11
laju pertumbuhan terjadi mulai hari ke-26 sampai hari ke-41. Pada fase ini pertumbuhan sel masih terjadi, tetapi lebih kecil daripada fase logaritmik karena mulai terjadi kematian sel. Namun, pertumbuhan selnya masih lebih tinggi dibandingkan kematian selnya. Fase stasioner terjadi mulai hari ke-42 sampai hari ke-78. Pada fase ini terdapat keseimbangan antara sel yang tumbuh dan sel yang mati, lalu pemanenan pada fase ini dilakukan pada hari ke-49. Fase kematian mulai hari ke-79 dan pada fase ini kematian sel lebih tinggi daripada pertumbuhan selnya.
HASIL DAN PEMBAHASAN Kultivasi Spirulina fusiformis Pertumbuhan Spirulina fusiformis berlangsung selama 86 hari. Proses pertumbuhan diketahui dengan mengukur nilai kerapatan optik (Optical Density). Hasil OD yang diperoleh selama penelitian menunjukkan kurva pertumbuhan Spirulina fusiformis. Sel Spirulina fusiformis yang dikultur dapat dilihat pada Gambar 16.
Pemanenan dan Pengeringan Pemanenan dilakukan pada dua fase (fase logaritmik dan fase stasioner). Pada fase logaritmik dari kultur sebanyak 2 liter diperoleh biomassa sel basah sebesar 14,31 gram dan biomassa sel kering sebesar 1,23 gram, sedangkan pada fase stasioner diperoleh biomassa sel basah sebesar 19,85 gram dan biomassa sel kering sebesar 2,59 gram. Dengan demikian, biomassa sel yang diperoleh pada fase stasioner lebih banyak daripada fase logaritmik. Hal ini dapat dilihat berdasarkan kurva pertumbuhan dimana kerapatan biomassa sel dari fase logaritmik menuju fase stasioner semakin besar (Costa et al 2003). Semakin besar kerapatan biomassa sel tersebut menunjukkan bahwa biomassa sel yang dihasilkan semakin banyak. Proses pengeringan yang dihasilkan dari kedua fase sama, yaitu berlangsung selama Β± 3 jam.
Gambar 16. Sel Spirulina fusiformis Berdasarkan kurva pertumbuhan seperti yang terdapat pada Gambar 17, dapat diketahui bahwa fase lag terjadi mulai hari ke-1 sampai hari ke-7. Pada fase ini sel mulai mengalami pertumbuhan, tetapi sangat kecil karena sel tersebut masih beradaptasi dengan lingkungan barunya. Fase logaritmik (eksponensial) terjadi mulai hari ke-8 sampai hari ke-25. Pada fase ini pertumbuhan sel semakin tinggi karena terjadi pembelahan sel dan pemanenan pada fase logaritmik ini dilakukan pada hari ke-18. Fase penurunan
3.000 2.500
ln OD (480 nm)
2.000 1.500 1.000 0.500 0.000 -0.500 0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
50
55
60
-1.000 -1.500 -2.000 Hari Gambar 17. Kurva pertumbuhan Spirulina fusiformis
65
70
75
80
85
12
Analisis Kadar Air Biomassa sel kering Spirulina fusiformis yang dihasilkan pada kedua fase, diukur kadar air serbuknya. Pada fase logaritmik kadar air yang diperoleh adalah sebesar 10%, sedangkan pada fase stasioner kadar air yang diperoleh adalah sebesar 12%. Berdasarkan hasil kadar air tersebut, dapat dilihat bahwa serbuk Spirulina fusiformis pada fase logaritmik memiliki kandungan air yang lebih sedikit dibandingkan fase stasioner.
Hal ini bertujuan untuk melihat daerah serapan klorofil pada berbagai panjang gelombang. Pengukuran absorbansi klorofil pada fase logaritmik dilakukan pada rentang panjang gelombang 400-800 nm. Namun demikian nilai serapan klorofil lebih berfluktuasi pada selang 400-700 nm, sedangkan pada panjang gelombang yang lebih besar dari 700 nm tidak ada absorpsi oleh klorofil. Nilai absorbansi klorofil pada fase logaritmik dapat dilihat pada Gambar 18.
