Paramita. Butt S. 2010. Regional Autonomy and Legal Disorder: The Proliferation of Local Laws in Indonesia. Singapore Journal of Legal Studies, 2010. 1-21. www. google.com. Capello R. 2007. Regional Economics. First Publised 2007 by Routledge. Cheema GS, Rondinelli DA. 2007. Decentralizing Governance: Emerging Concepts and Practices. Dalam From Government Decentralization to Decentralized Governance Washington : Brooking Institution Press. Chinsinga B. 2008. Decentralization and Poverty Reduction in Malawi – A Critical Appraisal. Dalam: Gordon Crawford and Christof Hartmann
171
(eds.) 2008. Decentralization in Africa: A Pathway out of Poverty and Conflict? Amsterdam University Press. www.googel.com Crook RC. 2003. Decentralization and Poverty Reduction in Africa: The Politics of Local–Central Relations. Journal Public Administration and Development, Volume 23, Issue 1, pages 77–88, February 2003. www.googel.com Daryanto A, Hafizrianda Y. 2010. Model-Model Kuantitatif untuk Perencanaan Pembangunan Ekonomi Daerah : Konsep dan Aplikasi. IPB Press. Dawkins CJ. 2003. Regional Development Theory: Conceptual Foundations, Classic Works, and Recent Developments. Journal of Planning Literature, Vol.18, No. 2, Nov. 2003. CPL Bibliography 370.Copyright © 2003 by Sage Publications. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata. 2014. Baubau Dalam Konteks Pengembangan Kota. Pemerintah Kota Baubau (tidak dipublikasikan). Fitrani F, Hofman B, Kaiser K. 2005. Unity in diversity? The Creation of New Local Goverments in A Decentralizing Indonesia. Routledge. Bullettin of Indonesian Economics Studies, Vol. 41, No. 1, 2005: 57 – 79. Ghimire N. Tanpa tahun. Decentralization in Nepal: Review of Fiscal Decentralization Policy. Prashasan. The Nepalese Journal of Public Administration. www.googel.com Gren J. 2003. Reaching the Peripheral Regional Growth Centres: Centreperiphery convergence through the Structural Funds’ transport infrastructure actions and the evolution of the centre-periphery paradigm. European Journal of Spatial Development, Nomor 3, Articles Jan 2003. www.googel.com Hansen NM. 1975. An Evaluation of Growth-Center Theory and Practice. Journal Environment and Planning. Volume A 7(7) 821 – 832. www.googel.com Harahap E. 2009. Kecamatan Perbaungan sebagai Pusat Pertumbuhan di Kabupaten Serdang Bedagai. Thesis Sekolah Pascasarjana USU. Tidak dipublikasikan. Harmantyo D. 2007. Pemekaran Daerah dan Konflik Keruangan Kebijakan Otonomi Daerah dan Implementasinya di Indonesia. Makara, Sains, Vol. 11, No. 1, April 2007: 16-22. Higgins B, Salvoie DJ. 2005. Regional Development Theories and Their Application. Transaction Publicers. New Brunswick, New Jersey. Ida L. 2005. Permasalahan Pemekaran Daerah di Indonesia. Jakarta: Media Indonesia. Isard W. 1960. Methods of Regional Analysis: an Introduction to Regional Science. Cambridge, Massachusetts, and London, England. The MIT Press. Isra S. 2009. Makalah Seminar “Quo Vadis Pemekaran Daerah”, oleh Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas, bekerja sama dengan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI. Jayadinata JT. 1999. Tata Guna Tanah dalam Perencanaan Perdesaan, Perkotaan dan Wilayah. Bandung: ITB. Jewang RE. 2009. Pemekaran Daerah di Indonesia; Sewindu Otonomi Daerah: Persfektif Ekonomi. Jakarta: KPPOD. Juanda B. 2009. Metodologi Penelitian Ekonomi dan Bisnis. IPB Press.
172
Juanda B. 2007. Manfaat dan Biaya Pemekaran Daerah serta Implikasinya terhadap APBN. Jurnal Ekonomi Vol. XXV, Oktober 2007. Jusuf H. 2012. Otonomi Daerah di Persimpangan Jalan. Cetakan ke – 2. Jakarta: Pustaka Spirit. Kauzya JM. 2007. Political Decentralization In Africa: Experiences Of Uganda, Rwanda, And South Africa. Discussion Paper. Department of Economic and Social Affairs. United Nations. New York, December 2007 Kemendagri. 2013. Daerah Otonom Baru Di Indonesia per Propinsi tahun 1999 – 2013. www. kemendagri.go.id. Kemendagri. 2011. Laporan Hasil Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran (EDOHP). Dirjen Otoda Kemendagri – DSF. Khan SA. 2013. Decentralization and Poverty Reduction: A Theoretical Framework for Exploring the Linkages. International Review of Public Administration 2013, Vol. 18, No. 2. www.googel.com Kimura E. 2010. Proliferation Provinces: Territorial Politics in Post – Suharto Indonesia. Journal South East Asia Research, 18,3, pp 415 – 449. Decentralization and Good Governance in Africa: Kiwanuka M. 2012. Institutional Challenges to Uganda's Local Governments. The Journal of African & Asian Local Government Studies. www.googel.com Kohl B. 2003. Democratizing Decentralization in Bolivia the Law of Popular Participation. Journal of Planning Education and Research 23:153-164. Kuncoro M, Rahajeng A. 2005. Daya Tarik Investasi dan Pungli di DIY. Jurnal Ekonomi Pembangunan, Vol. 10 No. 2, Agustus 2005 Hal: 171 – 184. Kuncoro M. 2013. Mudah Memahami dan Menganalisis Indikator Ekonomi. Yogyakarta : UPP STIM YKPN. Kuncoro M. 2012. Perencanaan Daerah: Bagaimana Membangun Ekonomi Lokal, Kota, dan Kawasan. Jakarta: Salemba Empat. Kuncoro M. 2009. Ekonomika Indonesia: Dinamika Lingkungan Bisnis di Tengah Krisis Global. Yogyakarta: UPP STIM YKPN. Kuncoro M. 2004. Otonomi dan Pembangunan Daerah: Reformasi, Perencanaan, Strategi dan Peluang. Jakarta: Erlangga. Kuncoro M. 2002. Analisis Spasial dan Regional: Studi Aglomerasi dan Kluster Industri Indonesia. Yogyakarta: UPP AMP YKPN. Lumbesi K. 2005. Analisis Dampak Pemekaran Wilayah Terhadap Perkembangan Perekonomian Wilayah dan Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat di Kabupaten Buru. Tesis Pascasarjana IPB. Bogor. Tidak dipublikasikan. Malia R. 2009. Analisis Dampak Pemekaran Wilayah Terhadap Pembangunan Ekonomi Daerah (Studi Kasus di Kota Cimahi Propinsi Jawa Barat). Tesis Pascasarjana IPB. Bogor. Tidak dipublikasikan. Mitullah WV. 2012. Decentralized Service Delivery in Nairobi and Mombasa Policies : Politics and Inter-governmental Relations. JEL Classification: D72, H70, N47, O18. Working Paper No. 92/2012. UNU-WIDER. www.googel.com Miyoshi T. 1997. Successes and Failures Associated with the Growth Pole Strategies. (disertasi). www.googel.com
173
Mondal BK, Das K. 2010. Role of Growth Center: A Rural Development Perspective. Journal of Bangladesh Institute of Planners Volume 3, December 2010, pp. 129-141, Bangladesh Institute of Planners. Monsted M. 1974. François Perroux’s Theory of “Growth Pole” and “Development Pole”: A Critique. Antipode, Volume 6, Issue 2: 106-113, July 1974. www.google.com. Mubyarto. 2000. Pengembangan Wilayah, Pembangunan Perdesaan dan Otonomi Daerah. Dalam Pengembangan Wilayah Perdesaan dan Kawasan Tertentu: sebuah Kajian Eksploratif. Penyunting Suhandoyo, dkk. Direktorat Kebijaksanaan Teknologi untuk Pengembangan Wilayah. BPPT. Mushuku A, Takuva R. 2013. Growth Points or Ghost Towns? Post Independence Experiences of the Industrialization Process at Nemamwa Growth Points in Zimbabwe. International Journal of Politics and Good Governance, Volume 4, No. 4.4 quarter iv 2013. ISSN: 0976 – 1195. www.googel.com Muta’ali L. 2011. Kapita Selekta Pengembangan Wilayah. Yogyakarta: Fakultas Geogragi UGM. Muta’ali L. 1999. Penerapan Konsep Pusat Pertumbuhan dalam Kebijaksanaan Pengembangan Wilayah. Yogyakarta: Fakultas Geogragi UGM. Nazara S. 1994. Pertumbuhan Ekonomi Indonesia: Suatu Aplikasi Fungsi Produksi Agregat Indonesia 1985 – 1991. Jakarta. Prisma No. 8 Tahun 1994. PL3ES. Nugroho KS. 2011. Pemekaran Daerah, Dapatkah menjadi Model Pemerataan Pembangunan (Kasus Pemekaran di Propinsi Banten). Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah. LAB – ANE Fisip Untirta. Nurlaela. 2010. Dampak Pemekaran Wilayah Terhadap Pembangunan Manusia (Human Capital) di Propinsi Sulawesi Barat. Tesis Pascasarjana IPB. Bogor. Tidak dipublikasikan. Nurzaman SS. 2012. Perencanaan Wilayah dalam Konteks Indonesia. Bandung: Institut Teknologi Bandung (ITB). Pamungkas C. 2007. Pemekaran Wilayah, Otonomi Daerah dan Desentralisasi Politik di Indonesia. Jakarta USAID – DRSP – Percik – LIPI. Parr JB. 1999. Growth Pole Strategies in Regional Economic Planning: A Retrospective View. Part 1: Origins and Advocacy. Urban Studies. Volume 36, No. 7, 1195 - 1215, 1999. www. google.com. Partnership for Government Reform in Indonesia. 2011. Desain Besar Penataan Daerah Indonesia Tahun 2010 – 2025. Jakarta: Parnership Policy Paper No. 11.2011. Pede OV. 2013. Diversity And Regional Economic Growth: Evidence From US Counties. Journal of Economic Development, Volume 38, Number 3, September 2013. International Rice Research Institute (IRRI), Philippines. Pekkala S. 2003. What Draws People to Urban Growth Centers: Jobs vs. Pay? Helsinki, Finland, Valtion Taloudellinen Tutkimuskeskus (VATT), Government Institute for Economic Research, 2003. www.googel.com Percik. 2007. Desentralisasi: Proses dan Implikasi Sosial Politik Pemekaran: Studi Kasus di Sambas dan Buton. Percik-USAID-DRSP-DSF.
174
Philip AT, Isah S. 2012. An Analysis of the Effect of Fiscal Decentralisation on Eonomic Growth in Nigeria. International Journal of Humanities and Social Science Vol. 2 No. 8, special issue – April 2012. Prasetyantoko A, Budiantoro S, Bahagijo S. (Editor). 2012. Pembangunan Inklusif: Prospek dan Tantangan Indonesia. Jakarta: LP3ES. Prayudi. 2011. Politik Komunal Dalam Proses Pemekaran Daerah: Pembentukan Provinsi Sulawesi Barat dan Maluku Utara Peneliti Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RI. Diunduh dari www.google.com. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 78 tahun 2007 Tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah. Pribadi OD, Panuju DR, Rustiadi E, Emma AP. Tanpa tahun. Permodelan Perencanaan Pengembangan Wilayah: Konsep, Metode, Aplikasi dan Teknik Komputasi. Rasyid MR. 2000. Makna Pemerintahan. Jakarta: PT. Mutiara Sumber Widya Ratnawati T. 2010. Satu Dasa Warsa Pemekaran Daerah Era Reformasi: Kegagalan Otonomi Daerah. Jurnal Ilmu Politik Nomor 21, 2010. AIPI dan Pustaka Pelajar. Ratnawati T. 2009a. Pemekaran Daerah: Politik Lokal dan Beberapa Isu Terseleksi. Jakarta: Pustaka Pelajar. Ratnawati T. (editor). 2009b. Studi tentang Pemekaran Daerah: Pemetaan Problematika Politik, Ekonomi Sosial Budaya di Daerah-Daerah Pemekaran. Jakarta LIPI Press. Rengasamy S. 2008. Regional Planning Part III–Regional Growth Theories Sector/Stage Theories- Export Base Model-Central Place Theory /Growth Pole Hypothesis/Cumulative Causation Theory. Madurai Institute of Social Sciences Regional Planning & Development. United Nation Centre for Regional Planning (UNCRD). www.googel.com Richardson HW. 1999. Growth Centers, Rural Development and National Urban Policy: A Defense. International Regional Science Review, Vol. 3, No. 2, 133-152. www.googel.com Richardson HW. Elements of Regional Economics. Penerjemah Paul Sitohang. 1977. Dasar-Dasar Ekonomi Regional. Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Richardson HW. 1976. Growth Pole Spillovers: The Dynamics of Backwash and Spread. Regional Studies, Volume 10, pages 1-9. www.googel.com Riyadi dan Bratakusumah DS. 2004. Perencanaan Pembangunan Daerah: Strategi Menggali Potensi dalam Mewujudkan Otonomi Daerah. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Rustiadi E, Saefulhakim S, Panuju DR. 2009. Perencanaan dan Pengembangan Wilayah. Jakarta: Crespent Press dan YOI. IPB. Saaty TL. 1986. Decision Making for Leaders The Analitical Hierarchy Process for Decisions in Complex World. Terjemahan Setiono L. (1993). Pengambilan Keputusan bagi Para Pemimpin. Jakarta: LPPM dan PT. Pustaka Binaman Pressindo. Safi’i HM. 2008. Paradigma Baru Kebijakan Pembangunan Ekonomi. Malang: Averroes Press.
