BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kitosan (Chitosan) Kitosan merupakan senyawa penting ke-6 dan volume produksinya di alam bebas menempati peringkat ke-2 setelah serat/selulosa, yang banyak terdapat pada crustacea, kerang, rajungan dan organisme lainnya (Vipin et al., 2011). Lebih dari 109 - 1010 ton kitosan diperkirakan diproduksi di alam tiap tahunnya (Irwan dkk., 2004). Hal ini di dukung karena Indonesia yang merupakan negara maritim. Namun demikian, kitosan tersebut kebanyakan masih menjadi limbah yang harus dibuang dan bahkan menjadi masalah lingkungan.
Gambar 2.1. Kitosan komersil (Trijayanto, 2009)
Tahun 1859 merupakan awal penemuan kitosan oleh C. Rouget dengan cara mereaksikan kitin dengan kalium hidroksida (KOH) pekat (Pradip et al., 2004). Dalam tahun 1934 selanjutnya, Rigby mendapatkan dua paten, yaitu penemuan mengenai pembuatan kitosan dari kitin dan pembuatan film dari serat kitosan (Devi, 2009). Penggunaan kitin dan kitosan berikutnya meningkat pada tahun 1940-an dan semakin berkembang pada tahun 1970-an seiring dengan meningkatnya kebutuhan bahan alami
dalam
berbagai
bidang industri
(Bhuvaneshwari et al., 2007). Sejak saat itu juga penelitian terkait kitosan
7
semakin berkembang pesat dari tahun ke tahun. Perkembangan ini bukan karena ketersediaan kitosan yang melimpah di alam, melainkan karena sifatnya yang non-toxic, biodegradable, dan renewable.
CH2OH
CH2OH O
H OH
O
H O
H
OH
H H
H H
H
NHCoCH3
NHCoCH3
n
Gambar 2.2. Struktur unit berulang Kitin
CH2OH
CH2OH O
H OH
O
H O
H
OH
H H
H H
H
NH2
NH2
n
Gambar 2.3. Struktur unit berulang Kitosan
CH2OH
CH2OH O
H OH
O
H O
H
OH
H H
H H
OH
H
OH
n
Gambar 2.4. Struktur unit berulang Selulosa
Tang et al. (2007) menjelaskan bahwa kitosan merupakan polimer linier yang tersusun oleh 2000 - 3000 monomer N-asetil-D-glukosamin dalam ikatan (1,4)-2-Amino-2-Deoksi-β-D-Glukosa dengan rumus molekul (C6H11NO4)n. Struktur molekul kitosan ini menyerupai struktur molekul pada selulosa (serat pada sayuran atau buah-buahan). Bedanya terletak pada gugus rantai C-2 yang merupakan gugus hidroksil (OH) yang digantikan oleh amino (NH2).
8
2.1.1 Sumber Kitosan Kitin sebagai sumber awal kitosan merupakan biopolimer yang cukup melimpah di alam. Secara umum kitin ditemukan pada hewan golongan crustacea mollusca dan insecta yang tidak hanya pada bagian kulit dan kerangkanya tetapi juga terdapat pada ingsang, dinding usus dan bagian dalam kulit cumi-cumi. Lebih jelasnya, uraian di atas di jelaskan pada Tabel di bawah ini.
Tabel 2.1. Sumber - sumber kitin/kitosan di alam Sumber - sumber kitin/kitosan Rajungan Kepiting Ulat Sutera Udang Laba - laba Kumbang Air Kecoa Gurita Jamur Cacing
Komposisi (%) 70 % 69 % 44 % 40% 38 % 37 % 35 % 30 % 5 - 20 % 3 - 20 %
Sumber: Sugita dkk., 2009 (Diolah)
Kulit crustacea (kepiting, udang, lobster) sebagai limbah industri pangan merupakan sumber utama yang dapat digunakan untuk memproduksi kitosan dari kitin dalam skala besar. Secara umum proses pembuatan kitosanmeliputi tiga tahap, yaitu: (i) deproteinasi, (ii) demineralisasi, dan (iii) deasetilasi.
a
b
c
Gambar 2.5. Sumber - sumber kitosan di alam (Astuti, 2010; Handoko, 2013)
9
Secara garis besar Irwan dkk., (2010) menjelaskan pembuatan kitosan meliputi: cangkang udang basah → dicuci dan dikeringkan → digrinding dan diayak sampai lolos ayakan dengan diameter 0,356 mm → penghilangan protein (deproteinasi) → dicuci dengan air → penghilangan mineral (demineralisasi) → dicuci dengan air → penghilangan warna → dicuci dengan air dan dikeringkan (terbentuk kitin) → penghilangan gugus asetil (deasetilasi) → dicuci dengan air dan dikeringkan terbentuk biopolimer kitosan. Kitin sebagaimana dijelaskan sebelumnya merupakan prekursor untuk pembuatan kitosan. Perbedaan antara kitin dan kitosan terletak pada ukuran derajat deasetilasinya (DD). Kitosan diketahui memiliki DD sebesar 80 - 90 %. Sedangkan kitin umumnya memiliki DD kurang dari 10 %. Besarnya nilai DD ini menentukan kualitas dan nilai ekonomi kitosan yang dihasilkan . Semakin tinggi harga DD-nya maka semakin tinggi kualitas kitosan tersebut (Restu dkk., 2012).
