HAKIM SALAH MEMBAGI BEBAN BUKTI GAGAL MENDAPATKAN KEADILAN ( H. Sarwohadi, S.H.,M.H., Hakim Tinggi PTA Mataram )
A. Pendahuluan Pembuktian merupakan bagian dari tahapan pemeriksaan perkara dalam persidangan setelah Hakim mendengarkan jawab jinawab yang terdiri dari pembacaan gugatan Penggugat, Jawaban Tergugat, Replik Penggugat dan Duplik Tergugat, bahkan kemungkinan adanya Gugatan Rekonvensi dari Tergugat. Memasuki tahapan pembuktian inilah merupakan tahapan yang sangat penting mendapatkan perhatian dan kesungguhan para Hakim, apabila Hakim salah dalam membagi beban bukti kepada siapa beban bukti harus dibebankan apakah kepada Penggugat atau kepada Tergugat?, maka itu merupakan kesalahan patal, dan keadilan tidak mungkin dapat tercapai, atau karena Hakim tidak cermat dalam menilai alat bukti yang diajukan para pihak apakah telah memenuhi syarat formil maupun syarat meteriil, apakah alat bukti tersebut telah memenuhi batas minimal sebagai alat bukti, bagaimana kekuatan nilai pembuktiannya, maka yang demikian juga akan mengakibatkan keadilan tidak akan terwujud. Perlu disadari bahwa sebaik apapun proses penyelenggaraan penyelesaian perkara di Pengadilan, dari pemanggilan yang dilakukan oleh Jurusita atau Jurusita Pengganti, Berita Acara Sidang yang dibuat oleh Panitera Pengganti, dan Putusan yang dibuat oleh Hakim tidak menjamin keadilan itu tercapai, kecuali Hakim tepat dan benar dalam membagi beban pembuktian dan memberikan penilaian kekuatan masing- masing alat bukti. Menurut Prof. R. Subekti, S.H., “Suatu masalah yang sangat penting dalam Hukum Pembuktian adalah masalah beban pembuktian” (Hukum Pembuktian, Pradnya Paramita, Jakarta, 1985, hal.19). Betapa pentingnya seorang Hakim harus benar- benar menguasai ilmu Pembuktian, karena kata kunci dari sebuah produk Hakim dalam melaksanakan tugas pokoknya adalah memutus perkara dengan memberikan putusan yang seadil-adilnya, sehingga bagi pihak yang kalahpun merasa puas, yang akhirnya dapat mengurangi perkara yang diajukan Banding dan Kasasi.
1
B. Pembahasan 1. Pengertian Pembuktian Menurut Prof. R. Subekti, S.H., Yang dimaksudkan dengan “membuktikan” ialah meyakinkan Hakim tentang kebenaran dalil atau dalil- dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan. ( Hukum Pembuktian, Pradnya Paramita, Jakarta, 2010, hal 1 ). Pembuktian pada pokoknya diperlukan apabila terjadi suatu persengketaan, jika dalil yang diajukan para pihak kemudian disangkal oleh pihak lain maka diperlukan pembuktian. 2. Apa yang harus dibuktikan Yang harus dibuktikan adalah dalil- dalil yang diajukan oleh para pihak yang berupa kejadian-kejadian atau peristiwa- peristiwa dan sesuatu hak. Dalam Hukum Perdata, Hakim dalam memutus perkara harus mengindahkan Hukum Pembuktian, dan tidak dibenarkan hanya dengan menyandarkan pada keyakinannya atau pengetahuannya sendiri. Perlu diketahui bahwa pengetahuan Hakim sangat berbeda dengan apa yang diketahui oleh Hakim, yang diketahui oleh Hakim artinya apa yang dilihat dengan mata kepala Hakim sendiri dalam pemeriksaan perkara baik di dalam ruang sidang maupun dalam pemeriksaan setempat (descente) sehingga yang demikian apa yang dilihat sendiri oleh Hakim tersebut menjadi fakta hukum yang tetap. 