28
HASIL DAN PEMBAHASAN Profil Peternakan Kabupaten Kutai Timur Sejarah dan Posisi Geografi Kabupaten Kutai Timur merupakan salah satu wilayah hasil pemekaran dari Kabupaten Kutai, yang dibentuk berdasarkan UU No. 47 1999, dari 5 kecamatan menjadi 18 wilayah kecamatan masing-masing kecamatan Sangatta (ibukota Kabupaten), kecamatan Sangkulirang, Muara Bengkal, Muara Ancalong, Muara Wahau, Telen, Sandaran, Busang, Kaliorang, Kongbeng, dan Bengalon.
*
Gambar 1 Peta Kabupaten Kutai Timur Sebelum Pemekaran Kecamatan. Wilayah Kutai Timur terdiri dari daratan dan perairan yang terbentuk dari gugusan gunung/pegunungan yang jumlahnya 8 (delapan) dan yang tertinggi yaitu gunung menyapa dengan ketinggian mencapai 2000 meter. Wilayah perairan berupa laut/pantai, danau, dan sungai. Sungai terpanjang Sungai Kedang Kepala terletak di Kecamatan Muara Wahau 319 Km. Kutai Timur secara geografis terletak di katulistiwa pada posisi 115o56’26 BT–118o58’19 dan 1o17’1’’LS dengan luas wilayah 47.653 km persegi atau 17% dari luas propinsi Kalimantan Timur. Beberapa wilayah yang berbatasan dengan kabupaten ini adalah : ■ Bagian utara berbatasan dengan Kabupaten Bulungan
29
■ Bagian Selatan berbatasan dengan Kota Bontang dan Kabupaten Kutai Kartanegara ■ Bagian Barat berbatasan dengan Kabupaten Kutai Kartanegara ■ Bagian Timur berbatasan dengan Selat Makassar. Posisi Kutai Timur sangat strategis dalam pengembangan ekonomi regional karena berada pada : a. Berbatasan
langsung
dengan
negara
tetangga
Malaysia,
Brunai
Darussalam, Philipina, dan interaksi sosial ekonomi Malindo. b. Poros pertumbuhan Kapet Sasamba (Kawasan pengembangan ekonomi terpadu Samarinda-Samboja-Balikpapan) c. Poros lintas Kalimantan (Tanjung Selor-Tanjung Redeb-ke SamarindaBalikpapan-Pasir-Kalsel-Kalteng-Kalbar). d. Menghadap ke selat Makassar yang merupakan jalur pelayaran regionalnasional dan internasional sehingga hal ini potensi yang besar dimasa yang akan datang. Tofografi dan Iklim Tofografi bervariasi, lereng bergelombang hingga bergunung, kemiringan dibawah 8 derajat sekitar 0.41% (14.514 hektar) dari luas daerah Kutai Timur, yang terdapat di kecamatan Sangkulirang, Bengalon, Sandaran, Kaliorang dan Sangatta, selebihnya (99.59%) di kecamatan tersebut berlereng dengan kemiringan 8-15 derajat. Kecamatan Kongbeng, Muara Wahau, Telen, Muara Ancalong, dan Busang lebih banyak didominasi oleh lereng kemiringan 15-30 derajat maupun yang lebih dan sedikit dibawah 8 derajat kemiringan (Ishak 2002). Hampir sepanjang tahun turun hujan yang mengakibatkan keadaan iklim di wilayah ini menjadi basah, sesuai agroklimat daerah Kutai Timur memiliki iklim basah dengan curah hujan yang umumnya terjadi pada bulan oktober hingga bulan april dengan jumlah curah hujan 2000 – 3000 mm pertahun. Kisaran suhu dinihari bisa mencapai 19 oC dan siang hari mencapai 35 oC, keadaan ini cukup ekstrim perbedaanya, untuk masing-masing kecamatan dapat dilihat Lampiran 1. Sesuai karakter wilayah sebagian besar tanah yang terdapat dikawasan tersebut adalah tanah podsolik merah kuning, komplek podsolik merah kuning, latosol dan alluvial, keadaan tersebut pada Tabel 11.
30
Tabel 11 Keadaan hubungan jenis tanah dan fisiografinya. Lereng (derajat) <3 3–8 8 - 15 15 – 30 > 30
Fisiografi Dataran Berombak Bergelombang Berbukit Bergunung
Jenis Tanah Alluvial Posdolik merah kuning Podsolik merah kuning Komplek podsolik merah. kuning. latosol. loithosol. Komplek podsolik merah kuning. latosol. lithosol
Sumber : Ishak, 2002. Sosial Budaya dan Kependudukan Jumlah penduduk Kutai Timur pada tahun 2006 sebanyak 184.771 jiwa dengan kepadatan sebesar rata-rata 4 jiwa/km2 dan pertumbuhan penduduk selama 4 tahun terakhir rata-rata 4.08% setiap tahun dengan etnis yang ada Kutai, Jawa, Bugis, Dayak, Banjar, Timor dan lain sebagainya. Tingkat pendidikan bervariasi mulai putus sekolah, tamat SD hingga pendidikan sarjana. Keadaan Kependudukan Kutai Timur 2006 SANGKULIRANG ; 15.698; 8%
MUARA WAHAU; 12.540; 7%
SANGATTA; 65.356; 36%
MUARA ANCALONG; 16.086; 9%
KONGBENG; 10.176; 6%
TELEN; 6.137; 3%
MUARA BENGKAL; 19.153; 10%
BENGALON; 11.833; 6%
BUSANG; 7.752; 4%
SANDARAN; 5.170; 3%
KALIORANG; 14.870; 8%
Gambar 2 Keadaan jumlah penduduk di Kutai Timur tahun 2006. Berdasarkan data yang diperoleh dari Bappemas Kutai Timur, jumlah penduduk tertinggi terdapat di kecamatan Sangatta (ibu kota kabupaten) 36% (65.356 jiwa), disusul Muara Bengkal 10% (19.153 jiwa), Muara Ancalong 9% (16.086 jiwa), Sangkulirang 8% (15.698 jiwa), Kaliorang 8% (14.870 jiwa), Muara Wahau 7% (12.540 jiwa), Bengalon 6% (11.833 jiwa), Kongbeng 6% (10.176 jiwa), Busang 4% (7.752 jiwa), Telen 3% (6.137 jiwa) dan Sandaran 3% (5.170 jiwa).
31
Konsep Pembangunan Peternakan di Kutai Timur Berdasarkan rumusan beberapa strategi pembangunan peternakan di Kalimantan Timur, yaitu sebagai berikut : 1. Pengembangan wilayah dan kawasan sentra produksi berdasarkan komoditas unggulan. 2. Identifikasi dan pemetaan lahan peternakan yang berpotensi untuk dikembangkan. 3. Memaduserasikan rencana pengembangan peternakan ke daerah baru dengan berbagai sektor terkait seperti transmigrasi, industri dan perdagangan. 4. Pengembangan kelembagaan dan sumber daya manusia peternak. 5. Peningkatan usaha dan industri peternakan yang efesien dan berdaya saing tinggi 6. Optimalisasi pemanfaatan, pengamanan dan perlindungan sumber daya alam lokal. 7. Pengembangan kemitraan yang lebih luas dan saling menguntungkan. 8. Pengembangan teknologi tepat guna yang ramah lingkungan. 9. Pengembangan peluang investasi dan kepastian berusaha bagi investor. Berdasarkan strategi pembangunan peternakan tersebut, maka di Kutai Timur telah dijabarkan melalui beberapa program diantaranya adalah : 1. Pengembangan kawasan komoditas ternak berdasarkan potensi dan daya dukungnya
misalnya
kecamatan
Muara
Wahau
sebagai
sentra
pengembangan ternak babi dan sapi, sedangkan Sangsaka sebagai daerah pengembangan khusus ternak sapi. 2. Pengembangan ternak sapi melalui proyek pengadaan sapi pembibit. 3. Penyuluhan, pendampingan, dan pelayanan kepada masyarakat peternak yang tersebar di wilayah Kutai Timur. Berdasarkan konsepsi pembangunan perkebunan dan peternakan di Kutai Timur, secara konseptual tidak terjadi kontradiksi, sehingga pengembangan sapi potong melalui sistim integrasi sawit-ternak, potensial untuk dikembangkan melalui struktural pemerintahan dan kultural, sehingga diharapkan lebih nyata dampaknya terhadap petani peternak.
32
Pemotongan Ternak di Kutai Timur. Pemotongan ternak ruminansia yang dilakukan di Kutai Timur umumnya dilaksanakan di rumah pemotongan hewan milik pedagang yang masih bersifat pribadi. Pemotongan ternak ada juga yang dilaksanakan oleh rumah tangga atau komunitas karena hajatan (pesta, ritual keagamaan dan kegiatan adat). Di Kutai Timur hingga saat ini belum ada rumah potong hewan (RPH) milik pemerintah, sehingga kontrol terhadap kualitas pemotongan ternak dan keamanan konsumen belum terlaksana dengan baik, hal ini memungkinkan terjadinya pemotongan ternak khususnya sapi, kerbau dan kambing yang masih berumur produktif, tidak layak potong karena kesehatan ternak/penyakit, dan perlakuan tatalaksana pemotongan ternak yang tidak sesuai standar teknis. Jumlah pemotongan ternak yang dilakukan pada tahun 2004 disajikan pada Tabel 12. Tabel 12 Jumlah pemotongan ternak di Kutai Timur tahun 2004. No.
Jenis Ternak
1 Sapi 2 Kerbau 3 Kambing 4 Domba 5 Babi 6 Ayam Buras 7 Ayam Ras Pedaging 8 Ayam Ras Petelur 9 Itik Sumber : Data olahan.
Pemotongan Ternak (ekor) 1.928 0 1.590 0 847 60.006 83.600 1.127.500 9.781
Pemotongan Ternak (ST) 1.928 0 254.4 0 0
Pemotongan ternak sapi dan kambing di Kutai Timur sebanyak 3518 ekor sedangkan kerbau dan domba tidak ada pemotongan, khusus untuk sapi rincian pemotongan jantan 91% (1.746 ekor) dan betina 9% (182 ekor), dengan rataan pemotongan perbulannya adalah 161 ekor (jantan berkisar 145-146 ekor dan betina 15-16 ekor). Data pada Tabel 13 menunjukkan jumlah pemotongan ternak tahun 2006, data tahun 2005 tidak tersedia.