2.1.2 Sifat - Sifat Kitosan Sugita dkk. (2009) menyatakan bahwa kitosan adalah salah satu polimer yang bersifat non-toxic, biocompatible, biodegradable dan bersifat polikationik dalam suasana asam. Sifat dan penampilan produk kitosan ini dipengaruhi oleh perbedaan kondisi, seperti jenis pelarut, konsentrasi, waktu dan suhu proses ekstraksi. Kitosan dapat diperoleh dengan berbagai macam bentuk morfologi diantaranya struktur yang tidak teratur. Selain itu dapat juga berbentuk padatan amorf berwarna putih dengan struktur kristal tetap dari kitin murni. Sri (2012) mengelompokkan kitosan kedalam tiga bagian berdasarkan berat molekulnya (BM) dan kelarutannya, yakni: a. Kitosan larut asam dengan BM 800.000 - 1.000.000 Dalton b. Kitosan mikrokristalin larut air dengan BM sekitar 150.000 Dalton c. Kitosan nanopartikel dengan BM 23.000 - 70.000 Dalton Selain itu, kitosan dapat dikarakterisasi berdasarkan kualitas sifat fisik intrinsik yaitu kejernihan atau kemurnian, berat molekul, viskositas dan DD. Sifat dan karakteristik kitosan disajikan pada Tabel 2.2 di bawah ini.
10
Tabel 2.2. Spesifikasi kitosan Parameter Ukuran Partikel Kadar Air (%) Titik Transisi (Film) Titik Dekomposisi (Film) Kelarutan Warna Larutan N-Deasetilasi (%) Kelas Viskositas (cps) : a. Rendah b. Medium c. Tinggi d. Sangat Tinggi
Ciri Serpihan/Bubuk ≤ 10,0 200 250 pH ≤ 6 Tidak Berwarna ≥ 70,0 < 200 200 - 799 800 - 2000 > 2000
Sumber : Sugita dkk., 2009.
Kitosan merupakan senyawa kimia yang mudah menyesuaikan diri, hidrofobik, memiliki reaktifitas yang tinggi yang disebabkan oleh kandungan gugus hidroksil (OH) dan gugus amino (NH2) yang bebas dan ligan yang bervariasi. Kumpulan gugus hidroksil (hidroksil pertama pada C-6 dan hidroksil kedua pada C-3) serta gugus amino yang sangat reaktif (C-2) atau N-asetil yang seluruhnya terdapat pada kitin. Kitosan berbentuk spesifik dan mengandung gugus amino dalam rantai karbonnya (Riesca dkk., 2013). Kitosan memiliki sifat tidak larut dalam air tetapi larut dalam larutan asam dengan pH kurang dari 6 dan asam organik misalnya asam asetat, asam format dan asam laktat. Pelarut yang umum digunakan untuk melarutkan kitosan adalam asam asetat/asam cuka dengan konsentrasi 1 - 2 % dengan pH sekitar 4. Adanya gugus karboksil dalam asam asetat akan memudahkan pelarutan kitosan karena terjadinya interaksi hidrogen antara gugus karboksil dengan gugus amino dari kitosan (Pradip et al., 2004). Kitosan juga memiliki gugus polar dan non polar. Karenanya kitosan dapat digunakan sebagai bahan pengental atau pembentuk gel yang sangat baik, sebagai pengikat, penstabil dan pembentuk tekstur. Kemampuan kitosan tersebut sama dengan CMC yang dapat memperbaiki penampakan suatu produk karena daya ikat air dan minyak yang kuat dan tahan panas (Wirongrong et al., 2011).
11
2.1.3 Aplikasi Kitosan Kitosan telah digunakan secara luas. Kitosan diketahui mempunyai kemampuan untuk membentuk film, gel dan fiber karena berat molekulnya yang tinggi dan solubilitasnya dalam larutan asam encer (Vipin et al., 2011). Sifatnya yang biodegradable dan memiliki aktifitas antibakteri membuat kitosan banyak diaplikasikan dalam bidang industri lainnya seperti, pengembangan biomaterial, industri kertas dan tekstil, bidang obat - obatan serta bidang kecantikan.
Tabel 2.3. Penggunaan kitosan Penggunaan Penjernihan a. Limbah industri pangan b. Penjernihan air minum c. Penjernihan kolam renang d. Penjernihan zat warna e. Industri sari buah Bimedis Bioteknologi Industri Tekstil Kosmetik Fotografi
Fungsi Koagulasi/Flokulan Koagulasi Flokulan mikroba Pembentuk kompleks Flokulan protein Menurunkan kadar kolesterol Mempercepat penyembuhan luka Meningkatkan ketahan warna Substantive rambut dan kulit Melindungi film dari kerusakan
Biomaterial Gugus amina (-NH2) dan hidroksil (-OH) pada rantai kitosan, menyebabkan kitosan bersifat polielektrolit kationik (pKa = 6,5), hal yang sangat jarang terjadi secara alami. Sifat - sifat ini kemudian menjadikan kitosan: a.
Dapat larut dalam media asam encer membentuk larutan yang kental sehingga dapat digunakan dalam pembuatan gel. Dalam beberapa variasi konfigurasi seperti butiran, membran, pelapis kapsul, serat dan spons.
b.
Membentuk kompleks yang tidak larut dalam air dengan polianion yang dapat juga digunakan untuk pembuatan butiran gel, kapsul dan membran.
12
Kitosan dan beberapa tipe modifikasinya dilaporkan penggunaannya untuk aplikasi biomedis, seperti pelembab kulit, penyembuh luka, anti koagulan, jahitan pada luka (suuture), obat-obatan, bahan vaksin, dan dietary fiber. Baru-baru ini, penggunaan kitosan dan derivatnya mulai dilirik untuk dikembangkan sebagai sensor, bahan bakar sel (membran), model studi interaksi membran biologis, pelapisan untuk anti bakteri, penyusun DNA, pelapisan membran.
