BAB III KODE ETIK PROFESI HAKIM DALAM HUKUM ISLAM DAN POSITIF
A. Aplikasi Kode Etik Profesi Hakim Dalam Hukum Islam 1. Dalam Persidangan dan hubungan sesama hakim. Pertama, hakim disunnahkan memakai jubah hitam, Menurut Imam Mawardi hakim hendaknya memakai baju yang berbeda sehingga menambah kewibawaan, tawadhu’ dan khusyu’ didalam persidangan. Pendapat Imam Abu Toyib At Thobari
berkata : “Sesungguhnya
Rasulullah memasuki kota Mekah dengan sorban hitam”.1 Kedua, menurut Imam syafi’I
hendaknya hakim memutuskan
perkara di tempat yang dapat dilihat oleh orang banyak tanpa terhalang oleh sesuatu, berada di tengah kota, dan bukan di dalam masjid. 2 Ketiga,
ketika
akan
mengadili
perkara,
hakim
hendaknya
memeriksakan keadaan dirinya, apakah dia dalam keadaan lapar, haus, marah atau gelisah. Sesungguhnya dimakruhkan baginya untuk mengadili perkara di saat marah, mengganggu konsentrasi, haus, menahan buang air, lapar, dalam keadaan sedih, dan sakit berat. Rasullullah SAW melarang seseorang hakim menetapkan hukum dalam keadaan marah. Secara logika apabila seseorang marah, maka akal dan pemahamannya
1 2
Ibnu Abi Damm, Adaabul Qadha, (Bairut : Dar al kutub al ilmiyyah, 2002) h.57. Ibid.,h.73.
52
53
menjadi labil. Kondisi yang dialami seorang hakim dalam keadaan akal sedang tidak normal maka tidak boleh baginya menjatuhkan putusan.3 Rosulullah bersabda :
ِ ْ الَ ََي ُكم ِ ِ ْ َْي اثْن ضبَا ُن ْ ْي َوُه َو َغ َ ْ َااْلَاك ُم اَْوالَيَ ْفض ْي ب ُ ْ “ Seorang Qadhi tidak boleh memutuskan, atau seorang hakim tidak boleh menetapkan diantara kedua orang saat ia sedang marah”.
Keempat, Hakim dianjurkan bermusyawarah dengan hakim lain di majelis persidangan, apabila ada perkara yang sulit dan bertukar pendapat dalam hal-hal yang diijtihadi. Karena orang yang diajak bermusyawarah dapat mengingatkan perkara yang mungkin tidak terfikir olehnya. Musyawarah itu disunnahkan, akan tetapi taqlid bagi hakim itu tidak boleh menurut qaul shahih dalam madzhab syafi’i. Hal ini bisa dilakukan dengan saling mendiskusikan permasalahan (perkara) yang di hadapi dalam persidangan baik dengan sesama hakim ataupun dengan para pakar ilmu hukum sebelum membuat keputusan. Langkah tersebut pada masa masa peradilan sahabat sering dilakukan,4 karena musyawarah merupakan salah satu sumber setelah dari sumber-sumber lain tidak ada atau telah melakukan tingkatan-tingkatan pengambilan dalil. Karena hakim dalam memberikan pandangan harus rasional serta berdasarkan ijtihad yang ketat, maka apabila tidak tercapai haruslah dengan musyawarah secara
3
Imam Syafi’I Abu Abdullah Muahmmad bin Idris, Kitab Al Umm, ( Jakarta : Pustaka Azam, 2009), h.825. 4 Atiyah Musrifah, al-Qada fi al-Islam, ( Ttp : Syarkat al-Ausaq, 1996), h.105.
http://elc.stain-pekalongan.ac.id/
54
jujur. Dengan demikian musyawarah adalah merupakan salah satu bentuk solidaritas antara hakim. Islam memerintahkan musyawarah demi mencapai hasil yang tepat dalam membangun suatu putusan benar-benar tepat dalam azas musyawarah dan nilai kepatutan terwujud dalam memberikan keputusan yang akan dibebankan kepada para pihak. Kelima, Haram bagi hakim menerima hadiah dan uang suap dari dua atau salah satu orang yang berperkara. Tetapi jika pemberian hadiah tersebut dari orang yang tidak berperkara dan terbiasa memberi hadiah kepada hakim, sebelum hakim tersebut diangkat menjadi hakim, maka boleh, tetapi lebih utama tidak menerima hadiah dari siapapun. Seorang hakim haram menerima risywah (sogokan) dalam menentukan suatu perkara. Dia akan terkena laknat dari Allah, Rosul, para malaikat dan seluruh manusia jika dia menerimanya. Rasulullah bersabda :
لعن رسو ل هللا ملسو هيلع هللا ىلص الرا شي والمر تشي فى الحكم Di sini terlihat integritas hakim diuji apakah mampu menjunjung hukum (keadilan dan kebenaran), apakah mementingkan pihak tertentu, jelas–jelas ini dilarang untuk menggunakan tugas di luar tujuan dan kewajiban yang seharusnya mendamaikan kedua belah pihak, sesuai proses peradilan yang telah di tentukan. Pada masa Khalifah Umar bin Abdul Azis, beliau menolak segala macam
hadiah.
