KONSEP DESAIN EKOLOGIS LANSKAP KOTA KESULTANAN BUTON BERBASIS BUDAYA LOKAL DI KOTA BAUBAU, PROVINSI SULAWESI TENGGARA
ABDUL MANSYUR
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2017
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Konsep Desain Ekologis Lanskap Kota Kesultanan Buton Berbasis Budaya Lokal di Kota BauBau, Provinsi Sulawesi Tenggara adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip baik dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Januari 2017 Abdul Mansyur NIM.A451130191
RINGKASAN ABDUL MANSYUR. Konsep Desain Ekologis Lanskap Kota Kesultanan Buton Berbasis Budaya Lokal di Kota BauBau, Provinsi Sulawesi Tenggara. Di bimbing oleh ANDI GUNAWAN dan ARIS MUNANDAR Lanskap Kota Kesutanan Buton merupakan kota binaan Kesultanan Buton pada tahun 1332. Kota ini telah ditetapkan sebagai salah satu Jaringan Kota Pusaka Indonesia. Kementerian Pekerjaan Umum Republik Indonesia mempersiapkan kota ini untuk menjadi World Heritage City. Penetapan ini merupakan suatu yang wajar, karena kota tersebut memiliki kekayaan sejarah (artefak) dan budaya sangat kental dengan filosofi kehidupan. Penelitian konsep desain ekologis lanskap kota ini telah menghasilkan suatu konsep desain era kesultanan di masa kejayaannya dan menjadi pembuka penelitian berikutnya yaitu lanskap kota kesultanan berbasis budaya lokal. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dan mengungkap desain original dan pada masa lampau. Adapun tujuan khusus penelitian ini adalah: 1). Mengidentifikasi karakteristik lanskap kota, 2). Mengkaji elemen-elemen lanskap kota dan tata letaknya, dan makna filosofi dan simbolisme yang mendasarinya, 3). Mengkaji pola tata ruang kota Kesultanan Buton. Penelitian menggunakan metode kuantitatif dan mengambil lokasi di kawasan benteng keraton Buton di Kota BauBau, Provinsi Sulawesi Tenggara. Pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara, studi pustaka, dan survei lapang. Studi pustaka pada naskah lokal dan naskah penelitian dilakukan dengan content analysis dan disesuaiakan dengan artefak lapangan. Hasil penelitian menunjukan tatanan elemen-elemen lanskap kota dan orientasi berbentuk pola tertentu. Tatanannya berbasis jalan poros sebagai sumbu kota. Pola lanskapnya dipengaruhi agama, dan falsafah hidup kesultanannya, yaitu falsafah “Po 5”, yaitu Pomae-maeaka, Popia-piara, Pomaa-masiaka, Poangkaangkataka, dan Pobinci-binciki kuli dan falsafah agama Islam. Kedua konsep ini diderivasi dari manusia dan Sang Nabi, Muhammad Rasulullah Saw sebagai spirit. Lanskap kota merupakan bentukan kombinasi dari faktor strata sosial, spritual-agama, dan kekerabatan. Elemen-elemen lanskap kota terdiri dari benteng, gerbang dan baluara, permukiman, makam, alun-alun, ruang terbuka hijau, jaringan jalan, masjid agung, dan istana. Tata ruang kota didasari dua kelompok permukiman besar. Jalan poros melintasi tengah kota adalah pemisahnya. Pola kota berbentuk huruf Arab Muhammad Rasulullah Saw dan tatanan kotanya simbol seorang ibu. Alun-alun pusat kota simbolisme makrokosmos dan mikrokosmos. Konsep desain ekologis lanskap kota Kesultanan Buton, yaitu rumah sejajar jalan dan saling berhadapan diantaranya Ruang Terbuka Hijau, istana berorientasi timur didepannya ruang hijau jenis buah dan posisinya di bukit memudahkan sultannya memantau kotanya, masjid terbangun pusat kota dan ditinggikan agar memudahkan informasi ibadah terdengar dimana-mana. Konstruksi benteng dan elemennya respon cahaya dan iklim, dan hidrologi, dan elemen parit benteng respon hidrologi dan ruang terbuka hijau. Kata Kunci: Kesultanan Buton, Kota Pusaka, pola lanskap, eco-desain, spirit kota.
SUMMARY ABDUL MANSYUR. Ecological Design Concept of Buton Sultanate Cityscape Based on Local Cultural in BauBau City, Southeast Sulawesi Province. Supervised by ANDI GUNAWAN and ARIS MUNANDAR The purpose of this study is to analyze and reveal the original design and in the past. The specific purpose of this research are: 1) identify characteristics of urban landscape, 2) to examines the elements of the city landscape and its layout, and the underlying philosophical and symbolic meaning, 3) to examine the spatial pattern of the city of Buton Sultanate. The study used quantitative methods and located in the palace area of Buton palace in BauBau City, Southeast Sulawesi Province. All the data are collected through interviews, literature study and field observation. Literature study on local script and research script used content analysis and adapted to field artifacts. The results show the layout of urban landscape element and the orientation are perform certain patterns. The layout are based on the pivot road as the axis of the city. The landscape pattern is influenced by religion, and the philosophy of the life of his sultanate, which is the philosophy of "Po 5", they are Pomae-maeaka, Popia-piara, Pomaa-masiaka, Poangka-angkataka, dan Pobinci-binciki kuli and Islamic philosophy. Both of these concepts are derived from human and the Prophet, Muhammad Rasulullah Saw as spirit. Urban landscape is a combination of social strata, spritual-religion, and kinship factors. The landscape elements of the city consist of fortresses, gates and baluara, settlements, graveyard, squares, green open spaces, road networks, grand mosques, and palaces. Urban layout is based on two large groups of settlements. The pivot road across the middle of the city is the separator. The pattern of the city in perform Arabic letters Muhammad Rasulullah Saw and the city order symbol of a mother. The central square symbolize the macrocosm and microcosm. The ecological design concept of Buton Sultanate cityscape are their house position parallel to the road and face each other with the green open space in between, the palace oriented to the east and located up on the hill to facilitate the Sultan monitoring his city, the mosque located in the middle of the city and elevated In order to facilitate the information of worship heard everywhere. The construction of the castle and its elements are the response of light, climate, and hydrology, and while the castle element are the response of the hydrological and green open space. Keywords: Buton Sultanate, Heritage City, landscape pattern, eco-design, city sprit
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2017 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
Penguji Luar Dr. Husin Alatas, S.Si., M.Si.
KONSEP DESAIN EKOLOGIS LANSKAP KOTA KESULTANAN BUTON BERBASIS BUDAYA LOKAL DI KOTA BAUBAU, PROVINSI SULAWESI TENGGARA
ABDUL MANSYUR
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Arsitektur Lanskap
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2017
Penguji Luar Komisi: Prof. Dr. Ir. Wahju Qamara Mugnisjah, M.Agr
10 Maret 2017
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga tesis ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini adalah lanskap Kota Kesultanan Buton, dengan judul Konsep Desain Ekologis Lanskap Kota Kesultanan Buton Berbasis Budaya Lokal di Kota BauBau, Provinsi Sulawesi Tenggara. Hasil utama dari penelitian ini adalah konsep desain ekologis lanskap kota yang diterapkan pada era Kesultanan Buton. Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr. Ir. Andi Gunawan, MAgr.Sc dan Dr. Ir. Aris Munandar, MS selaku pembimbing yang telah banyak memberi saran dan bimbingan dalam penyelesaian tesis ini. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada seluruh pihak yang telah membantu penulis selama pengumpulan data dan penyusunan tesis. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, seluruh keluarga besar, serta teman-teman atas segala doa dan kasih sayangnya. Hasil penelitian ini semoga bermanfaat bagi pemerintah dan masyarakat Kota BauBau dalam desain kota menurut kreasi era kesultanan. Dengan memahami kreasi masyarakat masa silam terhadap lingkungan, diharapkan dapat menjadi pembanding utama dalam pengembangan Kota BauBau di Kota BauBau dan kotakota lain bekas kesultanan atau kerajaan di Indonesia. Bogor, Mei 2017 Abdul Mansyur NRP.A451130191
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
i
DAFTAR GAMBAR
ii
DAFTAR LAMPIRAN
iii
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Kerangka Pikir Penelitian Ruang Lingkup Penelitian 2 TINJAUAN PUSTAKA Karakter Lanskap Kota Tradisional Filosofi, Geomansi, dan Kosmologi pada Lanskap Spirit dan Sense of Place Lanskap Budaya Faktor Ekologis Konsep Desain Ekologis Kota
1 1 2 3 3 3 4 4 4 6 7 8 9 9
3 METODE Lokasi dan Waktu Penelitian Metode Penelitian
11 11 11
4 HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Analisis Situasional Lanskap Kota Kesultanan Buton Analisis Sejarah Lanskap Kota Kesultanan Buton Filosofi Kesultanan Buton Elemen-elemen Lanskap Kota Kesultanan Buton Tata Guna Lahan Perkotaan Pola Kota Konsep Ecodesign Kota Pertimbangan Aplikasi Konsep Desain Ekologis Kota Berbasis Budaya
15 15 18 19 21 23 48 50 53 57
5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran
57 57 57
DAFTAR PUSTAKA
58
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5
Jenis, Bentuk, dan Sumber Data Daftar Studi Pustaka Daftar Nama Narasumber Elemen-Elemen Lanskap Kota Kesultanan Buton Komponen Lanskap dan Rumah Adat Menurut Narasumber
12 10 14 23 30
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38
Kerangka Pemikiran Penelitian Filosofi dan Lanskap Kota Yogyakarta Filosofi Zonasi Rumah dan Arsitektur Lanskap Bali Simbol Kota Berbasis Formasi Gunung dan Aliran Sungai Kota Kosmik dan Pusat Ibadah Islam Lanskap Budaya Pusaka Dunia Tampilan Ecodesign dan Sublime Landscape Lokasi Penelitian Lanskap Kota BauBau Penyanggga Besar Estetika Kota Seni dan Syara Ogena Kesultanan Buton Peta Situasi Kelurahan Melai Lanskap Utara dan Orientas Rumah Luar Kota Huruf Arab “Muhammad” Lanskap Kota Ikon Gerbang Hias Benteng Utara Kota Gerbang Khusus Sultan Buton Benteng Selatan Kota Fasade dan Arsitektur Rumah Adat Buton Lanskap Rumah Adat Letakan Makam Area Pinggir Timur Kota, Area Kaki Lanskap Makam Sultan Ruang Yaroana Masigi Alun-alun Kota Elemen Lanskap Yaroana Masigi Alun-alun Pusat Kota Kosmologi dan Spirit Yaroana Masigi Alun-alun Pusat Kota Struktur Tempat Yaroana Masigi Alun-alun Pusat Kota Wilayah Timur Penyangga Besar Ekologi-Estetika Lanskap Kota Tanaman Ruang Terbuka Hijau Lanskap Kota Sumbu Kota dan Spirit Struktur Lanskap Kota Pola Dasar Jalan Lanskap Kota Kaleidoskop Arsitektural Masjid Agung Keraton Buton Denah dan Posisi Duduk Ibadah Masjid Agung Keraton Buton Kaleidoskop Lanskap Istana Kesultanan Buton Istana: Replika Bukit Yang Tiga dan Posisi Letak Elemen-Elemen Lanskap Istana Tata Guna Lahan Kota Kesultanan Buton Bukaan Benteng Penanda Awal Huruf Arab “Dal” Manuskrip Aksara Arab Melayu Kesultanan Buton Pola Kota Huruf Muhammad Rasulullah Saw Lantai Dinding dan Baluara Benteng Kota Ruang Terbuka Hijau Diantara Rumah
4 5 5 6 7 9 10 11 17 18 19 23 25 27 28 29 31 32 33 35 36 37 37 39 40 41 43 46 45 47 48 49 51 52 54 54 56 57
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4 5 6 7
Peta Kota Kesultanan Buton Formulasi Desain Lanskap Kota Masa Kesultanan Buton Muhammad dan Manusia dalam Naskah Adat Kesultanan Buton Sultan Buton Identitas Perempuan-Ibu dan Siolimbona Identitas Bapak Istana Kamali atau Malige Simbolisme Perempuan Daftar Jenis Tanaman Lanskap Kota Daftar Jenis Fauna Lanskap Kota
63 64 64 65 65 68 70
11
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Kesultanan Buton merupakan sala satu Kerajaan Islam di Nusantara, Kawasan Timur Indonesia. Posisinya berada di Pulau Buton pertengahan jalur perdagangan antara barat dan timur Indonesia. Era Kerajaan Majapahit, Buton merupakan wilayah kekuasannya (Prapanca, 1336). Dalam riwayat kesejarahannya, Kesultanan Buton banyak terkait atau terhubung dengan kerajaan dan bangsa besar, yaitu Kerajaan Majapahit, Jawa, Johor, China, Kesultanan Rum Turki, Kerajaan Aceh, Kerajaan Gowa-Bone, Kerajaan Ternate, Bangsa Portugis, Inggris, Jepang dan VOC-Belanda. Kota Kesultanan Buton merupakan kota binaan pada jaman Kesultanan Buton pada tahun 1322. Menurut sejarah, pada mulanya kota ini direncanakan dan dibuka oleh Mia Patamiana (empat orang pembesar) untuk menghindari gangguan dari bajak laut. Tempat ini berada di atas bukit dan di bawahnya sungai yang bermuara dilaut Kota BauBau. Penggunaan lahan bermula dari pinggir tebing bagian utara lahan untuk dua pemukiman terpisah yaitu Barangkatopa dibagian timurnya dan Gundu-Gundu dibagian baratnya. Kedua permukiman ini berkembang menjadi empat permukiman, yaitu Peropa dipinggirnya Gundu-Gundu dan permukiman Baaluwu dipinggirnya Barangkatopa. Keempat permukiman inilah yang menjadi cikal bakal terbentuknya Kerajaan Buton. Rumus dasar desainnya menurut naskah lokal, yaitu pemahaman untuk memperoleh kebahagian, rahmat Allah Swt yang dapat diindra langsung, yaitu bagian baratnya lembah, bagian timurnya perbukitan, warna lingkungannya putih, tanah rasanya manis, dan lingkungannya berbau harum. Sala satu paham turun temurun masyarakat Buton adalah tanah terasa manis dilidah menjadi ukuran cocok dan bagus dijadikan lokasi pendirian rumah. Muka lanskap kota sisi timur dan utara tersaji view lanskap laut, Pulau Sulawesi, dan lanskap sungai dan hutan. Era kesultanan, kawasan kotanya dinamakan Kota Wolio, tempat pusat pemerintahan, ibukota, pusat pendidikan, syiar agama dan hunian golongan Walaka dan Lalaki, pejabat kerajaan dan ulama agama serta tempat pemakaman orangorang berjasa pada kerajaan dan agama Islam. Jika dilihat dari peninggalan bangunan fisik dan pola spasialnya, kota ini memiliki aturan dan tatanan khusus yang dipatuhi dan diikuti masyarakat dan mengikuti karakter alam lokal. Elemenelemen lingkungan alam dan tubuh manusia diadopsi sebagai sumber penamaan tempat, penamaan jabatan dan batas wilayah kerja pemerintahannya. Sebagai kota binaan era kesultanan, kota ini mengutamakan pertahanan dan keamanan, keselamatan negerinya dan agama. Sisi lainnya, Kesultanan Buton berada di jalur utama maritim perdagangan barat dan timur. Keseutuhan Kesultanan Buton terkait erat dengan lanskap lautnya yang penuh manfaat dan olehnya itu kerajaan besar sering mengekspansi wilayah ini dan alasan ini VOC-Belanda berupaya terjalin persahabatan melalui kontrak perjanjian. Perilaku kehidupan rmasyarakat berpegang teguh pada Undang-Undang Kerajaan dan prinsip adat Po Binci-Binciki Kuli artinya menjadi manusia responsif agar sesama pejabat, antar masyarakat agar pandai membedakan rasa senang atau sakit. Tatanan kota dipengaruhi ketentuan adat dan keadaan alam lokal dan keyakinan agama.
2 Dalam tulisan ini, metode Lynch dalam bukunya Image of City digunakan sebagai acuan pokok untuk mengetahui karakter tata ruang lanskap kota Kesultanan Buton. Menurut Lynch (1960), lima elemen ruang kota yang penting adalah jalur sirkulasi (path), batas wilayah (edge), bagian wilayah kota (districts), pusat aktivitas kota (nodes) dan mercutanda (landmark). Keberadaan elemen-elemen ruang kota di lokasi penelitian ini dihubungkan dengan konsep ecodesign kota dan dihubungkan dengan pengetahuan kosmologi, geomansi, dan filosofi dari berbagai sumber untuk mengetahui filosofi dan spirit yang mendasarinya. Dengan berjalannya waktu, kota kesultanan ini telah ditetapkan sebagai salah satu jaringan Kota Pusaka Indonesia. Kementerian Pekerjaan Umum Republik Indonesia mempersiapkan kota ini untuk menjadi World Heritage City. Penetapan tersebut merupakan suatu yang wajar, karena Kota Kesultanan Buton memiliki kekayaan sejarah (artefak) dan budaya yang sangat kental dengan perikehidupannya. Beberapa artefak yang masih dapat dipelajari antara lain benteng kota, istana kesultanan, rumah panggung, masjid, pemakaman dan lainnya (Zahari 1977). Kota pusaka dan lanskapnya merupakan satu kesatuan yang sangat penting dalam perencanaan kota (Braaksma et al. 2015; Starke dan Simonds, 2013), karena kota masa lalu juga mempertimbangkan alam dalam penataannya yang saat ini dikenal sebagai konsep desain ekologis (Barnett dan Beastley, 2015; dan Baran et al. 2011). Nilai-nilai budaya dan ekologi pada suatu lanskap tradisional melekat pada perikehidupan masyarakatnya (Spirn, 1998). Beberapa penelitian berkaitan dengan kota pusaka ini, khususnya kota kesultanan, sudah banyak dilakukan (Azizu, 2011; Syahadat, 2014; Ernawi 2009; dan Awat dan Nur, 2012). Namun penelitian berkaitan dengan konsep desain ekologis lanskap kota yang bersumber pada informasi budaya belum dilakukan. Perumusan Masalah Kota Kesultanan Buton adalah kota binaan yang menyimpan peninggalan tatanan lanskap kota pada masa lampau dan gambaran sala satu identitas lanskap budaya Indonesia. Beberapa artefak, naskah adat masih ada dan dapat disaksikan hingga kini, sehingga kajian dan penggalian keaslian tatanan lanskap dapat dilakukan. Meskipun demikian, beberapa fisik tatanan lama telah berubah untuk fungsi tertentu. Secara faktual, tatanan lanskap kota era kesultanan yang berupa elemenelemen, pola ruang pembentuknya yang unik masih dapat disaksikan. Permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini mencakup hal-hal berikut: 1. Bagaimana karakteristik lanskap kota era Kesultanan Buton? 2. Elemen dan filosofi apakah yang membentuk lanskap kota era Kesultanan Buton? 3. Bagaimana tata guna lahan perkotaan era Kesultanan Buton 4. Bagaimana pola kota lanskap kota era Kesultanan Buton? 5. Bagaimana keaslian konsep desain ekologis lanskap kota berbasis budaya lokal?
3 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Identifikasi elemen-elemen lanskap, tata letak dan orientasinya 2. Analisis bentuk pola ruang lanskap kota Kesultanan Buton 3. Analisis karakter lanskap kota berbasis budaya lokal yang mengindikasikan konsep desain ekologis saat ini Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat berkontribusi terhadap upaya pemerintah mempersiapkan Kota Pusaka Indonesia di Kota Kesultanan Keraton Buton menjadi World Heritage City. Secara praktis diharapkan dapat menjadi masukan bagi Pemerintah Daerah Kota BauBau dalam memperkuat identitas Kota Kesultanan Buton yang berpola khusus dan berfilosofi khusus. Kerangka Pikir Kesultanan Buton merupakan sala satu kerajaan dan suku bangsa di Indonesia yang memiliki beragam peninggalan bernilai budaya. Salah satu nilai budaya Kesultanan Buton dapat dilihat pada desain kota kawasan benteng Keraton Buton. Di dalam naskah lokal “Ajonga Inda Malusa” tulisan tahun 1824-1851, kawasan kota dinamakan “kota”. Penataan elemen-elemen lanskap kota yang kaya nilai-nilai budaya lokal ini menjadi dasar pemikiran dalam menggali karakteristik lanskap kota di era kejayaan Kesultanan Buton. Kajian terhadap lanskap kota ini dilakukan dengan mengidentifikasi karakteristiknya, mengidentifikasi elemen-elemen pembentuk lanskap beserta makna filosofi, kosmologi, dan spirit yang mendasarinya, serta menyusun konsep desain ekologis berbasis budaya lokal. Diagram kerangka pikir dapat dilihat pada Gambar 1. Ruang Lingkup Penelitian Kerangka pikir dari penelitian ini, yaitu Kawasan Keraton Buton merupakan lanskap yang difokuskan oleh P3KP dan telah dirumuskan ke dalam heritage map dan Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Kota Baubau karena memiliki banyak peninggalan sejarah dan budaya. Keadaan ini membutuhkan penelitian lebih dalam lagi agar berdampak positif sebab lanskap kota Keraton Buton menyimpan jejak kehidupan manusia era kerajaan dan dapat terlindungi. Mengacu pada hal itu, lingkup penelitian ini dibatasi pada analisis lanskap kota sehingga dapat dihasilkan suatu konsep desain ekologis berbasis budaya lokal era Kesultanan Buton pada masa kejayaannya. Lanskap kota yang menjadi objek penelitian merupakan keseutuhan Kota Keraton Buton yang dulunya merupakan binaan kerajaan bersama masyarakatnya dengan pertimbangan bahwa wilayah ini relatif mengalami perubahan atau relatif bertahan jika dibandingkan dengan wilayah Kota BauBau sehingga elemen-elemen lanskap era kesultanan masih dapat
4 ditemukan. Sedangkan, penelusuran keaslian lanskap era kesultanan mengacu pada literatur, wawancara dan foto-foto sumber KITLV. Budaya Kesultanan Buton
Lanskap Kota Kesultanan Buton
Karakteristik Kota
Elemen-elemen Tata Letaknya
dan
Faktor ekologis
Simbolisme, Makna dan Spirit
Pola Ruang Lanskap Kota Kesultana Buton Konsep Desain Ekologsi Lanskap Kota Berbasis Budaya Lokal
Gambar 1 Kerangka Pemikiran Penelitian Elemen pembentuk lanskap kota dianggap memiliki eksistensi jika ditemukan sekurang-kurangnya satu buah elemen dalam sampel lokasi (Maningtyas, 2013). Selain itu, elemen pembentuk lanskap kota dapat berupa elemen fisik dan non fisik. Elemen fisik (tangible), yaitu arsitektur bangunan lama, skyline bentuk atau garis pertemuan langit dan bangunan atau lahan, ruang kota/pola sirkulasi, views/scenery. Bangunan lama hal paling menonjol lingkungan fisik dan menjadi identitas kota dan perkotaan. Elemen non-fisik (intangible), yaitu cultural hybrid (misalnya peranakan arab, jawa), desain arsitektur multibudaya, tatanan dalam rumah (interior furnishing), makanan dan pakaian adat, dan elemenelemen lainnya cerminan gaya hidup masyarakat lokal (Shamsuddin et al, 2012).
2 TINJAUAN PUSTAKA Karakter Lanskap Kota Tradisional Keberadaan ragam karakter arsitektur lanskap kota tradisional Indonesia merupakan warisan masa lalu dan menjadi modal utama untuk dikembangkan dalam penataan perkotaan sehingga di setiap daerah dijumpai keanekaragaman dan keunikan tampilan lanskapnya. Untuk mencapai hal tersebut, lanskap warisan kebudayaan masa lalu harus diketahui, diserap, diadaptasi, dan dihadirkan keunikannya. Oleh karena itu, penataan lanskap kota harus dilandasi dari nilai-nilai budaya yang dimilikinya.
5 Lanskap Tradisional Kota Yogyakarta Tata kota Kraton Yogyakarta mengadopsi filosofi “teosentris” yang diwujudkan dalam bentuk simbolisme dengan kota Yogyakarta dilambangkan dengan axis (sumbu imajiner) menghubungkan dua kerajaan “alam” yaitu laut sebelah selatan dengan gunung di sebelah utara. Di pusatnya terletak Kraton sebagai gabungan kehidupan mikrokosmos (yang tampak) dengan kehidupan makrokosmos (yang tidak tampak) (Mulyandari, 2011). Kota Yogyakarta dianggap sakral direncanakan sepanjang garis sumbu, terletak di sebelah selatan menghadap ke utara melalui sebuah alun-alun. Alun-alun Kidul di selatan kraton dan masjid, Alun-alun Lor, pasar, dan Pal Putih di utara kraton. Keluarga kraton mengambil sumbu Timur-Barat, bangunan utama keraton menghadap ke timur, tempat matahari terbit. Garis sumbu imajiner dijadikan simbol bermakna penting bagi lanskap kota Kraton Yogyakarta (Mangunsong, 2012)
Sumber: Dr. Nurhayati HS Arifin dalam Hakim (2013)
Elemen lanskap kota Sumber: http://www.kotapusaka.id/yogyakarta
Gambar 2 Filosofi dan Lanskap Kota Yogyakarta
Lanskap Tradisional Bali Pola desa tradisional di Bali beserta lanskapnya dibagi dalam tiga area yang disebut dengan Tri Mandala, yaitu utama mandala (daerah utama/suci), madya mandala (daerah tengah), dan nista mandala (daerah tidak suci). Utama mandala biasanya diperuntukan sebagai tempat suci desa, daerah tengah difungsikan untuk pemukiman dan fasilitasnya, dan nista mandala diperuntukan sebagai kuburan (Yudantini, 2016).