33
Tabel 13 Pemotongan ternak di Kutai Timur tahun 2006. No. Jenis Ternak 1 Sapi 2 Kerbau 3 Kambing 4 Domba 5 Babi 6 Ayam Buras 7 Ayam Ras Petelur 8 Ayam Ras Pedaging 9 Itik Sumber : Data olahan
Pemotongan Ternak (ekor) 2.951 35 3.295 0 1.014 552.200 14.400 139.600 4.000
Pemotongan Ternak (ST) 2.951 40.25 527.2 0 0
Tahun 2006 jumlah pemotongan sapi 2951 ekor, jantan 88.61% (2.615 ekor) sedangkan betina 11.39% (336 ekor), rata-rata pemotongan 246 ekor/bulan jantan 218 ekor dan betina 28 ekor setiap bulan. Jumlah pemotongan ternak tertinggi di kecamatan Sangatta (ibu kota kabupaten) sebanyak 1962 ekor, dengan rincian jantan 90% (1765 ekor) dan betina 10% (197 ekor). Setiap bulan sapi yang dipotong di Sangatta sekitar 164 ekor, dengan komposisi jantan 148 ekor dan betina 16 ekor. Pada umumnya pemotongan tersebut adalah komsumsi keseharian warga Sangatta yang dijual di pasar tradisional, selain itu juga ada pemotongan untuk hajatan, pesta, dan ritual keagamaan misalnya idul adha. Berdasarkan data pemotongan ternak ruminansia selama 2 tahun di Kutai Timur, ternak sapi terbanyak dipotong yakni sebesar 85.6%, ini menggambarkan bahwa dari segi permintaan dan kesukaan daging sapi masih dominan, sehingga usaha peternakan sapi harus digalakkan. Populasi Ternak Ruminansia di Kutai Timur Ternak ruminansia yang ada di Kutai Timur saat ini umumnya milik perorangan petani peternak, yang paling banyak adalah ternak sapi 75% (20744 ekor), diikuti ternak kambing 23% (6500 ekor), kerbau 2% (697 ekor) dan domba 0.02% (60 ekor) terlihat pada Gambar 3.
34
Populasi ternak ruminansia (ekor) di Kutai Timur, 2007
Kerbau, 697 (2%)
Kambing, 6500 (23%)
Domba, 60 (0.02%)
Sapi, 20744, (75%)
Total Populasi 28.056 ekor Gambar 3 Persentase populasi ternak ruminansia (ekor) di Kutai Timur, 2007. Populasi ternak ruminansia di Kutai Timur tahun 2007 berdasarkan data dari dinas pertanian Kutai Timur 2007 sebanyak 28.056 ekor. Populasi ternak ruminansia (ST) di Kutai Timur, 2007 Sapi, 16178.27, (91%)
Kerbau, 654.14 (4%)
Total Populasi (ST) 17.721,2 ST
Domba, 7.99, (0.04%)
Kambing 880.82 (5%)
Gambar 4 Persentase populasi ternak ruminansia (ST) di Kutai Timur, 2007. Hasil analisis data populasi berdasarkan ekor dan jenis ternak ruminansia di Kutai Timur, menunjukkan populasi ternak ruminansia sebanyak 17.721.2 ST dengan rincian sapi potong 91% (16.178.27 ST), diikuti kambing 5% (880.82 ST), kemudian kerbau 4% (654.14 ST) dan domba 0.04% (7.99 ST). Rincian populasi ternak sapi di masing-masing kecamatan disajikan pada Tabel 14.
35
Tabel 14 Populasi berdasarkan jenis ternak ruminansia(ST) di Kutai Timur, 2007. Kecamatan
Sapi
Jumlah populasi sapi (%)
Jumlah populasi sapi (ST)
Anak Muda Dewasa Anak Muda Sangatta Utara 1228 208,64 327,63 691,73 307 196,58 Sangatta 1070 18,79 285,48 602,73 52,16 171,29 Teluk Pandan 957 162,59 255,33 539,10 45,45 153,20 Rantau Pulung 464 78,83 123,79 261,37 40,65 74,28 Bengalon 974 165,48 259,86 548,65 19,71 155,92 Kaliorang 730 124,03 194,76 411,20 41,37 116,86 Kaubun 588 99,90 156,89 331,22 31,00 94,13 Sangkulirang 2715 461,28 724,36 1529,36 24,97 434,62 Karangan 411 69,83 109,65 231,52 115,32 65,79 Sandaran 963 163,61 256,93 542,46 17,46 154,16 Muara Wahau 3026 514,12 807,34 1704,55 40,90 484,40 Kongbeng 4862 826,05 1297,18 2738,76 128,53 778,31 Telen 717 121,82 191,30 403,89 206,51 114,78 Muara Bengkal 385 65,41 102,71 216,87 30,45 61,63 Muara Ancalong 855 145,26 228,11 481,62 16,35 136,87 Batu Ampar 190 32,28 50,69 107,03 36,32 30,41 Long Masangat 241 40,95 64,30 135,75 8,07 38,60 Busang 368 62,52 98,18 207,29 10,24 58,91 Jumlah 20744 3524,41 5534,50 11685,10 1172,47 3320,70 Total populasi sapi berdasarkan satuan ternak = 16.178,27 ST (20.744 ekor). Sumber : Data olahan
Dewasa 691,73 602,73 539,10 261,37 548,65 411,21 331,22 1529,36 231,52 542,46 1704,55 2738,76 403,90 216,87 481,62 107,02 135,75 207,29 11685,10
Menurut Dinas Peternakan Provinsi Kalimantan Timur (2003), di Kutai Timur memiliki kemampuan menampung ternak ruminansia sebanyak 37.601,78 ST. Berdasarkan populasi ternak ruminansia di Kutai Timur tahun 2007 sebanyak 17.721,2 ST sehingga kemampuan penambahan populasi sebanyak 19.880,58 ST., hal ini berdasarkan kapasitas daya dukung padang pengembalaan dengan pola pemeliharaan sederhana. Saat ini usaha peternakan masih didominasi oleh ternak rakyat yang dipelihara secara sederhana, belum ada perusahaan maupun investor yang melaksanakan usaha ternak ruminansia kategori industri. Pemerintah daerah akhir tahun 2006 telah melakukan sosialisasi program integrasi sawit-ternak dengan pengadaan sapi bibit 86 ekor khusus untuk tujuan pemodelan, yang diberikan kepada petani peternak sebagai penerima bantuan di kecamatan Muara Wahau. Kapasitas Tampung Ternak Ruminansia di Kutai Timur Kabupaten Kutai Timur memiliki luas wilayah 47.653 km persegi atau 17% dari luas provinsi Kalimantan Timur, berdasarkan pemanfaatannya dalam
36
kegiatan usaha pertanian seluas 622.292.34 hektar, dengan rincian pada Gambar 5 berikut.
Persentase Pemanfaatan Lahan di Kutai Timur (hektar) Perkebunan sawit, 50% (314.511 ha)
Perkebunan umum 20% (125.557.23 ha)
Tanaman Pangan 2% (10.791.31 ha)
Rawa Pasang Surut 0.4%(2.999 ha) Rawa 6% (34.521 ha)
Tegalan 22% (133.912.8 ha)
Gambar 5 Persentase pemanfaatan lahan di Kutai Timur. Berdasarkan luas daerah Kutai Timur berupa lahan garapan tanaman pangan (2%) setara 10.791.31 hektar, luas padang rumput/tegalan (22%) setara 133.912.8 hektar, rawa air tawar (6%) setara 34.521 hektar dan rawa pasang surut (0.4%) setara 2999 hektar sedangkan lahan perkebunan umum (20%) setara 125.557 hektar, dan perkebunan khusus sawit (50%) hasil setara dengan 314.511 hektar dengan pemanfaatan hijauan rumput yang tumbuh di areal kebun sawit (tanpa pemanfaatan pelepah dan daun sawit) di peroleh hasil analisis menunjukkan kapasitas daya tampung ternak ruminansia sebanyak 1.453.944,77 ST diluar dari daya tampung perkebunan umum. Kapasitas Peningkatan Populasi Ternak Ruminansia (KPPTR) Perhitungan potensi wilayah pengembangan ternak ruminansia di Kutai Timur, didasarkan pada : a. Pemanfaatan lahan di Kutai Timur. Berdasarkan data pemanfaatan lahan di Kutai Timur, hasil analisis menunjukkan kapasitas daya tampung daerah sebesar 799.997.35 ST, rincianya sebagai berikut : 1. Kapasitas lahan garapan sebesar 1% (10.791.31 ST).
37
2. Kapasitas luas tegalan rumput alam sebesar 1% (10.044.6 ST). 3. Kapasitas luas rawa air tawar sebesar 9% (69.042 ST). 4. Kapasitas luas rawa pasang surut sebesar 0.4% (3.598.8 ST). 5. Kapasitas luas perkebunan sawit sebesar 89% (706.520.64 ST). Berdasarkan pemanfaatan lahan tersebut, 89% adalah daya tampung perkebunan sawit, disusul 9% rawa air tawar, 1% lahan garapan, 1% tegalan rumput alam, 0.4% rawa pasang surut, ini menunjukkan bahwa Kutai Timur sangat berpotensi untuk mengembangkan populasi ternak sapi melalui sistem integrasi perkebunan sawit-sapi potong. Hanya saja saat ini di Kutai Timur bila integrasi sawit-ternak sapi digalakkan maka diperlukan sosialisasi dan komitmen para pihak (stake holders), penyuluhan teknis sistem integrasi sawit-sapi, dan kebijakan khusus mengingat Kutai Timur didominasi oleh perkebunan sawit berbadan hukum yakni dari 315.411 hektar perkebunan sawit (2007) hanya 13.605.70 hektar yang dimitrakan dengan rakyat setempat. Kapasitas peningkatan populasi ternak ruminansia berdasarkan daya dukung lahan sebesar 782.276.15 ST, (799.997.35 ST - 17.721,2 ST = 782.276.15 ST), kemampuan penambahan tersebut adalah KPPTR berbasis pemanfaatan lahan yang ada di Kutai Timur. Pada pemanfaatan lahan rawa yang ada di Kutai Timur, ternak kerbau ideal untuk dipelihara, dengan kemampuan wilayah sebesar 72.640.8 ST atau setara dengan 63.165.91 ekor kerbau dewasa, sehingga dari total KPPTR untuk sapi dan kambing sebesar 709.635.35 ST
atau setara
dengan 4.435.221 ekor kambing dewasa. Berdasarkan kepala keluarga di Kutai Timur (2005) sebanyak 44.115 KK sehingga KKPTR sebesar =114.623.8 ST (132.345 ST-17.721.2 ST). b. Kepadatan Wilayah Hasil analisis kepadatan wilayah di Kutai Timur, merupakan tolok ukur tingkat kepadatan populasi ternak dengan jumlah penduduk kategori sedang = 95.90 ST/1000 jiwa. Kepadatan berdasarkan lahan garapan (sawah dan kebun) menunjukkan populasi ternak 0,03 ST/hektar, hal ini berarti populasi ternak sangat jarang.