Dan
sikap
ini
diteladani
para
pejabat-pejabat
pemerintahnnya. Sehingga, Umar bisa memipin rakyatnya dengan tegas,
http://elc.stain-pekalongan.ac.id/
55
jauh dari diskriminasi dan mengutamakan keadilan. Umar benar-benar bisa membaca salah satu “penyakit mematikan” di kalangan pejabat, yakni menerima hadiah. Umar mencoba membangun dan menguatkan pemerintahannya dengan jalan menyembuhkan dan menjauhkan akar penyakitnya. Alwi sihab mengemukakan bahwa kolusi, persekongkolan antara pejabat dan pengusaha yang dapat berdampak pada KKN sangat ditentang oleh Islam. Apalagi kalau dilakukan oleh seorang hakim yang bersumpah atas nama Allah. Bahkan Ali bin Thalib memperingatkan: “Tegakkanlah keadilan dalam pemerintahan dan pada diri anda sendiri, dan carilah kepuasan rakyat karena kehendak rakyat memandul kan kepuasaan orang yang berkedudukan istimewa”. Keenam, imam syafi’I ra berkata : “seorang hakim tidak terikati putusan hakim sebelumnya….” Jika seorang hakim digantikan oleh hakim lain, maka hakim pengganti tidak terikat dengan putusan hakim sebelumnya. Karena secara dhohir putusan hakim yang diganti tersebut adalah sah. Jika ia meneliti putusan sebelumnya atau diberi laporan tentang putusan hakim sebelumnya maka hendaknya dia meneliti putusan tersebut. Menurut Imam Mawardi hakim tidak wajib meneliti putusan hakim sebelumnya. Namun, apakah ia boleh menelitinya ? ada dua pendapat madzhab, menurut Imam Abu Hamid membolehkan, sedangkan menurut jumhur ulama Bashroh, tidak membolehkan kecuali ada yang mengadu tentang ketidak adilan putusan tersebut.5
5
Ibnu Abi Damm, Adaabul Qadha, h.77.
http://elc.stain-pekalongan.ac.id/
56
Ketujuh,
hakim
harus
bersifat
adil.
Adil
disini
adalah
memposisikan para pihak dalam keadaan sama, tidak memihak salah satu pihak. Seorang penegak hukum harus netral dan tidak mengistimewakan salah satu pihak dari pihak yang lain. Hal ini biasanya terjadi jika salah satu pihak adalah seorang pejabat tinggi, karena masyarakat terbiasa menghormatinya. Semua pihak harus sama kedudukannya, baik dia seorang hamba atau orang yang merdeka, baik dia seorang pemimpin, pembesar, atau seorang fakir yang hina.6 Adil dalam konsep Islam adalah menunjukkan keseimbangan dalam standar keadilan yaitu keadilan yang berlandaskan pada prinsipprinsip hukum yang fundamental dalam hukum Islam. Walaupun Islam memerintahkan keadilan secara umum tidak menentukan dalam bidang apa saja melainkan dalam bermacam urusan, karena keadilan adalah milik Allah sedang manusia hamba Allah, oleh karena itu semua orang sama tidak ada yang lebih di depan hukum.7 Apalagi di hadapan Tuhan, yang membedakan adalah ketaqwaan. Dalam firman Allah :
Artinya : “Dan Allah lebih mengetahui (dari pada kamu) tentang musuhmusuhmu. dan cukuplah Allah menjadi pelindung (bagimu). dan cukuplah Allah menjadi penolong (bagimu)”.(QS. An Nisa : 135) 6
Abdul Aziz bin Fathi as- Sayyid Nada, Ensiklopedia Etika Islam, (Jakarta : Maghfirah Pustaka, 2006)h. 232. 7 Faturrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, cet. ke-1, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1997), h.73. lihat juga Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Pokok Kekuasaan Kehakiman, Pasal 5 Ayat (1) menyatakan : Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membedabedakan orang.
http://elc.stain-pekalongan.ac.id/
57
Kedelapan, hakim berijtihad ketika mengambil keputusan perkara tersebut tidak ada dalam al- qur’an, sunnah, dan ijma’. Sabda nabi Muhammad kepada Mu’adz bin Jabal : “Bagaimana engkau memutuskan perkara?” ia menjawab, berdasarkan kitab Allah azza wajalla. Nabi bertanya, “bagaimana jika tidak ada padanya?” ia menjawab, berdasarkan sunnah rosul. Nabi bertanya, “bagaimana jika tidak ada padanya?” ia menjawab aku akan melakukan ijtihad. Nabi bersabda,”segala puji bagi Allah yang telah memberi taufik kepada utusan rosulullah, kepada apa yang disukai Rosulullah”. Pada hadist ini nabi Muhammad mengabarkan bahwa ijtihad ditempuh setelah perkara yang hendak diputuskan tidak ada dalam alQur’an dan Sunnah. Hal ini sesuai dengan perintah Allah .
Artinya : “dan taatilah Allah dan rasul, supaya kamu diberi rahmat”(QS. Ali Imron : 132).8
Dalam hukum Islam untuk menemukan hukum dilakukan ijtihad dengan menggunakan beberapa metodologi yang telah dibuat oleh para fuqaha dalam ilmu ushul fiqh. Metode terpenting dalam pembentukan hukum Islam adalah ijma’, qiyas, istishlah, istihsan, maslakhah mursalah. Dengan metode tersebut hukum Islam ditemukan dari sumbernya AlQur’an dan As- Sunnah termasuk ketika hukum Islam harus berhadapan dengan problem masyarakat kontemporer.9
8 9
Departemen Agama, Al- Qur’an dan Terjemahannya, h. 66. Samsul Bahri, Membumikan Syari’at Islam, (Semarang : Pustaka Rizki Putra, 2007), h. 99.