175
Sagala S. 2009. Hasil Analisis Pusat Pertumbuhan Kota-Kota Kecamatan di Kabupaten Ogan-Ilir. www. google. com. Sang-arun N. 2012. Development of Regional Growth Centers And Impact On Regional Growth: A Case Study of Thailand’s Northeastern Region (UDC: 332.812:711(593), Urbani izziv, volume 24, no. 1, 2013). www. google.com. Saragih JP. 2003. Desentralisasi Fiskal dan Keuangan Daerah dalam Otonomi. Jakarta: Ghalia Indonesia. Sayori N. 2009. Analisis Dampak Pemekaran Wilayah Terhadap Perekonomian Wilayah Kepulauan dan Pengembangan Pariwisata Bahari (Studi Kasus di Kabupaten Raja Ampat Propinsi Papua Barat). Tesis Pascasarjana IPB. Bogor. Tidak dipublikasikan. Serra MA. 2003. Development Pole Theory and the Brazilian Amazon. JEL Classification 020,R58, Est.Econ.,Sao Paulo, Vol. 33, N.1, P., JaneiroMarco 2003. www.googel.com Setiadi H. 2009. Konsep Pusat-Pinggiran: Sebuah Tinjauan Teoritis. Working Paper on Regional Development Studies No: KKI-01/KBP-PW/2009. Departemen Geografi Fakultas MIPA Universitas Indonesia. www.googel.com Setiono DNS. 2011. Ekonomi Pengembangan Wilayah: Teori dan Aplikasi. Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Silaen V. 2011. Otonomi Daerah dan Perda-Perda Biasa Agama. Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah. LAB – ANE Fisip Untirta. Simangunsong T. 2011. Solusi Bersama Pemekaran Daerah. Diunduh dari www. google.com. Tanggal 3 Maret 2014. Sjafrizal. 2012. Ekonomi Wilayah dan Perkotaan. Cetakan ke-1. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Sjafrizal. 2008. Ekonomi Regional: Teori dan Aplikasi. Padang: Baduose Media. Sjafrizal.1997. Pertumbuhan Ekonomi dan Ketimpangan Regional Wilayah Indonesia Bagian Barat. Jakarta: Prisma No. 3 Tahun 1997. PL3ES. Smith BC.1985. Decentralization, the Territorial Dimension of the State. Jakarta: Diterbitkan oleh MIPI 2012. Suryanto J. (editor). 2009. Implikasi Pemekaran Daerah terhadap Kesejahteraan Masyarakat. Pusat Penelitian Ekonomi. LIPI Press. Di unduh dari www. google.com. Sutikno, Maryunani. 2007. Analisis Daya Saing Kecamatan Sebagai Pusat Pertumbuhan Satuan Wilayah Pengembangan (SWK) Kabupaten Malang. Journal of Indonesia Applied Economics, Vol.1 No. 1 Oktober 2007, 1-17. Suwandi M. 2011. “Dinamika Pemekaran Daerah di Era Reformasi (Dalam Koridor Undang-Undang No. 32 Tahun 2004)” makalah disampaikan dalam diskusi internal Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RI, Jakarta, 25 April 2011. Tarigan R. 2006. Perencanaan Pembangunan Wilayah. Edisi Revisi Jakarta: PT. Bumi Aksara. Tarigan R. 2005. Ekonomi Regional: Teori dan Aplikasi. Jakarta: PT. Bumi Aksara.
176
Tryatmoko MW. 2010. Pemekaran Daerah dan Persoalan Governability Lokal di Indonesia. Jurnal Penelitian Politik Vol. 7, No. 1, 2010, LIPI h. 42-43. Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Jakarta 2009. Undang-Undang Nomor 32 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Jakarta 2009. Widiyanto P. 1991. Otonomi. Prisma No. 8 tahun XX, Agustus 1991. Jakarta: PT. Pustaka LP3ES Indonesia. Yulistiani A, et al. 2007. Analisis Terhadap Evaluasi Daerah Otonomi Baru Tahun Anggaran 2007. Laporan Akhir, Desember 2007. Jakarta: Dirjen Otonomi Daerah Depdagri – Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan di Indonesia. Zakaria S. 2013. The Impact of Fiscal Decentralization toward Regional Inequalities in Eastern Region of Indonesia.Journal of Economics and Sustainable Development Vol.4, No.10, 2013.
177
LAMPIRAN
178
Lampiran 1 Kuesioner Penelitian KUISIONER PENELITIAN
PEMEKARAN WILAYAH DAN PENGEMBANGAN PUSATPUSAT PERTUMBUHAN EKONOMI (Studi Di Kota Baubau Propinsi Sulawesi Tenggara dan Kota Tasikmalaya Propinsi Jawa Barat ) Nomor Responden
:
Tanggal Wawancara
:
Identitas Responden 1. Nama No. Tlp/Hp.
: :
2. Umur (tahun)
:
3. Pekerjaan
:
4. Pendidikan
:
5. Jabatan
:
6. Instansi/Dinas
:
7. Asal Kecamatan/ Kelurahan/Desa
:
Peneliti : EBED HAMRI (NIM : HI62100191) No. Hp : 081341705405
PROGRAM STUDI ILMU PERENCANAAN PEMBANGUNAN WILAYAH DAN PEDESAAN (PWD) SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2014
179
A. PENGANTAR
Penelitian ini dilaksanakan pada 2 (dua) kota hasil pemekaran tahun 2001 yaitu Kota Baubau Propinsi Sulawesi Tenggara mewakili Kawasan Timur Indonesia merupakan kota pesisir/pantai dan Kota Tasikmalaya Propinsi Jawa Barat mewakili Kawasan Barat Indonesia merupakan kota di wilayah daratan. Perkembangan kedua kota pemekaran ini diharapkan dapat menjadi pusat-pusat pertumbuhan bagi daerah sekitarnya atau hinterlandnya. Kuesioner ini dimaksudkan untuk mengetahui kondisi perekonomian dan perkembangan Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya sebelum dan sesudah pemekaran wilayah dari masing-masing kabupaten induknya (Kabupaten Buton dan Tasikmalaya) setelah berlakunya UU. No. 22 Tahun 1999, serta untuk mengetahui persepsi stakeholder akan manfaat pemekaran wilayah dan mencoba mengevaluasi PP. No. 78 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan dan Penggabungan Daerah. Penelitian ini diharapkan sebagai bahan pertimbangan decision maker dalam membuat dan merumuskan kebijakan pemekaran wilayah kedepan, khususnya bagi Pemerintah Kota Baubau dan Pemerintah Kota Tasikmalaya dalam upaya meningkatkan dan mempercepat perkembangan perekonomian dan pembangunan wilayah. B. KUESIONER 1. Kuesioner Analitical Hierarchy Process (AHP)
Petunjuk Pengisian:
1. Untuk menghindari inkonsistensi, dimohon agar bapak/ibu mengisi kuesioner ini pada satu waktu.
2. Pengisian
kuesioner dilakukan secara tertulis dengan menjawab semua pertanyaan tertulis.
3.
4.
Jawaban dapat merupakan pendapat pribadi ataupun hasil diskusi dengan orang lain. Pengisian kuesioner ini, bapak/ibu diminta untuk membandingkan antara dua elemen yaitu elemen A (kolom kiri) dengan elemen B (kolom kanan). Nilai perbandingan antara dua elemen tersebut ditandai dengan tanda atau (melingkari). X (silang) atau √ (checklist) Nilai perbandingan yang diberikan mempunyai skala 1 sampai 9. Berikut ini definisi dari skala banding yang digunakan:
180
Nilai Komparasi (A dibandingkan B)
Definisi
1
A dan B sama penting
3
A sedikit lebih penting dari B
5
A lebih penting dari B
7
A sangat jelas lebih penting dari B
9
A mutlak lebih penting dari B
2,4,6,8
Nilai-nilai diantara dua pertimbangan
Contoh : Anda diminta untuk membandingkan tingkat kepentingan antara “PRODUK” dan “HARGA” 1. Jika Anda menganggap “PRODUK” sedikit lebih penting dari “HARGA”, maka : A Produ k
Nilai Perbandingan 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
B Harg a
2. Jika Anda menganggap “HARGA” sangat jelas lebih penting dari “PRODUK”, maka : A Produ k
Nilai Perbandingan 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
B Harg a
A. PERBANDINGAN ANTAR ELEMEN FAKTOR Bandingkan berdasarkan tingkat kepentingan/pengaruh relatif antara satu faktor dengan faktor lainnya dalam menentukan bobot prioritas pemilihan dalam evaluasi penerapan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan dan Penggabungan Daerah serta manfaat dari kebijakan pemekaran wilayah di Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya, dengan faktor-faktor sebagai berikut : KP KE PD KK SB SP LD PH
: : : : : : : :
Kependudukan Kemampuan Ekonomi Potensi Daerah Kemampuan Keuangan Sosial Budaya Sosial Politik Luas Daerah Pertahanan
181
KM TK RK
: : :
Keamanan Tingkat Kesejahteraan Masyarakat Rentang Kendali
Dengan Nilai perbandingan : Nilai 1 = sama penting; nilai 3 = sedikit lebih penting; nilai 5 = jelas lebih penting; nilai 7 = sangat jelas lebih penting; nilai 9 = mutlak lebih penting; nilai = 2,4,6,8 adalah nilainilai diantara dua pertimbangan. No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
KP KP KP KP KP KP KP KP KP KP
9 9 9 9 9 9 9 9 9 9
8 8 8 8 8 8 8 8 8 8
7 7 7 7 7 7 7 7 7 7
6 6 6 6 6 6 6 6 6 6
5 5 5 5 5 5 5 5 5 5
4 4 4 4 4 4 4 4 4 4
Nilai Perbandingan 3 2 1 2 3 4 3 2 1 2 3 4 3 2 1 2 3 4 3 2 1 2 3 4 3 2 1 2 3 4 3 2 1 2 3 4 3 2 1 2 3 4 3 2 1 2 3 4 3 2 1 2 3 4 3 2 1 2 3 4
11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19.
KE KE KE KE KE KE KE KE KE
9 9 9 9 9 9 9 9 9
8 8 8 8 8 8 8 8 8
7 7 7 7 7 7 7 7 7
6 6 6 6 6 6 6 6 6
5 5 5 5 5 5 5 5 5
4 4 4 4 4 4 4 4 4
3 3 3 3 3 3 3 3 3
2 2 2 2 2 2 2 2 2
1 1 1 1 1 1 1 1 1
2 2 2 2 2 2 2 2 2
3 3 3 3 3 3 3 3 3
20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27.
PD PD PD PD PD PD PD PD
9 9 9 9 9 9 9 9
8 8 8 8 8 8 8 8
7 7 7 7 7 7 7 7
6 6 6 6 6 6 6 6
5 5 5 5 5 5 5 5
4 4 4 4 4 4 4 4
3 3 3 3 3 3 3 3
2 2 2 2 2 2 2 2
1 1 1 1 1 1 1 1
2 2 2 2 2 2 2 2
28. 29. 30. 31. 32. 33. 34.