38
Berdasarkan hasil analisis nilai KPPTR, dan estimasi tingkat kepadatan wilayah, maka di Kutai Timur masih sangat tinggi nilai penambahan populasi, daerah tersebut dapat menjadi salah satu daerah sentra produksi sapi potong dimasa yang akan datang, mengingat daya dukungnya yakni luas lahan, iklim yang sesuai, lingkungan usahatani, luas perkebunan sawit dan sosial ekonomi. Berdasarkan populasi sapi integrasi sawit-ternak saat ini, maka pencapaian terget kapasitas tampung di daerah tersebut perlu pengembangan populasi melalui : (1) pengadaan sapi bibit, (2) upaya perbaikan koefisien teknis secara bertahap meliputi kelahiran anak dari 61% ditingkatkan menjadi 80%, kematian anak 28.4% diturunkan menjadi 10%, kematian sapi muda dari 12.9% diturunkan menjadi 4%, kematian dewsasa dari 6% diturunkan menjadi 3%, dan rasio pejantan 1 ekor : 15 ekor betina atau pejantan 1 ekor : 25 ekor betina. Kondisi Umum Kecamatan Muara Wahau Kependudukan Di Kecamatan Muara Wahau terdiri 3.161 kepala keluarga, jumlah penduduk 12.540 jiwa, 1.182 jiwa buta huruf, pengagguran 414 jiwa, berpendidikan SD 1904 jiwa, SMP 2079 jiwa, SMA 2.593 jiwa dan perguruan tinggi 632 jiwa. Suku yang mendiami wilayah ini adalah etnik Dayak Bahau dan Kutai sebagai penduduk asli, sementara etnis Jawa, Madura, Sasak, Timur, Sunda adalah transmigrasi, etnis Banjar dan Bugis adalah pendatang perantau yang pindah ke kecamatan Muara Wahau untuk berdagang, karyawan perusahaan kayu/logging, dan berladang. Jumlah penduduk yang menganut agama Islam 80% (2.444 KK), Kristen Protestan 2% (25 KK), Katolik 18% (568 KK). Berdasarkan mata pencaharian petani peternak 1.525 jiwa, nelayan 523 jiwa dan profesi lainnya 3.094 jiwa (Bappemas, 2005). Geografis dan Sistim Usahatani Berdasakan data potensi sumberdaya alam (PH tanah, suhu, ketinggian diatas permukaan laut, kemiringan dan curah hujan) di kecamatan Muara Wahau dan sekitarnya, sesuai untuk budidaya tanaman perkebunan sawit dan budidaya sapi sebagai salah satu basis perekonomian masyarakat setempat.
39
Kecamatan Muara Wahau merupakan daerah yang bertetangga langsung dengan kecamatan Kongbeng dan Telen, memiliki ketinggian 60 meter diatas permukaan laut, dengan suhu rata-rata 26 oC dengan selisih pada siang dan malam hari/dinihari ± 15 oC yakni suhu pada malam/dinihari bisa mencapai 19 oC dan siang hari dapat mencapai 36 oC, lahan kemiringan 40%, dengan kisaran PH 4-5 (asam) dan curah hujan selama 5 tahun terakhir 2017-3021 mm/tahun dengan hari hujan 76-155 hari/tahun, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel 15 Keadaan hujan di daerah penelitian. Tahun Curah Hujan 2002 2.196 2003 3.021 2004 2.017 2005 2.607 2006 2.068 Sumber : Data olahan.
Jumlah Hari Hujan 76 99 101 133 155
Rata-rata hari hujan/bulan 6.9 8.25 9.18 11.0 12.91
Keadaan pertanian secara kelembagaan Unit Pelaksana Tekhnis Dinas (UPTD) Pertanian Kutai Timur dipimpin oleh seorang kepala (Bapak Ardiansyah, SP.) yang membawahi kecamatan Muara Wahau, Kongbeng, Telen. Sedangkan untuk Balai Penyuluhan Pertanian masing-masing kecamatan dipimpin oleh seorang kepala. Data keadaan pertanian di lokasi penelitian kecamatan Muara Wahau memiliki luas perkebunan sawit rakyat 2352 hektar, berumur 4-6.5 tahun sedangkan milik perusahaan/badan hukum tidak tersedia, tegalan 10.666 hektar, rawa 10.283 hektar, sawah 287 hektar. Pertanian rakyat di wilayah kecamatan tersebut adalah merupakan kategori pertanian yang dikelola secara sederhana tanpa penggunaan teknologi tepat guna, dan orientasi keuntungan ekonomi yang maksimal, petani umumnya memiliki beberapa komoditas tanaman dan ternak sebagai usaha sambilan keluarga. Di kecamatan Muara Wahau merupakan wilayah pertama tempat pencanangan penaman sawit milik rakyat seluas 2352 hektar, yang telah dilakukan sejak ± 7 tahun yang lalu (2001) telah berproduksi saat ini, dan ada beberapa petani peternak yang telah melakukan pemeliharaan ternak secara integrasi dengan : (1) melepas ternak sapi di areal kebun sawit separuh dan
40
sepanjang hari (pagi-sore), (2) pengembalaan serta mengandangkannya di areal kebun sawit, (3) melakukan pemotongan HMT di areal kebun sawit kemudian diberikan kepada ternak sapi. Perkebunan sawit banyak dilakukan oleh badan hukum di Kutai Timur, tetapi secara rinci data tidak tersedia (aktif sekarang di Kutai Timur seluas 314.511 hektar), sedangkan perusahaan sebagai inti yang bermitra dengan masyarakat Kutai Timur seluas 13.605.70 hektar, sawit milik rakyat tersebar dibeberapa kecamatan lainnya yang akan diusahakan kemitraannya sebagai perkebunan rakyat atau dalam bentuk plasma dengan pihak-pihak investor lokal maupun dari luar. Ternak sapi yang ada umumnya bangsa sapi Bali dengan populasi tertinggi, kemudian kambing sebagai ternak yang erat kaitannya dengan ritual keagamaan yakni aqiqah dan kurban buat umat islam, dan ternak kerbau yang sering digunakan sebagai tenaga kerja untuk menarik kayu dari hutan. Ternak perah dan kuda tidak didapatkan di daerah ini, yang erat hubungannya dengan kondisi lokasi dan budaya masyarakat setempat. Koefesien Teknis Pemeliharan Ternak Sapi Potong Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan di lokasi penelitian, pada umumnya usaha ternak sebagai usaha sampingan dengan pola pemeliharaan yang sederhana. Berdasarkan data populasi riil di lokasi penelitian terdiri dari 47.85% sapi jantan (1448 ekor) dan betina 52.14% (1578 ekor) atau 0.9 ekor pejantan : 1.08 ekor betina, sehingga keadaan ini sangat dominan sapi pejantan, dimana hasil responden rincian sebagai berikut : 1. Petani 44% memiliki 2-3 ekor sapi dan 35% memiliki 4-5 ekor sapi, 5% memiliki 7 – 9%, dan 15% memiliki > 10 ekor. 2. Petani 53% memiliki sebanyak 2-3 ekor sapi betina, 17% memiliki 4-5 ekor, 6% memiliki 6-7 ekor, dan 24% memiliki > 8 ekor. 3. Petani 38% petani memiliki >4 ekor pejantan, 37% memiliki 1 ekor, 16% memiliki 2 ekor, dan 7% memiliki 3 ekor sapi jantan, hal ini disebabkan karena sapi jantan memiliki nilai jual lebih tinggi dari pada betina.
41
Berdasarkan hasil qusioner, koefisien teknis pemeliharaan ternak sapi diperoleh hasil pada Tabel 16. Tabel 16 Koefisien teknis pemeliharaan sapi di wilayah penelitian. Uraian Kelahiran anak sapi Kasus kematian sapi Umur kasus kematian sapi (bulan) Sumber : Data olahan
1 (61%) 4 (30%) 6 bulan (6%)
Banyaknya kasus (jumlah ekor dan persentase) 2 3 >4 (14%) (5%) (20%) 3 2 1 (13%) (9%) (8%) 7-12 bulan 13-24 bulan > 25 bulan (9%) (9%) (31%)
Kelahiran anak sapi 61% menyatakan bahwa tingkat kelahiran anak sapi 1 ekor/tahun artinya jika diestimasi dari kepemilikan sapi betina (2-3 ekor) tingkat kelahiran anak cukup rendah dari betina dewasa sebanyak 1438 ekor. Populasi anak 129 ST atau setara dengan 514.1 ekor menunjukkan tingkat kelahiran anak sapi sangat rendah sebesar 36% dari total populasi sapi, hal ini dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah : (1) manajemen pemeliharaan yang rendah, (2) pemberian hijauan pakan yang seadanya, (3) terbatasnya sarana produksi dan pelayanan kesehatan ternak, (4) umur sapi betina yang sudah tidak produktif lagi karena > 8 tahun masih dipertahankan sebagai indukan, (5) tingkat pengetahuan dan informasi kepetani masih rendah. Tingkat kematian sapi berdasarkan umur 0-6 bulan sebanyak 28.4%, sapi anak umur 7-12 bulan sebanyak 12.9%, sapi umur 13-24 bulan sebanyak 12%, kematian sapi dewasa 6%, kasus ini berhubungan dengan sistem pemeliharaan ternak yang masih ekstensif, kondisi padang pengembalaan umum yang dominan ditumbuhi alang-alang dan hijauan makanan ternak yang bernilai gizi rendah, serta penyakit dan tingkat pengetahuan peternak. Berdasarkan kasus kematian ternak dikalangan petani sangat merugikan secara ekonomi untuk itu perlu diantisipasi, upaya yang dapat dilakukan dengan melalui : (1) perbaikan koefisien teknis (tingkat kelahiran anak, kematian sapi anak-muda-dewasa, rasio pejantan/betina,
afkir
pejantan/indukan
untuk
perbaikan
mutu
sapi
pejantan/indukan, (2) melakukan IB, , (3) perbaikan sarana produksi ternak, (4) perbaikan manajemen pemeliharaan (formulasi hijauan pakan yang berkualitas
42
dan cukup kuantitas), (5) perbaikan pelayanan kesehatan ternak (tenaga teknis dan sarana pelayanan), (6) penyuluhan. Sistim Pemeliharaan Ternak Sapi Peternak di wilayah kecamatan Muara Wahau memiliki karakteristik umumnya beternak sebagai cabang usaha. Asal perolehan ternak sapi bersumber dari swadaya sekitar 19.83% dan 57.86% mendapatkan bantuan sapi sebanyak 1-2 ekor dari pemerintah dengan kisaran umur ± 1 tahun dengan aturan dikembalikan sebanyak yang diberi dan akan digulir kepetani lain, dan 21% memperoleh sapi dari warisan orang tua dan bantuan pemerintah. Tahun 2006 pemerintah kabupaten telah mengadakan sapi umur 1 – 2 tahun, bantuan kepada petani peternak sebanyak 88 ekor khusus tujuan pemodelan sistim integrasi sawit-ternak sapi di Kutai Timur, tetapi hingga bulan Mei 2007, ternak tersebut mati sebanyak 37% (33 ekor) mungkin disebabkan beberapa faktor diantaranya : a. Gagalnya sapi tersebut beraklimatisasi setelah tiba di habitat yang baru (di lokasi). b. Sapi-sapi tersebut mengalami kelelahan setelah diangkut dari luar kabupaten dan provinsi Kalimantan Timur, saat tiba di lokasi tidak dilakukan rekondisi, kemudian diserahkan kepada petani, lalu dipelihara secara sederhana dengan cekaman panas/lingkungan ekstrim, kemudian kualitas dan kuantitas makanan yang diberikan tidak terjamin secara kontinyu sehingga dapat menyebabkan rentan terhadap penyakit/gangguan kesehatan kemudian mengalami kematian. c. Rendahnya pengetahuan penanganan sapi rekondisi, pemeliharaan secara sederhana dan sebagai kegiatan sampingan. d. Rendah daya adaptasi sapi dari daerah asal (Sulselbar, Jawa Timur, Sulteng, Gorontalo, NTB), terhadap kondisi lokal yang berbeda dengan daerah asal ternak tersebut. Peternakan
sapi
di
wilayah
penelitian
umumnya
adalah
usaha
sampingan/cabang usaha keluarga, yang dilakukan dengan pola pemeliharaan sederhana. Pola pemeliharaan yang dilakukan secara bervariasi yakni :
43
•
Melepas di padang gembalaan dan ladang pertanian/perkebunan sawit sejak pagi sampai menjelang sore hari, kemudian pada sore sampai pagi hari sapi dikandangkan disekitar rumah penduduk untuk menjaga keamanan ternaknya.