http://elc.stain-pekalongan.ac.id/
58
Ijtihad hakim berarti menggali tujuan hukum Islam (maqasid syari’ah) di balik suatu kaidah hukum . Hakim dalam membuat putusan tidak boleh menyimpang dari maqasid syari’ah tersebut. Karena hukum Islam bertujuan untuk memberikan perlindungan kepada agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Ijtihad merupakan aktifitas intelektual dan orang yang melakukan kegiatan tersebut adalah mujtahid. Di tinjau dari obyek kajiannya, ijtihad dibagi menjadi dua yaitu ijtihad istimbathi dan tahbiqi. Ijtihad istimbathi yaitu ijtihad yang dilakukan berdasarkan pada nash-nash syari’at dalam menyimpulkan ide hukum yang terkandung didalamnya. Untuk melakukan ijtihad istimbathi diperlukan
syarat
khusus,
seperti
penguasaan
ilmu-ilmu
yang
berhubungan dengan al-Qur’an dan hadist Rasulullah. Sedangkan
ijtihad
tahbiqi
adalah
ijitihad
yang
dilakukan
berdasarkan permasalahan yang terjadi dilapangan, Hakim sebagai pembentuk hukum yang fleksibel dituntut untuk memberikan jawaban hukum atas berbagai masalah yang diajukan kepadanya. Putusan-putusan hakim yang dikeluarkan adalah merupakan produk hukum untuk menyelasaikan perkara, sehingga harus tercipta putusan yang benar-benar memuat alasan yang jelas. dan bisa dipertanggung jawabkan, mulai pemeriksaan perkara dengan tahapan pembuatan Berita Acara Persidangan, pertimbangan hukum dalam setiap putusan, dan penetapan hukum sehingga putusan tersebut benar-benar dilandasi kejujuran dan kepatutan. Kejujuran dalam menggali dasar-dasar hukum
http://elc.stain-pekalongan.ac.id/
59
baik undang-undang maupun ketentuan lain, sehingga patut artinya sesuai kondisi masyaakat. Dalam kosep nilai etika Islam kejujuran adalah merupakan sesutu perkara yang terlahir dari kebenaran. 2. Tanggung jawab sosial hakim terhadap hukum. Dalam Islam tanggung jawab merupakan amanah yang harus dipertanggungjawabkan,
artinya
tanggung
jawab
sendiri
yang
diwujudkan dalam pola prilaku dalam hubungannya dengan masyarakat. sedangkan terhadap masyarakat dengan memberikan hak kepada siapa saja yang menjadi haknya. Sehingga fungsi hakim sebagai makhluk sosial tidak bisa terbebas dari semua tindakannya yang harus dipertanggungjawabkan. Karena tanggung jawab sosial adalah kaitannya dengan moral terhadap masyarakat. Secara moral bahwa perbuatan itu tidak tercela, karena apabila tercela maka akan mendapatkan sanksi sosial, karena itu tanggung jawab sosial dibarengi dengan norma sosial.10 Dalam al-Qur'an ditegaskan :
Artinya : “Barangsiapa yang memberikan syafa'at yang baik, niscaya ia akan memperoleh bahagian (pahala) dari padanya. dan Barangsiapa memberi syafa'at yang buruk, niscaya ia akan memikul 10
Asafri Jaya Bakri, Konsep Syari'ah Menurut Syatibi, cet. ke-1(Jakarta : Raja Grapindo Persada, 1996), h. 94.
http://elc.stain-pekalongan.ac.id/
60
bahagian (dosa) dari padanya. Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”( QS. An Nisa’ : 85)11 Dalam ayat lain :
12 Artinya : “Apakah mereka mengira, bahwa ia akan dibiarkan saja (tanpa pertanggung jawaban)?”(QS. Al Qiyamah: 36). Ayat di atas menjadikan perlunya kesadaran hukum. Karena
kesadaran hukum adalah merupakan nilai-nilai yang terkandung dalam diri manusia mengenai perilaku yang telah diatur dalam hukum. Sehingga hukum dipahami untuk memenuhi kebutuhan sosial sedangkan agama sebagai pengontrol dan tidak membiarkannya menyimpang dari kaidah norma-norma yang ditentukan oleh agama.13 Dalam konsep Islam kesadaran hukum yang timbul akan menjadi sesuatu amal perbuatan yang didasarkan iman, ilmu, dan amal, sehingga tanggungjawab ini dijadikan amanah yang harus dilakukan secara profesionalisme karena akan diminta pertangjawabannya dan dijadikan kebutuhan ukhrawi untuk masa depan artinya dalam Islam diartikan sebagai asfek transendental dalam beribadah, sehingga tidak sekedar pemenuhan keluarga dan masyarakat tetapi untuk ibadah. Pada hakekatnya tanggung jawab yang didasari kesadaran hukum adalah merupakan etika Islam yang dianjurkan. Karena etika menekankan keselamatan individu baik di dunia maupun di akhirat, sehingga adanya tanggung jawab sosial hakim terhadap hukum adalah merupakan untuk 11
Departemen Agama, Al- Qura’an dan Terjemahannya, h. 91. Departemen Agama, Al- Qur’an dan Terjemahannya, h. 578. 13 Muhammad Muslehuddin, Filsaafat Hukum Islam dan pemikiran orientalis Studi Perbandingan, cet. ke-3, (Yogyakarta : Tiara Wacana, 1997). h. 70. 12
http://elc.stain-pekalongan.ac.id/
61
keselamatan individu. Maka disini jelas bahwa fungsi hakim adalah mempunyai tanggung jawab terhadap masyarakat adalah sebagai penegak keadilan dan ketertiban dalam masyarakat. Dalam korp hakim yang harus dibangun adalah kerjasama yang berlandaskan moral, iman dan taqwa karena apabila dibangun di atas tiga nilai tersebut akan melahirkan kejujuran (amanah) dan tanggung jawab. Dalam Islam konsep kejujuran adalah perwujudan dari nilai kebenaran yaitu jujur atas pelaksanaan janji terhadap pelaksanaan kode etik profesi. sehingga nilai kejujuran merupakan prinsip nilai dari kode etik profesi, sekaligus kebenaran dalam konsep Islam yaitu menjalankan yang hak atau diperintahkan. Dengan demikian solidaritas korps sangat diperlukan dalam menjaga
