2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Spirulina Spirulina adalah organisme mikroskopis dan merupakan prokariot berfilamen (Gershwin dan Belay 2007).
Spirulina adalah organisme yang
termasuk kelompok alga hijau biru (Cyanobacteria). Organisme ini diberi nama Spirulina karena bentuk tubuhnya yang spiral, mempunyai ukuran 100 kali lebih besar dari sel darah merah manusia. Spirulina dalam koloni yang besar berwarna hijau tua. Warna hijau tua ini berasal dari klorofil dalam jumlah tinggi. Secara alami, Spirulina mampu tumbuh di perairan danau yang bersifat alkali dan suhu hangat atau kolam dangkal di wilayah tropis (Tietze 2004). Secara taksonomi Spirulina (Garrity et al. 2001), diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom
: Bacteria
Filum
: Cyanobacteria
Divisi
: Cyanophyta
Kelas
: Cyanophyceae
Ordo
: Nostocales
Famili
: Oscillatoriaceae
Genus
: Spirulina
Gambar 1 Spirulina (Henrikson 2009)
Kultur Spirulina dilakukan dengan membiakkan bibit Spirulina dalam media, kemudian dilakukan pengaturan pH hingga mencapai 8,3 dengan penambahan HCl. Kultur diletakkan dekat sumber cahaya dan diberi aerasi atau pengadukan (Diharmi 2001; Arylza 2005).
Besarnya nilai pH pada media
4
pertumbuhan Spirulina umumnya antara 8-11, namun ada beberapa jenis Spirulina yang dapat bertahan hidup pada lingkungan dengan pH mendekati 7 atau di atas 11 (Richmond 1988). Kualitas Spirulina sangat dipengaruhi sinar matahari, mineral dan nutrisi dalam air. Kandungan beta karoten akan semakin tinggi apabila kuantitas sinar matahari yang diperoleh maksimum (Tietze 2004). Spirulina dapat tumbuh pada daerah tropis dan subtropis. Suhu optimum pertumbuhannya 35-38 °C, dan suhu minimum untuk mempertahankan pertumbuhan adalah 15-22 °C, serta pH dan alkalinitas yang tinggi.
Media yang umum digunakan adalah Zarouk
yang terdiri dari natrium karbonat/bikarbonat, sumber nitrogen, fosfor, besi, dan trace element lainnya (Gershwin dan Belay 2007). Ukuran Spirulina cukup besar, sehingga dapat dipisahkan dari media melalui filtrasi. Negara bagian Afrika yang sedang berkembang, yaitu Chad, melakukan pemisahan Spirulina hanya menggunakan kain penyaring sederhana (Angka dan Suhartono 2000). Menurut Desmorieux dan Decaen (2006), Spirulina segar dapat difiltrasi dengan filter berukuran 20 μm. Desmorieux dan Decaen (2006), menyatakan bahwa pengeringan Spirulina dapat dilakukan dengan pemanasan yang dirancang sedemikian rupa hingga suhu berkisar antara 40-60 °C. Suhu pengeringan diatas 60 °C akan menyebabkan degradasi fikosianin dan timbulnya reaksi Maillard. Kondisi pengeringan secara konveksi pada lapisan tipis yang paling optimum dilakukan pada kondisi suhu dibawah 40 °C.
Penyimpanan Spirulina
dilakukan dalam keadaan kering karena Spirulina kering tidak mudah terfermentasi (Angka dan Suhartono 2000). Hasil penelitian Mohammad (2007) menunjukkan bahwa suhu pengeringan berpengaruh terhadap jumlah klorofil dan protein. Spirulina fusiformis yang dikeringkan pada suhu 25-30 °C memiliki kandungan klorofil dan protein terbesar, yaitu 0,063% dan 58,25%. Kondisi kultur yang berbeda sangat berpengaruh pada komponen kimia yang terkandung dalam Spirulina.