2.2 Carboxymethyl Cellulose (CMC) CMC adalah polisakarida anionik linier yang larut dalam air dan merupakan gom alami yang dimodifikasi secara kimia. Bubuk CMC yang telah dimurnikan berwarna putih sampai krem, tidak berasa dan tidak berbau. Fungsi dasar CMC adalah mengikat air, menstabilkan komponen lain dan mencegah pengerutan. Stuktur CMC mempunyai kerangka D-glukopiranosa yang berikatan β-(1,4) dari polimer selulosa (Gambar 2.7). CMC diproduksi dengan cara mencampurkan selulosa dari pulp kayu atau kapas dengan larutan NaOH. Berbeda dengan turunan selulosa lainnya, CMC mengandung garam karboksil yang membuatnya lebih mudah larut dalam air bersifat pseudplastik, tetapi larutan CMC dengan derajat polimerisasi tinggi. Pada pH rendah, CMC kehilangan viskositasnya dan cenderung mengendap (Sugita dkk., 2009).
Gambar 2.6. Carboxymethyl Cellulose (CMC) Komersial (Anonim, 2013)
13
2.2.1 Sumber Carboxymethil Cellulose (CMC) CMC pada dasarnya merupakan turunan dari selulosa yang diproduksi untuk meningkatkan dan mengembangkan penggunaan selulosa yang lebih luas. Selulosa mendominasi karbohidrat dari tumbuh-tumbuhan hampir 50% karena selulosa merupakan bagian terpenting dari dinding sel tumbuh-tumbuhan. Selulosa ini banyak ditemukan dalam tanaman yang dikenal sebagai miofibril dengan diameter 2 - 20 nm dan panjang 100 - 40000 nm (Pedram et al., 2009). Selulosa adalah unsur struktural dan komponen utama dinding sel dari pohon dan tanaman tinggi lainnya. Senyawa ini juga dijumpai dalam tumbuhan rendah seperti paku, lumut, ganggang, dan jamur. Serat alami yang paling murni ialah serat kapas, yang terdiri dari sekitar 98% selulosa (Sugita dkk., 2009). Selulosa merupakan β-1,4 poli glukosa, dengan berat molekul sangat besar. Unit ulangan dari polimer selulosa terikat melalui ikatan glikosida yang mengakibatkan struktur selulosa linier. Keteraturan struktur tersebut juga menimbulkan ikatan hidrogen secara intra dan intermolekul. Beberapa molekul selulosa akan membentuk mikrofibril yang sebagian berupa daerah teratur (kristalin) dan diselingi daerah amorf yang kurang teratur (Agung dkk., 2009).
COOCH2 CH2OH
OH
O
O
O
O O OH
O
O
CH2OH
CH2 COO-
n
Gambar 2.7. Struktur kimia CMC
Beberapa mikrofibril membentuk fibril yang akhirnya menjadi serat selulosa. Selulosa memiliki kekuatan tarik yang tinggi dan tidak larut dalam kebanyakan pelarut. Hal ini berkaitan dengan struktur serat dan kuatnya ikatan hidrogen.
14
Penggunaan terbesar selulosa di dalam industri adalah berupa serat kayu. Untuk aplikasi lebih luas, selulosa diturunkan menjadi beberapa produk, antara lain Microcrystalline Cellulose, Carboxymethyl cellulose, Methyl cellulose dan hydroxypropyl methyl cellulose. Produk-produk tersebut dimanfaatkan antara lain sebagai bahan antigumpal, emulsifier, stabilizer, dispersing agent, pengental, dan sebagai gelling agent (Arum dkk., 2005).
Gambar 2.8. Keteraturan dalam struktur selulosa
2.2.2 Sifat - Sifat Carboxymethil Cellulose (CMC) Sebagai turunan dari selulosa, CMC memiliki fungsi utama sebagai stabilisator, pengemulsi serta pembentu gel (Feby dkk., 2009). Molekul CMC sebagian besar meluas dan memanjang pada konsentrasi rendah tetapi pada konsentrasi tinggi molekulnya bertindih dan menggulung, kemudian pada konsentrasi yang lebih tinggi lagi membentuk benang kusut menjadi gel termoreversibel (Agung dan Lina, 2009). CMC merupakan eter polimer selulosa linier dan berupa senyawa anion yang bersifat biodegradable, tidak berbau, tidak berwarna, tidak beracun, butiran atau bubuk yang larut dalam air, memiliki rentang pH sebesar 6,5 sampai 8,0 dan stabil pada rentang pH 2 - 10, transparan serta tidak bereaksi dengan senyawa organik (R. Jayakumar et al., 2010).
15
2.2.3 Aplikasi Carboxymethil Cellulose (CMC) Saat ini CMC telah banyak digunakan dan bahkan memiliki peranan penting dalam berbagai aplikasi. CMC secara luas digunakan dalam bidang pangan, kimia, perminyakan, pembuatan kertas dan tekstil serta bangunan. Penggunaan CMC dibidang tersebut melibatkan kemampuan CMC sebagai stabilizer, thickner, adhesive dan emulsifier. Pemanfaatannya yang sangat luas, mudah untuk diaplikasikan serta harganya yang relatif tidak mahal menjadikannya menjadi salah satu zat yang diminati dalam industri sebagaimana pada tabel 2.4. Tabel 2.4. Penggunaan CMC Industri
Penggunaan
Pangan
Makanan/Minuman
Farmasi
Tablet Obat Salep
Kosmetik
Pasta gigi Gigi palsu Aditif Pelapis
Produk Kertas Perekat Keramik Detergen
Perekat pelapis dinding Pelapis Sabun cuci
Tekstil
Pelengkung
Fungsi Pengental, Pemberi rasa makanan/minuman, Pengikat air, Pengekstrusi Pengikat, Pembentuk butiran, pengikat air, Pengental dan Pembentuk film Pengental, Pensuspensi, Perekat, Pembentuk Gel, Pembentuk Film Pengikat, Peningkatan kekuatan, Pengikat air, pengental Pengikat air, Pembentuk film Pengikat, Pelumas, Pengental Antiredeposisi Perekat, Pembentuk tekstur permukaan
2.3 Film Kitosan dengan Penambahan Carboxymethyl Cellulose (CMC) Film kitosan dengan prekursor kitosan yang merupakan polimer yang terbuat dari polisakarida terbesar kedua di alam setelah selulosa. Dan kitosan ini banyak digunakan untuk berbagai fungsi, termasuk pada pembuatan biomaterial baru. Disamping itu, kitosan banyak diteliti untuk dikembangkan oleh karena karakter fisiologis dan teksturnya yang menarik, dengan sifat non-toxic dan biodegradable (Yudi, 2007).