•
Memberikan rumput pada ternaknya secara cut and carry dengan mengambil dari ladang, tetapi sapi dilepas di padang pengembalaan pada separuh waktu, yakni menjelang siang hari kemudian dibawah kepadang pengembalaan umum yang didominasi alang-alang, lalu sore hari dibawah kekandang dan diberikan HMT.
•
Pengembalaan sapi sejak pagi sampai sore hari kemudian dimasukkan kekandang.
•
Menggembalakan ternak sapi sejak pagi hari di areal perkebunan sawit secara bergilir/semi terencana pada beberapa lokasi areal perkebunan sawit, kemudian pada sore hingga pagi kemudian dibawah ke areal kebun sawit yang telah diberi pembatas (semi kandang). Pemeliharaan sapi di padang gembalaan setiap harinya, di lapangan
terlihat sapi-sapi tersebut, memiliki bulu agak kusam, pucat, agak kurus, rentang terhadap penyakit mata, hal ini mungkin disebabkan karena : (1) cekaman panas berlebihan karena jauhnya pepohonan untuk teduhan, sehingga mempengaruhi komsumsi makanan dan air, menyebabkan dehidrasi dan efesiensi penggunaan makanan yang tidak efektif, (2) ketersediaan kuantitas dan kualitas makanan yang dikomsumsi, karena didominasi oleh alang-alang, rumput alam dan semak-semak, serta sumber air yang jauh sehingga kebutuhan sapi tidak cukup terpenuhi.
Gambar 6 Sapi yang dipelihara di padang pengembalaan dan di areal kebun sawit.
44
Berdasarkan teknis pemeliharaan sapi tersebut, memberikan gambaran bahwa manajemen pemeliharaan sistem ekstensif perlu diperbaiki menjadi intensif atau semi-intensif yaitu melalui : (a) tatalaksana pemberian HMT dan formulasinya ; (b) tatalaksana perkandangan dan pengembalaan ; (c) perbaikan mutu sapi bakalan/pengadaan bibit sapi ; (d) peningkatan pelayanan kesehatan ternak ; (e) penyuluhan. Secara visual ternak sapi yang dipelihara di areal kebun sawit memperlihatkan warna bulu cerah, mengkilap, mata cerah dan lebih lincah, serta nampak lebih baik dari pada yang di lepas dipadang gembalaan, hal ini disebabkan beberapa faktor diantaranya : (1) hijauan makanan ternak yang lebih bervariasi di areal kebun sawit (legum, graminae), dan terdapat daun sawit, serta pakis yang tumbuh di pohon sawit yang dikomsumsi oleh ternak ; (2) terhindar dari cekaman panas yang berlebihan, karena menjelang jam 11 siang sapi berlindung didalam kanopi pohon sawit hingga menjelang jam 3 sore hari. Di areal sawit selain HMT, terdapat daun sawit yang dikomsumsi oleh ternak. Pelepah sawit cukup banyak dan tersedia sepanjang waktu karena pemangkasan pelepah sawit (prunning) merupakan kegiatan rutin tetapi belum dimanfaatkan sebagai bahan pakan ternak,
menurut Sitompul, et al., (2004)
produksi bahan kering (BK) daun sawit tanpa lidi dan daging pelepah sawit bahan keringnya masing-masing 658 kg dan 1640 kg/ha/tahun. Penggunaan 30% daun dan pelepah sawit dalam ransum memiliki daya dukung ± 22 ekor/ha pada ternak kambing dengan bobot badan ± 30 kg, pemberian 3% dari bobot badan. Pakis/paku yang tumbuh di areal kebun dan batang sawit yang direnggut oleh ternak seluruh daun dan batangnya, serta jenis legum yang dikomsumsi oleh ternak. Berdasarkan uji laboratorium pakis yang diambil dari pohon sawit mengandung komposisi sebagai berikut : protein kasar 6.06%, lemak kasar 3.71% serat kasar 28.44%, BETN 48.30%, abu 13.49%, calsium 0.55%, phospor 0.21%, cellulosa 20.61%
dan lignin 21.34%.
Menurut
Sitompul. et al., (2004)
rendahnya daya dukung hijauan pada lahan perkebunan dapat diatasi atau disubtitusi dengan pemanfaatan limbah pada panen di lapangan yakni daun sawit dan daging pelepah sawit, tetapi oleh peternak setempat belum memanfaatkan sebagai bahan makanan ternak hal ini karena memerlukan perlakuan terlebih dahulu dalam pemberiannya yakni pengupasan misalnya.
45
Komposisi Botani Hijauan Makanan Ternak Berdasarkan hasil pengamatan identifikasi yang dilakukan di 16 lokasi penelitian, ditemukan beberapa jenis hijauan makanan ternak yang tumbuh di areal kebun sawit (Gambar 7). Persentase Rumput HM T di Areal Kebun Sawit Lokasi Pene litian
Pakis (Asplenium tenerum forst 24% (16)
Brachiaria humidicola 24% (16)
Alang-alang (Imperata cylindrica) 11% (7) Chloris gayana 8% (5)
Brachiaria brizantha 24% (16) Andropogon gayanus 9% (6)
Gambar 7 Keadaan rumput HMT di areal sawit pada lokasi penelitian. Rumput Brachiaria humidicola merupakan rumput agresif yang tumbuh rendah, menyebar dengan stolon (batang yang menjalar diatas tanah, dari bukubukunya tumbuh akar dan tunas baru), tumbuh pada berbagai jenis tanah, tahan naungan. Horne dan Stur (1999) mengemukakan bahwa Brachiaria humidicola adalah merupakan rumput gembala berat, merambat yang kuat, baik untuk pencegahan erosi, dapat tumbuh pada tanah yang kurang subur, tahan terhadap genangan air, tetapi memiliki kualitasnya lebih rendah dibandingkan Brachiaria lainnya. Rumput Brachiaria brizantha adalah merupakan rumput yang berasal dari Afrika, termasuk kategori rumput gembala, berumur panjang, tumbuh membentuk hamparan vertikal dan horizontal, tinggi bisa mencapai 60-150 cm, batang dan daunnya kaku serta kasar, tahan injak dan renggut serta tahan kekeringan dan responsif terhadap pemupukan, dapat tumbuh pada tanah ringan sampai berat dan ketinggian 0-1200 meter diatas permukaan laut dengan curah hujan diatas 1500 mm/tahun (Kanisius. 1983).
46
Rumput Andropogon gayanus adalah merupakan salah satu rumput potongan yang terdapat di areal kebun sawit tetapi populasinya tidak sebanyak Rumput Brachiaria sp karena rumput tersebut memiliki sifat yang tumbuh secara rumpun dan agak tinggi sehingga oleh petani dianggap sebagai gulma dan harus diberantas, Horne dan Stur (1999) mengemukakan bahwa rumput Andropogon gayanus merupakan rumput potong yang tumbuh tinggi dapat mencapai 4 meter, tumbuh baik pada tanah asam dan tidak subur, daerah bercuaca panas, berumur panjang, sangat disukai ternak pada saat masih muda, daunnya lembut, berbulu halus, dengan tangkai biji yang sangat panjang. Chloris gayana merupakan hijauan rumput makanan ternak yang terdapat di areal kebun sawit tetapi populasi dan frewensinya tidak banyak dijumpai dan hidup secara rumpun tinggi kisaran 40-60 cm, dimana rumput dengan ciri-ciri membentuk rumpun yang lebat, berumur panjang, menjalar dan berkembang dengan stolon yang tumbuh akar serta batang baru, ketinggian bisa mencapai 60150 cm, tahan terhadap pengembalaan berat, palatable, tahan kekeringan, tidak tahan tempat teduh dan genangan air (Kanisius. 1983). Alang-alang (Imperata cylindrica) merupakan gulma disela tanaman sawit, sebelum dan awal penanaman sawit dilakukan, tumbuhan tersebut banyak tumbuh
di
areal
kebun,
kemudian
berkurang
secara
bertahap
akibat
pemberantasan kimiawi/penyemprotan pestisida yang dilakukan oleh petani. HMT yang tergolong legum di areal kebun sawit dapat dilihat pada Gambar 8 : Persentase Legum HMT di areal Kebun Saw it Lokasi Penelitian
Macrophitilium 20% (10)
Calopogonium muconoides 24% (12)
Gamal (Gliricidia sepium) 31% (16)
Pueraria phaseloides 25% (13)
Gambar 8 Keadaan legum HMT di areal kebun sawit pada lokasi penelitian.
47
Karakteristik masing-masing legum adalah sebagai berikut : 1. Gamal (Gliricidia sepium) memiliki sifat pohon yang berukuran sedang dan dapat berfungsi sebagai pagar, mudah ditanam dengan stek, dapat tumbuh pada tanah asam, tumbuh baik di daerah tropis, jenis legum yang berkualitas tinggi, memiliki bunga berwarna merah keungu-unguan dan ada juga yang putih kekuningan. 2. Kacang Ruji (Pueraria phaseloides) adalah legum tumbuh secara merambat/membelit/memanjat di areal kebun sawit, termasuk legum yang berumur panjang yang berasal dari daerah subtropis tetapi tumbuh di daerah tropis dengan kelembaban tinggi, stolon dapat tumbuh akar cabang baru. memiliki daun agak lebar, agak bulat dan meruncing bagian ujungnya, serta lebat. Daun-daunnya yang masih mudah ditumbuhi bulubulu yang berwarna coklat dan tahan ditanam di tempat yang teduh sehingga baik untuk digunakan sebagai tanaman penutup tanah. 3. Kacang asu (Calopogonium mucunoides) Merupakan tumbuhan yang berumur pendek, tumbuh menjalar/memanjat, bisa mencapai 30 – 50 cm, batang dan daun yang masih muda berbulu, berwarna coklat keemasan, bentuk daun agak bulat, pada tiap tangkai terdapat 3 buah daun, bunganya kecil berwarna ungu, bisa hidup pada tanah sedang sampai berat, curah hujan 1.270 mm/tahun (AAK. 1983). 4. Macrophitilum Merupakan legum membelit berumur pendek (1-2 tahun)yang sangat kuat setelah beberapa bulan pertama setelah ditanam, penutup tanah jangka pendek dan dapat digunakan untuk padang pengembalaan campuran rerumputan, dapat ditanam disemua jenis tanah baik yang tidak subur maupun yang berpasir, daerah asalnya adalah Venezuela (Horne dan Stur. 1999). Gambar 9 ini adalah contoh Macrophitilum di areal kebun sawit.