Sumber: https://inputbali.com/budaya-bali
Sumber: Dr. Nurhayati HSA dalam Hakim (2013)
Gambar 3 Filosofi zonasi rumah dan arsitektur lanskap Bali
6 Pedoman tata nilai didalam mencapai tujuan penyelarasan antara alam semesta (makro) dan manusia (mikro) didasarkan pada orientasi: 1). Berdasarkan sumbu bumi yaitu gunung dan laut, 2). Arah tinggi dan rendah, 3). Berdasarkan sumbu matahari yaitu timur-barat (matahari terbit dan terbenam) (Dwicendra, 2003) Lanskap Tradisional Korea Penataan lanskap Kota Seoul, ibukota Korea Selatan didasari ide pungsu yaitu menenangkan angin dan memanen air, dan menganggap lahan sebagai “mother god land”. Formasi landform pegunungan alami sekitar dianggap mempengaruhi pola paparan angin dalam mengalirkan energi dan menentukan orientasi aliran sungai (air). Konsep Raja sejong bahwa, kota Seoul harus berada dibawah pengendalian gunung utama Punggagsan yang berada dibelakang dan formasi aliran air bagian depan harus dilindungi. Hal ini diterapkan melalui restorasi kali Cheonggye. Kali Cheonggye yang berhulu diempat gunung (Punggaksan, Naksan, Iwansan, dan Namsan) dan melintas di muka istana Gyeongbokung menempati posisi “keberuntungan” dalam tata letak fengshui kota. (Pramukanto, 2012).
Kota Hanyang Sumber: Pramukanto, 2012
Kota Tua Seoul Sumber: Pramukanto, 2012
Gambar 4 Simbol Kota Berbasis Formasi Gunung dan Aliran Sungai
Filosofi, Geomansi, dan Cosmologi pada Lanskap Kosmologi merupakan ilmu cabang astronomi; ilmu tentang asal-usul kejadian bumi, hubungannya dengan sistem matahari, serta hubungan sistem matahari dengan jagat raya; ilmu cabang metafisika yang menyelidiki alam semesta sebagai sistem beraturan (Pusat Bahasa, 2008). Tuan (1977) dalam bukunya Space and Place, bahwa kosmologi itu keteraturan, keseimbangan, dan harmonisasi manifestasi alam semesta. Eliade (1957) dalam buku The Sacred and The Profane, bahwa manusia merupakan kosmos, sebagai mikrokosmos, manusia berada dipusat kosmos, dan alam semesta dibatasi dan diartikan sebagai titik pokok dan poros vertikal (poros mundi). Sudut pandang Islam, kedua kosmos yaitu manusia dan alam semesta beserta isinya merupakan ciptaan Allah Tuhan Semesta Alam sebagai metakosmos. Hubungan kosmologi dengan ruang, Tuan (1977) membagi ruang
7 berdasarkan sisi kanan melambangkan apa yang tinggi, dunia atas, langit; sisi kiri berhubungan dengan dunia bawah dan bumi. Ide/gagasan kreasi lanskap berbasiskan kosmologi dapat diketahui melalui kreasi tempat atau bentuk lanskap. Misalnya, pengorganisasian kota didasarkan pada susunan tatanan bangunan kota yaitu pola orientasi, tata letak bangunan, dan elemen-elemen lanskap dalam suatu kota. Simbol kosmologi dapat ditemukan pada penataan kota, ruang ibadah, dan lanskap, apabila tempat tersebut melambangkan dan bertindak sebagai pusat dunia (Sonntag, 2014). Bagi pemeluk agama Islam, rumah Ka’bah merupakan arah yang ditujuh ibadah shalat. Untuk Islam di Indonesia, arah kiblatnya adalah arah barat (matahari terbenam) bertempatnya Ka’bah, Arab Saudi. Bentuk-bentuk simbol yang disepakati manusia merupakan wujud nyata dari sebuah filosofi (Gambar 5).
Arsitektur lanskap kosmic: cermin cosmik di Cahokia, Sumber http://www.press.uchicago.edu/Misc/Chicago
Lintasan imajiner kiblat terpusat ke Ka’bah Sumber https://id.wikipedia.org/wiki/Kiblat
Gambar 5 Kota Kosmik dan Pusat Ibadah Islam
Disamping kosmologi, arsitektur lanskap mengenal pengetahuan geomansi pada lanskap. Geomansi merupakan ilmu meramal berdasarkan pengamatan pada garis-garis atau gambar-gambar. Geomansi disebut juga ekologi mistik (mystical ecology) yaitu aspek ritual interaksi antara manusia dan lingkungan fisik alam (Freedman, 1968). Lingkungan fisik disini berupa langit dan bumi, yaitu lahan simbolisme “Mother God Land” (dewi bumi) dan langit simbolisme bapak yang keduanya merupakan penyedia pangan dan membawa kemakmuran dan kelahiran. Keyakinan mistis manusia pada alam semesta ini mempengaruhi tatanan lanskap tradisional. Pramukanto (2012) mengatakan istilah geomansi dikenal juga geomansi pungsu (fengsui), yaitu seni dalam penentuan lokasi tempat yang “menguntungkan” untuk suatu peruntukan, seperti kota, desa, rumah atau makam. Kata simbolisme adalah pemahaman alami manusia (termasuk dirinya) melalui pengalaman penuh makna, yang kemudian “diterjemahkan” dalam suatu medium lainnya, dan kemudian menjadi “objek kebudayaan” (Norberg-Schulz, 1980). Spirit dan Sense of Place Tuan (1977) menjelaskan bahwa suatu tempat terpaut identitas, dan aura. Spasial kota menurut struktur tempat terdiri dari lanskap dan settlements (permukiman), dengan elemen pembentuknya terdiri dari space (ruang) dan karakter. Space merujuk pada semua bentuk tiga dimensi yang membentuk ruang dan karakter dibentuk oleh atmosfir pembentuk ruang. Lanskapnya berupa elemen-
8 elemen pembentuk kota yang berwujud tiga dimensi dan atmosfir berupa kondisi alamnya (iklim, angin, cahaya matahari, langit). Pada settlement, elemen space yang membentuk ruang adalah dinding-dinding, rumah, jalan, pohon. Perpaduan antara lanskap dan settlement yang harmonis akan menghasilkan space dan character yang kuat dari tempat. Elemen space dan character dengan komposisinya dikombinasikan secara elok dapat menghasilkan desain arsitektur kota yang memunculkan spirit dari aspek fungsional, estetika dan kultural. Tatanan lanskap klasik, yaitu susunan dari struktur spasial dan elemen spasial, dan semua faktorfaktor visualnya terkandung spirit yang penting untuk manusia sekarang (Higuchi, 1988) Sense tempat (berupa tapak, kota, desa, negeri) adalah pembangun jiwa karena karakter tata letak, saling terkait, dan hubungannya dapat menimbulkan emosi, ide, atau memori tertentu dalam pikiran seseorang (Motloch, 2001). Sense tempat terasa kuat dan berkualitas tinggi (placeness), jika tempat itu dapat diingat dalam waktu lama. Contohnya, persepsi positif atau perasaan takut pada karakter geografi tempat atau efek psikologis lingkungan terhadap anak atau masyarakat. Lanskap Budaya Lanskap merupakan suatu bentang alam dengan karakteristik tertentu yang dapat dinikmati oleh indra (Simonds dan Starke, 2013). Secara sederhananya, Landskap merupakan porsi lahan yaitu sekali mata memandang dapat melihat secara komprehensif, mencakup semua alam dan karakteristik budaya (Ndubusi, 2014). Beck (2013) menyatakan lanskap berarti pertunjukan scenery (gambar atau pemandangan) dan makna ini dijadikan standar pendekatan suatu desain lanskap. Lanskap budaya merupakan lanskap bentukan masyarakat dalam bingkai sejarah. Secara kesejarahan, lanskap eksisting yang ada sekarang, yang digunakan turun temurun merupakan hasil konstruksi komunitas masyarakat dan merupakan ekspresi nilai-nilai budaya, perilaku sosial, dan tindakan masing-masing individual dalam waktu panjang. Bentuk-bentuk kesejarahan lanskap yang vernacular, yaitu pola-pola tatanan spasial, landuse, sirkulasi, vegetasi, strukturnya, dan objek. Lebih detailnya, Spirn (2008) mengatakan lanskap menggabungkan tempat dengan manusia. Kepaduan dalam vernacular landscape timbul dari dialog antara pembangun dan tempat, terus menerus membuat perubahan kecil pada tempat sehingga terlihat bagus. Hal ini ditunjukan oleh kebersesuaian antara batu dinding dengan batu alam, salju (snowfall) dengan bubungan atap, antara sudut datang sinar matahari dan kemiringan atap (roof overhang), arah angin dan pagar hidup, peladangan dan dimensi lahan, struktur keluarga dan pola pemukiman (setlement). Menurut UNESCO (2005), lanskap budaya adalah representasi dari kombinasi kerja antara alam dan manusia, ilustrasi dari perkembangan umat manusia dan permukiman dari waktu ke waktu, dibawah pengaruh tantangan fisik dan/atau kesempatan yang diberikan oleh lingkungan alam dan kekuatan-kekuatan ekonomi, sosial, dan budaya, baik eksternal maupun internal (Gambar 6). Lanskap suatu tempat dapat bermakna (terkait ide tempat) bagi suatu komunitas dan identitas budayanya. Budaya dan identitas bukan hanya hubungan sosial, tetapi secara mendalam pada keruangan (spatial). Komunitas dengan masa lalunya. Kontribusi lanskap terhadap identitas dan keberagaman budaya (Stephenson, 2008).
9
Panorama subak di Bali Indonesia Sumber: whc.unesco.org/en/documents/117266
Benteng Kota Diyarbakir Turki Sumber: whc.unesco.org/en/documents/136320
Gambar 6 Lanskap Budaya Pusaka Dunia
Faktor Ekologis Faktor ekologis adalah pembatas pembangunan daripada sistim atau proses dengan karakter spasial (Nassauer, 2002). Praktek keberlanjutan tempat dimulai dari pengetahuan faktor ekologi yang dibenarkan dan diilhami melalui tindakan mengetahui dan mengapresiasi tempat (Ken Tamminga et al, 2002). Masyarakat dan faktor ekologi pengaruh-memengaruhi di dalam ekosistem kota (Beck, 2013). Faktor ekologi meliputi ukuran panas atau dinginnya keadaan (hawa), struktur habitat, kepadatan penduduk, ukuran wilayah jelajah (home range size), struktur sosial (Jorgensen, 2008). Konsep Desain Ekologis Kota Kota bersejarah hasil kreasi komunitas masyarakat masa lalu merupakan potensi di masa sekarang harus dilakukan pengelolaan yang tepat sehingga mampu mempertahankan nilai kesejarahan, keanekaragaman ekologi eksisting untuk ketahanan kontribusi lanskap terhadap identitas budaya lokal. Lynch (1981) menyatakan bentuk fisik kota berhubungan dengan nilai masyarakatnya. Konsep ecodesign merupakan satu cara terbaik agar kota tetap berkelanjutan, agar kota tidak kolaps (tidak runtuh). Prinsip utama ecodesign adalah desain selaras, menyatu, dan sejalan sumberdaya lokal eksisting dan ekosistim lokal dan global. Elemen pokoknya, yaitu energi (sinar matahari, angin, air) dan sumber daya materi (biotik dan abiotik) tersedia dialam lokal. Tjallingii (1995) kota adalah hal hidup (living beings), yaitu jaringan jalan sebagai ‘arteri’, taman sebagai ‘paru-paru’, selokan (drainase) sebagai ‘usus’, pusat kota sebagai ‘hati’, dan perkantoran sebagai ‘otak’. Barnett dan Basley (2015) istilah eco berarti semua yang dibuat manusia menjadi bagian sistem alamiah lokal maupun global dan akan menjadi kebaikan atau kerugian, sedangkan design berarti sebuah pertimbangan pembangunan baru harus menjadi bagian koheren, strukturnya positif memenuhi apa yang dibutuhkan dan diinginkan masyarakat. Desain ekologis kota juga harus berorientasi pada estetika lingkungan agar penghuninya merasa betah hidup di huniannya (kota). Sala satunya green design lokal bernilai estetika familiar dengan persepsi masyarakat lokal (Saito, 2007). Berdasarkan studi literatur, terdapat beberapa konsep desain ekologis kota.
10 Kota mengutamakan Amenity Amenity diartikan sebagai upaya memberikan kenyamanan, kemudahan, atau kenikmatan. Untuk skala kota, diwujudkan dengan pesona arsitektur dan lanskap, perlindungan pemandangan (view) pegunungan dan badan air, shelter dari cuaca, fasilitas budaya dan komunitas, kehidupan malam (nighlife), kedinamisan trotoar jalan, dan nuansa lokal komunitas (neigborhoods). Ecodesign kota merupakan cara/jalan untuk memperoleh keharmonisan sistem kota dengan sistem alamiah yang berkontribusi pada pengalaman dan kehidupan sosial (Barnett dan Beasley, 2015). Kota Menjadi Lanskap Penuh Makna Kota merupakan lanskap juga. Lanskap penuh makna berarti keberadaan lanskap itu terasa seperti di rumah sendiri. Perasaan ini terkait kuat dengan elemenelemen lanskap. Ini dikaitkan bagaimana rasanya di bawah langit tertentu, jalan pada tanah khas, atau tercium aroma tanaman tertentu. Tiga tahap strategi untuk bisa menciptakan lanskap penuh makna yaitu: 1). Penggunaan bahan-bahan lokal dan telah mentradisi dengan cara baru dan inovatif, tanggap pada keterkaitan regional,2). Pemanfaatan kisahan lanskap (landscape narrative) dalam menyampaikan cerita tempat dan layer lanskap temporer ditunjukan, 3). Persepsi estetika terhadap desain ekologis (Hermen et al., 2010). Kota Menjadi Surga Kecil di Bumi Gambaran surga (Jannah) dalam kitab Al-Quran adalah tempat di dalamnya terdapat sungai bersih mengalir, mata air, istana, kemah, dan berbagai macam pohon. “Kota bersifat istimewa karena usaha manusia membawa tatanan dan keagungan surga di bumi, dan dari kota ini terus menerus reduksi dirinya yang akarnya pertanian, peradaban musim dingin, mengubah malam jadi siang, dan manusia mendisiplinkan dirinya untuk tujuan pengembangan pikirannya. Dalam lingkungan kota, manusia dimatangkan dengan hal itu, dan dapat mengalami makna ketinggian dan kedalaman (sublime landscape)” (Tuan, 2013). Balsley (2015) mengatakan kota adalah tempat menyelamatkan lingkungan, bumi, dan penyimpanan kekayaan manusia. Kota menjadi surga kecil di bumi, jika kota tersebut direncanakan dengan bangunan menarik dan jaringan jalan rectilinear. Di saat tertentu, kota bisa memberi perubahan perasaan seseorang secara supernatural, yaitu dari tempat menuju ruang tertentu dapat merasakan spritualitasnya, misalnya terhadap pohon, dinding, dan sudut jalan tertentu (Tuan, 2013)
Waterfront Kota Vancouver, Kanada USA Sumber: https://islandpress.org/book/ecodesign
Lanskap industri Sumber: https://landscapetheory/industrial-sublime
Gambar 7 Tampilan Ecodesign dan Sublime Landscape
11
3 METODE Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kelurahan Melai, Kota BauBau, Provinsi Sulawesi Tenggara. Tempat ini populer dengan nama Kawasan Benteng Keraton Buton. Era kesultanan, kawasan ini dinamakan Kota Wolio. Kawasan ini menjadi kota budaya Kota BauBau yang masih memperlihatkan karakter kota binaan era Kesultanan Buton. Luas wilayah penelitian ini adalah 24,0 ha yang dikelilingi benteng kota terletak pada koordinat 5.21 LU – 5.30 LS dan 122.30 – 122.45 BT (Gambar 8). Kawasan ini berada diatas bukit ketinggian 104 m dari permukaan laut dan di sekitarnya, beberapa bagiannya merupakan lembah, tebing, dan dataran. Penelitian ini dilaksanakan selama enam bulan yaitu bulan Mei – Desember 2015. Pelaksanaan penelitian terdiri dari tahap penelusuran berupa pengumpulan data-data kesejarahan, observasi lapang, dilanjutkan dengan tahap analisis dan sintesis data untuk keperluan perumusan konsep desain ekologis kota berbasis budaya lokal hingga penulisan laporan.
Pulau Sulawesi dan Buton Sumber:https://en.wikipedia.org/Bau-Bau
Topografi Kota BauBau Sumber: Google map
Foto udara Lanskap Keraton Buton Sumber: Google earth.com Lanskap Kota Kesultanan Buton
Gambar 8 Lokasi Penelitian
Metode Penelitian Kerangka studi yang digunakan dalam penelitian adalah pendekatan kesejarahan (historic approach) dan kebudayaan (cultural approach) dengan menggunakan content analysis, mengeksplorasi elemen-elemen lanskap kota
12 (cityscape) dan tata letaknya, dan konsep desain ekologis lanskap kota berbasis budaya lokal. Penelitian ini juga bertujuan mengungkap desain tatanan kota original dan pada masa lampau. Pengumpulan data melalui metode deskripsi yang dilaksanakan dengan tiga tahap, yaitu: 1). Tinjauan pustaka, 2). Wawancara, 3). Observasi lapang. Data yang dikumpulkan terdiri dari dokumen-dokumen sejarah yang terkait dan mendukung penelitian, dokumen foto, peta, dan hasil survei dan wawancara terstruktur di lapangan (Tabel 1). Tabel 1 Jenis, Bentuk dan Sumber Data Jenis Data Pola lanskap kota Tata ruang lanskap kota
Bentuk Data Peta, deskripsi, citra satelit Peta, citra satelit
Orientasi elemen
Deskripsi, citra satelit, foto
Sejarah dan Budaya
Deskripsi
Sumber Data Literatur, survei lapang Literatur, survei lapang, wawancara Literatur, survei lapang, wawancara Literatur, wawancara
Studi Pustaka Penelitian ini diawali dengan studi literatur yang difokuskan untuk mencapai tujuan penelitian, yaitu elemen-elemen pembentuk lanskap kota kesultanan Buton pada saat kejayaan dan tata letaknya. Selain itu, studi ini juga mencermati pola ruang kota dengan fungsinya masing-masing berdasarkan informasi budaya. Sumber informasi budaya yang dikumpulkan adalah naskah adat, buku dan jurnal, majalah lokal (Tabel 2) Tabel 2 Daftar Studi Pustaka Naskah Pakaroana Banua Paiyasa Mainawa Hikayat Si Panjonga
Salinan undang-undang Martabat Tujuh oleh AM Zahari Beschrijving En Geschiedenis van Boeton oleh Ligvoet Naskah asli dan Terbitan Balaipustaka: Sejarah dan Adat fiy Darul Butuni oleh AM Zahari.
Tema Petunjuk mendirikan rumah, dusun, atau negeri Cermin amal di dunia untuk selamat di akhirat Kisah pendirian permukiman pertama dalam Kota Kesultanan Buton Pokok adat, susunan pemerintahan dan tugas pokok pejabat kesultanan Kondisi alam Kondisi Alam Kesultanan Buton
Tahun 1975
Kolektor AM Zahari
2010
Abdul Mansyur
1878
Abdul Mansyur
Asal usul kerajaan, para raja/sultan dan kejadian sejarah pada masa pemerintahannya, dan ritual budaya yang diadatkan oleh Kesultanan Buton
1974 & 1977
LM Raudha Manarfa, M.Si
AM Zahari
AM Zahari
13 Lanjutan Tabel 2 Naskah Posisi Tasauf dalam Sistem Kekuasaan di Kesultanan Buton Abad Ke-19 The Malay Archipelago oleh Alfred Russel Wallace
Tema Ajaran Tasauf di Buton pada Abad-19
Tahun 1995
Kolektor LM. Raudha Manarfa, M.Si
Sejarah Alam Sulawesi
Abdul Mansyur
Notes on The Birds of Buton (Indonesia, southeast Sulawesi) oleh J.W.Scrool Rumah Adat Buton (Majalah lokal Wolio Molagi) oleh Andjo Kesepakatan Tanah Wolio: ideologi kebinekaan dan eksistensi budaya bahari di Buton oleh Rudiansyah et al. Kanturuna Mohelana oleh La Ode Hafilu cq Hazirun Kudus Penelitian akademik: Kesultanan Buton terkait dengan Kitab Negarakertagama oleh Mpu Prapanca Nur Muhammad oleh AM Zahari
Karakter alami dan jenis burung
2015 versi Bahasa Indonesia 1987
Simbol Malige dan Kamali
1998
AM Zahari
Sejarah Pembentukan Kesultanan dan Kebudayaan Wolio
2011
Abdul Mansyur
Belief In Reincarnation On Buton, S.E. Sulawesi Indonesia oleh J.W. Schrool Buton Islam dan Islam Buton 1873-1938 Negeri Seribu Benteng: Lima Abad Dinamika Kota BauBau Simbol Dalam Pemaknaan Rumah Tradisional Buton oleh Ishak Kadir
Penerang dalam Kegelapan
Abdul Mansyur
Abdul Mansyur
Buton bagian wilayah Majapahit
1365
Abdul Mansyur
Nur Muhammad menemui empat anasir pohon (asal) bangsa (elemen dasar): angin, api, air, dan tanah. Ritual masyarakat dalam Keraton Buton
1975
AM Zahari
1985
Abdul Mansyur
Budaya islam Kesultanan Buton Menelusuri akar sejarah budaya Wolio Butuni, Membedah masalah agraria di Kota BauBau Analisis Simbol Rumah adat Buton
2000
Abdul Mansyur
2012
LM Raudha Manarfa, M.Si
2008
Abdul Mansyur
14 Wawancara Penelitian ini mewawancarai 23 informan kunci terdiri dari tokoh lembaga adat, tokoh agama, budayawan, sejarawan, tukang (pengrajin), seniman, penjaga naskah, turunan pejabat era kesultanan, dan pemerintah setempat (Tabel 3). Pertanyaan diarahkan untuk mengkonfirmasi hasil yang telah dicapai pada tahap sebelumnya yaitu studi literatur, apakah sesuai atau ada perbedaan dan tambahan. Wawancara mendalam juga dilakukan untuk mengetahui makna geomansi dan fungsi elemen lanskap secara budaya. Tabel 3 Daftar Nama Narasumber Nama Al Mujaazi Mulku
Usia (tahun) 58
H. La Suluhu
73
Dr. LM. Izat Manarfa Drs. Ali Arham Alm Hazirun Kudus
70 50 72
Abdul Hasan Nuhu
65
L.M. Razimuddin, M.Si
51
Hj. Naasifa
65
DR. L.A. Munafi, M.Si Asri
52 42
Saim
40
Imran Kudus, MSc
32
H. Rusli Harisu Jamaluddin H. La Umane Jaati Wa Rampu Wd. Duuda Wa Zia LM. Raudha M,M.Si Ld Syafiuddin Hj. Sitti Sarina
65 67 64 82 63 68 50 72 33 70 48
Keterangan Penjaga naskah adat Kesultanan Buton dan turunan Bontogena Perangkat Mesjid Ogena Keraton Buton sebagai Tungguna Aaba Sultan Lembaga Adat Kesultanan Buton Kadis Budaya dan Pariwisata Pemerhati Budaya Buton dan Mantan Perangkat Mesjid Ogena Keraton Buton Pencipta Lagu Buton bahasa Wolio dan Pensiunan guru Kabid nilai budaya, kesenian, sejarah, dan purbakala Disbudpar Kota Baubau Pengrajin dan pewaris keahlian pande baju Adat Kesultanan Buton Dosen Sejarah Universitas Dayanu Ihksanudin Pengrajin dan pewaris keahlian pande kau (tukang rumah adat) Pengrajin dan pewaris keahlian pande kau Kesultanan Buton Fasilitator Kota Pusaka Baubau, dan pemerhati budaya Yayasan Kasambure Perangkat Lembaga Adat Kesultanan Buton Mantan lurah Kel. Melai Mantan lurah Kel. Melai Tokoh agama dan adat Tokoh adat dan agama Juru kunci Pewaris Istana Kamali Kara Masyarakat Pemerhati Budaya Hatib Masjid Agung Keraton Buton Lurah Kel. Melai
Observasi lapang Observasi lapang dilakukan dengan mengacu pada hasil penelitian pada dua tahap sebelumnya, yaitu studi literatur dan wawancara. Observasi lapang dilakukan untuk memverifikasi elemen-elemen lanskap kota dan tata letaknya berdasarkan informasi budaya, serta mempelajari ruang dan karakter lanskap kota saat ini.
