INDEPENDENSI HAKIM, KODE ETIK DAN PEDOMAN PERILAKU HAKIM, PENEGAKAN HUKUM DAN KEADILAN, SERTA PENGAWASAN MASYARAKAT Oleh : Drs. H. Trubus Wahyudi, SH, MH ( Hakim Tinggi Pengadilan Tinggi Agama Banten )
I.
Pendahuluan. Ihwal Independensi Hakim adalah erat kaitannya dengan membicarakan pengadilan, karena pengadilan adalah benteng terakhir keadilan. Kalimat ini memiliki makna yang sangat dalam, sebab disatu sisi dapat berarti
bahwa pengadilanlah
harapan terakhir masyarakat untuk mmperoleh keadilan, kebenaran dan tegaknya hukum. Disisi lain juga bermakna bahwa pada dasarnya tidak semua persoalan atau sengketa harus diselesaikan melalui pengadilan, karena dapat juga diselesaikan melalui lembaga Arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa (Pasal 58 UU Nomor 48 tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman). Bagi suatu negara hukum, pengadilan merupakan satu sendi atau lembaga yang keberadaannya mutlak. Sukar dibayangkan bagi kita, jika lembaga ini tidak ada , apakah jadinya negara ini mungkin yang terjadi adalah negara hukum rimba, sebab hilangnya eksistensi pengadilan akan berarti gugurnya status negara hukum itu sendiri. Oleh karena itu kalaupun masih ada sorotan masyarakat yang demikian tajam dan terkesan juga agak sinis terhadap dunia peradilan kita dewasa ini, harus dipandang secara positif dan harus diterima dengan hati yang lapang, bahwa kepedulian masyarakat terhadap lembaga ini sangat respon dan meningkat. Masyarakat kini tidak lagi hanya pasrah terhadap realita yang sering kali dianggap tidak mencerminkan nilainilai keadilan, adanya masyarakat mulai menggugat eksistensi dan fungsi lembaga pengadilan adalah dengan satu harapan pengadilan dapat dijadikan tumpuan tegaknya hukum dan keadilan. Dalam tulisan ini, penulis mencoba mengungkap sampai dimana batas-batas independensi hakim berkaitan dengan kode etik hakim dan Pedoman Perilaku Hakim yang harus dipatuhi bagi para hakim, dalam penegakan hukum dan keadilan serta
2
bagaimana menyikapi terhadap adanya dinamisasi pengawasan masyarakat
di
tengah-tengah dunia global dewasa ini.
II. Independensi Hakim. Independensi adalah suatu keadaan atau posisi dimana kita tidak terikat dengan pihak manapun. Artinya keberadaan hakim adalah mandiri tidak mengusung kepentingan pihak tertentu ataupun tidak terpengaruh oleh siapapun. Dalam konteks lain, independensi juga merupakan hak pribadi sebagai manusia, yang memiliki hak bebas dan merdeka tanpa ditekan oleh pihak lain. Tentunya dimasudkan independensi hakim dalam pelaksanaan tugas yudicialnya adalah mandiri tidak terikat dan tidak terpengaruh oleh pihak manapun dalam menjatuhkan putusannya sesuai dengan keyakinan nuraninya. Namun disisi lain independensi disini bukan mutlak tanpa batas, akan tetapi ada batasan-batasannya, karena suatu lembaga ataupun organisasi tidak dapat eksis tanpa adanya dukungan dari pihak lain. Ihwal independensi hakim dalam cakupan kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka, Pasal 24 Undang-Undang Dasar 1945 setelah Amandemen disebutkan bahwa : (1) Kekuasaan
kehakiman
merupakan
kekuasaan
yang
merdeka
untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. (2) Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Berdasarkan Pasal tersebut dapat dipahami bahwa pada hakekatnya lembaga Peradilan merupakan pemegang kekuasaan kehakiman yang merdeka terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah. Prinsip ini sekaligus menunjukkan bahwa lembaga peradilan dalam menjalankan fungsinya harus terbebas dari segala intervensi, sebab betapa pun kecilnya intervensi itu, misalnya hanya berupa katebelece atau sekedar