KK KK KK KK KK KK KK
9 9 9 9 9 9 9
8 8 8 8 8 8 8
7 7 7 7 7 7 7
6 6 6 6 6 6 6
5 5 5 5 5 5 5
4 4 4 4 4 4 4
3 3 3 3 3 3 3
2 2 2 2 2 2 2
1 1 1 1 1 1 1
2 2 2 2 2 2 2
5 5 5 5 5 5 5 5 5 5
6 6 6 6 6 6 6 6 6 6
7 7 7 7 7 7 7 7 7 7
8 8 8 8 8 8 8 8 8 8
9 9 9 9 9 9 9 9 9 9
KE PD KK SB SP LD PH KM TK RK
4 4 4 4 4 4 4 4 4
5 5 5 5 5 5 5 5 5
6 6 6 6 6 6 6 6 6
7 7 7 7 7 7 7 7 7
8 8 8 8 8 8 8 8 8
9 9 9 9 9 9 9 9 9
PD KK SB SP LD PH KM TK RK
3 3 3 3 3 3 3 3
4 4 4 4 4 4 4 4
5 5 5 5 5 5 5 5
6 6 6 6 6 6 6 6
7 7 7 7 7 7 7 7
8 8 8 8 8 8 8 8
9 9 9 9 9 9 9 9
KK SB SP LD PH KM TK RK
3 3 3 3 3 3 3
4 4 4 4 4 4 4
5 5 5 5 5 5 5
6 6 6 6 6 6 6
7 7 7 7 7 7 7
8 8 8 8 8 8 8
9 9 9 9 9 9 9
SB SP LD PH KM TK RK
182
35. 36. 37. 38. 39. 40.
SB SB SB SB SB SB
9 9 9 9 9 9
8 8 8 8 8 8
7 7 7 7 7 7
6 6 6 6 6 6
5 5 5 5 5 5
4 4 4 4 4 4
3 3 3 3 3 3
2 2 2 2 2 2
1 1 1 1 1 1
2 2 2 2 2 2
3 3 3 3 3 3
4 4 4 4 4 4
5 5 5 5 5 5
6 6 6 6 6 6
7 7 7 7 7 7
8 8 8 8 8 8
9 9 9 9 9 9
SP LD PH KM TK RK
41. 42. 43. 44. 45.
SP SP SP SP SP
9 9 9 9 9
8 8 8 8 8
7 7 7 7 7
6 6 6 6 6
5 5 5 5 5
4 4 4 4 4
3 3 3 3 3
2 2 2 2 2
1 1 1 1 1
2 2 2 2 2
3 3 3 3 3
4 4 4 4 4
5 5 5 5 5
6 6 6 6 6
7 7 7 7 7
8 8 8 8 8
9 9 9 9 9
LD PH KM TK RK
46. 47. 48. 49.
LD LD LD LD
9 9 9 9
8 8 8 8
7 7 7 7
6 6 6 6
5 5 5 5
4 4 4 4
3 3 3 3
2 2 2 2
1 1 1 1
2 2 2 2
3 3 3 3
4 4 4 4
5 5 5 5
6 6 6 6
7 7 7 7
8 8 8 8
9 9 9 9
PH KM TK RK
50. PH 51. PH 52. PH
9 9 9
8 8 8
7 7 7
6 6 6
5 5 5
4 4 4
3 3 3
2 2 2
1 1 1
2 2 2
3 3 3
4 4 4
5 5 5
6 6 6
7 7 7
8 8 8
9 9 9
KM TK RK
53. KM 54. KM
9 9
8 8
7 7
6 6
5 5
4 4
3 3
2 2
1 1
2 2
3 3
4 4
5 5
6 6
7 7
8 8
9 9
TK RK
55. TK
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
RK
.
B. PERBANDINGAN AKTOR TERHADAP FAKTOR Bandingkan berdasarkan tingkat kepentingan/pengaruh relatif antara satu aktor dengan aktor lainnya dalam menentukan bobot prioritas pemilihan dalam evaluasi penerapan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan dan Penggabungan Daerah serta manfaat dari kebijakan pemekaran wilayah di Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya, dengan aktor-aktor sebagai berikut : LG EK TM INV PT
: : : : :
Legislatif (DPRD) Eksekutif (Pemerintah) Tokoh Masyarakat Investor/Pengusaha Perguruan Tinggi/Akademisi
a) Bandingkan berdasarkan tingkat kepentingan atau pengaruh relatif antara aktor dengan aktor lainnya terhadap elemen Kependudukan (KP) untuk pemilihan prioritas dalam evaluasi penerapan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan,
183
Penghapusan dan Penggabungan Daerah serta manfaat dari kebijakan pemekaran wilayah di Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya. Dengan nilai perbandingan : Nilai 1 = sama penting; nilai 3 = sedikit lebih penting; nilai 5 = jelas lebih penting; nilai 7 = sangat jelas lebih penting; nilai 9 = mutlak lebih penting; nilai 2,4,6,8 adalah nilai-nilai diantara dua pertimbangan. No 1. 2. 3. 4.
LG LG LG LG
9 9 9 9
8 8 8 8
7 7 7 7
6 6 6 6
5 5 5 5
4 4 4 4
Nilai Perbandingan 3 2 1 2 3 4 3 2 1 2 3 4 3 2 1 2 3 4 3 2 1 2 3 4
5. 6. 7.
EK EK EK
9 9 9
8 8 8
7 7 7
6 6 6
5 5 5
4 4 4
3 3 3
2 2 2
1 1 1
2 2 2
3 3 3
8. 9.
TM TM
9 9
8 8
7 7
6 6
5 5
4 4
3 3
2 2
1 1
2 2
10. INV
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
5 5 5 5
6 6 6 6
7 7 7 7
8 8 8 8
9 9 9 9
EK TM INV PT
4 4 4
5 5 5
6 6 6
7 8 7 8 7 8
9 9 9
TM INV PT
3 3
4 4
5 5
6 6
7 8 7 8
9 9
INV PT
3
4
5
6
7 8
9
PT
b) Bandingkan berdasarkan tingkat kepentingan atau pengaruh relatif antara aktor dengan aktor lainnya terhadap elemen Kemampuan Ekonomi (KE) untuk pemilihan prioritas dalam evaluasi penerapan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan dan Penggabungan Daerah serta manfaat dari kebijakan pemekaran wilayah di Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya. Dengan nilai perbandingan : Nilai 1 = sama penting; nilai 3 = sedikit lebih penting; nilai 5 = jelas lebih penting; nilai 7 = sangat jelas lebih penting; nilai 9 = mutlak lebih penting; nilai 2,4,6,8 adalah nilai-nilai diantara dua pertimbangan. No 1. 2. 3. 4.
5 5 5 5
Nilai Perbandingan 4 3 2 1 2 3 4 4 3 2 1 2 3 4 4 3 2 1 2 3 4 4 3 2 1 2 3 4
LG LG LG LG
9 9 9 9
8 8 8 8
7 7 7 7
6 6 6 6
5 5 5 5
6 6 6 6
7 7 7 7
8 8 8 8
9 9 9 9
EK TM INV PT
5. 6. 7.
EK EK EK
9 9 9
8 8 8
7 7 7
6 6 6
5 5 5
4 4 4
3 3 3
2 2 2
1 1 1
2 2 2
3 3 3
4 4 4
5 5 5
6 6 6
7 8 7 8 7 8
9 9 9
TM INV PT
8. 9.
TM TM
9 9
8 8
7 7
6 6
5 5
4 4
3 3
2 2
1 1
2 2
3 3
4 4
5 5
6 6
7 8 7 8
9 9
INV PT
10. INV
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7 8
9
PT
184
c) Bandingkan berdasarkan tingkat kepentingan atau pengaruh relatif antara aktor dengan aktor lainnya terhadap elemen Potensi Daerah (PD) untuk pemilihan prioritas evaluasi penerapan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 78 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan dan Penggabungan Daerah serta manfaat dari kebijakan pemekaran wilayah di Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya. Dengan nilai perbandingan : Nilai 1 = sama penting; nilai 3 = sedikit lebih penting; nilai 5 = jelas lebih penting; nilai 7 = sangat jelas lebih penting; nilai 9 = mutlak lebih penting; nilai 2,4,6,8 adalah nilai-nilai diantara dua pertimbangan. No 1. 2. 3. 4.
5 5 5 5
Nilai Perbandingan 4 3 2 1 2 3 4 4 3 2 1 2 3 4 4 3 2 1 2 3 4 4 3 2 1 2 3 4
LG LG LG LG
9 9 9 9
8 8 8 8
7 7 7 7
6 6 6 6
5 5 5 5
6 6 6 6
7 7 7 7
8 8 8 8
9 9 9 9
EK TM INV PT
5. 6. 7.
EK EK EK
9 9 9
8 8 8
7 7 7
6 6 6
5 5 5
4 4 4
3 3 3
2 2 2
1 1 1
2 2 2
3 3 3
4 4 4
5 5 5
6 6 6
7 8 7 8 7 8
9 9 9
TM INV PT
8. 9.
TM TM
9 9
8 8
7 7
6 6
5 5
4 4
3 3
2 2
1 1
2 2
3 3
4 4
5 5
6 6
7 8 7 8
9 9
INV PT
10. INV
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7 8
9
PT
d) Bandingkan berdasarkan tingkat kepentingan atau pengaruh relatif antara aktor dengan aktor lainnya terhadap elemen Kemampuan Keuangan (KK) untuk pemilihan prioritas evaluasi penerapan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan dan Penggabungan Daerah serta manfaat dari kebijakan pemekaran wilayah di Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya. Dengan nilai perbandingan : Nilai 1 = sama penting; nilai 3 = sedikit lebih penting; nilai 5 = jelas lebih penting; nilai 7 = sangat jelas lebih penting; nilai 9 = mutlak lebih penting; nilai 2,4,6,8 adalah nilai-nilai diantara dua pertimbangan.
185
No 1. 2. 3. 4.
5 5 5 5
Nilai Perbandingan 4 3 2 1 2 3 4 4 3 2 1 2 3 4 4 3 2 1 2 3 4 4 3 2 1 2 3 4
LG LG LG LG
9 9 9 9
8 8 8 8
7 7 7 7
6 6 6 6
5 5 5 5
6 6 6 6
7 7 7 7
8 8 8 8
9 9 9 9
EK TM INV PT
5. 6. 7.
EK EK EK
9 9 9
8 8 8
7 7 7
6 6 6
5 5 5
4 4 4
3 2 3 2 3 2
1 1 1
2 2 2
3 3 3
4 4 4
5 5 5
6 6 6
7 8 7 8 7 8
9 9 9
TM INV PT
8. 9.
TM TM
9 9
8 8
7 7
6 6
5 5
4 4
3 2 3 2
1 1
2 2
3 3
4 4
5 5
6 6
7 8 7 8
9 9
INV PT
10. INV
9
8
7
6
5
4
3 2
1
2
3
4
5
6
7 8
9
PT
e) Bandingkan berdasarkan tingkat kepentingan atau pengaruh relatif antara aktor dengan aktor lainnya terhadap elemen Sosial Budaya (SB) untuk pemilihan prioritas evaluasi penerapan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan dan Penggabungan Daerah serta manfaat dari kebijakan pemekaran wilayah di Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya. Dengan nilai perbandingan : Nilai 1 = sama penting; nilai 3 = sedikit lebih penting; nilai 5 = jelas lebih penting; nilai 7 = sangat jelas lebih penting; nilai 9 = mutlak lebih penting; nilai 2,4,6,8 adalah nilai-nilai diantara dua pertimbangan. No 1. 2. 3. 4.
LG LG LG LG
9 9 9 9
8 8 8 8
7 7 7 7
6 6 6 6
5 5 5 5
4 4 4 4
Nilai Perbandingan 3 2 1 2 3 4 3 2 1 2 3 4 3 2 1 2 3 4 3 2 1 2 3 4
5. 6. 7.
EK EK EK
9 9 9
8 8 8
7 7 7
6 6 6
5 5 5
4 4 4
3 3 3
2 2 2
1 1 1
2 2 2
3 3 3
8. 9.
