AKTIVITAS ANTIHIPERGLIKEMIK DARI BIOMASA DAN FIKOSIANIN Spirulina fusiformis DENGAN TES TOLERANSI GLUKOSA ORAL PADA TIKUS Sprague Dawley
NUR MADINA
DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
RINGKASAN NUR MADINA. C34060349. Aktivitas Antihiperglikemik dari Biomasa dan Fikosianin Spirulina fusiformis dengan Tes Toleransi Glukosa Oral pada Tikus Sprague Dawley. Dibawah bimbingan IRIANI SETYANINGSIH dan MARIA BINTANG. Spirulina fusiformis merupakan varian dari mikroalga Spirulina sp. Mikroalga Spirulina lebih banyak dimanfaatkan oleh masyarakat karena kandungan nutrisi di dalamnya yang lengkap serta daya cerna yang lebih besar dibandingkan mikroalga jenis lainnya. Spirulina dapat menghasilkan pigmen biru yang disebut fikosianin. Biomasa Spirulina maupun fikosianin dinyatakan memilki banyak komponen teraupetik (senyawa obat). Penggunaan obat sintetik antidiabetes menyebabkan efek samping berupa kembung, diare, dan kram usus. Oleh karena itu, diperlukan alternatif berupa substansi alam yang mempunyai aktivitas antihiperglikemik. Tujuan penelitian ini adalah menentukan umur panen Spirulina fusiformis dengan kadar fikosianin tertinggi serta menguji potensinya sebagai antihiperglikemik pada tikus Sprague Dawley. Penelitian ini dilaksanakan dalam beberapa tahap meliputi kultivasi Spirulina fusiformis, produksi biomasa, ekstraksi fikosianin menggunakan air. Pengujian aktifitas antihiperglikemik dilakukan dengan tes toleransi glukosa oral. Analisis yang dilakukan meliputi pengukuran biomasa Spirulina, fikosianin, dan kadar glukosa darah tikus yang diukur pada selang waktu 0, ½, 1, 2, dan 3 jam. Dosis yang digunakan yaitu dosis 0,30 mg/g BB tikus dan 0,15 mg/g BB tikus, sedangkan kontrol positif adalah obat Acarbose (Glucobay) dosis 0,001 mg/g BB tikus, dan kontrol negatif adalah larutan sukrosa 80% b/v. Kurva pertumbuhan Spirulina fusiformis meliputi fase lag pada umur 0-7 hari; fase logaritmik pada umur 8-31 hari; fase deklinasi pada umur 32-34 hari; fase stasioner pada umur 35-75 hari; dan fase kematian mulai umur 76 hari. Kadar fikosianin pada umur panen 8, 15, 31, 35, dan 75 hari berturut-turut adalah 5,850%, 6,717%, 7,969%, 8,102%, dan 8,204%. Kadar fikosianin tertinggi diperoleh dari biomasa pada fase stasioner dengan umur panen 75 hari. Kadar glukosa darah tikus yang diberi biomasa 0,15 mg/g BB pada awal (0 jam), setelah ½, 1, 2, dan 3 jam berturut-turut sebesar 72,8, mg/dl, 97,6 mg/dl, 112,8 mg/dl, 80,0 mg/dl, dan 73,4 mg/dl, sedangkan yang diberi biomasa 0,30 mg/g BB pada awal awal (0 jam), setelah ½, 1, 2, dan 3 jam berturut-turut sebesar 72,8, mg/dl, 91,8 mg/dl, 99,8 mg/dl, 86,0 mg/dl, dan 73,4 mg/dl. Kadar glukosa darah tikus yang diberi fikosianin 0,15 mg/g BB pada awal (0 jam), setelah ½, 1, 2, dan 3 jam berturut-turut sebesar 72,8 mg/dl, 98,0 mg/dl, 112,8 mg/dl, 86,4 mg/dl, dan 73,4 mg/dl, sedangkan yang diberi fikosianin 0,30 mg/g BB pada awal (0 jam), setelah ½, 1, 2, dan 3 jam berturut-turut sebesar 72,8 mg/dl, 96,0 mg/dl, 107,8 mg/dl, 84,4 mg/dl, dan 73,4 mg/dl. Perbedaan dosis biomasa dan fikosianin menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata (p<0,05) terhadap kadar glukosa darah tikus setelah ½, 1, dan 2 jam perlakuan, kecuali sebelum (0 jam) dan setelah 3 jam perlakuan yang tidak berbeda nyata (ρ<0,05). Hasil penelitian ini dapat memberikan informasi dasar terhadap pengembangan Spirulina fusiformis sebagai pharmaceautical dan neutraceutical. v
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Aktivitas Antihiperglikemik dari Biomasa dan Fikosianin Spirulina fusiformis dengan Tes Toleransi Glukosa Oral pada Tikus Sprague Dawley adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir dari skripsi ini.
Bogor, Februari 2012
Nur Madina NIM C34060349
AKTIVITAS ANTIHIPERGLIKEMIK DARI BIOMASA DAN FIKOSIANIN Spirulina fusiformis DENGAN TES TOLERANSI GLUKOSA ORAL PADA TIKUS Sprague Dawley
NUR MADINA
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan di Deparetemen Teknologi Hasil Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
:
Judul
Aktivitas Antihiperglikemik dari Biomasa dan Fikosianin Spirulina fusiformis dengan Tes Toleransi Glukosa Oral pada Tikus Sprague Dawley
Nama Mahasiswa : Nur Madina Nomor Pokok
:
C34060349
Program Studi
:
Teknologi Hasil Perairan
Menyetujui, Pembimbing I
Pembimbing II
Dr. Ir. Iriani Setyaningsih, MS NIP. 19600925 198601 2 001
Prof. Dr. drh. Maria Bintang, MS NIP. 19510814 197803 2 001
Mengetahui, Ketua Departemen Teknologi Hasil Perairan
Dr. Ir. Ruddy Suwandi, MS, M.Phil NIP. 19580511 198503 1 002
Tanggal Pengesahan : ......
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Surabaya, 27 November 1988. Penulis adalah putri pertama dari pasangan Bapak Masigei Hasibuan dan Ibu Umi Nayirotin. Penulis berasal dari jenjang pendidikan di SMU Darul‟Ulum 2 Unggulan BPPT Jombang (2004-2006). Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif dalam berbagai organisasi internal dan eksternal kampus. Penulis pernah menjabat sebagai Kepala Divisi PSDM Himpunan Mahasiswa Teknologi Hasil Perikanan (HIMASILKAN) pada tahun 2008-2009, Bendahara Umum Training ESQ, Mahasiswa Emas 2 In-House IPB tahun 2007, Redaktur Pelaksana majalah EMULSI IPB tahun 2008-2009. Dalam bidang akademik penulis pernah menjadi asisten luar biasa pada mata kuliah Mikrobiologi Dasar (2007-2008) dan koordinator asisten Mikrobiologi Hasil Perairan (2009-2010). Penulis merupakan penerima dana DIKTI untuk PKM-P dan PKM-K tahun 2009 serta menjadi perwakilan THP untuk Mahasiswa Berprestasi FPIK IPB pada tahun 2009 dengan judul makalah “Enkapsulasi Biopigmen Fikosianin dari Spirulina fusiformis sebagai Alternatif Pengganti Pigmen Non Food Grade dalam Industri Pangan”. Di luar kampus, penulis mempunyai aktivitas sebagai jurnalist lepas majalah FOODREVIEW, Kulinologi Indonesia, dan redaksi kording edukasi DUTA BAHARI. Penulis juga mengikuti beberapa seminar dan pelatihan, diantaranya, seminar dan pelatihan ISO 22000 yang diadakan oleh Institut Pertanian Bogor pada tahun 2008, seminar dan pelatihan Manajemen Pangan Halal pada tahun 2010, dsb. Penulis bersama pembimbing melakukan penelitian yang berjudul “Aktivitas Antihiperglikemik dari Biomasa dan Fikosianin Spirulina fusiformis dengan Tes Toleransi Glukosa Oral pada Tikus Sprague Dawley” sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada
Fakultas Perikanan dan
Ilmu Kelautan, dengan bimbingan Ibu Dr. Iriani Setyaningsih, MS dan Prof. Dr. drh. Maria Bintang, MS.
KATA PENGANTAR Penulis mengucapkan syukur ke hadirat Allah SWT atas rahmat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Aktivitas Antihiperglikemik dari Biomasa dan Fikosianin Spirulina fusiformis dengan Tes Toleransi Glukosa Oral pada Tikus Sprague Dawley”. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan kepada: 1) Dr. Ir. Iriani Setyaningsih, MS. dan Prof. Dr. drh. Maria Bintang, MS. selaku pembimbing atas segala motivasi, ilmu, dan nasihat yang diberikan 2) Dr. Ir. Agoes M. Jacoeb, Dipl. Biol. selaku ketua Program Studi Teknologi Hasil Perairan 3) Dr. Ruddy Suwandi, MS. M.Phil selaku ketua Departemen Teknologi Hasil Perairan 4) Dr. Sri Purwaningsih, M.Si. sebagai dosen penguji atas kritik dan sarannya 5) Keluarga tercinta, Ibunda Umi Nayirotin, adik Baharuddin, keluarga Om Baju A, keluarga ustd. Rosyid, keluarga Abah Fatich, serta suamiku tercinta M Naufal Noor atas doa tulus, kesabaran, dan kasih sayangnya 6) Microalgae crew dan tim asisten Mikrobiologi Hasper 2010, Ely E, Budi A, Dwi Abdia R, Hasanah, Yunny K, Ratna, Motto M, Khoirunnisa, atas kerjasama hebatnya selama ini 7) Seluruh Laboran terutama Ibu Ema Masruroh, Mbk Silvi, Mas Saipul, Mbk Lastri, Mbk Sellin, Ibu Martini, Pak Adi PAU, dan Pak Yanto 8) Seluruh keluarga besar IKALUM IPB dan adik-adikku di Liliput House, terutama sahabatku Saidatul Husnah, Dyah Lingga, Mas Asif, Mas Saiful, Ria, Puteng, Firza, Yunita, Icha, Bunga, Ainun, Cece atas silaturrahimnya 9) Rekan-rekan THP 43, 41, 42, dan 44: Andika TS, Evi P, M.Syahrial H, Wahyu R, Yayan F, yang memberi semangat serta pelajaran berharga 10) Terakhir, kepada semua pihak yang tidak bisa disebutkan disini. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukan.
Bogor, Februari 2012 Nur Madina
v
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL ..........................................................................................
ix
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................
x
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................
xi
1 PENDAHULUAN .......................................................................................
1
1.1 Latar Belakang ....................................................................................
1
1.2 Tujuan ..................................................................................................
3
2 TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................
4
2.1 Spirulina ..............................................................................................
4
2.1.1 Kultivasi Spirulina .................................................................... 2.1.2 Pertumbuhan Spirulina ...............................................................
6 7
2.2 Fikosianin ............................................................................................
8
2.3 Diabetes Mellitus dan Hiperglikemia ..................................................
10
2.3.1 Efek hiperglikemia pada diabetes melitus ................................. 2.3.2 Pengobatan Diabetes Melitus .................................................... 2.3.3 Tes Toleransi Glukosa ...............................................................
11 12 14
2.4 Penentuan kadar glukosa darah dengan Glucose Test Strip .................
15
2.5 Model Hewan Percobaan Diabetes Mellitus .......................................
15
2.6 Flavonoid dan aktivitas antidiabetes ...................................................
18
3 METODE PENELITIAN .........................................................................
20
3.1 Waktu dan Tempat ..............................................................................
20
3.2 Alat dan Bahan ....................................................................................
20
3.3 Tahapan Penelitian ..............................................................................
21
3.4 Prosedur Analisis .................................................................................
24
3.5 Analisis Data .......................................................................................
28
4 HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................
31
4.1 Kurva pertumbuhan Spirulina fusiformis ............................................
31
4.2 Biomasa Spirulina fusiformis ..............................................................
33
4.3 Kandungan fikosianin dari Spirulina fusiformis .................................
36
4.4 Aktivitas antihiperglikemik dari biomasa Spirulina fusiformis pada kadar glukosa darah tikus ....................................................................
37
4.5 Aktivitas antihiperglikemik dari fikosianin Spirulina fusiformis pada kadar glukosa darah tikus ....................................................................
43
5 KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................
47
5.1 Kesimpulan ..........................................................................................
47
5.2 Saran ....................................................................................................
47
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................
48
LAMPIRAN ..................................................................................................
53
viii
DAFTAR TABEL
Nomor
Halaman
1
Komposisi kimia Spirulina ..........................................................................
2
Nilai fisiologis tikus ..................................................................................... 16
3
Jumlah biomasa Spirulina fusiformis pada masing-masing umur panen untuk skala 100 L medium (sistem kontinyu atau dalam satu akuarium) .... 34
4
Komposisi kima biomasa Spirulina fusiformis umur panen 75 hari ............ 35
5
Nilai kadar fikosianin berdasarkan umur panen .......................................... 37
6
Nilai rata-rata kadar glukosa dara tikus untuk perlakuan dosis biomasa Spirulina fusiformis ...................................................................................... 38
7
Nilai rata-rata kadar glukosa darah tikus untuk perlakuan dosis fikosianin Spirulina fusiformis ...................................................................................... 44
viii
5
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Halaman
1
Spirulina ....................................................................................................
5
2
Fase pertumbuhan sel alga (Fogg 1975) ...................................................
8
3
Struktur kimia fikosianin bilin kromofor (a) dan bilirubin (b). ................
9
4
Diagram alir tahapan penelitian ................................................................
21
5
Kurva pertumbuhan Spirulina fusiformis yang ditumbuhkan dalam media Zarouk dan indoor ..........................................................................
32
6
Kultivasi Spirulina fusiformis dengan media Zarouk ...............................
33
7
Histogram rata-rata kadar glukosa darah untuk kontrol negatif, kelompok N (sukrosa 80% b/v) ( ); kontrol positif, kelompok P (Acarbose 0,001 mg/g BB) ( ); dan pemberian oral biomasa Spirulina fusiformis kelompok B1 dosis 0,15 mg/g BB ( ); kelompok B2 dosis 0,30 mg/g BB ( ) ......................................................
41
8
Hasil uji kualitatif senyawa flavonoid dan golongannnya ........................
43
9
Histogram rata-rata kadar glukosa darah untuk kontrol negatif, kelompok N (larutan sukrosa 80% b/v) ( ); kontrol positif, kelompok P (Acarbose 0,001 mg/g BB) ( ); pemberian oral fikosianin Spirulina fusiformis kelompok F1 dosis 0,15 mg/g BB ( ), kelompok F2 dosis 0,30 mg/g BB ( ) ......................................................
45
viii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Nomor 1
Komposisi Media Zarouk untuk pertumbuhan Spirulina fusiformis ........
54
2
Data nilai absorbansi (OD 480 nm) kultur Spirulina fusiformis dalam toples 3L dimulai dari tanggal 19 Februari – 19 Mei 2010 ......................
54
3
Berat kering biomasa dan nilai absorbansi fikosianin (A620 nm) ..............
55
4
Contoh perhitungan persentase fikosianin ................................................
55
5
Tabel dan contoh perhitungan peningkatan dan pencegahan kenaikan kadar glukosa darah tikus (%) (Mridha et al. 2010) .................................
55
®
™
6
Glucose strip test OneTouch Ultra (dokumentasi pribadi) ....................
55
7
Hasil analisis sidik ragam (ANOVA) untuk kadar glukosa darah tikus dengan perlakuan perbedaan dosis biomasa Spirulina fusiformis pada jam ke-0.....................................................................................................
56
Hasil analisis sidik ragam (ANOVA) dan uji lanjut Duncan untuk kadar glukosa darah tikus dengan perlakuan perbedaan dosis biomasa Spirulina fusiformis pada jam ke-0,5 ........................................................
57
Hasil analisis sidik ragam (ANOVA) dan uji lanjut Duncan untuk kadar glukosa darah tikus dengan perlakuan perbedaan dosis biomasa Spirulina fusiformis pada jam ke-1 ...........................................................
57
10 Hasil analisis sidik ragam (ANOVA) dan uji lanjut Duncan untuk kadar glukosa darah tikus dengan perlakuan perbedaan dosis biomasa Spirulina fusiformis pada jam ke-2 ...........................................................
57
11 Hasil analisis sidik ragam (ANOVA) untuk kadar glukosa darah tikus dengan perlakuan perbedaan dosis biomasa Spirulina fusiformis pada jam ke-3 ....................................................................................................
58
12 Hasil analisis sidik ragam (ANOVA) untuk kadar glukosa darah tikus dengan perlakuan perbedaan dosis fikosianin pada jam ke-0 ...................
58
13 Hasil analisis sidik ragam (ANOVA) dan uji lanjut Duncan untuk kadar glukosa darah tikus dengan perlakuan perbedaan dosis fikosianin pada jam ke-0,5 .........................................................................................
58
14 Hasil analisis sidik ragam (ANOVA) dan uji lanjut Duncan untuk kadar glukosa darah tikus dengan perlakuan perbedaan dosis fikosianin pada jam ke-1 ............................................................................................
59
15 Hasil analisis sidik ragam (ANOVA) dan uji lanjut Duncan untuk kadar glukosa darah tikus dengan perlakuan perbedaan dosis fikosianin pada jam ke-2 ............................................................................................
59
16 Hasil analisis sidik ragam (ANOVA) dan uji lanjut Duncan untuk kadar glukosa darah tikus dengan perlakuan perbedaan dosis fikosianin pada jam ke-3 ............................................................................................
59
8
9
1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Mikroalga Spirulina merupakan potensi hasil perairan yang telah luas digunakan sejak seratus tahun lalu sebagai suplemen dengan kandungan nutrisinya yang baik untuk manusia maupun hewan. Hal ini terkait dengan profil kandungan nutrisi dan protein yang tinggi (55-65%) berupa asam amino essensial yang seimbang.
Spirulina mengandung vitamin A, vitamin C, vitamin E,
β-karoten, xanthofil, klorofil a, asam lemak omega-3, mineral-mineral, serta fikobilliprotein
(Cyano-fikosianin
Cyano-fikoeritrin (CPE)).