3
iming-iming berupa janji, dikhawatirkan akan berpengaruh terhadap putusan yang akan dijatuhkan. Sampai saat ini terkadang masih juga ada satu pertanyaan yang belum dapat dijawab secara memuaskan adalah sampai sejauh mana independensi itu dimiliki oleh para hakim di pengadilan? Karena terkadang masih ada oknum hakim tertentu yang masih terpengaruh terhadap iming-iming pihak tertentu yang berakibat timbulnya opini negatif terhadap independensi hakim. Independensi atau kebebasan disini harus lebih dikonotasikan sebagai kebebasan dan kemandirian untuk menegakkan hukum dan keadilan yang hakiki, atau secara harfiah kebebasan berfikir dan bertindak yang menjadi landasan untuk menjatuhkan putusan berdasarkan hukum, dan hati nuraninya tanpa merasa takut terhadap pihak
luar. Dalam kapasitas inilah seorang hakim
memiliki kedudukan teramat mulia dan tanggung jawab yang tinggi. Kualitas seorang hakim akan diukur tidak hanya oleh keterampilan dan kemampuan menerapkan pasalo-pasal hukum dan memutus perkara secara cepat, tetapi lebih jauh juga diukur dari keberaniannya memegang teguh asas independensi yang melekat di pundaknya. Wewenang dan tugas hakim yang sangat besar itu menuntut tanggung jawab yang tinggi, sehingga putusan pengadilan yang diucapkan dengan irah –irah “ Demi Kedilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa “ menunjukkan kewajiban hukum, kebenaran dan keadilan itu wajib dipertanggungjawabkan secara horisontal kepada semua manusia, dan secara vertikal dipertanggungjawabkan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dalam kapasitas inilah seorang hakim memiliki kedudukan teramat mulia. Profesi hakim memiliki sistem etika yang mampu menciptakan disiplin tata kerja dan mematuhi garis-garis dan batas-batas
tata nilai yang dapat dijadikan
pedoman bagi hakim untuk menyelesaikan tugasnya dalam menjalankan fungsi dan mengemban profesinya, karena itu pada prinsipnya independensi hakim tidaklah mutlak, akan tetapi secara normatif independensi hakim dibatasi oleh Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim sebagaimana diwajibkan dalam Pasal 13B ayat (2) UU Nomor 49 Tahun 2009 jis Pasal 12B ayat (2) UU Nomor 50 Tahun 2009 dan Pasal 13B
4
ayat (2) UU Nomor 51 Tahun 2009, serta mentaati nilai-nilai dasar perilaku Religiusitas, yakni adanya kesadaran bahwa semua tindakan yang dilakukan selalu memiliki konskuensi untuk diberikan penghargaan atau hukiuman oleh Tuhan sehinbgga ketekunan dan ketaatan menjalankan ajaran agama dapat menjamin setiap yang di8lakukan menjadi lebih baik.
III. Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim. Sudah sewajarnyalah kita generasi penerus sebagai aparat peradilan sekarang ini, menyampaikan apreasiasi penghargaan dan penghormatan kepada para aparat peradilan pendahulu kita, yang berusaha mnencetuskan ide cerdas dan melahirkan cita-cita luhur sehingga tersusunnya kode etik dan pedoman perilaku hakim sebagai pedoman bagi para Hakim di seluruh negara R I tercinta ini. Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim sekarang ini, merupakan hasil perenungan ulang atas pedoman yang pertama kali dicetuskan dalam Konggres IV luar Biasa IKAHI Tahun l966 di Semarang, dalam bentuk Kode Etik Hakim Indonesia dan disempurnakan kembali dalam
Munas XIII IKAHI Tahun 2000 di Bandung. Untuk