15 Observasi lapang dilakukan dengan menggunakan foto citra yang diunduh dari google map. Analisis Data Analisis yang dilakukan pada penelitian ini meliputi content analysis dan descriptive analysis. Content analysis dilakukan untuk penelitian pada tahap pertama dan kedua, sedangkan analisis dekriptif dilakukan untuk penelitian tahap ketiga. Menurut Lukavski (2002), content analysis merupakan sebuah pendekatan yang memposisikan buku sebagai unit of analysis dan unit observasi untuk mendapatkan data informasi nyata (manifest) dan terpendam (latent). Dokumen yang berisikan informasi budaya dianalisis contentnya, elemen-elemen dan ruangruang apa sajakah yang ada pada lanskap kota kesultanan Buton pada masa kejayaannya. Selain keberadaan elemen-elemen dan ruang-ruang tersebut, juga dicermati fungsi dan filosofi keberadaan elemen dan ruang tersebut. Analisis Pola dan Elemen Lanskap Setelah dokumen yang berisikan informasi budaya dianalisis contentnya, elemen-elemen dan ruang-ruang apa sajakah yang ada pada lanskap kota kesultanan Buton pada era kejayaannya. Selain itu, juga dicermati fungsi dan filosofi keberadaan elemen dan ruang tersebut. Pada tahap analisis pola dan elemen lanskap kota dianalisis dengan pendekatan Lynch’s dalam bukunya The Image of the City (1960), yaitu meliputi jalur sirkulasi (paths), batas wilayah (edges), bagian wilayah kota (districts), pusat aktivitas kota (nodes), dan mercutanda (landmark). Konsep ini digunakan untuk pembanding dalam memahami fisik kota, yaitu elemen-elemen kota dan image kota. Untuk memperkuat analisis, maka dilakukan dengan peta-peta lama, citra, foto dan observasi lapang. Konsep desain ekologis (ecodesign) Untuk memperoleh konsep ecodesain lanskap kota tersebut, maka dicermati dari pengaruh tata letak elemen-elemen dan pola ruang terhadap kualitas lingkungan kota, dan spiritual masyarakat (Barnett dan Beasley, 2015; VanderRyn dan Cowan 1996; Tjallingii, 1995). Penelitian ini juga menginterpretasikan pesan tersembunyi atau terendap pada elemen-elemen lanskap kota yang dipentingkan atau disakralkan di era kesultanan.
16
4 HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Pulau Buton Pulau Buton yang terkenal dengan penghasil aspal merupakan bagian Kawasan Timur Indonesia dengan luas 4.408 km2 terletak pada koordinat 5°3′LU122°53′BT terletak di bawah Pulau Sulawesi. Pada bagian timurnya, Pulau Buton berhadapan dengan Pulau Sulawesi, Pulau Muna dan laut Selat Buton yang relatif dangkal dan merupakan jalur angin timur bertiup dari Benua Australia yang sedikit membawa uap air disertai panas. Pada bagian baratnya, Pulau Buton berhadapan dengan Kepulauan Wakatobi dan lautan dalam Laut Banda dan sebagai tempat jalur angin barat dari Benua Asia dan Lautan Pasifik yang membawa banyak uap air disertai hujan. Skala pulau tergolong kecil tetapi beragam. Area pertengahan pulau didominasi lahan berkarakter gunung dan bukit, dan juga sumber asal aliran beberapa sungai besar dan kecil. Iklim tropis kering, tetapi relatif beragam bagian utara dan selatan. Bulan terkering adalah Agustus, September, Oktober dan November. Misalnya di area hutan Lambusango, sesuai Klasifikasi Schmidt dan Ferguson, wilayah tengah pulau Buton, suhu udara tahunan berkisar antara 20ºC hingga 34ºC dengan kelembaban relatif tahunan sebesar 80% (Hamidu, 2009). Keanekaragaman flora cukup tinggi dan belum banyak terungkap, dan dipengaruhi biogeografi Australia. Menurut area pemerintahan, wilayah ini terdiri dari tiga kabupaten yaitu Kabupaten Buton Utara, Kabupaten Buton, Kabupaten Buton Selatan dan satu kota yaitu Kota BauBau. Kota BauBau Kota Baubau merupakan bagian Pulau Buton dan tempat keberadaan lanskap kota Kesultanan Buton. Sebagaimana kota-kota lainnya di Indonesia, lanskap Kota Baubau mulai menampakan pembangunan fisik. Deretan bangunan pinggir laut, pelabuhan nusantara dan bandara, pusat belanja Lippo Plaza dan Rumah Sakit Siloam, jaringan jalan berkelok, kemilau hijau sungai yang mengalir berdampingan dengan pemukiman pusat kota, kemilau laut biru perairan BauBau, serta nuansa kota semi-modern. Lanskap pantai kota Mara, lahan baru reklamasi pantai, yang ditata menggunakan elemen pohon cemara menambah nilai kearifan kota terhadap lingkungan pesisir. Era kesultanan, keindahan teluknya dipuji dan menjadi latar depan area perkantoran residen VOC-Belanda. Namun di balik wajah kota dengan dinamika yang menyertainya, tersimpan nilai-nilai peradaban manusia semenjak era Kesultanan Buton yang patut diketahui. Bentang alam kotanya terbingkai oleh sisi barat adalah gunung Sombapolulu Pulau Kobaena, daratan Sulawesi, perairan laut, dan pulau-pulau kecil; sisi timur adalah daratan hamparan perbukitan Pulau Buton; sisi utara adalah pegunungan Wanepanepa daratan Pulau Muna, dan daratan Sulawesi; sisi selatan adalah lanskap kota benteng Kesultanan Buton, dan daratan hamparan bukit Buton. Secara historis, Kota BauBau berada di jalur utama perdagangan dari barat menuju timur Indonesia. Posisi strategis ini menimbulkan daya tarik kerajaan besar sekitarnya untuk diekspansi, dan VOC-Belanda berusaha kuat untuk menjalin kerjasama dan untuk membangun persaudaraan abadi. Pada perkembangannya,
17 wilayah ini pernah menjadi ibukota Afdeling Sulawesi Timur, ibukota Sulawesi Tenggara yang sekarang berada di Kota Kendari, ibukota Kabupaten Buton yang sekarang berpindah di Pasar Wajo (Syahadat, 2015; Zuhdi dan Effendy, 2015). Pada tahun 2012 Kota BauBau ditetapkan sebagai sala satu Kota Pusaka Indonesia dan aset heritage atau cagar budaya karena memiliki aset heritage atau cagar budaya yang merupakan rekam jejak sejarah bangsa Indonesia. Kota BauBau dipersiapkan menjadi World Heritage City oleh Kementerian Pekerjaan Umum. Pekerjaan Umum melalui Program Penataan dan Pelestarian Kota Pusaka (P3KP). Hal ini menjadi wajar karena Kota Bau Bau memiliki peninggalan budaya bernilai penting. Jika dicermati, program kota pusaka masih berfokus pada kekwatiran terhadap tergerusnya peninggalan budaya karena pertumbuhan ekonomi Indonesia. Kekawatiran pemerintah tersebut bisa menjadi nyata jika hanya berprioritas pada objeknya, sedangkan nilai makna terdalamnya (deep meaning) atau nilai sosial budaya yang melekat pada objek itu terpendam atau terlupakan.
Istana Sultan berada di Kota BauBau
Panorama Lanskap Utara Kota Kesultanan Buton
Gambar 9 Lanskap Kota BauBau Penyanggga Besar Estetika Kota
Kondisi Sosial Budaya Masyarakat Buton dan Wolio Pada era kesultanan, seluruh pulau Buton dan pulau sekitarnya menjadi area kekuasaan Kesultanan Buton dan seluruh masyarakat turun-menurun masih tetap mengikuti ketentuan adat budaya kerajaan. Masyarakat Buton termasuk masyarakat yang menganut hubungan kekerabatan patrilineal. Hubungan kekerabatan ini memperhitungkan garis keturunan laki-laki. Garis ibu diperlakukan lebih istimewa. Kesatuan masyarakat terkecil adalah keluarga bati atau sawitinai dan kesatuan keluarga besar dinamakan powitinai. Orang Buton memiliki sifat terbuka bagi pendatang atau orang asing yang punya keahlian, keterampilan atau kemampuan. Sisi lainnya, struktur sosial masyarakatnya terbagi dalam tiga golongan, yaitu kaomu, walaka, dan papara. Keberagaman bahasa dan dialeg berbeda-beda antar kampung. Menurut hasil penelitian Liebner (1990), Kepulauan Buton terdapat lebih 30 bahasa dan bahasa Wolio menjadi bahasa persatuannya. Dua kampung bertetangga terdapat dua bahasa atau dialeg berbeda. Perbedaan ini tidak berdampak negatif justru berdampak positif bagi masyarakat setempat dikarenakan orang asing atau orang kampung lainnya bersikap sopan ketika berada di dalam kampung lain. Keragaman bahasa ini sudah ada semenjak masa kesultanan. Hal ini perlu diungkap lebih jauh, nampaknya perbedaan bahasa dan dialeg antar kampung berdampak baik, yaitu antar dua kampung bertetangga tidak ada ekpansi kewilayahan.
18 Mata pencaharian masyarakat Buton beragam. Mengacu pada kesejarahan, mata pencaharian mereka adalah nelayan, berladang tanaman jenis pangan, perdagangan, dan sebagai peternak unggas dan hewan. Sistem budidaya lahan pertanian telah ada sejak era Sultan ke-4 (1578-1615), yaitu adanya peraturan tentang hasil bumi pertanian dan peternakan prioritas untuk pembayaran “weti” (pajak) untuk satu kali tiap masa panen terdiri atas tanaman kelapa, pisang, bawang merah, ayam dan telur, bunga injelai, jagung, gabah padi dan beras, tebuh, enau, kacang ijo, ubi, labu, dan wijin. Untuk tanaman perdagangan (ekspor) berupa kayu damar, kapas, dan kopra (Zahari, 1977). Masyarakat Buton juga dikenal sebagai pengrajin ukir kuningan, tukang pembuatan perahu kayu, menganyam rotan dan pandan untuk kebutuhan rumah tanggah, serta keterampilan kain tenun tradisional. Bidang kesenian terdiri dari seni sastra (zikir, kabanti, hikayat, dan sejarah), seni rupa (seni arsitektur, seni kerajinan, kaligrafi), seni pertunjukan yaitu seni tari (galangi, mangaru, lariangi, lumense, kalegoa, dll), serta seni musik seperti maludu, gambus. Sejumlah kearifan tradisi dalam masyarakat Buton adalah kangkilo. Kangkilo berarti faham kebersihan yang diajarkan saat usia baligh. Ini ditujukan agar karakter seseorang berperilaku, tutur kata dan bersikap positif di lingkungan masyarakat. Dalam sistem pendidikan lingkungan Keraton Wolio, ajaran hidup antara laki-laki dan wanita dibedakan. Untuk laki-laki adalah pelajaran adat istiadat, agama, dan cara berkelahi. Untuk wanita adalah pelajaran adat dan agama. Pelajaran lainnya terdiri atas membaca, menulis, menjahit, menyulam, dan beramal. Di dalam kehidupan bermasyarakat, orang tua melepaskan anak-anaknya disaat anak itu telah mampu melindungi dirinya atau hidup mandiri (Anceaux, 1952; wawancara dengan Naasifa) Situs-situs budaya dan bernilai sosial di lanskap kota, yaitu batuna Baaluwu (situs berupa batu), batuna Gundu-Gundu; paritnya mengadopsi bentuk parit perang Khandaq era Rasulullah (wawancara dengan Imran) dan gua Arung Palaka terinspirasi dari gua khalwat Rasullulah; sistem kekerabatan; ruang bermain masyarakat; tapak Tunuana Sulu (tempat syukuran dengan cara hidupkan lampu); Zaawia tempat pendidikan dan Galampa ruang musyawara. Dalam menata kawasan permukiman, masyarakat Buton lebih memprioritaskan sistem kekeluargaan, dimana tempat tinggal mereka dengan saudaranya saling berdampingan. Sehingga dalam sebuah permukiman atau kelompok masyarakat dalam suatu kawasan merupakan satu keluarga.
Seni tari dan pakean adat Sumber: https://www.youtube.com Lorne and Lawrence Blair - Ring of Fire
Sultan ke-37 bersama perangkat kerajaan Sumber: Dokumentasi Zahari
Gambar 10 Seni dan Syara Ogena Kesultanan Buton
19 Analisis Situasional Lanskap Kota Kesultanan Buton Lanskap kota keraton berada arah selatan Kota BauBau. Secara administratif, lanskap kota Kesultanan Buton terletak di Kelurahan Melai, Kecamatan Murhum. Wilayahnya dikelilingi empat kelurahan yaitu Kelurahan Baadia, Kelurahan Lamangga, Kelurahan Wajo, dan Kelurahan Bukit Wolio Indah. Secara administrasi, wilayahnya terdiri dari tiga RW, yaitu RW 1 (Lingkungan Baaluwu), RW 2 (Lingkungan Peropa), dan RW 3 (Lingkungan Dete). Nama kelurahan dan lingkungannya masih mempertahankan nama pemukiman atau nama jabatan pada masa kesultanan. Secara biogeografi, Kelurahan Melai terletak dibukit diantara bukit Baadia, dan tebing. Bukit Baadia menjadi area pengembangan permukiman keraton dan tempat istana pusat kerajaan. Area lembahnya menjadi jalur lintasan (jalan aspal) buatan Belanda, pintu gerbang selamat datang, dan icon nama benteng keraton Buton, sedangkan tebing curam merupakan area Sungai BauBau. Pada lingkungan tebing dan kaki bukit masih area pohon tinggi yang berguna untuk pemecah angin atau pelindung dinding benteng kota dari sinar matahari. Luas wilayah Kelurahan Melai adalah 0,37 km2 dan jumlah penduduk adalah 1.781 dengan kepadatan penduduk cukup tinggi, yaitu 4.813 jiwa/km2 (Kelurahan Melai, 2012). Kepadatan tertinggi pada wilayah RW 2 dan RW 3 dan kepadatan rendah wilayah RW 1. Keseluruhan wilayahnya memperlihatkan jumlah penduduk bertambah terus-menerus yang diikuti bertambahnya jumlah rumah. Kondisi saat penelitian, area permukiman bertambah padat dan beberapa rumah baru berdempetan rumah induk atau fenomena kolong rumah panggung menjadi kamar. Fenomena ini menyebabkan kesan baru, yaitu permukiman khas rumah panggung bergaya modern. Hal ini menurut peneliti, karakter image of city keraton dibentuk dengan pelestarian komunitas rumah panggung.
Sumber: Google. earth.com
Gambar 11 Peta Situasi Kelurahan Melai
20 Analisis Sejarah Lanskap Kota Kesultanan Buton Analisis sejarah kesultanan ini dilakukan untuk mengidentifikasi karakter lanskap era kesultanan di masa kejayaaannya. Lanskap kota Kesultanan Buton merupakan pusat ibukota dan pemerintahan dari empat barata (daerah otonomi khusus) dan 72 kadie (kecamatan), pertahanan kerajaan, pusat pertemuan ritual, hunian khusus kelompok lalaki dan walaka, tempat hunian pembesar dan alim ulama kesultanan, dan tempat pemakaman orang-orang berjasa pada kerajaan dan agama Islam. Sejarah Lanskap Kota: Dua Pemukiman menjadi Daerah Pusat Kesultanan Pada akhir abad ke-13, pemukiman pertama Kesultanan Buton berada di Kampung Sulaa area pesisir Kota BauBau. Dikarenakan bajak laut terus menerus menggangu keamanan warga, maka Mia Patamiana selaku pimpinan permukiman mencari tempat pemukiman baru yang aman. Tempat baru ini berjarak 5 km, berada diatas bukit, dibawanya sungai dan daerah baru ini dinamakan Tanah Wolio. Pemukiman pertama yang terbangun adalah area sisi utara bukit, yaitu Limbo (permukiman) Gundu-Gundu dan Limbo Barangkatopa yang saling berpisah dan masing-masing terletak dibagian barat dan timur. Permukiman induk ini berkembang menjadi empat permukiman yakni Baaluwu dan Peropa yang dinamakan Pata Limbona (empat permukiman). Secara adat, kepala empat permukiman ini dan secara turun temurun bertugas dalam pelantikan Sultan Buton. Seiring perubahan waktu, permukiman ini menjadi 16 permukiman. Lanskap Kota Wolio menjadi sebuah kerajaan lengkap dengan kebesarannya ketika Putri Wa KaaKaa yang juga istri Si Batara putra bangsawan Majapahit dilantik menjadi Raja ke-1 oleh empat kepala pemukiman. Putri Wa KaaKaa ini merupakan putri cantik yang ditemukan di atas bukti Lelemangura,area alun-alun, di atas batu yang ditumbuhi rumpun bambu bulu-gading. Tapak bukit Lelemangura dan elemennya dan prosesi adat terkait dengan Raja putri Wa KaaKaa ini menjadi tempat dan contoh untuk diterapkan pada pelantikan raja dan sultan secara turun temurun dalam Kerajaan Buton. Elemen batu, yaitu batu Gandangi/Wolio, yang ada di bukit ini dijadikan tempat penyimpanan guci air pemandian sultan dan permaisuri, dan elemen batu Popauwa, area datar kaki bukit Lelemangura, menjadi batu pelantikan sultan. Kata Lelemangura berarti tetap muda, merupakan induk tanah Wolio-Buton karena bukit ini yang pertama kering menjadi tanah di saat pulau Buton masih berupa sebongka buih (wawancara), menjadi tempat ikrar kesepakatan hidup damai bersama oleh Mia Patamiana dengan Dungku Changia Raja Tobe-Tobe, dan bagi masyarakat Wolio beranggapan bahwa siapa-siapa yang belum memijak dan memegang batu Wolio ini dianggap belum sampai di tanah Buton (Wawancara pribadi). Menurut Zahari (1977), dimitoskan bahwa Raja ke-1, Wa KaaKaa, merupakan seorang putri yang ditemukan dalam serumpun bulu-gading bukit Lelemangura oleh anjing pemburu rusa Sangia Langkuru tidak jauh dari sungai BauBau. Dengan bantuan ahli nujum dan Wa Bua (penduduk Baaluwu) mendapatkan penglihatan seperti dalam mimpi, melihat seorang laki-laki, orang tua besar tubuhnya berjanggut panjang mengatakan “cucunya itu putri Wa KaaKaa harus di sediakan payung, gendang, dan semua peralatan raja”. Ia dicirikan kulitnya kuning langsat, rambutnya pirang, perawakan sedang. Kejelitaan melekat padanya.
21 Mengacu pada naskah ini, Wa KaaKaa dari dunia peri dan berkedudukan di atas bukit Lelemangura ini serupa dengan kepercayaan animisme, yaitu kepercayaan adanya “mother eart”. Versi lainnya, Wa Kaa Kaa bernama Tu Whe Khan putri dari Kaisar Kubilai Khan; Wa Kaa Kaa merupakan anak Raja Manyuba keturunan dari Kerajaan Majapahit; Wa Kaa Kaa bernama Putri Musarafatul Izzati Al Fakhriy keturunan dari Nabi Muhammad Saw (Abu Bakar, 2012; Muchir Raziki, 2012; Rudyansjah et al. 2011; Yunus, 1995). Pada tahun 1511, Kerajaan Buton resmi menjadi kesultanan ketika Raja ke-4 La Timbang-Timbangan dilantik menjadi Sultan ke-1 bergelar Sultan Murhum. Kesultanan Buton mulai menerapkan ideologi islam dan wilayahnya meliputi tenggara Pulau Sulawesi. Era Sultan ke-4, pada hari Jumat, hari pasar diarea lapangan terbuka kaki bukit Lelemangura, Undang-Undang Martabat Tujuh diumumkan kepada masyarakat umum menunjukan kesultanan yang sah dan resmi. Era Sultan ke-7, terbentuknya 16 permukiman dan bangunan benteng dirampungkan untuk perlindungan telah resmi menjadi kota. Era Sultan ke-19, masjid pertama yang terletak disisi bukit Lelemangura terbakar akibat perang saudara perebutkan kekuasaan. Sultan ke-19 bersama ulama Arab Said Raba membangun masjid baru dan tiang bendera di area bukit turisina bagian muka bukit Lelemangura telah resmi menjadi sebuah Kota Islam. Secara historiographi, pemilihan tempat mendirikan Masjid Ogena (Agung) di bukit didasari alasan bahwa bukit ini terdapat lubang rongga batu yang mengeluarkan suara azan dan terlihat bayangan manusia. Lubang rongga batu dinamakan pusena tana (pusat poros bumi) dan berada di mihrab ruang imam saat shalat. Era Sultan ke-36, pihak kesultanan bersama VOC-Belanda bekerja bersama-sama dalam pembuatan jalur jalan baru di dalam kota untuk jalan kendaraan mobil sultan dari Kota BauBau menuju istana Baadia. Jalur jalan ini dikerjakan dengan cara membuka dinding benteng utara dan melebarkan gerbang selatan. Filosofi Kesultanan Buton Lanskap kota berada di atas bukit selatan Kota BauBau memiliki elemen focal point kota berupa bangunan masjid yang berwarna putih dan tiang bendera. Hal ini dikarenakan bangunan ini dapat terlihat jelas dari lautan dan pulau seberangnya, dan suara beduknya terdengar jelas menunjukan bahwa letaknya strategis dan sesuai untuk pusat ritual. Menurut naskah lokal, Kesultanan Buton mendasarkan dirinya sesuai ideologi islam yang diselaraskan dengan alamnya. Syair lokal Kanturuna Mohelana (lampu penerang dalam berlayar) menyatakan bahwa nama Buton terdapat dalam Al-Quran yang berarti “mengandung” atau “perut” yang berdiam di ketinggian sedangkan kata Wolio diartikan lahir melalui perut ibu untuk tempat tinggal wali Allah (pesuruh Allah). Falsafah hidup dalam kehidupan sesama manusia, Kesultanan Buton berpahamkan falsafah Po5 (Tamrin AS, 2016), yaitu Po mae-maeaka, Po maamaasiaka, Po pia-piara, Po angka-angkataka, dan Po binci-binciki kuli. Yang mengartikan bahwa sesama manusia itu agar saling menghormati, saling menyayangi, saling merawat /memelihara, dan saling mengangkat derajat, dan agar pandai membedakan rasa senang dan susah. Falsafah yang lainnya, yaitu Bolimo Arataa Somanamo Karo (diri manusia lebih utama dari harta), Bolimo Karo Somanamo Lipu (alam/negeri lebih utama dari diri manusia), Bolimo Lipu
22 Somanamo Syara (pemerintahan lebih utama dari alam/negeri), dan Bolimo Syara Somanamo Agama (agama diatas segala harta, diri manusia, alam/negeri, dan pemerintahan). Kata Bolimo asal kata Yinda-yindamo. Karenanya itu, khususnya seorang pejabat, pembesar kerajaan agar memahami makna harta, diri dan keluarga, alam/negeri, pemerintahan, dan agama islam merupakan acuan utamanya. Agama islam adalah pokok kemulian dari benda, manusia, alam (negeri), dan pemerintahan. Zahari (1977) dalam buku Sejarah dan Adat Fiy Darul Butuni, Kesultanan Buton juga berprinsipkan ‘hidup bersama yang hidup’ yang diadopsi dari Al Quran; Poromo Inda Saangu Pogaa Inda Koolota berarti hidup berdampingan dan Pokaina Rante Rua Seana berarti keberikatan dua rantai yang tidak bisah terpisahkan. Kota Kesultanan Buton didirikan dengan ide konsep “negeri barakati” (negeri berkat), hunian para wali Allah, komunitas insan kamil, tempat pusat ritual dari 72 kadie (kecamatan) wilayah kekuasaannya. Secara kelembagaan pokok, Kesultanan Buton hanya memiliki dua lembaga adat, yaitu lembaga Syara Ogena (lembaga pemerintahan kerajaan) tamsil lahiriya (jasad) dan Syara Kidina (lembaga kecil) khusus agama tamsil spirit (roh) (Syahadat, 2015). Sultannya dianggap nur Muhammad yang nama orangnya dipilih oleh Bhisa Patamiana (empat alim ulama) lembaga agama yang berkedudukan di Masjid Agung dan fisik orang calon sultan disetujui oleh Siolimbona (sembilan menteri utama) yang berkedudukan di dalam kota keraton Buton. Menurut legenda, kota ini dihuni para wali Allah yaitu penganjur islam yang memiliki keramat. Di dalam naskah perjanjian Sultan ke-4 dengan Apollonius Schotte tahun 1613, Raja Buton dan pengikutnya meminta kepada VOC-Belanda agar tidak mencegah mereka dalam menunaikan ibadahnya (Zuhdi dan Effendy, 2015). Hal ini menunjukan bahwa mereka mengutamakan ibadah diatas segalanya (agama). Kota yang menjadikan rajanya atau sultan atau imam sebagai penghubung antara langit dan bumi, maka kota itu menggunakan konsep kota ideal, yaitu kota kosmik (cosmic city) dan ini merupakan bentuk kota--kota bukanlah pasar--yang sesungguhnya (Tuan, 2013). Secara konseptual dan karakter geografinya, Kota Wolio keraton Buton berlandaskan spirit dan filosofi tertentu, yaitu agar masyarakatnya dapat memperoleh kebahagian yang dapat dirasakan penginderan dan lanskapnya agar memperoleh karunia dari Allah Swt. Hal ini dijelaskan naskah lokal Pakaroana Banua (pembangunan rumah atau negeri) bahwa sebuah kota terbangun berada pada lahan yang bagian baratnya lembah, bagian timurnya bukit, warna lingkungannya putih, tanahnya terasa manis, dan lingkungannya berbau harum. Sala satu pemahaman yang masih diyakini dan dilaksanakan masyarakat sekarang dalam pendirian rumah adalah prosesi mengecap tanah yang terasa manis berarti baik dan tepat untuk lokasi rumah. Menurut kepercayaan Buton, sifat tanah ada yang manis, pahit, dan biasa (wawancara). Mengacu pada pengetahuan geomansi, Kesultanan Buton meyakini manfaat dari topografi lahan, warna putih dan aroma harum lingkungan, serta fisik tanah. kosmologi yang dianut adalah “manusia disebut dengan alam kecil (mikrokosmos) dan alam yang ada di luar manusia disebut alam besar (makrokosmos)” (Yunus, 1995). Masyarakatnya juga menerapkan prinsip berbasis filosofi spirit pensakralan kotanya, yaitu rumah pejabat tinggi dan masyarakat yang terbangun di area luar benteng dekat kota adalah rumah berorientasi menghadap kota. Permukiman
23 Kelurahan Wajo, Lamangga dan sekitarnya beranggapan bahwa mereka memperoleh banyak rezki karena aliran angin dan air bersumber dari atas bukit, Kota Wolio keraton Buton (wawancara). Keberadaan situs berada di luar benteng, yaitu situs batu Kenia Sumpa (pegang sumpahmu) yang letaknya di sebelah kiri kaki tangga jalan masuk gerbang Lanto, dan situs batu barakaka (batu katak), setiap orang langgar harus melemparkan batu, terletak di kaki tangga gerbang GunduGundu. Dimitoskan bahwa batu barakaka tersebut harus dilempari dengan batu agar bagi orang yang melewatinya.