(CPC),
Allo-fikosianin
(APC),
dan
Cyano-fikosianin (CPC) merupakan yang relatif
terbesar terkandung dalam Spirulina (Mishra et al. 2007). Spirulina mempunyai kemampuan sebagai antiviral (Hayashi et al. 1993), anti kanker (Babu et al. 1995), hypokolesterol (Layam et al. 2007), immunostimulant
atau
kemampuan
meningkatkan
daya
tahan
tubuh
(Annapurna et al. 1991; Layam et al. 2007), serta menghasilkan senyawa renoprotektif untuk cisplatin-induce oksidatif dan disfungsi ginjal. Spirulina juga diketahui dapat dijadikan makanan suplemen dan mengandung biopigmen fikosianin (Mathew et al. 1995; Kuhad et al. 2006; Minkova et al. 2003) yang berpotensi sebagai sumber bahan nutraceutical dan pharmaceutical. Potensi mikroalga Spirulina sebagai suplementasi untuk penyakit diabetes melitus sebelumnya telah diuji oleh Mridha et al. (2010). Kadar glukosa darah tikus
menurun
dari
166,9±44,95
mg/dl
menjadi
111,81±15,46
mg/dl.
Hasil penelitian Layam et al. (2007) juga menyatakan bahwa Spirulina platensis mampu menurunkan kadar glukosa darah tikus dari 232,33 mg/dl menjadi 114,00 mg/dl dan mengontrol kestabilan bobot badan selama percobaan. Turunnya kadar glukosa darah setelah mengkonsumsi Spirulina antara lain karena kandungan asam lemak gamma linoleat dan antioksidan dalam Spirulina, yang mengatur metabolisme lemak dengan baik, serta kandungan protein yang tinggi didalamnya akan meningkatkan respon insulin (Iyer et al. 2007). Komponen Spirulina yang berperan dalam aktivitas antioksidan antara lain, PUFA, fikosianin, fenol (Cophra dan Bishnoi 2007).
2
Fikosianin juga diketahui mampu meningkatkan sistem kekebalan tubuh, menjadi zat pewarna alami makanan, mempunyai aktivitas antioksidan untuk kosmetika serta obat-obatan. Menurut Belay (2002), fikosianin adalah komplek protein pigmen biru yang terkandung pada beberapa spesies mikroalga seperti Spirulina platensis dan Spirulina fusiformis (20-28% dari bobot keringnya), tidak beracun, dan mampu larut dalam air, sehingga dapat digunakan untuk tujuan pangan maupun pharmaceuticals. Di lain pihak, prevalensi diabetes melitus pada populasi dewasa di seluruh dunia diperkirakan akan meningkat sebesar 35%, yaitu menjangkiti sekitar 300 juta orang dewasa pada tahun 2025(Gibney et al. 2008). Menurut survei yang dilakukan oleh organisasi kesehatan dunia (WHO), Indonesia menempati peringkat ke-4 terbesar dalam jumlah penderita diabetes melitus dengan prevalensi 8,6% dari total penduduk, sedangkan peringkat diatasnya adalah India, China, dan Amerika Serikat. Hasil yang tidak jauh berbeda dengan penelitian yang dilakukan Departemen Kesehatan bahwa prevalensi diabetes sebesar 12,7% dari seluruh penduduk. Data Departemen Kesehatan menyebutkan bahwa jumlah pasien diabetes melitus rawat inap maupun rawat jalan di rumah sakit menempati urutan pertama dari semua penyakit endokrin (Depkes 2005). Hal ini merupakan gambaran nyata bahwa diabetes melitus merupakan masalah kesehatan yang sangat serius dalam pembangunan kesehatan baik saat ini maupun di masa yang akan datang. Diabetes mellitus tipe-2 merupakan jenis yang paling sering ditemukan di Indonesia dan diperkirakan mencapai 90% dari semua jenis penderita diabetes melitus di Indonesia. Diabetes tipe-2 lebih dikenal sebagai diabetes „tidak tergantung‟ insulin (non-insulin dependent diabetes mellitus, NIDDM). Komplikasi mikrovaskuler dan makrovaskuler sering ditemukan pada penderita diabetes melitus tipe-2, bahkan tidak jarang ditemukan beberapa komplikasi vaskuler sekaligus (Adam 2000). Penderita diabetes melitus tipe-2 memerlukan obat hipoglikemik oral (OHO) apabila diet yang dilakukannya sudah tidak dapat mengendalikan kadar gula darahnya. Penggunaan OHO ini dapat menyebabkan efek samping hipoglikemik mendadak (abnormal). Keadaan ini sangat berbahaya karena dapat menyebabkan
3
jaringan otak rusak
dan kerusakan jaringan saraf bersifat irreversible,
tak terpulihkan. Efek samping lainnya adalah kehilangan nafsu makan, mual, diare, dan, ruam pada kulit. menyebabkan
efek
Penggunaan obat sintetik antidiabetes oral juga
samping berupa
kembung,
diare,
dan
kram
usus
(Lee et al. 2007). Kelebihan obat tradisional tentunya harus dibuktikan secara ilmiah. Spirulina, sebagai substansi alam yang mempunyai potensi untuk mengatasi hiperglikemik, sehingga perlu dilakukan penelitian aktivitas antihiperglikemik dari biomasa dan fikosianin Spirulina fusiformis. 1.2 Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk menentukan umur panen dari mikroalga Spirulina fusiformis dengan kadar fikosianin tertinggi, serta menguji potensinya sebagai antihiperglikemik secara in vivo pada tikus Sprague Dawley. Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai informasi dasar dalam pengembangan mikroalga Spirulina fusiformis dan fikosianin sebagai bahan neutraceutical maupun pharmaceutical antihiperglikemik.
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Spirulina Spirulina lebih banyak digunakan sebagai bahan pangan dari pada jenis mikroalga lain karena memiliki beberapa keunggulan. Spirulina adalah salah satu mikroalga
yang
relatif
cepat
bereproduksi
pemanenannya. Biomassa sel Spirulina
dan
mudah
dalam
sistem
jauh lebih mudah larut dalam pelarut
polar seperti pada air dan buffer fosfat bila dibandingkan dengan pelarut kurang polar. Spirulina telah teruji aman untuk dikonsumsi.
Selama bertahun-tahun
berbagai badan pangan internasional telah melaporkan efek toksisitas yang negatif dari produk-produk Spirulina (Angka dan Suhartono 2000). Spirulina merupakan kelompok Cyanobacteria yang secara fisiologi banyak galurnya. Spirulina telah dikoleksi dan dibiakkan melalui percobaan yang bertujuan untuk mendapatkan produksi yang intensif. Spirulina fusiformis adalah salah satu varian mikroalga Spirulina yang berasal dari Madurai, India. Secara taksonomi Spirulina diklasifikasikan (Bold dan Wyne 1978) sebagai berikut: Kingdom
: Protista
Filum
: Cyanobacteria
Divisi
: Cyanophyta
Kelas
: Cyanophyceae
Ordo
: Nostocales
Famili
: Oscillatoriaceae
Genus
: Spirulina
Spesies
: Spirulina sp.
Spirulina fusiformis memilki tiga varian, yaitu: (1) varian tipe S memiliki ciri-ciri gulungan dengan jarak yang lebar; (2) varian tipe C memiliki ciri-ciri gulungan dengan jarak yang dekat; dan (3) varian tipe H memiliki ciri-ciri jarak gulungan yang paling dekat dan tipis (Richmond 1988). Morfologi Spirulina secara umum (Tietze 2004) disajikan pada Gambar 1.
5
Gambar 1 Spirulina Spirulina memiliki kandungan 62% asam amino, sebagai sumber vitamin B-12 alami paling kaya, mengandung keseluruhan spektrum alami dari campuran karoten dan xantofil (Kozlenko dan Henson 2007).
Awalnya, Spirulina
merupakan bahan makanan tradisional penduduk asli Meksiko yang tinggal di dekat danau Texcoco dan penduduk Afrika yang bermukim di dekat danau Chad (Tietze 2004). Pemanfaatan Spirulina lebih tinggi daripada mikroalga lainnya karena Spirulina memiliki kualitas tinggi terutama dalam bentuk kering. Kandungan protein Spirulina berkisar 60-71% bk (Spolaroe et al. 2006). Komposisi kima Spirulina disajikan pada Tabel 1. Tabel 1 Komposisi kimia Spirulina Komponen Protein Lemak Karbohidrat
Konsentrasi (%w/w) 60-71 6-7 13-16
Sumber: Spolaroe et al. (2006)
Spirulina merupakan mikroalga yang tidak menghasilkan kandungan lemak tinggi. Kandungan lemak Spirulina berkisar antara 6-7% (Spolaore et al. 2006). Kandungan karbohidrat Spirulina diperoleh melalui pembentukan glukosa selama proses fotosintesis memerlukan sumber karbon dan cahaya, selain sebagai larutan penyangga, NaHCO3 yang digunakan pada kultur Spirulina merupakan sumber karbon yang dibutuhkan untuk proses sintesis karbohidrat.
Kandungan
karbohidrat yang terdapat pada alga hijau biru ini berkisar antara 15-25% (Belay et al. 2007). Kemampuan Spirulina untuk menurunkan kadar glukosa darah dimungkinkan melalui beberapa mekanisme. Penelitian Layam et al. (2007) menunjukkan
6
kemampuan Spirulina platensis menurunkan kadar glukosa darah, kemudian menaikkan plasma insulin, C-peptida, dan hemoglobin darah tikus dengan kondisi diabetes. Perlakuan pemberian oral Spirulina terhadap tikus juga meningkatkan aktivitas enzim heksokinase dan menurunkan aktivitas enzim glukosa-6-fosfat (G6P). Hasil penelitian dari Layam et al. (2007) dengan perlakuan pemberian oral Spirulina platensis 15 mg/kg BB mampu menurunkan kadar glukosa darah dari tikus yang diinduksi streptozotocin yaitu, dari 232,33 mg/dl menjadi 114,00 mg/dl serta mampu mengontrol kestabilan bobot badan selama percobaan, yaitu berkisar antara 202,67 g – 213,50 g.
Hasil penelitian Mridha et al. (2010) juga
menunjukkan bahwa mikroalga Spirulina platensis dengan dosis 150 mg/kg BB mampu menurunkan kadar glukosa darah hingga 33% dari kondisi kontrol, yaitu dari 166,9±44,95 mg/dl menjadi 111,81±15,46 mg/dl. 2.1.1 Kultivasi Spirulina Kondisi optimum kultivasi umumnya dicapai ketika berada pada fase pertumbuhan (logaritmik) dan berada dalam tingkat pertumbuhan yang maksimal (Pamungkas 2005). Faktor lingkungan sangat penting untuk diperhatikan karena dapat berpengaruh terhadap tingkat pertumbuhan dan perkembangbiakan Spirulina (Richmond 1988). Kultivasi atau produksi Spirulina pada dasarnya meliputi penumbuhan ganggang (kultur), pemanenan, pencucian, pengeringan dan penyimpanan produk (Angka dan Suhartono 2000). Faktor lingkungan yang berpengaruh utama pada kultivasi Spirulina adalah nutrien, suhu, dan cahaya. Pertumbuhan sel akan ditandai dengan bertambah pekatnya warna hijau kultur pada media dan bertambah tingginya nilai absorbansi pada 480 nm (Richmond 1988). Nutrien dalam media tumbuh sangat berpengaruh dalam kultivasi Spirulina fusiformis. Bila keberadaanya tidak merata maka pertumbuhan kultur akan terganggu. Faktor utama dalam media tersebut sangat tergantung dari hara nitrogen dan fosfat serta faktor eksternal pertumbuhan seperti cahaya dan suhu. Penyebaran ketiga faktor harus merata sehingga diperlukan pengadukan. Alkali tinggi merupakan hal penting dalam pertumbuhan Spirulina yang dapat diwakili
7
oleh pH optimum pertumbuhan 8,3-11,0. Larutan penyangga yang baik pada media tumbuh adalah 0,2 M NaHCO3 (Richmond 1988). Suhu optimum untuk kultur Spirulina pada laboratorium berkisar antara 35-37°C (Richmond 1988).
Suhu minimumnya berkisar antara 18-20°C
(Borowitzka dan Borowitzka 1988). Pada daerah beriklim tropis, Spirulina dapat tumbuh optimum pada kisaran suhu 25-35ºC (Kuniastuty dan Isnansetyo 1995). Ukuran Spirulina cukup besar, sehingga dapat dipisahkan dari medium melalui filtrasi. Di negara berkembang seperti Chad Afrika, pemisahan Spiruina cukup dilakukan dengan kain penyaring (Angka dan Suhartono 2000). Spirulina segar difiltrasi dengan filter berukuran 20 μm (Desmorieux dan Decaen 2006). Proses pengeringan pada produksi Spirulina komersial merupakan pertimbangan ekonomi yang sangat penting dan dapat mencapai 30% dari biaya produksi. Pemanenan dengan filtrasi dapat mempertahankan kandungan fikosianin lebih tinggi pada Spirulina (Mohammad 2007). 2.1.2 Pertumbuhan Spirulina Pertumbuhan sel ditandai dengan bertambah pekatnya warna hijau kultur pada media dan bertambah tingginya nilai absorban. Cahaya merupakan faktor pembatas yang lebih dominan pada pertumbuhan Spirulina diikuti oleh nutrien dan temperatur. Ketersediaan cahaya untuk setiap sel pada kultur fotoautotropik merupakan fungsi dari intensitas serta lama pencahayaan dengan konsentrasi sel atau kepadatan populasi (Richmond 1988). Kultivasi Spirulina dengan intensitas cahaya ≥ 5400 lux dengan bantuan lampu TL (tube lamp) dapat menghasilkan pertumbuhan yang maksimal setelah beberapa hari periode waktu kultur (Vonshak 1985). Kultivasi mikroalga pada media yang terbatas terdiri dari beberapa fase pertumbuhan. Fase pertumbuhan tersebut meliputi fase lag, fase eksponensial, fase penurunan laju pertumbuhan, fase stasioner, dan fase kematian (Fogg 1975). Fase pertumbuhan tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.
8
Gambar 2 Fase pertumbuhan sel alga (Fogg 1975) (1: fase lag; 2: fase eksponensial; 3: fase deklinasi; 4: fase stasioner; dan :5 fase kematian)
Fase lag ditandai dengan peningkatan populasi yang tidak terlalu nyata. Fase ini juga disebut dengan fase adaptasi karena sel mikroalga sedang beradaptasi terhadap media pertumbuhannnya.
Fase selanjutnya adalah fase eksponensial
yang ditandai dengan tingginya laju pertumbuhan.
Hal ini terjadi karena
mikroalga sedang aktif berkembangbiak (Fogg 1975). Setelah pertumbuhan yang begitu cepat, kandungan nutrisi mulai berkurang sehingga mulai mengalami penurunan laju pertumbuhan yang disebut sebagai fase deklinasi. Menurut Diharmi (2001), berkurangnya nitrogen dan fosfat, menurunnya konsentrasi CO2 dan O2, serta kenaikan pH medium menjadi faktor dalam penurunan laju pertumbuhan pada fase ini. Dua tahap selanjutnya dalam fase pertumbuhan mikroalga adalah fase stasioner dan kematian. Fase stasioner, pada fase ini pertambahan jumlah populasi seimbang dengan laju kematian sehingga seperti tidak ada penambahan populasi. Pertumbuhan sel yang baru juga dihambat dengan keberadaan sel yang telah mati dan faktor pembatas lainnya (Fogg 1975).
Fase kematian ditandai dengan
penurunan produksi biomasa karena kematian dan sel lisis (Vonshak 1985). 2.2 Fikosianin Fikosianin merupakan senyawa protein yang termasuk ke dalam kelompok fikobiliprotein
seperti
fikosianin
dan
fikoeritrin.
Seluruh
kelompok
fikobiliprotein bersifat larut air dan membentuk struktur senyawa fikobilosom yang melekat pada membran tilakoid. Struktur dari fikosianin bilin kromofor dan bilirubin disajikan pada Gambar 3 (Chopra dan Bishnoi 2007).
9
Gambar 3 Struktur kimia fikosianin bilin kromofor (a) dan bilirubin (b). Fikosianin menyerap warna jingga, merah terang, dan memancarkan warna biru terang. Fikosianin umumya terdapat dalam divisi Rhodophyta (alga merah), Cyanophyta (alga biru-hijau) dan Cryptophyta (alga kriptomonad). Pigmen biru fikosianin memiliki absorbsi maksimum pada panjang gelombang 620 nm (Richmond 1988). Fikosianin juga dapat dikatakan sebagai senyawa penyimpan nitrogen dengan diketahuinya bahwa konsentrasi fikosianin tertinggi diperoleh ketika Spirulina platensis dikultivasi pada konsentrasi nitrogen yang tinggi (Boussiba dan Richmond 1979). Fikosianin
dari
Spirulina,
dapat
menghambat
radikal
hidroksil
(IC50= 0,91 mg/ml) dan alkoksil (IC50 = 0,76µg/ml ), menghambat peroksidasi lemak pada mikrosomal hati dengan IC50 = 12 mg/ml (Romay et al. 1998); ekstrak metanol fikosianin mampu menghambat lebih dari 95% proksidasi otak tikus dengan IC50 = 180 mcg (Miranda et al. 1998); mempunyai aktifitas antioksidan lebih besar dari α-tokoferol, zeaxanthin, dan asam kafeiat pada basis molar (Hirata et al. 2000). Aktivitas antioksidannya juga dibandingkan dengan ekstrak mikroalga lainnya yaitu, ekstrak Chlorella, percobaan dengan metode DPPH menunjukkan EC50 19,39 ± 0,65 µmol asam askorbat/g ekstrak Spirulina lebih besar dibandingkan EC50 14,04 ± 1,06 µmol asam askorbat/g ekstrak Chlorella (Wu et al. 2005). 2.2.1 Ekstraksi Fikosianin Menurut Boussiba dan Richmond (1979), diketahui bahwa biomasa sel Spirulina akan jauh lebih mudah larut dalam pelarut polar seperti pada air dan buffer bila dibandingkan dengan pelarut kurang polar. Kandungan fikosianin dalam biomasa sel juga tergantung banyak sedikitnya suplai nitrogen yang dikonsumsi oleh Spirulina.