3. Tujuan Pembuktian Tujuan pembuktian adalah agar sebuah putusan Hakim yang diharapkan oleh para pihak yang berperkara, berdasarkan pada pembuktian, bukan berdasarkan pengetahuan, asumsi maupun keyakinan Hakim, oleh karena itu seorang Hakim yang putusannya sangat diharapkan keadilannya, harus benar- benar menguasai ilmu pembuktian dan menerapkannya dalam putusannya. 4. Siapa yang harus membuktikan Berdasarkan ketentuan Pasal 163 HIR/ 283 R.Bg. “Barang siapa mengatakan mempunyai suatu hak atau mengemukakan suatu perbuatan untuk meneguhkan haknya itu, atau untuk membantah hak orang lain, haruslah membuktikan adanya hak itu atau adanya perbuatan itu”. Berdasarkan Pasal 1865 KUH Perdata “ Setiap orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai sesuatu hak, atau, guna meneguhkan haknya sendiri maupun membantah suatu hak orang lain, menunjuk pada suatu peristiwa, diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut”. Jadi tegasnya pasalpasal tersebut menegaskan siapa yang mendalilkan wajib membuktikan. Hal yang demikian adalah aturan yang bersifat umum, disamping ada aturan umum tentu ada aturan pengecualian yang menentukan apabila dalil- dalil yang bersifat negativ Hakim tidak boleh membebankan bukti kepadanya. Inilah yang akan menjadi pokok pembahasan dalam tulisan ini. 2
5. Beban Pembuktian (bewijstlast/burden of proof) Sebagaimana telah diuraikan dalam pendahuluan tulisan ini betapa pentingnya seorang Hakim dalam membagi beban bukti kepada siapa beban bukti ditimpakan apakah kepada Penggugat atau kepada Tergugat, yang jelas setiap perkara yang diadili oleh Hakim tidak mesti beban bukti ditimpakan kepada Penggugat, oleh karena itu harus terlebih dahulu memahami prinsip- prinsip pembuktian. a. Prinsip Beban Pembuktian 1). Hakim harus Adil tidak memihak dalam menimpakan beban bukti, tidak boleh semaunya sendiri harus proporsional karena akan menimbulkan kerugian kepada pihak yang dibebani bukti. 2). Hakim harus memberikan kesempatan yang sama kepada para pihak untuk membuktikan dalil/ bantahannya, kecuali para pihak sendiri yang secara tegas menyatakan tidak menggunakan kesempatan itu untuk membuktikan, yang demikian suatu resiko yang harus ditanggung sendiri oleh pihak yang tidak membuktikan itu, dan harus dinyatakan dalam Berita Acara Sidang bahwa yang bersangkutan tidak mengajukan alat bukti, hal ini untuk menghindari komplen dari pihak yang tidak menggunakan haknya. b. Pembagian Beban Pembuktian 1). Pembebanan bukti secara umum, yang dibuktikan adalah hal yang positif, berdasarkan Pasal 163 HR/283 R.BG atau Pasal 1865 KUH Perdata. Yang intinya Setiap orang yang mendalilkan/membantah harus dibebani pembuktian. Dalam hal Penggugat mampu membuktikan dalil gugatannya, maka gugatan Penggugat dikabulkan, tetapi jika Penggugat tidak mampu membuktikan dalil gugatannya, maka tidak perlu lagi membebani bukti kepada Tergugat untuk membuktikan bantahannya, dan Hakim harus menolak gugatan Penggugat. Apa jadinya jika Hakim juga memerintahkan Tergugat membuktikan bantahannya, lantas bagaimana jika Tergugat tidak mampu membuktikan bantahannya. 2). Pembebanan bukti secara khusus, Hal yang bersifat Negatif tidak dibuktikan ( Negativa Not Sunt Probanda). Suatu contoh Penggugat meminta Hakim supaya ia ditetapkan sebagai ahli waris “B”, dan ditetapkan bahwa harta warisan belum pernah dibagikan kepada para ahli waris. Dalam perkara yang demikian Hakim wajib memerintahkan Penggugat untuk membuktikan bahwa ia adalah sebagai ahli waris “B”, dan ia tidak bisa dibebani bukti bahwa harta warisan tersebut belum dibagi dan selanjutnya Tergugat lah yang wajib dibebani bukti bahwa harta warisan si “ B” telah dibagi. 3