Lanskap gerbang Lanto Sumber: http://media-kitlv.nl/boeton
Lanskap rumah Menteri Besar
Gambar 12 Lanskap Utara dan Orientas Rumah Luar Kota
Elemen-Elemen Lanskap Kota Kesultanan Buton Kota Kesultanan Buton terletak di bagian selatan Kota BauBau pada ketinggian 104 m dpl dan memiliki landform berombak. Sebelah utara dan timur terdapat tebing, sungai BauBau, dan lembah; sebelah timurdaya dan selatan daya terdapat hamparan bukit dan hutan; sebelah selatan bukit, parit, dan permukiman; sebelah barat tebing dan makam. Karakter lanskap kota seperti ini didasarkan pada filosofi budaya tinggi (Gunawan, 2016). Elemen-elemen dan pola lanskap kota, ruang tersusun mengikuti budaya Buton yang berkembang saat Kesultanan Buton. Elemen-elemen lanskap kota meliputi batas kota (edges), permukiman (districs), alun-alun (node), jalan dan Ruang Terbuka Hijau (paths), masjid dan istana (landmarks) (Table 4). Hal tersebut bersesuaian dengan apa yang disebut Lynch (1960) sebagai imagable city. Tabel 4 Elemen-Elemen Lanskap Kota Kesultanan Buton Elemen Citiscape Benteng (Fortress) Gerbang /Baluara Permukiman Pemakaman City square (alun-alun) Ruang Terbuka Hijau Jaringan jalan (Streets) Masjid Istana
Lynch’s approach Edges Districts Node Paths Landmarks
Elements eksisting (on the basis of) Literatur Wawancara Observasi ● ● ● ● ● ● ● ● ● ● ● ● ● ● ● ● ● ● ● ● ● ● ● ● ● ● ●
24 Benteng Kota Salah satu elemen kota yang berpengaruh kuat dan berguna pada kota kesultanan adalah benteng. Pendirian benteng ini disaat keislaman Buton telah teguh dan kokoh. Pembangunan benteng tersebut dibuat secara bertahap dan estafet mulai dari masa Sultan ke-3 La Sangaji (Sultan Kaimuddin) masih berupa tumpukan batu pagar, masa Sultan ke-4 La Elangi (Sultan Dayanu Ihsanuddin) mengalami peningkatan ketinggian dengan pembuatan beberapa baluara, kemudian masa Sultan ke-6 La Buke (Sultan Gafurul Wadudu) keseluruhan benteng menjadi rampung. Benteng dibangun mengikuti alur kontur permukaan tanah dan pinggir bukit sepanjang 2.740 m dengan dimensi bangunan bervariasi, yaitu tinggi 1-4,5 m dan lebar (tebal) 0,5-2 m (BPCB Makassar, 2013). Bagian benteng sisi timurnya terputus, berupa bukaan benteng sepanjang ±50 meter, batas bukaan benteng ini terdapat satu pohon nato berumur tua. Sisi bukaan benteng ini berfungsi serupa koridor kabut uap sungai masuk di dalam lanskap kota. Bagian bukaan ini terdapat gua bawah tanah, gua tebing alami, Liana La Tondu gua persembunyian Raja Bone Arupalaka (Zahari, 1977). Benteng juga berfungsi untuk pembatas (edge) dan pelindung ini terbuat dari batu gunung (karst) kasar yang direkatkan kapur bercampur rumput laut. Ukuran batu bervariasi, yaitu untuk batu fondasi bersifat besar dan batu diatasnya berukuran kecil. Pada ketinggian dinding tertentu dibuat berongga seukuran kepalan tangan orang dewasa. Rongga ini terdapat disemua dinding yang difungsikan untuk melihat tamu atau musuh, dan untuk sirkulasi tiupan angin. Pada sisi timur pinggirnya tebing dan sisi selatan dimukanya parit, benteng dibangun dengan cara diturap dan sisi utara wilayah kota bertopografi rendah dibuatkan dengan lantai berlubang yang diisi batuan sebagai drainase untuk aliran run off hujan di musim penghujan. Beberapa bagian fisik masih asli, belum terpugar, yaitu gerbang dan baluara dengan plaster tebal berbahankan kapur putih. Hal ini berarti benteng, gerbang dan baluara, pada awal pembuatannya adalah warna putih. Warna putih dijadikan image kota sebagai sebuah kota kesultanan dengan bentengnya berwarna putih. Sebagaimana fungsi benteng pada umumnya, benteng dibangun untuk keperluan militer kerajaan dalam mempertahankan kotanya dari serangan musuh. Bagi kesultanan Buton, benteng dibuat semata-mata untuk kepentingan negeri serta untuk kehormatan suku bangsa dan menjadi pesan untuk generasi agar kelak mengikuti jejak baik mereka sebagaimana pengorbanan mereka dalam pembuatan benteng yang butuh biaya besar dan banyak tenaga (Zahari, 1977). Menurut beberapa penelitian, tiap wilayah kekuasaannya terdapat benteng. Lanskap kota keraton, sebagai pusat kerajaan, juga dilindungi oleh dua benteng, yaitu benteng Sora Wolio terbangun dibukit sebelah timurnya, dan benteng Baadia terbangun dibukit sebelah selatannya. Kedua benteng penyangga (pendamping) ini memiliki pola tata letak tujuan melindungi, yaitu benteng Sora Wolio dibangun sejajar benteng pusat kerajaan dan benteng Baadia dibangun ditempat yang lebih tinggi dari benteng pusat kerajaan. Kata Sora Wolio bermakna sejajar dengan Kota Wolio pusat kerajaan dan Kata Baadia bermakna hutan. Keseutuhan struktur bangunan benteng terdiri atas 16 baluara dan 12 pintu gerbang. Jumlah 12 pintu masuk menunjukan 12 pintu masuk (lubang) ke dalam tubuh manusia (wawancara dengan La Suluhu). Hal ini berarti apabila ada sesuatu yang masuk kedalam tubuh kita secara ilegal maka tubuh akan berespon untuk menetralisir, menerima, menghancurkan, atau mengeluarkan barang tersebut.
25 Demikian pula dengan pintu gerbang tersebut. Jumlah 16 baluara yang berfungsi melindungi pintu masuk (lubang) menunjukan filosofi angka 16 berasal dari pemahaman umur 160 hari kehidupan (nufta) janin memperoleh ruh dari Allah Swt dalam kandungan ibunya. Zahari (1977) mengartikan kata “a baluara” bermakna anak kembali kepada kebangsaan ibunya untuk golongan walaka. Hal ini berarti apabila orang yang hendak masuk gerbang (lubang) kota terlebih dahulu disaring dan direstui oleh pengawas baluara (menteri utama). Saat pembangunan benteng, Kesultanan Buton telah lama menganut dan menerapkan ideologi islam. Berdasarkan karakter religius masyarakat Buton yang beragama Islam, mereka sangat menjunjung tinggi Nabi Muhammad Rasulullah Saw, hingga mengukir nama beliau pada pola dinding benteng dan bentuk kota. Di ujung utara dinding sebelah timur bertuliskan huruf ‘Mim’, ‘Ha’, dan ‘Mim’, jalan poros timur-barat-dinding benteng timur dan barat-baluara gudang mesiu (godona oba) di ujung selatannya berbentuk huruf “Dal”, sehingga gabungan keseluruhan dari elemen-elemen ini membentuk huruf utuh ‘Muhammad’. Pada areal yang membentuk huruf “Mim” pertama merupakan ‘sacred place’, dan terdapat situs jarayijo dan makam sultan dan keluarganya. Tatanan makam sultan berbentuk khusus, yaitu petak kubur (pusara makam) disatukan dengan petak pemakaman. Umumnya, tatanan petak kubur dibuat terpisah dengan petak pemakaman. Pola penyatuan petak kubur sultan dengan petak pemakaman ini berbentuk tanwin “U” terhadap huruf “Mim” bentuk sudut benteng, sehingga penggabungan keduanya membentuk huruf “Mu”. Keseutuhan rangkaian huruf-huruf araba ini membentuk kata utuh “Muhammad” Rasulullah. Sultan ditempat ini bernama Sultan Muslim (La Masalumu) dengan gelar Sultan Alim ad-Din, Sultan ke-21. Situs jarayijo berarti kuda hijau.
Huruf Mim, Dal, Mim
Huruf Dal
Huruf Mim dan Tanwin U Makam Tapak sudut benteng orientasi barat Sultan Muslim Sumber: Google eart.com dan https://Youtube Kota BauBau Benteng Keraton Buton
Gambar 13 Huruf Arab “Muhammad” Lanskap Kota
26 Gerbang dan Baluara Benteng memiliki gerbang dan baluara yang berfungsi fital dan penting. Keberadaan 12 gerbang dan 16 baluara sebagai tempat penjagaan dan pengamatan pasukan kerajaan menjadikan lanskap kota susah dimasuki oleh musuh. Secara historiographi, pihak VOC-Belanda mampu masuk menyerang kota dikarenakan strategi tertentu, yaitu dengan cara rahasia tanpa sepengetahuan pihak kerajaan. Konon sebelum penyerangan, pimpinan pasukan Belanda telah berkunjung guna mengamati kondisi penjagaan benteng. Mengacu pada kisah “Zamanina Kaheruna Walanda”, zaman Belanda masuk menyerang kota, Belanda menyerang lewat gerbang Lanto dan gerbang Wandailolo, waktu pagi gelap jam 06.00 disaat gerbang dibuka oleh penjaga pintu. Meskipun dalam peristiwa ini banyak korban pejabat tinggi kerajaan dan rumah-rumah banyak terbakar, tetapi masyarakat, sultan beserta keluarganya terselamatkan melalui gerbang lainnya. Fungsi utama gerbang adalah pintu masuk dan tempat pemeriksaan orang masuk kota. Gerbang ini diawasi dan dikontrol dari bangunan Baluara oleh pasukan kerajaan. Gerbang dan Baluara dibangun berdampingan, yaitu satu gerbang didampingi dua Baluara dengan pola tertentu. Hasil observasi, keterhubungan antara gerbang dan baluara didasarkan pada tiga pola, yaitu gerbang menyatu baluara, gerbang terpisah dengan baluara, dan gerbang didampingi oleh dua baluara berukuran besar sebelah kiri dan kecil sebelah kanan, dua baluara sama tinggi (sejajar) sebelah kanan dan baluara lebih tinggi sebelah kiri gerbang. Gerbang utama Lanto disebelah kirinya dan terpisah terdapat baluara Gama berukuran besar dan sebelah kanannya dan terpisah terdapat baluara Litao berukuran kecil. Bagi orang asing atau musuh yang ingin masuk gerbang akan timbul kesan psikologis, karena dia dipantau dan terawasi oleh dua baluara berisi pasukan kerajaan. Tatanan berkesan ini sesuai dengan pendapat Lynch (1960) bahwa pola hubungan antar objek/elemen dengan objek/elemen lainnya mempengaruhi citra sebuah kota. Mengacu pada foto KITLV, lanskap muka gerbang Lanto ditumbuhi ilalang (rumput) campur belukar yang sifatnya ramah untuk manusia, menjadi tempat beberapa pejabat istana menerima tamu asing, dan menjadi tempat bermain (playgorund) anak-anak telanjang dada. Jika dilihat penamaannya, tiap-tiap gerbang dan baluara memiliki nama berbeda mengikuti nama pengawasnya (Zahari, 1977). Nama pengawasnya merupakan nama jabatan siolimbona (menteri utama), mentri dalam, menteri penghubung; nama limbo (kampung) tempat keberadaan gerbang baluara. Kata gerbang Gundu-Gundu berarti gerbangnya terdapat di kampung Gundu-Gundu dan diawasi Menteri Gundu-Gundu. Era kesultanan, tiap-tiap menteri selaku pengawas mendirikan rumahnya dekat gerbang atau baluara (wawancara dengan La Suluhu). Hasil observasi, sebuah puing gerbang Rakia tidak terpugar oleh pemerintah terkait dikarenakan model rupa aslinya tidak diketahui. Namun demikian, ada foto KITLV tentang rupa utuh gerbang ini. Foto ini dipertanyakan kebenarannya kepada beberapa tokoh adat dan mereka semua menyetujuinya (wawancara dengan Alm Hazim K). Bagi masyarakat, gerbang ini bernilai penting dan menginginkan perlu dipugar sesuai bentuk aslinya. Hasil analisis perbandingan model gerbang utara kota, gerbang ini model berbeda dari lainnya dan cantik, yaitu tangga terletak disamping kanan muka gerbang, atapnya bermahkota, dan gerbang hias icon utara benteng kota (Gambar 14).
27 Gerbang dan Baluara dalam keseutuhan benteng kota berbasiskan prinsip pengulangan (ritme) dua model gaya bangunan, yaitu gerbang bentuk rumah adat dan gerbang candik batu atap mahkota dengan peletakan cara berselang, terkecuali pada gerbang disudut utara benteng. Tatanan Baluara berprinsipkan penekanan dan aksentuasi dua model bentuk, yaitu bentuk bulat semuanya diletakan bagian timur dan bentuk persegi semuanya diletakan bagian barat, kecuali bagian utara terdapat satu baluara bulat diantara baluara persegi. Khusus pada bagian selatan, semuanya baluara persegi dan tatanan gerbangnya berprinsipkan dua gerbang panggung dan satu berbang batu. Mengacu tata letak orientasi pada jumlah gerbang dan baluara terbanyak, yaitu empat gerbang menghadap lanskap sungai dan hutan, dan empat gerbang menghadap lanskap Kota BauBau. Hal ini menunjukan kehidupan masyarakatnya terkait erat dengan keberadaan lanskap sungai dan laut. Hasil observasi, pintu gerbang menjadi framed views of the landscape (pembingkai panorama lanskap sekitar kota) yang potensial menarik bagi wisatawan. Baluara serupa dengan fungsi menara pemantau lanskap sekitarnya.
Puing gerbang Rakia Sumber: Google eart.com
Arsitektural Gerbang Rakia Gerbang Rakia Tahun 1926 http://collectie.tropenmuseum.nl/Buton
Gambar 14 Ikon Gerbang Hias Benteng Utara Kota
Disamping pintu gerbang difungsikan untuk ruang pertemuan atau ruang penjagaan, desain tatanan gerbang, yaitu satu gerbang Burukene atau Tanayilandu dibangun khusus untuk sultannya. Jika mengacu pada naskah, kata Tanailandu adalah nama sala satu kelompok “Kamboru-mboru Talu Palena” calon-calon sultan sedangkan gerbang lainnya menggunakan nama golongan Walaka calon-calon semua menteri kerajaan. Gerbang ini terbangun di sisi selatan kota, di area tengah bidang dinding benteng, berjarak ±100 meter dari dan tegak lurus dengan istana. Gerbangnya berorientasi utara-selatan, dimukanya terdapat saluran parit, dan jalannya lurus arah bukit Baadia. Konstruksi bangunannya dibuat berbeda dengan
28 bentuk gerbang lainnya, yaitu menggunakan satu tangga, terasnya relatif kecil dan tidak memiliki bedil. Meskipun gerbang ini pernah dilebarkan dan ditinggikan, tetapi modelnya sesuai model aslinya (Gambar 15). Gerbang sultan dan halamannya yang berorientasi utara-selatan dan jalan lurus mendaki bukit sesuai dengan pendapat Woodward (2004) bahwa gerbang dan halamannya berporos utara-selatan merupakan model badan manusia sempurna dan jalan menuju penyempurnaan manusia. Filosofi bukit menurut masyarakat Wolio adalah tempat rezki, tempat kebaikan (wawancara dengan Jaati); simbol elemen bukit berarti melebihi tinggi bubungan rumah dan bukit merupakan simbol elemen bumi tahan gempa (Zahari, 1977).
Gerbang Tanailandu Burukene Tahun 1910 Sumber: https://id.wikipedia.org/Kesultanan_Buton
Gerbang Tanailandu Tahun 2016 Sumber: Google map
Pola letak gerbang
Gambar 15 Gerbang Khusus Sultan (Kiri) dan Tatanan Gerbang Benteng Selatan Kota
Permukiman (Setlements) Permukiman merupakan sala satu elemen pembentuk lanskap kota yang penting sebagai elemen districts lanskap kota. Berdasarkan naskah, kota keraton terdiri dari 16 permukiman untuk hunian golongan Lalaki dan Walaka. Kedua golongan menjadi pejabat inti dan ulama kerajaan. Secara adat, hubungan dua golongan menurut sistem kekerabatan bapak dan anak. Kelompok Lalaki sebagai anak dan Walaka berstatus bapak dan kakek (Zuhdi dan Effendy, 2015). Sesama Lalaki berlaku hubungan kakak dan adik dan sesama Walaka berlaku hubungan orang tua bapak negeri. Faktor hubungan kekeluargaan menjadi dasar pola tatanan letak rumah. Rumah kelompok lalaki terletak di sekitar ruang-ruang publik Alunalun, istana, dan tempat pendidikan (Awat dan Nur, 2012) dan rumah Walaka terletak di belakang rumah Lalaki atau terletak area pinggir dekat benteng kota. Tata letak rumah ini sinkron jika dikaitkan dengan struktur pemerintahan, yaitu semua kelompok Walaka berada ditingkatan menteri kerajaan dan kelompok lalaki berada ditingkatan pimpinan kerajaan Sultan, Sapati, Kenepulu Dan Kapitalau. Filosofi
29 tatanan rumah, yaitu Walaka selaku bapak-kakek melindungi Lalaki selaku anakcucu. Kota Kesultanan Buton bagi masyarakat Buton merupakan permukiman untuk turunan pendiri kerajaan, pejabat, alim ulama, dan tukang/pengrajin (pande). Secara spasial, permukiman area barat ditinggali orang-orang trampil (tukang), permukiman area timur ditinggali para pelayar dan ahli perang, dan bagian selatan dekat istana ditinggali orang-orang pandai diplomasi. Tukang atau pengrajin terdiri atas pengrajin emas dan perak, kuningan dan besi, tukang kayu. Pola tatanan tempat tinggal ini masing-masing berada di area penting, yaitu berada diarea ruang publik (alun-alun), ruang istana, dan keberadaan baluara gudang peluru (godona batu). Disisi lainnya, Masyarakat keraton memiliki cara perlakuan khusus terhadap tamu asing di dalam kota. Jika tamunya seorang penyiar agama (saidi) dinginapkan pada rumah alim ulama kerajaan, seorang pejabat pemerintahan dinginapkan di rumah pejabat kerajaan (wawancara). Di dalam kota keraton Buton, tatanan dan gaya rumah panggung khas Buton masih tetap ada. Rumah panggung adat era kesultanan yang di dapati adalah istana (Kamali dan Malige), rumah pejabat Kenepulu dan Sapati, rumah menteri utama (Siolimbona), rumah imam (pimpinan ulama), dan rumah masyarakat biasa. Tiaptiap rumah ini memiliki fasade (muka) bangunan berbeda. Jika dicermati, rupa fasade rumah Kenepulu berbeda dengan fasade rumah Sapati sama halnya dengan fasade rumah menteri besar wilayah timur (Bonto Ogena Matanaeyo) berbeda dengan fasade rumah menteri besar wilayah barat (Bonto Ogena Sukanaeyo). Fasade rumah imam berbeda dengan pejabat lainnya. Perbedaan ini ditunjukan oleh rupa ornamen, dan rupa bubungan atapnya. Bentukan fasade (muka rumah) dan orientasi yang berbeda menjadi elemen pembentuk visual lanskap permukiman.