10
Fikosianin merupakan pigmen fotosintetik utama pada Spirulina disamping peranannya sebagai penyimpan cadangan nitrogen dan asam amino. Fikosianin merupakan protein yang bersifat larut air yang dapat dibebaskan secara sederhana yaitu oleh penghancuran mekanis, seperti perlakuan pembekuan kemudian dicairkan (freeze-thaw). Pada saat ini fikosianin dicanangkan sebagai bahan pewarna alami bagi pangan dan kosmetik (Angka dan Suhartono 2000). Fikosianin
dapat
diperoleh
dengan
mengekstrak
serbuk
biomasa
Spirulina fusiformis dengan buffer fosfat pH 7 dan dibaca absorbansinya pada panjang gelombang 620 nm dengan buffer fosfat sebagai blanko. Kadar fikosianin dihitung secara kuantitatif dengan cara menghitung absorbansi yang didapat dari hasil ekstraksi (Lorenz 1998). 2.3 Diabetes Mellitus dan Hiperglikemia Diabetes biasanya menunjukkan konsentrasi glukosa abnormal yang tinggi dalam darah, kondisi ini disebut hiperglikemia (Lechninger 1982). Kadar gula darah normal berkisar antara 60 mg/dl sampai 145 mg/dl. Tanda-tanda lain dari diabetes melitus meliputi poliuria (banyak kemih), polidipsia (banyak minum), polifagia (banyak makan), lemas, berat badan turun, dan kenaikan gula darah puasa ≥140 mg/dl (Gibney et al. 2008). Klasifikasi yang ada sekarang ini meliputi berbagai stadium klinis dan tipe etiologi penyakit diabetes melitus serta kategori hiperglikemia lainnya, antara lain Toleransi Glukosa Terganggu (TGT), Diabetes tipe 1, Diabetes tipe 2, Diabetes gestasional, dan sindrom metabolik atau sindrom X, serta golongan resiko statistik, yaitu semua orang dengan toleransi glukosa normal tetapi mempunyai risiko yang lebih besar untuk mengidap DM (Gibney et al. 2008). Kelompok toleransi glukosa terganggu (TGT, impaired glucose tolerant) merupakan tahap terjadinya gangguan pada regulasi glukosa karena keadaan ini dapat terlihat pada setiap kelainan hiperglikemia.
Meskipun demikian, TGT
sangat berpotensi untuk berkembang menjadi pasien DM.
Kasus TGT akan
menjadi kasus DM hingga 50% dalam waktu 2-12 tahun. Tanda-tanda TGT dapat dikenali dengan mudah melalui pemeriksaan TTGO (Tes Toleransi Glukosa Oral) dan kepada para penyandang TGT harus disarankan untuk mengambil langkah-langkah pencegahan (Gibney et al. 2008).
11
Gangguan toleransi glukosa pada penderita diabetes antara lain disebabkan menurunnya jumlah glukosa yang masuk ke dalam sel jaringan perifer dan gangguan fungsi glukostatik dalam hati. Pada keadaan defisiensi insulin, jumlah glukosa yang masuk ke dalam otot rangka, otot jantung, otot polos, dan jaringan lain berkurang. Walaupun pengambilan glukosa oleh hati juga menurun, tetapi hal ini tidak mempunyai efek secara langsung. Absorbsi glukosa dalam usus tidak terpengaruh, demikian pula penyerapan kembali dari urin oleh sel-sel tubuli ginjal. Pengambilan glukosa oleh sel-sel otak dan darah merah juga normal (Pranadji et al. 1999). Hormon insulin dalam kondisi normal berfungsi untuk membantu sintesis glikogen dan menghambat output glukosa dari hati. Bila kadar gula dalam darah meningkat, dalam keadaan normal sekresi insulin juga meningkat dan glukoneogenesis akan menurun. Pada keadaan diabetes, fungsi ini tidak terdapat sehingga terjadi gangguan toleransi glukosa (Pranadji et al. 1999). Metabolisme glukosa dapat berjalan secara normal melalui mekanisme timbal-balik hormon insulin-gukagon untuk menjaga kadar glukosa darah tetap normal. Peranan insulin adalah membantu mengubah glukosa menjadi energi bagi sel dengan cara mentransfer glukosa darah ke dalam sel-sel yang membutuhkan. Glukosa dalam darah tidak dapat digunakan sebagai energi, untuk itu glukosa harus ditranfer terlebih dahulu ke dalam sel melalui proses oksidasi dalam sel (respirasi). Kemudian, jika kondisi tubuh sedang lapar, konsentrasi glukosa
darah menurun.
Hormon glukagon,
yang disekresikan oleh
sel α pankreas, glikogen hati akan dipecah menjadi glukosa dan dilepaskan kembali ke dalam darah untuk menjaga konsentrasi darah tetap normal (Wijayakusuma 2006). 2.3.1 Efek hiperglikemia pada diabetes melitus Peningkatan glukosa darah pasca makan (postprandial hyperglycemia) merupakan awal terganggunya metabolisme yang terjadi pada DM tipe-2. Kondisi ini mempercepat perkembangan penyakit diabetes melitus yang disebabkan toksisitas glukosa dalam otot dan sel beta pankreas juga menginisiasi perkembangan (Lee et al. 2007).
awal
komplikasi
mikrovaskular
dan
makrovaskular
12
Hiperglikemia dapat menyebabkan gejala-gejala yang diakibatkan oleh hiperosmolaritas darah. Gula darah melebihi normal, sehingga gula ikut dikeluarkan oleh ginjal. Keadaan dengan adanya glukosa dalam urin disebut glukosuria. Gula yang bersifat menarik cairan ke dalam air kemih, akibatnya volume air kemih berlebih dan penderita menjadi sering kencing. Keadaan ini disebut poliuria. Kehilangan cairan yang berlebihan melalui urin menyebabkan terjadinya hipovolemia. Hipovolemia akan mengakibatkan timbulnya rasa haus sehingga penderita banyak minum atau polidipsia. Akibat adanya gangguan pada transportasi gula ke sel-sel jaringan, terutama sel-sel otot, sel-sel tersebut akan kekurangan energi. Disamping itu, adanya glukosuria berarti tubuh kehilangan energi secara percuma. Tubuh kehilangan 4,1 kkal untuk setiap gram glukosa. Penderita akan merasa lemas dan lapar, sehingga banyak makan. Hal ini disebut polifagia. Konsumsi karbohidrat berlebih akan menutupi kehilangan ini dengan mudah, tetapi sekaligus meningkatkan glukosa darah lebih lanjut dan meningkatkan glukosuria.
Hal ini akan mengakibatkan mobilisasi protein
endogen dan cadangan lemak sehingga terjadi penurunan berat badan (Pranadji et al. 1999). Salah satu pendekatan terbaik untuk menurunkan glukosa darah pasca makan ialah dengan memperlambat absorpsi glukosa melalui penghambatan kerja penghidrolisis karbohidrat seperti α-glukosidase. Usaha menjaga tingkat glukosa darah menjadi rendah atau normal dapat menurunkan angka penderita komplikasi diabetes melitus (Lee et al. 2007). 2.3.2 Pengobatan Diabetes Melitus Diabetes melitus (DM) merupakan penyakit yang tidak dapat disembuhkan, tetapi dapat dikontrol. Pengendalian DM dapat dilakukan dengan perencanaan diet, latihan jasmani, penyuluhan atau pendidikan kesehatan, serta pemberian obat hipoglikemik. Obat antidiabetes oral maupun suntikan, khususnya untuk diabetes tipe 2, karena obat diperlukan jika perencanaan diet dan olahraga jasmani tidak dapat mengendalikan kadar glukosa darah. Obat hipoglikemik oral dibagi dalam 5 golongan (Subroto 2009), antara lain:
13
(1) golongan sulfonilurea, obat ini bekerja dengan cara merangsang sel β-pulau Langerhans pankreas untuk mensekresikan insulin. Contohnya glibenclamide dan glibonuride; (2) golongan biguanid, mekanisme kerja obat ini adalah mengurangi resistensi insulin, sehingga glukosa dapat memasuki sel-sel hati, otot, dan organ tubuh lainnya. Contoh obat yang termasuk dalam golongan ini adalah metformin, phenformin, dan buformin. (3) golongan thiazolidinedion, mekanisme kerjanya sama dengan derivat biguanid. Contoh obat golongan ini adalah troglitazone. (4) golongan miglitinida, obat ini bekerja dengan cara merangsang sekresi insulin dari pankreas segera setelah makan. Contoh obat golongan ini adalah replaginida. Efek samping dari penggunaan obat ini meliputi hipoglikemia dan kenaikan berat badan. (5) golongan inhibitor α-glukosidase, mekanisme kerja obat golongan ini adalah dengan menginhibisi secara reversibel kompetitif terhadap enzim hidrolase α-amilase pankreatik dan enzim-enzim pencernaan di usus halus seperti isomaltase, sukrase, dan maltase. Enzim-enzim ini berperan pada hidrolisis karbohidrat makanan menjadi glukosa dan monosakarida lainnya. Obat yang termasuk dalam golongan ini antara lain adalah Acarbose dan Miglitol. Acarbose (merek dagang Precose® dan Glucobay®) adalah inhibitor α-glukosidase.
Mekanisme
kerja
inhibitor
α-glukosidase
adalah
dengan
memperlambat pemecahan disakarida, polisakarida, dan karbohidrat kompleks lainnya menjadi monosakarida (Sugiwati 2005). Pembuatan glukosa secara enzimatis dan absorpsi glukosa selanjutnya ditunda, dan dalam kondisi setelaah makan nilai glukosa darah yang tinggi pada penderita diabetes tipe II, dapat dikurangi dengan IAG. IAG tidak mencegah absorpsi karbohidrat dan gula kompleks, tetapi menunda absorpsinya. Kelemahannya adalah harus dimakan bersama makanan dan mempunyai efek samping pada pembentukan gas di perut, kembung, diare, dan kram usus (Lee et al. 2007).
14
2.3.3 Tes Toleransi Glukosa Diagnosis yang digunakan dalam mengidentifikasi penyakit diabetes melitus dapat dilakukan dengan pemeriksaan darah.
Standardisasi kriteria oleh
the National Diabetes Data Group of the USA (NDDG) dan komite pakar organisasi kesehatan dunia (WHO) menghasilkan keseragaman hingga taraf tertentu bagi berbagai penelitian global terhadap kelainan metabolik tersebut. Kriteria diagnosis yang lebih sensitif ditunjukkan oleh uji toleransi glukosa (Gibney et al. 2008). Tes ini memerlukan puasa 12-18 jam sebelum darah diambil untuk pemeriksaan. Puasa adalah keadaan tanpa suplai makanan (kalori) selama minimum 8 jam, tetapi tetap diperbolehkan minum air putih. Jadi, bukan puasa makan dan minum seperti yang biasa dilakukan. Berdasarkan American Diabetes Association (ADA) 1998, terdapat dua tes yang dapat dijadikan sebagai dasar diagnosis terhadap diabetes mellitus yang didasarkan pada pemeriksaan kadar glukosa plasma vena, yaitu kadar glukosa darah sewaktu (tidak puasa) ≥200 mg/dL; dan kadar glukosa darah puasa ≥ 126 mg/dL. Pada tes toleransi glukosa oral (TTGO), kadar glukosa darah yang diperiksa kembali setelah 2 jam (Wijayakusuma 2006). Glukosa pada penderita diabetes menumpuk di dalam darah, terutama pada keadaan setelah makan. Apabila pada penderita diabetes diberikan glukosa secara oral dengan dosis tertentu (75 g glukosa) maka gula darahnya akan meningkat lebih tinggi dari orang normal dan turunnya pun juga lebih lambat.
Tes ini
disebut sebagai “tes toleransi glukosa oral” (Pranadji et al. 1999). Metode TTGO merupakan kriteria diagnosis yang paling sensitif dan menghasilkan keseragaman hingga taraf tertentu bagi berbagai penelitian global terhadap kelainan metabolik tersebut. Prinsip yang digunakan dalam metode TTGO adalah mengukur kemampuan tubuh untuk menggunakan glukosa. Kadar glukosa darah ditingkatkan dengan pemberian sukrosa secara oral.
Kurva
Toleransi Glukosa Oral (TGO) akan meningkat tajam dan mencapai puncaknya dalam waktu 60 menit, setelah pemberian sukrosa. Kurva menurun perlahan dan mencapai kadar glukosa darah normal setelah 2-3 jam (Gibney et al. 2008).
15
2.4 Penentuan kadar glukosa darah dengan Glucose Test Strip Kadar glukosa darah dapat ditentukan menggunakan prinsip reaksi enzimatik yang terjadi pada glucose test strip. Reaksi yang terjadi adalah reaksi enzimatik glukosa darah dengan enzim glukosa oksidase dan peroksidase yang dilapis pada kertas strip. Pada metode ini kertas strip dilapisi dengan membran selulosa tipis yang permeabel hanya untuk molekul-molekul kecil seperti glukosa. Persamaan reaksi enzimatik dari glukosa dengan enzim glukosa oksidase dan peroksidase (Soetarno et al. 1999) dapat dituliskan sebagai berikut: β-D-Glukosa + O2 + H2O
glukosa oksidase
H2O2 + asam glukonat
peroksidase
H2O2 + kalium iodida
iodin + H2O
Apabila setetes darah dikenakan pada kertas strip, maka dengan adanya oksigen, glukosa darah dioksidasi secara enzimatik oleh glukosa oksidase menghasilkan hidrogen peroksida dan asam glukonat. Selanjutnya, peroksidase mengkatalis reaksi hidrogen peroksida dengan kromogen kalium iodida menghasilkan iodin yang berwarna coklat.
Intensitas warna yang terbentuk
adalah sebanding dengan jumlah glukosa dalam tetesan darah. 2.5 Model Hewan Percobaan Diabetes Mellitus Hewan Diabetes Melitus (DM) dapat dijadikan sebagai model dari penyakit ini pada manusia. Pada kenyataannya tidak ada gejala diabetes melitus pada hewan yang tepat sama dengan tipe DM pada manusia (Soetarno et al. 1999). Gejala diabetes melitus yang paling umum dijumpai pada hewan adalah berupa obesitas, hiperinsulinemia, dan resistensi insulin. Diabetes Mellitus (DM) selain terjadi secara spontan juga dapat dibuat secara eksperimental dengan infeksi virus, atau melalui pemberian hormon dan senyawa kimia (Subroto 2009). Model hewan DM baik spontan dan eksperimental dapat digunakan secara efektif untuk mempelajari komplikasi, pengobatan, dan pencegahan DM. Penggunaan
senyawa
kimia
untuk
menginduksi
hewan
menjadi
DM
memungkinkan mempelajari secara mendalam proses-proses biokimia, hormonal, dan morfologi yang terjadi selama dan setelah induksi senyawa kimia tersebut pada hewan.
Senyawa kimia yang telah dipelajari secara ekstensif mampu
menginduksi hewan coba menjadi DM, antara lain, aloksan dan streptozotocin.
16
Kedua senyawa ini merusak sel β-pulau Langerhans pankreas, sehingga menyebabkan hiperglikemia permanen (Sugiwati S. 2005). Tikus telah banyak digunakan dalam penelitian tentang neoplasia, daya kerja obat, toksikologi, caries gigi, metabolisme lemak, manfaat vitamin, tingkah laku, alkoholisme, sirosis, arthritis, phenylketonuria, penyakit kuning, intoleransi fruktosa, hipertensi, diabetes, dan beberapa penyakit menular (Smith dan Mangkoewidjojo 1988). Tikus putih telah lama digunakan untuk penelitian karena hewan ini telah diketahui sifat-sifatnya dengan sempurna, mudah dipelihara dan cocok untuk berbagai macam penelitian.
Tikus putih (Rattus novergicus) yang dapat
digunakan untuk percobaan terdiri dari beberapa galur atau varietas yang memilki ciri spesifik, antara lain galur Sprague-dawley yang berwarna albino putih, berkepala kecil, dan ekornya lebih panjang daripada kepalanya; galur Wistar yang dicirikan dengan kepala besar dan ekor yang lebih pendek; dan galur long-evans yang lebih kecil dari tikus putih dan memiliki warna hitam pada kepala dan tubuh bagian depan (Malole dan Pramono 1999). Secara garis besar, fungsi dan bentuk organ, proses biokimia dan biofisik antara tikus dan manusia memiliki banyak kemiripan. Perbedaan antara tikus dan manusia antara lain terdapat pada struktur dan fungsi plasenta tikus; tingkat pertumbuhan tikus yang lebih cepat dari manusia; kekurangpekaan tikus pada senyawa neurotoksik dan teratogen. Secara umum, karakteristik fisiologis tikus disebutkan dalam Tabel 2. Tabel 2 Nilai fisiologis tikus Kriteria Berat badan dewasa jantan Berat badan dewasa betina Berat lahir Suhu tubuh Konsumsi makanan Konsumsi air minum Volume darah Protein serum Glukosa serum
Nilai 450-520 g 250-300 g 5-6 g 35,9-37,5 °C 10 g/100 g/hari 10-12 ml/100 g/hari 54-70 ml/kg 5,6-7,6 g/dl 50-135 mg/dl
Sumber: Malole dan Pramono (1989)
17
Beberapa karakteristik anatomis dan fisiologis tikus Sprague Dawley (Malole dan Pramono 1989), antara lain: 1) Rumus gigi tikus Sprague Dawley adalah 2 (I 1/1, M 3/3) = 16. Gigi seri tumbuh terus menerus. Tikus akan menggigit atau menjepit dengan gigi serinya yang tajam jika salah penanganan. 2) Esofagus masuk ke lambung melewati lubang yang kecil karena ada lipatan jaringan pada lambung. Karena struktur anatomis tersebut, tikus tidak mampu muntah. 3) Seperti kuda, tikus tersebut tidak mempunyai kantung empedu. 4) Paru-paru kiri terdiri dari satu lobus sementara paru-paru kanan terdiri atas empat lobus. 5) Tikus memiliki lima pasang kelenjar susu. Distribusi jaringan mammae tersebar, dari garis tengah ventral melewati panggul, toraks dan bagian leher. 6) Uretra tikus betina tidak berhubungan dengan vagina atau vulva. 7) Kelenjar membran niktitasi (kelenjar Harderian) merupakan kelenjar lakrimal terpigmentasi yang teletak di belakang bola mata, melingkari saraf optik. Hasil sekresi dari kelenjar ini kaya akan lemak dan porfirin. Meskipun banyak spesies lain memiliki kelenjar Harderian, pada tikus kelenjar ini memiliki fungsi khusus. Selama masa stress dan atau sakit tertentu, air mata mengalir dan mewarnai wajah di sekitar mata dan hidung. Ketika air mata mengering, pigmen tersebut memberikan warna seperti darah kering. Pigmen tersebut akan berpendar saat dipaparkan pada sinar ultraviolet dan mengandung sedikit darah atau tidak sama sekali. 8) Respon tikus terhadap penurunan suhu ruang/kandang berupa termogenesis tanpa gemetar. Sedangkan saat suhu kandang meningkat, terjadi vaskularisasi pada
ekornya
yang
panjang,
yang
juga
berperan
sebagai
organ
termoregulator. Sebagian besar termogenesis tersebut terjadi pada jaringan lemak yang coklat, konsentrasi yang paling tinggi ditemukan pada jaringan subkutan di antara skapula. Hewan uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah tikus jantan putih (Rattus norvegicus) galur Sprague Dawley berumur sekitar delapan minggu. Tikus Sprague Dawley dipilih karena tikus ini secara garis besar mempunyai
18
banyak kemiripan dengan manusia meliputi fungsi, bentuk organ, proses biokimia, dan biofisik. Penggunaan tikus Sprague Dawley dalam studi kesehatan dan penyakit pada manusia, merupakan model yang sangat bagus untuk toksikologi, reproduksi, farmakologi dan tingkah laku.