Dalam perkara perceraian Isteri mendalilkan tidak diberi nafkah dari suami sedangkan suami membantah telah memberi nafkah kepada isteri, dalam kasus ini suamilah (Tergugat) yang harus membuktikan bahwa ia telah memberi nafkah kepada isterinya. 3). Pembebanan bukti secara proporsional, antara Penggugat dan Tergugat samasama beratnya, sehingga beban pembuktian dipikulkan kepada pihak yang lebih mudah membuktikannya, contoh dalam perkara waris, Tergugat mengakui bahwa objek sengketa berupa tanah semula milik almarhum ayah Penggugat, namun telah dijual kepada Tergugat secara sah. Dalam kasus seperti ini Beban bukti harus ditimpakan kepada Tergugat tentang jual beli tanah, apa benar Tergugat telah membeli tanah dari ayah Penggugat, sebab kalau Penggugat dibebani bukti bahwa almarhum ayahnya telah menjual tanah kepada Tergugat, sulit pembuktiannya. 4). Pembebanan bukti terhadap pihak yang lebih ringan /lebih sedikit resikonya, contohnya dalam harta bersama, Penggugat mendalilkan bahwa objek sengketa telah dijual oleh Tergugat, hal yang demikian jika beban bukti dibebankan kepada Penggugat tentu agak sulit dan lebih mudah jika pembuktian tersebut dibebankan kepada Tergugat yang telah menjual tanahnya. 6. Penilaian alat bukti a. Bukti Tertulis Dalam Perkara Perdata alat bukti tertulis lebih utama dari pada bukti saksi sepanjang tidak diatur lain menurut perundang- undangan, karena dalam hukum acara perdata bukti tertulis ada pada urutan pertama, dan urutan yang kedua adalah bukti saksi, berbeda dengan KUHAP menempatkan saksi menjadi bukti yang utama. Hampir setiap orang yang mengadakan hubungan keperdataan dengan orang lain selalu didahului dengan membuat surat yang kelak akan dijadikan bukti, keterangan saksi hanya dapat didengar, apabila telah ada bukti permulaan berupa tulisan Pasal 1902 KUH Perdata. Kecuali dalam perkara perceraian saksi menjadi alat bukti yang utama, karena undang-undang menghendakinya, sebagai contoh Pasal 76 (1) UU.No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang telah diubah dengan UU.No.3 Tahun 2006 dan diubah terakhir dengan UU.No.50 Tahun 2009 “Apabila gugatan perceraian didasarkan atas alasan syiqaq, maka untuk mendapatkan putusan perceraian harus didengar keterangan saksi-saksi yang berasal dari keluarga atau orang – orang yang dekat dengan suami isteri. Dalam perkara kebendaan bukti surat dapat mengalahkan bukti saksi, sebagai contoh Penggugat mendalilkan bahwa ia mempunyai tanah kebun seluas 100 Ha dengan 4
mengajukan saksi-saksi sebanyak 100 orang, kemudian dibantah oleh Tergugat dengan mengajukan bukti tertulis berupa sertipikat Hak Milik dari Kantor BPN. Hakim harus menilai bahwa Sertipikat merupakan Akta Otentik yang mempunyai nilai pembuktian sempurna dan mengikat (Pasal 165 HIR/285 R.Bg. sedangkan nilai bukti saksi adalah tidak mengikat / bebas bagi Hakim, dengan demikian satu sertipikat dapat mengalahkan saksi 100 orang. Bukti Tertulis ada 2 (dua) macam : 1). Akta Otentik, mempunyai kekuatan pembuktian sempurna dan mengikat, tidak saja mengikat kedua belah pihak tetapi juga mengikat kepada pihak ketiga, Akta Otentik tidak memerlukan bukti tambahan, apa yang tertulis di dalamnya harus dianggap benar, sepanjang ketidak benarannya tidak dibuktikan (Pasal 165 HIR/285 R.Bg. 2). Akta di