48
Gambar 9 Macrophitilium di areal kebun sawit. Legum yang terdapat di areal kebun sawit sangat terbatas jenisnya dan populasinya dibandingkan dengan rumput, karena belum pernah dilakukan introduksi legum secara langsung oleh petani peternak, kecuali gamal yang digunakan sebagai pagar/pembatas, menurut Umiyasih dan Anggraeny (2003) pada umur 3 tahun pertama pada areal tanaman sawit, jenis leguminosa akan mendominasi sampai 55%, mulai tahun ke-4 tanaman leguminosa makin berkurang dan akhirnya areal kebun sawit akan di dominasi oleh rumput hingga mencapai
60%,
oleh
karena
itu
diperlukan
teknologi
terapan
untuk
mengintegrasikan jenis beberapa legum yang bermanfaat bagi ternak, serta melakukan pengembalaan rotasi atau bergilir. Petani dilokasi penelitian sebagian besar menganggap hijauan yang terdapat di areal kebun sawit (rumput/legum) sebagai gulma, sehingga untuk pengendaliannya dilakukan dengan penyemprotan menggunakan herbisida secara reguler dengan frekwensi gambar 10 .
2-4 kali dalam setahun, seperti yang terlihat pada
49
Gambar 10 Keadaan kebun sawit yang telah disemprot pestisida. Petani yang bercocok tanam sawit, sebagian menganggap rumput/legum yang tumbuh di areal kebun sawit adalah makanan ternak, sehingga jenis HMT tersebut dikumpulkan dengan cara mengarit atau melepas ternak sapi di areal kebun sawit. Sapi yang dilepas di areal kebun sawit bebas memilih hijauan sesuai selera, dan pada saat siang hari sapi-sapi tersebut berlindung dalam kanopi tanaman sawit, serta sore hari sekitar pukul 15 kembali merumput. Lembaga Usahawantani Malaysia (2007) melaporkan melepas ternak diantara pohon sawit dapat : (1) mengurangi ternak dari cekaman panas “heat stress”, (2) mengurangi penggunaan racun rumput, (3) menurunkan biaya pengendalian penutup tanah sekitar 20-50% integrasi sapi-sawit.
Menurut Payne (1993), iklim memiliki
pengaruh tidak langsung dan langsung terhadap ternak meliputi ;(a) prilaku merumput, pengambilan dan penggunaan makanan; (b) pertumbuhan yakni bila stres suhu panas dapat menekan nafsu makan; (c) kualitas makanan; (d) lamanya merumput ; (e) produksi susu. Lebih lanjut dijelaskan bahwa suhu lingkungan yang tinggi atau fluktuasi suhu yang besar di daerah tropis, dapat langsung mempengaruhi performans reproduksi sapi, yakni terhadap pubertas, lamanya birahi, aktifitas organ reproduksi primer, tingkat kematian faetus, lamanya kebuntingan, besarnya anak., sehingga dengan beberapa faktor tersebut yang mungkin terjadi di daerah penelitian, dimana suhu lingkungan yang mencekam
50
menyebabkan sapi stress dan rentan penyakit, serta produktivitas yang rendah (kasus kematian sapi yang tinggi, rendahnya tingkat kelahiran anak). Produktivitas Hijauan Makanan Ternak di Areal Kebun Sawit. Secara ideal, dalam luasan 1 hektar perkebunan sawit terdapat sekitar 128130 pohon (Lubis 1992). Berdasarkan laporan tersebut diasumsikan bahwa dalam luasan 1 hektar kebun sawit, ditumbuhi oleh tanaman sawit rata-rata 130 pohon, setiap pohon menempati ruang ± 1 m2, selebihnya ditumbuhi oleh HMT (rumput dan legum), apa bila satu hektar perkebunan sawit luas berkisar 8000m ditumbuhi HMT secara baik, maka kemampuan produksi HMT dalam perkebunan kelapa sawit umur 4-6.5 tahun di lokasi penelitian adalah sekitar 920 kg/panen (4.6 ton/hektar/tahun). Menurut hasil penelitian sebelumnya yang dikutip oleh Deptan (2004) produksi HMT di areal kebun sawit umur 3-5 tahun 2000-8000 kg/ha/tahun bahan kering (1.87-7.4ST), dan setelah 5-10 tahun produksi HMT berkisar 500-1000 kg/ha/tahun bahan kering (0.46-1.08 ST), upaya meningkatkan produksi HMT dapat ditempuh melalui penanaman HMT, pemupukan, dan penjarangan tanaman kelapa sawit tanpa berdampak pada penurunan produksi TBS dan rendemen minyak yang dihasilkan, hal ini menurut Lubis (1992) saat umur tanaman sawit 7-10 tahun atau lebih awal, gejala yang dapat terjadi antara lain : (1) intensitas cahaya matahari yang masuk kedalam antar tanaman sangat kurang, (2) vegetasi yang tumbuh di sela tanaman sawit sangat sedikit dan bahkan banyak yang gundul, (3) pelepah daun yang bertetangga saling menutupi atau tumpang tindih, (4) pertumbuhan pelepah karena persaingan menegak (ke atas), batang tumbuh meninggi dan diameternya mengecil. Pada kondisi tersebut tanaman akan menderita dan mengalami penurunan produksi (tandan yang terbentuk kecil, lebih sedikit, banyak aborsi) karena kekurangan tepung sari dan rentan mendapat serangan cendawan Marasimus sp, oleh sebab itu lebih dari 10 tahun umur tanaman sawit perlu penjarangan yakni dari 143 menjadi 123 pohon/hektar, dilakukan secara bertahap hingga berkurang sampai 13.9% dari awal penanaman. Kemampuan kapasitas tampung untuk areal kebun sawit umur 1-3 tahun/hektar adalah 1-3 ekor sapi dewasa, dan tanaman sawit sampai umur ± 10 tahun mempunyai kemampuan 0.6 ekor/hektar, dan selanjutnya 0.4 ekor/hektar
51
(Wijono, Affanddhy dan Rasyid, 2003). Berdasarkan hal tersebut daya tampung areal kebun sawit menyediakan HMT (legum dan rumput) hingga masa tidak produktif (umur 25 tahun) adalah 2.24 ST/hektar, hal ini seiring dengan pendapat Yulistiani dan Puastuti (2008) bahwa kapasitas tampung ternak di areal kebun sawit adalah sebesar 2.7 ST/hektar. Berdasarkan produksi bahan segar daya dukung lahan merupakan produktivitas atau kemampuan sumber daya HMT bahan segar yang terdapat dilokasi penelitian dihitung berdasarkan luas areal dan satuan waktu satu tahun. Pada lokasi penelitian terdapat 2352 hektar sawit rakyat berumur 4-6.5 tahun dengan kemampuan produksi HMT 10.819.2 ton/tahun dengan kapasitas daya tampung ternak sebesar 9.878.4.ST (4.2 ST/hektar), dan perkebunan sawit di Kutai Timur 315.411 hektar dengan kemampuan produksi HMT sebanyak 1.446.750.6 ton/tahun atau setara dengan kapasitas tampung 1.320.946,2 ST. Berdasarkan perkembangan umur tanaman sawit, maka produksi HMT (tanaman penutup tanah) mengalami perubahan komposisi botani dan kuantitas produksi secara berlahan, sehingga kapasitas tampung rata-rata selama tanaman sawit berproduksi (1-25 tahun) adalah sebesar 2.24 ST/hektar artinya di kecamatan Muara Wahau memiliki kapasitas tampung 5.268.48 ST sedangkan kapasitas tampung Kutai Timur sebesar 706.520.64 ST. Laporan Sitompul (2003) menyatakan setiap hektar kebun sawit dapat mendukung pakan untuk ternak sapi bali 4 ekor, sehingga tiap ancak (15 hektar) dapat mendukung 60 ekor sapi. Sumber pakan yang tersedia dapat berupa :(1) daun kelapa sawit, (2) pelepah kelapa sawit, (3) rumput alam, (4) rumput king grass. Menurut Hasnudi (2005), daya dukung limbah kebun sawit dan hasil sampingnya (pelepah, daun, bungkil inti sawit, lumpur sawit, dan serat buah sawit) memiliki daya tampung 8,32 ST/hektar, daya dukung tersebut dapat ditingkatkan menjadi ± 10 ST/hektar. Beberapa areal kebun sawit rakyat masih ditumbuhi oleh alang-alang, untuk pengendaliannya dapat dilakukan dengan memasukkan ternak di areal kebun sawit, menyemprot dengan pestisida dan penanaman HMT. Peningkatan produksi HMT dan kapasitas daya dukung lahan dapat dilakukan dengan beberapa cara :
52
1. Penerapan sistem (manajemen) pengembalaan bergilir/rotasi untuk menjaga pertumbuhan HMT. 2. Memilih jenis HMT yang memiliki produksi tinggi, resisten terhadap injakan, tahan naungan, mudah beradaptasi terhadap lingkungan lokal, disukai ternak dan cocok dengan iklim setempat. 3. Introduksi legum di areal kebun sawit dan penanaman gamal pada batas kebun sawit (pagar/pembatas). 4. Input teknologi pemanfaatan pelepah, daun sawit, bungkil inti sawit, serat buah sawit, dan lumpur sawit sebagai bahan pakan ternak. Menurut Deptan (2004) pemilihan jenis HMT untuk perkebunan sawit : (1) disukai ternak, (2) cepat menutup tanah, (3) mempunyai toleransi terhadap naungan, (4) dapat tumbuh bersama-sama dengan tanaman HAT jenis lainnya, (5) daya tumbuh dengan biji yang cukup tinggi. Umumnya tanaman penutup tanah dari jenis kacang-kacangan antara lain Centrocema pubescens, Peuraria phasseiloides dan Desmodium sp. Jenis rumput-rumputan antara lain dari jenis Paspalum plikatulum, Panicum maximum, dan lain-lain. Produktivitas HMT tersebut telah diperoleh hasil pengukuran dengan metode pendekatan proper use faktor sebagai berikut : Tabel 17 Hasil perhitungan produktivitas HMT di areal kebun sawit. No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Uraian Rumput Brachiaria sp., campuran rumput alam Rumput Brachiaria sp., campuran rumput alam Rumput Brachiaria sp., campuran rumput alam Rumput Brachiaria sp., campuran rumput alam Rumput Brachiaria sp., campuran rumput alam Rumput Brachiaria sp., campuran rumput alam Rumput Brachiaria sp., campuran rumput alam Rumput Brachiaria sp., campuran rumput alam Rumput Brachiaria sp., campuran rumput alam Rumput Brachiaria sp., campuran rumput alam Rumput Brachiaria sp., campuran rumput alam Rumput Brachiaria sp., campuran rumput alam Rumput Brachiaria sp., campuran rumput alam Rata-rata
Hasil (%) 64.70 62.50 63.63 66.66 67.50 73.63 78.72 61.76 65.71 68.29 73.33 67.56 78.33 68.63
Sumber : Data olahan
Berdasarkan hasil analisis produktivitas HMT di areal kebun sawit nilai proper use factor 68.6%, menunjukkan kategori tingkat pemanfaatan hijauan (HMT) yang tinggi oleh ternak sapi di areal kebun sawit, sehingga cukup
53
potensial untuk mendukung kegiatan integrasi usaha ternak sapi di areal kebun sawit. Beberapa faktor penentu daya dukung lahan untuk usaha ternak, yang perlu diperhatikan adalah : (1) curah hujan, (2) topografi, (3) persentase hijauan dan pertumbuhannya, ( 4) jenis dan kualitas HMT, (5) distribusi air, (6) supplementary feeding, (7) pengaturan jumlah ternak yang digembalakan, (8) sistem penggembalaan dan luas padang rumput, (9) suhu lingkungan sekitar.