Esofagus pada tikus
Sprague-Dawley masuk ke lambung melewati lubang kecil karena terdapat lipatan jaringan lambung sehingga tikus tidak mampu muntah. Tikus ini juga mudah diperoleh
dan
telah
banyak
digunakan
dalam
penelitian
(Smith
dan
Mangkoewidjojo 1988). Galur Sprague Dawley yang umum digunakan untuk penelitian mempunyai ciri berwarna putih albino, berkepala kecil dan ekornya lebih panjang dari badannya (Malole dan Pramono 1989). Tikus betina tidak digunakan karena terdapat siklus hormonal bulanan yang dapat memberikan pengaruh terhadap kadar glukosa darah yang akan diukur.
Tikus dikandangkan dalam kandang
individual yang terbuat dari plastik dengan penambahan alas berupa sekam. Siklus gelap dan terang terjadi secara alami.
Kondisi lingkungan diupayakan
pada suhu 22±2ºC dengan pemberian kipas angin. Hal ini sesuai dengan pernyataan Derelanko et al. (1994) bahwa suhu kandang yang baik untuk tikus berkisar antara 64,4-78,8ºF (18-26ºC). 2.6 Flavonoid dan aktivitas antidiabetes Flavonoid adalah senyawaan fenol yang paling banyak ditemukan di alam karena sekitar 2% dari semua karbon yang disintesis tumbuhan diubah menjadi flavonoid. Struktur dasar dari flavonoid terdiri dari 15 atom karbon dengan konfigurasi C6-C3-C6 yaitu dua cincin aromatik yang dihubungkan dengan 3 karbon yang dapat atau tidak membentuk cincin ketiga (Markham 1988). Flavonoid merupakan senyawa polar karena memiliki gugus hidroksil yang tidak tersubstitusi. Sifat fisik ini menjadikannya larut dalam pelarut polar seperti etanol, metanol, etil asetat, atau campuran pelarut dapat digunakan untuk mengekstrak flavonoid dari jaringan tumbuhan. Berbagai penelitian menyebutkan bahwa senyawa flavonoid berperan sebagai antidiabetes. Senyawa golongan flavonol dan flavon, yaitu kuersetin dan krisin, menunjukkan sifat antidiabetes pada uji in vivo menggunakan tikus. Daya inhibisi kuersetin jauh lebih tinggi daripada krisin, disebabkan adanya substituen gugus
19
hidroksil pada posisi 3 (Lucacinova et al. 2008). Deqiang et al. (2003) telah mempelajari mengenai antidiabetes
pada tanaman Opuntia dillenii.
Hasil
penelitiannya menunjukkan bahwa komponen flavonoid yang mempunyai fungsi sebagai antidiabetes adalah flavonol. Hal ini juga diteliti oleh Sugiwati (2005), yang melaporkan bahwa ekstrak air rebusan buah mahkota dewa tua memberikan hasil lebih baik daripada ekstrak metanol dalam pengujian secara in vivo sebagai antihiperglikemik dengan tes toleransi glukosa oral pada tikus putih jantan. Mekanisme penurunan kadar glukosa pada penelitian ini adalah melalui inhibisi secara reversible kompetitif terhadap enzim α-glukosidase oleh ekstrak tersebut. Komponen aktif yang berperan di dalamnya adalah flavonoid, fenol, dan tanin.
3 METODE PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan pada bulan Februari-Desember 2010 bertempat di laboratorium Bioteknologi 2 dan laboratorium Biokimia, Departemen Teknologi Hasil Perairan, FPIK, untuk kultivasi Spirulina fusiformis dan analisis kuantitatif pigmen fikosianin, laboratorium Fisika Instrumen FMIPA untuk pengujian spektrum maksimum biopigmen, laboratorium imunologi, FKH, dan laboratorium Hewan Coba, Biokimia, FMIPA, Institut Pertanian Bogor, untuk uji kadar glukosa darah tikus percobaan. 3.2 Alat dan Bahan Alat yang digunakan untuk kultivasi dan ekstraksi Spirulina fusiformis meliputi akuarium, toples kaca, neraca analitik, tube light (TL) Philips 40 watt, freeze dryer, oven, desikator, lemari es, nylon mesh 20 µm, pH-meter, spektrofotometer UV-Vis 2800 dan USB 2000 (dengan software Spectra Suite), lux-meter, magnetic stirer serta sentrifuse. Alat untuk pemeliharaan
tikus,
meliputi kandang plastik, botol minum, wadah pakan, timbangan, alat sonde (syringe yang dilengkapi dengan jarum berujung bundar), glucose strip test, dan glukosa meter OneTouchUltra. Bahan penelitian meliputi inokulum Spirulina fusiformis dari koleksi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Cibinong, Bogor; media Zarouk teknis (Lampiran 1) yang terdiri dari bahan-bahan berikut NaHCO3, KNO3, K2SO4, NaCl, FeCl3, Na2EDTA, serta trace element sebagai vitamin yang terdiri dari
H3BO3,
MnCl2.4H2O,
ZnSO4.7H2O,
Na2MoO4.2H2O,
CuSO4.5H2O,
COCl2.6H2O, Na2WO4.2H2O, NH4VO3, CaCl2, NiSO4.7H2O (Borowitzka dan Borowitzka 1988). Bahan bahan kimia untuk analisis kadar fikosianin adalah 100 mM larutan buffer fosfat pH 7 yang dibuat dari K2HPO4, KH2PO4 (Lorenz 1998) dan akuades. Bahan untuk pengujian hewan percobaan, meliputi 30 ekor tikus jantan Sprague-dawley berumur 6-8 minggu, ransum standar, sukrosa, tablet Glucobay, dan air mineral.
21
3.3 Tahapan Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dalam beberapa tahap meliputi kultivasi Spirulina fusiformis untuk memperoleh kurva pertumbuhan, produksi biomasa untuk menentukan umur panen dengan kadar fikosianin tertinggi, ekstraksi fikosianin menggunakan air, serta pengukuran kadar glukosa darah dengan Tes Toleransi Glukosa Oral untuk menguji aktivitas antihiperglikemik antara biomasa dan pigmen fikosianin yang dihasilkan terhadap tikus percobaan. Secara umum tahapan penelitian ini disajikan pada Gambar 4.
Pencahayaan 24 jam Kultivasi 100 L Penentuan kurva pertumbuhan
Inokulum Spirulina fusiformis Kultivasi dalam media Zarouk Pemanenan dan pengeringan Biomasa kering
Ekstraksi fikosianin Supernatan (larutan fikosianin)
Pengeringan dengan freeze dryer Serbuk fikosianin
Uji aktivitas antihiperglikemik in vivo dengan tes toleransi glukosa oral pada hewan coba tikus Gambar 4 Diagram alir tahapan penelitian
22
1) Kultivasi Spirulina fusiformis Kurva Spirulina fusiformis diperoleh melalui kultivasi pada media Zarouk selama 90 hari. Spirulina yang akan diukur absorbansinya ditumbuhkan dalam sebuah toples plastik berisi 3 liter media Zarouk dengan volume inokulum 30 ml. Selama periode kultur pencahayaan diatur sebesar 5500 lux dengan mendekatkan akuarium pada sumber cahaya (lampu) kemudian diukur dengan lux meter, dan diberi aerasi udara. Sampling dilakukan setiap hari untuk dilihat kepadatannya. Laju pertumbuhan Spirulina harian diukur berdasarkan kerapatan optik atau optical density (OD) dengan menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 480 nm.
Data absorbansi yang didapatkan diplotkan pada kurva
pertumbuhan (Achmadi et al. 2002). 2) Biomasa Spirulina fusiformis Spirulina fusiformis dikultivasikan pada media Zarouk (Borowitzka 1988 dan Muhammad 2007) dalam akuarium yang terdiri dari 100 L media dan 20 L inokulum dengan pencahayaan lampu 24 jam. Komposisi media Zarouk disajikan pada Lampiran 1. Kultur Spirulina fusiformis dipanen pada awal dan akhir fase log, serta awal dan akhir fase stasioner. Pemanenan biomasa dapat dilakukan dengan teknik filtrasi menggunakan kain nylon mesh ukuran 20 µm dan atau kain blacu. Biomasa basah dikering anginkan menggunakan kipas angin pada suhu ruang (±28oC) selama 5 jam agar tidak terjadi kerusakan akibat suhu, termasuk berkurangnya kadar fikosianin (Mohammad 2007). 3) Ekstraksi fikosianin Ekstraksi fikosianin dilakukan menggunakan air. Prosesnya adalah biomasa Spirulina yang telah dikeringkan disuspensikan ke dalam akuades, dibekukan pada suhu -15 oC selama ±48 jam, selanjutnya dilelehkan pada suhu 30oC selama satu jam dan diaduk menggunakan magnetic stirer. Sampel diusahakan tetap disimpan pada suhu chilling (± 4 oC) sampai disentrifugasi pada 3000 rpm selama 30 menit dengan suhu 4oC (Minkova et al. 2003). Masing-masing fikosianin yang diperoleh diukur kadarnya pada panjang gelombang 620 nm menggunakan spektrofotometer. Biomasa kering dan
23
fikosianin dengan absorbansi tertinggi digunakan dalam tahap pengujian in vivo, terlebih dahulu fikosianin dikeringkan menggunakan freeze dryer. 4) Pengujian aktivitas antihiperglikemik dengan metode Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) pada hewan coba (Soetarno 1999) Bahan uji yang diberikan terhadap tikus percobaan pada penelitian ini adalah biomasa dan fikosianin yang diperoleh dari kultur Spirulina fusiformis dengan umur panen 75 hari.
Penggunaan dosis biomasa Spirulina fusiformis adalah
berdasarkan hasil terbaik pada penelitian Mridha et al. (2010) yaitu 0,15 mg/g BB dan ditingkatkan menjadi 0,30 mg/g BB. Dosis pemberian fikosianin juga sama dengan dosis pemberian biomasa. Sukrosa yang diberikan mengacu pada penelitian Sugiwati (2005) yang menyatakan bahwa larutan sukrosa 80% b/v mampu meningkatkan kadar glukosa darah setelah 1 jam pemberian oral hingga 140 mg/dl. Hal ini sesuai dengan pernyataan Gibney et al. (2008) bahwa hiperglikemia adalah kadar glukosa ≥126 mg/dl setelah 1 jam pemberian oral sukrosa. Biomasa dan fikosianin yang digunakan terlebih dahulu dilarutkan dalam air mineral. Dosis pemberian Spirulina fusiformis adalah berdasarkan dosis terbaik hasil penelitian Mridha et al. (2010), sedangkan obat Acarbose dengan merek dagang Glucobay yang digunakan sebagai kontrol positif, diberikan atas dosis manusia dengan BB 50 kg (Sugiwati S. 2005). Tikus yang digunakan adalah tikus jantan jenis Sprague-Dawley berumur 6-8 minggu (dengan bobot badan 180 – 200 g) yang diperoleh dari Balai Veteriner, Bogor. Tikus diadaptasikan selama dua minggu sebelum melakukan percobaan, fungsinya untuk menyeragamkan cara hidup dan makanannya. Tikus dipelihara dalam kandang plastik, satu kandang berisi satu ekor tikus. Pembersihan kandang tikus setiap 3 hari sekali sedangkan pemberian pakan dan minum dilakukan setiap hari secara ad libitum (tak terbatas). Pengujian aktivitas antihiperglikemik dilakukan melalui Tes Toleransi Glukosa Oral (Sugiwati S. 2005). Pada percobaan ini digunakan 30 ekor tikus putih sehat yang dibagi menjadi 6 kelompok perlakuan dengan jumlah 5 ekor untuk setiap kelompok perlakuan, yaitu kelompok P, B1, B2, F1, F2, N, sebagai berikut:
24
1) Kelompok perlakuan P (kontrol positif) Pada kelompok perlakuan P, tikus dicekok obat Acarbose (Glucobay) dengan dosis 0,001 mg/g BB tikus. 2) Kelompok perlakuan B1 Pada kelompok B1, tikus dicekok biomasa kering Spirulina fusiformis dengan dosis 0,15 mg/g BB tikus 3) Kelompok perlakuan B2 Pada kelompok B2, tikus dicekok biomasa kering Spirulina fusiformis dengan dosis 0,30 mg/g BB tikus 4) Kelompok perlakuan F1 Pada kelompok F1, tikus dicekok fikosianin kering dengan dosis 0,15 mg/g BB tikus 5) Kelompok perlakuan F2 Pada kelompok F2, tikus dicekok fikosianin kering dengan dosis 0,30 mg/g BB tikus 6) Kelompok perlakuan N (kontrol negatif) Pada kelompok N, tikus dicekok larutan sukrosa (80% b/v) sebanyak 1 ml Sebelum pengujian, tikus dipuasakan selama 18 jam dengan tetap pemberian minum. Semua tikus pada masing-masing kelompok diambil darah untuk diukur kadar glukosa darah puasanya. Langkah selanjutnya adalah pada kelompok P (kontrol positif), B1, B2, F1, F2, dicekok bahan perlakuan yang dilarutkan terlebih dahulu dalam 2 ml air mineral. Selang waktu 5 menit setelahnya, pada masing-masing kelompok P, B1, B2, F1, F2, dicekok dengan 1 ml larutan sukrosa 80% (b/v), sedangkan kelompok N (kontrol negatif) hanya dicekok dengan larutan sukrosa 80% (b/v). Pencekokan larutan dilakukan menggunakan alat sonde dan syringe steril. Selanjutnya, kadar glukosa darah pada masing-masing kelompok diukur setelah ½, 1, 2, dan 3 jam setelah perlakuan. 3.4 Prosedur Analisis Analisis yang dilakukan terhadap biomasa Spirulina fusiformis, fikosianin, dan hewan uji pada penelitian ini meliputi:
25
3.4.1 Kadar fikosianin Kadar fikosianin dihitung berdasarkan nilai absorbansi yang dibaca spektrofotometer pada panjang gelombang 620 nm buffer fosfat sebagai blanko. Kadar fikosianin dapat dihitung dengan rumus (Doke 2005), sebagai berikut: Kadar fikosianin % =
A620 × 10 × 100% 7,3 × mg sampel × berat kering biomasa
Keterangan: A620 = Absorbansi pada λ 620 nm 7.3 = Koefisien ekstensi fikosianin murni pada λ 620 nm 10 = total volume buffer fosfat. 3.4.2 Pengukuran komposisi kimia biomasa Spirulina fusiformis pada umur panen terpilih Pengukuran komposisi
kimia
atau proksimat
dari
biomasa
kering
Spirulina fusiformis pada umur panen terpilih (kadar fikosianin tertinggi) meliputi analisis kadar air, abu, protein, lemak, dan karbohidrat. Tahapan analisis ini adalah sebagai berikiut: 1) Analisis kadar air (AOAC 1995) Cawan porselin dikeringkan dalam oven pada suhu 102-105 oC selama 30 menit. Cawan tersebut diletakkan ke dalam desikator selama lebih kurang 30 menit, kemudian didinginkan dan ditimbang hingga beratnya konstan. Cawan dan sampel Spirulina fusiformis sebesar 1-2 g ditimbang dengan timbangan digital.
Cawan tersebut dimasukkan ke dalam oven pada suhu
102-105 oC selama kurang lebih 6 jam. Cawan tersebut kemudian dimasukkan ke dalam desikator dan dibiarkan sampai dingin dan ditimbang sampai diperoleh berat yang konstan. Perhitungan kadar air dapat dihitung dengan rumus: Kadar air (%) = B−C B−A
x 100 %
Keterangan: A = Berat cawan kosong (g) B = Berat cawan dengan sampel (g) C = Berat cawan dengan sampel setelah dikeringkan (g)
26
2) Analisis kadar lemak (AOAC 1995) Sampel seberat 5 gram (W1) dimasukkan ke dalam kertas saring pada kedua ujung bungkus ditutup dengan kapas bebas lemak dan selanjutnya dimasukkan ke dalam selongsong lemak, kemudian sampel yang telah dibungkus dimasukkan ke dalam labu lemak yang sudah ditimbang berat tetapnya (W2) dan disambungkan dengan tabung Soxhlet. Selongsong lemak dimasukkan ke dalam ruang
ekstraktor
tabung
Soxhlet
dan
disiram
dengan
pelarut
lemak
(n-heksana p.a.). Kemudian dilakukan refluks selama 6 jam. Pelarut lemak yang ada dalam labu lemak didestilasi hingga semua pelarut lemak menguap. Pada saat destilasi pelarut akan tertampung di ruang ekstraktor, pelarut dikeluarkan sehingga tidak kembali ke dalam labu lemak, selanjutnya labu lemak dikeringkan dalam oven pada suhu 105 oC, setelah itu labu didinginkan dalam desikator sampai beratnya konstan (W3). Rumus perhitungan kadar lemak adalah: % Kadar lemak = Keterangan :
W 3 −W 2 W1
W1 W2 W3
× 100% = Berat sampel (gram) = Berat labu lemak kosong (gram) = Berat labu lemak dengan lemak (gram)
3) Analisis kadar protein (AOAC 1995) Tahap-tahap yang dilakukan dalam analisis protein terdiri dari tiga tahap yaitu destruksi, destilasi, dan titrasi. Pengukuran kadar protein dilakukan dengan metode mikro Kjeldahl. Sampel ditimbang sebanyak 0,25 gram, kemudian dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl 100 ml, lalu ditambahkan 0,25 gram selenium dan 3 ml H2SO4 p.a. pekat. Sampel didestruksi pada suhu 410 oC selama kurang lebih 1 jam sampai larutan jernih lalu didinginkan.
Setelah dingin, ke dalam labu Kjeldahl
ditambahkan 50 ml akuades dan 20 ml NaOH 40%, kemudian dilakukan proses destilasi dengan suhu destilator 100 oC. Hasil destilasi ditampung dalam labu Erlenmeyer 125 ml yang berisi campuran 10 ml asam borat (H3BO3) 2% dan 2 tetes indikator bromcherosol green-methyl red yang berwarna merah muda (1:2). Setelah volume destilat mencapai 40 ml dan berwarna hijau kebiruan, maka proses destilasi dihentikan.