TM TM
9 9
8 8
7 7
6 6
5 5
4 4
3 3
2 2
1 1
2 2
10. INV
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
5 5 5 5
6 6 6 6
7 7 7 7
8 8 8 8
9 9 9 9
EK TM INV PT
4 4 4
5 5 5
6 6 6
7 8 7 8 7 8
9 9 9
TM INV PT
3 3
4 4
5 5
6 6
7 8 7 8
9 9
INV PT
3
4
5
6
7 8
9
PT
f) Bandingkan berdasarkan tingkat kepentingan atau pengaruh relatif antara aktor dengan aktor lainnya terhadap elemen Sosial Politik (SP) untuk pemilihan prioritas evaluasi penerapan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan dan Penggabungan Daerah serta manfaat dari kebijakan pemekaran wilayah di Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya.
186
Dengan nilai perbandingan : Nilai 1 = sama penting; nilai 3 = sedikit lebih penting; nilai 5 = jelas lebih penting; nilai 7 = sangat jelas lebih penting; nilai 9 = mutlak lebih penting; nilai 2,4,6,8 adalah nilai-nilai diantara dua pertimbangan. No 1. 2. 3. 4.
5 5 5 5
Nilai Perbandingan 4 3 2 1 2 3 4 4 3 2 1 2 3 4 4 3 2 1 2 3 4 4 3 2 1 2 3 4
LG LG LG LG
9 9 9 9
8 8 8 8
7 7 7 7
6 6 6 6
5 5 5 5
6 6 6 6
7 7 7 7
8 8 8 8
9 9 9 9
EK TM INV PT
5. 6. 7.
EK EK EK
9 9 9
8 8 8
7 7 7
6 6 6
5 5 5
4 4 4
3 3 3
2 2 2
1 1 1
2 2 2
3 3 3
4 4 4
5 5 5
6 6 6
7 8 7 8 7 8
9 9 9
TM INV PT
8. 9.
TM TM
9 9
8 8
7 7
6 6
5 5
4 4
3 3
2 2
1 1
2 2
3 3
4 4
5 5
6 6
7 8 7 8
9 9
INV PT
10. INV
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7 8
9
PT
g) Berdasarkan tingkat kepentingan atau pengaruh relatif antara aktor dengan aktor lainnya terhadap elemen Luas Daerah (LD) untuk pemilihan prioritas evaluasi penerapan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan dan Penggabungan Daerah serta manfaat dari kebijakan pemekaran wilayah di Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya. Dengan nilai perbandingan : Nilai 1 = sama penting; nilai 3 = sedikit lebih penting; nilai 5 = jelas lebih penting; nilai 7 = sangat jelas lebih penting; nilai 9 = mutlak lebih penting; nilai 2,4,6,8 adalah nilai-nilai diantara dua pertimbangan. No 1. 2. 3. 4.
LG LG LG LG
9 9 9 9
8 8 8 8
7 7 7 7
6 6 6 6
5 5 5 5
4 4 4 4
Nilai Perbandingan 3 2 1 2 3 4 3 2 1 2 3 4 3 2 1 2 3 4 3 2 1 2 3 4
5. 6. 7.
EK EK EK
9 9 9
8 8 8
7 7 7
6 6 6
5 5 5
4 4 4
3 3 3
2 2 2
1 1 1
2 2 2
3 3 3
8. 9.
TM TM
9 9
8 8
7 7
6 6
5 5
4 4
3 3
2 2
1 1
2 2
10. INV
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
5 5 5 5
6 6 6 6
7 7 7 7
8 8 8 8
9 9 9 9
EK TM INV PT
4 4 4
5 5 5
6 6 6
7 8 7 8 7 8
9 9 9
TM INV PT
3 3
4 4
5 5
6 6
7 8 7 8
9 9
INV PT
3
4
5
6
7 8
9
PT
h) Bandingkan berdasarkan tingkat kepentingan atau pengaruh relatif antara aktor dengan aktor lainnya terhadap elemen Pertahanan (PH) untuk pemilihan prioritas evaluasi penerapan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan dan
187
Penggabungan Daerah serta manfaat dari kebijakan pemekaran wilayah di Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya. Dengan nilai perbandingan : Nilai 1 = sama penting; nilai 3 = sedikit lebih penting; nilai 5 = jelas lebih penting; nilai 7 = sangat jelas lebih penting; nilai 9 = mutlak lebih penting; nilai 2,4,6,8 adalah nilai-nilai diantara dua pertimbangan. No 1. 2. 3. 4.
LG LG LG LG
9 9 9 9
8 8 8 8
7 7 7 7
6 6 6 6
5 5 5 5
4 4 4 4
Nilai Perbandingan 3 2 1 2 3 4 3 2 1 2 3 4 3 2 1 2 3 4 3 2 1 2 3 4
5. 6. 7.
EK EK EK
9 9 9
8 8 8
7 7 7
6 6 6
5 5 5
4 4 4
3 3 3
2 2 2
1 1 1
2 2 2
3 3 3
8. 9.
TM TM
9 9
8 8
7 7
6 6
5 5
4 4
3 3
2 2
1 1
2 2
10. INV
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
5 5 5 5
6 6 6 6
7 7 7 7
8 8 8 8
9 9 9 9
EK TM INV PT
4 4 4
5 5 5
6 6 6
7 8 7 8 7 8
9 9 9
TM INV PT
3 3
4 4
5 5
6 6
7 8 7 8
9 9
INV PT
3
4
5
6
7 8
9
PT
i) Bandingkan berdasarkan tingkat kepentingan atau pengaruh relatif antara aktor dengan aktor lainnya terhadap elemen Keamanan (KM) untuk pemilihan prioritas evaluasi penerapan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan dan Penggabungan Daerah serta manfaat dari kebijakan pemekaran wilayah di Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya. Dengan nilai perbandingan : Nilai 1 = sama penting; nilai 3 = sedikit lebih penting; nilai 5 = jelas lebih penting; nilai 7 = sangat jelas lebih penting; nilai 9 = mutlak lebih penting; nilai 2,4,6,8 adalah nilai-nilai diantara dua pertimbangan. No 1. 2. 3. 4.
LG LG LG LG
9 9 9 9
8 8 8 8
7 7 7 7
6 6 6 6
5 5 5 5
4 4 4 4
Nilai Perbandingan 3 2 1 2 3 4 3 2 1 2 3 4 3 2 1 2 3 4 3 2 1 2 3 4
5. 6. 7.
EK EK EK
9 9 9
8 8 8
7 7 7
6 6 6
5 5 5
4 4 4
3 3 3
2 2 2
1 1 1
2 2 2
3 3 3
8. 9.
TM TM
9 9
8 8
7 7
6 6
5 5
4 4
3 3
2 2
1 1
2 2
10. INV
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
5 5 5 5
6 6 6 6
7 7 7 7
8 8 8 8
9 9 9 9
EK TM INV PT
4 4 4
5 5 5
6 6 6
7 8 7 8 7 8
9 9 9
TM INV PT
3 3
4 4
5 5
6 6
7 8 7 8
9 9
INV PT
3
4
5
6
7 8
9
PT
188
j) Bandingkan berdasarkan tingkat kepentingan atau pengaruh relatif antara aktor dengan aktor lainnya terhadap elemen Tingkat Kesejahteraan (TK) untuk pemilihan prioritas evaluasi penerapan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan dan Penggabungan Daerah serta manfaat dari kebijakan pemekaran wilayah di Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya. Dengan nilai perbandingan : Nilai 1 = sama penting; nilai 3 = sedikit lebih penting; nilai 5 = jelas lebih penting; nilai 7 = sangat jelas lebih penting; nilai 9 = mutlak lebih penting; nilai 2,4,6,8 adalah nilai-nilai diantara dua pertimbangan. No 1. 2. 3. 4.
LG LG LG LG
9 9 9 9
8 8 8 8
7 7 7 7
6 6 6 6
5 5 5 5
4 4 4 4
Nilai Perbandingan 3 2 1 2 3 4 3 2 1 2 3 4 3 2 1 2 3 4 3 2 1 2 3 4
5. 6. 7.
EK EK EK
9 9 9
8 8 8
7 7 7
6 6 6
5 5 5
4 4 4
3 3 3
2 2 2
1 1 1
2 2 2
3 3 3
8. 9.
TM TM
9 9
8 8
7 7
6 6
5 5
4 4
3 3
2 2
1 1
2 2
10. INV
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
5 5 5 5
6 6 6 6
7 7 7 7
8 8 8 8
9 9 9 9
EK TM INV PT
4 4 4
5 5 5
6 6 6
7 8 7 8 7 8
9 9 9
TM INV PT
3 3
4 4
5 5
6 6
7 8 7 8
9 9
INV PT
3
4
5
6
7 8
9
PT
k) Bandingkan berdasarkan tingkat kepentingan atau pengaruh relatif antara aktor dengan aktor lainnya terhadap elemen Rentang Kendali (RK) untuk pemilihan prioritas evaluasi penerapan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan dan Penggabungan Daerah serta manfaat dari kebijakan pemekaran wilayah di Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya. Dengan nilai perbandingan : Nilai 1 = sama penting; nilai 3 = sedikit lebih penting; nilai 5 = jelas lebih penting; nilai 7 = sangat jelas lebih penting; nilai 9 = mutlak lebih penting; nilai 2,4,6,8 adalah nilai-nilai diantara dua pertimbangan. No 1. 2. 3. 4.
LG LG LG LG
9 9 9 9
8 8 8 8
7 7 7 7
6 6 6 6
5 5 5 5
4 4 4 4
Nilai Perbandingan 3 2 1 2 3 4 3 2 1 2 3 4 3 2 1 2 3 4 3 2 1 2 3 4
5. 6. 7.
EK EK EK
9 9 9
8 8 8
7 7 7
6 6 6
5 5 5
4 4 4
3 3 3
2 2 2
1 1 1
2 2 2
3 3 3
8. 9.