selanjutnya ditindaklanjuti dalam Rapat Kerja Mahkamah Agung RI Tahun 2002 di Surabaya yang merumuskan 10 (sepuluh) prinsip Pedoman Perilaku Hakim yang didahului pula dengan kajian mendalam yang meliputi proses perbandingan terhadap prinsip-prinsip internasional, maupun peraturan-peraturan serupa yang ditetapkan di berbagai negara, antara lain The Bangalore Principles of Yudicial Conduct. Selanjutnya Mahkamah Agung menerbitkan Pedoman Perilaku Hakim melalui Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor : KMA/104A/SK/XII/2006 tanggal 22 Desember 2006, tentang Pedoman Perilaku Hakim dan Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor : 215/KMA/SK/XII/2007 tanggal 19 Desember 2007 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pedoman Perilaku Hakim. Begitu pula Komisi Yudisial RI telah melakukan pengkajian yang mendalam dengan memperhatikan masukan dari berbagai pihak melalui kegiatan Konsultasi Publik yang diselenggarakan di 8 (delapan) kota yang pesertanya terdiri dari unsur
5
hakim, praktisi hukum, akademisi hukum, serta unsur masyarakat termasuk lembaga swadaya masyarakat. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut diatas dan memenuhi pasal 32A junto pasal 81B Undang-Undang Nomor : 3 Tahun 2006 tentang Perubahan kedua Undang-Undang Nomor : 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, maka disusunlah Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim yang merupakan pegangan bagi para Hakim seluruh Indonesia serta Pedoman bagi Mahkamah Agung RI dan Komisi Yudisial RI dalam melaksanakan fungsi pengawasan internal maupun ekternal. Prinsip-prinsip dasar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim diimplementasikan dalam 10 (sepuluh) aturan perilaku sebagai berikut : (1) Berperilaku Adil, (2) Berperilaku Jujur, (3) Berperilaku Arif dan Bijaksana, (4) Bersikap Mandiri, (5) Berintegritas Tinggi, (6) Bertanggung Jawab, (7) Menjunjung Tinggi Harga Diri, (8) Berdisiplin Tinggi, (9) Berperilaku Rendah Hati, (10) Bersikap profesional. Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim sebagai pegangan bagi para hakim telah dituangkan dalam Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung RI dan Ketua Komisi Yudisial Nomor : 047/KMA/SKB/IV/2009 Tanggal 8 April 2009. 02/SKB/P.KY/IV/2009
Kode etik dan Pedoman Perilaku Hakim ini nerupakan panduan keutamaan moral bagi hakim, baik dalam menjalankan tugas profesinya maupun dalam hubungan kemasyarakatan di luar kedinasan. Hakim sebagai insan yang memiliki kewajiban moral untuk berinteraksi dengan komunitas sosialnya, juga terikat dengan normanorma etika dan adaptasi kebiasaan yang berlaku dalam tata pergaulan masyarakat. Namun demikian untuk menjamin terciptanya Pengadilan yang mandiri dan tidak memihak, diperlukan pula kecukupan sarana dan prasarana bagi Hakim
sebagai
penegak Hukum dan keadilan, maupun sebagai warga masyarakat. Untuk itu, menjadi tugas dan tanggung jawab masyarakat dan Negara memberi jaminan keamanan hakim dan Pengadilan, termasuk kecukupan kesejahteraan dan kelayakan fasilitas, yang saat sekarang ini tentang kesejahteraan bagi para Hakim Tingkat Banding dan Hakim Tingkat Pertama, sudah ada perbaikan penghasilan para Hakim tersebut, dengan telah
6
diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor : 94 tahun 2012, tanggal 29 Oktober 2012. tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim yang berada di bawah Mahkamah Agung.
IV. Penegakan Hukum dan Keadilan. Penegakan hukum berkait erat dengan lembaga-lembaga penegak hukum yang seharusnya sudah
ada, yaitu
kepolisian, kejaksaan, serta pengadilan. Kehadiran
lembaga penegak hukum tambahan harus dipandang sebagai lembaga ad hoc sebagai penguatan lembaga-lembaga penegak hukum yang ada. Hukum kepentingan
berfungsi
sebagai
perlindungan
kepentingan
manusia.
