FENOMENA NEGARA DARI ”STRONG STATE KE SHADOW STATE” Studi Kasus : Perlawanan Front Pembela Islam (FPI) terhadap Kekuasaan (aparat) Negara Muhammad Ali Azhar Program Studi Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan IlmuPolitik Universitas Udayana E-mail:
[email protected] ABSTRACT; The important point that will be told in this short paper is the unbelievement of FPI (Front Pembela Islam) towards the role of state apparatus on the implementaton of law in this country. Based on the above condition, then FPI starts implementing their agenda through extraparlementary movement by forcing some law products, for instance, changing making product of state law in security and order aspect. In fact, this ability makes FPI changes the condition of Indonesia from ”strong state into shadow state” successfully.
Key words; FPI, Pluralism, strong state and shadow state.
Pendahuluan Indonesia dengan penduduknya yang mayoritas beragama Islam tidak pernah sepi dari gejolak keinginan pembentukan negara Islam. Wacana negara Islam sangat berkaitan dengan sejarah awal pembentukan negara, dimana muncul gagasan beberapa tokoh untuk menjadikan Islam sebagai dasar negara sekaligus mendirikan negara Islam. Karena itu, setelah Indonesia merdeka, perdebatan yang sangat krusial dikalangan founding fathers adalah perdebatan mengenai dasar negara didalam sidang BPUPKI. Pada
awal-awal
Orde
Baru,
mainstream
pemikiran
tokoh
dan
cendekiawan tidak setuju terhadap konsep negara Islam. Secara kontekstual, hal ini dapat dipahami dari menguatnya peran TNI pasca kegagalan Darul Islam. Tetapi pasca reformasi 1998 sedikit banyak memberi peluang bagi munculnya kembali kelompok-kelompok maupun organisasi-organisasi kemasyarakatan yang bercita-cita untuk mewujudkan negara Islam Indonesia.
1
Salah satu organisasi kemasyarakatan yang mencoba mewujudkan citi-cita tersebut adalah Front Pembela Islam (FPI) yang hadir di Indonesia pada tahun 1998 dengan tujuan menegakkan syariat Islam di Indonesia. Klaim yang disampaikan FPI bahwa pendirian Front Pembela Islam ini dilatar belakangi oleh beberapa faktor. Yang pertama, adanya penderitaan panjang umat Islam di Indonesia karena lemahnya kontrol sosial penguasa sipil maupun militer akibat banyaknya pelanggaran HAM yang dilakukan oleh oknum penguasa. Kedua, adanya kemungkaran dan kemaksiatan yang semakin merajalela di seluruh sektor
kehidupan,
ketiga,
adanya
kewajiban
untuk
menjaga
dan
mempertahankan harkat dan martabat Islam serta umat Islam. FPI menjadi sangat terkenal karena aksi-aksinya yang kontroversial sejak tahun 1998 dan sangat ditakuti oleh para pengusaha terutama pengusaha hiburan di Jakarta, terutama yang dilakukan oleh laskar paramiliternya yakni Laskar Pembela Islam atau Laskar FPI. Rangkaian aksi penutupan klab malam, tempat pelacuran dan tempat-tempat yang diklaim sebagai tempat-tempat maksiat, menjadi ancaman terhadap warga negara lain, sweeping terhadap warga negara tertentu, konflik dengan organisasi berbasis agama lain adalah wajah FPI yang paling sering diperlihatkan dalam media masa baik elektronik maupun cetak. Tindakan-tindakan kriminal dan kekerasan yang dilakukan oleh FPI telah menciptakan keresahan masyarakat, melanggar hukum yang berlaku di negara ini serta melecehkan aparat negara. Alih-alih membuat ketentraman, ormas yang mengatasnamakan Islam itu justru membuat keresahan bahkan mengancam keabsahan negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) lewat aksiaksinya yang mirip peran yang dimainkan oleh aparatur negara. Namun dibalik aksi-aksinya ternyata FPI juga banyak melibatkan diri dalam aksi-aksi kemanusiaan baik di dalam negeri maupun luar negeri antara lain pengiriman relawan ke daerah bencana tsunami di Aceh dan ke negara-negara Islam yang terkena bencana maupun sedang dilanda perang saudara seperti; Palestina, Irak, Lebanon, Afghanistan dan Filipina. Semua itu dilakukan atas nama mengangkat harkat dan martaubat umat Islam. Lewat analisa tulisan singkat ini penulis ingin menyampaikan inti pokok permasalahan, apakah munculnya FPI ini merupakan fenomena baru bagi 2