nama
baik
profesi
hakim
karena
selain
harus
dipertanggungjawaban terhadap masyarakat didunia yang diminta oleh Tuhan diakhirat nanti. Tanggung jawab merupakan suatu prinsip dinamis yang berhubungan dengan perilaku manusia. Bahkan merupakan kekuatan
dinamis
individu
untuk
mempertahankan
kualitas
kesetimbangan dalam masyarakat. Karena manusia yang hidup sebagai mahkluk sosial, tidak bisa bebas, dan semua tindakannya harus dipertanggungjawabkan. Secara teologis prinsip pertanggungjawaban berhubungan dengan tiga paradigma qur'anik. Pertama, Allah memberikan karunia kepada manusia (baik melalui Rasul maupun lewat kekuatan akal) yang
http://elc.stain-pekalongan.ac.id/
62
memungkinkannya mengenali nilai-nilai moral. Dalam jiwa manusia telah ditanamkan pengertian tentang makna baik dan buruk. Sebagaimana disebutkan dalam al-Qur'an :
14 Artinya : “Barangsiapa yang mengerjakan amal yang saleh Maka (pahalanya) untuk dirinya sendiri dan Barangsiapa mengerjakan perbuatan jahat, Maka (dosanya) untuk dirinya sendiri; dan sekalikali tidaklah Rabb-mu Menganiaya hamba-hambaNya”(QS As Sajdah : 46). Meskipun manusia diberi kemungkinan mengetahui kualitas moral dari semua perbuatannya, namun secara prinsip mereka adalah bebas untuk menentukan jalan hidupnya sendiri-sendiri. Tidak ada paksaan untuk mengikuti atau tidak mengikuti pesan-pesan-Nya. Allah Swt berfirman :
15 Artinya : “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. karena itu Barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, Maka Sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang Amat kuat yang tidak akan putus. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui” (QS Al Baqarah : 256 ) 14 15
Depatemen Agama, Al- Qur’an dan Terjemahannya, h. 481. Departemen Agama Al-Qur’an dan Terjemahannya, h. 42.
http://elc.stain-pekalongan.ac.id/
63
Allah swt senantiasa mengamati dan mencatat gerak-gerik tubuh dan hati manusia sekecil-kecilnya, Dia mengetahui apa saja yang disembunyikan dalam hati dan apa yang ditampakkan. Allah swt berfirman : 16
وهللا اعلم مباكانوا يكتمون
Paradigma diatas yaitu kemungkinan mengetahui kualitas moral, kebebasan berbuat dan doktrin tentang pencatatan amal, secara bersamasama sebagai jaminan obyektifitas penilaian Allah. Namun demikian ukuran kemuliaan yang hakiki dihadapan Allah adalah kualitas taqwa dan apabila berbuat keburukan akan menyebabkan martabatnya jadi rendah. Tidak seperti pada kajian-kajian tafsir tradisional yang pada umumnya cenderung membatasi pada sisi pertanggungjawaban yang bersifat ukhrawi dan individual, pada konteks kekinian perlu ditelaah lebih lanjut adalah sisi pertanggungjawaban yang bersifat kolektif duniawi. Al-Qur'an hanya menyampaikan pesan-pesan kepada umat manusia sebagai individu-individu mandiri, tetapi juga memberikan bimbingan tentang kehidupan kolektif. Dalam Islam ada pokok-pokok ajaran tentang etika pergaulan antar manusia, dan dalam hubungan antara manusia dengan lingkungan hidupnya. Mengabaikan ajaran-ajaran moral tersebut akan berakibat tidak hanya penderitaan batin dan siksaan (akhirat) secara individual, tetapi 16
Departemen Agama Al-Qur’an dan Terjemahanya, Al-Ma'idah (5) : 61.
http://elc.stain-pekalongan.ac.id/
64
secara kolektif (generasi) mereka juga akan menerima hukuman, sekarang di dunia ini juga.
B. Aplikasi Kode etik Hakim dalam Hukum Positif. Kode etik profesi hakim merupakan kumpulan asas-asas atau nilai moral yang disepakati oleh anggota hakim dan harus di laksanakan agar tidak terjebak kepada pelanggaran norma, maka dibentuklah kode etik sebagai pengarah kesadaran moral di dalam organisasi profesi hakim. Hal ini terwujud dalam sifat-sifat hakim yang dikenal dengan "Panca Dharma Hakim" yaitu kartika, cakra, candra, sari, dan tirta, yang menempatkan sifat percaya dan taqwa kepada Tuha yang Maha Esa, memusnahkan kebatilan, kezaliman dan ketidakadilan, memiliki sifat bijaksana dan berwibawa, berbudi luhur dan tidak tercela, serta bersifat jujur. Pengertian ini menjadikan kode etik merupakan suatu keyakinan religius tertentu untuk di amalkan dan bukan pengetahuan belaka, karena mempunyai peranan dalam bentuk batiniyah yang berkaitan dengan pelaksanaan hukum (Syari'ah) dalam etika profesi hakim. Sehingga etika merupakan moralitas sebagai dorongan jiwa yang diwujudkan dalam melaksanakan profesi hakim. Prinsip - prinsip dasar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim diimplementasikan dalam 10 ( sepuluh ) aturan perilaku sebagai berikut:17
17
Keputusan Bersama Mahkamah Agung dan Ketua Komisi Yudisial Nomor : 047/KMA/SKB/IV/2009.