16
Kelarutan yang cukup tinggi memungkinkan kitosan banyak diaplikasikan untuk pembuatan biomaterial baru dalam bentuk film. Sifat pembentukan ini manjadi alasan kitosan dijadikan biomaterial baru berupa film yang diaplikasikan sebagai pengemas pada industri makanan/minuman, sebagai edible film pada pelapisan buah hingga material elektronik semacam sensor. Namun demikian, kebanyakan film kitosan yang dibentuk atau hasil fabrikasi umumnya bersifat kaku dan rapuh (Kun-Wei et al., 2012). Sifat mekanik yang dihasilkan film kitosan adalah sebanding dengan polimer komersial berkekuatan sedang (Yudi, 2007). Karenanya, selain penggunaan bahan utama berupa polimer pada pembuatan film, sejumlah kecil bahan kimia lainnya seringkali ditambahkan untuk memperbaiki sifat - sifat fungsionalnya tersebut. Penambahan zat kimia baik berupa plasticizer, emulsifier ataupun stabilizer banyak dipilih untuk memodifikasi sifat film kitosan yang dibuat. Dalam pembuatan film, adanya plasticizer, emulsifier ataupun stabilizer dipakai untuk memperbaiki profil film, menjaga keutuhan dan menghindari lubang dan keretakan. Keberadaan zat tersebut juga menghasilkan film yang lebih fleksibel, lebih kuat dan tidak mudah pecah namun juga mempengaruhi sifat barriernya. Didalam matriks film, zat tersebut akan mengurangi ikatan intermolekul antar rantai polimer sehingga memperlemah gaya intermolekul tersebut (Yudi, 2007). CMC, xanthan, guar dan arabic gum adalah beberapa jenis polisakarida yang memiliki sifat sebagai plasticizer, emulsifier ataupun stabilizer. Akan tetapi, CMC lebih banyak digunakan karena viskositasnya yang tinggi dan non - toxic. Sejumlah gugus hidroksil (OH) dan karboksil (-COOH) pada CMC meningkatkan kemampuan mengikat air dan penyerapannya. CMC juga memiliki kandungan air tinggi, biodegradability yang baik dan aplikasi yang luas. Karena struktur polimer serta berat molekul yang tinggi yang dimilikinya, CMC dapat digunakan sebagai filler pada pembuatan film. Keberadaan CMC mampu meningkatkan sifat mekanik dan sifat barrier film hasil fabrikasi (Tongdeesoontorn et al., 2011). Chen et al. (2005) telah membuat membran kitosan-CMC dengan penaut silang glutaraldehida dan partikel silika untuk diaplikasikan sebagai pengadsorpsi lisozim. Hasilnya membran kitosan-CMC tidak larut dalam air bila konsentrasi CMC dalam membran kurang dari 30% (b/b). Membran menunjukkan sifat
17
adsorbsi paling baik untuk lisozim ketika konsentrasi CMC 20% (b/b). Membran juga memiliki sifat sangat stabil karena keberadaan kitosan yang menjadi tidak mengembang dalam kondisi basa tersebut. Li dan Bai (2005) mereaksikan kitosan dengan selulosa yang ditautsilangkan dengan etilena glikol diglisidil eter yang diaplikasikan untuk penyerapan tembaga (Cu). Penambahan selulosa ini menunjukkan kapasitas adsorbsi sangat tinggi untuk kitosan yang tertaut silang ataupun tidak. Namun, kapasitas adsorbsi padaa kitosan-selulosa tertaut silang sedikit lebih rendah. Modifikasi kimia kitosan pada dasarnya dilakukan karena dapat meningkatkan kapasitas serapannya. Ini dikarenakan bentuk butiran hasil modifikasi mempunyai volume pori yang lebih besar. Akan tetapi hal ini bergantung pada kestabilan sifat kitosan termodifikasi yang dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti pH, suhu, polielektrolit, dan keberadaan hidrokoloid. Dan adanya penambahan CMC untuk perbaikan film kitosan menunjukkan perubahan pada sifat film yang jauh lebih elastis (Sugita dkk., 2009). Perbaikan kemampuan kitosan sebagai film dengan CMC, oleh Sugita dkk. (2010) dinyatakan meningkatkan sifat mekanik dan proses pembentukan film berlangsung lebih cepat.
2.4 Teknik Deposisi Film Teknik deposisi film sangat dikenal hingga saat ini sebagai kunci utama dalam menciptakan teknologi semacam komputer, karena seluruh komponen mikroelektroniknya terbuat dari berbagai material yang diolah melalui proses deposisi. Lebih dari itu, contoh nyata terkait pentingnya teknologi ini dapat dilihat pada pabrik komponen - komponen semikonduktor, suatu industri yang secara total bergantung pada pembentukan solid film dari berbagai material yang dideposisi dari bentuk gas, cair ataupun padat (Veer, 2010). Material padatan dikatakan berbentuk film ketika material tersebut ditumbuhkan di atas permukaan suatu substrat secara terkontrol pada susunan atomik, molekular dan ion - ionnya baik melalui proses fisika ataupun kimia. Pemrosesan material menjadi film mengizinkan integrasi yang mudah pada berbagai tipe peralatan elektronika. Sifat - sifat suatu material secara signifikan
18
terlihat berbeda ketika dianalisa dalam bentuk film. Banyak fungsi ataupun manfaat material yang lebih banyak dapat diterapkan jika dalam bentuk film karena sifat - sifat khususnya seperti sifat listrik, magnet dan optiknya.