bawah tangan Dalam Akta di bawah tangan keabsahannya Akta tersebut terletak pada tanda tangan para pihak, apabila tanda tangannya tidak dibantah maka Akta tersebut mempunyai kekuatan pembuktian sempurna seperti Akta Otentik, bedanya hanya mengikat kepada kedua belah pihak saja. b. Bukti Saksi Semua orang yang cakap dapat menjadi saksi dan wajib memberikan kesaksian, bahkan orang yang enggan menjadi saksi dapat disandera (Pasal 141 ayat (2) HIR/167 ayat (2) R.Bg). Namun perlu diperhatikan bahwa bukti saksi baru mempunyai nilai pembuktian apabila memenuhi syarat formil dan syarat materiil sebagai saksi dan memenuhi batas minimal saksi. 1). Syarat formil : - tidak dilarang sebagai saksi. (Pasal 145 HIR/172 R.Bg.); - bersumpah sebelum memberi keterangan (Pasal 147 HIR/175 R.Bg). - boleh berjanji Non Muslim (Pasal 1911 KUH Perdata). - memberi keterangan satu persatu di persidangan (Pasal 144 (1) HIR/171 (1)R.Bg. 2). Syarat materiil : -menerangkan yang dilihat, didengar, dan dialami sendiri, bersesuaian satu dengan lainnya (Pasal 172 HIR/309 R.Bg.). - menyebutkan sebab pengetahuannya (Pasal 171 (1) HIR./308 (1) R.Bg). 3). Batas minimal saksi, saksi dapat dinilai sebagai alat bukti harus memenuhi batas minimal saksi yakni dua orang saksi yang memenuhi syarat formil dan syarat materiil (Pasal 306 HIR/306 R.Bg. Bagaimana jika para pihak hanya dapat mengajukan seorang saksi yang telah memenuhi syarat formil dan syarat materiil, maka ia dapat menambah dengan bukti
5
yang lain baik berupa surat atau sumpah supletoir, supaya mempunyai nilai bukti yang sempurna. c. Bukti Persangkaan Persangkaan ialah kesimpulan yang oleh undang- undang atau oleh Hakim ditarik dari suatu peristiwa yang telah terkenal kearah suatu peristiwa yang tidak terkenal. Persangkaan ada 2(dua) 1) persangkaan undang – undang, (Pasal 1394 KUH Perdata). Contoh : adanya kuitansi ansuran tiga kali berturut-turut dianggap sebelumnya telah lunas; 2) Persangkaan Hakim, dua orang yang bukan suami isteri berada dalam satu kamar padahal dalam kamar hanya terdapat satu tempat tidur maka dianggap mereka telah melakukan perzinaan. Bagaimana tentang kekuatan pembuktian persangkaan?, Persangkaan tidak memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna, maka diperlukan atau tambahan dengan alat bukti yang lain (Pasal 173 HIR/310 R.Bg). d. Bukti Pengakuan Pengakuan adalah suatu alat bukti dimana dalil- dalil yang dikemukakan oleh Penggugat diakui oleh Tergugat, atau dalil yang dikemukakan Penggugat tidak dibantah oleh Tergugat, bahkan Tergugat sama sekali tidak mau menanggapi atas dalil gugatan tersebut. Dapat diambil pengertian “Pengakuan” jika Tergugat : - Mengakui/membenarkan - Tidak menyangkal/tidak menjawab, disamakan dengan mengakui. Pengakuan mempunyai nilai pembuktian apabila memenuhi 2(dua) syarat : - Syarat formil, disampaikan dalam sidang baik oleh principal atau kuasanya dengan surat kuasa istimewa; - Syarat materiil, berkaitan dengan pokok perkara, tidak bertentangan dengan hukum, agama, susila dan ketertiban serta tidak berupa kebohongan/kepalsuan. Pengakuan ada 2 (dua) macam : - Pengakuan murni; - Pengakuan bersyarat. Nilai kekuatan pembuktian : - Pengakuan murni mempunyai nilai pembuktian sempurna dan mengikat (Pasal 174 HIR/311 R.Bg). - Pengakuan bersyarat mempunyai nilai pembuktian tidak sempurna dan tidak dapat berdiri sendiri maka masih diperlukan bukti lain.