Rumah Sapati
Rumah Sapati
Rumah Menteri Besar
Rumah Imam Masjid Agung Keraton
Gambar 16 Fasade dan Arsitektur Rumah Adat Buton
30 Era kesultanan Buton, bentuk model rumah dibuat berbeda-beda didasarkan pada tingkatan status sosial jabatan bukan berdasarkan status ekonomi. Hal ini bertujuan agar masyarakat dapat mengenal identitas pemilik rumah dan tingkatan jabatan atau sosial. Rusli (wawancara) mengatakan jika ada seseorang dikarenakan ekonominya mapan dan mendirikan rumah menyamai rumah pejabat kesultanan, maka orang tersebut tidak memperoleh ketenangan hidup. Terdapat tiga macam bentuk rumah adat tradisional Buton yaitu: (1) Banua tada dengan bentuk kambero,rumah untuk para pejabat kesultanan, (2) Banua tada, rumah untuk golongan masyarakat dan (3) Kamali atau Malige, rumah untuk Sultan. Kamali merupakan tempat tinggal sultan, sedangkan Malige merupakan rumah atap bersusun dan merupakan rumah tempat tinggal kaum bangsawan (Kaomu dan Walaka) (Andjo, 1993; wawancara) Pada lanskap rumah tinggal, beberapa rumah yang ada di dalam kota terdiri atas halaman (pekarangan), rumah, wc, dan makam. Beberapa rumah tidak terdapat makam. Bagi masyarakat keraton, pekarangan hijau ditanami dengan tanaman pohon berbuah; makam dimuka atau samping rumah untuk pengingat orang hidup terhadap kematian (semua manusia akan mati). Rumah panggung tradisionalnya membentuk ‘letter L kanan’, yaitu tubuh rumah dan dapur disisi kanan belakang rumah. Struktur ruang rumah terdiri atas ruang depan, ruang tengah, dan ruang belakang, dan ruang dapurnya berada sisi kiri belakang tubuh rumah. Hasil wawancara dengan narasumber berkaitan dengan tata ruang dan elemen pekarangan rumah tinggal masyarakat keraton Buton (Tabel 5). Tabel 5: Komponen Lanskap dan Rumah Adat Menurut Narasumber Komponen Rumah Tinggal Batas tapak
Arsitektur bangunan Ruang
Halaman
Tanaman Sirkulasi
Aktivitas Simbol
Uraian Pendapat Narasumber Rumah tinggal tradisional
Keterangan
Depan rumah tradisional memiliki batas yang nyata, batas disampingnya tidak nyata berupa tanaman pohon hidup atau batu setinggi lutut dengan rumah tinggal tetangga. Kondisi sekarang, pagar rumah sangat nyata dan cenderung lebih tinggi dari keasliannya Konsep rumah diadaptasi dari cosmologi Buton
Al Mujazi (budayawan, penjaga naskah adat); La Bungke (Tukang); Imran Kudus (pemerhati budaya)
Bentuk rumah letter L dengan pembagian: tata ruang tubuh rumah berbentuk persegi panjang (depan untuk pria, tengah untuk wanita, inti) dan ruang dapur sisi kiri belakang tubuh rumah Rumah tinggal memiliki halaman relatif sempit. Umumnya terbagi atas halaman depan dan belakang Jenis tanaman untuk keperluan dapur, adat, dan obat a). Jalan halaman rumah: Jalan lurus di sisi kiri halaman karena pintu teras arah samping. b). Susunan antar ruang rumah bersifat serong Tradisi pesta (karia) nikahan, tandaki, posusu, dan pingit (posuo) khusus wanita Arsitektur rumah simbol tubuh manusia ibu (bangunan rumah sesuai karakter istri) Sirkulasi serong antar ruang sesuai serongnnya saluran pencernaan tubuh manusia
Asri (Tukang rumah adat), Saim (Tukang rumah adat)
Rusli (Lembaga adat)
Karimu (Tukang rumah adat)
Al Mujazi, Naasifa (tokoh adat wanita), Suluhu (perangkat masjid agung keraton), Al Mujazi Naasifa, Jaati (tokoh adat), Suluhu, Hasan Nuhu budayawan), Asri
(seniman
31
Rumah terbangun di kanan lahan
Rumah terbangun di tengah lahan
Gambar 17 Lanskap Rumah Adat
Pemakaman (Cemetery) Kesultanan Buton menjadikan landuse kota kesultanan sebagai pemukiman dan pemakaman orang-orang berjasa terhadap kerajaan dan agama Islam. Hal ini menunjukan pemakaman menjadi sala satu elemen pembentuk lanskap kota dan image kota. Mengacu pada naskah lokal syair “Paiyasa Mainawa”, makam dimaknai sebagai tempat tinggal, tempat pengingat bagi orang hidup, dan ‘cermin terang’ asal mula kejadian manusia dari debu tanah dan akan kembali ke tanah sedangkan asal kejadian manusia sekarang dari air mani (nutfa). Wujud terapan makna kata makam ini adalah ukuran nisan sultan melebihi tinggi petak makamnya. Era kesultanan, saat menjelang awal Ramadhan maka syara kerajaan dan syara agama berkumpul, ritual menembakan meriam sebanyak tiga kali ke arah bulan (tembana bula) dan memberikan informasi puasa ramadhan kepada masyarakat umum dan mempersiapkan kembang cempaka kubur (bunga eja) dan minyak wangi untuk keperluan ziarah kubur pada makam-makam tertentu (Zahari, 1997). Kegiatan siraman makam semua sultan oleh adat dinamakan santiago. Leluhur Buton secara tegas mewajibkan agar orang-orang berjasa terhadap kerajaan dan agama dimakamkan di dalam lanskap kota Kesultanan Buton. Saat penelitian lapang, banyak lokasi makam tersebar. Bagi Kesultanan Buton, orangorang berjasa atau berpengaruh itu adalah orang-orang yang penuh hatinya membangun negeri dan memperbaiki orang banyak (masyarakat); Orang yang mempunyai kepribadian tinggi serta pada dirinya terdapat tanda keberanian, kepandaian, keahlian, prinsipnya melebihi yang lain; Orang yang semasa hidupnya memiliki keahlian perang, pandai menulis syair (kabanti), mampu menetapkan gaji (pasali), mampu berdiplomasi, dan ilmu bathinia dan agama tinggi. Makamnya terus menerus diziarahi dan kemampuan dirinya tetap diceritakan turun temurun oleh masyarakat. Hal uniknya adalah Sultan ke-6 yang di zamannya benteng keraton dirampungkan, Sultan ke-20 bersikap melawan dan menyebabkan VOCBelanda menyerang Kota Wolio keraton Buton. Mereka dimakamkan diluar kota atau kawasan benteng. Berdasarkan hasil survei lapang, makam orang ‘besar’ dan berjasa terdiri atas tujuh orang dengan posisi letak makam tersebar, terpisah. Mereka terdiri atas jabatan Sultan, Sapati, Bhisa Patamiana (ulama), dan Kenepulu. Secara spasial, posisi letak makam tujuh orang ini membentuk pola lintasan di permukaan bumi, yaitu pola lintasan utara menuju selatan, yang dimulai dari sudut benteng sampai gerbang Wajo makam Kenepulu. La Suluhu (wawancara) menyatakan sebaran
32 makam ini berujung di makam Sultan ke-29 di masjid Quba, Baadia. Titik makam ini jika dihubung-hubungkan dengan garis imajiner membentuk pola garis bentuk busur. Puncak garis busur ini ditempati makam Sultan ke-1, Sultan Murhum. Deretan makam ini mengambil tempat pada sisi timur pinggir kota dan tiap makam terhubungkan dengan jalan. Era kesultanan, Sultan ke-39 dan rombongan, yang berkedudukan di Baadia, melintasi jalur makam ini setiap menunaikan shalat jumat di Masjid Agung Keraton (Wawancara) (Gambar 18) Mengacu pada lanskap kota, yaitu bentuk lanskap Muhammad dan jalan poros, makam-makam para sultan lainnya mengambil tempat sisi kiri jalan poros dan terkandung dalam huruf “Dal”. Makam para menteri besarnya, juga beberapa sultan lainnya mengambil tempat sisi kanan dan terkandung dalam huruf Mim, Ha, Mim. Hasil observasi lapang, makam sultan di huruf “Dal” berjumlah sembilan orang. Mengacu pada filosofi tubuh manusia, kebanyaka makam sultan mengambil tempat bagian kaki, sisi timur kota
Gambar 18 Letakan Makam Area Pinggir Timur Kota, Area Kaki
Tapak pemakaman memiliki tatanan tertentu, yaitu makam menyendiri dan mengelompok. Makam menyendiri terdiri atas makam Sultan ke-1, ke-9, ke-11, ke35, serta makam ulama H. Sulaeman (Haji Yipada). Pada makam mengelompok terdapati beragam juga, yaitu makam sultan dengan keluarga, makam banyak sultan, dan makam sultan dengan banyak menteri. Tatanan makamnya, yaitu keberadaan posisi nisan yang berbeda-beda dari kelompok pemakaman. La Suluhu, Mujazi, dan Jaati (wawancara, 2015) mengemukakan Kesultanan Buton menggunakan tiga konsep penempatan nisan makam, yaitu tatanan pola imammakmun, pola sejajar-berdampingan, dan pola mengumpul serupa “rumpun bambu”. Pola imam-makmun, yaitu satu nisan berada paling depan dan nisan makam lainnya berada dibelakangnya nisan imam. Pola “rumpun bambu”, yaitu nisan makam berdempetan, berdampingan rapat, dan tidak teratur. Filosofi tatanan
33 ini didasarkan pada ajaran islam bahwa hari kiamat, hari kebangkitan, kita tidak bercerai tetap bersama. Hasil observasi lapang, komponen elemen-elemen makam pembentuk karakter lanskap terdiri atas jalan, petak makam dan pintu masuk sisi selatan, dengan ukuran berbeda-beda. Elemen-elemen lanskap makam, yaitu petak makam ukuran ( ±10×16 meter, ±10×10 meter, dan ±10×12 meter), nisan batu, lantai pusara berupa kerikil pantai. Pada lanskap makam lama didapati vegetasi tertentu, yaitu jenis pohon berbuah, beraroma, berdaun kecil dan rimbun. Tanaman ini terdiri dari beringin (Ficus benjamina), bambu (Bambuseae), nangka (Artocarpus heterophyllus), enau (Arenga pinnata), mangga (Mangifera indica), asam jawa (Tamarindus indica), katapi (Sandoricum koetjape Merr), cempaka kubur (Michelia Champaca Linn), jeruk purut (Citrus hystrix) dan pohon bidara (ashshadira tree). Keberadaan pohon bidara, sala satu perlengkapan jenazah penting, saat penelitian hanya satu pohon saja. Konon, pohon ini tumbuh alami dan tidak dapat dibudidayakan oleh masyarakat. Hasil observasi lapang, dua makam sultan dengan tatanan tersendiri berada di atas bukit, yaitu makam Sultan ke-1 di bukit Lelemangura dan makam Sultan ke11 di bukit Bada. Kata Lelemangura berarti tetap muda, dan kata Bada berarti badan untuk manusia. Tatanan kedua makam berbeda. Perbedaannya, yaitu tata letak pohon Ficus benjamina, bangunan makam, dan bentuk nisan. Pada makam Sultan ke-1 letak pohon berada di bagian kaki dan Sultan ke-11 letak pohon berada dibagian kepala makam. Bentuk nisan bersifat sama, yaitu nisan semen berbentuk tugu, tapi nisan Sultan ke-1 diperbagus dan ditinggikan sedangkan nisan Sultan ke11 sederhana dan kecil. Anggapan masyakat penziarah juga berbeda terhadap kedua makam ini, yaitu banyak berziarah di makam Sultan ke-1 ketimbang makam Sultan ke-11. Naasifa (wawancara, 2014) mengatakan bahwa pesan orang tuanya agar jangan ziarahi makam Sultan ke-11. Sumber lainnya mengatakan bahwa makam Sultan ke-11 mistiknya kuat (Gambar 19)
Nisan dan beringin di kaki
Nisan dan beringin di kepala
Bentuk makam Sultan ke-1
Bentuk makam Makam Sultan ke-11 Sumber: Google earth.com
Gambar 19 Lanskap Makam Sultan
34 Lapangan Muka Masjid, Alun-alun Kota (City Square) Lanskap kota Kesultanan Buton memiliki ruang terbuka publik sebagaimana yang dipunyai kota kesultanan lain di Indonesia yaitu Alun-alun. Bagi masyarakat keraton, ruang publik ini dinamakan Yaroana Masigi. Alun-alun, ruang publik ini terbentuk di era Pata Limbona (empat permukiman induk), Raja ke-1 (Putri Wa KaaKaa), dan sampai Sultan ke-38, akhir kesultanan, tetap difungsikan untuk ruang bersama. Ruang bertemunya semua kalangan apapun status sosialnya untuk berinteraksi, kegiatan adat dan keagamaan. Ruang ini adalah pusat tempat sultan mengumpulkan rakyatnya dari 72 kadie (kecamatan) dan empat barata (daerah otonom kerajaan). Ruang yang serupa dengan Alun-alun Jawa ini merupakan unsur pemersatu (unifer) kota yang menurut Lynch (1960) disebut node. Keserupaan ini dikarenakan Kerajaan Buton pernah menjadi bagian kerajaan Majapahit (Prapanca, 1365). Kesultanan Buton mengambil dan mengumumkan keputusan kerajaan di Alun-alun yang dihadiri dan disaksikan semua masyarakat umum. Zahari (1977) dalam buku adat dan fiy darul Butuni, fungsi tempat berkumpulnya masyarakat sejak diketemukannya Raja ke-1 di atas bukit Lelemangura. Kepala suku Baaluwu dan Peropa bermusyawarah yang disaksikan masyarakat umum dalam prosesi Raja ke-1 menjadi anak negeri dan sebagai rajanya di batu poana (batu pelantikan sultan) di dalam Alun-alun ini. Mengacu pada naskah ini, tempat musyawarahnya di dalam baruga (balairung) yang sekarang ini. Kata Batu Poana bermakna simbolisme, yaitu batu tempat dilahirkannya putri Wa KaaKaa menjadi anak negeri. Batu ini menyerupai faraj wanita. Secara turun-temurun, tempat ini menjadi pelantikan semua Sultan Buton sehingga dikenal dengan Batu Popaua yang berarti batu tempat pelantikan sultan dengan cara dipayungi. Secara simbolisme, pemaknaan kata po aana (diperanak) dengan po paua (dipayungi) berlaku khusus bagi sultan baru. Alun-alun, lapangan terbuka ini memiliki bangunan pusat ibadah kerajaan Masigi Ogena Wolio (Masjid Agung Keraton Buton) dengan Kasulana Tombi (tiang bendera). Zahari (1977) mengemukakan alasan utama masjid terbesar terbangun pada area bukit pada lapangan terbuka ini, yaitu terdengar suara azan dan terlihat bayangan orang sementara shalat. Hal ini menggambarkan lanskap Alunalun ini bersifat dimuliakan dan bernilai tinggi yang secara simbolisme adalah “tanah suci” dalam kota Kesultanan Buton. Era kesultanan, area lapangan terbuka ini dijadikan ruang pusat pertemuan kegiatan adat resmi kerajaan dan kegiatan ritual keagamaan. Hasil studi literatur dan wawancara, selain pelantikan sultan, tempat ini difungsikan untuk ruang rapat kesultanan bersama masyarakat, ruang pasar (ekonomi), ruang pengesahan dan diumumkannya undang-undang Martabat Tujuh, ruang aktraksi budaya dan atraksi militer, ruang hukuman mati pejabat kerajaan, dan ruang ritual agama berupa acara sahur 15 malam bulan ramadhan dan lebaran, serta ruang penyembelihan hewan kurban Idul Adha. Meskipun demikian, tidak semua kegiatan besar adat di selenggarakan di ruang ini. Pesta sultan dan pejabat kesultanan, acara pribadi, mengambil tempat di halaman istana atau di rumahnya.
35
Adat Kerajaan dan Ruang Berbasis Tanaman Sumber: https://www.rijksmuseum.nl/en/collection
Tarian Galangi dan Penataaan Estetika Ruang Sumber:https://www.rijksmuseum.nl/en/collection
Gambar 20 Ruang Yaroana Masigi Alun-alun Pusat Kota Eksisting area Alun-alunnya terbangun pada tapak dengan topografi beragam, yaitu disebelah utara berupa lembah dan sebelah selatan berupa bukit, disebelah barat berupa dataran permukiman dan bukit Turisina tempat masjid, dan disebelah timur berupa dataran permukiman dan lahan berbukit. Norman K Booth (1983) dalam bukunya Basic Elements of Landscape Architectural Design, menjelaskan bahwa keragaman topografi bermakna penting dan mempengaruhi perasaan manusia, yaitu karakter estetika, sensasi ruang, pemandangan (views), drainase, microclimate, tata guna lahan (Booth, 1983). Mengacu pada Booth (1983) tapak alun-alun kota ini dikategorikan sebagai “microlandform”. Tatanan elemen pembentuknya terdiri dari bangunan masjid dan tiang bendera, bangunan baruga (balairung), bangunan rumah batu pelantikan sultan, gerbang utama, lima alur jalan dan permukiman masyarakat, bukit Lelemangura dan makam Sultan ke-1, taman dan tanaman. Tatanan tata letak elemen-elemen bangunannya didasarkan pada pola orientasi berhadap-hadapan (oposisi), yaitu baruga dihadapkan dengan masjid, bangunan batu pelantikan dihadapkan dengan istana. Meskipun istana berada di luar Alun-alun, posisi rumah pelantikan menghadap istana. Bangunan gerbang utama dihadapkan dengan masjid, ruang Alun-alun dan makam Sultan ke-1 bukit Lelemangura (Gambar 21). Masjid adalah titik pemisah batas wilayah tugas dari dua menteri besar (Zahari, 1977). Berada di dalam ruang interior Alun-alun, kita diperhadapkan dengan baruga (balairung) disebelah timur, masjid dan tiang bendera sebelah baratnya, sebelah utaranya batu pelantikan, pemukiman, gerbang, panorama laut dan pulau sulawesi, sebelah selatannya makam Sultan ke-1, bukit Lelemangura, dan jalan mendaki ke istana. Semua elemen-elemen ini terkandung filosofi dan spirit khusus. Jika mengacu pada platform undang-undang Martabat Tujuh, acuan aturan pokok Kesultanan Buton (Wolio). Kita manusia diposisikan berada pertemuan empat alam-dunia, yaitu: alam arwah (dunia spirit), alam mitsal (dunia ide-ide), alam ajsam (dunia materi, tubuh) dan alam insan (dunia manusia). Manusianya merupakan “puncak” manifestasi ciptaan Tuhan, mahluk sempurna ciptaan Tuhan karena dalam dirinya terkumpul semua alam (Gambar 22). Spirit tempat ini agar manusia pengguna Alun-alun dapat mengenali hakikat dirinya, menjadi arif, dan menjadi ‘Insan Kamil’ (manusia sempurna). Yunus (1995) menyatakan Kesultanan Buton juga berpahamkan filosofi penyatuan dua dunia berupa mikrokosmos (dunia nyata) dan makrokosmos (universum).
36
Baruga berukuran besar dan sejajar masjid Sumber: Google eart.com
Tatanan ideal lanskap Alun-alun kota
Gambar 21 Elemen dan Tatanan Lanskap Yaroana Masigi Alun-alun Pusat Kota
Kesultanan Buton berlandaskan pada pemahaman menurut arah mata angin. Pemahaman ini terwujud dalam penamaan jabatan tinggi kerajaan, yaitu kedua menteri besar (Bonto Ogena Matanaeyo dan Bonto Ogena Sukanaeyo) dan kedua kapatilau (Kapitalau Matanaeyo dan Kapitalau Sukanaeyo) yang menguasai wilayah bagian matahari terbit (matanaeyo) dan wilayah bagian matahari terbenam (sukanaeyo). Masjid Agung yang di Alun-alun adalah pusat atau poros batas dua wilayah ini (Zahari, 1977). Hal ini menunjukan spirit Alun-alun berlandaskan filosofi matahari sumber energi kehidupan dan mata angin (Gambar 22) Spirit utama Alun-alun lainnya, yaitu sesuai sumpah pelantikan sultan yang diucapkan oleh Menteri Baaluwu dan Menteri Peropa, adalah Tanah Wolio, tempat Alun-alun, sultannya tumbuh subur, semoga orangnya panjang umur, jangan demam, dan jangan sakit kepala. Batu pelantikannya menyimbolkan “rahim ibu” tempat pelahiran sultan di alam-dunia nyata dan sultan menjadi anak negeri (wawancara; Zahari, 1977). Bagi kerajaan Buton, sultannya diposisikan sebagai seorang anak negeri dan kelompok pemilih sultan sebagai bapak atau kakek negeri.
37
Gambar 22 Kosmologi dan Spirit Yaroana Masigi Alun-alun Pusat Kota
Jika mengacu foto KITLV (Gambar 20), tampilan wujud lanskap Alun-alun era kesultanan terdiri atas: a). Jalan lima jalur seukuran lebar bahu orang dewasa (jalan kuda), b). Baruga (balairung) adalah bangunan sementara material bambu dengan karakter berukuran relatif kecil dan beratap satu lapis, dinding terbuka yang orientasinya menghadap muka masjid, tutupan lantainya (ground cover) berupa rumput, c). Makam Sultan ke-1 terdapat dua pohon beringin (Ficus benjamina), d). Punggung bukit Lelemangura merupakan hamparan rumput tempat masyarakatnya melihat prosesi adat kesultanan, dan terdapat rumpun bambu bulu gading d). Sisi selatan, utara, dan timur Alun-alun menggunakan tanaman pembatas (border plants) atau tanaman tepi (edgings plants) jenis kelapa, pisang, kapuk, dan kapas, e). Taman segitiga eksisting merupakan ruang hijau era kesultanan dan tempat satu rumah menteri utama (wawancara). Hasil observasi lapang, yaitu luasan gedung Baruga (Balairung) relatif menyamai luasan masjid, orientasinya dihadapkan dengan makam Sultan ke-1 bukit Lelemangura dan tempat pelantikan; tutupan tanah dengan pavement (perkerasan) material paving blok. Idealnya, baruga (balairung) berukuran kecil agar nilai monumental Masjid Agung Keraton tetap agung dan spirit Alun-alun tetap terasa bagi masyarakat atau wisatawan.
Gerbang Lanto utara Alun-alun Tahun 1918 Sumber: http://collections.smvk.se/carlotta-vkm
Baruga mengurangi nilai monumental Masjid
Gambar 23 Struktur Tempat Yaroana Masigi Alun-alun Pusat Kota
38 Era kesultanan, lanskap Alun-alun didesain menurut nilai, spirit, filosofi tertentu dan didesain untuk tempat pusat kegiatan besar kesultanan bersama masyarakatnya. Tatanan elemen-elemen, yaitu pola tata letak bangunan berhadaphadapan, yang sebenarnya, agar tercipta saling keterhubungan (interconnectedness) dan keterikatan antar elemen masjid, baruga (balairung), bukit, makam, dan batu pelantikan. Secara filosofi dan spirit tempat, seorang manusia ketika berada di ruang Alun-alun memperoleh kesan dan spirit tertentu, yaitu harta, dirinya (lahir, hidup dan mati), alam, pemerintahan, dan agama ibadah (manusia dan Tuhannya) dalam satu tempat di Alun-Alun. Makna saling keterhubungan (interconnectedness) adalah prinsip fundamental dalam proses desain ekologis kota era modern agar manusia merasa terhubung dan terikat pada lingkungannya (Barnett dan Beasley, 2015; Van der Ryn dan Cowan, 1996). Secara visual tempat, lanskap Alun-alun memiliki nilai estetika lingkungan, yaitu orientasi utara memperlihatkan panorama laut dan Pulau Sulawesi, dan orientasi selatan memperlihatkan dua jalur jalan lurus naik bukit Lelemangura dan bukit istana (Gambar 23). Ruang Terbuka Hijau (Green Open Space) Ruang Terbuka Hijau di dalam wilayah kota merupakan elemen paths lanskap kota Kesultanan Buton untuk paru-paru kota, peresapan air, dan perlindungan flora. Era Sultan ke-29, kampung baru Baadia, perluasan pemukiman, diatur dengan cara pengangkatan lakina (kepala kampung), pembangunan masjid dan kolam air (Quba) (Zahari, 1977). Di selatan benteng kota, parit terbangun mengikuti sisi selatan kota. Parit ini berfungsi jebakan musuh yang menyerang kota dari sisi selatan yang topografinya datar. Syahadat (2015) mengatakan dahulunya parit ini ditanami tumbuhan beracun, berduri, menimbulkan efek gatal, serta ditempatkan pula hewan-hewan berbisa. Berdasarkan kondisi eksisting, alur parit ini relatif berkelok dengan beberapa pohon besar tumbuh dipinggirnya. Mengacu fungsi parit sebagai pelindung kota, bisa jadi sepanjang parit ini dihutankan dengan pohon dan menjadi saluran air di musim hujan. Tatanan pohon sepanjang pinggir parit ini membentuk sabuk hijau (Green belt) terminologi lain Ruang Terbuka. Kota terbangun di atas bukit dengan lanskap berbukit, dapat diketahui, bahwa lingkungan fisiknya dipengaruhi topografi dan iklim panas-dingin (Baran at al., 2011). Untuk beradaptasi pada kondisi berbukit, tata ruang kota berbasiskan elemen pohon. Selain parit, sebaran pohon lama terletak pada titik-titik (spots) tertentu, yaitu area makam para sultan, area istana, area bukit Lelemangura dan Alun-alun, dan area permukiman masyarakat. Pada sisi timurnya, satu pohon nato berusia lama, dan beberapa pohon kelapa usia tua tumbuh di area bukaan benteng. Pohon nato (Palaquium rostratum) merupakan tanaman penanda titik pertemuan huruf “Mim” dengan huruf “Dal”. Komunitas pohon lainnya terletak di area tebing dan kaki bukit. Semua vegetasi, yaitu eksisting sejak masa kesultanan dan sebagian ditanami masyarakat (wawancara) dan berfungsi untuk melindungi benteng kota dari tiupan angin barat, dan penahan erosi tebing. Menurut keterangan foto KITLV, tanaman Ruang Terbuka Hijau kota dominan jenis pohon sedang-tinggi, yaitu kelapa, pisang, pohon asam dan tanaman lainnya (Lampiran). Hasil wawancara, dulunya banyak didatangi kawanan burung tertentu hinggap dipohon kelapa dan juga banyak burung jenis kakatua putih (Cacatua alba) datang makan buah kelor (Moringa oleifera L.) yang banyak tumbuh dipekarangan warga. Mengacu pada informasi ini, masyarakat dulunya
39 menata ruang kota dengan elemen pohon berguna untuk dirinya dan juga dapat mendatangkan satwa burung endemik Pulau Buton, Pulau Sulawesi .
Sumber:http://media-kitlv.nl/boeton
Gambar 24 Wilayah Timur Penyangga Besar Ekologi-Estetika Lanskap Kota
Secara spasial, lanskap kota tersusun atas elemen-elemen yang berupa jalur (path) adalah jaringan jalan dan jalur hijau. Jalur hijau ini adalah pohon kelapa yang berjajar di sepanjang benteng. Pohon ini ditanam sebagai syarat bagi pengantin baru, yaitu wajib menanam tiga pohon kelapa. Bagi masyarakat Buton, pohon kelapa banyak kegunaannya dan bermakna spritual. Hampir semua bahan dasar menu makanan tradisional menggunakan kelapa. Penyair era kesultanan, kelapa dijadikan sumber acuan syair “Kaluku Panda” (pohon kelapa pendek) syair cara berumah tangga. Makna lainnya, pohon kelapa kiasan untuk pemukiman yang masyarakatnya pelit (wawancara dengan Mujazi). Lagu daerah Buton lambaian daun kelapa pesisir pantai adalah petunjuk kapal berlayar agar waspada kapal karam (wawancara dengan Mujazi). Dalam pernikahan adat istiadat Buton, para pemangku adat menggunakan elemen tanaman adat simbolisme harapan kebahagian keindahan berumah tangga, tiga jenis tanaman berbunga (kembang), yaitu Kamba mpu (Grewia koordersiana Burret) yang artinya keindahannya kasat mata; Kamba lagi yang artinya keindahannya bertambah; Kamba manuru bunga melati (Jasminum grandiflorum L.) yang artinya keindahannya terus-menerus (sustainability in beauty). Naasifa (wawancara) mengatakan ketiga tanaman ini merupakan media harapan simbolisme hidup berumah tangga yang nantinya ia hidup bermasyarakat dalam permukiman atau kota. Hal ini dapat dimaknai keberlanjutan adat dan kenyamanan lingkungan hidup mereka dipengaruhi keberadaan tanaman bersumber alam lingkungannya. Observasi lapang, tanaman adat ini tumbuh dipekarangan rumah pemangku adat dan rumah orang-orang tertentu. Khususnya Kamba mpu (Grewia koordersiana Burret) merupakan tanaman liar.