TM TM
9 9
8 8
7 7
6 6
5 5
4 4
3 3
2 2
1 1
2 2
10. INV
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
5 5 5 5
6 6 6 6
7 7 7 7
8 8 8 8
9 9 9 9
EK TM INV PT
4 4 4
5 5 5
6 6 6
7 8 7 8 7 8
9 9 9
TM INV PT
3 3
4 4
5 5
6 6
7 8 7 8
9 9
INV PT
3
4
5
6
7 8
9
PT
189
C. PERBANDINGAN TUJUAN TERHADAP AKTOR Bandingkan berdasarkan tingkat kepentingan/pengaruh relatif antara satu tujuan dengan tujuan lainnya dalam menentukan bobot prioritas pemilihan evaluasi penerapan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan dan Penggabungan Daerah serta manfaat dari kebijakan pemekaran wilayah di Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya, dengan tujuan-tujuan sebagai berikut : PP PS RK
: : :
KM
:
Mendekatkan Pelayanan Publik kepada Masyarakat Mengetahui persepsi stakeholder akan manfaat pemekaran bagi daerah Merumuskan kebijakan yang ditempuh pasca pemekaran agar bermanfaat bagi daerah Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat
a) Terhadap kepentingan Legislatif (DPRD) Dengan nilai perbandingan : Nilai 1 = sama penting; nilai 3 = sedikit lebih penting; nilai 5 = jelas lebih penting; nilai 7 = sangat jelas lebih penting; nilai 9 = mutlak lebih penting; nilai 2,4,6,8 adalah nilai-nilai diantara dua pertimbangan. No 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Nilai Perbandingan PP PP PP PS PS RK
9 9 9 9 9 9
8 8 8 8 8 8
7 7 7 7 7 7
6 6 6 6 6 6
5 5 5 5 5 5
4 4 4 4 4 4
3 3 3 3 3 3
2 2 2 2 2 2
1 1 1 1 1 1
2 2 2 2 2 2
3 3 3 3 3 3
4 4 4 4 4 4
5 5 5 5 5 5
6 6 6 6 6 6
7 7 7 7 7 7
8 8 8 8 8 8
9 9 9 9 9 9
PS RK KM RK KM KM
b) Terhadap kepentingan Eksekutif (Pemerintah) Dengan nilai perbandingan : Nilai 1 = sama penting; nilai 3 = sedikit lebih penting; nilai 5 = jelas lebih penting; nilai 7 = sangat jelas lebih penting; nilai 9 = mutlak lebih penting; nilai 2,4,6,8 adalah nilai-nilai diantara dua pertimbangan. No 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Nilai Perbandingan PP PP PP PS PS RK
9 9 9 9 9 9
8 8 8 8 8 8
7 7 7 7 7 7
6 6 6 6 6 6
5 5 5 5 5 5
4 4 4 4 4 4
3 3 3 3 3 3
2 2 2 2 2 2
1 1 1 1 1 1
2 2 2 2 2 2
3 3 3 3 3 3
4 4 4 4 4 4
5 5 5 5 5 5
6 6 6 6 6 6
7 7 7 7 7 7
8 8 8 8 8 8
9 9 9 9 9 9
PS RK KM RK KM KM
190
c) Terhadap kepentingan Tokoh Masyarakat (TM) Dengan nilai perbandingan : Nilai 1 = sama penting; nilai 3 = sedikit lebih penting; nilai 5 = jelas lebih penting; nilai 7 = sangat jelas lebih penting; nilai 9 = mutlak lebih penting; nilai 2,4,6,8 adalah nilai-nilai diantara dua pertimbangan. No 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Nilai Perbandingan PP PP PP PS PS RK
9 9 9 9 9 9
8 8 8 8 8 8
7 7 7 7 7 7
6 6 6 6 6 6
5 5 5 5 5 5
4 4 4 4 4 4
3 3 3 3 3 3
2 2 2 2 2 2
1 1 1 1 1 1
2 2 2 2 2 2
3 3 3 3 3 3
4 4 4 4 4 4
5 5 5 5 5 5
6 6 6 6 6 6
7 7 7 7 7 7
8 8 8 8 8 8
9 9 9 9 9 9
PS RK KM RK KM KM
d) Terhadap kepentingan Investor/Pengusaha Dengan nilai perbandingan : Nilai 1 = sama penting; nilai 3 = sedikit lebih penting; nilai 5 = jelas lebih penting; nilai 7 = sangat jelas lebih penting; nilai 9 = mutlak lebih penting; nilai 2,4,6,8 adalah nilai-nilai diantara dua pertimbangan. No 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Nilai Perbandingan PP PP PP PS PS RK
9 9 9 9 9 9
8 8 8 8 8 8
7 7 7 7 7 7
6 6 6 6 6 6
5 5 5 5 5 5
4 4 4 4 4 4
3 3 3 3 3 3
2 2 2 2 2 2
1 1 1 1 1 1
2 2 2 2 2 2
3 3 3 3 3 3
4 4 4 4 4 4
5 5 5 5 5 5
6 6 6 6 6 6
7 7 7 7 7 7
8 8 8 8 8 8
9 9 9 9 9 9
PS RK KM RK KM KM
e) Terhadap kepentingan Perguruan Tinggi/Akademisi Dengan nilai perbandingan : Nilai 1 = sama penting; nilai 3 = sedikit lebih penting; nilai 5 = jelas lebih penting; nilai 7 = sangat jelas lebih penting; nilai 9 = mutlak lebih penting; nilai 2,4,6,8 adalah nilai-nilai diantara dua pertimbangan. No 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Nilai Perbandingan PP PP PP PS PS RK
9 9 9 9 9 9
8 8 8 8 8 8
7 7 7 7 7 7
6 6 6 6 6 6
5 5 5 5 5 5
4 4 4 4 4 4
3 3 3 3 3 3
2 2 2 2 2 2
1 1 1 1 1 1
2 2 2 2 2 2
3 3 3 3 3 3
4 4 4 4 4 4
5 5 5 5 5 5
6 6 6 6 6 6
7 7 7 7 7 7
8 8 8 8 8 8
9 9 9 9 9 9
PS RK KM RK KM KM
191
D. PERBANDINGAN ALTERNATIF STRATEGI TERHADAP TUJUAN Bandingkan berdasarkan tingkat kepentingan/pengaruh relatif antara satu alternatif dengan alternatif lainnya dalam menentukan bobot prioritas pemilihan evaluasi penerapan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan dan Penggabungan Daerah serta manfaat dari kebijakan pemekaran wilayah di Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya, dengan alternatif-alternatif strategi sebagai berikut : PTPW PP-PW PW-PP PGDI
: : : :
Proses Pentahapan dalam Pemekaran Wilayah Pusat Pertumbuhan menciptakan Pemekaran Wilayah Pemekaran Wilayah menciptakan Pusat Pertumbuhan Pemekaran digabung/kembali ke daerah induk
a) Terhadap tujuan Mendekatkan Pelayanan Publik kepada Masyarakat (PP) Dengan nilai perbandingan : Nilai 1 = sama penting; nilai 3 = sedikit lebih penting; nilai 5 = jelas lebih penting; nilai 7 = sangat jelas lebih penting; nilai 9 = mutlak lebih penting; nilai 2,4,6,8 adalah nilai-nilai diantara dua pertimbangan. No
Nilai Perbandingan
1.
PTPW
9 8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
PP-PW
2.
PTPW
9 8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
PW-PP
3.
PTPW
9 8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
PGDI
4.
PP-PW
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
PW-PP
5.
PP-PW
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
PGDI
6.
PW-PP
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
PGDI
b) Terhadap tujuan Mengetahui persepsi stakeholder akan manfaat pemekaran bagi daerah Dengan nilai perbandingan : Nilai 1 = sama penting; nilai 3 = sedikit lebih penting; nilai 5 = jelas lebih penting; nilai 7 = sangat jelas lebih penting; nilai 9 = mutlak lebih penting; nilai 2,4,6,8 adalah nilai-nilai diantara dua pertimbangan.
192
No
Nilai Perbandingan
1.
PTPW
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
PP-PW
2.
PTPW
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
PW-PP
3.
PTPW
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
PGDI
4.
PP-PW
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
PW-PP
5.
PP-PW
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
PGDI
6.
PW-PP
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
PGDI
c) Terhadap tujuan Merumuskan kebijakan yang ditempuh pasca pemekaran agar bermanfaat bagi daerah Dengan nilai perbandingan : Nilai 1 = sama penting; nilai 3 = sedikit lebih penting; nilai 5 = jelas lebih penting; nilai 7 = sangat jelas lebih penting; nilai 9 = mutlak lebih penting; nilai 2,4,6,8 adalah nilai-nilai diantara dua pertimbangan. No
Nilai Perbandingan
1.
PTPW
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
PP-PW
2.
PTPW
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
PW-PP
3.
PTPW
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
PGDI
4.
PP-PW
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
PW-PP
5.
PP-PW
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
PGDI
6.
PW-PP
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
PGDI
d) Terhadap tujuan Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat Dengan nilai perbandingan : Nilai 1 = sama penting; nilai 3 = sedikit lebih penting; nilai 5 = jelas lebih penting; nilai 7 = sangat jelas lebih penting; nilai 9 = mutlak lebih penting; nilai 2,4,6,8 adalah nilai-nilai diantara dua pertimbangan.
193
No
Nilai Perbandingan
1.
PTPW
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
PP-PW
2.
PTPW
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
PW-PP
3.
PTPW
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
PGDI
4.
PP-PW
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
PW-PP
5.
PP-PW
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
PGDI
6.
PW-PP
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
PGDI
Dari 11 (sebelas) faktor (1. Kependudukan (KP); 2. Kemampuan Ekonomi (KE); 3. Potensi daerah (PD); 4. Kemampuan Keuangan (KK); 5. Sosial Budaya (SB); 6. Sosial Politik (SP); 7. Luas Daerah (LD); 8. Pertahanan(PH) 9. Keamanan (KM); 10. Tingkat Kesejahteraan Masyarakat (TK); 11. Rentang Kendali (RK)) tersebut diatas, dalam rangka Pembentukan Daerah Otonom Baru berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan dan Penggabungan Daerah, menurut Bapak/Ibu, apakah masih ada faktor lain yang perlu ditambahkan untuk menyempurnakan/melengkapi 11 faktor tersebut diatas ? Sebutkan dan jelaskan… …………………………...............................……………………………….… ……………………………………………………………..………………….. (jawaban bisa ditambahkan dihalaman belakang lembar jawaban ini)
2. Kuesioner Persepsi Stakeholder Pedoman Umum Pengisian : Berilah tanda X (silang) atau tanda Ο (melingkari) pada setiap jawaban yang Anda pilih paling sesuai ! Isilah jawaban pada setiap tempat yang disediakan ! 1.
2.
Menurut Bapak/Ibu, apakah ada manfaat yang diterima oleh masyarakat dengan adanya pemekaran Kota Baubau/Kota Tasikmalaya dari Kab. Buton? a. Ya b. Tidak Jika ya, manfaat-manfaat apa saja, sebutkan…?
194
Dari aspek Ekonomi : a. ……………………………………………………………………………………... b. ……………………………………………………………………………………... c. ……………………………………………………………………………………... d. ……………………………………………………………………………………... e. ……………………………………………………………………………………... f. ……………………………………………………………………………………... g. ……………………………………………………………………………………... h. dst………………..(jawaban bisa ditambahkan dihalaman belakang lembar jawaban ini) Dari aspek Sosial : a. ……………………………………………………………………………………… b. ……………………………………………………………………………………… c. ……………………………………………………………………………………… d. ……………………………………………………………………………………… e. ……………………………………………………………………………………… f. ……………………………………………………………………………................ g. ……………………………………………………………………………………… h. dst.………..…….(jawaban bisa ditambahkan dihalaman belakang lembar jawaban ini)
3.
Dari aspek Fasilitas/Infrastruktur : a. ……………………………………………………………………………………... b. ……………………………………………………………………………………... c. ……………………………………………………………………………………... d. …………………………………………………………………………………….. e. …………………………………………………………………………………….. f. …………………………………………………………………………………….. g. ……………………………………………………………………………………. h. dst……………….(jawaban bisa ditambahkan dihalaman belakang lembar jawaban ini) Menurut Bapak/Ibu, apakah ada perbedaan sebelum dan sesudah pemekaran Kota Baubau/Kota Tasikmalaya dari Kab. Induknya? 1) Dari aspek pendapatan masyarakat : a. Semakin miskin b. Tetap saja c. Semakin meningkat 2) Dari aspek pelayanan (kesehatan, pendidikan, pemerintahan) : a. Semakin buruk b. Tetap saja
195
4.
5.
c. Semakin baik 3) Dari aspek infrastruktur (pendidikan, kesehatan, pemerintahan jalan dan jembatan) : a. Semakin buruk b. Tetap saja c. Semakin baik Menurut Bapak/Ibu, apakah dengan pemekaran wilayah, perkembangan Kota Baubau/Kota Tasikmalaya lebih maju? a. Ya b. Tidak c. Sama saja Jika ya, seperti apa ukuran kemajuan menurut Bapak/Ibu, sebutkan…? Dari aspek Ekonomi : a. ……………………………………………………………………………………... b. ……………………………………………………………………………………... c. ……………………………………………………………………………………... d. ……………………………………………………………………………………... e. ……………………………………………………………………………………... f. ……………………………………………………………………………………... g. dst……………....(jawaban bisa ditambahkan dihalaman belakang lembar jawaban ini) Dari aspek Sosial: a. ……………………………………………………………………………………... a. ……………………………………………………………………………………... b. ……………………………………………………………………………………... c. ……………………………………………………………………………………... d. ……………………………………………………………………………………... e. ……………………………………………………………………………………... f. dst……………….(jawaban bisa ditambahkan dihalaman belakang lembar jawaban ini) Dari aspek Fasilitas/Infrastruktur : a. …………………………………………………………………………………....... b. ……………………………………………………………………………………... c. ……………………………………………………………………………………... d. ……………………………………………………………………………………... e. ……………………………………………………………………………………... f. ……………………………………………………………………………………... g. dst……………….(jawaban bisa ditambahkan dihalaman belakang lembar jawaban ini)
6.
Dalam hal pengelolaan anggaran, apa yang membedakan ketika Kota Baubau/Kota Tasikmalaya masih menjadi Kota Administratif (Kotif)/masih
196
gabung dengan Kab. Buton dan setelah menjadi Daerah Otonom Baru (DOB) yang berdiri sendiri? Jelaskan................... ………………………….…………………………………………………….……… ….…………………………………………………………………………………… …...…………………………………………………………………………………… …...…………………………………………………………………………………… ……….…..dst………………..(jawaban bisa ditambahkan dihalaman belakang lembar jawaban ini) 7.
Dalam hal pelaksanaan pembangunan, apakah ada perbedaan ketika Kota Baubau/Kota Tasikmalaya masih menjadi Kota Administratif (Kotif) dan setelah menjadi Daerah Otonom Baru (DOB) yang berdiri sendiri……...? Jelaskan....................................................... ………………………….…………………………………………………….……… ….…………………………………………………………………………………… …...…………………………………………………………………………………… …...…………………………………………………………………………………… ……….…..dst……………….(jawaban bisa ditambahkan dihalaman belakang lembar jawaban ini)
8.