munculnya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagai negara shodow state? Apakah ini menunjukkan bahwa FPI tidak lagi percaya kepada kemampuan negara dalam penegakan hukum yang dijalankan oleh aparatusnya (state apparatus)? Pertanyaan ini didasari atas tindakan-tindakan sepihak dan aktifitas yang dilakukan oleh FPI yang dapat mengancam keabsahan tindakan negara dalam menegakan hukum, utamanya dalam isu pemberantasan kemaksyatan di negara ini. FPI dalam pusaran Pluralisme Pasca kejatuhan rejim Orde Baru, pluralisme muncul sebagai sebuah realitas yang harus diakui keberadaannya. Pluralisme yang selama ini dibungkam oleh negara melalui kekuasaannya yang monolitik, sekarang mampu menemukan momentumnya untuk bersaing melawan (vis a vis) dengan negara. Dalam
sebuah
negara
yang
pluralist,
negara
dipaksa
harus
mendistribusikan kekuasaannya secara lebih luas kepada antar kelompok, elemen dan organisasi masyarakat yang masing-masing bisa memiliki kepentingan cara pandangan dan upaya yang berbeda untuk mencapai tujuan mereka. Tindakan-tindakan yang dilakukan oleh FPI semakin memperkuat adanya kecenderungan kearah tersebut, dimana di Indonesia telah terjadi pergeseran arena politik Indonesia dari state ke political society, sekaligus menggeser secara dramatis sudut pandang dan tata cara perumusan tentang kepolitikan Indonesia (Lay;2006). Dominasi pendekatan yang berpusat pada negara (state centered) dengan intra-bureaucratic analysis-nya memudar secara dramatis dan digantikan oleh social-based approach, yang lebih menekankan pada sentralitas kekuatan actor non-negara civil society dan political society dalam menentukan perubahanperubahan besar politik Indonesia. Actor non-negara dengannya menggantikan posisi monopolistik negara dalam pewacanaan publik. Munculnya pluralisme dalam suatu negara menandai pergeseran kondisi dalam masyarakat dimana kekuasaan terdistribusi secara luas antar kelompok 3
dan organisasi yang masing-masing bisa pula mempunyai tujuan masing-masing. Pluralisme memandang kekuasaan tidak dalam konsep Zero-sum game yang habis dibagi seperti pandangan kaum Marxisme tetapi pluralisme memandang kekuasaan dalam jumlah yang tidak tetap, tetapi jumlah bisa diperbanyak dan diperluas. Merujuk pada Robert Dahl (1961) yang menyatakan perluasan kekuasaan bisa dibuat dalam empat pola kompetisi dalam pluralisme yaitu; 1. influential active group banyak kelompok-kelompok (parpol, kelompok kepentingan dll) mempunyai pengaruh signifikan dalam proses pengambilan keputusan 2. formal democracy, terjadi kompetisi antar kelompok-kelompok yang terorganisir (parpol) 3. competitive oligarcy pemerintah dimana antar kelompok elit (penguasa partai, penguasa ekonomi dll) berkompetisi berebut kekuasaan 4. inclusive hegemony; pemerintahan oleh satu partai yang terdapat kompetisi sebatas dalam birokrasi pemerintah, serta antar anggota partai dan antar pengurus partai. Pergeseran kekuasaan dari aktor tunggal (negara) ke multi-aktor pada akhirnya mempersulit manajemen pluralisme itu sendiri. Pluralisme justru menjadi dilemma (dilemma pluralisme). Pluralisme di Indonesia misalnya justru mengarah pada tindakan-tindakan masyarakat