27
Destilat dititrasi dengan HCl 0,10 N sampai terjadi perubahan warna merah muda. Volume titran dibaca dan dicatat. Larutan blanko dianalisis seperti sampel. Kadar protein dihitung dengan rumus sebagai berikut: %N=
ml HCl − ml blanko × N HCl × 14,007 × 100% mg sampel × faktor koreksi alat ∗
*) Faktor koreksi alat = 2,5
% Kadar Protein = % N × faktor konversi∗ *) Faktor Konversi = 6,25
4) Analisis kadar abu (AOAC 1995) Cawan pengabuan dikeringkan di dalam oven selama 1 jam pada suhu 105 oC, kemudian didinginkan selama 15 menit di dalam desikator dan ditimbang hingga didapatkan berat yang konstan. Sampel sebanyak 5 gram dimasukkan ke dalam cawan pengabuan dan dipijarkan di atas nyala api hingga tidak berasap lagi, dan dimasukkan ke dalam tanur pengabuan dengan suhu 600 oC selama 1 jam, kemudian ditimbang hingga diperoleh berat yang konstan. Kadar abu dapat ditentukan dengan rumus: Berat abu g = berat sampel dan cawan akhir g − berat cawan kosong (g) Kadar abu berat basah =
Berat abu (g) × 100% Berat sampel awal (g)
5) Analisis karbohidrat (AOAC 1995) Pengukuran kadar karbohidrat dilakukan secara by difference, yaitu hasil pengurangan dari 100% dengan kadar air, kadar abu, kadar protein, dan kadar lemak sehingga kadar karbohidrat tergantung pada faktor pengurangan. Hal ini karena karbohidrat sangat berpengaruh terhadap zat gizi lainnya. Kadar karbohidrat dapat dihitung dengan mengunakan rumus: Karbohidrat % = 100% − (% 𝑎𝑖𝑟 + % 𝑎𝑏𝑢 + % 𝑝𝑟𝑜𝑡𝑒𝑖𝑛 + % 𝑙𝑒𝑚𝑎𝑘) 3.4.3 Pengujian senyawa flavonoid secara kualitatif (Harborne 1987) Biomasa Spirulina fusiformis pada umur panen terpilih dan fikosianin yang dihasilkan, terlebih dahulu diuji senyawa flavonoid dan golongannya, sebagai berikut:
28
Pengujian senyawa flavonoid dilakukan dengan melarutkan 0,1 gram biomasa kering Spirulina fusiformis dalam 10 ml air panas yang kemudian didihkan selama 5 menit dan disaring. Sebanyak 10 ml filtrat ditambahkan 0,5 gram Mg, 1 ml HCl pekat, dan 1 ml amil alkohol. Campuran dikocok dengan kuat. Uji positif ditandai dengan munculnya warna merah, kuning, atau jingga pada lapisan amil alkohol. Setelah diperoleh bahwa positif terdapat flavonoid, selanjutnya dilakukan uji golongan flavonoid. Pengujian golongan flavonoid dilakukan dengan melarutkan 0,5 gram biomasa kering Spirulina fusiformis dalam MeOH-HCl 1 N (1:1) dan dipanaskan dalam labu erlenmeyer pada suhu dengan etil asetat. Sebanyak 1 ml ekstrak etil asetat ditambah 3 tetes (CH3COO)2Pb lalu diamati warnanya.
Falvon
memberikan warna jingga hingga krem, kalkon memberikan warna jingga tua, dan auron memberikan warna merah. Sebanyak 1 ml ekstrak etil asetat ditambahkan 2 tetes NaOH 0,1 N lalu diamati warnanya.
Flavonol dan flavon memberikan warna kuning, sedangkan
kalkon dan auron memberikan warna merah hingga ungu. Sebanyak 1 ml ekstrak etil asetat ditambahkan 3 tetes H2SO4 lalu diamati warnanya. Flavonol dan falvon memberikan warna kuning, falvanonol memberikan warna jingga hingga krem, dan kalkon memberikan warna krem hingga merah tua. 3.4.4 Pengukuran kadar glukosa darah (Sugiwati 2005) Sampel darah diperoleh dari pembuluh vena di bagian ekor tikus. Ekor tikus terlebih dalulu dipijat searah ke ujung ekor dan dibersihkan dengan alkohol 70% (v/v), kemudian bagian ujung ekor ditusuk menggunakan lancet streril. Tetesan darah yang keluar diterapkan tepat pada ujung glucose test strip dan darah harus memenuhi bagian bawah membran.
Kadar glukosa darah dapat
dibaca oleh alat glukosa meter secara digital. 3.5 Rancangan percobaan dan analisis data Rancangan
percobaan
yang
digunakan
untuk
menguji
aktivitas
antihiperglikemik biomasa dan fikosianin dari Spirulina fusiformis terhadap kadar glukosa darah tikus adalah rancangan acak lengkap (RAL).
29
Model rancangannya adalah (Steel dan Torrie 1993): Y ij = μ + τi + ε ij Keterangan: Y ij μ τi ε ijk
= Nilai pengamatan kadar glukosa darah pada taraf ke-i dan ulangan ke-j (j=1,2,3,4,5) = Nilai tengah atau rataan umum pengamatan = Pengaruh perbedaan dosis pada taraf ke-i (i=1,2,3) = Galat atau sisa pengamatan taraf ke-i dengan ulangan ke-j Perlakuan yang diberikan adalah perbedaan dosis yang diberikan secara oral
pada hewan uji. Perlakuan perbedaan dosis biomasa Spirulina fusiformis terdiri dari 4 taraf, yaitu N (larutan sukrosa tanpa biomasa atau kontrol negatif), P (larutan sukrosa dengan penambahan obat acarbose atau kontrol positif), B1 (larutan sukrosa dengan penambahan biomasa dosis 0,15 mg/g BB tikus), dan B2 (larutan sukrosa dengan penambahan biomasa dosis 0,30 mg/g BB tikus). Perlakuan perbedaan dosis juga dilakukan pada pemberian oral fikosianin pada hewan uji. Taraf perlakuannya ada 4, meliputi N (larutan sukrosa tanpa fikosianin atau kontrol negatif), P (larutan sukrosa dengan penambahan obat acarbose atau kontrol positif), F1 (larutan sukrosa dengan penambahan fikosianin dosis 0,15 mg/g BB tikus), dan F2 (larutan sukrosa dengan penambahan fikosianin dosis 0,30 mg/g BB tikus). Data kadar glukosa darah tikus yang diperoleh dianalisis dengan ANOVA (Analysis Of Variant) menggunakan uji F. Pengolahan data kadar glukosa darah dilakukan menggunakan perangkat lunak Statistical Package for Social Science (SPSS) 14.0 for Windows. Hipotesa terhadap data hasil uji aktivitas antihiperglikemik pada berbagai dosis pemberian biomasa Spirulina fusiformis adalah sebagai berikut: Ho = Perbedaan dosis biomasa Spirulina fusiformis tidak memberikan pengaruh terhadap kadar glukosa darah tikus. H1= Perbedaan dosis biomasa Spirulina fusiformis memberikan pengaruh terhadap kadar glukosa darah tikus.
30
Hipotesa terhadap data hasil uji aktivitas antihiperglikemik pada berbagai dosis pemberian fikosianin Spirulina fusiformis adalah sebagai berikut: Ho = Perbedaan dosis fikosianin tidak memberikan pengaruh terhadap kadar glukosa darah tikus. H1= Perbedaan dosis fikosianin memberikan pengaruh terhadap kadar glukosa darah tikus. Jika uji F pada ANOVA memberikan pengaruh yang berbeda nyata (tolak H0) terhadap kadar glukosa darah tikus maka dilanjutkan dengan uji lanjut Duncan (Least Significant Difference (LSD)), dengan rumus (Steel dan Torrie 1993): LSD = tα/2 ; dbs Keterangan : KTS = Kuadrat Tengah Sisa dbs = Derajat bebas sisa r = Banyaknya ulangan
2 KTS 𝑟
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Kurva pertumbuhan Spirulina fusiformis Kultivasi atau produksi Spirulina pada dasarnya meliputi penumbuhan kultur, pemanenan, pencucian, pengeringan, dan penyimpanan produk. Kultur Spirulina dalam
media
Zarouk
dilakukan
dengan
membiakkan
inokulum
mikroalga Spirulina fusiformis yang diperoleh dari koleksi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Penyegaran inokulum Spirulina dilakukan dalam toples kaca ukuran 5 liter, agar Spirulina yang akan di kultivasi berada dalam keadaan optimum untuk tumbuh.
Penyegaran dilakukan untuk mempercepat waktu yang dibutuhkan
Spirulina beradaptasi dengan lingkungan barunya. Kondisi optimum umumnya dicapai ketika berada pada fase pertumbuhan (logaritmik), Spirulina sedang berada dalam tingkat pertumbuhan yang maksimal (Pamungkas 2005). Faktor lingkungan sangat penting diperhatikan karena dapat berpengaruh terhadap tingkat pertumbuhan dan perkembangbiakan Spirulina.
Faktor
lingkungan utama yang berpengaruh pada kultivasi Spirulina adalah nutrisi, suhu, dan cahaya (Richmond 1988). Kondisi lingkungan selama kultivasi pada penelitian ini adalah pada kisaran suhu ruang 28-30 ºC; suhu air 28-29 ºC; pH 9-10; dan intensitas cahaya 5480 lux dari lampu TL (tube lamp). Cahaya buatan dari lampu TL dapat mengganti fungsi sinar matahari pada kultur alga fotoautotrof yang dipelihara di dalam laboratorium (Diharmi 2001). Sinar lampu TL mencakup spektrum warna yang dapat berfungsi sebagai sumber energi cahaya pada proses fotosintesis. Reaksi fotosistem dijalankan oleh spektrum cahaya yang berbeda, yaitu fotosistem II yang bekerja pada panjang gelombang 680 nm dan fotosistem I pada panjang gelombang 700 nm. Cahaya yang berasal dari lampu TL sebenarnya merupakan sebaran cahaya dalam bentuk horizontal dari semua spektrum, yaitu spektrum ungu dan ultra ungu sampai merah dan infra merah (Hadioetomo 1993). Pertumbuhan didefinisikan sebagai suatu peningkatan masa sel dan disertai ukurannya oleh sintesis makromolekul yang menghasilkan struktur baru (Becker 1994).
Pertumbuhan sel ditandai dengan bertambah pekatnya warna
32
hijau kultur pada media dan bertambah tingginya nilai absorban. Penentuan pola pertumbuhan Spirulina fusiformis dilakukan dengan cara sampling untuk menghitung kepadatan sel menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 480 nm. Nilai absorbansinya diturunkan dengan pendekatan anti log (Ln) dan diplotkan pada grafik sehingga diperoleh kurva pertumbuhan seperti
Ln OD480 nm
pada Gambar 5. 2 1.5 1 0.5 0 -0.5 -1 -1.5 -2 -2.5 -3
a d
Waktu pengamatan (hari ke-)
b
e c
Gambar 5 Kurva pertumbuhan Spirulina fusiformis yang ditumbuhkan dalam media Zarouk dan indoor (a: fase lag; b: fase log; c: fase deklinasi; d: fase stasioner; e: awal fase kematian)
Kultivasi Spirulina fusiformis pada penelitian ini mengalami fase lag pada hari ke-0 sampai dengan hari ke-7. Hari ke-8 merupakan awal fase logaritmik yang ditandai dengan tingginya OD. Fase logaritmik atau eksponensial berlangsung hingga hari ke-31.
Penentuan fase pada kurva pertumbuhan sel
Spirulina pada penelitian ini juga didukung oleh penggambaran fase pertumbuhan sel alga oleh Fogg dan Thake (1987) pada Gambar 2. Kondisi pada kedua fase di atas didukung oleh pernyataan Fogg dan Thake (1987) bahwa fase lag ditandai dengan peningkatan populasi yang tidak terlalu nyata. Fase ini disebut juga dengan fase adaptasi karena sel mikroalga Spirulina sedang beradaptasi terhadap media pertumbuhannya. Fase selanjutnya adalah fase eksponensial atau logaritmik yang ditandai dengan tingginya laju pertumbuhan karena mikroalga sedang aktif berkembangbiak. Berakhirnya fase logaritmik menjadi awal terjadinya fase deklinasi pada kultivasi Spirulina fusiformis, yaitu pada hari ke-32 sampai dengan hari ke-34. Pertumbuhan dengan laju yang lebih lambat terjadi seiring dengan berkurangnya nutrien yang tersedia di dalam kultur pada fase ini.
Pertumbuhan sel
33
Spirulina fusiformis mencapai akhir dari produksi biomasa selnya pada fase stasioner yang terjadi pada hari ke-35 sampai dengan hari ke-75. Bagian dasar akuarium berwarna hijau pucat pada hari ke-76 akibat banyaknya sel yang lisis dan tenggelam ke dasar akuarium. Sel Spirulina mengalami penurunan nilai absorbansi kultur pada panjang gelombang 480 nm. Nilai absorbansi kultur pada panjang gelombang 480 nm yang mencerminkan kepadatan sel Spirulina untuk masing-masing fase kultur dapat dilihat pada Lampiran 2. Pertumbuhan sel baru juga dihambat dengan keberadaan sel yang telah mati dan faktor pembatas lainnya (Fogg dan Thake 1987). Penurunan kepadatan sel disebabkan sel mengalami kematian dan lisis. Proses lisis terjadi karena perbedaan tekanan osmotik di dalam sel dengan lingkungan. Sel Spirulina kehilangan kemampuan untuk mempertahankan cairan intraseluler seiring dengan laju degradasi komponen biokimia di dalam sel (Vonshak 1985). 4.2 Biomasa Spirulina fusiformis Kultivasi dilakukan pada akuarium yang terdiri dari 100 liter medium dan 20 liter inokulum di dalam laboratorium. Biomasa Spirulina fusiformis sangat dipengaruhi oleh sumber cahaya, kemudian diikuti oleh nutrient dan temperatur. Kondisi ini tetap dipertahankan seperti pada saat kultivasi untuk memperoleh kurva pertumbuhannya.
Kultivasi Spirulina fusiformis ini disajikan secara
deskriptif pada Gambar 6.
Gambar 6 Kultivasi Spirulina fusiformis dengan media Zarouk pada skala labolatorium (100 liter)
34
Kultivasi dilakukan secara kontinyu, artinya dalam satu akuarium dilakukan pemanenan beberapa kali. Waktu pemanenan berdasarkan kurva pertumbuhan yang telah diperoleh.
Pemanenan dilakukan pada fase logaritmik dan
fase stasioner, meliputi awal fase log (8 hari), tengah fase log (15 hari), akhir fase log (31 hari), awal fase stasioner (35 hari), dan akhir fase stasioner (75 hari).
Hal ini dikarenakan mikroalga pada fase logaritmik mengalami
percepatan pertumbuhan sedangkan pertumbuhan mikroalga pada fase stasioner mencapai tingkat maksimal (Fogg 1975). Pemanenan biomasa basah dilakukan menggunakan metode filtrasi karena ukuran sel Spirulina besar (ukuran diameter filamennya adalah 50 µm) sehingga bisa digunakan kain nylon mesh ukuran 20 µm.
Sel Spirulina fusiformis
berbentuk filamen sehingga akan mengambang pada permukaan kultur dan memudahkan
dalam
pemanenan
(Desmorieux
dan
Decaen
2006).
Hasil pemanenan biomasa Spirulina fusiformis pada masing-masing umur panen dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 Berat biomasa Spirulina fusiformis pada masing-masing umur panen untuk skala 100 L medium (sistem kontinyu atau dalam satu akuarium) Umur panen (hari) Fase logaritmik 8 15 31 Fase stasioner 35 75
Biomasa basah (g)
Biomasa kering (g)
Kadar air (%)
801 825 1002
81,4 82,1 110,6
8,14 8,21 8,46
1950 2006
117,0 123,5
8,48 8,77
Biomasa Spirulina fusiformis yang dipanen pada fase stasioner memiliki berat yang lebih besar jika dibandingkan dengan biomasa pada fase logaritmik. Pertambahan biomasa sel pada umur 75 hari menunjukkan bahwa setelah fase logaritmik Spirulina masih mengalami pertumbuhan. Umur kultur 75 hari adalah akhir fase stasioner yang merupakan akhir dari produksi biomasa sel. Poses terakhir dalam produksi biomasa Spirulina fusiformis adalah pengeringan.
Tahap pengeringan dilakukan untuk mendapatkan biomasa
Spirulina kering.
Spirulina dalam keadaan kering tidak mudah terfermentasi
(Angka dan Suhartono 2000). Proses pengeringan ini mengakibatkan rendemen
35
bobot biomasa kering berkurang hingga 10% dari bobot biomasa basah, karena pada proses pengeringan air terbawa keluar dari biomasa sel. Pengeringan dilakukan pada suhu ruang dengan bantuan kipas angin (27-28oC) karena berdasarkan peneltian Mohammad (2007), kondisi pengeringan suhu ruang dapat mempertahankan kandungan fikosianin lebih tinggi (8,09%) pada Spirulina fusiformis dibandingkan menggunakan AC dan blower heat. Pengeringan pada suhu ruang akan semakin mengefisienkan waktu dan biaya produksi untuk menghasilkan kadar fikosianin yang paling baik. Fikosianin yang digolongkan dalam makromolekul protein dapat dilihat melalui ekspresi jumlah protein dalam biomasa Spirulina fusiformis yang digunakan
dalam
ekstraksi.
Pengukuran
komposisi
kimia
biomasa
Spirulina fusiformis pada umur panen terpilih digunakan sebagai standar dalam pengujian aktivitas antihiperglikemiknya. Biomasa Spirulina fusiformis menghasilkan jumlah komponen makromolekul yang berbeda pada setiap umur panen karena sintesis makromolekul sangat dipengaruhi oleh kandungan nutrient dalam medium, kondisi kultivasi dilakukan.
yang
Biomasa dengan bobot terbesar akan digunakan dalam analisis
komponen kimianya. Pada umur panen 75 hari diperoleh bobot biomasa terbesar, yaitu 123,5 g biomasa kering. Secara umum komposisi kimia dalam biomasa umur 75 hari ini dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Komposisi kima biomasa kering Spirulina fusiformis umur panen 75 hari Kandungan
Jumlah (% bk)
Air
8,77
Mineral (abu)
8,69
Protein
54,55
Lemak
2,32
Karbohidrat*
25,67
*by difference
Kandungan protein dalam biomasa Spirulina fusiformis dengan umur panen 75 hari cukup besar yaitu 54,55%. Hal ini sesuai dengan Choi et al. (2003) yang menyatakan bahwa Spirulina merupakan mikroorganisme yang kaya protein dapat mencapai 70%.
36
Hal ini berkebalikan dengan sintesis lemak.
Kandungan lemak biomasa
Spirulina fusiformis umur panen 75 hari pada penelitian ini sangat rendah, yaitu 2,32%.
Spirulina merupakan mikroalga yang tidak menghasilkan kandungan
lemak tinggi.