40
Tanaman pohon tinggi pinggir jalan
Rumput liar dulunya rumput hias
Taman Segi Tiga Muka Masjid Alun-alun Pusat Kota
Gambar 25 Tanaman Ruang Terbuka Hijau Lanskap Kota
Hasil observasi, area muka gerbang terdapat beberapa pohon besar usia lama. Pohon ini tumbuh alami dan tidak terawat. Bagi masyarakat, pohon tinggi adalah pohon peneduh dari cahaya matahari. Mengacu pada jumlah gerbang terbanyak, Ruang Terbuka Hijau era kesultananna lainnya adalah lanskap Sungai BauBau timur kota dan lanskap lembah utara kota. Secara historiograpi, Lanskap Sungai BauBau tersimpan awal jejak peradaban Kota Wolio Kesultanan Buton, yaitu penemuan Raja ke-1 Putri Wa KaaKaa, tempat berlabuh kapal ulama Firus Muhammad penyiar agama Islam dalam kerajaan, tempat adu kesaktian para ulama pendatang, tempat kontemplasi Sultan Buton (wawancara), tempat perlindungan pihak istana dan masyarakatnya dari serangan VOC-Belanda di dalam kota (Zahari, 1977). Keberadaan lanskap sungai ini juga menjadi tempat ritual budaya masyarakat turun-temurun (wawancara). Pada lanskap lembah utara kota tersimpan jejak peradaban Kota Wolio menuju zaman modern, yaitu terbangunnya jalan aspal buatan VOC-Belanda, dan jejak area pengembangan Kota Wolio area permukiman baru yang semua warganya dari Kota Wolio. Jaringan Jalan (Streets Network) Kota Kesultanan Buton terdapat sebaran jalan yang terletak di dalam kota dan di sekeliling benteng. Tatanan jalannya didasarkan pada pola grid, yaitu satu jalan poros utama, jalan lima arah, jalan sekeliling benteng, dan jalan akses 12 gerbang kota. Berpatokan pada pertemuan (crossing line) lima jalan di muka masjid area Alun-alun, jalan ini membentuk simpul (nodes) dimana arah atau aktivitas saling bertemu dan dapat diubah ke arah lainnya. Mengacu pada teori Lynch (1960), simpul jalan dimuka masjid Alun-alun ini adalah titik pertemuan aktivitas dari arah
41 bukit Lelemangura, istana, permukiman Baaluwu, permukiman Melai, dan gerbang Lanto. Bagi Kesultanan Buton, prinsip tatanan jalan kota adalah mengacu atau mengikuti kontur tanah, antar gerbang terkoneksi cepat, bagian elemen-elemen pola kota, pembatas (barier) antar wilayah permukiman menteri utama dengan wilayah sultan dan pembantunya, dan jalur jalan poros, jalur tengah kota, sebagai tempat penyampaian informasi kerajaan kepada masyarakatnya oleh talombo (aparat penerangan) dengan cara teriak keras (wawancara). Secara filosofi, spirit dan simbolisme, semua jaringan jalan kota merupakan refleksi sistem arteri atau uraturat pada tubuh manusia yang dikaitkan dengan spirit memuliakan Muhammad Rasulullah Saw. Penerapan konsep ini terdapati pada tatanan jalan eksisting, kecuali jalan baru buatan VOC-Belanda masa kesultanan terakhir. Tentang spirit kemuliaan Muhammad Rasulullah Saw, Kesultanan Buton dalam memilih calon sultan adalah sesuai “amanat kerasulan” yaitu orang yang sifatnya seperti sifat yang dimiliki Muhammad Rasulullah Saw, tradisi budaya turun-temurun masyarakatnya acara tahunan, yaitu ritual “Pakandeana Ana-Ana Maelu” (memberi makan anak yatim) untuk mengenang masa Rasulullah Saw menjadi anak yatim, ritual “Sumpu Uwena Safara” (minum airnya bulan syafar) untuk mengenang peristiwa kecelakaan Rasulullah Saw patah giginya, dan acara teristimewa Mauludan pembacaan biografi riwayat Nabi Muhammad Rasulullah Saw pada tiap-tiap rumah masyarakat yang diawali oleh Mauludan rumah Walikota.
Gerbang Timur
Gerbang Barat
Jalan Poros orientasi timur-barat
Tubuh manusia Ibu Ruang Kota
Gambar 26 Sumbu Kota dan Spirit Struktur Lanskap Kota
42 Hasil analisis jalan lama, arah lintasan jalan utama didasarkan pada konsep poros (axis kota) orientasi timur-barat. Lintasan jalan ini dimulai dari timur— tepatnya pada titik bukaan benteng, pohon nato, gerbang timur—menuju Alun-alun masjid, menuju permukiman dan berakhir di gerbang barat. Gerbang timur dinamakan Lawana Waborobo, dan gerbang barat dinamakan Lawana Lantongau. Pola jalan ini menempatkan area Alun-alun pusat kota dan tatanan jalan ini menjadikan wilayah kota berpola sisi utara-selatan atau sisi kiri dan kanan, yaitu: 1). bagian selatan, wilayah kiri, ditempati area istana, permukiman menteri dalam (Bonto yinunca) dan menteri penghubung (Bonto lencina kanjawari), 2). Bagian utara, wilayah kanan ditempati permukiman khusus Siolimbona (sembilan menteri utama) (Gambar 26). Jalan poros (sumbu kota) dijadikan pembatas (barier) wilayah antara kelompok istana sultan dan pembantunya dengan kelompok Siolimbona. Siolimbona bertempat pada wilayah terdepan lanskap kota, sisi utara, area lembah di kerendahan dan istana sultan bersama pembantunya bertempat di wilayah belakang Siolimbona, sisi selatan, dibukit, area ketinggian. Pola tatanan ini terkait dengan penerapan ketentuan adat Kesultanan Buton, yaitu Siolimbona berperan sebagai bapak atau ulama dan sultan merupakan anaknya; Siolimbona berperan sebagai perisai sultan dan penegakan adat istiadat. Wilayah istana, tempat sultan dan pembatunya ditempatkan di atas bukit area ketinggian karena sultan dipandang manifestasi nur Muhammad, manusia insan kamil, dan pimpinan Kesultanan Buton (Gambar 26) (Yunus, 1995) Secara topografi, bagian selatan-bagian kiri adalah bukit ketinggian dan bagian utara-bagian kanan adalah lembah kerendahan. La Suluhu dan Jaati (wawancara) mengatakan bahwa pola tata letak basis kanan-kiri diterapkan juga pada pembagian posisi shaf ibadah di Masjid Agung Keraton, yaitu sisi kanan ditempati para pejabat kesultanan dan pemerintah sekarang sedangkan sisi kiri ditempati kelompok ulama bersama masyarakat umum (wawancara). Di dalam lanskap kota, area istana dinamakan kara yang artinya tulang rusuk, dan tapak makam Sultan ke-11 dinamakan bada yang artinya badan (wawancara). Kedua area ini berdekatan. Masjid Agung Keraton Buton terdapat lubang rongga batu dinamakan Pusena Tanah yang artinya pusat bumi, dan batu pelantikan sultan dinamakan Batu Poana berbentuk faraj wanita yang artinya panggul “rahim”. Tempat ini berada di Alun-alun, area pusat Kota. La Suluhu (wawancara) bahwa bagian kepala ditempati oleh pemukiman Gundu-Gundu selaku permukiman awal dan makam Menteri Besar Wantiro selaku ketua kelompok sembilan menteri. Mujazi (wawancara) bahwa kaki ditempati permukiman Barangkatopa selaku permukiman awal dan makam Sultan ke-25 dengan gelar Sultan Alim Al-Din. Pemukiman Barangkatopa disebelahnya ada sungai dan tebing. Nama-nama ruang kota ini diderivasi dari nama tubuh manusia. Menurut Tuan dalam bukunya Space and Place (1977) adalah tata kota yang berprinsipkan “lived body” (manusia hidup) dan ruangnya ditafsirkan menurut sifat manusia (Gambar 25). Mengacu pada Tuan (1977) Kesultanan Buton menganggap lanskapnya sebagai jasad manusia hidup, yaitu seorang wanita berwujud ibu.
43
Jaringan jalan era kesultanan
Konektifitas kota pada gerbang
Gambar 27 Pola Dasar Jalan Lanskap Kota
Penataan jalan kota berdasarkan pola dasar tertentu yang mengandung prinsip hukum adatnya. Keseutahan jaringan jalan berbentuk grid dengan mengikuti alur topografi eksisting yang terdiri atas jalan poros (sumbu kota), jalan keliling benteng, dan jalan lingkungan terkoneksi pada gerbang dan baluaran (Gambar 26). Jalur jalan poros timur-barat ini merupakan garis axis kota bentuk serong berbelok ke kiri. Jalurnya tidak tegak lurus 90°. Bentuk serong kiri ini sebenarnya terkandung spirit Kesultanan Buton terhadap kemuliaan Muhammad Rasulullah. Jika dikaitkan dengan tatanan bentuk benteng, yaitu huruf arab Muhammad, jalan poros timurbarat ini sebagai garis lurus pada huruf arab “Dal”. Namun demikian, anggapan masyarakat umum bahwa huruf arab “Dal” itu adalah bentuk keseutuhan benteng Kota Kesultanan Buton. Masjid Agung Keraton Buton (Mosque) Elemen landmark lanskap kota Kesultanan Buton adalah masjid. Masjid ini dinamakan Masigi Ogena Wolio yang artinya masjid besar di Wolio, Keraton Buton. Kata Ogena berarti fisik bangunan besar dan tinggi, lebih besar dari istana sultan. Di dalam naskah, istilah Ogena hanya tersemat pada masjid ini dan pejabat tertinggi kerajaan (Mia Ogena). Masjid ini adalah masjid tahkik ulama Syara Kidina, Syarana hukumu. Syara Kidina bermakna miniatur pemerintahan besar (syara ogena) khusus urusan hukum agama dan spritual kesultanan. Perangkatnya terdiri atas imam berstatus sultan bathin, lakina agama berstatus pimpinan agama wakil pemerintahan kesultanan, empat orang khatib berstatus, 12 moji berstatus guru agama, empat tungguna ganda berstatus murid (wawancara Alm Hazim Kudus, 2015). Era aktif kesultanan, masjid memiliki perangkat Bhisa Patamiana (empat orang ulama) bertanggung jawab pada urusan perlindungan kerajaan secara batinia. Kesultanan Buton menjadikan agama islam sebagai elemen tertinggi dari lima elemen falsafah kerajaan, yaitu harta, diri manusia, alam semesta, pemerintahan,
44 dan agama islam. Falsafah ini adalah “Yinda-Yindamo Sara Somanamo Agama”. Kata Yinda-yindamo sara atau Bolimo sara bermakna menistakan atau meniadakan pemerintahan, dan kata Somanamo agama bermakna demi untuk agama. Falsafah ini diaplikasikan melalui pembangunan tiga buah mesjid yaitu Mesjid Agung Keraton Buton, Mesjid Sorawolio, dan Mesjid Quba. Dahulunya Kesultanan Buton hanya mengakui ketiga masjid tersebut sebagai masjid resmi kerajaan yang lainnya disebut langgar. Ketiga mesjid ini diadopsi dari tiga mesjid utama di Arab yakni Masjidil Haram, Masjid An-Nabawi, dan Masjidil Aqsa (wawancara dengan La Suluhu dan Mujazi; Syahadat, 2015). Masjid Agung Wolio adalah simbol keagungan, bangunan sakral dan pusat kosmik yang bangunannya berukuran besar dan tinggi, diletakan pada Alun-alun pusat kota, dan terlihat jelas dari perairan Kota BauBau. Suara beduknya terdengar sampai dipulau seberang (wawancara). Di sebelah kanan masjid, bangunan tiang bendera yang tingginya sejajar masjid. Tiang bendera ini dinamakan Kasulana Tombi, yang artinya tiang mengibarkan tombi Longa-longa, yaitu kain segitiga lancip berwarna merah-biru-kuning, bertuliskan Sultan Kaimuddin, atau berwarna hitam dan putih (wawancara). Tiang dan benderanya adalah elemen penyempurna kebesaran masjid dan Kesultanan Buton. Menurut sejarahnya, masjid pertama berada di Kaliwu-liwuto area barat pinggir bukit Lelemangura. Dikarenakan perang saudara, masjid ini terbakar dan dibangun kembali pada tempat baru di bukit Turisina, lokasi masjid sekarang. Pembangunannya era Sultan ke-19 dengan bimbingan ulama Arab, Saidi Raba. Konon, pemilihan tempatnya didasarkan keberadaan lubang batu yang mengeluarkan suara azan dan terlihat bayangan orang sementara shalat jumat (wawancara; Zahari, 1977). Menurut kepercayaan masyakat lokal, suara azan ini berasal dari Makka. Batu ini berupa rongga dinamakan Pusena tana (pusat bumi). Masjid ini berfungsi semi-publik karena difungsikan khusus ulama perangkat masjid dan terbuka bagi umum pada hari tertentu, yaitu ibadah shalat Jumat, shalat tarawih Ramadhan, dan shalat Idul Fitri dan Idhul Adha. Masjid ini diagungkan dan dipertahankan fungsinya sesuai era kesultanan. Penggunaan masjid bersifat semi publik ini sebenarnya sangat sesuai, cocok untuk keberlanjutan masjid kuno. Hal ini, mereka telah menerapkan asas keberlanjutan (sustainability principle) suatu tradisi secara benar, yaitu tradisi agama islam di masa kesultanan masih tetap sama (lestari) dengan pelaksanaan tradisi islam yang sekarang. Tatanan ruang dan posisi ibadah berdasarkan pola khusus, yaitu masyarakat umum bertempat di belakang shaf ulama, pemerintah bertempat sejajar kanan ulama. Era kesultanan, para perempuan mukmina memiliki tempat ibadah tersendiri di rumah besar kosong. La Suluhu (wawancara) mengatakan bahwa tatanan ibadah masjid ini untuk keteraturan ibadah menghadap Allah Swt. Pola tatanan beribadah ini sama dengan pola tatanan lanskap kotanya (Gambar 25 dan 27). Arsitektural bangunan masjid adalah pola simetris, yaitu bangunan persegi empat limas diatas pondasi berukuran (3×41×42) meter; tubuh pokok bangunan 21×22 meter; tiga lantai; ruang interior (tiang, beduk, mihrab, dan mimbar) dan ruang eksterior (serambi depan, kiri, kanan dan belakang); atap dua susun, 24 pintu; dua buah gerbang; dua gode-gode (entrance) ; makam; dan elemen rumput dan cempaka kubur (Gambar 27). Konstruksi dari batu gunung direkatkan dengan kapur sebagaimana konstruksi benteng kota.
45
Gambar 29 Denah dan Posisi Duduk Ibadah Masjid Agung Keraton Buton
Secara visual lanskap, masjid ini terbangun diketinggian ketinggian ±109 dari permukaan laut yang posisinya relatif sejajar puncak gunung Wanepa-nepa pulau sebarang; satu-satunya bangunan tertinggi dan terbesar di dalam kota; warna kombinasi putih kapur dan biru langit; serambi pada sisi kiri,kanan dan belakang; makam para penyiar agama dan orang-orang berjasa pada kerajaan; satu pohon jenis cempaka berbunga merah bagian pojok barat dan ground cover elemen rumput; sisi kiri kanan gerbang utama terdapat meriam moncong rusak dan bertangkai patah menghadap baruga (simbol pemerintahan) bermakna agama atau masjid untuk
46 kebaikan pemerintah. Di depan pintu utama diantara dua selasar terdapat sebuah guci air wudhu yang bermakna kebersihan diri.
Masjid Tahun Sumber: http://collectie.tropenmuseum.nl/Buton
Tampak depan
Masjid Tahun 1970an Sumber: Koleksi Johannes I. (Hans) Bakker
Tampak belakang Sumber: youtube_ Benteng Keraton Buton
Gambar 28 Kaleidoskop dan Arsitektural Masjid Agung Keraton Buton
Istana (Place) Elemen lanskap kota penting menjadi landmark kota adalah istana sultan. Dalam Bahasa Wolio, istana disebut Kamali dan Malige. Kata Kamali bermakna cukup atau sempurna dan kata Malige bermakna mahligai. Di masa kesultanan, jumlah istana sultan itu banyak karena setiap sultan memiliki istananya masingmasing dan tidak diwariskan secara turun-temurun (Wawancara). Saat penelitian, pada lanskap kota keraton hanya ada dua istana yaitu istana Sultan ke-32 Kamali Masae yang berarti istana model lama dan istana Sultan ke-37 Kamali Kara yang artinya istana berada di rusuk. Istana Malige berada di lanskap Kota Baubau. Di luar lanskap penelitian, Kesultanan Buton meninggalkan istana lainnya, yaitu istana Sultan ke-38 di Baadia dan di Batuulo, dan Istana Ilmiah di Kota BauBau tidak jauh dari istana Malige. Secara lokasi bangunan, istana terbangun pada area selatan, sisi kiri kota, di bukit dekat Alun-Alun. Letakannya berposisi sejajar Masjid Agung Keraton. Lahan istana dinamakan Tanaylandu. Kata Tanaylandu berarti lahan reklamasi dan istilah ini juga merupakan sala satu bagian Kamboru-mboru Talu Palena tiga pilar calon sultan. Lahan tempat istana terbangun dinamakan Kara yang berarti rusuk pada manusia. Area belakang istana terdapat area makam Sultan ke-11 yang dinamakan area Bada yang artinya badan pada manusia. Istana terletak di ruang rusuk karena sultannya, pemilik istana merupakan bapak rakyat yang berfahamkan mata hatinya (Zahari, 1977). Secara simbolisme, Sultan Buton adalah spirit organ hati.
47 Istana terbangun di bukit agar terhubung dengan lanskap kotanya, yaitu benteng kota, area permukiman menterinya (Siolimbona) bertempat di lembah area rendah, lanskap Kota BauBau, dan panorama perairan laut terlihat jelas dari istana. Dari posisinya ini, suara gong pesta adat di istana terdengar jelas pada permukiman menteri utama dan permukiman sekitar luar kota. Tata letak ini sebenarnya dapat memudahkan pemantauan lanskap kota, pengamanan istana berbasis ketinggian topografi, dan sultannya berada diketinggian simbol kedudukannya yang tinggi (Gambar 30). Era Sultan ke-32 (1885-1904), area kompleks istana ini terbangun Galampa Tana yaitu rumah berlantaikan tanah-bukan rumah panggung-sebagai tempat musyawara internal sultan dan pembantunya; lumbung pangan; area pojok kompleks istana terdapat Zawia untuk ruang pendidikan kajian agama islam (Zahari, 1977; wawancara). Lanskap kota terdapat Galampa lainnya yang dinamakan Galampa Batu terbuat dari batu batah, terbangun di area permukiman menteri utama, sebagai perpustakaan naskah kesultanan dan ruang belajar calon sultan di usia kanak-kanak dengan bimbingan langsung sultan dan Siolimbona (menteri kesultanan). Saat penelitian, bangunan Galampa Batu masih ada dalam kondisi puing dan bangunan Galampa Tana tidak ditemukan saat penelitian. Mujazi (wawancara) dulunya Galampa Tana terbangun di area TK Murhum dekat istana.
Lanskap Istana Tahun 1970an Sumber: Dokumentasi Zahari
Lanskap Istana Tahun 1918 Sumber: http://collections.smvk.se/carlotta-vkm Lanskap Istana Tahun 2015
Gambar 30 Kaleidoskop Lanskap Istana Kesultanan Buton
Menurut simbolisme, kedua bentuk bangunan istana merupakan replika Kabumbu Taluanguna yang artinya bukit yang tiga (Gambar 29). Replika ini terdapat pada tiga susunan atap facade istana. Rumah sembilan menteri utama (Siolimbona) merupakan replika Bumbunga Sioanguna yang artinya bubungan yang sembilan. Kiasan ini menunjukan status istana lebih tinggi dibandingkan dengan rumah menterinya atau masyarakatnya. Keistemawaan lainnya keberadaan
48 elemen tada kambero (siku bentuk kipas) istana yang tidak boleh dimiliki atau ditiru rumah lainnya.
Istana (Kamali) Sultan Ke-32
Istana (Kamali) Sultan Ke-37
Garis imajiner koneksi istana-benteng kota Sumber: google earth.com
Gambar 31 Istana: Replika Bukit Yang Tiga dan Posisi Letak Kamali dan Malige merupakan rumah panggung terrmegah kedua setelah masjid. Secara arsitektual rumah adat, bentuk dasar horisontal adalah memanjang kebelakang berbentuk letter L yang terdiri atas teras, galampa (ruang pertemuan), ruang depan, ruang tengah, ruang inti (ruang tidur), dan sasambiri (ruang kiri atau kanan), dapur, dan lumbung. Dipetak untuk ruang tidur, ada petak khusus untuk memingit gadis yang disebut suwo. Depannya ruang inti (ruang tidur) terdapat satu ruangan difungsikan khusus kematian. Letter L dibentuk oleh ruang dapur bagian belakang sisi kanan rumah. Pintu dan jendela untuk sirkulasi berukuran besar dan banyak. Istana Kara didapati sirkulasi 33 pintu. Bentuk vertikal bangunan terdiri atas sandi (batu landasan tiang), kolong, tubuh rumah, loteng, dan atap berlapis dua. Bangunan WC dibuat terpisah dengan rumah yang diletakan pada halaman belakang. Konon, WC istana dan masyarakatnya terbuat dari batu tersusun model spiral (Wawancara). Saat penelitian, WC bentuk spiral ini tidak ada lagi.
49 Filosofi spirit pembagian antar ruangnya, Banua Tada atau Kamali terdiri dari bamba-tanga dan suo. Bamba-tanga sebagai area perut dan Sou sebagai rongga dada dan kepala. Penghuni atau pemilik rumah ditamsilkan sebagai nyawa (roh) rumah. Khusus pada bentuk konstruksi istana berlantai dua untuk menunjukan kebesaran (keagungan) sultan selaku amirul mukminin, sedangkan beratap dua dimaknai fungsi sultan sebagai pemimpin agama dan pemimpin kesultanan. Pada saat kesultanan berkuasa, tinggi atap rumah tidak boleh melampaui atap rumah sultan, karena dipercaya bahwa jika melebihi atap rumah sultan akan tidak berkah (wawancara dengan Mujazi). Sebagaimana lanskap istana lainnya, elemen pembentuk lanskap Kamali maupun Malige terdiri dari pagar, pekarangan dan tanaman kebutuhan dapur dan adat, lapangan terbuka berlantai rumput, ruang hijau, sirkulasi (jalan), bangunan galampa tana, zawia, ruang tembana bula untuk tempat petasan dengan meriam dibunyikan menjelang ramadhan pertama dan lebaran, dan pemakaman para sultan. Saat penelitian, istana Masae didapati elemen gerbang masuk melekat pagar depan sisi kiri istana yang terhubungkan oleh jalan lurus menuju gerbang sultan, gerbang Tanaylandu benteng kota. Mengacu pada Zahari (1977), dulunya semua lanskap istana memiliki pekarangan yang terawat baik. Lanskap istana ditata menurut pola tertentu. Letakan istana di sisi selatan atau sisi kanan lahan; Orientasi istana arah timur; letakan fasilitas ruang publik di muka istana; jalur jalan utama untuk sirkulasi publik melintas muka istana; letakan WC yang dianggap sebagai ruang “kotor” di utara istana; vegetasi pohon di belakang dan samping istana (Gambar 31).