yang sudah tidak bisa lagi di kontrol oleh negara. Negara tidak lagi sebagai aktor yang harus dipatuhi dan ditaati tetapi negara justru ditempatkan sebagai aktor yang harus dilawan. Disatu sisi pluralisme kita perlukan sebagai salah satu pilar membangun demokrasi ke depan, namun pada sisi lain pluralisme membahayakan demokrasi itu sendiri. Maksudnya munculnya kekuatan-kekuatan pluralisme dengan kekuatan otonomnya melakukan aktivitasnya menyebabkan negara tidak mampu mengendalikan konfigurasi kekuatan tersebut. Kondisi demikian tentu sangat berbahaya dan mengakibatkan kondisi negara melemah tanpa peran yang berarti didepan publiknya sendiri. Di Indonesia dewasa ini munculnya kekuatan-kekuatan diluar kontrol negara menjadi fenomena menarik sekaligus membahayakan seiring dengan 4
menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap aparatur negara. Kekuatan-kekuatan ini muncul karena adanya rasa ketidakpuasan terhadap kemampuan negara menyelesaikan suatu permasalahan yang dianggap sebagai masalah nasional. Sebagai contoh yang telah disebutkan diatas fenomena lahirnya gerakan organisasi Front Pembela Islam (FPI) ditengah-tengah masyarakat Indonesia. Gerakan ini didirikan merupakan respon para ulama yang mengkhawatirkan realitas sosial, moral dan akhlak yang rusak ditengah-tengah umat Islam. Indikasi kerusakan akhlak itu terbaca dengan meningkatnya volume dan intensitas
kemaksiatan
yang
terjadi
dimasyarakat,
seperti
prostitusi,
perampokan, narkotika, dan tindakan-tindakan criminal yang melanggar syari’a. Sementara pihak aparat penegak hukum (POLRI), tidak dapat diharapkan secara memuaskan menyelasaikan problema-problema sosial ini, sehingga inisiatif para ulama dan habaib bersatu dalam Front Pembela Islam (FPI) ini, menjadi sesuatu yang dibutuhkan. Waktu itu FPI mengklain, The FPI justifies these raids on the grounds that the police are unable to uphold laws on gambling and prostitution. Ditambah lagi dengan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap POLRI yang sudah lama terasa menurun, membuat reputasi FPI memiliki tempat tersendiri dihati masyarakat. (Hidayatullah, Januari: 2001) Pengakuan Habib Rizieq Shyhab, ketua Umum FPI bahwa organisasi ini didirikan secara spontan tanpa melalui proses formal, menguatkan FPI, lahir secara spontanitas yang muak melihat kezaliman yang kelewat batas dan kemungkaran yang telah merajalela. Fenomena ini menjadi ilustrasi yang cukup untuk melihat negara sudah berada dalam fase kegagalan untuk menjamin rasa aman terhadap warga negaranya (Suara Keadilan : 2000). Lahirnya kelompok kelompok kepentingan apabila dilihat dari segi latar belakang berdirinya di Indonesia, semenjak jatuhnya rejim Soeharto tahun 1998 lalu menjadi terbukanya lebar-lebar partisipasi masyarakat dalam segala kehidupan masyarakat, tidak terkecuali dalam partisipasi masyarakat dalam menangani masalah keamanan yang tidak mampu ditangani oleh aparat negara yaitu Kepolisian. Sebagaimana diketahui bahwa masalah keamanan selalu menjadi otoritas dari yang namanya TNI dan Kepolisian. 5
Ledakan partisipasi masyarakat sipil disektor keamanan dalam bentuk lahirnya warga untuk mengambil alih peran keamanan semakin meningkat dengan seiringnya bermacam-macam konflik dan kekerasan ditengah-tengah masyarakat.
Timbulnya
kelompok-kelompok
ini
membentuk
organisasi-
organisasi keamanan yang berfungsi sebagai agen keamanan sipil baik yang dilakukan oleh partai politik, ormas, maupun kelompok-kelompok kepentingan yang berbasis keagamaan atau etnik, mulai berkembang pesat. Menguatnya
pengorganisasian
sipil
dengan
berlindung
dibalik
