2
sampai ke bagian awal gen tRNA Phe. Komposisi reaksi amplifikasi bervolume 25 µl adalah sampel DNA sebagai cetakan 2 µl (10100 ng), 2,5nM Primer 2 µl; Taq polimerase (New England Biolabs) 1 unit beserta bufernya, 2,5mM MgCl2 2 µl, 2mM dNTP 4 µl, dan volume diatur dengan air steril sampai 25 µl. Proses amplifikasi dilakukan pada kondisi suhu pra-denaturasi 94oC selama 5 menit, dilanjutkan 30 siklus dengan tahap denaturasi 94oC selama 1 menit, penempelan primer (annealing) pada suhu 55oC selama 1 menit, dan síntesis DNA ruas target pada suhu 72oC selama 2 menit. Proses diakhiri dengan síntesis DNA akhir pada suhu 72oC selama 10 menit dan penyimpanan pada suhu 10oC sampai mesin dimatikan. Kualitas hasil amplifikasi dipastikan dengan elektroforesis gel poliakrilamid 6 %, diikuti dengan pewarnaan perak (Farajallah et al. 1998). Pemotongan dengan enzim restriksi. Metode RFLP (Restriction Fragment Length Polymorphism) digunakan untuk mengetahui keragaman ruas target berdasarkan polimorfisme situs restriksi. Enzim yang digunakan dalam penelitian ini adalah AluI (AG↓CT), DdeI (C↓TNAG), MboI (↓GATC), BamHI (G↓GATCC), dan HaeIII (GG↓CC). Kondisi reaksi pemotongan dari setiap enzim restriksi mengikuti petunjuk teknis produsen, yaitu menggunakan bufer yang menyertai setiap enzim restriksi dan menginkubasinya pada suhu 37oC selama semalam. Hasil pemotongan dipisah-pisahkan dengan gel poliakrilamid 6 % dalam bufer 1xTBE (Tris 0,5 M; Asam Borat 0,65 M; EDTA 0,02 M) pada tegangan 180mV selama 80 menit. Pola Hasil pemotongan oleh enzim restriksi kemudian divisualisasikan dengan pawarnaan perak. Pola pita hasil pemotongan tiap enzim restriksi digunakan untuk menentukan haplotipe mtDNA atau disebut sebagai genotiping. Genotiping dilakukan dengan cara menentukan ukuran panjang potongan DNA berdasarkan jarak migrasi pada gel poliakrilamid yang diacukan pada DNA ladder 100 base pair (Biorad). Sekuensing Produk PCR ruas target. Sekuensing dilakukan terhadap dua sampel yang berasal dari Bali (N30) dan Sulawesi Selatan (N123). Sekuensing dengan metode big dye determinator dilakukan menggunakan ABI Prism 3700 (lembaga biologi molekuler PT. CHAROEN POKPHAND INDONESIA). Analisis Nukleotida. Untuk mengetahui keragaman kambing, hasil sekuen sampel dialignment dengan beberapa sekuen Daerah Pengendali mtDNA kambing yang tersedia di
GenBank (http://ncbi.nlm.nih.gov) menggunakan program ClustalX 1.83. Penghitungan komposisi nukleotida, jarak genetik, dan konstruksi pohon filogeni dilakukan menggunakan program MEGA versi 3 (Kumar et al. 2004) berdasarkan data perbedaanperbedaan nukleotida.
HASIL Amplifikasi Ruas Target Amplifikasi menggunakan pasangan primer AF22 dan AF24 memberikan hasil sebesar 1700 pasang basa (pb) (Gambar 1). Produk amplifikasi dengan menggunakan pasangan primer ini meliputi bagian akhir gen Cyt b sampai sebelum gen tRNA Phe. Ukuran DNA hasil amplikasi tersebut sesuai dengan perkiraan hasil amplifikasi dari desain primer. Selain itu, kontrol primer internal AF23 (3’GTA GCT GGA CTT AAC TGC AT-5’) yang didesain berada di bagian tengah ruas AF22 dan AF24 memberikan konfirmasi yang lebih pasti bahwa hasil amplifikasi yang dimaksud adalah ruas DNA target. Dari seluruh sampel (n=126), 102 sampel di antaranya menunjukkan hasil DNA yang teramplifikasi.