Gambar 32 Elemen-Elemen Lanskap Istana
Tata Guna Lahan Perkotaan Tata guna lahan dibuat berdasarkan keadaan dan kekuatan dari kondisi tapak dan topografi, iklim, tingkat teknologi, ketersediaan sumber daya serta pola budaya (Kulbushan dalam Mungunsong, 2012). Untuk kota Kesultanan Buton, kota binaan
50 sejak tahun 1332, tata guna lahan dipengaruhi oleh bentuk topografi, tanah, iklim dan sumberdaya lokal, dan banyak terpengaruh ilmu pengetahuan adat. Menurut kesejarahan kota, leluhur perintis Kesultanan Buton membangun dua pemukiman secara terpisah, yaitu permukiman sisi barat dan permukiman sisi timur yang masing-masing bertempat di lahan area pinggir bukit sisi utara. Di Kesultanan Buton juga terdapat naskah “Pakaroana Banua atau Negeri”, yaitu pedoman membangun permukiman, dusun dan negeri berbasis pancaindera manusia, warna lingkungan, tanah, dan karakter topografi lahan. Tata guna lahan mengacu pada pembagian dalam ruang dan peran kota (Jayadinata, 1992). Menurut hasil analisis, lahan kota pada masa kesultanan terbagi dalam: a). Sistim jaringan jalan memusat pada jalan poros (sumbu utama) timurbarat, pola simpul lima jalan di muka masjid Alun-alun pusat kota, dan pola jalan keliling benteng kota; 2). Ruang Alun-alun (Yaroana Masigi) adalah pusat kota dan terbangun fasilitas publik kerajaan; 3). Permukimannya pola grid berbasis posisi fungsi dalam kerajaan; 4). Istana terbangun di satu tempat, yaitu dua istana sultan berbeda terbangun berdekatan pada satu area; 5). Ruang Terbuka Hijau (RTH) jenis buah area muka kompleks istana, area sepanjang jalan keliling benteng, dan ruang antar rumah masyarakat; 5) Pemakaman di hampir semua ruang kota, tapi sebaran makam para sultan dan ulamanya mengambil tempat di sepanjang timur pinggir kota (Gambar 30). Konsep penataannya menggunakan filosofi keseutuhan jasad manusia. Manusia menjadi formulasi pola lanskap karena manusia adalah cermin yang sempurna (Yunus, 1977). Ruang permukiman sangat mendominasi landuse kota dan meliputi permukiman sembilan menteri utama (Bonto Siolimbona), menteri dalam (Bonto Yinunca), menteri penghubung (Bonto Lencina Kanjawari) dan kompleks istana. Berpatokan pada jalan poros (sumbu kota ) timur-barat, permukiman Bonto Siolimbona bertempat di bagian utara atau kanan lahan sebagai perisai, pimpinan dan “ulama” di dalam adat istiadat kesultanan. Bagian selatan lahan menjadi area permukiman menteri penghubung Lencina Kanjawari, permukiman menteri dalam Bonto Yinunca, istana sultan dan tiga rumah pembantu sultan (Sapati, Kenepulu, dan Kapitalau). Satu permukiman menteri penghubung Lantongau bertempat pada ujung barat berhadapan langsung permukiman menteri Gundu-Gundu dan menteri penghubung Silea ujung timur berhadapan langsung menteri Barangkatopa. Khusus istana diapit oleh semua menteri dalam, semua pembantu tugas dan satu menteri utama Peropa selaku orang yang tugasnya melantik sultan (Gambar 31). Tata guna lahan kesultanan ini berlandaskan asas saling terhubung (konektifitas) antara sultan dan pembantunya dan saling terhubung antar menteri utama yang dipisahkan oleh jalan poros ini dilandasi prinsip Po5 dalam berinteraksi yaitu, saling menghormati, saling menjaga/memelihara, saling menyayangi, saling menjaga keburukan diri, dan mampu mengetahui perasaan diri sendiri dan orang lain. Inti tatanan permukiman berbasis area kiri dan kanan adalah sultan dan semua masyarakatnya menghadap arah barat dengan jalan poros sebagai sumbu orientasi barat. Mengacu tata letak guna lahan, area istana simbol kerajaan berada dipusat kota bersama Alun-alun kota dengan RTH jenis buah (plantation). Keberadaan Alun-alun dipusat lanskap kota pada kota Kesultanan Buton ini serupa dengan Alun-alun yang ada di kraton-kraton Jawa pada umumnya, walaupun pemanfaatan ruang di sekitarnya tidak sama persis. Hal ini diduga ada pengaruh kerajaan Majapahit pada masa kejayaannya. Area RTH tanaman jenis buah ini merupakan
51 sala satu penggunaan lahan (landuse) yang berfungsi sebagai green area kota kesultanan dengan komoditi utamanya adalah breadfruit.
Sumber: Hasil sintesis dari berbagai sumber
Gambar 33 Tata Guna Lahan Kota Kesultanan Buton
Pola Kota Pola kota dapat dibentuk oleh jalur jalan atau jalur sungai (Marshall 2005). Jalur jalan di kota Kesultanan Buton memperlihatkan pola unik, yaitu pola satu jalan poros (induk jalan) berukuran besar yang melintasi area tengah kota yang dimulai dari gerbang timur, dibawahnya sungai, menuju muka masjid agung Alunalun pusat kota, kemudian menuju permukiman dan berakhir di gerbang barat benteng kota. Bagian barat benteng kota hanya satu gerbang. Pola tersebut melekat sebagai pola sirkulasi utama kota Kesultanan Buton pada masa itu. Jalur bentangan benteng kota merupakan elemen lain pembentuk pola kota. Di dalam area benteng kota terdapat ruang kota menggunakan nama organorgan tubuh manusia, yaitu kompleks istana disebut rusuk dada, makam Sultan ke11 disebut badan, rongga batu pada Masjid Agung Keraton Buton disebut pusat, dan batu pelantikan disebut panggul-rahim. La Suluhu (wawancara) area kepala berada di makam menteri besar dan permukiman Gundu-Gundu. Area kaki berada permukiman Barangkatopa dan makam Sultan ke-2. Posisi peletakan tempat ini saling berdekatan, tersambung dan terhubung pada horisontal lanskap. Jika mengacu pada manusia utuh, elemen ruang belum memiliki tangan. Hasil analisis penelitian ini, elemen tangan adalah pemerintahnya, yaitu kelompok sultan dan pembantunya, dan kelompok menteri utama (Gambar 24). Pola ruang kota merupakan derivasi tubuh manusia ibu yang bermakna lanskap kota merupakan ibu. Makna ibu ini sebenarnya terlihat jelas pada rupa mahkota Sultan Buton asesoris rambut panjang bak perempuan (Lampiran 4). Hal ini menunjukan bahwa lanskap kota Kesultanan Buton adalah lanskap bersifat perempuan (feminism landscape). Mengacu pada Zahari (1977), tiap-tiap elemen ini terdapat fungsi penting di dalam Kesultanan Buton. Permukiman Gundu-Gundu dan Barangkatopa adalah
52 permukiman pertama terbentuk cikal bakal terbentuknya Kerajaan Buton. Menteri Besar (Bonto Ogena) adalah pimpinan menteri utama, pejabat tinggi dalam adat dan sebagai sultan “bathin” masyarakat kelas terbawah. Elemen istana merupakan simbol sultan yang dalam tugasnya agar menggunakan mata hatinya secara teliti dalam mengamati pada lautan kalbu masyarakatnya, dan sultan adalah panutan dan pemimpin kerajaannya. Elemen sembilan menteri utama (Siolimbona) merupakan pengawas, pemilih, ulama adat, orang tua “bapak” adat kerajaan; pejabat tinggi pembantu tugas sultan, menteri dalam dan menteri penghubung. Keduanya merupakan “tangan” kerajaan karena mereka adalah pelaksana aktif pemerintahan. Elemen Masjid Agung Keraton menjadi pusat tubuh, alam bathini (alam arwah) Kerajaan Buton. Elemen Batu Popau, batu pelantikan dekat masjid adalah simbolisme “rahim tempat melahirkan” sultan baru. Tatanan khusus untuk area “akhirat”, area makam lanskap kota, yaitu letakan area makam para sultan dan ulama mengambil tempat di sisi timurnya (area pinggir kota) yang dimulai dari sudut benteng utara, sacred space, huruf “Mim”, menuju ruang Alun-alun, dan berakhir di wilayah selatan kota di makam Sultan ke-29, Masjid Quba, Kelurahan Baadia. Area pinggir timur kota tempat lintasan jalur makam-makam ini merupakan area kaki dipandang dari sisi pola tubuh manusia lanskap kota. Disamping pola kota berbasis wujud tubuh manusia, Lanskap kota terdapat pola bentuk kota lainnya. Hasil penelitian ini, lanskap kota menggunakan pola yang terukir pada benteng yang digandengkan dengan jalan poros sumbu kota. Pola ini terkandung makna inti keyakinan agama Kesultanan Buton. Mengacu pada naskah adat tentang pembangunan negeri atau kampung, pola kota bentuk khusus bertujuan agar lanskap kota dan masyarakatnya mendapatkan rahmat Allah Swt. Pada masyarakat Wolio keraton mengakui bahwa benteng kota berbentuk satu huruf Arab “Dal” asal kata huruf Arab Muhammad dan mereka mengakui benteng kotanya pada 12 gerbang menyimbolkan 12 lubang pada tubuh manusia dan 16 baluara menyimbolkan angka istimewa terkait proses kelahiran manusia. Mengacu pada fungsi benteng sebagai pembatas (bariers) lanskap kota, lanskap kota keseutuhan adalah sebuah lanskap berbentuk huruf Arab “Dal” diatas permukaan bumi. Harisu dan La Suluhu (wawancara) mengatakan bahwa penentu utama huruf “Dal” terletak pada sisi timur, bukaan benteng yaitu benteng kota terputus tidak ada dinding benteng. Area bukaan ini terletak di pinggir bukit tebing curam dan sungai mengalir dibawahnya yang menjadi alasan utama terputusnya dinding benteng kota (wawancara Imran). Panjang bukaan benteng ini adalah ±100 meter.
Sumber: Google earth.com
Gambar 34 Bukaan Benteng Penanda Awal Huruf Arab “Dal”
53 Saat penelitian, sisi bukaan benteng ini telah tertutupi dengan benteng setinggi lutut orang dewasa. Wawancara dengan Harisu (2015), pengerjaan menyambungkan benteng ini telah menghilangkan bentuk aslinya yaitu tidak ada bentengnya dan bukaan inilah pembentuknya huruf “Dal” benteng (Gambar 34). Namun demikian dalam hasil penelitian ini, pola kota keseutuhan terukir pola lain yang berbeda dengan pola kota menurut masyarakat. Pola keseutuhan lanskap kota ini adalah terukir huruf Arab, yakni nama Muhammad Rasulullah secara utuh (lengkap), bukan satu huruf sebagaimana pendapat masyarakat. Pola terukir tersebut adalah bentukan dari gabungan huruf-huruf Arab yang telah dijelaskan sebelumnya, yaitu “Mim”, “Ha”, “Mim”, dan “Dal” (Gambar 13). Hal penting dan utama adalah terdapatnya huruf Arab tasydid “W” yang menjadi huruf penentu utama tentang nama Muhammad Rasulullah, yakni terdapati pada bentuk bangunan Masigi Ogena Wolio, Masjid Agung Keraton Buton terlihat dari udara bird views dan secara horisontal bangunan (Gambar 13, 28 dan 36). Bagi Kesultanan Buton, Masjid Agung merupakan bangunan dimuliakan, diagungkan dan terbangun di atas fondasi bujur sangkar, bangunan permanen dari batu; titik tengah jalan poros; pusat kota dan pusat kosmos kesultanan; dan tempat ulama dan imamnya sebagai Sultan bathin dan Masjid ini menjadi Istana Kesultanan Bathin Kesultanan Buton. Huruf-huruf Arab Muhammad Rasulullah terukir di atas bukit, di atas permukaan bumi lanskap kota dengan letakannya dimulai dari sisi kanan kota ke sisi kiri kota atau dari utara kota ke selatan kota orientasi barat menghadap kiblat. Bentangan utuh nama Muhammad dapat dilihat pada Gambar 36, yaitu dimulai dari sudut benteng “huruf Mim” dan makam Sultan Muslim adalah huruf “Waw” sisi muka sudut benteng; kemudian Gerbang yang Tersembunyi adalah huruf “Ha”; kemudian Baluara adalah huruf “Mim”; Masjid Agung keraton adalah huruf tasydid “W”; sirkulasi jalan poros timur-barat dirangkaikan pada dinding benteng timur berakhir di elemen Baluara gudang mesiu adalah huruf “Dal”. Pada Gerbang Barat melekat Baluara bentuk persegi terangkai dengan dinding benteng menuju Baluara gudang peluru bentuk persegi didapatkan bentuk huruf “Waw”. Huruf-huruf tersebut tercantum dalam naskah adat (Gambar 35). Kesultanan Buton menerapkan prinsip perhubungan dalam menjalankan pemerintahan (Zahari, 1977). Jika mengacu pada prinsip ini, tatanan keseutuhan kota adalah kombinasi perhubungan antara dua paham atau spirit, yaitu Muhammad Rasulullah Saw dengan paham manusia ibu. Pola perhubungan (kombinasi) ini menurut kata adat berlaku dua filosofi, yaitu: 1). “Poromu Yinda Saangu, Pogaa Yinda Koolota“ artinya bergabungnya tidak menyatu, berpisahnya tidak berantara, 2). “Pokaina Rante Rua Seana” artinya perhubungan dua mata rantai yang tidak dapat bercerai satu dengan yang lainnya. Hasil penelitian ini, pola ruang lanskap kota berbentuk huruf Arab “Muhammad” dan lahan kota berupa perempuan-ibu ini diperkuat oleh naskah Kesultanan Buton (Gambar 35). Naskah aksara Arab Melayu ini, jika dikonversi dalam Bahasa Indonesia, yaitu: “Yakni 40 hari mengadakan tujuh anggota dimana jadi kiprah tubuh kelakuan rupa segala anggota dengan kepala, tangan, perut, kaki, karena segala anggota itu dengan rupa takkala jadi dalam perut ibunya” “Yakni 40 hari anggota jadi genap rupa manusia. Alam Muhammad tanda rupa daerah ini. 200 hari jadinya dalam perut ibunya menetapkannya akan keluarganya”
54 Alam Muhammad dan Perut Rahim Ibu
Sumber: AM Zahari
Gambar 35 Manuskrip Aksara Arab Melayu Kesultanan Buton
Mengacu pada terjemahan naskah ini, Kesultanan Buton oleh tujuh menteri utama bekerja penuh selama 40 hari untuk mempersiapkan calon sultan dan 200 hari kemudian lahirlah Sultan Buton dari “rahim ibu” dan ia bergabung bersama masyarakatnya dan hidup bersama dalam alam Muhammad Rasulullah Saw. Makna nyata sesuai naskah adat adalah rupa atau wujud Tana Wolio, ibukota, Kawasan Benteng Keraton Buton.
Susunan huruf Muhammad dari sisi kanan ke kiri/ dari utara kota ke selatan kota Sumber: Google aerth.com, Kaligrafi Islam http://archive.kaskus.co.id/thread/5700683/1
Gambar 36 Pola Kota Muhammad Rasulullah Saw
Secara desain kota, Kesultanan Buton telah mewariskan satu kemuliaan kreatifitas dalam desain lanskap kota. Mereka menghadirkan nama Sang Nabi, yaitu dengan cara mengukir nama Muhammad Rasulullah Saw pada lembaran ‘kanvas’
55 mosaik lanskap kota di atas bukit. Masyarakatnya hidup didalam alam huruf-huruf Muhammad Rasulullah Saw. Karena Muhammad Rasulullah Saw adalah manusia utusan Allah Swt, Sang Nabi terakhir, manusia teragung dan termulia, Sang Teladan Tertingi bagi manusia yang mengharap rahmat Allah Swt, kemuliaan, dan syafaatnya. Mencintainya adalah wujud keberimanan, dialah orang yang pantas dicintai melebihi seluruh manusia atau seluruh masyarakat. Inilah inti spirit, roh desain lanskap kota dan wujud falsafah Kesultanan Buton bahwa agama diatas segalanya. Konsep Ecodesign Kota Kota Kesultanan Buton dibangun berdasarkan pendekatan budaya dan agama yang dianut oleh Sultan dan masyarakatnya. Pendekatan tersebut bersesuaian dengan konsep ecodesign yang saat ini digaungkan dan menjadi trend dalam perencanaan dan desain kota. Pendekatan konsep tersebut meliputi pendekatan berbasis isu-isu, prinsip-prinsip, dan proses ecodesign (Beck 2013; and VanderRyn and Cowan 1996). Pola kota kesultanan Buton yang membentuk huruf Arab “Muhammad” dimulai dari batas kota sebelah utara secara diagonal ke sebelah selatan yang dari timur menuju barat dengan jalan poros dan sisi dinding benteng terpanjang. Sisi terpanjang tersebut mengadap ke arah laut dan permukiman penduduk di luar kota. Dengan posisi istana yang berada di atas tanah yang tinggi, maka dari istana dapat melihat situasi keamanan pantai dari serangan musuh dan juga dapat melihat kondisi masyarakat di luar kota kesultanan. Hal ini sangat bersesuaian dengan konsep ecodesign dari VanderRyn and Cowan (1996) yaitu penyelesaian ditumbuhkan dari tempat ‘solutions grow from place’. Di sebelah timur dinding kota terdapat hamparan hutan dan bukit. Kondisi ini sangat baik untuk memberi penghawaan udara segar pada kota kesultanan. Konsep desain seperti itu memadukan kekuatan alam dengan kebutuhan kota. Hal ini dikenal sebagai konsep ecodesign ‘design with nature’ (VanderRyn and Cowan 1996). Sisi hidrologi dari kotanya di atas bukit dan dikelilingi benteng ini didesain sesuai bentuk topografi lahan. Benteng kota diarea kerendahan, area permukiman terpadat, lantai dinding bentengnya terdapat lubang berbatu-batu untuk drainase runoff hujan keluar terbuang pada tebing pinggir kota. Ini bersesuaian dengan konsep sifat alami air mengalir dari topografi tinggi mengalir di kerendahan. Untuk konstruksi lantai elemen Baluara serupa gazebo terbuka ini berlantaikan tanah berbatuan yang penutup tanahnya (groundcover) rumput (Gambar 34). Hal ini bersesuaian fungsi rumput untuk peresap dan penyaring air hujan, dan fungsi menyerap panas cahaya matahari dalam mengurangi efek pemanasan pada dinding benteng kota. Parit selatan kota serupa embung merupakan elemen ecodesign kota. Parit ini dapat digunakan untuk mengatur dan menampung suplai runoff hujan. Era kesultanan digunakan untuk jebakan musuh mendekat dinding benteng kota. Area parit ini juga terdapat satu-satunya pohon bidara (Ziziphus mauritiana) tanaman kebutuhan upacara kematian masyarakat (wawancara). Hal ini berarti area parit menjadi tempat pendukung keberlangsungan budaya sejak era Kesultanan Buton.
56
Lantai fondasi tempat drainase run off hujan
Elemen rumput di lantai Baluara
Gambar 37 Lantai Dinding dan Baluara Benteng Kota
Sisi pengaruh cahaya matahari dan angin, dinding benteng terdapat lubang disemua dinding benteng berfungsi untuk lubang intai keluar benteng. Rongga ini sebenarnya berfungsi ekologis dalam sirkulasi tiupan angin, lubang pendingin dari panasnya cahaya matahari atau kondisi cuaca malam. Saat musim hujan, dinding benteng lembab dan banyak menempel tumbuhan lumut (bryophyta). Semua baluara bentuk bundar terletak sisi timur benteng kota untuk respon sinar matahari terbit, dan semua baluara bentuk persegi terletak sisi barat untuk respon sinar matahari terbenam. Matahari terbit bermakna masa muda dan kejayaan dan matahari terbenam bermakna masa tua dan menuju kegelapan hidup. Jalan poros (sumbu kota) timur-barat sebagai sirkulasi sinar, udara, dan angin. Ujung jalan timur terdapat bukaan benteng dibawahnya sungai merupakan jalur pintu masuk kabut sungai dalam Kota Kesultanan Buton. Hal ini bersesuaian dengan konsep kota ekologis (ecological urbanism) desain Kota Tangguh (resilient cities) menurut Spirn (2011) yaitu jaringan jalan, orientasi, susunan bangunan respon pada cahaya matahari dan angin. Tata letak rumah terhadap jalan pada masa kesultanan dapat dilihat pada Gambar 38. Tiga rumah saling berhadapan dengan Ruang Terbuka Hijau di tengahnya. Dua rumah yang berbatasan dengan jalan tidak menghadap jalan namun menghadap ruang terbuka tersebut. Hal ini merupakan pola umum di lingkungan kota kesultanan. Ruang terbuka tersebut dapat berfungsi sebagai pekarangan dan ruang komunitas. Walaupun pada masa kesultanan kondisi jalan belum menghasilkan polusi yang membahayakan, namun jika pola tersebut diaplikasikan pada kondisi saat ini dapat membantu menghindari atau mengurangi polusi asap dan debu dari jalan yang merupakan salah satu issue ecodesign penting menurut VanderRyn dan Cowan (1996). Elemen alam berupa gunung atau bukit merupakan simbol kedudukan tinggi. Oleh karena itu, istana kesultanan terletak di atas bukit. Selain simbolisme tersebut, secara fungsional posisi tersebut dapat memantau kota dari istana, dan suara musik prosesi adat istana terdengar jelas oleh masyarakat dalam dan sekitar benteng keraton. Orientasi istana didesain ke arah timur, karena arah timur dapat menangkap sinar matahari dari pagi sampai siang yang melambangkan masa muda dan kejayaan. Hal-hal tersebut merupakan upaya desain kota yang ekologis pada masa kesultanan yang dapat dijadikan referensi desain kota saat ini. Formulasi ecodesign
57 VanderRyn dan Cowan (1996) juga bersesuaian dengan konsep kota Buton pada masa kesultanan.
Sumber: http://collections.smvk.se/carlotta-vkm
Gambar 38 Ruang Terbuka Hijau Diantara Rumah
Formulasi lingkungan kota Kesultanan Buton derivasi satu tubuh manusia utuh perempuan, yaitu “kepala” dan “badan” dibukit; “perut”, “panggul”, dan “kaki” dilembah; dan “tangannya” area kiri kanan lahan. Semua “organ-organ tubuh” terkoneksikan sirkulasi jalan poros. Istananya adalah “hati” dan Muka masjid Alun-alun kota adalah “perut”. Konsep ini mirip dengan konsep Tjallingii (1995) dalam bukunya Ecolopolis, yaitu “kota dipandang secara biologi (konsep ekologi) analogi mahluk hidup (living being). Jaringan jalan adalah “pembulu darah (arteri)”; taman adalah “paru-paru”; drainase adalah “usus”; pusat kota (centre) adalah “hati”; dan perkantoran adalah “otak”. Ide ini menjadi pedoman gaya lanskap Inggris klasik pada desain taman dan jalur hijau (green belts) dan metode aksi kota taman (garden city movement) yang kemudian banyak mempengaruhi desain kota-kota baru dan daerah perkotaaan”. Pertimbangan Aplikasi Konsep Desain Ekologis Lanskap Kota Berdasarkan hasil penelitian konsep desain ekologis lanskap kota Kesultanan Buton berbasis budaya lokal di Kota BauBau disusun dan dikembangkan beberapa pertimbangan aplikasi konsep desain ekologis berbasis budaya lokal yang original dan pada masa lampau. Rekomendasi disusun untuk tujuan mempertahankan dan meningkatkan kualitas ekologi estetika dan nilai budaya agar memiliki keberlanjutan secara ekologi kota dan kelestarian lanskap kota Kesultanan Buton. Bentuk rekomendasi yang telah disusun diantaranya: 1. Lanskap kota Kesultanan Buton menjadi kota taman dalam makna lanskap kota merupakan taman besar. Pola perhubungan dua elemen ini, yaitu kota taman dan kota kesultanan Buton berbasiskan dua fasafah Kesultanan Buton, yaitu Poromu Yinda Saangu Pogaa Yinda Koolota bermakna taman kota dan kawasan benteng dalam posisi berdampingan, dan Pokaina Rante Rua Seana bermakna taman kota dan kawasan benteng kota tidak bisa terpisahkan bercerai yang keduanya saling terkait erat ibarat keeratan nyawa dan jasad pada tubuh manusia.
58 2. Elemen jalan poros timur-barat menjadi sirkulasi pokok dan menjadi sabuk hijau (green belts) kota berbasis tanaman buah atau tanaman berbunga jenis native plant 3. Desain penguatan focal point dan point interest. Hal ini dapat dilakukan dengan pemberian nama huruf-huruf aksara wolio, Indonesia dan Inggris pada elemen bangunan lama. 12 jalur masuk gerbang kota menjadi point interest kota; istana, area sudut benteng dan masjid menjadi focal point kota. 4. Timur dan barat laskap kota luar benteng menjadi ruang ekologi penyangga kota Kesultanan Buton. Parit selatan kota menjadi tempat pengendali run off hujan dinding benteng kota dan menjadi embung penampungan air hujan untuk sumber pengontrol hawa udara kota. 5. Bangunan Baruga (Balairung) semestinya direhabilitasi sesuai model lama karena mengurangi nilai monumental dan nilai filosofi dari Masjid Agung Keraton Buton. 6. Ukiran huruf Arab Muhammad Rasulullah Saw lanskap kota Kesultan Buton dapat terlihat jelas dari udara (bird views) dan desain ruang pola tubuh manusia menjadi spot-spot ruang hijau berbasis keinginan masyarakat dan luasan kota. 7. Utara kota menjadi ruang estetika dominan panorama alam yang dapat dinikmati oleh wisatawan. Hal ini dengan cara penggunaan rumput paetan (Axonopus compressus) untuk ruang baluara, teras gerbang, dan sepanjang lantai dinding benteng. 8. Pemberdayaan masyarakat pada budaya lokal dan sosialisasi pembiasan pada perilaku Bolimo Karo Somanamo Lipu yaitu kebaikan lingkungan kota Kesultanan Buton diatas kepentingan diri masyarakat.