Achmadi et al. (2002) melakukan
penelitian mengenai perbandingan produksi pigmen Spirulina platensis yang ditumbuhkan pada media lateks dan media sintetik. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa S. platensis yang dikultivasi pada media lateks mengandung
5
klorofil a 0,61% (b/b), karotenoid 0,61% (b/b) dan fikosianin 19,85% (b/b), dengan bobot kering Spirulina yang dihasilkan sebesar 0,18 g/l, sedangkan media sintetik mengandung klorofil a 0,54% (b/b), karotenoid 0,45% (b/b) dan fikosianin 14,17% (b/b), dengan bobot kering Spirulina yang dihasilkan sebesar 0,28 g/l. Olguin et al. (2001) melakukan penelitian terhadap biomassa kering yang dihasilkan dan protein yang terkandung di dalam Spirulina sp. yang dikultivasi pada media Zarouk dengan intensitas cahaya 66 µmol photon m-2s-1 dan 144 µmol photon m-2s-1 , dengan lama kultivasi 6 hari dan 12 hari. Hasilnya menunjukkan bahwa biomassa dan protein tertinggi diperoleh dari kultivasi selama 12 hari dengan intensitas cahaya sebesar 144 µmol photon m-2s-1. Biomassa kering yang diperoleh sebesar 0,67 g/l, dan protein sebesar 0,42 g/l. Cahaya merupakan faktor pembatas yang lebih dominan pada pertumbuhan Spirulina diikuti oleh nutrien dan temperatur.
Ketersediaan
cahaya untuk setiap sel pada kultur fotoautotropik merupakan fungsi dari intensitas serta lama pencahayaan dengan konsentrasi sel atau kepadatan populasi (Tamiya 1957 diacu dalam Richmond 1988). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Colla et al. (2007a) menunjukkan bahwa S. platensis yang dikultivasi dengan jumlah nitrogen dalam media dan temperatur yang berbeda menunjukkan pengaruh yang berbeda terhadap komponen fenol dan persen penghambatan terhadap pembentukan peroksidase. S. platensis yang dikultivasi dengan penambahan 2,5 g/l sodium nitrat dan suhu 35 °C mengandung komponen fenol dan persen penghambatan pembentukan peroksidase terbesar, masing-masing 4,9 µg/g dan 35%. Spirulina telah lama dimanfaatkan sebagai makanan, pakan, suplemen, dan pangan fungsional, bahkan masyarakat di wilayah Chad telah lama mengonsumsinya (Gershwin dan Belay 2007). Spirulina mudah dicerna karena lapisannya berupa membran tipis, bukan seperti selusosa yang sulit dicerna. Membran tersebut merupakan gugus gula yang mudah dicerna dan diserap. Oleh karena itu, Spirulina sangat bermanfaat walaupun dikonsumsi dalam jumlah yang kecil (Tietze 2004).
6
Adam (2005) menyebutkan bahwa Spirulina sebagai “superfood” menunjukkan efektifitas dalam penyembuhan dan pencegahan berbagai penyakit, seperti kanker, diabetes, obesitas, asma, tekanan darah tinggi, infeksi, peradangan, dan berbagai penyakit degeneratif.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh
Miladius et al. (2004) kepada olahragawan menunjukkan bahwa pemberian tiga tablet Spirulina per hari selama 14 hari dapat menurunkan berat badan dan lemak, serta menaikkan massa otot. Spirulina mengandung protein dalam jumlah yang cukup tinggi. Kandungan protein Spirulina bervariasi dari 50%, hingga 70% dari berat keringnya. Spirulina
Menurut Richmond (1988) hasil analisis asam amino dari mexican
yang
dikeringkan
dengan
spray
dryer
ditemukan
18 asam amino. Protein Spirulina 65% lebih tinggi dibanding makanan alami lainnya. Kelebihan Spirulina sebagai sumber protein adalah kandungan lemaknya 5%, dan sebagian besar merupakan lemak tidak jenuh.
Hewan cenderung
mengandung kolesterol dan lemak yang tinggi (Tietze 2004). Protein berfungsi sebagai pemberi kalori, bila jumah karbohidrat dan lemak tidak mencukupi kebutuhan tubuh. Berdasarkan sumbernya, protein terbagi menjadi dua, yaitu protein nabati dan protein hewani. Sumber protein hewani antara lain susu, ikan, daging dan telur.
Sumber protein nabati antara lain kacangan-kacangan dan
olahannya seperti tahu dan tempe (Muchtadi 2008). Salah satu sumber protein yang terbaik adalah Spirulina. Kelebihan lain dari Spirulina yaitu kaya akan fitonutrien dan nutrisi fungsional yang menunjukkan efek positif bagi kesehatan (Henrikson 2009). Tietze (2004) menyebutkan bahwa Spirulina secara alami rendah kolesterol, kalori, lemak, dan sodium. Spirulina mengandung sembilan vitamin penting dan empat belas mineral yang terikat dengan asam amino. Hal ini memudahkan dan mempercepat proses asimilasi dengan tubuh. Food and Drug Administration (1981) menyatakan bahwa Spirulina adalah sumber protein dan mengandung berbagai vitamin dan mineral yang telah digunakan sebagai suplemen (Henrikson 2009). Kandungan mineral Spirulina dapat dilihat pada Tabel 1.