http://elc.stain-pekalongan.ac.id/
65
1) Berperilaku Adil. Adil pada hakekatnya bermakna menempatkan sesuatu pada tempatnya dan memberikan yang menjadi haknya, yang didasarkan pada suatu prinsip bahwa semua orang sama kedudukannya di depan hukum. Dengan demikian, tuntutan yang paling mendasar dari keadilan adalah memberikan perlakuan dan memberi kesempatan yang sama ( equality and fairness ) terhadap setiap orang. Oleh karenanya, seseorang yang melaksanakan tugas atau profesi di bidang peradilan yang memikul tanggung jawab menegakkan hukum yang adil dan benar harus selalu berlaku adil dengan tidak membeda - bedakan orang. 2) Berperilaku jujur. Kejujuran
pada
hakekatnya
bermakna
dapat
dan
berani
menyatakan bahwa yang benar adalah benar dan yang salah adalah salah. Kejujuran
mendorong
terbentuknya
pribadi
yang
kuat
dan
membangkitkan kesadaran akan hakekat yang hak dan yang batil. Dengan demikian, akan terwujud sikap pribadi yang tidak berpihak terhadap setiap orang baik
dalam persidangan maupun diluar
persidangan. 3) Berperilaku Arif dan Bijaksana. Arif dan bijaksana pada hakekatnya bermakna mampu bertindak sesuai dengan norma - norma yang hidup dalam masyarakat baik norma norma hukum, norma - norma keagamaan, kebiasaan - kebiasaan maupun kesusilaan dengan memperhatikan situasi dan kondisi pada saat itu, serta
http://elc.stain-pekalongan.ac.id/
66
mampu memperhitungkan akibat dari tindakannya. Perilaku yang arif dan bijaksana mendorong terbentuknya pribadi yang berwawasan luas, mempuyai tenggang rasa yang tinggi, bersikap hati-hati, sabar dan santun. 4) Bersikap Mandiri. Mandiri pada hakekatnya bermakna mampu bertindak sendiri tanpa bantuan pihak lain, bebas dari campur tangan siapapun dan bebas dari pengaruh apapun. Sikap mandiri mendorong terbentuknya perilaku Hakim yang tangguh, berpegang teguh pada prinsip dan keyakinan atas kebenaran sesuai tuntutan moral dan ketentuan hukum yang berlaku. 5) Berintegritas Tinggi Integritas tinggi pada hakekatnya bermakna mempuyai kepribadian utuh tidak tergoyahkan, yang terwujud pada sikap setia dan tangguh berpegang pada nilai - nilai atau norma - norma yang berlaku dalam melaksanakan tugas. Integritas tinggi akan mendorong terbentuknya pribadi yang berani menolak godaan dan segala bentuk intervensi, dengan mengendapkan tuntutan hati nurani untuk menegakkan kebenaran dan keadilan, dan selalu berusaha melakukan tugas dengan cara - cara terbaik untuk mencapai tujuan terbaik.18 6) Bertanggungjawab Bertanggung jawab pada hakekatnya bermakna kesediaan dan keberanian untuk melaksanakan semua tugas dan wewenang sebaik
18
Ibid,.
http://elc.stain-pekalongan.ac.id/
67
mungkin serta bersedia menangung segala akibat atas pelaksanaan tugas dan wewenang tersebut. Rasa tanggung jawab akan mendorong terbentuknya pribadi yang mampu menegakkan kebenaran dan keadilan, penuh
pengabdian,
serta
tidak
menyalahgunakan
profesi
yang
diamankan.19 7) Menjunjung Tinggi Harga Diri Harga diri pada hakekatnya bermakna bahwa pada diri manusia melekat martabat dan kehormatan yang harus dipertahankan dan dijunjung tinggi. Prinsip menjunjung tinggi harga diri, khususnya Hakim, akan mendorong dan membentuk pribadi yang kuat dan tangguh, sehingga terbentuk pribadi yang senantiasa menjaga kehormatan dan martabatnya sebagai aparatur Peradilan. 8) Berdisiplin Tinggi Disiplin pada hakekatnya bermakna ketaatan pada norma - norma atau kaidah - kaidah yang diyakini sebagai panggilan luhur untuk mengemban amanah serta kepercayaan masyarakat pencari keadilan. Disiplin tinggi akan mendorong terbentuknya pribadi yang tertib di dalam melaksanakan tugas, ikhlas dalam pengabdian, dan berusaha untuk
menjadi
teladan
dalam
lingkungannya,
menyalahgunakan amanah yang dipercayakan kepadanya.
19
Ibid,.
http://elc.stain-pekalongan.ac.id/
serta
tidak
68
9) Berperilaku Rendah Hati Rendah
hati
pada
hakekatnya
bermakna
kesadaran
akan
keterbatasan kemampuan diri, jauh dari kesempurnaan dan terhindar dari setiap bentuk keangkuhan. Rendah hati akan mendorong terbentuknya sikap realistis, mau membuka diri untuk terus belajar, menghargai pendapat orang lain, menumbuh kembangkan sikap tenggang rasa, serta mewujudkan kesederhanaan, penuh rasa syukur dan ikhlas di dalam mengemban tugas. 10) Bersikap Profesional Profesional pada hakekatnya bermakna suatu sikap moral yang dilandasi oleh tekad untuk melaksanakan pekerjaan yang dipilihnya dengan kesungguhan, yang didukung oleh keahlian atas dasar pengetahuan, keterampilan dan wawasan luas. Sikap profesional akan mendorong
terbentuknya
pribadi
yang
senantiasa
menjaga
dan
mempertahankan mutu pekerjaan.20 Profesi hakim adalah profesi yang mempunyai tugas menyelesaikan setiap perkara yang masuk ke pengadilan atau diajukan dari piahak yang bersengketa. Sedangkan para pihak adalah orang yang mencari perlindungan hukum terhadap lembaga peradilan. Karena itu kewajiban hakim untuk melindunginya. Sehingga terlihat harus berpegang teguh
20
Ibid,.