Gambar 1 Hasil amplifikasi Daerah Pengendali mtDNA (Kolom M = marker 100 bp, kolom 1-4 = pasangan primer AF22 dan AF24, dan kolom 5-7 = pasangan primer AF22 dan AF23).
PCR-RFLP Hasil pemotongan menggunakan lima jenis enzim restriksi, yaitu DdeI (C↓TNAG), MboI (↓GATC), HaeIII (GG↓CC), AluI (AG↓CT), dan BamHI (G↓GATCC) terhadap DNA hasil amplifikasi disajikan dalam Tabel 1. Ada dua haplotipe kambing yang ditemukan berdasarkan lima enzim restriksi. Haplotipe pertama mewakili hampir semua sampel yang dianalisis, yaitu 98 ekor kambing yang menyebar di lima wilayah. Sedangkan haplotipe kedua hanya diwakili oleh empat ekor kambing yang mewakili Wilayah Marica Sulawesi Selatan. Dengan kata lain, sebagian besar (96,08 % dari sampel yang digunakan) ternak kambing di Indonesia bersifat monomorfik berdasarkan situs-situs pemotongan yang digunakan dalam penelitian ini.
3
Tabel 1 Pola pemotongan enzim restriksi Enzim Restriksi MboI DdeI AluI HaeIII BamHI
Haplotipe 1 A A A A A
2 B B A A A
Keterangan: Huruf kapital menunjukkan pola pemotongan enzim restriksi. MboI (A:165+ 650+140+175+570,B:(800+300+340+250),DdeI(A:750+320+300+250+80,B:700+600+160+ 150),AluI (A:280+800+320+310), HaeIII (A: 710+500+60+150+350), BamHI (A:1100+600).
Sekuensing Dua produk PCR disekuensing menggunakan primer AF22 untuk mengetahui urutan nukleotidanya, yaitu kambing dari Sulawesi Selatan (N123) dan dari Gembrong Bali (N30). Dua sampel ini mewakili untuk tiap haplotipe. N30 merupakan sampel yang termasuk ke dalam haplotipe 1 dan N123 termasuk ke dalam haplotipe 2. Hasil sekuensing satu arah yang diperoleh adalah sepanjang 672 nuklotida (nt) untuk sampel N30 dan 647 nt untuk sampel N123. Alignment dua sampel menggunakan program ClustalX 1.83 dan telah diedit dengan program MEGA3 menghasilkan 647 nt (gambar 2). Berdasarkan hasil alignment dengan beberapa individu di GenBank dapat diketahui bahwa hasil sekuensing kedua sampel tersebut meliputi sekuen dari gen Cyt b, tRNA Thr, tRNA Pro, dan Daerah Pengendali. Gen Cyt b berada pada lokasi basa ke 1 s.d. 251. Gen Cyt b diakhiri oleh stop codon AGA, seperti pada Babi Sus scrofa (Ursing & Arnason 1998) dan Domba Ovis aries (Hiendleder et al. 1998). Pada gen ini terdapat empat transisi basa, yaitu pada posisi 44, 111, 153 berupa transisi G-A dan pada posisi 189 berupa transisi C-T. Gen tRNA Thr dan Pro, penyandi tRNA Trionin dan Prolin, relatif lebih stabil. Gen tRNA Thr dan tRNA Pro ini terdapat pada posisi basa ke 252-389. Daerah Pengendali terdapat pada posisi basa ke 390-648. Pada Daerah Pengendali ini terdapat satu transisi GA pada basa ke 629. Analisis Daerah Pengendali mtDNA Proses alignment dilanjutkan dengan membandingkan sekuen Daerah Pengendali dua sampel (N30 & N123) dengan 62 individu kambing yang ada di GenBank. Hasil alignment menghasilkan sekuen sepanjang 259 nt. Dari 259 nt yang telah dialignment, jumlah nukleotida yang sama untuk semua sampel adalah 229 nt dan jumlah yang berbeda 30 nt. Tiga puluh nukleotida yang