7
Tabel 1 Kandungan mineral Spirulina Komposisi Mineral (per 1 gr) Kalsium Iron Magnesium Sodium Potasium Posfor Zinc Mangan Copper Chromium
Jumlah 7 mg 1 mg 4 mg 9 mg 14 mg 9 mg 0,03 mg 0,05 mg 12 mcg 2,5 mcg
Sumber: Farms (1995) dalam Henrikson (2009)
Mikroalga seperti jenis Spirulina, Chlorella, Dunaliella, dan lainnya, memegang
peranan
penting
dalam
dunia
perairan,
karena
organisme
air fotosintetik bersel tunggal menunjukkan kandungan protein yang tinggi. Perbandingan kandungan protein Spirulina dengan mikroalga lain dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Kandungan protein beberapa jenis mikroalga Jenis Mikroalga Chlorella Dunaliella Porphyridium Scenedesmus Spirulina
Sumber: Spolaore (2006)
Protein 51-58 57 28-39 50-56 60-71
Spirulina merupakan sumber terbaik vitamin B-12 (cobalamin) dibandingkan dengan hati sapi, tuna, telur, keju dan lain-lain.
Kandungan
vitamin B-12 besarnya lebih dari 300 µg per 100 g Spirulina. Kekurangan vitamin B-12 dapat menyebabkan anemia pernisiosa, degenerasi saraf dan lain-lain (Tietze 2004). Spirulina platensis merupakan salah satu alga hijau biru yang banyak tersebar di perairan tropis dan dapat tumbuh dengan baik di perairan laut. Beberapa hasil penelitian di bidang bioteknologi saat ini menyimpulkan bahwa Spirulina memiliki pengaruh baik terhadap sistem kekebalan tubuh. Mengacu sejumlah publikasi ilmiah, Spirulina mengandung antioksidan,
8
antiinflamasi, serta neuroprotektif (Arlyza 2005). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Candra (2011), aktivitas antioksidan yang terkandung pada biopigmen Spirulina mendekati aktivitas antioksidan komersial BHT. S. platensis terbukti memiliki aktivitas sebagai antibakteri dan antikapang. Hasil penelitian Abedin dan Taha (2008) menunjukkan bahwa S. platensis mampu menghambat pertumbuhan mikroba antara lain Aspergillus flavus, Fusarium monilivorme, Candida albicans, Bacillus subtilis dan Pseudemonas aeruginosa. 2.2 Mie Mie merupakan makanan yang sangat popular di Asia. Sekitar 40% dari konsumsi tepung terigu di Asia digunakan untuk pembuatan mie.
Di
Indonesia pada tahun 1990, penggunaan tepung terigu untuk pembuatan mie mencapai 60-70% (Kruger dan Matsuo 1996). Hal ini menunjukkan bahwa mie merupakan makanan yang sangat popular di Asia khususnya Indonesia. Mie basah adalah produk pangan yang terbuat dari terigu dengan atau tanpa penambahan bahan pangan lain dan bahan tambahan pangan yang diizinkan, berbentuk khas mie yang tidak dikeringkan (BSN 1992).
Berdasarkan cara
pembuatannya, mie dibedakan menjadi mie basah mentah (contohnya mie ayam) dan mie basah matang (contohnya mie bakso), sedangkan berdasarkan jenis produk yang dipasarkan terdapat dua jenis mie yaitu mie basah dan mie kering. Perbedaan dari kedua produk ini adalah kadar air dan tahapan proses pembuatan (Pagani 1985).
Syarat mutu mie basah menurut BSN (1992) disajkan pada
Tabel 3. Berdasarkan kadar air dan tahapan pengolahannya, Winarno dan Rahayu (1994) membagi mie yang terbuat dari gandum menjadi lima golongan, yaitu: (1) mie basah
mentah yang dibuat langsung dari proses pemotongan
lembaran adonan dengan kadar air 35%, (2) mie basah matang, yaitu mie basah mentah yang telah mengalami perebusan dalam air mendidih sebelum dipasarkan dengan kadar air 52%, (3) mie kering, yaitu mie basah yang telah dikeringkan dengan kadar air 10%, (4) mie goreng, yaitu mie basah mentah yang lebih dahulu digoreng sebelum dipasarkan, dan (5) mie instan, yaitu mie basah mentah yang telah mengalami pengukusan dan pengeringan sehingga menjadi mie instan kering atau digoreng menjadi mie instan goreng.