Hal ini sesuai dengan pernyataan Spolaore (2006) bahwa
kandungan lemak Spirulina berkisar antara 6-7%. Kandungan karbohidrat Spirulina fusiformis pada umur panen 75 hari mencapai 25,67%.
Belay et al. (2007) menyatakan bahwa sintesa karbohidrat
melalui pembentukan glukosa selama proses fotosintesis memerlukan sumber karbon dan cahaya. Komponen natrium bikarbonat (NaHCO3) sebagai larutan penyangga dalam medium kultivasi Spirulina fusiformis menyebabkan pH medium kultivasi tidak berfluktuatif yaitu, pada awal (pH 9) dan akhir (pH 10). Hal ini sesuai dengan pernyatan Zarouk (1966) bahwa fluktuasi pH yang terlalu tajam akan mengakibatkan kematian alga. Komponen natrium bikarbonat (NaHCO3), selain sebagai larutan penyangga yang digunakan pada kultur Spirulina, juga merupakan sumber karbon yang dibutuhkan untuk proses sintesis karbohidrat.
Kandungan karbohidrat yang terdapat pada alga hijau biru ini
berkisar antara 15-25%. 4.3 Kandungan fikosianin dari Spirulina fusiformis Ekstraksi fikosianin pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan air pada kultur umur 8, 15, 31, 35, dan 75 hari.
Lorenz (1998) mengekstraksi
fikosianin menggunakan buffer fosfat. Fikosianin kasar dapat diperoleh dengan mengekstrak serbuk Spirulina fusiformis dengan buffer fosfat pH 7 dan dibaca absorbansinya pada panjang gelombang 620 nm dengan buffer fosfat sebagai blanko. Kadar fikosianin dihitung secara kuantitatif dengan cara menghitung absorbansi yang diperoleh dari hasil ekstraksi (Lampiran 4). Fikosianin merupakan pigmen fotosintetik utama pada Spirulina disamping peranannya
sebagai
penyimpan
cadangan
nitrogen
dan
asam
amino.
Besar maupun kecilnya keberadaan fikosianin yang terkandung dalam biomasa sel tergantung banyak sedikitnya suplai nitrogen yang dikonsumsi oleh Spirulina (Richmond 1980).
Hal ini menunjang penelitian bahwa perlu diketahui umur
panen yang tepat untuk menghasilkan kandungan fikosianin terbaik. fikosianin pada masing-masing umur panen ini dapat dilihat pada Tabel 5.
Kadar
37
Tabel 5 Nilai kadar fikosianin berdasarkan umur panen Umur panen 8 hari1a 15 hari2a 31 hari3a 35 hari 1b 75 hari 2b
A 620 nm 1,390 1,610 1,968 2,006 2,102
Kadar fikosianin (%) 5,850 6,717 7,969 8,102 8,204
Keterangan: 1a = awal fase log; 2a = tengah fase log; 3a = akhir fase log 1b = awal fase stasioner; 2b = akhir fase stasioner
Ekstraksi biomasa Spirulina fusiformis menggunakan air menghasilkan kadar fikosianin yang berbeda untuk setiap umur panen, yaitu berkisar antara 5,850% 8,204%. Fikosianin tertinggi dalam penelitian ini diperoleh ketika mikroalga Spirulina fusiformis berada pada fase pertumbuhan stasioner.
Fase stasioner
merupakan akhir dari produksi biomasa. Kondisi ini dapat digambarkan sebagai suatu grafik pertumbuhan yang konstan (Gambar 5). Fikosianin terdiri dari dua komponen fikobiliprotein, yaitu c-fikosianin dan allofikosianin. Fikosianin dapat bertindak sebagai material penyimpan nitrogen. Pada saat kondisi nitrogen melimpah, selain digunakan untuk pertumbuhan Spirulina, nitrogen disimpan dalam bentuk fikosianin (Richmond 1988). Oleh karena itu, pada fase stasioner dengan umur panen 75 hari diperoleh kandungan fikosianin yang lebih besar dibandingkan fikosianin pada umur panen yang lain. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kadar fikosianin tertinggi dihasilkan oleh ekstraksi air biomasa kering Spirulina fusiformis pada umur panen 75 hari, yaitu sebesar 8,204% dengan nilai absorbansi fikosianin pada A620 nm adalah 2,102 (Tabel 3) dan nilai absorbansi kultur Spirulina fusiformis pada A480 nm adalah 5,354 (Lampiran 2). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Achmadi et al. (2002)
yang
menyatakan
bahwa
rapat
optis
(OD)
optimum
pada
Spirulina platensis untuk mendapatkan pigmen fikosianin terbaik adalah diatas 1,0 pada panjang gelombang 480 nm. 4.4 Aktivitas antihiperglikemik dari biomasa Spirulina fusiformis pada kadar glukosa darah tikus Salah satu pendekatan terbaik untuk menurunkan glukosa darah pasca makan ialah dengan memperlambat absorpsi glukosa melalui penghambatan kerja
38
penghidrolisis karbohidrat seperti α-glukosidase. Usaha menjaga tingkat glukosa darah menjadi rendah atau normal dapat menurunkan angka penderita komplikasi diabetes melitus (Lee et al. 2007). Berdasarkan hal tersebut, pada penelitian ini dipilih obat Acarbose sebagai kontrol positif yang merupakan obat standar oral pada penderita diabetes melitus tipe-2. Mekanisme obat Acarbose adalah melalui inhibisi secara reversible yang kompetitif terhadap enzim sukrase.
Obat Acarbose menghambat hidrolisis
karbohidrat pada usus halus, berkompetisi dengan sukrosa atau karbohidrat lain untuk berikatan pada sisi aktif enzim sehingga absorbsi glukosa ke dalam darah menurun seiring tidak terbentuknya D-glukosa bebas (Info Obat Indonesia 2009). Pengukuran kadar glukosa darah pada penelitian ini menggunakan metode Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO). Model hewan uji yang digunakan dalam penelitian ini tidak dibuat DM permanen, sehingga metabolisme karbohidrat seluruh hewan coba dianggap normal tanpa adanya defisiensi insulin, sehingga yang diharapkan terjadi adalah hambatan naiknya kadar glukosa darah setelah diberi perlakuan. Pengujian kadar glukosa darah dilakukan setelah tikus dipuasakan selama 18 jam agar pada saat perlakuan, metabolisme yang terjadi merupakan metabolisme normal tanpa adanya defisiensi insulin serta untuk mendapatkan kadar glukosa darah puasanya. Sampel darah diambil sebelum perlakuan dan pada setiap ½, 1, 2, dan 3 jam setelah pemberian larutan sukrosa dan bahan uji per oral. Nilai rata-rata kadar glukosa darah tikus untuk masing-masing perlakuan ditampilkan pada Tabel 6. Tabel 6 Nilai rata-rata kadar glukosa darah tikus untuk perlakuan dosis biomasa Spirulina fusiformis Perlakuan Kontrol negatif (sukrosa) Kontrol positif (Acarbose 0,001 mg/g BB + sukrosa) B1 (0,15 mg/g BB tikus + sukrosa) B2 (0,30 mg/g BB tikus + sukrosa )
Rata-rata nilai kadar glukosa darah tikus (mg/dl) 0 jam ½ jam 1 jam 2 jam 3 jam 72,8 116,4 133,8 107,8 72,8 ±0,837 ± 2,702 ± 0,837 ± 1,643 ± 0,837 72,6 84,2 94,4 88,4 72,8 ±0,849 ± 1,095 ± 0,548 ± 0,548 ± 0,837 73,4 97,6 112,8 80,0 73,4 ±0,548 ± 0,548 ± 1,304 ± 0,707 ± 0,548 73,4 91,8 99,8 86,0 72,8 ±0,548 ± 0,447 ± 0,447 ± 1,000 ± 0,837
39
Nilai rata-rata kadar glukosa darah tikus pada jam ke-0 berkisar antara 72,8-73,4 mg/dl.
Pengamatan selanjutnya adalah pada nilai rata-rata kadar
glukosa darah tikus ½ jam setelah perlakuan berkisar antara 116,4-84,2 mg/dl dan nilai rata-rata kadar glukosa darah tikus 1 jam setelah perlakuan berkisar antara 133,8-94,4 mg/dl. Nilai rata-rata kadar glukosa darah tikus selanjutnya, yaitu, 2 jam setelah perlakuan berkisar antara 107,8-80,00 mg/dl dan 3 jam setelah perlakuan
nilai
rata-rata
kadar
glukosa
darah
tikus
berkisar
antara
72,8-73,4 mg/dl. Tikus-tikus yang telah diadaptasikan dan dipuasakan tidak diberikan perlakuan apapun setelahnya, sehingga yang terukur pada jam ke-0 adalah kadar glukosa darah puasa tikus.
Hal ini didukung oleh pernyataan Malole dan
Pramono (1989) bahwa kadar glukosa darah tikus berkisar antara 50-135 mg/dl. Produksi dan sekresi insulin dipacu oleh jumlah glukosa dalam darah. Jika jumlah glukosa telah mencapai kadar tertentu, insulin akan disekresikan dan “membuka” sel-sel dalam hati, otot, dan lemak sehingga memungkinkan glukosa masuk ke dalam sel-sel tersebut. Dengan demikian, glukosa tidak menumpuk dalam darah dan kadar glukosa tetap normal (Wijayakusuma 2006). Pemberian sukrosa pada tes toleransi glukosa oral akan meningkatkan glukosa darah hingga puncaknya dalam waktu 60 menit (Gibney et al. 2008). Kadar glukosa darah tikus meningkat sejak ½ jam perlakuan dan mencapai nilai kadar glukosa tertinggi pada 1 jam setelah pemberian sukrosa. Rata-rata kadar glukosa darah tikus meningkat dari 72,8 mg/dl menjadi 133,8 mg/dl untuk kontrol negatif dengan hanya pemberian larutan sukrosa 80% b/v. Hal ini didukung oleh pernyataan Mridha et. al (2010) bahwa pencernaan sukrosa (karbohidrat) terjadi di dalam usus halus tikus, yaitu memecah karbohidrat menjadi molekul glukosa dan fruktosa. Pencernaan karbohidrat terjadi dengan bantuan enzim sukrase.
Sukrosa
dihidrolisis oleh enzim sukrase menjadi glukosa dan fruktosa. Glukosa diserap ke dalam darah untuk diedarkan ke seluruh sel dalam tubuh sebagai energi. Oleh karena itu, jika asupan karbohidrat meningkat, maka kadar glukosa dalaam darah juga meningkat (Gibney et al. 2008).
40
Kadar glukosa darah tikus meningkat hingga setelah 1 jam perlakuan. Peningkatan kadar glukosa darah tikus mampu dicegah oleh insulin secara normal (tanpa penambahan obat antidiabetes) pada kontrol negatif.
Rata-rata kadar
glukosa darah tikus kontrol negatif setelah 1 jam pemberian sukrosa oral meningkat hingga 45,6% dari kadar glukosa normalnya (0 jam), sedangkan kadar glukosa darah tikus kontrol positif hanya meningkat 23,1% dari kadar glukosa darah normalnya (0 jam) setelah 1 jam pemberian obat Acarbose 0,001 mg/g BB tikus dan sukrosa.
Persentase peningkatan dan pencegahan kenaikan kadar
glukosa darah tikus untuk masing-masing perlakuan dapat dilihat pada Lampiran 5. Kadar glukosa darah tikus B1 (73,4 mg/dl menjadi 112,8 mg/dl) juga meningkat sebesar 34,9% dari kondisi awal setelah pemberian 0,15 mg/g BB biomasa Spirulina dan sukrosa, sedangkan kadar glukosa darah tikus dosis B2 (73,4 mg/dl menjadi 99,8 mg/dl) hanya meningkat sebesar 26,5% dari kadar glukosa darah normalnya setelah 1 jam pemberian 0,30 mg/g BB biomasa Spirulina dan sukrosa (Tabel 6 dan Lampiran 5). Pemberian biomasa Spirulina 0,15 mg/g BB tikus, setelah 1 jam, ternyata mampu mencegah kenaikan kadar glukosa darah tikus sebesar 65,1% (Lampiran 5). Sebelum perlakuan (jam ke-0), perlakuan perbedaan dosis pemberian biomasa Spirulina fusiformis, menunjukkan pengaruh yang tidak berbeda nyata terhadap rata-rata kadar glukosa darah tikus dari hasil analisis sidik ragam (ρ<0,05). Perlakuan perbedaan dosis pemberian biomasa Spirulina fusiformis, yaitu dosis 0,15 mg/g BB tikus, 0,30 mg/g BB tikus dengan kontrol negatif (sukrosa 80% b/v), dan kontrol positif (Acarbose 0,001 mg/g BB)setelah ½, 1, dan 2 jam, menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata terhadap rata-rata kadar glukosa darah tikus dari hasil analisis sidik ragam (ρ<0,05), sedangkan setelah 3 jam perlakuan, menunjukkan pengaruh yang tidak berbeda nyata (p<0,05) terhadap rata-rata kadar glukosa darah tikus (Lampiran 7, 8, 9, 10, dan 11). Perbedaan signifikan antar perlakuan, sebagai hasil uji lanjut Duncan, dapat dilihat pada histogram ratarata kadar glukosa darah tikus pada Gambar 7.
41
a
Rata-rata kadar glukosa darah tikus (mg/dl)
140
a
120
c c
100 80
b
d
b
d
a b c
a a a a
d
a a a a
60 40 20 0 0
0.5
Jam ke-
1
2
3
Keterangan: Huruf superscrift yang berbeda (a,b,c,d) pada diagram batang menunjukkan berbeda nyata (p<0,05)
Gambar 7 Histogram rata-rata kadar glukosa darah untuk kontrol negatif, kelompok N (sukrosa 80% b/v) ( ); kontrol positif, kelompok P (Acarbose 0,001 mg/g BB) ( ); dan pemberian oral biomasa Spirulina fusiformis kelompok B1 dosis 0,15 mg/g BB ( ); kelompok B2 dosis 0,30 mg/g BB ( ) Perbedaan signifikan (p<0,05) terlihat pada diagram batang untuk kelompok B1 dan B2 setelah ½, 1, dan 2 jam perlakuan (Gambar 7, Lampiran 8, 9, dan 10). Kadar glukosa darah menurun pada selang 2 jam setelah perlakuan dan kembali rendah seperti pada awal perlakuan setelah 3 jam (Tabel 6). Nilai kadar glukosa darah tikus setelah 2 jam perlakuan berturut-turut adalah 107,8 mg/dl, 88,4 mg/dl, 80,0 mg/dl (B1), dan 86,0 mg/dl (B2). Penambahan dosis biomasa menjadi dua kali lipatnya (0,30 mg/g BB tikus), setelah 1 jam, menunjukkan kemampuan lebih baik dan berbeda signifikan (p<0,05) dalam mencegah kenaikan kadar glukosa tikus kelompok B2, sebesar 73,5% (Gambar 7, Lampiran 5 dan 9). Berbeda halnya ketika akhir perlakuan (setelah 3 jam). Kadar glukosa darah tikus kembali normal yang disebabkan oleh penggunaan glukosa oleh sel-sel dalam tubuhnya, sedangkan perbedaan dosis biomasa tidak menunjukkan berbeda signifikan (p<0,05) terhadap kadar glukosa darah tikus pada akhir perlakuan (setelah 3 jam).
Hal ini dapat dilihat pada histogram (Gambar 7) dan hasil uji
lanjut Duncan (Lampiran 11). Pencernaan karbohidrat di usus halus ini yang diduga dihambat oleh adanya komponen aktif dari biomasa Spirulina fusiformis. Komponen aktif dalam
42
biomasa Spirulina fusiformis diduga menghambat kerja dari enzim α-glukosidase dalam memutus ikatan α-1,6 pada titik percabangan rantai glikogen sehingga tidak terbentuk glukosa bebas.
Hal ini didukung oleh Layam et al. (2007) yang
menunjukkan bahwa Spirulina platensis yang diberikan pada tikus mampu menjadi inhibitor dalam pemecahan karbohidrat, yaitu dengan menghambat kerja enzim α-glukosidase serta merangsang pembetukan insulin dalam tubuh tikus yang dirusak kelenjar pankreasnya secara kimia sehingga mengalami defisiensi insulin. Biomasa Spirulina fusiformis dicerna terlebih dahulu dalam lambung tikus. Enzim pepsin pada lambung memecah komponen protein yang terdapat pada dinding sel Spirulina fusiformis. Hal ini sesuai dengan pernyataan Chopra dan Bishnoi (2007) bahwa dinding sel Spirulina fusiformis tersusun dari komponen mukoprotein. Dengan demikian, seluruh isi sel Spirulina fusiformis akan keluar dan masuk ke dalam pencernaan di usus halus. Enzim α-glukosidase merupakan katalis pada langkah akhir pemecahan karbohidrat di usus halus. Enzim ini terlibat dalam degradasi glikogen lanjutan dari glikogen oleh fosforilase yang dapat terjadi hanya setelah kerja enzim glukanotransferase dan α-glukosidase dengan mengkatalis dua reaksi. Pada reaksi pertama, enzim glukanotransferase memindahkan tiga dari residu glukosa yang tersisa ke ujung cabang-cabang disebelah luar molekul lain. Enzim α-glukosidase menghidrolisis ikatan α-1,6 pada titik percabangan rantai glikogen dan menghasilkan D-glukosa dan membuat residu glukosa dengan ikatan α-1,4. Pada rantai lanjutan α-1,4 tersebut kini terbuka terhadap kerja glikogen fosforilase yang menghasilkan glukosa-1-fosfat (Lehninger 1982). Komponen
aktif
antihiperglikemik Tietze 2004),
dalam
antara
biomasa
lain
mineral
Spirulina
yang berperan
kromium
(Cr)
(Belay
sebagai 2002;
asam lemak gamma linoleat (Iyer et al. 2007), dan senyawa
flavonoid (Belay et al. 2007). Senyawa fenol termasuk golongan flavonoid dan tanin pada buah mahkota dewa juga dinyatakan sebagai komponen aktif antihiperglikemik sebagai inhibitor α-glukosidase (Sugiwati 2005). Penapisan flavonoid pada biomasa memberikan hasil positif dengan adanya senyawa flavonoid golongan flavonol dan flavon.
Berdasarkan uji kualitatif
43
ekstrak etanol 70% pada biomasa Spirulina menunjukkan positif terhadap flavonoid dengan intensitas warna jingga yang cukup pekat pada lapisan amil alkoholnya (Gambar 8a).