berbeda tersebut diantaranya yang bersifat parsimony berjumlah 17 nt dan bersifat singleton berjumlah 13 nt. Nukleotida yang berbeda dikatakan bersifat parsimony apabila pada satu situs nukleotida terdapat minimal dua jenis nukleotida dan masing-masing jenis terdapat pada minimal dua individu. Nukleotida bersifat singleton apabila pada satu situs nukleotida terdapat minimal dua jenis dan salah satu jenis hanya terdapat pada satu individu. Hasil penghitungan komposisi nukleotida menunjukkan jumlah rata-rata nukleotida T=21,2 %; C=31,7 %; A=41,2 %; dan G=5,8 %. Persentase A+T (62,4 %) lebih besar daripada C+G (37,5 %) lebih memastikan bahwa DNA yang diamplifikasi tersebut merupakan Daerah Pengendali mtDNA. Sama halnya dengan hewan landak (Erinaceus europaeus) yang juga memiliki Daerah Pengendali yang kaya akan basa A+T (Krettek et al. 1995). Valverde et al. tahun 1994 juga menemukan bahwa Crustacea Artemia franciscana juga memiliki Daerah Pengendali yang kaya A+T. Daerah Pengendali pada mtDNA terdapat titik dimulainya replikasi (origin of replication). mtDNA mempunyai dua utas DNA yang disebut utas berat (Heavy strand) dan utas ringan (Light strand). Dua utas ini memiliki titik replikasi yang berbeda, titik awal replikasi untuk utas berat (OH, Origin of heavy strand), berada pada Derah Pengendali. Selain itu pada Daerah Pengendali juga terdapat promoter bagi utas berat (HSP, heavy strand promoter) dan utas ringan (LSP) (Valverde et al. 1994). Suatu promoter mencakup titik awal transkripsi. Suatu urutan DNA promoter penting disebut sebagai boks TATA (TATA box). Protein-protein yang disebut faktor transkripsi dapat mengenali boks TATA ini, sehingga RNA polimerase dapat juga mengenali situs ini (Campbell et al. 2002). Jadi banyaknya basa A+T pada Daerah Pengendali disebabkan banyaknya situs awal transkripsi dan replikasi.
[640] [640]
#N30 TACCCACACA AACGCCAACA CCACACAATG TTACGCGTAT GCAAGTACAT TACACCGCTC GCCTACACGC AAATACATTT #N123 .......... .......... .......... .......... .......... .......... ........A. ..........
Gambar 2 Hasil Alignment sampel dari Gembrong-Bali (N30) dan Marica-Sulawesi Selatan (N123).
#N30 ACTAACAT [648] #N123 ........ [648]
[560] [560]
#N30 CAAACTTCCC ACTCCACAAG CTTACAGACA TGCCAACAAC CCACACGTAT AAAAACATCC CAATCCTAAC CCAACTTAGA #N123 .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... ..........
DdeI
[480] [480]
#N30 ACCACATCTA TTAATATACC CCCAAAAATA TTAAGAGCCT CCCCAGTATT AAATTTACTA AAAATTTCAA ATATACAACA #N123 .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... AluI
[400] [400]
#N30 GACTCAAGGA AGAAGCCATA GCCTCACTAT CAGCACCCAA AGCTGAAATT CTATTTAAAC TATTCCCTGA ACCACTATTA #N123 .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... ..........
AluI
[320] [320]
[240] [240]
[160] [160]
[ 80] [ 80]
#N30 TAAAATGAAG ACAAGTCTTT GTAGTACAAT CAATACACTG GTCTTGTAAA CCAGAAAAGG AGAATAGCCA ATCTCCCTAA #N123 .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... ..........
DdeI
#N30 TGGACAACTA GCATCTATCA TATATTTCCT CATCATTCTA GTAATAATAC CAGCAGCTAG CACCATTGAA AACAACCTTC #N123 .......... .......... ........T. .......... .......... .......... .......... ..........
AluI
#N30 ATATTCTGAA TCCTGGTAGC AGATCTATTA ACACTCACAT GAATTGGAGG ACAGCCAGTC GAACATCCCT ACGTTATTAT #N123 .......... .......... .......... G......... .......... .......... .......... ..A.......
MboI
DdeI DdeI #N30 GTGTCCTAAT CTTAGTACTT GTACCCTTCC TCCACACATC TAAGCAACGA AGCATAATAT TCCGCCCAAT CAGCCAATGC #N123 .......... .......... .......... .......... ...A...... .......... .......... ..........