Ekstraksi dan Kadar Klorofil
Absorbansi Klorofil Sifat optik suatu larutan dapat diamati dengan menggunakan spektrofotometer. Berbagai sifat optik yang dapat diamati dengan alat tersebut antara lain absorbansi, transmitansi, dan reflaktansi. Pada penelitian ini yang diamati adalah absorbansi larutan klorofil terhadap panjang gelombangnya.
1.6 1.2 Absorbansi
Biomassa sel yang dipanen pada fase logaritmik memerlukan waktu ekstraksi untuk klorofil lebih lama (14 hari) dibanding yang dipanen pada fase stasioner (8 hari). Berdasarkan perhitungan kadar klorofil (Jeffrey & Humprey 1975), seperti yang terdapat pada Lampiran 8 diperoleh bahwa pada fase logaritmik kadar klorofil sebanyak 364,63 Β΅g/l dengan persentasi sebesar 0,06% dan pada fase stasioner kadar klorofil sebanyak 240,93 Β΅g/l dengan persentasi sebesar 0,02%. Hal ini menunjukkan bahwa kadar klorofil pada fase logaritmik lebih tinggi dibandingkan fase stasioner. Tingginya kadar klorofil yang dihasilkan pada fase logaritmik ini disebabkan karena kandungan nutrien medium lebih banyak dibandingkan fase stasioner (Fogg & Thake 1987). Nutrien merupakan makanan utama Spirulina fusiformis yang menghasilkan klorofil (Sediadi & Edward 1993). Persentase klorofil spirulina umumnya sebesar 1% dari berat kering (Henrikson 1997 diacu dalam Mohammad), namun hasil perhitungan total klorofil yang diperoleh pada penelitian ini kurang dari 1%. Seperti diketahui bahwa unsur utama pembentuk klorofil adalah N, Mg, dan Fe, maka dapat diduga persentase klorofil yang kurang dari 1% disebabkan karena tidak terdapatnya unsur Mg dalam media pertumbuhan klorofil ini (Anonim 2009).
0.8 0.4 0 400
500
600
700
800
Panjang Gelombang (nm)
Gambar 18. Spektrum absorbansi larutan klorofil pada fase logaritmik Berdasarkan Gambar 18 dapat diketahui bahwa serapan tertinggi larutan klorofil berada pada panjang gelombang 429,87 nm dengan nilai absorbansi sebesar 1,393. Klorofil hampir tidak menyerap pada daerah inframerah. Kurva tersebut juga memperlihatkan bahwa serapan klorofil memiliki lima pita serapan, yaitu pada selang 400-450 nm, 450-500 nm, 550-600 nm, 600-625 nm, dan 625-675 nm. Hasil pengukuran absorbansi klorofil pada fase stasioner menunjukkan hasil yang hampir serupa dengan fase logaritmik. Nilai absorbansi pada fase stasioner dilakukan pada rentang panjang gelombang 400-800 nm. Namun demikian nilai serapan klorofil lebih berfluktuasi pada selang 400-700 nm, sedangkan pada panjang gelombang yang lebih besar dari 700 nm tidak ada absorpsi oleh klorofil. Nilai absorbansi klorofil pada fase logaritmik dapat dilihat pada Gambar 19.