Potensi Produksi Pelepah dan Daun Sawit Sebagai Bahan Pakan Ternak Bagian dari pohon sawit yang dapat digunakan sebagai salah satu sumber HMT adalah daun dan pelepah sawit yang cukup bernilai gizi, namun belum dimanfaatkan oleh petani di Kutai Timur.
Berdasarkan uji labratorium yang
dilakukan telah didapatkan hasil sebagai berikut : Tabel 18 Komposisi Nutrisi Daun dan Pelepah sawit. No. Kandungan Nutrisi 1 Bahan Kering 2 Protein kasar 3 Lemak kasar 4 Serat kasar 5 BETN 6 Abu 7 Calsium 8 Phosfor 9 Hemisellulosa 10 Lignin 11 Cellulose Sumber : Data olahan.
Daun (%) 21.98 10.34 6.17 27.60 46.92 8.97 0.29 0.18 18.37 41.02 9.65
Pelepah (%) 25.63 1.56 2.05 52.48 38.76 5.15 0.95 0.29 17.71 24.55 35.46
Kandungan lignin yang cukup tinggi pada daun yakni 41.02% dan pelepah 24.55% yang tidak dapat dimanfaatkan oleh ternak, juga merupakan indeks negatif bagi mutu bahan pakan karena ikatannya dengan selulose dan hemiselulosa mempersulit pemanfaatan selulosa dan hemiselulosa. Untuk itu diperlukan input teknologi aplikasi misalnya silase atau melakukan perlakuan terhadap daun dan pelepah sawit untuk dapat dimanfaatkan sebagai bahan makanan ternak sapi. Menurut Elisabeth dan Ginting (2003), unsur kimia yang terkandung dalam beberapa hasil kebun sawit, memiliki kandungan selulose dan hemiselulose terbesar (60-80%) atau 44-69% dari bahan kering. Hasil sampingan
54
pohon sawit cukup memungkinkan untuk digunakan sebagai bahan makanan ternak.
Petani peternak setempat belum banyak memanfaatkan potensi hasil
sampingan kebun sawit (daun/pelepah) sebagai hijauan makanan ternak, disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya : 1. Tingkat pengetahuan dan pengalaman petani dalam memanfaatkan daun dan pelepah sawit sebagai sumber pakan ternak. 2. Jarak antara kandang/rumah petani dengan kebun sawitnya cukup jauh 1-5 km. 3. Memerlukan waktu dan input teknologi khusus dalam prosesnya. 4. Daya adaptasi sapi terhadap sumber pakan tersebut perlu diupayakan. Produk sampingan dari pohon sawit berupa daun dan pelepah sangat berpotensi untuk pakan ternak. Menurut Sitompul (2003), setiap pohon sawit menghasilkan 22 pelepah/tahun dengan rataan bobot pelepah 2.2 kg (setelah dikupas siap disajikan). Jumlah tersebut setara dengan 6.292 kg (22 pelepah x 130 pohon/hektar/tahun x 2.2 kg = 6.292 kg).
Daun yang dihasilkan setiap
pelepah adalah 0.5 kg, jadi setiap pohon sawit mampu menghasilkan 11 kg/tahun/pohon, setiap 1 hektar sawit akan menghasilkan hijauan sebanyak 1.430 kg/tahun/hektar. Berdasarkan hal tersebut, maka di Kutai Timur terdapat 314.511 hektar perkebunan sawit (tahun 2007), yang memiliki kemampuan produksi bahan pakan berupa : a.
Produksi pelepah sebanyak 1.978.274.19 ton/tahun atau setara dengan kemampuan = 1.761.261.6 ST, termasuk didalamnya : •
Kapasitas tampung kebun sawit rakyat (13.605.70 hektar) di Kutai Timur sebesar 76.191.92 ST
•
Kapasitas tampung kebun sawit rakyat (2.352 hektar) di Kecamatan Muara Wahau sebesar 13.500.34 ST
b.
Produksi daun sebanyak 440.315.4 ton/tahun atau setara dengan kapasitas tampung ternak 408.864.3 ST, termasuk didalamnya : •
Kapasitas tampung kebun sawit rakyat (13.605.70 hektar) di Kutai Timur sebanyak 17.687.41 ST .
55
•
Kapasitas tampung kebun sawit rakyat umur 4-6.5 tahun (2.352 hektar) di Kecamatan Muara Wahau sebesar 3.057.6 ST.
Perhitungan ini berdasarkan pada asumsi 1 ST = 300 kg bobot badan dengan komsumsi 10% dari bobot badan ternak. Jadi berdasarkan hal tersebut, produksi HMT/bahan pakan berupa rumput/legum, daun dan pelepah sawit di areal kebun sawit umur 4-6.5 tahun di wilayah penelitian adalah 12.322 kg/tahun/hektar (12.32 ton/hektar/tahun) atau setara dengan daya tampung 11.30 ST/hektar/tahun, hal ini jika semua potensi termanfaatkan secara optimal, maka kapasitas tampung keseluruhan luas areal kebun sawit (umur 4-6.5 tahun) di Kutai Timur adalah 3.528.813.42 ST (11.22 ST x 314511 hektar) termasuk didalamnya : •
Kebun sawit rakyat di Kutai Timur dengan kapasitas tampung sebesar 152.655.95 ST
•
Kecamatan Muara Wahau dengan kapasitas tampung 26.389.44 ST.
Aspek Ekonomi Sistim Integrasi Sawit Ternak Sapi Berdasarkan hasil pengamatan, banyak petani belum melakukan kegiatan integrasi sawit-ternak sapi, karena jarak kebun dengan rumah petani umumnya jauh, faktor keamanan ternak dari pencurian, rendahnya tingkat pengetahuan petani untuk beternak secara integrasi sawit-sapi yang lebih menguntungkan. Estimasi pendapatan petani sawit tidak integrasi dengan integrasi sawit-ternak sapi, lebih tinggi pada usaha tani integrasi sawit-ternak sapi sekitar 10.56-16.49 %., yang diperoleh dari : (1) adanya penghematan biaya pengendalian gulma, (2) adanya keuntungan dari hasil penjualan sapi, hal tersebut lebih rendah dibanding dengan hasil petani integrasi sawit-ternak sapi di Malaysia seperti yang dipaparkan oleh Lembaga Usahawantani Malaysia (2007) melaporkan : (a) program integrasi sawit-ternak sapi, mengoptimalkan sumberdaya lahan yang meningkatkan pendapatan
setiap
hektar
areal
kebun
sawit
berkisar
RP.
5.000.000-
6.000.000/hektar/tahun (RM 1.422-1.512 hektar/tahun), (b) hemat 20-50% biaya produksi (pengendalian tanaman penutup tanah/gulma) pada integrasi sawit-sapi. Umumnya petani mengelolah usaha taninya secara sederhana berdasarkan pengalaman, pengetahuan dan kebiasaan tanpa memperhitungkan nilai ekonomi. Biaya
yang
dikeluarkan
oleh
petani
sawit
(sawit 4-6.5 tahun)
tidak
56
menerapkan integrasi adalah biaya kegiatan pemupukan, penyemprotan gulma, tenaga kerja dan penyemprot. Petani integrasi sawit-sapi mengeluarkan biaya untuk pembelian bakalan, obat-obatan, pemupukan.
Komponen biaya untuk
pakan tidak dihitung karena petani memanfaatkan hijauan yang diperoleh di areal kebun sawit, tidak ada peternak yang membeli hijauan pakan ataupun konsentrat untuk ternaknya.
Tenaga kerja yang terlibat dalam usaha taninya umumnya
tenaga kerja keluarga sehingga komponen tersebut juga tidak dimasukkan sebagai biaya produksi, menurut Sarwono (1995) usaha peternakan sapi rakyat merupakan usaha tanpa biaya eksploitasi (Zero input) karena pakan tidak dibeli dan tenaga kerja yang digunakan seluruhnya berasal dari keluarga. Usahatani sistem integrasi terdapat potensi nilai ekonomi feces dan urine yang dapat menjadi salah satu sumber keuntungan, yakni menjadi pupuk kompos tetapi di lokasi wilayah penelitian feces belum dimanfaatkan menjadi bahan pembuatan kompos. Usahatani integrasi sawit-ternak tersebut sekresi feces dan urine oleh ternak yang kebetulan berada di areal kebun sawit akan berfungsi sebagai pupuk organik secara alami, dimana setiap ekor sapi dewasa dapat mengeluarkan feces sebanyak ± 20 kg/hari setara dengan 600 kg/bulan (Sitompul. 2003). Untuk membantu pemupukan di areal kebun sawit dimanfaatkan pupuk organik (kompos) yang dihasilkan oleh ternak sapi Bali. Tisdale et al. (1985) mengemukakan bahwa komposisi pupuk kandang bervariasi tergantung dari : (1) jenis dan umur hewan ; (2) makanan yang dikomsumsi dan penanganan limbahnya,
hal
ini
seiring
dengan
pemaparan
Setyamidjaya
(1986)
mengemukakan bahwa kandungan unsur hara kotoran padat ternak sapi mengandung 0.40% nitrogen, 0.20% phosfor, 0.10% kalium dan 85% air. Berdasarkan data yang tersedia, dilakukan analisis ekonomi sistem usahatani tidak integrasi dengan usahatani integrasi sawit-ternak sapi di wilayah kecamatan Muara Wahau, hasil estimasi pendapatan menunjukkan bahwa jumlah ternak yang dipelihara (modal) mempengaruhi pendapatan/keuntungan yang diperoleh petani, pendapatan petani lebih tinggi pada sistim integrasi sawit-ternak sapi berkisar 10.56-16.49 %(Tabel 19) :
58
Tabel 19 Analisis ekonomi usahatani integrasi sawit-ternak sapi dan non integrasi di lokasi penelitian. Sumber : Data olahan. * Berdasarkan analisis aspek ekonomi : Penerimaan – Biaya produksi = Keuntungan petani. Group A B
Uraian Usaha Tani Sawit Non Integrasi Penerimaan : • Panen buah sawit rata-rata/bulan/2 hektar selama 1 tahun Biaya Produksi : • Biaya penyemprotan 3 kali/tahun/hektar • Pemupukan (2-3 kali) pertahun/hektar • Upah penyemprotan 4 hari 1 orang/2 hektar
C
A- B = C (keuntungan)
Group A
Uraian Usaha Tani Integrasi Sawit-Ternak sapi Penerimaan : • Panen buah sawit rata-rata/bulan/2 hektar selama 1 tahun • Penjualan sapi 2 ekor Biaya Produksi : • Pemupukan (2-3 kali) pertahun/hektar • Pembelian bakalan 2 ekor • Biaya obat-obatan A- B = C (keuntungan)
B
C
Harga Satuan (RP)
Jumlah (RP)
1.500.000
18.000.000,-
390.000,800.000,32.600,1.222.600,-
780.000,1.600.000,130.000,2.510.000,18.000.000 2.510.000 – 15.490.000
Harga Satuan (RP)
Jumlah (RP)
1.500.000 4.000.000
18.000.000,8.000.000,-
800.000,2.900.000,100.000,-
1.600.000,5.800.000,60.000,26.000.000,7.450.000,18.550.000,-
* Berdasarkan pemetaan tersebut terlihat selisih keuntungan usaha tani sawit tanpa integrasi Vs. Usaha tani Integrasi sawitternak sapi (1-2 ekor) di kecamatan Muara Wahau adalah = Rp. 1.960.000-3.060.000, atau setara dengan 10.56 – 16.49 %.