4
5
Tabel 2 Rata-rata jarak genetik antar populasi kambing di berbagai negara Negara Negara Indonesia Laos Pakistan Cina Unknown* Indonesia Laos Pakistan Cina Unknown* Jepang
[0.004] 0.006 0.017 0.018 0.019 0.015
[0.007] [0.007]
0.020 0.020 0.021 0.017
0.012 0.010 0.006
[0.006] [0.007] [0.003] 0.010 0.007
[0.008] [0.008] [0.004] [0.004]
Jepang [0.007] [0.008] [0.002] [0.002] [0.003]
0.004
Keterangan : Jarak genetik : di bawah diagonal, Standar deviasi : di atas diagonal *: sekuen Daerah Pengendali yang tersedia di GenBank tanpa keterangan asal sampel
Gambar 3 Hasil rekonstruksi pohon filogeni dengan metode Neighbor Joining (bootstrap 250x). Kambing Gembrong dari Bali mengelompok dengan kambing dari Laos dan Cina pada semua metode konstruksi pohon filogeni, sedangkan kambing dari Sulawesi Selatan berada pada posisi pangkal dari kelompok tersebut (Gambar 3). Pada posisi cabang yang lebih ke pangkal bisa ditemukan dua individu kambing dari Cina dengan laju mutasi yang sangat tinggi. Hal ini mengindikasikan kambing-kambing tersebut telah mengalami tekanan seleksi (oleh manusia) yang sangat besar.
PEMBAHASAN Hasil PCR-RFLP yang sebagian besar monomorfik menunjukkan bahwa ternak kambing yang ada di Indonesia kemungkinan besar berasal dari induk betina yang sama. Yaitu, kambing awal yang masuk ke Indonesia sekitar tahun 1700-an. Selain itu, bisa disebutkan bahwa pola migrasi kambing di Indonesia berdasarkan kambing jantan.
Pada umumnya, untuk meningkatkan kualitas ternak (upgrading), para petani mendatangkan pejantan-pejantan unggul dari luar wilayahnya. Dalam proses itu, induk-induk betina secara turun-temurun sejak awal masuknya tetap berada di wilayahnya. Hasil pemotongan enzim DdeI dan MboI menghasilkan pola polimorfik hanya pada empat sampel yang berasal dari Marica Sulawesi Selatan, hal ini kemungkinan disebabkan adanya percampuran dengan kambing Ettawah yang masuk ke Indonesia sekitar tahun 1900-an. Hasil alignment (Gambar 2) juga dapat menjelaskan hasil PCR-RFLP yang monomorfik. Berbagai situs enzim restriksi memiliki sekuen yang sama. Situs restriksi enzim MboI terdapat pada basa ke 102-105, situs ini sama pada kedua sampel. Hal yang sama terjadi pada situs restriksi enzim AluI, pada basa ke 215-218, 361-364, dan 499-502. Enzim DdeI mengenali situs restriksinya pada basa ke 11-15, 317-321, dan 555-559. Akan tetapi, terdapat pengecualian, satu situs enzim DdeI pada basa ke 40-45 terdapat perbedaan
6
basa di antara kedua sampel. Sampel N123 terjadi perubahan basa G-A yang menyebabkan enzim restriksi DdeI tidak mengenali situs ini. Daerah Pengendali digunakan sebagai dasar analisis keragaman pada penelitian ini karena banyak dilaporkan bahwa daerah ini dapat digunakan sebagai marker dalam analisis keragaman, seperti pada paus (Hoelzel 1991), rusa (Randi et al. 1998), domba (Wu et al. 2003), kerbau (Kierstein 2004), juga pada kambing (Luikart et al. 2001, Joshi et al. 2004, Meadows et al. 2005). Daerah Pengendali berukuran ±1000 pb sebagai tempat inisiasi replikasi dan transkripsi genom mitokondria (Avise 1994). Daerah ini merupakan bagian dari genom mitokondria yang tidak menyandikan protein (non-coding sequence), sehingga tingkat mutasi pada daerah ini relatif tinggi. Hasil rekonstruksi pohon filogeni menunjukkan bangsa kambing ternak lokal di seluruh dunia berkerabat dekat, karena ratarata jarak genetik atau tingkat kesamaan gen sebesar 98,8 % (Tabel 2). Hal ini berarti kambing-kambing ternak lokal yang ada di seluruh dunia berasal dari satu induk. Luikart et al. (2001) menulis bahwa kambing