2.4.1 Klasifikasi Teknik Deposisi Film Pada dasarnya, teknik deposisi film adalah murni berbasis fisika seperti metode evaporasi atau murni berdarkan prinsip - prinsip kimia seperti liquid phase chemical process. Namun, pada beberapa keadaan terjadi overlapping proses yang dikategorikan sebagai metode fisika - kimia seperti proses yang melibatkan pergerakan elektron dalam reaksi sputtering. Sifat - sifat dari film sangat sensitif pada metode prepasrasi sampel film tersebut, dan beberapa teknik telah dikembangkan untuk proses deposisi film dari material logam, keramik, polimer dan superkonduktor di atas berbagai material substrat. Beberapa metode tersebut diuraikan dalam tabel berikut ini: Teknik Deposisi Film
Fisika
Kimia
Sputtering
Evaporation
Gas Phase
Liquid Phase
Glow Discharge DC Sputtering
Vacuum Evaporation
Chemical Vapour Deposition
Electrodeposition
Triode Sputtering
Resistive Heating
Laser Chemical Vapour Deposition
Chemical Bath depostion
Getter Sputtering
Flash Evaporation
Photo-chemical Vapour Deposition
Electroless Deposition
Radio Frequency Sputtering
Electron Beam Evaporation
Magnetron Sputtering
Laser Evaporation
Ion Beam Sputtering
Arc Evaporation
AC Sputtering
Radio Frequency Heating
Plasma Enhanced Vapour Deposition Metal-Organo Chemical Vapour Deposition (MO-VCD)
Anodisation Liquid Phase Epitaxy Sol-gel Spin Coating Spray-Phyrolysis Technique (SPT)
Ultrasonic Polymer Assisted Deposition
Gambar 2.9. Klasifikasi dasar teknik - teknik deposisi film
19
Dari sekian banyak teknik - teknik dalam pemrosesan suatu material ke dalam bentuk film, tidak ada satu teknik pun yang mampu menghasilkan suatu film dengan karakteristik yang lengkap baik listrik, magnet, optik dsb (Jon S, 2005). Karenanya, pemilihan proses ataupun metode deposisi yang bersesuaian mengambil peranan penting dalam membentuk kualitas film yang baik sesuai yang diharapkan. Untuk itu ada beberapa aspek yang perlu diperhatikan, diantaranya: a.
Efektivitas biaya
b.
Mampu mendeposisi material dasar
c.
Mikrostruktur film dan laju deposisi dapat dikontrol
d.
Stokiometri material diatur diawal pemrosesan material
e.
Beroperasi pada suhu rendah
f.
Adhesive pada suhu rendah
g.
Ketersedian bahan deposit melimpah
h.
Bahan deposit bersesuain dengan substrat yang dipilih Diantara variasi teknik yang didiskusikan di atas, metode elektrodeposisi
akan diuraikan lebih lanjut dalam penelitian ini.
2.4.2 Metode Elektrodeposisi Luigi V. Brugnatelly, seorang ahli kimia berkebangsaan Itali merupakan orang pertama yang memperkenalkan metode elektrodeposisi. Elektrodeposisi adalah proses pelapisan suatu material dengan menggunakan bantuan arus lsitrik searah dan senyawa tertentu guna memindahkan partikel dari material pelapis ke permukaan material lain yang dilapisi. Bila listri dialirkan antara dua elektroda (anoda & katoda) di dalam suatu larutan konduktor/elektrolit, maka akan terjadi reaksi kimia pada permukaan elektroda tersebut. Pada sistem demikian, bila diberi tegangan atau beda potensial, ion - ion bergerak menuju elektroda. kation bergerak menuju katoda dan anion bergerak menuju anoda (Ade, 2008).
20
2.4.3 Dasar Metode Elektrodeposisi Pada prinsipnya proses pelapisan material dengan metode elektrodeposisi dilakukan dalam suatu rangkaian yang terdiri atas beberapa peralatan berupa wadah elektrodeposisi, larutan elektrolit, elektroda dan power supplay yang disusun sedemikian rupa sehingga membentuk suatu sistem lapis listrik yang secara sederhana digambarkan sebagai berikut:
Gambar 2.10. Sistem pelapisan di atas permukaan substrat (elektroda)
Sebelum proses dilakukan maka perlu terlebih dahulu untuk menentukan parameter - parameter dalam operasi, seperti: lamanya proses elektrodeposisi dan besar arus yang harus dialirkan (Basmal, 2011).
2.4.4 Sistem Dalam Metode Elektrodeposisi Adapun metode elektrodeposisi dalam prosesnya melibatkan wadah elektrodeposisi, larutan elektrolit, elektroda dan power supplay. a.
Wadah Elektrodeposisi Wadah ini diperlukan sebagai tempat berlangsungnya proses pelapisan material pada permukaan substrat dengan metode elektrodeposisi. Wadah elektrodeposisi merupakan tempat larutan elektrolit, anoda dan katoda berada. Dan wadah yang digunakan harus tahan terhadap bahan - bahan kimia yang bersifat asam. Disamping itu, perlu untuk mempertimbangkan bentuk atau
21
desain konstruksi wadah agar bersesuaian dengan proses yang akan dilakukan seperti volume larutan elektrolit, jarak ideal antara katoda dana anoda serta peralatan pendukung lainnya jika diperlukan. Sebaik - baiknya jarak antara elektroda dalam bak cukup dekat pada kisaran 0,5 cm (Ade, 2008). b.