Strategi Pengembangan Sapi Potong Melalui Sistem Integrasi Sawit-Ternak Penyusunan strategi pengembangan sapi potong, dilakukan dengan analisis SWOT terhadap berbagai faktor internal dan eksternal dari usaha integrasi sawitternak di Kutai Timur.
Indentifikasi faktor internal dan eksternal yang meliputi
lingkungan internal dan eksternal yang berpengaruh terhadap pengembangan sapi potong dalam perkebunan sawit di lokasi penelitian. Deskripsi detail tentang faktorfaktor tersebut dijelaskan sebagai berikut : Faktor Internal Faktor internal yang diidentifikasi sebagai kekuatan dan kelemahan dalam pengembangan sapi potong sistem integrasi dengan sawit di Kutai Timur meliputi : Kekuatan (Strengths) : 1. Peternak umumnya berdomisili tetap di kecamatan Muara Wahau, dan memiliki pengalaman beternak. 2. Usaha ternak sapi sesuai dengan nilai-nilai sosial budaya masyarakat setempat (agama, Budaya). 3. Sebagian petani adalah anggota kelompok tani yang telah mendapatkan bantuan sapi dan pembinaan. 4. Sapi bantuan pemerintah yang digulirkan pada petani peternak dapat digulirkan kembali secara optimal. 5. Ternak sapi memiliki nilai jual yang tinggi. 6. Ketersediaan HMT di areal kebun sawit cukup memadai. 7. Kepemilikan lahan sawit sebagai warga minimal 2 hektar/KK. 8. Sapi Bali sebagai penghasil daging, tenaga kerja, dan penghasil kompos dan pengendali pertumbuhan tanaman penutup tanah. Kelemahan (Weakneesses) : 1. Terbatasnya tenaga teknis dan perhatian pemerintah yang terkadang tidak berkesinambungan (sesuai proyek). 2. Pola
pemeliharaan sapi secara ekstensif, dengan sistem pemberian pakan
seadaanya.
3. Rendahnya produktivitas HMT. 4. Rendahnya kemampuan mengadopsi teknologi. 5. Sistem pemasaran ternak sapi yang belum memadai hanya berbasis kebutuhan. 6. Jarak kebun sawit dengan rumah petani cukup jauh Faktor Eksternal Faktor-faktor eksternal yang diidentifikasi sebagai peluang dan ancaman dalam pengembangan sapi potong sistem integrasi dengan sawit di Kutai Timur sebagai berikut : Peluang (Opportunities) : 1. Usaha tani sawit-ternak sapi tidak merusak lingkungan dan dapat bersinergi. 2. Adanya visi pemerintah kabupaten dan kebijakan pendukung (penataan ruang pemanfaatan wilayah dan kawasan budidaya komoditas unggulan-pendukung). 3. Adanya sapi bantuan bergulir
yang diberikan dengan aturan yang tidak
memberatkan petani peternak. 4. Adanya permintaan yang tinggi dan akses pemasaran yang mudah. 5. Pemanfaatan potensi limbah kebun sawit sebagai bahan pakan ternak yang tidak bersaing dengan kebutuhan manusia. Ancaman (Threats) : 1. Tingkat kematian sapi yang masih tinggi disebabkan oleh tatalaksana pemeliharaan seadanya. 2. Keamanan sapi (pencurian sapi yang sering terjadi) 3. Dasar harga penjualan sapi berdasarkan oleh keadaan (tidak adanya standar harga penjualan sapi). 4. Wabah penyakit (penyakit mata, penyakit lumpuh, cacingan). Evaluasi Faktor Internal dan Eksternal Berdasarkan hasil identifikasi faktor internal dan eksternal, dilakukan evaluasi menggunakan matriks evaluasi faktor internal (EFI) dan matriks evaluasi faktor
eksternal (EFE).
Dalam proses evaluasi dilakukan pembobotan dan penentuan
peringkat (rating) untuk memperoleh skor dari masing-masing faktor yang telah diidentifikasi. Untuk merumuskan strategi pengembangan sapi potong sistem integrasi sawit-ternak sapi di Kutai Timur.
Dalam tabel 20, disajikan matriks yang
menunjukkan nilai bobot dan rating dari komponen utama dan pendukung sistem integrasi sapi-sawit di Kutai Timur. Tabel 20
No 1 2 3 4 5 6 7 8
1
2 3 4 5 6
Matriks evaluasi faktor internal (EFI) pengembangan sapi potong melalui sistem integrasi sawit-ternak. Faktor Internal
Kekuatan (Strength) Peternak umumnya berdomisili tetap di kecamatan Muara Wahau, dan memiliki pengalaman beternak Usaha ternak sapi sesuai nilai-nilai sosial budaya masyarakat setempat (agama, Budaya). Sebagian petani adalah anggota kelompok tani yang telah mendapatkan bantuan sapi dan pembinaan. Sapi bantuan pemerintah pada petani peternak digulirkan kembali secara optimal. Ternak sapi memiliki nilai jual yang tinggi. Ketersediaan HMT/bahan pakan di areal kebun sawit. Kepemilikan lahan sawit sebagai warga minimal 2 hektar/KK Sapi Bali sebagai penghasil daging, tenaga kerja, dan penghasil kompos dan pengendali pertumbuhan tanaman penutup tanah. Jumlah Kelemahan (Weaknes) Rendahnya pendidikan, pengetahuan peternak, terbatasnya teknis dan perhatian pemerintah yang terkadang berkesinambungan (sesuai proyek). Pola pemeliharaan sapi secara ekstensif, dengan pemberian pakan seadaanya Rendahnya produktivitas HMT Rendahnya kemampuan mengadopsi teknologi. Sistem pemasaran ternak sapi yang belum memadai berbasis kebutuhan. Jarak kebun sawit dengan rumah petani cukup jauh Jumlah Total
tenaga tidak sistem
hanya
Bobot
Bobot x Rating
Jumlah
0.03
2
0.06
0.03
2
0.06
0.09
3
0.27
0.06
3
0.18
0.04 0.1 0.15
3 4 4
0.12 0.4 0.6
0.05
4
0.2
0.55
29
1.89
0.1
2
0.2
0.1
3
0.3
0.1 0.05
3 2
0.3 0.1
0.05
4
0.2
0.05 0.45 1
4 18 47
0.2 1.3 3.19
Matrik evaluasi faktor eksternal sebagai alat analisis untuk merumuskan strategi pengembangan sapi potong melalui sistem integrasi sawit-ternak di Kutai Timur. Adapun matrik evaluasi faktor eksternal adalah sebagai berikut :
Tabel 21 Matriks evaluasi faktor eksternal (EFE) pengembangan sapi potong melalui sistem integrasi sawit-ternak. Bobot Faktor Eksternal
No 1 2 3 4 5
1 2 3 4
Peluang (opportunity) Usaha tani sawit-ternak sapi tidak merusak lingkungan dan dapat bersinergi. Adanya visi pemerintah kabupaten dan kebijakan pendukung (penataan ruang pemanfaatan wilayah dan kawasan budidaya komoditas unggulan-pendukung). Adanya sapi bantuan bergulir yang diberikan dengan aturan tidak memberatkan petani peternak. Adanya permintaan yang tinggi dan akses pemasaran yang mudah. Pemanfaatan potensi limbah kebun sawit sebagai bahan pakan ternak yang tidak bersaing dengan kebutuhan manusia Sub total Ancaman (threats) Tingkat kematian sapi yang masih tinggi disebabkan oleh tatalaksana pemeliharaan seadanya. Keamanan sapi (pencurian sapi yang sering terjadi) Dasar harga penjualan sapi berdasarkan oleh keadaan (tidak adanya standar harga penjualan sapi). Wabah penyakit (penyakit mata, penyakit lumpuh, cacingan, demam, dll). Jumlah Total
0.15
Bobot x Rating
Jumlah
3 0.45
0.1 0.1
2 4
0.05
4
0.15
3
0.55
16
1.7
0.1 0.15
4 4
0.4 0.6
0.1
3
0.3
0.1 0.45 1
2 13 29
0.2 1.5 3.2
0.2 0.4 0.2
Formulasi Strategi Kombinasi faktor-faktor eksternal dan internal yang telah dianalisis sebagaimana ditampilkan dalam Tabel 20 dan 21 digunakan untuk merumuskan strategi pengembangan sapi potong sistem integrasi dengan sawit. Hasil matriks bobot faktor eksternal (3.2) lebih tinggi dibandingkan dengan internal (3.19), ini menggambarkan bahwa pengaruh eksternal dalam pengembangan sistem integrasi sawit-ternak sapi potong lebih berpengaruh, hal ini kemungkinan disebabkan oleh pengetahuan petani yang rendah sehingga berpengaruh pada adopsi teknologi, manajemen pengelolaan usahatani, permodalan yang sangat terbatas. Pada kekuatan dan peluang sangat besar bobotnya (3.59) sedangkan kelemahan dan ancaman lebih kecil bobotnya (2.8) hal ini menggambarkan bahwa sistem integrasi sawit-ternak sapi sangat besar potensinya untuk dilaksanakan mengingat dalam usaha ini lebih dominan.