kepentingan keamanan menurut Arie Sujito dkk (2002 : 249) disebabkan karena dua level, yaitu: a. Sebagai reaksi ketidakpercayaan kepada aparat hukum dan keamanan dalam menangani berbagai permasalahan social dan politik yang mereka hadapi, sehingga pengambilan tugas secara sepihak. b. Masih menguatnya problem militerisasi dan militerisme dalam tubuh masyarakat sipil yang direproduksi secara terus menerus. Begitu pula dengan terbentuknya Front Pembela Islam atau FPI, timbulnya adanya semangat pemberdayaan masyarakat secara mandiri terutama dalam
menciptakan
stabilitas
dan
keamanan,
dengan
semangat
ingin
menciptakan stabilitas keamanan yang semakin tidak kondusif didalam kehidupan
masyarakat
sehingga
tercetuslah
keinginan
untuk
bersatu
menanggulangi masalah keamanan. Keberadaan FPI ini memberikan rasa aman bagi masyarakat karena dengan lahirnya FPI ini dapat menekan tingkat amoral masyarakat utamanya perbuatan
maksyat
yang
dilakukan
sekelompok
masyarakat,
sehingga
masyarakat lebih percaya FPI dari pada Polisi. Oleh karena itu FPI berkembang di Jakarta dan kota-kota besar lainnya. Sehingga FPI mendapat dukungan besar dan menjadi organisasi kemasyarakatan yang anggotanya besar, dan yang menjadi poin penting dalam perkembangannnya adalah loyalitasnya yang tinggi terhadap ulamanya. Dalam usianya yang relatif muda, FPI sudah merambah hampir ke daerah-daerah dengan jumlah anggota yang fantastis, pembengkakan massa yang cepat ini dalam sebuah organisasi yang relatif baru dalam kasus FPI 6
merupakan perkembangan menarik untuk menguji kemampuan negara dalam wacana pengelolaan keamanan dan ketertiban masyarakat seperti yang di perjuangkan. FPI dan Perjuangan Penegakan Syariat Islam Sejak didirikannya pada tahun 1998, FPI telah memainkan peranannya sebagai pembela harkat dan martaubat Islam dan umat Islam yang boleh dikatakan sebagai salah satu terdepan. Pembelaannya terhadap Islam dan Umat Islam tidak hanya terhenti pada konteks lokal maupun nasional, tetapi jauh melampaui batas hingga situasi internasional. Untuk kasus lokal sendiri seperti Jakarta, kesuksesannya dalam memaksa Gubernur DKI Jakarta untuk mengeluarkan surat edaran tentang pelarangan membuka tempat hiburan maksyat selama bulan Ramadhan, menjadi sejarah tinta emas FPI yang berjuang dalam pemberantasan maksyat (Sabili; Desember 2000). Selain itu, peristiwa ketapang yang terjadi pada tanggal 22 November 1998, telah memberi momentum terhadap popularitas FPI sebagai ormas yang militan, berbagai fokus pada upaya pemberantasan kemiskinan terus menjadi trade mark FPI dalam gerakannya. Hal yang sangat menarik, ketika terjadi
penangkapan anggota FPI
Surakarta di stasiun Senen tanggal 13 Oktober 2001 dimana polisi menuduh FPI membawa senjata tajam (Tempo, November : 2001). Tetapi setelah disidangkan oleh pengadilan Negeri Jakarta selatan dengan hakim tunggal, Abdul Kadir, pada tanggal 5 November 2001, tuduhan polisi
itu tidak terbukti dan pihak FPI
dimenangkkan dalam perkara ini, meskipun pihak kuasa hukum kapolda ingin melanjutkannya pada tingkat kasasi. Oktober 2001, sesudah penyerbuan AS terhadap Afganistan benar-benar terjadi, aksi-aksi permanent FPI menentang penyerbuan itu semakin intensif. Tanggal 15 Oktober 2001, bentrok antara masa FPI dengan aparat kepolisian di depan gedung MPR/DPR tidak dapat dihindarkan (Republika; Oktober 2001). Aparat kepolisian secara kasar menghalau demontran masa FPI yang menentang invasi Amerika terhadap Afganistan. Korban luka-luka dari anggota FPI dan 7
pengepungan markas besar FPI di Petamburan oleh Polisi membuat FPI merasa perlu menuntut Kapolda Metro Jaya, Sofyan Yakub untuk bertanggungjawab atas insiden
tersebut.