http://elc.stain-pekalongan.ac.id/
69
pada tingkah laku yang di wujudkan dalam sikap hakim yang dipedomaninya,21 sebagai berikut : 1. Dalam Persidangan dan hubungan sesama hakim. Pertama, dalam persidangan hakim harus memperhatikan azasazas peradilan yang berlaku dalam hukum acara peradilan, yaitu : menjunjung tinggi hak para pihak baik dari mulai pengajuan perkara, proses persidangan, baik meliputi pembelaan diri, pemeriksaan perkara, sampai pada keluarnya putusan yang benar-benar memuat alasan yang jelas, sistematis, serta dapat dipertanggungjawabkan (accountability). Kedua, memposisikan para pihak dalam keadaan sama tidak memihak salah satu pihak. Dalam hukum acara perdata kedua pihak haruslah diiperlakukan sama, tidak memihak dan didengar bersama sama bahwa pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membedakan orang, seperti yang dimuat dalam pasal 5 ayat 1 UU No. 14 tahun 1970 mengandung arti bahwa didalam hukum acara perdata yang berperkara harus sama sama diperhatikan, berhak atas perlakuan yang sama dan adil. Masing-masing harus diberi kesempatan untuk memberi pendapatnya. Dan juga berdasarkan asas hukum yang sering digunakan dalam teori hukum, Asas Audit et
21
Pasal 4 Ayat (1-5) Kode Etik Profesi Hakim Indonesia.
http://elc.stain-pekalongan.ac.id/
70
atteram partem yaitu hakim haruslah mendengarkan kedua belah pihak secara seimbang sebelum menjatuhkan putusannya.22 Ketiga harus berbuat sopan, tegas dan bijaksana dalam memimpin persidangan baik ucapan maupun perbuatan. Keempat, menjaga kewibawaan dan kehidmatan persidangan antara lain serius dalam memeriksa dan tidak melecehkan para pihak. Kelima, bersungguh-sungguh mencari kebenaran dan keadilan. Dalam persidangan hakim harus memproses segala perkara yang diajukan dan menyelesaikan sengketa antara pihak tersebut demi terciptanya kedamaian diantara manusia. Dalam undang-undang disebutkan : hakim membantu para pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan.23 Yang dimaksud sederhana adalah acara yang jelas, mudah dipahami, dan tepat. Formalitas yang sedikit yang diperlukan dalam beracara di peradilan maka semakin baik, sedangkan semakin banyak formalitas yang sulit difahami sehingga tejadi berbagai penafsiran dan kurang adanya kepastian hukum yang menyebabkan ketakutan untuk beracara di pengadilan. Kata cepat adalah cepatnya jalan peradilan akan meningkatkan kewibawaan pengadilan dan menanbah kepercayaan masyarakat kepada pengadilan. Ditentukan biaya ringan agar terjangkau oleh
22
Marwan mas, SH. MH, Pengantar Ilmu Hukum, (Ghalia Indonesia : Jakarta, 2004), h.98. Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Pokok-pokok Kekuasan Kehakiman, Pasal 5 Ayat (2). 23
http://elc.stain-pekalongan.ac.id/
71
rakyat, karena biaya yang tinggi menyebabkan rakyat enggan untuk mengajukkan tuntutan hak kepada pengadilan.24 Namun dalam arti kata hakim adalah profesi yang bebas yang tidak boleh mempunyai ikatan-ikatan yang membatasi kewajibannya untuk menegakan hukum yang adil dan benar dengan cara yang jujur dan bertanggung jawab, tentu hal ini harus harus didukung oleh kondisi hakim yang harus siap baik secara mental maupun sikap seperti sikap hakim ketika memimpin persidangan harus dalam kondisi
tidak
marah,
karena
akan
mempengaruhi
proses
persidangan. Disamping itu dalam proses persidangan tidak boleh adanya konspirasi antara para pihak yang berperkara dengan hakim atau melalui pengacara untuk memenangkan perkara. Keenam, Dalam kode etik profesi hakim, hakim harus menjaga kewibawaan korps yang diwujudkan dalam sikap kerjasama, kesadaran, saling menghargai dan tingkah laku atau martabat yang baik baik dalam dinas maupun di luar dinas serta memberikan suri tauladan kepada bawahan. Hakim sebagai salah satu pilar penegak hukum, maka mempunyai tanggung jawab untuk saling tolong-menolong dalam menegakan keadilan dan kebenaran. Hal ini akan tercapai apabila hakim mampu menjalin hubungan dengan komponen yang ada di bawahnya, baik antara hakim sendiri, panitera, serta juru sita karena 24
Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, SH, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta : Liberty, 1977), h. 27.