13
2.4
Absorbansi
2 1.6 1.2 0.8 0.4 0 400
500
600
700
800
Panjang Gelombang (nm)
Gambar 19. Spektrum absorbansi larutan klorofil pada fase stasioner Berdasarkan Gambar 19 dapat diketahui bahwa serapan paling tinggi berada pada panjang gelombang 468,47 nm dengan nilai absorbansi sebesar 2,241. Grafik tersebut juga memperlihatkan bahwa serapan klorofil memiliki dua pita serapan, yaitu pada selang 450-500 nm dan 625-675 nm. Berdasarkan kedua perlakuan diatas dapat diperoleh kesimpulan bahwa secara umum absorbansi klorofil berada pada rentang panjang gelombang 400 nm sampai 700 nm. Klorofil hampir tidak menyerap pada daerah inframerah. Perbandingan nilai absorbansi dari kedua perlakuan tersebut dapat dilihat pada Gambar 20. 2.4 Logaritmik
Absorbansi
2
Stasioner
1.6 1.2 0.8 0.4 0 400
500
600
700
800
Berdasarkan Gambar 20 dapat diketahui bahwa spektrum absorbansi larutan klorofil dari fase logaritmik memiliki lima pita serapan, sedangkan fase stasioner hanya memiliki dua pita serapan. Perbedaan banyaknya puncak absorbansi ini menunjukkan kandungan pigmen yang terdapat pada kedua fase pertumbuhan. Nilai absorbansi yang lebih tinggi dari kedua fase yaitu pada selang panjang gelombang 400-460 nm daripada selang panjang gelombang 625-675 nm. Hal ini sesuai dengan pernyataan Campbell (2000) yang menyatakan bahwa klorofil-a menyerap daerah dengan panjang gelombang 430 nm dan 660 nm, sedangkan klorofil-b menyerap daerah dengan panjang gelombang 460 nm dan 650 nm. Klorofil merupakan pigmen yang spesifik dan dapat diekstraksi menggunakan aseton (Kusnawijaya diacu dalam Sediadi & Edward 1993). Kedua kurva tersebut memperlihatkan adanya energi transisi yang dapat diamati melalui pita absorbansinya. Energi transisi ini terjadi karena elektron-elektron mengalami eksitasi dari keadaan dasar ke keadaan tereksitasi akibat absorpsi cahaya. Untuk menerangkan peristiwa absorpsi energi radiasi oleh molekul, maka radiasi elektromagnetik dipandang sebagai partikelpartikel yang disebut foton. Oleh Max Planck dinyatakan bahwa energi setiap foton berbanding lurus dengan frekuensi radiasi. Energi eksitasi diberikan oleh persamaan: πΈπππ ππ‘ππ π = ππ£ =
ππ π πππ ππ‘ππ π
β¦β¦β¦β¦β¦β¦.. (11)
Besar energi eksitasi pada fase logaritmik untuk panjang gelombang 429,87 nm yaitu 2,892 eV dan untuk panjang gelombang 661,89 nm yaitu 1,878 eV, sedangkan pada fase stasioner untuk panjang gelombang 468,47 nm yaitu 2,654 eV dan untuk panjang gelombang 658,5 nm yaitu 1,888 eV. Dari hasil tersebut dapat diketahui bahwa bahan organik klorofil mengalami proses eksitasi ketika diberikan cahaya dan elektron tereksitasi dari keadaan HOMO ke keadaan LUMO, sehingga menjadi elektron konduksi.