Agar
manusia terlindungi, hukum harus dilaksanakan. Pelaksanaan hukum
dapat berlangsung secara normal, damai, tetapi deapat terjadi juga karena pelanggaran hukum. Dalam hal ini hukum yang telah dilanggar itu harus ditegakkan. Melalui penegakan hukum inilah hukum menjadi kenyataan. Dalam penegakan hukum ada tiga unsur yang selalu harus diperhatikan, yaitu : kepastian hukum (Rechtssicherheit), kemanfaatan (Zweck massigkeit), dan keadilan (Gerechtigkeit). Hukum harus dilaksanakan dan ditegakkan dan setiap orang mengharapkan dapat ditetapkannya hukum dalam hal terjadi peristiwa konkrit. Bagaimana hukumnya itulah yang harus berlaku; pada dasarnya tidak dibolehkan menyimpang; fiat justitia et pereat mundus (meskipun dunia ini runtuh hukum harus ditegakkan). Penegakan hukum sudah semestinya berintikan keadilan yang didambakan masyarakat. Hal demikian berbanding lurus dengan induk teori kontrak sosial ala Thomas Hobbes, Locke, dan JJ. Rousseau dan/atau Roscoe Pound yang secara garis besar menyebutkan bahwa hukum adalah instrumen pengubah masyarakat, yang harus berjalan sebagai pengayom dan pelindung warga negara, karena sejatinya hukum diciptakan untuk memenuhi rasa keadilan manusia. Dalam kondisi seperti itu, di mana sebenarnya letak strategis putusan hakim untuk menjadi penegak hukum yang mandiri sebagai amanat undang-undang tanpa diintimidasi kekuasaan apapun? Sementara disisi lain harus mampu memenuhi dahaga
7
masyarakat terhadap keadilan., Oleh karena itu seorang hakim tidaklah hanya berfungsi sebagai terompet undang-undang, yang
menganggap pasal-pasal hukum
sebagai satu-satunya sumber hukum, namun lebih jauh hakim juga harus berani bertindak sebagai penemu hukum seperti diamanatkan oleh Undang-undang. Harus harus mampu mengeksplorasi nilai-nilai keadilan dalam masyarakat untuk kemudian dikristalisasikan dalam bentuk putusan-putusannya berupa yurisprudensi. Putusan hakim adalah “ Mahkota Hakim”,demikian adagium yang terkadang muncul di tengah-tengah masyarakat; karena dari putusan hakim itu orang lain dapat menilai kedalaman pengetahuan hukum hakim yang memeriksa dan memutus perkara yang ditanganinya. Pengetahuan hukum yang harus dikuasai hakim sesungguhnya harus multidisiplin yang melintasi hukum acara, hukum materiil, ilmu hukum, filsafat hukum, sosisologi hukum, kriminologi, psikologi hukum, ilmu komunikasi, hukum adat, metodologi hukum dan lain-lain. Putusan hakim dapat dikategorikan suatu putusan hakim yang memadai apabila dalam pertimbangan hukum yang dituangkannya paling tidak
memuat
beberapa formula pasal-pasal hukum, yakni formula pasal-pasal hukum formil (hukum acara), formula pasal-pasal hukum materiil (pasal-pasal hukum terapan), dan dasardasar hukum dari yurisprudensi ataupun dasar-dasar hukum yang digali dari hukum yang tidak tertulis (dasar-dasar Nash). Dr. Harifin A. Tumpa, SH. MH. (dahulu Ketua Ketua Mahkamah Agung RI) dalam Sambutan Acara Pembukaan Rakernas Mahkamah Agung RI tahun 2009 tanggal 7 Oktober 2009 di Palembang dalam kaitannya putusan hakim ini menyebutkan bahwa : “....... apapun yang diputuskan oleh hakim selalu terbelah dalam dua opini apabila hakim memutus dengan melakukan ijtihad, ia akan dipuji sebagai hakim pemberani, tetapi akan dicaci maki oleh golongan yang bersIfat legalistik. Apabila hakim hanya memutus dengan dasar aturan-aturan formil, maka ia akan dicap sebagai hakim yang berjiwa penakut karena hanya menggantungkan diri pada kepastian”. Dalam hal penegakan hukum dan keadilan ini, bila seorang hakim menangani suatu perkara, ada baiknya menyimak sebagian maksud Risalah Khalifah Umar bin
8
Khatthab dijelaskan bahwa “.......maka fahamilah benar-benar jika ada suatu perkara yang dihadapkan
kepadamu dan laksanakanlah jika jelas kebenarannya, karena
sesungguhnya tidaklah berguna pembicaraan perhatian secara tentang kebenaran yang tidak ada pengaruhnya (tidak dapat dijalankan). Persamakanlah kedudukan manusia itu dalam majelismu, pandanganmu dan keputusanmu, sehingga
orang
bangsawan tidak dapat menarik kamu kepada kecurangan dan orang yang lemahpun tidak berputus asa dari keadilan “. Oleh karena itu dalam hal penegakan hukum, haruslah mempunyai roh keadilan yang didambakan masyarakat, sebagai inti dari pada hukum itu sendiri; lagi pula dalam penegakan hukum ini harus ada kompromi antara ketiga unsur, yaitu : kepastian, kemanfaatan dan keadilan, sehingga ketiga unsur tersebut harus mendapat perhatian secara proporsional seimbang.