http://elc.stain-pekalongan.ac.id/
72
mempunyai kewajiban yang saling berkaitan, sebagaimana dalam sumpah dan janji di pengadilan. Di sini perlunya kerjasama yang harus dilakukan demi tercapainya kewajiban seorang profesi. Kode etik profesi hakim Indonesia merupakan alat pembinaan hakim dan pengawasan tingkah laku hakim25, dengan artian Profesi hakim merupakan kesatuan profesi yang diikat oleh suatu tata aturan tertulis dan kesadaran serta solidaritas diantara anggota korp untuk melaksanakan kode etik profesi hakim tersebut. Yang diharapkan saling menjaga kesolidaritasan antara hakim maupun korp sebagaimana dalam tertuang dalam kode etik hakim.26 Karena dari kesolidaritasan hakim akan tumbuh kejujuran dalam menegakan hukum, sehingga terjauh dari perbuatan curang baik yang dilakukan hakim sendiri maupun secara bersama-sama . Ketujuh, hakim tidak dibenarkan menunjukkan sikap memihak atau bersimpati
ataupun antipati
kepada
pihak-pihak
yang
berperkara, baik dalam ucapan maupun tingkah laku. Kedelapan, Hakim dilarang melakukan kolusi dengan sipapun yang berkaitan dengan perkara yang akan dan sedang ditangani dan Menerima suatu pemberian atau janji dari pihak-pihak yang berperkara. Kerusakan moral dibidang pengak hokum jika sebuah perkara dijadikan barang komoditi atau dijadikan tambang emas. Hal tersebut merupakan pengkhianatan terhadap cita-cita Negara yaitu bersih dan wibawa. 25 26
Pasal 2 Ayat (1) butir (a) dan (b), Kode Etik Profesi Hakim. Pasal 4 Ayat (1-4), Kode Etik Profesi Hakim
http://elc.stain-pekalongan.ac.id/
73
2. Tanggung Jawab sosial hakim terhadap hukum. Dalam kode etik profesi hakim di dalam masyarakat hakim harus saling menghormati, menghargai, dan hidup sederhana, serta dalam keluarga hakim harus menjaga keluarga dari perbuatan tercela, menjaga
ketentraman
keluarga
dan
keutuhan
keluarga
dan
menyelesaikan masalah keluarga dengan norma-norma hukum kesusilaan yang berlaku di masyarakat. Ketentuan di atas merupakan tanggung jawab hakim baik terhadap dirinya sendiri (keluarga) maupun masyarakat. Prinsip yang terkandung etika profesi di mana tanggung jawab hakim dalam melaksanakan tanggung jawabnya di tuntut untuk bertanggungjawab terhadap pekerjaan, hasil serta dampak pekerjaan terhadap kehidupan orang lain dan bertanggung jawab untuk kehidupan dengan tidak melanggar hak orang lain. Etika
pertanggungjawaban
hakim
terhadap
manusia
mempunyai pengertian untuk apa dan kenapa manusia harus mempertanggungjawabkan amal perbuatannya sebagai bagian yang tidak dapat terpisahkan dari amal perbuatan. Sedangkan kewajiban dan larangan yang terdapat dalam kode etik adalah merupakan kumpulan nilai-nilai atau moralitas dalam profesi hakim dan etika religius dalam Islam yang harus dilaksanakan oleh profesi hakim, sebagaimana merupakan aplikasi nilai kode etik yang sesuai dengan etika hukum Islam yang telah
http://elc.stain-pekalongan.ac.id/
74
dibahas sebelumnya. Sehingga hakim patut untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut. Pengawas internal atas tingkah laku hakim dilakukan oleh Mahkamah Agung, Saat ini
Mahkamah agung yang merupakan
benteng terakhir dari dunia peradilan
Indonesia terindikasi
melakukan KKN, Salah satu mantan ketua Mahkamah Agung Baqir Manan diduga melakukan suap senilai milyaran rupiah..Bagi hakim Mahkamah agung, kamuflase dalam perkara ini mencerminkan dirinya sebagai benteng terakhir yang palsu misalnya mendapatkan uang banyak dengan mengolah kesaksian palsu, menciptakan rekayasa sumpah palsu, dan memproduk vonis palsu. Harapan masyarakat adalah Mahkam Agung mampu menjadi filter untuk menjawab berbagai kinerja buruk yang masih berlangsung di institusi penegak hukum lainnya, dan bukanhanya menjadi pelengkap superioritas mafia peradilan.27 Melakukan pengawasan merupakan fungsi Mahkamah Agung dalam mengontrol jalannya peradilan di semua lingkungan peradilan dalam menjalankan kekuasaan kehakiman. Fungsi ini untuk melengkapi fungsi mengadili yang tujuannya untuk
tercapai
kesatuan hukum dan kesatuan pengadilan dalam negara hukum Indonesia. Kewenangan Mahkamah Agung untuk melakukan pengawasan terhadap perbuatan pengadilan yang meliputi hakim dan 27
Drs. H. Abdul Wahid, SH. MH, Etika Profesi Hukum, (Banyumedia Publishing : Malang, 2009).h.271.
http://elc.stain-pekalongan.ac.id/
75
proses peradilan, diatur dalam pasal 32 Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004. Dalam melakukan pengawasan terhadap hakim dan proses peradilan, Mahkamah Agung berwenang meminta keterangan mengenai hal-hal yang bersangkutan dengan teknis peradilan, atau memberi petunjuk, teguran dan peringatan yang diperlukan tanpa mengurangi kemerdekaan hakim dalam memutus perkara. Dalam cetak biru Mahkamah Agung juga disebutkan bahwa pengawasan kepada jalannya pengadilan berfungsi sebagai upaya untuk melakukan pembinaan dalam bentuk pendidikan dan latihan hakim. Selain itu dalam rangka pembinaan hakim, Mahkamah Agung melakukan pembinaan karir melalui promosi dan mutasi hakim dan pejabat peradilan. Bahkan sejak berlakunya Undang- Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman, pembinaan karir hakim dan pejabat peradilan semakin optimal, karena Mahkamah Agung telah mengurus seluruh lembaga peradilan sendiri, baik dari segi organisasi, administrasi maupun finansialnya.28 Seharusnya tingkah laku manusia didalam masyarakat itu dijalankan sesuai dengan prinsip negara kita, yakni negara hukum berdasarkan
Pancasila.