Panjang Gelombang (nm)
Gambar 20. Spektrum absorbansi larutan klorofil pada fase logaritmik dan fase stasioner
Fluoresensi Klorofil Fluoresensi merupakan luminesensi yang banyak ditemukan sebagai fenomena optik, dimana penyerapan foton oleh molekul menjadi pemicu emisi foton dengan panjang gelombang yang lebih panjang. Selisih antara
14
energi absorbsi dan emisi digunakan untuk vibrasi dan rotasi molekul. Larutan klorofil Spirulina fusiformis yang merupakan hasil ekstraksi menghasilkan spektrum fluoresensi. Puncak fluoresensi tertinggi (intensitas relatif) yang dihasilkan pada fase logaritmik berada pada panjang gelombang 675,49 nm, sedangkan pada fase stasioner puncak tertingginya berada pada panjang gelombang 678,02 nm. Adapun kurva fluoresensi kedua fase tersebut dapat dilihat pada Gambar 21 dan 22. 60000
Fluoresensi
50000 40000 30000 20000 10000 0 400
600
800
1000
Panjang Gelombang (nm)
Gambar 21. Spektrum fluoresensi fase logaritmik 25000
Fluoresensi
20000 15000 10000
daripada energi diberikan oleh: πΈππππ π = ππ£ =
absorpsi. ππ
π ππππ π
Energi
emisi
β¦β¦β¦β¦β¦β¦β¦β¦ (12)
dengan h merupakan konstanta Planck, v merupakan frekuensi foton, c merupakan kecepatan cahaya, dan Ξ» merupakan panjang gelombang foton. Besar energi emisi pada fase logaritmik untuk panjang gelombang 675,49 nm yaitu 1,840 eV, sedangkan pada fase stasioner, besar energi emisinya untuk panjang gelombang 678,02 nm yaitu 1,833 eV. Hal ini menunjukkan bahwa besar energi emisi untuk kedua fase tidak jauh berbeda, yaitu berkisar antara 1,8 eV karena bahan yang digunakan berasal dari sumber yang sama, yaitu klorofil Spirulina fusiformis. Dari hasil fluoresensi yang diperoleh dapat dikatakan bahwa klorofil merupakan bahan organik yang mengalami proses fluoresensi. Proses emisi yang terjadi pada penelitian ini yaitu emisi fotolistrik (photovoltaic emission) karena energi yang diberikan pada elektron melalui foton adalah energi cahaya yang oleh elektron kemudian diubah menjadi energi mekanik, sehingga elektron tersebut dapat terlepas dari keadaan tereksitasi (LUMO) kembali ke keadaan dasar (HOMO). Jika dibandingkan hasil absorbansi (eksitasi) maupun fluoresensi (emisi), diperoleh hasil bahwa panjang gelombang eksitasi lebih kecil daripada emisi, sehingga energi transisi eksitasi yang dibutuhkan lebih besar daripada energi transisi emisi. Hal ini disebabkan karena ketika elektron tereksitasi, energi yang dimilikinya lebih tinggi dari keadaan dasarnya. Pada saat foton tersebut teremisi, energi yang dimilikinya lebih kecil daripada energi eksitasi.
5000 Uji Fotokonduktivitas 0
Kurva Arus-Tegangan (I-V) 400
600
800
1000
Panjang Gelombang (nm)
Gambar 22. Spektrum fluoresensi fase stasioner Kedua kurva fluoresensi di atas memperlihatkan adanya transisi elektron dari keadaan tereksitasi (LUMO) ke keadaan dasar (HOMO). Emisi fluoresensi yang dihasilkan memiliki panjang gelombang lebih besar dari panjang gelombang eksitasi, sebaliknya energi elektromagnetik yang diemisikan lebih kecil
Arus listrik merupakan banyaknya muatan listrik yang mengalir tiap satuan waktu dimana muatan listrik tersebut bisa mengalir melalui kabel atau penghantar listrik lainnya. Tegangan listrik (Voltase) merupakan perbedaan potensial listrik antara dua titik dalam rangkaian listrik. Karakterisasi arus-tegangan (I-V) dari klorofil yang diekstrak dari mikroalga Spirulina fusiformis dilakukan dalam kondisi gelap (0 W/m2) dan terang (berbagai intensitas cahaya). Intensitas cahaya yang diberikan
15
adalah 0,449 W/m2, 1,047 W/m2, 1,496 W/m2, 2,992 W/m2, dan 4,488 W/m2. Kurva I-V tersebut dapat dilihat pada Gambar 23 dan 24. 0.006
0.004
Berdasarkan kurva-kurva pada Gambar 23 dan 24, maka dapat ditentukan resistansi (hambatan) klorofil pada setiap intensitas cahaya, yaitu dengan menentukan kemiringan kurva I-V. Nilai resistansi merupakan satu per kemiringan kurva. Pada fase logaritmik dan stasioner diperoleh nilai resitansi yang berbeda pada setiap intensitas cahaya. Kurva resistansi pada kedua fase dapat dilihat melalui Gambar 25.