V. Pengawasan Masyarakat Realita Pengawasan masyarakat terhadap dunia peradilan dewasa ini tidak bisa dielakkan, bahkan pengadilan harus memiliki prinsip transparansi. Dalam bidang tugas peradilan dewasa ini dikenal 2 (dua) pengawasan, yaitu pengawasan Internal dan Pangawasan Eksternal. Pengawasan Intrernal adalah Pangawasan dari dalam lingkungan Mahkamah Agung RI sendiri yang mencakup 2 (dua) jenis yaitu : Pengawasan Melekat dan Pengawasan Fungsional. Pengawasan Melekat adalah : Serangkaian kegiatan yang bersifat sebagai pengendalian terus-menerus dilakukan oleh atasan langsung terhadap bawahannya, secara preventif dan represif, agar pelaksanaan tugas peradilan tersebut berjalan secara efektif dan efisien, sesuai dengan rencana kegiatan dan peraturan perundangundangan yang berlaku. Pengawasan Fungsional adalah : Pengawasan yang dilakukan oleh aparat Pengawasan yang khusus ditunjuk untuk melaksanakan tugas tersebut dalam satuan kerja tersendiri yang diperuntukkan untuk itu.
9
Adapun yang termasuk dalam katagori Pengawasan Eksternal adalah Pengawasan diluar lingkungan Mahkamah Agung RI, antara lain : - Komisi Yudisial - Ombudsmen - LSM - Dll. Pengawasan masyarakat terhadap dunia peradilan dewasa ini adalah termasuk dalam katagori pengawasan eksternal. Pengadilan memiliki prinsip transparan, dapat juga dimaksudkan bahwa proses persidangan di Pengadilan terbuka untuk umum, kecuali proses persidangan perkara-perkara tertentu yang musti dilakukakan secara tertutup sebagaimana diatur dalan Peraturan perundangan yang berlaku. Transparansi pengadilan sesungguhnya tidak hanya berarti bahwa masyarakat hanya boleh menyaksikan jalannya persidangan, akan tetapi sebenarnya pengawasan masyarakat itu merupakan proses bagi suatu negara hukum sama artinya dengan proses penerapan dan penemuan hukum. Pengawasan masyarakat (social control)
terhadap dunia peradilan adalah
wujud kepedulian publik terhadap lembaga peradilan sebagai garda terakhir para pencari keadilan, bahkan bila ada kritik konstruktif dari masyarakat musti insan yang berkecimpung dalam dunia peradilan, tentunya harus menyikapi dengan lapang dada, guna bekal instrospeksi dan mawas diri demi perbaikan lembaga peradilan itu sendiri dan juga guna kwalitas produk-produk putusan Pengadilan yang senantiasa menjadi dambaan dan tumpuan masyakarat para pencari keadilan.
VI. Kesimpulan. Setelah dipaparkan beberapa hal yang terkait dengan judul tulisan tersebut, maka secara sederhana dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Independensi Hakim adalah harus dipertahankan bagi setiap hakim dalam melaksanakan tugas yusticialnya, tidak mudah terpengaruh adanya iming-iming ataupun katebelece lainnya.