Menurut Bapak/Ibu, apakah kedepan pemekaran wilayah di Indonesia masih perlu dilakukan? a. Ya b. Tidak Jika ya, mengapa?Jelaskan............................................................................................... ………………………….…………………………………………………….……… ….…………………………………………………………………………………… …...…………………………………………………………………………………… …...……dst……………….(jawaban bisa ditambahkan dihalaman belakang lembar jawaban ini)
197
Jika tidak ,mengapa?Jelaskan........................................................................... ………………………….…………………………………………………….……… ….…………………………………………………………………………………… …...…………………………………………………………………………………… …...……dst……………….(jawaban bisa ditambahkan dihalaman belakang lembar jawaban ini) 9.
Menurut Bapak/Ibu, kebijakan apa yang dapat dilakukan/ditempuh oleh pemerintah agar pemekaran wilayah memberikan manfaat bagi daerah? Jelaskan. ………………………….…………………………………………………….……… ….…………………………………………………………………………………… …...…………………………………………………………………………………… …...……dst……………….(jawaban bisa ditambahkan dihalaman belakang lembar jawaban ini)
@@@@@@Terima Kasih atas Partisipasi dan Kerjasamanya @@@@@@
Lampiran 2 : Hasil Pengolahan AHP Kota Baubau Priorities with respect to: Combined Faktor Score Percent Prioritas Inconsistency KP 0.062 6.2% 9 KE 0.076 7.6% 6 PD 0.074 7.4% 7 KK 0.077 7.7% 5 SB 0.058 5.8% 11 0.01 SP 0.061 6.1% 10 LD 0.072 7.2% 8 PH 0.097 9.7% 4 KM 0.18 18.0% 1 TK 0.126 12.6% 2 RK 0.117 11.7% 3
Priorities with respect to: Aktor LG EK TM INV PT Bobot Inconsistency
KP 0.230 0.272 0.191 0.139 0.168 0.062 0.000
Combined KE 0.230 0.288 0.127 0.194 0.161 0.076 0.000
PD 0.197 0.252 0.172 0.195 0.184 0.074 0.010
KK 0.252 0.288 0.118 0.200 0.142 0.077 0.010
Faktor SB SP 0.191 0.307 0.263 0.305 0.324 0.176 0.091 0.094 0.131 0.118 0.058 0.061 0.010 0.010
LD 0.170 0.367 0.161 0.143 0.160 0.072 0.000
PH 0.206 0.365 0.177 0.124 0.128 0.097 0.010
KM 0.218 0.271 0.210 0.152 0.149 0.180 0.000
TK 0.237 0.332 0.139 0.169 0.123 0.126 0.000
RK 0.204 0.349 0.173 0.135 0.139 0.117 0.000
Score
Percent(%)
Prioritas
0.221 0.307 0.177 0.151 0.145
22.07% 30.67% 17.72% 15.10% 14.45%
2 1 3 4 5
198
199
Lampiran 2 Lanjutan : Hasil Pengolahan AHP Kota Baubau Priorities with respect to: Tujuan PP PS RK KM Bobot Inconsistency
LG 0.2610 0.1090 0.1900 0.4390 0.2207 0.00
Combined EK 0.2270 0.1290 0.2460 0.3980 0.3067 0.00
Aktor TM 0.2670 0.1610 0.1640 0.4070 0.1772 0.01
INV 0.2370 0.1550 0.2440 0.3640 0.1510 0.00
Score
Percent(%)
Prioritas
0.2443 0.1404 0.2112 0.4038
24.43% 14.04% 21.12% 40.38%
2 4 3 1
Score
Percent(%)
Prioritas
0.2102 0.2154 0.4047 0.1699
21.02% 21.54% 40.47% 16.99%
3 2 1 4
PT 0.2350 0.1720 0.1930 0.4000 0.1445 0.00
Priorities with respect to: Alternatif Strategi PTPW PP+PW PW-PP PGDI Bobot Inconsistency
PP 0.1960 0.2550 0.4030 0.1450 0.2443 0.01
Tujuan PS RK 0.2020 0.1870 0.2150 0.1900 0.4150 0.4400 0.1690 0.1840 0.1404 0.2112 0.00 0.00
KM 0.2340 0.2050 0.3840 0.1780 0.4038 0.03
Lampiran 3 : Hasil Pengolahan AHP Kota Tasikmalaya Priorities with respect to: Combined Faktor Score Percent Prioritas Inconsistency KP 0.063 6.3% 11 KE 0.102 10.2% 4 PD 0.088 8.8% 7 KK 0.104 10.4% 3 SB 0.066 6.6% 9 0.01 SP 0.072 7.2% 8 LD 0.065 6.5% 10 PH 0.092 9.2% 5 KM 0.121 12.1% 2 TK 0.138 13.8% 1 RK 0.088 8.8% 6
Priorities with respect to: Aktor
KP LG 0.213 EK 0.245 TM 0.198 INV 0.165 PT 0.179 Bobot 0.063 Inconsistency 0.00
KE 0.223 0.284 0.137 0.202 0.154 0.102 0.00
Combined PD 0.194 0.279 0.173 0.187 0.167 0.088 0.01
KK 0.272 0.312 0.104 0.189 0.123 0.104 0.01
Faktor SB SP 0.205 0.308 0.231 0.264 0.265 0.168 0.135 0.121 0.164 0.138 0.066 0.072 0.01 0.01
LD 0.212 0.318 0.16 0.164 0.146 0.065 0.00
PH 0.23 0.296 0.17 0.145 0.159 0.092 0.01
KM 0.206 0.257 0.19 0.162 0.185 0.121 0.00
TK 0.23 0.304 0.142 0.182 0.142 0.138 0.00
RK 0.226 0.288 0.157 0.159 0.171 0.088 0.00
Score Percent(%) Prioritas 0.229 0.282 0.165 0.167 0.156
22.87% 28.20% 16.45% 16.74% 15.64%
2 1 4 3 5
200
201
Lampiran 3 Lanjutan : Hasil Pengolahan AHP Kota Tasikmalaya Priorities with respect to: Tujuan PP PS RK KM Bobot Inconsistency
LG 0.231 0.146 0.213 0.409 0.229 0.00
EK 0.233 0.153 0.214 0.399 0.282 0.00
Aktor TM 0.215 0.145 0.2 0.44 0.165 0.01
Combined Score INV 0.221 0.156 0.231 0.392 0.167 0.00
Percent(%)
Prioritas
0.2262 0.1539 0.2182 0.4002
22.62% 15.39% 21.82% 40.02%
2 4 3 1
Score
Percent(%)
Prioritas
0.2202 0.2196 0.4412 0.1174
22.02% 21.96% 44.12% 11.74%
2 3 1 4
PT 0.226 0.175 0.24 0.359 0.156 0.00
Priorities with respect to: Alternatif Strategi PTPW PP+PW PW-PP PGDI Bobot Inconsistency
Tujuan PP 0.2440 0.2330 0.4230 0.1000 0.2262 0.01
PS 0.2120 0.2160 0.4440 0.1280 0.1539 0.00
RK 0.2140 0.2180 0.4540 0.1130 0.2182 0.00
KM 0.2140 0.2150 0.4450 0.1260 0.4002 0.00
Lampiran 4: Output Gabungan Hasil Pengolahan AHP Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya Goal: STRATEGI DAN KEBIJAKAN PEMEKARAN WILAYAH MEMBERIKAN MANFAAT BAGI KOTA BAUBAU DAN KOTA TASIKMALAYA
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Priorities with respect to : KP KE PD KK SB SP LD PH KM TK RK
Combined 0,064 0,096 0,085 0,096 0,063 0,069 0,068 0,092 0,139 0,134 0,094
Faktor KP KE PD KK SB SP LD PH KM TK RK
Score 0,064 0,096 0,085 0,096 0,063 0,069 0,068 0,092 0,139 0,134 0,094
Percent 6,4% 9,6% 8,5% 9,6% 6,3% 6,9% 6,8% 9,2% 13,9% 13,4% 9,4%
Inconsistency
Prioritas 10 4 7 3 11 8 9 6 1 2 5
0,01
Priorities with respect to: Aktor LG EK TM INV PT Bobot Inconsistency
KP 0,216 0,257 0,197 0,157 0,173 0,064 0,00
Combined KE 0,229 0,291 0,133 0,194 0,153 0,096 0,00
PD 0,195 0,273 0,177 0,185 0,169 0,085 0,01
KK 0,269 0,306 0,108 0,189 0,128 0,096 0,01
Faktor SB SP 0,201 0,307 0,24 0,282 0,291 0,173 0,118 0,11 0,15 0,129 0,063 0,069 0,01 0,01
LD 0,195 0,343 0,161 0,154 0,148 0,068 0,00
PH 0,227 0,322 0,17 0,135 0,146 0,092 0,01
KM 0,214 0,265 0,196 0,156 0,169 0,139 0,00
TK 0,237 0,319 0,138 0,171 0,135 0,134 0,00
RK 0,226 0,313 0,159 0,146 0,156 0,094 0,00
Score 0,229 0,293 0,168 0,159 0,151
Percent(%) Prioritas 22,89% 29,35% 16,83% 15,88% 15,05%
2 1 3 4 5
202
203
Lampiran 4 Lanjutan: Output Gabungan Hasil Pengolahan AHP Kota Baubau dan Kota Tasikmalaya Priorities with respect to: Tujuan PP PS RK KM Bobot Inconsistency
LG 0,244 0,132 0,204 0,42 0,229 0,00
Priorities with respect to: Alternatif Strategi PP PTPW 0,232 PP+PW 0,236 PW-PP 0,421 PGDI 0,111 Bobot 0,231 Inconsistency 0,01
Combined EK 0,227 0,144 0,224 0,404 0,293 0,00
Aktor TM 0,228 0,15 0,191 0,43 0,168 0,01
INV 0,222 0,155 0,233 0,391 0,159 0,00
PT 0,233 0,172 0,223 0,371 0,151 0,00
Score 0,2312 0,1482 0,2152 0,4050
Percent(%) Prioritas 23,12% 14,82% 21,52% 40,50%
Combined Tujuan PS RK KM 0,206 0,206 0,224 0,209 0,205 0,212 0,446 0,456 0,424 0,139 0,133 0,14 0,148 0,215 0,405 0,00 0,00 0,00
Score 0,2192 0,2155 0,4333 0,1316
Percent(%) Prioritas 21,92% 21,55% 43,33% 13,16%
2 3 1 4
3 4 2 1
Lampiran 5 : Pengolahan Data Skalogram Kota Baubau Data
No
Kecamatan
Jumlah Pendudu k (Jiwa)
SMA
Jumlah Pelabu han
Pergur uan Tinggi
Puskes mas Pemba ntu
Puskes mas
Ruma h Sakit
Termin al
Ban dara
Juml ah Pasar
Juml ah Mall
Industri Mikro
Induts tri Kecil
Indust ri Mene ngah
Indu stri Besa r
Jumlah Kopera si
Juml ah Bank
Jumlah Hotel
1
Kota Baubau
139717
27
4
7
11
13
2
2
1
14
1
1385
155
7
1
234
24
56
2
Kabupaten Buton
261727
69
3
0
62
38
1
1
0
33
0
1862
63
0
0
285
1
14
3
Kabupaten Buton Utara
57422
21
0
0
54
10
1
1
0
24
0
1095
96
9
0
131
1
14
4
Kabupaten Bombana
150186
34
1
0
17
8
1
1
0
20
0
600
51
0
0
291
9
30
5
Kabupaten Wakatobi
95157
28
3
5
14
20
1
1
1
14
0
1499
86
6
0
180
1
41
6
Kabupaten Muna
279928
53
3
4
67
42
1
1
0
20
0
299
20
0
0
336
5
19
Jumlah Jumlah wilayah total (f) Jlh yg memiliki fasilitas (n)
232
14
16
225
131
7
7
2
125
1
6740
471
22
1
1457
41
174
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
5
3
6
6
6
6
2
6
1
6
6
3
1
6
6
6
Maksimum
69
4
7
67
42
2
2
1
33
1
1862
155
9
1
336
24
56
Std Dev
18,49
1,51