Larutan Elektrolit Larutan elektrolit dalam hal ini merupakan media peghantar listrik antara anoda dan katoda yang didalamnya terkandung ion - ion ataupun komponen komponen material yang akan dilapiskan. Seperti halnya pada larutan elektrolit untuk elektrodeposisi kitosan - CMC harus mengandung ion - ion penyusun kitosan sebagai bahan utama pembuatan film dalam deposisi. Larutan elektrolit yang digunakan sebaiknya encer atau dengan kepekatan yang merata (Basmal, 2008).
c.
Elektroda (Anoda/Katoda) Anoda, merupakan elektroda yang dihubungkan pada kutub positif pada power supplay DC. Reaksi kimia yang terjadi pada anoda adalah reaksi reduksi. Katoda, adalah elektroda yang akan dihubungkan dengan kutub negatif pada power supplay DC. Yang menempati posisi katoda adalah benda atau susbtrat target deposit untuk dilapisi sehingga proses elektrodeposisi disebut juga dengan pelapisan katodik dimana terjadi reaksi reduksi dengan reaksi secara umum diberikan: M n+ +
d.
ne
→
M o (mengendap di katoda)
Power Supplay Alat ini merupakan alat yang dibutuhkan untuk menghasilkan arus dan tegangan DC yang besarnya dapat diukur baik dengan amperemeter dan volmeter atau sistem yang telah diset untuk melakukan pembacaan keluaran listrik dari suatu komponen. Besarnya tegangan DC yang dialirkan pada sistem elektrodeposisi harus disesuaikan dengan kondisi operasi yang dibutuhkan agar proses pelapisan dapat berlangsung dengan baik (Ade, 2008).
22
2.5 Teknologi Sensor Para peneliti di lembaga riset maupun perguruan tinggi berlomba - lomba untuk mengembangkan sensor dan sistem sensor baru dengan prinsip dan metoda yang berbeda - beda untuk memenuhi kebutuhan akan otomatisasi, keamanan dan kenyamanan. Saat ini teknologi sensor telah memasuki bidang aplikasi baru dan pasar yang semakin meluas seperti otomotif dan rumah cerdas (smart home). Pada waktu yang bersamaan sensor atau sistem sensor juga dituntut untuk dapat mengatasi fenomena alam, seperti; peringatan dini gempa bumi, tsunami, pemanasan global dan gunung berapi. Kemudian berlanjut untuk tuntutan peralatan kesehatan yang serba otomatis dan portable. Besaran - besaran yang selama ini sulit diukur menjadi tantangan utama bagai para peneliti dalam mengembangkan sensor dan sistem sensor. Tantangan lain adalah meningkatkan nilai informasi sensor dengan menggunakan metoda metoda pengukuran yang sudah dikenal. Oleh karena itu, dalam pengembangan sensor dan sistem sensor perlu dipilih prinsip-prinsip pengukuran yang cocok, pengukuran pengukuran khusus perlu dikembangkan untuk meningkatkan kemampuan sensor.
2.5.1 Definisi Umum Sensor Secara istilah ilmu pengetahuan, sensor diartikan sebagai alat yang mampu menangkap fenomena fisika (magnetik, mekanik, radiasi dll) atau kimia yang kemudian mengubahnya menjadi sinyal elektrik baik arus listrik maupun tegangan. Fenomena fisik yang mampu menstimulus sensor untuk menghasilkan sinyal elektrik meliputi temperatur, tekanan, gaya, medan magnet cahaya, pergerakan dan sebagainya. Sementara fenomena kimia dapat berupa konsentrasi dari bahan kimia baik cairan maupun gas. Dengan definisi seperti ini maka sensor merupakan alat elektronik yang begitu banyak dipakai dalam kehidupan manusia saat ini. Bagaimana tekanan jari kita pada keyboard komputer, remote televisi, menghasilkan perubahan pada layar computer atau televisi, serta gerakan pada lift adalah contoh mudah sensor secara luas.
23
Demikian pula sensor pengukur cairan oksigen ataupun gas lainnya yang sering digunakan di rumah sakit. Hampir seluruh kehidupan sehari – hari saat ini tidak ada yang tidak melibatkan sensor. Tidak mengherankan jika sensor banyak disebut juga sebagai panca indera-nya alat elektronik modern. Kualitas suatu sensor atau sistem sensor dipengaruhi tiga komponen utama pembentuknya, yaitu; struktur sensor, teknologi manufaktur dan algoritma pengolah sinyalnya. Besaran fisika atau kimia yang diukur menjadi sinyal analog elektronik. Sinyal analog ini oleh unit pra pengolah sinyal diubah menjadi sinyal digital, seperti yang diperlihatkan pada Gambar 2.11.
Gambar 2.11. Komponen penyusun dan pendukung sensor
2.5.2 Klasifikasi Umum Sensor Sensor sebagaimana diuraikan sebelumnya merupakan alat yang bekerja dengan mendeteksi dalam berbagai kondisi dan pada berbagai target deteksi. Seiring dengan berkembangan kehidupan, semakin banyak kondisi dan target yang dideteksi. Untuk itu, berbagai jenis sensor dibuat dan dikembangkan. Berikut ini adalah beberapa jenis sensor yang ada dalam kehidupan yang diklasifikasikan secara umum.