10
2. Independensi hakim adalah tidak mutlak, akan tetapi indenpendensi hakim ini dibatasi oleh Kode Etik dan Pedoman Prilaku Hakim serta nilai-nilai dasar prilaku religuisitas. 3. Dalam penegakan hukum dan keadilan , hakim bukan hanya sekedar terompet undang-undang, akan tetapi hakim harus berani melakukan “ ijtihad hukum” terhadap penanganan perkara yang dihadapinya. 4. Putusan hakim adalah “mahkota hakim”, karena itu putusan hakim harus memuat pertimbangan-pertimbangan hukum yang memadai. Putusan hakim dianggap telah memadai manakala putusan itu paling tidak harus terkandung pertimbangan-pertimbangan hukum yang memuat formula pasal-pasal hukum formil (hukum acara), formula pasal-pasal hukum materiil (hukum terapan), dan formula dasar-dasar hukum dari Yurisprodensi atau dasar-dasar hukum dari hukum yang tidak tertulis (dasar-dasar Nash). 5. Pengawasan kelembagaan dari Mahkamah Agung RI secara internal yang berupa pengawasan melekat dan pengawasan fungsionbal adalah berfungsi sebagai upaya preventif dan represif, agar pelaksanaan tugas peradilan berjalan secara efektif, efisien, sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. 6. Realita adanya pengawasan masyarakat sebagai pengawasan eksternal (sosial control) terhadap dunia peradilan, musti harus diterima bagi setiap praktisi yusticial dengan lapang dada dan introspeksi diri sebagai kritik konstruktif dalam wujud kepedulian publik, agar produk-produk putusan pengadilan dapat menyentuh rasa keadilan yang didambakan masyarakat.
VII. P e n u t u p Demikian tulisan dengan judul “ Independensi Hakim, Kode Etik dan Pedoman Periilaku Hakim, Penegakan Hukum dan Keadilan serta Pengawasan Masarakat telah penulis paparkan di atas; tentunya dalam pemaparan tulisan ini terdapat kekurangannya, karena itu bila ada kritik konstruktif dari para pembaca budiman,
11
senantiasa penulis terima dengan lapang dada demi perbaikan dan kesempurnaan, mudah-mudahan dengan secercah harapan tulisan ini ada manfaatnya. Amin.
Daftar Bacaan :
1.
Bagir Manan, Prof., Dr., SH., MCL., Artikel Kembali ke Politik Pembangunan Hukum Nasional , Varia Peradilan Tahun XXVIII No. 326 Januari 2013.
2.
Habiburrahman, Peradilan Agama Dan Problematikanya, Kajian Sekitar Beberapa Permasalahan Hukum Formil & Hukum Materiil, Jakarta, Cet..., 2011.
3.
Muhammad Salam Madzkur, Al Qadlo’ fi Al Islam (Peradilan Dalam Islam),alih bahasa Drs. Imron AM, PT. Bina Ilmu, Surabaya Cet..2, l982.
4.
M. Syarifuddin, H. Dr., SH., MH., (Kepala Badan Pengawasan) Mahkamah Agung RI, Sistem Pengawasan Mahkamah Agung R I, Mega Mendung, 10 April 2012.
5.
Sudikno Mertokusumo, Prof., Dr., SH., dan A. Pitlo, Prof., Mr., Bab-bab Tentang Penemuan Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Yogyakarta, Cet.. I, 1993.
6.
....................., Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (Amandemen I s/d IV) dengan Penjelasannya, Lengkap Bagian-bagian yang diamandemen serta proses Dan Perubahannya, CV. Pustaka Agung Harapan, Surabaya, Cet.., Th...,
7.
....................., Komisi Yudisial R I, Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung RI dan Ketua Komisi Yudisial RI , Kode Etikm dan Pedoman Perilaku Hakim,Jakarta, 2009.
8.
....................., Peraturan Pemerintah R I. Nomor 94 Tahun 2012, tentang Hak Keuangan Dan Fasilitas Hakim yang berada di Bawah Mahkamah Agung R I
9.
......................., Hasil Rakernas Mahkamah Agung R I tahun 2009 di Palembang, tanggal 7 Oktober 2009.
10. ......................,
Buku Saku Reformasi Birokrasi dan Aturan Prilaku Pegawai
Mahkamah Agung R I, Copyright : Pta Mataram@ 2012.