0.003 0 W/m2 0,449 W/m2 1,047 W/m2 1,496 W/m2 2,992 W/m2 4,488 W/m2
0.002 0.001 0 0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
Tegangan (V)
Gambar 23. Kurva I-V klorofil pada fase logaritmik
140 Logaritmik
135
Stasioner Resistansi (Ξ©)
Kuat Arus Listrik (A)
0.005
Resistansi
130 125 120 115
0.006
110 0
Kuat Arus Listrik (A)
0.005
1
2
3
4
5
Intensitas Cahaya (W/m2)
Gambar 25. Kurva resistansi klorofil pada fase logaritmik dan fase stasioner
0.004 0.003
0 W/m2 0,449 W/m2 1,047 W/m2 1,496 W/m2 2,992 W/m2 4,488 W/m2
0.002 0.001 0 0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
Tegangan (V)
Gambar 24. Kurva I-V klorofil pada fase stasioner Berdasarkan Gambar 23 dan 24 dapat diketahui nilai resistansi dan konduktivitas klorofil pada setiap intensitas cahaya yang berbeda. Pada fase logaritmik dan fase stationer dapat dilihat bahwa kurva I-V berbentuk linier (ohmik). Kemiringan kurva I-V meningkat terhadap kenaikan intensitas cahaya yang diberikan. Kemiringan kurva (slope) pada kedua fase adalah berbeda. Kemiringan (slope) ini menunjukkan besarnya resistansi pada klorofil.
Pada fase logaritmik, dalam kondisi gelap diperoleh nilai resistansi sebagai slope sekitar 135,389 β¦, kondisi terang dengan intensitas 0,449 W/m2 diperoleh nilai resistansi sekitar 131,384 β¦, intensitas 1,047 W/m2 diperoleh nilai resistansi sekitar 129,039 β¦, intensitas 1,496 W/m2 diperoleh nilai resistansi sekitar 127,372 β¦, intensitas 2,992 W/m2 diperoleh nilai resistansi sekitar 126,436 β¦, dan intensitas 4,488 W/m2 diperoleh nilai resistansi sekitar 124,429 β¦. Pada fase stasioner, dalam kondisi gelap diperoleh nilai resistansi sebagai slope sekitar 127,148 β¦, kondisi terang dengan intensitas 0,449 W/m2 diperoleh nilai resistansi sekitar 121,657 β¦, intensitas 1,047 W/m2 diperoleh nilai resistansi sekitar 120,089 β¦, intensitas 1,496 W/m2 diperoleh nilai resistansi sekitar 118,298 β¦, intensitas 2,992 W/m2 diperoleh nilai resistansi sekitar 115,285 β¦, dan intensitas 4,488 W/m2 diperoleh nilai resistansi sekitar 114,165 β¦.
16
Jika dilihat hasil dari kedua perlakuan di atas, nilai resistansi menurun seiring dengan kenaikan intensitas cahaya. Hal ini disebabkan karena adanya tambahan pembawa muatan bebas (elektron) yang tereksitasi ketika diberikan cahaya. Elektron ini semakin bertambah seiring dengan meningkatnya intensitas cahaya yang diberikan dan menyebabkan resistansi semakin menurun. Resistansi yang semakin rendah inilah yang menyebabkan arusnya semakin tinggi. Berdasarkan kedua sampel, nilai resistansi yang paling besar terdapat pada sampel fase logaritmik. Resistivitas
250 240 230 220 210 200 190 180 170
Konduktivitas Besar konduktivitas bahan semikonduktor dapat ditentukan dari resistivitas yang diperoleh, dimana hubungan antara konduktivitas dan resistivitas berbanding terbalik. Adapun kurva konduktivitas pada fase logaritmik dan stasioner dapat dilihat pada Gambar 27.