Tegaknya
hukum
merupakan
suatu
persyaratan bagi sebuah negara hukum. Pengak hukum selalu melibatkan manusia didalamnya dan melibatkan tingkah lakunya juga. Inti pengakan hukum terletak pada kegiatan menyerasikan
28
Samsul Bahri, Membumikan Syari’at Islam, (Pustaka Rizki Putra : Semarang, 2007), h. 75.
http://elc.stain-pekalongan.ac.id/
76
hubungan nilai-nilai yang dideskripsikan didalam kaidah-kaidah yang baik untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup. Sedangkan Komisi kehormatan hakim mempunyai tugas dan wewenang : Memberikan pembinaan pada anggota untuk selalu menjunjung tinggi Kode Etik. Meneliti dan memeriksa laporan/pengaduan dari masyarakat atas tingkah laku dari para anggota IKAHI (Ikatan Hakim Indonesia ) Memberikan nasehat dan peringatan kepada anggota dalam hal anggota
yang
bersangkutan
menunjukkan
tanda-tanda
pelanggaran Kode Etik. Memanggil anggota untuk didengar keterangannya sehubungan dengan adanya pengaduan dan laporan. Memberikan rekomendasi atas hasil pemeriksaan terhadap anggota yang melanggar Kode Etik dan merekomendasikan untuk merehabilitasi anggota yang tidak terbukti bersalah.29 Komisi Kehormatan Profesi hakim adalah komisi yang dibentuk oleh pengurus pusat IKAHI untuk memantau, memeriksa, membina dan merekomendasikan tingkah laku hakim yang melanggar atau diduga melanggar kode etik.
29
Pasal 8 Ayat (1-2), Kode Etik Profesi Hakim
http://elc.stain-pekalongan.ac.id/
77
Adanya komisi kehormatan adalah merupakan lembaga dari proses pertanggung jawaban hakim,
namun komisi kehormatan ini
kurang berperan karena berada dalam lembaga sendiri tidak secara independen yang di khawatirkan terjadi konspirasi di antara hakim sendiri. Hal ini terlihat dengan masih banyaknya pelanggaran baik ringan, sedang dan berat yang di lakukan oleh hakim dalam melakukan profesinya serta pengabaian terhadap kode etik yang seharusnya menjadi pedoman. Komisi kehormatan ini sebenarnya merupakan perwujudan dari pertanggungjawaban di dunia, sebelum nanti seorang hakim harus mempertangjawabkan di akhirat. Selanjutnya, untuk menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, dan perilaku hakim, pengawasan eksternal atas perilaku hakim dilakukan oleh Komisi Yudisial, Komisi Yudisial diatur dalam pasal 24B UUD 1945 yang selengkapnya berbunyi : 1) Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan mengakkan kehormatan, keluhuran, martabat serta perilaku hakim. 2) Anggota Komisi Yudisial harus mempunyai pengetahuan pengalaman
dibidang
hokum
serta
memilki
integritas
dan dan
kepribadian yang tidak tercela. 3) Anggota Komisi Yudisial diangkat dan diberhentikan oleh presiden dengan persetujuan DPR.
http://elc.stain-pekalongan.ac.id/
78
4) Susunan, kedudukan, dan keanggotaan Komisi Yudisial diatur dengan undang-undang.30 Komisi Yudisial diperlukan karena ada kebutuhan praktis. Sebab, yang terjadi dilapangan tidak ada suatu lembaga yang bisa mengawasi tingkah laku hakim. Komisi Yudisial akan lebih independent dan tidak mempunyai masalah dengan internal hakim-hakim dan kewenangannya jauh dan lebih tinggi dan lebih kuat. Dalam melakukan pengawasan hakim, Komisi Yudisial melakukan koordinasi dengan Mahkamah Agung, apabila ada perbedaan antara hasil pengawasan internal yang dilakukan oleh Mahkamah Agung dan hasil pengwasan eksternal yang dilakukan oleh Komisi Yudisial, pemeriksaan dilakukan bersama oleh Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial.31 Berdasarkan uraian diatas persamaan kode etik menurut hukum Islam dan positif adalah : hakim harus bersifat adil, bermusyawarah dengan hakim lain jika menemukan kesulitan, dan dilarang menerima hadiah atau suap. Sedangkan Perbedaan yang menonjol dalam kode etik hakim menurut hukum Islam yang tidak diatur dalam kode etik dalam hukum positif
yaitu : hakim dianjurkan memakai jubbah hitam,
memutuskan perkara ditempat terbuka, dilarang memutuskan perkara dalam keadaan marah, seorang hakim tidak terikat dengan putusan sebelumnya, dan hakim hendaknya berijtihad apabila perkara tersebut tidak ada dalam Al- Qur’an dan Sunnah. Perbedaan ini nantinya akan 30
Mohammad Mahfud MD, Membangun Politik Hukum Menegakkan Konstitusi, (Rajawali Pers : Jakrta, 2010), h. 105. 31 Undang-Undang Republik Indonesia No. 50 Tahun 2009, Pasal 12 C (Ayat 2)
http://elc.stain-pekalongan.ac.id/
79
dibahas pada bab berikutnya, serta solusi untuk menghubungkan keduanya.
http://elc.stain-pekalongan.ac.id/