(a) (b) Gambar 8 Hasil uji kualitatif senyawa flavonoid dan golongannnya Uji golongan flavonoid dapat memberikan informasi tentang keberadaan jenis golongan flavonoid yang terdapat pada ekstrak kasar biomasa Spirulina secara kualitatif. Ekstrak etil asetat saat ditambahkan pereaksi CH3COOPb dan NaOH menghasilkan warna krem dan kuning. Ekstrak tersebut menunjukkan positif terhadap senyawa golongan flavonoid, yaitu flavon dan flavonol (Gambar 8b). Hasil ini juga sesuai dengan penelitian Hartika (2009) bahwa komponen teraktif yang memiliki kemampuan sebagai antihperglikemik secara in vitro dari buah mahkota dewa matang adalah golongan flavonoid terutama golongan flavonol dengan inhibisi tertinggi sebesar 41,95%. 4.5 Aktivitas antihiperglikemik dari fikosianin Spirulina fusiformis pada kadar glukosa darah tikus Pengujian antihiperglikemik pada penelitian ini juga dilakukan pada ekstrak air dari Spirulina fusiformis berupa fikosianin kering.
Belay (2002)
menyatakan bahwa fikosianin adalah antioksidan tertinggi dalam Spirulina. Fikosianin dari mikroalga Spirulina belum diketahui potensinya sebagai antihiperglikemik. Beberapa hasil penelitian menyebutkan bahwa secara in vivo pada tikus, C-Phycocyanin dari Spirulina efektif menghambat tetraklorida (CCl4) dalam
44
induksi peroksidasi lemak di hati (Bhat dan Madyastha 2000). Menurut Gershwin dan Belay (2007), biopigmen yang mempunyai potensi sebagai antihiperglikemik, diantaranya adalah antosianin dan fikosianin. Oleh karena itu, pada penelitian ini, diuji potensi antihiperglikemik fikosianin yang diperoleh dari ekstraksi biomasa mikroalga Spirulina fusiformis. Fikosianin diujikan dalam dosis yang berbeda, yaitu, 0,15 mg/g BB tikus dan 0,30 mg/g BB tikus. Rata–rata kadar glukosa darah tikus sebelum (0 jam) dan setelah 3 jam perlakuan berkisar antara 72,8-73,4 mg/dl; setelah ½ jam perlakuan berkisar antara 84,2-116,4 mg/dl; setelah 1 jam perlakuan berkisar antara 94,4-133,8 mg/dl; dan setelah 2 jam perlakuan berkisar antara 84,8-107,8 mg/dl. Nilai rata-rata kadar glukosa darah tikus untuk masing-masing perlakuan dosis pemberian fikosianin disajikan dalam Tabel 7. Tabel 7 Nilai rata-rata kadar glukosa darah tikus untuk perlakuan dosis fikosianin Perlakuan Kontrol negatif (sukrosa) Kontrol positif (Acarbose 0,001 mg/g BB + sukrosa) F1 (0,15 mg/g BB tikus + sukrosa) F2 (0,30 mg/g BB tikus + sukrosa )
Rata-rata nilai kadar glukosa darah tikus (mg/dl) 0 jam ½ jam 1 jam 2 jam 3 jam 72,8 116,4 133,8 107,8 72,8 ±0,837 ± 2,702 ± 0,837 ± 1,643 ± 0,837 72,6 84,2 94,4 88,4 72,8 ±0,849 ± 1,095 ± 0,548 ± 0,548 ± 0,837 73,4 98,0 112,8 86,4 72,8 ±0,548 ± 0,548 ± 1,304 ± 0,707 ± 0,837 73,2 96,0 107,8 84,8 73,4 ±0,588 ± 0,447 ± 0,447 ± 1,000 ± 0,548
Rata-rata kadar glukosa darah tikus menunjukkan perbedaan nyata dari hasil analisis sidik ragam (p<0,05), kecuali sebelum dan setelah 3 jam perlakuan (Lampiran 12, 13, 14, 15, dan 16). Pemberian fikosianin memberikan hasil yang berbeda dengan pemberian biomasa Spirulina fusiformis terhadap kadar glukosa darah tikus. Kadar glukosa darah tikus terus meningkat sampai puncaknya pada 1 jam setelah perlakuan. Nilai rata-rata kadar glukosa darah tikus meningkat hingga 34,9% (73,4 mg/dl menjadi 112,8 mg/dl) dengan penambahan fikosianin dosis 0,15 mg/g BB tikus. Penambahan dosis fikosianin menjadi 0,30 mg/dl memberikan persentase peningkatan kadar glukosa darah tikus lebih rendah, yaitu sebesar 32,1% (73,2 mg/dl menjadi 107,8 mg/dl). Rata-rata kadar glukosa darah
45
tikus meningkat 23,1% (72,6 mg/dl menjadi 94,4 mg/dl) dengan penambahan obat Acarbose sebagai kontrol positif. Hal ini disajikan pada Tabel 7 dan Lampiran 5. Perbedaan dosis fikosianin dengan kontrol negatif (sukrosa) dan kontrol positif (obat Acarbose) menunjukkan perbedaan yang tidak signifikan (p<0,05) terhadap rata-rata kadar glukosa darah tikus pada sebelum dan setelah 3 jam perlakuan (Lampiran 12 dan 16). Hal ini dapat dilihat dengan adanya huruf yang sama pada diagram batang yang terdapat dalam histogram rata-rata kadar glukosa
Rata-rata kadar glukosa darah tikus (mg/dl)
darah tikus (Gambar 9). a
140
a
120
c d
100 80
c
a a a a
b
b
d
a b c d a a a a
60 40 20 0 0
0.5
Jam ke-
1
2
3
Keterangan: Huruf superscrift yang berbeda (a,b,c,d) pada diagram batang menunjukkan berbeda nyata (p<0,05)
Gambar 9 Histogram rata-rata kadar glukosa darah untuk kontrol negatif, kelompok N (larutan sukrosa 80% b/v) ( ); kontrol positif, kelompok P (Acarbose 0,001 mg/g BB) ( ); pemberian oral fikosianin Spirulina fusiformis kelompok F1 dosis 0,15 mg/g BB ( ), kelompok F2 dosis 0,30 mg/g BB ( ) Perlakuan fikosianin 0,15 mg/g BB tikus berbeda signifikan (p<0,05) dengan fikosianin dosis 0,30 mg/g BB tikus, kontrol negatif, dan kontrol positif pada ½, 1, dan 2 jam setelah perlakuan. Hal ini dapat dilihat pada histogram rata-rata kadar glukosa darah tikus (Gambar 9) dan hasil uji lanjut Duncan (Lampiran 13, 14, dan 15). Fikosianin dengan dosis 0,15 mg/g BB mampu mencegah peningkatan kadar glukosa darah tikus sebesar 65,1%, sedangkan dosis diatasnya (0,30 mg/g BB) mampu mencegah peningkatan kadar glukosa darah tikus sebesar 67,9% pada selang 1 jam setelah perlakuan. Berbeda halnya dengan kontrol negatif (sukrosa
46
tanpa fikosianin), peningkatan kadar glukosa darah tikus hanya mampu dicegah oleh tubuh tikus sebesar 54,4% dan kontrol positif dengan obat Acarbose, yang mampu mencegah peningkatan kadar glukosa darah tikus hingga 76,9% (Lampiran 5). Mekanisme fikosianin sebagai antihiperglikemik belum diketahui dengan tepat. Berdasarkan hasil pengujian ini, fikosianin diduga masih aktif dengan terus dicerna di dalam usus halus. Mekanisme kerja fikosianin diduga juga sebagai inhibitor enzim sukrase (α-glukosidase) terhadap pencernaan karbohidrat di dalam usus halus. Fikosianin yang tergolong senyawa protein dimungkinkan tetap lolos dari pencernaan di lambung. Bishnoi
(2007),
bahwa
Hal ini sesuai dengan pernyataan Chopra dan
fikosianin
termasuk
dalam
senyawa
protein,
fikobilliprotein, seperti fikoeritrin, serta memiliki sifat larut dalam senyawa polar. Kadar glukosa darah tikus setelah 3 jam perlakuan kembali normal, yaitu berkisar antara 72,8-73,4 mg/dl.
Perbedaan dosis fikosianin pada akhir
(setelah 3 jam) perlakuan tidak memberikan perbedaan yang signifikan (p<0,05) terhadap kadar glukosa darah tikus (Lampiran 16).
Kondisi ini terjadi karena
dalam kondisi normal, peningkatan kadar glukosa darah dapat kembali ditoleransi oleh adanya sekresi insulin dalam tubuh tikus, sehingga kadar glukosa darah tikus pada akhir perlakuan tidak berbeda secara signifikan. Jumlah kadar glukosa yang tinggi dalam darah memacu adanya sekresi insulin. Hormon insulin akan membantu mengubah glukosa menjadi energi bagi sel dengan cara mentransfer glukosa darah ke dalam sel-sel yang membutuhkan. Jika insulin tidak disekresikan oleh sel-sel β-pankreas akibat beberapa gangguan dalam tubuh, glukosa darah tidak dapat diubah menjadi energi dan tidak dapat diubah dalam bentuk glikogen. Hal ini menyebabkan kadar glukosa dalam darah meningkat (Wijayakusuma 2006). Adanya fikosianin dan biomasa Spirulina fusiformis diduga berperan sebagai inhibitor terhadap enzim α-glukosidase sehingga tidak semua sukrosa dapat dihirolisis menjadi glukosa.
5 KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan Spirulina fusiformis memiliki fase pertumbuhan yaitu fase lag pada umur 0-7 hari; fase logaritmik pada umur 8-31 hari; fase deklinasi pada umur 32-34 hari; fase stasioner pada umur 35-75 hari; dan fase kematian mulai umur 76 hari. Kadar fikosianin tertinggi 8,204% diperoleh dari biomasa pada fase stasioner dengan umur panen 75 hari. Spirulina fusiformis memiliki kandungan protein 54,55%, lemak 2,32%, abu 8,69%, dan air 8,77%. Spirulina fusiformis juga menunjukkan adanya senyawa aktif flavonoid golongan flavonol. Kadar glukosa darah tikus yang diberi perlakuan perbedaan dosis biomasa Spirulina fusiformis (0,30 mg/g BB tikus dan 0,15 mg/g BB tikus) pada awal pengamatan (0 jam) dan setelah 3 jam, tidak berbeda nyata (ρ<0,05). Namun, setelah ½, 1, dan 2 jam, perlakuan perbedaan dosis biomasa Spirulina fusiformis berpengaruh nyata (ρ<0,05) terhadap kadar glukosa darah tikus. Dosis biomasa 0,15 mg/g BB tikus mampu mencegah peningkatan kadar glukosa darah sebesar 65,1%, sedangkan penambahan dosis biomasa menjadi 0,30 mg/g BB tikus, menunjukkan kemampuan lebih baik (73,5%). Peningkatan kadar glukosa darah tikus juga mampu dicegah oleh fikosianin dengan dosis 0,15 mg/g BB tikus, yaitu 65,1% dan 67,9% oleh dosis fikosianin 0,30 mg/g BB tikus. 5.2 Saran Saran untuk pengembangan penelitian ini adalah pengujian pada hewan coba primata (monyet) agar dapat diaplikasikan sebagai neutraceuticals maupun pharmaceuticals pada manusia.
Pengujian ekstrak komponen aktif dari
Spirulina fusiformis secara in vitro dan in vivo dengan induksi aloksan atau streptozotocin perlu dilakukan untuk mengetahui mekanisme kerja spesifik Spirulina fusiformis dalam menurunkan kadar glukosa darah.
Selain itu,
masyarakat secara luas dapat mengembangkan budidaya Spirulina fusiformis cukup dengan umur panen 31 hari yang dinilai secara ekonomis sudah mencukupi untuk produksi biomasa dan fikosianinnya.
DAFTAR PUSTAKA
Achmadi SS. Jayadi, Tri-Panji. 2002. Produksi pigmen oleh Spirulina platensis yang ditumbuhkan pada media limbah lateks pekat. Hayati (9)2002: 80-84. Adam JMF. 2000. Klasifikasi dan kriteria diagnosis diabetes melitus yang baru. Cermin Dunia Kedokteran. 127. Angka SI, Suhartono MT. 2000. Bioteknologi Hasil-hasil Laut. Bogor: PKSPL Institut Pertanian Bogor. Annapurna V. Shah N, Bhaskaran P, Banji SM, Reddy V. 1991. Bioavailability of Spirulina carotenes in preschool children. J. Clinical of Biochemistry and Nutrition.10: 145-151 [AOAC] Association of Official Analytical Chemyst. 1995. Official Method of Analysis of The Association of Offial Analytical of Chemist. Arlington: The Association of Official Analytical Chemyst, Inc. Arlyza IS. 2005. Isolasi pigmen biru phycocyanin dari Spirulina platensis. Oseano dan Limno di Indonesia 38: 79-92.
mikroalga
Babu M, Desai KN, Wei H. 1995. Evaluation of chemoprevention of oral cancer with Spirulina fusiformis. Nutrition of Cancer. 24: 197-202. Becker EW. 1994. Microalgae Biotechnology USA: Cambridge University Press.
and
Microbiology.
Belay A. 2002. The potential application of Spirulina (Arthospira) as nutritional and therapeutic supplement in health management. J. of the American Nutraceutical Association. 5: 2. Belay A. 2007. Spirulina (Arthospira): Production and Quality Assurance. Di dalam: ME Gershwin dan Amha Belay, editor. Spirulina in Human Nutrition and Health. Perancis: CRC Press. Bhat VB, Madyastha KM. 2000. C-phycocyanin: a potent peroxyl radical sacvenger in vivo and in vitro. Biochemistry and Biophysics of Research. Communications.18: 275, 20-25. Bold HC, Wyne MJ. 1978. Introduction to algae, structure and reproduction of photobioreactors. Di dalam: Stadler T, Mollion J, Verdus MC, Karamanos Y, Morvan H, and Christiaen D. editor. Algal Biotechnology. London: Elsevier Applied Science. Borowitzka MA, Borowitzka LJ. 1988. Microalgae Biotechnology. England: Cambridge. Boussiba S, Richmond AE. 1979. Isolation and purification of phycocyanins from the blue green alga Spirulina platensis. J of Archives of Microbiol. 120: 155-159. Boussiba S, Richmond AE. 1980. C-Phycocyanin as a storage protein in the blue green alga Spirulina platensis. J of Archives of Microbiol 120: 155-159.
49
Chopra K, Bishnoi M. 2007. Antioxidant profile of Spirulina: a blue green microalga. Di dalam: Gershwin M.E. dan Belay A., editor. Spirulina in Human Nutrition and Health. Perancis: CRC Press. [Depkes] Departemen Kesehatan. 2005. Diabetes melitus masalah kesehatan masayarakat yang serius. http://www.depkes.go.id/index. (1 Maret 2011) Deqiang R. 2003. Studies on the anti-diabetes constituents from Opuntia dilenii HAW cultivated in Hainan. Molecular Plant Breeding (5/6): 823-824. Derelanko MJ, Hollinger MA. 1994. CRC Handbook of Toxicology. CRC Press. Boca Raton. Desmorieux H, Decaen N. 2006. Convective drying of Spirulina in thin layer. J Food Eng. 77: 64-70. Diharmi A. 2001. Pengaruh pencahayaan terhadap kandungan pigmen bioaktif mikrolaga Spirulina platensis strain lokal (INK). [tesis]. Bogor. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Doke JM. 2005. An improved and efficient method for the extraction of phycocyanin from Spirulina sp. Journal of food Engineering. Vol. 1. Issue 5. Article 2. Fogg GE, Thake B. 1987. Algae Culture and Phytoplankton Ecology. Second edition. London: The University of Winconsin Press.Gad 1989. Ganiswara SG. editor. 1999. Farmakologi dan Terapi. Ed. ke-4. Jakarta: Bag. Farmakologi, Fak. Kedokteran, UI. Gershwin ME, Belay A. 2007. Spirulina in Human Nutrition and Health. Editor. Perancis: CRC Press. 101-141. Gibney JM, Barrie M. Margaretts, John M. Kearney, Lenere A. 2008. Gizi Kesehatan Masyarakat. editor, Public health nutrition. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. hlm. 407-414. Hadioetomo RS. 1993. Mikrobiologi Dasar dalam Praktek. Teknik dan Prosedur Dasar Laboratorium. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Umum. Harborne JB. 1997. Metode Fitokimia: Penuntun Cara Modern Menganalisis Tumbuhan. K. Padmawinata, K dan I. Soediro, penerjemah; S. Nikosolihin, editor. Phytochemical Methods, Ed. ke-2. Bandung: Penerbit ITB. Hartika R. 2009. Aktivitas Inhibisi a-Glukosidase Ekstrak Senyawa Golongan Flavonoid Buah Mahkota Dewa. [skripsi]. Bogor: Departemen Kimia. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Institut Pertanian Bogor. Hayashi K, Hayashi T, Kojima I. 1993. An extract from Spirulina platensis is a selective inhibitor of Herpes simplex virus type 1 penetration into HeLa cells. Phytoter. Res. 7: 76. Hirata T, Jaime L. 2000. Antioxidant activities of phycocyanobilin prepared from Spirulina platensis. J. Appl. Phycol. 12: 3-5, 435-439. Info Obat Indonesia. 2009. Acarbose. http://infodrugindonesia.blogspot.com/ 2009/07/acarbose.html [1 Maret 2011].