24
Sensor Fisika
Sensor Cahaya, Suhu, Percepatan, dsb
Sensor Kimia
Sensor Gas, pH, Ledakan, dsb
Sensor Aktif
Termokopel
Sensor Pasif
Termistor
Berdasarkan variabel yang diindera
Berdasarkan kebutuhan akan Power Supplay
Sensor Analog
Potensiometer
Sensor Digital
Position Encoder
Berdasarkan sinyal output
Klasifikasi Sensor
Deflection
Deflection Accelometer
Berdasarkan Mode Operasi Deflection Nul
Servo Accelometer
Berdasrkan hubungan input – output dll
Gambar 2.12. Klasifikasi umum sensor
2.5.3 Karakteristik Umum Sensor Karakteristik sensor dikaji berdasrkan sejauh mana sensor mampu beroperasi sebagaimana fungis kerjanya atau sejauh mana sensor mampu mengenali zat yang dideteksi. Kemampuan - kemampuan tersebut meliputi: Linieritas, menyatakan karakteristik konversi dari sensor dimana keluarannya proporsional dengan masukannya. Karakteristik ini sangat berpengaruh terhadap sensitivitas yang dimiliki sensor. Apabila tanggapannya diperoleh linier, maka sensitivitasnya juga akan sama untuk jangkauan pengukuran keseluruhan. 100
Tegangan (Keluaran)
a.
0 Konsentrasi (Masukan)
1
Gambar 2.13. Grafik linieritas sensor gas
25
b.
Selektivitas,
merupakan
sejauh
mana
sensor
memiliki
kemampuan
menyeleksi gas yang ingin dideteksi, karena gas yang dideteksi tentunya tercampur dengan zat lain disekelilingnya. Plot hasil selektivitas sensor berkaitan dengan linieritas sensor. Artinya hasil selektivitas semakin baik jika plot grafik keluaran terhadap konsentrasi gas mendekati linier. c.
Response & Recovery Time, merupakan waktu yang dibutuhkan oleh sensor untuk mengenali zat yang dideteksi dan meresponnya dalam bentuk tegangan keluaran untuk selanjutnya memulihkan kondisinya sesegera mungkin kekondisi awal sensor setelah pengaruh gas yang dideteksi dihilangkan.
Tegangan (V)
(Recovery)
(Response)
Waktu (detik)
Gambar 2.14. Grafik response and recovery sensor d.
Repeatability, menyatakan kebolehulangan sensor untuk menghasilkan keluaran dengan hasil relatif sama saat sensor diuji terhadap gas dengan konsentrasi yang sama dalam kondisi dan sistem yang sama secara berulang.
Gambar 2.15. Grafik repeatability sensor
26
e.
Reproducibility, merupakan karakteristik sensor dimana sensor diproduksi dengan komposisi yang sama dengan jumlah tertentu kemudian diuji pada suatu sistem yang sama dan keseluruhan sensor memberikan hasil yang relatif sama.
Tegangan (V)
Sensor 1 Sensor 2 Sensor 3
Waktu (detik)
Gambar 2.16. Grafik reproducibility sensor f.
Life Time, ini menunjukkan karakteristik kestabilan jangka panjang sensor ataupun jangka waktu pemakaian sensor.
g.
Stability, menyatakan konsistensi sensor dalam memberikan hasil keluaran yang sama selama proses pengujian tanpa terpengaruh oleh kondisi atau lingkungan sekitar. Hal ini didasarkan pada prinsip pendeteksian sensor gas dimana terjadi proses desorpsi dan adsoprsi pada permukaan sehingga terjadi perubahan pada temperatur dan % Relative Humidity nya.
2.6 Aseton 2.6.1 Sumber Aseton Keton adalah senyawa sederhana yang mengandung sebuah gugus karbonil dan sebuah ikatan rangkap C=O. Keton termasuk senyawa sederhana jika ditinjau berdasarkan ada tidaknya gugus - gugus reaktif yang lain seperti -OH yang terikat langsung pada atom karbon di gugus karbonil seperti yang ditemukan pada asam karboksilat yang mengandung gugus -COOH.
27
Senyawa keton banyak terdapat dalam makhluk hidup seperti gula ribosa yaitu gula dengan atom C sebanyak lima buah dan mengandung gugus karbonil. Salah satu contoh yang termasuk senyawa keton adalah aseton yang dikenal dengan propanon, dimetil keton, 2-propanon, dimetilformaldehida dan βketopropena. Bentuk struktur aseton ini digambarkan berupa trigonal planar seperti di bawah ini:
H 3C
C
CH3
O Gambar 2.17. Struktur molekul aseton Aseton dapat bercampur dalam air dan dalam semua perbandingan adalah suatu zat pelarut yang baik bagi banyak zat-zat organik, aseton dipakai dalam pembuatan senyawa penting. Air kencing biasanya mengandung sedikit aseton, tetapi lebih banyak dalam keadaan sakit tertentu seperti diabetes melitus.
2.6.2 Sifat Fisika dan Kimia Aseton Aseton merupakan suatu keton yang dapat dibuat dari bahan dasar isopropil alkohol dengan cara oksidasi. Aseton adalah zat tidak berwarna dan mempunyai bau yang sengit yang menjadi tandanya. Adapun sifat - sifat aseton lebih lengkapnya diuraikan pada tabel di bawah ini: Tabel 2.5. Sifat fisika dan kimia aseton Sifat
Keterangan
Rumus Molekul
CH3COCH3
Massa Molar
58,08 g/mol
Wujud Densitas
Cairan tidak berwarna 0,79 g/cm3
Titik Beku
-94,9oC
Titik Didih
56,55oC
Bentuk Molekul
Trigonal Planar pada C=O
28
2.6.2.1 Sifat Fisika Aseton Titik Didih Keton sederhana seperti aseton memiliki wujud cair dengan titik didih 56,55oC. Senyawa keton mengandung 3 - 12 atom C berupa cairan berbau sedang dan pada suhu tinggi akan berupa jadi padatan dengan titik didih yang lebih tinggi. Besarnya titik didih ini dikarenakan adanya gaya dispersi dan gaya dipol dipol Van Der Walls antara molekul - molekul yang berdekatan.