memiliki struktur filogeografik yang lemah, keragaman mtDNA pada kambing hanya sekitar 10 % di beberapa benua di dunia lama, sedangkan sapi mencapai lebih dari 50 %. Hal ini memperlihatkan bahwa kambing dipindahpindahkan secara ekstensif dan sebagai bukti bahwa kambing merupakan hewan yang penting dalam sejarah migrasi dan perdagangan yang dilakukan oleh manusia. Kambing termasuk salah satu hewan yang pertama kali diternakkan, yaitu sekitar 10000 – 6000 tahun sebelum masehi, banyak penulis menulis bahwa tempat awal domestikasi kambing di daerah pegunungan Asia Barat atau dikenal dengan Fertile Crescent (Devandra & McLeroy 1982; Devandra & Burns 1994; Zeder & Hesse 2000; Ensminger 2002). Daerah yang disebut sebagai Fertile Crescent merupakan pusat domestikasi sebagian besar hewan dan tanaman pertanian yang ada saat ini (Zedder & Hesse 2000). Para ilmuan percaya kambing Benzoar (Capra aegagrus) merupakan progenitor bagi kambing-kambing ternak lokal saat ini, dengan bukti banyak ditemukan fosil di situs-situs arkeologi di daerah Asia Barat (Pegler 1965; Devandra & McLeroy 1982; Devandra & Burns 1994; MacHugh & Bradley 2001; Ensminger 2002). Luikart et al. (2001), yang mempelajari kekerabatan kambing-kambing di dunia lama
berdasarkan keragaman Daerah Pengendali, menulis bahwa Capra hircus memiliki kekerabatan yang tinggi dengan Capra aegagrus (rata-rata 61,3 substitusi). Kambing ternak lokal (Capra hircus) terdapat di seluruh dunia, khususnya di daerah tropis (Ensminger 2002), karena kambing ini menyukai daerah tropis yang kering (Devendra & McLeroy 1982). Kambing di Indonesia dikenal ada beberapa bangsa, antara lain kambing Kacang, Gembrong, Costa, dan Peranakan Ettawah. Sampel yang digunakan pada penelitian ini termasuk ke dalam bangsa kambing Gembrong, untuk sampel yang berasal dari Bali, dan bangsa kambing Kacang, seperti sampel yang berasal dari Sumatera Utara, Tapanuli, Samosir, dan Sulawesi Selatan. Walaupun tidak menutup kemungkinan adanya percampuran dengan kambing Ettawah yang berasal dari India. Kambing ternak lokal di Indonesia, sebagian besar digunakan sebagai ternak penghasil daging atau susu. Kambing Kacang memiliki ciri rambut pendek yang berwarna putih, hitam, coklat, atau kombinasi ketiganya, hewan jantan dan betina memiliki tanduk, telinga pendek dan tegak, pada jantan selalu terdapat janggut, sedangkan betina jarang ditemukan adanya janggut. Hewan dewasa berukuran panjang 47-55 cm, tinggi pundak 55,3-55,7 cm, mempunyai berat 20 kg (betina) dan 25 kg (jantan). Kambing Gembrong terdapat di daerah kawasan timur Pulau Bali. Ciri khas kambing ini adalah memiliki rambut yang panjang, dengan panjang rambut berkisar 15-25 cm. Rambut panjang ini terdapat pada jantan, sedangkan betina hanya berkisar 2-3 cm. Rambut yang panjang ini biasa dipergunakan oleh nelayan setempat untuk membuat umpan (Devandra & Burns 1994). Kambing Gembrong secara umum memiliki ukuran tubuh yang lebih besar daripada kambing Kacang (http://peternakan.litbang.deptan.go.id). Kekerabatan yang dekat di antara kambing-kambing ternak lokal ini menyebabkan proses perdagangan ternak antar benua dapat dilakukan, karena apabila dilihat dari keragaman genetiknya, bangsa-bangsa kambing ini berasal dari induk yang sama. Akan tetapi, kemampuan adaptasi tiap bangsa kambing berbeda. Jadi kambing-kambing unggul yang didatangkan dari luar daerahnya belum tentu dapat bertahan dengan keadaan lingkungan barunya. Banyaknya bangsa-bangsa kambing di dunia memperlihatkan spesialisasi masingmasing bangsa terhadap daerah yang ditinggali.