9
Tabel 3 Syarat mutu mie basah berdasarkan SNI01-2987-1992. No Kriteria Uji 1
2 3 4 5
6
7
8
Keadaan : 1.1 Bau 1.2 Rasa 1.3 Warna Air Abu (dihitung atas dasar bahan kering Protein (Nx 6,25) dihitung atas dasar bahan kering Bahan tambahan pangan 5.1 Boraks 5.2 Pewarna 5.3 Formalin Cemaran Mikroba 6.1 Angka Lempeng Total 6.2 E.coli 6.3 Kapang Cemaran Logam : 7.1 Timbal (Pb) 7.2 Tembaga (Cu) 7.3 Seng (Zn) 7.4 Raksa (Hg) Arsen (As)
Satuan
Persyaratan
% b/b % b/b
Normal Normal Normal 20-35 Maks 3
% b/b
Min 3
-
-
Koloni/g APM/g Koloni/g mg/kg mg/kg
Tidak boleh ada Sesuai SNI-0222-M dan Peraturan MenKes No.722/MenKes/Per/IX/88 Tidak boleh ada Maks 1,0 x 106 Maks 10,0 Maks 1,0 x 104 Maks 1,0 Maks 10,0 Maks 40,0 Maks 0,05 Maks 0,05
Sumber : Badan Standarisasi Nasional (1992)
Mie basah umumnya terbuat dari tepung gandum (tepung terigu), air, dan garam dengan/tanpa penambahan garam alkali. Terigu merupakan bahan utama dalam pembuatan mie basah. Fungsi terigu adalah sebagai bahan pembentuk struktur, sumber karbohidrat, sumber protein dan pembentuk sifat kenyal gluten. Garam berfungsi memberikan rasa, memperkuat tekstur dan mengikat air. Garam alkali berfungsi untuk meningkatkan pH, menyebabkan warna sedikit kuning dengan flavor yang lebih baik (Astawan 1999). Proses pembuatan mie basah matang meliputi pencampuran semua bahan menjadi adonan lalu dibentuk menjadi lembaran-lembaran tipis dengan mesin rollpress, diistirahatkan, kemudian dipotong menjadi benang-benang mie. Proses pencampuran bahan-bahan untuk menghasilkan adonan yang homogen. Selain itu, proses ini juga memicu terjadinya hidrasi tepung yang merata dan menarik serat-serat gluten sehingga menjadi adonan yang elastis dan halus.
10
Pembentukan gluten sudah mulai terjadi pada proses pencampuran walaupun belum maksimal (Kruger dan Matsuo 1996). 2.3 Serat Pangan (Dietary Fiber) Dietary fiber merupakan komponen dari jaringan tanaman yang tahan terhadap proses hidrolisis dalam lambung dan usus kecil (Van Der Kamp 2004). Serat-serat tersebut banyak berasal dari dinding sel berbagai jenis sayuran dan buah-buahan. Secara kimia dinding sel tersebut terdiri dari beberapa jenis karbohidrat, yaitu selulosa, hemiselulosa, pektin dan non karbohidrat misalnya polimer lignin, beberapa gumi dan mucilage. merupakan karbohidrat atau polisakarida.
Dietary fiber pada umumnya Berbagai jenis makanan pada
umumnya mengandung dietary fiber (Winarno 2008).
Istilah serat pangan
berbeda dengan serat kasar yang biasa digunakan dalam analisis proksimat bahan pangan.