50
Iyer U, Ahmedi S. 1997. Glycemic Index of Spirulina Supplemented Recipes. [thesis]. Department of Foods and Nutrition. Faculty of Home Science, Baroda: M.S. University of Baroda. Kozlenko R, Henson RH. 2007. The study of Spirulina: effect on the AIDS, cancer and immune system. J Health and Nature 2007: 1-2 Kuhad A, Tirkey N, Pilkhwal S, Chopra K. 2006. Renoprotective effect of Spirulina fusiformis on cisplatin-induced oxidative stress and renal dysfunction in rats. Journal of Renal Failure. Vol. 28, 3: 247-254. Kurniastuty, Isnansetyo A. 1995. Teknik Kultur Phytoplankton dan Zooplankton. Pakan Alami untuk Pembenihan Organisme Laut. Yogyakarta: Kanisius. Layam A, CLK. Reddy. 2007. Antidiabetic property of Spirulina. India: Preliminary Communication. Deparment of Food Science and Nutrition. SPMVV. 29-33. Lechninger AL. 1982. Dasar-dasar Biokimia Jilid 3. Thenawidjaja, penerjemah. Basic of Biochemistry. Jakarta: Penerbit Erlangga. Lee SK, Lee HS, Herrero M. 2007. Inhibitory activity Euonimus alatus againts a-glukosidase in vitro and in vivo. J. Nutrition Research and Practise. 1 (3): 184-188. Lorenz RT. 1998. Quantitative analysis of c-phycocyanin from Spirulina pasifica (low teperature method). www.cyanotech.com. [25 Februari 2010]. Lucacinova L, Turner L, Rimbau V. 2008. Preventive effects of flavonoids on alloxan-induced diabetes mellitus in rats. Acta. Veterinaria Brno. (77): 175-182. Malole MBM, Pramono, CSU. 1989. Penggunaan Hewan-hewan Percobaan di Laboratorium. Bogor: Pusat Antar Universitas Bioteknologi. Institut Pertanian Bogor. hlm. 30-45. Markham KR. 1988. Cara Mengidentifikasi Flavonoid. Padmawinata K, penerjemah. Techniques of Flavonoid Identification. Bandung: Penerbit ITB. Mathew B, Sankarannarayanan R, Nair PP, Varghese C, Somanathan T, Amma BP, Amma NS, Nair MK. 1995. Evaluation of chemoprevention of oral cancer with Spirulina fusiformis. Journal of Nutritional Cancer. Vol. 24, 2: 197-202. Minkova KM, Tchernov AA, Tchorbadjieva MI, Fournadjieva ST, Antova RE, Busheva MCh.. 2003. Purification of c-phycocyanin from Spirulina (Arthrospira) fusiformis. J Biotech. 102 (2003): 55-59. Miranda MS, Huang D, Ou F, Kobayashi H. 1998. Antioxidant activity of the microalga Spirulina maxima. Braz. J. Medicine of Biology Research 31: 1075-1079. Mishra SK, Anupama S, Sandhya M. 2007. Effect preservatives for food grade c-phycocyanin from Spirulina platensis. J Process Biochem. 43: 339-345.
51
Mohammad J. 2007. Produksi dan Karakterisasi Biopigmen Fikosianin dari Spirulina fusiformis serta Aplikasinya sebagai Pewarna Minuman. [skripsi]. Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Mridha MOF, MAA Jahan, N Akhtar, JL Munshi, Z Nessa. 2010. Study on hypoglycaemic effect of Spirulina platensis on Long-Evans rats. Bangladesh J. Scientific and Industrial Research. 45(2), 163-168. Myers J, Kratzs Wa. 1962. P-elations between pigment content and photosynthetic characteristics in a blue-gkeen alga. J General Physiology and Biophysics. March 30, 1955. Pamungkas E. 2005. Pengolahan Limbah Cair PT. Pupuk Kujang dengan Spirulina sp. pada Reaktor Curah (batch). [skripsi]. Bogor: Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Patil G, Chethana S, Sridevi AS, Raghavarao KSMS. 2006. Method to obtain c-phycocyanin of high purity. J Chromatography. 1127 (2006) 76–81. Pranadji DK, Dwi HM, Vera U. 1999. Perencanaan Menu Untuk Penderita Diabetes Melitus. Jakarta: Penebar Swadaya. Richmond A. 1988. Spirulina. Di dalam: Borowitzka MA, Borowitzka LJ, editor. Microalgae Biotechnology. England: Cambridge. hlm: 85-121. Romay C, Ledon N, Gonzalez R. 2003. C-phycocyanin: a biliprotein with antioxidant, anti-inflammatory and neuroprotective effects. Current Protein and Peptide Science. 4: 207-216. Saputra AT. 2009. Komposisi Kimia dan Pigmen Spirulina fusiformis pada Umur Panen yang Berbeda. [skripsi]. Bogor: Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Smith JBBVSc., Mangkoewidjojo S. 1988. Pemeliharaan, Pembiakan dan Penggunaan Hewan Percobaan di Daerah Tropis. Jakarta: UI Press. hlm. 100-255 Subroto MA. 2009. Ramuan Herbal untuk Diabetes Melitus. Jakarta: Penebar Swadaya. 100 hlm. Soetarno S, Sukandar EY, Sukrasno, Yuwono A. 1999. Aktivitas hipoglikemik ekstrak herba sambiloto (Andrographis paniculata Nees, Acanthaceae). Jurnal Matematika dan Sains 4: 62-69. Spolaroe P, Joanis CC, Duran E, Isambert A. 2006. Comercial application of microalgae review. J Biosci and Bioeng. 101 (2): 87-96. Steel RGD, Torie JH. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistika Suatu Pendekatan Biometrik. Ed ke-3. Sumantri B, penerjemah. Terjemahan dari: Principle and Procedure of Statistics. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Sugiwati S. 2005. Aktivitas Antihiperglikemik dari Ekstrak Buah Mahkota Dewa [Phaleria macrocarpa (Scheff.) Boerl.] sebagai Inhibitor alfa-Glukosidase
52
In vitro dan In vivo pada Tikus Putih. [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Tietze HW. 2004. Spirulina Micro Food Macro Blessing. Ed ke-4. Australia: Haralz W Tietze Publishing. Usman F. 2009. Isolasi Fraksi Flavonoid sebagai Inhibitor Enzim α-Glukosidase dari Buah Mahkota Dewa. [skripsi]. Bogor: Departemen Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Institut Pertanian Bogor. Vadiraja B, Gaikwad N, dan Madyastha K. 1998. Hepatoprotective effects of c-phycocyanin: protection for carbontetrachloride and R-(+)-pulegonemediated hepatotoxicity in rats. Biochem. Biophys. Res. Commun. 249: 428-431. Vonshak A. 1985. Spirulina platensis (Arthrospira): physiology, cell-biology and biotechnology. Perancis: Taylor and Francis. Hal. 234. Wijayakusuma H. 2006. Bebas Diabetes Mellitus Ala Hembing. Jakarta: Puspa Swara. Wu LC, Benedetti S, Miranda MS. 2005. Antioxidant and antiproliferative activities of Spirulina and Chlorella water extracts. J. Agric. Food Chem. 53: 4207. Zarouk C. 1966. Contribution à l‟étude d‟une cyanophycée. Influence de divers facteurs physiques et chimiques sur la criossance et la photosynthése de Spirulina maxima (Setch. Et Gardner). [thesis]. Perancis: University of Paris.
LAMPIRAN
54
Lampiran 1 Komposisi Media Zarouk untuk pertumbuhan Spirulina fusiformis Unsur mikro (dalam 1 liter aquades) Unsur makro (dalam 1 liter akuades) − NaHCO3 10 g − Trace element A − KNO3 1g H3BO3 2,86 g − NaCl 1g MnCl2.4H2O 1,81 g − K2SO4 1g ZnSO4.7H2O 0,22 g − FeCl3 0,01 g Na2MoO4.2 H2O 0,015 g − Na2EDTA 0,08 g CuSO4.5H2O 0,079 g − H3PO4 0,25 ml − Trace element B − Trace element A 1 ml COCl2.6H2O 0,04398 g − Trace element B 1 ml NH4VO3 0,02296 g CaCl2 0,09600 g NiSO4.7H2O 0,04785 g Lampiran 2 Data nilai absorbansi (OD 480 nm) kultur Spirulina fusiformis dalam toples 3L dimulai dari tanggal 19 Februari – 19 Mei 2010 Hari ke1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
A480 nm
Ln (OD 480 nm)
0.076 0.077 0.078 0.089 0.098 0.135 0.150 0.160 0.165 0.276 0.321 0.426 0.649 0.956 1.059 1.168 1.289 1.480 1.574 1.675 1.760 1.865 2.165 2.275 2.542 2.799 2.858 3.341 3.805 4.109
-2.57702 -2.56395 -2.55105 -2.41912 -2.32279 -2.00248 -1.89712 -1.83258 -1.80181 -1.28735 -1.13631 -0.85332 -0.43232 -0.045 0.057325 0.155293 0.253867 0.392042 0.45362 0.515813 0.565314 0.623261 0.77242 0.82198 0.932951 1.029262 1.050122 1.20627 1.336316 1.41318
Hari ke31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60
A480 nm
Ln (OD 480 nm)
4.044 4.208 4.413 4.514 4.816 4.770 4.875 4.799 4.878 4.754 4.829 4.777 4.997 4.921 4.837 4.880 5.047 4.995 4.990 4.867 5.176 5.076 5.048 4.776 5.176 5.224 5.048 5.488 5.585 5.269
1.397234 1.436987 1.484555 1.507184 1.571944 1.562346 1.584120 1.568408 1.584735 1.558986 1.574639 1.563813 1.608838 1.593512 1.576295 1.585145 1.618794 1.608437 1.607436 1.582478 1.644033 1.624524 1.618992 1.563603 1.644033 1.653263 1.618992 1.702564 1.720084 1.661841
Hari ke61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90
A480 nm 5.201 5.367 5.280 5.321 5.556 5.472 5.408 5.203 5.138 5.291 5.038 4.886 5.241 5.291 5.354 5.229 5.333 5.227 5.124 5.116 5.221 5.016 5.038 4.886 4.464 4.322 4.378 4.276 4.024 3.789
Keterangan: data yang dicetak merah merupakan data hasil kalibrasi karena tidak dilakukan pengukuran
Ln (OD 480 nm) 1.648851 1.680269 1.663926 1.671661 1.714878 1.699644 1.687879 1.649235 1.636664 1.666007 1.617009 1.586374 1.656512 1.666007 1.677844 1.65422 1.673914 1.653837 1.633935 1.632373 1.652689 1.612633 1.617009 1.586374 1.496045 1.463718 1.476592 1.453018 1.392276 1.332102
55
Lampiran 3 Berat kering biomasa dan nilai absorbansi fikosianin (A620 nm) Umur panen (hari) 8 15 31 35 83
Berat kering (%) 0,8140 0,8210 0,8460 0,8480 0,8770
A620 nm 1,390 1,610 1,968 2,006 2,102
Lampiran 4 Contoh perhitungan persentase fikosianin 1. Persen berat kering biomasa (Mohammad 2007) Berat kering = (berat timbang – berat awal) x 1000 ml saring Berat kering biomasa (75 hari) = (0,1128 – 0,0953) x 1000 20 = 0,877 g/L Keterangan : Berat Timbang : Berat kertas saring dan sampel setelah pengovenan Berat Awal : Berat kertas saring ml saring : Banyaknya volume kultur yang disaring 2. Persen fikosianin ekstraksi air (Doke 2005) Kadar fikosianin % =
A620 × 10 × 100% 7,3 × mg sampel × berat kering biomasa
Kadar fikosianin (umur 75 hari) =
2,1010 x 10 x 100% 7,3x 40 x 0,877 = 8,204%
Keterangan : A620 = Absorbansi pada λ 620 nm 7.3 = Koefisien ekstensi fikosianin murni pada λ 620 nm 10 = total volume buffer fosfat atau air (pelarut yang digunakan). Lampiran 5 Tabel dan contoh perhitungan peningkatan dan pencegahan kenaikan kadar glukosa darah tikus (%) (Mridha et al. 2010) Tabel peningkatan dan pencegahan kenaikan kadar glukosa darah tikus (%) Perlakuan KN KP B1 B2 F1 F2
Rata-rata kadar glukosa darah 0 jam (mg/dl) 1 jam (mg/dl) 72,8 133,8 72,6 94,4 73,4 112,8 73,4 998,8 73,4 112,8 73,2 107,8
% peningkatan
% pencegahan
45,59043 23,09322 34,92908 26,45291 34,92908 32,09647
54,40957 76,90678 65,07092 73,54709 65,07092 67,90353
56
Contoh untuk perlakuan kontrol negatif (KN)
Peningkatan kadar glukosa darah tikus (%) =
(kadar glukosa darah tikus jam ke-0 - kadar glukosa darah tikus jam ke-1)
x 100%
kadar glukosa darah tikus jam ke-0 = (133,8 mg/dl – 72,8 mg/dl) x 100% 133,8 mg/dl = 45,6%
Pencegahan kenaikan kadar glukosa darah tikus (%) = 100% - (%) peningkatan kadar glukosa darah untuk perlakuan i = 100% - 45,6% = 54,4%
Lampiran 6 Glucose strip test OneTouch®Ultra™(dokumentasi pribadi)
Membran selulosa permeabel untuk insert darah
Lampiran 7 Hasil analisis sidik ragam (ANOVA) untuk kadar glukosa darah tikus dengan perlakuan perbedaan dosis biomasa Spirulina fusiformis pada jam ke-0 Hasil analisis sidik ragam (ANOVA) Derajat Sumber Jumlah bebas keragaman kuadrat (db) Perlakuan 0,79272500 3 Galat 0,99405000 16 Total 1,78677500 19
Kuadrat tengah
F hitung
Signifikan
0,26424167 0,08283750
3,19
0,0628
57
Lampiran 8 Hasil analisis sidik ragam (ANOVA) dan uji lanjut Duncan untuk kadar glukosa darah tikus dengan perlakuan perbedaan dosis biomasa Spirulina fusiformis pada jam ke-0,5 a. Hasil analisis sidik ragam (ANOVA) Derajat Sumber Jumlah bebas keragaman kuadrat (db) Perlakuan 2833,000000 3 Galat 36,000000 16 Total 2869,000000 19 b. Hasil uji lanjut Duncan Perlakuan Kontrol negatif Kontrol positif Biomasa Spirulina 0,15 mg/g BB Biomasa Spirulina 0,30 mg/g BB
Kuadrat tengah 944,333333 2,250000
F hitung
Signifikan
419,70
<,0001
Rata-rata 116,40d 84,20a 97,60c 91,80b
Lampiran 9 Hasil analisis sidik ragam (ANOVA) dan uji lanjut Duncan untuk kadar glukosa darah tikus dengan perlakuan perbedaan dosis biomasa Spirulina fusiformis pada jam ke-1 a. Hasil analisis sidik ragam (ANOVA) Derajat Sumber Jumlah bebas keragaman kuadrat (db) Perlakuan 4607,600000 3 Galat 11,600000 16 Total 4619,200000 19 b. Hasil uji lanjut Duncan Perlakuan Kontrol negatif Kontrol positif Biomasa Spirulina 0,15 mg/g BB Biomasa Spirulina 0,30 mg/g BB
Kuadrat tengah 1535,866667 0,725000
F hitung
Signifikan
2118,44
<,0001
Rata-rata 133,80d 94,40a 112,80c 99,80b
Lampiran 10 Hasil analisis sidik ragam (ANOVA) dan uji lanjut Duncan untuk kadar glukosa darah tikus dengan perlakuan perbedaan dosis biomasa Spirulina fusiformis pada jam ke-2 a. Hasil analisis sidik ragam (ANOVA) Derajat Sumber Jumlah kuadrat bebas keragaman (db) Perlakuan 5322,950000 3 Galat 1110,000000 16 Total 6432,950000 19
Kuadrat tengah
F hitung
Signifikan
1774,316667 69,375000
25,58
<,0001
58
b. Hasil uji lanjut Duncan Perlakuan Kontrol negatif Kontrol positif Biomasa Spirulina 0,15 mg/g BB Biomasa Spirulina 0,30 mg/g BB
Rata-rata 107,80d 88,40b 80,00c 86,00a
Lampiran 11 Hasil analisis sidik ragam (ANOVA) untuk kadar glukosa darah tikus dengan perlakuan perbedaan dosis biomasa Spirulina fusiformis pada jam ke-3 Hasil analisis sidik ragam (ANOVA) Derajat Sumber Jumlah bebas keragaman kuadrat (db) Perlakuan 0,14467500 3 Galat 0,06830000 16 Total 0,21297500 19
Kuadrat tengah
F hitung
Signifikan
0,04822500 0,00569167
8,47
0,0027
Lampiran 12 Hasil analisis sidik ragam (ANOVA) untuk kadar glukosa darah tikus dengan perlakuan perbedaan dosis fikosianin pada jam ke-0 Hasil analisis sidik ragam (ANOVA) Derajat Sumber Jumlah bebas keragaman kuadrat (db) Perlakuan 0,79272500 3 Galat 0,99405000 16 Total 1,78677500 19
Kuadrat tengah
F hitung
Signifikan
0,26424167 0,08283750
3,19
0,0628
Lampiran 13 Hasil analisis sidik ragam (ANOVA) dan uji lanjut Duncan untuk kadar glukosa darah tikus dengan perlakuan perbedaan dosis fikosianin pada jam ke-0,5 a. Hasil analisis sidik ragam (ANOVA) Derajat Sumber Jumlah bebas keragaman kuadrat (db) Perlakuan 2656,550000 3 Galat 38,000000 16 Total 2694,550000 19 b. Hasil uji lanjut Duncan Perlakuan Kontrol negatif Kontrol positif Fikosianin 0,15 mg/g BB Fikosianin 0,30 mg/g BB
Kuadrat tengah 885,516667 2,375000
Rata-rata 116,40d 84,20a 96,00b 98,00b
F hitung
Signifikan
372,85
<,0001
59
Lampiran 14 Hasil analisis sidik ragam (ANOVA) dan uji lanjut Duncan untuk kadar glukosa darah tikus dengan perlakuan perbedaan dosis fikosianin pada jam ke-1 a. Hasil analisis sidik ragam (ANOVA) Derajat Sumber Jumlah bebas keragaman kuadrat (db) Perlakuan 4015,600000 3 Galat 17,600000 16 Total 4033,200000 19 b. Hasil uji lanjut Duncan Perlakuan Kontrol negatif Kontrol positif Fikosianin 0,15 mg/g BB Fikosianin 0,30 mg/g BB
Kuadrat tengah 1338,533333 1,100000
F hitung
Signifikan
1216,85
<,0001
Rata-rata 133,80d 94,40a 112,80c 107,80b
Lampiran 15 Hasil analisis sidik ragam (ANOVA) dan uji lanjut Duncan untuk kadar glukosa darah tikus dengan perlakuan perbedaan dosis fikosianin pada jam ke-2 a. Hasil analisis sidik ragam (ANOVA) Derajat Sumber Jumlah bebas keragaman kuadrat (db) Perlakuan 3918,550000 3 Galat 14,000000 16 Total 3932,550000 19 b. Hasil uji lanjut Duncan Perlakuan Kontrol negatif Kontrol positif Fikosianin 0,15 mg/g BB Fikosianin 0,30 mg/g BB
Kuadrat tengah 1306,183333 0,875000
F hitung
Signifikan
1492,78
<,0001
Rata-rata 107,80d 88,40a 86,40c 84,40b
Lampiran 16 Hasil analisis sidik ragam (ANOVA) dan uji lanjut Duncan untuk kadar glukosa darah tikus dengan perlakuan perbedaan dosis fikosianin pada jam ke-3 Hasil analisis sidik ragam (ANOVA) Derajat Sumber Jumlah bebas keragaman kuadrat (db) Perlakuan 0,79272500 3 Galat 0,99405000 16 Total 1,78677500 19
Kuadrat tengah
F hitung
Signifikan
0,26424167 0,08283750
3,19
0,0628