Kelarutan Dalam Air Keton kecil dapat larut secara bebas dalam air tapi kelarutannya berkurang dengan bertambahnya rantai molekulnya. Hal ini menyatakan bahwa, keton tidak dapat berikatan dengan atom H dari sesama tapi bisa berikatan dengan H2O. Salah satu atom H yang bermuatan positif dalam molekul air dapat tertarik ke salah satu pasangan elektron bebas dari atom O2 dari keton membentuk ikatan H. Dan kondisi ini juga dipengaruhi oleh adanya gaya dispersi dan gaya dipol - dipol yang membantu meningkatkan kelarutan aseton.
Kepolaran Aseton bersifat semipolar, hal ini dilihat dari struktur kimianya. Dimana terdapat ikatan C=O dengan selisih keelektronegatifan sebesar satu yang menyatakan bahwa senyawa tersebut bersifat polar. Tetapi adanya gugus C-H dengan selisih keelektronegatifan sebesar 0,4 yang menyatakan bahwa senyawa aseton ini juga bersifat non polar. Oleh karena itu, senyawa aseton dapat digunakan sebagai pelarut polar dan pelarut non polar.
2.6.2.2 Sifat Kimia Aseton Reaktivitas Atom O pada gugus karbonil jauh lebih elektronegatif dibandingkan dengan karbon sehingga memiliki kecenderungan kuat untuk menarik elektron yang terdapat dalam ikatan C=O kearahnya sendiri dan bahkan lebih mudah ditarik kearah O2. Sehingga menyebabkan ikatan C=O polar. Karenanya karbon pada karbonil bersifat elektrofilik dan lebih reaktif terhadap sejenis nukleofil.
29
Nukleofil ini merupakan sebuah ion bermuatan negatif atau bagian yang bermuatan negatif dari sebuah molekul (seperti pasangan elektron pada molekul NH3).
Reaksi Oksidasi Reduksi Aseton Reaksi oksidasi pada senyawa aseton menghasilkan asam karboksilat. Pada dasarnya, oksidasi pada senyawa ini tidak mudah atau sukar terjadi dikarenakan dalam prosesnya melibatkan ikatan karbon sehingga diperlukan energi yang cukup besar untuk terjadinya reaksi oksidasi tersebut.
2.6.3 Pemeriksaan Gas Aseton Nafas Dibandingkan dengan metode - metode pemeriksaan DM sebelumnya, metode ini relatif baru. Karena sampel yang digunakan berupa nafas yang berbentuk gas maka diperlukan suatu alat deteksi yang memiliki tingkat kepekaan yang lebih tinggi dibanding alat pemeriksaan lainnya. Dan hingga saat ini, alat pemeriksaan untuk metode ini masih tersedia dalam jumlah kecil dan hanya tersedia di rumah sakit sehingga untuk sekali pemeriksaan dibutuhkan biaya tinggi. Gas Chromatography - Mass Spectrometry (GS-MS) dan Proton Transfer Reaction - Mass Spectrometry (PTR-MS) adalah beberapa alat deteksi gas dengan ketepatan tinggi yang ada saat ini. Namun, alat - alat tersebut tidak memenuhi persyaratan klinis dan tidak dapat diterapkan di rumah karena sifatnya yang kurang portabel dengan biaya relatif mahal dan analisa yang kurang real - time. Alternatif lain yang kemudian ditawarkan adalah pengembangan berbagai jenis sensor gas aseton dari berbagai material. Dan sensor berbasis semikoduktor adalah yang paling banyak dilakukan, seperti: Penelitian oleh Lilik dkk., (2012) yang membuat sensor aseton dari keramik kombinasi Fe2O3-NiO melalui proses pembakaran hingga 1000oC selama 90 menit. Kun-Wei et al., (2012) mengembangkan sensor aseton dari ultrathin Indium Nitrat (InN) epilayer yang mampu mendeteksi hingga 0,4 ppm konsentrasi gas dan beroperasi pada suhu 200oC. Hasil penelitian lainnya oleh Yeobyol et al., (2014) membuat sensor berbasis komposit Graphene Oxide. Tabel menunjukkan
30
beberapa sensor aseton dari berbagai material semikonduktor. Tetapi, kebanyakan belum bisa memberikan keluaran yang bersifat high sensitivity dan high liniearity padahal proses fabrikasi melibatkan proses kompleks dengan biaya yang relatif mahal. Tabel 2.6. Daftar sensor gas aseton yang telah difabrikasi Material
Prinsip Operasi Sensor
Konsentrasi terendah yang dideteksi (ppm)
Waktu
Temperatur
Respon
Operasi
In2O3
25
10 s
400oC
WO3
0.2
3,5 m
400oC
100
30 s
200oC
500
33 s
275oC
TiO2
1
10 s
500oC
GaN
500
10 s
350oC
InN
0.4
150 s
200oC
ZnO LaFeO3
Resistansi/ Tegangan
Pada perkembangan selanjutnya, polimer komposit dan polimer konduktif hadir sebagai material baru untuk bahan pembuat sensor gas. Jikas sensor gas dari metal oksida digunakan untuk memonitor gas hasil pembakaran kendaraan dan industri maka sensor gas dari polimer komposit dan polimer konduktif dibutuhkan untuk mendeteksi polutan berupa gas seperti sulfur oksida dan uap senyawa organik beracun yang dihasilkan oleh industri (Robert dkk., 2010). Kelebihan polimer konduktif antara lain tersedianya material dengan struktur molekul yang bervariasi, memiliki harga material yang relatif murah, memilki sensitivitas yang tinggi untuk bermacam-macam uap senyawa organik, sensor gas dari polimer konduktif organik dapat digunakan pada suhu ruang. Umumnya, sensor gas dari polimer konduktif organik menunjukkan sensitivitas yang baik, khususnya untuk senyawa polar (Slamet dkk., 2010).