Upaya
mempraperadilankan kapolda
jalur
hukum
tersebut
ditempuh
dengan
sekaligus menuntutnya untuk berhenti dari
jabatannya. Upaya ini berakhir dengan kesepakatan damai antara pihak FPI dengan Kapolda Metro Jaya. Kasus lain kontroversi seputar terbit dan beredarnya majalah Play Boy yang diluncurkan pada bulan Maret dan April 2006 lalu, FPI mengambil peran sebagai garda terdepan menentang penerbitan majalah itu, mengakibatkan majalah tersebut terkena delik dengan berbagai masalah sehingga majalah tersebut tidak dapat bertahan lama. Aksi lain mengenai pernyataan Gus Dur dalam forum dialog lintas etnis dan agama di Purwakarta-Jawa Barat, tentang kitab suci alqur’an merupakan kitab yang paling porno, FPI tampil sebagai penentang Gus Dur dan menganggapnya sebagai antek-antek non-muslim bahkan lebih tragis lagi FPI menganggap Gus Dur sebagai kyai anjing dan murtad. Kejadian ini sempat menjadi polemik nasional dengan munculnya sentiment-sentimen bernada keras dengan menampilkan kritik-kritik tajam yang menyudutkan FPI sebagai Preman yang berjubah agama tertentu. Diaras Internasional, kecamannya terhadap Israel pada moment konfrensi persatuan parlemen Internasional (IPU) ke 104 di Jakarta tanggal 15 sampai dengan 21 Oktober 2000 dan ancaman aksi sweeping terhadap warga Amerika yang terjadi bulan September 2001 sebagai reaksi terhadap ancaman serangan AS terhadap Afganistan, memaksa Duta besar Amerika serikat di Jakarta, Robert Gelbart bereaksi dengan memerintahkan warganya untuk kembali ke Amerika dan waspada dengan ancaman itu (Republika;Oktober 2001). Dilihat dari semua aksi yang dilakukan FPI tersebut, semua hampir disetting dalam tema besar perjuangannya yakni pemberlakukan syari’at Islam di bumi Indonesia. Dengan menggunakan motivasi gerakan berupa penegakan amar ma’ruf nahi munkar, aksi-aksi tersebut, dilakukan dengan tidak mengenal kata ”pantang menyerah”.
8
Diukur dengan cara kuantitatif tentu saja belum terhitung hasil yang diperoleh, tetapi bila dihitung dengan ukuran kualitatif, sudah banyak hasil yang didapat dari hasil gerakan FPI ini. Tumbuhnya kepercayaan masyarakat utamanya umat tertentu kepada FPI bahwa kemaksyatan structural bisa dihancurkan dengan pendekatan kekerasan merupakan salah satu dari beberapa perjuangannya. FPI Dalam Arena Peran Negara Memaknai peran yang dilakukan FPI selama ini dalam negara yang menganut system pluralisme dapat dikatakan, peran negara menjadi sangat terbatas karena peran pluralis yang memandang konsep kekuasaan itu tidak tunggal, oleh karena itu setiap elemen dapat saja mengambil peran otoritas negara. Dalam hal ini negara yang menganut system plural society seperti yang dikemukakan oleh J.S Furnival melihat bahwa dalam system masyarakat yang plural ada dua atau lebih elemen (social order) yang hidup berdampingan satu sama lain tetapi saling terpisah dan bersaing secara mendalam dalam satu kesatuan unit politik yang berebut pengaruh menjalankan tujuan politik mereka (Furnival; 1932). Dalam hal aksi-aksi sweeping yang dilakukan oleh FPI selama ini, tentu dapat dipandang sebagai salah satu elemen kekuatan pluralisme yang berusaha menjalankan fungsi tujuan politik mereka untuk meraih kepentingan mereka. Berkenaan dengan aktifitasnya, sejauh ini kita bisa melihat negara tidak dapat mengambil tindakan tegas padahal sudah jelas tindakan-tindakan dan aksi FPI dipandang telah mengambil peran-peran otoritas negara sebagai actor pelindung masyarakat dalam hal perlindungan bidang keamanan dan ketertiban. Sebagai konsekuensi dari lahirnya pluralisme di Indonesia, seiring dengan menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap aparatur negara. Kondisi seperti ini merupakan justifikasi bahwa FPI dianggap sebagai penyelamat sehingga dia mempunyai otoritas menjalankan fungsi negara dengan cara menggunakan atau memanipulasi
dan
mencuri
otoritas
negara.