6
e. Bukti Sumpah Sumpah dilaksanakan oleh salah satu Pihak di depan Hakim, dan sumpah tersebut ada 2(dua) macam “: 1). Sumpah decisoir, yakni sumpah yang bersifat memutus, karena Penggugat sama sekali tidak memiliki alat bukti sehingga memerintahkan Tergugat untuk bersumpah untuk menggantungkan putusan perkara kepadanya.( Pasal 156 ayat (1) HIR/ 183 ayat (1) R.Bg). Penggugat dianggap seakan- akan telah melepaskan hak keperdataannya. Contohnya sebagai berikut : Penggugat mengatakan “Kalau kamu berani bersumpah yang isinya begini, maka saya rela dan siap dikalahkan”. Sumpah Decisoir tidak berlaku dalam perkara perceraian, dalam perkara percraian dikenal sumpah Li’an. Sumpah decisoir dapat dikembalikan kepada Penggugat, artinya Tergugat dapat mengembalikan sumpah tersebut kepada Penggugat untuk bersumpah, dan jika Penggugat ternyata tidak berani bersumpah, maka ia dikalahkan. 2). Sumpah Supletoir, yakni sumpah tambahan karena Penggugat kurang alat bukti, sumpah tersebut dilaksanakan untuk menambah bukti yang telah disampaikan, Pasal 155 (1) HIR/ 182(1) R.Bg). (Contohnya : - Penggugat hanya menyampaikan alat bukti seorang saksi, sehingga dapat ditambah dengan sumpah supletoir, kecuali dalam perkara perceraian mutlak harus 2(dua) orang saksi; - Penggugat hanya menyampaikan bukti pengakuan dari Tergugat di luar sidang ; - Penggugat hanya menyampaikan alat bukti berupa tulisan, yang bukan Akta Otentik. C. Hambatan dan kegagalan Pembuktian 1. Pembuktian dalam persidangan Pembuktian dalam persidangan sering terjadi hambatan hal ini disebabkan oleh perilaku Tergugat yang sengaja mengulur- ulur persidangan atau dengan cara menyembunyikan alat bukti tertulis yang Asli, padahal Asli bukti tersebut untuk dicocokan dengan bukti berupa fotocopy yang diajukan oleh Penggugat, celakanya sang Hakim dengan mudah menyatakan dalam putusannya “bahwa kekuatan pembuktian suatu bukti tulisan adalah pada aslinya oleh karena bukti fotocopy tidak dapat menunjukan aslinya maka bukti tersebut dikesampingkan sesuai Pasal 1888 KUH Perdata dan Pasal 301 R.Bg.”. Sikap Hakim yang demikian tidak adil dan tidak bijaksana. Contoh : a). Isteri mengajukan gugatan perceraian ke Pengadilan Agama, ia hanya memiliki fotocopy buku nikah dan tidak dapat menunjukan aslinya, karena aslinya di tangan 7
suaminya yang tidak mau menunjukan dalam pembuktian di persidangan kemudian dalam pertimbangan putusan Hakim menyatakan bukti Penggugat dikesampingkan karena hanya fotocopi tidak dapat menunjukan aslinya, seharusnya Hakim terlebih dahulu memberikan petunjuk kepada para pihak tentang alat bukti apa yang harus diajukan hal ini diatur dalam Pasal 132 HIR/ 156 R.Bg. atau Hakim dapat memerintahkan Tergugat (suami) menunjukan buku nikah aslinya untuk dicocokan dengan fotocopynya, atau jika perlu Hakim dapat memanggil Kepala KUA Kecamatan untuk membawa buku register pencatatan Akta nikah supaya dapat dicocokan dengan fotocopy buku nikah milik Penggugat. Disinilah diperlukan wawasan keilmuan seorang Hakim untuk menguasai ilmu pembuktian sehingga tidak mencederai Penggugat (isteri) dari kelicikan Tergugat (suami). b). Suami hendak menjatuhkan talak terhadap isteri, kemudian isteri mengajukan gugat rekonvensi harta bersama berupa tanah dan mobil, Asli sertifikat tanah digadaikan suami dan Asli BPKB mobil ada pada suami. Dalam kasus seperti ini Hakim harus memerintahkan suami untuk menunjukan Asli BPKB mobil ke persidangan dan Hakim harus memanggil Kepala Kantor Pegadaian ke persidangan untuk membawa Sertipikat tanah untuk dicocokan dengan fotocopy bukti dari Penggugat. Hal ini diatur dalam : (1). Pasal 137 HIR/163 R.Bg.”Para pihak dapat meminta kepada pihak lainnya supaya memperlihatkan surat, yang diserahkan kepada Hakim untuk maksud itu”. (2). Pasal 138 (2) HIR/ 164 (2) R.Bg. ”Jika ternyata diperlukan dalam pemeriksaan itu akan mempergunakan surat yang disimpan pejabat umum, maka diperintahkan oleh Pengadilan, supaya surat itu diperlihatkan pada persidangan, yang akan ditentukan untuk maksud itu”. (3). Pasal 300 