Logaritmik Stasioner Konduktivitas (S/m)
Resistivitas (Ξ©m)
Resistivitas merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi resistansi. Kurva resistivitas yang diperoleh pada fase logaritmik dan stasioner dapat dilihat pada Gambar 26.
nilai resistivitas sekitar 219 β¦m, dan intensitas 4,488 W/m2 diperoleh nilai resistivitas sekitar 217 β¦m. Jika dilihat dari hasil yang diperoleh pada kedua fase, diperoleh bahwa resistivitas semakin menurun seiring dengan kenaikan intensitas cahaya. Data resistivitas yang diperoleh menunjukkan bahwa klorofil bersifat sebagai semikonduktor karena resistivitas bahan semikonduktor berada pada selang sekitar 10-5 sampai 106 β¦m (Tyagi 1934).
0
1
2
3
4
5
Intensitas Cahaya (W/m2)
Gambar 26. Kurva resistivitas klorofil pada fase logaritmik dan fase stasioner Pada fase logaritmik, dalam kondisi gelap diperoleh nilai resistivitas sekitar 194 β¦m, kondisi terang dengan intensitas 0,449 W/m2 diperoleh nilai resistivitas sekitar 188 β¦m, intensitas 1,047 W/m2 diperoleh nilai resistivitas sekitar 185 β¦m, intensitas 1,496 W/m2 diperoleh nilai resistivitas sekitar 182 β¦m, intensitas 2,992 W/m2 diperoleh nilai resistivitas sekitar 181 β¦m, dan intensitas 4,488 W/m2 diperoleh nilai resistivitas sekitar 178 β¦m. Pada fase stasioner, dalam kondisi gelap diperoleh nilai resistivitas sekitar 242 β¦m, kondisi terang dengan intensitas 0,449 W/m2 diperoleh nilai resistivitas sekitar 231 β¦m, intensitas 1,047 W/m2 diperoleh nilai resistivitas sekitar 228 β¦m, intensitas 1,496 W/m2 diperoleh nilai resistivitas sekitar 225 β¦m, intensitas 2,992 W/m2 diperoleh
0.0058 0.0056 0.0054 0.0052 0.0050 0.0048 0.0046 0.0044 0.0042 0.0040
Logaritmik Stasioner
0
1
2
3
4
5
Intensitas Cahaya (W/m2)
Gambar 27. Kurva konduktivitas klorofil pada fase logaritmik dan fase stasioner Pada fase logaritmik, dalam kondisi gelap diperoleh nilai konduktivitas sekitar 0,00517 S/m, kondisi terang dengan intensitas 0,449 W/m2 diperoleh nilai konduktivitas sekitar 0,00532 S/m, intensitas 1,047 W/m2 diperoleh nilai konduktivitas sekitar 0,00542 S/m, intensitas 1,496 W/m2 diperoleh nilai konduktivitas sekitar 0,00549 S/m, intensitas 2,992 W/m2 diperoleh nilai konduktivitas sekitar 0,00553 S/m, dan intensitas 4,488 W/m2 diperoleh nilai konduktivitas sekitar 0,00562 S/m. Pada fase stasioner, dalam kondisi gelap diperoleh nilai konduktivitas sekitar 0,00414 S/m, kondisi terang dengan intensitas 0,449 W/m2 diperoleh nilai konduktivitas sekitar 0,00433 S/m, intensitas 1,047 W/m2
17
diperoleh nilai konduktivitas sekitar 0,00438 S/m, intensitas 1,496 W/m2 diperoleh nilai konduktivitas sekitar 0,00445 S/m, intensitas 2,992 W/m2 diperoleh nilai konduktivitas sekitar 0,00457 S/m, dan intensitas 4,488 W/m2 diperoleh nilai konduktivitas sekitar 0,00461 S/m. Berdasarkan kedua perlakuan di atas, konduktivitas listrik meningkat seiring dengan kenaikan intensitas cahaya yang diberikan. Kenaikan konduktivitas ini disebabkan karena bertambahnya jumlah pembawa muatan bebas akibat diberikan cahaya dengan intensitas yang meningkat. Bertambahnya muatan bebas ini mengakibatkan resistansi dan resistivitas semakin menurun. Oleh karena konduktivitas berbanding terbalik dengan resistivitas, maka kurva hubungan konduktivitas terhadap kenaikan intensitas cahaya semakin naik. Hal ini menunjukkan bahwa klorofil mempunyai respon terhadap cahaya dan dapat dimanfaatkan sebagai dye sensitizer, fotokonduktor, dan fotosel. Jika diurutkan dari kedua sampel di atas, nilai konduktivitas yang terbesar hingga yang terkecil adalah sampel pada fase logaritmik dan kemudian fase stasioner. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa sampel klorofil pada fase logaritmik merupakan bahan yang lebih sensitif terhadap cahaya dan memiliki sifat fotokonduktif yang lebih baik. Hal ini diduga karena pada fase logaritmik kadar klorofil yang dihasilkan lebih banyak. Klorofil merupakan bahan yang sangat peka terhadap cahaya dan bersifat konduktif (Lipsova et al 2007). Bersadarkan penelitian yang telah dilakukan, diperoleh suatu hasil bahwa klorofil Spirulina fusiformis baik untuk digunakan dalam aplikasi sel surya maupun fotosensitizer. Proses terjadinya fotokonduktif tersebut disebabkan elektron menyerap energi cahaya yang datang dari lampu. Semakin banyak cahaya (foton) yang diserap oleh elektron pada keadaan HOMO, maka semakin banyak elektron yang tereksitasi ke keadaan LUMO, sehingga lebih banyak menghasilkan arus listrik.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Pertumbuhan Spirulina berlangsung selama 86 hari yang terdiri dari lima fase, yaitu fase lag (hari ke-1 sampai 7), fase logaritmik (hari ke-8 sampai 25), fase penurunan laju (hari ke-26 sampai 41), fase stasioner (hari ke-42 sampai 78), dan fase kematian (mulai hari ke-79) Hasil pemanenan menunjukkan bahwa biomassa sel yang dihasilkan pada fase logaritmik lebih sedikit dibandingkan fase stasioner, namun kadar klorofil yang diperoleh pada fase logaritmik lebih tinggi dibandingkan fase stasioner. Nilai absorbansi dan fluoresensi menunjukkan bahwa klorofil merupakan bahan organik yang mengalami proses eksitasi dan emisi. Panjang gelombang yang diperoleh saat eksitasi lebih kecil daripada emisi, sedangkan energi transisi eksitasi lebih besar daripada emisi. Besar konduktivitas listrik semakin besar seiring dengan kenaikan intensitas cahaya, sedangkan resistansi dan resistivitasnya semakin kecil, sehingga klorofil Spirilina fusiformis merupakan bahan semikonduktor yang fotokonduktif dan baik untuk digunakan dalam aplikasi sel surya maupun fotosensitizer. Sampel pada fase logaritmik memiliki nilai konduktivitas yang lebih besar daripada fase stasioner, sehingga sampel pada fase logaritmik lebih konduktif dan lebih baik digunakan dalam aplikasi sel surya maupun fotosensitizer. Saran Penelitian ini dapat dilanjutkan hingga ke aplikasinya dan mencari rendemen antara banyaknya kultur yang diperlukan terhadap aplikasinya. Hasilnya dapat dibandingkan juga dengan menggunakan media dan proses kultivasi yang berbeda, misalnya media NPK dan cahaya matahari. Pengukuran fotokonduktivitas juga dapat dilakukan dengan metode dan sumber cahaya yang berbeda-beda. Penelitian ini dapat dikembangkan dengan mengisolasi senyawa porphyrin dari klorofil menggunakan metode kromatografi.