Muchtadi (1989) menyatakan serat kasar adalah bagian dari bahan
pangan yang tidak dapat dihidrolisis oleh bahan-bahan kimia yang biasa digunakan untuk menentukan kadar serat kasar (asam sulfat dan natrium hidroksida), sedangkan serat pangan adalah bagian dari bahan pangan yang tidak dapat dihidrolisis oleh enzim-enzim pencernaan. Serat pangan terbagi ke dalam dua kelompok yaitu serat pangan tak larut (insoluble dietary fiber) dan serat pangan larut (soluble dietary fiber). Serat pangan tidak larut contohnya selulosa, hemiselulosa, dan lignin yang ditemukan pada serealia, kacang-kacangan dan sayuran. Serat pangan larut contohnya gum, pektin dan mucilago (Muchtadi 2001). 2.4 Kerusakan Mikrobiologis Bila dilihat dari penyebabnya, kerusakan bahan pangan dapat dibagi menjadi beberapa jenis, yaitu kerusakan mikrobiologis, fisik, biologis dan kimia. Penyebab kerusakan mikrobiologis adalah bermacam-macam mikroba seperti khamir, bakteri dan kapang yang memiliki daya perusak terhadap bahan pangan. Cara
perusakannya
adalah
dengan
menghidrolisis
atau
mendegradasi
makromolekul penyusun bahan pangan tersebut menjadi fraksi-fraksi yang lebih kecil. Karbohidrat diubah menjadi gula sederhana atau pemecahan lebih lanjut dari gula menjadi asam-asam yang mempunyai atom karbon yang rendah. Protein
11
dipecah menjadi gugusan peptida serta senyawa amida dan amoniak. Lemak dipecah menjadi asam-asam lemak dan gliserol (Muchtadi 2008). Pertumbuhan mikroba terdiri dari beberapa fase, yaitu fase adaptasi, fase pertumbuhan awal, fase pertumbuhan logaritmik, fase pertumbuhan tetap, fase menuju kematian dan fase kematian.
Faktor-faktor yang mempengaruhi
pertumbuhan mikroba yang bersifat heterotrof adalah tempertur, tersedianya nutrient, air, oksigen dan adanya zat penghambat (Fardiaz 1992). Mie yang bermutu baik pada umumnya berwarna putih atau kuning terang, tekstur agak kenyal, tidak mudah putus.
Akan tetapi, jika disimpan
lama, mie akan mengalami perubahan warna menjadi lebih gelap. Meunurut Hoseney (1998), jika mie basah mentah disimpan pada suhu lemari es, maka pada jam ke 50 hingga ke 60, warna mie basah mentah akan menjadi gelap. Kerusakan mikrobiologis pada mie umumnya disebabkan oleh bakteri, kapang dan khamir. Tingginya kadar air pada mie, yaitu sekitar 20-35% pada mie basah mentah dan 52% pada mie basah matang (Sukowati 2007) menyebabkan mikroorganisme semakin mudah untuk tumbuh. Menurut Chamdani (2005), jumlah kapang pada mie basah mentah telah mencapai 3,8 x 104 koloni/g selama penyimpanan 48 jam. Jumlah maksimal kapang pada mie basah mentah adalah 1,0 x 104 koloni/g (BSN 1992). Penggunaan
bahan
pengawet
memperpanjang umur simpan mie.
seperti
formalin
memang
dapat
Namun, menurut Peraturan Menteri
Kesehatan (MenKes) Nomor 1168/MenKes/PER/X/1999, formalin merupakan bahan kimia yang penggunaannya dilarang pada produk makanan. 2.5 Angka Kecukupan Gizi (AKG) Kecukupan gizi adalah jumlah masing-masing zat gizi yang sebaiknya dipenuhi oleh seseorang agar dapat hidup sehat (Almatsier 2003).
Angka
kecukupan gizi rata-rata yang dianjurkan (AKG) adalah suatu kecukupan rata-rata zat gizi setiap hari bagi hampir semua orang menurut golongan umur, jenis kelamin, ukuran tubuh, dan aktivitas untuk mencapai derajat kesehatan yang optimal (Khomsan 2002).
Widya Nasional Pangan dan Gizi VIII (2004),
menyatakan bahwa kebutuhan minimal energi adalah 2000 kkal, karbohidrat 300 g, protein 60 g, dan lemak 62 g.
12
Almatsier (2003) menyebutkan bahwa perhitungan nilai energi makanan melalui perhitungan, dilakukan menggunakan faktor Atwater menurut komposisi karbohidrat, lemak, protein serta nilai energi faal makanan tersebut.
Faktor
Atwater merupakan angka konversi karbohidrat, lemak dan protein tiap gramnya dalam menghasilkan energi. Faktor Atwater untuk karbohidrat sebesar 4 kkal/g, lemak sebesar 9 kkal/g dan protein sebesar 4 kkal/g. Nilai energi= faktor Atwater x kadar gizi bahan pangan Nilai energi= (4 kkal x kadar karbohidrat) + (9 kkal x kadar lemak) + (4 kkal x kadar protein)