R.Bg. “Dalam setiap saat berperkara, maka boleh meminta kepada Hakim, supaya diperintahkan kepada lawannya akan menyerahkan surat kepunyaan kedua belah pihak, tentang perkara yang diperselisihkan itu dan yang ada dalam tangannya”. Bagaimana jika dalam satu perkara Bukti Asli memang benar- benar tidak diketahui keberadaannya ?. Untuk menjawab persoalan ini mari kita lihat Pasal 1888 KUH Perdata “Kekuatan pembuktian suatu bukti tulisan adalah pada akta aslinya. Apabila akta yang asli itu tidak ada, maka salinan- salinan serta ikhtisar- ikhtisar hanyalah dapat dipercaya sekedar salinan- salinan serta ikhtisar- ikhtisar itu sesuai dengan aslinya, yang mana senantiasa dapat diperintahkan mempertunjukannya”. Menurut Prof. R. Subekti, S.H. : Apabila akte atau alas hak (“titel”) yang asli tidak ada lagi (hilang), maka salinan- salinan yang disebutkan di bawah ini dapat memberikan bukti yang sama dengan aslinya : 8
(1). Salinan- salinan pertama; (2). Salinan- salinan dibuat atas perintah Hakim dengan dihadiri kedua belah pihak, atau setelah para pihak ini dipanggil dengan sah; (3). Salinan- salinan yang tanpa perantaraan Hakim atau diluar persetujuan para pihak, dan sesudahnya pengeluaran salinan- salinan pertama, dibuat oleh Notaris yang dihadapannya akta itu telah dibuatnya, oleh pegawai- pegawai yang dalam jabatannya menyimpan akte asli dan berwenang memberikan salinan- salinan. (Hukum Pembuktian, Pradnya Paramita,Jakarta, 2010 hal 36 ). Berdasarkan Pasal tersebut dan berdasarkan pendapat Prof.R.Subekti, S.H., berkenaan pemeriksaan bukti tertulis yang hilang Aslinya, maka kembali pada poin “(2) “ di atas, apabila salah satu pihak mengajukan bukti fotocopy kemudian bukti tersebut diakui kebenarannya oleh lawan, maka bukti tersebut mempunyai nilai pembuktian sama dengan bukti aslinya. c). Pembuktian dalam perkara perceraian, Penggugat hanya mengajukan seorang saksi dan Tergugat juga mengajukan seorang saksi, masih ada Hakim yang berpendapat bahwa saksi dari Penggugat dan saksi dari Tergugat itu sudah dianggap memenuhi batas minimal bukti saksi. Perlu diketahui dan dipahami oleh para Hakim tingkat pertama bahwa yang dimaksud Pasal 76 ayat (1) UU. No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang telah diubah dengan UU.No. 3 Tahun 2006 dan terakir diubah dengan UU. No.50 Tahun 2009 yang intinya untuk mendapatkan putusan harus mendengarkan saksi keluarga atau orang dekat dari kedua belah pihak, bukan berarti menggabungkan seorang saksi dari Penggugat dengan seorang saksi dari Tergugat, akan tetapi saksi yang diajukan oleh Tergugat harus tetap memenuhi batas minimal saksi yakni 2(dua) orang, karena seorang saksi tidak dapat dipercaya (unus testis nullus testis). 2. Pembuktian dalam Pemeriksaan setempat ( dicsente) Dalam sengketa benda yang tidak bergerak Hakim wajib melaksanakan sidang pemeriksaan setempat (discente) hal ini diatur dalam Pasal 153 HIR/ 180 R.Bg. dan sesuai Surat Edaran Mahkamah Agung RI. No.7 Tahun 2001 Tanggal 15 Nopember 2001. Perlu diketahui bahwa Pemeriksaan setempat bukan Alat bukti, melainkan hanya memindahkan tempat sidang dalam ruang / gedung Pengadilan ke Lokasi / tempat benda sengketa berada. Tujuannya untuk memperjelas bagi Hakim tentang letak objek, luas ukuran dan batasnya supaya tidak kesulitan ketika objek tersebut akan dieksekusi. Masih ada Hakim yang berpendapat bahwa pemeriksaan setempat itu sebagai alat bukti, ketika para pihak tidak membayar biaya pemeriksaan setempat, kemudian Hakim berpendapat tidak perlu melaksanakan sidang setempat, kemudian Hakim menyatakan 9
bahwa pihak tersebut tidak mampu membuktikan, hal ini perlu mendapatkan perhatian serius bagi para Hakim. Seperti telah diuraikan bahwa pemeriksaan setempat bukan alat bukti dan pada dasarnya hanya memindahkan tempat sidang, apa yang dilihat oleh Hakim dalam sidang pemeriksaan setempat itu menjadi fakta hukum tetap. Tentang biaya pemeriksaan setempat seharusnya telah masuk panjar biaya perkara, karena pemeriksaan setempat merupakan bagian dari pemeriksaan persidangan.
10