Gerakan
dan
tindakan
mengorganisasi diri dalam bentuk melawan dan menggerogoti kekuasaan negara dengan jalan menolak adanya aturan dan prosedur negara dianggap sebagai 9
tindakan sah dalam upayanya menjaga dan mempertahankan harkat dan martaubat umat Islam. Jika hal ini dilakukan maka akan mempersulit negara dalam menjamin kemampuannya dalam menjalankan hukum dan kebijakan yang ditelurkan untuk ditaati oleh masyarakat. Jika elemen dasar yang ada pada negara yang kuat adalah otoritas yang efektif dan terlembaga. Maka terjadinya pelanggaran atau penentangan terhadap otoritas ini negara dapat mengatasinya. Namun dalam pandangan pluralisme hal itu dapat ditepis karena peran kekuasaan itu tidak lagi dimonopoli oleh negara. Jika negara tidak mampu menjaga otoritasnya semacam itu, maka negara bisa saja disebut sebagai negara yang tinggal bayangan atau (shadow-state). Kondisi ini dapat saja menjadikan label Indonesia dari negara strong State tidak lagi menjadi wacana yang dominan. Kemunculan FPI dapat saja mengubah negara dalam bentuk konkritnya dari apa yang disebut dengan negara ‘shadow state”. Karena itu FPI menjadi kekuatan yang terorganisir yang melawan serta menggunakan otoritas negara terutama dalam penegakan syariat Islam di Indonesia. Kesimpulan Munculnya organisasi Front Pembela Islam Sebagai salah satu fenomena menarik atas pluralisme di Indonesia. Indonesia dibawah kekuasaan rejim otoritarian birokatik orde baru, selama kurang lebih 32 tahun. Wacana pluralisme menjadi fenomena menarik, hal ini ditandai dengan lahirnya organisasi Front Pembebasan Islam atau FPI diengah-tengah masyarakat Indonesia. Sesuai dengan, pluralisme memandang kekuasaan tidak dalam konsepsi zero zum game yang habis dibagi-bagi, seperti pandangan Marxisme, tetapi pluralisme memandang kekuasaan itu dalam jumlah yang tidak tetap namun bisa diperbanyak dan diperluas. Aksi-aksi yang dilakukan FPI selama ini dapat dianggap sebagai fenomena menguatnya gerakan pluralisme yang memandang kekuasaan itu tidak monolitik tetapi dapat pula dijalankan oleh kekuatan lain, buktinya FPI dalam aksinya 10
selama ini layaknya bagaikan sebuah negara dalam negara. Aksi ini dapat dilihat dalam perjuangan menegakan syariat Islam dengan aksi-aksinya yang mirip dengan kekuasaan yang dilakukan oleh negara. Dalam pandangan pluralis negara dipandang hanya sebagai alat atau sarana untuk memperebutkan pengaruh. Lahirnya kelompok kelompok kepentingan merupakan konsekuensi dari sejak jatuhnya rejim Soeharto tahun 1998 lalu. Partisipasi masyarakat dalam semua aspek kehidupan segalanya menjadi terbuka lebar-lebar, hal ini menunjukkan bahwa Indonesia sudah semakin plural. Dalam situasi yang demikian, masing-masing kekuatan bersaing menunjukkan jati dirinya dalam politik identitas askriptif. FPI yang kita kenal selama ini hanya sebagai organisasi kemasyarakatan, lambat laun semakin mendapatkan kepercayaan ditengah masyarakat, karena aksi-aksinya yang dapat mewakili sebahagian besar kepentingan masyarakat utamanya dalam penegakan syari’at Islam. Selain itu, ternyata organisasi ini mempunyai struktur yang rapih layaknya sebuah negara. Disatu sisi pluralisme dapat menjadi fenomena menarik karena dapat membantu pilar penyangga demokrasi dalam sebuah negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi. Namun disisi lain pluralisme dapat membahayakan demokrasi apalagi munculnya kekuatan-kekuatan pluralisme itu otonom dalam melakukan tindakan askriptifnya, sehingga pada akhirnya mempersulit ruang gerak negara. Lahirnya FPI menjadi fenomena menarik dan mewakili dua wacana diskusi dalam peta politik Indonesia dewasa ini. FPI dengan gerakan-gerakan otonomnya mengakibatkan peran negara menjadi tidak jelas, utamanya dalam penegakan hukum dan ketertiban masyarakat.
11
Referensi : 1. Apter, David E (1997). Pengantar Analisa Politik, PT Rajawali Press, Jakarta. 2. Arif, Saiful (Oktober 2003). Ilusi Demokrasi, Desantara Utama, Jakarta. 3. Fukuyama, Francis (2005). Memperkuat Negara Tata Pemerintahan dan Tata Dunia Abad 21, Gramedia, Pustaka Utama, Jakarta 4. Efendi, Syahrul & Yudi Pramuka (2006). Habib-FPI Gempur Play Boy, Rajanya Penerbit Islam, Jakarta. 5. Gaffar, Afan (1999). Politik Indonesia ; Transisi menuju Demokrasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. 6. Lay, Cornelis (Januari 2006). Involusi Politik, Esai-esai transisi Indonesia, PLOD, JIP Fisipol UGM, Yogyakarta. Web site 1. http://id.wikipedia.org/wiki/Front_Pembela_Islam 2. http://holydragon01.multiply.com/tag/fpi 3. http://www.hidayatullah.com/
12