5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Budaya lokal Kesultanan Buton sangat memperhatikan lingkungan ekologis lanskap kota. Hal ini tercermin dari elemen-elemen pembentuk kota, pola ruang kota, dan pola sirkulasi kota. Elemen-elemen utama pembentuk lanskap kota kesultanan yang teridentifikasi berdasarkan budaya lokal adalah (1) benteng kota yang meliputi dinding benteng, pintu gerbang dan baluara; (2) permukiman dan pemakaman; (3) Alun-alun; (4) jalan dan Ruang Terbuka Hijau; dan (5) istana, mesjid dan tiang bendera. Elemen-elemen tersebut saling berkaitan dengan membentuk pola khusus. Pola ruang lanskap kota Kesultanan Buton sangat unik dan sarat simbolisme yang diderivasi dari keyakinan agama yang dianut oleh sultan dan masyarakatnya, yaitu Islam. Geomansi kota Kesultanan Buton diderivasi dari hierarki tubuh manusia, yaitu perempuan-ibu. Desain lanskap kota berbentuk huruf Arab, yaitu “Mim”, “Ha”, “Mim”, “Dal”, dan “Tasydid W”, yang mengindikasikan Nabi Rasulullah Muhammad Saw dan menjadi spirit masyarakatnya. Pola sirkulasi jalan berporos timur-barat yang diderivasi dari hierarki tubuh manusia. Orientasi keseutuhan kota menghadap barat arah kiblat dengan struktur timur kota, yaitu lanskap alamiah hutan-perbukitan-sungai; jalan poros (axis)
59 penghubung timur-barat; struktur barat kota, yaitu lanskap permukiman-dataranlautan. Pola tatanan kota, pola ibadah masjid, dan pola sebaran makam mengacu satu konsep, yaitu pola kanan-kiri atau pola utara-selatan menghadap arah barat (arah kiblat). Konsep ecodesign lanskap kota Kesultanan Buton terindikasi pada tata letak kota pada lingkungan yang dapat mendukung sistem kota yang ekologis, yaitu permukiman besar terbagi dua; letak istana yang mendukung sistem monitoring dan informasi kota; letak masjid yang mendukung sistem kemudahan informasi ibadah; parit mendukung pengendalian run off hujan dan tanaman budaya; dan arsitektural konstruksi benteng kota merespon dinamika angin dan cahaya matahari. Saran 1. Elemen-elemen lanskap kota terkandung filosofi desain budaya tinggi dan nilai spirit keagaaman. Mengacu pada keilmuwan arsitektur lanskap, agar perencanaan, desain dan manajemen lanskap kota sebaiknya menonjolkan kearifan budaya masa lalu. Kawasan Benteng Keraton Buton bisa bernilai tinggi jika lingkungan, budaya dan spritual tempat terhubung harmonis. 2. Penataan dan pengelolaan lanskap kota dilandasi ilmu pengetahuan estetikaekologis dan pemberdayaan masyarakat agar mempunyai rasa memiliki adat budaya. 3. Mengacu pada prinsip ecodesign bahwa semua yang dibuat manusia menjadi bagian sistem alam lokal dan global, menjadi bagian Indonesia dan Dunia, lanskap kota Kesultanan Buton layak menjadi World Heritage City Kota Pusaka Dunia Peradaban Islam. 4. Pentingnya ketersedian lahan untuk pelestarian tanaman adat di lanskap kota Kesultanan Buton.
60
DAFTAR PUSTAKA Anceaux JC. 1952. The Wolio Language: Outline of Grammatical Description and Texts. Springer-Science. Andjo NI. 1999 Jul-Agustus. Rumah Adat Buton. Majalah Wolio Molagi. Rubrik Iptek: 53 Awat R, Nur M. 2012. Menemukan Kearifan Lingkungan dan Pola Pemukiman Keraton Buton. Darmawan Y, Mukmin F ([Ed.] BauBau (ID) RESPECT Azizu NN, Antariksa, Wardhani DK. 2011. Pelestarian kawasan Benteng Keraton Buton. Jurnal Tata Kota dan Daerah. 3(1):83-90. [BPCB]. Balai Purbakala dan Cagar Budaya Sulawesi Selatan. 2013. Benteng Keraton Buton Kota Baubau. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan http://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbsulsel/benteng keraton Baran M, Yildirim M, Yilmaz A. 2011. Evaluation of ecological design stategies in traditional houses in Diyarbakir, Turkey. Journal of Cleaner Production 19: 609-619. Barnett J, Beastley L. 2015. Ecodesign for Cities and Suburbs. Washington: Island Press Beck T. 2013. Principles of Ecological Landscape Design. Washington: Island Press. Booth NK. 1983. Basic Elements of Landscape Architectural Design. New York: Elsavier. Braaksma PJ, Jacobs MH, vanderZanden AN. 2015. Production of Local Heritage: a case study in the Netherlands. Landscape Research 41(1):64-78 Deming EM dan Swaffield S. 2011. Landscape Architecture Research: Inquiry, Strategy, Design. Canada: John Wiley & Sons, Inc Dwicendra NKA. 2003. Perumahan Dan Permukiman Tradisional Bali. Jurnal Permukiman “Natah”: 1 (1): Halaman 8-24 Eliade, M. 1957. The Sacred and The Profane. New York: A Harvest Book Ernawi IS. 2009. Kearifan Lokal dalam Perspektif Penataan Ruang. Dalam Wikantiyoso R, Tutuko P [Ed.]. Malang: Grup Konservasi Arsitektur dan Kota. Feedman M. 1968. Geomancy. Proceedings of the Royal Anthropological Institute of Great Britain and Ireland. JSTOR. pp 5-15. Gunawan A. 2016. Estetika Ekologis: teori dan konsep untuk desain lanskap dan lingkungan. Bogor: IPB Press Hakim L. 2013. Kajian Arsitektur Lanskap Rumah Tradisional Bali Sebagai Pendekatan Desain Arsitektur Ekologis. NALARs 12 (1): Halaman 85-103 Hakim R dan Utomo H. 2003. Komponen Perancangan Arsitektur Lansekap: prinsip-unsur dan aplikasi disain. Jakarta: PT Bumi Aksara Hamidu H. 2009. Kajian Etnobotani Suku Buton (Kasus Masyarakat Sekitar Hutan Lambusango Kabupaten Buton Provinsi Sulawesi Tenggara) [Thesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Hermens P, van der Salm J.N, van der Zwet C. 2010. A Working Landscape for New Orleans [Thesis]. Wageningen (ID): Wageningen University Higuchi T. 1988. The Visual and Spasial Structure of Landscape. Massachusetts: MIT Press
61 Jayadinata, JT. 1999. Tata Guna Tanah dalam Perencanaan Pedesaan, Perkotaan, dan Wilayah. Ebooks google.co.id Jorgensen SE. 2008. Encyclopedia of Ecology. New York: Elsavier Lestari G dan Kencana IP. 2015. Tanaman Hias Lanskap Edisi Revisi. Jakarta: Penebar Swadaya. Liebner, H. 1990. Istilah-Istilah Kemaritiman Dalam Bahasa Buton. Prosiding Konferensi Dan Seminar Nasional KE-5 Masyarakat Linguistik Indonesia Universitas Hasanuddin and Summer Institute of Linguistics. Luvakavsky-KS. 2012. Identifying A Site Design Process To Accommodate Ecological Principles In Urban Landscape Design [Thesis]. Canada: University of Guelph Lynch K. 1960. Image of The City. Massachusetts: MIT Press _______. 1994. Good City Form. Massachusetts: MIT Press Mangunsong NI. 2012. Pengaruh Konsep Hinduisme Pada Tipologi dan Morfologi Kota Yogyakarta. Jurnal Arsitektur Lansekap: 3 (2): Halaman Maningtyas RT. 2013. Kajian Desain Lanskap Permukiman Tradisional Madura [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Marshall S. 2005. Streets and patterns. New York: Spon Press Moh Saidi EA. 2012. Menelusuri Akar Sejarah Budaya Wolio Butuni. Darmawan Y, Mukmin F ([Ed.] BauBau (ID): RESPECT Mulyandari H. 2011. Pengantar Arsitektur Kota. Yogyakarta: Penerbit ANDI Nassauer JI. 2002. Ecological Science and Landscape Design: A Necessary Relationship in Changing Landscapes. Dalam Johnson BR dan Hill K [Ed]. Washington: Island Press. Norbeg-Schulzh C. 1980. Genius Loci: Towards A Phenomonology of Architecture. New York: Rizolli. Ndubisi FO. 2014. The Ecological Design and Planning Reader. Washington DC: Island Press Pusat Bahasa. 2008. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta (ID): Pusat Bahasa Pramukanto Q. 2012. Pungsu: Geomansi Lanskap Korea. Jurnal Lanskap Indonesia: 4 (2). Halaman 9-18 Rosmalia, D. 2013. Identifikasi Pengaruh Kosmologi pada Lanskap Kraton Kasepuhan di Kota Cirebon. Temu Ilmiah IPLBI 2013; Makassar, Sulawesi Selatan; 12-13 November 2013; Halaman 19 – 24. Sirvani H. 1985. The Philosophy of Persian Garden Design: The Sufi Tradition. Landscape Journal: 4 (1): pp. 23-30 Sonntag, KE. 2014. The Role of the Transcendent in Landscapes [Thesis]. Utah (DC): Utah State University. Suleman. 2010. Kebertahanan Permukiman Tradisional Wolio di Kelurahan Melai, Kota BauBau [Tesis]. Semarang(ID): Universitas Diponegoro Shamsuddin S, Sulaimana AB, dan Amat RC. 2012. Urban Landscape Factors That Influenced the Character of George Town, Penang Unesco World Heritage Site; 16-18 Juli 2012 Bangkok, Thailand; Procedia-Social and Behavioral Sciences 50: Elsavier. Halaman 238 – 253 Spirn AW. 1998. The Language of Landscape. USA: Thomson-Shore Inc ________. 2004. Ecological Urbanism: A Framework for the Design of Resilient Cities. Johnson BR dan Kristina Hill [Ed]. Washington: ISLAND PRESS
62 Syahadat RM. 2014. Pelestarian Lanskap Sejarah Kota Baubau sebagai Kota Pusaka Indonesia di Provinsi Sulawesi Tenggara [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Starke BW, Simonds JO. 2013. Landscape Architecture, a manual of environmental planning and design. Fifth Edition. New York: Mc Graw Hill Education Tamrin AS, 2016. Pengaruh Implementasi Kebijakan Nilai-nilai Budaya Sara Pataanguna dan Kepemimpinan Pemerintahan Terhadap Pembangunan Kota Baubau Provinsi Sultra [Disertasi]. Tamminga K, Mozingo L, Erickson D, dan John Harrington J. 2002. Interweaving Ecology in Design and Planning Curricula. Dalam Johnson BR dan Hill K [Ed]. Washington: Island Press. Tuan, YF. 2013. Romantic Geography: In Search Of The Sublime Landscape. The United States of America: The University of Wisconsin Press. ________. 1977. Space and Place: The Perspective of Experience. Minneapolis: University Of Minnesota Press. Tjallingii SP. 1995. ECOLOPOLIS Startegies For Ecologically Sound Urban Development. Netherlands:BACKHUYS PUBLISHER LEIDEN [UNESCO] United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization. 2005. Operational Guidelines for the Implementation of the World Heritage Convention. Paris (FR): World Heritage Centre. VanderRyn S, Cowan S. 1996. Ecological Design, Tenth Anniversary Edition. Washington: Island Press Wahyuni E dan Munandar A. 2010. Studi Elemen Mental Map Lanskap Kota Pekanbaru. Jurnal Lanskap Indonesia: 2(1): Halaman 54-59. Woodward MR. 2004. Islam Jawa: Kesalehan Normatif versus Kebatinan. Lkis Yudantini NM. 2016. Pelestarian Nilai-Nilai Tradisional sebagai Wujud Kearifan Lokal: Pola Desa dan Lanskap di Desa Tradisional (Bali Aga). Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2016 Yunus, AR. 1995. Posisi Tasawuf Dalam Sistem Kekuasaan Di Kesultanan Buton Pada Abad Ke-19. Jakarta: INIS Zahari AM. 1977. Sejarah dan Adat Fiy Darul Butuni (Buton). Edisi I-III. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Zuhdi S. 2012. Perahu yang Berlayar di Antara Karang-Karang Kesultanan Butuni (1491-1960). Darmawan Y, Mukmin F ([Ed.] BauBau (ID): RESPECT Zuhdi S dan Effendy AR. 2015. Perang Buton vs Kompeni-Belanda 1752-1776: Mengenang Kepahlawanan La Karambau. Depok: Komunitas Bambu
63
DAFTAR LAMPIRAN
64 GLOSARIUM Bhonto Ogena Bhonto Yinunca Bhonto Lencina Kanjawari Bhontona Gundu-Gundu Bula Kenepulu Sapati Syara Ogena Syara Kidina Lipu Matana eyo Sukana eyo Zawiah Limbo (Dusun) Siolimbona Sultani Kabumbu Lelemangura Baluara Yaroana Masigi Pokaina Poromu Kaliwu-liwuto Tanayilandu Tapi-tapi Pimpi Masigi Ogena Batu poana Lelemangura Tembana bula Haroana Rasulu Lapanga Taina ngalu Puuna kau Kamba mpu Kamba lagi Kamba manuru
Menteri Besar, jabatan tinggi Menteri Dalam Istana Menteri Penghubung dari kelompok Istana dan kelompok Siolimbona Menteri utama yang rumahnya dekat gerbang Baluara di kampung Gundu-Gundu. Langit; nama bulan dalam tahun; luar angkasa Pejabat ketiga setelah sultan Pejabat kedua setelah sultan Pemerintahan Besar, yaitu kelompok sultan dan menteri Miniatur Pemerintahan Besar khusus bidang agama Islam. Kelompok ulama Lingkungan alamiah Matahari terbit; arah timur Matahari terbenam; arah barat Bangunan kajian agama Area mukim memiliki pimpinan, gerbang atau baluara. Sembilan menteri utama berkedudukan dalam kota Kesultanan Buton; ulama adat; bapak negeri Pimpinan kerajaan; anak negeri. Bukit Terus menerus tetap muda sepanjang zaman (sustainable) Gazebo tempat pemantauan lingkungan sekitar kota Ruang terbuka publik serupa Alun-alun Kota Hal saling terkait dan pengaruh mempengaruhi (interdependens ) Dua hal tergabung Sebidang tanah sekelilingnya jalan atau pulau kecil sekelilingnya laut. Lahan reklamasi pinggir bukit Susunan atau tatanan Tebing Masjid besar, tinggi, dan agung Batu tempat mengadopsi seseorang menjadi anak Terus menerus mudah sepanjang jaman (Sustainability) Ritual informasi awal puasa bulan Ramadhan Acara tahunan pembacaan kisah Muhammad Rasulullah Saw pada tiap-tiap rumah. Ruang terbuka muka masjid, muka istana, dan muka permukiman masyarakat. Ampas angin (awan) Tumbuhan bentuk pohon Simbolisme kembang yang keindahannya kasat mata Simbolisme kembang yang keindahannya bertambah Simbolisme kembang yang keindahannya terusmenerus (sustainability in beauty)
65 Lampiran 1 Peta Kota Kesultanan Buton Benteng Keraton Buton
Sumber: Dokumentasi Zahari
Sumber: Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota BauBau
66 Lampiran 2 Formulasi Desain Lanskap Kota: Muhammad Rasulullah Saw dan Sketsa simbolisme manusia
Sumber: Naskah lokal sintesis pribadi
Lampiran 3 Muhammad dan Manusia dalam Naskah Adat Kesultanan Buton
Sumber: AM Zahari
67 Lampiran 4 Sultan Buton identitas seorang perempuan-ibu sebagaimana bentuk mahkotanya rambut panjang & Siolimbona identitas seorang bapak; Walaka adalah bapak (Manga aama) dan Lalaki adalah anak (Manga aana)
Sultan ke-37 Muhammad Hamidi Sumber: AM Zahari
Sultan ke-38 Muhammad Falihi Sumber: google.com
Siolimbona masa Sultan ke-37 Sumber: AM Zahari
sintesis pribadi
Lampiran 5 Istana Kamali atau Malige Simbolisme Perempuan Berpakaian Baju Adat Kombo, Baju Pengantin Perempuan
Pengantin Baru Perempuan dan Istana Malige sintesis pribadi
68 Lampiran 6 Daftar Tanaman Lanskap Kota (Vegetation element) Nama Lokal Keladi hias Bayam-bayaman Serai wangi Daun beludru Paku jejer Adam hawa Lidah mertua Kembang sepatu Nenas Putri malu Anggrek tanah Lili brazil Alang-alang Bambu Soka Bambu buluh Kamboja Agave Kuping gajah Bunga tasbih atau kana Daun bahagia Leli Patah tulang Pandan wangi Bunga tahi ayam Bunga kertas Kembang pagoda Pisang hias Kumis kucing Suji Air mancur Teh-tehan Kembang sepatu Kecombrang atau Honje Mawar Puring Euphorbia Melati Sirih Hanjuan Drasena Kembang anting-anting Kembang jam-jam Bunga kancing baju Delima Ekor kucing Gambir Kaliandra Kelor Libo Ntanga-ntanga/jarak Patirangga/Pacar kuku Pepayah Srikaya Beluntas Pecah beling
Nama Ilmiah Caladium sp. Coleus sp. Cymbopogon nardus Episcia cupreta Nephrolepis sp. Rhoeo discolor Sansevieria trifasciata Hibiscus rosa-sinensis L. Ananas comosus (L.) Merr. Mimosa pudica L. Spathoglotis plicata Dianella tasmanica ‘Silver streak’ Imperata cylindrica (L.) Beauv Bambusa sp. Ixora paludosa (Blume) Kurz Bambusa atra Plumeria multifora Ait Agave angustifolia ‘Marginata’ Anthurium crystallinum Canna indica Dieffenbachia sp. Hymenocallis litteralis Pedilanthus tithymaloides Pandanus amaryllifolius Roxh Tagetes patula Zinnia elegans Clerodendrum paniculatun Heliconia sp. Orthosiphon aristatus Dracaena angustifolia Russelia juncea Acalypha macrophylla Hibricus sp. Nicolaia sp. Rosa sp. Codiaeum sp. Euphorbia milii Wrightia antidyssentrica Piper betle Cordyline sp. Dracaena sp. Acalypha australis L. Vinca sp. Euphorbia mili Ch.des Moulins Punica granatum L. Acalypha hispida Uncaria gambir Caliandra haematocephala Moringa oleifera L. Ficus septicaa Jatropha curcas Linn. Lawsonia inermis L. Carica papaya L. Annona squamosa L. Pluchea indica Less Strobilanthes crispus BL
Jenis Tanaman Penutup tanah Penutup tanah Penutup tanah Penutup tanah Penutup tanah Penutup tanah Penutup tanah Penutup tanah Penutup tanah Penutup tanah Penutup tanah Penutup tanah Semak rendah Perdu tinggi Semak Semak tinggi Pohon Semak rendah Semak rendah Semak rendah Semak rendah Semak rendah Semak rendah Semak rendah Semak rendah Semak rendah Semak sedang Semak sedang Semak sedang Semak sedang Semak sedang Semak tinggi Semak tinggi Semak tinggi Semak tinggi Perdu rendah Perdu rendah Tanaman merambat Tanaman merambat Perdu tinggi Perdu tinggi Semak Semak Semak Perdu rendah Perdu Perdu Perdu Perdu Semak sedang Semak sedang Perdu Perdu Pohon rendah Semak sedang Perdu
69 Lanjutan Tabel 6 Nama lokal Daun mangkokan Kasumba Kecubung Bunga merak Jeruk purut Jeruk nipis Maja Pakis haji Bangkudu Cempaka kubur Jambu biji Cemara kipas Kelapa Cempaka wangi Belimbing Ki Hujan Akasia Sage Pohon asam Pulai (Gompanga) Cemara norflok Pinang Sukun Buton Flamboyan Beringin Pala Bambu kuning Pinus Angsana Ketapang Mangga Alpukat Bougenvile Paria Buah manila Enau Jambu air Kambampu Kapas Kapuk Kedondong Kopi Kusambi Ketapang Lapi Libo Nanas kerang Sirsak Tekulo Manggopa Rapo-rapo Kateo-teo Kawu jawa/Turi Kedondong hutan Nato/Nagasari
Nama Latin Nothopanax scutellarium Bixa arborea Brugmansia sp. Caesalpinia pulcherrima Citrus hystrix D.C Citrus aurotifolia Crescentia cuyete L. Cycas Morinda citrifolia L. Plumeria sp. Psidium guajava Thuja orientalis Cocos nucifera Michelia champaca L. Averrhoa belimbi Samanea saman Acacia auriculiformis Adenanthera spp. Tamarindus indica Linn. Alstonia scholaris R. Br Araucaria heterophyla Areca catechu Artocarpus communis Baringtonia asiatica Delonix regia Raf Ficus benjamina L. Myristica fragrans Phyllostachys sulphrurea Pinus merkusii Jungh. Pterocarpus indicus Willd. Terminalia catappa L. Mangifera indica Persea americana Mill. Bougainvillea spectabilis Willd. Momordica charantia Manilkara zapota (L.) van Royen Arenga pinnata (Wurmb.) Merr Syzygium aqueum (Burm. f.) Alston Grewia koordersiana Burret Gossypium herbaceum L Ceiba pentandra (L.) Gaertn. Spondias pinnata (L. f.) Kurz. Coffea arabica L. Schleichera oleosa (Lour.) Oken Terminalia catappa Macaranga tanarius Muell. Arg Ficus septicaa Burm. F. Rhoeo discolor (L.Her.) Hance Annona muricata L. Kleinhovia hospita Linn. Tidak teridentfikasi Tidak teridentfikasi Syzygium densiflorum Wall. Sesbania grandiflora Pers. Dysoxylum oppositifolium F.Muell. Palaquium rostratum
Jenis Tanaman Perdu rendah Pohon rendah Pohon rendah Pohon rendah Pohon rendah Pohon rendah Pohon rendah Pohon rendah Pohon rendah Pohon rendah Pohon rendah Pohon rendah Pohon sedang Pohon sedang Pohon sedang Pohon tinggi Pohon tinggi Pohon tinggi Pohon tinggi Pohon tinggi Pohon tinggi Pohon tinggi Pohon tinggi Pohon tinggi Pohon tinggi Pohon tinggi Pohon tinggi Pohon tinggi Pohon tinggi Pohon tinggi Pohon tinggi Pohon tinggi Pohon tinggi Tanaman merambat Tanaman merambat Pohon sedang Pohon sedang Pohon sedang Pohon sedang Pohon sedang Pohon tinggi Pohon sedang Pohon sedang Pohon tinggi Pohon tinggi Pohon sedang Pohon sedang Pohon sedang Pohon rendah Pohon rendah Pohon rendah Pohon sedang Pohon tinggi Pohon tinggi Pohon tinggi Pohon tinggi
70 Lanjutan Tabel 6 Nama Lokal Nama Latin Jenis Tanaman Bidara Ziziphus mauritiana Pohon sedang Bintonu Tidak teridentifikasi Perdu rendah Bala-bala/Bakung Crinum asiaticum L. Semak Kaktus Opuntia spp Penutup tanah Sumber: Observasi; Wawancara; Hamidu, H. 2009; Lestari dan Kencana. 2015 Tanaman penutup tanah (garoundcover plant): tingginya ≤ 0,5 m Semak rendah: antara 0,5-1 m; semak sedang: 1-2 ; semak tinggi: 2-3 m Perdu rendah: < 2 m; perdu tinggi: > 2 m Pohon rendah: < 6 m; pohon sedang: 6-15 m; pohon tinggi: >15 m Tanaman merambat: tanaman yang tumbuhnya dengan cara menempel dan memanjat.
Lampiran 7 Daftar Jenis Fauna Lanskap Kota Nama lokal Nama Latin Cicak rumah Hemydactylus frenatus Tokek Gecko gecko Kadal Mabouya multifasciata Biawak Varanus salvator Kura-kura Trachemys scripta Kodok sejati Bufonidae Ikan Tidak teridentifikasi Itik Cairina moschata Ayam Gallus gallus domesticus Merpati Columba livia Wala-walangke/ walet Aerodramus anikorensis Ntomi-ntomi Tidak teridentifikasi Elang Ictinaetus malayensis Burung hantu Strigiformes Kelawar/Kalong Chiroptera Anjing Canis lupus familiaris Babi Sus scrofa Kambing Capra aegragus Sapi Bos taurus Kucing Felis catus domesticus Tikus Ordo rodentia Kupu-kupu Rhopalocera Nyamuk Culicidae Kecoa Blattodea Semut Formicidae Lebah Anthophila Cacing tanah Lumbricina Monyet sulawesi Macaca Tupai Anathana Ular Tidak teridentifikasi Rayap Isoptera Sumber: observasi dan wawancara Beragam fauna liar lanskap kota tidak dapat teridentifikasi.
Kelas Reptilia Reptilia Reptilia Reptilia Reptilia Amfibi Pisces Burung/Unggas Burung/Unggas Burung/Unggas Burung/Aves Burung/Aves Burung/Aves Burung/Aves Mamalia Mamalia Mamalia Mamalia Mamalia Mamalia Mamalia Serangga Serangga Serangga Serangga Serangga Oligochaeta Mamalia Mamalia Reptilia Serangga
71
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Buton, Melai Keraton Buton, Kota BauBau pada tanggal 20 Mei 1982 sebagai anak kelima dari pasangan H La Suluhu dan Hj Naasifa. Penulis merupakan anak kelima dari 8 bersaudara kandung yang terdiri atas Abdul Rahman (Kakak), Nurmin (Kakak), Fatima (Kakak), Maryam (Kakak), Siti Sabaria (Adik), Kiki Masria (Adik), dan Widi Hardianti (Adik). Pendidikan ditempuh Sekolah Perawat Kesehatan Buton lulus tahun 2000, pendidikan sarjana ditempuh di Program studi Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian, Universitas Haluoleo Kendari, lulus pada tahun 2008. Pada tahun 2013, penulis diterima di Program Studi Arsitektur Lanskap pada Program Pascasarjana IPB. Biaya orang tua dan keluarga besar. Saat ini penulis bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) Kabupaten Buton Utara, Provinsi Sulawesi Tenggara. Selama mengikuti program S-2, penulis mengikuti Seminar, Pelatihan Sistem Informasi Geografi (SIG), Workshop dan End Note Jurnal Ilmiah, dan International Symposium For Sustainable Landscape Development 2016.