3,08
26,14
14,70
0,41
0,41
0,52
7,11
0,41
584,71
46,12
4,13
0,41
76,56
9,00
16,88
Bobot (f/n)
1,00
1,20
2,00
1,00
1,00
1,00
1,00
3,00
1,00
6,00
1,00
1,00
2,00
6,00
1,00
1,00
1,00
204
205
Lampiran 5 Lanjutan: Pengolahan Data Skalogram Kota Baubau Proses 1 : Kapasitas dan Invers
No
Kecamatan
Jumlah Pendudu k (Jiwa)
SMA
Jumlah Pelabuh an
Pergur uan Tinggi
Puskesm as Pembant u
Puskes mas
Rumah Sakit
Termin al
Bandar a
Jumlah Pasar
Jumlah Mall
Industri Mikro
Indutstr i Kecil
Industri Meneng ah
Industr i Besar
Jumlah Koperasi
9,9129
1,1094
0,0501
0,0072
1,6748
0,1718
0,4008
Jumlah Bank
Jumlah Hotel
1
Kota Baubau
139.717
0,1932
0,0286
0,0501
0,0787
0,0930
0,0143
0,0143
0,0072
0,1002
0,0072
2
Kab. Buton
261.727
0,2636
0,0115
0,0000
0,2369
0,1452
0,0038
0,0038
0,0000
0,1261
0,0000
7,1143
0,2407
0,0000
0,0000
1,0889
0,0038
0,0535
3
Kab. Buton Utara
57.422
0,3657
0,0000
0,0000
0,9404
0,1741
0,0174
0,0174
0,0000
0,4180
0,0000
19,0693
1,6718
0,1567
0,0000
2,2814
0,0174
0,2438
4
Kab. Bombana
150.186
0,2264
0,0067
0,0000
0,1132
0,0533
0,0067
0,0067
0,0000
0,1332
0,0000
3,9950
0,3396
0,0000
0,0000
1,9376
0,0599
0,1998
5
Kab. Wakatobi
95.157
0,2943
0,0315
0,0525
0,1471
0,2102
0,0105
0,0105
0,0105
0,1471
0,0000
15,7529
0,9038
0,0631
0,0000
1,8916
0,0105
0,4309
6
Kab. Muna
279.928
0,1893
0,0107
0,0143
0,2393
0,1500
0,0036
0,0036
0,0000
0,0714
0,0000
1,0681
0,0714
0,0000
0,0000
1,2003
0,0179
0,0679
1,5326
0,0890
0,1169
1,7557
0,8259
0,0563
0,0563
0,0177
0,9960
0,0072
56,9126
4,3367
0,2699
0,0072
10,0746
0,2813
1,3966
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
Jumlah Jumlah wilayah total (f)
6
5
3
6
6
6
6
2
6
1
6
6
3
1
6
6
6
Minimum
0,1893
0,0000
0,0000
0,0787
0,0533
0,0036
0,0036
0,0000
0,0714
0,0000
1,0681
0,0714
0,0000
0,0000
1,0889
0,0038
0,0535
Maksimum
Jlh yg memiliki fasilitas (n)
0,3657
0,0315
0,0525
0,9404
0,2102
0,0174
0,0174
0,0105
0,4180
0,0072
19,0693
1,6718
0,1567
0,0072
2,2814
0,1718
0,4309
Std Dev
0,07
0,01
0,03
0,32
0,06
0,01
0,01
0,00
0,13
0,00
6,90
0,61
0,06
0,00
0,46
0,06
0,16
Bobot (f/n)
1,00
1,20
2,00
1,00
1,00
1,00
1,00
3,00
1,00
6,00
1,00
1,00
2,00
6,00
1,00
1,00
1,00
Lampiran 5 Lanjutan: Pengolahan Data Skalogram Kota Baubau Proses 2 : Pembobotan
Kecamatan
Jumlah Pendudu k (Jiwa)
1
Kota Baubau
139717
2
Kab. Buton
261727
No
3 4 5 6
Kab. Buton Utara Kab. Bombana
57422 150186
Kab. Wakatobi
Jumlah Pelabuha n
Perguru an Tinggi
Puskes ma Pembant u
0,1932
0,0239
0,0251
0,0787
0,2636
0,0096
0,0000
0,2369
0,3657
0,0000
0,0000
0,2264
0,0055
0,2943
0,0263
0,1893
Puskes mas
Industri Menen gah
Industri Besar
Jumlah Koperas i
1,1094
0,0251
0,0012
1,6748
0,1718
0,4008
0,2407
0,0000
0,0000
1,0889
0,0038
0,0535
19,0693
1,6718
0,0784
0,0000
2,2814
0,0174
0,2438
0,0000
3,9950
0,3396
0,0000
0,0000
1,9376
0,0599
0,1998
0,0000
15,7529
0,9038
0,0315
0,0000
1,8916
0,0105
0,4309
0,0714
0,0000
1,0681
0,0714
0,0000
0,0000
1,2003
0,0179
0,0679
0,0059
0,9960
0,0012
56,9126
4,3367
0,1349
0,0012
10,0746
0,2813
1,3966
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
Rumah Sakit
Termina l
Bandara
0,0930
0,0143
0,0143
0,0024
0,1002
0,0012
9,9129
0,1452
0,0038
0,0038
0,0000
0,1261
0,0000
7,1143
0,9404
0,1741
0,0174
0,0174
0,0000
0,4180
0,0000
0,0000
0,1132
0,0533
0,0067
0,0067
0,0000
0,1332
0,0263
0,1471
0,2102
0,0105
0,0105
0,0035
0,1471
0,0089
0,0071
0,2393
0,1500
0,0036
0,0036
0,0000
1,5326
0,0742
0,0585
1,7557
0,8259
0,0563
0,0563
6
6
6
6
6
6
6
SMA
Jumlah Pasar
Jumlah Mall
Industri Mikro
Indutstri Kecil
Jumlah Bank
Jumlah Hotel
95157 Kab. Muna
279928
Jumlah Jumlah wilayah total (f)
6
5
3
6
6
6
6
2
6
1
6
6
3
1
6
6
6
Minimum
0,1893
0,0000
0,0000
0,0787
0,0533
0,0036
0,0036
0,0000
0,0714
0,0000
1,0681
0,0714
0,0000
0,0000
1,0889
0,0038
0,0535
Maksimum
Jlh yg memiliki fasilitas (n)
0,3657
0,0263
0,0263
0,9404
0,2102
0,0174
0,0174
0,0035
0,4180
0,0012
19,0693
1,6718
0,0784
0,0012
2,2814
0,1718
0,4309
Std Dev
0,07
0,01
0,01
0,32
0,06
0,01
0,01
0,00
0,13
0,00
6,90
0,61
0,03
0,00
0,46
0,06
0,16
Bobot (f/n)
1,00
1,20
2,00
1,00
1,00
1,00
1,00
3,00
1,00
6,00
1,00
1,00
2,00
6,00
1,00
1,00
1,00
206
207
Lampiran 5 Lanjutan: Pengolahan Data Skalogram Kota Baubau Proses 3 : Standarisasi SMA
Jumlah Pelabuh an
Perguru an Tinggi
Puskesm as Pembant u
Puskes mas
Rumah Sakit
Terminal
Bandara
Jumlah Pasar
Jumlah Mall
Industri Mikro
Indutstri Kecil
Industri Meneng ah
Industri Besar
Jumlah Koperas i
Jumlah Bank
Jumlah Hotel
139717
0,003913
0,023858
0,025051
0,000000
0,039778
0,010742
0,010742
0,002386
0,028756
0,001193
8,844764
1,037938
0,025051
0,001193
0,585893
0,167955
0,347319
Kab. Buton
261727
0,074299
0,009552
0,000000
0,158157
0,091922
0,000248
0,000248
0,000000
0,054639
0,000000
6,046151
0,169262
0,000000
0,000000
0,000000
0,000000
0,000000
3
Kab. Buton Utara
57422
0,176379
0,000000
0,000000
0,861676
0,120882
0,013843
0,013843
0,000000
0,346511
0,000000
18,001214
1,600386
0,078367
0,000000
1,192435
0,013594
0,190318
4
Kab. Bombana
150186
0,037052
0,005549
0,000000
0,034462
0,000000
0,003086
0,003086
0,000000
0,061721
0,000000
2,926914
0,268132
0,000000
0,000000
0,848676
0,056105
0,146261
5
Kab. Wakatobi
95157
0,104916
0,026272
0,026272
0,068395
0,156912
0,006937
0,006937
0,003503
0,075678
0,000000
14,684782
0,832323
0,031527
0,000000
0,802690
0,006688
0,377376
6
Kab. Muna
279928
0,000000
0,008931
0,007145
0,160617
0,096771
0,000000
0,000000
0,000000
0,000000
0,000000
0,000000
0,000000
0,000000
0,000000
0,111388
0,014041
0,014384
0,3966
0,0742
0,0585
1,2833
0,5063
0,0349
0,0349
0,0059
0,5673
0,0012
50,5038
3,9080
0,1349
0,0012
3,5411
0,2584
1,0757
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
Kecamatan
Jumlah Pendudu k (Jiwa)
1
Kota Baubau
2
No
Jumlah Jumlah wilayah total (f)
5
5
3
5
5
5
5
2
5
1
5
5
3
1
5
5
5
Minimum
0,000
0,000
0,000
0,000
0,000
0,000
0,000
0,000
0,000
0,000
0,000
0,000
0,000
0,000
0,000
0,000
0,000
Maksimum
Jlh yg memiliki fasilitas (n)
0,176
0,026
0,026
0,862
0,157
0,014
0,014
0,004
0,347
0,001
18,001
1,600
0,078
0,001
1,192
0,168
0,377
Std Dev
0,07
0,01
0,01
0,32
0,06
0,01
0,01
0,00
0,13
0,00
6,90
0,61
0,03
0,00
0,46
0,06
0,16
Bobot (f/n)
1,20
1,20
2,00
1,20
1,20
1,20
1,20
3,00
1,20
6,00
1,20
1,20
2,00
6,00
1,20
1,20
1,20
Lampiran 5 Lanjutan: Pengolahan Data Skalogram Kota Baubau Hirarki
No
Kecamatan
Jumlah Penduduk (Jiwa)
SMA
Pelabuhan
Perguruan Tinggi
Puskesmas Pembantu
Puskesmas
Rumah Sakit
Terminal
Bandara
Jumlah Pasar
Jumlah Mall
Industri Mikro
Indutstri Kecil
Industri Menengah
Industri Besar
Jumlah Koperasi
Jumlah Bank
Jumlah Hotel
IPK
Jumlah Jenis
Hierarki
1
Kota Baubau
139717
0,0039
0,0239
0,0251
0,0000
0,0398
0,0107
0,0107
0,0024
0,0288
0,0012
8,8448
1,0379
0,0251
0,0012
0,5859
0,1680
0,3473
11,16
16
Hirarki 2
2
Kab. Buton
261727
0,0743
0,0096
0,0000
0,1582
0,0919
0,0002
0,0002
0,0000
0,0546
0,0000
6,0462
0,1693
0,0000
0,0000
0,0000
0,0000
0,0000
6,60
9
Hirarki 3
3
Kab. Buton Utara
4
Kab. Bombana
5
Kab. Wakatobi
6
Kab. Muna
57422
0,1764
0,0000
0,0000
0,8617
0,1209
0,0138
0,0138
0,0000
0,3465
0,0000
18,0012
1,6004
0,0784
0,0000
1,1924
0,0136
0,1903
22,61
12
Hirarki 1
150186
0,0371
0,0055
0,0000
0,0345
0,0000
0,0031
0,0031
0,0000
0,0617
0,0000
2,9269
0,2681
0,0000
0,0000
0,8487
0,0561
0,1463
4,39
11
Hirarki 3
95157
0,1049
0,0263
0,0263
0,0684
0,1569
0,0069
0,0069
0,0035
0,0757
0,0000
14,6848
0,8323
0,0315
0,0000
0,8027
0,0067
0,3774
17,21
15
Hirarki 2
279928
0,0000
0,0089
0,0071
0,1606
0,0968
0,0000
0,0000
0,0000
0,0000
0,0000
0,0000
0,0000
0,0000
0,0000
0,1114
0,0140
0,0144
0,41
7
Hirarki 3
0,397
0,074
0,058
1,283
0,506
0,035
0,035
0,006
0,567
0,001
50,504
3,908
0,135
0,001
3,541
0,258
1,076
Jumlah wilayah total (f)
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
STDEV
8,32206
Jlh yg memiliki fasilitas (n)
5
5
3
5
5
5
5
2
5
1
5
5
3
1
5
5
5
AV IPK
10,39766
Minimum
0,000
0,000
0,000
0,000
0,000
0,000
0,000
0,000
0,000
0,000
0,000
0,000
0,000
0,000
0,000
0,000
0,000