Tabel 22 Matriks SWOT formulasi strategi pengembangan sapi potong melalui sistem integrasi sawit-ternak di Kutai Timur Kekuatan (Strength)
Faktor Internal
Faktor Eksternal
Peluang (Opportunities)
1. Usaha tani sawit-ternak sapi tidak merusak lingkungan dan dapat bersinergi. 2. Adanya visi pemerintah kabupaten dan kebijakan pendukung (penataan ruang pemanfaatan wilayah dan kawasan budidaya komoditas unggulan-pendukung). 3. Adanya sapi bantuan bergulir yang diberikan dengan aturan yang tidak memberatkan petani peternak. 4. Adanya permintaan yang tinggi dan akses pemasaran yang mudah. 5. Pemanfaatan potensi limbah kebun sawit sebagai bahan pakan ternak yang tidak bersaing dengan kebutuhan manusia. Ancaman (Threats)
1. Tingkat kematian sapi yang masih tinggi disebabkan oleh tatalaksana pemeliharaan seadanya. 2. Keamanan sapi (pencurian sapi yang sering terjadi) 3. Dasar harga penjualan sapi berdasarkan oleh keadaan (tidak adanya standar harga penjualan sapi). 4. Wabah penyakit (penyakit mata, penyakit lumpuh, cacingan).
Kelemahan (Weakneses)
9. Peternak umumnya berdomisili tetap di kecamatan Muara 1. Rendahnya pendidikan, pengetahuan peternak, terbatasnya tenaga teknis dan perhatian pemerintah Wahau, dan memiliki pengalaman beternak. yang terkadang tidak berkesinambungan (sesuai 10. Usaha ternak sapi sesuai nilai-nilai sosial budaya proyek). masyarakat setempat (agama, Budaya). 11. Sebagian petani adalah anggota kelompok tani yang telah 2. Pola pemeliharaan sapi secara ekstensif, dengan sistem pemberian pakan seadaanya. mendapatkan bantuan sapi dan pembinaan. 3. Rendahnya produktivitas HMT. 12. Sapi bantuan pemerintah yang digulirkan pada petani 4. Rendahnya kemampuan mengadopsi teknologi. peternak dapat digulirkan kembali secara optimal. 5. Sistem pemasaran ternak sapi yang belum 13. Ternak sapi memiliki nilai jual yang tinggi. memadai hanya berbasis kebutuhan. 14. Ketersediaan HMT di areal kebun sawit. 15. Kepemilikan lahan sawit sebagai warga minimal 2 6. Jarak kebun sawit dengan rumah petani cukup jauh hektar/KK. 16. Sapi Bali sebagai penghasil daging, tenaga kerja, dan penghasil kompos dan pengendali pertumbuhan tanaman penutup tanah. Strategi W-O Strategi S-O 1. Pengembangan pola tatalaksana integrasi sawit-ternak sapi 2. Peningkatan sarana produksi ternak, pola integrasi sawit.
1. Peningkatan produktivitas HMT di areal kebun sawit dan optimalisasi pemanfaatan sumberdaya ternak dan limbah perkebunan sawit (teknologi pemanfaatannya). 2. Pembentukan kelembagaan petani dan kelengkapan adminstrasinya.
Strategi S-T
Strategi W-T
1. Peningkatan pelayanan kesehatan ternak
1. Jaminan keamanan beternak di areal perkebunan sawit. 2. Penguatan kelembagaan teknis dan penyuluhan .
67
Berdasarkan hasil pemetaan SWOT selanjutnya dirumuskan beberapa strategi yaitu : Strategi SO (Strengths-Opportunities) : 1. Pengembangan pola tatalaksana integrasi sawit-ternak sapi dengan melalui program : •
Pola tatalaksana pemberian dan formulasi hijauan pakan ternak.
•
Pengelolaan pengembalaan di areal perkebunan
•
Keseuaian areal perkebunan (produktivitas lahan) dengan ternak yang dipelihara dalam (carrying capacity).
•
Pengadaan bibit sapi khusus untuk integrasi sawit.
•
Pengadaan gerobak angkut untuk memanfaatkan ternak sebagai alat angkut di areal kebun sawit.
2. Peningkatan sarana produksi ternak pola integrasi sawit dengan program : •
Pembangunan kandang kelompok di areal perkebunan sawit
•
Pengadaan alat dan mesin potong rumput, pelepah dan daun sawit.
Strategi W-O (Weaknees-Opprtunities) : 1. Peningkatan produktivitas HMT di areal kebun sawit dan optimalisasi pemanfaatan sumberdaya ternak dan limbah perkebunan sawit (teknologi pemanfaatannya), dengan melalui program : 1. Penanaman
berbagai
jenis
HMT
(rumput
dan
legum)
yang
telah
direkomendasikan Deptan RI. di areal kebun sawit baik sebagai penutup tanah maupun sebagai pembatas/pagar. 2. Penerapan teknologi pemanfaatan pelepah, daun dan limbah sawit lainnya sebagai bahan pakan ternak. 3. Pemanfaatan ternak sapi sebagai alat transfortasi/alat penarik gerobak, penghasil gasbio dan kompos. 2. Pembinaan dan pembentukan kelembagaan petani serta kelengkapan administrasinya, melalui progam : • Pembentukan kelompok tani dan koperasi.
67
Kelembagaan adalah institusi sosial pada komunitas petani yang diharapkan menjadi pranata, dibangun dari kebersamaan dan persatuan, merupakan salah satu unsur strategis dalam komunitas petani untuk efektifnya koordinasi, transformasi IPTEKS, pembinaan SDM anggota, pemanfaatan peluang, dan mengeleminir hambatan serta ancaman pada kelompok tani/koperasi petani. Berdasarkan hasil observasi dilapangan, umumnya petani yang memiliki lembaga (kelompok tani dan koperasi), kenyataannya bahwa : (1) mampu memanfaatkan peluang berupa bantuan pemerintah/swasta, (2) cenderung mendapat perhatian dan pembinaan teknis dari instansi yang cukup intens, (3) mendapat info pasar dan kemajuan tekonologi pertanian, (4) dapat dibina, upaya usahatani secara teknis atau mendekati teknis, (5) mampu menyalurkan aspirasi dan mengkoordinasikan kepentingannya. Kelembagaan petani perlu dilakukan oleh instansi pemerintah, karena SDM petani umumnya rendah sehingga perlu diprakarsai, diayomi, diberikan arahan, petunjuk, dan bimbingan teknis. Menurut Said dan Intan (2001) peran pemerintah dalam membangun agribisnis yang tangguh adalah menjadi penuntun, pendorong, pengawas dan pengendali sistem. Kelembagaan perlu digalakkan karena organisasi tersebut sifatnya semi struktural (mitra pemerintah dalam membangun pertanian) yakni berisi struktur, peran, hubungan antar peran/kewenangan, kegiatan untuk mencapai tujuan, keanggotaan, peluang dan hambatan dalam usahatani. Eksistensi kelembagaan petani dapat meningkatkan solidaritas petani, rasa kekeluargaan, kebersamaan, dan partisipasi petani bersinergi dengan program pemerintah dalam membangun pertanian yang berdaya saing. Kelembagaan petani (kelompok/koperasi) dapat menjadi sarana promosi pemasaran hasil pertanian khususnya sawit-ternak (penentuan standar harga, peluang pasar, dan aspek lainya). •
Evaluasi dan monitoring kelengkapan kelembagaan serta kegiatan kelompok atau koperasi petani secara berkesinambungan. Evaluasi dan monitoring bertujuan untuk melakukan penilaian terhadap sistem pengelolaan kelembagaan tersebut, sehingga diharapkan dengan program
67
tersebut dapat memberikan efektifitas lembaga (kelompok dan koperasi) dan anggota secara berkelanjutan.
Kelengkapan administrasi kelembagaan petani
dapat menjadi katalisator adopsi IPTEKS, jaringan pasar, wahana koordinasi, wahana promosi mendapatkan bantuan/kerjasama dan perekat sosial dalam usahatani sistem integrasi sawit-ternak. •
Program membangun komitmen sinergitas Sinergitas proses pada lingkup instansi terkait perlu dilakukan (Dinas perkebunan, Dinas Pertaniantan, Dinas Koperasi, LSM, dan pihak swasta).
Komitmen
sinergitas proses yang dimaksud merupakan penyatuan persepsi, sikap dan sinergitas proses masing-masing instansi terkait dan para pihak, berdasarkan proporsi kewenengan kelembagaan dalam memciptakan pertanian yang tangguh dan berdaya saing, khususnya petani integrasi sawit-ternak Strategi S-T (Strength-Threats) 1. Peningkatan sarana kesehatan Pengingkatan sarana kesehatan dan penyuluhan dilakukan melalui : •
Peningkatan sarana dan prasarana pelayanan kesehatan hewan (suplemen. vitamin dan obat-obatan, serta peralatan kesehatan). Sarana dan prasarana pelayanan dapat mempengaruhi tingkat keuntungan petani dan perkembangan populasi ternak sapi, dimana diwilayah penelitian belum ada pos kesehatan hewan, ketersediaan obat-obatan dan vaksin serta perlengkapan IB, sehingga para penyuluh/staf UPTD pertanian bertindak selaku petugas pelayanan kesehatan hewan, dengan pengetahuan dan sarana terbatas.
Strategi W-T (Weaknees-Treaths) 1. Optimalisasi tataniaga dan keamanan beternak di areal perkebunan sawit, melalui program : •
Penerapan standar harga penjualan ternak dan standar kelengkapan administrasi resmi, serta pengawasan keluar masuknya ternak di Kutai Timur.
67
Dalam hal ini standar harga ternak dan standar kelengkapan adminstrasi bertujuan untuk memberikan kelancaran dan kenyamanan bagi peternak baik dalam hal harga, maupun persaingan ternak dari luar. Sehingga peternak dan pemerintah daerah tidak dirugikan (pajak, data, dan kompetitor peternak lokal). •
Pembuatan jadwal piket bergulir di areal perkebunan sawit dalam kelompok, untuk menjaga keamanan ternak dari pencurian.
2. Penguatan kelembagaan instansi teknis dan penyuluhan Penguatan kelembagaan instansi teknis melalui beberapa program : •
Peningkatan kuantitas dan kualitas tenaga teknis (tenaga medis kehewanan, penyuluh, dan inseminator).
•
Penyuluhan khusus untuk integrasi sawit-ternak sapi.
67
Gambar 11 Hirarki konseptual pengembangan sapi potong melalui sistem integrasi sawit-ternak di Kutai Timur.
PROGRAM PEMBANGUNAN NASIONAL
RISET DAN TEKNOLOGI
SKALA PRIORITAS PEMBANGUNAN PROPINSI
PELAKU USAHA : PERKEBUNAN SAWIT, PETERNAKAN SAPI
GRAND STRATEGY PEMKAB KUTAI TIMUR
Disbun
Distan/subdinnak
Pengawasan, pembinaan, & BantuanTekhnis
PERKEBUNAN POLA INTEGRASI SAWIT-TERNAK
Dinas LH, Bappeda dan PU (Tata Ruang) Pengawasan, pembinaan & bantuan tekhnis
Perkembangan Populasi ternak