Sum
18,71973
Maksimum
0,176
0,026
0,026
0,862
0,157
0,014
0,014
0,004
0,347
0,001
18,001
1,600
0,078
0,001
1,192
0,168
0,377
Std Dev
0,07
0,01
0,01
0,32
0,06
0,01
0,01
0,00
0,13
0,00
6,90
0,61
0,03
0,00
0,46
0,06
0,16
Bobot (f/n)
1,20
1,20
2,00
1,20
1,20
1,20
1,20
3,00
1,20
6,00
1,20
1,20
2,00
6,00
1,20
1,20
1,20
Jumlah
208
209
Lampiran 6 : Pengolahan Data Skalogram Kota Tasikmalaya Data No
Kecamatan
Jumlah Penduduk (Jiwa)
SMA
Pesantren
Perguruan Tinggi
Fasilitas Kesehatan
Terminal
Jumlah Pasar
Jumlah Bank
Bank Sentral
Kondisi Jalan
Jumlah Hotel
Jumlah Mall
1
Kota Tasikmalaya
649885
85
230
26
101
5
7
45
1
56
34
4
2
Kab. Tasikmalaya
1692432
119
700
6
70
2
7
24
0
30
11
0
3
Kab. Ciamis
1789121
31
678
16
251
2
9
140
0
40
227
0
4
Kota Banjar
203512
17
0
4
44
1
8
7
0
80
11
0
5
Kab. Garut
2502410
298
1166
12
279
7
12
88
0
39
126
0
550
2774
64
745
17
43
304
1
245
409
4
Jumlah wilayah total (f)
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
Jlh yg memiliki fasilitas (n)
5
4
5
5
5
5
5
1
5
5
1
298
1166
26
279
7
12
140
1
80
227
4
112,85
453,63
8,79
108,25
2,51
2,07
53,64
0,45
20,01
94,00
1,79
1,00
1,25
1,00
1,00
1,00
1,00
1,00
5,00
1,00
1,00
5,00
Jumlah
Maksimum Std Dev Bobot (f/n)
Lampiran 6 Lanjutan : Pengolahan Data Skalogram Kota Tasikmalaya Proses 1 : Kapasitas dan Invers
Kecamatan
Jumlah Penduduk (Jiwa)
1
Kota Tasikmalaya
649885
2
Kab. Tasikmalaya
3
Pesantren
Perguruan Tinggi
Fasilitas Kesehatan
Terminal
Jumlah Pasar
Jumlah Bank
Bank Sentral
Jumlah Hotel
Jumlah Mall
0,1308
0,3539
0,0400
0,1554
0,0077
0,0108
0,0692
0,0015
0,0523
0,0062
1692432
0,0703
0,4136
0,0035
0,0414
0,0012
0,0041
0,0142
0,0000
0,0065
0,0000
Kab. Ciamis
1789121
0,0173
0,3790
0,0089
0,1403
0,0011
0,0050
0,0783
0,0000
0,1269
0,0000
4
Kota Banjar
203512
0,0835
0,0000
0,0197
0,2162
0,0049
0,0393
0,0344
0,0000
0,0541
0,0000
5
Kab. Garut
2502410
0,1191
0,4660
0,0048
0,1115
0,0028
0,0048
0,0352
0,0000
0,0504
0,0000
0,4211
1,6124
0,0769
0,6648
0,0177
0,0640
0,2312
0,0015
0,2901
0,0062
Jumlah wilayah total (f)
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
Jlh yg memiliki fasilitas (n)
5
4
5
5
5
5
5
1
5
1
Minimum
0,01733
0,00000
0,00355
0,04136
0,00112
0,00414
0,01418
0,00000
0,00650
0,00000
Maksimum
0,13079
0,46595
0,04001
0,21620
0,00769
0,03931
0,07825
0,00154
0,12688
0,00615
Std Dev
0,04
0,19
0,02
0,06
0,00
0,02
0,03
0,00
0,04
0,00
Bobot (f/n)
1,00
1,25
1,00
1,00
1,00
1,00
1,00
5,00
1,00
5,00
No
Jumlah
SMA
210
211
Lampiran 6 Lanjutan : Pengolahan Data Skalogram Kota Tasikmalaya Proses 2 : Pembobotan
No
Kecamatan
Jumlah Penduduk (Jiwa)
SMA
Pesantren
Perguruan Tinggi
Fasilitas Kesehatan
Terminal
Jumlah Pasar
Jumlah Bank
Bank Sentral
Jumlah Hotel
Jumlah Mall
1
Kota Tasikmalaya
649885
0,1308
0,2831
0,0400
0,1554
0,0077
0,0108
0,0692
0,0003
0,0523
0,0012
2
Kab. Tasikmalaya
1692432
0,0703
0,3309
0,0035
0,0414
0,0012
0,0041
0,0142
0,0000
0,0065
0,0000
3
Kab. Ciamis
1789121
0,0173
0,3032
0,0089
0,1403
0,0011
0,0050
0,0783
0,0000
0,1269
0,0000
4
Kota Banjar
203512
0,0835
0,0000
0,0197
0,2162
0,0049
0,0393
0,0344
0,0000
0,0541
0,0000
5
Kab. Garut
2502410
0,1191
0,3728
0,0048
0,1115
0,0028
0,0048
0,0352
0,0000
0,0504
0,0000
0,4211
1,2899
0,0769
0,6648
0,0177
0,0640
0,2312
0,0003
0,2901
0,0012
Jumlah wilayah total (f)
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
Jlh yg memiliki fasilitas (n)
5
4
5
5
5
5
5
1
5
1
Minimum
0,0173
0,0000
0,0035
0,0414
0,0011
0,0041
0,0142
0,0000
0,0065
0,0000
Maksimum
0,1308
0,3728
0,0400
0,2162
0,0077
0,0393
0,0783
0,0003
0,1269
0,0012
Std Dev
0,04
0,15
0,02
0,06
0,00
0,02
0,03
0,00
0,04
0,00
Bobot (f/n)
1,00
1,25
1,00
1,00
1,00
1,00
1,00
5,00
1,00
5,00
Jumlah
Lampiran 6 Lanjutan : Pengolahan Data Skalogram Kota Tasikmalaya Proses 3 : Standarisasi
No
1 2 3 4 5
Kecamatan
Kota Tasikmalaya Kab. Tasikmalaya Kab. Ciamis Kota Banjar Kab. Garut
Jumlah Penduduk (Jiwa)
SMA
Pesantren
Perguruan Tinggi
Fasilitas Kesehatan
Terminal
Jumlah Pasar
Jumlah Bank
Bank Sentral
Jumlah Hotel
Jumlah Mall
649.885 1.692.432 1.789.121 203.512 2.502.410
0,113465 0,052986 0,000000 0,066206 0,101758
0,283127 0,330885 0,303166 0,000000 0,372761
0,036462 0,000000 0,005398 0,016110 0,001250
0,114052 0,000000 0,098932 0,174843 0,070132
0,006576 0,000064 0,000000 0,003796 0,001679
0,006635 0,000000 0,000894 0,035174 0,000659
0,055062 0,000000 0,064070 0,020215 0,020985
0,000308 0,000000 0,000000 0,000000 0,000000
0,045817 0,000000 0,120378 0,047551 0,043852
0,001231 0,000000 0,000000 0,000000 0,000000
0,3344 5 4 0,0000 0,11347 0,04 1,25
1,2899 5 4 0,0000 0,37276 0,15 1,25
0,0592 5 4 0,0000 0,03646 0,02 1,25
0,4580 5 4 0,0000 0,17484 0,06 1,25
0,0121 5 4 0,0000 0,00658 0,00 1,25
0,0434 5 4 0,0000 0,03517 0,02 1,25
0,1603 5 4 0,0000 0,06407 0,03 1,25
0,0003 5 1 0,0000 0,00031 0,00 5,00
0,2576 5 4 0,0000 0,12038 0,04 1,25
0,0012 5 1 0,0000 0,00123 0,00 5,00
Jumlah Jumlah wilayah total (f) Jlh yg memiliki fasilitas (n) Minimum Maksimum Std Dev Bobot (f/n)
212
213
Lampiran 6 Lanjutan : Pengolahan Data Skalogram Kota Tasikmalaya Hirarki Jumlah Penduduk (Jiwa)
SMA
Pesantr en
Perguru an Tinggi
Fasilita s Kesehat an
Termin al
Jumlah Pasar
Jumlah Bank
Bank Sentral
Jumlah Hotel
Jumlah Mall
IPK
Juml ah Jenis
Hierarki
Ratarata StDev
No
Kecamatan
1
Kota Tasikmalaya
649.885
0,11347
0,28313
0,03646
0,11405
0,00658
0,00664
0,05506
0,00031
0,04582
0,00123
0,66274
10
Hirarki 1
0,0874
2
Kab. Tasikmalaya
1.692.432
0,05299
0,33088
0,00000
0,00000
0,00006
0,00000
0,00000
0,00000
0,00000
0,00000
0,38393
3
Hirarki 3
0,1041
3
Kab. Ciamis
1.789.121
0,00000
0,30317
0,00540
0,09893
0,00000
0,00089
0,06407
0,00000
0,12038
0,00000
0,59284
6
Hirarki 2
0,0973
4
Kota Banjar
203.512
0,06621
0,00000
0,01611
0,17484
0,00380
0,03517
0,02022
0,00000
0,04755
0,00000
0,36389
7
Hirarki 3
0,0536
5
Kab. Garut
2.502.410
0,10176
0,37276
0,00125
0,07013
0,00168
0,00066
0,02099
0,00000
0,04385
0,00000
0,61308
8
Hirarki 2
0,1150
0,2327
1,2899
0,0580
0,2738
0,0104
0,0427
0,1393
0,0003
0,2137
0,0012
Jumlah wilayah total (f)
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
STDEV
0,138898
Jlh yg memiliki fasilitas (n)
3
4
4
4
4
4
4
1
4
1
AV. IPK
0,523296
Minimum
0,0000
0,0000
0,0000
0,0000
0,0000
0,0000
0,0000
0,0000
0,0000
0,0000
Sum
0,662194
Maksimum
0,1135
0,3309
0,0365
0,1748
0,0066
0,0352
0,0641
0,0003
0,1204
0,0012
Std Dev
0,05
0,15
0,02
0,07
0,00
0,02
0,03
0,00
0,05
0,00
Bobot (f/n)
1,67
1,25
1,25
1,25
1,25
1,25
1,25
5,00
1,25
5,00
Jumlah
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Lambuya, Kabupaten Konawe (Kendari) Propinsi Sulawesi Tenggara pada tanggal 20 Juli 1967, anak keenam dari delapan bersaudara, dari pasangan Bapak Marthin Koodoh dan Ibu Roslinah. Penulis menyelesaikan Sekolah Dasar tahun 1981 dan Sekolah Menengah Pertama tahun 1984 di Lambuya Kabupaten Konawe (Kendari), Sekolah Menengah Atas tahun 1987 di Kota Kendari Propinsi Sulawesi Tenggara. Setelah lulus SMA tahun 1987, pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan sarjana (S1) di Universitas Haluoleo Kendari, pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIPOL) Jurusan Sosiologi dan lulus tahun 1995. Penulis diterima menjadi Pegawai Negeri Sipil pada tahun 1998 pada Pemerintah Daerah Kabupaten Konawe Propinsi Sulawesi Tenggara. Tahun 2001 melanjutkan magister (S2) pada Sekolah Pascasarjana Universitas Hasanuddin Makassar Jurusan Perencanaan dan Pengembangan Wilayah (PPW) dan lulus tahun 2003. Selanjutnya pada tahun 2010 dengan biaya sendiri, penulis melanjutkan pendidikan Doktoral (S3) diterima sebagai mahasiswa pada Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan (PWD) Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Selama mengikuti pendidikan Program Doktor, penulis berstatus sebagai Pegawai Negeri Sipil dan tercatat sebagai pegawai pada Kantor Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Pemerintah Kabupaten Konawe Propinsi Sulawesi Tenggara.